BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Organisme hidup yang ada di dunia ini sangat beragam, memiliki system organisasi yang sangat komplek sehingga cenderung tidak mudah untuk dianalisis, dan didiskusikan kecuali dengan cara deskriptif. Atas dasar inilah maka dalam mempelajari system kehidupan ada kecenderungan orang membuat model atau penyederhanaan (reduksi) kompleksitas obyek kajian. Tujuannya adalah agar sistem organisasi kehidupan dapat lebih mudah diamati, dianalisis dan didiskusikan untuk mengembangkan konsep-konsep baru. Melalui cara ini berkembanglah bidang-bidang ilmu seperti Biologi sel, biokimia dan Biologi Molekuler (termasuk di dalamnya genetika molekuler). Dengan demikian teori evolusi pun tidak lepas dari sasaran kajian-kajian bidang ilmu tersebut karena evolusi menyangkut konsep asal-usul kehidupan. Biologi molekuler adalah bidang ilmu yang berkembang dari genetika molekuler yang diperluas. Bahasan Biologi molekuler meliputi semua aspek proses hidup, tidak saja hanya menyangkut sifat-sifat yang diturunkan melalui gen, melainkan juga ekspresi dan pelaksanaan program-program kehidupan dalam proses fisiologi, perkembangan reproduksi dan taksonomi sampai 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Organisme hidup yang ada di dunia ini sangat beragam, memiliki system
organisasi yang sangat komplek sehingga cenderung tidak mudah untuk dianalisis,
dan didiskusikan kecuali dengan cara deskriptif. Atas dasar inilah maka dalam
mempelajari system kehidupan ada kecenderungan orang membuat model atau
penyederhanaan (reduksi) kompleksitas obyek kajian. Tujuannya adalah agar
sistem organisasi kehidupan dapat lebih mudah diamati, dianalisis dan
didiskusikan untuk mengembangkan konsep-konsep baru. Melalui cara ini
berkembanglah bidang-bidang ilmu seperti Biologi sel, biokimia dan Biologi
Molekuler (termasuk di dalamnya genetika molekuler). Dengan demikian teori
evolusi pun tidak lepas dari sasaran kajian-kajian bidang ilmu tersebut karena
evolusi menyangkut konsep asal-usul kehidupan.
Biologi molekuler adalah bidang ilmu yang berkembang dari genetika
molekuler yang diperluas. Bahasan Biologi molekuler meliputi semua aspek
proses hidup, tidak saja hanya menyangkut sifat-sifat yang diturunkan melalui
gen, melainkan juga ekspresi dan pelaksanaan program-program kehidupan dalam
proses fisiologi, perkembangan reproduksi dan taksonomi sampai dengan bahasan
tentang adaptasi dan interaksi dengan spesies lain.
Dengan demikian biologi molekuler merupakan bidang kajian yang
mengadung unsur biokimia maupun biofisika dan hanya dapat dibahas dengan
baik apabila cukup memiliki penguasaan bidang biologi secara mendasar.
Berkaitan dengan mengungkap peristiwa evolusi pada tingkat genom, maka perlu
dikajai dari aspek genetika dan Biologi molekuler untuk menjawab pertanyaan
apa dan bagaimana evolusi dapat terjadi pada tingkat genom. Hingga saat ini,
genom hanya dapat dipelajari secara tidak langsung, dengan menggunakan
rangkaian genomik parsial dan kadang-kadang tidak representatif. Situasi ini
berubah dengan cepat ketika rangkaian genomik yang sempurna sudah ada.
Genom-genom pertama organel yang diurutkan; pertama rangkaian mitokondria
sempurna (~17.000 bp) dipublikasikan pada tahun 1981, dan genom kloroplas
2. Untuk mengetahui masalah keteraturan gen dan dinamika perubahan evolusi
dalam hubungannya dengan keteraturan gen
D. Manfaat
Manfaat dari makalah ini yaitu:
1. Dapat mengetahui mengetahui adanya variasi ukuran genom di antara
organisme
2. Dapat mengetahui masalah keteraturan gen dan dinamika perubahan evolusi
dalam hubungannya dengan keteraturan gen
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. VARIASI UKURAN GENOM DI ANTARA ORGANISME
1. Nilai C
Pada organisme haploid seperti bakteri, ukuran genom ditunjukkan oleh
total jumlah DNA di dalam genom. Pada organisme diploid ataupun poliploid,
ukuran genom didefinisikan sebagai jumlah DNA dalam genom haploid yang
tidak direplikasi, seperti halnya pada inti sperma. Ukuran genom juga disebut nilai
C, dimana C diartikan sebagai “konstan” atau “karakteristik” yang menunjukkan
kenyataan bahwa ukuran genom haploid menunjukkan variabilitas intraspesifik
yang kecil, yang cukup konstan dalam setiap satu spesies. Sebaliknya, nilai C
memiliki variasi yang luas dari spesies satu ke spesies yang lain baik pada
prokariot maupun eukariot.
Ukuran genom inti pada eukariota biasanya diukur dalam picogram (pg)
DNA (1 pg = 10-12 g). Genom prokariotik yang lebih kecil umumnya diukur dalam
dalton, unit atom relatif atau massa molekular. Masih dengan ukuran genom yang
lebih kecil, seperti organel dan virus, sama besarnya dengan ukuran spesifik
untaian DNA atau RNA, yang biasanya dinyatakan dalam base pair (bp) atau
kilobase pairs (Kb) (1 Kb = 1000 bp). Sekuen genom yang lengkap dinyatakan
dalam megabase pairs (1 Mb = 1000 Kb). Untuk menghindari kebingungan, lebih
sering digunakan bp dan Kb. Perhatikan Tabel 2.1 sebagai berikut.
Tabel 2.1. Faktor Konversi Ukuran Genom Organisme
Unit Faktor Konversi
Picograms Dalton Base Pairs
Picogram 1 6,02 x 1011 0,98 x 109
Dalton 1,66 x 10-12 1 1,62 x 10-3
Base Pair 1,02 x 10-9 618 1
2. Evolusi Ukuran Genom pada Prokariot
4
Ukuran genom bakteri bervariasi berkisar antara 20-30 kali, dari yang
terkecil yakni 6x105 bp pada beberapa intraseluler parasit obligat, sampai lebih
dari 107 bp pada beberapa spesies cyanobakteri (Tabel 2.2).
Tabel 2.2 Kisaran Nilai C pada Beberapa Prokariot.
Genom terkecil yang diketahui adalah patogen urogenital, Mycoplasma
genitalium, yang mengandung sekitar 470 gen pengkode protein, 3 gen rRNA
spesifik, dan 33 gen tRNA spesifik. Informasi genetik yang terkandung di
dalamnya dipercaya hanya sebagian kecil yang dibutuhkan untuk kehidupan.
Jumlah gen di bakteri lainnya berkisar 500-8000 (kira-kira 20 kali lipat). Dengan
kata lain, variasi jumlah gen adalah sama dengan variasi pada nilai C.
Rata-rata ukuran gen pengkode protein pada bakteri adalah sekitar 1 Kb,
ukuran fraksi gen pada genom diperkirakan berkisar antara 500 Kb hingga sekitar
104 Kb. Kita dapat menyimpulkan bahwa prokariot tidak mengandung DNA
nongenik dalam jumlah yang besar. Memang, mayoritas sekuen pengkode protein
pada spesies bakteri lebih banyak mencapai 87-94% dari genom, sehingga fraksi
nongenik nampak sedikit lebih kecil.
Gambar 2.1. Hubungan antara jumlah gen dan ukuran genom pada sekuen lengkap spesies eubakteria dengan 12 genom sirkuler dan satu genom linier.
5
Genom bakteri dibagi menjadi 3 fraksi yaitu (1) DNA kromosomal, (2)
DNA yang berasal dari plasmid, dan (3) transposableelements. Fraksi
kromosomal mengandung gen pengkode protein yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan dan fungsi metabolisme (90-95%), pengaturan jarak dan jenis sinyal
(~5%), gen spesifik RNA (~1%), dan jumlah dari sekuen berulang, umumnya
pada urutan panjang beberapa pasang basa. Beberapa bakteri mungkin membawa
plasmid sebagai elemen genetik ekstrakromosomal. Pada beberapa contoh, gen
diturunkan dari plasmid yang ditemukan menyatu pada koromosom bakteri.
Transposable elements umumnya merupakan komponen dari genom bakteri.
Sebagai contoh, wild strain dari Eschericia coli mengandung 1-10 kopi pada
paling sedikit dari 6 tipe yang berbeda dari sekuen insersi (penyisipan). Fraksi
nongenik dari genom (mencakup sekuen insersi, termasuk plasmid dan
bekteriofag yang diturunkan dari gen) nampak pada satu urutan yang ukurannya
lebih kecil dari fraksi kromosom. Yang lebih menarik, pada semua spesies bakteri
yang memiliki sekuen genom yang lengkap, kami juga menemukan petunjuk
untuk gen fungsional yang ditemukan melalui transfer gen horisontal. Pada
banyak kasus, transfer gen horisontal telah disimpulkan melalui daerah unik
kandungan GC dan pemanfaatan kodon.
Semenjak dikemukakan pembahasan antara ukuran genom dan filogeni
bakteri, hal ini mendukung bahwa bertambahnya ukuran genom secara
berkelanjutan terjadi pada garis keturunan bakteri (Wallace dan Morowitz 1973).
Penggunaan filogeni bakteri sebagai dasar untuk membandingkan sekuen rRNA,
Herdman (1985) menghubungkan perubahan dalam ukuran genom yang
dipergunakan dalam sejarah filogeni. Hasil penyelidikan ini mengindikasikan
bahwa bertambahnya ukuran genom terjadi secara independen atau bebas pada
beberapa garis keturunan bakteri. Menariknya, bahwa banyak pertambahan
ukuran genom terjadi secara kebetulan pada beberapa garis keturunan bakteri dan
pada spesifik waktu yang lain dari sejarah evolusi di planet, yakni pada saat
jumlah oksigen di atmosfer bumi tidak dapat diperkirakan, kira-kira 1,8 milyar
tahun yang lalu.
Distribusi ukuran genom pada bakteri dapat dijelaskan melalui kombinasi
beberapa proses: (1) banyak gen independen dan duplikasi operon, (2) delesi
6
dalam skala kecil dan insersi, (3) transposisi duplikatif, (4) transfer horisontal gen
terutama dari plasmid dan bakteriofag, tetapi juga dari spesies lain, dan (5)
hilangnya ujung masif DNA dalam sebagian besar parasit.
3. Genom Minimal
Pencarian genom dari “wujud replikasi autonom terkecil” telah dimulai pada
akhir 1950an oleh Morowitz dan rekannya. Dimulai dengan mempelajari
Mollicutes, yang mana merupakan organisme seluler dengan genom terkecil dan
jumlah gen terkecil di alam. Tidak ada bukti, bagaimanapun juga bahwa 468 gen
pengkode protein dalam M. genitalium benar-benar mewakili kebutuhan minimal
untuk mempertahankan hidup. Ada kemungkinan bahwa derajat tertentu
redundansi genetik ada bahkan dalam genom yang paling efisien. Berikut ini akan
dijelaskan dua pendekatan untuk menyimpulkan set gen minimal untuk kehidupan
selular.
a) Pendekatan Analitis
Perkiraan awal komplemen gen minimal dilakukan dengan mengidentifikasi
himpunan semua gen ortolog yang umum untuk sekelompok organisme. Salah
satu contohnya, mengenai perbandingan proteomes E. coli, H. influenzae, dan M.
genitalium, ditunjukkan pada Gambar 2.2. Dari perbandingan, dapat disimpulkan
perkiraan gen minimal ialah 239 gen.
Gambar 2.2 Diagram venn ortolog yang umum untuk gen pengkode protein antara tiga spesies bakteri. M.genitalium dan H.influenzae memiliki 240 kesamaan orthologs, M.genitalium dan E.coli memiliki 257, dan H.influenzae dan E. coli memiliki1,128. Terdapat 239 orthologs yang umum untuk ketiga spesies.
7
Dalam penambahan pada gen pengkode protein, pada beberapa gen vital
harus disertakan perangkat minimal. Gen ini tidak dapat diidentifikasi pada tahap
pertama analisis karena adanya fenomena “pemindahan gen nonorthologous”,
yang salah satu bentuk konvergen fungsionalnya terbawa ketika digunakan dalam
protein yang tidak mempunyai hubungan untuk menunjukkan beberapa fungsi
yang vital (Gambar 2.3).
Gambar 2.3 Sebuah skenario hilangnya gen diferensial untuk perpindahan gen nonortholog. Berasal dari nenek moyang yang memiliki dua protein (lingkaran dan segitiga) melakukan fungsi serupa. Pengkodean gen salah satu dari mereka hilang dalam keturunan1, sedangkan yang lainnya hilang dalam keturunan 2. hasilnya adalah konvergensi fungsional
Dari pendekatan ini, perangkat gen minimal yang telah ditemukan
mencakup: (1) sebuah sistem yang hampir sempurna dari translasi; (2) mesin
replikasi DNA yang hampir lengkap; (3) sebuah perangkat dasar dari gen untuk
rekombinasi dan perbaikan DNA; (4) sebuah perangkat transkripsi yang terdiri
dari empat unit RNA polimerase; (5) seperangkat besar protein penjaga; (6)
sedikit gen pengkode protein yang terlibat dalam metabolisme anaerob; (7)
beberapa gen yang mengkode enzim untuk lemak dan biosintesis kofaktor; (8)
beberapa protein transport pada transmembaran; dan (9) seperangkat dari 18
protein yang tidak diketahui fungsinya. Yang perlu diperhatikan pada perangkat
minimal ini tidak mengandung mesin esensial untuk biosintesis asam amino dan
8
nukleotida, yang sebelumnya dipercaya harus sudah didapatkan dari lingkungan
dalam bentuk “siap pakai”.
b) Pendekatan Eksperimental
Sebuah pendekatan eksperimental untuk masalah genom dengan 79 lokus
pengkode protein terpilih secara acak pada bakteri gram positif Bacillus subtilis
yang keluar melalui mutagenesis (Gambar 2.4). Mutasi yang hanya pada 6 dari
semua lokus membuat B. subtilis tidak mampu tumbuh dan membentuk koloni,
sementara mutan pada sisa 73 lokus mempertahankan kemampuannya untuk
membelah. Hanya tiga dari enam lokus keluar mengkode protein yang telah
diidentifikasi secara jelas fungsinya. Ini adalah dnaA dan dnaB, yang terlibat
dalam inisiasi pada replikasi DNA, dan rpoD, yang merupakan bagian hasil dari
sintesis RNA.
Gambar 2.4 Lokasi genomik dari 79 lokus yang dipilih secara acak (baris) dalam Bacillus subtilis yang telah tersingkir oleh mutagenesis. Enam lingkaran yang solid menunjukkan lokus yang sangat diperlukan, tiga yang teridentifikasi
Untuk memastikan keluarnya gen yang tidak mempengaruhi pertumbuhan
berlebihan yang bukan famili multigen, bakteri juga menunjukkan berbagai
mutasi. Menariknya, bahkan ketika 33 lokus yang tidak mampu secara simultan,
bakteri dan turunannya mempertahankan kemampuan mereka untuk membentuk
koloni. Maka, 73 dari 79 gen diduga benar-benar tidak diperlukan, selama hanya
sekitar 7,5% genom dianggap diperlukan. Panjang genom B. subtilis adalah 4,2 x
106 bp, dan diasumsikan bahwa perbandingan genom yang diperlukan dibanding
gen yang tidak diperlukan adalah sama, panjang genom yang diperlukan
diperkirakan mencapai 4,2 x 106 x 0,075 = 3,2 x 105 bp. Memakai 1,25 Kb sebagai
ukuran rata-rata dari gen pengkode protein, kita peroleh sebuah perkiraan
9
perangkat minimal gen dari 320.000/1.250 = 254 gen. Mengingat bahwa analitis
dan pendekatan eksperimental menggunakan metodologi dan data yang tidak
terkait, kesesuaian antara kedua hasil tersebut sangatlah menakjubkan.
4. Miniaturisasi Genom
Beberapa kesimpulan umum telah dicapai pada pokok bahasan evolusi
morfologi. Pada perbandingannya, salah satu aturan terkecil yang jelas dapat
disimpulkan mencakup pengaruh dari tidak digunakannya tingkatan molekuler:
reduksi drastis pada ukuran genom (miniaturisasi genom) selalu diasosiasikan
dengan kehilangan fungsi. Khususnya, bentuk hidup parasit atau endosimbiotik
yang ditemukan mempengaruhi ukuran genom secara mendalam dan jika kita
melihat sebelumnya, genom bakteri terkecil yang dimiliki oleh parasit
endoseluler. Miniaturisasi genom mungkin terjadi melalui dua proses: transfer gen
atau gen yang hilang. Penjelasan berikutnya terkait dengan reduksi ukuran genom
yang dikarenakan endosimbiosis dan parasit secara terpisah.
a) Reduksi Ukuran Genom yang Mengiringi Endosimbiosis
Miniaturisasi menyeluruh pada genom mengikuti kejadian endosimbiosis
yang memunculkan peristiwa pada mitokondria dan kloroplas. Beberapa organela
kemungkinan redundan dan hilang tanpa adanya penggantian melalui delesi;
lainnya ditransfer secara massal menuju genom inti.
Selain mitokondria dan kloroplas, banyak organela eukariotik lain yang
diturunkan melalui endosimbiosis di antara organisme independen. Margulis, dkk
(1979) mengusulkan bahwa flagel, silia, dan organel yang lain dari sel motil
diturunkan dari spirochetes yang lalu diasosiakan bersimbiosis dengan nenek
moyang eukariot. Jika usulan tersebut ternyata benar, maka organel ini harus telah
mengalami miniaturisasi genom maksimal yaitu, mereka telah kehilangan seluruh
genom mereka.
Contoh menarik reduksi genom yang mengikuti endosimbiosis mencakup
Chlorarachniophyta, sekelompok amoeba berflagel yang memperoleh kapasitas
fotosintesis dengan menelan dan mempertahankan flagel alga hijau (kelas
sitoplasma, dan membran plasma. Sisa nukleus, yang disebut nukleomorph,
10
mengandung tiga kromosom linear kecil dengan jumlah total ukuran genom
haploid sekitar 380.000 bp, yang diketahui sebagai genom eukariot terkecil.
b) Reduksi Ukuran Genom pada Parasit
Parasitisme melibatkan hubungan yang intim antara dua organisme: sebuah
inang yang menyediakan banyak keperluan metabolik dan fisiologis bagi yang
lain, yaitu yang memparasit. Parasitisme selalu mengakibatkan kehilangan fungsi
genetik pada parasit dan sebagai akibatnya reduksi pada ukuran genom. Sebagai
contoh, tumbuhan Epiphagus virginiana, sebuah parasit nonfotosintesis keluarga
dari lavender, basil, dan catnip, yang mempunyai genom kloroplas sangat kecil
(~70.000 bp) yang mengandung hanya 42 gen. Dapat dipahami, semua gen untuk
fotosintesis dan klororespirasi tidak tersedia. Belum jelas, mengapa semua
kloroplas yang dikode gen RNA polimerase, gen pengkode protein ribosom dan
banyak gen sepesifik tRNA juga dihilangkan.
5. Ukuran Genom pada Eukariot dan Nilai C Paradox
Nilai C pada eukariot biasanya lebih besar daripada prokariot, tetapi ada
pengecualian. Contohnya, yeast S. cerrevisiae mempunyai genome yang
ukurannya hampir sama dengan beberapa bakteri gram positif, seperti
Streptomyces coelicolor dan S. rimosus, dan lebih kecil dari kebanyakan spesies
Cyanobacteria terutama genus Calothrix. Namun, karena genom inti eukariotik
berasal dari replikasi ganda sementara prokariota sekiranya hanya memiliki satu,
eukariota dapat mengalami replikasi DNA dalam jumlah yang lebih besar dari
DNA tiap satuan waktu dari pada prokariota. Variasi nilai C dalam eukariot jauh
lebih besar dari pada bakteri, dari 8,8 x 106 bp sampai 6,9 x 1011 bp, kira-kira
80.000 kali lipat (Tabel 2.3).
Tabel 2.3 Kisaran Nilai C pada Beberapa Kelompok Eukariot
Takson Genome Size Range (Kb)Ratio
(Highest/Lowest)
All Eukaryotes 8,800-686,000,000 77,955
Alveolata 23,500-201,000,000 8,553
Apicomlexians 9,400-201,000,000 21,383
Ciliates 23,500-8,620,000 367
11
Dinoflagellates 1,370,000-98,000,000 72
Diatoms 35,300-24,500,000 694
Amoebae 35,300-686,000,000 19,433
Euglenozoa 98,000-2,350,000 24
Fungi 8,800-1,470,000 167
Animals 49,000-139,000,000 2,837
Sponges 49,000-53,900 1
Cnidarians 323,000-715,000 2
Aschelminthes 80,000-2,450,000 31
Annelida 882,000-5,190,000 6
Mollusks 421,000-5,290,000 13
Crustaceans 686,000-22,100,000 32
Insects 98,000-7,350,000 75
Echinoderms 529,000-3,230,000 6
Non-vertebrate chordates 157,000-1,470,000 9
Agnathes 637,000-2,790,000 4
Elasmosbranch 1,470,000-15,800,000 11
Bony Fishes 340,000-139,000,000 409
Amphibians 931,000-84,300,000 91
Reptiles 1,230,000-5,340,000 4
Birds 1,670,000-2,250,000 1
Mammals 1,700,000-6,700,000 4
Monotremes 3,470,000-3,700,000 1
Marsupials 3,470,000-4,560,000 1
Placentals 1,700,000-6,700,000 4
Plants 50,000-307,000,000 6,140
Algae 80,000-30,000,000 375
Pteridophytes 98,000-307,000,000 3,133
Gymnosperms 4,120,000-76,900,000 17
Angiosperms 50,000-125,000,000 2,500
12
Menariknya, variasi interspesifik yang sangat besar dalam ukuran genom di
antara eukariotik tampaknya tidak berhubungan dengan kekompleksan organism
atau jumlah kemungkinan gen yang dikode oleh organisme. Contohnya, beberapa
protozoa uniseluler memiliki lebih banyak DNA dari pada mamalia, yang
diperkirakan lebih komplek. Organisme yang memiliki kemiripan morfologi dan
anatomi yang komplek (bawang dan lili, Paramecium aurelia dan P. caudatum)
menunjukkan luasnya perbedaan nilai C. Kurangnya kecocokan antara nilai C dan
banyaknya perkiraan dari informasi genetik membuat genom menjadi lebih
dikenal dalam literatur sebagai nilai C paradox. Nilai C paradox juga terbukti
dalam perbandingan beberapa spesies (spesies yang morfologinya sangat mirip
antara yang satu dengan yang lain sehingga tidak dapat dibedakan fenotipnya).
Karena itu tidak dapat diasumsikan bahwa organisme memiliki DNA kurang dari
jumlah yang dibutuhkan untuk fungsi-fungsi vitalnya, harusnya dijelaskan
mengapa tampaknya begitu banyak spesies mengandung kelebihan DNA yang
cukup besar.
Pertanyaan pertama untuk mengklarifikasi apakah ada hubungan antara
ukuran genom dengan jumlah gen. Dengan kata lain, perbedaan khusus dalam
ukuran genom dapat disebabkan oleh DNA genik dan DNA nongenik? Jika
variasi nilai C disebabkan oleh gen, maka variasi nilai C dapat dibedakan ke
dalam 1). Jumlah protein-pengkode gen, 2). Ukuran protein, 3). Ukuran protein-
pengkode gen, 4). Jumlah dan ukuran gen lain dari protein pengkode.
Tanpa adanya penentuan sekuen genom yang sepenuhnya, pemastian jumlah
gen dalam spesies adalah tugas yang sangat sulit. Pada gen pengkode protein,
dilakukan dengan menggunakan elektroforesis gel dua dimensi, protein
dipisahkan oleh tekanan pada dimensi pertama dan oleh titik isoelektrik (pH pada
protein tidak bermuatan) pada dimensi kedua. Hasilnya adalah kumpulan bintik
yang ukurannya berbeda-beda yang tersebar ke seluruh gel. Jumlah bintik tersebut
akan membantu kita dalam memperkirakan jumlah protein dalam sebuah sel. Pada
kenyataannya pemisahan tersebut sulit terjadi, biasanya bintik yang terbentuk
biasanya kurang jelas atau suram. Jumlah gen yang ditentukan dengan metode ini
biasanya diremehkan. Contohnya, jumlah protein-pengkode gen pada S.
cerrevisiae telah diperkirakan dengan elektroforesis dua dimensi sekitar 3.000.
13
Jumlah protein-pengkode gen bisanya dikenali dalam unting genom lebih dari dua
kali (sekitar 6.200 gen). Meskipun demikian kita tetap menggunakan perkiraan
yang berasal dari beberapa metode untuk menyamakan tujuan, kita juga dapat
menggunakan jumlah ini sebagai indikator relatif dari jumlah gen yang benar.
Jumlah protein pengkode gen pada eukariot biasanya hampir melebihi 50
kali lipat. Variasi ini tidak cukup jelas untuk menjelaskan mengenai 80.000 kali
lipat variasi dalam DNA inti. Jumlah gen berkorelasi positif dengan kompleksitas
sedangkan ukuran genom tidak. Kompleksitas adalah variabel yang sulit
didefinisikan, variasi khusus pada rantai molekul mRNA menjelaskan tentang
nilai C paradox. Sementara perbedaan kecil pada daerah pengkode dan non-
pengkode diantara organisme yang berbeda, tidak ada hubungannya dengan
panjang gen dan ukuran genom. Contohnya mRNA hanya sedikit lebih panjang
pada organisme multiseluler daripada protista (1.400-2.200 bp dibanding 1.200-
1.500 bp). Meskipun demikian organisme dengan genom yang lebih besar tidak
selalu menghasilkan protein yang lebih besar. Perbedaan pada ukuran gen
(panjang intron dan daerah non-kode lainnya) tidak dapat menunjukkan jumlah
variasi pada ukuran genom. Gen hewan 3-7 kali lebih panjang dibandingkan
panjang rata-rata gen protista dan gen dari vertebrata 2-4 kali lebih besar daripada
semua invertebrata, tidak ada hubungan antara ukuran genome dan rata-rata
panjang gen.
Mengenai jenis lain dari DNA genik, berkorelasi positif antara duplikat dari
beberapa RNA-gen spesifik dan ukuran genom. Korelasi tersebut tampak pada
ukuran genom dan jumlah copian dari gen yang tidak diterjemahkan yang terlibat
dalam replikasi kromosom segregasi, dan rekombinasi selama miosis dan mitosis.
Meskipun demikian gen hanya menyusun fraksi dari genom, misalnya variasi
pada jumlah RNA-gen spesifik dan gen yang tidak diterjemahkan tidak dapat
menjelaskan adanya variasi pada ukuran genom.
Cara lain untuk membandingkan jumlah gen antara dua genom adalah
membandingkan polysomal polyadenilated RNA complexity. Panjang total dari
berbagai molekul mRNA dihasilkan oleh suatu jaringan khusus. Perbandingan ini
juga menunjukkan tidak adanya korelasi antara jumlah gen dan ukuran genome.
Contohnya polysomal RNA complexity pada hati ayam adalah 2 x 10 nukleotida,
14
sedangkan polysomal RNA complexity pada hati tikus adalah setengah dari
jumlah pada hati ayam, walaupun pada kenyataannya ukuran genom pada tikus
lebih dari dua kali ukuran genom ayam.
Ringkasnya, fraksi DNA nongenik sebagai pelaku tunggal untuk nilai C
paradoks. Dengan kata lain, sebagian besar dari genom eukariotik terdiri dari
DNA yang tidak mengandung informasi genetik. Telah diperkirakan bahwa
jumlah DNA nongenic pergenom bervariasi pada eukariotik sekitar 3.0 x 103 Kb
sampai 108 Kb (kisaran 300.000 kali lipat) dan tersusun kurang dari 30% sampai
99,998% dari genom.
6. Mekanisme Kenaikan Global pada Ukuran Genom
Dalam upaya untuk menjelaskan keberadaan sejumlah besar DNA nongenic
dalam genom eukariota, pertama harus mengetahui proses yang dapat menuju
peningkatan ukuran genom. Peningkatan genom dibedakan atas dua jenis, yaitu
(1) kenaikan global, di mana terjadi duplikasi pada seluruh genom atau dari
bagian utamanya, seperti kromosom dan (2) peningkatan daerah, di mana urutan
tertentu dilipat gandakan dengan menghasilkan DNA berulang.
a. Polyploidi
Sejak genom eukariot bertambah besar secara signifikan pada semua
bakteri, evolusi eukariot dari prokariot sebagai nenek moyangnya telah
menyebabkan pertambahan ukuran genom. Ada beberapa mekanisme molekuler
yang dapat menyebabkan peningkatan ukuran genom. Salah satunya adalah
mekanisme polyploidisasi, yaitu penambahan satu set kromosom atau lebih. Satu
organisme yang memiliki sel mengandung 4 kopian dari autosom lain dinamakan
tetraploid, satu dengan enam copian dinamakan hexaploid dan seterusnya. Gamet
dari organisme polyploid tidak haploid, dan gamet dengan jumlah autosom ganjil,
misalnya tanaman pisang triploid (Musa acuminata) tidak dapat mengalami
meiosis dan reproduksi seksual.
Ada dua tipe utama dari polyploidy: allopolyploidy keadaan yang muncul
dari turunan kromosom tertentu dan autopolyploidy pembelahan berkali-kali dari
serangkaian kromosom dasar. Allopolyploidy umumnya terdapat pada tanaman.
Contohnya gandum (Triticum aestivum) adalah sebuah allohexaploid yang terdiri
15
dari tiga set kromosom yang berasal dari tiga macam spesies diploid (Aegilops).
Pada bagian ini dapat ditemukan adanya autotetraploidy (tetraploid sederhana),
yang juga disebut dengan duplikasi genom atau genom ganda. Penggandaan
genom terjadi sebagai akibat dari kurangnya pemisahan kromosom betina selama
replikasi DNA.
Tetraploid adalah mutasi yang sering terjadi di alam. Sebenarnya tetraploid
somatik dijumpai hampir pada seluruh organisme, meliputi protista, alga,
tumbuhan, moluska, insekta, dan mamalia. Meskipun demikian dalam sejarah
evolusi sangat jarang sekali tetraploid yang dapat bertahan hidup. Alasannya pada
beberapa kasus tetraploid bersifat merugikan dan akan diseleksi lebih ketat lagi.
Pengaruh yang merugikan tersebut meliputi: 1) semakin lamanya waktu
pembelahan sel, 2) pertambahan volume nukleus, 3) pertambahan jumlah
kromosom yang memisah selama meiosis, 4) ketidakseimbangan genetik, 5)
percampuran diferensiasi seksual terjadi saat jenis kelamin suatu organisme
ditentukan oleh sebab lain di antara jumlah kromosom kelamin dan jumlah
autosom (pada Drosophila) atau oleh urutan poliploid (pada Hymenoptera).
Pada beberapa kasus, tetraploid (tingkat poliploid yang lebih tinggi) tampak
tidak berpengaruh pada fenotip, contohnya diploid dan poliploid spesies
Chrysantemum mengalami perubahan jumlah kromosom dari 18 sampai 198,
meskipun demikian kebanyakan dari mereka tidak dapat dibedakan antara yang
satu dengan yang lainnya. Keadaan yang sama juga ditemukan pada roses (Rosa),
katak leptodactyl (Odontophrynus), dan ikan emas (Carasius). Kejadian pada
beberapa kasus mungkin menguntungkan. Contohnya pada tanaman, poliploidi
mengurangi hibrid yang tidak subur dan pada beberapa kasus tanaman yang
habitatnya di tebing dapat bereproduksi melalui penyerbukan sendiri.
Pada awal pembentukan tetraploid, tidak membahas mengenai pertambahan
nilai C, karena nilai ini mengacu pada ukuran genom haploid dan tidak tergantung
pada tingkat poliploid. Meskipun demikian, sebagai dua genom yang tidak
mengalami mutasi, translokasi, pengaturan kromosom, dan perubahan jumlah
kromosom, mereka mungkin akan menjadi sebuah genom tunggal yang baru,
keadaan tersebut dinamakan cryptopoliploid. Dengan kata lain poliploid purba
16
menjadi berbeda dengan diploid. Cryptopoliploid menjelaskan jumlah dari variasi
ukuran genom pada tanaman, amfibi, dan ikan bertulang (Tabel 2.3).
Distribusi polymodal dari ukuran genom telah terdaftar pada beberapa
kelompok eukariot. Hal ini terdapat pada monokotiledon dimana ukuran genom
menunjukkan suatu distribusi polymodal dengan puncak pada 0,60 x 106, 1,18 x
106, 4,51 x 106, dan 8,53 x 106 Kb (Gambar 2.5). Distribusi yang sama telah
diamati pada echinodermata, serangga, dan fungi, dan jumlahnya lebih kecil
daripada dalam amfibi dan ikan bertulang. Dengan demikian, duplikasi genom
tampaknya menjadi mekanisme utama dari evolusi dalam ukuran genom pada
eukariot. Menariknya, setiap lingkaran dari duplikasi genom telah melibatkan
sebagian kecil DNA yang hilang, seperti jumlah DNA setelah setiap lingkaran lain
ditambahkan oleh faktor ringan yang lebih kecil dari dua.
Genom mamalia kira-kira 1.000 kali lebih besar daripada genom bakteri dan
diasumsikan bahwa genom duplikat bertanggung jawab dalam perbesaran genom,
dapat disimpulkan bahwa kira-kira hanya sepuluh lingkaran genom duplikat yang
diperlukan untuk memperbesar genom dari ukuran bakteri primordial ke ukuran
mamalia yang sekarang. Duplikasi genom terjadi rata-rata sekali setiap 300-350
juta tahun. Di sisi lain, DNA yang meningkat secara terus menerus menyebabkan
penambahan potongan kecil dari DNA, yang dapat diartikan transposisi atau
pindah silang, kemudian laju pertumbuhan genom berkembang dari ukuran
bakteri ke ukuran mamalia seharusnya sekitar 6-7 nukleotida per tahun.
Bagaimana pun juga duplikasi genom dan penambahan nukleotida bukan proses
yang saling menguntungkan.
17
Gambar 2.5 Distribusi frekuensi ukuran genom dalam 80 spesies rumput (Family Poaceae). Puncak dalam distribusi multimodal ditandai dengan anak panah. Diketahui bahwa absis adalah dalam skala logaritmik.
Selama polyploidisasi, hilangnya duplikat gen terjadi sangat cepat. Contoh
yang umum adalah gandum Triticumaestivum merupakan allohexaploid yang
yang ada sekitar 10.000 tahun yang lalu. Dalam waktu yang singkat beberapa
lokus rangkap tiga menghilang. Diperkirakan bahwa proporsi enzim yang
dihasilkan oleh lokus triplet, duplet, dan tunggal pada gandum masing-masing
57%, 25%, dan 18%.
Poliploidi dapat menjadi suatu faktor penting dalam spesiasi. Khususnya
reproduksi seksual autotetraploid yang secara otomatis diisolasi dari nenek
moyang yang diploid karena mereka menghasilkan gamet diploid, dan akan
keturunan triploid. Seperti yang disebutkan sebelumnya, organisme dengan
jumlah autosom ganjil tidak dapat bereproduksi secara seksual, sehingga
poliploidi menggambarkan mekanisme efektif bagi isolasi reproduksi.
b. Polisomi
Aneuploidi mengacu pada kondisi dimana jumlah kromosom dalam sel
bukan merupakan kelipatan integral dari tipe susunan haploid untuk spesies.
(Euploidy mengacu pada sejumlah kromosom yang merupakan kelipatan yang
tepat dari jumlah kromosom haploid). Karena berhubungan dengan mekanisme
yang bertanggung jawab terhadap peningkatan ukuran genom, maka hanya ada
dua tipe aneuploidi yaitu duplikasi dari kromosom yang kompleks (polisomi) dan
duplikasi dari bagian utama kromosom (polisomi parsial).
Polisomi lebih sering merugikan, misalnya pada mamalia yang sering
dikaitkan dengan keletalan dan infertilitas. Pada manusia contoh polysome yaitu
sindrom Down’s (trisomy 21) dan trysomy 18. Demikian pula, kerusakan parah
dari manifestasi ini sering dikaitkan dengan polisomi parsial (misalnya sindrom
mata kucing). Oleh karena itu, duplikasi kromosom baik yang secara keseluruhan
atau yang sebagian tidak memberi kontribusi signifikan untuk meningkatkan
ukuran genom.
18
c. Genome Yeast: Tetraploidi atau Daerah Duplikasi?
Saccharomyces cerevisiae telah lama dicurigai sebagai sebuah crypto
tetraploid. Secara sistematik hasil pencarian proteomeragi lengkap untuk wilayah
yang diduplikasi ditunjukkan pada Gambar 2.6. Kriteria yang digunakan untuk
mendefinisikan dua daerah duplikasi ialah: (1) Sebuah sekuen yang sama diantara
dua wilayah yang bergabung dengan kemungkinan lebih kecil dari 10-18 secara
kebetulan. (2) Setidaknya terdapat tiga gen yang sama, dengan jarak intergen
kurang dari 50 Kb. (3) Konservasi urutan gen dan relatif berorientasi pada gen.
Berdasarkan kriteria ini, Wolfe and Shields (1997) mengidentifikasi 54 bagian
non-overlapping dari bentuk wilayah yang berduplikasi sekitar 50% dari genom
yeast (Gambar 2.6).
19
Gambar 2.6 Lokasi dari 54 daerah duplikasi yang tidak tumpang tindih (kotak yang solid) dalam genome yeast. Terdapat dua salinan pada tiap daerah duplikasidiberikan nomor yang sama dibawah kotak masing-masing (jumlah yang ditunjukkan dalam urutan kejadian kromosomal). Jumlah gen homolog dalam tiap daerah duplikasi ditunjukkan pada kotak diatasnya. Jumlah kromosom diberikan dalam angka romawi.
Terdapat dua kemungkinan penjelasan untuk pengamatan tersebut, yaitu (1)
daerah yang diduplikasi dibentuk secara mandiri dengan banyak duplikasi
regional yang terjadi pada waktu yang berbeda selama evolusi S. cerevisiae, atau
(2) daerah duplikasi yang dihasilkan secara simultan dengan kejadian tunggal
tetraploidisasi, diikuti dengan penataan ulang genom dan hilangnya banyak gen
duplikasi redundan. Terdapat dua alasan yang mendukung model yang terakhir.
Pertama, 50 di daerah yang diduplikasi telah mempertahankan orientasi yang
sama dengan mengarah ke sentromer. Yang kedua, berdasarkan pada distribusi
Poisson, 54 daerah duplikasi independen yang diharapkan dapat menghasilkan
sekitar 7 daerah triplikasi, tetapi tidak ada yang diamati.
Wolfe dan Shields (1997) mengemukakan bahwa S. Cerevisiae pada masa
lalu sebagai individu tetraploid, dibentuk dari fusi 2 nenek moyang genom khamir
diploid, masing-masing berisi 5000 gen. Hal tersebut diperkirakan terjadi kira-kira
100 juta tahun yang lalu pada 4 nenek moyang spesies Saccharomyces setelah
penyimpangan dari S. kluyveri. Spesies baru kemudian menjadi cryptotetraploid
dan kira-kira 92% dari duplikasi sekuen gen yang hilang atau delesi. Terdapat 70-
100 gangguan pemetaan (misalnya translokasi secara regional) yang disimpulkan
dapat menjelaskan distribusi kromosom yang terjadi saat duplikasi gen (Gambar
2.7).
20
Gambar 2.7 Skenario skematis dari jumlah gen dan evolusi urutan gen dalam penduplikasian genom seperti halnya pada yeast. Genom skematik ditunjukkan dengan dua kromosom (satu kotak) dan 26 gen (A sampai Z). Huruf besar dan huruf kecil digunakan untuk membedakan diantara dua rangkaian asli dari kromosom. Pada tahap terakhir, pengaruh dari kejadian rekombinasi dalam jangka waktu dua gen paralog yang ditunjukkan. Kejadian ini menghasilkan dua gen hibrid yang baru (ditunjukkan pada E dan e’) dan urutan gen yang baru.
d. Poliploidi dari Genom Vertebrata
Telah diketahui bahwa vertebrata memiliki gen lebih besar dari invertebrata.
Sebuah survei yang luas dari keluarga gen aldolases untuk zinc faktor transkripsi
yang mengungkapkan bahwa gen tunggal invertebrata biasanya berhubungan
hingga empat gen dengan vertebrata pada kromosom yang berbeda. Apalagi,
tampaknya bahwa urutan dari banyak salinan empat kali lipat yang berjarak sama
satu sama lain. Pola ini pertama kali diamati untuk kelompok gen Hox, tetapi
menurut Spring (1977), fenomena ini adalah umum. Ia mengemukakan hipotesis,
menurutnya munculnya vertebrata ini dimungkinkan oleh dua putaran
tetraploidization, sehingga terbentuk quadruplication genom. Dengan demikian,
vertebrata mungkin sebenarnya termasuk cryptooctoploids.
6. Pemeliharaan DNA Nongenik
Pertanyaan yang mendasar ialah apa fungsi DNA nongenik ini. Berbagai
usaha telah dilakukan untuk memecahkan paradoks nilai C, dan berikut akan
dijelaskan empat hipotesis dan bukti empiris yang bersangkutan.
a. Hipotesis
1). Hipotesis Seleksionis
Hipotesis Seleksionis yang menyatakan bahwa yang dikenal sebagai DNA
nongenik menunjukkan fungsi yang esensial seperti regulasi global pada ekspresi
gen. Menurut hipotesis ini, kelebihan DNA hanya semu dan DNA itu seluruhnya
21
fungsional. Akibatnya, jika terjadi delesi pada DNA akan mempengaruhi
kemampuan organisme.
2). Hipotesis Netralis
Hipotesis ini menyatakan bahwa fraksi DNA nongenik kurang berfungsi
secara genetika dan fisiologi. Ohno (1972) menyebut DNA ini sebagai sampah
DNA untuk menjelaskan ketidakberfungsiannya. Menurut pandangan hipotesis
ini, DNA nongenik hanya merupakan hasil kebetulan semata selama proses
evolusi dan tidak mempengaruhi kemampuan organisme, tetapi ini akan
diteruskan dari generasi ke generasi yang tak terbatas.
3). Hipotesis seleksionis intra genome
Hipotesis seleksionis intra genom menganggap DNA nongenik sebagai
"parasit fungsional" (Ostergren 1945), atau "Simbion genetik" (Cavalier-Smith
1983) yang terakumulasi digenom dan secara aktif dipertahankan oleh seleksi
intragenomik karena tingginya dalam tingkat reproduksi dibandingkan dengan
yang dari fraksi genom (Cavalier-Smith 1980). Pada literatur, adalah umum untuk
menemukan DNA selfish, sebuah istilah yang diterapkan pada fraksinongenik
(Orgel dan Crick1980; Doolittle dan Sapienza1980). DNA Selfish memiliki
duasifat yang berbeda: (1) akan muncul ketika urutan DNA menyebar dengan
membentuk salinan tambahan dari dirinya sendiri dalam genom, dan (2) baiknya
tidak membuat kontribusi khusus untuk kesesuaian organisme inang, atau yang
sebenarnya justru merugikan. Mekanisme utama untuk memperkuat DNA selfish
adalah transposisi duplikasi, dan yang paling umuma dalah elemen transposabel
dan retro-transposabel. Perbedaan penting antara DNA selfish dan DNA sampah
adalah bahwa sebelumnya mampu melakukan amplifikasi sendiri, sedangkan yang
kedua dilakukan secara pasif dalam genom. Jadi, DNA sampah dipertahankan
dalam populasi secara random, hanyutan genetik, sedangkan DNA selfish
dipertahankan oleh jenis insersi-delesi kesetimbangan semu, dimana proses
eliminasi oleh seleksi DNA selfish terlalu lambat untuk mengimbangi laju
akumulasi. DNA selfish memiliki kecenderungan meningkat dalam genom.
Namun, tidak dapat meningkat tanpa batas waktu, karena organisme dengan
jumlah DNA nongenic yang berlebihan akan dimetabolisme, dan karenanya
selektif, relatif merugikan untuk satu dengan jumlah yang kecil.
22
4). Hipotesis Nukleotipik
Hipotesis nukleotipik (Bennett, 1971) menghubungkan fungsi struktural
untuk DNA nongenik, yaitu, fungsi yang tidak berhubungan dengan sifatnya yang
membawa informasi genetik. Salah satu skema nukleotipik tersebut telah
diusulkan oleh Cavalier-Smith (1978,1985 a), yang berpendapat bahwa harus ada
suatu "kekuatan evolusi besar" yang mempertahankan genom besar. Hipotesis ini
menyatakan bahwa DNA bertindak sebagai "nukleoskeleton" yang
mempertahankan volume inti pada ukuran proporsional dengan volume
sitoplasma. Karena sel yang lebih besar membutuhkan inti yang lebih besar,
pilihan untuk volume sel tertentu secara sekunder akan menghasilkan pilihan
untuk ukuran genom tertentu. Menurut skema ini, kelebihan DNA dipertahankan
oleh seleksi, tetapi komposisi nukleotida dapat berubah secara acak. Banyak
fungsi nukleotipik tambahan telah dikaitkan dengan fraksi nongenik, tapi semua
hipotesis nukleotipik memiliki satu kesamaan; mereka semua menganggap genom
sebagai unit struktural dari arsitektur inti- sebuah blok bangunan yang terbuat dari
asam nukleat, bukan sekedar pembawa informasi genetik.
b. Bukti
Sangat sedikit sekali bukti tentang hipotesis seleksionis. Bahkan,
kebanyakan indikasi menjelaskan bahwa sebagian besar apa yang sekarang
dianggap DNA nongenik memang tidak memiliki informasi genetik, dan dapat
dihapus tanpa efek fenotipik yang jelas. Oleh karena itu tampaknya bahwa
kelebihan DNA pada eukariota tidak menghasilkan sistem metabolisme sampai
batas yang signifikan, dan bahwa kebutuhan (misalnya, dalam energi dan nutrisi)
akan mempertahankan dan mereplikasi sejumlah besar DNA nongenik yang tidak
berlebihan. Namun, mungkin ada beberapa kelemahan dalam mempertahankan
sejumlah besar DNA nongenik. Pertama, genom yang besar telah ditemukan
menunjukkan sensitivitas yang lebih besar untuk mutagen dari genom yang kecil
(Heddle dan Athanasiou,1975). Kedua, memelihara dan mereplikasi sejumlah
besar DNA nongenik mungkin mempersulit atau membebani organisme tertentu,
terutama ketika sebagian besar genom adalah nongenik. Oleh karena itu dapat
diterima bahwa DNA nongenik hanya dapat terkumpul sampai kebutuhan untuk
organisme bereplikasi menjadi signifikan.
23
Sangat sulit untuk membedakan antara hipotesis seleksionis intra genomik
dan hipotesis netralis dalam tingkatan konseptual, apalagi untuk menguji
berdasarkan data yang empirik. DNA selfish mungkin memang menjadi
kontributor utamadari DNA nongenik, meskipun ada mekanisme penting lainnya
untuk menghasilkan DNA tersebut. Namun, juga benar bahwa sebagian besar
fraksinongenik dari genom berasal dari DNA selfish tidak lagi diterima. Banyak
yang saat ini mengalami kondisi degenerasi elemen transposabel-dimana
dihadapkan pada kematian apabila tidak lagi mampu melakukan transposisi.
Membedakan antara eksperimen DNA sampah dan penjelasan
nucleoskeletal memang cukup sulit, Pagel dan Johnstone (1992) mengusulkan dua
ekspektasi yang berasal dari masing-masing dua teori, bahwa harga utama dari
DNA sampah adalah waktu yang diperlukan untuk melakukan penggandaan.
Organisme yang berkembang lebih lambat karena itu mungkin bisa
"mentoleransi" jumlah yang lebih besar dari DNA sampah, dan dengan demikian
korelasi negatif di seluruh spesies antara ukuran genom dan tingkat perkembangan
akan diperkirakan. Sebaliknya, perkiraan hipotesis nucleoskeletal adalah untuk
korelasi positif antara ukuran genom dan ukuran sel. Sayangnya, organisme
dengan sel yang besar juga cenderung berkembang secara perlahan, sedangkan
organisme yang lebih cepat tumbuh biasanya memiliki sel lebih kecil. Jadi,
menurut hipotesis DNA skeletal korelasi negatif antara tingkat perkembangan dan
nilai C juga diharapkan. Namun, menurut hipotesis nucleotypic, hubungan antara
tingkat perkembangan dan ukuran genom terjadi kemudian, sebagai akibat dari
hubungan antara tingkat perkembangan dan ukuran sel.
Pagel dan Johnstone (1992), mempelajari 24 spesies salamander. Ukuran
genom inti ditemukan berkorelasi negatif dengan tingkat perkembangan, bahkan
setelah penghapusan efek volume inti dan sitoplasmik. Namun, korelasi antara
ukuran genom, di satu sisi, dan volume inti dan sitoplasma, di sisi lain, menjadi
tidak signifikan dilihat dari statistik dengan adanya penghapusan nilai
perkembangan. Hasil ini mendukung teori DNA sampah. Apakah hasil Pagel dan
Johnstone tersebut merupakan fenomena umum atau terbatas pada satu
Salamander tidak diketahui saat ini (Martin dan Gordon 1995; Jockusch1997).
Tidak ada penjelasan tunggal yang memecahkan paradoks nilai C. Semua
24
mekanisme di atas, dan banyak tambahan yang-bekerja sendiri atau dalam sinergi
(Xia, 1995) dapat berkontribusi pada pemeliharaan ukuran genom berlebih, dan
tugas kita di masa depan adalah untuk menentukan kontribusi relatif masing-
masing.
c. Mengapa Spesies yang Sama Memiliki Ukuran Genom yang Berbeda?
Terdapat perbedaan dalam ukuran genom antara organisme yang terkait erat,
di mana paradoks nilai C tidak dapat dijelaskan dengan menerapkan fungsi
nukleotipik, karena tidak adanya perbedaan nukleotipik. Yang tersisa hanyalah
dua kemungkinan mekanistik: baik ada perbedaan dalam tingkat akumulasi DNA
sampah, atau ada perbedaan dalam tingkat organisme berbeda yang
menghilangkan DNA sampah.
Untuk waktu yang cukup lama telah diketahui bahwa genom spesies
Drosophila mengandung pseudogen yang sangat sedikit (Vanin 1985;Weiner
dkk1986;. Wildf 1986). Baru-baru ini, Fetrovdkk (1996) dan Petrov dan Hartl
(1998) menemukan bahwa kematian Helenaretroposons akibat kehilangan DNA
pada tingkat yang luar biasa tinggi selama evolusi. Mereka menempatkan dua dan
keduanya, serta menyarankan bahwa maraknya pengahapusan daerah DNA yang
tidak mengikuti tingkat kendala selektif, dan mereka lebih lanjut terekstrapolasi
pada tingkat penghapusan yang berbeda, bukan tingkat akumulasi, yang dapat
menyebabkan perbedaan dalam ukuran genom antara taksa. Asumsi mereka
adalah bahwa tingginya tingkat penghapusan tidak terbatas pada elemen Helena
sendiri, tetapi bahwa fenomena tersebut yang berlaku umum untuk semua wilayah
seleksi yang tidak terbatas.
Untuk menguji asumsi ini, mereka membandingkan ukuran intron di antara
dua spesies Drosophila. D.virilis memiliki genom dua kali lebih besar dari D.
melanogaster (Moriyama etal. 1998). Perbedaan ini dapat dikaitkan dengan
heterokromatin, tetapi bahkan jika faktor ini diperhitungkan, genom D.virilis
masih sekitar 36% lebih besar dari D melanogaster. Dalam perbandingannya 115
intron lengkap dikumpulkan dari 42 gen ortolog, mereka menemukan bahwa
perbedaan panjang intron antara kedua spesies Drosophila yang signifikan secara
25
statistik. Perbedaan panjang rata-rata antara intron D.virilis dan D.melanogaster
(masing-masing 394 dan 283; bp) adalah 39%, yang mengherankan dekat dengan
ukuran yang berbeda dalam fraksinonrepetitive antara genom. Dengan demikian,
tampaknya bahwa beberapa organisme lebih efisien dalam "membuang sampah"
dari yang lain (Petrov dan Hartl 1997).
7. Struktur Urutan yang Berulang dari Genom Eukariotik
Genom eukariotik ditandai dengan dua fitur utama, yaitu pengulangan
sekuen, dan komposisi kompartementalisasi menjadi fragmen yang berbeda
ditandai dengan komposisi nukleotida spesifik.
DNA berulang terdiri dari sekuen nukleotida dari berbagai panjang dan
komposisi yang terjadi beberapa kali dalam genom, baik bersama-sama atau
secara tersebar. Segmen DNA yang tidak berulang yang disebut sebagai salinan
tunggal atau DNA unik. Proporsi genom diambil oleh sekuens berulang sangat
bervariasi antara taksa. Dalam ragi, proporsi ini berjumlah sekitar 20% dari
genom. Pada hewan, proporsinya berkisar dari sekitar 5% pada nyamuk yang
tidak menggigit Chironomustetans untuk menuju 90% pada kadal
Necturusmasculosus. Pada mamalia, hingga 60% dari DNA adalah berulang. Pada
tumbuhan, proporsinya bisa melebihi 80%, dan nilai-nilai yang jauh lebih tinggi
juga telah terdaftar (Flavell, 1986).
Studi klasik kinetika reaksi reasosiasi DNA dengan Britten dan Kohne
(1968) menunjukkan bahwa genom eukariota tingkat tinggi dapat dibagi secara
kasar ke dalam empat fraksi (Gambar 2.8). Fraksi pertama disebut DNA foldback,
dan terdiri dari urutan palindromik yang dapat membentuk jepitan beruntai
struktur ganda segera setelah DNA terdenaturasi yang kemudian diizinkan untuk
renaturasi. Fraksi DNA foldback biasanya sangat kecil, meskipun di beberapa
organisme mungkin mencapai nilai lebih dari 10%.
26
Gambar2.8 Sebuah profil reasosiasi DNA mamalia. DNA dimurnikan, dipotong, dilelehkan dengan panas ke dalam untai tunggal, dan kemudian dibiarkan reasosiasi melalui pendinginan bertahap. Persentase reasosiasi DNA untai ganda pada sumbu vertikal ditunjukkan sebagai fungsi dari produk konsentrasi DNA dan waktu (C0t) pada sumbu horisontal.
Beberapa DNA hanya reanneals pada nilai C0t tinggi (dibaca "cot"). Fraksi
ini terdiri dari satu salinan sekuen, dan karena sifat pewarnaan dalam persiapan
karyological, kadang-kadang disebut sebagai eukhromatin. Di antara kurang lebih
dua definisi komponen genom, terdapat sekuens DNA yang reanneal sebesar nilai
C0t menengah. Ini adalah kebiasaan untuk membagi urutan ini ke dalam DNA
yang sangat repetitif dan DNA berulang menengah. Fraksi sangat berulang terdiri
dari urutan pendek, dari beberapa ratusan panjang nukleotida, yang diulang ribuan
bahkan jutaan kali. Dalam persiapan karyological, fraksi sangat berulang tampak
gelap dan sangat bernoda dan disebut heterokhromatin. Fraksi berulang tengah
terdiri lebih dari ratusan atau ribuan urutan pasangan basa rata-rata, yang muncul
dalam genom hingga ratusan kali. Terdapat suatu rangkaian dari kedua ukuran
pengulangan dan nomorpengulangan dalam genom. Oleh karena itu, istilah DNA
sangat repetitif dan DNA berulang tidak mewakili kelas DNA benar-benar
berbeda.
Pada pola pokok penyebaran pengulangan, fraksi berulang ditemukan terdiri
dari dua jenis families: lokasi sekuen berulang dan penyebaran sekuen berulang.
a. Lokasi Sekuen Berulang
Kebanyakan genom eukariotik mengandun gurutan DNA berulang secara
acak. Dalam beberapa spesies, lokasi pengulangan sekuen DNA dapat
menjelaskan keutamaan DNA dalam genom. Sebagai contoh, pada tikus kanguru,
Dipodomysordii, lebih dari 50% dari genom terdiri dari tiga sekuens berulang:
AAG2, 4x 109kali ;TTAGGG, 2,2 x109 kali, dan ACACAGCGGG, 1,2 x 109kali.
Tentu saja, families ini tidak sepenuhnya homogen tetapi berisi banyak varian
yang berbeda dari urutan konsensus dalam satu atau dua nukleotida. Sebagai
contoh, beberapa urutan dalam family "TTAGGG" sebenarnya TTAGAG.
27
Bahkan genom yang jauh lebih kecil mungkin berisi sebagian besarurutan
yang sangat berulang. Sebagai contoh, 40% dari genom Drosophilavirilis terdiri
dari tiga urutan yang sangat berulang: ACAAACT1,1x 107kali;ATAAACT, 3,6x
106kali dan ACAAATT, 3,6x 106 kali. Anehnya, 35% genom dari kode
pencetakan uniseluler, Absidiaglauca, yang hanya sembilan kali lebih besar dari
E. coli, tersusun dari DNA berulang.
Banyaknya lokasi sekuen berulang memiliki sebuah komposisi nukleotida
yang seragam yang menunjukkan bahwa, pada saat fraksionalisasi DNA genomik
dan pemisahan dengan gradien kerapatan, mereka membentuk satu atau lebih pita
tebal yang jelas dibedakan dari apusan yang diciptakan oleh fragmen DNA
lainnya dengan banyak komposisi heterogen. Pita yang berukuran jauh lebih berat
atau lebih ringan dari urutan genom lain, yang disebut DNA satelit. Beberapa
DNA satelit mungkin sangat kaya G+ C atau sangat kaya A +T; GC dalam
rentang satelit dari yang terendah 1% pada kepiting Cancergracilis dan C.
antenarius, sampai mencapai 73% pada patogen trypanasomal
Leishmaniainfantum dan nyamuk Chironomusplumosus. Genom mamalia
biasanya terdiri dari DNA satelit 5-30%. Jumlah DNA satelit pada tanaman dapat
mencapai 40% dari genom total.
Dalam beberapa spesies, urutan berulang yang tersusun secara tandem
ditemukan pada semua kromosom, sementara lainnya dibatasi pada lokasi
kromosom tertentu. Sebagai contoh, lebih dari 60% dari genom
Drosophilanasutoides terdiri dari DNA satelit, dan sebagian besar terlokalisasi
pada salah satu dari empat autosom dan kromosom Y (Gambar 2.9), yang
tampaknya mengandung dalam jumlah sedikit (Miklos 1985). Tidak semua lokasi
pengulangan DNA terdiri dari pengulangan pendek. Misalnya, paus pembunuh,
Orcinusorca, mengandung sekitar setengah juta kopi dari sekuen panjang
1.579bp, terhitung sekitar 15% dari genom (Widegren et al.1985).
28
Gambar 2.9 Sekuens DNAyang sangat repetitif (daerah hitam) yang sebagian besar terlokalisasi paling besar dari tiga autosom dan kromosom Y
Berdasarkanbukti yang adapada saat ini, dimungkinkanbahwa lokasi sekuen
berulang adalah tanpafungsi.Selain itu, adalah mungkin bahwa jumlah lokasi
sekuen berulang tidak menurunkan atau meningkatkan ketahanan individu.
Akibatnya, evolusi sekuens tersebut tidak dipengaruhi oleh seleksi alam. Jumlah
dan komposisi ini terulang secara bervariasi melalui mutasi seperti konversigen
dan pindah silang yang tidak merata, dan fiksasi dalam populasi terjadi melalui
hanyutan genetik secara acak. Konversi gen dan pindah silang yang tidak
merataakan menghasilkan dua hasil untuk sekuen ini: (1) urutan homogenitas,dan
(2) jumlah fluktuasi dari waktu ke waktu (Charlesworth et.al,1986). Ini juga telah
menyarankan bahwa tingkat pergantian lokasi sekuen berulang yaitu, susunan
yang ada akan dihapus oleh pindah silang yang tidak merata, sedangkan susunan
baru dapat terus menerus diciptakan oleh proses duplikasi DNA (Walsh,1987).
Usulan bahwa pengulangan sekuen secara tandem pada DNA sampah pada
dasarnya menunjukkan tidak adanya efek fenotipik. Selain itu, diasumsikan
bahwa kehadiran mereka atau tidak dalam jumlah yang bervariasi tidak
mempengaruhi keberadaan operator. Meskipun ini mungkin benar dalam
kebanyakan kasus, ada bukti yang berkaitan dengan serangkaian sekuen berulang
tertentu yang menunjukkan bahwa hal ini tidak selalu terjadi. Responden lokus
(Rsp) dalam populasi alami Drosophila melanogaster terdiri dari 20-2,500 salinan
dari sekuen kaya AT, panjang 120-bp- (Wu et al,1988). Dalam sebuah kompetisi
percobaan yang melibatkan populasi campuran yang terdiri dari lalat dengan 700
salinan pengulangan dan lalat dengan 20 copian, diamati bahwa frekuensi dari
lalat dengan 20 kali menurun seiring waktu (Wu et al,1989). Oleh karena itu,
disimpulkan bahwa lalat dengan 700 kopian memiliki keberadaan lebih tinggi dari
lalat dengan hanya 20 kopian. Kecuali untuk perannya dalam sistem distorsi
segregasi, fungsi lokus Rsp saat ini tidak diketahui, tetapi jelas bukan DNA
sampah, karena ketiadaan mempengaruhi keberadaan organisme. Namun, kami
29
tidak mengetahui adanya kasus lain di mana sekuen berulang secara tandem
ditunjukkan untuk mempengaruhi ketahanan.
b. Penyebaran Sekuen Berulang
Kelas keduadari pengulangan DNA terdiri dari urutan yang tersebar di
seluruh genom.Salinan dari penyebaran sekuen berulang ditemukan diintron,
mengapit daerah gen/daerah antargen, dan DNA nongenik.
Terdapat dua kategori utama dari penyebaran sekuen berulang: pengulangan
sekuens berupa tandem yang sederhana dan pengulangan yang berseling. Tabel
2.5 menunjukkan klasifikasi pengulangan sekuen berupa tandem yang sederhana
sesuai dengan ukuran dari unit yang berulang, jumlah tiap susunan unit berulang,
dan lokasi genom dari susunan tandem. Perhatikan lokasi sekuen berulang pada
sebagian besar satelit dan mini satellites, meskipun sebagian kecil dari
minisatellites tersebar. Telah diperkirakan bahwa terdapat 300.000 trinucleotide
dan tetra nucleotide pengulangan tandem pendek pada genom manusia atau satu
susunan setiap 10 Kb genom DNA (Beckmann dan Weber,1992). Umumnya
mikrosatelit manusia terdiri dari pengulangan dinukleotida CA.Terdapat sekitar
50.000 salinan mikrosatelit dalam genom manusia yaitu, satu susunan setiap 30
Kb (Hudson et al,1992).
Tabel 2.5 Klasifikasi Pengulangan Sekuen
Genom manusia juga berisi empat kelas utama pengulangan yang
berseling: (1) SINEs, (2) LINEs, (3) seperti retrovirus dan elemen
retrotransposon, dan (4) DNA yang
dimediasifosil
transposabel. Kelimpahan
30
dan distribusi relatif genom dari kelas-kelas pengulangan yang berseling
ditunjukkan pada Gambar 2.10.
Gambar 2.10 Kelimpahan relatif dan distribusi genom manusia melalui kelas pengulangan yang berseling pada daerah dengan kandungan GC.Distribusi hampir komplementer dengan pengulangan dari Alu dan LINE1.
Genom manusia mengandung dua families, LINE1 (LI) dan LINE2 (L2).
Terdapat sekitar 600.000 pengulangan LI dalam genom manusia, atau sekitar 15%
dari genom. Family LI telah aktif dalam genom mamalia sebelum terjadinya
perbedaan antara marsupial dan placentals. Asal dari family L2 jauh lebih kecil
(~271.000 pengulangan) yang mungkin sangat kuno, kemungkinan besar
terjadinya perbedaan amfibi dari vertebrata amniote. Sekitar 95% dari semua
urutan LI tersebut dipotong di ujung 5 dan tidak ditranskripsi atau retrotransposed.
Tingkat perbedaan urutan LI antara spesies jauh lebih besar dari pada derajat
perbedaan antara salinan LI yang sejenis. Sebagai contoh, urutan LI dari tikus dan
manusia rata-rata berbeda satu sama lain sekitar 30%, dibandingkan dengan
perbedaan sebuah sekuen dari sekitar 4% dalam tikus (Hutchison et al,1989).
Elemen L1 yang rusak berkembang jauh lebih cepat dari pada elemen yang
masih utuh. Selain itu, garis keturunan evolusi dari sekuen L1 yang rusak tidak
mengandung cabang, yang menunjukkan bahwa elemen-elemen tidak mampu
melakukan replikasi transposisi. Kemudian berbentuk pseudogen dari retroposons,
di mana kendala fungsional tidak lagi beroperasi, dan dengan demikian mengikuti
asimilasi komposional dan lamanya pembatasan sampai mereka tidak lagi dikenal
sebagai LINEs. Faktanya bahwa sebagian sekuen L1 yang rusak menyiratkan
bahwa penyebaran elemen L1 dalam genom tergantung pada sejumlah kecil
elemen sumber. Akibatnya, elemen L1 dalam genom sangat homogen dan tingkat
31
pergantian sekuens sangat tinggi. Memang, pada hewan pengerat telah
diperkirakan bahwa lebih dari setengah dari elemen L1 hanya 3 juta tahun atau
bahkan lebih muda.
Genom manusia juga mengandung dua families SINE, 7SL yang diturunkan
family Alu, dengan sekitar 1.100.000 salinan atau 10% dari genom, dan tRNA
yang diturunkan family MIR, dengan sekitar 400.000 salinan. Pada daftar
pengulangan berseling yang lengkap dalam genom manusia juga harus disebutkan
elemen-retrovirus dan retrotransposon (~5% dari genome), sisa-sisa elemen DNA
transposabel (~2%), dan sekitar 60.000 salinan tidak terklasifikasi dari
pengulangan berseling (~1%). Kesimpulannya, lebih dari sepertiga dari genom
manusia berasal dari mobile elements dari beberapa families. Keutamaan
pengulangan sekuen berseling tersebut, tidak lagi memiliki kemampuan untuk
berpindah.
c. Urutan yang Berulang: Penyebab Variasi dalam Ukuran Genom
Seperti disebutkan sebelumnya, komponen utama dari paradoks nilai C
adalah kenyataan bahwa organisme yang secara morfologis dan anatomis mirip
menunjukkan nilai C yang sangat berbeda. Ini lebih jelas dari pada dalam
perbandingan antara spesies yang termasuk dalam genus yang sama. Perbedaan
dalam ukuran genom dapat dijelaskan oleh perbedaan dalam pecahan berulang.
Dari hewan pengerat seperti Ctenomys (tuco-tucos), untuk tanaman seperti Avena
(gandum), dan Hylobates (gibbon) sampai Drosophila, setiap spesies congeneric
berbeda satu sama lain nilai C-nya, perbedaan dapat sepenuhnya dijelaskan oleh
pengulangan fraksinongenic dari genom, sering pula dengan perbedaan dalam
jumlah pengulangan tandem sederhana. Selain itu, setiap kali takson ditemukan di
mana ukuran genom jauh lebih kecil dari taksa yang terkait, kami selalu
menemukan bahwa perbedaan adalah sepenuhnya karena sekuens berulang.
Sebagai contoh, beberapa kelelawar memiliki genom yang sekitar 50% ukuran
mamalia eutherian lainnya. Perbedaan tersebut disebabkan oleh kurangnya
mikrosatelit AT dan GC, yang pada mamalia lain tersedia cukup. Demikian juga,
kurangnya variasi ukuran genom relatif pada burung (Tabel 8.3) dapat disebabkan
kelangkaan mikrosatelit pada genom burung.
32
8. Mekanisme Untuk Meningkatkan Daerah Dalam Ukuran Genom
Peningkatan regional dalam ukuran genom dapat dijelaskan dengan
beberapa mekanisme. Duplikasi transposition adalah salah satu mekanisme yang
telah diketahui yang bisa menghasilkan sekuens berulang yang terpisah.
Mekanisme lainnya menghasilkan lokasi sekuen berulang. Telah disarankan
bahwa seluruh pengulangan fraksi DNA pertengahan pada eukariotik berasal dari
elemen transposable. Sebagian besar elemen tidak lagi bisa berpindah karena telah
mengalami kerusakan akibat mutasi atau insersi pada elemen yang lain.
Peristiwa pindah silang yang tidak merata kemungkinan merupakan
mekanisme yang bertanggungjawab terhadap peningkatan dan jumlah salinan dari
satelit dan minisatelit. Meskipun demikian, fakta peristiwa pindah silang yang
tidak merata ini biasanya menghasilkan sekuens yang terdiri dari pengulangan
panjang. Dilain pihak, beberapa lokasi sekuen berulang seperti mikrosatelit dan
pengulangan tandem yang pendek.
Ditemukan adanya bukti bahwa jumlah salinan pada lokus minisatelit bisa
mengalamai peningkatan dengan cepat. Contohnya pada manusia, sebuah lokus
MS32 terdiri dari 600 pengulangan. Sedangkan pada monyet purba, lokus
homolog terdiri dari 3-4 pengulangan. Karakter terakhir agaknya mewakili
keadaan nenek moyang dan jumlah ulangan yang tinggi pada manusia mewakili
keadaan sekarang. Amplifikasi DNA mengacu pada setiap mekanisme yang
meningkatkan jumlah salinan gen atau sekuen DNA untuk tingkat karakteristik
organisme. Khususnya, amplifikasi DNA yang mengacu pada peristiwa yang
terjadi dalam kehidupan suatu organisme dan menyebabkan peningkatan secara
tiba-tiba dalam jumlah salinan dari sekuen DNA. Dalam hal ini dibedakan
menjadi 2 amplifikasi, yaitu amplifikasi vertikal dan amplifikasi horisontal.
Amplifikasi vertikal mengacu pada proses yang melalui pelipat gandaan sekuen
tertentu di luar kromosom. Amplifikasi horisontal mengacu pada proses
penciptaan beberapa salinan dari sekuen DNA tertentu dan penggabungannya
dalam genom yang diwariskan dari organisme.
Salah satu metode yang dapat menjelaskan mekanisme amplifikasi ialah
model rolling circle dari replikasi DNA (Gambar 2.11). Tipe replikasi ini
digunakan dalam amplifikasi gen rRNA pada oosit Amphibi. Dalam hal ini,
33
amplifikasi melibatkan pembentukan salinan extrachromosomal sirkuler sekuen
DNA, yang kemudian dapat menghasilkan banyak unitextrachromosomal
tambahan yang mengandung pengulangan tandem dari urutan asli. Jika unit
tersebut menjadi terintegrasi kembali ke dalam kromosom, akan ada tambahan
genom yang terdiri dari urutan berulang yang identik.
Gambar 2.11. Model Rolling Circle dari Amplifikasi Gen pada Oosit Amphibi. rRNA kromosomal disusun dalam susunan tandem yang berisi bagian transkripsi (hitam) dan daerah nontranskripsi (putih). Amplifikasi melibatkan pembentukan salinan ekstrakromosom sirkuler yang berisi jumlah variabel pengulangan, yang kemudian diamplifikasi melalui beberapa putaran dari replikasi rolling circle. Keperiodikan akan berubah mengikuti amplifikasi rolling circle.
B. KETERATURAN GEN DAN DINAMIKA PERUBAHAN EVOLUSI
DALAM HUBUNGANNYA DENGAN KETERATURAN GEN
1. Distribusi Gen
Kita hanya berhubungan dengan porsi DNA yang mungkin atau mungkin
juga tidak memiliki fungsi, tetapi jika tetap bekerja, fungsi tersebut pasti bukan
protein- pengkode satu.Dimana protein yang mengkode gen? Kita akan membahas
34
5 isu yang berhubungan: (1) Jumlah gen, (2) lokasi gen genom, (3) Kepadatan
gen, (4) variabilitas jumlah kromosom, dan (5) Proses evolusi mempengaruhi
urutan gen.
Berapa banyak gen yang ada, dimana letaknya dan apakah kita
membutuhkannya?
Tiga organisme eukariotik yang digunakan untuk menjawab pertanyaan
tersebut :Yeast roti, Saccharomyces ceerevisiae, dan nematoda Caenorhabditis
elegans yang seluruh genomnya telah disekuensing.bagaimanapun organisme ini
tidak mewakili keseluruhan organisme eukariotik semenjak genom mereka dipilih
untuk disekuensing karena ukurannya kecil. Saccharomyces cerevisiae memiliki
lebih dari 6000 gen-gen pengkode protein yang menyebar merata diantara 16
kromosom, contohnya jumlah gen-gen pada tiap kromosom sebanding dengan
panjangnya (Gambar 2.12).
Gambar 2.12 Hubungan antara jumlah gen dan panjang kromosom pada Saccharomyces cerevisiae. Sedikit variasi disekitar garis regresi mengindikasikan bahwa gen didistribusikan merata diantara 16 kromosom
Disisi lain tidak terjadi distribusi gen sepanjang kromosom. Terdapat daerah
dengan densitas gen yang tinggi dan rendah (Gambar 2.13). Pada Caenorhabditis
elegans terdapat lebih dari 19.000 gen terdistribusi antara 6 kromosom dengan
panjang total sekitar 97 Mb. Distribusi kromosom kurang seragam daripada yeast,
dengan kromosom X memiliki kepadatan gen terendah daripada kromosom yang
lain.
35
Gambar 2.13 Periodisitas kerapatan gen sepanjang kromosom 11 pada Saccharomyces cerevisiae
Pengetahuan mengenai genom organisme multiseluler sangatlah
terbatas.Bagaimanapun juga sebagian besar genom belum tentu berisi informasi
pengkode protein.Jika kita mengurangi dari panjang semua genome sekuen
berulang, semua pseudogen, semua intron dan semua daerah intergenik sangat
sedikit yang tersisa. Pada manusia, eksperimen hibridisasi RNA-DNA masa
lampau telah menunjukkan bahwa banyak gen yang bukan pengkode protein di
dalam fraksi berulang dari genom dan bahkan di dalam fraksi DNA yang unik
hanya sekitar 3% dari DNA yang ditranskripsikan. Dengan menggunakan data
pemetaan transkripsi, Gardiner memperkirakan bahwa kurang dari 10% genom
manusia merupakan gen.
Distribusi gen pengkode protein diantara kromosom manusia sangat tidak
merata. Beberapa kromosom seperti kromosom 1, 19 dan 20 diprediksi sangat
kaya akan gen, lainnya kromosom 4 dan 18 mungkin tersusun banyak sparser
informasi genetik. Contohnya Kromosom 19 yang kaya akan gen diperkirakan
mengandung 2000 gen di dalam daerah eukromatik sekitar 60 juta pasang basa.
Kepadatan gen mencapai 0,03 gen/Kb. Kita mencatat bahwa nilai ini terlalu
tinggi bahkan untuk kromosom 19, apalagi untuk kromosom yang lain. Terdapat 3
alasan utama untuk statemen tersebut yaitu: (1) hanya derah eukromatin yang
telah diperhitungkan, (2) beberapa gen mungkin kenyataannya berupa pseudogen,
dan (3) seperti dikatakan sebelumnya, kromosom 19 merupakan kromosom
dengan kepadatan gen yang tinggi.
36
Kepadatan gen dan pemanjangan fraksi gen, terlihat berkorelasi negatif
dengan ukuran genom (Gambar 2.14). Pada Mycoplasma genitalium 0.8 gen/Kb.
Kerapatan menurun menjadi 0.6 gen/Kb pada E. coli, yang memiliki genom 8 kali
lebih besar. Pada Eukariota, kerapatan mendekati 0.5 gen/Kb pada yeast dan 0.2
gen/Kb pada Caenorhabditis yang memiliki genom 8 kali lebih besar. Perkiraan
kita kerapatan gen pada organsime lain adalah kurang pasti, tetapi jelas memiliki
kecenderungan yang sama. Contoh kerapatan gen pada Arabidopsis thaliana
adalah 0.2 gen/Kb dalam daerah kaya gen pada kromosom 1, tetapi hanya 0.03
gen/Kb pada eukromatin pada sebagian besar kromosom kaya gen pada manusia.
Tetapi nilai terakhir tidak cukup baik untuk membandingkan dengan perkiraan
kepadatan Alu pada kromosom yang sama (1,1 elemen/Kb).
Gambar 2.14 Hubungan antara fraksi gen dan ukuran genom
Pada umumnya genom tumbuhan seperti beras, jagung, dan (gandum)
barley sebagian besar protein pengkode gen dikelompokkan dalam segmen DNA
yang panjang (secara kolektif disebut gen space) yang mewakili sebagian kecil
(12-24%) dari genom inti, dipisahkan oleh hamparan luas daerah kosong-gen.
2. Evolusi Sejumlah Gen
Tidak ada ukuran umum mengenai kompleksitas ukuran biologi.dua
kemungkinan kandidat adalah sejumlah preotein kode-gen dan “kekayaan dan
37
variasi morfologi serta tingkah laku”. Tidak ada alasan untuk menduga bahwa
sejumlah gen meningkat sejalan dengan waktu evolusinya. Bagaimanapun bukti
empirik mengindikasikan bahwa pada beberapa garis keturunan/silsilah
kompleksitas gen meningkat secara pesat. Ini menunjukkan bahwa jumlah gen
tidak meningkat terus-menerus selama evolusi, tetapi meningkat dalam tahap-
tahap yang berbeda. Tahap terbesar terjadi pada saat transisi dari prokariot
menjadi eukariot dan saat transisi dari invertebrata menjadi vertebrata.Tahap
pertama dianggap telah difasilitasi oleh penemuan dari nukleosom, mengingat
pada tahap kedua dengan penyebaran metilasi gen sebagai mekanisme untuk
mengontrol ekspresi gen pada seluruh genom.
Akhir-akhir ini perkiraan yang dapat dipercaya mengenai jumlah gen
berdasarkan sampling sekuens/urutan besar dikumpulkan. Data ini
mengindikasikan bahwa sejumlah gen memang meningkat dan terjadi pada tahap
quantum. Pada faktanya terdapat suatu kejadian yang dimungkinkan secara tepat
merupakan waktu dimana tahap quantum terjadi. Pada hewan terjadi “lompatan ke
depan yang besar” pada jumlah gen yang kadang-kadang terjadi pada masa
silurian sebelum terjadinya perbedaan vertebrata tetapi setelah perbedaan kordata
(invertebrata) (Gambar 2.15).
Gambar 2.15 Perkiraan jumlah gen pada spesies bakteri, fungi, invertebrata, dan vertebrata.
Meskipun kenyataannya sitogenetik merupakan sebuah disiplin ilmu yang
lebih tua dari pada bio molekuler. Kita tahu sangat sedikit tentang evolusi
kromosom melebihi deskriptif fenomenologi. Bagaimanapun dengan kedatangan
38
era genomik, kita memulai untuk mengumpulkan beberapa wawasan ke dalam
isu-isu seperti evolusi sejumlah kromosom dan dinamika dari penataan kembali
urutan gen.
a. Kromosom, Plasmid dan Episom
Organisme dan organel tersusun atas dua jenis materi genetik: kromosom
dan elemen ekstrakromosom. DNA kromosomal berisi gen-gen yang sedikitnya
beberapa darinya tidak penting. Elemen ekstrakromosomal disisi lain berisi
informasi genetik meskipun mungkin memiliki efek fenotip yang penting, tidak
dibutuhkan pada semua kondisi. Antara efek 2 fenotipik yang diketahui paling
baik dari elemen ekstrakromosomal adalah : 1. Antibiotik, logam berat dan tahan
ditemukan memiliki dua kromosom sirkulaar yang sesungguhnya (3,000 dan
900Kb) yang masing-masing mengandung gen yang penting untuk fungsi
metabolik.
Sangat menarik, genom dari Methanococcus jannaschii, archaeon pertama
yang diurutkan secara lengkap ditemukan tersusun atas tiga elemen fisik yang
berbeda: (1) Kromosom sirkular besar sekitar 1,700 Kb berisi 1,700 gen pengkode
protein, (2) elemen besar 60 Kb, berisi 43 daerah yang diprediksi pengkode
protein, dan (3) elemen kecil sekitar 17 nKb dengan kapasitas pengkode 12
protein. Kita tidak mengetahui apakah dua elemen terakhir tersebut merupakan
kromosomal atau ekstrakromosomal.
Dengan menggunakan protokol laboratorium yang rumit, Itaya dan Tanaka
berehasil membagi kromosom bakteri menjadi dua subgenom replikasi
independen. Penemuan ini mengindikasikan bahwa evolusi sejumlah kromosom
pada bakteri mungkin dipotong oleh adanya mutasi daripada seleksi terhadap
multikromosom.
c. Variasi Sejumlah Kromosom pada Eukariotik
Pada serangga, n bervariasi antara 1 (semut Australia_Myrmecia pilosula)
hingga hampir 250 pada kupu-kupu Lysandra atlantica.Pada tumbuhan, dalam
famili tunggal (Asteraceae) kita menemukan bahwa n bervariasi dari 2 pada
Haplopappus gracilis hingga kira-kira 90 pada Senecio robertii-friesii. Pada
mamalia yang memiliki jarak ukuran genom yang sangat sempit (tabel 8.3),
nbervariasi dari 5 pada Ctenomys steinbachi hingga 102 pada Tympanoctomys
barrerae. Anehnya jumlah kromosom tidak semuanya berkorelasi pada konten
DNA.
3. Mekanisme Perubahan Urutan dan Distribusi Gen diantara Kromosom
Berdasar posisi seentromer, kromosom eukariotik dibedakan menjadi 3
jenis: Telosentrik, Akrosentrik dan Metasentrik (Gambar 2.16).
40
Gambar 2.16 Klasifikasi kromosom eukariotik berdasarkan posisi sentromer (lingkaran)
Banyak proses yang menyebabkan perubahan urutan gen (Gambar 2.17).
Pembalikan kromosom termasuk rotasi segmen 180o, dengan hasil bahwa urutan
gen untuk segmen merupakan kebalikan dengan mematuhi urutan aslinya.
Terdapat dua jenis inversi/pembalikan: Perisentrik dan parasentrik. Pada awalnya,
segmen mengalami pembalikan termasuk sentromer. Delesi kromosom mungkin
terjadi secara teminal atau interstisial.Sebagai alternatifnya, bagian kromosom
mungkin di duplikasi. Suatu proses yan dahulu kita sebut sebagai bagian polisomi.
Kromosom mungkin juga dieliminasi, suatu proses yang hanya terjadi pada sel
somatik arthropoda. Pada akhirnya kromosom berpisah menjadi dua dan tiap
kromosom hasil pemisahan memiliki kehidupan independen. Proses ini hanya
dapat terjadi jika kromosom berdifusi dengan sentromer, contohnya jika selama
mitosis dan meiosis,benang spindel menarik dan mengaitkan pada beberapa situs
sepanjang ukuran kromosom.
Gambar 2.17 Sebuah kromosom dengan 5 gen yan mungkin menyebabkan beberapa proses penataan ulang gen.
Kromosom yang berbeda mungkin mengubah informasi genetik melalui
proses yang demikian seperti translokasi resiprok dan non resiprokal, dan fusi
sentrik (Gambar 2.18). berdasarkan tipe pembalikan kromosom dalam prosesnya,
41
fusi sentrik mungkin atau juga mungkin tidak disertai hilangnya gen. Reduksi
sejumlah kromosom oleh fusi terlihat seperti kejadian evolusi berulang.
Gambar 2.18 Contoh perubahan informasi genetik antara 2 kromosom nonhomolog.
1. Penghitungan kejadian penataan Ulang Urutan Gen
Untuk mempelajari evolusi panataan ulang urutan gen kita harus mampu
memperkirakan sejumlah peristiwa seperti inversi, transposisi, dan delesi yang
penting dalam merubah urutan gen pada genom hingga yang lainnya. Metode
sederhana yang disebut Metode Reduksi Penjajaran, kita melakukian
penghitungan sehingga disebut Jarak Pemeriksaan Evolusi (dilambangkan E)
antara dua genom, A dan B. E memiliki dua komponen: Jarak Delesi (D) dimana
nomor terendah delesi atau insersi diperlukan oleh genom A dan B untuk
memiliki set gen yang serupa, sekalipun pada urutan yang berbeda, dan Jarak
Penataan ulang (R), contohnya sejumlah kecil inversi dan transposisi diperlukan
untuk merubah urutan gen A menjadi urutan gen B.
E = D + R
Untuk perkiraan E, kita menggunakan tiga prosedur sederhana geometrik:
Delesi, Bundling (ikat) dan inversi (Gambar 2.19). pertama kita hubungkan gen
yang homolog dengan suatu garis. Pada tahap ini kita membedakan antara
pasangan homolog yang memiliki persamaan orientasi dan relatif diinversikan
pada satu dan lainnya. Prosedur Delesi: semua gen yang tidak muncul pada salah
satu dari dua genom dihilangkan. Dengan demikian, D sama dengan
42
jumlahsegmen yang dipindahkan. Pada kasus ini kita menghilangkan 5 gen tetapi
hanya 2 segmen, sehingga D = 2.
Gambar 2.19 Tiga prosedur geometrik dasar yang menyertakan metode reduksi penjajaran untuk menyimpulkan sejumlah penataan ulang urutan gen antara dua genom
43
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa:
1. Variasi genome di antara organisme. Ada beberapa variasi genom diantaranya:
nilai C, evolusi ukuran genom pada prokariot, genom minimal, miniaturasi
genom, ukuran genom pada eukariot dan nilai C paradox, pemeliharaan DNA
nongenik, struktur urutan yang berulang dari genom eukariot, mekanisme
untuk meningkatkan daerah dalam ukuran genom.
2. Keteraturan dan dinamika perubahan evolusi dan hubungannya dengan
keteraturan gen yaitu distribusi gen, evolusi sejumlah gen, mekanisme
perubahan urutan dan distribusi gen diantara krmosom.
B. Sarana
Berdasarkan pada kajian yang telah dilakukan dalam makalah ini, maka
penulis memberikan saran
1. Bagi pembaca untuk membaca dan mencari literatur yang mendukung dalam
penyempurnaan makalah ini
2. Keterbatasan penulis dalam mengkaji materi dalam makalah ini, sehingga
mengharapkan koreksi dan masukan litelatur yang lain.
44
DAFTAR RUJUKAN
Wen – Hsiung Li Dan Graur, 1999. Fundamentals Of Moleculer Evolution.
Second Edition. Sinauer Associiiates, Inc., Pblishers Sunderland,