1. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan praktikum fermentasi kecap yang merupakan
fermentasi substrat padat pada kloter C dapat dilihat pada Tabel 1
di bawah ini.
Tabel 1. Hasil Pengamatan Fermentasi Substrat Padat Fermentasi
KecapKelompokPerlakuanAromaRasaWarnaKekentalan
C1250 gr kedelai hitam + 0,5% inokulum tempe + cengkeh 1
gr++++++++
C2250 gr kedelai putih + 0,75% inokulum tempe + cengkeh 1
gr----
C3250 gr kedelai hitam + 0,75% inokulum tempe + 1 batang
serai++++++++
C4250 gr kedelai putih + 1% inokulum tempe + 1 batang
serai++++++++++
C5250 gr kedelai hitam + 1% inokulum tempe + pala 1
biji+++++++++++
Keterangan:AromaKekentalan+: kurang kuat+: kurang kental++:
kuat++: kental+++: sangat kuat+++: sangat kental
RasaWarna+: kurang manis+: kurang hitam++: manis++: hitam+++:
sangat manis+++: sangat hitam
Pada Tabel 1 di atas dapat dilihat hasil pengamatan produk kecap
yang diberi perlakuan berbeda-beda antar kelompok, dari bahan C1,
C3 dan C5 dengan kedelai hitam sedangkan C2 dan C4 dengan kedelai
putih. Inokulum yang ditambahkan C1 0,5%, C2 & C3 0,75% dan
pada C4 & C5 1%. Pada pembuatan produk kelompok C2 mengalami
kegagalan karena kontaminasi. Terdapat juga perbedaan bumbu yang
ditambahkan. Dari parameter aroma kelompok C4 tertinggi dan
kelompok C3 terendah, sedangkan pada patameter rasa dapat dilihat
terdapat pola tertentu dimana kelompok C1 terendah dan urut hingga
paling tinggi kelompok C5. Parameter warna kelompok C1 berwarna
hitam dan hasil kelompok yang lain berwarna sangat hitam. Untuk
parameter kekentalan kelompok C3 dan C4 yaitu kental, sedangkan C1
dan C5 sangat kental.
14
2. 1
3. PEMBAHASAN
Pada praktikum teknologi fermentasi tentang pembuatan kecap ini,
membuat produk kecap dengan proses fermentasi substrat padat. Kecap
menurut Rahman (1992) yang dibuat dengan proses fermentasi substrat
pada biasanya dengan bahan kacang kedelai. Kecap yang dihasilkan
juga memiliki ciri-ciri fisik cair, agak kental dan berwarna coklat
kehitaman. Kecap juga memiliki pH pada kisaran 4,9 5,0 dan biasa
digunakan sebagai campuran pada proses pembuatan suatu makanan
untuk memberikan cita rasa dan warna yang menarik pada makanan.
Kecap juga merupakan produk makanan yang sangat mudah larut air dan
memiliki berat molekul yang rendah, maka hasil produknya mudah
dicerna oleh sistem pencernaan manusia.
Dalam praktikum ini kecap dibuat dengan metode fermentasi,
menurut teori dari Winarno et al (1980), bahwa kecap dapat dibuat
dengan 3 metode, yaitu fermentasi, hidrolisis kimia maupun
kombinasi dari kedua metode tersebut. Ditambahkan teori dari
Judoamidjojo (1987), bahwa selain jenis kecap manis seperti yang
dibuat pada praktikum ini, di Indonesia terdapat pula jenis kecap
asin yang cukup digemari oleh masyarakat. Perbedaan keduanya dapat
dilihat dari karakteristik organoleptiknya. Kecap manis memiliki
rasa manis yang dominan karena mengandung gula palma dalam jumlah
banyak (26-61%) dan garam dalam jumlah sedikit (3-6%), serta
memiliki viskositas yang kental. Sementara kecap asin memiliki rasa
asin yang dominan karena tinggi kandungan garam (18-21%), encer dan
warnanya lebih muda karena mengandung lebih sedikit gula palma
(4-19%).
Pada pembuatan kecap dengan metode proses fermentasi pada
praktikum ini, pada prinsipnya menurut Hardjo (1964) adalah proses
pemecahan makromolekul kompleks yang terkandung pada kedelai
menjadi senyawa yang lebih sederhana. Selama proses fermentasi,
akan terjadi pemecahan protein menjadi peptida dan asam amino;
lemak menjadi asam lemak; dan karbohidrat menjadi monosakarida.
Proses pemecahan ini yang menyebabkan kecap memiliki aroma, rasa,
flavoryang khas. Dalam proses pembuatan kecap dengan metode
fermentasi menurut Judoamidjojo (1987), bahwa terdapat 2 tahapan
proses yaitu fermentasi dengan kapang (koji) dan dilanjutkan dengan
fermentasi dengan larutan garam (moromi). Selama proses fermentasi
menurut Rahman (1992) akan terjadi kenaikan total nitrogen
terlarut, padatan terlarut dan gula pereduksi, serta pembentukan pH
kecap pada angka 4,9-5,0.
Pada proses fermentasi koji (fermentasi dengan kapang) pertama
praktikan merendam kedelai mentah dalam air selama 1 malam hingga
mekar. Hari selanjutnya kedelai dicuci, dan dibiarkan di udara
terbuka hingga kering. Proses perendaman ini menurut Kasmidjo
(1990) bertujuan untuk mempermudah proses pelepasan kulit ari dari
biji kedelai dan sekaligus untuk melunakkan biji kedelai. Dan
ditambahkan menurut Tortora et al (1995) bahwa proses perendaman
kedelai dapat memperlunak kedelai karena terjadi hidrasi air ke
dalam biji kedelai, sehingga proses pemasakan biji kedelai dapat
berjalan lebih singkat karena biji kedelai menjadi lebih lunak.
Proses perendaman yang dilakukan oleh praktikan menggunakan air
dalam jumlah banyak, hal ini juga sesuai dengan pernyataan Kasmidjo
(1990) bahwa perendaman harus dilakukan dengan jumlah air yang
melimpah agar kedelai dapat menyerap air dan beratnya meningkat
hingga 2-3 kali lipat.
Kedelai mentah selanjutnya direbus hingga matang. Proses
perebusan kedelai dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Proses Perebusan Kedelai
Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Tortora et al (1995) bahwa
pada pembuatan kecap proses perebusan biji kedelai memiliki fungsi
penting yaitu: Membantu pelunakkan biji kedelai sehingga
mempermudah proses pemasakan Menghilangkan aroma langu pada kedelai
dengan menginaktivasi enzim lipoksigenase Mengurangi mikroorganisme
Merusak protein inhibitor Menginaktifkan zat-zat antinutrisi
Mempermudah enzim pada kapang untuk menghidrolisis protein kedelai
saat fermentasi berlangsung.
Setelah proses perebusan selesai, kedelai ditiriskan dan
dibiarkan terpapar dengan udara terbuka hingga dingin sebelum
dilakukan penambahan inokulum. Hal ini dilakukan menurut Santoso
(1994) bertujuan untuk mengurangi kandungan air yang terdapat pada
kedelai dan untuk mendinginkan kedelai sehingga ketika ditambahkan
inokulum, inokulum tidak mati akibat suhu yang terlalu panas.
Pengeringan hanya sampai kedelai menjadi setengah kering atau masih
agak lembab. Kondisi diperlakukan setengah lembab ini menurut Atlas
(1984) untuk mempermudah pertumbuhan jamur pada permukaan kedelai,
serta dapat mengakumulasi enzim proteinase (memcah protein menjadi
asam amino) dan amilase (memecah karbohidrat menjadi gula sederhana
(gula pereduksi) yang membuat fermentasi menjadi lebih mudah
dilakukan). Gambar proses penirisan dan didiamkan hingga kering
dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Proses Penirisan & Pendiaman
Kedelai yang masih lembab tersebut, kemudian diletakkan dalam
besek yang berasalkan daun pisang. Tetapi daun pisang terlebih
dahulu disemprotkan alkohol agar steril dan tidak mengkontaminasi
produk. Fermentasi menggunakan wadah ini karena memungkinkan
sedikit oksigen dapat masuk sehingga fermentasi dapat berjalan
lancar. Selanjutnya masing-masing kelompok menambahkan inokulum
dengan konsentrasi yang berbeda. Pada kelompok C1 menambahkan 0,5 %
inokulum komersial untuk tempe, kelompok C2 dan C3 menambahkan
0,75% inokulum komersial tempe, dan kelompok C4 dan C5 menambahkan
1 % inokulum tempe. Setelah diikonulasi, kedelai diaduk supaya
inokulum rata, kemudian besek ditutup dan diinkubasi di suhu ruang
selama 3 hari. Kedelai yang siap diinkubasi dapat dilihat pada
Gambar 3.
Gambar 3. Kedelai yang Sudah Diinokulasi & Siap
Diinkubasi
Penggunaan ragi tempe pada praktikum ini sesuai dengan
pernyataan dari Santoso (1994) bahwa proses penjamuran tempe pada
tahap koji biasanya menggunakan kapang jenis Rhizopus sp. Setelah
diberi inokulum lalu dilakukan pengadukan supaya inokulum dengan
kedelai tercampur merata. Besek yang digunakan disini sesuai dengan
teori Kasmidjo (1990) yang menyatakan bahwa fermentasi koji
biasanya dilakukan dengan menghamparkan bahan yang akan diinokulasi
pada wadah seperti besek. Kedelai kemudian diinkubasi selama 3 hari
pada suhu ruang, untuk memberi waktu bagi kapang untuk tumbuh. Hal
ini sesuai dengan pernyataan Santoso (1994) bahwa kedelai yang
telah diberi penambahan inokulum disimpan pada suhu ruang (25-30C)
selama 3 hari hingga terlihat pertumbuhan kapang. Astawan &
Astawan (1991), juga menambahkan bahwa proses fermentasi harus
dalam jangka waktu yang sesuai. Apabila terlalu cepat, enzim yang
dihasilkan oleh kapang tidak akan memproduksi komponen-komponen
penting yang akan digunakan selama proses fermentasi tahap
berikutnya. Sedangkan apabila terlalu lama, maka enzim yang
dihasilkan akan berlebih dan cita rasa kecap yang dihasilkan
menjadi kurang baik dan kurang disukai konsumen.
Selanjutnya pada tahap fermentasi moromi (fermentasi pada
larutan garam), pertama-tama kedelai yang sudah berjamur diaduk dan
dikeringkan di dalam dehumidifier selama 2-4 jam. Gambar 4
menunjukkan kedelai yang sudah berjamur dari tahap fermentasi
koji.
C1C2C3C4C5
Gambar 4. Kedelai yang Sudah Siap Masuk Tahap Fermentai
Moromi
Hasil dari kelompok C2 tidak dapat dilanjutkan karena produk
terkontaminasi. Proses pengeringan dengan dehumidifier menurut
teori dari Peppler & Perlman (1979) akan dihambat
pertumbuhannya akibat sedikitnya kandungan air pada kedelai.
Setelah itu kedelai yang sudah kering dimasukkan ke dalam toples
plastik lalu ditambahkan larutan garam 20% dan direndam selama 7
hari, setiap harinya dijemur selama 1 jam dibawah sinar matahari
dengan dilakukan pengadukan berkala juga. Untuk proses perendaman
kedelai dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Kedelai Direndam Dalam Larutan Garam 20 %
Menurut Tortora et al (1995) bahwa perendaman dengan garam
bertujuan untuk mengekstrak senyawa-senyawa hasil hidrolisis pada
tahap fermentasi kapang. Pembentukan flavor khas kecap juga
ditentukan pada saat perendaman garam ini karena pada saat
perendaman berlangsung inilah bakteri halofilik akan tumbuh secara
spontan dan akan mempengaruhi flavor. Sedangkan untuk konsentrasi
larutan garam yang digunakan oleh praktikan adalah 20% dimana
menurut pernyataan dari Astawan & Astawan (1991) penggunaan
garam dengan tingkat konsentrasi yang tinggi akan menimbulkan
tekanan osmotik yang menarik air keluar dari bahan pangan, sehingga
pertumbuhan mikroorganisme menjadi terhambat. Konsentrasi larutan
garam yang ideal pada proses pembuatan kecap adalah 15-20%, karena
apabila kadar garam yang digunakan dibawah 15%, maka mikroorganisme
masih dapat tumbuh pada kecap. Sementara proses penjemuran dan
pengadukan berkala menurut Tortora et al (1995) dimaksudkan untuk
memberikan aerasi pada larutan garam dan untuk menghomogenkan
larutan. Proses pengadukan meningkatkan kontak garam dengan
substrat sehingga pertumbuhan kapang dan bakteri dapat meningkat.
Wu et al (2010) dalam jurnalnya yang berjudul Effect of Temperature
on Moromo Fermentation of Soy Sauce with Intermittent Aeration juga
menambahkan bahwa temperatur saat penjemuran akan mempengaruhi
hasil akhir dari cita rasa kecap. Setelah 1 minggu, kedelai
dipress, dan disaring dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Kedelai Disaring Dengan Kain Saring
Proses penyaringan ini bertujuan agar kecap yang dihasilkan
bebas dari kotoran kontaminan (Santoso, 1994). Selanjutnya diambil
250 ml dan ditambahkan dengan 750 ml air putih, lalu dimasak
bersama bumbu (Gambar 7, 8 dan 9).
Gambar 7. Penambahan Air Sebanyak 750 ml
Gambar 8. Bumbu bumbu yang ditgunakan pada pembuatan kecap
Gambar 9. Pemasakan Kecap Dengan Bumbu
Bumbu-bumbu yang digunakan yakni 1 kg gula jawa, 20 gram kayu
manis, 3 gram ketumbar, 1 jentik laos, dan 1 buah bunga pekak.
Setiap kelompok ditambahkan bumbu-bumbu tambahan yang berbeda-beda
setiap kelompok, yaitu cengkeh 1 gr (Kelompok C1 & C2); 1
batang serai (Kelompok C3 & C4), 1 biji pala (Kelompok C5).
Penggunaan bumbu-bumbu ini menurut Fachruddin (1997) bertujuan
untuk meningkatkan flavor dari kecap yang dihasilkan, dimana
bumbu-bumbu yang biasa ditambahkan dalam proses pembuatan kecap
adalah lengkuas, daun salam, kayu manis, daun jeruk, ketumbar,
laos, jinten, bunga pekak, dan kemiri. Gula jawa pada proses
pembuatan kecap manis ini menurut Kasmidjo (1990) berguna untuk
menciptakan flavor yang spesifik pada kecap dan meningkatkan
viskositas kecap, juga berfungsi untuk membentuk warna kecap
menjadi coklat karamel. Dan ditambahkan oleh Judoamidjojo (1987)
bahwa gula jawa berperan dalam reaksi maillard dan karamelisasi
dimana reaksi tersebut akan membentuk flavor dan karakteristik
kecap manis.
Setelah masak, larutan disaring, ditempatkan dalam wadah steril
dan siap dikonsumsi. Berdasarkan hasil pengamatan produk kecap yang
diberi perlakuan berbeda-beda antar kelompok, dari bahan C1, C3 dan
C5 dengan kedelai hitam sedangkan C2 dan C4 dengan kedelai putih.
Inokulum yang ditambahkan C1 0,5%, C2 & C3 0,75% dan pada C4
& C5 1%. Pada pembuatan produk kelompok C2 mengalami kegagalan
karena kontaminasi maka tidak ada hasil yang didapatkan.
Berdasarkan hasil pengamatan kecap dari aspek aroma, dapat dilihat
bahwa kecap yang dihasilkan oleh setiap kelompok memiliki aroma
yang berbeda-beda, yaitu dari parameter aroma kelompok C4 tertinggi
dan kelompok C3 terendah, jika dilihat justru terendah pada
penambahan inokulum 0,75% dan tertinggi pada 1%. Menurut Astawan
& Astawan (1991) dan Rahayu et al (1993) yang menyatakan bahwa
jumlah inokulum mempengaruhi kecepatan degradasi protein dan
karbohidrat pada kedelai, dimana semakin banyak jumlah kapang yang
ditambahkan, maka proses degradasi protein dan karbohidrat ini akan
berjalan semakin cepat. Namun di sisi lain, apabila jumlah kapang
yang ditambahkan terlalu banyak, maka flavor kecap yang dihasilkan
menjadi kurang baik. Jadi hasil yang didapatkan pada kelompok C3
mengalami perbedaan dengan teori yang ada, kemungkinan besar hal
ini disebabkan karena proses fermentasi yang kurang baik.
Selain itu ditambahkan menurut Kasmidjo (1990) bahwa aroma dari
kecap juga dipengaruhi oleh jenis dan jumlah bumbu yang digunakan.
Lebih lanjut menururt Feng et al (2013) dalam jurnalnya yang
berjudul New Model for Flavour Quality Evaluation of Soy Sauce
beberapa komponen flavor organic yang terkandung dalam kecap
kedelai yaitu seperti alkohol, ester, fenol, asam dan heterocyclics
yang membentuk flavor khas dari kecap. Dan teori dari Muangthai et
al(2007) dalam jurnal yang berjudul Study of Protease Enzyme and
Amino Acid Contents in Soy sauce Production from Peagon Pea and Soy
bean juga menyatakan bahwa aroma kecap juga dipengaruhi jenis dan
jumlah asam amino yang ada pada kecap. Asam amino terbanyak yang
umum terdapat pada kecap adalah asam amino glutamat. Kadar asam
amino yang berbanding lurus dengan kadar protein, dapat diketahui
menurut Sarasvati T (2008) kadar protein dari kacang kedelai putih
lebih tinggi yaitu 41% sedangkan untuk kacang kedelai hitam 40,40%.
Maka dapat disimpulkan hasil yang didapatkan sesuai karena aroma
tertinggi terdapat pada kacang kedelai putih (jika dibandingkan
pada perlakuan yang sama yaitu penambahan inoculum 1% antara C4 dan
C5).
Sedangkan pada patameter rasa dapat dilihat terdapat pola
tertentu dimana kelompok C1 terendah dan urut hingga paling tinggi
kelompok C5. Berdasarkan hasil pengamatan kecap dari aspek rasa,
dapat dilihat bahwa kecap yang dihasilkan oleh setiap kelompok
memiliki rasa yang berbeda-beda. Teori menurut Masashi (2006)
mengatakan bahwa jumlah/konsentrasi ragi yang ditambahkan akan
dapat mempengaruhi komponen-komponen yang terdapat dalam kecap,
seperti asam laktat dan etanol dimana semakin banyak konsentrasi
inokulum yang ditambahkan, maka proses fermentasi dapat berjalan
semakin cepat sehingga produksi etanol dan asam laktat akan semakin
banyak pula. Maka dapat diketahui jumlah penambahan inokulum
berbanding lurus dengan rasa, tetapi terdapat batas maksimal
inokulum yang ditambahkan. Sedangkan menurut Amalia (2008) jumlah
gula jawa yang ditambahkan merupakan penyusun terbesar diantara
bahan baku yang digunakan dalam pembuatan kecap sehingga jumlah
penambahannya sangat mempengaruhi rasa spesifik dari kecap. Tetapi
gula jawa yang ditambahkan semua kelompok sama, maka rasa yang
berbeda ini dipengaruhi oleh jumlah inokulum. Maka hasil yang
didapatkan sesuai dengan teori yang ada.
Menurut Rahayu et al (2005) dalam jurnalnya yang berjudul
Analisis Karbohidrat, Protein, dan Lemak pada Pembuatan Kecap
Lamtoro gung (Leucaenaleucocephala) terfermentasi Aspergillus
oryzae menambahkan aktivitas bakteri asam laktat, yaitu
Lactobacillus delbrueckii memproduksi asam-asam organik seperti
asam asetat, asam laktat, asam suksinat, dan asam fosfat dimana
asam tersebut akan menyebabkan penurunan pH kecap. Menurunnya pH
kecap ini berhubungan erat dengan pertumbuhan kapang yang penting
dalam pembentukan rasa dari kecap. Parameter warna kelompok C1
berwarna hitam dan hasil kelompok yang lain berwarna sangat hitam.
Berdasarkan hasil pengamatan kecap dari aspek warna, dapat dilihat
bahwa kecap yang dihasilkan oleh setiap kelompok memiliki rasa yang
berbeda-beda, namun tetap berwarna hitam hingga sangat hitam. Hal
ini sesuai dengan teori dari Astawan & Astawan (1991) bahwa
warna hitam pada kecap disebabkan reaksi browning antara gula
pereduksi dengan asam amino. Gula jawa juga memiliki peran
membentuk warna dalam pembuatan kecap karena reaksi Maillard dan
karamelisasi. Dan ditambahkan menurut Kasmidjo (1990) warna coklat
pada kecap akan semakin pekat bila kecap dimasak dengan suhu
tinggi. Maka dapat diketahui perbedaan warna ini terdapat dari suhu
pemanasan yang berbeda antar kelompok.
Untuk parameter kekentalan kelompok C3 dan C4 yaitu kental,
sedangkan C1 dan C5 sangat kental. Menurut teori dari Kasmidjo
(1990) bahwa seharusnya penambahan gula jawa akan meningkatkan
nilai viskositas atau kekentalan dari kecap. Semakin banyak gula
jawa yang dicampurkan maka warna, viskositas, aroma dan rasa kecap
yang dihasilkan juga semakin meningkat. Karena pada praktikum ini
penambahan gula jawa yang sama banyak maka dari factor gula jawa
seharusnya tidak terlalu mempengaruhi perbedaan hasil. Lim et
al(2009) dalam jurnalnya yang berjudul Physicochemical
Characteristic and Production of Whole Soymilk from Monascus
Fermented Soybeans juga menyatakan bahwa jumlah inokulum juga
mempengaruhi kekentalan kecap. Dimana semakin banyak inokulum yang
digunakan, maka kecap akan semakin kental. Hasil yang didapatkan
kurang sesuai hal ini disebabkan karena perbedaan suhu dan lamanya
pemanasan antar kelompok saat pemanasan terakhir, karena semakin
tinggi dan lama pemanasan akan membuat kecap lebih kental juga.
4. 5. KESIMPULAN
Kecap adalah produk fermentasi dengan substrat padat yaitu
kedelai Kecap memiliki ciri fisik cair , kental, berwarna coklat
ekhitaman dan memiliki cita rasa yang khas Proses pengeringan
dengan dehumidifier bertujuan untuk menurunkan kadar air pada
kedelai sehingga kapang yang masih hidup akan dihambat
pertumbuhannya akibat sedikitnya kandungan air pada kedelai
Perendaman dengan garam bertujuan untuk mengekstrak senyawa-senyawa
hasil hidrolisis pada tahap fermentasi kapang. Proses penjemuran
dan pengadukan dimaksudkan untuk memberikan aerasi pada larutan
garam dan untuk menghomogenkan larutan. Proses penyaringan
bertujuan agar kecap yang dihasilkan bebas dari kotoran kontaminan.
Gula jawa berguna untuk menciptakan flavor yang spesifik pada kecap
dan meningkatkan viskositas kecap, juga berfungsi untuk membentuk
warna kecap menjadi coklat karamel melalui reaksi maillard dan
karamelisasi. Lamanya waktu memasak dan jumlah gula jawa yang
ditambahkan mempengaruhi citarasa kecap yang terbentuk Warna coklat
pada kecap akan semakin pekat bila kecap dimasak dengan suhu tinggi
dan penggunaan gula jawa dalam jumlah banya Semakin banyak gula
jawa yang dicampurkan maka warna, viskositas, aroma dan rasa kecap
yang dihasilkan juga semakin meningkat Semakin banyak inokulum yang
digunakan, maka kecap akan semakin kental.
Semarang, 20 Juni 2015Asisten Dosen: Abigail Sharon Frisca
Melia
Michael Gurdamulya12.70.0020
6. DAFTAR PUSTAKA
Amalia, T. 2008. Pengaruh Karakteristik Gula Merah dan Proses
Pemasakan Terhadap Mutu Organoleptik Kecap Manis. Departemen Ilmu
dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian IPB.
Astawan, M. dan M.W. Astawan. 1991. Teknologi Pengolahan Nabati
Tepat Guna Edisi Pertama. Akademika Pressindo. Bogor.
Atlas, R.M. 1984. Microbiology Fundamental And Applications. Mc
Milland Publishing Company. New York.
Fachruddin, L. 1997. Membuat Aneka Dendeng. Kanisius.
Yogyakarta. Feng, J.; Xiao-Bei, Z.; Zhi-Yong, Z.; Dong, W.; Li-Min,
Z.; and Chi-Chung L. 2013. New Model for Flavour Quality Evaluation
of Soy Sauce. Czech J. Food Sci. Vol. 31, No. 3: 292305.
Hardjo, S. 1964. Pengolahan dan Pengawetan Kedelai untuk Bahan
Makanan Manusia. Bagian Gizi Fakultas Kedokteran UI, Jakarta.
Judoamidjojo, R.M. 1987. The Studies on Kecap - Indigenous
Seasoning of Indonesia. Thesis Doktor pada University of
Agriculture, Japan.
Kasmidjo, R.B. 1990. Tempe: Mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan
serta Pemanfaatannya. PAU UGM. Yogyakarta.
Lim, J. Y.; Kim, J.J.;. Lee, D.S.; Kim, G.H.; Shim, J.Y.; Lee,
I. and Imm, J.Y. 2009. Physicochemical Characteristic and
Production of Whole Soymilk from Monascus Fermented Soybeans. Food
Chemistry.
Muangthai, P.; Upajak, P.; and Patumpai, W. 2007. Study of
Protease Enzyme and Amino Acid Contents in Soy sauce Production
from Peagion Pea and Soy bean. KMITL Sci. Tech. J. Vol. 7 No.
S2
Rahayu, A.; Suranto, dan Purwoko, T. 2005. Analisis Karbohidrat,
Protein, dan Lemak pada Pembuatan Kecap Lamtoro gung
(Leucaenaleucocephala) terfermentasi Aspergillus oryzae. Jurnal
Bioteknologi 2(1): 14-20.
Rahayu, E.S.; Indriati, R.; Utami, T.; Harmayanti, E. dan
Cahyanto, M.N. 1993. Bahan Pangan Hasil Fermentasi. UGM.
Yogyakarta.
Rahman, A. 1992. Teknologi Fermentasi. ARCAN Pusat Antar
Universitas Pangan dan Gizi IPB. Bandung.
Santoso, H.B. 1994. Kecap dan Taoco Kedelai. Kanisius.
Yogyakarta.
Sarasvati, Tim. (2008). Rainbow Diet: 60 Resep Sajian
Warna-Warni Lezat & Sarat Khasiat. Gramedia Pustaka Utama.
Shin, R.; Momoyo, S.; Takeo, M. and Nobuyuki, S. 2007.
Improvement of Experimentally Induced Hepatic and Renal Disorders
in Rats using Lactic Acid Bacteria-fermented Soybean Extract
(BiofermenticsTM). Oxford Journals Volume 6(3): p 357-363.
Tortora, G.J.; Funke, R. and Case, C.L. 1995. Microbiology. The
Benjamin / Cummings Publishing Company, Inc. USA.
Winarno, F.G.; Fardiaz, S. dan Fardiaz, D. 1980. Pengantar
Teknologi Pangan. PT.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Wu, Ta Yeong; M.S. Kan; L.F. Siow; dan Lithnes Kalaivani P.
2010. Effect of Temperature on Moromi Fermentation of Soy Sauce.
African Journal of Biotechnoloy Vol. 8(4), pp. 673 681.
7. LAMPIRAN
7.1. Laporan Sementara7.2. Abstrak Jurnal