Top Banner
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Isu mengenai Affirmative Action semakin hangat diperdebatkan seiring pengalaman hasil pemilu legislatif tahun 2004 1 sebagaimana diisyaratkan dalam Undang-undang pemilu No.12 tahun 2003. Di tingkat nasional anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) asal Nusa Tenggara Timur (NTT) berjumlah 13 kursi yang terdiri atas laki-laki 11 orang (84,62%) dan perempuan 2 orang (15,38%). Kemudian, di tingkat provinsi berjumlah 55 orang terdiri atas laki-laki 49 orang (89,09%) dan perempuan 6 orang (10,91%). Selanjutnya, anggota DPRD Kabupaten/ Kota se-NTT berjumlah 552 orang yang terdiri dari laki-laki 430 orang (89,5%) dan perempuan 50 orang (10,5%). Untuk tahun 2004 semua Kabupaten/Kota memiliki keterwakilan perempuan walaupun prosentasinya kecil. 2 Selanjutnya, pengalaman hasil pemilu legislatif Kota Kupang tahun 2009 juga menunjukkan data yang tidak lebih baik dari pengalaman sebelumnya, yakni dari 17 partai yang memiliki kursi di DPRD Kota Kupang, terdapat 30 anggota legislatif dan hanya terdapat 1 perempuan anggota legislatif (dari Partai Persatuan Daerah). 3 Pemilu legislatif Kota Kupang tahun 2009 sebagai pesta demokrasi ketiga sejak bergulirnya reformasi, telah memberikan pelajaran yang berarti dalam penelitian tentang gender mengenai perempuan dan politik. 1 Untuk pertama kalinya tuntutan kuota diterapkan dalam pemilu legislatif. 2 Lilijawa Isidorus, 2010. Perempuan, Media dan Politik. Penerbit Ledalero,Maumere. Hal. 59 3 Diakses dari website Bappeda Kota Kupang. Dalam, http://bappedakotakupang.info/warta-bappeda-kota-kupang/202-menggagas- pelibatan-perempuan-dalam-sektor-public.html 1
81

EDIT-17 mei 2013

Dec 31, 2015

Download

Documents

Melan Sixone
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: EDIT-17 mei 2013

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Isu mengenai Affirmative Action semakin hangat diperdebatkan seiring pengalaman hasil

pemilu legislatif tahun 20041 sebagaimana diisyaratkan dalam Undang-undang pemilu No.12

tahun 2003. Di tingkat nasional anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) asal Nusa Tenggara

Timur (NTT) berjumlah 13 kursi yang terdiri atas laki-laki 11 orang (84,62%) dan perempuan 2

orang (15,38%). Kemudian, di tingkat provinsi berjumlah 55 orang terdiri atas laki-laki 49 orang

(89,09%) dan perempuan 6 orang (10,91%). Selanjutnya, anggota DPRD Kabupaten/ Kota se-

NTT berjumlah 552 orang yang terdiri dari laki-laki 430 orang (89,5%) dan perempuan 50 orang

(10,5%). Untuk tahun 2004 semua Kabupaten/Kota memiliki keterwakilan perempuan walaupun

prosentasinya kecil.2 Selanjutnya, pengalaman hasil pemilu legislatif Kota Kupang tahun 2009

juga menunjukkan data yang tidak lebih baik dari pengalaman sebelumnya, yakni dari 17 partai

yang memiliki kursi di DPRD Kota Kupang, terdapat 30 anggota legislatif dan hanya terdapat 1

perempuan anggota legislatif (dari Partai Persatuan Daerah).3 Pemilu legislatif Kota Kupang

tahun 2009 sebagai pesta demokrasi ketiga sejak bergulirnya reformasi, telah memberikan

pelajaran yang berarti dalam penelitian tentang gender mengenai perempuan dan politik.

Sejauh ini banyak penelitian yang terjebak dengan isu gender yang oleh banyak orang

dianggap menjadi milik perempuan saja. Mitos sisterhood solidarity (solidaritas perempuan),

yaitu kepentingan perempuan hanya bisa diperjuangkan perempuan karena ada pengalaman

sama di antara perempuan adalah mitos yang terbukti ketidakbenarannya dan harus diganti

dengan sisterhood-brotherhood solidarity untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat.4

Gender tidak sama dengan perempuan. Gender adalah konstruksi sosial yang membedakan

peran sosial perempuan dan laki-laki.5 Dengan demikian, jika berbicara Affirmative Action maka

laki-laki pun harus turut terlibat di dalamnya dengan mendorong atau menarik perempuan

sebanyak mungkin dan sedalam mungkin terlibat dalam proses politik di parlemen. Dan hal

yang perlu dipahami adalah dalam memperjuangkan Affirmative Action bukanlah berarti

1 Untuk pertama kalinya tuntutan kuota diterapkan dalam pemilu legislatif.2 Lilijawa Isidorus, 2010. Perempuan, Media dan Politik. Penerbit Ledalero,Maumere. Hal. 593 Diakses dari website Bappeda Kota Kupang. Dalam, http://bappedakotakupang.info/warta-bappeda-kota-kupang/202-menggagas-pelibatan-perempuan-dalam-sektor-public.html4 Dapat dilihat pada situs resmi Kementerian Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Republik Indonesia

dalam http://menegpp.go.id. Mengenai kebijakan affirmatif untuk perempuan, dalam hal meredefinisi isu afirmatif.5 Handayani Trisakti, Sugiarti, 2008. Konsep Dan Teknik Penelitian Gender. UMM PRESS. Malang; Hal 5.

1

Page 2: EDIT-17 mei 2013

mempertentangkan dua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan. Tetapi, ini lebih kepada

membangun hubungan (relasi) yang tidak hanya setara tetapi juga adil.

Konsep membangun relasi tersebut dipertegas oleh Lovenduski bahwa keterwakilan

politik (political representativeness) bagi perempuan harus terus didukung untuk tampil

maksimal berapa pun jumlah mereka di parlemen.6 Senada dengan itu, Ani Soetjipto juga

mempertanyakan apakah lebih baik mempunyai “sedikit perempuan” di posisi pengambilan

keputusan tetapi mereka memiliki kapasitas dan kepekaan daripada ‘lebih banyak perempuan’

tetapi tidak menjalankan mandat yang diembannya untuk mengakomodasi kepentingan

perempuan. Dengan kata lain, apakah lebih baik kualitas atau kapasitas dari pada mengejar

jumlah atau kuantitas.7 Pertanyaan ini dianggap relevan dengan masalah yang akan diangkat

dalam skripsi ini, dan secara implisit turut mengajak penulis untuk tidak terperangkap dalam

kerangkeng pemikiran mengenai Affirmative Action yang hanya memfokuskan pada logika

jumlah seperti yang dilakukan oleh banyak peneliti terdahulu. Konsep keterwakilan yang penulis

maksudkan adalah tidak sebatas memberikan kesempatan yang sama kepada laki-laki dan

perempuan untuk dapat bersaing, tetapi juga perlu dilihat dari nilai “keadilan” yang juga

diperjuangkan dalam Affirmative Action.

Perlu dipahami bahwa kata kunci dari Affirmative Action dalam konteks ini adalah

subjektifitas demi keadilan. Keadilan yang dimaksudkan adalah bagaimana Dewan Perwakilan

Rakyat (DPR) sebagai institusi maupun sebagai personal (anggota DPR) memberikan motivasi

atau dukungan serta membekali setiap keterwakilan perempuan yang berada dalam parlemen

sebagai tindak lanjut dari dukungan Affirmative Action. Hal ini dianggap perlu karena

kemampuan atau sumber daya perempuan dan laki-laki sangat berbeda akibat dari ketimpangan

pembangunan yang sekian lama mengesampingkan perempuan.8 Oleh karena itu, dukungan

Affirmative Action dalam hal ini subjektifitas demi keadilan adalah sangat relevan untuk

diperjuangkan.

Mengingat demokrasi merupakan sistem politik yang dianut oleh Indonesia; dalam

demokrasi itu kedaulatan berada di tangan rakyat. Sehingga segala bentuk penyelengaraan

negara wajib senantiasa memperjuangkan aspirasi rakyat yang disalurkan melalui lembaga-

lembaga perwakilan. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, keterwakilannya dalam

6 Joni Lovenduski, 2008. Politik Berparas Perempuan. Penerbit Kanisius, Yogyakarta, Hal. 33, diterjemahkan oleh Hardono Hadi dengan judul buku asli Feminizing Politics, Polity Press Ltd., Cambridge, UK, 2005.7 Ani Widyani Soetjipto,2006. Pemenuhan hak-hak politik perempuan, sejauh manakah?, dalam Jurnal Perempuan edisi 45. Penerbit Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta. Hal 1018 Hartini Titik, 2006. Pengarusutamaan Gender dan Pemberdayaan perempuan. Yayasan Jurnal Perempuan. Jakarta. Hal 84.

2

Page 3: EDIT-17 mei 2013

setiap penyelenggaraan negara tentu harus serius diperhatikan karena pemerintahan harus

dijalankan atas kehendak rakyat (will of the people).

Di Indonesia, kehadiran perempuan dalam politik masih menjadi topik yang hangat

diperbincangkan. Asumsi bahwa keberadaan perempuan masih sering digolongkan sebagai the

second class citizens (warga kelas kedua) masih saja berkembang.9 Demokrasi di Indonesia yang

masih dalam tahap transisi terus ditantang untuk dapat menjawab permasalahan ini. Mengingat

bahwa lebih dari setengah penduduk Indonesia adalah kaum perempuan, maka demokrasi tanpa

keterlibatan perempuan di dalamnya tentu bukanlah demokrasi yang sejati. Hal inilah yang

kemudian menjadikan Affirmative Action hadir demi menjawab ketimpangan yang ada.

Mengutip pendapatnya Gomes dalam tulisannya mengenai Manajemen Sumber Daya

Manusia mengatakan bahwa Affirmative Action terdiri dari kata Affirmative dan Action.10

Affirmative berarti pengakuan positif, berupa program-program dan prosedur-prosedur yang

secara nyata harus dibuat dan selanjutnya akan diidentifikasikan dan memperbaiki semua praktik

pekerjaan yang cenderung terus mempertahankan pola-pola diskriminasi dalam pekerjaan.

Sedangkan Action berarti tindakan, yaitu tindakan yang harus diambil guna memungkinkan

mereka yang telah “disingkirkan” untuk bersaing atau memperoleh akses terhadap pekerjaan-

pekerjaan berdasarkan basis yang sama. Singkatnya, isu Affirmative Action yang dimaksud

dalam penelitian ini adalah suatu upaya “memerangi” diskriminasi-diskriminasi terhadap kaum

perempuan untuk terlibat dalam ranah publik atau politik.

Oleh karena itu, dengan keadaan seperti yang telah digambarkan di atas sangatlah

berpengaruh pada persoalan Affirmative Action dan keterwakilan perempuan di legislatif.

Berangkat dari pemikiran tersebut maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang

berjudul “Affirmative Action Dalam Keterwakilan Perempuan di Legislatif (Studi Kasus

Penerapan Affirmative Action Oleh DPRD Sebagai Institusi Maupun Personal Terhadap

Keterwakilan Perempuan Legislatif Kota Kupang Periode 2009-2014)”.

9 Lilijawa Isidorus, Op.cit. Hal. 44.10 Gomes, Faustino, Cordoso, 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia. Penerbit Andi. Yogyakarta. Hal 69.

3

Page 4: EDIT-17 mei 2013

B. Rumusan Masalah

Berangkat dari pemaparan latar belakang di atas, maka penulis mengajukan sebuah

pertanyaan penelitian: “Bagaimana Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Kupang

Sebagai Institusi Maupun Personal Menerapkan Affirmative Action Terhadap

Keterwakilan Perempuan Legislatif Kota Kupang Periode 2009-2014?”

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Kupang sebagai sebuah

institusi dalam mengimplementasikan Affirmative Action melalui Peraturan Daerah

(PERDA) yang sensitif gender.

2. Untuk mengetahui dukungan Affirmative Action oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah Kota Kupang terhadap keterwakilan perempuan legislatif periode 2009-2014.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:

1. Secara teoritis akademis, penelitian ini bermanfaat untuk memperkaya ilmu pengetahuan

di bidang Ilmu Politik khususnya dalam kajian Affirmative Action dalam keterwakilan

perempuan legislatif.

2. Secara pragmatis praktis, dari penelitian ini memberikan khasanah empirik mengenai

tindakan afirmatif (Affirmative Action) dalam keterwakilan perempuan legislatif di

DPRD Kota Kupang.

4

Page 5: EDIT-17 mei 2013

BAB II

KERANGKA PENELITIAN

A. Tinjauan Pustaka

Berkaitan dengan rencana penelitian ini, ada beberapa penelitian terdahulu yang

mengkaji tentang Affirmative Action. Dari beberapa penelitian ini, penulis memfokuskan pada

pendekatan atau sudut pandang keilmuan tertentu. Untuk tujuan penelitian ini, beberapa

penelitian akan dijelaskan secara singkat. Berikut adalah tesis yang ditulis oleh Imas

Rosidawati Wr,SH.,MH (2004) dengan judul Keterwakilan Perempuan Di Dewan Perwakilan

Rakyat (Kesiapan Partai Politik Dan Perempuan Indonesia Di Arena Politik Praktis).

Penelitiannya merumuskan masalah pokok yaitu bagaimanakah kesiapan partai politik dalam

merespon kebijakan pemerintah untuk mengakomodasikan kepentingan perempuan dalam

penyusunan daftar calon legislatif dengan kuota 30 % dan kendala-kendala apa yang

menyebabkan representasi perempuan di dewan Perwakilan Rakyat sangat rendah. Penelitiannya

menggunakan metode penelitian kualitatif.

Rosidawati menyimpulkan bahwa salah satu hal untuk mengeliminasi segala bentuk

diskriminasi terhadap perempuan adalah tindakan affirmative (Affirmative Action), yang

diantaranya diimplementasikan dalam hal keterwakilan perempuan di parlemen dan partai

politik dengan diundangkan secara formal dalam pasal 65 Undang-Undang Pemilu No. 12 tahun

2003.

Secara empirik dan faktual terdapat kendala yang menyebabkan keterwakilan perempuan

di Dewan Perwakilan Rakyat sangat rendah, yakni masih adanya anggapan bahwa dunia politik

adalah dunianya laki-laki, sistem dan struktur sosial patriakhi telah menempatkan perempuan

pada posisi yang tidak sejajar dengan laki-laki, masih sedikitnya perempuan yang terjun kedunia

politik dan rendahnya pengetahuan perempuan tentang politik, serta dukungan partai politik

yang belum besungguh-sungguh terhadap perempuan. Penelitian yang dilakukan oleh

Rosidawati ini melihat Affirmative Action dari aspek tuntutan pemenuhan kuota 30%.

Penelitian yang berikut adalah penelitian yang dilakukan oleh Diana Dewi Sartika

dengan judul penelitian: Peran politik perempuan di Parlemen Sumatera Selatan Pasca

penerapan Affirmative Action pada Pemilu 2004.11

11 Lihat penelitian Sartika dalam, (http://etd.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDetail&act=view&typ=html&buku_id=34059&obyek_id=4). Diakses pada tanggal 3 Februari 2013.

5

Page 6: EDIT-17 mei 2013

Aspek yang dilihat oleh Sartika adalah melihat peran politik perempuan, khususnya

dalam memperjuangkan kepentingan perempuan, serta hambatan dan dorongan yang ada pada

perempuan di parlemen. Selain masih minimnya peran perempuan di parlemen, para perempuan

ini juga mengalami hambatan, baik itu yang berasal dari eksternal maupun internal. Hambatan

eksternal berupa masih mengakarnya budaya patriarki dalam masyarakat Sumatera selatan

(Sumsel), dan sistem pemilihan yang tidak/ kurang menguntungkan bagi perempuan, sedangkan

hambatan internal berupa masih minimnya kualitas para perempuan ini dan beberapa aspek

psikologis, seperti adanya sindrom takut terhadap kekuasaan, kurang percaya diri dan lain-lain.

Hal lainnya yang turut mewarnai hambatan perempuan di parlemen, adalah munculnya konflik

peran yang terkait dengan tugas mereka di fraksi/ komisi, panitia anggaran dan lain-lain serta

dilema antara peran domestik versus peran publik. Namun demikian, dibalik semua hambatan

berikut conflict of role yang dihadapi, terdapat aspek pendorong dari internal maupun eksternal

bagi perempuan untuk tetap eksis di parlemen. Dorongan eksternal berupa kebijakan Affirmative

Action, serta semakin meluasnya kesadaran akan konsep kesetaraan itu sendiri. Dorongan

internal berasal dari karekteristik keperempuanan mereka yang telah tersosialisasi dari kecil,

seperti pemelihara, teliti, penyabar, dan lain-lain. Aspek ini kemudian membawa warna

tersendiri di tengah kerasnya dunia politik.

Dari kedua penelitian terdahulu di atas, dapat dipahami bahwa tindakan Affirmative

Action hanya dilihat dari bagaimana tuntutan kuota 30% keterwakilan perempuan di parlemen

terpenuhi dan hambatan-hambatan yang dialami untuk memenuhi kuota tersebut. Hal tersebut

didasari oleh logika jumlah sehingga yang menjadi fokus utamanya adalah pencapaian kuota.

Penulis melihat bahwa hal ini belumlah lengkap bilamana nilai keadilan yang terkandung dalam

Affirmative Action tidak dipahami sebagai “tindakan subjektif demi keadilan” atau diskriminasi

positif.

Berikut adalah riset yang ditulis oleh Khofifah Indar Parawansa dalam buku yang

berjudul “Perempuan di Parlemen: Bukan sekedar jumlah” dengan studi kasus “Hambatan

terhadap Partisipasi Politik Perempuan di Indonesia”. Dalam tulisannya, Parawansa

menyingkapkan bahwa Kurangnya keterwakilan perempuan di parlemen disebabkan oleh

serangkaian hambatan yang membatasi kemajuan mereka. Oleh karena itu, menurutnya,

berbagai strategi harus dipelajari secara simultan untuk mengatasi hambatan tersebut, sehingga

tujuan untuk meningkatkan representasi perempuan di parlemen bisa diwujudkan. Studi kasus

dari penelitian ini menyajikan tingkat representasi politik perempuan di Indonesia, dan mengkaji

beberapa dari hambatan yang menghalangi perempuan untuk menjadi anggota parlemen. Selain

6

Page 7: EDIT-17 mei 2013

itu, ditawarkan berbagai strategi yang bisa dipertimbangkan untuk mengatasi permasalahan

keterwakilan ini.

Parawansa menegaskan bahwa keterwakilan perempuan di parlemen menuntut suatu

kapasitas yang kualitatif. Menurutnya, peningkatan kualitas perempuan dapat dilakukan, antara

lain dengan meningkatkan akses terhadap fasilitas ekonomi, kesehatan dan pendidikan.

Riset yang diungkapkan oleh Parawansa memang mengandung tindakan afirmasi

(Affirmative Action) dan dalam konteks ini penulis menggunakan istilah “diskriminasi positif”,

namun kedalaman pemahaman dari riset Parawansa terhadap kualitas tindakan afirmasi dinilai

penulis masih kurang mendalam. Oleh karena itu, riset yang diajukan oleh penulis akan lebih

mendalam dan akan fokus pada perlakuan diskriminasi positif oleh DPRD Kota Kupang sebagai

institusi dan personal terhadap legislator perempuan di instansi tersebut.

B. Landasan Teori

1. Perwakilan Politik

1.1. Pengertian Perwakilan Politik

Pemikiran tentang konsepsi perwakilan dalam politik mempunyai rentang sejarah yang

panjang, seperti rentangan sejarah tentang demokrasi itu sendiri. Sesungguhnya konsep

perwakilan dalam politik adalah perwujudan dari demokrasi yang tidak bisa dilakukan melalui

sistem demokrasi langsung seperti yang pernah dilakukan di Athena, yaitu demokrasi melalui

partisipasi langsung dari setiap warga negara, pemerintahan yang mewakilinya ia sebut

“Aristrokasi elektif”, karena tidak memungkinkan untuk dilaksanakan di negara besar. Dari sisi

teori menurut Afred de Grazia menuturkan bahwa perwakilan dapat diartikan sebagai hubungan

diantara dua pihak yaitu wakil dan dengan terwakil sehingga yang wakil memegang

kewenangan untuk melakukan berbagai tindakan yang berkenaan dengan kesepakatan yang

dibuatnya dengan terwakil. Dalam perkembangannya, studi-studi tentang perwakilan politik erat

kaitannya dengan penelitian-penelitian tentang badan legislatif yang dikenal sebagai parlemen.

Pemahaman pemerintahan perwakilan dalam politik adalah pemerintah mewakili warga

negara dalam memanfaatkan kekuasaan yang dimilikinya untuk menyelenggarakan kehidupan

bersama. Keseluruhan proses penggunaan kekuasaan tersebut diawasi oleh sekelompok orang

yang telah diserahi kekuasaan, yang kemudian dikenal sebagai wakil rakyat. Kemampuan

pengawasan wakil rakyat yang bertindak sebagai pengawas kekuasaan pemerintah tersebut

masih dapat dibantu oleh berbagai hak yang tetap berada di tangan rakyat, seperti hak

7

Page 8: EDIT-17 mei 2013

menyatakan pendapat, mendapatkan keadilan dan sebagainya yang disampaikan melalui wakil

rakyat.12

Sementara itu makna demokrasi perwakilan dalam konteks perwakilan politik adalah

keseluruhan proses pemerintahan yang berjalan secara demokratis dan diproses oleh wakil-wakil

rakyat, inilah makna dari konsepsi demokrasi perwakilan. Secara umum peranan perwakilan

badan legislatif, pada dasarnya berkenaan dengan masalah-masalah hubungan antara badan

tersebut (parlemen) atau tepatnya anggota badan legislatif dengan anggota masyarakat yang

diwakili mereka secara individu berdasarkan kelompok maupun secara keseluruhan. Dengan

demikian para wakil rakyat dituntut untuk menyelaraskan berbagai kehendak atau opini tersebut

dalam proses perumusan dan pemutusan kebijakan-kebijakan yang dihasilkan di parlemen.

Pertimbangan utama para wakil rakyat dalam menciptakan keselarasan itu ialah mengutamakan

kehendak atau opini pihak yang diwakili tanpa perlu mengorbankan kelestarian sistem politik

secara keseluruhan. Pertimbangan tersebut didasari oleh landasan utama dari sistem politik yang

menganjurkan supaya kehidupan masyarakat, termasuk kehidupan politik berlangsung dengan

keharmonisan. Atas dasar itu dikehendaki pula supaya lembaga-lembaga politik serta segala

elemen yang berada di dalamnya berproses secara serasi melalui kerjasama yang harmonis.

1.2. Bentuk-Bentuk Teori Perwakilan

Perwakilan adalah sekelompok orang yang diberikan kepercayaan, otoritas dan

kemampuan yang berkorelasi dengan wakil atau yang diwakili. Dalam teori ini dapat dijelaskan

adanya empat bentuk kemungkinan hubungan dalam memaknai relasi antara wakil dengan

terwakil yaitu, pertama trusthe model, delegation model, mandat model dan politico model.

a. Trustee Model

Model perwakilan rakyat yang didasarkan pada perilaku seorang wakil rakyat, yang dipandang

mengetahui apa yang terbaik bagi kepentingan bangsa dan masyarakat pemilihnya (konstituen)

dan bertindak selaras dengan kepentingan tersebut. Maka itu, wakil rakyat pada konteks ini tidak

terikat pada kepentingan partainya.

b. Delegation Model

Wakil rakyat dalam konteks ini dipandang sebagai yang mewakili konstituennya. Oleh karena

itu fungsinya di DPR ditentukan oleh apa yang menjadi kepentingan masyarakat pemilihnya.

c. Mandat Model

12 Dapat dilihat dalam http//www.rakyatmerdeka.com

8

Page 9: EDIT-17 mei 2013

Dalam konteks ini, pertanggungjawaban seorang wakil rakyat dinilai atas dasar apakah dia loyal

atau tidak kepada partai yang mengutusnya. Jadi, segala kegiatannya sebagai wakil rakyat

ditentukan oleh kepentingan partainya.

d. Politico Model

Model ini adalah gabungan dari ketiga model teori perwakilan yang telah disebutkan di atas.13

Di samping keempat model di atas, teori wakil rakyat dan yang diwakili yang di sebut Teori

mandat, menyatakan bahwa seorang wakil rakyat yang duduk di perwakilan karena mendapat

mandat dari rakyat, sehingga ia disebut Mandataris. Teori ini terbagi atas tiga macam yaitu

sebagai berikut :

1. Mandat Interaktif

Seorang wakil rakyat yang bertindak di lembaga perwakilan harus sesuai dengan perintah yang

diberikan oleh yang diwakilinya. Wakil rakyat tidak boleh bertindak di luar dari perintah.

2. Mandat Bebas

Seorang wakil rakyat dapat bertindak tidak tergantung atas perintah dari yang diwakilinya

karena wakil telah diberikan kepercayaan. Oleh sebab itu dalam merumuskan sikap dan

pandangannya seorang wakil tidak terikat kepada yang diwakili.14

3. Mandat Representatif

Seorang wakil rakyat tergabung dalam lembaga perwakilan rakyat, sehingga yang diwakili,

memilih dan memberikan mandat pada lembaga perwakilan, oleh karena itu wakil tersebut

secara individual tidak memiliki hubungan dengan konstituennya.

Perwakilan politik sebagai hubungan timbal balik antara wakil dan terwakil dapat

dikatakan berfungsi apabila kepentingan, kebutuhan dan aspirasi masyarakat terlayani oleh

wakil, sehingga masyarakat merasakan keterwakilannya oleh wakil yang dipercayainya. Kondisi

tersebut mampu mendorong terwujudnya keterwakilan politik yang demokratis.

Dari sekian banyak teori dan model teori keterwakilan yang dipaparkan oleh Saragih

memang berada pada ruang yang berbeda dengan riset ini. Tetapi akan lebih relevan menurut

penulis jika dalam riset ini menggunakan model dari hasil gabungan antara beberapa teori

perwakilan yang kemudian dielaborasi. Oleh karena itu, Model Trustee dalam konteks ini adalah

model yang memberikan kepercayaan sepenuhnya kepada yang mewakili, tetapi kemudian hal

itu tetap dikawal dengan Model Delegasi serta Model Mandat dan dalam konteks ini teori

mandat yang digunakan adalah Mandat Interaktif dan Mandat Representatif. Selanjutnya, Model

13 Bintan Regen Saragih, 1985. Sistem Pemerintahan Dan Lembaga Perwakilan Di Indonesia, Yogyakarta: Perintis Press. Hal 102.14 Arbi Sanit,op.cit, hal 37

9

Page 10: EDIT-17 mei 2013

Delegasi yang dimaksud dalam konteks ini adalah model yang memberikan kesempatan kepada

perempuan untuk bersaing dengan sesama perempuan dalam memenuhi kuota 30%, sehingga

kualitas mereka dapat mencapai standar minimal. Dan Teori Mandat Interaktif mengkoridor

mereka agar dalam tindakan mereka sebagai wakil rakyat tidak keluar dari aspirasi atau

kepentingan rakyat. Selanjutnya, Teori Mandat Representatif menjelaskan bahwa parlemen

sebagai lembaga perwakilan juga dikerangka untuk dapat melaksanakan diskriminasi positif di

dalam lembaga tersebut dengan para wakil rakyat yang telah diberikan mandat oleh konstituen

yang tergabung di dalamnya.

Singkatnya, Penulis berpendapat bahwa sesungguhnya Politico Model dapat diselaraskan

dengan Teori Mandat Interaktif dan Mandat Representatif, tujuannya adalah supaya perempuan

dikoridor untuk melakukan diskriminasi positif, dan dalam saat yang bersamaan laki-laki juga

didorong untuk melakukan hal yang sama yaitu diskriminatif positif terhadap kaum perempuan.

2. Gender

Gender sering di salah artikan sebagai kelompok laki-laki, perempuan, atau perbedaan

jenis kelamin. “Untuk memahami kata gender, harus dibedakan dengan kata seks atau jenis

kelamin (Trisakti Handayani)”.15 Gender adalah perbedaan peran, fungsi, dan tanggung- jawab

antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial dan dapat berubah sesuai

dengan perkembangan jaman. Sedangkan seks (Jenis kelamin) adalah perbedaan jenis kelamin

yang ditentukan secara biologis. Seks melekat secara fisik sebagai alat reproduksi. Oleh karena

itu, seks merupakan kodrat atau ketentuan Tuhan sehingga bersifat permanen dan universal.

Untuk memahami gender lebih lanjut, perlu diperhatikan juga mengenai terjadinya

ketidakadilan gender. Ketidakadilan gender atau diskriminasi gender merupakan akibat dari

adanya sistem (struktur) sosial; dalam sistem sosial tersebut salah satu jenis kelamin (laki-laki

maupun perempuan) menjadi korban. Hal ini terjadi karena adanya keyakinan dan pembenaran

yang ditanamkan sepanjang peradaban manusia dalam berbagai bentuk dan cara yang menimpa

kedua belah pihak, walaupun dalam kehidupan sehari-hari lebih banyak dialami oleh

perempuan.

2.1 Teori Gender

15 Handayani Trisakti, Sugiarti, 2008. Konsep Dan Teknik Penelitian Gender. UMM PRESS. Malang. Hal 4

10

Page 11: EDIT-17 mei 2013

Dalam khazanah pengetahuan tentang gender terdapat banyak teori yang berkembang

dan dijadikan rujukan dalam menganalisis permasalahan gender. Teori-teori yang dimaksud

adalah nurture, nature, equilibrium, adaptasi awal, teknik lingkungan, struktural, struktural-

fungsional, dan teori konflik sosial. Teori nurture, nature, dan equilibrium merupakan teori awal

tentang gender. Namun dalam perkembangan selanjutnya, seiring dengan perkembangan isu

gender, bermunculan teori-teori lain sebagaimana disebutkan di atas.

A. Teori Nurture

Menurut teori nurture, adanya perbedaan perempuan dan laki-laki pada hakikatnya

adalah hasil konstruksi sosial budaya sehingga menghasilkan peran dan tugas yang berbeda.

Perbedaan tersebut menyebabkan perempuan selalu tertinggal dan terabaikan peran dan

konstribusinya dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Perjuangan untuk persamaan dipelopori oleh orang- orang yang konsen memperjuangkan

kesetaraan perempuan dan laki-laki (kaum feminis) yang cenderung mengejar “kesamaan” atau

fifty-fifty yang kemudian dikenal dengan istilah kesamaan kuantitas (perfect equality).

Perjuangan tersebut sulit dicapai karena berbagai hambatan, baik dari nilai agama maupun

budaya. Karena itu, aliran nurture melahirkan paham sosial konflik yang memperjuangkan

kesamaan proporsional dalam segala aktivitas masyarakat seperti di tingkatan manajer, menteri,

militer, DPR, partai politik, dan bidang lainnya. Untuk mencapai tujuan tersebut, dibuatlah

program khusus (affirmatif action) guna memberikan peluang bagi pemberdayaan perempuan

yang kadangkala berakibat timbulnya reaksi negatif dari kaum laki-laki karena apriori terhadap

perjuangan tersebut.

B. Teori Nature

Menurut teori nature, adanya perbedaan perempuan dan laki-laki adalah kodrat sehingga

tidak dapat berubah dan bersifat universal. Perbedaan biologis ini memberikan indikasi dan

implikasi bahwa di antara kedua jenis tersebut memiliki peran dan tugas yang berbeda. Manusia,

baik perempuan maupun laki-laki, memiliki perbedaan kodrat sesuai dengan fungsinya masing-

masing.

Aliran ini melahirkan paham struktural fungsional yang menerima perbedaan peran, asal

dilakukan secara demokratis dan dilandasi oleh kesepakatan (komitmen) antara suami-isteri

dalam keluarga, atau antara perempuan dan laki-laki dalam kehidupan masyarakat.

C. Teori Equilibrium

11

Page 12: EDIT-17 mei 2013

Disamping kedua aliran tersebut, terdapat paham kompromistis yang dikenal dengan

keseimbangan (Equilibrium) yang menekankan pada konsep kemitraan dan keharmonisan dalam

hubungan antara perempuan dan laki-laki. Pandangan ini tidak mempertentangkan antara kaum

perempuan dan laki-laki karena keduanya harus bekerjasama dalam kemitraan dan

keharmonisan dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, dan berbangsa. Karena itu,

penerapan kesetaraan dan keadilan gender harus memperhatikan masalah kontekstual (yang ada

pada tempat dan waktu tertentu) dan situasional (sesuai situasi/keadaan), bukan berdasarkan

perhitungan secara matematis (jumlah/kuota) dan tidak bersifat universal.

Dalam konteks Gender dan Politik, maka perlu dirumuskan dulu apa itu politik. Di

Indonesia kita teringat pepatah gemah ripah loh jinawi, sedangkan pada masa yunani kuno

terutama Plato dan Aristoteles menamakan politik sebagai en dam onia atau the good life.16

Politik dalam pengertian ini begitu penting karena sejak dahulu kala masyarakat mengatur

kehidupan kolektif dengan baik mengingat masyarakat sering menghadapi terbatasnya sumber

daya alam, atau perlu dicari satu cara distribusi sumber daya alam agar semua warga merasa

bahagia dan puas. Selanjutnya menurut Peter Merkl, politik dalam bentuk yang paling baik

adalah usaha mencapai tatanan sosial yang baik dan berkeadilan (politics, at its best is a noble

quest for a good order and justice). Betapa samar-samar pun tetap hadir sebagai latar belakang

serta tujuan kegiatan politik. Sehingga perlu disadari bahwa persepsi mengenai baik dan adil

dipengaruhi oleh nilai-nilai serta ideologi masing-masing dan zaman yang bersangkutan.17

Menurut Ramlan Surbakti,18 definisi politik adalah interaksi antara pemerintah dan

masyarakat dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang

kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu. Selanjutnya, menurut

Siti Musdah Mulia & Anik, inti dari politik adalah kekuasaan (power) dan pengambilan

keputusan (decision making)”.19 Sehingga dapat disimpulkan bahwa politik identik dengan

pembuatan dan pengambilan keputusan yang dalam konteks ini erat hubungannya dengan

lembaga legislatif.

Sejak demokrasi dikenal di zaman Yunani Kuno, orang-orang yang berusia di atas 18

tahun yang berasal dari Athena dikelompokkan pada kelas warga negara. Kewarganegaraan

hanya bisa diperoleh melalui kelahiran, bukan dengan proses naturalisasi. Keuntungan pokok

kewarganegaraan terletak pada keistimewaan politis yang diberikan kepada penduduk, yakni hak

untuk berpartisipasi dalam pemerintahan kotanya dan pengaturan urusan publik. Tidak ada

16 Miriam Budiarjo, 2009,Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta. Hal 13.17 Ibid. Hal 15.18 Surbakti Ramlan, 1999, Memahami ilmu politik, Gramedia Widia sarana Indonesia, Jakarta. Hal 1. 19 Mulia Musdah Siti dan Faridah Anik, 2005, Perempuan Dan Politik, PT Gramedia Pustaka Utama, Hal 128.

12

Page 13: EDIT-17 mei 2013

keistimewaan sosial khusus yang mengiringi status warga negara. Kelas ini terbuka untuk semua

rakyat Athena, kaum ningrat maupun kalangan awam. Kelas ini meliputi baik mereka yang

berasal dari kalangan ekonomi bawah, orang kaya, buruh maupun orang-orang profesional dan

pengusaha. Namun demikian, ada yang tidak tercantum, yakni perempuan. Yunani klasik

berpandangan bahwa tempat perempuan itu di rumah, bukan di muka umum, atau menjadi juri

atau kantor publik. Karena Yunani tidak memahami warga negara dengan melepaskan hak untuk

berpartisipasi dalam pemerintahan, maka secara logika mereka memisahkan perempuan dari

kategori warga negara.

Hal ini menunjukkan bahwa demokrasi di zaman Yunani Kuno, perempuan tidak

dilibatkan dalam ranah publik. Namun seiring perkembangannya, kini kaum perempuan telah

mendapat kesempatan untuk terlibat dalam proses demokrasi.

2.2 Kesetaraan dan Keadilan

Dalam konsep gender terkandung prinsip kesetaraan dan keadilan yang terus

diperdengarkan dan diperjuangkan. Banyak orang yang mempelajari teori gender dan politik

dari persfektif kesetaraan (equality) sangat meyakini bahwa gender akan menjadi tidak relevan

jika dilihat secara politik atau dengan kata lain tidak berhubungan satu sama lain. Pada

kenyataannya bahwa pria dan wanita pada umumnya dipahami berbeda dalam lingkungan

politik.20 Hal ini senada dengan perjuangan Affirmative Action yang juga mengamanatkan

diskriminasi positif, dan hal ini menegaskan bahwa Affirmative Action tidak hanya

membicarakan mengenai kesetaraan, tetapi juga membicarakan tentang keadilan. Singkatnya,

prinsip keadilan berusaha mengembangkan “perlakuan yang berbeda” atau diskriminasi positif

yang tidak hanya bersifat prosedural, namun diharapkan penerapannya sampai pada tingkat

subtantif demi tercapainya keadilan.

3. Perempuan dan Keterwakilan Politik

Tahun 1960 merupakan masa puncak perjuangan panjang terhadap kajian gender.

Program Studi Perempuan (Kajian Perempuan) di Tingkat Perguruan Tinggi di Amerika Serikat

20 Terjemahan dari buku: Judith Squires, Gender in political Theory, Polity Press; USA, 1999, hal. 116

13

Page 14: EDIT-17 mei 2013

pada masa itu merupakan bukti munculnya perhatian akademis terhadap studi gender.21 Banyak

teori-teori yang membawa ide-ide gender yang berupaya menentang epistemologi-epistemologi

konvensional dengan mengemukakan paradigma alternatif.22 Termasuk juga dalam hal ini ide-

ide yang terkait dengan teori-teori politik seperti teori keterwakilan politik.

Oleh kelompok feminis, negara seringkali diidentifikasi sebagai pemilik kekuasaan yang

dapat membuat dan mengubah kebijakan yang selanjutnya dapat memiliki pengaruh terhadap

perempuan dan hak perempuan. Namun demikian, negara juga diidentifikasi sebagai pendukung

struktur sosial yang telah mapan di masyarakat, yang seringkali menindas perempuan. Yang

dimaksudkan dalam hal ini, bahwa negara menjadi penyambung lidah bagi budaya patriarki

melalui kebijakan-kebijakannya yang memang menyebabkan terjadinya beberapa tindak

penindasan terhadap perempuan. Sehingga meningkatkan peran perempuan di dalam parlemen

merupakan suatu gagasan yang penting dan dianggap kelompok feminis sebagai suatu

pemecahan masalah yang efektif untuk mengubah sikap negara menjadi negara yang berkeadilan

gender. Hal ini sesuai dengan apa yang diargumentasikan John Stuart Mill.23 Yang ia maksudkan

dalam hal ini bahwa kaum perempuan memiliki dan dapat menggunakan hak politiknya untuk

memperbaiki kondisi masyarakat melalui keterlibatan secara tidak langsung (dengan

menggunakan hak pilih) atau secara langsung (sebagai anggota parlemen) dalam proses

pembuatan undang-undang.24 Penjelasan tersebut telah mengambarkan bagaimana keterwakilan

perempuan menjadi begitu penting dalam suatu negara, terutama untuk menghindarkan segala

bentuk penindasan terhadap perempuan.

Lebih jauh, Indonesia sebagai negara yang berdaulat dan merdeka telah berkomitmen

dan secara tegas memberi pengakuan yang sama bagi setiap warganya, baik perempuan maupun

laki-laki akan berbagai hak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tanpa kecuali. Hak-hak

politik perempuan ditetapkan melalui instrumen hukum maupun dengan meratifikasi berbagai

konvensi yang menjamin hak-hak politik tersebut. Undang-Undang RI no.39 tahun 1999 tentang

Hak Asasi Manusia pasal 46 menyebutkan sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan

21 Akhyar Yusuf Lubis, 2006. Dekonstruksi Epistemologi Modern: dari Postmodernisme Teori Kritis Poskolonialisme hingga Cultural Studies. Pustaka Indonesia Satu, Jakarta. hal 77.22 S. Kunto Adi Wibowo, 2004. Posfeminisme & cultural studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif. Jalasutra, Yogjakarta. hal 47, diterjemahkan dari buku asli Brooks, 1997. Postfeminisme: Feminism, Cultural Theory and Cultural Forms diterbitkan oleh Routlegde, London.23 John Stuart Mill adalah seorang pemikir liberal dan demokrasi. Kemudian, Mill pun menjadi seorang feminis liberal. Ia memperjuangkan hak individu dan kebebasan yang lebih baik bagi perempuan.24Aquarini Priyatna Prabasmoro, 2004. Feminist Though: Pengantar Paling Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis. Jalasutra, Yogjakarta. hal 30. diterjemahkan dari buku asli, Angela Y. Davis, 1981 Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction yang diterbitkan oleh Westview Press, Colorado pada tahun 1998.

14

Page 15: EDIT-17 mei 2013

anggota badan legislatif dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif dan yudikatif harus

menjadi keterwakilan perempuan sesuai dengan persyaratan yang ditentukan.

Penegasan hak-hak politik perempuan dibuktikan dengan telah diratifikasinya Konvensi

Hak-Hak Politik Perempuan. Ketentuan dalam Konvensi PBB tersebut menjelaskan beberapa

hal seperti berikut :

1. Perempuan berhak untuk memberikan suara dalam semua pemilihan dengan syarat-syarat

yang sama dengan laki-laki, tanpa suatu diskriminasi.

2. Perempuan berhak untuk dipilih bagi semua badan yang dipilih secara umum, diatur oleh

hukum nasional dengan syarat-syarat yang dengan laki-laki tanpa ada diskriminasi.

3. Perempuan berhak untuk memegang jabatan publik dan menjalankan semua fungsi publik,

diatur oleh hukum nasional dengan syarat-syarat yang sama dengan laki-laki.

Kemudian pada tanggal 4 Januari 2008, diundangkan sebuah undang-undang partai

politik baru yaitu UU No. 2 Tahun 2008 sebagai pengganti UU No.31 Tahun 2002 tentang

partai politik dan UU No. 12 Tahun 2003 untuk Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan

Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Kehadiran UU No.

2 Tahun 2008 dan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat,

Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah merupakan perkembangan

yang cukup signifikan dan hal ini menegaskan bahwa Indonesia berusaha keluar dari sistem

yang bersifat patriarki.

Singkatnya, Penulis ingin menjelaskan bahwa di dalam ruang publik khususnya dunia

politik, perempuan seringkali terpinggirkan dibandingkan oleh laki-laki. Hal ini terlihat jelas di

Indonesia, dicontohkan salah satunya oleh keterwakilan perempuan di lembaga legislatif.

Padahal seperti yang dikatakan oleh Mill, melalui hak politiknya, perempuan dapat

berkontribusi untuk menghapuskan perbuatan penindasan yang ada di masyarakat. Dengan kata

lain, perempuan diyakini mampu melakukan perubahan baik terhadap masyarakat dengan

keterlibatannya di dalam ranah politik.

4. Keterwakilan Perempuan Dalam Lembaga Politik

Dewasa ini anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada umumnya mewakili rakyat

melalui partai politik. Hal ini dinamakan perwakilan yang bersifat politik (political

representation). Kehadiran konsep ini dipelopori oleh negara-negara demokrasi yang menganut

ideologi politik liberal yang memiliki asumsi bahwa yang paling mengetahui mengenai rakyat

adalah rakyat itu sendiri sehingga aspirasi dan kehendak rakyat harus diwakili oleh rakyat.

15

Page 16: EDIT-17 mei 2013

Asumsi ini mendorong lahirnya sistem perwakilan dalam kehidupan rakyat suatu negara yang

perwujudannya dilakukan melalui partai politik dalam pemilihan umum. Namun demikian

sistem perwakilan ini secara umum dapat dibagi 2 (dua) yaitu:25

1. Sistem perwakilan langsung, yaitu sistem pengangkatan wakil rakyat secara langsung

melalui pemilu oleh rakyat tanpa perantara DPR/MPR. Contoh, Pemilihan anggota DPR dan

DPD Indonesia tahun 2004.

2. Sistem perwakilan tidak langsung, yaitu sistem pemilihan wakil rakyat yang memberikan

kepercayaan kepada partai politik untuk menentukan calon legislatif yang akan mewakili

rakyat dan juga mengangkat anggota-anggota DPR/MPR melalui pengangkatan dari unsur-

unsur atau golongan dari pemerintah. Contoh, anggota DPR/MPR Indonesia pada zaman

Orde Baru.

Perwakilan politik sebagai hubungan timbal balik antara wakil dan terwakil dapat

dikatakan berfungsi apabila kepentingan, kebutuhan dan aspirasi masyarakat terlayani oleh

wakil, sehingga masyarakat merasakan keterwakilannya oleh wakil yang dipercayainya. Kondisi

tersebut mampu mendorong terwujudnya perwakilan politik yang demokratis.

Jika dilihat dalam undang-undang pemilihan umum, tidak ada dijelaskan mengenai

pengertian keterwakilan perempuan. Untuk mendapatkan pengertian demikian perlu dicari

dalam perundangan lain. Dalam UU No. 39 tahun 1999 pasal 46 dijelaskan bahwa:

“Keterwakilan wanita adalah pemberian kesempatan dan kedudukan yang sama bagi wanita untuk melaksanakan peranannya dalam bidang eksekutif, yudikatif, legislatif, kepartaian, dan pemilihan umum menuju keadilan dan kesetaraan gender”.

Dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD’45) jelas tergambar bahwa dalam rangka

fungsi legislatif dan pengawasan lembaga utamanya adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Pasal 20 ayat (1) UUD’45 menentukan, “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan

membentuk undang-undang” dan dalam pasal 20A ayat (1) UUD’45 ditentukan pula “Dewan

Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan”. Artinya,

kekuasaan legislasi (legislation), kekuasaan penentuan anggaran (budgeting) dan kekuasaan

pengawasan (controling) berada di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).26 Selanjutnya, Sitepu

mengatakan bahwa salah satu bagian yang penting dalam mempelajari ilmu politik, adalah

melihat lembaga legislatif. Dengan mempelajari lembaga legislatif ini maka kita akan

mengetahui sejauh manakah demokrasi itu berjalan di suatu negara.27 Dalam konteks ini

25 Rahman Ariffin, Ibid.Hal, 12626 Anthonius Sitepu, 2012. Teori-Teori Ilmu Politik. Graha Ilmu, Yogyakarta. Hal 141.27 Anthonius Sitepu, ibid. Hal 142

16

Page 17: EDIT-17 mei 2013

parlemen merupakan lembaga yang turut bertanggungjawab dalam permasalahan mengenai

keterwakilan perempuan dalam parlemen sebagai tuntutan demokrasi.

Lebih jauh, Salah satu teori yang akan digunakan sebagai alat analisa dalam riset ini

yakni teori mengenai keterwakilan perempuan dalam politik yang dituliskan oleh Azza Karam

dan Joni Lovenduski dalam buku berjudul Women in Parliement: Beyond Number.28 Karam dan

Lovenduski beranggapan bahwa keterwakilan perempuan merupakan hal penting, karena

diyakini dapat memberikan perubahan positif dalam proses pembuatan kebijakan yang lebih

baik untuk masyarakat. Azza Karam dan Joni Lovenduski tidak hanya sekedar melihat

pentingnya jumlah perempuan di parlemen saja, sebaliknya mengalihkan ke titik apa yang

sebenarnya dapat kaum perempuan lakukan di parlemen (bagaimana mereka dapat

mempengaruhi), berapa pun jumlah mereka. Menurut keduanya, perempuan mempelajari aturan

main, dan menggunakan pengetahuan dan pemahaman ini untuk mengangkat isu dan persoalan

perempuan dari dalam di badan pembuat undang-undang (legislature) dunia.

Karam dan Lovenduski menekankan bahwa kendati hanya satu kehadiran perempuan

pun di dalam parlemen, maka diyakini ia mampu membawa suatu perubahan. Namun tentunya

untuk perubahan yang signifikan diperlukan juga keterwakilan perempuan dalam jumlah yang

signifikan. Perubahan yang diusung oleh anggota parlemen perempuan ini dikarenakan mereka

memiliki perbedaan dengan kaum laki-laki dalam hal isi dan prioritas pembuatan keputusan. Isi

dan prioritas pembuatan keputusan antara laki-laki dan perempuan ditentukan oleh kepentingan,

latar belakang dan pola kerja kedua jenis kelamin itu. Perempuan cenderung memberikan

prioritas pada masalah-masalah kemasyarakatan, seperti jaminan sosial, pelayanan kesehatan

masyarakat, isu anak-anak dan perempuan. Sedangkan laki-laki mendominasi arena politik; laki-

laki memformulasikan aturan-aturan permainan politik.29

Menurut Karam dan Lovenduski anggota parlemen perempuan akan melalui tiga tahap

untuk mewujudkannya. Langkah pertama yang dilakukan perempuan anggota parlemen adalah

untuk memahami bagaimana bekerjanya legislator dalam rangka untuk dapat menggunakan

pengetahuannya sehingga dapat bekerja secara lebih efektif. Tahap kedua, yakni dengan

mempelajari bagaimana menggunakan aturan-aturan yang ada, sehingga perempuan dapat

meraih peluang untuk ikut serta dalam posisi dan komite-komite kunci, membuat diri mereka

didengar dalam pembahasan dan debat-debat, dan dapat menggunakan sepenuhnya keahlian dan

28 Azza Karam dan Joni Lovenduski, Perempuan di Parlemen: Membuat Perubahan dalam Azza Karm dan Julie Ballington (ed-), Perempuan di Parlemen: Bukan Sekedar Jumlah, Bukan Sekedar Hiasan (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan dan International Institute for Democracy and Electoral Assistance, 1999), hal. 155. Diterjemahkan oleh Yayasan Jurnal Perempuan, dengan judul asli Women In Parliement: Beyond Numbers diterbitkan oleh Stockholm, International Institute for Democracy and Electoral Assistance pada tahun 2005.29 Karam dan Ballington (ed), Ibid., hal. 168-170.

17

Page 18: EDIT-17 mei 2013

kemampuan mereka. Hal terakhir yang akan dilakukan oleh para anggota parlemen perempuan

adalah dengan mengawal perubahan aturan dan struktur yang ada, dan untuk membantu generasi

baru politis perempuan.30 Setelah tiga tahapan tersebut dilewati, maka anggota parlemen yang

perempuan tersebut akan melakukan perubahan di dalam empat bidang yakni meliputi

institusional/prosedural, representasi, pengaruh terhadap output dan diskursus. Berikut

merupakan tabel yang menggambarkan perubahan yang akan dibawa oleh anggota parlemen

perempuan dalam empat bidang tersebut.

Tabel 2. Dampak Perubahan yang diusung oleh Anggota Parlemen Perempuan31

Institusional/ProseduralMembuat parlemen lebih “ramah perempuan” melalui peraturan-peraturan

yang memajukan kepedulian gender lebih besar.

Representasi

Menjamin keberlanjutan perempuan dan meningkatkan akses ke parlemen,

dengan mendorong kandidat-kandidat perempuan, mengubah undang-undang

pemilihan dan kampanye, serta memajukan legislasi kesetaraan jenis kelamin.

Dampak/Pengaruh terhadap

Produk kebijakan (output)

“feminisasi” legislasi dengan memastikan sudah memperhitungkan pada isu

dan peran perempuan.

DiskursusMengubah bahasa parlementer sehingga perspektif perempuan menjadi suatu

hal yang wajar dan mendorong perubahan sikap publik terhadap perempuan.

Melihat fungsi anggota parlemen terhadap perubahan tersebut, maka Karam dan

Lovenduski menekankan bahwa keterwakilan perempuan di parlemen semakin perlu

ditingkatkan, karena ketika jumlah perempuan meningkat menandakan semakin banyaknya

perubahan baik yang terjadi. Namun mereka juga menekankan bahwa kendati hanya satu

kehadiran perempuan pun di dalam parlemen maka diyakini ia mampu membawa suatu

perubahan, sehingga dalam konteks ini parlemen sebagai lembaga politik diharapkan secara

sadar aktif dalam melakukan diskriminasi positif terhadap keterwakilan perempuan demi

perubahan tersebut terealisasikan.

Lebih jauh, refleksi dari pengalaman sejak 2004 memberi beberapa pembelajaran

berharga, sehingga perlu untuk meredefinisi isu afirmatif tersebut:32

30 Karam dan Ballington (ed), Ibid., hal. 177-179.31 Karam dan Ballington (ed), Ibid., hal. 159.32 Dapat dilihat dalam, http://menegpp.go.id/V2/index.php/component/content/article/41-perempuan/78-kebijakan-afirmatif-untuk-perempuan-

18

Page 19: EDIT-17 mei 2013

1. Mitos sisterhood solidarity (solidaritas perempuan), yaitu kepentingan perempuan hanya

bisa diperjuangkan perempuan karena ada pengalaman sama diantara perempuan adalah

mitos yang terbukti ketidakbenarannya dan harus ganti dengan sisterhood-brotherhood

solidarity untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat.

2. Dibutuhkan akulturasi proses pembelajaran dan pemaknaan baru kebijakan afirmatif pada

masyarakat basis sehingga ada dukungan kultural bagi gagasan ini dan isu ini bukan hanya

jadi komoditas kelas menengah dan terpelajar di perkotaan.

3. Perjuangan kebijakan afirmatif yang seolah-olah diterima publik sebagai isu perempuan

yang harus diperjuangkan kelompok perempuan sendiri jika ingin berhasil dengan

menegasikan potensi kekuatan kelompok masyarakat sipil lain adalah keliru.

Kelompok perempuan seharusnya memanfaatkan energi politik dan sosial untuk kembali

menggerakkan isu ini. Politisi perempuan diperlukan kontribusi maksimalnya melalui

perjuangan mereka di partai, lintas partai, dan pada institusi politik seperti parlemen. Energi

sosial harus dibangun kembali melalui jejaring dengan beragam pemangku kepentingan dan

mengusung beragam isu dan tema perjuangan tidak tunggal dengan perspektif perempuan

sebagai bingkai. Isu bersama saat ini bukan kuota sebagai tujuan, tetapi bagaimana

menggunakan Affirmative Action sebagai instrumen mencapai tujuan dan merespon persoalan

sosial masyarakat.

19

Page 20: EDIT-17 mei 2013

C. Alur Pikir:

Affirmative Action bukan hanya menyangkut memberikan kesempatan atau ruang yang

sama kepada laki-laki dan perempuan untuk berkompetisi tanpa adanya modal atau kemampuan

serta media yang cukup. Oleh karena itu DPRD Kota Kupang sebagai institusi memiliki peran

penting melalui 3 fungsinya yaitu : Membuat Peraturan Daerah (legislature), Pengawasan

(control) dan Anggaran (budgeting), untuk mendukung kaum perempuan dalam parlemen

sebagai bentuk nyata dari upaya Affirmative Action. Selanjutnya diharapkan dalam kondisi di

DPRD Kota Kupang, yang sekalipun hanya memiliki 1 keterwakilan perempuan sebagai

anggota legislatif, tetapi sebagai wujud nyata dari semangat Affirmative Action maka anggota

legislatif perempuan tersebut harus dilibatkan serta dimotivasi oleh anggota legislatif laki-laki

untuk ia turut aktif dalam rapat, sebagai misal dalam rapat paripurna, rapat fraksi, dan rapat

komisi.

Kata kunci Affirmative Action dalam konteks ini adalah “subjektifitas” atau yang biasa

dikenal dengan istilah “diskriminasi positif” dan hal ini dianggap perlu, mengingat bahwa kaum

perempuan selama ini tersubordinasi oleh faktor-faktor yang dikonstruksikan secara sosial.

Sehingga tidak cukup hanya memberikan kesempatan yang sama bagi laki-laki dan perempuan

tetapi dibutuhkan dukungan yang sifatnya “subjektif” demi tercapainya keadilan dan kesetaraan

gender.

20

Page 21: EDIT-17 mei 2013

D. Skema Alur Pikir

Penulis ingin memberikan gambaran mengenai bagaimana Affirmative Action dalam

keterwakilan perempuan di DPRD Kota Kupang terkait personal dan institusi yang berbicara

mengenai jumlah dan kualitas. Secara konseptual kerangka berpikir penulis dapat digambarkan

sebagai berikut :

Gambar

Skema Alur Pikir

21

Jumlah

Personal

Keterwakilan Perempuan

Kualitas

DPRD

KOTA KUPANG

AFFIRMATIVE ACTION

Institusi

Page 22: EDIT-17 mei 2013

E. Defenisi Konseptual

Definisi konseptual adalah berisi istilah-istilah berangkat dari konsep-konsep yang

digunakan, yang menjelaskan atau paling tidak mendeskripsikan kerangka pikir yang dibangun.

Dalam penelitian ini definisi konseptualnya adalah sebagai berikut:

1. Keterwakilan Perempuan

Keterwakilan perempuan di dalam lembaga legislatif diharapkan terus didukung oleh

lembaga perwakilan dalam hal ini DPR/ DPRD sebagai lembaga politik untuk mendongkrak

keterwakilan perempuan dalam politik. Hal ini diharapkan diupayakan melalui fungsi legislasi,

fungsi anggaran dan fungsi pengawasan yang sensitif gender. Dan selanjutnya, di tingkat

personal (anggota legislatif) bentuk dukungan terhadap keterwakilan perempuan legislatif.

Seperti diungkapkan dalam Teori Equilibrium (Teori Keseimbangan) yang menekankan pada

konsep kemitraan dan keharmonisan dalam hubungan antara perempuan dan laki-laki.

Pandangan ini tidak mempertentangkan antara kaum perempuan dan laki-laki. Dalam konteks

ini, diharapkan anggota legislatif perempuan dan anggota legislatif laki-laki saling berkerjasama

dalam kemitraan.

2. Gender

Menurut Trisakti Handayani,33 untuk memahami kata gender, harus dibedakan dengan

kata seks atau jenis kelamin. Secara struktur biologis atau jenis kelamin, manusia terdiri dari

laki-laki dan perempuan yang masing-masing memiliki alat dan fungsi biologis yang melekat

serta tidak dapat dipertukarkan.

Seyogianya konsep gender merupakan sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan

perempuan yang dibentuk oleh faktor-faktor sosial maupun budaya, sehingga lahir beberapa

anggapan tentang peran sosial dan budaya laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu dapat

dikatakan bahwa gender dapat diartikan sebagai konsep sosial yang membedakan peran antara

laki-laki dan perempuan. Perbedaan fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan itu tidak

ditentukan karena keduanya terdapat perbedaan biologis atau kodrat, tetapi dibedakan atau

dipilah-pilah menurut kedudukan, fungsi, dan peranan masing-masing dalam berbagai bidang

kehidupan dan pembangunan.

33 Trisakti Handayani, 2008. Konsep Dan Teknik Penelitian Gender. UMM PRESS. Malang. Hal 4.

22

Page 23: EDIT-17 mei 2013

Untuk memahami gender lebih jauh, ada beberapa istilah yang perlu diketahui sebagai

berikut:34

a. Buta Gender (gender blind), yaitu kondisi/ keadaan seseorang yang tidak memahami tentang

pengertian/ konsep gender karena ada perbedaan kepentingan laki-laki dan perempuan.

b. Sadar Gender (gender awareness), yaitu kondisi/ keadaan seseorang yang sudah menyadari

kesamaan hak dan kewajiban antara perempuan dan laki-laki.

c. Peka/Sensitif Gender (gender sensitive), yaitu kemampuan dan kepekaan seseorang dalam

melihat dan menilai hasil pembangunan dan aspek kehidupan lainnya dari perspektif gender

(disesuaikan kepentingan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan).

d. Mawas Gender (gender perspective), yaitu kemampuan seseorang memandang suatu

keadaan berdasarkan perspektif gender.

e. Peduli/Responsif Gender (gender concern/ responcive), yaitu kebijakan/ program/ kegiatan

atau kondisi yang sudah dilakukan dengan memperhitungkan kepentingan kedua jenis

kelamin.

Setelah mengetahui apa itu gender, maka dapat disimpulkan bahwa perbedaan antara

laki-laki dan perempuan itu terjadi secara kodrati. Namun, perempuan hanya dianggap layak dan

pantas untuk berada di wilayah domestik yaitu mengurus rumah tangga, mengurus anak dan

suami. Politik yang dianggap kotor dan penuh persaingan dianggap bukan tempat yang cocok

bagi kaum perempuan. banyak mitos dan kepercayaan yang menjadikan kedudukan perempuan

berada lebih rendah dari pada laki-laki. Hal ini diakibatkan karena perempuan dipandang dari

segi “seks” (Jenis kelamin) bukan dari segi kemampuan, kesempatan dan aspek-aspek manusia

secara universal, yaitu manusia yang berakal, bernalar dan berperasaan. Sehingga laki-laki dan

perempuan seyogianya diperlakukan adil tanpa adanya diskriminasi seperti yang diamanatkan

dalam undang-undang dasar 1945 alinea ke 4 yang secara tegas menekankan tentang keadilan

sosial bagi seluruh rakyat indonesia. Hal ini menggambarkan bahwa setiap warga negara baik itu

laki-laki ataupun perempuan mempunyai hak yang sama dan dilindungi oleh negara, baik itu

dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik.

34 Sasongko Sri, 2009. Program Pembinaan Jarak jauh Pengarusutamaan Gender-Modul Kedua – Konsep Dan Teori Gender. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Jakarta. Hal 7-20.

23

Page 24: EDIT-17 mei 2013

3. Affirmative Action

Dalam konteks ini, Affirmative Action dipahami sebagai tindakan untuk mendorong

perempuan agar dapat terlibat aktif dalam ruang publik. Ruang publik yang dimaksud adalah

mengenai interaksi sosial, ekonomi, dan politik. Partai politik, birokrasi, dan parlemen

merupakan contoh konkrit dari ruang publik. Oleh karena itu, diharapkan upaya Affirmative

Action tidak hanya terbatas pada partai politik, tetapi seharusnya juga terdapat pada parlemen.

Dalam konteks ini Affirmative Action dilihat tidak hanya sebatas memberikan kesempatan yang

sama terhadap kaum perempuan, tetapi juga mengenai bagaimana parlemen sebagai lembaga

politik atau institusi maupun sebagai personal secara sadar mendorong kaum perempuan untuk

terlibat aktif dalam ranah publik atau politik sebagai bentuk dari diskriminasi positif.

4. Institusi

Berbicara mengenai bagaimana institusi memperlakukan setiap personil atau setiap

anggota legislatif, terutama pada anggota legislatif perempuan dalam konteks Affirmative

Action. Dalam konsep ini, lembaga legislatif dilihat sebagai institusi atau lembaga politik yang

memainkan peran politik untuk mendorong terciptanya Affirmative Action. Hal ini berbicara

mengenai kualitas institusi.

5. Personal

Berbicara mengenai personal maka berbicara mengenai kuantitas dan kualitas. Jika

dilihat dari segi kuantitas (jumlah) maka hal tersebut berbicara mengenai berapa jumlah anggota

legislatif perempuan dan laki-laki di institusi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Tetapi, jika

berbicara mengenai bagaimana anggota legislatif laki-laki secara sadar melakukan diskriminatif

positif terhadap anggota legislatif perempuan, maka hal ini berada di ranah kualitas dalam

konteks upaya Affirmative Action ditingkat personal.

F. Definisi Operasional

Definisi operasional biasanya dikelompokkan ke dalam dua perspektif, yaitu perspektif

penelitian kuantitatif dan perspektif penelitian kualitatif. Penelitian kuantitatif lebih

menggunakan pendekatan etik, dalam arti bahwa peneliti mengumpulkan data dengan

menetapkan terlebih dahulu konsep sebagai variabel-variabel yang berhubungan yang berasal

dari teori yang sudah ada yang dipilih oleh peneliti. Kemudian variabel tersebut dicari dan

ditetapkan indikator-indikatornya. Hanya dari indikator yang telah ditetapkan tersebut dibuat

kuesioner, pilihan jawaban dan skor-skornya. Sedangkan penelitian kualitatif biasanya lebih

24

Page 25: EDIT-17 mei 2013

menggunakan perspektif emik, sehingga peneliti dalam hal ini mengumpulkan data berupa cerita

rinci dari para informan dan diungkapkan apa adanya sesuai dengan bahasa dan pandangan

informan. Namun, jika penelitian kualitatif menggunakan definisi operasional, berarti penelitian

telah menggunakan perspektif etik bukan emik lagi.35 Dengan menetapkan definisi operasional,

berarti peneliti telah menetapkan jenis dan jumlah indikator yang menjadi batasan dalam

penelitian. Hal ini ditujukan untuk menguraikan istilah-istilah turunan dari defenisi konseptual

di mana istilah-istilah dimaksud merupakan istilah-istilah yang akan digunakan dalam

penelitian. Oleh karena itu, indikator yang akan penulis gunakan untuk melihat upaya Affirmative

Action adalah dari segi kualitas dan jumlah (kuantitas). Kemudian, kedua indikator tersebut

digunakan untuk menilai upaya Affirmative Action yang dilakukan oleh DPRD Kota Kupang

sebagai institusi maupun personal. Secara operasional dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. DPRD Kota Kupang jika dilihat sebagai institusi maka hal yang dimaksudkan berada dalam

ranah kualitas. Institusi diharapkan memiliki sistem yang mapan dan pro terhadap

Affirmative Action dalam arti membuka ruang Affirmative Action yang adil dan bukan hanya

setara. Hal ini dapat diupayakan melalui fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi

pengawasan yang sensitif gender. Namun dalam konteks ini penulis hanya mengfokuskan

pada fungsi DPRD Kota Kupang sebagai institusi politik dalam menghasilkan Peraturan

Daerah (Perda) yang sensitif gender, dalam artian untuk mendorong kaum perempuan untuk

turut aktif di ranah publik.

2. Selanjutnya, jika DPRD Kota Kupang dilihat sebagai personal (anggota legislatif) maka hal

ini dapat dilihat dari dua segi, yaitu dari segi jumlah (kuantitas) maupun kualitas. Apabila

Personal dilihat dari segi jumlah maka penulis akan melihat berapa jumlah anggota legislatif

Kota Kupang periode 2009-2014, yaitu dari 30 anggota legislatif yang ada terdapat 29

anggota legislatif berjenis kelamin laki-laki dan 1 anggota legislatif perempuan. Namun,

apabila personal dilihat dari segi kualitas, maka hal yang dimaksud penulis dalam konteks

ini adalah suatu pandangan dengan harapan bahwa para anggota legislatif yang berjenis

kelamin laki-laki (29 anggota legislatif laki-laki) secara sadar turut memotivasi anggota

legislatif perempuan untuk terlibat aktif di setiap rapat dan atau sidang di lembaga DPRD

Kota Kupang.

35 Hamidi. 2004. Metode Penelitian Kualitatif: Aplikasi Praktis Pembuatan Proposal dan Laporan Penelitian. Malang: UMM Press. Hal 14-16

25

Page 26: EDIT-17 mei 2013

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan dan fokus penelitian:

Pendekatan yang digunakan dalam rangka menjawab permasalahan dalam penelitian ini

adalah bersifat kualitatif dengan memberikan fokus penelitian pada:

Bagaimana Peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Kupang sebagai sebuah

institusi politik menerapkan Affirmative Action ke dalam fungsi legislasi dan anggaran

untuk mendorong keterwakilan perempuan ke ranah publik?

Bagaimana anggota DPRD Kota Kupang sebagai bentuk pengamalan Affirmative Action

melibatkan dan memotivasi anggota legislatif perempuan dalam setiap rapat anggota?

B. Jenis Dan Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah deskriptif interpretatif dengan bersandar penuh pada metode

kualitatif. Informasi dikaji dari berbagai data yang diperoleh pada saat penelitian, kemudian data

tersebut diinterpretasi.

Penelitian ini dengan menggunakan metode kualitatif yaitu, penelitian yang digunakan

untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah (sebagai lawannya adalah eksperimen) dengan

peneliti adalah sebagai instrumen kunci. Teknik pengumpulan data dilakukan secara trianggulasi

(gabungan), analisa ini bersifat induktif, dan hasil penelitan kualitatif lebih menekankan makna

dari pada generalisasi. Oleh karena itu melalui metode ini peneliti akan mengfokuskan penelitian

pada bagaimana penerapan Affirmative Action Oleh DPRD sebagai institusi maupun personal

terhadap keterwakilan perempuan di legislatif Kota Kupang, periode 2009-2014.

C. Teknik Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data dan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini digunakan

beberapa teknik pengumpulan data yaitu:

a. Pengamatan (observasi):

Observarsi yaitu, penelitian yang dilakukan dengan cara pengamatan langsung di lokasi

penelitian, untuk mengetahui gambaran umum lokasi penelitian dan deskripsi

permasalahan.

26

Page 27: EDIT-17 mei 2013

b. Wawancara:

Wawancara yaitu, penelitian yang dilakukan melalui metode pengumpulan data dengan

jalan komunikasi atau melalui kontak hubungan pribadi antara peneliti dengan sumber

data (informan) yang dapat dilakukan secara langsung dan atau tidak langsung.

c. Studi literatur yakni:

Data yang diperlukan untuk menjawab masalah penelitian dicari dalam dokumen atau

bahan pustaka dan juga dari data sekunder.

D. Sumber Informasi

Untuk menentukan informan maka peneliti menentukan secara purposive yaitu,

pengambilan sumber data dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan tertentu ini, misalnya

orang tersebut yang dianggap paling tahu tentang apa yang kita harapkan, atau mungkin dia

sebagai penguasa sehingga akan memudahkan peneliti menjelajahi obyek atau situasi sosial

yang diteliti. Sehingga berdasarkan cara tersebut maka yang menjadi informan yaitu:

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah : Tellendmark J. Daud

Anggota Legislatif Perempuan periode 2009-2014 : Agnes Bota Hayon

Pimpinan dari setiap fraksi :

1. Zeyto R. Ratuarat (Ketua Fraksi Golkar)

2. Nikolaus Fransiskus, S.IP (Wakil Ketua Fraksi PDI Perjuangan)

3. Irianus Rohi, SH (Ketua Fraksi Demokrat)

4. Isidorus Lilijawa, S.Fil, MM (Ketua Fraksi Gerindra)

5. Jeri Anthon Pingak (Ketua Fraksi Nurani Berkarya)

6. Johnis I. Haning, SE (Ketua Fraksi Damai Sejahtera Pembaharuan)

Anggota dewan untuk mewakili unsur anggota DPRD Kota Kupang :

1. Petrus Krispianus Matutina

2. Mexi Hansen Pello

3. Semus Max. L Baitanu

4. Kardinad Kale Lena

E. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Kupang.

27

Page 28: EDIT-17 mei 2013

F. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang

diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi, dengan cara

mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa,

menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat

kesimpulan sehingga mudah difahami oleh diri sendiri maupun orang lain. Dalam teknik

analisis data menggunakan tiga cara yaitu :

1. Kategorisasi dan Reduksi

Kategorisasi adalah proses analisis data, di mana data-data yang telah dikumpulkan kemudian

dikategorikan secara sistematis, setelah itu data-data tersebut direduksi dan selanjutnya

diinterpretasikan.

2. Interpretasi

Interpretasi data adalah proses pemberian makna terhadap pola-pola atau keteraturan-

keteraturan yang ditemukan dalam sebuah penelitian.

3. Induktif

Penalaran induktif adalah cara berpikir dengan menarik kesimpulan umum dari pengamatan

atas gejala-gejala yang bersifat khusus.

28

Page 29: EDIT-17 mei 2013

BAB IV

PEMBAHASAN

A. Sejarah Singkat Dewan Perwakilan Rakyat

Pada masa penjajahan Belanda, terdapat lembaga semacam parlemen bentukan penjajah

Belanda yang dinamakan Volkstraad. Pada tanggal 8 Maret 1942 Belanda mengakhiri masa

penjajahan selama 350 tahun di Indonesia. Pergantian penjajahan dari Belanda kepada Jepang

mengakibatkan keberadaan Volkstraad secara otomatis tidak diakui lagi, dan bangsa Indonesia

memasuki masa perjuangan kemerdekaan.

Sejarah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dimulai sejak

dibentuknya Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) oleh presiden pada tanggal 29 Agustus

1945 di Gedung Kesenian, Pasar Baru Jakarta. Tanggal peresmian KNIP ini (29 Agustus 1945)

dijadikan sebagai hari lahir DPR RI.36

Dalam sidang KNIP yang pertama dipilih pimpinan sebagai berikut:

Ketua : Mr. Kasman Singodimedjo

Wakil Ketua I : Mr. Sutardjo Kartohadikusumo

Wakil Ketua II : Mr. J. Latuharhary

Wakil Ketua III : Adam Malik

Sejak Proklamasi 17 Agustus 1945, DPR RI telah mengalami 16 pergantian periode,

diantaranya dipilih melalui Pemilihan Umum, yaitu tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992,

1997, 1999, 2004 dan 2009.37

B. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat di daerah dalam hal ini di tingkat kota,

yang mana memiliki fungsi sentral dalam penyelengaraan pemerintahan kota, seperti pembuat

kebijakan publik baik berupa Perda maupun kebijakan pemerintah lainnya yang menyangkut

kepentingan masyarakat umum, menyampaikan aspirasi, nilai dan permasalahan yang

berkembang dalam masyarakat.

Meninjau hasil pemilu legislatif tahun 2009, bila dilihat dari aspek jumlah (kuantitas),

harapan kuota minimum tiga puluh persen keterwakilan perempuan di legislatif belum tercapai.

DPRD Kota Kupang untuk tahun 2009 hanya memiliki satu anggota perempuan legislatif

36Redaksi Great Publisher, 2009. Buku Pintar Politik; Sejarah, Pemerintahan, Dan Ketatanegaraan. Jogja Great Publisher Yogyakarta. Hal. 14437 ibid

29

Page 30: EDIT-17 mei 2013

sehingga baru mencapai tiga persen dari kuota minimum yang telah diundangkan. DPRD Kota

Kupang memiliki tiga puluh anggota dewan yang tergabung dalam enam fraksi. Hal ini dapat

dilihat dalam table berikut.

Table 4.1

Jumlah Anggota Legislatif Hasil Pemilu Tahun 200938

No Asal Partai Laki-laki Perempuan Jumlah

1 Partai Golongan Karya 4 - 4

2 Partai Demokasi Indonesia

Perjuangan4 - 4

3 Partai Demokrat 3 - 3

4 Partai Damai Sejahtera 2 - 2

5 Partai Gerakan Indonesia

Raya3 - 3

6 Partai Hati Nurani Rakyat 2 - 2

7 Partai Peduli Rakyat

Nasional2 - 2

8 Partai Kebangkitan Bangsa 1 - 1

9 Partai Amanat Nasional 1 - 1

10 Partai Indonesia Sejahtera 1 - 1

11 Partai Keadilan dan

Persatuan Indonesia1 - 1

12 Partai Karya Perjuangan 1 - 1

13 Partai Patriot 1 - 1

14 Partai Demokrasi

Pembaruan1 - 1

15 Partai Barisan Nasional 1 - 1

16 Partai Persatuan Daerah - 1 1

17 Partai Persatuan

Pembangunan1 - 1

DPRD Kota Kupang 29 1 30

38 Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Kupang, dapat dilihat dalam buku Kota Kupang Dalam Angka Tahun 2011. Hal 34.

30

Page 31: EDIT-17 mei 2013

Tabel 4.2

Susunan Keanggotaan Fraksi-Fraksi DPRD Kota Kupang

NO NAMA JABATAN UNSUR PARTAI

I FRAKSI PARTAI GOLONGAN KARYA1. Zeyto R. Ratuarat Ketua Golkar2. Marthinus J. E. Medah, SE Sekretaris Golkar3. Tellendmark J. Daud Anggota Golkar4. Soleman Kette, SH, M.Hum Anggota Golkar5. Djainudin, SH Anggota PPP6. Semus Max L. Baitanu Anggota PIS7. Livingstone A. Ratu Kadja Anggota Patriot

II FRAKSI PARTAI DEMOKRASI INDONESIAPERJUANG (PDI-P)1. Adrianus A. Talli, A.md.T Ketua PDI Perjuangan2. Nikolaus Fransiskus, S. IP Wakil Ketua PDI Perjuangan3. Ir. John Godefridus Seran Sekretaris PDI Perjuangan4. Yeskiel Loudoe, S.Sos Anggota PDI Perjuangan

III FRAKSI DEMOKRAT1. Irianus Rohi, SH Ketua Demokrat2. Ir. Frans Fanggi Wakil ketua Barnas3. Mexi Hansen Pello, SH Sekretaris PKP Indonesia4. Kardinad L. Kale Lena, SH Anggota Demokrat5. Frans J. D. Adrianus, SH Anggota Demokrat

IV FRAKSI PARTAI GERAKAN INDONESIARAYA (GERINDRA)1. Isidorus Lilijawa, S.FiI, MM Ketua Gerindra2. Pieter K. R. Herewila Wakil Ketua Gerindra3. Daniel Bifel, SH,M.Hum Sekretaris PPRN4. Muchtar Latif Koso Anggota Gerindra5. Johanis Isliko, S.Pt Anggota PPRN

V FRAKSI NURANI BERKARYA1. Jeri Anthon Pingak Ketua Hanura

2. Samuel Taklale, SE Sekretaris Pakar Pangan3. Melkianus R. Balle, SH, MH Anggota Hanura

VI FRAKSI DAMAI SEJAHTERA PEMBARUAN1. Johnis I. Haning, SE Ketua PDS2. Agnes Bota Hayon Wakil Ketua PPD3. Janlif Tratus Bullu, A.Md Sekretaris PDP

4. John D. Pandie, SE Anggota PDS

5. Petrus K. Matutina, SE Anggota PAN6. Ams Soleman Nenosaban Anggota PKB

Tahun 2009.39

1. Tugas dan Wewenang DPRD

39 Sumber: Kantor DPRD Kota Kupang.

31

Page 32: EDIT-17 mei 2013

Dalam melaksanakan fungsi Legislasi, Anggaran, dan Pengawasan, DPRD mempunyai tugas

dan wewenang sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 27 tahun 2009 pasal 344

adalah sebagai berikut:

a. Membentuk peraturan daerah yang dibahas dengan walikota untuk mendapat persetujuan

bersama;

b. Membahas dan memberikan persetujuan rancangan peraturan daerah mengenai anggaran

pendapatan dan belanja daerah yang diajukan oleh walikota;

c. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan peraturan

perundang-undangan, lainnya Keputusan Walikota, APBD, kebijakan pemerintah daerah

dalam melaksanakan program pembangunan daerah dan kerjasama internasional di

daerah;

d. Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian walikota dan/atau wakil walikota kepada

menteri dalam negeri melalui gubernur untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan

dan/atau pemberhentian;

e. Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah terhadap rencana

perjanjian internasional di daerah;

f. Memberikan persetujuan terhadap rencana kerjasama internasional yang dilakukan oleh

pemerintah daerah;

g. Memberikan persetujuan terhadap rencana kerjasama dengan daerah lain atau dengan

pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah;

h. Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah terhadap rencana

perjanjian internasional yang menyangkut kepentingan daerah;

i. Meminta laporan keuangan pertanggungjawaban walikota dalam pelaksanaan tugas

desentralisasi;

j. Melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam ketentuan peraturan

perundang-undangan.

2. Fungsi DPRD

32

Page 33: EDIT-17 mei 2013

a. Fungsi legislasi diwujudkan dalam membentuk Peraturan Daerah bersama-sama Kepala

Daerah;

b. Fungsi anggaran diwujudkan dalam membahas, memberikan persetujuan dan

menetapkan APBD bersama Pemerintah Daerah ;

c. Fungsi pengawasan diwujudkan dalam bentuk pengawasan terhadap pelaksanaan

Undang-undang, Peraturan Perundangan yang ditetapkan oleh Pemerintah, Peraturan

Daerah, Peraturan Kepala Daerah, Keputusan Kepala Daerah dan kebijakan yang

ditetapkan oleh Pemerintah Daerah. Ketiga fungsi dimaksud dijalankan dalam kerangka

representasi rakyat di Kabupaten/Kota.

3. Hak-Hak Yang Dimiliki DPRD Dalam Menjalankan Kegiatannya

a. Hak Interpelasi ialah hak DPRD untuk meminta keterangan kepada kepala daerah

mengenai kebijakan pemerintah daerah yang penting dan strategis yang berdampak luas

pada kehidupan masyarakat, daerah dan negara.

b. Hak Angket ialah pelaksanaan fungsi pengawasan DPRD untuk melakukan penyelidikan

terhadap suatu kebijakan tertentu kepala daerah yang penting dan strategis yang

berdampak luas pada kehidupan masyarakat, daerah dan Negara, yang diduga

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

c. Hak menyatakan pendapat ialah hak DPRD untuk menyatakan pendapat terhadap

kebijakan kepala daerah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di daerah disertai

dengan rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak

interpelasi dan hak angket.

d. Pendapat diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD yang berpedoman pada peraturan

perundang-undangan.

4. Kewajiban Anggota DPRD dalam mengemban tugas dan wewenangnya

a. Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila ;

b. Melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan

mentaati peraturan perundang-undangan ;

c. Mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan Negara Kesatuan

Republik Indonesia ;

d. Mendahulukan kepentingan negara diatas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan ;

e. Memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat ;

f. Mentaati prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah ;

33

Page 34: EDIT-17 mei 2013

g. Mentaati tata tertib dan kode etik

h. Menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga lain dalam

penyelengaraan pemerintahan daerah ;

i. Menyerap, menghimpun, aspirasi konstituen melalui kunjungan kerja secara berkala

j. Menampung, dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat ; dan

k. Memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada konstituen didaerah

pemilihanya.

5. Hak-hak yang dimiliki Anggota DPRD

a. Hak mengajukan rancangan Perda;

b. Hak mengajukan pertanyaan;

c. Hak menyampaikan usul dan pendapat;

d. Hak memilih dan dipilih;

e. Hak membela diri;

f. Hak imunitas atau hak kekebalan hukum, yaitu anggota DPRD tidak dapat dituntut

dimuka pengadilan karena pernyataan dan pendapat yang disampaikan dalam rapat-rapat

DPRD Propinsi dengan pemerintah dan rapat-rapat DPRD lainnya sesuai dengan

peraturan perundang-undangan;

g. Hak protokoler atau hak anggota DPRD untuk memperoleh penghormatan berkenaan

dengan jabatannya dalam acara-acara kenegaraan atau acara resmi maupun dalam

melaksanakan tugasnya;

h. Hak keuangan dan administrasi.

C. Peraturan Daerah (PERDA)

Reformasi telah membawa dampak yang cukup signifikan dalam tata pemerintahan di

Indonesia, sehingga telah terjadi perubahan dalam sistem pemerintahan yang semula sentralistik

ke sistem pemerintahan yang desentralistik. Konsep desentralisasi ini sendiri bukanlah hal baru,

karena dengan jelas telah tertuang dalam UUD 1945. Desentralisasi bukan hanya konsep yang

sifatnya politis tetapi juga anti sentralistik. Bonne Rust,40 mengungkapkan pemerintahan yang

sentralistik dianggap tidak mampu memahami secara tepat nilai-nilai dan aspirasi lokal.

Masyarakat akan lebih aman dan tentram dengan badan pemerintahan lokal yang dekat dengan

40 Ria permana sari, Perda Ramah Perempuan: Good Regulatory Governance with Gender Perspective, dapat dilihat dalam http://bunga-rumput.blogspot.com/2009/03/perda-ramah-perempuan-good-regulatory.html

34

Page 35: EDIT-17 mei 2013

rakyat, baik secara fisik maupun psikologis, karenanya pemerintahan yang desentralistik

diperlukan agar pemerintahan mengacu pada kondisi dan keperluan lokal.

Tata pemerintahan yang baik perlu didukung dengan tata regulasi pemerintahan yang

baik (Good Regulatory Governance/ GRG), karena dalam menjalankan roda pemerintahan

sebagaimana yang telah dimandatkan, pemerintah daerah memerlukan suatu instrumen hukum

untuk menjamin kepastian hak dan warga negaranya di setiap daerah. Oleh karenanya

Pemerintah Daerah bersama dengan DPRD Provinsi/ Kabupaten/ Kota diberi kewenangan oleh

Undang-undang Dasar 1945 untuk membuat Peraturan Daerah (Perda) yang memiliki fungsi,

antara lain:41

1. Perda sebagai instrumen kebijakan

Perda sebagai sarana hukum merupakan alat kebijakan daerah dalam melaksanakan otonomi

daerah dan tugas perbantuan sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 dan Undang-

Undang Pemerintahan Daerah. Sebagai alat kebijakan daerah, Perda bertujuan untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan yang berkelanjutan.

2. Perda sebagai pelaksana peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi

Perda merupakan pelaksana dari peraturan perundang-undangan yang ada di atasnya,

sehingga perda tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di tingkat

pusat (nasional).

3. Perda sebagai penangkap dan penyalur aspirasi masyarakat Daerah

Perda merupakan sarana penyaluran kondisi khusus daerah dalam konteks dimensi ekonomi,

sosial, politik dan budaya.

4. Perda sebagai harmonisator berbagai kepentingan

Perda merupakan produk perundang-undangan yang mempertemukan berbagai kepentingan.

Oleh karenanya, dalam pembentukkan Perda harus diperhitungkan kepentingan-kepentingan

yang ada, baik dalam tataran daerah yang bersangkutan, antar daerah ataupun dalam tataran

nasional.

5. Perda sebagai alat transformasi perubahan bagi daerah

41 ibid

35

Page 36: EDIT-17 mei 2013

Perda memiliki andil dalam menentukan keberhasilan pemerintahan dan pembangunan

daerah. Perda memiliki peranan penting dalam mencapai sistem pemerintahan dan kinerja

pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah. Perda bukan

sekedar alat untuk mengatur tentang jalannya roda pemerintahan dan pembangunan tetapi

juga sebagai alat untuk mencapai cita-cita daerah menuju kehidupan masyarakat yang lebih

baik.

Dari hal tersebut penyusunan Perda yang terencana dan terpadu sangat penting. Perlu

diketahui substansi yang harus diatur, yaitu: asas tidak bertindak sewenang-wenang, asas

perlakuan yang sama, asas kepastian hukum, asas perlakuan yang jujur, asas kecermatan, asas

keharusan adanya motivasi dalam tindakan, dan asas memenuhi harapan yang ditimbulkan.

Dengan mengetahui asas-asas tersebut maka Perda yang dihasilkan dapat dipertanggung

jawabkan, memiliki rasa keadilan dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan

yang ada di atasnya. Dengan berprinsip pada hal tersebut, Perda yang dihasilkan dapat

mendukung terciptanya good governance.

D. Perempuan dalam Kebijakan Publik di Daerah

Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa sejak adanya otonomi daerah

pemerintah daerah tampak seperti berlomba-lomba menerbitkan peraturan-peraturan daerah.

Namun demikian, beberapa peraturan daerah yang ada justru meminggirkan perempuan dan

tidak berkeadilan gender. Meskipun secara normatif Perda-perda tersebut tidak dimaksudkan

untuk mendiskriminasikan perempuan, namun dalam implementasinya perempuan sering

dijadikan sebagai objek hukum. Berdasarkan catatan Komnas Perempuan, terdapat 30 peraturan

daerah/ peraturan desa dan kebijakan lainnya yang secara eksplisit mengatur tubuh dan perilaku

perempuan, misalnya Perda Kabupaten Garut Nomor 7 Tahun 2003 tentang larangan perempuan

berjalan sendirian atau berada di luar rumah tanpa ditemani muhrimnya, khususnya pada waktu

tengah malam (pukul 24.00). Perda Tangerang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan,

Mencurigai, Menangkap Perempuan di Tempat Umum karena Diduga Melacur. Perda Kota

Bengkulu Nomor 24 Tahun 2000 tentang Larangan Pelacuran. Perdebatan mengenai perda yang

diskriminatif terhadap perempuan kembali mencuat menyusul rencana pemerintah kota

Lhokseumawe memberlakukan larangan membonceng “ngangkang” bagi perempuan di kota itu.

Menurut Halimah Humayrah Tuanaya,42 pencabutan atau revisi dengan menghapus pasal yang

berpotensi melanggar hak perempuan itu mesti dilakukan.

42 Halimah adalah direktur Advokasi Lembaga Bantuan Hukum Keadilan, dapat dilihat dalam http://www.vhrmedia.com/new/berita_detail.php?id=862

36

Page 37: EDIT-17 mei 2013

Peraturan daerah yang alih-alih memiliki semangat anti diskriminasi dalam semangat

demokratis, ternyata justru menjadi bumerang bagi idealisme prinsip demokrasi, karena

melahirkan peraturan-peraturan yang anti toleransi.

Selanjutnya, Halimah mengungkapkan bahwa perempuan masih dianggap sebagai objek

yang pantas diatur dan dikekang. Ia menyebut salah satu pemerintah daerah yang tergolong

“rajin” melansir aturan yang tidak ramah pada perempuan adalah Pemerintah Kota Kupang,

Nusa Tenggara Timur.43 Bahkan, aturan diskriminatif itu sudah berlaku sejak tahun 1999  yang

tertuang dalam Perda  Kotamadya Daerah Tingkat II Kupang Nomor 39 Tahun 1999 tentang

Penertiban Tempat Pelacuran di Daerah Kota Kupang.44 Berdasarkan hal tersebut, dapat

dikatakan bahwa pembentukkan perda-perda tersebut tidak mencerminkan adanya tata kelola

regulasi yang baik, selain itu juga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada

di atasnya. Misalnya saja terhadap UUD 1945, sebagai peraturan perundang-undangan tertinggi

dalam tata perundang-undangan negara, yaitu dalam pasal 28 E ayat (2), 28 G dan 28 I ayat (2).

Selain itu juga tidak sesuai dengan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi

Terhadap Perempuan (CEDAW) yang telah dirativikasi oleh pemerintah melalui UU Nomor 7

Tahun 1984, yang mana dalam Undang-undang tersebut Pemerintah Pusat dan Daerah

berkewajiban membuat kebijakan publik yang menjamin terlaksananya hak asasi manusia dan

kebebasan pokok atas dasar persamaan dan keadilan, antara perempuan dan laki-laki dalam

kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya.

E. Afirmative Action Sebagai Substansi

Terwujudnya demokrasi yang sejati tidaklah cukup pada tataran formalistiknya saja,

tetapi yang terpenting adalah berfungsinya lembaga-lembaga tersebut. Tanpa pendekatan itu,

43 Rumusan pada pasal ini tidak menjelaskan unsur dari perbuatan apa yang dikategorikan sebagai pelacuran dan bagaimana perbuatan itu dilakukan, sehingga menimbulkan multitafsir dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. Direktur Advokasi Lembaga Bantuan Hukum Keadilan Halimah Humayrah Tuanaya 44 Perda Kota Kupang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Penertiban Tempat Pelacuran di Daerah Kota Kupang. Pasal 4 disebutkan bahwa setiap orang yang tingkah lakunya teridentifikasi sebagai pelacur tidak diperbolehkan untuk menghuni ataupun menggunakan rumah bordil, hotel, losmen. Halimah menyebutkan bahwa aturan itu adalah bentuk diskriminasi tidak langsung karena rumusan kebijakan yang tidak jelas dan berpotensi membatasi ruang gerak perempuan. Perda itu ditingkat implementasinya bisa mengakibatkan salah tangkap terhadap perempuan yang diduga sebagai pelacur.

37

Page 38: EDIT-17 mei 2013

demokrasi akan mati seperti tubuh tanpa roh, yang tidak memiliki arti apapun.45 Samuel Koto

mengingatakan bahwa sesungguhnya butuh penerapan yang bersifat subtantif. Tidaklah

berlebihan jika prinsip yang sama digunakan untuk penerapan Affirmative Action yang selama

ini hanya terbatas pada tahap regulasi serta terpaku pada logika jumlah (kuantitas) dan lebih

condong hanya pada penerapan secara prosedural tanpa dilihat dari segi yang lebih subtantif.

Penelitian-penelitian terhadap badan legislatif dari waktu ke waktu terus berkembang

dan memiliki keragaman orientasi. Hal tersebut dilakukan dengan rangkaian tahapan yang

disesuaikan dengan orientasi peminatan para ilmuan politik, yaitu dari orientasi pada pendekatan

kelembagaan (institusional), pendekatan proses, dan yang terakhir pendekatan tingkah laku

(behavioral).46 Ketiga tahapan itu dapat dijelaskan yaitu pendekatan kelembagaan memandang

parlemen dari sisi struktur dan fungsinya, kemudian pendekatan proses memandang parlemen

dari sisi pembuatan keputusan sebagai fungsi utamanya, maka pendekatan tingkah laku

memandang parlemen dari sisi sikap dan tingkah laku para anggota parlemen dalam setiap

keputusan yang dihasilkannya.

Pendekatan institusional memberikan pemahaman tentang tugas pokok dan fungsi yang

terdapat dalam lembaga tersebut, tetapi kurang menjelaskan hubungan itu didalam kenyataan,

disamping kurang menerangkan interaksi yang sesungguhnya telah terjadi di lembaga itu.

Melalui pendekatan proses diketahui upaya yang dilakukan oleh institusi melalui fungsinya

dalam rangka mencapai produk-produk kebijakan demi mendorong kaum perempuan untuk

terlibat aktif dalam ranah publik. Namun hal tersebut tidak menjelaskan hubungan internal dan

eksternal badan legislatif dari sikap dan tingkah laku perseorang anggotanya, telaah seperti itu

dikerjakan melalui pendekatan tingkah laku.

Dalam konteks ini, melalui pendekatan tingkah laku dapat diketahui apakah para anggota

legislatif merasa perlu untuk menerapkan tindakan diskriminasi positif kepada keterwakilan

perempuan dalam “rumah sendiri” (lembaga legislatif), hal ini berbeda dengan hanya

memberikan hak dan kesempatan yang sama bagi setiap anggota legislatif (telah diatur dalam

regulasi). Terlalu sempit dan premature bila hal tersebut malah dinilai cukup jika diperhadapkan

dengan subtansi Affirmative Action yang tidak hanya mengamanatkan kesetaraan namun juga

memperjuangkan nilai keadilan. Minimnya pemahaman mengenai Affirmative Action dapat

dilihat dari hasil wawancara yang menunjukan bahwa masih minimnya pemahaman mengenai

gender. Informan masih memahami konsep gender sebagai perbedaan jenis kelamin atau kodrat

45 Samuel Koto, wawancara di Jakarta, 2 September 2003. Dapat dilihat dalam buku Demokrasi Suatu Keharusan; Menelusuri pemikiran dan praksis politik Samuel Koto (2004). Hal 5. Penerbit: Khanata, Pustaka LP3ES Indonesia.46 Arbi Sanit, 1985. Perwakilan Politik Di Indonesia, Jakarta:C.V.Rajawali. Hal 6.

38

Page 39: EDIT-17 mei 2013

dan hal itu terbukti saat mereka mengatakan bahwa sulitnya melibatkan perempuan dalam partai

politik maupun institusi politik seperti parlemen karena status seorang perempuan sebagai ibu

rumah tangga dan juga kodrat dari seorang perempuan untuk mengurus keluarga (suami dan

anak).

1. Subtstansi Affirmative Action dalam PERDA

Jika dilihat dari aspek institusional, yakni DPRD Kota Kupang sebagai lembaga politik

dan pembuat kebijakan belum begitu berkomitmen untuk tidak resistan dengan hadirnya

perempuan di area politik. Hal ini dapat dilihat dari belum adanya perda yang menyangkut

pemberdayaan perempuan untuk menjawab ketimpangan keterwakilan perempuan di ranah

publik. Isu rendahnya keterwakilan perempuan di ranah publik masih belum dilihat sebagai isu

yang perlu diperhatikan. Keterwakilan perempuan bukan persoalan berebut atau distribusi

kekuasaan, tetapi memberikan ruang pengakuan ada jenis kelamin lain yang juga memiliki

suara, kepentingan, dan gagasan yang perlu direpresentasi.47

Melihat fenomena politik di Kota Kupang, dengan rendahnya keterwakilan perempuan di

legislatif, sejatinya DPRD Kota Kupang harus menanggapi serius untuk menghasilkan perda

yang ramah perempuan, dalam konteks ini untuk mendorong kaum perempuan agar dapat

terlibat aktif dalam ranah publik. Hal ini senada dengan fungsi Perda yang merupakan pelaksana

dari peraturan perundang-undangan yang ada di atasnya, yakni subtansi Affirmative Action

sebenarnya telah diatur dalam Amandemen II UUD 1945, dalam Bab X A tentang Hak Asasi

Manusia Pasal 28 H ayat (2) yang menyebutkan:

“Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.”

Pasal ini didasarkan atas kesadaran bahwa suatu peraturan yang netral yang diberlakukan

sama kepada seluruh kelompok masyarakat yang berbeda keadaannya, akan menimbulkan

kesempatan dan manfaat yang berbeda dan berdampak lahirnya ketidakadilan. Konsep ini

semestinya diserap oleh DPRD Kota Kupang, baik secara personal maupun institusi.

Berikut adalah dukumen Perda yang dihasilkan oleh DPRD Kota Kupang dari tahun

2009 sampai dengan tahun 2012.48

Peraturan Daerah Tahun 2009 :

1) Peraturan Daerah Kota Kupang Nomor 01 Tahun 2009 tanggal 7 Januari 2009

47 Lihat Dwi Windyastuti, mengenai Keterwakilan Perempuan, dalam harian Kompas 17 Februari 2013.48 Sumber data dari Kantor DPRD Kota Kupang.

39

Page 40: EDIT-17 mei 2013

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Kupang Tahun Anggaran 2009.

2) Peraturan Daerah Kota Kupang Nomor 02 Tahun 2009 tanggal 7 Januari 2009

tentang Perseroan Terbatas Sasando Kota Kupang.

3) Peraturan Daerah Kota Kupang Nomor 03 Tahun 2009 tanggal 7 Januari 2009

tentang Penyertaan Modal pada Pihak Ketiga.

4) Peraturan Daerah Kota Kupang Nomor 04 Tahun 2009 tanggal 13 Juli 2009

tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD Kota Kupang Tahun Anggaran

2008.

5) Peraturan Daerah Kota Kupang Nomor 05 Tahun 2009 tanggal 12 Agustus 2009

tentang Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Kupang

Tahun Anggaran 2009.

6) Peraturan Daerah Kota Kupang Nomor 06 Tahun 2009 tanggal 29 Desember

2009 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Kupang Tahun

Anggaran 2010.

Peraturan Daerah tahun 2010 :

1) Peraturan Daerah Kota Kupang Nomor 01 Tahun 2010 tanggal 13 Agustus 2010

tentang Pembentukan Kelurahan Bakunase II Kecamatan Oebobo.

2) Peraturan Daerah Kota Kupang Nomor 02 Tahun 2010 tanggal 13 Agustus 2010

tentang Pembentukan Kelurahan Penkase-Oeleta Kecamatan Alak.

3) Peraturan Daerah Kota Kupang Nomor 03 Tahun 2010 tanggal 13 Agustus 2010

tentang Pembentukan Kecamatan Kota Raja.

4) Peraturan Daerah Kota Kupang Nomor 04 Tahun 2010 tanggal 13 Agustus 2010

tentang Pembentukan Kecamatan Kota Alama.

5) Peraturan Daerah Kota Kupang Nomor 05 Tahun 2010 tanggal 13 Agustus 2010

tentang Pokok-pokok Pengelolaan Keuangan Daerah.

6) Peraturan Daerah Kota Kupang Nomor 06 Tahun 2010 tanggal 13 Agustus 2010

tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota

Kupang.

7) Peraturan Daerah Kota Kupang Nomor 07 Tahun 2010 tanggal 13 Agustus

2010 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kota Kupang Nomor 07 Tahun 2008

tentang Organisasi dan Tata Kerja badan Perencanaan Pembangunan Daerah,

Inspektorat dan Lembaga Teknis Daerah Kota Kupang.

8) Peraturan Daerah Kota Kupang Nomor 08 Tahun 2010 tanggal 13 Agustus 2010

40

Page 41: EDIT-17 mei 2013

tentang Penetapan Retribusi Pelayanan pada Rumah Sakit Daerah Kota Kupang.

9) Peraturan Daerah Kota Kupang Nomor 09 Tahun 2010 tanggal 13 Agustus 2010

tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD Kota Kupang Tahun Anggaran

2009.

10) Peraturan Daerah Kota Kupang Nomor 10 Tahun 2010 tanggal 15 Oktober 2010

tentang Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Kupang

Tahun Anggaran 2010.

11) Peraturan Daerah Kota Kupang Nomor 11 Tahun 2010 tanggal 15 Oktober 2010

tentang tentang Penyertaan Modal Pemerintah Kota Kupang pada Koperasi

Pegawai Negeri Maju.

12) Peraturan Daerah Kota Kupang Nomor 12 Tahun 2010 tanggal 15 Oktober 2010

tentang Penyertaan Modal Pemerintah Kota Kupang pada Perseroan Terbatas

Bank Pembangunan Daerah Nusa Tenggara Timur.

Peraturan Daerah Tahun 2011 :

1. Peraturan Daerah Kota Kupang Nomor 01 Tahun 2011 tanggal 31 Januari 2011

tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan.

2. Peraturan Daerah Kota Kupang Nomor 02 Tahun 2011 tanggal 31 Januari 2011

tentang Penyelenggaraan Penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah

Sejenis Rumah Tangga.

3. Peraturan Daerah Kota Kupang Nomor 03 Tahun 2011 tanggal 31 Januari 2011

tentang tentang Penyelenggaraan Pengurangan Sampah Rumah Tangga dan

Sampah Sejenis Rumah Tangga.

4. Peraturan Daerah Kota Kupang Nomor 04 Tahun 2011 tanggal 31 Januari 2011

tentang Penyelenggaraan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

5. Peraturan Daerah Kota Kupang Nomor 05 Tahun 2011 tanggal 31 Januari 2011

tentang Pajak Daerah.

6. Peraturan Daerah Kota Kupang Nomor 06 Tahun 2011 tanggal 31 Januari 2011

tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Kupang Tahun Anggaran

2011.

7. Peraturan Daerah Kota Kupang Nomor 07 Tahun 2011 tanggal 4 Juli 2011

tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD Kota Kupang Tahun Anggaran

2010.

8. Peraturan Daerah Kota Kupang Nomor 08 Tahun 2011 tanggal 4 Juli 2011

41

Page 42: EDIT-17 mei 2013

tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS di Kota Kupang.

9. Peraturan Daerah Kota Kupang Nomor 09 Tahun 2011 tanggal 4 Juli 2011

tentang Pengelolaan Air Tanah.

10.Peraturan Daerah Kota Kupang Nomor 10 Tahun 2011 tanggal 4 Juli 2011

tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Kupang Nomor 15 Tahun 2007

tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah.

11. Peraturan Daerah Kota Kupang Nomor 11 Tahun 2011 tanggal 4 Juli

2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Kupang Tahun 2011-2031.

12. Peraturan Daerah Kota Kupang Nomor 12 Tahun 2011 tanggal 4 Juli

2011 tentang Rencana Detail Tata Ruang Wilayah Kota Kupang Tahun 2011-2031.

13. Peraturan Daerah Kota Kupang Nomor 13 Tahun 2011 tanggal 4 Juli

2011 tentang Pencabutan Peraturan Daerah Kota Kupang Nomor 12 tahun

2003 tentang Retribusi Ijin Peruntukan Penggunaan Tanah/Lahan.

14. Peraturan Daerah Kota Kupang Nomor 14 Tahun 2011 tanggal 4 Juli

2011 tentang Retribusi Tempat Khusus Parkir.

15. Peraturan Daerah Kota Kupang Nomor 15 Tahun 2011 tanggal 4 Juli

2011 tentang Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi jalan Umum.

16.Peraturan Daerah Kota Kupang Nomor 16 Tahun 2011 tanggal 4 Juli 2011

tentang Retribusi Rumah Potong Hewan Kota Kupang.

17. Peraturan Daerah Kota Kupang Nomor 17 Tahun 2011 tanggal 4 Juli

2011 tentang Retribusi Terminal.

18. Peraturan Daerah Kota Kupang Nomor 18 Tahun 2011 tanggal 30

Nopember 2011 tentang Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota

Kupang Tahun Anggaran 2011.

Peraturan Daerah Tahun 2012 :

1. Peraturan Daerah Kota Kupang Nomor 01 Tahun 2012 tanggal 31 Januari 2012

tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Kupang Tahun Anggaran

2012.

2. Peraturan Daerah Kota Kupang Nomor 02 Tahun 2012 tanggal 27 Juli 2012

tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD Kota Kupang Tahun Anggaran

2011.

3. Peraturan Daerah Kota Kupang Nomor 03 Tahun 2012 tanggal 15 Oktober 2012

tentang Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Kupang

42

Page 43: EDIT-17 mei 2013

Tahun Anggaran 2012.

4. Peraturan Daerah Kota Kupang Nomor 04 Tahun 2012 tanggal 15 Oktober 2012 tentang

Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan.

5. Peraturan Daerah Kota Kupang Nomor 05 Tahun 2012 tanggal 15 Oktober 2012 tentang

Pajak Air Tanah.

6. Peraturan Daerah Kota Kupang Nomor 06 Tahun 2012 tanggal 15 Oktober 2012

tentang Pencabutan Peraturan Daerah Kota Kupang Nomor 09 Tahun 2008

tentang Organisasi dan Tata Kerja Pelaksana Harian Badan Narkotika Kota

Kupang.

7. Peraturan Daerah Kota Kupang Nomor 07 Tahun 2012 tanggal 15 Oktober 2012 tentang

Pengendalian Usaha Minuman Beralkohol.

8. Peraturan Daerah Kota Kupang Nomor 08 Tahun 2012 tanggal 15 Oktober 2012 tentang

Penyelenggaraan Usaha Hiburan dan Permainan Ketangkasan.

9. Peraturan Daerah Kota Kupang Nomor 10 Tahun 2012 tanggal 28 Desember

2012 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Kupang Tahun

Anggaran 2013.

Melihat data perda tersebut, dengan rendahnya keterwakilan perempuan di legislatif,

diketahui bahwa DPRD Kota Kupang belum menanggapi serius untuk menghasilkan perda yang

ramah perempuan, dalam konteks ini untuk mendorong kaum perempuan agar dapat terlibat

aktif dalam ranah publik.

Tuntutan pemenuhan keterwakilan perempuan tidak semata-mata terkait kehadiran fisik

wakil perempuan di lembaga legislatif seperti DPRD, melainkan juga sejauh mana ide atau

gagasan tentang kepentingan kaum perempuan terwakili dalam kebijakan publik (baca: Perda).

Terkait dengan ketimpangan tersebut, Nikolaus Fransiskus,S.Ip selaku ketua Komisi C

mengakui bahwa Perda menyangkut pemberdayaan perempuan untuk meningkatkan

keterwakilan di ranah publik pernah masuk dalam rancangan namun dirasa kurang efektif

sehingga pasal tersebut kami (Komisi C) keluarkan. Ketika ditanyai alasannya mengeluarkan

pasal tersebut, Nikolaus berpendapat bahwa pasal tersebut tidak akan pernah efektif oleh karena

hal ini hanya bisa dilakukan oleh parpol dan organisasi kemasyarakatan untuk mendidik

sungguh-sungguh kaum perempuan kita sehingga mereka memiliki minimal lima puluh persen

persiapan untuk menjadi anggota legislatif. Tetapi hal tersebut juga tidaklah mudah karena

menurutnya budaya serta pola pikir kaum perempuan itu sendiri yang telah mengkerangkeng

mereka dalam ranah domestik. Pernyataan tersebut sebenarnya memperkuat asumsi bahwa

43

Page 44: EDIT-17 mei 2013

upaya untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di ranah publik akan menemui jalan buntu

tanpa adanya kebijakan afirmatif. Hal ini sesuai dengan pernyataan Joni Lovendsuki yang

menyampaikan hambatan perempuan untuk masuk politik sebagai rintangan sosial perempuan.

Salah satunya adalah persepsi bahwa ranah politik adalah ranah maskulinitas. Untuk itu,

perjuangan perempuan memang menjadi berat sehingga kebijakan afirmatif menjadi penting

untuk dikeluarkan.

2. Penerapan Subtansi Affirmative Action oleh anggota DPRD

Sejatinya posisi antara laki-laki dan perempuan dalam hubungan kerja harus bersifat

“partnership” dalam segala lini kehidupan yang ada dalam masyarakat baik dalam kehidupan

rumah tangga yang bersifat domestik maupun yang bersifat publik misalnya dalam dunia politik.

Namun pada kenyataannya yang dihadapi perempuan tidaklah semudah itu.

Hakikat perjuangan perempuan di kancah politik tidak sekedar memaksakan

keterwakilan perempuan secara kuantitatif, tetapi lebih kepada keterwakilan yang kualitatif,

yaitu bagaimana perempuan secara kompetitif benar-benar eksis di partai politik untuk dapat

menyesuaikan diri dengan dinamika politik sebelum menjadi calon anggota legislatif.

Seharusnya perempuan harus aktif dalam partai politik sebelum masuk dalam lembaga legislatif,

hal ini penting oleh karena partai politik memiliki fungsi pendidikan politik yang seharusnya

lebih dimaksimalkan lagi saat merekrut calon anggota legislatif (baik laki-laki maupun

perempuan).49 Nikolaus mengemukakan bahwa seharusnya ibu Agnes lebih diberdayakan lagi di

tingkat fraksi, namun hal ini juga sulit oleh karena ibu Agnes tergabung dalam fraksi gabungan

yang mana setiap partai memiliki agendanya masing-masing. Fenomena tersebut menjelaskan

bahwa penerapan Affirmative Action yang diharapkan dapat dilakukan di tingkat fraksi ternyata

harus terhambat oleh karena tingginya kepentingan politik dari setiap partai yang tergabung

dalam fraksi gabungan tersebut.

Fenomena ini menjadi lebih menarik, ketika berada dalam posisi sebagai pemimpin,

perempuan lebih banyak mengalami hambatan dibanding dengan kaum laki-laki. Perempuan

harus bisa membuktikan bahwa dirinya memang pantas dan bisa diandalkan dalam

menyelesaikan persoalan tertentu. Ada tiga unsur yang merajut kepemimpinan dalam diri

seseorang, yaitu kekuasaan, kompetensi diri, dan agresi kreatif.50 Kekuasaan sebagai unsur

paling penting dalam membangun kemampuan memimpin seseorang selalu di definisikan

sebagai kekuatan atau ketegaran atau kemampuan bertindak yang diperlukan guna mencapai

49 Hasil wawancara dengan bapak Nikolaus Fransiskus,S.Ip selaku ketua Komisi C.50 Siti Musdah Mulia, 2005. Perempuan dan Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, hal. 3

44

Page 45: EDIT-17 mei 2013

sesuatu demi tujuan yang lebih besar. Pada hakikatnya kekuasaan bersifat netral bisa digunakan

untuk kebaikan dan sekaligus untuk kejahatan. Kekuasaan sebagai unsur yang paling penting

dalam kepemimpinan tidak pernah dicirikan dengan sifat-sifat feminim. Kekuasaan selalu

identik dengan maskulinitas, yakni ketegaran, kekuatan, dan kemampuan memengaruhi orang

lain. Untuk itu sudah waktunya dikembangkan suatu konsep mengenai kekuasaan perempuan

(woman power) yang berbeda dengan kekuasaan laki-laki yang selama ini menjadi acuan semua

pihak, bahwa yang banyak diketahui sumber daya dari kekuasaan politik itu adalah kekuasaan

fisik, kekuasaan ekonomi, kekuasaan normatif, kekuasaan personal dan kekuasaan keahlian.51

Dengan mengembangkan kekuasaan perempuan, dalam hal ini perempuan dapat menjadi

politikus yang andal. Politikus yang tidak akan menyakiti hati lawan politiknya, apapun

alasannya. Politikus yang tidak akan menggunakan intrik politik sebagai mana biasa dilakukan

oleh laki-laki. Seorang politikus perempuan dapat mengasah sisi keibuannya yang selalu

tanggap terhadap kebutuhan orang lain untuk menyelesaikan agenda politiknya, karena

kekuasaan itu pada intinya adalah kemampuan untuk menyelesaikan masalah.52 Hal ini

kemudian dipertegas dengan pernyataan Agnes B. Hayon, Ia berpendapat bahwa tingginya

kepentingan politis dalam lembaga tersebut telah menjadi tantangan tersendiri dan butuh

keberanian untuk tampil aktif berbicara dalam setiap rapat fraksi, komisi, maupun dalam sidang

paripurna. Agnes berpendapat bahwa politik baginya merupakan sebuah pelayanan dari hati dan

keinginan untuk berbagi. Berpolitik dengan santun, beretika dan berdasarkan hati nurani. Ia

menyadari bahwa dirinya lebih senang “turun langsung” ke tengah masyarakat dibandingkan

dengan harus “berkoar-koar” di setiap rapat anggota maupun dalam sidang paripurna yang sarat

kepentingan politis. “…Saya juga seorang majelis di gereja ade” adalah ungkapan terakhir

sebelum menutup pembicaraan dalam wawancara tersebut. Ia ingin menegaskan bahwa setiap

tindakan yang ia lakukan selalu sejalan dengan hati nuraninya ditengah-tengah maraknya

“kepentingan” politis yang sering membuatnya terdiam dalam rapat anggota.

Pendekatan berbeda yang dimiliki oleh kaum perempuan merupakan “warna demokrasi”

yang harus terus didukung eksistensinya. Hal ini senada dengan apa yang ditegaskan oleh

Sidney Verba dari Universitas Harvard bahwa sumbangan terpenting perempuan di dunia politik

adalah bahwa perempuan tersebut lebih berminat mengerjakan sesuatu yang bermanfaat bagi

masyarakat daripada memperluas lingkup kekuasaan mereka sendiri.53

51 Charles F. Andrain, Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 1992), hal. 133.52 Irmayani dan Imelda, 2009. Perempuan Berpolitik. Jurnal Politeia. Depertemen Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. Hal. 553 ibid

45

Page 46: EDIT-17 mei 2013

Lebih jauh, keterwakilan perempuan di DPRD Kota Kupang dinilai masih kurang

memadai jika dilihat dari aspek jumlah (kuantitas) oleh karena hanya terdapat satu orang

keterwakilan perempuan dari tiga puluh anggota legislatif di DPRD Kota Kupang. Dalam

kesempatan wawancara dengan Tellendmark J. Daud selaku Ketua DPRD, Tellend

mengungkapkan bahwa keterwakilan perempuan yang ada tidak terlalu berpengaruh oleh karena

ibu Agnes seorang diri.54 Tellend menambahkan bahwa kedepan harus lebih dari satu (baca:

anggota legislatif perempuan) agar kiprah perempuan di parlemen kian terlihat. Zeyto Ratuarat

selaku anggota di Badan Kehormatan juga berpendapat bahwa harus ada kaum perempuan

dalam parlemen untuk memberi warna yang berbeda, dan bisa lebih dari satu keterwakilan itu

lebih baik, bahkan kalau bisa harus ada sepuluh dari tiga puluh anggota legislatif untuk bisa

membawa dampak yang lebih besar dan sejatinya peningkatan kuota juga harus diimbangi

dengan kemampuan yang memadai.55 Selanjutnya, ketika ditanyakan mengenai bentuk konkrit

dukungan terhadap ibu Agnes sebagai satu-satunya keterwakilan perempuan, Zeyto menjawab

bahwa untuk kesempatan atau ruang berbicara juga sudah diberikan secara luas kepada ibu

Agnes. Bukti konkritnya bahwa dalam rapat badan kehormatan, ibu Agnes diberikan

kesempatan untuk berbicara lebih banyak dalam setiap pembahasan. Ini merupakan bukti nyata

dari badan kehormatan untuk memperlakukan ibu Agnes secara subjektif yaitu dengan

memberikan perhatian yang lebih, namun semuanya itu juga tergantung pada individu. Zeyto

mengemukakan bahwa secara pribadi ia mengakui pernah beberapa kesempatan memberikan

dorongan kepada ibu Agnes dalam hal ini untuk terus berbicara mengenai perempuan, sehingga

publik bisa melihat bahwa untuk membicarakan kesetaraan perlu juga datang dari DPR. Namun

disayangkan, komitmen pribadi dari bapak Zeyto masih bukan merupakan komitmen bersama

oleh semua anggota dewan.

Hasil wawancara peneliti dengan tiga belas informan, menunjukan bahwa beberapa

anggota legislatif masih belum begitu memahami mengenai konsep Affirmative Action. Mereka

berpendapat bahwa keterwakilan perempuan di DPRD Kota Kupang sudah didukung

sepenuhnya oleh lembaga maupun secara personal dengan memberikan kesempatan yang sama

dan seluas-luasnya untuk mengajukan pendapat di setiap rapat anggota. Namun hasil penelitian

mengungkapkan bahwa minimnya dukungan secara personal dari dua puluh sembilan anggota

dewan laki-laki yang lain disebabkan oleh karena saratnya kepentingan politis.56 Tingkat

dukungan dari fraksi maupun komisi diungkapkan oleh Agnes juga masih di bawah rata-rata.

54 Hasil wawancara dengan bapak Tellenmark J. Daud selaku Ketua DPRD Kota Kupang.55 Hasil wawancara dengan bapak Zeyto Ratuarat selaku ketua fraksi Golkar dan merupakan anggota di Badan Kehormatan.56 Dikemukakan oleh ibu Agnes Bota Hayon, dalam wawancara di Kantor DPRD Kota Kupang.

46

Page 47: EDIT-17 mei 2013

Kurangnya pemahaman mengenai Affirmative Action jelas terlihat dalam pernyataan yang

dikemukakan oleh Kardinat Kale Lena bahwa sebenarnya perempuan tidak perlu dibantu karena

mereka mempunyai hak yang sama untuk berjuang.57 Terlihat inkonsistensi dan betapa tidak

meratanya pemahaman oleh para legislator mengenai pentingnya Affirmative Action terhadap

keterwakilan perempuan di DPRD Kota Kupang.

Perempuan sering dipolakan dalam perannya hanya sebagai istri, ibu, dan mengurus

rumah tangga dengan karakter feminim. Karakter yang menunjukan lemah lembut, emosional,

penurut, dan mengalah selalu berada di ruang privat/ domestik. Dampak yang ditimbulkan dari

praktek budaya patriaki dan diskriminatif macam ini menyebabkan terjadinya ketimpangan

gender dalam jumlah maupun kualitas peran perempuan di parlemen. Kondisi ini secara

langsung maupun tidak langsung berdampak pada ibu Agnes Bota Hayon selaku anggota

legislatif dan menjadi satu-satunya tokoh perempuan yang berada di DPRD Kota Kupang.

Hasil penelitian mengungkapkan bahwa secara eksternal ruang publik dan politik selalu

digambarkan dengan karakter maskulin, keras, rasional, kompetitif, dan tegas yang dianggap

tidak dimiliki perempuan seperti yang diungkapkan oleh Jeri A. Pingak selaku anggota legislatif

dan ketua fraksi Hanura (ketua fraksi) sebagai berikut:58

“Apa perempuan berani ribut di ruang sidang, bapuku meja, batunjuk? Berani? ...Saat itulah yang menunjukkan siapa yang lebih kuat dalam menyuarakan, dia yang bertindak maka dia yang menang. Nyali kalo sonde ada, janganlah! …Perempuan berani atau tidak beragumen dengan suara yang keras? Bisa tidak?”

Makna tersirat dari pernyataan dalam hasil wawancara tersebut menunjukan bahwa

musyawarah mufakat dalam parlemen sudah bukan lagi hanya menyangkut keputusan suara

terbanyak, melainkan juga mengenai keputusan “suara terkeras” yang bukan merupakan tipikal

dari ibu Agnes Bota Hayon.

Dilain pihak, argumentasi bahwa ibu Agnes kurang partisipatif dalam setiap rapat atau

sidang di DPRD Kota Kupang oleh karena minimnya pengalaman politik tidak terbukti

kebenarannya. Hal ini dikonfirmasi oleh pernyataan ibu Agnes sendiri bahwa ia telah aktif

dalam ranah politik (baca: partai politik) sejak tahun 2004 dan ini menunjukkan bahwa ibu

Agnes bukanlah seorang legislator dari hasil “karbitan” partai politik. Pendapat dari beberapa

informan bahwa pusat permasalahan berada pada pribadi perempuan itu dengan sendirinya

terbantahkan.

57 Kardinad Kale Lena,SH adalah anggota dari Fraksi Demokrat dan merupakan salah satu anggota dalam Badan Legislasi.58 Jeri A. Pingak juga merupakan anggota dalam Badan Anggaran.

47

Page 48: EDIT-17 mei 2013

Hasil penelitian menunjukkan, dilihat dari aspek personal, yakni perlakuan anggota

dewan laki-laki sebagai partner kerja dari ibu Agnes Bota Hayon dinilai belum begitu sadar

gender dan sensitif gender. Hal ini dapat dilihat dari minimnya kemauan oleh beberapa anggota

dewan untuk memahami tindakan afirmatif (Affirmative Action) sebagai tindakan diskriminasi

positif atau langkah-langkah khusus yang dilakukan guna mempercepat tercapainya kesetaraan

dan keadilan. Keengganan beberapa dewan untuk lebih memahami hal tersebut terlihat dari

argumentasi yang mengatakan bahwa perlakuan yang sama terhadap anggota laki-laki dan

perempuan di lembaga tersebut (DPRD Kota Kupang) sudah merupakan tindakan yang cukup

adil bagi keterwakilan perempuan. Tentu perlakuan yang sama belumlah cukup untuk

mendorong ibu Agnes Hayon agar dapat aktif berbicara dalam setiap rapat anggota. Mengingat

bahwa hanya terdapat satu keterwakilan perempuan di tengah kondisi politik yang sekian lama

didominasi oleh konsep maskulinitas. Tindakan motivasi atau dorongan yang sifatnya personal

terhadap ibu Agnes juga dinilai perlu, mengingat hanya terdapat satu keterwakilan perempuan

yang harus dimaksimalkan demi mengubah bahasa parlemen sehingga perspektif perempuan

menjadi suatu hal yang wajar dan mendorong perubahan sikap publik terhadap perempuan.

Sungguh ironis, Affirmative Action hanya akan menjadi cita-cita apabila para legislator

belum memahami dan tidak berusaha menyerap subtansi Affirmative Action untuk kemudian

diimplementasikan dalam tindakan.

48

Page 49: EDIT-17 mei 2013

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Politik masih dianggap sebagai “dunia lain” bagi perempuan yang diajarkan untuk

berkonsentrasi pada urusan domestik (rumah tangga). Politik dianggap sebagai ruang yang

seolah-olah terpisah dari lingkup keseharian perempuan. Dalam transisi menuju demokrasi ini di

tingkat lokal harus diakui bahwa perempuan juga memegang peranan penting dalam ranah

publik. Strategi Affirmative Action untuk menghadapi tantangan ini sebenarnya merupakan

investasi dalam proses demokrasi.

Untuk isu-isu tertentu, Affirmative Action sulit untuk diterapkan di DPRD Kota Kupang

oleh karena kepentingan-kepentingan individual maupun institusi partai politik dari para anggota

parlemen yang kemudian menjadi “penjara” atau penghalang yang paling signifikan terhadap

penerapan Affirmative Action. Selanjutnya, pemahaman tentang Affirmative Action oleh para

anggota dewan di DPRD Kota Kupang masih tergolong sangat minim sehingga penerapannya

pun terkesan “setengah hati” dan tidak konsisten.

B. Saran

Wacana publik mengenai pentingnya keterlibatan perempuan dalam pembuatan

kebijakan tampaknya belum menyentuh masyarakat di tingkat lokal. Penting untuk menyerap

subtansi dari tindakan afirmatif itu sendiri sehingga tidak bias dalam penerapannya. Sehingga

harus ada sosialisasi secara konsisten mengenai Affirmative Action ditingkat elit parpol sampai

akar rumput. Selanjutnya, harus ada perda yang mengatur mengenai pemberdayaan perempuan

dalam ranah publik untuk membantu mengsosialisasikan pentingnya keterwakilan perempuan di

ranah publik. Adapun saran lainnya yang ingin disampaikan oleh penulis dalam kepentingan

studi ini adalah sebagai berikut:

3. Bagi para perempuan yang baru akan memulai aksi politik bahkan berniat berpartisipasi

sebagai caleg perempuan pada Pemilu Legislatif Tahun 2014 di Kota Kupang yang akan

datang, maka semenjak dini harus mempersiapkan diri secara matang. Pengalaman para

caleg perempuan yang telah gagal pada pemilu sebelumnya, hendaknya dapat dijadikan

pembelajaran politik yang baik. Dari kondisi perempuan dan politik yang mengalami

kegagalan hendaknya menjadi penyemangat yang dapat memperbaiki kualitas politik

perempuan di Kota Kupang. Sehingga ke depannya representasi politik yang dilakukan

adalah perwakilan politik perempuan yang memiliki “power” politik.

49

Page 50: EDIT-17 mei 2013

4. Bagi DPRD Kota Kupang bersama Walikota, disarankan untuk membuat program-

program bagi pemberdayaan perempuan khususnya di bidang politik. Program bagi

Perempuan pada umumnya di seluruh Kota Kupang. Dengan adanya program

pemberdayaan perempuan di bidang politik diharapkan menjadi wawasan dan

pembelajaran politik bagi perempuan di kota ini dalam menghadapi Pemilu Legislatif

2014. Diharapkan dalam program pemberdayaan politik bagi perempuan dilibatkan

pihak laki-laki, guna pendekatan Gender yang setara.

5. Bagi para calon peneliti selanjutnya diharapkan sedapat mungkin melakukan

pengembangan penelitian mengenai kondisi perempuan dan politik di Kota Kupang.

Karena penelitian yang dilakukan secara berkelanjutan tentunya akan menguak banyak

realitas yang belum ditangkap dalam penelitian kali ini. Studi mengenai Tindakan

Affirmative Action Terhadap Keterwakilan Perempuan di DPRD Kota Kupang akan

memberikan pengembangan pengetahuan bagi perempuan di kota ini secara khusus, yang

diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengetahuan perempuan dan politik,

guna representasi perwakilan politik yang berkualitas.

50

Page 51: EDIT-17 mei 2013

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku:

Arbi Sanit, 1985. Perwakilan Politik Di Indonesia. CV. Rajawali. Jakarta;

Anugrah Astrid, 2009, Keterwakilan Perempuan Dalam Politik, Pancuran Alam. Jakarta;

Anwari, 2004. Demokrasi Suatu Keharusan; Menelusuri pemikiran dan praksis politik

Samuel Koto. Khanata, Pustaka LP3ES Indonesia;

Andrain, 1992. Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial. PT. Tiara Wacana. Yogyakarta;

BPS Kota Kupang, 2011. Kota Kupang Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kota Kupang.

Budiarjo Miriam, 2009, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta;

Bintan Regen Saragih, 1985. Sistem Pemerintahan Dan Lembaga Perwakilan Di Indonesia.

Perintis Press. Yogyakarta;

Convention Watch, Pusat Kajian Wanita dan Gender, Universitas Indonesia, 2007. Hak

Azasi Perempuan Instrumen Hukum Untuk Mewujudkan Keadilan Gender. Yayasan

Obor Indonesia. Jakarta;

Faraz Nahiyah. 2003. Affirmative Action Dan Peran Perempuan Di Ranah politik

Menyongsong pemilu 2004. Pusat Studi Wanita - Universitas Negeri Yogyakarta;

Faraz Nahiyah. 2003. Strategi Keterwakilan Perempuan Di Parlemen (Dalam Memenuhi

Kuota 30%) Pada Pemilu 2004. Pusat Studi Wanita. Yogjakarta;

Fanina Fanindita, 2010. Skripsi mengenai Rekrutmen Politik Terhadap Perempuan Dalam

Partai Politik Dan Parlemen Suatu Studi Terhadap DPRD Tingkat I Periode 2004-

2009 Di Sumatera Utara. Universitas Sumatera Utara;

Handayani Trisakti, Sugiarti, 2008. Konsep Dan Teknik Penelitian Gender. UMM PRESS.

Malang;

Hamidi. 2004. Metode Penelitian Kualitatif: Aplikasi Praktis Pembuatan Proposal dan

Laporan Penelitian. Malang: UMM Press.

Ihromi, Irianto, Luhulima, 2006. Penghapusan diskriminasi terhadap wanita. Penerbit P.T.

Alumni, Bandung;

Irmayani dan Imelda, 2009. Perempuan Berpolitik. Jurnal Politeia. Depertemen Ilmu Politik

Universitas Sumatera Utara;

Jurnal Perempuan, 2004. Politik Dan Keterwakilan Perempuan, Yayayan Jurnal Perempuan.

Jakarta;

51

Page 52: EDIT-17 mei 2013

Jurnal Perempuan, 2006. Pengarusutamaan Gender dan Pemberdayaan perempuan.

Yayasan Jurnal Perempuan. Jakarta;

Judith Squires, 1999. Gender in political Theory, Polity Press. USA;

Karam Azza, Julie Ballington, 2005. Perempuan di Parlemen: Bukan Sekedar Jumlah,

Bukan Sekedar Hiasan. Yayasan Jurnal Perempuan dan International Institute for

Democracy and Electoral Assistance. Jakarta;

Lilijawa Isidorus, 2010. Perempuan, Media dan Politik. Penerbit Ledalero, Maumere;

Liza Hadiz, 2004. Perempuan Dalam Wacana Politik Orde Baru. LP3ES Indonesia. Jakarta;

Lubis Yusuf, 2006. Dekonstruksi Epistemologi Modern: dari Postmodernisme Teori Kritis

Poskolonialisme hingga Cultural Studies. Pustaka Indonesia Satu, Jakarta;

Mulia dan Faridah, 2005, Perempuan Dan Politik, PT Gramedia Pustaka Utama;

Prabasmoro, 2004. Feminist Though: Pengantar Paling Komprehensif kepada Arus Utama

Pemikiran Feminis. Jalasutra, Yogjakarta, diterjemahkan dari buku asli oleh

Rosemarie Putnam Tong, 1998. Feminist Thought: A More Comprehensive

Introduction yang diterbitkan oleh Westview Press, Colorado;

Revitch & Thernstrom (ed). 2005. Demokrasi Klasik & Modern. Yayasan Obor Indonesia,

Jakarta;

Sasongko Sri, 2009. Program Pembinaan Jarak jauh Pengarusutamaan Gender-Modul

Kedua – Konsep Dan Teori Gender. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional

(BKKBN). Jakarta;

Sitepu Anthonius, 2012. Teori-Teori Ilmu Politik. Graha Ilmu, Yogyakarta;

Soetjipto Ani Widyani, 2006. Pemenuhan hak-hak politik perempuan, sejauh manakah.

Jurnal Perempuan edisi 45. Penerbit Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta;

Surbakti Ramlan, 1999, Memahami ilmu politik, Gramedia Widia sarana Indonesia, Jakarta;

Sugiyono, 2012, Memahami Penelitian Kualitatif , CV Alfabeta. Bandung;

Thomas Meyer. 2003. Demokrasi-Sebuah Pengantar Untuk Penerapan. Fredrich-Ebert-

Stiftung , Kantor Perwakilan Indonesia, Jakarta;

Wibowo Adi, 2004. Posfeminisme & cultural studies: Sebuah Pengantar Paling

Komprehensif. Jalasutra, Yogjakarta, diterjemahkan dari buku asli Brooks, 1997.

Postfeminisme: Feminism, Cultural Theory and Cultural Forms diterbitkan oleh

Routlegde, London.

52

Page 53: EDIT-17 mei 2013

B. Situs Internet :

http://carapedia.com/pengertian_definisi_organisasi_menurut_para_ahli_info484.html.

Diakses pada tanggal 15 Desember 2012.

http://carapedia.com/pengertian_definisi_politik_menurut_para_ahli_info483. html. Diakses

pada tanggal 21 Desember 2012.

http://genderpedia.blogspot.com/2011/12/tindakan-afirmatif.html. Diakses pada tanggal 3

Februari 2013

http://menegpp.go.id/V2/index.php/component/content/article/41-perempuan/78-kebijakan-

afirmatif-untuk-perempuan-. Diakses pada tanggal 3 Februari 2013.

http://ntt.bps.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=442&Itemid=442.

Diakses pada tanggal 21 September 2012.

http://aceh.tribunnews.com/2013/04/29/saatnya-affirmative-action-bagi-perempuan diakses pada tanggal 15 Mei 2013.

Komisi Pemilihan Umum, 2009. Dalam www.kpu.go.id/. Diakses pada tanggal 21

September 2012.

C. Undang-undang

Amandemen II UUD 1945, dalam Bab X A tentang Hak Asasi Manusia Pasal 28 H ayat (2).

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi

Terhadap Perempuan.

D. Surat Kabar

Harian Kompas, 17 februari 2013.

53