83 EMPAT KEHADIRAN PT INDO MURO KENCANA Pengantar Untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi tentunya Indonesia membutuhkan investasi yang besar agar dapat menggerakkan perubahan-perubahan variabel dalam jangka panjang baik pada struktur permintaan maupun perubahan pada penawaran seperti yang dikatakan oleh Mier and Baldwin (1957). Dengan adanya perubahan dari variabel tersebut pada akhirnya mampu melakukan transformasi masyarakat seperti yang disarankan Rostow (1960) melalui pembangunan. Pada masa pemerintahan SBY (2009-2014), Indonesia membutuhkan investasi sebesar Rp. 2.000 triliun sehingga dapat mendorong laju pertumbuhan ekonomi mencapai 7% dalam lima tahun. Dipihak lain kemampuan pemerintah Indonesia hanya mampu menyediakan dana sebesar 20% atau Rp. 400 triliun, sedangkan sisanya Rp. 1.600 triliun (80%) berasal dari sektor swasta baik dari dalam negeri maupun luar negeri termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dampaknya adalah pemerintah Indonesia dalam kebijakan harus membuka pintu selebar-lebarnya agar para investor agar dapat menginvestasikan modalnya untuk Indonesia. Meskipun investasi yang dimiliki terbatas, namun Indonesia memiliki kemungkinan menjadi negara industri maju dikarenakan; (1) Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan mineral
33
Embed
EMPAT KEHADIRAN PT INDO MURO KENCANA IV.pdfSetelah berakhirnya perang pasifik dan penyerahan kedaulatan . dari Belanda ke Indonesia, sejumlah usaha pertambangan masih di bawah pengawasan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
83
EMPAT
KEHADIRAN PT INDO MURO
KENCANA
Pengantar
Untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi tentunya Indonesia
membutuhkan investasi yang besar agar dapat menggerakkan
perubahan-perubahan variabel dalam jangka panjang baik pada
struktur permintaan maupun perubahan pada penawaran seperti yang
dikatakan oleh Mier and Baldwin (1957). Dengan adanya perubahan
dari variabel tersebut pada akhirnya mampu melakukan transformasi
masyarakat seperti yang disarankan Rostow (1960) melalui
pembangunan.
Pada masa pemerintahan SBY (2009-2014), Indonesia
membutuhkan investasi sebesar Rp. 2.000 triliun sehingga dapat
mendorong laju pertumbuhan ekonomi mencapai 7% dalam lima
tahun. Dipihak lain kemampuan pemerintah Indonesia hanya mampu
menyediakan dana sebesar 20% atau Rp. 400 triliun, sedangkan sisanya
Rp. 1.600 triliun (80%) berasal dari sektor swasta baik dari dalam
negeri maupun luar negeri termasuk Badan Usaha Milik Negara
(BUMN). Dampaknya adalah pemerintah Indonesia dalam kebijakan
harus membuka pintu selebar-lebarnya agar para investor agar dapat
menginvestasikan modalnya untuk Indonesia.
Meskipun investasi yang dimiliki terbatas, namun Indonesia
memiliki kemungkinan menjadi negara industri maju dikarenakan; (1)
Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan mineral
ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual
84
terlengkap di dunia, walaupun bukan aktor utama dunia dalam
keseluruhan raw material, namun Indonesia memiliki hampir sebagian
besar sumber mineral penting; dan (2) Indonesia memiliki sumber
energi yang relatif besar dan beragam jenisnya, mulai dari minyak
bumi, gas, batubara dan sumber-sumber energi terbaharukan lainnya
(Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan Pusat
Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, 2013). Bachrawi (1984)
mengidentifikasi jenis sumber daya alam yang ada di Indonesia, antara
lain: (1) Minyak Bumi; (2) Batu Bara; (3) Biji Besi; (4) Tembaga; (5)
Bauksit; (6) Emas dan Perak; (7) Marmer; (8) Belerang; (9) Yudium;
(10) Nilel; (11) Gas Alam; (12) Mangang; dan (13) Grafit. Misalnya
untuk keadaan beberapa sumber daya dan cadangan tambang dan
mineral diperlihatkan pada tabel 4.1. di bawah ini.
Tabel 4.1. Gambaran Keadaan Beberapa Sumber Daya dan
Cadangan Tambang dan Mineral di Indonesia Tahun 2011 (juta ton bijih)
No. Komoditi Sumber Daya Cadangan
1. Tembaga 4925 4161
2. Bauksit 551 180
3. Nikel 2633 577
4. Pasir Besi 1649 5
5. Besi Laterit 1462 106
6. Besi Primer 563 30
7. Besi Sedimen 18 -
8. Mangan 11 4
9. Emas Alluvial 1455 17
10. Emas Primer 5386 4231
11. Perak 3404 4104
12. Seng 577 7
13. Timah 354 0,7
14. Timbal 363 1,6
Sumber : Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, 2013
Meskipun memiliki potensi hampir sebagian besar sumber mineral
penting, namun kemampuan Indonesia untuk mengelola dan
mengembangkan potensi sumber mineral tersebut “terbatas” (Irwandy,
2007). Salah satunya adalah terbatasnya kemampuan dalam menguasai
teknologi eksplorasi, eksploitasi hingga ekstraksi atau pemurnian akan
Kehadiran PT Indo Muro Kencana
85
hasil-hasil tambang mineral (Sudradjat, 1999 dan Perhimpunan Ahli
Pertambangan Indonesia, 2002). Hal yang mungkin dilakukan
pemerintah Indonesia adalah mengundang hadirnya investor asing
yang memiliki dan menguasai teknologi agar kandungan dari potensi
sumber daya mineral yang dimiliki Indonesia dapat dimanfaatkan.
Implikasi dari kebijakan ini, hampir sebagian besar atau sebanyak 80%,
investasi di sektor pertambangan mineral adalah berasal dari
perusahaan multinasional, salah satunya adalah PT Indo Muro Kencana
atau disingkat PT IMK. Apa dan bagaimana masuknya PT IMK serta
dampak yang muncul akan menjadi topik bahasan di bab ini.
Sejarah Pertambangan
Selama beratur-ratus tahun yang lalu, kebutuhan akan sumber
daya mineral terus mengalami perkembangan, dari keperluan akan
perhiasan, peralatan rumah tangga, pertanian, transportasi sampai
kepada industri persenjataan (Manulang, 2002:11). Menurut catatan
sejarah, pertambangan di Indonesia diprakarsai oleh orang Hindu dan
Cina sebagai pendatang yang mencari emas sekitar tahun 700 SM
kemudian dilanjutkan dengan timah sekitar tahun 1700-an (Soesastro
dan Sudarsono, 1988). Usaha pertambangan tidak menunjukkan
perkembangan yang berarti di Indonesia, karena orang-orang pribumi
umumnya lebih memilih bertani daripada kerja tambang yang
cenderung beresiko dan bersifat untung-untungan.
Seluruh kegiatan pertambangan di Indonesia awal mulanya hanya
diusahakan oleh rakyat dengan skala usaha yang tidak besar dan relatif
belum tersentuh oleh intervensi kapital yang intensif. Pada akhir abab
ke-19 seiring dengan masuknya orang-orang Belanda menjajah
Indonesia, potensi pertambangan di Indonesia mulai dikembangkan.
Namun perkembangan berlangsung lamban, dikarenakan kebijakan
pemerintahan kolonial Belanda lebih berorientasi pada sektor
pertanian dan perlakuan kepada orang-orang pribumi lebih dijadikan
sebagai buruh kasar dan bukan sebagai mandor ataupun pengawas di
perusahaan pertambangan Belanda. Kebijakan ini dilatarbelakangi
karena sumberdaya mineral merupakan sesuatu yang berharga dan
ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual
86
bernilai tinggi, maka keterlibatan orang pribumi hanya dijadikan
buruh sebagai upaya secara sistematis pihak Belanda menjauhkan
masyarakat Indonesia dalam dunia pertambangan. Dampaknya adalah
sebagian terbesar masyarakat Indonesia hingga kini, awam dalam soal
pertambangan dan menganggap bidang geologi dan pertambangan
sebagai sesuatu yang eksklusif.
“Vereenigde Oostindische Compagnie” atau disingkat dengan
VOC merupakan perusahaan pertama yang mengambil alih usaha
pertambangan perak di Salida, Sumatera Barat, pada tahun 1669, yang
sebelumnya dikuasai oleh penambang rakyat terutama oleh orang-
orang Hindu. Pengambil-alihan ini dilakukan karena pemerintah
Belanda kekurangan logam perak untuk pembuatan mata uang (Sigit,
1995:5). Baru setelah pemerintah Hindia Belanda kembali memperoleh
kekuasaan dari pemerintah Inggris tepatnya tahun 1811, bermunculan
perusahaan pertambangan swasta dan perorangan Belanda untuk
mengeksploitasi dua jenis mineral, yakni timah dan batu bara. Untuk
mengendalikan usaha pertambangan tersebut, pemerintah Hindia
Belanda mengeluarkan Peraturan Pertambangan (mijnreglement) yang
pertama pada tahun 1850 yang memungkinkan pemberian hak
pertambangan kepada swasta warga negara Belanda, dan wilayah
tambangnya terbatas hanya daerah-daerah di luar pulau Jawa.
Konsesi pertambangan pertama diberikan kepada swasta oleh
pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1850 untuk penambangan
timah di pulau Belitung. Selanjutnya pada tahun 1852, pemerintah
Hindia Belanda juga mendirikan “Dienst van het Mijnwezen” (Jawatan
Pertambangan) untuk melakukan eksplorasi geologi pertambangan di
beberapa daerah. Meskipun sudah ada jawatan pertambangan, baru
tahun 1899 pemerintah Hindia Belanda berhasil mengundangkan
“indiche Mijnwent”, yaitu Undang-Undang Pertambangan untuk
Hindia Belanda, sedang peraturan pelaksanaannya baru menyusul
terbit pada tahun 1906 dalam bentuk “Mijnordonantie”.
Dengan keluarnya Undang-Undang, pertambangan di Indonesia
terus mengalami perkembangan dan puncaknya terjadi pada tahun
1918 menjelang pecah Perang Dunia II. Beberapa proyek pertam-
Kehadiran PT Indo Muro Kencana
87
bangan yang dimiliki Pemerintah Hindia Belanda pada saat itu seperti
tambang batubara Ombilin, Tambang Timah Bangka, dan Tambang
Bukit Asam. Pemerintah Hindia Belanda juga memberi beberapa
proyek besar seperti pengembangan tambang nikel di Sulawesi
Tenggara kepada pihak swasta untuk mendapat hak pengusahaannya
berdasarkan kontrak khusus dari pemerintah yang dikenal dengan
sebutan 5a contract (vijf a contrac), terutama pada ketentuan pasal 5a
indiche Mijnwent. Tambang lainnya adalah tambang emas (Bengkalis,
Cikokok, Woyla, Rejang Lebong dan Simau di Bengkulu), tambang
bauksit (pula Bintan), tambang nikel (Pomala) dan lainnya.
Kegiatan usaha pertambangan pada masa pemerintah Hindia
Belanda sempat terhenti akibat krisis ekonomi (malaise) pada tahun
1930. Secara geologi, hanya 5% luas daratan Indonesia yang sudah
dipetakan cukup rinci dan sistematis, 75%-nya lagi hanya disurvey
secara kasar, sedangkan sisanya 20% masih belum diketahui sama
sekali geologinya. Karenanya tidak ada seorangpun pakar dari geologi
pertambangan Belanda pada waktu itu, yang dapat meramalkan masa
depan pertambangan Indonesia.
Menyerahkan tentara Kerajaan Hindia Belanda KNIL kepada
balatentara Jepang (08 Maret 1942), ternyata tidak semua tambang di
Indonesia dibumihanguskan oleh Hindia Belanda. Beberapa tambang
masih dapat diusahakan dan dibuka kembali oleh balatentara Jepang
untuk memenuhi kebutuhan perang, seperti tambang batu bara.
Pemerintah balatentara Jepang juga membuka sejumlah tambang baru,
seperti tambang tembaga, bijih besi, sinaber, bijih manggan dan
bauksit. Perkembangan ini menunjukkan adanya kemajuan dalam
usaha pertambangan di Indonesia hingga akhir perang pasifik pada
tahun 1949 (Sigit, 1995:10).
Setelah berakhirnya perang pasifik dan penyerahan kedaulatan
dari Belanda ke Indonesia, sejumlah usaha pertambangan masih di
bawah pengawasan dan dikuasai oleh modal Belanda dan modal asing
lainnya belum dapat diambil-alih sepenuhnya oleh pemerintah
Indonesia. Baru tahun 1958 dengan muncul UU No. 78 tentang modal
asing oleh DPRS di mana salah satunya pasalnya (pasal 3) menyatakan
ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual
88
perusahaan-perusahaan pertambangan bahan-bahan vital tertutup bagi
modal asing.
Meskipun UU No. 78 Tahun 1958 sudah disahkan, bukan berarti
usaha pertambangan di Indonesia mengalami perkembangan yang
berarti sampai tahun 1952. Salah satu penyebabnya adalah terjadinya
pergantian kabinet sehingga pembahasan rencana UU Pertambangan
belum sempat dibahas dan ditetapkan. Baru pada tahun 1959
pemerintah menerbitkan UU No. 10 tentang Pembatasan Hak-Hak
Pertambangan, kemudian ketentuan pelaksanaannya diterbitkan dalam
bentuk Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1959. Selanjutnya pada
tahun 1960 keluar Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1960 tentang
Pertambangan yang statusnya adalah Peraturan Pemerintah Pengganti
UU (Perpu), yang selanjutnya bisa disebut dengan UU No. 37 Prp
Tahun 1960. UU No. 37/Prp/1960 atau UU Pertambangan 1960 sangat
membatasi peran swasta, terlebih lagi modal asing, dalam pengusahaan
pertambangan di Indonesia.
Namun demikian ketentuan ini tidak mengurangi hak negara
untuk menggunakan modal asing dalam bentuk pinjaman atau dengan
perjanjian khusus melalui konsep production sharing. Perjanjian
khusus ini kemudian dituangkan dalam Peraturan Presiden No. 20
Tahun 1963 tentang Pemberian Fasilitas bagi proyek-proyek yang
dibiayai dengan kredit luar negeri di mana penyediaan teknologi oleh
pihak luar negeri dengan cara kredit yang akan diatur dengan produk
hasil usaha berdasarkan persentase. Sayangnya dengan keluarnya
Peraturan Presiden ini belum berhasil mendatangkan minat swasta
sebagaimana diharapkan, meskipun permintaan dunia terhadap bahan
tambang meningkat, seperti bauksit, bijih besi, mangan, tembaga, dan
bahan tambang lainnya.
Minat swasta menginvestasikan dananya untuk usaha
pertambangan di Indonesia selama kurun waktu 1950-1966 masih
terbatas, namun ada sejumlah proyek pertambangan yang dapat
dijalankan pemerintah dengan bantuan luar negeri antara lain untuk
pencaharian bijih besi dan batubara kokas di Kalimantan dan Sumatera
dalam rangka Proyek Besi Baja dan batuan fosfat serta belerang,
Kehadiran PT Indo Muro Kencana
89
terutama di Jawa dan Nusa Tenggara Timur untuk Proyek Superfosfat
dan proyek lainnya.
Usaha pertambangan di Indonesia mulai bangkit kembali ketika
pemerintah mengeluarkan beberapa perundang-udangan, diantaranya
adalah UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pertambangan. UU No. 11/1967 dibandingkan dengan UU No.
37/Prp/1960 lebih memberi kesempatan yang lebih luas bagi pihak
swasta untuk berusaha dalam bidang pertambangan. Selain
kemantapan peraturan perundang-undangan untuk jangka panjang
juga diperlukan stabilitas situasi politik dan keamanan dalam negeri di
mana kondisi ini mampu dipenuhi oleh pemerintah Orde Baru.
Dengan dikeluarkannya UU ini, ada sejumlah penandatangani
Kontrak Karya (KK) pertambangan yang memberikan hak kepada
investor untuk melaksanakan usahanya, sejak tahap survei, eksplorasi
sampai eksploitasi – pengolahan – penjual hasil usaha tambangnya,
atau tanpa adanya pemisahan antara tahap pra-produksi dan tahap
operasi produksi. Lebih jelas tahapannya dapat dilihat pada gambar 4.1.
dibawah ini.
Sumber : Sudiyanto, 2011
Gambar 4.1.
Tahapan Umum Kegiatan Pertambangan
ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual
90
Sejak tahun 1967 sampai tahun 2000, tercatat 215 buah
perusahaan swasta yang menanamkan modalnya dan masih eksis, 4
buah BUMN, dan kurang lebih 11 Koperasi terlibat dalam usaha
pertambangan di Indonesia. Diantara 215 buah perusahaan swasta yang
menanamkan investasinya, tercatat 43 buah adalah PMA (Penamaman
Modal Asing) dan 172 PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri)
dengan nilai kumulatif investasi per Juni 1996 sebesar U$
6.357.083.000,00 untuk PMA dan Rp. 3.308.189.000.000,00 untuk
PMDN. PMA yang masuk berasal dari Jepang, Canada, Australia,
Amerika, Perancis, Inggris, Cina, dan Malaysia seperti yang
diperlihatkan pada gambar 4.2. di bawah ini.
Sumber : LMMDDKT, 2012
Gambar 4.2. Sebaran PMA Pertambangan di Indonesia
Penanaman Modal Asing pertama yang mendapatkan Kontrak
Karya (KK) dari Pemerintah Indonesia adalah PT. Freeport Indonesia
Inc. dari USA, disusul beberapa perusahaan lainnya, seperti ALCOA,
Bilton Mij, INCO, Kennecott, Rio Tinto, Barrick, dan Newmon dan US
Steel. Selain perusahaan Amerika, ada beberapa perusahaan dari
Australia, antara lain Aberfoyle, Aurora Gold, BHP, Laverton Gold,
Lone Star Exploration, Meekatharra Minerals, North Ltd, Newcrest,
Normandy, dan Pelsart Resources. Untuk investor domestik umumnya
Kehadiran PT Indo Muro Kencana
91
belum berminat menginvestasikan dananya untuk usaha pertambangan
dikarenakan usaha ini sangat spesifik, high risk, high capacity dan high technology. Usaha pertambangan misalnya, harus didahului kegiatan
eksplorasi yang membutuhkan waktu beberapa tahun dengan modal
dan risiko kegagalan yang tinggi. Kalaupun eksplorasi berhasil, masa
pra-produksi membutuhkan waktu beberapa tahun bahkan bisa lebih
dari 10 tahun.
Masuknya PMA menunjukkan bahwa usaha pertambangan
melalui KK dapat menarik investor dari berbagai kalangan
pertambangan multinasional karena dapat menjamin kepastian hukum
dan jaminan stabilitas sosil-politik. Dipihak lain, hanya beberapa
gelintir perusahaan pertambangan besar dunia terutama Amerika yang
menguasai usaha pertambangan di Indonesia. Hingga tahun 2013
jumlah luasan tambang yang sudah memperoleh Ijin Usaha
Pertambangan (IUP) mencapai 9.612 yang tersebar di 7 (tujuh) Pulau
di Indonesia, seperti yang diperlihatkan pada tabel 4.2. di bawah ini.
Tabel 4.2.
Jumlah Izin Usaha Pertambangan Utama Indonesia
Sampai Akhir Tahun 2010
Pulau/Jenis Perijinan
KK PKP2B IUP
Logam
IUP Non Logam
dan Batuan
IUP Batu Bara
Sumatera 11 15 1468 542 983
Kalimantan 9 61 739 405 2670
Sulawesi 10 - 1063 394 105
Maluku 2 - 399 22 12
Papua 7 - 111 7 115
Nusa Tenggara 2 - 338 125 1
Indonesia 41 76 4118 1495 3886
Sumber : Dari berbagai sumber, 2012
Pada akhir tahun 2010 diketahui jumlah produksi pertambangan
utama yang beroperasi di Indonesia adalah tambang batubara, tambang
bauksit, tambang nikel, tambang emas, tambang perak, tambang granit,
dan tambang pasir besi. Kalau dilihat dari jumlah produksi, maka dari
ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual
92
tahun ke tahun cenderung berfluktuasi (naik-turun). Lebih jelasnya
dapat dilihat pada table 4.3. di bawah ini.
Meskipun angka produksi cenderung berfluktuasi, namun
tidaklah heran kalau Indonesia pernah menjadi penghasil timah No. 3
dan No. 2 di dunia serta tercatat sebagai pengeksport batubara uap No.
3, penghasil nikel No. 5 dan penghasil emas No. 9 di dunia. Dilihat dari
nilai tambah yang diperoleh, hasil usaha pertambangan cukup
menggiurkan. Hasil perhitungan BPS (2013) memperlihatkan bahwa
rata-rata setiap tahunnya, prosentasenya nilai tambah dari usaha
pertambangan terus mengalami peningkatan. Misalnya sampai tahun
2000 terjadi peningkatan nilai tambah sebesar 63,88% yang kalau
dirupiahkan nilainya mencapai tidak kurang dari Rp. 222.328 Milyar.