LAPORAN DISKUSI TUTORIAL BLOK XXII : GERIATRI SKENARIO 3:
TRILOGI EYANG YOSO III : KETIDAKBERDAYAAN SANG PEJUANG
Nama Tutor :Ratih Puspita Febrinasari, dr,M.Sc
Oleh :Kelompok 191. Ahadina Rahma Zulardi(G0011008)2. Aulia
Nadhiasari(G0011046)3. Deyona Annisa Putri(G0011072)4. Firdausul
Marifah(G0011094)5. Lauraine W. Sinuraya(G0011126)6. Safitri Dwi
Martanti(G0011188)7. Wuryan Dewi M.A.(G0011212)8. Ardian
Pratiaksa(G0011034)9. I Kadek Rusjaya(G0011110)10. Ristyadita
Y.(G0011178)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTERFAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS
SEBELAS MARET2014BAB IPENDAHULUAN
A. Latar BelakangImobilisasi didefinisikan sebagai keadaan tidak
bergerak atau tirah baringselama lebih dari 3 hari, dengan gerak
anatomik tubuh menghilang akibat perubahanfisiologik. Imobilisasi
merupakan salah satu masalah yang cukup besar di bidanggeriatri
yang timbul sebagai akibat penyakit atau masalah psikososial yang
diderita. Diruang rawat inap geriatri RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
Jakarta pada tahun 2000didapatkan prevalensi imobilisasi sebesar
33,6% dan pada tahun 2001 sebesar 31,5%(Setiati dan Roosheroe,
2007).Imobilisasi dapat menimbulkan komplikasi yang akan
memperberat kondisi pasien, memperlambat proses penyembuhan, serta
dapat menyebabkan kematian. Olehkarena itu, penting bagi para
mahasiswa kedokteran untuk memahami berbagai halmengenai
imobilisasi dan komplikasi yang ditimbulkannya. Penulisan laporan
ini diharapkan dapat membantu penulis dan mahasiswa kedokteran pada
umumnya untuk memahami berbagai aspek yang menjadi tujuan
pembelajaran dalam blok geriatridengan skenario sebagai
trigger:Eyang Yoso pemurung 90 tahun. Satu tahun lalu terserang
stroke karena perdarahan di otak. Sudah 1 bulan ini tidak mau
bangun dari tempat tidur, makan, minum hanya sedikit, tidak mau
bicara dan batuk selama 1 bulan.Dari pemeriksaan didapatkan
kesadaran apatis, TD:120/70 mmHg, RR 30x/menit, t: 36,5oC, HR
108x/menit. Pada pemeriksaan paru didapatkan ronki basah kasar,
dengan suara dasar bronkial, stem fremitus meningkat. Skor norton
9. Hasil leukosit 7500. Thorak PA kesuraman homogen pada paru
sebelah kanan. Di UGD diberikan oksigen, dipasang infus, diberikan
antibiotik kemudian dirawat di bangsal geriatri dengan kasur
dekubitus. Dierencanakn konsul di bagian rehabilitasi medik. B.
Rumusan MasalahBerdasarkan skenario di atas, kami menentukan
beberapa permasalahan. Antara lain :1. Bagaimana mekanisme gejala
pada skenario?2. Bagaimana interpretasi pemeriksaan pada
skenario?3. Bagaimana cara diagnosis pada lansia?4. Bagaimana DD
pada skenario?5. Bagaimanat terapi kasus pada lansia?6. Apa saja
komplikasi pada imobilisasi?7. Mengapa perlu dilakukan rehabilitasi
medik?C. TujuanLearning Objective yang akan dicapai melalui
skenario blok geriatri adalah sebagai berikut :1. Memperoleh
informasi yang akurat tentang status kesehatan geriatri (anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang).2. Menyusun data dari
gejala dan tanda, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
untuk mengambil kesimpulan suatu diagnosis penyakit geriatri3.
Melakukan manajemen penatalaksanaan dan komplikasi penyakit
geriatri.4. Merancang manajemen preventif, promotif, kuratif, dan
rehabilitatif baik di rumah sakit maupun komunitas.5. Menggunakan
teknologi informasi untuk mencari informasi terkini mengenai
penyakit geriatri.
BAB IITINJAUAN PUSTAKAA. Imobilisasi
Imobilisasi merupakan sebagai ketidakmampuan transfer atau
berpindah posisi atau tirah baring selama tiga hari atau lebih,
dengan gerak anatomik tubuh menghilang akibat perubahan fungsi
fisiologik. Imobilisasisering dijumpai pada pasien usia lanjut.
Berbagai faktor baik fisik, psikologis, dan lingkungan dapat
menyebabkan imobilisasi pada pasien lanjut usia. Beberapa penyebab
utama imobilisasi adalah adanya rasa nyeri, lemah, kekakuan otot,
ketidakseimbangan, dan masalah psikologis. Penyakit Parkinson,
artritis reumatoid, gout, dan obatobatan antipsikotik seperti
haloperidol juga dapat menyebabkan kekakuan. Rasa nyeri, baik dari
tulang (osteoporosis, osteomalasia, Pagets disease, metastase
kanker tulang, trauma), sendi (osteoartritis, artritis reumatoid,
gout), otot (pseudoclaudication, polimalgia) atau masalahpada
kakidapat menyebabkan imobilisasi (Setiati, 2000).Gangguan fungsi
kognitif berat seperti pada demensia dan gangguan fungsi mental
seperti pada depresi tentu sangat sering menyebabkan terjadinya
imobilisasi. Kekhawatirankeluarga yang berlebihan atau kemalasan
petugan kesehatan dapat pula menyebabkan orang usia lanjut terus
berbaring di tempat tidur baik di rumah maupun di rumah sakit. Efek
samping beberapa obat misalnya obat hipnotik dan sedatif dapat pula
menyebabkan gangguan imobilisasi (Setiati, 2000).Imobilisasi dapat
mengakibatkan komplikasi pada sistem pernafasan misalnya penurunan
ventilasi, atelektasis, dan pneumonia. Komplikasi endokrin dan
ginjal, peningkatan diuresis, nutriuresis dan pergeseran cairan
ekstraseluler, intoleransi glukosa, hiperkalsemia dan kehilangan
kalsium, batu ginjal, serta keseimbangan nitrogen. Komplikasi
gastrointestinal yang dapat timbul adalah anoreksia, konstipasi,
dan luka tekan (ulkus dekubitus). Pada sistem saraf pusat, dapat
terjadi deprivasi sensorik, gangguan keseimbangan dan koordinasi
(Setiati, 2000).Penatalaksanaan yang dapat dilakukan meliputi
penatalaksanaan farmakologik dan non farmakologik (Setiati,
2000).1. Non FarmakologisUpaya yang dapat dilakukan adalah dengan
beberapa terapi fisik dan latihan jasmani secara teratur. Pada
pasien yang mengalami tirah baring total, perubahan posisi secara
teratur dan latihan di tempat tidur Selain itu, mobilisasi dini
berupa turun dari tempat tidur, berpindah dari tempat tidur ke
kursi dan latihan fungsional dapat dilakukan secara bertahap. Untuk
mencegah terjadinya dekubitus, hal yang harus dilakukan adalah
menghilangkan penyebab terjadinya ulkus yaitu bekas tekanan pada
kulit. Untuk itu dapat dilakukan perubahan posisi lateral 300,
penggunaan kasur anti dekubitus, atau menggunakan bantal berongga.
Pada pasien dengan kursi roda dapat dilakukan reposisi tiap jam
atau diistirahatkan dari duduk. Melatih pergerakan dengan
memiringkan pasien ke kiri dan ke kanan serta mencegah terjadinya
gesekan juga dapat mencegah dekubitus.Pemberian minyak setelah
mandi atau mengompol dapat dilakukan untuk mencegah maserasi.
Kontrol tekanan darah secara teratur dan penggunaan obatobatan yang
dapat menyebabkan penurunan tekanan darah serta mobilisasi dini
perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya hipotensi. Monitor asupan
cairan dan makanan yang mengandung serat perlu dilakukan untuk
mencegah terjadinya konstipasi. Selain itu juga perlu dilakukan
evaluasi dan pengkajian terhadap kebiasaan buang air besar pasien.
Pemberian nutrisi yang adekuat perlu diperhatikan untuk mencegah
terjadinya malnutrisi pada pasien imobilisasi (Setiati, 2000).2.
FarmakologisTata laksana farmakologis yang dapat diberikan terutama
pencegahan terhadap terjadinya trombosis. Pemberian antikoagulan
yaitu Low dose heparin (LDH) dan low molecular weight heparin
(LMWH) merupakan profilaksis yang aman dan efektif untuk pasien
geriatri dengan imobilisasi namun harus mempertimbangkan fungsi
hati, ginjal dan interaksi dengan obat lain (Setiati, 2000).
B. Batuk(RUSJAYA)
C. Infeksi pada Lansia1. PengertianDiagnosa infeksi merupakan
masalah pada lansia, karena tanda-tanda klasik dari infeksi sering
tidak didapati, seperti demam dan lekositosis. Jika infeksi
terjadi, lansia sering menunjukkan gejala-gejala infeksi yang tidak
seperti biasanya, yang berupa anoreksia, nausea, muntah, dan
gangguan mental. Kelainan fisik dan laboratorium sering sulit untuk
menginterpretasikannya, karena banyak lansia telah mengalami
kelainan pada paru dan saluran kemih, seperti ronkhi, bakteriuria,
piuria.2. Pengobatan Pengobatan infeksi pada lansia juga merupakan
masalah karena meningkatnya bahaya toksisitas obat antimikroba pada
lansia. Pada lansia, didapati kenaikan mortalitas infeksi
dibandingkan dengan pada dewasa muda, karena gambaran penyakit
infeksi pada lansia yang tidak khas yang menyebabkan keterlambatan
di dalam menegakkan diagnosis dan pengobatan, ketidaktahuan
terhadap penyakit yang berat, masalah keuangan dan transportasi,
lansia yang sangat rentan terhadap tindakan yang bersifat invasif
baik dalam rangka tindakan diagnostik maupun terapeutik, dan
lain-lain.3. Predisposisi infeksi lansia1. Faktor penderita lansia
: keadaan nutrisi, imunitas tubuh, penurunan fisiologik berbagai
organ, proses patologik (komorbid).1. Faktor kuman : jumlah dan
virulensi kuman.1. Faktor lingkungan : infeksi didapat di
masyarakat, rumah sakit atau di panti wredha.4. Manifestasi klinik
infeksi lansiaa. Gejala demam Gejala utama dari infeksi seringkali
tidak jelas bahkan tidak ada sama sekali pada lansia. Glickman dan
Hilbert : 1/3 yang demam. Temperatur tubuh dalam keadaan basal pada
lansia memang sudah rendah, sehingga dalam keadaan infeksi kenaikan
temperatur tubuh tidak akan melebihi 101O F (38,3O C). Penderita
dengan sepsis sering tidak demam, bahkan hipotermia, dan terjadi
pada 20 % penderita. Tidak adanya demam selain memperlambat
diagnosis juga menurunkan efek fisiologis dari lekosit dalam
melawan infeksi, sehingga akan lebih berbahaya.b. Gejala tidak
khasGejala infeksi yang biasa didapati pada orang dewasa sering
tidak didapati bahkan berubah pada lansia. Gejala nyeri yang khas
pada apendisitis akut, kolesistitis akut, meningitis dan lain-lain
sering tidak didapati. Batuk pada pneumonia hanya berupa keluhan
ringan saja, sehingga oleh penderita dianggap sebagai batuk biasa.
Gejala pneumonia yang sering didapati berupa penurunan
kesadaran/konfusio, inkontinensia, jatuh, anoreksia dan kelemahan
umum2.c. Gejala akibat penyakit penyerta(komormid).Sering menutupi,
mengacaukan bahkan menghilangkan gejala khas akibat infeksi,
padahal penyakit komormid ini sering didapati pada lansia.5.
Diagnosis Gejala spesifik seperti pada infeksi golongan usia dewasa
muda tidak sulit didiagnosis. Gejala tidak khas biasanya
berdasarkan adanya kecurigaan atas adanya infeksi. Penurunan
kemampuan fisik dan nafsu makan yang cepat,takhipnu, perubahan
status mental dan kegelisahan dapat merupakan kecurigaan akan
adanya tanda infeksi Penurunan kemampuan fisik dan nafsu makan yang
cepat,takhipnu, perubahan status mental dan kegelisahan dapat
merupakan kecurigaan akan adanya tanda infeksi. Cara yang paling
baik mendeteksi infeksi yaitu dengan melakukan asesmen geriatri
yang pada dasarnya mengadakan analisa atas semua aspek, antara lain
: fisik, psikis, kognitif, lingkungan, dikonfirmasi dengan
pemeriksaan laboratorium yang diperlukan misalnya pemeriksaan
kultur dan tes sensitivitas dari sekret/darah/urine, yang harus
segera dilakukan.
D. Interpretasi Hasil PemeriksaanPada pasien di skenario, pasien
mengalami kondisi kesadaran apatis. Kondisi ini dideskripsikan
sebagai suatu kondisi kesadaran dimana pasien enggan untuk
menanggapi keadaan sekitar. Kondisi kesadaran pasien dapat dinilai
dengan menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS). GCS memiliki tiga
indicator, yaitu fungsi verbal, penglihatan, dan motorik, yang
kemudian diinterpretasikan sebagai composmentis apabila GCS
menunjukkan skor 14-15, disebut apatis jika GCS skornya 12-13,
disebut somnolen apabila skornya 10-11, disebut delirium apabila
skornya 7-9, disebut soporocoma apabila skornya 4-6, serta disebut
koma apabila skornya 3 (CDC,2003).Selain itu, pasien juga mengalami
tekanan darah 120/70 mmHg, hal ini terhitung normal sesuai dengan
klasifikasi menurut JNC 7. Klasifikasi tersebut adalah sebagai
berikut :KategoriSistole (mmHg)Diastole (mmHg)
Normal