Page 1
Jurnal Penelitian Hukum
De Jure p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561 Akreditasi: Kep. Dirjen. Penguatan Risbang. Kemenristekdikti:
No:10/E/KPT/2019
Volume 20, Nomor 3, September 2020
EKSEKUSI IDEAL PERKARA PERDATA BERDASARKAN ASAS KEADILAN KORELASINYA DALAM UPAYA MEWUJUDKAN
PERADILAN SEDERHANA, CEPAT DAN BIAYA RINGAN (Ideal Execution of Civil Law Based on Principles The Justice of Correlation
in Efforts to Reach Simple, Fast Justice and Light Fee)
Syprianus Aristeus
Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM
Kementerian Hukum dan HAM, Jakarta
[email protected]
Tulisan Diterima: 01-07-2020; Direvisi: 01-09-2020; Disetujui Diterbitksn: 01-09-2020
DOI: http://dx.doi.org/10.30641/dejure.2020.V20.379-390
ABSTRACT The execution of civil case decisions at the normative and implementation levels often creates juridical,
sociological and philosophical problems. Besides it can also be because the decision which has permanent
legal force (Eintracht van gewijs de zaak) is not executable (non-executable) as the object of the case has
changed, the object of the case has been sold. It is in the hands of a third party. There are two decisions
against the object of the case. Which differ from each other, the object of the case has unclear boundaries;
the decision is declaratory, not komdemnatoir, and so on. This research wants to examine and provide an
alternative thought on how, on the one hand, the execution can be carried out following the paradigm of
justice. On the other hand, the execution of the execution provides legal certainty in its correlation in order to
realize a fast, simple and low-cost trial in accordance with the provisions of Article 2 paragraph (4 ), Article
4 paragraph (2) of Law Number 48 of 2009 concerning Judicial Power. The approach method used in this
research is juridical, normative and historical, as well as finding in-concreto law. The execution that the justice
seeker hopes should be carried out without having to wait long enough. It is as confirmed in Law Number 48 of
2009 Article 2 paragraph (4), Simple, Fast and Low-Cost Judicial Principles. It is time for the Supreme Court
to prepare personnel who have been appointed to be the State Civil Apparatus to be able to execute decisions
that have permanent legal force.
Keywords: civil court execution, simple judiciary.
ABSTRAK Eksekusi putusan perkara perdata pada tataran normatif dan implementatif sering kali menimbulkan
problematika yuridis, sosiologis dan filosofis. Selain itu juga, dapat dikarenakan putusan yang telah berkekuatan
hukum tetap (inkracht van gewijs de zaak) memang tidak dapat dieksekusi (non eksekutable) seperti objek
perkara telah berubah, objek perkara telah dijual dan berada di tangan pihak ketiga, terhadap objek perkara ada
dua putusan yang saling berbeda, objek perkara batas-batasnya tidak jelas, putusan sifatnya deklaratoir bukan
komdemnatoir, dan lain sebagainya. Penelitian ini ingin mengkaji dan memberikan suatu alternatif pemikiran
bagaimana di satu sisi eksekusi tersebut dapat dijalankan sesuai dengan paradigma keadilan, dan di sisi lainnya
pelaksaaan eksekusi tersebut memberi kepastian hukum dalam korelasinya guna mewujudkan peradilan cepat,
sederhana dan biaya ringan sesuai ketentuan UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 2
Ayat (4), Pasal 4 Ayat (2). Metode pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu yuridis, normatif dan
historis, serta menemukan hukum in-concreto. Eksekusi yang diharapkan oleh pencari keadilan seharusnya
dapat terlaksana tanpa harus menunggu cukup lama. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 Pasal 2 Ayat (4), Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan. Sudah saatnya
Mahkamah Agung dapat menyiapkan tenaga yang telah diangkat menjadi Aparatur Sipil Negara untuk dapat
melaksanakan eksekusi terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Kata kunci: eksekusi perkara perdata; peradilan sederhana
379
Page 2
Jurnal Penelitian Hukum
De Jure p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561 Akreditasi: Kep. Dirjen. Penguatan Risbang. Kemenristekdikti:
No:10/E/KPT/2019
Volume 20, Nomor 3, September 2020
PENDAHULUAN
Tujuan akhir dari proses penegakan hukum
yakni hukum memberikan jaminan terlaksananya
pemerataan keadilan dan perlindungan bagi harkat
dan martabat manusia, ketertiban, ketentraman
dan kepastian hukum sesuai dengan ketentuan
Undang-undang.1
Dikaji dari perspektif ketentuan Het Herziene
Inlandsch Reglement Pasal 178 (HIR, Stb. 1941-
44), Rechtsreglement voor de Buitengewesten
Pasal 189 (RBg, Stb. 1927-227) berakhirnya
proses pemeriksaan perkara perdata di pengadilan
adalah dengan dijatuhkannya putusan hakim.
Konsekuensi logisnya, apabila telah diputus oleh
pengadilan, pihak yang menang perkara tentu saja
berharap putusan dapat dilaksanakan atau lazim
dikenal sebagai eksekusi. Apabila tidak
dilaksanakan maka putusan pengadilan menjadi
tidak bermakna. Dalam hal putusan pengadilan
telah mempunyai berkekuatan hukum tetap
(inkracht van gewijs de zaak) tidak dilaksanakan
secara suka rela oleh pihak yang dikalahkan,
sudah tentu hal tersebut menimbulkan persoalan.
Saat ini untuk penyelesaian sengketa perdata
di pengadilan, masih digunakan ketentuan yang
bersumber dari Het Herziene Indonesische
Reglement (HIR) dan Reglement Buitengewesten
(RBG) sebagai sumber hukum acara perdata
di Indonesia yang diadopsi berdasarkan asas
konkordansi karena merupakan produk pemerintah
kolonial Belanda yang masih berlaku sampai
sekarang, dengan mengacu kepada Pasal 2 Aturan
Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 (UUD NRI 1945). HIR sering
diterjemahkan menjadi “Reglemen Indonesia
Yang Diperbaharui” adalah hukum acara dalam
persidangan perkara perdata maupun pidana yang
berlaku di pulau Jawa dan Madura. Reglemen ini
berlaku di jaman Hindia Belanda yang tercantum
di Berita Negara (staatblad) Nomor 16 Tahun
1848. Sedangkan RBG diterjemahkan menjadi
“Reglemen Hukum Daerah Seberang” merupakan
hukum acara yang berlaku di persidangan perkara
perdata maupun pidana di pengadilan di luar Jawa
M. Yahya Harahap3 menyebutkan eksekusi
sebagai tindakan hukum yang dilakukan oleh
pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu
perkara merupakan aturan dan tata cara lanjutan
dari proses pemeriksaan perkara. Oleh karena itu,
eksekusi tiada lain dari pada tindakan yang
berkesinambungan dari keseluruhan proses
hukum acara perdata. Eksekusi merupakan suatu
kesatuan yang tidak terpisah dari pelaksanaan tata
tertib beracara yang terkandung dalam HIR atau
RBg.
Konsekuensi dimensi ini berarti perkara
perdata tersebut telah selesai. Pengadilan sama
sekali tidak ikut campur tangan dalam pelaksanaan
tersebut. Akan tetapi dalam kenyataannya,
seringkali terjadi pihak yang tidak puas terhadap
putusan pengadilan tidak bersedia melaksanakan
putusan pengadilan secara suka rela, betapapun
disadarinya bahwa putusan tersebut telah
berkekuatan hukum tetap, mengingat segala upaya
hukum telah ditempuhnya, fenomena semacam
inilah yang pada gilirannya
persoalan eksekusi.
menimbulkan
Dalam konteks ini, korelasinya pihak yang
dikalahkan tidak bersedia melaksanakan putusan
pengadilan secara sukarela, maka pihak tersebut
mengajukan permohonan eksekusi kepada
pengadilan, yang pada gilirannya pengadilan
akan melaksanakannya secara paksa. Dari uraian
tersebut kiranya diperoleh pemahaman bahwa
pengertian eksekusi adalah melaksanakan isi
putusan pengadilan atau “pelaksanaan” putusan,
sebagaimana istilah tersebut dipergunakan oleh
Subekti4, Retnowulan Sutantio5 dan pula M.
Yahya Harahap6.
Hakikatnya, eksekusi adalah terhadap
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum
tetap (inkracht van gewijs de zaak). Mengenai hal
ini ketentuan HIR Pasal 224/Rbg Pasal 258, Pasal
435 Rv mengatur bahwa yang dapat dieksekusi
Perdata, Jurnal Rechtsvinding Online Vol.6 No 1, Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2017 hlm. 1 Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata Edisi Kedua, 2 ed. (Jakarta: Sinar Grafika, 2013). Subekti, Hukum Acara Perdata (Bandung: Bina Cipta, 1977). Iskandar Oeripkantawinata Retno Wulan Sutantio, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktik (Bandung: Alumni, 1983). Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata Edisi Kedua. Hlm. 4
3
dan Madura (tercantum
Nomor 227)2.
dalam Staatblad 1927
4
1 Muhaimin, Kejaksaan
“Penerapan Asas Oportunitas Agung Bertentangan Dengan
Oleh Asas
5
Legalitas dan ‘Rule Of Law,” Penelitian Hukum De Jure 17, no. 1 (2017): 111. Dwi Agustine, Pembaharuan Sistem Hukum Acara
6 2
380
Page 3
Jurnal Penelitian Hukum
De Jure p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561 Akreditasi: Kep. Dirjen. Penguatan Risbang. Kemenristekdikti:
No:10/E/KPT/2019
Volume 20, Nomor 3, September 2020
adalah putusan (pengadilan) yang dijatuhkan di
Indonesia7.
Pada dasarnya pengertian eksekusi tersebut
bersumberkan pada ketentuan Bab Kesepuluh,
Bagian Kelima HIR atau Bagian Keempat RBg
yang berasal dari kalimat tenuitvoer legging van
vonnissen. Kemudian diatur pula dalam ketentuan
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman Pasal 54 menentukan,
bahwa:
Pasal 206 sampai dengan Pasal 258 RBG. Di
antara Pasal-Pasal HIR dan RBg yang disebutkan
di atas yaitu Pasal 209 sampai dengan 223 HIR
atau Pasal 242 sampai dengan Pasal 257 RBg yang
mengatur tentang sandera (Gizeling) atau Paksa
Badan oleh Surat Edaran Mahkamah Agung
(SEMA) Nomor 2 Tahun 1964 pernah dinyatakan
tidak boleh dipergunakan lagi karena dianggap
bertentangan dengan perikemanusiaan. Namun
SEMA Nomor 2 Tahun 1964 dan SEMA Nomor
4 Tahun 1975 dinyatakan tidak berlaku lagi oleh
peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2000
tentang Lembaga Paksa Badan8.
Dikaji dari aspek normatif dan praktik
hakekatnya eksekusi tersebut dikenal beberapa
macam, yaitu:
(1) Pelaksanaan putusan pengadilan
perkara pidana dilakukan oleh jaksa.
Pelaksanaan putusan pengadilan
dalam
(2) dalam
perkara perdata dilakukan oleh panitera dan
juru sita dipimpin oleh ketua pengadilan.
(3) Pelaksanaan putusan pengadilan a. eksekusi putusan yang berkekuatan hukum
tetap
eksekusi putusan sertamerta (vit voerbaar bij
voorraad) dan provisionil
eksekusi grosse akta
eksekusi jaminan hipotek (sekarang hak
tanggungan)
dilaksanakan dengan mem-perhatikan nilai
kemanusiaan dan keadilan.
Selanjutnya dalam Pasal 55 Undang-Undang
tersebut juga menyebutkan:
b.
c.
d. (1) Ketua pengadilan wajib mengawasi
pelaksaan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
e. eksekusi putusan panitia penyelesaian (2) Pengawasan pelaksaan putusan
sebagaimana dimaksud pada
pengadilan
Ayat (1)
peraturan
perselisihan perburuhan (sekarang putusan
perkara PHI)
eksekusi putusan arbitrage atau perwasitan
Di antara jenis eksekusi tersebut yang
dilakukan sesuai dengan
perundang-undangan. f.
Dalam kaitannya dengan pelaksanaan
putusan pengadilan yang dilakukan oleh pihak
pengadilan atas permohonan pihak, tentu saja hal
itu dilakukan “secara paksa”, mengingat pihak
tereksekusi tidak bersedia melaksanakannya
secara sukarela (execution force). Perihal eksekusi
atau pelaksanaan putusan pengadilan, diatur
dalam ketentuan Bagian V HIR/RBg dengan titel
Tentang Menjalankan Putusan. Kemudian, ketua
merupakan eksekusi putusan perkara perdata
adalah eksekusi putusan yang berkekuatan hukum
tetap termasuk eksekusi akta perdamaian serta
eksekusi putusan serta merta dan provisionil.
Selanjutnya, terhadap pelaksanaan putusan
hakim (eksekusi) ini dalam perkara perdata
menurut praktik peradilan dikenal adanya 3 (tiga)
macam eksekusi, yaitu: pengadilan yang memerintahkan/menetapkan
(a) Eksekusi Putusan Hakim Menghukum untuk dilaksanakan eksekusi perkara perdata
yang pelaksanaannya dilakukan oleh panitera
dan jurusita, namun ketua pengadilan selain
mengawasi tetapi juga bertanggungjawab sejak
Seseorang Untuk Membayar Sejumlah Uang
Eksekusi putusan ini diatur dalam ketentuan
HIR Pasal 197/RBg Pasal 208 yaitu dilaksanakan melalui penjualan lelang terhadap barang- diterimanya permohonan eksekusi sampai barang milik pihak yang kalah perkara, sampai
mencukupi jumlah uang yang harus dibayar
sebagaimana ditentukan dalam putusan hakim
tersebut ditambah biaya-biaya pengeluaran untuk
pelaksanaan eksekusi.
selesainya pelaksanaan eksekusi tersebut.
Sebagaimana disebutkan konteks di atas
bahwasanya aturan eksekusi diatur dalam Pasal
195 sampai dengan Pasal 224 Bab ke sepuluh ba-
gian kelima HIR atau Titel bagian ke empat RBg
7 Convention on the Recognation and Enforcement of Foreign Arbitral Awards (Amerika Serikat, 1958).
8 Undang-undang Republik Indonesia, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM (Indonesia, 1999).
381
Page 4
Jurnal Penelitian Hukum
De Jure p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561 Akreditasi: Kep. Dirjen. Penguatan Risbang. Kemenristekdikti:
No:10/E/KPT/2019
Volume 20, Nomor 3, September 2020
Dalam praktik dengan berdasarkan ketentuan
Pasal 197 Ayat (1) HIR/Pasal 208 RBg, maka
barang-barang pihak yang kalah diletakkan sita
eksekusi (executoir beslag) terlebih dahulu
sebelum penjualan lelang dilakukan, kemudian
proses eksekusi dimulai dari barang-barang
bergerak dan jikalau barang-barang bergerak tidak
ada ataukah tidak mencukupi barulah dilakukan
terhadap barang-barang yang tidak bergerak
(barang tetap).
Dari aspek tersebut di atas dapatlah
diprediksikan bahwa dalam hal pengabulan
seseorang melakukan suatu perbuatan hukum
tertentu maka hendaknya hakim telah dapat
memperhitungkan bahwa tidak setiap putusannya
akan dilaksanakan secara sukarela. Oleh karena
itu adalah sikap bijak apabila pengabulan tersebut
dilakukan dengan hati-hati dan dipertimbangkan
dari segala aspeknya.
(c) Eksekusi putusan hakim menghukum
(b) Eksekusi putusan hakim menghukum seseorang untuk mengosongkan
tidak bergerak (eksekusi riil)
barang
seseorang untuk melakukan suatu perbuatan
Eksekusi jenis ini diatur dalam HIR Pasal
225/RBg Pasal 259 yaitu apabila seseorang
dihukum melakukan suatu perbuatan akan tetapi
tidak melakukan perbuatan tersebut dalam waktu
yang ditentukan maka pihak yang dimenangkan
dalam putusan itu dapat meminta kepada Ketua
Pengadilan Negeri agar perbuatan yang sedianya
dilakukan/dilaksanakan oleh pihak yang kalah
perkara dinilai dengan sejumlah uang. Dengan lain
perkataan pelaksanaan perbuatan itu dilakukan
oleh sejumlah uang.
Hal ini ditegaskan lebih jauh Retnowulan
Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, bahwa:
“Menurut Pasal 225 HIR yang dapat
dilakukan adalah menilai perbuatan yang
harus dilakukan oleh Tergugat dalam jumlah
uang. Tergugat lalu dihukum untuk membayar
sejumlah uang sebagai pengganti dari pada
pekerjaan yang harus ia lakukan berdasar
putusan hakim yang menilai besarnya
penggantian ini adalah Ketua Pengadilan
Negeri yang bersangkutan. Dengan demikian,
maka dapatlah dianggap bahwa putusan
hakim yang semula tidak berlaku lagi, atau
dengan lain perkataan, putusan yang semula
ditarik kembali, dan Ketua Pengadilan
Negeri mengganti putusan tersebut dengan
putusan lain. Perlu dicatat, bahwa bukan
putusan Pengadilan Negeri saja, akan tetapi
putusan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah
Agung pun dapat diperlakukan demikian,
tegasnya putusan yang sedang dilaksanakan
itu yang lebih menarik perhatian adalah
bahwa perubahan putusan ini dilakukan atas
kebijaksanaan Ketua Pengadilan Negeri
yang sedang memimpin eksekusi tersebut,
jadi tidak dalam sidang terbuka”9.
Ketentuan eksekusi riil terdapat dalam Pasal
1033 Rv. yang menentukan, bahwa “Jikalau
memerintahkan
bergerak tidak
putusan pengadilan yang
tidak pengosongan barang
dipenuhi oleh orang yang dihukum, maka Ketua
akan memerintahkan dengan surat kepada Jurusita
supaya dengan bantuan alat kekuasaan negara,
barang tidak bergerak itu dikosongkan oleh orang
yang dihukum serta keluarganya dan segala
barang kepunyaannya.” Dengan demikian dapat
dikatakan lebih detail berdasarkan ketentuan Pasal
1033 Rv. bahwa yang harus meninggalkan “barang
tidak bergerak” yang dikosongkan itu adalah
pihak yang dikalahkan beserta sanak saudaranya
dan bukan pihak penyewa rumah oleh karena
dalam hal sebuah rumah disita dan di atasnya telah
diletakkan perjanjian sewa menyewa sebelum
rumah itu disita maka pihak penyewa dilindungi
oleh asas “koop breekt geen huur” yakni asas jual
beli tidak menghapuskan hubungan sewa
menyewa sebagaimana ditentukan KUH Perdata
Pasal 1576.
Dalam praktik, maka ketiga macam eksekusi
ini kerap dilaksanakan. Pada dasarnya suatu
eksekusi itu dimulai adanya permohonan eksekusi
dengan pemohon eksekusi membayar biaya
eksekusi pada petugas urusan kepaniteraan perdata
pada Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
Kemudian prosedural administrasi berikutnya akan
diregister pada buku permohonan eksekusi (KI-
A.5), Buku Induk Keuangan Biaya Eksekusi (KI-
A.8) dan lalu diajukan kepada Ketua Pengadilan
Negeri guna mendapatkan fiat eksekusi.
Setelah Ketua Pengadilan Negeri
mempelajari permohonan itu dan yakin tidak
bertentangan dengan undang-undang maka Ketua
Pengadilan Negeri mengeluarkan “Penetapan”
9 Retno Wulan Sutantio, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktik.Hlm. 116
382
Page 5
Jurnal Penelitian Hukum
De Jure p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561 Akreditasi: Kep. Dirjen. Penguatan Risbang. Kemenristekdikti:
No:10/E/KPT/2019
Volume 20, Nomor 3, September 2020
berisi perintah agar Jurusita Pengadilan mencukupi karena banyak mempunyai
keluarga di dalamnya; dan
Bahwa berikutnya setelah selesai eksekusi
pengosongan dilakukan, tempat yang telah
dikosongkan tersebut harus dijaga untuk
sementara sebelum diserahkan langsung
kepada pemohon eksekusi.
Berdasarkan uraian konteks di atas, seringkali
memanggil pihak lawan yang dikalahkan atau
kedua belah pihak berperkara untuk diberi teguran
(aanmaning) supaya pihak lawan yang dikalahkan
melaksanakan putusan hakim. Apabila pada
waktu “aanmaning” itu para pihak hadir maka
kepada pihak lawan yang dikalahkan diberi waktu
8 (delapan) hari sejak tanggal teguran tersebut
memenuhi isi putusan. Setelah waktu tersebut
terlampaui dan pihak termohon eksekusi belum
memenuhi ammar putusan hakim maka dengan
ketetapan Ketua Pengadilan Negeri selanjutnya
memerintahkan Panitera/Jurusita dengan disertai
dua orang saksi yang dipandang mampu dan
cakap untuk melaksanakan sita eksekusi terhadap
barang-barang/tanah milik termohon eksekusi dan
semua ini dibuat pula Berita Acaranya.
Berdasarkan pengalaman praktik maka
dalam hal pelaksanaan eksekusi pengosongan
(eksekusi riil) sering dijumpai beberapa kendala
di dalamnya. Agar eksekusi riil dapat berhasil dan
tidak menimbulkan kendala maka hendaknya
harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
4)
dalam melaksanakan eksekusi dalam perkara
perdata menimbulkan pelbagai problematika.
Apabila dijabarkan, problematika tersebut mulai
dari pihak tereksekusi tidak mau melaksanakan
putusan pengadilan dengan pelbagai alasan, seperti
masih melakukan perlawanan (verzet), melakukan
upaya hukum peninjauan kembali, mengerahkan
massa dan lain sebagainya. Kemudian adanya
intervensi baik dari pihak ketiga (derden verzet),
dan pelbagai cara lainnya. Kemudian juga dari
putusan itu sendiri yang hakekatnya putusan tidak
bisa dieksekusi (non eksekutable).
Apabila ditarik suatu konklusi, kenyataan
eksekusi putusan perkara perdata menimbulkan
problematika sehingga pihak yang menang
perkara lama atau bahkan tidak dapat menikmati
kemenangan sesuai dengan isi putusan hakim.
Problematika tersebut dapat timbul dari putusan
itu sendiri (non eksekutable), dari pihak
tereksekusi karena melakukan verzet, peninjauan
kembali dan bahkan melakukan pengerahan
massa, kemudian juga dapat dari pihak luar seperti
adanya perlawanan pihak ketiga terhadap eksekusi
(derden verzet), dan lain sebagainya.
Atas dasar konteks di atas, maka penelitian
ini ingin mengkaji dan memberikan suatu
alternatif pemikiran bagaimana di satu sisi
eksekusi tersebut dapat dijalankan sesuai dengan
paradigma keadilan, dan di sisi lainnya pelaksaaan
eksekusi tersebut memberi kepastian hukum
dalam korelasinya guna mewujudkan peradilan
cepat, sederhana dan biaya ringan sesuai Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman ketentuan Pasal 2 Ayat (4), Pasal 4
Ayat (2).
1) Bahwatempat/barang yang akan dikosongkan
haruslah sesuai dengan isi penetapan Ketua
Pengadilan Negeri baik mengenai ukuran
maupun batas-batasnya sehingga dapat
dihindari salah eksekusi, seperti tanah orang
lain ikut dibongkar dan dikosongkan;
Bahwa lokasi tempat akan melakukan 2)
eksekusi
seksama
eksekusi
hendaknya diperhatikan dengan
situasinya dan kepada termohon
hendaknya sejak lama harus
dijelaskan dan diberi pengertian tentang
makna dan asas eksekusi yang tetap
menjunjung tinggi nilai-nilai prikemanusiaan
dan prikeadilan;
3) Hendaknya pula pihak pemohon eksekusi
jauh-jauh hari supaya mempersiapkan
segala sesuatu, demi kemanusiaan, misalnya
tempat penampungan barang (bilamana
barangnya banyak dan tidak dimungkinkan
dikeluarkan dari rumah/di pinggir jalan
atau halaman) dan dapat pula pemohon
eksekusi menyediakan tempat penampungan
sementara guna penampungan penghuni
yang harus mengosongkan karena belum
ada dan/atau mempunyai tempat tinggal baru
karena masih berusaha mendapatkannya
atau penampungan termohon eksekusi tidak
METODE PENELITIAN
Metode pendekatan yang dilakukan dalam
penelitian ini yaitu yuridis, normatif dan historis,
serta menemukan hukum in-concreto. Dengan
metode yuridis dimaksud untuk mengungkapkan
berbagai perangkat hukum yang dapat digunakan
383
Page 6
Jurnal Penelitian Hukum
De Jure p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561 Akreditasi: Kep. Dirjen. Penguatan Risbang. Kemenristekdikti:
No:10/E/KPT/2019
Volume 20, Nomor 3, September 2020
terhadap objek perkara
saling berbeda, objek
ada dua putusan yang
perkara batas-batasnya
dalam membahas pelaksanaan eksekusi ideal
perkara perdata dalam mewujudkan peradilan
sederhana, cepat dan biaya ringan. Cara tersebut
dilakukan dengan harapan diperoleh hasil
(kerangka) untuk perkembangan hukum yang
akan datang (futurologi). Metode penemuan in-
concerto digunakan karena berupaya mengetahui
peraturan manakah yang berlaku/diterapkan.
Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini
merupakan data sekunder yang diperoleh dari
telaah pustaka. Data sekunder di bidang hukum
(dipandang dari sudut kekuatan mengikatnya)
dapat dibedakan menjadi bahan baku primer dan
bahan baku sekunder.
Bahan baku primer, merupakan bahan pustaka
yang berisikan pengetahuan ilmiah yang baru dan
mutakhir, ataupun pengertian baru tentang fakta
yang diketahui mengenai suatu gagasan.
Pada tahap penyajian data kualitatif di mana
seluruh data yang telah diperoleh dikumpulkan
tidak jelas, putusan sifatnya deklaratoir bukan
komdemnatoir, dan lain sebagainya. Kemudian
acapkali eksekusi dilaksanakan menimbulkan
perlawanan dari tereksekusi itu sendiri baik melalui
perlawanan (partaj verzet) atau oleh pihak ketiga
yang mengaku sebagai pemilik barang (derden
verzet), dilakukan upaya hukum luar biasa berupa
peninjauan kembali, adanya pengerahan massa/
preman baik oleh pemohon eksekusi maupun oleh
termohon eksekusi, sering pula adanya intervensi
oleh pihak yang berdiri di belakang pemohon atau
termohon eksekusi, dan lain sebagainya.
Berikutnya, dari tataran sosiologis acapkali
ketika eksekusi akan dilaksanakan baik pemohon
dan termohon eksekusi mengerahkan massa/
preman pendukungnya di lokasi eksekusi sehingga
menimbulkan bentrokan antara massa yang pro
dan kontra eksekusi. Kemudian sebelum eksekusi
dilaksanakan, pihak-pihak telah menduduki objek
sengketa terlebih dahulu, dan lain sebagainya.
Kemudian dalam tataran filosofis, peraturan
yang mengatur eksekusi merupakan peraturan
yang merupakan hasil konkordansi yang berasal
dari Belanda seperti Het Herzine Inlandch
Reglement (HIR, Stb. 1941-44) untuk Jawa dan
Madura serta (Rechts Reglement Buitengewesten
(RBg, Stb 1847-52), dan lain sebagainya.
Konsekuensi logis aspek tataran filosofis peraturan
yang berasal dari Belanda tersebut menimbulkan
bahwa dari persepktif filosofis dan pandangan
hidup orang belanda tersebut baik langsung atau
dan diklasifikasikan kemudian disusun
suatu susunan yang komprehensif.
dalam
PEMBAHASAN DAN ANALISIS
A. Eksekusi dengan Paradigma Keadilan
Konsekuensi logis dimensi demikian maka
“eksekusi ideal perkara perdata berdasarkan asas
keadilan korelasinya mewujudkan peradilan
sederhana, cepat dan biaya ringan” harus
menempatkan adanya keadilan, kepastian hukum
dan manfaat di dalamnya. Pada satu sisi, eksekusi
menuntut adanya kepastian hukum terhadap
pemohon eksekusi sehingga setelah sekian lamanya
berperkara dan menang perkara, diharapkan objek
sengketa kembali kepadanya. Akan tetapi, disisi
lainnya ternyata termohon eksekusi tidak begitu
serta merta secara sukarela memenuhi isi putusan
dengan pelbagai cara dan alasan, selain itu juga
timbul dimensi dari perspektif yuridis, filosofis
dan sosiologis.
Pada tataran yuridis timbul karena norma yang
mengatur eksekusi sifatnya sumir, sederhana dan
tidak detail sehingga pada tataran implementatif
menimbulkan gejolak. Selain itu juga, dapat
dikarenakan putusan yang telah berkekuatan
hukum tetap (inkracht van gewijs de zaak)
memang tidak dapat dieksekusi (non eksekutable)
seperti objek perkara telah berubah, objek perkara
telah dijual dan berada ditangan pihak ketiga,
tidak
yang
yang
langsung akan berpengaruh terhadap apa
diatur dan tercermin di dalam peraturan
dibuatnya dalam konteks undang-undang
in casu Het Herzine Inlandch Reglement dan
Rechts Reglement Buitengewesten. Konsekuensi
logisnya hakekatnya jelaslah berbeda jauh dari
poerspektif filosofis, akar budaya, nilai-nilai yang
hidup dalam masyarakat Indonesia dan Belanda.
Oleh karena itu, tentu diperlukan adanya suatu
peraturan yang mengatur eksekusi yang sesuai
dengan aspek yuridis, sosiologis dan filosofis
bangsa Indonesia sehingga nilai-nilai keadilan,
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat (voolks
geist/inner order) masyarakat Indonesia tercermin
dalam peraturan yang mengatur eksekusi yang
akhirnya akan mempunyai korelasi, dampak dan
pengaruh terhadap eksekusi.
384
Page 7
Jurnal Penelitian Hukum
De Jure p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561 Akreditasi: Kep. Dirjen. Penguatan Risbang. Kemenristekdikti:
No:10/E/KPT/2019
Volume 20, Nomor 3, September 2020
Dalam konteks
perdata berdasarkan
“eksekusi ideal perkara
asas keadilan korelasinya
dengan jajaran pengadilan tingkat Banding dan
empat lingkungan peradilan seluruh Indonesia
pada Tahun 2009 dalam pendapat umum Hukum
Acara Perdata ditegaskan dalam point (16)
menyatakan sebagai berikut:11
“Pelaksanaan putusan serta-merta yang akan
dimintakan izin ke KPT, KPN wajib meneliti
dengan saksama sebelum permohonan itudiajukan.
Apabila putusan serta-merta itu dinilai tidak
memenuhi syarat yang ditentukan dalam undang-
undang, KPN berwenang tidak melanjutkan
permohonan itu. Putusan serta-merta yang akan
dilaksanakan harus mendapat izin tertulis terlebih
dahulu dari KPT. Setelah izin diberikan oleh KPT,
maka sebelum eksekusi dilaksanakan, harus ada
jaminan dari pihak pemohon eksekusi (perhatikan
SEMA Nomor 3 Tahun 2000 jo. SEMA Nomor 4
Tahun 2001).”
Agar dapat terwujudnya ketentuan Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 Pasal 2 Ayat
(4) maka jalan keluar yang harus diperhatikan oleh
Mahkamah Agung sebagaimana dalam “Buku
Biru” dan pelaksanaan tujuan dari ketentuan
Pengadilan Negeri selaku pihak yang
mewujudkan peradilan sederhana, cepat dan biaya
ringan” maka diperlukan adanya dimensi keadilan,
baik untuk pemohon dan termohon eksekusi. Pada
proses eksekusi, ketika termohon eksekusi tidak
mau secara sukarela melaksanakan isi putusan,
didahului melalui proses peringatan (aanmaning)
kepada termohon eksekusi, kemudian bila tidak
dilaksanakan oleh termohon eksekusi setelah
tenggat waktu yang ditentukan terlewati, baru
dilaksanakan sita eksekusi. Pada proses ini,
acapkali juga dilakukan adanya perlawanan
atau bantahan (verzet/derden verzet) terhadap
sita eksekusi oleh termohon eksekusi atau pihak
ketiga sehingga kemungkinan ditangguhkan atau
tidaknya pelaksanaan eksekusi pengosongan
tergantung kepada kebijakan ketua pengadilan
negeri.
Pada tahap ini, eksekusi dilakukan oleh
ketua pengadilan negeri sesuai dengan ketentuan
eksekusi yang diatur mulai HIR Pasal 195 dan
seterusnya. Hekekatnya, proses aanmaning
sifatnya untuk eksistensi adanya kepastian hukum.
Untuk itu, kedepan hendaknya dicari suatu formula
eksekusi yang sesuai asas keadilan, misalnya
mulai diusahakan adanya mempertemukan para
pemohon dan termohon eksekusi untuk dilakukan
perdamaian terhadap pokok sengketa. Untuk itu,
diharapkan dengan demikian eksekusi tidak jadi
dilakukan, atau bahkan pihak termohon eksekusi
mau menyerahkan objek eksekusi secara sukarela,
sehingga baik pihak pemohon dan termohon
eksekusi mendapat win-win solutions yang secara
langsung dan tidak langsung berkorelasi dengan
asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan.
menjalankan eksekusi terhadap putusannya,
maka Ketua Pengadilan Negeri diharuskan dapat
mempertimbangkan seluruh aspek yang terdapat
dalam setiap permohonan eksekusi sebelum
penetapan eksekusi dikeluarkan, baik menyangkut
aspek yuridis maupun aspek non yuridis. Sebagai
contoh aspek yuridis yang dapat mempengaruhi
proses pemeriksaan permohonan eksekusi antara
lain dapat disebutkan adalah terkait amar putusan
yang tidak bersifat condemnatoir atau secara
faktual bahwa harta kekayaan tereksekusi tidak
ada atau bahwa objek eksekusi telah berada
di tangan pihak ketiga, sedangkan salah satu
contoh dari aspek-aspek non yuridis yang dapat
disebutkan adalah terkait alasan kemanusiaan.
Kemerdekaan dan kebebasan seseorang
mengandung aspek yang luas. Salah satu aspeknya
adalah hak seseorang untuk diperlakukan secara
adil, tidak diskriminatif dan berdasarkan hukum,
terutama bila seseorang diduga atau disangka
melakukan suatu Tindakan pelanggaran atau
Tindakan kejahatan12.
Dalam cetak Buku Biru Mahkamah
Agung Tahun 2010-2035 Bab III Visi, Misi, dan
Organisasi, dimana Visi Badan Peradilan adalah
“Terwujudnya Badan Peradilan Indonesia yang
Agung” artinya dalam menjalankan tugas dan
wewenangnya peradilan umum secara ideal
dapat terwujud sebagai sebuah badan peradilan
sebagaimana diatur dalam point ke-4 (empat)
sebagai berikut:10 “Menyelenggarakan manajemen
dan administrasi proses perkara yang sederhana,
cepat, tepat waktu, biaya ringan dan profesional”.
Sedangkan dalam hasil rapat kerja nasional
Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) 11 Heri Swantoro, Dilema Eksekusi Ketika Eksekusi
Perdata Ada Disimpang Jalan Pembelajaran dari Pengadilan Negeri (Jakarta: Rayyana
10 Harifin A. Tumpa, Cetak Biru Pembaruan Peradilan (Jakarta: Mahkamah Agung, 2010).
Komunikasindo, 2018). Muhaimin, “Penetapan Tersangka Tidak Ada Batas 12
385
Page 8
Jurnal Penelitian Hukum
De Jure p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561 Akreditasi: Kep. Dirjen. Penguatan Risbang. Kemenristekdikti:
No:10/E/KPT/2019
Volume 20, Nomor 3, September 2020
Dari beberapa hasil penelitian sementara sistem peradilan yang cepat, sederhana dan biaya
ringan sebagaimana disebut dalam ketentuan
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman Pasal 2 Ayat (4).
Tugas dan tanggung jawab jabatan telah
menuntut seorang Ketua Pengadilan Negeri untuk
selalu dapat mengatasi setiap kesenjangan antara
fakta-fakta yang terdapat di lapangan dengan cita-
cita hukum itu sendiri, dalam hal pelaksanaan
eksekusi yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap namun terkendala dengan ketidakmampuan
aparat pelaksana di lapangan.
Sebagai upaya pelaksanaan eksekusi terhadap
putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap, pelaksanaan di lapangan
selalu terjadi kendala utama di mana pada saat akan
dilakukan eksekusi pengadilan terbentur dengan
kekurangan personil di lapangan, biaya yang
kurang memadai. Apabila menggunakan polisi
maka harus ada biaya extra untuk pengurusan.
Upaya yang dapat dilakukan oleh Ketua Pengadilan
Negeri adalah dengan mengupayakan revitalisasi/
reformasi terhadap eksekusi di lapangan dengan
cara penyiapan pasukan eksekusi untuk dapat
melakukan eksekusi sendiri tanpa harus meminta
dari Polri, dalam pelaksanaannya Polri hanya
sebatas pengamanan saja.
yang penulis lakukan menunjukkan fakta bahwa
proses penyelesaian perkara perdata sampai pada
status berkekuatan hukum tetap adalah memakan
waktu yang cukup lama. Selanjutnya telah
terjadinya perpindahan (mutasi) di tubuh badan
peradilan itu sendiri, sehingga bukan merupakan
hal yang baru jika Ketua Pengadilan Negeri
dalam mempelajari permohonan eksekusi hanya
didasarkan pada berkas perkara dan fakta-fakta
yang timbul kemudian. Hal ini lebih didasarkan
pada fakta bahwa Ketua Pengadilan Negeri
maupun Majelis Hakim yang memeriksa perkara
yang bersangkutan tidak lagi berada di Pengadilan
Negeri tersebut.
Dalam upaya mempertimbangkan seluruh
aspek
Ketua
waktu
permohonan eksekusi tersebut, maka
Pengadilan Negeri akan membutuhkan
yang tidak sedikit, disamping tugas dan
tanggungjawabnya sebagai pimpinan Pengadilan
Negeri. Kendala ini sering menjadi faktor yang
mempengaruhi pandangan negatip terhadap badan
peradilan itu sendiri. Tidak kurang dari sosok
seorang mantan Hakim Agung M. Yahya Harahap
dalam salah tulisannya juga memuat beberapa poin
kritik tajam yang dialamatkan kepada pengadilan,
yaitu:
a.
b.
c.
d.
Penyelesaian sengketa lambat;
Biaya perkara mahal;
Peradilan tidak tanggap (Unresponsive);
Putusan pengadilan tidak menyelesaikan
masalah;
Putusan pengadilan membingungkan;
Putusan pengadilan tidak memberi kepastian
hukum;
Kemampuan para hakim bercorak generalis13;
Materi kritikan tersebut di atas telah cukup
B. Eksekusi dan Kepastian Kukum dalam
Korelasinya Guna Mewujudkan Peradilan
Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan
Kewenangan Ketua Pengadilan Negeri
untuk menjalankan eksekusi tersebut secara
khusus diatur dalam Pasal 200 Ayat (11) dari
Reglement Indonesia yang diperbaharui (HIR)
yang menyatakan sebagai berikut:
“Jika seseorang enggan meninggalkan barang
tetapnya yang dijual, maka ketua pengadilan
e.
f.
g.
negeri akan membuat surat perintah kepada kiranya memberikan sedikit gambaran terhadap
fakta proses peradilan di Indonsia pada saat ini orang yang berwenang, untuk menjalankan surat
juru sita dengan bantuan panitera pengadilan
negeri atau seorang pegawai bangsa Eropa yang
ditunjuk oleh ketua, dan jika perlu dengan bantuan
polisi, supaya barang tetap itu ditinggalkan dan
dikosongkan oleh orang yang dijual barangnya
serta oleh sanak saudaranya.”14
dan sekaligus menunjukkan bahwa keadaan
yang terdapat pada saat ini (das sein) pada dunia
peradilan sudah terlalu jauh dari apa yang
sesungguhnya diharapkan atau dicita-citakan dari
sistem peradilan Indonesia (das solen), yaitu
Ketentuan ini sebenarnya merupakan Waktu,” Penelitian Hukum De Jure 20, no. 2 (2020): 279.
13 Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang
implementasi dari reformasi yang telah dilakukan
Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, I. (Jakarta: Sinar Grafika, 2005).
14 H.P Panggabean, Skematik Ketentuan Hukum Acara Perdata dalam HIR (Bandung: Alumni, 2015).
386
Page 9
Jurnal Penelitian Hukum
De Jure p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561 Akreditasi: Kep. Dirjen. Penguatan Risbang. Kemenristekdikti:
No:10/E/KPT/2019
Volume 20, Nomor 3, September 2020
oleh Mahkamah Agung, namun belum sepenuhnya
tercapai. Mahkamah Agung sebenarnya juga telah
menetapkan sejumlah kebijaksanaan dan strategi
internal untuk melakukan reformasi lembaga
peradilan.15 Kebijaksanaan tersebut dijalankan
dalam beberapa langkah, sebagai berikut:
menghadapi perkembangan hukum sebagai
dampak dari globalisasi dan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi;
7. Meningkatkan pengawasan terhadap
semua penyelenggaraan peradilan di
lingkungan peradilan dalam
kekuasaan kehakiman dan
menjalankan
pengawasan 1. Mengupayakan asas
sederhana dan biaya
peradilan cepat,
yang terjangkau
konsisten dan
terhadap tingkah laku dan perbuatan para
hakim, panitera, dan juru sita di semua
lingkungan peradilan dalam melaksanakan
tugasnya;
Mengembangkan dan meningkatkan peranan
lembaga arbitrase.
Delapan langkah kebijaksanaan Mahkamah
Agung tersebut di atas disampaikan oleh
Mahkamah Agung secara internal kepada
dilaksanakan secara
konsekuen, sehingga dapat memenuhi rasa
keadilan bagi pencari keadilan dari seluruh
lapisan masyarakat;
Menyempurnakan administrasi peradilan
untuk mempercepat proses penyelesaian
perkara di seluruh tingkat;
8.
2.
3. Melanjutkan upaya untuk lebih
pengadilan-pengadilan bawahannya. memfungsikan dan mendayagunakan tempat
sidang tetap dalam rangka mendekatkan
lembaga peradilan dengan pencari keadilan
serta agar perkara dapat diselesaikan di
tempat kasus perkara yang terjadi;
Mendorong badan peradilan agar dapat
berfungsi sebagai penggerak masyarakat
dalam pembangunan hukum dan pembinaan
tertib hukum;
Keadaan ini menjadikan Mahkamah Agung
seringkali dianggap tidak melakukan
reformasi. Langkah-langkah kebijaksanaan
yang dikemukakan oleh Mahkamah Agung
sebagian besar masih merupakan persoalan
lama yang dari tahun ke tahun selalu
dikemukakan dan sampai hari ini perbaikan
administrasi serta sumber daya masih terus
berlangsung16.
Ketentuan sebagaimana dalam reformasi
yang telah dilakukan, saat ini untuk menghadapi
peradilan yang berwibawa maka terlebih dahulu
yang harus dilakukan adalah dengan membuat
tujuh bidang keunggulan yang dinilai berdasarkan
self assessment checklist IFCE, yang antara lain:
4.
5. Mendorong para hakim agar dalam
mengambil putusan,
hams berdasarkan
di samping senantiasa
pada hukum, juga
berdasarkan keyakinan yang seadil-adilnya
dan sejujur-jujurnya dengan mengingat
akan kebebasan yang dimilikinya dalam
memeriksa dan memutus perkara.
1. Court management and leadership
Kepemimpinan yang kuat dan berkarakter
dibarengi dengan manajemen peradilan
yang bagus adalah kunci utama terwujudnya
Dalam menegakkan hukum digunakan
metode analisis yuridis komprehensif untuk
memecahkan permasalahan hukum, kasus
dan perkara. Analisis ini menggunakan
pendekatan yuridis, sebagai pendekatan
pertama dan utama, yaitu sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku,
pendekatan filosofis yaitu berintikan rasa
keadilan dan kebenaran, serta pendekatan
sosiologis yaitu sesuai dengan tata nilai
budaya yang berlaku di masyarakat;
Meningkatkan kualitas serta kemampuan
profesional para hakim dari semua lingkungan
peradilan melalui pelatihan teknis yustisial
berupa pendalaman materi terutama dalam
efektivitas dan efisiensi pelayanan.
Leadership is the driver. Peran dan fungsi
faktor-faktor lain dalam mewujudkan
excellent court sangat penting, tapi peran
pimpinan sebagai lokomotif diatas segalanya.
Court planning and policies;
Kepemimpinan yang kuat dan manajemen
yang efektif diaktualisasikan dalam bentuk
kebijakan-kebijakan yang mengarah kepada
evaluasi kinerja dan berusaha mengantisipasi
perubahan yang terjadi serta mengakomodasi
2.
6.
16 J. Djohansjah, Reformasi Mahkamah Agung Menuju 15 H Sarwata, Kebijaksanaan dan Strategi Penegakan
Sistem Peradilan di Indonesia (Jakarta, 1999). Independensi Kekuasaan Kehakiman Kesaint Blank, 2008).
(Bekasi:
387
Page 10
Jurnal Penelitian Hukum
De Jure p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561 Akreditasi: Kep. Dirjen. Penguatan Risbang. Kemenristekdikti:
No:10/E/KPT/2019
Volume 20, Nomor 3, September 2020
kebutuhan dan harapan masyarakat
pelayanan yang berkeadilan.
akan Teknologi Informasi di Lingkungan Peradilan
Umum17.
Ketentuan-ketentuan tersebut harus dapat
di implementasikan oleh Ketua Pengadilan
Negeri sehingga eksekusi tersebut dapat berjalan
sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan
perundang-undangan.
3. Court resources
financial);
(human material and
Proses penanganan perkara yang efektif dan
efisien akan terwujud jika ada sinergi yang
baik antara hakim dan staff pengadilan.
Hakim memfokuskan diri pada proses
pemeriksaan perkara sementara staff KESIMPULAN
Eksekusi yang diharapkan oleh pencari
keadilan seharusnya dapat terlaksana tanpa harus
menunggu cukup lama. Hal ini sebagaimana
ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 Pasal 2 Ayat (4), Asas Peradilan
Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan dapat
terselenggara jika Ketua Pengadilan Negeri dalam
pelaksanaannya tidak harus meminta persetujuan
kepada Ketua Pengadilan Tinggi setempat.
menangani aspek administrasinya. Ketepatan
waktu dan durasi penanganan perkara harus benar-benar dimonitor. Perkara-perkara
diperiksa dan diputus mengikuti Standard
Operating Procedures (SOP)
ditetapkan
Court process proceedings;
Kepemimpinan yang kuat dan
yang telah
4.
manajemen
yang efektif diaktualisasikan dalam bentuk
kebijakan-kebijakan yang mengarah kepada
evaluasi kinerja dan berusaha mengantisipasi
perubahan yang terjadi serta mengakomodasi
kebutuhan dan harapan masyarakat akan
pelayanan yang berkeadilan
Client needs and satisfaction;
Kepuasan pengguna jasa pengadilan ini
berkaitan erat dengan tingkat kepercayaan
publik di atas. Tantangan bagi sebuah
pengadilan adalah bagaimana para pihak bisa
merasa puas meskipun mereka harus kalah
dalam perkara yang diajukannya.
Affordable and accessible court services;
Kepuasan pengguna jasa pengadilan ini
berkaitan erat dengan tingkat kepercayaan
publik di atas. Tantangan bagi sebuah
pengadilan adalah bagaimana para pihak bisa
merasa puas meskipun mereka harus kalah
dalam perkara yang diajukannya.
Public trust and confidence;
Pengadilan yang excellent adalah pengadilan
yang terjangkau dan mudah diakses oleh
siapapun yang membutuhkannya. Tidak
hanya secara fisik bisa diakses tetapi juga
virtually accessible (dapat diakses secara
SARAN
Sudah saatnya Mahkamah Agung dapat
menyiapkan tenaga yang telah diangkat menjadi
Aparatur Sipil Negara untuk dapat melaksanakan
eksekusi terhadap putusan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap, sehingga hal tersebut
dapat terlaksana dan tidak harus meminjam atau
menggunakan Satpol PP yang dimiliki oleh Pemda
setempat.
5.
UCAPAN TERIMAKASIH
Terima kasih sebesar-besarnya kami ucapkan
untuk para pembimbing dalam penulisan Karya
Tulis ini sehingga dapat maksimal dalam metode
maupun substansi, antara lain Bapak Ahyar
Arigayo (Peneliti Ahli Utama) dan Mas Muhaimin
(Peneliti Muda) serta rekan peneliti lain yang
memberikan masukan dan saran dalam proses
penulisan, serta instansi Badan Penelitian dan
Pengembangan Hukum dan HAM, Kementerian
Hukum dan HAM tempat Peneliti melaksanakan
tugas sebagai Peneliti Bidang Hukum.
6.
7.
virtual). Sebagaimana ditegaskan oleh
Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum
(Dirjen Badilum) Mahkamah Agung RI,
melalui surat Edaran Dirjen Badilum tanggal
20 Juni 2014 Nomor: 3/DJU/HM02.3/6/2014
tentang Administrasi Pengadilan Berbasis 17 Herri Swantoro, “Menuju Terwujudnya Peradilan
Internasional Framework for Court Exellence,” in Diskusi Menuju Terwujudnya Peradilan Yang Berwibawa (Bandung, 2015), 4–7.
388
Page 11
Jurnal Penelitian Hukum
De Jure p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561 Akreditasi: Kep. Dirjen. Penguatan Risbang. Kemenristekdikti:
No:10/E/KPT/2019
Volume 20, Nomor 3, September 2020
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Djohansjah, J. Reformasi Mahkamah Agung
Menuju Independensi Kekuasaan
Kehakiman. Bekasi: Kesaint Blank, 2008.
Harahap, Yahya. Hukum Acara Perdata Tentang
Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian dan Putusan Pengadilan. I.
Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
———. Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi
Bidang Perdata Edisi Kedua. 2 ed. Jakarta:
Sinar Grafika, 2013.
Muhaimin. “Penerapan Asas Oportunitas Oleh
Kejaksaan Agung Bertentangan Dengan
Asas Legalitas dan ‘Rule Of Law.” Penelitian
Hukum De Jure 17, no. 1 (2017): 111.
———. “Penetapan Tersangka Tidak Ada Batas
Waktu.” Penelitian Hukum De Jure 20, no.
2 (2020): 279.
Panggabean, H.P. Skematik Ketentuan Hukum
Acara Perdata dalam HIR. Bandung:
Alumni, 2015.
Retno Wulan Sutantio, Iskandar Oeripkantawinata.
Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan
Praktik. Bandung: Alumni, 1983.
Sarwata, H. Kebijaksanaan dan Strategi
Penegakan Sistem Peradilan di Indonesia.
Jakarta, 1999.
Subekti. Hukum Acara Perdata. Bandung: Bina
Cipta, 1977.
Swantoro, Heri. Dilema Eksekusi Ketika Eksekusi
Perdata Ada Disimpang Jalan Pembelajaran
dari Pengadilan Negeri. Jakarta: Rayyana
Komunikasindo, 2018.
Swantoro, Herri. “Menuju Terwujudnya Peradilan
Internasional Framework for Court
Exellence.” In Diskusi Menuju Terwujudnya
Peradilan Yang Berwibawa, 4–7. Bandung,
2015.
Tumpa, Harifin A. Cetak Biru Pembaruan
Peradilan. Jakarta: Mahkamah Agung, 2010.
Undang-undang Republik Indonesia. UU Nomor
39 Tahun 1999 tentang HAM. Indonesia,
1999.
Convention on the Recognation and Enforcement
of Foreign Arbitral Awards. Amerika Serikat,
1958.
389
Page 12
Jurnal Penelitian Hukum
De Jure p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561 Akreditasi: Kep. Dirjen. Penguatan Risbang. Kemenristekdikti:
No:10/E/KPT/2019
Volume 20, Nomor 3, September 2020
HALAMAN KOSONG
390