-
FERMENTASI SUBSTRAT PADAT
FERMENTASI KECAP
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM
TEKNOLOGI FERMENTASI
Disusun oleh:
Fellycia Devi P. 12.70.0109
Kelompok F5
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SEOGIJAPRANATA
SEMARANG
2015
-
1
1. HASIL PENGAMATAN
Data hasil pengamatan uji sensori kecap kloter F dapat dilihat
pada Tabel 1. dibawah ini.
Tabel 1. Uji Sensori Kecap
Kel Perlakuan Aroma Rasa Warna Kekentalan
F1
Kedelai hitam 150 g + garam 20% +
inokulum tempe komersial 0,5 %+
kayu manis 12 g + ketumbar 1,8 g +
laos 1
2 jentik + bunga pekak 1 kelopak
+ gula jawa 600 g + cengkeh 0,6 g
+ ++ +++ ++
F2
Kedelai putih 250 g + garam 20% +
inokulum tempe komersial 0,75 % +
kayu manis 20 g + ketumbar 3 g +
laos 1 jentik + bunga pekak 1 buah +
gula jawa 1 kg + cengkeh 1 g
++ ++ ++ +++
F3
Kedelai hitam 250 g hitam + garam
20% + inokulum tempe komersial
0,75 %+ kayu manis 20 g + ketumbar
3 g + laos 1 jentik + bunga pekak 1
buah + gula jawa 1 kg + daun sereh 1
buah
+++ +++ +++ +++
F4
Kedelai putih 250 g + garam 20% +
inokulum tempe komersial 1 % +
kayu manis 20 g + ketumbar 3 g +
laos 1 jentik + bunga pekak 1 buah +
gula jawa 1 kg + daun sereh 1 buah
+++ +++ +++ ++
F5
Kedelai hitam 150 g + garam 20% +
inokulum tempe komersial 1 % +
kayu manis 12 g + ketumbar 1,8 g +
laos 1
2 jentik + bunga pekak 1 kelopak
+ gula jawa 600 g + pala 3
5 buah
+++ ++ +++ +++
Keterangan:
Aroma Kekentalan Rasa Warna
+ : kurang kuat + : kurang kental + : kurang manis + : kurang
hitam
++ : kuat ++ : kental ++ : manis ++ : hitam
+++ : sangat kuat +++ : sangat kental +++ : sangat manis +++ :
sangat hitam
Berdasarkan Tabel 1., dapat dilihat bahwa pembuatan kecap pada
tiap kelompok didapati
perlakuan yang berbeda-beda seperti penambahan inokulum serta
bumbu-bumbu yang
ditambahkan. Uji sensori kali ini meliputi 4 atribut yaitu,
warna, aroma, rasa serta
-
2
kekentalan. Dapat dilihat bahwa semakin banyak inokulum
komersial yang ditambahkan,
maka aroma akan semakin kuat. Rasa kecap yang kuat dimiliki oleh
kelompok F1, F2 dan
F5, sedangkan rasa kecap yang sangat kuat dimiliki oleh kelompok
F3 dan F4. Lalu,
warna kecap yang hitam dimiliki oleh kelompok F2, sedangkan
warna kecap yang sangat
hitam dimiliki oleh kelompok F1, F3, F4 dan F5. Kemudian, untuk
kekentalan kecap yang
kental dimiliki oleh kelompok F1 dan F4, sedangkan kecap yang
sangat kental dimiliki
oleh kelompok F2, F3 dan F5.
-
3
2. PEMBAHASAN
2.1. Pendahuluan
Pada praktikum kali ini, praktikan akan membuat salah satu
produk fermentasi yaitu
kecap manis. Fermentasi merupakan salah satu proses pengawetan
bahan pangan yang
dapat meningkatkan rasa, kualitas, nutrisi serta umur simpan
dari bahan pangan
(Visessanguan et al., 2004). Kecap merupakan salah satu produk
cair hasil fermentasi
maupun hidrolisis asam dari dari kacang kedelai (Glycine max L.)
dengan atau tanpa
adanya penambahan makanan lain dan bahan tambahan makanan yang
diizinkan (SNI
01-3543-1994; Rahman, 1992). Kedelai dapat dibedakan berdasarkan
warna kulitnya,
yaitu kedelai putih atau kuning, kedelai hitam, kedelai hijau
serta kedelai coklat.
Perbedaan warna kulit berpengaruh pada penggunaan kedelai
sebagai bahan utama
pembuatan produk pangan, misalnya kecap biasanya menggunakan
kedelai hitam, putih
atau kuning, sedangkan produk susu kedelai biasanya menggunakan
kedelai putih atau
kuning (Purwoko & Noor, 2007; Suliantari & Winiati,
1990). Terdapat 2 jenis kecap
berdasarkan rasa dan kekentalannya, yaitu kecap manis dan kecap
asin (Kurniawan,
2008). Kecap menandung flavor organik yang bersifat volatil
contohnya ester, fenol,
alkohol, asam amino, asam organik serta senyawa heterosiklik.
Asam amino dan asam
organik merupakan senyawa yang berkontribusi pada pembentukan
flavor kecap selama
proses fermentasi berjalan (Feng et al., 2013).
Menurut Suprapti (2005), kecap manis memiliki tekstur yang
kental, berwarna coklat
kehitaman, dan biasanya digunakan sebagai penyedap makanan.
Kadar gula dan
kekentalan yang tinggi pada kecap manis disebabkan karena adanya
penambahan gula
pada proses pembuatannya. Hal ini didukung pula oleh teori
Santoso (1994) dan
Judoamidjojo (1987) yang mengatakan bahwa kandungan terbesar
pada kecap manis
ialah karbohidrat sebesar 26-61% (dalam bentuk sukrosa, glukosa
serta fruktosa) dan
asam amino yang berasal dari kacang kedelai itu sendiri.
2.2. Metode Pembuatan Kecap Manis
Proses pembuatan kecap dapat menggunakan 3 cara yaitu,
fermentasi, hidrolisis asam
maupun kombinasi dari kedua cara tersebut. Prisip dari pembuatan
kecap sendiri adalah
-
4
untuk mengurai karbohidrat, protein serta lemak menjadi bentuk
yang lebih sederhana
yaitu monosakarida, asam amino serta asam lemak (Koswara, 1992).
Pemecahan molekul
menjadi lebih sederhana dapat menyebabkan kecap lebih mudah
dicerna oleh tubuh
(Rahayu et al., 2005). Berdasarkan dari teori diatas, cara
pembuatan kecap manis pada
praktikum yang kami lakukan adalah dengan cara fermentasi.
Bahan utama pembuatan kecap adalah kacang kedelai hitam dan
kacang kedelai putih.
Hal ini sudah sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Purwoko
& Noor (2007) serta
Suliantari & Winiati (1990) bahwa kecap biasanya dibuat
dengan menggunakan kedelai
putih atau kuning dan kedelai hitam. Pertama-tama, dilakukan
perendaman kedelai hitam
(kelompok F1, F3, dan F5) dan kedelai putih atau kuning
(kelompok F2 dan F4) sebanyak
250 gram selama 1 malam. Namun, untuk kelompok F1 dan F5 hanya
menggunakan 150
gram kacang kedelai hitam karena sewaktu dilaksanakannya
praktikum, kelompok F5
lupa untuk membawa kacang kedelai tersebut. Menurut teori
Tortora et al., (1995) serta
Kasmidjo (1990), proses perendaman berguna untuk membersihkan
kulit ari kacang
kedelai, meningkatkan berat kacang kedelai menjadi 2 kali lipat
lebih berat dari berat
sebelumnya dan untuk menghidrasi masukanya air ke dalam kedelai
agar sewaktu kacang
kedelai direbus akan cepat melunak dan singkat waktunya. Setelah
kedelai mekar,
kemudian dilakukan pencucian dan penirisan kacang kedelai hingga
kering. Setelah itu,
dilakukan proses perebusan dan penirisan kacang kedelai. Tujuan
dari perebusan adalah
untuk menghilangkan bau langu, membuat tekstur kedelai menjadi
lebih lunak,
menginaktivasi enzim, serta dapat membunuh bakteri (Tortora et
al., 1995).
Gambar 1. Proses Perbusan dan Penirisan Kacang Kedelai
-
5
Lalu, kacang kedelai yang sudah direbus tadi kemudian
didinginkan. Pendinginan kacang
kedelai dengan cara meletakkan kacang kedelai diatas daun
pisang, dilap dengan
menggunakan tisu dan diangin-anginkan. Proses pendinginan
dilakukan untuk
menurunkan kadar air agar tidak ditumbuhi bakteri pembusuk yaitu
Bacillus subtilis yang
dapat menyebabkan kacang kedelai berlendir. Selain itu, proses
pendinginan jangan
dilakukan terlalu lama karena pada kacang kedelai dalam kondisi
yang hangat dapat
menginaktivasi enzim proteinase serta amilase dan keadaan yang
hangat merupakan
keadaan yang optimal untuk pertumbuhan jamur pada permukaan
kedelai (Atlas, 1984).
Gambar 2. Proses Pendinginan Kacang Kedelai
Lalu, dilakukan penimbangan inokulum komersial dengan
menggunakan timbangan
analitik. Inokulum komersial yang ditambahkan pada tiap kelompok
adalah berbeda-
beda. Untuk kelompok F1 menggunakan 0,5% inokulum komersial,
untuk kelompok F2
dan F3 menggunakan 0,75% inokulum komersial dan untuk kelompok
F4 dan F5
menggunakan 1% inokulum komersial dari berat kering kacang
kedelai. Kemudian
dilakukan pengadukan inokulum pada kacang kedelai dengan
menggunakan sendok
hingga merata. Sebelum dilakukan penambahan inokulum, daun
pisang serta besek yang
akan digunakan untuk pemeraman disemprot terlebih dahulu dengan
menggunakan
alkohol. Tujuan pemberian alkohol adalah untuk memberikan
keadaan yang steril pada
wadah dan mencegah kontaminasi pada tahap koji (Santoso, 1994).
Setelah dirasa proses
pencampuran inokulum dengan kacang kedelai telah merata,
kemudian kacang kedelai
ditutup rapat dan diinkubasi selama 3 hari pada suhu ruang.
Tujuan penginkubasian ini
adalah untuk melakukan fermentasi kedelai menjadi tempe atau
biasa disebut fermentasi
koji. Biasanya fermentasi koji dilakukan pada suhu ruang (25-30
oC) selama 3 sampai 5
hari (Astawan & Astawan, 1991; Bucke et al., 1988).
-
6
Gambar 3. Penambahan Inokulum dan Proses Fermentasi Koji Kacang
Kedelai
Hasil fermentasi koji seluruh kelompok telah berhasil karena
kacang kedelai ditumbuhi
oleh miselium dari jamur akibat penambahan inokulum komersial.
Menurut Prasetyo
(1996), miselium tumbuh pada permukaan kacang kedelai karena
diberi inokulum.
Penambahan inokulum jamur Aspergillus oryzae pada fermentasi
koji akan menghasilkan
enzim protease serta amilase yang dapat memecah karbohidrat dan
protein menjadi lebih
sederhana (Wu et al., 2010; Suganuma et al., 2007 dalam
Chancharoonpong et al., 2012).
Hasil dari fermentasi koji seluruh kelompok memiliki
karakteristik yang berbeda-beda
dikarenakan terdapat berbedaan kacang kedelai dan inokulum yang
berbeda-beda.
Berikut adalah hasil proses fermentasi koji kloter F.
Gambar 4. Hasil Fermentasi Koji Kloter F
-
7
Setelah dilakukan proses fermentasi koji, kedelai yang telah
berjamur dipotong-potong
dengan menggunakan pisau dan dikeringkan dengan menggunakan
dehumidifier selama
4 jam. Tujuan dilakukannya pengeringan adalah untuk menurunkan
kadar air pada bahan
pangan (Peppler & Perlman, 1979). Selanjutnya dilakukan
penambahan air pada kacang
kedelai sebanyak 500 ml (untuk kelompok F2, F3 dan F4) dan 300
ml (untuk kelompok
F1 dan F5). Lalu, dilanjutkan dengan penimbangan garam sebanyak
20% dari berat air
yang ditambahkan yaitu 100 g (untuk kelompok F2, F3 dan F4) dan
60 g (untuk kelompok
F1 dan F5). Penggunaan garam sebanyak 20% telah sesuai dengan
teori Krisno (1990)
yang menyatakan bahwa konsentrasi garam yang biasanya digunakan
untuk fermentasi
moromi/fermentasi garam ialah 20-25%.
Gambar 5. Pemotongan Kacang Kedelai dan Penimbangan Garam
Setelah itu, kacang kedelai didiamkan selama 1 minggu dan pada
siang hari selama 1 jam
dilakukan penjemuran dan pengadukan. Hal ini sudah sesuai dengan
teori Panghegar
(1989) bahwa proses fermentasi koji selanjutnya dicampurkan
dengan garam dan
dilakukan fermentasi selama 1 minggu hingga 4 bulan lamanya.
Teori Suriadi (1992) dan
Wibowo (1990) menambahkan bahwa selama proses fermentasi moromi,
dilakukan
proses pengadukan setiap harinya untuk menjaga keseragaman
konsentrasi garam,
mencegah terjadinya pertumbuhan mikroba pembusuk, serta
merangsang pertumbuhan
Lactobacillus, Zygosaccharomyces dan Hansenula yang berperan
pada proses fermentasi
moromi (Koswara, 1992). Wu et al., (2010) mengatakan bahwa suhu
yang optimal untuk
fermentasi ialah 25-45 oC. Apabila suhu fermentasi semakin
tinggi, akan terjadi
perubahan warna larutan garam menjadi lebih gelap. Berdasarkan
teori tersebut, proses
penjemuran dilakukan pada tempat yang berbeda-beda (di kampus
dan di rumah
praktikan) serta pada suhu yang berbeda. Hal ini dapat
menyebabkan ketidakseragaman
-
8
hasil fermentasi moromi pada tiap kelompok. Yanfang & Wenyi
(2009) dalam Rosida et
al., (2013) menyatakan bahwa pada fermentasi moromi terjadi
proses degradasi protein
yang dapat mempengaruhi nilai nutrisi, rasa, dan flavor. Wijaya
(1986) menambahkan
bahwa fermentasi moromi dipengaruhi oleh suhu, nutrisi, derajat
keasaman (pH), serta
ada atau tidaknya oksigen.
Kemudian, dilakukan penyaringan hasil fermentasi moromi dengan
menggunakan kain
saring yang nantinya akan didapatkan air hasil fermentasi moromi
sebanyak 250 ml
(kelompok F2, F3 dan F4) serta 150 ml (kelompok F1 dan F5).
Selanjutnya, dilakukan
penambahan air sebanyak 750 ml (kelompok F2, F3 dan F4) serta
450 ml (kelompok F1
dan F5). Lalu, dilakukan penambahan bumbu untuk kelompok F2, F3
dan F4 adalah 1 kg
gula jawa, 20 g kayu manis, 3 g ketumbar bubuk, 1 jentik laos, 1
buah bunga pekak dan
tambahan bumbu yang membedakan tiap kelompok adalah 1 g cengkeh
(F2) dan 1 buah
daun sereh (F3 dan F4). Lalu, untuk kelompok F1 dan F5
ditambahkan 600 g gula jawa,
12 g kayu manis, 1,8 g ketumbar bubuk, 1
2 jentik laos, 1 kelopak bunga pekak dan
tambahan bumbu yang membedakan tiap kelompok adalah 0,6 g
cengkeh (F1) dan 3
5 pala.
Menurut Wiratma (1995), penambahan gula dimaksudkan untuk
memberikan rasa manis
pada kecap, meningkatkan viskositas kecap sehingga dapat
meningkatkan umur simpan
serta menyebabkan reaksi maillard serta karamelisasi yang dapat
membentuk flavor dan
aroma khas serta warna coklat dari kecap manis apabila
dipanaskan. Rahayu et al., (2005)
menambahkan bahwa tahapan pemasakan kecap yaitu adanya
penambahan air pada hasil
fermentasi moromi yang kemudian direbus dan ditambahkan
bumbu.
Gambar 6. Penyaringan Moromi, Bumbu-bumbu dan Pemasakan
Kecap
-
9
Selanjutnya, kecap yang telah mengental disaring kembali untuk
memisahkan kecap dari
ampas bumbu-bumbu. Setelah itu, kecap diambil sedikit untuk
dilakukan uji sensori
secara organoleptik dengan 4 atribut mutu yaitu aroma, rasa,
warna serta kekentalan
dengan bantuan panelis. Sisanya, kecap dimasukkan kedalam botol
dan dapat dibawa
pulang oleh praktikan. Menurut Kartika et al., (1988), uji
sensori (sensory test methods)
adalah cara untuk mengetahui kualitas bahan pangan secara
objektif berdasarkan pada
alat inderawi manusia yang bersifat subjektif. Soekarto (1981)
menambahkan bahwa
sensori secara organoleptik menggunakan bantuan panelis
dimaksudkan untuk
mengenalkan alat indera akan sifat suatu bahan pangan dengan
adanya rangsangan yang
diterima seperti warna, rasa, bau dan lain-lain.
Gambar 7. Penyaringan, Pemasukan Kecap dalam Botol dan Sensori
Kecap (F1-F5)
2.3. Hasil Pengamatan Sensori Kecap
Pada praktikum kecap kali ini, didapatkan hasili uji sensori
yang berbeda-beda karena
digunakan bahan utama yaitu kacang kedelai yang berbeda-beda dan
pemberian bumbu
juga berbeda-beda tiap kelompok. Terdapat 4 atribut yang akan
disensori yaitu, aroma,
rasa, warna serta kekentalan. Pada atribut aroma, aroma pada
seluruh kelompok berturut
turut adalah kurang kuat (F1-inokulum 0,5%), kuat (F2 dan
F3-inokulum 0,75%), dan
sangat kuat (F4 dan F5-inokulum 1%). Dapat dilihat bahwa semakin
tinggi inokulum
yang ditambahkan ke dalam kacang kedelai, maka aroma kecap yang
dihasilkan akan
semakin kuat. Santoso (1994) menambahkan bahwa aroma pada kecap
didapatkan
sewaktu proses pemasakan dengan bumbu yang mengakibatkan
komponen-komponen
aroma volatil pada kecap yang khas dapat terbentuk. Komponen
volatil tersebut ialah 1-
piridin, 1-tiazol, 2 senyawa mengandung sulfur, 3-pirazin, 5
senyawa furan, 9-asam
lemak, 9-keton alifatik dan lakton, 12 turunan benzen,
14-aldehid alifatik, 14-ester, 15-
-
10
alkohol alifatik dan aromatik, serta 18-terpenoid. Didukung pula
oleh teori Apriyantono
& Gono (2004) bahwa penambahan inokulum yang semakin banyak
pada kacang kedelai
mampu mempengaruhi komponen volatil aroma pada kecap menjadi
semakin banyak
pula, sehingga aroma pada kecap akan semakin kuat. Berdasarkan
teori diatas, kecap
seluruh kelompok telah sesuai dengan teori karena semakin tinggi
inokulum yang
ditambahkan ke dalam kacang kedelai, maka aroma kecap yang
dihasilkan akan semakin
kuat.
Kemudian, untuk atribut kedua ialah rasa dari kecap. Rasa kecap
pada seluruh kelompok
adalah kuat (F1, F2 dan F5) dan sangat kuat (F3 dan F4). Dapat
dilihat bahwa
penambahan inokulum tidak berpengaruh terhadap rasa manis dari
kecap. Rahayu et al.,
(2005) berkata bahwa fermentasi dapat menghasilkan bakteri asam
laktat (BAL) yang
dapat mempengaruhi rasa manis pada kecap. Saat fermentasi
moromi, pH menurun
karena terjadi metabolisme BAL tersebut untuk menghasilkan asam
laktat. Dimana pH
yang asam tersebut dapat memicu pertumbuhan ragi sehingga rasa
khas pada kecap dapat
muncul. Didukung pula oleh teori Wiratma (1995) bahwa penambahan
gula berfungsi
untuk dapat memberikan rasa manis pada kecap, meningkatkan
viskositas kecap sehingga
dapat meningkatkan umur simpan serta menyebabkan reaksi maillard
serta karamelisasi
yang dapat membentuk flavor dan aroma khas serta warna coklat
dari kecap manis apabila
dipanaskan. Berdasarkan teori tersebut, dapat dilihat bahwa rasa
seluruh kecap yang
dihasilkan tidak dipengaruhi oleh inokulum yang diberikan
sewaktu proses fermentasi
koji. Hal-hal yang dapat membedakan rasa tiap kecap ialah
keterbatasan panelis pada
indera pengecap maupun ketidakseragaman suhu dan waktu proses
pemasakan pada
kecap. Pada praktikum kali ini, suhu serta waktu pemasakan kecap
tidak diukur dengan
menggunakan alat bantu termometer maupun stopwatch. Cara
mengetahui bahwa proses
pemasakan telah selesai adalah ketika kecap dirasa sudah
mengental. Hal inilah yang
dapat menyebabkan hasil dari kecap yang berbeda-beda. Selain
itu, sebelum dan sesudah
melakukan sensori, panelis telah membilas indera pengecapnya
dengan cara berkumur-
kumur dengan menggunakan air agar indera pengecap kembali
netral. Sesuai dengan teori
Kartika et al., (1988) bahwa uji sensori (sensory test methods)
adalah cara untuk
mengetahui kualitas bahan pangan secara objektif berdasarkan
pada alat inderawi
manusia yang bersifat subjektif.
-
11
Selanjutnya, untuk atribut ketiga ialah warna dari kecap. Warna
kecap pada seluruh
kelompok adalah hitam (F2) dan sangat hitam (F1, F3, F4 dan F5).
Dapat dilihat bahwa
penambahan inokulum tidak berpengaruh terhadap warna dari kecap.
Warna kecap
didapatkan sewaktu proses pemasakan dan sewaktu ditambahkan gula
jawa. Wiratma
(1995) mengatakan bahwa penambahan gula berfungsi untuk dapat
memberikan rasa
manis pada kecap, meningkatkan viskositas kecap sehingga dapat
meningkatkan umur
simpan serta menyebabkan reaksi maillard serta karamelisasi yang
dapat membentuk
flavor dan aroma khas serta warna coklat dari kecap manis
apabila dipanaskan. Didukung
pula oleh teori Peppler & Perlman (1979) bahwa warna coklat
kehitaman pada kecap
terbentuk sewaktu penambahan gula. Astawan & Astawan (1991)
menambahkan bahwa
warna kecap dapat dipengaruhi oleh fermentasi moromi. Wu et al.,
(2010) menambahkan
bahwa suhu yang optimal untuk fermentasi adalah 25-45 oC.
Apabila suhu fermentasi
semakin tinggi, akan terjadi perubahan warna larutan garam
menjadi lebih gelap. Pada
praktikum kali ini, penjemuran moromi dilakukan pada tempat yang
berbeda-beda (di
kampus dan di rumah praktikan) serta pada suhu yang berbeda
(tidak menggunakan alat
bantu termometer). Hal ini dapat membedakan tiap warna pada
kecap karena tidak
digunakannya termometer sewaktu melakukan penjemuran untuk
mengukur suhu
moromi. Karena penjemuran yang dilakukan adalah penjemuran
dengan menggunakan
bantuan matahari. Selain itu, waktu menjemur tiap kelompok
mungkin bisa berbeda-beda
yaitu sewaktu matahari masih belum terik hingga sangat terik
(sekitar jam 1 siang).
Menurut Soekarto (1981), sensori secara organoleptik menggunakan
bantuan panelis
dimaksudkan untuk mengenalkan alat indera akan sifat suatu bahan
pangan dengan
adanya rangsangan yang diterima seperti warna, rasa, bau dan
lain-lain. Didukung pula
oleh Kartika et al., (1988) bahwa uji sensori (sensory test
methods) adalah cara untuk
mengetahui kualitas bahan pangan secara objektif berdasarkan
pada alat inderawi
manusia yang bersifat subjektif. Ketidakseragaman warna pada
kecap kloter F dapat
dipengaruhi oleh keterbatasan panelis pada indera penghilatan
sewaktu melihat warna
kecap yang hampir serupa. Pengamatan ini seharusnya dilakukan
seobjektif mungkin agar
akurat. Seharusnya, untuk meningkatkan keakuratan pengamatan
pada warna, dapat
dilakukan dengan bantuan chromameter untuk membantu panelis
dalam mengamati
warna pada kecap. Menurut Gonnet (1999), chromameter merupakan
alat bantu yang
digunakan untuk mengukur indeks warna LAB color (Lightness A
(Green-red axis) B
-
12
(Blue-yellow axis) yang diukur dengan menggunakan cahaya masuk
yang ditembakkan
kepada bahan yang diukur dengan bantuan chromameter. Lightness
dengan nilai antara 0
dan 100 menunjukkan nilai gelap dan terang. Pada nilai a* (+)
dan (-) mengindikasikan
warna merah dan hijau. Pada nilai b* (+) dan (-) menunjukkan
warna biru dan kuning.
Lalu, untuk atribut terakhir ialah kekentalan dari kecap.
Kekentalan kecap pada seluruh
kelompok adalah kental (F1 dan F3) dan sangat kental (F2, F4 dan
F5). Dapat dilihat
bahwa penambahan inokulum tidak berpengaruh terhadap kekentalan
dari kecap.
Kekentalan pada kecap dapat dipengaruhi oleh penambahan gula
jawa sewaktu
dipanaskan. Wiratma (1995) mengatakan bahwa penambahan gula
berfungsi untuk dapat
memberikan rasa manis pada kecap, meningkatkan viskositas kecap
sehingga dapat
meningkatkan umur simpan serta menyebabkan reaksi maillard serta
karamelisasi yang
dapat membentuk flavor dan aroma khas serta warna coklat dari
kecap manis apabila
dipanaskan. Walaupun gula yang diberikan adalah berbeda 1 kg
(kelompok F2, F3 dan
F4) dan 600 g (F1 dan F5), hal ini tidak menjadi pemicu
perbedaan kekentalan tiap kecap,
karena sudah dilakukan kalkulasi perbandingan antara kacang
kedelai dengan bumbu-
bumbu yang ada. Rahayu et al., (2005) menambahkan bahwa proses
pemasakan yang
terlalu lama dapat menguapkan air pada kecap sehingga didapatkan
kecap yang semakin
kental. Yang dapat membedakan kekentalan antara tiap kecap pada
praktikum kali ini
ialah suhu dan waktu pemanasan kecap yang tidak seragam karena
tidak diberikan alat
bantu seperti termometer dan stopwatch sewaktu memasak.
Sehingga, suhu dan waktu
pemanasan tiap kelompok tidaklah seragam. Sehingga, viskositas
dari kecap antar
kelompok saling berbeda-beda. Selain itu, ketidakseragaman
kekentalan pada kecap
kloter F dapat dipengaruhi oleh keterbatasan panelis pada indera
penghilatan dan perasa
sewaktu melihat dan merasakan kekentalan kecap yang hampir
serupa. Pengamatan ini
seharusnya dilakukan seobjektif mungkin agar akurat. Seharusnya,
untuk meningkatkan
keakuratan pengamatan pada kekentalan kecap, dapat dilakukan
dengan bantuan
viskotester. Menurut Giancoli (2001), peralatan untuk mengukur
viskositas suatu larutan
disebut viskotester.
-
13
3. KESIMPULAN
Kecap merupakan produk fermentasi yang dibuat dari kacang
kedelai melalui proses
fermentasi koji, fermentasi moromi serta pemasakan dengan
bumbu-bumbu.
Aspergillus oryzae pada fermentasi koji dapat menghasilkan enzim
amilase dan
protease untuk memecah karbohidrat dan protein menjadi lebih
sederhana.
Pada fermentasi moromi terjadi proses degradasi protein yang
dapat mempengaruhi
nilai nutrisi, rasa, dan flavor pada kecap.
Fermentasi moromi dipengaruhi oleh suhu, nutrisi, derajat
keasaman (pH), serta ada
atau tidaknya oksigen.
Penambahan gula jawa yang tinggi dapat memberikan kontribusi
terhadap warna yang
hitam, rasa manis, aroma khas karamel dan viskositas yang tinggi
pada kecap.
Semakin tinggi inokulum yang diberikan, maka aroma kecap akan
semakin kuat.
Semakin tinggi suhu dan waktu selama penjemuran kacang kedelai
dan pemasakan
kecap, maka warna kecap yang dihasilkan akan semakin gelap.
Semakin tinggi suhu dan waktu selama pemasakan kecap, maka
viskositas kecap akan
meningkat.
Semarang, 10 Juli 2015
Praktikan Asisten Praktikum,
- Abigail Sharon Effendy
- Frisca Melia
Fellycia Devi Paramitha
12.70.0109
-
14
4. DAFTAR PUSTAKA
Apriyantono, A dan Gono D. Y. (2004). Perubahan Komponen Volatil
Selama
Fermentasi Kecap. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. VOl XV,
No 2.
Astawan, M. dan M. W. Astawan. (1991). Teknologi Pengolahan
Pangan Nabati Tepat
Guna. Edisi Pertama. Akademika Pressindo. Bogor.
Atlas, R. M. (1984). Microbiology Fundamental and Application.
Collier Mcmillan Inc.
New York.
Badan Standarisasi Nasional. (1994). Kecap Kedelai. SNI
01-3543-1994. Jakarta.
Buckle, K.A., Edwards, R.A., Fleet, G.H., dan Wooton, M. (1988).
Ilmu Pangan. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Chancahroonpong, C., Hsieh, Pao-Chuan., dan Sheu, Shyang-Chwen.
(2012). Enzyme
Production and Growth of Aspergillus oryzae S. on Soybean Koji
Fermentation.
Elsevier Journal of Biotechnology and Food Science, Vol 2, pp:
57-61.
Feng J., Zhan X.-B., Zheng Z.-Y., Wang D., Zhang L.-M., dan Lin
C.-C. (2013). New
Model for Flavour Quality Evaluation of Soy Sauce. Czech J. Food
Sci., 31: 292305.
Giancoli, D. C. (2001). Fisika. Jilid 1. Edisi kelima. Erlangga.
Jakarta.
Gonnet, J. (1999). Colour effects of co-pigmentation of
anthocyanins revisited 2. A
colorimetric look at the solutions of cyanin co-pigmented by
rutin using the CIELAB
scale. Food Chemistry.
Judoamidjojo, R.M. (1987). Studies on Chemical and
Microbiological Aspect of Kecap
as Fundamental to Improve ITS Quality. Kumpulan Seminar
Bioteknologi Pertanian.
PAU Bioteknologi, IPB.
Kartika, B., P. Hastuti dan W. Supartono. (1988). Pedoman Uji
Inderawi Bahan Pangan.
PAU Pangan dan Gizi UGM. Yogyakarta.
Kasmidjo, R. B. (1990). Tempe: Mikrobiologi dan Biokimia
Pengolahan serta
Pemanfaatannya. PAU UGM. Yogyakarta.
-
15
Koswara S. (1992). Teknologi Pengolahan Kedelai Menjadi Makanan
Bermutu. Jakarta:
Sinar Harapan.
Krisno, Y. S. (1990). Mempelajari Aspek Pengolahan Kecap di
Perusahaan Kecap Cap
Bulan Palembang. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
Kurniawan, R. (2008). Pengaruh Konsentrasi Larutan Garam dan
Waktu Fermentasi
Terhadap Kwalitas Kecap Ikan Lele. Jurnal Teknik Kimia
2(2):127-135.
Panghegar. (1989). Aspek-aspek Teknologi Pengolahan Kecap pada
Perusahaan Kecap
Zebra dan Bemo [laporan praktik lapang]. Bogor: Fakultas
Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor.
Peppler, H.J. dan Perlman, D. (1979). Microbial Technology.
Fermentation Technology.
Academic Press. San Fransisco.
Purwoko, T., dan Noor, S. H. (2007). Kandungan Protein Kecap
Manis Tanpa
Fermentasi Moromi Hasil Fermentasi Rhizopus oryzae dan R.
oligosporus.
Biodiversitas Vol 8, No. 3, hal 223-227.
Rahayu, Anny; Suranto; dan Tjahjadi P. (2005). Analisis
Karbohidrat, Protein, dan
Lemak pada Pembuatan Kecap Lamtoro Gung (Leucanena
leucocephala)
terfermentasi Aspergillus oryzae. Bioteknologi 2(1):14-20.
Rahman, A. (1992). Teknologi Fermentasi. Penerbit Arcan.
Jakarta.
Rosida, D. F., Wijaya, C.H., Apriantono, A., dan Zakaria, F. R.
(2013). Karakteristik
Moromi dan Kecap Manis serta Kajian Aktivitas Antioksidannya.
Rekapangan, 4(2).
Santoso HB. 1994. Kecap dan Tauco Kedelai. Yogyakarta:
Kanisius.
Soekarto, S. T. (1981). Penilaian Organoleptik untuk Industri
Pangan dan Hasil
Pertanian. PUSBANGTEPA / Food Technology Development Center.
IPB. Bogor.
Suganuma T, Fujita K, dan Kitahara K. (2007). Some
distinguishable properties
between acid-stable and neutral types of -amylase from
acidproducing koji. J Biosci Bioeng;104:353-62.
Suliantari dan Winiati, P. R. (1990). Teknologi Fermentasi
Biji-bijian dan Umbi-umbian.
Lembaga Suberdaya Informasi, Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Suprapti MS. 2005. Kecap Tradisional. Yogyakarta: Kanisius.
-
16
Suriadi, P. (1992). Mempelajari Aspek-aspek Teknologi Pengolahan
Kedelai di PT. ABC
Central Food. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
Tortora, G.J., R. Funke & C.L. Case. (1995). Microbiology.
The Benjamin / Cummings
Publishing Company, Inc. USA.
Visessanguan, W., S. Benjakul, S. Riebroy dan P. Thepkasikul.
(2004). Changes in
Composition and Functional Properties of Proteins and Their
Contributions to Nham
Characteristics. Food Chemistry., 66: 579-588.
Wibowo F. (1990). Mempelajari Aspek-aspek Teknologi Pengolahan
Kecap di PT. ABC
Central Food. [laporan praktik lapang]. Bogor: Fakultas
Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
Wijaya. (1986). Mempelajari Penggunaan Starter Murni Kapang
Aspergillus sp. Dalam
Pembuatan Kecap [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian
Bogor.
Wiratma, E. (1995). Analisis Komponen Flavor Kecap Manis
[skripsi]. Bogor: Fakultas
Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Wu, T. Y., Mun, S. K., Lee, F. S. dan Lithnes, K. P. (2010).
Effect of Temperature on
Moromi Fermentation of Soy Sauce with Intermittent Aeration.
African Journal of
Biotechnology. Vol 9(5), pp. 702-706.
Yanfang, Z. dan Wenyi, T. (2009). Flavor and Taste Compounds
Analysis in Chinese
SolidFermented Soy Sauce. African Journal of Biotechnology
Vol.8, No. 4:pp.673,
681.
-
17
5. LAMPIRAN
5.1. Laporan Sementara
5.2. Jurnal