menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “PENGARUH
INDUSTRIALISASI
DAN PONDOK PESANTREN NAHDJUSSALAM TERHADAP BUDAYA
POLITIK MASYARAKAT KAMPUNG PANYAWUNGAN” sebagai bentuk
artikulasi penulis dan bagian dari tugas penulis sebagai akademisi
di Fakultas
Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi khususnya di program studi
Komunikasi dan
Penyiaran Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tak lupa pula
shalawat beserta
salam yang tak henti-henti semoga selalu tercurah limpahkan
kehadirat baginda
besar kita Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umatnya
kepada
kebenaran hakiki.
Andai saja orangtua tidak memiliki angan untuk keadaan yang lebih
baik
bagi anaknya, penulis tidak akan pernah menjadi pegejar impian.
Angan orangtua
dan impian si anak disambut tangan kedermawanan Ardita Retno
Caesari hingga
si anak mengecap jenjang pendidikan tinggi.
Skripsi ini merupakan bagian dedikasi dan penghargaan kepada
mereka
yang telah banyak melimpah-ruahkan kasih sayangnya. Maka tidak
heran jika
skripsi ini banyak mengambil data dari hasil rekaman hidup penulis
jauh di masa
lalu.
Terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan
bantuan dari
berbagai pihak yang selama ini telah banyak sekali membantu penulis
dalam
menyelesaikan skripsi ini sampai akhir. Sebagai bentuk penghargaan
yang tak
terhingga kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis
dalam
merampungkan skripsi ini, maka izinkanlah penulis mengungkapkan
ucapan
terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada :
1. Kepada Bapak Dr. Arief Subhan MA, sebagai Dekan Fakultas
Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi. Drs. Wahidin Saputra MA, sebagai
ii
Pembantu Dekan Bidang Akademik. Drs. Mahmud Djalal MA,
sebagai
Pembantu Dekan Bidang Administrasi Umum dan Keuangan. Dan
Drs.
Study Rizal, LK. MA, sebagai Pembantu Dekan Bidang
Kemahasiswaan.
2. Kepada bapak Drs. Jumroni M.Si, sebagai Ketua Jurusan Komunikasi
dan
Penyiaran Islam (KPI), dan ibu Umi Musyarofah MA, sebagai
sekretaris
Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), yang telah membantu
dalam
memberikan informasi akademik dan penyusunan transkip nilai
penulis.
Dan kepada ibu Dra. Hj. Asriati Jamil sebagai Dosen Penasihat
akademik
KPI C angkatan 2006, yang telah memberikan bantuan dalam
penyusunan
proposal skripsi ini.
yaitu bapak Dr. Syihabudin Noor, M.Ag, yang telah banyak
meluangkan
waktunya untuk membantu, mengarahkan, membimbing, memberi
masukan, saran serta kritiknya yang membangun dalam
penyelesaian
skripsi ini. Terima kasih atas kesabaran bapak dalam
memberikan
bimbingan ini.
4. Kepada segenap dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi,
saya
ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya karena telah
membantu
memberi masukan penulis mengenai penelitian ini.
5. Pimpinan dan seluruh Staf Perpustakaan Utama UIN Syarif
Hidayatullah
Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi.
6. Keluarga besar Pondok Pesantren Nahdjussalam yang telah
mengijinkan
penulis untuk melakukan penelitian di institusi tersebut. Sifat
kooperatif
seluruh keluarga dalam penelitian ini, semoga berbalik manfaat
bagi
eksistensi pondok.
7. Terimakasih kepada KH. Athoillah, ustadz Bibin, ustadz Dede
Abdul
Kholik, ustadz Tb. Cecep, bapak Dudung, bapak Iin Zainal Abidin,
bapak
Iwan M. Fallah, bapak E. Zaenudin, seluruh pemuda Seuweu Putu,
Karang
Taruna RW. 03, aparat Desa, serta seluruh masyarakat yang
telah
iii
iv
data yang penulis ambil tanpa sepengetahuan kalian).
8. Untuk teman-teman KPI C angkatan 2006, khususnya Pipit Pitriani.
Jika
bukan semangat dan dukungannya skripsi ini bukan di bulan Juli.
Semoga
terus menjadi inspirasi untuk meraih kebahagian yang tidak
dikotomis.
Akhirnya penulis hanya dapat mengucapkan terimakasih yang
sebesar-
besarnya, hanya ucapan inilah yang dapat penulis berikan, semoga
Allah SWT
yang akan membalas semua kebaikan kalian. Amin Ya Robbal
Alamin.
Ciputat, 23 Juni 2010
Sudah satu abad lebih pondok pesantren Nahdjussalam
memberikan
pengaruh terhadap masyarakat sekitar di segala sendi sistem-sistem
yang ada di
masyarakat. Sifat ekslusif pesantren Nahdjussalam menjadikan
pesantren tidak
lepas dari pengaruh-pengaruh luar seperti dampak-dampak
industrialisasi dalam
arti yang seluas-luasnya. Keberadaan pesantren dan industrialisasi
di wilayah
Panyawungan tentu akan memberi bentuk baru masyarakat dalam
orientasi
makna, nilai dan seperangkat kepercayaan politik masyarakat
Panyawungan.
Dari permasalahan dan asumsi di atas, menimbulkan pertanyaan;
Bagaimana sikap, keyakinan, nilai-nilai dan kepercayaan politik
masyarakat
kampung panyawungan? Seperti apa budaya politik masyarakat yang
dipengaruhi
oleh pesantren dan industrialisasi: dilihat dari aspek doktrin atau
isi dan materi,
dan dari apek generik seperti bentuk, peranan, dan ciri-ciri budaya
politik seperti
militan, utopis, terbuka, dan tertutup?
Penelitian ini menggunakan paradigma kualitatif dan
menggunakan
metode deskriftip kualitatif untuk menyajikan temuan-temuan yang
ada di
lapangan.
hubungan fungsional, modern, kompetitif, rasional dan heterogen.
Sedangkan kita
ketahui bahwa pesantren (utamanya salafy) adalah lembaga yang
memproduksi
nilai-nilai seperti kesederhanaan, kebersamaan, tradisional,
religius, homogen,
akhlak dan nilai-nilai luhur. Dari perbedaan kedua kutub dari
nilai-nilai, etika,
pemahaman-diri, dan tafsiran kultural tersebut akan mempengaruhi
bentuk dari
interaksi intersubjektif dalam masyarakat.
normatif semata, tapi mereka sudah mulai mempertimbangkan asas
fungsional.
Perubahan-perubahan yang terjadi pada “kaum elit” baik dalam posisi
sebagai
subjek maupun objek transformasi, pada akhirnya juga berimplikasi
pada proses
transformasi “bawah” masyarakat dan lingkungannya.
i
menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “PENGARUH
INDUSTRIALISASI
DAN PONDOK PESANTREN NAHDJUSSALAM TERHADAP BUDAYA
POLITIK MASYARAKAT KAMPUNG PANYAWUNGAN” sebagai bentuk
artikulasi penulis dan bagian dari tugas penulis sebagai akademisi
di Fakultas
Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi khususnya di program studi
Komunikasi dan
Penyiaran Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tak lupa pula
shalawat beserta
salam yang tak henti-henti semoga selalu tercurah limpahkan
kehadirat baginda
besar kita Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umatnya
kepada
kebenaran hakiki.
Andai saja orangtua tidak memiliki angan untuk keadaan yang lebih
baik
bagi anaknya, penulis tidak akan pernah menjadi pegejar impian.
Angan orangtua
dan impian si anak disambut tangan kedermawanan Ardita Retno
Caesari hingga
si anak mengecap jenjang pendidikan tinggi.
Skripsi ini merupakan bagian dedikasi dan penghargaan kepada
mereka
yang telah banyak melimpah-ruahkan kasih sayangnya. Maka tidak
heran jika
skripsi ini banyak mengambil data dari hasil rekaman hidup penulis
jauh di masa
lalu.
Terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan
bantuan dari
berbagai pihak yang selama ini telah banyak sekali membantu penulis
dalam
menyelesaikan skripsi ini sampai akhir. Sebagai bentuk penghargaan
yang tak
terhingga kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis
dalam
merampungkan skripsi ini, maka izinkanlah penulis mengungkapkan
ucapan
terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada :
1. Kepada Bapak Dr. Arief Subhan MA, sebagai Dekan Fakultas
Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi. Drs. Wahidin Saputra MA, sebagai
Pembantu Dekan Bidang Akademik. Drs. Mahmud Djalal MA,
sebagai
ii
Pembantu Dekan Bidang Administrasi Umum dan Keuangan. Dan
Drs.
Study Rizal, LK. MA, sebagai Pembantu Dekan Bidang
Kemahasiswaan.
2. Kepada bapak Drs. Jumroni M.Si, sebagai Ketua Jurusan Komunikasi
dan
Penyiaran Islam (KPI), dan ibu Umi Musyarofah MA, sebagai
sekretaris
Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), yang telah membantu
dalam
memberikan informasi akademik dan penyusunan transkip nilai
penulis.
Dan kepada ibu Dra. Hj. Asriati Jamil sebagai Dosen Penasihat
akademik
KPI C angkatan 2006, yang telah memberikan bantuan dalam
penyusunan
proposal skripsi ini.
yaitu bapak Dr. Syihabudin Noor, M.Ag, yang telah banyak
meluangkan
waktunya untuk membantu, mengarahkan, membimbing, memberi
masukan, saran serta kritiknya yang membangun dalam
penyelesaian
skripsi ini. Terima kasih atas kesabaran bapak dalam
memberikan
bimbingan ini.
4. Kepada segenap dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi,
saya
ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya karena telah
membantu
memberi masukan penulis mengenai penelitian ini.
5. Pimpinan dan seluruh Staf Perpustakaan Utama UIN Syarif
Hidayatullah
Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi.
6. Keluarga besar Pondok Pesantren Nahdjussalam yang telah
mengijinkan
penulis untuk melakukan penelitian di institusi tersebut. Sifat
kooperatif
seluruh keluarga dalam penelitian ini, semoga berbalik manfaat
bagi
eksistensi pondok.
7. Terimakasih kepada KH. Athoillah, ustadz Bibin, ustadz Dede
Abdul
Kholik, ustadz Tb. Cecep, bapak Dudung, bapak Iin Zainal Abidin,
bapak
Iwan M. Fallah, bapak E. Zaenudin, seluruh pemuda Seuweu Putu,
Karang
Taruna RW. 03, aparat Desa, serta seluruh masyarakat yang
telah
iii
data yang penulis ambil tanpa sepengetahuan kalian).
8. Untuk teman-teman KPI C angkatan 2006, khususnya Pipit Pitriani.
Jika
bukan semangat dan dukungannya skripsi ini bukan di bulan Juli.
Semoga
terus menjadi inspirasi untuk meraih kebahagian yang tidak
dikotomis.
Akhirnya penulis hanya dapat mengucapkan terimakasih yang
sebesar-
besarnya, hanya ucapan inilah yang dapat penulis berikan, semoga
Allah SWT
yang akan membalas semua kebaikan kalian. Amin Ya Robbal
Alamin.
Ciputat, 23 Juni 2010
B. Batasan dan Rumusan
Masalah .................................................................... 5
A.1. Sejarah
Pesantren ......................................................................... 12
Dan Unsur-Unsur
Pesantren .............................................. 15
D. Metodologi
Penelitian .................................................................................. 8
E. Tinjauan
Pustaka .......................................................................................... 9
F. Sistematika
Penulisan ................................................................................ 10
A.2. Tipelogi
B. Pengertian
Industrialisasi .......................................................................... 18
B.1. Pengertian
Industrialisasi ............................................................. 18
v
3. Kyai Sambas (1977 – 1980) Persentuhan Pesantren dan Politik
............................................................................................................ 52
Athoillah (1980 – Sekarang) Masa Transisi
Pesantren ....... 53
B.
D.2. Tipe-Tipe Budaya
Politik .................................................................. 31
1. Berdasarkan Pola Otoritas
........................................................ 31
3. Berdasarkan Sikap Yang
Ditunjukan ....................................... 34
D.3. Komponen-Komponen Budaya
Politik .......................................... 36
angka
Konseptual ................................................................................. 37
mbaran Umum Pesantren
Nahdjussalam .................................................. 43
A.1. Sejarah dan Sepak Terjang Pondok
Pesantren .............................. 43
1. Kh. Kholil (1916 – 1947) Masa Perintisan dan Perluasan
Jaringan ............................................................................................. 46
4. Kh.
2.1. Tradisi
Pesantren ........................................................................ 54
A.3. Ekonomi
Pesantren ........................................................................... 60
A.5. Hubungan Pesantren dengan Birokrasi
Desa ................................. 65
Kondisi Georafis dan Demografi Kp.
Panyawungan ................................... 68
vi
B.2. Gambaran Umum Wilayah dan Demografi
Masyarakat .............. 69
B.3. Kehidupan Ekonomi dan Pendidikan
Penduduk ........................... 72
BAB IV
PERUBAH PANYAW
A. Arti
D. Aren Kam
PENUTUP
AN BUDAYA POLITIK PADA MASYARAKAT KAMPUNG UGAN
kulasi Politik Pesantren Nahdjussalam Paska
Reformasi ..................... 76
ha yang Diberikan Industri Terhadap Pesantren: Antara
Pemberdayaan
C. Pesantren Dan Industri Dalam Pemilihan Kepala
Desa ............................... 83
a Kerjasama dan Konflik Yang Sedang Terjadi di Masyarakat pung
Panyawungan ................................................................................... 86
D. 1. Komite Pembentukan Cileunyi Kidul: Aliansi Kepentingan Antar
Elite yang Sudah
Mapan ........................................................... 86
D. 2. Konflik Antara Ke-RW-an dan Karang Taruna: Tarik
Menarik
BAB V
2. Strategi Silang Perkawinan Oleh KH.
Kholil ........................................ 46
ni Afandi dan Bani
Kholil ......................... 48
iagram 7. Struktur Komite Pembentukan Desa Cileunyi
Kidul ............................ 89
iagram 8. Hubungan Kekerabatan Elite Komite Cileunyi
Kidul ......................... 90
Diagram
Diagram 4. Hubungan Kekerabatan Bani Syarif dan Bani
Kholil ........................... 48
Diagram 5. Silang Hubungan Kekerabatan dengan Pesantren
Luar ......................... 49
Diagram 6. Struktur Organisasi
Pondok ..................................................................... 59
D
D
viii
Tabel 2. Tipologi Pendidikan
Pendidikan ................................................................... 73
Tabel 3. Daftar
Langgar ................................................................................................ 75
Gambar 3. Peta Desa Cileunyi
Wetan ......................................................................... 68
Gambar 4. KH. Athoillah dan Bapak Deding Ishak (Calon Bupati
Bandung) ..... 77
Gambar 5. Aktivitas Di Penyortiran
Limbah .............................................................. 82
B. Batasan dan Rumusan
Masalah .................................................................... 5
A.1. Sejarah
Pesantren ......................................................................... 12
Dan Unsur-Unsur
Pesantren .............................................. 15
D. Metodologi
Penelitian .................................................................................. 8
E. Tinjauan
Pustaka .......................................................................................... 9
F. Sistematika
Penulisan ................................................................................ 11
A.2. Tipelogi
B. Pengertian
Industrialisasi .......................................................................... 18
B.1. Pengertian
Industrialisasi ............................................................. 18
v
D.1. Pengertian Umum Budaya
Politik ................................................... 28
D.2. Tipe-Tipe Budaya
Politik .................................................................. 31
1. Berdasarkan Pola Otoritas
........................................................ 31
E. Kerangka Konseptual 37
...................................................................................................... 49
1.3. Kyai Sambas (1977 – 1980) Persentuhan Pesantren dan
Politik ........................................................................................... 52
1.4. Kh. Athoillah (1980 – Sekarang) Masa Transisi
Pesantren .. 53
....... 54
D.3. Komponen-Komponen Budaya
Politik .......................................... 36
.................................................................................
Gambaran Umum Pesantren
Nahdjussalam .................................................. 43
.............................. 43
1.1. Kh. Kholil (1916 – 1947) Masa Perintisan dan Perluasan
Jaringan ........................................................................................ 46
1.2. Kh. Tb. Ahmad Dzajuli ( 1947-1977 ) Pengokohan Spiritual
A.2. Tradisi dan Sistem Nilai
Pesantren ..........................................
2.2. Sistem Nilai
Pesantren ............................................................... 58
A.3. Ekonomi
Pesantren ........................................................................... 60
A.5. Hubungan Pesantren dengan Birokrasi
Desa ................................. 65
ondisi Georafis dan Demografi Kp.
Panyawungan ................................... 67
vi
vii
B.4. Kehidupan Keagamaan
Penduduk .................................................. 74
BAB IV
D. 2. Konflik Antara Ke-RW-an dan Karang Taruna : Tarik
Menarik
Pragmatis ............................................................................................... 90
BAB V
B.2. Gambaran Umum Wilayah dan Demografi
Masyarakat .............. 69
........................... 72
olitik Pesantren Nahdjussalam Paska
Reformasi ..................... 76
Usaha yang Diberikan Industri Terhadap Pesantren : Antara
Pemberdayaan Jaminan Keberlangsungan
Industri .......................................................... 80
ntren Dan Industri Dalam Pemilihan Kepala
Desa ............................... 83
D. Arena Kerjasama dan Konflik Yang Sedang Terjadi di Masyarakat
Kampung
Panyawungan ................................................................................... 86
D. 1. Komite Pembentukan Cileunyi Kidul : Aliansi Kepentingan
Antara Kesetiaan Terhadap Rumpun Keluarga VS Kepentingan
B.
Rekomendasi .................................................................................................... 101
Tabel 1. Daftar Nama Pemilik Kontrakan di Kampung
Panyawungan ................. 71
Tabel 2. Tipologi Pendidikan
Pendidikan ................................................................... 73
Tabel 3. Daftar
Langgar ................................................................................................ 75
Gambar 3. Peta Desa Cileunyi
Wetan ......................................................................... 68
Gambar 4. Peta Kampung
Panyawungan ...................................................................
69
Gambar 5. KH. Athoillah dan Bapak Deding Ishak (Calon Bupati
Bandung) ..... 78
Gambar 6. Aktivitas Di Penyortiran
Limbah .............................................................. 83
Diagram 2. Strategi Silang Perkawinan Oleh KH.
Kholil ........................................ 46
Diagram 3. Hubungan Kekerabatan Bani Afandi dan Bani
Kholil ......................... 48
Diagram 4. Hubungan Kekerabatan Bani Syarif dan Bani
Kholil ........................... 48
Diagram 5. Silang Hubungan Kekerabatan dengan Pesantren
Luar ......................... 49
Diagram 6. Struktur Organisasi
Pondok ..................................................................... 59
Diagram 7. Struktur Komite Pembentukan Desa Cileunyi Kidul
.......................... 89
Diagram 8. Hubungan Kekerabatan Elite Komite Cileunyi Kidul
....................... 90
viii
1
Keberadaan Pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua Islam
Nusantara
telah diakui memiliki andil dan peran yang besar dalam sejarah
perjuangan bangsa
Indonesia. Pesantren Nusantara telah membuktikan eksistensi dan
kiprahnya
menjadi dinamisator dalam setiap proses sejarah nation and
character building.
Menurut Harry J. Benda, sejarah Islam Indonesia adalah sejarah
perluasan
peradaban santri dan pengaruhnya terhadap kehidupan agama, sosial
dan politik
Indonesia. Bahkan menurut J. Benda para penguasa yang baru
dinobatkan
bersandar diri kepada para ahli agama, karena hanya merekalah yang
dapat men-
sah-kan pentasbihan.1 Oleh karenanya keberadaan pesantren tidak
bisa dilepaskan
dari sejarah Indonesia, karena sejarah pesantren adalah sejarah
Indonesia itu
sendiri.2
wahyu Tuhan terkait dengan peran keagamaan, ia juga memiliki
pengaruh
terhadap lingkungan masyarakatnya. Pesantren sebagai bagian dari
institusi sosial,
keagamaan, dan kultural tidak dapat dilihat sebagai sub-kultur
dalam arti
merupakan gejala yang unik dan terpisah dari dunia luar. Meskipun
pesantren
mempunyai penggambaran kultural dengan karakternya yang khas, hal
itu bukan
1 Harry J Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit (Jakarta : Pustaka
Jaya) 1983, h. 33 2 Hasan Muarif Ambari, Peranan Pesantren
dalam Menghadapi Perubahan Sosial di
berarti bahwa pesantren tertutup kepada pengaruh-pengaruh dari
luar. Sebab
pesantren sebagai milik dan bagian dari masyarakat tidak dapat
melepaskan diri
dari kehidupan sosial dan komuinitas kemasyarakatan lainnya.3
Hal tersebut juga berlaku pada sejarah berdiri dan
keberlangsunganya
pondok pesantren Nahdjussalam yang tidak terlepas dari peran
masyarakat.
Menurut masyarakat sekitar, sebelum berdirinya sebuah pesantren
dahulunya
kampung tersebut merupakan perkampungan arena judi, seperti sabung
ayam, adu
domba, dan lain-lain. Tidak mudah pastinya mendirikan sebuah
pesantren dengan
latar belakang seperti disebut. Pendirian pondok pesantren
Nahdjussalam yang
mulai dirintis pada tahun 1916 tidak lepas dari empat elemen, yaitu
: Bi ilmil
‘ulama atau orang yang berilmu yaitu KH. Kholil, bisshowatil agniya
atau
donatur yaitu KH. Syarif dan KH. Afandi, bi adlin ‘Umaro atau
pemerintah yang
adil (dalam konteks ini adalah lurah) yaitu Raden Atmajadikarta,
dan bidu’ail
fuqoro atau dukungan masyarakat umum.
Banyaknya pihak yang berkontribusi pada pendirian pesantren
mejadikan
pesantren ini bersifat inklusif dengan masyarakat sekitar dan
saling memberi
pengaruh satu sama lain.
Pondok pesantren Nahdjussalam, sudah satu abad lebih
memberikan
pengaruh terhadap masyarakat sekitar di segala sendi sistem-sistem
yang ada di
masyarakat dengan mengacu kepada prinsip kesederhanaan,
kebersamaan,
tradisional, religius, homogen, akhlak serta nilai-nilai luhur.
Pondok pesantren
Nahdjussalam telah berhasil menjadikan masyarakat kampung
Panyawungan
3 H.M Yacub., Pondok Pesantren dan Pembangunan Masyarakat Desa,
(Bandung : Angkasa, 1985).
3
menjadi masyarakat yang agamis, hal itu diketahui tidak hanya oleh
masyarakat
sekitar saja, masyarakat luar daerah pun banyak mengetahui hal itu
karena luasnya
jejaring pesantren tersebut.
budaya, dan sistem kemasyarakatan di kampung Panyawungan juga
membawa
pengaruh besar pada budaya politik masyarakat. Masyarakat
kampung
Panyawungan mempunyai tipe tatanan otoritas kharismatis yang
menjadikan kyai
serta pesantren sebagai legitimasi gagasan-gagasan, aturan-aturan,
dan nilai-nilai
yang berlaku di masyarakat.
membina masyarakatnya serta eksistensinya di masyarakat seiring
dengan
gempuran arus industrialisasi. Industrialisasi yang merebak di
kawasan lingkar
Panyawungan tidak pelak lagi membawa dampak positif yang sangat
signifikan,
seperti terbukanya lowongan pekerjaan, kemajuan perekonomian,
percepatan
pembangunan, dan lain-lain.
lain-lain.
Urbanisasi yang tidak terkontrol membawa pengaruh besar
terhadap
sistem norma yang dianut oleh masyarakat sekitar, hal itu jelas
tidak terbantahkan
karena proses persentuhan antara budaya pendatang dan budaya lokal
yang sangat
cepat sehingga membawa perubahan dan memunculkan budaya baru
dalam
4
orientasi materialis, hubungan fungsional, modern, kompetitif,
rasional,
heterogen, dan pemuasan kebutuhan.
Dalam masyarakat modern tentu tipe tatanan otoritas pun berbeda
dengan
masyarakat tradisional. Dalam masyarakat modern bentuk tatanan
otoritasnya
adalah otoritas rasional atau legal berdasarkan pada sebuah
kepercayaan atau
“legalitas”. Aturan-aturan tertentu yang berarti bahwa mereka yang
memunculkan
aturan-aturan itu memiliki hak untuk melakukan itu dengan dasar
kompetisi.
Sebuah tatanan impersonal yang tidak tergantung pada
kualitas-kualitas individu-
individu yang menciptakan aturan-aturan atau pada status mereka
sebagai
penjaga-penjaga sebuah tradisi.4
pesantren dalam memposisikan dirinya pada perubahan yang didorong
oleh
industrialisasi? Apakah ia memposisikan dirinya sebagai makelar
budaya (cultural
broker) yang didefinisikan oleh Greetz yang menurutnya, kyai
berperan sebagai
alat penyaring atas arus informasi yang masuk ke lingkungannya,
menularkan apa
yang menurutnya berguna dan membuang apa yang dianggap merusak
bagi
mereka. Atau justru pesantren memposisikan dirinya seperti temuan
Hiroko
Hirokoshi, menurutnya, kyai berperan kreatif terhadap perubahan
sosial. Bukan
karena sang kyai mencoba meredam akibat perubahan yang terjadi,
melainkan
4 Tom Campbell, Tujuh Teori Sosial, Terjemah F. Budi Hardiman,
(Jakarta: Kanisius, 1994),
h. 213
justru karena mempelopori perubahan sosial dengan caranya sendiri.
Ia bukan
melakukan penyaringan informasi, melainkan menawarkan agenda
perubahan
yang dianggapnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang
dipimpinnya.5
Meskipun hal itu tersentral pada seseorang, namun menurut penulis
hal itu
cukup relevan untuk dijadikan perbandingan mengingat otoritas kyai
dalam
sebuah pesantren hampir mutlak. Namun kebijakan seorang kyai juga
tidak
terlepas dari situsi dan kondisi internal yang melingkupi institusi
yang
dipimpinya, seperti aturan tertulis (tanbih), struktur
kepengurusan, rentang
generasi keluarga, dan lain-lain. Maka dengan alasan itu penulis
lebih tertarik
untuk meneliti keseluruhan institusi pesantren.
Selain kemungkinan permasalahan di atas, penelitian ini juga
menjadi
penting untuk melihat bentuk baru dari budaya politik masyarakat
kampung
Panyawungan yang dipengaruhi oleh budaya industrialisasi dan
budaya
tradisional. Pengaruh mana yang lebih dominan dan apakah bentuk
baru tersebut
membawa kemajuan atau kemunduran berdasarkan konsep masyarakat
madani.
B. BATASAN DAN RUMUSAN MASALAH
Mengingat luasnya dampak perubahan yang di bawa oleh
industrialisasi,
sesuai dengan judul penulis hanya membatasi penelitian ini pada
budaya politik
masyrakat Panyawungan yang didasarkan pada perubahan orientasi
makna, nilai
dan seperangkat kepercayaan politik masyarakat Panyawungan6.
5 Abdurahman Wahid, “Benarkah Kyai Membawa Perubahan Sosial ?,”
dalam Hiroko
Hirokoshi, Kyai dan Perubahan sosial, (Jakarta: P3M, 1987), h.
XVii 6 Mary Grisez Kweit, Konsep dan Metode Analisa Politik
Penerjemah Ratnawati, (Jakarta;
Bina Aksara, 1986).
Kajian budaya politik sama sekali berbeda dengan politik praktis.
Dalam
kajian budaya poltik ditelusuri bagaimana sebuah nilai dan
orientasi terbentuk,
operasi kekuasaan seperti apa yang berlangsung, dalam situasi apa
pula ia
berlangsung dengan proses hegemoni atau dominasi, atau bahkan
koersi dalam
proses produksi nilai tersebut, pengetahuan seperti apa yang
menopang atau tidak
menopangnya, dan seterusnya.7
1. Bagaimana sikap, keyakinan, nilai-nilai dan kepercayaan
politik
masyarakat kampung Panyawungan ?
2. Seperti apa budaya politik masyarakat yang dipengaruhi oleh
pesantren
(tradisional) dan industri (modern); dilihat dari aspek doktrin
(isi atau
materi) dan dari aspek generik (bentuk, peranan, dan ciri-ciri
budaya
politik, seperti militan, utopis, terbuka atau tertutup) ?
C. TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN
C.1. Tujuan
masyarakat kampung Panyawungan.
perubahan masyarakat agraris ke masyarakat industri.
7 Amalinda Safirani, Dari Negara Ke Coca-Cola: Merintis Kajian
Budaya dalam Ilmu
Politik di Indonesia, Newsletter KUNCI No. 3, November
1999
7
3. Sebagai bakti anak daerah dalam mengenal fenomena daerahnya
serta
menyumbangkan data eksistensi pesantren di kampung
Panyawungan
kepada pengguna dan pihak terkait, dalam hal ini pemerintah,
pihak
industri, maupun masyarakat umum untuk menjadikan pesantren
sebagai mitra dalam program pembangunan dan pembrdayaan yang
memberikan kontribusi besar pada masyarakat.
C.2. Kegunaan
memperluas informasi tentang eksistensi dan dinamika
pesantren
yang tetap memberikan warna dalam ranah kehidupan.
2. Hasil penelitian ini juga bermanfaat terutama bagi kalangan
pesantren
dalam menyikapi diri lebih terbuka pada perubahan dan
menyiapkan
diri agar tetap menjadi simpul jaringan bagi kebutuhan dan
pemberdayaan masyarakat.
pesantren.
antar budaya.
menggunakan pendekatan sosio - historis. Adapun metode yang
digunakan adalah
deskriptif kualitatif. Deskriptif yaitu suatu metode dalam meneliti
status kelompok
manusia, suatu obyek, suatu setting kondisi, suatu sistem pemikiran
ataupun suatu
kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari metode penelitian
ini untuk
membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual
dan akurat
mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena
yang diselididki
(M. Nazir, 1988 : 63).
pesantren, yang meliputi kyai, santri dan di lingkungan masyarakat
sekitar.
Adapun waktu pegamatan sebenarnya telah terjadi begitu lama yaitu
semenjak
pemulis tinggal di lingkungan pesantren semasa sekolah SMA dan
belajar mengaji
di pesantren yang bersangkutan. Kedua, wawancara terencana-terbuka
yang
bertujuan untuk mengumpulkan keterangan yang lebih lengkap
untuk
menyempurnakan hasil pengamatan. Adapun sasarannya adalah kyai dan
keluarga
pesantren sebagai sumber untuk mendapatkan data primer.
Dalam perjalananya, hasil wawancara yang cukup signifikan untuk
dimuat
dalam skripsi ini hanya dari orang-orang tertentu seperti sesepuh
pondok yaitu
KH. Athoillah, dan Ustadz Tb. Bibin Sarbini. Selain itu, data
signifikan juga
9
banyak diperoleh dari tokoh-tokoh masyarakat seperti bapak Iin
Zaenal Muttaqin
selaku Ketua RW, dan bapak Iwan Miftahul Fallah selaku Mantan
Kepala Desa
Cileunyi Wetan.
(pendukung) yang bisa digunakan untuk menjadi data pendukung dan
pelengkap.
Selain itu, data sekunder juga didapat dari Panitia Hari Besar
Islam (PHBI)
kampung Panyawungan, Karang Taruna, dan lembaga pemerintah
setempat,
seperti desa dan kecamatan.
Penulis melakukan tinjauan pustaka dengan maksud memeriksa
apakah
fokus penelitian yang akan dikaji telah ada orang terdahulu yang
melakukannya.
Dari hasil pencarian, penulis tidak menemukan fokus yang sama
persis dengan
fokus penelitian yang akan dikaji. Namun ada penelitian yang
ditemukan sedikit
mirip dengan fokus penulis.
Aim Salim dari jurusan Penyiaran dan Penerangan Agama IAIN
Sunan
Gunung Djati (sekarang UIN) dalam penelitiannya “Relasi Antara
Umara dan
Ulama Di Desa Sukasari Kec. Tanjung Sari Kab. Sumedang (2001)”
menemukan
pengaruh seorang kyai yang sangat dominan dalam penentuan seorang
kepala
desa. Seorang calon kandidat kepala desa tidak akan diangkat
sebelum
mendapatkan izin dan restu dari kyai. Dalam kesimpulan
penelitiannya kyai juga
berperan penting dalam pembuatan kebijakan-kebijakan daerah
tersebut, dan
seperti menjadi dewan penasihat dalam lembaga-lembaga resmi dengan
legitimasi
total dari masyarakat.
Peran Pondok Pesantren Tradisional Dalam Pembangunan Masyarakat
Industri
Cilegon (2008)”, menemukan bahwa pondok pesantren memberikan
sumbangsih
yang besar terhadap pembangunan masyarakat Cilegon. Namun sumbangsi
yang
diberikan pesantren dalam penelitiannya hanya menyentuh aspek-aspek
religius
masyarakat dan seolah pesantren tidak mempunyai andil dalam
pembangunan
yang sifatnya real. Namun menurut penulis hal itu wajar saja karena
setiap
pesantren mempunyai corak tersendiri yang dipengaruhi oleh berbagai
faktor
seperti, sejarah, lingkungan, dan psikologi pesantren dan
masyarakatnya.
Penelitian tentang pesantren telah banyak dilakukan oleh para
ahli,
Clifford Gerertz misalnya telah memasukan kelompok pesantren
(santri) menjadi
salah satu kelas masyarakat, di samping priyayi dan abangan pada
masyarakat
Jawa. Tentu saja dengan setting masyarakat pesantren pada awal
dasawarsa 1950-
an, sudah lebih dari 30 tahun penelitian itu berlalu, tentu potret
masa itu tidak bisa
disamakan dengan potret pesantren masa kini. Pesantren bukan lagi
lembaga yang
tertutup, esoteris dan ekslusif. Bahkan Zamkhsari Dhofier dalam
pengamatannya
terlalu menyederhanakan pesantren ke bentuknya yang paling
tradisional, ia
menyebutkan ada lima unsur yang membentuk pesantren yaitu pondok,
masjid,
pengajian kitab klasik, santri dan kiyai.8
8 Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren :Studi Tentang Pandangan
Hidup Kiyai (Jakarta : LP3ES),
1985, h. 5
sistematika penulisan berdasarkan kesamaan dan kesesuaian yang ada
di dalam
skripsi ini. Skripsi ini terdiri dari lima BAB.
BAB I. Pendahuluan yang mengemukakan latar belakang masalah,
batasan dan rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian,
metodelogi penelitian yang berisi penjelasan metode yang akan
digunakan dalam penelitian, kajian pustaka, serta sistematika
penulisan.
industrialisasi, hubungan agama dan politik, pengetian budaya
politik, serta kerangka konseptual yang dijadikan pedoman
dalam penulisan skripsi ini.
kampung Panyawungan yang mencakup lokasi dan demografi.
BAB IV. Temuan data lapangan yang berkaitan dengan perubahan
budaya
politik masyarakat kampung Panyawungan.
dan rekomendasi-rekomendasi baik bagi penelitian maupun
tindakan.
12
A.1. Sejarah Pesantren
Kata pesantren atau santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti
“guru
mengaji”. Sumber lain menyebutkan bahwa kata itu berasal dari
bahasa India
“shastri” dari akar kata “shastra” yang berarti “buku-buku suci”,
“buku-buku
agama”, atau “buku-buku tentang ilmu pengetahuan”. Di luar pulau
Jawa
lembaga pendidikan ini disebut dengan nama lain, seperti “surau” di
Sumatra
Barat, “dayah” di Aceh, dan “pondok” di beberapa daerah
lain.1
Menurut Nurcholis Madjid, ada dua pendapat yang bisa dipakai
sebagai
acuan untuk melihat asal-usul perkataan santri. Pertama adalah
pendapat yang
menyatakan bahwa kata santri berasal dari bahasa sansakerta yaitu
kata “sastri”
yang artinya melek huruf. Dapat dikatan bahwa kaum santri adalah
kaum yang
melek huruf, oleh karena pengetahuan mereka tentang agama melalui
kitab-kitab.
Atau paling tidak seorang santri dapat membaca al-Qur’an. Pendapat
kedua
menyatakan bahwa kata “santri” berasal dari bahasa Jawa “cantrik”,
artinya
seorang yang menngabdi kepada guru. Cantrik selalu berada di mana
gurunya
tinggal, dengan tujuan dapat belajar darinya tentang suatu
keahlian. Pola
hubungan guru-cantrik melalui proses evolusi berubah menjadi
guru-santri. Kata
guru diganti dengan kata kyai dengan tujuan lebih
mengkeramatkan,
1 Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Houve), 2003,
Jilid 4
13
dengan kyai-santri.2
terdapat beberapa versi. Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa
pesantren
berasal dari tradisi islam itu sendiri, yaitu tradisi tarekat.
Pesantren memiliki
kaitan yang erat dengan tempat pendidikan yang khas bagi kaum sufi.
Sebab
Rasulullah sebelum melakukan dakwah secara terang-terangan, beliau
membentuk
kelompok pelopor yang melakukan pertemuan-pertemuan di kediaman
al-Arqam
Ibn Abi al-Arqam. Barangkali tempat perteuam pertama untuk
bermusyawarah
mengenai masalah-masalah agama dalam Islam. Kediaman al-Arqam
ini
kemudian menjadi sumber inspirasi bagi pembentukan ribath dan
halaqah-
halaqah yang selanjutnya melembaga dalam tradisi tasawuf.
Pendapat pertama ini berdasarkan fakta bahwa penyiaran Islam
di
Indonesia pada awalnya lebih banyak dikenal dalam bentuk kegiatan
tarekat yang
melaksanakan amalan amalan zikir dan wirid-wirid tertentu. Pemimpin
tarekat ini
disebut kiyai yang mewajibkan pengikut-pengikutnya untuk
melaksanakan suluk
selama empat puluh hari dalam satu tahun dengan cara tinggal
bersama sesama
anggota tarekat dalam sebuah masjid untuk melakukan ibadah-ibadah
di bawah
bimbingan kiyai.
Untuk keperluan suluk ini kiyai menyediakan ruangan-ruangan
khusus
untuk penginapan dan tempat memasak yang terletak di sekitar
masjid. Di
samping mengajarkan amalan-amalan tarekat, para pengikut itu juga
diajarkan
2 Nurcholish Madjid, , Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret
Perjalanan (Jakarta :
Paramadina) 1997, hal 19 - 20
14
Aktifitas yang dilakukan oleh para pengikut tarekat ini kemudian
dinamakan
pengajian. Dalam perkembangan selanjutnya lembaga pengajian ini
tumbuh dan
berkembang menjadi lembaga pesantren.3
Kedua, Pesantren yang kita kenal sekarang ini pada mulanya
merupakan
pengambil-alihan dari sistem pesantren yang diadakan oleh
orang-orang Hindu di
Nusantara. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa sebelum datangnya
Islam ke
Indonesia lembaga pesantren sudah ada di negeri ini. Pendirian
pesantren pada
masa itu dimaksudkan sebagai tempat mengajarkan ajaran-ajaran agama
Hindu
dan tempat membina kader-kader penyebar Hindu. Tradisi penghormatan
murid
kepada guru yang pola hubungan antar keduanya tidak didasarkan
kepada hal-hal
yang sifatnya materi juga bersumber dari tradisi Hindu. Fakta lain
yang
menunjukkan bahwa pesantren bukan berakar dari tradisi Islam adalah
tidak
ditemukannya lembaga pesantren di Negara-negara Islam lainnya.
Sementara
lembaga yang serupa dengan pesantren banyak ditemukan di dalam
masyarakat
Hindu dan Budha seperti di India, Myanmar dan Thailand.4
Terlepas dari berbagai perbedaan pandangan tentang
asal-muasal
pesantren, Wali Songo dipandang sebagai pemrakarsa berdirinya
pesantren di
Indonesia, dalam menyebarkan Islam dan mendirikan Ribath dan
Halaqah-halaqah
sebagai sarana pendidikan untuk mengajarkan agama Islam.
Sebagaimana tersurat
dalam sejarah Indonesia, Wali Songo adalah pelopor dan pemimpin
dakwah Islam
3 Ensiklopedi Islam , Tim Penyusun Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam
(Jakarta : PT
Ichtiar Baru Van Hoeve) 2003, jilid 4 4 Ensiklopedi Islam ,
jilid 4
15
yang berhasil merekrut murid untuk kemudian menjalankan dakwah di
setiap
penjuru negeri.5
Dilihat dari tipelogi dan klasifikasi pesanteren, dalam peraturan
yang
dikeluarkan oleh menteri agama nomor 3 tahun 1979,
mengklasifikasikan pondok
pesantren sebagai berikut :
1. Pondok pesantren tipe A, yaitu di mana para santri belajar
dan
bertempat tinggal di asrama lingkungan pondok pesantren
dengan
pengajaran yang berlangsung secara tradisional (sistem wetonan
atau
sorogan);
pesantren;
3. Tipe C, yaitu pondok pesantren yang merupakan asrama,
sedangkan
para santrinya belajar di luar (madrasah atau sekolah umum)
kiyai
hanya mengawasi dan sebagai Pembina para santri tersebut;
4. Pondok pesantren tipe D, yaitu yang menyelenggarakan sistem
pondok
pesantren dan sekaligus sistem sekolah atau madrasah.6
Dari sekian tipe pondok pesantren dalam menyelenggarakan
pendidikan
dan pengajaran bagi para santrinya secara garis besar seringkali
diklasifikasikan
5 Drs. Marwan Saridjo, dkk, Sejarah Pondok Pesantren Di Indonesia,
(Jakarta : Dharma
Bhakti), 1979, hal. 19 - 21 6 H. Mahpuddin Noor, Potret
Dunia Pesantren, (Bandung : Humaniora), 2006, h. 43-44
16
pendidikan dan pengetahuan keislaman, al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama
lainnya
yang merujuk pada kitab-kitab kalsik (kuning) dengan menggunakan
cara-cara
sebagaimana awal pertumbuhannya. Kedua, Tipe Khalafiyah, yaitu
pondok
pesantren di samping menyelenggarakan kegiatan-kegiatan
kepesantrenan pada
umumnya juga menyelenggarakan kegiatan pendidikan formal (sekolah
atau
madrasah).
pengamatannya terlalu menyederhanakan pesantren ke bentuknya yang
paling
tradisional, ia menyebutkan ada lima unsur yang membentuk pesantren
yaitu
pondok, masjid, pengajian kitab klasik, santri dan kiyai.7
Namun Saat ini pesantren dari sisi kelembagaan telah
mengalami
perkembangan dari yang sederhana sampai yang paling maju,
sebagaimana yang
dikemukakan Soedjoko Prasojo et al, ia menyebut setidaknya adanya
lima macam
pola pesantren. Pola 1 ialah pesantren yang terdiri hanya dari
masjid dan rumah
kiyai. Pola 2 terdiri atas masjid, rumah kiyai dan pondok. Pola 3
terdiri atas
masjid, rumah kiyai, pondok dan madrasah. Pola 4 terdiri atas
masjid. Rumah
kiyai, pondok, madrasah dan tempat keterampilan. Pola 5 terdiri
atas masjid,
rumah kiyai, pondok, madrasah, tempat keterampilan, gedung
pertemuan, sarana
olah raga, dan sekolah umum. Pesantren yang terakhir inilah yang
sering disebut
“pesantren moderen”, yang di samping itu juga memiliki
fasilitas-fasilitas
penunjang lainya.
7 Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren :Studi Tentang Pandangan
Hidup Kiyai (Jakarta
: LP3ES), 1985, hal. 5
Sistem nilai yang digunakan oleh kalangan pesantren adalah yang
berakar
dalam agama Islam. Tetapi tidak semua yang berakar dari agama
dipakai oleh
mereka. Kalangan pesantren sendiri menamakan sistem nilai yang
dipakainya itu
dengan ungkapan “Ahl-u ‘L-Sunnah wa ‘L-Jama’ah”.8
Menurut Nurcholish Madjid, Ahl-u ‘L-Sunnah wa ‘L-Jama’ah
sendiri
mengacu terutama pada golongan Sunni. Maka dalam hal kalam atau
ilmu
ketuhanan, pesantren mengikuti madzhab Sunni, sebagaimana
dirumuskan oleh
Abu Hassan al- Asy’ari, dan kemudian banyak dipopulerkan melalui
karya-kaarya
Imam Ghazali. Mempelajari dan menghafal rumusan tentang dua puluh
sifat
Tuhan adalah salah satu inti dari teologi Asy’ari yang diamalkan
oleh para santri.
Dalam hal fiqh, kaum santri mengikuti dan mewajibkan mengikuti
salah-
satu dari sekurang-kurangnya empat imam madzha fiqh, yaitu Maliki,
Syafi’i,
Hanafi, dan Hambali. Di Indonesia sendiri yang umum dianut adalah
Imam
Syafi’i. Taqlid adalah ciri utama dari madzhab ini dan beroposisi
dengan faham
yang menganjurkan ijtihad.9
Dalam hal fiqh ini sikap-sikap kaum santri (terutama yang
pesantrenya di
desa-desa) banyak dipengaruhi oleh kitab Safinat-u ‘l-Najah,
sedangkan dalam hal
keagamaan sikap mereka umumnya dibentuk oleh kitab Sullam-u
‘l-Tawfiq.10
Persoalan lain yang membedakan kaum santri dan kaum lainya ialah
hal
yang menyangkut masalah adat, khususnya adat Jawa atau lokal. Kaum
santri
8 Dr. Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret
Perjalanan, (Jakarta:
Paramadina), 1997, hal. 31 9 Madjid, Bilik-Bilik Pesantren:
Sebuah Potret Perjalanan, hal. 33 10 Madjid, Bilik-Bilik
Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, h. 33
18
menolak banyak sekali unsur-unsur adat lokal, tetapi mempertahankan
sebagian
lain dan kemudian diberi warna Islam. Salah satu adat yang masih
dipertahankan
kaum santri adalah sekitar selamatan. Yang dimaksud selamatan di
sini adalah
mendoakan orang yang telah meninggal dan bisaanya diakhiri oleh
jamuan
makan-makan oleh keluarga berkabung baik pada saat meninggalnya
maupun
setelahnya seperti selamatan tiga hari, tujuh hari, empat puluh
hari, seratus hari,
dan haul. Dalam ritual itu bisaanya dibacakan tahlil, suatu ritus
dalam bahasa
Arab yang intinya membaca kalimat “La ilah-a illa ‘l-Lah”, dengan
maksud
berdoa untuk kebahagian orang yang telah meninggal.
Dalam hal kesenian, sejalan dengan kearaban yang ada dalam
kitab-kitab
yang dipelajari, maka kaum santri juga menerima dengan antusias
berbagai
kesenian yang berbau Arab. Yang paling umum mereka tampilkan adalah
qasidah-
qasidah mengenai kehidupan Nabi seperti karangan Diba’i dan
Barzanji.
Segi lain yang membedakan kaum santri dengan kaum lainya
adalah
dalam hal berpakaian. Songkok atau tutup kepala secara umum
dianggap sebagai
pakaian kaum santri. Sarung juga merupakan pakaian yang dianggap
sebagi
simbol kaum santri sehingga tidak jarang kaum santri disebut
sebagai “kaum
sarungan”. 11
industrialisasi didefinisikan sebagai proses perkembangan teknologi
oleh
11 Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan,
(Jakarta: Paramadina), h. 37
19
dengan menggunakan tenaga permesinan, untuk tujuan pasaran yang
luas dari
barang-barang produsen maupun konsumen, melalui angkatan kerja
yang
terspesialisasikan dengan pembagian kerja, seluruhnya disertai oleh
urbanisasi
yang meningkat.12
Tekanan yang akan digambarkan sebagai acuan untuk penelitian ini
adalah
industri yang mempunyai tekanan pada proses perubahan sosial, yaitu
perubahan
susunan kemasyarakatan dari suatu sistem pra-industrial (agraris,
misalnya) ke
sistem sosial industrial. Masyarakat industrial menuntut dan
melahirkan nilai-
nilainya sendiri yang tidak dapat dihindarkan. Dikehendaki atau
tidak
industrialisasi pasti melahirkan tata nilai yang kebanyakan tidak
dikenal oleh
masyarakat non-industrial. Jock Young menyimpulkan tujuh nilai
formal yang
mendasari masyarakat industrial.
3) Tunduk terhadap aturan-aturan birokratis;
4) Kepastian, pengawasan yang banyak terhadap kedetailan, dan
sedikit terhadap pengarahan;
6) Sikap instrumental terhadap kerja, dan
7) Kerja keras yang produktif dinilai sebagai kebaikan.13
12Nurkholis Madjid, Islam Kemoderenan dan Ke-Indonesiaan, (Bandung
: Mizan), 1987,
hal. 140 13 Madjid, Islam Kemoderenan dan Ke-Indonesiaan, h.
128
20
Nilai-nilai di atas adalah adalah nilai yang berlaku pada waktu
kerja yang
diakui sah oleh masyarakat dan setiap orang diharuskan
bertindakdengan
mengikuti ketentuan-ketentuannya. Namun nilai-nilai tersebut
menjadikan
manusia menjadi layaknya mesin atau dehumanisasi. Dan dehumanisasi
adalah
penderitaan sekalipun sifatnya immaterial. Maka dalam masyarakat
industrial selu
ada kecenderungan untuk dapat bebas dari kondisi tersebut.
Penyaluran keinginan
tersebut secara resmi seperti hari libur, cuti, atau waktu
senggang.
Jadi ada dua nilai yang dianut oleh seseorang dalam masyarakat
industrial,
yang resmi selama waktu kerja dan tidak resmi selama waktu
senggang. Dapat
pula dikatakan norma-norma resmi adalah publik life dan nilai-nilai
waktu
senggang adalah norma dalam private life. Atau ringkasnya, orang
taat kepada
aturan publik life untuk dapat menikmati nilai-nilai private life.
Adapun perubahan
nilai-nilai waktu senggang kepada nilai-nilai waktu kerja
digambarkan secara
sederhana oleh Herbert Marcuse sebagai berikut:
dari (nilai waktu senggang) Ke (nilai waktu kerja)
kepuasan yang segera di dapat
kenikmatan
kesenangan
ekonomi, perusahaan dan orang-orang yang terlibat di dalamnya.
Pengaruh yang
diberikan tersebut dapat berupa nilai-nilai dan pengaruh fisik
terhadap
21
transportasi, dan lain-lain.
komplek dalam kelompok sosial dan proses sosial. Pada tahap
proses
indusstrialisasi bisaanya bergandengan dengan urbanisasi dan
peningkatan
mobilitas penduduk. Terdapat pula perubahan yang penting dalam adat
kebisaaan
dan moral masyarakat yang mempengaruhi penggolongan primer
maupun
sekunder, dimana penggolongan sekunder memainkan peranan yang
sangat
besar.yang sangat menonjol adalah pengaruh-pengaruh yang disebabkan
oleh
status pekerjaan, keahlian-keahlian para pekerja, terhadap
kehidupan keluarga dan
kedudukan wanita, terhadap tradisi-tradisi dan terhadap konsumsi
barang.14
Industri member input terhadap masyarakat sehingga membentuk
sikap
dan tingkahlaku yang tercermin dalam sikap bekerja. Weber
mengatakan bahwa
dengan adanya teknologi baru, diperlukan suatu nilai yang akan
mengembangkan
masyarakat menjadi masyarakat kapitalis tradisional; demikian juga
jika hendak
membangun masyarakat kapitalis modern diperlukan nilai-nilai
tertenu.
Masyarakat pada umumnya harus menerima posisi mereka baik dalam
struktur
industri maupun struktur sosial yang lebih luas lagi. Karena
tingkat produksi
tergantung pada tingkat konsumsi , masyarakat harus dibujuk untuk
membeli
berbagai jenis barang dan jasa yang diproduksi oleh pihak
industri.15 Mereka
14 Nurkholis Madjid, Islam Kemoderenan dan Ke-Indonesiaan, hal.
140 15 S.R Parker, dkk., The Socilogy Of Industri Penerjemah
G. Kartasapoetra (ttp : Bina
Aksara, 1985),) hal. 93
memiliki fungsi untuk memproduksi berbagai jenis barang dan jasa
sekaligus
meningkatkan permintaan terhadap barang dan jasa hasil produksi.
Usaha dalam
meningkatkan produksi dan konsumsi melibatkan nilai-nilai dalam
tingkat
“masyarakat makro”. Jika ada perubahan nilai-nilai dalam
masyarakat, walaupun
hal itu bersifat lokal ia akan melahirkan perubahan dalam industri.
Seperti contoh
di kampung Panyawungan, dengan merebaknya industri textile di
kampung
tersebut, biaya hidup di kampung tersbut menjadi sangat tinggi, dan
hal itu
menyebabkan permintaan kenaikan gaji oleh buruh atau penambahan jam
kerja
sebagai alternatif.
Selain itu industri juga memiliki dampak pada perubahan fisik
dalam
masyarakat. Akibat yang dirasakan oleh masyarakat dengan adanya
industri bisa
dalam bentuk yang berbeda-beda. Hal ini seperti terjadi di wilayah
kampung
Panyawungan Kedatangan industri menjadikan kampung ini bukan lagi
kampung
yang hanya mengantungkan hidupnya dari bertani yang sifatnya
subtantif tapi
telah berevolusi menjadi masyarakat yang mempunyai banyak wilayah
lapangan
kerja, seperti menjadi buruh industri, penyedia jasa bagi pihak
industri maupun
buruh industri, dan lain-lain. Industri juga telah menjadikan harga
tanah di
wilayah ini menjadi sangat mahal. Kampung Panyawungan juga
menjadi
kampung sebagai penampung tenga kerja yang jumlahnya sangat
fantastis, maka
tidak heran apabila interaksi dengan berbagai macam budaya yang
berbeda
menjadikan masyarakat kampung Panyawungan kini tidak lagi bisa
disamakan
dengan keadaan masyarakat 30 tahun yang lalu.
23
dengan kekuasaan politis. Di dalam sebuah masyarakat yang menjadi
modern,
perkembangan ilmu pengetahuan, teknolgi dan juga industri tidak
terjadi dalam
lingkungan yang terbatas melainkan meluas kedalam kehidupan yang
luas.
Merujuk pada pemikiran Habermas, dalam tanggapan kritisnya
terhadap
Aldous Huxley, Habermas setuju bahwa hubungan antara dunia
ilmu
pengaetahuan dan dunia kehidupan sosial itu terdapat dalam
identitas ilmu
pengetahuan dengan kekuasaan, tetapi Habermas berpendapat bahwa
hubungan
kedua dunia itu tidak langsung. Kita tidak dapat begitu saja
mempengaruhi dunia
kehidupan sosial dengan membawa hipotesa-hipotesa atau teori-teori
ilmiah. Hal
itu karena perbedaan kedua dunia tersebut. Dunia ilmu pengetahuan
adalah
sturuktur-struktur hasil rekontruksi yang halus, dunia yang serba
teratur dan dapat
di kuantifikasi, dunia yang terbuka bagi pengalaman yang dapat di
uji secara
intersubjektif. Sedangkan dunia pengalaman sehari-hari atau disebut
“dunia
kehidupan sosial” adalah dunia pengalaman pribadi, dunia tempat
manusia lahir,
hidup, mati, dunia tempat mausia mencintai, membenci, kalah,
menang, harapan
dan putus asa. Dunia ilmu pengetahuan itu dingin, tenang penuh
abstraksi-
abttraksi halus, padat dengan klaim-klaim universal. Sedangkan
dunia kehidupan
sosial itu bergoalak, konkrit, padat dengan pengalaman-pengalaman
unik.16
16 F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu,
Masyarakat, Politik dan
Post Modernisme Menurut Jurgen Habermas, (Yogyakarta : Kanisius),
1993, hal. 123
24
kekuasaan dari ilmu pengetahuan menjadi efektif dalam dunia
kehidupan. Dalam
hal ini informasi-imformasi ilmiah ini dipakai untuk memperluas
control teknis
kita. Jadi pengetahuan tentang fisika atom, misalnya, tanpa
penerapanya menjadi
teknologi atom, tidak memiliki konsekwensi bagi penafsiran atas
dunia kehidupan
kita.
lewat penerapan ilmu pengetahuan menjadi teknologi telah merasuki
apa yang
disebut Habermas sebagai “kesadaran praktis” kita. Yang diacu oleh
istilah ini
adalah adalah kesadaran yang muncul melalui interaksi
intersubjektif dalam
masyarakat, seperti: nilai-nilai, etika, pemahaman-diri, tafsiran
kultural, dan
seterusnya.
melainkan sudah memperoleh bentuk informasi ilmiah yang dapat
dipakai untuk
teknologi. Habermas melihat bahwa dalam kemajuan teknis macam ini,
tradisi-
tradisi kebudayaan yang semula mengontrol tingkah laku sosial tidak
lagi bisa
begitu saja mendifinisikan pemahaman-diri masyarakat
modern.17
Seperti dikatakan di atas, bahwa industri erat kaitanya dengan
ekonomi,
dan seiring kemajuannya juga tidak lepas dari proses sosial.
Berbeda dengan
Habermas yang menilik kontelasi antara industri dan politik dari
sisi ilmu terapan,
17 F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu,
Masyarakat, Politik dan
Post Modernisme Menurut Jurgen Habermas, (Yogyakarta : Kanisius),
1993, hal. 123
25
modal swasta timur asing (khususnya Cina) dalam proses
industrialisasi kontek
Indonesia sangat menonjol. Bahkan sebagian dari usaha mereka dapat
menyaingi
usaha pemerintah. Akibatnya kaum menengah pribumi tergeser
posisinya dalam
usaha yang membutuhkan modal besar dan organisasi besar. Organisasi
Sarekat
Islam adalah organisasi yang berorientasi ekonomi politik dan
mencoba melawan
dominasi swasta asing.
umumnya, masih juga ditangani oleh pemerintah bersama modal swasta.
Namun
terdapat pendatang baru yang memasuki sektor usaha padat modal ini
dari
kalangan birokrat dan militer. Tentu saja hal itu disambut baik
oleh pihak swasta
dengan harapan mendapatkan jaminan keamanan dari kekuatan sosial
macam PKI
atau radikalisme Islam.18 Sebaliknya, pihak pemerintah membutuhkan
dana untuk
melakukan kegiatan politik-politiknya yang didukung oleh pihak
pemilik modal.
Singkatnya kancah maupun perjalanan politik bangsa kita juga tidak
bisa lepas
dari pengaruh industri.
kemukakan karena menurut penulis hal ini cukup relevan dengan
permasalahan
yang akan diteliti oleh penulis. Industri sebagai konsekuensi
kemajuan dari
terapan ilmiah dan industri juga berkaitan langsung dengan hukum
ekonomi,
18 Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung
: Mizan), 1991,
hal. 176
masyarakat. Masyarakat baik segi-segi nilai maupun fisik, dalam
segi nilai,
industri akan menghasilkan masyarakat yang berorientasi pada
materialis,
hubungan fungsional, modern, kompetitif, rasional dan heterogen.
Sedangkan kita
ketahui bahwa pesantren (utamanya salafy) adalah lembaga yang
memproduksi
nilai-nilai seperti kesederhanaan, kebersamaan, tradisional,
religius, homogen,
akhlak dan nilai-nilai luhur.19 Dari perbedaan kedua kutub dari
nilai-nilai, etika,
pemahaman-diri, dan tafsiran cultural tersebut akan mempengaruhi
bentuk dari
interaksi intersubjektif dalam masyarakat.
C. AGAMA DAN POLITIK
dengan Tuhan, pada dasarnya sudah berbekas pada individu,
bagaimanapun dalam
masyarakat yang sudah mapan atau belum, agama merupakan salah satu
struktur
institusional mempunyai nilai dan norma penting ang melengkapi
keseluruhan
sistem sosial.
tersendiri
pemahaman bagi pemeluknya sangat beragam dan bermacam-macam,
menurut
Abdullah, sebagaimana dikutip oleh Imam dan Tobroni, agama
merupakan
landasan terbentuknya suatu masyarakat yang kognitif. Artinya,
agama
19 Ibid, h.2
merupakan awal dari terbentuknya suatu komunitas atau kesatuan
hidup yang
diikat oleh keyakinan akan kebenaran hakiki yang sama yang
memungkinkan
berlakunya suatu patokan pengetahuan yang sama.20 untuk itu dapat
dikatakan
bahwa pada umumnya orang percaya pada agama yang bersifat holistik
sebagai
alat untuk mencerna kehidupan. Bahwa agama memberi panduan, nilai,
moral,
dan etika perilaku dalam bentuknya yang universal.
Apa yang diungkapakan dalam definsi prilaku, bahwasanya
perilaku
tidaklah akan tetap, dan pada suatu saat dapat mengalami pergerakan
atau
perubahan akan terlihat seiring dengan sosio-kulturalnya dan
perkembangan
seseorang tersebut.
Ada beerapa unsur pokok tujuan politik untuk mendapatkan
kekuasaan
yang dapat dijumpai pada interaksi sosial antar manusia ataupun
antara kelompok
yaitu adanya unsur takut. adanya unsur rasa cinta, adanya unsur
pemujaan dan
adanya unsur kepercayaan.21
Jadi prilaku politik adalah tingkah laku terorganisir dalam upaya
mencapai
tujuan politik dengan unsur-unsur yang sistematis, bagi David
Easton, perilaku
politik pertama terdri dari alokasi nilai-nilai yang kemudian
pengapikasianya
tersebut bersifat mengikat terhadap masarakat secara
keseluruhan.
Identifikasi prilaku politik yang menyangkut proses penentuan
tujuan-
tujuan adalah sebagai berikut:
20 Imam Suprayogo dan Tobroni, metodologi penelitian sosial Agama,
(bandung: PT.
Remaja Rosda Karya), h. 16 21 Uswah, “Agama dan Politik :
Studi Kasus Pada Dewan Pimpinan Pusat (Dpp)Partai
Amanat Nasioanl”, ( Skripsi S1 Fakultas Ushuludin dan Filsafat,
Universitas Islam Negri Jakarta , 2007), h. 30
28
Dari ketiga tipe di atas untuk melaksanakanya memerlukan
kekuasaan
(power) dan kewenagnan (authority), untuk membina kerjasama maupun
untuk
melaksanakan konflik yang mungkin dalam proses itu akan terjadi.
Banyak cara
yang dilakukan seseorang dalam menyampaikan tujuannya seperti
persuasi dan
paksaan.
seseorang. Namun yang menjadi sorotan penting adalah gejala-gejala
yang timbul
dalam penguasaan sekelompok orang yang berkuasa terhadap berbagai
kelompok
rakyat banyak yang dipandang sebagai usaha penataan umat.
D. PENGERTIAN BUDAYA POLITIK
Ada banyak ahli politik yang mengkaji tema budaya politik,
sehingga
terdapat banyak konsep tentang budaya politik salah satu sarjana
yang
berpengaruh dan banyak memberikan sumbangan besar terhadap
perkembangan
budaya politik adalah Gabriel A. Almond. Dalam karyanya yang
ditulis bersama
Sidney Verba berjudul The Civic Culture, Ia menyatakan, Istilah
budaya politik
terutama mnegacu pada orientasi politik, sikap terhadap sistem
politik dan bagian-
bagianya yang lain serta sikap peranan kita sendiri dalam sistem
tersebut. Adpun
beberapa ahli lain menyatakan sebagai berikut:
29
1. Kay Lawson (1989) menyatakan: a political culture, that is,
there is a set
of overtly political values, which defines the situation in which
political
action takes place (suatu budaya politik, yaitu terdapatnya satu
perangkat
yang meliputi seluruh nilai-nilai politik, yang terdapat di seluruh
bangsa).
2. Sidney Verba (1995) menyatakan: political culture is the sistem
of
empirical beliefs, eksvressive simbol, and values, which define
the
situation in political action takes place (budaya politik adalah
suatu sistem
kepercayaan empirik, simbol-simbol eskpresif, dan nilai-nilai
yang
menegaskan suatu situasi di mana tindakan politik dilakukan).
3. Alan R. Ball (1971) menyatakan: a political culture is composed
of the
attitudes, beliefs, emotions and values society that relate to the
political
sistem and to political issus (budaya politik adalah suatu susunan
yang
terdiri atas sikap, kepercayaan, emosi, dan nilai-nilai masyarakat
yang
berhubungan dengan sistem politik dan isu-isu politik).22
Budaya politik merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat
dengan
cirri-ciri yang lebih khas. Istilah budaya politik masalah
legitimasi, pengaturan
kekuasaan, proses pembuatan kebijakan pemerintah, kegiatan
partai-partai
politik, perilaku aparat negara, serta gejolak masyarakat terhadap
kekuasaan yang
memerintah. Kegiatan politik juga saling memasuki dan mempengaruhi
dengan
dunia keagamaan, kegiatan ekonmi dan sosial, kehidupan pribadi dan
sosial secara
luas.
22 Uwes Fatoni, “Politik Tradisional, Transisi dan Modern”, artikel
diakses tanggal 17
Februari 2010 dari http//www.scribd.com/index.php
Gabriel A. Almond berpendapat bahwa budaya politik merupakan
dimensi
psikologi dari sistem politik, yang mana budaya politik besumber
pada penalaran-
penalaran yang sadar. Konsep budaya politik terdiri atas sikap,
keyakinan, nilai-
nilai dan keterampilan yang sedang berlaku pada seluruh anggota
masyarakat
termasuk pada kebisaaan yang hidup pada masyarakat.
Yang telah dipaparkan di atas adalah konsep dari budaya
politik
sedangkan untuk definisinya adalah sebagai berikut:
1. Budaya politik adalah aspek politik dari nilai-nilai yang
terdiri atas
pengetahuan, adat-istiadat, takhayul, dan mitos. Kesemuanya dikenal
dan
diakui oleh sebagian besar masyarakat. Budaya politik
tersebut
memberikan rasional untuk menerima atau menolak nilai-nilai dan
norma
lain.
2. Budaya politik dapat diihat dari aspek doktrin dan aspek
generiknya. Yang
pertama menekankan pada isi atau materi, seperti sosialisme,
demokrasi,
dan nasionalisme. Yang kedua apek generik menganalisis bentuk,
peranan,
dan ciri-ciri budaya politik, seperti militant, utopis, terbuka,
dan tertutup.
3. Hakikat dari ciri budaya olitik adalah prinsip dasar yang
melandasi suatu
pandangan hidup yang berhubungan dengan masalah tujuan.
4. Bentuk budaya politk menyangkut sikap dan norma, yaitu sikap
terbuka
dan tertutup, tingkat militansi seseorang terhadap orang lain
dalam
pergaulan masyarakat. Pola kepemimpinan (konformitas atau
mendorong
inisiatif kebebasan), sikap terhadap mobilitas (mempertahankan
status quo
31
politik).23
mengedepankan aspek-aspek nonperilaku actual seperti orientasi,
sikap, nilai-
nilai, dan kepercayaan-kepercayaan. Kedua, hal-hal yang
diorientasikan dalam
budaya politik adalah sistem politik, artinya setiap berbicara
budaya politik maka
tidak akan lepas dari perbicaraan kaum politik. Hal-hal yang
diorientasikan dalam
sistem politik, yaitu setiap komponen-komponen yang terdiri dari
komponen-
komponen struktur dan fungsi dalam sistem politik. Ketiga, budaya
politik
merupakan deskripsi konseptual yang menggambarkan
komponen-komponen
budaya politik dalam tataran massif bukan pada tataran
individu.
D.2. Tipe-Tipe Budaya Politik
1. Berdasarkan Pola Otoritas
Gagasan mengenai norma-norma atau tatanan yang legitim
mengenai
masyarakat, Weber membuat tiga garis besar untuk tiga tipe ideal
tatanan atau
otoritas yang legitim. Pertama, Otoritas tradisional. Otoritas yang
didasarkan pada
penerimaan kesucian aturan-aturan karena aturan-aturan tersebut
telah lama ada
dan dalam legitimasi mereka yang telah mewariskan hak untuk
memerintah
dengan aturan-aturan tersebut. Dalam tatanan tradisional individu
merasakan
loyalitas terhadap masa lalu dan mereka yang mewakili masa lalu
itu, sebuah
23Uwes Fatoni, “Politik Tradisional, Transisi dan Modern”, artikel
diakses tanggal 17
Februari 2010 dari http//www.scribd.com/index.php
kesakralan peristiwa-peristiwa sejarah tertentu.
kualitas-kualitas pribadi terkemuka dari individu-individu yang
luar bisaa yang
kesuciannya, heroismenya atau keutamaannya memungkinkan mereka
untuk
memerintah sejumlah besar orang dalam hubungan-hubungan langsung.
Kharisma
dilukiskan sebagai kualitas-kualitas adimanusiawi yang seperti pada
para nabi
atau para pahlawan militer yang memungkinkan mereka untuk
memaksakan
gagasan-gagasan dan nilai-nilai mereka sendiri pada seluruh
kelompok.
Ketiga, otoritas rasional atau legal. Otoritas jenis ini didasarkan
pada
sebuah kepercayaan akan ‘legalitas’ aturan-aturan tertentu yang
berarti bahwa
mereka yang memunculkan aturan-aturan itu memiliki hak untuk
melakukan itu
menurut aturan-aturan yang masih lebih dulu lagi yang mendasari dia
sehingga
memiliki hal untuk memerintah. Di dalam tatanan yang rasional
memungkinkan
individu mengetahui aturan-aturan mana yang secara formal betul dan
telah
dipaksakan dengan sebuah prosedur yang diterima. Sebuah tatanan
impersonal
yang tidak tergantung pada kualitas-kualitas individu-individu yang
menciptakan
aturan-aturan atau pada status mereka sebagai penjaga-penjaga
tradisi.
Distingsi-distingsi di atas dapat menjelaskan bahwa para penguasa
dalam
batas-batas tatanan mereka jika ingin mereka tidak ingin kehilangan
kekuatannya
untuk memerintah. Dalam otoritas tradisional misalnya, sang
penguasa dituntut
untuk mengikuti praktik-praktik yang lazim, seperti para pemimpin
tradisi Watu
Telu di Nusa Tenggara Timur yang melakukan puasa pada bulan
tertentu; dalam
kasus otoritas kharismatis seorang pemimpin harus menunjukan
33
adimanusiawinya, seperti kaisar Cina akan dipecat apabila di
daerahnya terjadi
banjir bandang yang akan mempermalukan dirinya; dalam otoritas
legal pemimin
harus mematuhi hukum apabila ia ingin tetap berkuasa.24
2. Berdasarkan Orientasi
menggolongkan orientasi warga negara terhadap kehidupan politik
dan
pemerintahanya berdasarkan dari sikap, nilai-nilai, informasi dan
kecakapan
politik. Orang yang melibatkan dirinya dalam kegiatan politik
setidaknya dalam
pemberian suara (voting) dan ketertarikan terhadap informasi
politik dapat
dinamakan sebagai budaya politik partisipan, sedangkan orang yang
pasif dan
hanya patuh terhadap pemerintah dengan ikut pemilu dinamakan
politik subyek.
Golongan ketiga adalah golongan yang sama sekali tidak menyadari
adanya
pemerintahan dan politik, disebut budaya politik parokhial.
25
Menurut Almond, terdapat tiga model dalam kebudayaan politik
atau
model orientasi terhadap pemerintahan dan politik.
1) Masyarakat demokratis industrial.
Dalam sistem ini terdapat cukup banyak aktivis politik yang
akan
menjamin adanya kompetisi partai-partai politik dan kehadiran
pemberi
suara yang besar selain itu juga terdapat banyak publik peminat
politik
yang selalu mendiskusikan secara kritis moral-moral kemasyarakatan
dan
24 Tom Campbell, Tujuh Teori Sosial Terjemah F. Budi Hardiman
(Jakarta: Kanisius,
1994), hal. 213-214 25 Trubus Rahardia, Pengantar Ilmu
Politik: Konsep Dasar, Paradigma dan
Pendekatanya, (Jakarta: Trisakti, 2006), hal. 278
34
kebijaksanaan baru dan melindungi kepentingan khusus mereka.
2) Sistem otoriter.
protes yang agresif.
Dalam Negara dengan model seperti ini, hanya sedikit sekali
partisipan
yang terutama dari pofesional dan terpelajar. Kebanyakan dari
warga
Negara memiliki pengetahuan dan keterlibatan yang sangat terbatas
dalam
kehidupan politik.26
Pada negara yang memiliki sistem ekonomi dan teknologi yang
kompleks,
menuntut kerja sama yang luas untuk memperpadukan modal dan
keterampilan.
Jiwa kerja sama dapat diukur dari sikap orang terhadap orang lain.
Pada
kondisi ini budaya politik memiliki kecenderungan sikap ”militan”
atau
sifat ”toleransi”.
mencari alternatif yang terbaik, tetapi dipandang sebagai usaha
jahat
26 Rahardia, Pengantar Ilmu Politik: Konsep Dasar, Paradigma dan
Pendekatanya, hal. 278
35
dan menantang. Bila terjadi kriris, maka yang dicari adalah
kambing
hitamnya, bukan disebabkan oleh peraturan yang salah, dan
masalah yang mempribadi selalu sensitif dan membakar
emosi.
mana selalu membuka pintu untuk bekerja sama. Sikap netral
atau
kritis terhadap ide orang, tetapi bukan curiga terhadap
orang.
Jika pernyataan umum dari pimpinan masyarakat bernada sangat
militan, maka hal itu dapat menciptakan ketegangan dan menumbuhkan
konflik.
Kesemuanya itu menutup jalan bagi pertumbuhan kerja sama.
Pernyataan dengan
jiwa tolerasi hampir selalu mengundang kerja sama. Berdasarkan
sikap terhadap
tradisi dan perubahan. Budaya Politik terbagi atas :
a. Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental Absolut
Budaya politik yang mempunyai sikap mental yang absolut
memiliki nilai-nilai dan kepercayaan yang. dianggap selalu
sempurna dan tak dapat diubah lagi. Usaha yang diperlukan
adalah
intensifikasi dari kepercayaan, bukan kebaikan. Pola pikir
demikian
hanya memberikan perhatian pada apa yang selaras dengan
mentalnya dan menolak atau menyerang hal-hal yang baru atau
yang berlainan (bertentangan). Budaya politik yang bernada
absolut
bisa tumbuh dari tradisi, jarang bersifat kritis terhadap
tradisi,
36
memungkinkan pertumbuhan unsur baru.
sedia menerima apa saja yang dianggap berharga. Ia dapat
melepaskan ikatan tradisi, kritis terhadap diri sendiri, dan
bersedia
menilai kembali tradisi berdasarkan perkembangan masa kini.
Tipe absolut dari budaya politik sering menganggap perubahan
sebagai
suatu yang membahayakan. Tiap perkembangan baru dianggap sebagai
suatu
tantangan yang berbahaya yang harus dikendalikan. Perubahan
dianggap
sebagai penyimpangan. Tipe akomodatif dari budaya politik melihat
perubahan
hanya sebagai salah satu masalah untuk dipikirkan. Perubahan
mendorong
usaha perbaikan dan pemecahan yang lebih sempurna.
D.3. Komponen-Komponen Budaya Politik
Seperti dikatakan oleh Gabriel A. Almond dan G. Bingham Powell,
Jr.,
bahwa budaya politik merupakan dimensi psikologis dalam suatu
sistem politik.
Maksud dari pernyataan ini menurut Ranney, adalah karena budaya
politik menjadi
satu lingkungan psikologis, bagi terselenggaranya konflik-konflik
politik
(dinamika politik) dan terjadinya proses pembuatan kebijakan
politik. Sebagai
suatu lingkungan psikologis, maka komponen-komponen berisikan
unsur-unsur
psikis dalam diri masyarakat yang terkategori menjadi beberapa
unsur.
37
Menurut Ranney, terdapat dua komponen utama dari budaya politik,
yaitu
orientasi kognitif (cognitive orientations) dan orientasi afektif
(affective
oreintatations). Sementara itu, Almond dan Verba dengan lebih
komprehensif
mengacu pada apa yang dirumuskan Parsons dan Shils tentang
klasifikasi tipe-tipe
orientasi, bahwa budaya politik mengandung tiga komponen obyek
politik sebagai
berikut.
pada politik, peranan dan segala kewajibannya serta
input dan outputnya.
para aktor dan pe-nampilannya.
obyek politik yang secara tipikal melibatkan standar
nilai dan kriteria dengan informasi dan perasaan.27
E. KERANGKA KONSEPTUAL
modernisasi karena industrialisasi merupakan bagian dari
modernisasi.
Transformasi industrial mempunyai konsekwensi yang amat luas,
karena
industrialisasi merupakan proses perubahan sosial yaitu perubahan
susunan
kemasyarakatan dari sistem sosial pra industri (agraris) ke sistem
sosial
27 Uwes Fatoni, “Politik Tradisional, Transisi dan Modern”, artikel
diakses tanggal 17
Februari 2010 dari http//www.scribd.com/index.php
38
industrial. Terkait dengan hal ini dalam pandangan teori “ pattern
Variables” yang
dikembangkan Parsons, Perubahan dari masyarakat tradisional ke
masyarakat
industri dan moderen juga berarti perubahan dari :
a. Affectivity to affective neutrality, pengaruh langsung bagi
perbahan ini
bagi proses industrialisasi ialah terbentuknya modal yang
diperlukan ,
juga menandai hubungan-hubungan sosial dalam masyarakat
industrial
yang bersifat contractual, impersonal dan calculating.
b. Particularism to universalism, Industrialisasi cenderung
mengikis
keekslusivan partikularistis seperti keekslusifan rasial, warna
kulit
maupun keturunan.
industrialisasi adalah perubahan dari sistem penghargaan prestise
ke
sistem penghargaan karena prestasi.
d. Diffuseness to specivicity, ialah perubahan dari sistem sosial
yang
berlingkup luas dan membatasi hubungannya pada hubungan yang
bersifat khusus28.
berbagai aspek kehidupan dan sruktur masyarakat, baik dalam bidang
ekonomi,
sosial budaya, institusi-institusi kemasyarakatan dan agama bahkan
keluarga.
Beberapa ahli telah memunculkan beberapa pendekatan dalam memotret
dan
menganalisis perubahan sosial dan pola hubungan masyarakat. Di
antaranya yang
28 Talcot Parsons and American Sosiologi, sebagaimana dikutip
Nurkholis Madjid, Islam
Kemoderenan dan Ke-Indonesiaan, (Bandung : Mizan) 1987, hal 141-142
39
penulis anggap cukup. relevan diterapkan dalam kajian ini, di
antaranya teori
struktural fungsional dan teori Interactions medium yang
diperkenalkan oleh
Talcott persons (1937).
Dalam teori fungsional struktural memandang masyarakat secara
makroskopis. Ada dua asumsi dasar dalam pendektan ini. Asumsi
pertama adalah
bahwa masyarakat merupakan suatu sistem yang terbentuk dari sub
strutur-sub
struktur yang saling tergantung (interdependen) antara yang satu
dengan yang
lainnya sedemikian, sehingga perubahan pada satu bagian secara
otomatis
mempengaruhi bagian-bagian lainnya. Upaya analisis sosiologis
dengan demikan
menemukan apa mempengaruhi apa. Asumsi kedua, adalah bahwa setiap
struktur
atau aktifitas yang mapan (established) memiliki fungsi untuk
mempertahankan
aktifitas-aktifitas atau struktur lain dalam suatu sistem sosial.
Beberapa contoh
struktur dalam hal ini , keluarga, ekonomi, pendidikan, politik,
agama, keluarga
dan sebagainya29.
makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian
Indonesia
(indegenous). Sebagai lembaga indegenous , pesantren muncul dan
berkembang
dari pengalaman sosiologis masyarakat lingkungannya. Dengan kata
lain
pesantren mempunyai keterkaitan erat yang tidak bisa dipisahkan
dengan
komunitas lingkungannya.
Kenyataan ini dapat dilihat tidak hanya dari latar belakang
pendirian
pesantren pada satu lingkungan tertentu, tetapi juga dalam
pemeliharaan eksistensi
29 Soerjono soekanto, Beberapa teori Sosiologi tentang Struktur
Masyarakat ( Jakarta : Rajawali) 1983
40
pesantren itu sendiri melalui pemberian wakaf, shadaqah, ibadah dan
sebagainya.
Sebaliknya pesantren pada umumnya melakukakan “membalas jasa”
komunitas
lingkungannya dengan bermacam cara, tidak hanya dalam bentuk
memberikan
pelayanan pendidikan dan keagamaan, tetapi juga bimbingan sosial,
kultural, dan
ekonomi bagi masyarakat lingkungannya. Dalam konteks inilah
pesantren dan
kiyainya memainkan peran yang disebut Clifford Geertz sebagai “
cultural
brokers” dalam pengertian yang seluas-luasnya.30
Perubahan sosial, ekonomi, politik secara otomatis turut
memberikan
warna dan pengaruhnya terhadap eksistensi dan dinamika pesantren
itu sendiri.
Beberapa perubahan dalam internal pesantren dan hubungnnya dengan
pengaruh
luar adalah, perubahan menjadi sistem kelas. Namun demikian bukan
berarti
mendudukan pesantren sebagai obyek perubahan yang pasif, sebab
pesantren juga
merupakan institusi yang independen dan memiliki jati diri dan
kekhasannya
sendiri.
Pada sisi lain pesantren sebagai lembaga pendidikan dan sosial
dipandang
memiliki posisi yang strategis dalam melakukan perubahan dan
pembangunan
bagi masyarakat sekitarnya, hal itu telah terbukti selama beberapa
abad
keberadaan pesantren dengan komitemen meneguhkan sosial
kepada
masyarakatnya. Pesantren memiliki modal yang kuat dalam melakukan
interaksi
dengan masyarakatnya.
oleh Parsons yaitu model “media interaksi” (interactions medium).
Media,
30 Clifford Geertz, Abangan, Santri, Kiyai dalam Masyarakat Jawa,
(Jakarta : Pustaka jaya), 1981
41
ketika berinteraksi dengan kelompok atau sektor masyarakat lain.
Walaupun teori
ini pada mulanya disusun berdasarkan analisis interaksi antara ego
dan alter ego,
namun kemudian juga digunakan untuk