Efek dari sitotoksik kemoterapi terhadap risiko ‘high- grade acniform rash’ terhadap cetuximab pada pasien kanker: meta-analisis Latar Belakang: efek kemoterapi terhadap risiko acniform rash yang di dipicu oleh cetuximab masih belum diketahui. Kami malakukan review secara sistematik dam meta-analisis dari penelitian yang dipublikasi untuk meng kuantifikasi insiden dari ‘high-grade acniform rash’ dengan terapi kombinasi Metode: penelitain yang relaven di identifikasi dari database PubMed, abstrak yang dipresentasikan di ‘American Society of Clinical conferences’ dan ‘Web of Sience’ . Insiden dari erupsi acniform rash akibat monoterapi cetuximab diestimasi dari data yang terbaru dari meta-analisis yang di publikasikan sebelumnya. Insiden, risiko relative (RR), dan 95% interval konfiden dihitung berdasarkan heterogenitas penelitian. Hasli: sejumlah 5333 pasien dari Sembilan trial dimasukkan di dalam analisis. Insiden dari ‘high-grade acniform rash’ meningkat secara signifikan pada pasien yang menerima terapi kombinasi (12.8%, 95% Cl 9.1% hingga 17.7%) apabila dibandingkan dengan monoterapi cetuximab (6.3%,95% Cl 3.7% hingga 10.5%), dengan rasio risiko 2.03 (95% Cl 1.52-2.71, P< 0.01). Cetuximab secara signifikan meningkatkan risiko dari ‘high-grade acniform rash’ pada pasien yang mendapatkan terapi kombinasi (RR=37.7, 95% Cl 17.8-80.0, P < 0.001) Kesimpulan: penambahan kemoterapi sitotoksik cetuximab secsrs signifikan meningkatkan risiko dari ‘high-grade acniform rash’ dibanding dengan monoterapi cetuximab. Ini menekankan kepentingan untuk managmen strategi yang efektif 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Efek dari sitotoksik kemoterapi terhadap risiko ‘high-grade acniform rash’
terhadap cetuximab pada pasien kanker: meta-analisis
Latar Belakang: efek kemoterapi terhadap risiko acniform rash yang di dipicu oleh cetuximab masih
belum diketahui. Kami malakukan review secara sistematik dam meta-analisis dari penelitian yang
dipublikasi untuk meng kuantifikasi insiden dari ‘high-grade acniform rash’ dengan terapi kombinasi
Metode: penelitain yang relaven di identifikasi dari database PubMed, abstrak yang dipresentasikan di
‘American Society of Clinical conferences’ dan ‘Web of Sience’. Insiden dari erupsi acniform rash akibat
monoterapi cetuximab diestimasi dari data yang terbaru dari meta-analisis yang di publikasikan
sebelumnya. Insiden, risiko relative (RR), dan 95% interval konfiden dihitung berdasarkan heterogenitas
penelitian.
Hasli: sejumlah 5333 pasien dari Sembilan trial dimasukkan di dalam analisis. Insiden dari ‘high-grade
acniform rash’ meningkat secara signifikan pada pasien yang menerima terapi kombinasi (12.8%, 95% Cl
9.1% hingga 17.7%) apabila dibandingkan dengan monoterapi cetuximab (6.3%,95% Cl 3.7% hingga
10.5%), dengan rasio risiko 2.03 (95% Cl 1.52-2.71, P< 0.01). Cetuximab secara signifikan meningkatkan
risiko dari ‘high-grade acniform rash’ pada pasien yang mendapatkan terapi kombinasi (RR=37.7, 95%
Cl 17.8-80.0, P < 0.001)
Kesimpulan: penambahan kemoterapi sitotoksik cetuximab secsrs signifikan meningkatkan risiko dari
‘high-grade acniform rash’ dibanding dengan monoterapi cetuximab. Ini menekankan kepentingan untuk
managmen strategi yang efektif
Kata kunci: acniform rash, cetuximab, kemoterapi sitotoksik, papulopustular rash.
Pendahuluan
Cetuximab (Erbitux; ImClone Sistem Inc., New York, NY) merupakan kimerik mAb yang
bertarget pada domain ekstraselular dari epidermal growth factor receptor (EGFR). Ia secara kompetitif
menghambat aktivasi ligand-mediated tirosin kinase dan memberikan signal dari kaskade ‘downstearm’.
Percobaan preklinik mendemonstrasikan abilitas untuk memicu penghentian dari rantaian sel dan
apoptosis, menurunkan produksi sel tumor dari factor pertumbuhan angiogenik dan menginhibisi ekspresi
dari matriks metalloproteinases, dengan itu mengurangi invasi dan metastases el tumor. Ia juga berpotensi
dalam memberikan efek anti tumor akibat dariagen kemoterapi sitotoksik yang konvensional, termasuk
cisplatin, doxorubicin, paclitaxel dan topotecan. Monoterapi cetuximab telah di sahkan oleh Food and
Drug Administration untuk terapi kanker sel squamous kepala dan leher (SSCHN) yang rekuren dan
1
bermetastase dan EGFR-Expressing metastatic colorectal carcinoma (mCRC). Pada pasien dengan
mCRC refraktori terhadap irinotecan, penambahan cetuximab menunjukkan hasil aktivitas klinis yang
signifikan dan regimen ini telah diluluskan untuk pasien dalam populasi ini. Kombinasi cetuximab
dengan agen sitotoksik lainnya menunjukkan keberhasilannya sebagai terapi lini pertama pada pasien
dengan mCRC. Di samping itu penambaha berbagai regimen kemoterapi berhasil meningkatkan kadar
survival pasien dengan non small cell karsinoma paru, kanker pancreas, kanker sel squamous dari
esophagus.
Penggunaan cetuximab menyebabkan penurunan dari efek toksik yang tidak spesifik seperti
supresi myelom dan membuatkan terapi bisa di toleransi. Namun, ia berasosiasi dengan toksisitas
dermatologi yang multiple termasuk rash, xerosis, pruritus, paronychia dan perubahan rambut. Istilah ini
digunakan untuk mendiskripsikan rash tipikal yang di induksi oleh cetuximab termasuk ‘acne’, ‘acniform’
dan ‘acne-like’, karena ia menyerupai acne vulgaris. Namun etiologi dan terapi yang diberikan berbeda,
dan istilah papulopustular rash adalah diskripsi yang lebih sesuai. Keterlibatan bagian yang kaya dengan
seborrheic seperti wajah, kulit kepala, dada, rash selalunya mild sampai moderate (gred 1-2) dalam
derajat keparahan, melibatkan ~77% dari pasien. Derajat berat (gred ≥ 3) rash melibatkan hamper 6.5%
dari pasien yang di terapi dengan monoterapi cetuximab. Peningkatan penggunaan terapi kombinasi, efek
sitotoksi kemoterapi terhadap resiko timbulnya papulopustular rash akibat induksi cetuximab masih
belum diketahui sehingga kini. Kami menjalani beberapa review systematic dari literature untuk
mengidentifikasi trial klinis yang dipublikasikan tentang kombinasi cetiximab dengan kemoterapi dan
tutur melaksanakan meta-analisis untuk menentukan insiden secara keseluruhan dan risiko timbulnya
rash, dengan mengfokuskan kepada ‘high-grade acniform rash’ yang timbul akibat dari terapi kombinasi.
Di dalam penelitian kedua kami, kami mengeksplor perbedaan antara insiden keseluruhan dari ‘high-
grade acniform rash’pada pasien yang mendapatkan terapi kombinasi dan pada pasien yang
menggunakan monoterapio dari cetuximab.
Metode
Sumber data
Penelitian independent dilakukan dengan menggunakn database PubMed (1998 hingga Januari
2010). Kata kunci ‘cetuximab’, kemoterapi dan kombinasi digunakan sewaktu mencari data, dimana ia
terbatas pada manusia, secara random. Kami juga mencari abstrak yang mengandung istilah cetuximab
dan ‘randomized’ yang terdapat pada konferens American Society of Clinical Oncology (ASCO) (2004
dan Januari 2010) untuk mengidentifikasi trial klinis yang relevan. Pencarian independen menggunakan
database (pruduk yang dihasilkan oleh Institusi informasi sains) juga turut dilaksanakan untuk
memastikan agar tidak ada penelitian yang releven tertinggalkan. Kami mereview setiap publikasi, hanya
2
klinikal trial yang mempunyai informasi yang komplit dan terbaru yang dimasukkan sewaktu
menduplikasi publikasi dari trial yang diidentifikasi. Untuk analisis sekunder, insiden dari ‘high-grade
acniform rash’ akibat dari cetuximab di estimasi, kami menggunakn artikel yang dipublikasi dari trial
klinis yang termasuk di dalam meta-analisis sebelumnya, diamana ia merupakan kreteria inklusi. Namun,
untuk memastikan ketepatan data termasuk yang informasi yang terbaru, kami mencari database dari
PubMed untuk mengidentifikasi apakah terdapat abstrak dari ASCO yang dimasukkan di dalam
metaanalisis yang dipublikasikan sebelumnya. Detail mengenai karakteristik penelitian, informasi tentang
terapi, hasil dan keamanan profil dari penelitian yand dipilih, diekstraksi.
Pemilihan Penelitian
Hanya RCTs dengan perbandingan antara cetuximab yang dikombinasikan dengan kemoterapi
sititoksik dan control tanpa cetuximab dimasukkan ke dalam analisis. Cetuximab telah diluluskan sebagai
mCRC yang dikombinasikan dengan irinotecan dengan dosis permulaan 400 mg/m2 per minggu. Untuk
memastikan hasil yang signifikan, kami menentukan resiko dari acniform rash pada pasien dengan kanker
yang mendapatkan terapi dengan cetuximab pada dose level yang ditetapkan.
Trial fase 1dan trial single-arm fase III dieksklusikan dari analisis kerna adanya level dosis yang
multiple dan tidak mempunyai control, masing-masingnya. Trial yang memenuhi kreteria ini dipilih untuk
analisis final: (i) fase II dan II RCts pada pasien dengan kanker; (ii)pasien dipilih secara random untuk
diterapi dengan menggunakan cetuximab dengan dosis permulaan 400 mg/m2 diikuti dengan 250 mg/m2
per minggu dengan dikombinasikan agen sitotoksik kemoterapi atau control tanpa cetuximab; dan (iii)
data yang didapatkan dari insiden acniform acne atau acne-like rash dan ukuran sampel.
End Point Klinik
End point klinis termasuk acneiform, acne-like dan acne rash dipilih dari profil yang aman untuk setiap
trial klinik. Laporan penelitian yang memasukan insiden dari acneiform rash gred 1 hingga 5 (semua
gred) atau ‡3 (gred berat). Efek toksik ini di dokumentasikan berdasarkan versi 2 atau 3 dari Common
Terminology Criteria for Adverse Events (CTCAE) dari National Cancer Institute (NCI). Gradasi dari
rash pada kulit dalam versi 2.0 mendiskripsikan seperti berikut; gred 1, macular atau erupsi popular atau
eritema tanpa berasosiasi dengan symptom; gred 2, macular atau erupsi popular atau eritema dengan
pruritus atau symptom lainnya yang berasosiasi, desquamasi yang terlokalisasi atau lesi lain yang
menutupi < 50% dari permukaan tubuh; gred 3, eritroderma generalisata berat atau erupsi macular,
popular dan vesicular, desquamasi yang meliputi >50% dari permukaan tubuh; gred 4, exfoliasi
generalisata, ulserasi, dermatitis bullosa; dan gred 5, kematian. Sebagai tambahan kategori dari acne/
acneiform rash hanya didiskripsikan dalam versi 3.0 seperti berikut; gred 1, penatalaksanaan tidak
3
diperlukan, gred 2, memerlukan penatalaksanaan; gred 3, berasosiasi dengan nyeri, ulserasi atau
desquamasi; tiada gred 4; dang red 5, kematian.
Analisis statistic
Kesemua analisis statistic dilakukan dengan menggunakan versi 2 dari program Meta-analisi
Komprehensif (Biostat, Englewood, NJ. Jumlah pasien dengan semua greda dan gred berat (‡3)
acneiform, acne-like dan acne rash di saring dari trial yang dipilih. Untuk setiap trial, insiden dari
acneiform rash dihitung, dan 95% confidence interval (CI) di dapatkan. Risiko relative (RR) dari
acneiform rash dikalangan pasien yang menggunakan cetuximab yang dikombinasikan dengan
kemoterapi dihitumg dan dibandingkan hayna dengan pasien control yang didalam trial yang sama. Untuk
meta-analisis, kedua-dua model efek menetap (dihitung dari variasi yang didapatkan) dan model efek
random di ambil kira. Untuk setiap meta-analisis, Stastitik Cochran’s Q adalah yang pertama dihitung
untuk mendapatkan heterogenitas dari trial yang dimasukkan. Untuk nilai P < 0.1, asumsi dari
homogeneity didapatkan tidak valid, dan model efeek random digunakan. Jika hasil dari efek menetap
dan efek random adalah sama, hanya hasil efek menetap yang dilaporkan. Dua hasil P <0.05 dianggap
signifikan secara statistic.
Hasil
Hasil Penelitian
Penelitian kami menghasilkan total 219 penelitian klinis dari cetiximab dengan kombinasi
kemoterapi yang secara potensial releven (Gambar 1). Pencarian Pub Med mengidentifikasi 130 artikel
dan kami mengeksklusikan 115, dam hanya meninggalkan 15 trial untuk di review secara penuh. Tujuh
penelitian di eksklusi, dimanan toksisitas kulit di golongkan sebagai ‘rash, ‘rash/desquamasi’, reaksi kulit
atau toksisitas kulit. Seteleh skrening terakhir, delapan trial asli memenuhi kreteria inklusi kami [13, 17,
19, 20, 25-28]. Penelitian ini termasuk fase II dan III RCTs. Pencarian kami tentang abstrak ASCO,
memberikan 89 penelitian yang relevan dan berpotensi, dimana 1 penelitian yang memenuhi kreteria
inklusi. Kami masukkan Sembilan RCTs di dalam analisis final (Gambar 1). Pencarian PubMed dan
abstrak ASCO yang dipublikasi termasuk meta-analisis sebelumnya tentang monoterapi dari cetuximab
memberikan empat artikel. Namun, satu disingkirkan kerana toksisitas kulit dikatogerikan sebagai
‘rash/desquamation’. Oleh itu, analisis sekunder kami mengenai insiden ‘high-grade acniform rash’ yang
berasosiasi dengan monoterapi cetuximab, enam studi dimasukkan (Tabel 2)
Pasien
cetuximab yang dikombinasikan dengan agen kemoterapi (Tabel 1). Agen kemoterapi yang
digunakan dalam trial ini termasuk gemcitabine yang dikombinasikan dengan cisplatin atau carboplatin,
4
cisplatin yang dikombinasikan dengan 5-fluorourasil (5-FU), paclitaxel atau docetaxel yang
dikombinasikan dengan carboplatin, 5-FU yang dikombinasikan dengan leucovorin dan oxaliplatin
(FOLFOX-4), cisplatin dengan vinorelbine, agen irinotecan., capecitabine yang dikombinasikan dengan
oxaliplatin dan bevacizumab, dan irinotecan yang dikombinasikan dengan 5_FU dan leucovorin
(FOLFIRI). Riwayat kanker termasuk non small cell lunc cancer (NSCLC) (empat trial), mCRC (empat
trial) dan sel squamous karsinoma dari esophagus (satu trial). Acneiform rash tidak disebutkan sebagai
kondisi preeksisting pada trial yang dipilih. Waktu follow up di spesifikkan hanya pada empat trial. Pada
semua RCTs yang dipilih pasien di tugaskan untuk mengambil cetuximab yang dikombinasikan dengan
kemoterapi atau control yang hanya menggunakan kemoterapi sahaja.
Gambar 1: Proses pemilihan klinika trial yang dimasukkan ke dalam meta-analisis, RCTs, Randomisasi, control fase II dan III trial klinikal, EGFRI, epidermal growth factor receptor inhibitor. receptor inhibitor.
5
Insiden dari semua Gred dari acneiform rash
Data untuk semua gred dari acneiform rash didapatkan dari total 1324 pasien yang mendapatkan
cetuximab yang dikombinasikan dengan agen kemoterapi. Insiden dari semua gred acneiform rash
mempunyai range antara 68.8% dan 76.3%, dengan insiden tertinggididapatkan pada fase II RCT pada
pasien dengan mCRC. Berdasarkan dari model efek menetap, inseden secara keseluruhan semua gred
acneiform rash adalah 73.1% (95% CI 70.7% hingga 75.5%)
Insiden dari ‘high-grade acniform rash’
Gred tinggi (grade ‡3), reaksi kulit mengakibatkan morbiditas, penurunan keberhasilan terapi
atau megnifikasi dosis. Insiden dari ‘high-grade acniform rash’ didapatkan sebesar 6.3% hingga 25.4%
dengan insiden tertinggi didapatkan pada pasien dengan mCRC. Berdasarkan model rendomisasi, insiden
keseluruhan dari ‘high-grade acniform rash’ adalah 12.8% (95% CI 9.1% hingga 17.7%) berdasarkan
Sembilan RCTs dengan total 2664 pasien (Gambar 2)
Insiden‘high-grade acniform rash’dengan terapi kombinasi pada pasien dengan mCRC, non-CRC dan
tipe tumor lainnya.
Oleh kerana insiden tertinggi dari acneform rash didapatkan pada pasien mCRC, kami kemudian
mendapatkan insiden dari ‘high-grade acniform rash’pada pasien mCRC dan non-colorectal cancer
(CRC) secara berasingan. Insiden ‘high-grade acniform rash’pada pasien mCRC dan non-CRC adalah
15.9% (95% CI 9.3% hingga 25.8%)dan 10.5% (95% CI 8.7% hingga 12.5%) masing-masing, namun
perbedaan ini tidak mencapai statistic yang signifikan (p=0.254). Meta-analisis menunjukkan bahwa RR
pada pasien mCRC dan non-CRC adalah antara 51.4% (95% CI 19.2-138.0) dan 24.2 (95% CI 7.6-77.5)
berdasarkan model menetap, tidak mencapai statistik yang signifikan (P=0.33) (Table 3). Menariknya,
didapatkan variasi yang signifikan untuk insiden dari ‘high-grade acniform rash’ antara jenis tumor yang
berbeda (P<0.01). namun , tidak didapatkan variasi signifikan untuk RRs dengan terapi kombinasi apabila
diobservasi antara tumor primer yang berbeda (P=0.32)
6
Tabel 1: karakteristik dari control trial random yang termasuk di dalam analisis dari ‘high-grade acneiform rash’ dengan terapi kombinasi.
Tabel 2: Karekteristik dari klinikal trial termasuk di dalam analisis dari ‘high-grade acneiform rash’ akibat dari monoterapi cetuximab
RR dari acneiform rash
7
Untuk menginvestigasi kontribusi spesifik dari cetuximab terhadap perkembangan acnoeform
rash dan mengeksklud pengaruh dari factor confounding, kami mendapatkan RR dari terpi kombinasi.
Analisis yang banyak tentang RR semua Gred dari acneiform rash yang berasosiasi dengan terapi
kombinasi dilakukan dari lima RCTs, dimana insidennya yang dilaporkan sebanyak 2654 pasein, dimana
1324 pasien menerima terapi kombinasi dan 1330 mendapatkan kemoterapi sahaja. Analisis RR dari
‘high-grade acniform rash’ dengan terapi kombinasi yang dijalankan dari Sembilan RCTs dimana insiden
yang dilaporkan pada 5333 orang pasien dimana 2664 darinya mendapatkan terapi kombinasi dan 2669
mendapatkan terapi control sahaja. Sebuah meta-analisis menunjukkan RR 11.4 dengan terapi kombinasi
v.s control untuk semua grade dari acneiform rash (95% CI 7.4 -17.6, P , 0.001), berdasarkan dari model
eferk randomisasi, dan 37.7 untuk ‘high-grade acniform rash’(95% CI 17.8-80.0, P<0.001) berdasarkan
dari model efek menetap (Gambar 3)
Gambar 2: insiden dari ‘high-grade acneiform rash’dengan cetuximab akibat dari kombinasi dengan kemoterapi. Ringkasan insiden ‘high-grade acneiform rash’ dihitung dengan menggunakan medel efek random.insiden rate dan 95% CI untuk setiap
trial dan hasil kombinasi terakhir ditunjukkan dengan numerk pada kiri dan grafik pada sebelah kanan. Kotak hitam, insiden dari setiap trial; garis lurus, 95% CI; berlian, hasil keseluruhan termasuk trial, CI
Impak dari regimen kemoterapi dan lini terapi terhadap perkembangan ‘high-grade acniform rash’
Kami menginvestigasi sama ada agen platinum mempunyai impak terhadap insiden dari ‘high-
grade acniform rash’.RR pada pasien yang mendapatkan regimen dengan agen kemoterapi platinum
dibandingkan dengan tanpa regimen adalah 30.5 (95% CI 13.0-71.4) dan 80.4 (95% CI 16.0-402.1),
berdasarkan dari model efek menetap,masing-masing (P=0.30. tidak didapatken perbedaan apabila
diobservasi dengan atau tanpa penggunaan fluoropyrimidines (RR = 38.1, 95% CI 13.1-110.4 dan RR
=37.4% CI 12.9-108.3, masing-masing; P= 0.98). Tiada perbedaan statistic yang signifikan didapatkan
antara pasien yang kemonaif yang mendapatkan terapi lini pertama, terapi lini pertama dengan
kemoterapi, dan terapi lini kedua (RR = 32.8, 95% CI 9.3-116.1; RR = 42.4, 95% CI 13.4-134.0; RR =
8
37.4% CI 7.4-188.7, masing-masing; P = 0.98). Pengabungan pasien yang mendapatkan terapi lini
pertama ke dalam satu kelompok yang sama dan membandingkan dengan kelompok yang mendapatkan
terapi lini kedua tidak menunjukkan perbedaan (RR = 37.8, 95% CI 16.1-88.4 dan RR = 37.4% CI 7.4-
188.7, masing-masing).
Perbandingan ‘high-grade acniform rash’pada penggunann kombinasi cetuximab dengan monoterapi
cetuximab.
Di dalam meta-analisis sebelumnya, kami mendapatkan insiden keseluruhan dari ‘high-grade
acniform rash’ pada monoterapi cetuximab adalah 6.5% (95% CI 4.1% hingga 10.0%). Dalam analisis
sekunder menggunakan hasil yang update dari artikel yang dipublikasi, insiden keseluruhan dari ‘high-
grade acniform rash’ dengan monoterapi cetuximab adalah 6.3% (95% CI 3.75 hingga 10.55)
menggunakan model efek random. Perbandingan antara terapi kombinasi dengan monoterapi
menunjukkan RR adalah 2.03 (95% CI 5.2-2.71, P < 0.01). Penambahan agen kemoterapi sitotoksik
dengan cituximab secara signifikan meningkatkan resiko dari ‘high-grade acniform rash’apabila
dibandingkan dengan monoterapi cetuximab.
‘high-grade acniform rash’ dan outcome klinis
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, perkembang dan keparaham rash yang di picu oleh
cetuximab yang berasosiasi dengan kemajuan outcome pada keganasan yang berlainan jenis. Oleh itu,
kami menentukan sama ada terdapatnya hubungan antara RR dari ‘high-grade acniform rash’ dengan
perbaikan respon pada pasienyang diterapi dengan menggunakan terapi kombinasi. Tidak didapatkan
perbedaan statistic yang signifikan berkait hubunhan antara RR dari ‘high-grade acniform rash’ dengan
rasio kecelakaan dari progressi lima survival (PFS; P = 0.73) atau jumlah keseluruhan survival (OS;P =
9
Tabel 3: ringkasan insiden dan resiko relative dari acniform rash akibat penggunaan cetuximab dam cetuximab yang dikombinasikan dengan kemoterapi
0,73)di dalam penelitian seluruh populasi. Tidak didapatkan relasi signifikan antara RR dari ‘high-grade
acniform rash’dan RR dari respon rate dengan terapi kombinasi secara keseluruhan (P = 0.87), pada CRC
(P = 0.97) dan pasien non-CRC (P =0.76) dengan menggunakan analisis meta-regressi .
Diskusi
Kami menunjukkan bahwa pasien yang di terapi dengan menggunakan cetuximab yang
dikombinasikan dengan kemoterapi sitotoksik mempunyai resiko tinggi mengakibatkan perkembangan
acneiform rash. Insiden dari kesemua gred dari acneiform rash adalah 73.1% (95% CI 70.7% hingga
75.5%) dengan RR 11.4 (95% CI 7.4-17.6, P < 0.001) apabila dibandingkan dengan control. Pada pasien
yang terpapar dengan terapi kombinasi berisiko untuk terjadi ‘high-grade acniform rash’, insiden dan RR
adalah 12.8% (95% CI 9.1% hingga 17.7%) dan 37.7, masing-masing (95% CI 17.8-80.0, P < 0.001).
Penambahan kemoterapi secara signifikan meningkatkan insiden dari ‘high-grade acniform rash’ apabila
dibandingkan dengan monoterapi cetuximab (RR 2.03, P< 0.01). harus diingati bahwa ini didapatkan dari
perbandingan pasien secara indirect dari trial yang berbeda. Observasi ini mempunyai implikasi klinis
kerna cetuximab yang dikombinasikan dengan agen sitotoksik telah digunakan secara meluas dalam
menerapi pasien dengan kanker dan trial klinis. Kombinasi dengan cisplatin dan vinorelbine
mamanjangkan OS pada pasien dengan semua subtype hiostologi dari advance NSCLC, dan kepentingan
klinis bisa didapatkan tanpa kombinasi yang berbasis platinum. Namun penambahan cetuximab di dalam
kemoterapi menunjukkan efikasi pada mCRC dan SCCHN.
Gambar 3: Risiko Relatif dari ‘high-grade acneiform rash’ dengan terapi cetuximabyang dikombinasikan dengan kemoterapi. Rasio risiko dari ‘high-grade acneiform rash’ akibat dari cetuximab yang dikombinasikan dengan kemoterapi di hitung dengan menggunakan model efek menetap. Rasio risiko untuk setiap penelitain di tunjukkan secara numeric pada bagian kiri dan grafik
10
pada bagian kanan. Jumlah even dan saiz sampel juga ditunjukkan untuk setiap penelitian secara individu. Kotak’ insiden; garis lurus, 95% CI; dimond memanjang, keseluruhab hasil termasuk trial. Ci, confidance interval.
Etiologi dari acneiform rash masih belum diketahui namun mungkin di akibatkan oleh hambatan
indirek pada EGFR yang didapatkan pada undifferentiated proliferating keratinosit pada lapisan basal dan
suprabasal dari epidermis dan permukaan luar dari folikel rambut. Ia mengakibatkan terjadinya
diferensiasi keratinosit yang premature, meningkatkan perlekatan, mengurangi pertumbuhan dan migrasi,
mengganggu formasi produksi epidermis yang normalnya bertindah sebagai pertahanan. Respon
inflammatory dengan meningkatnya produksi sitokin dan inflammatory sel mengakibatkan terjadinya
rash. Acneiform rash berasosiasi dengan nyeri dan ketidaknyamanan dan memberikan impak negative
kepada pasien secara fisikal, fungsional dan emosional. Reaksi high gred mengakibatkan penghentian
penggunaan cetuximab dengan modifikasi dosis, menyebabkan terapeutik effikasi dari obat berkurang.
Sebuah survey yang dilakukan dikalangan pemeraktek onkologi Amerika menyatakan bahwa 76% dan
32% gangguan atau penghentian terapi dengan epidermal growth factor receptor inhibitor (EGFRIs)
disebabkan oleh rash, masing-masing. Penemuan kami tentang peningkatan risiko ‘high-grade acniform
rash’secara signifikan dengan terapi kombinasi menyebabkan perlunya management yang efektif.
Factor resiko berkembangnya acneiform rash masih belum diketahui. Pasien muda (< 70 tahun)
dan lelaki yang menjalani terapi dengan menggunakan cetuximab untuk CRC menunjukkan risiko erupsi
gred 3 yang tinggi (6% vs 1% dan 7% vs 3% masing-masing). Sebaliknya dari penemuan kami, meta-
analisis terkini menunjukkan penambahan kemoterapi dengan erlotinib, molekul kecil tiroksine kinase
inhibitor yang bertarget pada EGFR, secara signifikan mengurangi risiko rash akibat erlotinib.
Korelasi positif antara keparjan rash akibat cetuximab dan peningkatan respon, PFS dan OS telah
ditunjukkan sebelumnya. Namun, status mutasi KRAS sebagai predictor yang menunjukkan respon dari
pasien dengan mCRC. KRAS mutasi sangat kuat berasosiasi dengan hilangnya respon terhadap terapi
yang diberikan baik kombinasi atu monoterapi. Pada terapi lini pertama dengan terapi kombinasi, KRAS
mutasi pada kodon 12 tau 13 juga mempunyai pengaruh terhadap kegagalan respon, menyebabkan adanya
rekomendasi untuk mengeluarkan pasien ini dari terapi anti-EGFR. Penelitaian pada masa depan perlu
lebih teliti dengan berbagai mutasi dari KRAS, perbedaan kodon, dan non-activating mutation yang
berasosiasi sehingga merperbaiki outcome. Ekspresi dari EGFR menunjukkan respon yang tidak bagus
dari pasien. Data mengenai peningkatan jumlah EGFR gene copy adalah tidak konsisten, dengan
beberapa penelitian menunjukkan kemajuan dari outcome dengan cetuximab sebagai terapi lini pertama,
manakala yang lainnya gagal menunjukkan prediksi dan nilai prognostic dengan terapi kombinasi lini
pertama. Didapatkan juga limitasi data yang menunjukkan aktivasi mutasi dari BRAF menghasilkan
resistan terhadap anti EGFR antibody pada 10% dari pasien mCRC. Alasan dari meningkatnya risiko
11
‘high-grade acniform rash’ akibat dari terapi kombinasi masih belum diketahui. Penelitian gagal
menunjukkan interaksi farmakokinetik dari cetuximab dengan irinotecan, gemcitabine-carboplatin,
irinotecan-5-FU-asam folinik, 5-FU-asam folonic-oxaliplatin, dan cisplatin-vinorelbine dengan penjelasan
yang benar. Di samping itu, kemoterapi dapat merubah homeostasis epidermal sama ada agen
kemoterapeutik merubah risiko dengan respon inflamasi masih diperdebatkan. Di dalam penelitian kami,
regimen yang mengandung platinum berasosiasi dalam mengurangi resiko dari ‘high-grade acneiform
rash’apabila dibandingkan dengan tanpa platinum, namun perbedaan ini tidak begitu signifikan. Bukan
regimen mengandung fluoropyramidine atau lini kemoterapi yang memodifikasi risiko dari ‘high-grade
acneiform rash’. Secara keseluruhan, kombinasi kemoterapi sitotoksik dengan cetuximab berasosiasi
dengan peningkatan resiko papulopustular rash. Meta-analisis kami yang sebelumnya mengenai
monoterapi cetuximab mensugeskanbahwa resiko dari ‘high-grade acneiform rash’ bergantung dari
penyakit kanker yang mendasari, dengan tingginya insiden dari ‘high-grade acneiform rash’ pada CRC
dibanding dengan pasien non-CRC. Meta-analisis terbarugagal untuk mendemondstrasikan korelasi ini.
Hanya CRC dan trial NSCLA dengan satu trial karsinoma esophagus yang dimasukkan ke dalam analisis.
Disamping itu, observasi sebelumnya, analisis kami gagal untuk mendemonstrasi korelasi antara insiden
dan keparahan acneiform rash secara signifikan dan memperbaiki PFS dan OS, namun ia tidak untuk
mendeteksi perbedaan ini.
Garis panduan dari acneiform rash managemen diberikan oleh pakar mempunyai data yang
terbatas. Namun, dua RCTs dari oral prophylaxis minocyclin dan doxycycline telah mulai dijalankan.
Minocycline 100 mg per hari dimulai bersamaan dendan cetuximab menunjikkan penurunan signifikan
dari lesi dan menghilangi pruritus dari yang moderate hingga berat. Doxycyclin dimunum 100 mg dua
kali sehari dan dikombinasikan dengan pelembab kulit, sunblock, dan 1% hidrokortison krim akan
memberikan hasil >50% penurunan insiden daro gred 2 efek toksisitas kulit dan memelihara kualitas.
Vitamin K 3 analog topical seperti, menadione, menghambat phosphatases dan dapatmencegah
cetuximab-induced EGFR inhibition dan mengupregulasi phosphorilasi dari reseptor in vivo dan invitro
dari experiment. Sebagai tambahan kaunseling yang diberikan kepada pasien tentang toksisitas kulit
sebelum memulai terapi, folloe-up secara aktif sepanjang terapi diberikandan memberikan intervensi
apabila terjadi morbiditas dan demi untul mengoptimalkan terapi anti kanker.
Meta-analisis kami mempunyai beberapa limitasi. Pertama, asesmen dari acneiform
rashbervariasi secara signifikan antara peneliti dan institusi yang menjalankan trial. System Gred
dugunakan tidak secara spesifik reflek kepada EGFRI-associated efek toksik dari kulit termasuk
acneiform rash. Disamping itu, keparahan kemungkinan tidak dilaporkan. Modifikasi dari BSA yang
terlibat dengan papulopustular rash (gred1, < 10%; gred 2, 10%-30%, gred 3, >30%) dsan lebih spesifik
kelainan kuku (contoh; nail loss, ridging dan discolouration) telah memperbaiki versi terakhir dari
12
CTCAE (v4.0). impak dari activities of daily living (ADLs) (gred 2) dan self-care ADLs (gred 3) juga
ditambahkan. Namun, ia tidak mengambil kira distribusi dari acneiform rash dan tidak ada pasien yang
melaporkan. System gred spesifik untuk toksisitas dari EGFRI seperti Multinational Assosiation for
Supportive Care in Cancer EGFR Inhibitor diperbaiki dengan memperbaiki system laporan. Kedua, meta-
analisis merupakan subjek untuk mendapatkan kalainan metode termasuk percobaan. Kegagalan trial
untuk mendiskripsikan prevalen dari baseline rash bisa mengakibatkan overestimasi dari acneiform rash
yang diakibatkan oleh cetuximab. Untuk mengurangi bias, kami hanya memasukkan RCTs didalam
analisis primer yang secara langsung membandingkan insiden dari terapi acneiforem rash dengan control.
Terakhirm klinikal trial dilaksanakan di center yang besar dan institusi yang memastikan pasien dengan
fungsi organ yang baik dan hasil tidak diaplikasikan ke populasi pasien dengan kelainan organ yang
diterapi di komunitas.
Kesimpulan
Analisis kami mendemonstrasikan pasien yang diterapi dengan cetuximab yang dikombinasikan
dengan kemoterapi dapat meningkatkan risiko perkembangan toksisitas kulit yang berupa acneiform rash
yang signifikan. Yang tidak kalah penting, penambahan agen kemoterapi di dalam cetuximab secara
signifikan meningkatkan insiden dari ‘high-grade acneiform rash’ dibandingkan dengan monoterapi
cetuximab. Dengan peningkatan penggunaan terapi kombinasi, pada pasien dengan kanker solid,
intervensi diperlukan untuk mengawal terbentuknya rash