LAPORAN PRAKTIKUM PEMISAHAN KIMIA PERCOBAAN KE 2 04 OKTOBER 2013 EKSTRAKSI PELARUT : DISTRIBUSI ASAM ETANOAT DIANTARA DIETIL ETER DAN AIR KELOMPOK 7 OFFERING G LAILY AFRIYANTI (110332406428)
LAPORAN PRAKTIKUM
PEMISAHAN KIMIA
PERCOBAAN KE 2
04 OKTOBER 2013
EKSTRAKSI PELARUT : DISTRIBUSI ASAM ETANOAT DIANTARA DIETIL
ETER DAN AIR
KELOMPOK 7
OFFERING G
LAILY AFRIYANTI (110332406428)
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN KIMIA
2013
EKSTRAKSI PELARUT : DISTRIBUSI ASAM ETANOAT DIANTARA DIETIL
ETER DAN AIR
A. DASAR TEORI
Ekstraksi pelarut menyangkut distribusi suatu zat terlarut (solute) di antar dua fasa cair
yang tidak saling campur. Teknik ekstraksi pelarut memanfaatkan perbedaan kelarutan dari
suatu substansi dalam dua pelarut yang tidak saling campur. Jika suatu larutan yang
mengandung solute yang terlarut dalam pelarut pertama dikocok dengan pelarut kedua yang
tidak bercampur dengan pelarut pertama, tetapi solute dapat larut dalam pelarut kedua pula,
akan ditemukan bahwa solute terdistribusi diantara dua pelarut tersebut dalam perbandingan
konsentrasi yang karakterisitik. Perbandingan tersebut konstan pada temperatur dan tekanan
tertentu, dan dikenal sebagai Konstanta Kesetimbangan atau koefisien partisi, K (persamaan
1)
K = Cu / Cl (1)
Dimana Cu, Cl masing-masing menyatakan konsentrasi solute dalam dua lapisan pelarut
yaitu lapisan atas dan bawah.
Dalam percobaan ini akan dilakukan penentuan konstanta kesetimbangan untuk
distribusi asam etanoat antar dua pelarut yang saling tidak campur, yaitu dietil eter dan air,
menggunakan titrasi asam basa. Kesetimbangan dinamis pada kedua pelarut adalah seperti
terlihat pada persamaan kedua
(CH3COOH) aq (CH3COOH) eter (2)
Dimana k1 dan k2 adalah konstanta laju reaksi dari kedua reaksi ke kanan dan ke kiri. Pada
reaksi setimbang maka kecepatan reaksi ke kanan dan ke kiri adalah sama (persamaan 3)
k1 [CH3COOH]aq = k2 [CH3COOH] eter (3)
dan konstanta kesetimbangan dapat didefinisikan sebagai konsentrasi solute seperti
persamaan 4
K = [CH3COOH] eter / [CH3COOH] aq = k1/k2 (4)
Pada ekstraksi cair-cair, satu komponen bahan atau lebih dari suatu campuran
dipisahkan dengan bantuan pelarut. Ekstraksi cair-cair terutama digunakan, bila pemisahan
campuran dengan cara destilasi tidak mungkin dilakukan (misalnya karena pembentukan
azeotrop atau karena kepekaannya terhadap panas) atau tidak ekonomis. Seperti ekstraksi
padat-cair, ekstraksi cair-cair selalu terdiri dari sedikitnya dua tahap, yaitu pencampuran
secara intensif bahan ekstraksi dengan pelarut dan pemisahan kedua fase cair itu sesempurna
mungkin. Metode ekstraksi cair-cair merupakan distribusi zat terlarut dengan perbandingan
tertentu antara dua pelarut yang tidak saling bercampur seperti benzena, karbon tetraklorida
atau kloroform. Batasannya adalah zat terlarut dapat ditransfer pada jumlah yang berbeda
dalam kedua fase pelarut. Dalam metode ini, sampel yang mengandung analit merupakan
suatu larutan (umumnya dalam air) yang juga mengandung zat-zat terlarut lainnya. Teknik ini
melibatkan dua fase cair yaitu cairan asal (sampel) dan satunya lagi adalah pelarut
pengekstraknya (pelarut). Syarat agar pemisahan analit dapat dilakukan dengan baik yaitu:
1. Kedua campuran tidak saling campur
2. Analitnya sendiri lebih larut dalam pelarut pengekstraknya dari pada dalam
pelarut asalnya.
Sebagai molekul terdisosiasi dalam ion-ion salah satu dari fase tersebut. Hukum
distribusi digunakan hanya untuk yang umum konsentrasinya pada kedua fase, yaitu
monomer atau molekul sederhana dari zat tersebut. Apabila ditinjau dari suatu zat tunggal
yang tidak bercampur dalam suatu corong pisah maka dalam sistem tersebut akan terjadi
suatu keseimbangan sebagai suatu zat terlarut dalam fase bawah dan zat terlarut dalam fase
atas. Menurut hukum Termodinamika, pada keadaan seimbang dan rasio aktivitas species
terlarut dalam kedua fase itu merupakan suatu ketetapan atau konstanta. Hal ini disebut
sebagai Hukum Distribusi Nerst. Nilai K tergantung pada suhu, bukan merupakan fungsi
konstanta absolut zat atau volume kedua fase itu. Menurut hukum distribusi Nernst, bila ke
dalam dua pelarut yang tidak saling bercampur dimasukkan solute yang dapat larut dalam
kedua pelarut tersebut, maka akan terjadi pembagian solut dengan perbandingan tertentu.
Kedua pelarut tersebut umumnya pelarut organik dan air. Dalam praktek solut akan
terdistribusi dengan sendirinya ke dalam dua pelarut tersebut setelah dikocok dan dibiarkan
terpisah. Perbandingan konsentrasi solut didalam kedua fasa pelarut pada suhu konstan
merupakan suatu tetapan yang disebut koefisien distribusi (KD), jika didalam kedua fasa
pelarut tidak terjadi reaksi-reaksi apapun. Selain itu dalam hukum distribusi Nernst dikatakan
bahwa perbandingan antara konsentrasi solut dalam dua pelarut selalu tetap pada suhu
tertentu. Hal tersebut dapat dinyatakan dengan:
K D=[ S ]1[ S ]1
Keterangan:
KD = koefisien distribusi atau koefisien partisi
[S]1 = konsentrasi zat terlarut dalam fase cairan pertama yaitu pelarut organik.
[S]2 = konsentrasi zat terlarut dalam fase cairan kedua yaitu air.
Karena melibatkan konsentrasi, bukan aktivitas maka pernyataan diatas tidak
menggambarkan kesetimbangan. Jika bobot suatu molekul solut berbeda diantara kedua fase,
serta koefisien dihitung berdasarkan konsentrasi, maka nilai koefisien distribusi tidak akan
selalu tetap (akan berubah). Misalnya untuk senyawa organik yang berasosiasi membentuk
polimer atau dimer dalam fase organik, maka persamaan reaksinya adalah:
An nA
fase air fase organik
K D=Cnorg
Cair
Keterangan:
KD = Koefisien distribusi
Cn org = Konsentrasi solut dalam fase organik
Cair = Konsentrasi solut dalam fase air
n = Tetapan
Bila koefisien distribusi suatu zat besar maka zat terlarut akan cenderung untuk
terdistribusi secara kuantitatif ke dalam pelarut pertama yaitu air. Yang paling sering adalah
zat terlarut diekstraksi dari larutan air ke dalam pelarut organik yang tidak saling campur.
Setelah terjadi pemisahan, lapisan bawah (pelarut yang lebih berat) dikeluarkan. Adapun alat
yang dipergunakan dalam melakukan ekstraksi cair-cair ini adalah corong pemisah.
Koefisien distribusi hanya memperhitungkan spesies tunggal dari molekul atau ion
dalam kedua fase cairan, tidak memperhitungkan kemungkinan hasil reaksi sampingnya.
Perbandingan distribusi yang merupakan perbandingan konsentrasi semua spesies zat terlarut
dalam setiap fase. Perbandingan ini dapat dirumuskan dengan :
Konsentrasi total spesies zat terlarut dalam fase organik
D = Konsentrasi total spesies zat terlarut dalam fase air
Fenomena distribusi adalah suatu fenomena dimana distribusi suatu senyawa antara
dua fase cair yang tidak saling bercampur, tergantung pada interaksi fisik dan kimia antara
pelarut dan senyawa terlarut dalam dua fase yaitu struktur molekul. Suatu zat dapat larut
dalam dua macam pelarut yang keduanya tidak saling bercampur. Jika kelebihan campuran
atau zat padat ditambahkan ke dalam cairan yang tidak saling bercampur tersebut maka zat
tersebut akan mendistribusi diri di antara dua fase sehingga masing-masing menjadi jenuh.
Ada beberapa istilah yang digunakan dalam larutan yaitu larutan jenuh, larutan tidak jenuh
dan larutan lewat jenuh. Larutan jenuh adalah suatu larutan di mana zat terlarut berada dalam
kesetimbangan dengan fase padat (zat terlarut), larutan tidak jenuh atau hampir jenuh adalah
suatu larutan yang mengandung zat terlarut dalam konsentrasi yang dibutuhkan untuk
penjenuhan sempurna pada temperatur tertentu, sedangkan larutan lewat jenuh adalah larutan
yang mengandung jumlah zat terlarut dalam konsentrasi yang lebih banyak daripada yang
seharusnya pada temperatur tertentu. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
distribusi zat dalam larutan, yaitu :
a. Temperatur
Kecepatan berbagai reaksi bertambah kira-kira 2 atau 3 tiap kenaikan suhu 10oC.
Kekuatan IonSemakin kecil konsentrasi suatu larutan maka laju distribusi makin
kecil.
b. Konstanta Dielektrik
Efek konstanta dielektrik terhadap konstanta laju reaksi ionik diekstrapolarkan
sampai pengenceran tak terbatas, yang pengaruh kekuatan ionnya 0. Untuk reaktan
ion yang kekuatannya bermuatan berlawanan maka laju distribusi reaktan tersebut
adalah positif dan untuk reaktan yang muatannya sama maka laju distribusinya
negatif.
c. Katalisis
Katalisis dapat menurunkan laju - laju distribusi (Katalis negatif). Katalis dapat juga
menurunkan energi aktivitas dengan mengubah mekanisme reaksi sehingga
kecepatan bertambah.
d. Katalis Asam Basa Spesifik
Laju distribusi dapat dipercepat dengan penambahan asam atau basa. Jika laju
peruraian ini terdapat bagian yang mengandung konsentrasi ion hidrogen atau
hidroksi.
e. Cahaya Energi
Cahaya seperti panas dapat memberikan keaktifan yang diperlukan untuk terjadi
reaksi. Radisi dengan frekuensi yang sesuai dengan energi yang cukup akan
diabsorbsi untuk mengaktifkan molekul – molekul.
Suatu zat dapat larut ke dalam dua macam pelarut yang keduanya tidak saling
bercampur. Jika kelebihan cairan atau zat padat ditambahkan ke dalam campuran dari dua
cairan tidak bercampur, zat itu akan mendistribusi diri diantara dua fase sehingga masing-
masing menjadi jenuh. Jika zat itu ditambahkan kedalam pelarut tidak tercampur dalam
jumlah yang tidak cukup untuk menjenuhkan larutan, maka zat tersebut akan tetap
terdistribusikan diantara kedua lapisan dengan konsentrasi tertentu.
Pelarut secara umum dibedakan atas dua pelarut, yaitu pelarut air dan bukan air. Salah
satu ciri penting dari pelarut tetapan dielektriknya (E), yaitu gaya yang bekerja antara dua
muatan itu dalam ruang hampa dengan gaya yang bekerja pada muatan itu dalam dua pelarut.
Tetapan ini menunjukkan sampai sejauh mana tingkat kemampuan melarutkan pelarut
tersebut. Misalnya air dengan tetapan dielektriknya yang tinggi (E = 78,5) pada suhu 25oC,
merupakan pelaruit yang baik untuk zat-zat yang bersifat polar, tetapi juga merupakan pelarut
yang kurang baik untuk zat-zat non polar. Sebaliknya, pelarut yang mempunyai tetapan
dielektrik yang rendah merupakan pelarut yang baik untuk zat non polar dan merupakan
pelarut yang kurang baik untuk zat berpolar.
B. TUJUAN
1. Menentukan koefisien distribusi dari asam etanoat diantara dieteil eter dan air
2. Membandingankan koefisien distribusi dari asam etanoat yang mempunyai konsetrasi
berbeda
C. ALAT DAN BAHAN
Alat:
Corong pisah 100 mL
Pipet volume 10 mL
Erlenmeyer 250 mL (3 buah)
Buret
Gelas kimia 100 mL
Gelas ukur 50 mL
Statif
Klem
Ring
Bola hisap
Aluminium foil
Bahan:
Larutan NaOH 0,1 M
Aquades
Larutan dietil eter
Larutan asam etanoat 0,5 M dan 0,125 M
Indikator PP
Vaseline
D. LANGKAH KERJA
Langkah pertama yang kami lakukan dalam percobaan ini adalah dengan menggunakan
gelas ukur, ditambahkan secara teliti 25 mL larutan asam etanoat 0,5 M dan 25 mL dietil eter
ke dalam corong pisah 100 mL. Dikocok corong pisah minimal 10 menit (untuk mengurangi
tekanan dalam corong pisah setelah melakukan pengocokan, dengan cara membuka kran.
Saat membuka kran, posisi corong pisah sedikit menghadap ke atas, suapaya campuran yang
ada di dalam tidak tumpah). Setelah dikocok, didiamkan sebentar, tunggu hingga terbentuk
dua lapisan. Selanjutnya dikeluarkan lapisan bawah (fasa air) ke dalam Erlenmeyer. Pastikan
bahwa tidak ada eter yang ikut terbawa. Fasa organik (lapisan eter) tetap di dalam corong
pisah. Selanjutnya, di pipet 5 mL tiap fasa, dimasukkan ke dalam Erlenmeyer, kemudian di
tambahkan 4 tetes indikator fenolptalein. Kedua larutan di titrasi dengan 0,1 M larutan NaOH
hingga merah muda permanen. Untuk titirasi pada fasa organik, Erlenmeyer ditutup dengan
aluminium foil, suapaya dietil eter tidak menguap.
Langkah kedua yang kami lakukan adalah dengan menggunakan 0,125 M larutan asam
etanoat untuk menggantikan larutan asam etanoat 0,5 M. dibandingkan nilai Kd dari kedua
hasil ekstraksi tersebut.
E. DATA DAN ANALISA DATA PERCOBAAN
No Langkah Kerja Hasil Pengamatan Kesimpulan
1
2
3
4
5.
25 mL larutan CH3COOH
0,5 M + 25 mL dietil eter
kedalam corong pisah
Dikocok selama 10 menit
dengan sesekali di buka kran
Didiamkan
Lapisan bawah (fasa air):
Dikeluarkan
Diukur volume total
Dipipet 5 mL
Diteteskan 4 tetes PP
Dititrasi dengan 0,1 M NaOH
sampai berwarna merah
muda
Lapisan atas (fasa organik):
Dikeluarkan
Diukur volume total
Dipipet 5 mL
CH3COOH = Tidak
berwarna
Dietil eter = tidak berwarna
Mengeluarkan gas
Menghasilkan 2 lapisan
Larutan tidak berwarna
Volume total = 28,5 mL
Larutan tidak berwarna
Larutan tidak berwarna
Volume titrasi = 9,2 mL
Larutan tidak berwarna dan
bau menyengat
Volume total = 15,5 mL
Larutan tidak berwarna dan
Gas dari dietil eter yang
mudah menguap
Lapisan bawah (fasa air)
Lapisan eter (fasa
organik)
Diteteskan 4 tetes PP
Dititrasi (Erlenmeyer di tutup
aluminium foil) dengan 0,1
M NaOH sampai berwarna
merah muda
bau menyengat
Larutan tidak berwarna dan
bau menyengat
Volume titrasi = 5,5 mL
1
2
3
4
5.
25 mL larutan CH3COOH
0,125 M + 25 mL dietil eter
kedalam corong pisah
Dikocok selama 10 menit
dengan sesekali di buka kran
Didiamkan
Lapisan bawah (fasa air):
Dikeluarkan
Diukur volume total
Dipipet 5 mL
Diteteskan 4 tetes PP
Dititrasi dengan 0,1 M NaOH
sampai berwarna merah
muda
Lapisan atas (fasa organik):
Dikeluarkan
Diukur volume total
Dipipet 5 mL
Diteteskan 4 tetes PP
Dititrasi (Erlenmeyer di tutup
aluminium foil) dengan 0,1
M NaOH sampai berwarna
CH3COOH = Tidak
berwarna
Dietil eter = tidak berwarna
Mengeluarkan gas
Menghasilkan 2 lapisan
Larutan tidak berwarna
Volume total = 26,2 mL
Larutan tidak berwarna
Larutan tidak berwarna
Volume titrasi = 2,3 mL
Larutan tidak berwarna dan
bau menyengat
Volume total = 14,5 mL
Larutan tidak berwarna dan
bau menyengat
Larutan tidak berwarna dan
bau menyengat
Volume titrasi = 1,2 mL
Gas dari dietil eter yang
mudah menguap
Lapisan bawah (fasa air)
Lapisan eter (fasa
organik)
merah muda
Konsentrasi
Asam Asetat
Volume (fasa air) Asam
Asetat (mL)
Volume (fasa organik)
dietil eter (mL)
Volume NaOH (mL)
Fasa air Fasa organik
0,5 M 5 5 9,2 5,5
0,125 M 5 5 2,3 1,2
PERHITUNGAN
CH3COOH 0,5 M
Diketahui : M NaOH = 0,1 M
V NaOH (fasa air) = 9,2 mL
V NaOH (fasa organik) = 5,5 mL
M CH3COOH awal = 0,5 M
V CH3COOH pada titrasi = 5 mL
Ditanya : a. C0 asetat = . . . . . . . . ?
b. C1 (lapisan air) = . . . . . . . . ?
c. C2 (lapisan eter) = . . . . . . . . .?
d. KD = . . . . . . . . .?
Jawab :
CH3COOH + NaOH CH3COONa + H2O
mmol NaOH = M NaOH x V NaOH
= 0,1 M x 9,2 mL
= 0,92 mmol
mmol NaOH = mmol CH3COOH (setelah pengocokan) = 0,92 mmol
Konsentrasi CH3COOH dalam 5 mL dalam fase air (C1)
mmol NaOH = M NaOH x V NaOH
= 0,1 M x 5,5 mL
= 0,55 mmol
mmol NaOH = mmol C4H10O (setelah pengocokan) = 0,55 mmol
Konsentrasi dietil eter dalam 5 mL dalam fase organik (C2)
CH3COOH 0,125 M
Diketahui : M NaOH = 0,1 M
V NaOH (fasa air) = 2,3 mL
V NaOH (fasa organik) = 1,2 mL
M CH3COOH awal = 0,5 M
V CH3COOH pada titrasi = 0,125 mL
Ditanya : a. C0 asetat = . . . . . . . . ?
e. C1 (lapisan air) = . . . . . . . . ?
f. C2 (lapisan eter) = . . . . . . . . .?
g. KD = . . . . . . . . .?
Jawab :
CH3COOH + NaOH CH3COONa + H2O
mmol NaOH = M NaOH x V NaOH
= 0,1 M x 2,3 mL
= 0,23 mmol
mmol NaOH = mmol CH3COOH (setelah pengocokan) = 0,23 mmol
Konsentrasi CH3COOH dalam 5 mL dalam fase air (C1)
mmol NaOH = M NaOH x V NaOH
= 0,1 M x 1,2 mL
= 0,12 mmol
mmol NaOH = mmol C4H10O (setelah pengocokan) = 0,12 mmol
Konsentrasi dietil eter dalam 5 mL dalam fase organik (C2)
F. DISKUSI
Praktikum kali ini yaitu penentuan koefisien distribusi, dimana tujuan dari
praktikum koefisien distribusi ini yaitu untuk menentukan harga koefisien distribusi
senyawa dalam dua pelarut yang tidak saling campur, mengenal pemisahan
berdasarkan ekstraksi cair-cair serta menentukan tetapan distribusi (KD) asam asetat
dalam sistem organik-air. Adapun prinsip metode ekstraksi cair-cair adalah distribusi
zat terlarut dengan perbandingan tertentu antara dua pelarut yang tidak saling
bercampur.
Fenomena distribusi adalah suatu fenomena dimana distribusi suatu senyawa
antara dua fase cair yang tidak saling bercampur, tergantung pada interaksi fisik dan
kimia antara pelarut dan senyawa terlarut dalam dua fase yaitu struktur molekul.
Suatu zat dapat larut dalam dua macam pelarut yang keduanya tidak saling
bercampur. Jika kelebihan campuran atau zat padat ditambahkan ke dalam cairan
yang tidak saling bercampur tersebut maka zat tersebut akan mendistribusi diri di
antara dua fase sehingga masing-masing menjadi jenuh.
Dalam metode ini, sampel yang mengandung analit merupakan suatu larutan
(umumnya dalam air) yang juga mengandung zat-zat terlarut lainnya. Teknik ini
melibatkan dua fase cair yaitu cairan asal (sampel) dan satunya lagi adalah pelarut
pengekstraknya (pelarut). Menurut hukum distribusi Nernst, bila ke dalam dua pelarut
yang tidak saling bercampur dimasukkan solute yang dapat larut dalam kedua pelarut
tersebut maka akan terjadi pembagian kelarutan. Kedua pelarut tersebut umumnya
pelarut organik dan air. Perbandingan konsentrasi solute di dalam kedua pelarut
tersebut tetap, dan merupakan suatu tetapan pada suhu tetap. Tetapan tersebut disebut
tetapan distribusi atau koefisien distribusi yang dinyatakan sebagai perbandingan
antara fasa organic dan fasa air (Sodiq,2004:34).
Pada pemisahan dua komponen yang tidak saling larut ini digunakan pelarut
asam asetat (CH3COOH) dan dietil eter (C4H10O). Pelarut asam asetat yang digunakan
tergolong asam lemah sehingga dapat terionisasi sebagian dalam air dan nilai ionisasi
asam tersebut dalam air dapat diabaikan. Pelarut dietil eter merupakan senyawa
organik yang bersifat volatil (mudah menguap) dan non polar. Selain itu dietil eter
mudah meledak dan terbakar. Dietil eter merupakan sebuah pelarut laboratorium yang
umum dan memiliki kelarutan terbatas di dalam air, sehingga sering digunakan untuk
ekstrasi cair-cair. Karena kurang rapat bila dibandingkan dengan air, lapisa eter
biasanya berada paling atas. Larutan asam asetat yang digunakan dalam percobaan ini
memiliki konsentrasi yang berbeda yaitu 0,5 M dan 0,125 M. Pertama-tama larutan
asam asetat sebanyak 25 mL dengan konsentrasi 1 M dimasukkan ke dalam corong
pemisah, kemudian ditambahkan dengan 25 mL dietil eter. Demikian halnya dengan
larutan asam asetat 0,125 M diberi perlakuan yang sama. Setelah dilakukan
penambahan, campuran tersebut kemudian dikocok selama 10 menit. Fungsi dari
pengocokan yaitu agar terjadinya distribusi asam asetat ke dalam fasa organik dan
fasa air, serta untuk memperbesar luas permukaan untuk membantu proses distribusi
asam asetat pada kedua fasa. Selain itu proses pengocokan dilakukan agar zat dapat
mengadakan keseimbangan antara yang larut dalam air dan yang larut dalam dietil
eter. Pada percobaan ini dilakukan pengocokan yang kuat dan agak lama agar gugus
polar dan non (kurang) polar dari asam asetat dapat bereaksi dengan fase air minyak.
Gugus benzen dari asam asetat merupakan gugus karbon yang memiliki momen dipol
yang kecil sehingga konsentrasi dielektiknya juga kecil dan gugus ini akan bereaksi
dengan dietil eter. Air memiliki momen dipol dan konstanta dielektriknya yang besar
sehingga bersifat polar jadi mudah menarik gugus polar dari asam asetat.
Setelah pencampuran asam asetat dengan dietil eter dalam corong pemisah,
terjadi penurunan temperatur larutan yang menyebabkan larutan terasa dingin dan saat
pengocokan dilakukan, larutan sering menghasilkan gas dimana gas yang terbentuk
itu berasal dari larutan dietil eter yang bersifat mudah menguap. Oleh sebab itu ketika
pengocokan dilakukan, sesekali gas harus dikeluarkan melalui kran. Pengeluaran gas
dilakukan saat gas memberikan tekanan yang kuat pada tutup corong pemisah. Jika
gas tidak dikeluarkan, dapat menyebabkan terjadinya ledakan pada corong pemisah.
Seharusnya, pengocokan dilakukan menggunakan pengocok magnetik sehingga
kecepatan pengocokan konstan namun tidak dapat dilakukan dengan baik karena
pengocokan dilakukan secara manual sehingga kecepatan pengocokan tidak dapat
berjalan dengan konstan.
Apabila proses pengocokan selama 10 menit telah selesai, maka campuran asam
asetat dengan dietil eter dalam corong pemisah dibiarkan beberapa saat agar terjadi
pemisahan yang sempurna. Pemisahan larutan dapat terjadi karena campuran telah
mencapai keadaan setimbang. Pemisahan lapisan larutan menghasilkan 2 lapisan
larutan, dimana pada bagian bawah merupakan lapisan air yang mengandung asam
asetat atau disebut juga fase air sedangkan di bagian atas merupakan lapisan dietil
eter (fase organik). Pemisahan lapisan larutan ini menunjukkan bobot molekul dari
larutan yang terpisah, dimana larutan yang memiliki bobot molekul yang lebih berat
berada di bagian bawah sedangkan larutan yang memiliki bobot molekul yang lebih
ringan berada dibagian atas. Berdasarkan hasil pemisahan diketahui bahwa lapisan air
yang mengandung asam asetat memiliki bobot molekul lebih berat dibandingkan
lapisan dietil eter.
Proses selanjutnya yaitu proses pengeluaran lapisan air yang mengandung asam
asetat. Asam asetat yang keluar ditampung pada erlenmeyer yang kemudian akan
dipipet sebanyak 5 mL dan dititrasi dengan NaOH 0,1 M. Sedangkan lapisan dietil
eter juga dikeluarkan dan ditampung pada erlenmeyer yang kemudian akan dipipet
sebanyak 5 mL dan dititrasi dengan NaOH 0,1 M. Lapisan dietil eter yang dititrasi
maka akan terjadi saponifikasi. Metode titrasi yang digunakan yaitu alkalimetri
(penetralan) dimana asam asetat bertindak sebagai titrat sedangkan NaOH bertindak
sebagai titran. Pada titrasi ini, juga terjadi reaksi netralisasi yaitu asam asetat yang
dititrasi dengan titran basa akan bereaksi sempurna dengan semua asam sehingga
dapat diperoleh titik akhir titrasi yang ditunjukkan dengan terjadinya perubahan warna
larutan dari tidak berwarna menjadi merah muda. Indikator yang digunakan dalam
titrasi ini adalah indikator fenolftalein. Indikator ini merupakan asam diprotik dan
tidak berwarna. Pada saat direaksikan, fenolftalein terurai dahulu menjadi bentuk
tidak berwarnanya dan kemudian, dengan menghilangnya proton kedua dari indikator
ini menjadi ion terkonjugat maka akan dihasilkan warna merah muda. Adapun reaksi
yang terjadi pada saat titrasi yaitu :
CH3COOH + NaOH CH3COONa + H2O
Proses titrasi dilakukan pengulangan sebanyak dua kali. Volume NaOH 0,1 M
yang diperlukan untuk menetralkan asam dalam larutan asam asetat 0,5 M dan dietil
eter secara berturut-turut yaitu 9,2 mL dan 5,5 mL. Sedangkan untuk konsentrasi
asam asetat 0,125 M dan dietil eter volume NaOH yang diperlukan yaitu 2,3 mL dan
1,2 mL. Berdasarkan hasil tersebut dapat dilihat hubungan bahwa konsentrasi dengan
volume NaOH yang diperlukan adalah sebanding. Semakin besar konsentrasi asam
(asam asetat) maka semakin banyak volume basa (NaOH) yang diperlukan untuk
menetralkan asam asetat tersebut semakin banyak.
Dari volume NaOH yang diperoleh dapat dilakukan perhitungan untuk mencari
nilai koefisien distribusi dari percobaan yang dilakukan, sehingga diperoleh nilai KD
seperti yang tertera pada tabel dibawah ini.
Konsentrasi
Asam Asetat
Volume (fasa air) Asam
Asetat (mL)
Volume (fasa organik)
dietil eter (mL)
Volume NaOH (mL) KD
Fasa air Fasa organik
0,5 M 5 5 9,2 5,5 0,61
0,125 M 5 5 2,3 1,2 0,52
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa semakin tinggi konsentrasi asam asetat
maka volume NaOH yang diperlukan untuk menetralkan asam asetat tersebut semakin
banyak sehingga nilai koefisien distribusi semakin kecil. Demikian pula sebaliknya, apabila
semakin rendah konsentrasi asam asetat maka volume NaOH yang diperlukan untuk
menetralkan asam asetat tersebut semakin sedikit sehingga nilai koefisien distribusi semakin
besar. Koefisien distribusi suatu senyawa dalam dua larutan yang tidak bercampur harus
sama dengan dengan 1. Artinya bahwa senyawa tersebut terdistribusi secara merata pada dua
fase yaitu fase organik dan fase air. Jika nilai koefisien distribusi kecil dari 1 maka senyawa
tersebut cenderung untuk terdistribusi dalam fase air dari pada fase organiknya ( dietil eter).
Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan, asam asetat dengan konsentrasi 0,5 M
memiliki nilai koefisien distribusi terbesar. Hal ini menunjukkan bahwa pada larutan asam
asetat dengan konsentrasi 0,5 M terjadi pemisahan yang sempurna. Hal ini sesuai dengan
literatur, dimana dinyatakan bahwa semakin besar nilai koefisien distribusi (KD) maka
pemisahan yang terjadi akan semakin sempurna. Dalam percobaan ini terjadi suatu keadaan
dimana sampel yang digunakan yaitu asam asetat mempunyai kecenderungan untuk menuju
ke salah satu fase yaitu fasa air.
G. DAFTAR PUSTAKA
Zakia, Neena. 2013. Petunjuk Praktikum Pemisahan Kimia. Malang : Universitas Negeri
Malang
Svehla, G. 1990. Textbook of Macro and Semimicro Qualitative Inorganic Analysis. London:
Longman Group Limited.
Arsyad, M. N. 1997. Kamus Kimia Arti dan Penjelasan Istilah. Gramedia. Jakarta.
Soebagio. 2000. Kimia Analitik II (JICA). Malang : Universitas Negeri Malang.
Vogel. 1986. Buku Teks Analisis Secara Kualitatif Makro dan Semimikro. Jakarta : PT.
Kalman Media Pustaka.
Day, JR and A, L, Underwood.2002.Analisis Kimia Kuantitatif Edisi Keenam.Erlangga. Jakarta.
Ibn,Shodiq.2004. Kimia Analitik II.Malang:UNM Press.
Nur, A. M dan Hendra A. J. 1989.Tehnik Pemisahan dalam Analisis Biologis. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat, IPB: Bogor.]
Subjadi. 1986. Metode Pemisahan.Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada: Yogyakarta
LAMPIRAN
Rangkaian Alat
Warna akhir titrasi