41 BAB III DINAMIKA PONDOK PESANTREN TA’MIRUL ISLAM A. Biografi KH. Naharussurur 1. Kehidupan KH. Naharussurur KH. Naharussurur lahir di kampung Tegalsari pada tanggal 29 November 1940. Tempat lahirnya tepatnya di depan Gedung Salam Rohmah Pondok Pesantren Ta‟mirul Islam Surakarta. Ayahnya bernama KH. Syafi‟i dari desa Karanganom Klaten dan Ibunya bernama Intiyah, putri dari KH. Iskak Kartohudoro. Dari perkawinan KH. Syafi‟i dan Ibu Intiyah melahirkan 3 putra, yaitu yang pertama bernama Hj. Qoyyimah, kedua yaitu KH. Naharussurur, dan yang ketiga adalah KH. Misbahussurur. 1 Sejak menikah, KH Syafi‟i bekerja dengan kakak iparnya yang bernama KH. Ahmad Al-Asy‟ary. Setelah 17 tahun menikah KH Syafi‟i belum dikaruniai putra, kemudian KH. Ahmad Al-Asy‟ari yang juga merupakan majikan sekaligus kakak ipar beliau, justru memberi tugas KH. Syafi‟i untuk menagih piutang batik dari pedagang di Kalimantan. Setelah tugasnya selesai, dari merantau di Kalimantan Ibu Intiyah dikaruniai Allah untuk mengandung anak pertama yang setelah lahir diberi nama Hj. Qoyyimah. Dua tahun setelah itu lahir putra kedua yaitu KH. Naharussurur dan dua tahun kemudian lahir putra ketiga yaitu H. Misbaharussurur, namun saat melahirkan putra ketiga Ibu Intiyah dipanggil Allah 1 Wawancara dengan M. Halim, tanggal 9 Juni 2016.
32
Embed
DINAMIKA PONDOK PESANTREN TA’MIRUL ISLAM · DINAMIKA PONDOK PESANTREN TA’MIRUL ISLAM A. Biografi KH. Naharussurur 1. Kehidupan KH. Naharussurur KH. Naharussurur lahir di kampung
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
41
BAB III
DINAMIKA PONDOK PESANTREN TA’MIRUL ISLAM
A. Biografi KH. Naharussurur
1. Kehidupan KH. Naharussurur
KH. Naharussurur lahir di kampung Tegalsari pada tanggal 29 November
1940. Tempat lahirnya tepatnya di depan Gedung Salam Rohmah Pondok
Pesantren Ta‟mirul Islam Surakarta. Ayahnya bernama KH. Syafi‟i dari desa
Karanganom Klaten dan Ibunya bernama Intiyah, putri dari KH. Iskak
Kartohudoro. Dari perkawinan KH. Syafi‟i dan Ibu Intiyah melahirkan 3 putra,
yaitu yang pertama bernama Hj. Qoyyimah, kedua yaitu KH. Naharussurur, dan
yang ketiga adalah KH. Misbahussurur.1
Sejak menikah, KH Syafi‟i bekerja dengan kakak iparnya yang bernama
KH. Ahmad Al-Asy‟ary. Setelah 17 tahun menikah KH Syafi‟i belum dikaruniai
putra, kemudian KH. Ahmad Al-Asy‟ari yang juga merupakan majikan sekaligus
kakak ipar beliau, justru memberi tugas KH. Syafi‟i untuk menagih piutang batik
dari pedagang di Kalimantan. Setelah tugasnya selesai, dari merantau di
Kalimantan Ibu Intiyah dikaruniai Allah untuk mengandung anak pertama yang
setelah lahir diberi nama Hj. Qoyyimah. Dua tahun setelah itu lahir putra kedua
yaitu KH. Naharussurur dan dua tahun kemudian lahir putra ketiga yaitu H.
Misbaharussurur, namun saat melahirkan putra ketiga Ibu Intiyah dipanggil Allah
1 Wawancara dengan M. Halim, tanggal 9 Juni 2016.
42
SWT, sehingga pada saat itu ketiga putra-putri beliau tidak mempunyai ibu,
kemudian dua tahun kemudian KH. Syafi‟i menyusul Ibu Intiyah sehingga ketiga-
tiganya putra putri beliau telah yatim piatu. Saat itu usia KH. Naharussurus baru 4
tahun.2
Kehidupan KH. Naharussurur pada saat itu berubah, karena telah menjadi
yatim piatu saat usianya baru 4 tahun. KH. Naharussurur dipelihara oleh kakek
dan neneknya yang bernama Iskak Kartohudoro atau saudara-saudara tua dari
Karanganom Klaten. Masa kecil KH. Nahar selalu dihiasi dengan kesederhanaan
dan kesulitan. Meskipun begitu KH. Naharussurur tetap ceria. Banyak kenangan
dan pengalaman yang didapat semasa kecil yang tumbuh sebagai anak yatim-
piatu. Saat Hari Raya, biasanya setelah melaksanakan sholat Idul Fitri, anak-anak
seusianya selalu didampingi orang tua dan ketika bersilaturahmi kepada sanak
saudara. Hal ini sangat berbeda dengan KH Naharussurur yang tidak pernah
merasakan kasih sayang orang tua, bahkan melihat wajah orang tuanya belum
pernah, karena kedua orang tuanya meninggal saat usinya masih sangat kecil.
Salah satu sifat atau tirakat KH Naharussurur yang patut dicontoh yaitu seberat
apapun cobaannya, jangan pernah merasa kecewa, tetapi justru lebih mendekatkan
diri kepada Allah. Hal inilah yang selalu KH Nahar ajarkan kepada putra-putri dan
menjadi prinsip hidup beliau.
Selesai menyelesaikan pendidikan D3, KH. Naharussurur kemudian
dinikahkan dengan Ibu Muttaqiyah yang merupakan putri dari KH. Ahmad Al-
Asy‟ari. Awal-awal pernikahan dilalui dengan segala perjuangan. Setelah
2 Wawancara dengan M. Ali, tanggal 24 Desember 2015.
43
menikah KH.Naharussurur langsung diberikan tanggung jawab untuk menghidupi
keluarga. Akhirnya beliau membuka toko kelontong. Dari kecil sampai menjadi
ramai, sehingga beliau harus bolak balik ke Pasar Legi untuk membeli barang-
barang yang akan dijual. Namun karena sangat terbatasnya modal dan banyaknya
permintaan barang usaha toko menjadi berkurang. KH. Nahar berprinsip lebih
baik bolak-balik kulakan dari pada harus berhutang untuk modal. Hal inilah sikap
dan prinsip yang jarang dimiliki generasi yang lain. Dalam berwirausaha jangan
ingin cepat berhasil atau cepat kaya, karena hal itu bisa menjadikan untuk
menghalalkan segala cara dalam mencapainya.
Kurang lebih 15 tahun bergulat dengan maju mundurnya usaha toko
sampai pada tahun 1979, KH. Naharussurur menunaikan ibadah haji ke Baitullah.3
Kelima anaknya tidak diberi uang saku, hanya toko yang banyak barang. Selama
40 hari barang toko selalu terjual tetapi tidak pernah membeli barang kembali,
sehingga hasil penjualan habis untuk makan anak-anaknya. Sepulang KH.
Naharussurur dalam menunaikan ibadah haji, usaha toko selalu gagal. Ternyata
Allah memilihkan jalan lain, sejak saat itu bakat KH. Naharussurur untuk
berdakwah mulai dilirik masyarakat. Akhirnya sejak tahun 1980 beliau sering
diundang untuk mengisi ceramah. Usaha toko akhirnya tutup. Tahun 1986 setelah
kedua putranya lulus dari Pondok Gontor beliau berniat untuk mendirikan
Pondok. Hal ini melihat tanah peninggalan KH. Ahmad A-Asy‟ari sangat luas dan
3 Wawancara dengan M. Halim tanggal 9 Juni 2016.
44
KH. Naharussurur ingin merealisasikan para pemuka agama disekitar kampung
Tegalsari yang menginginkan di Tegalsari ada Pondok setelah masjid.4
Akhirnya pada tanggal 14 Juni 1986 berdirilah Pondok Pesantren Ta‟mirul
Islam. Pondok Pesantren Ta‟mirul Islam diprakarsai oleh empat orang, beliau
adalah KH. Naharussurur, Hj. Muttaqiyah, Ustad. Halim, dan Ustad M. Wazir
Tamami. KH. Naharussurur merupakan pendiri sekaligus pemimpin pondok
sampai akhir hayatnya yaitu tahun 2010. Kemudian Pimpinan pondok digantikan
oleh ketiga putranya yang bernama H. Mohamad Halim, S. H. , H. Muhammad
Ali, dan H. Mohammad „Adhim, S.Ag, M.Pd.
2. Riwayat Pendidikan KH. Naharussurur
Sejak usia Sekolah Dasar KH. Naharussurur banyak tinggal di Kota Solo.
Diasuh oleh kakek dan neneknya dari garis keturunan Ibu Intiyah yaitu KH. Iskak
Kartohudoro. Tidak ada tempat pasti untuk tidur di malam hari dan makan sehari-
hari. Beliau selalu menunggu ajakan saudara-saudaranya untuk makan
dirumahnya. Bahkan pada suatu hari beliau pernah diajak saudaranya untuk
mengantar barang di daerah Popongan Klaten (±15 KM dari Tegalsari Solo).
Setelah dari mengantar barang dengan bersepeda barulah beliau diajak makan
pagi.
Hal ini merupakan gambaran bahwa sejak kecil KH. Nahararussurur telah
kenyang dengan perjuangan untuk memperoleh setiap apa yang diinginkan. Setiap
kesuksesan selalu membutuhkan perjuangan dan kerja keras dalam mencapainya.
4 Wawancara dengan Ust M. Halim, tanggal 9 Juni 2016
45
Meskipun tidak menetap, tapi beliau lebih sering tinggal di rumah kakak
sepupunya yang sering disebut sebagai pakde Yasin di kampung Baron Gede.
Keberadan KH. Naharussurur ditempat pakdenya termasuk jauh dari
kesempurnaan, karena kehidupan pakdenya bukan merupakan keluarga yang
cukup atau bisa dikatakan sangat sederhana. Namun meskipun begitu Pakdenya
mempunyai kepedulian besar terhadap KH. Naharussurur yang merupakan putra
yatim-piatu.
Pendidikan Sekolah Dasar H. Naharussurur ditamatkan di SD Djama‟atul
Ikhwan Surakarta. Biaya sekolahnya banyak ditopang oleh pakdenya yang
bernama KH. Ahmad Al-Asy‟ary. Selama menempuh pendidikan KH.
Naharussurur banyak menghabiskan waktu di kampung Tegalsari Surakarta.
Disela-sela itu KH. Nahar sempat belajar di Pondok Al-Muayyad di bawah asuhan
KH. Umar Abdul Mannan. Di dalam Pondok Al-Muayyad KH. Naharussurur
dituntut untuk hidup sangat sederhana seperti makan hanya dua kali yaitu siang
dan malam, makan pagi tidak dapat jatah karena keterbatasan biaya.
Selesai menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar, KH. Naharussurur
dikirim oleh KH. Ahmad Al-Asy‟ari untuk melanjutkan di sekolah Pondok
Modern Darussalam Gontor Ponorogo. Sebuah tempat yang belum pernah
diketahui sebelumnya. Saat itu beliau sebenarnya mempunyai keinginan untuk
melanjutkan di Pondok Pesantren terkenal bersama teman sebayanya. Namun hal
ini dilarang oleh KH. Ahmad Al-asy‟ari, karena jika beliau ikut mondok bersama
temannya maka hanya akan bercanda, sehingga tujuan sebenarnya tidak tercapai.
46
Pendidikan di Pondok Gontor Ponorogo ditempuh selama 7 tahun dimulai
dari tahun 1954. Pertama kali beliau diantar ke Pondok Gontor Ponorogo dengan
angkutan terakhirnya yaitu delman atau andong. Saat itu KH. Naharussurur
sempat ragu apakah akan betah mondok ditempat seperti ini dengan sepanjang
jalan masih dikelilingi pohon bambu yang sangat rimbun dan dihiasi binatang
pohon bambu yang tidak pernah berhenti. Namun hatinya berubah ketika melihat
lapangan sepak bola yang letaknya persis dengan asrama pondok, karena hobinya
merupakan olahraga sepak bola. Sejak saat itu beliau bertekad “bakat saya akan
terasah disini”. Sehingga sejak saat itu di almarinya ditulis sebuah motifasi “Saya
Harus Lulus”.5
Kenangan yang tidak pernah terlupakan di Gontor dan selalu ditularkan
kepada santrinya antara lain ketika KH. Naharussurur dituduh mencuri. Pada saat
itu keeper team beliau mencuri sejumlah uang, saat tertangkap keeper tersebut
menunjuk KH. Naharussurur sebagai pencurinya berdasarkan selama belajar di
Pondok hanya mendapat kiriman yang hanya cukup untuk membayar SPP tetapi
tidak pernah terlihat kekurangan dan tetap tenang. Dengan alasan seperti itu
spontan KH. Naharussurur tertuduh sebagai pencuri sampai dilaporkan ke polisi
dan beberapa minggu dipenjara di Ponorogo. Setelah dipenjara KH. Naharussurur
diperintahkan untuk pulang padahal saat itu ujian kenaikan kelas sudah dekat,
beliau sadar ini adalah fitnah tapi alasannya tersebut tidak diterima oleh pimpinan
pondok. Beliau harus pulang karena dianggap bersalah atau dengan kata lain
disekors dari pondok.
5 Wawancara dengan M. Halim tanggal 9 Juni 2016.
47
Mendengar keputusan tersebut, beliau menerimanya dengan lapang dada
kemudian pulang ke Solo. Beberapa bulan setelah di Solo beliau mendapat surat
panggilan kembali ke pondok. Kemudian KH. Naharussurur berangkat ke Gontor.
Setelah sampai di Gontor pimpinan pondok langsung memutihkan namanya. Pada
saat itu seluruh santri dikumpulkan dan bapak pimpinan pondok menjelaskan
bahwa berita pencurian kemarin adalah fitnah maka KH. Naharussurur berhak
melanjutkan belajar kembali di pondok tersebut. Bahkan untuk menambah
kepercayaan kepadanya, pimpinan pondok memberikan amanat kepada KH.
Naharussurur untuk ikut mengurusi keuangan pondok. Hal ini dilakukan supaya
namanya kembali bersih. Beliau juga diberikan amanat untuk mengajar not balok
karena KH Naharussurur ahli dalam membaca not balok kepada santri kelas enam.
KH. Naharussurur harus mengulang kelas 5 karena pada saat difitnah
beliau tidak bisa mengikuti ujian, tetapi beliau diamanahi pimpinan pondok untuk
menjadi pengurus. Akhirnya kelas 5 dan 6 di laluinya dengan sempurna dan
mendapatkan ijazah kelulusan dari Pondok Gontor tanggal 23 April 1961.6
Setelah tujuh tahun belajar di Pondok Gontor, KH. Naharussurur pulang ke Solo
dengan membawa predikat lulus dengan memuaskan. Kemudian beliau diperintah
KH. Ahmad Al-Asy‟ari untuk tetap meneruskan kuliah di Instintut Agama Islam
Sunan Kalijaga Yogyakarta, saat itu usianya masih berusia 20 tahun.
KH. Naharussurur meneruskan di Fakultas Usuluddin IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta. Perjuangan untuk meneruskan kuliah ketika beliau tidak
hanya kuliah saja, melainkan juga mengajar di daerah klaten. Setiap hari harus
6 Wawancara dengan M. Halim tanggal 9 Juni 2016
48
pulang pergi Klaten-Yogyakarta untuk mengajar dengan menggunakan sepeda
onthel. Belajar di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tidak sampai jenjang S1, ia
hanya sampai D3 dengan gelar BA dan lulus pada tahun 1962.
3. Konsep Pemikiran KH. Naharussurur
Didirikannya Pondok Pesantren Ta‟mirul Islam dengan corak modern,
sebelumnya KH. Naharussurur telah mengkaji lembaga-lembaga yang
berhubungan dengan pondok pesantren. Disamping itu beliau juga merupakan
lulusan Pondok modern Gontor sehingga lebih banyak mengadopsi ilmu, ajaran
seperti di Pondok Modern Gontor.7KH. Naharussurur mengadopsi pandangan dari
Imam Zarkasyi yang merupakan pendiri dari Pondok Modern Gontor Ponorogo
bahwa hal yang paling penting dalam pesantren bukan pelajarannya semata-mata
melainkan jiwanya.8
Jiwa itu yang akan memelihara kelangsungan hidup
pesantren dan menentukan filsafat hidup para santrinya. Jiwa yang menjadi ruh
dalam aktivitas sehari-hari dalam pondok dan merupakan sifat/pemikiran yang
dianut oleh KH. Naharussurur.9 Kelima jiwa itu antara lain:
a. Jiwa keikhlasan. Sepi ing pamrih (tidak karena didorong oleh
keinginan keuntungan tertentu). Semata-mata karena untuk ibadah. Hal
ini meliputi segenap usaha kehidupan di pondok pesantren.
Ustadz/ustadzah ikhlas dalam mengajar, para santri ikhlas dalam
belajar.
7 Wawancara Kafin Jaladri, tanggal 7 Juni 2016.
8 Dr. H. Abuddin Nata, MA, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam,
(Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2003). Hlm 200. 9 Wawancara dengan M. Halim tanggal 9 Juni 2016.
49
b. Jiwa kesadaran, segenap pengasuh ustadz maupun ustadzah serta para
santri melaksanakan tugas dan perannya masing-masing dengan penuh
kesadaran karena semua sudah mengetahui tugas dan tanggung
jawabnya yaitu beribadah lillahi ta‟ala.
c. Jiwa kesederhanaan, kehidupan di pondok pesantren diliputi suasana
kesederhanaan tetapi agung. Karena sederhana bukan berarti pasif atau
miskin tetapi sederhana mengandung unsur kekuatan dan ketabahan
hati dalam menghadapi perjuangan hidup dalam segala kesulitan.
d. Jiwa keteladanan, setiap orang harus siap menjadi teladan bagi orang
lain didalam kebaikan. Seperti seorang Kyai akan selalu diteladani
oleh para guru dan santrinya, begitupun para ustad dan ustadah harus
menjadi teladan yang baik untuk para santrinya. Santri yang lebih baru
harus mau meneladani dari kakak-kakak yang baik dan begitupun
seterusnya. Sehingga satu sama lain saling meneladani dalam hal
kebaikan.
e. Jiwa kasih sayang, menjadi ruh pendidikan. Kesombongan,
kebodohan, kemalasan dan kemarahan hanya dapat diluruskan dengan
kasih sayang. Kasih sayang yang benar yaitu tidak menghalangi
ditegakkannya disiplin dan peraturan. Seperti seorang anak yang
mendapat sanksi dari pengasuhnya, itu berarti bukan sedang dihukum
50
karena dendam atau kemarahan melainkan semata-mata untuk
perbaikan dengan penuh kasih sayang.10
Panca jiwa itu yang selalu menjadi dasar dan pedoman hidup KH.
Naharussurur dalam memimpin dan mengembangkan sebuah pesantren.
Kepemimpinan merupakan proses upaya untuk mempengaruhi aktivitas seseorang
atau suatu kelompok dalam usaha yang ditunjukan pada pencapaian tujuan dalam
situasi tertentu. Oleh karena itu, dalam proses ini adanya interdepensi antara tiga
unsur utama yaitu si pemimpin, para pengikut dan situasinya sehingga
kepemimpinan merupakan fungsi dari ketiga unsur tersebut.11
Di Pondok
Pesantren Ta‟mirul Islam, Kiai menempati urutan pertama di pesantren, karena
disamping sebagai pengasuh, pemimpin juga sebagai pewaris dan pendiri
sebelumnya. Hal yang perlu diketahui adalah Kiai selalu menekakan sikap
kekeluargaan, kemaslahatan bersama serta musyawarah untuk mufakat. Segala
sesuatunya diputuskan dengan musyawarah. Kiai tidak ingin menekankan atau
memaksa santrinya, karena hal itu bisa menimbulkan ketegangan dan
ketidakharmonisan hubungan antara penghuni pesantren.
Menurut Kafin Jaladri sebagai sekertaris Pondok Pesantren yang sudah 11
tahun tinggal di Pondok Pesantren Ta‟mirul Islam mengatakan bahwa KH.
Naharussurur termasuk pemimpin yang sangat demokratis, dihormati dan disegani
oleh para santri. Hal ini dibuktikan apabila mau mengambil keputusan tentang
10
Buku Panduan Pondok Pesantren Ta‟mirul Islam Tahun pelajaran 2005-
2006, hlm 4. 11
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers,
1999), hal 9-10.
51
masalah Pondok Pesantren selalu mengajak musyawarah terlebih dahulu dengan
pengurus pesantren/Dewan santri dan pengurus asrama. Jadi pengambilan
keputusan tidak langsung ditetapkan dan tidak mendoktrin para santrinya, setelah
ada hasil bersama barulah KH. Naharussurur memutuskannya.12
Hal yang sama
juga diungkapkan oleh salah seorang putra beliau, KH. Naharussurur adalah
pemimpin yang terbuka, dalam menghadapi setiap persoalan di pesantren selalu
melibatkan para pengurus pondok, jika pengambilan keputusan menemukan jalan
buntu maka diadakan musyawarah kembali, selain itu pimpinan juga menerima
masukan dari para santri dan pengurusnya.13
Pendapat tersebut menunjukan bahwa KH. Naharussurur dalam memimpin
dan mengambil keputusan yang berkaitan dengan pondok pesantren selalu
melibatkan Pengurus Dewan Santri dan pengurus asrama untuk musyawarah.
Pemimpin pesantren tidak menetapkan keputusan tentang masalah yang berkaitan
dengan pesantren secara paksa dan harus dipatuhi. Ini menunjukan kepemimpinan
KH Naharussurur di Pondok Pesantren Ta‟mirul Islam sudah menerapkan gaya
demokratis. Pengertian demokratis tulen merupakan pembimbing yang baik bagi
kelompoknya. Pemimpin menyadari bahwa tugasnya ialah mengkoordinasikan
pekerjaan dan tugas dari semua anggotanya, dengan menekankan rasa tanggung
jawab dan kerja sama yang baik kepada setiap anggota.14
Organisasi atau lembaga
bukanlah masalah pribadi atau individual tetapi merupakan kekuatan organisasi
12
Wawancara dengan Kafin Jaladri tanggal 7 Juni 2016. 13
Wawancara dengan M. Ali tanggal 24 Desember 2015. 14
Dr. Kartini Kartono, Pemimpin Dan Kepemimpinan, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2005), hal 188.
52
terletak pada partisipasi aktif setiap anggota, mau mendengarkan nasehat dan
arahan dari semua pihak, mampu memanfaatkan keunggulan setiap orang
seefektif mungkin pada saat-saat yang tepat. Pimpinan pesantren memberikan
penjelasan dan bimbingan kepada para pengikutnya, dimana terdapat adanya
koordinasi pekerjaan dari semua bawahan, yakni pengurus pesantren dan
pengurus asrama, karena pemimpin adalah semata-mata amanah atau titipan dari
Allah SWT, selain itu Kiai juga menghargai potensi individu, kesibukan individu
diluar pesantren dan mau mendengarkan masukan dari bawahan.
B. Perkembangan Pondok Pesantren Ta’mirul Islam 1986-2010
1. Perkembangan Pondok Pesantren tahun 1986-2007
a. Sistem dan Jenjang Pendidikan Pondok Pesantren
Sistem pendidikan pesantren secara terus menerus akan selalu berkembang
serta memiliki karakteristik yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Perbedaan kurun waktu berdirinya pondok pesantren tampak jelas dari tanda-
tanda dan tipe karakteristik pesantren, misalnya sebuah pondok pesantren salaf
dan pondok pesantren kholaf, bisa jadi lembaga pondok pesantren mempunyai
dasar-dasar ideologi keagamaan yang sama dengan pondok pesantren yang lain,
namun kedudukan masing-masing pondok pesantren sangat bersifat personal dan
sangat tergantung pada kualitas keilmuan yang dimiliki Kiai.15
15
Shelly Maria R, 2005, “Peranan Kepemimpinan KH. M. Syihabuddin
Muhsin di PonPes Perguruan KH. Zainal Musthafa Sukahideng Singaparna
Tasikmalaya tahun 1989-2004”, Skripsi FIB UNS, Surakarta. Hlm 60-61.
53
Pondok pesantren Ta‟mirul Islam merupakan pondok pesantren yang
termasuk kedalam pondok pesantren Ashiriyah yaitu pondok pesantren yang
menyelenggarakan kegiatan pendidikan dengan pendekatan modern, seperti
mendirikan lembaga pendidikan formal Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan
Madrasah Aliyah (MA). Dalam hal pendidikan ditujukan dengan menggabungkan
antara pembelajaran berstandar Kementrian Agama digabungkan dengan sistem
pembelajaran di Pondok Pesantren.
Sistem pendidikan di Pondok Pesantren masa kepemimpinan KH.
Naharussurur (1986-2010), sesuai dengan latar belakang pendirian pondok
pesantren Ta‟mirul Islam yakni “Iso Ngaji Lan Ora Kalah Karo Sekolah Negeri”
sehingga diharapkan para santri dapat memperdalam ilmu-ilmu yang bersifat
ukhrowi maupun duniawi dengan segenap aktivitas keseharian, mingguan maupun
tahunan yang ada dan mendorong para santri untuk dapat menerapkan Al-Qur‟an
di dalam kehidupan sehari-hari.
Sejak berdirinya masjid Tegalsari di Surakarta tahun 1928, para ulama
seperti KH. Ahmad Shofawi, KH. Idris Shofawi, Hj. Nafi‟ah dan KH.
Naharussurur telah merencanakan membangun Pondok Pesantren Ta‟mirul Islam.
Cita-cita mendirikan Pondok mulai dirintis pada tahun 1968 dengan membentuk
Yayasan Ta‟mirul Islam Masjid Tegalsari dan SD Ta‟mirul Islam. Pada tahap
perkembangannya tahun 1979 didirikanlah SMP Ta‟mirul Islam. Jadi sebelum
adanya Pondok Pesantren Ta‟mirul Islam, Yayasan Ta‟mirul Islam sudah
mempunyai dua lembaga tersebut.
54
Didirikannya dua lembaga tersebut masih dirasa kurang dengan harapan
masyarakat sekitar, maka didirikanlah Pondok Pesantren Ta‟mirul Islam pada
tanggal 14 Juni 1986.16
Pendirian Pondok itu diprakarsai oleh KH. Naharussurur,
Hj. Muttaqiyah, H. Muhamad Halim, S.H. dan M. Wazir Tamami, S.H. Pada masa
awal-awal berdirinya Pondok Pesantren Ta‟mirul Islam tahun 1986 diawali
dengan kegiatan pesantren kilat atau pesantren syawal. Saat itu santri yang
mondok di Pondok Pesantren Ta‟mirul Islam merupakan santri umum yang ingin
belajar agama dan tidak diwajibkan menginap. Kegiatannya seperti pesantren kilat
yang sekolahnya masih sekolah diluar. Mulai dari hal ini, maka KH. Naharussurur
ingin mendirikan lembaga-lembaga formal untuk para santri bersekolah dan
mondok di Pondok Pesantren Ta‟mirul Islam.
Adapun tahap jenjang atau program pendidikan di Pondok Pesantren
Ta‟mirul Islam Surakarta antara lain:
1) Madrasah Tsanawiyah (MTs)
Madrasah Tsanawiyah didirikan pada 30 Juni 1985.17
Didirikannya
Madrasah Tsanawiyah ini sebagai lembaga formal pondok. MTs merupakan
pendidikan setingkat SMP. Karena pada saat itu murid di SMP Ta‟mirul Islam
tidak diperbolehkan untuk mondok maka didirikanlah Madrasah Tsanawiyah
Ta‟mirul Islam Surakarta. Sehingga SMP Ta‟mirul Islam dengan MTs Ta‟mirul
Islam merupakan dua lembaga yang berbeda, tetapi masih dalam satu Yayasan.