Top Banner

of 22

Etnografi KRL Ekonomi

Jul 13, 2015

Download

Documents

Iis Sabahudin
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

Iis Sabahudin

L APORAN P ENELITIAN ETNOG RAFI

Kereta Rel Listrik Ekonomi: Suaka Pencari NafkahPendahuluanStudi etnografi ini mengupas tentang ekonomi bazaar pada kereta rel listrik (KRL) yang kadang saya tumpangi untuk melakukan perjalanan, terutama ketika hendak kuliah ke kampus Universitas Indonesia (UI). Saya kadang harus melakukan perjalanan ke Bogor untuk urusan pekerjaan, dan untuk dapat membawa saya ke sana moda transportasi yang menjadi pilihan pertama saya adalah KRL, baik itu KRL

ekonomi, maupun commuter line, yang saat memulai penelitian ini masih bernamaexpress AC dan ekonomi AC. KRL dapat membawa saya ke Bogor dengan cepat, tanpa khawatir macet, dan murah. Saya bisa mengukur kapan saya harus berangkat dari rumah jika saya hendak bepergian dengan menggunakan KRL. Mungkin karena kemudahan memperkirakan waktu tempuh perjalanan itu KRL menjadi selalu penuh, sesak dengan penumpang, terutama para pekerja. Pada jam -jam masuk kerja dan pulang kerja KRL ekonomi akan penuh dengan para penumpang hingga membludak ke bagian atap kereta. Saya menumpang KRL pertama kali tahun 1989 saat hendak ke Bogor bersama ayah dan adik perempuan saya. KRL yang saya tumpangi saat itu yaitu KRL

ekonomi. Kami naik dari stasiun Pasar Minggu. Pengalaman pertama saya, anak kelassatu sekolah menengah pertama, naik KRL ekonomi itu tidak enak, sangat menyiksa. Bagaimana tidak, sejak saat pertama kali masuk ke dalam KRL, kami bertiga sudah

harus berdesak-desakan, berimpitan, berpeluh keringat, dan berbagi bau badan denganpenumpang lain. Sejak masuk sampai tiba di Bogor kami bertiga terus berdiri. Bahkan, saya ingat waktu itu ayah saya sempat bersitegang dengan penumpang lain yang ia curigai hendak mencopet dompetnya. Saya tidak begitu menyadari apakah saat itu sudah ada pedagang asongan yang berjualan di dalam KRL atau belum. Tapi yang saya ingat saat itu tidak ada orang yang berteriak -teriak menjajakan barang dagangan sesemarak sekarang.

1

Itu adalah sekelumit pengalaman saya sewaktu kecil di KRL ekonomi. Namun,

pengalaman tidak nyaman tersebut ternyata masih harus saya alami hingga saat ini.Tetap harus berdesak-desakan di dalam KRL ekonomi di jam sibuk, antara jam enam sampai jam delapan pagi dan jam empat sampai jam tujuh sore. Pemandangan yang lebih menyeramkan terjadi pada KRL ekonomi yang menuju Jakarta pada pagi hari, dan KRL ekonomi menuju Bogor pada sore hari. Kala itu penumpang KRL tidak hanya padat di bagian dalam gerbong, tapi juga meluber hingga ke atap, sambungan gerbong, ruang masinis, bahkan hingga di muka dan ekor gerbong KRL ekonomi.

Gambar 1 Pemandangan KRL Ekonomi di Suatu Pagi

Di luar jam -jam sibuk, saya sangat senang naik KRL ekonomi, karena banyak pemandangan, terutama pemandangan seliweran pedagang asongan di dalam KRL

ekonomi. Beranekaragam barang dijajakan pedagang asongan. Harga barang di KRLekonomi banyak yang jauh lebih murah dibanding harga barang serupa di luar. Barang yang dijajakan pedagang asongan di KRL ekonomi juga beragam, kadang

lucu-lucu dan mengundang senyum. Mpet -mpetan yang mengeluarkan bunyi sepertitangis bayi misalnya, membuat saya tersenyum geli karena suaranya mirip benar 2

dengan bayi, harganya juga murah, hanya seribu rupiah, seharga ongkos parkir sepeda motor di kampus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) UI. Trik pedagang

asongan untuk menggaet pembelipun bermacam -macam. Barangkali yang pernah naik KRL ekonomi sudah tahu dan mengerti ketika ada seorang pedagang asonganmeletakkan sebuah barang dagangannya di tangan, itu artinya dia sedang menawarkan barangnya. Kalau tidak mau membelinya, biarkan barang tersebut terletak di tangan sampai si pedagang asongan mengambilnya dari tangan kita. Jika tertarik membelinya tinggal tanya harganya. Umumnya barang yang ditawarkan seharga seribu sampai dua

ribu rupiah.Fenomena aktivitas jual beli di moda transportasi sudah lazim terjadi di Indonesia. Bahkan fenomena aktivitas jual beli di KRL ekonomi memiliki kekhasan

sendiri dan sudah menjadi ciri KRL ekonomi. KRL ekonomi adalah kereta bazaar,bazaar di atas kereta. Oleh karena kekhasannya inilah yang menarik saya untuk menelitinya.

Gambar 2 Pedagang Sekoteng: Antara Menumpang dan Numpang Berjualan

3

Tinjauan PustakaBazaar diistilahkan Wikipedia sebagai area perdagangan permanen, pasar, atau jalan toko -toko (street of shops) di mana barang dan jasa dipertukarkan atau dijual (en.wikipedia.org ). Menurut kamus online Merriam Webster, bazaar diterjemahkan sebagai a place for the sale of goods. Istilah ekonomi bazaar lebih disuka disebut sebagai sektor ekonomi informal oleh para ahli ekonomi. Sektor informal ini tidak terorganisasi (unorganized ), tidak teratur (unregulated), dan kebanyakan legal tetapi tidak terdaftar (unregistered ). Di negara berkembang sektor informal ini berperan penting. Di Indonesia, menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS, 2008), 73,53 juta atau 72 persen dari sekitar 102,05 juta pekerja Indonesia bekerja di sektor informal. Sethuraman (1996) dalam Winarso dan Budi (bulletin.penataanruang.net, diakses 3 Oktober 2011)

mengistilah kan sektor informal untuk sejumlah kegiatan ekonomi yang berskalakecil. Ekonomi bazaar ini, menurut Saifuddin (2011:101), adalah keseluruhan kegiatan ekonomi dalam masyarakat yang berbasis di rumah tangga, yang meliputi produksi barang dan jasa, pendistribusiannya dalam masyarakat, dan pengonsumsian pada lapisan masyarakat tertentu, tidak banyak menjangkau keluar dari lingkaran subsistensi dan self-sufficiency itu. Kegiatan ekonomi itu antara lain berdagang di kaki lima, berdagang makanan di warteg, tukang parkir tidak resmi, pengamen, pengangkut barang, tukang ojek, preman pasar, dan lain-lain. Walau bekerja dalam lingkungannya sendiri, massa yang terlibat dalam lingkaran ekonomi bazaar ini sangat besar. T.G. McGee (1977) dalam Saifuddin (2011:102) menduga ekonomi bazaar itu bisa melibatkan sekitar 60 sampai 70 persen dari keseluruhan total kebutuhan dasar masyarakat lapisan ekonomi menengah ke bawah.

Hans-dieter Evers, ahli sosiologi dari Universitas Bellefeld, yang lama meneliti diIndonesia, menduga bahwa jumlah itu jauh lebih banyak lagi di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan, dan lain-lain, karena jumlah penduduk miskin di Indonesia sebenarnya lebih banyak dari catatan resmi statistik. Dalam press release yang dikeluarkan humas Universitas Gajah Mada (UGM) pada websitenya (www.ugm.ac.id), UGM menganggap sektor informal memiliki

peran yang besar di negara-negara sedang berkembang (NSB), termasuk Indonesia. DiNSB, sekitar 30 hingga 70 persen populasi tenaga kerja di perkotaan bekerja di sektor informal. Sektor informal memiliki karakteristik seperti jumlah unit usaha yang 4

banyak dalam skala kecil; kepemilikan oleh individu atau keluarga, teknologi yang

sederhana dan padat tenaga kerja, tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah,akses ke lembaga keuangan daerah, produktivitas tenaga kerja yang rendah dan tingkat upah yang juga relatif lebih rendah dibandingkan sektor formal.

Ekonomi bazaar atau ekonomi sektor informal ini menjadi isu yang banyak dikaji,terutama pada tema kemiskinan di perkotaan Indonesia. Sebagian besar literatur tentang kajian ekonomi bazaar atau ekonomi sektor informal tersebut, terutama literatur penelitian pada pertengahan tahun 1970 yang disponsori ILO, banyak

memfokuskan pada pekerjaan, pendapatan, dan pengeluaran (Jellinek, 1994:5) .

Kajian-kajian tentang bazaar atau sektor informal banyak dilakukan pada kaki limadan pemilik warung-warung atau toko -toko kecil di pinggir jalan, serta sejarah kemunculannya yang merupakan efek dari pembangunan kota (Jellinek, 1994; Murray, 1994; Sulistyanto, 1999; Parid, 2003 ). Beberapa kajian berusaha mengetahui corak keteraturan sosial dalam pekerjaan-pekerjaan di sektor informal seperti pedagang asongan dan pedagang kaki lima, yang oleh pemerintah dianggap mengganggu ketertiban umum dan merupakan pelanggaran hukum, sehingga kajiannya bertujuan untuk mengetahui pendekatan -pendekatan penegakan hukum yang dapat diambil tanpa membuat kerusuhan (peace maintenance) (Wiyono: 2002), dan mencari solusi penanggulangannya untuk menciptakan kemanan dan ketertiban

masyarakat yang mantap (Naroth: 1994; Hardjanto: 1999; Sulistyanto: 1999; Wiyono:2002). Kajian lainnya melihat terjadinya proses peminggiran terhadap pekerjaanpekerjaan sektor informal (pedagang kaki lima dan asongan) sebagai akibat dari implementasi kebijakan pemerintah dalam menciptakan ketertiban umum (Parid: 2003), dan reaksi adaptif pelaku ekonomi sektor informal tersebut terhadap perubahan lingkungannya (Hadiwinoto: 2010).

Penjelasan-penjelasan yang ada pada kajian -kajian di atas belum menjelaskankondisi sektor informal di KRL ekonomi, yang terutama dilakoni oleh pedagang asongan. Untuk tujuan itu, penelitian ini berupaya mengisi kekosongan (gap ) kajian mengenai praktik keseharian dan strategi pedagang asongan di KRL ekonomi Jabotabek dalam bertahan hidup di perkotaan. Strategi mempertahankan hidup di sini maksudnya adalah bagaimana pedagang asongan tersebut bertindak dan berperilaku untuk mencapai tujuan -tujuan tertentu yang memberikan makna baginya.

Sebagaimana dinyatakan Parsons dan Shils (1962:4- 5),5

The interest of the theory of action, however, is directed not to the physiological processes internal to the organism but rather to the organization of the actor's orientations to a situation... The orientation of action to objects entails selection, and possibly choice... Selection is made possible by cognitive discriminations, the location and characterization of the objects, which are simultaneously or successively experienced as having positive or negative value to the actor, in terms of their relevance to satisfaction of drives and their organization in motivation. This tendency to react positively or negatively to objects we shall call the cathectic mode of orientation. Cathexis, the attachment to objects which are gratifying and rejection of those which are noxious, lies at the root of the selective nature of action.

Masalah PenelitianDari paparan tentang kajian ekonomi informal dan pelakunya di atas, kajiankajian tersebut condong meletakkan pelaku ekonomi informal, terutama ekonomi asongan, sebagai objek yang tersubordinasi dan pasif. Cara pandang demikian menciptakan jarak antara peneliti dan objek yang diteliti, menempatkan peneliti sebagai pemotret kehidupan dan menafsir potret tersebut dengan sudut pandang dan kategori yang dimiliki peneliti. Dalam penelitian ini, saya berupaya memahami kehidupan pedagang asongan dari sudut pandang mereka sendiri, dan saya menempatkan pedagang asongan sebagai subjek aktif yang memiliki kapasitas untuk mengembangkan strategi bertahan hidup secara kreatif maupun manipulatif dalam menghadapi kondisi lingkungan di sekitarnya. Melalui penelitian ini saya ingin mengetahui bagaimana cara hidup pedagang asongan di KRL ekonomi, dan apa yang mengondisikan pedagang asongan untuk berjualan di KRL ekonomi.

Tujuan PenelitianPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana cara hidup pedagang asongan di KRL ekonomi, dan apa yang mengondisikan pedagang asongan untuk berjualan di KRL ekonomi.

MetodologiPenelitian yang saya lakukan merupakan penelitian kualitatif dangan metode deskriptif. Metode deskriptif dikemukakan Nazir (1988:63) dalam Parid (2003:14) sebagai metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang untuk membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat

mengenai fakta -fakta, sifat -sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki.

6

Subjek penelitian saya adalah pedagang asongan di KRL ekonomi Jakarta Bogor. Penelitian akan dilakukan selama masa perkuliahan Penelitian Etnografi. Teknik Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan terdiri dari data sekunder dan primer. Data sekunder akan saya koleksi dari penelitian -penelitian sebelumnya yang relevan dengan topik penelitian saya. Sumber-sumber statistik dan informasi-informasi lain dari sumber

yang dapat dipercaya juga akan saya gunakan untuk mendukung penelitian ini.Data primer akan saya kumpulkan dengan melakukan fieldwork untuk mendeskripsikan aktivitas ekonomi asongan di KRL ekonomi. Saya akan melakukan pengamatan dengan melibatkan diri saya (participant observation ) dan dengan menyelami aktivitas pedagang asongan. Upaya tersebut akan saya lakukan agar saya mendapatkan kepercayaan, sehingga informan menjadi terbuka, memberikan informasi dan pengetahuan yang dimilikinya, dan membiarkan saya menyimak

kehidupannya. Pedagang asongan yang saya pilih sebagai contoh akan saya ambildengan teknik judgmental sampling , dengan pertimbangan subjektif diri saya pribadi (Fettermen, 1989:18). Di lapangan, saya akan membuat membuat jottings dan fieldnote dari hasil pengamatan dan wawancara saya dengan informan, atau merekam dengan alat perekam ketika tidak memungkinkan untuk menulis jottings atau fieldnote (Emerson et.al, 1995). Analisis Data Fieldnote yang saya hasilkan akan saya analisis melalui proses coding dan menulis memo. Dari memo yang dibuat atas fieldnote lalu dipilih pokok pikiran untuk membangun narasi etnografi. Saya akan menentukan data spesifik yang relevan untuk menjawab menjawab pertanyaan penelitian, menjelaskan dan menghubungkan keterkaitan antara etnografi yang dihasilkan dengan teori atau isu yang lebih besar

(Murchison, 1973).

7

Lokasi PenelitianKRL ekonomi, adalah salah satu dari unit pelayanan jasa angkutan kereta yang dioperasikan sejak 1976 oleh PT KAI Commuter Jabodetabek, anak perusahaan PT Kereta Api. KRL ekonomi ini adalah salah satu kereta paling sibuk di Indonesia, dengan jadwal komuter yang biasa dipenuhi oleh penumpang karena tarifnya yang lebih murah dibanding KRL commuter line. Pada jam -jam sibuk, jam -jam orang berangkat ke tempat bekerja pada pagi hari dan jam -jam orang pulang kerja pada sore hari, KRL ekonomi dipadati penumpang yang membludak, ada yang bergelantungan di pintu gerbong, di sambungan antar gerbong, dan di atas gerbong. Tidak jarang penumpang KRL ekonomi tewas karena melakukan hal-hal tersebut. Di KRL ekonomi juga dikenal banyak pencopet dan pedagang asongan. KRL ekonomi, dan juga KRL commuter line, juga tidak jarang mengalami keterlambatan dari jadwal yang sudah ditentukan. Pengalaman saya berikut ini bisa menggambarkan bagaimana jadwal kereta belum bisa diandalkan dan dijadikan patokan.Pukul 13:30 kuliah Penelitian Etnografi yang diasuh bu Sulis selesai. Saya lalu ke stasiun, berniat untuk melakukan pengamatan dan doing ethnography di KRL ekonomi. Saya beli karcis KRL ekonomi jurusan UI Bogor. Saya tanya petugas loket kapan KRL ekonomi tiba. Sebentar lagi masuk, katanya. Di papan informasi saya lihat jadwal kedatangan KRL ekonomi tertulis pukul 13:50, sekarang pukul 13:30, berarti masih punya waktu 20 menit untuk shalat Dzuhur. Selepas shalat saya menunggu kedatangan KRL ekonomi di peron paling ujung. Sengaja saya menunggu di ujung peron ini agar saya bisa memulai pengamatan dari gerbong paling belakang KRL ekonomi nantinya. Pukul 13:50 sudah lewat, tapi KRL ekonomi belum juga tiba. Sejak pukul 13:50 sudah 2 kereta commuter line sudah melintas. 2 KRL ekonomi dan 2 commuter line arah ke Jakarta juga sudah 2 kali lewat. Pukul 14:10 terdengar suara dari corong pengeras mengabarkan akan segera masuk dari arah utara KRL ekonomi dari Tanah Abang tujuan Bogor, ini kereta saya. Kereta datang setelah lewat 20 menit dari yang dijadwalkan .

Penyebab kereta terlambat bermacam -macam, karena wesel1 rusak atau dicuri, gangguan listrik, kereta mogok, bahkan kereta terbakar. Biasanya pada saat hujan kereta akan lebih sering mengalami keterlambatan. Baru -baru ini, setelah

pemberlakuan rute KRL pola Loopline, jadwal KRL semakin tidak dapat diandalkan.

Satu hari KRL beroperasi sesuai dengan jadwal dan tepat waktu, tapi di kali lainjustru berbeda jauh dari jadwal yang ditentukan.1

Wesel (dari bahasa Belanda wissel) adalah konstruksi rel kereta api yang bercabang (bersimpangan) tempat memindahkan jurusan jalan kereta api. Wesel terdiri dari sepasang rel yang ujungnya diruncingkan sehingga dapat melancarkan perpindahan kereta api dari jalur yang satu ke jalur yang lain dengan menggeser bagian rel yang runcing (Wikipedia).

8

Gambar 3 Rute KRL dengan pola Loop Line (Kiri) dan Rute dengan Pola Lama (Kanan)

Kecuali soal ketidaktepatan waktu dengan jadwal, ada perbedaan kondisi fasilitas yang terdapat di KRL ekonomi dibandingkan KRL commuter line. Cat pada dinding KRL ekonomi banyak yang sudah mengelupas, terdapat banyak coret-coretan, mulai dari tandatangan, nama geng, sampai nomor telepon seluler. Selain itu pintu masuk KRL ekonomi selalu terbuka lebar, tidak dapat menutup kembali ketika kereta sudah jalan. Jendelanya juga selalu terbuka, beberapa jendela ada yang pecah dan retak, bahkan ada yang tak berkaca. Pada lantai KRL ekonomi ada beberapa bagian lantai yang pelapisnya rusak dan ada juga yang berlubang hingga bisa melihat langsung ke

tanah. KRL ekonomi tidak memiliki lapisan pengaman pada tiap sambungan antargerbong sehingga bisa melihat pemandangan di bawah kereta. Di beberapa gerbong KRL ekonomi ini masih memiliki kipas, namun kipas itu saya lihat tidak berfungsi atau mungkin tidak difungsikan. Untuk penumpang yang berdiri, agar dapat berdiri dengan ajeg dan dapat menahan gaya sentrifugal dan sentripetal tubuh, pada beberapa gerbong tersedia pegangan tangan, tapi ada juga gerbong yang tidak memiliki fasilitas pegangan tangan. Di gerbong yang tak memiliki pegangan tangan, penumpang berpegangan pada bagasi tempat meletakkan tas atau barang. Bangku -bangku untuk

duduk penumpang terbuat dari bahan plastik fiber, berbeda dengan KRL CommuterLine yang bangkunya empuk karena dilapisi busa dan kain sofa. 9

Selain kondisi fasilitas yang jauh berbeda dengan KRL commuter line, di KRL ekonomi tidak terdapat petugas keamanan. Di KRL commuter line, keamanan kereta dijaga oleh petugas-petugas berseragam hitam -hitam dari Sentinel, sebuah perusahaan nasional yang bergerak dalam bidang usaha jasa pengamanan. Penumpang tidak berkarcis dapat dengan leluasa naik -turun KRL ekonomi karena tidak ada pernah ada petugas yang memeriksa karcis. Banyaknya stasiun yang tidak berpagar serta tidak adanya petugas yang memeriksa penumpang di pintu masuk/keluar stasiun, mengakibatkan banyaknya penumpang KRL yang tidak membeli karcis. Pada stasiun

yang berpetugas, penumpang dapat saja melenggang keluar stasiun tanpa khawatirakan ditindak petugas karena tidak memiliki karcis. Selama penumpang tidak berkarcis tersebut berjalan percaya diri, seolah -olah memiliki karcis, dan berani melewati petugas pemeriksa karcis di stasiun maka ia bisa lolos dari pemeriksaan. Atau bisa juga dengan mengatakan karcis sudah dibuang atau hilang. Petugas penjaga karcis hampir tidak pernah mempersoalkan penumpang tak berkarcis. Bebas naik -turun KRL ekonomi tanpa perlu membeli karcis juga berlaku bagi pedagang asongan. Setiap hari dan setiap waktu terdapat pedagang asongan yang berjualan di KRL ekonomi. Tidak ada aturan yang melarang aktivitas berjualan di atas KRL ekonomi. Larangan berjualan hanya berlaku di KRL commuter line. KRL ekonomi menjadi moda transportasi yang sangat terbuka bagi siapa saja, bagi penumpang yang sadar akan kewajibannya untuk memiliki karcis maupun bagi yang tidak bisa, tidak mau atau tidak mampu memiliki karcis, dan juga bagi pedagang yang

mencari situasi dan kondisi paling menguntungkan untuk berjualan.

10

Beralih Pekerjaan atau Berpindah Tempat Kerja: Cara Hidup Pedagang AsonganBojong salah satu dari beberapa daerah asal pedagang asongan yang berjualan di sepanjang rute Jakarta Bogor. Hilir mudik pedagang asongan, turun naik pedagang asongan banyak terjadi di stasiun kereta di daerah ini. Dari enam orang pedagang asongan yang saya jumpai, yang lima orang di antaranya menjadi informan saya, empat orang di antaranya berasal dari Bojong. Tiga dari empat orang pedagang asongan yang berasal dari Bojong ini berjualan minuman di atas KRL ekonomi. Satu di antara mereka berjualan keripik singkong pedas. Selain Bojong, ada beberapa stasiun lain yang menjadi tempat permulaan pedagang asongan berjualan di atas KRL ekonomi Jakarta Bogor, yaitu Cilebut, Cawang, Manggarai, dan Jayakarta. Pedagang yang mulai berjualan dari stasiun Bojong, Cilebut, Manggarai, dan Jayakarta, umumnya berjualan minuman. Pedagang asongan yang berjualan buah -buahan umumnya berasal dari daerah Bojong dan Cilebut. Sedangkan pedagang yang mulai berjualan dari daerah Cawang umumnya berjualan aksesoris telepon genggam. Sebelum menjadi pedagang asongan di KRL ekonomi, informan -informan yang

saya wawancarai mengaku pernah berganti-ganti pekerjaan dan profesi, atau pindahdari satu daerah ke daerah lain untuk mendapatkan sumber penghidupan yang lebih baik. Amirudin, usia 45 tahun, asal Bojong dan tinggal di Bojong. Ia adalah pedagang asongan minuman. Beraneka minuman siap saji ia jual, seperti aqua gelas dan botol, teh gelas, es kopi granita, mizone, teh kotak, dan sebagainya. Ia adalah koordinator dari 20 orang pedagang asongan minuman di stasiun Bojong. Ia tidak ingat secara persis sejak kapan menjadi pedagang asongan. Sebelum menjadi pedagang asongan minuman di KRL ekonomi, beragam pekerjaan telah digelutinya. Awalnya ia berjualan susu sapi murni di KRL ekonomi. Susunya ia produksi sendiri dari enam sapi perah miliknya. Ia mengalami kebangkrutan dan menjual harta bendanya, rumah, kendaraan, termasuk keenam sapi perahnya, akibat istrinya berutang kepada rentenir. Semula utangnya hanya sebesar 500 ribu, tapi tanpa ia sangka utangnya membengkak

menjadi 25 juta. Kini ia mengontrak sebuah rumah untuk ia tinggali bersama istrinya.Tahun 2002 ia tidak memiliki apapun. Iapun tidak bisa lagi menjual susu sapi karena sapinya telah ia jual. Ia lalu mendapat pekerjaan di PT Gas Alam di Cibinong sebagai wrapper. Satu setengah tahun kemudian ia dipindahtugaskan oleh bosnya ke 11

Bekasi. Ia satu setengah tahun kemudian ia mendapat pekerjaan di Goodyear (gujir

katanya). Pekerjaannya membongkar-muat ban -ban kontainer dan ban kapal. Setelahsetahun di Bekasi, ia dipindahkan ke Balongan lalu ke Indramayu. Setelah selama setengah tahun bekerja di sana ia kembali ke Bogor, sempat menganggur lama sampai ada yang mengajaknya berprofesi sebagai pencuci kereta. Karena gajinya kecil, ia

kemudian beralih menjadi pedagang asongan minuman.

Gambar 4 Minuman: Makin Laris Saat Kereta Mogok

Dari mengasong minuman, Amirudin bisa memperoleh penghasilan 70 sampai 80 ribu rupiah. Dari penghasilannya tersebut ia dapat mencukupi kebutuhan keluarganya

sehari-hari. Ia mulai berjualan di kereta dari pukul delapan atau sembilan pagi sampaisore. Terkadang pulang malam jika ada gangguan pada KRL ekonomi. Wilayah jelajah berjualannya Bogor Tanah Abang. Ia berharap di tahun 2012 pedagang asongan diperbolehkan berjualan di KRL commuter line meskipun jumlahnya dibatasi dan harus membayar sejumlah uang, yang penting statusnya jelas dan resmi. Indro, usia 19 tahun, tinggal di Bojong. Ia juga pedagang asongan minuman. Sama seperti Amirudin, ia juga menjual beragam minuman yang dijajakan dengan menggunakan gerobak di atas KRL ekonomi. Ia adalah salah satu dari 20 pedagang asongan di Bojong yang dikoordinir Amirudin. 12

Indro sudah empat tahun menjadi pedagang asongan minuman di KRL ekonomi. Sebelumnya ia berprofesi sebagai penyapu KRL ekonomi, servis kebersihan katanya. Bayarannya bukan dari pengelola KRL, tapi mengharap kerelaan penumpang. Menjadi penyapu KRL ekonomi ia geluti semenjak lulus Sekolah Dasar, sampai satu saat ia disarankan oleh Mas Jawir, seseorang yang dikenalnya di Cilebut, untuk ngasong minuman. Menurut Mas Jawir, kata Indro, dengan menjadi pedagang asongan ia akan dapat penghasilan lebih baik, bisa memenuhi kebutuhan hidup seharihari seperti makan, minum dan rokok, dan masih mendapat uang lebih untuk dibawa pulang. Iapun menuruti saran Mas Jawir untuk menjadi pedagang asongan minuman. Ia mengambil minuman dari Dompong, bos minuman yang dikenal Mas Jaw ir. Namun kemudian, karena setoran ke bos minuman di Cilebut seringkali kurang, ia tidak diperkenankan lagi mengambil minuman dari Dompong. Kurangnya setoran hasil penjualan minuman karena ia seringkali tertangkap petugas pengamanan khusus (Pamsus) KRL. Dulu masih ada petugas Pamsus yang suka melakukan razia pedagang asongan di KRL. Terkadang petugas tersebut berbaik hati dan membolehkan berdagang, terkadang melarang dan mengusir pedagang asongan dari KRL. Dulu kan semenjak masih ada Pamsus ditangkep -tangkepin melulu. Terus kita (kalau tertangkap) disuruh nebus sendiri (untuk bebas). Nebusnya 110 ribu, tutur

Indro.Indro kini mengambil minuman dari Mulyono, bos minuman di Bojong. Amirudin adalah koordinatornya. Sebelum menyetor atau mengambil minuman baru, ia dibantu Amirudin untuk menyortir minuman yang rusak dan menghitung jumlah setoran. Minuman yang rusak menjadi tanggungjawabnya dan dianggap minuman laku terjual yang harus disetorkan pokoknya. Dari profesinya sebagai pedagang asongan minuman, ia bisa mendapatkan penghasilan sebesar 70 ribu setiap harinya. Ia mulai berjualan dari pukul 12 siang sampai pukul 11 malam. Wilayah jelajahnya berjualannya yaitu Bogor sampai

Jayakarta (stasiun sebelum Kota).Informan saya lainnya adalah Sunaryo, usianya lebih kurang 40 sampai 45 tahun. ia adalah pedagang asongan kerupuk kulit. Ia berasal dari Pekalongan, Jawa Tengah,

dan kini tinggal di Lenteng Agung bersama enam orang lainnya yang juga berprofesisebagai pedagang asomgan kerupuk kulit. Rumah yang mereka tumpangi adalah rumah yang disediakan bos mereka untuk ditinggali. 13

Sunaryo baru dua bulan menjadi pedagang asongan kerupuk kulit. Ia menceritakan riwayat pekerjaannya sejak tahun 1990. Saat itu adalah saat pertama kali ia datang ke Jakarta untuk bekerja sebagai kuli bangunan. Lima tahun menjadi kuli bangunan tidak juga dapat mencukupi kebutuhan hidupnya dan mengubah hidupnya lebih baik. Iapun kembali ke kampungnya dan bekerja di penggilingan padi selama tiga tahun. Kemudian ia menjadi sales produk kesehatan K-Link, tapi hanya bertahan tiga bulan saja. Menjadi sales obat tidak juga dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Karena gak cukup, terus saya ke Jakarta lagi, katanya. Di Jakarta ia kembali menjadi kuli bangunan di Pondok Kelapa dan Blok M. Sehari diupah 50 ribu rupiah. Uang tersebut ia gunakan untuk makan, sewa tempat tinggal, dan rokok. Sisanya, sekitar 20 ribu rupiah, ia kirimkan ke kampung untuk biaya hidup istri dan tiga orang anaknya. Sunaryo mengeluhkan sulitnya mencari uang untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya sehari-hari di kampung. Ia ingin menyekolahkan anaknya hingga ke tingkat yang lebih tinggi. Saat ini anak tertuanya duduk di kelas tiga sekolah menengah pertama (SMP), hampir tamat, dan ia membutuhkan biaya yang besar untuk dapat melanjutkan ke tingkat sekolah menengah atas (SMA). Anaknya yang kedua duduk di kelas empat sekolah dasar (SD), dan yang bungsu baru saja masuk

taman kanak-kanak (TK).Sunaryo menggeluti profesi sebagai pedagang asongan kerupuk kulit atas saran adik iparnya. Saat ini penghasilan nya dari berjualan kerupuk kulit sekitar 50 ribu sehari. Dikurangi pengeluaran hariannya, ia bisa menyisakan 30 ribu setiap hari untuk dikirim ke istrinya di kampung. Lebih besar dari penghasilannya sebagai kuli bangunan. Meskipun demikian ia ingin seperti rekan kerjanya yang bisa menghasilkan keuntungan bersih sebesar 100 ribu setiap hari. Dengan penghasilan sebesar rekan kerjanya, ia yakin bisa membiayai sekolah anaknya ke jenjang lebih tinggi. Penghasilan rekan kerjanya yang besar, menurutnya, karena didukung oleh kemampuan rekan kerjanya menawarkan kerupuk kulit yang dijualnya dan lokasi

berjualannya di sebuah kawasan lokalisasi yang menurutnya tempat orang banyak duitdan berfoya-foya. Ia sendiri memilih lokasi mengasong di lampu merah dan KRL ekonomi antara stasiun Tanjung Barat - Depok. Sunaryo mengasong di KRL ekonomi jika di lampu merah ada razia pedagang asongan oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Di KRL ekonomi lebih kondusif untuk berjualan, namun ia harus bersaing dengan kerupuk kulit yang dijuan lebih murah oleh pedagang lain di KRL 14

ekonomi. Selain itu, berjualan di KRL ekonomi harus pandai menawarkan barang yang dijualkan agar mau dibeli penumpang, dan itu merupakan kelemahan yang dimilikinya. Wilayah jelajah untuk menjual kerupuknya masih di daerah -daerah dekat Lenteng Agung karena Ia belum terlalu paham dengan jalanan dan tempat-tempat di

Jakarta dan khawatir tersesat jika terlalu jauh .Sunaryo turun dari tempat tinggalnya dan mengasong kerupuk kulit pukul 10 atau 11 pagi, dan pulang pukul delapan atau sembilan malam. Pukul empat dini hari, ia dan keenam rekannya harus bangun untuk membungkusi kerupuk kulit, menyusunnya ke dalam kantong plastik besar. Setelah pekerjaan membungkus selesai baru ia mandi dan keluar untuk berjualan kembali. Demikian seterusnya. Ketiga informan saya di atas memiliki pengalaman hidup yang lebih kurang serupa, yaitu pernah beralih profesi dan berganti pekerjaan, dan upaya memenuhi kebutuhan hidup dan mengejar hidup yang lebih baik menjadi faktor pendorong berpindah dan beralih profesi. Mereka merasa dan memaknai hidup akan menjadi lebih baik ketika kebutuhan hidup mereka terpenuhi, bisa makan setiap hari, bisa membawa pulang uang lebih untuk orang di rumah, bisa terjamin sumber periuknya,

dan bisa menyekolahkan anak-anaknya setinggi-tingginya.

15

KRL Ekonomi: Suaka bagi Pedagang AsonganFenomena aktivitas jual beli di moda transportasi di Indonesia sudah jamak

dijumpai di hampir setiap moda transportasi di Indonesia. Di Bus antar kota antarprovinsi misalnya, ketika hendak bepergian saya acapkali menjumpai pedagang asongan yang berjualan. Setiap bus berhenti di tempat kontrol2 , sejumlah pedagang asongan langsung naik ke atas bus dan menjajakan barangnya. Ada yang menjual koran, makanan kecil, dan minuman siap saji. Ketika bus sudah siap akan melanjutkan perjalanannya, pedagang asongan tersebut segera turun dari bus. Di kapal-kapal penyeberangan antara pulau atau perahu kayu tradisional yang membawa penumpang antar daerah juga demikian. Saya seringkali menjumpai

pedagang asongan yang menjual barang dagangannya ketika kapal belum mengangkat sauh dan berlayar, atau singgah di suatu pelabuhan. Ketika kapal akan meninggalkan pelabuhan, para pedagang asongan tersebut segera turun dari kapal, tidak ikut ke

mana kapal pergi. Pedagang-pedagang asongan di bus dan kapal-kapal itumemanfaatkan masa menunggu jadwal keberangkatan moda-moda transportasi publik tersebut untuk menjual barang-barang dan keperluan penumpang di dalam perjalanan.

Gambar 5 Semua Boleh Naik Kereta

Di kereta api lintas pulau Jawa, saya juga menjumpai keberadaan pedagang asongan. Serupa dengan di bus, kapal dan perahu tradisional, pedagang asongan yang berjualan di kereta api juga berjualan ketika kereta api belum beranjak dari satu stasiun ke stasiun berikutnya. Ketika kereta api berangkat, para pedagang asongan2Tempat bus-bus singgah untuk check point, biasanya di sini petugas armada bus akan mengecek jumlah penumpang yang diangkut.

16

turun, tidak ada lagi yang berjualan di kereta hingga kemudian tiba di stasiunselanjutnya. Ada perbedaan yang mencolok antara pedagang asongan yang berjualan di bus, kapal air dan kereta api lintas pulau Jawa

dengan pedagang asongan yang berjualan Jabotabek. Jabotabek, di Di KRL KRL ekonomi ekonomi asongan

pedagang

dapat berjualan baik ketika KRLGambar 6 Transaksi Jual Beli

ekonomi berhenti dari stasiun ke stasiun maupun di sepanjang

perjalanan, berbeda dengan pedagang asongan di ketiga moda transportasi lainnya

yang hanya berjualan saat belum melakukan perjalanan atau singgah di suatu tempat.Keberadaan pedagang asongan yang senantiasa berjualan di sepanjang perjalanan KRL ekonomi bagi sebagian orang sangat mengganggu dan menimbulkan ketidaknyamanan, namun bagi saya keberadaan mereka tidak mengganggu dan kadang kala justru menjadi hiburan di perjalanan. Menurut beberapa penelitian, salah satu penentu kepuasan atau preferensi seseorang dalam bertransportasi adalah faktor

kenyamanan (Bramianto, 1996:70; Susanti, 2000:116). Berbicara tentang kenyamanan bertransportasi, salah seorang penumpang3 setengah baya KRL commuter line yangseperjalanan dengan saya dari stasiun Kalibata ke stasiun UI mengatakan bahwa dirinya merasa tidak nyaman dengan adanya pedagang asongan yang berjualan di dalam KRL ekonomi. Baginya KRL ekonomi bukan tempat berjualan , dan petugas semestinya bertindak tegas terhadap para pedagang asongan tersebut. Secara hukum, aktivitas berjualan dan keberadaan pedagang asongan di KRL ekonomi diperkenankan . Tidak ada aturan perundang-undangan yang melarang pedagang asongan untuk berjualan di dalam kereta. Undang-undang (UU) nomor 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian pasal 181 ayat (1) huruf c hanya mengatur

3 Informan belum sempat ditanya identitasnya karena harus turun di stasiun Lenteng Agung. Usia informan sekitar 50an tahun. Informan diwawancarai di dalam KRL commuter line (comline) sekitar pukul sembilan pagi. Ia memilih menggunakan KRL comline karena lebih nyaman, cepat dan tidak bikin pusing kepala.

17

larangan menggunakan jalur kereta api untuk kepentingan lain selain untuk angkutan kereta api. Kepentingan lain yang dimaksud di sini adalah penggunaan jalur kereta api yang tidak sesuai fungsinya, seperti berjualan, menggembala ternak, dan menjemur

barang.Meski tidak ada larangan berjualan di atas kereta, pengelola KRL, PT KAI Commuter Jabodetabek (KCJ), telah membuat kebijakan sendiri, yang di dalamnya termasuk melarang aktivitas berjualan di atas kereta. Tapi larangan itu hanya diberlakukan di KRL commuter line saja. Ada sepuluh larangan yang dikeluarkan PT KCJ dan disosialisasikan melalui stiker yang ditempel di dinding gerbong KRL commuter line, yakni: Demi kenyamanan dan ketertiban bersama, dilarang: duduk di lantai, membuang sampah sembarangan, membawa benda mudah terbakar, membawa senjata api/tajam tanpa izin, membawa binatang, berjualan, ngamen, makan dan minum, merokok, mencorat-coret. Terkait larangan ini, Harian Kompas pernah memberitakan upaya penertiban pedagang asongan di KRL non ekonomi (saat ini disebut KRL commuter line) oleh sejumlah Satgas Stasiun Beos, Polisi Khusus (Polsus) KA, petugas Satuan Gagah Rimang (SGR), dan Petugas Keamanan Dalam (PKD) . Berdasarkan berita Kompas4

tersebut, KRL non ekonomi memang dijaga dan dicegah agar tidak dimasuki pedagang asongan. Saya mengutip komentar nara sumber berita tersebut di sini. "Sejak dulu pedagang asongan hanya diizinkan berjualan di kereta ekonomi. Sedangkan, kereta ekspres dan kereta AC tidak boleh," kata Ajun, pedagang minuman yang sudah lebih dari 10 tahun berjualan di Stasiun Beos. Tidak jelas benar sejak kapan kegiatan berjualan di dalam KRL ekonomi ini dibolehkan dan apa pertimbangan pengelola membolehkan kegiatan berjualan di dalam KRL ekonomi. Menurut pedagang somay di stasiun UI 5, berjualan di kereta ekonomi memang dibolehkan, bukan hanya di KRL ekonomi Jabodetabek6, tapi juga di kereta api tujuan kota-kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hanya berjualan di KRL non ekonomi yang dilarang petugas. Saya pernah tinggal di Ponorogo selama tiga tahun dari 1990 sampai 1993, dan dalam setahun dua kali pergi pulang dengan kereta ke Jakarta Madiun. Setiap4 berita berjudul Petak Umpet ala Pedagang Asongan Beos, diakses di http://nasional.kompas.com/read/2011/03/16/09344336/ pada 12 Oktober 2011. 5 Diwawancarai pada pukul 7 malam pada tanggal 13 Oktober 2011. 6 Jabodetabek akronim dari Jakarta Bogor Depok Tangerang Bekasi.

18

berhenti di stasiun kereta api selalu ada pedagang asongan yang naik kereta, berjualan, dan turun di stasiun berikutnya. Begitu seterusnya sampai tiba di stasiun Senen. 12 Nopember 2011 saya melakukan perjalanan ke Semarang. Pedagang asongan tidak lagi diperbolehkan berjualan di atas kereta dari satu stasiun ke stasiun berikutnya. Pedagang asongan hanya diperbolehkan berjualan di kereta selama kereta singgah di satu stasiun, dan harus turun saat kereta akan berangkat meneruskan perjalanan. Pedagang yang berjualan di atas kereta ini memiliki izin dari pengelola stasiun, mendapatkan seragam, dan, untuk itu, harus membayar iuran. Di sini aktivitas jual beli terjadi sepanjang KRL ekonomi melakukan perjalanan. PT KCJ Tidak melarang pedagang asongan berjualan di atas KRL ekonomi. Berjualan di KRL ekonomi juga aman dari pungli yang dilakukan oknum PT KCJ maupun para preman. Setidaknya begitu informasi yang saya peroleh dari Sunaryo, bapak tiga orang anak asal Pekalongan, yang baru dua bulan berjualan kerupuk di KRL ekonomi. Ketiadaan aturan dari pemerintah dan pengelola KRL ekonomi, ketiadaan preman atau penguasa yang biasanya menarik pungutan liar (pungli) seperti di pasar dan kaki lima, bertemu dengan banyaknya penumpang yang merupakan pangsa pasar yang besar dan jelas, dan adanya permintaan penumpang akan kudapan dan minuman untuk di perjalanan, serta permintaan masyarakat atas barang-barang murah yang tidak ada di pasaran, menjadikan KRL ekonomi sebagai habitat yang baik bagi pedagang asongan untuk menjual aneka ragam barang dan jasa. Di KRL ekonomi, pedagang asongan tidak perlu khawatir bakal dikejar-kejar dan ditangkap Satpol PP, dan tak perlu waswas dikutip uang keamanan oleh preman.

19

KesimpulanBerpindah -pindah dan beralih -alih profesi dan pekerjaan adalah bagian dari cara hidup pedagang asongan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka dan keluarga. KRL ekonomi menjadi tempat paling aman dan kondusif bagi mereka untuk mencari sumber penghidupan. KRL ekonomi menjadi suaka bagi orang-orang yang terpinggirkan oleh situasi yang sulit dikendalikan para pencari nafkah ini di luar sana.

20

ReferensiBramianto, Eddy. 1996. Tesis: Preferensi Penggunaan Moda Angkutan Umum. Program Pasca Sarjana Program Studi Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia. Emerson, Robert M., Rachel I. Fretz, Linda L. Shaw. 1995. Writing Ethnographic Fieldnotes. Chicago: University of Chicago Press. Fettermen, David M. 1989. Ethnography: Step By Step. California: Sage. Hadiwinoto, Ayu Handiasti. 2010. Skripsi: Adaptasi Pedagang-pedagang Lama terhadap Eksklusi Akibat Peremajaan Pasar. Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Hardjanto, Sigid Tri. 1999. Tesis: Pedagang Kaki Lima di Pasar Regional Tanah Abang. Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Jellinek, Lea. 1994. Seperti Roda Berputar: Perubahan Sosial Sebuah Kampung di Jakarta . Jakarta: LP3ES. Murray, Alison J. 1994. Pedagang Jalanan dan Pelacur Jakarta: Sebuah Kajian Antropologi Sosial. Jakarta: LP3ES. Murchison, Julian M. 1973. Ethnography Essentials: Designing, Conducting, and Presenting Your Research. San Francisco: Jossey -Bass. Naroth, Yusuf. 1994. Tesis: Pedagang Kaki Lima dan Corak Lingkungan Pasarnya di Kawasan Palmerah. Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Parid, Apep Insan. 2003. Tesis: Respon Pedagang Kaki Lima terhadap Implementasi Kebijakan Penertiban: Studi Kasus terhadap Pedagang Kaki Lima di Jl. Merdeka, Kota Bandung. Program Pasca Sarjana Ilmu Kesejahteraan Sosial Universitas Indonesia. Parsons, Talcott. Edward A. Shils. 1962. Toward a General Theory of Action. Massachusetts: Harvard University Press. Saifuddin, Achmad Fedyani. 2011. Catatan Reflektif Antropologi Sosial Budaya: Bacaan Pendukung Alternatif Bagi Pengantar Antropologi . Jakarta: Institue Antropologi Indonesia. Sulistyanto, Arief. 1999. Tesis: Pedagang Kaki Lima di Pasar Kota Pasar Minggu. Program Pasca Sarjana Program Studi Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia. Susanti, Evi. 2000. Tesis: Analisis Kepuasan Pelanggan Kereta Api Argo Gede. Program Studi Magister Manajemen Universitas Indonesia.

21

Wiyono, Indro. 2002. Tesis: Penegakan Hukum terhadap Pedagang Asongan di Depan Gerbang Tol Kebun Jeruk. Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Internet

http://www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=322, diakses 4 oktober 2011.http://en.wikipedia.org/wiki/Bazaar#cite_note-0, diakses 4 oktober 2011. http://nasional.kompas.com/read/2011/03/16/09344336/. Petak Umpet ala Pedagang Asongan Beos. Diakses pada 12 Oktober 2011.

http://www.merriam-webster.com/dictionary/bazaar, diakses 12 Oktober 2011.http://bulletin.penataanruang.net, diakses 3 Oktober 2011.

22