BAB I.PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah 1.1.1 Latar Belakang Obat berperan penting dalam pelayanan kesehatan karena merupakan salah satu sarana dalam meningkatkan derajat kesehatan. Obat sering menjadi salah satu komponen kesehatan yang dirasakan paling mahal, namun obat merupakan salah satu komponen kesehatan yang tidak tergantikan. Hasil dari penelitian yang telah dilakukan Yusrizal (2006) di 2 RSUD Propinsi DIY menunjukkan bahwa biaya obat mencapai 30-70 persen dari total semua biaya pelayanan kesehatan bagi keluarga tidak mampu atau miskin. Pengaturan peresepan dengan penggunaan obat generik merupakan upaya dalam menekan biaya perawatan kesehatan, terutama bagi masyarakat kurang mampu, sehingga dana yang digunakan untuk pemeliharaan kesehatan masyarakat kurang mampu dapat menjadi lebih efisien. Kebijakan penggunaan obat generik di Indonesia telah dikeluarkan sejak dua dasa warsa yang lalu. Definisi dari obat generik sendiri adalah obat dengan nama resmi yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia dan International Non-proprietary Names WHO untuk zat berkhasiat 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I.PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah
1.1.1 Latar Belakang
Obat berperan penting dalam pelayanan kesehatan karena merupakan salah
satu sarana dalam meningkatkan derajat kesehatan. Obat sering menjadi salah satu
komponen kesehatan yang dirasakan paling mahal, namun obat merupakan salah satu
komponen kesehatan yang tidak tergantikan. Hasil dari penelitian yang telah
dilakukan Yusrizal (2006) di 2 RSUD Propinsi DIY menunjukkan bahwa biaya obat
mencapai 30-70 persen dari total semua biaya pelayanan kesehatan bagi keluarga
tidak mampu atau miskin. Pengaturan peresepan dengan penggunaan obat generik
merupakan upaya dalam menekan biaya perawatan kesehatan, terutama bagi
masyarakat kurang mampu, sehingga dana yang digunakan untuk pemeliharaan
kesehatan masyarakat kurang mampu dapat menjadi lebih efisien.
Kebijakan penggunaan obat generik di Indonesia telah dikeluarkan sejak dua
dasa warsa yang lalu. Definisi dari obat generik sendiri adalah obat dengan nama
resmi yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia dan International Non-
proprietary Names WHO untuk zat berkhasiat yang dikandungnya, sederhana dan
kemasannya tidak dipromosikan walaupun diproduksi oleh pabrik yang berbeda
(Departemen Kesehatan RI, 2010). Mutu dari obat generik pun dipastikan terjamin
karena pengawasan mutu dilakukan secara ketat pada industri farmasi yang
memproduksinya dengan cara menerapkan Cara Pembuatan Obat yang baik (CPOB)
sepenuhnya dan dilakukan pengujian ulang di laboratorium BPOM.
Sebelum diproduksi dalam bentuk generik, obat yang ditemukan oleh suatu
industri farmasi akan dipatenkan selama dua puluh tahun. Setelah melewati dari masa
itu, maka obat tersebut diperbolehkan untuk diproduksi oleh industri farmasi lain atau
disebut dengan lepas paten (off-patent). Selanjutnya obat tersebut dapat diproduksi
1
dan dapat dipasarkan dengan nama brandedgenerik atau dengan nama generik
(WHO, 1988). Obat bernama dagang adalah obat milik perusahaan tertentu dengan
nama khas yang dilindungi hukum, yaitu dengan merk terdaftar atau proprietary
name (Tjay, et al, 2002). Biasanya menggunakan nama dagang yang sangat
bermacam-macam, tergantung dari yang diproduksi oleh pabrik, walaupun jenis obat
nya sama. Kemasannya pun dibuat lebih mewah sehingga dapat menarik pembeli dan
dapat dipromosikan oleh pabrik-pabrik obat secara gencar dengan nama dagang yang
berbeda-beda. Obat generik biasanya mempunyai harga yang lebih terjangkau
dibandingkan dengan obat yang bernama dagang.
Salah satu tujuan pembangunan di bidang kesehatan di bidang obat adalah
meningkatkan penyebaran obat secara teratur dan merata, sehingga dapat dengan
mudah diperoleh bagi yang membutuhkan pada saat yang diperlukan serta dapat
terjangkau oleh masyarakat umum baik harganya maupun kebutuhannya
(Departemen Kesehatan RI,2010). Pemerintah telah melakukan berbagai cara dan
upaya untuk meningkatkan keterjangakauan obat oleh masyarakat dengan cara antara
lain dengan penyediaan dan penggunaan obat-obatan generik yang bermutu.
Pemanfaatan dari obat generik akan semakin memperluas cakupan obat karena
masyarakat yang tadinya tidak mampu dalam membeli obat yang dibutuhkan
dikarenakan harga yang kurang terjangkau, dapat membeli obat tersebut dengan harga
terjangkau. Perluasan cakupan obat berarti perluasan cakupan pelayanan kesehatan,
yang akan meningkatkan volume penggunaan obat.
Ada beberapa tujuan yang hendak dicapai melalui kebijakan obat generik di
Indonesia, yaitu meningkatkan mutu, memeratakan pelayanan kesehatan dengan
menyediakan obat-obatan yang terjangkau bagi masyarakat luas, meningkatkan
efisiensi penggunaan dana khususnya dana pemerintah untuk obat-obatan yang
bermutu dengan harga yang terjangkau bagi masyarakat luas, dan memberikan
pengertian kepada masyarakat bahwa obat generik adalah baik dan bermutu serta
mempunyai kemampuan pengobatan yang sama dengan obat bernama dagang
2
(Departemen Kesehatan RI, 2010). Perlu dilakukan upaya agar masyarakat mampu
mengerti bahwa obat generik yang harganya lebih terjangkau sama efektifnya dengan
obat bernama dagang yang harganya jauh lebih mahal.
Pelaksanaan kebijakan pemerintah tentang penulisan resep obat generik baik
di rumah sakit pemerintah, rumah sakit swasta maupun tempat praktek dokter swasta
masih terdapat beberapa kendala yaitu (Kuntjoro et al., 2000) beberapa dokter masih
banyak yang memandang anjuran penggunaan obat generik sedikit banyak telah
membatasi kebebasan profesional, keragu-raguan terhadap mutu dari obat esensial
yang menggunakan nama generik, tidak semua penyakit mempunyai nama obat
esensial yang dipasarkan dengan nama generik, tidak tersedianya obat esensial
dengan nama generik, dokter tidak terbiasa menulis resep dengan nama generik,
kepercayaan masyarakat yang masih kurang terhadap obat generik yang dianggap
tidak lebih baik dari obat bernama dagang. Dengan adanya Permenkes nomor
085/Menkes/Per/l/1989 tentang kewajiban menuliskan resep dan atau menggunakan
obat generik di fasilitas kesehatan pemerintah serta keputusan Direktur Jenderal
Pelayanan Medik nomor 0428/YANMED/RSKS/SK/1989 tentang petunjuk
pelaksanaan peraturan Menteri Kesehatan RI yang berisi kewajiban menuliskan resep
dan /atau menggunakan obat generik di rumah sakit pemerintah, maka melalui
program obat generik upaya pemerataan pelayanan kesehatan melalui rumah sakit
dapat tercapai dengan baik. Pelaksanaan penggunaan obat generik ini di utamakan di
rumah sakit pemerintah, sedangkan untuk rumah sakit swasta juga diwajibkan untuk
menyediakan obat esensial dengan nama generik untuk kebutuhan pasien berobat
jalan dan rawat inap (Departemen Kesehatan RI, 1989).
Pelaksanaan kebijakan penggunaan obat generik di Rumah Sakit Umum
(RSU) PKU Muhammadiyah ditetapkan dengan keputusan Direktur nomor : 1521/E-
IV/SK.3.2/VII/2001 tanggal 16 Juli 2001 tentang kewajiban menulis resep dan /atau
menggunakan obat generik RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta khususnya untuk
pasien kelas III rawat inap (pasien yang kurang mampu). Penerapan kebijakan
3
tersebut dengan alasan bahwa pasien kelas III pada dasarnya adalah dari masyarakat
yang kurang mampu sehingga dengan adanya kebijakan tersebut maka akan
meningkatkan pelayanan obat dengan biaya yang terjangkau oleh pasien kelas III.
WHO memiliki indikator peresepan yang terdiri atas beberapa komponen,
yaitu : rata-rata jumlah obat per sekali peresepan, persentase obat yang diresepkan
menggunakan nama generik, persentase antibiotika yang diresepkan, persentase obat
injeksi yang diresepkan, dan persentase obat yang diresepkan yang sesuai dengan
daftar obat esensial. Namun dalam kenyataannya, masih banyak terdapat
ketidakrasionalan yang terjadi berdasarkan indikator ini. Misalnya saja mengenai
peresepan obat injeksi yang dilakukan di Asia dan Afrika, pasien dalam jumlah besar
di tempat pelayanan kesehatan selalu menerima obat injeksi yang tidak aman dan
tidak perlu(Simonsen et al.1999).
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka disusun rumusan
masalah sebagai berikut : “Bagaimana perbedaan perbandingan implementasi
indikator peresepan WHO berdasarkan kelas perawatan di Unit Rawat InapRSI
Yogyakarta Persatuan Djamaah Haji Indonesia (PDHI) periode September-
November tahun 2011? “
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui perbandingan implementasi indikator peresepan WHO
berdasarkan kelas perawatan di Unit Rawat Inap RSI Yogyakarta “PDHI” pada
periode September-November tahun 2011.
4
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui rata-rata jumlah obat yang diresepkan oleh dokter
berdasarkan kelas perawatan di Unit Rawat Inap RSI Yogyakarta
“PDHI” pada periode September-November tahun 2011.
2. Untuk mengetahui persentase obat yang diresepkan dengan
menggunakan nama generik berdasarkan kelas perawatan di Unit
Rawat Inap RSI Yogyakarta “PDHI” pada periodeSeptember-
November tahun 2011.
3. Untuk mengetahui persentase jenis obat antibiotika yang diresepkan
berdasarkan kelas perawatan di Unit Rawat InapRSI Yogyakarta
“PDHI” periode September-November tahun 2011.
4. Untuk mengetahui persentase obat injeksi berdasarkan kelas perawatan
di Unit Rawat InapRSI Yogyakarta “PDHI” periodeSeptember-
Novembertahun 2011.
5. Untuk mengetahui persentase obat yang diresepkan yang sesuai dengan
daftar obat esensial berdasarkan kelas perawatan di Unit Rawat Inap
RSI Yogyakarta “PDHI” periode September-November tahun 2011.
1.4. Keaslian Penelitian
Penelitian tentang perbandingan penggunaan obat generik dan esensial
berdasar kelas perawatan pada pasien rawat inap di RSI “PDHI” Yogyakarta,
sepengetahuan peneliti belum pernah dilakukan. Penelitian yang hampir sama pernah
dilakukan oleh :
1). Kuntjoro dkk (2000) tentang pola pemilihan obat generik dan obat non generik
pada berbagai profesi dan tempat kerja dokter di Kodya Magelang.
5
Dengan hasil : Peresepan obat generik oleh dokter spesialis lebih rendah bila
dibandingkan dengan dokter umum maupun dokter gigi, penggunaan obat generik
lebih banyak digunakan di rumah sakit pemerintah, penggunaan obat generik lebih
banyak digunakan di rumah sakit swasta maupun di tempat praktek dokter swasta.
Persamaan penelitian : Tema perilaku dokter dalam peresepan obat generik.
Perbedaan penelitian : Pada penelitian Kuntjoro menggunakan metode penelitian
deskriptif dengan pendekatan kualitatif.
2). Koesnandar (2005) tentang penggunaan obat generik pada pasien gakin di RSUD
DR. Murjani Kotawaringin Timur.
Dengan hasil : Penggunaan obat generik yang cukup tinggi pada pasien gakin, namun
masih terdapat penggunaan obat non generik dikarenakan oleh keterbatasan
ketersediaan obat generik.
Persamaan : Tema penggunaan obat generik dan obat non generik pada pasien kurang
mampu atau berdasar rawat inap dikelas tiga.
Perbedaan : Pada penelitian Koesnandar menggunakan metode penelitian deskriptif
dengan menggunakan pendekatan kualitatif.
1.5. Manfaat Penelitian
1. Bagi peneliti
Dengan adanya penelitian untuk mengetahui perbandingan
implementasi indikator peresepan WHO 1993 berdasarkan kelas perawatan di
Unit Rawat Inap RSI Yogyakarta “PDHI” pada periode Juni-Agustus tahun
2011, diharapkan dapat digunakan sebagai media pembelajaran dan
6
memperluas ilmu pengetahuan, serta pengalaman peneliti dalam melakukan
penelitian selanjutnya.
2. Bagi Rumah Sakit dan Sarana Pelayanan Kesehatan lainnya
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai
perbandingan implementasi indikator peresepan WHO 1993 berdasarkan kelas
perawatan di Unit Rawat Inap RSI Yogyakarta “PDHI” pada periode Juni-
Agustus tahun 2011, sehingga dapat digunakan oleh dokter dalam
pengambilan keputusan pemberian resep kepada pasien.
3. Bagi Pemerintah
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu data
implementasi atas aturan mengenai obat generik yang telah
diberlakukan.Selain itu, Pemerintah dapat melakukan evaluasi dalam
pengaturan kebijakan penggunaan obat generik.
4. Bagi peneliti selanjutnya
Dengan adanya penelitian ini, diharapkan dapat digunakan sebagai
bahan acuan bagi peneliti lain untuk melakukan penelitian selanjutnya dalam
bidang yang sama.
7
BAB II.TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengobatan Rasional
Berdasarkan peraturan Kepmenkes RI No. 1027/Menkes/SK/IX/2004, tentang
standar pelayanan kefarmasian di apotek, resep didefinisikan sebagai permintaan
tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan kepada apoteker untuk menyediakan
dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Peresepan suatu obat dapat dikatakan tidak rasional, apabila kemungkinan
untuk memberikan manfaat kecil atau tidak ada manfaatnya sama sekali, sedangkan
kemungkinan manfaatnya tidak sebanding dengan efek samping ataupun biayanya
Pertimbangan mengenai manfaat, risiko, dan biaya dari masing-masing dokter dapat
berbeda sama sekali. Tetapi perbedaan tersebut dapat dikurangi atau dapat diperkecil
dengan komponen-komponen dasar dalam proses keputusan terapi atau elemen-
elemen pokok pemakaian obat secara rasional tetap selalu dipertimbangkan.
Peresepan obat yang dilakukan oleh dokter harus selalu berpedoman pada pengobatan
rasional sesuai dengan standar WHO (Vance & Millington, 1986).
Ketidakrasionalan dalam peresepan obat memiliki beberapa bentuk yang
dikelompokkan sebagai berikut (MSH, 1984)
1. Peresepan boros (extravagant), yaitu peresepan dengan obat-obat mahal
meskipun masih ada alternatif obat yang lebih terjangkau dengan keamanan
dan manfaat yang sama.
2. Peresepan berlebihan (over prescribing), terjadi jika lama pemberian atau
jumlah obat yang diresepkan melebihi yang seharusnya.
3. Peresepan yang salah (incorrect prescribing) terdiri atas pemakaian obat
dengan indikasi yang tidak tepat, diagnosis tepat namun obatnya salah,
8
pemberian obat kepada pasien yang salah, pemberian obat tanpa
memperhitungkan kondisi lain yang sedang diderita pasien secara bersamaan.
4. Peresepan majemuk (multiple prescribing), yaitu peresepan yang cukup
menggunakan obat tunggal saja namun memakai dua atau lebih kombinasi
obat.
5. Peresepan kurang (under prescribing) terjadi jika obat yang diperlukan tidak
diresepkan, dosis tidak mencukupi atau lama pemberiannya terlalu pendek.
Dokter dalam memilih resep untuk pasien, dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Faktor tersebut antara lain faktor internal didalam diri dokter yang terdiri dari
informasi atau pengetahuan dan kepercayaan serta pengalaman dokter tersebut
terhadap obat; dan faktor eksternal yang terdiri dari pengaruh pasien, hubungan
dokter dan pasien, dan konteks sosial yang lebih luas, termasuk pengaruh promosi,
sejawat dan adanya insentif finansial (Soumerai, 1988; Greenhalgh dan Gill, 1997;
Quick et al., 1997).
a. Faktor internal
Faktor internal yang berpengaruh dalam peresepan adalah informasi,
kepercayaan, dan pengalaman dokter terhadap obat yang akan diresepkan (Quick et
al., 1997). Dokter juga sangat membutuhkan informasi dalam menentukan obat yang
akan diresepkan kepada pasiennya. Informasi yang dibutuhkan umumnya obat
bermerek dagang, obat generik, indikasi dan kontraindikasi, terapi pilihan dan terapi
alternative, dosis, overdosis dan aturan pakai obat, efek samping obat dan harga
obat.Jurnal adalah salah satu sumber informasi obat lama maupun obat baru yang
dianggap penting bagi para dokter menurut (McGettigan et al. 2001).Khusus untuk
obat-obatan yang baru, sumber informasi dapat diperoleh dari berbagai macam
sumber yaitu detailer dan dokter spesialis, kemudian baru dari pertemuan klinis,
kuliah dan jurnal.Perilaku peresepan dalam penelitian Kuntjoro (2000) menunjukkan
9
bahwa dokter spesialis lebih cenderung memilih menggunakan obat non-
generik.Dalam hal detailer, tentu informasi yang diberikan adalah mengenai obat
produksi pabriknya.
Kepercayaan terhadap mutu, khasiat, dan keamanan pemakaian suatu obat
akan mempengaruhi peresepan obat oleh seorang dokter. Anggapan dokter bahwa
obat generik kurang manjur mengindikasikan bahwa adanya kemungkinan dokter
yang kurang patuh terhadap penggunaan obat generik.Ketidakpercayaan dokter
terhadap obat generik memungkinkan dokter meresepkan obat bermerek dagang
secara langsung kepada pasien.
b. Faktor eksternal
Faktor eksternal dapat dibagi menjadi beberapa faktor yaitu faktor pasien dan
konteks sosial.
i. Faktor pasien :
Perilaku peresepan oleh dokter dipengaruhi oleh persepsi dirinya
terhadap latar belakang sosial, kepercayaan, sikap, dan harapan pasien, serta
diagnosis pasti yang masih belum dapat ditegakkan. Dokter biasanya akan
merasa kesulitan jika menolak permintaan pasien atau menolak memberi resep
untuk pasien usia lanjut, pasien dari kelas sosial tertentu, serta pasien dengan
latar belakang medis dan paramedis (Bradley, 1997cit .Greenhalgh dan Gill,
1997).
Pertimbangan dalam penentuan pilihan obat juga terpengaruh dari
keadaan sosial ekonomi dan penyakit dari pasien.Bagi pasien dengan kondisi
ekonomi rendah dan harus membayar obat sendiri, obat generik merupakan
pilihan yang paling tepat.Demikian pula dengan penyakit kronis yang
membutuhkan terapi lama, obat generik merupakan pilihan terapi yang paling
baik.
10
Faktor lain yang mempengaruhi pertimbangan seorang dokter dalam
penulisan resep obat adalah permintaan dari pasien (Soumerai, 1988; Quick et
al., 1997). Hal ini tidak mengherankan, karena pada hakikatnya pasien akan
secara aktif menentukan pengobatan dirinya sehingga keputusan dan pilihan
untuk berobat, kemana akan berobat, menggunakan obat atau tidak, semua
tergantung dan merupakan hak paten dari pasien tersebut. Keputusan dan
pilihan obat oleh pasien dipengaruhi oleh budaya, pendididkan, sikap, dan
pengetahuannya. Pasien terpandang dan sosial ekonominya tinggi terkadang
akan meminta dipilihkan menggunakan obat bermerek dagang dalam
terapinya. Apabila ada permintaan dari pasien untuk menggunakan obat
bermerkdagang maka, biasanya dokter akan meluluskannya (Macfarlane et
al., 1997).
ii. Konteks sosial
Konteks sosial yang mempengaruhi pertimbangan dalam peresepan
oleh seorang dokter meliputi hal-hal diluar hubungan dokter-pasien.Dalam hal
residen, pengaruh luar ini dapat berasal dari senior atau detailer obat bermerk
dagang(Soumerai, 1988).
Pemberian terapi untuk masing-masing diagnosis pasien, idealnya
sebuah rumah sakit harus mempunyai standar terapi yang dipatuhi oleh
dokter.Interaksi antara dokter dengan detailer obat, umumnya diperbolehkan.
Interaksi antara dokter dengan detailer obat ini merupakan salah satu cara
agar promosi obat yang dipromosikan dapat diresepkan.Detailer melakukan
berbagai upaya pendekatan agar dokter mau meresepkan obat buatan
pabriknya, (Roughead et al., 1998).Pendekatan yang paling sering dilakukan
adalah dengan pemberian hadiah, barang cetakan, leaflet informasi obat,
demonstrasi, presentasi ilmiah, pameran, jamuan makan, sampai tak jarang
pemberian insentif berupa uang. Meskipun beberapa dokter mengatakan
11
pemberian tersebut tidak mempengaruhi peresepan yang diberikan kepada
pasien mereka (Madhavan et al., 1997), tetapi menurut beberapa peneliti, para
detailer sangat besar pengaruhnya dalam mengubah perilaku peresepan dokter
(Shaughnessy dan Slawson, 1996; Wazana, 2000; Shapiro dan Schultz, 2001).
Promosi obat yang dilakukan oleh detailer tidak hanya ditujukan
kepada dokter saja, tetapi pasar secara keseluruhan, termasuk pasien. Strategi