Top Banner
Sita Simon Salu ( IMMI 2013 ) (00000004523) 1 beFILSAFAT EKSISTENSIALISME Eksistensialisme berasal dari kata dasar exist. Kata exist berasal dari kata “ex” yang artinya keluar dan “sister” yang berarti menempatkan atau berdiri. Dari asal kata tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa eksistensialisme berarti berdiri keluar dari diri sendiri. Kaum eksistensialis menekankan kepada eksistesi. Menurut Santre ‘eksistensi mendahului esensi’ beranggapan bahwa eksistensi ada sebelum esensi sehingga mereka focus untuk membuat suatu yang ada menjadi eksis. Eksistensialisme adalah filsafat yang menunjukkan kebebasan seutuhnya dari manusia. Pandangan eksistensialisme pertama kali di kemukakan oleh Kierkegaard, namun pandangan ini menjadi terkenal setelah di kemukakan oleh Jean-Paul Sartre. Eksistensi pada sartre artiya bahwa manusia itu sadar bahwa ia ada dan berada. Ia “bereksistensi” karena ia menyadari dirinya berhadapan dengan kekosongan. 1. Latar belakang Filsafat selalu lahir dari suatu krisis. Filsafat esistensialisme muncul akibat dari krisis idealisme dan meterialisme. Pandangan materialisme mengatakan bahwa manusia pada akhirnya sama dengan benda-benda mati. Pada akhirnya manusia hanyalah sesuatu yang material. Manusia memang lebih unggul dari
25

Filsafat Eksistensialisme Oleh Sita Simon

Dec 08, 2015

Download

Documents

SithaSimon

filsafat eksistensialisme
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Filsafat Eksistensialisme Oleh Sita Simon

Sita Simon Salu ( IMMI 2013 )(00000004523)

1

beFILSAFAT EKSISTENSIALISME

Eksistensialisme berasal dari kata dasar exist. Kata exist berasal dari kata “ex” yang

artinya keluar dan “sister” yang berarti menempatkan atau berdiri. Dari asal kata tersebut dapat

ditarik kesimpulan bahwa eksistensialisme berarti berdiri keluar dari diri sendiri. Kaum

eksistensialis menekankan kepada eksistesi. Menurut Santre ‘eksistensi mendahului esensi’

beranggapan bahwa eksistensi ada sebelum esensi sehingga mereka focus untuk membuat suatu

yang ada menjadi eksis. Eksistensialisme adalah filsafat yang menunjukkan kebebasan seutuhnya

dari manusia.

Pandangan eksistensialisme pertama kali di kemukakan oleh Kierkegaard, namun

pandangan ini menjadi terkenal setelah di kemukakan oleh Jean-Paul Sartre. Eksistensi pada

sartre artiya bahwa manusia itu sadar bahwa ia ada dan berada. Ia “bereksistensi” karena ia

menyadari dirinya berhadapan dengan kekosongan.

1. Latar belakang

Filsafat selalu lahir dari suatu krisis. Filsafat esistensialisme muncul akibat dari krisis

idealisme dan meterialisme. Pandangan materialisme mengatakan bahwa manusia pada akhirnya

sama dengan benda-benda mati. Pada akhirnya manusia hanyalah sesuatu yang material.

Manusia memang lebih unggul dari pada benda-benda mati, namun eksistensi manusia sama saja

dengan benda-benda mati ataupun makhluk hidup lainnya. Hal inilah yang ditentang oleh kaum

eksistensialisme sehingga muncul filsafat eksistensialis. Paham eksistensialis mengatakan

bahwa, manusia berada di dunia berbeda dengan benda dan makhluk lain. Manusia sebagai

subjek yang menyadari setiap hal, sedangkan hewan dan tumbuhan serta benda mati adalah objek

yang disadari. Sementara kaum materialisme tidak memandang manusia secara keseluruhan.

Idealisme memandang manusia hanya sebatas kesadaran atau subjek. Sementara

meterialisme memandang materi (kejasmanian) sebagai keseluruhan dari manusia. Padahal hal

tersebut hanyalah sebagian dari aspek manusia. Mereka tidak memandang manusia sebagai

subjek. Hal inilah yang dianggap para penganut eksistensialisme sebagai suatu hal yang keliru.

Eksistensialime juga didorong oleh reaksi terhadap dunia pada umumnya. Keadaan dunia yang

Page 2: Filsafat Eksistensialisme Oleh Sita Simon

Sita Simon Salu ( IMMI 2013 )(00000004523)

2

tidak menentu, penuh dengan teka-teki, ketakutan, kebencian, kemunafikan, sehingga

menimbulkan krisis. Sementara agama dianggap tidak mampu memberikan makna bagi

kehidupan. Manusia menjadi gelisah dan terancam oleh eksistensinya sendiri, sehingga filsof

melihat pada dirinya dan mengharap ada pegangan yang dapat mengeluarkan dari krisis tersebut.

Kemudian tampillah eksistensialime yang menjadikan manusia sebagai subjek dan sekaligus

objek.

2. Manusia dipandang dalam ekstensialisme Sartre

Eksistensialisme menyatakan bahwa keberadaan manusia dan benda lain tidaklah sama.

Manusia dan makhluk yang lain sama-sama tinggal di bumi, tetapi yang menjadi perbedaannya

ialah tentang keberadaannya. Manusia mengalami keberadaannya di dunia dan menyadari

dirinya berada di dunia. Manusia menghadapi dunia dengan mengerti apa yang dihadapinya itu.

Manusia mengerti kegunaan pohon, batu, dan salah satu diantaranya ialah ia mengerti bahwa

hidupnya mempunyai arti. Artinya, manusia adalah subyek yang menyadari atau pribadi yang

sadar. Hal lain yang disadarinya disebut obyek.

Bagi Sarte, eksistensi manusia mendahului esensinya. Filsafat eksistensialisme

membicarakan cara manusia berada di dunia ini. Dengan perkataan lain filsafat ini menempatkan

cara wujud manusia sebagai tema sentral pembahasannya. Cara itu hanya khusus ada pada

manusia karena hanya manusialah yang bereksistensi. Binatang, tumbuhan, bebatuan memang

ada, tetapi mereka tidak dapat disebut bereksistensi (Drijarkara, 1966:57). Hal ini berbeda dari

tumbuhan, hewan, dan bebatuan yang esensinya mendahului eksistensinya, seandainya mereka

mempunyai eksistensi.

Jika seseorang membuat suatu barang, misalnya buku, ia mestinya telah mempunyai

konsep tentang buku yang akan dibuatnya itu. Kemudian dibuatnyalah buku sesuai dengan

konsep yang telah ada. Konsep buku merupakan buku pada masa praeksisten dilihat dari sudut

terwujudnya buku. Kita tidak dapat membayangkan seseorang dapat membuat buku tanpa

didahului oleh suatu konsep tentang buku. Dapatlah dikatakan sekarang bahwa konsep buku

merupakan esensi buku, sedangkan wujud buku adalah eksistensinya. Jelaslah sekarang bahwa

kehadiran buku itu ditentukan oleh pembuatnya, yaitu manusia. Maka untuk buku tersebut

berlaku esensi mendahului eksistensi.

Page 3: Filsafat Eksistensialisme Oleh Sita Simon

Sita Simon Salu ( IMMI 2013 )(00000004523)

3

Bila kita berpikir bahwa Tuhan adalah pencipta, maka kita akan membayangkan bahwa

Tuhan mengetahui secara persis apa yang diciptakan-Nya. Jadi, konsep sesuatu yang akan

diciptakan Tuhan itu telah ada sebelum sesuatu itu diciptakan (diadakan). Jika demikian, maka

bagi manusia pun berlaku konsep esensi mendahului eksistensi. Ini bila Tuhan yang menciptakan

manusia. Ide seperti ini ada dalam agama. Sarte menyatakan bahwa semua itu berlawanan

dengan kenyataan.

Eksistensialisme menyatakan Tuhan tidak ada, maka tinggal satu yang ada yaitu,

eksistensinya mendahului esensinya. Itu adalah manusia yang oleh Heidegger disebut realitas

manusia. Hal yang maksud adalah bahwa manusia adalah yang pertama dari semua yang ada,

menghadapi dirinya, menghadapi dunia, dan mengenal dirinya sesudah itu. Bila manusia sebagai

seorang eksitensialis melihat dirinya sebagai seorang tidak dapat dikenal, itu karena dia mulai

dari ketiadaan. Dia tetap tidak akan ada, sampai suatu ketika ia ada seperti yang diperbuatnya

terhadap dirinya. Oleh karena itu, tidaklah ada kekhususan kemanusiaan karena tidak ada Tuhan

yang mempunyai konsep tentang manusia. Hal ni dianggap penting oleh Sartre karena bila

eksistensi mendahului esensinya berarti manusia harus bertanggung jawab untuk apa ia ada.

Sartre menjelaskan karena manusia mula – mula sadar bahwa ia ada, itu berarti manusia

menyadari bahwa ia menghadapi masa depan, dan ia sadar ia berbuat begitu. Hal ini menekankan

suatu tanggung jawab pada manusia. Eksistensi manusia bukan sekedar hendak menjelaskan

keadaan beradanya ditengah manusia dan bukan manusia. Lebih dari itu, ia handak menjelaskan

tanggungjawab yang seharusnya dipikul manusia.

Eksistensi manusia menunjukkan kesadaran manusia, terutama pada dirinya sendiri

bahwa ia berhadapan dengan manusia. Bila manusia menyadari dirinya berhadapan dengan

sesuatu, menyadari ia telah memilih untuk berada, pada waktu itu juga dia ia telah

bertanggungjawab untuk memutuskan bagi dirinyadan bagi keseluruhan manusia, dan pada saat

itu pula manusia merasa tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab menyeluruh.Dalam

ekstensialisme manusia tidak memiliki apa pun saat dilahirkan. Manusia selama kehidupannya

merupakan hasil dari kalkulasi komitmen di masa lalu. Sehingga manusia mendefinisikan dirinya

berdasarkan hal yang telah dia lakukan dan dia capai. Manusia memiliki kebebasan dan

kehidupan ini bedasarkan pada otoritas manusia.

Page 4: Filsafat Eksistensialisme Oleh Sita Simon

Sita Simon Salu ( IMMI 2013 )(00000004523)

4

Menurut Sartre, ada 2 kategori manusia menjalani kehidupan di dunia:

a. Secara autentik

b. Dalam kepercayaan buruk percaya adanya Tuhan dan kodrat

Sartre tidak menggunakan ateisme sebagai dasar dari pandangannya, namun bagi Sartre

kepercayaan kepada Tuhan dan segala hal supranatural lainnya merupakan pilihan manusia

dalam rangka menentukan esensinya. Saat manusia menemukan esensinya, manusia dapat

mengerti tujuan hidupnya. Manusia itu merdeka, bebas. Ia harus bebas menentukan,

memutuskan. Kenyataan manusia adalah nasibnya diserahkan kepada dirinya sendiri.

Kelebihan dan kelemahan eksistensialisme sartre

Kelebihan eksistensialisme

1. Eksistensialisme berpandangan bahwa, jika hidup belum selesai maka manusia tidak

boleh pasrah akan keadaan apa adanya tetapi harus terus menerus di ubah menjadi lebih

baik lagi.

2. Hidup dimengerti sebagai projek. Faktor penting untuk perbaikan hidup adalah tanggung

jawab. Setiap orang harus betanggung jawab atas hidupnya dan dengan sungguh-sungguh

berupaya untuk mengembangkannya.

3. Hidup ini belum selesai, setiap situasi membawa akibat untuk kemajuan hidup. Oleh

karena itu setiap situasi perlu dikendalikan, dimanfaatkan, diarahkan, sehingga menjadi

keuntungan bagi kemajuan hidup.

Kelemahan eksistensialisme

1. Etika eksistensialis terperosok ke dalam pendirian yang individualistis. Dengan pendirian

seperti melaksanakan sebuah projek hidup maka para pengikut aliran eksistensialis hanya

mencari kepentingan diri sendiri. Cara memandang kebaikan yang individualistis dapat

merugikan sesama masyarakat dan dunia.

2. Dengan mengabaikan tata tertib, peraturan, hukum, kaum eksistensialis menjadi manusia

yang anti sosial. Sehingga mereka mengabaikan norman-norma untuk mencapai tujuan demi

memperbaiki hidup. Sementara norma masyarakat adalah suatu hasil perjalanan pencarian

yang tidak mudah begitu saja ditiadakan.

Page 5: Filsafat Eksistensialisme Oleh Sita Simon

Sita Simon Salu ( IMMI 2013 )(00000004523)

5

3. Dengan mengambil sikap bebas dan merdeka, kaum eksistensialis memandang kemerdekaan

sebagai sesuatu yang tidak terbatas. Pada hal dalam hidup ini, tidak ada kemerdekaan yang

tanpa batas. Selama manusia hidup dalam masyarakat, pelaksanaan masyarakat akan selalu

dibatasi oleh pelaksanaan kebebasan orang lain. Mau tidak mau hidup dalam

bermasyarakat, setiap orang harus mau memberi dan menerima/ kompromi.

4. Kaum eksistensialisme sangat memperhitungkan situasi, namun situasi itu mudah goyah. Bila

manusia hanya bersandar pada situasi dan diri sendiri saja, maka pandangannya akan menjadi

terbatas, lingkup perbuatannya dipersempit serta pendiriannya rapuh.

6. Kesimpulan

Kaum eksistensialisme Kaum Kristen

Berdasarkan pengertian dari

eksistensialisme yang mempercayai

bahwa manusia dengan sadar

mengetahui segala tentang dirinya

sendiri dan tahu apa yang menjadi

tujuan hidupnya, manusia berdiri

sebagai aku.

Pandangan ini mempercayai bahwa

manusia memiliki kesadaran sendiri

atas segala yang diciptakan seperti

benda-benda mati, manusia sadar akan

kegunaan pohon.

Kaum eksistensialisme tidak percaya

adanya Tuhan. Manusia ada bukan

karena di ciptakan Tuhan, melainkan

sejak dahulu sudah ada manusia.

Manusia adalah yang pertama dari

semua yang ada. Manusia

menghadapi dirinya, menghadapi

dunia, dan mengenal dirinya sesudah

Manusia yang telah jatuh kedalam

dosa tidak akan bisa mencari

kebenaran yang sejati. Manusia

memerlukan Tuhan dalam menjalani

kehidupannya. Terlebih untuk

mendapat keselamatan sebagai tujuan

hidup manusia. (Kisah Para Rasul 4 :

12)

Manusia terkadang tidak sadar akan

apa yang ia lakukan. Manusia tidak

dapat berdiri sendiri ataupun

melakukan segala sesuatu hanya

dengan kekuatannya sendiri. Manusia

membutuhkan Hikmat dari Tuhan.

(Amsal 2 : 6)

Dalam kekristenan, Allah yang telah

menciptakan manusia. Ia menciptakan

manusia segambar dan serupa dengan

Allah. (Kejadian 1:1,27)

Page 6: Filsafat Eksistensialisme Oleh Sita Simon

Sita Simon Salu ( IMMI 2013 )(00000004523)

6

itu.

Dalam ekstensialisme manusia tidak

memiliki apa pun saat dilahirkan

Dalam kekristenan setelah kejatuhan

manusia sejak lahir telah membawa

natur keberdosaan. (kejadian 3)

TAMBAHAN

Dalil yang digaungkan Sartre dalam filsafatnya yang menetang keberadaan tuhanadalah

"eksistensi mendahului esensi". Maksud dari "eksistensi mendahului esesni" adalah

eksistensi disini menyangkut bentuk, wujud dan yang nampak sementaraesensi

menyagkutabstrak, konsep, ide . lebih jelas Sartre menjelaskan

"Apa itu eksistensi mendahului esensi? yang kita maksud adalah bahwa, pertama tama

manusia ada, berhadapan dengan dirinya sendiri, terjun ke dalam dunia.... dan barulah

setelah itu mndefinisikan dirinya." (Jean Paul Sartre, Eksistensialisme dan Humanisme,

Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, h. 44 )

2. Tokoh-tokoh Eksistensialisme

a. Soren Aabye Kiekegaard

Kierkegaard adalah seorang pemikir Denmark yang merupakan filsuf Eksistensialisme yang

terkenal abad 19. Kierkegaard berpendapat bahwa manusia dapat menemukan arti hidup

sesungguhnya jika ia menghubungkan dirinya sendiri dengan sesuatu yang tidak terbatas dan

Page 7: Filsafat Eksistensialisme Oleh Sita Simon

Sita Simon Salu ( IMMI 2013 )(00000004523)

7

merenungkan hidupnya untuk melakukan hal tersebut, walaupun dirinya memiliki keterbatasan

untuk melakukan itu. Karena pada saat itu terjadi krisis eksistensial, tujuan filsafat Kierkegaard

adalah untuk menjawab pertanyaan “bagaimanakah aku menjadi seorang individu?”. Kiergaard

menemukan jawaban untuk pertanyaan tersebut, yakni manusia (aku) bisa menjadi individu yang

autentik jika memiliki gairah, keterlibatan, dan komitmen pribadi dalam kehidupan.

Inti pemikiran Kierkegaard adalah eksistensi manusia bukanlah sesuatu yang statis tetapi

senantiasa menjadi, manusia selalu bergerak dari kemungkinan menuju suatu kenyataan, dari

cita-cita menuju kenyataan hidup saat ini. Jadi ditekankan harus ada keberanian dari manusia

untuk mewujudkan apa yang ia cita-citakan atau apa yang ia anggap kemungkinan.

b. Friedrich Nietzsche

Nietzsche adalah seorang filsuf Jerman. Tujuan filsafatnya adalah untuk menjawab pertanyaan

“bagaimana caranya menjadi manusia unggul?”. Jawabannya adalah manusia bisa menjadi

unggul jika mempunyai keberanian untuk merealisasikan diri secara jujur dan berani. 

Menurutnya manusia yang bereksistensi adalah manusia yang mempunyai keinginan untuk

berkuasa (will to power), dan untuk berkuasa manusia harus menjadi manusia super (

bermensch) yang mempunyai mental majikan bukan mental budak. Dan kemampuan ini hanyaـ

dapat dicapai dengan penderitaan karena dengan menderita orang akan berfikir lebih aktif dan

akan menemukan dirinya sendiri.

c. Karl Jaspers

Memandang filsafat bertujuan mengembalikan manusia kepada dirinya sendiri.

Eksistensialismenya ditandai dengan pemikiran yang menggunakan semua pengetahuan obyektif

serta mengatasi pengetahuan obyektif itu, sehingga manusia sadar akan dirinya sendiri .Ada dua

fokus pemikiran Jasper, yaitu eksistensi dan transendensi.

d. Martin Heidegger

Page 8: Filsafat Eksistensialisme Oleh Sita Simon

Sita Simon Salu ( IMMI 2013 )(00000004523)

8

Martin Hiedegger merupakan pemikir yang ekstrim, hanya beberapa filsuf saja yang mengerti

pemikiran Heidegger. Pemikiran Heidegger selalu tersusun secara sistematis. Tujuan dari

pemikiran Heidegger pada dasarnya berusaha untuk menjawab pengertian dari “being”.

Heidegger berpendapat bahwa “Das Wesen des Daseins liegt in seiner Existenz”, adanya

keberadaan itu terletak pada eksistensinya. Di dalam realitas nyata being (sein) tidak sama

sebagai “being” ada pada umumnya, sesuatu yang mempunyai ada dan di dalam ada, dan hal

tersebut sangat bertolak belakang dengan ada sebagai pengada. Heidegger menyebut being

sebagai eksistensi manusia, dan sejauh ini analisis tentang “being” biasa disebut sebagai

eksistensi manusia (Dasein). Dasein adalah tersusun dari da dan sein. “Da” disana (there), “sein”

berarti berada (to be/being). Artinya manusia sadar dengan tempatnya.

Inti pemikirannya adalah keberadaan manusia diantara keberadaan yang lain, segala sesuatu yang

berada diluar manusia selalu dikaitkan dengan manusia itu sendiri, dan benda-benda yang ada

diluar manusia baru mempunyai makna apabila dikaitkan dengan manusia karena itu benda-

benda yang berada diluar itu selalu digunakan manusia pada setiap tindakan dan tujuan mereka.

e. Jean Paul Sartre

Jean-Paul Sartre filsuf lain dari eksistensialisme berpendapat eksistensi mendahului esensi,

manusia adalah mahkluk eksistensi, memahami dirinya dan bergumul di dalam dunia. Jean-paul

Sartre kemudian menyimpulkan bahwa manusia tidak memiliki suatu apapun, namun dia dapat

membuat sesuatu bagi dirinya sendiri. Menurut Sartre adanya manusia itu bukanlah “etre”

melainkan “a etre”. Artinya manusia itu tidak hanya ada tapi dia selamanya harus membangun

adanya, adanya harus dibentuk dengan tidak henti-hentinya.

Satre berkeyakinan bahwa inti setiap relasi antarmanusia adalah konflik, saling menegasikan

terus-menerus, karena seorang manusia menjadi subjek sekaligus juga objek bagi yang lain. Oleh

karena itu, satu dengan yang lainnya berusaha untuk memasukkan orang lain ke dalam pusat

”dunia”-nya. Mengikuti Nietzsche, Sartre mengutuk setiap bentuk objektivikasi dan

impersonalisasi. Tak ada standar baik dan

Page 9: Filsafat Eksistensialisme Oleh Sita Simon

Sita Simon Salu ( IMMI 2013 )(00000004523)

9

buruk kecuali kebebasan itu sendiri.

Sartre menekankan pada kebebasan manusia, manusia setelah diciptakan mempunyai kebebasan

untuk menetukan dan mengatur dirinya. Konsep manusia yang bereksistensi adalah makhluk

yang hidup dan berada dengan sadar dan bebas bagi diri sendiri.

Sepanjang sejarah eksistensialisme, kebebasan ala Sartre ini boleh dibilang paling ekstrim dan

radikal. Dalam sejarah perkembangan filsafat, agaknya tidak ada pendirian tentang kebebasan

yang ekstrim dan radikal seperti Sartre.

3. Hakekat Eksistensialisme

Eksistensialisme berarti filsafat mengenai aku, dan bagaimana aku hidup. Dengan demikian,

eksistensialisme adalah filsafat subyektif mengenai diri. Hal ini terlihat pada ide-ide dari tiga

eksistensialis terbesar Eropa: Soren Kierkegaard (1813-1855), Martin Heidegger (1889-1976)

dan Jean-Paul Sartre (1905-1980).

Eksistensialisme Kierkegaard tercapai karena menemukan diri di hadapan Tuhan. Bagi

Heidegger, filsuf Jerman dengan karya Being & Time yang sangat berpengaruh, diri terkait

dengan ‘pengada otentik’, atau kecerdasan identitas.

Sementara bagi Sartre, diri serupa dengan konsep Descartes, tetapi dengan meniadakan Tuhan.

Diri bagi Sartre adalah pengakuan atas Tuhan. Karena, dalam menciptakan manusia yang kita

inginkan, tak ada satupun dari tindakan-tindakan kita yang tidak sekaligus menciptakan

gambaran tentang manusia sebagaimana ia seharusnya.

Dalil diataslah, menurut Sartre lagi, yang menggambarkan diri kita sebagai ‘Tuhan kecil’ yang

berada atau menyatu dalam diri kita, sekaligus yang ‘memiliki kebebasan kita’ seperti sebuah

kebajikan metafisik (Being & Nothingness, 1943:42).

Dari sudut etimologi eksistensi berasal dari kata “eks” yang berarti diluar dan “sistensi” yang

berarti berdiri atau menempatkan, jadi secara luas eksistensi dapat diartikan sebagai berdiri

Page 10: Filsafat Eksistensialisme Oleh Sita Simon

Sita Simon Salu ( IMMI 2013 )(00000004523)

10

sendiri sebagai dirinya sekaligus keluar dari dirinya. Eksistensialisme merupakan suatu aliran

dalam ilmu filsafat yang menekankan pada manusia, dimana manusia dipandang sebagai suatu

mahluk yang harus bereksistensi, mengkaji cara manusia berada di dunia dengan kesadaran. Jadi

dapat dikatakan pusat renungan eksistensialisme adalah manusia konkrit.

Eksistensialisme didefinisikan sebagai usaha untuk memfilsafatkan sesuatu dari sudut pandang

pelakunya, di bandingkan cara tradisonal, yaitu dari sudut penelitinya. Eksistensialisme memberi

perhatian terhadap masalah-masalah kehidupan manusia modern. Eksistensialisme menekankan

tema eksistensi pribadi yang dibandingkan dengan eksistensi manusia secara umum,

kemustahilan hidup dan pertanyaan untuk arti dan jaminan kebebasan manusia, pilihan dan

kehendak, pribadi yang terisolasi, kegelisahan, rasa takut yang berlebihan dan kematian.

Eksistensialisme merupakan suatu aliran dalam ilmu filsafat yang menekankan pada manusia,

dimana manusia dipandang sebagai suatu makhluk yang harus bereksistensi, mengkaji cara

manusia berada di dunia dengan kesadaran. Jadi dapat dikatakan pusat renungan eksistensialisme

adalah manusia konkrit.

Ada beberapa ciri eksistensialisme, yaitu, selalu melihat cara manusia berada, eksistensi

diartikan secara dinamis sehingga ada unsur berbuat dan menjadi, manusia dipandang sebagai

suatu realitas yang terbuka dan belum selesai, dan berdasarkan pengalaman yang konkrit. 

Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang pahamnya berpusat pada manusia individu yang

bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang

benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya bukannya tidak mengetahui mana yang benar dan

mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran bersifat relatif, dan

karenanya masing-masing individu bebas

menentukan sesuatu yang menurutnya benar.

Eksistensialisme adalah salah satu aliran besar dalam filsafat, khususnya tradisi filsafat Barat.

Eksistensialisme mempersoalkan keber-Ada-an manusia, dan keber-Ada-an itu dihadirkan lewat

kebebasan. Pertanyaan utama yang berhubungan dengan eksistensialisme adalah melulu soal

kebebasan. Apakah kebebasan itu? bagaimanakah manusia yang bebas itu? dan sesuai dengan

Page 11: Filsafat Eksistensialisme Oleh Sita Simon

Sita Simon Salu ( IMMI 2013 )(00000004523)

11

doktrin utamanya yaitu kebebasan, eksistensialisme menolak mentah-mentah bentuk determinasi

terhadap kebebasan kecuali kebebasan itu sendiri.

Dalam studi sekolahan filsafat eksistensialisme paling dikenal hadir lewat Jean-Paul Sartre, yang

terkenal dengan diktumnya "human is condemned to be free", manusia dikutuk untuk bebas,

maka dengan kebebasannya itulah kemudian manusia bertindak. Pertanyaan yang paling sering

muncul sebagai derivasi kebebasan eksistensialis adalah, sejauh mana kebebasan tersebut bebas?

atau "dalam istilah orde baru", apakah eksistensialisme mengenal "kebebasan yang bertanggung

jawab"? Bagi eksistensialis,

ketika kebebasan adalah satu-satunya universalitas manusia, maka batasan dari kebebasan dari

setiap individu adalah kebebasan individu lain.

Namun, menjadi eksistensialis, bukan melulu harus menjadi seorang yang lain daripada yang

lain, sadar bahwa keberadaan dunia merupakan sesuatu yang berada diluar kendali manusia,

tetapi bukan membuat sesuatu yang unik ataupun yang baru yang menjadi esensi dari

eksistensialisme. Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan sendiri, dan sadar akan tanggung

jawabnya dimasa depan adalah inti dari eksistensialisme. Sebagai contoh, mau tidak mau kita

akan terjun ke berbagai profesi seperti dokter, desainer, insinyur, pebisnis dan sebagainya, tetapi

yang dipersoalkan oleh eksistensialisme adalah, apakah kita menjadi dokter atas keinginan

orangtua, atau keinginan sendiri.

Waini Rasyidin (2007:24) mengungkapkan bahwa teori eksistensialisme menomorsatukan hak

kebebasan individu menjadi diri sendiri yang bersifat terbuka terhadap segala kemungkinan yang

selalu baru. Jika dibandingkan dengan penerapannya dalam filsafat pendidikan, eksistensialisme

tampak lebih berpengaruh sebagai sistem filsafat, kecuali di Inggris dan dalam bidang

pendidikan profesional tertentu di universitas-universitas di Eropa Barat dan Amerika Utara. Inti

aliran eksistensialisme adalah filsafat hidup yang lebih menghormati hak hidup manusia sebagai

individu. Atas dasar asas individualisme, eksistensialisme berpendapat bahwa tidak ada unsur

hakiki di alam semesta yang bersifat universal.

Hakekat kenyataan tergantung pada persepsi individu yang bersangkutan. Parkay (1998)

Page 12: Filsafat Eksistensialisme Oleh Sita Simon

Sita Simon Salu ( IMMI 2013 )(00000004523)

12

membagi dua aliran pemikiran eksistensialisme, yakni bersifat theistik (bertuhan) dan atheistik.

Aliran theistik menunjukkan bahwa manusia memiliki suatu kerinduan akan suatu wujud yang

sempurna, yakni Tuhan. Kerinduan ini tidak membuktikan keberadaan Tuhan, manusia dapat

bebas memilih untuk tinggal dalam kehidupan mereka seakan-akan ada Tuhan. Sementara aliran

atheistik berpendapat bahwa pendirian theistik merendahkan kondisi manusia. Ateistik

berpendapat bahwa manusia harus memiliki suatu fantasi agar dapat tinggal dalam kehidupan

tanggung jawab moral. Pendirian tersebut membebaskan manusia dari tanggung jawab untuk

berhubungan dengan kebebasan pilihan sempurna yang dimiliki.

Menurut eksistensialisme, terdapat dua jenis filsafat tradisional, yakni filsafat spekulatif dan

skeptis. Filsafat spekulatif menjelaskan tentang hal-hal yang fundamental tentang pengalaman,

dengan berpangkal pada realitas yang lebih dalam yang secara inheren telah ada dalam diri

individu. Dengan kata lain pengalaman tidak banyak berpengaruh pada diri individu. Filsafat

skeptik berpandangan bahwa semua pengalaman manusia adalah palsu, tidak ada sesuatu pun

yang dapat kita kenal dari realitas. Mereka menganggap bahwa konsep metafisika adalah

sementara.

Eksistensialisme menolak kedua pandangan tersebut dengan berpendapat bahwa manusia dapat

menemukan kebenaran yang fundamental berargumentasi, bahwa yang nyata adalah yang kita

alami. Realitas adalah kenyataan hidup itu sendiri. Untuk menggambarkan realitas, kita harus

menggambarkan apa yang ada dalam diri kita, bukan yang ada di luar kondisi manusia.

Paham eksistensialisme terdiri dari berbagai pandangan yang berbedabeda. Meski berbeda

pandangan-pandangan tersebut memiliki beberapa persamaan, sehingga pandangan tersebut

dapat digolongkan filsafat eksistensialisme. Persamaan-persamaan tersebut di antaranya:

a) Motif pokok eksistensialisme adalah apa yang disebut “eksistensi”, yaitu cara manusia berada.

Hanya manusialah yang bereksistensi. Pusat perhatian ini ada pada manusia. Dengan kata lain

bersifat humanis.

b) Bereksistensi harus diartikan secara dinamis. Bereksistensi berarti menciptakan dirinya secara

aktif, berbuat, menjadi, dan merencanakan.

Page 13: Filsafat Eksistensialisme Oleh Sita Simon

Sita Simon Salu ( IMMI 2013 )(00000004523)

13

c) Manusia dipandang sebagai makhluk terbuka, realitas yang belum selesai, yang masih dalam

proses menjadi. Pada hakikatnya manusia terikat pada dunia sekitarnya, terlebih lagi terhadap

sesama manusia.

d) Eksistensialisme memberi tekanan pada pengalaman konkrit, pengalaman yang eksistensial. 

Teori pengetahuan eksistensialisme banyak dipengaruhi oleh filsafat fenomologi, suatu

pandangan yang menggambarkan penampakkan benda-benda dan peristiwa-peristiwa

sebagaimana benda-benda tersebut tersebut menampakkan dirinya terhadap kesadaran manusia.

Pengetahuan manusia tergantung pemahamannya tentang realitas, tergantung pada interpretasi

manusia terhadap realitas. Pengetahuan yang diberikan di sekolah bukan sebagai alat untuk

memperoleh pekerjaan atau karis siswa, melainkan untuk dapat dijadikan alat perkembangan dan

alat pemenuhan diri.

Pemahaman eksistensialisme terhadap nilai menekankan kebebasan dalam tindakan. Kebebasan

bukan tujuan atau suatu cita-cita dalam dirinya sendiri, melainkan berupa suatu potensi untuk

suatu tindakan. Manusia memiliki kebebasan untuk memilih, namun menentukan pilihan-pilihan

yang terbaik adalah yang tersulit. Berbuat akan menghasilkan akibat, dan seseorang harus

menerima akibat-akibat tersebut sebagai pilihannya. Kebebasan tidak akan pernah selesai, karena

setiap akibat akan melahirkan kebutuhan akan pilihan-pilihan selanjutnya.

Diposkan oleh MUKHTAR ARAHMAN/ IBENK BIMA   di 06.08 

Eksistensialisme. Sartre sendiri –yang mengistilahkan Eksistensialisme–

menawarkan sebuah definisi dalam esainya di tahun 1946: “Eksistensialisme adalah

Humanisme”. Menurut Sartre, seorang eksistensialis adalah orang yang percaya dan

bertindak berdasarkan dalil: “eksistensi mendahului esensi”. Bukan keterbalikannya:

“esensi mendahului eksistensi”. Dengan begitu, seorang eksistensialis pasti seorang ateis.

Dalam pengertian Sartre: manusia dinilai menurut kesesuaian dengan esensinya, serta

tidak ada hakikat manusia –karena tidak ada Allah yang menciptakannya.

“Memilih ini atau itu adalah menegaskan pada saat yang sama nilai dari apa yang

kita pilih, karena kita tidak pernah dapat memilih yang jahat, kita selalu memilih yang

Sitha, 09/19/15,
Judul Buku      : Sartre untuk Pemula (Terjemahan dari Sartre for Beginners)Penulis             : Donald D. PalmerTahun              : 2003Penerbit           : Kanisius
Page 14: Filsafat Eksistensialisme Oleh Sita Simon

Sita Simon Salu ( IMMI 2013 )(00000004523)

14

baik dan tidak ada sesuatu pun yang baik bagi kita tanpa menjadi baik bagi semua.” (hlm.

114)

"Eksistensi mendahuli Esensi", "Hidup dan Jangan Menyerah!" kata satre

Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang memandang segala-galanya dengan

berpangkalan pada eksistensi. Menurut asal kata eks berarti keluar dan sistensi berarti

menempatkan, berdiri. Atau bisa dikatakan juga bahwa yang dimaksud dengan eksistensi

adalah cara manusia berada di dunia ini. Cara itu hanya khusus bagi manusia, jadi yang

bereksistensi itu hanya manusia. (Driyarkara, 2006a:1281-1282)

edangkan Menurut Sartre, seorang eksistensialis adalah orang yang percaya dan

bertindak berdasarkan dalil berikut, yang berlaku untuk semua umat manusia yaitu

‘eksistensi mendahului esensi’. Apa artinya? Sebelum itu marilah kita membahas

pendapat ‘esensi mendahului eksistensi’. Esensi berarti hakikat dari suatu hal, definisi

dari suatu hal, ide mengenai suatu hal, sifat dasar atau kodrat, fungsi, dan program.

Artinya bahwa dalam benda buatan manusia esensi benar-benar mendahului eksistensi

(Palmer, 2007:21).

Bagi Sartre, manusia mengada dengan kesadaran sebagai dirinya sendiri. Dan

sebagai demikian itu maka ia tidak bisa dipertukarkan. Dengan demikian pula maka

adanya manusia berbeda dengan adanya hal-hal lain yang tanpa kesadaran tentang adanya

sendiri. Dengan lain perkataan bagi manusia eksistensi adalah keterbukaan; berbeda

dengan benda-benda yang lain dimana ada itu sekaligus esensi, maka bagi manusia

eksistensi mendahului esensi.

Ini mengandung arti bahwa manusia bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri,

apapun jadinya eksistensinya, apapun makna yang hendak diberikan pada eksistensinya

itu, tiada lain yang bertanggung jawab adalah dirinya sendiri. Sebab dalam membentuk

dirinya sendiri itu, manusia mendapat kesempatan untuk tiap kali memilih apa yang baik

dan apa yang kurang baik baginya. Setiap pilihan yang dijatuhkan terhadap alternatif-

alternatif yang ditemuinya adalah pilihannya sendiri; ia tidak bisa mempersalahkan orang

lain, tidak pula bisa menggantungkan keadaan pada Tuhan (Hassan,1976:103).

L etre-en-soi menunjuk suatu cara bereksistensi yang tertutup, apa yang ada

sepenuhnya identik dengan dirinya sendiri. Ia bersifat tertutup rapat, tanpa lobang, tanpa

Sitha, 09/19/15,
Hassan, Fuad, 1976, Berkenalan dengan Eksistensialisme, Jakarta : Pustaka Jaya
Sitha, 09/19/15,
Palmer, D, Donald, 2007, Sartre untuk Pemula, Yogyakarta : Kanisius
Sitha, 09/19/15,
Driyarkara, Nicolas, 2006a, Eksistensialisme, dalam Sudiarja dkk, Karya Lengkap Driyarkara, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama________, 2006b, Fenomenologi, dalam Sudiarja dkk, Karya Lengkap Driyarkara, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama Driyarkara
Sitha, 09/19/15,
Judul Buku      : Sartre untuk Pemula (Terjemahan dari Sartre for Beginners)Penulis             : Donald D. PalmerTahun              : 2003Penerbit           : Kanisius
Page 15: Filsafat Eksistensialisme Oleh Sita Simon

Sita Simon Salu ( IMMI 2013 )(00000004523)

15

celah, dan tanpa gerak sedikitpun untuk keluar dari dirinya. di situ tidak terdapat-subjek-

objek, sama sekali tidak mempunyai relasi. Oleh Sartre L etre-en-soi disebut ‘ada yang

tidak berkesadaran’. Boleh dikatakan ada jenis ini adalah adanya benda-benda, yang

berada begitu saja (Siswanto, 1998 : 140).

Lebih jelasnya tentang etre-en-soi itu harus dikatakan : it is what it is. Etre-en-soi

tidak aktif, tidak pasif, tidak afirmatif, tidak negatif : kategori-kategori macam itu itu

hanya mempunyai arti dalam kaitan dengan manusia. Etre-en-soi tidak mempunyai masa

silam, masa depan; tidak mempunyai kemungkinan ataupun tujuan. Etre-en-soi itu sama

sekali kontingen. Artinya : ada begitu saja, tanpa fundamen, tanpa diciptakan, tanpa dapat

dimainkan dari sesuatu yang lain (Bertens, 2001 : 92). Menurut Sartre, segala yang

berada secara ini, segala yang L etre-en-soi, adalah memuakkan. Mengapa ? Meja, kursi,

pohon, dan sebagainya, dalam dirinya bukanlah apa-apa. Benda-benda itu bila kita lihat

sebagai de-facto demikian, seperti adanya tanpa alasan apa pun, lepas dari segala arti

yang kita berikan kepadanya dalam hidup sehari-hari akan tampak memuakkan

(Hadiwijono, 2011 : 159)

L etre-pour-soi

L etre-pour-soi atau ‘ada untuk diri’ menunjuk cara beradanya manusia yaitu pada

kesadaran manusia ; sifatnya melebar (co extensive) dengan dunia kesadaran dan sifat

kesadaran yang berada di luar diri sesuatu atau seseorang. Dalam kesadaran barulah

muncul adanya subjek dan objek. Ada yang sadar menjadi subjek, tetapi dia juga bisa

menjadi objek. Jadi seolah-olah di situ ada keduaanya ; subjek berhadapan dengan objek.

Yang berupa subjek adalah ‘pengada yang sadar’. Yang berupa objek ialah dia sendiri,

sekedar disadari. Tetapi kesadaran itu tidak identik dengan dirinya karena ia hanya

berdiri sebagai ‘subjek yang lain’ dan tak terpisahkan dengan dirinya sendiri. Antara

subjek yang menyadari dan objek yang disadari selalu terdapat jarak, jarak antara aku dan

diriku, inilah yang disebut ‘ketiadaan’ (Siswanto, 1998: 141

Sebetulnya, peniadaan itu terjadi terus menerus, terjadi tak ada berhenti-hentinya,

sebab manusia itu tidak pernah berhenti. Dia terus saja berbuat. Setiap perbuatan itu

berupa perpindahan. Perpindahan perubahan, karena manusia tidak bisa menghendaki

ketetapan dan itu justru karena kesadaranya. Pandanglah sekarang demikian : manusia itu

dlaam tiap-tiap perbuatan berubah, mengalih, jadi bergerak ke-. Karena dia sedang

Sitha, 09/19/15,
Siswanto, Joko, 1998, Sistem-Sistem Metafisika Barat, Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Sitha, 09/19/15,
Hadiwijono, Harun, 2011, Sari Sejarah Filsafat Barat II, Yogyakarta : Kanisius
Sitha, 09/19/15,
Siswanto, Joko, 1998, Sistem-Sistem Metafisika Barat, Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Page 16: Filsafat Eksistensialisme Oleh Sita Simon

Sita Simon Salu ( IMMI 2013 )(00000004523)

16

berubah, karena dia sedang mengalih ke-, karena dia sedang bergerak ke-, jadi dia belum

seperti yang dimaukan. Dia dalam keadaan yang tidak dikehendaki dan keadaan seperti

yang dikehendaki belum ada. Jadi dia belum ada. Jadi, yang dikehendaki belum ada dan

yang tidak ada tidak dikehendaki. Itulah manusia dalam tiap detik. Jadi dia selalu

meniadakan (Driyarkara, 2006a: 1309). Itulah yang dimaksud Ada selalu menuju

ketiadaan

Sejauh ini kita telah melihat bahwa menurut Sartre ‘diri’ bukanlah entittas

substantif yang terus menerus tidak berubah sepanjang waktu. Demikian pula, kepastian

absolutnya tidak bisa diasalkan dari kesadaran (seperti yang diyakini Descartes dengan

dalilnya “cogito ergo sum”). Diri juga bukan hanya kesatuan biologis, yaitu tubuh

manusia, sebagaimana yang diyakini oleh kaum materialis (Karena tidak ada kontinuitas

biologis semacam itu. Sel-sel yang membangun kamu delapan tahun yang lalu sudah

mati.) ‘diri’ bukanlah sesuatu yang secara otomatis anda peroleh karena memiliki orang

tua manusia; sebaliknya, diri adalah pembentukan terus menerus yang setiap saat

diciptakan kembali melalui pilihan-pilihan kita (Palmer, 2007:89).

Sitha, 09/19/15,
Palmer, D, Donald, 2007, Sartre untuk Pemula, Yogyakarta : Kanisius
Sitha, 09/19/15,
Driyarkara, Nicolas, 2006a, Eksistensialisme, dalam Sudiarja dkk, Karya Lengkap Driyarkara, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama________, 2006b, Fenomenologi, dalam Sudiarja dkk, Karya Lengkap Driyarkara, Jakarta : Gramedia Pustaka Utamadriyakar