Manual
Bab
1
LATAR BELAKANG
Pertumbuhan sektor perkebunan di Provinsi Riau sangat pesat jika
ditinjau dari laju ekspansinya, hal ini didukung oleh kesesuaian
kondisi agroekologi yang sesuai untuk pengembangan tanaman
perkebunan seperti karet, kelapa dan kelapa sawit. Pembangunan
perkebunan didukung pula oleh Visi dan Misi Riau, yang menjadikan
agrobisnis menjadi salah satu strategi peningkatan perekonomian.
Hal ini terlihat dari tingginya persentase peruntukkan lahan bagi
pengembangan perkebunan di Provinsi Riau yang meliputi 36,61% atau
3.302.576 ha (Bappeda Provinsi Riau, 2005). Tanaman kelapa sawit
merupakan komoditi primadona yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan
sangat diminati oleh para investor dan masyarakat. Pertumbuhan
perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau mencapai 6% pertahun, pada
tahun 2005 sudah mencapai luas 1,6 juta hektar dan diharapkan pada
tahun 2010 akan mencapai pertumbuhan optimal seluas 2,3 juta hektar
(Dinas Perkebunan Provinsi Riau, 2005). Pertumbuhan perkebunan
kelapa sawit yang demikian pesat di sisi lain dapat berimplikasi
terhadap tatanan lingkungan dan terjadinya alih fungsi lahan.
Selain itu, kegiatan perkebunan kelapa sawit yang dilakukan
perusahaan banyak menimbulkan konflik sosial dan sengketa
kepemilikan lahan dengan masyarakat. Secara umum Dampak yang
ditimbulkan oleh pembukaan Perkebunan adalah sebagai berikut :
1. Kegiatan ekspansi perkebunan menjadi salah satu penyebab
berkurangnya kawasan hutan di Provinsi Riau.
2. Terjadi tendensi ke arah perkebunan monokultur karena
pengembangan kelapa sawit secara besar besaran.
3. Hilangnya kesempatan kepemilikan lahan oleh masyarakat karena
ekspansi besar besaran dari perusahaan perkebunan.
4. Kegiatan perekonomian sektor perkebunan di Provinsi Riau
relatif tidak banyak meningkatkan kesejahteraan masyarakat karena
hanya dikuasai oleh sekelompok kecil pengusaha/cukong.
5. Perputaran uang dari sektor perkebunan relatif tidak
menguntungkan pembangunan daerah karena umumnya pemilik modal
berada di luar Riau (capital flight).
Selain permasalahan di atas, ditemukan pula banyak perusahaan
yang hanya memiliki kebun inti, tapi tidak memiliki kebun plasma.
Beberapa perusahaan melakukan perobahan komoditi, sehingga komoditi
yang sekarang diusahakan tidak sesuai dengan yang disyaratkan dalam
perizinan. Beberapa perusahaan merealisasikan penanaman melebihi
luas HGU, yang berarti perusahaan menguasai lahan tanpa izin.
Sementara itu beberapa perusahaan lainnya merealisasikan penanaman
kurang dari luas HGU, yang berarti perusahaan menerlantarkan lahan.
Selanjutnya ditemukan juga kasus lain; yaitu lokasi tanam
perusahaan yang tidak sinkron dengan lokasi pencadangan dan
HGU.
Kabupaten Rokan Hilir juga tidak terlepas dari permasalahan
tersebut Secara ringkas luasan realisasi tanam hasil survai, luasan
HGU, perhitungan kelebihan dan kekurangan realisasi tanam dari HGU
disajikan dari masing-masing perusahaan disajikan pada Tabel
berikut ini.
Tabel 1.Data luas HGU, realisasi tanam inti, plasma dan selisih
HGU inti dan survei perusahaan perkebunan di Rokan Hilir.
NoPerusahaanLuas
HGU
(Ha)Realisasi tanam hasil survei (Ha)Selisih
HGU dan
Survei (Ha)
IntiPlasma
1.PT Salim Ivomas Pratama27.0009.688,20-+13.812,10
Jumlah Kelebihan13.812,10
2.PT Tunggal Mitra Plantation16.66012.683,17-3.976,83
3.PT Jatim Jaya Perkasa8.2007.941,24-258,76
4.PT Cibaliyung Plantation4.9774.791,93-185.07
Jumlah Kekurangan4.420,66
Sumber : Pemprov Riau 2005
Oleh karenanya, upaya meningkatkan kemampuan masyarakat miskin
dalam memiliki kebun sebagai sarana kegiatan usaha ekonomi
produktif di Kabupaten Rokan Hilir merupakan salah satu bentuk
kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan yang sangat
strategis untuk dijalankan. Dengan kepemilikan atas kebun secara
ekonomis diharapkan masyarakat miskin akan memiliki aset ekonomis
berupa faktor produksi yang mampu digunakan untuk menggerakkan
kegiatan usaha ekonomi produktif dalam sektor pertanian atau
agribisnis.
Dengan memperhatikan permasalahan tersebut diatas, maka kegiatan
penelitian tentang kemampuan masyarakat miskin untuk memiliki kebun
dalam konstelasi dan praktik kapitalisme pertanahan di Kabupaten
Rokan Hilir merupakan urgensi yang mendesak yang harus dilakukan.
Diharapkan penelitian ini akan mampu menggali berbagai permasalahan
yang terkait dengan upaya meningkatkan kemampuan masyarakat miskin
dalam memiliki kebun; serta permasalahan lainnnya yang terkait
dengan konstelasi dan praktik kapitalisme pertanahan di Kabupaten
Rokan Hilir. Disamping itu, penelitian ini diharapkan dapat
memberikan rekomendasi kebijakan yang tepat dalam upaya
penanggulangan kemiskinan melalui peningkatan kemampuan kepemilikan
atas kebun di Kabupaten Rokan Hilir.
Bab
2
PERUSAHAAN PERKEBUNANPerkebunan mempunyai kedudukan yang penting
di dalam pengembangan pertanian baik di tingkat nasional maupun
regional. Perkembangan kegiatan perkebunan di Rokan Hilir cenderung
menunjukkan peningkatan. Hal ini dapat dilihat dari semakin luasnya
lahan perkebunan, meningkatnya produksi, dan semakin beragamnya
jenis tanaman perkebunan.
Tanaman perkebunan yang merupakan tanaman perdagangan yang cukup
potensial di daerah ini adalah kelapa, kelapa sawit, kopi kakao,
pinang dan sagu.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten
Rokan Hilir, komoditi kelapa sawit tetap merupakan komoditi yang
paling diandalkan karena menghasilkan produksi sampai 371.899 ton
pada tahun 2002.
Hasil pendataan/inventarisasi Perusahaan perkebunan yang telah
dilakukan pengukuran dan realisasi tanam adalah sebagaiman
berikut.
2.1. PT. Salim Ivomas Pratama (SIP)
Gambar 1.Peta hasil survey PT. SALIM IVOMAS PRATAMA
Perusahaan ini memiliki 4 kebun yakni Kebun Kencana, Kayagan,
Sungai dua dan Kebun Balam. Perusahaan ini memiliki HGU seluas
9.688,2 hektar. Luas realisasi tanam kebun inti hasil pengukuran
seluas 23.500,30 hektar, dengan demikian PT SIP ini menguasai lahan
diluar HGU seluas 13.812,10 hektar. Namun demikian Perusahaan ini
telah memiliki izin pencadangan tanah seluas 27.000 hektar.
Penanaman tertua telah direalisir pada tahun 1984 yang saat ini
berusia 21 tahun. Kebun termuda ditanam pada tahun yang dimiliki
Kelapa sawit tertua tahun tanam 1984 (21 tahun) dan termuda tahun
tanam 1988 (7 tahun).
PT. SIP juga menguasai tanah perkebebunan melebih izin HGU
seluas 3.812,10 hektar. Izin HGU yang dimiliki perusahaan ini
seluas 9.688,2 hektar. Dari hasil kajian lapangan realisasi tanam
kebun inti telah mencapai 2.615,37 hektar.
Dengan adanya penguasaan tanah/lahan yang tidak sah dan melawan
hukum yang telah dilakukan oleh PT SIP, maka menurut hukum tanah
tersebut adalah tanah negara atau yang dikuasai oleh negara.
Sebagai konsekwensi hukumnya negara dapat bertindak tegas dan
melakukan pelarangan serta memberikan sanksi-sanksi hukum bagi
perusahaan yang telah menguasai tanah negara yang menjadi hajat
hidup orang banyak yang dilakukan tanpa izin.
Dasar hukum pelanggaran terhadap norma-norma atau hukum yang
telah dikesampingkan tersebut adalah Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 24 Tahun 1997, Pasal 1 ayat (3) menyebutkan, tanah negara
atau tanah yang dikuasai langsung oleh negara adalah tanah yang
tidak dipunyai dengan sesuatu hak atas tanah.
Kelebihan tanah yang dikuasai oleh PT SIP melebihi izin HGU
seluas 13812,10 Ha adalah tanah negara, penguasaan tanah demikian
adalah tanpa hak dan melawan hukum.
Undang-undang Nomor 51 PRP Tahun 1960, Pasal 2 yang berbunyi
Dilarang memakai tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang
sah. Penguasaan/Pemakaian tanah melebihi HGU adalah tidak sah dan
melawan hukum, sehingga dianggap belum diberikan hak
penguasaan/pemakaian oleh yang berhak untuk itu (negara/Menteri
Agraria/BPN).
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 pasal 4 ayat (2) yang
berbunyi Dalam tanah yang diberikan dengan HGU itu adalah tanah
negara yang merupakan kawasan hutan, maka pemberian HGU dapat
dilakukan setelah tanah yang bersangkutan dikeluarkan dari
statusnya sebagai kawasan hutan.
Tanah negara yang dipakai/dikuasai melebihi atau diluar izin
HGU, maka tentunya belum dikeluarkan statusnya sebagai kawasan
hutan, maka dengan demikian melanggar aturan-aturan dalam
kehutanan, yakni telah mengerjakan/menggunakan hutan tanpa
izin.
2.2. PT. Tunggal Mitra Plantation (TMP)
Gambar 2. Peta hasil survey PT. TUNGGAL MITRA PLANTATION
Luas izin HGU perusahan ini 16.600 hektar, sementara hasil
pengukuran lapangan diperoleh bahwa realisasi tanam kebun inti
seluas 12.683,17 hektar. Dengan demikian masih terdapat lahan HGU
seluas 3976,83 hektar yang belum dimanfaatkan.
Perbedaan luas area antara yang diusahakan dan sedang sikuasai
oleh PT TMP dengan luas izin (SK HGU) yang diberikan Badan
Pertanahan Nasional seluas 3.976,83 hektar. Dengan demikian PT TMP
tidak memanfaatkan tanah/lahan yang telah diberikan izin Hak Guna
Usaha oleh BPN, sehingga secara hukum PT TMP telah mentelantarkan
lahan/tanah negara secara tidak sah dan melawan hukum seluas
3.976,83 hektar.
Dengan adanya penguasaan lahan yang tidak dimanfaatkan sesuai
dengan peruntukannya yang telah dilakukan oleh PT TMP maka menurut
hukum pertanahan PT TMP, sebagai pemegang izin HGU, tidak
menjalankan dan memenuhi kewajibannya sebagaimana diatur oleh
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, pasal 12 ayat (1) huruf
(b) yang berbunyi: Pemegang Hak Guna Usaha berkewajiban untuk
melaksanakan usaha pertanian, perkebunan, perikanan dan/atau
peternakan sesuai dengan peruntukan dan persyaratan sebagaimana
ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya. Di samping kewajiban
tersebut maka PT TMP juga berkewajiban untuk Menyampaikan laporan
tertulis setiap akhir tahun mengenai penggunaan Hak Guna Usaha
(Pasal 12 (1) huruf (f)). Sebagai konsekwensi hukumnya negara dapat
bertindak tegas dan melakukan pelarangan serta memberikan
sanksi-sanksi hukum bagi perusahaan yang telah menguasai tanah
negara yang tidak dimanfaatkan.
2.3. PT. Jatim Jaya Perkasa (JJP)
Gambar 3.Peta hasil survey PT. JATIM JAYA PERKASA
Sama halnya dengan perusahaaan sebelumnya PT JJP luas izin HGU
inti 8.200 hektar, sementara realisasi kebun inti didata seluas
7.941,24 hektar, plasma tidak ada. Dengan demikian masih ada lahan
HGU seluas 258,76 hektar yang belum diusahakan.
Perbedaan luas area antara yang diusahakan dan sedang sikuasai
oleh PT JJP dengan luas izin (SK HGU) yang diberikan Badan
Pertanahan Nasional seluas 8200 hektar. Dengan demikian PT JJP
tidak memanfaatkan tanah/lahan yang telah diberikan izin Hak Guna
Usaha oleh BPN, sehingga secara hukum PT JJP telah mentelantarkan
lahan/tanah negara secara tidak sah dan melawan hukum seluas 258,76
hektar.
Dengan adanya penguasaan lahan yang tidak dimanfaatkan sesuai
dengan peruntukannya yang telah dilakukan oleh PT JJP maka menurut
hukum pertanahan PT JJP, sebagai pemegang izin HGU, tidak
menjalankan dan memenuhi kewajibannya sebagaimana diatur oleh
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, pasal 12 ayat (1) huruf
(b) yang berbunyi: Pemegang Hak Guna Usaha berkewajiban untuk
melaksanakan usaha pertanian, perkebunan, perikanan dan/atau
peternakan sesuai dengan peruntukan dan persyaratan sebagaimana
ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya. Di samping kewajiban
tersebut maka PT JJP juga berkewajiban untuk Menyampaikan laporan
tertulis setiap akhir tahun mengenai penggunaan Hak Guna Usaha
(Pasal 12 (1) huruf (f)). Sebagai konsekwensi hukumnya negara dapat
bertindak tegas dan melakukan pelarangan serta memberikan
sanksi-sanksi hukum bagi perusahaan yang telah menguasai tanah
negara yang tidak dimanfaatkan
2.4. PT. Cibaliung Plantation (CP)
Gambar 4. Peta hasil survey PT.CIBALIUNG PLANTATION
Hasil inventarisasi menunjukkan bahwa perusahaan ini memiliki
izin HGU 4.977 hektar, sementara realisasi tanam kebun inti seluas
4.791,93 hektar. Dengan demikian perusahaan ini tidah mengoleh
lahan HGU seluas 185,07 hektar.
Perbedaan luas area antara yang diusahakan dan sedang sikuasai
oleh PT CP dengan luas izin (SK HGU) yang diberikan Badan
Pertanahan Nasional seluas 4.977 hektar. Dengan demikian PT CP
tidak memanfaatkan tanah/lahan yang telah diberikan izin Hak Guna
Usaha oleh BPN, sehingga secara hukum PT CP telah mentelantarkan
lahan/tanah negara secara tidak sah dan melawan hukum seluas 185,07
hektar.
Dengan adanya penguasaan lahan yang tidak dimanfaatkan sesuai
dengan peruntukannya yang telah dilakukan oleh PT CP maka menurut
hukum pertanahan PT CP, sebagai pemegang izin HGU, tidak
menjalankan dan memenuhi kewajibannya sebagaimana diatur oleh
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, pasal 12 ayat (1) huruf
(b) yang berbunyi: Pemegang Hak Guna Usaha berkewajiban untuk
melaksanakan usaha pertanian, perkebunan, perikanan dan/atau
peternakan sesuai dengan peruntukan dan persyaratan sebagaimana
ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya. Di samping kewajiban
tersebut maka PT CP juga berkewajiban untuk Menyampaikan laporan
tertulis setiap akhir tahun mengenai penggunaan Hak Guna Usaha
(Pasal 12 (1) huruf (f)). Sebagai konsekwensi hukumnya negara dapat
bertindak tegas dan melakukan pelarangan serta memberikan
sanksi-sanksi hukum bagi perusahaan yang telah menguasai tanah
negara yang tidak dimanfaatkan.Bab
3FAKTA DAN ANALISAA. HASIL SURVEY
Secara umum beragam kompleksitas dari masalah dan perbedaan
persepsi dari berbagai pihak ditemukan di lapangan. Karena beragam
dan kompleksnya temuan masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam;
(1) Pemanfaatan lahan (2) Potensi Konflik Sosial (3)
Ketenagakerjaan (4) Kepedulian Perusahaan (5) Potensi Perekonomian
Masyarakat dan (6) Potensi ancaman sektor perkebunan terhadap
sumberdaya alam dan lingkungan. 3.1. Pemanfaatan Lahan
Dari hasil tumpang susun (overlay) peta realisasi tanam hasil
survei lapangan dengan peta HGU perusahaan, terindikasi bahwa
sebagian perusahaan menyimpang dari perizinan. Beberapa perusahaan
merealisasikan penanaman melebihi luas Hak Guna Usaha (HGU),
sementara perusahaan merealisasikan perkebunan dengan luas kurang
HGU, yang berarti menerlantarkan lahan. Selanjutnya ditemukan juga
kasus lain; seperti lokasi tanam tidak sinkron dengan lokasi HGU,
perusahaan tidak memiliki plasma, perusahaan tidak sesuainya
komoditi yang ditanam dengan apa yang disyaratkan dalam
perizinan.
3.2 Potensi Konflik Sosial
Berdasarkan pengkajian lapangan dan wawancara dengan pihak
pemerintah lokal (Camat, Kepala Desa), tokoh pemuda dan tokoh
masyarakat, teridentifikasi masalah yang dapat menjadi potensi
pemicu konflik. Masalah tersebut meliputi: gantirugi yang belum
selesai oleh perusahaan, penyerobotan lahan perusahaan oleh
masyarakat, penyerobotan lahan masyarakat oleh perusahaan, tumpang
tindih penggunaan lahan dan perizinan, tidak direalisasikannya
enclave oleh perusahaan dan terjadinya jual beli perizinan di bawah
tangan.
3.3. Ketenagakerjaan
Permasalahan ketenagakerjaan di sektor perkebunan juga
seringkali menjadi salah satu pemicu konflik dan permasalahan
lainnya. Dari survei lapangan ditemukan hal hal sebagai berikut
:
1. Rendahnya kualifikasi SDM masyarakat lokal2. Rendahnya upah
buruh perkebunan yang tidak sebanding dengan tuntutan pekerjaan
3. Motivasi dan etos kerja yang rendah pada masyarakat lokal
4. Nepostime dalam rekuetmen karyawan dan buruh dari pihak
perusahaan
5. Budaya masyarakat lokal yang tidak familiar dengan
perkebunan, khusunya perkebunan sawit
3.4. Kepedulian Perusahaan
Dari survei lapangan ditemukan bahwa kepekaan dan kepedulian
perusahaan terhadap lingkungan masyarakat sekitar secara umum masih
kurang dan belum memberikan manfaat yang berarti seperti: kurang
perhatian perusahaan kepada pemerintah dan masyarakat setempat,
kurangnya perhatian perusahaan terhadap kesejahteraan karyawan dan
buruh, banyak perusahaan yang tidak memiliki program pengembangan
dan pemberdayaan masyarakat (CD), kurangnya pembinaan perusahaan
terhadap petani plasma, jeleknya pengelolaan terhadap
lingkungan.
3.5. Potensi Perekonomian Masyarakat
Pengaruh pembangunan sektor perkebunan secara statistik
meningkatkan perekonomian wilayah (regional income), namun fakta di
lapangan menunjukkan dampak perekonomian ini hanya dinikmati oleh
investor. Sedangkan kontribusinya terhadap Pendapatan Asli Daerah
tidak terlalu besar, bahkan keberadaan perusahaan perkebunan belum
meningkatkan perekonomian masyarakat setempat secara signifikan.
Perputaran uang hasil perkebunan biasanya tidak pada daerah
tersebut. Lebih ironisnya, ada daerah yang potensi perekonomiannya
terkekang karena tertutupnya akses jalan yang dimiliki oleh
perusahaan, padahal akses tersebut sangat strategis bagi
masyarakat.
3.6. Dampak Pembangunan PerkebunanPertumbuhan sektor perkebunan
berkembang pesat di Riau ditinjau dari laju ekspansinya, hal ini
didukung oleh Visi dan Misi Riau, yang menjadikan agrobisnis
menjadi salah satu strategi peningkatan perekonomian. Namun
pembangunan sektor ini perlu diwaspadai karena adanya potensi
ancaman, seperti hal hal yang ditemukan sebagai berikut :
1. Kegiatan ekspansi perkebunan menjadi salah satu penyebab
berkurangnya kawasan hutan di Riau
2. Terjadinya tendensi kearah perkebunan monokultur (komoditi
sawit)
3. Hilangnya kesempatan kepemilikan lahan bagi masyarakat karena
ekspansi perusahaan-perusahaan besar
4. Kegiatan perekonomian sektor perkebunan di Riau hanya
dikuasai oleh sebagian kecil pengusaha
5. Perputaran uang dari sektor perkebunan kurang menguntungkan
daerah karena umumnya pemilik modal berada di luar Riau
B. ANALISA
3.1. Aspek Yuridis
Dari kompilasi data survei pemetaan lapangan pada lokasi HGU
perusahaan perkebunan, dan dibandingkan dengan hasil overlay peta
ditemukan fakta lapangan yang menyangkut luasan HGU seperti
terangkum pada Tabel 3.1.
Terjadinya kasus realisasi tanam yang dikuasai beberapa
perusahaan yang melebihi HGU, merupakan kegiatan tidak sah dan
melawan okum yaitu Undang Undang N0 51 PRP Tahun 1980 pasal 2 yang
berbunyi Dilarang memekai tanah tanpa izin yang berhak atau
kuasanya yang sah. Hak pengusahaan terhadap kelebihan HGU belum
diberikan dan dianggap tidak sah. Sejalan dengan kasus tersebut,
kegiatan perusahaan tanpa HGU termasuk kegiatan melawan okum yakni
mengeksploitasi/menggunakan lahan tanpa izin. Bila dikaitkan dengan
Undang Undang No 41 Tahun 1999, pasal 50 ayat (3a) yang menyatakan
bahwa setiap orang dilarang mengerjakan dan atau menggunakan dan
atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah, dan kegiatan ini
tergolong merambah kawasan hutan tanpa izin melanggar pasal 3b).
Kelebihan lahan yang dimanfaatkan oleh perusahaan harus diambil
alih pengusaannya oleh pemerintah dan untuk dimanfaatkan demi
kemaslahatan masyarakat.
Dalam hal perusahaan perkebunan yang realisasi tanam kurang dari
HGU, hal ini berarti perusahaan telah menerlantarkan lahan menjadi
lahan kritis, karena perusahaan telah mengeksploitir hutan yang
nilai ekonominya menjanjikan. Pada gilirannya lahan semak belukar
yang belum ditanami ini menjadi lahan rawan kebakaran yang
dampaknya sangat besar terhadap lingkungan. Dari sisi konservasi
SDA, ekosistem dan lingkungan , lahan terlantar ini juga telah
menghilangkan potensi plasma nutfah dan merusah kapasitas
fungsional ekosistem.
Dari aspek yuridis kegiatan ini bertentangan dengan PP no 40
Tahun 1996, Pasal 12 ayat (b) : Setiap orang atau badan hukum, yang
telah memperoleh Hak Guna Usaha berkewajiban melaksanakan segala
sesuatu ketentuan dan persyaratan sebagai mana yang telah
ditetapkan dalam keputusan pemberian Haknya (HGU), dan setiap akhir
tahun berkewajiban pula membuat laporan tertulis mengenai
pengguanaan Hak Guna Usaha tersebut. Lahan yang belum digarap dalam
HGU perusahaan perkebunan, maka pemerintah harus mengamil alih
lahan dan selanjutnya dikembalikan sesuai dengan fungsi
kawasan.
3.2. Aspek Sosial Masalah gantirugi yang belum selesai oleh
perusahaan merupakan kasus klasik, demikian juga penyerobotan lahan
perusahaan oleh masyarakat, penyerobotan lahan masyarakat oleh
perusahaan, tumpang tindih penggunaan lahan dan perizinan, tidak
direalisasikannya enclave oleh perusahaan, terjadinya jual beli
perizinan dibawah tangan. Oleh karena itu pemerintah daerah
menginventarisir dan menjembatani permasalahan ganti rugi yang
belum selesai dengan perusahaan, demikian juga masalah enclave.
Akar dari masalah tergambar diatas terkait dengan karena kurang
transparannya pemerintah dan peperusahaan dalam proses mulai dari
pencadangan lahan sampai pada pemberian izin HGU, dimana masyarakat
local, masyarakat local dan pemerintah setempat tidak dilibatkan.
Jika hal ini dijalankan maka kasus enclave dan klaim lahan oleh
masyarakat akan terhindari. Dengan demikian sosialisasi kegiatan
pemanfaatan pembukaan perkebunan harus dijalankan dengan baik.
Selanjutnya pihak perusahaan seharusnya menjadikan masyarakat local
dan penduduk sebagai mitra.
Pemerintah melalui instansi terkait harus mengevaluasi kembali
izin perusahaan yang tumpang tindih dan mengacu kepada RTRW yang
ada.
Pemasalahan tenaga kerja disektor perkebunan merupakan suatu
ironi dan sangat memprihatinkan, seharusnya pembangunan local ini
diharapkan mampu menjadi salah satu solusi untuk mengatasi
tingginya tingkat pengangguran di Riau umumnya dan menjadi motor
dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dengan asumsi kegiatan
ini akan menyerap sebanyak mungkin tenaga kerja local, namun data
local menunjukkan kecilnya penyerapan tenaga kerja local dari local
ini. Sebahagian besar baik buruh maupun karyawan perusahaan
perkebunan di Riau adalah pendatang, hal ini disebabkan oleh
beberapa hal diantaranya adalah :
Rendahnya SDM tenaga kerja local, sehingga selalu kalah bersaing
dengan tenaga dari luar
Rendahnya upah atau penghasilan buruh dan karyawan perkebunan,
sehingga tidak menarik bagi masyarakat sekitar
Rendahnya etos kerja dan tidak mebudayanya kegiatan perkebunan
bagi sebahagian masyarakat di Riau.
Mekanisme rekruitmen karyawan perkebunan yang tidak transparan
dan tidak berpihak kepada masyarakat local.
3.3. Aspek Ekonomi
Pengaruh pembangunan sektor perkebunan secara statistik
meningkatkan perekonomian wilayah (regional income), namun fakta di
lapangan menunjukkan dampak perekonomian ini hanya dinikmati oleh
investor. Sedangkan kontribusinya terhadap Pendapatan Asli Daerah
tidak terlalu besar, bahkan keberadaan perusahaan perkebunan belum
meningkatkan perekonomian masyarakat setempat secara
signifikan.
Perputaran uang hasil perkebunan biasanya tidak pada daerah
tersebut. Secara umum dapat disimpulkan pembangunan perkebunan di
Riau saat ini belum memberikan keuntungan semaksimal mungkin baik
bagi daerah maupun bagi masyarakat. Hal ini dapat di lihat dari
berapa indikator :
Rendahnya rasio PAD sektor perkebunan dibanding penghasilan
sektor ini secara regional ( jika luas kebun di Riau 2.5 juta Ha
sekurang kurangnya 2.5 Trillium /per bulan keuntungan dari sektor
ini, atau 30 trilliun/per tahun)
Rendahnya penyerapan tenaga kerja lokal dari sektor ini
Tingginya angka kemiskinan pada daerah daerah yang justru
merupakan pusat / sentra perkebunan
Sebahagian besar lahan perkebunan di Riau hanya dikuasai oleh
sekelompok kecil pemodal, sehingga mengurangii kesempatan kemilikan
lahan oleh masyarakat.
3.3. Aspek Perkebunan dan Kehutanan
Kenyataan yang terlihat dewasa ini, hampir seluruh kabupaten di
Riau, terdapat pengembangan perkebunan kelapa sawit secara besar
besaran yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan. Pengembangan
usaha perkebunan kelapa sawit tersebut, pada umumnya diawali dengan
pembukaan areal hutan alam. Dengan demikian pengembangan kegiatan
perkebuanan kelapa sawit otomatis akan mengurangi areal hutan yang
ada di Riau. Pembukaan (eksploitasi areal hutan) yang meliputi
areal yang luas akan berdampak kemerosotan keanekarahgamaan hayati
dan terjadinya perubahan fungsi ekosistem seperti: hilangnya
beberapa jenis fauna, musnahnya beberapa jenis flora dan mikro
organisme, berubahnya kondisi iklim mikro dan terganggunga siklus
hidrologi.
Usaha perkebunan kelapa sawit merupakan primadona dan sangat
diminati oleh masyarakat dan perusahaan sejak beberapa tahun
terakhir. Hal ini disebabkan karena nilai ekonomi dan peluang pasar
dari komoditi ini yang sangat baik dan lebih menjanjikan
dibandingkan komoditi lainnya atau komoditi pangan dan
holtikultura. Perusahaan perkebunan yang ada di Riau umumnya
melakukan penanaman kelapa sawit secara monokultur, yang dapat
memberikan kemudahan dalam pengelolaan dan berpeluang memberi
keuntungan maksimal bagi perusahaan. Berkembangnya perkebunan
kelapa sawit secara besar besaran dalam hamparan yang luas mencapai
ratusan ribu hakter dengan pola tanam monokultur menyebabkan
berubahnya habitat yang dalam jangka panjang dapat berakibat
terjadinya seleksi alam terhadap jenis flora, fauna dan mikro
organisme yang mengarah kepada berkurangnya jumlah jenis dan
ancaman kepunahan. Hewan besar akan mudah mengalami over
eksploitasi perburuan yang mengancam kepunahannya. Pola tanam
monokultur dapat mengancam kelapa sawit itu sendiri, seperti
berkembangnya jenis hama dan penyakit tertentu yang dapat menyerang
dengan intensitas tinggi dan dapat mengakibatkan gagal panen atau
musnahnya tanaman kelapa sawit. Selain itu pola tanam monokultur
juga dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang besar jika harga TBS
kelapa sawit mendadak rendah.
Kegiatan perkebunan yang dilakukan oleh perusahaan yang ada di
Riau kebanyakan bersifat swakelola, tidak dengan program kemitraan,
seperti pola PIR atau KKPA yang melibatkan masyarakat dalam
kepemilikan lahan atau saham. Hal ini terlihat dalam data survei
bahwa kebanyakan perusahaan tidak memiliki kebun plasma. Masyarakat
tempatan yang umumnya terbatas kemampuan ekonominya tidak mampu
berkompotisi dengan perusahaan besar dalam mendapatkan lahan
perkebunan. Pada akhirnya, seperti yang banyak terjadi sekarang
ini, kebanyakan masyarakat tempatan kehilangan kesempatan dalam
kepemilikan lahan perkebunan. Mereka pada umumnya hanya menjadi
penonton berlimpahnya keuntungan dan kemakmuran perkebunan kelapa
sawit yang beroperasi di sekitar kampung tanah leluhur mereka. Hal
ini dalam perjalanan waktu akan berdampak kepada timbulnya
kecemburuan sosial terhadap perusahaan yang dapat mengarah kepada
permusuhan dan anarkis.
Bab
4DASAR YURIDISPeraturan Pemerintah dan perundang-undangan yang
mengatur mengenai penggunaan tanah/lahan di Indonesia meliputi:
4.1. UUD 45 Pasal 33 ayat (3) dan ( 4)
Berbunyi: Ayat (3): Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Ayat (4): Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas
azas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisisensi
berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian
serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional.
4.2. UU No 5 Tahun 1960 (LN 1960104 ; TLN 2043) Tentang
Peraturan Dasar Pokok Agraria Pasal 34 (b)
Pasal 34 (b) berbunyi Hak Guna Usaha hapus karena: Dihentikan
sebelum jangka waktunya berakhir, karena sesuatu syarat yang tidak
dipenuhi.
4.3. UU No 51 Prp 1960 (LN 1960158 ; TKN 2160 ) Tentang Larangan
Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasa Pasal 2
Pasal 2 yang berbunyi Dilarang memakai tanah tanpa izin yang
berhak atau kuasanya yang sah.
4.4. UU No 22/1999 (LN 199960 ; TLN 383) Tentang Pemerintah
Daerah
4.5. UU No 41/1999 (LN 167/1999) Tentang Kehutanan Pasal 50 ayat
3 (a), Pasal 78 ayat 2, Pasal 80 ayat 1
Pasal 50 ayat (3a) berbunyi setiap orang dilarang mengerjakan
dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak
sah, merambah kawasan hutan.
Pasal 78 ayat (2) berbunyi Barang siapa dengan sengaja melanggar
ketentuan Pasal 50 ayat (3) huruf (a), huruf (b) atau huruf (c),
diancam dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling
banyak Rp. 5.000.000.000. (lima milyar rupiah).
Pasal 50 ayat (3) berbunyi Setiap orang dilarang:
a. Mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan
hutan secara tidak sah;
b. Merambah kawasan;
c. Melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius
atau jarak sampai dengan:
1. 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau;
2. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan
sungai didaerah rawa;
3. 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai;
4. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai;
5. 2 (dua) kali kedalam jurang dari tepi jurang;
6. 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan
pasang terendah dari tepi pantai.
Pasal 80 ayat (1) berbunyi, Setiap perbuatan yang melanggar
hukum yang diatur dalam undang-undang ini dengan tidak mengurangi
sanksi pidana sebagai diatur dalam Pasal 78, mewajibkan kepada
penanggung jawab perbuatan itu untuk membayar ganti rugi sesuai
dengan tingkat kerusakan atau akibat yang ditimbulkan kepada
negara, untuk biaya rehabilitasi, pemulihan kondisi hutan, atau
tindakan lain yang diperlukan.
Pasal 80 ayat (2) ditegaskan pula bahwa Setiap pemegang izin
usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan,,
Izin usaha pemafaatan hasil hutan, Atau izin pemungutan hasil hutan
yang diatur dalam unudang-undang ini, Apabila melanggarar ketentuan
diluar ketentutuan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 78
dikenakan sanksi administrasi.
4.6. Undang Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, pasal 8 ayat (2)yang berbunyi : mengatur dan
mengembangkan kebijaksanaan dalam rangka pengelulaan lingkungan
hidup. Selanjutnya ayat (ayat 2d)mengatakan: mengendalikan kegiatan
yang mempunyai dampak sosial.
4.7. PP. 40/1996 (LN 199614) Tentang GHU, HGB, Hak Pakai atas
Tanah Pasal 9 Pasal ayat 1 dan 2, Pasal 12 (b dan f), Pasal 17 ayat
1 (b), Pasal 4 ayat 2:
Pasal 9 ayat (1) berbunyi Hak Guna Usaha dapat diperpanjang atas
permohonan pemegang hak, jika memenuhi syarat-syarat:
a. Tanahnya masih diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan,
sifat dan tujuan pemberian hak tersebut;
b. Syarat-syarat pemberian tersebut dipenuhi dengan baik oleh
pemegang hak;
c. Pemegang hak masih memenuhi syarat-syarat sebagai pemegang
hak.
Pasal 9 ayat (2) berbunyi, Hak Guna Usaha dapat diperbaharui
atas permohonan pemegang hak, jika memenuhi syarat:
a. Tanahnya masih diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan,
sifat dan tujuan pemberian hak tersebut;
b. Syarat-syarat pemberian tersebut dipenuhi dengan baik oleh
pemegang hak;
c. Pemegang hak masih memenuhi syarat-syarat sebagai pemegang
hak.
Pasal 12 ayat (b) berbunyi, Pemegang Hak Guna Usaha berkewajiban
untuk : melakukan usaha pertanian, perkebunan, perikanan dan/atau
peternakan sesuai peruntukan dan persyaratan sebagaimana ditetapkan
dalam keputusan pemberian Haknya. Pasal 12 (f) berbunyi,
menyampaikan laporan tertulis setiap akhir tahun mengenai
penggunaan Hak Guna Usaha. Pasal 17 ayat 1(b) berbunyi: Hak Guna
Usaha Hapus karena: Dibatalkan Haknya oleh Pejabat yang berwenang
sebelum jangka waktu berakhir karena:
1. Tidak terpenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang Hak dan/atau
dilarangnya ketentuan-ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 12, 13, dan/atau Pasal 14;
2. Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap.
Pasal 4 ayat (2) yang berbunyi Dalam tanah yang diberikan dengan
HGU itu adalah tanah negara yang merupakan kawasan hutan, maka
pemberian HGU dapat dilakukan setelah tanah yang bersangkutan
dikeluarkan dari statusnya sebagai kawasan hutan.
4.8. PP. 24/1997 (LN 1997-59) Tentang Pendaptaran Tanah Pasal 1
(3)Pasal 1 ayat (3) menyebutkan, Tanah negara atau tanah yang
dikuasai langsung oleh negara adalah tanah yang tidak dipunyai
dengan sesuatu hak atas tanah.
4.9. Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN 2/1993 Tentang Tata
Cara Memperoleh Izin Lokasi dan Hak Atas Tanah Bagi Perusahaan
dalam Rangka Penanaman Modal;
4.9. Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala BPN No 3/1999
Tentang Izin Lokasi 4.10. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
BPN No 3/1999 Tentang Pelimpahan Kewenagan dan Pembatalan Keputusan
Pemberian Hak Atas Tanah Negara;
4.11. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No 3/1997
Tentang Ketentuan Pelaksanaan PP 24/1997 Tentang Pendaftaran
Tanah
4.12. Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No 21/1994
Tentang Tata cara Perolehan Tanah bagi Perusahaan dalam Rangka
Penanaman Modal.
Laporan Pendahuluan