Top Banner
65

Editor in Chief Associate Editors - UMY

Oct 23, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Editor in Chief Associate Editors - UMY
Page 2: Editor in Chief Associate Editors - UMY

Editor in ChiefINNAKA AGENG RINEKSANEUniversitas Muhammadiyah Yogyakarta

Associate EditorsAGUNG ASTUTIUniversitas Muhammadiyah Yogyakarta

CHANDRA KURNIA SETIAWANUniversitas Muhammadiyah Yogyakarta

DINA WAHYU TRISNAWATIUniversitas Muhammadiyah Yogyakarta

GUNAWAN BUDIYANTOUniversitas Muhammadiyah Yogyakarta

INDIRA PRABASARIUniversitas Muhammadiyah Yogyakarta

Alamat RedaksiREDAKSI PLANTA TROPIKAProgram Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian, Universitas Muhammadiyah YogyakartaJl. Ring Road Selatan, Tamantirto, Kasihan, BantulTelp (0274) 387646 psw 224.Email: [email protected]: http://journal.umy.ac.id/index.php/pt

Jurnal Planta Tropika merupakan jurnal yang menyajikan ar-tikel mengenai hasil penelitian dan perkembangan pertanian yang meliputi bidang: Agroteknologi, Agroindustri, Arsitektur Lansekap. Jurnal Planta Tropika diterbitkan dua kali dalam setahun (Bulan Februari dan Agustus) oleh Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta bekerjasama dengan Perkumpulan Agroteknologi/Agroekoteknologi Indonesia (PAGI). Harga langganan satu tahun Rp. 250.000 / tahun.

Page 3: Editor in Chief Associate Editors - UMY

Planta Tropika Journal of Agro ScienceVol. 3 No. 2 / Agustus 2015

II

67 - 72 Pengaruh Kombinasi Komposisi Media Organik dan Konsentrasi Nutrisi terhadap Daya Hasil Tanaman Melon (Cucumis melo L.)

Khoirul Bariyyah, Sigit Suparjono dan Usmadi Program Studi Agronomi, Fakultas Pertanian, Universitas Jember

73 - 77 Pengaruh Penggunaan Mulsa Alang-Alang, Kenikir dan Kirinyu terhadap Pertumbuhan dan Hasil Bawang Merah di Tanah Mediteran pada Musim Penghujan

Mulyono Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta 78 - 86 Pengaruh Cairan Pembersih Lumut dan Pupuk Anorganik terhadap Pertumbuhan

Tanaman Teh (Camellia Sinensis (L.) O.Kuntze) Asal Biji Setelah Dipangkas Intan Ratna Dewi Anjarsari Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran

87 - 93 Identifikasi Potensi Pengembangan Lanskap Wisata Pertanian di Kawasan Kedung Kayang Kabupaten Magelang Lis Noer Aini Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

94 - 99 Pemakaian Pupuk Organik Cair Sebagai Dekomposer dan Sumber Hara Tanaman Padi (Oriza sativa L.)

Bambang Heri Isnawan dan Nafi Ananda Utama Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

100 - 106 Penanganan Susut Panen dan Pasca Panen Padi Kaitannya dengan Anomali Iklim di Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta

Mahargono Kobarsih dan Nugroho Siswanto Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Yogyakarta

107 - 113 Implementasi Inovasi Teknologi Sistem Penyediaan Hijauan Makanan Ternak di Lahan Kering di Yogyakarta Supriadi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta

114 - 121 Evaluasi Ruang Terbuka Hijau di Kecamatan Sleman Kabupaten Sleman Vinda Catur Nugroho PT. Perkebunan Minanga Ogan

Daftar IsiVol. 3 No. 2 Agustus 2015

Page 4: Editor in Chief Associate Editors - UMY

III

Editorial

Jurnal Planta Tropika ber ISSN 0216-499X yang diterbitkan oleh Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, merupakan jurnal yang berisi karya ilmiah di bidang ilmu-ilmu Pertanian (Journal of Agro Science). Dengan penuh rasa syukur ke hadirat Allat SWT telah terbit Volume 3 Nomor 2 untuk Tahun 2015.

Pada edisi ini, Jurnal Planta Tropika menyajikan delapan artikel hasil penelitian di bidang Agrosains, men-genai sistem budidaya tanaman, kandungan bahan aktif tanaman, metode penyediaan bibit dan mikrobia bermanfaat. Karya ilmiah tersebut membahas tentang : (1) Pengaruh kombinasi komposisi media organik dan konsentrasi nutrisi terhadap daya hasil tanaman Melon (Cucumis melo L.), (2) Pengaruh penggunaan mulsa alang-alang, kenikir dan kirinyu terhadap pertumbuhan dan hasil Bawang Merah di tanah mediteran pada musim penghujan, (3) Pengaruh cairan pembersih lumut dan pupuk anorganik terhadap pertum-buhan tanaman Teh (Camellia Sinensis (L.) O.Kuntze) asal biji setelah dipangkas, (4) Identifikasi potensi pengembangan lanskap wisata pertanian di kawasan Kedung Kayang kabupaten Magelang, (5) Pemakaian pupuk organik cair sebagai dekomposer dan sumber hara tanaman Padi (Oriza sativa L.), (6) Penanga-nan susut panen dan pasca panen padi kaitannya dengan anomali iklim di Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, (7) Implementasi inovasi teknologi sistem penyediaan hijauan makanan ternak di lahan kering di Yogyakarta dan (8) Evaluasi ruang terbuka hijau di kecamatan Sleman kabupaten Sleman.

Redaksi menyampaikan terima kasih kepada para penulis naskah, mitra bestari, editor pelaksana, pimpi-nan dan LP3M UMY atas partisipasi dan kerjasamanya. Harapan kami, jurnal ini dapat bermanfaat bagi pembaca atau menjadi referensi peneliti lain dan berguna untuk kemajuan dunia pertanian.

Redaksi

Page 5: Editor in Chief Associate Editors - UMY

Planta Tropika Journal of Agro ScienceVol. 3 No. 2 / Agustus 2015

IV

Pedoman Penulisan

BENTUK NASKAHPLANTA TROPIKA menerima naskah

berupa hasil penelitian (research papers) dalam Ba-hasa Indonesia atau Bahasa Inggris. Naskah yang diajukan adalah naskah belum pernah diterbit-kan di jurnal atau terbitan lainnya.

CARA PENGIRIMAN NASKAHPengiriman naskah dilakukan melalui website

http://journal.umy.ac.id/index.php/pt/index jurnal kami. Jika membutuhkan informasi ter-kait proses dan prosedur pengiriman naskah bisa dikirimkan ke email [email protected]. Alamat redaksi : Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Jl. Ring Road Selatan, Tamantirto, Kasihan, Bantul, Telp (0274) 387646 psw 224, ISSN: 2528-7079.

FORMAT NASKAHNaskah yang dikirim terdiri atas 15-20 hala-

man kwarto (A4) dengan jenis huruf Times New Roman berukuran 12 point, spasi 1,5 dengan margin kiri-kanan dan atas bawah kertas masing-masing 2,5 cm. Semua halaman naskah terma-suk gambar, tabel dan referensi harus diberi nomor urut halaman. Setiap tabel atau gambar diberi nomor urut dan judul.

Sistematika penulisan naskah adalah sebagai berikut:

JUDUL NASKAH : Ringkas dan informatif. Tidak kapital (Huruf awal tiap kata dibuat kapital), tebal, dan maksimal 14 kata.

NAMA SEMUA PENULIS : Tidak kapital, diurutkan dari penulis pertama diikuti peulis berikutnya dengan penanda institusi masing-masing penulis.

INSTITUSI SEMUA PENULIS : Tidak kapital, diurutkan sesuai dengan institusi masing-mas-ing penulis dengan penanda nomor

EMAIL : Cantumkan salah satu email penulis yang digunakan untuk korespondensi naskah

ABSTRAK : Ditulis dalam Bahasa Indonesia. 1 spasi dalam satu paragraf, maksimal 200 kata. Berisi latar belakang, tujuan, metode, hasil penelitian, dan simpulan. Diikuti kata kunci maksimal 5 (lima) kata.

ABSTRACT : Ditulis dalam Bahasa Inggris, 1 spasi dalam satu paragraf, maksimal 200 kata. Diikuti kata kunci (key words), maksimal 5 (lima) kata.

PENDAHULUAN : Berisi latar belakang, peru-

musan masalah dan tujuan penelitian.BAHAN DAN METODE : Berisi detail bahan

dan metode yang digunakan di dalam pene-litian, teknik pengumpulan data dan analisis data.

HASIL DAN PEMBAHASAN : Hasil penelitian harus jelas dan mengandung pernyataan ten-tang hasil yang dikumpulkan sesuai dengan data yang telah dianalisis. Pembahasan berisi tentang signifikansi dari hasil penelitian.

Page 6: Editor in Chief Associate Editors - UMY

V

SIMPULAN : Penulis diharapkan untuk mem-berikan simpulan yang ringkas dan menjawab Tujuan Penelitian.

UCAPAN TERIMA KASIH (jika diperlukan)DAFTAR PUSTAKA : Satu spasi, sesuai contoh

panduan jurnal Planta Tropika

CONTOH PENULISAN DAFTAR PUSTAKAPenulisan daftar pustaka disusun alfabetis

dengan pedoman penulisan sebagai berikut:

BUKU

Contoh: Gardner, F.P., R.B. Pearce dan R.L. Mitchell.

1991. Fisiologi Tanaman Budidaya (Terjemahan Herawati Susilo). UI Press. Jakarta.

JURNAL

Contoh:Parwata, I.G.M.A., D. Indradewa, P.Yudono

dan B.Dj. Kertonegoro. 2010. Pengelompokan genotipe jarak pagar berdasarkan ketahanannya terhadap kekeringan pada fase pembibitan di lahan pasir pantai. J. Agron. Indonesia 38:156-162.

TESIS/DISERTASI

Contoh:Churiah. 2006. Protein bioaktif dari bagian

tanaman dan akar transgenic Cucurbitaceae serta aktivitas antiproliferasi galur sel kanker in vitro. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

ARTIKEL DALAM PROSIDING

Contoh:Widaryanto dan Damanhuri. 1990. Pen-

garuh cara pengendalian gulma dan pembe-rian mulsa jerami terhadap pertumbuhan dan produksi bawang putih (Allium sativum L.). Pro-siding Konferensi Nasional X HIGI hal. 376-384.

FORMAT GAMBAR

Pada setiap gambar harus diberikan Judul di bawah gambar. Keterangan tambahan mengenai gambar dituliskan dengan huruf kecil kecuali pada karakter pertama Huruf besar pada tiap ka-limat. Seluruh gambar harus diberi penomoran secara berurutan. Peletakan Gambar didekatkan dengan pembahasan mengenai gambar.

Contoh Gambar :

Gambar 1. Jumlah daun (helai) tanaman JagungKeterangan :A = 250 kg KCl/hektar + 0 kg KJP/hektarB = 125 kg KCl/hektar + 273,89 kg KJP/hektarC = 62,5 kg KCl/hektar + 410,84 kg KJP/hektarD = 0 kg KCl/hektar + 547,79 kg KJP/hektar

Page 7: Editor in Chief Associate Editors - UMY

Planta Tropika Journal of Agro Science Vol. 3 No. 2 / Agustus 2015

VI

Gambar 2. Diameter (cm) batang tanaman JagungKeterangan :A = 250 kg KCl/hektar + 0 kg KJP/hektarB = 125 kg KCl/hektar + 273,89 kg KJP/hektarC = 62,5 kgKCl/hektar + 410,84 kg KJP/hektarD = 0 kg KCl/hektar + 547,79 kg KJP/hektar

Gambar 1. Gambar 2. dan seterusnya, Guna-kan huruf besar hanya di awal nama gambar saja tanpa diakhiri titik dan Keterangan tambahan pada gambar harus terlihat di bawah gambar.

FORMAT TABEL

Tabel harus diberikan judul di atas tabel, judul tabel diawali dari tepi kiri (left alignment) tabel. Keterangan tambahan mengenai tabel diletakan dibawah tabel. Keterangan pada tabel juga ditulis dengan huruf besar di awal saja demikian juga dengan judul-judul dalam tabel. Peletakan Tabel didekatkan dengan pembahasan mengenai tabel.

Contoh Tabel :Tabel 1. Hasil analisis kompos buah

PARAMETERJARAK PAGAR

SEBELUM DIKOMPOSKAN

JARAK PAGAR SETELAH

DIKOMPOSKAN

SNI KOMPOS KETERANGAN

Kadar Air 22,49 % 45,79 % ≤ 50 % Sesuai

pH 7,05 8,02 4 - 8 Sesuai

Kadar C-Organik 10,01 5,11 9,8 - 32 % Belum sesuai

Bahan Organik 17,42 % 8,81 % 27-58 Belum sesuai

N-Total 0,97 % 2,69 % < 6 % Sesuai

C / N Ratio 10,44 1,90 ≤ 20 Sesuai

Kalium - 9,06 % < 6 % Sesuai

Keterangan : **) Bahan bahan tertentu yang berasal dari bahan organik alami diperboleh-kan mengandung kadar P2O5 dan K2O > 6% (dibuktikan dengan hasil laboratorium).

Page 8: Editor in Chief Associate Editors - UMY

PENDAHULUANMelon merupakan tanaman C

3, karena proses

fotosintesisnya menghasilkan senyawa karbon yang beratom 3 sebagai produk utamanya. Tana-man ini tidak tahan terhadap intensitas cahaya yang sangat tinggi dan menghendaki sinar ma-tahari berkisar antara 10-12 jam/hari, kelemba-ban berkisar antara 70-80%. Tanaman ini akan berproduksi dengan optimal pada media yang mengandung bahan organik, karena akar tana-man akan tumbuh sempurna.

Perubahan iklim yang diakibatkan oleh pema-nasan global menyebabkan peningkatan intensi-tas kejadian iklim ekstrim (El-Nino dan La-Nina)

dan ketidakteraturan musim. Adanya perubahan iklim dapat menyebabkan terjadinya perubahan cuaca, sehingga periode musim tanam menjadi berubah. Hal ini akan mengakibatkan budi-daya tanaman melon harus beradaptasi dengan perubahan pola tanam tersebut. Upaya yang di-lakukan supaya budidaya melon dapat dilakukan dengan optimal adalah dengan menggunakan bahan organik sebagai media tanam dengan tambahan nutrisi yang tepat merupakan salah satu strategi reduksi dan adaptasi dari perubahan iklim dalam budidaya tanaman melon.

Media organik merupakan media tanam

Pengaruh Kombinasi Komposisi Media Organik dan Konsentrasi Nutrisi terhadap Daya Hasil Tanaman Melon (Cucumis melo L.)

DOI 10.18196/pt.2015.041.67-72

Khoirul Bariyyah*, Sigit Suparjono dan UsmadiProgram Studi Agronomi, Fakultas Pertanian, Universitas Jember,

Jl. Kalimantan No. 37, Jember, Jawa Timur, Indonesia, Telp: 0331-334054, Fax: 0331-338422,*Corresponding author, e-mail: [email protected]

ABSTRAKPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui interaksi kombinasi komposisi media organik dan konsentrasi nutrisi terhadap daya hasil tanaman melon. Penelitian disusun dalam rancangan faktorial 4 x 4 menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan tiga ulangan. Faktor pertama adalah komposisi media yang terdiri dari empat taraf yaitu M1 (bokashi 90%, cocopeat 5%, arang sekam 5%), M2 (bokashi 80%, cocopeat 10%, arang sekam 10%), M3 (bokashi 70%, cocopeat 15%, arang sekam 15%), dan M4 (bokashi 60%, cocopeat 20%, arang sekam 20%), sedangkan faktor kedua adalah konsentrasi nutrisi terdiri dari empat taraf yaitu K0 (kontrol/tanpa tambahan nutrisi), K1 (2 g/l), K2 (4 g/l), dan K3 (6 g/l). Bibit melon Varietas 434 dipindahtanamkan ke polybag 10 kg hingga panen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan klorofil perlakuan M1 memiliki hasil yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan varietas lain, namun kandungan gula tertinggi diperoleh pada perlakuan M3. Kombinasi bokashi antara bokashi:cocopeat:arang sekam sebesar 60:20:20% dengan konsentrasi nutrisi 4 gram/liter dapat meningkatkan tebal daging buah.Kata kunci: Melon, Media Tumbuh, Konsentrasi Nutrisi

ABSTRACTThis research was addressed to study the effect of plant growth media composition and nutrients concentration on yield of Cucumis melo L. The research was designed in complete factorial test of 4x4 with three replicates. Mixed growth media of bokashi:cocopeat:husk charcoal were tested in four compositions, i.e. 90%:5%:5% (M1), 80%:10%:10%(M2), 70%:15%:15% (M3) and 60%:20%:20% (M4) respectively. The other tested factor was nutrients concentraion that consists of four levels, i.e. control/no nutrient given (K0), 2 g/L (K1), 4 g/L (K2) and 6 g/L (K3). The Action 434 variety of Cucumis melo L. seedlings were then transplanted into 10 kg’s polybag and allowed to grow till harvested. The results showed that Chlorophyll content of M1 plants were higher than others, but the highest sugar content was resulted by M3 plants, and the highest thick of flesh fruit was resulted by interaction 60% bokashi:20% cocopeat:20% husk charcoal with 4 g/L nutrient concentration.Keywords: Cucumis melo L., Growth media, Nutrient concentration

Planta Tropika Journal of Agro Science Vol 3 No 2 / Agustus 2015

Page 9: Editor in Chief Associate Editors - UMY

Planta Tropika Journal of Agro ScienceVol. 3 No. 2 / Agustus 2015

68

yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri atas bahan organik yang berasal dari tanaman dan atau hewan yang telah melalui proses fermentasi. Sebagai media tanam, bahan tersebut mampu menyediakan unsur-unsur hara esensial yang mudah diserap oleh tanaman. Media tanam organik diduga dapat memperlambat peruba-han iklim karena dapat mengurangi emisi gas rumah kaca akibat penggunaan pupuk sintetis menurun. Media tanam organik mempunyai kemampuan menyediakan kapasitas tukar kation (cation exchange capacity), kapasitas memegang air, mampu menyediakan unsur hara makro dan mikro, aerasi dan darinase baik, serta menye-diakan oksigen. Beberapa bahan organik yang dapat digunakan sebagai bahan tanam adalah bokashi, arang sekam, dan cocopeat. Bokashi merupakan pupuk kompos yang dihasilkan dari proses fermentasi atau peragian bahan organik dengan teknologi EM (Effective Microorganism). Media bokashi mengandung unsur hara makro dan mikro yang bermanfaat bagi tanaman, selain itu juga memiliki pori-pori makro dan mikro yang hampir seimbang sehingga sirkulasi udara yang dihasilkan cukup baik serta memiliki daya serap air yang tinggi.

Arang sekam memiliki kandungan karbon yang tinggi sehingga membuat media tanam menjadi gembur. Penambahan sekam membuat struktur media menjadi remah dan akar leluasa dalam pertumbuhannya (Tim Karya Tani Man-diri, 2010). Arang sekam juga dapat digunakan sebagai bufer (penyangga) jika terjadi kekeliruan dalam pemberian unsur hara yang terkandung di dalam pupuk, sehingga bisa segera dinetralisir dan diadaptasikan. Sabut kelapa merupakan media yang mampu mengikat dan menyimpan air dengan kuat, sesuai untuk daerah panas, dan mengandung unsur-unsur hara esensial, seperti kalsium (Ca), magnesium (Mg), kalium

(K), natrium (Na), dan fosfor (P). Serbuk kelapa mampu menyimpan air 8 kali dari beratnya sehingga media dapat lebih lembab (Tim Karya Tani Mandiri, 2010). Kombinasi media tanam organik mampu menyediakan nutrisi yang leng-kap bagi tanaman tetapi dalam jumlah sedikit, oleh karena itu diperlukan tambahan nutrisi supaya kebutuhan unsur hara makro dan mikro terpenuhi sehingga hasil buah melon yang diper-oleh maksimal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui interaksi kombinasi komposisi media organik dan konsentrasi nutrisi terhadap daya hasil tanaman melon.

BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di green house Jurusan

Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Univer-sitas Jember pada ketinggian 89 meter di atas permukaan laut. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih melon varietas Ac-tion 434, bokashi, arang sekam, cocopeat, dan pupuk power nutrition. Proses penanaman dan pemeliharaan tanaman melon dilakukan sesuai dengan cara budidaya melon.

Penelitian disusun dalam rancangan faktorial 4 x 4 menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan tiga ulangan. Faktor pertama adalah komposisi media yang terdiri dari empat taraf yaitu M1 (bokashi 90%, cocopeat 5%, arang sekam 5%), M2 (bokashi 80%, cocopeat 10%, arang sekam 10%), M3 (bokashi 70%, cocopeat 15%, arang sekam 15%), dan M4 (bokashi 60%, cocopeat 20%, arang sekam 20%), sedangkan fak-tor kedua adalah konsentrasi nutrisi terdiri dari empat taraf yaitu K0 (kontrol/tanpa tambahan nutrisi), K1 (2 gram/liter), K2 (4 gram/liter), dan K3 (6 gram/liter).

Parameter yang diamati adalah kandungan total klorofil, berat buah, volume buah, tebal daging, kadar gula total. Data yang diperoleh

Page 10: Editor in Chief Associate Editors - UMY

69

dianalisis dengan menggunakan sidik ragam, apabila terdapat perbedaan yang nyata diantara perlakuan dilanjutkan dengan Uji Duncan taraf 5%.

HASIL DAN PEMBAHASANKandungan Total Klorofil

Komposisi media memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap kandungan klorofil total (Gambar 1), sedangkan konsentrasi nutrisi dan interaksi antara komposisi media dengan kon-sentrasi nutrisi tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kandungan klorofil total daun melon.

Gambar 1. Pengaruh komposisi media terhadap kandungan klorofil total

Keterangan: Komposisi media M1, M2, M3, dan M4 mengacu pada Metode Penelitian, demikian berlaku untuk gambar sejenis dalam naskah ini. Angka-angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada á = 5%.

Rerata kandungan klorofil total daun melon pada perlakuan M1, M2, M3, dan M4 berturut-turut adalah 400,2; 388,3; 371,8 dan 360,5 (ìmol/m²). Kandungan klorofil total tertinggi di-tunjukkan pada perlakuan M1 (90% bokahi, 5% cocopeat, 5% arang sekam), sedangkan terendah ditunjukkan oleh perlakuan M4 (60% bokahi, 20% cocopeat, 20% arang sekam).

Tinggi dan rendahnya kandungan total klorofil pada daun melon diduga disebabkan oleh komposisi bokashi dalam media. Bokashi mengandung EM atau mikroorganisme perom-

bak bahan organik sehingga dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara dalam media tanam, seperti unsur nitrogen dan Mg. Bokashi men-gandung unsur N 1,95% dan unsur Mg 0,7%, yang merupakan komponen utama penyusun klorofil daun. Nitrogen merupakan hara esensial yang berfungsi sebagai bahan penyusun klorofil dan meningkatkan ukuran daun (Nyapka, dkk., 1988).

Pigmen klorofil berfungsi menyerap energi cahaya matahari yang berperan dalam proses fotosintesis. Energi cahaya matahari yang diserap oleh pigmen klorofil akan dimanfaatkan untuk memecah molekul air menjadi bentuk H

2 dan

O2 yang disebut fotolisis. H

2 yang dihasilkan

digunakan untuk membentuk NADPH2. Selain

itu, energi tersebut juga digunakan untuk proses fosforilasi yaitu proses mengubah ADP menjadi ATP. Pada tanaman melon (tanaman C

3) bentuk

senyawa yang terakumulasi dari hasil fotosintesis adalah sukrosa yang tersimpan dalam buah.

Berat dan Volume BuahPerlakuan kombinasi komposisi media

dengan konsentrasi nutrisi tidak memberikan pengaruh nyata terhadap berat dan volume buah melon. Rerata hasil berat buah dari perlakuan kombinasi media M1K0, M1K2, M1K3, M1K4, M2K0, M2K2, M2K3, M2K4, M3K0, M3K2, M3K3, M3K4, dan M4K0, M4K2, M4K3, M4K4 berturut-turut adalah 1,05; 0,87; 0,76; 0,99; 1,0; 0,88; 1,05; 0,82; 0,82; 1,0; 1,06; 1,06; 1,04; 0,89; 1,24; 1,05 kg. Sementara rerata volume buah berturut-turut adalah 960,67; 1012; 1038; 1070,5; 1088,33;1091,67; 1228,50; 1232,50; 1246,67; 1272; 1291,83; 1318,33; 1319,33; 1329,82; 1381,33 m3. Berat buah melon varietas Action 434 tidak dapat mencapai berat maksi-mal (2,6 kg). Hal ini diduga disebabkan oleh serapan unsur P terhambat karena pH media

Page 11: Editor in Chief Associate Editors - UMY

Planta Tropika Journal of Agro ScienceVol. 3 No. 2 / Agustus 2015

70

tanah rendah (Gambar 4), hal ini didukung oleh Ardika dkk. (2008) yang menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi tersedianya P untuk tanaman yang terpenting adalah pH tanah. Kecu-kupan unsur hara fosfor dalam bentuk cadangan makanan pada batang akan membantu merang-sang pembentukan buah (Kushendarto dan Darwin, 2009). Kebutuhan unsur P yang kurang tercukupi diduga sebagai penyebab ukuran buah kecil.

Tebal Daging BuahInteraksi antara macam komposisi media

organik dengan konsentrasi larutan nutrisi mem-berikan pengaruh sangat nyata terhadap kete-balan daging buah melon. Interaksi menunjuk-kan bahwa tebal daging tertinggi terdapat pada perlakuan M3K3 yaitu 3,617 cm dan M4K2 yaitu 3,6 cm, sedangkan tebal daging terendah ter-dapat pada perlakuan M1K2 yaitu 2,5 cm (Gam-bar 2). Perlakuan M3K3 dan M4K2 menunjuk-kan hasil terbaik karena media tanam M3 dan M4 komposisi dari campurannya seimbang sehingga media porus dan dapat mempertah-ankan kelembaban dan nutrisi yang disiramkan mampu ditahan dalam media dan tersedia bagi tanaman melon sehingga mampu meningkatkan

hasil tanaman dalam hal ini tebal daging buah.Tebal daging buah yang terbentuk pada buah

melon dipengaruhi oleh nutrisi yang diserap oleh tanaman. Penyerapan unsur hara oleh akar akan ditranslokasikan ke semua organ tanaman. Hasil dari penyerapan unsur hara akan dipin-dahkan ke dalam buah yang sedang berkembang (Campbell dkk., 2003). Suplai unsur hara opti-mal dengan perimbangan yang baik dari semua unsur hara merupakan jaminan bagi kuantitas dan kualitas hasil panen (Wijaya, 2008). Kualitas buah seperti kadar gula, aroma, rasa, berat buah, tebal daging buah dan volume buah suatu tana-man ditentukan nutrisi tanaman yang diserap oleh tanaman yang pada ahirnya dibawa oleh ha-sil panen. Kemudahan tanaman untuk menyerap unsur hara di pengaruhi oleh media tanam.

Kadar Gula TotalHasil analisis menunjukkan bahwa komposisi

media organik memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar gula total buah melon. Kombi-nasi komposisi media organik dengan konsen-trasi nutrisi memberikan pengaruh berbeda tidak nyata terhadap kadar gula buah melon.

Rerata kadar gula total buah melon pada perlakuan M1, M2, M3, dan M4 adalah 19,38;

Gambar 2. Pengaruh kombinasi komposisi dengan konsentrasi nutrisi terhadap tebal daging buah.

Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada á = 5%.

Page 12: Editor in Chief Associate Editors - UMY

71

15,92; 32,97 dan 30,25 % (Gambar 3). Kadar gula total buah melon tertinggi ditunjukkan pada perlakuan M3 (70% bokashi, 15% cocopeat, 15% arang sekam) dan terendah pada perlakuan M2 (80% bokashi, 10% cocopeat, 10% arang sekam).

Gambar 3. Pengaruh komposisi media terhadap kadar

gula total. Keterangan: Komposisi media M1, M2, M3, dan M4. Angka-angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada á = 5%.

Komposisi media organik sebagai media ta-nam mengandung unsur hara makro dan mikro yang tersedia bagi tanaman. Bokashi mengand-ung unsur P 1,73% dan unsur K 1,2 %. Unsur hara tersebut diserap tanaman dalam bentuk ion. Menurut Pantastico (1975) dalam Pur-wanto (2005) ketersediaan unsur K yang rendah dalam tanaman dapat menurunkan kulitas dan produksi buah seperti kadar gula dan ukuran buah. Buah yang sedang tumbuh adalah tempat penyimpanan gula. Buah yang sedang tumbuh memerlukan banyak makanan sehingga buah bisa memonopoli semua sumber gula yang ada di sekitarnya, nutrisi yang tersedia dalam media tanam dapat meningkatkan kadar gula pada buah melon.

Komposisi media M3 menunjukkan kadar gula tertinggi dibandingkan dengan M1. Renda-hnya kadar gula total dalam buah M1 dan M2 di-duga disebabkan penyerapan P dan K terhambat

karena pH media tanam rendah. Media tanam M1, M2, M3, dan M4 mempunyai pH rerata 5; 5; 5,3; 5,3 (Gambar 4).

Gambar 4. pH setiap komposisi media organik

Hal ini disebabkan media tanam mengand-ung 100% bahan organik yang terdiri dari bokashi, cocopeat, dan arang sekam. Unsur K akan mudah tercuci pada pH rendah. Menurut Yusra (2005), nilai pH < 5,5 Fe, Al dan Mn dalam media berada dalam bentuk ion-ion Fe2+, Al3+ dan Mn2+. Jumlah ini meningkat dengan menurunnya nilai pH tanah. Menurut Buck-man dan Brady (1984) bentuk ion tersebut dapat bertindak sebagai pencegah ketersediaan P bagi tanaman melalui reaksi yang menghasilkan suatu endapan yang sukar larut, sehingga P tidak terse-dia bagi tanaman.

SIMPULAN1. Media organik dengan komposisi bokashi, co-

copeat, arang sekam sebesar 60:20:20% dapat meningkatkan kandungan gula total pada buah melon.

2. Kombinasi bokashi antara bokashi:cocopeat:arang sekam sebesar 60:20:20% dengan konsentrasi nutrisi 4 gram/liter dapat meningkatkan tebal daging buah.

Page 13: Editor in Chief Associate Editors - UMY

Planta Tropika Journal of Agro Science Vol. 3 No. 2 / Agustus 2015

72

DAFTAR PUSTAKAArdika, R., Sri. N. H. U., dan Benito, H. P., 2008. Pengaruh Seresah

dan Takaran Pupuk P terhadap P Tersedia dan Serapan P Jagung pada Tanah Napalan Bangunjiwo Bantul. Ilmu Tanah dan Lingkungan 8 (2) : 114-120.

Buckman, H.O dan L.D, Brady., 1984. Ilmu Tanah Terjemahan Soegman. Braharta Aksara. Jakarta

Campbel, Reece, dan Mitchell. 2003. Biologi. Erlangga, Jakarta.Kushendarto dan Darwin H. P. 2009. Pengaruh Pemupukan Fos-

for dan Kalium Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Buah Naga. Seminar Hasil penelitian dan Pengabdian Masyarakat. Unila.

Nyapka, M. Y., dkk. 1988. Kesuburan Tanah. Universitas Lam-pung, Bandar Lampung.

Purwanto, 2005. Pengaruh Pupuk Majemuk NPK dan Bahan Pemantap Tanah Terhadap Hasil dan Kualitas Tomat Varietas Intan. Jurnal Penelitian UNIB 11 (1) : 54-56.

Tim Karya Tani Madiri, 2010. Pedoman Budidaya secara Hidro-ponik. Nuansa Aulia. Bandung.

Wijaya, K. A. 2008. Nutrisi Tanaman. Prestasi Pustaka, Jember.Yusra. 2005. Pengaruh Lateks dan Cendawan Mikoriza terha-

dap P-Total, P-Tersedia dan pH Tanah Ultisols. The Effect of Latex and Mycorhyza Fungus on Total P, Available and pH of Ultisols Soil.Jurnal Ilmiah Pertanian KULTURA. 40(2): 100–105.

Page 14: Editor in Chief Associate Editors - UMY

PENDAHULUANKomoditas hortikultura yang terdiri dari tana-

man buah-buahan, sayuran, tanaman hias dan tanaman obat merupakan tanaman yang sangat prospektif untuk dikembangkan mengingat potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, ketersediaan teknologi serta potensi serapan pasar di dalam negeri dan pasar internasional terus meningkat. Salah satu komoditi hortikul-tura yang dikembangkan dan memiliki prospek yang bagus adalah bawang merah. Bawang merah tergolong komoditi yang mempunyai nilai jual

tinggi di pasaran. Keadaan ini berpengaruh baik terhadap perolehan pendapatan. Apalagi didukung dengan cepatnya perputaran modal usaha bawang merah. Pada umur 60-70 hari tanaman sudah bisa dipanen. Pertumbuhan produksi rata-rata bawang merah selama periode 1989-2003 sebesar 3,9 % per tahun, sedangkan konsumsi rata-rata bawang merah untuk tahun 2004 adalah 4,56 kg/kapita/tahun atau 0,38 kg/kapita/bulan (BPS, 2004).

Sebagian besar bawang merah diproduksi oleh

Pengaruh Penggunaan Mulsa Alang-Alang, Kenikir dan Kirinyu terhadap Pertumbuhan dan Hasil Bawang Merah Di Tanah

Mediteran pada Musim Penghujan

DOI 10.18196/pt.2015.042.73-77

MulyonoProgram Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Jl. Lingkar Selatan, Kasihan, Bantul, Yogyakarta 55183, Indonesia, Telp. 0274 387656,

e-mail: [email protected]

ABSTRAKPenelitian ini dilaksanakan di tanah mediteran yang terletak di Desa Simo, Kecamatan Simo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Penelitian ini dilaksanakan dengan percobaan lapangan menggunakan rancangan perlakuan faktor tunggal yang disusun dalam rancangan lingkungan acak kelompok lengkap (RAKL) masing masing perlakuan diulang tiga kali. Perlakuan yang dicobakan meliputi kontrol (P0), mulsa alang-alang (P1), dan mulsa kirinyu (P2), masing-masing perlakuan diulang tiga kali. Parameter yang diamati meliputi tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah umbi, berat umbi, berat segar tanaman, berat kering tana-man, berat segar gulma, berat kering gulma dan hasil per hektar. Mulsa alang-alang, kirinyu dan kenikir tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah umbi per rumpun dan hasil per hektar pada tanaman bawang merah. Mulsa alang-alang, kirinyu dan kenikir berpengaruh nyata terhadap berat segar tanaman, berat kering tanaman dan berat umbi per rumpun. Mulsa kenikir memberikan hasil tertinggi pada parameter berat segar tanaman, berat kering tanaman dan berat umbi perrumpun. Pertumbuhan gulma pada pertanaman bawang merah dipengaruhi secara nyata oleh perlakuan mulsa organik. Mulsa alang-alang berkemampuan paling tinggi dalam menekan pertumbuhan gulma.Kata kunci: Mulsa organik, Bawang merah, Musim Hujan, Tanah Mediteran

ABSTRACTThe study was held in Simo village, Boyolali, Central Java. The study used field experiments with a single factor that arranged in randomized completely block design. The treatments were control (P0), Alang-alang as mulch (P1), Kirinyu as mulch (P2), and Kenikir as mulch (P3), each treatment was repeated three times. The parameters were plant height, number of leaf, fresh weight of plant, dry weight of plant, number of tuber per hill, weight of tuber per hill, yield, fresh weight and dry weight of weeds. The results showed that mulch grass, kirinyu and kenikir was not significantly affect plant height, leaf number, number of tubers per hill and yield per hectare. Mulching grass, and kenikir kirinyu affected on plant fresh weight, dry weight and plant weight of tubers per hill. Mulching kenikir improved the plant fresh weight, dry weight of plants and weight of tubers per hill. Morover, Alang-alang, Kirinyu, and Kenikir as organic mulch significanly decreased the growth and abundant of weed and improved the growth of shallot plant. Alang-alang was the most highest decreasing the growth of weed. Keywords: Organic mulch, Shallot, The rainy season, Soil mediterranean 

Planta Tropika Journal of Agro Science Vol 3 No 2 / Agustus 2015

Page 15: Editor in Chief Associate Editors - UMY

Planta Tropika Journal of Agro ScienceVol. 3 No. 2 / Agustus 2015

74

petani kecil dengan luas lahan usaha <0,5 ha. Berbagai varietas bawang merah yang diusahakan petani diantaranya adalah kuning (Rimpeg, Berawa, Sidapurna dan Tablet), Bangkok, Warso, Bima Timor, Bima Sawo, Bima Brebes, Engkel, Bangkok, Philipines dan Thailand. Kebutuhan bawang merah di Indonesia belum dapat di-penuhi dari produksi dalam negeri maka terpak-sa dilakukan impor walaupun pada saat tertentu pun dilakukan ekspor. Terjadinya ekspor dan impor pada tahun yang sama disebabkan antara lain musim panen bawang merah tidak merata sepanjang tahun.

Pengaruh iklim yang kurang baik dapat mem-pengaruhi penurunan produksi bawang merah. Mengingat permintaan konsumen dari waktu ke waktu terus meningkat, daerah sentra produksi dan pengusahaan bawang merah perlu diting-katkan, sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk dan daya beli masyarakat yang terus meningkat.

Peningkakan produksi bawang merah dapat ditempuh dengan jalan ekstensifikasi maupun intensifikasi. Ekstensifikasi dapat dilakukan pada lahan marginal seperti pada tanah regosol (pasir pantai) atau pada tanah Mediteran.

Tanah Mediteran adalah tanah yang terben-tuk dari pelapukan batuan kapur dan bersifat tidak subur. Di Indonesia, tanah Mediteran dapat ditemukan pada tanah-tanah di Nusa Tenggara, Maluku, dan Jawa Tengah. Jenis tanah ini berasal dari batuan kapur keras (limestone), yang pada umumnya tersebar terdapat di daerah beriklim subhumid, topografi karst, dan le-reng vulkan dengan ketinggian di bawah 400 m. Tanah ini berwarna cokelat, merah, atau kuning. Sementara itu, warna merah kuning pada tanah mediteran berada di daerah topografi karst yang dikenal dengan sebutan Terra Rossa. Tanah mediteran yang berbahan induk batu kapur

mempunyai nilai pH yang lebih tinggi dibanding dari yang berbahan induk batu pasir. pH tanah dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu ba-han induk tanah, pengendapan, vegetasi alami, pertumbuhan tanaman, kedalaman tanah dan pupuk nitrogen.

Masalah utama dari jenis tanah mediteran adalah peka terhadap erosi, kandungan debu yang tinggi menyebabkan tanah cepat kering pada bagian permukaan sehingga dapat me-mutuskan akar terutama untuk tanaman yang berakar serabut seperti bawang merah. Tanah mediteran memiliki pH cukup tinggi yang seringkali di atas 7. Tanah yang bersifat alkalis mengikat fosfat sehingga akan menjadi kendala bagi tanaman untuk tumbuh. Tanah Mediteran memiliki kendala fisik berupa kepekaannya terhadap erosi, suhu dan kelengasan, maka jika akan digunakan untuk budidaya bawang merah perlu diatasi kendala-kendala tersebut. Salah satu usaha yang dapat dilakukan dengan penggunaan mulsa. Mulsa adalah material penutup tanaman budidaya yang dimaksudkan untuk menjaga kelembaban tanah serta menekan pertumbuhan gulma dan penyakit sehingga membuat tanaman tersebut tumbuh dengan baik (Soepraptohardjo, 1976).

Mulsa Organik meliputi semua bahan sisa pertanian yang secara ekonomis kurang berman-faat seperti jerami padi, batang jagung, batang kacang tanah, daun dan pelepah daun pisang, daun tebu, alang-alang, daun kirinyu dan serbuk gergaji. Dengan adanya bahan mulsa di atas permukaan tanah, energi air hujan akan ditahan oleh bahan mulsa tersebut sehingga agregat tanah tetap stabil dan terhindar dari proses penghancuran dan erosi. Penggunaan mulsa juga akan menjaga kondisi iklim mikro tanah seperti suhu dan kelembaban tanah sehingga tanah ti-dak cepat kering dan tidak mudah retak (Jajang,

Page 16: Editor in Chief Associate Editors - UMY

75

2009). Penelitian ini bertujuan untuk mengeta-hui pengaruh penggunaan mulsa organik yang berupa daun alang-alang daun kirinyu dan daun kenikir terhadap pertumbuhan dan hasil bawang merah di tanah mediteran.

BAHAN DAN METODEPenelitian ini dilaksanakan di lahan sawah

dengan jenis tanah mediteran yang terletak di Desa Simo, Kecamatan Simo, Kabupaten Boyo-lali, Jawa Tengah. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bibit bawang merah, daun kirinyu, daun alang-alang, daun kenikir, pupuk NPK.

Penelitian ini dilaksanakan dengan percobaan lapangan menggunakan rancangan perlakuan faktor tunggal yang disusun dalam rancangan lingkungan acak kelompok lengkap (RAKL) mas-ing masing perlakuan diulang tiga kali

Perlakuan yang dicobakan meliputi kontrol (P0), mulsa alang-alang (P1), mulsa kirinyu (P2) dan mulsa kenikir (P3) masing-masing perlakuan diulang tiga kali. Parameter yang digunakan meliputi: tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah umbi, berat umbi per tanaman, hasil per hektar.

Parameter yang diamati meliputi tinggi tana-man, jumlah daun, jumlah umbi, berat umbi, berat segar tanaman, berat kering tanaman, berat segar gulma, berat kering gulma dan hasil per hektar. Data yang diperoleh dari masing-masing parameter diolah menggunakan sidik ragam (analysis of variance) dengan taraf kesalahan 5%. Jika terdapat beda yang nyata antar perlakuan di-lakukan uji lanjut dengan Duncan Multiple Range Test (DMRT) dengan taraf kesalahan 5%.

HASIL DAN PEMBAHASANPertumbuhan Tanaman

Mulsa dapat diartikan sebagai bahan atau material yang sengaja dihamparkan di permu-

kaan tanah atau lahan pertanian (Andry, 2002). Mulsa dapat digolongkan dalam 2 kategori yaitu mulsa organik dan mulsa sintetik.

Mulsa organik meliputi semua bahan sisa pertanian yang secara ekonomis kurang ber-manfaat seperti Alang-Alang, Kenikir maupun Kirinyu. Kenikir (Tagetes erectabe) dan Kirinyu (Chromolaena odorata) seringkali dianggap sebagai gulma karena kemampuannya untuk berkem-bang biak yang tinggi, namun mengandung nitrogen yang tinggi sehingga memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai mulsa (Heyne, 1987).

Parameter pertumbuhan yang digunakan me-liputi tinggi tanaman, jumlah daun, berat segar tanaman dan berat kering tanaman. Hasil rerata tinggi tanaman,jumlah daun, berat segar tana-man dan berat kering tanaman disajikan pada tabel 1.

Tabel 1. Rerata Tinggi Tanaman (cm), Jumlah Daun, Berat Segar (gram), dan Berat Kering (gram)

Perlakuan mulsa

Tinggi tanaman (cm)

Jumlah daun Berat segar (gram)

Berat kering (gram)

Kontrol 33,6 a 12,6 a 39,0 ab 23,0 ab

Alang-alang 32,8 a 8,4 a 31,4 b 20,2 b

Kirinyu 34,6 a 12,6 a 46,3 ab 28,8 ab

Kenikir 35,4 a 11,6 a 51,7 a 32,4 a

Keterangan: Rerata yang diikuti huruf yang sama pada kolom menunjukkan tidak ada beda nyata berdasarkan DMRT pada taraf kesalahan 5%.

Dari hasil sidik ragam parameter pertumbu-han tanaman, menunjukkan perlakuan berbagai macam mulsa organik tidak ada beda nyata pada parameter tinggi tanaman dan jumlah daun. Sementara pada parameter berat segar dan berat kering tanaman menunjukkan beda nyata. Peng-gunaan mulsa kenikir ternyata menghasilkan be-rat segar dan berat kering tanaman yang tertinggi yaitu berturut-turut 51,7 gram dan 32,4 gram. Sementara mulsa alang-alang menghasilkan berat segar dan berat kering tanaman yang terendah

Page 17: Editor in Chief Associate Editors - UMY

Planta Tropika Journal of Agro ScienceVol. 3 No. 2 / Agustus 2015

76

yaitu 31,4 gram dan 20,2 gram. Kenikir merupakan jenis tanaman yang

mempunyai nilai C/N rendah sehingga jika digunakan sebagai mulsa akan cepat mengalami dekomposisi dan hasil dekomposisi yang ban-yak mengandung unsur N akan meningkatkan pertumbuhan tanaman. Di sisi lain mulsa alang-alang merupakan bahan yang nilai C/N nya tinggi dan banyak kandungan sellulosenya sehingga selama pertumbuhan tanaman bawang merah belum terdekomposisi. Hal ini terlihat sewaktu tanaman bawang merah dipanen mulsa alang-alang masih kelihatan utuh.

Hasil Tanaman Parameter hasil dan komponen hasil meli-

puti jumlah umbi per rumpun, berat umbi per rumpun dan hasil berupa berat umbi per hektar. Hasil rerata jumlah umbi per rumpun, berat umbi per rumpun dan hasil umbi per hektar disajikan pada tabel 2.

Tabel 2. Rerata Jumlah Umbi Per Rumpun, Berat Umbi per Rumpun (gram), dan Hasil Umbi per Hektar (ton/ha).

Perlakuan mulsa Jumlah umbi Per rumpun

Berat umbi Per rumpun (gram)

Hasil umbi per hektar (ton/ha)

Kontrol 5,9 a 21,5 ab 6,1 a

Alang-alang 5,0 a 19,0 b 6,4 a

Kirinyu 6,3 a 26,4 ab 7,4 a

Kenikir 6,4 a 30,7 a 7,3 a

Keterangan: Rerata yang diikuti huruf yang sama pada kolom menunjukkan tidak ada beda nyata berdasarkan DMRT pada taraf kesalahan 5%.

Dari hasil sidik ragam parameter hasil dan komponen hasil tanaman, menunjukkan per-lakuan berbagai macam mulsa organik tidak ada beda nyatan pada parameter jumlah umbi per rumpun dan hasil umbi per hektar. Jumlah umbi per rumpun secara statistik tidak dipengaruhi oleh penggunaan berbagai macam mulsa or-ganik. Namun jika dilihat hasil reratanya mulsa

kenikir cenderung menghasilkan jumlah umbi terbanyak yaitu 6,4.

Penggunaan berbagai macam mulsa organik ternyata mempengaruhi berat umbi per rum-pun. Mulsa kenikir tmenghasilkan berat umbi tertinggi (30,7 gram) disusul mulsa kirinyu (26,4 gram), sedangkan mulsa alang-alang tidak dapat meningkatkan jumlah umbi jika dibandingkan dengan kontrol (tanpa mulsa) bahkan cenderung memberikan berat umbi lebih rendah dibanding-kan kontrol.

Kenikir merupakan bahan yang mudah mengalami dekomposisi sehingga akan menin-gkatkan kandungan unsur hara dalam tanah terutama N, P dan K serta unsur-unsur mikro. Unsur-unsur tersebut akan dimanfaatkan tana-man bawang merah sehingga menghasilkan berat umbi yang tertinggi. Daun alang-alang mengand-ung zat alellopaty sehingga penggunaan mulsa alang-alang justru menghambat pertumbuhan tanaman bawang merah (Rice, 1984).

Pengamatan GulmaUntuk mengetahui pengaruh penggunaan

mulsa organik terhadap pertumbuhan gulma pada pertanaman bawang merah maka dilaku-kan pengamatan berat segar gulma dan berat kering gulma pada petak percobaan. Tabel 3 menunjukkan rerata hasil pengamatan pertum-buhan gulma yang tumbuh dengan mengukur berat basah dan berat kering gulma.

Hasil sidik ragam berat segar gulma dan berat kering gulma, terdapat beda nyata antar perlakuan pada parameter berat segar gulma dan berat kering gulma. Hasil uji lanjutan dengan DMRT pada tingkat kesalahan 5 % (tabel 3) menunjukkan bahwa penggunaan mulsa organik dapat menekan pertumbuhan gulma.

Berat segar gulma paling kecil pada perlakuan mulsa alang-alang (61,4 gram), kemudian bertu-

Page 18: Editor in Chief Associate Editors - UMY

77

rut-turut mulsa kirinyu (90,1 gram), dan mulsa kenikir (220,8 gram) sedangkan pada perlakuan tanpa mulsa (kontrol) menunjukkan berat segar gulma tertinggi (376,1 gram). Pada parameter berat kering gulma menunjukkan kecenderun-gan yang sama yaitu dari yang paling kecil mulsa alang-alang (14,2 gram), mulsa kirinyu (18,5 gram) dan mulsa kenikir (45,6 gram).

Tabel 3. Rerata Berat Segar Gulma dan Berat Kering Gulma pada Setiap Petak Percobaan

Perlakuan Berat segar gulma (gram) Berat kering gulma (gram)

Kontrol 376,1 a 70,0 a

Alang-alang 61,8 c 14,2 c

Kirinyu 90,1 bc 18,5 c

Kenikir 220,8 b 45,6 b

Keterangan: Rerata yang diikuti huruf yang sama pada kolom menunjukkan tidak ada beda nyata berdasarkan DMRT pada taraf kesalahan 5%.

Alang-alang merupakan bahan yang mempu-nyai kandungan selulose yang tinggi sehingga lebih tahan terhadap proses dekomposisi. Selama pertumbuhan bawang merah mulsa alang-alang masih tetap utuh dan dapat menutupi permu-kaan tanah dalam jangka waktu yang cukup lama, sehingga pertumbuhan gulma dapat ditekan. Dari ketiga bahan mulsa organik kenikir merupakan bahan yang paling cepat mengalami dekomposisi sehingga periode penutupan per-mukaan tanah berjalan lebih singkat sehingga kurang efektif dalam menekan pertumbuhan gulma.

SIMPULAN DAN SARANSimpulan

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut:1. Mulsa alang-alang, kirinyu dan kenikir tidak

berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah umbi per rumpun dan hasil per hektar pada tanaman bawang merah.

2. Mulsa alang-alang, kirinyu dan kenikir ber-

pengaruh nyata terhadap berat segar tanaman, berat kering tanaman dan berat umbi per rumpun. Mulsa kenikir memberikan hasil tertinggi pada parameter berat segar tanaman, berat kering tanaman dan berat umbi per rumpun.

3. Pertumbuan gulma pada pertanaman bawang merah dipengaruhi secara nyata oleh per-lakuan mulsa organik. Mulsa alang-alang berkemampuan paling tinggi dalam menekan pertumuhan gulma

Saran1. Penelitian ini dilakukan pada jenis tanah

mediteran maka perlu dilakukan penelitian pada jenis tanah dan jenis tanaman yang lain.

2. Penelitian serupa perlu dilakukan pada musim kemarau mengingat penelitian ini dilakukan pada musim penghujan.

DAFTAR PUSTAKA Andry Harits Umboh. 2002. Petunjuk Penggunaan Mulsa.

Jakarta: Penebar Swadaya. 89 hal.BPS (Badan Pusat Statistik). 2014. Produktivitas, Luas Panen

dan Produksi Bawang Merah di Indonesia. www.bps.go.id. Diakses pada 17 April 2014

Jajang S.H. 2009. Pengaruh Jenis Mulsa Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tiga Kultivar Kentang (Solanum tuberosum L.) yang Ditanam di Dateran Medium. Jurnal Agronomi Indonesia 37(1):14-20

Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia (Jilid 1). Yayasan Sarana Wana Jaya. Jakarta

Rice EL. 1984. Allelopathy. Second Edition. Orlando FL: Academic Press. USA

Soepraptohardjo. 1976. Jenis Tanah di Indonesia. Lembaga Pene-litian Tanah. Bogor.

Page 19: Editor in Chief Associate Editors - UMY

PENDAHULUANPakpahan (2000) menyatakan bahwa produksi

perkebunan teh di Indonesia masih sangat rendah dibandingkan dengan negara penghasil teh lainnya. Produksi perkebunan rakyat hanya mencapai 764 kg/ha/tahun, jauh di bawah stan-dar yang ditetapkan Lembaga Penelitian Kenya sebesar 1.500 kg/ha/tahun. Selanjutnya menu-rut Malik (2007) bahwa menurunnya produkti-vitas teh Indonesia sekitar 1.900 – 2.000 kg teh kering ha/tahun, antara lain disebabkan lambat-nya peremajaan tanaman dan tidak optimalnya

pengelolaan perkebunan teh. Faktor utama yang mempengaruhi rendahnya produktivitas tana-man adalah sebagian besar kebun-kebun teh mempunyai umur tanaman yang sudah tua, per-du-perdu menderita kerusakan fisik yang cukup berat dan sebagian besar kebun teh berasal dari tanaman asal biji yang tidak diketahui induknya (Astika dkk., 1985).

Pemangkasan adalah salah satu cara yang dapat ditempuh untuk meningkatkan hasil dan mutu teh. Pemangkasan atau prunning meru-

Pengaruh Cairan Pembersih Lumut dan Pupuk Anorganikterhadap Pertumbuhan Tanaman Teh (Camellia Sinensis (L.)

O. Kuntze) Asal Biji Setelah Dipangkas

DOI 10.18196/pt.2015.043.78-86

Intan Ratna Dewi AnjarsariJurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran,

Jl. Raya Bandung Sumedang KM 21, Jatinangor 45363, Indonesia, Telp: (022) 7796316, Fax: (022) 7796316, e-mail: [email protected]

ABSTRAKPenelitian ini bertujuan untuk menelaah pengaruh cairan pembersih lumut dan pupuk anorganik terhadap pertumbuhan tanaman teh (Camellia sinensis (L.) O.Kuntze) asal biji setelah dipangkas, dilaksanakan di Kebun Percobaan Pusat Penelitian Teh dan Kina Gambung Ciwidey. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) pola faktorial dengan dua faktor. Faktor pertama adalah konsentrasi cairan pembersih lumut dengan 4 taraf, yaitu 0 (tanpa cairan pembersih lumut), 1% , 2%, dan 3%. Faktor kedua adalah dosis pupuk anorganik dengan 4 taraf, yaitu 100%, 80%, 60%, dan 40%, sehingga terdapat 16 kombinasi perlakuan dengan 3 ulangan. Hasil percobaan menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh interaksi antara pemberian cairan pembersih lumut dan pupuk anorganik. Pengaruh mandiri cairan pembersih lumut pada konsentrasi 2% menunjukkan jumlah tunas, bobot basah pucuk, dan bobot kering pucuk lebih tinggi dibandingkan konsentrasi 1% dan 3%. Demikian pula dengan pengaruh mandiri pupuk anorganik, dosis 80% menunjukkan jumlah tunas, bobot basah pucuk dan bobot kering pucuk yang lebih tinggi dibandingkan dosis 100%, 60% dan 40%. Kata kunci: Tanaman teh asal biji, Cairan pembersih lumut, Pupuk anorganik

ABSTRACTA study examines the effect of moss removal and inorganic fertilizers on the growth of the tea (Camellia sinensis (L.) O.Kuntze) derived from seed after pruning. This research was conducted at the Research Center of Tea and Quinine in Gambung, Ciwidey. The research was managed using factorial ex-periment that arranged in Completely Randomized Design 4 x 4 with three replications. The first factor was the concentration of moss removal i.e. 0%, 1%, 2% and 3%. The second factor was the dose of inorganic fertilizer i.e. 100%, 80%, 60% and 40%. The result showed that there was no interaction between moss removal and inorganic fertilizer. In 2 % of moss removal showed the better result than 1% and 3% of moss removal in shoot numbers, shoot fresh weight, shoot dry weight. Inorganic fertilizer with 80% doses showed better result than doses 100%, 60% and 40% in shoot numbers, shoot fresh weight, shoot dry weight.Keywords: Tea derived from seed, moss removal, inorganic fertilizer

Planta Tropika Journal of Agro Science Vol 3 No 2 / Agustus 2015

Page 20: Editor in Chief Associate Editors - UMY

79

pakan manipulasi pertumbuhan tanaman yang dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan. Tetapi bagi tanaman, pemangkasan merupakan tindakan yang mengganggu per-tumbuhan dan perkembangannya. Oleh sebab itu, harus dilakukan secara hati-hati dan mem-perhatikan kondisi tanaman itu sendiri supaya tanaman tidak menjadi rusak. Pemupukan adalah pemberian unsur-unsur hara ke dalam tanah dalam jumlah yang sesuai dengan kebutu-han tanaman. Tujuannya untuk meningkatkan daya dukung tanah terhadap pertumbuhan dan produktivitas tanaman. Pupuk yang diberikan dapat berupa pupuk organik maupun pupuk an-organik. Pupuk yang biasa digunakan pada lahan perkebunan teh umumnya adalah pupuk anor-ganik tunggal yang memiliki kandungan unsur hara N, P, K atau Mg. Pertumbuhan tanaman teh memerlukan hara makro N, P, K, Mg dalam jumlah banyak yang diberikan melalui tanah, dan unsur hara mikro Zn dalam jumlah sedikit yang diberikan dalam bentuk larutan, sehingga produksi tanaman tidak menurun atau bahkan meningkat.

Penyemprotan cairan pembersih lumut diap-likasikan pada tanaman teh asal biji karena seba-gian besar tanaman teh menghasilkan (TM) asal biji banyak terserang oleh lumut. Pada cabang-cabang perdu teh, khususnya pada tanaman asal biji (seedling), umumnya tumbuh lumut yang dapat mengganggu pertumbuhan tunas baru. Semakin tua umur tanaman tingkat pertumbu-han lumutnya semakin tinggi. Pada tanaman belum menghasilkan (TBM), yakni tanaman teh yang masih muda (berumur di bawah dua tahun) dan belum diambil produksinya (pucuknya) pada umumnya tidak terserang lumut. Cairan pember-sih lumut yang digunakan mengandung bahan aktif kapur yang dapat meluruhkan tumbuhan

lumut yang dapat mengganggu pertumbuhan tunas baru. Penggunaan zat pembersih lumut produksi Pusat Penelitian Teh dan Kina Gam-bung telah dicobakan di beberapa kebun, dian-taranya Goalpara Sukabumi 12 ha pada tahun 2000, Montaya di Gunung Halu seluas 16 ha pada tahun 2005. Tahun 2007 dilakukan perco-baan di perkebunan Bah Butong, Sidamanik dan Tobasari serta Kebun Percobaan Simalungun wilayah PTPN IV di Medan (Sumatera Utara) dengan konsentrasi 2% (Isdiyanto dan Eko Pranoto, 2007). Hasilnya secara visual menunjuk-kan bahwa pemberian cairan pembersih lumut tersebut dapat meluruhkan semua jenis lumut yang tumbuh pada batang, cabang dan ranting teh tiga sampai tujuh hari setelah penyemprotan, sehingga diharapkan pertumbuhan tunas tidak terganggu oleh keberadaan lumut tersebut. Peny-emprotan cairan akan lebih efektif hasilnya bila dilakukan pada saat kondisi cerah untuk meng-hindari adanya pencucian oleh air hujan.

Pemberian cairan pembersih lu-mut dengan pupuk anorganik diharapkan dapat menekan pertumbuhan lumut dan meningkat-kan proses fisiologis tanaman teh, dimana ter-dapat pengaruh interaksi antar kedua perlakuan tersebut yang pada akhirnya dapat mempercepat pertumbuhan tunas, dan hasil tanaman teh. Pe-nyemprotan cairan pembersih lumut dilakukan tiga hari atau lima hari setelah pangkas dengan konsentrasi anjuran 2% (Salim, 2005).

BAHAN DAN METODE Bahan tanaman yang akan digunakan pada

penelitian ini tanaman teh menghasilkan (TM) asal biji berumur 48 tahun sebanyak 960 tana-man dengan jarak tanam 110 cm x 90 cm. Pupuk Urea (N), KCl (K

2O), SP-36 (P

2O

5), Kiserit

(MgO), dan cairan pembersih lumut produksi

Page 21: Editor in Chief Associate Editors - UMY

Planta Tropika Journal of Agro ScienceVol. 3 No. 2 / Agustus 2015

80

Pusat Penelitian Teh dan Kina ( PPTK) Gam-bung.

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah knapsack sprayer untuk menyemprotkan cairan pembersih lumut, bambu dan plat seng untuk patok percobaan, leaf area meter untuk mengukur luas daun, waring untuk mengangkut pucuk, hand counter untuk menghitung jumlah tunas, amplop kertas yang dilubangi untuk meny-impan sampel pucuk, oven untuk mengeringkan sampel pucuk, timbangan analitik untuk menim-bang sampel pucuk dan bobot kering tanaman.

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) pola faktori-al, 2 faktor dengan 3 kali ulangan. Faktor perta-ma yaitu konsentrasi cairan pembersih lumut (a) dengan 4 taraf : a

1 = tanpa cairan pembersih lu-

mut, a2 = 1% cairan pembersih lumut (10 mL/L

atau 3,03 L/plot larutan jadi), a3 = 2 % cairan

pembersih lumut (20 mL/L atau 3,06 L/plot larutan jadi), a

4 = 3 % cairan pembersih lumut

(30 mL/L atau 3,09 L/plot larutan jadi). Faktor kedua yaitu pupuk anorganik (b) dengan 3 taraf : b1= 100% pupuk tunggal dosis anjuran (652,17 g/plot urea, 166,7 g/plot SP-36, 200 g/plot KCl, 222,3 g/plot Kiserit), b2=80% pupuk tunggal dosis anjuran (521,74 g/plot urea, 133,36 g/plot SP-36 160 g/plot KCl, 177,84 g/plot Kiserit), b3-60% pupuk tunggal dosis anjuran (391,30g/plot urea, 100,02 g/plot SP-36, 120 g/plot KCl, 133,34 g/plot Kiserit), b4=40% pupuk tunggal dosis anjuran (260,87 g/plot urea, 66,68 g/plot SP-36, 80 g/plot KCl, 88,92 g/plot Kiserit.

Dengan demikian terdapat 4 x 4 = 16 kombi-nasi perlakuan, seluruh satuan percobaan yang diulang 3 kali menghasilkan 16 x 3 = 48 satuan percobaan. Setiap satuan percobaan terdiri dari 20 tanaman. Jumlah seluruh tanaman 960 tana-man.

HASIL PENELITIANAnalisis Tanah Sebelum dan Sesudah Percobaan

Analisis tanah sebelum percobaan menun-jukkan tanah ini memiliki pH 4,9 (sedang). Keadaan tersebut sesuai dengan persyaratan yang dibutuhkan untuk pertanaman teh, yaitu pada kisaran 4,5 – 6,0. Hasil analisis tanah sebelum percobaan menunjukkan bahwa tanah yang digunakan untuk percobaan memiliki tekstur lempung berdebu dengan kandungan pasir 13,17%, debu 63,41% dan liat 23,42%. Menurut Winarso (2005) tekstur tersebut merupakan tek-stur tanah yang mendekati kondisi ideal untuk pertumbuhan tanaman. Kandungan C-organik tinggi (6,65%) dan kandungan N-total termasuk sangat tinggi (0,83%) dengan rasio C terhadap N (C/N) 8,01 (rendah). Rasio C terhadap N yang rendah menunjukkan bahwa tanah memiliki unsur hara yang cukup dan siap digunakan oleh tanaman karena proses pendekomposisian bahan di dalam tanah telah terjadi (Asosiasi Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Indonesia, 2002).

Hasil analisis tanah sesudah percobaan menunjukkan bahwa pH tanah berada pada kisa-ran 4,8 – 5,0 (sedang), masih sesuai dengan kisa-ran pH yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman teh. Sementara nilai C-organik tanah sesudah percobaan mengalami penurunan yang berada pada kisaran 6,15 %– 6,30%. Demikian pula halnya dengan N-total (0,67% – 0,79%). Namun demikian rasio C/N tetap berada pada kisaran 8 -9 seperti pada sebelum percobaan.

Analisis Hara Daun Indung Sebelum dan Sesudah Percobaan

Daun indung atau mother leaf adalah daun tua pertama tempat percabangan pucuk yang sehat yang telah siap dipetik (manjing), daun indung

Page 22: Editor in Chief Associate Editors - UMY

81

berwarna gelap yang telah mencapai ukuran penuh bila dibandingkan dengan daun-daun tua di bawahnya dan terletak di ketiak tunas yang sedang tumbuh. Kadar unsur hara daun indung dapat menggambarkan keadaan unsur hara tana-man teh secara keseluruhan karena daun indung merupakan tempat terjadinya fotosintesis. Per-tumbuhan pucuk sangat ditentukan oleh kadar unsur hara yang terkandung pada daun indung (Asosiasi Penelitian dan Pengembangan Perkebu-nan Indonesia, 2002).

Hasil analisis sebelum percobaan menunjuk-kan bahwa kadar N 3,14% (sedang), P 0,18% (rendah), K 1,19% (rendah), Ca 1,57% (tinggi), Mg 0,28% (tinggi), S 0,27% (tinggi), dan Zn 17 ppm (rendah). Hasil analisis sesudah percobaan menunjukkan bahwa kadar N bervariasi untuk setiap perlakuan, berada pada kisaran 3,01% - 3,19% (rendah-sedang), kadar P berada pada kisaran 0,15 – 0,21% (rendah – sedang), kadar K 0,91%- 1,14% (sangat rendah – rendah), kadar Ca 1,49% – 1,69% (tinggi- sangat tinggi), Mg 0,22% – 0,29% (rendah-sangat tinggi), kadar S 0,22% – 0,26% (rendah – sedang), dan Zn 10-24 mg kg-1 berat kering (rendah).

Hama, Penyakit dan Gulma Selama PercobaanBerdasarkan hasil pengamatan, terdapat

beberapa hama yang menyerang tanaman teh, diantaranya kepik penghisap daun teh (Helopeltis antonii), wereng penghisap pucuk teh (Empoasca sp.), ulat api (Setora nitens) serta ulat penggulung daun (Homona coffearia). Selama percobaann in-tensitas serangan hama ringan dan tidak menim-bulkan kerusakan yang berarti sehingga pengen-daliannya hanya dilakukan dengan cara mekanis tanpa pengendalian secara kimia. Gulma yang tumbuh selama percobaan berlangsung antara lain teki (Cyperus rotundus), babadotan (Ageratum

conyzoides), lampuyangan (Panicum repens) dan alang-alang (Imperata cylindrical). Pengendalian gulma dilakukan secara manual pada bulan per-tama, sedangkan pada bulan kedua pengendal-ian dilakukan dengan menggunakan herbisida Roundup dengan dosis 3 L/ha.Suhu, Kelembaban dan Curah Hujan

Selama percobaan berlangsung, suhu berkisar antara 20,75oC – 23,13 oC dengan kelembaban nisbi 76,50% – 82,75%, sedangkan curah hujan sangat rendah yaitu 0,00 – 8,91 mm/hari. Curah hujan yang rendah mengakibatkan serangan hama penyakit selama percobaan, penyerapan pupuk yang rendah selama percobaan karena penguapan yang cukup tinggi. Meskipun curah hujan sudah nol produksi pucuk masih dalam kondisi cukup kemudian menurun. Hal tersebut dapat dimengerti bahwa di dataran tinggi pada umumnya jenis tanahnya Andisol dengan bahan organik yang masih cukup tinggi (5%-6%) yang mampu mengikat air lebih lama.

Komponen Pertumbuhan: Jumlah tunasHasil analisis statistik pada Tabel 1 menunjuk-

kan bahwa tidak terjadi interaksi antara cairan pembersih lumut dengan pupuk anorganik pada jumlah tunas.

Pemberian cairan pembersih lumut dan pu-puk anorganik secara mandiri tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah tunas pada 6 MSP, 8 MSP, dan 10 MSP (Minggu Setelah Pe-mangkasan). Pengaruh perlakuan cairan pember-sih lumut secara mandiri terlihat umur 7 MSP dan 8 MSP. Perlakuan cairan pembersih lumut a

3 (2%) pada 7 MSP menghasilkan jumlah tunas

lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya, namun tidak berbeda nyata dengan a

4 (3%). Pada

pengamatan 9 MSP, pemberian cairan pembersih lumut pada konsentrasi 2% (a

3) menunjukkan

Page 23: Editor in Chief Associate Editors - UMY

Planta Tropika Journal of Agro ScienceVol. 3 No. 2 / Agustus 2015

82

jumlah tunas yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya. Pemberian pupuk anorganik pada 7 MSP terhadap jumlah tunas menunjuk-kan bahwa perlakuan b

1 (100%) berbeda nyata

dengan perlakuan b2 (80%) dan b

3 (60%), tetapi

tidak berbeda nyata dengan perlakuan b4 (40%).

Demikian pula halnya jumlah tunas pada 9 MSP, pemberian pupuk anorganik b

1 (100%) berbeda

nyata dengan b2 (80%) terhadap jumlah tunas,

tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan

lainnya.Pada 7 MSP pemberian cairan pembersih

lumut menunjukkan pengaruhnya diduga karena pemberian zat pembersih lumut dengan peny-emprotan yang dilakukan pada batang perdu teh pada konsentrasi 2% dapat mengikis lumut yang tumbuh meliputinya, sehingga pertumbuhan tu-nas tidak terganggu. Pemberian pupuk anorganik dengan dosis 80% (b

2) ternyata mampu menin-

gkatkan jumlah tunas. Unsur hara yang cukup tersedia dalam tanah akan mengurangi tingkat persaingan tanaman terhadap unsur hara, se-hingga memungkinkan tanaman meningkatkan aktivitas fotosintesisnya untuk pertumbuhan

tunas-tunas tanaman teh. Tidak adanya penga-ruh perlakuan pada 6, 8, 10 MSP, hal tersebut disebabkan perdu tanaman teh yang dipangkas belum menunjukkan pengaruhnya. Pada umur 6 MSP lumut yang tumbuh pada batang perdu be-lum luruh, sehingga pertumbuhan tunas masih terganggu.

Faktor lain yang diduga berpengaruh terha-dap pertumbuhan tunas yang tidak berbeda nyata adalah pemangkasan. Pemangkasan bersih yang dilakukan pada tanaman teh asal biji yang berusia lebih dari 40 tahun diduga menyebabkan bagian-bagian yang masih aktif ikut terbuang. Akibatnya tanaman membutuhkan tenaga yang lebih besar untuk membentuk tunas-tunas baru sebagai aparat fotosintesis. Tetapi sebagai aki-bat perlakuan pemangkasan bersih, maka yang tertinggal adalah mata tunas yang terletak pada cabang yang lebih tua.

Mata tunas yang terletak pada cabang-cabang yang lebih tua mempunyai sifat dorman yang lebih kuat bila dibandingkan dengan mata tunas yang berada pada cabang-cabang yang lebih muda. Semakin tua kulit batang tanaman, maka

Tabel 1. Pengaruh Cairan Pembersih Lumut dan Pupuk Anorganik terhadap Jumlah Tunas

PerlakuanJumlah Tunas

6 MSP 7 MSP 8 MSP 9 MSP 10 MSP

Cairan Pembersih Lumut (a)

a1 215,08 a 375,08 a 514,00 a 578,58 a 629,75 a

a2 230,08 a 377,25 a 534,17 a 561,33 a 630,42 a

a3 292,08 a 459,92 b 553,83 a 742,92 b 664,67 a

a4 278,25 a 412,92 ab 548,67 a 580,00 a 636,92 a

Pupuk Anorganik (b)

b1 214,67 a 367,25 a 457,50 a 524,75 a 627,83 a

b2 282,00 a 440,08 b 616,75 a 715,00 b 640,83 a

b3 265,33 a 423,17 b 534,92 a 628,50 ab 662,17 a

b4 253,50 a 394,67 ab 541,50 a 594,58 ab 630,92 a

Keterangan: Angka rata-rata vertikal yang ditandai dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut Uji jarak Berganda Duncan, á = 0,05 a1 = tanpa cairan pembersih lumut b1 = 100% pupuk anorganik a2 = 1% cairan pembersih lumut b2 = 80% pupuk anorganik a3 = 2% cairan pembersih lumut b3 = 60% pupuk anorganik a4 = 3% cairan pembersih lumut b4 = 40% pupuk anorganik MSP = Minggu Setelah Pemangkasan

Page 24: Editor in Chief Associate Editors - UMY

83

makin banyak pula energi yang dibutuhkan untuk menumbuhkan mata tunas yang terdapat pada cabang tersebut (Kullasegaram dan Kathir-ravetpillai, 1981). Selain itu semakin tua kulit, maka semakin tua pula mata tunas yang terdapat pada batang teh. Pertumbuhan tunas selain dipengaruhi oleh usia tanaman juga diduga dipengaruhi oleh faktor musim. Faktor musim yang sangat berperan yaitu suhu dan kelembaban udara. Selama percobaan curah hujan sangat rendah, suhu tinggi dan kelembaban berkurang. Pada kondisi tersebut lingkungan tidak menun-jang untuk pertumbuhan tunas.

Bobot Basah PucukHasil analisis statistik pada Tabel 2 menun-

jukkan tidak terjadi pengaruh interaksi antara cairan pembersih lumut dengan pupuk anor-ganik terhadap bobot basah pucuk. Pada pen-gamatan 15 MSP, pemberian cairan pembersih lumut 2% (a

3) menunjukkan bobot basah lebih

tinggi dibandingkan dengan cairan pembersih lu-mut 1% (a

2), namun tidak berbeda nyata dengan

pelakuan tanpa cairan pembersih lumut (a1) dan

3% (a4). Pada pengamatan 16 MSP, pemberian

tanpa cairan pembersih lumut (a1) berbeda nyata

dengan pemberian 2% (a3).

Dilihat dari kecepatan pertumbuhan tunas, untuk menghasilkan pucuk petikan agak lambat dan baru dapat dipetik jendangan 12 minggu setelah pemangkasan (12 MSP). Hal tersebut disebabkan oleh kondisi tanaman teh asal biji su-dah cukup tua, selain itu cuaca kering dan suhu panas selama percobaan berlangsung diduga menghambat pertumbuhan tunas. Pemberian cairan pembersih lumut belum terlihat penga-ruhnya pada pemetikan ke-1 (12 MSP) terjadi karena pupuk belum terurai sempurna dalam tanah, sehingga belum dapat digunakan oleh tanaman secara optimal.

Demikian pula pada pengamatan 14 MSP, 17 MSP, dan 18 MSP tidak berbeda nyata. Pada pengamatan 13 MSP, menunjukkan bahwa pemberian tanpa cairan pembersih lumut (a

1)

berbeda nyata dengan perlakuan 2% (a3) dan 3%

(a3), tetapi tidak berbeda nyata dengan pembe-

rian 1% (a2). Pengaruh mandiri perlakuan pupuk

anorganik baru terlihat pada 13 MSP, 15 MSP,

Tabel 2. Pengaruh Cairan Pembersih Lumut dan Pupuk Anorganik terhadap Bobot Basah Pucuk (g)

PerlakuanBobot Basah Pucuk (g)

12 MSP 13 MSP 14 MSP 15 MSP 16 MSP 17 MSP 18 MSP

Cairan Pembersih Lumut (a)

a1 1158,33 a 450,00 a 250,00 a 358,33 ab 316,67 a 412,50 a 379,17 a

a2 1266,67 a 541,67 ab 266,67 a 345,83 a 341,67 ab 420,83 a 420,83 a

a3 1508,33 a 654,17 b 283,33 a 400,00 b 404,17 b 500,00 a 458,33 a

a4 1275,00 a 558,33a b 275,00 a 375,00 ab 383,33 ab 487,50 a 441,67 a

Pupuk Anorganik (b)

b1 1241,67 a 512,50 a 237,50 a 345,83 ab 370,83 a 441,67 a 458,33 b

b2 1508,33 a 700,00 b 283,33 a 425,00 c 379,17 a 508,33 a 483,33 b

b3 1320,83 a 491,67 a 275,00 a 379,17 b 375,00 a 450,00 a 445,83 ab

b4 1137,50 a 500,00 a 279,17 a 329,17 a 320,83 a 420,83 a 312,50 a

Keterangan: Angka rata-rata vertikal yang ditandai dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut Uji jarak Berganda Duncan, á = 0,05 a1 = tanpa cairan pembersih lumut b1 = 100% pupuk anorganik a2 = 1% cairan pembersih lumut b2 = 80% pupuk anorganik a3 = 2% cairan pembersih lumut b3 = 60% pupuk anorganik a4 = 3% cairan pembersih lumut b4 = 40% pupuk anorganik MSP = Minggu Setelah Pemangkasan

Page 25: Editor in Chief Associate Editors - UMY

Planta Tropika Journal of Agro ScienceVol. 3 No. 2 / Agustus 2015

84

dan 18 MSP. Perlakuan pupuk organik 80% (b2)

pada 13 MSP menunjukkan bobot basah lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya. Pada 15 MSP, pemberian pupuk anorganik 80% (b

2)

menunjukkan bobot basah lebih tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemberian pupuk anorganik sebanyak 80% masih bisa memenuhi kebutuhan unsur hara tanaman untuk pertum-buhan pucuknya. Adanya intensitas penyinaran cukup menyebabkan proses fotosintesis berjalan optimal. Selain itu, hal tersebut menunjukkan bahwa pemberian cairan pembersih lumut dapat menghemat 20% pupuk anorganik, bahkan dapat mencapai 40%. Pada 18 MSP, pemberian pupuk anorganik 100%, 80% dan 60% tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap bobot basah pucuk.

Penyemprotan cairan pembersih lumut pada perdu teh di lapangan pada dasarnya melu-ruhkan lumut yang tumbuh pada batang yang mengganggu pertumbuhan tunas sebagai bakal pucuk yang akan dipetik. Hal tersebut terlihat dari pertumbuhan pucuk peko yang cukup seragam pada saat jendangan pertama dilakukan,

yaitu 12 MSP. Faktor lain yang menyebabkan tidak berbeda nyata pemberian cairan pembersih lumut dan pupuk anorganik diduga, karena en-ergi sudah terlalu banyak dipakai untuk tumbuh tunas pucuk sebelum dipangkas.

Produksi pucuk dipengaruhi juga oleh musim. Menurut Sukasman (1997), kejadian tersebut berhubungan dengan curah hujan dan kelembaban udara yang berpengaruh pada kes-eimbangan air dalam tanah dan tanaman. Jika kelembaban udara optimal, fotosintat mengalir ke pucuk dan cadangan dibongkar, tetapi jika kondisi sebaliknya, maka sebagian besar men-galir ke akar sebagai cadangan dan pertumbuhan pucuk terhambat. Menurut Sutaryanto (1989) bahwa periodisitas tumbuh pucuk ditentukan oleh rasio C terhadap N (C/N) di dalam tana-man teh itu sendiri. C/N yang rendah menye-babkan tanaman teh mengalami fase pucuk peko.

Bobot Kering PucukHasil analisis statistik pada Tabel 3 menun-

jukkan tidak terjadi pengaruh interaksi antara

Tabel 3. Pengaruh Cairan Pembersih Lumut dan Pupuk Anorganik terhadap Bobot Kering Pucuk (g)

PerlakuanBobot Basah Pucuk (g)

12 MSP 13 MSP 14 MSP 15 MSP 16 MSP 17 MSP 18 MSP

Cairan Pembersih Lumut (a)

a1 22,59 a 20,24 a 23,15 a 22,13 a 24,66 a 22,72 a 19,99 a

a2 23,51 a 20,74 ab 22,74 a 22,93 ab 24,98 a 23,45 a 20,25 a

a3 23,89 a 22,86 c 23,73 a 24,86 c 26,01 a 24,29 a 22,40 a

a4 23,82 a 22,23 bc 23,54 a 23,84 bc 25,35 a 24,06 a 20,61 a

Pupuk Anorganik (b)

b1 22,59 a 21,21 a 23,76 a 22,71 a 26,16 a 23,79 a 20,58 a

b2 22,95 a 23,21 b 24,11 a 24,40 b 25,29 a 23,98 a 21,85 a

b3 23,88 a 20,67 a 22,36 a 22,53 a 24,86 a 23,46 a 20,13 a

b4 24,40 a 20,97 a 22,94 a 24,11 ab 24,69 a 23,29 a 20,69 a

Keterangan: Angka rata-rata vertikal yang ditandai dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut Uji jarak Berganda Duncan, á = 0,05 a1 = tanpa cairan pembersih lumut b1 = 100% pupuk anorganik a2 = 1% cairan pembersih lumut b2 = 80% pupuk anorganik a3 = 2% cairan pembersih lumut b3 = 60% pupuk anorganik a4 = 3% cairan pembersih lumut b4 = 40% pupuk anorganik MSP = Minggu Setelah Pemangkasan

Page 26: Editor in Chief Associate Editors - UMY

85

cairan pembersih lumut dengan pupuk anorgan-ik terhadap bobot kering pucuk.

Secara mandiri, pengaruh pemberian cairan pembersih lumut terhadap bobot kering pucuk terlihat pada 13 MSP dan 15 MSP. Pada 13 MSP dan 15 MSP, pemberian cairan pembersih lumut 2% (a

3) berbeda nyata dengan tanpa cairan

pembersih lumut (a1), namun tidak berbeda

nyata dengan pemberian 3% (a4). Pengaruh

mandiri pupuk anorganik baru terlihat pada pada pengamatan 13 MSP dan 15 MSP. Pada 13 MSP Pemberian pupuk organik sebesar 80% (b

2)

memberikan bobot kering lebih tinggi diband-ingkan dengan perlakuan lainnya.

Pengamatan 15 MSP menunjukkan bahwa pemberian pupuk anorganik 80% (b

2) berbeda

nyata dengan perlakuan 100% (b1) dan 60% (b

3),

namun tidak berbeda nyata dengan pemberian pupuk anoarganik sebesar 40% (b

4). Pemberian

pupuk anorganik sebesar 80% masih dapat me-ningkatkan bobot kering pucuk. Tidak terdapat-nya perbedaan yang nyata bobot kering pucuk pada pemetikan ke-1, 3, 5, 6, dan 7 atau penga-matan ke 12 MSP, 14 MSP,16 MSP, 17 MSP dan 18 MSP, diduga karena faktor penyerapan air dan unsur hara yang sangat terbatas pada musim kemarau. Curah hujan pada masa tersebut berada pada kisaran yang lebih kecil bila diband-ingkan dengan curah hujan pada 13, 15 MSP.

Keterbatasan air pada saat curah hujan ren-dah selain menyebabkan pupuk yang diberikan tidak larut dan tidak diserap akar tanaman, juga menyebabkan terjadinya penurunan kecepa-tan fotosintesis pada daun pemeliharaan. Saat kelembaban tanah kurang, tanaman kehilan-gan air lebih banyak dibandingkan yang dapat diserap oleh akar, sehingga daun akan mulai layu dan stomata menutup, fotosintesis menjadi menurun. Berkurangnya fotosintesis akan me-

nyebabkan berkurangnya produksi karbohidrat. Untuk menyerap unsur hara, akan memerlukan karbohidrat sebagai energi sehingga kekurangan air pada tanaman berakibat berkurangnya pe-nyerapan CO

2, air dan hara tanaman. Menurut

Loveless (1991), kekurangan air akan menyebab-kan dehidrasi protoplasma dalam daun, sehingga lambat laun stomata akan menutup dan akibat-nya pengambilan CO

2 menjadi terhambat.

SIMPULAN DAN SARANSimpulan1. Pemberian cairan pembersih lumut dan

pupuk anorganik berrpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman teh asal biji setelah dipangkas

2. Pengaruh mandiri cairan pembersih lumut menunjukkan bahwa konsentrasi 2% mem-berikan jumlah tunas (komponen hasil) serta bobot basah pucuk dan bobot kering pucuk (hasil) lebih tinggi dibandingkan konsentrasi 1% dan 3%. Demikian pula dengan pengaruh mandiri pupuk anorganik, dosis 80% menun-jukkan jumlah tunas, bobot basah pucuk dan bobot kering pucuk yang lebih tinggi diband-ingkan dosis 100%, 60% dan 40%.

Saran1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut men-

genai efektivitas pemberian cairan pembersih lumut dan pupuk anorganik pada tanaman teh lebih muda (di bawah umur 48 tahun) guna melihat pengaruhnya terhadap pertum-buhan dan hasil tanaman teh.

2. Disarankan waktu pengamatan yang diperpan-jang serta perlu diperhatikan cara pemberian pupuk anorganik dan cairan pembersih lumut dengan memperhatikan kondisi lingkungan di lapangan guna melihat pengaruh yang signifikan.

Page 27: Editor in Chief Associate Editors - UMY

Planta Tropika Journal of Agro Science Vol. 3 No. 2 / Agustus 2015

86

DAFTAR PUSTAKAArkat Agus Salim 2005. Basmilum –A2 Sebagai Alternatif

Pengendalian Picisan (Cyclophorus nummulari folius) pada Tanaman Teh di Kebun Percobaan PPTK Gambung. Laporan Penelitian (Tidak Dipublikasikan). Hal 1-6.

Asosiasi Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Indonesia. 2002. Petunjuk Kultur Teknis Teh. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Gambung. Bandung. 191 hal.

Insyaf Malik. 2007. Prospek Cerah Komoditi Teh. Tersedia Online di http://www.nafed.go.id Diakses 17 November 2007.

Isdiyanto dan Eko Pranoto. 2007. Basmilum –A2 Sebagai Alterna-tif Pengendalian Picisan (Cyclophorus nummularifolius) pada Tanaman Teh di Kebun Percobaan Simalungun, Sumatera Utara. Laporan Penelitian (Tidak Dipublikasikan). Hal 1-4.

Kullasegaram dan Kathirravetpillai. 1981. The Effect of Severity of Pruning on Growth and Yield Of High Country Seed Tea (Camellia Sinensis L.). Tea Q S0 (1):16-25

Loveless, A.R. 1991. Prinsip-prinsip Biologi Tumbuhan untuk Dae-rah Tropik 1 Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama : Jakarta

Pakpahan,A. 2000. Program Pembangunan Perkebunan di Indo-nesia. Prosiding Pertemuan Teknis Teh Nasional. Bandung, 8-9 November 1999. PPTK, Gambung. Hal 3-11.

Sugeng Winarso. 2005. Kesuburan Tanah ; Dasar Kesehatan dan Kualitas Tanah. Penerbit Gava Media. Yogyakarta. Hal 94-110.

Astika, W., D. Muchtar dan Sutrisno. 1985. Klon-Klon Baru Hasil Persilangan Buatan pada Tanaman Teh (Camellia sinensis). Lokakarya Teh Bandung 6(3/4):70-71

Sukasman. (1997). Peran Suhu Kelembaban Udara pada Budi-daya Teh dan Faktor-Faktor yang Berpengaruh. Warta Pusat Penelitian Teh dan Jina. 8:55.

Page 28: Editor in Chief Associate Editors - UMY

PENDAHULUANMagelang merupakan salah satu kabupaten

di Indonesia yang mempunyai potensi wisata yang cukup tinggi. Peninggalan sejarah dan kondisi alam yang indah, menyebabkan kabu-paten ini menjadi salah satu primadona wisata di Indonesia. Hal ini terlihat dari data tingginya jumlah wisatawan baik wisatawan nusantara maupun wisatawan mancanegara yang datang ke Magelang pada tahun 2006 terdapat 821.762 wisatawan, serta pada tahun 2007 meningkat mencapai 937.676 wisatawan (www.suarakarya.com, 2007). Peningkatan tersebut tak lepas dari dayatarik yang tinggi dan didukung oleh ke-amanan dan kenyamanan obyek wisata. Selain itu, kondisi sosial ekonomi wisatawan yang cen-derung membaik menjadi faktor penting dalam

upaya meningkatkan kunjungan wisatawan. Kawasan Kedung Kayang merupakan kawasan

kaki Gunung Merapi yang terletak di Desa Wonolelo Kecamatan Sawangan Magelang Jawa Tengah. Lokasi yang terletak 3 km dari Gardu Wisata Ketep Pass ini dilatarbelakangi view Gunung Merapi. Kedung Kayang juga memiliki air terjun dengan tinggi 40 m., serta memiliki medan terjal yang menantang (www.pemkab, magelang.go.id, 2002). Adanya potensi pertanian dan potensi alam yang meliputi bumi perkemah-an serta daerah pegunungan dengan pemandan-gan alam yang indah dan udara yang sejuk dapat membuat suasana nyaman bagi wisatawan dan menambah daya tarik di wisata Kedung Kayang.

Selain mempunyai potensi wisata alam yang

Identifikasi Potensi Pengembangan Lanskap Wisata Pertanian di Kawasan Kedung Kayang Kabupaten Magelang

DOI 10.18196/pt.2015.044.87-93

Lis Noer AiniProgram Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Jl. Lingkar Selatan, Kasihan, Bantul, Yogyakarta 55183, Indonesia, Telp. 0274 387656,

e-mail: [email protected]

ABSTRAKPenelitian ini bertujuan mengidentifikasi potensi pengembangan Kedung Kayang sebagai daerah agrowisata untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Kedung Kayang dan sekitarnya. Penelitian ini menggunakan metode survey dengan metode observasi dan kuesioner. Data primer maupun sekunder dianalisis secara deskriptif dan spasial, Data primer terdiri dari persepsi tentang Kedung Kayang, sementara data sekunder meliputi peta wilayah Magelang, letak geografis, jenis tanah, topografi, kondisi iklim dan sosial masyarakat Kedung Kayang dan sekitarnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa wilayah Kedung Kayang memiliki potensi alam seperti air terjun, pemandangan Gunung Merapi, sungai, topografi, bumi perkemahan dan potensi pertanian. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa Kedung Kayang berpotensi menjadi daerah agrowisata.Kata kunci: Identifikasi potensi, Agrowisata, Kedung Kayang

ABSTRACTThe research aims to identify the development potential of Kedung Kayang as agritourism area to increase society welfare Kedung Kayang and vinicity. The method of this research was survey method by using observation and questioner. The data were analyzed descriptively and spatially, with primary and secondary data. Primary data consisted of perception about Kedung Kayang, while secondary data consisted of Magelang map, geographical position, soil kind, topography, climate and society social condition of Kedung Kayang and vinicity. The result of this research showed that Kedung Kayang area has natural potential i.e: waterfall, Merapi view, river, topograph, camping ground, and agricultural potential. The result of identification showed that Kedung Kayang has potential to be an agrotourism area.Keywords: Potential identification, Agritourism, Kedung Kayang

Planta Tropika Journal of Agro Science Vol 3 No 2 / Agustus 2015

Page 29: Editor in Chief Associate Editors - UMY

Planta Tropika Journal of Agro ScienceVol. 3 No. 2 / Agustus 2015

88

cukup indah dan tidak kalah menarik dengan potensi wisata alam yang ada di Magelang, kawasan ini mempunyai sumber daya alam yang sangat memadai yaitu adanya penyimpanan kandungan lengas air di dalam tanah dan tanah yang subur, sehingga dapat memaksimalkan hasil pertanian terutama untuk mengembangkan komoditas-komoditas yang ditunjukkan pada Tabel 1. Banyaknya hasil-hasil pertanian unggu-lan seperti cabe merah, kobis, buncis di kawasan Kedung Kayang dapat menjadikan kawasan ini berpotensi untuk pengembangan Agrowisata. Se-lain itu juga terdapat komoditas lain di kawasan Kedung Kayang seperti stroberi.

Tabel 1. Pengaruh Cairan Pembersih Lumut dan Pupuk Anorganik terhadap Jumlah Tunas

No. Jenis Komoditas

Tahun

2004 2005

Luas Luas

Panen (Ha)

Produksi (Kw)

Panen (Ha)

Produksi (Kw)

1. Wortel 27 2.869 31 2.387

2. Kacang Panjang 80 3.226 74 3.551

3. Ketimun 25 6.025 37 8.338

4. Cabe Merah 231 15.140 203 15.110

5. Tomat 189 28.043 182 29.944

6. Padi sawah - - 3,43 51,10

7. Jagung 365 255.500 1,08 46,18

8. Kentang 19 3.436 54 10.837

9. Kobis 185 33.206 196 36.551

10. Sawi 70 8.503 42 5.184

11. Terong 38 3.525 47 5.093

12. Buncis 87 6.040 103 9.908

Sumber : Monografi Desa Wonolelo pada tahun 2005

Selain kegiatan pertanian, kehidupan sosial masyarakat di wilayah ini cukup baik dan sangat kondusif. Hal ini ditunjukkan dari sikap ma-syarakat yang menekankan pada prinsip keru-kunan, tolong menolong, dan gotong royong menjadi modal dasar yang sangat penting bagi pengembangan kawasan ini.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas dik-

etahui bahwa kawasan Kedung Kayang memiliki potensi sangat besar untuk dijadikan kawasan agrowisata, oleh karena itu perlu dilakukan pene-litian lebih lanjut tentang identifikasi potensi wisata Kedung Kayang sehingga dapat memu-dahkan dalam pengembangan kawasan Kedung Kayang menjadi kawasan Agrowisata.

BAHAN DAN METODEPenelitian dilakukan menggunakan metode

survei, yang teknis pelaksanaannya dilakukan dengan observasi, kuesioner dan pengumpulan data sekunder dianalisis secara deskriptif dan spasial. Analisis deskriptif dimaksudkan untuk memberikan penjelasan dan uraian berdasar-kan data dan informasi yang diperoleh selama penelitian. Menurut Nawawi (1995), metode deskriptif diartikan sebagai prosedur pemeca-han masalah dengan menggambarkan keadaan subyek/obyek penelitian berdasarkan fakta-fakta yang tampak dan usaha mengemukakan hubun-gan satu dengan yang lain di dalam aspek yang diselidiki. Sementara analisis spasial dilakukan untuk membuat zonasi kawasan berdasarkan potensi yang diperoleh. Observasi dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang kondisi eksisting wilayah, yang akan menggambarkan kondisi kawasan tersebut. Hal-hal yang menjadi perhatian dalam observasi ini adalah identifikasi potensi, pemanfaatan lahan, keadaan alamiah kawasan pegunungan dan kondisi sosial. Data yang akan diperoleh dalam observasi ini berupa data kualitatif dan gambaran umum serta hasil pemotretan yang dapat mewakili kondisi wilayah keseluruhan.

Pengambilan sampel responden dilakukan dengan metode Stratifid random sampling, yaitu Stratifid artinya strata atau kedudukan subjek (seseorang) di masyarakat, digunakan untuk mengetahui beberapa variabel pada populasi

Page 30: Editor in Chief Associate Editors - UMY

89

yang merupakan hal yang penting untuk men-capai sampel yang representatif. Selanjutnya dengan menggunakan metode purposive, yaitu pengambilan sempel dengan sengaja dipilih dari populasi berdasarkan tujuan penelitian. Penye-baran kuesioner dilakukan dengan memberikan sejumlah daftar pertanyaan kepada penduduk setempat, pedagang, pengelola, pengunjung Kedung Kayang dan pengunjung di obyek wisata Ketep Pass yang berjumlah 150 kuisioner akan tetapi yang terisi hanya 101 kuisioner, ini dikare-nakan ada responden yang tidak mau mengisi, dengan asumsi dapat mewakili sifat populasi secara keseluruhan. Hasil observasi dan penyeba-ran kuesioner perlu didukung oleh data menge-nai batas-batas wilayah, luas, ketinggian tempat, topografi, iklim, jenis tanah, suhu udara, hari hujan, curah hujan, kecepatan angin, kondisi sosial masyarakat yang dicatat dalam angka serta peta, sehingga memperkuat gambaran sosial masyarakat dan kondisi geografis wilayah. Data sekunder yang diperlukan diperoleh dari instansi terkait, diantaranya BAPPEDA dan Dinas Pari-wisata.

HASIL DAN PEMBAHASANKondisi Fisik Kawasan Kedung Kayang

Kedung Kayang merupakan kawasan pegu-nungan yang terletak di Desa Wonolelo, Keca-matan Sawangan, Kabupaten Magelang. Kondisi topografis Kedung Kayang merupakan cekungan yang dikelilingi oleh dua gunung yaitu Gunung Merbabu dan Merapi

Topografi kawasan ini mulai dari landai hingga berbukit dan bergunung-gunung. Kondisi lingkungan fisik Kedung Kayang dan sekitarnya, terdiri dari 2 wilayah berdasarkan perbedaan relief medannya, yaitu di sebelah utara terdapat dataran tinggi yang menyempit di antara dua buah gunung, yakni Gunung Merapi dan Gu-

nung Merbabu. Kondisi ini menjadikan sebagian besar wilayahnya merupakan lahan subur karena berlimpahnya sumber air dan sisa abu vulkanik. Oleh karena itu tidak mengherankan jika Ke-dung Kayang mempunyai potensi pertanian yang subur. Bagian selatan, lereng Merapi terus turun dan melandai hingga ke pantai selatan di tepi Samudera Hindia, melintasi wilayah kota Yogya-karta. Sebelum kaki gunung, terdapat dua bukit yaitu Bukit Turgo dan Bukit Plawangan yang merupakan bagian kawasan wisata Kaliurang serta terdapatnya 1.350,6 hektar hutan Negara (Pemda. Sawangan, 2006).

Tanah yang berada di kawasan Kedung Kayang didominasi oleh tanah litosol coklat dan andosol coklat, seperti kebanyakan daerah-daerah di lereng gunung di Indonesia. Dengan kandungan unsur hara yang cukup tinggi, sistem pertanian yang dilakukan bisa lebih dari satu ma-cam, yaitu dengan sistem monokultur maupun dengan sistem tumpang sari.

Kondisi alam yang demikian indah tersebut, berdasarkan kajian wisata di Kecamatan Sawan-gan dapat dikatakan bahwa obyek wisata Kedung Kayang memiliki potensi terbesar atau meru-pakan daya tarik utama dibanding obyek-obyek wisata di sekitarnya. Suasana alam dapat dinik-mati pemandangan alam yang sangat menarik. Salah satu keunikan dari Kedung Kayang adalah view air terjun dan sungai yang dapat terlihat dari bagian atas dan bawah, dan salah satu daya tarik tersendiri bagi wisatawan (Pemda. Sawangan, 2006).

Kondisi Sosial Masyarakat Kedung KayangPenduduk Kedung Kayang sebagian besar

bermata pencaharian sebagai petani, baik pet-ani sendiri maupun buruh tani. Jenis tanaman yang dibudidayakan oleh petani Kedung Kayang adalah padi, jagung dan sayur-sayuran (cabe

Page 31: Editor in Chief Associate Editors - UMY

Planta Tropika Journal of Agro ScienceVol. 3 No. 2 / Agustus 2015

90

merah, kubis, buncis). Usaha pertanian khusus-nya sayur-sayuran di Kedung Kayang telah dapat memperbaiki kondisi perekonomian masyarakat.

Sebagian besar penduduk Kedung Kayang berpendidikan SD, akibat dari rendahnya pendidikan tersebut penduduk Kedung Kayang keadaan perekonomian atau penghasilan yang didapat tidak terpenuhi secara maksimal. Ket-rampilan yang dimiliki sangat rendah sehingga lapangan pekerjaan terbatas, hanya mengandal-kan pekerjaan pertanian yang keberadaannya tidak cukup untuk menyejahterakan semua ma-syarakat Kedung Kayang. Upaya yang dilakukan untuk memperbaiki perekonomian masyarakat melalui pengembangan pertanian dan pendi-dikan, karena dengan pendidikan diharapkan penduduk Kedung Kayang akan lebih berkuali-tas. Sementara untuk pengembangan perta-nian dapat menonjolkan budaya lokal dalam memanfaatkan lahan, kita bisa meningkatkan kenyamanan, keindahan ataupun pengetahuan petani sambil melestarikan sumber daya lahan, serta memelihara budaya maupun teknologi lokal yang umumnya telah sesuai dengan kondisi lingkungan alami Kedung Kayang.

Selain memberikan nilai kenyamanan, kein-dahan ataupun pengetahuan, pertanian juga dapat mendatangkan pendapatan bagi petani serta masyarakat di sekitarnya. Adanya kesada-ran petani akan arti pentingnya kelestarian sumber daya, kelanggengan produksi menjadi terjaga yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan petani. Bagi masyarakat sekitar, dengan banyaknya kunjungan wisatawan, mereka dapat memperoleh kesempatan berusaha dengan menyediakan jasa dan menjual produk yang di-hasilkan untuk memenuhi kebutuhan wisatawan Kedung Kayang. Akan tetapi, kesulitan yang dihadapi petani daerah Kedung Kayang karena nasib para petani lebih banyak ditentukan oleh

pedagang di kota-kota besar yang menentukan harga, sehingga keadaan perekonomiannya belum maksimal. Untuk mengatasi permasala-han tersebut perlu diciptakan pasar bagi produk-produk pertanian, sehingga petani Kedung Kay-ang dapat mudah dalam usaha penjualan hasil panen dan masyarakat petani Kedung Kayang dapat menentukan harga bahkan wisatawan yang berkunjung akan langsung menjadi konsumen produk pertanian yang dihasilkan, sehingga pemasaran hasil menjadi lebih efisien.

Identifikasi Potensi Lanskap Wisata Kedung KayangDalam pengelolaan suatu kawasan wisata

perlu dilakukan identifikasi untuk mendapatkan suatu rencana kawasan.

Potensi AlamKawasan Kedung Kayang terletak di daerah

Pegunungan mulai dari landai hingga berbukit dan bergunung-gunung serta tebing yang terjal. Topografi bergelombang dengan sudut kemirin-gan antara 30% hingga 70%. Ketinggian tempat 600 – 2.968 meter di atas permukaan, dilatar-belakangi oleh dua gunung kembar Merbabu dan Merapi. Kedung Kayang juga mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau ekosistem, gejala alam serta formasi geologi yang menarik, yang terdiri dari batuan dan tanah vul-kanik. Dengan kondisi geografis yang beragam seperti ini menjadikan Kedung Kayang memiliki view yang indah serta berhawa sejuk, yang bisa dijadikan potensi wisata utama Kedung Kayang. Di obyek wisata Kedung Kayang ini pariwisata dapat bermain air, menikmati pemandangan, bersantai, menyusuri sungai menuju bawah air terjun atau hanya sekedar menikmati air terjun dari atas saja. Selain itu wisatawan juga dapat melakukan kegiatan berkemah, bagi yang menyu-kai pertualangan dapat juga melakukan out bond

Page 32: Editor in Chief Associate Editors - UMY

91

di obyek wisata ini. Air terjun Kedung Kayang berada di kawasan

pegunungan dengan view yang indah sejuk dan nyaman, dengan ketinggian air terjun 40 m. Sumber air terjun berasal dari aliran sungai Pabelan yang berasal dari Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Air terjun Kedung Kayang ini memiliki kelebihan yaitu bisa dilihat dari atas dan juga dari bawah dengan jalan yang terjal untuk melihat dari bagian bawah. Adanya mitos di masyarakat bahwa terdapatGoa di belakang air terjun dengan lebar 2 meter dan tinggi 2,5 dengan panjang tak terbatas (tidak dapat dik-etahui) karena tidak ada ujungnya, serta adanya sungai dan batu-batuan kali di bagian bawah me-nambah keasrian wisata, kondisi sungai tersebut dapat dikembangkan menjadi wisata pertualan-gan penyelusuran sungai mulai dari bumi perke-mahan sampai air terjun.

Bumi Perkemahan Kedung Kayang memiliki potensi wisata alam karena pemandangan yang indah, udara yang sejuk, dan susunan tanah yang bergelombang sehingga menambah ketertarikan wisatawan untuk melakukan kegiatan camping dan berpotensi untuk dijadikan wisata outbond di sekitar wilayah tersebut

Kondisi alam Kedung Kayang yang demikian indah, meliputi kondisi fisik topograpi mulai dari landai hingga berbukit dan bergunung-gunung yang membentang mengelilingi kawasan wisata Kedung Kayang dengan view Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Bentuk topografi seperti ini terjadi secara alamiah sehingga ke-beradaannya merupakan suatu fenomena alam yang menarik yang dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung. Ketinggian bukit ± 50 meter dengan kondisi relif dinding yang terjal berpotensi untuk dijadikan wisata panjat tebing dan juga flying fox.

Potensi SosialDaerah Kedung Kayang merupakan dae-

rah potensial untuk sektor pertanian. Tingkat pengetahuan masyarakat akan pengembangan tanaman khususnya tanaman hortikultura cukup baik, hal ini terlihat jenis tanaman yang dihasil-kan berupa sayur–sayuran dan buah–buahan seperti stroberi dengan tingkat produksi yang tinggi. Walaupun mayoritas penduduk Kedung Kayang bekerja dalam sektor pertanian, namun penduduk Kedung Kayang masih mendapat tam-bahan penghasilan dari adanya kegiatan wisata Kedung Kayang, seperti menjadi pedagang.

Tabel 2. Pengetahuan Masyarakat terhadap Wisata Kedung Kayang

No. Pengetahuan Tanggapan Masyarakat Jumlah %

1. Keberadaan Kedung Kayang Tahu

Tidak tahu

79

22

78,21

21,78

2. Kesukaan Berkunjung Air terjun

Bumi perkemahan

Kawasan pertanian

Lainnya

74

26

21

13

55,22

19,40

15,67

9,70

3. Sumber Informasi Mudah

Sulit

65

30

68,08

31,47

4. Jalur Akses Menuju Kedung Kayang Mudah dijangkau

Sulit

64

30

68,08

31,91

5. Adanya Kendaraan Umum Menuju Kedung Kayang

Ada, dan banyak

Ada, tetapi terbatas

Tidak ada Lainnya

26

29

5

10

28,88

32,22

5,55

11,11

6. Akses di Dalam Kawasan Mudah

Sulit

54

42

56,25

43,75

7. Perbaikan Fasilitas Perlu

Tidak perlu

92

2

97,91

2,08

Keberadaan wisata Kedung Kayang di antara wisata lainnya di Kabupaten Magelang, tidak lantas membuat masyarakat Magelang melu-pakan kehadiran wisata ini. Wisata yang terle-tak di Desa Wonolelo, Kecamatan Sawangan ini memiliki berbagai potensi fisik dan potensi sosial yang spesifik, menjadikan wilayah ini lebih berkembang pesat untuk kegiatan pariwisata

Page 33: Editor in Chief Associate Editors - UMY

Planta Tropika Journal of Agro ScienceVol. 3 No. 2 / Agustus 2015

92

dibandingkan wisata alam lain di Magelang. Pengetahuan responden terhadap keberadaan Potensi yang terdapat di kawasan wisata Kedung Kayang disajikan pada Tabel 2.

Potensi fisik di kawasan Kedung Kayang yaitu morfologi kawasan mulai dari bentuk topografi kawasan yang berbukit-bukit karena dilatarbe-lakangi oleh Gunung Merapi, susunan geologi dan iklimnya. Sementara kondisi sosial meliputi kegiatan yang sering dilakukan secara tradision-al, kehidupan masyarakat sekitar kawasan wisata, peran masyarakat dan lain sebagainya.

Kurangnya kepedulian pemerintah setem-pat akan keberadaan wisata Kedung Kayang membuat penataan kawasaan wisata Kedung Kayang kurang tertangani, sehingga perlu pena-taan. Berdasarkan Tabel 2 menunjukkan bahwa kawasan wisata Kedung Kayang sudah cukup dikenal yang ditunjukkan dari 78,21 % dari 101 responden tahu keberadaan Kedung Kayang. Kedung Kayang mempunyai potensi pertanian sayur mayur dan buah-buahan yang unggul, dan potensi alam seperti: wisata air terjun, sungai, bumi perkemahan dan view Gunung Merapi dan Merbabu yang menambah keasrian wisata Kedung Kayang. Obyek yang menarik bagi wisa-tawan di kawasan wisata Kedung Kayang adalah air terjun 55,22 %, bumi perkemahan 19,4 %, kawasan pertanian 15,67 % dan yang lainnya sebanyak 9,70 %. Hal ini membuktikan sampai saat ini wisatawan sebagian besar ingin menik-mati panorama air terjun dibandingkan dengan yang lainnya.

Di sisi lain 97,91 % responden mengingink-an penataan atau perbaikan fasilitas kawasan Kedung Kayang agar kenyamanan dalam berkun-jung menjadi sesuatu yang terpuaskan. Penataan kawasan ini dapat dilakukan dengan kepedulian pemerintah dalam penanganan perbaikan kondi-

si Kedung Kayang, serta keterlibatan masyarakat setempat dalam pengelolaan wisata Kedung Kayang seperti penataan jalan yang masih terjal untuk menuju lokasi, kebersihan lingkungan, dan penertiban pedagang, sehingga dengan cara ini dapat membuat suasana pengunjung merasa nyaman dan tertata dengan baik.

Potensi AgrowisataKedung Kayang mempunyai potensi untuk

dikembangkan menjadi kawasan agrowisata. Aset penting untuk menarik kunjungan wisatawan adalah keaslian, keunikan, kenyamanan, dan keindahan alam dalam bentuk hijaunya sayur mayur yang berada di sekitar kawasan Kedung Kayang. Pertanian hortikultura di sekitar Ke-dung Kayang turut andil dalam menarik minat pengunjung. Kondisi cuaca yang sejuk membuat pengunjung cukup menikmati panorama sekitar. Tingkat pengetahuan masyarakat akan pengem-bangan tanaman khususnya tanaman hortikul-tura cukup baik, hal ini terlihat jenis tanaman yang dihasilkan berupa sayur–sayuran (cabe merah, kubis, buncis) dan buah seperti stroberi dengan tingkat produksi tinggi. Kondisi fisik Ke-dung Kayang berada di dataran tinggi 1500-2000 m di atas permukaan laut, curah hujan 2.177 mm, hari hujan 172 hh, tipe iklim C, suhu 22-25°C, kecepatan angin 5,1 km/jam, jenis tanah litosol coklat dan andosol coklat, berpotensi untuk dikembangkan komoditas buah-buahan dan bunga selain komoditas yang sudah ada di Kedung Kayang dan sesuai dengan kondisi fisik kawasan Kedung Kayang sehingga dapat menam-bah pendapatan petani dan menambah potensi atau daya tarik untuk dijadikan kawasan agrow-isata. Komoditas buah-buahan dan bunga yang bisa dikembangkan di Kedung Kayang antara lain : buah jeruk, buah melon, buah kesemek,

Page 34: Editor in Chief Associate Editors - UMY

93

bunga krisan dan bunga mawar.Pengembangan potensi pertanian yang sudah

ada menjadi modal besar untuk dijadikannya ka-wasan wisata Kedung Kayang menjadi agrowisata dan kualitas lingkungan menjadi modal pent-ing yang harus dijaga dan dikelola mengingat pentingnya nilai kualitas lingkungan tersebut. Masyarakat atau petani setempat perlu diajak untuk selalu menjaga keaslian, kenyamanan, dan kelestarian lingkungannya.

Dari 141 responden, 41,37 % mengenal kawasan Kedung Kayang sebagai kawasan po-tensi alam, berupa air terjun, pemandangan dan sungai. 19,31 % responden mengenal kawasan ini sebagai kawasan pertanian serta 15,17 % responden mengenal sebagai kawasan Bumi Perkemahan. Responden yang menyatakan Kedung Kayang sebagai kesatuan dengan Wisata yang lain sebanyak 15,86 %, sedangkan 5,51 % responden menyatakan sebagai potensi kegiatan kebudayaan masyarakat (Tabel 3). Mengingat be-ragamnya bentuk morfologi serta kondisi wilayah Kedung Kayang yang unik, berupa keragaman budaya atau adat yang berkembang disana dapat dijadikan sebagai potensi wisata.

Tabel 3. Potensi Kedung KayangNo. Macam Potensi Jumlah %

1. Potensi Alam (air terjun, pemandangan, sungai) 60 41,37

2. Potensi Pertanian 28 19,31

3. Bumi Perkemahan 22 15,17

4. Kesatuan dengan Wisata yang lainya 23 15,86

5. Kegiatan-Kebudayaan Masyarakat 8 5,51

Dalam mengembangkan suatu kegiatan wisata perlu adanya hak pengelolaan kawasan wisata, baik dari pemerintah daerah, masyarakat se-tempat serta pengelola kawasan wisata Kedung Kayang.

SIMPULAN1. Kedung Kayang memiliki potensi untuk

dikembangkan menjadi kawasan agrowisata berupa air terjun, view Gunung Merapi, sun-gai, bentuk topografi dan bumi perkemahan.

2. Masyarakat Kedung Kayang mendukung pengembangan agrowisata di wilayahnya.

DAFTAR PUSTAKADisparbud Magelang. Dinas Pariwisata Budaya Magelang. 2002.

kondisi pertanian Dalam www.magelang.go.id . 25 Juli 2007Suwantoro,G.2002.Bentuk Wisata. Dalam http:// www.

suaramerdeka.com. 2 Juni 2007.

Page 35: Editor in Chief Associate Editors - UMY

PENDAHULUANTanaman padi (Oriza sativa L.) merupakan

salah satu komoditi utama yang menjadi bahan pokok pangan. Laju peningkatan produktivitas padi dalam beberapa tahun terakhir cenderung menurun. Penyebabnya antara lain adalah terba-tasnya varietas padi yang mampu menghasilkan produksi yang lebih. Varietas padi yang berkem-bang di petani saat ini adalah Cisadane, IR64, Membramo, Maros, dan Ciherang. Usaha untuk meningkatkan produktivitas padi perlu didu-kung oleh penerapan teknik budidaya yang tepat seperti penggunaan benih bermutu, pengolahan tanah, pemupukan, pengendalian hama penyakit

serta lingkungan tumbuh yang optimal. Pemupukan pada dasarnya adalah usaha

memenuhi kebutuhan tanaman akan unsur hara agar berbagai proses fisiologi tanaman yang terjadi di daun dapat berjalan sempurna dan meningkatkan hasil produksi tanaman secara kualitas dan kuantitas. Pemupukan dapat di-lakukan dengan menggunakan pupuk anorganik padat seperti Urea, SP-36 dan KCl dan pupuk organik yang berupa pupuk cair. Dengan meng-gunakan pupuk, unsur hara yang ada di dalam tanah akan bertambah sehingga pertumbuhan tanaman menjadi lebih optimal, serta mening-

Pemakaian Pupuk Organik Cair Sebagai Dekomposer dan Sumber Hara Tanaman Padi (Oriza sativa L.)

DOI 10.18196/pt.2015.045.94-99

Bambang Heri Isnawan* dan Nafi Ananda Utama Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Jl. Lingkar Selatan, Kasihan, Bantul, Yogyakarta 55183, Indonesia, Telp. 0274 387656,

*Corresponding author, e-mail: [email protected]

ABSTRAKPenelitian ini bertujuan untuk menentukan pupuk organik cair sebagai dekomposer dan sumber hara pada tanaman padi (Oriza sativa L.). Penelitian ini dilaksanakan di desa Wirokerten, Botokenceng, Bantul, Yogyakarta. Penelitian dilaksanakan menggunakan metode percobaan yang disusun secara fakto-rial dalam rancangan acak kolompok lengkap (RAKL) dengan 3 ulangan. Faktor pertama adalah pupuk organik air (POC) yang terdiri atas perlakuan POC dan dengan POC. Faktor kedua adalah dosis SRI yang terdiri dari 25% SRI, 50% SRI, 75% SRI, dan 100 % SRI. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa POC sebagai dekomposer dan sumber nutrisi dengan dosis 10 l/Ha pupuk Makro dan 5 l/Ha pupuk Mikro tidak terdapat beda nyata untuk meningkatkan pertumbuhan dan hasil pada tanaman padi. POC dengan dosis 75 % SRI signifikan dalam meningkatkan jumlah daun dibandingkan dengan 25 % dan 100 % SRI. Dosis 25 % dan 100% SRI dengan penambahan POC dapat meningkatkan secara signifikan berat 1000 biji. Dosis perlakuan SRI tidak signifikan meningkatkan hasil tanaman padi per hektar.Kata Kunci: Pupuk organik cair, Dekomposer, Dosis SRI

ABSTRACTA research to determine the effects of liquid organic fertilizer as a decomposer and nutrition source on the growth of rice plant (Oriza sativa L.). This research was conducted in Wirokerten, Botokenceng, Bantul, Yogyakarta. Field experiment was arranged using Randomized Completely Block Design with 2 factors and three replications. The first factor was liquid organic fertilizer, consist of liquid organic fertilizer and witout liquid organic fertilizer. The second factor was the doses of SRI, consist of 25% SRI, 50% SRI, 75% SRI and 100% SRI (urea fertilizer 350 kg/ha, 150 kg/ha of SP-36 fertilizer and 150 kg/ha of KCl fertilizer). The result showed that the liquid organic fertilizer with dose 10 l/ha macro fertilizer and 5 l/ha micro fertilizer were not significantly increased the growth and yield of rice plant. Liquid organic fertilizer with dose 75% SRI was significantly increased the leaf number than dose of 25% and 100% SRI. Doses 25% and 100% of SRI with application the liquid organic fertilizer was significantly increased the weight of 1000 seeds. Doses of SRI was not significantly increased the rice yield per hectar.Keywords: Liquid organic fertilizer, Decomposer, SRI Doses

Planta Tropika Journal of Agro Science Vol 3 No 2 / Agustus 2015

Page 36: Editor in Chief Associate Editors - UMY

95

katkan hasil panen.Padi sawah merupakan konsumen pupuk

terbesar di Indonesia. Efisiensi pemupukan tidak hanya berperan penting dalam meningkatkan pendapatan petani, tetapi juga terkait dengan keberlanjutan sistem produksi (Suwono, dkk, 2007). Pemupukan yang tidak efisiensi dise-babkan oleh terkurasnya unsur hara lain akibat pemupukan nitrogen dan fosfor yang berlebihan, sehingga terjadi ketidak-seimbangan unsur hara di dalam tanah. Sehingga dibutuhkan konsep pemupukan yang berimbang (Fagi dan Makarim, 1990 cit. Suwono, dkk.,2007).

Penggunaan pupuk yang efisien pada dasarnya adalah memberikan pupuk baik unsur hara makro maupun mikro dengan jumlah, macam dan bentuk yang sesuai dengan kebutuhan tanaman, dengan cara dan saat pemberian yang tepat sesuai dengan tingkat kebutuhan tanaman. Luasnya keragaman karakteristik dan produktivi-tas lahan di Indonesia, rekomendasi pemupukan berimbang untuk padi tidak lagi bersifat nasi-onal, tetapi harus bersifat spesifik lokasi.

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh pemakaian pupuk organik cair sebagai dekomposer dan sumber hara tanaman padi, untuk mendapatkan dosis Urea, SP-36, dan KCl yang paling tepat dalam meningkatkan pertumbuhan dan kualitas hasil tanaman padi, dan untuk mengetahui kombinasi POC dan Pupuk buatan yang paling tepat dalam meningkatkan pertumbuhan dan kualitas hasil tanaman padi.

BAHAN DAN METODEPenelitian ini dilaksanakan di lahan milik

rakyat Wirokerten, Boto Kenceng, Imogiri Barat Bantul Yogyakarta. Bahan yang digunakan berupa Benih padi varietas Ciherang, pupuk kandang, POC dan pupuk an-organik berstan-

dar SRI. Sedangkan alat yang digunakan yaitu: alat bajak, cangkul, pipet ukur untuk mengukur kebutuhan pupuk cair, sprayer digunakan untuk menyemprot pupuk cair, meteran/penggaris untuk mengamati tinggi tanaman, timbangan alat tulis, oven. Penelitian dilaksanakan meng-gunakan metode percobaan yang disusun dalam Rancangan Acak Kolompok Lengkap (RAKL) atau Randomized Complete Block Design (RCBD) dengan 3 blok sebagai ulangan. Faktor pertama yaitu penggunaan POC yang terdiri dari tanpa penggunaan dan penggunaan POC. Faktor yang kedua yaitu 25 %, 50%, 75%, 100% dosis SRI. Dosis SRI yang digunakan adalah 350kg/ha Urea, 150 kg/ha SP-36, dan 150 kg/ha KCl.

Dengan demikian kombinasi perlakuan seb-agai berikut:P0S1 = Tanpa POC dan 25% SRIP0S2 = Tanpa POC dan 50% SRIP0S3 = Tanpa POC dan 75% SRIP0S4 = Tanpa POC dan 100% SRIP1S1 = Dengan POC 10 l/ha makro+ 5 l/ha

mikro dan 25% SRIP1S2 = Dengan POC 10 l/ha makro + 5 l/ha

mikro dan 50% SRIP1S3 = Dengan POC 10 l/ha makro + 5 l/ha

mikro dan 75% SRIP1S4 = Dengan POC 10 l/ha makro + 5 l/ha

mikro dan 100% SRI

Pelaksanaan Percobaan meliputi proses Persia-pan lahan, pemberian perlakuan, penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan. Pada persiapan lahan dilakukan beberapa kegiatan antara lain mempersiapkan benih yang akan dibudidayakan, tempat persemaian, irigasi untuk pengairan yang memadai, dan pengolahan tanah.

Pada proses pemberian perlakuan dilakukan dengan cara menggenangi lahan yang sudah diolah menggunakan air yang dicampur den-

Page 37: Editor in Chief Associate Editors - UMY

Planta Tropika Journal of Agro ScienceVol. 3 No. 2 / Agustus 2015

96

gan POC 10 l/ha makro dan 5 l/ha mikro dan dibiarkan selama 7 hari untuk mempercepat pembusukan sisa-sisa tanaman yang masih ada dan melunakkan bongkahan tanah.

Pada proses penanaman dilakukan dengan menggunakan bibit berumur 2 minggu dalam keadaan air macak-macak, dengan jarak tanam 30 cm x 30 cm dan setiap lubangnya ditanami 1 bibit dengan metode tanam vertikal-horisontal (L) sehingga jumlah populasi tiap petak terdiri dari 100 rumpun padi. Pemupukan dilakukan setelah petak-petak perlakuan dibuat. Dosis pupuk organik cair makro 10 l/ha atau 9 ml per petak perlakuan. Sedangkan pupuk organik cair makro 5 l/ha atau 4,5 ml per petak dicampur, lalu kemudian di aplikasikan bersamaan dengan pupuk kandang 3 ton/ha atau 2,7 kg per petak untuk perlakuan 100 % SRI, 2,025 kg per petak pada perlakuan 75 % SRI, pada perlakuan 50 % yaitu 1,35 kg per petak, dan 0,675 kg per petak pada perlakuan 25 %.

Pemberian pupuk organik standar SRI yang digunakan meliputi urea 350 kg/ha pada per-lakuan 25 % yaitu 78,75 g per petak, perlakuan 50 % yaitu 157,5 g per petak, perlakuan 75 % yaitu 236,25 g per petak dan pada perlakuan 100 % dibutuhkan 315 g per petak. Kebutuhan SP 36 yaitu 150 kg/ha atau 135 g per petak pada perlakuan 100 %, pada perlakuan 75 % yaitu 101,25 g per petak, perlakuan 50 % yaitu 67,5 g per petak dan pada perlakuan 25 % yaitu 33,75 g untuk setiap petak. Untuk kebutuhan KCl sama dengan kebutuhan SP 36 yaitu 150 kg/ha atau 135 g per petak pada perlakuan 100 %, pada perlakuan 75 % yaitu 101,25 g per petak, perlakuan 50 % yaitu 67,5 g per petak dan pada perlakuan 25 % yaitu 33,75 g untuk setiap petak. Pemeliharaan meliputi, penyiangan, pen-gairan agar tetap terjaga kelembaban. Penyiangan pertama dilakukan pada umur 21 hari setelah

tanam, sedangkan penyiangan kedua dilakukan pada umur 42 hari setelah tanam. Penyiangan dilakukan apabila sudah mulai tumbuh gulma dan dilakukan secara manual. Pemanenan pene-tapan waktu panen dilakukan setelah tanaman tua dengan di tandai menguningnya semua bulir secara merata atau masaknya gabah.

Parameter pengamatan pada pertumbuhan meliputi, tinggi tanaman, panjang tajuk, jumlah daun per rumpun, jumlah anakan per rumpun, berat segar tanaman, berat segar tajuk, berat ker-ing tanaman, berat kering tajuk, panjang akar, berat segar akar, berat kering akar. Sedangkan pada komponen hasil meliputi jumlah malai per rumpun, jumlah biji per rumpun, berat biji per rumpun, berat 1000 biji, dan hasil gabah (ton/ha).

Setelah semua data terkumpul, dianalisis menggunakan sidik ragam pada taraf á 5 %. Apa-bila ada beda nyata dilakukan pengujian lanjut dengan Duncan’s Multiple Range Test pada taraf á 5 %.

HASIL DAN PEMBAHASANKomponen Pertumbuhan

Hasil sidik ragam terhadap tinggi tanaman padi menunjukkan bahwa antar perlakuan dosis SRI dan pemberian pupuk organik cair tidak ada interaksi. Data pengamatan Tinggi tana-man, Panjang Tajuk, Jumlah Daun dan Jumlah Anakan disajikan dalam Tabel 1. Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan bahwa semua perlakuan memberikan pengaruh sama terhadap parameter tinggi tanaman. Pertumbuhan tinggi tanaman pada tanaman padi banyak dipengaruhi oleh ketersediaan unsur hara makro dan mikro. Hasil sidik ragam terhadap panjang tajuk padi menun-jukkan bahwa antar perlakuan dosis SRI dan pemberian pupuk organik cair tidak ada inter-aksi.

Page 38: Editor in Chief Associate Editors - UMY

97

Tabel 1. Rerata Tinggi Tanaman, Panjang Tajuk, Jumlah Daun dan Jumlah Anakan

Perlakuan Tinggi Tanaman (cm)

Panjang Tajuk (cm)

Jumlah Daun per Rumpun

Jumlah Anakan per Rumpun

Tanpa POC 51.36 a 69.54 a 28.43 a 13.28 a

POC 51.31 a 65.34 a 28.00 a 13.48 a

25% SRI 50.28 p 67.11 p 24.47 p 13.73 p

50% SRI 52.75 p 64.75 p 28.23 pq 12.53 p

75% SRI 52.73 p 66.10 p 35.50 p 13.80 p

100% SRI 49.59 p 64.78 p 24.67 q 13.47 p

(-) (-) (-) (-)

Keterangan: Nilai rerata yang diikuti huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji F dan atau DMRT pada taraf á = 5 %. Tanda ( - ) menun-jukkan tidak ada interaksi.

Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan bahwa perlakuan SRI 25%, SRI 50%, SRI 75% dan SRI 100% memberikan pengaruh yang sama ter-hadap panjang tajuk padi. Hasil analisis terhadap jumlah daun menunjukkan antara perlakuan pupuk organik cair tidak ada interaksi. Antar perlakuan dosis SRI menunjukkan ada beda nyata. Berdasarkan hasil analisis terhadap jumlah anakan menunjukkan antara perlakuan tanpa pupuk organik cair, dan dengan pupuk organik cair dan dosis pupuk SRI tidak ada interaksi per-tumbuhan jumlah anakan pada tanaman padi banyak dipengaruhi oleh ketersediaan unsur hara makro dan mikro. Begitu pula pada per-lakuan SRI 25%, SRI 50%, SRI 75% dan SRI 100% memberikan pengaruh yang sama terha-dap jumlah anakan padi.

Berdasarkan data di Tabel 2 diketahui bahwa antara perlakuan dosis SRI dan pemberian pupuk organik cair tidak ada interaksi. Hasil analisis berat segar tanaman menunjukkan bahwa tidak ada beda nyata antara perlakuan tanpa pupuk organik cair dan dengan menggu-nakan pupuk organik cair maupun yang dengan metode pupuk SRI. Hasil analisis berat segar tajuk diketahui bahwa antara perlakuan dosis SRI dan pemberian pupuk organik cair tidak ada interaksi. Hasil analisis berat segar tajuk

menunjukkan bahwa tidak ada beda nyata antara perlakuan tanpa pupuk organik cair dan dengan menggunakan pupuk organik cair maupun yang dikombinasikan dengan pupuk SRI. Hasil anali-sis berat kering tajuk diketahui bahwa antara perlakuan dosis SRI dan pemberian pupuk or-ganik cair tidak ada interaksi. Hasil analisis berat kering tajuk menunjukkan bahwa tidak ada beda nyata antara perlakuan tanpa pupuk organik cair dan dengan menggunakan pupuk organik cair maupun yang dikombinasikan dengan pupuk SRI. Hasil analisis berat kering tanaman dapat diketahui bahwa antara perlakuan dosis SRI dan pemberian pupuk organik cair menunjukkan tidak ada interaksi, demikian juga antar aras dari kedua perlakuan tidak beda nyata antar per-lakuan.

Tabel 2. Rerata Berat Segar Tanaman, Berat Segar Tajuk, Berat Kering Tanaman, Berat Kering Tajuk

Perlakuan Berat Segar Tanaman (g)

Berat Segar Tajuk (g)

Berat Kering Tajuk (g)

Berat Kering Tanaman (g)

Tanpa POC 94,36 a 55,61 a 12,58 a 21,58 a

POC 104,36 a 62,14 a 14,45 a 24,33 a

25% SRI 93,70 p 54,40 p 12,66 p 21,51 p

50% SRI 89,29 p 54,40 p 12,75 p 21,56 p

75% SRI 95,99 p 57,43 p 13,27 p 22,23 p

100% SRI 118,47 p 69,28 p 15,37 p 26,51 p

(-) (-) (-) (-)

Keterangan: Nilai rerata yang diikuti huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji F dan atau DMRT pada taraf á = 5 %. Tanda ( - ) menun-jukkan tidak ada interaksi.

Berdasarkan hasil analisis panjang akar dapat diketahui bahwa antara perlakuan dosis SRI dan pemberian pupuk organik cair menunjuk-kan tidak ada interaksi (Tabel 3). Hasil analisis panjang akar menunjukan tidak ada beda nyata antar perlakuan. Akar mempengaruhi terhadap zona penyerapan unsur hara pada tanaman padi. Semakin panjang akar pada tanaman padi maka akan semakin tinggi pula dalam penyerapan unsur hara dan semakin banyak unsur hara yang

Page 39: Editor in Chief Associate Editors - UMY

Planta Tropika Journal of Agro ScienceVol. 3 No. 2 / Agustus 2015

98

tersedia dilingkungan perakaran. Hasil analisis berat segar akar dapat diketahui bahwa antara perlakuan dosis SRI dan pemberian pupuk organik cair menunjukkan tidak ada interaksi. Hasil analisis berat segar akar menunjukkan bahwa semua perlakuan tidak ada interaksi.

Tabel 3. Rerata Panjang Akar, Berat Segar Akar, Berat Kering Akar Tanaman Padi

Perlakuan Panjang Akar (cm) Berat Segar Akar (g) Berat Kering Akar (g)

Tanpa POC 20,85 a 38,06 a 8,93 a

POC 21,13 a 43,72 a 9,92 a

25% SRI 20,92 p 37,64 p 8,86 p

50% SRI 20,55 p 37,89 p 8,81 p

75% SRI 20,76 p 38,56 p 8,87 p

100% SRI 21,74 p 49,48 p 11,15 p

(-) (-) (-)

Keterangan: Nilai rerata yang diikuti huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji F dan atau DMRT pada taraf á = 5 %. Tanda ( - ) menun-jukkan tidak ada interaksi.

Pertumbuhan berat segar akar pada tanaman padi banyak dipengaruhi oleh ketersediaan unsur hara makro dan mikro. Dalam hal ini dari semua perlakuan baik tanpa pupuk organik cair dan pu-puk organik cair 10 l/ha + 5 l/ha yang diujikan menunjukkan tidak ada beda nyata pada param-eter berat segar tanaman. Hasil analisis berat ker-ing akar dapat diketahui bahwa antara perlakuan dosis SRI dan pemberian pupuk organik cair menunjukkan tidak ada interaksi. Hasil analisis perlakuan baik tanpa pupuk organik cair dan pu-puk organik cair 10 l/ha + 5 l/ha yang diujikan menunjukkan tidak ada beda nyata pada param-eter berat kering akar tanaman.

Komponen HasilRerata jumlah malai, jumlah biji, berat 1000

biji, dan konversi hasil gabah disajikan dalam Tabel 4. Hasil analisis jumlah malai per rumpun dapat diketahui bahwa antara perlakuan dosis SRI dan pemberian pupuk organik cair menun-jukkan tidak ada interaksi. Semua perlakuan

yang diujikan memberikan pengaruh sama terhadap parameter jumlah malai per rumpun. Kendala utama dilapangan yaitu kurangnya ket-ersediaan air yang sangat berpengaruh terhadap hasil. Sehingga hasil yang di dapat tidak sesuai yang diharapkan dan juga tidak maksimal oleh karena kurangnya ketersediaan air. Menurun-nya jumlah malai, juga disebabkan oleh adanya gangguan alam, seperti hama belalang dan juga burung pada saat dilapangan.

Tabel 4. Rerata Jumlah Malai, Jumlah Biji, Berat 1000 Biji dan Konversi Hasil Gabah

Perlakuan Jumlah Malai per Rumpun

Jumlah Biji per Rumpun Berat biji (g) Gabah (ton/ha)

Tanpa POC 9.45 a 1533,68 a 14.39 a 1.27 a

POC 9.55 a 1538,73 a 14.08 a 1.26 a

25% SRI 8.63 p 1551,37 p 13.91 p 1.14 p

50% SRI 9.04 p 1571,40 p 13.67 p 1.21 p

75% SRI 11.97 p 1476,67 p 14.30 p 1.37 p

100% SRI 8.00 p 1545,40 p 15.06 p 1.35 p

(-) (-) (-) (-)

Kerangan: Nilai rerata yang diikuti huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji F dan atau DMRT pada taraf á = 5 %. Tanda ( - ) menunjukkan tidak ada interaksi.

Hasil analisis jumlah biji per rumpun dapat

diketahui bahwa antara perlakuan dosis SRI dan pemberian pupuk organik cair menunjukkan tidak ada interaksi. Hasil analisis jumlah biji per rumpun, menunjukkan tidak ada beda nyata antar perlakuan. Berat biji per rumpun dapat diketahui bahwa antara perlakuan dosis SRI dan pemberian pupuk organik cair menunjukkan tidak ada interaksi. Hasil analisis parameter berat biji per rumpun menunjukkan tidak ada beda nyata antar perlakuan. Dari hasil analisis param-eter hasil gabah ton/ha menunjukkan tidak ada interaksi. hasil gabah per hektar menunjukkan ti-dak ada beda nyata antar perlakuan. Hasil gabah tertinggi diperoleh pada perlakuan tanpa pupuk organik cair kombinasi 100 % SRI (P0S4) yaitu sebesar 1,51 ton/ha.

Page 40: Editor in Chief Associate Editors - UMY

99

Tabel 5. Rerata Hasil TanamanPerlakuan 25 % SRI 50 % SRI 75 % SRI 100 % SRI Rerata

Tanpa POC 24,53 ab 24,53 ab 23,57 ab 21,77 b 23,60

Dengan POC 26,23 a 23,57 ab 24,03 ab 26,33 a 25,04

Rerata 25,38 24,05 23,80 24,05 24,32 (+)

Keterangan : Nilai rerata yang diikuti huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan ada nyata menurut DMRT pada taraf á = 5 %. Tanda ( + ) Menunjukkan ada interaksi.

Berdasarkan hasil analisis berat 1000 biji, menunjukkan ada beda nyata antar perlakuan. Pada perlakuan kombinasi 25 % SRI + pupuk organik cair dan 100 % SRI + pupuk organik cair yang menunjukkan berat 1000 biji tertinggi. Hal ini karena pada perlakuan tersebut keterse-diaan unsur hara dan air lebih baik dibanding-kan pada perlakuan yang lain sehingga untuk proses fotosintesis pada fase reproduksi dengan terpenuhinya air dan unsur hara maka proses fotosintesis berjalan dengan baik, yang dalam hal ini akan mempengaruhi jumlah fotosintat yang disimpan di dalam biji dan menghasilkan biji yang lebih bernas.

SIMPULANPenggunaan pupuk organik cair sebagai de-

composer dan sumber hara tanaman padi sawah dengan dosis 10 l/ha makro yang dicampur 5 l/ha mikro belum mampu meningkatkan per-tumbuhan dan hasil tanaman padi. Pemberian pupuk urea yang dikombinasikan dengan pupuk SP-36 dan KCl memberikan pengaruh yang sama terhadap hasil gabah per hektar. Perlakuan 25% dan 100% SRI dengan penambahan pupuk organik cair meningkatkan berat 1000 biji tertinggi. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai penggunaan pupuk organik cair yang berbeda dengan penambahan pupuk nitrogen.

DAFTAR PUSTAKAAgustina, L. 1990. Dasar Nutrisi Tanaman. Edisi pertama. Rineka

Cipta. Jakarta.Anonim. 1990. Budidaya Tanaman Padi. Kanisius. Yogyakarta

Budiyanto, G. 1995. Hand Out Dasar-dasar Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Yogya-karta 66

Engelstand, OP. 1997. Teknologi Pemupukan dan Penggunaan Pupuk. Terjemahan Goenadi dan R. Bostang. Edisi ketiga. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Girisonta. 1990. Budidaya Tanaman Padi. Kanisius. YogyakartaKusno, S. 1990. Pencegahan Pencemaran Pupuk dan Pestisida.

Edisi Ketiga. Penebar Swadaya. Jakarta.Lingga. P. 1998. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penebar Swadaya.

JakartaMasum. W. 2007. Produksi Padi Sawah. Dalam http://www.

google.com. Akses Jumat 18 Januari 2008. 20.35Novizan, 2001. Unsur hara Makro dan Mikro Sebagai Penyusun

Enzim dan Koenzim tanaman. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Sanchez, P.A. 1993. Sifat dan Pengelolaan Tanah Tropika. ITB. Bandung.

Soedjiyanto. 1997. Pupuk Kandang, Pupuk Hijau, Pupuk Kompos. Seri Pertanian Populer. PT. Bumi Restu, Jakarta

Soemartono. 1994. Budidaya Padi. UI Press. Jakarta.Suparyono dan Setyono. 1997. Padi. Penebar Swadaya. JakartaSutejo dan M. Mulyani. 2002, Pupuk dan Cara Pemupukan, Rineka

Cipta, JakartaSuwono, dkk, 2007. Penerapan Pemupukan Berimbang. Bhineka

Cipta, Jakarta.Tohari, 1996. Pengaruh Nisbah Dosis Pupuk Nitrogen Pada

Pemupukan Dasar Susulan Pertama, dan Bobot Azola, Gulma dan Padi Sawah. Agr UMY. Fakultas Pertanian. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Page 41: Editor in Chief Associate Editors - UMY

PENDAHULUANSektor pertanian khususnya padi sangat

dipengaruhi oleh perubahan alam dan kebijakan pemerintah. Selain itu, penanganan panen dan pascapanen padi ternyata memiliki kontribusi yang cukup besar dalam mengamankan produksi nasional. Berdasarkan hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) dan Departemen Pertanian menunjukkkan telah terjadi penurunan susut panen pada tahun 2005, 2006, 2007 yaitu sebesar 9,69% dari 20,51% bila dibandingkan dengan tahun 1995 dan 1996 yaitu 10,82% (BPS, 1996, 2007).

Penanganan Susut Panen dan Pasca Panen Padi Kaitannya dengan Anomali Iklim di Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta

DOI 10.18196/pt.2015.046.100-106

Mahargono Kobarsih* dan Nugroho SiswantoBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Yogyakarta,

Jl. Stadion Maguwoharjo No. 22 Wedomartani Ngemplak Sleman Yogyakarta, Indonesia, Telp. (0274) 884662, Fax. (0274) 4477052,*Corresponding author, e-mail: [email protected]

ABSTRAKSalah satu upaya untuk mengurangi kehilangan pascapanen pada produksi padi adalah dengan menerapkan mesin pertanian modern pada tahapan panen, pasca panen maupun saat pengolahan. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur tingkat pengetahuan petani maupun pengusaha penggilingan padi berkaitan dengan penggunaan alat penggilingan padi serta dampak perubahan iklim global terhadap kehilangan hasil padi melalui survey terstruktur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa petani lebih memilih varietas unggul baru sebagai varietas yang ditanam dan sabit sebagai alat panen yang digunakan. Petani di Bantul dan Gunungkidul memanfaatkan jerami yang dihasilkan sebagai pakan ternak. Sekitar 70% petani menentukan waktu panen dengan melihat malai dan warna daun. Penggunaan power thresher lebih berkembang di wilayah Sleman, karena petaninya lebih menyukai model sistem potong atas. Petani Gunungkidul melakukan tunda panen hal ini karena ketersediaan tenaga panen yang kurang. ketebalan gabah yang terlalu tipis saat penjemuran perlu pembenahan sehingga dapat menghasilkan beras utuh lebih banyak pada saat penggilingan. Pengusaha RMU nampaknya perlu melengkapi unit seed cleaner untuk meningkatkan rendemen giling, serta menggunakan sistem double pass sehingga kualitas maupun rendemen beras yang dihasilkan akan lebih baik.Kata kunci : Susut panen, Panen dan pasca panen

ABSTRACTTo reduced losses in rice farming requires the application of modern agricultural machinery in harvesting equipment, postharvest and processing. Varying knowledge of farmers and entrepreneur rice milling unit (RMU) in yield loss as well as the impacts of global climate change research should be conducted through a structured survey of farmers and entrepreneurs RMU in Yogyakarta. Results obtained demonstrate the preferred use of new type variety among farmers so that the tool is suitable harvest sickle cutting down system in districts of Bantul and Gunungkidul more popular as straw used for animal feed. More than 70% of farmers do at harvest time by looking at the panicle and leaf color. Utilization of power threshers more developed in Sleman because of such preferred cut up and threshing by stampede way. With the limitations of manpower, the farmer was forced to delay harvest in Gunungkidul. The thickness of the grain is dried in the sun need to be added so as not too thin and can produce more rice intact during milling. Entrepreneur RMU need to complete with seed cleaner to increase the yield, as well as using double-pass system so that quality and yield of rice produced would be better.Keywords: Shrinkage results, Harvest and post harvest

Susut panen adalah penyusutan yang terjadi pada saat proses pemanenan. Susut saat panen diperoleh dengan cara menghitung jumlah butir padi yang melekat pada papan pengamatan yang dipasang dibawah tanaman padi dan dikonver-sikan dengan tabel konversi susut saat panen. Sedangkan susut perontokan adalah kehilangan hasil selama proses perontokan. Susut peronto-kan dihitung dengan menjumlahkan butir yang terlempar keluar alas petani, butir melekat pada jerami, dan butir yang terbawa kotoran. Susut pengeringan adalah kehilangan hasil selama

Planta Tropika Journal of Agro Science Vol 3 No 2 / Agustus 2015

Page 42: Editor in Chief Associate Editors - UMY

101

proses pengeringan. Pengeringan dilakukan sesuai dengan kebiasaan setempat, seperti cara pengeringan, tempat pengeringan dan perlakuan selama pengeringan.

Rendemen penggilingan merupakan suatu be-saran yang digunakan untuk menyatakan kuan-titas gabah menjadi beras. Besaran rendemen penggilingan diperoleh dari hasil bagi antara hasil keluaran penggilingan berupa beras den-gan bahan masukan berupa gabah. Selisih antara rendemen penggilingan teliti dengan rendemen penggilingan lapang adalah susut penggilingan.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat se-berapa besar penanganan susut panen dan pasca panen yang telah dilakukan petani sehingga diharapkan dapat memberi informasi kepada petani untuk menekan susut panen dan pasca panen berkaitan dengan anomali perubahan iklim.

BAHAN DAN METODEPenelitian dilakukan di empat kabupaten

propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu kabupaten Sleman, Bantul, Gunungkidul dan Kulonprogo pada tahun 2009. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive sampling pada sentra tanaman padi pada masing-masing kabupaten. Sebanyak 38 responden petani dan pengusaha penggilingan padi dari masing-masing kabupaten mewakili wilayah kecamatan yang ada dipilih secara acak.

Pengumpulan data dilaksanakan melalui survei dengan cara wawancara tatap muka di rumah responden dan bantuan kuesioner untuk memperoleh informasi karakteristik responden serta sikap/perilaku responden terhadap keg-iatan panen dan pasca panen yang biasa mereka lakukan. Data yang terkumpul dianalisa secara deskriptif dengan model tabulasi untuk meng-gambarkan tingkat pengetahuan petani respon-

den dan pengusaha RMU dalam upaya menekan kehilangan hasil.

HASIL DAN PEMBAHASANPetani padi di Daerah Istimewa Yogyakarta

(DIY) umumnya memiliki lahan yang relatif sempit, berkisar antara (500-2.000) m2 sehingga hal ini mempengaruhi dalam pemilihan varietas yang ditanam. Petani pada umumnya menyukai tanaman yang menghasilkan gabah lebih banyak dan berumur pendek. Dari Tabel 1 terlihat bah-wa di keempat kabupaten DIY semuanya menyu-kai padi varietas unggul baru (VUB) terutama varietas Ciherang dan IR-64 yaitu Kulonprogo 100%, Bantul 94,74%, Gunungkidul 94,59% dan kabupaten Sleman 81,58%.

Tabel 1. Prosentase Responden terhadap Penggunaan Varietas Benih Padi

Lokasi Hibrida (%) VUB (%) Lokal (%)

Sleman 0 81,58 18,42

Kulonprogo 0 100 0

Bantul 0 94,74 5,26

Gunungkidul 2,70 94,59 2,70

Penentuan saat panen merupakan titik kritis tahap awal dari kegiatan penanganan pasca panen padi karena ketidaktepatan dalam penen-tuan saat panen dapat mengakibatkan kehilan-gan hasil yang tinggi dan menurunkan mutu gabah atau berasnya (Choiril Maksum, 2002). Untuk penentuan panen, lebih dari 70% petani di DIY lebih suka dengan cara memperhatikan kenampakan dibandingkan dengan memperha-tikan umur tanaman. Petani yang menentukan panen dengan umur tanaman hanya 18,42% di Sleman, 16,22% di Gunungkidul dan 2,70 % di Kulonprogo. Begitu pula petani yang menentu-kan panen dengan mengukur tingkat kekerasan gabah pun sangat rendah yaitu di kabupaten 8,11 % di Kulonprogo dan 10,81 % di Gunungkidul (Tabel 2).

Page 43: Editor in Chief Associate Editors - UMY

Planta Tropika Journal of Agro ScienceVol. 3 No. 2 / Agustus 2015

102

Tabel 2. Prosentase Responden Petani dalam Penentuan Panen

LokasiKenam-pakan

(%)

Umur Tana-

man(%)

Ke-kerasan Butir (%)

Malai dan Daun

Kuning (%)

Malai Kuning

dan Daun Hijau (%)

Sebagian Malai

dan Daun Hijau (%)

Sleman 81,58 18,42 0 84,21 7,89 7,89

Kulon-progo 89,19 2,70 8,11 91,89 2,70 5,41

Bantul 100 0 0 97,37 0 2,63

Gunung-kidul 72,97 16,22 10,81 40,54 59,46 0

Menurut petani di kabupaten Bantul, Kulo-nprogo dan Sleman, padi sudah dianggap siap panen apabila malai dan daunnya kuning. Tabel 2 menunjukan prosentase petani yang menentu-kan masa panen dengan warna malai di Bantul, Kulonprogo dan Sleman masing-masing yaitu 97,37%, 91,89% dan 84,21%. Padi yang dipanen pada kondisi tersebut akan menghasilkan gabah berkualitas baik dicirikan dengan rendahnya kandungan butir hijau dan butir kapur sehingga menghasilkan rendemen giling yang tinggi (Sety-ono, et. al., 2006). Sedangkan di Gunungkidul, sebesar 59,46% petani lebih menyukai panen padi saat malainya sudah kuning tapi daunnya masih hijau (Tabel 2). Hal ini berkaitan dengan kebutuhan hijauan pakan ternak, sehingga 100% petani di Gunungkidul memilih cara panennya dengan sistem potong bawah (Tabel 3).

Alat panen yang digunakan petani dalam pemanenan padi, adalah ani –ani, sabit biasa dan sabit bergerigi (BPS, 1996). Padi VUB den-gan postur pendek menyebabkan penggunaan alat panen sabit akan lebih cepat dan praktis dibandingkan dengan ani-ani yang lebih cocok untuk memanen padi lokal dengan cara memo-tong pada tangkainya, karena tahan rontok dan tanaman padi berpostur tinggi. Dengan adanya perubahan penggunaan VUB maka terjadi pula perubahan penggunaan alat panen dari ani-ani ke sabit/ sabit bergerigi. Dari seluruh wilayah di DIY, 100% petani panen menggunakan alat

panen berupa sabit biasa, sedangkan ani-ani su-dah tidak digunakan lagi sementara penggunaan sabit bergerigi belum begitu populer di kalangan petani (Tabel 3).

Tabel 3. Prosentase Responden Petani dalam Pemilihan Penggunaan Alat Panen dan Sistem Potong Jerami

Lokasi Sabit biasa (%)

Sabit gerigi (%)

Ani-ani (%)

Lainnya (%)

Potong atas (%)

Potong bawah

(%)

Sleman 100 0 0 0 94,74 5,26

Kulon-progo 100 0 0 0 13,51 86,49

Bantul 100 0 0 0 0 100

Gunung-kidul 100 0 0 0 0 100

Penggunaan alat panen berupa sabit seperti yang digunakan para penderep pencari hijauan pakan ternak memberikan kontribusi cukup besar dalam hal susut panen, dikarenakan proses pemanenan dilakukan dengan tergesa-gesa serta sabit yang digunakan kurang tajam. Hal ini menyebabkan terjadinya kerontokan pada gabah bernas dari jeraminya lebih awal (Setyono, et al., 2001) .

Cara panen padi VUB dengan sabit dapat dilakukan dengan cara potong atas, atau potong bawah tergantung cara perontokannya. Cara panen dengan potong bawah, dilakukan apabila perontokannya dengan cara dibanting/digebot atau menggunakan pedal thresher. Panen padi dengan cara potong atas dilakukan apabila perontokannya menggunakan mesin perontok/power thresher. Di wilayah Bantul dan Gunung-kidul 100% petaninya lebih menyukai sistem panen potong bawah (Tabel 3). Hal ini karena petani sudah terbiasa panen potong bawah yang menurutnya lebih cepat.

Kegiatan panen padi dengan potong jerami disesuaikan dengan alat yang akan digunakan dalam perontokan bulir gabah. Di Sleman seban-yak 94,74% petani memotong padinya dengan

Page 44: Editor in Chief Associate Editors - UMY

103

sistem potong atas (Tabel 3). Hal ini berkaitan dengan alat perontokannya, 15,79% petani di Sleman melakukan perontokan dengan power thresher dan 65,79% petani dengan cara iles (Tabel 4). Sedangkan 100 % petani di Bantul dan Gunungkidul dan 86,49% di Kulonprogo melakukan panen dengan cara potong bawah (Tabel 3). Di Bantul, Gunungkidul, dan Ku-lonprogo masing-masing 63,16%, 94,59% dan 78,38% petaninya menggunakan pedal thresher untuk perontokan bulir padinya (Tabel 4). Seperti yang telah dilakukan BPTP Yogyakarta (Mudjisihono, et. al., 2002), pada penggunaan mesin perontok power thresher ditekankan untuk mengatasi tertundanya proses perontokan akibat terbatasnya tanaga kerja sehingga dapat menekan kehilangan hasil serta mencegah keru-sakan gabah di lapangan.

Tabel 4. Prosentase Responden Petani dalam Pemilihan Cara Perontok dan Pilihan Penundaan Panen

LokasiTunda Panen

(%)

Langsung Panen (%)

Iles (%)

Puku (%)

Gebot (%)

Pedal Thresher

(%)

Power Thresher

(%)

Sleman 34,21 65,79 65,79 5,26 10,53 2,63 15,79

Kulon-progo 5,41 94,59 0 13,51 8,11 78,38 0

Bantul 7,89 92,11 0 0 36,84 63,16 0

Gunung-kidul 62,16 37,84 0 5,41 0,00 94,59 0

Sebanyak 65,79% petani di Sleman, 94,59% di Kulonprogo dan 92,11% di Gunungkidul langsung melakukan panen begitu tanaman padinya sudah menguning baik malai maupun daunnya (Tabel 4). Penundaan panen dilakukan 62,16% petani di Gunungkidul, hal ini berkaitan dengan kriteria waktu panen yang dilakukan 40,54% petani di Gunungkidul dikarenakan melakukan panen apabila malai dan daunnya su-dah menguning (Tabel 2). Kegiatan panen yang tidak tepat waktu akan menyebabkan terjadinya susut yang lebih tinggi. Nugraha et. al., 1990, dalam kajiannnya menyebutkan keterlambatan

panen selama satu minggu akan meningkatkan susut panen dari 3,35 % menjadi 8,64 %.

Pengeringan merupakan bagian yang sangat menentukan rendemen dan mutu beras dari kegiatan penanganan pascapanen padi. Untuk proses penggilingan, pengeringan dilakukan sam-pai kadar air sekitar 13-14%, karena pada kadar air tersebut akan memberikan mutu beras giling yang baik (Ridwan Thahir, 2010). Apabila proses pengeringan tidak segera dikendalikan maka akan menyebabkan mutu beras giling rendah, yang ditandai dengan tingginya butir pecah, bu-tir menir, butir kuning, gabah berkecambah serta turunnya rendemen giling.

Pengeringan yang dilakukan petani padi di DIY umumnya dengan cara menghamparkan pada alas plastik terpal maupun pada lantai semen. Tebal hamparan gabah yang dijemur kurang dari 3 cm yaitu sekitar 81,58% di Sle-man, 86,49% di Kulonprogo, 89,47% di Bantul dan 97,22% di Gunungkidul (Tabel 5). Hasil penjemuran gabah dengan ketebalan sekitar 3 cm, menurut Setyono et al, 2008. akan men-gakibatkan beras bermutu rendah dengan kadar beras pecah lebih dari 25%. Tipisnya hamparan penjemuran gabah menyebabkan bulir gabah mengalami pengeringan bagian luar secara cepat sementara bagian dalam masih basah (case harden-ing) sehingga menimbulkan keretakan pada butir beras yang selanjutkan menjadikan tingginya ka-dar beras pecah apabila digiling. Untuk itu perlu upaya perbaikan pengeringan dengan mengatur ketebalan gabah saat penjemuran.

Sebanyak 39,47% petani di wilayah Sleman dan 55,56% di wilayah Gunungkidul, petani menjemur gabah hasil panen dengan kadar air awal mencapai lebih besar dari 23%. Sedang-kan 40,54% petani di wilayah Kulonprogo dan 52,63% di Bantul menjemur padi hasil panen pada kisaran kadar air awal gabah yaitu 21-23%. (Tabel 5). Kondisi tersebut menunjukkan kadar

Page 45: Editor in Chief Associate Editors - UMY

Planta Tropika Journal of Agro ScienceVol. 3 No. 2 / Agustus 2015

104

air gabah kering sawah tergantung kemasakan bulir gabah, waktu panen dan cuaca. Dengan kadar air yang cukup besar antara 20-25% me-nyebabkan gabah tidak mempunyai ketahanan untuk disimpan serta waktu pengeringan akan lebih lama (Kartosapoetra, 1994).

Untuk penyimpanan yang aman serta mem-peroleh mutu beras yang prima pada proses penggilingan maka gabah harus diperlakukan pengeringan dengan kadar air berkisar 12-14 % (Post Harvest Technology, 2011). Sebanyak 84,21% petani di wilayah Sleman, 56,76% di Kulonprogo, 68,42% di Bantul dan 69,44% di Gunungkidul mengeringkan gabahnya hingga kadar air 12-14%, artinya gabah kering yang di-peroleh sudah mencapai kadar air optimum atau kadar air setimbang sehingga aman untuk peny-impanan (Tabel 5). Apabila kadar air gabah lebih besar dari 16%, atau kurang kering maka akan diperoleh beras per kilogramnya lebih rendah dan mutu beras gilingnya akan cepat memburuk disebabkan karena serangan cendawan serta jamur. Sedangkan apabila kadar airnya lebih rendah misalkan 10-12%, maka akan dihasilkan beras yang rapuh dan mudah patah pada proses penggilingan (Setyono, et al., 2006).

Penggilingan padi (RMU) yang ada di wilayah Yogyakarta umurnya bervariasi. RMU 63,16% di Sleman dan 73,91% di Kulonprogo berumur lebih dari 15 tahun, sedangkan wilayah 55,26% di Bantul RMUnya berumur sekitar 5-9 tahun serta wilayah Gunungkidul RMUnya berumur kurang dari 5 tahun (Tabel 6). Berdasarkan tabel

6 terlihat bahwa wilayah kabupaten Gunung-kidul RMUnya relatif baru sedangkan wilayah Sleman dan Kulonprogo RMUnya termasuk sudah tua.

Rangkaian unit penggilingan padi di wilayah Yogyakarta umumnya terdiri dari pemecah kulit gabah (husker) dan penyosoh (polisher). Dalam pengoperasian di lapangan, ada RMU yang menggunakan tipe double pass terdiri dari alat pemecah kulit dengan rubber roll dan alat penyosoh berjenis friksi dengan menggunakan silinder besi. Sedangkan tipe “single pass” adalah RMU yang hanya terdiri dari satu polisher atau penyosoh yang berfungsi ganda sebagai pemecah kulit dan sebagai penyosoh. Proses penggilingan single pass dengan cara langsung memasukkan gabah ke mesin penyosoh dan biasanya diulang 2-3 kali, sehingga kualitas beras yang dihasilkan kurang baik dan rendemen beras rendah.

Di wilayah Yogyakarta, RMU yang beroperasi hampir semuanya menggunakan tipe double pass Sleman, Kulonprogo, Bantul, Gunung-kidul berutur masing-masing adalah 71,05%, 52,17% , 89,47% dan 76,32% (Tabel 6). Dengan demikian dapat dikatakan kualitas beras yang dihasilkan sudah memadai, namun di wilayah Kulonprogo masih ada 47,83% RMU yang menggunakan tipe single pass. Tentu saja kondisi tersebut akan mempengaruhi kualitas beras yang ada di wilayah kabupaten Kulonprogo.

Dalam proses penggilingan gabah di wilayah Yogyakarta semua RMU tidak melakukan pem-bersihan gabah yaitu 82,61% di kabupaten Ku-

Tabel 5. Prosentase Responden Petani dalam Pemilihan Tebal Penjemuran serta Kadar Air Sebelum dan Sesudah Penjemuran

LokasiTebal penjemuran Kadar air gabah sebelum penjemuran (%) Kadar air gabah sesudah penjemuran (%)

<3 cm (%) > 3cm (%) <18 (%) 18-20 (%) 21-23 (%) >23 (%) <12 (%) 12-14 (%) 15-17 (%) >17 (%)

Sleman 81,58 18,42 13,16 13,16 34,21 39,47 5,26 84,21 7,89 2,63

Kulonprogo 86,49 13,51 0,00 35,14 40,54 24,32 43,24 56,76 0,00 0,00

Bantul 89,47 10,53 0,00 13,16 52,63 34,21 31,58 68,42 0,00 0,00

Gunungkidul 97,22 2,78 2,78 19,44 22,22 55,56 27,78 69,44 0,00 2,78

Page 46: Editor in Chief Associate Editors - UMY

105

lonprogo, 81,58% di kabupaten Sleman, 68,42% di kabupaten Bantul, dan 63,16% di kabupaten Gunungkidul (Tabel 6). Dengan rendahnya tingkat kemurnian gabah yang diserahkan petani kepada pemilik penggilingan serta tidak dilaku-kannya pembersihan awal pada proses penggil-ingan gabah maka akan berpengaruh terhadap besarnya rendemen beras giling. Apabila cara penanganan pasca panennya tidak dilakukan dengan cara yang tepat dan benar akan terjadi penurunan mutu gabah di lapangan sebagai konsekuensinya akan menurunkan harga gabah di pasar (Mudjisihono, dkk.,1997).

Usaha penggilingan padi sebagai mata ran-tai usaha pengolahan gabah menjadi beras dan piranti suplai beras dalam sistem perekonomian. Sehingga masyarakat Indonesia dituntut untuk memberikan kontribusi dalam penyediaan beras nasional baik dari segi kuantitas maupun kuali-tas. Oleh karena itu usaha penggilingan padi perlu dikembangkan dan ditingkatkan kinerjan-ya, mengingat perannya sebagai pusat pertemuan antara produksi, pengolahan dan pemasaran.

SIMPULAN1. Berbagai upaya untuk menekan kehilangan

hasil masih tetap harus dilakukan. Salah satu peluang untuk menekan kehilangan hasil yai-tu dengan cara mengoptimalkan pemanfaatan alsintan panen, dan pasca panen yang ada di daerah. Penanganan pasca panen merupakan kegiatan strategis yang memerlukan partisi-pasi seluruh masyarakat.

2. Penggunaan VUB nampaknya lebih disukai dikalangan petani karena mampu berproduk-si tinggi serta kemudahan dalam perawatan-nya

3. Penentuan panen sebagai saat kritis dalam proses panen dilakukan secara visual (lebih dari 70%) yaitu dengan melihat warna malai dan daun

4. Sabit biasa nampaknya lebih disukai petani responden (100%) serta petani Bantul dan Gunungkidul lebih menyukai potong bawah karena ingin memanfaatkan jerami sebagai pakan ternak

5. Cara perontokan dengan iles dan penggunaan power thresher lebih berkembang di wilayah Sleman, karena petaninya lebih menyukai model sistem potong atas.

6. Petani Gunungkidul melakukan tunda panen hal ini karena ketersediaan tenaga panen yang kurang sementara di wilayah Sleman, Ban-tul dan Kulonprogo tidak melakukan tunda panen karena padinya dipanen oleh para pencari hijauan pakan ternak.

7. Pengeringan gabah sudah dilaksanakan den-gan benar namun perlu pembenahan dalam hal cara penjemuran terutama ketebalan gabah yang terlalu tipis sehingga dapat meng-hasilkan beras utuh lebih banyak pada saat penggilingan.

8. Pengusaha RMU nampaknya perlu meleng-kapi unit seed cleaner untuk meningkatkan rendemen giling, serta menggunakan sistem double pass sehingga kualitas maupun rende-men beras yang dihasilkan akan lebih baik.

Tabel 6. Prosentase Umur Penggilingan Padi, Tipe dan Pembersihan Gabah di Wilayah Yogyakarta

LokasiUmur RMU (tahun) Tipe RMU Pembersihan gabah

<5 (%) 5-9 (%) 10-14 (%) >15 (%) Single (%) Double (%) Ya (%) Tidak (%)

Sleman 18,42 10,53 7,89 63,16 28,95 71,05 18,42 81,58

Kulonprogo 4,35 8,70 13,04 73,91 47,83 52,17 17,39 82,61

Bantul 10,53 55,26 21,05 13,16 10,53 89,47 31,58 68,42

Gunungkidul 31,58 21,05 18,42 28,95 23,68 76,32 36,84 63,16

Page 47: Editor in Chief Associate Editors - UMY

Planta Tropika Journal of Agro Science Vol. 3 No. 2 / Agustus 2015

106

DAFTAR PUSTAKABPS (Biro Pusat Statistik). 1996. Survei Susut Pascapanen MT.

1994/1995. Kerjasama Biro pusat Statistik, Ditjen Pertanian Tanaman Pangan, Badan Pengendali Bimas, Badan Urusan Logistik, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, In-stitut Pertanian Bogor, dan Badan Penelitian dan Pengem-bangan Pertanian.

BPS (Biro Pusat Statistik). 2007. Survei Susut Pascapanen MT. 2004/2005/2006. Kerjasama Biro pusat Statistik, Ditjen Pertanian Tanaman Pangan, Badan Pengendali Bimas, Badan Urusan Logistik, Badan Perencanaan Pembangunan Nasi-onal, Institut Pertanian Bogor, dan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Choiril Maksum, 2002. Survei Susut Pasca Panen Padi. Workshop Kehilangan Hasil Pasca Panen, Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Tanaman Pangan. 19 hal.

Kartasapoetra, A.G., 1994. Teknologi Penanganan Pasca Panen, Penerbit Rieka Cipta, Jakarta.

Mudjisihono R, A. Guswara dan A. Setyono, 2002, Pengkajian pemanenan padi sistem kelompok dan alat perontok pada tanaman padi yang dikelola secara terpadu. Balai Pengkajian Teknologi Jogjakarta, Belum dipublikasikan.

Mudjisihono R., A. Setyono dan Sutrisno, 1997. Evaluasi Sistem Pemanenan Padi Tabela di Lokasi SUTPA, Kecamatan Lendah, Kabupaten Kulon Progo, Belum dipublikasi : 19 hal.

Nugraha, S., A. Setyono dan D.S. Damardjati. 1990 Pengaruh Ket-erlambatan Perontokan Padi Terhadap Kehilangan Hasil dan Mutu. Kompilasi Hasil Penelitian 1988/1989, Pascapanen. Balai Penelitian Tanaman Pangan Sukamandi. hlm. 1-7.

PostHarvest Technology, 2011. Rice. Drying/heating. Paddy drying. http://indiaagronet.com/indiaagronet/post_harvest/postharvestmain.htm. Diakses tanggal 02 Oktober 2011.

Ridwan Thahir, 2010. Revitalisasi Penggilingan Padi Melalui Inovasi Penyosohan Mendukung Swasembada Beras dan Persaingan Global. Jurnal Pengembangan Inovasi Pertanian 3 (3): 171-183

Setyono A., Suismono, Jumali dan Sutrisno. 2006. Studi Penera-pan Teknik Penggilingan Unggul Mutu Untuk Produksi Beras Bersertifikat. Dalam Inovasi Teknologi Padi Menuju Swase-mbada Beras Berkelanjutan. Buku 2. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Tanaman Pangan. 633-646.

Setyono A., Sutrisno, S. Nugraha dan Jumali. 2001. Uji coba kelompok jasa pemanen dan jasa perontok. Laporan Akhir TA. 2001 Balai Penelitian Tanaman Padi Sukamandi.

Setyono, A., B. Kusbiantoro, JUmali, P. Wibowo dan A. Guswara. 2008. Evaluasi mutu beras di beberapa wilayah sentral produksi padi. hlm 1429-1449. Prosiding seminar nasional inovasi teknologi padi mengantisiopasi perubahan iklim global mendukung ketahanan pangan, buku 4. BBpenelitian tanaman padi sukamandi.

Page 48: Editor in Chief Associate Editors - UMY

PENDAHULUANWilayah lahan kering di Daerah Istimewa

Yogyakarta merupakan salah satu wilayah pembangunan pertanian yang mendapat perha-tian serius untuk ditangani melalui program integrasi usahatani tanaman (tanaman pangan atau tanaman tahunan) dan usaha peternakan, karena sebanyak 721.496 orang yang seba-gian besar petani, tinggal dan menempati lahan seluas 158.600 ha sebagai sumber kehidupan mereka. Lahan tersebut tersebar di 26 Keca-

Implementasi Inovasi Teknologi Sistem Penyediaan Hijauan Makanan Ternak Di Lahan Kering di Yogyakarta

DOI 10.18196/pt.2015.047.107-113

SupriadiBalai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta,

Jl. Stadion Maguwoharjo No. 22 Wedomartani Ngemplak, Sleman Yogyakarta, Indonesia, Telp. (0274) 884662, e-mail: [email protected]

ABSTRAKKeberhasilan pengembangan pertanian tergantung kepada keberhasilan dalam pengoptimalan pemanfaatan sumberdaya alam yang dimiliki. Potensi sum-ber ketersediaan hijauan pakan berdasarkan sumberdaya lahan yang ada kemungkinan di setiap daerah akan terdapat perbedaan, perbedaan ini penting sekali untuk di ketahui karena akan menentukan model pengembangan usaha peternakan selanjutnya. Dari hasil identifikasi permasalahan pengembangan peternakan di lahan kering diantaranya adalah (1) Ketersediaan pakan pada musim kemarau sangat kurang; (2) Jarak beranak (calving interval) yang panjang; (3) Kesuburan tanah rendah dan tenaga kerja terbatas. Fermentasi kelobot jagung dan fermentasi jerami padi dapat meningkatkan kandungan protein dan dapat meningkatkan kecernaan. Penyediaan hijauan pakan dengan penanaman jagung pola rapat 4 kali penjarangan mendapatkan hijauan sebanyak 22,5 ton/ha dan jagung pipilan kering sebanyak 4,2 ton/ha. Perbaikan pola tanaman dapat memberikan jaminan ketersediaan hijauan sepanjang tahun. Pena-naman rumput hermada di lahan kering dapat memproduksi hijauan 35,56 ton/ha atau dapat menampung 3,3 unit ternak / tahun. Peningkatan produksi jerami padi dari IP 300 ke IP 400 dapat meningkatkan produksi jerami padi hingga 30%. Perbaikan kualitas pakan di tingkat petani dengan melakukan fermentasi klobot jagung dengan pemeraman selama 14 hari ditambah dengan 2% urea dapat mengandung protein kasar berkisar antara 4,8% sampai dengan 8,4%. Fermentasi jerami padi dengan penambahan 1 kg probiotik dan 2 kg urea untuk 500 kg jerami padi kering dapat menghasilkan kualitas jerami yang beraroma dan bertekstur lunak. Kata kunci: Hijauan pakan, Lahan kering, Ternak

ABSTRACTThe successful development of agriculture depends on the success in optimizing the utilization of natural resources owned. Potential sources of forage availability based on land resources is possible in each area there will be a difference, this difference is very important to be in the know as it will deter-mine the further development model farm. From the results of the identification of problems in dryland farm development include (1) The availability of food in the dry season is very less; (2) Distance birth (calving interval) long; (3) low soil fertility and limited manpower. Fermented corn husk and rice straw fermentation can increase the protein content and improve digestibility. Provision of forage with corn planting pattern thinning meeting four times to get forage 22.5 tonnes / ha and corn dry as much as 4.2 tons / ha. Improvements pattern plants can guarantee the availability of forage throughout the year. Hermada grass planting in dry soil can produce forage 35.56 tonnes / ha or can accommodate 3.3 livestock units / year. Increased production of rice straw IP 300 and IP 400 can increase the production of rice straw up to 30%. Feed quality improvements at the farm level by fermenting corn husks with curing for 14 days plus 2% urea may contain crude protein ranged from 4.8% to 8.4%. Fermented rice straw by addition of 1 kg of probiotics and 2 kg of urea to 500 kg of dry rice straw can produce quality hay-scented and soft textured.Keywords: Livestock forage, Dryland, Fodder

matan di wilayah administrasi D.I. Yogyakarta, 17 Kecamatan diantaranya termasuk ke dalam kelas penggunaan lahan yang riskan terhadap erosi tanah dan bersolum dangkal (World Bank, 1991).

Di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta lim-bah pertanian telah menjadi tumpuan sumber hijauan pakan sepanjang tahun. Produksi limbah pertanian di wilayah ini diperkirakan sebanyak 765.184 ton bahan kering/tahun; diantaranya

Planta Tropika Journal of Agro Science Vol 3 No 2 / Agustus 2015

Page 49: Editor in Chief Associate Editors - UMY

Planta Tropika Journal of Agro ScienceVol. 3 No. 2 / Agustus 2015

108

berupa jerami padi sebanyak 478.222 ton bahan kering (Utomo, 1999). Upaya mengoptimal-kan pemanfaatan limbah pertanian dilakukan dengan berbagai cara. Untuk mengatasi fluktuasi ketersediaan limbah pertanian, petani telah melakukan pengeringan untuk menyimpannya sebagai persediaan yang tidak hanya digunakan pada saat sulit pakan, bahkan digunakan sepan-jang tahun. Supriadi dkk. (1999) Berdasarkan hasil pengkajian di lahan kering Gunungkidul bahwa ketahanan pakan hijauan ditentukan oleh pola tanam yang sedang berjalan. Krisis pakan hijauan umumnya terjadi pada bulan Juni hingga bulan Oktober, yaitu pada saat musim kemarau. Pola tanam yang ada baik di lahan te-galan ataupun di lahan pekarangan hanya dapat menyediakan limbah pertanian di saat musim hujan, namun pada saat musim kemarau limbah pertanian yang ada tinggal hijauan kering dan ramban dari pekarangan dengan jumlah terbatas. Limbah pertanian yang berupa tongkol jagung, jerami kacang, kulit kacang, batang ubikayu yang biasanya tidak dijadikan pakan ternak, setelah digiling dan dicampurkan dengan konsentrat akan menjadi complete feed yang dapat mengatasi krisis pakan di saat musim kemarau.

Banyak peternak di lahan kering yang men-galami kendala kesulitan mendapatkan hijauan pakan, terlebih lagi pada musim kemarau di-mana produksi hijauan turun drastis, sedangkan populasi ternak relative tetap sehingga seakan-akan terlalu banyaknya ternak yang dipelihara saat itu melampaui kemampuan alam untuk menyediakan hijauan pakan, keadaan ini sangat tidak mendukung terhadap usaha peningkatan populasi ternak.

Kemampuan reproduksi yang rendah sering dijumpai pada ternak betina ditingkat petani yang diawali sejak ternak usia muda, kekurangan pakan berakibat dewasa kelamin terlambat, bah-

kan dibeberapa daerah di jumpai uterus tidak berkembang optimal (terlalu kecil) menurut para ahli ilmu nutrisi kelainan bentuk uterus terlalu kecil ini kemungkinan disebabkan kekurangan gizi pakan (mal nutrition) dalam jangka waktu yang cukup panjang terutama pada saat ternak dalam masa pertumbuhan, kondisi ini berulang kali terjadi disaat musim kemarau. Kait meng-kait antara usaha peningkatan populasi ternak dengan kendala yang ada seperti kesulitan penye-diaan pakan yang baik dan kontinu serta sering terjadi kelainan reproduksi, mendorong untuk menguraikan permasalahan yang selalu terjadi pada usaha peternakan di lahan kering.

Usaha peternakan memberikan kontri-busi yang besar terhadap pendapatan keluarga, berbagai permasalahan yang dihadapi dalam usahatani ternak khususnya sapi di lahan kering adalah:

Ketersediaan pakan ternak pada musim kemarau kurang. Kondisi tanaman dilahan ker-ing baik itu tanaman pangan maupun tanaman pakan ternak sangat tergantung pada musim, pada saat musim hujan air melimpah, tanaman tumbuh dengan subur baik itu tanaman pangan maupun tanaman pakan sehingga, ternak tidak kekurangan pakan. Tetapi sebaliknya pada saat musim kemarau air kurang, tanaman produkti-vitasnya sangat rendah dan bahkan banyak yang mati sehingga menyebabkan ternak kekurangan air dan pakan hijauan. Jalan keluar yang biasan-ya petani lakukan untuk mengatasi kekurangan hijauan dengan pemberian jerami padi, namun demikian jerami memiliki lignoselulosa dengan kadar lignin dan silikat yang tinggi yang menye-babkan daya cerna menjadi rendah (Suwandyas-tuti, 1988). Ketersediaan pakan yang terbatas, diikuti kualitas yang rendah berakibat pada perkembangan ternak secara umum yang rendah. Hasil pengkajian Supriadi dkk. (1999) terhadap

Page 50: Editor in Chief Associate Editors - UMY

109

623 ekor sapi jantan dan 567 ekor sapi betina pertambahan berat badannya masing berkisar 0,340 – 0,459 kg/erkor/hari dan 0,159 – 0,326 kg/ekor/hari.

Jarak beranak (calving interval) yang panjang. Hal ini terjadi dikarenakan tingginya jumlah kegagalan kebunting dalam satu kali perkawinan atau angka service per conseption (S/C) yang tinggi, hal ini bisa disebabkan dari asupan gizi pakan yang kurang baik dan ber-langsung lama seperti pada saat musim kemarau, sehingga menyebabkan alat reproduksi kurang berkembang dengan baik. Pola dan pemberian pakan yang belum sesuai dengan kebutuhan ternak, dilaporkan merupakan faktor utama rendahnya tingkat produktivitas ternak di daerah tropis (Chen, 1990). Hasil pengkajian Supriadi dkk. (1999) di DIY pada 13 kelompok tani dijumpai 26% - 36,35% sapi betina bermasalah, hal ini akibat dari petani dalam melaksanakan usahaternaknya hanya sebagai usaha sampingan sehingga kurang tanggap terhadap pentingnyan arti kualitas pakan yang berhubungan dengan kemampuan reproduksi ternaknya. Supriadi dkk. (2006) mendapatkan hasil pengkajian di DIY bahwa pemeliharaan sapi potong di tingkat petani masih sederhana, baik ditinjau dari hijauan pakan yang diberikan maupun kondisi perkandangannya sehingga menyebabkan nilai ADG pada pedet umur 1-1,2 tahun yang sangat rendah, persentase induk bunting terhadap populasi yang rendah hanya mencapai 22,9%, dengan S/C yang tinggi hingga mencapai 5. Na-mun demikian petani tidak akan menjual habis ternaknya sekalipun pada saat musim kemarau akan menghadapi kesulitan hijauan pakan, dikarenakan petani sangat membutuhkan pupuk kandang untuk kesuburan lahannya.

Kesuburan tanah yang rendah dan tenaga kerja terbatas. Tanah lahan kering umumnya

memiliki kesuburan yang rendah, kemasaman tanah tinggi; kahat P, K, Ca dan Mg; kejenuhan basa dan bahan organik umumnya rendah; kadar AL dan Mn tinggi yang dapat bersifat toksik bagi tanaman ( Adiningsih dan Rochayati, 1987). Sedangkan kendala kesuburan fisik adalah san-gat peka terhadap erosi, pori aerasi tanah ren-dah terutama di lapisan bawah sehingga tanah memadat, akibatnya infiltrasi lambat, erosi dan aliran permukaan bertambah besar, rendahnya ketersediaan air sebagai akibat pemadatan dan rendahnya kandungan bahan organik.

Disamping terkendala kesuburan tanah, juga terbatasnya tenaga kerja, Sebagai sumber daya manusia yang ada atau yang tertinggal disetiap rumah tanggal petani di wilayah lahan kering umunya berkisar antara 2 – 3 orang yaitu; 1 orang ayah; 1 orang ibu dan 1 orang anak laki-laki atau perempuan,sedangkan anggota keluarga yang lainnya biasanya pergi merantau ke kota besar mencari kehidupan yang lebih baik.

Kondisi tenaga kerja yang terbatas tersebut akan sulit untuk mengembangkan usahatani, oleh sebab itu diperlukan teknologi yang hemat tenaga namun tepat sasaran seperti teknologi fermentasi jerami; teknologi fermentasi klobot jagung, teknologi pembuatan kompos den-gan mengunakan bumbung dan menerapkan penamanan jagung rapat sebagai pola tanam dwifungsi.

HASIL DAN PEMBAHASANSistem Penyediaan Hijauan Makanan TernakPenyediaan Hijauan Makanan Ternak (HMT) Me-lalui Penanaman Jagung Jarak Rapat

Salah satu andalan sumber hijauan pakan ternak di daerah lahan kering adalah limbah per-tanian, baik dalam keadaan segar maupun dalam keadaan kering seperti halnya jerami, namun demikian jerami memiliki lignoselulosa dengan

Page 51: Editor in Chief Associate Editors - UMY

Planta Tropika Journal of Agro ScienceVol. 3 No. 2 / Agustus 2015

110

kadar lignin dan silikat yang tinggi yang menye-babkan daya cerna menjadi rendah (Suwandyas-tuti; 1988). Limbah pertanian sangat bergantung kepada budidaya pertanian terutama pertanian tanaman pangan diantaranya tanaman jagung baik sebagai penghasil jagung pipilan maupun sebagai penghasil pakan (tebon).

Hasil pengkajian Supriadi dkk. (2008). Di Pedusunan Toboyo Timur, menanam jag-ung dengan pola tanaman rapat yang bertujuan untuk mendapatkan jagung pipilan dan sekal-igus mendapatkan tebon dari hasil penjarangan, hasilnya dapat dilihat pada Tabel 1 dibawah ini.

Tabel 1. Rerata hasil jagung pipilan kering dan Tebon (Hijauan pakan) di Toboyo Timur Plembutan, Playen Gunungkidul, 2008

No. Perlakuan Pipilan kering (ton/ha) Hijauan ton/ha)

1 4 kali cabut 4,2 22,5

2 2 kali cabut 4,6 19,9

3 2 kali cabut dalam rumpun 3,4 13

4 Tanpa pencabutan/ pola petani 6,5 1,2

Sumber: Supriadi dkk. (2008)

Dari Tabel 1 terlihat bahwa penanaman jagung rapat dengan 4 kali pencabutan cukup memberikan prospek untuk dikembangkan, dikarnakan selain dapat menghasilkan pakan (tebon) yang cukup tinggi 22,5 ton/ha juga menghasilkan jagung pipilan kering sebanyak 4,2 ton/ha, dan yang paling penting dari penuturan petani bahwa pola tanaman rapat dengan 4 kali pencabutan dapat menghasilkan tebon yang merata sepanjang minggu karena jarak pencabu-tanya tidak terlalu jauh, sehingga membantu meringankan petani dalam mencari pakan.

Penyediaan Hijauan Makanan Ternak (HMT) Me-lalui Sistem Pola Tanam

Sistem pertanaman (pola tanam) yang di-lakukan oleh petani lahan kering umumnya mengikuti pola curah hujan . Pola tanam dalam

satu tahun dengan sistem tumpangsari yang umum dilakukan di lahan kering bukan hanya dapat mengurangi resiko kegagalan panen, tapi juga dapat memberikan keuntungan terhadap produksi pakan ternak dari limbahnya. Dalam pola tanam antara tanam yang satu dengan tana-man yang lainnya dalam satu musim hujan selain bervariasi juga saling bersambungan, sehingga memungkinkan tersediaanya pakan ternak dari limbah pertanian. Hasil penelitian Supriadi dkk. 2004a) bahwa pada dasarnya ketersediaan hijauan sangat dipengaruhi oleh musim dan pola tanam yang dilakukan petani. Di desa Plembu-tan terdapat dua polatanam yang dominant, seperti terlihat pada Tabel 2 dibawah ini.

Tabel 2. Pola tanam dan ketersediaan limbah pertanian sebagai hijauan pakan berdasarkan musim tanam

Musim MH 1 (Nov – Jan/ Feb)

MH 2 (Feb-April/Mei)

MK (Juni –Okt)

Pola tanam 1 Padi + Jagung + Ubikayu + Turi Kedelai+Jagung Bero *

Pola tanam 2 Kc. Tanah + Jagung + Ubikayu + Turi Kedelai+Jagung Bero *

Jenis pakan/ limbah pertanian

- Jerami padi - Jerami kedelai - Kulit ubikayu.

- Jerami jagung (tebon) - Jerami jagung - Daun ubikayu

- Rumput - Rumput. - Turi.

- Tayuman - Tayuman - Tayuman.

- Jerami kacang tanah - Ramban

Sumber: Supriadi (2004a) * Walaupun bero masih terdapat ubikayu

Penyediaan Hijauan Makanan Ternak (HMT) Melalui Penanaman Rumput Hermada (Sorghum vulgara sudanense)

Berdasarkan hasil penelitian, Supriadi (2004b) penanaman rumput hermada di lahan kering, baik faktor volume maupun interval pe-nyiraman ternyata tidak memberikan pengaruh tehadap pencapaian tinggi tanaman hermada, begitu pula terhadap bobot basah maupun bobot keringnya. Daya tampung ternak dari rataan hasil bobot basah tanaman hermada setiap hektarnya

Page 52: Editor in Chief Associate Editors - UMY

111

sebesar 35,65 ton dan bobot kering sebanyak 12,50 ton, dapat menampung ternak sebanyak 3,3 unit/tahun.

Supriadi (2004c) menyatakan bahwa enana-man rumput hermada dilahan kering dengan menggunakan beberapa jenis pupuk organik (Azolla sp., Bokasi dan Eceng gondok) tidak menunjukan pengaruh terhadap pertumbuhan (tinggi tanaman, diameter batang, bobot basah dan bobot kering), namun dari beberapa dosis yang diberikan untuk setiap jenis pupuk dapat memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan rumput hermada. Bobot basah dan bobot ker-ing hijauan rumput hermada yang paling tinggi adalah pada dosis 10 ton/ha baik pada jenis pupuk Azola maupun pada jenis pupuk Bokasi. Daya tampung ternak berdasarkan bahan kering yang diproduksi pada jenis pupuk Bokasi den-gan dosis 10 ton/ha yaitu dapat menampung 827 unit ternak/hari dan yang kedua adalah pada jenis pupuk Azolla sp. dengan dosis sebanyak 10 ton/ha yaitu dapat menampung sebanyak 750 unit ternak/hari.

Hasil penelitian Supriadi dkk. (2006) me-nyatakan bahwa penanaman sorgum di lahan kering pada jenis sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) mendapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara kandungan protein beberapa galur sorgum mutan (B-69, B-72, B-76, B-83, B-90, B-92, B-95, B-100) dengan varietas unggul Nasional (UPCA dan Higari). Rata-rata kandungan protein galur sorgum mutan lebih rendah dari pada sorgum varietas unggul Nasi-onal yaitu 1,885% berbanding 2,17%. Ditinjau dari produksi hijauan kering, estimasi produksi riil protein kasar, serat kasar dan lemak kasar maka sorgum dengan nomor asisi B-92, B-95 dan B-100 dapat direkomendasikan untuk dibudiday-akan dilahan kering karena mengandung protein kasar yang lebih tinggi dibanding yang lain,

seperti terlihat pada tabel dibawah ini:

Penyediaan Hijauan Makanan Ternak (HMT) Melalui Pemanfaatan Jerami Padi Sawah Tadah Hujan

Hasil penelitian Supriadi dkk. (2007a), pena-naman padi VUB Sintanur pada sawah tadah hujan di Desa Semin dengan sistem tumpang sari dapat menyediakan hijauan pakan bukan hanya bervariasi namun juga dapat kontinyu sepanjang tahun, dan penaman pada musim tanam kedua dapat menyediakan hijauan kering untuk persediaan pakan pada saat musim kema-rau. Dalam satu hektar tanaman padi VUB Sin-tanur dapat menyediakan pakan ternak sebarat 350 kg selama 416 hari atau untuk pakan 2 ekor sapi selama 6,9 bulan.

Penyediaan Hijauan Makanan Ternak (HMT) Me-lalui Pemanfaatan Jerami Padi Sistem Tegel Dan Legowo Menuju IP 400

Hasil penelitian Supriadi dkk. (2010), produksi biomasa penanaman padi sisten tegel antara pemupukan urea pril dan urea tablet tidak ada perbedaan namun produksi biomasa cenderung lebih tinggi pada urea tablet, kemu-dian pada peningkatan penanaman padi dari 3 kali menjadi 4 kali melalui penanaman varietas berumur genjah dapat meningkatkan produksi jerami 30% setiap tahunnya, produksi biomasa (jerami) sebanyak 207,52ton/tahun pada IP 400 memiliki daya tampung ternak sebanyak 133 satuan unit ternak pertahun pada luasan sawah seluas 63.269m2 selanjutnya Supriadi dkk. (2010) melakukan pengamatan pada kandun-gan nutrisi jerami sebagai pakan ternak bahwa pemberian urea tablet dengan cara dibenamkan dan pemberian urea prill dengan cara disebarkan pada pertanaman padi varitas silugonggo dan padi varitas dodokan mendapatkan kandungan nutrisi pada jerami kedua varitas tersebut tidak

Page 53: Editor in Chief Associate Editors - UMY

Planta Tropika Journal of Agro ScienceVol. 3 No. 2 / Agustus 2015

112

menunjukkan perbedaan. Penggunaan pupuk urea tablet pada varitas dodokan mendapatkan jumlah protein kasar 5,5% yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pengunaan urea pril yaitu sebesar 4,75%.

Penyediaan Hijauan Makanan Ternak (HMT) Me-lalui Penanaman Rumput di Bibir Teras

Lahan kering di Daerah Istimewa Yogyakarta umumnya memiliki tofografi berlereng dengan kemiringan diatas 30% sampai dengan 45%, lahan-lahan yang demikian umumnya arawan terhadap erosi akibat aliran permukaan, salah satu pencegahannya adalah dengan pembua-tan terasering, untuk memperkuat teras perlu dilengkapi dengan penanaman rumput di bibir teras, selain dapat memperkut teras juga untuk menahan erosi tanah. Hasil penelitian Supriadi dkk (1997). Di wilayah Cangkringan, Sleman. Produksi rumput yang ditanam di tampingan dan bibir teras pada rumput Brachiaria brisan-tha; rumput raja dan rumput gajah yang ditana-man 2 baris masing-masing berproduksi 2970; 2932,5 dan 1065 kg/1500 panjang teras. Hasil penelitian Hafif dkk (1995) erosi yang dapt dice-gah dari penanaman rumput di bibir dan tamp-ingan teras adalah sebesar 3,4 – 5 ton/ha/tahun.

Penyediaan Hijauan Makanan Ternak Melalui Sistem Fermentasi Limbah Pertanian

Fermentasi Klobot Jagung. Penyediaan hijauan pakan ternak yang merupakan pakan pokok ruminansia pada akhir-ahkir ini terasa semakin sulit dan terbatas, hal ini disebabkan karena semakin berkurangnya lahan pertanian sebagai sumber penyediaan pakan hijauan. Ke-adaan ini mendorong kita untuk mencari alter-natif pemanfaatan limbah pertanian paca panen dimana tidak lagi hanya terbatas pada jerami, tetapi bagian lain yang masih dapat dimanfaat-kan seperti klobot dan tongkol jagung. Hasil

penelitian Supriadi dkk. (2000) kandungan pro-tein kasar pada slamper, klobot dan jerami yang telah diberi perlakuan dengan penambahan 2% urea dan probiotik setelah di peram selama 14 hari mengandung protein berturut-turut sebesar 6,8%, 4,8%, dan 8,4%.

Fermentasi Jerami Padi. Jerami padi meru-pakan limbah tanaman padi yang nilai nutrisinya rendah, oleh sebab itu perlu diperlakukan terlebih dahulu sebelum diberikan pada ternak, yaitu dengan cara difermentasikan untuk menin-gkatkan daya cernanya.

Hasil pengkajian Supriadi dkk. (2007b) yang dilakukan di wilayah laboratorium Prima Tani yaitu di Dusun Karangpoh menunjukan bahwa, 500 kg jerami padi yang difermentasi dengan 1 kg probiotik ditambah dengan 2 kg urea menghasilkan jerami fermentasi yang baik dengan aroma yang tidak menyengat, tekstur lunak dan warna yang terang, hasilnya dapat dik-eringkan dan disimpan sebagai cadangan pakan dimusim kemarau.

SIMPULAN DAN SARANDari hasil identifikasi permasalahan pengem-

bangan peternakan di lahan kering diantaranya adalah1. Ketersediaan pakan pada musim kemarau

sangat kurang2. Jarak beranak (Calving Interval) yang panjang3. Kesuburan tanah rendah dan tenaga kerja

terbatas

Penyediaan hijauan pakan dengan pena-naman jagung pola rapat 4 kali pejarangan mendapatkan hijauan sebanyak 22,5 ton/ha dan jagung pipilan kering sebanyak 4,2 ton/ha. Perbaikan pola tanaman dapat memberikan jaminan ketersediaan hijauan sepanjang tahun. Penanaman rumput hermada di lahan kering

Page 54: Editor in Chief Associate Editors - UMY

113

dapat memproduksi hijauan 35,56 ton/ha atau dapat menampung 3,3 unit ternak / tahun. Peningkatan produksi jerami padi dari IP 300 ke IP 400 dapat meningkatkan produksi jerami padi hingga 30%. Perbaikan kualitas pakan di tingkat petani dengan melakukan fermentasi klobot jagung dengan pemeraman selama 14 hari ditambah dengan 2% urea dapat mengand-ung protein kasar berkisar antara 4,8% sampai dengan 8,4%. Fermentasi jerami padi dengan penambahan 1 kg probiotik dan 2 kg urea untuk 500 kg jerami padi kering dapat menghasilkan kualitas jerami yang beraroma dan bertekstur lunak. Khusus diwilayah lahan kering yang me-miliki tofografi bergelombang dan berteras-teras dapat memanfaatkan bibir teras untuk lahan penanaman rumput, penanaman strip rumput di bibir dan tampingan teras dapat menahan erosi tanah 3,4 – 5 ton/ha/tahun.

Di wilayah lahan kering akan selalu terjadi kekurangan pakan dimusim kemarau dan ini selalu terulang di setiap tahun oleh karena itu di-perlukan adanya usaha pengkajian untuk menc-ari kesesuaian antara usahatani tanaman pangan dan peternakan khususnya dalam perbaikan pola tanaman dengan harapan pola tanam tersebut terus berkelanjutan dari musim kemusim sepan-jang tahun sehingga ada jaminan ketersedian pangan dan pakan dari limbah pertanian.

DAFTAR PUSTAKAAdiningsih,J.S. dan Sri Rochayati. 1987. Peranan bahan organik

dalam meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk dan produktivitas tanah. Proc. Lokakarya Nasional Efisiensi Pu-puk . Pusat Penelitian Tanah. Badan Littbang Pertanian.

Chen, C.P. 1990. Management of Forage for Animal Production under Tree Crops. In: Proc. Integrated Tree Croping and Small ruminat Production system. Iniques L.C. and M.D. Sanchez (Eds). SR-CRSP. Univ. California Davis, USA.

Page 55: Editor in Chief Associate Editors - UMY

PENDAHULUANKabupaten Sleman, adalah kabupaten di

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia, dengan Ibukota Kecamatan Sleman. Kabupaten ini berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah di utara dan timur, Kabupaten Gunung Kidul, Ka-bupaten Bantul, dan Kota Yogyakarta di selatan, serta Kabupaten Kulon Progo di barat. Sleman dikenal sebagai asal buah salak pondoh. Sleman mempunyai motto yaitu sembada (Sehat, Elok, Makmur dan merata, Bersih dan berbudaya, Aman dan adil, Damai dan dinamis, Agamis). Kabupaten dengan image pendidikan dan wisata merupakan bagian dari Kabupaten Sleman

dengan luas wilayah 574,82 km², terdapat 17 kecamatan, 86 kelurahan dan 1.212 padukuhan (Wikipedia, 2010).

Sleman merupakan kabupaten den-gan pengembangan wilayah yang cukup cepat. Permintaan akan pemanfaatan lahan yang terus tumbuh dan bersifat akseleratif untuk untuk pembangunan berbagai fasilitas termasuk kema-juan teknologi, industri dan transportasi. Selain sering mengubah konfigurasi alami lahan atau bentang alam juga menyita lahan-lahan tersebut dan berbagai bentukan ruang terbuka lainnya. Kedua hal ini umumnya merugikan keberadaan

Evaluasi Ruang Terbuka Hijau di Kecamatan Sleman Kabupaten Sleman

DOI 10.18196/pt.2015.048.114-121

Vinda Catur NugrohoPT. Perkebunan Minanga Ogan,

Jl. Suryo No. 227, Kebayoran Baru, Jakarta, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12180, Indonesia, Telp +62 21 72781275, e-mail: [email protected]

ABSTRAKPerkembangan daerah perkotaan sering berdampak negatif pada aspek lingkungan, seperti penurunan luas daerah yang digunakan untuk ruang terbuka hijau. Oleh karena itu, perlu untuk melaksanakan penelitian tentang evaluasi ruang terbuka hijau. Penelitian bertujuan untuk mengevaluasi ketersediaan, bentuk dan menciptakan model penataan ruang terbuka hijau. Penelitian dilakukan dengan metode survei di Kabupaten Sleman yang teknis pelaksanaan dilakukan dengan observasi, kuesioner, pengumpulan data primer dan sekunder. Pemilihan pengamatan lokasi dibuat secara purposive. Data yang telah dikumpulkan dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kabupaten Sleman memiliki ruang terbuka hijau publik kurang dari 35,84 hektar atau 1,14% dari total luas daerah 624,4 hektar, yang disebut pada UU RI No. 26 tahun 2007. Sebuah ruang terbuka model penataan hijau model referensi untuk meningkatkan nilai estetika, fungsional dan increast ruang terbuka hijau yang ada di kabupaten Sleman dapat dilakukan dengan mengem-bangkan taman kota, hutan kota, tanaman pinggir jalan dan air mancur yang memiliki nilai fungsional dan estetika.Kata kunci: Evaluasi ruang terbuka hijau, Kabupaten Sleman

ABSTRACTThe development of urban area gives negative impact on the environmental aspects, such as the decreasing of areas for green open space. Therefore, it is necessary to implement the research about evaluation of green open space. This research aims to evaluate availability, form and create green open space structuring model in the district of Sleman. The research was conducted by survey method which technical implementation was done by observation, questionnaires, and primary and secondary data collection. The choice of location observations made purposively. The data that has been collected was analyzed descriptively. The results of this research showed that the district of Sleman have public green open space which is less that 35.84 hectares or 1.14% of the area that 624.4 hectares, was referred to UU RI No. 26 year 2007. A green open space structuring model as a reference model to increased the value of aesthetic, functional and to increast the existing green open spaces in the district of Sleman can be done with the developing of city parks, city forests, roadside plants and water fountains that have a functional and aesthetic value.Keywords: Evaluation of green space, Sleman district

Planta Tropika Journal of Agro Science Vol 3 No 2 / Agustus 2015

Page 56: Editor in Chief Associate Editors - UMY

115

ruang terbuka hijau (RTH) yang sering dianggap sebagai lahan cadangan dan tidak ekonomis. Di lain pihak, kemajuan alat dan pertambahaan jalur transportasi dan sistem utilitas sebagai ba-gian dari peningkatan kesejahteraan masyarakat juga telah menambah jumlah bahan pencemar dan telah menimbulkan berbagai ketidaknya-manan di lingkungan perkotaan. Karena ruang tidak dapat bertambah, maka yang terjadi adalah perubahan penggunaan lahan, yang cenderung menurunkan proporsi lahan-lahan yang sebelum-nya merupakan RTH khususnya di Kecamatan Sleman, Kabupaten Sleman.

Kecamatan Sleman merupakan Ibukota dari Kabupaten Sleman. Jarak kantor Kecamatan ke Pusat Pemerintahan (Ibukota) Kabupaten Sleman adalah 4 Km. Lokasi ibu kota kecamatan Sleman berada di 7,684100 LS dan 110,340440 BT. Kecamatan Sleman mempunyai luas wilayah 3.132 ha dengan jumlah penduduk 63.478 jiwa (Wikipedia, 2010). Kecamatan Sleman terbagi menjadi 5 desa yaitu Desa Caturharjo, Desa Pendowoharjo, Desa Tridadi, Desa Triharjo, Desa Trimulyo. Kecamatan Sleman mempun-yai bentuk wilayah yang datar dan berombak. Berada pada ketinggian 243 meter dpl (Website Kabupaten Sleman, 2010)

Saat ini banyak sekali perubahan pola lingkungan yang disebabkan oleh berkembang-nya kawasan RTH di Kecamatan Sleman menjadi kawasan ruang terbangun. Hal ini menyebabkan beberapa perubahan alam terutama pada tingkat suhu, cuaca dan tingkat polusi udara. Untuk mengatasi kondisi lingkungan kota seperti ini sangat diperlukan RTH sebagai suatu teknik ben-tukan biofilter yang relatif lebih murah, aman, sehat, dan nyaman. Berdasarkan permasalahan tersebut perlu dilakukan adanya evaluasi terha-dap ketersediaan RTH guna mengembalikan fungsi utama RTH di Kecamatan Sleman.

BAHAN DAN METODE Penelitian ini telah dilaksanakan di Keca-

matan Sleman Kabupaten Sleman. Penelitian dilakukan menggunakan metode survei, yang teknis pelaksanaannya dilakukan dengan obser-vasi, kuesioner dan pengumpulan data sekunder. Observasi dilakukan untuk mendapatkan infor-masi tentang kondisi eksisting wilayah, yang akan menggambarkan keadaan awal kawasan tersebut. Pemilihan lokasi observasi dilakukan secara purposive yaitu pemilihan lokasi berdasarkan tujuan tertentu yang didasarkan pada jalan-jalan utama, kepadatan lalu-lintas, pemukiman padat penduduk, area perdagangan dan lain sebagainya yang berada di Kecamatan Sleman.

Penyebaran kuesioner dilakukan dengan memberikan sejumlah daftar pertanyaan kepada responden dengan asumsi dapat mewakili sifat populasi secara keseluruhan. Roscoe dalam Sugi-yono (2009), memberikan saran-saran tentang ukuran sampel untuk penelitian diantaranya adalah (1) Ukuran sampel yang layak dalam penelitian adalah antara 30 sampai dengan 500. (2) Bila sampel dibagi dalam kategori (misalnya: pria-wanita, pegawai negeri-swasta, pelajar, peda-gang dan lain-lain) maka jumlah anggota sampel setiap kategori minimal 30.

Kuesioner yang disebar sebanyak 100, yang terbagi menjadi 40 sampel pelajar, 30 sampel PNS, dan 30 sampel pedagang. Untuk pemilihan sampel responden dan lokasi responden juga dilaksanakan dengan purposive, yaitu pemilihan responden didasarkan pada wilayah-wilayah strategis yang ada di Kecamatan Sleman seperti instansi pemerintahan, sekolah, alun- alun dan lain sebagainya. Responden yang dipilih adalah masyarakat yang berada di sekitar Kecamatan Sleman yang sengaja dipilih sesuai dengan tu-juan penelitian. Penyebaran kuesioner dilakukan dengan memberikan sejumlah daftar pertanyaan

Page 57: Editor in Chief Associate Editors - UMY

Planta Tropika Journal of Agro ScienceVol. 3 No. 2 / Agustus 2015

116

kepada responden dengan asumsi dapat me-wakili sifat populasi secara keseluruhan. Hal ini diperlukan untuk mengetahui tingkat dukungan pengguna terhadap perencanaan kawasan yang akan dibuat, sehingga dapat meredam gejolak sosial yang akan terjadi, sebab penelitian ini akan bersinggungan dengan kepentingan banyak pengguna.

Hasil observasi dan penyebaran kusioner perlu didukung oleh data-data sekunder seperti mengenai batas-batas wilayah, luas, ketinggian tempat, topografi, iklim, kondisi sosial masyara-kat yang dicatat dalam angka serta peta, sehingga memperkuat gambaran sosial masyarakat dan kondisi geografis wilayah. Data sekunder yang diperlukan diperoleh dari instansi terkait, dian-taranya Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan, BAPPEDA, BPS dan Kantor Kecamatan setem-pat.

Data yang telah terkumpul kemudian dianali-sis secara deskriptif. Analisis deskriptif digu-nakan untuk memberikan gambaran, penjelasan dan uraian hubungan antara satu faktor dengan faktor lain berdasarkan fakta, data dan informasi kemudian dibuat dalam bentuk tabel atau gam-bar. Dilanjutkan membuat contoh model pena-taan RTH untuk meningkatkan nilai fungsional dan estetika di Kecamatan Sleman.

HASIL DAN PEMBAHASANDi Kecamatan Sleman terdapat beberapa

taman kota antara lain taman yang bersifat aktif atau lebih bersifat pasif. Taman yang bersifat ak-tif yaitu taman yang memiliki fungsi sebagai tem-pat bermain atau digunakan untuk beraktivitas yang memanfaatkan elemen-elemen pendukung seperti ayunan, jogging track, kursi dan lain seb-againya. Salah satu contoh taman aktif yang ada adalah Taman Denggung yang biasa digunakan oleh masyarakat sekitar untuk berolahraga atau

menikmati suasana vista yang ada. Sedangkan taman yang bersifat pasif seperti Taman Pringgo-diningrat atau Traffic Island yang lebih berfungsi sebagai elemen estetis, sehingga untuk taman pasif hanya terdiri dari tanaman semak, tanaman pendek dan juga elemen patung di dalamnya.

Kecamatan Sleman merupakan kecamatan yang bersifat asri dan dinamis memiliki Taman Kota sekaligus sebagai Hutan Kota yaitu Hu-tan Denggung yang tersusun dari vegetasi yang ada sangat bervariasi dan disusun secara rapi dan berselang seling. Taman Denggung dapat dimanfaatkan sebagai Taman Kota karena di dalamnya terdapat elemen-elemen pendukung seperti tempat duduk, area bermain, patung dan lain sebagainya yang dapat dimanfaatkan oleh pengguna. Pada area Taman Denggung terdapat berbagai vegetasi pohon besar yang bergerombol dan tertata, sebagian besar adalah glodokan, kepel dan angsana dengan jumlah total vegetasi didalamnya 291 batang dan 69 spesies tanaman.

RTH yang berkualitas cukup baik antara lain berupa jalur hijau (path) pada median dan sepadan jalan utama di Kecamatan Sleman, hal seperti ini nampak pada Jalan KRT. Pringgo-diningrat dan Jalan Magelang dengan vegetasi peneduh pada sepadan jalan dan vegetasi pen-garah pada median jalan. Tanaman tepi jalan atau yang populer disebut dengan koridor hijau (green corridor) merupakan salah satu tipe RTH yang terdapat di kawasan Kecamatan Sleman dan kondisinya cukup bervariasi yang memliki nilai keindahan yang nampak sekali dinikmati oleh pengguna. Beberapa variasi vegetasi yaitu vegetasi pengarah dan vegetasi peneduh seperti yang dapat dilihat pada jalan KRT Pringgodiningrat dan Jalan Magelang.

Kecamatan Sleman yang memiliki jumlah penduduk sebesar 63.478 jiwa terdiri dari laki-laki berjumlah 30.933 jiwa dan perempuan

Page 58: Editor in Chief Associate Editors - UMY

117

32.545 jiwa. Jumlah penduduk di atas berwarga negara Indonesia Sedangkan kepadatan pen-duduk Kecamatan Sleman pada tahun 2009 adalah 2.026,75 jiwa per km2. Pendidikan merupakan faktor yang sangat penting karena pendidikan merupakan aset dan penerus gen-erasi bangsa. Pada tahun ajaran 2008/2009 Kecamatan Sleman memiliki fasilitas sekolah sebanyak 15 unit, jumlah siswa sebayak 5.355 serta jumlah guru sebanyak 503.

Hasil dari pengamatan data di lapangan, presepsi masyarakat sekitar kecamatan Sleman memahamai apa yang dimaksud dengan RTH yaitu 57%. Namun demikian banyak juga yang tidak mengetahui apa yang di maksud RTH, hal ini dapat diketahui dari angka persentase ma-syarakat yang tidak mengetahui yaitu 43% hanya berselisih sedikit dengan masyarakat yang menge-tahui. Mayoritas mengetahui apa yang dimaksud RTH setelah mengisi pertanyaan berikutnya. Hal ini dibuktikan dengan pengertian mereka bahwa RTH adalah Kumpulan pohon yang bergerom-bol dalam areal tertentu (51%) dan Kumpulan pohon yang menyebar dan atau gerombolan kecil (43%) atau mereka lebih menilai RTH sebagai kawasan hutan.

Kecamatan Sleman masih membutuhkan ele-men tanaman untuk kenyaman (100%) karena, mereka merasakan kondisi saat ini yang panas (42%) dan berdebu (37%). Terutama pada siang hari kepadatan lalu lintas dan polusi udara yang menyebar membuat kondisi menjadi panas dan berdebu. RTH mempunyai manfaat mempertah-ankan kualitas lingkungan (91%) dan keindahan lingkungan (78%).

Persepsi masyarakat yang setuju akan pent-ingnya keberadaan taman kota di mana angka setuju adalah 100% . Menurut persepsi masyara-kat ada tiga macam jenis taman yang diinginkan yaitu taman rekreasi (65%), taman bermain

(51%) dan taman dengan berbagai tanaman hias (57%). Hal ini dirasakan masyarakat akan mem-pertahankan kualitas lingkungan,sebagai pembe-lajaran dan nilai estetis yang akan dimunculkan.

Masyarakat yang perlu adanya hutan kota (98%) dan memiliki peran yang sangat penting, 74% masyarakat menyatakan bahwa hutan kota memiliki peran untuk pelestari lingkungan yaitu sebagai paru-paru kota, penurun suhu dan seb-agai ruang hidup satwa. Selain itu 61% masyara-kat menilai peran hutan kota untuk mengurangi polusi dan kebisingan, dan 26% responden menyatakan hutan kota sebagai tempat rekreasi untuk keluarga.

Kondisi jalan di Kecamatan Sleman 72% masyarakat menyatakan kondisinya nyaman tetapi hanya di beberapa ruas jalan saja. Sedan-gkan 7% masyarakat menyatakan kondisi ruas jalan di Kecamatan Sleman tidak nyaman. hal ini di karenakan di beberapa jalan kabupaten yang sudah banyak ditambal sehingga pengguna tidak merasa nyaman. Jumlah pohon peneduh di tepi jalan 72% masyarakat menyatakan kurang banyak. 92% masyrakat berpendapat bahwa salah satu fungsi tanaman tepi jalan adalah seb-agai peneduh dan 27% responden menyatakan bahwa fungsi tanaman untuk hiasan atau lebih bertujuan sebagai nilai keindahan. Untuk mem-perindah kawasan Kecamatan Sleman responden setuju 100% bahwa tanaman akan memperindah kawasan tersebut.

Di dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kota Sleman tahun 1999 sampai 2009, ada be-berapa pengembangan unsur-unsur utama Kota Sleman yang diarahkan pada penciptaan ling-kungan kota yang mampu meningkatkan daya dukung setempat dalam rangka pengembangan. Beberapa unsur penggunaan ruang atau lahan seperti pemukiman, perdagangan, perkantoran, pendidikan, industry, sawah, kesehatan dan

Page 59: Editor in Chief Associate Editors - UMY

Planta Tropika Journal of Agro ScienceVol. 3 No. 2 / Agustus 2015

118

ruang hijau atau rekreasi. Rencana pemanfaatan ruang di Kecamatan Sleman lebih tertuju pada pengembangan lingkungan perumahan atau pemukiman dan pengembangan lingkungan pusat perdagangan.

Penggunaan kawasan pemukiman di Keca-matan Sleman mengalami peningkatan, dari data RTRW tahun 1999 tercatat bahwa luas lahan yang baru dimanfaatkan untuk area pemukiman terbangun adalah sebesar 33,13%. Dibandingkan dengan data penggunaan lahan terbangun pada tahun 2009 yaitu 34,51% atau meningkat 1,38% dari sepuluh tahun sebelumnya. Melihat data yang ada pengembangan kawasan pemukiman sangat mengancam keberadaan RTH terutama di kawasan pusat kota yang menjadikan daerah hijau sebagai paru- paru kota. Penduduk banyak yang terpusat di pusat kota dan menjadikan ruang sebagai lingkungan pemukiman atau area perdagangan, khususnya di dekat kantor keca-matan. Kondisi tersebut sangat beralasan, karena di tempat tersebut memilki daya jangkau atau akses yang cukup tinggi untuk menuju maupun dituju dari pusat- pusat kegiatan di luar wilayah Kecamatan Sleman.

Menurut Undang-Undang No. 26 tahun 2007, proporsi RTH di perkotaan paling sedikit 30% dari luas wilayahnya dan untuk RTH publik adalah 20%. Kecamatan Sleman yang memiliki luas 3.132 Ha dan memiliki luas wilayah ter-bangun sebesar 34,51 % yakni 1.117,75 Ha dan wilayah tidak terbangun sebesar 67,56 % sebesar 2014,25 Ha.

Melihat keterangan di atas, maka luas ideal RTH publik yang dibutuhkan adalah 626,4 Ha. Untuk mengetahui kekurangan luas RTH yang dibutuhkan maka diperlukan data luas jenis pemanfaatan RTH non terbangun seperti taman kota, jalan, lapangan, kuburan dan sawah.

Pada Tabel 1 terlihat bahwa terlihat bahwa

kebutuhan akan RTH publik sangat kurang dari kebutuhan ideal. Kebutuhan RTH publik di Kecamatan Sleman kurang dari 626,4 Ha atau 20% dari wilayah tersebut. Dari jenis luasan RTH publik yang ada seperti taman kota, hutan kota, jalan, lapangan, dan kuburan dapat dilihat bahwa luas RTH publik yang ada 35,84 atau 1,14% dari kebutuhan ideal yaitu 626,4 Ha.

Tabel 1. Jenis dan luas ruang terbuka di Kecamatan Sleman

No . Jenis Ruang Terbuka Luas

1. Taman kota & Hutan Kota 0,9788 Ha

2. Total jalan 10,5 Ha

3. Lapangan 10,15 Ha

4. Kuburan 14,221 Ha

Jumlah 35,84 Ha

Kebutuhan RTH publik dapat terpenuhi den-gan solusi yaitu memanfaatkan ruang-ruang yang kosong dengan penambahan ruang hijau seperti taman kota dan hutan kota. Selaian itu, penam-bahan taman minimalis pada ruang terbangun atau ruang terbuka non hijau yang memilki keterbatasan lahan dapat dilakukan dengan membuat taman minimalis pada area sekitar bangunan yang penempatan elemen pendukung seperti tanaman dan hard material dapat menggu-nakan median tambahan.

Pada kondisi yang seperti ini, maka dibutuh-kan juga peran serta masyarakat untuk menjaga kualitas RTH yang ada dengan mengutamakan keseimbangan kelestarian lingkungan untuk jangka panjang. Dalam pelaksanaannya, pemban-gunan dan pengelolaan RTH juga mengikutser-takan masyarakat untuk meningkatkan apresiasi dan kepedulian mereka terhadap kualitas ling-kungan alami sekitarnya yang cenderung menu-run.

Perencanaan RTH di Kecamatan Sleman ini bertujuan untuk membuat model penataan RTH

Page 60: Editor in Chief Associate Editors - UMY

119

guna meningkatkan nilai fungsional, estetika dan penambah ruang hijau yang ada. Elemen vegetasi atau tanaman merupakan unsur yang dominan dalam RTH. Vegetasi dapat ditata sedemikian rupa agar mampu berfungsi sebagai pembentuk ruang, pengendalian suhu udara, memperbaiki kondisi tanah dan sebagainya.

Pada area taman kota yang perlu dilakukan penataan pertigaan Pringgodiningrat atau Per-tigaan Denggung. Perencanaan yang dilakukan untuk menembah kesejukan dan nilai estetik perlu penambahan berupa air mancur. Hal ini di karenakan dengan penambahan air mancur pada bagian tengan taman akan dapat memecahkan kepenatan dan kondisi panas pada perempatan jalan ini. Air mancur tersebut juga bisa berfungsi sebagai filter udara. Semua air mancur meng-hasilkan partikel ion-ion negatif yang tercipta dari golakan air-air yang jatuh. Setiap partikel ion negatif tersebut dapat mengikat debu serta zat kimia yang ada di udara sehingga air mancur tersebut dapat dikatakan mem-filter udara.

Penempatan tanaman sancivera dengan jarak tanam yang rapat akan berfungsi untuk menyer-ap polusi udara karena tanaman ini memiliki ketahanan terhadap cuaca yang ekstrim. Penem-patan tanaman pohon seperti beringin, ketapang dan glodokan bulat pada tepi jalan dengan tajuk melebar dan berdaun padat dapat berfungsi untuk memberi keteduhan, dalam arti mengu-rangi sengatan atau penahan sinar matahari dan untuk memberikan kenyamanan bagi pengguna di sekitarnya. Model perencanaan taman kota Traffic Island tersaji pada Gambar 1.

Penambahan taman kota dapat dilakukan dengan melihat ruang kosong yang ada misalnya di jalur pertigaan. Pertigaan kelurahan Triharjo memerlukan penataan ulang taman, Pertigaan Triharjo merupakan penghubung tiga arah tujuan yaitu jalan magelang, kelurahan Triharjo,

padukuhan dan beberapa sekolah di sekitarnya. Perencanaan yang dilakukan yaitu menata ulang taman dengan memperhatikan syarat-syarat yang memiliki nilai fungsional dan estetika. Pada tengah taman diisi dengan tanaman ketapang sebagai tanaman peneduh dan pada area seki-tarnya ditempatkan bangku untuk bersantai menikmati suasana sekitar. Penempatan rumput manila sebagai tanaman penutup, bunga sepatu dan lampu taman adalah untuk menambah nilai estetika pemandangan dan fungsionalnya.

Gambar 1. Contoh Model Perencanaan RTH (Taman Kota) Pertigaan Denggung

Tanaman tetehan dan glodokan bulat ber-fungsi untuk penyerap polusi dan pemecah kebisingan, karena posisi taman ini yang ber-dampingan dengan jalan provinsi yang cukup padat pengendara. Selain itu, penambahan hard material akan menambah kesan estetiknya, seperti jalan setapak dan bangku untuk berakti-vitas. Model Perencanaan RTH (Taman Kota) di pertigaan Triharjo tersaji pada Gambar 2.

Hutan kota merupakan bentuk persekutuan vegetasi pohon yang mampu menciptakan iklim mikro dan lokasinya di perkotaan atau dekat kota. Di Kecamatan Sleman yaitu di pertigaan Jamban area ini terdapat elemen eksisting kolam

Page 61: Editor in Chief Associate Editors - UMY

Planta Tropika Journal of Agro ScienceVol. 3 No. 2 / Agustus 2015

120

pemancingan dan tanaman-tanaman berkayu seperti glodokan, beringin, mangga, jarak, keta-pang, sukun, bambu kuning dan lain sebagainya yang tertata. Namun, tempat ini sudah lama terbengkalai atau tidak terawat sehingga men-imbulkan kesan kotor dan kumuh. Oleh karena itu taman asri ini diharapkan dikelola menjadi hotan kota yang memang elemen eksistingnya sudah mendukung.

Gambar 2. Contoh Model Perencanaan RTH (Taman Kota) di Pertigaan Triharjo

Model hutan kota yang direncanakan adalah hutan kota dengan komposisi vegetasi dengan strata yang bervariasi. Diharapkan dengan ben-tuk tajuk yang bervariasi dengan penempatan atau pengaturan tata ruang yang sesuai akan memberi kesan keindahan tersendiri. Selain itu penambahan beberapa elemen seperti lampu, gazebo dan jalan kecil di dalamnya diharapkan hutan ini bersifat aktif.

Pemilihan tanaman untuk dijadikan hutan kota yaitu meliputi beringin, akasia, glodokan bulat, jarak dan nangka. Penempatan tanaman pohon seperti beringin dan akasia yaitu bertu-juan untuk menghasilkan O

2 dan penyerap CO

2,

memiliki umur yang panajang dan tidak memer-

lukan perawatan yang intensif. Penambahan hard material seperti jalan setapak gazebo dan kolam pemancingan akan menimbulkan aktivitas yang ada didalamnya dan dapat digunakan sebagai tempat untuk beristirahat menikmati suasana sekitar di gazebo, atau masyarakat dapat melaku-kan aktivitas pemancingan di jalan setapak dengan adanya tanaman jarak sebagai peneduh sehingga aktivitas memancing tidak terganggu dengan cuaca yang panas. Model Perencanaan RTH (Hutan Kota) Pertigaan Jamban tersaji pada gambar 3.

Gambar 3. Model Perencanaan RTH (Hutan Kota) Pertigaan Jamban

Pada jalan-jalan di Kecamatan Sleman banyak bangunan dan tanaman yang penempatannya kurang efektif. Melihat kondisi tersebut bisa diterapkan penambahan tanaman tepi jalan, Penambahan pot pada median jalan juga dapat dimanfaatkan sebagai pembentuk RTH yang bermanfaat juga sebagai pembatas, pengarah dan estetika. Jalan Magelang merupakan salah satu ja-lan utama di Kecamatan Sleman, jalan tersebut terletak di pusat kota dengan jalur satu arah yang menghubungkan Yogyakarta dengan magelang dan semarang. Aktivitas jasa dan perdagangan banyak terdapat di sepanjang jalan ini, selain itu

Page 62: Editor in Chief Associate Editors - UMY

121

terdapat juga pusat kantor dan pusat bisnis di sekitarnya.

Gambar 4. Model Perencanaan RTH (Tanaman Tepi Jalan) Jl. Magelang Km. 11

Model penataan pada median jalan ini yaitu dengan penamabahan Tiang lampu yang berdiri di tengah median yang diletakkan satu garis lurus dengan jalan supaya tidak mengganggu pengguna jalan. Hal ini bertujuan agar menam-bah keindahan di malam hari. Jenis tanaman yang ada hanya palem dan tetehan yang terdapat di median jalan. Kondisi sepanjang jalan ma-sih cukup panas untuk dilewati sehingga perlu ada penambahan beberapa tanaman peneduh dan tanaman hias. Tanaman peneduh yang ada hanya palem yang terdapat di median timur ja-lan, maka perlu penambahan tanaman peneduh di sebelah barat samping pedestrian sehingga akan terlihat seimbang. Kondisi Eksisting Jalan Magelang km.11 Sebelum Perencanaan dan model perencanaan RTH (Tanaman Tepi Jalan) Jl.Magelang Km.11 tersaji pada Gambar 4.

SIMPULAN DAN SARANKesimpulan dari penelitian ini adalah (1)

Kecamatan Sleman memiliki ruang terbuka hijau publik yang kurang yaitu 35,84 Ha atau 1,14%

dari luas ideal 624,4 Ha Mengacu pada UU RI No. 26 tahun 2007. (2) Model penataan sebagai acuan peningkatan nilai estetik, fungsional dan menambah RTH yang ada di Kecamatan Sleman dapat dilakukan dengan penambahan taman kota, hutan kota, tanaman tepi jalan dan penam-bahan air mancur yang memiliki nilai fungsional dan estetika.

Dari hasil penelitian disarankan bahwa: (1) Sudah selayaknya Pemerintah Daerah Sleman memberi perhatian khusus pada keberadaan RTH yang masih kurang dari kebutuhan ideal. (2) Perlu kejelasan manajemen anggaran, pen-gadaan dan pemeliharaan untuk kebutuhan RTH dari Pemerintah Daerah Sleman

DAFTAR PUSTAKAAini, L N. 2008. Diktat Desain Lanskap. Fakultas Pertanian UMY.

Kabupaten Sleman. 2007. Kabupaten Sleman Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Sleman.

_______________.2010. Ruang Terbuka Hijau. Dalam http: // id.wikipedia.org/ wiki / Kabupaten_Sleman akses 16 maret 2010.

Pemerintah Kabupaten Sleman. 2010. Lokasi dan Luas Taman Kota Di Kabupaten Sleman. Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan.

Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman. 1999. Rencana Detail Tata Ruang Kota Sleman Tahun 1999 – 2009 (Ren-cana). Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Dati II Sleman.

Pemerintah Kecamatan Sleman. 2009. Tabulasi Data Profil Desa Semester II. Kecamatan Sleman, Kabupaten Sleman.

Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Alfabeta. Bandung.

Wikipedia.2010. Dalam.http://id.wikipedia.org/wiki/Statistika_deskriptif. Akses 14 april 2010

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Di akses dari http://www.penata-anruang.net/taru/nspm/ UU_No26_2007_Tentang_Pena-taan_Ruang.pdf pada tanggal 5 Desember 2009.

Page 63: Editor in Chief Associate Editors - UMY

Ucapan Terima Kasih

Redaksi Jurnal PLANTA TROPIKA: Journal of Agro Science menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan terima kasih kepada para Mitra Bestari yang telah membantu menelaah naskah:

Prof. Ir. Triwibowo Yuwono, Ph.D(Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta)

Prof. Dr. Ir. Edhi Martono(Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta)

Dr. Ir. M. Nurcholish(Fakultas Pertanian, Universitas Pembangunan Nasional Veteran, Yogyakarta)

Radix Suharjo, S.P., M.Agr., Ph.D(Fakultas Pertanian, Universitas Lampung, Lampung)

Dr. Ir. Supriyadi(Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta)

Dr. Ir. Ali Ikhwan, M.Si(Fakultas Pertanian-Peternakan, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang)

Prof. Dr. Ir. Totok Agung(Fakultas Pertanian, Universitas Jendral Soedirman, Purwokerto)

Prof. Dr. Didik Indradewa, Dip. Agr. St.(Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta)

Page 64: Editor in Chief Associate Editors - UMY

A

Ageng Kaloko 52

Andi Surya ZannahHasibuan

31

B

Bambang Heri Isnawan 41,94

D

Dwi Wahyuono 24

Didik Indra Dewa 52

E

Eka Tarwaca Susila 52

Endri Ridwan Saleh 41

I

Intan Ratna DewiAnjarsari

78

K

Khoirul Bariyyah 67

L

Lis Noer Aini 41,87

M

Mahargono Kobarsih 100

Marlinda Dwi Purwanti 1

Mulyono 73

N

Nafi Ananda Utama 94

Nugroho Siswanto 100

S

Sarjiyah 60

Sigit Suparjono 67

Sukuriyati Suliso Dewi 16

Supriadi 107

Supriyadi 60

T

Taufiq Hidayat 60

U

Usmadi 67

V

Vinda Catur Nugroho 114

W

Wisnu Sapto Nugroho 8

Indeks Penulis

Page 65: Editor in Chief Associate Editors - UMY