BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Respirasi adalah pertukaran gas antara makhluk hidup dengan lingkungannya, sedangkan peran dan fungsi respirasi adalah menyediakan oksigen (O 2 ) serta mengeluarkan gas karbondioksida (CO 2 ) dari tubuh. Fungsi respirasi merupakan fungsi yang vital bagi kehidupan, dimana O 2 merupakan sumber tenaga bagi tubuh yang harus dipasok secara terus-menerus, sedangkan CO 2 merupakan bahan toksik yang harus dikeluarkan dari tubuh (Guyton, 2005). Ketidakmampuan sistem pernapasan untuk mempertahankan suatu keadaan pertukaran udara antara atmosfer dengan sel-sel tubuh yang sesuai dengan kebutuhan normal akan menyebabkan terjadinya gagal napas. Dimana sistem pulmoner tidak dapat mencukupi kebutuhan metabolisme, yaitu eliminasi CO 2 dan oksigenasi darah. Gagal napas terjadi bila tekanan parsial oksigen arterial (PaO 2 ) < 60 mmHg atau tekanan parsial karbondioksida arterial (PCO 2 ) > 45 mmHg (Guyton, 2005). Gagal napas diklasifikasikan menjadi gagal napas hipoksemia, dan gagal napas hiperkapnia. Gagal napas hipoksemia ditandai dengan PaO 2 < 60 mmHg dengan PaCO 2 normal atau rendah. Gagal napas
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Respirasi adalah pertukaran gas antara makhluk hidup dengan
lingkungannya, sedangkan peran dan fungsi respirasi adalah menyediakan
oksigen (O2) serta mengeluarkan gas karbondioksida (CO2) dari tubuh. Fungsi
respirasi merupakan fungsi yang vital bagi kehidupan, dimana O2 merupakan
sumber tenaga bagi tubuh yang harus dipasok secara terus-menerus,
sedangkan CO2 merupakan bahan toksik yang harus dikeluarkan dari tubuh
(Guyton, 2005).
Ketidakmampuan sistem pernapasan untuk mempertahankan suatu
keadaan pertukaran udara antara atmosfer dengan sel-sel tubuh yang sesuai
dengan kebutuhan normal akan menyebabkan terjadinya gagal napas. Dimana
sistem pulmoner tidak dapat mencukupi kebutuhan metabolisme, yaitu
eliminasi CO2 dan oksigenasi darah. Gagal napas terjadi bila tekanan parsial
oksigen arterial (PaO2) < 60 mmHg atau tekanan parsial karbondioksida
arterial (PCO2) > 45 mmHg (Guyton, 2005).
Gagal napas diklasifikasikan menjadi gagal napas hipoksemia, dan
gagal napas hiperkapnia. Gagal napas hipoksemia ditandai dengan PaO2 < 60
mmHg dengan PaCO2 normal atau rendah. Gagal napas hiperkapnia, ditandai
dengan PaCO2 > 45 mmHg. Sedangkan menurut waktunya dapat dibagi
menjadi gagal napas akut dan gagal napas kronik(Rahardjo, 2002).
Penyebab gagal napas dapat diakibatkan oleh kelainan pada otak,
susunan neuromuskular, dinding thoraks dan diafragma, paru, serta sistem
kardiovaskuler. Gagal napas akut merupakan salah satu kegawatdaruratan,
sehingga membutuhkan penangan yang cepat dan tepat. Tujuan
penatalaksanaan pasien dengan gagal nafas akut adalah: membuat oksigenasi
arteri adekuat, sehingga meningkatkan perfusi jaringan, serta menghilangkan
underlying disease, yaitu penyakit yang mendasari gagal nafas tersebut
(Rahardjo, 2002; Price, 2006).
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
a. Untuk memahami lebih jauh tentang fisiologi pernapasan.
b. Untuk memahami lebih jauh tentang definisi, patofisiologi, gambaran
klinis, etiologi, diagnosis serta tatalaksana gagal napas.
2. Tujuan Khusus
Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian Program Pendidikan
Profesi di SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
Purwokerto.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Fisiologi Pernapasan
Fungsi primer dari sistem pernapasan adalah untuk menyediakan
Oksigen (O2) bagi jaringan dan membuang karbondioksida. Untuk mencapai
tujuan ini, pernapasan dapat dibagi menjadi empat tahapan, yaitu:(Guyton,
2005).
1. Ventilasi
a. Ventilasi Paru
Ventilasi merupakan suatu proses perpindahan masa udara dari
luar tubuh ke alveoli dan pemerataan distribusi udara ke dalam alveoli-
alveoli. Proses ini terdiri dari dua tahap yaitu inspirasi dan ekspirasi.
Paru-paru dapat dikembang kempiskan melalui dua cara, yaitu
diafragma naik turun untuk memperbesar atau memperkecil rongga
dada, dan depresi dan elevasi tulang iga untuk memperbesar atau
memperkecil diameter anteroposterior rongga dada. Selama inspirasi,
kontraksi diafragma menarik permukaan bawah paru ke arah bawah.
Kemudian selama ekspirasi, diafragma mengadakan relaksasi, dan sifat
elastis daya lenting paru (elastic recoil), dinding dada, dan struktur
abdominal akan menekan paru-paru (Guyton, 2005; Price, 2006).
Selama inspirasi otot yang paling membantu adalah otot
interkostalis eksterna. Otot lain yang membantu adalah otot
sternokleidomastoideus yang mengangkat sternum ke atas, otot
serratus anterior yang mengangkat sebagian besar iga, dan otot
skalenus yang mengangkat dua iga pertama. Sedangkan otot-otot yang
berperan saat ekspirasi adalah otot rektus abdominis dan otot
interkostalis interna. Kontraksi otot inspirasi memerlukan energi, jadi
inspirasi adalah proses aktif, tetapi ekspirasi adalah proses pasif pada
bernapas tenang karena ekspirasi terjadi melalui penciutan elastik paru
sewaktu otot-otot inspirasi melemas tanpa memerlukan energy
(Guyton, 2005; Price, 2006).
1) Inspirasi
Terjadi bila tekanan intrapulmonal (intraalveolar) lebih
rendah dari tekanan udara luar. Pada saat inspirasi biasa, tekanan
dapat berkisar antara -1mmHg sampai dengan -3mmHg. Pada saat
inspirasi dalam tekanan intraalveolar dapat mencapai -30mmHg.
Menurunnya tekanan intrapulmonar pada waktu inspirasi
disebabkan oleh mengembangnya rongga thoraks karena
Hipoventilasi akan menyebabkan hipoksemia dan. Hipoksemia akibat
hipoventilasi ditandai dengan normalnya perbedaan tekanan parsial O2 di
alveoli dan di arteri dan dapat dikoreksi dengan pemberian terapi O2
2. V/Q mismatch (ketidak imbangan antara ventilasi dan perfusi)
Merupakan penyebab tersering gagal nafas akut. Pada V/Q yang
rendah (akibat hipoventilasi, atau ventilasi yang normal namun perfusi
yang relatif tinggi) akan terjadi hipoksemia dan hiperkapnia. Sedang pada
V/Q yang tinggi biasanya tidak mempengaruhi gangguan difusi gas,
kecuali bila gangguannya sangat ekstrim.
3. Shunt
Keadaan dimana darah yang tidak teroksigenasi bercampur dengan
darah yang teroksigenasi. Percampuran yang tidak normal tersebut bisa
terjadi di jantung atau diluar jantung. Di jantung, biasanya akibat kelainan
jantung bawaan(VSD, ASD), sedang diluar jantung yaitu di paru,
seringkali akibat pneumonia, atelektasis, edema paru yang hebat. Dalam
keadaan normal shunt juga ter jadi, namun hanya sekitar 2_3 % saja. Pada
shunt jarang terjadi hiperkapnia, kecuali bila shunt > 60%, namun
hipoksemia yang terjadi sulit bisa dikoreksi dengan terapi O2
F. Manifestasi Klinis
a. Tanda
1) Gagal nafas total: aliran udara di mulut, hidung tidak dapat
didengar/dirasakan. Pada gerakan nafas spontan terlihat retraksi
supraklavikula dan sela iga serta tidak ada pengembangan dada pada
inspirasi. Adanya kesulitan inflasi paru dalam usaha memberikan
ventilasi buatan
2) Gagal nafas parsial: terdengar suara nafas tambahan dan ada terdapat
retraksi dada.
b. Gejala
1) Hiperkapni yaitu penurunan kesadaran
2) Hipoksemia yaitu takikardia, gelisah, berkeringat atau sianosis
G. Diagnosis Gagal Nafas Akut
Gambaran klinis gagal napas sangat bervariasi pada setiap pasien.
Hipoksemia dan hiperkapnia yang ringan dapat pergi tanpa disadari
sepenuhnya. Kandungan oksigen dalam darah harus jatuh tajam untuk dapat
terjadi perubahan dalam bernafas dan irama jantung. Untuk itu, cara
mendiagnosa gagal napas adalah dengan mengukur gas darah pada arteri
(arterial blood gases, ABG), PaO2 dan PaCO2. Selain itu dapat dilakukan
pemeriksaan hitung darah lengkap untuk mengetahui apakah ada anemia, yang
dapat menyebabkan hipoksia jaringan. Pemeriksaan lain dapat dilakukan
untuk menunjang diagnosis underlying disease (penyakit yang mendasarinya)
(Amin, 2006; Anonim, 2010).
H. Tatalaksana Gagal Nafas Akut
Gagal napas akut merupakan salah satu kegawat daruratan. Untuk itu,
penanganannya tidak bisa dilakukan pada area perawatan umum (general care
area) di rumah sakit. Perawatan dilakukan di Intensive Care Unit (ICU),
dimana segala perlengkapan yang diperlukan untuk menangani gagal napas
tersedia. Tujuan penatalaksanaan pasien dengan gagal nafas akut adalah:
membuat oksigenasi arteri adekuat, sehingga meningkatkan perfusi jaringan,
serta menghilangkan underlying disease, yaitu penyakit yang mendasari gagal
nafas tersebut (Latief, 2002).
1. Gagal napas hiperkapnea
Pada hiperkapnea berarti ada hipoventilasi alveolar, tatalaksana
suportif bertujuan memperbaiki ventilasi alveolar menjadi normal, hingga
diketahui dan diterapi penyakit yang mendasari. Kadang-kadang ventilasi
alveolar dapat ditingkatkan dengan mengusahakan tetap terbukanya jalan
napas yang efektif, bisa dengan penyedotan sekret, stimulasi batuk,
drainase postural, atau dengan membuat jalan napas artifisial dengan
selang endotrakeal atau trakeostomi. Alat bantu napas mungkin diperlukan
untuk mencapai dan mempertahankan ventilasi alveolar yang normal
sampai masalah primer diperbaiki. Meskipun secara teoritis ventilator
mekanik dapat memperbaiki ventilasi sesuai yang diinginkan, namun pada
pasien dengan hiperkapnea kronik harus hati-hati dalam menurunkan
hiperkapnia, karena koreksi PaCO2 hingga batas normal pada kasus
tersebut dapat menyebabkan alkalosis yang berat dan mengancam nyawa
karena sudah terjadi kompensasi berupa peningkatan kadar bikarbonat
serum (Amin, 2006; Kaynar, 2010).
Hipoksemia sering ditemukan pada gagal napas hiperkapnia,
terutama yang didasari oleh penyakit paru, dan pemberian oksigen
tambahan seringkali dibutuhkan. Tetapi pada beberapa pasien dengan
hiperkapnia, oksigen tambahan dapat berbahaya bila tidak dimonitor dan
disesuaikan secara hati-hati. Pasien dengan gagal napas hiperkapnik
karena overdosis obat sedatif atau botulisme, dan kebanyakan pasien
dengan trauma dada akan membaik seiring dengan berjalannya waktu, dan
penatalaksanaan bersifat suportif. Penyakit primer yang membutuhkan
terapi khusus ialah miastenia gravis, kelainan elektrolit, penyakit paru
obstruktif, obstructive sleep apnea, dan miksedema (Amin, 2006; Kaynar,
2010)
2. Gagal Napas Hipoksemia
Suplementasi oksigen ialah terapi terpenting untuk gagal napas
hipoksemik. Pada penyakit berat seperti ARDS, mungkin diperlukan
ventilasi mekanik, positive end-expiratory pressure (PEEP) dan terapi
respirasi tipe lain. Walaupun umumnya tidak didapatkan hiperkapnea,
tetapi dapat terjadi karena beban kerja pernapasan menyebabkan kelelahan
otot pernapasan. Transportasi oksigen penting untuk diperhatikan, jika ada
anemia berat harus dikoreksi serta curah jantung yang adekuat harus
dipertahankan. Penyakit dasar yang menyebabkan gagal napas hipoksemik
harus diatasi (Amin, 2006; Kaynar, 2010).
Pada beberapa pasien dengan penyakit paru yang tidak merata pada
semua bagian paru (tidak mengenai kedua paru), memiringkan pasien pada
posisi dimana area paru yang tidak terlibat atau yang kurang terlibat
berada lebih bawah dapat meningkatkan oksigenasi, hal ini karena adanya
gaya gravitasi. Pasien dengan hemoptisis berat atau sekretnya banyak tidak
boleh diposisikan seperti ini karena dapat terjadi aspirasi darah atau sekret
ke area yang belum terlibat. Pada pasien ARDS dengan edema paru
nonkardiogenik difus, dianjurkan dalam posisi pronasi, paru akan jarang
mengalami kolaps pada bagian yang tergantung. Selain itu lebih sedikit
area paru yang mendapat penekanan oleh jantung atau isi abdomen (Amin,
2006; Kaynar, 2010).
Dasar pengobatan gagal napas dibagi menjadi pengobatan
nonspesifik dan yang spesifik. Umumnya diperlukan kombinasi keduanya.
Pengobatan nonspesifik adalah tindakan secara langsung ditujukan untuk
memperbaiki pertukaran gas paru, sedangkan pengobatan spesifik ditujukan
untuk mengatasi penyebabnya (Amin, 2006; Kaynar, 2010).
1. Pengobatan nonspesifik
Pengobatan ini dapat dan harus dilakukan segera untuk mengatasi
gejala-gejala yang timbul, agar pasien tidak jatuh ke dalam keadaan yang
lebih buruk. Sambil menunggu dilakukan pengobatan spesifik sesuai
dengan etiologi penyakitnya (Amin, 2006; Kaynar, 2010).
Pengobatan nonspesifik pada gagal napas akut :
a. Atasi hipoksemia: terapi oksigen
Pada keadaan O2 turun secara akut, perlu tindakan secepatnya
untuk menaikkan PaO2 sampai normal. Berlainan sekali dengan gagal
napas dari penyakit kronik yang menjadi akut kembali dan pasien
sudah terbiasa dengan keadaan hiperkapnia sehingga pusat pernapasan
tidak terangsang oleh hipercarbic drive melainkan terhadap hypoxemic
drive. Akibat kenaikan PaO2 pasien dapat apnea.
Terapinya dengan menaikkan konsentrasi oksigen fraksi
inspirasi (FiO2), menurunkan konsumsi oksigen dengan hipotermi
sampai 34°C atau pemberian obat pelumpuh otot. Ventilasi dilakukan
secara bantuan atau terkendali. Cara pemberian oksigen dapat
dilakukan dengan kateter nasal, atau sungkup muka. Sungkup muka
tipe venture dapat mengatur kadar O2 inspirasi secara lebih tepat, bila
ventilasi kembali dengan ventilator maka konsentrasi O2 dapat diatur
dari 21-100%.
b. Atasi hiperkapnia: perbaiki ventilasi
Hiperkapnia diperbaiki dengan memperbaiki ventilasinya, dari
cara sederhana hingga dengan ventilator. Hiperkapnia berat serta akut
akan mengakibatkan gangguan pH darah atau asidosis respiratorik, hal
ini harus diatasi segera dan biasanya diperlukan ventilasi kendali
dengan ventilator. Akan tetapi pada gagal napas dari penyakit paru
kronis yang menjadi akut kembali (acute on chronic), keadaan
hiperkapnia kronik dengan pH darah tidak banyak berubah karena
sudah terkompensasi oleh ginjal atau dikenal sebagai asidosis
respiratorik terkompensasi sebagian atau penuh.
Dalam hal ini, penurunan PaCO2 secara cepat dapat
menyebabkan pH darah meningkat menjadi alkalosis, keadaan ini
justru dapat membahayakan, dapat menimbulkan gangguan elektrolit
darah terutama kalium menjadi hipokalemia, gangguan pada jantung
seperti aritmia jantung hingga henti jantung. Penurunan tekanan CO2
harus secara bertahap dan tidak melebihi 4 mmHg/jam.
1) Perbaiki jalan napas (Air Way)
Terutama pada obstruksi jalan napas bagian atas, dengan
hipereksistensi kepala mencegah lidah jatuh ke posterior menutupi
jalan napas, apabila masih belum menolong maka mulut dibuka
dan mandibula didorong ke depan (triple airway maneuver),
biasanya berhasil untuk mengatasi obstruksi jalan nafas bagian
atas. Sambil menunggu dan mempersiapkan pengobatan spesifik,
maka diidentifikasi apakah ada obstruksi oleh benda asing, edema
laring atau spasme bronkus, dan lain-lain. Mungkin juga
diperlukan alat pembantu seperti pipa orofaring, pipa nasofaring
atau pipa trakea.
2) Ventilasi Bantu
Pada keadaan darurat dan tidak ada fasilitas lengkap,
bantuan napas dapat dilakukan mulut ke mulut (mouth to mouth)
atau mulut ke hidung (mouth to nose). Apabila kesadaran pasien
masih cukup baik, dapat dilakukan bantuan ventilasi menggunakan
ventilator, seperti ventilator bird, dengan ventilasi IPPB
(Intermittent Positive Pressure Breathing), yaitu pasien bernapas
spontan melalui mouth piece atau sungkup muka yang
dihubungkan dengan ventilator. Setiap kali pasien melakukan
inspirasi maka tekanan negatif yang ditimbulkan akan
menggerakkan ventilator dan memberikan bantuan napas sebanyak
sesuai yang diatur.
3) Ventilasi Kendali
Pasien diintubasi, dipasang pipa trakea dan dihubungkan
dengan ventilator. Ventilasi pasien sepenuhnya dikendalikan oleh
ventilator. Biasanya diperlukan obat-obatan seperti sedatif,
narkotika, atau pelumpuh otot agar pasien tidak berontak dan
parnapasan pasien dapat mengikuti irama ventilator.
4) Fisioterapi Dada
Ditujukan untuk membersihkan jalan napas dari sekret dan
sputum. Tindakan ini selain untuk mengatasi gagal napas juga
untuk tindakan pencegahan. Pasien diajarkan bernapas dengan
baik, bila perlu dengan bantuan tekanan pada perut dengan
menggunakan kedua telapak tangan pada saat inspirasi. Pasien
melakukan batuk yang baik dan efisien. Dilakukan juga tepukan-
tepukan pada dada dan punggung, kemudian perkusi, vibrasi dan
drainase postural. Kadang-kadang diperlukan juga obat-obatan
seperti mukolitik, bronkodilator, atau pernapasan bantuan dengan
ventilator.
2. Pengobatan Spesifik
Pengobatan spesifik ditujukan pada underlying disease, sehingga
pengobatan untuk masing-masing penyakit akan berlainan. Kadang-
kadang memerlukan persiapan yang membutuhkan banyak waktu seperti
operasi atau bronkoskopi. Macam-macam pengobatan spesifik dapat
dilihat pada tabel (Kaynar, 2010).
BAB III
KESIMPULAN
Gagal napas merupakan ketidakmampuan sistem pernapasan untuk
mempertahankan suatu keadaan pertukaran udara antara atmosfer dengan sel-sel
tubuh yang sesuai dengan kebutuhan normal. Gagal napas diklasifikasikan
menjadi gagal napas hipoksemia, dan gagal napas hiperkapnia. Gagal napas
hipoksemia ditandai dengan PaO2 < 60 mmHg dengan PaCO2 normal atau rendah.
Gagal napas hiperkapnia, ditandai dengan PaCO2 > 45 mmHg. Penyebab gagal
napas dapat diakibatkan oleh kelainan pada otak, susunan neuromuscular, dinding
thoraks dan diafragma, paru, serta sistem kardiovaskuler. Penatalaksanaan pasien
dengan gagal nafas akut yang utama adalah membuat oksigenasi arteri adekuat,
sehingga meningkatkan perfusi jaringan, serta menghilangkan underlying disease,
yaitu penyakit yang mendasari gagal nafas tersebut.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. (2010). Respiratory Failure. Diakses pada tanggal 10 Mei 2012 dari http://www.faqs.org/health/topics
Anonim. (2002). Respiratory Failure Fact Book. Diakses pada tanggal 10 Mei 2012 dari http://www.healthnewsflash.com
Amin, Zulkifli; Purwoto, Johanes. (2006). Gagal Napas Akut. Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simandibrata, M., Setiati, S (Eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Keempat. Jilid 1. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI.
Guyton, Arthur C., Hall, John E., 2005, “Buku Ajar Fisiologi Kedokteran”, edisi 9, Jakarta: EGC.
Kaynar, Ata Murat; Sharma, Sat. (2010). Respiratory Failure. Diakses pada tanggal 10 Mei 2012 dari http://emedicine.medscape.com/article/167981-overview
Latief, A. Said. (2002), Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intesif, Jakarta: FK UI.
Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M., (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit”, volume 2, edisi 6, Jakarta : EGC.
Rahardjo, Sri. (2002). Gagal Napas. Modul Anestesi HSC UGM. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada