Dr Herry Setya Yudha Utama SpB. FInaCS. MHKes. ICS DIAGNOSA DAN PENATALAKSANAAN TUBERKULOSIS EKSTRA PULMONAL / DIAGNOSIS AND TREATMENT OF EXTRA PULMONARY TUBERCULOSIS Tulisan ini berjudul “EKSTRAPULMONAL TUBERKULOSA” ini , saya mengambil referensi dari literatur dan jaringan internet.,dalam proses penyelesaian karya tulis ini, juga untuk dukungannya baik dalam bentuk moril maupun dalam mencari referensi 1.SPONDILITIS TUBERKULOSA I. Pendahuluan Spondilitis tuberkulosa atau tuberkulosis spinal yang dikenal pula dengan nama Pott’s disease of the spine atau tuberculous vertebral osteomyelitis merupakan suatu penyakit yang banyak terjadi di seluruh dunia. Terhitung kurang lebih 3 juta kematian terjadi setiap tahunnya dikarenakan penyakit ini. Penyakit ini pertama kali dideskripsikan oleh Percival Pott
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Dr Herry Setya Yudha Utama SpB. FInaCS. MHKes. ICS DIAGNOSA DAN PENATALAKSANAAN TUBERKULOSIS EKSTRA PULMONAL / DIAGNOSIS AND TREATMENT OF EXTRA PULMONARY TUBERCULOSIS
Tulisan ini berjudul “EKSTRAPULMONAL TUBERKULOSA” ini , saya mengambil
referensi dari literatur dan jaringan internet.,dalam proses penyelesaian karya tulis ini,
juga untuk dukungannya baik dalam bentuk moril maupun dalam mencari referensi
1.SPONDILITIS TUBERKULOSA
I. Pendahuluan
Spondilitis tuberkulosa atau tuberkulosis spinal yang dikenal pula dengan nama
Pott’s disease of the spine atau tuberculous vertebral osteomyelitis merupakan suatu
penyakit yang banyak terjadi di seluruh dunia. Terhitung kurang lebih 3 juta kematian
terjadi setiap tahunnya dikarenakan penyakit ini. Penyakit ini pertama kali dideskripsikan
oleh Percival Pott pada tahun1779 yang menemukan adanya hubungan antara kelemahan
alat gerak bawah dengan kurvatura tulang belakang, tetapi hal tersebut tidak dihubungkan
dengan basil tuberkulosa hingga ditemukannya basil tersebut oleh Koch tahun
1882,sehingga etiologi untuk kejadian tersebut menjadi jelas.
Di waktu yang lampau, spondilitis tuberkulosa merupakan istilah yang
dipergunakan untuk penyakit pada masa anak-anak, yang terutama berusia 3 – 5tahun.
Saat ini dengan adanya perbaikan pelayanan kesehatan, maka insidensi usiaini
- Dipakai secara berhati-hati untuk pasien dengan insufisiensi ginjal
- Dosis : 15 mg/kg/hari – 1 g/kg/hari
Peran steroid pada terapi medis untuk tuberculous radiculomyelitis masih
kontroversial. Obat ini membantu pasien yang terancam mengalami spinalblock
disamping mengurangi oedema jaringan.Pada pasien-pasien yang diberikan kemoterapi
harus selalu dilakukan pemeriksaan klinis, radiologis dan pemeriksaan laboratorium
secara periodik.
3. Istirahat tirah baring (resting)
Terapi pasien spondilitis tuberkulosa dapat pula berupa local rest padaturning
frame / plaster bed atau continous bed rest disertai dengan pemberian
kemoterapi.Tindakan ini biasanya dilakukan pada penyakit yang telah lanjut dan bila
tidak tersedia keterampilan dan fasilitas yang cukup untuk melakukan operasi radikal
spinal anterior, atau bila terdapat masalah teknik yang terlalumembahayakan.Istirahat
dapat dilakukan dengan memakai gips untuk melindungi tulang
belakangnya dalam posisi ekstensi terutama pada keadaan yang akut atau fase aktif.
Pemberian gips ini ditujukan untuk mencegah pergerakan dan mengurangi kompresi dan
deformitas lebih lanjut. Istirahat di tempat tidur dapat berlangsung 3-4 minggu, sehingga
dicapai keadaan yang tenang dengan melihat tanda-tanda klinis, radiologis dan
laboratorium. Secara klinis ditemukan berkurangnya rasa nyeri, hilangnya spasme otot
paravertebral, nafsu makan dan berat badan
meningkat, suhu badan normal. Secara laboratoris menunjukkan penurunan laju endap
darah, Mantoux test umumnya < 10 mm. Pada pemeriksaan radiologis tidakdijumpai
bertambahnya destruksi tulang, kavitasi ataupun sekuester.
Pemasangan gips bergantung pada level lesi. Pada daerah servikal dapat
diimobilisasi dengan jaket Minerva; pada daerah vertebra torakal, torakolumbal dan
lumbal atas diimobilisasi dengan body cast jacket; sedangkan pada daerah lumbal bawah,
lumbosakral dan sakral dilakukan immobilisasi dengan body jacket atau korset dari gips
yang disertai dengan fiksasi salah satu sisi panggul. Lama immobilisasi berlangsung
kurang lebih 6 bulan, dimulai sejak penderita diperbolehkan berobat jalan.Terapi untuk
Pott’s paraplegia pada dasarnya juga sama yaitu immobilisasi di plaster shell dan
pemberian kemoterapi. Pada kondisi ini perawatan selama
tirah baring untuk mencegah timbulnya kontraktur pada kaki yang mengalami paralisa
sangatlah penting. Alat gerak bawah harus dalam posisi lutut sedikit fleksi dan kaki
dalam posisi netral. Dengan regimen seperti ini maka lebih dari 60% kasus paraplegia
akan membaik dalam beberapa bulan. Hal ini disebabkan oleh karena terjadinya resorpsi
cold abscess intraspinal yang menyebabkan dekompresi.
Seperti telah disebutkan diatas bahwa selama pengobatan penderita harus
menjalani kontrol secara berkala, dilakukan pemeriksaan klinis, radiologis dan
laboratoris. Bila tidak didapatkan kemajuan, maka perlu dipertimbangkan hal-hal seperti
adanya resistensi obat tuberkulostatika, jaringan kaseonekrotik dan sekuester yang
banyak, keadaan umum penderita yang jelek, gizi kurang serta kontrol yang tidak teratur
serta disiplin yang kurang.
B. TERAPI OPERATIF
Sebenarnya sebagian besar pasien dengan tuberkulosa tulang belakang mengalami
perbaikan dengan pemberian kemoterapi saja (Medical Research Council 1993).
Intervensi operasi banyak bermanfaat untuk pasien yang mempunyai lesi kompresif
secara radiologis dan menyebabkan timbulnya kelainan neurologis. Setelah tindakan
operasi pasien biasanya beristirahat ditempat tidur selama 3-6 minggu.
Tindakan operasi juga dilakukan bila setelah 3-4 minggu pemberian terapi obat
antituberkulosa dan tirah baring (terapi konservatif) dilakukan tetapi tidak memberikan
respon yang baik sehingga lesi spinal paling efektif diterapi dengan operasi secara
langsung dan tumpul untuk mengevakuasi “pus” tuberkulosa, mengambil sekuester
tuberkulosa serta tulang yang terinfeksi dan memfusikan segmen tulang belakang yang
terlibat.Selain indikasi diatas, operasi debridement dengan fusi dan dekompresi juga
diindikasikan bila :
1. Diagnosa yang meragukan hingga diperlukan untuk melakukan biopsi
2. Terdapat instabilitas setelah proses penyembuhan
3. Terdapat abses yang dapat dengan mudah didrainase
4. Untuk penyakit yang lanjut dengan kerusakan tulang yang nyata dan mengancam atau
kifosis berat saat ini
5. Penyakit yang rekuren
Pott’s paraplegia sendiri selalu merupakan indikasi perlunya suatu tindakan
operasi (Hodgson) akan tetapi Griffiths dan Seddon mengklasifikasikan indikasi operasi
menjadi(11) :
A. Indikasi absolut
1. Paraplegia dengan onset selama terapi konservatif; operasi tidak dilakukan bila timbul
tanda dari keterlibatan traktur piramidalis, tetapi ditunda hingga terjadi kelemahan
motorik.
2. Paraplegia yang menjadi memburuk atau tetapi statis walaupun diberikan terapi
konservatif
3. Hilangnya kekuatan motorik secara lengkap selama 1 bulan walaupun telah diberi
terapi konservatif
4. Paraplegia disertai dengan spastisitas yang tidak terkontrol sehingga tirah baring dan
immobilisasi menjadi sesuatu yang tidak memungkinkan atau terdapat resiko adanya
nekrosis karena tekanan pada kulit.
5. Paraplegia berat dengan onset yang cepat, mengindikasikan tekanan yang besar yang
tidak biasa terjadi dari abses atau kecelakaan mekanis; dapat juga disebabkan karena
trombosis vaskuler yang tidak dapat terdiagnosa
6. Paraplegia berat; paraplegia flasid, paraplegia dalam posisi fleksi, hilangnya
sensibilitas secara lengkap, atau hilangnya kekuatan motorik selama lebih dari 6 bulan
(indikasi operasi segera tanpa percobaan pemberikan terapi konservatif)
B. Indikasi relatif
1. Paraplegia yang rekuren bahwa dengan paralisis ringan sebelumnya
2. Paraplegia pada usia lanjut, indikasi untuk operasi diperkuat karena kemungkinan
pengaruh buruk dari immobilisasi
3. Paraplegia yang disertai nyeri, nyeri dapat disebabkan karena spasme atau kompresi
syaraf
4. Komplikasi seperti infeksi traktur urinarius atau batu
C. Indikasi yang jarang
1. Posterior spinal disease
2. Spinal tumor syndrome
3. Paralisis berat sekunder terhadap penyakit servikal
4. Paralisis berat karena sindrom kauda ekuina
Pilihan pendekatan operasi dilakukan berdasarkan lokasi lesi, bisa melalui
pendektan dari arah anterior atau posterior. Secara umum jika lesi utama di anterior maka
operasi dilakukan melalui pendekatan arah anterior dan anterolateral sedangkan jika lesi
di posterior maka dilakukan operasi dengan pendekatan dari posterior. Saat ini terapi
operasi dengan menggunakan pendekatan dari arah anterior (prosedur HongKong)
merupakan suatu prosedur yang dilakukan hampir di setiap pusat kesehatan.
Walaupun dipilih tindakan operatif, pemberian kemoterapi antituberkulosa
tetaplah penting. Pemberian kemoterapi tambahan 10 hari sebelum operasi telah
direkomendasikan. Pendapat lain menyatakan bahwa kemoterapi diberikan 4-6 minggu
sebelum fokus tuberkulosa dieradikasi secara langsung dengan pendekatan anterior. Area
nekrotik dengan perkijuan yang mengandung tulang mati dan jaringan granulasi
dievakuasi yang kemudian rongga yang ditinggalkannya diisi oleh autogenous bone graft
dari tulang iga. Pendekatan langsung secara radikal ini mendorong penyembuhan yang
cepat dan tercapainya stabilisasi dini tulang belakang dengan memfusikan vertebra yang
terkena. Fusi spinal posterior dilakukan hanya bila terdapat destruksi dua atau lebih
korpus vertebra, adanya intabilitas karena destruksi elemen posterior atau konsolidasi
tulang terlambat serta tidak dapat dilakukan pendekatan dari anterior.
Pada kasus dengan kifosis berat atau defisit neurologis, kemoterapi tambahan dan
bracing merupakan terapi yang tetap dipilih, terutama pada pusat kesehatan yang tidak
mempunyai perlengkapan untuk operasi spinal anterior. Terapi operatif juga biasanya
selain tetap disertai pemberian kemoterapi, dikombinasikan dengan 6-12 bulan tirah
baring dan 18-24 bulan selanjutnya menggunakan spinal bracing.
Pada pasien dengan lesi-lesi yang melibatkan lebih dari dua vertebra, suatu
periode tirah baring diikuti dengan sokongan eksternal dalam TLSO direkomendasikan
hingga fusi menjadi berkonsolidasi. Operasi pada kondisi tuberculous radiculomyelitis
tidak banyak membantu. Pada pasien dengan intramedullary tuberculoma, operasi hanya
diindikasikan jika ukuran lesi tidak berkurang dengan pemberian kemoterapi dan lesinya
bersifat soliter.
Hodgson dan kawan-kawan menghindari tindakan laminektomi sebagai prosedur
utama terapi Pott’s paraplegia dengan alasan bahwa eksisi lamina dan elemen neural
posterior akan mengangkat satu-satunya struktur penunjang yang tersisa dari penyakit
yang berjalan di anterior. Laminektomi hanya diindikasikan pada pasien dengan
paraplegia karena penyakit di laminar atau keterlibatan corda spinalis atau bila paraplegia
tetap ada setelah dekompresi anterior dan fusi, serta mielografi menunjukkan adanya
sumbatan.
XI. Pencegahan
Vaksin Bacillus Calmette-Guerin (BCG) merupakan suatu strain Mycobacterium
bovis yang dilemahkan sehingga virulensinya berkurang. BCG akan menstimulasi
immunitas, meningkatkan daya tahan tubuh tanpa menimbulkan hal-hal yang
membahayakan. Vaksinasi ini bersifat aman tetapi efektifitas untuk pencegahannya masih
kontroversial. Percobaan terkontrol di beberapa negara Barat, dimana sebagian besar
anakanaknya cukup gizi, BCG telah menunjukkan efek proteksi pada sekitar 80% anak
selama 15 tahun setelah pemberian sebelum timbulnya infeksi pertama. Akan tetapi
percobaan lain dengan tipe percobaan yang sama di Amerika dan India telah gagal
menunjukkan keuntungan pemberian BCG. Sejumlah kecil penelitian pada bayi di negara
miskin menunjukkan adanya efek proteksi terutama terhadap kondisi tuberkulosa milier
dan meningitis tuberkulosa. Pada tahun 1978, The Joint Tuberculosis Committee
merekomendasikan vaksinasi BCG pada seluruh orang yang uji tuberkulinnya negatif dan
pada seluruh bayi yang baru lahir pada populasi immigran di Inggris.
Saat ini WHO dan International Union Against Tuberculosis and Lung Disease
tetap menyarankan pemberian BCG pada semua infant sebagai suatu yang rutin pada
negara-negara dengan prevalensi tuberkulosa tinggi (kecuali pada beberapa kasus seperti
pada AIDS aktif). Dosis normal vaksinasi ini 0,05 ml untuk neonatus dan bayi sedangkan
0,1 ml untuk anak yang lebih besar dan dewasa. Oleh karena efek utama dari vaksinasi
bayi adalah untuk memproteksi anak dan biasanya anak dengan tuberkulosis primer
biasanya tidak infeksius, maka BCG hanya mempunyai sedikit efek dalam mengurangi
jumlah infeksi pada orang dewasa. Untuk mengurangi insidensinya di kelompok orang
dewasa maka yang lebih penting adalah terapi yang baik terhadap seluruh pasien dengan
sputum berbasil tahan asam (BTA) positif karena hanya bentuk inilah yang mudah
menular. Diperlukan kontrol yang efektif dari infeksi tuberkulosa di populasi masyarakat
sehingga seluruh kontak tuberkulosa harus diteliti dan diterapi.
Selain BCG, pemberian terapi profilaksis dengan INH berdosis harian\
5mg/kg/hari selama 1 tahun juga telah dapat dibuktikan mengurangi resiko infeksi
tuberkulosa.
XII. Prognosa
Prognosa pasien dengan spondilitis tuberkulosa sangat tergantung dari usia dan
kondisi kesehatan umum pasien, derajat berat dan durasi defisit neurologis serta terapi
yang diberikan.
a. Mortalitas
Mortalitas pasien spondilitis tuberkulosa mengalami penurunan seiring dengan
ditemukannya kemoterapi (menjadi kurang dari 5%, jika pasien didiagnosa dini dan patuh
dengan regimen terapi dan pengawasan ketat).
b. Relaps
Angka kemungkinan kekambuhan pasien yang diterapi antibiotik dengan regimen medis
saat ini dan pengawasan yang ketat hampir mencapai 0%.
c. Kifosis
Kifosis progresif selain merupakan deformitas yang mempengaruhi kosmetis secara
signifikan, tetapi juga dapat menyebabkan timbulnya defisit neurologis atau kegagalan
pernafasan dan jantung karena keterbatasan fungsi paru. Rajasekaran dan
Soundarapandian dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa terdapat hubungan nyata
antara sudut akhir deformitas dan jumlah hilangnya corpus vertebra. Untuk
memprediksikan sudut deformitas yang mungkin timbul peneliti menggunakan rumus : Y
= a + bX
dengan keterangan :
Y = sudut akhir dari deformitas
X = jumlah hilangnya corpus vertebrae
a dan b adalah konstanta dengan a = 5,5 dan b= 30, 5.
Dengan demikian sudut akhir gibbus dapat diprediksi, dengan akurasi 90%
padapasien yang tidak dioperasi. Jika sudut prediksi ini berlebihan, maka operasi sedini
mungkin harus dipertimbangkan.
d. Defisit neurologis
Defisit neurologis pada pasien spondilitis tuberkulosa dapat membaik secara spontan
tanpa operasi atau kemoterapi. Tetapi secara umum, prognosis membaik dengan
dilakukannya operasi dini.
e. Usia
Pada anak-anak, prognosis lebih baik dibandingkan dengan orang dewasa
f. Fusi
Fusi tulang yang solid merupakan hal yang penting untuk pemulihan permanen
spondilitis tuberkulosa.
XIII. RANGKUMAN
Walaupun insidensi spinal tuberkulosa secara umum di dunia telah berkurang
pada beberapa dekade belakangan ini dengan adanya perbaikan distribusi pelayanan
kesehatan dan perkembangan regimen kemoterapi yang efektif, penyakit ini akan terus
menjadi suatu masalah kesehatan di negara-negara yang belum dan sedang berkembang
dimana diagnosis dan terapi tuberkulosa sistemik mungkin dapat tertunda.
Kemoterapi yang tepat dengan obat antibuberkulosa biasanya bersifat kuratif,
akan tetapi morbiditas yang berhubungan dengan deformitas spinal, nyeri dan gejala sisa
neurologis dapat dikurangi secara agresif dengan intervensi operasi, program rehabilitasi
serta kerja sama yang baik antara pasien, keluarga dan tim kesehatan.
2.LIMFADENITIS TUBERKULOSA
Kelenjar getah bening termasuk dalam susunan retikuloendotel, yang tersebar di
seluruh tubuh. Mempunyai fungsi penting berupa barier atau filter terhadap kuman –
kuman / bakteri – bakteri yang masuk kedalam badan dan barier pula untuk sel – sel
tumor ganas ( kanker ). Disamping itu bertugas pula untuk membentuk sel – sel limfosit
darah tepi. Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah besar di Indonesia.
Prevalensinya mencapai 0,29% dan merupakan penyebab kematian nomor 3. Indonesia
merupakan penyumbang kasus TB nomor 3 terbesar di dunia. Di perkirakan, masalah TB
yang belum juga berakhir ini terjadi karena basil tuberkulosis resisten yang telah
menyebar ke seluruh wilayah Indonesia. Mungkin pula karena adanya infeksi ganda
spesies basil mikobakteria, misalnya infeksi basil M. atipik bersama-sama dengan
M.tuberkulosis terjadi pada satu penderita TB. Atau, bahkan infeksi ganda antara satu
spesies M. atipik dengan spesies M. atipik lainnya pada satu penderita TB.Tuberkulosis
dikenal sejak 1000 tahun sebelum Masehi seperti yang tertulis dalam kepustakaan
Sanskrit kuno. Nama “tuberculosis” berasal dari kata tuberculum yang berarti benjolan
kecil yang merupakan gambaran patologik khas pada penyakit ini. Hippocrates (460-377
SM) telah menuliskan gejala klinik penyakit ini dan menyebutkan sebagai fisis. Ia
mengenal bentuk akut dan bentuk kronik. Selama bertahun-tahun bentuk tbc kronik
dianggap sebagai penyakit turunan, berbeda halnya dengan bentuk akut pada anak. Baru
pada 1891 Laennce mengemukakan bahwa kedua bentuk tersebut merupakan penyakit
yang sama dengan gambaran klinik yang berbeda, padahal Koch sudah pada tahun 1882
menemukan basil tuberkulosis sebagai penyebab penyakit ini. Kejadian penyakit
tuberkulosis menurun sejak tahun 1900, bersamaan dengan membaiknya perumahan, gizi
dan tingkat hidup masyarakat dan semakin turun sejak ditemukannya antituberkulosis.
Berbeda dengan epidemi tuberkulosis masa lalu, saat ini terjadi epidemi tuberkulosis
pada penyandang infeksi HIV. Sekitar 40% penyandang HIV positif di dunia menderita
tuberkulosis.. Kuman penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis. Basil
ini tidak berspora sehingga mudah dibasmi dengan pemanasan, sinar matahari, dan sinar
ultraviolet. Basil ini sukar diwarnai, tetapi berbeda dengan basil lain, setelah diwarnai
tidak dapat dibersihkan lagi dari fuchsin atau metileenblauy oleh cairan asam sehingga
biasanya disebut basil tahan asam (BTA). Pewarnaan Ziehl Neelsen biasanya
dipergunakan untuk menampakkan basil ini.
A.DEFINISI
Akibat terjadinya infeksi dari suatu bagian tubuh maka terjadi pula peradangan
pada kelenjar getah bening regioner dari lesi primer, keadaan ini dinamakan limfadenitis.
B.ANATOMI SISTEMLIMFATIK
Jalinan pembuluh limfe terdiri dari tiga ruangan utama. Kapiler limfe merupakan
tempat absorpsi limfe seluruh tubuh. Kapiler-kapiler ini bermuara kedalam pembuluh
pengumpul yang melewati ekstremitas dan rongga tubuh, yang kemudian bermuara
kedalam sistem vena melalui duktus torasikus. Pembuluh pengumpul secara periodik
diselingi oleh kelenjar limfe, yang menyaring limfe dan terutama melakukan fungsi
imunologi.Kapiler limfe serupa dengan kapiler darah, kecuali bahwa membran basalis
tidak begitu tegas. Telah diketahui adanya celah besar antara sel endotel pembuluh limfe
yang berdekatan, sehingga partikel sebesar eritrosit dan limfosit bisa berjalan melaluinya.
Jaringan tertentu tampaknya tidak mempunyai pembuluh limfe.Keseluruhan epidermis,
sistem saraf pusat, selubung mata dan otot, kartilago dan tendon tidak mempunyai
pembuluh limfe. Dermis kaya akan pembuluh limfe yang mudah dikenal dengan
penyuntikan intradermis zat warna tertentu. Pembuluh tanpa katup ini berhubungan
dengan pembuluh pengumpul pada sambungan dermis-subkutis. Pembulu limfe
superfisialis ekstremitas terdiri dari beberapa saluran berkatup yang terutama melewati
sisi medial ekstremitas ke arah lipat paha atau aksila, dimana saluran ini berakhir dlam
satu kelenjar limfe atau lebih. Pembuluh ini mempertahankan kaliber yang seragam
waktu naik dan sering berhubungan satu sama lain melalui cabang yang menyilang.
Sistem pembuluh limfe profunda yang terpisah juga terdapat pada ekstremitas. Jalinan ini
mengikuti dengan dengan rapat jalur vaskular utama profunda terhadap fasia otot. Pada
individu normal, ada sedikit (jika ada) hubungan antara dua sistem.
Pembuluh limfe mempunyai struktur yang serupa dengan pembuluh darah dengan
adventisia berbatas tegas, suatu media yang mengandung sel otot polos dan suatu intima.
Pembuluh ini juga dipersarafi dan, telah diamati adanya spasme maupun kontraksi
alamiah berirama.Kelenjar limfe secara periodik diselingi di seluruh perjalanan saluran
limfe pengumpul. Masing-masing kelenjar limfe bisa mempunyai beberapa saluran limfe
eferen yang masuk melalui kapsul. Kemudian limfe memasuki sinus, membasai daerah
korteks dan medula, dan keluar melalui saluran eferen tunggal. Daerah korteks terutama
mengandung limfosit, yang tersusun dalam folikel yang dipisahkan oleh perluasan
trabekular kapsula ini. Di dalam folikek terdapat sentrum germinativum diskrit. Medula
bisa mengandung makrofag dan sel plasma maupun limfosit, dan sel-sel ini dianggap
dalam keseimbangan dinamik di dalam kelenjar limfe. Tiap kelenjar limfe juga
mempunyai supali saraf dan vaskular yang terpisah, dan sekarang sudah diketahui bahwa
interaksi pembuluh limfe-vaskular bisa timbul di dalam kelenjar limfe.Saluran limfe
ekstremitas bawah dan visera bersatu untuk membentuk sisterna kili dekat aorta di dalam
abdomen atas. Struktur terakhir ini berjalan melalui diafragma untuk menjadi duktus
torasikus. Di dalam dada, duktus ini menerima pembulu limfe visera totem vena melalui
persatuan dengan vena subklavia sisnistra. Uktus limfatikus dekstra yang terpsah,
memberikan drainase untuk ekstremitas kanan atsa dan leher serta memasuki vena
subclavia dekstra.
C.FISIOLOGI SISTEMLIMFATIK
Sirkulasi limfe merupakan proses yang rumit dan sulit dipahami. Satu fungsi
utama sistem limfe adalah untuk berpartisipasi dalam pertukaran kontinyu cairan
interstial merupakan filtrat plasma yang memnyilang dinding kapiler dan kecepatan
pembentukannya tergantung pada perbedaan tekanan di antara membran ini.
Pappenhimer dan soto-rivera mendukung konsep bahwa pori-pori kapiler adalah kecil
dan hanya permeabel sebagian bagi molekul besar seperti protein plasma. Molekul besar
ini yang tertangkap di dalam kapiler menimbulkan efek osmotik yang cenderung menjaga
volume cairan di dalam ruang kapiler. Sehingga pertukaran cairan antara kapiler dan
ruang interstiasial tergantung pada empat faktor : tekanan hidrostatik di dalam kapiler dan
di dalam ruang interstiasial serta tekanan osmotik di dalam dua ruangan ini. Tekanan
onkotik plasma normal sekitar 25 mmHg, sementara tekanan onkotik cairan interstisial
hanya kira-kira 1 mmHg. Tekanan hidrostatik pada ujung arteiola kapiler diperkirakan 37
mmHg. Dan pada ujung vena 17 mmHg. Tekanan Hidrostatik cairan interstisial
bervariasi dalam jaringan yang berbeda sebesar –2mmHg dalam jaringan subkutis dan +6
mmHg di dalam ginjal. Ada aliran bersih cairan keluar dari kapiler ke dalam ruang
interstisial pada ujung arteriola yang bertekanan tinggi dari suatu kapile, dan aliran bersih
ke dalam pada ujung venula. Normalnya aliran keluar bersih melebihi aliran masuk
bersih dan cairan tambahan ini kembali ke sirkulasi melalui pembuluh limfe. Aliran limfe
noramal 2 samapi 4 liter perhari. Kecepatan aliran sangat dipengaruhi oleh sejumlah
faktor lokal dan sistemik, yang mencakup konsentrasi protein dalam plasma dan cairan
interstisial, hubungan tekanan arteri dan vena lokal, serta ukuran pori dan
keutuhankapiler.
Tenaga pendorong limfe juga merupakan proses yang rumit. Saat istirahat,
kontraksi intrinsik yang berirama dari dinding duktus pengumpul dianggap mendorong
limfe ke arah duktus torasikus dalam bentuk peristeltik. Kontraksi otot rangka aktif ,
menekan saluran limfe dan karena adanya katup yang kompeten dalam saluran limf,
maka limfe di dorong ke arah kepala. Peningkatan tekan intra-abdomen akibat batuk atau
mengejan, juga menekan pembulu limfe, mempercepat aliran limfe ke atas. Perubahan
fasik dalam tekanan intratoraks yang berhubungan dengan pernafasn, membentuk
mekanisme pompa lain untuk mendoong limfe melalui mediastitinum. Aliran darah yang
cepat dalam vena subklavia bisa menimbulkan efek siphon pada duktus torasikus.
Fungsi kedua dari sitem limfe adalah untuk mengembalikan makromolukel dari
ruang interstisial ke sistem vaskular. Molekul yang besar ini tidak mudah di reabsorpsi
dalam kapiler vaskular, karena ukuran pori yang kecil dalam setruktur terakhir. Tetapi
celah anatara sel endotel pembuluh limfe terminal sebenarnya mudah menerima molekul
besar ini. Diperkirakan bahwa 50 samapi 80 persen protein intravaskular total bersirkulasi
dengan cara ini tiap 24 jam. Konsentrasi protein limfe terutama tergantung atas jaringan
yang di drainase. Pada pembuluh limfe ekstrimitas, konsentrasi protein bisa serendah 0,5
gm per 100 ml, sementara limfe hati bisa mengandung 6 gm per 100ml. Limfe yang
mengalir dari usus setelah makan akan berwarna opalesen, karena adanya kandungan
lemak dalam bentuk kilomikron.Fungsi tambahan sistem limfe yang mempunyai dampak
bedah, meliputi fungsi filtrasi dan perlindungan imunologi. Bakteri, benda asing dan sel
ganas yang dikenal, dikumpulkan oleh sistem limfe dan diangkut ke kelenjar limfe
regional, dimana konsentrasi makrofag, sel plasma dan limfosit dapat berinteraksi
dengannya,melalui respon kekebalan.
Sistem limfatik berperan pada reaksi peradangan sejajar dengan sistem vaskular
darah. Biasanya ada penembusan lambat cairan interstisial ke dalam saluran limfe
jaringan, dan limfe yang terbentuk dibawah ke sentral dalam badan dan akhirnya
bergabung kembali kearah vena. Bila daerah terkena radang, biasanya terjadi kenaikan
yang menyolok pada aliran limfe dari daerah itu. Telah diketahui bahwa dalam perjalanan
peradangan akut, lapisan sel pembatas pembuluh limfe yang terkecil agak meregang,
sama seperti yang terjadi pada venula, dengan demikian memungkinkan lebih banyak
bahan interstisial yang masuk ke dalam pembuluh limfe. Pembuluh limfe agaknya
dipertahankan dalam posisi terbuka karena jaringan membengkak akibat sistem serabut
jaringan ikat tertambat pada dinding pembuluh dinding limfe. Bagaimanapun juga,
selama peradangan akut tidak hanya aliran limfe yang bertambah, tetapi kandungan
protein dan sel dari cairan limfe juga bertambah dengan cara yang sama.
Sebaliknya, bertambahnya aliran bahan-bahan melalui pembuluh limfe menguntungkan
karena cenderung mengurangi pembengkakan jaringan yang meradang dengan
mengosongkan sebagian dari eksudat. Sebaliknya, agen-agen yang dapat menimbulkan
cedera dapat dibawa oleh pembuluh limfe dari tempat peradangan primer ke tempat yang
jauh dalam tubuh. Dengan cara ini, misalnya, agen-agen yang menular dapat menyebar.
Penyebarn sering dibatasi oleh penyaringan yang dilakukan oleh kelenjar limfe regional
yang dilalui oleh cairan limfe yang bergerak menuju ke dalam tubuh, tetapi agen atau
bahan yang terbawa oleh cairan limfe mungkin masih dapat melewati kelenjar dan
akhirnya mencapai aliran darah.Karena alasan ini, orang harus selalu waspada akan
kemungkinan terserangnya sistem limfatik pada peradangan oleh sebab apapun. Bila
pembuluh limfe terkena radang disebut limfangitis. Jika kelenjar limfe terkena radang di
sebut limfadenitis. Limfadenitis regional sering ditemukan menyertai peradangan. Satu
contoh yang terkenal adalah pembesaran kelenjar limfe servikal, yang nyeri, terlihat pada
tonsilitis. Istilah yang lebih umum adalah limfadenopati digunakan untuk
menggambarkan setiap kelainan kelenjar limfe. Dalam praktek, istilah itu tidak saja
menyatakan adanya limfadenitis, tetapi pada setiap pembesaran kelenjar limfe
kebanyakan reaksi-reaksi kelenjar limfe disertai oleh pembesaran.
D.MYCOBACTERIUM TUBERLUOSA
Ada dua macam mikrobakteria yang menyebabkan penyakit tuberkulosis yaitu
tipe human dan tipe bovin. Basil tipe bovin berada dalam susu sapi yang menderita
mastitis tuberkulosa, dan bila diminum dapat menyebabkan tuberkulosis usus. Basil tipe
human bisa berada di bercak ludah (droplet) di udara yang menghirup bercak ini. Ini
merupakan cara penularan terbanyak. Selanjutnya, dikenal empat fase dalam perjalanan
yang penyakitnya.
Pertama adalah fase tuberkulosis primer. Setelah masuk ke paru, basil
berkembang biak tanpa menimbulkan reaksi pertahanan tubuh. Sarang pertama ini
disebut efek pridi hilus paru dan menyebabkan limfadenitis regionalis. Reaksi yang khas
adalah terjadinya granuloma sel epiteloid dan nekrosis pengejuan di lesi primer dan di
kelenjar limfe halus. Afek primer dan limfedenitis regional ini disebut kompleks primer
yang bisa mengalami resolusi dan sembuh tanpa meninggalkan cacat, atau membentuk
fibrosis dan kalsifikasi (95% kasus).Sekalipun demikian kompleks dapat mengalami
komplikasi berupa penyebaran miliar melalui pembuluh darah dan penyebaran melalui
bronkus. Penyebaran miliar menyebabkan tuberkulosis di seluruh paru-paru, tulang,
meningen, dan lain-lain, sedangkan penyebaran bronkogen langsung ke bronkus dan
bagian paru, dan menyebabkan bronkopneumonia tuberculosis. Penyebaran hematogen
itu bersamaan dengan perjalanan tuberkulosis primer ke paru merupakan fase kedua.
Infeksi ini dapat berkembang terus dapat juga mengalami resolusi dengan pembentukan
jaringan parut dan basil menjadi”tidur”.
Fase dengan kuman yang tidur ini yang disebut fase laten, fase 3. Basil yang tidur
ini bisa terdapat di tulang panjang, vertebra, tuba Fallopi, otak, kelenjar limf hilus dan
leher, serta di ginjal. Kuman ini bisa tetap tidur selama bertahun-tahun, bisa mengalami
reaktivasi bila terjadi perubahan keseimbangan daya tahan tubuh, misalnya pada tindak
bedah besar, atau pada infeksi HIV.
Tuberkulosis fase keempat dapat terjadi di paru atau di luar paru. Dalam
perjalanan selanjutnya proses ini dapat sembuh tanpa cacat, sembuh dengan
meninggalkan fibrosis dan kalsifikasi, membentuk kavitas (kaverne), bahkan dapat
menyebabkan broniektasi melalui erosi bronkus. Frekuensi penyebaran ke ginjal adalah
yang kedua setelah penyebaran ke paru. Kuman berhenti dan bersarang pada korteks
ginjal, yaitu bagian yang tekanan oksigennya relatif tinggi. Kuman ini dapat langsung
menyebabkan penyakit atau “tidur” selama bertahun-tahun. Patologi di ginjal sama
dengan patologi di tempat lain, yaitu inflamasi, pembentukan jaringan granulasi, dan
nekrosis pengejuan. Kemudian basil dapat turun dan menyebabkan infeksi di ureter,
kandung kemih, prostat, vesikula seminalis, vas deferens, dan epididimis. Penyebaran ke
kelenjar limf paling sering ke kelenjar limf halus, baik sebagai penyebaran langsung dari
kompleks primer, ,maupun sebagai tuberkulosis pasca primer. Tuberkulosis kelenjar limf
lain (servikal, inguinal, aksial) biasanya merupakan tuberkulosis pasca
primer.Penyebaran ke genitalia wanita melalui penyebaran hematogen dimulai dengan
berhenti dan berkembangbiaknya kuman di tuba Fallopi yang sangat vaskuler. Dari sini
basil bisa menyebar ke uterus (endometritis), atau ke peritoneum (peritonitis).
Tbc umumnya ditularkan melalui percik ludah halus (droplets) di udara yang
mengandung basil tbc vital. Penyebaran ke tulang adalah ke daerah metafisis tulang
panjang dan ke tulang spongiosa yang menyebabkan tuberkulosis tulang ekstra-artikuler.
Penyebaran lain dapat juga ke sinovium dan menjalar ke tulang subkondral. Penyebaran
ini menyebabkan tuberkulosis sendi. Penyebaran dari metafisis ke epifisis tidak pernah
terjadi karena sifat cakram epifisis yang avaskuler. Penyebaran ke otak dan mengingen
juga melalui penyebaran hematogen setelah kompleks primer. Berbeda dengan
penyebaran di atas, penyebaran ke perikardium terjadi oleh penjalaran melalui saluran
limf atau kontak langsung dari pleura yang tembus ke perikardium.
Kekebalan terhadap tuberkulosis sebagian besar diperantarai sel limfosit T yang
atas rangsangan basil tuberkulosis dapat mengaktifkan makrofag untuk menghancurkan
basil dengan cara lisis (bakteriolisis).
Diagnosis
Uji tuberculin : Untuk menegakkan apakah seseorang terinfeksi kuman BTA dapat
dilakukan pemeriksaan diagnosis dengan tuberkulin yang disuntikkan intrakutan menurut
Mantoux. Uji ini berguna untuk mengetahui adanya reaksi hipersensitivitas lambat
terhadap kuman tuberkulosis. Tuberkulin adalah fraksi protein dari kuman tuberkulosis,
yang bila disuntikkan pada orang yang pernah terinfeksi tbc (baik yang aktif maupun
yang “tidur”) akan menyebabkan pembengkakan kulit dalam 24-72 jam akibat akumulasi
sel limfosit di daerah penyuntikan. Penebalan dan radang kulit lebih dari 10 mm disebut
negatif. Reaksi negatif palsu dapat terjadi pada pasien yang anergi.
Tempat predileksi ekstrapulmonal :
1.Kelenjarlimfe
2.Limfadenitis leher
4.Urogenital
5.Tbc ginjal
6.Epididimis
7.Salpingitis
8.Tulang
9.Gibusspondilitis
10.Fistel lipat paha
11.Sendi
12.Koksitis
13.Gonitis
Pemeriksaan patologi
Tuberkulum, biasanya sebesar 1 sampai 3 mm, terbentuk sebagai reaksi radang di
sekitar sekelompok basil tbc. Sebagian besar terdiri dari sel epiteloid yang berasal dari
histiosit dan makrofag. Beberapa sel itu akan membesar dan berinti banyak dan disebut
sel raksasa Langhans. Di tengah tuberkulum terjadi nekrosis keju, sedangkan lapisan
luarnya terdiri dari sel limfosit. Struktur histologi ini merupakan gambaran patologi khas
tbc. Gambaran patologi jaringan hasil biopsi atau sisa jaringan debris pada dasarnya
menunjukkan radang spesifik seperti ini pula.
Diagnosis dengan cara ini cukup tinggi keandalannya, meskipun tetap harus dipikirkan
diagnosis banding yang memberikan gambaran hampir sama.
Gejala dan tanda klinik juga khas. Kecuali tbc milier, penyakit tbc bersifat
berkembang lambat tanpa tanda radang akut. Bengkak radang biasanya jelas, tetapi tidak
ada hiperemia, panas dan nyeri setempat. Kalau terbentuk abses, disebut “abses dingin”.
Radang tbc merupakan radang spesifik/khas. Kadang radang disertai dengan
pembentukan banyak cairan seperti pada pleuritis eksudativa, peritonitis eksudativa atau
perikarditis eksudativa. Jika banyak terbentuk jaringan ikat, radangnya dinamai
produktiva atau sika. Nekrosinya menghasilkan massa seperti salep atau keju sehingga
disebut pengejuan atau caseosa, misalnya limfadenitis kaseosa.
Nekrosis yang mencair membentuk abses dingin sebab tidak ada demam umum maupun
setempat. Sering terjadi fistel tunggal atau multipel di kulit dari limfadentis tbc di leher,
atau di lipat paha dari osteomielitis. Spondilitis pada vertebra torakal atau lumbal sering
mengalirkan nanahnya ke luar melalui fasia otot psoas. Pada tempat jaringan
nekrosis/keju yang telah keluar itu mungkin terjadi ruang yang disebut keverne seperti di
paru atau diginjal.
Pemeriksaan bakteriologi
Pemeriksaan bekteriologi merupakan satu-satunya pembuktian mutlak akan
adanya tuberkulosis. Sediaan apus untuk identifikasi kuman BTA dapat dilakukan dengan
pewarnaan Ziehl Neelsen atau Kenyon-Gabet-Tan. Biakan kuman dilakukan dengan
medium Lowenstein Jensen atau Middlebrook 7H-11. Bahan yang diperiksa adalah
sputum, cairan lambung, air kemih, cairan sinovium, atau debris bergantung dari letak
penyakit.Karena basil tbc sangat lambat berkembang biak, diperlukan waktu enam hingga
delapan minggu untuk mengetahui hasil biakan. Marmot dapat dipakai untuk biakan
binatang. Hasil pemeriksaan ini dapat diperoleh setelah enam minggu.Pembelahan sel
menuntut 20-24jam.
Pemeriksaan radiologi
Gambaran radiologis tuberkulosis sering dapat menegakkan diagnosis
tuberkulosis, meskipun diagnosis pastinya adalah dari pemeriksaan bakteriologis.
Diagnosis terapi percobaan
Diagnosis dapat juga ditegakkan secara exjuvantibus* dengan terapi percobaan
dengan menggunakan antituberkulosis.Pada sebagian penderita tersangka tuberkulosis
yang tidak didukung oleh gambaran klinis, mikrobiologi maupun patologi, cara diagnosis
ini dapat dilakukan. Efek antituberkulosis ini paling sedikit baru dapat dinantikan setelah
tiga minggu.
Terapi
Terapi obat
Saat ini telah ditemukan banyak macam antituberkulosis yang mekanisme kerja dan efek
sampingnya berbeda-beda. Umumnya antituberkulosis aktif terhadap kuman yang sedang
giat membelah, kecuali rifampisin yang juga aktif terhadap kuman yang membelah
lambat.
Ini tidak aktif dalam suasana asam sehingga kuman yang berada dalam sel
makrofag (suasana intraselnya asam) tidak dapat dibunuh. Hanya pirazinamid yang aktif
dalam suasana asam. Sementara itu kuman tuberkulosis mudah resisten terhadap obat-
obatini. Oleh karena itu kemoterapi tuberkulosis selalu dalam kombinasi dua atau tiga
macam dengan maksud meningkatkan efek terapinya dan mengurangi kemungkinan
timbulnya resistensi.Untuk menyembuhkan tuberkulosis diperlukan pengobatan yang
lama karena basil tbc tergolong kuman yang sukar dibasmi. Selain itu kuman yang
semidormant, yaitu yang berada dalam makrofag, baru dapat dibunuh kalau kuman
tersebut telah keluar dari makrofag. Dengan pengobatan lama ini kuman yang tidur tetap
tidak dapat dijangkau.Dikenal dua macam paduan terapi antituberkulosis yaitu paduan
jangka panjang selama 12-18 bulan dan paduan jangka pendek selama 6-9
bulan.Penentuan lama pengobatan dan pemilihan paduan terapi ditentukan oleh beratnya
penyakit, adanya kontraindikasi dan efek samping, serta adanya kuman.Sebagian besar
penderita tbc dapat ditolong dengan antituberkulosis.
Efek samping yang penting diingat adalah kerusakan N.VIII oleh streptomisin,
neuritis perifer oleh INH pada definisi vitamin B6, gangguan penglihatan oleh etambutol,
dan hepatotoksitas INH dan rinfampisin. Efek toksik terhadap hati ini lebih berat bila
kedua obat diberikan bersama-sama.
Terapi bedah
Pusat radang tuberkulosis terdiri dari pengejuan yang dikelilingi jaringan fibrosa.
Seperti halnya infeksi lain, adanya jaringan nekrosis akan menghambat penetrasi
antibiotik ke daerah radang sehingga pembasmian kuman tidak efektif. Oleh karena itu
sarang infeksi di berbagai organ misalnya kaverne di paru dan debris di tulang harus
dibuang. Jadi, tindak bedah menjadi syarat mutlak untuk hasil baik terapi medis. Selain
itu tindak bedah juga diperlukan untuk mengatasi penyulit, misalnya pada tuberkulosis
paru yang menyebabkan destruksi luas dan empiema, pada tuberkulosis usus yang
menimbulkan obstruksi atau perforasi, dan osteitis atau arthritis tuberkulosa yang
menimbulkan cacat.
E.PERJALANAN KLINIK LIMFADENITIS TUBERKULOSA.
Bakteria dapat masuk melalui makanan ke rongga mulut dan melalui tonsil
mencapai kelenjar limf di leher, sering tanpa tanda tbc paru. Kelenjar yang sakit akan
membengkak, dan mungkin sedikit nyeri. Mungkin secara berangsur kelenjar didekatnya
satu demi satu terkena radang yang khas dan dingin ini. Di samping itu, dapat terjadi juga
perilimfadenitis sehingga beberapa kelenjar melekat satu sama lain berbentuk massa. Bila
mengenai kulit, kulit akan meradang, merah, bengkak, mungkin sedikit nyeri. Kulit
akhirnya menipis dan jebol, mengeluarkan bahan keperti keju. Tukak yang terbentuk
akan berwarna pucat dengan tepi membiru dan menggangsir, disertai sekret yang jernih.
Tukak kronik itu dapat sembuh dan meninggalkan jaringan parut yang tipis atau berbintil-
bintil. Suatu saat tukak meradang lagi dan mengeluarkan bahan seperti keju lagi,
demikian berulang-ulang. Kulit seperti ini disebut skrofuloderma. Pengobatan dilakukan
dengan tuberkulostatik
3.TUBERKULOSIS PERITONEAL
Pendahuluan :
Tuberkulosis peritoneal merupakan suatu peradangan peritoneum parietal atau
visceral yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis, dan terlihat penyakit
ini juga sering mengenai seluruh peritoneum, alat-alat system gastroinbtestinal,
mesenterium dan organ genetalia interna.Penyakit ini jarang bersiri sendiri dan biasanya
merupakan kelanjutan proses tuberkulosa di tempat lain terutama dari tuberkulosa paru,
namun sering ditemukan bahwa pada waktu diagnosa ditegakkan proses tuberkulosa di
paru sudah tidak kelihatan lagi. Hal ini bisa terjadi karena proses tuberkulosa di paru
mungkin sudah menyembuh terlebih dahulu sedangkan penyebaran masih berlangsung di
tempat lain.
Di Negara yang sedang berkembang tuberculosis peritoneal masih sering
dijumpai termasuk di Indonesia, sedangkan di negara Amerika dan Negara Barat lainnya
walaupun sudah jarang ada kecendrungan meningkat dengan meningkatnya jumlah
penderita AIDS dan Imigran. Karena perjalanan penyakitnya yang berlangsung secara
perlahan-lahan dan sering tanpa keluhan atau gejala yang jelas maka diagnosa sering
tidak terdiagnosa atau terlambat ditegakkan. Tidak jarang penyakit ini mempunyai
keluhan menyerupai penyakit lain seperti sirosis hati atau neoplasma dengan gejala asites
yang tidak terlalu menonjol.
Insidensi
Tuberkulosis peritoneal lebih sering dijumpai pada wanita disbanding pria dengan
perbandingan 1,5:1 dan lebih sering decade ke 3 dan 4.Tuberkulosis peritoneal dijumpai
2 % dari seluruh Tuberkulosis paru dan 59,8% dari tuberculosis Abdominal.(5) Di
Amerika Serikat penyakit ini adalah keenam terbanyak diantara penyakit extra paru
sedangkan peneliti lain menemukan hanya 5-20% dari penderita tuberkulosis peritoneal
yang mempunyai TB paru yang
aktif .
Pada saat ini dilaporkan bahwa kasus tuberculosis peritoneal di negara maju
semakin meningkat dan peningkatan ini sesuai dengan meningkatnya insiden AIDS di
negara maju.Di Asia dan Afrika dimana tuberculosis masih banyak dijumpai, tuberculosis
peritoneal masih merupakan masalah yang penting. Manohar dkk melaporkan di Rumah
Sakit King Edward III Durban Afrika selatan menemukan 145 kasus tuberculosis
peritoneal selamaperiode 5 tahun (1984-1988) sedangkan dengan cara
peritonoskopi.Daldiono menemukan sebanyak 15 kasus di Rumah Sakit Cipto
mangunkusumo Jakarta selama periode 1968-1972 dan Sulaiman di rumah sakit yang
sama periode 1975-1979 menemukan sebanyak 30 kasus tuberkulosa peritoneal begitu
juga Sibuea dkk melaporkan ada 11 kasus Tuberkulosis peritoneal di Rumah sakit Tjikini
Jakarta untuk periode 1975-1977.Sedangkan di MedanZain LH melaporkan ada 8 kasus
selama periode 1993-1995.
Patogenese
Peritoneum dapat dikenai oleh tuberculosis melalui beberapa cara :
1. Melalui penyebaran hematogen terutama dari paru-paru
2. Melalui dinding usus yang terinfeksi
3. Dari kelenjar limfe mesenterium
4. Melalui tuba falopi yang terinfeksi
Pada kebanyakan kasus tuberkulosis peritoneal terjadi bukan sebagai akibat
penyebaran perkontinuitatum tapi sering karena reaktifasi proses laten yang terjadi pada
peritoneum yang diperoleh melalui penyebaran hematogen proses primer terdahulu
(infeksi laten “Dorman infection”).Seperti diketahui lesi tuberkulosa bisa mengalami
supresi dan menyembuh. Infeksi masih dalam fase laten dimana ia bisa menetap laten
selama hidup namun infeksi tadi bisa berkembang menjadi tuberkulosa pada setiap saat.
Jika organism intrasseluler tadi mulai bermutiplikasi secara cepat.
Patologi
Terdapat 3 bentuk peritonitis tuberkulosa :
1. Bentuk eksudatif
Bentuk ini dikenal juga sebagai bentuk yang basah atau bentuk asites yang
banyak,gejala menonjol ialah perut membesar dan berisi cairan (asites). Pada bentuk ini
perlengketan tidak banyak dijumpai. Tuberkel sering dijumpai kecil-kecil berwarna putih
kekuning-kuningan milier, nampak tersebar di peritoneum atau pada alat-alat tubuh yang
berada di rongga peritoneum. Disamping partikel yang kecil-kecil yang dijumpai tuberkel
yang lebih besar sampai sebesar kacang tanah. Disekitar tuberkel terdapat reaksi jaringan
peritoneum berupa kongesti pembuluh darah. Eksudat dapat terbentuk cukup banyak,
menutupi tuberkel dan peritoneum sehingga merubah dinding perut menjadi tegang,
Cairan asites kadang-kadang bercampur darah dan terlihat kemerahan sehingga
mencurigakan kemungkinan adanya keganasan. Omentum dapat terkena sehingga terjadi
penebalan dan teraba seperti benjolan tumor.
2. Bentuk adhesif
Disebut juga sebagai bentuk kering atau plastik dimana cairan tidak banyak
dibentuk. Pada jenis ini lebih banyak terjadi perlengketan. Perlengketan yang luas antara
usus dan peritoneum sering memberikan gambaran seperti tumor, kadangkadang
terbentuk fistel. Hal ini disebabkan karena adanya perlengketanperlengketan. Kadang-
kadang terbentuk fistel, hal ini disebabkan karena perlengketan dinding usus dan
peritoneum parintel kemudian timbul proses necrosis. Bentuk ini sering menimbulkan
keadaan ileus obstruksi . Tuberkel-tuberkel biasanya lebih besar.
3. Bentuk campuran
Bentuk ini kadang-kaadang disebut juga kista, pembengkakan kista terjadi melalui
proses eksudasi bersama-sama dengan adhesi sehingga terbentuk cairan dalam kantong-
kantong perlengketan tersebut. Beberapa penulis menganggap bahwa pembagian ini lebih
bersifat untuk
melihat tingkat penyakit, dimana pada mulanya terjadi bentuk exudatif dan kemudian
bentuk adhesive.Pemberian hispatologi jaringan biopsy peritoneum akan memperlihatkan
jaringan granulasi tuberkulosa yang terdiri dari sel-sel epitel dan sel datia langerhans, dan
pengkejutan umumnya ditemukan.
Gejala Klinis
Gejala klinis bervariasi, pada umumnya keluhan dan gejala timbul perlahan-lahan
sampai berbulan-bulan, sering penderita tidak menyadari keadaan ini. Pada penelitian
yang dilakukan di Rumah Sakit Dr.Cipto Mangunkusumo lama keluhan berkisar dari 2
minggu s/d 2 tahun dengan rata-rata lebih dari 16 minggu.Keluhan terjadi secara
perlahan-lahan sampai berbulan-bulan disertai nyeri perut, pembengkakan perut, disusul
tidak nafsu makan, batuk dan demam.Pada yang tipe plastik sakit perut lebih terasa dan
muncul manisfestasi seperti sub obstruksi.
Variasi keluhan pasien tuberkulosa peritoneal menurut beberapa penulis adalah sebagai
berikut :
Tabel 1. Keluhan pasien tuberkulosa peritoneal menurut beberapa penulis
Keluhan Sulaiman A1975-
1979
30 pasien
%
Sandikci
135 pasien
%
Manohar dkk
1984-1988
45 pasien
%
Sakit perut 57 82 35.9
Pembengkakan perut 50 96 73.1
Batuk 40 - -
Demam 30 69 53.9
Keringat malam 26 - -
Anoreksia 30 73 46.9
Berat badan menurun 23 80 44.1
Mencret 20 - -
Pada pemeriksaan jasmani gejala yang sering dijumpai adalah asites, demam,
pembengkakan perut, nyeri perut, pucat dan kelelahan, tergantung lamanya keluhan.
Keadaan umum pasien bisa masih cukup baik sampai keadaan kurus dan kahexia,pada
wanita sering dijumpai tuberkulosa peritoneum disertai oleh proses tuberculosis pada
ovarium atau tuba, sehingga pada alat genital bisa ditemukan tanda-tanda peradangan
yang sering sukar dibedakan dengan kista ovary.
Gejala yang lebih rinci dapat dilihat pada table 2 dibawah ini :
Tabel 2 : pemeriksaan jasmani pada 30 penderita peritonitis tuberkulosa di rumah sakit
Dr.Cipto mangunkusumo Jakarta tahun 1975-11979.
Gejala Persentase ( % )
Pembengkakan perut dan nyeri 51
Asites 43
Hepatomegali 43
Ronchi pada paru ( kanan ) 33
Pleura effuse 27
Splenomegali 30
Tumor intra abdomen 20
Fenomena papan catur 13
Limfadenopati 13
Terlibatnya paru dan pleura 63 (atas dasar foto thorax )
Fenomena papan catur yang selalu dikatakan karakteristik pada penderita peritonitis
tuberkulosa ternyata tidak sering dijumpai (13%).
Diagnosis :
Laboratorium :
Pemeriksaan darah tepi sering dijumpai adanya anemia penyakit kronis,leukositosis
ringan ataupun leukopenia , trombositosis, gangguan faal hati dan sering dijumpai laju
endap darah (LED) yang meningkat, sedangkan pada pemeriksaan tes tuberculin hasilnya
sering negative.
Pada pemeriksaan analisa cairan asites umumnya memperlihatkan exudat dengan
protein > 3 gr/dl jumlah sel diatas 100-3000sel/ml. Biasanya lebih dari 90% adalah
limfosit LDH biasanya meningkat.Cairan asites yang perulen dapat ditemukan begitu
juga cairan asites yang
bercampur darah (serosanguinous). Pemeriksaan basil tahan asam (BTA) didapati
hasilnya kurang dari 5 % yang positif dan dengan kultur cairan ditemukan kurang dari
20% hasilnya positif.Ada beberapa peneliti yang mendapatkan hampir 66% kultur
BTAnya yang positif
dan akan lebih meningkat lagi sampai 83% bila menggunakan kultur cairan asites yang
telah disetrifugejengan jumlah cairan lebih dari 1 liter. Dan hasil kultur cairan asites ini
dapat diperoleh dalam waktu 4-8 minggu.
Perbandingan serum asites albumin (SAAG) pada tuberculosis peritoneal
ditemukan rasionya < 1,1 gr/dl namun hal ini juga bisa dijumpai pada keadaan
keganasan, sindroma neprotik, penyakit pancreas , kandung empedu atau jaringan ikat
sedangkan bila ditemukan >1,1 gr/dl ini merupakan cairan asites akibat portal hipertensi.
Perbandingan glukosa cairan asites dengan darah pada tuberculosis peritoneal
<0,96 sedangkan pada asites dengan penyebab lain rationya >0,96.Penurunan PH cairan
asites dan peningkatan kadar laktat dapat dijumpai pada tuberculosis peritoneal dan
dijumpai signifikan berbeda dengan cairan asites pada sirosis hati yang steril, namun
pemeriksaan PH dan kadar laktat cairan asites ini kurang spesifik dan belum merupakan
suatu kepastian karena hal ini juga dijumpai pada kasus asites oleh karena keganasan atau
spontaneous bacterial peritonitis.(4) Pemeriksaan cairan asites lain yang sangat
membantu, cepat dan non invasive adalah pemeriksaan ADA (adenosin deminase
actifity), interferon gama (IFNϒ) dan PCR. Dengan kadar ADA > 33 u/l mempunyai
Sensitifitas 100%. Spesifitas 95%, dan dengan Cutt off > 33 u/l mengurangi false positif
dari sirosis hati atau malignancy.
Pada sirosis hati konsentrasi ADA signifikan lebih rendah dari tuberculosis
peritoneal (14 ± 10,6 u/l) Hafta A dkk dalam suatu penelitian yang membandingkan
konsentrasi ADA terhadap pasien tuberculosis peritoneal , tuberculosis peritoneal
bersamaan dengan sirosis hati dan passien-pasien yang hanya sirosis hati. Mereka
mendapatkan nilai ADA 131,1 ± 38,1, u/l pada pasien tuberculosis peritoneal, 29 ± 18,6
u/l pada pasien tuberculosis dengan sirosis hati dan 12,9 ± 7 u/l pada pasien yang hanya
mempunyai sirosis hati, sedangkan pada pasien dengan konsentrasi protein yang rendah
dijumpai Nilai ADA yang sangat rendah sehingga mereka menyimpulkan pada
konsentrasi asietas dengan protein yang rendah nilai ADA dapat menjadi falsenegatif.
Untuk ini pemeriksaan Gama interferon (INFϒ) adalah lebih baik walaupun nilainya
dalah sama dengan pemeriksaan ADA, sedangkan pada pemeriksaan PCR hasilnya lebih
rendah lagi disbanding kedua pemeriksaan tersebut. Fathy ME melaporkan angka
sensitifitas untuk pemeriksaan tuberculosis peritoneal terhadap Gama interferon adalah
90,9 % , ADA : 18,8% dan PCR 36,3% dengan masing-masing spesifitas 100%.(17).
Peneliti lain yang meneliti kadar ADA adalah Bargava. Bargava dkk melakukan
penelitian terhadap kadar ADA pada cairan esites dan serum penderita peritoneal
tuberculosis. Kadar ADA >36 u/l pada cairan esites dan > 54 u/l pada serum mendukung
suatu diagnosis tuberculosis peritoneal.
Perbandingan cairan asites dan serum (asscitic / serum ADA ratio) lebih tingggi
pada tuberculosis peritoneal dari pada kasus lain seperti sirosis, sirosisdengan
spontaneous bacterial peritonitis,Budd chiary dan Ratio > 0,984 menyokong suatu
tuberculosis.
Pemeriksaan lain adalah pemeriksaan CA-125.CA-125 (Canker antigen 125)
termasuk tumor associated glycoprotein dan terdapat pada permukaan sel. CA-125
merupakan antigen yang terkait karsinoma ovarium, antigen ini tidak ditemukan pada
ovarium orang dewasa normal, namun CA-125 ini dilaporkan, juga meningkat pada
keadaan benigna dan maligna, dimana kira-kira 80% meningkat pada wanita dengan
keganasan ovarium, 26% pada trimester pertama kehamilan, menstruasi, endometriosis,
myoma uteri daan salpingitis, juga kanker primer ginekologi yang lain sepeerti
endometrium, tuba falopi, endocervix, pancreas,ginjal,colon juga pada kondisi yang
bukan keganasan seperti gagal ginjal kronik, penyakit autoimum, pancreas, sirosis hati,
peradangan peritoneum seperti tuberculosis,pericardium dan pleura, namun beberapa
laporan yang menemukan peningkatan kadar CA-25 pada penderita tuberkulossis
peritoneal seperti yang dilaporkan oleh Sinsek H.
Zain LH di Medan pada tahun 1996 menemukan dari 8 kasus tuberculosis
peritoneal dijumpai kadar CA-125 meninggi dengan kadar rata-rata 370,7 u/ml (66,2–
907 u/ml) dan menyimpulkan bila dijumpai peninggian serum CA-125 disertai dengan
cairan asites yang eksudat, jumlah sel > 350/m3, limfosit yang dominan maka
tuberculosis peritoneal dapat dipertimbangkan sebagai diagnose. Bebrapa peneliti
menggunakan CA-125 ini untuk melihat respon pengobatan seperti yang dilakukan Mas
MR dkk (Turkey, 2000) menemukan CA-125 sama tingginya dengan kanker ovarium dan
setelah pemberian anti tuberkulosa kadar serum CA-125 menjadi normal dimana yang
sebelumnya kadar rata-rata CA-125,475,80 ± 5,8 u/ml (Normal < 35 u/ml) setelah 4
bulan pengobatan anti tuberkulosa.Akhir-akhir ini Teruya J dkk pada tahun 2000 di
Jepang menemukan peningkatan kadar CA 19-9 pada serum dan cairan asites penderita
tuberculosis peritoneal dan setelah diobati selama 6 minggu dijumpai penurunan CA19-9
menjadi normal.
Pemeriksaan Peninjang :
Pemeriksaan rontgen.
Pemeriksaan sinar tembus pada system pencernaan mungkin dapat membantu jika
didapat kelainan usus kecil atau usus besar.
Ultrasonografi :
Pada pemeriksaan ultrasonografi (USG) dapat dilihat adanya cairan dalam rongga
peritoneum yang bebas atau terfiksasi (dalam bentuk kantong-kantong) menurut Rama &
Walter B, gambaran sonografi tuberculosis yang sering dijumpai antara lain cairan yang
bebas atau terlokalisasi dalam rongga abdomen, abses dalam rongga abdomen, masa
didaerah ileosaecal dan pembesaran kelenjar limfe retroperitoneal, adanya penebalan
mesenterium, perlengketan lumen usus dan penebalan omentum, mungkin bisa dilihat
dan harus diperiksa dengan seksama.Mizzunoe dkk berhasil menggunakan USG sebagai
alat Bantu biopsy secara tertutup dalam menegakkan diagnosa peritonitis tuberkulosa.
CT Scan :
Pemeriksaan CT Scan untuk peritoneal tuberculosis tidak ada ditemui suatu
gambaran yang khas, namun secara umum ditemui adanya gambaran peritoneum yang
berpasir dan untuk pembuktiannya perlu dijumpai bersamaan dengan adanya gejala klinik
dari tuberculosis peritoneal.Rodriguez E dkk yang melakukan suatu penelitian yang
membandingkan tuberculosis
peritoneal dengankarsinoma peritoneal dan karsinoma peritoneal dengan melihat
gambaran CT Scan terhadap peritoneum parietalis.Adanya peritoneum yang licin dengan
penebalan yang minimal dan pembesaran yang jelas menunjukkan suatu peritoneum
tuberculosis sedangkan adanya nodul yang tertanam dan penebalan peritoneum yang
teratur menunjukkan suatu perintoneal karsinoma.
Peritonoskopi (Laparoskopi)
Peritonoskopi / laparoskopi merupakan cara yang relatif aman, mudah dan terbaik
untuk mendiagnosa tuberculosis peritoneal terutama bila ada cairan asites dan sangat
berguna untuk mendapat diagnosa pasien-pasien muda dengan simtom sakit perut yang
tak jelas penyebabnya dan cara ini dapat mendiagnosa tuberculosis peritoneal 85%
sampai 95% dan dengan biopsy yang terarah dapat dilakukukan pemeriksaan histology
dan bisa menemukan adanya gambaran
granuloma sebesar 85% hingga 90% dari seluruh kasus dan bila dilakukan kultur bisa
ditemui BTA hampir 75%. Hasil histology yang lebih penting lagi adalah bila didapat
granuloma yang lebih spesifik yaitu jika didapati granuloma dengan pengkejutan.
Gambaran yang dapat dilihat pada tuberculosis peritoneal :
1. Tuberkel kecil ataupun besar dengan ukuran yang bervariasi yang dijumpai tersebar
luas pada dinding peritoneum dan usus dan dapat pula dijumpai permukaan hati atau alat
lain tuberkel dapat bergabung dan merupakan sebagai nodul.
2. Perlengketan yang dapat berpariasi dari ahanya sederhana sampai hebat(luas) diantara
alat-alat didalam rongga peritoneum. Sering keadaan ini merubah letak anatomi yang
normal. Permukaan hati dapat melengket pada dinding peritoneum dan sulit untuk
dikenali. Perlengketan diantara usus mesenterium dan peritoneum dapat sangat ekstensif.
3. Peritoneum sering mengalami perubahan dengan permukaan yang sangat kasar yang
kadang-kadang berubah gambarannya menyerupai nodul.
4. Cairan esites sering dujumpai berwarna kuning jernih, kadang-kadang cairan tidak
jernih lagi tetapi menjadi keruh, cairan yang hemoragis juga dapat dijumpai.
Biopsi dapat ditujukan pada tuberkel-tuberkel secara terarah atau pada jaringan lain yang
tersangka mengalami kelainan dengan menggunakanalat biopsy khusus sekaligus cairan
dapat dikeluarkan. Walupun pada umumnya gambaran peritonoskopi peritonitis
tuberculosis dapat dikenal dengan mudah, namun gambaran gambarannya bisa
menyerupai penyakit lain seperti peritonitis karsinomatosis, karena itu biopsy harus
selalu diusahakan dan pengobatan sebaiknya diberikan jika hasil pemeriksaan patologi
anatomi menyokong suatu peritonitis tuberkulosa.
Peritonoskopi tidak selalu mudah dikerjakan dan dari 30 kasus, 4 kasus tidak dilakukan
peritonoskopi karena secara tehnis dianggap mengandung bahaya dan sukar
dikerjakan.Adanya jaringan perlengketan yang luas akan merupakan hambatan
dankesulitan dalam memasukkan trokar dan lebih lanjut ruangan yang sempit di dalam
rongga abdomen juga menyulitkan pemeriksaan dan tidak jarang alat peritonoskopi
terperangkap didalam suatu rongga yang penuh dengan perlengketan, sehingga sulit
untuk mengenal gambaran anatomi alat-alat yang normal dan dalam keadaan demikian
maka sebaiknya dilakukan laparotomi diagnostic.
Laparatomi
Dahulu laparotomi eksplorasi merupakan tindakan diagnosa yang sering
dilakukan, namun saat ini banyak penulis menganggap pembedahan hanya dilakukan jika
dengan cara yang lebih sederhana tidak meberikan kepastian diagnosa atau jika dijumpai
indikasi yang mendesak seperti obstruksi usus, perforasi, adanya cairan asites yang
bernanah.
Pengobatan :
Pada dasarnya pebngobatan sama dengan pengobatan tuberculosis paru, obat-obat
seperti streptomisin,INH,Etambutol,Ripamficin dan pirazinamid memberikan hasil yang
baik, dan perbaikan akan terlihat setelah 2 bulan pengobatan dan lamanya pengobatan
biasanya mencapai sembilan bulan sampai 18 bulan atau lebih.
Beberapa penulis berpendapat bahwa kortikosteroid dapat mengurangi
perlengketan peradangan dan mengurangi terjadinya asites. Dan juga terbukti bahwa
kortikosteroid dapat mengurangi angka kesakitan dan kematian,namun pemberian
kortikosteroid ini harus dicegah pada daerah endemis dimana terjadi resistensi terhadap
Mikobakterium tuberculosis.Alrajhi dkk yang mengadakan penelitian secara retrospektif
terhadap 35 pasien dengan tuberculosis peritoneal mendapatkan bahwa pemberian
kortikosteroid sebagai obat tambahan terbukti dapat mengurangi insidensi sdakit perut
dan sumbatan pada usus.Pada kasus-kasus yang dilakukan peritonoskopi sesudah
pengobatan terlihat bahwa partikel menghilang namun di beberapa tempat masih dilihat
adanya perlengketan.
Prognosis :
Peritonitis tuberkulosa jika dapat segera ditegakkan dan mendapat pengobatan
umumnya akan menyembuh dengan pengobatan yang adequate.
Kesimpulan :
1. Tuberkulosis peritoneal biasanya merupakan proses kelanjutan tuberkulosa ditempat
lain
2. Oleh karena itu gejala klinis yang bervariasi dan timbulnya perlahan-lahan sering
diagnosa terlambat baru diketahui.
3. Dengan pemeriksaan diagnostik, laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya
dapat membantu menegakkan diagnosa
4. Dengan pemberian obat anti tuberkulosa yang adekuat biasanya pasien akan sembuh.
Kepustakaan :
1. Zain LH. Tuberkulosis peritoneal. Dalam : Noer S ed. Buku ajar ilmu penyakit dalam Jakarta Balai penerbit FKUI, 1996: 403-6
2. Sulaiman A. Peritonitis tuberkulosa. Dalam : Sulaiman A, Daldiyono, Akbar N, Rani A Buku ajar gartroenterologi hepatologi Jakarta : Infomedika 1990: 456-61
3. Ahmad M. Tuberkulosis peritonitis : fatality associated with delayed diagnosis. South Med J 1999:92:406-408.
4. Sandikci MU,Colacoglus,ergun Y.Presentation and role of peritonoscopy and diagnosis of tuberculous peritonitis. J Gastroenterol hepato 1992;7:298-301
5. Manohar A,SimjeeAE,Haffejee AA,Pettengell E.Symtoms and investigative findings in year period.Gut,1990;31:1130-2
6. Marshall JB.Tuberculosis of the gastrointestinal tract and peritoneum,AMJ Gastroenterol 1993;88:989-99
7. Sibuea WH,Noer S,Saragih JB,NapitupuluJB.Peritonitis tuberculosa di RS DGI Tjikini (abstrak) KOPAPDI IV Medan; 1978:131
8. Zain LH.Peran analisa cairan asites dan serum Ca 125 dalam mendiagnosa TBC peritoneum Dalam : Acang N, Nelwan RHH,Syamsuru W ed.Padang : KOPAPDI X,1996:95
9. Spiro HM. Peritoneal tuberculosis : clinical gastroenterologi 4th ed New York ; Mc Graw hill INC 1993 : 551-2
10. Sulaiman A. Peritonisis tuberculosa dalam : Hadi S, Thahir G, Daldiyono,Rani A,Akbar N. Endoskopi dalam bidang Gastroentero Hepatologi Jakarta : PEGI 1980:265-70
11. Small Pm,Seller UM. Abdominal tuberculosis in : Strickland GT ed Hunters tropical medicine and emerging infection disease. 8th Philadelpia : WB Sounders Company 2000 : 503-4
12. Mc Quid KR,Tuiberculous peritonitis in : Tierny LM,Mc Phee SJ,Papadakis MA.Current medical diagnosis & treatment 38th London Prentice hall Internastional 1999 : 561-62
13. Lyche KD.Miscelaneous disease of the peritoneum & mesentery in : Grendell Jh,Mc Quaid KR, Friedman sl ed Current diagnosis & treatment Gastroenterologi New York : Prentice Hall international 1996 : 144-5
14. Lombrana S,Vega dl, Linares et al.Tuberculous peritonitis ; Diagnostic value of ascitic flid PH and lactat. Scandinavian Journal Gastroenterology,1995;30:87-91
15. Voight,Kalvaria I,Trey C, Berman P. Lombard C, Kirsdi PE, Diagnostic value of ascitites adenosin deaminase in tuberculous peritonitis Lancet 1989; 1:751-4
16. Hafta A Adenosin deaminase activity in the diagnosis of peritoneal tuberculosis with cirrhosis http://wwwcu.edu.tr/fakulteler/tf/tfd/97-2-9.htm
17. Fathy EM, EL Salam FA,Lashin AH et al A Comparative study of different procedures for diagnosis of tuberculous ascites : http: member, tripod. Com/ejimunology/prviuous/jan 99/jan99-9.html
18. Martini F.H., Welch K. The Lymphatic System and Immunity. In :Fundamentals of Anantomy and Physiology. 5th ed. New Jersey : Upper Saddle River, 2001: 132,151
19. Savant C, Rajamani K. Tropical Diseases of the Spinal Cord. In : Critchley E,Eisen A., editor. Spinal Cord Disease : Basic Science, Diagnosis andManagement. London : Springer-Verlag, 1997 : 378-87.
20. Tachdjian, M.O. Tuberculosis of the spine. In : Pediatric Orthopedics.2nd ed. Philadelphia : W.B. Saunders, 1990 : 1449-54
21. Lindsay, KW, Bone I, Callander R. Spinal Cord and Root Compresion. In : Neurology and Neurosurgery Illustrated. 2nded. Edinburgh : Churchill Livingstone, 1991 : 388.
22. Graham JM, Kozak J. Spinal Tuberculosis. In : Hochschuler SH, Cotler HB, Guyer RD., editor. Rehabilitation Of The Spine : Science and Practice. St. Louis : Mosby-Year Book, Inc., 1993 : 387-90.
23. Lauerman WC, Regan M. Spine. In : Miller, editor. Review of Orthopaedics.2nd ed. Philadelphia : W.B. Saunders, 1996 : 270-91
24. Currier B.L, Eismont F.J. Infections of The Spine. In : The spine. 3rd ed.Rothman Simeone editor. Philadelphia : W.B. Sauders, 1992 : 1353-64
25. Ombregt L, Bisschop P, ter Veer H.J, Van de Velde T. Non Mechanical Disorders of The Lumbar Spine. In : A System of Orthopaedic Medicine.Philadelphia : W.B. Saunders, 1995 : 615-32.
26. Natarajan M, Maxilvahanan. Tuberculosis of the spine. In : http:/www.bonetumour org./book/APTEXT/intex.html. Book of orthopaedics and traumatoloty.
27. Miller F, Horne N, Crofton SJ. Tuberculosis in Bone and Joint. In : Clinical Tuberculosis.2nd ed.: London : Macmillan Education Ltd, 1999 : 62-6.
28. Wood.G.W. Infections of Spine. In : Campbell’s Operative Orthopaedics. 7th ed. Crenshaw A.H editor. St. Louis : C.V. Mosby Company, 1987 : 3323-45.
29. Terry R. Y, Lindsay R. Infection : Non Suppurative Osteomyelitis (tuberkulosis). In : Essential of Skeletal Radiology. 2nd ed. Baltiomore : Williams and Wilkins, 1996 : 1227.
30. Salter R.B.Tuberculous Osteomyelitis. In : Textbook of Disorders and Injuries of The Musculoskeletal System. 3rd ed. Baltimore : Williams & Wilkins, 1999: 228-31
31. Bohndorf K., Imhof H. Bone and Soft Tissue Inflammation. In : Musculoskeletal Imaging : A Concise Multimodality Approach. New York :Thieme, 2001 : 150, 334-36.