GUBERNUR RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR 6 TAHUN 2018 TENTANG PENYELENGGARAAN PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR RIAU, Menimbang: a. bahwa perkebunan mempunyai peranan yang penting dan strategis dalam pembangunan Daerah, terutama untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, penerimaan Daerah, penyediaan lapangan kerja, perolehan nilai tambah dan daya saing, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan baku industri dalam negeri serta optimalisasi pengelolaan sumber daya alam yang layak ekonomis, layak sosial, dan berwawasan lingkungan secara berkelanjutan; b. berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Perkebunan. Mengingat: 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 61 Tahun 1958 tentang Penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 19 Tahun 1957 tentang Pembentukan Daerah-daerah Swatantra Tingkat I Sumatera Barat, Jambi dan Riau (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1957 Nomor 75) sebagai Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1646);
64
Embed
G U B E R N U R R I A U DENGAN RAHMAT TUHAN YANG …jdih.riau.go.id/index.php/downloadProdukhukum/PERDA_NOMOR_6_TAHUN... · perkebunan dan pengolahannya yang terdiri atas produk utama,
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
G U B E R N U R R I A U
PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU
NOMOR 6 TAHUN 2018
TENTANG
PENYELENGGARAAN PERKEBUNAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR RIAU,
Menimbang: a. bahwa perkebunan mempunyai peranan yang penting
dan strategis dalam pembangunan Daerah, terutama
untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan
rakyat, penerimaan Daerah, penyediaan lapangan kerja,
perolehan nilai tambah dan daya saing, pemenuhan
kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan baku industri
dalam negeri serta optimalisasi pengelolaan sumber daya
alam yang layak ekonomis, layak sosial, dan berwawasan
lingkungan secara berkelanjutan;
b. berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada
huruf a, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang
Penyelenggaraan Perkebunan.
Mengingat: 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 61 Tahun 1958 tentang
Penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 19 Tahun
1957 tentang Pembentukan Daerah-daerah Swatantra
Tingkat I Sumatera Barat, Jambi dan Riau (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1957 Nomor 75)
sebagai Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1958 Nomor 112, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 1646);
-2-
3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5234);
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5587); sebagaimana
telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah. (Lembaran Negara Tahun 2015
Nomor 58 Tambahan Lembaran Negara Nomor 5679);
5. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang
Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 308).
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI RIAU
dan
GUBERNUR RIAU
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAAN
PERKEBUNAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Kesatu
Pengertian
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan :
1. Provinsi adalah Provinsi Riau.
2. Daerah adalah wilayah Provinsi Riau.
-3-
3. Pemerintah Daerah adalah Gubernur dan Perangkat
Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan
Daerah Provinsi Riau.
4. Gubernur adalah Gubernur Riau.
5. Kabupaten/Kota adalah Kabupaten/Kota di Provinsi
Riau.
6. Dinas adalah Dinas yang membidangi Perkebunan.
7. Perkebunan adalah segala kegiatan pengelolaan sumber
daya alam, sumber daya manusia, sarana produksi, alat
dan mesin, budi daya, panen, pengolahan dan
pemasaran terkait tanaman perkebunan.
8. Tanaman Perkebunan adalah tanaman semusim atau
tanaman tahunan yang jenis dan tujuan pengelolaannya
ditetapkan untuk usaha perkebunan.
9. Usaha Perkebunan adalah usaha yang menghasilkan
barang dan/atau jasa perkebunan.
10. Usaha budidaya tanaman perkebunan adalah
serangkaian kegiatan pengusahaan tanaman
perkebunan meliputi kegiatan pratanam, penanaman,
pemeliharaan tanaman, pemanen dan sortasi termasuk
perubahan jenis tanaman dan diversifikasi tanaman.
11. Lahan Perkebunan adalah bidang tanah yang digunakan
untuk Usaha Perkebunan.
12. Agribisnis Perkebunan adalah suatu pendekatan usaha
yang bersifat kesisteman, mulai dari subsistem produksi,
subsistem pengolahan, subsistem pemasaran dan
subsistem jasa penunjang.
13. Pelaku Usaha Perkebunan adalah pekebun dan/atau
perusahaan Perkebunan yang mengelola Usaha
Perkebunan.
14. Pekebun adalah orang perseorangan warga negara
Indonesia yang melakukan Usaha Perkebunan dengan
skala usaha tidak mencapai skala tertentu.
15. Perusahaan Perkebunan adalah badan usaha yang
berbadan hukum, didirikan menurut hukum Indonesia
dan berkedudukan di wilayah Indonesia, yang mengelola
Usaha Perkebunan dengan skala tertentu.
-4-
16. Hasil Perkebunan adalah semua produk tanaman
perkebunan dan pengolahannya yang terdiri atas produk
utama, produk olahan untuk memperpanjang daya
simpan produk sampingan dan produk ikutan.
17. Pengolahan Hasil Perkebunan adalah serangkaian
kegiatan yang dilakukan terhadap hasil tanaman
perkebunan untuk memenuhi standar mutu produk,
memperpanjang daya simpan, mengurangi kehilangan
dan/atau kerusakan dan memperoleh hasil optimal
untuk mencapai nilai tambah yang lebih tinggi.
18. Badan Hukum adalah badan usaha yang berbadan
hukum, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik
Daerah, koperasi, yayasan dan lembaga di dalam negeri
lainnya yang berbadan hukum.
19. Sistem Budidaya Tanaman adalah sistem pengembangan
dan pemanfaatan sumber daya alam nabati melalui
upaya manusia yang dengan modal, teknologi dan
sumber daya lainnya menghasilkan barang guna
memenuhi kebutuhan manusia secara lebih baik.
20. Izin Usaha Perkebunan untuk Budidaya yang
selanjutnya disingkat IUP-B adalah izin tertulis dari
Pejabat yang berwenang dan wajib dimiliki oleh pelaku
usaha yang melakukan usaha budidaya perkebunan.
21. Izin Usaha Perkebunan untuk Pengolahan yang
selanjutnya disingkat IUP-P adalah izin tertulis dari
Pejabat yang berwenang dan wajib dimiliki oleh pelaku
usaha yang melakukan usaha industri pengolahan hasil
perkebunan.
22. Izin Usaha Perkebunan yang selanjutnya disingkat IUP
adalah izin tertulis dari Pejabat yang berwenang dan
wajib dimiliki oleh pelaku usaha yang melakukan usaha
budidaya perkebunan dan terintegrasi dengan usaha
industri pengolahan hasil perkebunan.
23. Surat Tanda Daftar Usaha Perkebunan untuk Budidaya
yang selanjutnya disingkat STD-B adalah keterangan
Budidaya yang diberikan oleh Bupati/Walikota kepada
pelaku usaha budidaya tanaman perkebunan yang luas
lahannya kurang dari 25 hektar.
-5-
24. Surat Tanda Daftar Usaha Perkebunan untuk Industri
Pengolahan Hasil Perkebunan yang selanjutnya disingkat
STD-P adalah keterangan Industri yang diberikan oleh
Bupati/Walikota kepada pelaku usaha industri
pengolahan hasil perkebunan yang kapasitasnya
dibawah batas minimal.
25. Pabrik Kelapa Sawit yang selanjutnya disebut PKS
adalah pabrik yang mengolah Tandan Buah Segar (TBS)
kelapa sawit menjadi produk minyak kelapa sawit kasar
atau disebut Crude Palm Oil (CPO) dan mengolah inti
buah kelapa sawit atau kernel menjadi minyak inti
kelapa sawit atau di sebut Palm Kernel Oil (PKO).
26. Masyarakat Hukum Adat adalah kelompok masyarakat
yang turun temurun bermukim di wilayah geografis
tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur,
adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup
serta adanya sistem nilai yang menjadi pedoman dalam
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam.
27. Masyarakat setempat adalah masyarakat atau komunitas
yang merujuk pada warga sebuah dusun, desa, kota,
suku bangsa baik kecil atau besar yang hidup bersama
sedemikian rupa sehingga merasa memiliki ikatan lahir
batin dan dapat memenuhi kebutuhan hidup yang
utama.
Bagian Kedua
Tujuan
Pasal 2
Penyelenggaraan perkebunan bertujuan untuk :
a. meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran
masyarakat;
b. meningkatkan pendapatan asli Daerah;
c. menyediakan lapangan kerja dan kesempatan usaha;
d. meningkatkan produksi, produktivitas, kualitas, nilai
tambah, daya saing dan pangsa pasar;
e. meningkatkan dan memenuhi kebutuhan konsumsi
serta bahan baku industri dalam negeri;
-6-
f. memberi perlindungan kepada Pelaku Usaha
Perkebunan dan masyarakat;
g. mengelola dan mengembangkan sumber daya
perkebunan secara optimal, bertanggungjawab dan
lestari; dan
h. meningkatkan pemanfaatan jasa perkebunan.
Bagian Ketiga
Fungsi dan Ruang Lingkup
Pasal 3
(1) Fungsi pembangunan perkebunan, meliputi aspek :
a. ekonomi, yaitu peningkatan kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakat serta penguatan struktur
ekonomi Daerah;
b. ekologi, yaitu peningkatan konservasi tanah dan air,
penyerap karbon, penyedia oksigen dan penyangga
kawasan lindung; dan
c. sosial budaya, yaitu sebagai perekat dan pemersatu
bangsa.
(2) Ruang lingkup penyelenggaraan perkebunan meliputi:
a. penyelenggaraan usaha perkebunan;
b. penunjang penyelenggaraan usaha perkebunan;
c. perlindungan usaha perkebunan;
d. pengelolaan lingkungan hidup, pembangunan
perkebunan berkelanjutan dan tanggung jawab
sosial perusahaan perkebunan;
e. penelitian dan pengembangan pembangunan
perkebunan;
f. forum komunikasi usaha perkebunan dan
penanganan konflik ;
g. pembinaan, pengawasan, evaluasi dan pelaporan;
h. ketentuan lain-lain;
i. sanksi administrasi;
j. penyidikan;
k. ketentuan pidana; dan
l. ketentuan peralihan;
-7-
BAB II
PENYELENGGARAAN USAHA PERKEBUNAN
Bagian Kesatu
Perencanaan
Pasal 4
(1) Perencanaan perkebunan meliputi :
a. menyusun dan menetapkan tata ruang
pengembangan perkebunan terpadu;
b. menyusun dan menetapkan Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Daerah (rencana
makro), rencana strategis pembangunan
perkebunan serta rencana kerja pembangunan
perkebunan;
c. menyusun dan menetapkan
perwilayahan/rayonisasi pengembangan budidaya
dan industri perkebunan; dan
d. menyusun dan menetapkan model kelembagaan
kemitraan antara perusahaan perkebunan dengan
pekebun dan masyarakat sekitarnya.
(2) Penetapan perencanaan perkebunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b dan huruf c,
berdasarkan pada :
a. kebijakan tata ruang Provinsi;
b. keseimbangan antara jenis, volume, mutu dan
keberlanjutan produksi dengan dinamika
permintaan pasar;
c. kajian lingkungan hidup strategis dan status
lingkungan hidup Daerah; dan
d. kebijakan Pemerintah.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perencanaan
Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam Peraturan Gubernur.
-8-
Pasal 5
(1) Perencanaan perkebunan harus terukur, dapat
dilaksanakan, realistis, dan bermanfaat serta dilakukan
secara partisipatif, terpadu, terbuka dan akuntabel.
(2) Perencanaan perkebunan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mencakup seluruh subsistem dalam sistem
agribisnis perkebunan, yaitu :
a. sarana dan prasarana;
b. budidaya;
c. pengolahan;
d. pemasaran hasil; dan
e. penunjang/pendukung sistem dan usaha agribisnis
yang terpadu untuk mendorong kegiatan ekonomi
masyarakat yang berkelanjutan.
(3) Perencanaan perkebunan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus mampu mendorong kemitraan dengan
memberdayakan masyarakat yang berada di sekitar areal
perkebunan sebagai upaya penguatan ekonomi
masyarakat dan Daerah.
Pasal 6
(1) Perusahaan Perkebunan harus membuat perencanaan
pembangunan kebun.
(2) Perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. pembangunan dan pengelolaan kebun;
b. pengolahan hasil;
c. pembangunan kebun untuk masyarakat; dan
d. pemantauan dan pengelolaan lingkungan.
Bagian Kedua
Penggunaan Lahan
Pasal 7
(1) Pemerintah Daerah melakukan :
a. bimbingan dan pengawasan, pengembangan,
rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian
perkebunan;
-9-
b. penyusunan peta pengembangan, rehabilitasi,
konservasi, optimasi dan pengendalian perkebunan;
c. pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi
dan pengendalian perkebunan;
d. penetapan pengawasan tata ruang dan tata guna
lahan perkebunan wilayah Provinsi;
e. pemetaan potensi dan pengelolaan lahan
perkebunan wilayah Provinsi;
f. pengaturan dan penerapan kawasan perkebunan
terpadu wilayah Provinsi; dan
g. penetapan sasaran areal tanaman wilayah Provinsi.
(2) Pengembangan sumber daya lahan untuk perkebunan
diselenggarakan berdasarkan rencana pengelolaan
dengan memperhitungkan sumber daya air dan tata
ruang wilayah dengan mempertimbangkan :
a. daya dukung sumber daya air;
b. kekhasan dan aspirasi Daerah serta masyarakat
setempat;
c. kemampuan pembiayaan;
d. kelestarian keanekaragaman hayati.
Pasal 8
Penyediaan lahan untuk usaha perkebunan harus mendapat
pertimbangan teknis pertanahan serta memperhatikan aspek
kesesuaian lahan, kemampuan lahan, karakteristik dan
tipologi ekosistem, dan kearifan lokal.
Pasal 9
(1) Untuk kepentingan penyelenggaraan usaha perkebunan,
Pelaku Usaha Perkebunan diberikan hak atas tanah
yang diperlukan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
(2) Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan dan ditetapkan oleh instansi yang berwenang
di bidang pertanahan.
(3) Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berupa:
-10-
a. hak milik untuk lahan dengan luas kurang dari 25
(dua puluh lima) hektar yang diberikan kepada
Pekebun; dan
b. hak guna usaha dan/atau hak guna bangunan
untuk lahan dengan luas lebih dari 25 (dua puluh
lima) hektar yang diberikan kepada Perusahaan
Perkebunan.
(4) Pengawasan dan pengendalian penggunaan lahan
perkebunan yang belum dan telah mempunyai hak atas
tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilaksanakan oleh Instansi yang berwenang dan
Pemerintah Daerah.
Pasal 10
(1) Perusahaan Perkebunan wajib mengakui dan
menghormati nilai budaya masyarakat setempat sebagai
suatu kekayaan identitas budaya Daerah.
(2) Perusahaan Perkebunan wajib mengakui dan
menghormati hak atas tanah masyarakat setempat dan
melaksanakan ketentuan hukum yang berlaku dan
dianut di wilayah usahanya.
Pasal 11
(1) Dalam hal lahan yang dimohonkan hak atas tanah
merupakan lahan milik masyarakat setempat,
Perusahaan Perkebunan harus melakukan musyawarah
dengan masyarakat pemegang hak atas tanah untuk
memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan lahan
dan imbalannya.
(2) Dalam hal upaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak menghasilkan mufakat, maka penyelesaian
didasarkan kepada ketentuan peraturan perundang-
undangan.
-11-
Pasal 12
Perpanjangan dan pembaharuan Hak Guna Usaha dan Hak
Guna Bangunan diprioritaskan kepada pemegang hak dengan
memperhatikan kebutuhan ruang untuk masyarakat dan
penilaian kinerja perusahaan oleh Dinas sesuai
kewenangannya.
Pasal 13
Pemindahan hak dan perubahan penggunaan lahan lokasi
usaha perkebunan yang telah mempunyai Hak Guna Usaha
dan/atau Hak Guna Bangunan harus mendapat izin dari
instansi yang berwenang.
Pasal 14
Perubahan fungsi peruntukan tanah yang telah memiliki izin
usaha untuk keperluan lain dan pemindahan kepemilikan
(take over), harus mendapat persetujuan dari Gubernur
sesuai kewenangannya dengan rekomendasi Dinas.
Pasal 15
(1) Pelaku Usaha Perkebunan dapat memanfaatkan lahan
gambut untuk usaha perkebunan dengan disertai
pembuatan manajemen tata air yang baik dan menjaga
gambut tetap dalam kondisi basah.
(2) Pemanfaatan lahan gambut sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus memperhatikan keberlanjutan
pemanfaatan lahan tanaman pangan di sekitarnya.
(3) Pemanfaatan lahan gambut sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), dapat dilakukan dengan kriteria sebagai berikut:
a. diusahakan hanya pada kawasan budidaya;
b. ketebalan lapisan gambut kurang dari 3 (tiga) meter;
c. substratum tanah mineral di bawah gambut bukan
pasir kuarsa dan bukan tanah sulfat masam;
d. tingkat kematangan gambut saprik (matang) atau
hemik (setengah matang); dan
e. tingkat kesuburan tanah gambut eutropik.
-12-
Pasal 16
(1) Usaha budidaya tanaman perkebunan dengan
penguasaan lahan yang luasnya kurang dari 25 (dua
puluh lima) hektar, dikategorikan sebagai Perkebunan
Rakyat yang dapat dikelola oleh Pekebun.
(2) Usaha budidaya tanaman perkebunan dengan
penguasaan lahan yang luasnya 25 (dua puluh lima)
hektar atau lebih, dikategorikan sebagai Perkebunan
Besar yang dikelola oleh pelaku usaha perkebunan dan
wajib berbadan hukum dan memiliki izin usaha.
(3) Kebutuhan lahan untuk usaha industri pengolahan hasil
perkebunan yang berada di luar lokasi usaha budidaya
tanaman perkebunan, pengaturannya ditetapkan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Sarana dan Prasarana Usaha Perkebunan
Paragraf 1
Infrastruktur
Pasal 17
(1) Pemerintah Daerah menyediakan sarana dan prasarana
umum perkebunan seperti jalan produksi, trio tata air
(tanggul, saluran dan pintu klep), sekat kanal dan
embung sesuai dengan kemampuan pada areal
perkebunan rakyat, serta memfasilitasi partisipasi atau
kontribusi dari pelaku usaha perkebunan untuk
membantu pengembangan sarana prasarana umum.
(2) Infrastruktur yang dibangun oleh pelaku usaha
perkebunan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat
umum.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sarana dan prasarana
perkebunan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
-13-
Paragraf 2
Pemanfaatan Air Untuk Perkebunan
Pasal 18
Pemerintah Daerah melaksanakan :
a. bimbingan pemanfaatan sumber-sumber air untuk
perkebunan;
b. pemantauan dan evaluasi pemanfaatan air untuk
perkebunan;
c. bimbingan pengembangan sumber-sumber air untuk
perkebunan;
d. bimbingan pengembangan manajemen tata air untuk
perkebunan; dan
e. pemantauan dan evaluasi pengembangan air untuk
perkebunan.
Paragraf 3
Alat dan Mesin Perkebunan
Pasal 19
Pemerintah Daerah melaksanakan :
a. penyusunan dan pelaksanaan kebijakan alat dan mesin
perkebunan wilayah Provinsi;
b. identifikasi dan inventarisasi kebutuhan alat dan mesin
perkebunan wilayah Provinsi;
c. penentuan kebutuhan prototipe alat dan mesin
perkebunan;
d. penerapan standar mutu alat dan mesin perkebunan;
dan
e. pembinaan dan pengawasan standar mutu alat dan
mesin perkebunan wilayah Provinsi.
Bagian Keempat
Perbenihan
Pasal 20
Pemerintah Daerah mendorong dan memfasilitasi
pengembangan usaha perbenihan untuk percepatan
pembangunan perkebunan berkelanjutan di Daerah.
-14-
Pasal 21
Usaha perbenihan meliputi kegiatan:
a. pemuliaan tanaman;
b. produksi, pengolahan (processing);
c. distribusi, pengedaran dan perdagangan benih unggul
bermutu;
d. pengawasan mutu benih; dan
e. pengujian mutu benih.
Pasal 22
Usaha perbenihan dapat dilakukan oleh perorangan,
kelompok, badan usaha atau instansi pemerintah dengan
melalui :
a. unit produsen/penangkar;
b. badan usaha/sumber benih; dan
c. pengedar benih (rekanan/pedagang).
Pasal 23
(1) Setiap pelaku usaha di bidang benih perkebunan wajib
memiliki Izin Usaha Produksi Benih.
(2) Izin Usaha Produksi Benih sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diberikan oleh Gubernur.
(3) Izin Usaha Produksi Benih sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diberikan kepada Unit Produsen/Penangkar
Benih Perkebunan yang memiliki kriteria berdasarkan
Peraturan Menteri Pertanian tentang Produksi, Sertifikasi
dan Peredaran Benih.
(4) Izin Usaha Produksi Benih sebagaimana diatur pada ayat
(2) dan ayat (3) diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Gubernur.
Pasal 24
(1) Untuk menjamin ketersediaan Benih, Dinas dapat
menerbitkan Surat Persetujuan Penyaluran Benih
Komoditi Tanaman Perkebunan.
(2) Surat Persetujuan Penyaluran Benih Komoditi Tanaman
Perkebunan berlaku untuk jangka waktu 12 (dua belas)
bulan sejak tanggal diterbitkan.
-15-
Bagian Kelima
Usaha Budidaya
Paragraf 1
Jenis Usaha Perkebunan
Pasal 25
(1) Usaha Perkebunan terdiri atas :
a. usaha budidaya tanaman perkebunan;
b. usaha lainnya.
(2) Usaha lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a antara lain budi daya tanaman perkebunan
dengan tanaman kehutanan dan tanaman perkebunan
dengan usaha peternakan, lebah madu dan lainnya.
Paragraf 2
Pengelolaan Usaha Budidaya Tanaman Perkebunan
Pasal 26
Pengelolaan usaha budidaya tanaman perkebunan dilakukan
dengan tahapan sebagai berikut:
a. pemantapan ketersediaan lahan;
b. perencanaan atau penyusunan proposal pengelolaan
usaha budidaya tanaman perkebunan;
c. penyelenggaraan pengelolaan usaha budidaya tanaman
perkebunan; dan
d. pengembangan usaha budidaya tanaman perkebunan.
Pasal 27
Kegiatan pokok dalam pengelolaan usaha budidaya tanaman
perkebunan terdiri atas:
a. pembangunan kebun baru pada lahan bukaan baru
dan/atau perluasan kebun;
b. peremajaan kebun;
c. rehabilitasi kebun yang rusak atau tidak menghasilkan;
d. budidaya tanaman perkebunan dan diversifikasi usaha;
dan
e. peningkatan produktivitas kebun melalui kegiatan
intensifikasi.
-16-
Pasal 28
(1) Pemerintah Daerah memfasilitasi pelaksanaan
peremajaan perkebunan rakyat sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Perusahaan Perkebunan yang akan melakukan
peremajaan kebun baik kebun sendiri maupun kebun
masyarakat binaannya, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 huruf b harus melakukan ekspos rencana
peremajaan (replanting) di Dinas.
(3) Pelaksanaan peremajaan perkebunan agar dilaporkan
secara periodik dan teratur setiap 6 (enam) sekali ke
lokasi serta komoditi yang mempunyai keunggulan kompetitif
dan keunggulan komparatif mendapat prioritas
pengembangan.
Pasal 30
Pelaku usaha budidaya tanaman perkebunan berkewajiban:
a. mengelola usaha budidaya tanaman perkebunan dengan
praktek budidaya tanaman yang terbaik; dan
b. mengelola usaha budidaya tanaman perkebunan dengan
sistem manajemen mutu terbaik.
Bagian Keenam
Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan
Paragraf 1
Pengelolaan Usaha Industri Pengolahan Hasil Perkebunan
Pasal 31
Jenis usaha industri pengolahan hasil perkebunan, meliputi:
a. usaha industri pengolahan hasil perkebunan utama
terdiri atas:
-17-
1. industri pengolahan bahan mentah atau
penanganan pasca panen;
2. industri pengolahan barang setengah jadi.
b. usaha pemanfaatan atau pengolahan hasil samping
dan/atau limbah perkebunan dan/atau limbah
peremajaan perkebunan; dan
c. pengembangan industri kreatif masyarakat yang
memanfaatkan bahan baku lokal yang terintegrasi
dengan industri pengolahan hasil perkebunan.
Pasal 32
Usaha industri pengolahan hasil perkebunan dikategorikan
menjadi 2 (dua) yaitu:
a. industri perkebunan rakyat; dan
b. industri perkebunan besar.
Pasal 33
Industri perkebunan rakyat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 32 huruf a adalah industri perkebunan rakyat yang
mengelola unit usaha industri pengolahan hasil perkebunan
dengan usaha budidaya tanaman perkebunan rakyat.
Pasal 34
Industri perkebunan besar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 32 huruf b adalah industri perkebunan besar yang
dikelola oleh perusahaan perkebunan berupa unit usaha
perkebunan terpadu skala besar yang harus
mengintegrasikan pengelolaan unit usaha pengolahan hasil
perkebunan dengan unit usaha budidaya tanaman
perkebunan yang diusahakan sendiri dan kekurangan bahan
bakunya berasal dari kerja sama dengan kebun yang dikelola
masyarakat melalui pola kemitraan usaha perkebunan.
Pasal 35
(1) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf
a bertujuan untuk menjamin ketersediaan bahan baku,
legalitas sumber dan sepadan dengan jenis, jumlah dan
kapasitas minimal unit pengolahan produksi
perkebunan.
-18-
(2) Kapasitas minimal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 36
Bahan baku industri pengolahan hasil perkebunan diolah
sesuai dengan standar mutu yang ditetapkan.
Pasal 37
Pengembangan jenis, jumlah dan penyebaran unit usaha
industri pengolahan hasil perkebunan didasarkan pada
rencana tata ruang pengembangan perkebunan terpadu dan
rencana perwilayahan pengembangan budidaya dan industri
perkebunan serta mempertimbangkan kecukupan bahan
bakunya.
Pasal 38
Produk hasil olahan industri pengolahan hasil perkebunan
berupa Crude Palm Oil, Kernel Palm Oil, Bahan Olah Karet
Rakyat, Standard Indonesian Rubber, Kopra, Biji Kering
Kakao, Tepung Sagu dan olahan hasil perkebunan lainnya
harus memenuhi standar mutu produk olahan yang
ditetapkan dalam Standar Nasional Indonesia dan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 39
(1) Usaha industri pengolahan hasil perkebunan harus
memberikan nilai tambah dan daya saing yang tinggi
bagi Daerah dan penciptaan peluang kerja dengan
mengembangkan industri hilir hasil perkebunan.
(2) Pemerintah Daerah mendorong dan mempermudah
Pelaku Usaha Perkebunan untuk mengembangkan
usaha lainnya berupa industri turunan atau industri
hilir, agrowisata dan sebagainya sesuai dengan potensi
pengembangan dan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
-19-
(3) Pemerintah Daerah mendorong pengembangan produk
pangan dan produk non pangan dari setiap usaha
Industri Perkebunan Rakyat dan Industri Perkebunan
Besar.
Paragraf 2
Pengelolaan Pemasaran Hasil Perkebunan
Pasal 40
Pelaku usaha perkebunan wajib mengelola usaha pemasaran
hasil perkebunan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 41
(1) Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan dan
memfasilitasi pengembangan usaha pemasaran hasil
perkebunan.
(2) Pemerintah Daerah memfasilitasi dan mengembangkan
kerja sama antara pelaku usaha perkebunan dengan
asosiasi pengusaha komoditas atau pemasaran, asosiasi
petani komoditas dan/atau kelembagaan lainnya.
Pasal 42
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan usaha
pemasaran hasil perkebunan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 41 ayat (1) diatur dalam Peraturan Gubernur.
Bagian Ketujuh
Peran Serta Masyarakat
Pasal 43
(1) Penyelenggaraan Perkebunan dilaksanakan dengan
melibatkan peran serta masyarakat.
-20-
(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dalam hal:a. penyusunan perencanaan;b. pengembangan kawasan;c. penelitian dan pengembangan;d. pembiayaan;e. pemberdayaan;f. pengawasan;g. pengembangan sistem data dan informasi;h. pengembangan kelembagaan; dan/ataui. penyusunan pedoman pengembangan Usaha
Perkebunan.
(3) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dapat dilakukan dalam bentuk pemberian
usulan, tanggapan, pengajuan keberatan, saran
perbaikan dan/atau bantuan.
Pasal 44
Ketentuan lebih lanjut mengenai peran serta masyarakat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) dan ayat (3)
diatur dalam Peraturan Gubernur.
BAB III
PENUNJANG PENYELENGGARAAN USAHA PERKEBUNAN
Bagian Kesatu
Perizinan Usaha Perkebunan
Paragraf 1
Penetapan Perizinan Usaha Perkebunan
Pasal 45
Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan perizinan usaha
perkebunan sebagai instrumen pembinaan, pengawasan dan