BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam (MIPA) adalah sekumpulan bidang ilmu yang sampai
saat ini dianggap momok bagi siswa / mahasiswa, baik di tingkat SD,
SMP, SMA, bahkan di Perguruan Tinggi. Hal ini karena MIPA menelaah
dan mempelajari konsep-konsep yang sebagian besar abstrak dan sulit
dibayangkan. Selain dari segi substansi MIPA itu sendiri, yang
menyebabkan banyak siswa / mahasiswa ketakutan terhadap pelajaran
MIPA salah satunya karena hampir sebagian besar guru / dosen MIPA
berpenampilan serius dalam mengajar, terkesan galak dan killer.
Sikap, penampilan, dan performance seorang dosen MIPA (khususnya)
yang demikian kemungkinan disebabkan substansi ilmu MIPA yang
memang untuk mengajarkan dan menanamkan kepada mahasiswa perlu
keseriusan yang tinggi. Namun sebenarnya, diantara keseriusan itu
dapat diselingi dengan berbagai aktivitas yang berfungsi untuk
menarik perhatian mahasiswa dan mengendorkan syaraf mereka yang
tegang. Penelitian yang dilakukan E. J. Thomas tahun 1972 (Tjipto
Utomo dkk., 1994 : 185) menunjukkan peserta didik akan mengalami
penurunan konsentrasi pada menit ke-15, sehingga bila seorang
pendidik tidak menyadarinya konsentrasi peserta didik makin menurun
dan akhirnya hanya sebagian kecil materi yang dapat dipahami oleh
mereka. Hal ini bila dihubungkan dengan pembelajaran MIPA dimana
materinya banyak berisi tentang perhitungan dan konsep-konsep
abstrak yang relatif kurang menarik, maka ketika dosen mengajar
terlalu serius tidak akan efektif untuk menanamkan pemahaman
mahasiswa. Dosen perlu memberikan berbagai variasi dalam
pembelajaran MIPA agar konsentrasi yang menurun dan syaraf yang
tegang dapat dipulihkan kembali. Sebagian besar dosen MIPA umumnya
memiliki tingkat kecerdasan intelektual (II = Intellectual
Intelligence) yang relatif tinggi yang dinyatakan dengan besarnya
IQ (Intelligence Quotient), karena penguasaan materi MIPA
sangat memerlukan logika / penalaran berpikir yang tinggi.
Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, ada temuan baru yang
menyatakan bahwa selain IQ terdapat satu faktor yang juga
berpengaruh dan berinteraksi secara dinamis dengan IQ, yang dikenal
dengan kecerdasan emosional (EQ). Lawrence E. Shapiro (1997 : 5 -
6) menyatakan bahwa EQ dapat membuat seseorang menjadi bersemangat
tinggi dalam bekerja, disukai dalam pergaulan, bertanggung jawab,
peduli orang lain, dan produktif. Kualitas emosional meliputi :
empati, mengungkapkan dan memahami perasaan, mengendalikan amarah,
kemandirian, kemampuan menyesuaikan diri, disukai, kemampuan
menyelesaikan masalah antar pribadi, ketekunan, kesetiakawanan,
keramahan, dan sikap hormat. Bila memang EQ merupakan faktor
pendukung keberhasilan seseorang dalam bekerja, maka seorang dosen
sangat tepat kalau memiliki kualitas emosional tersebut. Sebagai
contoh, dosen harus mampu mengendalikan amarah, sebab dosen yang
mengajar dengan marah tidak akan berhasil mengubah mahasiswanya
menjadi pandai, bahkan mungkin sebaliknya. Demikian pula jika dosen
tidak menunjukkan keramahan, bagaimana mungkin mahasiswa berani
bertanya dalam kelas. Menurut Muchalal (2000 : 3), guru maupun
dosen harus dapat berperan seperti aktor, kapan ia harus serius dan
harus bercanda agar suasana pembelajaran menjadi menyenangkan.
Seperti diketahui, bahwa otak kita terdiri dari dua bagian, yaitu
otak sebelah kanan dan otak sebelah kiri. Otak kanan berperan dalam
perkembangan fungsi otak yang berkaitan dengan musik, gambar,
warna, imajinasi, kreativitas, emosi, perasaan, sedangkan otak
sebelah kiri berperan dalam perkembangan fungsi otak yang berkaitan
dengan logika, kata / bahasa, matematika, urutan. Secara umum
dinyatakan bahwa laki-laki lebih banyak mengembangkan fungsi otak
sebelah kiri, sedangkan perempuan sebaliknya banyak mengembangkan
fungsi otak sebelah kanan. Oleh karena itu, anggapan yang muncul
bahwa perempuan memiliki kecerdasan emosional yang lebih tinggi
dibandingkan lakilaki. Hal ini karena kecerdasan emosional
berkaitan dengan fungsi otak sebelah kanan. Terlebih lagi bagi
dosen MIPA laki-laki yang setiap hari bergelut dengan
2
logika, nalar, dan rasional, tentu pemikiran sebagian orang akan
mengarah pada semakin rendahnya kecerdasan emosional mereka.
Sebaliknya, bagi dosen MIPA perempuan, meskipun bidang ilmu yang
digeluti sama, tetapi tentunya tentang hal yang berkaitan dengan
emosional mereka lebih menonjol. Namun demikian, apakah itu berarti
dosen MIPA perempuan semua memiliki EQ lebih tinggi daripada
laki-laki. Hal itulah yang sangat menarik untuk diteliti
kebenarannya. Oleh karena itulah, maka akan dilakukan penelitian
yang bertujuan untuk melihat seberapa tinggi tingkat kecerdasan
emosional (EQ) dosen-dosen MIPA laki-laki dan perempuan yang
mengajar di beberapa Perguruan tinggi yang ada di Yogyakarta dan
sekaligus membuktikan benar tidaknya bahwa EQ dosen MIPA perempuan
lebih tinggi daripada dosen MIPA laki-laki. Apabila penelitian ini
berhasil membuktikan tidak adanya pengaruh jenis kelamin terhadap
besarnya EQ, maka berarti hasil penelitian ini dapat menjadi
informasi penting bagi dosendosen MIPA khususnya, bahwa EQ seorang
dosen tidak dapat dilihat dari jenis kelamin, tetapi sangat
tergantung pada individu masing-masing. B. Permususan dan Batasan
Masalah Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan dalam
pendahuluan, maka dapat dirumuskan masalah : 1. Seberapa tinggi
tingkat kecerdasan emosional (EQ) yang dimiliki oleh dosen MIPA
laki-laki dan perempuan dari berbagai Perguruan Tinggi di
Yogyakarta ? 2. Adakah perbedaan kecerdasan emosional (EQ) antara
dosen MIPA laki-laki dengan perempuan dari berbagai Perguruan
Tinggi di Yogyakarta ? Masalah perlu dibatasi agar tidak terjadi
kesalahan persepsi dan perluasan permasalahan yang diteliti. Adapun
masalah dibatasi dalam hal : 1. Penelitian ini dilakukan terhadap
dosen-dosen MIPA laki-laki dan perempuan dari berbagai Perguruan
Tinggi di Yogyakarta, yaitu Universitas Negeri Yogyakarta (UNY),
Universitas Gajah Mada (UGM), Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
(UMY), Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Universitas Pembangunan
Nasional (UPN), Universitas Islam Indonesia (UII), Universitas
Sanata Dharma (USD), dan Universitas Islam Negeri (UIN).
3
2. Dosen MIPA yang dimaksud adalah dosen yang mengampu mata
kuliah yang termasuk dalam lingkup matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, dan tidak harus di bawah Fakultas MIPA. 2. EQ adalah
Emotional Quotient, yaitu besarnya kecerdasan emosional (EI =
Emotional Intelligence) seseorang. Dalam penelitian ini menggunakan
istilah EQ bukan EI karena menunjuk langsung pada hasil tes
kecerdasan emosional sampel menggunakan angket. 3. Aspek kecerdasan
emosional (EQ) yang diteliti meliputi kemampuan untuk : mengenali
emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri,
mengenali emosi orang lain, dan membina hubungan. Masing-masing
aspek dijabarkan dalam bentuk pernyataan-pernyataan dalam lembar
angket, yang akan diisi oleh sampel sebagai responden. 3. Skor
kecerdasan emosional (EQ) dari dosen MIPA laki-laki dan perempuan
yang diperoleh lalu dilihat ada tidaknya perbedaan dengan
menggunakan analisis statistik ANAVA A (Anava satu jalur).
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pendidikan Matematika Matematika yang
diajarkan di berbagai jenjang pendidikan berdiri atas aspek
prosedural dan aspek konseptual. Aspek prosedural meliputi
pengetahuan tentang komputasi, prosedur, algoritma, dan definisi,
sedangkan aspek konseptual meliputi pengetahuan tentang struktur
matematika yang memberi makna terhadap prosedur-prosedur
(aturan-aturan) matematika tersebut (Borko, 1992 : 194 222).
Revolusi besar telah dilahirkan di Amerika Serikat sejak tahun
50-an dalam hal pengajaran matematika yang dampaknya dirasakan
seluruh duinia, yaitu Gerakan Matematika Baru (GMB) dan Gerakan
Back to Basics (GBB). Matematika baru berasumsi bahwa setiap mata
pelajaran dapat diajarkan pada setiap perkembangan anak dimana
ketika mereka mengetahui sesuatu berarti juga mengetahui
strukturnya. Saat itu memang ada kecenderungan mengurangi belajar
menghafal, sehingga gerakan ini disambut gembira oleh sebagian
besar orang. Namun pada pelaksanaan kurikulum matematika baru ini
terdapat kecenderungan penekanan yang berlebihan pada penguasaan
konsep dengan mengabaikan kemampuan berhitung. Akhirnya GMB ini
menimbulkan kecemasan orangtua dan guru / dosen seiring dengan
menurunnya kemampuan berhitung anak mereka. Muncullah GBB yang
melahirkan sekolah program 3R (Reading riting Rithmetics) (Vinner,
1991). Namun dalam perkembangannya banyak yang menyalahartikan arti
basics sebagai cara untuk kembali belajar menghafal. Menurut
Reisman (1981) menyatakan bahwa back to basics dalam pengajaran
matematika tidak berarti kembali kepada belajar menghafal, tetapi
basics di sini berarti mengajarkan keterampilan dasar matematika,
seperti : pemecahan masalah, penggunaan matematika dalam kehidupan
sehari-hari, keterampilan berhitung, geometri, penguasaan komputer,
dan lain-lain. Melihat demikian rumitnya isi / materi matematika,
maka sangat tidak mungkin seorang dosen dapat berhasil mengajar
dengan cara kekerasan dan
5
ketegangan. Dosen perlu sabar dalam menanamkan basics tersebut
agar mahasiswa benar-benar memiliki pondasi matematika yang kuat.
Oleh karena itulah selain IQ yang harus tinggi, sangat diperlukan
EQ yang tinggi pula agar dosen dapat mengendalikan (mengelola)
emosi diri dan emosi mahasiswanya sehingga terbina hubungan yang
harmonis dalam pembelajaran. B. Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam
Sejak diluncurkan Sputnik oleh Rusia, Amerika juga tidak
ketinggalam melakukan reformasi kurikulum, yang juga diikuti oleh
Inggris dan beberapa negara lain. Di Amerika muncul istilah IPA
Baru (Gunstone, 1991 : 911 - 918). Kurikulum IPA Baru ini
menekankan pada struktur dan proses penemuan ilmiah seperti yang
dikemukakan Bruner. Maksud dari IPA Baru ini adalah materi
pelajaran dibahas secara mendalam dan metode penemuan digunakan
sebagai landasan pengembangan pembelajaran. Generasi pertama
Kurikulum IPA Baru di Amerika Serikat mengutamakan materi
pelajaran, generasi kedua mengutamakan materi pelajaran, metode
pembelajaran, dan cara belajar peserta didik. Jika pada mulanya
para ahli IPA yang dominan, maka adanya IPA Baru ini guru / dosen
IPA, ahli psikologi pendidikan, dan teknologi pendidikan-lah yang
dominan. Gerakan IPA Baru ini juga sampai pengaruhnya di Indonesia.
Hal ini berarti peran dan fungsi guru / dosen dalam membawa siswa /
mahasiswa menuju keberhasilan belajar IPA kembali menjadi
tanggungjawabnya. Ada satu hal yang menarik, bahwa ahli psikologi
juga diharapkan perannya dalam pembelajaran, sebab dalam
pembelajaran perlu kondisi optimal dalam diri siswa / mahasiswa,
baik menyangkut fisik, mental, dan emosional. Seorang dosen yang
mampu mengenali emosi mahasiswanya berarti ia juga mampu bertindak
sebagai ahli psikologi bagi mahasiswa. Kemampuan mengenali emosi
mahasiswa termasuk salah satu kualitas EQ. C. Kecerdasan Emosional
Istilah kecerdasan emosional pertama kali dikemukakan oleh psikolog
Peter Saloveny dari Harvard university dan John Mayer dari
Universitas of New
6
Hampshire pada tahun 1990 yang bertujuan untuk menjelaskan
kualitas-kualitas emosional yang penting bagi keberhasilan
seseorang. Kualitas tersebut meliputi : empati, mengungkapkan dan
memahami perasaan, mengendalikan amarah, kemandirian, kemampuan
menyesuaikan diri, disukai, kemampuan menyelesaikan masalah antar
pribadi, ketekunan, kesetiakawanan, keramahan, dan sikap hormat
(Lawrence E. Shapiro, 1997 : 5). Saloveny dan Mayer mula-mula
mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai himpunan bagian dari
kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan dan
emosi, baik emosi diri sendiri maupun orang lain, memilah-milah
semuanya, dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran
dan tindakan (Lawrence E. Shapiro, 1997 : 8). Pendapat lain
dikemukakan oleh Daniel Goleman (2001 : 512) yang menyatakan bahwa
kecerdasan emosional atau Emotional Intelligence (EI) merujuk pada
kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain,
kemampuan memotivasi diri sendiri, dan dalam hubungannya dengan
orang lain. Dengan demikian EI mencakup kemampuan-kemampuan yang
berbeda tetapi saling melengkapi dengan IQ. Berdasarkan pendapat
ini, maka seseorang dianggap ideal jika dapat menguasai
keterampilan kognitif (daya pikir), sekaligus keterampilan sosial
dan emosional. Ciri-ciri kecerdasan emosional menurut Goleman (2002
: 45) diantaranya : memiliki kemampuan dalam memotivasi diri
sendiri, bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati,
tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati, menjaga
agar beban stres tidak mengurangi kemampuan berpikir, berempati,
dan berdoa. Lebih lanjut Goleman (2002 : xiii) menyatakan
aspek-aspek kecerdasan emosional mencakup kemampuan berikut ini :
1. Pengendalian Diri Kemampuan seseorang untuk mengelola emosi atau
keinginan-keinginan hati yang dapat mempengaruhi dalam segala
tindakan, sehingga segala tindakan yang dilakukannya tidak
merugikan diri sendiri maupun orang lain. 2. Semangat dan Ketekunan
Sikap yang menunjukkan kesungguhan, ketelitian, dan kegigihan
seseorang dalam menghadapi suatu tantangan sehingga tercapai tujuan
yang diinginkan.
7
3. Memotivasi Diri Sendiri Kemampuan seseorang untuk mengarahkan
emosinya sehingga memudahkan dalam pencapaian sesuatu yang menjadi
standar bagi keberhasilan atau kesuksesan hidup. Aspek-aspek
kecerdasan emosional tersebut selanjutnya diperluas menjadi
beberapa kemampuan yang lain yang menurut Solovey (Goleman, 2002 :
57 59) merupakan kemampuan utama, yaitu kemampuan untuk : 1.
Mengenali Emosi Diri Kesadaran diri mengenali perasaan itu terjadi.
Kemampuan untuk mengetahui perasaan setiap saat merupakan hal
penting bagi wawasan psikologis dan pemahaman diri. Ketidakmampuan
untuk mencermati perasaan dapat membuat kita berada dalam kekuasaan
perasaan. 2. Mengelola Emosi Menangani perasaan agar perasaan dapat
terungkap dengan tepat merupakan kecakapan yang bergantung pada
kesadaran diri. Kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan
kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan. Orang yang memiliki
kemampuan ini dapat bangkit kembali dengan cepat dari kemerosotan
atau kejatuhan dalam hidup. 3. Memotivasi Diri Sendiri Mengatur
emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal yang sangat
penting yang berkaitan dengan memberikan perhatian, memotivasi diri
sendiri, dan menguasai diri sendiri, dan untuk berkreasi. Menahan
diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati adalah
landasan keberhasilan dalam berbagai bidang. Orang-orang yang
memiliki keterampilan ini cenderung jauh lebih produktif dan
efektif dalam berbagai bidang. 4. Mengenali Emosi Orang lain Empati
merupakan keterampilan dasar dalam berinteraksi dengan orang lain.
Orang yang memiliki sifat empati berarti memiliki kemampuan yang
lebih untuk mengungkap gejala-gejala sosial yang tersembunyi yang
mengisyaratkan apapun yang dibutuhkan atau dikehendaki orang
lain.
8
5. Membina Hubungan Kemampuan dalam mengelola emosi orang lain.
Kemampuan ini menunjang popularitas, kepemimpinan, dan keberhasilan
antar pribadi. Menurut Suharsono (2004 : 120 121), kecerdasan
emosional tidak hanya berfungsi untuk pengendalian diri, tetapi
juga mencerminkan kemampuan dalam mengelola ide, konsep, karya,
maupun produk. Ada banyak keuntungan bila seseorang memiliki
kecerdasan emosional secara memadai, diantaranya : 1. Mampu menjadi
alat untuk pengendalian diri, sehingga seseorang tidak terjerumus
ke dalam tindakan-tindakan bodoh yang merugikan diri sendiri maupun
orang lain. 2. 3. Dapat Modal diimplementasikan penting bagi
sebagai seseorang cara untuk untuk memasarkan atau bakat
membesarkan ide, konsep, bahkan produk. mengembangkan kepemimpinan
dalam bidang apapun. Berdasarkan uraian tentang definisi dan
kemampuan apa saja yang termasuk kecerdasan emosional tersebut,
maka dapat dipahami mengapa seorang dosen MIPA sangt penting untuk
memiliki EQ yang tinggi. Sebagai contoh, dosen yang mampu mengelola
emosi akan mengerjakan tugas mengajarnya dengan lebih baik, karena
ia tahu tidak perlu selalu murung, cemas, tersinggung dengan
profesinya sebagai dosen. Seperti diketahui dosen masih banyak yang
tidak mampu menunjukkan kemampuan mengajarnya secara optimal karena
beralasan pada gajinya yang relatif rendah, tetapi bila ia memiliki
kemampuan mengelola diri akan dapat mengesampingkan hal itu,
sehingga lebih bersemangat dan tekun dalam bekerja. Para ahli
mengakui pengaruh kecerdasan emosional sangat besar terhadap
kesuksesan hidup. Namun sangat berbeda dengan tes IQ yang sudah
sangat terkenal, sampai sekarang belum ada tes tertulis yang
menghasilkan nilai EQ (Goleman, 2002 : 60). Pengukuran EQ pada
penelitian ini menggunakan angket yang dijabarkan berdasarkan
aspek-aspek kecerdasan emosional yang dikemukakan Solovey yang
sudah dikemukakan di atas. Seseorang dikatakan memiliki EQ yang
tinggi bila dalam dirinya terkandung aspek-aspek tersebut.
9
D. Profesi Dosen Salah satu indikator dari suatu profesi adalah
adanya keterampilan kerja. Namun, tidak setiap orang yang memiliki
keterampilan kerja pada sesuatu bidang dipandang sebagai seorang
profesional. Tingkatan keterampilan kerja ada dua, yaitu
keterampilan teknis (keterampilan vokasional), yaitu keterampilan
yang tidak perlu didukung konsep atau teori tertentu yang diperoleh
dari suatu jenjang pendidikan tinggi, dan keterampilan profesional
yang perlu didukung oleh konsep dan teori tertentu yang harus
dikuasai melalui jenjang pendidikan tinggi. Dosen (sebutan guru di
Perguruan Tinggi) merupakan keterampilan profesional yang untuk
menyandang profesi tersebut harus menempuh jenjang pendidikan
tinggi pada program studi kependidikan (Mohamad Ali, 1984 : 31-34).
Pada saat ini profesi dosen merupakan sesuatu yang ideal bila
dibandingkan dengan profesi lain. Bila seorang dokter dapat
menjalankan tugasnya sebagai dokter dengan prosedur kerja dan
teknik yang baku dapat mendapatkan hasil yang jelas dan tepat, maka
hal ini tidak ditemui pada profesi dosen. Meskipun dosen memiliki
bekal pengetahuan tentang bagaimana menghadapi mahasiswa yang
bermasalah dan bagaimana mengelola kelas yang baik, namun bila
diterapkan belum tentu diperoleh hasil yang diharapkan. Suatu cara
yang cocok digunakan untuk mengajar materi tertentu belum tentu
cocok untuk materi yang lain. Demikian pula di tangan seorang dosen
mungkin suatu metode efektif, tetapi di tangan dosen yang lain
mungkin tidak efektif. Hal inilah yang menyebabkan profesi dosen
merupakan profesi yang sangat sulit & tidak semua orang pandai
yang bergelar sarjana bisa menjadi dosen. Bekal yang harus dimiliki
dosen bukan hanya ilmu pengetahuan, tetapi lebih dari itu
diperlukan dasar-dasar ilmu kependidikan yang memadai agar dapat
digunakan dalam menghadapi peserta didik. Hal ini disebabkan dosen
bukan hanya seorang pemindah ilmu dari dirinya kepada anak didik,
tetapi harus pula mampu mengelola dan mengatur seluruh komponen
dalam sistem pembelajaran sedemikian rupa sehingga proses transfer
ilmu dapat berjalan dengan baik. Dengan demikian akan terjadi
perubahan dalam diri mahasiswa dari tidak tahu menjadi tahu dan
dari tingkah laku yang kurang baik menjadi baik.
10
Selain harus pandai yang ditunjukkan dengan penguasaan bidang
ilmu yang diajarkan, seorang dosen harus memiliki keceedasan
emosional yang memadai agar dapat membawa mahasiswanya ke arah
keberhasilan. Seorang dosen harus peduli pada keadaan mahasiswanya,
harus mengenali keadaan mahasiswanya setiap saat, harus mampu
mengendalikan emosinya ketika mahasiswa berperilaku yang tidak
berkenan bagi dirinya, harus empati pada semua mahasiswa, harus
mampu membina hubungan yang baik dengan mahasiswa, dan harus mampu
memotivasi diri sendiri agar terus berkarya dan berkreasi. Semua
kemampuan itu termasuk kecerdasan emosional yang merupakan syarat
mutlak bagi dosen agar profesional dalam profesinya. Terlebih bagi
dosen MIPA, yang sebagian telaah ilmunya sangat sulit, rumit, dan
kompleks, bila tidak sabar dalam mengelola kelas, maka mustahil
keberhasilan mahasiswa dapat tercapai. Ada satu peristiwa di
Amerika Serikat yang ada kaitannya dengan profesi guru, yaitu pada
tahun 1948. Ketika itu banyak pasien masuk ke rumah sakit besar di
Amerika Serikat, ternyata yang menderita gangguan mental 17% pasien
dokter, 19% petani, 30% dokter gigi, 36% ahli hukum dan ibu
rumahtangga, dan 55% guru ! (Nasution, 1982 ; 121). Kenyataan ini
sangat mengejutkan, karena persentase terbesar penderita gangguan
mental adalah guru. Hal ini kemungkinan besar disebabkan karena
pekerjaan sebagai guru seringkali menimbulkan ketegangan dan
frustasi. Guru yang demikian itu pastilah guru yang tidak dapat
mengenali emosi diri dan orang lain, tidak mampu berempati terhadap
keadaan orang lain, selalu mengedepankan emosi dibandingkan
rasionalnya, tidak mampu mengelola emosi dengan baik. Dengan adanya
penemuan tentang kecerdasan emosional saat ini, tentunya peristiwa
tahun 1948 tersebut tidak akan terulang lagi, karena guru dan dosen
diharapkan mampu mengenali dan memiliki EQ yang memadai berkaitan
dengan profesinya yang rawan ketegangan, kecemasan, dan emosi. E.
Jenis Kelamin Masalah jenis kelamin sebenarnya masalah kodrati,
namun pembahasan tentang jenis kelamin tetap banyak dilakukan oleh
para ahli dari berbagai bidang ilmu sampai sekarang. Secara fisik
bentuk perempuan dan laki-laki memang
11
berbeda, sehingga eksistensi dan sifat-sifatnyapun berbeda.
Perbedaan ini tetap ada meskipun struktur sosial dan norma
tradisional berubah. Hal ini bila dikaitkan dengan profesi dosen
yang kenyataannya digeluti oleh kaum perempuan dan lakilaki, tentu
saja akan berpengaruh dalam proses pembelajaran. Perempuan
cenderung memiliki kemampuan dan minat terhadap soalsoal yang
praktis dan konkrit, sedangkan laki-laki memiliki kemampuan
berpikir abstrak (Kartini Kartono, 1977 : 181). Selain itu
perempuan lebih bersifat heterosentris, sosial, dan emosional,
sehingga profesi guru merupakan salah satu bidang pekerjaan yang
amat sesuai digeluti perempuan. Perempuan memiliki kemampuan yang
lebih tinggi dalam tugas-tugas yang memerlukan orientasi verbal dan
pekerjaan praktis konkrit, sedangkan laki-laki memiliki kelebihan
berupa kemampuannya dalam tugas-tugas yang memerlukan kemampuan
kuantitatif, berpikir abstrak dan matematis, Secara umum laki-laki
memiliki inteligensi lebih tinggi daripada perempuan (Lynn, 2002 :
27). Jika dihubungkan dengan karakteristik MIPA yang sebagian besar
berisi konsep abstrak dan mengandung banyak hitungan, maka
nampaknya dosen MIPA laki-laki akan lebih berhasil dibandingkan
dosen MIPA perempuan. Namun seperti diketahui bahwa keberhasilan
mengajar tidak semata-mata ditentukan oleh penguasaan bidang ilmu,
tetapi masih banyak faktor lain yang berpengaruh, diantaranya
adalah penguasaan ilmu keguruan, tingkat EQ dan SQ.
12
BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN A. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : 1. tingkat kecerdasan
emosional (EQ) yang dimiliki oleh dosen MIPA laki-laki dan
perempuan dari berbagai Perguruan Tinggi di Yogyakarta. 2. Ada
tidaknya perbedaan kecerdasan emosional (EQ) antara dosen MIPA
lakilaki dengan perempuan dari berbagai Perguruan Tinggi di
Yogyakarta. B. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat
bermanfaat bagi: 1. 2. Peneliti, sebagai latihan melakukan
penelitian Dosen pada umumnya, sebagai bahan permbelajaran bagi
dosen untuk evaluasi diri dalam menggeluti profesinya sehingga
dapat bekerja secara profesional 3. Civitas akademika, sebagai
bahan pertimbangan penentuan kebijakan yang berkaitan dengan
gender.
13
BAB IV METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian Penelitian ini
termasuk penelitian ex post facto, karena tidak ada perlakuan
maupun pengkondisian khusus pada sampel maupun populasi. Adapun
variabel yang akan diteliti adalah kecerdasan emosional (EQ) dosen
MIPA laki-laki dan perempuan dari berbagai Perguruan Tinggi di
Yogyakarta. B. Definisi Operasional Variabel Penelitian Variabel
dalam penelitian ini adalah kecerdasan emosional (EQ) dosen MIPA
laki-laki dan perempuan dari berbagai Perguruan Tinggi di
Yogyakarta. Kecerdasan emosional (EQ) yang dimaksud adalah skor
kecerdasan emosional yang diperoleh setelah dosen-dosen yang
menjadi sampel menjawab pernyataan yang ada dalam lembar angket
kecerdasan emosional yang berisi tentang aspekaspek kecerdasan
emosional, yaitu kemampuan untuk : mengenali emosi diri, mengelola
emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain,
dan membina hubungan. C. Populasi dan Sampel Penelitian 1. Populasi
Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh dosen MIPA
yang berasal dari Perguruan Tinggi UNY, UGM, UMY, UAD, UPN, UII,
USD, UIN Yogyakarta. 2. Sampel Penelitian Sampel dalam penelitian
ini sebanyak 20 dosen untuk setiap Perguruan Tinggi, sehingga
jumlah sampel seluruhnya sebanyak 160 dosen. Sampel diambil secara
purpossive random sampling, artinya pengambilan sampel dengan
mempertimbangkan rasio jenis kelamin dosen (laki-laki dan
perempuan) untuk setiap Perguruan Tinggi yang termasuk dalam
populasi.
14
D. Instrumen Penelitian Pada penelitian ini digunakan satu
instrumen berupa angket yang diadaptasi dari penelitian Ridwan
Saptoto (2002) sehingga perlu divalidasi. Angket divalidasi logis,
artinya secara logis butir-butir pernyataan tersebut telah memenuhi
syarat sebagai instrumen, karena pernyataan dijabarkan dari
aspekaspek kecerdasan emosional (EQ) yang diambil dari sumber
acuan. Angket kecerdasan emosional terdiri dari pernyataan positif
dan negatif yang dijabarkan dari aspek-aspek kecerdasan emosional
yang dikemukakan Solovey (Goleman, 2002 : 57 59) yaitu kemampuan
untuk : mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri
sendiri, mengenali emosi orang lain, dan membina hubungan. Adapun
kisi-kisi angket tersebut sebagai berikut : Tabel 1. Kisi-kisi
Angket Kecerdasan Emosional No. 1. 2. 3. 4. 5. Aspek Kecerdasan
Emosional Kemampuan untuk mengenali emosi diri Kemampuan untuk
mengelola emosi diri Kemampuan untuk memotivasi diri sendiri
Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain Kemampuan untuk membina
hubungan JUMLAH Pernyataan Positif Negatif 23, 41, 47, 6, 17, 37,
52, 54, 60 38, 42, 48 2, 22, 27, 3, 7, 10, 19, 50, 51, 56 36, 44
11, 13, 18, 4, 5, 30, 32, 24, 53, 58 35, 43 9, 15, 20, 1, 8, 12,
31, 21, 49, 55 34, 39 16, 28, 29, 14, 25, 26, 33, 45, 59 40, 46, 57
30 30 Jumlah 12 12 12 12 12 60
Setiap pernyataan terdapat 5 jawaban pilihan, yaitu Sangat
Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Pasti (TP), Tidak Sesuai (TS), dan
Sangat Tidak Sesuai (STS). Pernyataan positif diberi skor 5, 4, 3,
2, 1 dan pernyataan negatif sebaliknya. Angket selengkapnya
terdapat pada Lampiran 3. E. Teknik Pengumpulan Data Data berupa
skor total kecerdasan emosional dari setiap dosen yang menjadi
sampel sesuai dengan jumlah skor jawaban setiap pernyataan.
Selanjut-
15
nya skor EQ dari dosen laki-laki dipisahkan dengan dosen
perempuan untuk keperluan analisis data. F. Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelitian ini berupa skor kecerdasan
emosional dari setiap sampel yang dihitung melalui tahap-tahap
sebagai berikut : a. Memasukkan data skor tiap sampel ke dalam
tabel data dasar. Tabel 2. Tabel Data Dasar Kecerdasan Emosional
No. Sampel 1 1 2 3 4 dst JUMLAH b. Menghitung jumlah skor jawaban
dari setiap aspek dan seluruh aspek. c. Menghitung skor rata-rata
tiap aspek kecerdasan emosional dengan rumus : SA = N 1 + N 2 + N 3
+ Nx N Aspek Kecerdasan Emosional 2 3 4 Jumlah 5
Keterangan : SA = skor rata-rata suatu aspek (ada 5 aspek) N1,
N2, N3 = skor total suatu aspek dari sampel nomor 1, 2, 3 Nx = skor
total suatu aspek dari sampel nomor x N = jumlah seluruh sampel d.
Menghitung skor rata-rata seluruh aspek dengan rumus : ST = T1 + T2
+ T3 + Tx N = skor total seluruh aspek dari sampel nomor 1, 2,
3
Keterangan : ST = skor rata-rata seluruh aspek (ada 5 aspek) T1,
T2, T3 N Tx = skor total seluruh aspek dari sampel nomor x = jumlah
seluruh sampel
16
e. Selanjutnya, baik skor rata-rata setiap aspek maupun seluruh
aspek yang diperoleh dikonversikan secara kualitatif dengan
kriteria konversi yang diadaptasi dari Robert Ebel L. (1972 : 266)
sebagai berikut : Tabel 3. Konversi Data Kuantitatif ke Kualitatif
Presentasi Minat (Kuantitatif) 80 - 100 60 79 40 59 20 39 0 - 19
Kriteria (Kualitatif) Sangat tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat
rendah
Berdasarkan konversi tersebut maka dapat disimpulkan seberapa
tinggi tingkat kecerdasan emosional (EQ) guru-guru perempuan
pengajar MIPA SMA seKota Yogyakarta, baik untuk tiap aspek maupun
untuk keseluruhan aspek. f. Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan
EQ yang dimiliki dosen MIPA lakilaki dengan perempuan dilakukan
analisis statistik berupa uji beda, yaitu uji-t. Bila kita memiliki
dua rerata X1 dan X2 dengan simpangan baku yang sama secara
bermakna, maka suatu taksiran gabung untuk simpangan baku dapat
dihitung dari masing-masing simpangan baku s1 dan s2 dengan
menggunakan rumus (Miller, JC & Miller, JN, 1991: 49 50): s=2
{(n 1 1) s1 + (n 2 1) s 2 2} (n 1 + n 2 2)
Berdasarkan perhitungan s gabung, maka dapat dihitung t sebagai
berikut: t= ( X1 X 2 ) s 1 / n1 + 1 / n 2
Bila harga t-hitung lebih kecil daripada nilai t-tabel, berarti
tidak ada perbedaan pada kedua populasi.
17
BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian
Berdasarkan data yang diperoleh dari pengisian angket yang dijawab
oleh sampel mengenai kecerdasan emosional (EQ) yang meliputi lima
aspek, yaitu kemampuan untuk : mengenali emosi diri, mengelola
emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain,
dan membina hubungan, maka diperoleh rerata skor seperti tersaji
pada Tabel 4 berikut ini (data selengkapnya dapat dilihat pada
Lampiran 3, 4, dan 5). Tabel 4. Rerata Skor untuk Tiap Aspek
Kecerdasan Emosional No . 1. 2. 3. 4. 5. Aspek Kecerdasan Laki- %
(kriteria) Emosional laki Kemampuan untuk 3,86 77,2 menge-nali
emosi diri (tinggi) Kemampuan untuk 3,78 75,6 menge-lola emosi diri
(tinggi) Kemampuan untuk 4,12 82,4 memo-tivasi diri sendiri (sangat
tinggi) Kemampuan untuk 4,13 82,6 menge-nali emosi orang (sangat
lain tinggi) Kemampuan untuk 3,97 79,4 mem-bina hubungan (tinggi)
JUMLAH 3,98 79,6 (tinggi) Perem- % (kriteria) puan 3,77 75,4
(tinggi) 3,73 74,6 (tinggi) 3,86 77,2 (tinggi) 4,14 3,88 3,91 82,8
(sangat tinggi) 77,6 (tinggi) 78,2 (tinggi)
Berdasarkan kedua skor kecerdasan emosional (EQ) antara dosen
laki-laki dan perempuan, kemudian dilakukan analisis statistik
uji-t untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan EQ diantara keduanya.
Berdasarkan perhitungan diperoleh harga thitung sebesar 0,7537,
sedangkan harga ttabel pada derajat kebebasan 136 dan taraf
signifikansi 1% sebesar 3,737. Oleh karena thitung lebih kecil dari
ttabel, maka berarti tidak ada perbedaan yang signifikans skor EQ
antara dosen laki-laki dan perempuan.
18
B. Pembahasan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa
tinggi tingkat kecerdasan emosional (EQ) yang dimiliki oleh dosen
MIPA laki-laki dan perempuan dari berbagai Perguruan Tinggi di
Yogyakarta dan sekaligus melihat ada tidaknya perbedaan kecer-dasan
emosional (EQ) antara dosen MIPA laki-laki dengan perempuan dari
berbagai Perguruan Tinggi di Yogyakarta. Berdasarkan rerata skor
total seluruh aspek kecerdasan emosional (EQ) yang dijaring lewat
pernyataan-pernyataan dalam angket menunjukkan bahwa secara
keselu-ruhan berada pada kriteria tinggi, baik pada dosen laki-laki
(79,6%) maupun dosen perempuan (78,2%). Perbedaan skor yang relatif
sangat kecil (1,4%) menunjukkan bahwa hampir tidak ada perbedaan
antara keduanya. Hal ini dibuktikan dengan hasil analisis uji-t
yang menunjukkan tidak adanya beda EQ dari kedua kelompok dosen
berdasarkan jenis kelamin ini. Ditinjau dari masing-masing aspek EQ
yang dikumpulkan lewat angket, ada satu aspek dimana dosen
laki-laki berada pada kriteria sangat tinggi (82,4%) sedangkan
dosen perempuan berada pada kriteria tinggi (77,2%), yaitu aspek
kemampuan untuk memoti-vasi diri sendiri. Sebagaimana diketahui,
seorang perempuan selain harus menjalankan karirnya sebagai dosen,
ia juga memiliki peran domestik sebagai ibu rumah tangga. Dalam
menjalankan peran ganda ini sudah tentu ia harus mampu membagi
pikirannya dengan baik agar semuanya dapat dikerjakan secara lancar
dan tidak mengalami kendala. Motivasi diri tentu juga dimiliki
seorang dosen perempuan, tetapi tidaklah setinggi dosen laki-laki
yang tidak terbebani peran ganda tersebut. Aspek ini diwakili oleh
pernyataan angket nomor 4, 5, 11, 13, 18, 24, 30, 32, 35, 43, 53,
dan 58. Hasil perhitungan dari ke-12 pernyataan tersebut,
pernyataan nomor 32 memiliki perbedaan skor rerata yang jauh
berbeda antara dosen perempuan dan laki-laki, yaitu 3,31 untuk
dosen perempuan dan 4,46 untuk dosen laki-laki. Pernyataan nomor 35
berbunyi : Saya menjadi malas belajar lebih mendalam mata pelajaran
yang saya ampu ketika mengetahui penilaian pelaksanaan pekerjaan
saya jelek. Hal ini karena sebagian besar perempuan memiliki sifat
membawa kekecewaan terlalu lama yang berdampak pada kinerjanya.
Sebaliknya
19
pada dosen laki-laki, sebagian kecil menganggap kekecewaan
sebagai dorongan untuk memperbaiki diri. Semua ini karena perempuan
lebih mengede-pankan emosional daripada rasional (Kartini Kartono,
1977 : 190). Demikian juga pernyataan nomor 18 yang berbunyi : Saya
mampu belajar mata pelajaran yang saya ampu secara rutin
menunjukkan skor rerata dosen perempuan (3,81) lebih kecil
dibandingkan dosen laki-laki (4,22). Hal ini dapat dipahami karena
setelah sampai rumah, perempuan harus melakasanakan peran
domestiknya, mulai dari pekerjaan yang sederhana sampai yang
kompleks. Konsekuensi dari semua ini berujung pada rasa capek yang
berpengaruh pada pengembangan diri yang tidak memadai, baik dari
segi waktu maupun tenaga. Secara psikologis, keadaan ini
berpengaruh pada ketidakberdaya-an perempuan, menarik diri dari
lingkungan, dan penurunan motivasi (Kendall & Ham-men, 1984).
Peran domestik yang bersifat fisik, seperti memasak, mencuci,
mengepel, bagi sebagian dosen dapat dilimpahkan pada pembantu rumah
tangga (domestic workers), tetapi bukan berarti mereka lalu tidak
mengambil bagian dari peran domestik itu sendiri. Bagaimanapun
juga, kaum perempuan setelah di rumah pasti berkeinginan mengurus,
merawat, dan mendidik anak mereka sendiri. Selain aspek tersebut,
empat aspek lainnya memiliki kriteria yang sama, meski jika
ditinjau dari skor reratanya ada perbedaan. Sebagai contoh, pada
aspek kemampuan untuk mengenali emosi diri, ternyata dosen
laki-laki sedikit lebih tinggi skor-nya dibandingkan dosen
perempuan. Ditinjau dari butir-butir pernyataan yang mewakili aspek
ini, nampak bahwa dosen laki-laki lebih dapat memisahkan
perasaannya dari pekerja-annya. Hal ini tercermin dari jawaban
mereka atas pertanyaan yang berkaitan dengan perasaan sedih, risau,
marah, rasa bersalah dan kegundahan mereka yang tidak terlalu
dipikirkan ketika menghadapinya. Demikian juga aspek kemampuan
untuk membina hubungan, ternyata dosen laki-laki menunjukkan skor
rerata yang sedikit lebih tinggi. Hal ini nampaknya bertentangan
dengan kenyataan yang menyatakan bahwa sifat perempuan pada umumnya
luwes dan lebih mudah berkomunikasi dan bergaul. Hal ini mungkin
juga disebabkan oleh pengkondisian di berbagai institusi yang
20
tidak memberikan kesempatan yang sama bagi dosen perempuan untuk
dilibatkan dalam negosiasi kerja, baik hubungan antar rekanan
maupun antar institusi. Secara keseluruhan penelitian ini telah
berhasil membuktikan pada kita semua, bahwa kecerdasan emosional
(EQ) antara dosen laki-laki dan perempuan tidak berbeda secara
signifikan. Hal ini menunjukkan pula pada kita bahwa memang secara
kodrati antara laki-laki dan perempuan berbeda seks (jenis
kelamin), namun dari segi peran dan fungsinya di masyarakat
sesungguhnya tidak ada perbedaan. Kecerdasan emosional (EQ) sebagai
sisi lain dari kecerdasan yang dimiliki seseorang yang dianggap
berkaitan dengan sifat-sifat yang dibangun atas dasar konstruksi
sosial dan budaya kita ternyata pada kenyataannya tidak memberikan
pembedaan diantara kedua jenis kelamin. Menurut Mansour Fakih (2001
: 8) sifat perempuan adalah lemah lembut, cantik, emosional, dan
keibuan. Namun ternyata sifat tersebut terbukti tidak berkaitan
dengan tingginya kecerdasan emosional (EQ) yang dimiliki.
Sebaliknya sifat laki-laki yang lebih mengedepankan rasional dalam
segala tindakannya, ternyata justru ia memiliki sisi-sisi
kecerdasan emosional yang lebih tinggi atau sama dengan kaum
perempuan. Oleh karena itu sangat wajar bila kesempatan kerja yang
diberikan saat ini di berbagai instansi tidak perlu lagi
mempertimbangkan jenis kelamin, jika instansi tersebut hanya ingin
menuntut kinerja. Jam kerja laki-laki dan perempuan secara global
saat ini tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (Mansour
Fakih, 2001 : 158), berarti fungsi dan peran perempuan tidak
dipermasalahkan lagi dalam dunia kerja. Anggapan bahwa perempuan
lemah di bidang sains dan laki-laki lemah di bidang bahasa perlu
dihilangkan, karena pemahaman itu akan membelenggu kedua belah
pihak dalam pengembangan diri secara optimal (Retno Suhapti, 1995).
Makna yang lebih mendalam dari hasil penelitian ini, bahwa dengan
tidak adanya pengaruh jenis kelamin terhadap besarnya EQ, maka
berarti sudah sewajarnya kita tidak perlu mempermasalahkan jenis
kelamin dalam segala aktivitas yang berkaitan dengan peningkatan
sumber daya manusia di lingkungan Perguruan Tinggi, karena kualitas
kinerja seseorang tidak ditentukan oleh jenis kelamin tetapi lebih
pada semangat dan motivasi diri dari individu masing-masing
21
dosen untuk maju dan berkembang. Menumbuhkan budaya kerja yang
baik lebih penting daripada memperbincangkan masalah jenis kelamin.
Jepang telah memulai mengarahkan perempuan pada pekerjaan teknologi
tinggi, bukan hanya pada jalur administrasi dan kesekretariatan
(Gary Dessler, 2003 : 49). Kini saatnya di Indonesia memberikan
kesempatan pada kaum perempuan untuk mencapai level
profesional.
22
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan analisis
data penelitian, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1.
Tingkat kecerdasan emosional (EQ) yang dimiliki oleh dosen MIPA
laki-laki dan perempuan dari berbagai Perguruan Tinggi di
Yogyakarta memiliki skor rerata berturut-turut 79,6% (kriteria
tinggi) dan 78,2% (kriteria tinggi). 2. Tidak ada perbedaan yang
signifikan kecerdasan emosional (EQ) antara dosen MIPA laki-laki
dengan perempuan dari berbagai Perguruan Tinggi di Yogyakarta. B.
Saran Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disarankan adanya
penelitian lebih lanjut terhadap sampel yang bukan hanya dosen MIPA
tetapi dosen berbagai bidang ilmu, dan juga tidak hanya dosen,
tetapi profesi lain, khususnya profesi dimana peran serta perempuan
atau laki-laki dirasakan tidak seimbang dari segi kuantitas. Hal
ini sebagai informasi penting bagi instansi terkait mengenai ada
tidaknya perbedaan EQ tenaga kerja yang mereka pekerjakan selama
ini. Selain itu informasi tentang besarnya EQ yang dimiliki tenaga
kerja juga bermanfaat dalam memanajemen profesionalisme mereka.
23
DAFTAR PUSTAKA Borko, Hilda, et. Al. (1992). Learning to Teach
Hard Mathematics : Do Novice Teachers and their Instructurs Give Up
too Easly ? Journal for Reseach in Mathematics Education. Vol. 23,
No. 3, May 1992. Goleman, Daniel. (2001). Kecerdasan Emosi untuk
Mencapai Puncak Prestasi. Terjemahan : Alex tri Kantjoro Widodo.
Jakarta : Gramedia. ............................... (2002).
Emotional Intelligence. Terjemahan : T. Hermaya. Jakarta :
Gramedia. Gunstone, R. F. (1991). Science Education : Secondary
School (dalam The International Encyclopedia of Curriculum). Oxford
: Pergamon Press. Kartini Kartono. (1977). Psikologi Wanita.
Bandung : Alumni. Lynn, R., Irwing P., Cammock, T. (2002). Sex
Differences in General Knowledge. Journal Intelligence. 20. 27 39.
Muchalal. (2000). Meningkatkan Pembelajaran MIPA Di SMU. Makalah
Ilmiah ; 14 Mei 2000. Yogyakarta Mohamad Ali. (1984). Pengembangan
Kurikulum di Sekolah. Bandung : Sinar Baru. Nasution, S. (1987).
Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar. Jakarta :
Bina Aksara. Reisman, Fradericka, K. (1981). Teaching Mathematics
Methods and Contents. Boston : Houghton Mifflin Company. Ridwan
Saptoto. (2002). Hubungan Kecerdasan Emosi dengan Coping Adaptif.
Yogyakarta : Skripsi Fakultas Psikologi UGM. Shapiro, Lawrence, E.
(1997). Mengajarkan Emotional Intelligence pada Anak. Jakarta :
Gramedia. Suharsono. (2004). Melejitkan IQ, IE, dan IS. Jakarta :
Inisiasi Press. Suharsimi Arikunto. (1995). Dasar-dasar Evaluasi
Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara. Tjipto Utomo dan Kees Ruijter
(1994). Peningkatan dan Pengembangan Pendidikan. Cetakan kelima.
Jakarta : Gramedia.
24
Vinner, S. (1991). New Mathematics (dalam The International
Encyclopedia of Curriculum). Oxford : Pergamon Press.
25
LAMPIRAN 1. ANGKET KECERDASAN EMOSIONAL Nama :
.................................................... SMA :
................................................... Lama mengajar :
................................................... Pendidikan
Terakhir : ...................................................
Petunjuk : Bapak / Ibu Dosen yang kami hormati, mohon berkenan
menjawab setiap pernyataan / soal di bawah ini dengan cara memberi
tanda centhang (V) pada kolom jawaban yang tersedia, yaitu SS
(Sangat Sesuai), S (Sesuai), TP (Tidak Pasti), TS (Tidak Sesuai)
dan STS (Sangat Tidak Sesuai) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
11. Pernyataan SS Saya tidak tergerak untuk menghibur teman yang
sedang kecewa. Saya mudah melepaskan diri dari kecemasan-kecemasan
yang menghantui perasaan saya. Kemarahan yang saya alami
berlangsung dalam waktu yang lama.. Saya segan bertanya kepada
teman ketika tidak mengetahui sesuatu karena takut dianggap bodoh.
Kekurangpahaman tentang pengetahuan mata pelajaran yang saya
ajarkan membuat saya rendah diri. Saya sulit melakukan berbagai
aktivitas dengan baik ketika sedih. Berbagai perasaan negatif
terus-menerus muncul dalam diri saya ketika saya tersinggung.
Mendengarkan pendapat orang lain hanya akan memperlama pengambilan
keputusan. Saya dapat mengetahui bahwa seseorang sedang sedih
dengan mendengarkan nada bicaranya. Saya sulit untuk mengendalikan
diri ketika marah. Saya mendahulukan mengerjakan pekerjaan yang
menjadi tugas saya daripada bermain dengan teman-teman. Jawaban S
TP TS STS
26
No. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26.
27. 28.
Pernyataan SS Saya merasa terancam dengan pendapat orang lain
yang berbeda dengan pendapat saya. Saya meyakini bahwa saya sanggup
menyelesaikan berbagai tugas yang ada pada pekerjaan saya. Saya
sulit bekerjasama dengan temanteman satu profesi. Saya mampu
mendengarkan keluh kesah teman. Saya mampu memberikan dukungan
kepada teman yang sedang mengalami musibah. Saya tidak mempedulikan
perasaan-perasaan yang sedang saya alami. Saya mampu belajar mata
pelajaran yang saya ampu secara rutin. Sulit bagi saya untuk segera
bangkit dari kemurungan yang saya alami. Saya mampu merasakan
kesedihan teman yang mendapatkan penilaian pelaksanaan pekerjaan
jelek. Saya tergerak untuk menolong korban kecelakaan lalu lintas.
Mudah bagi saya untuk menghibur diri ketika sedang murung. Saya
merasa yakin bahwa semester ini, penilaian pelaksanaan pekerjaan
saya bagus. Saya mampu berusaha lebih giat lagi untuk mendapat
penilaian pelaksanaan pekerjaan yang lebih baik. Saya merasa sulit
berkomunikasi dengan teman-teman satu kelompok dosen MIPA. Saya
merasa sulit memperbaiki hubungan dengan teman yang pernah
bertengkar dengan saya. Saya mampu mengungkap ketidaksukaan saya
kepada orang yang membuat saya jengkel tanpa kehilangan kendali.
Kesopanan membuat saya mampu bergaul secara akrab di dalam
masyarakat. S
Jawaban TP TS
STS
27
No. 29. 30. 31.
Pernyataan SS Saya mampu mendamaikan konflik yang terjadi
diantara teman-teman. Saya malas mencari alternatif cara
penyelesaian lain ketika cara penyelesaian yang saya lakukan
ternyata salah. Saya tidak tergerak untuk mengemukakan berbagai
cara penyelesaian masalah kepada teman yang sedang menghadapi
masalah. Saya menjadi malas belajar lebih mendalam mata pelajaran
yang saya ampu ketika mengetahui penilaian pelaksanaan pekerjaan
saya jelek. Saya mampu menenangkan hati teman saya yang sedang
goncang karena menghadapi suatu masalah. Saya tidak merasa bersalah
ketika menjelek-jelekkan orang lain, karena memang dia pantas
mendapatkannya. Saya mudah kehilangan semangat ketika menemui
kesulitan dalam mengerjakan berbagai tugas yang ada pada bidang
pekerjaan saya. Saya terus-menerus memikirkan berbagai hal yang
menyebabkan saya kecewa. Saya letih dengan naik turunnya perasaan
yang saya alami. Saya tidak tahu mengapa saya merasa begitu malas
untuk mempersiapkan mata pelajaran yang saya ampu. Saya tidak mau
ambil pusing apakah katakata saya menyinggung hati orang lain atau
tidak. Saya merasa sulit mengkoordinasikan teman-teman dalam satu
kelompok. Saya bersedia mempertanggungjawabkan kesalahan yang saya
lakukan. Saya tidak mengetahui penyebab perasaan sedih yang saya
alami. Saya kurang bergairah untuk mengerjakan tugas-tugas yang ada
pada bidang pekerjaan saya. S
Jawaban TP TS
STS
32.
33. 34. 35.
36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43.
28
No. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56. 57. 58.
59. 60.
Pernyataan SS Saya terus-menerus memikirkan kegagalan yang saya
alami, sehingga saya merasa tertekan. Saya mampu mencegah timbulnya
konflik diantara teman-teman. Saya segan mengawali pembicaraan
dengan orang lain yang belum saya kenal. Saya mengetahui penyebab
perasaan tidak bahagia yang saya alami dalam hidup ini. Saya tidak
tahu apa yang harus saya lakukan ketika marah. Saya mampu
menghargai pendapat orang lain yang lebih muda usianya dari saya.
Mudah bagi saya untuk segera bangkit dari kemalasan yang saya
alami. Mudah bagi saya untuk berprasangka baik terhadap orang lain
yang telah menyinggung hati saya. Saya mengetahui penyebab
kerisauan yang saya alami. Saya mampu memperbaiki kegagalan
sehingga menjadi suatu keberhasilan. Saya mampu tetap tenang
menghadapi berbagai masalah. Saya dapat mengetahui bahwa seseorang
sedang marah dengan melihat ekspresi wajahnya. Saya mudah memaafkan
orang yang telah menyinggung hati saya. Saya merasa kurang
dihiraukan. Saya memiliki kemampuan untuk mengerjakan berbagai
tugas yang ada pada bidang pekerjaan saya dengan baik. Saya mudah
menyesuaikan diri dalam lingkungan yang berbeda-beda. Saya tetap
berpikir jernih pada saat marah. S
Jawaban TP TS
STS
Terima kasih atas bantuan yang telah diberikan. Mohon diperiksa
kembali untuk memastikan tidak ada bagian yang terlewati.
29
Lampiran 2. PERSONALIA PENELITIAN 1. Ketua Peneliti a. Nama
Lengkap dan Gelar c. Jabatan Fungsional d. Fakultas / Program Studi
e. Perguruan Tinggi f. Bidang Keahlian g. Waktu untuk Penelitian 2.
Anggota Peneliti 1 a. Nama Lengkap dan Gelar c. Jabatan Fungsional
d. Fakultas / Program Studi e. Perguruan Tinggi f. Bidang Keahlian
g. Waktu untuk Penelitian 3. Anggota Peneliti 2 a. Nama Lengkap dan
Gelar c. Jabatan Fungsional d. Fakultas / Program Studi e.
Perguruan Tinggi f. Bidang Keahlian g. Waktu untuk Penelitian : Das
Salirawati, M.Si. : Lektor : FMIPA / Pendidikan Kimia : Universitas
Negeri Yogyakarta : Pendidikan Kimia / Biokimia : 12 jam / minggu
b. Golongan Pangkat dan NIP : III/c / Penata / 132001805 : Rr. Lis
Permana Sari, M.Si. : Lektor : FMIPA / Pendidikan Kimia :
Universitas Negeri Yogyakarta : Pendidikan Kimia / Kimia Anorganik
: 12 jam / minggu b. Golongan Pangkat dan NIP : III/b / Penata Muda
Tk. I/ 132049520 : Regina Tutik Padmaningrum, M.Si. : Lektor :
FMIPA / Pendidikan Kimia : Universitas Negeri Yogyakarta :
Pendidikan Kimia / Biokimia : 12 jam / minggu b. Golongan Pangkat
dan NIP :
30
KAJIAN WANITA
PENGARUH JENIS KELAMIN DOSEN TERHADAP KECERDASAN EMOSIONAL (EQ)
DI BERBAGAI PERGURUAN TINGGI DI YOGYAKARTA.
USUL PENELITIAN
Oleh : Rr. Lis Permana Sari, M.Si Das Salirawati, M.Si Regina
Tutik Padmaningrum, M.Si
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI
YOGYAKARTA MARET, 2006
31