Top Banner
12

Edisi Khusus Ketahanan Pangan

Mar 22, 2016

Download

Documents

Mencari Sang Alternatif
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Edisi Khusus Ketahanan Pangan
Page 2: Edisi Khusus Ketahanan Pangan

2

w w w . b i p n e w s r o o m . i n f oemail: [email protected]

e d i s i

k h u s u s

Diterbitkan oleh DEPARTEMEN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKAPengarah: Prof. Dr. Moh Nuh, DEA (Menteri Komunikasi dan Informatika). Penanggung jawab: Dr. Suprawoto, SH. M.Si. (Kepala Badan Informasi Publik) Pemimpin Redaksi: Drs. Bambang Wiswalujo,M.P.A.(Kepala Pusat Pengelolaan Pendapat Umum). Wakil Pemimpin Redaksi: Drs. Supomo, M.M. (Sekretaris Badan Informasi); Drs. Ismail Cawidu, M.Si. (Kepala Pusat Informasi Politik Hukum danKeamanan); H. Agus Salim Hussein, S.E. (Kepala Pusat Informasi Perekonomian); Drs. Sofyan Tanjung, M.Si. (Kepala Pusat Informasi Kesejahteraan Rakyat). Sekretaris Redaksi: Drs. Sugito. RedakturPelaksana: M. Taufiq Hidayat. Redaksi: Dra. Fauziah; Drs. Selamatta Sembiring, M.Si.; Drs. M. Abduh Sandiah; Mardianto Soemaryo. Reporter: Suminto Yuliarso; Dimas Aditya Nugraha, S.Sos; HendraBudi Kusnawan, S.S; Koresponden Daerah: Amiruddin (Banda Aceh), Arifianto (Yogyakarta), Nursodik Gunarjo (Jawa Tengah), Supardi Ibrahim (Palu), Yaan Yoku (Jayapura). Fotografer: LeonardRompas. Desain: D. Ananta Hari Soedibyo. Pracetak: Farida Dewi Maharani, Amd.Graf, S.E. Alamat Redaksi: Jalan Medan Merdeka Barat No. 9 Jakarta Telp/Faks. (021) 3521538, 3840841 e-mail: [email protected] menerima sumbangan tulisan, artikel dan foto yang sesuai dengan misi penerbitan. Redaksi berhak mengubah isi tulisan tanpa mengubah maksud dan substansi dari tulisan tersebut. IsiKomunikA dapat diperbanyak, dikutip dan disebarluaskan, sepanjang menyebutkan sumber aslinya.

Mengapa ‘kerawanan pangan’ masih terjadi diIndonesia, negara agraris paling subur di dunia?Pertanyaan sederhana itu terasa menohok perasa-an. Sayang, hampir semua orang tidak mengetahuijawabannya secara pasti. Kendati berbagai teoridikemukaan, analisis dipaparkan, seminar, diskusi,dan simposium diselenggarakan, akan tetapi seiringpergantian tahun, kasus ‘kerawanan pangan’ masihsaja terjadi di sejumlah daerah di Indonesia.

Apakah kita benar-benar mengalami kerawananpangan dalam arti sesungguhnya? Sejatinya tidak.Kita hanya kekurangan beras, sementara keterse-diaan jagung, singkong, sagu, ubi dan bahan maka-nan lain di luar beras masih cukup berlimpah. Namunkarena pola konsumsi sebagian besar masyarakatterlalu “beras-sentris”, keberadaan bahan makananyang beraneka ragam itu sering hanya dipandangsebelah mata.

Penyederhanaan kata “pangan” menjadi “be-ras”, membuat orang sering keliru dalam menarikkesim-pulan. Kerawanan pangan dianggap telahterjadi, ketika ada beberapa keluarga mengkon-sumsi makanan pokok selain beras. Saat sebagianwarga Gunung Kidul, Yogyakarta, makan tiwul(nasi berbahan baku singkong), orang langsungmenafsirkan telah terjadi kerawanan pangan di sa-na. Padahal secara historis, sebagian masyarakatGunung Kidul makanan pokoknya memang tiwul.

Ketika bahan makanan pokok diidentikkan de-ngan beras, ketahanan pangan pun sering dipan-

Diversifikasi, Kunci Ketahanan Pangandang secara sempit, yakni hanya dikaitkan dengankemampuan masyarakat dalam menyediakan berassecara swasembada. Dengan bahasa yang lebihsederhana, swasembada beras adalah prasyaratterjadinya ketahanan pangan. Tanpa swasembadaberas, ketahanan pangan sulit diwujudkan. Begitu-lah sesat logika yang selama ini terjadi.

Ironisnya, swasembada beras telah menjadi ke-nangan indah masa lalu. Keberhasilan yang pernahdiraih Indonesia pada tahun 1984, tampaknya akansulit terulang. Semakin menciutnya sawah akibatalih fungsi lahan menjadi fasilitas umum dan permu-kiman, serta semakin banyaknya petani yang ban-ting stir ke pertanian non-padi karena menanampadi dinilai tidak menguntungkan, setidaknya dapatdijadikan alasan.

Oleh karena itu, kita perlu mencari jurus lainyang lebih realistis untuk mempertahankan keta-hanan pangan (bukan hanya ‘ketahanan beras’).Salah satunya adalah dengan mempraktekkankembali diversifikasi pangan yang dulu pernah dilaku-kan nenek-moyang secara turun-temurun. Bahanpangan seperti jagung, singkong, sagu, ubi jalar,talas, perlu dipromosikan kembali sebagai makananpokok pengganti beras, sehingga ketergantunganterhadap beras secara gradual dapat terus diku-rangi.

Menanam secara multikultur dan pola konsumsimakanan pokok secara bervariasi adalah cara terbaikuntuk mewujudkan ketahanan pangan. Lebih-le-

bih, setiap daerah memiliki karakteristik klimatologidan topografi tanah yang bervariasi, dimana wargasetempat dapat menanam bahan makanan pokokyang berbeda-beda sesuai dengan kebiasaan ma-sing-masing. Dengan cara demikian, tersedia lum-bung hidup yang dapat mensuplai kebutuhan pa-ngan warga setempat secara berkesinambungan.

Saatnya kini membuang jauh anggapan kelirubahwa makan baru dianggap makan jika makannasi. Makan sejatinya adalah persoalan budaya, se-hingga kebiasaan kitalah yang menuntun apa yangkita santap. Kita bisa menganggap apa saja—sing-kong, sagu, jagung, beras, ubi—sebagai makananpokok, sama seperti orang Barat yang mengang-gap gandum atau kentang sebagai makanan pokokmereka.

Menggantungkan diri pada satu jenis bahanmakanan, sama halnya dengan membiarkan krisispangan mengintip di depan mata. Seperti diingat-kan Food Agricultural Organization (FAO), polakonsumsi makanan pokok yang seragam, dalamjangka panjang akan membuat ketahanan pangansuatu negara mengalami deklinasi, sehingga krisispangan gampang terjadi.

Jelas bahwa kunci ketahanan pangan sejatinyaada pada diri kita sendiri. Mau krisis pangan atautidak, tergantung kemauan kita untuk menerimamakanan selain beras yang harus kita konsumsisebagai makanan pokok sehari-hari.

(g)

desa

in:

dw,m

, ah

as f

oto:

bf,

dw,

PR,

net

Acara Dialog Publik mengenai Ketahanan Pangan, (17/04) di Departemen Komunikasi dan Informatika, pembicaraantara lain: Siswono Yudhohusodo (Penasehat Himpunan Kerukunan Tani Indonesia), Gunarjo (Direktur Bina PasarDirektorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Depdag), Dr. Ir. Kaman Nainggolan, MS (Kepala Badan KetahananPangan, Deptan), Didin S. Damanhuri (Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB), dengan moderator Ir.Sukemi. (foto: dok.bip.)

Indonesia Kaya

Indonesia sebenar-nya memiliki sumber pa-ngan yang luar biasa,yakni sagu. Seorangpeneliti asal Jepangmencatat, dari dua jutahektar hutan sagu didunia, satu juta hektarhutan di antaranya adadi Indonesia. Namun,setiap tahun lebih dari separuh sagu rusak di hutankarena pohonnya tua dan tumbang tanpa terambilmanfaatnya. Ini adalah bukti betapa kita belummemanfaatkan potensi sumber pangan lain selainberas.

Siswono Yudohusodo Penasehat Himpunan Kerukunan Tani Indonesia

Mandiri dan Berdaulat

Indonesia perlu mempertimbangkan menujukedaulatan pangan. Dalam jangka pendek, kebijak-an stabilisasi harga pangan untuk mencapai keta-hanan pangan dilaku-kan melalui kebijakaninsentif untuk pening-katan produksi mau-pun kebijakan perda-gangan dengan diser-tai pengamanan dariberbagai modus moralhazard seperti speku-lasi, penimbunan, pe-nyelundupan, dan kartel importir. Untuk jangkapanjang, perlu grand design kebijakan untuk men-capai kemandirian dan kedaulatan pangan nasional,regional dan lokal berbasiskan sumberdaya dankeunggulan daerah.

Jika dilakulan reformasi ekonomi berbasiskankepada kebutuhan nyata rakyat dan keragamandaerah, kemungkinan kita akan bisa lebih berdaulatdan mandiri. Tapi itu tergantung kepada

kepemimpinan nasional, apakah mampu mengelolasecara cerdas dua kepentingan sekaligus antarademokrasi politik dan reformasi ekonomi secarasubstansial.

Didin S. DamanhuriGuru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajeman IPB

Gaplek Bukan Rawan Pangan

Kadang saya suka merasaheran dengan pemberitaandi media lokal ataupun na-sional. Terlalu mudah men-definisikan rawan pangandan kelaparan. Makan gaplekdibilang kelaparan. Gapleksama dengan makanan alter-natif terakhir jika tidak adamakanan lain. Lha banyak

juga di daerah Jawa Tengah yang makanan sehari-harinya gaplek. Dan itu berlangsung terus me-nerus. Bukan karena gak ada uang buat beli beras,tapi ya memang makanannya gaplek. Yang pentingkan sesuai dengan kebutuhan gizinya. Makan ga-plek tambah lauk ikan dan ada sayur, berarti kansehat juga.

Endang P.WPetugas Penyuluh Pertanian Kecamatan

Dagangan, Kabupaten Madiun

Suara Publika yang berisipertanyaan, komentar atau opini

singkat bisa dikirim melaluifaksimil ke redaksi atau alamat email:

[email protected]

Page 3: Edisi Khusus Ketahanan Pangan

3

w w w . b i p n e w s r o o m . i n f oemail: [email protected]

e d i s i

k h u s u s

Pangan Semakin PanasPangan Semakin PanasMelonjaknya harga pangan dunia saat ini mem-

buat sejumlah negara kelabakan menghadapinya.Ketakutan akan krisis pangan menghantui sejumlahnegara. China tiba-tiba melarang ekspor beras danmenaikkan stok beras mereka dari 32 juta tonmenjadi 40 juta ton. Vietnam mengenakan pajakekspor tinggi untuk beras dan mengerem aruskeluarnya sebesar 1 juta ton.

India pun ancang-ancang menghapus pajakimpor beras dengan harapan akan ada arus masukguna mengantisipasi krisis pangan negeri yang ber-penduduk lebih dari satu milyar jiwa itu. Padahalnegeri ini tidak pernah mengimpor beras selama10 tahun terakhir ini, dan mengenakan pajak 70%atas impor beras.

Sejak lima tahun lalu, para pengamat sudahmengibar bendera kuning mengenai tingginya har-ga pangan dunia ini. Pemicu terbesarnya adalahkebijakan program pengembangan bahan bakarnabati biofuel dan biodiesel. Selain itu mening-katnya konsumsi daging dan susu di dunia jugamemberi andil pada peningkatan kebutuhanpangan berbahan baku jagung dan kedelai.

Bagaimana Indonesia?Banyak pengamat merasa pesimis mengenai

ketahanan pangan Indonesia di tengah ‘menga-muknya’ harga pangan sejagad, termasuk wakilrakyat. Anggota Komisi IV DPR Marjono menga-takan di Brebes, Jateng, Indonesia kemungkinanakan dilanda kekurangan pangan.

Pertimbangannya, produksi padi di sejumlahsentra produksi beras menurun akibat antara lainbanjir. Ia mendorong pemerintah untuk menam-bah alokasi anggaran peningkatan produksi perta-nian, guna mengantisipasi ancaman krisis pangan.

Pesimisme itu secara positif dapat ditanggapisebagai keprihatinan serta peringatan akan ke-mungkinan krisis pangan yang akan kita alami mengi-ngat sejumlah bahan pangan penting masih kitaimpor dalam jumlah tertentu, seperti beras, kedele,terigu. Namun ada kecenderungan angka imporberas kita makin turun hingga tahun lalu.

Perkuat Stok PanganSama seperti halnya Vietnam, China maupun

India, Indonesia juga berusaha memperkuat ca-dangan pangannya mengantisipasi kemungkinankrisis akibat tingginya harga di luar negeri sertakemungkinan menyusutnya produksi akibat banjirdan sebagainya. Namun pemerintah meyakinkanbahwa tingkat produksi beras belum menunjukkanlampu kuning, bahkan bersiap menghadapi panenraya mendatang.

Indonesia menghadapi dilema. Di satu pihak,

tingginya harga beras dunia merangsang aktivitasekspor agar dapat meningkatkan pendapatan ne-gara maupun rakyat. Di pihak lain, kita perlu me-ningkatkan stok pilling guna menjaga kemungkinanyang terburuk.

Perum Bulog didorong untuk membeli berasrakyat, selain untuk cadangan pangan juga agar

petani menikmati kenaikan harga beras itu,yaitu dengan menaikkan harga gabah,yang dinikmati langsung petani. Parapengamat mengatakan bila harga berasyang dinaikkan, maka hanya pedagang-tengkulak yang menikmatinya.

Direktur Bina Pasar dan Distribusi Direk-torat Jenderal Perdagangan Dalam NegeriDepartemen Perdagangan Gunaryomengatakan Tim Stabilisasi Harga BahanPokok mengusulkan pelarangan ekspor be-ras guna keamanan cadangan dalam ne-geri.

Bulog masih mengantongi sisa ijin importahun lalu sebesar 200 ribu ton, guna ber-jaga-jaga. Namun bila digunakan, harga diluar sangat tinggi hingga menguras kan-tong negara. Tidak ada jalan lain kecuali

menggenjot produksi sendiri.Bulog berjanji akan menaikkan target penga-

daan beras tahun ini hingga 2,8 juta ton atau naik64% dibandingkan tahun lalu. Hingga Maret laluBulog baru mengumpulkan 150 ribu ton dari kon-trak sebesar 250 ribu ton. Bulog dengan 46.000titik distribusinya siap menyalurkan bahan panganbilamana keadaan mendesak.

Departemen Pertanian memproyeksikan pro-duksi padi nasional tahun 2008 mencapai 61 jutaton, tahun 2009 64,2 juta ton, tahun 2010 men-jadi 67,3 juta, 2011 menjadi 70,7 juta dan 2012diharapkan mencapai 74,2 juta ton.

Pemerintah Akan Lindungi‘Pesta’ kenaikan harga pangan akan dinikmati

para produsen besar, eksportir, serta petani. Pihakyang kerepotan atas kenaikan itu, terutama ma-syarakat miskin yang berpendapatan kecil akan dilin-dungi pemerintah antara lain dengan memberikansubsidi.

Untuk minyak goreng pemerintah menye-diakan dana subsidi Rp500 milyar kepada 19,2 jutapenduduk miskin. Kedelai, sebagai bahan panganpokok lainnya akan mendapatkan subsidi Rp1.000per kilogram, lewat 115.000 perajin tempe-tahu.

Ketergantungan akan kedelai impor masih me-repotkan pemerintah, sehingga diharapkan Depar-temen Pertanian lewat program intensifikasi danekstensifikasinya mampu mendorong produksi sela-ma tiga musim tanam tahun ini sekitar 800 ributon atau naik 200 ribu ton dibanding tahun lalu.

Kebutuhan akan kedelai dalam negeri sekitar1,7 juta ton/tahun sedangkan produksi nasionalbaru mencapai 600-700 ribu ton/tahun. Gunamencukupi kebutuhan impor mencapai 1,2 jutaton, di mana 90% tergantung pada Amerika Se-rikat.

Pemerintah sendiri tengah menjajagi kemung-kinan impor kedelai dari Brasilia karena mutunyabagus, di samping dari Amerika Serikat sekarangini. Menteri Pertanian Anton Apriyantono mena-warkan kerjasama untuk mengembangkan estatekedelai di Indonesia tetapi pihak Brasil belummengiyakannya.

Lahan yang masih memungkinkan untuk per-luasan pertanaman kedelai adalah daerah Kali-mantan dan Papua. Pemerintah Kabupaten Pasir,Kalimantan Timur, April lalu menyatakan niat untukmenambah sawah baru seluas 1.000 hektar.

Suara mengenai perlunya pengembangan ricefield atau soybean field di Kalimantan sudah diwa-canakan sejak awal tahun 1980-an. Pengamat eko-nomi sekaligus anggota DPR almarhum RahmatMulyomiseno waktu itu melontarkan wacana ter-sebut, namun belum ada respons dari berbagaipihak.

Sudah waktunya wacana itu dieksekusikan saatini, apalagi dalam era otonomi ini, banyak peluangdapat diambil pemerintah kabupaten. PemerintahKabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, sebagaicontoh, memilih produk jagung sebagai andalanpertama produksi agro mereka. Ratusan hektarlahan disiapkan, dan produksinya terserap habis ditingkat lokal serta daerah tetangganya,Singkawang.

(ji)

Gampang-Gampang SwasembadaBila hari-hari ini banyak diberitakan masalah mahalnya harga komoditas pangan di tanah air, sa-

lah satu akar masalahnya ada pada ketidakmampuan Indonesia untuk memproduksi bahan pangandalam jumlah yang memadai untuk penduduknya. "Lihat saja grafik perbandingan konsumsiyang tidak seimbang. Dari tahun ke tahun selalu muncul ketidakimbangan karena peningkatanjumlah penduduk," tutur Penasehat Himpunan Kerukunan Tani Indonesia, Siswono Yudhohusodo.

Memang, jika mengandaikan pertumbuhan jumlah penduduk sebesar 1,66 persen per tahun,pada tahun 2020 jumlah penduduk Indonesia—yang sekarang sekitar 230 juta—akan menjadi288 juta. Peningkatan jumlah penduduk pastilah akan diikuti dengan peningkatan jumlah kebu-tuhan pangan.

Menimbang Kebijakan Masa LaluIndonesia pernah swasembada. Di tahun 80-an hal itu, manajemen perberasan waktu itu

bertumpu pada empat hal. Pertama, perencanaan, ketika itu manajemen beras ditetapkan se-bagai salah satu prioritas kebijakan pemerintah. Kedua, pelaksanaan program melalui sejumlahinstrumen seperti: penyuluhan dan pemberdayaan petani (Bimas), intensifikasi faktor-faktorproduksi (pembangunan pabrik pupuk domestik, kontrol ketat atas distribusi pupuk, optimalisasiKredit Usaha Tani (KUT) dan Koperasi Unit Desa (KUD), pembangunan irigasi, serta penyediaanbenih padi unggul dengan harga murah.

Ketiga pengawasan dan pengendalian yang dijalankan oleh Bulog sebagai institusi pengendaliharga pangan dimaksimalkan. Peran produsen pupuk domestik pun dioptimasikan apalagi BUMNyang ada di hampir setiap provinsi. Keempat, melakukan koordinasi berbagai kebijakan dan pro-gram dengan baik. Peran kementerian tidak saling tumpang tindih dan semuanya berpusat da-lam komando Presiden.

Hasilnya, pada tahun 1969 Indonesia hanya memproduksi beras sekitar 12,2 juta ton, tetapidi tahun 1984, saat swasembada beras dicapai, tercatat 25,8 juta ton. Sehingga pemerintahsaat itu memberikan buah tangan, yaitu gabah sebanyak 100.000 ton yang dikumpulkan secaragotong royong dan sukarela oleh petani Indonesia untuk disumbangkan kepada warga yangmengalami kelaparan, khususnya di Afrika.

Namun, keberhasilan itu tidak dapat dinikmati berlama-lama. Kegagalan Revolusi Hijau ataurevolusi pangan seperti di negara-negara lain juga menimpa Indonesia. Swasembada pangan ha-nya berlangsung hingga tahun 1989. Dan hingga kini, Indonesia terpaksa kembali mengimporberas. Belum lagi resesi global menjelang! Tentunya ini adalah masalah bersama yang harus diha-dapi bersama-sama semua lapisan masyarakat.

Tak Ada Impor"Zero import, itulah yang dinamakan swasembada," tegas Kaman Nainggolan, Kepala Badan

Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian. Akan tetapi berkaca dari kecenderungan di dunia,definisi swasembada adalah apabila bahan yang diimpor tidak lebih dari 10% dari hasil produksinasional. "Beras kita sudah swasembada, on trend. Kalau kedelai masih 60% kita impor. Target2011 swasembada. Gula 2009 ini kita targetkan swasembada. Daging 2010," imbuh Kaman.

Akan tetapi, swasembada pangan akan semakin sulit dicapai dan ketergantungan pada imporakan semakin menjadi-jadi. Namun, Salman Darajat, staf Badan Ketahanan Pangan, PenyuluhanPertanian dan Kehutanan Aceh Timur punya resep sederhana untuk mencapai swasembada.Pertama, peningkatan pasokan (produksi) dan penurunan permintaan (konsumsi) pangan. "Dapatdilakukan melalui ekstensifikasi atau perluasan area tanam, dengan arah pengembangan di luarJawa serta intensifikasi pertanian termasuk penggunaan teknologi untuk menemukan bibit unggul,dan pengurangan kehilangan hasil saat panen dan pascapanen," ungkap Salman.

Kedua, lanjut Salman, diversifikasi pangan. Dominasi ketergantungan pada satu jenis pangansecara bertahap perlu dikurangi, "tapi perlu diusut lebih lanjut untuk mengetahui pola distribusidan tingkat konsumsi hingga ke level rumah tangga supaya tidak menimbulkan gejolak," pung-kasnya. (g/m)

>>Kenaikan harga beras kualitasmedium di Asia mencapai52%, sehingga pantas bilasejumlah negara bersiap-siapmenghadapinya.Pada awalApril harga tingkat dunia sudahmencapai 700 dolar AS/ton,dan diperkirakan mencapai850 dolar AS/ton pada Meimendatang.

Page 4: Edisi Khusus Ketahanan Pangan

4

w w w . b i p n e w s r o o m . i n f oemail: [email protected]

e d i s i

k h u s u s

>>

>>

Pada tahun 1964 Indonesiamengalami krisis panganhebat, antara lain disebabkanmasih rendahnya produksiberas pada waktu itu, kemu-dian deraan musim keringberkepanjangan serta hamatikus yang merajalela di sentraproduksi padi di Jabar, Jatengserta Jatim.

Di sebagian daerah diSulawesi pada waktu itumengkonsumsi pisang se-bagai makanan pokok. Papuaserta Maluku dengan sa-gunya, dan sebagainya.Namun dalam perjalanannyakemudian, seiring denganpulihnya kondisi kekuranganpangan serta meningkatnyapendapatan rakyat, diver-sifikasi pangan kian sulitdiwujudkan.

Bagi kebanyakan orang, kata “Garut” mungkindikaitkan dengan nama sebuah kota di Jawa Barat.Atau penganan manis nan legit dari kawasan yangsama. Tapi di Madiun, Jawa Timur, garut satu iniadalah salah satu bahan pangan alternatif yangtengah dikembangkan sejajar dengan beras seba-gai sumber karbohidrat.

Di Desa Dagangan, Kecamatan Dagangan, Ka-bupaten Madiun, Jawa Timur, garut adalah sejenistanaman umbi-umbian. Tumbuhan monokotil yangbiasa hidup di pekarangan dan bawah pohon rin-dang ini, telah diolah menjadi emping yang nilaikeekonomiannya terus merangkak naik.

Adalah H. Djan’im Romli (76), petani yang pada1983 tak puas dengan hasil panennya. Selalu kalahbesar dengan biaya produksi yang mesti dikeluar-kan. Hingga akhirnya, tanah miliknya seluas satuhektar coba-coba ditanami garut. “Karena garutbiasanya tumbuh liar tanpa perawatan. Syukur-syukur umbinya bisa dimakan. Anak saya, Alia, yangpertama kali coba-coba,” kata Badriyah (59), istriDjan’im.

Coba-coba Tahan LamaPertama kali membuat emping garut bukanlah

hal yang mudah. Ia harus melalui serangkaian uji-coba di dapur pribadinya untuk membuatnya enaktapi tahan lama. Berawal dari pengolahan tradisionalsederhana dengan cara direbus, dipotong tipismembujur, dikeringkan, kemudian baru digoreng.

Hingga kemudian ditemukan cara baru: me-numbuk garut dengan palu besi agar tipis merata,baru dikeringkan dan digoreng. Ada pula upayacoba-coba dengan menambahkan margarin padaminyak penggorengan. “Terakhir, uji coba yangdilakukan Universitas Gajah Mada (UGM) menye-butkan emping garut bisa tahan sampai setahun,”kata Badriyah.

Masalahnya bukan tidak ada bahan pangan,hanya belum tahu. Jangan sampai sesal kemudian

sebab tiada guna. Semua ada di sekitar kita.

Kerja keras, kesabaran, dan kreatifitas keluargaH Djan’im dan Badriyah akhirnya membuahkan hasil.Mereka bisa menyekolahkan tiga dari empatanaknya hingga lulus bangku kuliah. Tak hanya itu,warga sekitar tempat tinggalnya pun mendapattuah dari emping garut.

“Sekarang saya punya 25 pegawai dan menjadipengepul dari warga sekitar yang juga turutmenanam dan mengolah garut,” kata penerimapenghargaan Parama Bhoga Nugraha pada tahun1999 atas upaya meningkatkan citra panganIndonesia, memberdayakan masyarakat, sekaligusmemajukan pangan secara nasional itu, sumringah.

Kini, masyarakat Dagangan telah banyak me-manfaatkan garut sebagai produk olahan. Bahkan,produk olahannya semakin meluas ke berbagai dae-rah di antaranya Malang, Nganjuk, Ponorogo, Mage-tan, Jawa Barat, dan Lampung. Terakhir, empinggarut juga dinobatkan sebagai produk unggulankedua tingkat nasional.

Tak Perlu Takut KelaparanUmbi-umbian yang banyak terdapat di sekitar

kita, seperti garut, menurut Kepala Bidang RawanPangan, Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pa-ngan, Badan Ketahanan Pangan, Departemen Per-tanian, Dr Ardi Jayawinata bisa dimanfaatkan seba-gai produk pangan alternatif selain makanankudapan.

“Kita selalu menganggap, karbohidrat ya nasi.Jadinya kalau tidak makan nasi dianggap tidak ma-kan. Padahal, banyak umbi-umbian yang bisa di-manfaatkan sebagai makanan pokok sumber karbo-hidrat,” kata dia saat ditemui KomunikA di kan-tornya.

Ardi menambahkan bahwa tak kurang dari 70lebih jenis umbi-umbian tersebar di seluruhIndonesia. Dan semua umbi-umbian tersebut,

lanjut doktor bidang ketahanan pangan InstitutPertanian Bogor (IPB) ini, sudah dikenal penduduklokal sebagai bahan pangan substitusi.

“Sebenarnya untuk masyarakat desa jarang adaorang kelaparan. Mereka dengan mudahmenemukan umbi-umbian. Tapi kan masalahnya,pandangan masyarakat kita, kalau tidak makanberas (nasi-red), ya berarti rawan pangan. Memangada kasus, baik juga untuk kritik ke dalam,” kataArdi menjelaskan.

Faktor kearifan lokal, disebut Ardi telahmembuat umbi-umbian ini dikenal sebagai pangantradisional. “Kalau soal ketersediaan, kita banyak.Asal mau menggalinya. Nah daya beli ini yangbanyak didorong oleh pemerintah melalui beragamprogram,” kata dia.

Sayang seribu sayang memang, tak banyakyang tahu potensi tanaman yang satu ini. Konon,ia hanya masyhur sebagai tanaman pengganggubagi tanaman singkong. Hingga keberadaannya takbanyak diinginkan, hanya sebatas mamanfaatkandaunnya untuk makanan ternak.

Padahal produk olahan umbi garut sangatbernilai potensial. Ya, mungkin itu pekerjaan rumahuntuk kita semua. Lebih menggali potensi lokalyang banyak tersebar di sekitar kita. Bukan masalahtak ada, tapi hanya belum tahu. Jangan sampaibilur penyesalan menggantikan potensi umbi garutyang sedemikian besar ketika tidak diolah.

([email protected])

>>Umbi Garut (latin: Marantaarundaneceae L). Biasa jugadisebut larut, arerut, angkrik,jelarut, nggarut. Di kalanganmasyarakat Batak Karo dike-nal sebagai sagu banban. Se-mentara orang Nias menye-butnya sakundara. OrangMinangkabau menyebutnyasagu arut.

membuat thiwul atau gogik instan. Bahan sema-cam itu sudah tersedia di supermarket, tapi secarakuantitasnya belum mampu menggeser peran be-ras, selain sekadar menjadi makanan ringan dancamilan.

Menggali yang TerlupakanBanyak bahan pangan yang dulu dimanfaatkan

oleh nenek moyang kita kini mulai dilirik kembali,namun umumnya bukan untuk keperluan diver-sifikasi pangan, melainkan guna meningkatkan nilaiekonomisnya.

Tapioka atau tepung ketela pohon mulai ba-nyak dipakai campuran mie, terutama akibat krisisekonomi tahun 1997 lalu, di mana harga tepungterigu yang masih tergantung impor meroket.

Tepung garut/kirut, atau arrow root, adalahsalah satu sumber protein yang banyak dimanfa-atkan nenek moyang mulai dilupakan, tersihir pe-sona beras. Bahan ini dulu terpuruk di semak-semakdan hutan belukar belaka. Namun belakangan, te-pung garut dimanfaatkan untuk campuran biskuitbayi, cookies balita, oleh sebuah perusahaan ma-kanan bayi terkenal.

Selain itu sejumlah warga mengolah garut men-jadi kripik yang bernilai ekonomis tinggi. Ubi jugamulai diolah dan dimanfaatkan untuk mie, roti, eskrim dan sebagainya guna mendapatkan nilaiekonomis yang tinggi.

Namun dari segala usaha itu, memang tidakmudah mengubah selera makan tiap-tiap orangsehingga diversifikasi pangan sesungguhnya se-buah pekerjaan besar yang di sana terkandungdistribusi kesejahteraan, pemuasan akan selera,faktor psikologis, gaya hidup serta nilai ekono-misnya. Persoalannya sederhana: ketiadaan caraberpikir yang proporsional dalam menyikapi bahanmakanan lain selain beras.

(ji)

Usaha mengurangi ketergantungan terhadapberas sebenarnya telah dilancarkan sejak puluhantahun silam. Pada tahun 1964 Indonesia menga-lami krisis pangan hebat, antara lain disebabkanmasih rendahnya produksi beras pada waktu itu,kemudian deraan musim kering berkepanjanganserta hama tikus yang merajalela di sentra produksipadi di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

Penderita busung lapar pun meningkat dariminggu ke minggu, hingga bantuan panganmengalir guna mencukupi kebutuhan rakyat. Dikala itu masuk dari Amerika Serikat bahan panganyang diberi nama bulgur, berupa biji-bijian warnacoklat yang ditanak guna memenuhi kebutuhankarbohidrat rakyat. Kendati rasanya tidak enak,bahan itu terserap habis.

Presiden Soekarno pada waktu itu mengan-jurkan penggalian kembali bahan pangan tradisionalmasing-masing, serta kemungkinan pemanfaatanbahan sumber karbo hidrat lainnya seperti singkong(ketela pohon), jagung, ubi jalar, uwi, suweg,gembili-gembolo, atau sagu.

Ketergantungan akan beras sebenarnya mulaiterasa pada waktu itu, di mana sejumlah pen-duduk daerah yang memiliki diet khas seperti Ma-dura, Gorontalo, Flores dengan jagungnya, kemu-dian penduduk Pegunungan Kendeng di sisi sela-tan Jawa Tengah, Jawa Timur memiliki makananpokok gaplek (singkong) kering yang diolah men-jadi thiwul serta gogik.

Di sebagian daerah di Sulawesi pada waktuitu mengkonsumsi pisang sebagai makanan pokok.Papua serta Maluku dengan sagunya, dan sebagai-nya. Namun, seiring dengan pulihnya kondisi ke-kurangan pangan serta meningkatnya pendapatanrakyat, diversifikasi pangan kian sulit diwujudkan.Beras lantas menjadi andalan dan menjadi indikatorutama simbol kemakmuran penduduk yang ber-diam di bumi Indonesia.

Beras SintetisPada tahun 1964 itu pula ada usaha membuat

bahan pangan pengganti beras dengan meman-faatkan tepung tapioka, kedelai, jagung, dansebagainya. Hasilnya adalah beras sintetik yang di-sebut beras Tekad, singkatan dari Tela dan Kedelai.Wujudnya adalah bahan mirip beras, yang olehsebagian rakyat dianggap sulit memasaknya karenalengket dan rasanya tawar. Bahan yang dibuat diJawa Timur itu gagal diterima, bukan hanya karenamasalah selera, tapi harga bahan plus ongkos pro-duksinya lebih tinggi daripada beras yang harus di-gantikannya.

Presiden Soeharto pada masa berikutnya ber-usaha memenuhi kebutuhan pangan, terutamaberas dengan meningkatkan produksi antara lainmelalui beragam program pembangunan berbasispertanian diantaranya Bimas dan Inmas. Pada masaitu pula dikenalkan beras jenis PB IV dan PB Vyang memiliki masa produksi yang sangat singkatyaitu tiga bulan, dibandingkan jenis konvensionalyang memakan waktu lima hingga enam bulan.

Produksi massal itu menunjukkan titik terang,kebutuhan pangan dalam negeri terpenuhi. Peme-rintah pun terpacu untuk mengembangkan jenisberas sendiri dan mencari bibit unggul, karena PBIV dan PB V dianggap kurang enak rasanya. Usahapemerintah pada waktu itu sangat berhasil se-hingga untuk pertama kalinya dalam sejarah repu-blik, Indonesia berswasembada beras, sehinggaPresiden Soeharto mendapat penghargaan FAOpada tahun 1985 di Roma.

Akan tetapi, Presiden RI ke 2 ini juga mengan-jurkan diversifikasi pangan. Menjelang mundurnyapada tanggal 21 Mei 1998, Presiden Soehartomengingatkan kembali pentingnya menggali kem-bali bahan pangan tradisional dahulu. Ia menunjukperlunya membuat bahan itu dapat diterima orangdi jaman sekarang, dengan mengambil contoh

Kesempatan Dalam "Pangan Lama"

Page 5: Edisi Khusus Ketahanan Pangan

5

w w w . b i p n e w s r o o m . i n f oemail: [email protected]

e d i s i

k h u s u s

>>

>>

Tanaman ganyong atau ga-nyol (bahasa sunda) atau ar-rowroot (latin) adalah sejenisumbi-umbian yang mengan-dung banyak karbohidrat

Pati ganyong diperoleh darihasil ekstraksi umbi ganyongmelalui proses pencucian, pe-ngupasan, pemarutan, penya-ringan, perendaman, penge-ringan, penggiling, dan ter-akhir pengayakan, supayahalus.

Ardi selalu mengeluhkan semakin mahal dansemakin sulit dijangkaunya harga terigu. Bagi Ardidan beberapa karyawannya terigu merupakan nya-wa usahanya. “Makin sulit mencari keuntungan dariberjualan roti, harga bahan utamanya selalu naik,dan daya beli masyarakat juga turun”, keluh Ardi.Untuk tetap bertahan Ardi mengakali denganmembuat kue buatannya dengan ukuran lebih kecildan tetap dijual dengan harga yang sama, “ter-paksa menyusutkan ukuran hasil produksi”, tambahArdi.

Sebenarnya permasalahan itu tidak hanya dike-luhkan oleh Ardi semata, masih banyak pengusahahome industry kue yang mengeluhkan, bahkanperusahanan besar dan perorangan.

Hampir semua jenis makanan yang kita jumpaiberbahan dasar tepung, dan setiap tahun konsumsitepung terigu terus bertambah. Untuk data tahun2007 saja kebutuhan akan tepung terigu sudahmencapai 4,5 juta ton/tahun. Dan bahan utamapembuatan tepung terigu adalah gandum, sedang-kan kita tidak memproduksi gandum. Bahkan, saatini kita tidak hanya mengimpor gandum tetapi jugasudah mengimpor langsung tepung terigu dari Aus-tralia, Sri Langka, Cina dan India.

Don’t worry to be happy, saat ini tanaman gan-yong siap menggoyang terigu, melepas keter-gantungan terhadap pihak luar. Tanaman ganyongatau ganyol (bahasa sunda) atau arrowroot (latin)adalah sejenis umbi-umbian yang mengandung ba-nyak karbohidrat. Untuk kebiasaan lama, umbi ga-nyong ini dimanfaatkan sebagai makanan cemilandengan cara direbus atau dikukus, konon kan-dungan karbohidratnya dan seratnya tinggi.

Hasil olahan pati ganyong bisa dimanfaatkan

untuk membuat aneka makanan seperti kue ke-ring, roti, kerupuk, mie, makanan bayi, dodol, kueblack forest, brownies dan beberapa jenis makananlain. Selain itu ternyata pati yang diberikan air lebihbanyak tersebut dapat digunakan sebagai pem-buat lem.

Produksi MassalUntuk produksi skala kecil tepung

ganyong bisa diproduksi perorangankarena prosesnya relatif mudah.Pati ganyong diper- o l e hdari hasil ekstraksi umbiganyong melalui pencu-cian, pengupasan, pe-marutan, penyaring-an, perendaman,pengeringan, peng-gilingan dan penga-yakan.

Memang tidak banyak yangmemproduksi tepung gayong sendiri, selain karenabelum banyak dikenal, Badan Bimbingan Masya-rakat dan Ketahanan Pangan Pemerintah Kabu-paten Ciamis lebih mendorong kepada produksimassal yang nantinya dapat menggantikan posisitepung terigu. “Setidaknya mengurangi impor te-rigu dan gandum”, jelas Maman Sukmana, KasubidPengembangan Konsumsi, Badan Bimas dan Keta-hanan Pangan Ciamis.

Dalam masa percobaan yang dinilai sukses olehMaman, saat ini pabrik pengembangan tepung ga-nyong yang berada di Desa Sindanglaya, Keca-matan Panjalu, Ciamis, Jawa Barat telah mampumensuplai sebuah perusahaan makanan olahansebanyak 4 ton per bulan. Oleh pihak perusahanitu tepung ganyong ini digunakan untuk produkmakanan bayi.

“Sejauh ini tidak ada yang bisa mengeluh de-

ngan rasa, mereka tidak bisa merasakan bahan bakuterigu atau ganyong”, jelas Maman. Ini menanda-kan ganyong sudah menyamai rasa hasil olahanterigu.

Target pemerintah memang lebih luas, yaitunasional, sehingga tidak hanya memberdayakanmasyarakat setempat untuk memproduksi sendiritetapi memberdayakan lahan kosong mereka un-tuk ditanami tanaman ganyong dan akan dipro-duksi masal untuk memenuhi kebutuhan nasional.Bahkan mereka bercita-cita tepung ganyong dapatdiekspor.

Untuk saat ini tepung ganyong diprioritaskanuntuk bahan baku makanan, tapi kelak dan se-dang berjalan berbagai penelitian pemanfaatantanaman ganyong untuk industri farmasi.

Bergaul Dengan GanyongBeda cerita dengan Wiwin, staf Badan Bimas

dan Ketahanan Pangan Ciamis. Wanita cantik inimemegang amanah untuk mengetahui produk ma-kanan apa saja yang bahan bakunya dapat digan-tikan dengan ganyong. “Itu tugas mudah dan me-nyenangkan”, ungkapnya.

Memang, Wiwin hanya perlu mendatangi pem-buat kue. "Saya biasa membawa beberapa kan-tong tepung ganyong esoknya tinggal menunggulaporan," jelasnya. Tapi ternyata tidak hanya lapor-an saja dikirim, kuenya pun juga ikut bisa dinikmati.

Cara lain yang di gunakan Wiwin adalah denganmengadakan lomba masak dengan bahan baku te-pung ganyong. “Kita sediakan bahannya terserahpeserta akan mengelolanya menjadi apa”, jelas Wi-win. Ternyata ibu-ibu sangat antusias, hasilnya ber-bagai macam kue dan hasilnyapun lumayan enak.

Sudah ada beberapa home industry kue di Ci-amis yang mulai menggunakan tepung ganyongsebagai bahan bakunya, dan harganya memangjauh dibawah tepung terigu yang berbahan bakugandum hasil impor. Dan memang terasa, goyangantepung ganyong perlahan bisa menyaingi tepungberbahan baku impor.

([email protected])

Jurus Ampuh Waluh dan TeloMembuka usaha makanan saat ini memang ha-

rus bersaing ketat. Apalagi bisa dikatakan pasarsudah jenuh dengan aneka jajanan instan. Tentupilihan membuat makanan yang khas akan terken-dala dengan ketersediaan bahan baku. Adalah DidikSupriyadi, SE, pemilik gerai penganan Bakpao Wa-luh di Malang, Jawa Timur telah menyiasati dengancerdas.

Pilihan Didik memang tepat. Hasil rintisan tigatahun lalu atas waluh atau labu yang cukup banyakterdapat di sekitar tempat tinggalnya akhirnyamembuahkan hasil. Waluh dijadikannya aneka ja-janan mulai dari cake waluh, bakpao waluh, icecream waluh, dan keripik waluh, bahkan juice dariwaluh.

Tampilan penganan ditata rapi di gerai yangberada di Jalan Raya Randu Agung, Singosari, Ma-lang, Jawa Timur memang sangat menggugah citarasa. Wajah bakpao lebih “ayu” dengan warna agakkekuningan.

Ada beberapa jenis jajanan yang dibuat Didikdari bahan waluh, tapi bakpao waluh merupakanproduk kue yang ditonjolkannya. Bahkan bakpaowaluh yang dipopulerkan hampir setahun sedangdiupayakan hak patennya. Ini dilakukan seiring per-mintaan pasar yang terus berkembang, selain upa-yanya yang ingin menjadi pengusaha profesional.

Genjot Harga PetaniAwalnya Didik membuat keripik ketela (ubi ja-

lar). Usaha ubi tampaknya kurang berkembang,Didik lalu beralih membuat keripik waluh. Ternyatapenjualan keripik waluh cepat berkembang. Dalamseminggu bisa menghabiskan waluh rata-rata 2kwintal. Kini dengan aneka jajanan waluh, Didikdibantu isterinya, Hana menghabiskan waluh mini-mal 1 ton sebulan.

Bantuan isterinya, membuat usaha Didik bisa

berkembang. Mungkin lantaran latar belakang pen-didikan ekonomi yang ditempuh Hana.

Meski waluh termasuk tanaman semusim tapibisa disimpan sampai 6 bulan. Oleh karena itu, saatpetani waluh di Singosari panen, Didik membeliwaluh sebanyak-banyaknya sampai diperkirakan bisahabis ketika panen waluh berikutnya tiba lagi.

Dengan kian majunya usaha jajanan waluh, har-ga waluh dari petani jadi terdongkrak. Padahal du-lunya per kwintal waluh hanya Rp20.000, sekarangDidik membelinya dari petani Rp75 ribu per kwintal.“Dengan berkembangnya usaha ini, pendapatanpetani waluh ikut naik, “ imbuh Hana ikut bangga.

Paduan Bisnis dan RisetJauh hari sebelumnya terobosan juga dikem-

bangkan Ir. Unggul Abinowo, MS, MBA. AktivisKontak Tani Andalan Nasional dari Kabupaten Pa-suruan, Jawa Timur itu merasa peduli dan prihatinterhadap kondisi pangan yang tergantung dari luarnegeri.

Tanpa banyak bicara ia berhasil melakukan tero-bosan baru dengan membuat Bakpao Telo. Bakpaoyang semula bahan bakunya dari terigu dan meru-pakan jajanan orang Tionghoa, kini diproduksi de-ngan bahan baku terigu dicampurketela atau ubi jalar, dan semuakalangan masyarakat menyenangi.

“Pembuatan Bakpao telo diker-jakan bersama LIPI dengan menggu-nakan bahan baku ketelo 60% danterigu 40%”, kata Unggul Abinowodi Caf’e Sentra Pemasaran AgribisnisTerpadu (SPAD) yang terletak sebe-lah kanan jalan raya perbatasan Kabu-paten Pasuruan dan Kabupaten Ma-lang.

SPAD dibangunnya pula untuk

mengatasi kesulitan pemasaran hasil-hasil pertanianbeserta olahannya, sehingga memperoleh nilaitambah bagi petani di pedesaan yang hidupnyacukup memprihatinkan.

Menurut Unggul, harga ubi jalar di pasar Rp450per kilogram, sedangkan terigu Rp2.000 per kilo-gram. Dengan adanya subtitusi bahan baku teriguuntuk mengolah bakpao tidak kalah bahkan lebihkenyal, sehingga banyak pengunjung yang datangke Kompleks SPAD ikut membeli berbagai produktersebut.

Dari bahan baku ubi jalar tersebut di sampingbakpao juga dibuat berbagai jenis pengolahan diantaranya mie telo, jahe telo, kripik telo dan lain-lain. “Kami pernah memperoleh pesanan 10.000ton tepung telo untuk diekspor ke Korsel”, ujarUnggul dengan bangga.

SPAD yang dikelolanya pun juga membinapetani magang dan Usaha Kecil Menengah. Disamping dapat menghemat devisa, usaha agribisnisini dapat menampung tenaga kerja 150 orang baikyang bekerja di lahan usaha tani (on farm) maupunpemasaran dan pengolahan.

([email protected])

Waluh dijadikan aneka ja-janan mulai dari cake waluh,bakpao waluh, ice creamwaluh, dan untuk minumanpun dibuatlah juice waluh,juga keripik waluh.

>>

Ampuh

Page 6: Edisi Khusus Ketahanan Pangan

Kalau disuruh memilih, seluruh warga desa Muntuk, KecamatanDlingo, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, pasti akan mantap men-

jawab, tidak mau menjadikan desanya sebagai Desa Mandiri Pangan(Desa Mapan). Betapa tidak, kriteria utama penerima bantuan dariBadan Ketahanan Pangan (BKP) sebesar Rp80 juta adalah sekitar30% penduduknya berada di bawah garis kemiskinan. Siapa maudicap sebagai kawasan miskin, begitu pikir warga Dlingo.

Meski realitasnya ada warga yang tak bisa mengumpulkan Rp150ribu per bulannya. Sehingga tak bisa memenuhi kebutuhan pangankeluarga. Wajar, siapa juga yang mau jadi warga miskin.

Saat ini, menurut data BPS 2006, tercatat 825 desa yang berka-tegori layak “menyandang predikat” sebagai Desa Mapan. Bahkandi Desa Muntuk yang berpenghuni sekitar 2 ribu kepala keluarga(KK) masih terdapat 1.628 KK atau 80% yang tergolong keluargamiskin. Wilayahnya pun juga kekurangan air sehingga mempersulittumbuhnya berbagai jenis tanaman pangan. Ditambah dengan gem-pa bumi yang menghancurkan hampir seluruh bangunan, desa iniberkategori wajib untuk diprioritaskan menerima bantuan Desa Ma-pan 2006.

“Kalau di KTP (kartu tanda penduduk-red) memang kerjanyapetani. Tapi musiman, kalau ada hujan saja. Air di sini sulit, tanahnyapun tak produktif. Sulit nanamnya. Penduduk banyak yang beralihke kerajinan,” jelas Kelik Subagyo (34) Lurah Desa Muntuk ketikaditemui KomunikA.

Dikelola WargaJumlah bantuan BKP ini memang jauh dari angka cukup untuk

mampu mengangkat 1628 KK dari kemiskinan. Sulit membantu ke-tertinggalan sebuah desa dari ketidakmampuan memenuhi kebutuh-

an pangan. Tapi warga desa Muntuk bukan warga yang mudah putusasa. Empat tahun waktu yang diberikan pemerintah untuk mengeloladana tersebut secara mandiri dengan dibantu oleh seorang pendampingprogram dipandang cukup untuk menuntaskan masalah pangan.

“Kita buat survei kecil-kecilan untuk semua warga. Saya sampai malunanyanya, ngorek rumah tangga orang. Bapak beli baju berapa kali se-tahun, uang belanjanya berapa, lauknya apa. Tapi ya harus gitu. Akhirnyadapat 40 kk yang akan mendapat prioritas. Warga pun sepakat, karenakasat mata saja mereka miskin,” ungkap Joko Widodo, petugas pendam-ping dari BKP untuk membantu pelaksanaan Desa Mapan di Desa Muntuk.

Setelahnya, dibentuklah lima buah Kelompok Mandiri Pangan (KMP)yang bergerak di bidang yang berbeda, kerajinan; perikanan; pengolahan;perdagangan; dan peternakan. Jenis usahanya disesuaikan dengan kea-daan alam dan potensi desa. Untuk pengelolaannya dibentuk lembagakeuangan desa KMP yang akan mengatur bantuan dana tersebut yangberupa pinjaman bergulir dengan bunga lunak sebesar 0,5% pada tahunpertama dan 1% pada tahun berikutnya.

Menurut Widodo, pada awalnya warga mengajukkan angka nominalyang cukup tinggi dalam pengajuan proposal bisnis mereka. Namun,berdasarkan kesepakatan dan survey kelayakan bisnis, angka kredityang digelontorkan rata-rata Rp.700 ribu – Rp.5 juta.

Dan tentu saja, bantuan yang diberikan tak hanya sebatas modalsaja. Pun juga dengan pembinaan, pelatihan, dan penyuluhan dari instan-si terkait. Simak saja pengakuan Emi (34), yang mendapat bantuankredit Rp3 juta. Dalam dua tahun, berawal dari sebuah kolam lele seluas36 m2, kini ia memiliki 11 kolam dengan luas keseluruhan 3540 m2. “So-al pangan, ada penyuluhan dari dinas terkait. Pun kadang ada bantuanbibit. Ada lagi soal sulitnya air. Sekarang alhamdulillah terselesaikan,” ka-ta pengurus KMP perikanan Desa Muntuk ini menjelaskan.

Ada juga Jariyah (28), yang juga mendapat pinjaman Rp3 juta padatahun kedua penyelenggaraan Desa Mapan. Saat ini, ia telah memilikiseribu ekor burung puyuh dari sebelumnya hanya 500 ekor yang didapat-nya dari dana pinjaman tahun sebelumnya.

PBB menyatakan bahwa perdamaian dunia terancam aki-bat kenaikan harga-harga bahan makanan yang terjadi dibanyak negara. Menurut perhitungan PBB, sampai di awaltahun ini, secara global kenaikan harga makanan mencapai35 persen. Dampak kenaikan ini sangat dirasakan oleh ma-syarakat di negara-negara berkembang, ketika sekitar 60persen pendapatan mereka habis untuk membeli kebutuhanmakanan, sedangkan di negara-negara maju, hanya 10-20persen saja.

"Secara alamiah, orang tidak akan berdiam diri untuk matikelaparan. Mereka akan bereaksi," kata Jacques Diouf, Direk-tur Jenderal Organisasi Pertanian dan Pangan Dunia (FAO).Untuk itu ia mengingatkan agar segera dicari jalan keluardan dilakukan langkah-langkah cepat untuk mengatasi kenaik-an harga-harga kebutuhan masyarakat.

Lebih lanjut Diouf mengungkapkan, ada beberapa faktoryang menyebabkan meroketnya harga makanan. Misalnya,harga benih jagung yang naik 36 persen dan harga benihgandum yang naik 72 persen. Sementara harga pupuk jugamelonjak sampai 59 persen dan harga pakan naik 62 persen.

Disamping itu, banyak analis yang menyatakan bahwafaktor kenaikan harga minyak dunia, sangat berpengaruhsignifikan terhadap gejolak naiknya harga pangan dan ber-ujung pada krisis pangan dunia.

Siap Hadapi AncamanIndonesia pun tak luput dari prediksi FAO sebagai negara

yang rawan krisis pangan. Dalam pandangan Didin S. Daman-huri, ekonom asal Institut Pertanian Bogor, kerawanan ituadalah bukti nyata belum mandiri dan tidak berdaulatnyapangan nasional. "Ini disebabkan oleh berbagai faktor. Baikwarisan produk kebijakan masa lalu dan dampak perkem-bangan kontemporer," ungkap Didin dalam Dialog Publik diDepartemen Komunikasi dan Informastika, pertengahan Aprillalu.

Akan tetapi, Kepala Badan Ketahanan Pangan Departe-men Pertanian (BKP Deptan), Dr. Ir. Kaman Nainggolan, MS,menjamin bahwa Indonesia bebas dari krisis pangan. DalamDialog Publik tentang Ketahanan Pangan itu pula terungkapbahwa sebenarnya Indonesia adalah negara yang memilikisurplus ketersediaan beras. "Kini BKP Deptan sudah meng-gerakkan para petani daerah untuk melakukan diversifikasipangan dengan mulai memperkuat konsumsi pangan lokal,seperti nasi jagung, tepung ganyong, bakpao ubi, sagu dan

sebagainya," tegas Kaman.Penasehat HKTI, Ir. Siswono Yudhohusodo bahkan

menggelorakan semangat bahwa Indonesia sudah seharus-nya bisa mendapat manfaat dari hasil-hasil pertanian sertaproduk budidaya lainnya. "Lahan yang subur dan alam yangberlimpah menjamin semuanya,hanya sayangnya rakyat Indo-nesia tidak mengolahnya dengan baik," ungkap Siswono.

Kemiskinan dan Akses PanganTak berlebihan kiranya jika pemerintah senantiasa ber-

upaya mengembangkan program diversifikasi pangan danhasil pertanian berbasis pada masyarakat. Sebut saja ProgramDesa Mandiri Pangan yang berintikan pemberdayaan potensipangan lokal. Lantas, jika masalah ketersediaan bukan menjadimasalah, lantas mengapa Indonesia diisukan ikut terseretkrisis pangan dunia sebagaimana dilansir FAO?

Kaman Nainggolan menengarai hal itu karena adanya indi-kator yang berbeda dari melihat masalah ketahanan pangandi Indonesia, "FAO menggunakan basis individu sementarapemerintah berbasis keluarga. Akan tetapi indikator ini me-mang tak masalah berbeda. Masalahnya justru pada masihadanya warga miskin dan akses terhadap pangan," jelas Ka-man.

Realitasnya, meski ada satu-dua kasus rawan pangan yangdiekspose media massa, sebenarnya hal itu bukan berartimereka tak bisa makan. Bukan lantaran krisis atau tidak terse-dianya pangan, melainkan karena kemiskinan sehingga tidakmampu memilih dan memilah makanan yang bergizi cukup."Jika dirunut, terdapat 14 variabel yang mempengaruhi keta-hanan pangan diantaranya: produksi lokal, pangan domestik,buta huruf, pendapatan, kesehatan ibu, pengetahuan pe-rempuan, dan itu semua saling berkaitan," jelas Kaman.

Melalui kampanye dan pendampingan di Desa Mandiri Pa-ngan itulah, pihaknya menurut Kaman akan memberdayakanmasyarakat agar terbebas dari rawan pangan dan tidak miskinlagi.

Dana Bergulir MandiriDana yang diberikan kepada Desa Mandiri Pangan sebesar

80 juta, berupa dana bergulir. "Tahun pertama, adalah tahunpersiapan. Mereka tak diberi dana tapi didorong untuk me-ngembangkan diversifikasi pangan berdasar potensi lokal,"tegas Kaman.

Tahun berikutnya, tahun kedua, adalah pertumbuhan.Disini mulai dilihat adakah perubahan dalam desa itu. "Barudi tahun ketiga kami memberikan bantuan bergulir yangdikelola kelompok. Tahun keempat stop, bapak tidak adabantuan jadi harus bisa sendiri," jelas Kaman panjang lebar.

Hasilnya cukup menggembirakan, di Kecamatan Bubulan,Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur misalnya, ada yang men-

dirikan warung dengan membayar bunga 1,5 % per bulan dari pinjamanbergulir. "Nah, ketika mereka berdaya secara ekonomi, perlahan masalahpangan juga akan mengikuti. Itu harapan kami," imbuh Kaman Naing-golan.

Hal senada juga dijelaskan Ir. Gayatri, Kepala Badan Bimbingan MassalKetahanan Pangan (BBMKP), Provinsi Jawa Tengah. Menurutnya, pro-gram mandiri pangan di daerahnya sudah ditindaklanjuti oleh Gubernuruntuk dilaksanakan di tingkat kabupaten. "Gubernur mendorong agarkabupaten juga menambahi dana dari APBD agar pelaksanaan programini terlaksana dengan merata. Kita pun juga perlu pemerintah kabupatenterus mendukung program ini," tutur Gayatri.

Diversifikasi Yang Mandul?Program diversifikasi pangan, lewat Desa Mandiri Pangan atau sema-

camnya memang harus senantiasa menjadi prioritas pemerintah,terutama di daerah, apalagi Indonesia sangat kaya dengan tradisi diversi-fikasi pangan. Di Maluku dan Papua sudah lama terdengar mempunyaitradisi makanan pokok sagu dan ubi. Namun, sayangnya saat ini hanya30% penduduk Maluku dan Papua saja yang masih mengonsumsi sagudan ubi, sebagian besar malah sudah mengonsumsi beras. "Hal itu bisaterjadi lantaran anggapan umum yang semakin dipopulerkan media mas-sa, bahwa kalau orang Indonesia tidak makan nasi, belum dinamakanmakan, perutnya belum puas!” cetus Kaman Nainggolan (lihat jugaWawancara halaman 8, red.).

Orang Maluku dan orang Mentawai dulu makan sagu sebagai makan-an pokok. Semuanya memang sudah berubah kini. Masyarakat mengang-gap nasi lebih berbudaya dibanding ubi, sagu, maupun jagung.Akibatnya, bangsa Indonesia yang sudah tidak mampu lagi swa-sembada beras, terpaksa harus mengimpor beras dalam jumlahbesar.

"Bicara ketahanan pangan, perlu disadari bahwa kita terlaluberat konsentrasi pada beras. Akibatnya produk pangan lain takdiperhatikan. Di Magelang saya juga melihat ada seisi satu desamakan tiwul, toh sehat-sehat tak bisa dikatakan mereka tertinggal.Saya kira kita perlu kembangkan diversifikasi pangan," tegas Sis-wono berulang kali dalam setiap kesempatan.

Lebih lanjut Siswono menegaskan bahwa jika tidak bisamengurai ketergantungan terhadap beras bisa jadi identitas sebagaiimportir beras akan tetap melekat sampai kapan pun. Dan tengaraFAO pun akan menemukan muara pembenarannya.

Komitmen KebijakanUndang-undang No 7 Tahun 1996 tentang Pangan menyebut-

kan, ketahanan pangan adalah tersedianya pangan yang cukup,bermutu, beragam, bergizi, dan terjangkau daya beli masyarakat.

Penganekaragaman pangan merupakan suatu hal yang harusditingkatkan sejalan dengan teknologi pengolahan, yang bertu-juan menciptakan kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsianeka ragam pangan dengan prinsip gizi seimbang.

Dalam mewujudkan ketahanan pangan, masyarakat bisa ber-

Page 7: Edisi Khusus Ketahanan Pangan

Orang bilang tanah kita tanah surga,batang kayu dan batu jadi tanaman.

Kini Indonesia tidak lagi seindah yang digambarkan dalam lagu yangpopuler di tahun 70-an itu. Resesi Amerika Serikat dinilai banyak pihak bu-kan tidak mungkin akan menciptakan resesi global dan pada akhirnya meng-hancurkan stabilitas pangan. Lalu apa yang harus dan sudah dilakukanoleh pemerintah?

Beberapa waktu silam, 27 Januari 2008, mantan presiden RI ke-2 HM.Soeharto mangkat. Banyak kisah dan wacana yang bermunculan mengiringikepergian the smiling general. Menariknya ada yang mengungkit peran"Bapak Pembangunan" itu di bidang pertanian. Dalam liputan di berbagaimedia elektonik ada yang mengungkapkan bagaimana pembangunan ber-bagai waduk, irigasi, dan pabrik pupuk untuk mencapai swasembada beras.Hingga puncaknya pada tahun 1984 Indonesia pun dapat mewujudkanswasembada beras dan mendapat pengakuan lembaga pangan dunia,FAO pada tanggal 14 November 1985.

Perbincangan perihal ketahanan pangan seringkali dikaitkan kembalidengan kisah sukses swasembada beras di tahun 80-an itu. Padahal, situasidan kondisi nasional, regional, bahkan dunia internasional telah jauh berbeda.Apakah pemerintah tak melakukan sesuatu?

Antisipasi KrisisKetika tanda-tanda kenaikan minyak dunia dan dampaknya terhadap

harga pangan mulai terlihat, pemerintah sudah mempersiapkan paket kebi-jakan stabilitas pangan. Sejak awal, instabilitas harga pangan bisa diprediksisebagai dampak resesi Amerika Serikat.

Dalam dari Sidang Kabinet Terbatas di Departemen Pertanian perte-ngahan Januari lalu, Presiden Yudhoyono menekankan kembali pentingnyastabilitas harga bahan pangan dan kesejahteraan petani. Presiden mengata-kan pemerintah akan selalu memprioritaskan ketahanan pangan pada tahun2008.“Langkah-langkah yang dilakukan tahun lalu yang berhasil untuk me-nambah produksi beras sejumlah 2 juta ton, akan terus dilanjutkan sehinggaterdapat stok beras dan menambah produksi beras di seluruh Indonesiauntuk memenuhi seluruh kebutuhan warga negara Indonesia,” jelas Presi-den Yudhoyono.

Di dalam sidang tersebut juga dibahas pengembangkan infrastrukturbidang pertanian. Presiden berharap Departemen Pertanian, DepartemenPekerjaan Umum dan pemerintah daerah dapat melakukan sinkronisasipembangunan irigasi, waduk, serta lumbung untuk meningkatkan keta-hanan pangan.

Selain itu, Presiden juga menggarisbawahi pentingnya penyaluran kreditbagi usaha pertanian. “Kita harus memberikan bantuan subsidi pupuk danbenih kepada para petani sehingga mereka bisa meningkatkan hasil produk-si. Juga bantuan langsung apabila ada kegagalan panen,” jelas Presiden.

Untuk lebih menjamin terlaksananya paket kebijakan stabilitas panganyang dicanangkan, Presiden juga menjaring masukan dari dunia usaha.Dalam dialog yang digelar di Istana Presiden akhir Januari, Presiden mene-kankan perlunya sinergi antara paket kebijakan pemerintah tentang pangandengan pengusaha.

Pada kesempatan lain, Menko Perekonomian Boediono juga senantiasamenyebut beberapa paket kebijakan pengamanan bahan pangan. “Be-berapa kemungkinan menghilangkan beban-beban perpajakan, bea masuk,tata niaga yang menghambat. Ini semua akan kita hilangkan,” ujar Menko

Perekonomian Boediono.

Stabilisasi Harga PanganDari kawasan Lapangan Banteng, setiap seminggu se-

kali para pemegang kebijakan yang berkaitan dengan pa-ngan berkumpul. Mereka membahas berbagai kebijakanuntuk mendukung upaya stabilisasi harga pangan.

Secara makro, pemerintah pun menyiapkan stimulusfiskal senilai Rp13,7 triliun. Stimulus itu berasal dari pe-

nambahan belanja, karena tambahan subsidi pangan Rp 3,6 triliundan berkurangnya penerimaan negara akibat kebijakan membebaskanbea masuk dan pajak yang ditanggung pemerintah Rp10,1 triliun.

Sementara itu kebijakan subsidi juga tetap diambil. Subsidi panganyang terdiri dari subsidi beras bagi rakyat miskin Rp2,6 triliun, operasipasar minyak goreng Rp0,5 triliun dan bantuan langsung bagi perajintempe dan tahu Rp0,5 triliun.

Departemen Keuangan pun mengeluarkan sejumlah PeraturanMenteri Keuangan (PMK), antara lain penurunan besaran pajak peng-hasilan (PPh) impor kedelai, gandum dan tepung terigu, dari 2,5%menjadi 0,5%. Selain itu juga penetapan jenis barang ekspor tertentudan besaran tarif pungutan ekspor untuk produk kelapa sawit, CPO,dan turunannya, yaitu dari 10% menjadi 15%. Ini berlaku bila hargadi pasar dunia di atas US$ 1.100 per ton.

Pada bulan Februari, pemerintah juga telah mengeluarkankebijakan untuk memotong subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) hinggaRp25 triliun. Rincian pemotongan subsidi terdiri dari subsidi khusustiga jenis produksi BBM seperti premium, minyak tanah dan minyaksolar Rp10 triliun.

Juga termasuk penghematan subsidi BBM di PT Perusahaan ListrikNegara (PLN) sebesar Rp10 triliun. Sedangkan untuk menambah ang-garan stabilisasi harga kebutuhan pokok, akan ada potensi tambahandari pendapatan pertambangan umum serta minyak dan gas sebesarRp5 triliun.

Tak Sekadar JanjiLangkah antisipatif berupa paket kebijakan untuk menciptakan

stabilisasi pangan yang diumumkan oleh pemerintah mendapatkantanggapan beragam. Banyak yang menilainya sebagai langkah yangmenjanjikan, tapi banyak juga yang menilai hanya sebagai kebijakanyang bersifat menghibur saja?

Menurut Kepala Pusat Studi Asia Pasifik Universitas Gadjah Mada(UGM) Yogyakarta, Sri Adiningsih, pemerintah harus berkaca dari pe-ngalaman sebelumnya, ketika berbagai paket kebijakan yang dilun-curkan selalu mandek dalam pelaksanaannya. “Pengalaman selama initelah banyak mengajari kita, paket kebijakan sudah banyak yang dilun-curkan tapi dampaknya belum kelihatan,” ujar Sri Adiningsih.

Berbagai langkah tersebut dinilai Sri Adiningsih cukup menjanjikankarena dapat meminimalisir beban masyarakat. Namun, keseriusanpemerintah dipertanyakan mengingat selama ini paket tersebut hanyadibuat sebatas wacana.“Stabilitas harga pangan harus disikapi secarahati-hati, karena dapat menguntungkan kelompok-kelompok tertentu.Belum lagi masalah kebocoran yang biasanya juga terjadi jika adaberbagai subsidi, termasuk menentukan siapa penerimanya, bisa salahsasaran,” kata Adiningsih.

Ia pun memberi contoh paket kebijakan revitalisasi pertanian yangmasih tidak jelas sasarannya. Padahal, jika paket yang diluncurkan pe-merintah itu berhasil, ketahanan pangan nasional akan lebih kuat, se-hingga masalah stabilisasi pangan dapat dihindari. Pada akhirnya, menu-rut Sri Adiningsih, pemerintah juga harus memberikan jaminan pasardalam bentuk kepastian harga dan pem-belian produk, kebijakan yangkompetitif dan yang paling penting konsistensi dalam implementasipaket kebijakan.

(Gilang Permadi dari berbagai sumber)

Bukan Tanpa MasalahProgram Desa Mapan memang baru ber-

jalan kurang dari 2 tahun di desa Muntuk.Bukannya tanpa kegagalan, masih ada sajamasalah pemasaran produk, bibit, teknologipengemasan. “Saat ini, kendala utama yangmuncul adalah sulitnya pemasaran hasil pro-duksi. Pasarnya belum terbuka luas. Belumlagi bahan baku yang mahal diitambah teng-kulak yang berkeliaran. Butuh bantuan ba-nyak pihak,” ungkap Ketua Lembaga Keuang-an KMP Desa Muntuk, Lilik Wigiono (30).

Memang pekerjaan rumah yang harus di-selesaikan bersama cukup berat. Tak cukuphanya satu program dan satu instansi sajayang harus mengentaskan kemiskinan di De-sa Muntuk ataupun desa-desa lainnya di se-luruh Indonesia.

Kini, 60 orang kepala keluarga di desaMuntuk sudah bergabung dalam pinjamanlunak Program Desa Mapan. Ada pula programpengentasan kemiskinan serupa dari instansipemerintahan lainnya. Tak kurang dari enamprogram bergerak di Desa Muntuk. MulaiCommunity Development Mengentaskan Ke-miskinan (CDMK) Pemkab Bantul; PUAD De-partemen Pertanian; AKSK dari Dinas SosialKabupaten Bantul; PEKM dari BKKBN; PNPMdari Depdagri; dan program dari Dinas Perin-dustrian, Perdagangan, dan Koperasi. Semuabekerja bahu membahu mengembangkaninisiatif warga masyarakat lokal.

([email protected])

peran dalam arti luas, misalnya melaksanakan produksi, perdagangandan distribusi pangan, menyelenggarakan cadangan pangan serta me-lakukan pencegahan dan penanggulangan masalah pangan. Ketahananpangan diwujudkan pula melalui pengembangan sumber daya manusiadan kerjasama internasional.

Bagi 60 persen penduduk Indonesia di perdesaan, kebutuhan pa-ngannya berbasis sumber daya lokal. Kearifan lokal ini berperan sebagaimitigasi kerawanan pangan (food insecurity). Beberapa daerah di JawaTengah misalnya, ada yang mempunyai tradisi makanan lokal dari jagung.Mereka mempertahankan identitas makanan lokal jagung," kita men-dorong untuk mempertahankan tradisi makan jagung, karena sangatsesuai dengan program diversifikasi pangan yang sedang digalakkan Ba-dan Ketahanan Pangan," imbuh Ir. Poedji Widodo, MS dari Badan Bim-bingan Massal Ketahanan Pangan Jawa Tengah.

Persoalan kebijakan dan political will memang sangat krusial. "Ketikatidak ada kebijakan pangan yang tepat maka kita tergiring menjadi pe-makan roti yang bahannya gandum. Bahan yang tak bisa diproduksi didalam negeri sendiri," terang Siswono Yudhohusodo.

Kisah dari Magelang menunjukkan bagaimana keterpaduan kebijakandan kebutuhan masyarakat. Menurut Poedji Widodo, setelah Magelangmendapat dana stimulan dari APBN 80juta rupiah, ditambah kucuran danaAPBD 100 juta rupiah, masyarakat punsudah bisa berubah. Akan tetapi, mene-

rapkan kebijakan di lapangan memang tak mudah. "Kitasenantiasa berhadapan dengan perilaku masyarakat yangmenganggap bahwa produk pangan tertentu sangat tidaklayak dan hanya menjadi milik orang miskin saja," kata KepalaBagian Humas Setda Kabupaten Malang, Drs. KukuhBanendro.

Akhirnya apa yang terjadi, ketika pemerintah berupayamenggalakkan pangan alternatif yang terjadi adalah resistensidari masyarakat. Bahkan ada yang sekadar membuatnyasebagai oleh-oleh saja, bukan menjadi pengganti beras.

Sekali lagi, setiap daerah di Indonesia memiliki makananpokok lokal yang kandungan karbohidratnya tak kalah denganberas. Akan tetapi beras masih tetap jadi primadona. Jagung,sagu, singkong, ubi jalar, dan kentang mempunyai kandungangizi yang tinggi.

Tak hanya itu, talas dan pisang pun tak kalah lezatnyabila pandai mengolahnya. Apalagi jika ditambah makanan pe-nyerta dan pelengkap yang pas, hidangan tersebut tak kalahenak atau mungkin juga mengalahkan popularitas nasi.

"Kita bisa memulainya dari keluarga kita dulu, makan sing-kong dan lain, kita malah berdosa kalau tak manfaatkan

produktivitas kita di rumah, cake itu buat bahan singkong,saya kasih tahu akhirnya biasa," cerita Kaman Nainggolan.

Memang semuanya bermula dari kebiasaan. Akan tetapimengubah kebiasaan itu bukan hal yang mudah. Sekalipununtuk memperoleh pangan alternatif kita hanya cukup meng-gapainya tak perlu repot-repot mengimpor dari berbagai ne-gara lain di belahan dunia.

Dan orang yang hidup di Indonesia memang tidak perlutakut untuk tidak dapat makan. Potensi di sekitar kita sangatbanyak. Tinggal memanfaatkan saja potensi lokal yang ada.Ibarat cukup menggapai saja sudah bisa mendapatkannya,tak perlu bersusah payah mengeluarkan sumber daya yangtidak seimbang untuk mendapatkan gizi yang cukup buattubuh.

Dan akhirnya, dalam kertahan pangan, pemerintah bukanaktor tunggal. Apalagi Peran masyarakat juga besar untukmenjadi konsumen yang cerdas dengan tidak sekadartergantung dengan satu jenis produk saja. Tak jauh-jauh,itu semua ada di sekitar kita.

viddy a. daery/mth

Page 8: Edisi Khusus Ketahanan Pangan

8

w w w . b i p n e w s r o o m . i n f oemail: [email protected]

e d i s i

k h u s u s

Kepala Badan Ketahanan Pangan

Dr. Ir. Kaman Nainggolan, MS

Kasus gizi buruk ramai di liputan media se-olah menggugah memori kolektif bangsa ini. Bagaimana tidak, Indonesia pernah

dikenal pernah berswasembada beras pada akhir90-an. Apakah sudah separah itu tingkat keta-hanan pangan bangsa ini? Apa penyebabnya danbagaimana langkah pemerintah mengatasi hal itu?

Kepala Badan Ketahanan Pangan (BKP), De-partemen Pertanian (Deptan), Dr. Ir. KamanNainggolan, MS mengurainya panjang lebar dalamwawancara dengan KomunikA di kantornya, ka-wasan Ragunan beberapa waktu lalu. Berikut pe-tikan wawancaranya :

Indonesia rawan pangan. Menurut Anda?Pertama kita pahamkan dulu ke masyarakat

tentang arti ketahanan pangan. Tak hanya seba-tas ketersedian pangan saja. Menurut FAO, adatiga dimensi. Pertama adalah ketersediaan pa-ngan, bisa diproduksi dalam negeri ataupun keku-rangannya diimpor dari luar negeri. Tapi karenaIndonesia menganut asas kemandirian pangan,kita dorong sebanyak-banyaknya dipenuhi daridalam negeri. Kecuali jika kita tidak bisa produksi.Kan, tidak ada negara yang bisa memenuhisemuanya sendirian. Kita bukan jagoan. Amerikasaja masih mengimpor daging sapi dan gula.Pastinya semua negara akan take and give.

Kedua adalah masalah distribusi. Untuk me-nyebarkan pangan secara merata. Nah, di In-donesia itu unik juga, ada lebih dari 17.000 pulau.Kalau distribusi tidak baik, ya susah juga. Misalpanen di Jawa, tapi di daerah Timur sulit, tapikarena alur distribusi kurang bagus, ya susah juga.Ada masalah pengangkutan, kondisi jalan, dansebagainya. Kompleks.

Ketiga adalah aksesibilitas atau konsumsi.Akses itu ada akses fisik dan yang terutama adalahdaya beli. Kita gak bisa bilang menyediakan pa-ngan yang murah. Itu salah. Yang menyediakanpangan itu kan petani, mereka juga rakyat miskin.Bahkan lebih miskin dari pengrajin tempe. Nahpetani kita ada 21 juta keluarga. Kalau dihitungdengan istri dan tiga anak, berarti ada lebih dari100 juta kalangan petani dan mereka itu jugarakyat miskin. Hanya saja mereka itu silent majori-ty, diam saja.

Apa yang mau saya katakan adalah kita harusmenimbang-nimbang. Nah kalau kita menuntutpangan yang murah, petani itu lebih baik menjaditukang batu di kota-kota. Sebaliknya kalau mahal,juga sulit diakses. Harus ada kebijakan yangmengakomodir itu semua.

Banyak opini berkembang mengenai kebi-jakan pemerintah yang kurang memihakpara petani?

Hal itu mungkin ada benarnya. Tapi kami dariDeptan semangatnya adalah meningkatkan pro-duktivitas. Jika produksi meningkat maka hargajadi tidak terlalu tinggi. Dalam kebijakan panganstrategis kami coba prioritaskan ketersediaan limabahan pangan yaitu beras, kedelai, jagung, gula,dan daging sapi.

Kebijakan seperti apa?Misalnya seperti kebijakan subsidi pupuk. Me-

mang dananya di Departemen Keuangan, keluardari Deptan, tapi tidak masalah. Intinya untukupaya mendorong peningkatan produktivitas sek-tor pertanian. Budget untuk agriculture. Ada jugadana yang di dalam Deptan, misal subsidi bibitpadi, kedelai, jagung. Ada lagi subsidi kreditseperti gula dan peternakan.

Selain Subsidi?Ada yang namanya KKPE (Kredit Ketahanan

Pangan dan Energi) bayar suku bunganya 8%per tahun untuk petani tebu, nontebu 7% pertahun. Subsidi bunganya bisa sampai Rp500 miliar.Yang paling ampuh kan subsidi input, kalau out-put terlalu mahal.

Kemudian kebijakan tentang pengaturan har-ga gabah. Kebijakannya diatur dalam Inpres No3/2007, harga pembelian pemerintah (HPP). Jadi

harga minimal Rp2 ribu, lalu beras minimal Rp. 4ribu. Tapi jangan disalah persepsikan bahwa pe-merintah semua yang membeli. Jangan salahkaprah. Kalau begitu mana ada uangnya.

Nah kalau harga pasar di bawah Rp2 ribu, Bulogdiwajibkan membeli dengan standar kualitas yangtelah ditetapkan. Kalau gabahnya basah, tentulahharganya di bawah Rp2 ribu. Ini fair bussiness. Tapikebanyakan rakyat juga sudah tahu, jadi dikering-kan dulu.

Ada kendala?Kita bicara fakta, luas tanah petani kita rata-

rata hanya 0,21 hektar per petani. Sedangkanareal nonsawah seperti tegalan dan ladang hanya0,51 hektar. Hal itulah yang membuat kendala pro-duksi dan kesejahteraan petani. Bagaimana mau

sejahtera dengan luas tanah sekecil itu. Saya selalukatakan, minimal harus ada 2 hektar untuk seorangpetani. Solusinya? Ya, harus didorong keluar Jawa.

Keluar Jawa?Ya, harus ada variabel transmigrasi. Ingat, pro-

duksi padi kita itu 60% di Jawa. Sehat atau tidaksehat. Logikanya, Papua dan Irjabar masih keku-rangan penduduk. Saya sudah pernah ke Kaliman-tan Barat, di sana dibangun irigasi yang sangat ba-gus, tapi tidak ada penduduknya. Transmigran baliklagi ke daerah asal. Mereka bilang, sulit air, hanyamengandalkan air hujan. Sekolah juga belum ada.Nah, Pekerjaan Umum (PU) harus masuk di sana,bangun infrastruktur. Lihat, dua variabel saja sudahrumit. Masalah pangan ini tidak semata masalahDeptan, kompleks dan butuh dorongan banyakpihak.

Rawan pangan identik dengan beras?Salah itu. Menurut ahli gizi yang dinamakan

rawan pangan adalah tidak mencapai minimal 70%kalori kebutuhan badan yang idealnya 2000 kalori.Dan itu berlangsung dua bulan atau lebih, hinggaefeknya turun berat badan serta busung lapar.

Kami tidak menampik bahwa kelompok itu me-mang ada, angkanya 2,5% dari total penduduk.Di tahun 2006 jumlahnya 5 jutaan, sekarang turun4,1 juta. Dari dulu memang ada. Pemerintah jugasenantiasa mengupayakan pengurangannya.

Cuma masalahnya orang seringkali melihat satukejadian sebagai kasus besar. Mohon maaf, bila adakasus orang makan nasi aking, mungkin saja ituadalah the poorest of the poor. Orang miskin kitakan ada 16,58%.

Tapi secara umum, peta hunger reduction FAO2006, progress Indonesia bagus sekali. Kita strongprogress. Ini FAO yang menilai, tapi kita malah salingmenyalahkan.

Tingkat lokal apakah ada data?Di desa-desa sumber kemiskinan, ya ada kasus

juga, walau di sana adalah produksi pangan. Tapikarena rawan daya beli. Terlebih cita rasa lidah ki-ta lebih banyak beras. Padahal singkong banyakserta murah. Karena itu kita buat Desa MandiriPangan. Supaya dipahamkan masyarakat, produksisebenarnya meningkat. Ada 70 jenis umbi-umbian. Orang desa mudah kok berubahnya,soal pangan.

Cita rasa?Ya, cara berpikir kita dipengaruhi lidah yang

menilai makan singkong itu hina. Masalah mind setaja. Kadang pers membentuk mind set tersebutdi kalangan masyarakat. Ini yang harus diubah.

Kalau masyarakat makan singkong, jangan di-ejek. Ini masalah budaya. Rakyat Madura itu makanjagung, kenapa pula dipromosikan makan nasi. Se-perti di kampung Cirendeu sejak 1924 sudah ma-kan ampas singkong. Coba apa kata orang kota,kelaparan mereka. Silakan cek apakah ada yangkena gizi buruk. Tidak ada, karena memang gizinyacukup. Banyak tersedia dan harganya murah.

Melalui Desa Mandiri Pangan (Mapan), kamimencoba mengubah mind set bahwa pangan tidakharus beras. Sekarang 825 desa yang dikembang-kan untuk empat tahun.

Bagaimana peran pemerintah daerah?Sangat krusial. Seharusnya ini tanggung jawab

pemda. Bukankah UU tentang otonomi daerah

menyebutkan demikian. Dan pemerintah pusathanya membuat kebijakan makro, semisal alokasianggaran, pengaturan secara nasional. Begitu ki-ta menyentuh lokalitas, itu kewenangan daerah.Kalau ada persoalan itu tanggung jawab bupatiatau walikota, yang lebih spesifik. Kalau ada dibeberapa kabupaten, baru gubernur koordinasi.

Di tingkat nasional jika tak jalan, boleh menterijadi terdakwa. Seperti misalnya ada Askeskin, pe-merintah sudah mengalokasikan, tinggal pemerin-tah daerah yang koordinir. Sistemnya sudah jelas.

Upaya stabilisasi harga pangan?Stabilitas harus ada stok yang kuat. Tentu ti-

dak semua komoditi kita harus punya. Kita hormatipasar juga. Kita coba hidupkan lumbung-lumbungdesa. Dana Alokasi Khusus juga bisa dibuat untuk

hal itu. Mendorong ketersediaan pangan strategis.

Ada yang bilang kita bisa ekspor?Beras kita tahun 2007 naik 4,8% dari 2006.

Kalau dihitung masih surplus. Tahun ini angkaramalan BPS juga naik 58,72 juta ton gabah, ka-lau dihitung sekitar 32 juta ton beras. Yang kitamakan hanya 31 juta ton beras. Belum lagi adastok, masih surplus kita. Apalagi untuk rakyat mis-kin ada Raskin, yang dapat 19,1 juta KK.

Meski masih banyak keluhan kualitas?Itu soal lain lagi. Itu masalah teknis, nanti yang

bicara Bulog. Kita bicara saat ini, sudah ada kebijak-annya. Kalau soal implementasi, ya memang harusditingkatkan. Agar kalau ada yang tanya, “bikindong kebijakan”. Ya ini sudah ada. Implementasi-nya ya sabarlah, apalagi sekarang masa otonomi.Harus cerdas koordinasi ke daerah. Gak bisa ins-truksional. Butuh kesepahaman dengan daerah.

Apa pesan untuk pemerintah daerah ?Pemerintah harus rajin-rajin datang ke desa

menengok, mendorong pembangunan pertanianperdesaan. Untuk mewujudkan hal tersebutharus mendorong infrastruktur ke pedesaan. Ja-ngan digerecokin bilang uangnya gak ada. Ada!DAK (Dana Alokasi Khusus, red) 21 triliun untuk451 kabupaten kota pada 2008 dan teruskontinyu. Tolong itu dimanfaatkan.

Saya minta dipadatkaryakan, jangan dikon-trak-kontrak. Karena uangnya akan berputar didesa itu juga. Dan pastinya juga lebih hemat.Kuncinya adalah job generation. Satu juta satutahun pekerjaan, gak susah itu. Di sanalah sumber

pengangguran ka-rena tidak ada pe-kerjaan. Bangun in-frastruktur, mulaidari perairan dan airminum, dan te-rus bergulir.([email protected])

Page 9: Edisi Khusus Ketahanan Pangan

9

w w w . b i p n e w s r o o m . i n f oemail: [email protected]

e d i s i

k h u s u s

Desa Mangli, Kecamatan Kali Angkrik, Kabupa-ten Magelang merupakan salah satu desa di JawaTengah yang dijadikan sebagai lokasi programmandiri pangan. Mangli terletak di lereng gunungSumbing. Lebih dari 1.200 meter di atas per-mukaaan laut.

Dari Magelang, perjalanan banyak melewatitanjakan dan tikungan. Pepohonan meski jarangtetapi banyak pemandangan hamparan tanamanjagung dan sayur mayur di antara perbukitan.Dan jagung memang merupakan makanan pokokwarga desa Mangli.

Menurut data tahun 2007, desa ini memiliki484 KK dan dari jumlah ini sebanyak 62%-nyawarga miskin. Oleh karena itulah maka desa inimasuk program mandiri pangan. Menurut SurveyRamah Tangga tahun 2007, 99% warga desaMangli makanan pokoknya nasi jagung. Mayoritaswarga bekerja sebagai petani dan buruh tani.Namun, lebih banyak buruh taninya karena untukbisa disebut sebagai petani harus minimal memilikilahan tanah seluas 0,2 ha.

Untuk dapat mencapai tingkat kemandirian,pelaksanakan program mandiri pangan harus dila-kukan melalui beberapa tahapan yaitu persiapan,penumbuhan, pengembangan dan tahap keman-dirian.

Memulai Dari PendataanDalam tahap persiapan kegiatan yang dilaku-

kan di desa Mangli adalah pendataan, untuk me-nemukan Data Dasar Rumah Tangga (DDRT) danSurvey Rumah Tangga (SRT). Kegiatan yangdilaksanakan bulan Maret –September 2007

membukukan bahwa terdapat 62% warga desamiskin. "Lantas mereka ikut kelompok ParticipationRural Appraisal (PRA), yakni kelompok yangdibentuk berdasarkan partisipasi murni masyarakat.Guna memastikan program desa mandiri panganberdasarkan apa yang diinginkan masyarakat. Bukandari atas ke bawah," jelas Lurah Mangli, Juwandi.

Dan terbentuklah kisah kelompok dengan latarbelakang sama, "sama-sama orang Mangli, sama-sama orang miskin, sama-sama petani yang butuhkesejahteraan dan kemandirian," imbuh Juwandi.

Kelompok yang ada pada tahun pertama adalahSido Mukti dengan budidaya domba, Argo Sejatidengan budidaya kambing, Sumber Makmur de-ngan budidaya Strawberi dan kelinci, Sido Makmurdengan budidaya domba, Sukadamai dengan budi-daya domba, Sumber Sejahtera dengan budidayadomba, Sido Mulyo dengan budidaya domba.

Peran PendampingPertemuan rutin kelompok dilakukan setiap 35

hari (selapanan) sekali. Didampingi Tim Pangan De-

sa, Lembaga Keuangan Desa dan Pendamping.Mereka mendampingi perencanaan, pelaksanandan evaluasi. Setiap persoalan dibicarakan secaramusyawarah.

"Kalau dulu bantuan langsung diserahkan kerumah. Kelompok masa itu bukan kelompok se-perti sekarang ini. Kambing dibagi per rumah bu-kan disatukan dalam satu kandang seperti seka-rang ini. Yang membeli kambing kelompok, yangmilih kelompok tetapi diikuti oleh Pendamping,Tim Pangan Desa dan LKD," jelas Juwandi.

Memang, dengan pendampingan bisa dilihathasilnya. Untuk peningkatan konsumsi panganolahan saja telah terbentuk pula tiga kelompokaktivitas wanita yakni kelompok Maju Jaya, MajuMakmur dan Maju Mulyo. Produk yang dihasilkanadalah kripik daun strawberi, kripik jombor dengantepungnya tepung jagung.

"Target kami tahun ini sebenarnya bagaimanamasyarakat miskin bisa makan yang bergizi danberimbang dulu. Nanti diharapkan berkemnbangkreatifitas baru lagi," jelas Juwandi.

Memang warga Desa Mangli akan berbenah,bahkan ada rencana menjadikan wilayah desaMangli menjadi obyek wisata di lereng GunungSumbing, yang kini road map-nya sudah jadi.

([email protected])

Perkampungan ini terletak di puncak bukit,semakin ke bawah perumahan kian padat. Saturumah dengan yang lainnya seolah saling menem-pel. Saking padatnya, untuk menelusuri jalanandi kampung ini jauh lebih mudah dengan berjalankaki. Selain banyak gang kecil, kontur jalannyapun naik turun.

Kampung Cirendeu ternyata mulai banyakdikunjungi banyak orang dari berbagai kalangan,karena mempunyai keunikan sendiri.

Perkampungan adat Cirendeu terdiri dari 1RW dan 5 RT dengan luas area perkampungansekitar 2 hektar. Dengan jumlah penduduk sekitar500 jiwa ini memiliki 2 agama, yaitu Islam dan ke-percayaan adat. “Meski berbeda kami tetap dapathidup berdampingan”, ucap Rokayah (46). Roka-yah adalah istri dari Ketua RW 10, Kampung Ciren-deu, kelurahan Lewihgajah, Kecamatan CimahiSelatan, Kota Cimahi, Jawa Barat.

Kampungnya RasiDalam kehidupan sehari-hari warga adat me-

reka tidak memakan jenis padi-padian. Menuruttokoh Kampung Cirendeu dan juga kepala RT03, Widia (45) sebenarnya tidak ada pantanganitu halal atau haram, hanya memang warga adattidak berminat untuk mencicipi jenis nasi ataupunketan. Bahkan sejak lahirpun mereka tidak pernahdikenali dengan jenis padi-padian, mereka cukupdiberikan tepung terigu yang dicampur denganair dan susu.

Menurut Widia, dahulu dimasa penjajahanbangsa Belanda warga kampung ini sempat mera-sakan kesulitan mencari beras. Harga beras diluarjangkauan daya beli masyarakat setempat, dankemudian timbul inisiatif warga untuk menggan-tikan bahan pokok tersebut dengan olahan sing-kong. “Masa itu telah berlangsung kurang lebih4 generasi dimulai sekitar tahun 1924”, jelas Wi-dia. Dan sekarang ke dua cucunya pun masih di-turunkan untuk memakan rasi, dan dia berharapkebiasaan ini dapat terus di jaga oleh anak-cucuhingga cicitnya nanti.

Rasi adalah sebutan untuk hasil olahan ber-bahan dasar singkong yang menggantikan beras.Meski Widia bukan salah satu petani singkongnamun dia sangat mengerti benar cara pembuat-annya, ya karena memang setiap rumah bisa

memproduksi sendiri kebutuhan mereka, cukupdikupas, giling, kemudian memisahkan ampas danRasi. Nah, ampas inilah yang nantinya manjadi rasi.Setelah ampas di jemur maka perlu sekali lagi digi-ling atau ditumbuk. Hasil ampas tumbukan bisa di-simpan hingga 2-3 bulan. "kalo mo dimasak, tinggaltambahin air dan masak seperti nasi," jelas Widia.

Kebiasaan memakan rasi inilah yang akhirnyamembuat desa ini menjadi mandiri, mereka tidaktergantung pada harga beras yang semakin harisemakin mencekik kaum marjinal. Ketika orang dibi-ngungkan dengan harga beras, warga kampungCirendeu tidak tergubris sama sekali.

Hal itu sama sekali tidak mempengaruhi kehi-dupan mereka, toh makanan pokok mereka tetapaman, bahkan sisa produksi lainnya dapat menam-bah penghasilan warga. Memang dulu warga hanyamengolah singkong untuk rasi, namun sekarangmereka bisa memanfaatkan sisa olahan singkongtersebut menjadi produk produk makanan lainnya.“Kami tidak khawatir kelaparan, bahan makananpokok kami tersedia dan makanan cemilan selaluada”, ucap Widia.

Membangun Desa MandiriSecara ekonomis penduduk kampung adat ma-

suk dalam kategori ekonomi menengah. Rumahmereka sebagian besar sudah cukup baik, danbentuknya pun tidak kalah dengan perumahan dikomplek-komplek. Tetapi memang tidak terstrukturrapi layaknya komplek. Setidaknya ini menunjukkanbahwa mereka bukan tidak mampu membeli nasiuntuk kebutuhan mereka, tetapi memang sudahmenjadi adat kebiasan mereka.

Jenis pekerjaan penduduk sebagian besar ada-lah para petani dan peternak, mereka hidup darilahan leluhur mereka di atas gunung. Sekitar 40hektar digunakan untuk berkebun singkong danuntuk sawah sendiri hanya 10 haktar.

Disanalah mereka menghabiskan setengah harimereka dengan berkebun singkong. Selama ini me-reka mampu memanen 5.160 kwintal per tahun.Di pagi hari mereka akan pergi ke kebun. Ketikasore datang lebih banyak suasana santai mengolahhasil singkong menjadi berbagai produk makanan.

“Kami berhasil menghasilkan 27 produk jenismakanan dengan bahan baku utama singkong,mulai dari daun, umbi hingga kulit umbi dapat kami

kelola”, ucap Rokayah.Imas (47) ibu dari 2 anak merupakan salah

satu yang bisa memanfaatkan umbi singkong.Setiap hari suaminya pergi ke kebun, sedangkanImas bekerja dirumah membuat kerupuk talas,rengginang, kecimpring dan beberapa jenis ma-kanan kelolaan lainnya.

Produk buatan Imas memang belum dipasar-kan secara massal, distribusinya hanya untuk ka-langan kampung Cirendeu atau kampung sebe-lah. Lumayan jika ada hajatan dikampungnya,selain itu juga produknya ikut dalam beberapapameran makanan baik di tingkat propinsi ataunasional.

Setiap harinya Imas mampu menghasilkan20 kantung jenis keripik-keripikan, harganya punrelatif murah. Untuk 1 kantong ukuran seper-empat itu berkisar 2000 rupiah. Meskipun bahandasarnya sama, rasanya bisa berbeda. Usaha inisudah dijalankan selama 10 tahun. “lumayan bisauntuk biaya sekolah anak”, ucapnya.

Kampung ini telah berhasil membuat diver-sifikasi pangan dari singkong, dan selama empatperiode ini tidak ada terjadi kasus kelaparan,busung lapar maupun kekurangan gizi.

Kebutuhan gizi mereka dipenuhi dengan la-uk pauk. Kaum adat percaya rasi membuat mere-ka kuat, kaum prianya saja mampu mengangkatbeban hingga 1 kwintal dari atas gunung hinggake perkampungan mereka, usia meninggalmerekapun karena mereka sudah tua.

Rasi juga dipercaya mampu mencegah pe-nyakit diabetes, “jarang sekali ada kasus wargasini meninggal di usia remaja karena sakit”, ung-kap Widia.

([email protected])

Page 10: Edisi Khusus Ketahanan Pangan

10

w w w . b i p n e w s r o o m . i n f oemail: [email protected]

e d i s i

k h u s u s

>>

foto

:ban

kdat

a,bf

TIBA-TIBA saja kita seolah terhenyak ketikapara pedagang tempe menggelar unjuk rasa didepan istana, menuntut penurunan harga ka-cang kedelai, awal tahun ini. Kita tidak sadarbahwa makanan favorit dan harian itu ternyatasebagian besar adalah hasil impor. Ke mana parapetani kita, ke mana hasil dari gerakan swasem-bada pangan selama ini?

Pertanyaannya? Kenapa harga kedelai tiba-tiba saja naik sedemikian tinggi, hingga parapengrajin tempe harus menggelar demo di de-pan istana. Jawabnya saat itu, selain memangharga kedelai di pasar internasional naik, jugakarena ada sebagian negara sedang mengem-bangkan peng-ganti energi fosildengan energi bioyang berasal darikacang-kacangan,seperti jagung,kedelai, juga kela-pa sawit.

Waktu bergu-lir, kini diketahui, ditingkat internasi-onal, persoalanpangan memangmenghadapi an-caman nyata. Sekjen PBB, Ban Ki-moon,mengatakan, kelangkaan pangan dan mahalnyaharga telah menciptakan keadaan darurat di ba-nyak negara. Dirjen FAO, Jacques Diouf menya-takan, stok pangan dunia makin kritis. Setali tigauang dengan Dominique-Khan, Direktur Pelaksa-na IMF yang mengemukakan bahwa krisis pa-ngan dunia bisa memicu perang.

Haiti dan Bangladesh adalah salah satu contohnyata pernyataan Dominique itu, kenaikan hargamakanan telah memicu kerusuhan sosial dan me-makan korban tewas. Bahkan parlemen Haiti me-mecat sang perdana menteri. Di Bangladesh,militer mengambil alih pengamanan pangan danmenekan rakyat agar mengurangi konsumsi be-ras dan mulai makan kentang sebagai penggantinasi.

Tentu bukan hanya peperangan yang akanmenghantui krisis pangan, di negara-negara mis-kin kenaikan harga pangan tidak saja membuatperut kosong, tapi juga turut membuat kosongruang kelas. Hal itu terjadi karena para orangtuameminta anak-anak mereka bekerja, sehinggamembuat beberapa siswa tak bersekolah lagi.

Peringatan itu datang dari Unicef, Badan PBBuntuk Anak-anak. Veronique Taveau, juru bicaraUnicef mengatakan, harga pangan yang mahalmenyebabkan keluarga mengalami keku-rangananggaran, yang selanjutnya membuat pe-ngurangan anggaran pendidikan. Keluarga akhir-nya memutuskan menghentikan pendidikananak-anak mereka.

Dikatakan Taveau, Unicef sangat prihatin soalharga-harga pangan yang meningkat. Keadaanitu terutama terjadi di negara miskin, di mana75 persen dari total pendapatan dialokasikan un-tuk pangan. Di negara-negara maju, hanya sekitar15 persen pendapatan yang dialokasikan untukpangan.

Jubir Program Pangan Dunia PBB (WFP),Christiane Berthiaume, juga mengatakan, pe-ngurangan jumlah siswa sudah terjadi di Nepal.Pasalnya, kedua negara sumber impor panganNepal, yakni Cina dan India ini telah mengurangipasokan pangan ke Nepal.

Di Kamboja, WFP terpaksa menghentikanpenyediaan makanan gratis disekolah-sekolah karena pema-sok makanan telah mengakhirikontrak kerja. Para pemasoklebih memilih menjual panganke tempat lain dengan hargayang lebih tinggi.

Masalah pangan memangtelah menjadi isu global karenatelah memicu beragam protesdan kerusuhan. Bank Duniamengatakan, harga panganyang meningkat dua kali lipatberpotensi menjerembabkan

100 juta warga dunia ke dalam kemiskinan, teru-tama di negara berkembang.

Itulah kenyataan-kenyataan yang terjadi. Ba-gaimana dengan Indonesia? Benarkah ketika saatini berlimpahan bahan pangan atau beras akanmengekspor beras.

Saya ingin mengajak kita semua untuk seje-nak mundur ke belakang, melihat sejarah NabiYusuf, yang menafsirkan mimpi rajanya, Al Azistentang ancaman masa peceklik yang bakal da-tang di zaman itu. Konon, mimpi sang raja berki-sah tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk yang dimakan oleh tujuh ekor sapi betinayang kurus-kurus dan tujuh bulir gandum yanghijau dan tujuh bulir lainnya yang kering.

Oleh Nabi Yusuf, mimpi itu ditafsirkan sebagaiakan datang tujuh tahun masa kejayaan (panen)dan setelah itu akan datang tujuh tahun masasulit (paceklik), karena itu disarankan untuk mela-kukan penyimpanan dari hasil panennya itu agardi masa sulit rakyat masih tetap hidup dan mam-pu mempertahankan diri.

Sekarang kita tahu kelangkaan pangan akanmenjadi persoalan internasional. Ancamannyapun nyata disampaikan akan memicu peperanganserta kosongnya ruang belajar. Akankah kita tidakmelakukan sesuatu terhadap ancaman itu.

Mumpung kita masih tidak terlalu kesulitanpangan, bahkan surplus, selayaknyalah dipikirkanuntuk menyimpan dalam ”lumbung-lumbung”,agar kita kelak dapat mempertahankan hidup.

(sukemi)

Belajar Tafsir Mimpi dari Nabi Yusuf

Kemasan Boleh DiaturDalam sebuah bincang-bincang informal usai ra-

pat koordinasi, Direktur Jenderal Perdagangan Da-lam Negeri Departemen Perdagangan, Ardiansyahmenyuguhkan penganan kering dalam sebuah to-ples plastik berpita. "Silahkan dicoba, anda semuamungkin tak menyangka jika produk makanan kecilitu terbuat dari tepung singkong," jelas Ardiansyahmempersilahkan tamunya.

Benar juga, sekilas tak ada bedanya kue keringitu dengan produk kue pabrikan yang berbahanbaku tepung terigu. Rasanya pun tak jauh beda,"cuma saya masih mencari jalan agar tidak terasalengket ketika di lidah dan mengemas produk Ci-rendeu ini agar bisa bersaing dengan produk pabrik-an di pasar," ungkap Ardiansyah mantap.

Kemasan memang penting di era imagogologiini. Setiap produk akan dilihat sejauh mana menarikatau tidak. Tak ayal banyak produsen yang meng-gerojok dana miliaran rupiah untuk riset kemasanproduk dan mengiklankan produk itu supaya lebihnancap di benak konsumen.

Biar Lebih Popular Soal kemasan, juga menjadi perhatian penge-

lola Bakpao Waluh di Kecamatan Singosari, Kabu-paten Malang, Jawa Timur. Diakui Didik masalahpackaging harus bagus, "menarik dan bisa bersaingjuga popular di masyarakat," katanya mengutipbuku-buku kisah kewirausahaan yang sukses.

Tak berlebihan jika Didik selalu menjajaki sebe-lum memasarkan produk waluhnya. " cukup bagusmeski belum masuk ke pasar-pasar swalayan. Iamasih menjajaki, tapi kalau persyaratannya tidaksulit dan cukup prospektif, ia akan mencobanyajuga. Tapi sekarang, suami isteri Didik dan Hanalebih konsentrasi untuk menangani jajanan waluhlain yang kini terus dipopulerkan seperti bakpaodan cake waluh.

Didik dan Hana sebelumnya sama-sama karya-wan di Gresik. Didik di pabrik semen Gresik sedang-kan Hana bekerja di pabrik pupuk Gresik. Tempattinggal tetap di Singosari Malang, sehingga setiaphari harus nglaju (pergi-pulang) Singosari-Gresik.Didik yang ingin berwiraswasta akhirnya keluar danmulai menikmati asyiknya berwiraswasta. Ia punturut membina dan mendukung UKM di daerah-nya. Dalam bisnis makanan ini, istrinya hanya seka-dar membantu karena masih berstatus pegawaidi pabrik pupuk Gresik. Tapi melihat usaha suaminyayang sangat memerlukan orang kepercayaan dalamkualitas produk, maka Hana pun berhenti dari pabrikpupuk Gresik.“Tugas dia yang utama sekarang kon-trol kualitas produk,“ papar Didik.

Sebelumnya Hana sempat berpikir panjangmeskipun suaminya sudah menekuni pembuatankeripik waluh. Setelah melalui kajian yang tidaksingkat, akhirnya Hana merasa mantap mengem-bangkan usaha jajanan berbahan waluh. Hana me-lihat hasil tanaman waluh di daerahnya cukup ba-nyak. Boleh dikatakan salah satu produk pertaniandi Singosari yang tak sulit didapat. Labu kuningyang matang selama ini hanya dibikin kolak olehmasyarakat, yang masih agak mudah kadang di-buat sayur. Nilai gizinya juga bagus. Hana lantasberpikir, sangat disayangkan kalau labu atau waluhcuma itu kegunaannya.

“Saya sebetulnya memang ingin buka usahayang bahan bakunya tidak sulit didapat, dan usahaitu kalau bisa punya kekhasan. Saya melihat waluhbisa dibuat macam-macam,“ papar ibu dari 2 putriitu.

Harus Tahan LamaJajanan waluh terutama cake waluh bisa tahan

sampai seminggu, bakpao sampai lima hari tanpapengawet. Urusan manajemen ditangani suaminyatapi soal kualitas produk, Hana yang bertanggungjawab. Pasangan pengusaha ini selalu melangkahdengan target dan sama-sama berupaya menempadiri untuk kreatif sesuai tanggung jawab masing-masing.

Dalam rasa, misalnya, tentu saja Hana yang ha-rus banyak uji coba. Mau bakpao rasa coklat, rasakacang, atau dengan isi yang lain, Hana-lah yangterus mempraktikkan di dapur. Sementara soaltampilan termasuk kemasan, pemasaran, merupa-kan bidang garap suaminya yang terus mengamatiperkembangan pasar.

Selain soal rasa, menurut Didik, orang akan ter-tarik kalau didukung tampilan atau kemasannyabagus pula. Dalam pemasaran, letak tokonya pundipandang cukup menunjang karena berada di jalur

arus lalu-lintas Malang Surabaya. Orang-orang Sura-baya yang usai menghabiskan akhir pekannya diMalang, kalau pulang pasti melewati Singosari danmembeli oleh-oleh khas Malang. Karena itu Sabtudan Minggu merupakan hari ramai pembeli.

Mencoba ekspansi ke daerah lain dengan pro-duk jajanan waluh sudah menjadi angan-angan Ha-na dan Didik. Ia sudah mulai memasarkan produk-nya ke daerah-daerah sekitar seperti Sidoarjo, danSurabaya. Sedangkan Jakarta baru dijajaki ketikaberlangsung pameran UKM pertengahan Oktoberlalu. Hasilnya cukup menjanjikan. Jajanan waluhtermasuk makanan lain khas Malang seperti keripiklaris manis dibeli pengunjung. Dalam waktusekejap, 500 biji bakpao waluh yang harganya Rp2500 terjual. Hana pun segera kontak ke Malangkarena masih banyak yang tanya dan esok haripun bakpao itu datang lagi.

Rajin PameranBagi Hana, sering usahanya ikut pameran untuk

menjajaki bagaimana produknya bisa diterima ma-syarakat di daerah lain. Usahanya pun tak sia-sia,produknya memang mendapatkan perhatian darimasyarakat ibukota.

Dalam usaha jajanan serba waluh yang ter-masuk produk khas tak sedikit juga tantangannya.

Menurut Didik bukan saja soal manajemen yangharus profesional, dan produk yang berkualitas,tapi juga menyangkut image. Bahkan image yangsudah “membudaya” itu menjadi tantangan berat.

Pemerintah pun juga terus memfasilitasi, seba-gaimana dikatakan Direktur Bina Pasar Ditjen Per-dagangan Dalam Negeri Departemen Perdagang-an, Gunaryo, "kita punya agenda tahunan pameranyang bisa diikuti pengusaha berbasis ekonomikreatif. Ini merupakan upaya kita untuk memajukanpangan alternatif Indonesia mampu berdiri setaradengan makanan asing yang kini banyak beredardi Indonesia. Ada pula Festival Kuliner Lokal yangakan digelar di pada 20 Mei 2008 di Hotel GrandIndonesia."

Lantas, Gunaryo mendeskripsikan bagaimananusaha camilan singkong keju “Tela-tela” dari Jogja,yang hanya diberi bungkus ala fast food dari luarnegeri dan dijual di "rombong" modern. "Omsetsebulannya sudah mencapai 2 milyar rupiah,"ceritanya.

Memang kemasan indah dan menterengsangat perlu diberikan pada produk lokal, sehinggaakan lebih kelihatan bergengsi dan disukai olehkonsumen Indonesia yang masih suka denganbudaya kemasan.

([email protected])

Page 11: Edisi Khusus Ketahanan Pangan

11

w w w . b i p n e w s r o o m . i n f oemail: [email protected]

e d i s i

k h u s u s

TempeSuatu ketika, Soekarno berpesan kepada

bangsa Indonesia agar jangan menjadi “bangsatempe.” Tempe, dalam bahasa Soekarno, ada-lah kata yang berkonotasi dengan orang kecil:yang serba kekurangan, rendah dan lemah.Singkat kata, tempe adalah simbol ketidakberda-yaan. Oleh karena itu, “bangsa tempe” adalahbangsa yang ringkih, pasrah dan nurut sepertikerbau dicocok hidungnya. Siapa mau jadi bang-sa demikian?

Mengapa tempe saat itu dihargai demikianrendah? Tempe identik dengan makanan dari,oleh dan untuk rakyat jelata yang hidupnya se-lalu dilingkupi duka nestapa, sehingga meng-ingatkan pada bangsa yang menderita. Mungkinkarena itulah Soekarno tidak ingin bangsa inihanya bisa makan tempe, kiasan dari hidup seng-sara selamanya.

Tapi toh demikian, pesan Soekarno takmembuat masyarakat jadi anti tempe. Buktinyadari jaman orla, orba sampai or-or berikutnya,tempe tetap saja menjadi makanan favorit.Orang-orang tampaknya tak peduli, apakah de-ngan makan tempe mereka akan menjadi bang-sa tempe atau tidak. Atau karena mereka tahu,dari dulu bangsa kita yang sebagian besar sukatempe, ya hidupnya begitu-begitu saja.

Yang jelas, dalam daftar menu sebagian be-sar masyarakat akar rumput, tempe adalahsebuah conditio sine qua non: sesuatu yangpasti dan harus ada. Pelesetan tagline sebuahmajalah: tempe, enak dibacem dan perlu. Enakdimakan karena ham-pir semua orang doyan.Perlu karena tempe di pasaran telah menjadi

keniscayaan: menghilang se-hari saja orang-orangributnya bukan kepalang.

Tapi benar kok, tempe adalah “intermediatemenu”, atau “menu antara” bagi mereka yang takmampu beli daging dan yang ogah makan tanpalauk. Harganya yang murah dan rasanya yang lezat,membuat tempe enak di kantong, enak di lidah(meminjam tagline sebuah iklan televisi).

Hampir semua orang sepakat, harga tempe(dulu) memang murah. Sebagai perbandingan,uang Rp50 ribu, hanya bisa digunakan untuk mem-beli sekilo daging sapi. Namun dengan uang yangsama, seorang ibu bisa membeli tempe yang jum-lahnya cukup untuk dimakan satu RT! Rasa tempejuga sangat bersaing, karena bisa dimasak dalamberbagai versi, digoreng, dibacem, dioseng-oseng,dibuat kripik, semua oke.

Bagi para nutrisionis, tempe adalah keajaiban.Nilai gizinya yang sangat tinggi, membuat tempetampil sebagai satu-satunya sumber protein nabatipesaing protein hewani. Tak heran jika tempe se-ring dikatakan bisa dijadikan senjata sakti untukmelawan defisiensi dan kwashiorkor alias kekurang-an gizi akut. Di sisi lain, tempe juga rendah koleste-rol, sehingga tak membuat para pemakannya kenaasam urat atawa jantungan.

Sayangnya, kendati banyak orang mengaku su-ka dan mengetahui manfaat tempe, tak banyakyang menyadari bahwa sejatinya kita tak lagi man-diri dalam memproduksi tempe. Buktinya, bahanbaku tempe yakni kedelai, sudah lama impor dariJepang, Amerika dan negara Asia lainnya. Se-dangkan kedelai dalam negeri menghilang karenajarang yang mau menanam. Alasannya masuk akal:

menanam kedelai dianggap kurang mengun-tungkan dibandingkan dengan menanam tanam-an pangan lain. Atau mungkin bangsa kita sudahketularan virus konsumtif: membeli lebih enakdaripada repot-repot menanam?

Kalau yang terakhir ini yang terjadi, wah, cela-kalah kita. Bisa-bisa nanti kita “dijajah” bangsaasing melalui kedelai. Bagaimana tidak? Jika se-bagian besar orang Indonesia sudah tempe min-ded, tiba-tiba dilakukan embargo ekspor kedelaike Indonesia, pasti banyak orang kelimpungan.Bukan hanya importir yang teriak-teriak karenakehilangan laba, tukang gorengan pun akan me-ringis diomeli langganan penggemar tempe. Se-mentara ibu-ibu rumahtangga harus menyedia-kan uang belanja ekstra untuk membeli tempeyang harganya meroket.

Tak ada jalan lain, kita memang harus kembalimenanam kedelai agar ketersediaan bahan bakutempe bisa terpenuhi tanpa harus mengimpordari luar negeri. Sebab, jika impor kedelai seret,harga tempe pasti akan meroket. Kalau tempemahal, kedudukannya sebagai menu antara akanluntur. Tidak lucu juga kalau harga tempe setaradengan daging.

Atau kita memang mau mencoba tidak men-jadi “bangsa tempe” dalam arti sesungguhnya?

(gun)

Ada yang unik dalam rapat –rapat para pejabat di lingkunganDepartemen Pertanian Republik

Indonesia. Kalau biasanya sajianrapat, baik berupa snack ataupunmakanan berat, dipilihkan berupa

makanan siap saji ataupunmakanan modern, tidak demikian

dengan rapat yang digelar diinstansi ini.

Di lembaga yang bertanggungjawab pada du-nia pertanian dan pangan ini, makanan yang disa-jikan semua berasal dari potensi pangan lokal, khasIndonesia. Semua berasal dari olahan 70an umbi-umbian lokal yang tersebar di seluruh Indonesia.

Jadi tak heran, menu yang disajikan saat rapatke rapat sangat bervariasi. Ada yang terlihat ke-khasannya semisal tiwul, ataupun olahan yang su-dah tersamar laiknya panganan pada umumnya.Ada yang berwujud mie bendo, hasil olahan tepungsingkong, atau ada juga pizza singkong. Belum laginasinya yang khas dari nasi singkong dan cemilanberupa emping garut. Ditambah lagi lauk ikan atau-pun tahu tempe. Wah, wah tak ada bedanya de-ngan makanan sehari-hari.

Tak percaya? Tanya saja Presiden Yudhoyono.Ia pun seringkali mendapat suguhan nasi singkongataupun produk olahan lainnya ketika rapat ten-tang permasalahan pangan Indonesia. Rasanya?

Mak-nyuss.

Pangan Kreatif?Ya, yang berada di

balik terciptanya idekreatif penyajian pa-ngan lokal tersebutadalah Bidang KonsumsiPangan, Badan Keta-hanan Pangan (BKP),Departemen Pertanian(Deptan).

Menurut Sri Wulan,Kepala Bidang KonsumsiPangan BKP, menusajian ini sudah berjalan

sejak 2004 lalu. Berawal dari banyaknya produkolahan dan bahan pangan dari dapur uji BKP untukdisosialisasikan kepada masyarakat melaluiposyandu.

Terbersit ide bahwa seharusnya Deptan men-sosialisasikan program pangan substitusi beras takhanya sebatas wacana saja. Pun harus membericontoh dengan memulai penggunaan produk lokalsubstitusi di lingkungannya.

“Dibilang kreatif, ya tidak juga. Makanan ini se-benarnya sudah ada di masyarakat. Misal nasi sing-kong. Di desa Cirendeu, Cimahi, Jawa Barat, nasisingkong sudah jadi makanan pokok, budaya. Me-reka bilang kalau masih makan nasi berarti masihdijajah. Begitu. Olahan lain kita kembangkan di da-pur uji,” kata Sri Wulan sumringah.

Kelebihan “katering pangan lokal”, kata ibu ber-darah Sunda ini, selain ikut mensosialisasaikan bera-gam jenis panganan khas Indonesia, juga bisa men-jadi alternatif menu sehat. Bagaimana tidak, setiapkalori panganan dihitung dan disesuaikan dengankebutuhan asupan gizi para penikmatnya.

Begini, sederhananya. Dalam sehari, untukhidup sehat seorang manusia membutuhkan rata-rata 2000 kalori sebagai asupan gizi. Lengkap kar-bohidrat, protein, dan vitamin. Kandungan ter-sebut didapat dari sumber pangan yang beragam.

Sebut saja, sumber karbohidrat yang tak se-mata didapat dari beras saja, bisa dari kentang,singkong, jagung, dan banyak umbian lain. Lainlagi sumber protein yang tak melulu dari dagingdan ikan, pun juga dari tahu, tempe, dan sumber

lainnya.“Dalam makanan itu intinya harus ada triguna

makanan. Ada zat penjaga, zat pembangun, danzat pengatur. Tiga itu harus ada. Dan sumbernyasangat beragam. Kami buat list apa saja yang bisajadi diversivikasi kandungannya,” lanjut Sri.

Umbi-umbian bisa diolah menjadi beragam ben-tuk. Mulai dari nasi, tepung, emping, dan sebagai-nya. Dari bahan-bahan dasar tersebut bisa dibuatlagi menjadi aneka panganan yang bercitarasa danbergizi tinggi.

Sebut saja singkong. Panganan yang sudahmerakyat ini bisa dibuat menjadi beragam pengan-an, mulai dari bahan dasar semisal tepung, hinggamenjadi produk olahan semisal kue-kue kering.Kandungan gizi tak kalah, namun berharga murahmeriah.

“Entah kenapa ya, orang Indonesia itu kalaudengar singkong tuh rasanya hina banget. Pa-dahal, sama saja. Untuk menyiasatinya, kita seringganti nama, menyamarkan singkongnya. Misal te-pung cassava, mie bendo, dan sebagainya. Barumau makan. Padahal singkong-singkong juga” kataSri tertawa.

Sosialisasi Kuliner LokalPemerintah sendiri bukannya tanpa upaya da-

lam mensosialisasikan aneka ragam sumber panganlokal ini kepada masyarakat. Coba saja rambah desa-desa di mana banyak umbi-umbian tumbuh. Selainkarena kreativitas warganya, sosialisasi melalui paraaktivis Posyandu/PKK juga marak dilakukan.

Mulai dari “seminar” gizi keluarga, sampai “work-shop” tata cara pembuatan kue dari bahan panganlokal. Menyajikan hasil uji dapur yang dilakukan BKPdengan Yayasan Kuliner Indonesia. Tak hanya itu,terkadang, resep hasil uji tersebut dibukukan dandibagikan kepada aktivis Posyandu/PKK untuk nan-tinya dapat dipraktekan kepada keluarganya.

Jadi jangan kira bahwa para pejabat negara,bahkan Presiden Yudhoyono tidak pernah makansingkong. Lha, hampir setiap rapat suguhannyapangan olahan dari singkong. Ya, singkong yangdianggap tak modern itu. Jadi, masih nganggapsingkong makanan kelas bawah?

([email protected])

Rapat Singkong Para Pejabat

Page 12: Edisi Khusus Ketahanan Pangan

Ada banyak jalan keRoma, akan tetapi lebih

banyak cara lagi untukmenyajikan makanan

yang bergizi bagikeluarga kita. Bahan

bakunya pun tak perlumahal. Semua ada disekitar kita. Tinggal

bagaimana maumemanfaatkannya.

Indonesia, mempunyai sejarah panjangsejak zaman prasejarah sebagai “lumbung pa-ngan”. Di Asia Tenggara, sebagian kawasanIndonesia dikenal orang asing sebagai “Za-baj”. Istilah yang diadopsi dari kata “jawawut”yang berarti padi-padian. Sebuah ungkapanuntuk menisbatkan kekayaan padi yang ber-limpah.

Naskah laporan perjalanan pedagang Chi-na YingYai Sheng Lan dan naskah kuno se-perti Negarakertagama, atau laporan sastraArab kuno seperti Al-Ajaibul Hind maupunSinbad Si Pelaut, juga mengisahkan NegeriZabaj yang indah bagai surga, kaya “jawawut”dan indah pemandangannya.

Melimpah Tak DiolahTetapi tak hanya padi saja yang berlimpah.

Ada banyak potensi pangan lain yang berlim-pah. Di Kepulauan Kai, Maluku Tenggara, mi-salnya. Masyarakat makan jagung atau embal-singkong yang diolah secara tradisional-sebagai makanan pokok.

Bagi orang Maluku Tenggara, ketika be-lum makan ikan yang kaya protein, serasabelum makan. Maklum, di sana ikan melimpah.Masyarakat biasa makan ikan tiga kali sehari.Daging sapi kurang laku di sana. Bahkan,orang harus pesan kalau ingin makan daging.Baru kalau pesanan sudah cukup, maka se-ekor sapi disembelih untuk dijual di pasar.

Lain lagi di Nusa Tenggara Timur, karenatanahnya yang relatif tandus, pada akhirnyatanaman yang bisa hidup adalah tanamankeras. "Kita disini berupaya mengolah jagunguntuk menjadi makanan utama masyarakatUel," kata Set Malelak, dosen yang telah ber-tahun-tahun mendampingi Komunitas Uel, Ku-pang Nusa Tenggara Timur untuk mengem-bangkan produk unggulan jagung. Danmereka pun bangga dengan hasil tersebut.

Hal senada juga diungkap Vedy Rudiyanto,pegawai Badan Ketahan Pangan Provinsi Ja-wa Tengah yang menjadi pendamping di De-sa Mangli, Kecamatan Kali Angkrik, KabupatenMagelang. “Orang Mangli tidak malu makanan-nya jagung,malah bangga, karena toh ter-bukti orang desa Mangli tinggi-tinggi dangagah, dan banyak yang berusia 70 tahunmasih kuat mencangkul dan menggendongbeban berat," cetus Vedy yang mengakuorang asli Mangli.

Bermula Dari BudayaKepala Desa Mangli, Juwandi, juga menja-

min bahwa budaya makan jagung di desanyamempunyai kekuatan tradisional, yaitu kebia-saan tahan lapar. "Penduduk saya, kalau ma-kan jagung bisa rosa-rosa, pak! Kalau kita di-kasih makan nasi nanti 3 jam sudah lapar lagi,sedangkan kalau makan nasi jagung bisa tahansampai 12 jam belum terasa lapar!” katanya.

Memang, dari kebiasaan akan timbulkesadaran dan membentuk tradisi yang kuat.tak terkecuali terhadap pangan ini. Makanadalah bagian penting dalam budaya suatubangsa. Budaya makan terdiri dari dua kom-ponen utama yakni komponen idea berupapandangan serta etika, dan komponen fisik

yang terdiri dari pengaturanruang, piranti, serta

makanan.

Tetapi, pernyataan bahwa perut pribumiIndonesia hanya bisa makan nasi adalahpernyataan yang agak menyesatkan. Seha-rusnya, mereka yang mempertahankan kebu-dayaan tradisionalnya, termasuk kebudayaanpangan, haruslah dihormati. Di berbagai pelo-sok Indonesia, kenyataannya nasi bukanlahmakanan pokok.

Namun pergeseran budaya makan bisaterjadi. Baik karena interaksi sosial akibat per-sentuhan budaya dengan budaya-budayalain. Atau pula karena kebutuhan adaptasiatas situasi dan kondisi yang ada dan padagilirannya menurunkan sikap penerimaan ataupenolakan atas budaya makan dan pangan-nya.

Perlu Pendekatan LokalMenurut Vedy, disamping bisa memanfaat-

kan jagung untuk makanan lokal, produksijagung yang berlimpah di Mangli juga dibis-niskan dengan dijadikan tepung jagung. Se-dangkan produk Mangli lainnya yaitustrowberi, selain dijual, daunnya juga diolahmenjadi keripik daun strowberi.

Tetapi, menurut Vedy, perlu tim pendam-ping desa yang ulet dan sabar memabntumemberdayakan petani dan peternak. "Kare-na kalau para pendamping lalai, terkadangpara penduduk desa itu menjual kambingdomba bantuan pemerintah," ungkapnyasambil mengelus dada.

Set Malelak pun juga menerapkan pende-katan yang sama dan sebangun. "Kita berikanmereka cara dan teknik mengolah jagung,sehingga bisa merasakan manfaatnya mena-nam jagung, baru bisa melihat sendiri ha-silnya," tutur Set.

Set Malelak bolehlah disebut sebagai salahseorang manusia “langka” di NTT. Ia mening-galkan kehidupannya yang relatif mapan diKupang dan memilih tinggal bersama sekitar1.600 penduduk Dusun Uel. Kebetulan istri-nya, pendeta Adriana Tanggela, juga bisamendampinginya berkarir di dusun itu.

Dusun Uel bukan daerah subur. Kekering-an kerap melanda kawasan ini. Warga desa-nya juga miskin dan umumnya bermata pen-carian sebagai buruh bangunan atau menjadiTenaga Kerja Indonesia di luar negeri. Takheran, rata-rata tingkat pendidikan wargadesa ini hanya sampai sekolah dasar.

Untuk mengubah perilaku masyarakat Du-sun Uel, cerita Set, dia memerlukan waktutak kurang dari enam tahun. Penduduk du-sun ini berasal dari empat suku, yakni Rote,Alor, Sabu, dan Flores. Mereka umumnya ber-temperamen keras, bersikap masa bodoh, re-latif pemalas, susah diatur, dan sangat sukapesta.

“Saya pelajari keseluruhan perilaku me-reka. Saya ikut mereka ke kebun, ke laut,ke sawah, ke tempat pesta, dan tempat per-temuan mereka. Saya ingin tahu bagaimanasesungguhnya karakter mereka, untuk me-nentukan bagaimana cara mengubah perilakumereka. Ini saya sebut rekayasa sosial, “kataSet, saat ditemui di Kupang beberapa waktulalu.

Melihat kesuksesan hasil kebun mereka,warga pun makin percaya Set memangbermaksud baik. Mereka lalu memberi diagelar “dosen desa”.

Peluang BisnisDi Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur,

sudah lama ada satu lembaga yangmampu membisniskan bahan pangan alter-natif yakni ubi. Padahal di seluruh dunia,ubi jalar memang “menderita” pelecehankarena selalu dianggap sebagai bahanpangan murahan. Republik Rakyat Cinasebagai negara penghasil ubi jalar terbesardi dunia, hanya menggunakan separuhproduksinya untuk makanan ternak babimereka. Sementara Indonesia mendu-duki posisi nomor dua, paling tidak jugaberlaku sama

Padahal langkah maju telah terjadi diKabupaten Pasuruan, Jawa Timur, sebuahrestoran khusus menjual berbagai ma-kanan dari ubi jalar. Di samping di tempatasalnya di tepi jalan raya, perusahaan inijuga telah mengembangkan sebuah res-toran baru yang diberi nama “Warung Da-un”. Di salah satu dindingnya tertulis “Re-publik Telo”. Semula, rumah makan inimengawali usahanya dengan mema-sarkan bakpao yang dibuat dari ubi jalar.

Sukses mereka memasarkan bakpaotelo kemudian dilanjutkan denganmengembangkan berbagai produk lainnyadari bahan baku yang sama. Hampir se-muanya berwarna ungu karena bahan ba-kunya dari ubi jalar yang berwarna ungu.

Mereka sangat kreatif menciptakanberbagai kue. Dalam bentuk kering hadirpula kripik ubi jalar. Juga ada es krim danjus dari ubijalar. Pada tahap berikutnyamereka mengembangkan mi yang dibuatdari ubi jalar. Warna mie-nya juga ungu.Tidak ada bedanya dengan mie gorengenak lainnya. Belakangan ini juga telahdibuat bakpia telo yang malah langsungmendapat penghargaan Presiden SusiloBambang Yudhoyono sebagai jajanantradisional terbaik.

Ubi jalar yang dibudidayakan dalam ska-la industri oleh perusahaan ini semuanyaberwarna ungu. Karena itu, semua produkderivatifnya pun berwarna ungu. Bukansaja ungu merupakan warna yang lebihcantik, tetapi ubi jalar ungu juga mengan-dung Vitamin A lebih banyak, sehinggabermanfaat bagi kesehatan mata kita.Sama dengan bayam merah yang lebihbagus dibanding bayam hijau.

Menurut Futuris Alvin Toffler dalambukunya, Gelombang Ketiga (Third Wave,1980), dalam pertanian GelombangKetiga, petani menerapkan teknologiGelombang (Peradaban) Ketiga, dalam halini adalah bioteknologi dan rekayasagenetika. Itu sebabnya, pertaniannya pundisebut pertanian berbasis bioteknologi(biotechnology- based agriculture).

Terkait dengan pertanian GelombangKetiga, daya saing petani pun dapatdipacu dengan pemanfaatan teknologidan kecerdasan untuk mengelolapotensi secara kreatif

viddy dan mth

Seribu Cara Olah PanganSeribu Cara Olah Pangan