BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Al-Qur’an adalah kitab suci terakhir yang diturunkan oleh Allah kepada umat manusia. Setelah Al- Qur’an selesai diturunkan, maka tidak akan ada lagi kitab suci yang diturunkan sesudahnya. Sebagai kitab suci terakhir, kaum Muslimin harus terus menjaga kesucian kitab ini sebagaimana layaknya menghormati sesuatu yang sangat berharga. Karena kitab suci ini diturunkan untuk menjadi kitab hidayah atau petunjuk bagi umat manusia, agar manusia bisa hidup selamat di dunia sampai akhirat. Penyepelean terhadap tugas ini akan membawa implikasi yang sangat serius baik bagi kehidupan kaum muslimin sendiri maupun bagi umat manusia secara keseluruhan. Jika kitab suci ini tercemar atau terkena perubahan oleh tangan-tangan manusia, maka di dunia ini sudah tidak ada lagi alat pengukur kebenaran satu ideologi dan nilai-nilai kehidupan. Sebagaimana diketahui, Al-Qur’an berfungsi sebagai alat pengontrol (muhaimin) bagi kehidupan keagamaan manusia masa lalu. Jika Al-Qur’an sudah tercemar atau 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an adalah kitab suci terakhir yang diturunkan oleh Allah kepada umat
manusia. Setelah Al-Qur’an selesai diturunkan, maka tidak akan ada lagi kitab
suci yang diturunkan sesudahnya. Sebagai kitab suci terakhir, kaum Muslimin
harus terus menjaga kesucian kitab ini sebagaimana layaknya menghormati
sesuatu yang sangat berharga. Karena kitab suci ini diturunkan untuk menjadi
kitab hidayah atau petunjuk bagi umat manusia, agar manusia bisa hidup selamat
di dunia sampai akhirat. Penyepelean terhadap tugas ini akan membawa implikasi
yang sangat serius baik bagi kehidupan kaum muslimin sendiri maupun bagi umat
manusia secara keseluruhan. Jika kitab suci ini tercemar atau terkena perubahan
oleh tangan-tangan manusia, maka di dunia ini sudah tidak ada lagi alat pengukur
kebenaran satu ideologi dan nilai-nilai kehidupan.
Sebagaimana diketahui, Al-Qur’an berfungsi sebagai alat pengontrol
(muhaimin) bagi kehidupan keagamaan manusia masa lalu. Jika Al-Qur’an sudah
tercemar atau terkena perubahan, sudah tidak lagi kitab suci berfungsi sebagai alat
pengontrol. Ketiadaan alat ukur atau pengontrol ini akan menyebabkan hilangnya
kepercayaan masyarakat terhadap kitab suci. Manusia pada akhirnya akan
memilih jalan kehidupannya sendiri tanpa ada kontrol dari sumber kebenaran,
yaitu agama yang diridlai oleh Allah. Jika hal ini berlangsung lama, maka
kehidupan akan menunju kepada kehancuran. Padahal agama diturunkan oleh
Allah adalah untuk mengarahkan manusia menuju ke jalan yang benar.
Pengalaman kaum Yahudi dan Nasrani menjadi pelajaran yang sangat
berharga bagi kita sekalian. Orang Yahudi dan Nasrani telah kehilangan sumber
ajaran mereka yang asli, karena ulah tangan-tangan yang tidak bertanggung
jawab, sehingga Kitab Taurat dan Injil tidak lagi asli sebagaimana yang
diturunkan oleh Allah kepada Nabi Musa dan Nabi Isa. Ketidakaslian kedua kitab
1
suci tersebut membawa dampak yang sangat serius dalam kehidupan keagamaan
kedua umat tersebut, antara lain adalah hambarnya hubungan antara kedua kitab
suci tersebut dengan kehidupan mereka.
Dengan demikian maka kaum Muslimin dituntut untuk terus menjaga
keaslian kitab suci Al-Qur’an dengan seluruh kemampuan yang ada, yaitu dengan
memperbanyak ahli Al-Qur’an yang selalu berkhidmat kepada Al-Qur’an, baik
dari segi redaksi, bacaan maupun penafsirannya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Mushaf Alquran?
2. Bagaimana Keragaman Penulisan al-Qur’an?
3. Penyeragaman dan standarisasi Mushaf al-Qur’an?
4. Bagaimana Penerbitan Al-Qur’an?
5. Bagaimana Etika Penerbitan Mushaf?
6. Beberapa Terbitan Mushaf?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Apa Pengertian Mushaf Alquran
2. Untuk mengetahui Bagaimana Keragaman Penulisan al-Qur’an
3. Untuk mengetahui Penyeragaman dan standarisasi Mushaf al-Qur’an
4. Untuk mengetahui Bagaimana Penerbitan Al-Qur’an
5. Untuk mengetahui Bagaimana Etika Penerbitan Mushaf
6. Untuk mengetahui Beberapa Terbitan Mushaf
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mushaf Alquran
Kata Mushaf atau Shuhuf berasal dari bahasa Arab Selatan kuno. Kata
shuhuf bentuk jamak dari shahifah yang berarti selembar bahan yang digunakan
untuk tempat menulis, tetapi berbagai lembaran tersebut masih terpisah-pisah
tidak terjilid
Mushaf al-Qur’ān adalah berbagai lembaran yang memuat catatan tentang
ayat-ayat al-Qur’ān yang masih terpisah-pisah dan tidak dijilid atau dibukukan
dalam satu buku khusus.
Jadi mushaf adalah kumpulan wahyu al-Qur’an dalam bentuk catatan
tertulis. Dalam konteks ini, jika al-Qur’an bersifat terbuka maka mushaf
merupakan wahyu tercatat yang sudah tertutup. Al-Qur’an dibaca dan dihapal
secara lisan oleh para sahabat Nabi dengan berbagai bacaan yang berbeda, baik
baris/harakat, huruf, maupun lafaz/kata. Sedangkan mushaf merupakan bacaan
dan catatan al-Qur’an menurut versi tertentu yang bentuknya sesuai dengan
pengetahuan atau kebiasaan sahabat yang mencatatnya.
Pada awalnya bentuk mushaf al-Qur’an beragam atau bermacam-macam.
Namun nantinya pada era khalifah Utsman mushaf yang beragam itu
diseragamkan menjadi satu mushaf, yang sampai saat ini dikenal sebagai Mushaf
Utsmani. Ketika standarisasi mushaf terjadi, maka dampaknya tidak sebatas
penyeragaman bentuk, tetapi juga berpengaruh terhadap pembatasan dalam
pemahaman dan keleluasaan dalam mengungkapkan bacaan al-Qur’an dan
pemaknaannya. Di sinilah Arkoun menegaskan bahwa penyeragaman mushaf
sebenarnya berakibat kepada upaya penyeragaman pemahaman, dan lebih jauh
lagi pembakuan mushaf tersebut juga dapat berakibat kepada pembekuan
pemikiran.
3
B. Keragaman Penulisan al-Qur’an
Catatan-catatan al-Qur’ān dari masa Rasul SAW yang masih berserakan
dikumpulkan oleh Zaid ibn Tsabit atas instruksi Khalifah Abu Bakar Shiddiq.
Kumpulan catatan tersebut dinamakan Mushaf. Setelah wafatnya Abu Bakar,
maka mushaf tsb disimpan oleh Umar. Ketika Umar meninggal, maka mushaf tsb
disimpan oleh Hafshah binti ‘Umar bin Khaththab.
Di samping itu, banyak sahabat yang mencatat ayat-ayat al-Qur’ān sejak
masa Nabi, bahkan mereka mengumpulkannya dan menjadikannya sebagai
mushaf. Catatan-catatan tersebut mereka simpan untuk mereka masing-masing,
atau untuk mereka gunakan dalam pengajaran agama Islam. Mushaf-mushaf yang
terkenal a.l. mushaf Ali bin Abi Thalib, mushaf Ubay bin Ka’ab, mushaf
Abdullah ibn Mas’ud, mushaf Zaid ibn Tsabit, dll.
C. Penyeragaman dan standarisasi Mushaf al-Qur’an
Dalam perkembangannya pada masa belakangan, jauh setelah era Nabi dan
sahabat besar, perbedaan mushaf di atas menyebabkan sering terjadi perselisihan
di kalangan masyarakat muslim yang fanatis terhadap mushaf dengan berbagai
bacaan atau urutan surat yang ada di dalamnya. Tidak jarang satu sama lain sering
saling menyalahkan, dan mengklaim bacaan al-Qur’ān versi mereka sebagai
bacaan paling benar. Bahkan terjadi umat Islam yang salat berkelompok-
kelompok dalam satu masjid, sesuai dengan bacaan mushaf masing-masing.
Situasi demikian berpotensi terjadinya perpecahan di antara umat Islam.
Catatan penting memperlihatkan perselisihan bahkan konflik banyak terjadi
di kalangan orang-orang yang tidak tahu dengan sejarah masa Nabi dan sahabat.
Padahal pada masa awal itu, pembacaan al-Qur’ān dan penulisannya sangat
fleksibel dan moderat. Namun bagi orang belakangan yg tidak menyadari
kelonggaran pada masa awal Islam dan kurangnya pengetahuan justru
menganggapnya masalah dan perpecahan. Kondisi perbedaan demikian, terutama
terjadi di daerah-daerah yang jauh dari pusat pemerintahan di Madinah atau di
4
Makkah, atau di kalangan umat Islam yang banyak masih baru memeluk Islam
atau jarang bertemu dengan banyak sahabat Nabi yang lain. Misalnya dalam
peperangan di Armenia, umat Islam bertengkar karena dalam salat ada yang
membaca “Wa atimmul hajja wal ‘umrata lillah” dan ada yang membaca “Wa
atimmul hajja wal ‘umrata lil bait”.
Situasi demikan, mendorong Huzaifah al-Yamani mengusulkan kepada
Khalifah Utsman ibn ‘Affan agar menyatukan semua mushaf yang ada dan
membaca mushaf tersebut hanya dengan satu macam bacaan. Dalam suatu
riwayat dinyatakan bahwa para sahabat setuju dengan gagasan itu kecuali Ibn
Mas’ud yang menolaknya.
Komite penyeragaman mushaf lalu dibentuk oleh Utsman di bawah pimpinan
Zaid ibn Tsabit, seorang yang dianggap paling bagus tulisannya dan tergolong
muda saat itu. Sedangkan Ibn Mas’ud yang merasa lebih banyak mengetahui
tentang seluk beluk al-Qur’ān jelas tidak setuju dengan penyeragaman, apalagi
ketika ibn Tsabit yang ditunjuk sebagai ketua komite. Ibn Mas’ud menilai
penyeragaman hanya akan mematikan keleluasaan dan kemudahan umat dalam
membaca dan memahami al-Qur’an yang telah dibolehkan oleh Nabi SAW sejak
masa awal. Namun karena keputusan akhir dan kekuasaan ada di tangah Khalifah
Utsman, maka upaya penyeragaman mushaf al-Qur’an terus dijalankan. Untuk
mempermudah dan memperketat hasil, maka kegiatan tersebut dibimbing oleh
Ubay ibn Ka’ab, Malik ibn Abi ‘Amir, Anas ibn Malik, dll
Penyatuan mushaf ini mulai terjadi pada tahun 25 H, pada tahun ke 2
atau ke 3 dari kekhilafahan Utsman Hasilnya adalah tersusunnya mushaf standar
yang menjadi acuan satu-satunya bagi seluruh umat Islam. Mushaf standar ini
dinamakan Mushaf Utsmani atau Mushaf al-Imam. Semua mushaf lainnya yang
berbeda dari mushaf standar ini harus dimusnahkan dengan cara dibaka
5
D. Penerbitan Al-Qur’an
Pada masa Nabi, Al-Qur’an telah ditulis keseluruhan oleh para sahabat
penulis wahyu. Namun masih berserakan di benda-benda yang bisa ditulis seperti
kulit binatang, pelepah kurma, batu-batu putih yang tipis, tulang-belulang, dan
lain sebagainya. Lalu pada masa Abu Bakar Al-Qur’an ditulis dalam satu mushaf
yang sudah berurutan ayat dan surahnya. Namun belum ada titik, harakat (baris),