Top Banner
1 Gibb dan Goldziher: Biografi dan Pemikirannya * Oleh: Muhammad Ziyad, Muhammad Hasbi Muhammad Satori, Najmi Faza, Nur Ahsan A. Konteks Studi Sisi menarik dari Gibb dan Goldziher, secara historis mereka tercatat dalam agregat orientalis dengan peran antagonisme yang tinggi terhadap Islam. Pengaruh mereka juga sangat signifikan di dalam Islam, terutama sejauh penulusuran penulis adalah Ignaz Goldziher dengan paham Ingkar Sunnah yang dipeloporinya. Memang, paham ini bukan merupakan gagasan autentik Goldziher. Tengku Azhar mencatat, 1 paham ini tumbuh subur pada abad ke-2 Hijriyah, bertepatan dengan the Golden Age Abbasiyah. Imâmunâ al-Syâfi‘î mengidentifikasi paham ini ke dalam tiga bagian: ada yang menolak seluruh Sunnah, ada pula yang menolak selama Sunnah tersebut dipandang tidak concern dengan al-Qur’an, dan ada yang hanya menolak Sunnah berstatus ahad saja. Tetapi, 127 tahun lalu Goldziher telah menghidupkan kembali paham ini, bahkan mencetuskan gerakan Ingkar Sunnah. Apa yang dilakukan Goldziher menuai sukses besar. Terbukti, paham dan gerakan Ingkar Sunnah kemudian menyebar ke seluruh dunia. Di Mesir, salah satu tokohnya adalah Dr. Ali Hasan Abdul Qadir, Dr. Thaha Husein, Dr. Ahmad Amin, dan Abu Royyah. Sementara di Indonesia, pada tahun 80an muncul Azwar Syamsu. Dan dalam perkembangannya muncul lagi tokoh-tokoh baru semisal Abdur Rahman, Sanwani, Lukman Saad, dan seterusnya. Menurut penelitian, aliran Ingkar Sunnah di Indonesia pada mulanya diprakarsai oleh Marinus Taka, seorang keturunan Indo-Jerman yang tinggal di Depok lama, Jawa Barat. Sebagian dari mereka memang sudah dibui. Tetapi paham ini sangat mungkin masih berseliweran di mana-mana. Di sinilah, yang ketiga, tugas kita sekarang lebih dari sekedar bagaimana mengumandangkan realitas masa lalu itu dalam kekinian, tetapi juga perlu disertai upaya memberi “pertolongan pertama” terhadap riwayat yang terpelanting itu dari kebenaran. Dengan kata lain, apa * Karya tulis ini merupakan pembaharuan hasil revisi tugas makalah yang pernah diajukan pada mata kuliah Orientalisme, di bawah bimbingan Iwan Kuswandi, M.Pd.I, semester VII Institut Dirosat Islamiyah Al Amien Prenduan, Sumenep, 2014/2015. 1 Tengku Azhar, Gerakan Ingkar Sunnah Mengancam Sunnah, diakses pada tanggal, 19 Oktober 2014, dari http://forumstudysekteislam.wordpress.com
16

Gibb Dan Goldziher_Biografi Dan Pemikirannya

Feb 17, 2016

Download

Documents

Gibb, sebagaimana disebut Said, selalu terpancing untuk lebih banyak mempelajari realitas kehidupan beragama semacam itu dalam eksotisme masyarakat Timur, daripada mempelajari masyarakat itu sendiri. Karena itulah, Said menyebut Gibb sebagai sosok orientalis yang sangat “religius”. Namun demikian, pemikiran Gibb tentang itu semua tidak lahir dari ruang hampa. Pemikiran Gibb lebih merupakan reaksi dari intensitas berbagai persinggungannya dengan banyak tokoh sepanjang sejarah.
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Gibb Dan Goldziher_Biografi Dan Pemikirannya

1

Gibb dan Goldziher: Biografi dan Pemikirannya*

Oleh: Muhammad Ziyad, Muhammad Hasbi

Muhammad Satori, Najmi Faza, Nur Ahsan

A. Konteks Studi

Sisi menarik dari Gibb dan Goldziher, secara historis mereka tercatat

dalam agregat orientalis dengan peran antagonisme yang tinggi terhadap Islam.

Pengaruh mereka juga sangat signifikan di dalam Islam, terutama sejauh

penulusuran penulis adalah Ignaz Goldziher dengan paham Ingkar Sunnah yang

dipeloporinya. Memang, paham ini bukan merupakan gagasan autentik

Goldziher. Tengku Azhar mencatat,1 paham ini tumbuh subur pada abad ke-2

Hijriyah, bertepatan dengan the Golden Age Abbasiyah. Imâmunâ al-Syâfi‘î

mengidentifikasi paham ini ke dalam tiga bagian: ada yang menolak seluruh

Sunnah, ada pula yang menolak selama Sunnah tersebut dipandang tidak

concern dengan al-Qur’an, dan ada yang hanya menolak Sunnah berstatus ahad

saja. Tetapi, 127 tahun lalu Goldziher telah menghidupkan kembali paham ini,

bahkan mencetuskan gerakan Ingkar Sunnah. Apa yang dilakukan Goldziher

menuai sukses besar. Terbukti, paham dan gerakan Ingkar Sunnah kemudian

menyebar ke seluruh dunia. Di Mesir, salah satu tokohnya adalah Dr. Ali Hasan

Abdul Qadir, Dr. Thaha Husein, Dr. Ahmad Amin, dan Abu Royyah. Sementara

di Indonesia, pada tahun 80an muncul Azwar Syamsu. Dan dalam

perkembangannya muncul lagi tokoh-tokoh baru semisal Abdur Rahman,

Sanwani, Lukman Saad, dan seterusnya. Menurut penelitian, aliran Ingkar

Sunnah di Indonesia pada mulanya diprakarsai oleh Marinus Taka, seorang

keturunan Indo-Jerman yang tinggal di Depok lama, Jawa Barat. Sebagian dari

mereka memang sudah dibui. Tetapi paham ini sangat mungkin masih

berseliweran di mana-mana. Di sinilah, yang ketiga, tugas kita sekarang lebih

dari sekedar bagaimana mengumandangkan realitas masa lalu itu dalam

kekinian, tetapi juga perlu disertai upaya memberi “pertolongan pertama”

terhadap riwayat yang terpelanting itu dari kebenaran. Dengan kata lain, apa

* Karya tulis ini merupakan pembaharuan hasil revisi tugas makalah yang pernah diajukan

pada mata kuliah Orientalisme, di bawah bimbingan Iwan Kuswandi, M.Pd.I, semester VII Institut

Dirosat Islamiyah Al Amien Prenduan, Sumenep, 2014/2015. 1 Tengku Azhar, Gerakan Ingkar Sunnah Mengancam Sunnah, diakses pada tanggal, 19

Oktober 2014, dari http://forumstudysekteislam.wordpress.com

Page 2: Gibb Dan Goldziher_Biografi Dan Pemikirannya

2

yang salah dalam sejarah adalah tugas kita sekarang untuk meluruskannya,

sedemikian rupa sehingga kesalahan itu tidak kembali terulang secara massif.

Dalam hal ini, apa yang dikatakan George Santayana, seorang filsuf Spanyol,

kiranya sudah cukup jelas, “Mereka yang tidak mengenal masa lalunya, dikutuk

untuk mengulanginya.”2

Khawatirnya, karena tulisan ini tidak merujuk langsung pada sumber

yang ideal, nanti hanya akan menjadikan tulisan ini subjektif belaka. Walau pun

memang, tidak ada pengalaman yang tidak subjektif. Tetapi paling tidak, dengan

mengembalikan semua data pada referensi semestinya akan dapat mengurangi

kecenderungan subjektivitasnya.

Siapa sebenarnya sosok H.A.R. Gibb dan Ignaz Goldziher? Seperti apa

pula pemikiran mereka tentang Islam? Dan bagaimana kita menyikapi

konfrontasi pemikiran mereka?

B. H.A.R. Gibb (1895-1971)

a. Curriculum Vitae

Nama : Hamilton Alexander Rosskeen Gibb

Hidup : 02 Januari 1895 – 22 Oktober 1971

Keluarga

Ayah : Alexander Crawford Gibb

Ibu : Jane Ann Gardner

Istri : Hellen Jessie Stark

Anak-Anak : 1. Ian

2. Dorothy Greenslade

Pendidikan : 1. Royal High School, Edingburg

2. Edinburg University

3. London University

Profesi : 1. Guru Besar Bahasa Arab di London

2. Guru Besar Bahasa Arab di Oxford

3. Guru Besar Bahasa Arab di Harvard

4. Direktur Harvard’s Center For Middle Estern

Studies

5. Penulis

b. Rekam Jejak3

1895. Ketika itu dalam suasana tahun baru (new year). Lembaran Januari di

Alexandria, Mesir, masih tanggal 02. Seiring dengan itu, sepasang

kekasih asal Skotlandia, Alexander Crawford Gibb dan Jane Ann

Gardner, tengah berbahagia atas kelahiran buah hati mereka, Hamilton

Alexander Rosskeen Gibb atau biasa disebut Gibb.

2 Sejarah, diakses pada tanggal, 19 Oktober 2014, dari http://id.wikipedia.org. 3Tulisan ini diadaptasi dari dua sumber utama, Hamilton Alexander Rosskeen Gibb, diakses

pada tanggal, 21 Oktober 2014, dari http://www.conservapedia.com dan http://an.wikipedia.org.

Page 3: Gibb Dan Goldziher_Biografi Dan Pemikirannya

3

1897. Ini tentu adalah tahun yang paling menyedihkan bagi seorang Jane

Ann Gardner. Karena sejak tahun ini, ia harus kehilangan suaminya

dan membesarkan buah hatinya sebatang kara, di negeri yang sama

sekali asing.

1900. Jane Ann Gardner akhirnya memutuskan untuk kembali ke Skotlandia

dengan membawa serta Gibb yang sudah berumur 5 tahun. Selama 4

tahun kemudian, di Skotlandia, Gibb menjalani kursus privat.

1904. Gibb untuk pertama kalinya menempuh pendidikan formal di Royal

High School, Edingburg. Di sekolah itu, Gibb menekuni bidang

Classical Studies.

1912. Lulus dari Royal High School, Gibb melanjutkan studinya dalam

program kehormatan bahasa Semit, Edingburg University.

1913. Gibb harus kehilangan sosok ibu yang talah mengandung, melahirkan,

dan membesarkan dirinya, bahkan satu-satunya yang paling berharga

dalam hidupnya sepanjang 16 tahun ini.

1914. Dalam sejarah kemanusiaan dunia, ini adalah tahun pertama meletus-

nya perang global paling mematikan di Eropa, meminjam istilah

Charles à Court Repington “The First World War” (Perang Dunia I).

Perang ini melibatkan dua kekuatan besar dunia, antara aliansi

Britania Raya, Prancis, dan Rusia, dengan aliansi Jerman, Austria-

Hongaria, dan Italia. Berlangsung dari tanggal, 28 Juli 1914 – 11

November 1918, perang ini telah menelan puluhan juta orang.4

Pendidikan Gibb pun menjadi terganggu.

1917. Untuk tugas militer, Gibb dikirim ke Prancis, selanjutnya ke Italia.

Selama tugas itu Gibb memberikan service terbaik. Tak heran kalau

kemudian ia dianugrahi gelar Master of Arts.

1919. Perang global sudah usai. Gibb meninggalkan Skotlandia menuju

Inggris. Ia mempelajari bahasa Arab di School of Oriental and African

Studies, London University.

1921. Gibb mulai menata karir dengan mengajar bahasa Arab pada sekolah

almamaternya, di Inggris. Kegiatan ini berlangsung hingga 1937.

1922. Gibb menerima gelar MA dari School of Oriental and African Studies,

London University setahun setelah ia mengabdikan diri di sekolah

4 Perang Dunia, diakses pada tanggal, 05 Desember 2014, dari http://id.wikipedia.org

Page 4: Gibb Dan Goldziher_Biografi Dan Pemikirannya

4

almamaternya itu. Di tahun ini pula Gibb menikahi gadis pujaannya,

Hellen Jessie Stark.

1923. Usia pernikahan Gibb sebetulnya baru berumur setahun, tetapi Gibb

mungkin sudah sangat siap untuk memulai perubahan besar dalam

hidupnya, di mana ia akan menjadi sosok ayah yang bisa dibanggakan,

sekaligus suami bagi istri yang tengah bersiap melahirkan putra

pertama mereka tahun ini. Gibb memberi nama puteranya itu Ian

(1923-2005).

1926. Dorothy Greenslade adalah puteri kedua Gibb dan Stark yang lahir

selang 3 tahun dari Ian.

1930. Gibb menerima gelar profesor dari School of Oriental and African

Studies, London University sekaligus menggarap suatu proyek dengan

menjadi editor untuk Encyclopedia of Islam.

1937. Gibb hengkang dari London menuju Oxford. Ia aktif sebagai guru

besar dan meraih gelar profesor bahasa Arab dari St. John’s College.

1949. Muhammadanism karya Gibb diterbitkan dan menjadi sebuah basic

text yang digunakan pelajar Islam Barat (western students of Islam).

1955. Gibb menjadi direktur Harvard’s Center For Middle Estern Studies. Di

tahun yang sama, Gibb meraih dua gelar profesor sekaligus, profesor

bahasa Arab dan profesor universitas dari Harvard.

1971. Gibb menghembuskan nafas terakhirnya pada 22 Oktober. Selama

hidupnya, Gibb terlibat dalam berbagai asosiasi dan menulis tidak

sedikit buku.

c. Pemikiran H.A.R. Gibb tentang Islam

Pemikiran Gibb tentang Islam bisa dilihat dari berbagai karya-

karyanya. Said mencatat, hampir semua karya tulis Gibb mengenai Islam

dan bahasa Arab mengusung tema utama ketegangan antara Islam sebagai

suatu kenyataan Timur yang transendental dan bersifat memaksa, dengan

realitas-realitas pengalaman manusia sehari-hari.5 Interpretasi terbaik dari

pernyataan tema tersebut, bahwa Timur dipandang merupakan suatu belahan

dunia sebagai hunian sosiologis yang selalu dibelenggu oleh dogma-dogma

yang meniscayakan segenap penganutnya harus tunduk dan patuh secara

penuh dengan tentu saja tanpa menghilangkan sama sekali dispensasi-

dispensasi yang sudah diatur ketat dalam setiap kepercayaan Timur yang

5 Edward W. Said, Orientalisme: Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukkan Timur

Sebagai Subjek, (Pen.) Ahmad Fawaid, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), p. 432.

Page 5: Gibb Dan Goldziher_Biografi Dan Pemikirannya

5

kompleks dan dinamis. Keniscayaan akan totalitas kepatuhan semacam itu

jelas dapat menggiring pada satu spekulasi bahwa sosiologis Timur terdiri

dari “robot-robot” agama yang menyandera kebebasan mutlak manusia demi

kepercayaan-kepercayaan terhadap adanya yang lain di luar materi semesta

ini. Gibb, sebagaimana disebut Said, selalu terpancing untuk lebih banyak

mempelajari realitas kehidupan beragama semacam itu dalam eksotisme

masyarakat Timur, daripada mempelajari masyarakat itu sendiri. Karena

itulah, Said menyebut Gibb sebagai sosok orientalis yang sangat “religius”.6

Namun demikian, pemikiran Gibb tentang itu semua tidak lahir dari ruang

hampa. Pemikiran Gibb lebih merupakan reaksi dari intensitas berbagai

persinggungannya dengan banyak tokoh sepanjang sejarah. Salah satu tokoh

yang paling awal memengaruhi alam pimikiran Gibb adalah Duncan

MacDonald.7

Sampai di sini, sebelum membicarakan konstruksi pemikiran Gibb,

ada baiknya penulis perlu memaparkan terlebih dahulu hal-ihwal yang

menyangkut latar-belakang pemikirannya. Dalam catatan Said, pasca dua

Perang Dunia, penguasaan Barat atas Timur belum selesai. Di saat yang

sama, ketegangan antara Barat dan Timur memang semakin meningkat.

Namun Barat pantang menyerah. Barat tetap berhasrat menguasai Timur.

Untuk itu, strategi yang digunakan kali ini perlu dirubah dengan melalui

pendekatan kebudayaan, tepatnya dengan mengkaji literatur-literatur Timur.

Barat, menurut Gibb, perlu memperhatikan kondisi kultural Timur secara

keseluruhan, beberapa di antaranya karena Timur kala itu telah menjadi

sejenis tantangan bagi Barat, dan karena Barat tengah dihantam krisis

kebudayaan paling mengerikan yang sebagian disebabkan oleh semakin

berkurangnya kekuasaan Barat atas kawasan-kawasan dunia pada umumnya,

dan oleh ancaman-ancaman seperti Barbarisme, kepentingan-kepentingan

teknis yang sempit, kegersangan moral, nasionalisme yang keras, dan

sebagainya.8 Gibb sendiri, yang oleh Said dianggap sebagai orientalis terbaik

selama periode dua Perang Dunia, mengkaji keseluruhan budaya Timur

secara anti positivistik, intuitif, dan simpatik. Dengan cara itu, Gibb berhasil

menyajikan Timur dengan lebih kritis. Namun, apa yang dilakukan Gibb

sebetulnya tidak benar-benar tulus. Said menaruh kecurigaan besar semua itu

6 Ibid., p. 409. 7 Ibid., p. 429. 8 Ibid., p. 397-399.

Page 6: Gibb Dan Goldziher_Biografi Dan Pemikirannya

6

ada hubungannya dengan upaya menundukkan Timur terhadap Barat. Harus

dipahami betapa oleh para orientalis, termasuk Gibb, Timur tetap dipandang

harus diletakkan sebagai entitas yang rendah; dan sebaliknya, di saat yang

sama citra Barat perlu terus ditingkatkan. Sebagai implikasinya muncul

gagasan-gagasan semisal ketidakmampuan Timur untuk berdagang dan

untuk mengatur ekonomi secara rasional, hingga gagasan-gagasan tentang

Islam, dalam hubungannya dengan Kristen dan Yahudi, yang harus terus

dipandang oleh para orientalis sebagai suatu tipe dari sebuah kebudayaan

Timur yang sangat mencemaskan dan mengancam eksistensi Barat-Kristen

serta agama-agama lain. Maka Islam harus diperlakukan tak lebih sebagai

suatu agama yang tidak boleh tidak harus disajikan dengan citra yang begitu

menakutkan. Semua dilakukan semata-mata agar ancaman-ancaman Timur

terhadap Barat yang sudah mulai terasa pasca Perang Dunia II dapat segera

diatasi secara sistematis.9

Sekarang, saatnya mendiskusikan pemikiran-pemikiran Gibb secara

spesifik tentang Islam. Said menuturkan, Gibb memiliki pandangan yang

diadopsinya dari pemikiran MacDonald, pertama, bahwa Islam adalah

sistem kehidupan yang kohern. Sistem tersebut dikohernkan oleh doktrin,

metode praktik keagamaan, dan gagasan tentang tatanan masyarakat, dan

bukan oleh masyarakat itu sendiri yang mengatur hidupnya dengan sistem

tersebut.10

Pandangan ini sepenuhnya benar. Al-Qur’an bahkan dengan tegas

menyebut jati dirinya sebagai Teks yang universal. Ini artinya tidak ada satu

pun di dalam Teks otoritatif itu yang tidak disinggung. Dan, setiap bagian

dari dictum al-Qur’an bersifat kohern, saling mengukuhkan, dan tidak ada

yang kontradiktif. Yang demikian karena al-Qur’an merupakan kebenaran,

dan seperti telah diungkapkan oleh Ibnu Rusyd, bahwa “kebenaran tidak

akan bertentangan dengan kebenaran yang lain, tetapi saling mencocokinya,

dan bahkan menjadi saksi atasnya.”11

Kedua, selama ini Islam tidak bisa menanggulangi kesulitan-kesulitan

epistemologis dan metodologis dalam memandang suatu objek. Pandangan

ini setidaknya mewakili aspek mentalitas Timur. Karena Islam dan Timur

pada umumnya memiliki kecenderungan untuk terlalu mudah percaya

kepada hal-hal yang Gaib hingga tidak mampu menyusun suatu sistem bagi

9 Ibid., p. 399-404. 10 Ibid., p. 429. 11 Dikutip Aksin Wijaya, Teori Interpretasi al-Qur’an Ibnu Rusyd: Kritik Ideologis

Hermeneutis, (Yogyakarta: LKiS, 2009), p. 5.

Page 7: Gibb Dan Goldziher_Biografi Dan Pemikirannya

7

hal-hal yang bisa dilihat. Dengan kata lain, seperti dikatakan MacDonald,

begitu mudahnya Timur-Islam dikuasai oleh suatu gagasan hingga tidak

mampu melihat hal-hal yang lain. Akibatnya, Timur-Islam kata MacDonald

tidak memiliki pandangan yang utuh tentang kehidupan dan tidak mampu

memahami bahwa teori kehidupan harusnya meliputi semua kenyataan.

Pernyataan-pernyataan tersebut mengandung makna bahwa Islam dan Timur

tidak mampu menghadirkan sendiri sistem pengetahuan yang lebih duniawi

oleh karena keterpakuan dan kecenderungannya pada persoalan-persoalan

metafisis. Ini jelas berbeda dari watak Barat yang sekular. Menurut Said,

pemikiran semacam ini tidak lain hanya untuk menunjukkan bahwa Timur-

Islam adalah berbeda dari Barat. Dan ini sesungguhnya lebih merupakan

suatu pengulangan yang mencerminkan sejenis keputusan dari para

orientalis, dan sama sekali bukan kenyataan yang sebenarnya tentang Timur-

Islam. Padahal, kata Said, tak seorang pun mengingkari fakta pencapaian

luar biasa dari sains Islam. Dan, ketika manusia Timur dikatakan berbeda

dari manusia Barat lantaran terlalu mudah dikuasai oleh suatu gagagasan,

tidak disadari bahwa orientalisme juga begitu mudah dikuasai oleh gagasan

tentang perbedaan antara Barat dan Timur.12

Namun, Said mungkin lupa

bahwa kemajuan sains Islam hanyalah suatu “pinjaman” dari warisan tradisi

Barat yang diwakili Yunani pada masa lampau. Ilmu pengetahuan yang telah

diharamkan Barat berabad-abad telah dibawa ke dalam dunia Islam dengan

berpijak pada spirit wahyu, sehingga itu kemudian menjadikan Islam sebagai

lampion peradaban. Dan Gibb, maupun MacDonald, juga tidak menyadari

betapa China sebagai representasi Timur telah jauh menembus kemajuan

Islam dan Barat di bidang ilmu alam. Tak heran apabila Nabi saw bahkan

mewanti-wanti umtanya untuk menuntut ilmu hingga negeri China (wa law

bi al-Shîn).

Ketiga, konsekuensi dari watak Islam yang lemah seperti di atas, dan

di saat yang sama kemudian Islam mengadopsi pola keilmuan maupun

kehidupan Barat yang sekular, Gibb, dan juga para orientalis lain, kemudian

melihat Islam sebagai sebuah superstruktur yang telah dirusak oleh

nasionalisme, agitasi komunis, dan westernisasi ―yang kesemua itu bersifat

politis― maupun oleh upaya-upaya Muslim sendiri untuk ikut campur

12 Edward W. Said, Orientalisme…. Op.cit., p. 429-431.

Page 8: Gibb Dan Goldziher_Biografi Dan Pemikirannya

8

dengan wewenang intelektualnya.13

Gibb menulis dalam sebuah artikelnya,

“Whether Islam?”, dalam Whether Islam? A Survey of Modern Movements

in the Moslem World yang disunting Gibb pada 1932:

“Islam, sebagai suatu agama telah sedikit kehilangan kekuatannya.

Tetapi, Islam, sebagai penengah kehidupan sosial (dalam dunia

modern), tengah disingkirkan. Di samping atau bahkan di atas Islam,

kekuatan-kekuatan baru tengah mengerahkan dan memaksakan

kekuasaannya yang terkadang bertentangan dengan tradisi-tradisi dan

ajaran-ajaran sosial Islam. Dengan kata lain yang lebih sederhana, apa

yang terjadi adalah sebagai berikut: sebelum saat ini, orang Muslim

sudah terbiasa tidak memiliki kepentingan atau fungsi politik. Begitu

pula, mereka begitu sulit menjangkau literatur-literatur yang ada

kecuali literatur keagamaan. Mereka juga tidak mempunyai perayaan-

perayaan dan kehidupan komunal kecuali yang berhubungan dengan

agama. Bahkan sangat sedikit atau bahkan tak seorang pun dari

mereka yang melihat dunia luar kecuali dengan kacamata agama.

Konsekuensinya, bagi mereka, agama berarti segala-galanya. Namun

demikian, situasi berubah pada saat ini. Kini, lebih-lebih di Negara

yang telah maju, kepentingan telah meluas dan kegiatan-kegiatan

orang-orang Muslim tidak lagi dibatasi oleh agama. Mereka juga

dihadapkan pada masalah-masalah politik. Mereka membaca –atau

orang-orang membacakannya pada mereka– segudang artikel

mengenai beragam masalah yang sama sekali tidak ada hubunngannya

dengan agama. Bahkan, sudut pandang keagamaan nyaris tidak

dibahas sama sekali. Masalah-masalah yang ada diputuskan dengan

dengan prinsip-prinsip yang sama sekali berbeda.”14

Kita tentu tidak bisa memungkiri apa yang dikatakan Gibb. Di tengah era

imperialisme Barat yang menghancurkan hampir seluruh dunia Islam, ada

banyak sekali kaum intelektual yang dengan terpaksa mengakui segala apa

yang datang dari “luar” untuk kepentingan-kepentingan politis yang sebenar-

nya tanpa disadari menjadi boomerang bagi hilangnya identitas Islam yang

sejati. Agama bukan lagi hal yang utama bagi Timur-Islam. Bagaimana

China yang pada akhirnya menjadi komunis yang anti Tuhan, dan Turki

yang membuang semua dimensi religiusitasnya, dan banyak hal-hal lainnya.

Pada bagian ini, selanjutnya akan dikupas pemikiran Gibb tentang

Muhammad. Dalam Mohammedanism, Gibb menulis sebagai berikut:

“Bagi kita tidak perlu dibicarakan lagi bahwa pengaruh yang

diperoleh Muhammad atas kemauan dan kecintaan para sahabatnya

adalah disebabkan oleh pribadinya. Tanpa hal tersebut niscaya mereka

akan sedikit sekali menaruh perhatian terhadap klaim sebagai seorang

Nabi, karena kualitas moral yang dimilikinya, bukan lantaran ajaran

keagamaan, bahwa masyarakat Madinah memohonkan bantuannya.

Akhirnya, tanpa disangsikan lagi, bahkan juga dalam pandangan para

13 Ibid., p. 433. 14 Ibid., p. 434.

Page 9: Gibb Dan Goldziher_Biografi Dan Pemikirannya

9

sahabatnya, kedua aspek (risalah dan pribadinya) di dalam

kehidupannya itu tidak dapat dipisahkan/dibedakan, begitu pula dalam

pandangan seluruh Muslim dari generasi-generasi belakangan.”15

Berdasarkan pernyataan Gibb di atas, Muhammad memiliki pengaruh besar

dan dicintai sahabat-sahabatnya, bukan semata-mata karena risalah yang

dibawanya begitu sempurna, melainkan karena kepribadian Muhammad

yang anggun sehingga sanggup meruntuhkan kerasnya hati dan pikiran para

sahabatnya, bahkan Umar sekalipun yang popularitas keganasannya tak

terbantahkan menjadi takluk di hadapan Muhammad. Tetapi, selanjutnya

Gibb menulis:

“Bila seseorang memalingkan perhatian dari kegiatan umum dalam

kehidupan Muhammad itu kepada kepribadiannya dan pengaruhnya

dalam bidang moral dan sosial, tidaklah selamanya mudah diperoleh

titik temu antara kebencian theologis dari penulis-penulis Barat pada

masa lampau dengan apologi yang tidak meyakinkan dari penulis-

penulis pada zaman baru. Penelitian sumber-sumber belum cukup

jauh membuat kita mampu membedakan dengan penuh keyakinan

antara hadits yang murni pada masa-masa permulaan dengan ciptaan-

ciptaan belakangan. Mestilah diakui bahwa tokoh Muhammad itu

menderita sekali oleh omong-kosong tentang tetek-bengek yang

berkaitan dengan Muhammad oleh para pengikutnya pada generasi-

generasi belakangan.”16

Di sini, Gibb kemudian sangat menyayangkan, mengapa sahabat-sahabat

Nabi tega merendahkan keagungan sosok yang dipuja dan dielu-elukan itu

dengan menisbatkan Hadits-Hadits palsu kepadanya, justru ketika Nabi

sudah tiada. Memang, Hadits-Hadits palsu bertebaran di mana-mana sejak

tumbuhnya konflik politik dalam internal Islam pada masa-masa konfrontasi

antara Ali dan Mu’awiyah. Hadits-Hadits palsu, menurut Gibb, telah

mencoreng reputasi Nabi di satu pihak, dan Islam di lain pihak. Di antara

Hadits-Hadits palsu itu misalnya hadits yang diriwayatkan Humaid dari

Anas yang menyatakan, “Akulah pamungkas para Nabi. Tidak ada Nabi lagi

setelahku, kecuali Allah menghendaki.”17

Yang tak kalah menarik dari pemikiran Gibb adalah komentarnya

terhadap mistisisme Islam. Gibb mengatakan, Islam sebenarnya bukanlah

agama yang memiliki pandangan-pandangan terlalu asketik. Pandangan

Islam lebih duniawi. Misalnya, Islam mengutuk pembujangan dan sistem

15 Dikutip Achmad Zuhdi DH, Pandangan Orientalis Barat tentang Islam: Antara yang

Menghujat dan yang Memuji, (Surabaya: Karya Pembina Swajaya, 2004), p. 135. 16 Ibid., p. 135-136. 17 Redaksi hadits tersebut berbunyi, “ ين النبى ب عدى ، اال أن يشاء الل . أنا خاتم النبي ”. Mahmud

Thahhan, Taysîr Mushthalah al-Hadîts, (Surabaya: Al Hidayah, t.t.), p. 91.

Page 10: Gibb Dan Goldziher_Biografi Dan Pemikirannya

10

kependetaan. Kalau pun memang kemudian ditemukan proses asketisme itu

di dalam Islam, bisa dipastikan merupakan bias dari proses pergumulannya

dengan dunia luar.18

Apa yang dikatakan Gibb tidak bisa disalahkan begitu

saja, pun demikian tidak juga sepenuhnya bisa dibenarkan. Bahwa Islam

“tidak sepenuhnya” memiliki pandangan yang “terlalu” asketis, itu benar.

Islam merupakan agama yang lengkap dan utuh, yang memberikan tempat

kepada jenis penghayatan keagamaan eksoterik (lahiriah) dan esoterik

(batiniah) sekaligus. Memberikan tekanan kepada salah satu dari dua aspek

tersebut justru akan menghasilkan kepincangan dan menyalahi prinsip

keseimbangan dalam Islam.19

Tetapi, apabila dikatakan bahwa mistisisme

hanyalah efek persentuhan peradaban Islam dengan dunia luar, ini tidak

benar. Tanpa pengaruh dari luar pun, sebetulnya kemunculan mistisisme di

dalam Islam memiliki kemungkinan yang cukup kuat. Ada banyak sekali

ayat dan hadits yang mendukung faham dan praktek mistisisme. Misalnya di

dalam al-Qur’an dikatakan:

“Dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dan mengetahui

apa yang dibisikkan hatinya, dan kami lebih dekat padanya daripada

urat lehernya.”20

Di dalam hadits riwayat Bukhari dari Abu Hurairah juga telah ditegaskan:

“Allah menyatakan, ‘Siapa pun yang menentang kekasihku, aku pasti

memeranginya. Aku menyayangi hamba yang setelah memenuhi

kewajibannya ia mendekatkan diri kepadaku dengan amal ibadah

sunnah yang paling kusenangi. Dan ketika aku sudah menyayanginya,

akulah yang menjadi telinga dan matanya, tangan dan kakinya; dan

jika memohon, pasti aku kabulkan; dan jika meminta perlindungan,

pasti aku lindungi.”21

C. Ignaz Goldziher

a. Curriculum Vitae

Nama : Ignac Yitzhaq Yehuda Goldziher

Hidup : 22 Juni 1850 – 13 November 1921

Pendidikan : 1. Budapest University

2. Berlin University

3. Leipzig University

4. Leiden University

5. Wina University

6. Al Azhar University

18 Achmad Zuhdi DH, Pandangan Orientalis Barat tentang Islam….Op.cit., p. 105-106. 19 Asep Usman Ismail, “Masalah al-Walâyah dalam Tasawuf: Pandangan Hakîm al-Tirimdzî

dan Ibn Taymiyyah,” Paramadina, Jurnal Pemikiran Islam, Volume I, Nomor, 2, 1999, p. 120. 20 Q.s. Qâf/50: 16. 21 Abi Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Riyâdh al-Shâlihîn min Kalâm Sayyid al-

Mursalîn, (Pekalongan: Maktabah Dâr Ihyâ’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.t.), p. 194-195.

Page 11: Gibb Dan Goldziher_Biografi Dan Pemikirannya

11

Profesi : Penulis

b. Rekam Jejak

1850. Ini adalah tahun di mana Goldziher dilahirkan di Székesfehérvár pada

paruh akhir bulan Juni, tanggal 22. Ia belajar di banyak universitas

ternama atas dukungan József Eötvös, Menteri Budaya Hongaria.22

Ia

45 tahun lebih tua dari Gibb.

1855. Tetapi, inteligensi Goldziher tak bisa diragukan. Diceritakan misalnya

bagaimana Goldzhier pada usianya yang masih 5 tahun ternyata sudah

mampu membaca Bible asli dalam bahasa Ibrani.23

Fantastis!

1865. Menginjak usianya yang ke-15, Goldziher mendaftarkan diri di

Budapest University, Hungaria, untuk memulai program S1-nya. Di

sana, ia bertemu dengan Arminius Vambery (1803-1913). Vambery

seorang dosen di Budapest dan menjadi orang pertama yang banyak

mewarnai kehidupan intelektual awal Goldziher. Seperti Goldziher,

Vambery sendiri adalah keturunan Yahudi.

1866. Di usia yang ke-16, Goldziher mampu menerjemahkan dua buah kisah

Turki ke dalam bahasa Hungaria.24

Ini menunjukkan sosok Goldziher

yang luar biasa.

1869. Goldziher melanjutkan studinya di Berlin, kemudian lanjut ke Leipzig

University. Di Leipzig, ia dibimbing selama dua tahun oleh seorang

orientalis Jerman, Heinrich Fleisher, seorang pakar filologi.

1870. Goldziher meraih gelar doktoralnya dengan karya, “Penafsir Taurat

dari Tokoh Yahudi Abad Pertengahan.”25

Berikutnya, Goldziher

masih menerustkan studinya ke Leiden University dan Wina.

1871. Ini adalah tahun di mana Goldziher kembali ke Budapest.

1872. Goldziher menjadi Dosen Privat (Privatdozent) di almamaternya, di

Budapest. Privatdozent ketika itu masih merupakan jabatan khusus

untuk intelektual muda yang diberi kesempatan mengajar di kampus,

namun tanpa diagaji. Bersamaan dengan itu, Goldziher terpilih

sebagai anggota Akademi Sains Hungaria.26

22 Ignác Goldziher, diakses pada tanggal, 01 November 2014, dari http://en.wikipedia.org 23 Ibnu Abdil Bar, Mengenal Ignaz Goldziher, diakses pada tanggal, 06 Desember 2014, dari

http://www.oaseimani.com 24 Hafsa Mutazz, Sosok Orientalisme dan Kiprahnya, diakses pada tanggal, 06 Desember

2014, dari http://www.gaulislam.com 25 Ibid. 26 Ibnu Abdil Bar, Mengenal Ignaz Goldziher…. Loc.cit.

Page 12: Gibb Dan Goldziher_Biografi Dan Pemikirannya

12

1873. Di bawah naungan pemerintah Hongaria, ia memulai perjalanan

melalui Suriah, Palestina, dan Mesir hingga 1874. Di Suriah, ia belajar

pada Syekh Thahir al-Jazairi. Sementara di Mesir, Dor Bey, seorang

keturunan Swiss yang bekerja di Kementerian Mesir memperkenalkan

Goldziher pada Riyad Pasha, seorang Menteri Pendidikan Mesir.

Kepada Riyad, Goldziher mengemukakan keinginannya untuk belajar

di Al Azhar University. Melalui rekomendasi sang menteri, Goldziher

akhirnya diterima di Al Azhar, Kairo. Ketika itu Mufti Masjid Al

Azhar adalah ‘Abbasi. ‘Abbasi sempat termakan kelihaian Goldziher

dalam berdiplomasi. Untuk melancarkan misinya, Goldziher merubah

nama menjadi Ignaz al-Majari, bahkan sempat mengaku Muslim dan

ikut serta dalam shalat Jum’at. Di Al Azhar, Goldziher menjadi murid

dari beberapa masyâyikh sekelas al-Asmawi, Mahfud al-Maghribi, dan

lain-lain.

1889. Goldziher mendapat penghargaan besar dengan menerima medali

emas dari Stockholm Oriental Congress.

1890. Goldziher menerbitkan Muhammedanische Studien.

1921. Goldziher menutup mata di Budapest pada tanggal, 13 November.

c. Pemikiran Ignaz Goldziher tentang Islam

Goldziher termasuk orientalis berbahaya. Ia tidak saja menyerang Hadits

sebagai sumber otoritatif (hujjiyyah) kedua dalam Islam, tetapi juga

menyerang hukum Islam dengan menuduhnya macam-macam.

Dalam Muhammedanische Studien, Goldziher menyebut tidak ada

jaminan bahwa sebagian besar Hadits ―artinya tidak seluruhnya― bersifat

autentik. Hal ini mengingat falsifikasi Hadits yang pernah menjadi fenomena

tersendiri dalam perjalanan sejarah klasik perkembangan Islam menuju

kematangannya.27

Hadits-Hadits, waktu itu, tidak lebih dari kesan-kesan atau

bahkan kebohongan-kebohongan yang dijustifikasikan (mâ udhîfa) kepada

Nabi untuk kepentingan-kepentingan menyesatkan, misal memerangi orang-

orang durhaka, memuluskan pencapaian tujuan-tujuan kekuasaan, melawan

isme-iseme yang bertentangan, dan semacamnya. Fenomena ini “terutama”

dapat ditemui pada masa-masa pergolakan sosio-politik di bawah tahta

dinasti Umawi.28

Suatu misal, al-Tirmidzi pernah mengeluarkan sebuah

27 Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran Islam (Jakarta: Gema Insani,

2008), p. 29. 28 Achmad Zuhdi DH, Pandangan Orientalis Barat tentang Islam….Op.cit., p. 84-85.

Page 13: Gibb Dan Goldziher_Biografi Dan Pemikirannya

13

Hadits ilegal (al-mardûd) versi Hakim al-Atsram dari Abu Tamimah al-

Hujaymi.

“Seseorang yang menggauli perempuan suci atau haid melalui

anusnya, ia benar-benar sudah kafir sesuai dengan apa yang turun

kepada Muhammad.”

Komentar al-Tirmidzi setelah itu bahwa ia sendiri sama sekali tidak pernah

mengenal Hadits ini kecuali dari versi yang bersangkutan, yaitu Hakim al-

Atsram dari Abu Tamimah al-Hujaymi. Selebihnya ia mengatakan bahwa al-

Bukhari bahkan menvonis Hadits ini dha‘îf dari segi mata rantai perawinya.

Sebab, seperti diungkapkan al-Thahhan, ulama “menyepakati” kelemahan

pribadi Hakim al-Atsram di dalam hubungannya dengan relasi periwayatan.

“Fîhi lîn!” tegas Ibnu Hajar.29

Hal-hal lain yang menyebabkan Hadits perlu dicurigai adalah dugaan

bahwa mata rantai periwayatan Hadits sebenarnya terbentuk dari beberapa

kekuatan yang hidup sesudah Nabi. Kekuatan-keuatan ini kemungkinan

bersekongkol sehingga apa yang diriwayatkan kemudian seolah-olah

menjadi padu dan saling mengukuhkan satu sama lain.30

Pandangan

Goldziher ini didukung oleh sejumlah orientalis lainnya. Henri Lammens

dan Leone Caetani, misalnya, mereka berseloroh bahwa historisitas mata

rantai periwayatan Hadits baru dimulai jauh setelah redaksi Hadits ada, atau

menurut Josef Horovitz, historisitas mata rantai periwayatan Hadits baru

diperkenalkan dan diterapkan pada akhir abad pertama sebagai pengaruh

dari tradisi lisan dalam Yahudi.31

Tuduhan ini keliru. Sejak awal, Nabi

sering menggelar pertemuan-pertemuan yang diikuti oleh tidak sedikit kaum

Muslimin. Sangat mungkin ketika itu mereka menerima dan menyebarkan

Hadits-Hadits dalam versi yang sama, baik secara tekstual maupun secara

substansial. Apalagi redaksi Haditsnya mudah diingat. Ini artinya, persoalan

mata rantai periwayatan bukan hal yang baru. Di sini mungkin perlu

ditekankan bahwa kualitas Hadits tidak semata-mata ditentukan oleh

kuantitas mata rantai perawi. Betapa pun banyaknya jumlah perawi, tetapi

data pribadinya buruk atau redaksi Haditsnya cacat, tentu saja akan dapat

menurunkan derajat suatu Hadits yang diriwayatkan.

Lebih lanjut, faktor lain yang tak kalah penting dari itu bahwa dalam

perkembangannya, menurut Goldziher, redaksi Hadits tidak sedikit yang

29 Mahmud Thahhan, Taysîr Mushthalah al-Hadîts…. Op.cit., p. 64-65. 30 Achmad Zuhdi DH, Pandangan Orientalis Barat tentang Islam….Op.cit., p. 84-85. 31 Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran Islam…. Op.cit., p. 30.

Page 14: Gibb Dan Goldziher_Biografi Dan Pemikirannya

14

kontra kemajuan.32

Kita tidak bisa mengelak dari tuduhan ini, karena jumlah

Hadits palsu juga tidak sedikit. Tetapi, tidak bisa kemudian ini dijadikan

landasan untuk menvonis semua Hadits yang sepintas bertentangan atau

tidak dapat menopang perkembangan mutakhir sebagai Hadits palsu. Ada

kriteria-kriteria yang cukup “ketat” untuk menetapkan status sebuah Hadits.

Terhadap hukum Islam, Goldziher memandangnya tak lebih sebagai

hasil dari pengaruh perundang-undangan Romawi. Dalam bahasa Sheldon

Amush, bahwa “sesungguhnya perundang-undangan Muhammad tidak lain

hanyalah Gestanian dengan kemasan Arab.” Muhammad diklaim menguasai

hukum Romawi, dan para fuqahâ’ memiliki jaringan dengan madzhab-

madzhab qânûn Romawi serta hukum-hukum yang berlaku dan diajarkan di

sana, di negara-negara taklukan Islam bekas imperium Romawi. Hal itu

ditengarai dengan adanya kemiripan-kemiripan antara hukum Islam dan

perundang-undangan Romawi.33

Muhammad memang pernah berlabuh di

Syam selama dua kali. Dan setelah ekspansi Islam di sejumlah wilayah

imperium Romawi, baik sekolah-sekolah maupun mahkamah-mahkamah

Romawi begitu pun produk hukumnya memang tidak sepenuhnya punah.

Benar bukan tepat di wilayah Islamnya, tetapi bagaimana di sekitarnya,

seperti di Roma dan Constantin. Kemudian apakah semua kenyataan itu

cukup kuat untuk menjadi bukti adanya pengaruh hukum Romawi dalam

hukum Islam semata hanya karena ditemukan kemiripan-kemiripan di antara

keduanya? Ada-tidaknya kemiripan tidak serta merta menandakan ada-

tidaknya pengaruh.34

Bukankah betapa banyak orang yang mirip di dunia ini,

tetapi sama sekali tidak memiliki ikatan darah?

D. Kesimpulan

Apa yang dapat disimpulkan di sini adalah sebagai berikut.

Pemikiran Gibb.

1. Semua karya tulis Gibb mengenai Islam dan bahasa Arab mengusung tema

utama ketegangan antara Islam sebagai suatu kenyataan Timur yang

transendental dan bersifat memaksa, dengan realitas-realitas pengalaman

manusia sehari-hari.

32 Achmad Zuhdi DH, Pandangan Orientalis Barat tentang Islam….Op.cit., p. 84 33 Ibid., p. 99-100. 34 Ibid., p. 100-101.

Page 15: Gibb Dan Goldziher_Biografi Dan Pemikirannya

15

2. Pemikiran Gibb dipengaruhi oleh berbagai persinggungannya dengan banyak

tokoh sepanjang sejarah. Salah satu tokoh yang paling awal memengaruhi

alam pimikiran Gibb adalah Duncan MacDonald.

3. Barat perlu memperhatikan kondisi kultural Timur secara keseluruhan.

4. Islam adalah sistem kehidupan yang kohern.

5. Islam tidak bisa menanggulangi kesulitan-kesulitan epistemologis dan

metodologis dalam memandang suatu objek.

6. Islam merupakan sebuah superstruktur yang telah dirusak.

7. Pengaruh yang diperoleh Muhammad atas kemauan dan kecintaan para

sahabatnya adalah disebabkan oleh pribadinya, bukan ajarannya.

8. Muhammad pasti menderita sekali dengan adanya falsifikasi Hadits oleh para

pengikutnya.

9. Islam sebenarnya bukanlah agama yang memiliki pandangan-pandangan

terlalu asketik. Pandangan Islam lebih duniawi.

Pemikiran Goldziher.

1. Tidak ada jaminan bahwa sebagian besar Hadits ―artinya tidak seluruhnya―

bersifat autentik.

2. Hadits-Hadits tidak lebih dari kesan-kesan bahkan kebohongan-kebohongan

yang dijustifikasikan (mâ udhîfa) kepada Nabi untuk berbagai kepentingan-

kepentingan yang menyesatkan

3. Falsifikasi Hadits dapat ditemui pada masa-masa pergolakan sosio-politik di

bawah tahta dinasti Umawi.

4. Mata rantai periwayatan Hadits sebenarnya terbentuk dari beberapa kekuatan

yang hidup sesudah Nabi. Kekuatan-keuatan ini kemungkinan bersekongkol

sehingga apa yang diriwayatkan kemudian seolah-olah menjadi padu dan

saling mengukuhkan satu sama lain.

5. Dalam perkembangannya, redaksi Hadits tidak sedikit yang kontra kemajuan.

6. Hukum Islam tak lebih sebagai hasil dari pengaruh perundang-undangan

Romawi.

Page 16: Gibb Dan Goldziher_Biografi Dan Pemikirannya

16

BIBLIOGRAFI

Abi Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi. Riyâdh al-Shâlihîn min Kalâm

Sayyid al-Mursalîn. (Pekalongan: Maktabah Dâr Ihyâ’ al-Kutub al-

‘Arabiyyah, t.t.)

Achmad Zuhdi DH. Pandangan Orientalis Barat tentang Islam: Antara yang

Menghujat dan yang Memuji. (Surabaya: Karya Pembina Swajaya,

2004)

Aksin Wijaya. Teori Interpretasi al-Qur’an Ibnu Rusyd: Kritik Ideologis

Hermeneutis, (Yogyakarta: LKiS, 2009)

Asep Usman Ismail. “Masalah al-Walâyah dalam Tasawuf: Pandangan Hakîm

al-Tirimdzî dan Ibn Taymiyyah.” Paramadina, Jurnal Pemikiran Islam,

Volume I, Nomor, 2, 1999

Edward W. Said. Orientalisme: Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukkan

Timur Sebagai Subjek. (Pen.) Ahmad Fawaid. (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2010)

Hafsa Mutazz. Sosok Orientalisme dan Kiprahnya. Diakses pada tanggal, 06

Desember 2014, dari http://www.gaulislam.com

Hamilton Alexander Rosskeen Gibb. Diakses pada tanggal, 21 Oktober 2014,

dari http://an.wikipedia.org

Hamilton Alexander Rosskeen Gibb. Diakses pada tanggal, 21 Oktober 2014,

dari http://www.conservapedia.com

Ibnu Abdil Bar. Mengenal Ignaz Goldziher. Diakses pada tanggal, 06 Desember

2014, dari http://www.oaseimani.com

Ignác Goldziher. Diakses pada tanggal, 01 November 2014, dari http://en.

wikipedia.org

Mahmud Thahhan. Taysîr Mushthalah al-Hadîts. (Surabaya: Al Hidayah, t.t.)

Perang Dunia. Diakses pada tanggal, 05 Desember 2014, dari http://id.

wikipedia.org

Sejarah. Diakses pada tanggal, 19 Oktober 2014, dari http://id.wikipedia.org

Syamsuddin Arif. Orientalis dan Diabolisme Pemikiran Islam. (Jakarta: Gema

Insani, 2008)

Tengku Azhar. Gerakan Ingkar Sunnah Mengancam Sunnah. Diakses pada

tanggal, 19 Oktober 2014, dari http://forumstudysekteislam.wordpress.

com