Top Banner
Dr Herry Setya Yudha Utama SpB. FInaCS. MHKes. ICS DIAGNOSA DAN PENATALAKSANAAN TUBERKULOSIS EKSTRA PULMONAL / DIAGNOSIS AND TREATMENT OF EXTRA PULMONARY TUBERCULOSIS Tulisan ini berjudul “EKSTRAPULMONAL TUBERKULOSA” ini , saya mengambil referensi dari literatur dan jaringan internet.,dalam proses penyelesaian karya tulis ini, juga untuk dukungannya baik dalam bentuk moril maupun dalam mencari referensi 1.SPONDILITIS TUBERKULOSA I. Pendahuluan Spondilitis tuberkulosa atau tuberkulosis spinal yang dikenal pula dengan nama Pott’s disease of the spine atau tuberculous vertebral osteomyelitis merupakan suatu penyakit yang banyak terjadi di seluruh dunia. Terhitung kurang lebih 3 juta kematian terjadi setiap tahunnya dikarenakan penyakit ini. Penyakit ini pertama kali dideskripsikan oleh Percival Pott
99

Dr Herry Setya Yudha Utama SpB

Oct 31, 2015

Download

Documents

diambil dari
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Dr Herry Setya Yudha Utama SpB

Dr Herry Setya Yudha Utama SpB. FInaCS. MHKes. ICS DIAGNOSA DAN PENATALAKSANAAN TUBERKULOSIS EKSTRA PULMONAL / DIAGNOSIS AND TREATMENT OF EXTRA PULMONARY TUBERCULOSIS

Tulisan ini berjudul “EKSTRAPULMONAL TUBERKULOSA” ini , saya mengambil

referensi dari literatur dan jaringan internet.,dalam proses penyelesaian karya tulis ini,

juga untuk dukungannya baik dalam bentuk moril maupun dalam mencari referensi

1.SPONDILITIS TUBERKULOSA

I. Pendahuluan

Spondilitis tuberkulosa atau tuberkulosis spinal yang dikenal pula dengan nama

Pott’s disease of the spine atau tuberculous vertebral osteomyelitis merupakan suatu

penyakit yang banyak terjadi di seluruh dunia. Terhitung kurang lebih 3 juta kematian

terjadi setiap tahunnya dikarenakan penyakit ini. Penyakit ini pertama kali dideskripsikan

oleh Percival Pott pada tahun1779 yang menemukan adanya hubungan antara kelemahan

alat gerak bawah dengan kurvatura tulang belakang, tetapi hal tersebut tidak dihubungkan

dengan basil tuberkulosa hingga ditemukannya basil tersebut oleh Koch tahun

1882,sehingga etiologi untuk kejadian tersebut menjadi jelas.

Di waktu yang lampau, spondilitis tuberkulosa merupakan istilah yang

dipergunakan untuk penyakit pada masa anak-anak, yang terutama berusia 3 – 5tahun.

Saat ini dengan adanya perbaikan pelayanan kesehatan, maka insidensi usiaini

Page 2: Dr Herry Setya Yudha Utama SpB

mengalami perubahan sehingga golongan umur dewasa menjadi lebih sering terkena

dibandingkan anak-anak.

Terapi konservatif yang diberikan pada pasien tuberkulosa tulang belakang

sebenarnya memberikan hasil yang baik, namun pada kasus – kasus tertentu diperlukan

tindakan operatif serta tindakan rehabilitasi yang harus dilakukandengan baik sebelum

ataupun setelah penderita menjalani tindakan operatif.

II. Epidemiologi

Insidensi spondilitis tuberkulosa bervariasi di seluruh dunia dan biasanya

berhubungan dengan kualitas fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat yang tersedia

serta kondisi sosial di negara tersebut. Saat ini spondilitis tuberkulosa merupakan sumber

morbiditas dan mortalitas utama pada negara yang belum dan sedang berkembang,

terutama di Asia, dimana malnutrisi dan kepadatan penduduk masih menjadi merupakan

masalah utama. Pada negara-negara yang sudah berkembang atau maju insidensi ini

mengalami penurunan secara dramatis dalam kurun waktu 30 tahun terakhir. Perlu

dicermati bahwa di Amerika dan Inggris insidensi penyakit ini mengalami peningkatan

pada populasi imigran,tunawisma lanjut usia dan pada orang dengan tahap lanjut infeksi

HIV (Medical Research Council TB and Chest Diseases Unit 1980). Selain itu dari

penelitian juga diketahui bahwa peminum alkohol dan pengguna obat-obatan

terlarang adalah kelompok beresiko besar terkena penyakit ini.

Di Amerika Utara, Eropa dan Saudi Arabia, penyakit ini terutama mengenai

dewasa, dengan usia rata-rata 40-50 tahun sementara di Asia dan Afrika sebagian besar

mengenai anak-anak (50% kasus terjadi antara usia 1-20 tahun).Pola ini mengalami

Page 3: Dr Herry Setya Yudha Utama SpB

perubahan dan terlihat dengan adanya penurunan insidensi infeksi tuberkulosa pada bayi

dan anak-anak di Hong Kong.

Pada kasus-kasus pasien dengan tuberkulosa, keterlibatan tulang dan sendi terjadi pada

kurang lebih 10% kasus. Walaupun setiap tulang atau sendi dapat terkena, akan tetapi

tulang yang mempunyai fungsi untuk menahan beban (weight bearing) dan mempunyai

pergerakan yang cukup besar (mobile) lebih sering terkena dibandingkan dengan bagian

yang lain. Dari seluruh kasus tersebut, tulang belakang merupakan tempat yang paling

sering terkena tuberkulosa tulang

(kurang lebih 50% kasus), diikuti kemudian oleh tulang panggul, lutut dan tulang-tulang

lain di kaki, sedangkan tulang di lengan dan tangan jarang terkena. Area torako-lumbal

terutama torakal bagian bawah (umumnya T 10) dan lumbal bagian atas merupakan

tempat yang paling sering

terlibat karena pada area ini pergerakan dan tekanan dari weight bearing mencapai

maksimum, lalu dikuti dengan area servikal dan sakral.

Defisit neurologis muncul pada 10-47% kasus pasien dengan spondilitis

tuberkulosa. Di negara yang sedang berkembang penyakit ini merupakan penyebab

paling sering untuk kondisi paraplegia non traumatik. Insidensi paraplegia, terjadi lebih

tinggi pada orang dewasa dibandingkan dengan anakanak.Hal ini berhubungan dengan

insidensi usia terjadinya infeksi tuberkulosapada tulang belakang, kecuali pada dekade

pertama dimana sangat jarang ditemukan keadaan ini.

III. Etiologi

Penyakit ini disebabkan oleh karena bakteri berbentuk basil (basilus).Bakteri yang

paling sering menjadi penyebabnya adalah Mycobacterium tuberculosis, walaupun

Page 4: Dr Herry Setya Yudha Utama SpB

spesies Mycobacterium yang lainpun dapat juga bertanggung jawab sebagai

penyebabnya, seperti Mycobacterium africanum (penyebab paling sering tuberkulosa di

Afrika Barat), bovine tubercle baccilus,ataupun non-tuberculous mycobacteria (banyak

ditemukan pada penderita

HIV). Perbedaan jenis spesies ini menjadi penting karena sangat mempengaruhi pola

resistensi obat.Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang yang

bersifat acid-fastnon-motile dan tidak dapat diwarnai dengan baik melalui cara yang

konvensional. Dipergunakan teknik Ziehl-Nielson untuk memvisualisasikannya. Bakteri

tubuh secara lambat dalam media egg-enriched dengan periode 6-8 minggu. Produksi

niasin merupakan karakteristik

Mycobacterium tuberculosis dan dapat membantu untuk membedakannnya dengan

spesies lain.

IV.Patogenesa

Patogenesa penyakit ini sangat tergantung dari kemampuan bakterimenahan

cernaan enzim lisosomal dan kemampuan host untuk memobilisasi immunitas seluler.

Jika bakteri tidak dapat diinaktivasi, maka bakteri akan bermultiplikasi dalam sel dan

membunuh sel itu. Komponen lipid, protein serta polisakarida sel basil tuberkulosa

bersifat immunogenik, sehingga akan merangsang pembentukan granuloma dan

mengaktivasi makrofag. Beberapa antigen yang dihasilkannya juga dapat juga bersifat

immunosupresif.

Virulensi basil tuberkulosa dan kemampuan mekanisme pertahanan host akan

menentukan perjalanan penyakit. Pasien dengan infeksi berat mempunyaiprogresi yang

cepat ; demam, retensi urine dan paralisis arefleksi dapat terjadidalam hitungan hari.

Page 5: Dr Herry Setya Yudha Utama SpB

Respon seluler dan kandungan protein dalam cairan serebrospinal akan tampak

meningkat, tetapi basil tuberkulosa sendiri jarang dapatdiisolasi. Pasien dengan infeksi

bakteri yang kurang virulen akan menunjukkan perjalanan penyakit yang lebih lambat

progresifitasnya, jarang menimbulkan

meningitis serebral dan infeksinya bersifat terlokalisasi dan terorganisasi.

Kekuatan pertahanan pasien untuk menahan infeksi bakteri tuberkulosa tergantung dari :

1. Usia dan jenis ke lamin

Terdapat sedikit perbedaan antara anak laki-laki dan anak perempuanhingga masa

pubertas. Bayi dan anak muda dari kedua jenis kelamin mempunyai kekebalan yang

lemah. Hingga usia 2 tahun infeksi biasanya dapat terjadi dalam bentuk yang berat seperti

tuberkulosis milier dan meningitis tuberkulosa, yang berasal dari penyebaran secara

hematogen.

Setelah usia 1 tahun dan sebelum pubertas, anak yang terinfeksi dapat terkena

penyakit tuberkulosa milier atau meningitis, ataupun juga bentuk kronis lain dari infeksi

tuberkulosa seperti infeksi ke nodus limfatikus, tulang atau sendi.Sebelum pubertas, lesi

primer di paru merupakan lesi yang berada di arealokal, walaupun kavitas seperti pada

orang dewasa dapat juga dilihat padaanak-anak malnutrisi di Afrika dan Asia, terutama

perempuan usia 10-14

tahun.Setelah pubertas daya tahan tubuh mengalami peningkatan dalammencegah

penyebaran secara hematogen, tetapi menjadi lemah dalam mencegah penyebaran

penyakit di paru-paru.

Angka kejadian pada pria terus meningkat pada seluruh tingkat usia tetapi pada

wanita cenderung menurun dengan cepat setelah usia anak-anak,insidensi ini kemudian

Page 6: Dr Herry Setya Yudha Utama SpB

meningkat kembali pada wanita setelah melahirkan anak. Puncak usia terjadinya infeksi

berkisar antara usia 40-50 tahun untuk wanita, sementara pria bisa mencapai usia 60

tahun.

2. Nutrisi

Kondisi malnutrisi (baik pada anak ataupun orang dewasa) akan menurunkan

resistensi terhadap penyakit.

3. Faktor toksik

Perokok tembakau dan peminum alkohol akan mengalami penurunan daya tahan

tubuh. Demikian pula dengan pengguna obat kortikosteroid atau immunosupresan lain.

4. Penyakit

Adanya penyakit seperti infeksi HIV, diabetes, leprosi, silikosis, leukemia

meningkatkan resiko terkena penyakit tuberkulosa.

5. Lingkungan yang buruk (kemiskinan)

Kemiskinan mendorong timbulnya suatu lingkungan yang buruk dengan

pemukiman yang padat dan kondisi kerja yang buruk disamping juga adanya malnutrisi,

sehingga akan menurunkan daya tahan tubuh.

6. Ras

Ditemukan bukti bahwa populasi terisolasi contohnya orang Eskimo atau

Amerika asli, mempunyai daya tahan tubuh yang kurang terhadap penyakit ini.

V. Patologi

Page 7: Dr Herry Setya Yudha Utama SpB

Tuberkulosa pada tulang belakang dapat terjadi karena penyebaran hematogen

atau penyebaran langsung nodus limfatikus para aorta atau melalui jalur limfatik ke

tulang dari fokus tuberkulosa yang sudah ada sebelumnya di luar tulang belakang. Pada

penampakannya, fokus infeksi primer tuberkulosa dapat bersifat tenang. Sumber infeksi

yang paling sering adalah berasal dari system pulmoner dan genitourinarius.

Pada anak-anak biasanya infeksi tuberkulosa tulang belakang berasal dari fokus

primer di paru-paru sementara pada orang dewasa penyebaran terjadi dari fokus

ekstrapulmoner (usus, ginjal, tonsil).Penyebaran basil dapat terjadi melalui arteri

intercostal atau lumbar yang memberikan suplai darah ke dua vertebrae yang berdekatan,

yaitu setengah bagian bawah vertebra diatasnya dan bagian atas vertebra di bawahnya

atau melalui pleksus Batson’s yang mengelilingi columna vertebralis yang menyebabkan

banyak vertebra yang terkena. Hal inilah yang menyebabkan pada kurang lebih 70%

kasus, penyakit ini diawali dengan terkenanya dua vertebra yang berdekatan,sementara

pada 20% kasus melibatkan tiga atau lebih vertebra.

Berdasarkan lokasi infeksi awal pada korpus vertebra dikenal tiga bentuk

Spondilitis :

(1) Peridiskal / paradiskal

Infeksi pada daerah yang bersebelahan dengan diskus (di area metafise di bawah

ligamentum longitudinal anterior / area subkondral). Banyak ditemukan pada orang

dewasa. Dapat menimbulkan kompresi, iskemia dan nekrosis diskus. Terbanyak

ditemukan di regio lumbal.

Page 8: Dr Herry Setya Yudha Utama SpB

(2) Sentral

Infeksi terjadi pada bagian sentral korpus vertebra, terisolasi sehingga

disalahartikan sebagai tumor. Sering terjadi pada anak-anak. Keadaan ini sering

menimbulkan kolaps vertebra lebih dini dibandingkan dengan tipe lain sehingga

menghasilkan deformitas spinal yang lebih hebat. Dapat terjadi kompresi yang bersifat

spontan atau akibat trauma. Terbanyak di temukan di

regio torakal.

(3) Anterior

Infeksi yang terjadi karena perjalanan perkontinuitatum dari vertebra di atas dan

dibawahnya. Gambaran radiologisnya mencakup adanya scalloped karena erosi di bagian

anterior dari sejumlah vertebra (berbentuk baji). Pola ini diduga disebabkan karena

adanya pulsasi aortik yang ditransmisikan melalui abses prevertebral dibawah

ligamentum longitudinal anterior atau karena adanya perubahan lokal dari suplai darah

vertebral.

(4) Bentuk atipikal :

Dikatakan atipikal karena terlalu tersebar luas dan fokus primernya tidak dapat

diidentifikasikan. Termasuk didalamnya adalah tuberkulosa spinal dengan keterlibatan

lengkung syaraf saja dan granuloma yang terjadi di canalis spinalis tanpa keterlibatan

tulang (tuberkuloma), lesi di pedikel, lamina,prosesus transversus dan spinosus, serta lesi

artikuler yang berada di sendi intervertebral posterior. Insidensi tuberkulosa yang

melibatkan elemen

posterior tidak diketahui tetapi diperkirakan berkisar antara 2%-10%.

Page 9: Dr Herry Setya Yudha Utama SpB

Infeksi tuberkulosa pada awalnya mengenai tulang cancellous dari vertebra. Area

infeksi secara bertahap bertambah besar dan meluas, berpenetrasi ke dalam korteks tipis

korpus vertebra sepanjang ligamen longitudinal anterior,melibatkan dua atau lebih

vertebrae yang berdekatan melalui perluasan di bawah ligamentum longitudinal anterior

atau secara langsung melewati diskusintervertebralis. Terkadang dapat ditemukan fokus

yang multipel yang dipisahkan oleh vertebra yang normal, atau infeksi dapat juga

berdiseminasi ke vertebra yang jauh melalui abses paravertebral.

Terjadinya nekrosis perkijuan yang meluas mencegah pembentukan tulang baru

dan pada saat yang bersamaan menyebabkan tulang menjadi avascular sehingga

menimbulkan tuberculous sequestra, terutama di regio torakal. Discus intervertebralis,

yang avaskular, relatif lebih resisten terhadap infeksi tuberkulosa.Penyempitan rongga

diskus terjadi karena perluasan infeksi paradiskal ke dalamruang diskus, hilangnya tulang

subchondral disertai dengan kolapsnya corpus

vertebra karena nekrosis dan lisis ataupun karena dehidrasi diskus, sekunder karena

perubahan kapasitas fungsional dari end plate. Suplai darah juga akan semakin terganggu

dengan timbulnya endarteritis yang menyebabkan tulang menjadi nekrosis.Destruksi

progresif tulang di bagian anterior dan kolapsnya bagian tersebut akan menyebabkan

hilangnya kekuatan mekanis tulang untuk menahan berat badan sehingga kemudian akan

terjadi kolaps vertebra dengan sendi

intervertebral dan lengkung syaraf posterior tetap intak, jadi akan timbul deformitas

berbentuk kifosis yang progresifitasnya (angulasi posterior) tergantung dari derajat

kerusakan, level lesi dan jumlah vertebra yang terlibat. Bila sudah timbul deformitas ini,

maka hal tersebut merupakan tanda bahwa penyakit ini sudah meluas.

Page 10: Dr Herry Setya Yudha Utama SpB

Di regio torakal kifosis tampak nyata karena adanya kurvatura dorsal yang normal

di area lumbar hanya tampak sedikit karena adanya normal lumbar lordosis dimana

sebagian besar dari berat badan ditransmisikan ke posterior sehingga akan terjadi parsial

kolaps; sedangkan di bagian servikal, kolaps hanya bersifat minimal, kalaupun tampak

hal itu disebabkan karena sebagian besar berat badan disalurkan melalui prosesus

artikular.Dengan adanya peningkatan sudut kifosis di regio torakal, tulang-tulang iga

akan menumpuk menimbulkan bentuk deformitas rongga dada berupa barrelchest.

Proses penyembuhan kemudian terjadi secara bertahap dengan timbulnya fibrosis

dan kalsifikasi jaringan granulomatosa tuberkulosa. Terkadang jaringan fibrosa itu

mengalami osifikasi, sehingga mengakibatkan ankilosis tulang vertebra yang

kolaps.Pembentukan abses paravertebral terjadi hampir pada setiap kasus.Dengan

kolapsnya korpus vertebra maka jaringan granulasi tuberkulosa, bahanperkijuan, dan

tulang nekrotik serta sumsum tulang akan menonjol keluar melalui korteks dan

berakumulasi di bawah ligamentum longitudinal anterior. Cold

abcesss ini kemudian berjalan sesuai dengan pengaruh gaya gravitasi sepanjang bidang

fasial dan akan tampak secara eksternal pada jarak tertentu dari tempat lesi aslinya.

Di regio lumbal abses berjalan sepanjang otot psoas dan biasanya berjalan menuju

lipat paha dibawah ligamen inguinal. Di regio torakal, ligamentum longitudinal

menghambat jalannya abses, tampak pada radiogram sebagai gambaran bayangan

berbentuk fusiform radioopak pada atau sedikit dibawah level vertebra yang terkena, jika

terdapat tegangan yang besar dapat terjadi ruptur ke dalam mediastinum, membentuk

gambaran abses paravertebral yang menyerupai ‘sarang burung’. Terkadang, abses

Page 11: Dr Herry Setya Yudha Utama SpB

torakal dapat mencapai dinding dada anterior di area parasternal, memasuki area

retrofaringeal atau berjalan sesuai gravitasi ke lateral menuju bagian tepi leher.

Sejumlah mekanisme yang menimbulkan defisit neurologis dapat timbul pada

pasien dengan spondilitis tuberkulosa. Kompresi syaraf sendiri dapat terjadi karena

kelainan pada tulang (kifosis) atau dalam canalis spinalis (karena perluasan langsung dari

infeksi granulomatosa) tanpa keterlibatan dari tulang (seperti epidural granuloma,

intradural granuloma, tuberculous arachnoiditis).Salah satu defisit neurologis yang paling

sering terjadi adalah paraplegia yang dikenal dengan nama Pott’s paraplegia. Paraplegia

ini dapat timbul secara akut ataupun kronis (setelah hilangnya penyakit) tergantung dari

kecepatan peningkatan tekanan mekanik kompresi medula spinalis.

Pada penelitian yang dilakukan Hodgson di Cleveland, paraplegia ini biasanya

terjadi pada pasien berusia kurang dari 10 tahun (kurang lebih 2/3 kasus) dan tidak ada

predileksi berdasarkan jenis kelamin untuk kejadian ini.

VI. Pott’s Paraplegia

Sorrel-Dejerine mengklasifikasikan Pott’s paraplegia menjadi :

(1) Early onset paresis

Terjadi kurang dari dua tahun sejak onset penyakit

(2) Late onset paresis

Terjadi setelah lebih dari dua tahun sejak onset penyakit

Sementara itu Seddon dan Butler memodifikasi klasifikasi Sorrel menjadi

tiga tipe:

(1) Type I (paraplegia of active disease) / berjalan akut

Page 12: Dr Herry Setya Yudha Utama SpB

Onset dini, terjadi dalam dua tahun pertama sejak onset penyakit, dan

dihubungkan dengan penyakit yang aktif. Dapat membaik (tidak permanen).

(2) Type II

Onsetnya juga dini, dihubungkan dengan penyakit yang aktif, bersifat permanen

bahkan walaupun infeksi tuberkulosa menjadi tenang.Penyebab timbulnya paraplegia

pada tipe I dan II dapat disebabkan oleh karena :

(a) Tekanan eksternal pada korda spinalis dan duramater

Dapat disebabkan oleh karena adanya granuloma di kanalis spinalis, adanya abses,

material perkijuan, sekuestra tulang dan diskus atau karena subluksasi atau dislokasi

patologis vertebra. Secara klinis pasien akan menampakkan kelemahan alat gerak bawah

dengan spastisitas yang bervariasi, tetapi tidak tampak adanya spasme otot involunter dan

reflek withdrawal.

(b) Invasi duramater oleh tuberkulosa

Tampak gambaran meningomielitis tuberkulosa atau araknoiditis tuberkulosa.Secara

klinis pasien tampak mempunyai spastisitas yang berat dengan spasme otot involunter

dan reflek withdrawal. Prognosis tipe ini buruk dan bervariasi sesuai dengan luasnya

kerusakan korda spinalis. Secara umum dapat terjadi inkontinensia urin dan feses,

gangguan sensoris dan paraplegia.

(3) Type III / yang berjalan kronis

Onset paraplegi terjadi pada fase lanjut. Tidak dapat ditentukan apakah dapat

membaik. Bisa terjadi karena tekanan corda spinalis oleh granuloma epidural,fibrosis

meningen dan adanya jaringan granulasi serta adanya tekanan pada corda spinalis,

Page 13: Dr Herry Setya Yudha Utama SpB

peningkatan deformitas kifotik ke anterior, reaktivasi penyakit atau insufisiensi vaskuler

(trombosis pembuluh darah yang mensuplai corda spinalis).

Klasifikasi untuk penyebab Pott’s paraplegia ini sendiri dijabarkan oleh

Hodgson menjadi :

I. Penyebab ekstrinsik :

(1) Pada penyakit yang aktif

a. abses (cairan atau perkijuan)

b. jaringan granulasi

c. sekuester tulang dan diskus

d. subluksasi patologis

e. dislokasi vertebra

(2) Pada penyakit yang sedang dalam proses penyembuhan

a. transverse ridge dari tulang anterior ke corda spinalis

b. fibrosis duramater

II. Penyebab intrinsik :

Menyebarnya peradangan tuberkulosa melalui duramater melibatkan meningen

dan corda spinalis.

III. Penyebab yang jarang :

(1) Trombosis corda spinalis yang infektif

(2) Spinal tumor syndrome

VII. Penegakkan Diagnosa

Gambaran klinis spondilitis tuberkulosa bervariasi dan tergantung pada banyak

faktor. Biasanya onset Pott's disease berjalan secara mendadak dan berevolusi

Page 14: Dr Herry Setya Yudha Utama SpB

lambat.Durasi gejala-gejala sebelum dapat ditegakkannya suatu diagnosa pasti bervariasi

dari bulan hingga tahun; sebagian besar kasus didiagnosa sekurangnya dua tahun setelah

infeksi tuberkulosa.

Anamnesa dan inspeksi :

1. Gambaran adanya penyakit sistemik : kehilangan berat badan, keringat malam, demam

yang berlangsung secara intermitten terutama sore dan malam hari serta cachexia. Pada

pasien anak-anak, dapat juga terlihat berkurangnya keinginan bermain di luar rumah.

Sering tidak tampak jelas pada pasien yang cukup gizi sementara pada pasien dengan

kondisi kurang gizi, maka demam (terkadang demam tinggi), hilangnya berat badan dan

berkurangnya nafsu makan akan terlihat dengan jelas.

2. Adanya riwayat batuk lama (lebih dari 3 minggu) berdahak atau berdarah disertai nyeri

dada. Pada beberapa kasus di Afrika terjadi pembesaran dari nodus limfatikus, tuberkel di

subkutan, dan pembesaran hati dan limpa.

3. Nyeri terlokalisir pada satu regio tulang belakang atau berupa nyeri yang menjalar.

Infeksi yang mengenai tulang servikal akan tampak sebagai nyeri di daerah telingan atau

nyeri yang menjalar ke tangan. Lesi di torakal atas akan menampakkan nyeri yang terasa

di dada dan intercostal. Pada lesi di bagian torakal bawah maka nyeri dapat berupa nyeri

menjalar ke bagian perut. Rasa nyeri ini hanya menghilang dengan beristirahat. Untuk

mengurangi nyeri pasien akan menahan punggungnya menjadi kaku.

4. Pola jalan merefleksikan rigiditas protektif dari tulang belakang. Langkah kaki

pendek, karena mencoba menghindari nyeri di punggung.

5. Bila infeksi melibatkan area servikal maka pasien tidak dapat menolehkan kepalanya,

mempertahankan kepala dalam posisi ekstensi dan duduk dalam posisi dagu disangga

Page 15: Dr Herry Setya Yudha Utama SpB

oleh satu tangannya, sementara tangan lainnya di oksipital. Rigiditas pada leher dapat

bersifat asimetris sehingga menyebabkan timbulnya gejala klinis torticollis. Pasien juga

mungkin mengeluhkan rasa nyeri di leher atau bahunya. Jika terdapat abses, maka

tampak pembengkakan di kedua sisi leher. Abses yang besar, terutama pada anak, akan

mendorong trakhea ke sternal notch sehingga akan menyebabkan kesulitan menelan dan

adanya stridor respiratoar, sementara kompresi medulla spinalis pada orang dewasa akan

menyebabkan tetraparesis. Dislokasi atlantoaksial karena tuberkulosa jarang terjadi dan

merupakan salah satu penyebab kompresi cervicomedullary di negara yang sedang

berkembang. Hal ini perlu diperhatikan karena gambaran klinisnya serupa dengan

tuberkulosa di regio servikal.

6. Infeksi di regio torakal akan menyebabkan punggung tampak menjadi kaku. Bila

berbalik ia menggerakkan kakinya, bukan mengayunkan dari sendi panggulnya. Saat

mengambil sesuatu dari lantai ia menekuk lututnya sementara tetap mempertahankan

punggungnya tetap kaku (coin test).Jika terdapat abses, maka abses dapat berjalan di

bagian kiri atau kanan mengelilingi rongga dada dan tampak sebagai pembengkakan

lunak dinding dada. Jika menekan abses ini berjalan ke bagian belakang maka dapat

menekan korda spinalis dan menyebabkan paralisis.

7. Di regio lumbar : abses akan tampak sebagai suatu pembengkakan lunak yang terjadi

di atas atau di bawah lipat paha. Jarang sekali pus dapat keluar melalui fistel dalam pelvis

dan mencapai permukaan di belakang sendi panggul.Pasien tampak berjalan dengan lutut

dan hip dalam posisi fleksi dan menyokong tulang belakangnya dengan meletakkan

tangannya diatas paha.Adanya kontraktur otot psoas akan menimbulkan deformitas fleksi

sendi panggul.

Page 16: Dr Herry Setya Yudha Utama SpB

8. Tampak adanya deformitas, dapat berupa : kifosis (gibbus/angulasi tulang

belakang), skoliosis, bayonet deformity, subluksasi, spondilolistesis,

dan dislokasi.

9. Adanya gejala dan tanda dari kompresi medula spinalis (defisit neurologis).Terjadi

pada kurang lebih 10-47% kasus. Insidensi paraplegia pada spondilitis lebih banyak di

temukan pada infeksi di area torakal dan servikal.Jika timbul paraplegia akan tampak

spastisitas dari alat gerak bawah dengan refleks tendon dalam yang hiperaktif, pola jalan

yang spastik dengan kelemahan motorik yang bervariasi. Dapat pula terjadi gangguan

fungsi kandung kemih dan anorektal.

10. Pembengkakan di sendi yang berjalan lambat tanpa disertai panas dan nyeri akut

seperti pada infeksi septik. Onset yang lambat dari pembengkakan tulang ataupun sendi

mendukung bahwa hal tersebut disebabkan karena tuberkulosa.

Palpasi :

1. Bila terdapat abses maka akan teraba massa yang berfluktuasi dan kulit diatasnya

terasa sedikit hangat (disebut cold abcess, yang membedakan dengan abses piogenik

yang teraba panas). Dapat dipalpasi di daerah lipat paha, fossa iliaka, retropharynx, atau

di sisi leher (di belakang otot sternokleidomastoideus), tergantung dari level lesi. Dapat

juga teraba di sekitar dinding dada. Perlu diingat bahwa tidak ada hubungan antara

ukuran lesi destruktif dan kuantitas pus dalam cold abscess.

2. Spasme otot protektif disertai keterbatasan pergerakan di segmen yang terkena.

Perkusi :

Page 17: Dr Herry Setya Yudha Utama SpB

1. Pada perkusi secara halus atau pemberian tekanan diatas prosesus spinosus vertebrae

yang terkena, sering tampak tenderness.

Pemeriksaan Penunjang :

A. Laboratorium :

1.1 Laju endap darah meningkat (tidak spesifik), dari 20 sampai lebih dari 100mm/jam.

1.2 Tuberculin skin test / Mantoux test / Tuberculine Purified Protein Derivative (PPD)

positif. Hasil yang positif dapat timbul pada kondisipemaparan dahulu maupun yang baru

terjadi oleh mycobacterium.Tuberculin skin test ini dikatakan positif jika tampak area

berindurasi,kemerahan dengan diameter ³ 10mm di sekitar tempat suntikan 48-72 jam

setelah suntikan.Hasil yang negatif tampak pada ± 20% kasus dengan tuberkulosis berat

(tuberkulosis milier) dan pada pasien yang immunitas selulernya tertekan (seperti baru

saja terinfeksi, malnutrisi atau disertai penyakit lain)

1.3 Kultur urin pagi (membantu bila terlihat adanya keterlibatan ginjal),sputum dan bilas

lambung (hasil positif bila terdapat keterlibatan paruparu yang aktif)

1.4 Apus darah tepi menunjukkan leukositosis dengan limfositosis yang bersifat relatif.

1.5 Tes darah untuk titer anti-staphylococcal dan anti-streptolysin haemolysins, typhoid,

paratyphoid dan brucellosis (pada kasus-kasus yang sulit dan pada pusat kesehatan

dengan peralatan yang cukup canggih)untuk menyingkirkan diagnosa banding.

1.6 Cairan serebrospinal dapat abnormal (pada kasus dengan meningitis tuberkulosa).

Normalnya cairan serebrospinal tidak mengeksklusikan kemungkinan infeksi TBC.

Pemeriksaan cairan serebrospinal secara serial akan memberikan hasil yang lebih baik.

Cairan serebrospinal akan tampak:

-Xantokrom

Page 18: Dr Herry Setya Yudha Utama SpB

- Bila dibiarkan pada suhu ruangan akan menggumpal.

- Pleositosis (dengan dominasi limfosit dan mononuklear). Pada tahap akut responnya

bisa berupa neutrofilik seperti pada meningitis piogenik.

- Kandungan protein meningkat.

- Kandungan gula normal pada tahap awal tetapi jika gambaran klinis sangat kuat

mendukung diagnosis, ulangi pemeriksaan.

- Pada keadaan arachnoiditis tuberkulosa (radiculomyelitis), punksi lumbal akan

menunjukkan genuine dry tap. Pada pasien ini adanya peningkatan bertahap kandungan

protein menggambarkan suatu blok spinal yang mengancam dan sering diikuti dengan

kejadian paralisis.

Pemberian steroid akan mencegah timbulnya hal ini.Kandungan protein cairan

serebrospinal dalam kondisi spinal terblok spinal dapat mencapai 1-4g/100ml.

- Kultur cairan serebrospinal. Adanya basil tuberkel merupakan tes konfirmasi yang

absolut tetapi hal ini tergantung dari pengalaman pemeriksa dan tahap infeksi.

B. Radiologis :

Gambarannya bervariasi tergantung tipe patologi dan kronisitas infeksi.

· Foto rontgen dada dilakukan pada seluruh pasien untuk mencari bukti adanya

tuberkulosa di paru (2/3 kasus mempunyai foto rontgen yang abnormal).

· Foto polos seluruh tulang belakang juga diperlukan untuk mencari bukti adanya

tuberkulosa di tulang belakang. Tanda radiologis baru dapat terlihat setelah 3-8 minggu

onset penyakit.

· Jika mungkin lakukan rontgen dari arah antero-posterior dan lateral.

Page 19: Dr Herry Setya Yudha Utama SpB

· Tahap awal tampak lesi osteolitik di bagian anterior superior atau sudut inferior corpus

vertebrae, osteoporosis regional yang kemudian berlanjut sehingga tampak penyempitan

diskus intervertebralis yang berdekatan,serta erosi corpus vertebrae anterior yang

berbentuk scalloping karena penyebaran infeksi dari area subligamentous.

· Infeksi tuberkulosa jarang melibatkan pedikel, lamina, prosesus transversus atau

prosesus spinosus.

· Keterlibatan bagian lateral corpus vertebra akan menyebabkan timbulnya deformita

scoliosis (jarang)

· Pada pasien dengan deformitas gibbus karena infeksi sekunder tuberkulosa yang sudah

lama akan tampak tulang vertebra yang mempunyai rasio tinggi lebih besar dari lebarnya

(vertebra yang normal mempunyai rasio lebar lebih besar terhadap tingginya). Bentuk ini

dikenal dengan nama long vertebra atau tall vertebra, terjadi karena adanya stress

biomekanik yang lama di bagian kaudal gibbus sehingga vertebra menjadi lebih tinggi.

Kondisi ini banyak terlihat pada kasus tuberkulosa dengan pusat pertumbuhan korpus

vertebra yang belum menutup saat terkena

penyakit tuberkulosa yang melibatkan vertebra torakal.

· Dapat terlihat keterlibatan jaringan lunak, seperti abses paravertebral dan psoas.

Tampak bentuk fusiform atau pembengkakan berbentuk globular dengan kalsifikasi.

Abses psoas akan tampak sebagai bayangan jaringan lunak yang mengalami peningkatan

densitas dengan atau tanpa kalsifikasi pada saat penyembuhan. Deteksi (evaluasi) adanya

abses epidural sangatlah penting, oleh karena merupakan salah satu indikasi tindakan

operasi (tergantung ukuran abses).

3. Computed Tomography – Scan (CT)

Page 20: Dr Herry Setya Yudha Utama SpB

Terutama bermanfaat untuk memvisualisasi regio torakal dan keterlibatan iga

yang sulit dilihat pada foto polos. Keterlibatan lengkung syaraf posterior seperti pedikel

tampak lebih baik dengan CT Scan.

4. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Mempunyai manfaat besar untuk membedakan komplikasi yang bersifat

kompresif dengan yang bersifat non kompresif pada tuberkulosa tulang belakang.

Bermanfaat untuk :

- Membantu memutuskan pilihan manajemen apakah akan bersifat konservatif atau

operatif.

-  Membantu menilai respon terapi.Kerugiannya adalah dapat terlewatinya fragmen

tulang kecil dan kalsifikasi di abses.

5. Neddle biopsi / operasi eksplorasi (costotransversectomi) dari lesi spinal mungkin

diperlukan pada kasus yang sulit tetapi membutuhkan pengalaman dan pembacaan

histologi yang baik (untuk menegakkan diagnosa yang absolut)(berhasil pada 50%

kasus).

6. Diagnosis juga dapat dikonfirmasi dengan melakukan aspirasi pus paravertebral yang

diperiksa secara mikroskopis untuk mencari basil tuberkulosa dan granuloma, lalu

kemudian dapat diinokulasi di dalam guinea babi.

VIII. Komplikasi

1. Cedera corda spinalis (spinal cord injury). Dapat terjadi karena adanya tekanan

ekstradural sekunder karena pus tuberkulosa, sekuestra tulang,sekuester dari diskus

Page 21: Dr Herry Setya Yudha Utama SpB

intervertebralis (contoh : Pott’s paraplegia –prognosa baik) atau dapat juga langsung

karena keterlibatan korda spinalis oleh jaringan granulasi tuberkulosa (contoh :

menigomyelitis – prognosa buruk). Jika cepat diterapi sering berespon baik (berbeda

dengan kondisi paralisis pada tumor). MRI dan mielografi dapat membantu membedakan

paraplegi karena tekanan atau karena invasi dura dan corda spinalis.

2. Empyema tuberkulosa karena rupturnya abses paravertebral di torakal ke dalam pleura.

IX. Diagnosa Banding

1. Infeksi piogenik (contoh : karena staphylococcal/suppurative spondylitis). Adanya

sklerosis atau pembentukan tulang baru pada foto rontgen menunjukkan adanya infeksi

piogenik. Selain itu keterlibatan dua atau lebih corpus vertebra yang berdekatan lebih

menunjukkan adanya infeksi tuberkulosa daripada infeksi bakterial lain.

2. Infeksi enterik (contoh typhoid, parathypoid).Dapat dibedakan dari pemeriksaan

laboratorium.

3. Tumor/penyakit keganasan (leukemia, Hodgkin’s disease, eosinophilic granuloma,

aneurysma bone cyst dan Ewing’s sarcoma) Metastase dapat menyebabkan destruksi dan

kolapsnya corpus vertebra tetapi berbeda dengan spondilitis tuberkulosa karena ruang

diskusnya tetap dipertahankan. Secara radiologis kelainan karena infeksi mempunyai

bentuk yang lebih difus sementara untuk tumor tampak suatu lesi yang berbatas jelas.

4. Scheuermann’s disease mudah dibedakan dari spondilitis tuberkulosa oleh karena tidak

adanya penipisan korpus vertebrae kecuali di bagian sudut superior dan inferior bagian

anterior dan tidak terbentuk abses paraspinal.

X. Manajemen terapi.

Tujuan terapi pada kasus spondilitis tuberkulosa adalah :

Page 22: Dr Herry Setya Yudha Utama SpB

1. Mengeradikasi infeksi atau setidaknya menahan progresifitas penyakit

2. Mencegah atau mengkoreksi deformitas atau defisit neurologis

Untuk mencapai tujuan itu maka terapi untuk spondilitis tuberkulosa terbagi menjadi :

A. TERAPI KONSERVATIF

1. Pemberian nutrisi yang bergizi

2. Pemberian kemoterapi atau terapi anti tuberkulosa

Pemberian kemoterapi anti tuberkulosa merupakan prinsip utama terapi pada

seluruh kasus termasuk tuberkulosa tulang belakang. Pemberian dini obat antituberkulosa

dapat secara signifikan mengurangi morbiditas dan mortalitas.Hasil penelitian Tuli dan

Kumar dengan 100 pasien di India yang menjalani terapi dengan tiga obat untuk

tuberkulosa tulang belakang menunjukkan hasil yang memuaskan. Mereka

menyimpulkan bahwa untuk kondisi negara yang

belum berkembang secara ekonomi manajemen terapi ini merupakan suatu pilihan yang

baik dan kesulitan dalam mengisolasi bakteri tidak harus menunda pemberian

terapi.Adanya pola resistensi obat yang bervariasi memerlukan adanya suatu pemantauan

yang ketat selama pemberian terapi, karena kultur dan uji sensitivitas terhadap obat anti

tuberculosa memakan waktu lama (kurang lebih 6-8 minggu) dan perlu biaya yang cukup

besar sehingga situasi klinis

membuat dilakukannya terapi terlebih dahulu lebih penting walaupun tanpa bukti

konfirmasi tentang adanya tuberkulosa. Adanya respon yang baik terhadap obat

antituberculosa juga merupakan suatu bentuk penegakkan diagnostik.

Page 23: Dr Herry Setya Yudha Utama SpB

Resistensi terhadap obat antituberkulosa dapat dikelompokkan menjadi :

(1) Resistensi primer

Infeksi dengan organisme yang resisten terhadap obat pada pasien yang

sebelumnya belum pernah diterapi. Resistensi primer terjadi selalu terhadap satu obat

baik itu SM ataupun INH. Jarang terjadi resistensi terhadap RMP atau EMB(Glassroth et

al. 1980). Regimen dengan dua obat yang biasa diberikan tidak dapat dijalankan pada

kasus ini.

(2) Resistensi sekunder

Resistensi yang timbul selama pemberian terapi pasien dengan infeksi yang

awalnya masih bersifat sensitif terhadap obat tersebut.The Medical Research Council

telah menyimpulkan bahwa terapi pilihan untuk tuberkulosa spinal di negara yang sedang

berkembang adalah kemoterapi ambulatori dengan regimen isoniazid dan rifamipicin

selama 6 – 9 bulan.

Pemberian kemoterapi saja dilakukan pada penyakit yang sifatnya dini atau

terbatas tanpa disertai dengan pembentukan abses. Terapi dapat diberikan selama 6-12

bulan atau hingga foto rontgen menunjukkan adanya resolusi tulang. Masalah yang

timbul dari pemberian kemoterapi ini adalah masalah kepatuhan pasien.

Durasi terapi pada tuberkulosa ekstrapulmoner masih merupakan hal yang

kontroversial. Terapi yang lama, 12-18 bulan, dapat menimbulkan ketidakpatuhan dan

biaya yang cukup tinggi, sementara bila terlalu singkat akan menyebabkan timbulnya

relaps. Pasien yang tidak patuh akan dapat mengalami resistensi sekunder.Obat anti

tuberkulosa yang utama adalah isoniazid (INH), rifamipicin (RMP), pyrazinamide (PZA),

streptomycin (SM) dan ethambutol (EMB).

Page 24: Dr Herry Setya Yudha Utama SpB

Obat antituberkulosa sekuder adalah para-aminosalicylic acid (PAS),ethionamide,

cycloserine, kanamycin dan capreomycin.

Di bawah adalah penjelasan singkat dari obat anti tuberkulosa yang primer:

A.Isoniazid (INH)

- Bersifat bakterisidal baik di intra ataupun ekstraseluler

- Tersedia dalam sediaan oral, intramuskuler dan intravena.

- Bekerja untuk basil tuberkulosa yang berkembang cepat.

- Berpenetrasi baik pada seluruh cairan tubuh termasuk cairan serebrospinal.

- Efek samping : hepatitis pada 1% kasus yang mengenai lebih banyak pasien berusia

lanjut usia, peripheral neuropathy karena defisiensi piridoksin secara relatif (bersifat

reversibel dengan pemberian suplemen piridoksin).

-Relatif aman untuk kehamilan

- Dosis INH adalah 5 mg/kg/hari – 300 mg/hari

B.Rifampin (RMP)

- Bersifat bakterisidal, efektif pada fase multiplikasi cepat ataupun lambat dari basil, baik

di intra ataupun ekstraseluler.

- Keuntungan : melawan basil dengan aktivitas metabolik yang paling rendah (seperti

pada nekrosis perkijuan).

- Lebih baik diabsorbsi dalam kondisi lambung kosong dan tersedia dalam bentuk sediaan

oral dan intravena.

- Didistribusikan dengan baik di seluruh cairan tubuh termasuk cairan serebrospinal.

Page 25: Dr Herry Setya Yudha Utama SpB

- Efek samping yang paling sering terjadi : perdarahan pada traktus gastrointestinal,

cholestatic jaundice, trombositopenia dan dose dependent peripheral neuritis.

Hepatotoksisitas meningkat bila dikombinasi dengan

C.Pyrazinamide (PZA)

- Bekerja secara aktif melawan basil tuberkulosa dalam lingkungan yang bersifat asam

dan paling efektif di intraseluler (dalam makrofag) atau dalam lesi perkijuan.

- Berpenetrasi baik ke dalam cairan serebrospinalis.

- Efek samping :

1. Hepatotoksisitas dapat timbul akibat dosis tinggi obat ini yang dipergunakan dalam

jangka yang panjang tetapi bukan suatu masalah bila diberikan dalam jangka pendek.

2. Asam urat akan meningkat, akan tetapi kondisi gout jarang tampak.Arthralgia dapat

timbul tetapi tidak berhubungan dengan kadar asam urat.

- Dosis : 15-30mg/kg/hari

D.Ethambutol (EMB)

- Bersifat bakteriostatik intraseluler dan ekstraseluler

- Tidak berpenetrasi ke dalam meningen yang normal

- Efek samping : toksisitas okular (optic neuritis) dengan timbulnya kondisi buta warna,

berkurangnya ketajaman penglihatan dan adanya central scotoma.

- Relatif aman untuk kehamilan

- Dipakai secara berhati-hati untuk pasien dengan insufisiensi ginjal

- Dosis : 15-25 mg/kg/hari

Page 26: Dr Herry Setya Yudha Utama SpB

E.Streptomycin (STM)

- Bersifat bakterisidal

- Efektif dalam lingkungan ekstraseluler yang bersifat basa sehingga dipergunakan untuk

melengkapi pemberian PZA.

- Tidak berpenetrasi ke dalam meningen yang normal

- Efek samping : ototoksisitas (kerusakan syaraf VIII), nausea dan vertigo(terutama

sering mengenai pasien lanjut usia)

- Dipakai secara berhati-hati untuk pasien dengan insufisiensi ginjal

- Dosis : 15 mg/kg/hari – 1 g/kg/hari

Peran steroid pada terapi medis untuk tuberculous radiculomyelitis masih

kontroversial. Obat ini membantu pasien yang terancam mengalami spinalblock

disamping mengurangi oedema jaringan.Pada pasien-pasien yang diberikan kemoterapi

harus selalu dilakukan pemeriksaan klinis, radiologis dan pemeriksaan laboratorium

secara periodik.

3. Istirahat tirah baring (resting)

Terapi pasien spondilitis tuberkulosa dapat pula berupa local rest padaturning

frame / plaster bed atau continous bed rest disertai dengan pemberian

kemoterapi.Tindakan ini biasanya dilakukan pada penyakit yang telah lanjut dan bila

tidak tersedia keterampilan dan fasilitas yang cukup untuk melakukan operasi radikal

spinal anterior, atau bila terdapat masalah teknik yang terlalumembahayakan.Istirahat

dapat dilakukan dengan memakai gips untuk melindungi tulang

belakangnya dalam posisi ekstensi terutama pada keadaan yang akut atau fase aktif.

Pemberian gips ini ditujukan untuk mencegah pergerakan dan mengurangi kompresi dan

Page 27: Dr Herry Setya Yudha Utama SpB

deformitas lebih lanjut. Istirahat di tempat tidur dapat berlangsung 3-4 minggu, sehingga

dicapai keadaan yang tenang dengan melihat tanda-tanda klinis, radiologis dan

laboratorium. Secara klinis ditemukan berkurangnya rasa nyeri, hilangnya spasme otot

paravertebral, nafsu makan dan berat badan

meningkat, suhu badan normal. Secara laboratoris menunjukkan penurunan laju endap

darah, Mantoux test umumnya < 10 mm. Pada pemeriksaan radiologis tidakdijumpai

bertambahnya destruksi tulang, kavitasi ataupun sekuester.

Pemasangan gips bergantung pada level lesi. Pada daerah servikal dapat

diimobilisasi dengan jaket Minerva; pada daerah vertebra torakal, torakolumbal dan

lumbal atas diimobilisasi dengan body cast jacket; sedangkan pada daerah lumbal bawah,

lumbosakral dan sakral dilakukan immobilisasi dengan body jacket atau korset dari gips

yang disertai dengan fiksasi salah satu sisi panggul. Lama immobilisasi berlangsung

kurang lebih 6 bulan, dimulai sejak penderita diperbolehkan berobat jalan.Terapi untuk

Pott’s paraplegia pada dasarnya juga sama yaitu immobilisasi di plaster shell dan

pemberian kemoterapi. Pada kondisi ini perawatan selama

tirah baring untuk mencegah timbulnya kontraktur pada kaki yang mengalami paralisa

sangatlah penting. Alat gerak bawah harus dalam posisi lutut sedikit fleksi dan kaki

dalam posisi netral. Dengan regimen seperti ini maka lebih dari 60% kasus paraplegia

akan membaik dalam beberapa bulan. Hal ini disebabkan oleh karena terjadinya resorpsi

cold abscess intraspinal yang menyebabkan dekompresi.

Seperti telah disebutkan diatas bahwa selama pengobatan penderita harus

menjalani kontrol secara berkala, dilakukan pemeriksaan klinis, radiologis dan

laboratoris. Bila tidak didapatkan kemajuan, maka perlu dipertimbangkan hal-hal seperti

Page 28: Dr Herry Setya Yudha Utama SpB

adanya resistensi obat tuberkulostatika, jaringan kaseonekrotik dan sekuester yang

banyak, keadaan umum penderita yang jelek, gizi kurang serta kontrol yang tidak teratur

serta disiplin yang kurang.

B. TERAPI OPERATIF

Sebenarnya sebagian besar pasien dengan tuberkulosa tulang belakang mengalami

perbaikan dengan pemberian kemoterapi saja (Medical Research Council 1993).

Intervensi operasi banyak bermanfaat untuk pasien yang mempunyai lesi kompresif

secara radiologis dan menyebabkan timbulnya kelainan neurologis. Setelah tindakan

operasi pasien biasanya beristirahat ditempat tidur selama 3-6 minggu.

Tindakan operasi juga dilakukan bila setelah 3-4 minggu pemberian terapi obat

antituberkulosa dan tirah baring (terapi konservatif) dilakukan tetapi tidak memberikan

respon yang baik sehingga lesi spinal paling efektif diterapi dengan operasi secara

langsung dan tumpul untuk mengevakuasi “pus” tuberkulosa, mengambil sekuester

tuberkulosa serta tulang yang terinfeksi dan memfusikan segmen tulang belakang yang

terlibat.Selain indikasi diatas, operasi debridement dengan fusi dan dekompresi juga

diindikasikan bila :

1. Diagnosa yang meragukan hingga diperlukan untuk melakukan biopsi

2. Terdapat instabilitas setelah proses penyembuhan

3. Terdapat abses yang dapat dengan mudah didrainase

4. Untuk penyakit yang lanjut dengan kerusakan tulang yang nyata dan mengancam atau

kifosis berat saat ini

5. Penyakit yang rekuren

Page 29: Dr Herry Setya Yudha Utama SpB

Pott’s paraplegia sendiri selalu merupakan indikasi perlunya suatu tindakan

operasi (Hodgson) akan tetapi Griffiths dan Seddon mengklasifikasikan indikasi operasi

menjadi(11) :

A. Indikasi absolut

1. Paraplegia dengan onset selama terapi konservatif; operasi tidak dilakukan bila timbul

tanda dari keterlibatan traktur piramidalis, tetapi ditunda hingga terjadi kelemahan

motorik.

2. Paraplegia yang menjadi memburuk atau tetapi statis walaupun diberikan terapi

konservatif

3. Hilangnya kekuatan motorik secara lengkap selama 1 bulan walaupun telah diberi

terapi konservatif

4. Paraplegia disertai dengan spastisitas yang tidak terkontrol sehingga tirah baring dan

immobilisasi menjadi sesuatu yang tidak memungkinkan atau terdapat resiko adanya

nekrosis karena tekanan pada kulit.

5. Paraplegia berat dengan onset yang cepat, mengindikasikan tekanan yang besar yang

tidak biasa terjadi dari abses atau kecelakaan mekanis; dapat juga disebabkan karena

trombosis vaskuler yang tidak dapat terdiagnosa

6. Paraplegia berat; paraplegia flasid, paraplegia dalam posisi fleksi, hilangnya

sensibilitas secara lengkap, atau hilangnya kekuatan motorik selama lebih dari 6 bulan

(indikasi operasi segera tanpa percobaan pemberikan terapi konservatif)

B. Indikasi relatif

1. Paraplegia yang rekuren bahwa dengan paralisis ringan sebelumnya

Page 30: Dr Herry Setya Yudha Utama SpB

2. Paraplegia pada usia lanjut, indikasi untuk operasi diperkuat karena kemungkinan

pengaruh buruk dari immobilisasi

3. Paraplegia yang disertai nyeri, nyeri dapat disebabkan karena spasme atau kompresi

syaraf

4. Komplikasi seperti infeksi traktur urinarius atau batu

C. Indikasi yang jarang

1. Posterior spinal disease

2. Spinal tumor syndrome

3. Paralisis berat sekunder terhadap penyakit servikal

4. Paralisis berat karena sindrom kauda ekuina

Pilihan pendekatan operasi dilakukan berdasarkan lokasi lesi, bisa melalui

pendektan dari arah anterior atau posterior. Secara umum jika lesi utama di anterior maka

operasi dilakukan melalui pendekatan arah anterior dan anterolateral sedangkan jika lesi

di posterior maka dilakukan operasi dengan pendekatan dari posterior. Saat ini terapi

operasi dengan menggunakan pendekatan dari arah anterior (prosedur HongKong)

merupakan suatu prosedur yang dilakukan hampir di setiap pusat kesehatan.

Walaupun dipilih tindakan operatif, pemberian kemoterapi antituberkulosa

tetaplah penting. Pemberian kemoterapi tambahan 10 hari sebelum operasi telah

direkomendasikan. Pendapat lain menyatakan bahwa kemoterapi diberikan 4-6 minggu

sebelum fokus tuberkulosa dieradikasi secara langsung dengan pendekatan anterior. Area

nekrotik dengan perkijuan yang mengandung tulang mati dan jaringan granulasi

dievakuasi yang kemudian rongga yang ditinggalkannya diisi oleh autogenous bone graft

dari tulang iga. Pendekatan langsung secara radikal ini mendorong penyembuhan yang

Page 31: Dr Herry Setya Yudha Utama SpB

cepat dan tercapainya stabilisasi dini tulang belakang dengan memfusikan vertebra yang

terkena. Fusi spinal posterior dilakukan hanya bila terdapat destruksi dua atau lebih

korpus vertebra, adanya intabilitas karena destruksi elemen posterior atau konsolidasi

tulang terlambat serta tidak dapat dilakukan pendekatan dari anterior.

Pada kasus dengan kifosis berat atau defisit neurologis, kemoterapi tambahan dan

bracing merupakan terapi yang tetap dipilih, terutama pada pusat kesehatan yang tidak

mempunyai perlengkapan untuk operasi spinal anterior. Terapi operatif juga biasanya

selain tetap disertai pemberian kemoterapi, dikombinasikan dengan 6-12 bulan tirah

baring dan 18-24 bulan selanjutnya menggunakan spinal bracing.

Pada pasien dengan lesi-lesi yang melibatkan lebih dari dua vertebra, suatu

periode tirah baring diikuti dengan sokongan eksternal dalam TLSO direkomendasikan

hingga fusi menjadi berkonsolidasi. Operasi pada kondisi tuberculous radiculomyelitis

tidak banyak membantu. Pada pasien dengan intramedullary tuberculoma, operasi hanya

diindikasikan jika ukuran lesi tidak berkurang dengan pemberian kemoterapi dan lesinya

bersifat soliter.

Hodgson dan kawan-kawan menghindari tindakan laminektomi sebagai prosedur

utama terapi Pott’s paraplegia dengan alasan bahwa eksisi lamina dan elemen neural

posterior akan mengangkat satu-satunya struktur penunjang yang tersisa dari penyakit

yang berjalan di anterior.         Laminektomi hanya diindikasikan pada pasien dengan

paraplegia karena penyakit di laminar atau keterlibatan corda spinalis atau bila paraplegia

tetap ada setelah dekompresi anterior dan fusi, serta mielografi menunjukkan adanya

sumbatan.

XI. Pencegahan

Page 32: Dr Herry Setya Yudha Utama SpB

Vaksin Bacillus Calmette-Guerin (BCG) merupakan suatu strain Mycobacterium

bovis yang dilemahkan sehingga virulensinya berkurang. BCG akan menstimulasi

immunitas, meningkatkan daya tahan tubuh tanpa menimbulkan hal-hal yang

membahayakan. Vaksinasi ini bersifat aman tetapi efektifitas untuk pencegahannya masih

kontroversial. Percobaan terkontrol di beberapa negara Barat, dimana sebagian besar

anakanaknya cukup gizi, BCG telah menunjukkan efek proteksi pada sekitar 80% anak

selama 15 tahun setelah pemberian sebelum timbulnya infeksi pertama. Akan tetapi

percobaan lain dengan tipe percobaan yang sama di Amerika dan India telah gagal

menunjukkan keuntungan pemberian BCG. Sejumlah kecil penelitian pada bayi di negara

miskin menunjukkan adanya efek proteksi terutama terhadap kondisi tuberkulosa milier

dan meningitis tuberkulosa. Pada tahun 1978, The Joint Tuberculosis Committee

merekomendasikan vaksinasi BCG pada seluruh orang yang uji tuberkulinnya negatif dan

pada seluruh bayi yang baru lahir pada populasi immigran di Inggris.

Saat ini WHO dan International Union Against Tuberculosis and Lung Disease

tetap menyarankan pemberian BCG pada semua infant sebagai suatu yang rutin pada

negara-negara dengan prevalensi tuberkulosa tinggi (kecuali pada beberapa kasus seperti

pada AIDS aktif). Dosis normal vaksinasi ini 0,05 ml untuk neonatus dan bayi sedangkan

0,1 ml untuk anak yang lebih besar dan dewasa. Oleh karena efek utama dari vaksinasi

bayi adalah untuk memproteksi anak dan biasanya anak dengan tuberkulosis primer

biasanya tidak infeksius, maka BCG hanya mempunyai sedikit efek dalam mengurangi

jumlah infeksi pada orang dewasa. Untuk mengurangi insidensinya di kelompok orang

dewasa maka yang lebih penting adalah terapi yang baik terhadap seluruh pasien dengan

sputum berbasil tahan asam (BTA) positif karena hanya bentuk inilah yang mudah

Page 33: Dr Herry Setya Yudha Utama SpB

menular. Diperlukan kontrol yang efektif dari infeksi tuberkulosa di populasi masyarakat

sehingga seluruh kontak tuberkulosa harus diteliti dan diterapi.

Selain BCG, pemberian terapi profilaksis dengan INH berdosis harian\

5mg/kg/hari selama 1 tahun juga telah dapat dibuktikan mengurangi resiko infeksi

tuberkulosa.

XII. Prognosa

Prognosa pasien dengan spondilitis tuberkulosa sangat tergantung dari usia dan

kondisi kesehatan umum pasien, derajat berat dan durasi defisit neurologis serta terapi

yang diberikan.

a. Mortalitas

Mortalitas pasien spondilitis tuberkulosa mengalami penurunan seiring dengan

ditemukannya kemoterapi (menjadi kurang dari 5%, jika pasien didiagnosa dini dan patuh

dengan regimen terapi dan pengawasan ketat).

b. Relaps

Angka kemungkinan kekambuhan pasien yang diterapi antibiotik dengan regimen medis

saat ini dan pengawasan yang ketat hampir mencapai 0%.

c. Kifosis

Kifosis progresif selain merupakan deformitas yang mempengaruhi kosmetis secara

signifikan, tetapi juga dapat menyebabkan timbulnya defisit neurologis atau kegagalan

pernafasan dan jantung karena keterbatasan fungsi paru. Rajasekaran dan

Soundarapandian dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa terdapat hubungan nyata

antara sudut akhir deformitas dan jumlah hilangnya corpus vertebra. Untuk

Page 34: Dr Herry Setya Yudha Utama SpB

memprediksikan sudut deformitas yang mungkin timbul peneliti menggunakan rumus : Y

= a + bX

dengan keterangan :

Y = sudut akhir dari deformitas

X = jumlah hilangnya corpus vertebrae

a dan b adalah konstanta dengan a = 5,5 dan b= 30, 5.

Dengan demikian sudut akhir gibbus dapat diprediksi, dengan akurasi 90%

padapasien yang tidak dioperasi. Jika sudut prediksi ini berlebihan, maka operasi sedini

mungkin harus dipertimbangkan.

d. Defisit neurologis

Defisit neurologis pada pasien spondilitis tuberkulosa dapat membaik secara spontan

tanpa operasi atau kemoterapi. Tetapi secara umum, prognosis membaik dengan

dilakukannya operasi dini.

e. Usia

Pada anak-anak, prognosis lebih baik dibandingkan dengan orang dewasa

f. Fusi

Fusi tulang yang solid merupakan hal yang penting untuk pemulihan permanen

spondilitis tuberkulosa.

XIII. RANGKUMAN

Walaupun insidensi spinal tuberkulosa secara umum di dunia telah berkurang

pada beberapa dekade belakangan ini dengan adanya perbaikan distribusi pelayanan

kesehatan dan perkembangan regimen kemoterapi yang efektif, penyakit ini akan terus

Page 35: Dr Herry Setya Yudha Utama SpB

menjadi suatu masalah kesehatan di negara-negara yang belum dan sedang berkembang

dimana diagnosis dan terapi tuberkulosa sistemik mungkin dapat tertunda.

Kemoterapi yang tepat dengan obat antibuberkulosa biasanya bersifat kuratif,

akan tetapi morbiditas yang berhubungan dengan deformitas spinal, nyeri dan gejala sisa

neurologis dapat dikurangi secara agresif dengan intervensi operasi, program rehabilitasi

serta kerja sama yang baik antara pasien, keluarga dan tim kesehatan.

2.LIMFADENITIS TUBERKULOSA

Kelenjar getah bening termasuk dalam susunan retikuloendotel, yang tersebar di

seluruh tubuh. Mempunyai fungsi penting berupa barier atau filter terhadap kuman –

kuman / bakteri – bakteri yang masuk kedalam badan dan barier pula untuk sel – sel

tumor ganas ( kanker ). Disamping itu bertugas pula untuk membentuk sel – sel limfosit

darah tepi. Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah besar di Indonesia.

Prevalensinya mencapai 0,29% dan merupakan penyebab kematian nomor 3. Indonesia

merupakan penyumbang kasus TB nomor 3 terbesar di dunia. Di perkirakan, masalah TB

yang belum juga berakhir ini terjadi karena basil tuberkulosis resisten yang telah

menyebar ke seluruh wilayah Indonesia. Mungkin pula karena adanya infeksi ganda

spesies basil mikobakteria, misalnya infeksi basil M. atipik bersama-sama dengan

M.tuberkulosis terjadi pada satu penderita TB. Atau, bahkan infeksi ganda antara satu

spesies M. atipik dengan spesies M. atipik lainnya pada satu penderita TB.Tuberkulosis

dikenal sejak 1000 tahun sebelum Masehi seperti yang tertulis dalam kepustakaan

Sanskrit kuno. Nama “tuberculosis” berasal dari kata tuberculum yang berarti benjolan

kecil yang merupakan gambaran patologik khas pada penyakit ini. Hippocrates (460-377

SM) telah menuliskan gejala klinik penyakit ini dan menyebutkan sebagai fisis. Ia

Page 36: Dr Herry Setya Yudha Utama SpB

mengenal bentuk akut dan bentuk kronik. Selama bertahun-tahun bentuk tbc kronik

dianggap sebagai penyakit turunan, berbeda halnya dengan bentuk akut pada anak. Baru

pada 1891 Laennce mengemukakan bahwa kedua bentuk tersebut merupakan penyakit

yang sama dengan gambaran klinik yang berbeda, padahal Koch sudah pada tahun 1882

menemukan basil tuberkulosis sebagai penyebab penyakit ini. Kejadian penyakit

tuberkulosis menurun sejak tahun 1900, bersamaan dengan membaiknya perumahan, gizi

dan tingkat hidup masyarakat dan semakin turun sejak ditemukannya antituberkulosis.

Berbeda dengan epidemi tuberkulosis masa lalu, saat ini terjadi epidemi tuberkulosis

pada penyandang infeksi HIV. Sekitar 40% penyandang HIV positif di dunia menderita

tuberkulosis.. Kuman penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis. Basil

ini tidak berspora sehingga mudah dibasmi dengan pemanasan, sinar matahari, dan sinar

ultraviolet. Basil ini sukar diwarnai, tetapi berbeda dengan basil lain, setelah diwarnai

tidak dapat dibersihkan lagi dari fuchsin atau metileenblauy oleh cairan asam sehingga

biasanya disebut basil tahan asam (BTA). Pewarnaan Ziehl Neelsen biasanya

dipergunakan untuk menampakkan basil ini.

A.DEFINISI

            Akibat terjadinya infeksi dari suatu bagian tubuh maka terjadi pula peradangan

pada kelenjar getah bening regioner dari lesi primer, keadaan ini dinamakan limfadenitis.

B.ANATOMI SISTEMLIMFATIK

            Jalinan pembuluh limfe terdiri dari tiga ruangan utama. Kapiler limfe merupakan

tempat absorpsi limfe seluruh tubuh. Kapiler-kapiler ini bermuara kedalam pembuluh

pengumpul yang melewati ekstremitas dan rongga tubuh, yang kemudian bermuara

kedalam sistem vena melalui duktus torasikus. Pembuluh pengumpul secara periodik

Page 37: Dr Herry Setya Yudha Utama SpB

diselingi oleh kelenjar limfe, yang menyaring limfe dan terutama melakukan fungsi

imunologi.Kapiler limfe serupa dengan kapiler darah, kecuali bahwa membran basalis

tidak begitu tegas. Telah diketahui adanya celah besar antara sel endotel pembuluh limfe

yang berdekatan, sehingga partikel sebesar eritrosit dan limfosit bisa berjalan melaluinya.

Jaringan tertentu tampaknya tidak mempunyai pembuluh limfe.Keseluruhan epidermis,

sistem saraf pusat, selubung mata dan otot, kartilago dan tendon tidak mempunyai

pembuluh limfe. Dermis kaya akan pembuluh limfe yang mudah dikenal dengan

penyuntikan intradermis zat warna tertentu. Pembuluh tanpa katup ini berhubungan

dengan pembuluh pengumpul pada sambungan dermis-subkutis. Pembulu limfe

superfisialis ekstremitas terdiri dari beberapa saluran berkatup yang terutama melewati

sisi medial ekstremitas ke arah lipat paha atau aksila, dimana saluran ini berakhir dlam

satu kelenjar limfe atau lebih. Pembuluh ini mempertahankan kaliber yang seragam

waktu naik dan sering berhubungan satu sama lain melalui cabang yang menyilang.

Sistem pembuluh limfe profunda yang terpisah juga terdapat pada ekstremitas. Jalinan ini

mengikuti dengan dengan rapat jalur vaskular utama profunda terhadap fasia otot. Pada

individu normal, ada sedikit (jika ada) hubungan antara dua           sistem.

            Pembuluh limfe mempunyai struktur yang serupa dengan pembuluh darah dengan

adventisia berbatas tegas, suatu media yang mengandung sel otot polos dan suatu intima.

Pembuluh ini juga dipersarafi dan, telah diamati adanya spasme maupun kontraksi

alamiah berirama.Kelenjar limfe secara periodik diselingi di seluruh perjalanan saluran

limfe pengumpul. Masing-masing kelenjar limfe bisa mempunyai beberapa saluran limfe

eferen yang masuk melalui kapsul. Kemudian limfe memasuki sinus, membasai daerah

korteks dan medula, dan keluar melalui saluran eferen tunggal. Daerah korteks terutama

Page 38: Dr Herry Setya Yudha Utama SpB

mengandung limfosit, yang tersusun dalam folikel yang dipisahkan oleh perluasan

trabekular kapsula ini. Di dalam folikek terdapat sentrum germinativum diskrit. Medula

bisa mengandung makrofag dan sel plasma maupun limfosit, dan sel-sel ini dianggap

dalam keseimbangan dinamik di dalam kelenjar limfe. Tiap kelenjar limfe juga

mempunyai supali saraf dan vaskular yang terpisah, dan sekarang sudah diketahui bahwa

interaksi pembuluh limfe-vaskular bisa timbul di dalam kelenjar limfe.Saluran limfe

ekstremitas bawah dan visera bersatu untuk membentuk sisterna kili dekat aorta di dalam

abdomen atas. Struktur terakhir ini berjalan melalui diafragma untuk menjadi duktus

torasikus. Di dalam dada, duktus ini menerima pembulu limfe visera totem vena melalui

persatuan dengan vena subklavia sisnistra. Uktus limfatikus dekstra yang terpsah,

memberikan drainase untuk ekstremitas kanan atsa dan leher serta memasuki vena

subclavia dekstra.      

C.FISIOLOGI            SISTEMLIMFATIK

            Sirkulasi limfe merupakan proses yang rumit dan sulit dipahami. Satu fungsi

utama sistem limfe adalah untuk berpartisipasi dalam pertukaran kontinyu cairan

interstial merupakan filtrat plasma yang memnyilang dinding kapiler dan kecepatan

pembentukannya tergantung pada perbedaan tekanan di antara membran ini.

Pappenhimer dan soto-rivera mendukung konsep bahwa pori-pori kapiler adalah kecil

dan hanya permeabel sebagian bagi molekul besar seperti protein plasma. Molekul besar

ini yang tertangkap di dalam kapiler menimbulkan efek osmotik yang cenderung menjaga

volume cairan di dalam ruang kapiler. Sehingga pertukaran cairan antara kapiler dan

ruang interstiasial tergantung pada empat faktor : tekanan hidrostatik di dalam kapiler dan

di dalam ruang interstiasial serta tekanan osmotik di dalam dua ruangan ini. Tekanan

Page 39: Dr Herry Setya Yudha Utama SpB

onkotik plasma normal sekitar 25 mmHg, sementara tekanan onkotik cairan interstisial

hanya kira-kira 1 mmHg. Tekanan hidrostatik pada ujung arteiola kapiler diperkirakan 37

mmHg. Dan pada ujung vena 17 mmHg. Tekanan Hidrostatik cairan interstisial

bervariasi dalam jaringan yang berbeda sebesar –2mmHg dalam jaringan subkutis dan +6

mmHg di dalam ginjal. Ada aliran bersih cairan keluar dari kapiler ke dalam ruang

interstisial pada ujung arteriola yang bertekanan tinggi dari suatu kapile, dan aliran bersih

ke dalam pada ujung venula. Normalnya aliran keluar bersih melebihi aliran masuk

bersih dan cairan tambahan ini kembali ke sirkulasi melalui pembuluh limfe. Aliran limfe

noramal 2 samapi 4 liter perhari. Kecepatan aliran sangat dipengaruhi oleh sejumlah

faktor lokal dan sistemik, yang mencakup konsentrasi protein dalam plasma dan cairan

interstisial, hubungan tekanan arteri dan vena lokal, serta ukuran pori dan

keutuhankapiler.

            Tenaga pendorong limfe juga merupakan proses yang rumit. Saat istirahat,

kontraksi intrinsik yang berirama dari dinding duktus pengumpul dianggap mendorong

limfe ke arah duktus torasikus dalam bentuk peristeltik. Kontraksi otot rangka aktif ,

menekan saluran limfe dan karena adanya katup yang kompeten dalam saluran limf,

maka limfe di dorong ke arah kepala. Peningkatan tekan intra-abdomen akibat batuk atau

mengejan, juga menekan pembulu limfe, mempercepat aliran limfe ke atas. Perubahan

fasik dalam tekanan intratoraks yang berhubungan dengan pernafasn, membentuk

mekanisme pompa lain untuk mendoong limfe melalui mediastitinum. Aliran darah yang

cepat dalam vena subklavia bisa menimbulkan efek siphon      pada duktus    torasikus.

            Fungsi kedua dari sitem limfe adalah untuk mengembalikan makromolukel dari

ruang interstisial ke sistem vaskular. Molekul yang besar ini tidak mudah di reabsorpsi

Page 40: Dr Herry Setya Yudha Utama SpB

dalam kapiler vaskular, karena ukuran pori yang kecil dalam setruktur terakhir. Tetapi

celah anatara sel endotel pembuluh limfe terminal sebenarnya mudah menerima molekul

besar ini. Diperkirakan bahwa 50 samapi 80 persen protein intravaskular total bersirkulasi

dengan cara ini tiap 24 jam. Konsentrasi protein limfe terutama tergantung atas jaringan

yang di drainase. Pada pembuluh limfe ekstrimitas, konsentrasi protein bisa serendah 0,5

gm per 100 ml, sementara limfe hati bisa mengandung 6 gm per 100ml. Limfe yang

mengalir dari usus setelah makan akan berwarna opalesen, karena adanya kandungan

lemak dalam bentuk kilomikron.Fungsi tambahan sistem limfe yang mempunyai dampak

bedah, meliputi fungsi filtrasi dan perlindungan imunologi. Bakteri, benda asing dan sel

ganas yang dikenal, dikumpulkan oleh sistem limfe dan diangkut ke kelenjar limfe

regional, dimana konsentrasi makrofag, sel plasma dan limfosit dapat berinteraksi

dengannya,melalui respon kekebalan.

            Sistem limfatik berperan pada reaksi peradangan sejajar dengan sistem vaskular

darah. Biasanya ada penembusan lambat cairan interstisial ke dalam saluran limfe

jaringan, dan limfe yang terbentuk dibawah ke sentral dalam badan dan akhirnya

bergabung kembali kearah vena. Bila daerah terkena radang, biasanya terjadi kenaikan

yang menyolok pada aliran limfe dari daerah itu. Telah diketahui bahwa dalam perjalanan

peradangan akut, lapisan sel pembatas pembuluh limfe yang terkecil agak meregang,

sama seperti yang terjadi pada venula, dengan demikian memungkinkan lebih banyak

bahan interstisial yang masuk ke dalam pembuluh limfe. Pembuluh limfe agaknya

dipertahankan dalam posisi terbuka karena jaringan membengkak akibat sistem serabut

jaringan ikat tertambat pada dinding pembuluh dinding limfe. Bagaimanapun juga,

selama peradangan akut tidak hanya aliran limfe yang bertambah, tetapi kandungan

Page 41: Dr Herry Setya Yudha Utama SpB

protein dan sel dari cairan limfe juga bertambah dengan cara yang sama.

Sebaliknya, bertambahnya aliran bahan-bahan melalui pembuluh limfe menguntungkan

karena cenderung mengurangi pembengkakan jaringan yang meradang dengan

mengosongkan sebagian dari eksudat. Sebaliknya, agen-agen yang dapat menimbulkan

cedera dapat dibawa oleh pembuluh limfe dari tempat peradangan primer ke tempat yang

jauh dalam tubuh. Dengan cara ini, misalnya, agen-agen yang menular dapat menyebar.

Penyebarn sering dibatasi oleh penyaringan yang dilakukan oleh kelenjar limfe regional

yang dilalui oleh cairan limfe yang bergerak menuju ke dalam tubuh, tetapi agen atau

bahan yang terbawa oleh cairan limfe mungkin masih dapat melewati kelenjar dan

akhirnya mencapai aliran darah.Karena alasan ini, orang harus selalu waspada akan

kemungkinan terserangnya sistem limfatik pada peradangan oleh sebab apapun. Bila

pembuluh limfe terkena radang disebut limfangitis. Jika kelenjar limfe terkena radang di

sebut limfadenitis. Limfadenitis regional sering ditemukan menyertai peradangan. Satu

contoh yang terkenal adalah pembesaran kelenjar limfe servikal, yang nyeri, terlihat pada

tonsilitis. Istilah yang lebih umum adalah limfadenopati digunakan untuk

menggambarkan setiap kelainan kelenjar limfe. Dalam praktek, istilah itu tidak saja

menyatakan adanya limfadenitis, tetapi pada setiap pembesaran kelenjar limfe

kebanyakan reaksi-reaksi kelenjar limfe disertai oleh pembesaran.      

D.MYCOBACTERIUM TUBERLUOSA   

            Ada dua macam mikrobakteria yang menyebabkan penyakit tuberkulosis yaitu

tipe human dan tipe bovin. Basil tipe bovin berada dalam susu sapi yang menderita

mastitis tuberkulosa, dan bila diminum dapat menyebabkan tuberkulosis usus. Basil tipe

human bisa berada di bercak ludah (droplet) di udara yang menghirup bercak ini. Ini

Page 42: Dr Herry Setya Yudha Utama SpB

merupakan cara penularan terbanyak. Selanjutnya, dikenal empat fase dalam perjalanan

yang penyakitnya.

            Pertama adalah fase tuberkulosis primer. Setelah masuk ke paru, basil

berkembang biak tanpa menimbulkan reaksi pertahanan tubuh. Sarang pertama ini

disebut efek pridi hilus paru dan menyebabkan limfadenitis regionalis. Reaksi yang khas

adalah terjadinya granuloma sel epiteloid dan nekrosis pengejuan di lesi primer dan di

kelenjar limfe halus. Afek primer dan limfedenitis regional ini disebut kompleks primer

yang bisa mengalami resolusi dan sembuh tanpa meninggalkan cacat, atau membentuk

fibrosis dan kalsifikasi (95% kasus).Sekalipun demikian kompleks dapat mengalami

komplikasi berupa penyebaran miliar melalui pembuluh darah dan penyebaran melalui

bronkus. Penyebaran miliar menyebabkan tuberkulosis di seluruh paru-paru, tulang,

meningen, dan lain-lain, sedangkan penyebaran bronkogen langsung ke bronkus dan

bagian paru, dan menyebabkan bronkopneumonia tuberculosis. Penyebaran hematogen

itu bersamaan dengan perjalanan tuberkulosis primer ke paru merupakan fase kedua.

Infeksi ini dapat berkembang terus dapat juga mengalami resolusi dengan pembentukan

jaringan parut dan basil menjadi”tidur”.  

            Fase dengan kuman yang tidur ini yang disebut fase laten, fase 3. Basil yang tidur

ini bisa terdapat di tulang panjang, vertebra, tuba Fallopi, otak, kelenjar limf hilus dan

leher, serta di ginjal. Kuman ini bisa tetap tidur selama bertahun-tahun, bisa mengalami

reaktivasi bila terjadi perubahan keseimbangan daya tahan tubuh, misalnya pada tindak

bedah besar, atau pada infeksi HIV.

Tuberkulosis fase keempat dapat terjadi di paru atau di luar paru. Dalam

perjalanan selanjutnya proses ini dapat sembuh tanpa cacat, sembuh dengan

Page 43: Dr Herry Setya Yudha Utama SpB

meninggalkan fibrosis dan kalsifikasi, membentuk kavitas (kaverne), bahkan dapat

menyebabkan broniektasi melalui erosi bronkus. Frekuensi penyebaran ke ginjal adalah

yang kedua setelah penyebaran ke paru. Kuman berhenti dan bersarang pada korteks

ginjal, yaitu bagian yang tekanan oksigennya relatif tinggi. Kuman ini dapat langsung

menyebabkan penyakit atau “tidur” selama bertahun-tahun. Patologi di ginjal sama

dengan patologi di tempat lain, yaitu inflamasi, pembentukan jaringan granulasi, dan

nekrosis pengejuan. Kemudian basil dapat turun dan menyebabkan infeksi di ureter,

kandung kemih, prostat, vesikula seminalis, vas deferens, dan epididimis. Penyebaran ke

kelenjar limf paling sering ke kelenjar limf halus, baik sebagai penyebaran langsung dari

kompleks primer, ,maupun sebagai tuberkulosis pasca primer. Tuberkulosis kelenjar limf

lain (servikal, inguinal, aksial) biasanya merupakan tuberkulosis pasca

primer.Penyebaran ke genitalia wanita melalui penyebaran hematogen dimulai dengan

berhenti dan berkembangbiaknya kuman di tuba Fallopi yang sangat vaskuler. Dari sini

basil bisa menyebar ke uterus (endometritis), atau ke peritoneum (peritonitis).

Tbc umumnya ditularkan melalui percik ludah halus (droplets) di udara yang

mengandung basil tbc vital. Penyebaran ke tulang adalah ke daerah metafisis tulang

panjang dan ke tulang spongiosa yang menyebabkan tuberkulosis tulang ekstra-artikuler.

Penyebaran lain dapat juga ke sinovium dan menjalar ke tulang subkondral. Penyebaran

ini menyebabkan tuberkulosis sendi. Penyebaran dari metafisis ke epifisis tidak pernah

terjadi karena sifat cakram epifisis yang avaskuler. Penyebaran ke otak dan mengingen

juga melalui penyebaran hematogen setelah kompleks primer. Berbeda dengan

penyebaran di atas, penyebaran ke perikardium terjadi oleh penjalaran melalui saluran

limf atau kontak langsung dari pleura yang tembus ke perikardium.

Page 44: Dr Herry Setya Yudha Utama SpB

Kekebalan terhadap tuberkulosis sebagian besar diperantarai sel limfosit T yang

atas rangsangan basil tuberkulosis dapat mengaktifkan makrofag untuk menghancurkan

basil dengan cara lisis (bakteriolisis).

Diagnosis

Uji tuberculin : Untuk menegakkan apakah seseorang terinfeksi kuman BTA dapat

dilakukan pemeriksaan diagnosis dengan tuberkulin yang disuntikkan intrakutan menurut

Mantoux. Uji ini berguna untuk mengetahui adanya reaksi hipersensitivitas lambat

terhadap kuman tuberkulosis. Tuberkulin adalah fraksi protein dari kuman tuberkulosis,

yang bila disuntikkan pada orang yang pernah terinfeksi tbc (baik yang aktif maupun

yang “tidur”) akan menyebabkan pembengkakan kulit dalam 24-72 jam akibat akumulasi

sel limfosit di daerah penyuntikan. Penebalan dan radang kulit lebih dari 10 mm disebut

negatif. Reaksi negatif palsu dapat terjadi pada pasien yang            anergi.

            Tempat predileksi ekstrapulmonal : 

 1.Kelenjarlimfe

 2.Limfadenitis leher

 4.Urogenital

5.Tbc   ginjal

 6.Epididimis

 7.Salpingitis

 8.Tulang

 9.Gibusspondilitis

10.Fistel lipat paha     

 11.Sendi

Page 45: Dr Herry Setya Yudha Utama SpB

12.Koksitis

 13.Gonitis

Pemeriksaan  patologi

            Tuberkulum, biasanya sebesar 1 sampai 3 mm, terbentuk sebagai reaksi radang di

sekitar sekelompok basil tbc. Sebagian besar terdiri dari sel epiteloid yang berasal dari

histiosit dan makrofag. Beberapa sel itu akan membesar dan berinti banyak dan disebut

sel raksasa Langhans. Di tengah tuberkulum terjadi nekrosis keju, sedangkan lapisan

luarnya terdiri dari sel limfosit. Struktur histologi ini merupakan gambaran patologi khas

tbc. Gambaran patologi jaringan hasil biopsi atau sisa jaringan debris pada dasarnya

menunjukkan radang spesifik seperti ini pula.

Diagnosis dengan cara ini cukup tinggi keandalannya, meskipun tetap harus dipikirkan

diagnosis banding yang memberikan gambaran            hampir sama.

            Gejala dan tanda klinik juga khas. Kecuali tbc milier, penyakit tbc bersifat

berkembang lambat tanpa tanda radang akut. Bengkak radang biasanya jelas, tetapi tidak

ada hiperemia, panas dan nyeri setempat. Kalau terbentuk abses, disebut “abses dingin”.

Radang tbc merupakan radang spesifik/khas. Kadang radang disertai dengan

pembentukan banyak cairan seperti pada pleuritis eksudativa, peritonitis eksudativa atau

perikarditis eksudativa. Jika banyak terbentuk jaringan ikat, radangnya dinamai

produktiva atau sika. Nekrosinya menghasilkan massa seperti salep atau keju sehingga

disebut pengejuan atau caseosa, misalnya limfadenitis kaseosa.

Nekrosis yang mencair membentuk abses dingin sebab tidak ada demam umum maupun

setempat. Sering terjadi fistel tunggal atau multipel di kulit dari limfadentis tbc di leher,

Page 46: Dr Herry Setya Yudha Utama SpB

atau di lipat paha dari osteomielitis. Spondilitis pada vertebra torakal atau lumbal sering

mengalirkan nanahnya ke luar melalui fasia otot psoas. Pada tempat jaringan

nekrosis/keju yang telah keluar itu mungkin terjadi ruang yang disebut keverne seperti di

paru atau diginjal.

Pemeriksaan  bakteriologi

            Pemeriksaan bekteriologi merupakan satu-satunya pembuktian mutlak akan

adanya tuberkulosis. Sediaan apus untuk identifikasi kuman BTA dapat dilakukan dengan

pewarnaan Ziehl Neelsen atau Kenyon-Gabet-Tan. Biakan kuman dilakukan dengan

medium Lowenstein Jensen atau Middlebrook 7H-11. Bahan yang diperiksa adalah

sputum, cairan lambung, air kemih, cairan sinovium, atau debris bergantung dari letak

penyakit.Karena basil tbc sangat lambat berkembang biak, diperlukan waktu enam hingga

delapan minggu untuk mengetahui hasil biakan. Marmot dapat dipakai untuk biakan

binatang. Hasil pemeriksaan ini dapat diperoleh setelah enam minggu.Pembelahan sel

menuntut 20-24jam.

Pemeriksaan  radiologi

            Gambaran radiologis tuberkulosis sering dapat menegakkan diagnosis

tuberkulosis, meskipun diagnosis pastinya adalah dari pemeriksaan bakteriologis.        

Diagnosis terapi percobaan 

            Diagnosis dapat juga ditegakkan secara exjuvantibus* dengan terapi percobaan

dengan menggunakan antituberkulosis.Pada sebagian penderita tersangka tuberkulosis

yang tidak didukung oleh gambaran klinis, mikrobiologi maupun patologi, cara diagnosis

ini dapat dilakukan. Efek antituberkulosis ini paling sedikit baru dapat dinantikan setelah

tiga minggu.

Page 47: Dr Herry Setya Yudha Utama SpB

Terapi

Terapi obat     

Saat ini telah ditemukan banyak macam antituberkulosis yang mekanisme kerja dan efek

sampingnya berbeda-beda. Umumnya antituberkulosis aktif terhadap kuman yang sedang

giat membelah, kecuali rifampisin yang juga aktif terhadap kuman yang membelah

lambat.

            Ini tidak aktif dalam suasana asam sehingga kuman yang berada dalam sel

makrofag (suasana intraselnya asam) tidak dapat dibunuh. Hanya pirazinamid yang aktif

dalam suasana asam. Sementara itu kuman tuberkulosis mudah resisten terhadap obat-

obatini. Oleh karena itu kemoterapi tuberkulosis selalu dalam kombinasi dua atau tiga

macam dengan maksud meningkatkan efek terapinya dan mengurangi kemungkinan

timbulnya resistensi.Untuk menyembuhkan tuberkulosis diperlukan pengobatan yang

lama karena basil tbc tergolong kuman yang sukar dibasmi. Selain itu kuman yang

semidormant, yaitu yang berada dalam makrofag, baru dapat dibunuh kalau kuman

tersebut telah keluar dari makrofag. Dengan pengobatan lama ini kuman yang tidur tetap

tidak dapat dijangkau.Dikenal dua macam paduan terapi antituberkulosis yaitu paduan

jangka panjang selama 12-18 bulan dan paduan jangka pendek selama 6-9

bulan.Penentuan lama pengobatan dan pemilihan paduan terapi ditentukan oleh beratnya

penyakit, adanya kontraindikasi dan efek samping, serta adanya kuman.Sebagian besar

penderita tbc dapat ditolong dengan            antituberkulosis.

            Efek samping yang penting diingat adalah kerusakan N.VIII oleh streptomisin,

neuritis perifer oleh INH pada definisi vitamin B6, gangguan penglihatan oleh etambutol,

Page 48: Dr Herry Setya Yudha Utama SpB

dan hepatotoksitas INH dan rinfampisin. Efek toksik terhadap hati ini lebih berat bila

kedua obat diberikan bersama-sama.          

 

Terapi bedah

            Pusat radang tuberkulosis terdiri dari pengejuan yang dikelilingi jaringan fibrosa.

Seperti halnya infeksi lain, adanya jaringan nekrosis akan menghambat penetrasi

antibiotik ke daerah radang sehingga pembasmian kuman tidak efektif. Oleh karena itu

sarang infeksi di berbagai organ misalnya kaverne di paru dan debris di tulang harus

dibuang. Jadi, tindak bedah menjadi syarat mutlak untuk hasil baik terapi medis. Selain

itu tindak bedah juga diperlukan untuk mengatasi penyulit, misalnya pada tuberkulosis

paru yang menyebabkan destruksi luas dan empiema, pada tuberkulosis usus yang

menimbulkan obstruksi atau perforasi, dan osteitis atau arthritis tuberkulosa yang

menimbulkan cacat.      

E.PERJALANAN KLINIK LIMFADENITIS TUBERKULOSA.

            Bakteria dapat masuk melalui makanan ke rongga mulut dan melalui tonsil

mencapai kelenjar limf di leher, sering tanpa tanda tbc paru. Kelenjar yang sakit akan

membengkak, dan mungkin sedikit nyeri. Mungkin secara berangsur kelenjar didekatnya

satu demi satu terkena radang yang khas dan dingin ini. Di samping itu, dapat terjadi juga

perilimfadenitis sehingga beberapa kelenjar melekat satu sama lain berbentuk massa. Bila

mengenai kulit, kulit akan meradang, merah, bengkak, mungkin sedikit nyeri. Kulit

akhirnya menipis dan jebol, mengeluarkan bahan keperti keju. Tukak yang terbentuk

akan berwarna pucat dengan tepi membiru dan menggangsir, disertai sekret yang jernih.

Page 49: Dr Herry Setya Yudha Utama SpB

Tukak kronik itu dapat sembuh dan meninggalkan jaringan parut yang tipis atau berbintil-

bintil. Suatu saat tukak meradang lagi dan mengeluarkan bahan seperti keju lagi,

demikian berulang-ulang. Kulit seperti ini disebut skrofuloderma. Pengobatan dilakukan

dengan tuberkulostatik

3.TUBERKULOSIS PERITONEAL

Pendahuluan :

Tuberkulosis peritoneal merupakan suatu peradangan peritoneum parietal atau

visceral yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis, dan terlihat penyakit

ini juga sering mengenai seluruh peritoneum, alat-alat system gastroinbtestinal,

mesenterium dan organ genetalia interna.Penyakit ini jarang bersiri sendiri dan biasanya

merupakan kelanjutan proses tuberkulosa di tempat lain terutama dari tuberkulosa paru,

namun sering ditemukan bahwa pada waktu diagnosa ditegakkan proses tuberkulosa di

paru sudah tidak kelihatan lagi. Hal ini bisa terjadi karena proses tuberkulosa di paru

mungkin sudah menyembuh terlebih dahulu sedangkan penyebaran masih berlangsung di

tempat lain.

Di Negara yang sedang berkembang tuberculosis peritoneal masih sering

dijumpai termasuk di Indonesia, sedangkan di negara Amerika dan Negara Barat lainnya

walaupun sudah jarang ada kecendrungan meningkat dengan meningkatnya jumlah

penderita AIDS dan Imigran. Karena perjalanan penyakitnya yang berlangsung secara

perlahan-lahan dan sering tanpa keluhan atau gejala yang jelas maka diagnosa sering

tidak terdiagnosa atau terlambat ditegakkan. Tidak jarang penyakit ini mempunyai

keluhan menyerupai penyakit lain seperti sirosis hati atau neoplasma dengan gejala asites

yang tidak terlalu menonjol.

Page 50: Dr Herry Setya Yudha Utama SpB

Insidensi

Tuberkulosis peritoneal lebih sering dijumpai pada wanita disbanding pria dengan

perbandingan 1,5:1 dan lebih sering decade ke 3 dan 4.Tuberkulosis peritoneal dijumpai

2 % dari seluruh Tuberkulosis paru dan 59,8% dari tuberculosis Abdominal.(5) Di

Amerika Serikat penyakit ini adalah keenam terbanyak diantara penyakit extra paru

sedangkan peneliti lain menemukan hanya 5-20% dari penderita tuberkulosis peritoneal

yang mempunyai TB paru yang

aktif .

Pada saat ini dilaporkan bahwa kasus tuberculosis peritoneal di negara maju

semakin meningkat dan peningkatan ini sesuai dengan meningkatnya insiden AIDS di

negara maju.Di Asia dan Afrika dimana tuberculosis masih banyak dijumpai, tuberculosis

peritoneal masih merupakan masalah yang penting. Manohar dkk melaporkan di Rumah

Sakit King Edward III Durban Afrika selatan menemukan 145 kasus tuberculosis

peritoneal selamaperiode 5 tahun (1984-1988) sedangkan dengan cara

peritonoskopi.Daldiono menemukan sebanyak 15 kasus di Rumah Sakit Cipto

mangunkusumo Jakarta selama periode 1968-1972 dan Sulaiman di rumah sakit yang

sama periode 1975-1979 menemukan sebanyak 30 kasus tuberkulosa peritoneal begitu

juga Sibuea dkk melaporkan ada 11 kasus Tuberkulosis peritoneal di Rumah sakit Tjikini

Jakarta untuk periode 1975-1977.Sedangkan di MedanZain LH melaporkan ada 8 kasus

selama periode 1993-1995.

Patogenese

Peritoneum dapat dikenai oleh tuberculosis melalui beberapa cara :

1. Melalui penyebaran hematogen terutama dari paru-paru

Page 51: Dr Herry Setya Yudha Utama SpB

2. Melalui dinding usus yang terinfeksi

3. Dari kelenjar limfe mesenterium

4. Melalui tuba falopi yang terinfeksi

Pada kebanyakan kasus tuberkulosis peritoneal terjadi bukan sebagai akibat

penyebaran perkontinuitatum tapi sering karena reaktifasi proses laten yang terjadi pada

peritoneum yang diperoleh melalui penyebaran hematogen proses primer terdahulu

(infeksi laten “Dorman infection”).Seperti diketahui lesi tuberkulosa bisa mengalami

supresi dan menyembuh. Infeksi masih dalam fase laten dimana ia bisa menetap laten

selama hidup namun infeksi tadi bisa berkembang menjadi tuberkulosa pada setiap saat.

Jika organism intrasseluler tadi mulai bermutiplikasi secara cepat.

Patologi

Terdapat 3 bentuk peritonitis tuberkulosa :

1. Bentuk eksudatif

Bentuk ini dikenal juga sebagai bentuk yang basah atau bentuk asites yang

banyak,gejala menonjol ialah perut membesar dan berisi cairan (asites). Pada bentuk ini

perlengketan tidak banyak dijumpai. Tuberkel sering dijumpai kecil-kecil berwarna putih

kekuning-kuningan milier, nampak tersebar di peritoneum atau pada alat-alat tubuh yang

berada di rongga peritoneum. Disamping partikel yang kecil-kecil yang dijumpai tuberkel

yang lebih besar sampai sebesar kacang tanah. Disekitar tuberkel terdapat reaksi jaringan

peritoneum berupa kongesti pembuluh darah. Eksudat dapat terbentuk cukup banyak,

menutupi tuberkel dan peritoneum sehingga merubah dinding perut menjadi tegang,

Cairan asites kadang-kadang bercampur darah dan terlihat kemerahan sehingga

Page 52: Dr Herry Setya Yudha Utama SpB

mencurigakan kemungkinan adanya keganasan. Omentum dapat terkena sehingga terjadi

penebalan dan teraba seperti benjolan tumor.

2. Bentuk adhesif

Disebut juga sebagai bentuk kering atau plastik dimana cairan tidak banyak

dibentuk. Pada jenis ini lebih banyak terjadi perlengketan. Perlengketan yang luas antara

usus dan peritoneum sering memberikan gambaran seperti tumor, kadangkadang

terbentuk fistel. Hal ini disebabkan karena adanya perlengketanperlengketan. Kadang-

kadang terbentuk fistel, hal ini disebabkan karena perlengketan dinding usus dan

peritoneum parintel kemudian timbul proses necrosis. Bentuk ini sering menimbulkan

keadaan ileus obstruksi . Tuberkel-tuberkel biasanya lebih besar.

3. Bentuk campuran

Bentuk ini kadang-kaadang disebut juga kista, pembengkakan kista terjadi melalui

proses eksudasi bersama-sama dengan adhesi sehingga terbentuk cairan dalam kantong-

kantong perlengketan tersebut. Beberapa penulis menganggap bahwa pembagian ini lebih

bersifat untuk

melihat tingkat penyakit, dimana pada mulanya terjadi bentuk exudatif dan kemudian

bentuk adhesive.Pemberian hispatologi jaringan biopsy peritoneum akan memperlihatkan

jaringan granulasi tuberkulosa yang terdiri dari sel-sel epitel dan sel datia langerhans, dan

pengkejutan umumnya ditemukan.

Gejala Klinis

Gejala klinis bervariasi, pada umumnya keluhan dan gejala timbul perlahan-lahan

sampai berbulan-bulan, sering penderita tidak menyadari keadaan ini. Pada penelitian

yang dilakukan di Rumah Sakit Dr.Cipto Mangunkusumo lama keluhan berkisar dari 2

Page 53: Dr Herry Setya Yudha Utama SpB

minggu s/d 2 tahun dengan rata-rata lebih dari 16 minggu.Keluhan terjadi secara

perlahan-lahan sampai berbulan-bulan disertai nyeri perut, pembengkakan perut, disusul

tidak nafsu makan, batuk dan demam.Pada yang tipe plastik sakit perut lebih terasa dan

muncul manisfestasi seperti sub obstruksi.

Variasi keluhan pasien tuberkulosa peritoneal menurut beberapa penulis adalah sebagai

berikut :

Tabel 1. Keluhan pasien tuberkulosa peritoneal menurut beberapa penulis

Keluhan Sulaiman A1975-

1979

30 pasien

%

Sandikci

135 pasien

%

Manohar dkk

1984-1988

45 pasien

%

Sakit perut 57 82 35.9

Pembengkakan perut 50 96 73.1

Batuk 40 - -

Demam 30 69 53.9

Keringat malam 26 - -

Anoreksia 30 73 46.9

Berat badan menurun 23 80 44.1

Mencret 20 - -

Pada pemeriksaan jasmani gejala yang sering dijumpai adalah asites, demam,

pembengkakan perut, nyeri perut, pucat dan kelelahan, tergantung lamanya keluhan.

Page 54: Dr Herry Setya Yudha Utama SpB

Keadaan umum pasien bisa masih cukup baik sampai keadaan kurus dan kahexia,pada

wanita sering dijumpai tuberkulosa peritoneum disertai oleh proses tuberculosis pada

ovarium atau tuba, sehingga pada alat genital bisa ditemukan tanda-tanda peradangan

yang sering sukar dibedakan dengan kista ovary.

Gejala yang lebih rinci dapat dilihat pada table 2 dibawah ini :

Tabel 2 : pemeriksaan jasmani pada 30 penderita peritonitis tuberkulosa di rumah sakit

Dr.Cipto mangunkusumo Jakarta tahun 1975-11979.

Gejala Persentase ( % )

Pembengkakan perut dan nyeri 51

Asites 43

Hepatomegali 43

Ronchi pada paru ( kanan ) 33

Pleura effuse 27

Splenomegali 30

Tumor intra abdomen 20

Fenomena papan catur 13

Limfadenopati 13

Terlibatnya paru dan pleura 63 (atas dasar foto thorax )

Fenomena papan catur yang selalu dikatakan karakteristik pada penderita peritonitis

tuberkulosa ternyata tidak sering dijumpai (13%).

Page 55: Dr Herry Setya Yudha Utama SpB

Diagnosis :

Laboratorium :

Pemeriksaan darah tepi sering dijumpai adanya anemia penyakit kronis,leukositosis

ringan ataupun leukopenia , trombositosis, gangguan faal hati dan sering dijumpai laju

endap darah (LED) yang meningkat, sedangkan pada pemeriksaan tes tuberculin hasilnya

sering negative.

Pada pemeriksaan analisa cairan asites umumnya memperlihatkan exudat dengan

protein > 3 gr/dl jumlah sel diatas 100-3000sel/ml. Biasanya lebih dari 90% adalah

limfosit LDH biasanya meningkat.Cairan asites yang perulen dapat ditemukan begitu

juga cairan asites yang

bercampur darah (serosanguinous). Pemeriksaan basil tahan asam (BTA) didapati

hasilnya kurang dari 5 % yang positif dan dengan kultur cairan ditemukan kurang dari

20% hasilnya positif.Ada beberapa peneliti yang mendapatkan hampir 66% kultur

BTAnya yang positif

dan akan lebih meningkat lagi sampai 83% bila menggunakan kultur cairan asites yang

telah disetrifugejengan jumlah cairan lebih dari 1 liter. Dan hasil kultur cairan asites ini

dapat diperoleh dalam waktu 4-8 minggu.

Perbandingan serum asites albumin (SAAG) pada tuberculosis peritoneal

ditemukan rasionya < 1,1 gr/dl namun hal ini juga bisa dijumpai pada keadaan

keganasan, sindroma neprotik, penyakit pancreas , kandung empedu atau jaringan ikat

sedangkan bila ditemukan >1,1 gr/dl ini merupakan cairan asites akibat portal hipertensi.

Perbandingan glukosa cairan asites dengan darah pada tuberculosis peritoneal

<0,96 sedangkan pada asites dengan penyebab lain rationya >0,96.Penurunan PH cairan

Page 56: Dr Herry Setya Yudha Utama SpB

asites dan peningkatan kadar laktat dapat dijumpai pada tuberculosis peritoneal dan

dijumpai signifikan berbeda dengan cairan asites pada sirosis hati yang steril, namun

pemeriksaan PH dan kadar laktat cairan asites ini kurang spesifik dan belum merupakan

suatu kepastian karena hal ini juga dijumpai pada kasus asites oleh karena keganasan atau

spontaneous bacterial peritonitis.(4) Pemeriksaan cairan asites lain yang sangat

membantu, cepat dan non invasive adalah pemeriksaan ADA (adenosin deminase

actifity), interferon gama (IFNϒ) dan PCR. Dengan kadar ADA > 33 u/l mempunyai

Sensitifitas 100%. Spesifitas 95%, dan dengan Cutt off > 33 u/l mengurangi false positif

dari sirosis hati atau malignancy.

Pada sirosis hati konsentrasi ADA signifikan lebih rendah dari tuberculosis

peritoneal (14 ± 10,6 u/l) Hafta A dkk dalam suatu penelitian yang membandingkan

konsentrasi ADA terhadap pasien tuberculosis peritoneal , tuberculosis peritoneal

bersamaan dengan sirosis hati dan passien-pasien yang hanya sirosis hati. Mereka

mendapatkan nilai ADA 131,1 ± 38,1, u/l pada pasien tuberculosis peritoneal, 29 ± 18,6

u/l pada pasien tuberculosis dengan sirosis hati dan 12,9 ± 7 u/l pada pasien yang hanya

mempunyai sirosis hati, sedangkan pada pasien dengan konsentrasi protein yang rendah

dijumpai Nilai ADA yang sangat rendah sehingga mereka menyimpulkan pada

konsentrasi asietas dengan protein yang rendah nilai ADA dapat menjadi falsenegatif.

Untuk ini pemeriksaan Gama interferon (INFϒ) adalah lebih baik walaupun nilainya

dalah sama dengan pemeriksaan ADA, sedangkan pada pemeriksaan PCR hasilnya lebih

rendah lagi disbanding kedua pemeriksaan tersebut. Fathy ME melaporkan angka

sensitifitas untuk pemeriksaan tuberculosis peritoneal terhadap Gama interferon adalah

90,9 % , ADA : 18,8% dan PCR 36,3% dengan masing-masing spesifitas 100%.(17).

Page 57: Dr Herry Setya Yudha Utama SpB

Peneliti lain yang meneliti kadar ADA adalah Bargava. Bargava dkk melakukan

penelitian terhadap kadar ADA pada cairan esites dan serum penderita peritoneal

tuberculosis. Kadar ADA >36 u/l pada cairan esites dan > 54 u/l pada serum mendukung

suatu diagnosis tuberculosis peritoneal.

Perbandingan cairan asites dan serum (asscitic / serum ADA ratio) lebih tingggi

pada tuberculosis peritoneal dari pada kasus lain seperti sirosis, sirosisdengan

spontaneous bacterial peritonitis,Budd chiary dan Ratio > 0,984 menyokong suatu

tuberculosis.

Pemeriksaan lain adalah pemeriksaan CA-125.CA-125 (Canker antigen 125)

termasuk tumor associated glycoprotein dan terdapat pada permukaan sel. CA-125

merupakan antigen yang terkait karsinoma ovarium, antigen ini tidak ditemukan pada

ovarium orang dewasa normal, namun CA-125 ini dilaporkan, juga meningkat pada

keadaan benigna dan maligna, dimana kira-kira 80% meningkat pada wanita dengan

keganasan ovarium, 26% pada trimester pertama kehamilan, menstruasi, endometriosis,

myoma uteri daan salpingitis, juga kanker primer ginekologi yang lain sepeerti

endometrium, tuba falopi, endocervix, pancreas,ginjal,colon juga pada kondisi yang

bukan keganasan seperti gagal ginjal kronik, penyakit autoimum, pancreas, sirosis hati,

peradangan peritoneum seperti tuberculosis,pericardium dan pleura, namun beberapa

laporan yang menemukan peningkatan kadar CA-25 pada penderita tuberkulossis

peritoneal seperti yang dilaporkan oleh Sinsek H.

Zain LH di Medan pada tahun 1996 menemukan dari 8 kasus tuberculosis

peritoneal dijumpai kadar CA-125 meninggi dengan kadar rata-rata 370,7 u/ml (66,2–

907 u/ml) dan menyimpulkan bila dijumpai peninggian serum CA-125 disertai dengan

Page 58: Dr Herry Setya Yudha Utama SpB

cairan asites yang eksudat, jumlah sel > 350/m3, limfosit yang dominan maka

tuberculosis peritoneal dapat dipertimbangkan sebagai diagnose. Bebrapa peneliti

menggunakan CA-125 ini untuk melihat respon pengobatan seperti yang dilakukan Mas

MR dkk (Turkey, 2000) menemukan CA-125 sama tingginya dengan kanker ovarium dan

setelah pemberian anti tuberkulosa kadar serum CA-125 menjadi normal dimana yang

sebelumnya kadar rata-rata CA-125,475,80 ± 5,8 u/ml (Normal < 35 u/ml) setelah 4

bulan pengobatan anti tuberkulosa.Akhir-akhir ini Teruya J dkk pada tahun 2000 di

Jepang menemukan peningkatan kadar CA 19-9 pada serum dan cairan asites penderita

tuberculosis peritoneal dan setelah diobati selama 6 minggu dijumpai penurunan CA19-9

menjadi normal.

Pemeriksaan Peninjang :

Pemeriksaan rontgen.

Pemeriksaan sinar tembus pada system pencernaan mungkin dapat membantu jika

didapat kelainan usus kecil atau usus besar.

Ultrasonografi :

Pada pemeriksaan ultrasonografi (USG) dapat dilihat adanya cairan dalam rongga

peritoneum yang bebas atau terfiksasi (dalam bentuk kantong-kantong) menurut Rama &

Walter B, gambaran sonografi tuberculosis yang sering dijumpai antara lain cairan yang

bebas atau terlokalisasi dalam rongga abdomen, abses dalam rongga abdomen, masa

didaerah ileosaecal dan pembesaran kelenjar limfe retroperitoneal, adanya penebalan

mesenterium, perlengketan lumen usus dan penebalan omentum, mungkin bisa dilihat

dan harus diperiksa dengan seksama.Mizzunoe dkk berhasil menggunakan USG sebagai

alat Bantu biopsy secara tertutup dalam menegakkan diagnosa peritonitis tuberkulosa.

Page 59: Dr Herry Setya Yudha Utama SpB

CT Scan :

Pemeriksaan CT Scan untuk peritoneal tuberculosis tidak ada ditemui suatu

gambaran yang khas, namun secara umum ditemui adanya gambaran peritoneum yang

berpasir dan untuk pembuktiannya perlu dijumpai bersamaan dengan adanya gejala klinik

dari tuberculosis peritoneal.Rodriguez E dkk yang melakukan suatu penelitian yang

membandingkan tuberculosis

peritoneal dengankarsinoma peritoneal dan karsinoma peritoneal dengan melihat

gambaran CT Scan terhadap peritoneum parietalis.Adanya peritoneum yang licin dengan

penebalan yang minimal dan pembesaran yang jelas menunjukkan suatu peritoneum

tuberculosis sedangkan adanya nodul yang tertanam dan penebalan peritoneum yang

teratur menunjukkan suatu perintoneal karsinoma.

Peritonoskopi (Laparoskopi)

Peritonoskopi / laparoskopi merupakan cara yang relatif aman, mudah dan terbaik

untuk mendiagnosa tuberculosis peritoneal terutama bila ada cairan asites dan sangat

berguna untuk mendapat diagnosa pasien-pasien muda dengan simtom sakit perut yang

tak jelas penyebabnya dan cara ini dapat mendiagnosa tuberculosis peritoneal 85%

sampai 95% dan dengan biopsy yang terarah dapat dilakukukan pemeriksaan histology

dan bisa menemukan adanya gambaran

granuloma sebesar 85% hingga 90% dari seluruh kasus dan bila dilakukan kultur bisa

ditemui BTA hampir 75%. Hasil histology yang lebih penting lagi adalah bila didapat

granuloma yang lebih spesifik yaitu jika didapati granuloma dengan pengkejutan.

Gambaran yang dapat dilihat pada tuberculosis peritoneal :

Page 60: Dr Herry Setya Yudha Utama SpB

1. Tuberkel kecil ataupun besar dengan ukuran yang bervariasi yang dijumpai tersebar

luas pada dinding peritoneum dan usus dan dapat pula dijumpai permukaan hati atau alat

lain tuberkel dapat bergabung dan merupakan sebagai nodul.

2. Perlengketan yang dapat berpariasi dari ahanya sederhana sampai hebat(luas) diantara

alat-alat didalam rongga peritoneum. Sering keadaan ini merubah letak anatomi yang

normal. Permukaan hati dapat melengket pada dinding peritoneum dan sulit untuk

dikenali. Perlengketan diantara usus mesenterium dan peritoneum dapat sangat ekstensif.

3. Peritoneum sering mengalami perubahan dengan permukaan yang sangat kasar yang

kadang-kadang berubah gambarannya menyerupai nodul.

4. Cairan esites sering dujumpai berwarna kuning jernih, kadang-kadang cairan tidak

jernih lagi tetapi menjadi keruh, cairan yang hemoragis juga dapat dijumpai.

Biopsi dapat ditujukan pada tuberkel-tuberkel secara terarah atau pada jaringan lain yang

tersangka mengalami kelainan dengan menggunakanalat biopsy khusus sekaligus cairan

dapat dikeluarkan. Walupun pada umumnya gambaran peritonoskopi peritonitis

tuberculosis dapat dikenal dengan mudah, namun gambaran gambarannya bisa

menyerupai penyakit lain seperti peritonitis karsinomatosis, karena itu biopsy harus

selalu diusahakan dan pengobatan sebaiknya diberikan jika hasil pemeriksaan patologi

anatomi menyokong suatu peritonitis tuberkulosa.

Peritonoskopi tidak selalu mudah dikerjakan dan dari 30 kasus, 4 kasus tidak dilakukan

peritonoskopi karena secara tehnis dianggap mengandung bahaya dan sukar

dikerjakan.Adanya jaringan perlengketan yang luas akan merupakan hambatan

dankesulitan dalam memasukkan trokar dan lebih lanjut ruangan yang sempit di dalam

rongga abdomen juga menyulitkan pemeriksaan dan tidak jarang alat peritonoskopi

Page 61: Dr Herry Setya Yudha Utama SpB

terperangkap didalam suatu rongga yang penuh dengan perlengketan, sehingga sulit

untuk mengenal gambaran anatomi alat-alat yang normal dan dalam keadaan demikian

maka sebaiknya dilakukan laparotomi diagnostic.

Laparatomi

            Dahulu laparotomi eksplorasi merupakan tindakan diagnosa yang sering

dilakukan, namun saat ini banyak penulis menganggap pembedahan hanya dilakukan jika

dengan cara yang lebih sederhana tidak meberikan kepastian diagnosa atau jika dijumpai

indikasi yang mendesak seperti obstruksi usus, perforasi, adanya cairan asites yang

bernanah.

Pengobatan :

Pada dasarnya pebngobatan sama dengan pengobatan tuberculosis paru, obat-obat

seperti streptomisin,INH,Etambutol,Ripamficin dan pirazinamid memberikan hasil yang

baik, dan perbaikan akan terlihat setelah 2 bulan pengobatan dan lamanya pengobatan

biasanya mencapai sembilan bulan sampai 18 bulan atau lebih.

Beberapa penulis berpendapat bahwa kortikosteroid dapat mengurangi

perlengketan peradangan dan mengurangi terjadinya asites. Dan juga terbukti bahwa

kortikosteroid dapat mengurangi angka kesakitan dan kematian,namun pemberian

kortikosteroid ini harus dicegah pada daerah endemis dimana terjadi resistensi terhadap

Mikobakterium tuberculosis.Alrajhi dkk yang mengadakan penelitian secara retrospektif

terhadap 35 pasien dengan tuberculosis peritoneal mendapatkan bahwa pemberian

kortikosteroid sebagai obat tambahan terbukti dapat mengurangi insidensi sdakit perut

dan sumbatan pada usus.Pada kasus-kasus yang dilakukan peritonoskopi sesudah

Page 62: Dr Herry Setya Yudha Utama SpB

pengobatan terlihat bahwa partikel menghilang namun di beberapa tempat masih dilihat

adanya perlengketan.

Prognosis :

Peritonitis tuberkulosa jika dapat segera ditegakkan dan mendapat pengobatan

umumnya akan menyembuh dengan pengobatan yang adequate.

Kesimpulan :

1. Tuberkulosis peritoneal biasanya merupakan proses kelanjutan tuberkulosa ditempat

lain

2. Oleh karena itu gejala klinis yang bervariasi dan timbulnya perlahan-lahan sering

diagnosa terlambat baru diketahui.

3. Dengan pemeriksaan diagnostik, laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya

dapat membantu menegakkan diagnosa

4. Dengan pemberian obat anti tuberkulosa yang adekuat biasanya pasien akan sembuh.

Kepustakaan :

1. Zain LH. Tuberkulosis peritoneal. Dalam : Noer S ed. Buku ajar ilmu penyakit dalam Jakarta Balai penerbit FKUI, 1996: 403-6

2. Sulaiman A. Peritonitis tuberkulosa. Dalam : Sulaiman A, Daldiyono, Akbar N, Rani A Buku ajar gartroenterologi hepatologi Jakarta : Infomedika 1990: 456-61

3. Ahmad M. Tuberkulosis peritonitis : fatality associated with delayed diagnosis. South Med J 1999:92:406-408.

Page 63: Dr Herry Setya Yudha Utama SpB

4. Sandikci MU,Colacoglus,ergun Y.Presentation and role of peritonoscopy and diagnosis of tuberculous peritonitis. J Gastroenterol hepato 1992;7:298-301

5. Manohar A,SimjeeAE,Haffejee AA,Pettengell E.Symtoms and investigative findings in year period.Gut,1990;31:1130-2

6. Marshall JB.Tuberculosis of the gastrointestinal tract and peritoneum,AMJ Gastroenterol 1993;88:989-99

7. Sibuea WH,Noer S,Saragih JB,NapitupuluJB.Peritonitis tuberculosa di RS DGI Tjikini (abstrak) KOPAPDI IV Medan; 1978:131

8. Zain LH.Peran analisa cairan asites dan serum Ca 125 dalam mendiagnosa TBC peritoneum Dalam : Acang N, Nelwan RHH,Syamsuru W ed.Padang : KOPAPDI X,1996:95

9. Spiro HM. Peritoneal tuberculosis : clinical gastroenterologi 4th ed New York ; Mc Graw hill INC 1993 : 551-2

10. Sulaiman A. Peritonisis tuberculosa dalam : Hadi S, Thahir G, Daldiyono,Rani A,Akbar N. Endoskopi dalam bidang Gastroentero Hepatologi Jakarta : PEGI 1980:265-70

11. Small Pm,Seller UM. Abdominal tuberculosis in : Strickland GT ed Hunters tropical medicine and emerging infection disease. 8th Philadelpia : WB Sounders Company 2000 : 503-4

12. Mc Quid KR,Tuiberculous peritonitis in : Tierny LM,Mc Phee SJ,Papadakis MA.Current medical diagnosis & treatment 38th London Prentice hall Internastional 1999 : 561-62

13. Lyche KD.Miscelaneous disease of the peritoneum & mesentery in : Grendell Jh,Mc Quaid KR, Friedman sl ed Current diagnosis & treatment Gastroenterologi New York : Prentice Hall international 1996 : 144-5

14. Lombrana S,Vega dl, Linares et al.Tuberculous peritonitis ; Diagnostic value of ascitic flid PH and lactat. Scandinavian Journal Gastroenterology,1995;30:87-91

15. Voight,Kalvaria I,Trey C, Berman P. Lombard C, Kirsdi PE, Diagnostic value of ascitites adenosin deaminase in tuberculous peritonitis Lancet 1989; 1:751-4

16. Hafta A Adenosin deaminase activity in the diagnosis of peritoneal tuberculosis with cirrhosis http://wwwcu.edu.tr/fakulteler/tf/tfd/97-2-9.htm

17. Fathy EM, EL Salam FA,Lashin AH et al A Comparative study of different procedures for diagnosis of tuberculous ascites : http: member, tripod. Com/ejimunology/prviuous/jan 99/jan99-9.html

18. Martini F.H., Welch K. The Lymphatic System and Immunity. In :Fundamentals of Anantomy and Physiology. 5th ed. New Jersey : Upper Saddle River, 2001: 132,151

19. Savant C, Rajamani K. Tropical Diseases of the Spinal Cord. In : Critchley E,Eisen A., editor. Spinal Cord Disease : Basic Science, Diagnosis andManagement. London : Springer-Verlag, 1997 : 378-87.

20. Tachdjian, M.O. Tuberculosis of the spine. In : Pediatric Orthopedics.2nd ed. Philadelphia : W.B. Saunders, 1990 : 1449-54

21. Lindsay, KW, Bone I, Callander R. Spinal Cord and Root Compresion. In : Neurology and Neurosurgery Illustrated. 2nded. Edinburgh : Churchill Livingstone, 1991 : 388.

Page 64: Dr Herry Setya Yudha Utama SpB

22. Graham JM, Kozak J. Spinal Tuberculosis. In : Hochschuler SH, Cotler HB, Guyer RD., editor. Rehabilitation Of The Spine : Science and Practice. St. Louis : Mosby-Year Book, Inc., 1993 : 387-90.

23. Lauerman WC, Regan M. Spine. In : Miller, editor. Review of Orthopaedics.2nd ed. Philadelphia : W.B. Saunders, 1996 : 270-91

24. Currier B.L, Eismont F.J. Infections of The Spine. In : The spine. 3rd ed.Rothman Simeone editor. Philadelphia : W.B. Sauders, 1992 : 1353-64

25. Ombregt L, Bisschop P, ter Veer H.J, Van de Velde T. Non Mechanical Disorders of The Lumbar Spine. In : A System of Orthopaedic Medicine.Philadelphia : W.B. Saunders, 1995 : 615-32.

26. Natarajan M, Maxilvahanan. Tuberculosis of the spine. In : http:/www.bonetumour org./book/APTEXT/intex.html. Book of orthopaedics and traumatoloty.

27. Miller F, Horne N, Crofton SJ. Tuberculosis in Bone and Joint. In : Clinical Tuberculosis.2nd ed.: London : Macmillan Education Ltd, 1999 : 62-6.

28. Wood.G.W. Infections of Spine. In : Campbell’s Operative Orthopaedics. 7th ed. Crenshaw A.H editor. St. Louis : C.V. Mosby Company, 1987 : 3323-45.

29. Terry R. Y, Lindsay R. Infection : Non Suppurative Osteomyelitis (tuberkulosis). In : Essential of Skeletal Radiology. 2nd ed. Baltiomore : Williams and Wilkins, 1996 : 1227.

30. Salter R.B.Tuberculous Osteomyelitis. In : Textbook of Disorders and Injuries of The Musculoskeletal System. 3rd ed. Baltimore : Williams & Wilkins, 1999: 228-31

31. Bohndorf K., Imhof H. Bone and Soft Tissue Inflammation. In : Musculoskeletal Imaging : A Concise Multimodality Approach. New York :Thieme, 2001 : 150, 334-36.