DIKTAT SUP JURU FAK UNIVER ________ Penulisan Diktat SK D T TARI SURAKARTA IV Oleh: HERLINAH HARTIWI PRIYADI HASTO NUGROHO USAN PENDIDIKAN SENI TARI KULTAS BAHASA DAN SENI RSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2010 _____________________________________ t ini didanai oleh Anggaran DIPA FBS UNY Dekan Nomor : 147 Tahun 2010
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
DIKTAT TARI SURAKARTA
SUPRIYADI HASTO NUGROHO
JURUSAN PENDIDIKAN SENI TARIFAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
____________________________________________Penulisan Diktat ini didanai oleh Anggaran DIPA FBS UNY
SK Dekan Nomor : 147 Tahun 20
DIKTAT TARI SURAKARTA IV
Oleh:
HERLINAHHARTIWI
SUPRIYADI HASTO NUGROHO
JURUSAN PENDIDIKAN SENI TARIFAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA2010
____________________________________________Penulisan Diktat ini didanai oleh Anggaran DIPA FBS UNY
SK Dekan Nomor : 147 Tahun 2010
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, bahwa dalam
kesempatan yang berbahagia ini dapat menyelesaikan satu tugas penulisan diktat dalam mata
kuliah Tari Surakarta IV. Tujuan penulisan diktat ini adalah digunakan sebagai referensi serta
pijakan dalam proses belajar mengajar materi tari Surakarta IV pada Program Studi
Pendidikan Seni Tari, FBS UNY. Manfaat yang diharapkan dari diktat ini bagi mahasiswa
adalah sebagai bekal pengetahuan serta pemahaman tentang Tari Surakarta, khususnya Tari
Surakarta IV.
Penulisan diktat ini dapat dilaksanakan atas beaya yang berasal dari anggaran DIPA
UNY Tahun 2010. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih kepada Dekan Fakultas
Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta, serta Ketua Jurusan Pendidikan Seni Tari,
yang telah memberikan kesempatan untuk menyelesaikan diktat ini sebagai referensi pada
Mata Kuliah Tari Surakarta IV di Jurusan Pendidikan Seni Tari Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Yogyakarta.
Akhirnya kami hanya dapat mengharap semoga penulisan diktat ini dapat
memberikan kontribusi pemikiran kepada Jurusan Pendidikan Seni Tari dan dapat membantu
pemahaman mahasiswa terhadap Mata Kuliah Tari Surakarta IV. Kami menyadari bahwa
penulisan diktat ini jauh dari sempurna, untuk itu sumbangan yang berupa kritik dan saran
dari berbagai pihak senantiasa diharapkan, dan semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi para
pembacanya.
Yogyakarta, Desember 2010
Tim Penyusun
ABSTRAK
Tari Surakarta IV merupakan mata kuliah praktek yang diberikan kepada mahasiswa
Jurusan Pendidikan Seni Tari Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta.
Sesuai dengan kurikulum 2002, mata kuliah Tari Surakarta IV ini diberikan kepada
mahasiswa semester 5 (ganjil).
Materi yang tercantum pada mata kuliah Tari Surakarta IV ini meliputi tari bentuk
kelompok Putri, tari bentuk kelompok Putra. Adapun isi materi tersebut adalah: Tari Srimpi
Manggala Retna, dan Tari Kridha Warastra.
Manfaat yang diharapkan dari tulisan ini bagi mahasiswa adalah mampu memahami,
menguasai, dan mengenal serta mempelajari bentuk-bentuk tari gaya Surakarta dengan baik
dan benar.
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUANA. Kompetensi Dasar………………………………………….………….2B. Tujuan Penulisan Diktat……………………………………………….2C. Manfaat Penulisan Diktat……………………………………………...3
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TARI KLASIK GAYA SURAKARTAA. Tari Klasik Gaya Surakarta …………………………………………...4B. Pengertian Hasta Sawanda…………………………………………….7
BAB III MATERI TARI SURAKARTA IVA. Tari Srimpi……………….……………………………………………9B. Tari Srimpi Manggala Retna…..……………………………………..32C. Tari Kridha Warastra..………………………………………………..74
BAB IV PENUTUP………………………………………………………………123
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………...124
LEMBAR PENGESAHAN
1. Judul Diktat : Tari Surakarta IV2. Ketua
a. Nama lengkap : Herlinah, M.Humb. Jabatan : Lektorc. Jurusan : Pendidikan Seni Tarid. Alamat surat : Perum. Purwomartani Baru Jl. Brotojoyo No. e. Kalasan
Slemanf. Telepon rumah/kantor/HP : 4395433/586168 pes.381/08156801180g. e-mail : [email protected]
3. Bidang Keilmuan : Pendidikan Seni Tari4. Tim Penulis
No Nama dan Gelar Bidang Keahlian1 Drs. Supriyadi Hasto Nugroho Tari Surakarta2 Dra. Hartiwi Tari Surakarta
5. Dana yang diusulkan : Rp. 2000.000,
Mengetahui Yogyakarta, Desember 2010Ketua Jurusan Pend. Seni Tari Ketua Tim Peneliti,
SKS), dan tari Surakarta IV: PST. 211 (2 SKS). Tari Surakarta I diberikan kepada mahasiswa
semester 2 (genap) yang di dalamnya berisi tentang Rantaya Putri, Rantaya Putra Halus, dan
Rantaya Putra Gagah. Tari Surakarta II diberikan kepada mahasiswa semester 3 (ganjil) yang
di dalamnya berisi tentang bentuk tari tunggal putri, tari tunggal putra halus, dan tari tunggal
putra gagah. Tari Surakarta III diberikan kepada mahasiswa semester 4 (genap) yang di
dalamnya berisi tentang bentuk tari berpasangan putri, tari berpasangan putra halus dan
berpasangan putra gagah. Tari Surakarta IV diberikan kepada mahasiswa semester 5 (ganjil)
yang di dalamnya berisi tentang bentuk tari kelompok putri, putra halus atau putra gagah.
Untuk memperjelas permasalahan, pada penulisan diktat ini akan dibatasi pada mata
kuliah Tari Surakarta IV, yang berisi tentang bentuk tari kelompok. Adapun isi materi yang
ada pada Tari Surakarta IV adalah tari kelompok putri (Srimpi Mnggala Retna), tari tunggal
putra (Kridha Warastra).
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka melalui diktat ini diharapkan mahasiswa
mampu memahami, menguasai, dan mengenal serta mempelajari bentuk-bentuk tari gaya
Surakarta dengan baik.
A. Kompetensi Dasar
Salah satu sub kompetensi pembelajaran Mata Kuliah Tari Surakarta adalah:
1. Memahami landasan dan wawasan pendidikan seni tari
2. Menguasai materi pembelajaran seni tari
3. Menguasai pengelolaan pembelajaran seni tari
4. Menguasai evaluasi pembelajaran seni tari
5.Memiliki kreativitas, kepribadian dan wawasan profesi serta pengembangannya.
B. Tujuan Penulisan Diktat
Penulisan diktat yang bertitik tolak pada penyusunan Tari Surakarta IV yang berisi
tentang bentuk tari kelompok ini, bertujuan untuk melengkapi bahan bacaan yang sudah ada,
dan pada khususnya untuk membantu kesulitan-kesulitan yang dihadapi bagi mahasiswa
Jurusan Pendidikan Seni Tari yang mengambil mata kuliah Tari Surakarta IV. Sehingga
dengan adanya penulisan diktat ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa khususnya, dan siapa
saja yang membacanya serta mempelajari tari Surakarta.
C. Manfaat Penulisan Diktat
Setelah mempelajari diktat ini mahasiswa diharapkan memiliki kemampuan dan
pengetahuan tentang tari Surakarta IV. Dengan mengetahui dan memahami tari Surakarta IV
ini, maka mahasiswa diharapkan untuk lebih meningkatkan kemampuan dan pemahaman
yang lebih mendalam dan luas tentang tari Surakarta, sehingga dapat mendukung dalam
pelaksanaan proses belajar mengajar.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG TARI KLASIK
GAYA SURAKARTA
A. Tari Klasik Gaya Surakarta
Telah kita ketahui bahwa seni tari merupakan salah satu cabang seni yang sangat erat
dan hampir tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakatnya. Sebagai warisan
kebudayaan yang adiluhung, seni tari harus dijaga dan dilestarikan keberadaannya sebagai
cermin keluhuran bangsa.
Dalam seni tari, tari klasik merupakan suatu bentuk seni yang telah mengalami
perjalanan sejarah yang sangat panjang, sehingga sedikit banyak bukan merupakan hal yang
baru lagi bagi masyarakat pada masa sekarang, terutama para pendukung seni tari klasik.
Sebagaimana dikatakan Soedarsono (1978: 14) bahwa tari klasik merupakan tari yang
berkembang di kalangan raja-raja dan bangsawan dan telah mencapai kristalisasi artistik yang
tinggi dan telah pula menempuh perjalanan sejarah cukup panjang. Pernyataan tersebut
mengisyaratkan bahwa bentuk budaya yang turun temurun dan berkembang, sesuai dengan
keadaan masyarakat, khususnya bagi para pendukung atau pemerhati tari klasik baik dari
seniman maupun anggota masyarakat yang lainnya.
Pembicaraan mengenai tari klasik gaya Surakarta, tidak akan terlepas dari
pembicaraan asal mula tari klasik itu hidup dan berkembang. Pada mulanya tari klasik
merupakan hasil karya seniman-seniman di lingkungan istana sebagai persembahan kepada
raja. Seniman-seniman istana melakukan kegiatan penciptaan tari sebagai perintah raja. Tari
ciptaan para seniman istana ini dianggap milik raja, maka bidang seni tari juga sangat erat
hubungannya dengan raja. Untuk itu, keberadaan seni tari di istana mendapat perhatian yang
sangat besar, karena dipelihara oleh para ahlinya atau seniman-seniman istana. Menurut
sumber yang ada, tari klasik gaya Surakarta sejak pemerintahan Susuhunan Paku Buwono II
sudah banyak tarian yang diciptakan. Hal tersebut didukung oleh Suyanto (1985: 65-66) yang
menyatakan bahwa:
Sebelum Paku Buwono II meninggal, banyak sekali gending-gending ciptaan beliau untuk mengiringi bermacam-macam tarian. Baik gending maupun tarian ciptaan beliau itu bersifat klasik. Adapun gending-gending itu antara lain: Gending Kesegeran laras pelog pathet 6 sebagai pengiring tari Dadap Kartea, Gending Rangsang Tuban laras Pelog pathet 6 sebagai pengiring tari Panji Anom, Gending Kedaton Bentar laras Pelog pathet 6 untuk mengiringi tari Tameng Badung, Gending Layu-layu merupakan ciptaan atas inisiatif dari peristiwa Paku Buwono II melarikan diri dari Kartosura ke Ponorogo, karena Kartosura diduduki oleh Sunan Kuning atau
Raden Mas Garendi. Gending Bangun Mati laras Pelog Pathet 6 adalah hasil ciptaan beliau setelah menduduki kembali di Kerajaan Kartosura
Melihat kutipan tersebut di atas menandakan bahwa pada masa pemerintahan
Susuhunan Paku Buwono II, sudah banyak tari-tarian yang dipertunjukan, kemudian setelah
Paku Buwono II meninggal, diteruskan raja-raja berikutnya. Sebenarnya pada masa sebelum
pemerintahan Susuhunan Paku Buwono X seni tari telah berkembang dan dipelihara dengan
baik. Namun perkembangan yang sangat pesat terjadi pada masa pemerintahan Susuhunan
Paku Buwono X, dan pada waktu itu tari sudah mulai berkembang ke luar tembok istana.
Pada masa pemerintahan Susuhunan Paku Buwono XII, perkembangan tari ke luar
tembok istana semakin pesat. Perkembangan tersebut dilakukan oleh seniman-seniman abdi
dalem yang secara pribadi mengembangkan seni tari klasik, dan memberi kesempatan kepada
masyarakat yang ingin belajar tari (Sectio Rini, 1997: 40). Adanya perkembangan seni tari
klasik di luar tembok istana, maka terjadilah instraksi antara masyarakat yang ada di
lingkungan istana dengan masyarakat yang ada di luar tembok istana. Pada akhirnya seni tari
klasik dapat dinikmati oleh kalangan masyarakat pada umumnya.
Secara formal tari klasik merupakan tari milik raja yang pada awalnya hidup dan
berkembang di istana. Oleh karenanya, dalam melakukan gerak tari tidak bisa lepas dari
aturan-aturan atau disiplin-disiplin tertentu yang harus ditaati, yang pada saat itu disebut
pathokan. Pathokan itu bisa berupa aturan yang meliputi persiapan fisik dan mental. Hal
tersebut dipertegas oleh Soedarsono (1972: 5) bahwa:
Tari klasik adalah tari yang bentuk geraknya diatur dengan peraturan-peraturan yang mengikat, sehingga seolah-olah ada hukum yang tidak boleh dilanggar. Dengan demikian tari klasik ada standarisasi yang mengikat, maka tari klasik lebih merupakan ekspresi akal yang diwujudkan dalam bentuk gerak-gerak ritmis yang indah. Letak keindahan tari klasik ialah ada tidaknya penari itu menari menurut standar yang telah ditentukan.
Pernyataan tersebut didukung Sedyawati (1992: 103) yang mengklasifikasikan tari
klasik sebagai tari yang telah mengalami pengolahan dan penggarapan gerak secara
terkembang, dimana keindahan disalurkan melalui pola-pola gerak yang telah ditentukan.
Pola standarisasi pada seni tari klasik pada mulanya berlangsung di istana-istana Jawa.
Standarisasi tersebut, dapat dilihat dari produk-produk tarinya. Di Samping itu, bentuk tari
klasik juga memiliki batasan-batasan formal yang jelas dapat dikenali, karena dalam tari
klasik diatur sedemikian rupa berdasarkan prinsip-prinsip formal. Oleh karenanya, pengertian
tari klasik adalah salah satu bentuk kesenian yang mempunyai aturan-aturan, batasan-batasan,
dan prinsip-prinsip yang ditetapkan di dalam istana.
Penjelasan di atas, menandakan bahwa dalam tari klasik selalu dibalut oleh aturan-
aturan atau ketentuan-ketentuan yang mengikat. Demikian halnya di dalam tari klasik gaya
Surakarta, diperlukan adanya norma-norma yang mengacu kepada pada konsep normatif.
B. Pengertian Hasta Sawanda
Konsep normatif dalam tari klasik gaya Surakarta yang telah dijelaskan oleh S.
Ngaliman kepada Supriyadi Hasto Nugroho, merupakan isi dari delapan macam pengertian
dasar yang terangkum di dalam Hasta Sawanda. Kedelapan ketentuan dasar tersebut adalah:
pacak, pancat, lulut, wiled, luwes, ulat, irama, dan gendhing. Adapun isi dari Hasta Sawanda
adalah:
1. Pacak
Adalah suatu standarisasi atau pathokan yang harus diterapkan dan ditaati dalam
melakukan setiap gerak tari. Adapun pathokan ini terdiri dari: badan tegak, dhadha ndegeg,
pundhak leleh, kaki mendhak, leher lurus. Telapak kaki malang, jari kaki nylekenthing, dan
pandangan jatmika. Sungguhpun pacak nampak lebih lazim diterapkan sebagai ketentuan
normatif (tata aturan) di dalam melakukan gerak secara teknis, namun kiranya di dalam tata
susunan tari istilah pacak ini bisa dipakai untuk menyebut ketentuan-ketentuan normatif
yang harus ditaati di dalam mengadakan penyusunan tari.
2. Pancat
Merupakan pola kesinambungan motif gerak di dalam suatu bentuk tari. Di dalam bentuk
tari Jawa, maka antara motif gerak tari yang satu dengan motif gerak tari berikutnya harus
terangkai melalui suatu gerak penghubung yang selaras.
3. Lulut
Adalah sifat dari gerak tari, rangkaian gerak tari selalu mengalir atau dalam istilah mbanyu
mili. Seperti pada umumnya tari putri, bahwa penari dalam melakukan setiap gerak jangan
sampai gerak itu terputus atau berhenti. Tentunya hal ini hanya akan bisa dicapai apabila
cara melakukannya (pola kesinambungan motif-motif gerak melalui sendi) senantiasa
tampak sempurna.
4. Wiled
Adalah gaya individual dari penari yang ditetapkan dalam melakukan gerak tari. Bagian ini
bisa merupakan pathokan yang tidak baku, yang disebabkan bentuk tubuh penari berlainan.
Maksud dari pathokan tidak baku ini adalah untuk menutupi kelemahan pada bentuk tubuh
penari, sehingga dalam melakukan setiap gerak tari tetap resik.
5. Luwes
Adalah sifat yang tampak selaras dan harmonis yang muncul dari para penari dalam
melakukan dan menghayati suatu tari. Pada bagian ini merupakan sesuatu yang
berhubungan dengan kemampuan seorang penari yang dapat dilakukan sesuai dengan
pengalamannya. Di dalam hubungannya dengan tata susunan tari tradisional Jawa, maka
sifat luwes ini juga menentukan keindahan dari koreografinya.
6. Ulat
Pengertiannya adalah pada ekspresi muka. Hal ini dilakukan penari dengan menyesuaikan
karakter tari yang dibawakan.
7. Irama
Adalah ketukan-ketukan tertentu yang mengatur kecepatan dan tekanan dari suatu gerak
tari. Di dalam tari klasik gaya Surakarta terdapat empat macam bentuk irama gerak, yakni:
ganggeng kanyut, banyak slulup, prenjak tinaji, dan kebo manggah. Adapun penjelasan
dari keempat macam bentuk irama tersebut adalah: (a). ganggeng kanyut, untuk irama
gerak tari luruh dan tari Bedhaya serta Srimpi, secara prinsip dalam hal ini setiap bentuk
motif gerak tari harus dilakukan dengan sedikit membelakangi pukulan atau balungan pada
akhir gatra dari suatu gendhing pengiringnya. ; (b). banyak slulup, digunakan pada tari
gagah dugangan, dalam hal ini setiap dari suatu bentuk motif gerak tari harus diilakukan
dengan sedikit mendahului balungan pada akhir gatra dari gendhing pengiringnya.; (c).
prenjak tinaji, digunakan untuk tari halus yang bersifat dinamis (lanyap), dalam hal ini
setiap akhir suatu bentuk motif gerak tari halus dilakukan tepat balungan pada akhir gatra
dari gending pengiringnya.; (d). kebo manggah, digunakan untuk karakter raksasa
(denowo), secara prinsip dalam irama ini, setiap akhir dari suatu bentuk motif gerak tari
senantiasa harus dilakukan tepat balungan pada akhir gatra dari gending pengiringnya.
8. Gending
Maksudnya bahwa seorang penari senantiasa harus mengerti tentang gending. Yaitu
mengerti tentang karakter gending serta mengerti pula jatuhnya pemangku irama dalam
suatu bentuk gending tertentu (Nugroho, 1992: 50-52).
Berdasarkan pengertian di atas, maka tari sebagai suatu bentuk kesatuan motif gerak,
senantiasa membutuhkan suatu kepekaan khusus di dalam melakukannya. Apabila seorang
penari sudah dapat menguasai secara teknik maupun menjiwai delapan unsur dalam hasta
sawanda, maka ia akan dapat berekspresi secara total dan akan selalu siap menjadi seorang
penyaji yang baik. Untuk itu, para pelaku tari klasik harus memperhatikan konsep-konsep
dasar tersebut di atas agar dapat menjiwai. Tanpa jiwa tari akan menjadi kurang hidup,
menjadi hampa dan dangkal, kurang dalam, kurang watak, dan kurang gaya, karena
menarikan tarian klasik dimaksudkan untuk membantu dalam mengembangkan kehalusan
jiwa (Soerjobrongto, 1970: 10).
Namun demikian untuk mewujudkan semua itu, seorang pelaku tari perlu
memperhitungkan keselarasan sehubungan antara motif gerak dengan sendi geraknya, atau
sendi gerak dengan motif geraknya. Selain itu perlu juga memperhitungkan keselarasan
hubungan pola dari motif gerak sebelumnya dengan pola dari motif gerak berikutnya. Melihat
uraian di atas, maka ketentuan normatif tersebut akan dijadikan sebagai pijakan dalam
penulisan diktat tentang Tari Surakarta IV.
BAB III
PEMBAHASAN
A. TARI SRIMPEN MANGGALA RETNA
1. Tinjauan Umum Tari Srimpi
Tari Srimpi merupakan salah satu contoh tari Jawa klasik yang berasal dari
Kraton. Tari ini merupakan salah satu tari kelompok yang dilakukan oleh empat orang
penari putri dengan tata rias dan tata busana yang sama. Menurut Soedarsno, Srimpi
adalah empat penari putri yang memiliki perawakan yang sama, dan kecantikan yang
sama. Sebagaimana dikatakan Soedarsono, K.P.H. Brongtodiningrat (1981: 21),
mengatakan bahwa Srimpi punika ingkang beksa cacah sekawan (4), panatanipun maju
pat (keblat sekawan), inggih punika katumbukaken kasiling kuwadhagan, jasat asal
(anasir) 4, inggih punika grama, hangin, toya sarta bumi. (Srimpi itu jumlah penarinya
ada empat, komposisinya merupajan empat arah mata angin, disamakan dengan asal
manusia yang terdiri dari empat unsur, yaitu api, angin, air, dan tanah.
Hal tersebut di atas didukung oleh R.W. Noer Radya Soembogo dalam Eni
Suryani (1992: 22), dikatakan bahwa Srimpi ditinjau dari asal katanya adalah ari yang
berarti wiji, urip, cahya, gesang, dan pi yang berarti toya. Dikatakan pula bahwa Srimpi
dapat diartikan cahyaning toya, wiji, gesang punika bebakalaning manungsa asal anasir
sekawan : geni, toya, bumi, sarta angin.
Di sisi lain Yosodipuro yang dikutip oleh Nanik Sri Wulandari (2006: 14) Srimpi
berasal dari kata sarimpi yang sinonim dengan bilangan empat, jumlah penarinya angka
empat dihubungkan dengan arah mata angin yaitu utara, selatan, timur, dan barat.
Menurut kepercayaan orang Jawa, keraton dijaga oleh roh halus dari empat arah dan di
dalam Srimpi jumlah empat melambangkan roh-roh di empat penjuru mata angin.
Jumlah empat dapat juga merupakan perlambang simbolnya nafsu manusia yang
berjumlah empat, yaitu:
a. Mutmainah, merupakan nafsu yang mendorong pada kebaikan (cita-cita luhur dan
ketentraman).
b. Aluamah, merupakan nafsu yang mendorong untuk makan
c. Amarah, merupakan nafsu yang mendorong untuk marah
d. Supiyah, merupakan nafsu yang mendorong ketidakbaikan (belum dapat
mengendalikan)
Sedangkan penari tari Srimpi di keraton Surakarta masing-masing mempunyai peran dan
arti sendiri-sendiri yaitu:
a. Batak, sebagai kakang kawah yaitu saudara tua yang lahir terlebih dahulu
b. Gulu, sebagai adi ari-ari yaitu adik karena ari-ari lahir setelah bayi
c. Dhadha, sebagai getih putih (darah putih)
d. Buncit, sebagai getih abang (darah merah)
Secara umum tari Srimpi memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Tari Jawa klasik putri yang ditarikan oleh empat orang penari putri yang diusahakan
memiliki perawakan atau postur tubuh yang sama dan menggunakan tata rias serta
busana yang sama pula
b. Pada tari Srimpi memiliki gerak yang sama diantara keempat penari, tetapi ada juga
yang dilakukan dengan dua penari dalam posisi jengkeng dan penari lain berdiri
(gerak yang dilakukan sama).
c. Pola lantai menggunakan gawang pajupat yang berbentuk prapatan.
d. Tari Srimpi terdiri dari tiga bagian yaitu maju beksan, beksan pokok, atau isi, mundur
beksan.
e. Susunan penari terdiri dari batak, gulu, dadha, dan buncit.
f. Ceritera yang dibawakan sifatnya simbolis sehingga tidak ada penokohan secara jelas
g. Pada umumnya menggambarkan peperangan antara prajurit wanita dengan prajurit
wanita lainnya, meskipun ada juga yang tidak menggambarkan peperangan
(Wulandari, 2006: 14-15).
2. Tari Srimpen Manggala Retna
Telah kita ketahui bahwa ada beberapa susunan bentuk tari Serimpi, yang disusun
oleh beberapa penyusunnya. Pada materi Tari Serimpi yang terdapat pada diktat ini adalah
tari Srimpen Manggala Retna Karya S. Ngaliman (Alm.). Menurut data yang ada tari Srimpen
Manggala Retna disusun kurang lebih pada tahun 1973 (Suryani, 1992: 30). Adapun susunan
tari Srimpen Manggala Retna secara garis besar dapat diperinci sebagai berikut:
a. Maju beksan yaitu, keluarnya para penari ke tempat menari, sampai di tempat mereka
duduk bersila
b. Beksan, penari mulai menari dengan urutan sebagai berikut:
Sembahan sila dilanjutkan dengan sembahan
Sekaran laras
Bagian perangan
Janturan atau sirep
Sembahan jengkeng
c. Mundur beksan, bagian ini merupakan kebalikan dari bagian awal yaitu masuknya
para penari meninggalkan tempat pertunjukan (Prihantini, 1992: 40-41).
Penyajian Tari Srimpen Manggala Retna
Penyajian tari Srimpen Manggala Retna membutuhkan waktu kurang lebih 15 menit.
Adapun perbendaharaan gerak yang digunakan adalah berupa ragam-ragam gerak atau
sekaran-sekaran. Sekaran-sekaran tersebut adalah:
1. Berjalan keluar
Kapang-kapang dengan berjalan lambat sesuai dengan iringan, dimulai dari Batak,
Gulu, Dadha, kemudian Buncit
Gambar 1. Berjalan kapang-kapang(Dok. Eni Suryani)
2. Sembahan
Sembahan sila, sembahan jengkeng, berdiri sindhet kiri.
Gambar 2. Sembahan trap sila(Dok. Eni Suryani)
3. Sekaran Laras Manggala Retna I
Gerak ini dilakukan dengan tanjak kiri hoyog, nglerek kanan, ngleyek kiri, belok ke
kiri ukel tangan kiri, maju kaki kanan seblak kanan, hoyog.
Brakel, Clara Papenhuyzen. 1991. Seni Tari Jawa Tradisi Surakarta dan Peristilahannya.Terjemahan Mursabyo, Jakarta: ILDEP-RUL.
Brongtodiningrat, KPH. 1981. ‘ Falsafah Beksa Bedhaya Sarta Beksa Srimpi ingNgayogyakarta.’ dalam Kawruh Joged Mataram. Yogyakarta : Yayasan Siswo Among Beksa.
Dewi, Kustantina Nora, et al. 1979/1980. Perbendaharaan Gerak Tari Gaya Surakarta. Surakarta: Sub Proyek ASKI Proyek Pengembangan IKI.
Humphrey, Doris.1983. Seni Menata Tari. Terjemahan : Sal Murgiyanto. Jakarta : Dewan Kesenian.
K. Langer, Suzanne. 1988. Problematika Seni. Terjemahan : FX. Widaryanto. Bandung : Akademi Seni Tari Indonesia.
Ngaliman, S, et al. 1976. Pelajaran Tari Dasar Putra/Putri Gaya Surakarta. Semarang: Proyek Pusat Pengembangan Kesenian Jawa Tengah.
Nuraeni, Indah. Perancangan Tari Surakarta. Yogyakarta: Institut Seni Indonesia. Poerwadarminta, WJS. 1959. Baosastra Djawa (Kaecap Ing Pangecapan) JB.
WOLTER UITGEVERS Maatschappij nv. Groningen, Batavia.
Prihatini, Nanik Sri. 1992. Manggala Retna Karya S. Ngaliman. Surakarta: Proyek Operasi dan Perawatan STSI Surakarta Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Pudjasworo, Bambang. 1982. Studi Analisa Konsep Estetis Koreografis Tari Bedhaya Lambangsari. Yogyakarta: Akademi Seni Tari Indonesia.
Rusliana, Yus. 1982. Pendidikan Seni Tari Untuk SMTA. Bandung: Angkasa.
Sectio Rini, Yuli. 1997. Kajian Sistem Pembinaan Seni Tari Gaya Istana Surakarta. Tesis S-2, Yogyakarta: Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada.
Suryabrongto, GBPH. 1981. Penjiwaan Dalam Tari Klasik Gaya Yogyakarta. Yogyakarta: Dewan Kesenian Daerah Istimewa Yogyakarta.
Suryani, Eni. 1992. Analisis Koreografis Srimpen Manggala Retna. Yogyakarta : Tugas Akhir Program Studi S-I Tari Nusantara Jurusan Seni Tari Fakultas Kesenian Institut Seni Indonesia.
Suparjan, N. 1982. Pengantar Pengetahuan Tari. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Suyanto, Sunar Tri. 1985. Sejarah Berdirinya Keraton Surakarta Hadiningrat. Surakarta: Tiga Serangkai.
Wulandari, Nanik Sri. 2006. Tinjauan Koreografis Tari Srimpi Sangupati Di Keraton Kasunanan Surakarta. Yogyakarta: Program Studi Pendidikan Seni Tari, FBS UNY.
BAB IV
PENUTUP
Penulisan diktat ini, merupakan upaya untuk membantu pemahaman mahasiswa
dalam proses belajar mengajar Tari Surakarta IV. Setelah mempelajari tulisan ini diharapkan
mahasiswa dapat membekali dirinya sendiri dan lebih memahami serta mampu
mengembangkannya sesuai dengan bidang studi yang ditekuninya.
Materi yang terdapat di dalam diktat ini adalah materi tari Surakarta IV, yang terdiri
bentuk kelompok putri dan tari bentuk kelompok putra. Adapun isi materi terdiri dari
Srimpen Manggala Retna dan Kridha Warastra. Kedua materi tersebut memiliki karakter
yang berbeda, oleh karenanya dalam mempelajari materi ini diharapkan sesuai dengan
kaidah-kaidah yang sudah ditentukan.
Semoga dengan adanya penulisan diktat mata kuliah Tari Surakarta IV ini dapat
dimanfaatkan sebaik-baiknya, serta menambah wawasan, dan pemahaman karya tari yang