II-1 BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Kerja Fisik dan Konsumsi Energi 1 Secara umum yang dimaksudkan dengan kerja fisik (physical work) adalah kerja yang memerlukan energi fisik otot manusia sebagai sumber tenaganya (power). Kerja fisik seringkali juga disebut sebagai “manual operation” dimana performans kerja sepenuhnya tergantung manusia baik yang berfungsi sebagai sumber tenaga (power) ataupun pengendalian kerja (control). Kerja fisik seringkali pula dikonotasikan sebagai kerja berat ataupun kerja kasar dapat dirumuskan sebagai kegiatan yang memerlukan usaha fisik manusia yang kuat selama periode kerja berlangsung. Dalam hal ini kerja fisik ini, maka konsumsi energi (energy consumption) merupakan faktor utama dan tolok ukur yang dipakai sebagai penentu berat/ringannya kerja fisik tersebut. Proses mekanisasi kerja dalam berbagai kasus akan diaplikasikan sebagai jalan keluar untuk mengurangi beban kerja yang terlalu berat dan harus dipikul manusia. Dengan mekanisasi peran manusia sebagai sumber energi kerja akan digantikan oleh mesin. Hali ni akan memberikan kemampuan yang lebih besar lagi 1 Sritomo Wignjosoebroto, Ergonomi, Studi Gerak dan Waktu: Teknik Analisis untuk Peningkatan Produktivitas Kerja, (Surabaya: Guna Widya, 2008), hal. 272-275
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
II-1
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Kerja Fisik dan Konsumsi Energi1
Secara umum yang dimaksudkan dengan kerja fisik (physical work) adalah
kerja yang memerlukan energi fisik otot manusia sebagai sumber tenaganya
(power). Kerja fisik seringkali juga disebut sebagai “manual operation” dimana
performans kerja sepenuhnya tergantung manusia baik yang berfungsi sebagai
sumber tenaga (power) ataupun pengendalian kerja (control). Kerja fisik
seringkali pula dikonotasikan sebagai kerja berat ataupun kerja kasar dapat
dirumuskan sebagai kegiatan yang memerlukan usaha fisik manusia yang kuat
selama periode kerja berlangsung. Dalam hal ini kerja fisik ini, maka konsumsi
energi (energy consumption) merupakan faktor utama dan tolok ukur yang dipakai
sebagai penentu berat/ringannya kerja fisik tersebut. Proses mekanisasi kerja
dalam berbagai kasus akan diaplikasikan sebagai jalan keluar untuk mengurangi
beban kerja yang terlalu berat dan harus dipikul manusia. Dengan mekanisasi
peran manusia sebagai sumber energi kerja akan digantikan oleh mesin. Hali ni
akan memberikan kemampuan yang lebih besar lagi untuk menyelesaikan
aktivitas-aktivitas yang memerlukan energi fisik yang besar dan berlangsung
dalam periode yang lama.
2.1. 1. Proses Metabolisme
Proses metabolisme yang terjadi dalam tubuh manusia merupakan phase
yang penting sebagai penghasil energi yang diperlukan untuk kerja fisik. Proses
metabolisme ini bisa dianalogikan dengan proses pembakaran yang kita jumpai
dalam mesin motor bakar (combustion engine). Lewat proses metabolis akan
dihasilkan panas dan energi yang diperlukan untuk kerja fisik (mekanis) lewat
sistem otot manusia. Di sini zat-zat makanan akan bersenyawa dengan oxygen
(O2) yang dihirup, terbakar dan menimbukan panas serta energi mekanik.
1 Sritomo Wignjosoebroto, Ergonomi, Studi Gerak dan Waktu: Teknik Analisis untuk Peningkatan Produktivitas Kerja, (Surabaya: Guna Widya, 2008), hal. 272-275
II-2
Dalam literatur ergonomi, besarnya energi yang dihasillkan ataupun
dikonsumsikan akan dinyatakan dalam satuan “kilo kalori atau Kkal” atau
“kiloJoules (KJ)” bilamana akan dinyatakan dalam Satuan Standard Internasional
(SI); dimana :
1 Kilocalorie (Kcal) = 4,2 kilojoules (KJ)
Nilai konversi diatas akan dapat berguna bilamana nilai konsumsi energi
diberikan dalam satuan “watt” (1 watt = 1 joule/detik)
Selanjutnya dalam fisiologi kerja, energi yang dikonsumsikan seringkali
bisa diukur secara langsung yaitu melalui konsumsi oksigen (O2) yang dihisap.
Dalam hal ini konversi bisa dinyatakan sebagai berikut :
1 liter O2 = 4,8 Kcal = 20 KJ
Dari nilai konversi tersebut, tampak bahwa nilai kalori oksigen dari setiap
liter oksigen yang dihirup akan menghasilkan energi rata-rata sebesar 4.8 Kkal
atau 20 kJ. Istilah yang sering digunakan untuk mengkontroversikan 1 liter
oksigen dengan energi yang dihasilkan oleh tubuh manusia adalah nilai klarifik
dari oksigen. Dari nilai konversi yang telah distandarkan tersebut, maka untuk
mengetahui berapa konsumsi energi (dalam kkal) yang diperlukan untuk
melaksanakan suatu kegiatan manual fisik dapat dicari dengan mengukur secara
langsung volume oksigen yang dihirup manusia secara bebas dan kemudian
dikalikan dengan standar nilai 4,8 Kkal.
Cara lain yang bisa diaplikasikan untuk mengetahui besarnya energi kerja
fisik adalah dengan membandingkan konsumsi oksigen dengan laju detak
jantung/nadi yang dapat dinyatakan sebagai berikut:
1. Operator laki-laki yang melakukan aktivitas manual fisik dengan pulsa 75
denyut atas detak per menit akan ekuivalen dengan konsumsi oksigen 0,5
liter/menit atau sepadan dengan pengeluaran energi 2,5 Kkal/menit. Perlu
dicatat bahwa pulsa jantung wanita umumnya akan berdenyut lebih tinggi
dibandingkan dengan laki-laki (sekitar 10 denyut/menit lebih tinggi).
2. Bilamana tidak ada kegiatan fisik dilakukan misalnya dlama kondisi istirahat
biasanya pulsa akan sebesar 62 denyut/menit, dimana hal ini akan ekuivalen
II-3
dengan konsumsi oksigen sebesar 250 ml/menit atau sepadan dengan
pengeluaran energi sebesar 1,25 Kkal/menit.
Pengukuran detak/denyut jantung nadi akan sangat sensitif terhadap
temperatur dan tekanan emosi manusia, dan diisi lain pengukuran melalui
konsumsi oksigen pada dasarnya tidak akan banyak dipengaruhi oleh perbedaan
karakteristik individu manusia yang akan di ukur. Dalam aktivitas penelitian
tentang pengukuran energi fisik untuk kerja maka kedua metode ini yang paling
sering diaplikasikan. Untuk pengukuran denyut nadi/jantung, pengukuran
dilaksanakan pada saat sebelum siklus kerja dimulai, kemudian pada saat setiap
menit selama siklus kerja berlangsung dan tiga menit selama periode pemulihan
(recovery). Sedangkan untuk pengukuran oksigen yang dikonsumsikan
(liter/menit), maka pengukuran dilakukan terhadap volume oksigen yang dihirup
permenit yang diambil lima menit terakhir setiap siklus berlangsung.
Perlu diketahui konsumsi oksigen akan tetap diperlukan meskipun orang
tidak melakukan aktivitas fisik kondisi seperti ini disebut sebagai basal
metabolism dimana dalam kondisi seperti ini energi kimiawi dari makanan hampir
seluruhnya akan di pakai untuk menjaga panas badan agar manusia bisa tetap
hidup. Adanya kerja fisik akan menyebabkan penambahan energi. Kenaikan
konsumsi energi dalam kerja fisik ini disebut kalori kerja sehingga nilai konsumsi
energi untuk kerja atau metabolisme kerja dapat diformulasikan sebagai berikut :
Konsumsi energi untuk kerja = metabolisme basal + nilai kalori kerja
Basal metabolisme sering juga disebut sebagai metabolisme dasar. Besar
kecilnya akan ditentukan oleh berat badan, tinggi badan dan jenis kelamin.
Sebagai acuan dasar metabolisme untuk:
1. Laki-laki, dewasa, berat 70 kg = 1,2 Kkal/menit atau sekitar 1.700 Kkal/24 jam
2. Wanita, dewasa, berat 60 = 1 Kkal/menit atau sekitar 1.450 Kkal/24 jam
2.1.2 Standar untuk Energi Kerja
Dari hasil penelitian mengenai fisiologi kerja diperoleh kesimpulan bahwa
5,2 kkal/menit akan dipertimbangkan sebagai maksimum energi yang
dikonsumsikan untuk melaksanakan kerja fisik berat atau kasar secara terus-
II-4
menerus. Nilai 5,2 kkal/menit dapat pula dikonversikan dalam bentuk konsumsi
5,2 kkal/menit = 5,2 x 4,2 KJ/menit = 21,84 KJ/menit
atau 21,48 x 1000/60 = 364 watt
Bilamana nilai metabolisme basal = 1,2 Kkal/menit, maka energi yang
dikonsumsikan untuk kerja fisik berat adalah (5,2-1,2=4,0 Kkal/menit). Nilai
kalori kerja 5,2 pada kondisi kerja standar ini akan menyebabkan jantung/nadi
berdetak sekitar 120 detik/menit. Nilai-nilai ini kemudian akan dipakai sebagai
tolok ukur yang akan menggambarkan kondisi kerja standar. Kepastian energi
yang mampu dihasilkan oleh seseorang juga akan dipengaruhi oleh faktor usia.
Disini kapasitas maksimum seorang pekerja adalah pada usia antara 2-30 tahun
(100%). Presentase kemampuan berdasarkan tingkat usia dapat dilihat pada Tabel
2.1.
Tabel 2.1. Persentase Kemampuan Berdasarkan Tingkat Usia
Usia (Tahun) Persentase Kemampuan (%)
20-30 100 %
40 96 %
50 90 %
60 80 %
65 75 %
2.1.3. Pengukuran Denyut Jantung2
Derajat beratnya beban kerja tidak hanya tergantung pada jumlah kalori
yang dikonsumsi, akan tetapi jiga tergantung pada jumlah otot yang terlibat pada
pembebanan otot statis. Sejumlah konsumsi energi tertentu akan lebih berat jika
hanya ditunjang oleh sejumlah kecil otot relatif terhadap sejumlah besar otot.
Begitu juga untuk konsumsi energi dapat juga untuk menganalisa pembebanan
otot statis dan dinamis.2 Tri Lestari Kusuma Putri, Pengukuran Denyut Jantung 2010. Diakses dari http://www .scribd. com/doc/42413648/Pengukuran-Denyut-Jantung. Pada Tanggal 25 Mei 2014 pukul 20.30 WIB.
II-5
Pengukuran denyut jantung adalah merupakan salah satu alat untuk
mengetahui beban kerja. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain:
1. Merasakan denyut yang ada pada arteri radial pada pergelangan tangan
2. Mendengarkan denyut dengan stethoscope
3. Menggunakan ECG (Electrocardiogram), yaitu mengukur signal elektrik yang
diukur dari otot jantung pada permukaan kulit dada.
Adapun denyut jantung pada berbagai macam kondisi kerja ditunjukkan
pada gambar 2.1.
Gambar 2.1. Laju Detak Jantung
Muller (1962) memberikan beberapa definisi sebagai berikut :
1. Denyut jantung pada saat istirahat (resting pulse)
adalah rata-rata denyut jantung sebelum suatu pekerjaan dimulai.
2. Denyut jantung selama bekerja (working pulse)
adalah rata-rata denyut jantung selama (pada saat) seseorang bekerja.
3. Denyut jantung untuk bekerja (work pulse)
adalah selisih antara denyut jantung selama bekerja dan selama istirahat.
4. Denyut jantung selama istirahat total (total recovery cost or recovery cost)
adalah jumlah aljabar denyut jantung dari berhentinya denyut pada saat suatu
pekerjaan selesai dikerjakan sampai dengan denyut berada pada kondisi
istirahatnya.
5. Denyut kerja total ( total work pulse or cardiac cost)
II-6
adalah jumlah denyut jantung dari mulainya suatu pekerjaan sampai dengan
denyut berada pada kondisi istirahatnya (resting level).
Tampak pada gambar grafik di atas bahwa pada saat resting time detak
jantung berada pada posisi 70 beats/minutes dan berada pada posisi stabil (detak
jantung normal) hingga dimulainya pekerjaan. Pada saat pekerja memulai
pekerjaannya detak jantung mulai meningkat secara konstan hingga 110
beats/minutes sampai akhirnya pekerja melakukan recovery. Detak jantung mulai
menurun hingga titik normal yaitu 70 beats/minutes.
Dari grafik dapat diambil kesimpulan bahwa detak jantung manusia akan
dipengaruhi oleh aktivitasnya, dan akan meningkat seiring dengan lamanya
pekerjaan yang dilakukan. Untuk menstabilkan detak jantung dan
mengembalikannya pada posisi normal dibutuhkan recovery/pemulihan/waktu
untuk istirahat.
2.1.4. Kalori dalam Makanan3
Di tempat kerja, permasalahan pemenuhan gizi sangat berpengaruh
terhadap pencapaian kesehatan. Dalam melakukan suatu pekerjaan, memerlukan
zat gizi yang dapat memenuhi kebutuhannya sesuai dengan jenis pekerjaan.
Pekerjaan dengan beban fisik yang berat perlu konsumsi kalori yang banyak.
Sebaliknya, pekerjaan sedang dan pekerjaan ringan memerlukan kalori tertentu
sesuai dengan kebutuhannya. Hal ini pada dasarnya untuk mencapai
keseimbangan antara asupan gizi dengan beban kerja. Dalam kaitan dengan
pekerja, pemenuhan gizi yang tidak sesuai dengan beban kerja dapat
menyebabkan penurunan produktivitas dan kapasitas kerja.
2.2. Peningkatan Efisiensi Kerja Fisik4
Gerakan-gerakan yang harus dilakukan oleh anggota tubuh manusia
khususnya tangan dan kaki pada saat melaksanakan kerja fisik akan sangat
3 Devie Novitasari, “Analisa Pemenuhan Kebutuhan Kalori Tenaga Kerja”, diakses dari http://eprints.uns.ac.id/7342/1/106432210200910481.pdf pada tanggal 31 Mei 2014 pukul 21.00.4 Sritomo Wignjosoebroto, Ergonomi, Studi Gerak dan Waktu: Teknik Analisis untuk Peningkatan Produktivitas Kerja, (Surabaya: Guna Widya, 2008), hal. 277-280.
II-7
ditentukan oleh kemampuan ototnya. Manusia bisa bergerak ataupun
menggerakan anggota tubuh karena adanya sistem otot yang tersebar diseluruh
tubuhnya (lebih dari 45% berat badan). Kemampuan otot untuk mengencang dan
mengerut inilah yang diperlukan untuk melakukan aktivitas fisik.
Tenaga otot dari sorang pekerja laki-laki yang diperoleh akibat
mengencangnya otot maksimal bisa mencapai 4 kg per cm2 luas penampang otot.
Dengan luas penampang otot sebesar 2 cm2, maka beban maksimum yang bisa
diangkat atau digerakkan sebesar ± 12 kg. Tenaga terbesar dalam hal ini diperoleh
pada saat otot mulai mengencang. Energi mekanis yang mengencangnya otot
disebabkan oleh cadangan energi kimiawi dari otot. Disini glukose yang diperoleh
dari zat makanan yang termasuk dan diolah dalam tubuh akan merupakan sumber
energi terpenting bagi bekerjanya otot selain oksigen yang dihirup dan diperlukan
bagi proses pembakaran (metabolisme). Aliran darah dalam hal ini akan berfungsi
sebagai sarana untuk mensuplai glukose dan oksigen ke sistem otot yang bekerja
dan membuang sisa-sisa “pembakaran”.
Agar penggunaan tenaga otot bisa optimal maka pengaturan cara kerjanya
otot harus diperhatikan dengan benar. Dalam hal ini kegiatan otot dapat dibedakan
dalam 2 hal, yaitu:
1. Kerja otot dinamik (berirama), dan
2. Kerja otot static (kerja bersikap/tetap)
Pada kerja dinamik, otot akan mengencang dan mengerut (mengendor)
secara bergantian atau berirama, sedangkan pada kerja statik atau bersikap disini
akan berada dalam posisi mengencang dalam waktu yang cukup lama.
Selama kerja dinamik berlangsung maka otot akan bekerja secara
bergantian, sesuai dengan irama tegang/kencang tekan da kendor seperti layaknya
kerja dari sebuah “pompa” yang membawa dampak kelancaran aliran darah.
Disini otot akan banyak sekali membawa/menerima glukosa dan O2 pada saat
mengencang dan selanjutnya membuang metabolis (hasil pembakaran atau
metabolisme pada saat mengendor karena mekanisme mengencang dan
mengendornya otot terjadi secara bergantian, maka sirkulasi aliran darah + O2 dan
metabolis akan berlangsung secara lancar. Sebaliknya yang terjadi dalam kerja
II-8
otot statik. Disni mengencang otot dalam waktu lama akan menyebabkan aliran
darah terganggu suplai glukose + O2 terhambat dan metabolis tidak bisa segera
terbuang. Kondisi tersebut akan mengakibatkan rasa sakit dan lelah pada otot.
2.3. Evaluasi Metode Kerja denga Cara Pengukuran Energi yang
Dikonsumsikan
Pengukuran fisiologis sering kali juga diaplikasikan sebagai dasar untuk
mengevaluasi dan menetapkan tata cara kerja yang harus diikuti. Suatu cara kerja
dibandingkan dengan cara kerja yang lain, dimana tolak ukur akan ditetapkan
berdasarkan pemakaian energi fisik yang paling minimal. Beberapa sikap dan/atau
cara kerja tertentu yang harus diselesaikan dengan posisi berdiri tegak, duduk,
jongkok, ataupun harus membungkukkan badan ternyata memerlukan konsumsi
energi fisik yang berbeda-beda. Dari penelitian fisiologis yang dilakukan terhadap
posisi kerja di sektor pertanian (cocok tanam) diperoleh hasil sebagai berikut:
1. Kerja yang dilakukan dengan posisi badan harus membungkuk tanpa ada
penunjang badan akan mengkonsumsikan energi fisik sebesar 3 Kcal/menit.
Posisi seperti ini dilakukan pada saat orang akan menanam benih ataupun
mencabut rumput.
2. Kerja yang dilakukan dengan posisi jongkok ataupun menekuk lutut dengan
berat badan sebagian ditunjang oleh satu tangan yang lain akan memerlukan
energi yang lebih kecil yaitu sekitar 2 Kcal/menit.
Dalam kasus pengukuran fisiologis kerja yang dilakukan terhadap
berbagai macam cara membawa beban akan memberikan hasil yang berbeda-beda
dalam hal konsumsi energi yang harus dipikul. Dalam penelitian ini, pengukuran
fisiologis dilakukan dengan mengukur konsumsi oksigen yang dihirup bilamana
orang yang harus membawa beban dalam jumlah yang sama dengan berbagai
macam cara. Cara membawa beban dari hasil penelitian adalah:
1. Metode Double Pack
Disni, beban dibawa dengan cara meletakkannya menempel di dekat dada dan
di bahu. Kebutuhan konsumsi oksigen dalam hal ini ternyata yang paling kecil
dibandingkan dengan cara lain. Bilamana kebutuhan O2 dengan cara seperti ini
II-9
ditetapkan 100%, maka tolok ukur tersebut selanjutnya akan dipakai sebagai
referensi cara-cara lain untuk membawa beban yang sama.
2. Metode Head Pack
Cara Head Pack dilakukan dengan cara meletakkan beban di atas kepala.
Dalam kasus ini kebutuhan relatif untuk oksigen adalah sebesar 105%
dibandingkan dengan metode Double Pack.
3. Metode Yoke Pack
Di sini, beban diletakkan pada masing-masing ujung alat pemikul badan. Di
sini akan terjadi momen pada masing-masing ujung pikulan, sehingga
konsumsi relatif oksigen yang dibutuhkan juga lebih besar lagi yaitu sebesar
130%.
4. Metode Hands Pack
Dengan cara ini, beban akan dibawa dengan kedua tangan. Cara semacam ini
ternyata memberikan hasil yang paling buruk, dimana konsumsi relatif oksigen
sekitar 145%. Selain itu otot menjadi kaku dan tangan akan memikul beban
statis.
2.4. Kelelahan Akibat Kerja5
Banyak definisi dari kelelahan, tetapi secara garis besarnya dapat
dikatakan bahwa kelelahan ini merupakan suatu pola yang timbul pada suatu
keadaan, yang secara umum terjadi pada setiap individu, yang telah tidak sanggup
lagi untuk melakukan aktivitasnya. Pada dasarnya pola ini ditimbulkan oleh dua
hal, yaitu : akibat kelelahan fisiologis (fisik atau kimia) dan kelelahan psikologi
(mental atau fungsionil); ini bisa bersifat obyektif (akibat perubahan performance)
dan bisa bersifat subyektif (akibat perubahan dalam perasaan dan kesadaran).
2.4.1 Pengertian Kelelahan
Yang dimaksud dengan kelelahan fisiologis adalah kelelahan yang timbul
karena adanya perubahan-perubahan fisiologis tubuh. Dari segi fisiologis, tubuh
5 Sutalaksana, Iftikar Z. 2006. Teknik Perancangan Sistem Kerja. Edisi Kedua. Bandung: ITB. Hal: 73
II-10
manusia dapat dianggap sebagai mesin yang mengkonsumir bahan bakar, dan
memberikan output berupa tenaga-tenaga yang berguna untuk melaksanakan
aktivitas sehari-hari. Pada prinsipnya, ada 5 macam syarat dan sistem pernapasan.
Kerja fisik yang kontinu, berpengaruh terhadap mekanisme-mekanisme diatas,
baik secara sendiri-sendiri ataupun sekaligus.
2.4.2 Faktor Penyebab Terjadinya Kelelahan Akibat Kerja6
Kelelahan terjadi karena terkumpulnya produk-produk sisa dalam otot dan
peredaran darah, dimana produk-produk sisa ini bersifat bisa membatasi
kelangsungan aktivitas otot. Atau, mungkin bisa dikatakan bahwa produk-produk
sisa ini memperngaruhi serat-serat syaraf dan sistem syaraf pusat sehingga
menyebabkan orang menjadi lambat bekerja jika sudah lelah.
Makanan yang mengandung glikogen, mengalir dalam tubuh melalui
peredaran darah. Setiap kontraksi dari otot selalu diikuti oleh reaksi kimia
(oksidasi glukosa) yang merubah glikogen tersebut menjadi tenaga, panas dan
asam laktat (produk sisa). Dalam tubuh dikenal fase pemulihan, yaitu suatu proses
untuk merubah asam laktat menjadi glikogen kembali dengan adanya oksigen dari
pernapasan, sehingga memungkinkan otot-otot bisa bergerak secara kontinu ini
berarti, keseimbangan kerja bisa dicapai dengan baik, apabila kerja fisiknya tidak
terlalu berat. Pada dasarnya ini timbul karena terakumulasinya produk sisa dalam
otot atau peredaran darah yang disebabkan tidak seimbangnya antara kerja dan
proses pemulihan.
Secara lebih jelas, terdapat tiga penyebab timbulnya kelelahan fisik, yaitu :
Pertama, oksidasi glucose dalam otot menimbulakan CO2 saerolactic, phosphate
dan sebagainya, dimana zat-zat tersebut terikat dalam darah yang kemudian
dikeluarkan waktu bernafas. Kelelahan terjadi apabila dalam darah yang
kemudian dikeluarkan waktu bernafas. Kelelahan terjadi apabila pembentukan
zat-zat tersebut tidak seimbang dengan protes pengeluarannya, sehingga timbul
penimbunan dalam jaringan otot yang mengganggu kegiatan otot selanjutnya.
Kedua, karbohidrat yang didapat dari makanan dirubah menjadi glukosa dan
6 Ibid. Hal : 74
II-11
disimpan di hati dalam bentuk glukogin. Setiap 1 cm3 darah normal akan
membawa 1 mm glukosa, berarti setiap sirkulasi darah hanya membawa 0,1
persen dari sejumlah glikogen yang ada dalam hati. Karena bekerja, persediaan
glikogen dalam hati akan menipis, dan kelelahan akan timbul apabila konsentrasi
glikogen dalam hati tinggal 0,7 persen. Ketiga, dalam keadaan normal jumlah
udara yang masuk melalui pernapasan kira-kira 4 lt/menit, sedangkan dalam
keadaan kerja keras, dibutuhkan udara kira-kira 15 lt/menit. Ini berarti pada suatu
tingkat kerja tertentu akan dijumpai suatu keadaan dimana jumlah oksigen yang
masuk melalui pernapasan lebih kecil dari tingkat kebutuhan. Jika hal ini terjadi
maka kelelahan akan timbul, karena reaksi oksidasi dalam tubuh yaitu untuk
mengurangi asam laktat menjadi air (H2O) dan CO2 agar dikeluarkan dari tubuh,
menjadi tidak seimbang dengan pembentukan asam laktat itu sendiri (asam laktat
terakumulasi dalam otot atau dalam peredaran darah).
2.4.3 Langkah-langkah Mengatasi Kelelahan7
Kelelahan dapat dikurangi dengan berbagai cara, diantaranya :
1. Sediakan kalori secukupnya sebagai input untuk tubuh.
2. Bekerja dengan menggunakan metode kerja yang baik, misalnya bekerja
dengan memakai prinsip ekonomi gerakan.
3. Memperhatikan kemampuan tubuh, artinya pengeluaran tenaga tidak melebihi
pemasukannya dengan memperhatikan batasan-batasannya.
4. Memperhatikan waktu kerja yang teratur. Berarti harus dilakukan pengaturan
terhadap jarak kerja, waktu istirahat dan sarana-sarananya, masa-masa libur
dan rekreasi, dan lain-lain.
5. Mengatur lingkunngan fisik sebaik-baiknya, seperti temperatur, kelembaban,
sirukulasi udara, pencahayaan, kebisingan, getaran bau/wangi-wangian dan
lain-lain.
6. Berusaha untuk mengurangi monotoni dan ketegangan-ketegangan akibat
kerja, misalnya dengan menggunakan warna dan dekorasi ruangan kerja,
menyediakan musik, menyediakan waktu-waktu olahraga dan lain-lain.
7 Ibid. Hal :76
II-12
2.4.4 Pengukuran Kelelahan
Pengukuran kelelahan belum ada metode yang tetap dalam
menentukannya, namun dapat dilihat dari beberapa faktor yang mempengaruhi
kecepatan dan ketelitian pekerja, yaitu :
1. Waktu Menanggapi
Waktu menanggapi terjadi karena kita mendapat rangsangan dari luar yang
diteria melalui organ indera. Keseluruhan waktu yang diperlukan untuk
menanggapi suatu rangsangan disebut waktu reaksi. Disini kita bisa
membedakan antara waktu untuk memulai gerakan (waktu gerak), dimana
waktu menanggapi merupakan penjumlahan dari waktu reaksi dengan waktu
gerakan. Waktu reaksi ini biasanya sangat cepat kira-kira 150-200 mili detik,
tetapi harga ini tidak mutlak dari rangsangan modaliti dan sifat rangsangan
tersebut (termasuk intensitas dan lamanya), juga umur dari subyek tersebut dan
perbedaan-perbedaan individu 11 lainnya.
2. Pengharapan
Waktu reaksi pada dasarnya terjadi karena subyek mengharapkan rangsangan.
Akan tetapi jika rangsangan itu jarang terjadi atau jika rangsangan itu tidak
diharapkan, maka perhatian kita akan bisa menanggapi rangsangan tersebut
perlu ditambah.
3. Waktu gerakan
Waktu untuk melakukan gerakan dalam topik berbeda-beda, tergantung jarak
dan macam gerakannya.
2.5. Beban Kerja8
Tubuh manusia dirancang untuk dapat melakukan aktivitas pekerjaan
sehari-hari. Adanya massa otot yang bobotnya hampir lebih dari separuh beban 8 Sarwo Widodo, “Penentuan Lama Waktu Istirahat Berdasarkan Beban Kerja Dengan Menggunakan Pendekatan Fisiologis”, diakses dari http://etd.eprints.ums.ac.id/1666/1/D600020064.pdf pada tanggal 31 Mei 2014 pukul 20.30.
II-13
tubuh, memungkinkan kita untuk dapat menggerakkan dan melakukan pekerjaan.
Pekerjaan disatu pihak mempunyai arti penting bagi kemajuan dan peningkatan
prestasi, sehingga mencapai kehidupan yang produktif sebagai satu tujuan hidup.
Dipihak lain, bekerja berarti tubuh akan menerima beban dari luar tubuhnya.
Dengan kata lain bahwa setiap pekerjaan merupakan beban bagi yang
bersangkutan. Beban tersebut dapat berupa beban fisik maupun mental. Dari sudut
pandang ergonomi, setiap beban kerja yang diterima oleh seseorang harus sesuai
atau seimbang baik dalam kemampuan fisik, maupun kognitif, maupun
keterbatasan manusia yang menerima beban tersebut. Kemampuan kerja seorang
tenaga kerja berbeda dari satu kepada yang lainnya dan sangat tergantung dari
tingkat ketrampilan, kesegaran jasmani, usia dan ukuran tubuh dari pekerja yang
bersangkutan.
2.5.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Beban Kerja
Hubungan antara beban kerja dan kapsitas kerja dipengaruhi oleh berbagai
faktor yang sangat kompleks, baik faktor internal maupun faktor eksternal
1. Beban Kerja Oleh Karena Faktor Eksternal
Faktor eksternal beban kerja adalah beban kerja yang berasal dari luar tubuh
pekerja, meliputi:
a. Tugas-tugas (Task).
Meliputi tugas bersifat fisik seperti, stasiun kerja, tata ruang tempat kerja,
kondisi lingkungan kerja, sikap kerja, cara angkut, beban yang diangkat.
Sedangkan tugas yang bersifat mental meliputi, tanggung jawab,
kompleksitas pekerjaan, emosi pekerja dan sebagainya.
b. Organisasi Kerja
Organisasi kerja meliputi lamanya waku kerja, waktu istirahat, shift kerja,
sistem kerja dan sebagainya.
c. Lingkungan Kerja
II-14
Lingkungan kerja ini dapat memberikan beban tambahan yang meliputi,
lingkungan kerja fisik, lingkungan kerja kimiawi, lingkungan kerja
biologis dan lingkungan kerja psikologis.
2. Beban Kerja Oleh Karena Faktor Internal
Faktor internal beban kerja adalah faktor yang berasal dari dalam tubuh akibat
adanya reaksi dari beban kerja eksternal yang berpotensi sebagai stressor,
meliputi:
a. Faktor somatis (jenis kelamin, umur, ukuran tubuh, status gizi, kondisi
kesehatan, dan sebagainya)
b. Faktor psikis (motivasi, persepsi, kepercayaan, keinginan, kepuasan, dan
sebagainya)
2.5.2. Penilaian Beban Kerja Fisik
Penilaian beban kerja dapat dilakukan dengan dua metode secara objektif,
yaitu metode penilaian langsung dan metode penilaian tidak langsung.
2.5.2.1. Penilaian Beban Kerja Secara Langsung
Metode pengukuran langsung yaitu dengan mengukur energi yang
dikeluarkan (energy expenditure) melalui asupan oksigen selama bekerja.
Semakin berat beban kerja akan semakin banyak energi yang diperlukan untuk
dikonsumsi. Meskipun metode pengukuran asupan oksigen lebih akurat, namun
hanya dapat mengukur untuk waktu kerja yang singkat dan diperlukan peralatan
yang mahal. Kategori beban kerja yang didasarkan pada metabolisme, respirasi
suhu tubuh dan denyut jantung dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2. Kategori Beban Kerja Berdasarkan Metabolisme, Respirasi, Suhu
Tubuh dan Denyut Jantung
Kategori
Beban Kerja
Konsumsi
Oksigen
(1/min)
Ventilasi
Paru (1/m)
Suhu Rektal
(oC)
Denyut
Jantung
(denyut/min)
Ringan 0,5 – 1,0 11 – 20 37,5 75 – 100
Sedang 1,0 – 1,5 20 – 30 37,5 – 38,0 100 – 125
II-15
Berat 1,5 – 2,0 31 – 43 38,0 – 38,5 125 – 150
Sangat Berat 2,0 – 2,5 43 – 56 38,5 – 39,0 150 – 175
Tujuan berdirinya NIOSH adalah untuk menghasilkan ilmu pengetahuan
baru di dalam lingkup keselamatan dan kesehatan kerja dan untuk
mengimplementasikan pengetahuan tersebut kedalam suatu pelatihan untuk
kemajuan produktivitas dari para pekerja. Untuk mencapai tujuannya, NIOSH
memandu para ahli, mengembangkan petunjuk dan rekomendasi yang dapat
dipercaya, menyebarkan informasi, dan melayani permohonan untuk
mengevaluasi risiko kesehatan pada suatu stasiun kerja.
NIOSH memimpin lembaga nasional dan internasional keselamatan dan
kesehatan kerja untuk mencegah keluhan fisik pada pekerjaan, kecelakaan kerja,
ketidakmampuan, bahkan kematian dengan cara mengumpulkan informasi,
memanfaatkan para ahli, dan mengubah pengetahuan yang diperoleh menjadi
produk fisik dan pelayanan, termasuk informasi ilmiah mengenai suatu produk,
video pelatihan, dan rekomendasi untuk memperbaiki kesehatan dan keselamatan
kerja di suatu stasiun kerja.
Berbeda dengan lembaga kesehatan pada umumnya, Keselamatan dan
Kesehatan Administrasi, NIOSH bukan badan pengawas. Itu tidak masalah
keselamatan dan standar kesehatan yang dilaksanakan di bawah hukum AS.
Sebaliknya, otoritas NIOSH bahwa Keselamatan dan Kesehatan Kerja Undang-
Undang (29 CFR 671) yakni adalah untuk "mengembangkan rekomendasi untuk
kesehatan dan standar keselamatan, untuk mengembangkan informasi pada tingkat
yang aman terhadap bahan-bahan beracun dan berbahaya bagi agen fisik dan
substansi, dan untuk melakukan penelitian tentang keselamatan dan kesehatan.
NIOSH juga berada di lokasi melakukan penyelidikan (Health Hazard
Evaluations) untuk menentukan toksisitas bahan yang digunakan di tempat kerja
tersebut dan mendanai penelitian oleh lembaga-lembaga lain atau organisasi
swasta melalui hibah, kontrak, dan pengaturan lainnya.
2.9. Manual Material Handling dan Masalah-masalah yang Dihadapi
II-25
Bagian terbesar dari aktivitas fisik manusia di suatu industri berada pada
aktivitas manual material handling (aktivitas kerja yang bersifat manual). Di
suatu industri sering ditemui beberapa kegiatan yang bersifat manual. Bahkan di
suatu kantor terdapat pemindahan box berisi tumpukan kertas secara manual. Pada
umumnya pekerja di suatu industri produksi diharuskan untuk mengendalikan
perakitan, kontainer, dan produk-produknya dalam pekerjaan mereka, maka dari
itu hal ini menjadi tuntutan tugas bagi para ergonomis dan insinyur untuk
mendisain aktivitas manual material handling agar dapat menentukan batas berat
beban yang ditanggung oleh otot dan meminimasi keluhan musculoskeletal pada
saat melakukan lifting (mengangkat beban).
Operasi penanganan material secara manual dilakukan di sebagian besar
pabrik-pabrik industri. Setiap tugas menangani tuntutan postur yang khusus pada
pekerja. Namun, fasilitas kerja dapat membantu pekerja untuk melaksanakan
tugas ini dengan aman dan mudah dengan menerapkan dan menegakkan kebijakan
dan prosedur yang tepat. Untuk menilai bahaya operasi penanganan material
secara manual, mempertimbangkan beban, tugas, lingkungan di mana tugas
dilakukan, maka diperlukan adanya kontrol atau penanganan secara
berkesinambungan. Tindakan kontrol yang terbaik adalah untuk menghilangkan
kebutuhan bagi para pekerja untuk melakukan tugas-tugas penanganan manual.
Karena hal ini tidak selalu memungkinkan pekerja untuk terhindar dari risiko
kecelakaan kerja, maka desain dari pekerjaan penanganan manual harus diperbaiki
sehingga mereka berada dalam kemampuan yang sesuai dengan tuntutan kerjanya.
Pertimbangan pada manual material handling ada pada beban itu sendiri, desain
workstation dan praktik kerjanya. Menyediakan alat mekanik atau alat bantu
penanganan dapat mengurangi kegiatan pemindahan material secara manual itu
sendiri atau mengurangi tuntutan pada pekerja.
Dalam pencegahan manual material handling, perbaikan yang paling
utama ditujukan pada area atau lokasi pekerjaannya (work station design). Upaya-
upaya dalam perbaikan lokasi pekerjaan tersebut adalah:
a. Ditentukan pegangan beban atau material adalah setinggi pinggang ataupun
diantara tinggi bahu dan pinggang.
II-26
b. Dapat mengangkat dan meletakkan beban atau material dengan keadaan yang
sama tinggi.
c. Dapat berhadapan dengan beban atau material yang dipegang secara dekat
dengan tubuh.
d. Jangan sampai memegang beban dengan postur yang kaku dan jangkauan
yang tidak wajar.
e. Jangan memegang beban yang memberikan jarak antara tubuh dengan
pergerakan mekanik.
Dari kegiatan mendorong dan mengangkat beban yang terlalu besar, maka di
sediakan fasilitas atau alat seperti hand truck dan lifting truck seperti pada
Gambar 2.3 di bawah ini.
Gambar 2.3. Hand Truck dan Lifting Truck Dalam Material Handling
Pemindahan bahan secara manual apabila tidak dilakukan secara
ergonomis akan menimbulkan kecelakaan dalam industri. Kecelakaan industri
(industry accident) yang disebut sebagai “Over exertion-lifting and carrying”
yaitu kerusakan jaringan tubuh yang diakibatkan oleh beban angkat yang berlebih.
Data mengenai insiden tersebut telah mencapai nilai rata-rata 18% dari seluruh
kecelakaan selama tahun 1982-1985 menurut data statistik tentang kompensasi
para pekerja di negara bagian New South Wales, Australia. Dari data kecelakaan
ini 93% diantaranya diakibatkan oleh strain (ketegangan dan rasa nyeri yang
berlebihan) sedangkan 5% lainnya pada hernia. Dari data tentang strain 61%
diantaranya berada pada bagian punggung.
Sementara itu faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya nyeri
punggung (back injury), adalah arah beban yang akan diangkat dan frekuensi
II-27
aktivitas pemindahan. Risiko-risiko nyeri tersebut banyak dijumpai pada beberapa
industri, seperti Industri berat, pertambangan, pemindahan material, kontruksi
bangunan, pertanian, rumah sakit.
Dalam menghadapi masalah dalam manual material handling, ada
beberapa parameter yang harus diperhatikan sebagai faktor risiko dalam
pemindahan material secara manual sebagai berikut:
1. Beban yang harus diangkat
2. Perbandingan antara berat beban dan orang yang mengangkat
3. Jarak horizontal dari beban terhadap orangnya
4. Ukuran beban yang akan diangkat(beban yang berdimensi besar akan
mempunyai jarak CG (center of grafity) yang lebih dari jauh dari tubuh, dan
bisa mengganggu jarak pandangnya).
5. Ketinggian beban yang harus diangkat dan jarak perpindahan beban
(mengangkat beban dari permukaan lantai akan relatif lebih sulit daripada
mengangkat beban dari ketinggian pada permukaan pinggang).
6. Beban puntir (twisting load) pada tubuh operator selama aktivitas angkat
beban.
7. Prediksi terhadap berat beban yang akan diangkat. Hal ini adalah untuk
mengantisipasi beban yang lebih berat dari yang diperkirakan.
8. Stabilitas beban yang akan diangkat.
9. Kemudahan untuk dijangkau oleh pekerja.
10. Berbagai macam rintangan yang menghalangi atau keterbatasan postur yang
berada pada suatu tempat kerja.
11. Kondisi kerja yang meliputi: pencahayaan, temperatur, kebisingan dan
kelicinan lantai.
12. Frekuensi angkat atau banyaknya aktivitas angkat
13. Metode angkat yang benar.
14. Tidak terkoordinirnya kelompok kerja (lifting team)
15. Diangkatnya suatu beban dalam suatu periode. Hal ini adalah sama dengan
membawa beban pada jarak tertentu dan memberi tambahan beban pada
II-28
vertebral disc (VD) dan intervetrtebral disc (ID) pada vertebral columnar di
daerah punggung.
Kebutuhan untuk mengangkat secara manual (tanpa alat) haruslah benar-
benar diteliti secara ergonomis. Peneitian ini akan mengakibatkan adanya
standarisasi dalam aktivitas manusia.
Standar kemampuan angkat tersebut tidak hanya meliputi arah beban, akan
tetapi berisi pula tentang ketinggian dan jarak operator terhadap beban yang akan
diangkat. Akhirnya, pelatihan dalam mengangkat beban dan metode angkat
terbaik haruslah diimplementasikan.
Maka dari itu, diperlukan adanya penyelesaian secara teknis dalam
pemindahan material secara manual, yakni :
1. Pemindahan beban yang berat dari mesin ke mesin yang telah dirancang
menggunakan roller (ban berjalan)
2. Gunakan meja yang dapat digerakkan naik turun untuk menjaga agar bagian
permukaan dari meja kerja dapat langsung dipakai untuk memasukkan
lembaran logam ataupun benda kerja lainnya kedalam mesin.
3. Tempatkan benda kerja yang besar pada permukaan yang lebih tinggi dan
turunkan dengan bantuan gaya gravitasi
4. Berikan peralatan yang dapat mengangkat misalnya: pada ujung belakang
truk untuk memudahkan pengangkutan materiall dengan demikian tidak
diperlukan lagi alat angkut(crane)
5. Rancanglah overhead monorail dan hoist diutamakan yang menggunakan
power (tenaga) baik gerakan vertikal maupun horizontal.
6. Rancanglah Hoist atau Fork-truck yang dikeling pada permukaan
lantai,diutamakan yang menggunakan power.
7. Desainlah kotak (tempat benda kerja) dengan disertai pegangan yang
ergonomis sehingga mudah waktu mengangkat.
8. Aturlah peletakkan fasilitas sehingga semakin memudahkan metodologi
angkat benda pada ketinggian permukaan pinggang.
9. Berilah tanda atau angka pada beban sesuai dengan beratnya.
10. Siapkan trolley dan pengungkit (lever) untuk mengangkat ujung dari drum.
II-29
11. Bebaskan area kerja dari gerakan dan peletakkan material yang mengganggu
jalur (access) dari operator.
12. Hindarkan lantai kerja dari sesuatu yang dapat membuat licin sehingga akan
membahayakan operator pada saat memindahkan material.
13. Buatlah suatu ruang kerja yang cukup untuk gerakan dinamis bebas suatu
operator.
14. Tempatkan semua material sedekat mungkin terhadap operator.
2.10. Macam-macam Persamaan Pembebanan
Adapun macam-macam persamaan pembebanan terdiri dari : Action Limit
(AL), MaximumAcceptable Weight of Lift (MAWL), Maximum Permissible Limit
(MPL), dan Recommended Weight Limit (RWL).
2.10.1. RWL (Recommended Weight Limit)
Recommended Weight Limit merupakan rekomendasi batas beban yang
dapat diangkat oleh manusia tanpa menimbulkan cidera meskipun pekerjaan
tersebut dilakukan secara repetitive dan dalam jangka waktu yang cukup lama.
RWL ini ditetapkan oleh NIOSH pada tahun 1991 di Amerika Serikat.
Berdasarkan sikap dan kondisi sistem kerja pengangkatan beban dalam
proses pemuatan barang yang dilakukan oleh pekerja dalam eksperimen, penulis
melakukan pengukuran terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi dalam
pengangkatan beban dengan acuan ketetapan NIOSH (1991).
Persamaan untuk menentukan beban yang direkomendasikan untuk
diangkat seorang pekerja dalam kondisi tertentu menurut NIOSH adalah:
RWL = LC x HM x VM x DM x AM x FM x CM
Keterangan:
LC = konstanta pembebanan = 23 kg
HM = faktor pengali horizontal = 25 / H
FM = faktor pengali frekuensi (Frequency Multiplier)
CM = faktor pengali kopling (handle)
VM = Faktor pengali vertical
II-30
VM = 1-0,03 |V-75|
DM = Faktor pengali perpindahan
DM=0,82+ 4,5D
AM = Faktor pengali asimetrik
AM = 1-0,0032.A
Dari persamaan yang ditetapkan NIOSH tersebut, terdapat perbedaan
faktor pengali jarak vertikal untuk pekerja Indonesia, sehingga perlu penyesuaian
terhadap nilai perkiraan berat beban yang direkomendasikan untuk diangkat.
Adanya perbedaan ini karena faktor pengali vertikal sangat bergantung pada
antropometri ketinggian knuckle (jarak vertikal dari lantai ke ujung jari tangan
dengan posisi lurus ke bawah). Perumusan faktor pengali vertikal yang dihasilkan
oleh NIOSH adalah :
VM = 1-0,03 |V-75|
2.11. Ergonomi11
Ergonomi merupakan pertemuan berbagai disiplin ilmi seperti psikologi,
antropologi, faal kerja, biologi, sosiologi, perencanaan kerja, fisika dan lain-lain.
Masing-masing disiplin tersebut berfungsi sebagai pemberi informasi yang akan
digunakan untuk merancang fasilitas kerja sedemikian rupa sehingga mencapai
kegunaan yang optimal.
2.12. Postur Kerja
Pertimbangan-pertimbangan ergonomic yang berkaitan dengan postur
kerja dapat membantu mendapatkan postur kerja yang nyaman bagi pekerja, baik
itu postur kerja berdiri, duduk, angkat maupun angkut. Beberapa jenis pekerjaan
akan memerlukan postur kerja tertentu yang terkadang tidak menyenangkan.
Kondisi kerja seperti ini memaksa pekerja selalu berada pada postur kerja yang
tidak alami dan berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Hal ini akan 11 Dina Meliana Pangaribuan, “Analisa Postur Kerja Dengan Metode RULA Pada Pegawai Bagian Pelayanan Perpustakaan USU Medan”, diakses dari repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/11935/1/10E00380.pdf pada tanggal 1 Juni 2014 pukul 18.27.
II-31
mengakibatkan pekerja cepat lelah, adanya keluhan sakit pada bagian tubuh, cacat
produk bahkan cacat tubuh. Untuk menghindari postur kerja yang demikian,
pertimbangan-pertimbangan ergonomis antara lain menyarankan hal-hal sebagai
berikut :
1. Mengurangi keharusan pekerja untuk bekerja dengan postur kerja
membungkuk dengan frekuensi kegiatan yang sering atau dalam jangka
waktu yang lama.
2. Pekerja tidak seharusnya menggunakan jarak jangkauan maksimum.
3. Pekerja tidak seharusnya duduk atau berdiri pada saat bekerja untuk waktu
yang lama, dengan kepala, leher, dada atau kaki berada dalam postur kerja
miring.
4. Operator tidak seharusnya dipaksa bekerja dalam frekuensi atau periode
waktu yang lama dengan tangan atau lengan berada dalam posisi diatas level
siku yang normal.
Postur duduk memerlukan lebih sedikit energy dari pada berdiri, karena
hal ini dapat mengurangi banyaknya beban otot statis pada kaki. Seorang operator
yang bekerja dalam postur duduk memerlukan sedikit istirahat secara potensial
lebih produktif. Sedangkan postur berdiri merupakan sikap siaga baik fisik
maupun mental, sehingga aktifitas kerja yang dilakukan lebih cepat, kuat dan
teliti. Berdiri lebih melelahkan daripada duduk dan energy yang dikeluarkan lebih
banyak 10-15% dibandingkan duduk.
2.13. OWAS, RULA, REBA, dan QEC12
2.13.1. OWAS (Ovako Working Postures Analysis System)
Metode OWAS telah diaplikasikan pada tahun tujuhpuluhan di perusahaan
besi baja di Finlandia. Institute of Occupational Health menganalisis postur
seluruh bagian tubuh dengan posisi duduk dan berdiri. Metode ini juga telah
digunakan untuk menganalisis postur di Indonesia, dengan menggunakan
OWASCA (OWAS Computer-Aided), yakni metode OWAS yang diintegrasikan
12 Edi Budiman, ST., “Perbandingan Metode-metode Biomekanika Untuk Menganalisis Postur Pada Aktivitas Manual Material Handling (MMH) Kajian Pustaka”, diakses dari journal.undip.ac.id/index.php/jgti/article/download/2235/1956 pada tanggal 1 Juni 2014 pukul 18.00.
II-32
dengan komputer (Ojanen, et al, 2000). Analisis dilakukan pada seluruh bagian
tubuh pada posisi duduk dan berdiri. Input metode OWAS adalah sebagai berikut:
1. Data postur punggung
2. Data postur lengan.
3. Data postur kaki
4. Data berat beban yang diangkat.
Proses diawali dengan merekam aktivitas MMH menggunakan handicam.
Hasil rekaman digunakan untuk menganalisis postur yang dilakukan, yakni postur
punggung, lengan, kaki dan berat beban. Hasil analisis postur dalam bentuk kode
angka yang kemudian diklasifikasikan kedalam kategori. Proses pengolahan
menggunakan metode OWAS seperti pada gambar 2.4 sebagai berikut :
Gambar 2.11. Proses OWAS
Metode OWAS telah diaplikasikan di Malaysia untuk merancang stasiun
kerja (Hasan, et al, 2002). Hasil dari perancangan stasiun kerja dengan metode
OWAS dapat mengurangi posisi kerja yang berbahaya dari 80% menjadi 66%.
OWAS menganalisis postur seluruh tubuh namun tidak secara detail, factor
sudutyang dibentuk oleh postur pada aktivitas MMH tidak diperhatikan,
pemakaian tenaga otot statik atau repetitif juga belum dianalisis. Hal tersebut
merupakan kekurangan metode OWAS
2.13.2. RULA (Rapid Upper Limb Assesment)
II-33
Tahun 1993, Dr. Lynn McAtamney memunculkan metode RULA. Metode
Rapid Upper Limb Assessment (RULA) merupakan metode cepat penilaian
postur tubuh bagian atas. Input metode ini adalah postur (telapak tangan, lengan
atas, lengan bawah, punggung dan leher), beban yang diangkat, tenaga yang
dipakai (statis/dinamis), jumlah pekerjaan. Metode ini menyediakan perlindungan
yang cepat dalam pekerjaan seperti resiko pada pekerjaan yang berhubungan
dengan upper limb disorders, mengidentifikasi usaha yang dibutuhkan otot yang
berhubungan dengan postur tubuh saat kerja (penggunaan kekuatan dan kerja
statis yang berulang). Input postur metode RULA dibedakan menjadi 2 grup yaitu
grup A (lengan atas dan bawah dan pergelangan tangan) dan grup B (leher, tulang
belakang dan kaki). McAtamney, et al (1993) menetapkan proses metode RULA
seperti pada gambar 2.5 sebagai berikut :
Gambar 2.12. Proses RULA
Metode RULA sangat efektif untuk mengidentifikasi aktivitas MMH,
khususnya aktivitas yang banyak melibatkan anggota tubuh bagian atas. Metode
ini telah diaplikasikan pada postur pekerja konveksi (Evan, et al, 2004). Dan telah
diterapkan untuk menganalisis postur pekerja patung primitif di Kasongan,
Jogjakarta. Analisis dilakukan di 6 stasiun kerja dan postur berbahaya dominan
II-34
terjadi di stasiun kerja finishing dan pemindahan material (Setyaningrum, 2004).
2.13.3. REBA (Rapid Entire Body Assesment)
Pada tahun 1995, McAtamney dan Hignett memperkenalkan metode
Rapid Entery Body Assesment (REBA). Metode tersebut dapat digunakan secara
cepat untuk menilai postur seorang pekerja. Adapun input metode REBA yaitu :
pengambilan data postur pekerja menggunakan handicam, penentuan sudut pada
batang tubuh, leher, kaki, lengan atas, lengan bawah dan pergelangan tangan.
Proses metode REBA seperti pada gambar 2.6 sebagai berikut :
Gambar 2.13. Proses REBA
Metode ini telah diaplikasikan pada aktivitas MMH yaitu mengambil botol
(Sanjaya, 2003). Metode REBA tepat untuk menganalisa aktivitas MMH yang
dominan menggunakan tubuh bagian atas karena tubuh bagian atas dianalisa
secara detail. Namun analisa sudut postur tubuh pada metode REBA belum
lengkap, oleh karena itu pada tahun 1993 metode ini disempurnakan oleh Dr.
Lynn Mc Atamney dengan memunculkan metode RULA.
II-35
2.13.4. QEC (The Quick Exposure Check)13
Quick Exposure Check merupakan salah satu metode penilaian postur
kerja yang digunakan untuk menilai postur kerja yang berhubungan dengan
gangguan otot (work related muculoskeletal disorders). Metode ini diciptakan
oleh Guangyan Li dan Peter Buckle pada tahun 1999. QEC didasarkan kepada
riset dan penelitian para praktisi pada jenis pekerjaan yang beresiko menimbulkan
gangguan otot.
Penilaian postur kerja dengan metode QEC dilakukan dari dua sisi.
Penilaian pertama didasarkan kepada penialaian pengamat (Observer’s
Assesment) dengan mengisi Observer’s Assesment Checklist dan penilaian kedua
didasarkan kepada penilaian pekerja (Worker’s Assesment) dengan mengisi
Worker’s Assesment Checklist. QEC menilai gangguan resiko yang terjadi pada
bagian belakang punggung (back), bahu/lengan (Shoulder/arm), pergelangan
tangan (hand/wrist), dan leher (neck).
Selanjutnya menghitung skor penelitian untuk masing-masing bagian
tubuh yang dinilai dengan table skor penilaian sebagai skor akhir QEC untuk
diwujudkan dalam empat tingkatan tindakan.
2.14. Jurnal Internet
2.14.1. Analisis Produktivitas Sistem Produksi dengan Metode Jaringan
Syaraf Tiruan (JST) Berdasarkan Pendekatan Ergonomi14
2.14.1.1.Pendahuluan
Indonesia adalah negara berkembang, negara dengan penduduk
terbanyak ke empat didunia dengan jumlah populasi mencapai 237,641,326 orang
pada 2010 (BPS, 2010) dengan laju pertumbuhan penduduk Indonesia sekitar 1,49
persen per tahun, (Serta sektor kontruksi nasional pada tahun 2012 naik dari
10,16% menjadi 10,45%.Dengan potensi pasar yang besar tersebut UD. Natural
13 Dina Meliana Pangaribuan, “Analisa Postur Kerja Dengan Metode RULA Pada Pegawai Bagian Pelayanan Perpustakaan USU Medan”, diakses dari repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/11935/1/10E00380.pdf pada tanggal 1 Juni 2014 pukul 18.27.14 Nasikhudin, “Analisis Produktivitas Sistem Produksi dengan Metode Jaringan Syaraf Tiruan (JST) Berdasarkan Pendekatan Ergonomi,” Roobust Jurnal Teknik Industri. 1: 2 (Juni 2013), 1-6
II-36
perlu melakukan upaya peningkatan produktivitas. Karena, pada kenyataannya di
pabrik pembuatan kaca grafir tersebut belum tercipta kondisi yang ergonomis
untuk proses produksi. Banyak faktor yang mempengaruhi produktivitas salah
satunya adalah aspek ergonomis dalam proses produksi, bahwa terdapat hubungan
antara produksi yang ergonomis dengan produktivitas dan kualitas produk yang
dihasilkan. Dalam penelitian ini analisis ergonomi makro menggunakan metode
Macroergonomic Analysis and Design (MEAD). Sedangkan ergonomi mikro
seperti beban kerja menggunakan %CVL, postur kerja menggunakan RULA, dan
kemudian dianalisis juga dengan jaringan syaraf tiruan JST menggunakan
Toolbox MATLAB 7.6.0.
2.14.1.2.Metodologi Penelitian
Pada penelitian ini tahap pertama yang dilakukan adalah observasi
untuk identifikasi permasalahan. Kemudian studi lapangan dan literatur untuk
menentukan metode yang tepat guna mengatasi permasalahan
tersebut.Pengukuran lingkungan kerja fisik, beban kerja dan postur kerja serta
ergonomi makro yang disimpulkan dari studi lapangan dan wawancara.
Setelah semua data terkumpul, langkah pertama dalam penelitian ini
adalah analisis beban kerja menggunakan %CVL, postur kerja dengan RULA dan
Makro ergonomi dengan MEAD. Dari hasil pengukuran dan analisis tersebut
dijadikan parameter input untuk simulasi model menggunakan Jaringan Syaraf
Tiruan (JST).
Langkah selanjutnya dalam penelitian ini adalah melakukan perancangan
jaringan berdasarkan trial and error untuk memperoleh jaringan/network terbaik
yang dijadikan sebagai dasar simulasi model.
Pengukuran beban kerja dilakukan dengan pengukuran denyut jantung
dan menggunakan media kuisioner. Kemudian dihitung %CVL untuk setiap
pekerja sehingga diperoleh hasil sebagai berikut:
II-37
Tabel 2.5 %CVL setiap pekerja
No. Nama Umur
(Tahun)
DNI
(Denyut
/menit)
DNK
(Denyut
/menit)
DN Max
(Denyut/
menit)
Nadi
Kerja
(Denyut/
menit)
%CVL
1 Pujio
no
23 77,349 88,951 197 11,601 9,696
2 Dedik 27 68,314 84,470 193 16,156 12,957
3 Sugen
g
33 79,481 101,178 187 21,697 20,180
4 Suwa
n
35 70,597 88,221 185 17,624 15,405
5 Yance 35 79,344 100,923 185 21,579 20,424
6 Nana
ng
37 68,874 104,731 183 35,884 31,435
7 Ony 31 76,307 95,752 189 19,445 17,225
8 Katno 29 66,949 93,087 191 26,138 21,070
Dari Tabel 2.5. tersebut diketahui bahwa nanng memiliki %CVL lebih dari
30% sehingga perlu dilakukan perbaikan untuk mengurangi kelelahan dan
menurunkan kemungkinan terjadi cedera.
Desain Jaringan Syaraf Tiruan digunakan untuk memprediksi
produktivitas kerja menggunakan software MATLAB 7.6.0. Hal yang pertama
yang dilakukan adalah penentuan input dan output jaringan. Terdapat beberapa
parameter input jaringan sebagai berikut:
II-38
Tabel 2.6. Input Jaringan Syaraf Tiruan
No
.
Parameter Sebaran Data
1
Ergonomi Mikro
Postur Kerja 1-7
2 Kebisingan 66,2 dB-96,2 dB
3 Pencahayaan 24,2 lux – 1826,5 lux
4 Suhu 30,06 oC – 34,24oC
5 Beban Kerja 9,70% - 31,44%
6
Ergonomi Makro
Lingkungan organisasi 1-4
7 Kemampuan Skill
Pekerja
5-10
8 Kelengkapan Fasilitas 1-4
9 Komunikasi
Koordinasi
1-3
10 Pengawasan dan
Kontrol
0-1
Sebaran data untuk postur kerja adalah 1 –7 hal ini didasarkan kepada
rentang nilai dari pengukuran postur kerja dengan menggunakan metode RULA,
sebaran data lingkungan kerja fisik (kebisingan, pencahayaan, dan suhu)
berdasarkan pengukuran aktual menggunakan alat ukur, sebaran data beban kerja
adalah antara 9,70% - 31,44% hal ini didasarkan dari perhitungan beban kerja
pada masing-masing pekerja dengan menggunakan metode %CVL.
2.14.1.3.Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1. Hanya satu pekerja (Nanang) yang memiliki nilai %CVL lebih dari 30% yaitu
sebesar 31% sehingga pekerja tersebut memerlukan perbaikan untuk
mengurangi tingkat kelelahan dan mengurangi kemungkinan cedera.
2. Hasil evaluasi postur kerja menggunakan metode RULA menunjukkan bahwa
II-39
dari keempat Departemen yang memiliki skor beban kerja tertinggi adalah pada
Departemen Finishing yaitu sebesar 8, yang harus segera dilakukan
penyelidikan lebih lanjut serta menerapkan perubahan.
3. Sebaran data kondisi lingkungan kerja menunjukkan bahwa departemen
sandblasting memiliki tingkat kebisingan tertinggi yaitu mencapai 98.5 dB,
Dampak dari kebisingan tersebut berbahaya jika terjadi berkelanjutan dengan
tidak ada perbaikan yang dilakukan. Tingkat pencahayaan pada departemen
assembly sebesar 811,35 lux berada diatas standar tingkat pencahayaan,
sedangkan untuk departemen cutting sebesar 383,5 lux berada dibawah standar
tingkat pencahayaan sehingga kedua departemen tersebut memiliki tingkat
pencahayaan yang berada pada level tidak nyaman untuk melakukan pekerjaan.
Sedangkan suhu pada seluruh departemen masih berada dalam level aman
karena tidak melebihi batas standar.
4. Arsitektur jaringan backpropagation terbaik tahap pertama adalah dengan
konfigurasi 10 neuron pada lapisan input, 10 neuron pada hidden layer 1, serta
3 neuron pada lapisan output atau [10 10 3], fungsi aktivasi TANSIG,
algoritma training trainlm, momentum sebesar 0,2, set goal error sebesar 0.01
dan set jumlah epoh 1000 dimana nilai MSE yang ditunjukkan adalah
0,000027356 pada epoh ke-0 dan R bernilai 0,99306 ≈ 1,0. Pada arsitektur
terbaik jaringan backpropagation terbaik adalah dengan konfigurasi 3 neuron
pada lapisan input, 10 neuron pada hidden layer dan 1 neuron pada lapisan
output atau [3 20 1], algoritma training yang dipilih adalah TANSIG, set goal
error 0 dan set jumlah epoh 1000, dimana nilai MSE yang ditunjukkan adalah
0,027539 pada epoh ke-8 dan R bernilai 0,796869.
5. Dengan parameter ergonomi mikro dan makro dioptimasi dengan kombinasi
input: kebisingan 85 dB, pencahayaan antara 350- 700 lux, suhu 30oC, beban
kerja 25%, postur kerja kategori 2. Apabila pembebanan tingkat produktivitas
pada UD NATURAL sebesar 90% dari produktivitas dengan output penjualan
Rp 35.250.000/bulan, maka optimasi ini akan memberikan peningkatan tingkat
produktivitas sebesar 10,31% - 15,12% dengan output penjualan sebesar Rp
3.634.275 –Rp 5.329.800 per bulan.
II-40
6. Rekomendasi perbaikan yang diusulkan dari hasil penelitian ini adalah
melakukan perubahan dalam pengaturan Job Desription, pelatihan untuk
masing-masing pekerja dalam meningkatkan kemampuan/skill dan perbaikan
fasilitas (pembuatan display informasi, pemugaran display produk, dan
warehouse) maupun perawatan mesin/peralatan.
2.14.2. Sebuah Tinjauan Pengangkatan Persamaan NIOSH dan Analisis
Ergonomi 15
2.14.2.1.Pendahuluan
Revisi NIOSH mengangkat persamaan yang dikembangkan pada tahun
1991 yang merupakan alat penilaian intervensi ergonomis yang digunakan untuk
menghitung batas berat yang direkomendasikan (RWL) untuk tugas-tugas
mengangkat dan untuk mengidentifikasi tugas pengangkatan yang berbahaya.
Tapi aplikasi persamaan ini terbatas untuk kondisi yang dirancang dan memiliki
populasi distribusi antropometri yang berbeda. Penelitian ini akan mengusulkan
sebuah solusi untuk menentukan efek pengangkatan tugas manual dalam
pembatasan biomekanis, fisiologis dan psikofisik dan mengembangkan alat
otomatis dengan sistem baru untuk menghitung RWL ideal bagi orang-orang
Malaysia untuk melakukan tugas-tugas kerja. Sistem alat baru ini didesain yang
sesuai dengan kriteria orang Malaysia untuk dapat meningkatkan lingkungan kerja
yang aman bagi pekerja. Mengangkat manual telah diakui sebagai salah satu
kontributor utama cedera di sebagian besar industri. Ini karena kurangnya
perhatian pada kesadaran keselamatan di tempat kerja. Cedera ini mempengaruhi
karyawan dan juga memaksaka biaya yang berat bagi pengusaha dan masyarakat.
Untuk mengurangi masalah ini, pada tahun 1981, Institut Nasional keselamatan
kerja dan kesehatan (NIOSH) telah menerbitkan pedoman kerja untuk
mengangkat manual. Persamaan mengangkat diproduksi dalam mengevaluasi
risiko yang berhubungan dengan tugas-tugas mengangkat manual.
15 Nor Haafezah Kamarudin,“ A Review of the NIOSH Lifting Equation and Ergonomics Analysis” Advanced Engineering Forum.. vol. 10 (Juni 2013), 1-5.
II-41
Standar NIOSH telah diikuti dan dipraktekkan di seluruh dunia. Namun,
panduan dan mengangkat persamaan yang dirancang dan dikembangkan di
Amerika Serikat. Penelitian telah menunjukkan bahwa populasi yang berbeda
memiliki distribusi anthropometric yang berbeda. Tiga kriteria yang fisiologis,
biomekanis dan psikofisik digunakan dalam mendefinisikan mengangkat
persamaan dan metode untuk menganalisis soal tugas mengangkat manual.
Pengukuran ini yang model ini didasarkan pada, mungkin tidak akurat untuk
penduduk Malaysia. Proyek ini untuk menyelidiki efek mengangkat manual pada
biomekanis, fisiologis dan psikofisik pada penduduk Malaysia.
2.14.2.2.Metodologi
Konsep keselamatan dan kesehatan kerja telah berkembang sejak 1978
yang mana laporan pertama pada beberapa kesehatan terkait survei dan sesuai
jumlah asuransi yang dilakukan di Amerika Serikat diterbitkan. Manual
mengangkat telah diakui sebagai salah satu kontributor utama cedera di tempat
kerja. Operasi yang terkait dengan penanganan manual yang mencakup tindakan
mengangkat, menurunkan, membawa, mendorong, menarik, dan memegang
barang-barang. Cedera dalam pekerja selama angkat berat telah diakui sebagai
utama berkontribusi di tempat kerja. Cedera termasuk nyeri punggung rendah dan
masalah tulang belakang. Dalam metode pengamatan, tugas mengangkat
dievaluasi menggunakan empat pendekatan dasar dalam menetapkan standar
mengangkat yang epidemiologi, fisiologis, biomekanis dan psikofisik.
Penanganan cedera manual yang terjadi dalam kebanyakan lingkungan
kerja termasuk sektor industri seperti dalam aluminium industri, konstruksi,
pembuat cetakan, manufaktur, pengolahan makanan, operasi distribusi,
pergudangan, retail dan juga pekerja di pertanian, Restoran, sektor kesehatan dan
pengasuhan anak.
Berbagai postural analisis alat tersedia untuk menilai paparan pekerja
risiko dan berpotensi berbahaya tugas dalam workstation mereka. Alat penilaian
telah terbukti menjadi metode yang berharga untuk mengurangi penyakit akibat
kerja dan meningkatkan produktivitas dalam industri. Alat analisis postural
II-42
diklasifikasikan ke dalam metode pengamatan dan metode pengukuran langsung.
Metode penilaian resiko berbasis ergonomis yaitu penilaian ekstremitas bagian
tubuh atas (RULA), penilaian seluruh tubuh (REBA).
Institut Nasional untuk keselamatan dan kesehatan (NIOSH) telah
menerbitkan persamaan mengangkat direkomendasikan pada tahun 1981 dan versi
revisi pada tahun 1991. Ini adalah untuk menunjukkan batas mengangkat yang
aman dan telah menjadi alat yang berlaku dalam mengevaluasi risiko selama
mengangkat tugas. Ada tantangan besar dalam mengembangkan standar dalam
mengevaluasi kemampuan mengangkat manusia. Berbagai penelitian telah
dilaporkan dalam mengembangkan model mengangkat komprehensif.
NIOSH mengangkat persamaan dapat digunakan untuk mengevaluasi
tugas mengangkat manual yang lengkap atau bagian dari tugas untuk mengurangi
kemungkinan keseluruhan lebih rendah kembali sakit atau cedera. Untuk
membantu dalam pencegahan mengangkat terkait cedera punggung bawah,
NIOSH mengembangkan direvisi NIOSH mengangkat persamaan (RNLE), untuk
menghitung batas direkomendasikan berat (RWL), dan indeks pengangkatan (LI)
digunakan untuk memperkirakan tuntutan fisik pekerjaan .
Sikap kerja dapat dievaluasi oleh analisis RULA. Dikombinasikan dengan
revisi NIOSH mengangkat persamaan dalam merancang model untuk mendeteksi
faktor risiko yang berkontribusi terhadap penyakit muskuloskeletal (MSDs)
seperti kekuatan, getaran, pengulangan, kontak stres, postur canggung, suhu
ekstrim dan postur statis. Hasil menemukan bahwa MSDs yang dialami oleh para
pekerja yang disebabkan oleh penanganan manual tugas-tugas bahan dan sistem
gabungan yang dirancang mampu mengurangi risiko MSDs penanganan bahan
manual tugas-tugas dalam industri manufaktur. Postur kerja juga dapat dinilai
menggunakan Elektromiografi (EMG) untuk menentukan aktivitas otot karena
desain area kerja. EMG adalah studi tentang aktivitas otot melalui analisis sinyal-
sinyal listrik yang terpancar selama kontraksi otot. EMG mengukur sinyal listrik
yang terkait dengan aktivasi otot. Ini mungkin kontraksi otot sukarela. Aktivitas
EMG kontraksi otot sukarela berkaitan dengan ketegangan.
II-43
Selain itu, alat penilaian tubuh seluruh cepat (REBA) dan persamaan
NIOSH juga digunakan untuk menilai risiko mengembangkan MSDs. Penelitian
telah dilakukan di gudang pusat produksi vaksin untuk menemukan kemungkinan
target untuk perbaikan melalui aplikasi prinsip kerja umum ruang desain dan
ergonomi. Segala postur dievaluasi dengan REBA dan dianalisis dengan
persamaan NIOSH dalam menentukan risiko tinggi dan tingkat menengah risiko
pekerjaan.
2.14.2.3.Kesimpulan
Penelitian ini menunjukkan pelaksanaan revisi NIOSH mengangkat
persamaan sebagai alat metodologis untuk mengevaluasi keselamatan dan
kesehatan masalah tugas mengangkat bagi pekerja. Sistem alat yang diusulkan
idealnya dikembangkan terkait evaluasi dan validasi model mengangkat untuk
pekerja di Malaysia dalam menciptakan lingkungan kerja yang aman sambil
menyelesaikan tugas-tugas mereka dan membandingkan rumus NIOSH.
Persamaan dirancang akan membantu untuk membantu orang-orang Malaysia
agar RWL dan LI diterima dan mencegah masalah berbahaya karena tugas
mengangkat mereka. Sistem alat akan mengusulkan saran untuk mengurangi
bahaya setelah menganalisis masing-masing tugas mengangkat untuk melindungi
para pekerja. Harapan dalam penelitian ini agar sistem alat baru untuk Malaysia
dapat berkontribusi untuk membantu pekerja dalam mengurangi masalah yang
terkait dengan daftar tugas.
2.14.3. Desain Analisis Postur Kerja dan Menggunakan Metode Rapid
Entire Body Assesment (RULA) Dalam Proses Produksi Di Pt.
Indana Cat16
2.14.3.1.Pendahuluan
Sikap kerja dapat mempengaruhi kenyamanan dan produktivitas tenaga
kerja dalam melakukan pekerjaan manual. Dalam studi ini, metode RULA
16 Yongki Kusnandar Djiono,“ working posture analysis and design using RULA (Rapid Upper Limb Assessment) Method in Production Process at PT. Indana Paint” JITI. 2:2 (Oktober 2013), 1-11.
II-44
digunakan untuk menentukan tingkat risiko cedera muskuloskeletal gangguan
(MSDs) dalam proses produksi di PT. Indana cat (terdiri dari pencampuran dan
kemasan langkah-langkah untuk cat berbasis air, cat pelarut, dan cat dasar
produksi), dan kemudian diberikan usulan perbaikan untuk mengurangi tingkat
risiko. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengamatan langsung
dan merekam video dari setiap elemen bekerja untuk menentukan beberapa
canggung postur-postur yang akan dinilai dengan menggunakan metode RULA.
Tiga puluh canggung postur ditemukan, ada kerja 7 postur (23,3%) memiliki
risiko rendah tingkat, 11 bekerja postur (36.7%) memiliki tingkat risiko sedang
dan 12 bekerja postur (40%) memiliki tingkat risiko tinggi. Usulan perbaikan
yang diberikan adalah singkat pekerja-pekerja pada sesuai mengangkat teknik dan
metode kerja, menambahkan bantu mekanik untuk penanganan drum, dan bekerja
posisi ketinggian penyesuaian.
Manusia adalah salah satu komponen masukan yang diperlukan untuk
proses produksi dalam industri. Sampai saat ini penggunaan tenaga kerja manusia
dalam industri di Indonesia masih dominan, terutama untuk melakukan aktifitas
pekerjaan manual. Namun, fisik tubuh manusia memiliki keterbatasan
kemampuan dan bekerja. Satu faktor perlu dipertimbangkan dalam melakukan
pekerjaan manual adalah sikap yang dilakukan oleh para pekerja. Sikap kerja yang
baik dapat menunjukkan kerja yang aman, nyaman, dan produktif, sementara
canggung postur memiliki peningkatan risiko untuk menyebabkan sakit atau
cedera dalam sistem otot rangka yang disebut gangguan muskuloskeletal. Hal ini
disebabkan canggung postur kerja yang melibatkan bagian-bagian tubuh yang
menjalani signifikan penyimpangan dari normal posisi anatomi tubuh manusia,
seperti tubuh yang terlalu membungkuk, tangan mencapai terlalu jauh ke depan,
leher adalah memutar, dan sebagainya.
Ada banyak metode yang telah dikembangkan oleh ahli ergonomi untuk
menilai dan menganalisis risiko MSD postur kerja. Salah satu metode tersebut
adalah RULA yang diciptakan pada tahun 1993 oleh Dr Lynn McAtamney dan
Dr. Nigel Corlett dari University of Nottingham, UK. RULA adalah metode yang
sangat efektif untuk menilai tingkat risiko aktivitas didominasi oleh pergerakan
II-45
tungkai atas, seperti tangan, lengan, bahu, leher dan punggung (McAtamney dan
Corlett, 1993). Metode RULA memberikan penilaian yang lengkap dan detail
pada setiap bagian tubuh, ada kelompok (lengan atas, lengan bawah, pergelangan
tangan, memutar pergelangan tangan) dan Grup B (leher, batang, dan kaki), otot
penggunaan (statis atau berulang), andforce/beban (Hignett dan McAtamney,
2005). Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Dempsey, et.al. (2005),
metode RULA adalah yang paling banyak digunakan oleh ahli internasional yang
ergonomis karena prosedur yang tepat dan mudah digunakan.
Penelitian bekerja analisis postur menggunakan metode RULA telah
secara luas diterapkan di berbagai jenis tugas-tugas industri di Indonesia. Sartika
(2010) melakukan analisis bekerja postur menggunakan metode RULA dalam
mendidih operator minyak sawit dan mengusulkan sikap kerja yang lebih baik
untuk meringankan beban kerja operator secara fisik. Desky (2010) menggunakan
metode RULA postur kerja yang dilakukan oleh operator Kemasan salep dan telah
menemukan beberapa postur yang tampaknya perlu diganti segera untuk