Top Banner
Jurnal Penelitian Hukum De Jure p-ISSN 1410-5632 e-ISSN 2579-8561 Akreditasi: Kep. Dirjen. Penguatan Risbang. Kemenristekdikti: No:10/E/KPT/2019 Volume 20, Nomor 3, September 2020 EKSEKUSI IDEAL PERKARA PERDATA BERDASARKAN ASAS KEADILAN KORELASINYA DALAM UPAYA MEWUJUDKAN PERADILAN SEDERHANA, CEPAT DAN BIAYA RINGAN (Ideal Execution of Civil Law Based on Principles The Justice of Correlation in Efforts to Reach Simple, Fast Justice and Light Fee) Syprianus Aristeus Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan HAM, Jakarta [email protected] Tulisan Diterima: 01-07-2020; Direvisi: 01-09-2020; Disetujui Diterbitksn: 01-09-2020 DOI: http://dx.doi.org/10.30641/dejure.2020.V20.379-390 ABSTRACT The execution of civil case decisions at the normative and implementation levels often creates juridical, sociological and philosophical problems. Besides it can also be because the decision which has permanent legal force (Eintracht van gewijs de zaak) is not executable (non-executable) as the object of the case has changed, the object of the case has been sold. It is in the hands of a third party. There are two decisions against the object of the case. Which differ from each other, the object of the case has unclear boundaries; the decision is declaratory, not komdemnatoir, and so on. This research wants to examine and provide an alternative thought on how, on the one hand, the execution can be carried out following the paradigm of justice. On the other hand, the execution of the execution provides legal certainty in its correlation in order to realize a fast, simple and low-cost trial in accordance with the provisions of Article 2 paragraph (4 ), Article 4 paragraph (2) of Law Number 48 of 2009 concerning Judicial Power. The approach method used in this research is juridical, normative and historical, as well as finding in-concreto law. The execution that the justice seeker hopes should be carried out without having to wait long enough. It is as confirmed in Law Number 48 of 2009 Article 2 paragraph (4), Simple, Fast and Low-Cost Judicial Principles. It is time for the Supreme Court to prepare personnel who have been appointed to be the State Civil Apparatus to be able to execute decisions that have permanent legal force. Keywords: civil court execution, simple judiciary. ABSTRAK Eksekusi putusan perkara perdata pada tataran normatif dan implementatif sering kali menimbulkan problematika yuridis, sosiologis dan filosofis. Selain itu juga, dapat dikarenakan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijs de zaak) memang tidak dapat dieksekusi (non eksekutable) seperti objek perkara telah berubah, objek perkara telah dijual dan berada di tangan pihak ketiga, terhadap objek perkara ada dua putusan yang saling berbeda, objek perkara batas-batasnya tidak jelas, putusan sifatnya deklaratoir bukan komdemnatoir, dan lain sebagainya. Penelitian ini ingin mengkaji dan memberikan suatu alternatif pemikiran bagaimana di satu sisi eksekusi tersebut dapat dijalankan sesuai dengan paradigma keadilan, dan di sisi lainnya pelaksaaan eksekusi tersebut memberi kepastian hukum dalam korelasinya guna mewujudkan peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan sesuai ketentuan UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 2 Ayat (4), Pasal 4 Ayat (2). Metode pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu yuridis, normatif dan historis, serta menemukan hukum in-concreto. Eksekusi yang diharapkan oleh pencari keadilan seharusnya dapat terlaksana tanpa harus menunggu cukup lama. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Pasal 2 Ayat (4), Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan. Sudah saatnya Mahkamah Agung dapat menyiapkan tenaga yang telah diangkat menjadi Aparatur Sipil Negara untuk dapat melaksanakan eksekusi terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Kata kunci: eksekusi perkara perdata; peradilan sederhana 379
12

EKSEKUSI IDEAL PERKARA PERDATA BERDASARKAN ASAS …

Oct 25, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: EKSEKUSI IDEAL PERKARA PERDATA BERDASARKAN ASAS …

Jurnal Penelitian Hukum

De Jure p-ISSN 1410-5632

e-ISSN 2579-8561 Akreditasi: Kep. Dirjen. Penguatan Risbang. Kemenristekdikti:

No:10/E/KPT/2019

Volume 20, Nomor 3, September 2020

EKSEKUSI IDEAL PERKARA PERDATA BERDASARKAN ASAS KEADILAN KORELASINYA DALAM UPAYA MEWUJUDKAN

PERADILAN SEDERHANA, CEPAT DAN BIAYA RINGAN (Ideal Execution of Civil Law Based on Principles The Justice of Correlation

in Efforts to Reach Simple, Fast Justice and Light Fee)

Syprianus Aristeus

Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM

Kementerian Hukum dan HAM, Jakarta

[email protected]

Tulisan Diterima: 01-07-2020; Direvisi: 01-09-2020; Disetujui Diterbitksn: 01-09-2020

DOI: http://dx.doi.org/10.30641/dejure.2020.V20.379-390

ABSTRACT The execution of civil case decisions at the normative and implementation levels often creates juridical,

sociological and philosophical problems. Besides it can also be because the decision which has permanent

legal force (Eintracht van gewijs de zaak) is not executable (non-executable) as the object of the case has

changed, the object of the case has been sold. It is in the hands of a third party. There are two decisions

against the object of the case. Which differ from each other, the object of the case has unclear boundaries;

the decision is declaratory, not komdemnatoir, and so on. This research wants to examine and provide an

alternative thought on how, on the one hand, the execution can be carried out following the paradigm of

justice. On the other hand, the execution of the execution provides legal certainty in its correlation in order to

realize a fast, simple and low-cost trial in accordance with the provisions of Article 2 paragraph (4 ), Article

4 paragraph (2) of Law Number 48 of 2009 concerning Judicial Power. The approach method used in this

research is juridical, normative and historical, as well as finding in-concreto law. The execution that the justice

seeker hopes should be carried out without having to wait long enough. It is as confirmed in Law Number 48 of

2009 Article 2 paragraph (4), Simple, Fast and Low-Cost Judicial Principles. It is time for the Supreme Court

to prepare personnel who have been appointed to be the State Civil Apparatus to be able to execute decisions

that have permanent legal force.

Keywords: civil court execution, simple judiciary.

ABSTRAK Eksekusi putusan perkara perdata pada tataran normatif dan implementatif sering kali menimbulkan

problematika yuridis, sosiologis dan filosofis. Selain itu juga, dapat dikarenakan putusan yang telah berkekuatan

hukum tetap (inkracht van gewijs de zaak) memang tidak dapat dieksekusi (non eksekutable) seperti objek

perkara telah berubah, objek perkara telah dijual dan berada di tangan pihak ketiga, terhadap objek perkara ada

dua putusan yang saling berbeda, objek perkara batas-batasnya tidak jelas, putusan sifatnya deklaratoir bukan

komdemnatoir, dan lain sebagainya. Penelitian ini ingin mengkaji dan memberikan suatu alternatif pemikiran

bagaimana di satu sisi eksekusi tersebut dapat dijalankan sesuai dengan paradigma keadilan, dan di sisi lainnya

pelaksaaan eksekusi tersebut memberi kepastian hukum dalam korelasinya guna mewujudkan peradilan cepat,

sederhana dan biaya ringan sesuai ketentuan UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 2

Ayat (4), Pasal 4 Ayat (2). Metode pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu yuridis, normatif dan

historis, serta menemukan hukum in-concreto. Eksekusi yang diharapkan oleh pencari keadilan seharusnya

dapat terlaksana tanpa harus menunggu cukup lama. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang

Nomor 48 Tahun 2009 Pasal 2 Ayat (4), Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan. Sudah saatnya

Mahkamah Agung dapat menyiapkan tenaga yang telah diangkat menjadi Aparatur Sipil Negara untuk dapat

melaksanakan eksekusi terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Kata kunci: eksekusi perkara perdata; peradilan sederhana

379

Page 2: EKSEKUSI IDEAL PERKARA PERDATA BERDASARKAN ASAS …

Jurnal Penelitian Hukum

De Jure p-ISSN 1410-5632

e-ISSN 2579-8561 Akreditasi: Kep. Dirjen. Penguatan Risbang. Kemenristekdikti:

No:10/E/KPT/2019

Volume 20, Nomor 3, September 2020

PENDAHULUAN

Tujuan akhir dari proses penegakan hukum

yakni hukum memberikan jaminan terlaksananya

pemerataan keadilan dan perlindungan bagi harkat

dan martabat manusia, ketertiban, ketentraman

dan kepastian hukum sesuai dengan ketentuan

Undang-undang.1

Dikaji dari perspektif ketentuan Het Herziene

Inlandsch Reglement Pasal 178 (HIR, Stb. 1941-

44), Rechtsreglement voor de Buitengewesten

Pasal 189 (RBg, Stb. 1927-227) berakhirnya

proses pemeriksaan perkara perdata di pengadilan

adalah dengan dijatuhkannya putusan hakim.

Konsekuensi logisnya, apabila telah diputus oleh

pengadilan, pihak yang menang perkara tentu saja

berharap putusan dapat dilaksanakan atau lazim

dikenal sebagai eksekusi. Apabila tidak

dilaksanakan maka putusan pengadilan menjadi

tidak bermakna. Dalam hal putusan pengadilan

telah mempunyai berkekuatan hukum tetap

(inkracht van gewijs de zaak) tidak dilaksanakan

secara suka rela oleh pihak yang dikalahkan,

sudah tentu hal tersebut menimbulkan persoalan.

Saat ini untuk penyelesaian sengketa perdata

di pengadilan, masih digunakan ketentuan yang

bersumber dari Het Herziene Indonesische

Reglement (HIR) dan Reglement Buitengewesten

(RBG) sebagai sumber hukum acara perdata

di Indonesia yang diadopsi berdasarkan asas

konkordansi karena merupakan produk pemerintah

kolonial Belanda yang masih berlaku sampai

sekarang, dengan mengacu kepada Pasal 2 Aturan

Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia 1945 (UUD NRI 1945). HIR sering

diterjemahkan menjadi “Reglemen Indonesia

Yang Diperbaharui” adalah hukum acara dalam

persidangan perkara perdata maupun pidana yang

berlaku di pulau Jawa dan Madura. Reglemen ini

berlaku di jaman Hindia Belanda yang tercantum

di Berita Negara (staatblad) Nomor 16 Tahun

1848. Sedangkan RBG diterjemahkan menjadi

“Reglemen Hukum Daerah Seberang” merupakan

hukum acara yang berlaku di persidangan perkara

perdata maupun pidana di pengadilan di luar Jawa

M. Yahya Harahap3 menyebutkan eksekusi

sebagai tindakan hukum yang dilakukan oleh

pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu

perkara merupakan aturan dan tata cara lanjutan

dari proses pemeriksaan perkara. Oleh karena itu,

eksekusi tiada lain dari pada tindakan yang

berkesinambungan dari keseluruhan proses

hukum acara perdata. Eksekusi merupakan suatu

kesatuan yang tidak terpisah dari pelaksanaan tata

tertib beracara yang terkandung dalam HIR atau

RBg.

Konsekuensi dimensi ini berarti perkara

perdata tersebut telah selesai. Pengadilan sama

sekali tidak ikut campur tangan dalam pelaksanaan

tersebut. Akan tetapi dalam kenyataannya,

seringkali terjadi pihak yang tidak puas terhadap

putusan pengadilan tidak bersedia melaksanakan

putusan pengadilan secara suka rela, betapapun

disadarinya bahwa putusan tersebut telah

berkekuatan hukum tetap, mengingat segala upaya

hukum telah ditempuhnya, fenomena semacam

inilah yang pada gilirannya

persoalan eksekusi.

menimbulkan

Dalam konteks ini, korelasinya pihak yang

dikalahkan tidak bersedia melaksanakan putusan

pengadilan secara sukarela, maka pihak tersebut

mengajukan permohonan eksekusi kepada

pengadilan, yang pada gilirannya pengadilan

akan melaksanakannya secara paksa. Dari uraian

tersebut kiranya diperoleh pemahaman bahwa

pengertian eksekusi adalah melaksanakan isi

putusan pengadilan atau “pelaksanaan” putusan,

sebagaimana istilah tersebut dipergunakan oleh

Subekti4, Retnowulan Sutantio5 dan pula M.

Yahya Harahap6.

Hakikatnya, eksekusi adalah terhadap

putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum

tetap (inkracht van gewijs de zaak). Mengenai hal

ini ketentuan HIR Pasal 224/Rbg Pasal 258, Pasal

435 Rv mengatur bahwa yang dapat dieksekusi

Perdata, Jurnal Rechtsvinding Online Vol.6 No 1, Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2017 hlm. 1 Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata Edisi Kedua, 2 ed. (Jakarta: Sinar Grafika, 2013). Subekti, Hukum Acara Perdata (Bandung: Bina Cipta, 1977). Iskandar Oeripkantawinata Retno Wulan Sutantio, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktik (Bandung: Alumni, 1983). Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata Edisi Kedua. Hlm. 4

3

dan Madura (tercantum

Nomor 227)2.

dalam Staatblad 1927

4

1 Muhaimin, Kejaksaan

“Penerapan Asas Oportunitas Agung Bertentangan Dengan

Oleh Asas

5

Legalitas dan ‘Rule Of Law,” Penelitian Hukum De Jure 17, no. 1 (2017): 111. Dwi Agustine, Pembaharuan Sistem Hukum Acara

6 2

380

Page 3: EKSEKUSI IDEAL PERKARA PERDATA BERDASARKAN ASAS …

Jurnal Penelitian Hukum

De Jure p-ISSN 1410-5632

e-ISSN 2579-8561 Akreditasi: Kep. Dirjen. Penguatan Risbang. Kemenristekdikti:

No:10/E/KPT/2019

Volume 20, Nomor 3, September 2020

adalah putusan (pengadilan) yang dijatuhkan di

Indonesia7.

Pada dasarnya pengertian eksekusi tersebut

bersumberkan pada ketentuan Bab Kesepuluh,

Bagian Kelima HIR atau Bagian Keempat RBg

yang berasal dari kalimat tenuitvoer legging van

vonnissen. Kemudian diatur pula dalam ketentuan

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman Pasal 54 menentukan,

bahwa:

Pasal 206 sampai dengan Pasal 258 RBG. Di

antara Pasal-Pasal HIR dan RBg yang disebutkan

di atas yaitu Pasal 209 sampai dengan 223 HIR

atau Pasal 242 sampai dengan Pasal 257 RBg yang

mengatur tentang sandera (Gizeling) atau Paksa

Badan oleh Surat Edaran Mahkamah Agung

(SEMA) Nomor 2 Tahun 1964 pernah dinyatakan

tidak boleh dipergunakan lagi karena dianggap

bertentangan dengan perikemanusiaan. Namun

SEMA Nomor 2 Tahun 1964 dan SEMA Nomor

4 Tahun 1975 dinyatakan tidak berlaku lagi oleh

peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2000

tentang Lembaga Paksa Badan8.

Dikaji dari aspek normatif dan praktik

hakekatnya eksekusi tersebut dikenal beberapa

macam, yaitu:

(1) Pelaksanaan putusan pengadilan

perkara pidana dilakukan oleh jaksa.

Pelaksanaan putusan pengadilan

dalam

(2) dalam

perkara perdata dilakukan oleh panitera dan

juru sita dipimpin oleh ketua pengadilan.

(3) Pelaksanaan putusan pengadilan a. eksekusi putusan yang berkekuatan hukum

tetap

eksekusi putusan sertamerta (vit voerbaar bij

voorraad) dan provisionil

eksekusi grosse akta

eksekusi jaminan hipotek (sekarang hak

tanggungan)

dilaksanakan dengan mem-perhatikan nilai

kemanusiaan dan keadilan.

Selanjutnya dalam Pasal 55 Undang-Undang

tersebut juga menyebutkan:

b.

c.

d. (1) Ketua pengadilan wajib mengawasi

pelaksaan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap.

e. eksekusi putusan panitia penyelesaian (2) Pengawasan pelaksaan putusan

sebagaimana dimaksud pada

pengadilan

Ayat (1)

peraturan

perselisihan perburuhan (sekarang putusan

perkara PHI)

eksekusi putusan arbitrage atau perwasitan

Di antara jenis eksekusi tersebut yang

dilakukan sesuai dengan

perundang-undangan. f.

Dalam kaitannya dengan pelaksanaan

putusan pengadilan yang dilakukan oleh pihak

pengadilan atas permohonan pihak, tentu saja hal

itu dilakukan “secara paksa”, mengingat pihak

tereksekusi tidak bersedia melaksanakannya

secara sukarela (execution force). Perihal eksekusi

atau pelaksanaan putusan pengadilan, diatur

dalam ketentuan Bagian V HIR/RBg dengan titel

Tentang Menjalankan Putusan. Kemudian, ketua

merupakan eksekusi putusan perkara perdata

adalah eksekusi putusan yang berkekuatan hukum

tetap termasuk eksekusi akta perdamaian serta

eksekusi putusan serta merta dan provisionil.

Selanjutnya, terhadap pelaksanaan putusan

hakim (eksekusi) ini dalam perkara perdata

menurut praktik peradilan dikenal adanya 3 (tiga)

macam eksekusi, yaitu: pengadilan yang memerintahkan/menetapkan

(a) Eksekusi Putusan Hakim Menghukum untuk dilaksanakan eksekusi perkara perdata

yang pelaksanaannya dilakukan oleh panitera

dan jurusita, namun ketua pengadilan selain

mengawasi tetapi juga bertanggungjawab sejak

Seseorang Untuk Membayar Sejumlah Uang

Eksekusi putusan ini diatur dalam ketentuan

HIR Pasal 197/RBg Pasal 208 yaitu dilaksanakan melalui penjualan lelang terhadap barang- diterimanya permohonan eksekusi sampai barang milik pihak yang kalah perkara, sampai

mencukupi jumlah uang yang harus dibayar

sebagaimana ditentukan dalam putusan hakim

tersebut ditambah biaya-biaya pengeluaran untuk

pelaksanaan eksekusi.

selesainya pelaksanaan eksekusi tersebut.

Sebagaimana disebutkan konteks di atas

bahwasanya aturan eksekusi diatur dalam Pasal

195 sampai dengan Pasal 224 Bab ke sepuluh ba-

gian kelima HIR atau Titel bagian ke empat RBg

7 Convention on the Recognation and Enforcement of Foreign Arbitral Awards (Amerika Serikat, 1958).

8 Undang-undang Republik Indonesia, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM (Indonesia, 1999).

381

Page 4: EKSEKUSI IDEAL PERKARA PERDATA BERDASARKAN ASAS …

Jurnal Penelitian Hukum

De Jure p-ISSN 1410-5632

e-ISSN 2579-8561 Akreditasi: Kep. Dirjen. Penguatan Risbang. Kemenristekdikti:

No:10/E/KPT/2019

Volume 20, Nomor 3, September 2020

Dalam praktik dengan berdasarkan ketentuan

Pasal 197 Ayat (1) HIR/Pasal 208 RBg, maka

barang-barang pihak yang kalah diletakkan sita

eksekusi (executoir beslag) terlebih dahulu

sebelum penjualan lelang dilakukan, kemudian

proses eksekusi dimulai dari barang-barang

bergerak dan jikalau barang-barang bergerak tidak

ada ataukah tidak mencukupi barulah dilakukan

terhadap barang-barang yang tidak bergerak

(barang tetap).

Dari aspek tersebut di atas dapatlah

diprediksikan bahwa dalam hal pengabulan

seseorang melakukan suatu perbuatan hukum

tertentu maka hendaknya hakim telah dapat

memperhitungkan bahwa tidak setiap putusannya

akan dilaksanakan secara sukarela. Oleh karena

itu adalah sikap bijak apabila pengabulan tersebut

dilakukan dengan hati-hati dan dipertimbangkan

dari segala aspeknya.

(c) Eksekusi putusan hakim menghukum

(b) Eksekusi putusan hakim menghukum seseorang untuk mengosongkan

tidak bergerak (eksekusi riil)

barang

seseorang untuk melakukan suatu perbuatan

Eksekusi jenis ini diatur dalam HIR Pasal

225/RBg Pasal 259 yaitu apabila seseorang

dihukum melakukan suatu perbuatan akan tetapi

tidak melakukan perbuatan tersebut dalam waktu

yang ditentukan maka pihak yang dimenangkan

dalam putusan itu dapat meminta kepada Ketua

Pengadilan Negeri agar perbuatan yang sedianya

dilakukan/dilaksanakan oleh pihak yang kalah

perkara dinilai dengan sejumlah uang. Dengan lain

perkataan pelaksanaan perbuatan itu dilakukan

oleh sejumlah uang.

Hal ini ditegaskan lebih jauh Retnowulan

Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, bahwa:

“Menurut Pasal 225 HIR yang dapat

dilakukan adalah menilai perbuatan yang

harus dilakukan oleh Tergugat dalam jumlah

uang. Tergugat lalu dihukum untuk membayar

sejumlah uang sebagai pengganti dari pada

pekerjaan yang harus ia lakukan berdasar

putusan hakim yang menilai besarnya

penggantian ini adalah Ketua Pengadilan

Negeri yang bersangkutan. Dengan demikian,

maka dapatlah dianggap bahwa putusan

hakim yang semula tidak berlaku lagi, atau

dengan lain perkataan, putusan yang semula

ditarik kembali, dan Ketua Pengadilan

Negeri mengganti putusan tersebut dengan

putusan lain. Perlu dicatat, bahwa bukan

putusan Pengadilan Negeri saja, akan tetapi

putusan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah

Agung pun dapat diperlakukan demikian,

tegasnya putusan yang sedang dilaksanakan

itu yang lebih menarik perhatian adalah

bahwa perubahan putusan ini dilakukan atas

kebijaksanaan Ketua Pengadilan Negeri

yang sedang memimpin eksekusi tersebut,

jadi tidak dalam sidang terbuka”9.

Ketentuan eksekusi riil terdapat dalam Pasal

1033 Rv. yang menentukan, bahwa “Jikalau

memerintahkan

bergerak tidak

putusan pengadilan yang

tidak pengosongan barang

dipenuhi oleh orang yang dihukum, maka Ketua

akan memerintahkan dengan surat kepada Jurusita

supaya dengan bantuan alat kekuasaan negara,

barang tidak bergerak itu dikosongkan oleh orang

yang dihukum serta keluarganya dan segala

barang kepunyaannya.” Dengan demikian dapat

dikatakan lebih detail berdasarkan ketentuan Pasal

1033 Rv. bahwa yang harus meninggalkan “barang

tidak bergerak” yang dikosongkan itu adalah

pihak yang dikalahkan beserta sanak saudaranya

dan bukan pihak penyewa rumah oleh karena

dalam hal sebuah rumah disita dan di atasnya telah

diletakkan perjanjian sewa menyewa sebelum

rumah itu disita maka pihak penyewa dilindungi

oleh asas “koop breekt geen huur” yakni asas jual

beli tidak menghapuskan hubungan sewa

menyewa sebagaimana ditentukan KUH Perdata

Pasal 1576.

Dalam praktik, maka ketiga macam eksekusi

ini kerap dilaksanakan. Pada dasarnya suatu

eksekusi itu dimulai adanya permohonan eksekusi

dengan pemohon eksekusi membayar biaya

eksekusi pada petugas urusan kepaniteraan perdata

pada Pengadilan Negeri yang bersangkutan.

Kemudian prosedural administrasi berikutnya akan

diregister pada buku permohonan eksekusi (KI-

A.5), Buku Induk Keuangan Biaya Eksekusi (KI-

A.8) dan lalu diajukan kepada Ketua Pengadilan

Negeri guna mendapatkan fiat eksekusi.

Setelah Ketua Pengadilan Negeri

mempelajari permohonan itu dan yakin tidak

bertentangan dengan undang-undang maka Ketua

Pengadilan Negeri mengeluarkan “Penetapan”

9 Retno Wulan Sutantio, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktik.Hlm. 116

382

Page 5: EKSEKUSI IDEAL PERKARA PERDATA BERDASARKAN ASAS …

Jurnal Penelitian Hukum

De Jure p-ISSN 1410-5632

e-ISSN 2579-8561 Akreditasi: Kep. Dirjen. Penguatan Risbang. Kemenristekdikti:

No:10/E/KPT/2019

Volume 20, Nomor 3, September 2020

berisi perintah agar Jurusita Pengadilan mencukupi karena banyak mempunyai

keluarga di dalamnya; dan

Bahwa berikutnya setelah selesai eksekusi

pengosongan dilakukan, tempat yang telah

dikosongkan tersebut harus dijaga untuk

sementara sebelum diserahkan langsung

kepada pemohon eksekusi.

Berdasarkan uraian konteks di atas, seringkali

memanggil pihak lawan yang dikalahkan atau

kedua belah pihak berperkara untuk diberi teguran

(aanmaning) supaya pihak lawan yang dikalahkan

melaksanakan putusan hakim. Apabila pada

waktu “aanmaning” itu para pihak hadir maka

kepada pihak lawan yang dikalahkan diberi waktu

8 (delapan) hari sejak tanggal teguran tersebut

memenuhi isi putusan. Setelah waktu tersebut

terlampaui dan pihak termohon eksekusi belum

memenuhi ammar putusan hakim maka dengan

ketetapan Ketua Pengadilan Negeri selanjutnya

memerintahkan Panitera/Jurusita dengan disertai

dua orang saksi yang dipandang mampu dan

cakap untuk melaksanakan sita eksekusi terhadap

barang-barang/tanah milik termohon eksekusi dan

semua ini dibuat pula Berita Acaranya.

Berdasarkan pengalaman praktik maka

dalam hal pelaksanaan eksekusi pengosongan

(eksekusi riil) sering dijumpai beberapa kendala

di dalamnya. Agar eksekusi riil dapat berhasil dan

tidak menimbulkan kendala maka hendaknya

harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut:

4)

dalam melaksanakan eksekusi dalam perkara

perdata menimbulkan pelbagai problematika.

Apabila dijabarkan, problematika tersebut mulai

dari pihak tereksekusi tidak mau melaksanakan

putusan pengadilan dengan pelbagai alasan, seperti

masih melakukan perlawanan (verzet), melakukan

upaya hukum peninjauan kembali, mengerahkan

massa dan lain sebagainya. Kemudian adanya

intervensi baik dari pihak ketiga (derden verzet),

dan pelbagai cara lainnya. Kemudian juga dari

putusan itu sendiri yang hakekatnya putusan tidak

bisa dieksekusi (non eksekutable).

Apabila ditarik suatu konklusi, kenyataan

eksekusi putusan perkara perdata menimbulkan

problematika sehingga pihak yang menang

perkara lama atau bahkan tidak dapat menikmati

kemenangan sesuai dengan isi putusan hakim.

Problematika tersebut dapat timbul dari putusan

itu sendiri (non eksekutable), dari pihak

tereksekusi karena melakukan verzet, peninjauan

kembali dan bahkan melakukan pengerahan

massa, kemudian juga dapat dari pihak luar seperti

adanya perlawanan pihak ketiga terhadap eksekusi

(derden verzet), dan lain sebagainya.

Atas dasar konteks di atas, maka penelitian

ini ingin mengkaji dan memberikan suatu

alternatif pemikiran bagaimana di satu sisi

eksekusi tersebut dapat dijalankan sesuai dengan

paradigma keadilan, dan di sisi lainnya pelaksaaan

eksekusi tersebut memberi kepastian hukum

dalam korelasinya guna mewujudkan peradilan

cepat, sederhana dan biaya ringan sesuai Undang-

Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman ketentuan Pasal 2 Ayat (4), Pasal 4

Ayat (2).

1) Bahwatempat/barang yang akan dikosongkan

haruslah sesuai dengan isi penetapan Ketua

Pengadilan Negeri baik mengenai ukuran

maupun batas-batasnya sehingga dapat

dihindari salah eksekusi, seperti tanah orang

lain ikut dibongkar dan dikosongkan;

Bahwa lokasi tempat akan melakukan 2)

eksekusi

seksama

eksekusi

hendaknya diperhatikan dengan

situasinya dan kepada termohon

hendaknya sejak lama harus

dijelaskan dan diberi pengertian tentang

makna dan asas eksekusi yang tetap

menjunjung tinggi nilai-nilai prikemanusiaan

dan prikeadilan;

3) Hendaknya pula pihak pemohon eksekusi

jauh-jauh hari supaya mempersiapkan

segala sesuatu, demi kemanusiaan, misalnya

tempat penampungan barang (bilamana

barangnya banyak dan tidak dimungkinkan

dikeluarkan dari rumah/di pinggir jalan

atau halaman) dan dapat pula pemohon

eksekusi menyediakan tempat penampungan

sementara guna penampungan penghuni

yang harus mengosongkan karena belum

ada dan/atau mempunyai tempat tinggal baru

karena masih berusaha mendapatkannya

atau penampungan termohon eksekusi tidak

METODE PENELITIAN

Metode pendekatan yang dilakukan dalam

penelitian ini yaitu yuridis, normatif dan historis,

serta menemukan hukum in-concreto. Dengan

metode yuridis dimaksud untuk mengungkapkan

berbagai perangkat hukum yang dapat digunakan

383

Page 6: EKSEKUSI IDEAL PERKARA PERDATA BERDASARKAN ASAS …

Jurnal Penelitian Hukum

De Jure p-ISSN 1410-5632

e-ISSN 2579-8561 Akreditasi: Kep. Dirjen. Penguatan Risbang. Kemenristekdikti:

No:10/E/KPT/2019

Volume 20, Nomor 3, September 2020

terhadap objek perkara

saling berbeda, objek

ada dua putusan yang

perkara batas-batasnya

dalam membahas pelaksanaan eksekusi ideal

perkara perdata dalam mewujudkan peradilan

sederhana, cepat dan biaya ringan. Cara tersebut

dilakukan dengan harapan diperoleh hasil

(kerangka) untuk perkembangan hukum yang

akan datang (futurologi). Metode penemuan in-

concerto digunakan karena berupaya mengetahui

peraturan manakah yang berlaku/diterapkan.

Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini

merupakan data sekunder yang diperoleh dari

telaah pustaka. Data sekunder di bidang hukum

(dipandang dari sudut kekuatan mengikatnya)

dapat dibedakan menjadi bahan baku primer dan

bahan baku sekunder.

Bahan baku primer, merupakan bahan pustaka

yang berisikan pengetahuan ilmiah yang baru dan

mutakhir, ataupun pengertian baru tentang fakta

yang diketahui mengenai suatu gagasan.

Pada tahap penyajian data kualitatif di mana

seluruh data yang telah diperoleh dikumpulkan

tidak jelas, putusan sifatnya deklaratoir bukan

komdemnatoir, dan lain sebagainya. Kemudian

acapkali eksekusi dilaksanakan menimbulkan

perlawanan dari tereksekusi itu sendiri baik melalui

perlawanan (partaj verzet) atau oleh pihak ketiga

yang mengaku sebagai pemilik barang (derden

verzet), dilakukan upaya hukum luar biasa berupa

peninjauan kembali, adanya pengerahan massa/

preman baik oleh pemohon eksekusi maupun oleh

termohon eksekusi, sering pula adanya intervensi

oleh pihak yang berdiri di belakang pemohon atau

termohon eksekusi, dan lain sebagainya.

Berikutnya, dari tataran sosiologis acapkali

ketika eksekusi akan dilaksanakan baik pemohon

dan termohon eksekusi mengerahkan massa/

preman pendukungnya di lokasi eksekusi sehingga

menimbulkan bentrokan antara massa yang pro

dan kontra eksekusi. Kemudian sebelum eksekusi

dilaksanakan, pihak-pihak telah menduduki objek

sengketa terlebih dahulu, dan lain sebagainya.

Kemudian dalam tataran filosofis, peraturan

yang mengatur eksekusi merupakan peraturan

yang merupakan hasil konkordansi yang berasal

dari Belanda seperti Het Herzine Inlandch

Reglement (HIR, Stb. 1941-44) untuk Jawa dan

Madura serta (Rechts Reglement Buitengewesten

(RBg, Stb 1847-52), dan lain sebagainya.

Konsekuensi logis aspek tataran filosofis peraturan

yang berasal dari Belanda tersebut menimbulkan

bahwa dari persepktif filosofis dan pandangan

hidup orang belanda tersebut baik langsung atau

dan diklasifikasikan kemudian disusun

suatu susunan yang komprehensif.

dalam

PEMBAHASAN DAN ANALISIS

A. Eksekusi dengan Paradigma Keadilan

Konsekuensi logis dimensi demikian maka

“eksekusi ideal perkara perdata berdasarkan asas

keadilan korelasinya mewujudkan peradilan

sederhana, cepat dan biaya ringan” harus

menempatkan adanya keadilan, kepastian hukum

dan manfaat di dalamnya. Pada satu sisi, eksekusi

menuntut adanya kepastian hukum terhadap

pemohon eksekusi sehingga setelah sekian lamanya

berperkara dan menang perkara, diharapkan objek

sengketa kembali kepadanya. Akan tetapi, disisi

lainnya ternyata termohon eksekusi tidak begitu

serta merta secara sukarela memenuhi isi putusan

dengan pelbagai cara dan alasan, selain itu juga

timbul dimensi dari perspektif yuridis, filosofis

dan sosiologis.

Pada tataran yuridis timbul karena norma yang

mengatur eksekusi sifatnya sumir, sederhana dan

tidak detail sehingga pada tataran implementatif

menimbulkan gejolak. Selain itu juga, dapat

dikarenakan putusan yang telah berkekuatan

hukum tetap (inkracht van gewijs de zaak)

memang tidak dapat dieksekusi (non eksekutable)

seperti objek perkara telah berubah, objek perkara

telah dijual dan berada ditangan pihak ketiga,

tidak

yang

yang

langsung akan berpengaruh terhadap apa

diatur dan tercermin di dalam peraturan

dibuatnya dalam konteks undang-undang

in casu Het Herzine Inlandch Reglement dan

Rechts Reglement Buitengewesten. Konsekuensi

logisnya hakekatnya jelaslah berbeda jauh dari

poerspektif filosofis, akar budaya, nilai-nilai yang

hidup dalam masyarakat Indonesia dan Belanda.

Oleh karena itu, tentu diperlukan adanya suatu

peraturan yang mengatur eksekusi yang sesuai

dengan aspek yuridis, sosiologis dan filosofis

bangsa Indonesia sehingga nilai-nilai keadilan,

nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat (voolks

geist/inner order) masyarakat Indonesia tercermin

dalam peraturan yang mengatur eksekusi yang

akhirnya akan mempunyai korelasi, dampak dan

pengaruh terhadap eksekusi.

384

Page 7: EKSEKUSI IDEAL PERKARA PERDATA BERDASARKAN ASAS …

Jurnal Penelitian Hukum

De Jure p-ISSN 1410-5632

e-ISSN 2579-8561 Akreditasi: Kep. Dirjen. Penguatan Risbang. Kemenristekdikti:

No:10/E/KPT/2019

Volume 20, Nomor 3, September 2020

Dalam konteks

perdata berdasarkan

“eksekusi ideal perkara

asas keadilan korelasinya

dengan jajaran pengadilan tingkat Banding dan

empat lingkungan peradilan seluruh Indonesia

pada Tahun 2009 dalam pendapat umum Hukum

Acara Perdata ditegaskan dalam point (16)

menyatakan sebagai berikut:11

“Pelaksanaan putusan serta-merta yang akan

dimintakan izin ke KPT, KPN wajib meneliti

dengan saksama sebelum permohonan itudiajukan.

Apabila putusan serta-merta itu dinilai tidak

memenuhi syarat yang ditentukan dalam undang-

undang, KPN berwenang tidak melanjutkan

permohonan itu. Putusan serta-merta yang akan

dilaksanakan harus mendapat izin tertulis terlebih

dahulu dari KPT. Setelah izin diberikan oleh KPT,

maka sebelum eksekusi dilaksanakan, harus ada

jaminan dari pihak pemohon eksekusi (perhatikan

SEMA Nomor 3 Tahun 2000 jo. SEMA Nomor 4

Tahun 2001).”

Agar dapat terwujudnya ketentuan Undang-

Undang Nomor 48 Tahun 2009 Pasal 2 Ayat

(4) maka jalan keluar yang harus diperhatikan oleh

Mahkamah Agung sebagaimana dalam “Buku

Biru” dan pelaksanaan tujuan dari ketentuan

Pengadilan Negeri selaku pihak yang

mewujudkan peradilan sederhana, cepat dan biaya

ringan” maka diperlukan adanya dimensi keadilan,

baik untuk pemohon dan termohon eksekusi. Pada

proses eksekusi, ketika termohon eksekusi tidak

mau secara sukarela melaksanakan isi putusan,

didahului melalui proses peringatan (aanmaning)

kepada termohon eksekusi, kemudian bila tidak

dilaksanakan oleh termohon eksekusi setelah

tenggat waktu yang ditentukan terlewati, baru

dilaksanakan sita eksekusi. Pada proses ini,

acapkali juga dilakukan adanya perlawanan

atau bantahan (verzet/derden verzet) terhadap

sita eksekusi oleh termohon eksekusi atau pihak

ketiga sehingga kemungkinan ditangguhkan atau

tidaknya pelaksanaan eksekusi pengosongan

tergantung kepada kebijakan ketua pengadilan

negeri.

Pada tahap ini, eksekusi dilakukan oleh

ketua pengadilan negeri sesuai dengan ketentuan

eksekusi yang diatur mulai HIR Pasal 195 dan

seterusnya. Hekekatnya, proses aanmaning

sifatnya untuk eksistensi adanya kepastian hukum.

Untuk itu, kedepan hendaknya dicari suatu formula

eksekusi yang sesuai asas keadilan, misalnya

mulai diusahakan adanya mempertemukan para

pemohon dan termohon eksekusi untuk dilakukan

perdamaian terhadap pokok sengketa. Untuk itu,

diharapkan dengan demikian eksekusi tidak jadi

dilakukan, atau bahkan pihak termohon eksekusi

mau menyerahkan objek eksekusi secara sukarela,

sehingga baik pihak pemohon dan termohon

eksekusi mendapat win-win solutions yang secara

langsung dan tidak langsung berkorelasi dengan

asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan.

menjalankan eksekusi terhadap putusannya,

maka Ketua Pengadilan Negeri diharuskan dapat

mempertimbangkan seluruh aspek yang terdapat

dalam setiap permohonan eksekusi sebelum

penetapan eksekusi dikeluarkan, baik menyangkut

aspek yuridis maupun aspek non yuridis. Sebagai

contoh aspek yuridis yang dapat mempengaruhi

proses pemeriksaan permohonan eksekusi antara

lain dapat disebutkan adalah terkait amar putusan

yang tidak bersifat condemnatoir atau secara

faktual bahwa harta kekayaan tereksekusi tidak

ada atau bahwa objek eksekusi telah berada

di tangan pihak ketiga, sedangkan salah satu

contoh dari aspek-aspek non yuridis yang dapat

disebutkan adalah terkait alasan kemanusiaan.

Kemerdekaan dan kebebasan seseorang

mengandung aspek yang luas. Salah satu aspeknya

adalah hak seseorang untuk diperlakukan secara

adil, tidak diskriminatif dan berdasarkan hukum,

terutama bila seseorang diduga atau disangka

melakukan suatu Tindakan pelanggaran atau

Tindakan kejahatan12.

Dalam cetak Buku Biru Mahkamah

Agung Tahun 2010-2035 Bab III Visi, Misi, dan

Organisasi, dimana Visi Badan Peradilan adalah

“Terwujudnya Badan Peradilan Indonesia yang

Agung” artinya dalam menjalankan tugas dan

wewenangnya peradilan umum secara ideal

dapat terwujud sebagai sebuah badan peradilan

sebagaimana diatur dalam point ke-4 (empat)

sebagai berikut:10 “Menyelenggarakan manajemen

dan administrasi proses perkara yang sederhana,

cepat, tepat waktu, biaya ringan dan profesional”.

Sedangkan dalam hasil rapat kerja nasional

Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) 11 Heri Swantoro, Dilema Eksekusi Ketika Eksekusi

Perdata Ada Disimpang Jalan Pembelajaran dari Pengadilan Negeri (Jakarta: Rayyana

10 Harifin A. Tumpa, Cetak Biru Pembaruan Peradilan (Jakarta: Mahkamah Agung, 2010).

Komunikasindo, 2018). Muhaimin, “Penetapan Tersangka Tidak Ada Batas 12

385

Page 8: EKSEKUSI IDEAL PERKARA PERDATA BERDASARKAN ASAS …

Jurnal Penelitian Hukum

De Jure p-ISSN 1410-5632

e-ISSN 2579-8561 Akreditasi: Kep. Dirjen. Penguatan Risbang. Kemenristekdikti:

No:10/E/KPT/2019

Volume 20, Nomor 3, September 2020

Dari beberapa hasil penelitian sementara sistem peradilan yang cepat, sederhana dan biaya

ringan sebagaimana disebut dalam ketentuan

Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman Pasal 2 Ayat (4).

Tugas dan tanggung jawab jabatan telah

menuntut seorang Ketua Pengadilan Negeri untuk

selalu dapat mengatasi setiap kesenjangan antara

fakta-fakta yang terdapat di lapangan dengan cita-

cita hukum itu sendiri, dalam hal pelaksanaan

eksekusi yang telah mempunyai kekuatan hukum

tetap namun terkendala dengan ketidakmampuan

aparat pelaksana di lapangan.

Sebagai upaya pelaksanaan eksekusi terhadap

putusan pengadilan yang telah mempunyai

kekuatan hukum tetap, pelaksanaan di lapangan

selalu terjadi kendala utama di mana pada saat akan

dilakukan eksekusi pengadilan terbentur dengan

kekurangan personil di lapangan, biaya yang

kurang memadai. Apabila menggunakan polisi

maka harus ada biaya extra untuk pengurusan.

Upaya yang dapat dilakukan oleh Ketua Pengadilan

Negeri adalah dengan mengupayakan revitalisasi/

reformasi terhadap eksekusi di lapangan dengan

cara penyiapan pasukan eksekusi untuk dapat

melakukan eksekusi sendiri tanpa harus meminta

dari Polri, dalam pelaksanaannya Polri hanya

sebatas pengamanan saja.

yang penulis lakukan menunjukkan fakta bahwa

proses penyelesaian perkara perdata sampai pada

status berkekuatan hukum tetap adalah memakan

waktu yang cukup lama. Selanjutnya telah

terjadinya perpindahan (mutasi) di tubuh badan

peradilan itu sendiri, sehingga bukan merupakan

hal yang baru jika Ketua Pengadilan Negeri

dalam mempelajari permohonan eksekusi hanya

didasarkan pada berkas perkara dan fakta-fakta

yang timbul kemudian. Hal ini lebih didasarkan

pada fakta bahwa Ketua Pengadilan Negeri

maupun Majelis Hakim yang memeriksa perkara

yang bersangkutan tidak lagi berada di Pengadilan

Negeri tersebut.

Dalam upaya mempertimbangkan seluruh

aspek

Ketua

waktu

permohonan eksekusi tersebut, maka

Pengadilan Negeri akan membutuhkan

yang tidak sedikit, disamping tugas dan

tanggungjawabnya sebagai pimpinan Pengadilan

Negeri. Kendala ini sering menjadi faktor yang

mempengaruhi pandangan negatip terhadap badan

peradilan itu sendiri. Tidak kurang dari sosok

seorang mantan Hakim Agung M. Yahya Harahap

dalam salah tulisannya juga memuat beberapa poin

kritik tajam yang dialamatkan kepada pengadilan,

yaitu:

a.

b.

c.

d.

Penyelesaian sengketa lambat;

Biaya perkara mahal;

Peradilan tidak tanggap (Unresponsive);

Putusan pengadilan tidak menyelesaikan

masalah;

Putusan pengadilan membingungkan;

Putusan pengadilan tidak memberi kepastian

hukum;

Kemampuan para hakim bercorak generalis13;

Materi kritikan tersebut di atas telah cukup

B. Eksekusi dan Kepastian Kukum dalam

Korelasinya Guna Mewujudkan Peradilan

Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan

Kewenangan Ketua Pengadilan Negeri

untuk menjalankan eksekusi tersebut secara

khusus diatur dalam Pasal 200 Ayat (11) dari

Reglement Indonesia yang diperbaharui (HIR)

yang menyatakan sebagai berikut:

“Jika seseorang enggan meninggalkan barang

tetapnya yang dijual, maka ketua pengadilan

e.

f.

g.

negeri akan membuat surat perintah kepada kiranya memberikan sedikit gambaran terhadap

fakta proses peradilan di Indonsia pada saat ini orang yang berwenang, untuk menjalankan surat

juru sita dengan bantuan panitera pengadilan

negeri atau seorang pegawai bangsa Eropa yang

ditunjuk oleh ketua, dan jika perlu dengan bantuan

polisi, supaya barang tetap itu ditinggalkan dan

dikosongkan oleh orang yang dijual barangnya

serta oleh sanak saudaranya.”14

dan sekaligus menunjukkan bahwa keadaan

yang terdapat pada saat ini (das sein) pada dunia

peradilan sudah terlalu jauh dari apa yang

sesungguhnya diharapkan atau dicita-citakan dari

sistem peradilan Indonesia (das solen), yaitu

Ketentuan ini sebenarnya merupakan Waktu,” Penelitian Hukum De Jure 20, no. 2 (2020): 279.

13 Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang

implementasi dari reformasi yang telah dilakukan

Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, I. (Jakarta: Sinar Grafika, 2005).

14 H.P Panggabean, Skematik Ketentuan Hukum Acara Perdata dalam HIR (Bandung: Alumni, 2015).

386

Page 9: EKSEKUSI IDEAL PERKARA PERDATA BERDASARKAN ASAS …

Jurnal Penelitian Hukum

De Jure p-ISSN 1410-5632

e-ISSN 2579-8561 Akreditasi: Kep. Dirjen. Penguatan Risbang. Kemenristekdikti:

No:10/E/KPT/2019

Volume 20, Nomor 3, September 2020

oleh Mahkamah Agung, namun belum sepenuhnya

tercapai. Mahkamah Agung sebenarnya juga telah

menetapkan sejumlah kebijaksanaan dan strategi

internal untuk melakukan reformasi lembaga

peradilan.15 Kebijaksanaan tersebut dijalankan

dalam beberapa langkah, sebagai berikut:

menghadapi perkembangan hukum sebagai

dampak dari globalisasi dan perkembangan

ilmu pengetahuan dan teknologi;

7. Meningkatkan pengawasan terhadap

semua penyelenggaraan peradilan di

lingkungan peradilan dalam

kekuasaan kehakiman dan

menjalankan

pengawasan 1. Mengupayakan asas

sederhana dan biaya

peradilan cepat,

yang terjangkau

konsisten dan

terhadap tingkah laku dan perbuatan para

hakim, panitera, dan juru sita di semua

lingkungan peradilan dalam melaksanakan

tugasnya;

Mengembangkan dan meningkatkan peranan

lembaga arbitrase.

Delapan langkah kebijaksanaan Mahkamah

Agung tersebut di atas disampaikan oleh

Mahkamah Agung secara internal kepada

dilaksanakan secara

konsekuen, sehingga dapat memenuhi rasa

keadilan bagi pencari keadilan dari seluruh

lapisan masyarakat;

Menyempurnakan administrasi peradilan

untuk mempercepat proses penyelesaian

perkara di seluruh tingkat;

8.

2.

3. Melanjutkan upaya untuk lebih

pengadilan-pengadilan bawahannya. memfungsikan dan mendayagunakan tempat

sidang tetap dalam rangka mendekatkan

lembaga peradilan dengan pencari keadilan

serta agar perkara dapat diselesaikan di

tempat kasus perkara yang terjadi;

Mendorong badan peradilan agar dapat

berfungsi sebagai penggerak masyarakat

dalam pembangunan hukum dan pembinaan

tertib hukum;

Keadaan ini menjadikan Mahkamah Agung

seringkali dianggap tidak melakukan

reformasi. Langkah-langkah kebijaksanaan

yang dikemukakan oleh Mahkamah Agung

sebagian besar masih merupakan persoalan

lama yang dari tahun ke tahun selalu

dikemukakan dan sampai hari ini perbaikan

administrasi serta sumber daya masih terus

berlangsung16.

Ketentuan sebagaimana dalam reformasi

yang telah dilakukan, saat ini untuk menghadapi

peradilan yang berwibawa maka terlebih dahulu

yang harus dilakukan adalah dengan membuat

tujuh bidang keunggulan yang dinilai berdasarkan

self assessment checklist IFCE, yang antara lain:

4.

5. Mendorong para hakim agar dalam

mengambil putusan,

hams berdasarkan

di samping senantiasa

pada hukum, juga

berdasarkan keyakinan yang seadil-adilnya

dan sejujur-jujurnya dengan mengingat

akan kebebasan yang dimilikinya dalam

memeriksa dan memutus perkara.

1. Court management and leadership

Kepemimpinan yang kuat dan berkarakter

dibarengi dengan manajemen peradilan

yang bagus adalah kunci utama terwujudnya

Dalam menegakkan hukum digunakan

metode analisis yuridis komprehensif untuk

memecahkan permasalahan hukum, kasus

dan perkara. Analisis ini menggunakan

pendekatan yuridis, sebagai pendekatan

pertama dan utama, yaitu sesuai ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku,

pendekatan filosofis yaitu berintikan rasa

keadilan dan kebenaran, serta pendekatan

sosiologis yaitu sesuai dengan tata nilai

budaya yang berlaku di masyarakat;

Meningkatkan kualitas serta kemampuan

profesional para hakim dari semua lingkungan

peradilan melalui pelatihan teknis yustisial

berupa pendalaman materi terutama dalam

efektivitas dan efisiensi pelayanan.

Leadership is the driver. Peran dan fungsi

faktor-faktor lain dalam mewujudkan

excellent court sangat penting, tapi peran

pimpinan sebagai lokomotif diatas segalanya.

Court planning and policies;

Kepemimpinan yang kuat dan manajemen

yang efektif diaktualisasikan dalam bentuk

kebijakan-kebijakan yang mengarah kepada

evaluasi kinerja dan berusaha mengantisipasi

perubahan yang terjadi serta mengakomodasi

2.

6.

16 J. Djohansjah, Reformasi Mahkamah Agung Menuju 15 H Sarwata, Kebijaksanaan dan Strategi Penegakan

Sistem Peradilan di Indonesia (Jakarta, 1999). Independensi Kekuasaan Kehakiman Kesaint Blank, 2008).

(Bekasi:

387

Page 10: EKSEKUSI IDEAL PERKARA PERDATA BERDASARKAN ASAS …

Jurnal Penelitian Hukum

De Jure p-ISSN 1410-5632

e-ISSN 2579-8561 Akreditasi: Kep. Dirjen. Penguatan Risbang. Kemenristekdikti:

No:10/E/KPT/2019

Volume 20, Nomor 3, September 2020

kebutuhan dan harapan masyarakat

pelayanan yang berkeadilan.

akan Teknologi Informasi di Lingkungan Peradilan

Umum17.

Ketentuan-ketentuan tersebut harus dapat

di implementasikan oleh Ketua Pengadilan

Negeri sehingga eksekusi tersebut dapat berjalan

sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan

perundang-undangan.

3. Court resources

financial);

(human material and

Proses penanganan perkara yang efektif dan

efisien akan terwujud jika ada sinergi yang

baik antara hakim dan staff pengadilan.

Hakim memfokuskan diri pada proses

pemeriksaan perkara sementara staff KESIMPULAN

Eksekusi yang diharapkan oleh pencari

keadilan seharusnya dapat terlaksana tanpa harus

menunggu cukup lama. Hal ini sebagaimana

ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 48

Tahun 2009 Pasal 2 Ayat (4), Asas Peradilan

Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan dapat

terselenggara jika Ketua Pengadilan Negeri dalam

pelaksanaannya tidak harus meminta persetujuan

kepada Ketua Pengadilan Tinggi setempat.

menangani aspek administrasinya. Ketepatan

waktu dan durasi penanganan perkara harus benar-benar dimonitor. Perkara-perkara

diperiksa dan diputus mengikuti Standard

Operating Procedures (SOP)

ditetapkan

Court process proceedings;

Kepemimpinan yang kuat dan

yang telah

4.

manajemen

yang efektif diaktualisasikan dalam bentuk

kebijakan-kebijakan yang mengarah kepada

evaluasi kinerja dan berusaha mengantisipasi

perubahan yang terjadi serta mengakomodasi

kebutuhan dan harapan masyarakat akan

pelayanan yang berkeadilan

Client needs and satisfaction;

Kepuasan pengguna jasa pengadilan ini

berkaitan erat dengan tingkat kepercayaan

publik di atas. Tantangan bagi sebuah

pengadilan adalah bagaimana para pihak bisa

merasa puas meskipun mereka harus kalah

dalam perkara yang diajukannya.

Affordable and accessible court services;

Kepuasan pengguna jasa pengadilan ini

berkaitan erat dengan tingkat kepercayaan

publik di atas. Tantangan bagi sebuah

pengadilan adalah bagaimana para pihak bisa

merasa puas meskipun mereka harus kalah

dalam perkara yang diajukannya.

Public trust and confidence;

Pengadilan yang excellent adalah pengadilan

yang terjangkau dan mudah diakses oleh

siapapun yang membutuhkannya. Tidak

hanya secara fisik bisa diakses tetapi juga

virtually accessible (dapat diakses secara

SARAN

Sudah saatnya Mahkamah Agung dapat

menyiapkan tenaga yang telah diangkat menjadi

Aparatur Sipil Negara untuk dapat melaksanakan

eksekusi terhadap putusan yang telah mempunyai

kekuatan hukum tetap, sehingga hal tersebut

dapat terlaksana dan tidak harus meminjam atau

menggunakan Satpol PP yang dimiliki oleh Pemda

setempat.

5.

UCAPAN TERIMAKASIH

Terima kasih sebesar-besarnya kami ucapkan

untuk para pembimbing dalam penulisan Karya

Tulis ini sehingga dapat maksimal dalam metode

maupun substansi, antara lain Bapak Ahyar

Arigayo (Peneliti Ahli Utama) dan Mas Muhaimin

(Peneliti Muda) serta rekan peneliti lain yang

memberikan masukan dan saran dalam proses

penulisan, serta instansi Badan Penelitian dan

Pengembangan Hukum dan HAM, Kementerian

Hukum dan HAM tempat Peneliti melaksanakan

tugas sebagai Peneliti Bidang Hukum.

6.

7.

virtual). Sebagaimana ditegaskan oleh

Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum

(Dirjen Badilum) Mahkamah Agung RI,

melalui surat Edaran Dirjen Badilum tanggal

20 Juni 2014 Nomor: 3/DJU/HM02.3/6/2014

tentang Administrasi Pengadilan Berbasis 17 Herri Swantoro, “Menuju Terwujudnya Peradilan

Internasional Framework for Court Exellence,” in Diskusi Menuju Terwujudnya Peradilan Yang Berwibawa (Bandung, 2015), 4–7.

388

Page 11: EKSEKUSI IDEAL PERKARA PERDATA BERDASARKAN ASAS …

Jurnal Penelitian Hukum

De Jure p-ISSN 1410-5632

e-ISSN 2579-8561 Akreditasi: Kep. Dirjen. Penguatan Risbang. Kemenristekdikti:

No:10/E/KPT/2019

Volume 20, Nomor 3, September 2020

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Djohansjah, J. Reformasi Mahkamah Agung

Menuju Independensi Kekuasaan

Kehakiman. Bekasi: Kesaint Blank, 2008.

Harahap, Yahya. Hukum Acara Perdata Tentang

Gugatan, Persidangan, Penyitaan,

Pembuktian dan Putusan Pengadilan. I.

Jakarta: Sinar Grafika, 2005.

———. Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi

Bidang Perdata Edisi Kedua. 2 ed. Jakarta:

Sinar Grafika, 2013.

Muhaimin. “Penerapan Asas Oportunitas Oleh

Kejaksaan Agung Bertentangan Dengan

Asas Legalitas dan ‘Rule Of Law.” Penelitian

Hukum De Jure 17, no. 1 (2017): 111.

———. “Penetapan Tersangka Tidak Ada Batas

Waktu.” Penelitian Hukum De Jure 20, no.

2 (2020): 279.

Panggabean, H.P. Skematik Ketentuan Hukum

Acara Perdata dalam HIR. Bandung:

Alumni, 2015.

Retno Wulan Sutantio, Iskandar Oeripkantawinata.

Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan

Praktik. Bandung: Alumni, 1983.

Sarwata, H. Kebijaksanaan dan Strategi

Penegakan Sistem Peradilan di Indonesia.

Jakarta, 1999.

Subekti. Hukum Acara Perdata. Bandung: Bina

Cipta, 1977.

Swantoro, Heri. Dilema Eksekusi Ketika Eksekusi

Perdata Ada Disimpang Jalan Pembelajaran

dari Pengadilan Negeri. Jakarta: Rayyana

Komunikasindo, 2018.

Swantoro, Herri. “Menuju Terwujudnya Peradilan

Internasional Framework for Court

Exellence.” In Diskusi Menuju Terwujudnya

Peradilan Yang Berwibawa, 4–7. Bandung,

2015.

Tumpa, Harifin A. Cetak Biru Pembaruan

Peradilan. Jakarta: Mahkamah Agung, 2010.

Undang-undang Republik Indonesia. UU Nomor

39 Tahun 1999 tentang HAM. Indonesia,

1999.

Convention on the Recognation and Enforcement

of Foreign Arbitral Awards. Amerika Serikat,

1958.

389

Page 12: EKSEKUSI IDEAL PERKARA PERDATA BERDASARKAN ASAS …

Jurnal Penelitian Hukum

De Jure p-ISSN 1410-5632

e-ISSN 2579-8561 Akreditasi: Kep. Dirjen. Penguatan Risbang. Kemenristekdikti:

No:10/E/KPT/2019

Volume 20, Nomor 3, September 2020

HALAMAN KOSONG

390