Top Banner
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) adalah sekumpulan bidang ilmu yang sampai saat ini dianggap momok bagi siswa / mahasiswa, baik di tingkat SD, SMP, SMA, bahkan di Perguruan Tinggi. Hal ini karena MIPA menelaah dan mempelajari konsep-konsep yang sebagian besar abstrak dan sulit dibayangkan. Selain dari segi substansi MIPA itu sendiri, yang menyebabkan banyak siswa / mahasiswa ketakutan terhadap pelajaran MIPA salah satunya karena hampir sebagian besar guru / dosen MIPA berpenampilan serius dalam mengajar, terkesan galak dan killer. Sikap, penampilan, dan performance seorang dosen MIPA (khususnya) yang demikian kemungkinan disebabkan substansi ilmu MIPA yang memang untuk mengajarkan dan menanamkan kepada mahasiswa perlu keseriusan yang tinggi. Namun sebenarnya, diantara keseriusan itu dapat diselingi dengan berbagai aktivitas yang berfungsi untuk menarik perhatian mahasiswa dan mengendorkan syaraf mereka yang tegang. Penelitian yang dilakukan E. J. Thomas tahun 1972 (Tjipto Utomo dkk., 1994 : 185) menunjukkan peserta didik akan mengalami penurunan konsentrasi pada menit
50

EQ Pria Wanita

Aug 13, 2015

Download

Documents

relida
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) adalah sekumpulan bidang ilmu yang sampai saat ini dianggap momok bagi siswa / mahasiswa, baik di tingkat SD, SMP, SMA, bahkan di Perguruan Tinggi. Hal ini karena MIPA menelaah dan mempelajari konsep-konsep yang sebagian besar abstrak dan sulit dibayangkan. Selain dari segi substansi MIPA itu sendiri, yang menyebabkan banyak siswa / mahasiswa ketakutan terhadap pelajaran MIPA salah satunya karena hampir sebagian besar guru / dosen MIPA berpenampilan serius dalam mengajar, terkesan galak dan killer. Sikap, penampilan, dan performance seorang dosen MIPA (khususnya) yang demikian kemungkinan disebabkan substansi ilmu MIPA yang memang untuk mengajarkan dan menanamkan kepada mahasiswa perlu keseriusan yang tinggi. Namun sebenarnya, diantara keseriusan itu dapat diselingi dengan berbagai aktivitas yang berfungsi untuk menarik perhatian mahasiswa dan mengendorkan syaraf mereka yang tegang. Penelitian yang dilakukan E. J. Thomas tahun 1972 (Tjipto Utomo dkk., 1994 : 185) menunjukkan peserta didik akan mengalami penurunan konsentrasi pada menit ke-15, sehingga bila seorang pendidik tidak menyadarinya konsentrasi peserta didik makin menurun dan akhirnya hanya sebagian kecil materi yang dapat dipahami oleh mereka. Hal ini bila dihubungkan dengan pembelajaran MIPA dimana materinya banyak berisi tentang perhitungan dan konsep-konsep abstrak yang relatif kurang menarik, maka ketika dosen mengajar terlalu serius tidak akan efektif untuk menanamkan pemahaman mahasiswa. Dosen perlu memberikan berbagai variasi dalam pembelajaran MIPA agar konsentrasi yang menurun dan syaraf yang tegang dapat dipulihkan kembali. Sebagian besar dosen MIPA umumnya memiliki tingkat kecerdasan intelektual (II = Intellectual Intelligence) yang relatif tinggi yang dinyatakan dengan besarnya IQ (Intelligence Quotient), karena penguasaan materi MIPA

sangat memerlukan logika / penalaran berpikir yang tinggi. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, ada temuan baru yang menyatakan bahwa selain IQ terdapat satu faktor yang juga berpengaruh dan berinteraksi secara dinamis dengan IQ, yang dikenal dengan kecerdasan emosional (EQ). Lawrence E. Shapiro (1997 : 5 - 6) menyatakan bahwa EQ dapat membuat seseorang menjadi bersemangat tinggi dalam bekerja, disukai dalam pergaulan, bertanggung jawab, peduli orang lain, dan produktif. Kualitas emosional meliputi : empati, mengungkapkan dan memahami perasaan, mengendalikan amarah, kemandirian, kemampuan menyesuaikan diri, disukai, kemampuan menyelesaikan masalah antar pribadi, ketekunan, kesetiakawanan, keramahan, dan sikap hormat. Bila memang EQ merupakan faktor pendukung keberhasilan seseorang dalam bekerja, maka seorang dosen sangat tepat kalau memiliki kualitas emosional tersebut. Sebagai contoh, dosen harus mampu mengendalikan amarah, sebab dosen yang mengajar dengan marah tidak akan berhasil mengubah mahasiswanya menjadi pandai, bahkan mungkin sebaliknya. Demikian pula jika dosen tidak menunjukkan keramahan, bagaimana mungkin mahasiswa berani bertanya dalam kelas. Menurut Muchalal (2000 : 3), guru maupun dosen harus dapat berperan seperti aktor, kapan ia harus serius dan harus bercanda agar suasana pembelajaran menjadi menyenangkan. Seperti diketahui, bahwa otak kita terdiri dari dua bagian, yaitu otak sebelah kanan dan otak sebelah kiri. Otak kanan berperan dalam perkembangan fungsi otak yang berkaitan dengan musik, gambar, warna, imajinasi, kreativitas, emosi, perasaan, sedangkan otak sebelah kiri berperan dalam perkembangan fungsi otak yang berkaitan dengan logika, kata / bahasa, matematika, urutan. Secara umum dinyatakan bahwa laki-laki lebih banyak mengembangkan fungsi otak sebelah kiri, sedangkan perempuan sebaliknya banyak mengembangkan fungsi otak sebelah kanan. Oleh karena itu, anggapan yang muncul bahwa perempuan memiliki kecerdasan emosional yang lebih tinggi dibandingkan lakilaki. Hal ini karena kecerdasan emosional berkaitan dengan fungsi otak sebelah kanan. Terlebih lagi bagi dosen MIPA laki-laki yang setiap hari bergelut dengan

2

logika, nalar, dan rasional, tentu pemikiran sebagian orang akan mengarah pada semakin rendahnya kecerdasan emosional mereka. Sebaliknya, bagi dosen MIPA perempuan, meskipun bidang ilmu yang digeluti sama, tetapi tentunya tentang hal yang berkaitan dengan emosional mereka lebih menonjol. Namun demikian, apakah itu berarti dosen MIPA perempuan semua memiliki EQ lebih tinggi daripada laki-laki. Hal itulah yang sangat menarik untuk diteliti kebenarannya. Oleh karena itulah, maka akan dilakukan penelitian yang bertujuan untuk melihat seberapa tinggi tingkat kecerdasan emosional (EQ) dosen-dosen MIPA laki-laki dan perempuan yang mengajar di beberapa Perguruan tinggi yang ada di Yogyakarta dan sekaligus membuktikan benar tidaknya bahwa EQ dosen MIPA perempuan lebih tinggi daripada dosen MIPA laki-laki. Apabila penelitian ini berhasil membuktikan tidak adanya pengaruh jenis kelamin terhadap besarnya EQ, maka berarti hasil penelitian ini dapat menjadi informasi penting bagi dosendosen MIPA khususnya, bahwa EQ seorang dosen tidak dapat dilihat dari jenis kelamin, tetapi sangat tergantung pada individu masing-masing. B. Permususan dan Batasan Masalah Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan dalam pendahuluan, maka dapat dirumuskan masalah : 1. Seberapa tinggi tingkat kecerdasan emosional (EQ) yang dimiliki oleh dosen MIPA laki-laki dan perempuan dari berbagai Perguruan Tinggi di Yogyakarta ? 2. Adakah perbedaan kecerdasan emosional (EQ) antara dosen MIPA laki-laki dengan perempuan dari berbagai Perguruan Tinggi di Yogyakarta ? Masalah perlu dibatasi agar tidak terjadi kesalahan persepsi dan perluasan permasalahan yang diteliti. Adapun masalah dibatasi dalam hal : 1. Penelitian ini dilakukan terhadap dosen-dosen MIPA laki-laki dan perempuan dari berbagai Perguruan Tinggi di Yogyakarta, yaitu Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Universitas Gajah Mada (UGM), Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Universitas Pembangunan Nasional (UPN), Universitas Islam Indonesia (UII), Universitas Sanata Dharma (USD), dan Universitas Islam Negeri (UIN).

3

2. Dosen MIPA yang dimaksud adalah dosen yang mengampu mata kuliah yang termasuk dalam lingkup matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, dan tidak harus di bawah Fakultas MIPA. 2. EQ adalah Emotional Quotient, yaitu besarnya kecerdasan emosional (EI = Emotional Intelligence) seseorang. Dalam penelitian ini menggunakan istilah EQ bukan EI karena menunjuk langsung pada hasil tes kecerdasan emosional sampel menggunakan angket. 3. Aspek kecerdasan emosional (EQ) yang diteliti meliputi kemampuan untuk : mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, dan membina hubungan. Masing-masing aspek dijabarkan dalam bentuk pernyataan-pernyataan dalam lembar angket, yang akan diisi oleh sampel sebagai responden. 3. Skor kecerdasan emosional (EQ) dari dosen MIPA laki-laki dan perempuan yang diperoleh lalu dilihat ada tidaknya perbedaan dengan menggunakan analisis statistik ANAVA A (Anava satu jalur).

4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pendidikan Matematika Matematika yang diajarkan di berbagai jenjang pendidikan berdiri atas aspek prosedural dan aspek konseptual. Aspek prosedural meliputi pengetahuan tentang komputasi, prosedur, algoritma, dan definisi, sedangkan aspek konseptual meliputi pengetahuan tentang struktur matematika yang memberi makna terhadap prosedur-prosedur (aturan-aturan) matematika tersebut (Borko, 1992 : 194 222). Revolusi besar telah dilahirkan di Amerika Serikat sejak tahun 50-an dalam hal pengajaran matematika yang dampaknya dirasakan seluruh duinia, yaitu Gerakan Matematika Baru (GMB) dan Gerakan Back to Basics (GBB). Matematika baru berasumsi bahwa setiap mata pelajaran dapat diajarkan pada setiap perkembangan anak dimana ketika mereka mengetahui sesuatu berarti juga mengetahui strukturnya. Saat itu memang ada kecenderungan mengurangi belajar menghafal, sehingga gerakan ini disambut gembira oleh sebagian besar orang. Namun pada pelaksanaan kurikulum matematika baru ini terdapat kecenderungan penekanan yang berlebihan pada penguasaan konsep dengan mengabaikan kemampuan berhitung. Akhirnya GMB ini menimbulkan kecemasan orangtua dan guru / dosen seiring dengan menurunnya kemampuan berhitung anak mereka. Muncullah GBB yang melahirkan sekolah program 3R (Reading riting Rithmetics) (Vinner, 1991). Namun dalam perkembangannya banyak yang menyalahartikan arti basics sebagai cara untuk kembali belajar menghafal. Menurut Reisman (1981) menyatakan bahwa back to basics dalam pengajaran matematika tidak berarti kembali kepada belajar menghafal, tetapi basics di sini berarti mengajarkan keterampilan dasar matematika, seperti : pemecahan masalah, penggunaan matematika dalam kehidupan sehari-hari, keterampilan berhitung, geometri, penguasaan komputer, dan lain-lain. Melihat demikian rumitnya isi / materi matematika, maka sangat tidak mungkin seorang dosen dapat berhasil mengajar dengan cara kekerasan dan

5

ketegangan. Dosen perlu sabar dalam menanamkan basics tersebut agar mahasiswa benar-benar memiliki pondasi matematika yang kuat. Oleh karena itulah selain IQ yang harus tinggi, sangat diperlukan EQ yang tinggi pula agar dosen dapat mengendalikan (mengelola) emosi diri dan emosi mahasiswanya sehingga terbina hubungan yang harmonis dalam pembelajaran. B. Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam Sejak diluncurkan Sputnik oleh Rusia, Amerika juga tidak ketinggalam melakukan reformasi kurikulum, yang juga diikuti oleh Inggris dan beberapa negara lain. Di Amerika muncul istilah IPA Baru (Gunstone, 1991 : 911 - 918). Kurikulum IPA Baru ini menekankan pada struktur dan proses penemuan ilmiah seperti yang dikemukakan Bruner. Maksud dari IPA Baru ini adalah materi pelajaran dibahas secara mendalam dan metode penemuan digunakan sebagai landasan pengembangan pembelajaran. Generasi pertama Kurikulum IPA Baru di Amerika Serikat mengutamakan materi pelajaran, generasi kedua mengutamakan materi pelajaran, metode pembelajaran, dan cara belajar peserta didik. Jika pada mulanya para ahli IPA yang dominan, maka adanya IPA Baru ini guru / dosen IPA, ahli psikologi pendidikan, dan teknologi pendidikan-lah yang dominan. Gerakan IPA Baru ini juga sampai pengaruhnya di Indonesia. Hal ini berarti peran dan fungsi guru / dosen dalam membawa siswa / mahasiswa menuju keberhasilan belajar IPA kembali menjadi tanggungjawabnya. Ada satu hal yang menarik, bahwa ahli psikologi juga diharapkan perannya dalam pembelajaran, sebab dalam pembelajaran perlu kondisi optimal dalam diri siswa / mahasiswa, baik menyangkut fisik, mental, dan emosional. Seorang dosen yang mampu mengenali emosi mahasiswanya berarti ia juga mampu bertindak sebagai ahli psikologi bagi mahasiswa. Kemampuan mengenali emosi mahasiswa termasuk salah satu kualitas EQ. C. Kecerdasan Emosional Istilah kecerdasan emosional pertama kali dikemukakan oleh psikolog Peter Saloveny dari Harvard university dan John Mayer dari Universitas of New

6

Hampshire pada tahun 1990 yang bertujuan untuk menjelaskan kualitas-kualitas emosional yang penting bagi keberhasilan seseorang. Kualitas tersebut meliputi : empati, mengungkapkan dan memahami perasaan, mengendalikan amarah, kemandirian, kemampuan menyesuaikan diri, disukai, kemampuan menyelesaikan masalah antar pribadi, ketekunan, kesetiakawanan, keramahan, dan sikap hormat (Lawrence E. Shapiro, 1997 : 5). Saloveny dan Mayer mula-mula mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan dan emosi, baik emosi diri sendiri maupun orang lain, memilah-milah semuanya, dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan (Lawrence E. Shapiro, 1997 : 8). Pendapat lain dikemukakan oleh Daniel Goleman (2001 : 512) yang menyatakan bahwa kecerdasan emosional atau Emotional Intelligence (EI) merujuk pada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan dalam hubungannya dengan orang lain. Dengan demikian EI mencakup kemampuan-kemampuan yang berbeda tetapi saling melengkapi dengan IQ. Berdasarkan pendapat ini, maka seseorang dianggap ideal jika dapat menguasai keterampilan kognitif (daya pikir), sekaligus keterampilan sosial dan emosional. Ciri-ciri kecerdasan emosional menurut Goleman (2002 : 45) diantaranya : memiliki kemampuan dalam memotivasi diri sendiri, bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati, tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati, menjaga agar beban stres tidak mengurangi kemampuan berpikir, berempati, dan berdoa. Lebih lanjut Goleman (2002 : xiii) menyatakan aspek-aspek kecerdasan emosional mencakup kemampuan berikut ini : 1. Pengendalian Diri Kemampuan seseorang untuk mengelola emosi atau keinginan-keinginan hati yang dapat mempengaruhi dalam segala tindakan, sehingga segala tindakan yang dilakukannya tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain. 2. Semangat dan Ketekunan Sikap yang menunjukkan kesungguhan, ketelitian, dan kegigihan seseorang dalam menghadapi suatu tantangan sehingga tercapai tujuan yang diinginkan.

7

3. Memotivasi Diri Sendiri Kemampuan seseorang untuk mengarahkan emosinya sehingga memudahkan dalam pencapaian sesuatu yang menjadi standar bagi keberhasilan atau kesuksesan hidup. Aspek-aspek kecerdasan emosional tersebut selanjutnya diperluas menjadi beberapa kemampuan yang lain yang menurut Solovey (Goleman, 2002 : 57 59) merupakan kemampuan utama, yaitu kemampuan untuk : 1. Mengenali Emosi Diri Kesadaran diri mengenali perasaan itu terjadi. Kemampuan untuk mengetahui perasaan setiap saat merupakan hal penting bagi wawasan psikologis dan pemahaman diri. Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan dapat membuat kita berada dalam kekuasaan perasaan. 2. Mengelola Emosi Menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan tepat merupakan kecakapan yang bergantung pada kesadaran diri. Kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan. Orang yang memiliki kemampuan ini dapat bangkit kembali dengan cepat dari kemerosotan atau kejatuhan dalam hidup. 3. Memotivasi Diri Sendiri Mengatur emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal yang sangat penting yang berkaitan dengan memberikan perhatian, memotivasi diri sendiri, dan menguasai diri sendiri, dan untuk berkreasi. Menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati adalah landasan keberhasilan dalam berbagai bidang. Orang-orang yang memiliki keterampilan ini cenderung jauh lebih produktif dan efektif dalam berbagai bidang. 4. Mengenali Emosi Orang lain Empati merupakan keterampilan dasar dalam berinteraksi dengan orang lain. Orang yang memiliki sifat empati berarti memiliki kemampuan yang lebih untuk mengungkap gejala-gejala sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apapun yang dibutuhkan atau dikehendaki orang lain.

8

5. Membina Hubungan Kemampuan dalam mengelola emosi orang lain. Kemampuan ini menunjang popularitas, kepemimpinan, dan keberhasilan antar pribadi. Menurut Suharsono (2004 : 120 121), kecerdasan emosional tidak hanya berfungsi untuk pengendalian diri, tetapi juga mencerminkan kemampuan dalam mengelola ide, konsep, karya, maupun produk. Ada banyak keuntungan bila seseorang memiliki kecerdasan emosional secara memadai, diantaranya : 1. Mampu menjadi alat untuk pengendalian diri, sehingga seseorang tidak terjerumus ke dalam tindakan-tindakan bodoh yang merugikan diri sendiri maupun orang lain. 2. 3. Dapat Modal diimplementasikan penting bagi sebagai seseorang cara untuk untuk memasarkan atau bakat membesarkan ide, konsep, bahkan produk. mengembangkan kepemimpinan dalam bidang apapun. Berdasarkan uraian tentang definisi dan kemampuan apa saja yang termasuk kecerdasan emosional tersebut, maka dapat dipahami mengapa seorang dosen MIPA sangt penting untuk memiliki EQ yang tinggi. Sebagai contoh, dosen yang mampu mengelola emosi akan mengerjakan tugas mengajarnya dengan lebih baik, karena ia tahu tidak perlu selalu murung, cemas, tersinggung dengan profesinya sebagai dosen. Seperti diketahui dosen masih banyak yang tidak mampu menunjukkan kemampuan mengajarnya secara optimal karena beralasan pada gajinya yang relatif rendah, tetapi bila ia memiliki kemampuan mengelola diri akan dapat mengesampingkan hal itu, sehingga lebih bersemangat dan tekun dalam bekerja. Para ahli mengakui pengaruh kecerdasan emosional sangat besar terhadap kesuksesan hidup. Namun sangat berbeda dengan tes IQ yang sudah sangat terkenal, sampai sekarang belum ada tes tertulis yang menghasilkan nilai EQ (Goleman, 2002 : 60). Pengukuran EQ pada penelitian ini menggunakan angket yang dijabarkan berdasarkan aspek-aspek kecerdasan emosional yang dikemukakan Solovey yang sudah dikemukakan di atas. Seseorang dikatakan memiliki EQ yang tinggi bila dalam dirinya terkandung aspek-aspek tersebut.

9

D. Profesi Dosen Salah satu indikator dari suatu profesi adalah adanya keterampilan kerja. Namun, tidak setiap orang yang memiliki keterampilan kerja pada sesuatu bidang dipandang sebagai seorang profesional. Tingkatan keterampilan kerja ada dua, yaitu keterampilan teknis (keterampilan vokasional), yaitu keterampilan yang tidak perlu didukung konsep atau teori tertentu yang diperoleh dari suatu jenjang pendidikan tinggi, dan keterampilan profesional yang perlu didukung oleh konsep dan teori tertentu yang harus dikuasai melalui jenjang pendidikan tinggi. Dosen (sebutan guru di Perguruan Tinggi) merupakan keterampilan profesional yang untuk menyandang profesi tersebut harus menempuh jenjang pendidikan tinggi pada program studi kependidikan (Mohamad Ali, 1984 : 31-34). Pada saat ini profesi dosen merupakan sesuatu yang ideal bila dibandingkan dengan profesi lain. Bila seorang dokter dapat menjalankan tugasnya sebagai dokter dengan prosedur kerja dan teknik yang baku dapat mendapatkan hasil yang jelas dan tepat, maka hal ini tidak ditemui pada profesi dosen. Meskipun dosen memiliki bekal pengetahuan tentang bagaimana menghadapi mahasiswa yang bermasalah dan bagaimana mengelola kelas yang baik, namun bila diterapkan belum tentu diperoleh hasil yang diharapkan. Suatu cara yang cocok digunakan untuk mengajar materi tertentu belum tentu cocok untuk materi yang lain. Demikian pula di tangan seorang dosen mungkin suatu metode efektif, tetapi di tangan dosen yang lain mungkin tidak efektif. Hal inilah yang menyebabkan profesi dosen merupakan profesi yang sangat sulit & tidak semua orang pandai yang bergelar sarjana bisa menjadi dosen. Bekal yang harus dimiliki dosen bukan hanya ilmu pengetahuan, tetapi lebih dari itu diperlukan dasar-dasar ilmu kependidikan yang memadai agar dapat digunakan dalam menghadapi peserta didik. Hal ini disebabkan dosen bukan hanya seorang pemindah ilmu dari dirinya kepada anak didik, tetapi harus pula mampu mengelola dan mengatur seluruh komponen dalam sistem pembelajaran sedemikian rupa sehingga proses transfer ilmu dapat berjalan dengan baik. Dengan demikian akan terjadi perubahan dalam diri mahasiswa dari tidak tahu menjadi tahu dan dari tingkah laku yang kurang baik menjadi baik.

10

Selain harus pandai yang ditunjukkan dengan penguasaan bidang ilmu yang diajarkan, seorang dosen harus memiliki keceedasan emosional yang memadai agar dapat membawa mahasiswanya ke arah keberhasilan. Seorang dosen harus peduli pada keadaan mahasiswanya, harus mengenali keadaan mahasiswanya setiap saat, harus mampu mengendalikan emosinya ketika mahasiswa berperilaku yang tidak berkenan bagi dirinya, harus empati pada semua mahasiswa, harus mampu membina hubungan yang baik dengan mahasiswa, dan harus mampu memotivasi diri sendiri agar terus berkarya dan berkreasi. Semua kemampuan itu termasuk kecerdasan emosional yang merupakan syarat mutlak bagi dosen agar profesional dalam profesinya. Terlebih bagi dosen MIPA, yang sebagian telaah ilmunya sangat sulit, rumit, dan kompleks, bila tidak sabar dalam mengelola kelas, maka mustahil keberhasilan mahasiswa dapat tercapai. Ada satu peristiwa di Amerika Serikat yang ada kaitannya dengan profesi guru, yaitu pada tahun 1948. Ketika itu banyak pasien masuk ke rumah sakit besar di Amerika Serikat, ternyata yang menderita gangguan mental 17% pasien dokter, 19% petani, 30% dokter gigi, 36% ahli hukum dan ibu rumahtangga, dan 55% guru ! (Nasution, 1982 ; 121). Kenyataan ini sangat mengejutkan, karena persentase terbesar penderita gangguan mental adalah guru. Hal ini kemungkinan besar disebabkan karena pekerjaan sebagai guru seringkali menimbulkan ketegangan dan frustasi. Guru yang demikian itu pastilah guru yang tidak dapat mengenali emosi diri dan orang lain, tidak mampu berempati terhadap keadaan orang lain, selalu mengedepankan emosi dibandingkan rasionalnya, tidak mampu mengelola emosi dengan baik. Dengan adanya penemuan tentang kecerdasan emosional saat ini, tentunya peristiwa tahun 1948 tersebut tidak akan terulang lagi, karena guru dan dosen diharapkan mampu mengenali dan memiliki EQ yang memadai berkaitan dengan profesinya yang rawan ketegangan, kecemasan, dan emosi. E. Jenis Kelamin Masalah jenis kelamin sebenarnya masalah kodrati, namun pembahasan tentang jenis kelamin tetap banyak dilakukan oleh para ahli dari berbagai bidang ilmu sampai sekarang. Secara fisik bentuk perempuan dan laki-laki memang

11

berbeda, sehingga eksistensi dan sifat-sifatnyapun berbeda. Perbedaan ini tetap ada meskipun struktur sosial dan norma tradisional berubah. Hal ini bila dikaitkan dengan profesi dosen yang kenyataannya digeluti oleh kaum perempuan dan lakilaki, tentu saja akan berpengaruh dalam proses pembelajaran. Perempuan cenderung memiliki kemampuan dan minat terhadap soalsoal yang praktis dan konkrit, sedangkan laki-laki memiliki kemampuan berpikir abstrak (Kartini Kartono, 1977 : 181). Selain itu perempuan lebih bersifat heterosentris, sosial, dan emosional, sehingga profesi guru merupakan salah satu bidang pekerjaan yang amat sesuai digeluti perempuan. Perempuan memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam tugas-tugas yang memerlukan orientasi verbal dan pekerjaan praktis konkrit, sedangkan laki-laki memiliki kelebihan berupa kemampuannya dalam tugas-tugas yang memerlukan kemampuan kuantitatif, berpikir abstrak dan matematis, Secara umum laki-laki memiliki inteligensi lebih tinggi daripada perempuan (Lynn, 2002 : 27). Jika dihubungkan dengan karakteristik MIPA yang sebagian besar berisi konsep abstrak dan mengandung banyak hitungan, maka nampaknya dosen MIPA laki-laki akan lebih berhasil dibandingkan dosen MIPA perempuan. Namun seperti diketahui bahwa keberhasilan mengajar tidak semata-mata ditentukan oleh penguasaan bidang ilmu, tetapi masih banyak faktor lain yang berpengaruh, diantaranya adalah penguasaan ilmu keguruan, tingkat EQ dan SQ.

12

BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN A. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : 1. tingkat kecerdasan emosional (EQ) yang dimiliki oleh dosen MIPA laki-laki dan perempuan dari berbagai Perguruan Tinggi di Yogyakarta. 2. Ada tidaknya perbedaan kecerdasan emosional (EQ) antara dosen MIPA lakilaki dengan perempuan dari berbagai Perguruan Tinggi di Yogyakarta. B. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi: 1. 2. Peneliti, sebagai latihan melakukan penelitian Dosen pada umumnya, sebagai bahan permbelajaran bagi dosen untuk evaluasi diri dalam menggeluti profesinya sehingga dapat bekerja secara profesional 3. Civitas akademika, sebagai bahan pertimbangan penentuan kebijakan yang berkaitan dengan gender.

13

BAB IV METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian Penelitian ini termasuk penelitian ex post facto, karena tidak ada perlakuan maupun pengkondisian khusus pada sampel maupun populasi. Adapun variabel yang akan diteliti adalah kecerdasan emosional (EQ) dosen MIPA laki-laki dan perempuan dari berbagai Perguruan Tinggi di Yogyakarta. B. Definisi Operasional Variabel Penelitian Variabel dalam penelitian ini adalah kecerdasan emosional (EQ) dosen MIPA laki-laki dan perempuan dari berbagai Perguruan Tinggi di Yogyakarta. Kecerdasan emosional (EQ) yang dimaksud adalah skor kecerdasan emosional yang diperoleh setelah dosen-dosen yang menjadi sampel menjawab pernyataan yang ada dalam lembar angket kecerdasan emosional yang berisi tentang aspekaspek kecerdasan emosional, yaitu kemampuan untuk : mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, dan membina hubungan. C. Populasi dan Sampel Penelitian 1. Populasi Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh dosen MIPA yang berasal dari Perguruan Tinggi UNY, UGM, UMY, UAD, UPN, UII, USD, UIN Yogyakarta. 2. Sampel Penelitian Sampel dalam penelitian ini sebanyak 20 dosen untuk setiap Perguruan Tinggi, sehingga jumlah sampel seluruhnya sebanyak 160 dosen. Sampel diambil secara purpossive random sampling, artinya pengambilan sampel dengan mempertimbangkan rasio jenis kelamin dosen (laki-laki dan perempuan) untuk setiap Perguruan Tinggi yang termasuk dalam populasi.

14

D. Instrumen Penelitian Pada penelitian ini digunakan satu instrumen berupa angket yang diadaptasi dari penelitian Ridwan Saptoto (2002) sehingga perlu divalidasi. Angket divalidasi logis, artinya secara logis butir-butir pernyataan tersebut telah memenuhi syarat sebagai instrumen, karena pernyataan dijabarkan dari aspekaspek kecerdasan emosional (EQ) yang diambil dari sumber acuan. Angket kecerdasan emosional terdiri dari pernyataan positif dan negatif yang dijabarkan dari aspek-aspek kecerdasan emosional yang dikemukakan Solovey (Goleman, 2002 : 57 59) yaitu kemampuan untuk : mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, dan membina hubungan. Adapun kisi-kisi angket tersebut sebagai berikut : Tabel 1. Kisi-kisi Angket Kecerdasan Emosional No. 1. 2. 3. 4. 5. Aspek Kecerdasan Emosional Kemampuan untuk mengenali emosi diri Kemampuan untuk mengelola emosi diri Kemampuan untuk memotivasi diri sendiri Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain Kemampuan untuk membina hubungan JUMLAH Pernyataan Positif Negatif 23, 41, 47, 6, 17, 37, 52, 54, 60 38, 42, 48 2, 22, 27, 3, 7, 10, 19, 50, 51, 56 36, 44 11, 13, 18, 4, 5, 30, 32, 24, 53, 58 35, 43 9, 15, 20, 1, 8, 12, 31, 21, 49, 55 34, 39 16, 28, 29, 14, 25, 26, 33, 45, 59 40, 46, 57 30 30 Jumlah 12 12 12 12 12 60

Setiap pernyataan terdapat 5 jawaban pilihan, yaitu Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Pasti (TP), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Pernyataan positif diberi skor 5, 4, 3, 2, 1 dan pernyataan negatif sebaliknya. Angket selengkapnya terdapat pada Lampiran 3. E. Teknik Pengumpulan Data Data berupa skor total kecerdasan emosional dari setiap dosen yang menjadi sampel sesuai dengan jumlah skor jawaban setiap pernyataan. Selanjut-

15

nya skor EQ dari dosen laki-laki dipisahkan dengan dosen perempuan untuk keperluan analisis data. F. Teknik Analisis Data Data yang diperoleh dari penelitian ini berupa skor kecerdasan emosional dari setiap sampel yang dihitung melalui tahap-tahap sebagai berikut : a. Memasukkan data skor tiap sampel ke dalam tabel data dasar. Tabel 2. Tabel Data Dasar Kecerdasan Emosional No. Sampel 1 1 2 3 4 dst JUMLAH b. Menghitung jumlah skor jawaban dari setiap aspek dan seluruh aspek. c. Menghitung skor rata-rata tiap aspek kecerdasan emosional dengan rumus : SA = N 1 + N 2 + N 3 + Nx N Aspek Kecerdasan Emosional 2 3 4 Jumlah 5

Keterangan : SA = skor rata-rata suatu aspek (ada 5 aspek) N1, N2, N3 = skor total suatu aspek dari sampel nomor 1, 2, 3 Nx = skor total suatu aspek dari sampel nomor x N = jumlah seluruh sampel d. Menghitung skor rata-rata seluruh aspek dengan rumus : ST = T1 + T2 + T3 + Tx N = skor total seluruh aspek dari sampel nomor 1, 2, 3

Keterangan : ST = skor rata-rata seluruh aspek (ada 5 aspek) T1, T2, T3 N Tx = skor total seluruh aspek dari sampel nomor x = jumlah seluruh sampel

16

e. Selanjutnya, baik skor rata-rata setiap aspek maupun seluruh aspek yang diperoleh dikonversikan secara kualitatif dengan kriteria konversi yang diadaptasi dari Robert Ebel L. (1972 : 266) sebagai berikut : Tabel 3. Konversi Data Kuantitatif ke Kualitatif Presentasi Minat (Kuantitatif) 80 - 100 60 79 40 59 20 39 0 - 19 Kriteria (Kualitatif) Sangat tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat rendah

Berdasarkan konversi tersebut maka dapat disimpulkan seberapa tinggi tingkat kecerdasan emosional (EQ) guru-guru perempuan pengajar MIPA SMA seKota Yogyakarta, baik untuk tiap aspek maupun untuk keseluruhan aspek. f. Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan EQ yang dimiliki dosen MIPA lakilaki dengan perempuan dilakukan analisis statistik berupa uji beda, yaitu uji-t. Bila kita memiliki dua rerata X1 dan X2 dengan simpangan baku yang sama secara bermakna, maka suatu taksiran gabung untuk simpangan baku dapat dihitung dari masing-masing simpangan baku s1 dan s2 dengan menggunakan rumus (Miller, JC & Miller, JN, 1991: 49 50): s=2 {(n 1 1) s1 + (n 2 1) s 2 2} (n 1 + n 2 2)

Berdasarkan perhitungan s gabung, maka dapat dihitung t sebagai berikut: t= ( X1 X 2 ) s 1 / n1 + 1 / n 2

Bila harga t-hitung lebih kecil daripada nilai t-tabel, berarti tidak ada perbedaan pada kedua populasi.

17

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Berdasarkan data yang diperoleh dari pengisian angket yang dijawab oleh sampel mengenai kecerdasan emosional (EQ) yang meliputi lima aspek, yaitu kemampuan untuk : mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, dan membina hubungan, maka diperoleh rerata skor seperti tersaji pada Tabel 4 berikut ini (data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 3, 4, dan 5). Tabel 4. Rerata Skor untuk Tiap Aspek Kecerdasan Emosional No . 1. 2. 3. 4. 5. Aspek Kecerdasan Laki- % (kriteria) Emosional laki Kemampuan untuk 3,86 77,2 menge-nali emosi diri (tinggi) Kemampuan untuk 3,78 75,6 menge-lola emosi diri (tinggi) Kemampuan untuk 4,12 82,4 memo-tivasi diri sendiri (sangat tinggi) Kemampuan untuk 4,13 82,6 menge-nali emosi orang (sangat lain tinggi) Kemampuan untuk 3,97 79,4 mem-bina hubungan (tinggi) JUMLAH 3,98 79,6 (tinggi) Perem- % (kriteria) puan 3,77 75,4 (tinggi) 3,73 74,6 (tinggi) 3,86 77,2 (tinggi) 4,14 3,88 3,91 82,8 (sangat tinggi) 77,6 (tinggi) 78,2 (tinggi)

Berdasarkan kedua skor kecerdasan emosional (EQ) antara dosen laki-laki dan perempuan, kemudian dilakukan analisis statistik uji-t untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan EQ diantara keduanya. Berdasarkan perhitungan diperoleh harga thitung sebesar 0,7537, sedangkan harga ttabel pada derajat kebebasan 136 dan taraf signifikansi 1% sebesar 3,737. Oleh karena thitung lebih kecil dari ttabel, maka berarti tidak ada perbedaan yang signifikans skor EQ antara dosen laki-laki dan perempuan.

18

B. Pembahasan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa tinggi tingkat kecerdasan emosional (EQ) yang dimiliki oleh dosen MIPA laki-laki dan perempuan dari berbagai Perguruan Tinggi di Yogyakarta dan sekaligus melihat ada tidaknya perbedaan kecer-dasan emosional (EQ) antara dosen MIPA laki-laki dengan perempuan dari berbagai Perguruan Tinggi di Yogyakarta. Berdasarkan rerata skor total seluruh aspek kecerdasan emosional (EQ) yang dijaring lewat pernyataan-pernyataan dalam angket menunjukkan bahwa secara keselu-ruhan berada pada kriteria tinggi, baik pada dosen laki-laki (79,6%) maupun dosen perempuan (78,2%). Perbedaan skor yang relatif sangat kecil (1,4%) menunjukkan bahwa hampir tidak ada perbedaan antara keduanya. Hal ini dibuktikan dengan hasil analisis uji-t yang menunjukkan tidak adanya beda EQ dari kedua kelompok dosen berdasarkan jenis kelamin ini. Ditinjau dari masing-masing aspek EQ yang dikumpulkan lewat angket, ada satu aspek dimana dosen laki-laki berada pada kriteria sangat tinggi (82,4%) sedangkan dosen perempuan berada pada kriteria tinggi (77,2%), yaitu aspek kemampuan untuk memoti-vasi diri sendiri. Sebagaimana diketahui, seorang perempuan selain harus menjalankan karirnya sebagai dosen, ia juga memiliki peran domestik sebagai ibu rumah tangga. Dalam menjalankan peran ganda ini sudah tentu ia harus mampu membagi pikirannya dengan baik agar semuanya dapat dikerjakan secara lancar dan tidak mengalami kendala. Motivasi diri tentu juga dimiliki seorang dosen perempuan, tetapi tidaklah setinggi dosen laki-laki yang tidak terbebani peran ganda tersebut. Aspek ini diwakili oleh pernyataan angket nomor 4, 5, 11, 13, 18, 24, 30, 32, 35, 43, 53, dan 58. Hasil perhitungan dari ke-12 pernyataan tersebut, pernyataan nomor 32 memiliki perbedaan skor rerata yang jauh berbeda antara dosen perempuan dan laki-laki, yaitu 3,31 untuk dosen perempuan dan 4,46 untuk dosen laki-laki. Pernyataan nomor 35 berbunyi : Saya menjadi malas belajar lebih mendalam mata pelajaran yang saya ampu ketika mengetahui penilaian pelaksanaan pekerjaan saya jelek. Hal ini karena sebagian besar perempuan memiliki sifat membawa kekecewaan terlalu lama yang berdampak pada kinerjanya. Sebaliknya

19

pada dosen laki-laki, sebagian kecil menganggap kekecewaan sebagai dorongan untuk memperbaiki diri. Semua ini karena perempuan lebih mengede-pankan emosional daripada rasional (Kartini Kartono, 1977 : 190). Demikian juga pernyataan nomor 18 yang berbunyi : Saya mampu belajar mata pelajaran yang saya ampu secara rutin menunjukkan skor rerata dosen perempuan (3,81) lebih kecil dibandingkan dosen laki-laki (4,22). Hal ini dapat dipahami karena setelah sampai rumah, perempuan harus melakasanakan peran domestiknya, mulai dari pekerjaan yang sederhana sampai yang kompleks. Konsekuensi dari semua ini berujung pada rasa capek yang berpengaruh pada pengembangan diri yang tidak memadai, baik dari segi waktu maupun tenaga. Secara psikologis, keadaan ini berpengaruh pada ketidakberdaya-an perempuan, menarik diri dari lingkungan, dan penurunan motivasi (Kendall & Ham-men, 1984). Peran domestik yang bersifat fisik, seperti memasak, mencuci, mengepel, bagi sebagian dosen dapat dilimpahkan pada pembantu rumah tangga (domestic workers), tetapi bukan berarti mereka lalu tidak mengambil bagian dari peran domestik itu sendiri. Bagaimanapun juga, kaum perempuan setelah di rumah pasti berkeinginan mengurus, merawat, dan mendidik anak mereka sendiri. Selain aspek tersebut, empat aspek lainnya memiliki kriteria yang sama, meski jika ditinjau dari skor reratanya ada perbedaan. Sebagai contoh, pada aspek kemampuan untuk mengenali emosi diri, ternyata dosen laki-laki sedikit lebih tinggi skor-nya dibandingkan dosen perempuan. Ditinjau dari butir-butir pernyataan yang mewakili aspek ini, nampak bahwa dosen laki-laki lebih dapat memisahkan perasaannya dari pekerja-annya. Hal ini tercermin dari jawaban mereka atas pertanyaan yang berkaitan dengan perasaan sedih, risau, marah, rasa bersalah dan kegundahan mereka yang tidak terlalu dipikirkan ketika menghadapinya. Demikian juga aspek kemampuan untuk membina hubungan, ternyata dosen laki-laki menunjukkan skor rerata yang sedikit lebih tinggi. Hal ini nampaknya bertentangan dengan kenyataan yang menyatakan bahwa sifat perempuan pada umumnya luwes dan lebih mudah berkomunikasi dan bergaul. Hal ini mungkin juga disebabkan oleh pengkondisian di berbagai institusi yang

20

tidak memberikan kesempatan yang sama bagi dosen perempuan untuk dilibatkan dalam negosiasi kerja, baik hubungan antar rekanan maupun antar institusi. Secara keseluruhan penelitian ini telah berhasil membuktikan pada kita semua, bahwa kecerdasan emosional (EQ) antara dosen laki-laki dan perempuan tidak berbeda secara signifikan. Hal ini menunjukkan pula pada kita bahwa memang secara kodrati antara laki-laki dan perempuan berbeda seks (jenis kelamin), namun dari segi peran dan fungsinya di masyarakat sesungguhnya tidak ada perbedaan. Kecerdasan emosional (EQ) sebagai sisi lain dari kecerdasan yang dimiliki seseorang yang dianggap berkaitan dengan sifat-sifat yang dibangun atas dasar konstruksi sosial dan budaya kita ternyata pada kenyataannya tidak memberikan pembedaan diantara kedua jenis kelamin. Menurut Mansour Fakih (2001 : 8) sifat perempuan adalah lemah lembut, cantik, emosional, dan keibuan. Namun ternyata sifat tersebut terbukti tidak berkaitan dengan tingginya kecerdasan emosional (EQ) yang dimiliki. Sebaliknya sifat laki-laki yang lebih mengedepankan rasional dalam segala tindakannya, ternyata justru ia memiliki sisi-sisi kecerdasan emosional yang lebih tinggi atau sama dengan kaum perempuan. Oleh karena itu sangat wajar bila kesempatan kerja yang diberikan saat ini di berbagai instansi tidak perlu lagi mempertimbangkan jenis kelamin, jika instansi tersebut hanya ingin menuntut kinerja. Jam kerja laki-laki dan perempuan secara global saat ini tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (Mansour Fakih, 2001 : 158), berarti fungsi dan peran perempuan tidak dipermasalahkan lagi dalam dunia kerja. Anggapan bahwa perempuan lemah di bidang sains dan laki-laki lemah di bidang bahasa perlu dihilangkan, karena pemahaman itu akan membelenggu kedua belah pihak dalam pengembangan diri secara optimal (Retno Suhapti, 1995). Makna yang lebih mendalam dari hasil penelitian ini, bahwa dengan tidak adanya pengaruh jenis kelamin terhadap besarnya EQ, maka berarti sudah sewajarnya kita tidak perlu mempermasalahkan jenis kelamin dalam segala aktivitas yang berkaitan dengan peningkatan sumber daya manusia di lingkungan Perguruan Tinggi, karena kualitas kinerja seseorang tidak ditentukan oleh jenis kelamin tetapi lebih pada semangat dan motivasi diri dari individu masing-masing

21

dosen untuk maju dan berkembang. Menumbuhkan budaya kerja yang baik lebih penting daripada memperbincangkan masalah jenis kelamin. Jepang telah memulai mengarahkan perempuan pada pekerjaan teknologi tinggi, bukan hanya pada jalur administrasi dan kesekretariatan (Gary Dessler, 2003 : 49). Kini saatnya di Indonesia memberikan kesempatan pada kaum perempuan untuk mencapai level profesional.

22

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan analisis data penelitian, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Tingkat kecerdasan emosional (EQ) yang dimiliki oleh dosen MIPA laki-laki dan perempuan dari berbagai Perguruan Tinggi di Yogyakarta memiliki skor rerata berturut-turut 79,6% (kriteria tinggi) dan 78,2% (kriteria tinggi). 2. Tidak ada perbedaan yang signifikan kecerdasan emosional (EQ) antara dosen MIPA laki-laki dengan perempuan dari berbagai Perguruan Tinggi di Yogyakarta. B. Saran Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disarankan adanya penelitian lebih lanjut terhadap sampel yang bukan hanya dosen MIPA tetapi dosen berbagai bidang ilmu, dan juga tidak hanya dosen, tetapi profesi lain, khususnya profesi dimana peran serta perempuan atau laki-laki dirasakan tidak seimbang dari segi kuantitas. Hal ini sebagai informasi penting bagi instansi terkait mengenai ada tidaknya perbedaan EQ tenaga kerja yang mereka pekerjakan selama ini. Selain itu informasi tentang besarnya EQ yang dimiliki tenaga kerja juga bermanfaat dalam memanajemen profesionalisme mereka.

23

DAFTAR PUSTAKA Borko, Hilda, et. Al. (1992). Learning to Teach Hard Mathematics : Do Novice Teachers and their Instructurs Give Up too Easly ? Journal for Reseach in Mathematics Education. Vol. 23, No. 3, May 1992. Goleman, Daniel. (2001). Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi. Terjemahan : Alex tri Kantjoro Widodo. Jakarta : Gramedia. ............................... (2002). Emotional Intelligence. Terjemahan : T. Hermaya. Jakarta : Gramedia. Gunstone, R. F. (1991). Science Education : Secondary School (dalam The International Encyclopedia of Curriculum). Oxford : Pergamon Press. Kartini Kartono. (1977). Psikologi Wanita. Bandung : Alumni. Lynn, R., Irwing P., Cammock, T. (2002). Sex Differences in General Knowledge. Journal Intelligence. 20. 27 39. Muchalal. (2000). Meningkatkan Pembelajaran MIPA Di SMU. Makalah Ilmiah ; 14 Mei 2000. Yogyakarta Mohamad Ali. (1984). Pengembangan Kurikulum di Sekolah. Bandung : Sinar Baru. Nasution, S. (1987). Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar. Jakarta : Bina Aksara. Reisman, Fradericka, K. (1981). Teaching Mathematics Methods and Contents. Boston : Houghton Mifflin Company. Ridwan Saptoto. (2002). Hubungan Kecerdasan Emosi dengan Coping Adaptif. Yogyakarta : Skripsi Fakultas Psikologi UGM. Shapiro, Lawrence, E. (1997). Mengajarkan Emotional Intelligence pada Anak. Jakarta : Gramedia. Suharsono. (2004). Melejitkan IQ, IE, dan IS. Jakarta : Inisiasi Press. Suharsimi Arikunto. (1995). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara. Tjipto Utomo dan Kees Ruijter (1994). Peningkatan dan Pengembangan Pendidikan. Cetakan kelima. Jakarta : Gramedia.

24

Vinner, S. (1991). New Mathematics (dalam The International Encyclopedia of Curriculum). Oxford : Pergamon Press.

25

LAMPIRAN 1. ANGKET KECERDASAN EMOSIONAL Nama : .................................................... SMA : ................................................... Lama mengajar : ................................................... Pendidikan Terakhir : ................................................... Petunjuk : Bapak / Ibu Dosen yang kami hormati, mohon berkenan menjawab setiap pernyataan / soal di bawah ini dengan cara memberi tanda centhang (V) pada kolom jawaban yang tersedia, yaitu SS (Sangat Sesuai), S (Sesuai), TP (Tidak Pasti), TS (Tidak Sesuai) dan STS (Sangat Tidak Sesuai) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. Pernyataan SS Saya tidak tergerak untuk menghibur teman yang sedang kecewa. Saya mudah melepaskan diri dari kecemasan-kecemasan yang menghantui perasaan saya. Kemarahan yang saya alami berlangsung dalam waktu yang lama.. Saya segan bertanya kepada teman ketika tidak mengetahui sesuatu karena takut dianggap bodoh. Kekurangpahaman tentang pengetahuan mata pelajaran yang saya ajarkan membuat saya rendah diri. Saya sulit melakukan berbagai aktivitas dengan baik ketika sedih. Berbagai perasaan negatif terus-menerus muncul dalam diri saya ketika saya tersinggung. Mendengarkan pendapat orang lain hanya akan memperlama pengambilan keputusan. Saya dapat mengetahui bahwa seseorang sedang sedih dengan mendengarkan nada bicaranya. Saya sulit untuk mengendalikan diri ketika marah. Saya mendahulukan mengerjakan pekerjaan yang menjadi tugas saya daripada bermain dengan teman-teman. Jawaban S TP TS STS

26

No. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28.

Pernyataan SS Saya merasa terancam dengan pendapat orang lain yang berbeda dengan pendapat saya. Saya meyakini bahwa saya sanggup menyelesaikan berbagai tugas yang ada pada pekerjaan saya. Saya sulit bekerjasama dengan temanteman satu profesi. Saya mampu mendengarkan keluh kesah teman. Saya mampu memberikan dukungan kepada teman yang sedang mengalami musibah. Saya tidak mempedulikan perasaan-perasaan yang sedang saya alami. Saya mampu belajar mata pelajaran yang saya ampu secara rutin. Sulit bagi saya untuk segera bangkit dari kemurungan yang saya alami. Saya mampu merasakan kesedihan teman yang mendapatkan penilaian pelaksanaan pekerjaan jelek. Saya tergerak untuk menolong korban kecelakaan lalu lintas. Mudah bagi saya untuk menghibur diri ketika sedang murung. Saya merasa yakin bahwa semester ini, penilaian pelaksanaan pekerjaan saya bagus. Saya mampu berusaha lebih giat lagi untuk mendapat penilaian pelaksanaan pekerjaan yang lebih baik. Saya merasa sulit berkomunikasi dengan teman-teman satu kelompok dosen MIPA. Saya merasa sulit memperbaiki hubungan dengan teman yang pernah bertengkar dengan saya. Saya mampu mengungkap ketidaksukaan saya kepada orang yang membuat saya jengkel tanpa kehilangan kendali. Kesopanan membuat saya mampu bergaul secara akrab di dalam masyarakat. S

Jawaban TP TS

STS

27

No. 29. 30. 31.

Pernyataan SS Saya mampu mendamaikan konflik yang terjadi diantara teman-teman. Saya malas mencari alternatif cara penyelesaian lain ketika cara penyelesaian yang saya lakukan ternyata salah. Saya tidak tergerak untuk mengemukakan berbagai cara penyelesaian masalah kepada teman yang sedang menghadapi masalah. Saya menjadi malas belajar lebih mendalam mata pelajaran yang saya ampu ketika mengetahui penilaian pelaksanaan pekerjaan saya jelek. Saya mampu menenangkan hati teman saya yang sedang goncang karena menghadapi suatu masalah. Saya tidak merasa bersalah ketika menjelek-jelekkan orang lain, karena memang dia pantas mendapatkannya. Saya mudah kehilangan semangat ketika menemui kesulitan dalam mengerjakan berbagai tugas yang ada pada bidang pekerjaan saya. Saya terus-menerus memikirkan berbagai hal yang menyebabkan saya kecewa. Saya letih dengan naik turunnya perasaan yang saya alami. Saya tidak tahu mengapa saya merasa begitu malas untuk mempersiapkan mata pelajaran yang saya ampu. Saya tidak mau ambil pusing apakah katakata saya menyinggung hati orang lain atau tidak. Saya merasa sulit mengkoordinasikan teman-teman dalam satu kelompok. Saya bersedia mempertanggungjawabkan kesalahan yang saya lakukan. Saya tidak mengetahui penyebab perasaan sedih yang saya alami. Saya kurang bergairah untuk mengerjakan tugas-tugas yang ada pada bidang pekerjaan saya. S

Jawaban TP TS

STS

32.

33. 34. 35.

36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43.

28

No. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56. 57. 58. 59. 60.

Pernyataan SS Saya terus-menerus memikirkan kegagalan yang saya alami, sehingga saya merasa tertekan. Saya mampu mencegah timbulnya konflik diantara teman-teman. Saya segan mengawali pembicaraan dengan orang lain yang belum saya kenal. Saya mengetahui penyebab perasaan tidak bahagia yang saya alami dalam hidup ini. Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan ketika marah. Saya mampu menghargai pendapat orang lain yang lebih muda usianya dari saya. Mudah bagi saya untuk segera bangkit dari kemalasan yang saya alami. Mudah bagi saya untuk berprasangka baik terhadap orang lain yang telah menyinggung hati saya. Saya mengetahui penyebab kerisauan yang saya alami. Saya mampu memperbaiki kegagalan sehingga menjadi suatu keberhasilan. Saya mampu tetap tenang menghadapi berbagai masalah. Saya dapat mengetahui bahwa seseorang sedang marah dengan melihat ekspresi wajahnya. Saya mudah memaafkan orang yang telah menyinggung hati saya. Saya merasa kurang dihiraukan. Saya memiliki kemampuan untuk mengerjakan berbagai tugas yang ada pada bidang pekerjaan saya dengan baik. Saya mudah menyesuaikan diri dalam lingkungan yang berbeda-beda. Saya tetap berpikir jernih pada saat marah. S

Jawaban TP TS

STS

Terima kasih atas bantuan yang telah diberikan. Mohon diperiksa kembali untuk memastikan tidak ada bagian yang terlewati.

29

Lampiran 2. PERSONALIA PENELITIAN 1. Ketua Peneliti a. Nama Lengkap dan Gelar c. Jabatan Fungsional d. Fakultas / Program Studi e. Perguruan Tinggi f. Bidang Keahlian g. Waktu untuk Penelitian 2. Anggota Peneliti 1 a. Nama Lengkap dan Gelar c. Jabatan Fungsional d. Fakultas / Program Studi e. Perguruan Tinggi f. Bidang Keahlian g. Waktu untuk Penelitian 3. Anggota Peneliti 2 a. Nama Lengkap dan Gelar c. Jabatan Fungsional d. Fakultas / Program Studi e. Perguruan Tinggi f. Bidang Keahlian g. Waktu untuk Penelitian : Das Salirawati, M.Si. : Lektor : FMIPA / Pendidikan Kimia : Universitas Negeri Yogyakarta : Pendidikan Kimia / Biokimia : 12 jam / minggu b. Golongan Pangkat dan NIP : III/c / Penata / 132001805 : Rr. Lis Permana Sari, M.Si. : Lektor : FMIPA / Pendidikan Kimia : Universitas Negeri Yogyakarta : Pendidikan Kimia / Kimia Anorganik : 12 jam / minggu b. Golongan Pangkat dan NIP : III/b / Penata Muda Tk. I/ 132049520 : Regina Tutik Padmaningrum, M.Si. : Lektor : FMIPA / Pendidikan Kimia : Universitas Negeri Yogyakarta : Pendidikan Kimia / Biokimia : 12 jam / minggu b. Golongan Pangkat dan NIP :

30

KAJIAN WANITA

PENGARUH JENIS KELAMIN DOSEN TERHADAP KECERDASAN EMOSIONAL (EQ) DI BERBAGAI PERGURUAN TINGGI DI YOGYAKARTA.

USUL PENELITIAN

Oleh : Rr. Lis Permana Sari, M.Si Das Salirawati, M.Si Regina Tutik Padmaningrum, M.Si

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA MARET, 2006

31