Top Banner
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Respirasi adalah pertukaran gas antara makhluk hidup dengan lingkungannya, sedangkan peran dan fungsi respirasi adalah menyediakan oksigen (O 2 ) serta mengeluarkan gas karbondioksida (CO 2 ) dari tubuh. Fungsi respirasi merupakan fungsi yang vital bagi kehidupan, dimana O 2 merupakan sumber tenaga bagi tubuh yang harus dipasok secara terus-menerus, sedangkan CO 2 merupakan bahan toksik yang harus dikeluarkan dari tubuh (Guyton, 2005). Ketidakmampuan sistem pernapasan untuk mempertahankan suatu keadaan pertukaran udara antara atmosfer dengan sel-sel tubuh yang sesuai dengan kebutuhan normal akan menyebabkan terjadinya gagal napas. Dimana sistem pulmoner tidak dapat mencukupi kebutuhan metabolisme, yaitu eliminasi CO 2 dan oksigenasi darah. Gagal napas terjadi bila tekanan parsial oksigen arterial (PaO 2 ) < 60 mmHg atau tekanan parsial karbondioksida arterial (PCO 2 ) > 45 mmHg (Guyton, 2005). Gagal napas diklasifikasikan menjadi gagal napas hipoksemia, dan gagal napas hiperkapnia. Gagal napas hipoksemia ditandai dengan PaO 2 < 60 mmHg dengan PaCO 2 normal atau rendah. Gagal napas
39

Gagal Napas Ninda

Dec 31, 2014

Download

Documents

Hoho Nienda
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Gagal Napas Ninda

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Respirasi adalah pertukaran gas antara makhluk hidup dengan

lingkungannya, sedangkan peran dan fungsi respirasi adalah menyediakan

oksigen (O2) serta mengeluarkan gas karbondioksida (CO2) dari tubuh. Fungsi

respirasi merupakan fungsi yang vital bagi kehidupan, dimana O2 merupakan

sumber tenaga bagi tubuh yang harus dipasok secara terus-menerus,

sedangkan CO2 merupakan bahan toksik yang harus dikeluarkan dari tubuh

(Guyton, 2005).

Ketidakmampuan sistem pernapasan untuk mempertahankan suatu

keadaan pertukaran udara antara atmosfer dengan sel-sel tubuh yang sesuai

dengan kebutuhan normal akan menyebabkan terjadinya gagal napas. Dimana

sistem pulmoner tidak dapat mencukupi kebutuhan metabolisme, yaitu

eliminasi CO2 dan oksigenasi darah. Gagal napas terjadi bila tekanan parsial

oksigen arterial (PaO2) < 60 mmHg atau tekanan parsial karbondioksida

arterial (PCO2) > 45 mmHg (Guyton, 2005).

Gagal napas diklasifikasikan menjadi gagal napas hipoksemia, dan

gagal napas hiperkapnia. Gagal napas hipoksemia ditandai dengan PaO2 < 60

mmHg dengan PaCO2 normal atau rendah. Gagal napas hiperkapnia, ditandai

dengan PaCO2 > 45 mmHg. Sedangkan menurut waktunya dapat dibagi

menjadi gagal napas akut dan gagal napas kronik(Rahardjo, 2002).

Penyebab gagal napas dapat diakibatkan oleh kelainan pada otak,

susunan neuromuskular, dinding thoraks dan diafragma, paru, serta sistem

kardiovaskuler. Gagal napas akut merupakan salah satu kegawatdaruratan,

sehingga membutuhkan penangan yang cepat dan tepat. Tujuan

penatalaksanaan pasien dengan gagal nafas akut adalah: membuat oksigenasi

arteri adekuat, sehingga meningkatkan perfusi jaringan, serta menghilangkan

underlying disease, yaitu penyakit yang mendasari gagal nafas tersebut

(Rahardjo, 2002; Price, 2006).

Page 2: Gagal Napas Ninda

B. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum

a. Untuk memahami lebih jauh tentang fisiologi pernapasan.

b. Untuk memahami lebih jauh tentang definisi, patofisiologi, gambaran

klinis, etiologi, diagnosis serta tatalaksana gagal napas.

2. Tujuan Khusus

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian Program Pendidikan

Profesi di SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Purwokerto.

Page 3: Gagal Napas Ninda

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Fisiologi Pernapasan

Fungsi primer dari sistem pernapasan adalah untuk menyediakan

Oksigen (O2) bagi jaringan dan membuang karbondioksida. Untuk mencapai

tujuan ini, pernapasan dapat dibagi menjadi empat tahapan, yaitu:(Guyton,

2005).

1. Ventilasi

a. Ventilasi Paru

Ventilasi merupakan suatu proses perpindahan masa udara dari

luar tubuh ke alveoli dan pemerataan distribusi udara ke dalam alveoli-

alveoli. Proses ini terdiri dari dua tahap yaitu inspirasi dan ekspirasi.

Paru-paru dapat dikembang kempiskan melalui dua cara, yaitu

diafragma naik turun untuk memperbesar atau memperkecil rongga

dada, dan depresi dan elevasi tulang iga untuk memperbesar atau

memperkecil diameter anteroposterior rongga dada. Selama inspirasi,

kontraksi diafragma menarik permukaan bawah paru ke arah bawah.

Kemudian selama ekspirasi, diafragma mengadakan relaksasi, dan sifat

elastis daya lenting paru (elastic recoil), dinding dada, dan struktur

abdominal akan menekan paru-paru (Guyton, 2005; Price, 2006).

Selama inspirasi otot yang paling membantu adalah otot

interkostalis eksterna. Otot lain yang membantu adalah otot

sternokleidomastoideus yang mengangkat sternum ke atas, otot

serratus anterior yang mengangkat sebagian besar iga, dan otot

skalenus yang mengangkat dua iga pertama. Sedangkan otot-otot yang

berperan saat ekspirasi adalah otot rektus abdominis dan otot

interkostalis interna. Kontraksi otot inspirasi memerlukan energi, jadi

inspirasi adalah proses aktif, tetapi ekspirasi adalah proses pasif pada

bernapas tenang karena ekspirasi terjadi melalui penciutan elastik paru

sewaktu otot-otot inspirasi melemas tanpa memerlukan energy

(Guyton, 2005; Price, 2006).

Page 4: Gagal Napas Ninda

1) Inspirasi

Terjadi bila tekanan intrapulmonal (intraalveolar) lebih

rendah dari tekanan udara luar. Pada saat inspirasi biasa, tekanan

dapat berkisar antara -1mmHg sampai dengan -3mmHg. Pada saat

inspirasi dalam tekanan intraalveolar dapat mencapai -30mmHg.

Menurunnya tekanan intrapulmonar pada waktu inspirasi

disebabkan oleh mengembangnya rongga thoraks karena

berkontraksinya otot-otot inspirasi (Guyton, 2005; Price, 2006).

Proses inspirasi:

Kontraksi otot diafragma dan interkostalis eksterna

Volume thorax membesar Tekanan Intrapleura menurun

Paru mengembang Tekanan intraalveolar menurun Udara

masuk ke dalam paru (Guyton, 2005).

2) Ekspirasi

Terjadi bila tekanan intrapulmonal lebih tinggi daripada

tekanan udara luar sehingga udara bergerak keluar paru. Tekanan

intrapulmonar meningkat bila volume rongga paru mengecil yang

terjadi saat otot-otot inspirasi berelaksasi. Pada proses ekspirasi

biasa tekanan intraalveolar berkisar antara +1mmHg sampai

+3mmHg (Guyton, 2005).

Proses ekspirasi:

Otot inspirasi relaksasi volume thoraks mengecil

tekanan intrapleura meningkat volume paru mengecil

tekanan intra alveolar meningkat udara bergerak keluar paru

(Guyton, 2005).

3) Tekanan Intrapleura

Tekanan di dalam rongga pleura (antara pleura parietalis dan

pleura viseralis). Dalam keadaan normal ruang ini hampa udara

dan mempunyai tekanan negatif kurang lebih -4mmHg

dibandingkan dengan tekanan intraalveolar (Guyton, 2005).

Page 5: Gagal Napas Ninda

4) Volume pernapasan semenit

Adalah jumlah total udara baru yang masuk ke dalam saluran

pernapasan tiap menit, dan ini sesuai dengan volume alun napas

(volume Tidal/VT) dikalikan dengan frekuensi pernapasan. VT

normal kira-kira 500ml dan frekuensi pernapasan normal kira-kira

12 kali permenit. Oleh karena itu, volume pernapasan semenit

rata-rata sekitar 6 liter/menit (Guyton, 2005).

b. Ventilasi Alveolar (VA)

Ventilasi alveolar adalah salah satu bagian yang penting karena

O2 pada tingkat alveoli inilah yang mengambil bagian dalam proses

difusi. Besarnya ventilasi alveolar berbanding lurus dengan banyaknya

udara yang masuk atau keluar paru, laju napas, udara dalam jalan

napas serta keadaan metabolik. Banyaknya udara masuk atau keluar

paru dalam setiap kali bernapas disebut sebagai Volume Tidal (VT)

yang bervariasi tergantung pada berat badan. Nilai VT normal pada

orang dewasa berkisar 500 – 700 ml. Volume napas yang berada di

jalan napas dan tidak ikut dalam pertukaran gas disebut sebagai Dead

Space (VD) atau Ruang Rugi dengan nilai normal sekitar 150 – 180 ml

yang terbagi atas tiga yaitu : (1) Anatomic Dead Space, (2) Alveolar

Dead Space, dan (3) Physiologic Dead Space (Guyton, 2005; Price,

2006).

Anatomic Dead Space yaitu volume napas yang berada di

dalam mulut, hidung dan jalan napas yang tidak terlibat dalam

pertukaran gas. Alveolar Dead Space yaitu volume napas yang telah

berada di alveoli, akan tetapi tidak terjadi pertukaran gas yang dapat

disebabkan karena di alveoli tersebut tidak ada suplai darah atau udara

yang ada di alveoli jauh lebih besar jumlahnya dari pada aliran darah

pada alveoli tersebut (Guyton, 2005).

Ventilasi alveolus setiap menit adalah volume total udara yang

masuk dalam alveoli (dan daerah pertukaran gas yang berdekatan

lainnya) setiap menit. Ini sama dengan frekuensi napas dikalikan

dengan jumlah udara baru yang memasuki alveoli setiap kali bernapas:

Page 6: Gagal Napas Ninda

VA = (VT – VD) x RR

VA: Ventilasi Alveolar

VT: Volume Tidal

VD: Volume dead space/ ruang rugi

RR: Respiration Rate

Pada orang sehat tekanan CO2 (PaCO2) normal dipertahankan

kurang lebih 40 mmHg dengan mengatur VA melalui proses regulasi

ventilasi. Hiperventilasi alveolar adalah VA yang diperlukan untuk

kebutuhan metabolisme tubuh dan direfleksikan dengan PaCO2

kurang dari 40 mmHg, sedangkan hipoventilasi alveolar adalah VA

yang diperlukan untuk metabolisme tubuh dengan PaCO2 lebih dari

40 mmHg (Guyton, 2005)..

2. Difusi

Setelah alveoli diventilasi dengan udara segar, langkah selanjutnya

dalam proses pernapasan adalah difusi O2 dari alveoli ke pembuluh darah

paru dan difusi karbondioksida dari arah sebaliknya melalui membran tipis

antara alveolus dan kapiler. Pada paru normal kurang lebih dua pertiga

udara pernapasan sampai di alveoli untuk mengadakan pertukaran gas.

Kecepatan difusi dipengaruhi oleh 4 faktor utama (Guyton, 2005) :

a. Karakteristik gas, perbedaan tekanan parsial antar gas di alveoli dan di

dalam plasma.

b. Jarak yang harus dilalui proses difusi

1) Variabel membran dinding alveolar dan kapiler

2) Ketebalan jaringan

3) Permukaan area

4) Sifat membran dan koefisien difusi gas, kelarutan gas, sifat

fisikokimia

c. Konsentrasi eritrosit di capillary bed dan volume rata-rata di dalam

kapiler.

d. Kecepatan uptake gas oleh kapiler darah normal atau rata-rata eritrosit

atau volume kapiler/mmHg.

Page 7: Gagal Napas Ninda

Terjadinya difusi O2 dan CO2 ini karena adanya perbedaan tekan

parsial. Tekanan udara luar sebesar 1 atm (760 mmHg), sedangkan

tekanan parsial O2 di paru-paru ±760 mmHg. Tekanan parsial pada kapiler

darah arteri ±100 mmHg, dan di vena ± 40mmHg. Hal ini menyebabkan

O2 berdifusi dari udara ke dalam darah. Sementara itu, tekanan parsial CO2

dalam vena ±47 mmHg, tekan parsial CO2 dalam arteri ±41 mmHg dan

tekan parsial dalam alveolus ±40mmHg. Oleh karena itu CO2 berdifusi

dari darah ke alveolus (Guyton, 2005).

Difusi netto O2 mula-mula terjadi antara alveolus dan darah,

kemudian antara darah dan jaringan akibat gradien tekanan parsial O2 yang

tercipta oleh pemakian terus menerus O2 oleh sel-sel dan pemasukan teru-

menerus O2 segar melalui ventilasi. Difusi netto CO2 terjadi dalam arah

yang berlawanan, pertama-tama antara jaringan dan darah, kemudian

antara darah dan alveolus, akibat gradien tekanan parsial CO2 yang tercipta

oleh produksi terus-menerus CO2 oleh sel dan pengeluaran terus-menerus

CO2 alveolus oleh proses ventilasi (Guyton, 2005).

3. Transport O2 dan CO2

Bila O2 telah berdifusi dari alveoli ke dalam darah paru, O2

terutama ditranspor dalam bentuk gabungan dengan hemoglobin ke kapiler

jaringan, dimana O2 dilepaskan untuk digunakan oleh sel. Adanya

hemoglobin di dalam sel darah merah memungkinkan darah untuk

mengangkut 30-100 kali jumlah O2 yang dapat ditranspor dalam bentuk O2

terlarut di dalam cairan darah (plasma). Dalam sel jaringan, O2 bereaksi

dengan berbagai bahan makanan untuk membentuk sejumlah besar

karbondioksida (CO2). Karbondioksida kemudian masuk ke dalam kapiler

jaringan dan ditranspor kembali ke paru-paru (Guyton, 2005).

Oksigen diangkut ke jaringan dari paru melalui dua jalan, yaitu (1)

secara fisik larut dalam plasma, kira-kira hanya 3% (2) secara kimiawi

berikatan dengan hemoglobin (Hb) sebagai oksihemoglobin, kira-kira

sebesar 97% O2 ditranspor melalui cara ini. Ikatan kimia O2 dengan Hb ini

bersifat reversible, dan jumlah sesungguhnya yang diangkut dalam bentuk

ini mempunyai hubungan nonlinear dengan tekanan parsial O2 dalam darah

Page 8: Gagal Napas Ninda

arteri (PaO2), yang ditentukan oleh jumlah O2 yang secara fisik larut dalam

plasma darah (Guyton, 2005).

Jumlah O2 yang secara fisik larut dalam plasma mempunyai

hubungan langsung dengan tekanan parsial O2 dalam alveolus (PaO2).

Jumlah O2 juga bergantung pada daya larut O2 dalam plasma. Cara transpor

seperti ini tidak memadai untuk mempertahankan hidup walaupun dalam

keadaan istirahat sekalipun. Sebagian besar O2 diangkut oleh Hb yang

terdapat dalam sel darah merah. Dalam keadaan tertentu (misalnya

keracunan karbonmonoksida atau hemolisis masif dengan insufisiensi Hb),

O2 yang cukup untuk mempertahankan hidup dapat diangkut dalam bentuk

larutan fisik dengan memberikan pasien O2 bertekanan lebih tinggi dari

tekanan atmosfer (ruang O2 hiperbarik) (Guyton, 2005).

Pada tingkat jaringan, O2 akan melepaskan diri dari Hb ke dalam

plasma dan berdifusi dari plasma ke sel-sel jaringan tubuh untuk

memenuhi kebutuhan jaringan yang bersangkutan. Meskipun kebutuhan

jaringan tersebut bervariasi, namun sekitar 75% Hb masih berikatan

dengan O2 pada waktu Hb kembali ke paru dalam bentuk darah vena

campuran. Jadi hanya sekitar 25% O2 dalam darah arteri yang digunakan

untuk keperluan jaringan. Hb yang telah melepaskan O2 pada tingkat

jaringan disebut Hb tereduksi. Hb tereduksi berwarna ungu dan

menyebabkan warna kebiruan pada darah vena, sedangkan HbO2 berwarna

merah terang dan menyebabkan warna kemerah-merahan pada darah arteri

(Guyton, 2005).

Transpor CO2 dari jaringan ke paru untuk dibuang dilakukan

dengan tiga cara. Sekitar 10% CO2 secara fisik larut dalam plasma, karena

tidak seperti O2, CO2 mudah larut dalam plasma. Sekitar 20% CO2

berikatan dengan gugus amino pada Hb (karbaminohemoglobin) dalam sel

darah merah, dan sekitar 70% diangkut dalam bentuk bikarbonat plasma

(HCO3-). Karbondioksida berikatan dengan air dalam reaksi berikut ini

(Guyton, 2005) :

CO2 + H2O ↔ H2CO3↔ H+ + HCO3-

Page 9: Gagal Napas Ninda

Reaksi ini reversible dan disebut persamaan buffer asam

bikarbonat-karbonat. Keseimbangan asam basa tubuh ini sangat

dipengaruhi oleh fungsi paru dan homeostasis CO2. Pada umumnya

hiperventilasi (ventilasi alveolus dalam keadaan kebutuhan metabolisme

yang berlebihan) menyebabkan alkalosis (peningkatan pH darah melebihi

pH normal 7,4) akibat ekskresi CO2 berlebihan dari paru; hipoventilasi

(ventilasi alveolus yang tidak dapat memenuhi kebutuhan metabolisme)

menyebabkan asidosis akibat retensi CO2 oleh paru. Penurunan PCO2

seperti yang terjadi pada hiperventilasi, akan menyebabkan reaksi bergeser

ke kiri sehingga menyebabkan penurungan konsentrasi H+(kenaikan pH),

dan peningkatan PCO2 menyebabkan reaksi menjurus ke kanan,

menimbulkan kenaikan H+ (penurunan pH) (Guyton, 2005).

4. Pengaturan ventilasi

Tujuan kontrol ventilasi adalah untuk menjaga homeostasis

tekanan parsial oksigen dan karbondioksida arterial (PaO2 dan PaCO2)

serta pH. Tiga unsur dasar pengaturan ventilasi adalah:

a. Sensor (sentral maupun perifer) yang menerima informasi dan

mengirimkan melalui serabut saraf aferen ke pusat kontrol di otak

b. Pusat kontrol, di otak memproses informasi dan mengirim impuls ke

efektor

c. Efektor (otot-otot pernapasan) sehingga timbul ventilasi

Tidak seperti pacemaker jantung, pacemaker pernapasan tidak

dijumpai di paru tetapi terletak di medulla batang otak, yang terdiri dari

beberapa komponen dan subsentral yang berinteraksi sehingga

menghasilkan napas yang ritmik. Output dari pusat pernapasan ini

ditransmisikan melalui nn.phrenicus ke diafragma dan melalui saraf-saraf

lain ke otot-otot pernapasan. Output dari central ini dipengaruhi oleh

sentra yang lebih tinggi di kortikal dan oleh stimulasi mekanik maupun

kimiawi (Guyton, 2005).

Proses autonomic normal dari pernapasan mula-mula berasal dari

batang otak. Korteks bisa mengambil alih kontrol ventilasi jika diperlukan

Page 10: Gagal Napas Ninda

(kontrol volunteer). Input dari bagian otak yang lain dapat terjadi pada

kondisi tertentu.

a. Pusat Pernapasan

Ada tiga kelompok utama neuron pengatur pernapasan di batang otak

yaitu (Guyton, 2005) :

1) Medullary Respiratory Centre

Pusat ini terletak di reticulum formatio medulla, terdiri dari dua

bagian, yaitu:

a) Inspiratory area: sel-sel neuron terletak di region dorsalis

medulla yaitu nucleus ductus solitaries, bertanggung jawab

pada pengaturan ritme ventilasi.

b) Expiratory area: sel-sel neuron terletak di region anterior

medulla (nucleus ambiguous dan nucleus retroambiguous).

Nuclei ini tidak aktif pada pernapasan normal, karena ventilasi

dicapai dengan kontraksi otot-otot inspirasi (terutama

diafragma) diikuti relaksasi pasif sampai terjadi keseimbangan.

Pada kondisi tertentu (misalnya olahraga) ekspirasi akan aktif

sebagai aktifitas sel-sel ekspirasi.

c) Apneustic centre: terletak di bagian bawah pons. Akibat

aktifitas impuls dari bagian ini, akan berakibat perpanjangan

waktu inspirasi. Pada kondisis normal kerja apneustic centre

pada manusia tidak diketahui, namun pada trauma otak yang

berat tipe pernapasan ini akan tampak.

d) Pneumotaxic Centre: terletak di atas pons di regio nucleus para

brachialis. Aktifitas sentra ini mengatur volume inspirasi dan

rate inspirasi. Beberapa peneliti mengemukakan bahwa kerja

bagian ini adalah sebagai “fine tuning” dari irama pernapasan.

2) Cortical Center

Input kortikal pada sentra respirasi akan menghasilkan respirasi

yang bersifat kontrol voluntary.

3) Bagian Lain Otak

Page 11: Gagal Napas Ninda

Bagian lain dari otak seperti sistem limbik dan hipotalamus dapat

merubah pola pernapasan. Contoh: affektif state seperti marah dan

ketakutan.

b. Efektor

Otot-otot efektor respirasi termasuk di dalamnya adalah

diafragma, mm.intercostalis, mm.Abdominalis, dan

m.sternokleidomastoideus, berada dalam kendali setara pernapasan.

Bayi baru lahir, terutama prematur, otot-otot respirasi belum

terkoordinasi, terutama selama tidur.

c. Sensor

1) Central Chemoreceptor

Sel yang berada pada sentrum ventilasi, yang mana sensitif

terhadap perubahan pH cairan ekstraseluler. Perubahan cairan

ekstraseluler diperngaruhi oleh PaCO2, karena CO2 akan diubah

menjadi HCO3. Aktivitas ventilasi akan meningkat yang

merupakan akibat dari kenaikan CO2 atau sebaliknya.

Karbondioksida akan dengan mudah melintasi sawar darah otak,

sehingga perubahan sedikit saja pada PaCO2 (2-3 mmHg) akan

dengan cepat merubah ventilasi permenit.

2) Peripheral Chemoreceptor

Terletak di bifucartio carotis dan sepanjang arcus aorta.

Kecepatan aliran darah pada badan carotis berhubungan dengan

diameter pembuluh darah, yang akan diikuti respon ventilasi pada

perubahan PaO2 dan kurang tanggap terhadap perubahan PaCO2.

B. Definisi Gagal Nafas

Gagal napas merupakan suatu sindrom yang terjadi akibat

ketidakmampuan sistem pulmoner untuk mencukupi kebutuhan metabolisme

(eliminasi CO2 dan oksigenasi darah). Sistem pernapasan gagal untuk

mempertahankan suatu keadaan pertukaran udara antara atmosfer dengan sel-

sel tubuh yang sesuai dengan kebutuhan normal (Anonim, 2010).

Page 12: Gagal Napas Ninda

Gagal napas terjadi bila: 1). PO2 arterial (PaO2) < 60 mmHg, atau 2).

PCO2 arterial (PaCO2) > 45 mmHg (ada yang mengatakan PaCO2 > 50

mmHg), kecuali jika peningkatan PCO2 merupakan kompensasi dari alkalosis

metabolik (Anonim, 2010).

Pada PaO2 < 60 mmHg, yang berarti ada gagal napas hipoksemia,

berlaku bila bernapas pada udara ruangan biasa (fraksi O2 inspirasi [F1O2] =

0,21), maupun saat mendapat bantuan oksigen. Sedangkan pada PaCO2 > 45

mmHg yang berarti gagal napas hiperkapnia, kecuali ada keadaan asidosis

metabolik. Tubuh pasien yang asidosis metabolik secara fisiologis akan

menurunkan PaCO2 sebagai kompensasi terhadap PH darah yang rendah.

Tetapi jika ditemukan PaCO2 meningkat secara tidak normal, meskipun masih

dibawah 45 mmHg pada keadaan asidosis metabolik, hal ini dianggap sebagai

gagal napas tipe hiperkapnia (Anonim, 2010; Kaynar, 2010).

C. Klasifikasi Gagal Nafas

Gagal napas dapat diklasifikasikan menjadi gagal napas hiperkapnia

dan gagal napas hipoksemia. Berdasarkan waktunya dapat dibagi menjadi

gagal napas akut dan gagal napas kronik. Gagal napas akut berkembang dalam

waktu menit sampai jam, pH darah kurang dari 7,3. Gagal napas kronik

berkembang dalam beberapa hari atau lebih lama, terdapat waktu untuk ginjal

mengkompensasi dan meningkatkan konsentrasi bikarbonat, oleh karena itu

biasanya PH hanya menurun sedikit (Kaynar, 2010).

1) Gagal Nafas Hipoksemia

Gagal napas hipoksemia lebih sering dijumpai daripada gagal

napas hiperkapnia. Pasien tipe ini mempunyai nilai PaO2 yang rendah

tetapi PaCO2 normal atau rendah. PaCO2 tersebut membedakannya dari

gagal napas hiperkapnia, yang masalah utamanya adalah hipoventilasi

alveolar. Selain pada lingkungan yang tidak biasa, dimana atmosfer

memiliki kadar oksigen yang sangat rendah, seperti pada ketinggian, atau

saat oksigen digantikan oleh udara lain, gagal napas hipoksemia

menandakan adanya penyakit yang mempengaruhi parenkim paru atau

sirkulasi paru. Contoh klinis yang umum menunjukkan hipoksemia tanpa

Page 13: Gagal Napas Ninda

peningkatan PaCO2 ialah pneumonia, aspirasi isi lambung, emboli paru,

asma, dan ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome) (Anonim, 2002;

Kaynar, 2010).

Istilah hipoksemia menunjukkan PO2 yang rendah di dalam darah

arteri (PaO2) dan dapat digunakan untuk menunjukkan PO2 pada kapiler,

vena dan kapiler paru. Istilah tersebut juga dipakai untuk menekankan

rendahnya kadar O2 darah atau berkurangnya saturasi oksigen di dalam

hemoglobin. Hipoksia berarti penurunan penyampaian (delivery) O2 ke

jaringan atau efek dari penurunan penyampaian O2 ke jaringan (Anonim,

2002; Kaynar, 2010).Hipoksemia berat akan menyebabkan hipoksia.

Hipoksia dapat pula terjadi akibat penurunan penyampaian O2 karena

faktor rendahnya curah jantung, anemia, syok septik atau keracunan

karbon monoksida, dimana PaO2 dapat meningkat atau normal (Anonim,

2002; Kaynar, 2010).

Mekanisme fisiologi hipoksemia dibagi dalam dua golongan

utama, yaitu 1) berkurangnya PO2 alveolar dan 2) meningkatnya pengaruh

campuran darah vena (venous admixture). Jika darah vena yang bersaturasi

rendah kembali ke paru, dan tidak mendapatkan oksigen selama perjalanan

di pembuluh darah paru, maka darah yang keluar di arteri akan memiliki

kandungan oksigen dan tekanan parsial oksigen yang sama dengan darah

vena sistemik. Hipoksemia arteri selalu merupakan akibat penurunan PO2

alveolar, atau peningkatan jumlah darah vena bersaturasi rendah yang

bercampur dengan darah kapiler pulmonal (campuran vena) (Anonim,

2002; Kaynar, 2010).

Hipoksemia terjadi karena salah satu penyebab meningkatnya

pencampuran vena, yang dikenal sebagai pirau kanan ke kiri (right-to-left-

shunt). Sebagian darah vena sistemik tidak melalui alveolus, bercampur

dengan darah yang berasal dari paru, akibatnya adalah percampuran

arterial dari darah vena sistemik dan darah kapiler paru dengan PO2

diantara PAO2 dan PVO2. Pirau kanan ke kiri dapat terjadi karena: 1).

Kolaps lengkap atau atelektasis salah satu paru atau lobus sedangkan

aliran darah dipertahankan. 2). Penyakit jantung kongenital dengan defek

Page 14: Gagal Napas Ninda

septum. 3). ARDS, dimana dapat terjadi edema paru yang berat, atelektasis

lokal, atau kolaps alveolar sehingga terjadi pirau kanan ke kiri yang berat

(Anonim, 2002; Kaynar, 2010).

Ketidakseimbangan ventilasi dengan perfusi merupakan penyebab

hipoksemia tersering, terjadi ketidaksesuaian ventilasi-perfusi.

Ketidaksesuaian ini bukan disebabkan karena darah vena tidak melintasi

daerah paru yang mendapat ventilasi seperti yang terjadi pada pirau kanan

ke kiri. Sebaliknya beberapa area di paru mendapat ventilasi yang kurang

dibandingkan banyaknya aliran darah yang menuju ke area-area tersebut.

Disisi lain, beberapa area paru yang lain mendapat ventilasi berlebih

dibandingkan aliran darah regional yang relatif sedikit (Anonim, 2002;

Kaynar, 2010).

Manifestasi gagal napas hipoksemik merupakan kombinasi dari

gambaran hipoksemia arterial dan hipoksemia jaringan. Hipoksemia

arterial meningkatkan ventilasi melalui stimulus kemoreseptor glomus

karotikus, diikuti dispnea, takipnea, hiperpnea, dan biasanya

hiperventilasi. Derajat respon ventilasi tergantung kemampuan mendeteksi

hipoksemia dan kemampuan sistem pernapasan untuk merespon. Pada

pasien yang fungsi glomus karotikusnya terganggu maka tidak ada respon

ventilasi terhadap hipoksemia. Mungkin didapatkan sianosis, terutama di

ekstremitas distal, tetapi juga didapatkan pada daerah sentral di sekitar

membran mukosa dan bibir. Derajat sianosis tergantung pada konsentrasi

hemoglobin dan keadaan perfusi pasien (Anonim, 2002; Kaynar, 2010)

Manifestasi lain dari hipoksemia adalah akibat pasokan oksigen ke

jaringan yang tidak mencukupi atau hipoksia. Hipoksia menyebabkan

pergeseran metabolisme ke arah anaerobik disertai pembentukan asam

laktat. Peningkatan kadar asam laktat di darah selanjutnya akan

merangsang ventilasi. Hipoksia dini yang ringan dapat menyebabkan

gangguan mental, terutama untuk pekerjaan kompleks dan berpikir

abstrak. Hipoksia yang lebih berat dapat menyebabkan perubahan status

mental yang lebih lanjut, seperti somnolen, koma, kejang dan kerusakan

otak hipoksik permanen. Aktivitas sistem saraf simpatis meningkat.

Page 15: Gagal Napas Ninda

Sehingga menyebabkan terjadinya takikardi, diaphoresis dan

vasokonstriksi sistemik, diikuti hipertensi. Hipoksia yang lebih berat lagi,

dapat menyebabkan bradikardia, vasodilatasi, dan hipotensi, serta

menimbulkan iskemia miokard, infark, aritmia dan gagal jantung

(Anonim, 2002; Kaynar, 2010).

Manifestasi gagal napas hipoksemik akan lebih buruk jika ada

gangguan hantaran oksigen ke jaringan (tissue oxygen delivery). Pasien

dengan curah jantung yang berkurang, anemia, atau kelainan sirkulasi

dapat diramalkan akan mengalami hipoksia jaringan global dan regional

pada hipoksemia yang lebih dini. Misalnya pada pasien syok hipovolemik

yang menunjukkan tanda-tanda asidosis laktat pada hipoksemia arterial

ringan (Anonim, 2002; Kaynar, 2010).

2) Gagal Nafas Hiperkapnia

Berdasarkan definisi, pasien dengan gagal napas hiperkapnia

mempunyai kadar PaCO2 yang abnormal tinggi. Karena CO2 meningkat

dalam ruang alveolus, O2 tersisih di alveolus dan PaO2 menurun. Maka

pada pasien biasanya didapatkan hiperkapnia dan hipoksemia bersama-

sama, kecuali bila udara inspirasi diberi tambahan oksigen. Paru mungkin

normal atau tidak pada pasien dengan gagal napas hiperkapnia, terutama

jika penyakit utama mengenai bagian nonparenkim paru seperti dinding

dada, otot pernapasan, atau batang otak. Penyakit paru obstruktif kronis

yang parah sering mengakibatkan gagal napas hiperkapnia. Pasien dengan

asma berat, fibrosis paru stadium akhir, dan ARDS (Acute Respiratory

Distress syndrome) berat dapat menunjukkan gagal napas hiperkapnia

(Anonim, 2002; Kaynar, 2010).

Hiperkapnia akut terutama berpengaruh pada sistem saraf pusat.

Peningkatan PaCO2 merupakan penekanan sistem saraf pusat,

mekanismenya terutama melalui turunnya PH cairan cerebrospinal yang

terjadi karena peningkatan akut PaCO2. Karena CO2 berdifusi secara bebas

dan cepat ke dalam cairan serebrospinal, PH turun secara cepat dan hebat

karena hiperkapnia akut (Anonim, 2002; Kaynar, 2010).

Page 16: Gagal Napas Ninda

Peningkatan PaCO2 pada penyakit kronik berlangsung lama

sehingga bikarbonat serum dan cairan serebrospinal meningkat sebagai

kompensasi terhadap asidosis respiratorik kronik. Kadar PH yang rendah

lebih berkorelasi dengan perubahan status mental dan perubahan klinis

lain daripada nilai PaCO2 mutlak (Anonim, 2002; Kaynar, 2010).

Gejala hiperkapnia dapat tumpang tindih dengan gejala

hipoksemia. Hiperkapnia menstimulasi ventilasi pada orang normal,

pasien dengan hiperkapnia mungkin memiliki ventilasi semenit yang

meningkat atau menurun, tergantung pada penyakit dasar yang

menyebabkan gagal napas. Jadi, dispnea, takipnea, hiperpnea, bradipnea,

dan hipopnea dapat berhubungan dengan gagal napas hiperkapnea

(Anonim, 2002; Kaynar, 2010).

Pasien dengan gagal napas hiperkapnea akut harus diperiksa untuk

menentukan mekanisme. Diagnosis banding utama ialah gagal napas

hiperkapnea karena penyakit paru versus penyakit nonparu. Pasien dengan

penyakit paru seringkali menunjukkan hipoksemia yang tidak sesuai

dengan derajat hiperkapnia. Hal ini dapat dinilai menggunakan perbedaan

PO2 alveolar-arterial. Tetapi pasien dengan masalah nonparu dapat pula

mempunyai hipoksemia sekunder sebagai efek kelemahan neuromuskuler

yang mengakibatkan atelektasis atau pneumonia aspirasi (Anonim, 2002;

Kaynar, 2010).

D. Penyebab Gagal Nafas

Gagal napas dapat diakibatkan oleh kelainan pada otak, susunan

neuromuskuler, dinding thoraks dan diafragma, paru, serta sistem

kardiovaskuler (Rahardjo, 2002) :

1. Otak

Neoplasma, epilepsi, hematoma subdural, keracunan morfin

2. Susunan Neuro-muskular

Miastenia gravis, polyneuritis, demyelinisasi, analgesia spinal tinggi,

pelumpuh otot

3. Dinding toraks dan diafragma

Page 17: Gagal Napas Ninda

Luka tusuk toraks dan ruptur diafragma

4. Paru

Asma, infeksi paru, benda asing, pneumothoraks, hemathoraks, edema

paru, ARDS, aspirasi)

5. Kardiovaskuler

Gagal jantung dan emboli paru)

6. Pasca bedah toraks

E. Patofisiologi

1. Hipoventilasi

Penyebab hipoventilasi antara lain gangguan pada pusat nafas

(depresi karena obat-obatan), gangguan pada neuromuskuler (kelumpuhan

otot pernafasan, kerusakan persyarafan otot pernafasan), gangguan /

kelainan dinding dada (kegemukan, kifoskoliosis, Sikatriks dinding dada).

Hipoventilasi akan menyebabkan hipoksemia dan. Hipoksemia akibat

hipoventilasi ditandai dengan normalnya perbedaan tekanan parsial O2 di

alveoli dan di arteri dan dapat dikoreksi dengan pemberian terapi O2

2. V/Q mismatch (ketidak imbangan antara ventilasi dan perfusi)

Merupakan penyebab tersering gagal nafas akut. Pada V/Q yang

rendah (akibat hipoventilasi, atau ventilasi yang normal namun perfusi

yang relatif tinggi) akan terjadi hipoksemia dan hiperkapnia. Sedang pada

V/Q yang tinggi biasanya tidak mempengaruhi gangguan difusi gas,

kecuali bila gangguannya sangat ekstrim.

3. Shunt

Keadaan dimana darah yang tidak teroksigenasi bercampur dengan

darah yang teroksigenasi. Percampuran yang tidak normal tersebut bisa

terjadi di jantung atau diluar jantung. Di jantung, biasanya akibat kelainan

jantung bawaan(VSD, ASD), sedang diluar jantung yaitu di paru,

seringkali akibat pneumonia, atelektasis, edema paru yang hebat. Dalam

keadaan normal shunt juga ter jadi, namun hanya sekitar 2_3 % saja. Pada

shunt jarang terjadi hiperkapnia, kecuali bila shunt > 60%, namun

hipoksemia yang terjadi sulit bisa dikoreksi dengan terapi O2

Page 18: Gagal Napas Ninda

F. Manifestasi Klinis

a. Tanda

1) Gagal nafas total: aliran udara di mulut, hidung tidak dapat

didengar/dirasakan. Pada gerakan nafas spontan terlihat retraksi

supraklavikula dan sela iga serta tidak ada pengembangan dada pada

inspirasi. Adanya kesulitan inflasi paru dalam usaha memberikan

ventilasi buatan

2) Gagal nafas parsial: terdengar suara nafas tambahan dan ada terdapat

retraksi dada.

b. Gejala

1) Hiperkapni yaitu penurunan kesadaran

2) Hipoksemia yaitu takikardia, gelisah, berkeringat atau sianosis

G. Diagnosis Gagal Nafas Akut

Gambaran klinis gagal napas sangat bervariasi pada setiap pasien.

Hipoksemia dan hiperkapnia yang ringan dapat pergi tanpa disadari

sepenuhnya. Kandungan oksigen dalam darah harus jatuh tajam untuk dapat

terjadi perubahan dalam bernafas dan irama jantung. Untuk itu, cara

mendiagnosa gagal napas adalah dengan mengukur gas darah pada arteri

(arterial blood gases, ABG), PaO2 dan PaCO2. Selain itu dapat dilakukan

pemeriksaan hitung darah lengkap untuk mengetahui apakah ada anemia, yang

dapat menyebabkan hipoksia jaringan. Pemeriksaan lain dapat dilakukan

untuk menunjang diagnosis underlying disease (penyakit yang mendasarinya)

(Amin, 2006; Anonim, 2010).

H. Tatalaksana Gagal Nafas Akut

Gagal napas akut merupakan salah satu kegawat daruratan. Untuk itu,

penanganannya tidak bisa dilakukan pada area perawatan umum (general care

area) di rumah sakit. Perawatan dilakukan di Intensive Care Unit (ICU),

dimana segala perlengkapan yang diperlukan untuk menangani gagal napas

tersedia. Tujuan penatalaksanaan pasien dengan gagal nafas akut adalah:

membuat oksigenasi arteri adekuat, sehingga meningkatkan perfusi jaringan,

Page 19: Gagal Napas Ninda

serta menghilangkan underlying disease, yaitu penyakit yang mendasari gagal

nafas tersebut (Latief, 2002).

1. Gagal napas hiperkapnea

Pada hiperkapnea berarti ada hipoventilasi alveolar, tatalaksana

suportif bertujuan memperbaiki ventilasi alveolar menjadi normal, hingga

diketahui dan diterapi penyakit yang mendasari. Kadang-kadang ventilasi

alveolar dapat ditingkatkan dengan mengusahakan tetap terbukanya jalan

napas yang efektif, bisa dengan penyedotan sekret, stimulasi batuk,

drainase postural, atau dengan membuat jalan napas artifisial dengan

selang endotrakeal atau trakeostomi. Alat bantu napas mungkin diperlukan

untuk mencapai dan mempertahankan ventilasi alveolar yang normal

sampai masalah primer diperbaiki. Meskipun secara teoritis ventilator

mekanik dapat memperbaiki ventilasi sesuai yang diinginkan, namun pada

pasien dengan hiperkapnea kronik harus hati-hati dalam menurunkan

hiperkapnia, karena koreksi PaCO2 hingga batas normal pada kasus

tersebut dapat menyebabkan alkalosis yang berat dan mengancam nyawa

karena sudah terjadi kompensasi berupa peningkatan kadar bikarbonat

serum (Amin, 2006; Kaynar, 2010).

Hipoksemia sering ditemukan pada gagal napas hiperkapnia,

terutama yang didasari oleh penyakit paru, dan pemberian oksigen

tambahan seringkali dibutuhkan. Tetapi pada beberapa pasien dengan

hiperkapnia, oksigen tambahan dapat berbahaya bila tidak dimonitor dan

disesuaikan secara hati-hati. Pasien dengan gagal napas hiperkapnik

karena overdosis obat sedatif atau botulisme, dan kebanyakan pasien

dengan trauma dada akan membaik seiring dengan berjalannya waktu, dan

penatalaksanaan bersifat suportif. Penyakit primer yang membutuhkan

terapi khusus ialah miastenia gravis, kelainan elektrolit, penyakit paru

obstruktif, obstructive sleep apnea, dan miksedema (Amin, 2006; Kaynar,

2010)

Page 20: Gagal Napas Ninda

2. Gagal Napas Hipoksemia

Suplementasi oksigen ialah terapi terpenting untuk gagal napas

hipoksemik. Pada penyakit berat seperti ARDS, mungkin diperlukan

ventilasi mekanik, positive end-expiratory pressure (PEEP) dan terapi

respirasi tipe lain. Walaupun umumnya tidak didapatkan hiperkapnea,

tetapi dapat terjadi karena beban kerja pernapasan menyebabkan kelelahan

otot pernapasan. Transportasi oksigen penting untuk diperhatikan, jika ada

anemia berat harus dikoreksi serta curah jantung yang adekuat harus

dipertahankan. Penyakit dasar yang menyebabkan gagal napas hipoksemik

harus diatasi (Amin, 2006; Kaynar, 2010).

Pada beberapa pasien dengan penyakit paru yang tidak merata pada

semua bagian paru (tidak mengenai kedua paru), memiringkan pasien pada

posisi dimana area paru yang tidak terlibat atau yang kurang terlibat

berada lebih bawah dapat meningkatkan oksigenasi, hal ini karena adanya

gaya gravitasi. Pasien dengan hemoptisis berat atau sekretnya banyak tidak

boleh diposisikan seperti ini karena dapat terjadi aspirasi darah atau sekret

ke area yang belum terlibat. Pada pasien ARDS dengan edema paru

nonkardiogenik difus, dianjurkan dalam posisi pronasi, paru akan jarang

mengalami kolaps pada bagian yang tergantung. Selain itu lebih sedikit

area paru yang mendapat penekanan oleh jantung atau isi abdomen (Amin,

2006; Kaynar, 2010).

Dasar pengobatan gagal napas dibagi menjadi pengobatan

nonspesifik dan yang spesifik. Umumnya diperlukan kombinasi keduanya.

Pengobatan nonspesifik adalah tindakan secara langsung ditujukan untuk

memperbaiki pertukaran gas paru, sedangkan pengobatan spesifik ditujukan

untuk mengatasi penyebabnya (Amin, 2006; Kaynar, 2010).

1. Pengobatan nonspesifik

Pengobatan ini dapat dan harus dilakukan segera untuk mengatasi

gejala-gejala yang timbul, agar pasien tidak jatuh ke dalam keadaan yang

lebih buruk. Sambil menunggu dilakukan pengobatan spesifik sesuai

dengan etiologi penyakitnya (Amin, 2006; Kaynar, 2010).

Pengobatan nonspesifik pada gagal napas akut :

Page 21: Gagal Napas Ninda

a. Atasi hipoksemia: terapi oksigen

Pada keadaan O2 turun secara akut, perlu tindakan secepatnya

untuk menaikkan PaO2 sampai normal. Berlainan sekali dengan gagal

napas dari penyakit kronik yang menjadi akut kembali dan pasien

sudah terbiasa dengan keadaan hiperkapnia sehingga pusat pernapasan

tidak terangsang oleh hipercarbic drive melainkan terhadap hypoxemic

drive. Akibat kenaikan PaO2 pasien dapat apnea.

Terapinya dengan menaikkan konsentrasi oksigen fraksi

inspirasi (FiO2), menurunkan konsumsi oksigen dengan hipotermi

sampai 34°C atau pemberian obat pelumpuh otot. Ventilasi dilakukan

secara bantuan atau terkendali. Cara pemberian oksigen dapat

dilakukan dengan kateter nasal, atau sungkup muka. Sungkup muka

tipe venture dapat mengatur kadar O2 inspirasi secara lebih tepat, bila

ventilasi kembali dengan ventilator maka konsentrasi O2 dapat diatur

dari 21-100%.

b. Atasi hiperkapnia: perbaiki ventilasi

Hiperkapnia diperbaiki dengan memperbaiki ventilasinya, dari

cara sederhana hingga dengan ventilator. Hiperkapnia berat serta akut

akan mengakibatkan gangguan pH darah atau asidosis respiratorik, hal

ini harus diatasi segera dan biasanya diperlukan ventilasi kendali

dengan ventilator. Akan tetapi pada gagal napas dari penyakit paru

kronis yang menjadi akut kembali (acute on chronic), keadaan

hiperkapnia kronik dengan pH darah tidak banyak berubah karena

sudah terkompensasi oleh ginjal atau dikenal sebagai asidosis

respiratorik terkompensasi sebagian atau penuh.

Dalam hal ini, penurunan PaCO2 secara cepat dapat

menyebabkan pH darah meningkat menjadi alkalosis, keadaan ini

justru dapat membahayakan, dapat menimbulkan gangguan elektrolit

darah terutama kalium menjadi hipokalemia, gangguan pada jantung

seperti aritmia jantung hingga henti jantung. Penurunan tekanan CO2

harus secara bertahap dan tidak melebihi 4 mmHg/jam.

1) Perbaiki jalan napas (Air Way)

Page 22: Gagal Napas Ninda

Terutama pada obstruksi jalan napas bagian atas, dengan

hipereksistensi kepala mencegah lidah jatuh ke posterior menutupi

jalan napas, apabila masih belum menolong maka mulut dibuka

dan mandibula didorong ke depan (triple airway maneuver),

biasanya berhasil untuk mengatasi obstruksi jalan nafas bagian

atas. Sambil menunggu dan mempersiapkan pengobatan spesifik,

maka diidentifikasi apakah ada obstruksi oleh benda asing, edema

laring atau spasme bronkus, dan lain-lain. Mungkin juga

diperlukan alat pembantu seperti pipa orofaring, pipa nasofaring

atau pipa trakea.

2) Ventilasi Bantu

Pada keadaan darurat dan tidak ada fasilitas lengkap,

bantuan napas dapat dilakukan mulut ke mulut (mouth to mouth)

atau mulut ke hidung (mouth to nose). Apabila kesadaran pasien

masih cukup baik, dapat dilakukan bantuan ventilasi menggunakan

ventilator, seperti ventilator bird, dengan ventilasi IPPB

(Intermittent Positive Pressure Breathing), yaitu pasien bernapas

spontan melalui mouth piece atau sungkup muka yang

dihubungkan dengan ventilator. Setiap kali pasien melakukan

inspirasi maka tekanan negatif yang ditimbulkan akan

menggerakkan ventilator dan memberikan bantuan napas sebanyak

sesuai yang diatur.

3) Ventilasi Kendali

Pasien diintubasi, dipasang pipa trakea dan dihubungkan

dengan ventilator. Ventilasi pasien sepenuhnya dikendalikan oleh

ventilator. Biasanya diperlukan obat-obatan seperti sedatif,

narkotika, atau pelumpuh otot agar pasien tidak berontak dan

parnapasan pasien dapat mengikuti irama ventilator.

4) Fisioterapi Dada

Ditujukan untuk membersihkan jalan napas dari sekret dan

sputum. Tindakan ini selain untuk mengatasi gagal napas juga

untuk tindakan pencegahan. Pasien diajarkan bernapas dengan

Page 23: Gagal Napas Ninda

baik, bila perlu dengan bantuan tekanan pada perut dengan

menggunakan kedua telapak tangan pada saat inspirasi. Pasien

melakukan batuk yang baik dan efisien. Dilakukan juga tepukan-

tepukan pada dada dan punggung, kemudian perkusi, vibrasi dan

drainase postural. Kadang-kadang diperlukan juga obat-obatan

seperti mukolitik, bronkodilator, atau pernapasan bantuan dengan

ventilator.

2. Pengobatan Spesifik

Pengobatan spesifik ditujukan pada underlying disease, sehingga

pengobatan untuk masing-masing penyakit akan berlainan. Kadang-

kadang memerlukan persiapan yang membutuhkan banyak waktu seperti

operasi atau bronkoskopi. Macam-macam pengobatan spesifik dapat

dilihat pada tabel (Kaynar, 2010).

Page 24: Gagal Napas Ninda

BAB III

KESIMPULAN

Gagal napas merupakan ketidakmampuan sistem pernapasan untuk

mempertahankan suatu keadaan pertukaran udara antara atmosfer dengan sel-sel

tubuh yang sesuai dengan kebutuhan normal. Gagal napas diklasifikasikan

menjadi gagal napas hipoksemia, dan gagal napas hiperkapnia. Gagal napas

hipoksemia ditandai dengan PaO2 < 60 mmHg dengan PaCO2 normal atau rendah.

Gagal napas hiperkapnia, ditandai dengan PaCO2 > 45 mmHg. Penyebab gagal

napas dapat diakibatkan oleh kelainan pada otak, susunan neuromuscular, dinding

thoraks dan diafragma, paru, serta sistem kardiovaskuler. Penatalaksanaan pasien

dengan gagal nafas akut yang utama adalah membuat oksigenasi arteri adekuat,

sehingga meningkatkan perfusi jaringan, serta menghilangkan underlying disease,

yaitu penyakit yang mendasari gagal nafas tersebut.

Page 25: Gagal Napas Ninda

BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. (2010). Respiratory Failure. Diakses pada tanggal 10 Mei 2012 dari http://www.faqs.org/health/topics

Anonim. (2002). Respiratory Failure Fact Book. Diakses pada tanggal 10 Mei 2012 dari http://www.healthnewsflash.com

Amin, Zulkifli; Purwoto, Johanes. (2006). Gagal Napas Akut. Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simandibrata, M., Setiati, S (Eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Keempat. Jilid 1. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI.

Guyton, Arthur C., Hall, John E., 2005, “Buku Ajar Fisiologi Kedokteran”, edisi 9, Jakarta: EGC.

Kaynar, Ata Murat; Sharma, Sat. (2010). Respiratory Failure. Diakses pada tanggal 10 Mei 2012 dari http://emedicine.medscape.com/article/167981-overview

Latief, A. Said. (2002), Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intesif, Jakarta: FK UI.

Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M., (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit”, volume 2, edisi 6, Jakarta : EGC.

Rahardjo, Sri. (2002). Gagal Napas. Modul Anestesi HSC UGM. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada