Top Banner
BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Prinsip dasar pengobatan adalah menghilangkan gejala dan juga menyembuhkan penyakit serta jika mungkin mencegah timbulnya penyakit. Dalam prinsip dasar ini tercakup pula ketentuan bahwa manfaat klinik obat yang diberikan harus melebihi risiko yang mungkin terjadi sehubungan dengan pemakaiannya. Untuk dapat menilai secara objektif manfaat dan keamanan suatu obat diperlukan pengetahuan mengenai metodologi uji klinik dan praklinik, yaitu suatu perangkat metodologi ilmiah untuk menilai manfaat klinik suatu obat atau perlakuan terapetik tertentu dengan memperhatikan faktor- faktor yang dapat memberikan pengaruh yang tidak dikehendaki baik individual maupun populasi. Uji farmakologi merupakan salah satu persyaratan uji untuk calon obat. Dari uji ini diperoleh informasi tentang efikasi (efek farmakologi) dan profil 1
30

FARTOK MAKALAH

Dec 28, 2015

Download

Documents

Ilham Achtzehn

tugas final
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: FARTOK MAKALAH

BAB  I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Prinsip dasar pengobatan adalah menghilangkan gejala dan juga

menyembuhkan penyakit serta jika mungkin mencegah timbulnya

penyakit. Dalam prinsip dasar ini tercakup pula ketentuan bahwa manfaat

klinik obat yang diberikan harus melebihi risiko yang mungkin terjadi

sehubungan dengan pemakaiannya. Untuk dapat menilai secara objektif

manfaat dan keamanan suatu obat diperlukan pengetahuan mengenai

metodologi uji klinik dan praklinik, yaitu suatu perangkat metodologi ilmiah

untuk menilai manfaat klinik suatu obat atau perlakuan terapetik tertentu

dengan memperhatikan faktor- faktor yang dapat memberikan pengaruh

yang tidak dikehendaki baik individual maupun populasi.

Uji farmakologi merupakan salah satu persyaratan uji untuk calon

obat. Dari uji ini diperoleh informasi tentang efikasi (efek farmakologi) dan

profil farmakokinetik (meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan

eliminasi obat) calon obat. Hewan yang baku digunakan adalah galur

tertentu dari mencit, tikus, kelinci, marmot, hamster, anjing, hewan-hewan

ini sangat berjasa bagi pengembangan obat.

Dengan menguasai materi topik ini, mahasiswa akan memperoleh

informasi yang bermanfaat untuk menilai secara kritis kemanfaatan dan

keamanan suatu obat baru.

1

Page 2: FARTOK MAKALAH

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :

a. Pengertian uji praklinik dan uji klinik

b. Tujuan dan kepentingan uji praklinik dan uji klinik

c. Tahap-tahap pengembangan dan penilaian obat

d. Tahap-tahap uji klinik

e. Komponen uji klinik.

1.3 Manfaat dan Tujuan

1. Manfaat penulisan makalah ini yaitu :

Agar mahasiswa dapat mengetahui tujuan dilakukannya uji praklinik

dan uji klinik

2. Tujuan penulisan makalah ini yaitu :

Untuk memenuhi persyaratan akademis, yaitu untuk memenuhi tugas

mata kuliah Farmakologi Toksikologi I

2

Page 3: FARTOK MAKALAH

BAB II

PEMBAHASAN

Uji farmakologi merupakan salah satu persyaratan uji untuk calon

obat. Dari uji ini diperoleh informasi tentang efikasi (efek farmakologi) dan

profil farmakokinetik (meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan

eliminasi obat) calon obat. Hewan yang baku digunakan adalah galur

tertentu dari mencit, tikus, kelinci, marmot, hamster, anjing atau beberapa

uji menggunakan primata, hewan-hewan ini sangat berjasa bagi

pengembangan obat.

 Semua hasil pengamatan pada hewan menentukan apakah dapat

diteruskan dengan uji pada manusia. Ahli farmakologi bekerja sama

dengan ahli teknologi farmasi dalam pembuatan formula obat,

menghasilkan bentuk-bentuk sediaan obat yang akan diuji pada manusia.

2.1 Tahap Pengembangan dan Penilaian Obat

1. Meniliti dan skrining bahan obat.

2. Mensintesis dan meneliti zat/senyawa analog dari obat yang sudah

ada dan diketahui efek farmakologinya

3. Meneliti dan mensintesis dan membuat variasi struktur

4. Dikembangkan obat alami dengan serangkaian pengujian yang

dilaksanakan secara sistematik, terencana dan terarah untuk

mendapatkan data farmakologik yang mempunyai nilai terapetik.

3

Page 4: FARTOK MAKALAH

2.2 Pengembangan dan penilaian obat ini meliputi 2 tahap uji :

1) Uji Pra klinik

Suatu senyawa yang baru ditemukan (hasil isolasi maupun sintesis)

terlebih dahulu diuji dengan serangkaian uji farmakologi pada hewan.

Sebelum calon obat baru ini dapat dicobakan pada manusia, dibutuhkan

waktu beberapa tahun untuk meneliti sifat farmakodinamik,

farmakokinetik, farmasetika, dan efek toksiknya pada hewan uji.

Serangkaian uji praklinik yang dilakukan antara lain:

a. Uji farmakodinamik

Untuk mengetahui apakah bahan obat menimbulkan efek

farmakologik seperti yang diharapkan atau tidak, titik tangkap, dan

mekanisme kerjanya. Dapat dilakukan secara in vivo dan in vitro.

b.   Uji Farmakokinetik

Untuk mengetahui ADME (Absorpsi, Distribusi, Metabolisme dan

Eliminasi

Merancang dosis dan aturan pakai.

c. Uji Toksikologi

Mengetahui keamanannya

d. Uji Farmasetika

Memperoleh data farmasetikanya, tentang formulasi, standarisasi,

stabilitas, bentuk sediaan yang paling sesuai dan cara

penggunaannya.

4

Page 5: FARTOK MAKALAH

2) Uji Klinik 

Merupakan suatu pengujian khasiat obat baru pada manusia,

dimana sebelumnya diawali oleh pengujian pada binatang atau pra klinik.

Uji klinik Pada dasarnya uji klinik memastikan efektivitas, keamanan dan

gambaran efek samping yang sering timbul pada manusia akibat

pemberian suatu obat.

2.3 Tujuan Uji Praklink dan Uji Klinik

Uji klinik bertujuan untuk membuktikan atau menilai manfaat klinik

suatu obat, pengobatan, atau strategi terapetik tertentu secara objektif dan

benar. Dengan kata lain, uji klinik dimaksudkan untuk menghindari

pracondong/biaspemakai obat (prescriber), pasien, atau dari perjalanan

alami penyakit itu sendiri. Di samping itu, uji klinik harus dapat

memberikan jawaban yang benar (valid) mengenai manfaat klinik

intervensi terapi tertentu, jika memang bermanfaat harus terbukti

bermanfaat, dan jika tidak bermanfaat harusterbukti tidak bermanfaat.

Berdasarkan pembuktian melalui uji klinik ini, maka suatu obat,

pengobatan atau strategi terapetik tertentu baru dapat diterapkan secara

luas dalam praktek. Dalam pengembangan obat-obat baru, maka prinsip

penilaian obat atau calon obat didasarkan pada metode uji klinik secara

ketat.

2.4 Tahap-Tahap Uji Klinik

Uji klinik ini terdiri dari uji fase I sampai fase IV (Ganiswara, 1995) :

5

Page 6: FARTOK MAKALAH

a)    Uji Klinik Fase I

Fase ini merupakan pengujian suatu obat baru untuk pertama

kalinya pada manusia. Yang diteliti disini ialah keamanan dan

tolerabilitas obat, bukan efikasinya, maka dilakukan pada sukarelawan

sehat, kecuali untuk obat yang toksik (misalnya sitostatik), dilakukan

pada pasien karena alasan etik Tujuan fase ini adalah menentukan

besarnya dosis maksimal yang dapat toleransi (maximally tolerated

dose = MTD), yakni dosis sebelum timbul efek toksik yang tidak dapat

diterima. Pada fase ini, diteliti juga sifat farmakodinamik dan

farmakokinetiknya pada manusia. Hasil penelitian farmakokinetik ini

digunakan untuk meningkatkan ketepatan pemilihan dosis pada

penelitian selanjutnya. Uji klinik fase I dilaksanakan secara terbuka,

artinya tanpa pembanding dan tidak tersamar, dengan jumlah subyek

bervariasi antara 20-50 orang.

Pada fase ini obat dicobakan untuk pertama kalinya pada

sekelompok kecil penderita yang kelak akan diobati dengan calon

obat

Pada fase II awal, pengujian efek terapi obat dikerjakan secara

terbuka karena masih merupakan penelitian eksploratif. Pada tahap

biasanya belum dapat diambil kesimpulan yang mantap mengenai

efek obat yang bersangkutan karena terdapat berbagai factor yang

mempengaruhi hasil pengobatan, misalnya perjalanan klinik penyakit,

keparahannya, efek placebo.

6

Page 7: FARTOK MAKALAH

Untuk membuktikan bahwa suatu obat berkhasiat, perlu

dilakukan uji klinik komparatif yang membandingkannya dengan

placebo; atau bila penggunaan placebo tidak memenuhi syarat etik,

obat dibandingkan dengan obat standard yang telah dikenal. Ini

dilakukan pada akhir fase II atau awal fase III, tergantung dari siapa

yang melakukan, seleksi penderita, dan monitoring penderitanya.

Untuk menjamin validitas uji klinik komparatif ini, alokasi penderita

harus acak dan pemberian obat dilakukan secara tersamar ganda. Ini

dsebut uji klinik acak tersamar ganda berpembanding.

Pada fase II ini tercakup juga penelitian dosis-efek untuk

menentukan dosis optimal yang akan digunakan selanjutnya, serta

penelitian lebih lanjut mengenai eliminasi obat, terutama

metabolismenya. Jumlah subjek yang mendapat obat baru pada fase

ini antara 100-200 penderita (Ganiswara, 1995).

b )   Uji Klinik Fase II

Pada fase ini dicobakan pada pasien sakit. Tujuannya adalah

melihat apakah obat ini memiliki efek terapi. Pada fase II awal,

pengujian efek terapi obat dikerjakan secara terbuka karena masih

merupakan penelitian eksploratif, karena itu belum dapat diambil

kesimpulan yang mantap mengenai efikasi obat yang bersangkutan.

Untuk menunjukkan bahwa suatu obat memiliki efek terapi,

perlu dilakukan uji klinik komparatif (dengan pembading) yang

membandingkannya dengan plasebo; atau jika penggunaan plasebo

7

Page 8: FARTOK MAKALAH

tidak memenuhi persyaratan etik, obat dibandingkan dengan obat

standar (pengobatan terbaik yang ada). Ini dilakukan pada fase II

akhir atau awal, tergantung dari siapa yang melakukan, seleksi

pasien, dan monitoring pasiennya. Untuk menjamin validasi uji klinik

komparatif ini , alokasi pasien harus acak dan pemberian obat

dilakukan secara tersamar ganda. Ini disebut uji klinik berpembanding,

acak, tersamar ganda. Fase ini terjakup juga studi kisaran dosis untuk

menetapkan dosis optimal yang akan digunakan

selanjutnya(Ganiswara, 1995).

c )  Uji Klinik Fase III

Pada manusia sakit, ada kelompok kontrol dan kelompok

pembanding.

Cakupan lebih luas baik dari segi jumlah pasien maupun keragaman

(misal : intra ras.

Setelah terbukti efektif dan aman obat siap untuk dipasarkan.

Uji klinik fase III dilakukan untuk memastikan bahwa suatu

obat-baru benar-benar berkhasiat (sama dengan penelitian pada akhit

fase II) dan untuk mengetahui kedudukannya dibandingkan dengan

obat standard. Penelitian ini sekaligus akan menjawab pertanyaan-

pertanyaan tentang (1) efeknya bila digunakan secara luas dan

diberikan oleh para dokter yang ‘kurang ahli’; (2) efek samping lain

yang belum terlihat pada fase II; (3) dan dampak penggunaannya

pada penderita yang tidak diseleksi secara ketat.

8

Page 9: FARTOK MAKALAH

Uji klinik fase III dilakukan pada sejumlah besar penderita yang

tidak terseleksi ketat dan dikerjakan oleh orang-orang yang tidak

terlalu ahli, sehingga menyerupai keadaan sebenarnya dalam

penggunaan sehari-hari dimasyarakat. Pada uji klinik fase III ini

biasanya pembandingan dilakukan dengan placebo, obat yang sama

tapi dosis berbeda, obat standard dengan dosis ekuiefektif, atau obat

lain yang indikasinya sama dengan dosis yang ekuiefektif. Pengujian

dilakukan secara acak dan tersamar ganda.

Bila hasil uji klinik fase III menunjukan bahwa obat baru ini

cukup aman dan efektif, maka obat dapat diizinkan untuk dipasarkan.

Jumlah penderita yang diikut sertakan pada fase III ini paling sedikit

500 orang (Ganiswara, 1995).

d)   Uji Klinik Fase IV

Uji terhadap obat yang telah dipasarkan (post marketing surveilance).

Memantau efek samping yang belum terlihat pada uji-uji sebelumnya.

Dug safety : drug mortality atau drug morbidity

MESO : Monitoring Efek Samping Obat

Fase ini sering disebut post marketing drug surveillance karena

merupakan pengamatan terhadap obat yang telah dipasarkan. Fase

ini bertujuan menentukan pola penggunaan obat di masyarakat serta

pola efektifitas dan keamanannya pada penggunaan yang

sebenarnya. Survei ini tidak tidak terikat pada protocol penelitian;

tidak ada ketentuan tentang pemilihan penderita, besarnya dosis, dan

9

Page 10: FARTOK MAKALAH

lamanya pemberian obat. Pada fase ini kepatuhan penderita makan

obat merupakan masalah.Penelitian fase IV merupakan survey

epidemiologic menyangkut efek samping maupun efektif obat. Pada

fase IV ini dapat diamati (1) efek samping yang frekuensinya rendah

atau yang timbul setelah pemakaian obat bertahun-tahun lamanya, (2)

efektifitas obat pada penderita berpenyakit berat atau berpenyakit

ganda, penderita anak atau usia lanjut, atau setelah penggunaan

berulangkali dalam jangka panjang, dan (3) masalah penggunaan

berlebihan, penyalah-gunaan, dan lain-lain. Studi fase IV dapat juga

berupa uji klinik jangka panjang dalam skala besar untuk menentukan

efek obat terhadap morbiditas dan mortalitas sehingga datanya

menentukan status obat yang bersangkutan dalam terapi.

Dewasa ini waktu yang diperluka untuk pengembangan suatu

obat baru, mulai dari sintetis bahan kimianya sampai

dipasarkan, mencapai waktu 10 tahun atau lebih.

Setelah suatu obat dipasarkan dan digunakan secara luas,

dapat ditemukan kemungkinan manfaat lain yang mulanya muncul

sebagai efek samping. Obat demikian kemudian diteliti kembali di

klinik untuk indikasi yang lain, tanpa melalui uji fase I. Hal seperti ini

terjadi golongan salisilat yang semula ditemukan sebagai antireumatik

dan anti piretik. Efek urikosurik dan antiplateletnya ditemukan

belakangan. Hipoglikemik oral juga ditemukan dengan cara serupa

(Ganiswara, 1995)

10

Page 11: FARTOK MAKALAH

2.5  Komponen Uji Klinik

Bukti ilmiah adanya kemanfaatan klinik suatu obat tidak saja

didasarkan pada hasil yang diperoleh dari uji klinik tetapi juga perlu

mengingat faktor-faktor lain yang secara objektif dapat mempengaruhi

pelaksanaan suatu uji klinik.

Idealnya, suatu uji klinik hendaknya mencakup beberapa komponen

berikut,

1. Seleksi/pemilihan subjek

Dalam uji klinik harus ditentukan secara jelas kriteria-kriteria

pemilihan  pasien, yakni:

a. Kriteria pemasukan (inclusion criteria), yakni syarat-syarat yang

secara mutlak harus dipenuhi subjek untuk dapat diikutsertakan

dalam penelitian. Meliputi antara lain kriteria diagnostik, baik klinis

(termasuk gejala dan tanda-tanda penyakit) maupun laboratoris,

derajat penyakit (mis. ringan, sedang atau berat), asal pasien

(hospitalatau community-based), umur dan jenis kelamin.

b. Kriteria pengecualian (exclusion criteria), merupakan kriteria yang

tidak memungkinkan diikutsertakannya subjek-\subjek tertentu dalam

penelitian.Sebagai contoh adalah wanita hamil. Hampir sebagian

besar uji klinik obat tidak memasukkan wanita hamil sebagai subjek

mengingat pertimbangan risiko yang mungkin lebih besar dibanding

manfaat yang didapat. Subjek-subjek yang mempunyai risiko tinggi

11

Page 12: FARTOK MAKALAH

terhadap pengobatan/perlakuan uji juga secara ketat tidak dilibatkan

dalam penelitian.

Dalam pemilihan pasien hendaknya ditetapkan bahwa kriteria

diagnostik yang dipilih benar-benar merupakan indikasi utama

pemakaian obat yang diujikan.

2.  Rancangan uji klinik

Untuk memperoleh hasil optimal dari suatu uji klinik perlu disusun

rancangan (design) penelitian yang dapat dipertanggung jawabkan

secara ilmiah dan etis dengan tetap mengutamakan segi keselamatan

dan kepentingan pasien.Rancangan uji klinik disini dimaksudkan

untukuji klinik fase III, yang secara garis besar membandingkan dua

atau lebih perlakuan/pengobatan

untuk melihat kemanfaatan relatif maupun absolut suatu obat baru

dengan menggunakan satu (atau lebih) parameter pengukuran. Dua

rancangan uji klinik yang baku dan umum digunakan yakni rancangan

paralel/rancangan antar subjek (Randomized Controlled Trial/RCT-

Parallel Design) dan rancangan silang/rancangan sama subjek (RCT

cross over design).

Berikut dijelaskan secara ringkas kedua jenis rancangan tersebut.

a. Rancangan paralel/rancangan antar subjek (RCT-parallel design)

Prinsip dasar rancangan ini yakni, secara acak subjek-subjek yang

dilibatkan dalam penelitian dibagi dua atau lebih kelompok

pengobatan. Jumlah subjek dalam tiap-tiap kelompok pengobatan

12

Page 13: FARTOK MAKALAH

harus seimbang atau sama. Masing-masing kelompok akan

memperoleh pengobatan/perlakuan yang berbeda,sesuai

dengan jenis obat/perlakuan yang diujikan. Selanjutnya hasil

pengobatan pada masing-masing kelompok dibandingkan (Gambar

1).pengobatan Apasien memenuhi pengacakan kriteria

pengobatan.

b. Rancangan silang/rancangan sama subjek (RCT-cross-over

design)

Pada rancangan ini setiap subjek akan memperoleh semua bentuk

pengobatan/perlakuan secara selang-seling yang ditentukan

secara acak. Untuk menghindari kemungkinan pengaruh

obat/perlakuan yang satu dengan yang lainnya, setiap subjek akan

memperoleh periode bebas pengobatan (washed-out period).

3. Jenis perlakuan atau pengobatan dan pembandingnya

Dalam uji klinik, jenis perlakuan/pengobatan dan pembandingnya

harus didefinisikan secara jelas. Informasi yang perlu dicantumkan

meliputi jenis obat dan formulasinya, dosis dan frekuensi pengobatan,

waktu dan cara pemberian serta lamanya pengobatan dilakukan. Untuk

menjamin kelancaran pelaksanaan uji klinik dan keberhasilan

pengobatan, hendaknya dipertimbangkan segi-segi teknis yang

berkaitan dengan ketaatan pasien (patients compliance) serta ketentuan

-ketentuan lain yang diberlakukan selama uji klinik. Sebagai contoh

disini adalah jika frekuensi pemberian terlalu sering (misalnya lebih dari

13

Page 14: FARTOK MAKALAH

4 kali/hari) maka kemungkinan ketaatan pasien juga makin berkurang.

Penjelasan lain meliputi obat-obat apa yang boleh dan tidak boleh

diminum selama uji berlangsung. Perlakuan pembanding juga harus

dijelaskan, apakah pembanding

positif (obat standard yang telah terbukti secara ilmiah kemanfaatannya)

atau negatif (plasebo). Mengingat bahwa plasebo bukanlah obat, dalam

arti tidak memberi efek terapetik, maka pemberian plasebo tidak

dianjurkan untuk penyakit-penyakit yang dapat berakibat fatal dan

serius.Yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa pembanding

positif hendaknya merupakan obat pilihan pertama (drug of choice) dari

indikasi yang dimaksud. Sebagai contoh, jika obat baru yang diuji

indikasikan untukmengobati tifus abdominalis, maka pembandingnya

(kontrol positif) adalah kloramfenikol (drug of choice untuk tifus).

4. Pengacakan (randomisasi) perlakuan

Randomisasi atau pengacakan perlakuan mutlak diperlukan dalam

uji klinik terkendali (randomize-controlledtrial-RCT), dengan tujuan

utama menghindari bias (pracondong). Dengan pengacakan sebelum uji

klinik maka,setiap subjek (pasien) akan memperoleh kesempatan yang

sama dalam mendapatkan perlakuan/pengobatan. Dengan kata lain

setiap subjek mempunyai peluang yang sama untuk mendapatkan obat

uji atau pembandingnya. subjek-subjek yang memenuhi kriteria

pemasukan akan terbagi sama rata dalam tiap kelompok perlakuan, di

mana ciri-ciri subjek dalam satu kelompok praktis seimbang. Dengan

14

Page 15: FARTOK MAKALAH

adanya pengacakan sebelum perlakuan/uji klinik maka penilaian

kemanfaatan obat uji dan pembandingnya dapat dijamin seobjektif

mungkin.

5. Besar sampel

Salah satu pertanyaan penting yang perlu dipertimbangkan dalam

uji klinik adalah besar sampel atau jumlah subjek yang diperlukan dalam

uji klinik. Beberapa faktor berikut perlu dijadikan salah satu

pertimbangan dalam penentuan jumlah sampel.

1. Derajat kepekaan uji klinik

Jika diketahui bahwa perbedaan kemaknaan klinis antara 2 obat

yang diuji tidak begitu besar, maka diperlukan jumlah sampel yang

besar.

2. Keragaman hasil.

Makin kecil keragaman hasil uji antar individu dalam kelompok yang

sama, maka makin sedikit jumlah subjek yang diperlukan.

3. Derajat kebermaknaan statistik.

Makin besar kebermaknaan statistik yang diharapkan dari uji klinik,

maka makin besar pula jumlah subjek yang diperlukan.

Salah satu contoh cara penghitungan besar sampel antara lain,

apabila kita ingin membandingkan 2 jenis obat, A dan B, di mana

diperkirakan bahwa prosentase kesembuhan setelah pemberian obat

A adalah 95%, sementaraprosentase kesembuhan pada pemberian

15

Page 16: FARTOK MAKALAH

obat B 90%. Dengan menentukan (kesalahan tipeI) dan (kesalahan

tipe II), maka digunakan cara penghitungan sbb :

dimana :

n =jumlah sampel per perlakuan

P1=prosentase keberhasilan yang diharapkan dari perlakuan 1,

misalnya pada contoh diatasadalah 95%

P2=prosentase keberhasilan yang diharapkan dari perlakuan 2,

misalnya pada contoh diatas adalah 90%

α= kesalahan tipe I, misalnya 0,05

β= kesalahan tipe II, misalnya 0,1f (α, β) = 10,5

Maka jumlah sampel per perlakuan yang diperlukan adalah, 578

pasien, Sehingga jumlah sampel keseluruhan = 578 x 2 = 1156

atau dibulatkan menjadi 1200.

6. Penyamaran/pembutaan (Blinding)

Yang dimaksud dengan penyamaran di sini adalah merahasiakan

bentuk terapi yang diberikan. Dengan penyamaran, maka pasien

dan/atau pemeriksa tidak mengetahui yang mana obat yang diuji dan

yang mana pembandingnya. Biasanya bentuk obat yang diuji dan

pembandingnya dibuat sama. Tujuan utama penyamaran ini adalah

untuk menghindari ‘bias’ (pracondong) pada penilaianrespons terhadap

obat yang diujikan. Penyamaran dapat dilakukan secara:

16

N (per kelompok) = P1 X (100−P1)+P2 X (100−P2)

(P1−p2)2x f (α , β)

Page 17: FARTOK MAKALAH

Single blind, jika identitas obat tidak diberitahukan pada pasien.

Double blind, jika baik pasien maupun dokter pemeriksa tidak

diberitahu obat yang diuji maupun pembandingnya.

Triple blind, jika pasien, dokter pemeriksa maupun individu yang

melakukan analisis tidak diberitahu identitas obat yang diuji dan

pembandingnya.

Dengan teknik penyamaran/pembutaan ini bukan berarti tidak ada

kontrolnterhadap pelaksanaan uji klinik. Kesehatan dan keselamatan

pasien tetap dipantau sepenuhnya oleh penanggung jawab medik,

sehingga sewaktu-waktu terjadi hal-hal yang tidak diharapkan (adverse

effects) dapat segera dilakukan penanganan secara medik.

7. Penilaian Respons

Penilaian respons pasien terhadap proses terapetik yang diberikan

harus bersifat objektif, akuratdan konsisten. Oleh sebab itu respons

yang hendak diukur harus didefinisikan secara jelas. Sebagai contoh

jika yang diuji obat antihipertensi, maka penurunan tekanan  darah

hendaknya diukur secara objektif (dengan alat ukur yang sama,

misalnya sphigmomanometer air raksa dengan satuan mmHg) oleh

pemeriksa yang sama, dan dengan metode serta kondisi yang sama

pula.

Empat kategori utama yang umum digunakan untuk menilai respons

terapetik adalah:

1) Penilaian awal (baseline assessment) sebelum perlakuan.

17

Page 18: FARTOK MAKALAH

Sesaat sebelum uji dilakukan, keadaan klinis hendaknya dicatat

secara seksama  berdasarkan parameter-parameter yang telah

disepakati. Sebagai contoh adalah tekananndarah, yang hendaknya

telah diukur sesaat sebelum uji klinik dimulai.

2) Kriteria-kriteria utama respons pasien.

Disini indikasi utama pengobatan merupakan kriteria utama yang

harus dinilai. Jika yang diuji obat analgetik-antipiretika, maka kriteria

utama penilaian adalah penurunan panas, terjadi tidaknya kejang

atau gejala lain sebagai manifestasi demam, dan sebagainya.

3) Kriteria tambahan.

Suatu uji klinik tidak saja menilai kemanfaatan suatu obat/perlakuan,

tetapi juga menilai segi keamanan pemakaiannya. Untuk itu

diperlukan kriteria tambahan. Dengan kriteria tambahan ini kita dapat

menilai apakah obat yang diuji disamping memberi kemanfaatan

klinis yang besar juga terjamin keamanannya. Kriteria tambahan ini

umumnya berupa efek samping, mulai derajat ringan sampai berat,

baik yang mengancam kehidupan (lifethreatening) maupun tidak.

4) Pemantauan pasien.

Mengingat keberhasilan uji klinik (secara khusus) maupun terapetik

(secara umum) akan sangat ditentukan oleh ketaaan pasien, maka

faktor-faktor yang mempengaruhi ketaatan pasien untuk berperan

serta dalam penelitian hendaknyadapat dikontrol sebaik mungkin.

18

Page 19: FARTOK MAKALAH

8. Analisis dan interpretasi data

Analisis data dan interpretasi hasil suatu uji klinik sangat tergantung

pada metode statistika yang digunakan. Sebagai contoh, jika kriteria

untuk penilaian hasil diekspresikan dalam bentuk "ya" atau "tidak"

(misalnya sembuh-tidak sembuh; hidup-mati; berhasil-gagal) maka

salah satu uji statistikanya adalah kai kuadrat (Chi-square). Untuk

menguji ada tidaknya perbedaan angka rata-rata (mean) antara 2

kelompok uji, maka digunakan uji-t (Student’s t-test). Metode statistika

yang akan digunakan untuk analisis data uji klinik harus sudah disiapkan

saat pengembangan protokol, untuk menghindari ketidaktepatan uji

statistika dan interpretasi hasil.

19

Page 20: FARTOK MAKALAH

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Semua hasil pengamatan pada hewan menentukan apakah dapat

diteruskan dengan uji pada manusia. Ahli farmakologi bekerja sama

dengan ahli teknologi farmasi dalam pembuatan formula obat,

menghasilkan bentuk-bentuk sediaan obat yang akan diuji pada

manusia.

2. Cara yang digunakan untuk mengetahui tingkat keamanan obat yaitu

melalui uji praklinik dan uji klinik.

3. Tidak setiap uji klinik yang dipublikasi bisa begitu saja diterima dan

diterapkan dalam praktek, oleh karena sering hasil yang dilaporkan

tidak berdasarkan pada metodologi yang diperlukan. Menilai hasil

suatu uji klinik, sebenarnya adalah menilai apakah prinsip-prinsip

metodologi uji klinik atau komponen-komponen yang diperlukan telah

dipenuhi.

3.2 Saran

Dengan dilakukannya uji praklinik dan uji klinik dari suatu sediaan

obat, maka sangat diharapkan partisipasi dari semua mahasiswa maupun

farmasis mampu memahami dan menerapkan prinsip-prinsip ini dalam

dunia kefarmasian, khususnya dalam penemuan obat-obat baru.

20

Page 21: FARTOK MAKALAH

DAFTAR PUSTAKA

Ganiswara, S.G., Setiabudi, R., Suyatna, F.D., Purwantyastuti, Nafrialdi (Editor).1995.Farmakologi dan Terapi. Edisi 4.. Bagian Farmakologi FK UI: Jakarta

Hoan Tan Tjay,drs & Kirana Rahardja. 2003. Obat-obat penting, Khasiat,  penggunaan dan efek sampingnya : Elexmedia Computindo

Katzung.1989.Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 3.EGC: Jakarta.

http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2010/01/09/uji-klinik-51098.html

http://jendelafarmasi.blogspot.com/2011/09/farmakologi.html

http://healthcare-pharmacist.blogspot.com/2011/06/pengembangan-dan-

pengujian-fitofarmaka.html

21