+ All Categories
Home > Documents > G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

G¡ +Ý o ¯2Ù{´ ¯2lµ o

Date post: 18-Oct-2021
Category:
Author: others
View: 0 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
Embed Size (px)
of 133 /133
KATA PENGANTAR ¯2Ù{´ G¡+Ýo ¯2lµo Puji syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat dan karunianya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “PENGARUH INDUSTRIALISASI DAN PONDOK PESANTREN NAHDJUSSALAM TERHADAP BUDAYA POLITIK MASYARAKAT KAMPUNG PANYAWUNGAN” sebagai bentuk artikulasi penulis dan bagian dari tugas penulis sebagai akademisi di Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi khususnya di program studi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tak lupa pula shalawat beserta salam yang tak henti-henti semoga selalu tercurah limpahkan kehadirat baginda besar kita Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umatnya kepada kebenaran hakiki. Andai saja orangtua tidak memiliki angan untuk keadaan yang lebih baik bagi anaknya, penulis tidak akan pernah menjadi pegejar impian. Angan orangtua dan impian si anak disambut tangan kedermawanan Ardita Retno Caesari hingga si anak mengecap jenjang pendidikan tinggi. Skripsi ini merupakan bagian dedikasi dan penghargaan kepada mereka yang telah banyak melimpah-ruahkan kasih sayangnya. Maka tidak heran jika skripsi ini banyak mengambil data dari hasil rekaman hidup penulis jauh di masa lalu. Terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak yang selama ini telah banyak sekali membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini sampai akhir. Sebagai bentuk penghargaan yang tak terhingga kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam merampungkan skripsi ini, maka izinkanlah penulis mengungkapkan ucapan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada : 1. Kepada Bapak Dr. Arief Subhan MA, sebagai Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi. Drs. Wahidin Saputra MA, sebagai ii
Transcript
menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “PENGARUH INDUSTRIALISASI
DAN PONDOK PESANTREN NAHDJUSSALAM TERHADAP BUDAYA
POLITIK MASYARAKAT KAMPUNG PANYAWUNGAN” sebagai bentuk
artikulasi penulis dan bagian dari tugas penulis sebagai akademisi di Fakultas
Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi khususnya di program studi Komunikasi dan
Penyiaran Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tak lupa pula shalawat beserta
salam yang tak henti-henti semoga selalu tercurah limpahkan kehadirat baginda
besar kita Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umatnya kepada
kebenaran hakiki.
Andai saja orangtua tidak memiliki angan untuk keadaan yang lebih baik
bagi anaknya, penulis tidak akan pernah menjadi pegejar impian. Angan orangtua
dan impian si anak disambut tangan kedermawanan Ardita Retno Caesari hingga
si anak mengecap jenjang pendidikan tinggi.
Skripsi ini merupakan bagian dedikasi dan penghargaan kepada mereka
yang telah banyak melimpah-ruahkan kasih sayangnya. Maka tidak heran jika
skripsi ini banyak mengambil data dari hasil rekaman hidup penulis jauh di masa
lalu.
Terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan dari
berbagai pihak yang selama ini telah banyak sekali membantu penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini sampai akhir. Sebagai bentuk penghargaan yang tak
terhingga kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam
merampungkan skripsi ini, maka izinkanlah penulis mengungkapkan ucapan
terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada :
1. Kepada Bapak Dr. Arief Subhan MA, sebagai Dekan Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi. Drs. Wahidin Saputra MA, sebagai
ii   
Pembantu Dekan Bidang Akademik. Drs. Mahmud Djalal MA, sebagai
Pembantu Dekan Bidang Administrasi Umum dan Keuangan. Dan Drs.
Study Rizal, LK. MA, sebagai Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan.
2. Kepada bapak Drs. Jumroni M.Si, sebagai Ketua Jurusan Komunikasi dan
Penyiaran Islam (KPI), dan ibu Umi Musyarofah MA, sebagai sekretaris
Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), yang telah membantu dalam
memberikan informasi akademik dan penyusunan transkip nilai penulis.
Dan kepada ibu Dra. Hj. Asriati Jamil sebagai Dosen Penasihat akademik
KPI C angkatan 2006, yang telah memberikan bantuan dalam penyusunan
proposal skripsi ini.
yaitu bapak Dr. Syihabudin Noor, M.Ag, yang telah banyak meluangkan
waktunya untuk membantu, mengarahkan, membimbing, memberi
masukan, saran serta kritiknya yang membangun dalam penyelesaian
skripsi ini. Terima kasih atas kesabaran bapak dalam memberikan
bimbingan ini.
4. Kepada segenap dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, saya
ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya karena telah membantu
memberi masukan penulis mengenai penelitian ini.
5. Pimpinan dan seluruh Staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi.
6. Keluarga besar Pondok Pesantren Nahdjussalam yang telah mengijinkan
penulis untuk melakukan penelitian di institusi tersebut. Sifat kooperatif
seluruh keluarga dalam penelitian ini, semoga berbalik manfaat bagi
eksistensi pondok.
7. Terimakasih kepada KH. Athoillah, ustadz Bibin, ustadz Dede Abdul
Kholik, ustadz Tb. Cecep, bapak Dudung, bapak Iin Zainal Abidin, bapak
Iwan M. Fallah, bapak E. Zaenudin, seluruh pemuda Seuweu Putu, Karang
Taruna RW. 03, aparat Desa, serta seluruh masyarakat yang telah
iii   
iv   
data yang penulis ambil tanpa sepengetahuan kalian).
8. Untuk teman-teman KPI C angkatan 2006, khususnya Pipit Pitriani. Jika
bukan semangat dan dukungannya skripsi ini bukan di bulan Juli. Semoga
terus menjadi inspirasi untuk meraih kebahagian yang tidak dikotomis.
Akhirnya penulis hanya dapat mengucapkan terimakasih yang sebesar-
besarnya, hanya ucapan inilah yang dapat penulis berikan, semoga Allah SWT
yang akan membalas semua kebaikan kalian. Amin Ya Robbal Alamin.
Ciputat, 23 Juni 2010
Sudah satu abad lebih pondok pesantren Nahdjussalam memberikan
pengaruh terhadap masyarakat sekitar di segala sendi sistem-sistem yang ada di
masyarakat. Sifat ekslusif pesantren Nahdjussalam menjadikan pesantren tidak
lepas dari pengaruh-pengaruh luar seperti dampak-dampak industrialisasi dalam
arti yang seluas-luasnya. Keberadaan pesantren dan industrialisasi di wilayah
Panyawungan tentu akan memberi bentuk baru masyarakat dalam orientasi
makna, nilai dan seperangkat kepercayaan politik masyarakat Panyawungan.
Dari permasalahan dan asumsi di atas, menimbulkan pertanyaan;
Bagaimana sikap, keyakinan, nilai-nilai dan kepercayaan politik masyarakat
kampung panyawungan? Seperti apa budaya politik masyarakat yang dipengaruhi
oleh pesantren dan industrialisasi: dilihat dari aspek doktrin atau isi dan materi,
dan dari apek generik seperti bentuk, peranan, dan ciri-ciri budaya politik seperti
militan, utopis, terbuka, dan tertutup?
Penelitian ini menggunakan paradigma kualitatif dan menggunakan
metode deskriftip kualitatif untuk menyajikan temuan-temuan yang ada di
lapangan.
hubungan fungsional, modern, kompetitif, rasional dan heterogen. Sedangkan kita
ketahui bahwa pesantren (utamanya salafy) adalah lembaga yang memproduksi
nilai-nilai seperti kesederhanaan, kebersamaan, tradisional, religius, homogen,
akhlak dan nilai-nilai luhur. Dari perbedaan kedua kutub dari nilai-nilai, etika,
pemahaman-diri, dan tafsiran kultural tersebut akan mempengaruhi bentuk dari
interaksi intersubjektif dalam masyarakat.
normatif semata, tapi mereka sudah mulai mempertimbangkan asas fungsional.
Perubahan-perubahan yang terjadi pada “kaum elit” baik dalam posisi sebagai
subjek maupun objek transformasi, pada akhirnya juga berimplikasi pada proses
transformasi “bawah” masyarakat dan lingkungannya.
i  
menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “PENGARUH INDUSTRIALISASI
DAN PONDOK PESANTREN NAHDJUSSALAM TERHADAP BUDAYA
POLITIK MASYARAKAT KAMPUNG PANYAWUNGAN” sebagai bentuk
artikulasi penulis dan bagian dari tugas penulis sebagai akademisi di Fakultas
Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi khususnya di program studi Komunikasi dan
Penyiaran Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tak lupa pula shalawat beserta
salam yang tak henti-henti semoga selalu tercurah limpahkan kehadirat baginda
besar kita Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umatnya kepada
kebenaran hakiki.
Andai saja orangtua tidak memiliki angan untuk keadaan yang lebih baik
bagi anaknya, penulis tidak akan pernah menjadi pegejar impian. Angan orangtua
dan impian si anak disambut tangan kedermawanan Ardita Retno Caesari hingga
si anak mengecap jenjang pendidikan tinggi.
Skripsi ini merupakan bagian dedikasi dan penghargaan kepada mereka
yang telah banyak melimpah-ruahkan kasih sayangnya. Maka tidak heran jika
skripsi ini banyak mengambil data dari hasil rekaman hidup penulis jauh di masa
lalu.
Terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan dari
berbagai pihak yang selama ini telah banyak sekali membantu penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini sampai akhir. Sebagai bentuk penghargaan yang tak
terhingga kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam
merampungkan skripsi ini, maka izinkanlah penulis mengungkapkan ucapan
terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada :
1. Kepada Bapak Dr. Arief Subhan MA, sebagai Dekan Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi. Drs. Wahidin Saputra MA, sebagai
Pembantu Dekan Bidang Akademik. Drs. Mahmud Djalal MA, sebagai
ii  
Pembantu Dekan Bidang Administrasi Umum dan Keuangan. Dan Drs.
Study Rizal, LK. MA, sebagai Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan.
2. Kepada bapak Drs. Jumroni M.Si, sebagai Ketua Jurusan Komunikasi dan
Penyiaran Islam (KPI), dan ibu Umi Musyarofah MA, sebagai sekretaris
Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), yang telah membantu dalam
memberikan informasi akademik dan penyusunan transkip nilai penulis.
Dan kepada ibu Dra. Hj. Asriati Jamil sebagai Dosen Penasihat akademik
KPI C angkatan 2006, yang telah memberikan bantuan dalam penyusunan
proposal skripsi ini.
yaitu bapak Dr. Syihabudin Noor, M.Ag, yang telah banyak meluangkan
waktunya untuk membantu, mengarahkan, membimbing, memberi
masukan, saran serta kritiknya yang membangun dalam penyelesaian
skripsi ini. Terima kasih atas kesabaran bapak dalam memberikan
bimbingan ini.
4. Kepada segenap dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, saya
ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya karena telah membantu
memberi masukan penulis mengenai penelitian ini.
5. Pimpinan dan seluruh Staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi.
6. Keluarga besar Pondok Pesantren Nahdjussalam yang telah mengijinkan
penulis untuk melakukan penelitian di institusi tersebut. Sifat kooperatif
seluruh keluarga dalam penelitian ini, semoga berbalik manfaat bagi
eksistensi pondok.
7. Terimakasih kepada KH. Athoillah, ustadz Bibin, ustadz Dede Abdul
Kholik, ustadz Tb. Cecep, bapak Dudung, bapak Iin Zainal Abidin, bapak
Iwan M. Fallah, bapak E. Zaenudin, seluruh pemuda Seuweu Putu, Karang
Taruna RW. 03, aparat Desa, serta seluruh masyarakat yang telah
iii  
data yang penulis ambil tanpa sepengetahuan kalian).
8. Untuk teman-teman KPI C angkatan 2006, khususnya Pipit Pitriani. Jika
bukan semangat dan dukungannya skripsi ini bukan di bulan Juli. Semoga
terus menjadi inspirasi untuk meraih kebahagian yang tidak dikotomis.
Akhirnya penulis hanya dapat mengucapkan terimakasih yang sebesar-
besarnya, hanya ucapan inilah yang dapat penulis berikan, semoga Allah SWT
yang akan membalas semua kebaikan kalian. Amin Ya Robbal Alamin.
Ciputat, 23 Juni 2010
B. Batasan dan Rumusan Masalah .................................................................... 5
A.1. Sejarah Pesantren ......................................................................... 12
Dan Unsur-Unsur Pesantren  .............................................. 15 
D. Metodologi Penelitian .................................................................................. 8
E. Tinjauan Pustaka .......................................................................................... 9
F. Sistematika Penulisan ................................................................................ 10
A.2. Tipelogi
B. Pengertian Industrialisasi  .......................................................................... 18
B.1. Pengertian Industrialisasi ............................................................. 18
v  
3. Kyai Sambas (1977 – 1980) Persentuhan Pesantren dan Politik  ............................................................................................................ 52
Athoillah (1980 – Sekarang) Masa Transisi Pesantren ....... 53
B.
D.2. Tipe-Tipe Budaya Politik .................................................................. 31
1. Berdasarkan Pola Otoritas  ........................................................ 31
3. Berdasarkan Sikap Yang Ditunjukan ....................................... 34
D.3. Komponen-Komponen Budaya Politik .......................................... 36 
angka Konseptual ................................................................................. 37
mbaran Umum Pesantren Nahdjussalam .................................................. 43
A.1. Sejarah dan Sepak Terjang Pondok Pesantren .............................. 43
1. Kh. Kholil (1916 – 1947) Masa Perintisan dan Perluasan Jaringan ............................................................................................. 46
4. Kh.
2.1. Tradisi Pesantren ........................................................................ 54
A.3. Ekonomi Pesantren ........................................................................... 60
A.5. Hubungan Pesantren dengan Birokrasi Desa ................................. 65
Kondisi Georafis dan Demografi Kp. Panyawungan ................................... 68
vi  
B.2. Gambaran Umum Wilayah dan Demografi Masyarakat .............. 69
B.3. Kehidupan Ekonomi dan Pendidikan Penduduk ........................... 72
BAB IV
PERUBAH PANYAW
A. Arti
D. Aren Kam
PENUTUP
AN BUDAYA POLITIK PADA MASYARAKAT KAMPUNG UGAN
kulasi Politik Pesantren Nahdjussalam Paska Reformasi ..................... 76
ha yang Diberikan Industri Terhadap Pesantren: Antara Pemberdayaan
C. Pesantren Dan Industri Dalam Pemilihan Kepala Desa ............................... 83
a Kerjasama dan Konflik Yang Sedang Terjadi di Masyarakat pung Panyawungan ................................................................................... 86
D. 1. Komite Pembentukan Cileunyi Kidul: Aliansi Kepentingan Antar Elite yang Sudah Mapan ........................................................... 86
D. 2. Konflik Antara Ke-RW-an dan Karang Taruna: Tarik Menarik
BAB V
2. Strategi Silang Perkawinan Oleh KH. Kholil ........................................ 46 
ni Afandi dan Bani Kholil ......................... 48 
iagram 7. Struktur Komite Pembentukan Desa Cileunyi Kidul ............................ 89
iagram 8. Hubungan Kekerabatan Elite Komite Cileunyi Kidul ......................... 90
Diagram
Diagram 4. Hubungan Kekerabatan Bani Syarif dan Bani Kholil ........................... 48 
Diagram 5. Silang Hubungan Kekerabatan dengan Pesantren Luar ......................... 49 
Diagram 6. Struktur Organisasi Pondok ..................................................................... 59
D  
D
viii  
Tabel 2. Tipologi Pendidikan Pendidikan ................................................................... 73 
Tabel 3. Daftar Langgar ................................................................................................ 75 
 
 
Gambar 3. Peta Desa Cileunyi Wetan ......................................................................... 68 
Gambar 4. KH. Athoillah dan Bapak Deding Ishak (Calon Bupati Bandung)  ..... 77
Gambar 5. Aktivitas Di Penyortiran Limbah .............................................................. 82 
 
B. Batasan dan Rumusan Masalah .................................................................... 5
A.1. Sejarah Pesantren ......................................................................... 12
Dan Unsur-Unsur Pesantren  .............................................. 15 
D. Metodologi Penelitian .................................................................................. 8
E. Tinjauan Pustaka .......................................................................................... 9
F. Sistematika Penulisan ................................................................................ 11
A.2. Tipelogi
B. Pengertian Industrialisasi  .......................................................................... 18
B.1. Pengertian Industrialisasi ............................................................. 18
v   
D.1. Pengertian Umum Budaya Politik ................................................... 28
D.2. Tipe-Tipe Budaya Politik .................................................................. 31
1. Berdasarkan Pola Otoritas  ........................................................ 31
E. Kerangka Konseptual 37
 ...................................................................................................... 49 1.3. Kyai Sambas (1977 – 1980) Persentuhan Pesantren dan
Politik ........................................................................................... 52 1.4. Kh. Athoillah (1980 – Sekarang) Masa Transisi Pesantren .. 53
....... 54
D.3. Komponen-Komponen Budaya Politik .......................................... 36 
 ................................................................................. 
Gambaran Umum Pesantren Nahdjussalam .................................................. 43
 .............................. 43
1.1. Kh. Kholil (1916 – 1947) Masa Perintisan dan Perluasan Jaringan ........................................................................................ 46
1.2. Kh. Tb. Ahmad Dzajuli ( 1947-1977 ) Pengokohan Spiritual
A.2. Tradisi dan Sistem Nilai Pesantren ..........................................
2.2. Sistem Nilai Pesantren ............................................................... 58
A.3. Ekonomi Pesantren ........................................................................... 60
A.5. Hubungan Pesantren dengan Birokrasi Desa ................................. 65
ondisi Georafis dan Demografi Kp. Panyawungan ................................... 67
vi   
vii   
B.4. Kehidupan Keagamaan Penduduk .................................................. 74 
BAB IV
D. 2. Konflik Antara Ke-RW-an dan Karang Taruna : Tarik Menarik
Pragmatis ............................................................................................... 90
BAB V
B.2. Gambaran Umum Wilayah dan Demografi Masyarakat .............. 69
 ........................... 72
olitik Pesantren Nahdjussalam Paska Reformasi ..................... 76
Usaha yang Diberikan Industri Terhadap Pesantren : Antara Pemberdayaan Jaminan Keberlangsungan Industri .......................................................... 80
ntren Dan Industri Dalam Pemilihan Kepala Desa ............................... 83
D. Arena Kerjasama dan Konflik Yang Sedang Terjadi di Masyarakat Kampung Panyawungan ................................................................................... 86
D. 1. Komite Pembentukan Cileunyi Kidul : Aliansi Kepentingan
Antara Kesetiaan Terhadap Rumpun Keluarga VS Kepentingan
B. Rekomendasi .................................................................................................... 101
Tabel 1. Daftar Nama Pemilik Kontrakan di Kampung Panyawungan ................. 71
Tabel 2. Tipologi Pendidikan Pendidikan ................................................................... 73 
Tabel 3. Daftar Langgar ................................................................................................ 75 
 
 
Gambar 3. Peta Desa Cileunyi Wetan ......................................................................... 68
Gambar 4. Peta Kampung Panyawungan ...................................................................  69
Gambar 5. KH. Athoillah dan Bapak Deding Ishak (Calon Bupati Bandung)  ..... 78
Gambar 6. Aktivitas Di Penyortiran Limbah .............................................................. 83 
 
Diagram 2. Strategi Silang Perkawinan Oleh KH. Kholil ........................................ 46 
Diagram 3. Hubungan Kekerabatan Bani Afandi dan Bani Kholil ......................... 48 
Diagram 4. Hubungan Kekerabatan Bani Syarif dan Bani Kholil ........................... 48 
Diagram 5. Silang Hubungan Kekerabatan dengan Pesantren Luar ......................... 49 
Diagram 6. Struktur Organisasi Pondok ..................................................................... 59
Diagram 7. Struktur Komite Pembentukan Desa Cileunyi Kidul .......................... 89
Diagram 8. Hubungan Kekerabatan Elite Komite Cileunyi Kidul ....................... 90
viii   
1   
Keberadaan Pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua Islam Nusantara
telah diakui memiliki andil dan peran yang besar dalam sejarah perjuangan bangsa
Indonesia. Pesantren Nusantara telah membuktikan eksistensi dan kiprahnya
menjadi dinamisator dalam setiap proses sejarah nation and character building.
Menurut Harry J. Benda, sejarah Islam Indonesia adalah sejarah perluasan
peradaban santri dan pengaruhnya terhadap kehidupan agama, sosial dan politik
Indonesia. Bahkan menurut J. Benda para penguasa yang baru dinobatkan
bersandar diri kepada para ahli agama, karena hanya merekalah yang dapat men-
sah-kan pentasbihan.1 Oleh karenanya keberadaan pesantren tidak bisa dilepaskan
dari sejarah Indonesia, karena sejarah pesantren adalah sejarah Indonesia itu
sendiri.2
wahyu Tuhan terkait dengan peran keagamaan, ia juga memiliki pengaruh
terhadap lingkungan masyarakatnya. Pesantren sebagai bagian dari institusi sosial,
keagamaan, dan kultural tidak dapat dilihat sebagai sub-kultur dalam arti
merupakan gejala yang unik dan terpisah dari dunia luar. Meskipun pesantren
mempunyai penggambaran kultural dengan karakternya yang khas, hal itu bukan
                                                             1 Harry J Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit (Jakarta : Pustaka Jaya) 1983, h. 33   2 Hasan Muarif Ambari, Peranan Pesantren dalam Menghadapi Perubahan Sosial di
 
berarti bahwa pesantren tertutup kepada pengaruh-pengaruh dari luar. Sebab
pesantren sebagai milik dan bagian dari masyarakat tidak dapat melepaskan diri
dari kehidupan sosial dan komuinitas kemasyarakatan lainnya.3
Hal tersebut juga berlaku pada sejarah berdiri dan keberlangsunganya
pondok pesantren Nahdjussalam yang tidak terlepas dari peran masyarakat.
Menurut masyarakat sekitar, sebelum berdirinya sebuah pesantren dahulunya
kampung tersebut merupakan perkampungan arena judi, seperti sabung ayam, adu
domba, dan lain-lain. Tidak mudah pastinya mendirikan sebuah pesantren dengan
latar belakang seperti disebut. Pendirian pondok pesantren Nahdjussalam yang
mulai dirintis pada tahun 1916 tidak lepas dari empat elemen, yaitu : Bi ilmil
‘ulama atau orang yang berilmu yaitu KH. Kholil, bisshowatil agniya atau
donatur yaitu KH. Syarif dan KH. Afandi, bi adlin ‘Umaro atau pemerintah yang
adil (dalam konteks ini adalah lurah) yaitu Raden Atmajadikarta, dan bidu’ail
fuqoro atau dukungan masyarakat umum.
Banyaknya pihak yang berkontribusi pada pendirian pesantren mejadikan
pesantren ini bersifat inklusif dengan masyarakat sekitar dan saling memberi
pengaruh satu sama lain.
Pondok pesantren Nahdjussalam, sudah satu abad lebih memberikan
pengaruh terhadap masyarakat sekitar di segala sendi sistem-sistem yang ada di
masyarakat dengan mengacu kepada prinsip kesederhanaan, kebersamaan,
tradisional, religius, homogen, akhlak serta nilai-nilai luhur. Pondok pesantren
Nahdjussalam telah berhasil menjadikan masyarakat kampung Panyawungan                                                             
3 H.M Yacub., Pondok Pesantren dan Pembangunan Masyarakat Desa, (Bandung : Angkasa, 1985). 
3   
menjadi masyarakat yang agamis, hal itu diketahui tidak hanya oleh masyarakat
sekitar saja, masyarakat luar daerah pun banyak mengetahui hal itu karena luasnya
jejaring pesantren tersebut.
budaya, dan sistem kemasyarakatan di kampung Panyawungan juga membawa
pengaruh besar pada budaya politik masyarakat. Masyarakat kampung
Panyawungan mempunyai tipe tatanan otoritas kharismatis yang menjadikan kyai
serta pesantren sebagai legitimasi gagasan-gagasan, aturan-aturan, dan nilai-nilai
yang berlaku di masyarakat.
membina masyarakatnya serta eksistensinya di masyarakat seiring dengan
gempuran arus industrialisasi. Industrialisasi yang merebak di kawasan lingkar
Panyawungan tidak pelak lagi membawa dampak positif yang sangat signifikan,
seperti terbukanya lowongan pekerjaan, kemajuan perekonomian, percepatan
pembangunan, dan lain-lain.
lain-lain.
Urbanisasi yang tidak terkontrol membawa pengaruh besar terhadap
sistem norma yang dianut oleh masyarakat sekitar, hal itu jelas tidak terbantahkan
karena proses persentuhan antara budaya pendatang dan budaya lokal yang sangat
cepat sehingga membawa perubahan dan memunculkan budaya baru dalam
4   
orientasi materialis, hubungan fungsional, modern, kompetitif, rasional,
heterogen, dan pemuasan kebutuhan.
Dalam masyarakat modern tentu tipe tatanan otoritas pun berbeda dengan
masyarakat tradisional. Dalam masyarakat modern bentuk tatanan otoritasnya
adalah otoritas rasional atau legal berdasarkan pada sebuah kepercayaan atau
“legalitas”. Aturan-aturan tertentu yang berarti bahwa mereka yang memunculkan
aturan-aturan itu memiliki hak untuk melakukan itu dengan dasar kompetisi.
Sebuah tatanan impersonal yang tidak tergantung pada kualitas-kualitas individu-
individu yang menciptakan aturan-aturan atau pada status mereka sebagai
penjaga-penjaga sebuah tradisi.4
pesantren dalam memposisikan dirinya pada perubahan yang didorong oleh
industrialisasi? Apakah ia memposisikan dirinya sebagai makelar budaya (cultural
broker) yang didefinisikan oleh Greetz yang menurutnya, kyai berperan sebagai
alat penyaring atas arus informasi yang masuk ke lingkungannya, menularkan apa
yang menurutnya berguna dan membuang apa yang dianggap merusak bagi
mereka. Atau justru pesantren memposisikan dirinya seperti temuan Hiroko
Hirokoshi, menurutnya, kyai berperan kreatif terhadap perubahan sosial. Bukan
karena sang kyai mencoba meredam akibat perubahan yang terjadi, melainkan
                                                             4 Tom Campbell, Tujuh Teori Sosial, Terjemah F. Budi Hardiman, (Jakarta: Kanisius, 1994),
h. 213 
justru karena mempelopori perubahan sosial dengan caranya sendiri. Ia bukan
melakukan penyaringan informasi, melainkan menawarkan agenda perubahan
yang dianggapnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang dipimpinnya.5
Meskipun hal itu tersentral pada seseorang, namun menurut penulis hal itu
cukup relevan untuk dijadikan perbandingan mengingat otoritas kyai dalam
sebuah pesantren hampir mutlak. Namun kebijakan seorang kyai juga tidak
terlepas dari situsi dan kondisi internal yang melingkupi institusi yang
dipimpinya, seperti aturan tertulis (tanbih), struktur kepengurusan, rentang
generasi keluarga, dan lain-lain. Maka dengan alasan itu penulis lebih tertarik
untuk meneliti keseluruhan institusi pesantren.
Selain kemungkinan permasalahan di atas, penelitian ini juga menjadi
penting untuk melihat bentuk baru dari budaya politik masyarakat kampung
Panyawungan yang dipengaruhi oleh budaya industrialisasi dan budaya
tradisional. Pengaruh mana yang lebih dominan dan apakah bentuk baru tersebut
membawa kemajuan atau kemunduran berdasarkan konsep masyarakat madani.
B. BATASAN DAN RUMUSAN MASALAH
Mengingat luasnya dampak perubahan yang di bawa oleh industrialisasi,
sesuai dengan judul penulis hanya membatasi penelitian ini pada budaya politik
masyrakat Panyawungan yang didasarkan pada perubahan orientasi makna, nilai
dan seperangkat kepercayaan politik masyarakat Panyawungan6.
                                                             5 Abdurahman Wahid, “Benarkah Kyai Membawa Perubahan Sosial ?,” dalam Hiroko
Hirokoshi, Kyai dan Perubahan sosial, (Jakarta: P3M, 1987), h. XVii  6 Mary Grisez Kweit, Konsep dan Metode Analisa Politik Penerjemah Ratnawati, (Jakarta;
Bina Aksara, 1986). 
Kajian budaya politik sama sekali berbeda dengan politik praktis. Dalam
kajian budaya poltik ditelusuri bagaimana sebuah nilai dan orientasi terbentuk,
operasi kekuasaan seperti apa yang berlangsung, dalam situasi apa pula ia
berlangsung dengan proses hegemoni atau dominasi, atau bahkan koersi dalam
proses produksi nilai tersebut, pengetahuan seperti apa yang menopang atau tidak
menopangnya, dan seterusnya.7
1. Bagaimana sikap, keyakinan, nilai-nilai dan kepercayaan politik
masyarakat kampung Panyawungan ?
2. Seperti apa budaya politik masyarakat yang dipengaruhi oleh pesantren
(tradisional) dan industri (modern); dilihat dari aspek doktrin (isi atau
materi) dan dari aspek generik (bentuk, peranan, dan ciri-ciri budaya
politik, seperti militan, utopis, terbuka atau tertutup) ?
C. TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN
C.1. Tujuan
masyarakat kampung Panyawungan.
perubahan masyarakat agraris ke masyarakat industri.
                                                             7 Amalinda Safirani, Dari Negara Ke Coca-Cola: Merintis Kajian Budaya dalam Ilmu
Politik di Indonesia, Newsletter KUNCI No. 3, November 1999 
7   
3. Sebagai bakti anak daerah dalam mengenal fenomena daerahnya serta
menyumbangkan data eksistensi pesantren di kampung Panyawungan
kepada pengguna dan pihak terkait, dalam hal ini pemerintah, pihak
industri, maupun masyarakat umum untuk menjadikan pesantren
sebagai mitra dalam program pembangunan dan pembrdayaan yang
memberikan kontribusi besar pada masyarakat.
C.2. Kegunaan
memperluas informasi tentang eksistensi dan dinamika pesantren
yang tetap memberikan warna dalam ranah kehidupan.
2. Hasil penelitian ini juga bermanfaat terutama bagi kalangan pesantren
dalam menyikapi diri lebih terbuka pada perubahan dan menyiapkan
diri agar tetap menjadi simpul jaringan bagi kebutuhan dan
pemberdayaan masyarakat.
pesantren.
antar budaya.
menggunakan pendekatan sosio - historis. Adapun metode yang digunakan adalah
deskriptif kualitatif. Deskriptif yaitu suatu metode dalam meneliti status kelompok
manusia, suatu obyek, suatu setting kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu
kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari metode penelitian ini untuk
membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat
mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang diselididki
(M. Nazir, 1988 : 63).
pesantren, yang meliputi kyai, santri dan di lingkungan masyarakat sekitar.
Adapun waktu pegamatan sebenarnya telah terjadi begitu lama yaitu semenjak
pemulis tinggal di lingkungan pesantren semasa sekolah SMA dan belajar mengaji
di pesantren yang bersangkutan. Kedua, wawancara terencana-terbuka yang
bertujuan untuk mengumpulkan keterangan yang lebih lengkap untuk
menyempurnakan hasil pengamatan. Adapun sasarannya adalah kyai dan keluarga
pesantren sebagai sumber untuk mendapatkan data primer.
Dalam perjalananya, hasil wawancara yang cukup signifikan untuk dimuat
dalam skripsi ini hanya dari orang-orang tertentu seperti sesepuh pondok yaitu
KH. Athoillah, dan Ustadz Tb. Bibin Sarbini. Selain itu, data signifikan juga
9   
banyak diperoleh dari tokoh-tokoh masyarakat seperti bapak Iin Zaenal Muttaqin
selaku Ketua RW, dan bapak Iwan Miftahul Fallah selaku Mantan Kepala Desa
Cileunyi Wetan.
(pendukung) yang bisa digunakan untuk menjadi data pendukung dan pelengkap.
Selain itu, data sekunder juga didapat dari Panitia Hari Besar Islam (PHBI)
kampung Panyawungan, Karang Taruna, dan lembaga pemerintah setempat,
seperti desa dan kecamatan.
Penulis melakukan tinjauan pustaka dengan maksud memeriksa apakah
fokus penelitian yang akan dikaji telah ada orang terdahulu yang melakukannya.
Dari hasil pencarian, penulis tidak menemukan fokus yang sama persis dengan
fokus penelitian yang akan dikaji. Namun ada penelitian yang ditemukan sedikit
mirip dengan fokus penulis.
Aim Salim dari jurusan Penyiaran dan Penerangan Agama IAIN Sunan
Gunung Djati (sekarang UIN) dalam penelitiannya “Relasi Antara Umara dan
Ulama Di Desa Sukasari Kec. Tanjung Sari Kab. Sumedang (2001)” menemukan
pengaruh seorang kyai yang sangat dominan dalam penentuan seorang kepala
desa. Seorang calon kandidat kepala desa tidak akan diangkat sebelum
mendapatkan izin dan restu dari kyai. Dalam kesimpulan penelitiannya kyai juga
berperan penting dalam pembuatan kebijakan-kebijakan daerah tersebut, dan
seperti menjadi dewan penasihat dalam lembaga-lembaga resmi dengan legitimasi
total dari masyarakat.
Peran Pondok Pesantren Tradisional Dalam Pembangunan Masyarakat Industri
Cilegon (2008)”, menemukan bahwa pondok pesantren memberikan sumbangsih
yang besar terhadap pembangunan masyarakat Cilegon. Namun sumbangsi yang
diberikan pesantren dalam penelitiannya hanya menyentuh aspek-aspek religius
masyarakat dan seolah pesantren tidak mempunyai andil dalam pembangunan
yang sifatnya real. Namun menurut penulis hal itu wajar saja karena setiap
pesantren mempunyai corak tersendiri yang dipengaruhi oleh berbagai faktor
seperti, sejarah, lingkungan, dan psikologi pesantren dan masyarakatnya.
Penelitian tentang pesantren telah banyak dilakukan oleh para ahli,
Clifford Gerertz misalnya telah memasukan kelompok pesantren (santri) menjadi
salah satu kelas masyarakat, di samping priyayi dan abangan pada masyarakat
Jawa. Tentu saja dengan setting masyarakat pesantren pada awal dasawarsa 1950-
an, sudah lebih dari 30 tahun penelitian itu berlalu, tentu potret masa itu tidak bisa
disamakan dengan potret pesantren masa kini. Pesantren bukan lagi lembaga yang
tertutup, esoteris dan ekslusif. Bahkan Zamkhsari Dhofier dalam pengamatannya
terlalu menyederhanakan pesantren ke bentuknya yang paling tradisional, ia
menyebutkan ada lima unsur yang membentuk pesantren yaitu pondok, masjid,
pengajian kitab klasik, santri dan kiyai.8
                                                             8 Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren :Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai (Jakarta : LP3ES),
1985, h. 5  
sistematika penulisan berdasarkan kesamaan dan kesesuaian yang ada di dalam
skripsi ini. Skripsi ini terdiri dari lima BAB.
BAB I. Pendahuluan yang mengemukakan latar belakang masalah,
batasan dan rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian,
metodelogi penelitian yang berisi penjelasan metode yang akan
digunakan dalam penelitian, kajian pustaka, serta sistematika
penulisan.
industrialisasi, hubungan agama dan politik, pengetian budaya
politik, serta kerangka konseptual yang dijadikan pedoman
dalam penulisan skripsi ini.
kampung Panyawungan yang mencakup lokasi dan demografi.
BAB IV. Temuan data lapangan yang berkaitan dengan perubahan budaya
politik masyarakat kampung Panyawungan.
dan rekomendasi-rekomendasi baik bagi penelitian maupun
tindakan.
12   
A.1. Sejarah Pesantren
Kata pesantren atau santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti “guru
mengaji”. Sumber lain menyebutkan bahwa kata itu berasal dari bahasa India
“shastri” dari akar kata “shastra” yang berarti “buku-buku suci”, “buku-buku
agama”, atau “buku-buku tentang ilmu pengetahuan”. Di luar pulau Jawa
lembaga pendidikan ini disebut dengan nama lain, seperti “surau” di Sumatra
Barat, “dayah” di Aceh, dan “pondok” di beberapa daerah lain.1
Menurut Nurcholis Madjid, ada dua pendapat yang bisa dipakai sebagai
acuan untuk melihat asal-usul perkataan santri. Pertama adalah pendapat yang
menyatakan bahwa kata santri berasal dari bahasa sansakerta yaitu kata “sastri”
yang artinya melek huruf. Dapat dikatan bahwa kaum santri adalah kaum yang
melek huruf, oleh karena pengetahuan mereka tentang agama melalui kitab-kitab.
Atau paling tidak seorang santri dapat membaca al-Qur’an. Pendapat kedua
menyatakan bahwa kata “santri” berasal dari bahasa Jawa “cantrik”, artinya
seorang yang menngabdi kepada guru. Cantrik selalu berada di mana gurunya
tinggal, dengan tujuan dapat belajar darinya tentang suatu keahlian. Pola
hubungan guru-cantrik melalui proses evolusi berubah menjadi guru-santri. Kata
guru diganti dengan kata kyai dengan tujuan lebih mengkeramatkan,
                                                             1 Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Houve), 2003, Jilid 4 
13   
dengan kyai-santri.2
terdapat beberapa versi. Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa pesantren
berasal dari tradisi islam itu sendiri, yaitu tradisi tarekat. Pesantren memiliki
kaitan yang erat dengan tempat pendidikan yang khas bagi kaum sufi. Sebab
Rasulullah sebelum melakukan dakwah secara terang-terangan, beliau membentuk
kelompok pelopor yang melakukan pertemuan-pertemuan di kediaman al-Arqam
Ibn Abi al-Arqam. Barangkali tempat perteuam pertama untuk bermusyawarah
mengenai masalah-masalah agama dalam Islam. Kediaman al-Arqam ini
kemudian menjadi sumber inspirasi bagi pembentukan ribath dan halaqah-
halaqah yang selanjutnya melembaga dalam tradisi tasawuf.
Pendapat pertama ini berdasarkan fakta bahwa penyiaran Islam di
Indonesia pada awalnya lebih banyak dikenal dalam bentuk kegiatan tarekat yang
melaksanakan amalan amalan zikir dan wirid-wirid tertentu. Pemimpin tarekat ini
disebut kiyai yang mewajibkan pengikut-pengikutnya untuk melaksanakan suluk
selama empat puluh hari dalam satu tahun dengan cara tinggal bersama sesama
anggota tarekat dalam sebuah masjid untuk melakukan ibadah-ibadah di bawah
bimbingan kiyai.
Untuk keperluan suluk ini kiyai menyediakan ruangan-ruangan khusus
untuk penginapan dan tempat memasak yang terletak di sekitar masjid. Di
samping mengajarkan amalan-amalan tarekat, para pengikut itu juga diajarkan
                                                             2 Nurcholish Madjid, , Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta :
Paramadina) 1997, hal 19 - 20  
14   
Aktifitas yang dilakukan oleh para pengikut tarekat ini kemudian dinamakan
pengajian. Dalam perkembangan selanjutnya lembaga pengajian ini tumbuh dan
berkembang menjadi lembaga pesantren.3
Kedua, Pesantren yang kita kenal sekarang ini pada mulanya merupakan
pengambil-alihan dari sistem pesantren yang diadakan oleh orang-orang Hindu di
Nusantara. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa sebelum datangnya Islam ke
Indonesia lembaga pesantren sudah ada di negeri ini. Pendirian pesantren pada
masa itu dimaksudkan sebagai tempat mengajarkan ajaran-ajaran agama Hindu
dan tempat membina kader-kader penyebar Hindu. Tradisi penghormatan murid
kepada guru yang pola hubungan antar keduanya tidak didasarkan kepada hal-hal
yang sifatnya materi juga bersumber dari tradisi Hindu. Fakta lain yang
menunjukkan bahwa pesantren bukan berakar dari tradisi Islam adalah tidak
ditemukannya lembaga pesantren di Negara-negara Islam lainnya. Sementara
lembaga yang serupa dengan pesantren banyak ditemukan di dalam masyarakat
Hindu dan Budha seperti di India, Myanmar dan Thailand.4
Terlepas dari berbagai perbedaan pandangan tentang asal-muasal
pesantren, Wali Songo dipandang sebagai pemrakarsa berdirinya pesantren di
Indonesia, dalam menyebarkan Islam dan mendirikan Ribath dan Halaqah-halaqah
sebagai sarana pendidikan untuk mengajarkan agama Islam. Sebagaimana tersurat
dalam sejarah Indonesia, Wali Songo adalah pelopor dan pemimpin dakwah Islam
                                                             3 Ensiklopedi Islam , Tim Penyusun Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam (Jakarta : PT
Ichtiar Baru Van Hoeve) 2003, jilid 4  4 Ensiklopedi Islam , jilid 4 
15   
yang berhasil merekrut murid untuk kemudian menjalankan dakwah di setiap
penjuru negeri.5
Dilihat dari tipelogi dan klasifikasi pesanteren, dalam peraturan yang
dikeluarkan oleh menteri agama nomor 3 tahun 1979, mengklasifikasikan pondok
pesantren sebagai berikut :
1. Pondok pesantren tipe A, yaitu di mana para santri belajar dan
bertempat tinggal di asrama lingkungan pondok pesantren dengan
pengajaran yang berlangsung secara tradisional (sistem wetonan atau
sorogan);
pesantren;
3. Tipe C, yaitu pondok pesantren yang merupakan asrama, sedangkan
para santrinya belajar di luar (madrasah atau sekolah umum) kiyai
hanya mengawasi dan sebagai Pembina para santri tersebut;
4. Pondok pesantren tipe D, yaitu yang menyelenggarakan sistem pondok
pesantren dan sekaligus sistem sekolah atau madrasah.6
Dari sekian tipe pondok pesantren dalam menyelenggarakan pendidikan
dan pengajaran bagi para santrinya secara garis besar seringkali diklasifikasikan
                                                             5 Drs. Marwan Saridjo, dkk, Sejarah Pondok Pesantren Di Indonesia, (Jakarta : Dharma
Bhakti), 1979, hal. 19 - 21   6 H. Mahpuddin Noor, Potret Dunia Pesantren, (Bandung : Humaniora), 2006, h. 43-44 
16   
pendidikan dan pengetahuan keislaman, al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama lainnya
yang merujuk pada kitab-kitab kalsik (kuning) dengan menggunakan cara-cara
sebagaimana awal pertumbuhannya. Kedua, Tipe Khalafiyah, yaitu pondok
pesantren di samping menyelenggarakan kegiatan-kegiatan kepesantrenan pada
umumnya juga menyelenggarakan kegiatan pendidikan formal (sekolah atau
madrasah).
pengamatannya terlalu menyederhanakan pesantren ke bentuknya yang paling
tradisional, ia menyebutkan ada lima unsur yang membentuk pesantren yaitu
pondok, masjid, pengajian kitab klasik, santri dan kiyai.7
Namun Saat ini pesantren dari sisi kelembagaan telah mengalami
perkembangan dari yang sederhana sampai yang paling maju, sebagaimana yang
dikemukakan Soedjoko Prasojo et al, ia menyebut setidaknya adanya lima macam
pola pesantren. Pola 1 ialah pesantren yang terdiri hanya dari masjid dan rumah
kiyai. Pola 2 terdiri atas masjid, rumah kiyai dan pondok. Pola 3 terdiri atas
masjid, rumah kiyai, pondok dan madrasah. Pola 4 terdiri atas masjid. Rumah
kiyai, pondok, madrasah dan tempat keterampilan. Pola 5 terdiri atas masjid,
rumah kiyai, pondok, madrasah, tempat keterampilan, gedung pertemuan, sarana
olah raga, dan sekolah umum. Pesantren yang terakhir inilah yang sering disebut
“pesantren moderen”, yang di samping itu juga memiliki fasilitas-fasilitas
penunjang lainya.
                                                             7 Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren :Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai (Jakarta
: LP3ES), 1985, hal. 5  
Sistem nilai yang digunakan oleh kalangan pesantren adalah yang berakar
dalam agama Islam. Tetapi tidak semua yang berakar dari agama dipakai oleh
mereka. Kalangan pesantren sendiri menamakan sistem nilai yang dipakainya itu
dengan ungkapan “Ahl-u ‘L-Sunnah wa ‘L-Jama’ah”.8
Menurut Nurcholish Madjid, Ahl-u ‘L-Sunnah wa ‘L-Jama’ah sendiri
mengacu terutama pada golongan Sunni. Maka dalam hal kalam atau ilmu
ketuhanan, pesantren mengikuti madzhab Sunni, sebagaimana dirumuskan oleh
Abu Hassan al- Asy’ari, dan kemudian banyak dipopulerkan melalui karya-kaarya
Imam Ghazali. Mempelajari dan menghafal rumusan tentang dua puluh sifat
Tuhan adalah salah satu inti dari teologi Asy’ari yang diamalkan oleh para santri.
Dalam hal fiqh, kaum santri mengikuti dan mewajibkan mengikuti salah-
satu dari sekurang-kurangnya empat imam madzha fiqh, yaitu Maliki, Syafi’i,
Hanafi, dan Hambali. Di Indonesia sendiri yang umum dianut adalah Imam
Syafi’i. Taqlid adalah ciri utama dari madzhab ini dan beroposisi dengan faham
yang menganjurkan ijtihad.9
Dalam hal fiqh ini sikap-sikap kaum santri (terutama yang pesantrenya di
desa-desa) banyak dipengaruhi oleh kitab Safinat-u ‘l-Najah, sedangkan dalam hal
keagamaan sikap mereka umumnya dibentuk oleh kitab Sullam-u ‘l-Tawfiq.10
Persoalan lain yang membedakan kaum santri dan kaum lainya ialah hal
yang menyangkut masalah adat, khususnya adat Jawa atau lokal. Kaum santri
                                                             8 Dr. Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta:
Paramadina), 1997, hal. 31  9 Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, hal. 33  10 Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, h. 33 
18   
menolak banyak sekali unsur-unsur adat lokal, tetapi mempertahankan sebagian
lain dan kemudian diberi warna Islam. Salah satu adat yang masih dipertahankan
kaum santri adalah sekitar selamatan. Yang dimaksud selamatan di sini adalah
mendoakan orang yang telah meninggal dan bisaanya diakhiri oleh jamuan
makan-makan oleh keluarga berkabung baik pada saat meninggalnya maupun
setelahnya seperti selamatan tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari,
dan haul. Dalam ritual itu bisaanya dibacakan tahlil, suatu ritus dalam bahasa
Arab yang intinya membaca kalimat “La ilah-a illa ‘l-Lah”, dengan maksud
berdoa untuk kebahagian orang yang telah meninggal.
Dalam hal kesenian, sejalan dengan kearaban yang ada dalam kitab-kitab
yang dipelajari, maka kaum santri juga menerima dengan antusias berbagai
kesenian yang berbau Arab. Yang paling umum mereka tampilkan adalah qasidah-
qasidah mengenai kehidupan Nabi seperti karangan Diba’i dan Barzanji.
Segi lain yang membedakan kaum santri dengan kaum lainya adalah
dalam hal berpakaian. Songkok atau tutup kepala secara umum dianggap sebagai
pakaian kaum santri. Sarung juga merupakan pakaian yang dianggap sebagi
simbol kaum santri sehingga tidak jarang kaum santri disebut sebagai “kaum
sarungan”. 11
industrialisasi didefinisikan sebagai proses perkembangan teknologi oleh                                                             
11 Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina), h. 37 
19   
dengan menggunakan tenaga permesinan, untuk tujuan pasaran yang luas dari
barang-barang produsen maupun konsumen, melalui angkatan kerja yang
terspesialisasikan dengan pembagian kerja, seluruhnya disertai oleh urbanisasi
yang meningkat.12
Tekanan yang akan digambarkan sebagai acuan untuk penelitian ini adalah
industri yang mempunyai tekanan pada proses perubahan sosial, yaitu perubahan
susunan kemasyarakatan dari suatu sistem pra-industrial (agraris, misalnya) ke
sistem sosial industrial. Masyarakat industrial menuntut dan melahirkan nilai-
nilainya sendiri yang tidak dapat dihindarkan. Dikehendaki atau tidak
industrialisasi pasti melahirkan tata nilai yang kebanyakan tidak dikenal oleh
masyarakat non-industrial. Jock Young menyimpulkan tujuh nilai formal yang
mendasari masyarakat industrial.
3) Tunduk terhadap aturan-aturan birokratis;
4) Kepastian, pengawasan yang banyak terhadap kedetailan, dan
sedikit terhadap pengarahan;
6) Sikap instrumental terhadap kerja, dan
7) Kerja keras yang produktif dinilai sebagai kebaikan.13
                                                             12Nurkholis Madjid, Islam Kemoderenan dan Ke-Indonesiaan, (Bandung : Mizan), 1987,
hal. 140   13 Madjid, Islam Kemoderenan dan Ke-Indonesiaan, h. 128 
20   
Nilai-nilai di atas adalah adalah nilai yang berlaku pada waktu kerja yang
diakui sah oleh masyarakat dan setiap orang diharuskan bertindakdengan
mengikuti ketentuan-ketentuannya. Namun nilai-nilai tersebut menjadikan
manusia menjadi layaknya mesin atau dehumanisasi. Dan dehumanisasi adalah
penderitaan sekalipun sifatnya immaterial. Maka dalam masyarakat industrial selu
ada kecenderungan untuk dapat bebas dari kondisi tersebut. Penyaluran keinginan
tersebut secara resmi seperti hari libur, cuti, atau waktu senggang.
Jadi ada dua nilai yang dianut oleh seseorang dalam masyarakat industrial,
yang resmi selama waktu kerja dan tidak resmi selama waktu senggang. Dapat
pula dikatakan norma-norma resmi adalah publik life dan nilai-nilai waktu
senggang adalah norma dalam private life. Atau ringkasnya, orang taat kepada
aturan publik life untuk dapat menikmati nilai-nilai private life. Adapun perubahan
nilai-nilai waktu senggang kepada nilai-nilai waktu kerja digambarkan secara
sederhana oleh Herbert Marcuse sebagai berikut:
dari (nilai waktu senggang) Ke (nilai waktu kerja)
kepuasan yang segera di dapat
kenikmatan
kesenangan
ekonomi, perusahaan dan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Pengaruh yang
diberikan tersebut dapat berupa nilai-nilai dan pengaruh fisik terhadap
21   
transportasi, dan lain-lain.
komplek dalam kelompok sosial dan proses sosial. Pada tahap proses
indusstrialisasi bisaanya bergandengan dengan urbanisasi dan peningkatan
mobilitas penduduk. Terdapat pula perubahan yang penting dalam adat kebisaaan
dan moral masyarakat yang mempengaruhi penggolongan primer maupun
sekunder, dimana penggolongan sekunder memainkan peranan yang sangat
besar.yang sangat menonjol adalah pengaruh-pengaruh yang disebabkan oleh
status pekerjaan, keahlian-keahlian para pekerja, terhadap kehidupan keluarga dan
kedudukan wanita, terhadap tradisi-tradisi dan terhadap konsumsi barang.14
Industri member input terhadap masyarakat sehingga membentuk sikap
dan tingkahlaku yang tercermin dalam sikap bekerja. Weber mengatakan bahwa
dengan adanya teknologi baru, diperlukan suatu nilai yang akan mengembangkan
masyarakat menjadi masyarakat kapitalis tradisional; demikian juga jika hendak
membangun masyarakat kapitalis modern diperlukan nilai-nilai tertenu.
Masyarakat pada umumnya harus menerima posisi mereka baik dalam struktur
industri maupun struktur sosial yang lebih luas lagi. Karena tingkat produksi
tergantung pada tingkat konsumsi , masyarakat harus dibujuk untuk membeli
berbagai jenis barang dan jasa yang diproduksi oleh pihak industri.15 Mereka
                                                             14 Nurkholis Madjid, Islam Kemoderenan dan Ke-Indonesiaan, hal. 140  15 S.R Parker, dkk., The Socilogy Of Industri Penerjemah G. Kartasapoetra (ttp : Bina
Aksara, 1985),) hal. 93 
memiliki fungsi untuk memproduksi berbagai jenis barang dan jasa sekaligus
meningkatkan permintaan terhadap barang dan jasa hasil produksi. Usaha dalam
meningkatkan produksi dan konsumsi melibatkan nilai-nilai dalam tingkat
“masyarakat makro”. Jika ada perubahan nilai-nilai dalam masyarakat, walaupun
hal itu bersifat lokal ia akan melahirkan perubahan dalam industri. Seperti contoh
di kampung Panyawungan, dengan merebaknya industri textile di kampung
tersebut, biaya hidup di kampung tersbut menjadi sangat tinggi, dan hal itu
menyebabkan permintaan kenaikan gaji oleh buruh atau penambahan jam kerja
sebagai alternatif.
Selain itu industri juga memiliki dampak pada perubahan fisik dalam
masyarakat. Akibat yang dirasakan oleh masyarakat dengan adanya industri bisa
dalam bentuk yang berbeda-beda. Hal ini seperti terjadi di wilayah kampung
Panyawungan Kedatangan industri menjadikan kampung ini bukan lagi kampung
yang hanya mengantungkan hidupnya dari bertani yang sifatnya subtantif tapi
telah berevolusi menjadi masyarakat yang mempunyai banyak wilayah lapangan
kerja, seperti menjadi buruh industri, penyedia jasa bagi pihak industri maupun
buruh industri, dan lain-lain. Industri juga telah menjadikan harga tanah di
wilayah ini menjadi sangat mahal. Kampung Panyawungan juga menjadi
kampung sebagai penampung tenga kerja yang jumlahnya sangat fantastis, maka
tidak heran apabila interaksi dengan berbagai macam budaya yang berbeda
menjadikan masyarakat kampung Panyawungan kini tidak lagi bisa disamakan
dengan keadaan masyarakat 30 tahun yang lalu.
23   
dengan kekuasaan politis. Di dalam sebuah masyarakat yang menjadi modern,
perkembangan ilmu pengetahuan, teknolgi dan juga industri tidak terjadi dalam
lingkungan yang terbatas melainkan meluas kedalam kehidupan yang luas.
Merujuk pada pemikiran Habermas, dalam tanggapan kritisnya terhadap
Aldous Huxley, Habermas setuju bahwa hubungan antara dunia ilmu
pengaetahuan dan dunia kehidupan sosial itu terdapat dalam identitas ilmu
pengetahuan dengan kekuasaan, tetapi Habermas berpendapat bahwa hubungan
kedua dunia itu tidak langsung. Kita tidak dapat begitu saja mempengaruhi dunia
kehidupan sosial dengan membawa hipotesa-hipotesa atau teori-teori ilmiah. Hal
itu karena perbedaan kedua dunia tersebut. Dunia ilmu pengetahuan adalah
sturuktur-struktur hasil rekontruksi yang halus, dunia yang serba teratur dan dapat
di kuantifikasi, dunia yang terbuka bagi pengalaman yang dapat di uji secara
intersubjektif. Sedangkan dunia pengalaman sehari-hari atau disebut “dunia
kehidupan sosial” adalah dunia pengalaman pribadi, dunia tempat manusia lahir,
hidup, mati, dunia tempat mausia mencintai, membenci, kalah, menang, harapan
dan putus asa. Dunia ilmu pengetahuan itu dingin, tenang penuh abstraksi-
abttraksi halus, padat dengan klaim-klaim universal. Sedangkan dunia kehidupan
sosial itu bergoalak, konkrit, padat dengan pengalaman-pengalaman unik.16
                                                             16 F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik dan
Post Modernisme Menurut Jurgen Habermas, (Yogyakarta : Kanisius), 1993, hal. 123  
24   
kekuasaan dari ilmu pengetahuan menjadi efektif dalam dunia kehidupan. Dalam
hal ini informasi-imformasi ilmiah ini dipakai untuk memperluas control teknis
kita. Jadi pengetahuan tentang fisika atom, misalnya, tanpa penerapanya menjadi
teknologi atom, tidak memiliki konsekwensi bagi penafsiran atas dunia kehidupan
kita.
lewat penerapan ilmu pengetahuan menjadi teknologi telah merasuki apa yang
disebut Habermas sebagai “kesadaran praktis” kita. Yang diacu oleh istilah ini
adalah adalah kesadaran yang muncul melalui interaksi intersubjektif dalam
masyarakat, seperti: nilai-nilai, etika, pemahaman-diri, tafsiran kultural, dan
seterusnya.
melainkan sudah memperoleh bentuk informasi ilmiah yang dapat dipakai untuk
teknologi. Habermas melihat bahwa dalam kemajuan teknis macam ini, tradisi-
tradisi kebudayaan yang semula mengontrol tingkah laku sosial tidak lagi bisa
begitu saja mendifinisikan pemahaman-diri masyarakat modern.17
Seperti dikatakan di atas, bahwa industri erat kaitanya dengan ekonomi,
dan seiring kemajuannya juga tidak lepas dari proses sosial. Berbeda dengan
Habermas yang menilik kontelasi antara industri dan politik dari sisi ilmu terapan,
                                                             17 F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik dan
Post Modernisme Menurut Jurgen Habermas, (Yogyakarta : Kanisius), 1993, hal. 123 
25   
modal swasta timur asing (khususnya Cina) dalam proses industrialisasi kontek
Indonesia sangat menonjol. Bahkan sebagian dari usaha mereka dapat menyaingi
usaha pemerintah. Akibatnya kaum menengah pribumi tergeser posisinya dalam
usaha yang membutuhkan modal besar dan organisasi besar. Organisasi Sarekat
Islam adalah organisasi yang berorientasi ekonomi politik dan mencoba melawan
dominasi swasta asing.
umumnya, masih juga ditangani oleh pemerintah bersama modal swasta. Namun
terdapat pendatang baru yang memasuki sektor usaha padat modal ini dari
kalangan birokrat dan militer. Tentu saja hal itu disambut baik oleh pihak swasta
dengan harapan mendapatkan jaminan keamanan dari kekuatan sosial macam PKI
atau radikalisme Islam.18 Sebaliknya, pihak pemerintah membutuhkan dana untuk
melakukan kegiatan politik-politiknya yang didukung oleh pihak pemilik modal.
Singkatnya kancah maupun perjalanan politik bangsa kita juga tidak bisa lepas
dari pengaruh industri.
kemukakan karena menurut penulis hal ini cukup relevan dengan permasalahan
yang akan diteliti oleh penulis. Industri sebagai konsekuensi kemajuan dari
terapan ilmiah dan industri juga berkaitan langsung dengan hukum ekonomi,
                                                             18 Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung : Mizan), 1991,
hal. 176 
masyarakat. Masyarakat baik segi-segi nilai maupun fisik, dalam segi nilai,
industri akan menghasilkan masyarakat yang berorientasi pada materialis,
hubungan fungsional, modern, kompetitif, rasional dan heterogen. Sedangkan kita
ketahui bahwa pesantren (utamanya salafy) adalah lembaga yang memproduksi
nilai-nilai seperti kesederhanaan, kebersamaan, tradisional, religius, homogen,
akhlak dan nilai-nilai luhur.19 Dari perbedaan kedua kutub dari nilai-nilai, etika,
pemahaman-diri, dan tafsiran cultural tersebut akan mempengaruhi bentuk dari
interaksi intersubjektif dalam masyarakat.
C. AGAMA DAN POLITIK
dengan Tuhan, pada dasarnya sudah berbekas pada individu, bagaimanapun dalam
masyarakat yang sudah mapan atau belum, agama merupakan salah satu struktur
institusional mempunyai nilai dan norma penting ang melengkapi keseluruhan
sistem sosial.
tersendiri
pemahaman bagi pemeluknya sangat beragam dan bermacam-macam, menurut
Abdullah, sebagaimana dikutip oleh Imam dan Tobroni, agama merupakan
landasan terbentuknya suatu masyarakat yang kognitif. Artinya, agama
                                                             19 Ibid, h.2 
merupakan awal dari terbentuknya suatu komunitas atau kesatuan hidup yang
diikat oleh keyakinan akan kebenaran hakiki yang sama yang memungkinkan
berlakunya suatu patokan pengetahuan yang sama.20 untuk itu dapat dikatakan
bahwa pada umumnya orang percaya pada agama yang bersifat holistik sebagai
alat untuk mencerna kehidupan. Bahwa agama memberi panduan, nilai, moral,
dan etika perilaku dalam bentuknya yang universal.
Apa yang diungkapakan dalam definsi prilaku, bahwasanya perilaku
tidaklah akan tetap, dan pada suatu saat dapat mengalami pergerakan atau
perubahan akan terlihat seiring dengan sosio-kulturalnya dan perkembangan
seseorang tersebut.
Ada beerapa unsur pokok tujuan politik untuk mendapatkan kekuasaan
yang dapat dijumpai pada interaksi sosial antar manusia ataupun antara kelompok
yaitu adanya unsur takut. adanya unsur rasa cinta, adanya unsur pemujaan dan
adanya unsur kepercayaan.21
Jadi prilaku politik adalah tingkah laku terorganisir dalam upaya mencapai
tujuan politik dengan unsur-unsur yang sistematis, bagi David Easton, perilaku
politik pertama terdri dari alokasi nilai-nilai yang kemudian pengapikasianya
tersebut bersifat mengikat terhadap masarakat secara keseluruhan.
Identifikasi prilaku politik yang menyangkut proses penentuan tujuan-
tujuan adalah sebagai berikut:
                                                             20 Imam Suprayogo dan Tobroni, metodologi penelitian sosial Agama, (bandung: PT.
Remaja Rosda Karya), h. 16  21 Uswah, “Agama dan Politik : Studi Kasus Pada Dewan Pimpinan Pusat (Dpp)Partai
Amanat Nasioanl”, ( Skripsi S1 Fakultas Ushuludin dan Filsafat, Universitas Islam Negri Jakarta , 2007), h. 30 
28   
Dari ketiga tipe di atas untuk melaksanakanya memerlukan kekuasaan
(power) dan kewenagnan (authority), untuk membina kerjasama maupun untuk
melaksanakan konflik yang mungkin dalam proses itu akan terjadi. Banyak cara
yang dilakukan seseorang dalam menyampaikan tujuannya seperti persuasi dan
paksaan.
seseorang. Namun yang menjadi sorotan penting adalah gejala-gejala yang timbul
dalam penguasaan sekelompok orang yang berkuasa terhadap berbagai kelompok
rakyat banyak yang dipandang sebagai usaha penataan umat.
D. PENGERTIAN BUDAYA POLITIK
Ada banyak ahli politik yang mengkaji tema budaya politik, sehingga
terdapat banyak konsep tentang budaya politik salah satu sarjana yang
berpengaruh dan banyak memberikan sumbangan besar terhadap perkembangan
budaya politik adalah Gabriel A. Almond. Dalam karyanya yang ditulis bersama
Sidney Verba berjudul The Civic Culture, Ia menyatakan, Istilah budaya politik
terutama mnegacu pada orientasi politik, sikap terhadap sistem politik dan bagian-
bagianya yang lain serta sikap peranan kita sendiri dalam sistem tersebut. Adpun
beberapa ahli lain menyatakan sebagai berikut:
29   
1. Kay Lawson (1989) menyatakan: a political culture, that is, there is a set
of overtly political values, which defines the situation in which political
action takes place (suatu budaya politik, yaitu terdapatnya satu perangkat
yang meliputi seluruh nilai-nilai politik, yang terdapat di seluruh bangsa).
2. Sidney Verba (1995) menyatakan: political culture is the sistem of
empirical beliefs, eksvressive simbol, and values, which define the
situation in political action takes place (budaya politik adalah suatu sistem
kepercayaan empirik, simbol-simbol eskpresif, dan nilai-nilai yang
menegaskan suatu situasi di mana tindakan politik dilakukan).
3. Alan R. Ball (1971) menyatakan: a political culture is composed of the
attitudes, beliefs, emotions and values society that relate to the political
sistem and to political issus (budaya politik adalah suatu susunan yang
terdiri atas sikap, kepercayaan, emosi, dan nilai-nilai masyarakat yang
berhubungan dengan sistem politik dan isu-isu politik).22
Budaya politik merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat dengan
cirri-ciri yang lebih khas. Istilah budaya politik masalah legitimasi, pengaturan
kekuasaan, proses pembuatan kebijakan pemerintah, kegiatan partai-partai
politik, perilaku aparat negara, serta gejolak masyarakat terhadap kekuasaan yang
memerintah. Kegiatan politik juga saling memasuki dan mempengaruhi dengan
dunia keagamaan, kegiatan ekonmi dan sosial, kehidupan pribadi dan sosial secara
luas.
                                                             22 Uwes Fatoni, “Politik Tradisional, Transisi dan Modern”, artikel diakses tanggal 17
Februari 2010 dari http//www.scribd.com/index.php 
Gabriel A. Almond berpendapat bahwa budaya politik merupakan dimensi
psikologi dari sistem politik, yang mana budaya politik besumber pada penalaran-
penalaran yang sadar. Konsep budaya politik terdiri atas sikap, keyakinan, nilai-
nilai dan keterampilan yang sedang berlaku pada seluruh anggota masyarakat
termasuk pada kebisaaan yang hidup pada masyarakat.
Yang telah dipaparkan di atas adalah konsep dari budaya politik
sedangkan untuk definisinya adalah sebagai berikut:
1. Budaya politik adalah aspek politik dari nilai-nilai yang terdiri atas
pengetahuan, adat-istiadat, takhayul, dan mitos. Kesemuanya dikenal dan
diakui oleh sebagian besar masyarakat. Budaya politik tersebut
memberikan rasional untuk menerima atau menolak nilai-nilai dan norma
lain.
2. Budaya politik dapat diihat dari aspek doktrin dan aspek generiknya. Yang
pertama menekankan pada isi atau materi, seperti sosialisme, demokrasi,
dan nasionalisme. Yang kedua apek generik menganalisis bentuk, peranan,
dan ciri-ciri budaya politik, seperti militant, utopis, terbuka, dan tertutup.
3. Hakikat dari ciri budaya olitik adalah prinsip dasar yang melandasi suatu
pandangan hidup yang berhubungan dengan masalah tujuan.
4. Bentuk budaya politk menyangkut sikap dan norma, yaitu sikap terbuka
dan tertutup, tingkat militansi seseorang terhadap orang lain dalam
pergaulan masyarakat. Pola kepemimpinan (konformitas atau mendorong
inisiatif kebebasan), sikap terhadap mobilitas (mempertahankan status quo
31   
politik).23
mengedepankan aspek-aspek nonperilaku actual seperti orientasi, sikap, nilai-
nilai, dan kepercayaan-kepercayaan. Kedua, hal-hal yang diorientasikan dalam
budaya politik adalah sistem politik, artinya setiap berbicara budaya politik maka
tidak akan lepas dari perbicaraan kaum politik. Hal-hal yang diorientasikan dalam
sistem politik, yaitu setiap komponen-komponen yang terdiri dari komponen-
komponen struktur dan fungsi dalam sistem politik. Ketiga, budaya politik
merupakan deskripsi konseptual yang menggambarkan komponen-komponen
budaya politik dalam tataran massif bukan pada tataran individu.
D.2. Tipe-Tipe Budaya Politik
1. Berdasarkan Pola Otoritas
Gagasan mengenai norma-norma atau tatanan yang legitim mengenai
masyarakat, Weber membuat tiga garis besar untuk tiga tipe ideal tatanan atau
otoritas yang legitim. Pertama, Otoritas tradisional. Otoritas yang didasarkan pada
penerimaan kesucian aturan-aturan karena aturan-aturan tersebut telah lama ada
dan dalam legitimasi mereka yang telah mewariskan hak untuk memerintah
dengan aturan-aturan tersebut. Dalam tatanan tradisional individu merasakan
loyalitas terhadap masa lalu dan mereka yang mewakili masa lalu itu, sebuah
                                                             23Uwes Fatoni, “Politik Tradisional, Transisi dan Modern”, artikel diakses tanggal 17
Februari 2010 dari http//www.scribd.com/index.php  
kesakralan peristiwa-peristiwa sejarah tertentu.
kualitas-kualitas pribadi terkemuka dari individu-individu yang luar bisaa yang
kesuciannya, heroismenya atau keutamaannya memungkinkan mereka untuk
memerintah sejumlah besar orang dalam hubungan-hubungan langsung. Kharisma
dilukiskan sebagai kualitas-kualitas adimanusiawi yang seperti pada para nabi
atau para pahlawan militer yang memungkinkan mereka untuk memaksakan
gagasan-gagasan dan nilai-nilai mereka sendiri pada seluruh kelompok.
Ketiga, otoritas rasional atau legal. Otoritas jenis ini didasarkan pada
sebuah kepercayaan akan ‘legalitas’ aturan-aturan tertentu yang berarti bahwa
mereka yang memunculkan aturan-aturan itu memiliki hak untuk melakukan itu
menurut aturan-aturan yang masih lebih dulu lagi yang mendasari dia sehingga
memiliki hal untuk memerintah. Di dalam tatanan yang rasional memungkinkan
individu mengetahui aturan-aturan mana yang secara formal betul dan telah
dipaksakan dengan sebuah prosedur yang diterima. Sebuah tatanan impersonal
yang tidak tergantung pada kualitas-kualitas individu-individu yang menciptakan
aturan-aturan atau pada status mereka sebagai penjaga-penjaga tradisi.
Distingsi-distingsi di atas dapat menjelaskan bahwa para penguasa dalam
batas-batas tatanan mereka jika ingin mereka tidak ingin kehilangan kekuatannya
untuk memerintah. Dalam otoritas tradisional misalnya, sang penguasa dituntut
untuk mengikuti praktik-praktik yang lazim, seperti para pemimpin tradisi Watu
Telu di Nusa Tenggara Timur yang melakukan puasa pada bulan tertentu; dalam
kasus otoritas kharismatis seorang pemimpin harus menunjukan
33   
adimanusiawinya, seperti kaisar Cina akan dipecat apabila di daerahnya terjadi
banjir bandang yang akan mempermalukan dirinya; dalam otoritas legal pemimin
harus mematuhi hukum apabila ia ingin tetap berkuasa.24
2. Berdasarkan Orientasi
menggolongkan orientasi warga negara terhadap kehidupan politik dan
pemerintahanya berdasarkan dari sikap, nilai-nilai, informasi dan kecakapan
politik. Orang yang melibatkan dirinya dalam kegiatan politik setidaknya dalam
pemberian suara (voting) dan ketertarikan terhadap informasi politik dapat
dinamakan sebagai budaya politik partisipan, sedangkan orang yang pasif dan
hanya patuh terhadap pemerintah dengan ikut pemilu dinamakan politik subyek.
Golongan ketiga adalah golongan yang sama sekali tidak menyadari adanya
pemerintahan dan politik, disebut budaya politik parokhial. 25
Menurut Almond, terdapat tiga model dalam kebudayaan politik atau
model orientasi terhadap pemerintahan dan politik.
1) Masyarakat demokratis industrial.
Dalam sistem ini terdapat cukup banyak aktivis politik yang akan
menjamin adanya kompetisi partai-partai politik dan kehadiran pemberi
suara yang besar selain itu juga terdapat banyak publik peminat politik
yang selalu mendiskusikan secara kritis moral-moral kemasyarakatan dan
                                                             24 Tom Campbell, Tujuh Teori Sosial Terjemah F. Budi Hardiman (Jakarta: Kanisius,
1994), hal. 213-214  25 Trubus Rahardia, Pengantar Ilmu Politik: Konsep Dasar, Paradigma dan
Pendekatanya, (Jakarta: Trisakti, 2006), hal. 278 
34   
kebijaksanaan baru dan melindungi kepentingan khusus mereka.
2) Sistem otoriter.
protes yang agresif.
Dalam Negara dengan model seperti ini, hanya sedikit sekali partisipan
yang terutama dari pofesional dan terpelajar. Kebanyakan dari warga
Negara memiliki pengetahuan dan keterlibatan yang sangat terbatas dalam
kehidupan politik.26
Pada negara yang memiliki sistem ekonomi dan teknologi yang kompleks,
menuntut kerja sama yang luas untuk memperpadukan modal dan keterampilan.
Jiwa kerja sama dapat diukur dari sikap orang terhadap orang lain. Pada
kondisi ini budaya politik memiliki kecenderungan sikap ”militan” atau
sifat ”toleransi”.
mencari alternatif yang terbaik, tetapi dipandang sebagai usaha jahat  
26 Rahardia, Pengantar Ilmu Politik: Konsep Dasar, Paradigma dan Pendekatanya, hal. 278 
35   
dan menantang. Bila terjadi kriris, maka yang dicari adalah kambing
hitamnya, bukan disebabkan oleh peraturan yang salah, dan
masalah yang mempribadi selalu sensitif dan membakar
emosi.
mana selalu membuka pintu untuk bekerja sama. Sikap netral atau
kritis terhadap ide orang, tetapi bukan curiga terhadap orang.
Jika pernyataan umum dari pimpinan masyarakat bernada sangat
militan, maka hal itu dapat menciptakan ketegangan dan menumbuhkan konflik.
Kesemuanya itu menutup jalan bagi pertumbuhan kerja sama. Pernyataan dengan
jiwa tolerasi hampir selalu mengundang kerja sama. Berdasarkan sikap terhadap
tradisi dan perubahan. Budaya Politik terbagi atas :
a. Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental Absolut
Budaya politik yang mempunyai sikap mental yang absolut
memiliki nilai-nilai dan kepercayaan yang. dianggap selalu
sempurna dan tak dapat diubah lagi. Usaha yang diperlukan adalah
intensifikasi dari kepercayaan, bukan kebaikan. Pola pikir demikian
hanya memberikan perhatian pada apa yang selaras dengan
mentalnya dan menolak atau menyerang hal-hal yang baru atau
yang berlainan (bertentangan). Budaya politik yang bernada absolut
bisa tumbuh dari tradisi, jarang bersifat kritis terhadap tradisi,
36   
memungkinkan pertumbuhan unsur baru.
sedia menerima apa saja yang dianggap berharga. Ia dapat
melepaskan ikatan tradisi, kritis terhadap diri sendiri, dan bersedia
menilai kembali tradisi berdasarkan perkembangan masa kini.
Tipe absolut dari budaya politik sering menganggap perubahan sebagai
suatu yang membahayakan. Tiap perkembangan baru dianggap sebagai suatu
tantangan yang berbahaya yang harus dikendalikan. Perubahan dianggap
sebagai penyimpangan. Tipe akomodatif dari budaya politik melihat perubahan
hanya sebagai salah satu masalah untuk dipikirkan. Perubahan mendorong
usaha perbaikan dan pemecahan yang lebih sempurna.
D.3. Komponen-Komponen Budaya Politik
Seperti dikatakan oleh Gabriel A. Almond dan G. Bingham Powell, Jr.,
bahwa budaya politik merupakan dimensi psikologis dalam suatu sistem politik.
Maksud dari pernyataan ini menurut Ranney, adalah karena budaya politik menjadi
satu lingkungan psikologis, bagi terselenggaranya konflik-konflik politik
(dinamika politik) dan terjadinya proses pembuatan kebijakan politik. Sebagai
suatu lingkungan psikologis, maka komponen-komponen berisikan unsur-unsur
psikis dalam diri masyarakat yang terkategori menjadi beberapa unsur.
37   
Menurut Ranney, terdapat dua komponen utama dari budaya politik, yaitu
orientasi kognitif (cognitive orientations) dan orientasi afektif (affective
oreintatations). Sementara itu, Almond dan Verba dengan lebih komprehensif
mengacu pada apa yang dirumuskan Parsons dan Shils tentang klasifikasi tipe-tipe
orientasi, bahwa budaya politik mengandung tiga komponen obyek politik sebagai
berikut.
pada politik, peranan dan segala kewajibannya serta
input dan outputnya.
para aktor dan pe-nampilannya.
obyek politik yang secara tipikal melibatkan standar
nilai dan kriteria dengan informasi dan perasaan.27
E. KERANGKA KONSEPTUAL
modernisasi karena industrialisasi merupakan bagian dari modernisasi.
Transformasi industrial mempunyai konsekwensi yang amat luas, karena
industrialisasi merupakan proses perubahan sosial yaitu perubahan susunan
kemasyarakatan dari sistem sosial pra industri (agraris) ke sistem sosial
                                                             27 Uwes Fatoni, “Politik Tradisional, Transisi dan Modern”, artikel diakses tanggal 17
Februari 2010 dari http//www.scribd.com/index.php  
38   
industrial. Terkait dengan hal ini dalam pandangan teori “ pattern Variables” yang
dikembangkan Parsons, Perubahan dari masyarakat tradisional ke masyarakat
industri dan moderen juga berarti perubahan dari :
a. Affectivity to affective neutrality, pengaruh langsung bagi perbahan ini
bagi proses industrialisasi ialah terbentuknya modal yang diperlukan ,
juga menandai hubungan-hubungan sosial dalam masyarakat industrial
yang bersifat contractual, impersonal dan calculating.
b. Particularism to universalism, Industrialisasi cenderung mengikis
keekslusivan partikularistis seperti keekslusifan rasial, warna kulit
maupun keturunan.
industrialisasi adalah perubahan dari sistem penghargaan prestise ke
sistem penghargaan karena prestasi.
d. Diffuseness to specivicity, ialah perubahan dari sistem sosial yang
berlingkup luas dan membatasi hubungannya pada hubungan yang
bersifat khusus28.
berbagai aspek kehidupan dan sruktur masyarakat, baik dalam bidang ekonomi,
sosial budaya, institusi-institusi kemasyarakatan dan agama bahkan keluarga.
Beberapa ahli telah memunculkan beberapa pendekatan dalam memotret dan
menganalisis perubahan sosial dan pola hubungan masyarakat. Di antaranya yang
                                                             28 Talcot Parsons and American Sosiologi, sebagaimana dikutip Nurkholis Madjid, Islam
Kemoderenan dan Ke-Indonesiaan, (Bandung : Mizan) 1987, hal 141-142  
39   
penulis anggap cukup. relevan diterapkan dalam kajian ini, di antaranya teori
struktural fungsional dan teori Interactions medium yang diperkenalkan oleh
Talcott persons (1937).
Dalam teori fungsional struktural memandang masyarakat secara
makroskopis. Ada dua asumsi dasar dalam pendektan ini. Asumsi pertama adalah
bahwa masyarakat merupakan suatu sistem yang terbentuk dari sub strutur-sub
struktur yang saling tergantung (interdependen) antara yang satu dengan yang
lainnya sedemikian, sehingga perubahan pada satu bagian secara otomatis
mempengaruhi bagian-bagian lainnya. Upaya analisis sosiologis dengan demikan
menemukan apa mempengaruhi apa. Asumsi kedua, adalah bahwa setiap struktur
atau aktifitas yang mapan (established) memiliki fungsi untuk mempertahankan
aktifitas-aktifitas atau struktur lain dalam suatu sistem sosial. Beberapa contoh
struktur dalam hal ini , keluarga, ekonomi, pendidikan, politik, agama, keluarga
dan sebagainya29.
makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia
(indegenous). Sebagai lembaga indegenous , pesantren muncul dan berkembang
dari pengalaman sosiologis masyarakat lingkungannya. Dengan kata lain
pesantren mempunyai keterkaitan erat yang tidak bisa dipisahkan dengan
komunitas lingkungannya.
Kenyataan ini dapat dilihat tidak hanya dari latar belakang pendirian
pesantren pada satu lingkungan tertentu, tetapi juga dalam pemeliharaan eksistensi                                                             
29 Soerjono soekanto, Beberapa teori Sosiologi tentang Struktur Masyarakat ( Jakarta : Rajawali) 1983  
40   
pesantren itu sendiri melalui pemberian wakaf, shadaqah, ibadah dan sebagainya.
Sebaliknya pesantren pada umumnya melakukakan “membalas jasa” komunitas
lingkungannya dengan bermacam cara, tidak hanya dalam bentuk memberikan
pelayanan pendidikan dan keagamaan, tetapi juga bimbingan sosial, kultural, dan
ekonomi bagi masyarakat lingkungannya. Dalam konteks inilah pesantren dan
kiyainya memainkan peran yang disebut Clifford Geertz sebagai “ cultural
brokers” dalam pengertian yang seluas-luasnya.30
Perubahan sosial, ekonomi, politik secara otomatis turut memberikan
warna dan pengaruhnya terhadap eksistensi dan dinamika pesantren itu sendiri.
Beberapa perubahan dalam internal pesantren dan hubungnnya dengan pengaruh
luar adalah, perubahan menjadi sistem kelas. Namun demikian bukan berarti
mendudukan pesantren sebagai obyek perubahan yang pasif, sebab pesantren juga
merupakan institusi yang independen dan memiliki jati diri dan kekhasannya
sendiri.
Pada sisi lain pesantren sebagai lembaga pendidikan dan sosial dipandang
memiliki posisi yang strategis dalam melakukan perubahan dan pembangunan
bagi masyarakat sekitarnya, hal itu telah terbukti selama beberapa abad
keberadaan pesantren dengan komitemen meneguhkan sosial kepada
masyarakatnya. Pesantren memiliki modal yang kuat dalam melakukan interaksi
dengan masyarakatnya.
oleh Parsons yaitu model “media interaksi” (interactions medium). Media,                                                             
30 Clifford Geertz, Abangan, Santri, Kiyai dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta : Pustaka jaya), 1981 
41   
ketika berinteraksi dengan kelompok atau sektor masyarakat lain. Walaupun teori
ini pada mulanya disusun berdasarkan analisis interaksi antara ego dan alter ego,
namun kemudian juga digunakan untuk

Recommended