PENGUJIAN EFEK ANTIINFLAMASI I. TUJUAN 1. Mampu memahami azas dasar percobaan aktivitas antiinflamasi dan memperoleh petunjuk-petunjuk yang praktis. 2. Dapat menunjukkan beberapa kemungkinan dan batasan yang merupakan sifat teknik percobaan. II. PRINSIP PERCOBAAN 1. Penyuntikan secara subkutan pada telapak kaki belakang tikus menyebabkan udema yang dapat diinhibisi oleh obat antiinflamasi yang diberikan sebelumnya. 2. Hukum Archimedes : penambahan volume air raksa sebanding dengan volume kaki tikus yang dimasukkan. III. TEORI Obat analgesik antipiretik serta obat anti inflamasi nonsteorid merupakan sustu kelompok obat yang heterogen, bahkan beberapa obat sangat berbeda secara kimia.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PENGUJIAN EFEK ANTIINFLAMASI
I. TUJUAN
1. Mampu memahami azas dasar percobaan aktivitas antiinflamasi dan
memperoleh petunjuk-petunjuk yang praktis.
2. Dapat menunjukkan beberapa kemungkinan dan batasan yang merupakan
sifat teknik percobaan.
II. PRINSIP PERCOBAAN
1. Penyuntikan secara subkutan pada telapak kaki belakang tikus
menyebabkan udema yang dapat diinhibisi oleh obat antiinflamasi yang
diberikan sebelumnya.
2. Hukum Archimedes : penambahan volume air raksa sebanding dengan
volume kaki tikus yang dimasukkan.
III. TEORI
Obat analgesik antipiretik serta obat anti inflamasi nonsteorid merupakan
sustu kelompok obat yang heterogen, bahkan beberapa obat sangat berbeda secara
kimia. Walaupun demikian obat-obat ini ternyata memiliki banyak persamaan dalam
efek terapi maupun efek samping. Prototip obat golongan ini adalah aspirin, karena
itu obat golongan ini sering disebut juga sebagai obat mirip aspirin (aspirin like
drugs).
Kemampuan penelitian dalam dasawarsa terakhir ini memberi penjelasan
mengapa kelompok heterogen tersebut memiliki kesempatan efek terapi dan efek
samping. Ternyata sebagian besar efek terapi dan efek sampingnya berdasarkan atas
penghambatan 6 biosintesisprostaglandin (PG). Akan diuraikan dahulu mekanisme
dan sifat dasar obat mirip aspirin sebelum membahas masing-masing sub golongan.
Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja dari obat anti inflamasi ini telah disebutkan di atas bahwa
efek terapi maupun efek samping obat-pbat ini sebagian besar tergantung dari
penghambatan biosintesis PG. Mekanisme kerja yang berhubungan dengan sistem
biosintesis PG ini mulai dilaporkan pada tahun 1971 oleh Vane dan kawan-kawan
yang memperlihatkan secara in vitro bahwa dosis rendah aspirin dan indometasin
menghambat produksi enzimatik PG. Penelitian lanjutan telah membuktikan bahwa
PG akan dilepaskan bilamana sel mengalami keruskan.
Walaupun in vitro obat AINS diketahui menghambat berbagai reaksi
biokomiawi, hubungan dengan efek analgesik, antipiretik dan anti inflamasinya
belum jelas. Selain itu obat AINS secara umum tidak menghambat berbagai reaksi
biokimiawi, hubungan dengan efek analgesik, anti piretik dan anti inflamasinya
belum jelas. Selain itu obat AINS secara umum tidak menghambat biosintesis
leukotrien, yang diketahui ikut berperan dalam inflamasi.
Golongan obat ini menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi
asam arakidonat menjadi PGG2 terganggu. Setiap obat menghambat siklooksigenase
dengan cara yang berbeda. Khusus parasetamol, hambatan biosintesis PG hanya
terjadi bila lingkungannya rendah kadar peroksid seperti di hipotalamus. Lokasi
inflamasi biasanya mengandung banyak peroksid yang dihasilkan oleh leukosit. Ini
menjelaskan mengapa efek anti inflamasi parasetamol praktis tidak ada. Aspiin
sendiri menghambat dengan mengasetilasi gugus akatif serin dari enzim ini. Dan
trombosit sangat rentan terhadap penghambatan ini karena sel ini tidak mampu
mengadakan regenerasi enzimnya. Sehingga dosis tunggal aspirin 40 mg sehari telah
cukup untuk menghambat siklo oksigenase trombosit manusia selama masa hidup
trombosit yaitu 8-11 hari.
Inflamasi sampai sekarang fenomena inflamasi pada tingkat bioseluler masih
belum dapat dijelaskan secara rinci. Walaupun demikian banyak hal yang telah
diketahui dan disepakati. Fenomena inflamasi ini meliputi kerusakan likrovaskuler,
meningkatnya permeabilitas kapiler dan migrasi leukosit ke jaringan radang. Gejala
proses inflamasi yang sudah dikenal adalah kalor, rubor, tumor, dolor dan functio
laesa. Selama berlangsungnya fenomena inflamasi banyak mediatpr kimiawi yang
dilepaskan secara local antara lain histamin, 5-hidroksitriptamin (5HT), factor
kemotaktik, bradikinin, leukotrien dan PG. Peneitian terakhir menunjukkan autakoid
lipid PAF juga merupakan mediator inflamasi. Dengan migrasi sel fahosit ke daerah
ini, terjadi lisis membran lisozim dan lepasnya enzim pemecah. Obat mirip aspiri
dapat dikatakan tidak berefek terhadap mediator-mediator kimiawi tersebut kecuali
PG.
Secara in vitro terbukti bahwa prostaglandin E2 (PGE2) dan prostasiklin
(PGI2) dalam jumlah nanogram, menimbulkan eritem, vasodilatasi dan peningkatan
aliran darah local. Histamin dan bradikinin dapat meningkatkan permeabilitas
vascular, tetapi efek vasodilatasinya tidak besar. Dengan penambahan sedikit PG,
efek eksudasi histamin plasma dan bradikinin menjadi lebih jelas. Migrasi leukosit ke
jaringan radang merupakan aspek penting dalam proses inflamasi. PG sendiri tidak
bersifat kemotaktik, tetapi produk lain dari asam arakidonat yakni leukotrien B4
merupakan zat kemotaktik yang sangat poten.
Rasa nyeri PG hanya berperan pada nyeri yang berkaitan dengan kerudakan
jaringan atau inflamasi. Penelitin telah membuktikan bahwa PG menyebabkan
sensitisasi reseptor nyeri terhadap stimulasi mekanik dan kimiawi. Jadi PG
meni,bulkan keadaan hiperalgesia kemudian mediator kimiawi seperti bradikinin dan
histamin merangsangnya dan menimbulkan nyeri yang nyata.
Obat mirip aspirin tidak mempengaruhi hiperalgesia atau nyeri yang
ditimbulkan oleh efek langsung PG. Ini menunjukkan bahwa sintesis PG yang
dihambat oleh golongan obat ini dan bukannya blokade langsung.
Demam, suhu badan diatur oleh keseimbangan antara produksi dan hilangnya
panas. Alat pengatur suhu tubuh berada di hipotalamus. Pada keadaan emam
keseimbangan ini terganggu tetapi dapat dikembalikan ke normal oleh obat mirip
aspirin. Ada bukti bahwa peningkatan suhu tubuh pada keadaan patologik diawali
penglepasan suatu zat pirogen endogen atau sitokin seperti interleukin-1 (IL-1) yang
memacu penglepasan PG yang berlebihan di daerah preoptik hipotalamus. Selain itu
PGE2 terbukti menimbulkan demam setelah diinfuskan ke ventrikel serebral atau
disuntikkan ke daerah hipotalamus. Obat mirip aspirin menekan efek zat pirogen
endogen dengan menghambat sintesis PG. Tetapi demam yang timbul akibat
pemberian PG tidak dipengaruhi, demiian pula peningkatan suhu oleh sebab lain
seperti latihan fisik.
Efek Farmakodinamik
Semua obat mirip aspirin bersifat antipiretik, anlagesik dan antiinflamasi. Ada
perbedaaan aktivitas di antara obat-obat tersebut misalnya parasetamol
(asetaminofen) bersifat antipiretik dan analgesik tetapi sifat anti inflamasinya lemah
sekali.
Efek analgesik, sebagai analgesik obat mirip aspirin hanya efektif terhadap
nyeri dengan intensitas rendah sampai sedang misalnya sakit kepala, mialgia,
artralgia dan nyeri lain yang berasal dari integumen, juga efektif terhadap nyeri yang
berkaitan dengan inflamasi. Efek analgesiknya jauh lebih lemah daripada efek
analgesik opiat. Tetapi berbeda dengan opiat, obat mirip aspirin tidak menimbulkan
ketagihan dan tidak menimbulkan efek samping sentral yang merugikan. Obat mirip
aspirin hanya mengubah persepsi modalitas sensorik nyeri, tidak mempengaruhi
sensorik lain. Nyeri akibat terpotongnya saraf aferen, tidak teratasi dengan obat mirip
aspirin. Sebaliknya nyeri kronis pasca bedah dapat diatasi oleh obat mirip aspirin.
Efek antipiretik, sebagai antipiretik obat mirip aspirin akan menurunkan suhu
badan hanya pada keadaan demam. Walaupun demikian kebanyakan obat ini
memperlihatkan efek antipiretik in vitro, tidak semuanya berguna sebagai antipiretik
ksrena bersifat toksik bila digunakan secara rutin atau terlalu lama. Fenilbutazon dan
antireumatik lainnya tidak dibenarkan digunakan sebagai antipiretik
Efek anti inflamasi kebanyakan obat mirip aspirin terutama yang baru lebih
dimanfaatkan sebagai anti inflamasi pada pengobatan kelainan muskuloskeletal,
seperti arthritis rheumatoid, osteoartritis dan spondilitis ankilosa. Tetapi harus diingat
bahwa obat mirip aspirin hanya meringankan gejala nyeri dan inflamasi yang
berkaitan dengan penyakitnya secara simtomatik, tidak menghentikan, memperbaiki
atau mencegah kerusakan jaringan pada kelainan muskulosketal ini.
Efek samping yang paling sering terjadi adalah induksi tukak lambung atau
tukak peptic yang kadang-kadang disertai anemia sekunder akibat perdarahan saluran
cerna. Beratnya efek samping ini berbeda pada masing-masing obat, dua mekanisme
terjadinya iritasi lambung adalah iritasi yang bersifat local yang menimbulkan difusi
kembali asam lambung ke mukosa dan menyebabkan kerusakan jaringan atau
perdarahan lambung yang bersifat sistemik melalui hambatan biosintesis PGE2 dan
PGI2. kedua PG ini banyak ditemukan di mukosa lambung dengan fungsi
menghambat sekresi asam lambung dan merangsang sekresi mucus usus halus yang
bersifat sitoprotektif. Mekanisme kedua ini terjadi pada pemberian parenteral.
Inflamasi diidetifikasikan sebagai suatu reaksi lokal organisme terhadap suatu iritasi
atau keadaan non fisiologik.
Secara skematis dibedakan 4 fase gejala-gejala inflamasi :
1. Eritem : vasodilatasi pembuluh darah menyebabkan tertahannya darah oleh
perubahan permeabilitas pembuluh sehingga plasma dapat keluar dari dinding
pembuluh.
2. Ekstravasasi : keluarnya plasma melalui dinding pembuluh darah dan
menyebabkan udem.
3. Suppurasi dan nekrosis : pembentukan nanah dan kematian jaringan yang
disebabkan oleh penimbunan lekosit-lekosit di daerah inflasi.
4. Degenerasi jaringan : tidak terdapat pembentukan sel-sel baru untuk
pembentukan pembuluh darah dan makin bertambahnya serat-serat kolagen
yang tidak berfungsi.
Masing-masing tahap diatas dipengaruhi oleh faktor-faktor humoral seperti
histamin, serotonin, bradikinin dan prostaglandin. Kebanyakan dari gejala tersebut di
atas telah dijadikan sebagai dasar berbagai metode percobaan untuk mengevaluasi
obat-obat antiinflamasi. Gejala eritem dapat diuji pada marmot yang disinari
ultraviolet: pembentukan udem dapat dilakukan pada kaki tikus dengan penyuntikan
seperti karegen, kaolin, serotonin, dekstran dll.
Obat-obat Antiinflamasi
Efek terapi maupun efek samping dari obat-obat anti-inflamasi ini tergantung
dari penghambatan biosintesis prostaglandin. Secara in vitro obat-obat AINS
menghambat berbagai reaksi biokimiawi, hubungan dengan efek analgesic, antipiretik
dan anti-inflamasinya belum jelas. Selin itu obat AINS secara umum tidak
menghambat biosintesis leukotrian, yang diketahui berperan dalam inflamasi.
Golongan obat ini menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi
asam arakidonat menjadi PGG2 terganggu. Setiap obat menghambat siklooksigenase
dengan cara berbeda.
Piroxicam
Obat ini merupakan salah satu AINS dengan struktur baru yaitu oksikam.
Waktu paruh dalam plasma lebih dari 45 jam sehingga dapat diberikan hanya sekali
sehari. Absorpsi berlangsung cepat di lambung; terikat 99% pada protein plasma.
Obat ini menjalani siklus enterohepatik. Kadar taraf mantap dicapai sekitar 7-10 hari
dan kadar dalam plasma kira-kira sama dengan kadar sinovia.
Efek samping tersering adalah gangguan saluran cerna, antara lain yang berat
adalah tukak lambung. Efek samping lain adalah pusing, tinnitus, nyeri kepala dan
eritem kulit. Piroxicam tidak dianjurkan diberikan pada wanita hamil, penderita tukak
lambung dan penderita yang sedang minum antikoagulan. Indikasi piroxicam hanya
untuk penyakit inflamasi sendi misalnya arthritis reumatoid, osteoarthritis, spondilitis
ankilosa dengan dosis 10-20 mg sehari.
Ibuprofen
Merupakan derivat asam propionate yang diperkenalkan pertama kali di
banyak negara. Obat ini bersifat analgesic dengan daya antiinflamasi yang tidak
terlalu kuat. Efek analgesiknya sama seperti aspirin. Efek antiinflamasinya terlihat
dengan dosis 1200-2400 mg sehari. Absorpsi ibuprofen cepat melalui lambung dan
kadar maksimun dalam plasma darah dicapai setelah 1-2 jam. Waktu paruh dalam
plasma sekitar 2 jam. Sembilan puluh % ibuprofen terikat dalam protein plasmua.
Ekskresinya berlangsung cepat dan lengkap. Kira-kira 90% dari dosis yang diabsorpsi
akan diekskresi melalui urin sebagai metabolit atau konjugatnya. Metabolit utama
merupakan hasil hidroksilasi dan karboksilasi.
Obat AINS derivat asam propionat hampir seluruhnya terikat pada protein
plasma, efek interaksi misalnya pergeseran obat warfarin dan oral hipoglikemik
hampir tidak ada. Tetapi pada pemberian bersama warfarin, tetap harus waspada
karena adanya gangguan fungsi trombosit yang memperpanjang masa pendarahan.
Derivat asam propionat dapat mengurangi efek diuresis dan natriuresis furosemid dan
tiazid, juga mengurangi efek antihipertensi obat beta bloker, prazosin dan kaptopril.
Efek ini mungkin akibat hambatan biosintesis PG ginjal. Efek samping terhadap
saluran cerna lebih ringan dibandingkan aspirin, indometasin naproksen. Efek
samping lainnya yang jarang adalah eritema kulit, sakit kepala, trombositopenia,
ambliopia toksik yang reversibel.
IV. ALAT DAN BAHAN
Hewan percobaan : Tikus putih, BB 148 g, 153 g, 106 g; dipuasakan 10 jam
sebelum percobaan ( air minum ad libitum ).
Alat : - Plethysmometer air raksa, yang prinsip kerjanya berdasarkan
Hukum Archimedes.
- Jarum suntik 1 ml
Bahan : - Larutan karagenan 1 % dalam air suling ( dibuatkan sehari
sebelum percobaan )
- Larutan gom arab 3 %
- Aspirin 150 mg/kg BB
- Fenilbutazon 10 mg/kg BB.
Rute pemberian obat : intraperitonial
V. PROSEDUR
1. Sebelum mulai percobaan, masing-masing tikus dikelompokkan dan
ditimbang bobot badannya, kemudian diberi tanda pengenal.
2. Berikan tanda batas pada kaki belakang kiri untuk setiap tikus dengan spidol,
agar pemasukan kaki ke dalam air raksa setiap kali selalu sama.
3. Pada tahap pendahuluan volume kaki tikus diukur dan dinyatakan sebagai
volume dasar. Pada setiap kali pengukuran volume, tinggi cairan raksa pada
alat diperiksa dan dicatat sebelum dan sesudah pengukuran, usahakan jangan
sampai ada air raksa yang tertumpah.
4. Tikus diberi obat atau larutan kontrol secara i.p atau oral. Satu jam kemudian
telapak kaki kiri diukur volume pembengkakan dengan alat Plethysmometer
dengan mencatat kenaikan air raksa pada alat tersebut (Vo). Selanjutnya, 0,05
ml larutan karagenan diberikan pada telapak kaki kiri tikus secara subkutan.
5. Volume kaki yang diberi karagenan diukur setiap 1 jam sampai menit ke 75.
Catat perbedaan volume kaki untuk setiap jam pengukuran (Vt).
6. Hasil pengamatan dicantumkan dalam table untuk setiap kelompok. Tabel
harus berisi persentase kenaikan volume setiap jam untuk masing-
masingtikus. Perhitungan persentase kenaikan volume kaki dilakukan dengan
membandingkannya terhadap volume dasar sebelum menyuntikkan
karagenan.
7. Selanjutnya untuk setiap kelompok dihitung persentase rata-rata dan
bandingkan persentase yang diperoleh kelompok yang diberi obat terhadap
kelompok kontrol pada jam yang sama.
8. Gambarkan grafik persentase inhibisi radang terhadap waktu.