i KODE ETIK HAKIM DI PENGADILAN STUDI PROBLEMATIKA PENEGAKAN HUKUM DAN KEADILAN DI INDONESIA DISERTASI Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Doktor dalam Program Studi Ilmu Keislaman (Konsentrasi Hukum Islam) Pada Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel OLEH: AKHMAD BISRI MUSTAQIM NIM: F0.150.507 PROGRAM PASCA SARJANA (S3) INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA 2012
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
i
KODE ETIK HAKIM DI PENGADILAN STUDI PROBLEMATIKA
PENEGAKAN HUKUM DAN KEADILAN DI INDONESIA
DISERTASI
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat
Memperoleh Gelar Doktor dalam Program Studi Ilmu Keislaman
(Konsentrasi Hukum Islam)
Pada Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel
OLEH:
AKHMAD BISRI MUSTAQIM
NIM: F0.150.507
PROGRAM PASCA SARJANA (S3)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2012
ii
PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : AKHMAD BISRI MUSTAQIM
NIM : FO. 150.507.
Program : Doktor.
Institusi : Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Dengan sungguh-sungguh menyatakan bahwa disertasi ini secara keseluruhan adalah hasil
penelitian atau karya saya sendiri, kecuali pada bagian-bagian yang ditunjuk sumbernya.
Surabaya, 20 Mei 2012
Saya yang menyatakan.
Akhmad Bisri Mustaqim.
P E R S E T U J U A N
iii
Disertasi Akhmad Bisri Mustaqim ini telah disetujui
Tanggal 20 Mei 2012
Oleh
PROMOTOR
Prof. Dr. H.M. RIDLWAN NASIR, M.A.
PROMOTOR
Prof. Dr. H. AHMAD ZAHRO, M.A.
PENGESAHAN TIM PENGUJI
iv
Disertasi Akhmad Bisri Mustaqim ini telah diuji dalam tahap pertama
Pada tanggal 19 Nopember 2012
Tim Penguji :
1. Prof. Dr.H. Burhan Djamaluddin, MA (Ketua)
2. Masdar Hilmy, MA, Ph.D (Sekretaris)
3. Prof. Dr. H.M. H. M. Ridlwan Nasir, M.A. (Promotor/Anggota Penguji)
4. Prof. Dr. H. Ahmad Zahro, M.A. (Promotor/Anggota Penguji)
5. Prof. Dr. H. Rifyal Ka‟bah, M.A. (Penguji Utama)
6. Prof. Dr. H. Faishal Haq, M.Ag. (Anggota Penguji)
7. Dr. Priyo Handoko, MH. ( Anggota Penguji)
Surabaya, 19 Nopember 2012
Direktur,
Prof. Dr. H. M. Ridlwan Nasir, M.A.
NIP: 1950.08171981031002
v
PENGESAHAN DIREKTUR
Disertasi Akhmad Bisri Mustaqim ini telah diuji tahap pertama
Pada tanggal 19 Nopember 2012
Tim Penguji :
1. Prof. Dr.H. Burhan Djamaluddin, M.A. 1…………………………….
2. Masdar Hilmy, MA, Ph.D 2…………………………….
3. Prof. Dr. H. M. Ridlwan Nasir, M.A. 3……………………………..
4. Prof. Dr. H. Ahmad Zahro, M.A. 4……………………………..
5. Prof. Dr.H. Rifyal Ka‟bah, M.A. 5……………………………..
6. Prof. Dr. H. Faishal Haq, M.Ag. 6……………………………..
7. Dr.H. Priyo Handoko, MH. 7……………………………..
Surabaya, 19 Nopember 2012
Direktur,
Prof. Dr. H. M. Ridlwan Nasir, M.A.
NIP: 1950.08171981031002
vi
PENGESAHAN TIM PENGUJI
Disertasi Akhmad Bisri Mustaqim ini telah diuji tahap kedua
Pada tanggal ………. 2013
Tim Penguji :
1. Prof. Dr.H. Burhan Djamaluddin, M.A. 1…………………………….
2. Masdar Hilmy, MA, Ph.D 2…………………………….
3. Prof. Dr. H. M. Ridlwan Nasir, M.A. 3……………………………..
4. Prof. Dr. H. Ahmad Zahro, M.A. 4……………………………..
5. Prof. Dr.H. Rifyal Ka‟bah, M.A. 5……………………………..
6. Prof. Dr. H. Faishal Haq, M.Ag. 6……………………………..
7. Dr.H Priyo Handoko, MH. 7……………………………..
Surabaya, ……………… 2013
Direktur,
Prof. Dr. H. M. Ridlwan Nasir, M.A.
NIP: 1950.08171981031002
vii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan seru sekalian alam yang telah memberikan hidayah
dan taufik Nya kepada penulis, sehingga penulis telah diberikan kekuatan dan kesabaran dalam
menyelesaikan disertasi ini.
Alhmadulillah, atas izin Allah SWT sebagai mahasiswa Program Doktor (S3) dan
sebagai syarat untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Doktor IAIN Sunan Ampel
Surabaya dapat menyelesaikan penulisan disertasi yang telah menguras tenaga, pikiran juga
materi .
Penulis menyampaikan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada :
1. Yth. Bapak Prof. Dr. H. Abd „Ala, MA selaku Rektor IAIN Sunan Ampel Surabaya,
yang telah membimbing dan dosen mengampu penulis;
2. Yth. Bapak Prof. Dr. H.M. Ridlwan Nasir, MA selaku Direktur Pascasarjana IAIN
Sunan Ampel Surabaya (selaku Promotor) sebagai Dosen pengampu dan Guru Besar ;
3. Yth. Bapak Prof. Dr. Ahmad Zahro, MA (selaku Promotor) sebagai Dosen pengampu
dan Guru Besar ;
4. Yth. Bapak Prof. Dr. H. Burhan Djamaluddin, M.A, sebagai Asisten Direktur Bidang
Akademis (Asdir AKA);
5. Yth. Bapak Prof. Dr. Zainul Arifin, M.Ag, sebagai Asisten Direktur Bidang
Administrasi dan Keuangan (Asdir AKU);
6. Yth. Bapak. Masdar Hilmy, MA. Ph.D, sebagai Asisten Direktur Bidang
Kemahasiswaan dan Kerjasama (Asdir KK);
7. Yth. Ketua Pengadilan Tinggi Agama Surabaya, yang telah memberikan ijin kepada
Penulis untuk mengikuti perkuliahan Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel
Surabaya.
Ucapan terima kasih pula disampaikan seluruh jajaran Pengelola Program Pascasarjana IAIN
Sunan Ampel Surabaya, beserta seluruh staf telah memberikan bantuan dan dorongan moril
viii
untuk dapat menyelesaikan program studi ini dengan baik. Semoga semua amal baik
bapak-bapak dan ibu-ibu merupakan investasi yang tinggi nilainya di sisi Allah SWT.
Terima kasih juga disampaikan kepada Pimpinan Mahkamah Agung RI dan Direktur
Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI di Jakarta serta Pimpinan Komisi
Yudisial RI yang telah memberikan data-data yang otentik dari kedua lembaga negara tersebut,
sehingga penelitian dan penulisan disertasi ini berjalan lancar.
Demikian pula kepada para responden yang terdiri dari para hakim tinggi, dan para
hakim tingkat pertama di wilayah Jawa Timur dari 4 (empat) lingkungan badan peradilan di
bawah naungan Mahkamah Agung RI, yang telah memberikan masukan dan pendapat dalam
kuisioner yang telah kami kirimkan.
Ucapan terima kasih disampaikan secara khusus kepada isteriku tercinta Hj. Rodliyah,
dan anak-anak, Isti‟anatur Rahmah, Muhammad Rif‟an Rahmatulloh, yang telah setia dan sabar
mendampingi sejak mendapatkan amanat sebagai hakim dan Ketua Pengadilan Agama di
Wilayah Nusa Tenggara Timur, Surabaya dan Lumajang sampai mendapatkan kesempatan
mengikuti perkuliahan di Pascasarjana (S3) IAIN Sunan Ampel Surabaya yang cukup
melelahkan. Keuletan, kesetiaan dan kesabaran mereka menjadi motivator yang tinggi bagi
penulis.
Disertasi ini dipersembahkan kepada ananda Isti‟anatur Rahmah sekarang, sebagai
guru, dan Muhammad Rif‟an Rahmatulloh, (staff di BPPT/Kemenristek), supaya dijadikan
motivator untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi (S2 dan S3) semoga Allah
mengabulkan cita-cita mereka.
Kami menyadari disertasi yang telah dihasilkan ini, masih banyak kekurangannya,
mohon kepada para pembaca demi kesempurnaan disertasi ini untuk dikoreksi, dan atas
koreksinya disampaikan terima kasih.
Surabaya,10 Agustus 2012 M
21 Ramadan1433 H.
Penulis.
Akhmad Bisri Mustaqim NIM:
NIM: FO.150.507.
ix
ABSTRAK
Akhmad Bisri Mustaqim NIM: FO. 150 507. Judul Disertasi : Kode Etik Hakim di Pengadilan Studi
Problematika Dalam Penegakan Hukum Dan Keadilan Di Indonesia Promotor : Prof. Dr. H. M. Ridlwan
Nasir MA dan Prof. Dr. H. Ahmad Zahro, MA. Kata Kunci : Kode Etik Hakim.
Mahkamah Agung Republik Indonesia, dan 4(empat) lembaga peradilan di bawahnya, telah
mendapat kritikan yang tajam dari masyarakat, karena merebaknya mafia hukum dan peradilan di
Indonesia, berakibat menurunnya kepercayaan dan kewibawaan masyarakat terhadap hukum dan peradilan
di Indonesia. Maka untuk membangun kembali kewibawaan dan kepercayaan masyarakat terhadap hukum
dan keadilan di Indonesia, Mahkamah Agung harus mereformasi sebagai change of agent dengan
menyusun blueprint pertama dengan membangun kembali citra Mahkamah Agung untuk mencapai
Mahkamah Agung yang berwibawa dan bermartabat,
Dilanjutkan perubahan blueprint ke dua paradigma yang baru dengan mencanangkan program visi
dan misi 2010-2035 Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan yang agung di Indonesia. Paradigma
yang diambil oleh penulis adalah perubahan ke arah lebih baik dan terhormat demi tercapainya peradilan
yang agung. Penelitian dan penulisan disertasi ini menggunakan metodologi empiris tentang aplikasi kode
etik hakim dan tindak lanjut hasil pengawasan terhadap hakim yang melanggar kode etik.
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim di Indonesia, didasarkan pada hasil rumusan Munas
Ikatan Hakim Indonesia terbatas di Surabaya 25-29 September 2002 dan dengan Surat Keputusan Bersama
Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI Nomor: 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Nomor : 02
/SKB/P.KY/IV/2009 tanggal 8 April 2009. Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI diberi
berwenang untuk mengawasi jalanya proses peradilan yang dilakukan oleh para hakim demi tercapainya
efektifitas penegakan hukum dan keadilan di Indonesia.
Kode Etik Hakim berdasarkan teori hukum Islam sebagaimana prinsip-prinsip dasar Shari‟ah
adalah ada 2 dua macam konsep, yaitu pertama: Konsep Tauhi d yang terdiri dari : (i). Unity of Creation (
Meyakini Kesatuan Penciptaan), (ii). Unity of Mankinde (meyakini kesatuan kemanusiaan). (iii). Unity of
Guidance (meyakini kesatuan tuntutan hidup). (iv). Unity of Propose of life (meyakini kesatuan tujuan
hidup). (v). Unity of Godhead ( semuanya merupakan derifasi kesatuan keTuhanan).
Konsep kedua, etika sintesis Islami, terdiri dari : (i). Prinsip Khilafah ( manusia sebagai Khalifah fi
al-Ardi). (ii). Prinsip „Adalah (yaitu prinsip keadilan). (iii). Prinsip Nubuwwah ( yaitu prinsip sifat
Penulisan disertasi ini menggunakan tranliterasi Arab-Indonesia berdasarkan buku
pedoman penulisan disertasi Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya tahun 2011,
sebagai berikut:
NO ARAB INDONESIA ARAB INDONESIA
1 2 3 4 5
1 t
2 b z
3 t „
4 th gh
5 j f
6 h q
7 kh k
8 d l
9 dh m
10 r n
11 z w
12 s h
13 sh `
14 s y
15 d
Sedang untuk menunjukkan bunyi hidup panjang (madd) dengan cara menuliskan tanda coretan
horizontal (macroon) di atas huruf a, i dan u ( , dan ) bunyi hidup dobel (dipthong) Arab
ditranslitkan dengan menggabung dua huruf “ay” dan “au”, seperti layyinah, lawwamah. Kata
yang berakhiran ta` marbutah dan berfungsi sebagai sifat (modifier) atau mud af alayh
ditransliterasikan dengan “ah” sedang yang berfungsi sebagai mudaf ditranliterasikan dengan
“at”.
xvii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 ditegaskan bahwa
kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan “. 1 Hal ini kemudian dipertegas lagi
dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Jo. Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa “kekuasaan
kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya negara hukum Republik
Indonesia”.2. Sejalan dengan ketentuan tersebut, maka salah satu prinsip penting negara
hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas
dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.3
Hukum merupakan panglima di negara Indonesia, karena Indonesia merupakan
negara yang berdasarkan hukum (rechtstaat), bukan berdasarkan kekuasaan (machtstaat)
belaka. Untuk itu, hukum itu harus betul-betul ditegakkan demi terciptanya negara yang adil,
aman, tertib dan sejahtera. Hukum menempati posisi strategis dengan peranan yang dapat
dilakukan sebagai sarana mewujudkan tujuan kebijaksanaan yang dicita-citakan dalam
bentuk hukum. Perwujudan dalam bentuk hukum ini tidak terlepas dari tujuan hukum itu
sendiri, yaitu untuk mengatur masyarakat secara efektif dengan menggunakan peraturan-
peraturan hukum yang ada.4
Penegakan hukum dan keadilan merupakan amanat yang harus ditegakkan oleh
aparatur hukum, sebagaimana diperintahkan Allah dalam Al Qur‟an Surat 4 al-Nisa‟ ayat 58 yang berbunyi :
1 Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara RI 1945 Tentang Kekuasaan Kehakiman , Amandemen Ketiga Tahun 2004.
2 Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
3 Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, Amandemen Ketiga Tahun 2004.
4 Moh Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, . Jakarta, LP3IS, 2001, .2.
xviii
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya
kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.”5
Rasul Allah SAW telah memberikan pesan kepada para hakim, agar melaksanakan
tugas menegakkan hukum dan keadilan sebagaimana amanat yang dibebankan di pundak
para hakim. Oleh karena itu beliau menggolongkan hakim itu menjadi tiga golongan sebagaimana hadith beliau :
Dari Muhammad bin Hasan al-Samaty dari Khalaf bin Khalifah dari Abi Hashim dari Ibnu
Buraidah dari ayahnya dari Nabi SAW telah bersabda:“Hakim-hakim itu terbagi menjadi
tiga golongan, satu golongan masuk surga dan dua golongan masuk neraka. Golongan yang
berbuat adil dalam keputusan hukumnya, maka ia masuk surga. Golongan lainnya yang
mengetahui keadilan itu, tetapi mereka menyeleweng dengan sengaja, maka mereka masuk
neraka. Adapun golongan lainnya adalah mereka memutuskan perkara tanpa ilmu, tetapi
mereka malu mengatakan aku tidak tahu, maka mereka pun masuk neraka.” (H.R. Abu Dawud)6
Hakim7 sebagai aparat hukum, mempunyai peran sangat strategis negara yang
berdasarkan hukum, karena hakim yang ada di pengadilan memeriksa dan memutus setiap
5 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya .S. 4 al- Nisa‟ : 58
6 Abu Dawud, Abu Dawud, Sulaiman bin al-Ash'ats bin Ishaq bin Bashir bin Shidad bin Amru bin Amir al-Azdi al-
Sijistani, Sunan Abu Dawud, Juz 5, (Lebanon, Dar wa Matbi‟ al-Sya‟bi Maktabah1398 H),79.
7 Hakim adalah sebuah gelar yang mempunyai pengetahuan tentang masalah-masalah yang tinggi nilainya, Dalam
literature Islam Istilah hakim sering disebut dan digunakan untuk filosof. Lihat Ensiklopedia Indonesia, Jakarta ,
Gramedia, 1983: 1208. Definisi Hakim menurut Abdul Kadir Muhammad: Pegawai Negeri Sipil yang diangkat
sebagai pejabat penegak hukum mengadili perkara berdasarkan syarat-syarat dan prosedur yang ditetapkan oleh perundang-undangan yang berlaku. Dan untuk hakim Agung dipilih DPR dari hasil seleksi awal oleh Komisi Yidisial
dan diangkat oleh Presiden selaku kepala Negara.
xix
perkara yang diajukan kepadanya. Hakim harus melahirkan putusan yang adil, legal dan pasti serta membawa manfaat bagi masyarakt pencari keadilan. 8
Untuk itu, perlu adanya kode etik profesi hakim yaitu aturan tertulis yang
merupakan pedoman perilaku setiap hakim di Indonesia dalam melaksanakan tugas profesi
sebagai hakim. Adapun maksud dan tujuan adanya kode etik profesi hakim adalah sebagai
alat pembinaan dan pembentukan karakter hakim dan pengawasan tingkah laku hakim.
Selain itu juga, sebagai sarana kontrol sosial, pencegah campur tangan ekstra judicial, dan
pencegah timbulnya kesalahpahaman dan konflik antar sesama hakim dan antara hakim
dengan masyarakat. Tujuan dari kode etik ini adalah memberikan jaminan peningkatan
integritas moral bagi hakim dan kemandirian fungsional bagi hakim dan menumbuhkan
kepercayaan masyarakat pada lembaga peradilan itu sendiri.9 Dengan adanya kode etik
profesi hakim, diharapkan hakim dapat memberikan contoh dan suri tauladan dalam
kepatuhan dan ketaatan kepada hukum.
Namun dalam kenyataannya masih ada sebagian hakim yang menyimpang dari
kode etik tersebut. Banyak melalui media cetak dan elektronik yang memberitakan tentang
adanya penyimpangan aparat hukum, mulai dari tingkat penyelidikan dan penyidikan di
kepolisian, penuntutan di kejaksaan, hingga putusan peradilan. Sebagian media juga
mengekspose adanya penyimpangan dan tidak profesionanya hakim sampai terjerat kasus
pelanggaran kode etik profesi hakim, baik berupa suap menyuap maupun grativikasi dari pihak-pihak yang berperkara.10
Kode etik profesi hakim sudah tentu berisikan aturan-aturan mengenai etika-etika
hakim yang baik, sehingga sumber dari kode etik ini tentunya adalah sumber yang baik dan
dapat dipercaya. Nilai-nilai akhlak yang diajarkan oleh agama yang bersumber dari wahyu,
melahirkan nilai moralitas yang baik adalah sumber dari kode etik profesi hakim ini.
Oleh karena itu dibutuhkan adanya suatu landasan bagi hakim untuk
menerapkan kode etik profesinya dalam menjalankan tugas penegakan hukum dan keadilan,
8 Sementara Ulama Mazhab ahli fiqh telah berselisih pendapat tentang boleh dan tidaknya seorang wanita menduduki
jabatan hakim. Ulama Mazhab Maliki, Syafi‟i dan Hanbali dari kalangan ulama hijaz bersikap ikhtiyathi (kehati-
hatian), wanita dilarang menduduki jabatan hakim, ulama Mazhab Hanafi dari kalangan ulama kuffah, membolehkan
wanita menduduki jabatan hakim terbatas perkara perdata, tetapi dilarang menangani perkara bidang pidana (had).
Sedangkan Ibnu Jarir al-Thabary dan Ibnu Hazm membolehkan perempuan menduduki jabatan hakim untuk semua
jenis perkara perdata maupun perkara pidana. Di Indonesia telah diatur dalam undang-undang tentang persyaratan sebagai hakim, tidak membatasi jenis kelamin, jabatan hakim boleh laki-laki atau perempuan.
9 Wildan Suyuti, Etika Profesi, Kode Etik Dan Hakim Dalam Pandangan Agama,(Jakarta,Mahkamah Agung RI, 2005),
oleh karena kode etik hanya merupakan sebatas aturan saja. Adanya Komisi Yudisial yang
berada dalam struktur lembaga pengawasan pada jalannya yudikatif di Indonesia, yang
mengawasi jalannya peradilan di Indonesia, di era reformasi pengawasan internal belum
mencukupi dalam mengawasi hakim menjalankan tugasnya. Lahirnya pengawasan dari
eksternal yang diunjuk oleh undang-undang, dibutuhkan hukum yang tegas, moralitas hakim
yang baik, dan dilandasi keimanan yang kuat atau nilai-nilai norma agama atau Akhlaq al-
kari mah dan integritas moral yang tinggi bagi seorang hakim dalam menjalankan tugasnya dengan kode etik profesi hakim tersebut.
Penegakan supremasi hukum yang menjadi salah satu amanat reformasi hingga saat ini
sedang dalam proses. Hal ini terjadi mengingat dalam waktu tiga puluh tahun di masa orde
baru sistem kekuasaan yang represif, telah mengakibatkan wajah hukum dan praktek
peradilan kita
menjadi tidak sehat bahkan terpuruk.11 Tentu hal ini menjadi tugas berat bagi
jajaran kekuasaan kehakiman untuk membangun kembali citra peradilan menjadi lembaga
peradilan yang bermartabat dan dihormati oleh masyarakat. Terlepas dari kekurangan yang
ada, terjadinya kekurang-percayaan publik terhadap lembaga peradilan tercermin dari
banyaknya kritik dan berbagai bentuk ketidakpuasan masyarakat terhadap lembaga peradilan
di Indonesia.
Tentu yang menjadi sorotan terkait dengan masalah penegakan hukum ini salah
satunya adalah aparat peradilan (hakim). Masyarakat menyandarkan harapan yang sangat
besar kepada hakim yang benar-benar memiliki integritas moral yang tinggi dan profesional
sehingga tindakan dan tingkah lakunya menunjukkan ketidakberpihakan (impartiality),
memiliki integritas moral serta profesional pada kemampuannya memberikan putusan yang
baik dan benar. Apabila hakim mengangkat citra dan wibawanya, maka hakim tersebut
berarti telah memberikan kontribusi positif dalam penegakan hukum dalam rangka terwujudnya supremasi hukum di Indonesia.
Keberhasilan seorang hakim dalam menegakkan hukum dengan demikian selain
bersandar pada prinsip rule of law dan kemandirian kekuasaan kehakiman, juga sangat
ditentukan bagaimana integritas moral dan perilaku hakim dalam menjalankan tugas sehari-
hari, baik dalam persidangan maupun di luar persidangan. Dalam konteks ini, Mahkamah
Agung RI, sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman sekaligus sebagai pelaksana fungsi pengawasan, telah menyusun pedoman perilaku aparat peradilan.
Pada saat berdirinya Ikatan Hakim Indonesia(IKAHI) pada tanggal 20 Maret 1953
di Tawangmangu Jawa Tengah belum disusun Kode Etik Hakim. Pada Kongres IKAHI Ke
III tanggal 5-7 April 1965 dibentuk Code Ethiek untuk menjaga harkat dan martabat para
hakim dan sekaligus pembentukan pengurus pada setiap daerah hukum Pengadilan Tinggi
11
Munculnya mafia peradilan, yang berbentuk konspirasi-konspirasi di pengadilan untuk memenangkan salah satu pihak
tertentu dan sebutan bagi pihak-pihak yang mengambil keuntungan pribadi dari sistem hukum yang ada di
Pengadilan. ICW menghendaki pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, nepotisme (KKN).
xxi
suatu Dewan Code Ethiek. Dalam kongres Ke IV pada tanggal 23-30 Nopember 1966
dengan menetapkan Kode Kehormatan Hakim dan Majelis Kehormatan Hakim dan pada
kongres-kongres selanjutnya terus diupayakan perubahan tentang istilah Kode Etik seiring
dengan perubahan perundang-undangan tentang Kehakiman. Namun kode etik tersebut tidak
berjalan efektif, sehingga dalam Kongers Ke V di Jakarta tanggal 18-20 Oktober 1968
diubah menjadi Code Kehormatan Hakim dalam hasil Musyawarah Nasional agar mengaktifkan Majelis Kehormatan Hakim.12
Selanjutnya pada Munas IKAHI Ke XII di Jakarta telah diputuskan yaitu
bergabungnya Ikatan Hakim Indonesia dan Ikatan Hakim Agama (IKAHA) pada tanggal 28
Maret 1995 yang dituangkan Surat Keputusan Bersama IKAHI dan IKAHA, sekaligus dengan
diputuskan Aggaran Dasar Keanggotaan IKAHI dan Kode Etik Profesi Hakim, meliputi
hakim pada lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Agama
dan pengawasan terhadap perilaku hakim kurang berjalan efektif. Fenomena tidak efektifnya
penegakan hukum dan keadilan ini disebabkan oleh perilaku hakim yang tidak menjalankan
kode etik yang telah
dirumuskan oleh Ikatan Hakim Indonesia, perlu adanya paradigma kearah perubahan yang lebih baik dan lebih terhormat dan bermartabat.
Agar pengawasan terhadap perilaku hakim dapat berjalan efektif, Mahkamah
Agung RI dan Komisi Yudisial RI telah menyusun Surat Keputusan Bersama (SKB).
Nomor : 047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009 tanggal 8 April 2009 berupa
Kode Etik Hakim dan Pedoman Perilaku Hakim di Indonesia, yang berisikan 10 prinsip
pedoman Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Indonesiah, yang meliputi kewajiban
untuk : 1. Berperilaku adil, 2. Berperilaku jujur, 3. Berperilaku arif dan bijaksana, 4.
Bersikap mandiri, 5. Berintegrasi tinggi, 6. Bertanggung jawab, 7. Menjunjung tinggi harga diri, 8. Berdisipilin tinggi, 9. Berperilaku rendah hati, 10. Bersikap professional.
Dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama Mahkamah Agung RI dan
Komisi Yudisial RI ini diharapkan para hakim dan aparat peradilan lainnya lebih memahami
dan mengimplementasikan kode etik hakim, baik dalam menjalankan tugas-tugas kedinasan
(penanganan perkara) maupun perilaku dalam hubungannya dengan masyarakat luas.
Dengan demikian, peraturan tentang Kode Etik Hakim dan Pedoman Perilaku
Hakim ini merupakan harapan ideal yang diharapkan dari hakim dan sifat yang mewarnai
perilaku hakim. Namun, pada sisi lainnya masih ada sebagian para hakim yang terkena
sanksi akibat pelanggaran dan kelalaian hakim dalam menjalankan tugas sebagai hakim. Ini
kondisi riil, yang menjadi fakta di lapangan, yang membuat kesenjangan antara dassollen
dan dessain. Hal inilah yang akan penulis ungkapkan dalam penelitian dan penulisan
disertasi ini. Antara lain adanya hakim yang mendapatkan hukuman disiplin, baik berupa
12
Iskandar Kamil, Kode Etik Profesi Hakim, (Jakarta, Mahkamah Agung RI, 2005) :3.
xxii
tegoran lisan, tegoran tertulis, dan hukuman administrasi berupa penundaan kenaikan
pangkat, pemberhentian tunjangan hakim, sampai kepada pemberhentian tidak hormat.13.
Yang menjadi keperihatanan penulis, meskipun telah dikeluarkan kode etik hakim,
ternyata masih banyak hakim yang melakukan pelanggaran. Faktor-fakator apa yang
menjadi penyebab adanya pelanggaran tersebut, apakah faktor subtansi dari kode etik
tersebut, atau faktor struktur atau sifat dan watak hakimnya, atau faktor kultur hukum yang
melingkarinya. Sekaligus apa langkah-langkah dan tindakan yang diambil oleh Mahkamah
Agung dan Komisi Yudisial dalam menerapkan kode etik hakim tersebut.
Dalam teori manajemen pemerintahan yang baik dan efektif untuk tercapainya
tujuan penegakan hukum dan keadilan sebagaimana yang diamanatkan undang-undang, ialah
menerima, memeriksa, mengadili dan menjalankan putusan pengadilan. Hal ini perlu adanya
jalanya pilar administrasi pemerintahan yaitu:
Pertama adanya planning atau perencanaan yang baik, agar tercapainya fungsi dan
tujuan peradilan yang baik. Kedua adanya actuating atau pelaksanaan yang sesuai dengan
yang dikehendaki peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu jalanya peradilan yang
sederhana cepat dan biaya yang ringan, dan tercapainya rasa keadilan bagi masyarakat pencari
keadilan. Ketiga controlling atau pengawasan dari institusi yang ditunjuk oleh undang-
undang untuk melakukan pengawasan sesuai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku
apakah petugas aparatur hukum, khususnya dalam menjalankan tugas yudikatif telah sesuai
dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, sehingga menghasilkan putusan yang membawa
kepastian hukum dan keadilan dan bermanfaat bagi masyarakat pencari keadilan.
Bagir Manan, pada saat menjabat Ketua Mahkamah Agung RI, telah menggagas
untuk membangkitkan kembali teganya hukum dalam kondisi keterpurukan hukum di
Indonesia, perlu adanya langkah-langkah perbaikan. Menurut teori hukum “sebab akibat”
Brian Tracy, yang menyatakan: “ everithing happens of a reason, and for every effect there
is a specificcase” (Segala sesuatu terjadi karena ada sebabnya, dan setiap tindakan pasti
akan menimbulkan akibat).14
Berdasarkan teori efektifitas penegakan hukum, sebagaimana yang dikemukakan
oleh para ahli hukum diantaranya: Lawrence Meir Freidmand, ada 3(tiga) pilar sebagai
penopang penegakan hukum dapat berjalan dengan efektif 15.
Pilar pertama faktor subtansi hukum, yaitu adanya peraturan perundang-undangan
itu sendiri, yaitu hukum berfungsi sebagai a tool of social enginiering, sebagai alat untuk
membentuk masyarakat, dan hukum berfungsi sebagai a tool of sociaal control, yakni
13
Mahkamah Agung RI, Laporan Tahunan Mahkamah Agung RI Tahun 2010 ,(Jakarta Mahkamah Agung –RI, 2010)
:103.
14 Bagir Manan, Memulihkan Peradilan yang Berwibawa dan Dihormati, Pokok-Pokok Pikiran Bagir Manan dalam
Rakernas IKAHI, (Jakarta Mahkamah Agung-RI 2008), vii.
15 Lawrence Meir Friedman, Tree Elements of Legal System, a Social Science Prespectiv, (New York, Russel Sage
Foundation), dalam Achmad Ali, Keterpurukan Hukum di Indonesia, Penyebab dan Solusinya, (Jakarta, Ghalia
Indonesia, 2002): 7.
xxiii
hukum sebagai alat kontrol masyarakat, dan hukum berfungsi sebagai alat integrator yaitu
hukum berfungsi untuk mempersatukan masyarakat, demi tercapainya penegakan hukum
dan keadilan.
Pilar kedua, faktor struktur hukum, yaitu yang terdiri dari apatur penegak hukum,
yang terdiri dari, Polisi, Jaksa, Hakim, advokat, bahkan termasuk pembuat undang-
undangnya, yaitu anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Pilar ketiga adanya faktor kultur hukum, yaitu menyangkut kesadaran hukum
masyarakat dalam menjalankan roda kehidupan berbangsa dan bernegara yang dilandasi
dengan hukum yang berlaku yang dikendaki Undang Undang Dasar Negara Republik
Indosesia. Dari tiga faktor yang mempengaruhi efektifitas penegakan hukum dan keadilan
faktor apakah yang paling dominan, apakah faktor subtansi hukumnya, atau faktor struktur
hukum, atau faktor kultur atau budaya hukum masyarakat.
Berdasarkan pandangan Donald Black, penegakan hukum tidak berjalan efektif
adanya penyimpangan dilakukan oleh struktur hukum dalam menjalankan tugas penegakan
hukum maupun tugas pemerintahan, adanya penyimpangan dalam menegakkan hukum yang
dilakukan oleh aparatur hukum, sehingga bukan tercapainya keadilan tetapi mendatangkan
putusan yang diskriminatif bagi masyarakat pencari keadilan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi diskriminatif dan ketidak adilan tersebut.
Sebagaimana teori Donal Black ada beberapa faktor yang mempengaruhinya16:
Petama faktor De-Socialization, ialah dipengaruhi oleh lingkungannya. Pengaruh
dari masyarakat lingkungannya yang berperan untuk menggagalkan penegakan hukum dan
keadilan itu sendiri. Contoh untuk mencapai kehendaknya ada pihak dengan cara KKN
(Kolusi, Korupsi
dan Nepotisme) atau ada pihak-pihak bermain mata dengan aparatur
hukum,dengan demikian sulit akan tercapai penegakan hukum dan keadilan di Indonesia.
Kedua faktor De-legalization yaitu adanya faktor peraturan dan perundang-
undangan itu sendiri, yaitu peraturan perundang-perundangan yang masih ada celah-celah
kelemahan dan kekurangan sehingga kelemahan dan kekurangan tersebut dijadikan dalih
tidak ada hukum yang mengaturnya. Akibatnya perkara tersebut tidak dapat diputuskan,
dengan demikian tidak dapat ditegakkan hukum dan keadilan.
Ketiga Faktor De-Internalization, yaitu kesadaran hukum bagi aparat hukum itu
sendiri dan masyarakat, yang dilandasi keimanan yang kokoh (transendental) tidak mudah
tergoyahkan dengan godaan. Janganlah kita takut hanya karena manusia, marilah kita takut
kepada Allah yang mengawasi kita. Contoh, jika kita perhatikan pelanggaran lalu lintas yang
berada pada perempatan jalan (lampu lalu lintas), lampu warna merah adalah berlaku hukum
bahwa pengendara harus berhenti, untuk memberikan kesempatan penyeberang kaki dan
pengendara kendaraan yang lainnya untuk dapat melintas. Tetapi karena sebagian
pengendara yang ditakuti hanya polisi, maka jika tidak ada polisi, mereka jalan terus.
Peristiwa tersebut di atas menyadarkan kita semua agar mempunyai integritas moral yang
tinggi untuk menegakkan hukum dan keadilan ada pengawasan maupun tidak ada
pengawasan, haruslah merasa diawasi oleh Allah, hal ini penting bagi aparatur hukum untuk
mempunyai integritas moral yang tinggi atau Akhlaq al- karimah.
16
Donald Black, The Behavior of Law, (New York USA Academic Press, Inc), dalam Achmad Ali, Keterpurukan
Hukum di Indonesia, 2002 : 47
xxiv
Berdasarkan teori efektifitas penegakan hukum yang telah diungkapkan oleh
Soerjono Soekanto, dalam bukunya yang berjudul “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Penegakan Hukum adalah ada 5 (lima) macam sebagai berikut:
1. Faktor subtansi hukumnya sendiri, yaitu undang-undangnya atau subtansi hukum
peraturan-peraturan yang diberlakukan;
2. Faktor struktur hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk undang-undang dan yang
menerapkan hukum, yaitu jika di Indonesia adalah pembentuk undang-undang (DPR)
dan yang menerapkan hukum adalah, polisi, jaksa, hakim dan advokat;
3. Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung penegakan hukum, yaitu sarana prasarana
yang mendukung operasionalnya penegakan hukum berupa gedung dan termasuk
sarana prasarana peradilan lainnya.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
5. Faktor kebudayaan (kultur) yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan
pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.17
Dari hal-hal yang sudah dipaparkan di atas, maka penulis mengambil tema untuk
Disertasi ini yaitu “Kode Etik Hakim Di Pengadilan Studi Problematika Penegakan Hukum dan Keadilan Di Indonesia “. Yang definisi operasionalnya sebagai berikut:
1. Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim di Indonesia, pedoman yang berisikan norma-
norma tentang perintah dan larangan bagi hakim dalam menjalankan tugas, menerima,
memeriksa dan mengadili perkara yang dibebankan kepadanya, norma dalam
persidangan dan norma-norma yang harus diperhatikankan di luar persidangan. Yaitu
ada 10 (sepuluh) aturan perilaku hakim sebagai berikut : 1. Berperilaku Adil. 2.
Berperilaku Jujur. 3. Berperilaku Arif dan bijaksana. 4. Bersikap Mandiri. 5.
Berintegritas Tinggi. 6. Bertanggung Jawab. 7. Menjunjung Tinggi Harga Diri. 8.
Berdisiplin Tinggi. 9. Berlaku Rendah Hati. 10. Bersikap Profesional.18
2. Pengertian “penegakan hukum” dapat dirumuskan sebagai usaha melaksanakan hukum
sebagaimana mestinya, mengawasi pelaksanaanya agar tidak terjadi pelanggaran atau
penyimpangan dan jika terjadi pelanggaran memulihkan hukum yang dilanggar itu
supaya ditegakkan kembali. Penegakan hukum dilakukan dengan penindakan hukum
menurut aturan yang berlaku, berupa pemberian sanksi ringan, sedang dan sanksi yang
berat.19
3. Hukum, menurut Ulama Ahli Ushul Fiqh ialah: “ Tuntutan Allah yang berkaitan dengan
perbuatan orang Mukallaf, berupa tuntutan, pilihan atau menjadikan sesuatu sebagai
17
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta , Raja Grafindo Persada, Cet Ke
iv. 2002): 5
18 Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor : 047/KMA/SKB/IV/2009 /
Nomor : 02 /SKB/ P.KY/ IV/2009 : Tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, Yaitu ada 10 (sepuluh) aturan
perilaku hakim sebagai berikut : 1. Berperilaku Adil. 2. Berperilaku Jujur. 3. Berperilaku Arif dan Bijaksana. 4. Bersikap Mandiri. 5. Berintegritas Tinggi. 6. Bertanggung Jawab. 7. Menjunjung Tinggi Harga Diri. 8. Berdisiplin
Tinggi. 9. Berlaku Rendah Hati. 10. Bersikap Profesional
sebab, syarat, penghalang, sah, batal, rukhsah atau azimah yang bersumber dari Al-
Qur‟an, Al-Sunnah, Ijma‟, dan Qiyas (Mas adir al-Tashri‟) 20
4. Hukum, menurut teori hukum positif dan legalitas, adalah segala peraturan dan norma
yang diproduk oleh institusi yang diberi kewenangan untuk itu, dan dapat dipaksakan
oleh yang berwenang serta mendapatkan sanksi bila melanggarnya. Hukum adalah
institusi atau instrumen yang dibutuhkan dan keberadaannya melekat pada setiap
kehidupan sosial atau masyarakat. Hukum diperlukan untuk mewujudkan dan menjaga
tatanan kehidupan bersama yang harmonis. Tanpa adanya aturan hukum, kehidupan
masyarakat akan tercerai- berai dan tidak dapat lagi disebut sebagai satu kesatuan
kehidupan sosial. Oleh karena itu, terdapat adagium, di mana ada masyarakat di situlah
ada hukum. Kehidupan sosial yang harmonis dapat tercapai manakala keadilan
terpelihara dan dapat ditegakkan. Keadilan dalam hal ini meliputi perlindungan terhadap
hak individu anggota masyarakat dan hak kolektif masyarakat,memberikan sesuatu
kepada yang berhak, serta memperlakukan sama terhadap sesuatu yang sama dan
memperlakukan berbeda terhadap sesuatu yang berbeda. Terdapat berbagai pemikiran
dan konsep tentang keadilan.21
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Dari uraian latar belakang tersebut, penulis menguraikan identifikasi masalah yang
muncul setelah diterapkan kode etik hakim dalam menegakkan hukum dan keadilan di Indonesia
yaitu:
1. Apakah yang menjadi faktor penyebab, masih ada sebagian hakim yang belum merubah
dirinya, yang bertingkah laku, dan bertindak sebagaimana hakim-hakim sebelum zaman
reformasi, melakukan tindakan kolusi dan berbuat tidak professional, inkonstitusional dan
indisipliner dalam menjalankan tugas sebagai hakim Indonesia, sehingga wajah lembaga
peradilan menjadi tercoreng dan tidak berwibawa.
2. Apa faktor penyebab masih ada sebagian hakim di Indonesia di era reformasi ini, tidak
sepenuhnya memahami dan menerapkan “Kode Etik Hakim dan Pedoman Perilaku Hakim” ?
3. Apa langkah-langkah yang ditempuh oleh Mahkamah Agung RI untuk tercapainya kualitas
para hakim agar dapat melaksanakan kode etik hakim dan pedoman perilaku hakim
Indonesia, sehingga dapat tercapai lembaga peradilan yang berwibawa dan agung dan bebas
dari perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dan tindakan indispliner lainnya.
4. Lembaga hukum manakah yang berwenang, jika terjadi adanya hakim yang melakukan
pelanggaran kode etik (code unprofessional coundauct), dan hakim yang melakukan
tindakan pelanggaran hukum (code unprofessional law) ?
20
Abd. Azis Dahlan, dkk. Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 2 , (Jakarta PT. Ichytiar Baru Van Hoeve, 1996), 571
21 Koko Istya Temorubun, Arti dan makna hukum menurut Aristoteles, Teori Hukum Legalitas,. (Jakarta, Universitas
Indonesia, 2001): 6.
xxvi
C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penerapan kode etik dan pedoman perilaku hakim dalam menegakkan hukum
dan keadilan di Indonesia ?
2. Apakah faktor-faktor penyebab kode etik dan pedoman perilaku hakim di Indonesia belum
dapat dilaksanakan secara efektif di Indonesia ?
D. Tujuan Penelitian
Dengan masalah yang berhubungan dengan penerapan kode etik dan Pedoman Perilaku
Hakim di Indonesia sebagai subtansi hukum pedoman perilaku hakim dalam menegakkan hukum
dan keadilan di Indonesia sekaligus alat kontrol dalam pengawasan, dalam hal ini penulis
bertujuan :
1. Untuk memahami bagaimana Kode etik hakim Indonesia diterapkan dan dijalankan oleh
para hakim, dengan mengkaji teori-teori tentang etika oleh para ahli dibidang filsafat etika
dan teori penegakan hukum dan keadilan oleh para ahli di bidang hukum. Baik teori
penegakan hukum dari para ahli hukum barat dan teori penegakan hukum dari para ahli
hukum Islam.
2. Untuk mengetahui apa faktor-faktor penyebab bahwa kode etik hakim dan pedoman perilaku
hakim Indonesia belum dapat berjalan efektif yang diambil dari teori efektifitas penegakan
hukum oleh para ahli hukum. Dan untuk memahami apakah langkah-langkah yang
ditempuh oleh Mahkamah Agung R I dan Komisi Yudisial RI agar Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim Indonesia agar dapat berjalan efektif dalam menegakkan hukum dan
keadilan di Indonesia.
E. Kegunaan Penelitian
Dengan adanya penelitian dan penulisan Disertasi ini diharapkan dapat berguna :
1 . Dari segi teoritis, agar dapat menjadi sumbangan pemikiran terhadap ilmu pengetahuan
khususnya di bidang pelaksanaan dan implementasi kode etik dan pedoman perilaku hakim
dalam
melaksanakan tugas sebagai hakim dalam menegakkan hukum dan keadilan di Indonesia,
serta dapat mengembangkan konsep-konsep pemikiran yang berhubungan dengan kode etik
prespektik filsafat etika dan peran antisipatif dalam menghadapi arus perkembangan hukum di
era modern.
2. Dari segi praktis, untuk memberikan informasi kepada masyarakat, bahwa lembaga peradilan
mulai dari Mahkamah Agung RI dan 4 (empat) lembaga peradilan di bawah Mahkamah
Agung RI telah ada peraturan yang mengikat kepada para hakim sebagai struktur hukum
dalam menjalankan tugas sebagai penegak hukum dan keadilan, agar hakim lebih berhati-hati
dan waspada dengan adanya keterbukaan informasi dan Trasparansi, apabila berperilaku dan
bertindak tidak profesional dan inkonstitusional, dan bertindak atau perilaku yang terpengaruh
dari kultur budaya kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) telah terbaca dan dilihat masyarakat,
berakibat pula akan menjadi jatuhnya martabat dan harga diri sebagai hakim di Indosnesia.
Dari segi pelaksanaan dan implementasi kode etik dan pedoman perilaku hakim di Indonesia,
untuk lebih efektifnya setiap individu hakim, secara teologis hakim adalah jabatan dan amanat
xxvii
yang akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah, maka perlu memiliki skill kemampuan
dari keilmuan hukum formil dan materiil yang optimal dan mempunyai integritas moral dan
Akhlak yang luhur dan keimanan yang kokoh sebagai pengendali dan pencegah terhadap
perilaku yang menghadirkan sikap kufur dan z alim. Dengan demikian harapan tercapainya
penegakan hukum dan keadilan akan terwujud di Negara Indonesia.
Dari hasil penelitian dan observasi yang dituangkan penulisan Disertasi ini yang diharapkan
oleh penulis dapat menemukan adanya temuan teori baru yang dapat menunjang perbaikan
atau kelengkapan teori-teori penegakan hukum dan keadilan yang telah diungkapkan oleh
pakar-pakar di bidang hukum di era terdahulu sebagai pengembangan teori tersebut yang
berguna di era global dan modern ini, dengan adanya kemajuan teknologi dan informasi.
Dengan harapan tercapainya peradilan yang berwibawa dan peradilan yang agung akan segera
terwujud di Indonesia.
F. Studi Terdahulu
Selanjutnya penulis menyampaikan Mapping hasil Penelitian dan Penulisan terdahulu Tentang
Etika Profesi Hakim:
Nama dan Karya
Tulis
Hasil Penelitian dan
Penulisan
Dasar Hukum
dan Regulasi
Struktur dan
Pelaksanaan
Pengawasan
Tindak Lanjut
Pengawasan
1. Junaidi
Abdullah,
Kode Etik
Profesi Hakim.
Norma kode etik hakim,
yaitu nor ma atau aturan
yang harus dipedomani
dan dijalankan oleh para
hakim Indonesia dalam
menjalankan tugas pro
fesi hakim Indonesia.
Dalam hal ini, hanya
mendiskripsikan makna
Etik, Profesi dan Hakim dan isi dari 10 norma
pokok kode etik dan
pedoman perilaku hakim
Indonesia
HasilMusya
warah Nasi onal
ke XII Ikatan
hak im Indone
sia di Ban dung
pada Tahun
2001
Tidak dijelas kan
secara ter perinci
pelak sana atau struk
tur pengawasan dan
penindakan bagi
pelaku pe langgaran kode etik hakim.
Tidak dije
laskan secara
terperinci hasil
pengawasan.
2. Muh Rofiq
Nasihudin
“Kode Etik
Profesi Ha kim
dalam Islam “
1.Meletakkan kerja
sebagai sebuah amal
shaleh yang dilaku kan
dalam kontek dan
aktifitas yang ber nilai
ibadah atas iman, ilmu,
dan amal. Disini kerja
berorientasi kepa da dua
pandangan beherja dan
men dapatkan financi al.
2. Kerja sebagai penuaian
Norma al-
Akhlaq. Yaitu
Akh laq Mahmu
dah(perila ku
yang baik) dan
Akhlaq Maz
mumah peri
laku yang
buruk).yang
bersumber dari
kitab-kitab al-
Sebagai manusia
beriman kepada
Allah, setiap sa at dan
dimana saja kita
berada Allah
mengawa si kita.
Sanksi ke
sengsaraan
hidup ukhrawi.
xxviii
22. sebagai sua amanah yang harus
dilakukan secara
professio nal.
3.Melakukan kerja de ngan
wawasan masa depan
dan wawasan ukhrawi.
akh laq dalam
Islam.
3.Muhammad
Rodlin,
“Etika Profesi,
Telaah Pendekat
an Moral”.
Kode etik untuk segala
profesi, tidak terbatas
pada profesi hakim.
Setiap profesi yang
mendapatkan imbalan
dari profesinya harus
ada kode etiknya,
Segala ma cam
aturan tentang
pro fesi, Guru,
dokter,Apoteker
, Advo kat dll.
Masing masing induk
organisasi profesi.
Sanksi dari
induk orga
nisasi tidak
dijelaskan
secara
terperinci.
4.Wahyudi.
“Tinjuauan
Hukum Is lam
Terha dap Ke
bebasan Ha kim :
Study analisis
pasal 1 ayat 1
dan pasal 14 ayat
1 UU.Nomor
35Tahun
1999Tentang Ke
kuasaan
Kehakiman”.
Skripsi dari
Fakultas Sya
ri‟ah UIN
Yogjakarta
Hakim dalam me
negakkan hukum dan
keadilan dan kebenaran,
harus terbebas dari pe
ngaruh ekstra yudisial
baik dari dalam maupun
dari luar.
UU. Nomor 35
Tahun 1999.
Tentang Ke
kuasaan Ke
hakiman. Yaitu,
sete lah terjadi
nya perubah an
undang- undang
Ten tang keku
asaan Keha
kiman dan
pemisahan
secara jelas
kekuasaan
antara Ekse
kutif, Yudi katif
dan Legislatif.
Tidak ada struk tur
pengawasan yang
dijelaskan secara rinci.
Dan sudah terja di
perubahan per
undang-undang an
Kekuasaan
Kehakiman.UU, No. 4
Tahun 2004 Tentang
Undang-Undang
Pokok Kekuasa an
Kehakiman.
Tidak ada tindak
lanjut sanksi
jika ada ha kim
yang mela
kukan penyi
mpangan dan
pelanggaran.
5.Sofia Hardani,
Tesis, “Kode
Etik Hakim da
lam Islam”.
1.Hakim harus tahu
fakta yuridis perkara yang dihadapi.
2.Hakim harus
mengupayakan damai
para phak berperkara.
3.Mampu menye
lesaikan perkara dan
dapat diek sekusi.
4. Bersikap adil, jujur,
bijaksana, berwibawa,
meng hidari perbuatan
yang tercela.
5. Bebas dari pengaruh
Kitab-kitab fiqh
dan Akhlak da
lam Islam.
Tidak diterang kan
struktur pe ngawasan
bagi hakim yang me
langgar kode etik.
Dan hanya bersifat
normatif saja.
Tidak dite
rangkan tin
daklanjut jika
ada hakim yang
melanggar kode
etik.
xxix
ekstra yudisial.
6.Mampu melakukan
Ijtihad menemukan
hukum.
6.MuchsinHarTesis
,Akhlak,Etika
dan Moral Tesis,
Universitas
Muhammadi
yahYogjakarta
2008
Makna Etimologi dan
Terminologi, Akhlak,Etika, Moral .
Norma perilaku yang
baik dan yang buruk.
Yang membedakan ada
lah sumbernya.
Akhlak ber
sumber dari
wahyu al-
Qur‟an dan as
Sunnah.
Etika dari aturan
atau norma ter tulis.
Moral ber
sumber dari adat
istiadat
Tidak diterang kan
struktur pe ngawasan
bagi hakim yang me
langgar kode etik.
Tidak dite
rangkan tin dak
lanjut dan sanksi
bagi yang
melanggar kode
etik. Penulis ha
nya mene
rangkan definisi
dan per
bedaannya.
Perbedaan penelitian dan penulisan disertasi penulis ini, legalitas subtansi norma-norma
kode etik disusun oleh lembaga negara, struktur pengawasan dan penindakan adalah Mahkamah
Agung RI dan Komisi Yudisial dan sanksi yang jelas dan tegas diputuskan oleh Majelis Kehormatan
Hakim (MKH). Dalam penulisan terdahulu tidak diterangkan tindak lanjut hasil pengawasan. Dan
secara kwantitatif jumlah hakim yang mendapat sanksi hukuman disiplin juga tidak dijelaskan.
G.Pendekatan dan Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bersifat eksploratif. Eksplorasi ialah
penggambaran (deskriptif) dan penjelasan (eksplanasi). Dalam konteks ini, penelitian
eksplorasi adalah usaha untuk membentuk pengertian umum terhadap suatu fenomena.22
Dengan demikian fokus penelitiannya adalah pada struktur hukum, yaitu para hakim dan
struktur hukum yang mengawasi implementasi bidang kode etik hakim yang berada di bawah
naungan Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI.
Penelitian ini diarahkan pada suatu penelitian yang intensif terhadap suatu satuan
análisis tertentu, dalam hal ini hakim yang terdahulu atau tokoh atau ahli di bidang etik
profesi dan penegakan hukum. Ciri-ciri yang melekat pada penelitian ini adalah :
a. Satuan analisis dipandang sebagai satu kesatuan yang utuh dan terintegrasi. Ia terdiri dari
beberapa unsur yang saling berhubungan. Pendekatan yang dilakukan adalah secara
22
Tim Wikipedia Bahasa Indonesia : “Eksplorasi “ dalam . hhtp //id wikipedia org/wiki/Eksplorasi tanggal 1 Februari
2011. 1
xxx
kualitatif dan bersifat holistik. Satuan analisis memiliki hubungan dengan unsur lain di
luar dirinya dalam konteks yang lebih luas, dalam hal ini sistem sosial.
b. Studi analis ini diarahkan untuk menemukan spesifikasi atau kekhususan satuan analisis,
dalam hal ini tokoh di bidang filsafat etika dan penegakan hukum dan pengaruhnya
terhadap generasi selanjutnya.
c. Data yang diperlukan beberapa laporan resmi Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial
dan Berita Acara Proses persidangan pada Majelis Kehormatan Hakim, rekomendasi dari
Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung RI dan surat-surat keputusan atas Pemberian
sanksi oleh Mahkamag Agung RI.
2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini adalah di Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI.
Kedua lembaga ini diambil sebagai tempat penelitian, dengan pertimbangan bahwa
Mahkamah Agung RI cq. Ketua Muda Pembinaan Mahkamah Agung RI, Ketua Muda
Pengawasan Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI adalah lembaga yang diberi
kewenangan oleh undang-undang untuk mengawasi jalannya peradilan di Indonesia. Pada
dua lembaga tersebut terdapat sumber data dokumenter tentang para hakim yang telah
mendapatkan pendidikan kode etik dan Para Hakim yang mendapatkan hukuman disiplin
sebagai hakim karena melakukan pelanggaran Kode Etik Hakim yang telah diputus dalam
persidangan Majelis Kehormatan Hakim (MKH). Guna mengetahui bagaimana pelaksanaan
materi pendidikan, pembinaan kode etik hakim dan pengawasan serta hasil pengawasan serta
prosedur pemberian sanksi bagi hakim yang telah melanggar kode etik dan pedoman
perilaku hakim di Indonesia, serta mengetahui arah pembinaan ke depan oleh Mahkamah
Agung RI.
3. Penarikan Informan
Penulis dalam hal pengambilan informan ini adalah para hakim dalam
lingkungan Mahkamah Agung dan 4(empat) peradilan di Jawa Timur untuk mengetahui
efektifitas pelaksanaan kode etik dan pedoman perilaku hakim Indonesia diaplikasikan
dalam pelaksanaan tugas sehari-hari, yang terkait dengan subtansi hukum, struktur hukum
dan kultur hukum dan aplikasinya di lapangan, yang bersumberkan dari:
a. Ketua Muda Bidang Pengawasan Mahkamah Agung RI;
b. Anggota Majelis Kehormatan Hakim yang pernah dibentuk ;
c. Direktur Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI ;
d. Ketua Pengadilan Tinggi dan Ketua Pengadilan Tinggi Agama Surabaya ;
e. Ketua Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
f. Ketua Mahkamah Tinggi Militer Surabaya ;
g. Ketua Komisi Yudisial RI ;
xxxi
h. Ka Pusdiklat Mahkamah Agung pelaksana pada Pendidikan Calon Hakim pada
Pusdiklat Mahkamah Agung RI.
i. Pengurus Pusat IKAHI (Ikatan Hakim Indonesia).
j. Sebagian hakim dari hakim yang berada di kelas I A di Jawa Timur.
Pengambilan data untuk mengetahui adanya pelanggaran kode etik hakim dan
pedoman perilaku hakim adalah :
a. Data-data tentang hasil pemeriksaan adanya pelanggaran kode etik yang telah
diputuskan Majelis Kehormatan Hakim dalam kurun waktu lima tahun terakhir (2007-
2011), yang telah direkomendasikan oleh Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial
RI.
b. Sebagian para hakim yang berada di tingkat pertama kelas I (satu ) di Jawa Timur untuk
mengetahui apakah para hakim telah memahami isi kode etik tersebut dan
menerapkannya dalam melaksanakan tugas memeriksa dan mengadili perkara.
3. Jenis dan Sumber Data Penulis menggunakan melakukan penelitian lapangan dan sumber data-data
diambil dari buku-buku dan data dokumenter yang diperoleh dari Mahkah Agung RI maupun
dari Komisi Yudisial, yaitu data yang diperoleh langsung dari lapangan melalui penelitian
maupun wawancara dan kuiseoner yang terstruktur pada responden yaitu para hakim, di
pengadilan tingkat pertama,
para hakim pada peradilan tingkat banding, dan hakim bidang pengawasan dan lembaga yang kompeten di bidang pengawasan jalannya peradilan pada Komisi Yudisial RI.
Penulis menggunakan penelitian lapangan tentang aplikasi dan penerapan atau
penelitian empirik kode etik hakim oleh para hakim dalam menjalankan tugas profesinya.
Yaitu dari telaah hasil wawancara dan kuisener yang telah disampaikan kepada para hakim di
lapangan dan telaah atas dokumen-dokumen pelaporan resmi, dan pustaka mengenai jumlah
para hakim di Indonesia, untuk mengetahui secara kuantitatif berupa jumlah kasus
pelanggaran atau penyelewengan yang dilakukan oleh hakim, bentuk pelanggaran, dan berat
atau ringannya sanksi yang dijatuhkan kepada para hakim yang melanggar kode etik dan
pedoman perilaku hakim di Indonesia dalan kurun waktu tertentu, yaitu minimal 5 (lima)
tahun terakhir (2007-2011).
Penelitian dari sumber pustaka, yang terkait dengan buku-buku kode etik hakim,
buku-buku yang terkait dengan teori efektifitas penegakan hukum dan keadilan, yang terdiri
dari:
a. Sumber Primer yang terdiri dari : 1. Laporan-laporan resmi dari Mahkamah Agung RI
dan Komisi Yudisial RI. 2 Proses dan Berita Acara Persidangan Majelis Kehormatan
Hakim 3 Rokomendasi Komisi Yudisial kepada Mahkamah Agung RI. 4. Surat-Surat
Keputusan Pemberian Sanksi oleh Mahkamah Agung RI.
b. Sumber sekundernya terdiri dari buku-buku dan karya tulis para ahli di bidang kode
etik dan di bidang hukum. sumber lainnya terdiri dari buku-buku yang semuanya
sebagai penunjang sumber primer dan sumber sekunder, terdiri dari kamus-kamus,
xxxii
dan buku Insiklopedia dan ensiklopedi hukum Islam.
c. Hasil kuissener yang telah disebarkan kepada para hakim sebagian di Jawa Timur dari
(4) empat lingkugan peradilan terhadap implementasi kode etik hakim.
4. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data dari sumber data dalam penelitian dan penulisan
Disertasi ini dengan menggunakan:
a. Studi Dokumenter diambil dari sumber primer yang terdiri dari : 1. Laporan-laporan
resmi dari Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI. 2 Proses dan Berita Acara
Persidangan Majelis Kehormatan Hakim 3 Rokomendasi Komisi Yudisial kepada
Mahkamah Agung RI. 4. Surat-Surat Keputusan Pemberian Sanksi oleh Mahkamah
Agung RI.
b. Sumber sekundernya terdiri dari buku-buku dan karya tulis para ahli di bidang kode etik
dan dibidang hukum. Sumber tersiernya terdiri dari buku-buku yang semuanya sebagai
penunjang sumber primer dan sumber sekunder, terdiri dari kamus-kamus, dan buku
Eksiklopedia dan eksiklopedi hukum Islam.
c. Penyebaran kuisioner yakni dengan membuat pertanyaan secara tersetruktur yang
diarahkan pada efektifitas penegakan hukum dan faktor-faktor yang menghambat dan
penyebab timbulnya diskriminasi yang berkaitan penerapan kode etik hakim
beradasarkan teori para ahli hukum.
d. Observasi, yaitu pengamatan langsung perilaku hakim dalam menerapkan kode etik di
sebagian pengadilan terpilih.
e. Wawancara terhadap nara sumber terkait dengan pengawasan dan penindakan atas
pelanggaran kode etik.
5. Teknik Analisa Data
Setelah data terkumpul yang bersumber dari beberapa sumber data literatur maupun
dokumenter di Makhmah Agung RI dalam kewenangan Ketua Muda Bidang Pengawasan
Mahkamah Agung RI, maupun data yang telah direkomendasikan oleh Komisi Yudisial
dan Majelis Kehormatan Hakim atas pelanggaran kode etik, maupun hasil jawaban kuisener
yang telah terhimpun dari responden para hakim tentang kode etik dan pedoman perilaku
hakim dalam menerapkan penegakan hukum dan keadilan di Indonesia, diklafisifikasikan
menurut katagori tertentu.
xxxiii
Penulis menggunakan analisa dengan Metode Distributive frekuensi untuk
mengetahui faktor-faktor penyebab mengapa kode etik belum diterapkan secara maksimal.
F
P = --------X 100% KETERANGAN : P = PERSENTASE
N F = FREKUENSI
N = JUMLAH INFORMAN
100% = ANGKA PEMBULATAN
G. Sistematika Penulisan
Penelitian dan penulisan Disertasi ini penulis menggunakan sistematika yang terdiri bab-
bab, dan setiap bab terdiri dari sub bab sebagai berikut :
Bab pertama merupakan bab pendahuluan, yang merupakan fenomena yang berkembang
dengan lahirnya Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim di Indonesia, untuk menjalankan tugas
sebagai hakim yang menerima, memeriksa dan memutus perkara di pengadilan apakah telah
berjalan efektif di Indonesia, setelah berjalannya era reformasi di bidang penegakan hukum di
Indonesia. Kajian ini dilakukan dengan dikaitkan teori tentang filsafat etika oleh para ahli, dan
teori para ahli dibidang penegakan hukum. Menyampaikan hasil penelitian dan penulisan
terdahulu atau karya ilmiyah tentang etika. Kemudian digali berdasarkan fokus permasalahan
penelitian, dan terjawab pada tujuan penelitian. Dari tujuan penelitian diharapkan dapat
memberikan hazanah keilmuan. Metode Penelitian yang mengambarkan cara melakukan
penelitian, pengumpulan data, analisis data dan penarikan kesimpulan.
Bab kedua. Tinjauan UmumTentang Kode Etik Hakim, Penegakan hukum dan Keadilan.
Dipaparkan tentang : Definisi Kode Etik dan Kode etik Profesi Hakim dan Implementasinya.
DefinisiHukum dan Keadilan menurut para ahli. Asas-Asas Hukum dalam Penegakan Hukum di
Indonesia. Fungsi Hukum dan Tujuan Hukum
Bab ketiga. memaparkan Teori Implementasi Kode Etik dan Penegakan Hukum dan
Keadilan di Indonesia sebagai bahasan pokok dalam penelitian dan penulisan dengan
menjelaskan: Kerangka Teoritik Impementasi Tentang Kode Etik Hakim. 1. Teori Efektifitas
penegakan hukum dan keadilan Laurence Meir Friedman.2. Teori Efektifitas penegakan hukum
dan keadilan Donald Balck dan Teoritik Sorjono soekanto. Implementasi Kode Etik Hakim di
Indonesia dengan paparan tentang Arah Pembinaan Hakim di Indonesia agar tercapainya
lembaga peradilan Indonesia menjadi peradilan yang bermartabat dan agung sebagai cita-cita
reformasi di bidang hukum di Indonesia. Dalam hal ini berisikan paparan tentang: Fungsi dan
kedudukan Kode Etik Hakim Indonesia sebagai subtansi hukum sebagai pedoman hakim dalam
menjalankan tugas memeriksa dan mengadili perkara. Bagaimana para hakim dan masyarakat
mensikapi Kode Etik Hakim sebagai analisa Kultur Hukum dalam mengimplementasikan berupa
uraian (hambatan dan tantangan). Menguraikan tentang Sanksi atas hasil pengawasan terhadap
perilaku hakim atas pelanggaran Kode Etik Hakim. Selanjutnya diuraikan langkah ke depan
Mahkamah Agung RI dalam meningkatkan kuwalitas hakim Indonesia.
Bab keempat . Analisis Temuan dan Problematika Kode Etik Hakim, dan diuraikan
tentang hasil wawancara dan kuiseoner kepada informan tentang aplikasi kode etik hakim
tergambar prosentase terhadap hakim yang mendapat hukuman atau sanksi selama 5 tahun
terakhir.
xxxiv
Bab kelima, penutup berisi kesimpulan dari temuan penelitian, kemudian Rekomendasi
dan diuraikan tentang implikasi teoritik dan keterbatasan penelitian, di bagian akhir daftar
pustaka, daftar riwayat hidup dan lampiran-lampiran sumber data dan responden dari Mahkamah
Agung RI dan Komisi Yudisial RI dan lampiran-lampiran lainya.
xxxv
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG KODE ETIK HAKIM,
PENEGAKAN HUKUM DAN KEADILAN
A. Syarat-syarat Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim.
Oleh karena hakim adalah sebagai profesi yang perkedudukan mulya dan sebagai
pejabat negara, maka perlu diuraikan syarat-syarat menjadi hakim dan apa saja perilaku para
hakim yang menjadi penyebab dapat diberhentikan menjadi hakim sebagaimana telah diatur
dalam peraturan perundang-undangan Indonesia.
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, merupakan perubahan kedua dari
perubahan pertama undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 dan perubahan pertama Undang-
Undang nomor 3 Tahun 2006 yaitu Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
perubahan tersebut menambah kompetensi peradilan agama dengan menambah kewenangan
menerima dan memeriksa perkara ekonomi syari‟ah. Perubahan kedua tentang sistem
penerimaan dan pengangkatan dan pemberhentian hakim dengan melibatkan dan kewenangan
Komisi Yudisial, sekaligus Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas eksternal Terhadap
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Indonesia. Perubahan-perubahan tersebut adalah
usaha optimalisasi meningkatkan fingsi dan tugas badan peradilan yang bersih dan berwibawa
guna menghapus praktek-praktek mafia peradilan di Indonesia sebagai landasan das Sollen
yang diharapkan, maupun das Sein yang diterapkan dalam praktek sebagai hakim.
Dalam Pasal 13 Undang Undang Nomor 50 tahun 2009
(1) Untuk dapat diangkat sebagai hakim pengadilan agama, seseorang harus memenuhi syarat
sebagai berikut:
a. Warga negara Indonesia;
b. Beragama Islam;
c. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d.Setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
e. Sarjana syari‟ah, sarjana hukum Islam atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam;
f. Lulus pendidikan hakim;
g.Mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan kewajiban;
h. Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
i. Berusia paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun dan paling tinggi 40 (empat puluh)
tahun; dan
j. tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. (pasal 13 UU. Nomor 50
Tahun 2009)
Dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1) diubah sehingga Pasal 18 berbunyi sebagai
berikut:
(1) Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena:
a. atas permintaan sendiri secara tertulis;
b. sakit jasmani atau rohani secara terusmenerus;
c. telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun bagi ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan
agama, dan 67 (enam puluh tujuh) tahun bagi ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan
tinggi agama; atau
d. ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.
xxxvi
(2) Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan yang meninggal dunia dengan sendirinya
diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden. (Pasal 18 UU.Nomor 50 Tahun
2009).
Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga Pasal 19 berbunyi sebagai berikut:
(1) Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya
dengan alasan:
a. dipidana penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
b. melakukan perbuatan tercela;
c. melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya terus-menerus selama 3 (tiga)
bulan;
d. melanggar sumpah atau janji jabatan; e. melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17; dan/atau
f. melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
(2) Usul pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diajukan oleh Ketua
Mahkamah Agung kepada Presiden.
(3) Usul pemberhentian dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diajukan oleh
Mahkamah Agung dan/atau Komisi Yudisial.
(4) Usul pemberhentian dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, dan
huruf e diajukan oleh Mahkamah Agung.
(5) Usul pemberhentian dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f diajukan oleh
Komisi Yudisial. (6) Sebelum Mahkamah Agung dan/atau Komisi Yudisial mengajukan usul pemberhentian
karena alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), hakim pengadilan
mempunyai hak untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Hakim.
(7) Majelis Kehormatan Hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. (Pasal 19 UU.Nomor 50 Tahun 2009).
Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga Pasal 20 berbunyi sebagai berikut:
Dalam hal ketua atau wakil ketua pengadilan diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena
atas permintaan sendiri secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a,
tidak dengan sendirinya diberhentikan sebagai hakim. (Pasal 20 UU.Nomor 50 Tahun 2009)
Di antara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 21 disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (1a) yang berbunyi
sebagai berikut:
(1) Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan sebelum diberhentikan tidak dengan hormat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf
f dapat diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Ketua Mahkamah Agung.
(2) (1a) Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diusulkan oleh
Komisi Yudisial.
(3) Terhadap pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2).
(4) Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku paling lama 6
(enam) bulan. (pasal 21 UU Nomor 50 Tahun 2009).
B. Problematika Pengangkatan Hakim Wanita Pandangan Ahli Fiqih..
Indonesia adalah mayoritas penduduknya beragama Islam, namun dalam hal
pengangkatan hakim wanita, jika kita kembali mengkaji pandangan kitab-kitab fiqh para imam
mazhab, telah berselisih pendapat tentang sah tidaknya pengangkatan hakim wanita, apalagi jika
dikaitkan dengan kode etik hakim itu sendiri, maka berakibat pula pada putusannya, sah atau
tidaknya putusan hakim wanita. Sebagaimana hadith Rasul Allah SAW, tentang tiga golongan
hakim, satu golongan hakim masuk surga dan dua golongan hakim masuk neraka. Jika
xxxvii
diperhatikan teks nas hadith tersebut lafaz bilangan (i‟dad) menyebutkan mu‟annath (perempuan)
adalah menyebutkan kepada dlamir fa‟il muzakkar (laki-laki), sebaliknya jika (i„dad) muzakkar
(laki-laki) adalah menyebutkan dlomir fa‟il muannath untuk perempuan.
Sebagaimana yang dinukilkan dalam nas hadith tiga macam golongan adalah untuk
hakim laki-laki, bukan hakim untuk perempuan. Maka Ulama dari kalangan mazhab Maliki dan
Syafi‟i dan Hanbali memberikan suatu syarat untuk mendapatkan kedudukan hakim harus laki-
laki. Namun Imam Hanafi memperbolehkan wanita menduduki jabatan sebagai hakim.
Ada tiga pendapat tentang hakim wanita dikalangan ulama mazhab fiqh.
Pertama, Perempuan tidak sah menjadi hakim, pendapat ini diwakili oleh tokoh
mazhab terkenal seperti, Imam Malik, Syafi‟i dan Ahmad Ibnu Hanbal.
Kedua, Perempuan sah menjadi hakim, kecuali pada persoalan hukum hudud (pidana)
dan qishah, pendapat ini diwakili oleh tokoh fiqh rasional, Imam Abu Hanifah
Ketiga, Perempuan sah menjadi hakim secara mutlak dalam kasus apapun (perdata,
maupun pridana), pendapat ini diwakili oleh imam Ibnu Jarir Al-Thabary. Sejalan dengan
pendapat Imam Thabary, Imam Ibnu Hazm juga mengemukakan kebolehan perempuan sebagai
hakim secara mutlak, tidak terkecuali pada perkara perdata ataupun pidana, ini berarti bahwa
perempuan sah menjadi hakim.23
Adapun landasan pertama yang mengharamkan wanita menjadi hakim adalah. Dari ketiga
kelompok ulama yang memiliki pendapat berbeda tersebut masing–masing memiliki landasan argumentatif yang cukup kuat baik dari nas-nas shari‟at atau dalil naqli maupun aqli. antara lain:
1. Menurut penjelasan Muhammad Abu Al-„Ainaini, kelompok ulama yang meragukan keabsahan
perempuan menduduki jabatan sebagai hakim, seperti yang diwakili Imam Malik dan Syafi‟i, yang berpedoman pada teks al-Qur‟an surat An-Nisa ayat 47,
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan
sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (Q.S. 4 (an Nisa ‟ 47).
Menurut interpretasi ulama kelompok yang melarang wanita menduduki jabatan
hakim, kalimat (kelebihan) yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah berkaitan dengan
penggunaan daya nalar dan fikir, yang dalam banyak hal, terutama dalam kontek proses peradilan, perempuan tidak dapat melakukan hal yang sama dengan pria.
23
San‟any, Al-Shan‟any, Subul al-Salam, Juz IV, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th) :412.
xxxviii
Demikian pula pandangan Hamid Muhammad Abu Thalib mengemukakan bahwa
kehadiran perempuan dalam sebuah proses peradilan, apalagi sebagai hakim dapat menimbulkan
fitnah, terutama bertentangan dengan kelaziman yang berlaku dalam masyarakat, oleh karenanya
kesaksian bagi perempuan tidak sama dengan laki-laki yaitu seorang saksi perempuan belum
mencukupi, dan nilai kesaksian dua perempuan sama dengan satu laki-laki secara hukum. Maka
kehadiran perempuan dalam proses peradilan dinilai tidak lazim dan akan memperlemah suatu
proses peradilan karena keterbatasan mental dan daya nalar perempuan baik sebagai saksi maupun sebagai terdakwa.
Argumentasi lain yang dikemukakan oleh ulama madzhab Maliki dan Syafi‟i
adalah berdasarkan Sunnah Rasul Allah SAW. Hadith yang meriwayatkan tentang kematian
raja Kisra dari Persia, Nabi SAW sempat mengemukakan pertanyaan di kalangan sahabat,
“menurut anda (para sahabat) siapakah yang layak akan menggantikan raja Kisra,” ?. Para
sahabat serta merta menjawab, “ tentu saja putrinya yang bernama Nora, sebagai pengganti
raja”. Kemudian Nabi segera mengkonter jawaban para sahabat itu dengan menyampaikan
Dan dari Abu Bakrah RA. Dari Nabi SAW bersabda:“Tidak akan mengalami kesuksesan, suatu bangsa apabila pemimpin diserahkan kepada perempuan.” (HR. Al-Bukhari).24
Ketika menafsirkan hadith tersebut sebagian ulama yang melarang hakim wanita,
juga menggunakan logika silogisme (hampir identik dengan qiyas). Logika silogeisme yang
digunakan para ulama dalam memahami hadith tersebut adalah bahwa, hadith tersebut bersifat
celaan, sedangkan celaan membawa larangan, dan selanjutnya larangan itu berarti juga
menunjukkan jeleknya sesuatu yang dilarangnya. Dari pernyataan ini, apapun alasannya
keabsahan perempuan sebagai Hakim tetap tidak dapat dipertanggungjawabkan, atau dengan
kata lain bathal sebagai hakim. Tidak saja menggunakan nas shari‟at sebagai argumentasi
larangan perempuan sebagai hakim, akan tetapi mereka juga mengemukakan faktor historis
yang berkembang dalam peradaban umat Islam. Menurut para ulama, memang tidak pernah
tercatat dalam sejarah, masa Rasulul Allah SAW maupun para sahabat sesudahnya (khulafa al-
Rasyidin), mengangkat perempuan sebagai hakim, Jika saja secara syari'at dibolehkan, tentu ada
perempuan yang diangkat menjadi hakim untuk menetapkan vonis terhadap tindak pidana yang
dilakukan kaum perempuan. Demikian argumentasi yang digunakan kelompok ulama pertama ini, yang jelas bahwa kaum perempuan tidak sah jika diangkat sebagai hakim.25
Berbeda dengan pendapat kelompok pertama Imam Abu Hanifah, justru
mengemukakan argumentasi yang lain, dan berksimpulan bahwa sah hukumnya, jika
perempuan menjadi hakim sepanjang perkara yang dihadapinya bukan pada perkara pidana
(hudud). (Pendapat ini dianalogikan dengan status kesaksian perempuan). Sepanjang kesaksian
24
بىرة أب ػ رض ا ػ ػ ص اب ا ػ١ } لاي س ٠فح ا ل ر رأة أ { ا ا ر ( ابخار ف١ ػ د١ از ػد ١ة ج رأة ت ا
ش١ئا ة اأحىا اؼا ب١ ١ س ا ئ ا أثبت لد اشارع وا ا ا ب١ت ف راػ١ة أ ج ب ز از ئ احف١ة ذ ا ج ١ت ت اسال احدد سب ئا اأحىا٤١٢ ص / ٦ ج- ) )
25 Abu Zahrah, Muhammad Abu Zahrah, Syafi‟i, Hayatuhu, Wa Ashruhu Wa Ara uhu Wa Fiqhuhu, (Mesir : Dar Al-Fikr
Arabi), 1978: 53.
xxxix
perempuan dianggap sah dalam persoalan persoalan perdata, maka wanita sah jika menduduki jabatan hakim pada persoalan tersebut.
Berlainan halnya dengan Imam Abu Hanifah, yang menurutnya perempuan boleh
menjadi hakim. Abu Hanifah yang hidup di kawasan Irak dimana akulturasi budaya asing
sudah sedemikan kental, pemikiran masyarakatnya pun sudah sedemikan liberal. Kondisi Irak
dimana Hanafi tinggal sudah sedemikian maju dibanding Hijaz atau Arab. Akulturasi dengan
Persia yang sudah maju lebih dulu telah terbangun lama. Sehingga sedikit banyak kebudayaan
Persia yang maju itu ikut mempengaruhi cara berfikir masyarakat Irak. Semakin maju
kebudayaan bangsa, semakin baik pula pandangan mereka terhadap perempuan. Oleh
karenanya kedudukan perempuan di Irak lebih beruntung di banding dengan kedudukan
perempuan di Hijaz.26
Perbedaan yang sedemikan kontras ini agaknya juga berpengaruh besar terhadap
wacana pemikiran para ulamanya. Maka sekali lagi dapat difahami kalau kemudian Abu
Hanifah membolehkan perempuan sebagai Hakim, oleh karena kultur Irak waktu itu
memungkinkan ke arah itu. Kondisi sosial budaya seperti itulah yang banyak mempengaruhi
pemikiran hukum Islam dari kalangan mujtahid dimasanya, termasuk di dalamnya Ibnu Jarir
Al-Thabary dan Ibnu Hazm, yang lebih liberal menyatakan kebebasan dan keabsahan perempuan sebagai hakim secara mutlak.
Faktor lain mengapa terjadi perbedaan pandangan ulama di Hijaz dan Irak adalah,
Jika di Hijaz cenderung ingin mempertahankan tradisi nas dan hadith Rasul Allah SAW, maka
di Irak justru lebih mengedepankan pemikiran rasio dan penalaran bebas. Itulah kemudian
muncul istilah fiqh tradisional Hijaz dan Fiqh rasional Irak. Tradisi penggunaan ra‟yu yang
sudah sedemikian rupa itupun kemudian berkembang secara pesat dalam wacana fiqh Islam,
yang pada gilirannya juga mempengeruhi corak fiqh yang berkembang. Maka kebolehan
perempuan sebagai hakim yang dianut olek kelompok ketiga ini juga diduga kuat akibat
kebebasan rasio yang digunakan sebagai istinbath.
Perbedaan pendapat ulama fiqh tentang status perempuan, terlebih perempuan
menduduki jabatan hakim, disamping karena faktor perbedaan penggunaan metode istinbath
dan cara pandang terhadap nas shar‟i (al-Qur‟an dan al-Hadith), ternyata juga dipengaruhi oleh
faktor sosial budaya (cultur) dan kondisi ulama setempat. Jika dalam kultur masyarakat tertentu
tradisi pingitan terhadap perempuan masih begitu dominan, sebagaimana di kawasan Hijaz
ketika Imam Malik hidup, maka fatwa tentang hakim perempuanpun merupakan refleksi dari
kondisi tersebut. Sebaliknya jika kultur masyarakat cenderung liberal, akulturasi budaya masuk
deras seperti di Irak ketika Hanafi hidup, maka hakim perempuanpun dianggap tak ada masalah
dan sah sah saja. Begitu juga kondisi masyarakat ketika Ibnu Jarir At-Thabary tinggal. Cukup
26
Imam Abu Hanifah tidak membolehkan perempuan sebagai hakim dalam perkara perkara pidana (hudud dan qishah),
Karena secara syari‟at kesaksian satu orang perempuan tehadap persoalan hudud dan qishah tidak bisa diterima, maka tentu dengan sendirinya apalagi sebagai hakim dalam persoalan yang sama. Jadi Bagi Abu Hanifah Keabsahan
perempuan sebagai hakim ini hanya pada persoalan perdata. Lebih lanjut mengenai uraian Abu Hanifah tentang ini
dapat di lihat pada Ibnu Al-Humam, Syarh Fath al-Qadir, Juz V, Beirut: Dar Al-Fikr, t.th. hal. 252-253.
xl
memberi alasan untuk memberikan kebebasan bagi perempuan menduduki jabatan sebagai hakim secara mutlak.27
Di Indonesia dalam hal wanita menduduki jabatan hakim, semula ulama
melarangnya, namun dengan perkembangan zaman, karena kemajuan pendidikan, wanita telah
banyak melaksanakan pendidikan di bidang hukum, serta undang-undang di Indonesia tidak
membatasi perempuan menduduki jabatan hakim, baik perkara perdata atau perkara pidana
dibolehkan, penulis berpendirian sebagaimana kaidah fiqh yang berbunyi:
احى٠تغ٠ربتغ٠راالزااالوا
“ Bahwa hukum itu berubah, seiring dengan berubahnya waktu dan tempat ”.
C. Definisi Etika dan Kode Etik Hakim.
Pengertian etika dalam Kamus Bahasa Indonesia adalah, Ilmu Pengetahuan tentang
asas-asas akhlak (moral).28 Menurut Verkuyl, bahwa perkataan etika berasal dari kata “ethos”
sehingga muncul kata-kata ethika. 29 Perkataan ethos dapat diartikan sebagai kesusilaan, perasaan
bathin atau kecendrungan hati seseorang untuk berbuat kebaikan.
Menurut Bertens, etika berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu ethos dalam bentuk
tunggal, yang berarti adat kebiasaan, adat istiadat, akhlak yang baik. Bentuk jamak dari ethos
adalah ta etha, artinya adat kebiasaan oleh Aristoteles dipakai untuk menunjukkan filsafat
moral. Dengan demikian, etika berarti ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang
adat kebiasaan. Sehingga dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, etika dirumuskan dalam tiga hal :
1. Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (al-
Akhlaq). Etika dipakai dalam arti: nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi
pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Hal ini
disebut sebagai system nilai dalam hidup manusia perseorangan atau hidup bermasyarakat.
2. Kumpulan asas-atau nilai yang berkenaan dengan akhlak. Dalam hal ini etika dipakai dalam
arti merupakan suatu kumpulan asas atau nilai moral. Yang dimaksud di sini adalah kode
etik profesi
3. Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Etika dipakai
dalam arti merupakan ilmu tentang yang baik atau yang buruk. Atau etika di sini sama
dengan filsafat moral.
27
Achmad Kholiq, Hakim Wanita Menurut Para Ulama Madzhab. (Suatu Analisis terhadap Polemik Para Ulama
Fiqh) (Makalah STAIN Cirebon 2004).
28 WJS Poerwadarminta, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta Balai pustaka, 1986):278
29 Suhrawardi K.Lubis dalam Rudolf Pasaribu, Etika Profesi Hukum, (Jakarta Sinar Grafika, 2000):1
xli
Dihubungkan dengan etika profesi hukum, bahwa etika dalam arti pertama dan kedua
adalah sangat relevan karena kedua arti tersebut berkenaan dengan perilaku seseorang atau
kelompok profesi hukum. Misalnya kata hakim tidak bermoral, artinya, tindakan perbuatan hakim
itu melanggar nilai-nilai dan norma-norma moral yang berlaku dalam kelompok profesi hakim. Jika
dihubungkan dengan dengan arti yang, kedua adalah etika profesi hakim berarti “Kode Etik Profesi
Hakim”.30
Pendangan Hamzah Ya‟kub, Etika ialah ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan
mana yang buruk dan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh
akal pikiran.31
Etika dalam ajaran Agama Islam, adalah merupakan bagian dari Akhlak. Karena
akhlak bukanlah sekedar menyangkut perilkau manusia yang bersifat perbuatan lahiriah saja, tetapi
mencakup hal-hal yang bersifat lebih luas, yaitu meliputi bidang akidah, Ibadah dan Syari‟ah.
Karena itu akhlak dalam Islam cakupannya luas sekali yaitu menyangkut ethos, ethis, moral dan
estetika;
a. Etos, yaitu yang mengatur hubungan seseorang dengan khaliknya (al Ma‟bud bi al Khaliq )
serta kelengkapan uluhiyah dan rubbubiyah, seperti terhadap rasul-rasul Allah, Kitab Nya dan
lain sebagainya;
b. Etis, yaitu mengatur sikap seseorang terhadap dirinya dan terhadap sesamanya dalam kegiatan
kehidupan sehari-harinya ;
c. Moral, yaitu yang mengatur hubungan sesamanya, yang berlainan jenis dan atau yang
menyangkut kehormatan tiap pribadi.
d. Estetika, yaitu rasa keindahan yang mendorong seseorang untuk meningkatkan keadaan dirinya
serta lingkungannya, agar lebih indah dan menuju kesempurnaan.
Dari uraian di atas, dapatlah dirumuskan bahwa Akhlak adalah ilmu yang membahas
perbuatan manusia baik yang harus dikerjakan dan perbuatan jahat yang harus dihindari dalam
hubungan dengan Allah SWT, manusia dan alam sekitar dalam kehidupan sehari-hari sesuai
dengan nilai-nilai moral.32
D. Hubungan Etika dengan Profesi Hakim.
Etika dimasukkan dalam disiplin ilmu pendidikan hukum, karena belakangan ini terlihat
adanya gejala penurunan etika di kalangan aparat hukum, yang dapat merugikan pembagunan di
bidang hukum, reformasi di bidang hukum dan merugikan bagi masyarakat pencari keadilan di
Indonesia. Kode etik ini masuk dalam kurikulum di perguruan tinggi dengan harapan akan
melahirkan calon-calon aparat penegak hukum yang apabila mengabdi pada masyarakat akan
mempunyai bekal etika sebagai orang yang berprofesi dalam penegakan hukum sebagai polisi,
jaksa, hakim dan Advokat dan sebagai notaris yang betul-betul profesional. dan berintegritas
moral yang tinggi.33
Sebagai aparat penegak hukum, Etika Islam harus dijadikan sebagai landasan yang
dijunjung tinggi seperti seorang hakim (qadi) dalam menjalankan profesinya adalah memberi
keputusan (judgement) bukan menghadiahkan keadilan dan keputusan. Dalam konsep Islam,
profesi hakim harus benar-benar menegakkan etika atau yang disebut etika profesi hakim.
Adapun konsep profesi dalam Islam tersebut adalah. 34
1) Meletakkan kerja sebagai sebuah amal shaleh yang dilakukan dalam kontek dan tahapan
yang runtut atas iman, ilmu, dan amal. Di sini kerja terorientasi kepada dua pandangan :
aktifitas yang bernilai ibadah dan aktifitas untuk memperoleh keuntungan finansial.
Menunaikan kerja sebagai suatu penunaian amanah yang harus dilakukan secara
professional
2) Melakukan kerja dengan wawasan masa depan dan wawasan ukhrawi artinya dalam
melakukan kerja, seseorang harus mengingat kepentingan akan hari depannya.35
Dari uraian di atas dapat dijelaskan etika profesi dalam Islam adalah aktivitas yang
bukan hanya bersifat duniawi, melainkan juga sangat ukhrawi. Artinya, Islam melibatkan aspek
transendental dalam beribadah, sehingga bekerja tidak hanya bisa dilihat sebagai prilaku ekonomi
semata, tetapi juga ibadah, sehingga profesi hakim yang dijalani adalah suatu profesi yang harus
dipertanggung jawabkan di akhirat.
Muhammad Imaduddin Abdulrahim, memahami profesionalisme adalah kualitas seorang aparatur
di bidang hukum yang harus mempunyai 4 (empat) sifat adalah:
1) Punya keterampilan tinggi dalam suatu bidang dalam hal ini profesi hukum, serta kemahiran
menggunakan perangkat hukum, yaitu hukum formil dan hukum materiil sebagai subtansi hukum
yang digunakan memeriksa dan memutus perkara dalam persidangan dan menyelesaikan perkara
dan peka dalam membaca situasi dengan cepat dan tepat serta cermat dalam mengambil
keputusan terbaik;
2) Punya ilmu pengetahuan dan pengalaman serta kecerdasan dalam menganalisa suatu masalah
serta peka di dalam membaca situasi, cepat dan tepat serta cermat dalam mengambil keputusan
terbaik atas dasar kepekaan .
3) Punya sikap orientasi ke hari depan, sehingga punya kemampuan mengantisipasi perkembangan
lingkungan yang terbentang di hadapannya.
4) Punya sikap mandiri berdasarkan keyakinan akan kemampuan pribadi ( ) ‟Izzat al-nafsi
atau self-confidence, serta terbuka menyimak dan menghargai pendapat orang lain, namun cermat
dalam memilih yang terbaik bagi diri dan perkembangan pribadinya36.
33
Ibid : 6
34 Sidiktono, Ainur Rahim Faqih dan Amir Muallim dkk( ed ), Ibadah.: (bandung, Mizan,Cet ke 3. 2003), 138.
35 Sementara itu yang dimaksud dengan bekerja dengan wawasan ukhrawi adalah dalam melaksanakan sebuah profesi
seorang muslim harus merasakan semua akibat di akhirat nanti. Oleh karena itu seorang muslim tidak boleh melakukan kecurangan dan tindakan yang dilarang atau diharamkan dalam menyelesaikan sebuah kerja. inilah salah
satu kelebihan yang dimiliki oleh Islam. Ibid. . 139
36 Imaduddin Abdulrahim, Profesionalisme dalam Islam, (Jurnal Ulumul Qur‟an Nomor 2 Vol . IV 1993). 96.
xliii
Selanjutnya Imaduddin mengemukakan bahwa orang yang berkualitas adalah
disebutkan dalam Al-Qur‟an dengan sebutan لو (ulu al-bab).37 Sebagaimana firman Allah
SWT dalam Al Qur‟an Surat 11 : 61.
“Orang-orang yang mendengarkan Perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya.
Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang
yang mempunyai akal”.38
A.M. Saefuddin, menjelaskan bahwa kerangka dasar etika perilaku manusia
harus dilandasi kepada asas ketauhidan (tauhi d )39 meletakkan dasar-dasar aturan hubungan
manusia dengan Allah manusia dengan manusia dan manusia dengan alam sekitar, tauhi d
merupakan konsep yang essensial dari prinsip hukum.40 Secara etimologis istilah tauhi d adalah
mempersatukan hal-hal yang berserakan atau yang terpecah-pecah, misalnya, kata
(tauhi d al) kalimah artinya mempersatukan paham, kata yang lain : (tauhid al quwwah),
artinya mempersatukan kekuatan. Tauhid dalam khazanah keilmuan Islam adalah sebagai paham
me-Maha-Esakan Tuhan.41
Bangunan tauhid bukan hanya diterapkan pada ajaran monoteisme saja (Ke-esaan
Tuhan), tetapi juga diterapkan pada penerapan pembangunan dalam hal ekonomi (iqtisa diyah),
terlebih lagi dalam pembangunan dalam bidang hukum (mu‟amalah dan jinayah) dan dalam hal
penegakan hukum dan keadilan di muka bumi.42
E. Definisi Hukum dan Keadilan
Para ahli hukum di dunia ini membagi 5 (lima) aliran hukum yaitu:
1. Definisi hukum menurut aliran hukum Alam.
Tokoh aliran hukum alam adalah Aristoteles (abad IV) yang hidup pada abad 4
masehi, mendefinisikan hukum sebagai: “sesuatu yang mengatur dan mengekspressikan
dalam bentuk konstitusi. Hukum berfungsi untuk mengatur tingkah laku para hakim dan
37
Imaduddin Abdulrahim, ibid, :97..
38 Departemen Agama RI,al Qur‟an dan Terjemahannya (.S.39 :Az-Zumar ): 18.
39 AM. Saefuddin, Prinsip-prinsip Dasar Ekonomi Islam, (Bandung,Mizan , 1998) , 59
40 Muhammad Shaltut, Islam Aqidah wa Shari‟ah,( Caero, Maktabah Wa al Matba‟ah Dar al Qalam 1380):7
41 Nurcholis Majid, Islam Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan , Kemanusiaan
dan Kemodernan, (Jakarta, Paramadina, 1992 ), 72
42 Amin Rais, Cakrawala Islam Antara Cita dan Fakta, (Bandung :Mizan 1996); 18.
xliv
putusannya di pengadilan dan menjatuhkan hukuman terhadap pelanggar.”43. Demikian pula
sepadan dengan definisi hukum oleh Thomas Aquinas (abad VIII), mendefinisikan hukum
sebagai : “suatu aturan atau ukuran dari tindakan untuk manusia dan manusia untuk diajak
bertindak sesuai dengan aturan dan ukuran itu dan dikekang untuk bertindak sesuai dengan
aturan dan ukuran tertentu dan disebarkan kepada masyarakat luas melalui perintah”.44.
Thomas Hubbes (abad XVII), memberi definisi hukum sebagai “perintah-perintah
hukum yang didukung oleh kekuasaan tertinggi di negara itu, mengenai tindakan-tindakan
di masa datang yang dilakukan oleh subjeknya”.45 Dan John Locke (abad XVII),
mendefinisikan hukum sebagai “suatu yang ditentukan oleh warga masyarakat pada
umunya tentang tindakan-tindakan mereka, untuk menilai atau mengadili mana yang
merupakan perbuatan yang jujur dan mana perbuatan yang curang”. Dalam pandangan
Achmad Ali, bahwa definisi yang yang dituangkan oleh John Locke ini hukum ada 3 (tiga)
jenis: yaitu: 1. Hukum Agama ; 2. Hukum Negara ; 3. Hukum Opini atau Reputasi. Hukum
Agama: menilai mana tindakan berdosa dan mana tindakan yang wajib dilaksanakan.
Hukum negara mengatur tentang mana tindakan yang kriminal dan mana tindakan yang
bukan kriminal. Hukum opini atau hukum reputasi menilai mana tindakan yang luhur dan
mana perbuatan yang buruk secara kesusilaan. John Lock tidak memisahkan secara tegas
mana hukum dan mana moral.46
Emmanuel Kant ( abad XVIII), memberi definisi hukum sebagai : “keseluruhan
kondisi pribadi seseorang dengan keinginan-keinginan pribadi orang lain sesuai dengan
hukum umum tentang kemerdekaan”. Definisi hukum oleh Emanuel Kant ini tidak
memisahkan antara hukum dan kaidah sosial lainnya. Dengan demikian akan mampu dan
dapat diciptakan kaidah sosial lainnya seperti moral dan agama.47 Immanuel Kant
menyatakan bahwa hukum sebagai suatu sistem dapat dilaksanakan menjadi dua jenis :
a). Hukum kodrat yaitu norma yang ditetapkan oleh Tuhan yang mengandung prinsip-
prinsip a priori.
b). Hukum positif yaitu norma buatan manusia (pembentuk undang-undang) yang
mengandung prinsip-prinsip yang dikehendaki oleh pembentuk undang-undang.
Adapun yang dimaksud dengan kelompok manusia, dapat dipahami sebagai
penguasa (pembentuk undang-undang), kelompok masyarakat dan dipahami kelompok
profesi. Dengan demikian hukum positif adalah 3 (tiga) macam:
a). norma buatan penguasa, disebut undang-undang;
43
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis Dan Sosiologis) (Jakarta, PT. Gunung Agung, 2002) ,
25.
44 Ibid, 26.
45 Ibid , 26
46 Ibid , 27
47 Ibid : 27
xlv
b). norma buatan kelompok masyarakat umum, disebut kebiasaan;
c). norma buatan kelompok profesi, disebut kode etik.48
1. Hukum menurut aliran hukum Posisitivis dan Dogmatik
Hukum oleh para ahli hukum yang beraliran positivis dan dogmatik mendefinisikan
hukum adalah : “ perintah negara yang mengandung sanksi” dan hukum hanyalah apa yang
diproduk oleh negara, yaitu hukum positif. Di luar hukum positif tidaklah disebut hukum.
Positivis memisahkan hukum dengan moral. Melihat hukum bukan sebagai das sein
(kenyataan pada masyarakat), memandang hukum sebagai aturan yang seharusnya untuk
dilaksanakan das sollen.
Adapun tokoh hukum yang menganut aliran positivis dan dogmatis adalah:
John Austin yang memberi definisi hukum sebagai : “seperangkat perintah, baik
langsung ataupun tidak langsung dari pihak yang berkuasa kepada warga masyarakatnya
yang merupakan masyarakat politik yang independen, dan otoritasnya (pihak yang
berkuasa)
a. adalah merupakan otoritas tertinggi”. Apa yang didefinisikan oleh John Austin, ada
kelemahannya, antara lain:
1).Hukum semata-mata sebagai kaidah yang mengandung sanksi yang dibuat dan
diberlakukan oleh negara, padahal belum tentu kaidah tersebut berlaku;
2).Kita menerima sebuah undang-undang sebagai salah satu sumber hukum, tetapi
undang-undang bukan satu-satunya sumber hukum.
3).Austin menjadikan masyarakat sebagai subjek hukum. Subjek hukum bisa saja
berupa badan-badan hukum atau badan-badan lembaga. Bahwa subjek hukum tata
negara dan hukum administrasi negara adalah subjek hukum adalah badan hukum
atau lembaga.49
Hans Kelsen mendefinisikan hukum sebagai : “ suatu perintah memaksa terhadap
tingkah laku manusia. Hukum adalah kaidah primer yang menetapkan sanksi-sanksi”.
Definisi Kalsen tentang hukum ini menunjukkan tentang cermin dan ciri positivis. Hukum
positif hanyalah satu-satunya hukum dan harus pisah dengan pengaruh anasir-anasir non
hukum, seperti moral, politik, ekonomis, sosiologis dan lain sebagainya. Pandangan
semacam ini sudah tidak relevan lagi dalam masa modern ini. Tidak mungkin kita
menjadikan hukum sebagai sesuatu “ benda otonom” yang berdiri terlepas sama sekali dari
Roscoe Pound, memberi definisi hukum sebagai : “ sistem pengaturan
hubungan-hubungan dan penertiban tingkah laku manusia dengan menerapkan secara
sistematis dan teratur, kekuatan masyarakat yang terorganisir secara politis, dalam usaha
untuk menerapkan secara wibawa yang menjadi pedoman, baik bagi hakim untuk membuat
putusan, bagi penasehat hukum untuk dasar nasihatnya dan bagi siapa saja untuk
pedomannya bertingkah laku dalam masyarakat. Roscoe Pound pandangannnya yang
realistis dan sosiologis adalah realitas sosial, dan sejalan dengan pandangan Satjipto Rardjo,
yang mengatakan bahwa hukum harus dipandang sebagai pranata sosial.51
Pandangan Eugen Ehrlich, aliran sosiologis, memberi definisi hukum yang
tampak sangat jauh dengan aliran positivis dan dogmatis. Hukum tidak terwujud sebagai
kaidah, melainkan hukum dalam wujudnya di dalam masyarakat sendiri. Ehrlich melahirkan
konsep living law ( hukum yang hidup dalam masyarakat) dan berbeda dengan positive law
(hukum yang diberlakukan oleh pemerintah, pada suatu waktu dan tempat tertentu) yang
diagungkan oleh pandangan dogmatic-positivis.52
Pandangan aliran sosiologis lainnya adalah Jhering, seorang pakar hukum
Jerman dan mengajarkan hukum Romawi dan terkenal sebagai “ the father of sociological
jurisprudence” dan melahirkan doktrin yang sistematis yang didasarkan pada “social
utilitarianism”. Hukum dalam esensinya yang terekspressi melalui masyarakat dan individu
melalui koordinasi antar kepentingan-kepentingan tersebut. Jika terjadi konflik antara
kepentingan individu dengan masyarakat, maka kepentingan masyarakat harus didahulukan.
Dengan demikian, hukum, didominasi oleh pemikirannya kepentingan tentang kebutuhan
manusia sebagai warga masyarakat.53
b. Hukum menurut aliran Antropologis
Tokoh aliran Antropologis adalah Schapera, mendefinisikan hukum sebagai : “
law is any rule of likely to be enforceed by the courts “(hukum adalah setiap aturan tingkah
laku yang mungkin diselenggarakan oleh pengadilan). Di sini pengadilan sebagai salah satu
unsurnya. Hal ini ada kesamaan dengan aliran realisme Amerika, yang menekankan pada
unsur pengadilan. Sedangkan Schapera menekankan pada unsur aturan tingkah lakunya.54
Selanjutnya Paul Bohannan, mendefinisikan hukum sebagai : “law is that body
of binding obligations which has been reintituonalised within the legal institution” (hukum
merupakan himpunan kewajiban-kewajiban yang telah dilembagakan kembali dalam
pranata hukum).55. Dan tokoh lainnya adalah Puspisil, mendefinisikan hukum sebagai : “
51
Ibid , 19.
52 Ibid , 20
53 Ibid , 21.
54 Ibid , 24
55 Ibid , 24
xlvii
law is rules or modes of conduct made obligatory by some sanction which is imposed and
enforced for their violation by a controlling autority “ (hukum adalah aturan-aturan
dan mode-mode tingkah laku yang dibuat menjadi kewajiban melalui sanksi-sanksi yang
dijatuhkan terhadap setiap pelanggaran dan kejahatan melalui suatu otoritas pengadilan).56
Selanjutnya penganut aliran Antropologis lainnya adalah Gluckman, mendefinisikan hukum
sebagai : law is the whole reservoir of rules on which judge draw for their decisions”.
(hukum ialah keseluruhan gudang aturan di atas yang mana para hakim mendasarkan
putusannya ). 57
c. Hukum menurut aliran Realisme
Penganut aliran Realisme antara lain Holmes, definisi hukum ialah : the forcested of
what the court will do. are what I mean the law. ( apa yang diramalkan akan diputuskan
oleh pengadilan, itulah yang dimksud oleh (Holmes) yang diartikan sebagai hukum);58 Dan
pandangan Salmond, penganut aliran realisme mendefinisikan hukum ialah : “ law is maked
todefined as basiss collection that admitted and applied by country in judicature. With word
other? Law consists of rules that admitted and carried out in court (hukum dimungkinkan
untuk didefinisikan sebagai kumpulan asas-asas yang diakui dan diterapkan oleh negara di
dalam peradilan. Dengan perkataan lain, hukum terdiri dari aturan -aturan yang diakui dan
dilaksanakan pada pengadilan).59 Sedangkan pandangan Lundstedt, definisi hukum ialah : law is simply the facts
of social existence, all else is illusion. Law is essential if society is to endure; its basis is;
therefore, the very requirements of social welfare. ( hukum sungguh-sungguh berwujud
eksistensi dari fakta-fakta sosial, yang secara keseluruhan berbeda dari sekedar ilusi.
Hukum adalah esensial jika masyarakatnya bertahan lama, inilah hal yang mendasar dari
hukum. Oleh karena itu sangat dibutuhkan kesejahteraan masyarakat.60 Dan definisi hukum
menurut Olivecrona, hukum ialah: law as consisting cheifly of rules about force, rules
which countain patterns of conduct for the exercise of force. ( hukum utamanya tersususun
dari aturan-aturan tentang kekuasaan,yang memuat pola-pola tingkah laku bagi pelaksana
kekuasaan ). 61
d. Hukum menurut Kamus Bahasa Indonesia:
Mr. N.E. Algra, definisi hukum : bagi ahli hukum yang berpendirian bahwa
hanya undang-undanglah yang memberikan hukum, sudah lama ditinggalkankan. Secara
menyeluruh dapat dikatakan bahwa sebagian besar aturan undang-undang diterima sebagai
aturan hukum. Selanjutnya hanyalah aturan hukum yang tidak terdapat dalam undang-
56
Ibid , 24
57 Ibid , 24
58 Ibid : 23
59 Ibid : 23
60 Ibid : 23
61 Ibid : 24.
xlviii
undang. Misalnya aturan hukum kebiasaan, aturan yang dibentuk dalam keputusan
pengadilan, aturan yurisprudensi, aturan itikad baik dan lain sebagainya ;62
E. Utrecht. definisi hukum ialah : “ himpunan petunjuk hidup, berupa perintah-
perintah dan larangan-larangan yang mengatur tata-tertib dalam sesuatu masyarakat yang
bersangkutan, oleh karena pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan
tindakan pemerintah atau penguasa masyarakat itu “. 63
Abdul Kadir Muhammad. Definisi hukum adalah “segala peraturan tertulis dan
tidak tertulis yang mempunyai sanksi yang tegas terhadap pelanggarnya. Atau norma yang
mengatur segala aspek kehidupan masyarakat baik tertulis berupa hukum positif atau tidak
tertulis berupa hukum kodrat”.64
Definisi Hukum oleh Achmad Ali, ialah “ seperangkat kaidah atau ukuran yang
tersusun dalam satu sistem, yang menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh
dilakukan oleh manusia sebagai warga masyarakat dalam kehidupan bermasyarakatnya,
yang bersumber baik dari masyarakat sendiri maupun dari sumber lain. Yang diakui
berlakunya oleh otoritas tertinggi dalam masyarakat (sebagai satu keseluruhan) dalam
kehidupannya, dan jika kaidah tersebut dilanggar akan memberikan kewenangan bagi otoritas tertinggi untuk menjatuhkan sanksi yang bersifat eksternal”.65
e. Hukum menurut Pandangan Ahli Hukum Islam.
Hasbi Ash Shiddieqy, memberikan kumpulan definisi hukum yang telah
diungkapkan oleh para ulama ahli fiqih diantaranya : Al Imam Abu Hamid Al Ghazali,
definisi hukum dalam pandangan ulama Islam adalah fiqh. ialah ; “Hukum fiqh bermakna
faham dan ilmu. Akan tetapi pada urf para ulama telah menjadikan suatu ilmu yang
menerangkan hukum-hukum Syara‟ yang tertentu bagi perbuatan-perbuatan mukallaf,
seperti wajib, haram, mubah, sunnah, makruh, shahih, bathil, qadla, ada‟ dan yang
sepertinya “.
Sedangakan definisi hukum Muhammad Ali al-Tahanawi, dari kalangan ulama
Syafi‟iyah, mendefinisikan hukum sama dengan fiqih, yaitu ilmu yang menerangkan
hukum-hukum syara‟ yang amaliyah yang diambil dari dalil-dalilnya yang tafsili. Hukum
Islam terbagi 4(empat) bagian : 1. Terkait dengan urusan akhirat yaitu tentang hukum
ibadat. 2. Terkait dengan urusan dunia adalah hukum muamalat, 3. Terkait dengan
kelanjutan manusia disebut hukum munakahat. 4. Terkait dengan pergaulan umum yaitu
tentang soal-soal „uqubat.
62
Algra, NE & Duyvendijk, K,Van. Rechtsaanvang (Enkelehoofdstukken Over Recht en Rechtsweetenschap voor he ton
derwiijs in de inleiding tot de rechtswetenschap, alphenaan de rijn Tjeenk Willink, alih bahasa Achmad Ali dalam
bukunya : Menguak Tabir Hukum Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis. (Jakarta, PT. Gunung Agung Jakarta 2002 ),
32.
63 E. Utrecht & Muh. Saleh Djindang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta, Ikhtiar, 1983), 5.
al Nabawiyah, Terjemahan Mahmud Zaini, (Jakarta, Pustaka Amani Cet.I 1995).
84 Sharur, Muhammad Shahrur, Nahwu Usul Jadidah Lil-al-Fiqh al-Islami, terjemahan K.H. Mustain Syafi‟I dan Sahiron
Syamsuddin,( El SAQ Press, Jogjakarta, vet II) , 2004: 123.
lv
“ Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa
yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia
kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum
dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling
buruk dan tempat istirahat yang paling jelek. Sesunggunya mereka yang beriman dan beramal
saleh, tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan
amalan(nya) dengan yang baik. (Surah :18 al-Kahfi : 29).85
Dan firman Allah yang lain dalam (Q.Su rah 2.al-Baqarah: 256).
“ Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang
benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan
beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat
kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. Allah
pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran)
kepada cahaya (iman). dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan,
yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). mereka itu adalah
penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (Q.Su rah 2.al-Baqarah: 256-257).86
Yang penting diperhatikan, adalah bahwa pilihan kepercayaan apapun yang kita
anut, semua memiliki konsekuensinya masing-masing. Kesadaran untuk memilih keyakinan
harus pula dibarengi oleh kesadaran akan konsekuensinya, sehingga pilihan kita betul-betul
sebagai pilihan yang bertanggungjawab dan bisa dipertanggungjawabkan.
85
Q. S :18( al-Kahfi ): 29-30
86 Q.S 2: (al-Baqarah): 256-257.
lvi
2. Keadilan kesehatan
Islam telah mengajarkan untuk dan memperhatikan tercapainya kesejahteraan,
kesehatan masyarakat secara adil dan merata sebagaimana yang telah disampaikan Rasulullah
M. Quraish Shihab menjelaskan, bahwa ayat ini dan beberapa ayat berikutnya diturunkan berhubungan dengan
pencurian yang dilakukan Thu'mah dan ia menyembunyikan barang curian itu di rumah seorang Yahudi. Thu'mah
tidak mengakui perbuatannya itu malah menuduh bahwa yang mencuri barang itu orang Yahudi. Hal ini diajukan
oleh kerabat-kerabat Thu'mah kepada Nabi s.a.w. dan mereka meminta agar Nabi membela Thu'mah dan menghukum orang-orang Yahudi, Kendatipun mereka tahu bahwa yang mencuri barang itu ialah Thu'mah, Nabi
sendiri hampir-hampir membenarkan tuduhan Thu'mah dan kerabatnya itu terhadap orang Yahudi. 97
Ahmad Ibnu Hanbal, dalam Ahmad Al-Hashimi, Mukhtar al-Hadithi al-Nabawiyyah wa-al hikam al-
Muhammadiyyah, (Surabaya. Dar al-Ilmi) tt , terjemahan Mahmud Zaini, (Jakarta , Pustaka Amani, 1995),233
98 Ibnu al-Qayyim al-Juziyyah, „Ilam al-Muwaqi‟in, Juz 1 (Maktabah Syamilah, Lebanon, Al Maktabah wa al-Matbaah,
108 L.B. Curzon, Jurisprudence, M & E Hand Book, dalam Achamd Ali, Menguak Tabir Hukum(suatu Kajian Filosofis
Dan Sosiologis) : 97.
lxv
dengan maksud memiliki dengan jalan melawan hukum”. Oleh hukum pidana
disimbulkan sebagai tindakan pidana yang seyogyanya dihukum.
d. Fungsi hukum sebagai alat politik
Hukum dan politik sulit untuk dipisahkan. Terlebih lagi khususnya hukum yang
berkaitan langsung dengan negara. Hukum (khususnya hukum tertulis) adalah sebagai alat
politik. Hukum merupakan hal yang universal. Apalagi jika dikaitkan dengan fungsi
hukum sebagai alat rekayasa sosial (a tool of social engineering), maka peranan penguasa
politik terhadap hukum adalah sangat besar. Sebagaimana yang berlaku di negara
Indonesia Dewan
Perwakilan Rakyat dan Pemerintah berperan secara politik untuk memproduk
peraturan perundang-undangan yakni berupa hukum tertulis. Posisi negara dalam rangka
membangunan di segala bidang sangat memerlukan legalitas dari sektor hukum.109
e. Fungsi hukum sebagai mekanisme untuk integrasi.
Seperti kita ketahui bahwa di dalam setiap masyarakat senantiasa terdapat
berbagai kepentingan dari warganya. Di antara kepentingan itu ada yang bisa selaras
dengan kepentingan lain, tetapi ada juga kepentingan itu yang menyulut konflik dengan
kepentingan lain. Hukum sering disalah artikan, ia hanya berfungsi jika terjadi konflik.
Padahal hukum berfungsi sebelum konflik itu terjadi. Dengan demikian hukum berfungsi :
1. Sebelum ada konflik;
2. Setelah ada konflik;
Atau dapat dikatakan ada 2 (dua) penerapan hukum yaitu :
1. Penerapan hukum dalam hal tidak ada konflik, misalnya jika seorang pembeli
barang telah membayar harga barang, dan penjual menyerahkan barang yang
dibelinya dan telah menerima uang pembayaran sesuai harganya, pembeli telah
menerima barang yang dibelinya;
2. Penerapan hukum dalam hal terjadi konflik, misalnya si pembeli sudah membayar
lunas harga barang, tetapi penjual tidak mau menyerahkan barang yang telah
dijualnya;
Sehubungan dengan hal itu, maka fungsi hukum sebagai mekanisme untuk
melakukan integrasi terhadap berbagai kepentingan warga masyarakat dan juga berlaku
jika tidak ada konflik maupun setelah ada konflik. Perlu diketahui penyelesaian konflik-
konflik kemasyarakatan, bukan hanya hukum satu pengintegrasian, melainkan masih
109
Ibid : 99.
lxvi
banyak terdapat sarana pengintegrasian lainnya seperti kaidah agama, kaidah moral dan
lain-lainnya.110
Dalam prespektif sosio-historis Islam, pemberlakuan hukum Islam itu
diformulasikan tujuanya diarahkan kepada nilai-nilai kemaslahatan, keselamatan ummat
dan tegaknya keadilan. Yang dikonsepsikan dengan Al-dlaruriyat al-khamsah (lima hak
dasar manusia) sebagaimana dikemukakan oleh Imam Abu al-Ma‟ali al-Juawainy (419-
478 H) dan al-Ghazaly (401- 514 H) hukum Islam dilegeslasikan di muka bumi oleh
Allah SWT adalah untuk memelihara agama (hifdl al-din), untuk memelihara jiwa (hifdl
al-nafs), untuk memelihara akal ( hifdl al-„aql), untuk memelihara keturunan (hifdl al-
nasl) dan untuk memelihara harta (hifdl al-mal)111
Dan keberlakuan hukum Islam dalam sejarah dan sosio kultural
sebagaimana telah diungkapkan oleh Rifyal Ka‟bah 112 Bahwa keberlakuan hukum
Islam dalam bingkai negara Republik Indonesia. Indonesia sebagai penduduk mayoritas
Muslim telah menerapkan hukum Islam bahkan sejak abad pertama Hijrah ketika Islam
masuk melalui Aceh dan Jawa Timur. Penerapannya bersifat sporadis, tergantung
kepada penguasa lokal dan kondisi-kondisi setempat. Penerapannya mulai meningkat
dan teratur setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Tulisan ini menjelaskan
tentang perkembangan ini secara umum sampai sekarang.
Penerapan Hukum Islam, Rifyal Ka‟bah mengikuti teori Mustafa Azzarqa
dari Suriah, yang diikuti oleh Ziya Gokap dari Turki, hukum Islam terbagi pada hukum
yang bersifat diyani dan hukum yang bersifat qada ‟i.113
Disebut diyani karena bersifat keagamaan yang tergantung kepada ketaatan
dan kepatuhan individu kepada ajaran agamanya. Disebut qadha‟i yang bersifat yudisial
yang memerlukan kekuasaan negara untuk penerapannya terutama bila terjadi sengketa
antara pihak-pihak dan terjadi pelanggaran hukum. Hukum diyani sudah berlaku sejak
lama di Indonesia mengikuti tradisi turun menurun. Misalnya masyarakat melaksanakan
perkawinan melalui para penghulu atau P3NTR. Membagi waris sesuai hukum faraid,
memungut dan membagikan zakat, melaksanakan wasiat, hibah, sadaqah dan wakaf.
Semua itu dilakukan berdasarkan fiqih para fuqaha dan fatwa para ulama.
Sedangkan hukum yang bersifat qada‟i berhubungan dengan hukum negara
dan peradilan untuk penyelesaian sengketanya. Misalnya masalah perkawinan, nikah,
talak dan rujuk dicatat oleh pegawai yang berwenang dan dalam hal perceraian,
pengasuhan anak, harta bersama dan nafkah dilakukan melalui peradilan agama atau
Mahkamah Syar‟iyah. Begitu juga masalah kewarisan yang dibagi menurut hukum
faraid dan dalam hal terjadi sengketa diselesaikan melalui peradilan agama atau
110
Ibid : 101.
111 Rachmat Djatnika, Jalan Mencari Hukum Islami Upaya ke Arah Pemahaman Metodologi Ijtihad, (Jakarta, Ikaha,
Kemudi Mas Abadi, 1994) : 15l-151.
112 Disampaikan dalam Rakernas Mahkamah Agung RI Tahun 2012 bersama para hakim tingkat banding di Manado
tanggal 31 Oktober sampai dengan 3 Nopember 2012.
113 Rifyal Ka‟bah, Keberlakuan Hukum Islam di Indonesia, Materi Rakernas Mahkamah Agung RI di Manado tahun
2012 tanggal 31 Oktober s/d 3 Nopember 2012 dalam Komisi Lingkungan Peradilan Agama.
lxvii
Mahkamah Syar‟iyah. Masalah zakat, infaq dan sadaqah serta waqaf dicatat oleh
pegawai yang berwenang dan dalam hal terjadi sengketa diselesaikan melalui peradilan.
Masalah zakat dan haji juga diatur menurut undang-undang dan peraturan
pemerintah tersendiri. Semua hukum qadha‟i ini pada umumnya tidak mempunyai
sanksi pidana kecuali beberapa qanun atau peraturan daerah di Provinsi Aceh sebagai
provinsi khusus yang menerapkan hukum syariah. Di sini pelanggaran-pelanggaran
qanun diberi sanksi pidana tertentu tetapi tidak persis seperti sanksi pidana yang
ditetapkan dalam hukum Islam.
Di samping adanya hukum qadha‟i, masyarakat masih melaksanakan
perkawinan dan perceraian secara sirri tanpa dicatat oleh pejabat yang berwenang,
akibatnya banyak hak-hak dan kewajiban para pihak yang tidak dapat terpenuhi. Begitu
juga dalam bidang waqaf, banyak pewaqaf yang tidak mencatatkan waqafnya karena
berbagai alasan sehingga rentan terhadap sengketa antara ahli waris dan penerima waqaf
di kemudian hari.
Karena itu, pelaksanaan hukum diyani ini harus dicegah oleh pemerintah
sehingga tidak menimbulkan persoalan dalam masyarakat di kemudian hari.
Akhir-akhir ini, masalah ekonomi syariah seperti perbankan, asuransi,
reasuransi, reksadana, dan bisnis syariah sengketanya juga diselesaikan melalui
peradilan agama. Juga bisa diselesaikan melalui Badan Arbitrasi Nasional Indonesia
(BANI), Badan Arbitrase Syari‟ah Nasional (BASYARNAS) dan Peradilan Negeri bila
para pihak memperjanjikan masalah hal itu, tetapi dengan syarat harus diselesaikan
menurut hukum syariah. Hukum pidana Islam belum berlaku di Indonesia kecuali
beberapa pelanggaran pidana terhadap qanun di Aceh seperti diterangkan di atas. Sanksi
pidana ini sangat penting dalam penegakan hukum. Pelaksanaan hukum tanpa sanksi
pidana adalah seumpama orang yang tidak bergigi. Banyak sekali putusan peradilan
agama dan mahkamah syariah yang tidak dipatuhi oleh para pihak karena ketiadaan
sanksi pidana. Misalnya suami yang menceraikan isterinya tanpa melunasi kewajiban-
kewajiban yang dibebankan oleh peradilan seperti nafkah lalu, nafkah iddah, mut‟ah,
dan nafkah anak bisa terlepas begitu saja karena ketiadaan sanksi pidana.
Di negara-negara maju seperti di Australia, Eropah dan Amerika Serikat,
putusan hukum keluarga ini disertai dengan sanksi pidana kurungan,
penyitaan/pelelangan harta yang bersangkutan, denda, dan lain-lain sehingga para pihak
sangat menghormati putusan peradilan.
Segi lain pelaksanaan hukum Islam di Indonesia adalah tidak tersedianya
kitab undang-undang hukum perdata, kitab undang-undang hukum pidana, kitab
undang-undang hukum ekonomi yang berdasarkan syariat Islam dan kitab undang-
undang hukum acara. Kitab undang-undang ini sangat penting demi kepastian hukum.
Memang sudah tersedia Kompilasi Hukum Islam berdasarkan Instruksi Presiden Nomor
1 Tahun 1991 dan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah berdasarkan PERMA nomor 2
Tahun 2008 tetapi belum memadai untuk memenuhi tantangan masa depan.
Indonesia mempunyai ahli hukum yang lumayan dalam bidang ini dan bila
diminta partisipasi mereka, maka tentu akan menghasilkan berbagai RUU bernuansa
syariah yang diperlukan.
Akhirnya penerapan hukum Islam di Indonesia sebagai hukum qadha‟i
terlihat pada hukum perdata yang mencakup perkawinan, perceraian, wakaf, infaq,
shadaqah dan ekonomi syariah. Hukum perdata ini pada umumnya belum mempunyai
sangsi pidana, kecuali pidana tertentu di Propinsi Aceh. Pada masa depan diperlukan
penerapan hukum pidana Islam dengan Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Kitab
lxviii
Undang-Undang Hukum Pidana, dan Kitab Undang-Undang Hukum Ekonomi Syariah,
untuk menjawab tantangan masa depan.114
Hukum Islam sebagai wujud pembawa rahmat dimuka bumi, Penulis berpandangan,
bahwa dalam Syari‟at Islam bukan hanya mengatur hukum perdata (Mu‟amalah), hukum
pidana (Jinayah), hukum Politik dan Pemerintahan (Shiyasah wa Dusturiyyah) hukum Ibadah
dan Aqidah saja, tetapi Islam tidak kalah pentingnya, juga telah mengatur tentang hukum
perilaku baik dan buruk (al-Akhlaq) yang sekarang disebut etika atau moral.115
114
Rifyal Ka‟bah, Makalah Keberlakuan Hukum Islam di Indonesia, Pengadilan Tinggi Agama Surabaya, Hasil Rapat
Kerja Nasional Mahkamah Agung RI tahun 2012 di Manado, dalam sosialisasi hasil Rakernas 2012 (PTA.
Suarabaya 2012).
115 Fakhry, Majid, Etika Dalam Islam. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996). 5. dan Sinaga, Hasanudin dan Zaharuddin,
Pengatar Studi Akhlak, (Jakarta : PT Raja Grafmdo Persada, 2004), 8.
lxix
BAB III
PENERAPAN KODE ETIK HAKIM DI INDONESIA
A. Kerangka Teoritik
Fokus utama dalam penelitian ini, adalah untuk menemukan bagaimana penerapan
Kode Etik Hakim dan Pedoman Perilaku Hakim di Indonesia dapat berjalan efektif dan apakah
faktor-faktor penyebab sebagian para hakim Indonesia tidak menjalankan Kode Etik Hakim dan
Pedoman Perilaku Hakim Indonesia sebagai subtansi hukum etik .
Penulis menggali dari beberapa teori tentang filsafat Etika yang bersumber dari para
ahli di bidang etik dan menggali teori efektifitas penegakan hukum dari para ahli di bidang
hukum.
1. Teori Filsafat Etika
a. Abdul Kadir Muhammad.
Manusia adalah makhluk Tuhan yang sempurna karena dilengkapi oleh
Tuhan dengan akal, perasaan dan kehendak. Akal alat berfikir, sebagai sumber ilmu dan
teknologi. Dengan akal manusia dapat menilai mana yang benar dan yang salah, sebagai
sumber nilai kebenaran. Perasaan adalah alat untuk menyatakan keindahan, sebagai sumber
seni. Dengan perasaan manusia menilai mana yang indah (estetis) dan yang jelek, sebagai
sumber nilai keindahan. Kehendak adalah alat untuk menyatakan pilihan, sebagai sumber
kebaikan. Dengan kehendak manusia menilai yang baik dan yang buruk, sebagai sumber
nilai moral.
Manusia adalah sumber penentu yang menimbang, menilai, memutuskan untuk
memilih yang paling menguntungkan yang mempunyai nilai moral.
Perasaan merupakan sumber daya rasa jasmani dan rohani. Daya rasa jasmani
berkenaan dengan tubuh, sedangkan daya rasa rohani berkenaan dengan moral, yang hanya
ada pada manusia. Adapun daya rasa rohani adalah sebagai berikut :
1. Daya rasa intelektual, berkenaan dengan pengetahuan. Manusia merasa senang, bahagia,
puas apabila dapat mengetahui sesuatu. Sebaliknya , manusia merasa sengsara, susah,
kesal apabila tidak berhasil mengetahui sesuatu.
2. Daya rasa estetis berkenaan dengan seni. Manusia merasa senang, bahagia, puas apabila dapat melihat, mendengar, merasakan yang indah. Sebaliknya, manusia merasa
sengsara, kesal, bosan apabila mengalami sesuatu yang jelek.
3. Daya rasa etik berkenaan dengan kebaikan. Manusia merasa senang, bahagia, puas
apabila dapat memilih sesuatu yang baik. Sebaliknya manusia merasa sengsara,
menyesal, kesal dan benci apabila terpilih pada atau mengalami sesuatu yang buruk atau
jahat.
4. Daya rasa sosial berkenaan dengan masyarakat kelompok atau korp. Manusia ikut
merasakan kehidupan orang lain. Apabila orang berhasil, dia ikut senang, apabila orang
lain gagal, atau memperoleh musibah dia ikut susah.
lxx
5. Daya rasa religious berkenaan dengan agama. Manusia merasa bahagia, tentram jiwanya
apabila mendekatkan diri atau taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sebaliknya,
manusia merasa gelisah, frustrasi dalam hidupnya apabila menjauhkan diri atau lupa
semuanya merupakan derifasi kesatuan ke Tuhanan).119
2. Konsep etika sintesis Islami, yang diungkapkan oleh Syed Nawab Haidar Naqvi dalam
bukunya Etika dan Ilmu Ekonomi Suatu sintesis Islami, bahwa efektifitas etika dalam
Islam adalah pengembangan dari nilai dasar tauhid. Dilanjutkan dalam nilai dan prinsip-
prinsip dasar Shari‟ah, yang terdari dari:
a. Prinsip khilafah yaitu menjelaskan tentang status dan peran manusia sebagai wakil
Allah di muka bumi sebagaimana firman Allah dalam Al Qur‟an Surat 2 al Baqarah : 30
berbunyi:
Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji
Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui
apa yang tidak kamu ketahui."120
Manusia sebagai pengemban amanah Allah, manusia diberi kebebasan untuk
memilih dan mengubah kehidupannya sesuai dengan pesan pemberi amanah, yaitu
terwujudnya kemaslahatan bagi seluruh alam. Hal itu tidak terlepas dari prinsip-prinsip
hukum:
1. Tercapainya persamaan dan keadilan menghindarkan diskriminatif.
2. Segala sumber daya yang ada di alam ini adalah amanah dan titipan dari Maha
Pencipta, manusia bukan pemilik obsolut dan akan dimintai pertanggung jawaban
atas segala apa yang diamanatkan .
3. Manusia wajib hidup sederhana, tidak sombong, angkuh, tamak dan berlebih-
lebihan.
4. Manusia sebagai khalifah tidak boleh menghambakan diri kepada seseorang atau
makhluk lainnya.121
119
Ismail al Faruqi, dalam karyanya The cultur Atlas Of Islam, (London, Macmillan Publisher,1986). alih bahasa
Fathurrahman Jamil, Makalah Prinsip-Prinsip Syari‟ah dalam Implementasi Lembaga Keuangan Ekonomi Syari‟ah, (Mahkamah Agung, Diklat Ekonomi Syari‟ah. Batu-Malang) .2006.73.
120 Departemen Agama RI, Q.S.2 (Al-Baqarah) : 30.
121 Fatchurrahman Djamil, Makalah Pembinaan Para Hakim dalam pelatihan fingsional Peningkatan Profesional
Hakim di Bidang Ekonomi Syari‟ah, Batu-Malang, 2006 : 3.
lxxii
b. Prinsip al-„adalah, bahwa alam ini didasarkan pada keadilan dan keseimbangan. Adil
adalah seseorang harus diperlakukan sesuai dengan haknya, tanpa adanya diskriminasi
dan penekanan. Adil juga mengandung arti “sama” , “proporsional” dan “seimbang”.
Adil diperlakukan pada bidang ekonomi, yaitu penentuan harga, kualitas
produk, perlakuan ongkos kerja bagi pekerja dan kaum buruh. Adil dapat diperlakukan
bidang lingkungan hidup tidak membawa dampak kepada kerusakan lingkungan,
polusi.122 Terkait dengan adil dan sikap keadilan telah digariskan oleh Allah SWT.
dalam Al Qur‟an Surat 57 Al Hadid : 25 yang berbunyi :
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti
yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al kitab dan neraca (keadilan)
supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. 123
c. Prinsip nubuwwah : Nabi dan Rasul Allah merupakan suri Tauladan yang baik setiap
manusia, karena Akhlak dan sifat kenabian dan kerasulannya yang melekat pada dirinya
yang perlu kita teladani, sifat-sifat tersebut :
1. S iddiq, artinya bersifat jujur ;
2. Amanah, artinya dapat dipercaya dalam melaksanakan tugas dan segala aktivitas
usahanya selalu dilandasi sifat amanat tidak berkhianat atas amanah yang
dibebankan pada dirinya.
3. Fatanah, artinya cerdas dalam melaksanakan tugas membekali diri dengan ilmu dan
keterampilan dengan strategi yang yang baik dan benar.
4. Tabligh, artinya sikap keterbukaan dalam melaksanakan tugas dan kegiatan atau
transparansi tidak ada yang disimpan , dirahasiakan, disempunyikan dan ditutup-
tutupi, perbuatan salah katakan salah, perbuatan benar katakan benar.
d. Prinsip Ukhuwwah dan Mushawwah ( persaudaraan dan persamaan).
Prinsip semua manusia bersaudara antara satu sama lainnya. Artinya dalam penegakan
hukum tidak ada yang superior, dan inverior atau dalam hal penegakan hukum asas
equel justice under law ( semua orang berkedudukan sama di bawah hukum)
menghindarkan sikap diskriminatif dalam penegakan hukum, sebagaimana firman Allah
dalam Surat 49 (Al Hujurat) : 13. yang berbunyi :
122
Ibid, 3
123 Q.S. 57(al-Hadid) :25.
lxxiii
” Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Mengenal”124.
Persaudaraan akan melahirkan sikap ta‟awun (tolong-menolong) dalam hal
kebaikan dan kebenaran sebagaimana firman Allah dalam Al Qur‟an Surat 2 (Al
Baqarah) : 148 :
” Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. di mana saja kamu berada pasti
Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha
Kuasa atas segala sesuatu.125
e. Prinsip al-khurriyyah wa al mas‟uliyyah126 manusia sebagai khalifah di bumi diberi
kebebasan untuk berfikir dan bernalar untuk memilih yang benar dan yang salah dan
mengubah kondisi hidup yang lebih baik dan sanggup menjaga diri dan kehormatannya
sebagaimana firman Allah dalam Surat 30 (ar Ru m) : 95:
Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada
fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui”.127
124
Q.S 49 (Al Hujurat ) : 13.
125 Q.2 : ( al-Baqarah ) : 148
126 Syed Nawab haidar Naqvi dalam bukunya Etika dan Ilmu Ekonomi suatu sintesis Islami, ( Bandung, Mizan 1991).
43.
127 Q.S. 30 (ar Rum) : 95.
lxxiv
2. Kerangka teoritik efektifitas penegakan hukum dan keadilan
a. Teori Efektifitas Penegakan Hukum dan Keadilan oleh Lourence Meir Freidman.128
Dalam kondisi negara mengalami keterpurukan di bidang hukum, adalah
lemahnya penegakan hukum penulis mengambil teori dan konsep Lawrence Meir Friedmand
dalam bukunya Tree elements of legal System (Tentang tiga unsur sistem hukum), ketiga
unsur tesebut terdiri dari :129
1. Subtasi hukum (legal Subtance)
2. Struktur hukum (Legal Structure)
3. Kultur hukum (Legal Culture)
Pertama: unsur subtansi hukum didefinisikan sebagai berikut: “ The substance
is composed of subtantive rules about how institutions shoul be have“ . Subtansi hukum
ialah aturan, norma dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Subtansi
hukum ialah produk yang dihasilkan orang-orang yang berada dalam sistem hukum itu,
berupa keputusan yang dikeluarkan oleh struktur hukum. Subtansi hukum juga mencakup
living law (hukum yang hidup) bukan hanya pada aturan tertulis dalam Kitab Undang-
Undang atau law in book.
Tentang legal culture, Fredmand memberikan definisi : system their beliefs,
128
Lawrence M. Friedman Professor (by courtesy) of History and Professor (by courtesy) of Political Science An
internationally renowned, prize-winning legal historian, Lawrence M. Friedman has for a generation been the
leading expositor of the history of American law to a global audience of lawyers and lay people alike and a leading
figure in the law and society movement. He is particularly well known for treating legal history as a branch of
general social history. From his award-winning History of American Law, first published in 1973, to his American
Law in the 20th Century, published in 2003, his canonical works have become classic textbooks in legal and
undergraduate education. Professor Friedman is a prolific author on crime and punishment, and his numerous
books have been translated into multiple languages. He is the recipient of six honorary law degrees and is a fellow
in the American Academy of Arts and Sciences. Before joining the Stanford Law School faculty in 1968, he was a
professor of law at the University of Wisconsin Law School and at Saint Louis University School of Law.
Lawrence M. Friedman, Profesor(dengan keahlian) bidang Sejarah dan Profesor (dengan keahlian) bidang Ilmu
Politik Internasional terkenal, pemenang hadiah sejarawan hukum, Lawrence M. Friedman telah selama satu generasi menjadi ekspositor terkemuka sejarah hukum Amerika ke seluruh dunia pengacara dan orang awam sama
dan seorang tokoh terkemuka dalam hukum dan gerakan masyarakat. Ia terutama dikenal untuk mengobati sejarah
hukum sebagai cabang dari sejarah sosial umum. Dari pemenang penghargaan History Hukum Amerika, pertama
kali diterbitkan pada tahun 1973, UU Amerika di abad ke-20, yang diterbitkan pada tahun 2003, karya kanonik itu
telah menjadi buku teks klasik dalam pendidikan hukum dan sarjana. Profesor Friedman adalah seorang penulis
produktif tentang kejahatan dan hukuman, dan berbagai buku itu telah diterjemahkan ke beberapa bahasa. Dia adalah penerima enam predikat kehormatan dan hukum adalah rekan dalam American Academy of Arts dan Ilmu
Pengetahuan. Sebelum bergabung dengan fakultas Stanford Law School pada tahun 1968, ia adalah seorang profesor
hukum di Fakultas Hukum Universitas Wisconsin dan di Saint Louis University School of Law.
129 Freidmance Lawrence M, The Legal System a Social Science Prespective, (New York Russell Sage Foundation).
dalam Achmad Ali dalam Keterpurukan Hukum di Indonesia (penyebab dan solusinya) , (Ghalia Jakarta 2002), 8.
lxxv
values, ideas and expectations. Jadi kultur hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan
sistem hukum-hukum kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya, kultur hukum adalah
suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana kultur hukum
digunakan, dihindari dan disalahgunakan. Tanpa kultur hukum, maka sistem hukum itu tidak
berdaya. Seperti ikan yang mati dalam keranjang, bukan seperti ikan hidup yang dapat
berenang di lautan.130
Apakah yang dimaksud dengan struktur hukum (Legal Structure): ialah “The
structure of a system is skeletal framework ; is permanent shape the institutional body of the
system , the thaouhh, rigid bones that keep the process flowing within bounds. Struktur
hukum, adalah kerangka atau rangkanya, yaitu bagian yang tetap bertahan, bagian yang
memberi semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan. Bagaimana kalau kita tinjau di
Indonesia tentang Struktur Hukum ini adalah termasuk didalamnya Struktur adalah institusi-
institusi penegak hukum, Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan.
Selanjutnya unsur subtansi hukum didefinisikan sebagai berikut: “ The
substance is composed of Subtantive rules about how institutions shoul be have“. Subtansi
hukum ialah aturan, norma dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu.
Subtansi hukum ialah produk yang dihasilkan orang-orang yang berada dalam sistem hukum
itu. berupa keputusan yang dikeluarkan oleh struktur hukum. Subtansi hukum juga
mencakup living law (hukum yang hidup) bukan hanya pada aturan terrtulis dalam Kitab
Undang-Undang atau law in book.
Tentang legal culture, Fredmand memberikan definisi : system their beliefs,
values, ideas and expectations. Jadi kultur hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan
sistem hukum-hukum kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Kultur Hukum
adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana kultur
hukum digunakan, dihindari dan disalahgunakan. Tanpa kultur hukum, maka sistem hukum
itu tidak berdaya. Seperti ikan yang mati dalam keranjang, bukan seperti ikan hidup yang
dapat berenang di lautan.131
c. Teori efektifitas penegakan hukum dan keadilan oleh Donald Black.
Bahwa Donald Black 132dalam hal penegakan hukum, menyoroti adanya variable
yang menyebabkan terjadinya diskriminasi hukum dan ketidak adilan:133.
130
. Ibid. : 9.
131 Ibid. 9.
132 Donald Black is University Professor of the Social Sciences at the University of Virginia. Black received his Ph.D.
in sociology from the University of Michigan in 1968, and he taught at Yale and Harvard before coming to Virginia
in 1985. Black is the author of The Behavior of Law, The Manners and Customs of the Police, and Sociological
Justice, all of which present various aspects of his theory of law. More recently, The Social Structure of Right and Wrong extends the theory to address conflict management more broadly. It thus focuses on instances where people
handle conflicts through means other than the law, such as through gossip, avoidance, suicide, or feuding. Black's
latest book, Moral Time, identifies the causes of moral conflict in all human relationships. Black is also the founder of pure sociology, a distinctive theoretical approach that explains human behavior with its social geometry. Since
1). De-legalization, artinya semua norma-norma hukum itu telah ada pada masyarakat,
negara dan pemerintah telah berusaha segala urusan kehidupan manusia telah diatur
dalam bentuk perundang-undangan, demikian pula terjadi konflik atau adanya
penyimpangan maka hukum yang tertuang dalam norma perundang-undangan sebagai
alat control ( A tool of social control). Tetapi kenyataannya apabila ada kasus aparat
hukum, bisa mempermainkan pasal-pasal dalam perundang-undangan tersebut. Contoh
kasus Gayus, apakah termasuk dijerat pasal perkara penggelapan, atau pasal tentang
korupsi.
2). De-socialization, yaitu sikap yang menghindarkan pandangan strata sosial pihak yang
berperkara, tidak memandang karena suku, ras dan warna kulit, golongan maupun
keturunan.
Sebagai hakim harus sebagai moderator atau penengah tidak dibenarkan mengadili karena
sukunya atau golongannya, ia yang dimenangkan.
2). De-internalization, seorang penegak hukum haruslah mempunyai integritas moral yang
tinggi, masalah integritas adalah suatu sikap yang tumbuh dari dalam jiwa penegak
hukum itu sendiri dalam hal ini hakim. Jika tidak mempunyai integritas moral yang
tinggi, maka akan terjadi sikap diskriminatif. Hindari suap menyuap atau kolusi, hindari
adegium “siapa yang membayar dia yang menang”.134
Bahkan pandangan Donald Black selaras dengan pendapat Carles Sampford
tentang teori ” Melee “, artinya teori “air yang mengalir”, bahwa munculnya diskriminasi
itu, karena lima aspek yaitu : 135
pure sociology is a general sociological paradigm, it may be applied to subjects other than law, conflict, and conflict management -- for example, art[1], religion[2], and ideas[3].
Donald Black , adalah Guru Besar Ilmu Sosial di Universitas Virginia. Ia menerima gelar Ph.D. dalam sosiologi dari University of Michigan di tahun 1968, dan ia mengajar di Yale dan Harvard sebelum datang ke Virginia pada tahun
1985. Black adalah penulis The Perilaku Hukum, The Manners dan Polosi dan Bea Cukai, Sosiologi dan Keadilan,
yang semuanya menyajikan berbagai aspek teori hukum. Baru-baru ini, Struktur Sosial Hak dan Salah memperluas teori untuk mengatasi manajemen konflik lebih luas. Dengan demikian berfokus pada kasus di mana orang
menangani konflik melalui sarana selain hukum, seperti melalui gosip bunuh diri, menghindari, atau bermusuhan.
Buku Black terbaru, Waktu Moral, mengidentifikasi penyebab konflik moral dalam semua hubungan manusia. Balck juga pendiri sosiologi murni, pendekatan teoritis berbeda yang menjelaskan perilaku manusia dengan geometri
sosialnya. Sejak sosiologi murni adalah paradigma sosiologis umum, dapat diterapkan untuk mata pelajaran lain
selain hukum, konflik, dan manajemen konflik - misalnya, seni [1], agama [2], dan ide-ide [3].
133 Achmad Ali , Donald Black Karya dan Kritikan Terhadapnya, (Universitas Hasanuddin, Makassar 2000),78.
134 Achmad Ali, Kritikan terhadap Buku Donald Black. (Hasanudin Press Makasar, 2002), 56
135 Charles,Samford, The Sholder of Law: Critiqui of Legal Theory,( New Yor, USA, 1989, Basil Blackwell,1989).
Achmad Ali dalam Keterpurukan Hukum, 44. Melee adalah keteraturan proses beracara di Pengadilan, mulai dari proses tingkat pertama, tingkat banding, kasasi, dan Peninjauan Kembali. Namun, terkadang ada yang langsung
mengajukan grasi. Terdakwa kalau PK “belum mengaku bersalah”. Jika mengajukan grasi kepada kepala negara
bahwa terdakwa “mengaku bersalah”, maka terdakwa mohon ampunan.
Konsep yang akan diadopsi dalam penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan ke depan
adalah konsep pendidikan yang permanen dan berkelanjutan (Continuing Judicial Education
atau CJE). Maksudnya, pendidikan dan pelatihan yang diberikan kepada (calon) hakim dan
aparatur peradilan merupakan kelanjutan dari pendidikan formal yang sebelumnya telah mereka
dapatkan.
Pengembangannya akan menyesuaikan dengan perkembangan profesi yang mereka
geluti sepanjang karirnya di pengadilan, misalnya bagaimana seorang hakim dapat terus
mengikuti perkembangan wacana dan rasa keadilan yang terus berkembang di masyarakat atau
bagaimana seorang aparatur peradilan mempelajari penggunaan aplikasi komputer tertentu
untuk mendukung pelaksanaan tugasnya. Sebagai pedoman implementasi CJE ini, terdapat
beberapa prinsip yang harus diperhatikan, yaitu:
1. Bersifat komprehensif, terpadu dan sinergis untuk membantu hakim dan aparatur peradilan
memenuhi harapan masyarakat;
2. Bersifat khusus yang merupakan bagian dari pendidikan berkelanjutan dan terpusat pada
kebutuhan pengembangan kompetensi hakim dan pegawai pengadilan.
Dalam mengimplementasikan konsep (Continuing Judicial Education atau CJE ini,
Mahkamah Agung RI akan sepenuhnya mengembangkan metode belajar cara orang dewasa
(adult learning). Penerapan metode ini akan menumbuhkan dasar-dasar sistem dan budaya
dalam implementasi desain organisasi berbasis pengetahuan (knowledge based organization).
Para hakim serta aparat peradilan akan terus belajar dari produk-produk yang
dihasilkan oleh mereka sendiri. Untuk memastikan berhasilnya implementasi konsep
Continuing Judicial Education (CJE) dalam sistem Pendidikan dan Pelatihan Profesi Hakim
dan Aparatur Peradilan yang Berkualitas dan Terhormat, kegiatan-kegiatan yang akan
dilaksanakan antara lain sebagai berikut:
1. Peningkatan kapasitas kelembagaan dan kapasitas SDM (sumber daya manusia) pada
pelaksana fungsi pendidikan dan pelatihan.
2. Penyusunan kurikulum dan materi ajar berbasis kompetensi bagi program pendidikan dan
pelatihan hakim dan aparatur peradilan yang akan diperbaharui secara berkelanjutan,
termasuk penyesuaian dengan penerapan sistem kamar.
3. Pelaksanaan program pendidikan dan pelatihan berkelanjutan bagi hakim dan aparat
peradilan 4. Rekrutmen sumber daya manusia pada pelaksana fungsi pendidikan dan pelatihan yang
berbasis kompetensi, termasuk melibatkan tenaga eksternal untuk mendukung penyusunan
kurikulum dan materi ajar, ataupun menjadi tenaga pengajar yang dibutuhkan.
5. Pelaksanaan proses integrasi sistem diklat dengan sistem sumber daya manusia secara
keseluruhan.
Panduan magang pada Pengadilan Tingkat Pertama dengan tahapan sebagai berikut:
kurikulum Ikatan Hakim Indonesia dilakukan pada Pendidikan tahap pertama dan Pedoman
Perilaku Hakim juga dilaksanakan pada tahap pertama sebagai berikut:
C. Penerapan Kode Etik Hakim
lxxxvi
Kewajiban hakim untuk memelihara kehormatan dan keluhuran martabat, serta perilaku
hakim sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan harus diimplementasikan
secara konkrit dan konsisten baik dalam menjalankan tugas yudisialnya maupun di luar tugas
yudisialnya, sebab hal itu berkaitan erat dengan upaya penegakan hukum dan keadilan.
Kehormatan adalah kemuliaan atau nama baik yang senantiasa harus dijaga dan dipertahankan
dengan sebaik-baiknya oleh para hakim dalam menjalankan fungsi pengadilan. Kehormatan
hakim itu terutama terlihat pada putusan yang dibuatnya, dan pertimbangan yang melandasi, atau
keseluruhan proses pengambilan keputusan yang bukan saja berlandaskan peraturan perundang-
undangan, tetapi juga rasa keadilan dan kearifan dalam masyarakat. Sebagaimana halnya
kehormatan, keluhuran martabat merupakan tingkat harkat kemanusiaan atau harga diri yang
mulia yang sepatutnya tidak hanya dimiliki, tetapi harus dijaga dan dipertahankan oleh hakim
melalui sikap tindak atau perilaku yang berbudi pekerti luhur. Hanya dengan sikap tindak atau
perilaku yang berbudi pekerti luhur itulah kehormatan dan keluhuran martabat hakim dapat dijaga
dan ditegakkan. Kehormatan dan keluhuran martabat berkaitan erat dengan etika perilaku. Etika
adalah kumpulan azas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak mengenai benar dan salah yang
dianut satu golongan atau masyarakat. Perilaku dapat diartikan sebagai tanggapan atas reaksi
individu yang terwujud dalam gerakan (sikap) dan ucapan yang sesuai dengan apa yang dianggap
pantas oleh kaidah-kaidah hukum yang berlaku. Etika berperilaku adalah sikap dan perilaku yang
didasarkan kepada kematangan jiwa yang diselaraskan dengan norma-norma yang berlaku di
dalam masyarakat. Implementasi terhadap kode etik dan pedoman perilaku hakim dapat
menimbulkan kepercayaan, atau ketidak-percayaan masyarakat kepada putusan pengadilan. Oleh
sebab itu, hakim dituntut untuk selalu berperilaku yang berbudi pekerti luhur. Hakim yang
berbudi pekerti luhur dapat menunjukkan bahwa profesi hakim adalah suatu kemuliaan (officium
nobile).
Profesi hakim memiliki sistem etika yang mampu menciptakan disiplin tata kerja
dan menyediakan garis batas tata nilai yang dapat dijadikan pedoman bagi hakim untuk
menyelesaikan tugasnya dalam menjalankan fungsi dan mengemban profesinya. Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim ini merupakan panduan keutamaan moral bagi hakim, baik dalam
menjalankan tugas profesinya maupun dalam hubungan kemasyarakatan di luar kedinasan. Hakim
sebagai insan yang memiliki kewajiban moral untuk berinteraksi dengan komunitas sosialnya,
juga terikat dengan norma – norma etika dan adaptasi kebiasaan yang berlaku dalam tata
pergaulan masyarakat. Namun demikian, untuk menjamin terciptanya pengadilan yang mandiri
dan tidak memihak, diperlukan pula pemenuhan kecukupan sarana dan prasarana bagi Hakim baik
selaku penegak hukum maupun sebagai warga masyarakat. Untuk itu, menjadi tugas dan
tanggung jawab masyarakat dan Negara memberi jaminan keamanan bagi Hakim dan Pengadilan,
termasuk kecukupan kesejahteraan, kelayakan fasilitas dan anggaran. Walaupun demikian,
meskipun kondisi-kondisi di atas belum sepenuhnya terwujud, hal tersebut tidak dapat dijadikan
alasan bagi Hakim untuk tidak berpegang teguh pada kemurnian.pelaksanaan tugas dan tanggung
jawab sebagai penegak dan penjaga hukum dan keadilan yang memberi kepuasan pada pencari
keadilan dan masyarakat. Sebelum disusun Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim ini, Mahkamah Agung telah
mengadakan kajian dengan memperhatikan masukan dari Hakim di berbagai tingkatan dan
lingkungan peradilan, kalangan praktisi hukum, akademisi hukum, serta pihak-pihak lain dalam
masyarakat. Selain itu memperhatikan hasil perenungan ulang atas pedoman yang pertama kali
dicetuskan dalam Kongres IV Luar Biasa Ikatan Hakim Indonesia Tahun 1966 di Semarang,
dalam bentuk Kode Etik Hakim Indonesia dan disempurnakan kembali dalam Munas XIII IKAHI
Tahun 2000 di Bandung. Untuk selanjutnya ditindaklanjuti dalam Rapat Kerja Mahkamah Agung
RI Tahun 2002 di Surabaya yang merumuskan 10 (sepuluh) prinsip Pedoman Perilaku Hakim
yang didahului pula dengan kajian mendalam yang meliputi proses perbandingan terhadap
prinsip-prinsip internasional, maupun peraturan-peraturan serupa yang ditetapkan di berbagai
Negara, antara lain The Bangalore Principles of Yudicial Conduct. Selanjutnya Mahkamah Agung
lxxxvii
menerbitkan pedoman perilaku hakim melalui Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI
Nomor : KMA/104A/SK/XII/2006 tanggal 22 Desember 2006, tentang Pedoman Perilaku Hakim
dan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor : 215/KMA/SK/XII/2007 tanggal 19
Desember 2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pedoman Perilaku Hakim.
Demikian pula Komisi Yudisial RI telah melakukan pengkajian yang mendalam dengan
memperhatikan masukan dari berbagai pihak melalui kegiatan Konsultasi Publik yang
diselenggarakan di 8 (delapan) kota yang pesertanya terdiri dari unsur hakim, praktisi hukum,
akademisi hukum, serta unsur-unsur masyarakat termasuk lembaga swadaya masyarakat.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas dan memenuhi pasal 32A
juncto pasal 81B Undang-Undang Nomor : 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-
Undang Nomor : 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, maka disusunlah Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim yang merupakan pegangan bagi para hakim seluruh Indonesia serta
Pedoman bagi Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI dalam melaksanakan fungsi
pengawasan internal maupun eksternal. 144
D. Pengawasan Terhadap Pelaksanaan Kode Etik
Dengan lahirnya Surat Keputusan Bersama antara Mahkamah Agung RI dan Komisi
Yudisial Tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku hakim Indonesia Nomor :
047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02 /SKB/P.KY/IV/2009 tanggal 8 April 2009 dan mengefektifkan
Badan Pengawas Mahkamah Agung RI. Dengan langkah-langakah sebagai berikut :
1. Pengawasan melekat
Pengawasan melekat dalam organisasi Mahkamah Agung dan Lembaga Peradilan di
bawahnya adalah pengawasan secara struktural yang melekat dalam suatu organisasi,
sebagaimana yang dimaksudkan oleh Pedoman Umum Angka 1 huruf a Instruksi Presiden
Nomor 1 Tahun 1989 Tentang Pedoman Pengawasan Melekatyaitu sebagai berikut ;
“Pengawasan Melekat, adalah serangkaian kegiatan yang bersifat sebagai
pengendalian yang terus menerus dilakukan oleh atasan langsung terhadap bawahannya,
secara preventif ataurepresif agar pelaksanaan tugas bawahan tersebut berjalan secara
efektif dan efisien sesuai dengan rencana kegiatan dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku”.
Oleh Mahkamah Agung, pengawasan melekat secara mikro dilaksanakan oleh
masing-masing Satuan Kerja (Satker), dan secara makro dilaksanakan secara berjenjang
yaitu Mahkamah Agung, Pengadilan Tingkat Banding, dan Pengadilan Tingkat Pertama.
2. Pengawasan fungsional
Satuan Kerja Pengawasan Fungsional Internal Mahkamah Agung berada di dalam
struktur organisasi yang bertugas untuk melakukan pengawasan internal, baik di lingkungan
Mahkamah Agung, maupun terhadap Pengadilan Tingkat Banding, dan Tingkat Pertama.
Kedua bentuk pengawasan tersebut dapat dilakukan melalui dua pendekatan atau sifat,
yaitu:
144
Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI, ibid, SKB.Nomor 074/KMA/SKB/IV/ dan SKB Nomor
02/SKB/P.KY/IV/2009, tanggal 8 April 2009, tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Indonesia, Alinea
Pembukaan, 3-6
lxxxviii
a. Preventif
Berbagai kegiatan Mahkamah Agung untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia
peradilan seperti halnya mengadakan pendidikan dan pelatihan, memberikan petunjuk-
petunjuk dalam bentuk Surat Edaran, pada hakekatnya adalah merupakan pelaksanaan
fungsi pengawasan dalam pengertian pengendalian guna mencegah terjadinya
penyimpangan- penyimpangan tugas. Demikian pula kegiatan-kegiatan koordinasi dan
sosialisasi yang dilaksanakan oleh Badan Pengawasan.
b. Persuasif
Sifat persuasif ini diwujudkan dalam bentuk himbauan-himbauan yang bersifat
menyadarkan dan memotivasi aparat peradilan untuk meningkatkan etos kerja dan
semangat pengabdian dalam memberikan
pelayanan publik yang sebaik-baiknya.
c. Akomodatif
Dalam melaksanakan pengawasan, Mahkamah Agung selalu memperhatikan kondisi
objektif yang ada serta aspirasi aparat peradilan. Hal ini terlihat dari pelaksanaan tugas
Badan Pengawasan dalam bentuk pengawasan reguler dimana hasilnya merupakan
bahan masukan bagi Pimpinan Mahkamah Agung dalam pengambilan keputusan dan
kebijakan.
d. Apresiatif
Dalam melaksanakan pengawasan, Mahkamah Agung juga memperhatikan prestasi dan
nilai lebih yang ditunjukkan oleh aparat peradilan untuk diberikan reward.
e. Represif
Dalam hal yang sangat terpaksa sekali, Mahkamah Agung tidak memiliki pilihan lain
untuk melakukan penindakan sebagai punishment dalam bentuk hukuman disiplin atau
treatment.145
3. Pengawas terhadap pelaksanaan kode etik
Untuk pelaksanaan Kode Etik dapat dijalankan oleh aparat peradilan agar berjalan
efektif, perlu adanya badan yang mengawasi implemantasi kode etik tersebut.
Struktur Organisasi yang menangani bidang pengawasan di Mahkamah Agung RI
adalah badan pengawasan yang berada pada Sekretariat Jendral Mahkamah Agung RI.
Adapun Visi dan Misi Badan Pengawas Mahkamah Agung RI adalah :”Terwujudnya
aparatur peradilan yang bersih dan berwibawa”.
Sedangkan Misi Badan Pengawasan :
a. Mengoptimalkan pengawasan melekat dan mengintensifkan pengawasan fungsional;
145
Mahkamah Agung RI, Laporan Mahkamah Agung RI Tahun 2007, (Jakarta Mahkah Agung
RI),90
lxxxix
b. Meningkatkan profesionalisme aparat badan pengawasan dan peradilan tingkat banding
di bidang pengawasan.
c. Terwujudnya fungsi pengawasan yang efektif dan efisien dilingkungan Mahkamah
Agung dan badan peradilan di bawahnya.
d. Terwujudnya aparatur yang profesional, bersih, netral, bertanggung jawab dan berorientasi pada pelayanan masyarakat.
4. Organisasi badan pengawasan.
Badan Pengawasan dipimpin oleh seorang Kepala Badan, yang dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya Kepala Badan Pengawasan dibantu oleh :
1. Sekretaris Badan Pengawasan;2. Inspektorat Wilayah I; 3. Inspektorat Wilayah II;4. Inspektorat Wilayah III; 5. Inspektorat Wilayah IV.
2. Susunan Sekretariat Badan Pengawasan terdiri dari : a). Bagian Perencanaan dan
Keuangan;b). Bagian Kepegawaian; c). Bagian Organisasi dan Tata Laksana; d). Bagian Umum;e). Kelompok Jabatan Fungsional.
Untuk lebih mengefektifkan pelaksanaan tugas pengawasan, badan Pengawasan telah
membagi beberapa wilayah:
Inspektorat Wilayah I : mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan
perumusan kebijakan dan pelaksanaan pengawasan serta pemeriksaan pelaksanaan teknis
dan administrasi peradilan serta administrasi umum di wilayah I, yang meliputi : Nanggroe
Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung dan Bangka Belitung.
Inspektorat Wilayah II : mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan
perumusan kebijakan dan pelaksanaan pengawasan serta pemeriksaan pelaksanaan teknis
dan administrasi peradilan serta administrasi umum di wilayah II, yang meliputi : Banten,
DKI Jakarta (termasuk unit organisasi yang ada di Mahkamah Agung), Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur dan Bali.
Inspektorat Wilayah III :mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan
perumusan kebijakan dan pelaksanaan pengawasan serta pemeriksaan pelaksanaan teknis
dan administrasi peradilan serta administrasi umum di wilayah III, yang meliputi :
Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Gorontalo, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan.
Inspektorat Wilayah IV: bertugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan
kebijakan dan pelaksanaan pengawasan serta pemeriksaan pelaksanaan teknis dan
administrasi peradilan serta umum di wilayah IV, yang meliputi: Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara dan Irian Jaya.
Penyelenggaraan, pelaksanaan dan pengelolaan organisasi, administrasi, dan
finansial peradilan, sedangkan sasaran pengawasan meliputi : lembaga peradilan, yang meliputi Mahkamah Agung, pengadilan tingkat banding dan pengadilan tingkat pertama.
6. Sejarah terbentuknya badan pengawasan Mahkamah Agung
Pada sekitar tahun 1980an barulah dirasakan pentingnya fungsi pengawasan dalam
penyelenggaraan negara di Indonesia. Hal ini ditandai dengan dikeluarkannya :
a. Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 1983 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan
b. Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 1983 Tentang Pembentukan Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan (BPKP);
c. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1989 Tentang Pedoman Pengawasan Melekat.
Sampai dengan tahun 2001, fungsi pengawasan ini dilaksanakan oleh Mahkamah
Agung dengan menunjuk hakim agung penanggung jawab Pengawasan wilayah, tanpa
memiliki struktur dan supporting unit.
Pada tahun 2001, atas usulan dari Mahkamah Agung RI, dikeluarkanlah Surat
Keputusan Presiden RI Nomor 131 / M Tahun 2001 tertanggal 23 April 2001 Tentang
Pengangkatan Ketua Muda Mahkamah Agung RI Urusan Pengawasan dan Pembinaan. Jadi
sejak tahun 2001 di
Mahkamah Agung sudah ditunjuk seorang Hakim Agung yang ditugaskan untuk
melakukan pengawasan dan pembinaan yang merupakan salah satu fungsi dari Mahkamah
Agung, Namun pelaksanaan tugas Ketua Muda Mahkamah Agung RI urusan pengawasan dan
pembinaan ini tidaklah dapat terlaksana secara maksimal karena tidak memiliki struktur dan
tidak tersedianya Supporting Unit untuk membantu melaksanakan tugas-tugasnya.
Guna mengatasi kendala tersebut, Mahkamah Agung mengajukan konsep
pembentukan unit pengawasan dan pembinaan kepada Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara, dan kemudian Menteri memberikan persetujuannya dengan Surat Nomor 156 /
M.PAN / VI / 2002 tertanggal 10 Juni 2002. Persetujuan tersebut oleh Panitera / Sekretaris
Jenderal Mahkamah Agung RI ditindaklanjuti dengan pembentukan Unit Asisten Bidang
Pengawasan dan Pembinaan Mahkamah Agung RI berdasarkan Surat Keputusan Panitera /
Sekretaris Jenderal Mahkamah Agung RI Nomor : MA / PANSEK / 013 / SK . VI / Tahun
2002 tanggal 12 Juni 2002 Tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan Panitera / Sekretaris
Jenderal Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : MA / PANSEK / 02 / SK / Tahun
1986 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kepaniteraan / Sekretariat Jenderal Mahkamah
Agung Republik Indonesia. Berdasarkan Surat Keputusan tersebut, dibentuklah struktur
organisasi Asisten Bidang Pengawasan dan Pembinaan Mahkamah Agung RI yang terdiri atas
:
xcii
1. Seorang Pejabat Struktural Eselon IIa selaku Asisten Bidang Pengawasan dan Pembinaan
Mahkamah Agung RI ( Surat Keputusan Panitera / Sekretaris Jenderal Mahkamah Agung
RI Nomor : UP.IV / 116/ PSJ / SK / 2003 tanggal 14 April 2003 Tentang Pengangkatan
Para Pejabat Struktural Eselon II di Lingkungan Sekretariat Jenderal Mahkamah Agung
RI ).
2. Sembilan orang Hakim Tinggi Pengawas / Pejabat Fungsional Pengawasan.
3. Tiga orang Pejabat Struktural Eselon III yaitu Kepala Bidang Peradilan Umum dan
Peradilan Tata Usaha Negara, Kepala Bidang Peradilan Agama dan Peradilan Militer dan
Kepala Bidang Peradilan Mahkamah Agung.
4. Enam orang Pejabat Struktural Eselon IV yang masing-masing adalah Kepala Sub Bidang
Peradilan Umum, Tata Usaha Negara, Agama, Militer, Mahkamah Agung dan Tata
Operasional. 5. Sebelas orang Staff.146
Asisten Bidang Pengawasan dan Pembinaan Mahkamah Agung RI
(Asbidwasbin) secara struktural organisatoris berada dibawah Panitera / Sekretaris Mahkamah
Agung RI yang dalam pelaksanaan tugas berada di bawah koordinasi Ketua Muda Mahkamah Agung RI Urusan Pengawasan dan Pembinaan.147
7. Pengawasan dalam sistem peradilan satu atap
Dengan diundangkannya Undang- Undang Nomor 4 dan 5 Tahun 2004 maka
organisasi, administrasi dan finansial seluruh badan peradilan berada di bawah kekuasaan
Mahkamah Agung, hal mana juga membawa dampak terhadap fungsi pengawasan Mahkamah
Agung.
Pasal 46 Undang Undang Nomor 4 Tahun 2004 memberikan tenggang waktu
kepada Mahkamah Agung paling lambat 12 bulan terhitung sejak undang-undang tersebut
diundangkan yaitu tanggal 15 Januari 2004 untuk menyusun organisasi dan tata kerja yang
baru di lingkungan Mahkamah Agung.
Pasal 5 ayat (2) Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2004 menentukan bahwa Wakil
Ketua Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas Wakil Ketua
Yudisial dan Wakil Ketua Bidang Non - Yudisial. Pada ayat (5) ditentukan bahwa Wakil
Ketua Bidang Non - Yudisial membawahi Ketua Muda Pembinaan dan Ketua Muda
Pengawasan.
Selanjutnya Pasal 25 ayat (1) Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2004 menentukan
bahwa pada Mahkamah Agung ditetapkan adanya Sekretariat yang dipimpin oleh seorang
Sekretaris Mahkamah Agung. Pada ayat (3) ditentukan bahwa pada Sekretariat Mahkamah
Agung dibentuk beberapa Direktorat Jenderal dan Badan yang dipimpin oleh beberapa
Direktur Jenderal dan Kepala Badan. Dan sejak saat itu terdapat Badan yang bertugas untuk
146
Mahkamah Agung RI, Laporan Mahkamah Agung RI, Tahun 2010, Bab Pengawasan, Jakarta, 2010, 115
147 Ibid , 116
xciii
melakukan Pengawasan Fungsional di Mahkamah Agung RI dan seluruh Badan Peradilan di bawahnya dengan nama “ Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI“. 148
8. Sarana dan prasarana.
Agar masyarakat untuk mengetahui sejauh mana perjalanan proses perkara
yang diajukan di peradilan, dan untuk menghindarkan adanya komoniksi langsung
kepada aparat peradilan, telah dipersiapkan sarana dan prasarana pelayanan publik
berupa teknologi informasi yang terdiri dari :
a. Touch screen
b. IVR (interactive voice respond)
c. Portal internet badan pengawasan Mahkamah Agung
d. Layanan SMS
9. Pengawasan oleh pengadilan tingkat banding.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana
telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 2004, menentukan adanya Pengawasan
Fungsional pada struktur organisasi Mahkamah Agung.
Namun demikan mekanisme pengawasan fungsional pada Pengadilan Tingkat
Banding dan Tingkat Pertama belum diatur, padahal Pasal 32 Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1985 yang tidak dirubah oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 pada Penjelasan
ayat (3) diuraikan bahwa: Kewenangan untuk melaksanakan Pengawasan oleh Mahkamah
Agung dapat didelegasikan kepada Pengadilan Tingkat Banding di semua Lingkungan
Peradilan. Berdasarkan penjelasan Pasal inilah kemudian berkembang istilah Pengadilan
Tingkat Banding sebagai Voorpost .
Mahkamah Agung. Melihat penjelasan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa
yang didelegasikan itu hanyalah pengawasan terhadap penyelenggaraan pengadilan (ayat 1)
dan pengawasan terhadap tingkah laku para Hakim (ayat 2).
Pendelegasian itu pun hanya sampai ke Pengadilan Tingkat Banding saja, tentu
dengan asumsi bahwa Pengadilan Tingkat Banding sebagai voorpost Mahkamah Agung di
daerah yang menerima pendelegasian tersebut berwenang mengawasi pengadilan-
pengadilantingkat pertama di lingkungan daerah hukumnya. Timbul pertanyaan, bagaimana
mekanisme pengawasan internal pada Pengadilan Tingkat Banding dan Pengadilan Tingkat
Pertama itusendiri.
Sebagai jawabannya dapat digunakan dan masih relevan Surat Edaran Mahkamah
Agung RI Nomor 2 Tahun 1988 tanggal 1 Februari 1988 Tentang Pedoman Pembagian Tugas
Antara Ketua Pengadilan Tinggi/Negeri dan Wakil Ketua Pengadilan Tinggi/Negeri, dimana
pengawasan (control) terhadap masalah-masalah keuangan, kepegawaian dan peralatan oleh
Ketua Pengadilan Tinggi /Pengadilan Negeri didelegasikan kepada Wakil Ketua.
148
Mahkamah Agung RI, Laporan Mahkamah Agung RI, Tahun 2010, Bab Pengawasan, (Jakarta, Mahkamah Gung RI.
2010) :117
xciv
Selanjutnya, Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor :
KMA/006/SK/III/1994, tanggal 31 Maret 1994 Tentang Pengawasan dan Evaluasi Atas Hasil
Pengawasan Oleh Pengadilan Tingkat Banding dan Pengadilan Tingkat Pertama menegaskan
bahwa Ketua Pengadilan Tingkat Banding melakukan pengawasan terhadap jalannya
peradilan di Pengadilan Tingkat Pertama di daerah hukumnya. Pengawasan mana meliputi:
teknis peradilan, administrasi peradilan serta perbuatan dan tingkah laku Hakim dan Pejabat
Kepaniteraan Pengadilan. Berhubung tidak diaturnya pengawasan fungsional secara struktural
di Pengadilan Tingkat Banding, maka penunjukan Hakim Tinggi Pengawas Daerah dan
Hakim Tinggi Pengawas Bidang di Pengadilan Tingkat Banding serta penunjukan Hakim
Pengawas Bidang di Pengadilan Tingkat Pertama sebagaimana yang sekarang ini berlaku
berdasarkan Surat Ketua Mahkamah Agung RI dengan Nomor : MA/
KUMDIL/207/VIII/K/1994 Tanggal 1 Agustus 1994, Perihal Pengawasan dan Evaluasi Atas
Hasil Pengawasan, dapat diintensifkan dan ditingkatkan peranannya.
10. Prosedur pengawasan dan pengaduan pelanggaran kode etik hakim
Pengaduan yang diajukan pada lembaga peradilan dapat berasal dari berbagai
sumber, antara lain:149
a. Pengaduan masyarakat,
Pengaduan-pengaduan yang ditujukan terhadap aparat peradilan atau mutu
pelayanan publik pengadilan. Pengaduan ini umumnya diajukan oleh para pencari
keadilan, pengacara, danlembaga bantuan hukum yang langsung diajukan kepada
Mahkamah Agung atau Pengadilan Tingkat Banding dan Pengadilan Tingkat Pertama.
Ada kalanya pengaduan tersebut disampaikan oleh masyarakat umum melalui Lembaga
Swadaya Masyarakat, Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden atau Wakil Presiden, Komisi
Yudisial, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Komisi Peberantasan Korupsi,
Komisi Hukum Nasional, Komisi Ombudsman Nasional danlain-lain. b. Pengaduan internal, yaitu pengaduan yangditujukan terhadap Aparat Peradilan dan
diajukan oleh warga Pengadilan sendiri (termasuk keluarganya).
c. Laporan kedinasan yang merupakan laporanresmi dari Pimpinan Pengadilan mengenai
Aparat Pengadilan yang dipimpinnya.
d. Informasi yang diperoleh dari instansi lain, atau berita melalui media massa, atau dari
isu-isu yang berkembang. Berbagai pengaduan di atas pada umumnya meliputi hal-hal
antara lain:
1. Penyalahgunaan wewenang / jabatan.
2. Pelanggaran sumpah jabatan.
3. Dugaan melakukan tindak pidana.
4. Maladministrasi, yaitu terjadinya kesalahan, atau kekeliruan, atau kelalaian yang
bersifat administratif.
5. Pelanggaran hukum acara, baik yang dilakukan dengan sengaja, maupun karena
kelalaian dan ketidakpahaman.
149
Mahkamah Agung RI, Laporan Mahkamah Agung RI 2010, (Website Mahkamah Agung RI) , Kamis, 26 Januari
2012 12:29 Bab Pengawasan.
xcv
6. Pelayanan publik yang tidak memuaskan, yang dapat merugikan pihak-pihak yang
berkepentingan pada khususnya, dan masyarakat pada umumnya mengenai aspek
waktu, biaya, dan atau perilaku.
7. Pelanggaran terhadap kode etik dan code of conduct Hakim.
8. Perbuatan tercela, yaitu berupa perbuatanperbuatan amoral, asusila, atau perbuatan
perbuatan yang tidak selayaknya dilakukanoleh seorang aparat lembaga peradilan
maupun selaku anggota masyarakat.
9. Tindakan indisipliner.
10. Tindakan arogansi.
Gambar 3.7
Pengaduan dan Tindak Lanjutnya :
Gambar di atas merupakan Skema Alur Penanganan Pengaduan Masyarakat
berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung No. 076/KMA/SK/VI/2009.
11. Pengawasan eksternal
a. Fungsi dan peran Komisi Yudisial pengawasan kode etik hakim
Redefinisi Fungsi Hubungan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial sebagai
Mitra dalam Pelaksanaaan Fungsi Pengawasan. Mahkamah Agung RI berkepentingan
terhadap pengawasan eksternal tepat dan efektif oleh Komisi Yudisial. Apabila pengawasan
yang dilaksanakan oleh Komisi Yudisial dapat dilaksanakan dengan baik dan mencapai
tujuannya, maka tujuan pengawasan perilaku hakim oleh Mahkamah Agung juga tercapai.
Selain itu, keberadaan pengawasan eksternal mendorong unit pengawasan internal untuk
menjaga dan meningkatkan akuntabilitas dan mutu pengawasan yang dilaksanakan.
Redefinisi dan meningkatkan koordinasi serta kerjasama dengan Komisi Yudisial adalah
agenda yang penting, yaitu dengan melakukan:
xcvi
1. Hubungan kemitraan yang setara dengan meningkatkan kerjasama, antara lain
pelaksanaan kegiatan pengawasan secara bersama-sama.
2. Pembentukan standar dan pedoman bersama dalam pengawasan dan pemeriksaan
dugaan pelanggaran perilaku hakim, yang memuat: mekanisme koordinasi dalam
kegiatan pengawasan perilaku hakim, baik antara Komisi Yudisial RI dan Mahkamah
Agung RI, maupun antara Komisi Yudisial dengan badan peradilan di bawah
Mahkamah Agung RI, mekanisme dalam penyampaian rekomendasi hukuman disiplin
oleh Komisi Yudisial dan penetapan hukuman disiplin oleh Mahkamah Agung RI,
mekanisme pembentukan dan pemeriksaan oleh Majelis Kehormatan Hakim, jaminan
hak dan kepastian hukum dari pihak-pihak yang menjadi obyek pengawasan atau
pemeriksaan, dan standar minimum pelaksanaan kegiatan pengawasan dan pemeriksaan
dalam rangka mengakomodasi prinsip objektivitas dan akuntabilitas kegiatan
pengawasan.
3. Penegasan atas independensi hakim dan pengadilan dengan menyusun draf perubahan
Undang Undang Mahkamah Agung RI, Undang-Undang Badan Peradilan dan Undang-
Undang Komisi Yudisial serta melakukan kegiatan-kegiatan strategis untuk mendorong
dihilangkannya ketentuan-ketentuan yang mengandung unsur-unsur: penilaian terhadap
bunyi putusan hakim, ketidakseimbangan dalam proses pengawasan dan pendisiplinan
hakim, dan berpotensi menimbulkan multi tafsir berkaitan dengan kewenangan
pengawasan yang dimiliki oleh pengawas internal Mahkamah Agung RI dan lembaga
pengawas eksternal Komisi Yudisial.
Gambar : 3.8 Struktur Organisasi Biro Pengawasan Hakim Di Komisi Yudisial :
xcvii
Komisi Yudisial bertanggungjawab kepada publik melalui DPR, dengan cara
menerbitkan laporan tahunan dan membuka akses informasi secara lengkap dan akurat.150
c.Dasar dan kewenangan Komisi Yudisial.
Dasar Hukum Dibentuknya Komisi Yudisial adalah : Pasal 24A ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi: “Calon
hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk
mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden”.
Dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial.
(1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim
agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,serta perilaku hakim. (Pasal 24B ayat 1).
150
Badan Pengawas Mahkamah Agung RI, Laporan Tahun 2010, (Jakarta Mahkamah Agung RI), 109
a. Tugas Komisi Yudisial Mengusulkan pengangkatan hakim agung
Komisi Yudisial mempunyai tugas:
1. Melakukan pendaftaran calon Hakim Agung;
2. Melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung;
3. Menetapkan calon Hakim Agung;
4. Mengajukan calon Hakim Agung ke DPR.
b. Menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku Hakim
Komisi Yudisial mempunyai tugas:
1. Pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku hakim.
2. Menerima laporan pengaduan masyarakat tentang perilaku hakim,
3. Melakukan verifikasi, klarifikasi dan investigasi terhadap laporan dugaan pelanggaran
kode etik dan pedoman perilaku hakim,
4. Memutuskan benar tidaknya laporan dugaan pelanggaran kode etik.
5. Mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorang, kelompok
orang atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim.
6. Mengupayakan peningkatan kapasitas dan kesejahteraan hakim.
7. Meminta bantuan kepada aparat penegak hukum untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan dalam hal adanya pelanggaran kode etik.
Pertanggungjawaban dan laporan
xcviii
(2) Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.
(3) Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(4) Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-
undang.152
Pasal 34:
151
Badan Pengawas Mahkamah Agung RI, Laporan Tahun 2010, (Jakarta Mahkamah Agung RI), 109
151 Badan Pengawas Mahkamah Agung RI, Laporan Tahun 2010, (Jakarta Mahkamah Agung RI), 109
152 Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945
2) Tugas Komisi Yudisial Mengusulkan pengangkatan hakim agung
Komisi Yudisial mempunyai tugas:
a. Melakukan pendaftaran calon Hakim Agung;
b. Melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung;
c. Menetapkan calon Hakim Agung;
d. Mengajukan calon Hakim Agung ke DPR.
3) Menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku Hakim
Komisi Yudisial mempunyai tugas:
a. Pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku hakim.
b. Menerima laporan pengaduan masyarakat tentang perilaku hakim,
c. Melakukan verifikasi, klarifikasi dan investigasi terhadap laporan dugaan pelanggaran kode
etik dan pedoman perilaku hakim,
d. Memutuskan benar tidaknya laporan dugaan pelanggaran kode etik.
e. Mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorang, kelompok orang
atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim.
f. Mengupayakan peningkatan kapasitas dan kesejahteraan hakim.
g. Meminta bantuan kepada aparat penegak hukum untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan dalam hal adanya pelanggaran kode etik.
Pertanggungjawaban dan laporan
Komisi Yudisial bertanggungjawab kepada publik melalui DPR, dengan cara
menerbitkan laporan tahunan dan membuka akses informasi secara lengkap dan akurat.151
xcix
(1) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan hakim agung dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diatur dengan undang-undang.
(2) Dalam rangka menjaga kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim agung
dan hakim, pengawasan dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diatur dalam undang-undang.153
E. Perbandingan Komisi Yudisial di Berbagai Negara
Selanjutnya penulis akan menyampaikan perbandingan Komisi Yudisial di 43 (empat
puluh tiga) negara, Tugas dan Kewenangannya dan Jumlah Anggota Komisioner: 154
1. Negara Afrika Selatan (Judicial Service Commission)
Tugas dan kewenangannya: Memberikan advis kepada Presiden dalam pengangkatan dan
pemberhentian Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi, Ketua dan Wakil Ketua
Mahkamah Agung, dan hakim di semua lembaga peradilan. Jumlah anggota 19 orang.
Keanggotaan dan susunan Komisi terdiri dari: Ketua Mahakamah Agung sebagai Ketua; Ketua
Mahakamah Konstitusi; satu (1) orang hakim pilihan; anggota kabinet yang bertanggung jawab
terhadap administrasi pengadilan; dua (2) orang advokat yang dinominasikan organisasinya dan
diangkat oleh presiden; dua (2) orang jaksa yang dinominasikan organisasinya dan diangkat oleh
presiden; satu (1) orang pengajar fakultas hukum yang dipilih dari universitas universitas di
Afrika Selatan; tujuh (7) orang yang dibentuk oleh National Assembly dimana tiga (3) di
antaranya harus dari partai oposisi; empat (4) orang yang mewakili provinsi; dan empat (4) orang
yang dipilih presiden setelah melalui persetujuan National Assembly.
2. Negara Argentina (Council of Magistracy )
Tugas dan kewenangannya: Mengajukan calon hakim agung kepada Senat dan diangkat oleh
Presiden; bertangung jawab terhadap seleksi calon hakim dan administrasi kekuasaan kehakiman;
mengembangkan pemilihan kandidat hakim tingkat bawah melalui kompetisi publik;
mengeluarkan usulan tiga (3) orang kandidat hakim tingkat bawah; mengurus sumber daya untuk
administrasi pengadilan; melakukan tindakan pendisiplinan terhadap hakim; memutuskan
pemberhentian hakim; dan mengeluarkan peraturan tentang organisasi pengadilan untuk
menjamin independensi hakim dan efisiensi administrasi pengadilan. Jumlah anggota Tidak diatur
di dalam Konstitusi. Keanggotaan Komisi tidak diatur di dalam Konstitusi.
3. Negara Bulgaria ( Supreme Judicial Council )
Tugas dan kewenangannya: Mengusulkan kepada Presiden tentang pengangkatan dan
pemberhentian Ketua Mahkamah Agung Kasasi, Ketua Mahkamah Agung Administratif, dan
Jaksa Agung. Jumlah anggota 25 orang. Keanggotan Komisi terdiri : Dua puluh lima (25) orang.
Tiga (3) orang duduk secara ex officio, yaitu Ketua Mahkamah Agung Kasasi, Ketua
Mahkamah Agung Administratif, dan Jaksa Agung.
4. Negara ( Etiopia State Judicial Administration Council )
Tugas dan kewenangannya: Merekomendasikan kepada State Council tentang pengangkatan
Hakim Agung, Hakim Tinggi,dan Hakim Tingkat Pertama . Jumlah anggota tidak diatur di dalam
Konstitusi. Keanggotaan komisi tidak diatur di dalam Konstitusi
153
Pasal 34 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
154 A. Ahsin Thohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, (ELSAM Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat,
Jakarta, Cet. I , 2004) : 5-19.
c
5. Negara (Fiji Judicial Service Commission )
Tugas dan kewenangannya : Merekomendasikan kepada Presiden tentang pengangkatan Hakim
Agung dan Hakim Banding. Jumlah anggota tidak diatur di dalam Konstitusi. Keanggotaan
Komisi terdiri dari : Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Komisi; Ketua Public Service
Commission; dan Ketua Fiji Law Society.
6. Negara (Filipina Judicial and Bar Council )
Tugas dan kewenangannya: Merekomendasikan pengangkatan para hakim. Jumlah anggota 6
orang. Keanggotaan komisi terdiri : Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Komisi; Ketua
Public Service Commission; dan Ketua Fiji Law Society.
7. Negara (Gambia Judicial Service Commission )
Tugas dan kewenangannya: Memberikan konsultasi kepada Presiden tentang anggota anggota
pengadilan yang akan diangkat. Jumlah anggota tidak diatur di dalam Konstitusi. Keanggotaan
Komisi tidak diatur di dalam Konstitusi.
8. Negara Ghana ( Judicial Council ) .
Tugas dan kewenangannya: Memberikan advis kepada Presiden tentang pengangkatan Hakim
Agung, Hakim Banding, dan Hakim Tingkat Pertama. Selain itu, juga berfungsi mengusulkan
pertimbangan tentang pemerintah, perbaikan administrasi dan efisiensi peradilan; menjadi forum
untuk mempertimbangkan dan mendiskusikan hal-hal yang berkaitan dengan fungsi peradilan;
dan menyelenggarakan fungsi lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Jumlah anggota
17 orang. Keanggotaan Komisi tidak diatur di dalam Konstitusi.
9. Negara ( Guyana Judicial Service Commission )
Tugas dan kewenangannya: Memberikan advis kepada Presiden tentang pengangkatan para
hakim, pejabat hukum lain, dan Ketua Mahkamah Agung. Jumlah anggota tidak diatur di dalam
Konstitusi. Keanggotaan Komisi terdiri dari: Pejabat hukum sebagai Ketua Komisi; Ketua
Mahkamah Agung; Ketua Public Service Commission; dan anggota-anggota lain.
10. Negara Indonesia ( Komisi Yudisial ).
Tugas dan kewenangannya: Mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang
lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim. Jumlah anggota tidak diatur di dalam Konstitusi. Keanggotaan tidak diatur di dalam
Konstitusi. Tetapi diatur oleh Undang-Undang. Anggota Komisi Yudisial dipilih oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dari Akademisi di bidang hukum, dan praktisi atau advokat sebanyak 7
anggota.
Komisi Yudisial di Indonesia diatur dalam Pasal 24B Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar
1945. Kehadiran Komisi Yudisial, karena didasari pemikiran bahwa hakim agung yang duduk di
Mahkamah Agung dan para hakim merupakan figur-figur yang sangat menentukan dalam
perjuangan menegakkan hukum dan keadilan. Apalagi hakim agung duduk pada tingkat peradilan
tertinggi dalam susunan peradilan. Sebagai negara hukum, masalah kehormatan dan keluhuran
martabat, serta perilaku seluruh hakim merupakan hal yang sangat strategis untuk mendukung
upaya menegakkan peradilan yang handal dan realisasi paham Indonesia adalah negara hukum.
Melalui lembaga Komisi Yudisial ini, diharapkan dapat diwujudkan lembaga peradilan yang
sesuai dengan harapan rakyat sekaligus dapat diwujudkan penegakan hukum dan pencapaian
keadilan melalui putusan hakim yang terjaga kehormatan dan keluhuran martabat serta
perilakunya.155
155
Pasal 24B ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945 menyatakan, “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang
mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.”
Pasal 24B ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945 menyatakan, “Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai
pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.” Pasal 24B ayat (3) Perubahan Ketiga UUD 1945 menyatakan, Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh
ci
11. Negara Italia ( Superior Council of the Judiciary )
Tugas dan kewenangannya: Berhak mengangkat, memberhentikan, memutasikan, dan
mempromosikan anggota badan peradilan dan memberikan tindakan pendisiplinan terhadapnya.
Jumlah anggota tidak diatur di dalam Konstitusi. Keanggotaan Komisi tidak diatur di dalam
Konstitusi.
12. Negara Kazakhstan ( Higher Judicial Council )
Tugas dan kewenangannya : Tidak diatur di dalam Konstitusi. Jumlah anggota tidak diatur di
dalam Konstitusi. Keanggotaan Komisi tidak diatur di dalam Konstitusi.
13. Negara Kamerun ( Higher Judicial Council ).
Tugas dan kewenangannya : Mendampingi Presiden dan memberikan opininya dalam hal
pengangkatan para anggota hakim dan departemen kehakiman serta memberikan opininya tentang
para calon hakim dan mengambil tindakan pendisiplinan terhadap aparat hukum dan pengadilan.
Jumlah anggota tidak diatur di dalam Konstitusi. Keanggotaan Komisi tidak diatur di dalam
Konstitusi.
14. Negara Kongo ( High Council of the Magistrate )
Tugas dan kewenangannya: Mengadakan jabatan hakim dan menjamin kemerdekaan kekuasan
kehakiman; dan harus membentuk Dewan Kedisiplinan (Disciplinary Council) sebagai lembaga
yang mengurusi kareir para hakim. di dalam Konstitusi . Jumlah anggota tidak diatur dalam
Konstitusi. Keanggotaan Komisi tidak diatur di dalam Konstitusi.
15. Negara Kroasia ( National Judicial Council ) .
Tugas dan kewenangannya: Mengangkat dan memberhentikan hakim dan memutuskan segala hal
yang berkaitan dengan pertanggungjawaban kedisiplinannya. Jumlah anggota 11 orang.
Keanggotan Komisi terdiri dari : Sebelas (11) orang yang dipilih oleh Parlemen Kroasia dari para
hakim, advokat, dan guru besar fakultas hukum.
16. Negara Kenya ( Judicial Service Commission )
Tugas dan kewenangannya: Memberikan advis kepada Presiden tentang pengangkatan Hakim,
Jumlah anggota 5 orang. Keanggotaan Komisi terdiri dari : Ketua Mahkamah Agung sebagai
Ketua Komisi; Jaksa Agung; dua (2) orang hakim yang mewakili Mahkamah Agung dan
Pengadilan Tinggi; dan Ketua Public Service Commission.
17. Negara Lesotho (Judicial Service Commission )
Tugas dan kewenangannya: Memberikan advis kepada Presiden tentang pengangkatan hakim
agung. Jumlah anggota 4 orang. Keanggotaan Komisi terdiri dari : Ketua Mahkamah Agung
sebagai Ketua Komisi; Jaksa Agung; Ketua Public Service Commission; dan satu (1) orang yang
diangkat Raja.
18. Negara Makedonia ( The Republican Judicial Council ).
Tugas dan kewenangannya: Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian para hakim;
memutuskan pertanggungjawaban kedisiplinan para hakim; memberikan penilaian kompetensi
dan etika para hakim dalam menjalankan jabatannya; dan mengusulkan dua (2) orang hakim
untuk duduk dalam Mahkamah Konstitusi Makedonia. Jumlah anggota 7 orang. Keanggotaan
Komisi ada tujuh (7) orang anggota yang dipilih oleh Majelis (The Assembly).
19. Negara Malawi (Judicial Service Commission) .
Tugas dan kewenangannya: Mencalonkan seseorang untuk menduduki jabatan kehakiman;
menjalankan kekuasaan pendisiplinan terhadap pejabat peradilan; merekomendasikan
pemberhentian seseorang dari jabatan kehakiman; dan menjalankan kekuasaan lain yang
diperlukan sesuai dengan konstitusi. Jumlah anggota tidak diatur di dalam Konstitusi.
Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.” Pasal 24B ayat (4) Perubahan Ketiga UUD 1945
menyatakan, “Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang.”
cii
Keanggotaan Komisi terdiri : Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Komisi; Ketua Civil
Service Commission ; Hakim Banding; dan praktisi hukum.
20. Negara Malaysia (Judicial and Legal Service Commission ).
Tugas dan kewenangannya: Di dalam Konstitusi hanya dikatakan bahwa Komisi mempunyai
yurisdiksi setiap anggota badan peradilan dan pelayanan hukum. Jumlah anggota tidak diatur di
dalam Konstitusi. Keanggotaan Komisi terdiri dari: Ketua Public Service Commission sebagai
ketua; Jaksa Agung; dan satu (1) orang atau lebih anggota yang diangkat oleh Yang di- Pertuan
Agong setelah berkonsultasi dengan Ketua Mahkamah Agung.
21. Negara Marshall Islands (Judicial Service Commission ).
Tugas dan kewenangannya: Membuat rekomendasi tentang pengangkatan kehakiman atas
inisiatif sendiri atau atas permintaan Kabinet; merekomendasikan atau mengevaluasi kriteria dan
kualifikasi para hakim; mengangkat atau memberhentikan para hakim dari pengadilan rendah;
dan menjalankan fungsi dan kekuasaan lain yang diatur dengan undang-undang. Jumlah anggota
tidak diatur di dalam Konstitusi. Keanggotaan Komisi terdiri dari : Ketua Mahkamah Agung
sebagai Ketua Komisi; Jaksa Agung; dan warga negara Marshall Islands.
22. Negara Namibia ( Judicial Service Commission ).
Tugas dan kewenangannya: Membuat rekomendasi tentang pengangkatan hakim atas inisiatif
sendiri atau atas permintaan Kabinet; merekomendasikan atau mengevaluasi kriteria dan
kualifikasi para hakim; mengangkat atau memberhentikan para hakim dari pengadilan rendah;
dan menjalankan fungsi dan kekuasaan lain yang diatur dengan undang-undang. Jumlah anggota 5
orang. Keanggotaan Komisi terdiri dari : Ketua Mahkamah Agung; hakim yang diangkat oleh
Presiden; Jaksa Agung; dan dua (2) orang anggota dari profesi hukum.
23. Negara Nepal (Judicial Council ).
Tugas dan kewenangannya: Merekomendasikan dan memberikan advis kepada Presiden tentang
pengangkatan, pemindahan (mutasi), tindakan pendisiplinan, dan pemberhentian para hakim serta
hal-hal lain yang berkaitan dengan administrasi pengadilan. Jumlah anggota 5 orang.
Keanggotaan Komisi terdiri : Ketua Mahkamah Agung yang secara ex officio sebagai Ketua
Dewan; Menteri Kehakiman; dua (2) orang Hakim Agung paling senior; dan satu (1) orang juri
yang dicalonkan oleh Raja.
24. Negara Nigeria (Judicial Service Commission ).
Tugas dan kewenangannya tidak diatur di dalam Konstitusi. Jumlah anggota tidak diatur di dalam
Konstitusi. Keanggotaan Komisi tidak diatur di dalam Konstitusi.
25. Papua Nugini ( Judicial and Legal Services Commission )
Tugas dan kewenangannya: Mengangkat Wakil Ketua Mahkamah Agung dan Hakim Agung
(selain Ketua Mahkamah Agung); dan mengangkat Ketua Hakim; mengangkat Jaksa Agung dan
Jaksa Agung Muda. Jumlah anggota tidak diatur di dalam Konstitusi. Keanggotaan Komisi :
Tidak diatur di dalam Konstitusi.
26. Negara Prancis ( Conseil Superieur de la Magistrature).
Tugas dan kewenangannya: Membantu Presiden sebagai penjamin kemerdekaan kekuasaan
kehakiman; mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan pimpinan Hakim Banding; dan
bertindak sebagai Dewan Pendisiplinan Hakim. Jumlah anggota 11 orang. Keanggotaan Komisi
terdiri dari : Sembilan (9) orang yang diangkat oleh Presiden.
27. Negara Saint Christopher and Nevis ( Judicial and Legal Service Commission ).
Tugas dan kewenangannya: Sebagai pihak yang harus diajak konsultasi dalam pengangkatan
seseorang untuk menduduki jabatan publik di bidang kehakiman. Seseorang yang menduduki
jabatan public di bidang kehakiman tidak bisa diberhentikan kecuali atas persetujuannya. Jumlah
anggota tidak diatur di dalam Konstitusi. Keanggotaan Komisi tidak diatur di dalam Konstitusi.
28. Negara Saint Lucia ( Judicial and Legal Service Commission ).
Tugas dan kewenangannya: Melakukan kontrol kedisiplinan terhadap pejabat publik di bidang
kehakiman dan memberhentikannya. Jumlah anggota tidak diatur di dalam Konstitusi.
29. Negara Saint Vincent ( Judicial and Legal Service Commission ).
ciii
Tugas dan kewenangannya: Berkonsultasi dengan Gubernur Jendral tentang pemberhentian
pejabat publik di bidangkehakiman; menyetujui pemberhentian pejabat publik di bidang
kehakiman; mengangkat orang untuk menduduki jabatan dalam Kejaksaan Agung; dan
memberikan advis kepada Gubernur Jendral tentang pengangkatan Jaksa Agung. Jumlah anggota
Tidak diatur di dalam Konstitusi. Keanggotaan Komisi tidak diatur di dalam Konstitusi.
30. Negara Samoa ( Judicial Service Commission ).
Tugas dan kewenangannya: Memberikan advis kepada Kepala Negara mengenai pengangkatan,
promosi, dan mutasi pejabat pengadilan (selain Ketua Mahkamah Agung); dan pemberhentian
setiap pejabat peradilan (selain Hakim Agung). Jumlah anggota 3 orang. Keanggotaan Komisi
terdiri : Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Komisi; Jaksa Agung; dan satu (1) orang yang
dicalonkan oleh Menteri Kehakiman. Keanggotaan Komisi terdiri : Ketua Mahkamah Agung
sebagai Ketua Komisi; Jaksa Agung; dan satu (1) orang yang dicalonkan oleh Menteri
Kehakiman.
31. Negara Sierra Leone ( Judicial and Legal Service Commission ).
Tugas dan kewenangannya: Memberikan advis kepada Ketua Mahkamah Agung dalam
penyelenggaraan fungsifungsi administratif dan lainlain; mengangkat, mempromosikan,
memutasikan, memberhentikan, dan mendisiplinkan orang-orang yang menduduki jabatan
kehakiman. Jumlah anggota 7 orang. Keanggotaan Komisi terdiri dari : Ketua Mahkamah Agung
sebagai Ketua Komisi; Hakim Banding paling senior; Jaksa Agung; satu (1) orang praktisi
hukum; Ketua Public Service Commission; dan dua (2) orang yang diangkat oleh Presiden dengan
persetujuan Parlemen.
32. Negara Slovenia ( Judicial Council )
Tugas dan kewenangannya: Memberikan rekomendasi kepada National Assembly dalam
pemilihan para hakim. Jumlah anggota 11 orang. Keanggotaan Komisi terdiri dari : Lima (5)
orang anggota dipilih melalui pemungutan suara National Assembly yang dicalonkan Presiden
dari kalangan praktisi hukum, guru besar hukum, dan lawyer; enam (6) orang anggota dipilih dari
kalangan hakim. Ketua Komisi dipilih oleh para anggotanya.
33. Negara Solomon Islands ( Judicial and Legal Service Commission ).
Tugas dan kewenangannya: Mengangkat, memberhentikan, dan melakukan pendisiplinan para
hakim. Jumlah anggota 4 orang. Keanggotaan Komisi terdiri : Ketua Mahkamah Agung sebagai
Ketua Komisi; Jaksa Agung; Ketua Public Service Commission; anggota tambahan yang diangkat
Gubernur Jendral sesuai dengan advis dari Perdana Menteri.
34. Negara Spanyol General ( Council of the Judicial Power ).
Tugas dan kewenangannya: Menentukan organ administrasi pengadilan khususnya yang
berkaitan dengan pengangkatan, promosi, inspeksi, dan pendisiplinan. Jumlah anggota 22 orang.
Keanggotaan Komisi terdiri : Mahkamah Agung sebagai Ketua Komisi; dan dua puluh (20) orang
hakim, empat (4) orang di antaranya diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat; empat (4) oleh
Senat yang diambil dari lawyer dan ahli hukum.
35. Sri Lanka Judicial Service Commission
Tugas dan kewenangannya: Mengangkat, mempromosikan, memutasikan, memberhentikan, dan
mengontrol kedisiplinan pejabat pengadilan. Jumlah anggota 3 orang. Keanggotaan Komisi terdiri
dari : Ketua Mahkamah Agung; dan dua (2) orang Hakim Agung yang diangkat oleh Presiden.
36. Negara Thailand ( Judicial Commission of the Court of Justice ).
Tugas dan kewenangannya: Memberikan persetujuan pengangkatan dan pemberhentian Hakim
Agung sebelum diajukan kepada Raja; dan memberikan persetujuan tentang promosi, kenaikan
gaji dan menghukum Hakim Agung. Jumlah anggota 15 orang. Keanggotaan Komisi terdiri :
Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Komisi; dua belas (12) orang anggota dari setiap
tingkatan pangadilan; dan dua (2) orang anggota di luar hakim yang dipilih oleh Senat.
37. Negara Timor Timur ( Superior Council for the Judiciary ).
Tugas dan kewenangannya: Mengelola dan mendisiplinkan para hakim pengadilan; dan
mengangkat, memberhentikan, memutasikan, dan mempromosikannya. Jumlah anggota 5 orang.
civ
Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Dewan; satu (1) orang ditunjuk oleh Presiden; satu (1)
orang dipilih oleh Parlemen; satu (1) orang ditunjuk oleh Pemerintah; dan (1) satu orang dipilih
oleh para hakim.
38. Negara Trinidad dan Tobago (Judicial and Legal Service Commission).
Tugas dan kewenangannya: Memberikan advis kepada Presiden tentang pengangkatan Hakim
Agung. Jumlah anggota tidak diatur di dalam Konstitusi. Keanggotaan Komisi terdiri dari : Ketua
Mahkamah Agung sebagai Ketua Komisi; Ketua Public Service Commission; dan anggota-
anggota lain yang diangkat.
39. Negara Tunisia ( Superior Council of the Magistrature).
Tugas dan kewenangannya: Merekomendasikan kepada Presiden tentang pencalonan hakim;
mengawasi hakim dalam hal pelaksanaan pencalonan, kemajuan, pemutasian, dan kedisiplinan.
Jumlah anggota tidak diatur di dalam Konstitusi. Keanggotaan Komisi tidak diatur di dalam
Konstitusi.
40. Negara Vanuatu ( Judicial Service Commission ).
Tugas dan kewenangannya: Memberikan advis kepada Presiden tentang pengangkatan hakim; dan
memberikan advis kepada Presiden tentang promosi dan mutasi anggota kehakiman. Jumlah
anggota 3 orang. Keanggotan Komisi terdiri dari : Menteri yang bertanggung jawab terhadap
kehakiman; dan Ketua Public Service Commission; dan perwakilan National Council of Chiefs.
41. Negara Venezuela (The Council on the Judiciary ).
Tugas dan kewenangannya: Mengatur penjaminan independensi, efisiensi, disiplin, dan kepatutan
pengadilan; dan menjamin hal-hal yang berkaitan dengan karier seorang hakim. Jumlah anggota
tidak diatur di dalam Konstitusi. Keanggotaan Komisi tidak diatur di dalam Konstitusi.
42. Negara Zambia ( Judicial Service Commission ).
Tugas dan kewenangannya: Memberikan advis kepada Presiden tentang pengangkatan Hakim
Agung; dan fungsi lain
yang berkaitan dengan pelayanan publik atau pelayanan hukum atau pengadilan. Jumlah anggota
tidak diatur di dalam Konstitusi. Keanggotaan Komisi tidak diatur di dalam Konstitusi.
43. Negara Zimbabwe ( Judicial Service Commission ) .
Tugas dan kewenangannya: Memberikan konsultasi kepada Presiden tentang pengangkatan Jaksa
Agung, Deputi Jaksa Agung, dan Ketua Mahkamah Agung. Jumlah anggota tidak diatur di dalam
Konstitusi. Keanggotaan Komisi tidak diatur di dalam Konstitusi.156
Setelah melihat nama, tugas dan fungsi utama, dan jumlah anggota Komisi Yudisial di
empat puluh tiga (43) negara tersebut, ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil sebagai
berikut:
1. Judicial Service Commission adalah nama yang paling banyak dipakai oleh negara-negara yang
mengatur Komisi Yudisial di dalam Konstitusinya, yaitu lima belas (15) negara;157
2. Komisi Yudisial adalah lembaga yang diharapkan dapat merekomendasikan nama Ketua
Mahkamah Agung terbaik bahkan di beberapa negara juga Hakim Agung dan hakim lain di
bawahnya tanpa dipengaruhi oleh faktor-faktor yang tidak terkait dengan kecakapan;
3. Komisi Yudisial adalah lembaga yang diharapkan dapat melakukan tindakan pendisiplinan
terhadap para hakim;
156
A. Ahsin Thohari , Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, (ELSAM Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat,
Jakarta, Cet. I , 2004) : Ibid : hal 5-20.
157
Kelima belas negara tersebut adalah Afrika Selatan, Fiji, Gambia, Guyana, Kenya, Lesotho, Malawi, Marshall
Islands, Namibia, Nigeria, Samoa, Sri Lanka, Vanuatu, Zambia
cv
4. Keberadaan Komisi Yudisial terkait dengan masalah gagasan kemerdekaan kekuasaan
kehakiman di dalam suatu negara;
5. Keberadaan Komisi Yudisial terkait dengan masalah administrasi pengadilan, termasuk
promosi dan mutasi hakim.158
Latar Belakang Pembentukan Komisi Yudisial
Di bebarapa negara, Komisi Yudisial muncul sebagai akibat dari salah satu atau lebih
dari lima hal sebagai berikut:
a) Lemahnya controlling dan monitoring secara intensif terhadap kekuasaan kehakiman, karena
controlling monitoring hanya dilakukan secara internal saja;
b) Tidak adanya lembaga yang menjadi penghubung antara kekuasaan pemerintah (executive
power) dalam hal ini Departemen Kehakiman dan kekuasaan kehakiman (judicial power);
c) Kekuasaan kehakiman dianggap tidak mempunyai efisiensi dan efektivitas yang memadai dalam
menjalankan tugasnya apabila masih disibukkan dengan persoalan-persoalan teknis non-hukum;
d) Tidak adanya konsistensi putusan lembaga peradilan, karena setiap putusan kurang memperoleh
penilaian dan pengawasan yang ketat dari sebuah lembaga khusus.
e) Pola rekruitmen hakim selama ini dianggap terlalu bias dengan masalah politik, karena lembaga
yang mengusulkan dan merekrutnya adalah lembaga-lembaga politik, yaitu presiden atau
parlemen.159.
Dengan perubahan sistem seleksi penerimaan calon hakim yang dilakukan oleh
Komisi Yudisial, diharapkan pengaruh politik dari penguasa baik presiden maupun parlemen,
demi terciptanya kemerdekaan hakim dalam menegakkan hukum dan keadilan di Indonesia.
F. Penerapan sanksi bagi pelanggar kode etik hakim di Indonesia.
1. Sanksi Pelanggaran Kode Etik Hakim
a. Macam-macam sanksi hukuman disiplin pelanggaran kode etik hakim
Macam-macam sanksi hukuman disiplin pelanggaran kode etik hakim yang
telah diterapkan dalam sidang Majelis Kehormatan Hakim antara lain terdiri dari :
158
Hal lain yang patut dicatat adalah susunan keanggotaan Komisi Yudisial di empat puluh tiga (43) negara tersebut ada
beberapa perbedaan satu sama lain. Utamanya tentang keanggotaan Komisi Yudisial ini memang kadang-kadang
terjadi persamaan antara satu negara dengan negara lainnya. Akan tetapi, perbedaan bahkan secara diameteral juga
kadang kadang terjadi, karena memang Komisi Yudisial diberbagai negara tersebut ditentukan oleh konteks sosial
dan ketatanegaraan suatu negara serta perkembangan kultural yang telah dilalui oleh negara tersebut.
159 Hal lain yang patut dicatat adalah susunan keanggotaan Komisi Yudisial di empat puluh tiga (43) negara tersebut ada
beberapa perbedaan satu sama lain. Utamanya tentang keanggotaan Komisi Yudisial ini memang kadang-kadang terjadi
persamaan antara satu negara dengan negara lainnya. Akan tetapi, perbedaan bahkan secara diameteral juga kadang
kadang terjadi, karena memang Komisi Yudisial diberbagai negara tersebut ditentukan oleh konteks sosial dan
ketatanegaraan suatu negara serta perkembangan kultural yang telah dilalui oleh negara tersebut..
159 A. Ahsin Thohari , Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, ( ibid) : 29.
cvi
1. Diberikan izin kepada Kepolisian untuk memeriksa hakim terlapor sehubungan dengan
dugaan telah melakukan tindak pidana dalam pelanggaran (Code of Unprofessional
Law).
2. Dibebaskan dari jabatannya dan dipekerjakan untuk tugas peradilan (Yustisial) di
PengadilanTinggi.
3. Dikenakan penahanan ringan selama 14 hari (Mahkamah Militer).
4. Tidak diperbolehkan melaksanakan tugas pokok sebagai Hakim dan dipekerjakan untuk
tugas peradilan (Yustisial) di Pengadilan Tinggi dan dikenakan penurunan pangkat
setingkat lebih rendah untuk paling lama selama 1 (satu) tahun.
5. Pemberhentian tidak dengan hormat sebagai hakim dan sebagai Pegawai Negeri Sipil.
b. Frekuensi jumlah putusan pelanggaran kode etik hakim.
Majelis Kehormatan Hakim telah banyak memberikan putusan atas pelanggaran
Kode Etik Hakim. Penulis akan menampilkan hasil laporan Mahkamah Agung RI mulai dari
hukumn/saksi ringan, sedang sampai pada hukum/sanksi berat sejak tahun 2007 sampai pada
tahun 2011 sebagaimana tabel di bawah ini
Tabel : 3.3
Jumlah Hakim terkena sanksi.
No 2007 2008 2009 2010 2011 Jumlah
1 2 3 4 5 6 7
1 18 38 78 110 53 297
2 6 % 12,79 % 26,26 % 37 % 17,84 % 100 %
Catatan: Pada tahun 2010 bagi hakim kena sanksi tertinggi mencapai 110 hakim = 37 % dari
urutan tertinggi 5 tahun terakhir.160
a. Penanganan pengaduan
Jumlah pengaduan yang ditangani oleh Mahkamah Agung selama tahun 2007
sampai dengan bulan Maret 2008 adalah sebanyak 532 (lima ratus tiga puluh dua) pengaduan,
jumlah tersebut sudah termasuk sisa pengaduan pada tahun 2006 sebanyak 145 (seratus empat
puluh lima).
160
Mahkamah Agung RI, Laporan Tahunan 2007-2011 Web site Mahkamah Agung RI.
cvii
Dari 532 (lima ratus tiga puluh dua) tersebut telah dilakukan pemeriksaan oleh
Badan Pengawasan Mahkamah Agung sebanyak 253 (dua ratus lima puluh tiga) pengaduan, dan
didelegasikan ke PengadilanTingkat Banding sebanyak 279 (dua ratus tujuh puluh sembilan)
pengaduan.
Pada tahun 2011 jumlah pengaduan dari masyarakat mencapai 3.232 aduan,
Mahkah Agung RI telah memberi hukuman 53 Hakim "Setelah dilakukan rekapitulasi terhadap
dugaan pelanggaran kode etik. Hukuman disiplin berat 12 hakim, 12 disiplin sedang, dan 29
hakim mendapat hukuman disiplin ringan, kata Ketua Mahkamah Agung, Harifin Andi Tumpa di Jakarta, Jumat 30 Desember 2011.
Dari jumlah total 3.232 pengaduan itu, terdiri dari 2.833 pengaduan masyarakat,
141 pengaduan online, dan 258 pengaduan Institusi. Harifin mengatakan jumlah pengaduan
yang masuk ke institusinya lebih banyak daripada pengaduan yang masuk ke Komisi Yudisial, yang mencapai angka 1.658 pengaduan.
Hal itu bukan berarti makin banyak pengaduan yang masuk, makin banyak hakim
ditindak untuk dijatuhkan hukuman," tegasnya. Mengapa dari sekian banyak aduan hanya 53
hakim yang ditindak. Menurut Harifin, setelah dilakukan penyelidikan, banyak pengaduan yang
tidak terbukti. Setelah dilakukan rekapitulasi terhadap dugaan pelanggaran kode etik, banyak
pengaduan yang tidak layak ditindaklanjuti.
Ketua Mahkamah Agung RI mengaku banyak pengaduan yang masuk lebih bersifat
teknis yudisial. Bahkan pengaduan itu lebih layak ditindaklanjuti ke institusi penegak hukum kepolisian ataupun kejaksaan sehingga tidak layak ditindaklanjuti MA. 161
c. Penjatuhan hukuman disiplin dan pengenaan tindakan administratif.
Selama periode tanggal 1 Januari 2007 sampai dengan bulan Maret 2008, telah
dijatuhkan hukuman disiplin dan tindakan terhadap 53 (lima puluh tiga) personil termasuk
diantaranya 18 (delapan belas) orang.
Hukuman / Sanksi sebagai hakim, panitera / panitera pengganti dan kaur-kaur yang
ada di kesekretariatan dan Jenis Hukuman dan jumlah Jumlah yang terkan hukuman sanksi
pelanggaran kode etik. Mahkamah Agung mengungkapkan, jumlah hakim yang dijatuhi
hukuman disiplin oleh Badan Pengawas Mahkamah Agung RI selama 2011 sebanyak 53
orang, atau turun 51,8 persen dibandingkan pada 2010. Tahun lalu, yang dijatuhi hukuman
disiplin mencapai 110 hakim yang keseluruhannya adalah sebagai tabel berikut :
a. Hasil Pengawasan Tahun 2011 Oleh Mahkamah Agung RI.
1. Pengawasan internal dan penegakan kehormatan perilakusepanjang tahun 2011.
161
Ismoko Widjaya, Nur Eka Sukmawati, (VIVA news www.com). Ketua MA, Harifin A Tumpa.Jum'at, 30 Desember
“Disampaikan dari Ibnu Abi Umar dan Ahmad bin Muni‟ dan disampaikan dari Sufyan bin
„Uyaiynah dari Al Zuhriy dari Salim dari ayahnya Sesungguhnya Rasul Allah SAW telah
berjalan dengan seorang laki-laki dan laki-laki itu mengajarkan saudaranya untuk berbuat “
Malu” Maka Rasul Allah SAW bersabda: “Malu itu adalah sebagian dari iman”. Berkata
Ahmad bin Muni‟ dalam hadith Sesungguhnya Nabi SAW mendengar seorang laki-laki
yang menasehati saudaranya agar berbuat malu. Hadits ini ini adalah hadith hasan sahih di
terangkan dalam bab Dari Abu hurairah dan abu Bakar bin Umamah RA. (HR. Al
Bukhari)184
Sikap Keberanian (al-Shaja‟ah) dari 21 hakim atau 22,34% menyatakan bahwa
pentingnya mempunyai sikap keberanian untuk mencegah dan menolak ajakan para pihak
untuk melakukan penyimpangan, atau melakukan kolusi dengan para pihak yang berperkara.
Hal ini telah dicontohkan oleh Rasul Allah SAW, pernah diajak untuk melakukan kolusi
karena yang diadili adalah orang yang dekat dan kedudukan terhormat seorang bangsawan
di kalangan bangsa Arab. Rasul Allah SAW bersabda : “Andaikan Fatimah binti Muhammad
mencuri akan aku potong tangannya”. Hadith tersebut adalah keberanian untuk menolak
untuk kolusi dan keberanian menegakkan keadilan untuk semua orang tidak pandang
kalangan orang terhormat atau rakyat jelata.
183
Al-Bukhari, Jamiu al Sahih al Bukhari, dalam Sayyid Ahmad al-Hashimi, Mukhtar Ahadithi an-Nabawiyah,
Terjemahan Muhammad Zaini, (Jakarta Pustaka Amani, 1975) : 309.
184 Bukhari, Jami‟u al-Bukhari, Juz 1 :17.
cxxviii
Sikap menerima apa adanya (qana‟ah), dari 94 hakim, ada 15 hakim atau 15,95 %
hakim menyatakan, menerima apa adanya gaji yang diterima dari negara. Hal ini penting
kita tanamkan kepada setiap hakim. Tentang sikap qana‟ah karena hal ini wujud dari sifat
syukur atas ni‟mat, mempunyai hati yang menerima apa adanya atas rizki yang diterima
sebagai imbalan jerih payah untuk kesejahteraan hakim. Dengan demikian dapat
menghindarkan penyimpangan dari (kufur ni‟mat) sifat kurang puas atas ni‟mat, sehingga
berbuat korupsi dan kolusi untuk memperkaya diri. Hal Korupsi ini merupakan pelanggaran
Kode Etik dan pelanggaran tindak pidana Korupsi. Allah berfirman dalam al-Qur‟an. Surat
14: Ibrahim :7 .
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur,
pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku),
Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".185
Adanya sikap ( internalisasi transendental ) keimanan dan ketaqwaan,
budaya malu (al-Haya‟), sikap keberanian (al-Shaja‟ah) dan sikap menerima apa adanya
(qana‟ah), adalah suatu sikap yang telah ditanamkan oleh akhlak Islam, dalam era reformasi
ini sangat penting untuk terus dibudayakan oleh para hakim di Indonesia.
Jika mengambil Ibrah atau contoh yang terjadi pada sikap Nabi Sulaiman AS
dan Nabi Dawud AS dalam memeriksa dan memutuskan perkara yang diajukan kepada
beliau, maka hakim perlu mempunyai ilmu hukum dalam memeriksa dan mengadili
sehingga dapat melahirkan keputusan yang dapat dirasakan adil oleh masyarakat pencari
keadilan, sebagai firman Allah dalam al-Qur‟an Surat 21 (al-Anbiya‟); 79
186
“Maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat) 187; dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu dan telah Kami
185
Q. S.14 (Ibrahim ):7.
186 Q.S 21; (al-Anbiya‟) :79.
187 Menurut riwayat Ibnu Abbas bahwa sekelompok kambing telah merusak tanaman di waktu malam. Maka pihak yang
mempunyai tanaman mengadukan hal ini kepada Nabi Daud a.s. Nabi Daud memutuskan bahwa kambing-kambing
itu harus diserahkan kepada yang mempunyai tanaman sebagai ganti tanam-tanaman yang rusak. tetapi Nabi
Sulaiman a.s. berbeda dalam memutuskan, supaya kambing-kambing itu diserahkan sementara kepada yang
memmpunyai tanaman untuk diambil manfaatnya. dan orang yang mempunyai kambing diharuskan mengganti
tanaman itu dengan tanam-tanaman yang baru, apabila tanaman yang baru telah dapat diambil hasilnya, mereka yang
mepunyai kambing itu boleh mengambil kambingnya kembali dan putusan Nabi Sulaiman AS. ini adalah keputusan
yang tepat.
cxxix
tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. dan Kamilah
yang melakukannya. Q.S 21 ; (al-Anbiya‟ :79
188
188
Q.S 21; (al-Anbiya‟) :79.
cxxx
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Penerapan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Indonesia (KEPPHI), adalah aturan
yang dibuat untuk kemulyaan martabat hakim Indonesia, belum sepenuhnya diterapkan
dengan baik oleh sebagian hakim di Indonesia, karena selama 5 (lima) tahun terakhir 2007-
2011 masih terdapat 291 hakim yang mendapat sanksi hukuman disiplin, mulai hukum
disiplin ringan, sedang, sampai hukuman berat yang diberhentikan dengan tidak hormat.
Jumlah hakim yang mendapat sanksi atau hukuman disiplin, yang terkena sanksi setiap
tahunnya terjadi bervariasi, pelanggaran yang tertinggi lima tahun terakhir pada tahun 2010
berjumlah 110 hakim, jika diprosentasekan menjadi 3,66 % dari 7.944 hakim di seluruh
Indonesia, yang mendapat hukuman disiplin atau sanksi, diseluruh Indonesia mencapai
jumlah 291 hakim. Mulai hukuman berat diusulkan dan diterimanya pemeriksaan oleh pihak
penyidik karena perilaku tindak pidana korupsi, sanksi hukuman diberhentikan tidak hormat
sebagai hakim, dan hukuman sanksi dinonpalukan, serta tidak diberikan tunjangan kinerja
remunerasi bagi hakim. Jika diurutkan badan peradilan, hakim yang mendapatkan hukuman
adalah Peradilan Umum dan Pengadilan Tinggi 239 hakim atau 82,1 %, dari Peradilan Tata
Usaha Negara dan Peradilan Tinggi Tata Usaha Negara 13 hakim atau 4,46 %, dari
Mahkamah Militer dan Mahkamah Tinggi Militer 8 hakim atau 2,75 % dan dari Peradilan
Agama 31 hakim atau 10,65 %.
2. Faktor-faktor penyebab Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim di Indonesia, belum dapat
dilaksanakan secara efektif .
Berdasarkan teori efektifitas penegakan hukum Lawrence Mier Freidmand ada 3
(tiga) hal yaitu : a. Subtansi hukum (legal substance) b. Struktur hukum (legal structure) dan
c. Kultur hukum (legal culctur ). Maka penulis akan menguraikan dari hasil Penelitian
sebagai berikut :
a. Dari subtansi hukum (legal substance) kode etik berlandaskan Surat Keputusan
Bersama adalah produk hukum etika profesi hakim (Code Ethiec) antara Mahkamah
Agung RI dan Komisi Yudisial yang menghasilkan 10 Norma yaitu 1. Berperilaku
9. Berperilaku Rendah Hati, 10. Bersikap Profesional. Setiap norma diberikan
pedoman perilaku hakim. Aplikasi dalam penerapan pengawasan bahwa Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim Indonesia (KEPPHI), bukan satu-satunya subtansi hukum
pengawasan, tetapi segala peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengikat
dan mempunyai daya paksa kepada hakim dan pajabat peradilan, yaitu peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan kepegawaian negara dan peraturan-peraturan
bidang pengawasan.
b. Dari struktur hukum (legal structure) yaitu badan negara yang diberi kewenangan
melaksanakan pengawasan internal adalah semua unit kerja badan peradilan disemua
tingkatan untuk mengawasi perilaku dari hakim dan pejabat peradilan mulai dari
pimpinan yaitu Ketua, Wakil Ketua, Panitera/Sektretaris, dan kepala-kepala bagian
cxxxi
untuk lebih intensif dalam melakukan pengawasan internal. Jika ada perilaku
penyimpangan maka pimpinan untuk memberikan peringatan dan pembinaan terus
menerus kepada bawahan. Jika terdapat laporan atau pengaduan dari masyarakat,
pimpinan harus proaktif untuk menindak lanjuti, karena sistim pengawasan oleh
masyarakat dan pengaduan telah disediakan sarana prasarana pengaduan melalui surat,
telpon /Hand Phon pengaduan, dan website pengadilan. Dengan sistem keterbukaan dan
transparansi, banyak yang langsung melaporkan dan pengaduan kepada Mahkamah
Agung RI, Komisi Yudisial RI sebagai pengawas eksternal. Setiap pengaduan telah
diseleksi yang patut untuk ditangani oleh Mahkamah Agung RI dan pengaduan mana
yang harus diserahkan kepada Pengadilan Tingkat Banding sebagai kawal depan
pengawasan atas perilaku pejabat peradilan dibawahnya. Struktur pengawasan
Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial dengan berlakunya SKB tentang kode etik
telah menampakkan hasilnya, karena banyaknya para hakim yang terjerat dengan
pelanggaran kode etik, dan tindak lanjut dari Pengawasan adalah efektifnya Majelis
Kehormatan Hakim (MKH). Untuk struktur hukum bidang pengawasan adalah sudah
baik namun perlu ditingkatkan.
c. Dari kultur hukum (legal culctur ) yaitu budaya hukum yang perlu menjadi perhatian
khusus adalah tercapainya asas peradilan cepat, sederhana dan biaya murah. Namun
dari hasil penelitian dan data dari laporan Tahunan Mahkamah Agung RI 5 (lima) tahun
terakhir (2007-2011) masih ada sebagian dari hakim melakukan penyimpangan
disamping pelanggaran kode etik hakim, dan peraturan peraturan yang berlaku, juga
pelanggar kode etik tidak sesuai dengan norma hukum negara dan norma agama
misalnya terjadinya korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) dalam menangani perkara.
Terbukti adanya hukuman disiplin berat, sedang, dan atau ringan pada 5 tahun terakhir
2007-2011 mencapai 291 hakim yang terkena sanksi setiap tahunnya terjadi bervariasi,
jika diprosentasekan 3,66 % dari 7.944 hakim di seluruh Indonesia, yang mendapat
hukuman disiplin atau sanksi, diseluruh Indonesia mencapai jumlah 291 hakim. Mulai
hukuman ringan, sedang sampai hukuman berat diusulkan dan diterimanya pemeriksaan
oleh pihak penyidik karena perilaku tindak pidana korupsi, hukuman diberhentikan
sebagai hakim, dan hukuman sanksi dinon palukan, serta tidak diberikan tunjangan
kinerja Remunerasi bagi hakim. Dengan faktor-faktor penyebab pelanggaran antara lain
: (1). Tidak disiplin telah mencapai 53,85 %. (2). Unprofessional conduct mencapai
20,77. % (3). Pelanggaran Kode Etik 13,85 %. (4). Pelanggaran lainnya 11,53 %.
Budaya ketaatan terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan masih banyak
terjadi kesenjangan antara Das sollen dengan Des sein.
B. Rekomendasi.
1. Agar kode etik hakim sebagai subtansi hukum dapat dilaksanakan secara optimal oleh para hakim
selaku struktur hukum perlu dilegalkan menjadi aturan yang mempunyai daya ikat dan daya paksa
dalam hal penerapannya, dimana kode etik hakim tersebut berfungsi sebagai a tool of social
control, dan a tool social engineering, disamping peratauran perundang-undangan lainnya bidang
pengawasan. Dengan perubahan sistem pendidikan calon hakim yang memprogramkan
pendidikan berkelanjutan continuing judicial education (CJE) kurikulum tentang kode etik hakim
24 jam pelajaran, diharapkan dapat meningkatkan kualitas moral para hakim dan sekaligus
mengurangi dan menghapus perilaku yang tidak baik, menjadi lebih baik lagi, bagi para hakim
Indonesia.
2. Dari hasil penelitian penulis dengan mengajukan kuisener kepada para hakim, bahwa dengan
berfungsinya dua lembaga Pengawasan yaitu Badan Pengawas pada Mahkamah Agung RI,
cxxxii
dengan peran dari Badan Pengawas di Mahkamah Agung RI sebagai lembaga pengawasan
internal dan lembaga pengawas eksternal oleh Komisi Yudisial RI, telah nyata ada perubahan
efektifitas dalam pengawasan dan penindakan. Hal ini menunjukkan kinerja dua lembaga tersebut
telah melaksanakan tugas kewenangannya dengan baik, akuntabel dan transparansi karena hasil
pengawasan telah diumumkan secara terbuka. Dengan harapan adanya perubahan dari yang tidak
baik, menjadi lebih baik, yang tidak
displin menjadi lebih disiplin, yang tidak profesional menjadi lebih profesional. Sehingga upaya
untuk meningkatkan keluhuran martabat hakim semakin hari semakin lebih baik. Hal ini
tergambar dari jumlah hukuman dan sanksi yang diberlakukan kepada para hakim maupun
pejabat peradilan lainnya lebih banyak dibanding sebelum berlakunya Surat Keputusan Bersama
(SKB) tentang kode etik. Dengan meningkatnya hakim yang terjaring hukuman disiplin dan
sanksi atas pelanggaran kode etik, menunjukkan Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial telah
menjalankan tugasnya di bidang pengawasan dan penindakan telah efektif dan terkesan sungguh-
sungguh dan tidak main-main. Bila program kerja blue print 25 tahun 2010-2035 agar segera
struktur Mahkamah Agung bidang pengawasan sekarang Badan Pengawas diubah menjadi
Inspektorat sekaligus terwujudnya Inspektorat di wilayah seluruh Indonesia.
3. Faktor internalisasi moral (transendental ) keimanan dan ketakwaan yang tertanam dalam jiwa
setiap hakim Indonesia sesuai keyakinan agamanya sebagai kualitas moral adalah sangat penting,
yang ditunjang dengan kualitas intelektual di bidang hukum formil dan hukum materiil dalam
menjalankan tugas sebagai hakim dalam menerima, memeriksa dan mengadili setiap perkara yang
dibebankan kepada hakim Indonesia. Oleh karena itu sistem rekrutmen calon hakim harus betul-
betul selektif demikian pula sistem pendidikan calon hakim dan pendidikan penjenjangan dan
berkelanjutan perlu ditingkatkankan kualitasnya.
C. Keterbatasn Penelitian
Penelitian ini memiliki keterbatasan dan kekurangan dalam berbagai hal, terutama
dalam analisa dan penyampaian teoritiknya. Permasalahan yang ada pada penegakan hukum bagi
pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Indonesia (KEPPHI), dari hasil penelitian
bahwa setelah berlakunya SKB Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI, penindakan dan
tindak lanjut atas pengaduan masyarakat terhadap sikap dan perilaku hakim yang melanggar kode
etik lebih menampakkan adanya perubahan yang lebih signifikan dan efektif, terbukti, dengan
adanya sebagian para hakim yang mendapatkan hukuman disiplin, terlebih hasil putusan
persidangan Majelis Kehormatan Hakim telah diinformasikan secara transparan. Dengan
demikian akan menjadi penjeraan dan kewaspadaan bagi hakim untuk lebih berhati-hati dalam
menjalankan tugasnya.
Penelitian yang telah dilakukan oleh penulis ini, terkait dengan penerapan Subtansi
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Indonesia, Struktur pengawasan di Mahkamah Agung RI
dan Komisi Yudisial dan Kultur atau budaya hukum yang dilakukan oleh para hakim itu sendiri.
Telah memperoleh data dari penelitian ini, berupa sanksi bagi hakim yang melanggar kode etik.
Adapun yang belum diteliti adalah audit kinerja penerapan SK.KMA Nomor
026/KMA/SK/II/2012 tentang Standar Pelayanan Peradilan, terkait capaian pelayanan peradilan
yang berasaskan, sederhana, cepat dan biaya ringan. Dan terwujudnya peningkatan kedisiplinan
pejabat peradilan dan terkait dengan sistem pendidikan calon hakim sebagaimana SK.KMA
Nomor 169/KMA/SK/X/2010 tentang Program Pendidikan Calon Hakim Terpadu dan
cxxxiii
berkelanjutan (CJE) yang diharapkan peneliti yang lain dapat melakukan penelitian hal ini,
keberhasilan dan hambatan dapat terukur sistem pendidikan yang baru ini, dibandingkan dengan
sistem pendidikan yang terdahulu.
Dan yang belum diteliti adalah perubahan sistem kamar, apakah dengan sistem kamar
tersebut betul-betul membawa perubahan kepada kualitas hakim agung dalam memeriksa dan
memutuskan perkara dan rencana pembatasan perkara yang dapat dilakukan kasasi di Mahkamah
Agung dan apa akibat dengan dibatasi upaya hukum (kasasi) kaitannya dengan perkara
kewenangan peradilan agama, apabila perkara-perkara yang menjadi kewenangan peradilan
agama jika dibatasi hanya pada peradilan banding.
D. Implikasi Teoritik
Dalam penulisan disertasi ini, penulis mengambil paradigma (agent of change) pelaku
perubahan untuk ke arah yang lebih baik, atau upaya perubahan kearah yang lebih baik
(taghayyur) hal ini sesuai dengan kondisi dan situasi penegakan hukum di Indonesia di masa
sekarang telah mengalami chaos atau keterpurukan yang diakibatkan oleh struktur hukum di
semua bidang pada institusi atau lembaga hukum di Indonesia, kepolisian, kejaksaan, dan 4 badan
peradilan di bawah naungan Mahkamah Agung, bahkan pada lembaga legislatif sebagai lembaga
control jalanya pemerintahan (lembaga pengawasan, budgeting, dan legislasi) tidak luput dari
keterpurukan yang diakibatkan oleh runtuhnya etika atau moral aparatur.
Achmad Ali, dengan teorinya sapu kotor, jika pelaku-pelaku penegak hukum
moralitas merosot, tidak akan dapat membersihkan dan menghilangkan kotoran, karena dirinya
kotor. Oleh karena itu hakim, jaksa dan kepolisian harus bersih dari anasir-anasir perbuatan dan
moral yang kotor.
Dengan lahirnya Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Indonesia merupakan alat a
tool of social control yang dilahirkan oleh pembuat aturan kode etik hakim tersebut,
sebagai agent of change adalah Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI.
Dibentuknya kode etik profesi hakim sebagai alat a tool of social engineering atau
disebut pula dengan a tool of social engineering law,
teori ini yang dicetuskan oleh Freiderich Karl von Sabigny.189 Tidak kalah
pentingnya, juga dalam al-Qur‟an konsep perubahan dari sikap dan tabiat yang buruk menjadi
sifat dan tabiat yang lebih baik sebagaimana firman Allah dalam al-Qur‟an Q.S 2 (al-Baqarah) :
257 yang berbunyi:
189
Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum, (Bina Cipta, Bandung,1983).104 dan dalam Achmad Ali, Menguak Tabir
Hukum Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, (PT.Toko Buku Gunung Agung, Jakarta, 2002) ; 89.
cxxxiv
“Allah pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan
(kekafiran) kepada cahaya (iman)”.190
Fenomena munculnya mafia hukum di Indonesia, yang dilakukan oleh struktur
hukum, aparatur kepolisian, aparatur kejaksaan, advokat dan hakim, pada peradilan yang telah
meresahkan masyarakat, tidak terlepas dari subtansi hukum yang di buat oleh struktur hukum
masa pemerintahan terdahulu telah nampak adanya kelemahan dan kekurangan. Dari celah-celah
kelemahan dan kekurangan itulah dijadikan pembenar oleh struktur hukum yang berfrofesi di
bidang hukum, melakukan kecurangan-kecurangan dengan munculnya mafia hukum. Dengan
merebaknya mafia hukum pada lembaga-lembaga hukum di Indonesia, mulai dari kepolisian,
kejaksaan dan peradilan, dapat meruntuhkan tujuan hukum itu sendiri, serta membawa runtuhnya
kewibawaan hukum di Indonesia. yaitu tidak tercapainya rasa keadilan sebagai (asas etis) dalam
penegakan hukum dan keadilan, tidak tercapainya kepastian hukum (asas legis) dan tidak
tercapainya manfaat hukum bagi masyarakat pencari keadilan (utilities) dalam pandangan Gustav
Redbruch. Dan Sebagaimana pandangan seorang penyair dari Mesir Shauqi Bey:
ئااأل ابم١ت األخالك فاا ذبت اخالل ذبا
“ Sesungguhnya kekuatan suatu bangsa dan negara itu, tergantung pada akhlaq bangsa itu
sendiri, apabila akhlaq suatu bangsa itu rusak, maka berakibat pula membawa rusaknya bangsa
dan negara “191
Siapakah yang patut menyusun dan melegalkan kode etik profesi hakim,
sebagaimana pandangan Emanual Kant kode etik profesi hakim dibuat oleh induk organisasi
profesi hakim, namun norma yang dibuat oleh Induk Organisasi Profesi Ikatan Hakim Indonesia
(IKAHI) tidak berjalan efektif karena struktur pengawasan tidak berjalan dan tidak independen
karena diawasai oleh internal organisasi. Dengan diubahnya Undang-Undang Mahkamah Agung
RI dan lahirnya Undang-Undang Komisi Yudisial semakin memperkuat adanya struktur
pengawasan internal Mahkamah Agung dan pengawasan eksternal yang dilakukan oleh Komisi
Yudisial, kedua lembaga negara tersebut bekerja secara sinergis akan membawa lebih efektif
dalam pengawasan dan penindakan. Sebagaimana pemberlakuan Komisi Yudisial di berbagai
negara di dunia ini. Oleh Undang-Undang yang telah ditunjuk pelaku perubahan (agent of
change) sebagai struktur pengawas adalah dua lembaga Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.
Dan selama 5(lima) tahun terakhir adalah menampakkan keberhasilan di bidang pengawasan
sekaligus penindakan sebagai tindak lanjut hasil pengawasan dan lahirnya Majelis Kehormatan
Hakim (MKH). Dan lahirnya peraturan tindak lanjut untuk lebih mengefektifkan Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim Indonesia yang terdiri dari Surat Keputusan Bersama (SKB). Antara
lain : Peraturan Tentang Seleksi Pengangkatan Hakim, Peraturan Tentang Panduan Penegakan
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, Peraturan Tentang Tata Cara Pemeriksaan Bersama dan
Peraturan Tentang Tata Kerja dan Tata Cara Pengambilan keputusan Majelis Kehormatan Hakim.
Norma-norma yang tertuang dalam kode etik hakim, termuat perilaku yang baik dan
norma perilaku yang seharusnya dilakukan oleh para hakim dan seharusnya untuk
ditinggalkannya. Sebagaimana teori L.B. Curzon aturan hukum itu berfungsi sebagai simbol.
Dan yang dimaksud dengan simbolis disini adalah: involves the procces whereby persons
190
Q.S 2 (al-Baqarah) : 257
191 Fakhry, Majid, Etika Dalam Islam. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996): 10
cxxxv
consider in simple term the social relationships and other phenomana arising from their
interaction. (segala sesuatu yang mencakup proses-proses apabila seseorang menerjemahkan atau
menggambarkan atau mengartikan dalam suatu istilah yang sederhana tentang perhubungan
sosial serta fenomena-fenomena lainnya yang timbul dari interaksinya dengan orang lain ).
Contoh kasus yang sekarang menjadi perhatian publik tentang tindak pidana korupsi, kolusi, dan
nepotisme (KKN), dalam pasal 6 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang berbunyi: “ Setiap
orang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi
putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili “ berdasarkan pasal tersebut termasuk
perbuatan korupsi. Dengan ancaman hukumannya 3 tahun dan paling lama 15 tahun dan pidana
denda paling sedikit 150.000.000 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
750.000.000.(tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Berdasarkan teori Donald Black, faktor-faktor yang membawa runtuhnya martabat
dan kewibawaan hukum De-legalization dan De-Socialization dari dua faktor tersebut hukum
sebagai alat politik sebagaimana pandangan Curzon hukum sebagai alat rekayasa sosial, maka
peranan penguasa politik yang membuat perundang-undangan (hukum tertulis) sehingga hukum
dan peraturan tertulis era orda lama dan orde baru lembaga yudikatif ada dalam cengkeraman
eksekutif dan legislatif, sehingga kemerdekaan kekuasaan yudikatif terbelenggu dengan dua
kekuasaan politik tersebut. Dan berakibat pelaksanaan kekuasaan kehakiman dan produk putusan
lembaga yudikatif dirasakan tidak adil tidak terpenuhi asas equality dan fairly bagi masyarakat
pencari keadilan.
Perubahan pemisahan kekuasaan antara eksekutif dan yudikatif, telah dilkukan pada
zaman daulah „Abbasiyyah, dengan perintah Abu Yusuf selaku Qadi al Qudah pada zaman
Khalifah Harun al-Rashid, telah menetapkan larangan kepada para hakim agar tidak melakukan
hubungan atau kedekatan dengan keluarga kerajaan, yang dikhawatirkan kedekatan para hakim
dengan keluarga kerajaan akan berpengaruh kepada putusan yang diambil oleh para hakim.192
Sepadan dengan teori Donald Black timbulnya diskrimanatif adalah adanya faktor morfologi
(kedekatan atau kejauhan), faktor stratafikasi (memandang warna kulit, suku dan golongan),
kultur, organisasi, dan pengendalian sosial. Sepatutnya para hakim tidak masuk dalam partai
politik sebagaimana zaman Orde Baru. Hal tersebut merupakan faktor penyebab kemunduran atau
keterpurukan dalam penegakan hukum dan keadilan di Indonesia, hakim tidak merdeka
terbelenggu oleh kehendak penguasa.
Berdasarkan firman Allah dalam al-Qur‟an Surat 7 (al-Ra‟du): 11
192
Dahlan Dkk, Insiklopedi Hukum Islam,( Jakarta Van hove Jilid I): 109, perhatikan pula dalam kitab Al-Kharraj,
cxxxvi
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran,193 di muka dan di
belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah
keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” 194
Dari Donald Black tersebut mendapatkan kritikan dari Achmad Ali dengan
menambah faktor ketiga adalah faktor De-Internalization yaitu sikap transendention ketaatan dan
kepatuhan kepada Allah yang tumbuh dalam jiwa manusia.195 Selain faktor moralitas struktur
hukum, yang menjadi faktor penyebab kerusakan dan runtuhnya kepercayaan masyarakat terhadap
hukum dan keadilan di Indonesia ada pada subtansi hukum konstitusi dan undang-undang lainnya
dan struktur hukum. Kultur hukum merebaknya budaya koruposi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Maka konstitusi negara Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 harus
dilakukan amandemen dan undang-undang lainnya yang terkait kehakiman dan peradilan juga harus
ada perubahan, karena selama ini Mahkamah Agung sebagai pelaksana kehakiman khususnya pada
pasal 24 Undang Undang Dasar 1945 harus ada pemisahan yang jelas kekuasaan kehakiman
(Yudikatif) dengan kekuasaan Pemerintahan (Eksekutif). Demikian juga dalam hal pengelolaan
anggaran, fasilitas dan finansial selama orde baru ada pada kekuasaan eksekutif yaitu ada pada
Departemen Kehakiman, Departemen Agama dan Departemen Hankam, telah diubah sepenuhnya
dikelola dalam satu atap di Mahkamah Agung RI.196
Faktor penyebab keterpurukan ( chaos ) berakibat jatuhnya martabat dan
kewibawaan dalam penegakan hukum dan keadilan yang terjadi di Indonesia sebagaimana
pandangan teori Lawrence Meir Freidmand adalah ada tiga faktor : 1. Faktor legal subtantion (ada
pada aturan hukumnya). 2 Faktor legal structur (ada pada pelaku dalam struktur hukum) 3. Legal
cultur (ada pada budaya hukumnya).197 Subtansi kode etik yang dibuat dan disusun berdasarkan
Surat Keputusan Bersama Mahkamah Agung RI Nomor 047 /KMA/SKB/IV/ 2009 dan Komisi
Yudisial Nomor 01/SKB/P.KY/IV/2009 tanggal 8 April 2009. Masih ada celah-celah kekurangan,
selanjutnya Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI melahirkan peraturan berupa Surat
Keputusan Bersama untuk lebih mengefektifkan tindak lanjut dari pengawasan berupa: Sistem
193
Bagi tiap-tiap manusia ada beberapa Malaikat yang tetap menjaganya secara bergiliran dan ada pula beberapa
malaikat yang mencatat amalan-amalannya. dan yang dikehendaki dalam ayat ini ialah Malaikat yang menjaga secara
bergiliran itu, disebut malaikat hafazhah
194 al-Qur‟an Surat 7 (al-Ra‟du): 11 Tuhan tidak akan merobah keadaan mereka, selama mereka tidak merobah sebab-
sebab kemunduran mereka.
195 Donald Black, Pemikiran dan Kritikan, Terjemahan Achmad Ali, Hasanuddin Press, 2001.
196 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 Tentang Perubahan Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman Nomor
14 Tahun 1970.
197 Lawrence Meir Freidmand, The Legal System, A Social Sceince Perspective, (New York : Russel Sage Foundation),
dalam Achmad Ali, Keterpurukan Hukum di Indonesia Penyebab dan Solusinya, (Jakarta Ghalia Indonesia) : 5
cxxxvii
pendidikan Calon Hakim, sistem pemeriksaan dan pengambilan keputusan Majelis Kehormatan
Hakim dan sanksi pelanggaran kode etik hakim dan sistem rekrutman dan pengangkatan hakim.198
Pandangan Andi Zaenal Abidin Faried, Peraturan dibuat oleh lembaga negara
meskipun sederhana, yang penting adalah aplikasi dan pelaksanaannya baik dan optimal itu baik,
lebih jelek lagi peraturan disusun dengan baik, tetapi aplikasi tidak optimal. Harapan kita peraturan
baik dan aplikasinya juga baik oleh para hakim maupun para struktur pengawasan dan penindakan
atas pelanggran kode etik.199
Khalifah Umar Ibnu Khattab dalam etika hakim dalam persidangan, telah
mengeluarkan Risalah ( امؼبء ف ػش خـبة ), atau seruan kepada para Gubernur dan para hakim di
dalam memeriksa dan mengadili perkara agar berlaku adil (equality and fairness) tidak memihak,
agar mendudukkan sama para pihak yang berperkara dalam persidangan. Penggugat wajib
membuktikan gugatannya dan tergugat wajib membuktikan bantahannya dengan sumpahnya.
Penyelesaian perkara secara damai dibenarkan, sepanjang tidak menghalalkan yang haram dan
mengharamkan yang halal.200
Sebagaimana pandangan Rifyal Ka‟bah yang sependapat dengan teori Mustafa
Azzarqa dari Suriah, yang diikuti pula oleh Ziya Gokap dari Turki, Shari‟at Islam, yang terdiri dari
hukum aqidah, akhlaq, hukum Ibadah, hukum mu‟amalah dan jinayah dalam penerapannya,
terbagi pada hukum yang bersifat diyani dan hukum yang bersifat qadha‟i, Demikian pula tentang
perilaku baik dan buruk semula hanya bersifat diyani sebagaimana hadith Rasul Allah SAW.
ئابؼثتألتىاراألخالك“Sesungguhnya aku diutus dimuka bumi ini untuk menyempurnakan akhlak”
Sumber hukum diyani adalah al-Qur‟an al-Hadith dan kitab-kitab fiqh, dan kitab-kitab
tentang akhlak, hal itu ditaati oleh ummat penganut agama Islam, selanjutnya dibuatlah sebagai
hukum negara yang disebut dengan peraturan perundang-undang atau berupa keputusan Pemerintah
menjadi hukum qadha‟i.
Indonesia adalah mengikuti asas legalitas, Kode etik hakim untuk dapat mengikat
kepada para hakim dan dapat dipaksakan, aturan kode etik profesi hakim dan dapat menjatuhkan
sanksi bagi para hakim yang melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim di Indonesia, telah
ditunjuk struktur hukum pengawasan dan penindakan adalah Institusi Lembaga Negara yang
ditunjuk oleh Undang-Undang adalah Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI dan dengan
dibentuknya Majelis Kehormatan Hakim.
Disamping 10 norma Kode etik Hakim Indonesia yang telah ditetapkan oleh Mahkamah
agung RI dan Komisi Yudisial adalah sudah baik, tidak bertentangan dengan norma akhlak dalam
Islam, perlu masing-masing hakim Indonesia yang mayoritas beragama Islam agar kembali kepada
norma etika Islam atau akhlak.
Konsep-konsep Akhlak yang bersifat diyani yang telah diungkapkan oleh para ahli di
bidang ilmu akhlak antara lain : Ismail Al-Faruqi dan Haidar Naqfi Kode Etik Hakim berdasarkan
teori hukum Islam sebagaimana prinsip-prinsip dasar Shari‟ah adalah ada 2 dua macam konsep,
198
Keputusan bersama, Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial Nomor 1 Tahun 2012, Nomor 2Tahun 2012, Nomor 3
Tahun 2012, Nomor 4 tahun 2012. Merupakan peraturan tindak lanjut untuk mengefektifkan implementasi Kode
Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Indonesia.
199 Andi Zaenal Abidin Farid, Persepsi Orang Bugis Makassar tentang Hukum, Negara dan Dunia Luar, Alumni
Bandung, 1983 :
200 Ibn al-qayyim, Al-jauziyyah, I‟lam al Muwaqi‟in„an Rabb al-„Alamin (Juz I, Matba‟ah Sa‟adah, Mesir, 1387): 95.
cxxxviii
yaitu pertama: Konsep Tauhid yang terdiri dari : (i). Unity of Creation ( meyakini kesatuan
penciptaan), (ii). Unity of Mankinde (meyakini kesatuan kemanusiaan). (iii). Unity of Guidance
(meyakini kesatuan tuntutan hidup). (iv). Unity of Propose of life (meyakini kesatuan tujuan hidup).
(v). Unity of Godhead ( semuanya merupakan derifasi kesatuan ke-Tuhanan).
Konsep kedua, etika sintesis Islami, terdiri dari : (i). Prinsip Khilafah ( manusia
sebagai Khalifah fi al-Ardi). (ii). Prinsip „Adalah (yaitu prinsip keadilan). (iii). Prinsip Nubuwwah (
yaitu prinsip sifat kenabian). (iv). Prinsip Ukhuwwah (yaitu prinsip persaudaraan) (v). Prinsip al-
Khurriyyah wa al-Mas‟uliyyah (yaitu prinsip kemerdekaan dan pertanggung jawaban ).
Sebagaimana pandangan Imam al-Ghazali dalam Kitab Ihya‟ „Ulu al-Din Akhlaq Islam
mempunyai 4(empat) pilar atau induk semua akhlak yang terpuji (Ummahat mahasin al-Akhlaq),
yaitu : a. Hikmah (bijaksana), b. Shaja‟ah (keberanian), c. Qana‟ah dan d. „Adil.
Hikmah (sikap bijaksana) adalah kondisi jiwa yang dapat membedakan mana yang
benar dan mana yang salah, Hikmah adalah merupakan pilar yang utama. Sikap Shaja‟ah (sikap
berani) adalah sikap yang ada dalam jiwa yang dapat menundukkan nafsu untuk patuh kepada akal.
Dan qana‟ah adalah situasi jiwa yang mampu menertibkan nafsu atas dasar pertimbangan akal dan
shari‟at. Dan „Adil adalah kondisi jiwa yang dapat mengendalikan hawa nafsu di bawah perintah
akal dan shari‟at.201
Sebagai hakim yang beragama Islam, pondasi yang utama adalah sikap transendensi
keimanan yang kuat, menjalankan rukun Islam yang baik, dan tanamkan sikap ihsan dalam jiwa kita
sebagaimana hadith Nabi SAW yang berbunyi:
٠ران فا ترا ال ئ فاه ترا وأه اهللا تؼبد أ
“Hendaknya engkau sembah Allah seakan-akan engkau melihat Nya. Kamu tidak melihat Nya.
Maka sesungguhnya Dia(Allah) melihatmu”.202
Dengan keyakinan bahwa perilaku kita baik dan buruk dilihat oleh Allah SWT. Kita
akan berhati-hati dalam bertindak dan berbuat, dengan menanamkan sikap ihsan dalam jiwa kita.
Akhlak yang mulia dalam Islam, yaitu akhlak yang dirid ai oleh Allah SWT, akhlak
yang baik itu dapat diwujudkan dengan mendekatkan diri kita kepada Allah yaitu dengan mematuhi
segala perintahnya dan meninggalkan semua larangannya, mengikuti ajaran-ajaran dari sunnah
Rasul Allah, untuk mendekati yang ma‟ruf dan menjauhi yang munkar, seperti firman Allah dalam
al-Qur‟an surat 3 (Al-Imran) : 110 :
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah “.
201
Al-Ghazali, Abu Hamid al-Ghazali, Ihya‟ Ulum al-Din, dalam Hasanudin dan Zaharuddin, Pengatar Studi Akhlak, (
Jakarta : PT Raja Grafmdo Persada, 2004) : 43
202 Muslim, Sahih Muslim, Juz I : 90 dalam Sayyid Ahmad al Hashimi, Muhtar al Ahadithi al- Nabawiyyah terjemahan
Mahmud Zaini, (Pustaka Amini Jakarta 1995):519.
cxxxix
Akhlak yang buruk itu berasal dari penyakit hati yang keji seperti iri hati, ujub,
dengki, sombong, nifaq (munafik) dengan tanda-tanda kemunafikan, hasud, suudzan (berprasangka
buruk), rishwah (suap menyuap)dan penyakit-penyakit hati yang lainnya, akhlak yang buruk dapat
mengakibatkan berbagai macam kerusakan baik bagi orang itu sendiri, orang lain yang di sekitarnya
maupun kerusakan lingkungan sekitarnya sebagai contohnya yakni kegagalan dalam membentuk
masyarakat yang berakhlak mulia samalah seperti mengakibatkan kehancuran pada bumi ini, sebagai mana firman Allah SWT. dalam al-Qur‟an Surat 30 (Ar-Ruum ayat):41.
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi,
supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.
Dari fenomena dan perkembangan penegakan hukum di Indonesia yang telah
mengalami keterpurukan atau chaos dan dari hasil uraian yang cukup luas dan panjang sebagaimana
telah diuraikan dalam bab-bab terdahulu dan dari hasil temuan pelanggaran hakim selama 5 (lima)
tahun terakhir. Upaya perubahan dilakukan oleh Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI agar
tercapainya lembaga hukum yang terhormat dan agung di Indonesia. Maka penulis akan
menyampaikan temuan teori baru sebagai tambahan dari temuan-temuan sebelumnya yaitu ada 4
faktor untuk lebih mempercepat efektifitas emplementasi kode etik hakim di Indonesia antara lain:
1. Peningkatan kualitas sistem pendidikan calon hakim dengan kurikulum atau silabus yang
disesuaikan dengan kebutuhan masa kini, yaitu kurikulum materi hukum materiil dan hukum
formil, kurikulum materi administrasi peradilan dan Kurikulum materi kode etik dan pedoman
perilaku hakim. Dengan demikian akan tercapainya kualitas Intelektual dan kualitas moral bagi
hakim Indonesia.
2. Peningkatan kesadaran secara transendensi ketaatan sesuai ajaran agama adalah lebih efektif
dengan memperteguh keimanan dan ketaqwaan sebab sumber etika dan moral tentang perilaku
baik dan buruk sudah diajarkan melalui doktrin agama yang sudah melekat pada jiwa masing-
masing hakim dan petugas peradilan.
3. Penguatan struktur pengawasan dan penindakan bagi hakim yang melanggar kode etik, struktur
pengawasan di Mahkamah Agung RI maupun pengawasan di Komisi Yudisial dan pengawasan
internal dan pengawasan melekat dalam setiap unit badan peradilan, dan layanan pengaduan
pengawasan masyarakat ;
4. Agar para Para hakim tidak tersosialisasi dengan pengaruh kekuatan penguasa, dan kebebasan
dan kemerdekaan hakim terjaga patutlah hakim dilarang menjadi anggota partai politik.
5. Agar para hakim tidak terpengaruh dengan godaan materi, dan terhindar dari sikap rishwah atau
terjadi suap menyuap dalam menerima, memeriksa dan mengadili perkara, perlu adanya
peningkatan kesejahteraan hakim dan pejabat peradilan.
cxl
DAFTAR PUSTAKA
Abu Dawud, Sulaiman bin al-Ash'ats bin Ishaq bin Bashir bin Shidad bin Amru bin Amir al-
Azdi al-Sijistani, Sunan Abu Dawud, (al-Matba‟ah Misriyyah, 1349 H.
Abu Zahrah, Fiqh al-Madzahib al-Islamiyah, (Dar al Fikr, Beirut, tt);
Achamd Ali, 1988, Perubahan Masyarakat, Perubahan Hukum dan Penemuan Hukum Oleh
Hakim, (LEPHAS, Ujung Pandang), 1988.
------------------, Keterpurukan Hukum di Indonesia, Penyebab dan Solusinya, (Ghalia
Indonesia, Jakarta), 2002.
------------------, Konsep-Konsep Sosilogi Hukum, (Web site Undip Semarang).
-----------------, Mengembara di Belantara Hukum, (Hasanuddin University Press, Ujung
Pandang), 1990 ;
-----------------, Menguak Tabir Hukum, Sosiologi, dan Filosofis, (CV. Kartini, Jakarta),2002.
Ali Yafie, Fungsi Hukum Islam dalam kehidupan ummat, (PP.IKAHA Jakarta, PT
Kemudimas Abadi), 1974.
Amidi, Saif al- Din Muhammad, al-„Amaidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ihkam, (Dar al- Kitab al-
Ilmuah, Beirut), 1983.
Amin Rais, Cakrawala Islam,antara cita dan Fakta, (Mizan, Bandung). 1996.
Ansyarul, Pemuliaan Peradilan dari Dimensi Integritas Hakim, Pengawasan, Dan Hukum
Acara (Kumpulan Makalah), (Mahkamah Agung RI, Jakarta, Cetakan III), 2011.
Asqalany, Muhammad Ibnu Hajar Al Asqalany, Fathu al-Bari Sharah S ahih Al-Bukhari, (al
Matba‟ah Al Bahiyyah Al Misriyah 1404 H) .
Asyhadi, Zaini Asyhadi, Hukum Bisnis, (PT.Raja Grafindo Prasada, Jakarta), 2005
B.A. DAR , Ajaran-ajaran Al-Qur‟an tentang Etika, (Mizan Bandung), 1990;