Top Banner
BAB I PENDAHULUAN Rinosinusitis merupakan terminologi luas yang mencakup berbagai penyakit terkait, seperti rinosinusitis akut, rinosinusitis kronik dengan polip nasi, dan rinosinusitis tanpa polip nasi. 1 Rinosinusitis sendiri merupakan terminologi yang telah diadopsi berbagai literatur pada masa kini sebagai pengganti terminologi sinusitis. 1 Istilah rinosinusitis lebih sering digunakan karena sinusitis hampir selalu didahului atau disertai inflamasi dari mukosa nasal, yang merupakan asal dari mukosa sinus. 2,3 Rinosinusitis kronik, dalam berbagai literatur, didefinisikan sebagai inflamasi dari hidung dan sinus paranasal dengan minimal 2 gejala seperti sumbatan hidung, rinore, nyeri pada muka, dan berkurangnya fungsi penghiduan, yang terjadi dalam waktu lebih dari 12 minggu. 1,2,4 Pada survey nasional tahun 2012 di Amerika, 12% dari total populasi Amerika atau setara dengan 1 dari 8 orang dewasa di Amerika terdiagnosa rinosinusitis. 2 Benninger et al melaporkan bahwa jumlah kunjungan pasien rinosinusitis kronik mencapai 18 sampai 22 juta kunjungan di Amerika pada tahun 2013. 4 Sebuah studi di Sao Paolo dengan populasi 11 juta jiwa, didapatkan
39

fix + kesimpulan

Dec 04, 2015

Download

Documents

Referat
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: fix + kesimpulan

BAB I

PENDAHULUAN

Rinosinusitis merupakan terminologi luas yang mencakup berbagai

penyakit terkait, seperti rinosinusitis akut, rinosinusitis kronik dengan polip nasi,

dan rinosinusitis tanpa polip nasi.1 Rinosinusitis sendiri merupakan terminologi

yang telah diadopsi berbagai literatur pada masa kini sebagai pengganti

terminologi sinusitis.1 Istilah rinosinusitis lebih sering digunakan karena sinusitis

hampir selalu didahului atau disertai inflamasi dari mukosa nasal, yang

merupakan asal dari mukosa sinus.2,3

Rinosinusitis kronik, dalam berbagai literatur, didefinisikan sebagai

inflamasi dari hidung dan sinus paranasal dengan minimal 2 gejala seperti

sumbatan hidung, rinore, nyeri pada muka, dan berkurangnya fungsi penghiduan,

yang terjadi dalam waktu lebih dari 12 minggu. 1,2,4

Pada survey nasional tahun 2012 di Amerika, 12% dari total populasi

Amerika atau setara dengan 1 dari 8 orang dewasa di Amerika terdiagnosa

rinosinusitis.2 Benninger et al melaporkan bahwa jumlah kunjungan pasien

rinosinusitis kronik mencapai 18 sampai 22 juta kunjungan di Amerika pada tahun

2013.4 Sebuah studi di Sao Paolo dengan populasi 11 juta jiwa, didapatkan

prevalensi rinosinusitis kronik sebesar 5,51%. Studi lain di Korea menyebutkan

prevalensi rinosinusitis kronik sebesar 6,95%.1

Rinosinusitis, baik akut maupun kronis telah berdampak signifikan dalam

hal sosioekonomi. Di Amerika, pengobatan pasien dengan diagnosa rinosinusitis

akut menghabiskan biaya sekitar US$3 Milyar per tahun dengan rata-rata US$

1.100 per pasien, sedangkan rinosinusitis kronik pada tahun 2007 menghabiskan

biaya sekitar US$ 8,3 Milyar per tahun dengan rata-rata US$ 7.700 per pasien.2

Dampak rinosinusitis secara ekonomi tidak hanya terbatas pada biaya pengobatan

saja (obat, jasa dokter, tindakan), tetapi juga termasuk dampak secara tidak

langsung terhadap perkembangan perekonomian dengan menurunnya

produktivitas kerja.1,2 Secara rata-rata rinosinusitis kronik menyebabkan rata-rata

pasien tidak masuk kerja 1-2 hari dalam setahun, dan pasien dengan rinosinusitis

Page 2: fix + kesimpulan

kronik yang resisten terhadap pengobatan kehilangan 18 hari kerja dalam setahun.

Pasien-pasien dengan rinosinusitis kronik mengalami pengurangan 36% dalam

efektifitas kerja, dan 38% penurunan produktivitas. Dibandingkan dengan pasien

tanpa rinosinusitis kronik, penderita rinosinusitis kronik mengalami keterbatasan

aktivitas, kerja dan sosial yang lebih besar.2

Selain itu, pasien dengan rinosinusitis kronik juga mengalami dampak

dalam kualias hidup. Pasien dengan rinosinusitis kronik memiliki skor health

utility yang lebih rendah dibandingkan dengan penyakit kronik lainnya, termasuk

penyakit jantung kongestif, penyakit jantung koroner, dan penyakit paru obstruktif

kronis.2

Rinosinusitis kronik sendiri kemudian dikategorikan berdasarkan ada

tidaknya polip nasi, yaitu rinosinusitis kronik dengan polip nasi, dan rinosinusitis

tanpa polip nasi.1 Meskipun keduanya memiliki karakteristik yang sama yaitu

sekret yang mukopurulen dan sumbatan hidung, namun terdapat perbedaan gejala

yang dialami penderita. Pasien rinosinusitis tanpa polip nasi lebih merasakan

gejala nyeri / rasa adanya tekanan pada muka, dibandingkan pasien rinosinusitis

dengan polip nasi yang lebih dikarakteristikan dengan gejala hiposmia.1 Makalah

ini sendiri akan lebih membahas rinosinusitis dengan polip nasi.

Page 3: fix + kesimpulan

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definisi

Johnson dan Ferguson (1998) menyatakan bahwa karena mukosa kavum

nasi dan sinus paranasal saling berhubungan sebagai satu kesatuan maka inflamasi

yang terjadi pada kavum nasi biasanya berhubungan dengan inflamasi dalam sinus

paranasal.5 Secara histologi, mukosa kavum nasi dan mukosa sinus mempunyai

sejumlah kesamaan; mucous blanket sinus senantiasa berhubungan dengan kavum

nasi dan pada studi dengan CT-Scan untuk common cold ditunjukkan bahwa

mukosa kavum nasi dan sinus secara simultan mengalami proses inflamasi

bersama-sama.6 Alasan lainnya karena sebagian besar penderita sinusitis juga

menderita rinitis, jarang sinusitis tanpa disertai rinitis, gejala pilek, buntu hidung

dan berkurangnya penciuman ditemukan baik pada sinusitis maupun rinitis.7 Fakta

tersebut menunjukkan bahwa sinusitis merupakan kelanjutan dari rinitis, yang

mendukung konsep “one airway disease” yaitu bahwa penyakit di salah satu

bagian saluran napas akan cenderung berkembang ke bagian yang lain.9 Sejumlah

kelompok konsensus menyetujui pernyataan tersebut sehingga terminologi yang

lebih diterima hingga kini adalah rinosinusitis daripada sinusitis.9,10,11

Hubungan antara sinus paranasal dan kavum nasi secara lebih jelas dapat dilihat

pada gambar 1 dibawah ini.

Gambar 1.Hubungan antara sinus paranasal dan kavum nasi dan struktur yang terdapat pada

kompleks ostiomeatal meatus medius.11

Page 4: fix + kesimpulan

Sedangkan polip nasi adalah massa lunak yang tumbuh di dalam rongga

hidung. Kebanyakan polip berwarna putih bening atau keabu – abuan, mengkilat,

lunak karena banyak mengandung cairan (polip edematosa). Polip yang sudah

lama dapat berubah menjadi kekuning – kuningan atau kemerah – merahan, suram

dan lebih kenyal (polip fibrosa). Polip kebanyakan berasal dari mukosa sinus

etmoid, biasanya multipel dan dapat bilateral. Polip yang berasal dari sinus

maksila sering tunggal dan tumbuh ke arah belakang, muncul di nasofaring dan

disebut polip koanal.12

1.2 Anatomi Hidung dan Sinus Paranasal

1.2.1Anatomi Hidung

Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke

bawah: pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak

hidung (tip), ala nasi, kolumela dan lubang hidung (nares anterior). Hidung luar

dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan

ikat dan beberapa otot kecil yaitu M. Nasalis pars transversa dan M. Nasalis pars

allaris. Kerja otot – otot tersebut menyebabkan nares dapat melebar dan

menyempit lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari 1) tulang hidung (os

nasal), 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal;

sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang

terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis

superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago alar mayor) dan

3) tepi anterior kartilago septum.1

Gambar 2. Anatomi hidung luar

Page 5: fix + kesimpulan

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke

belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi

kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares

anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang

menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Bagian dari kavum nasi yang

letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang nares anterior

disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak

kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.1

Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial,

lateral, inferior dan superior. Dinding medial hidung adalah septum nasi yang

dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Septum dilapisi oleh perikondirum pada

bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian tulang, sedangkan diluarnya

dilapisi oleh mukosa hidung. Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka, yaitu

konka inferior yang terbesar dan letaknya paling bawah, kemudian konka media,

konka superior dan yang terkecil yaitu konka suprema yang biasanya rudimenter.

Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan

labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian

dari labirin etmoid.1

Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit

yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu

inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior

dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior

terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara

konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat

muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus

superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka media

terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.1

Page 6: fix + kesimpulan

Gambar 3. Anatomi kavum nasi

Batas rongga hidung antara lain: 1

Inferior: dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum

Superior: atap hidung yang sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribiformis

yang memisahkan rongga tengkorak dari rungga hidung. Lamina kribiformis

merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoid yang berlubang-lubang

tempat masukna serabut-serabut saraf olfaktorius.

Posterior: atap rongga hidung yang dibentuk oleh os sfenoid

1.2.2 Kompleks Ostiomeatal (KOM)

Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan celah pada dinding lateral

hidung yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi

penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid,

hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan resesus frontal. KOM merupakan

unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drainase dari sinus-sinus

yang letaknya di anterior yaitu sinus maksila, etmoid anterior dan frontal. Jika

terjadi obstruksi pada celah yang sempit ini, maka akan terjadi perubahan

patologis yang signifikan pada sinus-sinus yang terkait.1

Page 7: fix + kesimpulan

Gambar 4. Kompleks Ostiomeatal

1.2.3 Anatomi Sinus Paranasal

Sinus paranasal adalah serangkaian rongga yang mengelilingi rongga

hidung. Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus etmoid, maksila, frontal dan

sfenoid. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala,

sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara

(ostium) ke dalam rongga hidung.2

Gambar 5. Sinus Paranasal

a. Sinus Etmoid

Page 8: fix + kesimpulan

Sinus etmoid terdiri dari 3-16 singular cells dengan volume total sekitar 3 ml.

Bagian lateral dipisahkan dari orbita oleh selapis tulang tipis yang disebut lamina

papirasea. Lamela basalis konka media membagi sinus etmoid menjadi kompleks

etmoidalis anterior dan posterior. Kompleks etmoidalis anterior terdiri atas selule

dan celah yang membuka dan mengalirkan sekret kearah anterior dan inferior

menuju lamela basalis. Bula etmoidalis merupakan sel etmoidalis yang terletak

paling anterior dan berlokasi di dalam lamina papirasea orbita. Kompleks

etmoidalis posterior terdiri atas selule dan celah yang mengalirkan sekret mukosa

kearah posterior dan medial menuju lamela dari konka media, selanjutnya ke

dasar tengkorak, dan dinding medial orbita.

b. Sinus Maksila

Sinus maksilaris merupakan rongga yang paling besar berbentuk piramid

terbalik, volume pada dewasa antara 15-30 ml. Kadang sinus ini terbagi dalam

beberapa ruang oleh sekat tulang tipistak beraturan. Ostium alami dari sinus

maksilaris berdiameter 1-3 mm (±2,5 mm), terletak tinggi diatas sinus yaitu di

dinding peromedial. Lokasi ostium di meatus medius, letaknya paling rendah

dibandingkan ostium sinus paranasal lainnya. Mukus atau sekret yang keluar dari

ostium sinus maksila akan mengalir ke bagian inferior infundibulum, kemudian

keluar melalui hiatus semilunaris menuju meatus medius.

c. Sinus Frontal

Sinus frontal mempunyai variabilitas tinggi dalam perkembangan, jumlah dan

ukuran. Bagian dari sinus ini yang meluas ke meatus medius membentuk

penonjolan, disebut resesus frontalis. Sinus frontal terbagi oleh septa tak

beraturan, memiliki batas tulang yang juga tak beraturan. Pada dinding posterior

dan inferior sinus ini berbatasan dengan anyaman pembuluh vena besar yang

menuju otak dan orbita. Sekret yang berasal dari sinus frontalis mengalir ke dalam

resesus frontalis melalui ostium nasofrontalis. Dari resesus frontalis, sekret

langsung menuju meatus medius, atau tidak langsung melalui aspek superior

infundibulum dan hiatus semilunaris.

d. Sinus sfenoid

Page 9: fix + kesimpulan

Sinus ini terletak paling posterior dari sinus paranasal lainnya. Pada dinding

lateral sinus berbatasan dengan beberapa struktur penting seperti sinus atau vena

kavernosus, arteri karotis, nervus kranial I, III, IV, V dan VI. Sekret yang berasal

dari sinus sfenoid mengalir melalui ostium tunggal ke dalam resesus

sfenoetmoidalis, disamping menuju bagian posterior selule sfenoidalis.

1.3 Fisiologi

Sinus paranasal dilapisi mukoperiosteum tipis yaitu epitel toraks berlapis

atau berlapis semu bersilia dengan sejumlah sel goblet. Dibawahnya terdapat

tunika propria yang merupakan jaringan fibroelastik dan terdapat kelenjar

serosanguinus. Kelenjar ini dan sel goblet secara konstan memproduksi mukus.

Pada sekresi mukus ini terdapat enzim lisozim (muramidase) yang mampu

membunuh kuman. Palut lendir (mucous blanket) yang berada di permukaan

epitel bersilia berfungsi melembabkan, menghangatkan udara yang dihirup dan

menangkap (membersihkan) polutan. Mukus beserta bahan material yang telah di

proses dihancurkan, selanjutnya oleh pergerakan silia (700 ayunan per menit)

akan di dorong dengan gerakan ritmis menuju ostia dengan pola tertentu. Gerak

silia ini diatur secara genetik sehingga bila ada ostium asesori atau lubang buatan

(fenster) pasca operasi Caldwell Luc, aliran mukus akan melingkari lubang

tersebut dan tetap menuju ostium alamiah.2

Patensi ostium sangat diperlukan agar berbagai bahan yang dapat

menyebabkan iritasi serta perubahan histopatologik mukosa dapat dialirkan keluar

sinus. Oleh gerakan silia, mucous blanket yang ada di setiap sinus akan dialirkan

seluruhnya keluar ostium (klirens mukosilier) dalam waktu 20-30 menit. Mukus

yang berasal dari sinus frontal, maksila dan etmoidalis anterior selanjutnya akan

nenuju kompleks ostiomeatal (KOM) di meatus medius. Kompleks ostiomeatal

(KOM) merupakan unit drainase fungsional sebagai tempat drainase bagi

kelompok sinus anterior (frontalis, ethmoid anterior dan maksilaris), juga meliputi

etmoidalis, prosesus unsinatus, infundibulum etmoidalis, hiatus semilunaris,

ostium sinus maksila, berperan penting bagi transport mukus dan debris serta

mempertahankan tekanan oksigen yang cukup untuk mencegah pertumbuhan

Page 10: fix + kesimpulan

bakteri. Prosesus unsinatus adalah penonjolan tulang mirip bukit pada dinding

meatus medius yang letaknya anterior dari bula etmoidalis. Infundibulum

merupakan ruang berbentuk corong antara bula etmoidalis dan prosesus unsinatus,

pada akhirnya menerima aliran sekret dari sinus frontalis dan maksilaris. Hiatus

semilunaris merupakan cekungan berbentuk sabit dengan panjang sekitar 2 cm

dan kedalaman 3-4 mm, terletak diantara bula etmoidalis dan prosesus unsinatus.

Sekret yang berada di hiatus semilunaris berasal dari infundibulum, selanjutnya

menuju meatus medius, kemudian ke dalam hidung.

Obstruksi ostium sinus pada KOM merupakan faktor predisposisi yang

sangat berperan bagi terjadinya rinosinusitis kronik.3Sedangkan mukus dari sinus

etmoidalis posterior dan sfenoid akan mengalir menuju meatus superior melalui

resesus fenoetmoidalis.Transport mukus selanjutnya menuju nasofaring dengan

mengelilingi tuba Eustachius.

1.4 Patofisiologi

Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan

lancarnya klirens mukosiliar didalam KOM. Mukus juga mengandung substansi

antimikroba dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh

terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan.6

Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edema,

mukosa yang berdekatan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak

dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif didalam, bila kondisi ini

menetap sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan media yang baik untuk

tumbuhnya dan multipikasi bakteri. Sekret menjadi purulen, inflamasi berlanjut,

terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Bila proses terus berlanjut,

mukosa yang sembab makin membesar dan kemudian akan turun ke dalam rongga

hidung sambil membentuk tangkai, sehingga terbentuk polip.

Polip di kavum nasi terbentuk akibat proses radang yang lama. Penyebab

tersering adalah sinusitis kronik dan rinitis alergi. Dalam jangka waktu yang lama,

vasodilatasi lama dari pembuluh darah submukosa menyebabkan edema mukosa.

Mukosa akan menjadi ireguler dan terdorong ke sinus dan pada akhirnya

Page 11: fix + kesimpulan

membentuk suatu struktur bernama polip. Biasanya terjadi di sinus maksila,

kemudian sinus etmoid. Setelah polip terus membesar di antrum, akan turun ke

kavum nasi. Hal ini terjadi karena bersin dan pengeluaran sekret yang berulang

yang sering dialami oleh orang yang mempunyai riwayat rinitis alergi karena pada

rinitis alergi terutama rinitis alergi perennial yang banyak terdapat di Indonesia

karena tidak adanya variasi musim sehingga alergen terdapat sepanjang tahun.

Begitu sampai dalam kavum nasi, polip akan terus membesar dan bisa

menyebabkan obstruksi di meatus media.

1.5 Etiologi dan Faktor lainnya

Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus,

bermacam rinitis terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita hamil, polip

hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan

kompleks ostiomeatal, infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia

silia seperti pada sindrom Kartagenener, dan di luar negeri adalah penyakit

fibrosis kistik. Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab

sinusitis sehingga perlu dilakukan adenoidektomi untuk menghilangkan sumbatan

dan menyembuhkan rinosinusitisnya. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah

lingkungan berpolusi, udara dingin dan kering serta kebiasaan merokok. Keadaan

ini lama-lama menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia.4

1.6 Etiologi dan Faktor lainnya

Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus,

bermacam rinitis terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita hamil, polip

hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan

kompleks ostiomeatal, infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia

silia seperti pada sindrom Kartagenener, dan di luar negeri adalah penyakit

fibrosis kistik. Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab

sinusitis sehingga perlu dilakukan adenoidektomi untuk menghilangkan sumbatan

dan menyembuhkan rinosinusitisnya. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah

lingkungan berpolusi, udara dingin dan kering serta kebiasaan merokok. Keadaan

ini lama-lama menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia.4

Page 12: fix + kesimpulan

1.7 Manifestasi Klinis

Keluhan utama rinosinusitis akut ialah hidung tersumbat disertai nyeri atau

rasa tekanan pada muka dan terdapat sekret purulen, yang seringkali turun ke

tenggorok (post nasal drip). Dapat disertai gejala sistemik seperti demam dan

lesu.4 Keluhan nyeri atau rasa tekanan di daerah sinus yang terkena merupakan

ciri khas sinusitis akut, serta kadang-kadang nyeri juga terasa di tempat lain

(reffered pain). Nyeri pipi menandakan sinusitis maksila, nyeri di antara atau

di belakang kedua bola mata menandakan sinusitis etmoid, nyeri di dahi atau

seluruh kepala menandakan sinusitis frontal. Pada sinusitis sfenoid, nyeri

dirasakan di verteks, oksipital, belakang bola mata dan daerah mastoid. Pada

sinusitis maksila kadang-kadang ada nyeri alih ke gigi dan telinga.  4 Gejala lain

adalah sakit kepala, hiposmia/ anosmia, halitosis, post-nasal drip yang

menyebabkan batuk dan sesak pada anak. 4 Keluhan sinusitis kronik tidak khas

sehingga sulit didiagnosis. Kadang-kadang hanya 1 atau 2 dari gejala-gejala di

bawah ini yaitu sakit kepala kronik, post nasal drip, batuk kronik, gangguan

tenggorok, gangguan telinga akibat sumbatan kronik muara tuba Eustachius,

gangguan ke paru seperti bronitis (sino-bronkitis), bronkiektasis dan yang penting

adalah serangan asma yang meningkat dan sulit diobati. Pada anak, mukopus yang

tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis.4

Pada rinosinusitis yang disertai polip nasi, gejala primer adalah hidung

tersumbat, terasa ada masa dalm hidung, sukar mengeluarkan ingus dan hiposmia

atau anosmia. Gejala sekunder termasuk post nasal drip, rinore, nyeri wajah,

sakit kepala, telinga terasa penuh, mengorok, gangguan tidur dan penurunan

prestasi kerja.6 Pembagian stadium polip menurut Mackay dan Lundt:

Stadium I : polip masih terbatas

di meatus medius

Stadium II : polip sudah keluar

dari meatus medius, tampak di

ronggga hidung tapi belum

memenuhi rongga hidung.

Page 13: fix + kesimpulan

Stadium III : polip yang masif.

1.8 Diagnosis Banding

Diagnosis banding rinosinusitis tergantung dari gejala klinis pada pasien.

Dari anamnesis bila didapatkan keluhan hidung terseumbat dan berair, cairan

putih kekuningan dapat dipikirkan adanya common cold, korpus alienum di

hidung dan adenoitis. Jika ditemukan sakit kepala dapat dipikirkan tension

headache, migraine headache, cluster headache atau reffered

pain headache, sedangkan batuk kronik dapat difikirkan

pertusis, bronkitis, tuberkulosis, dan GERD.8 Pada polip nasi, diagnosis banding

polip nasi termasuk tumor-tumor jinak yang dapat tumbuh di hidung seperti

kondroma, neurofibroma, angiofibroma dan lain-lain. Papiloma inversi (Inverted

papiloma) adalah tumor hidung yang secara histologis jinak tapi perangai

klinisnya ganas dapat menyebabkan pendesakan / destruksi dan sering kambuh

kembali, penampakannya sangat menyerupai polip. Tumor ganas hidung seperti

karsinoma atau sarkoma biasanya unilateral, ada rasa nyeri dan mudah berdarah,

sering menyebabkan destruksi tulang. Diagnosis banding lain adalah konka

polipoid, yang ciri-cirinya tidak bertangkai, sukar digerakkan, nyeri bila ditekan

dengan pinset, mudah berdarah, dapat mengecil pada pemakaian vasokonstriktor

(kapas adrenalin).

1.9 Penegakan Diagnosis

Diagnosis rinosinusitis kronik dengan polip nasi (pada dewasa) berdasarkan

EP3OS 2007 ditegakkan berdasarkan penilaian subyektif, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang lainnya.Penilaian subyektif berdasarkan pada keluhan,

berlangsung lebih dari 12 minggu:

1) Buntu hidung, kongesti atau sesak

2) Sekret hidung / post nasal drip, umumnya mukopurulen

3) Nyeri wajah / tekanan, nyeri kepala dan

4) Penurunan / hilangnya penciuman

Pemeriksaan fisik yang dilakukan mencakup rinoskopi anterior dan posterior.

Yang menjadi pembeda antara kelompok rinosinusitis kronik tanpa dan dengan

Page 14: fix + kesimpulan

nasal polip adalah ditemukannya jaringan polip/jaringan polipoid pada

pemeriksaan rinoskopi anterior. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara

lain endoskopi nasal, sitologi dan bakteriologi nasal, pencitraan (foto polos sinus,

transiluminasi, CT-scan dan MRI), pemeriksaan fungsi mukosiliar, penilaian

nasal airway, fungsi penciuman dan pemeriksaan laboratorium.

Anamnesis

Anamnesis yang cermat dan teliti sangat diperlukan terutama dalam

menilai gejala-gejala yang ada pada kriteria diatas, mengingat patofisiologi

rinosinusitis kronik yang kompleks. Adanya penyebab infeksi baik bakteri

maupun virus, adanya latar belakang alergi atau kemungkinan kelainan anatomis

rongga hidung dapat dipertimbangkan dari riwayat penyakit yang

lengkap.Informasi lain yang perlu berkaitan dengan keluhan yang dialami

penderita mencakup durasi keluhan, lokasi, faktor yang memperingan atau

memperberat serta riwayat pengobatan yang sudah dilakukan.Menurut EP3OS

2007, keluhan subyektif yang dapat menjadi dasar rinosinusitis kronik adalah:

1) Obstruksi nasal

Keluhan buntu hidung pasien biasanya bervariasi dari obstruksi aliran udara

mekanis sampai dengan sensasi terasa penuh daerah hidung dan sekitarnya.

2) Sekret / discharge nasal

Dapat berupa anterior atau posterior nasal drip.

3) Abnormalitas penciuman

Fluktuasi penciuman berhubungan dengan rinosinusitis kronik yang mungkin

disebabkan karena obstruksi mukosa fisura olfaktorius dengan/tanpa alterasi

degeneratif pada mukosa olfaktorius.

4) Nyeri / tekanan fasial

Lebih nyata dan terlokalisir pada pasien dengan rinosinusitis akut, pada

rinosinusitis kronik keluhan lebih difus dan fluktuatif.

Page 15: fix + kesimpulan

Selain untuk mendapatkan riwayat penyakit, anamnesis juga dapat digunakan

untuk menentukan berat ringannya keluhan yang dialami penderita. Ini berguna

bagi penilaian kualitas hidup penderita. Ada beberapa metode/test yang dapat

digunakan untuk menilai tingkat keparahan penyakit yang dialami penderita,

namun lebih sering digunakan bagi kepentingan penelitian, antara lain dengan

SNOT-20 (sinonasal outcome test), CSS (chronic sinusitis survey) dan RSOM-31

(rhinosinusitis outcome measure).

Pemeriksaan Fisik

Rinoskopi anterior dengan cahaya lampu kepala yang adekuat dan kondisi

rongga hidung yang lapang (sudah diberi topikal dekongestan sebelumnya).

Dengan rinoskopi anterior dapat dilihat kelainan rongga hidung yang

berkaitan dengan rinosinusitis kronik seperti udem konka, hiperemi, sekret

(nasal drip), krusta, deviasi septum, tumor atau polip.

Rinoskopi posterior bila diperlukan untuk melihat patologi di belakang

rongga hidung.

Pemeriksaan Penunjang

Transiluminasi, merupakan pemeriksaan sederhana terutama untuk menilai

kondisi sinus maksila. Pemeriksaan dianggap bermakna bila terdapat

perbedaan transiluminasi antara sinus kanan dan kiri.

Endoskopi nasal, dapat menilai kondisi rongga hidung, adanya sekret, patensi

kompleks ostiomeatal, ukuran konka nasi, udem disekitar orifisium tuba,

hipertrofi adenoid dan penampakan mukosa sinus.Indikasi endoskopi nasal

yaitu evaluasi bila pengobatan konservatif mengalami kegagalan.Untuk

rinosinusitis kronik, endoskopi nasal mempunyai tingkat sensitivitas sebesar

46 % dan spesifisitas 86 %.

Radiologi, merupakan pemeriksaan tambahan yang umum dilakukan,

meliputi X-foto posisi Water, CT-scan, MRI dan USG. CT-scan merupakan

modalitas pilihan dalam menilai proses patologi dan anatomi sinus, serta

untuk evaluasi rinosinusitis lanjut bila pengobatan medikamentosa tidak

Page 16: fix + kesimpulan

memberikan respon.Ini mutlak diperlukan pada rinosinusitis kronik yang

akan dilakukan pembedahan.

Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan antara lain:

− Sitologi nasal, biopsi, pungsi aspirasi dan bakteriologi

− Tes alergi

− Tes fungsi mukosiliar: kliren mukosiliar, frekuensi getar siliar, mikroskop

elektron dan nitrit oksida

− Penilaian aliran udara nasal (nasal airflow): nasal inspiratory peakflow,

rinomanometri, rinometri akustik dan rinostereometri

− Tes fungsi olfaktori: threshold testing

− Laboratorium: pemeriksaan CRP (C-reactive protein)

1.10 Pentalaksanaan

1. 10.1 Penatalaksanaan Rinosinusitis4

Tujuan terapi sinusitis ialah 1) mempercepat penyembuhan; 2) mencegah

komplikasi; dan 3) mencegah perubahan menjadi kronik. Prinsip pengobatan ialah

membuka sumbatan di KOM sehingga drainase dan ventilasi sinus-sinus pulih

secara alami. Antibiotik dan dekongestan merupakan pilihan pada sinusitis akut

bakterial, untuk menghilagkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta membuka

sumbatan ostium sinus. Antibiotik yang dipilih adalah golongan penisilin seperti

amoksisilin. Jika diperkirakan kuman telah resisten atau memproduksi beta-

laktamase, maka dapat diberikan amoksisilin-klavulanat atau jenis sefalosporin

generasi ke-2. Pada sinusitis antibiotik diberikan selama 10-14 hari meskipun

gejala klinik sudah hilang.

Pada sinusitis kronik diberikan antibiotik yang sesuai untuk kuman negatif

gram dan anaerob.4 Selain dekongestan oral dan topikal, terapi lain dapat

diberikan jika diperlukan, seperti analgetik, mukolitik, steroid oral/topikal,

pencucian rongga hidung dengan NaCL atau pemanasan (diatermi). Antihistamin

Page 17: fix + kesimpulan

tidak rutin diberikan, karena sifat antikolinergiknya dapat menyebabkan sekret

jadi lebih kental. Bila ada alergi berat sebaiknya diberikan antihistamin generasi

ke-2. Irigasi sinus maksila atauProetz displacement therapy juga

merupakan terapi tambahan yang dapat bermanfaat. Imunoterapi dapat

dipertimbangkan jika pasien menderita kelainan alergi yang berat.

Tindakan Operasi

Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) merupakan operasi terkini untuk

sinusitis kronik yang memerlukan operasi/ Tindakan ini telah menggantikan

hampir semua jenis bedah sinus terdahulu karena memberikan hasil yang lebih

memuaskan dan tindakan lebih ringan dan tidak radikal. Indikasinya berupa:

sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat, sinusitis kronik

disertai kista atau kelainan yang ireversibel; polip ekstensif, adanya komplikasi

sinusitis serta sinusitis jamur.4

1.10.2 Penatalaksanaan Polip6

a. Non Operatif

Satu-satunya pengobatan yang efektif untuk polip nasal adalah kortikosteroid.

Baik bentuk oral maupun topikal, memberikan respon anti inflamasi non-spesifik

yang mengurangi ukuran polip dan mengurangi gejala sumbatan hidung. Obat-

obatan lain tidak memberikan dampak yang berarti.

1) Kortikosteroid oral

Pengobatan yang telah teruji untuk sumbatan yang disebabkan polip nasal adalah

kortikosteroid oral seperti prednison. Agen anti inflamasi nonspesifik ini secara

signifikan mengurangi ukuran peradangan polip dan memperbaiki gejala lain

secara cepat. Sayangnya, masa kerja sebentar dan polip sering tumbuh kembali

dan munculnya gejala yang sama dalam waktu mingguan hingga bulanan

2) Kortikosteroid Topikal Hidung

Respon antiinflamasi non-spesifiknya secara teoritis mengurangi ukuran polip dan

mencegah tumbuhnya polip kembali jika digunakan berkelanjutan. Tersedia

Page 18: fix + kesimpulan

semprot hidung steroid yang efektif dan relatif aman untuk pemakaian jangka

panjang dan jangka pendek seperti fluticson, mometason, budesonid dan lain-

lain .

Follow up:

Pasien dengan gejala minimal dapat dimonitor sekali setahun atau dua kali

setahun.

Pasien dengan gejala obstruktif yang mengganggu memerlukan follow up

yang lebih sering, terutama jika mereka sedang menerima kortikosteroid oral

dosis tinggi atau menggunakan semprot hidung steroid topikal dalam jangka

lama.

Intervensi bedah pada polip nasal dipertimbangkan setelah terapi

medikamentosa gagal dan untuk pasien dengan infeksi / peradangan sinus

berulang yang memerlukan perawatan dengan berbagai antibiotik.

b. Operatif

Menjelang operasi, selama 4 atau 5 hari pasien diberi antibiotik dan kortikosteroid

sistemik dan lokal. Hal ini penting untuk mengeliminasi bakteri dan mengurangi

inflamasi, karena inflamasi akan menyebabkan edema dan perdarahan yang

banyak, yang akan mengganggu kelancaran operasi. Kortikosteroid juga

bermanfaat untuk mengecilkan polip sehingga operasinya akan lebih mudah.

Dengan persiapan yang teliti, maka keadaan pasien akan optimal untuk menjalani

bedah sinus endoskopi dan kemungkinan timbulnya komplikasi juga ditekan

seminimal mungkin.

Dapat dilakukan ekstraksi polip (polipektomi) menggunakan senar polip atau

cunam dengan analgetik lokal, bisa juga dengan menggunakan alat yang sangat

menguntungkan seperti microdebrider yang dapat memotong langsung

menghisap polip sehingga perdarahan sangat minimal, yang terbaik ialah Bedah

Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF)

Page 19: fix + kesimpulan

Skema penatalaksanaan rinosinusitis antara lain sebagai berikut:7

1. Rinosinusitis Akut Dewasa

(Gambar 6. Skema Penatalaksanaan Rinosinusitis Akut Pada Dewasa Untuk

Pelayanan

Kesehatan Primer)

Page 20: fix + kesimpulan

(Gambar 7. Skema Penatalaksanaan Rinosinusitis Akut Pada Dewasa Untuk

Dokter Spesialis THT)

1. Rinosinusitis Kronis pada Dewasa

Page 21: fix + kesimpulan

(Gambar 8. Skema Penatalaksanaan Rinosinusitis Kronik Dengan Atau Tanpa

Polip Hidung Pada Dewasa Untuk Pelayanan Kesehatan Primer)

(Gambar 9. Skema Penatalaksanaan Rinosinusitis Kronik Tanpa Polip Hidung

Pada Dewasa Untuk Dokter Spesialis THT)

Page 22: fix + kesimpulan

(Gambar 10. Skema Penatalaksanaan Rinosinusitis Kronik Dengan Polip Hidung

Pada Dewasa Untuk Dokter Spesialis THT)

3. Rinosinusitis Akut pada Anak

Page 23: fix + kesimpulan

(Gambar 11. Skema penatalaksanaan rinosinusitis akut pada anak)

4. Rinosinusitis Kronis pada Anak

Page 24: fix + kesimpulan

(Gambar 12. Skema penatalaksanaan rinosinusitis kronik pada anak)

J. KOMPLIKASI4

Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya antibiotik.

Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis kronis

dengan eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita atau intrakranial.

Kelainan Orbita: Disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan

dengan mata (orbita), yang paling sering ialah sinusitis etmoid, kemudian

Page 25: fix + kesimpulan

sinusitis frontal dan maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis

dan perkontinuitatum. Kelainan yang dapat timbul ialah edema palpebra,

selulitis orbita, abses subperiostal, abses orbita dan selanjutnya dapat terjadi

trombosis sinus kavernosus.

Kelainan Intrakranial: Dapat berupa meningitis, abses ekstradural

atau subdural, abses otak dan trombosis sinus kavernosus.

Komplikasi juga dapat terjadi pada sinusitis kronis berupa:

Osteomielitis dan abses subperiostal. Paling sering timbul

akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak-anak. Pada

osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral atau fistula pada

pipi.

Kelainan paru, seperti bronkitis kronik dan bronkiektasis. Adanya

kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut

sinobronkitis. Selain itu dapat juga menyebabkan kambuhnya asma

bronkial yang sukar dihilangkan sebelum sinusitisnya disembuhkan.

K. PROGNOSIS

Prognosis tergantung dari ketepatan serta cepatnya penanganan yang diberikan.

Semakin cepat maka prognosis semakin baik. Pemberian antibiotika serta obat-

obat simptomatis bersama dengan penanganan faktor penyebab dapat memberikan

prognosis yang baik.

Polip nasi sering kambuh kembali, oleh karena itu pengobatannya juga perlu

ditujukan kepada penyebabnya, misalnya alergi. Tetapi yang paling ideal pada

Page 26: fix + kesimpulan

rinitis alergi adalah menghindari kontak dengan alergen penyebab. Secara

medikamentosa dapat diberikan antihistamin, dengan atau tanpa dekongestan yang

berbentuk tetes hidung yang bisa mengandung kortikosteroid atau tidak. Dan

untuk alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung lama dapat

dilakukan imunoterapi dengan cara desensitisasi dan hiposensitisasi, yang menjadi

pilihan apabila pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan.6

Page 27: fix + kesimpulan

BAB III

KESIMPULAN

Rinosinusitis kronik didefinisikan sebagai inflamasi dari hidung dan sinus

paranasal dengan minimal 2 gejala seperti sumbatan hidung, rinore, nyeri pada

muka, dan berkurangnya fungsi penghiduan, yang terjadi dalam waktu lebih dari

12 minggu. Rinosinusitis kronik dikategorikan berdasarkan ada tidaknya polip

nasi, yaitu rinosinusitis kronik dengan polip nasi, dan rinosinusitis tanpa polip

nasi. Gejala klinis rinosinusitis yang disertai polip nasi dibagi menjadi gejala

primer dan gejala sekunder. Gejala primer berupa hidung tersumbat, terasa ada

masa dalm hidung, sukar mengeluarkan ingus dan hiposmia atau anosmia. Gejala

sekunder berupa post nasal drip, rinore, nyeri wajah, sakit kepala, telinga

terasa penuh, mengorok, gangguan tidur dan penurunan prestasi kerja. Diagnosis

rinosinusitis kronik dengan polip nasi ditegakkan berdasarkan EP3OS 2007.

Penatalaksanaan rinosinusitis berupa pemberian antibiotik dan dekongestan.

Antibiotik yang dipilih adalah golongan penisilin seperti amoksisilin. Jika

diperkirakan kuman telah resisten atau memproduksi beta-laktamase, maka dapat

diberikan amoksisilin-klavulanat atau jenis sefalosporin generasi ke-2. Selain itu

dapat juga diberikan analgetik, mukolitik, steroid oral/topikal, pencucian rongga

hidung dengan NaCL atau pemanasan (diatermi). Tindakan operatif yang dapat

dilakukan berupa bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS). Untuk

tatalaksana polip digunakan kortikosteroid oral maupun topikal dan dapat

ekstraksi polip (polipektomi). Komplikasi yang dapat terjadi komplikasi orbita

berupa edema palpebra, selulitis orbita, abses subperiostal, abses orbita dan

trombosis sinus kavernosus serta komplikasi intrakranial berupa meningitis, abses

ekstradural atau subdural, abses otak dan trombosis sinus kavernosus. Prognosis

tergantung dari ketepatan serta cepatnya penanganan yang diberikan. Semakin

cepat maka prognosis semakin baik. Pemberian antibiotika serta obat-obat

simptomatis bersama dengan penanganan faktor penyebab dapat memberikan

prognosis yang baik.