Top Banner

of 31

Diffuse Peritonitis

Jul 13, 2015

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang Apendisitis merupakan suatu inflamasi pada apendiks dan merupakan suatu keadaan gawat darurat medik, dan jika dibiarkan tanpa diobati, apendiks akan ruptur dan menyebabkan infeksi yang fatal.1 Angka kejadian apendisitis cukup tinggi di dunia. Di Amerika Serikat terdapat 70.000 kasus kejadian apendisitis setiap tahunnya. Kejadian apendisitis di Amerika Serikat memiliki insiden 1-2 kasus per 10.000 anak per tahunnya antara kelahiran sampai anak tersebut berumur 4 tahun. Kejadian Apendisitis meningkat menjadi 25 kasus per 10.000 anak per tahunnya antara umur 10 dan umur 17 tahun di Amerika Serikat. Apabila dirataratakan, maka didapatkan kejadian apendisitis 1,1 kasus per 1000 orang per tahun nya di Amerika Serikat. 2 Diagnosa apendisitis pada kelompok usia muda biasanya sangat sulit dilakukan mengingat penderita usia muda sulit menyatakan perasaan sakit yang dialaminya, sehingga kejadian apendisitis pada usia muda lebih sering diketahui setelah terjadi perforasi. 1 Pada anak, apendisitis merupakan kegawatdaruratan medis yang paling sering terjadi dan prosedur pembedahan yang paling sering dilakukan pada anak. Meskipun apendiks belum diketahui fungsinya, namun apendiks dapat mengalami inflamasi. Kondisi ini, yang disebut apendisitis, dapat secara cepat jatuh ke dalam keadaan yang mengancam nyawa atau infeksi pada rongga abdomen (peritonitis) jika tidak segera ditangani. Peritonitis merupakan kondisi yang mengancam jiwa dan sekitar 1% dari kasus dapat menimbulkan kematian. 1 Pasien pediatrik bukanlah orang dewasa yang kecil. Neonates (0-1 bulan), bayi (112 bulan), anak kecil yang baru belajar berjalan (1-3 tahun) dan anak-anak yang masih kecil (4-12 tahun) memiliki kebutuhan anestesi yang berbeda. Manajemen anestesi yang aman tergantung dari karakteristik fisiologi, anatomi dan farmakologi dari setiap grup. Karakteristik ini yang membedakan mereka dari dewasa yang membutuhkan modifikasi dari peralatan anestesi dan teknik yang digunakan. Bayi memiliki resiko mortalitas dan morbiditas yang lebih besar dari anak yang lebih tua.3

1

1.2. Tujuan Makalah ini bertujuan untuk mengetahui tentang apendiks perforasi yang menyebabkan peritonitis serta bagaimana penatalaksanaan awal di IGD dan teknik anestesi yang berhubungan dengan tindakan operasi yang dilakukan.

2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Apendisitis 2.1.1. Definisi Istilah apendisitis pertama kali diperkenalkan oleh Reginal Fitz pada tahun 1886 di Boston. Morton pertama kali melakukan operasi apendektomi pada tahun 1887 di Philadelphia.4 Apendisitis adalah inflamasi yang terjadi pada apendiks. Apendisitis merupakan salah satu penyebab operasi emergensi di abdomen. Biasanya terjadi akibat apendiks tersumbat oleh feses, benda asing, atau yang jarang terjadi, tumor. 4

Gambar : Normal appendix; barium enema radiographic examination

2.1.2. Patofisiologi Apendisitis disebabkan oleh obstruksi lumen apendiks oleh karena berbagai hal. Obstruksi diyakini dapat menyebabkan meningkatnya tekanan intralumen. Peningkatan tekanan tersebut berhubungan dengan sekresi cairan dan mukus yang terus menerus dari mukosa dan stagnasi dari material tersebut. Di saat yang sama, bakteri yang berada di dalam lumen akan terus bermultiplikasi, memicu pelepasan sel leukosit dan pembentukan pus dan tekanan intraluminal menjadi lebih tinggi. 5,6

3

Jika obstruksi menetap, tekanan intraluminal akan terus meningkat dan menekan vena di apendiks, memicu terjadinya obstruksi aliran vena. Akibatnya, dinding apendiks akan mengalami iskemia, keseimbangan epitel akan hilang dan menyebabkan invasi bakteri ke dinding apendiks. 5,6 Dalam beberapa jam, kondisi ini akan semakin parah karena trombosis dari arteri dan vena apendiks, menyebabkan terjadinya iskemik pada jaringan dan pada akhirnya terjadi perforasi dan gangren. Hal ini jika berkelanjutan akan menyebabkan abses periapendikular atau peritonitis. 5,6

2.1.3. Gejala Klinis Gejala awal yang khas, yang merupakan gejala klasik apendisitis adalah nyeri samar (nyeri tumpul) di daerah epigastrium di sekitar umbilikus atau periumbilikus. Keluhan ini biasanya disertai dengan rasa mual, bahkan terkadang muntah, dan pada umumnya nafsu makan menurun. Kemudian dalam beberapa jam, nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah, ke titik Mc Burney. Di titik ini nyeri terasa lebih tajam dan jelas letaknya, sehingga merupakan nyeri somatik setempat. 5,6

2.1.4. Diagnosis Gejala apendisitis terkadang tidak jelas dan tidak khas, sehingga sulit dilakukan diagnosis, dan akibatnya apendisitis tidak ditangani tepat pada waktunya, sehingga biasanya baru diketahui setelah terjadi perforasi. Pada anak-anak gejala awalnya sering hanya menangis dan tidak mau makan. Seringkali anak tidak bisa menjelaskan rasa nyerinya. Dan beberapa jam kemudian akan terjadi muntah- muntah dan anak menjadi lemah dan letargik. Karena ketidakjelasan gejala ini, sering apendisitis diketahui setelah perforasi. Begitupun pada bayi, 80-90 % apendisitis baru diketahui setelah terjadi perforasi. 6,7

2.1.5. Pemeriksaan Fisik Inspeksi : pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi perut. Palpasi : pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri. Dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan bawah merupakan kunci diagnosis dari apendisitis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah. Ini disebut tanda Rovsing (Rovsing Sign). Dan apabila tekanan di4

perut kiri bawah dilepaskan juga akan terasa nyeri pada perut kanan bawah.Ini disebut tanda Blumberg (Blumberg Sign). Pemeriksaan colok dubur : pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis, untuk menentukan letak apendiks, apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan ini dan terasa nyeri, maka kemungkinan apendiks yang meradang terletak didaerah pelvis. Pemeriksaan ini merupakan kunci diagnosis pada apendisitis pelvika. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator : pemeriksaan ini juga dilakukan untuk mengetahui letak apendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat hiperektensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila appendiks yang meradang menempel di m. psoas mayor, maka tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Sedangkan pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila apendiks yang meradang kontak dengan m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil, maka tindakan ini akan menimbulkan nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis pelvika. 6,7

2.1.6. Pemeriksaan Penunjang Laboratorium : terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan test protein reaktif (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara10.000-20.000/ml (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat. 4,5 Radiologi : terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi dan CT-scan. Pada pemeriksaan ultrasonografi ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada apendiks. Sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan apendikalit serta perluasan dari apendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum. 4,5

2.1.7. Penanganan Apendektomi masih merupakan satu-satunya penanganan kuratif untuk apendisitis. Namun beberapa studi mengatakan bahwa antibiotik profilaksis harus diberikan sebelum apendektomi. Jika pasien tidak demam lagi dan jumlah leukosit normal, antibiotik dapat dihentikan. 5,7 Laparoskopi apendektomi merupakan penanganan emergensi alternatif pada apendisitis akut pada anak. Pada apendisitis perforasi, tindakan laparoskopi menunjukkan tingkat5

keamanan yang tinggi, masa rawatan di rumah sakit lebih singkat, nyeri lebih ringan dan dapat kembali beraktivitas normal lebih cepat dengan komplikasi yang lebih sedikit. 5

2.2. Peritonitis Peritonitis merupakan respon inflamasi atau supurasi di daerah peritoneal akibat iritasi secara langsung pada peritoneum. Peritonitis bisa muncul setelah perforasi, inflamasi, infeksi, atau luka iskemik dari sistem gastrointestinal atau genitourinari. Berikut ini merupakan beberapa penyebab peritonotis yang umum: 8 Tingkat Keparahan Ringan Apendisitis Perforasi ulkus gastroduodenal Salpingitis akut Sedang Divertikulitis (perforasi lokal) Perforasi usus halus nonvaskular Kolesistitis gangren Multipel trauma Berat Perforasi usus besar Luka iskemik usus halus Pankreatitis nekrotik akut Komplikasi post operasi 20 80% 140 x/menit) Pernapasan Kussmaul (cepat dan dalam) Tekanan darah menurun Tidak ada urine Mata sangat cekung Mukosa membrane sangat kering Turgor kulit sangat lambat

Klasifikasi lain dari dehidrasi adalah berdasarkan kondisi elektrolit pasien, yaitu dehidrasi isotonik (osmolaritas serum 270-300, natrium serum 130-150), dehidrasi hipotonik (osmolaritas serum < 270, natrium serum 310, natrium serum >155). Cara perhitungan untuk menentukan osmolaritas serum adalah 2 (Na meq/L) + BUN (mg/dl) / 2.8 + Glucose (mg/dl) / 18. 9 Penatalaksanaan dari pasien dengan dehidrasi adalah dengan rehidrasi. Rehidrasi adalah usaha mengembalikan keadaan hidrasi yang normal dari keadaan dehidrasi. Tujuan utama rehidrasi adalah mengembalikan cairan tubuh ke volume normal, osmolaritas yang efektif dan komposisi yang tepat untuk keseimbangan asam basa. Pemilihan cairan rehidrasi bergantung pada kondisi apakah pasien kehilangan cairan saja atau beserta elektrolit atau sudah terjadi gangguan keseimbangan asam basa. Gangguan keseimbangan asam basa dapat dinilai berdasarkan fungsi paru dan ginjal. 10 Rehidrasi dapat dilakukan dengan koloid atau kristaloid sesuai dengan perhitungan defisit kehilangan cairan berdasarkan derajat dehidrasi. Pada dehidrasi berat, rehidrasi dilakukan dengan bolus cairan 20 cc/KgBB selama 20 menit. Rehidrasi dihentikan bila volume intravaskuler adekuat. Pada kasus dehidrasi ringan dan sedang, dilakukan rehidrasi selama 24 jam dengan penghitungan defisit cairan dan cairan maintenans, yang dibagi menjadi 8 jam pertama dan 16 jam kedua. Perlu diperhatikan juga kehilangan cairan yang terus berlangsung. Pada dehidrasi anak terdapat 3 fase rehidrasi, yaitu : 10 1. Fase I (0 4 jam) a. Dehidrasi ringan dan sedang maka rehidrasi 10-20 cc/KgBB selama 1-2 jam. b. Dehidrasi berat maka rehidrasi 30-50 cc/kgBB/jam sampai dengan tanda vital stabil.10

Pada kasus dehidrasi pada anak, terutama pada kasus yang bersifat akut, cairan isotonik merupakan pilihan utama, seperti normal saline dan ringer laktat. Terdapat 2 pilihan sediaan normal saline yang biasa digunakan pada anak, yaitu dan normal saline yang disertai adanya dextrose 5 %. Selanjutnya, berikan cairan 10 cc/KgBB/jam sampai dengan volume urine adekuat. 2. Fase II (4 jam 2 hari) a. Dehidrasi isotonik : lanjutkan rehidrasi dengan cairan maintenans dan penambahan jika dijumpai adanya kehilangan cairan yang tetap berlangsung. Dosis maintenance dari cairan tubuh berdasarkan pada berat badan, yaitu 10 kg pertama 4 ml/kgBB/jam, 10 kg kedua 2 ml/KgBB/jam dan selebihnya 1 ml/kgBB/jam. Penambahan subtitusi elektrolit bergantung pada kadar elektrolit dalam serum. b. Dehidrasi hipotonik : Tambahkan subtitusi natrium. c. Dehidrasi hipertonik : Pilih cairan rendah natrium dan bila dijumpai adanya kadar kalsium serum < 8,5 mg/dl maka tambahkan kalsium glukonat setiap 500 cc cairan. 3. Fase III Jika masih dijumpai adanya defisit sampai dengan 2-4 hari maka lanjutkan subtitusi dan bila kadar natrium > 175 mmol/L maka fase II dilanjutkan sampai 3-4 hari dan menuju fase III jika kadar natrium < 145 mmol/L. Pemantauan yang dilakukan pada pasien rehidrasi adalah tanda vital (nadi dan tekanan darah), keseimbangan intake dan output cairan (balans cairan dan volume urine), tanda-tanda kelebihan cairan dan kondisi elektrolit tubuh. 9 Tabel. Komposisi Cairan Intravena 10 Jenis Cairan Normal saline (0,9%NaCl) Normal saline (0.45% NaCl) Normal saline (0.225% NaCl) Ringer laktat Na+ 154 77 38,5 130 Cl154 77 38,5 109 K+ 4 Ca 2+ 3 Laktat 28

11

2.4. Anestesi pediatri Pasien pediatrik bukanlah orang dewasa yang kecil. Neonates (0-1 bulan), bayi (112 bulan), anak kecil yang baru belajar berjalan (1-3 tahun) dan anak-anak yang masih kecil (4-12 tahun) memiliki kebutuhan anestesi yang berbeda. Manajemen anestesi yang aman tergantung dari karakteristik fisiologi, anatomi dan farmakologi dari setiap grup. Karakteristik ini yang membedakan mereka dari dewasa yang membutuhkan modifikasi dari peralatan anestesi dan teknik yang digunakan. Bayi memiliki resiko mortalitas dan morbiditas yang lebih besar dari anak yang lebih tua. Neonates memiliki resiko terbesar. 3 Tabel : Perbedaan anatomi dan fisiologi antara pasien dewasa dan anak-anak 3 Variabel fisiologi Ukuran kepala Kontras antara anak dan dewasa Implikasi anestetik gulungan

Ukuran kepala lebih luas relatif Mempertimbangkan menurut badan

dibawah bahu atau leher untuk posisi intubasi optimal

Ukuran lidah

Ukuran

lebih

luas

relatif Buat jalan nafas tampak lebih ramping di anterior, jalan nafas mulut sangat menolong selama ventilasi dengan masker

terhadap mulut

Bentuk jalan nafas

Diameter

terdekat

di

bawah Uncuffed tubes dapat membuat atau tertutup ketika

glottis pada level krikoid pada tersegel anak

menyediakan ukuran pada anak lebih muda dari 8 tahun

2.4.1. Evaluasi preoperatif Evaluasi preoperatif pada pasien pediatrik harus mencakup riwayat keturunan pasien, riwayat kelahiran dan neonates, pemeriksaan fisik, tinggi badan, berat badan, dan tanda vital. Penggunaan obat-obatan seperti bronkodilator, steroid, dan agen kemoterapi memiliki implikasi untuk manajemen anestesi. Sekitar 50 % dari seluruh anak yang telah 2 minggu pasca operasi dengan onset cemas, menangis di malam hari, enuresis, cemas saat berpisah, temperamental, dan gangguan makan dan tidur. Kebanyakan perilaku ini menghilang setelah 3-4 minggu pasca operasi. 3,11

12

Kondisi penyakit yang ada 1. Infeksi saluran nafas bagian atas Meningkatkan risiko perkembangan laringospasme, bronkospasme, desaturasi oksigen, batuk saat selesai ekstubasi, dan atelektasis pasca operasi. Anak dengan asma, dispasia bronkopulmonal, anak di bawah 1 tahun, anak dengan penyakit sickle cell, anak yang tinggal dengan orang tua perokok, dan anak yang menjalani bronkoskopi memiliki risiko tinggi dalam perkembangan morbiditas perioperatif jika menderita infeksi saluran nafas atas. Sebaliknya, penggunaan masker laring dihubungkan dengan jumlah komplikasi jalan nafas sebagai pipa endotrakeal pada populasi ini. 2. Obstructive sleep apnea Hipertrofi adenotonsilar berat dengan Obstructive sleep apnea (OSA) adalah indikasi sering untuk tonsilektomi dan adenoidektomi. Pasien OSA berisiko untuk sumbatan jalan nafas dengan penggunaan sedatif preoperatif dan selama proses induksi. 3. Asma Anak dengan asma harus di bawah perawatan medis optimal sebelum menjalani anestesi umum dan operasi. Semua obat oral dan inhalasi seperti kortikosteroid dan agonis harus dilanjutkan dan termasuk pada hari operasi dilaksanakan. 11

Evaluasi laboratorium Anak dengan nilai hemoglobin kurang dari standar harus diinvestigasi penyebab anemianya dan juga harus dikoreksi. Untuk bayi dan neonates, nilai hemoglobinnya tergantung umur gestasi dan status kesehatannya. 3 Pemeriksaan bleeding time dan protrombin time perlu untuk pemeriksaan koagulasi seperti pada sickle cell anemia dan hemoglobinopati. 3

Periode puasa preoperatif Untuk meminimalisasi pneumonia aspirasi, the American Society of

Anesthesiologist membuat panduan mengenai puasa preoperatif. Makanan padat dihentikan 6-8 jam sebelum operasi (biasanya setelah tengah malam), susu 4 jam sebelum operasi dan minuman 2 jam sebelum operasi. Minuman ini seperti jus apel, teh manis dan sejenisnya menunda lambung kosong dan mencegah hipoglikemia sewaktu operasi. 11

13

2.4.2. Sedatif preoperatif Sedasi sebelum operasi adalah metode yang efektif yang digunakan secara luas untuk anak-anak untuk menurunkan kegelisahan. Tujuan utama premedikasi pada anak untuk membebaskan kegelisahan dan lepas dari orang tua serta menginduksi anestesi. Efek samping pada pasien termasuk amnesia, keadaan anxiolysis, pencegahan stress fisiologis dan analgesia. Seterusnya, anak-anak yang diberi sedasi sebelum masuk ke ruang operasi dapat terjadi stress yang berhubungan dengan perubahan perilaku. 11

Oral Midazolam adalah premedikasi sedatif yang paling sering digunakan di Amerika Serikat. Sekitar 85 % dari semua operasi di Amerika menggunakan midazolam. Memiliki onset cepat dan efek terprediksi tanpa menyebabkan depresi nafas dan jantung. Pada dosis 0,5 0,75 mg/kg, efek midazolam puncaknya sekitar 30 menit setelah digunakan dan pada operasi selama 1 jam atau lebih. Walaupun sangat efektif pada kebanyakan anak, sekitar 14 % anak tidak respon terhadap midazolam pada dosis 0,5 mg/kg. Dosis yang lebih tinggi yaitu 0,75 mg/kg dapat lebih tepat pada pasien ini. 11 Midazolam telah menunjukkan peranan penting dalam penurunan stress perioperatif untuk pasien dan keluarga, walaupun penambahan kehadiran akan menghasilkan peningkatan kepuasan seluruh tindakan operasi. Midazolam dapat diantagonis dengan flumazenil, yang berkompetitif dengan benzodiazepine. Dosis inisial yang direkomendasikan pada anak-anak 0,05 mg/kg dititrasi intravena hingga total 1 mg. 11 Ketamin oral juga digunakan sebagai medikasi sedatif pada dosis 5-6 mg/kg untuk anak 1-6 tahun. Sedasi maksimal berlaku hingga 20 menit. Kombinasi ketamin dan midazolam juga digunakan sebagai premedikasi sedatif oral. Dilaporkan kombinasi ini memiliki tingkat kesuksesan 90 %. Mual dan muntah sedikit meningkat pada anak yang menerima ketamin oral. 11 Fentanyl transmukosa oral adalah obat percobaan komersial untuk mengirim medikasi pada anak dengan jalur oral transmukosa dan menunjukkan sedasi anak sebelum anestesi induksi. Efek samping termasuk gatal di wajah, mual muntah pasca operasi dan desaturasi oksigen arterial. Oleh karena itu, obat ini tidak rutin digunakan pada perioperatif. 11 Clonidine adalah 2-agonis, yang diberikan kombinasi dengan atropine, menghasilkan sedasi preoperatif memuaskan, mudah dipisahkan dari orang tua dan efek 45 menit. Dosis clonidine oral 4 g/kg telah didemonstrasikan menyebabkan sedasi,14

mengurangi syarat anestesi dan mengurangi keperluan analgesik pasca operasi. Itu juga melemahkan respon hemodinamik untuk intubasi trakeal. Dengan dosis rekomendasi, hipotensi perioperatif tidak dipantau. Kerugian sedatif ini adalah onset yang lama dibanding midazolam. 11

Gambar : A. frekuensi premedikasi sedatif di AS tahun 2002 dan B. frekuensi premedikasi sedatif di AS tahun 1996. 11

15

Nasal Kerugian dari medikasi sedatif intranasal adalah anak menangis karena mengiritasi jalan nasal. Absorpsi cepat dan mencegah metabolisme di hati pertama adalah keuntungan rute ini. 11

Rectal Pemberian midazolam perektal pada dosis 0,5-1 mg/kg efektif mengurangi gelisah pada anak sebelum induksi. Kedua methohexical dan thiopental telah digunakan juga pada formulasi rectal dengan dosis 25 mg/mg. onset sedasi membutuhkan kira-kira 10 menit.depresi nafas dan desaturasi oksigen dapat terjadi karena variasi absorpsi medikasi di rectum. 11 Tabel Premedikasi pilihan obat dan dosis 3 DOSE TIME TO ELIMINATION HALFMEDICATIONROUTE (mg/kg) ONSET (min) LIFE T(hr) Midazolam Oral 0.251.0 10 2 Intranasal0.20.3 3 L untuk membuang semua partikel yang kotor seperti darah, bekuan fibrin, dan bakteri-bakteri), dan drainase peritoneal (diindikasikan pada fokal infeksi atau pada kasus fistula dimana kontaminasi berkelanjutan dapat terjadi).

30

DAFTAR PUSTAKA

1. EncyclopediaofChildren'sHealth Available at:http://www.healthofchildren.com/A/Appendicitis.html). 2. (Pediatric Appendicitis Author: Robert K Minkes, MD, PhD; Chief Editor: Carmen Cuffari, MD. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/926795-overview#a0156). 3. Morgan, G.E., Michail M.S., Pediatric Anesthesia. In : Morgan, G.E. Clinical Anesthesiology. 4 th Ed. 2006. New York : Mc Graw hills, Inc. 4. Rai R., et al. Appendicitis in Children: Benefits of Early Laparoscopic Surgery. Ann Acad Med Singapore 2007;36:277-80. Available at: http://www.annals.edu.sg/pdf/36VolNo4Apr2007/V36N4p277 5. Sjamsuhidajat, R., Jong, W.D., editor., Usus Halus, Apendiks, Kolon, Dan Anorektum, dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. EGC, Jakarta, 2005,hlm.639-645. 6. Craig S., et al. Appendicitis. Emedicine-Medscape. Available at :

http://emedicine.medscape.com/article/773895-overview#aw2aab6b2b2aa 7. Zeller, J.L., Burke, A.E., Glass, R.M., Acute Appendicitis in Children, JAMA, 15 Juli 2007, 298(4): 482. Available at: http://jama.ama-assn.org/cgi/reprint/298/4/482, 8. Doherty, G.M. Peritoneal Cavity. In : Current Diagnosis and Treatment Surgery. 3 rd Ed. 2010. USA : Mc Graw Hill. 464-468. 9. Berhman, A, Kliegman. Deficit Therapy. In : Nelson Textbook of Pediatric. 17 th Ed. 2004. USA : Saunders, an Imprient of Elsevier. 10. Siegel, N.J., Fluid, Electrolit, and Acid Base. In : Rudolf Pediatric. 21 St. Ed. 2006. USA : Mc Graw Hill companies. 11. Cravard, J.P., Pediatric Anesthesia. In: Barash, P. G., Cullen, B. F., Stoelting, R. K., Cahalan, M. K., Stock, M. C., Clinical Anesthesia 7th Edition. 2009 Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

31