Page 1
BAB I
PENDAHULUAN
Rinosinusitis merupakan terminologi luas yang mencakup berbagai
penyakit terkait, seperti rinosinusitis akut, rinosinusitis kronik dengan polip nasi,
dan rinosinusitis tanpa polip nasi.1 Rinosinusitis sendiri merupakan terminologi
yang telah diadopsi berbagai literatur pada masa kini sebagai pengganti
terminologi sinusitis.1 Istilah rinosinusitis lebih sering digunakan karena sinusitis
hampir selalu didahului atau disertai inflamasi dari mukosa nasal, yang
merupakan asal dari mukosa sinus.2,3
Rinosinusitis kronik, dalam berbagai literatur, didefinisikan sebagai
inflamasi dari hidung dan sinus paranasal dengan minimal 2 gejala seperti
sumbatan hidung, rinore, nyeri pada muka, dan berkurangnya fungsi penghiduan,
yang terjadi dalam waktu lebih dari 12 minggu. 1,2,4
Pada survey nasional tahun 2012 di Amerika, 12% dari total populasi
Amerika atau setara dengan 1 dari 8 orang dewasa di Amerika terdiagnosa
rinosinusitis.2 Benninger et al melaporkan bahwa jumlah kunjungan pasien
rinosinusitis kronik mencapai 18 sampai 22 juta kunjungan di Amerika pada tahun
2013.4 Sebuah studi di Sao Paolo dengan populasi 11 juta jiwa, didapatkan
prevalensi rinosinusitis kronik sebesar 5,51%. Studi lain di Korea menyebutkan
prevalensi rinosinusitis kronik sebesar 6,95%.1
Rinosinusitis, baik akut maupun kronis telah berdampak signifikan dalam
hal sosioekonomi. Di Amerika, pengobatan pasien dengan diagnosa rinosinusitis
akut menghabiskan biaya sekitar US$3 Milyar per tahun dengan rata-rata US$
1.100 per pasien, sedangkan rinosinusitis kronik pada tahun 2007 menghabiskan
biaya sekitar US$ 8,3 Milyar per tahun dengan rata-rata US$ 7.700 per pasien.2
Dampak rinosinusitis secara ekonomi tidak hanya terbatas pada biaya pengobatan
saja (obat, jasa dokter, tindakan), tetapi juga termasuk dampak secara tidak
langsung terhadap perkembangan perekonomian dengan menurunnya
produktivitas kerja.1,2 Secara rata-rata rinosinusitis kronik menyebabkan rata-rata
pasien tidak masuk kerja 1-2 hari dalam setahun, dan pasien dengan rinosinusitis
Page 2
kronik yang resisten terhadap pengobatan kehilangan 18 hari kerja dalam setahun.
Pasien-pasien dengan rinosinusitis kronik mengalami pengurangan 36% dalam
efektifitas kerja, dan 38% penurunan produktivitas. Dibandingkan dengan pasien
tanpa rinosinusitis kronik, penderita rinosinusitis kronik mengalami keterbatasan
aktivitas, kerja dan sosial yang lebih besar.2
Selain itu, pasien dengan rinosinusitis kronik juga mengalami dampak
dalam kualias hidup. Pasien dengan rinosinusitis kronik memiliki skor health
utility yang lebih rendah dibandingkan dengan penyakit kronik lainnya, termasuk
penyakit jantung kongestif, penyakit jantung koroner, dan penyakit paru obstruktif
kronis.2
Rinosinusitis kronik sendiri kemudian dikategorikan berdasarkan ada
tidaknya polip nasi, yaitu rinosinusitis kronik dengan polip nasi, dan rinosinusitis
tanpa polip nasi.1 Meskipun keduanya memiliki karakteristik yang sama yaitu
sekret yang mukopurulen dan sumbatan hidung, namun terdapat perbedaan gejala
yang dialami penderita. Pasien rinosinusitis tanpa polip nasi lebih merasakan
gejala nyeri / rasa adanya tekanan pada muka, dibandingkan pasien rinosinusitis
dengan polip nasi yang lebih dikarakteristikan dengan gejala hiposmia.1 Makalah
ini sendiri akan lebih membahas rinosinusitis dengan polip nasi.
Page 3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Definisi
Johnson dan Ferguson (1998) menyatakan bahwa karena mukosa kavum
nasi dan sinus paranasal saling berhubungan sebagai satu kesatuan maka inflamasi
yang terjadi pada kavum nasi biasanya berhubungan dengan inflamasi dalam sinus
paranasal.5 Secara histologi, mukosa kavum nasi dan mukosa sinus mempunyai
sejumlah kesamaan; mucous blanket sinus senantiasa berhubungan dengan kavum
nasi dan pada studi dengan CT-Scan untuk common cold ditunjukkan bahwa
mukosa kavum nasi dan sinus secara simultan mengalami proses inflamasi
bersama-sama.6 Alasan lainnya karena sebagian besar penderita sinusitis juga
menderita rinitis, jarang sinusitis tanpa disertai rinitis, gejala pilek, buntu hidung
dan berkurangnya penciuman ditemukan baik pada sinusitis maupun rinitis.7 Fakta
tersebut menunjukkan bahwa sinusitis merupakan kelanjutan dari rinitis, yang
mendukung konsep “one airway disease” yaitu bahwa penyakit di salah satu
bagian saluran napas akan cenderung berkembang ke bagian yang lain.9 Sejumlah
kelompok konsensus menyetujui pernyataan tersebut sehingga terminologi yang
lebih diterima hingga kini adalah rinosinusitis daripada sinusitis.9,10,11
Hubungan antara sinus paranasal dan kavum nasi secara lebih jelas dapat dilihat
pada gambar 1 dibawah ini.
Gambar 1.Hubungan antara sinus paranasal dan kavum nasi dan struktur yang terdapat pada
kompleks ostiomeatal meatus medius.11
Page 4
Sedangkan polip nasi adalah massa lunak yang tumbuh di dalam rongga
hidung. Kebanyakan polip berwarna putih bening atau keabu – abuan, mengkilat,
lunak karena banyak mengandung cairan (polip edematosa). Polip yang sudah
lama dapat berubah menjadi kekuning – kuningan atau kemerah – merahan, suram
dan lebih kenyal (polip fibrosa). Polip kebanyakan berasal dari mukosa sinus
etmoid, biasanya multipel dan dapat bilateral. Polip yang berasal dari sinus
maksila sering tunggal dan tumbuh ke arah belakang, muncul di nasofaring dan
disebut polip koanal.12
1.2 Anatomi Hidung dan Sinus Paranasal
1.2.1Anatomi Hidung
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke
bawah: pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak
hidung (tip), ala nasi, kolumela dan lubang hidung (nares anterior). Hidung luar
dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan
ikat dan beberapa otot kecil yaitu M. Nasalis pars transversa dan M. Nasalis pars
allaris. Kerja otot – otot tersebut menyebabkan nares dapat melebar dan
menyempit lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari 1) tulang hidung (os
nasal), 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal;
sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang
terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis
superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago alar mayor) dan
3) tepi anterior kartilago septum.1
Gambar 2. Anatomi hidung luar
Page 5
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi
kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares
anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang
menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Bagian dari kavum nasi yang
letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang nares anterior
disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak
kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.1
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial,
lateral, inferior dan superior. Dinding medial hidung adalah septum nasi yang
dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Septum dilapisi oleh perikondirum pada
bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian tulang, sedangkan diluarnya
dilapisi oleh mukosa hidung. Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka, yaitu
konka inferior yang terbesar dan letaknya paling bawah, kemudian konka media,
konka superior dan yang terkecil yaitu konka suprema yang biasanya rudimenter.
Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan
labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian
dari labirin etmoid.1
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit
yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu
inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior
dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior
terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara
konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat
muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus
superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka media
terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.1
Page 6
Gambar 3. Anatomi kavum nasi
Batas rongga hidung antara lain: 1
Inferior: dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum
Superior: atap hidung yang sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribiformis
yang memisahkan rongga tengkorak dari rungga hidung. Lamina kribiformis
merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoid yang berlubang-lubang
tempat masukna serabut-serabut saraf olfaktorius.
Posterior: atap rongga hidung yang dibentuk oleh os sfenoid
1.2.2 Kompleks Ostiomeatal (KOM)
Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan celah pada dinding lateral
hidung yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi
penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid,
hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan resesus frontal. KOM merupakan
unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drainase dari sinus-sinus
yang letaknya di anterior yaitu sinus maksila, etmoid anterior dan frontal. Jika
terjadi obstruksi pada celah yang sempit ini, maka akan terjadi perubahan
patologis yang signifikan pada sinus-sinus yang terkait.1
Page 7
Gambar 4. Kompleks Ostiomeatal
1.2.3 Anatomi Sinus Paranasal
Sinus paranasal adalah serangkaian rongga yang mengelilingi rongga
hidung. Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus etmoid, maksila, frontal dan
sfenoid. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala,
sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara
(ostium) ke dalam rongga hidung.2
Gambar 5. Sinus Paranasal
a. Sinus Etmoid
Page 8
Sinus etmoid terdiri dari 3-16 singular cells dengan volume total sekitar 3 ml.
Bagian lateral dipisahkan dari orbita oleh selapis tulang tipis yang disebut lamina
papirasea. Lamela basalis konka media membagi sinus etmoid menjadi kompleks
etmoidalis anterior dan posterior. Kompleks etmoidalis anterior terdiri atas selule
dan celah yang membuka dan mengalirkan sekret kearah anterior dan inferior
menuju lamela basalis. Bula etmoidalis merupakan sel etmoidalis yang terletak
paling anterior dan berlokasi di dalam lamina papirasea orbita. Kompleks
etmoidalis posterior terdiri atas selule dan celah yang mengalirkan sekret mukosa
kearah posterior dan medial menuju lamela dari konka media, selanjutnya ke
dasar tengkorak, dan dinding medial orbita.
b. Sinus Maksila
Sinus maksilaris merupakan rongga yang paling besar berbentuk piramid
terbalik, volume pada dewasa antara 15-30 ml. Kadang sinus ini terbagi dalam
beberapa ruang oleh sekat tulang tipistak beraturan. Ostium alami dari sinus
maksilaris berdiameter 1-3 mm (±2,5 mm), terletak tinggi diatas sinus yaitu di
dinding peromedial. Lokasi ostium di meatus medius, letaknya paling rendah
dibandingkan ostium sinus paranasal lainnya. Mukus atau sekret yang keluar dari
ostium sinus maksila akan mengalir ke bagian inferior infundibulum, kemudian
keluar melalui hiatus semilunaris menuju meatus medius.
c. Sinus Frontal
Sinus frontal mempunyai variabilitas tinggi dalam perkembangan, jumlah dan
ukuran. Bagian dari sinus ini yang meluas ke meatus medius membentuk
penonjolan, disebut resesus frontalis. Sinus frontal terbagi oleh septa tak
beraturan, memiliki batas tulang yang juga tak beraturan. Pada dinding posterior
dan inferior sinus ini berbatasan dengan anyaman pembuluh vena besar yang
menuju otak dan orbita. Sekret yang berasal dari sinus frontalis mengalir ke dalam
resesus frontalis melalui ostium nasofrontalis. Dari resesus frontalis, sekret
langsung menuju meatus medius, atau tidak langsung melalui aspek superior
infundibulum dan hiatus semilunaris.
d. Sinus sfenoid
Page 9
Sinus ini terletak paling posterior dari sinus paranasal lainnya. Pada dinding
lateral sinus berbatasan dengan beberapa struktur penting seperti sinus atau vena
kavernosus, arteri karotis, nervus kranial I, III, IV, V dan VI. Sekret yang berasal
dari sinus sfenoid mengalir melalui ostium tunggal ke dalam resesus
sfenoetmoidalis, disamping menuju bagian posterior selule sfenoidalis.
1.3 Fisiologi
Sinus paranasal dilapisi mukoperiosteum tipis yaitu epitel toraks berlapis
atau berlapis semu bersilia dengan sejumlah sel goblet. Dibawahnya terdapat
tunika propria yang merupakan jaringan fibroelastik dan terdapat kelenjar
serosanguinus. Kelenjar ini dan sel goblet secara konstan memproduksi mukus.
Pada sekresi mukus ini terdapat enzim lisozim (muramidase) yang mampu
membunuh kuman. Palut lendir (mucous blanket) yang berada di permukaan
epitel bersilia berfungsi melembabkan, menghangatkan udara yang dihirup dan
menangkap (membersihkan) polutan. Mukus beserta bahan material yang telah di
proses dihancurkan, selanjutnya oleh pergerakan silia (700 ayunan per menit)
akan di dorong dengan gerakan ritmis menuju ostia dengan pola tertentu. Gerak
silia ini diatur secara genetik sehingga bila ada ostium asesori atau lubang buatan
(fenster) pasca operasi Caldwell Luc, aliran mukus akan melingkari lubang
tersebut dan tetap menuju ostium alamiah.2
Patensi ostium sangat diperlukan agar berbagai bahan yang dapat
menyebabkan iritasi serta perubahan histopatologik mukosa dapat dialirkan keluar
sinus. Oleh gerakan silia, mucous blanket yang ada di setiap sinus akan dialirkan
seluruhnya keluar ostium (klirens mukosilier) dalam waktu 20-30 menit. Mukus
yang berasal dari sinus frontal, maksila dan etmoidalis anterior selanjutnya akan
nenuju kompleks ostiomeatal (KOM) di meatus medius. Kompleks ostiomeatal
(KOM) merupakan unit drainase fungsional sebagai tempat drainase bagi
kelompok sinus anterior (frontalis, ethmoid anterior dan maksilaris), juga meliputi
etmoidalis, prosesus unsinatus, infundibulum etmoidalis, hiatus semilunaris,
ostium sinus maksila, berperan penting bagi transport mukus dan debris serta
mempertahankan tekanan oksigen yang cukup untuk mencegah pertumbuhan
Page 10
bakteri. Prosesus unsinatus adalah penonjolan tulang mirip bukit pada dinding
meatus medius yang letaknya anterior dari bula etmoidalis. Infundibulum
merupakan ruang berbentuk corong antara bula etmoidalis dan prosesus unsinatus,
pada akhirnya menerima aliran sekret dari sinus frontalis dan maksilaris. Hiatus
semilunaris merupakan cekungan berbentuk sabit dengan panjang sekitar 2 cm
dan kedalaman 3-4 mm, terletak diantara bula etmoidalis dan prosesus unsinatus.
Sekret yang berada di hiatus semilunaris berasal dari infundibulum, selanjutnya
menuju meatus medius, kemudian ke dalam hidung.
Obstruksi ostium sinus pada KOM merupakan faktor predisposisi yang
sangat berperan bagi terjadinya rinosinusitis kronik.3Sedangkan mukus dari sinus
etmoidalis posterior dan sfenoid akan mengalir menuju meatus superior melalui
resesus fenoetmoidalis.Transport mukus selanjutnya menuju nasofaring dengan
mengelilingi tuba Eustachius.
1.4 Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan
lancarnya klirens mukosiliar didalam KOM. Mukus juga mengandung substansi
antimikroba dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh
terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan.6
Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edema,
mukosa yang berdekatan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak
dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif didalam, bila kondisi ini
menetap sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan media yang baik untuk
tumbuhnya dan multipikasi bakteri. Sekret menjadi purulen, inflamasi berlanjut,
terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Bila proses terus berlanjut,
mukosa yang sembab makin membesar dan kemudian akan turun ke dalam rongga
hidung sambil membentuk tangkai, sehingga terbentuk polip.
Polip di kavum nasi terbentuk akibat proses radang yang lama. Penyebab
tersering adalah sinusitis kronik dan rinitis alergi. Dalam jangka waktu yang lama,
vasodilatasi lama dari pembuluh darah submukosa menyebabkan edema mukosa.
Mukosa akan menjadi ireguler dan terdorong ke sinus dan pada akhirnya
Page 11
membentuk suatu struktur bernama polip. Biasanya terjadi di sinus maksila,
kemudian sinus etmoid. Setelah polip terus membesar di antrum, akan turun ke
kavum nasi. Hal ini terjadi karena bersin dan pengeluaran sekret yang berulang
yang sering dialami oleh orang yang mempunyai riwayat rinitis alergi karena pada
rinitis alergi terutama rinitis alergi perennial yang banyak terdapat di Indonesia
karena tidak adanya variasi musim sehingga alergen terdapat sepanjang tahun.
Begitu sampai dalam kavum nasi, polip akan terus membesar dan bisa
menyebabkan obstruksi di meatus media.
1.5 Etiologi dan Faktor lainnya
Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus,
bermacam rinitis terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita hamil, polip
hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan
kompleks ostiomeatal, infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia
silia seperti pada sindrom Kartagenener, dan di luar negeri adalah penyakit
fibrosis kistik. Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab
sinusitis sehingga perlu dilakukan adenoidektomi untuk menghilangkan sumbatan
dan menyembuhkan rinosinusitisnya. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah
lingkungan berpolusi, udara dingin dan kering serta kebiasaan merokok. Keadaan
ini lama-lama menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia.4
1.6 Etiologi dan Faktor lainnya
Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus,
bermacam rinitis terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita hamil, polip
hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan
kompleks ostiomeatal, infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia
silia seperti pada sindrom Kartagenener, dan di luar negeri adalah penyakit
fibrosis kistik. Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab
sinusitis sehingga perlu dilakukan adenoidektomi untuk menghilangkan sumbatan
dan menyembuhkan rinosinusitisnya. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah
lingkungan berpolusi, udara dingin dan kering serta kebiasaan merokok. Keadaan
ini lama-lama menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia.4
Page 12
1.7 Manifestasi Klinis
Keluhan utama rinosinusitis akut ialah hidung tersumbat disertai nyeri atau
rasa tekanan pada muka dan terdapat sekret purulen, yang seringkali turun ke
tenggorok (post nasal drip). Dapat disertai gejala sistemik seperti demam dan
lesu.4 Keluhan nyeri atau rasa tekanan di daerah sinus yang terkena merupakan
ciri khas sinusitis akut, serta kadang-kadang nyeri juga terasa di tempat lain
(reffered pain). Nyeri pipi menandakan sinusitis maksila, nyeri di antara atau
di belakang kedua bola mata menandakan sinusitis etmoid, nyeri di dahi atau
seluruh kepala menandakan sinusitis frontal. Pada sinusitis sfenoid, nyeri
dirasakan di verteks, oksipital, belakang bola mata dan daerah mastoid. Pada
sinusitis maksila kadang-kadang ada nyeri alih ke gigi dan telinga. 4 Gejala lain
adalah sakit kepala, hiposmia/ anosmia, halitosis, post-nasal drip yang
menyebabkan batuk dan sesak pada anak. 4 Keluhan sinusitis kronik tidak khas
sehingga sulit didiagnosis. Kadang-kadang hanya 1 atau 2 dari gejala-gejala di
bawah ini yaitu sakit kepala kronik, post nasal drip, batuk kronik, gangguan
tenggorok, gangguan telinga akibat sumbatan kronik muara tuba Eustachius,
gangguan ke paru seperti bronitis (sino-bronkitis), bronkiektasis dan yang penting
adalah serangan asma yang meningkat dan sulit diobati. Pada anak, mukopus yang
tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis.4
Pada rinosinusitis yang disertai polip nasi, gejala primer adalah hidung
tersumbat, terasa ada masa dalm hidung, sukar mengeluarkan ingus dan hiposmia
atau anosmia. Gejala sekunder termasuk post nasal drip, rinore, nyeri wajah,
sakit kepala, telinga terasa penuh, mengorok, gangguan tidur dan penurunan
prestasi kerja.6 Pembagian stadium polip menurut Mackay dan Lundt:
Stadium I : polip masih terbatas
di meatus medius
Stadium II : polip sudah keluar
dari meatus medius, tampak di
ronggga hidung tapi belum
memenuhi rongga hidung.
Page 13
Stadium III : polip yang masif.
1.8 Diagnosis Banding
Diagnosis banding rinosinusitis tergantung dari gejala klinis pada pasien.
Dari anamnesis bila didapatkan keluhan hidung terseumbat dan berair, cairan
putih kekuningan dapat dipikirkan adanya common cold, korpus alienum di
hidung dan adenoitis. Jika ditemukan sakit kepala dapat dipikirkan tension
headache, migraine headache, cluster headache atau reffered
pain headache, sedangkan batuk kronik dapat difikirkan
pertusis, bronkitis, tuberkulosis, dan GERD.8 Pada polip nasi, diagnosis banding
polip nasi termasuk tumor-tumor jinak yang dapat tumbuh di hidung seperti
kondroma, neurofibroma, angiofibroma dan lain-lain. Papiloma inversi (Inverted
papiloma) adalah tumor hidung yang secara histologis jinak tapi perangai
klinisnya ganas dapat menyebabkan pendesakan / destruksi dan sering kambuh
kembali, penampakannya sangat menyerupai polip. Tumor ganas hidung seperti
karsinoma atau sarkoma biasanya unilateral, ada rasa nyeri dan mudah berdarah,
sering menyebabkan destruksi tulang. Diagnosis banding lain adalah konka
polipoid, yang ciri-cirinya tidak bertangkai, sukar digerakkan, nyeri bila ditekan
dengan pinset, mudah berdarah, dapat mengecil pada pemakaian vasokonstriktor
(kapas adrenalin).
1.9 Penegakan Diagnosis
Diagnosis rinosinusitis kronik dengan polip nasi (pada dewasa) berdasarkan
EP3OS 2007 ditegakkan berdasarkan penilaian subyektif, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang lainnya.Penilaian subyektif berdasarkan pada keluhan,
berlangsung lebih dari 12 minggu:
1) Buntu hidung, kongesti atau sesak
2) Sekret hidung / post nasal drip, umumnya mukopurulen
3) Nyeri wajah / tekanan, nyeri kepala dan
4) Penurunan / hilangnya penciuman
Pemeriksaan fisik yang dilakukan mencakup rinoskopi anterior dan posterior.
Yang menjadi pembeda antara kelompok rinosinusitis kronik tanpa dan dengan
Page 14
nasal polip adalah ditemukannya jaringan polip/jaringan polipoid pada
pemeriksaan rinoskopi anterior. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara
lain endoskopi nasal, sitologi dan bakteriologi nasal, pencitraan (foto polos sinus,
transiluminasi, CT-scan dan MRI), pemeriksaan fungsi mukosiliar, penilaian
nasal airway, fungsi penciuman dan pemeriksaan laboratorium.
Anamnesis
Anamnesis yang cermat dan teliti sangat diperlukan terutama dalam
menilai gejala-gejala yang ada pada kriteria diatas, mengingat patofisiologi
rinosinusitis kronik yang kompleks. Adanya penyebab infeksi baik bakteri
maupun virus, adanya latar belakang alergi atau kemungkinan kelainan anatomis
rongga hidung dapat dipertimbangkan dari riwayat penyakit yang
lengkap.Informasi lain yang perlu berkaitan dengan keluhan yang dialami
penderita mencakup durasi keluhan, lokasi, faktor yang memperingan atau
memperberat serta riwayat pengobatan yang sudah dilakukan.Menurut EP3OS
2007, keluhan subyektif yang dapat menjadi dasar rinosinusitis kronik adalah:
1) Obstruksi nasal
Keluhan buntu hidung pasien biasanya bervariasi dari obstruksi aliran udara
mekanis sampai dengan sensasi terasa penuh daerah hidung dan sekitarnya.
2) Sekret / discharge nasal
Dapat berupa anterior atau posterior nasal drip.
3) Abnormalitas penciuman
Fluktuasi penciuman berhubungan dengan rinosinusitis kronik yang mungkin
disebabkan karena obstruksi mukosa fisura olfaktorius dengan/tanpa alterasi
degeneratif pada mukosa olfaktorius.
4) Nyeri / tekanan fasial
Lebih nyata dan terlokalisir pada pasien dengan rinosinusitis akut, pada
rinosinusitis kronik keluhan lebih difus dan fluktuatif.
Page 15
Selain untuk mendapatkan riwayat penyakit, anamnesis juga dapat digunakan
untuk menentukan berat ringannya keluhan yang dialami penderita. Ini berguna
bagi penilaian kualitas hidup penderita. Ada beberapa metode/test yang dapat
digunakan untuk menilai tingkat keparahan penyakit yang dialami penderita,
namun lebih sering digunakan bagi kepentingan penelitian, antara lain dengan
SNOT-20 (sinonasal outcome test), CSS (chronic sinusitis survey) dan RSOM-31
(rhinosinusitis outcome measure).
Pemeriksaan Fisik
Rinoskopi anterior dengan cahaya lampu kepala yang adekuat dan kondisi
rongga hidung yang lapang (sudah diberi topikal dekongestan sebelumnya).
Dengan rinoskopi anterior dapat dilihat kelainan rongga hidung yang
berkaitan dengan rinosinusitis kronik seperti udem konka, hiperemi, sekret
(nasal drip), krusta, deviasi septum, tumor atau polip.
Rinoskopi posterior bila diperlukan untuk melihat patologi di belakang
rongga hidung.
Pemeriksaan Penunjang
Transiluminasi, merupakan pemeriksaan sederhana terutama untuk menilai
kondisi sinus maksila. Pemeriksaan dianggap bermakna bila terdapat
perbedaan transiluminasi antara sinus kanan dan kiri.
Endoskopi nasal, dapat menilai kondisi rongga hidung, adanya sekret, patensi
kompleks ostiomeatal, ukuran konka nasi, udem disekitar orifisium tuba,
hipertrofi adenoid dan penampakan mukosa sinus.Indikasi endoskopi nasal
yaitu evaluasi bila pengobatan konservatif mengalami kegagalan.Untuk
rinosinusitis kronik, endoskopi nasal mempunyai tingkat sensitivitas sebesar
46 % dan spesifisitas 86 %.
Radiologi, merupakan pemeriksaan tambahan yang umum dilakukan,
meliputi X-foto posisi Water, CT-scan, MRI dan USG. CT-scan merupakan
modalitas pilihan dalam menilai proses patologi dan anatomi sinus, serta
untuk evaluasi rinosinusitis lanjut bila pengobatan medikamentosa tidak
Page 16
memberikan respon.Ini mutlak diperlukan pada rinosinusitis kronik yang
akan dilakukan pembedahan.
Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan antara lain:
− Sitologi nasal, biopsi, pungsi aspirasi dan bakteriologi
− Tes alergi
− Tes fungsi mukosiliar: kliren mukosiliar, frekuensi getar siliar, mikroskop
elektron dan nitrit oksida
− Penilaian aliran udara nasal (nasal airflow): nasal inspiratory peakflow,
rinomanometri, rinometri akustik dan rinostereometri
− Tes fungsi olfaktori: threshold testing
− Laboratorium: pemeriksaan CRP (C-reactive protein)
1.10 Pentalaksanaan
1. 10.1 Penatalaksanaan Rinosinusitis4
Tujuan terapi sinusitis ialah 1) mempercepat penyembuhan; 2) mencegah
komplikasi; dan 3) mencegah perubahan menjadi kronik. Prinsip pengobatan ialah
membuka sumbatan di KOM sehingga drainase dan ventilasi sinus-sinus pulih
secara alami. Antibiotik dan dekongestan merupakan pilihan pada sinusitis akut
bakterial, untuk menghilagkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta membuka
sumbatan ostium sinus. Antibiotik yang dipilih adalah golongan penisilin seperti
amoksisilin. Jika diperkirakan kuman telah resisten atau memproduksi beta-
laktamase, maka dapat diberikan amoksisilin-klavulanat atau jenis sefalosporin
generasi ke-2. Pada sinusitis antibiotik diberikan selama 10-14 hari meskipun
gejala klinik sudah hilang.
Pada sinusitis kronik diberikan antibiotik yang sesuai untuk kuman negatif
gram dan anaerob.4 Selain dekongestan oral dan topikal, terapi lain dapat
diberikan jika diperlukan, seperti analgetik, mukolitik, steroid oral/topikal,
pencucian rongga hidung dengan NaCL atau pemanasan (diatermi). Antihistamin
Page 17
tidak rutin diberikan, karena sifat antikolinergiknya dapat menyebabkan sekret
jadi lebih kental. Bila ada alergi berat sebaiknya diberikan antihistamin generasi
ke-2. Irigasi sinus maksila atauProetz displacement therapy juga
merupakan terapi tambahan yang dapat bermanfaat. Imunoterapi dapat
dipertimbangkan jika pasien menderita kelainan alergi yang berat.
Tindakan Operasi
Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) merupakan operasi terkini untuk
sinusitis kronik yang memerlukan operasi/ Tindakan ini telah menggantikan
hampir semua jenis bedah sinus terdahulu karena memberikan hasil yang lebih
memuaskan dan tindakan lebih ringan dan tidak radikal. Indikasinya berupa:
sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat, sinusitis kronik
disertai kista atau kelainan yang ireversibel; polip ekstensif, adanya komplikasi
sinusitis serta sinusitis jamur.4
1.10.2 Penatalaksanaan Polip6
a. Non Operatif
Satu-satunya pengobatan yang efektif untuk polip nasal adalah kortikosteroid.
Baik bentuk oral maupun topikal, memberikan respon anti inflamasi non-spesifik
yang mengurangi ukuran polip dan mengurangi gejala sumbatan hidung. Obat-
obatan lain tidak memberikan dampak yang berarti.
1) Kortikosteroid oral
Pengobatan yang telah teruji untuk sumbatan yang disebabkan polip nasal adalah
kortikosteroid oral seperti prednison. Agen anti inflamasi nonspesifik ini secara
signifikan mengurangi ukuran peradangan polip dan memperbaiki gejala lain
secara cepat. Sayangnya, masa kerja sebentar dan polip sering tumbuh kembali
dan munculnya gejala yang sama dalam waktu mingguan hingga bulanan
2) Kortikosteroid Topikal Hidung
Respon antiinflamasi non-spesifiknya secara teoritis mengurangi ukuran polip dan
mencegah tumbuhnya polip kembali jika digunakan berkelanjutan. Tersedia
Page 18
semprot hidung steroid yang efektif dan relatif aman untuk pemakaian jangka
panjang dan jangka pendek seperti fluticson, mometason, budesonid dan lain-
lain .
Follow up:
Pasien dengan gejala minimal dapat dimonitor sekali setahun atau dua kali
setahun.
Pasien dengan gejala obstruktif yang mengganggu memerlukan follow up
yang lebih sering, terutama jika mereka sedang menerima kortikosteroid oral
dosis tinggi atau menggunakan semprot hidung steroid topikal dalam jangka
lama.
Intervensi bedah pada polip nasal dipertimbangkan setelah terapi
medikamentosa gagal dan untuk pasien dengan infeksi / peradangan sinus
berulang yang memerlukan perawatan dengan berbagai antibiotik.
b. Operatif
Menjelang operasi, selama 4 atau 5 hari pasien diberi antibiotik dan kortikosteroid
sistemik dan lokal. Hal ini penting untuk mengeliminasi bakteri dan mengurangi
inflamasi, karena inflamasi akan menyebabkan edema dan perdarahan yang
banyak, yang akan mengganggu kelancaran operasi. Kortikosteroid juga
bermanfaat untuk mengecilkan polip sehingga operasinya akan lebih mudah.
Dengan persiapan yang teliti, maka keadaan pasien akan optimal untuk menjalani
bedah sinus endoskopi dan kemungkinan timbulnya komplikasi juga ditekan
seminimal mungkin.
Dapat dilakukan ekstraksi polip (polipektomi) menggunakan senar polip atau
cunam dengan analgetik lokal, bisa juga dengan menggunakan alat yang sangat
menguntungkan seperti microdebrider yang dapat memotong langsung
menghisap polip sehingga perdarahan sangat minimal, yang terbaik ialah Bedah
Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF)
Page 19
Skema penatalaksanaan rinosinusitis antara lain sebagai berikut:7
1. Rinosinusitis Akut Dewasa
(Gambar 6. Skema Penatalaksanaan Rinosinusitis Akut Pada Dewasa Untuk
Pelayanan
Kesehatan Primer)
Page 20
(Gambar 7. Skema Penatalaksanaan Rinosinusitis Akut Pada Dewasa Untuk
Dokter Spesialis THT)
1. Rinosinusitis Kronis pada Dewasa
Page 21
(Gambar 8. Skema Penatalaksanaan Rinosinusitis Kronik Dengan Atau Tanpa
Polip Hidung Pada Dewasa Untuk Pelayanan Kesehatan Primer)
(Gambar 9. Skema Penatalaksanaan Rinosinusitis Kronik Tanpa Polip Hidung
Pada Dewasa Untuk Dokter Spesialis THT)
Page 22
(Gambar 10. Skema Penatalaksanaan Rinosinusitis Kronik Dengan Polip Hidung
Pada Dewasa Untuk Dokter Spesialis THT)
3. Rinosinusitis Akut pada Anak
Page 23
(Gambar 11. Skema penatalaksanaan rinosinusitis akut pada anak)
4. Rinosinusitis Kronis pada Anak
Page 24
(Gambar 12. Skema penatalaksanaan rinosinusitis kronik pada anak)
J. KOMPLIKASI4
Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya antibiotik.
Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis kronis
dengan eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita atau intrakranial.
Kelainan Orbita: Disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan
dengan mata (orbita), yang paling sering ialah sinusitis etmoid, kemudian
Page 25
sinusitis frontal dan maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis
dan perkontinuitatum. Kelainan yang dapat timbul ialah edema palpebra,
selulitis orbita, abses subperiostal, abses orbita dan selanjutnya dapat terjadi
trombosis sinus kavernosus.
Kelainan Intrakranial: Dapat berupa meningitis, abses ekstradural
atau subdural, abses otak dan trombosis sinus kavernosus.
Komplikasi juga dapat terjadi pada sinusitis kronis berupa:
Osteomielitis dan abses subperiostal. Paling sering timbul
akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak-anak. Pada
osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral atau fistula pada
pipi.
Kelainan paru, seperti bronkitis kronik dan bronkiektasis. Adanya
kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut
sinobronkitis. Selain itu dapat juga menyebabkan kambuhnya asma
bronkial yang sukar dihilangkan sebelum sinusitisnya disembuhkan.
K. PROGNOSIS
Prognosis tergantung dari ketepatan serta cepatnya penanganan yang diberikan.
Semakin cepat maka prognosis semakin baik. Pemberian antibiotika serta obat-
obat simptomatis bersama dengan penanganan faktor penyebab dapat memberikan
prognosis yang baik.
Polip nasi sering kambuh kembali, oleh karena itu pengobatannya juga perlu
ditujukan kepada penyebabnya, misalnya alergi. Tetapi yang paling ideal pada
Page 26
rinitis alergi adalah menghindari kontak dengan alergen penyebab. Secara
medikamentosa dapat diberikan antihistamin, dengan atau tanpa dekongestan yang
berbentuk tetes hidung yang bisa mengandung kortikosteroid atau tidak. Dan
untuk alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung lama dapat
dilakukan imunoterapi dengan cara desensitisasi dan hiposensitisasi, yang menjadi
pilihan apabila pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan.6
Page 27
BAB III
KESIMPULAN
Rinosinusitis kronik didefinisikan sebagai inflamasi dari hidung dan sinus
paranasal dengan minimal 2 gejala seperti sumbatan hidung, rinore, nyeri pada
muka, dan berkurangnya fungsi penghiduan, yang terjadi dalam waktu lebih dari
12 minggu. Rinosinusitis kronik dikategorikan berdasarkan ada tidaknya polip
nasi, yaitu rinosinusitis kronik dengan polip nasi, dan rinosinusitis tanpa polip
nasi. Gejala klinis rinosinusitis yang disertai polip nasi dibagi menjadi gejala
primer dan gejala sekunder. Gejala primer berupa hidung tersumbat, terasa ada
masa dalm hidung, sukar mengeluarkan ingus dan hiposmia atau anosmia. Gejala
sekunder berupa post nasal drip, rinore, nyeri wajah, sakit kepala, telinga
terasa penuh, mengorok, gangguan tidur dan penurunan prestasi kerja. Diagnosis
rinosinusitis kronik dengan polip nasi ditegakkan berdasarkan EP3OS 2007.
Penatalaksanaan rinosinusitis berupa pemberian antibiotik dan dekongestan.
Antibiotik yang dipilih adalah golongan penisilin seperti amoksisilin. Jika
diperkirakan kuman telah resisten atau memproduksi beta-laktamase, maka dapat
diberikan amoksisilin-klavulanat atau jenis sefalosporin generasi ke-2. Selain itu
dapat juga diberikan analgetik, mukolitik, steroid oral/topikal, pencucian rongga
hidung dengan NaCL atau pemanasan (diatermi). Tindakan operatif yang dapat
dilakukan berupa bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS). Untuk
tatalaksana polip digunakan kortikosteroid oral maupun topikal dan dapat
ekstraksi polip (polipektomi). Komplikasi yang dapat terjadi komplikasi orbita
berupa edema palpebra, selulitis orbita, abses subperiostal, abses orbita dan
trombosis sinus kavernosus serta komplikasi intrakranial berupa meningitis, abses
ekstradural atau subdural, abses otak dan trombosis sinus kavernosus. Prognosis
tergantung dari ketepatan serta cepatnya penanganan yang diberikan. Semakin
cepat maka prognosis semakin baik. Pemberian antibiotika serta obat-obat
simptomatis bersama dengan penanganan faktor penyebab dapat memberikan
prognosis yang baik.