TINJAUAN PUSTAKA Domba Domba merupakan hewan ruminansia kecil yang telah dijinakkan sejak ribuan tahun yang lalu sebagai hewan gembala dataran rendah. Hal ini didasarkan pada penemuan tulang-belulang hewan domba di sekitar pemukiman manusia pada zaman dahulu menurut Smith & Mangkoewidjojo (1988). Klasifikasi domba dalam Herren (2000) adalah sebagai berikut (Gambar 1): kingdom : Animalia filum : Chordata kelas : Mamalia ordo : Artiodactyla famili : Bovidae genus : Ovis spesies : aries Domba merupakan hewan gembala dataran rendah, sehingga memiliki kecenderungan untuk membentuk kelompok besar. Domba juga memiliki perilaku yang cenderung mengabaikan atau menjauhi manusia. Tingkah laku ini penting untuk diketahui dalam pemeliharaan domba di laboratorium, karena domba akan mengalami stres jika dipelihara terpisah dari domba lain (Smith & Mangkoewidjojo 1988). Domba dipelihara untuk dimanfaatkan wol dan dagingnya (Hafes 2000). Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988), domba juga dapat dimanfaatkan sebagai hewan percobaan di laboratorium. Hal ini karena pemeliharaan domba tidak terlalu mahal, persyaratan kandang sederhana dan persyaratan pakan tidak sulit. Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988), dalam aplikasi penelitian, domba biasanya digunakan sebagai sumber sel darah merah untuk memproduksi antibodi dan dapat diperoleh serum dalam jumlah yang besar. Domba dapat pula Gambar 1 Domba lokal (Ovis aries). (sumber: foto hasil penelitian)
20
Embed
Dinamika sel darah putih pada domba lokal yang ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
4
TINJAUAN PUSTAKA
Domba
Domba merupakan hewan ruminansia kecil yang telah dijinakkan sejak
ribuan tahun yang lalu sebagai hewan gembala dataran rendah. Hal ini didasarkan
pada penemuan tulang-belulang hewan domba di sekitar pemukiman manusia
pada zaman dahulu menurut Smith & Mangkoewidjojo (1988). Klasifikasi domba
dalam Herren (2000) adalah sebagai berikut (Gambar 1):
kingdom : Animalia
filum : Chordata
kelas : Mamalia
ordo : Artiodactyla
famili : Bovidae
genus : Ovis
spesies : aries
Domba merupakan hewan gembala dataran rendah, sehingga memiliki
kecenderungan untuk membentuk kelompok besar. Domba juga memiliki perilaku
yang cenderung mengabaikan atau menjauhi manusia. Tingkah laku ini penting
untuk diketahui dalam pemeliharaan domba di laboratorium, karena domba akan
mengalami stres jika dipelihara terpisah dari domba lain (Smith &
Mangkoewidjojo 1988).
Domba dipelihara untuk dimanfaatkan wol dan dagingnya (Hafes 2000).
Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988), domba juga dapat dimanfaatkan
sebagai hewan percobaan di laboratorium. Hal ini karena pemeliharaan domba
tidak terlalu mahal, persyaratan kandang sederhana dan persyaratan pakan tidak
sulit.
Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988), dalam aplikasi penelitian,
domba biasanya digunakan sebagai sumber sel darah merah untuk memproduksi
antibodi dan dapat diperoleh serum dalam jumlah yang besar. Domba dapat pula
Gambar 1 Domba lokal (Ovis aries).
(sumber: foto hasil penelitian)
5
digunakan dalam percobaan dasar seperti percobaan fisiologi, farmakologi,
endokrinologi, biokimia, percobaan bedah eksperimental dan penelitian anestesi.
Ukuran tubuh domba yang besar dan memiliki bobot tubuh yang
menyerupai manusia, sangat cocok dan sesuai bila digunakan dalam aplikasi
penelitian sebagai hewan model untuk manusia (Wolfensohn & Lloyd 2000).
Menurut Pearce et al. (2007), domba memiliki kelebihan dibandingkan dengan
anjing. Secara makrostruktur tulang, domba dewasa memiliki dimensi tulang
panjang yang serupa dengan manusia bila dibandingkan dengan anjing. Oleh
karena itu domba sangat cocok dan sesuai bila digunakan sebagai hewan model
dalam percobaan implantasi material tulang untuk tujuan aplikasi pada manusia.
Darah
Darah diklasifikasikan sebagai jaringan konektif. Jaringan ini berupa
cairan yang mengalir ke seluruh tubuh melalui pembuluh pada sistem
kardiovaskular (Colville & Bassert 2008).
Total volume darah pada ruminansia berkisar antara 6 - 7% dari bobot
badan. Total volume darah pada hewan muda yang sedang tumbuh dapat melebihi
10% dari total bobot badan (Meyer & Harvey 2004).
Darah dibagi menjadi dua bagian, yaitu cairan dan padatan (sel). Bagian
cairan disebut plasma yang sebagian besar terdiri atas 91-94% air. Bagian padatan
mengandung sekitar 30-45% dari total kandungan (Lawhead & Baker 2005), yang
terbagi ke dalam tiga jenis, yaitu sel darah merah (eritrosit), sel darah putih
(leukosit) dan platelet (trombosit) (Gambar 2).
Menurut Colville dan Bassert (2008), darah memiliki tiga fungsi utama
dalam tubuh, diantaranya adalah sebagai sistem transportasi, sistem regulasi, dan
sistem pertahanan tubuh. Darah sebagai sistem transportasi berperan dalam
membawa oksigen, karbondioksida, zat nutrisi, hasil sisa metabolisme dan
hormon. Peranannya sebagai sistem regulasi adalah menjaga homeostasis dan
suhu tubuh, sedangkan dalam pertahanan tubuh berperan dalam melawan benda
asing.
Proses pembentukan darah secara umum disebut hematopoiesis. Sel darah
ini tidak abadi di dalam tubuh, suatu ketika akan mengalami kerusakan dan
6
kematian, sehingga harus digantikan dan diproduksi secara teratur. Oleh karena
itu hematopoiesis merupakan suatu proses yang berkelanjutan (Colville & Bassert
2008).
Colville dan Bassert (2008) mengatakan bahwa hematopoiesis pada fetus
terjadi di hati dan limpa, dan secara bertahap akan diproduksi di dalam sumsum
tulang. Sel darah diproduksi secara aktif di dalam sumsum tulang pada hewan
yang baru lahir. Sumsum tulang merah pada hewan dewasa ditemukan di tulang
panjang (tulang panggul, sternum dan iga) (Gambar 2).
Gambar 2 Lokasi pembentukan darah (sumsum tulang panjang)
dan komponen sel darah putih (Colville & Bassert 2008).
Sel Darah Putih (Leukosit)
Sel darah putih disebut juga leukosit. Sel ini dikategorikan sebagai
granulosit (neutrofil, eosinofil dan basofil) dan agranulosit (limfosit dan monosit).
Sel granulosit dikarakteristikkan dengan segmentasi atau lobulasi, memiliki
nukleus dan bergranul. Sedangkan agranulosit berupa sel mononuklear dan tidak
bergranul (McCurnin & Bassert 2006).
Pembentukan sel darah putih disebut leukopoiesis. Proses pembentukan ini
terjadi di sumsum tulang (Meyer & Harvey 2004) dan di jaringan limfe. Sel
granulosit dan monosit dibentuk di sumsum tulang, sedangkan sel limfosit
sebagian dibentuk di jaringan limfe (Guyton & Hall 2006). Saat awal proses
leukopoiesis, seluruh sel darah putih yang belum matang terlihat serupa, namun
Sumsum tulang
7
saat perkembangannya memperlihatkan karakter yang unik (Colville & Bassert
2008). Setelah selesai dibentuk, sel-sel ini akan diangkut dalam darah menuju ke
berbagai bagian tubuh yang membutuhkan (Guyton & Hall 2006).
Fungsi utama sel darah putih adalah mempertahankan tubuh dari benda
asing. Setiap tipe sel darah putih memiliki peran unik dalam sistem pertahanan
tersebut. Saat terjadi serangan benda asing, sel darah putih akan menuju jaringan.
Sel ini memanfaatkan darah perifer untuk mengantarkannya dari sumsum tulang
menuju ke lokasi (jaringan yang membutuhkan). Aliran sel darah putih secara
tetap berasal dari sumsum tulang dan masuk menuju jaringan sebagai usaha untuk
mengontrol serangan benda asing dalam tubuh setiap saat (Colville & Bassert
2008).
Menurut Lawhead dan Baker (2005), jumlah total dan tipe sel darah putih
dalam pemeriksaan hematologi dapat digunakan untuk membantu mendiagnosa
keadaan atau status infeksi pada hewan. Jumlah total sel darah putih lebih sedikit
dibandingkan dengan jumlah sel darah merah dan jumlah platelet. Jumlah total sel
darah putih berkisar antara (5 – 20) x 103 /µL pada mamalia (Meyer & Harvey
2004).
Limfosit
Limfosit biasanya berukuran kecil sampai sedang, merupakan sel
mononuklear dengan lingkaran tipis terang sampai gelap (McCurnin & Bassert
2006), sitoplasma berwarna jernih dan tidak bergranul (Gambar 3).
Gambar 3 Sel limfosit dalam preparat ulas darah.
(sumber: foto hasil penelitian. Perbesaran mikroskop 1000x)
16 µm
8
Limfosit diproduksi di berbagai jaringan limfoid, khususnya di kelenjar
limfe, limpa, timus, tonsil dan sebagian sumsum tulang (Guyton & Hall 2006).
Limfosit memiliki nukleus tunggal yang penting dalam fungsi kekebalan.
Limfosit memproduksi antibodi untuk membantu dalam melawan penyakit.
Limfosit dapat ditemukan di semua jaringan dan organ dalam melawan infeksi
(Lawhead & Baker 2005).
Limfosit memiliki sistem sirkulasi secara kontinu, bersama dengan aliran
limfe dari limfonodus dan jaringan limfoid lain. Setelah beberapa jam limfosit
keluar dari aliran darah dan kembali ke jaringan dengan cara diapedesis.
Selanjutnya memasuki pembuluh limfe dan kembali ke dalam sirkulasi darah,
demikian seterusnya, sehingga terjadi sirkulasi limfosit yang terus-menerus di
seluruh tubuh. Limfosit memiliki masa hidup berminggu-minggu atau berbulan-
bulan. Masa hidup ini bergantung pada kebutuhan tubuh terhadap sel-sel tersebut
(Guyton & Hall 2006).
Limfosit bersirkulasi secara berulang dari darah menuju jaringan, limfe
dan kembali ke dalam sirkulasi darah. Populasi limfosit terdiri atas sel T dan sel
B. Masa hidup sel bervariasi, tergantung pada klasifikasinya. Sel T secara umum
memiliki masa hidup yang panjang (100-200 hari), sedangkan sel B memiliki
masa hidup yang pendek (2-4 hari). Menurut Reece (2006), sel T dan sel B
memori memiliki masa hidup yang sangat panjang (dalam hitungan tahun).
Monosit
Monosit memiliki warna biru abu-abu, bersitoplasma dan bentuk nukleus
bervariasi. Nukleus dapat bergerombol, berbentuk oval, amuboid, atau lobulasi
(Gambar 4). Ukuran monosit biasanya lebih besar dibandingkan dengan limfosit
dan neutrofil, yaitu 14–20 µm (Brown 1980). Sitoplasma monosit biasanya lebih
gelap dibandingkan dengan neutrofil band (McCurnin & Bassert 2006).
Monosit dibentuk di dalam sumsum tulang dan bersirkulasi dalam darah
dengan singkat sebelum memasuki jaringan dan berubah menjadi makrofag
(McCurnin & Bassert 2006). Monosit bersirkulasi di dalam darah dan memiliki
masa hidup yang singkat, yaitu berkisar antara 10–20 jam sebelum menuju ke
dalam jaringan (Guyton & Hall 2006). Makrofag dapat berada di dalam jaringan
9
untuk beberapa bulan (Reece 2006) atau bahkan bertahun-tahun sampai sel ini
terpanggil untuk melakukan fungsi pertahanan lokal spesifik (Guyton & Hall
2006).
Gambar 4 Sel monosit dalam preparat ulas darah.
(Anonima Agustus 2010)
Monosit memiliki aktivitas dalam fagositosis mikroba, yaitu dengan
menghilangkan mikroorganisme, mematikan sel atau partikel asing (Lawhead &
Baker 2005). Makrofag memfagosit (memakan) partikel besar dan sel debris sisa
hasil aktivitas neutrofil (McCurnin & Bassert 2006).
Monosit dapat menghancurkan bakteri, virus, partikel asing dan sel debris
yang menyerbu masuk ke dalam tubuh. Monosit mempunyai kemampuan hebat
untuk memberantas agen-agen penyakit di dalam jaringan. Sel ini mampu
memfagosit bakteri sampai 100 bakteri dan mempunyai kemampuan untuk
menelan partikel yang ukurannya jauh lebih besar dari ukuran tubuhnya (Guyton
& Hall 2006).
Neutrofil
Neutrofil memiliki nukleus (inti sel) yang terlihat segmentasi atau terbagi
(Lawhead & Baker 2005) dan warna kromatin yang padat (Underwood 1992)
(Gambar 5A). Tipe ini merupakan neutrofil yang telah matang. Neutrofil yang
belum matang biasa disebut neutrofil band. Sel ini memiliki nukleus yang
berbentuk seperti huruf U (Lawhead & Baker 2005) (Gambar 5B). Sitoplasma
berwarna pink dan mengandung granul (Underwood 1992). Tingginya persentase
20 µm
10
sel band dalam darah menggambarkan aktivitas sel dalam melawan agen infeksi
(Lawhead & Baker 2005).
Gambar 5 Sel neutrofil dalam preparat ulas darah.
A) sel neutrofil segmen; B) sel neutrofil band.
(sumber: foto hasil penelitian. Perbesaran mikroskop 1000x)
Neutrofil memiliki kemampuan fagositik dan bakterisidal yang sangat
berperan dalam kondisi inflamasi (McCurnin & Bassert 2006). Peran neutrofil
yaitu dengan fagositosis (memakan dalam bentuk endositosis) dan
menghancurkan mikroorganisme. Jika tubuh mengalami infeksi, neutrofil akan
berpindah menuju jaringan yang terinfeksi. Sumsum tulang akan melepaskan
neutrofil band dalam jumlah besar sebagai cadangan dalam waktu beberapa jam.
Sumsum tulang akan mulai meningkatkan produksi neutrofil. Produksi neutrofil
yang tinggi memerlukan waktu tiga sampai empat hari sebelum ditransfer menuju
pembuluh darah. Sumsum tulang akan melepaskan sedikit neutrofil dewasa
kedalam darah (Lawhead & Baker 2005). Neutrofil berada di dalam darah sekitar
10 jam dan jumlah neutrofil bergantung pada banyaknya stimulus yang terjadi
(McCurnin & Bassert 2006).
Eosinofil
Eosinofil dikarakteristikkan oleh nukleus segmentasi atau lobulasi, tidak
berwarna, dengan sitoplasma biru pucat (McCurnin & Bassert 2006). Eosinofil
memiliki granul besar dan berwarna merah, inti sel berlobus, biasanya terdapat 2-
A B
15 µm 15 µm
11
3 lobus (Underwood 1992) (Gambar 6). Eosinofil terlihat serupa dengan neutrofil
yang juga memiliki nukleus segmented. Eosinofil juga memiliki ukuran yang
besar dan granul-granul pada sitoplasmanya. Eosinofil berperan dalam melawan
parasit dan juga reaksi alergi. Granul-granul yang terdapat dalam eosinofil
membantu mengontrol peradangan/inflamasi (Lawhead & Baker 2005). McCurnin
& Bassert (2006) memaparkan bahwa eosinofil membantu dalam mengontrol
alergi atau reaksi hipersensitivitas anafilaksis. Eosinofil menuju lokasi reaksi
akibat pelepasan suatu substansi dari sensitisasi sel mast.
Gambar 6 Sel eosinofil dalam preparat ulas darah.
(sumber: foto hasil penelitian. Perbesaran mikroskop 1000x)
Eosinofil berperan dalam merespon adanya reaksi alergi dan pertahanan
terhadap infeksi agen parasit (Underwood 1992) dan mengurangi inflamasi (Bush
1991). Eosinofil diproduksi dalam jumlah besar saat terjadi infeksi parasit.
Eosinofil bekerja dengan melekatkan diri pada parasit melalui permukaan molekul
dan melepaskan zat-zat yang dapat membunuh parasit. Eosinofil akan bermigrasi
ke daerah jaringan alergik yang meradang akibat pelepasan faktor kemotaktik
yang dilepaskan oleh sel mast dan basofil yang berperan dalam reaksi alergi.
Eosinofil diduga mampu mendetoksifikasi beberapa zat pencetus peradangan yang
dilepaskan oleh sel mast dan basofil, memfagositosis dan menghancurkan
kompleks alergen antibodi, sehingga mencegah penyebaran proses peradangan
setempat (Guyton & Hall 2006).
Basofil
15 µm
12
Basofil berwarna gelap dengan granul dan nukleus yang segmented
(lobulasi) (Lawhead & Baker 2005). Basofil memiliki granul basofilik gelap
(biru), tetapi juga sangat bervariasi pada tiap spesies (McCurnin & Bassert 2006)
(Gambar 7). Basofil serupa dengan eosinofil, keduanya termasuk sel yang
merespon terhadap reaksi alergi. Beberapa granul dalam basofil mengandung
histamin. Histamin menyebabkan peradangan pada lapisan saluran hidung dan
sistem pernafasan. Peradangan akan menimbulkan gejala bersin, hidung berair,
bahkan dapat menyebabkan demam (Lawhead & Baker 2005). Basofil relatif
jarang ditemukan dalam preparat ulas darah (McCurnin & Bassert 2006).
Gambar 7 Sel basofil dalam preparat ulas darah.
(Anonimb Agustus 2010).
Peradangan dan Persembuhan Luka
Cedera yang dialami oleh suatu jaringan dapat menyebabkan kerusakan
sel. Kerusakan sel akan melepaskan mediator yang menghasilkan akumulasi sel
polimorfik (neutrofil, eosinofil dan basofil) dan makrofag, serta faktor humoral
seperti antibodi menuju lokasi kerusakan. Proses ini disebut inflamasi yang
merupakan proses dalam persembuhan (Wolfensohn & Lloyd 2000).
Inflamasi merupakan respon pertahanan setempat yang ditimbulkan oleh
cedera atau kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi atau
menahan agen pencedera maupun jaringan yang cedera (Dorland 2002).
Wolfensohn dan Lloyd (2000) mengatakan bahwa proses inflamasi dapat
menunjukkan berbagai gambaran klinis sebagai tanda utama inflamasi, yang
meliputi:
1. Panas (kalor), lokasi tersebut akan panas saat disentuh,
15 µm
13
2. Kemerahan (rubor), kemerahan terjadi akibat dilatasi pembuluh darah,
3. Pembengkakan (tumor), infiltrasi sel dan cairan menyebabkan area tersebut
membengkak,
4. Sakit (dolor), stimuli mediator inflamasi pada syaraf menyebabkan sakit.
Beberapa analgesik bekerja dengan memblok pelepasan mediator inflamasi,
5. Functio laesa (kehilangan fungsi).
Setelah kerusakan sel, terjadi perubahan pada jaringan yang merupakan
hasil dari inflamasi dan persembuhan. Rangkaian kejadian tersebut terdiri atas
beberapa fase, diantaranya yaitu:
Fase Inflamasi
1) Hemoragi, perdarahan terjadi akibat kerusakan pembuluh darah dan kemudian
ditahan oleh platelet dan fibrin sehingga membentuk keropeng (Wolfensohn &
Lloyd 2000). McGavin dan Zachary (2007) memaparkan bahwa hemostasis
terjadi dengan segera setelah terjadi perlukaan (Gambar 8) kecuali terdapat
kelainan pada proses pembekuan darah. Hemostasis dikontrol melalui
vasoplasma, yang merupakan proses pengkerutan pembuluh darah dalam
merespon perlukaan. Selama awal periode vasokonstriksi, platelet berkumpul
dan melekat pada kolagen, terutama kolagen yang terdapat di dasar membran
sel epitel yang cedera. Sewaktu melekat, platelet mensekresikan bahan