Page 1
o l e h k a n m e n g i n te r u p s i B khutbah Jumat? Soalan ini
s e m p a t c u k u p r a m a i
dibicarakan di dunia maya, terutama di
jejaring maya Twitter, menyusul adanya
'fatwa'—atau tepatnya hasil Bahtsul
Masail (BM)—NU tentang bolehnya
menginterupsi khutbah yang 'ngawur',
yakni yang menebar kebencian atau,
dalam bahasa hasil BM itu, “memuji
orang yang tak layak untuk dipuji atau
mencaci orang yang sebenarnya tidak
layak dicaci.”
' Fatwa' tentang bolehnya
menginterupsi khutbah ini adalah
jawaban terhadap penanya yang
bertanya perihal khutbah yang sering
ia temui, yang “menyampaikan materi
yang sangat menyinggung perasaan,
misalnya menjelek-jelekkan orang lain
dan memusuhi kelompok lain secara
terang-terangan.”
Ihwal bolehnya menginterupsi
khutbah Jumat ini sebenarnya bukan
bahasan baru. Pembahasan tentang
ini tercatat dalam literatur klasik Islam.
Pendapat dalam jawaban BM NU itu
bersandar pada, sesuai yang
Buletin SANTRI Edisi 07Jum’at, 03 April 2015 1Buletin SANTRI Edisi 07
Jum’at, 03 April 20154
Edisi 07/2015
Khutbah Jumat dan InterupsiOleh: Aziz Anwar Fachrudin*
Jawaban: Mendirikan shalat dengan bahasa selain Arab hukumnya perlu dipilah-pilah.
Shalat dengan terjemah surat al-Fatihah hukumnya tidak sah. Namun, Abu Hanifah
berpendapat bahwa membaca al-Fatihah dengan terjemah diperbolehkan khusus bagi
orang yang tidak mampu membaca Arab.
Adapun selain bacaan al-Fatihah apakah boleh diterjemahkan?
Menurut Imam Malik, Imam Ishak, dan sebagian Syafi'iyyah: hukumnya dilarang dan
shalatnya batal. Menurut Imam Syafi'i: hukumnya makruh dan shalatnya tdk batal. Imam
Zarkasyi, boleh membaca bacaan selain al-Fatihah dengan terjemah bagi orang yang
tidak mampu membaca Arab.
Pertanyaan: Assalamu'alaikum Ustadz. Bolehkah kita berdoa memakai bahasa kita
(bukan bahasa arab) dalam sholat khususnya pada saat sujud?
Fajar. Kulon Progo
Terjemah dalam Shalat
“Tidak penting apapun agamamu atau sukumu,
kalau kamu bisa melakukukan sesuatu yang baik untuk semua orang,
Orang tidak akan tanya apa agamamu.”
-KH. Abdurrahman Wahid
Page 2
diberitakan di laman nu.or.id,
pendapat dalam Mazhab Maliki, yang
direkam dalam Al-Fiqh 'ala Madzahib
a l - A r b a ' a h ( I / 3 6 1 ) k a r y a
Abdurrahman al-Juzairi; kitab yang
tergolong mu'tabarah (reliable) dan
sering dirujuk oleh setiap yang
mengkaji fikih perbandingan mazhab
(internal Sunni).
Pandangan itu bukan hal baru
karena memang pernah ada
presedennya dalam sejarah Islam
perdana, baik di zaman Nabi maupun
zaman Sahabat, dan terekam dalam
hadis-hadis sahih. Ada diceritakan
dalam Sahih Bukhari (967) dan Muslim
(897), misalnya, bahwa saat Nabi
sedang berkhutbah, ada seseorang
yang menginterupsi seraya meminta
Nabi agar berdoa untuk keselamatan
kampungnya yang kerontang karena
kemarau panjang. La lu Nabi
mengabulkan interupsi itu. Juga
diriwayatkan, Nabi memerintahkan
orang yang baru datang untuk salat
sunnah tahiyyatul-masjid dulu
(Bukhari 888 & Muslim 875).
Pada zaman Sahabat, khutbah
Umar ibn a l -Khattab pernah
diinterupsi oleh seorang perempuan
yang protes karena mahar pernikahan
dimurahkan. Pada zaman Daulah
U m a w i , b e b e r a p a o r a n g
menginterupsi khutbah Jenderal al-
Hajjaj ibn Yusuf yang mencaci Ali ibn
Abi Thalib. Riwayat-riwayat macam ini
bukan khas literatur klasik ala NU saja,
bahkan ia juga dikutip dalam fatwa
dari ulama 'Salafi'—saya menukil
riwayat-riwayat itu dari fatwa di laman
resminya Syaikh Muhammad Shalih
al-Munajjid.
Begitulah, maka terjadi beda
pendapat di antara para pakar fikih
tentang isu ini. Yang disepakati ialah:
yang tak boleh saat khatib berkhutbah
adalah perkataan laghwun, yakni hal
yang sia-sia dan tak berkaitan dengan
kemaslahatan ibadah Jumat. Yang
beda kemudian adalah rincian dari
apa yang terkategori laghwun atau
b u k a n . S e b a g i a n p e n d a p a t
menyatakan, boleh memeringatkan
khatib yang bacaan al-Qurannya
keliru, bahkan menginterupsi khatib
yang bicara 'ngawur' seper t i
pendapat yang dikutip NU itu.
Persoalan ini bisa dimengerti
karena memang akhir-akhir ini banyak
khutbah yang dipakai untuk menebar
benci, kampanye politik, atau fitnah
tentang orang atau kelompok
tertentu. Ini terjadi terutama khutbah
di kota-kota, sebab di desa-desa apa
yang dikhutbahkan biasanya sudah
dipakemkan, dengan membaca
buku/kitab tertentu.
Hanya, problemnya kemudian
ialah orang-orang khawatir kalau
khutbah kok diinterupsi bisa terjadi
kekacauan. Menanggapi jawaban BM
NU itu, Muhammadiyah cenderung
melarang interupsi , dengan
berdasar pada prinsip fikih
s a d d a d z - d z a r i ' a h
(menutup potensi
yang menimbulkan
tindak mudarat).
Karena itu, dalam
p a n d a n g a n
Muhammadiyah
i n i , k a l a u
mendapati khutbah
yang 'ngawur' dan
membuat kuping panas
sebaiknya seorang jamaah
melakukan mufaraqah atau walk-out
saja, lalu ganti salat sendiri.
Di atas segalanya, munculnya
berbagai pandangan tentang
khutbah itu perlu agar umat pelan-
pelan menyadari watak f ikih:
pluralitas pandangan itu niscaya
adanya. Dalam kadar tertentu,
kemajemukan pendapat itu justru
m e m u d a h k a n u m a t . S e p e r t i
perkataan yang masyhur ternisbat
kepada Khalifah Umar ibn Abdil Aziz:
“Aku lebih senang bila para ulama
berbeda pendapat, sebab dengan itu
ada banyak pilihan bagi umat.
Itu juga agar umat belajar
untuk tak kagetan, sebab banyak yang
t e r l a n j u r t e r b i a s a d e n g a n
pandangan yang seragam.
J u g a , b i a r u m a t
mempelajari kembali
b a g a i m a n a
sebenarnya khutbah
z a m a n N a b i .
Misalnya, Nabi itu
salat Jumatnya lebih
panjang ketimbang
khutbahnya. Dalam
hadis yang ser ing
dikutip dalam buku daras
fikih bab khutbah Jumat
disebutkan, “Singkat khutbah dan
panjang salat seseorang adalah tanda
keda laman pemahaman atau
fikihnya.” Sementara tradisi sekarang,
setidaknya di Indonesia, tak jarang
lebih panjang khutbahnya ketimbang
salatnya. Demikian.
*Penulis adalah Santri Nurul Ummah
Kota Gede Yogyakarta
Buletin SANTRI Edisi 07Jum’at, 03 April 2015
Buletin SANTRI Edisi 07Jum’at, 03 April 2015
“Dalam hadits
yang sering dikutip dalam
buku daras fikih
bab khutbah Jumat disebutkan,
“Singkat khutbah dan panjang
salat seseorang adalah
tanda kedalaman pemahaman
atau fikihnya.”
Page 3
diberitakan di laman nu.or.id,
pendapat dalam Mazhab Maliki, yang
direkam dalam Al-Fiqh 'ala Madzahib
a l - A r b a ' a h ( I / 3 6 1 ) k a r y a
Abdurrahman al-Juzairi; kitab yang
tergolong mu'tabarah (reliable) dan
sering dirujuk oleh setiap yang
mengkaji fikih perbandingan mazhab
(internal Sunni).
Pandangan itu bukan hal baru
karena memang pernah ada
presedennya dalam sejarah Islam
perdana, baik di zaman Nabi maupun
zaman Sahabat, dan terekam dalam
hadis-hadis sahih. Ada diceritakan
dalam Sahih Bukhari (967) dan Muslim
(897), misalnya, bahwa saat Nabi
sedang berkhutbah, ada seseorang
yang menginterupsi seraya meminta
Nabi agar berdoa untuk keselamatan
kampungnya yang kerontang karena
kemarau panjang. La lu Nabi
mengabulkan interupsi itu. Juga
diriwayatkan, Nabi memerintahkan
orang yang baru datang untuk salat
sunnah tahiyyatul-masjid dulu
(Bukhari 888 & Muslim 875).
Pada zaman Sahabat, khutbah
Umar ibn a l -Khattab pernah
diinterupsi oleh seorang perempuan
yang protes karena mahar pernikahan
dimurahkan. Pada zaman Daulah
U m a w i , b e b e r a p a o r a n g
menginterupsi khutbah Jenderal al-
Hajjaj ibn Yusuf yang mencaci Ali ibn
Abi Thalib. Riwayat-riwayat macam ini
bukan khas literatur klasik ala NU saja,
bahkan ia juga dikutip dalam fatwa
dari ulama 'Salafi'—saya menukil
riwayat-riwayat itu dari fatwa di laman
resminya Syaikh Muhammad Shalih
al-Munajjid.
Begitulah, maka terjadi beda
pendapat di antara para pakar fikih
tentang isu ini. Yang disepakati ialah:
yang tak boleh saat khatib berkhutbah
adalah perkataan laghwun, yakni hal
yang sia-sia dan tak berkaitan dengan
kemaslahatan ibadah Jumat. Yang
beda kemudian adalah rincian dari
apa yang terkategori laghwun atau
b u k a n . S e b a g i a n p e n d a p a t
menyatakan, boleh memeringatkan
khatib yang bacaan al-Qurannya
keliru, bahkan menginterupsi khatib
yang bicara 'ngawur' seper t i
pendapat yang dikutip NU itu.
Persoalan ini bisa dimengerti
karena memang akhir-akhir ini banyak
khutbah yang dipakai untuk menebar
benci, kampanye politik, atau fitnah
tentang orang atau kelompok
tertentu. Ini terjadi terutama khutbah
di kota-kota, sebab di desa-desa apa
yang dikhutbahkan biasanya sudah
dipakemkan, dengan membaca
buku/kitab tertentu.
Hanya, problemnya kemudian
ialah orang-orang khawatir kalau
khutbah kok diinterupsi bisa terjadi
kekacauan. Menanggapi jawaban BM
NU itu, Muhammadiyah cenderung
melarang interupsi , dengan
berdasar pada prinsip fikih
s a d d a d z - d z a r i ' a h
(menutup potensi
yang menimbulkan
tindak mudarat).
Karena itu, dalam
p a n d a n g a n
Muhammadiyah
i n i , k a l a u
mendapati khutbah
yang 'ngawur' dan
membuat kuping panas
sebaiknya seorang jamaah
melakukan mufaraqah atau walk-out
saja, lalu ganti salat sendiri.
Di atas segalanya, munculnya
berbagai pandangan tentang
khutbah itu perlu agar umat pelan-
pelan menyadari watak f ikih:
pluralitas pandangan itu niscaya
adanya. Dalam kadar tertentu,
kemajemukan pendapat itu justru
m e m u d a h k a n u m a t . S e p e r t i
perkataan yang masyhur ternisbat
kepada Khalifah Umar ibn Abdil Aziz:
“Aku lebih senang bila para ulama
berbeda pendapat, sebab dengan itu
ada banyak pilihan bagi umat.
Itu juga agar umat belajar
untuk tak kagetan, sebab banyak yang
t e r l a n j u r t e r b i a s a d e n g a n
pandangan yang seragam.
J u g a , b i a r u m a t
mempelajari kembali
b a g a i m a n a
sebenarnya khutbah
z a m a n N a b i .
Misalnya, Nabi itu
salat Jumatnya lebih
panjang ketimbang
khutbahnya. Dalam
hadis yang ser ing
dikutip dalam buku daras
fikih bab khutbah Jumat
disebutkan, “Singkat khutbah dan
panjang salat seseorang adalah tanda
keda laman pemahaman atau
fikihnya.” Sementara tradisi sekarang,
setidaknya di Indonesia, tak jarang
lebih panjang khutbahnya ketimbang
salatnya. Demikian.
*Penulis adalah Santri Nurul Ummah
Kota Gede Yogyakarta
Buletin SANTRI Edisi 07Jum’at, 03 April 2015
Buletin SANTRI Edisi 07Jum’at, 03 April 2015
“Dalam hadits
yang sering dikutip dalam
buku daras fikih
bab khutbah Jumat disebutkan,
“Singkat khutbah dan panjang
salat seseorang adalah
tanda kedalaman pemahaman
atau fikihnya.”
Page 4
o l e h k a n m e n g i n te r u p s i B khutbah Jumat? Soalan ini
s e m p a t c u k u p r a m a i
dibicarakan di dunia maya, terutama di
jejaring maya Twitter, menyusul adanya
'fatwa'—atau tepatnya hasil Bahtsul
Masail (BM)—NU tentang bolehnya
menginterupsi khutbah yang 'ngawur',
yakni yang menebar kebencian atau,
dalam bahasa hasil BM itu, “memuji
orang yang tak layak untuk dipuji atau
mencaci orang yang sebenarnya tidak
layak dicaci.”
' Fatwa' tentang bolehnya
menginterupsi khutbah ini adalah
jawaban terhadap penanya yang
bertanya perihal khutbah yang sering
ia temui, yang “menyampaikan materi
yang sangat menyinggung perasaan,
misalnya menjelek-jelekkan orang lain
dan memusuhi kelompok lain secara
terang-terangan.”
Ihwal bolehnya menginterupsi
khutbah Jumat ini sebenarnya bukan
bahasan baru. Pembahasan tentang
ini tercatat dalam literatur klasik Islam.
Pendapat dalam jawaban BM NU itu
bersandar pada, sesuai yang
Buletin SANTRI Edisi 07Jum’at, 03 April 2015 1Buletin SANTRI Edisi 07
Jum’at, 03 April 20154
Edisi 07/2015
Khutbah Jumat dan InterupsiOleh: Aziz Anwar Fachrudin*
Jawaban: Mendirikan shalat dengan bahasa selain Arab hukumnya perlu dipilah-pilah.
Shalat dengan terjemah surat al-Fatihah hukumnya tidak sah. Namun, Abu Hanifah
berpendapat bahwa membaca al-Fatihah dengan terjemah diperbolehkan khusus bagi
orang yang tidak mampu membaca Arab.
Adapun selain bacaan al-Fatihah apakah boleh diterjemahkan?
Menurut Imam Malik, Imam Ishak, dan sebagian Syafi'iyyah: hukumnya dilarang dan
shalatnya batal. Menurut Imam Syafi'i: hukumnya makruh dan shalatnya tdk batal. Imam
Zarkasyi, boleh membaca bacaan selain al-Fatihah dengan terjemah bagi orang yang
tidak mampu membaca Arab.
Pertanyaan: Assalamu'alaikum Ustadz. Bolehkah kita berdoa memakai bahasa kita
(bukan bahasa arab) dalam sholat khususnya pada saat sujud?
Fajar. Kulon Progo
Terjemah dalam Shalat
“Tidak penting apapun agamamu atau sukumu,
kalau kamu bisa melakukukan sesuatu yang baik untuk semua orang,
Orang tidak akan tanya apa agamamu.”
-KH. Abdurrahman Wahid