Top Banner
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kematian ibu dan perinatal merupakan tolak ukur kemampuan pelayanan kesehatan suatu negara. Kematian saat melahirkan biasanya menjadi faktor utama mortalitas wanita muda pada masa puncak produktivitasnya. World Health Organization (WHO) memperkirakan lebih dari 585.000 ibu pertahunnya meninggal saat hamil atau bersalin (Saefuddin, 2002). Menurut WHO 15-50% kematian ibu disebabkan oleh abortus. Komplikasi abortus berupa perdarahan atau infeksi dapat menyebabkan kematian. Itulah sebabnya rnengapa kematian ibu yang disebabkan abortus sering tidak muncul dalam laporan kematian, tapi dilaporkan sebagai perdarahan atau sepsis (Azhari, 2002). Tidak ada data yang pasti tentang berapa besarnya dampak abortus terhadap kesehatan ibu. WHO memperkirakan di seluruh dunia setiap tahun dilakukan
108

editan BAB I - V

Dec 26, 2015

Download

Documents

editanh
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: editan BAB I - V

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kematian ibu dan perinatal merupakan tolak ukur kemampuan

pelayanan kesehatan suatu negara. Kematian saat melahirkan biasanya

menjadi faktor utama mortalitas wanita muda pada masa puncak

produktivitasnya. World Health Organization (WHO) memperkirakan lebih

dari 585.000 ibu pertahunnya meninggal saat hamil atau bersalin

(Saefuddin, 2002).

Menurut WHO 15-50% kematian ibu disebabkan oleh abortus.

Komplikasi abortus berupa perdarahan atau infeksi dapat menyebabkan

kematian. Itulah sebabnya rnengapa kematian ibu yang disebabkan

abortus sering tidak muncul dalam laporan kematian, tapi dilaporkan

sebagai perdarahan atau sepsis (Azhari, 2002).

Tidak ada data yang pasti tentang berapa besarnya dampak abortus

terhadap kesehatan ibu. WHO memperkirakan di seluruh dunia setiap

tahun dilakukan 20 juta unsafe abortion, 70.000 wanita meninggal akibat

unsafe abortion, dan 1 diantara 8 kematian ibu disebabkan unsafè

abortion (Azhari, 2002).

Menurut WHO persentase terjadinya abortus cukup tinggi. Sekitar

15-40% angka kejadian diketahui pada ibu yang sudah dinyatakan positif

1

Page 2: editan BAB I - V

2

hamil, dan 60-75% angka abortus terjadis ebelum usia kehamilan

mencapai 12 minggu (Lestariningsih, 2008).

Menurut WHO tahun 2007 Angka Kematian Ibu (AKI) tahun 2007

sebesar 248/100.000 KH. Jika dibandingkan dengan AKI tahun 2002

sebesar 307/100.000 KH, AKI tersebut sudah jauh menurun, namun

masih jauh dari target MDGs 2015 yaitu 102/100.000 KH. Data Suvey

Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 menunjukkan

Angka Kematian Balita sebesar 44/1000, Angka Kematian Bayi 34/1000,

dan Angka Kematian Neonatal 19/1000. Data terakhir pada 2007

menunjukkan AKI sebesar 228/100.000 kelahiran hidup, masih jauh dari

target MDGs sebesar 102/100.000 kelahiran hidup.

Menurut WHO tahun 2008 bahwa penyebab kematian ibu adalah

karena 4T, yaitu terlalu muda punya anak, yaitu umur kurang dari 20

tahun, terlalu banyak melahirkan yatu lebih dari 3 anak, terlalu rapat jarak

melahirkan yaitu kurang dari 2 tahun, terlalu tua punya anak yaitu lebih

dari 35 tahun.

Pada umumnya di usia yang lebih dari 35 tahun sangat besar

kemungkinan untuk mengalami abortus dimana di usia ini rahim dan

fungsi kesehatan ibu sudah semakin menurun, sehingga tidak mampu

untuk memproduksi dan rentan terhadap abortus. Demikian juga paritas

merupakan salah satu faktor karena umumnya abortus terjadi pada

wanita yang Grandipara ( Muhammad, 2009).

Page 3: editan BAB I - V

3

Menurut BKKBN (2008) Angka Kematian Ibu di propinsi banten

mencapai 256 per 100.000 KH. Angka Kematian Bayi mencapai 34 per

1000 KH. Angka Kematian Bayi (AKB) di Provinsi Banten tahun 2010

mencapai 22,8 dari 1.000 kelahiran hidup, demikian juga Angka Kematian

Ibu (AKI) tahun 2010 mencapai 187,3 per 100.000 KH.

Angka kematian ibu, di kabupaten lebak dari bulan Januari-

Desember 2010 mencapai 24 orang ibu meninggal ( Dinkes Kabupaten

Lebak, 2010 ).

Dari hasil rekapitulasi laporan Audit Maternal Perinatal ( AMP )

kesehatan ibu di kabupaten Lebak dari bulan Januari sampai Desember

tahun 2009 terdapat 654 orang yang mengalami abortus. Dan dari

rekapitulasi laporan Audit Maternal Perinatal ( AMP ) kesehatan ibu di

kabupaten Lebak dari Januari sampai Mei 2010 terdapat 409 orang yang

mengalami abortus ( Dinkes Kabupaten Lebak, 2010 ).

Perdarahan selama kehamilan dianggap sebagai suatu keadaan

akut yang dapat membahayakan ibu dan anak sehingga menimbulkan

kematian. Wanita hamil yang mengalami perdarahan pada umur

kehamilan < 20 minggu biasanya berakhir dengan abortus yaitu keluarnya

hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup diluar kandungan dengan berat

janin < 500 gram. Sampai saat ini kejadian abortus masih dianggap

sebagai masalah kesehatan yang sangat serius dalam masyarakat

terutama abortus inkomplit yang termasuk penyebab langsung kematian

Page 4: editan BAB I - V

4

ibu yang apabila tidak mendapat penanganan segera dapat meningkatkan

morbiditas dan mortalitas ( Susi, 2008).

Berdasarkan survey awal yang dilakukan peneliti pada tanggal 15

Februari 2012 dengan data yang diperoleh dari Buku Register Ruang

Bersalin RSUD dr. Adjidarmo pada bulan Januari sampai Desember 2011

terdapat 304 kasus yang mengalami Abortus.

Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk melakukan

penelitian mengenai “ Hubungan Karakteristik Ibu Dengan Kejadian

Abortus di Ruang Bersalin RSUD dr. Adjidarmo Rangkasbitung Tahun

2011 “ .

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu adakah hubungan

karakteristik ibu dengan kejadian abortus di Ruang Bersalin RSUD dr.

Adjidarmo Rangkasbitung Tahun 2011.

1.3 Tujuan penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Untuk mengetahui hubungan karakteristik ( umur, paritas, pendidikan

dan pekerjaa ) ibu dengan kejadian abortus di Ruang Bersalin RSUD dr.

Adjidarmo Rangkasbitung Tahun 2011.

Page 5: editan BAB I - V

5

1.3.2 Tujuan khusus

1. Untuk mengetahui distribusi frekuensi kejadian abortus di Ruang

Bersalin RSUD dr. Adjidarmo Rangkasbitung Tahun 2011.

2. Untuk mengetahui distribusi frekuensi karakteristik ibu ( umur, paritas,

pendidikan dan pekerjaan ).

3. Untuk mengetahui hubungan umur ibu dengan kejadian Abortus di

Ruang Bersalin RSUD dr. Adjidarmo Rangkasbitung Tahun 2011.

4. Untuk mengetahui hubungan paritas ibu dengan kejadian Abortus di

Ruang Bersalin RSUD dr. Adjidarmo Rangkasbitung Tahun 2011.

5. Untuk mengetahui hubungan pendidikan ibu dengan kejadian Abortus

di Ruang Bersalin RSUD dr. Adjidarmo Rangkasbitung Tahun 2011.

6. Untuk mengetahui hubungan pekerjaan ibu dengan kejadian Abortus di

Ruang Bersalin RSUD dr. Adjidarmo Rangkasbitung Tahun 2011.

1.4 Ruang Lingkup

Ruang Lingkup dalam penelitian ini adalah di bidang kebidanan

khususnya tentangan kebidanan patologis yaitu ibu hamil yang mengalami

abortus di Ruang Bersalin RSUD dr. Adjidarmo Rangkasbitung Tahun

2011.

Page 6: editan BAB I - V

6

1.5Manfaat penelitian

1.5.1 Bagi Peneliti

Dapat mengetahui dan mengerti serta menambah pengalaman

peneliti sebagai pengalaman yang berharga. Serta menambah

wawasan dan pengetahuan peneliti dalam menerapkan ilmu yang

didapat selama perkuliahan, terutama tentang kejadian Abortus.

1.5.2 Bagi RSUD dr. Adjidarmo

Dari hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk kedepannya dan

diharapkan penelitian ini dapat menjadi masukan untuk RSUD dr.

Adjidarmo Rangkasbitung Tahun 2011.

1.5.3 Bagi Institusi Pendidikan

Sebagai bahan bacaan dan dokumentasi di Akademi Kebidanan La

Tansa Mashiro.

Page 7: editan BAB I - V

7

BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Abortus

2.1.1 Definisi Abortus

Abortus adalah keadaan terputusnya suatu kehamilan dimana fetus

mempunyai berat 400-1000 gram. Atau usia kehamilan kurang dari 28

minggu (Pujiningsih, 2010).

Keguguran atau abortus adalah dikeluarkannya hasil konsepsi

sebelum mampu hidup di luar kandungan dengan berat badan kurang dari

1000 gram atau usia kehamilan kurang dari 28 minggu ( Manuaba, 2010 ).

Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum

janin dapat hidup di luar kandungan. Sebagai batasan ialah kehamilan

kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram

( Prawirohardjo, 2008).

Abortus menjadi tidak terhindarkan, jika perdarahan uterus disertai

kontraksiuterus yang kuat dan menyebabkan dilatasi serviks. Ibu akan

mengalami nyeri kolik uterus yang hebat dan pemeriksaan vagina akan

menunjukkan dilatasi osteum serviksdengan bagian kantong konsepsi

menonjol di dalamnya. Abortus yang tak terhindarkan ini dapat mengikuti

tanda-tanda abortus mengancam atau yang lebih umum, mulai tanpa

peringatan terlebih dahulu. Bila tanda-tanda abortus yang tak terhindarkan

dapat terjadi abortus (Manuaba, 2008).

7

Page 8: editan BAB I - V

8

Gugur kandungan atau aborsi (bahasa Latin: abortus) adalah

berhentinya kehamilan sebelum usia kehamilan 20 minggu yang

mengakibatkan kematian janin. Apabila janin lahir selamat (hidup)

sebelum 38 minggu namun setelah 20 minggu, maka istilahnya adalah

kelahiran prematur.

Dalam ilmu kedokteran, istilah-istilah ini digunakan untuk membedakan

aborsi:

a. Spontaneous abortion: gugur kandungan yang disebabkan oleh

trauma kecelakaan atau sebab-sebab alami.

b. Induced abortion atau procured abortion: pengguguran kandungan

yang disengaja. Termasuk di dalamnya adalah:

a) Therapeutic abortion: pengguguran yang dilakukan karena

kehamilan tersebut mengancam kesehatan jasmani atau

rohani sang ibu, kadang-kadang dilakukan sesudah

pemerkosaan.

b) Eugenic abortion: pengguguran yang dilakukan terhadap

janin yang cacat.

c) Elective abortion: pengguguran yang dilakukan untuk

alasan-alasan lain.

Dalam bahasa sehari-hari, istilah "keguguran" biasanya digunakan

untuk spontaneous abortion, sementara "aborsi" digunakan untuk induced

abortion ( Apuranto, 2012 ).

Page 9: editan BAB I - V

9

2.1.2 Jenis – jenis Abortus

2.1.2.1 Abortus Imminens

Keguguran mengancam ( abortus imminens ) ditegakkan dengan adanya

keterlambatan datang bulan, perdarahan disertai perut sakit ( mules ). Pada

pemeriksaan dijumpai besarnya rahim sama dengan usia kehamilan dan terjadi

kontraksi otot rahim. Hasil pemeriksaan dalam menunjukkan perdarahan dari

kanalis servikalis, kanalis servikalis masih tertutup, dan dapat dirasakan kontraksi

otot rahim. Hasil pemeriksaan tes kehamilan masih positif ( Manuaba 2010 ).

Peristiwa terjadinya perdarahan dari uterus pada kehamilan sebelum

20 minggu, di mana hasil konsepsi masih dalam uterus dan tanpa adanya

dilatasi serviks. Pada umumnya terjadi perdarahan yang berasal dari hasil

dari pembuahan(embrio) yang lepas sebagian atau terjadi perdarahan di

belakang tempat embrio menempel. Perdarahan seringkali hanya sedikit

namun hal tersebut berlangsung beberapa hari atau minggu dapat juga di

sertai rasa mulas ringan, sama dengan padawaktu menstruasi atau nyeri

pinggang bawah (Prawirohardjo, 2008).

Abortus imminens adalah perdarahan bercak yang menunjukkan

ancaman terhadap kelangsungan sauatu kehamilan. Dalam kondisi

seperti ini kehamilan masih mungkin berlanjut atau dipertahankan.

(Saifuddin, 2002).

Page 10: editan BAB I - V

10

2.1.2.2 Abortus Insipiens

Keguguran membakat ( abortus insipiens ) ini tidak dapat dihentikan, karena

setiap saat dapat terjadi ancaman perdarahan dan pengeluaran hasil konsepsi.

Keguguran membakat ditanadai dengan perdarahan lebih banyak, perut mules

lebih hebat, pada pemeriksaan dijumpai perdarahan lebih banyak, kanalis

servikalis terbuka dan jaringan/hasil konsepsi dapat diraba ( Manuaba 2010 ).

Peristiwa perdarahan uterus pada kehamilan sebelum 20 minggu,

dengan adanya dilatasi serviks uteri yang meningkat tetapi hasil konsepsi

masih dalam uterus. Pada keadaan ini nyeri abdomen menjadi semakin

sering dan lebih kuat. Perdarahan lebih banyak. Ostium uteri internum dan

eksternum telah terbuka dan kantong ketuban menonjol keluar (Sujiyatini,

2009).

Abortus Insipiens adalah perdarahan ringan hingga sedang pada

kehamilan muda dimana hasil konsepsi masih berada dalam kavum uteri (

Prawirohardjo, 2006 ).

2.1.2.3 Abortus Inkompletus

Pengeluaran sebagian hasil konsepsi pada kehamilan sebelum 20

minggu dengan masih ada sisa tertinggal di dalam uterus. Biasanya terjadi

nyeri abdomen yang lebih nyeri dari pada his sewaktu partus dan ostium

uteri internum dan eksternum telah terbuka. Perdarahan bisa sedikit dan

banyak barupa darah beku. His yang terjadi melepaskan konseptus dari

tempat implantasinya dan keluar melaluiorifisium eteri (Pujiningsih, 2010).

Page 11: editan BAB I - V

11

Keguguran tak lengkap ( abortus inkompletus ) ditandai dengan

dikeluarkannya sebagian hasil konsepsi dari uterus, sehingga sisanya

memberikan gejala klinis ( Manuaba 2010 ).

Abortus inkompletus adalah perdarahan pada kehamilan muda di

mana sebagian dari hasil konsepsi telah ke luar dari kavum uteri melalui

kanalis servikalis ( Prawirohardjo, 2006 ).

2.1.2.4 Abortus Kompletus

Keguguran lengkap ( abortus kompletus ) berarti seluruh hasil konsepsi telah

dikeluarkan, sehingga tidak memerlukan tindakan. Gambaran klinisnya adalah

uterus telah mengecil, perdarahan sedikit, dan kanalis servikalis telah menutup

( Manuaba, 2010 ).

Semua hasil konsepsi sudah di keluarkan sehingga rahim kosong.

Pada penderita di temukan perdarahan sedikit, ostium uteri telah

menutup, dan uterus sudah mengecil (Prawirohardjo, 2008).

Pada penderita di temukan perdarahan sedikit, ostium uteri telah

menutup dan tidak ada lagi gejala kehamilan dan disertai rasa nyeri pada

bagian perut bawah dan pinggang (Sujiyatini, 2009).

Abortus Kompletus adalah perdarahan pada kehamilan muda di

mana seluruh hasil konsepsi telah dikeluarkan dari kavum uteri

( Prawirohardjo, 2006 ).

Page 12: editan BAB I - V

12

2.1.2.5 Missed Abortion

Kematian embrio atau janin berumur 20 minggu, tetapi janin mati

tidak dikeluarkan selama 8 minggu atau lebih. Pada beberapa kasus

terjadi perdarahan antar korion dengan desidua dan darah yeng membeku

membungkus kantong kehamilanyang mengandung embrio yang telah

mati sehingga seluruhnya kelihatan dari luar seperti segumpal daging

yang di sebut mola karnosa (Prawirohardjo, 2008).

Retensi janin mati ( Missed Abortion ) adalah perdarahan pada

kehamilan muda disertai dengan retensi hasil konsepsi yang telah mati

hingga 8 minggu atau lebih ( Prawirohardjo, 2006 ).

2.1.2.6 Abortus Habitualis

Kehilangan 3 atau lebih hasil kehamilan secara spontan dan

berturut-turut (Benson dan Pernol, 2008).

Pada umumnya penderita tidak sulit untuk hamil, namun

kehamilannya berakir sebelum 28 minggu (Sujiyatini, 2009). Biasanya

penyebabnyadi perankan oleh faktor yang serupa walau kadang-kadang

boleh di perankan olehfactor yang berbeda. Kejadiannya jarang di

laporkan hanya 0,4 - 0,5 % dari seluruh kehamilan ( Susi, 2008 ).

Page 13: editan BAB I - V

13

2.1.2.7 Abortus Infeksiosus, Abortus Septik.

Abortus Infeksiosus adalah keguguran disertai infeksi yang sebagian besar

dalam bentuk tidak lengkap dan dilakukan dengan cara tidak legeartis ( Manuaba

2010 ).

Abortus infeksiosus adalah abortus yang di sertai infeksi pada

genitalia,sedangkan abrtus septik adalah abortus infeksiosus berat disertai

penyebaran kumanatau toksin kedalam peredaran darah atau peritoneum

(Prawirohardjo, 2008).

Abortus Infeksiosus adalah abortus yang disertai komplikasi infeksi.

Adanya penyebaran kuman atau toksin ke dalam sirkulasi dan kavum

peritoneum dapat menimbulkan septicemia, sepsis atau peritonitis

( Prawirohardjo 2006 ).

2.1.3 Etiologi

Penyebab abortus sebagian besar tidak di ketahui penyebabnya,

tetapiterdapat beberapa hal yang dapat menyebabkan abortus yaitu

sebagai berikut :

1. Infeksi

a)      Infeksi Toxoplasma Gondii

Penyakit toxoplasmosis bukan disebabkan virus tetapi disebabkan

oleh sejenis parasit toxoplasma gondii. Bila penyakit ini mengjangkiti

seorang wanita hamil, maka pada janin dalam kandungannya juga

akan beresiko terinfeksi dan menimbulkan berbagai kecacatan fisik

Page 14: editan BAB I - V

14

pada anak setelah dilahirkan. Infeksi toxoplasma gondii menyebabkan

abortus spontan sebesar 4%, lahir mati sebesar 3%, toxoplasmosis

bawaan 20% (Haksohusodo, 2002).

b)      Infeksi Virus Rubella

Infeksi rubella merupakan penyakit infeksi ringan pada anak dan

dewasa muda, tetapi memberi nuansa istimewa seandainya infeksinya

mengenai ibu hamil, dimana virus dapat menembus barier plasenta

dan langsung patogenik terhadap janin yang dikandung. Infeksi

rubella dapat menyebabkan abortus spontan, lahir mati, malformasi

janin, kelainan bayi, sindrom rubella pada anak di kemudian hari

(Haksohusodo, 2002).

c)      Infeksi Cytomegalo Virus

Infeksi CMV pada wanita hamil dapat memberikan dampak : lahir

prematur, berat badan rendah, memperlihatkan gejala-gejala kuning,

mikrosefali, perkapuran pada otak, pembesaran hati dan limfa,

kerusakan pada mata dan telinga, keterbelakangan mental, gangguan

pembentukan darah. (Haksohusodo, 2002)

d)     Infeksi Virus Herpes Simplex

Herpes simplex / herpes genetalis adalah penyakit infeksi yang

disebabkan oleh HSV2 di mukosa alat kelamin dan sebagian kecil

HSV1 di mukosa mulut. Wanita hamil yang terinfeksi HSV2 harus

ditangani secara serius, karena virus dapat menembus plasenta dan

Page 15: editan BAB I - V

15

menimbulkan kerusakan neonatal, dampak-dampak kongenital, dan

abortus spontan (Haksohusodo, 2002).

  e)      Malaria

Terdapat empat spesies plasmodium yang menyebabkan malaria

pada manusia, yaitu vivax, ovale, malariae, dan falsiparum.

Organisme ini ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina.

Serangan-serangan malaria secara bermakna meningkat tiga sampai

empat kali lipat pada dua trimester terakhir kehamilan dan dua bulan

pascapartum. Insiden abortus dan kelahiran preterm meningkat pada

wanita hamil yang mengalami malaria (Cunningham, 2005).

f)      Pneumonia

Pneumonia dalam kehamilan merupakan penyebab kematian non

obstetrik yang terbesar setelah penyakit jantung. Oleh karena itu,

pneumonia harus segera diketahui dalam kehamilan, segera dirawat,

dan diobati secara intensif untuk mencegah timbulnya kematian

janin/ibu, terjadinya abortus, persalinan prematur, atau kematian

dalam kandungan (Wiknjosastro, 2005).

g)      Demam Tifoid

Disebabkan oleh Salmonella typhi yang disebarkan melalui ingesti oral

makanan, air, atau susu yang tercemar. Pada wanita hamil, penyakit

lebih mungkin dijumpai selama epidemi atau pada mereka yang

terinfeksi HIV. Dari kajian Dildy dkk (1990), dilaporkan bahwa demam

tifoid antepartum dahulu menyebabkan abortus atau persalinan

Page 16: editan BAB I - V

16

preterm pada hampir 80% kasus, dengan angka kematian janin 60%

dan angka kematian ibu 25% (Cunningham, 2005).

2. Keracunan, misalnya keracunan tembaga, timah, air raksa, dll.

3. Penyakit kronis, misalnya hipertensi esensial, diabetes, dan asma.

a.      Hipertensi esensial

Wanita hamil dengan hipertensi esensial biasanya hanya

menunjukkan gejala hipertensi tanpa gejala-gejala lain. Prognosis ibu

dengan hipertensi esensial berat dan kehamilan kurang baik. Angka

kematian pada hipertensi esensial berkisar antara 1% dan 2%,

kematian biasanya disebabkan perdarahan otak, dekompensasio

kordis, atau uremia. Kurang baiknya prognosis bagi janin disebabkan

oleh sirkulasi utero-plasenter yang kurang baik pada hipertensi berat.

Janin bertumbuh kurang wajar (dismaturitas), lahir prematur, atau mati

dalam kandungan (Wiknjosastro, 2005).

b. Diabetes Melitus

Komplikasi ibu dan bayi pada penderita diabetes akan meningkat

karena perubahan metabolik. Diperkirakan kejadian diabetes dalam

kehamilan ialah 0,7% tetapi seringkali sukar ditemukan karena

rendahnya kemampuan deteksi kasus (Wiknjosastro, 2005).

Abortus spontan dan malformasi kongenital mayor meningkat pada

wanita dengan diabetes dependen-insulin. Resiko ini berkaitan

dengan derajat kontrol metabolik pada trimester pertama

(Cunningham, 2005).

Page 17: editan BAB I - V

17

c. Asma

Asma bronkiale merupakan salah satu penyakit saluran pernafasan

yang sering dijumpai dalam kehamilan dan persalinan. Pengaruh

asma pada ibu dan janin sangat bergantung dari sering dan beratnya

serangan, karena ibu dan janin akan kekurangan oksigen atau

hipoksia. Keadaan hipoksia bila tidak segera diatasi tentu akan

berpengaruh pada janin, dan sering terjadi keguguran, persalinan

prematur, atau berat janin tidak sesuai dengan usia kehamilan

(Wiknjosastro, 2005).

4. Syok, trauma fisik, kelainan alat kandungan, kelainan kromosom dan

lingkunganyang kurang sempurna (Nugroho, 2010).

5. Pertumbuhan Hasil KonsepsiKelainan pertumbuhan hasil konsepsi

dapat menimbulkan kematian janindan cacat bawaan yang

menyebabkan hasil konsepsi di keluarkan, gangguan pertumbuhan

hasil konsepsi dapat terjadi karena factor kromosom, faktor lingkungan

endometrium, pengaruh dari luar seperti infeksi endometrium

atau pengaruh obat dan radiasi. Kelainan yang sering ditemukan pada

abortus spontan adalah trisomi, poliploidi dan kemungkinan pula

kelainan kromosom seks. Sekitar 2/3 dari abortus spontan pada

trimester pertama merupakan anomali kromosom dengan ½ dari

jumlah tersebut adalah trisomi autosom dan sebagian lagi merupakan

triploidi, tetraploidi, atau monosomi 45X. 20 dari 40 kasus abortus

terdapat kelainan kromosom kariotip. 65 % orang tua yang

Page 18: editan BAB I - V

18

menggugurkan embrio dengan peningkatan jumlah kelainan sel

kromosom, terdapat lebih dari 10 % sel aneuploidi di sekitar kelenjar

limfe. Akan tetapi, hanya 12,5 % pasangan yang menggugurkan

embrio dengan sel kromosom normal, tingkat aneuploidinya

bertambah. Trisomi autosom merupakan kelainan kromosom yang

tersering dijumpai pada abortus trimester pertama. Sedangkan

monosomi x adalah kelainan kromosom tersering berikutnya dan

memungkinkan lahirnya bayi perempuan hiup (sindrom Turner)

(Cunningham, 2005).

6. Kelainan pada placenta infeksi pada placenta dengan berbagai sebab

sehingga placenta tidak dapat berfungi dengan baik. Gangguan

pembuluh darah placenta di antaranya pada diabetesmelitus dan

hipertensi menyebabkan peredaran darah dan oksigenasi ke

placentaterganggu sehingga menimbulkan abortus.

7. Kelainan yang terdapat pada rahim merupakan tempat tumbuh

kembangnya janin. Dalam hal ini uterus di jumpai dalam keadaan

abnormal dalam bentuk mioma uteri, uterus arkuatus, uterussepsus,

bekas operasi pada serviks dan robekan serviks post partum

(Prawirohardjo,2008).

Retroversion uteri, mioma uteri, atau kelainan bawaan uterus dapat

menyebabkan abortus. Tetapi, harus diingat bahwa hanya retroversion

uteri gravid inkarserata atau mioma submukosa yang memegang

peranan penting. Sebab lain abortus dalam trimester kedua ialah

Page 19: editan BAB I - V

19

serviks inkompeten yang dapat disebabkan oleh kelemahan bawaan

pada serviks, dilatasi serviks berlebihan, konisasi, amputasi, atau

robekan serviks luas yang tidak dijahit. (Wiknjosastro, 2005).

2.1.4 Mekanisme Abortus

Penyebab utama pada abortus adalah pelepasan embrio parsial atau

komplit akibat perdarahan kecil di dalam desidua. Ketika terjadi kegagalan

fungsi placentauterus mulai berkontraksi sehingga proses abortus di

mulai, jika terjadi sebelumminggu ke delapan embrio yang tertutup villi dan

desidua cenderung di keluarkandalam bentuk gumpalan yang disebut

Blighted Ovum, walaupun sedikit produk konsepsi dapat bertahan di

dalam uterus, perdarahan uterus terjadi sewaktu

proses pengeluaran.Antara mingu ke-8 dan ke-14, mekanisme di

atas dapat terjadi atau membranketuban dapat rupture sehingga

mengeluarkan janin yang cacat tetapi gagalmengeluarkan placenta.

Placenta ini dapat menonjol di ostium serviks eksterna atau tetap melekat

pada dinding uterus. Tipe abortus ini dapat di ikuti perdarahan

yang banyak. Antara minggu ke 14 dan ke 22 , janin biasanya di keluarkan

dengan di ikuti placenta beberapa saat kemudian. Placenta lebih jarang

tertahan. Biasanya perdarahantidak hebat, tetapi rasa nyeri dapat hebat,

sehingga menyerupai persalinan kecil (Williams, 2005).

Page 20: editan BAB I - V

20

2.1.5 Patofisiologi Abortus

Pada awal abortus terjadi perdarahan desiduabasalis, diikuti dengan

nerkrosis jaringan sekitar yang menyebabkan hasil konsepsi terlepas dan

dianggap benda asing dalam uterus. Kemudian uterus berkontraksi untuk

mengeluarkan benda asing tersebut. Pada kehamilan kurang dari 8

minggu, villi korialis belum menembus desidua secara dalam jadi hasil

konsepsi dapat dikeluarkan seluruhnya. Pada kehamilan 8 sampai 14

minggu, penembusan sudah lebih dalam hingga plasenta tidak dilepaskan

sempurna dan menimbulkan banyak perdarahan. Pada kehamilan lebih

dari 14 minggu janin dikeluarkan terlebih dahulu daripada plasenta hasil

konsepsi keluar dalam bentuk seperti kantong kosong amnion atau benda

kecil yang tidak jelas bentuknya (blightes ovum),janin lahir mati, janin

masih hidup, mola kruenta, fetus kompresus, maserasi atau fetus

papiraseus ( Apuranto, 2012 ).

Abortus biasanya disertai dengan perdarahan didalam desidua

basalis dan perubahan nekrotik didalam jaringan-jaringan berdekatan

dengan tempat perdarahan. Ovum yang terlepas sebagian atau

seluruhnya dan mungkin menjadi benda asing didalam uterus sehingga

merangsang kontraksi uterus dan mengakibatkan pengeluaran janin

(Sujiyatini, 2009).

Page 21: editan BAB I - V

21

2.1.6 Diagnosis

Sekitar 20 persen kehamilan berakhir dengan keguguran, sebagian

besar terjadi 5-6 minggu pertama kehamilan. Wanita mungkin mengalami

beberapa pendarahan atau kram ringan dan USG dilakukan untuk

mendeteksi apakah embrio masih hidup. Kriteria diagnosis keguguran

dengan USG bervariasi di seluruh dunia. Di Inggris, kantung kehamilan

kosong dengan diameter lebih dari 20 milimeter diklasifikasikan sebagai

keguguran, sementara di Amerika Serikat diameter 16 milimeter. Jika

sebuah kantung kecil terdeteksi kosong, wanita biasanya disarankan

menjalani scan kedua 7 sampai 14 hari kemudian ( Apuranto, 2012 ).

Abortus dapat di duga bila seorang wanita dalam masa reprodusksi

mengeluh tentang perdarahan pervaginam setelah mengalami haid yang

terlambat, sering pulaterdapat rasa mulas. Kecurigaan tersebut dapat di

perkuat dengan di tentukannya kehamilan muda pada pemeriksaan

bimanual dan dengan tes kehamilan secara biologis atau imunologi bila

mana hal itu dikerjakan. Harus di perhatikan macam dan banyaknya

perdarahan, pembukaan serviks, dan adanya jaringan dalam kavum

uterusatau vagina (Sujiyatini, 2009).

Page 22: editan BAB I - V

22

2.1.7 Penanganan Abortus

2.1.7.1 Abortus Imminens

a) Bed rest (istirahat total) di tempat tidur. Hal ini dapat di lakukan

untuk meningatkan aliran darah kerahim danmengurangi

ransangan mekanis. 

b) Memberikan terapi obat-obatanObat-obat yang di berikan adalah

obat penenang yaitu Penobarbital 3x30 mg dan valium. Memberi

obat anti perdarahan yaitu adona dantransamin. Memberi obat

penguat plasenta yaitu gestanon dan duphaston. Obat anti

kontraksi rahim yaitu duvadilan, dan papaverin.

c) Evaluasi terhadap perdarahan. Mengulangi tes kehamilan

dan berkonsultasi pada dokter ahli untuk penanganan lebih lanjut.

Biasanya akan diperiksa menggunakan ultrasonografi.

(Pujiningsih,2010).

2.1.7.2 Abortus Insipiens

a) Bila perdarahan tidak banyak, tunggu terjadinya abortus spontan

tanpa pertolongan selama 36 jam dengan di berikan morfin.

b) Pada kehamilan kurang 12 minggu, yang biasanya di sertai

dengan perdarahan, di sertai dengan pengosongan uterus

memakai kuretvakum atau cunam abortus, di susul dengan kerokan

memakai kurettajam, suntikan ergometrin 0,2 mg intramuskular.

Page 23: editan BAB I - V

23

c) Pada kehamilan lebih dari 12 minggu, berikan infuse oksitosin 10

IUnsesuai kontraksi uterus sampai terjadi abortus komplit.

d) Bila janin sudah keluar, tetapi placenta masih tertinggal,

lakukan pengeluaran placenta secara manual (Prawirohardjo,

2008).

2.1.7.3 Abortus Inkompletus

a) Dalam keadaan gawat karena kekurangan darah, dapat dipasang

infuse dan transfusi darah, untuk memulihkan keadaan umum. 

b) Di ikuti kerokan : langsung pada umur kehamilan kurang dari 14

minggu dan dengan induksi pada usia kehamilan diatas 14 minggu.

c) Pengobatan dengan memberikan uterotonika dan antibiotic

untuk menghindari infeksi

( Susi, 2008 ).

2.1.7.4 Abortus Kompletus

Keguguran kompletus berarti seluruh hasil konsepsi telah di

keluarkan,sehingga tidak memerlukan tindakan. Untuk menangani pasien

ini adalah dengan terapi obat dan atibiotika. Pasien juga di anjurkan untuk

diet protein tinggi, vitamin dan mineral (Pujiningsih, 2010).

Page 24: editan BAB I - V

24

2.1.7.5 Missed Abortion

Dalam penanganan Missed Abortion perlu di perhatika bahwa sering

placenta melekat erat dengan dinding uterus.

a. Periksa kadar fibrinogen atau test perdarahan dan pembekuan

darahsebelum tindakan kuretase, bila normal jaringan konsepsi

bisa segera dikeluarkan, tapi bila kadarnya rendah (<159 mg%)

perbaiki dulu dengan pemberian fibrinogen kering atau darah

segar. 

b. Sebelum tindakan berikan antibiotika profilaksis.

c. Dilatasi kanalis servikalis bisa dengan Bougie atau dengan batang

laminaria tergantung besar kecilnya uterus.

d. Tindakan kuretase di mulai dengan cunam abortus di lanjutkan

dengansendok kuret tajam.

e. Sesudah tindakan di berikan uterotonika (Nugroho, 2010).

2.1.7.6 Abortus Habitualis

Penanganan abortus habitualis yaitu pengobatan pada kelainan

endometrium.Pada abortus habitualis lebih besar hasilnya bila di lakukan

sebelum ada konsepsi.Merokok dan minum alcohol sebaiknya di

berhentikan. Disamping pemeriksaan umum dengan memperhatikan gizi

dan bentuk badan penderita, dilakukan pula pemeriksaan suami-isteri,

antara lain pemeriksaan darah dan urin rutin, pemeriksaan golongan

Page 25: editan BAB I - V

25

darah, faktor Rh, dan tes terhdap sifilis dan pada suami diperiksa sperma

(Prawirohardjo, 2005).

2.1.7.7 Abortus Infeksiosus dan Abortus Septik

a) Bila perdarahan banyak berikan transfuse darah dan cairan

yangcukup.

b) Berikan antibiotika yang cukup dan tepat (untuk

pemeriksaan pembiakan dan uji kepekaan obat).

c) Berikan suntikan penisilin 1 juta satuan tiap 1 jam

d) Berikan suntikan streptomisin 500 gram setia 12 jam atau

antibiotika spectrum luas lainnya.

e) 24 - 48 jam setelah di lindungi dengan antibiotika atau lebih cepat

bila terjadi perdarahan banyak, lakukanlah dilatasi dan kuretase

untuk mengeluarkan hasil konsepsi.

f) Infuse dan pemberian antibiotika di teruskan menurut kebutuhan

dankemajuan penderita.

g) Pada abortus septic terapi sama saja hanya dosis dan jenis

antibiotikadi tinggikan dan di pilih jenis yang tepat sesuai dengan

hasil pembiakan dan uji kepekaan kuman.

h) Tindakan operatif melihat jenis komplikasi dan banyaknya

perdarahan.Di lakukan bila keadaan umum membaik dan panas

mereda (Pujiningsih, 2010).

Page 26: editan BAB I - V

26

2.1.8 Pemantauan Pasca Abortus

Insidens abortus spontan kurang lebih 15% (1 dari 7 kehamilan) dari

seluruh kehamilan.

Syarat-syarat memulai metode kontrasepsi dalam waktu 7 hari pada

kehamilan yang tidak diinginkan :

a. Tidak terdapat komplikasi berat yang membutuhkan penanganan

lebih lanjut.

b. Ibu menerima konseling dan bantuan secukupnya dalam memilih

metode

kontrasepsi yang paling sesuai ( Apuranto, 2012 ).

Metode kontrasepsi pasca abortus :

a. Kondom

1. Waktu aplikasinya segera.

2. Efektivitasnya tergantung dari tingkat kedisiplinan klien.

3. Dapat mencegah penyakit menular seksual.

b. Pil kontrasepsi

1. Waktu aplikasinya segera.

2. Cukup efektif tetapi perlu ketaatan klien untuk minum pil

secara teratur.

c. Suntikan

1. Waktu aplikasinya segera.

2. Konseling untuk pilihan hormon tunggal atau kombinasi.

Page 27: editan BAB I - V

27

d. Implan

1. Waktu aplikasinya segera.

2. Jika pasangan tersebut mempunyai 1 anak atau lebih

dan ingin kontrasepsi jangka panjang.

e. Alat kontrasepsi dalam rahim

1. Waktu aplikasinya segera dan setelah kondisi pasien

pulih kembali.

2. Tunda insersi jika hemoglobin kurang 7 gr/dl (anemia)

atau jika dicurigai adanya infeksi.

f. Tubektomi

1. Waktu aplikasinya segera.

2. Untuk pasangan yang ingin menghentikan fertilitas.

3. Jika dicurigai adanya infeksi, tunda prosedur sampai

keadaan jelas. Jika hemoglobin kurang 7 gram/dl, tunda

sampai anemia telah diperbaiki.

4. Sediakan metode alternatif (seperti kondom).

Beberapa wanita mungkin membutuhkan :

a. Jika klien pernah diimunisasi, berikan booster tetanus toksoid 0,5 ml

atau jika dinding vagina atau kanalis servikalis tampak luka

terkontaminasi.

b. Jika riwayat imunisasi tidak jelas, berikan serum anti tetanus 1500 unit

intramuskuler diikuti dengan tetanus toksoid 0,5 ml setelah 4 minggu.

c. Penatalaksanaan untuk penyakit menular seksual.

Page 28: editan BAB I - V

28

d. Penapisan kanker serviks ( Apuranto, 2012 ).

2.2 Karakteristik Ibu yang berhubungan dengan kejadian abortus

2.2.1 Umur

Umur adalah lamanya waktu hidup atau sejak di lahirkan sampai

saat ini. Dalam reproduksi sehat di kenal bahwa usia yang aman selama

kehamilan adalah 20-35 tahun. Jadi wanita yang lebih muda ( < 20 tahun )

dan wanita yang lebih tua ( > 35 tahun ) mempunyai kemungkinan untuk

terjadi abortus (Benson dan Pernol, 2008).

Jika dilihat dari sisi biologis, usia 18-25 tahun merupakan saat

terbaik untuk hamil dan bersalin. Karena pada usia ini biasanya organ-

organ tubuh sudah berfungsi dengan baik dan belum ada penyakit-

penyakit degenerative sepertyi darah tinggi, diabetes, dan lainnya serta

daya tahan tubuh masih kuat (Dini Kasdu, 2001).

Umur sangat berpengaruh terhadap proses reproduksi, khususnya

usia 20-25 tahun merupakan usia yang paling baik untuk hamil dan

bersalin. Kehamilan dan persalinan membawa resiko kesakitan dan

kematian lebih besar pada remaja dibandingkan pada perempuan yang

telah berusia 20 tahunan, terutama di wilayah yang pelayanan medisnya

langka atau tidak tersedia (Yayasan Pendidikan Kesehatan Perempuan,

2006).

Kematian maternal pada wanita hamil dan melahirkan pada usia

dibawah 20 tahun ternyata 2-5 kali lebih lebih tinggi daripada kematian

Page 29: editan BAB I - V

29

maternal yang terjadi pada usia 20-29 tahun. Kematian maternal

meningkat kembali sesudah usia 30-35 tahun (Wiknjosastro, 2006).

Resiko keguguran spontan tampak meningkat dengan bertambahnya

usia terutama setelah usia 30 tahun, baik kromosom janin itu normal atau

tidak, wanita dengan usia lebih tua, lebih besar kemungkinan keguguran

baik janinnya normal atau abnormal (Murphy,2000).

Usia ibu hamil yang beresiko adalah kurang dari 20 tahun atau lebih

dari 30 tahun (BKKBN,2001).

Usia ideal untuk hamil dan melahirkan adalah 20 - 30 tahun, lebih

atau kurang dari usia itu adalah beresiko. Kesiapan seorang perempuan

untuk hamil atau mempunyai anak ditentukan oleh kesiapan dalam 3 hal,

yaitu : fisik, mental/emosi dan kesiapan sosial ekonomi.

Umur Ideal Ibu Untuk Hamil (20 - 30 Tahun) dengan alasan :

a. Secara fisik, mulai umur 20 tahun rahim dan bagian tubuh lainnya

benar-benar telah siap menerima kehamilan.

b. Secara emosional, biasanya perempuan telah siap menjadi seorang

ibu.

c. Secara sosial ekonomi menguntungkan, misalnya sudah selesai

sekolah minimal SLTA.

Umur kurang dari 20 tahun, atau lebih dari 30 tahun kurang baik

untuk hamil. Karena secara fisik, kesehatan tubuh ibu :

a. Pada umur kurang dari 20 tahun, Alat Reproduksi Ibu belum matang

dan siap untuk hamil dan melahirkan.

Page 30: editan BAB I - V

30

b. Pada umur lebih dari 30 tahun, Alat Reproduksi Ibu tidak sebaik

pada umur 20 - 30 tahun.

Umur 35 Tahun ke atas bukan Umur Ideal untuk Hamil

a. Secara Fisik, kesehatan tubuh ibu sudah tidak sebaik pada umur 20 -

30 tahun.

b. Biasanya Ibu sudah mempunyai dua anak atau lebih, sehingga

mempunyai resiko yang lebih tinggi.

c. Kemungkinan memperoleh Anak yang tidak Sehat (misalnya cacat)

lebih besar.

Usia muda pada dasarnya berkisar antara 13-19 tahun secara

umum dinyatakan bahwa wanita usia muda adalah wanita yang berumur

dibawah 20 tahun. Usia reproduksi optimal bagi seorang wanita adalah

umur 20-35 tahun, dibawah dan diatas usia tersebut akan meningkatkan

risiko kehamilan atau persalinan. Karena perkembangan organ-organ

reproduksi yang belum optimal, kematangan emosi dan kejiwaan kurang

serta fungsi fisiologis yang belum optimal, sehingga sering terjadi

komplikasi yang tidak diinginkan dalam kehamilan. Sebaliknya pada usia

ibu yang lebih tua telah terjadi kemunduran fungsi fisiologis maupun

reproduksi secara umum, sehingga sering terjadi akibat merugikan

bayinya ( Susi, 2008 ).

Page 31: editan BAB I - V

31

2.2.2 Paritas

2.2.2.1 Definisi Paritas

Paritas adalah jumlah seluruh anak yang dilahirkan, berapa kali

ibumelahirkan, dan berapa anak yang dilahirkan yang hidup maupun yang

meninggal (Eni, 2009).

Menurut kamus saku Mosby, paritas (parity) adalah klasifikasi

perempuan dengan melihat jumlah bayi lahir hidup dan lahir mati yang

dilahirkan pada umur kehamilan lebih dari 20 minggu. Biasanya paritas

dicatat dengan menuliskan jumlah total kehamilan dan dituliskan dengan

huruf p atau kata para, (dalam epidemiologi) klasifikasi perempuan

dengan melihat jumlah bayi lahir hidup yang dilahirkannya.

Paritas (parity) adalah keadaan seorang wanita berkaitan dengan

memiliki bayi yang viabel (kamus saku bidan, 2005)

Menurut Maimunah (2005) dalam kamus istilah kebidanan, paritas

adalah jumlah persalinan yang dialami oleh wanita.

Paritas (Para) Parietas adalah jumlah anak yang telah dilahirkan oleh

seorang ibu baik lahir hidup maupun lahir mati. Paritas adalah jumlah

kehamilan yang dilahirkan atau jumlah anak yang dimiliki baik dari hasil

perkawinan sekarang atau sebelumnya ( Ilfa, 2010 ).

Paritas adalah jumlah kehamilan yang menghasilkan janin yang

mampu hidup diluar rahim dengan usia kehamilan 28 minggu

(Pusdiknakes, 2001).

Page 32: editan BAB I - V

32

Paritas adalah jumlah anak yang pernah dilahirkan oleh seorang ibu

(Nursalam, 2003).

Dikatakan bahwa terdapat kecenderungan kesehatan ibu yang

berparitas rendah lebih baik dari yang berparitas tinggi. Tetapi

kesemuanya ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut (Notoatmodjo,

2008).

Persalinan yang biasanya paling aman untuk ibu yaitu persalinan

yang kedua dan ketiga karena pada persalinan keempat dan kelima

secara dramatis akan meningkatkan angka kematian ibu ( Ilfa, 2010 ).

Paritas atau para adalah wanita yang pernah melahirkan dan dibagi

menjadi beberapa istilah Primipara yaitu wanita yang telah melahirkan

sebanyak satu kali, Multipara yaitu wanita yang melahirkan anak hidup

beberapa kali, dimana persalinan tersebut tidak lebih dari lima kali,

Grandemultipara yaitu wanita yang telah melahirkan janin aterm lebih dari

lima kali (Manuaba, 2010).

Menurut Wiknjosastro (2006), para adalah seorang wanita yang

pernah melahirkan bayi yang dapat hidup. Multipara atau pleuripara

adalah seorang wanita yang pernah melahirkan bayi yang viable untuk

beberapa kali.

Paritas 2-3 merupakan paritas paling aman dari sudut kematian

maternal. Paritas 1 dan paritas tinggi (lebih dari 3) mempunyai angka

kematian maternal tinggi. Lebih tinggi paritas, lebih tinggi kematian

maternal. Risiko pada paritas 1 dapat ditangani dengan asuhan obstetrik

Page 33: editan BAB I - V

33

lebih baik, sedangkan risiko pada paritas tinggi dapat dikurangi atau

dicegah dengan keluarga berencana. Sebagian kehamilan pada paritas

tinggi adalah tidak direncanakan (Wiknjosastro, 2006).

Ada pula sumber yang didapat dari wikipedia terdapat beberapa istilah

tentang paritas yaitu :

a. Primipara adalah seorang wanita yang pernah melahirkan satu kali

atau melahirkan untuk pertama kali

b. Multipara adalah seorang wanita yang telah melahirkan lebih dari

satu kali .

2.2.2.2 Pengelompokan Paritas

Ditinjau dari tingkatannya paritas dikelompokkan menjadi tiga antara lain :

a. Paritas rendah atau primipara

Paritas rendah meliputi nullipara dan primipara

b. Paritas sedang atau multipara

Paritas sedang atau multipara digolongkan pada hamil dan bersalin dua

sampai empat kali. Pada paritas sedang ini, sudah masuk kategori

rawan terutama pada kasus-kasus obstetrik yang jelek, serta interval

kehamilan yang terlalu dekat kurang dari 2 tahun

c. Paritas tinggi

Kehamilan dan persalinan pada paritas tinggi atau grandemulti, adalah

ibu hamil dan melahirkan 5 kali atau lebih. Paritas tinggi merupakan

paritas rawan oleh karena paritas tinggi banyak kejadian-kejadian

Page 34: editan BAB I - V

34

obstetri patologi yang bersumber pada paritas tinggi, antara lain :

plasenta previa, perdarahan postpartum, dan lebih memungkinkan lagi

terjadinya atonia uteri ( Bejo, 2010 ).

2.2.2.3 Komplikasi Paritas Tinggi

Menurut Manuaba (2010) Seorang wanita yang telah mengalami

kehamilan sebanyak 6 kali atau lebih, lebih mungkin mengalami:

a. Kontraksi yang lemah pada saat persalinan (karena otot rahimnya

lemah)

b. Perdarahan setelah persalinan (karena otot rahimnya lemah)

c. Plasenta previa (plasenta letak rendah).

d. Pre eklampsi.

2.2.3 Pendidikan

Pendidikan seseorang merupakan salah satu proses perubahan

tingkah laku, semakin tinggi pendidikan seseorang maka dalam memilih

tempat – tempat pelayanan kesehatan dalam mengambil keputusan

tentang kesehatan semakin diperhitungkan. Pendidikan adalah proses

pengubahan siakp dan perilaku seseorang atau kelompok orang dalam

usaha mendewasakan manusia melalui penerapan ilmu yang diperoleh

dalam pengetahuannya tentang hal – hal yang berkaitan dengan

kehamilannya. Pendidikan yang dijalani seseorang memiliki

pengaruh pada peningkatan kemampuan berfikir,dengan kata lain

Page 35: editan BAB I - V

35

seseorang yang berpendidikan lebih tinggi akan dapat

mengambilkeputusan yang lebih rasional, umumnya terbuka untuk

menerima perubahan atau hal baru dibandingkan dengan individu yang

berpendidikan lebih rendah ( Susi, 2008 ).

Pendidikan kesehatan merupakan bagian dari promosi kesehatan

yaitu suatu proses untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam

memelihara dan meningkatkan kesehatannya dan tidak hanya

mengkaitkan diri pada peningkatan pengetahuan, sikap dan praktik

kesehatan saja, tetapi juga meningkatkan atau memperbaiki lingkungan

(baik fisik maupun non fisik) dalam rangka memelihara dan meningkatkan

kesehatan mereka (Notoatmodjo, 2007).

Essensi promosi kesehatan adalah upaya untuk membuat daya

sehingga mampu memelihara dan meningkatkan kesehatan sendiri. Untuk

itu perlu dilakukan upaya untuk merubah, menumbuh atau

mengembangkan prilaku positif hal ini merupakan bidang garapan utama

pendidikan kesehatan (Depkes, 2002).

Rendahnya tingkat pendidikan dan kurangnya informasi yang

menyebabkan masih banyaknya ibu-ibu yang kurang menyadari

pentingnya pemeriksaan kehamilan menyebabkan tidak terdeteksinya

faktor-faktor risiko tinggi yang mungkin dialami oleh mereka. Risiko ini

baru diketahui pada saat persalinan yang sering kali karena kasusnya

sudah terlambat sehingga dapat membawa akibat fatal. (Maas, 2004).

Page 36: editan BAB I - V

36

Tinggi rendahnya tingkat pendidikan ibu erat kaitannya dengan

tingkat pengertian terhadap perawatan kesehatan, higiene, dan perlunya

pemeriksaan kehamilan (Santiyasa, 2004).

Pendidikan terdiri dari pendidikan formal dan informal. Pendidikan

formal bersifat berjenjang ( SD, SMP, SMA, PT ) melibatkan pemerintah

( diakui atau tidak ) adanya ijazah. Pendidikan informal ada ijazah tetapi

belum tentu diakui ( Haryati, 2008 ).

2.2.4 Pekerjaan

Pekerjaan adalah kegiatan rutin sehari-hari yang dilakukan oleh

seorang ibu dengan maksud untuk memperoleh penghasilan

( Nonoratmodjo, 2003).

Meskipun jumlah penduduk perempuan hampir sama dengan laki-

laki, tetapi hampir 0 % - 20 % lowongan kerja formal terisi oleh tenaga

kerja wanita. Jumlah kaum wanita dan peranannya sangat penting dalam

pembangunan bangsa, maka salah satu modal penting yang harus kita

miliki adalah derajat kesehatan yang memadai bagi kaum wanita. Wanita

hamil yang sehat mempunyai kesempatan memiliki bayi yang lebih sehat.

Wanita yang beban pekerjaannya berat cukup rentan terkena gangguan

kesehatan, jika tidak melakukan upaya pencegahan ( Pratiwi, 2004).

Wanita hamil yang bekerja di lahan pertanian dan kerap terpajan

pestisida secara langsung, ternyata berisiko lebih tinggi mengalami

abortus spontan. Selain itu, kebiasaan suami merokok dan beban kerja

Page 37: editan BAB I - V

37

wanita yang berat meningkatkan risiko terjadinya abortus. Menurut data

BPS tahun 2007, diperkirakan 13 juta perempuan bekerja di sektor

pertanian. Terkait pajanan pestisida, penelitian di Finlandia melaporkan

pula bahwa wanita yang mengalami abortus spontan, 30 persen lebih

besar kemungkinannya bahwa mereka bekerja di sektor pertanian (

Ahmad, 2012 ).

Page 38: editan BAB I - V

38

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian analitik ( Kuantitatif ) tipe cross

sectional dengan menggunakan pendekatan retrospektif bertujuan untuk

mengetahui adanya hubungan karakteristik ibu dengan kejadian abortus di

Ruang Bersalin RSUD dr. Adjidarmo Rangkasbitung tahun 2011.

3.2 Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini terdiri dari 2 variabel yang akan diukur

yaitu variabel bebas dan terikat. Variabel-variabel yang akan diteliti

meliputi :

1. Variabel Bebas ( Independent variabel )

Variabel Bebas adalah variabel yang bila ia berubah akan

mengakibatkan perubahan variabel lain ( Sastroasmoro, 2008 ).

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah karakteristik ibu yaitu umur,

paritas, pendidikan dan pekerjaan ibu.

2. Variabel Terikat ( Dependent Variabel )

Variabel Terikat adalah variabel yang berubah akibat perubahan

variabel bebas ( sastroasmoro, 2008 ). Variabel terikat dalam penelitian

ini adalah kejadian abortus.

38

Page 39: editan BAB I - V

39

3.3 Kerangka Konsep dan Definisi Operasional

3.3.1 Kerangka Konsep

Kerangka konsep dari penelitian ini dengan judul Hubungan

Karakteristik Ibu Dengan Kejadian Abortus di Ruang Bersalin RSUD dr.

Adjidarmo Rangkasbitung tahun 2011 yaitu :

Variabel Bebas ( Independent ) Variabel Terikat ( Dependent )

Umur

Paritas

Pendidikan

Pekerjaan

Abortus

Page 40: editan BAB I - V

40

3.3.2 Definisi Operasional

Untuk mempermudah dalam pengukuran dan pengkajian secara

statistik, semua variabel di ukur dan dikategorikan sesuai dengan jenis

data dan skala pengukurannya. Adapun definisi operasional variabel

dalam penelitian ini dapat dilihat dalam tabel dibawah ini :

Tabel 3.1 Definisi Operasional

No VariabelDefinisi

OperasionalCara Ukur

Alat Ukur

Hasil Ukur

Skala

1. Abortus Ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar kandungan

Menelaah atau melihat buku Register di Ruang Bersalin RSUD dr. Adjidarmo Rangkasbitung tahun 2011

Daftar Check List

0= Ya1= Tidak

ordinal

2. Umur Lamanya hidup ibu sejak dilahirkan sampai pada saat sekarang yang dihitung dalam tahun yang tercatat dalam buku register

Menelaah atau melihat buku Register di Ruang Bersalin RSUD dr. Adjidarmo Rangkasbitung tahun 2011

Daftar Check List

0 = < 20 dan > 35 tahun

1 = 20 – 35 tahun

Ordinal

3. Paritas Jumlah seluruh anak yang dilahirkan baik yang hidup maupun yang meninggal yang tercatat dalam buku register

Menelaah atau melihat buku Register di Ruang Bersalin RSUD dr. Adjidarmo Rangkasbitung tahun 2011

Daftar Check List

0= Banyak (> 3 anak)

1 = sedikit (≤ 3 anak)

Ordinal

4. Pendidikan Sekolah formal Menelaah atau Daftar 0= Ordianal

Page 41: editan BAB I - V

41

terakhir yang sudah diselesaikan ibu yang mengalami abortus, yang tercatat dalam buku register.

melihat buku Register di Ruang Bersalin RSUD dr. Adjidarmo Rangkasbitung tahun 2011

Check List

Rendah ( < SLTA )

1= Tinggi ( ≥ SLTA )

5. Pekerjaan Suatu kegiatan tetap yang dapat menghasilkan uang untuk menafkahi dirinya ataupun keluarga, yang tercatat dalam buku register.

Menelaah atau melihat buku Register di Ruang Bersalin RSUD dr. Adjidarmo Rangkasbitung tahun 2011

Daftar Check List

0= Bekerja ( PNS, non PNS )

1=Tidak Bekerja

Ordianal

3.4 Hipotesis

Berdasarkan uraian diatas maka hipotesis yang diambil dalam penelitian

ini adalah :

1) Ada hubungan umur dengan kejadian abortus di Ruang Bersalin

RSUD dr. Adjidarmo Rangkasbitung.

2) Ada hubungan paritas dengan kejadian abortus di Ruang Bersalin

RSUD dr. Adjidarmo Rangkasbitung.

3) Ada hubungan pendidikan ibu dengan kejadian abortus di Ruang

Bersalin RSUD dr. Adjidarmo Rangkasbitung.

4) Ada hubungan pekerjaan ibu dengan kejadian abortus di Ruang

Bersalin RSUD dr. Adjidarmo Rangkasbitung.

3.5 Populasi dan Sampel

Page 42: editan BAB I - V

42

3.5.1 Populasi

Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian ( Machfoedz, 2007 ).

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh ibu hamil di Ruang

Bersalin RSUD dr. Adjidarmo Rangkasbitung periode Januari sampai

Desember Tahun 2011 yang jumlah keseluruhan ibu hamil yaitu 789

orang.

3.5.2 Sampel

Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang

diteliti yang dianggap mewakili seluruh populasi ( Machfoedz, 2007 ).

Cara pengambilan sampel serta besarnya sampel sangat penting

artinya dalam penelitian karena hasil pengamatan yang dilakukan pada

individu dalam sampel digunakan untuk menafsirkan keadaan populasi

dimana sampel tersebut diambil.

Dalam penelitian ini untuk menentukan besarnya sampel, digunakan

rumus ( Notoatmodjo, 2003) :

Keterangan :

n = N

1 + N (d2)

Page 43: editan BAB I - V

43

N : Besar Populasi

n : Besar Sampel

d : Tingkat kepercayaan / ketepatan yang diinginkan ( 0,1 )

n = 789

1+789(0,12)

n = 88, 75, dibulatkan menjadi 89 orang.

Jadi, jumlah sampel yang akan diambil adalah 89 orang.

Pengambilan sampel dilakukan secara acak sistematis ( Systematic

Random Sampling ). Teknik ini merupakan modifikasi dari simpel random

sampling. Caranya adalah membagi jumlah atau anggota populasi dengan

perkiraan jumlah sampel yang diinginkan. Sampel diambil dengan

membuat daftar elemen atau anggota populasi secara acak antara 1

sampai dengan banyaknya anggota populasi. Kemudian membagi dengan

jumlah sampel yang diinginkan, hasilnya sebagai interval adalah X, maka

yang terkena sampel adalah setiap kelipatan dari X tersebut

( Notoatmodjo, 2010 ).

N ( jumlah populasi ) : 789 orang ( No. 1, 2, 3, ……………..789 )

n ( sampel ) : yang diinginkan 89

I ( Interval ) : 789 : 89 = 8,86 dibulatkan menjadi 9

Maka anggota populasi yang terkena sampel adalah setiap elemen

( nama orang ) yang mempunyai nomor kelipatan 9, yaitu no. 9, 18, 27,

36, 45, dan seterusnya sampai mencapai jumlah 89 anggota sampel.

3.6 Teknik Pengumpulan Data

Page 44: editan BAB I - V

44

Pada penelitian ini peneliti hanya memanfaatkan data yang tersedia

di dalam buku laporan register di Ruang Bersalin RSUD dr. Adjidarmo

Rangkasbitung. Hal yang pertama kali dilakukan oleh peneliti adalah

memilih status ibu hamil yang mengalami abortus dan mendapatkan

perawatan di Ruang Bersalin RSUD dr. Adjidarmo Rangkasbitung periode

Januari sampai Desember tahun 2011 dan mengklasifikasikan data – data

tersebut berdasarkan variable – variable yang dibutuhkan dalam

penelitian.

3.7 Instrumen Pengumpulan Data

Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan

olehpeneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaan lebih

mudah dan lebih baik hasilnya, dalam arti lebih cermat, lengkap,

dan sistematis sehingga lebih mudah diolahnya (Arikunto, 2002).

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang

diperoleh dari buku laporan register Ruang Bersalin RSUD dr. Adjidarmo

Rangkasbitung.

Instrumen yang digunakan adalah daftar check List yang dibuat

peneliti sesuai dengan variable penelitian, daftar tersebut digunakan

dengan memindahkan data dari buku laporan register di Ruang Bersalin

RSUD dr. Adjidarmo Rangkasbitung.

3.8 Pengolahan Data

Page 45: editan BAB I - V

45

a. Penyunting ( editing ) data dilakukan setelah pengambilan data

untuk menghindari adanya data yang kosong, kesalahan data, data

yang tertulis tidak relevan dengan data sekunder yang ada.

b. Conding yaitu kegiatan pemberian kode numeric atau angka

terhadap data yang terdiri atas beberapa kategori.

c. Data entri ( tabulating ) yaitu memasukkan data.

d. Cleaning adalah pembersihan data merupakan kegiatan

pengecekan kembali data yang sudah dimasukkan apakah terdapat

kesalahan atau tidak.

3.9 Analisis Data

Analisis data meliputi analisis univariat ( deskriptif ) dan analisis

bivariat ( analitik ).

3.9.1 Analisis Univariat

Analisis univariat yaitu menampilkan tabel – table distribusi frekuensi

untuk melihat gambaran responden lebih jauh korelasi ( hubungan )

variabel – variabel yang diteliti, baik variabel dependent maupun

independent. Analisa data yang telah dikumpulkan secara kuantitatif

dianalisis secara univariat dengan distribusi frekuensi, menggunakan

rumus ( Lapau, 2007 ).

Keterangan :

P = f / n x 100%

Page 46: editan BAB I - V

46

P = Presentasi

F = Frekuensi

N = Jumlah sample

3.9.2 Analisis Bivariat

Analisis bivariat yang dilakukan terhadap dua variabel yang diduga

berhubungan atau berkolerasi. Dalam analisis ini dapat dilakukan

pengujian statistic menggunakan Chai Square ( X2 ) yang mana

responden sudah dikelompokkan lalu diuji hubungan, membandingkan

nilai observasi ( O ) dan nilai harapan ( E ). Untuk mengetahui

kemaknaan hubungan digunakan α = 0.05, jika niali hitung / p < 0.05

berarti ada hubungan bermakna ( antara independent dan dependent ),

jika nilai hitung / p > 0.05 berarti tidak ada hubungan.

Keterangan :

X2 : Chi Square

∑ : Jumlah

0 : Nilai Observasi

E : Nilai Harapan

3.10 Jadwal Penelitian

X2 = ∑ ( O – E )

E

Page 47: editan BAB I - V

47

Jadawal penelitian dimulai dari persiapan pembuatan proposal

penelitian sampai dengan seminar KTI yang berlangsung dari bulan

Januari sampai April 2012.

Tabel 3.2 Jadwal Penelitian

Kegiatan

Waktu Penelitian

Januari Februari Maret April

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

Pengajuan Judul Proposal KTI

Penyusunan Proposal KTI

Persiapan Ujian Proposal KTI

Ujian Proposal KTI

Penelitian

Penyusunan KTI

Persiapan Ujian KTI

Ujian KTI

BAB IV

Page 48: editan BAB I - V

48

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

Tahapan analisis yang dilakukan adalah univariat dan bivariat.

Analisis Univariat dilakukan untuk memperoleh gambaran distribusi

frekuensi dari tiap – tiap variable. Analisis bivariat ini dilakukan untuk

mengetahui hubungan antara umur, paritas, pendidikan dan pekerjaan

dengan kejadian abortus di Ruang Bersalin RSUD dr. Adjidarmo tahun

2011.

4.1.1 Analisis Univariat

Analisis Univariat merupakan analisis yang dilakukan secara

deskriptif. Setiap variable dianalisis menggunakan tabel distribusi

frekuensi yang memuat umur, paritas, pendidikan, pekerjaan, dan abortus

yang dirawat di Ruang Bersalin RSUD dr. Adjidarmo periode Januari –

Desember tahun 2011.

4.1.1.1 Ibu Hamil Dengan Abortus48

Page 49: editan BAB I - V

49

Tabel 4.1

Distribusi Frekuensi Ibu Hamil Berdasarkan Kejadian Abortus di

Ruang Bersalin RSUD dr. Adjidarmo Rangkasbitung 2011

No. Abortus Frekuensi Presentase ( % )

1 Ya 44 49,4

2 Tidak 45 50,6

Jumlah 89 100,0

Berdasrkan table 4.1 menunjukan bahwa hampir separuhnya ( 49,4 % )

ibu hamil mengalami abortus.

4.1.1.2 Ibu Hamil Berdasarkan Umur

Page 50: editan BAB I - V

50

Tabel 4.2

Distribusi Frekuensi Ibu Hamil Berdasarkan Umur di Ruang Bersalin

RSUD dr. Adjidarmo Rangkasbitung 2011

No. Umur Frekuensi Presentase ( % )

1 < 20 atau > 35 tahun 45 50,6

2 20 – 35 tahun 44 49,4

Jumlah 89 100,0

Berdasarkan table 4.2 menunjukan bahwa ibu hamil yang berumur < 20

atau > 35 tahun proporsinya tidak jauh berbeda dengan ibu hamil yang

berumur 20 – 35 tahun yaitu 50,6 % dengan 49,4 %.

4.1.1.3 Ibu Hamil Berdasarkan Paritas

Page 51: editan BAB I - V

51

Tabel 4.3

Distribusi Frekuensi Ibu Hamil Berdasarkan Paritas di Ruang

Bersalin RSUD dr. Adjidarmo Rangkasbitung 2011

No. Paritas Frekuensi Presentase ( % )

1 > 3 anak 49 55,1

2 ≤ 3 anak 40 44,9

Jumlah 89 100,0

Berdasrkan tabel 4.3 menunjukan lebih dari separuhny ( 55,1 % ) ibu

hamil memiliki anak > 3.

4.1.1.4 Ibu Hamil Berdasarkan Pendidikan

Page 52: editan BAB I - V

52

Tabel 4.4

Distribusi Frekuensi Ibu Hamil Berdasarkan Pendidikan di Ruang

Bersalin RSUD dr. Adjidarmo Rangkasbitung 2011

No. Pendidikan Frekuensi Presentase ( % )

1 Rendah ( < SLTA ) 51 57,3

2 Tinggi ( ≥ SLTA ) 38 42,7

Jumlah 89 100,0

Berdasarkan table 4.4 menunjukan pada umumnya ( 57,3 % ) ibu hamil

berpendidikan rendah ( < SLTA ).

4.1.1.5 Ibu Hamil Berdasarkan Pekerjaan

Page 53: editan BAB I - V

53

Tabel 4.5

Distribusi Frekuensi Ibu Hamil Berdasarkan Pekerjaan di Ruang

Bersalin RSUD dr. Adjidarmo Rangkasbitung 2011

No. Pekerjaan Frekuensi Presentase ( % )

1 Bekerja

( PNS, non PNS )

27 30,3

2 Tidak Bekerja 62 69,7

Jumlah 89 100,0

Berdasarkan table 4.5 menunjukan sebagian besar ( 69,7 % ) ibu hamil

tidak bekerja.

4.1.2 Analisis Bivariat

Page 54: editan BAB I - V

54

4.1.2.1 Umur Dengan Kejadian Abortus

Tabel 4.6

Hubungan Umur Dengan Kejadian Abortus di Ruang Bersalin RSUD

dr. Adjidarmo Rangkasbitung 2011

No. Umur

Abortus

p. value

Ya Tidak Jumlah

1

< 20 atau > 35

tahun

21 24 45

0,597

( 46,7 % ) ( 53,3 % ) ( 100,0

% )

2

20 – 35 tahun

23 21 44

( 52,3 % ) ( 47,7 % ) ( 100,0

% )

Jumlah

44 45 89

( 49,4 % ) ( 50,6 % ) ( 100,0

% )

Pada table 4.6 menunjukan bahwa ibu hamil yang mengalami

abortus lebih besar proporsinya pada ibu hamil yang berumur 20 – 35

Page 55: editan BAB I - V

55

tahun yaitu sebanyak 52,3 % dibandingkan dengan ibu hamil yang

mengalami abortus yang berumur < 20 atau > 35 tahun ( 46,7 % ).

Hasil uji statistik dengan menggunakan Chi Square pada α = 0,05

didapatkan nilai p sebesar 0,597 dimana p > α yang berarti bahwa secara

statistik tidak terdapat hubungan yang bermakna antara umur dengan

kejadian abortus di Ruang Bersalin RSUD dr. Adjidarmo Rangkasbitung

2011.

4.1.2.2 Paritas Dengan Kejadian Abortus

Tabel 4.7

Page 56: editan BAB I - V

56

Hubungan Paritas Dengan Kejadian Abortus di Ruang Bersalin RSUD

dr. Adjidarmo Rangkasbitung 2011

No. Paritas

Abortus

p. value

Ya Tidak Jumlah

1

> 3 anak

23 26 49

0,602

( 46,9 % ) ( 53,1 % ) ( 100,0

% )

2

≤ 3 anak

21 19 40

( 52,5 % ) ( 47,5 % ) ( 100,0

% )

Jumlah

44 45 89

( 49,4 % ) ( 50,6 % ) ( 100,0

% )

Pada tabel 4.7 menunjukan bahwa ibu hamil yang mengalami

abortus lebih besar proporsinya pada ibu hamil yang memiliki anak ≤ 3

yaitu sebanyak 52,5 % dibandingkan dengan ibu hamil yang mengalami

abortus yang memiliki anak > 3 ( 46,9 % ).

Page 57: editan BAB I - V

57

Hasil uji statistik dengan menggunakan Chi Square pada α = 0,05

didapatkan nilai p sebesar 0,602 dimana p > α yang berarti bahwa secara

statistik tidak terdapat hubungan yang bermakna antara paritas dengan

kejadian abortus di Ruang Bersalin RSUD dr. Adjidarmo Rangkasbitung

2011.

4.1.2.3 Pendidikan Dengan Kejadian Abortus

Page 58: editan BAB I - V

58

Tabel 4.8

Hubungan Pendidikan Dengan Kejadian Abortus di Ruang Bersalin

RSUD dr. Adjidarmo Rangkasbitung 2011

No. Pendidikan

Abortus

p. value

Ya Tidak Jumlah

1Rendah

( < SLTA )

23 28 51

0,343

( 45,1 % ) ( 54,9 % ) ( 100,0

% )

2Tinggi

( ≥ SLTA )

21 17 38

( 55,3 % ) ( 44,7 % ) ( 100,0

% )

Jumlah

44 45 89

( 49,4 % ) ( 50,6 % ) ( 100,0

% )

Pada tabel 4.8 menunjukan bahwa ibu hamil yang mengalami

abortus lebih besar proporsinya pada ibu hamil yang berpendidikan tinggi

( ≥ SLTA ) yaitu sebanyak 55,3 % dibandingkan dengan ibu hamil yang

mengalami abortus yang berpendidikan rendah ( < SLTA ) ( 45,1 % ).

Page 59: editan BAB I - V

59

Hasil uji statistik dengan menggunakan Chi Square pada α = 0,05

didapatkan nilai p sebesar 0,343 dimana p > α yang berarti bahwa secara

statistik tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pendidikan

dengan kejadian abortus di Ruang Bersalin RSUD dr. Adjidarmo

Rangkasbitung 2011.

4.1.2.4 Pekerjaan Dengan Kejadian Abortus

Page 60: editan BAB I - V

60

Tabel 4.9

Hubungan Pekerjaan Dengan Kejadian Abortus di Ruang Bersalin

RSUD dr. Adjidarmo Rangkasbitung 2011

No. Pekerjaan

Abortus

p. value

Ya Tidak Jumlah

1 Bekerja

(PNS, non

PNS)

10 17 27

0,123

( 37,0 % ) ( 63,0 % ) ( 100,0 % )

2 Tidak Bekerja 34 28 62

( 54,8 % ) ( 45,2 % ) ( 100,0 % )

Jumlah

44 45 89

( 49,4 % ) ( 50,6 % ) ( 100,0 % )

Pada tabel 4.8 menunjukan bahwa ibu hamil yang mengalami

abortus lebih besar proporsinya pada ibu hamil yang tidak bekerja yaitu

sebanyak 54,8 % dibandingkan dengan ibu hamil yang mengalami abortus

yang bekerja ( PNS, non PNS ) ( 37,0 % ).

Hasil uji statistik dengan menggunakan Chi Square pada α = 0,05

didapatkan nilai p sebesar 0,123 dimana p > α yang berarti bahwa secara

Page 61: editan BAB I - V

61

statistik tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pekerjaan dengan

kejadian abortus di Ruang Bersalin RSUD dr. Adjidarmo Rangkasbitung

2011.

4.2 Pembahasan

4.2.1 Ibu Hamil Dengan Abortus

Berdasarkan tabel 4.1 hasil penelitian didapatkan data bahwa hampir

separuhnya ( 49,4 % ) ibu hamil mengalami abortus. Hasil penelitian ini

lebih rendah dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Dina Kaspa Eka,

A.M.Keb. ( 2006 ) yang menunjukan kejadian abortus di Rumah Sakit dr.

Mohammad Hoesin Palembang tahun 2006 sebanyak 72,4 %.

Hal ini dikarenakan tempat dilakukannya penelitian yaitu di Rumah

Sakit, dimana Rumah Sakit itu sendiri merupakan tempat rujukan dan

kebanyakan terdapat pasien – pasien yang beresiko atau bermasalah

( patologis ) sehingga banyak ibu hamil yang mengalami abortus yang

mendapatkan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit. Dan karena jumlah

populasi yang berbeda dan jumlah sampel dalam penelitian ini yang

sedikit dengan menggunakan tingkat kepercayaan / ketetapan yang

diinginkan ( d ) sebesar 0,1 sehingga didapatkan hasil penelitian yang

jauh berbeda dengan hasil penelitian Dina Kaspa Eka, A.M.Keb.

Masih banyaknya ibu hamil yang mengalami abortus menunjukan

bahwa masih tingginya angka mortalitas dan morbiditas pada ibu hamil

Page 62: editan BAB I - V

62

dan masih kurangnya pelayanan kesehatan dalam mempertahankan

kehamilan.

Menurut Prawirohardjo ( 2009 ) riwayat abortus pada penderita

abortus nampaknya juga merupakan predisposisi terjadinya abortus

berulang. Kejadiannya sekitar 3 – 5 %. Data dari beberapa studi

menunjukkan bahwa setelah 1 kali abortus spontan, pasangan punya

risiko 15% untuk mengalami keguguran lagi, sedangkan bila pernah 2 kali,

risikonya akan meningkat 25%. Beberapa studi meramalkan bahwa risiko

abortus setelah 3 kali abortus berurutan adalah 30 – 45%.

4.2.2 Ibu Hamil Berdasarkan Umur

Berdasarkan table 4.2 hasil penelitian didapatkan data bahwa ibu

hamil yang berumur < 20 atau > 35 tahun sebanyak 50,6 %. Hasil

penelitian ini sedikit lebih rendah dari hasil penelitian yang dilakukan oleh

Dina Kaspa Eka, A.M.Keb. ( 2006 ) yang menunjukan ibu hamil yang

mengalami abortus yang berumur < 20 atau > 35 tahun di Rumah Sakit

dr. Mohammad Hoesin Palembang tahun 2006 sebanyak 60,1 %.

Hal ini dikarenakan tempat dilakukannya penelitian yaitu di Rumah

Sakit, dimana Rumah Sakit itu sendiri merupakan tempat rujukan dan

kebanyakan terdapat pasien – pasien yang beresiko atau bermasalah

( patologis ) sehingga banyak ibu hamil yang berumur < 20 atau > 35

tahun. Dan karena jumlah populasi yang berbeda dan jumlah sampel

dalam penelitian ini yang sedikit dengan menggunakan tingkat

Page 63: editan BAB I - V

63

kepercayaan / ketetapan yang diinginkan ( d ) sebesar 0,1 sehingga

didapatkan hasil penelitian yang tidak jauh berbeda dengan hasil

penelitian Dina Kaspa Eka, A.M.Keb.

Menurut Benson dan Pernol ( 2008 ) dalam reproduksi sehat di kenal

bahwa usia yang aman selama kehamilan adalah 20-35 tahun. Jadi

wanita yang lebih muda ( < 20 tahun ) dan wanita yang lebih tua ( > 35

tahun ) mempunyai kemungkinan untuk terjadi abortus.

Kematian maternal pada wanita hamil dan melahirkan pada usia

dibawah 20 tahun ternyata 2-5 kali lebih lebih tinggi daripada kematian

maternal yang terjadi pada usia 20-29 tahun. Kematian maternal

meningkat kembali sesudah usia 30-35 tahun (Wiknjosastro, 2006).

Resiko keguguran spontan tampak meningkat dengan bertambahnya

usia terutama setelah usia 30 tahun, baik kromosom janin itu normal atau

tidak, wanita dengan usia lebih tua, lebih besar kemungkinan keguguran

baik janinnya normal atau abnormal (Murphy,2000).

4.2.3 Ibu Hamil Berdasarkan Paritas

Berdasarkan tabel 4.3 hasil penelitian menunjukan lebih dari

separuhnya ( 55,1 % ) ibu hamil memiliki anak > 3. Hasil penelitian ini

sedikit lebih rendah dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Dina Kaspa

Eka, A.M.Keb. ( 2006 ) yang menunjukan ibu hamil yang mengalami

abortus yang memiliki anak > 3 di Rumah Sakit dr. Mohammad Hoesin

Palembang tahun 2006 sebanyak 59,5 %.

Page 64: editan BAB I - V

64

Hal ini dikarenakan tempat dilakukannya penelitian yaitu di Rumah

Sakit, dimana Rumah Sakit itu sendiri merupakan tempat rujukan dan

kebanyakan terdapat pasien – pasien yang beresiko atau bermasalah

( patologis ) sehingga banyak ibu hamil yang memiliki anak > 3. Dan

karena jumlah populasi yang berbeda dan jumlah sampel dalam

penelitian ini yang sedikit dengan menggunakan tingkat kepercayaan /

ketetapan yang diinginkan ( d ) sebesar 0,1 sehingga didapatkan hasil

penelitian yang tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Dina Kaspa

Eka, A.M.Keb.

Menurut WHO ( 2008 ) salah satu penyebab kematian ibu yaitu

terlalu banyak anak ( > 3 anak ).

Menurut Wiknjosastro ( 2006 ) paritas 2-3 merupakan paritas paling

aman dari sudut kematian maternal. Paritas 1 dan paritas tinggi (lebih dari

3) mempunyai angka kematian maternal tinggi. Lebih tinggi paritas, lebih

tinggi kematian maternal. Risiko pada paritas 1 dapat ditangani dengan

asuhan obstetrik lebih baik, sedangkan risiko pada paritas tinggi dapat

dikurangi atau dicegah dengan keluarga berencana.

4.2.4 Ibu Hamil Berdasarkan Pendidikan

Page 65: editan BAB I - V

65

Berdasarkan tabel 4.4 hasil penelitian menunjukan pada umumnya

( 57,3 % ) ibu hamil berpendidikan rendah. Hasil penelitian ini sedikit lebih

rendah dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Dina Kaspa Eka,

A.M.Keb. ( 2006 ) yang menunjukan ibu hamil yang mengalami abortus

yang berpendidikan rendah di Rumah Sakit dr. Mohammad Hoesin

Palembang tahun 2006 sebanyak 62,3 %.

Hal ini dikarenakan tempat dilakukannya penelitian yaitu di Rumah

Sakit, dimana Rumah Sakit itu sendiri merupakan tempat rujukan dan

kebanyakan terdapat pasien – pasien yang beresiko atau bermasalah

( patologis ) yang pengetahuan kesehatannya kurang karena

pendidikannya rendah. Dan karena jumlah populasi yang berbeda dan

jumlah sampel dalam penelitian ini yang sedikit dengan menggunakan

tingkat kepercayaan / ketetapan yang diinginkan ( d ) sebesar 0,1

sehingga didapatkan hasil penelitian yang tidak jauh berbeda dengan hasil

penelitian Dina Kaspa Eka, A.M.Keb.

Menurut Maas ( 2004 ) rendahnya tingkat pendidikan dan kurangnya

informasi yang menyebabkan masih banyaknya ibu-ibu yang kurang

menyadari pentingnya pemeriksaan kehamilan menyebabkan tidak

terdeteksinya faktor-faktor risiko tinggi yang mungkin dialami oleh mereka.

Risiko ini baru diketahui pada saat persalinan yang sering kali karena

kasusnya sudah terlambat sehingga dapat membawa akibat fatal.

Page 66: editan BAB I - V

66

Tinggi rendahnya tingkat pendidikan ibu erat kaitannya dengan

tingkat pengertian terhadap perawatan kesehatan, higiene, dan perlunya

pemeriksaan kehamilan (Santiyasa, 2004).

Jadi, ibu hamil yang berpendidikan rendah sangat rentan mengalami

abortus karena kurangnya pengetahuan atau informasi tentang kesehatan

dan kurangnya kesadaran tentang perawatan kesehatan pada ibu hamil

serta pemeriksaan kehamilan.

4.2.5 Ibu Hamil Berdasarkan Pekerjaan

Berdasarkan tabel 4.5 hasil penelitian menunjukan sebagian besar

( 69,7 % ) ibu hamil tidak bekerja. Hasil penelitian ini sedikit lebih tinggi

dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Dina Kaspa Eka, A.M.Keb. ( 2006

) yang menunjukan ibu hamil yang mengalami abortus yang tidak bekerja

di Rumah Sakit dr. Mohammad Hoesin Palembang tahun 2006 sebanyak

60,7 %.

Hal ini dikarenakan tempat dilakukannya penelitian yaitu di Rumah

Sakit, dimana Rumah Sakit itu sendiri merupakan tempat rujukan dan

kebanyakan terdapat pasien – pasien yang beresiko atau bermasalah

( patologis ) karena faktor ekonominya rendah ( tidak bekerja ) sehingga

kurang dalam memenuhi kebutuhan kesehatannya . Dan karena jumlah

populasi yang berbeda dan jumlah sampel dalam penelitian ini yang

sedikit dengan menggunakan tingkat kepercayaan / ketetapan yang

Page 67: editan BAB I - V

67

diinginkan ( d ) sebesar 0,1 sehingga didapatkan hasil penelitian yang

tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Dina Kaspa Eka, A.M.Keb.

Dalam penelitian ini ibu hamil yang tidak bekerja yaitu ibu hamil

sebagai ibu rumah tangga yang pekerjaanya di rumah, misalnya mencuci,

memasak, menyapu, dan lain – lain. Jika pekerjaan rumah tangganya

terlalu berat maka dapat beresiko terhadap kehamilannya.

Abortus sering dijumpai pada wanita yang bekerja berat karena

ovum terlepas sebagian menimbulkan kontraksi yang berakibat

perdarahan. ( Unpad, 2000 ).

4.2.6 Hubungan Umur Ibu dengan Kejadian Abortus

Berdasarkan tabel 4.6 hasil penelitian didapatkan data bahwa ibu

hamil yang mengalami abortus lebih besar proporsinya pada ibu hamil

yang berumur 20 – 35 tahun yaitu sebanyak 52,3 % dibandingkan dengan

ibu hamil yang mengalami abortus yang berumur < 20 atau > 35 tahun

( 46,7 % ).

Hasil uji statistik dengan menggunakan Chi Square pada α = 0,05

didapatkan nilai p sebesar 0,597 dimana p > α yang berarti bahwa secara

statistik tidak terdapat hubungan yang bermakna antara umur dengan

kejadian abortus di Ruang Bersalin RSUD dr. Adjidarmo Rangkasbitung

2011.

Page 68: editan BAB I - V

68

Menurut Benson dan Pernol ( 2008 ) dalam reproduksi sehat di kenal

bahwa usia yang aman selama kehamilan adalah 20-35 tahun. Jadi

wanita yang lebih muda ( < 20 tahun ) dan wanita yang lebih tua ( > 35

tahun ) mempunyai kemungkinan untuk terjadi abortus.

Dari hasil penelitian ternyata tidak terdapat hubungan antara umur

dengan kejadian abortus. Hal tersebut tidak sesuai dengan teori Murphy

( 2000 ) yang menyatakan bahwa resiko keguguran spontan tampak

meningkat dengan bertambahnya usia terutama setelah usia 30 tahun,

baik kromosom janin itu normal atau tidak, wanita dengan usia lebih tua,

lebih besar kemungkinan keguguran baik janinnya normal atau abnormal.

Penelitian ini juga tidak sesuai dengan teori dari Wiknjosastro

( 2006 ) Kematian maternal pada wanita hamil dan melahirkan pada usia

dibawah 20 tahun ternyata 2-5 kali lebih lebih tinggi daripada kematian

maternal yang terjadi pada usia 20-29 tahun. Kematian maternal

meningkat kembali sesudah usia 30-35 tahun.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Ruang Bersalin RSUD dr.

Adjidarmo tahun 2011, bahwa umur tidak mempengaruhi terjadinya

abortus, disebabkan karena selain umur ada faktor – faktor lain yang

menyebabkan terjadinya abortus yaitu :

1. Faktor Janin : penyebab keguguran adalah kelainan genetik, dan ini

terjadi pada 50 % - 60 % kasus keguguran.

Page 69: editan BAB I - V

69

2. Faktor Ibu : kelainan endokrin ( hormonal ) misalnya kekurangan

Tyroid, Kencing Manis, faktor kekebalan ( Imunologi ), misalnya

pada penyakit Lupus, Anti Phospholipid Syndrome, infeksi diduga

akibat beberapa virus seperti Cacar Air, Campak Jerman,

Toksoplasma, Herpes, Klamidia, kelemahan otot leher rahim, dan

kelainan bentuk leher rahim.

3. Faktor Bapak : yaitu kelainan kromosom dan infeksi sperma diduga

dapat menyebabkan abortus ( Cuningham, 2000 ).

Hal ini juga dikarenakan tempat dilakukannya penelitian yaitu di

Rumah Sakit, dimana Rumah Sakit itu sendiri merupakan tempat rujukan

dari berbagai Puskesmas dan BPS serta kebanyakan terdapat pasien –

pasien yang beresiko atau bermasalah ( patologis ) karena berbagai faktor

yang harus mendapatkan penanganan di Rumah Sakit. Dan karena

jumlah populasi dan jumlah sampel dalam penelitian ini yang sedikit

dengan menggunakan tingkat kepercayaan / ketetapan yang diinginkan

( d ) sebesar 0,1.

Hasil penelitian ini juga sesuai dengan hasil penelitian Yuni Hardani

pada tahun 2009 bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara

umur dengan kejadian abortus.

Jadi semua ibu hamil baik yang berumur < 20 atau > 35 tahun

maupun yang berumur 20 – 35 tahun beresiko mengalami abortus.

Page 70: editan BAB I - V

70

4.2.7 Hubungan Paritas Ibu dengan Kejadian Abortus

Berdasarkan tabel 4.7 hasil penelitian didapatkan data bahwa ibu

hamil yang mengalami abortus lebih besar proporsinya pada ibu hamil

yang memiliki anak ≤ 3 yaitu sebanyak 52,5 % dibandingkan dengan ibu

hamil yang mengalami abortus yang memiliki anak > 3 ( 46,9 % ).

Hasil uji statistik dengan menggunakan Chi Square pada α = 0,05

didapatkan nilai p sebesar 0,602 dimana p > α yang berarti bahwa secara

statistik tidak terdapat hubungan yang bermakna antara paritas dengan

kejadian abortus di Ruang Bersalin RSUD dr. Adjidarmo Rangkasbitung

2011.

Menurut Muhammad ( 2009 ) paritas merupakan salah satu faktor

karena umumnya abortus terjadi pada wanita yang Grandemultipara.

Dari hasil penelitian ternyata tidak terdapat hubungan antara paritas

dengan kejadian abortus. Hal tersebut tidak sesuai dengan teori

Wiknjosastro ( 2006 ) yang menyatakan bahwa paritas 2-3 merupakan

paritas paling aman dari sudut kematian maternal. Paritas 1 dan paritas

tinggi (lebih dari 3) mempunyai angka kematian maternal tinggi. Lebih

tinggi paritas, lebih tinggi kematian maternal. Risiko pada paritas 1 dapat

ditangani dengan asuhan obstetrik lebih baik, sedangkan risiko pada

paritas tinggi dapat dikurangi atau dicegah dengan keluarga berencana.

Sebagian kehamilan pada paritas tinggi adalah tidak direncanakan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Ruang Bersalin RSUD dr.

Adjidarmo tahun 2011, bahwa paritas tidak mempengaruhi terjadinya

Page 71: editan BAB I - V

71

abortus, disebabkan karena selain paritas ada faktor – faktor lain yang

menyebabkan terjadinya abortus yaitu karena jarak kehamilan yang terlalu

dekat yaitu kurang dari 24 bulan merupakan jarak kehamilan yang berisiko

tinggi sewaktu melahirkan (Tukiran, 2008).

Jarak kehamilan terlalu dekat menyebabkan ibu punya waktu yang

terlalu singkat untuk memulihkan kondisi rahimnya. Setelah rahim kembali

ke kondisi semula, barulah merencanakan punya anak lagi (Ros, 2003).

Hal ini juga dikarenakan tempat dilakukannya penelitian yaitu di

Rumah Sakit, dimana Rumah Sakit itu sendiri merupakan tempat rujukan

dari berbagai Puskesmas dan BPS serta kebanyakan terdapat pasien –

pasien yang beresiko atau bermasalah ( patologis ) karena berbagai faktor

yang harus mendapatkan penanganan di Rumah Sakit. Dan karena

jumlah populasi dan jumlah sampel dalam penelitian ini yang sedikit

dengan menggunakan tingkat kepercayaan / ketetapan yang diinginkan

( d ) sebesar 0,1.

Hasil penelitian ini juga sesuai dengan hasil penelitian Yuni Hardani

pada tahun 2009 bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara

paritas dengan kejadian abortus.

Jadi semua ibu hamil baik yang memiliki anak > 3 maupun yang

memiliki anak ≤ 3 beresiko mengalami abortus.

Page 72: editan BAB I - V

72

4.2.8 Hubungan Pendidikan Ibu dengan Kejadian Abortus

Berdasarkan tabel 4.8 hasil penelitian didapatkan data bahwa ibu

hamil yang mengalami abortus lebih besar proporsinya pada ibu hamil

yang berpendidikan tinggi ( ≥ SLTA ) yaitu sebanyak 55,3 % dibandingkan

dengan ibu hamil yang mengalami abortus yang berpendidikan rendah ( <

SLTA ) ( 45,1 % ).

Hasil uji statistik dengan menggunakan Chi Square pada α = 0,05

didapatkan nilai p sebesar 0,343 dimana p > α yang berarti bahwa secara

statistik tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pendidikan

dengan kejadian abortus di Ruang Bersalin RSUD dr. Adjidarmo

Rangkasbitung 2011.

Menurut Sanitiyasa ( 2004 ) tinggi rendahnya tingkat pendidikan ibu

erat kaitannya dengan tingkat pengertian terhadap perawatan kesehatan,

higiene, dan perlunya pemeriksaan kehamilan.

Dari hasil penelitian ternyata tidak terdapat hubungan antara

pendidikan dengan kejadian abortus. Hal tersebut tidak sesuai dengan

teori Maas ( 2004 ) yang menyatakan bahwa rendahnya tingkat

pendidikan dan kurangnya informasi yang menyebabkan masih

banyaknya ibu-ibu yang kurang menyadari pentingnya pemeriksaan

kehamilan menyebabkan tidak terdeteksinya faktor-faktor risiko tinggi

yang mungkin dialami oleh mereka. Risiko ini baru diketahui pada saat

persalinan yang sering kali karena kasusnya sudah terlambat sehingga

dapat membawa akibat fatal.

Page 73: editan BAB I - V

73

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Ruang Bersalin RSUD dr.

Adjidarmo tahun 2011, bahwa pendidikan tidak mempengaruhi terjadinya

abortus, disebabkan karena selain pendidikan ada faktor – faktor lain yang

menyebabkan terjadinya abortus yaitu riwayat kehamilan lalu atau riwayat

obstetrik.

Menurut Malpas dan Eastman kemungkinan terjadinya abortus lagi

pada seorang wanita ialah 73% dan 83,6%. Sedangkan, Warton dan

Fraser dan Llewellyn - Jones memberi prognosis yang lebih baik, yaitu

25,9% dan 39% (Wiknjosastro, 2007).

Seorang wanita yang 3 kali berturut-turut mengalami keguguran

pada trimester pertama, memiliki risiko sebesar 35% untuk mengalami

keguguran lagi. keguguran juga lebih mungkin terjadi pada wanita yang

pernah melahirkan bayi yang sudah meninggal pada usia kehamilan 4-8

minggu atau pernah melahirkan bayi prematur (Medikastore, 2008).

Kejadian abortus diduga mempunyai efek terhadap kehamilan

berikutnya, baik pada timbulnya penyulit kehamilan maupun pada hasil

kehamilan itu sendiri. Wanita dengan riwayat abortus mempunyai risiko

yang lebih tinggi untuk terjadinya persalinan prematur, abortus berulang

dan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) (Ningrum dkk, 2004).

Riwayat abortus pada penderita abortus nampaknya juga merupakan

predisposisi terjadinya abortus berulang. Kejadiannya sekitar 3 – 5 %.

Data dari beberapa studi menunjukkan bahwa setelah 1 kali abortus

spontan, pasangan punya risiko 15% untuk mengalami keguguran lagi,

Page 74: editan BAB I - V

74

sedangkan bila pernah 2 kali, risikonya akan meningkat 25%. Beberapa

studi meramalkan bahwa risiko abortus setelah 3 kali abortus berurutan

adalah 30 – 45% (Prawirohardjo, 2009).

Hal ini juga dikarenakan tempat dilakukannya penelitian yaitu di

Rumah Sakit, dimana Rumah Sakit itu sendiri merupakan tempat rujukan

dari berbagai Puskesmas dan BPS serta kebanyakan terdapat pasien –

pasien yang beresiko atau bermasalah ( patologis ) karena berbagai faktor

yang harus mendapatkan penanganan di Rumah Sakit. Dan karena

jumlah populasi dan jumlah sampel dalam penelitian ini yang sedikit

dengan menggunakan tingkat kepercayaan / ketetapan yang diinginkan

( d ) sebesar 0,1.

Jadi semua ibu hamil baik yang berpendidikan rendah ( < SLTA )

maupun yang berpendidikan tinggi ( ≥ SLTA ) beresiko mengalami

abortus.

4.2.9 Hubungan Pekerjaan Ibu dengan Kejadian Abortus

Pada tabel 4.8 menunjukan bahwa ibu hamil yang mengalami

abortus lebih besar proporsinya pada ibu hamil yang tidak bekerja yaitu

sebanyak 54,8 % dibandingkan dengan ibu hamil yang mengalami abortus

yang bekerja ( PNS, non PNS ) ( 37,0 % ).

Hasil uji statistik dengan menggunakan Chi Square pada α = 0,05

didapatkan nilai p sebesar 0,123 dimana p > α yang berarti bahwa secara

statistik tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pekerjaan dengan

Page 75: editan BAB I - V

75

kejadian abortus di Ruang Bersalin RSUD dr. Adjidarmo Rangkasbitung

2011.

Menurut Pratiwi ( 2004 ) wanita hamil yang sehat mempunyai

kesempatan memiliki bayi yang lebih sehat. Wanita yang beban

pekerjaannya berat cukup rentan terkena gangguan kesehatan, jika tidak

melakukan upaya pencegahan.

Dari hasil penelitian ternyata tidak terdapat hubungan antara

pekerjaan dengan kejadian abortus. Hal tersebut tidak sesuai dengan

teori menurut Ahmad ( 2012 ) yaitu wanita hamil yang bekerja di lahan

pertanian dan kerap terpajan pestisida secara langsung, ternyata berisiko

lebih tinggi mengalami abortus spontan. Selain itu, kebiasaan suami

merokok dan beban kerja wanita yang berat meningkatkan risiko

terjadinya abortus. Menurut data BPS tahun 2007, diperkirakan 13 juta

perempuan bekerja di sektor pertanian. Terkait pajanan pestisida,

penelitian di Finlandia melaporkan pula bahwa wanita yang mengalami

abortus spontan, 30 % lebih besar kemungkinannya bahwa mereka

bekerja di sektor pertanian.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Ruang Bersalin RSUD dr.

Adjidarmo tahun 2011, bahwa pekerjaan tidak mempengaruhi terjadinya

abortus, disebabkan karena selain pekerjaan ada faktor – faktor lain yang

menyebabkan terjadinya abortus yaitu anemia.

Anemia pada kehamilan adalah anemia karena kekurangan zat besi.

Wanita memerlukan zat besi lebih tinggi dari laki laki karena terjadi

Page 76: editan BAB I - V

76

menstruasi dengan perdarahan sebanyak 50 sampai 80 cc setiap bulan

dan kehilangan zat besi sebesar 30 sampai 40 miligram. Disamping itu

kehamilan memerlukan tambahan zat besi untuk meningkatkan jumlah sel

darah merah dan membentuk sel darah merah janin dan plasenta.

Semakin sering seorang wanita mengalami kehamilan dan melahirkan

akan makin banyak kehilangan zat besi dan menjadi makin anemis.

Pengaruh anemia pada masa kehamilan terutama pada janin dapat

mengurangi kemampuan metabolisme tubuh ibu sehingga mengganggu

pertumbuhan dan perkembangan janin dalam rahim, akibatnya dapat

terjadi abortus, kematian intrauterine, persalinan prematur, berat badan

lahir rendah, kelahiran dengan anemia, terjadi cacat bawaan, bayi mudah

mendapat infeksi dan intelegensi rendah (Manuaba, 2010).

Hal ini juga dikarenakan tempat dilakukannya penelitian yaitu di

Rumah Sakit, dimana Rumah Sakit itu sendiri merupakan tempat rujukan

dari berbagai Puskesmas dan BPS serta kebanyakan terdapat pasien –

pasien yang beresiko atau bermasalah ( patologis ) karena berbagai faktor

yang harus mendapatkan penanganan di Rumah Sakit. Dan karena

jumlah populasi dan jumlah sampel dalam penelitian ini yang sedikit

dengan menggunakan tingkat kepercayaan / ketetapan yang diinginkan

( d ) sebesar 0,1.

Jadi semua ibu hamil baik yang bekerja maupun yang tidak bekerja

beresiko mengalami abortus.

Page 77: editan BAB I - V

77

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasrkan hasil penelitian mengenai Hubungan Karakteristik Ibu

Dengan Kejadian Abortus Di Ruang Bersalin RSUD dr. Adjidarmo

Rangkasbitung Tahun 2011. Maka peneliti menarik kesimpulan dan saran

berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan adalah sebagai berikut :

5.1 Kesimpulan

1. Hampir separuhnya ibu hamil di Ruang Bersalin RSUD dr.

Adjidarmo Rangkasbitung mengalami abortus.

2. Ibu hamil yang berumur < 20 atau > 35 tahun proporsinya tidak

jauh berbeda dengan ibu hamil yang berumur 20 – 35 tahun.

3. Lebih dari separuhnya ibu hamil memiliki anak > 3.

4. Pada umumnya ibu hamil berpendidikan rendah ( < SLTA ).

5. Sebagian besar ibu hamil tidak bekerja.

6. Tidak terdapat hubungan antara umur, paritas, pendidikan dan

pekerjaan ibu dengan kejadian abortus di Ruang Bersalin RSUD

dr. Adjidarmo Rangkasbitung.

77

Page 78: editan BAB I - V

78

5.2 Saran

Berdasrkan hasil penelitian mengenai Hubungan Karakteristik Ibu

Dengan Kejadian Abortus Di Ruang Bersalin RSUD dr. Adjidarmo

Rangkasbitung Tahun 2011. Beberapa saran yang dapat dijadikan

pertimbangan yaitu :

5.2.1 Bagi RSUD dr. Adjidarmo

Diharapkan untuk perlu melengkapi sarana atau fasilitas kesehatan,

dan bagi para tenaga kesehatannya agar lebih tanggap dalam

mendeteksi mengenai kasus – kasus abortus serta memberikan

penyuluhan kepada ibu hamil, bahwa semua ibu hamil beresiko

terhadap kejadian abortus. Sehingga setiap ibu hamil harus

mewaspadai tanda bahaya yang terjadi pada dirinya.

5.2.2 Bagi Mahasiswa atau Peneliti Lain

Diharapkan kepada mahasiswa dengan adanya hasil penelitian ini

bisa bermanfaat dan sebagai kaca perbandingan bagi peneliti –

peneliti yang lain supaya menjadi lebih baik. Dan diharapkan bagi

peneliti lain untuk melakukan penelitian berdasarkan variabel yang

lain seperti faktor genetik, status gizi, sosial ekonomi, riwayat

obstetric, dan lain – lain.