BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN LAPORAN KASUS FAKULTAS KEDOKTERAN JUNI 2015 UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR DERMATITIS ATOPIK OLEH: EVI ELVIRA LATIF 10542 0196 10 PEMBIMBING : dr. HELENA KENDENGAN, Sp.KK DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN LAPORAN KASUSFAKULTAS KEDOKTERAN JUNI 2015UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
DERMATITIS ATOPIK
OLEH:
EVI ELVIRA LATIF
10542 0196 10
PEMBIMBING :
dr. HELENA KENDENGAN, Sp.KK
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
MAKASSAR
2015
LEMBAR PENGESAHAN
Yang bertanda tangan di bawah ini menerangkan bahwa:
Nama : Evi Elvira Latif
N I M : 10542 0196 10
Judul Referat : Dermatitis Atopik
Telah menyelesaikan tugas laporan kasus dalam rangka Kepaniteraan Klinik
di Bagian Ilmu Ksehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Makassar.
Makassar, Juni 2015
Pembimbing
(dr. Helena Kendengan, Sp.KK)
ii
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr.wb
Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan
hidayah serta petunjuknya sehingga penulis bisa menyelesaikan tugas Laporan Kasus
ini. Salam dan salawat senantiasa tercurah kepada junjungan kita Baginda Nabiullah
Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam kegelapan ke alam yang
terang benderang seperti yang kita rasakan sekarang ini.
Laporan Kasus ini merupakan suatu tugas yang berikan dalam rangka
kepaniteraan klinik, Penulis sadar, laporan kasus ini masih jauh dari ukuran
kesempurnaan oleh karena itu sangat dibutuhkan saran dan kritikan yang
membangun dari para pembaca guna kesempurnaan pembuatan laporan kasus penulis
selanjutnya.
Akhir kata, penulis uacapkan terima kasih kepada dokter pembimbing,
dr. Helena Kendengan, Sp.KK dan semua pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian laporan kasus ini.
Billahi fii sabilil haq fastabiqul khairat
Wassalamualaikum wr.wb
Makassar, Juni 2015
Penulis
iii
DAFTAR ISI
Halaman Sampul .................................................................................................. i
Lembar Pengesahan .............................................................................................. ii
Kata Pengantar ...................................................................................................... iii
Daftar Isi ............................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................... 1
A. LATAR BELAKANG............................................................................... 1
B. DEFINISI.................................................................................................. 3
C. EPIDEMIOLOGI...................................................................................... 3
D. ETIOPATOGENESIS............................................................................... 4
E. GEJALA KLINIS...................................................................................... 7
F. DIAGNOSIS.............................................................................................. 10
G. DIAGNOSIS BANDING.......................................................................... 12
H. PENATALAKSANAAN.......................................................................... 14
I. PROGNOSIS............................................................................................. 17
BAB II LAPORAN KASUS................................................................................ 18
A. IDENTITAS PASIEN............................................................................... 18
B. ANAMNESIS............................................................................................ 18
C. PEMERIKSAAN FISIK............................................................................ 19
D. DIAGNOSIS BANDING.......................................................................... 20
E. DIAGNOSIS.............................................................................................. 21
F. PENATALAKSANAAN.......................................................................... 21
G. RESUME................................................................................................... 21
BAB III PEMBAHASAN.................................................................................... 23
Daftar Pustaka....................................................................................................... 26
iv
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respon
terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen, menimbulkan
kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul,, vesikel,
skuama, likenifikasi) dan keluhan gatal. Tanda polimorfik tidak selalu timbul
bersamaan, bahkan mungkin hanya beberapa (oligomorfik). Dermatitis cenderug
residif dan menjadi kronis.(1)
Penyebab dermatitis dapat berasal dari luar (eksogen), misalnya bahan
kimia (contoh: detergen, asam, basa, oli, semen), fisik (contoh: sinar, suhu),
mikroorganisme (bakteri, jamur); dapat pula dari dalam (endogen), misalnya
dermatitis atopik. Sebagian lain tidak diketahui etiologinya yang pasti.(1)
Istilah dermatitis banyak digunakan oleh para dermatologist yang
berorientasi pada sumber ilmu dari Amerika, digunakan untuk mengganti kata
“eksema” yang banyak dipakai di benua Eropa. Kata eksema sendiri telah lama
dikenal sejak dahulu yaitu pada zaman sebelum masehi, berasal dari bahasa
Yunani “ekzein” yang berarti mendidih atau berbuih. Istilah eksema ini
barangkali digunakan untuk menggambarkan penyakit kulit yang beragam wujud
kelainan kulitnya, seperti air mendidih.(2)
Pada tahun 1933 Wise dan Silzberger menyebut penyakit kulit dengan
gejala seperti tersebut di atas sebagai dermatitis atopik, istilah yang untuk
selanjutnya dapat diterima sampai saat ini dan penyakit kulit ini harus dibedakan
dengan dermatitis eksematosa tipe kontak. Konsep atopi diperkenalkan pertama
kali oleh Coca dan Cooke pada tahun 1923, sebagai suatu istilah yang dipakai
secara spontan pada individu yang mempunyai riwayat keluarga terhadap
kepekaan tersebut.(2)
Dermatitis atopik merupakan penyakit kulit inflamasi yang khas, bersifat
kronis residif, dengan karakteristik rasa gatal yang hebat dan sering terjadi
kekambuhan. Umumnya sering terjadi pada masa bayi dan anak-anak, dapat
1
berlanjut hingga dewasa. Kelainan kulit berupa gatal,eritema, edema,vesikel dan
luka pada stadium akut, tetapi pada stadium kronik ditandai likenifikasi.(3)
Kejadian dermatitis atopik menunjukkan kecenderungan yang terus
meningkat, baik di negara maju maupun di negara berkembang. Di negara
industri, angka kejadian dermatitis atopik yang tinggi. Di Amerika, insiden
dermatitis atopik sebesar 0,7-2,4% dari populasi dan paling banyak terjadi pada
bayi dan anak. Di negara-negara Eropa, insiden pada anak (sampai 7 tahun) yang
lahir sebelum tahun 1960 kurang dari 3%, pada anak yang lahir antara 1960 dan
1970 sebesar 4-8%, dan pada anak-anak yang lahir sesudah tahun 1970 sebesar 8-
12%. Dari penelitian terakhir, insiden di Eropa menjadi 15%.(4)
Prevalensi DA pada anak etnis Asia belum banyak dilaporkan. Angka
prevalensi yang dilaporkan adalah 20,1% di Hongkong, 19% di Jepang dan
20,8% di Singapura. Survei di negara berkembang menunjukkan 10-20% bayi
dan anak menderita dermatitis atopik. Pada tahun 2000, di Indonesia ditemukan
23,67% kasus baru dermatitis atopik pada anak dari 611 kasus baru penyakit kulit
lainnya. Angka prevalensi dermatitis atopik di Indonesia juga bervariasi.
Berdasarkan rekapitulasi yang dilakukan oleh Kelompok Studi Dermatologi
Anak (KSDAI) dari lima kota besar di Indonesia pada tahun 2000, dermatitis
atopik masih menempati peringkat pertama (23,67%) dari 10 besar penyakit kulit
anak dan dari sepuluh rumah sakit besar yang tersebar di Indonesia. Pada tahun
2005 kejadian dermatitis atopik mencapai 36% dari keseluruhan diagnosis
dermatitis.(3,5)
Data Rekam Medis RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo dan RS Pelamonia
di Makassar menunjukkan peningkatan jumlah kasus dermatitis atopik anak, 47
anak di tahun 2004, 106 anak di tahun 2005, 108 anak di tahun 2006, dan 115
anak di tahun 2007. Prevalensi DA di negara berkembang dan peningkatan
insidensi DA di negara industri merupakan refleksi pengaruh lingkungan sebagai
faktor pencetus pada individu yang telah memiliki suseptibilitas genetik. (5)
2
B. DEFINISI
Kata “atopi” pertama kali diperkenalkan oleh Coca (1923), yaitu istilah
yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai riwayat
kepekaan dalam keluarganya. Misalnya: asma bronkial, rhinitis alergik,
dermatitis atopik dan konjungtivitis alergik.(1)
Kata atopi diambil dari bahasa Yunani atopia yang berarti sesuatu yang
tidak lazim, different atau out of place, dan istilah ini untuk menggambarkan
suatu reaksi yang tidak biasanya, berlebihan (hipersensitivitas) dan disebabkan
oleh paparan benda asing yang terdapat di dalam lingkungan kehidupan manusia.(2)
Dermatitis atopik adalah keadaan peradangan kulit kronis dan residif,
disertai gatal, yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak.
Sering berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat
atopi pada keluarga atau penderita (Dermatitis atopik, rhinitis alergik dan atau
asma bronkial).(1)
C. EPIDEMIOLOGI
Berbagai penelitaian menyatakan bahwa prevalensi dermatitis stopik
makin meningkat sehingga merupakan masalah kesehatan besar. Di Amerika
Serikat, Eropa, Jepang, Australia dan negara industri lain, prevalensi dermatitis
atopi pada anak mencapai 10 – 20% , sedangkan pada dewasa kira-kira 1 – 3%.
Di negara agraris, misalnya Cina, Eropa Timur, Asia Tengah, prevalensi
dermatitis atopik jauh lebih rendah. Wanita lebih banyak menderita dermatitis
atopik daripada pria dengan rasio 1,3 : 1. Berbagai faktor lingkungan
berpengaruh terhadap prevalensi dermatitis atopik, misalnya jumlah keluarga
kecil, pendidikan ibu makin tinggi, penghasilan meningkat, migrasi dari desa ke
kota dan meningkatnya peggunaan antibiotik, berpotensi menaikkan jumlah
penderita dermatitis atopik. Sedangkan rumah yang berpenghuni banyak,
meningkatnya jumlah keluarga, urutan lahir makin belakag, sering mengalami
infeksi sewaktu kecil akan melindungi kemungkinan timbunya dermatitis atopi
pada kemudian hari.(1)
3
Dermatitis atopik cenderung diturunkan. Lebih dari seperempat anak dari
seorang ibu yang menderita atopi akan mengalami dermatitis atopik pada masa
kehidupan 3 bulan pertama. Bila salah satu orang tua menderita atopi, lebih dari
separuh jumlah anak akan mengalami gejala alergi sampai usia 2 tahun, dan
meningkat sampai 79% bila kedua orang tua menderita atopi. Risiko mewarisi
dermatitis atopik lebih tinggi bila ibu yang menderita dermatitis atopik
dibandingkan dengan ayah. Tetapi, bila dermatitis atopik yang dialami berlanjut
hingga masa dewasa, maka risiko untuk mewariskan kepada anaknya sama saja
yaitu kira-kira 50%.(1)
D. ETIOPATOGENESIS
Etiologi dermatitis atopik masih belum diketahui dan patogenesisnya
sangat komplek, tetapi terdapat beberapa faktor yang dianggap berperan sebagai
faktor pencetus kelainan ini misalnya faktor genetik, imunologik, lingkungan dan
gaya hidup, dan psikologi.(6)
1. Faktor Genetik
Dermatitis atopik lebih banyak ditemukan pada penderita yang
mempunyai riwayat atopi dalam keluarganya. Kromosom 5q31-33
mengandung kumpulan familygen sitokin IL-3, IL-4, IL-13, dan GM-CSF,
yang diekspresikan oleh sel TH2. Ekspresi gen IL-4 memainkan peranan
penting dalam ekspresi dermatitis atopik. Perbedaan genetik aktivitas
transkripsi gen IL-4 mempengaruhi presdiposisi dermatitis atopik. Ada
hubungan yang erat antara polimorfisme spesifik gen kimase sel mas dengan
dermatitis atopik, tetapi tidak dengan asma bronkial atau rhinitis alergik.(1,6)
Sejumlah bukti menunjukkan bahwa kelainan atopik lebih banyak
diturunkan dari garis keturunan ibu dari pada garis keturunan ayah. Sejumlah
survey berbasis populasi menunjukkan bahwa resiko anak yang memiliki
atopik lebih besar ketika ibunya memiliki atopik, daripada ayahnya. Darah
tali pusat IgE cukup tinggi pada bayi yang ibunya atopik atau memiliki IgE
yang tinggi, sedangkan atopik paternal atau IgE yang meningkat tidak
berhubungan dengan kenaikan darah tali pusat IgE.(7)
4
2. Faktor Imunologi
Konsep dasar terjadinya dermatitis atopik adalah melalui reaksi
imunologik, yang diperantai oleh sel-sel yang berasal dari sumsum tulang.
Beberapa parameter imunologi dapat diketemukan pada dermatitis atopik,
seperti kadar IgE dalam serum penderita pada 60-80% kasus meningkat,
adanya IgE spesifik terhadap bermacam aerolergen dan eosinofilia darah serta
diketemukannya molekul IgE pada permukaan sel langerhans
epidermal.Terbukti bahwa ada hubungan secara sistemik antara dermatitis
atopik dan alergi saluran napas, karena 80% anak dengan dermatitis atopik
mengalami asma bronkial atau rhinitis alergik.(6)
Pada individu yang normal terdapat keseimbangan sel T seperti Th1,
Th2, Th17, sedangkan pada penderita dermatitis atopik terjadi
ketidakseimbangan sel T. Sitokin Th2 jumlahnya lebih dominan
dibandingkan Th1 yang menurun.Hal ini menyebabkan produksi dari sitokin
Th 2 seperti interleukin IL-4, IL-5, dan IL-13 ditemukan lebih banyak
diekspresikan oleh sel-sel sehingga terjadi peningkatan IgE dari sel plasma
dan penurunan kadar interferon-gamma.Dermatitis atopik akut berhubungan
dengan produksi sitokin tipe Th2, IL-4 dan IL-13, yang membantu
immunoglobulin tipe isq berubah menjadi sintesa IgE, dan menambah
ekspresi molekul adhesi pada sel-sel endotel. Sebaliknya, IL-5 berperan
dalam perkembangan dan ketahanan eosinofil, dan mendominasi dermatitis
atopik kronis.(6)
Imunopatogenesis dermatitis atopik dimulai dengan paparan
imunogen atau alergen dari luar yang mencapai kulit. Pada paparan pertama
terjadi sensitisasi, dimana alergen akan ditangkap oleh antigen presenting cell
untuk kemudian disajikan kepada sel limfosit T untuk kemudian diproses dan
disajikan kepada sel limfosit T dengan bantuan molekul MHC kelas II. Hal
ini menyebabkan sel T menjadi aktif dan mengenai alergen tersebut melalui T
cell reseptor. Setelah paparan, sel T akan berdeferensiasi menjadi
subpopulasi sel Th2 karena mensekresi IL-4 dan sitokin ini merangsang
aktivitas sel B untuk menjadi sel plasma dan memproduksi IgE. Setelah ada
di sirkulasi IgE segera berikatan dengan sel mast dan basofil. Pada paparan
5
alergen berikutnya IgE telah bersedia pada permukaan sel mast, sehingga
terjadi ikatan antara alergen dengan IgE.Ikatan ini akan menyebabkan
degranulasi sel mast. Degranulasi sel mast akan mengeluarkan mediator baik
yang telah tersedia seperti histamine yang akan menyebabkan reaksi segera,
ataupun mediator baru yang dibentuk seperti leukotrien C4, prostaglandin D2
dan lain sebagainya.(2)
Sel langerhans epidermal berperan penting pula dalam pathogenesis
dermatitis atopik oleh karena mengekspresikan reseptor pada permukaan
membrannya yang dapat mengikat molekul IgE serta mensekresi berbagai
sitokin.(2)
Inflamasi kulit atopik dikendalikan oleh ekspresi lokal dari sitokin dan
kemokin pro-inflamatori. Sitokin seperti Faktor Tumor Nekrosis (TNF-α )
dan interleukin 1 (IL-1) dari sel-sel residen seperti keratinosit, sel mast, sel
dendritik mengikat reseptor pada endotel vaskular, mengaktifkan jalur sinyal
seluler yang mengarah kepada peningkatan pelekatan molekul sel endotel
vaskular. Peristiwa ini menimbulkan proses pengikatan, aktivasi dan
pelekatan pada endotel vaskular yang diikuti oleh ekstravasasi sel yang
meradang ke atas kulit. Sekali sel- sel yang inflamasi telah infiltrasi ke kulit,
sel-sel tersebut akan merespon kenaikan kemotaktik yang ditimbulkan oleh
kemokin yang diakibatkan oleh daerah yang luka atau infeksi.(8)
Penderita dermatitis atopik cenderung mudah terinfeksi oleh bakteri,
virus, dan jamur, karena imunitas seluler menurun (aktivitas TH1 menurun).
Staphylococcus aureus ditemukan lebih dari 90% pada kulit penderita
dermatitis atopik, sedangkan orang normal hanya 5%. Bakteri ini membentuk
koloni pada kulit penderita dermatitis atopik, dan eksotosin yang
dikeluarkannya merupakan superantigen yang diduga memiliki peran
patogenik dengan cara menstimulasi aktivitas sel T dan makrofag. Apabila
ada superantigen menembus sawar kulit yang terganggu akan menginduksi
IgE spesifik, dan degranulasi sel mas, kejadian ini memicu siklus gatal garuk
yang akan menimbulkan lesi. Superantigen juga meningkatkan sintesis IgE
spesifik dan menginduksi resistensi kortikosteroid, sehingga memperparah
dermatitis atopik.(6)
6
3. Faktor Lingkungan dan Gaya Hidup
Berbagai faktor lingkungan dan gaya hidup berpengaruh terhadap
pravelensi dermatitis atopik. Dermatitis atopik lebih banyak ditemukan pada
status sosial yang tinggi daripada status sosial yang rendah.Penghasilan
meningkat, pendidikan ibu makin tinggi, migrasi dari desa ke kota dan jumlah
keluarga kecil berpotensi menaikkan jumlah penderita dermatitis atopik.
Faktor-faktor lingkungan seperti polutan dan alergen-alergen mungkin
memicu reaksi atopik pada individu yang rentan. Paparan polutan dan alergen
tersebut adalah:(6)
a. Polutan : Asap rokok, peningkatan polusi udara, pemakaian pemanas
ruangan sehingga terjadi peningkatan suhu dan penurunan kelembaban
udara, penggunaan pendingin ruangan.
b. Alergen :
- Aeroalergen atau alergen inhalant : tungau debu rumah, serbuk sari
buah, bulu binatang, jamur kecoa.
- Makanan: susu, telur, kacang, ikan laut, kerang laut dan gandum
Pada penderita dermatitis atopik sering tipe astenik, egois, frustasi,
merasa tidak aman yang mengakibatkan timbulnya rasa gatal. Namun
demikian teori ini masih belum jelas.(6)
E. GEJALA KLINIS
Kulit penderita dermatitis atopik umumnya kering, pucat atau redup,
kadar lipid di epidermis berkurang, dan kehilangan air lewat epidermis
meningkat. Gejala utama dermatitis atopik ialah pruritus,dapat hilang timbul
sepanjang hari, tetapi umumnya lebih hebat pada malam hari. Akibatnya,
penderita akan menggaruk sehingga timbul bermacam-macam kelainan kulit
berupa papul, likenifikasi, eritema, erosi, eksoriasi, eksudasi, dan krusta.(1)
7
Lesi kulit akut ditandai dengan pruritus intensif, papua eritematosa
dengan eskoriasi, vesikel eritematosa pada kulit dan eksudat serosa. Lesi sub akut
ditandai dengan eritema, eskoriasi dan papul. Sedangkan lesi kronik ditandai
dengan plak yang menebal pada kulit, likenifikasi, dan papul fibrotik.(8)
Gambar 1. A. Pronounced weeping and crusting of eczematous lesions in childhood atopic dermatitis. B. Excoriated papules and crusting in a acute flare of atopic dermatitis.(8)
Gambar 2. Gambar 3.Erytematous papules in a Severe lichenification and hyperpigmented patient with subacute prurigo papules seen in a patient with atopic dermatitis(8) chronic dermatitis(8)
8
Dermatitis atopik dapat dibagi menjadi tiga fase yaitu : dermatitis atopi
infantil, dermatitis atopik pada remaja dan dewasa.(1)
1. Dermatitis Atopik Infantil (Usia 2 bulan sampai 2 tahun)
Dermatitis atopik paling sering muncul pada tahun pertama kehidupan,
biasanya setelah usia 2 bulan, lesi mulai di muka (dahi,pipi) berupa eritema,
papulo-vesikel yang halus, karena gatal di gosok, pecah, eksudatif, dan
akhirnya terbentuk krusta. Lesi kemudian meluas ke tempat lain yaitu skalp,
leher, pergelangan tangan, lengan dan tungkai. Bila anak mulai merangkak,
lesi ditemukan di lutut. Biasanya anak mulai menggaruk pada usia 2 bulan.
2. Dermatitis Atopik pada Anak ( usia 2 sampai 10 tahun)
Dapat merupakan kelanjutan bentuk infaltil, atau timbul sendiri (de novo).
Lesi lebih kering, tidak begitu eksudatif, lebih banyak papul, likenifikasi, dan
sedikit skuama. Letak kelainan kulit pada lipat siku, lipat lutut, pergelangan
tangan, bagian fleksor, kelopak mata, leher, jarang di muka. Rasa gatal
menyebabkan penderita sering menggaruk, dapat terjadi erosi, likenifikasi,
mungkin juga mengalami infeksi sekunder. Akibat garukan kulit menebal dan
perubahan lainnya yang menyebabkan gatal.
3. Dermatitis Atopik pada Remaja dan Dewasa
Lesi kulit dapat berupa plak papular eritematosa dan berskuama, atau plak
likenifikasi yang gatal. Pada dermatitis atopik remaja lokalisasi lesi di lipat
siku, lipat lutut dan samping leher, dahi, dan sekitar mata. Pada dermatitis
dewasa distribusi lesi kurang karakteristik, sering mengenai tangan dan
pergelangan tangan, dapat pula ditemukan setempat, misalnya di bibir
(kering, pecah, bersisik), vulva, puting susu, atau skalp. Kadang erupsi
meluas, dan paling parah di lipatan, mengalami likenifikasi. Lesi kering, agak
menimbul, papul datar dan cenderung bergabung menjadi plak likenifikasi
dengan sedikit skuama, dan sering terjadi eksoiasi dan eksudasi karena
garukan. Lambat laun terjadi hiperpigmentasi.
9
F. DIAGNOSIS
Pada awalnya diagnosis dermatitis atopik didasarkan atas berbagai
fenomena klinis yang tampak menonjol, terutama gejala gatal. George Rajka
menyatakan bahwa diagnosis dermatitis atopik tidak dapat dibuat tanpa adanya
riwayat gatal. Dalam perkembangan selanjutnya seiring dengan kemajuan di
bidang imunologi maka untuk diagnosis dermatitis atopik mulai dimasukkan uji
alergi sebagai kriteria diagnosis. Pemeriksaan/uji alergik tersebut adalah uji tusuk
(=skin pricktest) terhadap bahan alergen inhalan dan pemeriksaan kadar IgE total
di dalam serum penderita dermatitis atopik.(2)
Hanifin Rajka telah membuat kriteria diagnosis untuk dermatitis atopik
yang didasarkan pada kriteria mayor dan minor yang sampai sekarang masih
banyak digunakan.(6)
Kriteria Mayor (Harus memiliki 3 hal berikut)(1)
1. Pruritus
2. Dermatitis di muka atau ekstensor pada bayi dan anak
3. Dermatitis di fleksura pada dewasa
4. Dermatitis kronik atau residif
5. Riwayat atopi pada pederita atau keluarganya
Kriteria Minor (Ditambah 3 atau lebih kriteria minor)(1)
1. Xerosis
2. Infeksi kulit (khususnya oleh S. aureus dan virus herpes simpleks)
RSUP dr. Kariadi Semarang “ Jurnal Media Medika Muda. 1 – 2
4. Bakhtiar. (2010). “Faktor Risiko, Diagnosis, dan Tatalaksana Dermatitis Atopik pada Bayi dan Anak” JKM. 9 (2). 188 – 196
5. Tabri, Farida. Yusuf, Irawan. Boediardja, A.S. Aspek Imunogenetik Dermatitis Atopik Pada Anak :Kontribusi Gen Ctla-4, Kecacingan Dan IL-10”. 2 – 3
6. Safarina, Diadra Danisa. (2014). “Karakteristik Penderita Dermatitis Atopik di Poliklinik RSUP dr. Kariadi Semarang” Program Pendidikan Sarjana Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
7. Burns T. 2010. Rook’s Textbook Of Dermatology. Eighth Edition. Wiley – Blackwell.
8. Wolff, Klaus. Dkk. 2008. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Seventh Edition volumes 1 & 2. McGraw-Hill Medical Companies.
9. Wolff, Klaus dan Johnson, A.R. 2009. Fitzpatricks Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology. Sixth Edition. McGraw-Hill Medical Companies.
10. Daili, S.S.E. Menaldi, L.S. dan Wisnu. M.I. 2005. Penyakit Kulit yang Umum di Indonesia. Sebuah Panduan Bergambar. Jakarta: PT Medical Multimedia Indonesia.