Top Banner
THE DIFFICULT AIRWAY (JALAN NAFAS SULIT) ALGORITMA JALAN NAFAS SULIT Pada tahun 1993, ASA’s Task Force pada jalan nafas sulit pertama kali menerbitkan algoritma yang menjadi pokok manajemen jalan nafas untuk klinisi. Algoritma ini diterbitkan lagi pada tahun 2003. Perubahan paling dramatis pada “ASA Difficult Airway Algorithm (ASA-DAA)” yaitu penempatan LMA dari jalur emergensi menjadi rutin. ASA mengartikan “difficult airway” sebagai situasi dimana anaestesiologist terlatih konvensional mengalami kesulitan dengan ventilasi masker atau keduanya. Berdasarkan data yang ada, insidens kegagalan intubasi yaitu 0,05 hingga 0,35 %, sedangkan insidens kegagalan intubasi/ ketidakmampuan melakukan ventilasi masker yaitu 0,01 hingga 0,03%. Algoritme ASA bertindak sebagai model pendekatan terhadap kesulitan jalan nafas bagi perawat anestesi, dokter gawat darurat dan tenaga diluar rumah sakit, juga ahli anestesi. Walaupu algoritme banyak menjelaskan tentang algoritme, gambaran yang menonjol yang dibicarakan di sini. Satu pernyataan pada dokumen ini mensimpulkan kesulitan menulis dan merekomendasikan 1
68

DIFFICULT AIRWAY

Jun 29, 2015

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: DIFFICULT AIRWAY

THE DIFFICULT AIRWAY (JALAN NAFAS SULIT)

ALGORITMA JALAN NAFAS SULIT

Pada tahun 1993, ASA’s Task Force pada jalan nafas sulit pertama kali menerbitkan

algoritma yang menjadi pokok manajemen jalan nafas untuk klinisi. Algoritma ini

diterbitkan lagi pada tahun 2003. Perubahan paling dramatis pada “ASA Difficult

Airway Algorithm (ASA-DAA)” yaitu penempatan LMA dari jalur emergensi

menjadi rutin. ASA mengartikan “difficult airway” sebagai situasi dimana

anaestesiologist terlatih konvensional mengalami kesulitan dengan ventilasi masker

atau keduanya. Berdasarkan data yang ada, insidens kegagalan intubasi yaitu 0,05

hingga 0,35 %, sedangkan insidens kegagalan intubasi/ ketidakmampuan melakukan

ventilasi masker yaitu 0,01 hingga 0,03%.

Algoritme ASA bertindak sebagai model pendekatan terhadap kesulitan jalan

nafas bagi perawat anestesi, dokter gawat darurat dan tenaga diluar rumah sakit, juga

ahli anestesi. Walaupu algoritme banyak menjelaskan tentang algoritme, gambaran

yang menonjol yang dibicarakan di sini. Satu pernyataan pada dokumen ini

mensimpulkan kesulitan menulis dan merekomendasikan manajemen pada kesulitan

jalan nafas: “ Kesulitan jalan nafas mewakili interaksi yang kompleks antara factor

pasien, keadaan klinis dan ketrampilan personel.”

Jalan masuk algoritma dimulai dengan evaluasi jalan nafas. Walaupun

terdapat beberapa pertentangan sepert metode dan indeks nilai yang dievaluasi, klinisi

harus menggunakan seluruh data yang ada dan pengalaman klinis sendiri untuk

mencapai penilaian umum sebagai kesulitan jalan nafas pasien dalam hal laringoskopi

dan intubasi, tehnik ventilasi supraglotik, resiko aspirasi atau toleransi apnu.

Evaluasi ini harus mengarahkan klinisi untuk memasuki algoritme ASA pada

satu dari dua poin dasar : A-“awake intubation”, atau B- usaha intubasi setelah

induksi anestesi umum. Ini menyoroti penamaan yang salah tidak hanya untuk

1

Page 2: DIFFICULT AIRWAY

kesulitan jalan nafas, tapi relevan terhadap seluruh keadaan dimana jalan nafas

ditangani. Kotak B menggambarkan pendekatan yang diambil pada kebanyakan

intubasi trakea ( dan dapat diterapkan untuk masker wajah-dan SGA-pasien).

Keputusan untuk memasuki algoritme via kotak A atau B merupakan suatu

premanajemen. Kotak A dipilih bila kesulitan jalan nafas diantisipasi, sedangkan

ALGORITMA JALAN NAFAS SULIT

kotak B untuk situasi dimana kesulitan jalan nafas tidak diantisipasi. Keputusan ini

dapat disaring pada penekanan perkembangan SGA. Takenaka, mempertanyakan

kebutuhan untuk memasuki kotak ASA DAA saat SGA dipertimbangkan berguna

walaupun kesulitan jalan nafas pada intubasi laringoskopi trakea sudah diantisipasi.

Ini sudah lebih jauh digambarkan ke dalam jalur keputusan reoperatif oleh

Rosenblatt. Gambar 2-27 menguraikan algoritme pendekatan jalan nafas (AAA).

2

Page 3: DIFFICULT AIRWAY

Pilihan cabang seperti pernyataan yang sebelumnya ditekankan dari panduan praktis

ASA, sangat tergantung pada ketrampilan dan pengalaman klinisi. Rincian AAA

dapat ditemukan ditempat lain dan disimpulkan di sini:

1. Apakah dibutuhkan pengendalian jalan nafas? Tidak masalah seberapa rutin

sedasi atau anestesi umum mempunyai potensi mengakibatkan pasien apnu,

sebaiknya selalu dipertimbangkan secara serius dan alternatifnya harus

dipertimbangkan

2. Akankah laringoskopi langsung akan sulit? Jika terdapat indikasi dimana

laringoskopi langsung akan sulit (berdasarkan pemeriksaan fisik dan riwayat),

klinisi dapat melakukan dengan dengan teknik lain (induksi, laringoskopi

langsung, LMA, dll)bila sesuai klinis. Ini adalah esensi dari kotak B ASA-

DAA.

3. Dapatkah ventilasi SGA digunakan? Jika klinisi merasa bahwa terdapat suatu

alasan fisik bahwa ventilasi SGA (dengan facemask, LMA, atau alat yang

lain) akan sulit, suatu titik “tidak dapat diintubasi/tidak dapat diventilasi)”

(CNI/CNV) telah dicapai. Karena ini merupakan algoritme preoperative,

kotak A ASA-DAA dipilih

4. Apakah terdapat resiko aspirasi? Seperti dibicarakan di awal, pasien dengan

resiko aspirasi bukan kandidat untuk pengunaan SGA elektif. Suatu titik

waktu “ tidak dapat diintubasi/seharusnya tidak diventilasi” telah dicapai dan

kotak ASA-DAA dipilih

5. Akankah pasien mentoleransi suatu periode apnu? Pertanyaan 3 dari daftar ini

sulit dijawab dan sangat sangat tergantung pada ketrampilan dan pengalaman

klinisi. Bila intubasi gagal, dan ventilasi tidak adequate, kemampuan pasien

untuk mempertahankan saturasi oksigen akan ditentukan kemampuannya

untuk mentoleransi periode apnu. Faktor seperti usia, obesitas, status pulmo,

komsumsi oksigen abnormal ( mis, demam), dan pilihan obat induksi akan

mempengaruhi ini. Faktor ini telah didiskusikan secara terperinci di tempat

3

Page 4: DIFFICULT AIRWAY

lain. Untuk mengilustrasikan penerapan klinis AAA, jalur algoritme ini akan

diikuti skenaro klinis pada akhir bab ini.

Pengecualian terhadap AAA yaitu pasien yang tidak dapat bekerjasama karena

retardasi mental, intoksikasi, kecemasan, penurunan derajat kesadaran, atau usia.

Pasien ini mungkin masih memasuki kotak A, tetapi intubasi “awake” mungkin

membutuhkan modifikasi teknik yang mempertahankan ventilasi spontan (cth,

induksi inhalasi)

Persiapan pasien untuk intubasi “awake” didiskusikan nanti. Pada kebanyakan

keadaan, intubasi “awake” berhasil jika pendekatan dengan perhatian dan kesabaran.

Jika intubasi “awake” gagal, klinisi memiliki sejumlah pilihan. Pertama, dapat

dipertimbangkan pembatalan pembedahan. Pada situasi ini. Peralatan atau personil

khusus dapat dikumpulkan untuk kembali ke ruang operasi. Jika pembatalan tidak

dipilih, dapat dipertimbangkan teknik anestesi regional, atau, jika situasi

membutuhkan, jalan nafas bedah (mis, trakeostomi) dapat diilih.

Keputusan untuk melanjutkan dengan anestesi regional karena jalan nafas

telah dinilai atau terbukti sulit untuk ditangani harus dipertimbangkan dalam hal

resiko dan benefit (table 22-15). ASA-DAA benar-benar berguna pada jalan nafas

sulit yang tidak diantisipasi (kotak B, tidak dapat diintubasi dengan laringoskopi

langsung setelah induksi anestesi). Jika obat induksi (dengan atau tanpa pelemas otot)

telah diberikan dan jalan nafas tidak dapat dikendalikan, keputusan manajemen vital

vital harus dibuat secara cepat. Secara tipikal, klinisi telah mencoba laringoskopi

langsung dan intubasi setelah anestesi ventilasi “mask” yang berhasil atau gagal

(kecuali induksi cepat sedang dilakukan). Bahkan jika saturasi oksigen pasien tetap

adequate dengan usaha ini, jumlah usaha laringoskopi sebaiknya dibatasi hingga tiga

kali. Seperti didiskusikan di awal, trauma jaringan lunak dapat terjadi akibat

laringoskopi multipel, yang memperburuk keadaan. Pertama, ventilasi “mask”

sebaiknya dilaukan. Jika “facemask” adekuat, jalur nonemergensi ASA-DAA

4

Page 5: DIFFICULT AIRWAY

dimasuki. Klinisi kemudian dapat berubah teknik ke yang paling nyaman dan/atau

cocok untuk melakukan intubasi jika dibutuhkan. Ini dapat termasuk, tapi tidak

dibatasi, oral “blind” atau intubasi nasal; intubasi yang difasilitasi dengan bronkoskop

fiberoptik, LMA, LMA-Fastrach, bougie, lighted stylet, atau retrograde wire; atau

jalan nafas bedah. (Paling luas diterapkan pada prosedur ini, juga teknik baru,

didiskusikan di skenario klinis pada bagian selanjutnya bab ini). Jika ventilasi masker

gagal, algoritma menyarankan ventilasi supraglotis melalui LMA. Jika berhasil, jalur

nonemergensi ASA-DAA telah dimasuki lagi dan teknik alternative intubasi trakea

dapat digunakan, jika dibutuhkan (mis, mungkin ventilasi LMA adekuat untuk situasi

klinis).

Bila ventilasi LMA gagal mempertahankan pasien, jalur emergensi dimasuki.

ASA-DAA menyarankan penggunaan Esophageal-Tracheal Combitube, rigid

bronkoskopi, oksigenasi transtrakeal, atau jalan nafas bedah.

Pada suatu waktu, keputusan untuk membangunkan pasien sebaiknya

dipertimbangkan berdasarkan adekuasi ventilasi, resiko aspirasi, dan resiko

memelakukan percobaan intubasi atau prosedur pembedahan.

Pemposisian LMA kedalam algoritme (pada publikasi ulang tahun 2003)

berdasar pada lebbih dari 12 tahun penggunaan klinis di Amerika (dan lebih dari 20

tahun pengalaman di seluruh dunia). Relatif sedikit kasus kegagalan LMA dalam

menghadapi situasi“CNI/CNV” telah dilaporkan. Tiga kategori berperan pada

kegagalan ini: sudut oral-faring akut, sumbatan pada level hipofaring, sumbatan di

bawah liptan fokal. Sebaliknya banyak kasus penyelamatan dengan LMA pada jala

nafas gagal telah dilaporkan. Walau studi control jarang, Parmer mencatat bahwa

seluruh kasus CNI/CNV (dengan pengecualian sumbatan subglotis iatrogenic) terjadi

pada periode 2 tahun pada satu ruma sakit diselamatkan dengan LMA.

5

Page 6: DIFFICULT AIRWAY

MANAJEMEN JALAN NAFAS “AWAKE”

Manajemen jalan nafas “awake” masih suatu arus utama dari ASA-DAA. Intubasi

“awake” memberikan banyak keuntungan atas keadaan anestesi, termasuk menjaga

ventilasi spontan pada keadaan dimana jalan nafas tidak dapat diamankan secara

cepat, meningkatkan ukuran dan patensi faring, penempatan relative kedepan pangkal

lidah, penempatan posterior laring, dan patensi ruang retropalatum. Efek sdatif dan

anestetik umum pada patensi jalan nafas mungkin sekunder terhadap efek langsung

pada motorneuron dan system activating reticular. Pada pasien tidur apnu dapat

cenderung jadi obstruksi dengan sedasi minimal. Sebagi tambahan, keadaan sadar

mempertahankan tonus spinkter esophagus bawah dan atas, sehingga mengurangi

resiko reflux. Pada kejadian reflux, pasien dapat menutup glottis dan/atau mendorong

benda asing yang diaspirasi dengan batuk menunjukkan bahwa refleks ini tidak

ditumpulkan oleh anestetik local. Pasien yang beresiko terhadap sequele neurologist

(mis, pasien dengan kelainan tulang servikal yang tidak stabil) mungkin memerlukan

monitoring sensoris-motor setelah intubasi takea. Pada situasi emergensi, perlu

perhatian (mis, rangsangan kardiovaskuler pada iskemia kardiak atau resiko iskemia,

bronkospasme, penigkatan tekanan intra okuler, peningkatan tekanan intracranial)

tapi tidak kontraindikasi absolute untuk awake intubasi. Kontraindikasi terhadap

elektif awake intubasi termasuk penolakan pasien atau tidak kooperatif (mis, anak

kecil, retardasi mental berat, demensia, intoksikasi) atau alergi terhadap anestetik

local.

Sekali klinisi telah memutuskan untuk melakukan manajemen jalan nafas

awake, pasien harus dipersiapkan baik fisik dan psikologis. Kebanyakan pasien

dewasa akan menghargai penjelasan akan kebutuhan akan pemeriksaan jalan nafas

awake dan akan lebih kooperatif saat menyadari kepentingannya, dan rasionalisasi

untuk prosedur yang tidak nyaman. Sekali jalan nafas sudah dipersiapkan, pasien

akan menyadari bahwa mereka selanjutnya tidak mengalami ketidak nyamanan

selama intubasi.

6

Page 7: DIFFICULT AIRWAY

Bagian dari penjelasan yang sesuai, pengobatan dapat juga digunakan untuk

menghilangkan kecemasan. Jika sedative digunakan, klinisi harus meyadari bahwa

mengakibatkan obstruksi atau apne pada pasien sulit jalan nafas dapat

membahayakan dan pasien yang terlalu tersedasi menjadi tidak dapat melindungi

jalan nafas terhadap regurgitasi isi lambung, atau kerjasama dengan prosedur. Dosis

kecil benzodiazepine (diazepam, midazolam, lorazepam) umumnya digunakan untuk

meredakan kecemasan tanpa mengakibatkan depresi nafas yang signifikan. Obat-obat

ini dapat diberikan iv atau oral (jika tersedia) dan dapat diriverse dengan spesifik

antagonis. (mis, flumazenil). Opioid agonis reseptor (mis, fentanil, alfentanil,

remifentanil) dapat juga digunakan dengan dosis kecil, titrasi untuk efek sedasi dan

antitusif walaupun perhatian harus diberikan. Antagonis spesifik (mis, naloxon) harus

selalu tersedia secara cepat. Ketamin dan droperidol dan obat baru, dexmetomodine,

juga sudah dikenal dikalangan klinisi.

Pemberian antisialagogus penting untuk keberhasilan teknik intubasi awake.

Seperti akan dibicarakan dibawah, pembersihan sekresi jalan nafas penting untuk

penggunaan instrument optic indirek (mis, bronkoskop fiberoptik, laryngoskop

fiberoptik rigid) karena sedikit cairan dapat menghalangi lensa objektif. Obat yang

umum digunakan atropine (0,5 – 1 mg im atau iv ) atau glicopyrolat (0,2 – 0,4 mg im

atau iv) memiliki efek lain yang bermakna: dengan mengurangi produksi saliva, obat

ini meningkatkan efektifitas anestesi local dengan menyingkirkan barier terhadap

kontak mukosa dan mengurangi pengenceran obat. Vasokonstriksi jalan nasal

dibutuhkan jika terdapat instrumentasi bagian dari jalan nafas ini. Jika pasien

beresiko terhadap regurgitasi lambung dan aspirasi, tindakan pencegahan harus

dilakukan. Juga bijaksana untuk memberikan oksigen suplemen kepada pasien

dengan kanul nasal (dapat ditempatkan pada hidung atau mulut).

Anestetik local merupakan dasar dari tehnik pengendalian jalan nafas awake.

Jalan nafas, dari pangkal lidah hingga bronkus, terdiri dari jaringan yang sangat

sensitive. Anestesia topical dan tehnik blok saraf telah dikembangkan untuk

7

Page 8: DIFFICULT AIRWAY

menumpulkan refleks protektif jalan nafas juga untuk menimbulkan analgesia.

Seperti diketahui dengan baik oleh praktisi anestetik, anestetik local adalah obat yang

efektif dan berbahaya. Klinisi harus memiliki pemahaman yang benar mengenai

mekanisme aksi, metabolisme, toksisitas, dan dosisi oabat kumulatif yang dapat

diterima yang dipilih untuk jalan nafas. Karena banyak dari obat ini akan berada di

saluran trakea-bronkial dan akan menuju alveolus, akan terdapat absorsi intravaskuler

yang signifikan dan cepat. Walau tersedia banyak sekali anestetik local, hanya yang

paling umum digunakan yang akan dibicarakan di sini.

Diantara otolaringologist, kokain merupakan obat topical yang popular. Tidak

hanya anestetik local yang sangat efektif, tapi juga satu-satunya anestetik local yang

vasokonstriktor poten. Biasanya tersedia dalam larutan 4%. Dosis total yang

diaplikasikan ke mukosa sebaiknya tidak melebihi 200 mg pada dewasa. Kokain

sebaiknya tidak digunakan pada pasien yang diketahui hipersensitif kokain,

hipertensi, penyakit jantung iskemi, preeklamsia, atau yang mengkonsumsi MAOI.

Karena kokain dimetabolisme oleh pseudokolinesterase, dikontraindikasikan pada

pasien-pasien yang defisiensi enzyme ini.

Lidokain, suatu anestetik local amida, tersedia dalam sediaan dan dosis yang

sangat bervariasi (tbel 22-16). Diberikan secara topical, onset puncaknya dalam 15

menit. Level toksik plasma mungkin tercapai tapi tidak umum dilaporkan pada

manajemen jalan nafas.

Tetrakain suatu anestetik local amida dengan masa kerja yang lebih panjang

dari kokain atau lidokain. Tersedia larutan 0,5%, 1%, dan 2%. Absorpsi obat ini dari

traktus respiratorius dan gastrointestinal, dan toksisitas setelah pemberian nebulisasi

telah dilaporkan dengan dosis serendah 40 mg, walau dosis aman yang dapat diterima

pada orang dewasa 100 mg.

8

Page 9: DIFFICULT AIRWAY

TABEL 22-16

SEDIAAN LIDOKAIN SEDIAAN DOSISLarutan injeksi/topical 1%, 2%, 4%Larutan kental 1%, 2%Obat oles 1%, 5%Aerosol 10%

Benzokain popular diantara beberapa klinisi karena onsetnya yang sangat cepat (< 1

menit) dan durasi yang singkat (~10 menit). Tersedia dalam larutan 10%, 15%, dan

20%. Telah dikombinasikan dengan tetrakain (Hurriaine, Beutlich Pharmaceuticals)

untuk memperpanjang masa kerja. Pemberian O,5 detik aerosol Hurricaine

memberikan 30 mg benzokain, dosis toksis 100 mg. Sediaan umum lain yaitu

Cetakain spray, yang mengkombinasikan benzokain dengan tetrakain, butyl

aminobenzoat, benzalkonium klorida, dan cetyldimetyletyl ammonium bromida.

Benzokain dapat mengakibatkan methemoglobinuria, yang diterapi dengan metylen

blue.

Terdapat tiga daerah anatomis yang klinisi arahkan terapi anestetik local:

rongga hidung/nasofaring, faring/pangkal lidah, dan hipofaring/laring/trakea. Rongga

hidung dipersarafi oleh nervus palatinum mayor dan minor (mempersarafi konka

nasalis dan hamper seluruh septum nasal) dan nervus etmoidalis anterior

(mempersarafi nares dan 1/3 anterior septum nasal). Dua saraf palantinus keluar dari

ganglion spenopalantinus, menuju konka posterior hingga medial. Dua tehnik untuk

blok saraf telah diterangkan sebelumnya. Ganglion dapat dicapai melalui pendekatan

noninvasive nasal: kapas lidi dibasahi dengan anastetik local melewati hingga

mencapai dinding atas konka medialis dan dinding posterior nasofaring. Didiamkan

selama 5-10 menit. Pada pendekatan oral, sebuah jarum ditusuk ke dalam foramen

palantins mayor, yang dapat dipalpasi pada aspek lateral posterior, 1 cm medial

terhadap molar dua dan tiga. Larutan anestetik (1-2 ml) disuntikkan dengan

menggunakan jarum spinal ke arah superior/posterior pada kedalaman 2-3 cm. Hati-

9

Page 10: DIFFICULT AIRWAY

hati agar tidak menyuntik arteri spenopalatinus. Saraf etmoidalis anterior dapat diblok

dengan kapas lidi yang dibasahi anestetik local yang ditempel pada permukaan dorsal

hidung hingga lempeng kribiformis anterior. Anestetik local ditempel hingga 5-10

menit.

Orofaring dipersarafi oleh cabang nervus vagus, facialis dan glossofaringeal.

Nervus glossofaringeal ( NGF) berjalan anterior sepanjang permukaan lateral faring,

tiga cabangnya menyuplai persarafan sensoris sepertiga posterior lidah, valekula,

permukaan anterior epiglottis (cabang lidah), dinding faring (cabang faring), dan

tonsil (cabang tonsilar). Variasi luas tehnik dapat digunakan untuk mnganastesi

bagian jalan nafas ini. Tehnik paling sederhana melibatkan larutan anestetik local

aerosol, atau kunyah dan telan volunteer. Selama klinisi telah mengemabangkan

rencana untuk menganastesi seluruh struktur yang berhubungan, telah mencukupkan

waktu agar obat anestetik local bekerja, dan tetap terus menerus menginagat akan

dosis total dari oabat anestetik lokal yang diberikan, kebanyakan pasien akan akan

teranastesi secara adekuat dengan cara ini.

Beberapa pasien mungkin membutuhkan blok NGF, khususnya bila tehnik

topical tidak secara adekuat memblok refleks muntah. Cabang saraf ini paling mudah

dicapai karena melintasi liapatan palatogossal. Lipatan ini kelihatan sebagai cekungan

jaringan lunak, yang meluas dari aspek posterior palatum moll eke pangkal lidah,

secara bilateral.

Tehnik noninvasive menggunakan kapas lidi yang dibasahi anestetik local,

yang diposisikan ke aspek paling inferior lipatan dan didiamkan selama 5-10 menit.

Bila tehnik noninvasive terbukti tidak adekuat, anestetik local dapat disuntikkan.

Berdiri pada sisi kontralateral terhadap saraf yang akan diblok, operator

memindahkan lidah yang melebar ke sisi kontralateral dan jarum spinal 25-G ditusuk

ke membrane dekat dasar mulut. Uji aspirasi dilakukan. Jika udara diaspirasi,jarum

telah melewati membrane. Jika darah diaspirasi, jarum lebih diarahkan ke medial.

Cabang lingual paling mudah diblok dengan cara ini, tapi jalur retrograde

10

Page 11: DIFFICULT AIRWAY

penyuntikan juag telah ditunjukkan. Walau memberikan blok yang baik, tehnik

dilaporkan menyakitkan dan menyebabkan gangguan dan hematoma yang menetap.

Pendekatan posterior ke NGF telah diterangkan pada literature otolaringologik (untuk

tonsilektomi). Mungkin sulit untuk melihat tempat tusukan jarum, dibelakang arkus

palatofaringeal dimana saraf dekat ke arteri karotis. Karena resiko tusukan arteri dan

perdarahan, tehnik akan diterangkan di sini, namun pembaca diarahkan ke bacaan

yang lebih berwenang.

Cabang internal nervus laryngeal superior (NLS), yang merupakan cabang

nervus vagus, memberikan persarafan pangkal lidah, epiglottis, lipatan ariepiglottis,

dan aritenoid. Cabangnya berasal dari NLS lateral menuju kornu os hyoid. Kemudian

menembus membrane thyrohyoid dan berjalan dibawah mukosa pada ceruk

pyriformis. Bagian terakhir dari NLS, cabang eksternal, mempersarafi motorik ke

otot crycotyroid. Beberapa blok dari nervus ini telah dijelaskan. Pada banyak kasus

pemberian topical abat anestetik pada rongga mulut akan memberikan analgesia yang

cukup. Blok eksternal dilakukan dengan pasien supine dengan kepala ekstensi dan

klinisi berdiri ipsilateral terhadap nervus yang akan diblok. Di bawah angulus

mandibula klinisi mengidentifikasi kornu superior os hyoid. Menggunakan satu

tangan, dilakukan tekanan yang di arahkan medial kontralateral kornu hyoid,

menggeser kornu hyoid ipsilateral ke arah klinisi. Perhatian harus diberikan untuk

menentukan lokasi arteri karotis dan menggesernya jika diperlukan. Jarum dapat

ditusukkan secara langsung di atas kornu hyoid dan berjalan keluar kartilago pada

arah anterior-kaudal hingga melewati membrane di kedalaman 1-2 cm. Sebelum

penyuntikan anestetik local, uji aspirasi harus dilakukan untuk meyakinkan suntikan

tidak memasuki faring atau suatu struktur vascular. Anestetik local dengan epinefrin

(1,5-2 ml) disuntikkan pada ruang antara membrane tyrohyoid dan mukosa faringeal.

NLS dapat juga diblok dengan tehnik internal blok noninvasive. Pasien diminta untuk

membuka mulut lebar-lebar, dan lidah dipegang menggunakan spatel lidah. Forsep

sudut kanan (mis, Jacson-Krause forceps) dengan kaps lidi yang dibasahi anestetik

11

Page 12: DIFFICULT AIRWAY

local di olesi pada lidah bagian lateral dan kedalam sinus pyriformis secara bilateral.

Kapas oles ditahan selama 5 menit.

Persarafan sensoris pita suara dan trakea diberikan oleh nervus laryngeal

recurrent. Penyuntikan anestetik local transtrakeal dapat dengan mudah dilakukan

untuk menghasilkan analgesia yang adekuat, dan tehnik ini akan dijelaskan di bawah

secara rinci. (lihat Seksi Intubasi Retrograd, Kasus 2). Disuntikkan lidokain 2% atau

4%, 4 ml.

Tehnik yang efektif dan noninvasif analgesia topical trakea dan pita suara

menggunakan saluran kerja fiberoptik bronkoskop. Kerugian tehnik ini yaitu larutan

yang meninggalkan saluran kerja daapat menghalangi lensa objektif. Hal ini dapat

diatasi dengan menggunakan kateter epidural, dimasukkan melalui saluran kerja,

seperti dijelaskan oleh Ovassapian. Tidak hanya mencegah menghalangi pandangan,

tetapi juga tujuan khusus aliran anestetik.

Skenario Klinis Jalan Nafas Sulit

Klinisi mendekati pasien dengan kesulitan jalan nafas memiliki dan instrument yang

dapat diaplikasikan untuk mengamankan dan mempertahankan oksigen dan ventilasi.

Walaupun panah ini dapat membingungkan, penulis textbook tidak dapat

memaksakan pendekatan khusus pada setiap situasi; lebih lagi variasi penampilan

pasien menyebabkan sulitnya rekomendasi khusus. Sehingga untuk membahas

manajemen, seksi selanjutnya menampilkan sejumlah scenario klinis singkat dan

pendekatan penulis sendiri. Tehnik manajemen jalan nafas alternative mayor dibahas

pada cara ini. Seluruh kasus klinis dijelaskan disini telah ditangani oleh penulis atau

kolega. Tehnik lain yang mungkin diaplikasikan pada masing-masing situasi juga

dibicarakan, bersama dengan “jalur keputusan” penulis sendiri sesuai penerapannya.

Pada kasus ini, seperti pada praktek sebenarnya, tehnik pertama yang diaplikasikan

mungkin tidak yang terbaik. Prinsip fleksibilitas (dan pandangan yang seksama untuk

kebutuhan untuk merubah cara secara cepat) ditetapkan secara berulang. Dalam

12

Page 13: DIFFICULT AIRWAY

pandangan kepentingan kritis tindakan pengendalian jalan nafas, klinisi harus

dipersiapkan untuk merubah pendekatan sesuai kebutuhan situasi. Tabel 22-17

memperlihatkan jalur penulis melalui AAA dengan masing-masing kasus.

Saat laringoskopi langsung dan intubasi trakea gagal. Klinisi memiliki banyak

macam peralatan untuk digunakan. Karena keberhasilan laringoskopi langsung

tergantung pada distorsi jaringan yang cukup (untuk menciptakan garis pandangan),

tehnik yang tidak memerlukan alinmen anatomi yang sama mungkin sukses setelah

gagal laringoskopi langsung. Fiberoptik, SGA, bantuan mandren (mis, mandren

berlampu) dan tehnik retrograde dapat memberikan alternative keberhasilan. Tapi

tehnik ini juga memerlukan suatu ketrampilan alternative. Pada kesulitan atau bahkan

situasi kritis seperinya tidak membantu bila mengganti suatu tehnik yang tidak

dilatih.

Sayangnya, klinisi jarang melakukan tehnik alternatif hingga muncul suatu

situasi yang sulit. Heidegger dan kawan-kawan memperkenalkan algoritme sederhana

untuk memasukkan trakeal intubasi yang dibantu fleksibel fiberoptik menjadi

kbiasaan sehari-hari sebagai alternative rutin laringoskopi langsung. Insiden kesulitan

intubasinya yaitu 6 dari 1.324 kasus, atau 0,049%, jauh lebih rendah daripada 0,3%

dari laporan sebelumnya.

Kasus 1: Intubasi dengan bantuan Fleksibel Fiberoptik

Seorang laki-laki usia 50 tahun dengan dengan heniasi discus vertebrae servikal

simtomatik diajuka untuk reseksi discus dan fiksasi spinal. Dia memiliki riwayat

merokok, konsumsi alcohol, dan refluks gastroesofageal. Pada ruang perioperatif

diberikan 0,4 mg glikopyrolat. Lima belas menit kemudian, saat keadaan pasien

dengan minimal sekresi oral, anestesi topical diberikan ke jalan nafasnya. Pasien

menerima 4 mg midazolam iv. Intubasi jalan nafas oral dilakukan tanpa

menghilangkan refleks muntah dan bronkoskop fiberoptik fleksibel diteruskan ke

13

Page 14: DIFFICULT AIRWAY

dalam jalan nafas. Ligamen pita suara di visualisasi, dan 4 ml lidokain 4%

disuntikkan melalui sluran kerja fiberskop, kelihatan membasahi struktur laryngeal

dan sublaringeal. Ujung distal fiberskop diteruskan ke dalam laring, dan ETT no 7,0,

yang telah dimasukkan di selubung insersi, diteruskan ke trakea. Fiberskop

dipindahkan sementara struktur karina, trakea, dan terakhir pipa trakea diamati.

Sirkuit anestesi dihubungkan ke pipa trakea dan keluaran CO2 di deteksi dengan

kapnography. Pemeriksaan singkat sensoris dan motoris dilakukan oleh operator dan

diinduksi dengan anestesi umum.

Penggunaan Bronkoskop Fiberoptik pada Penanganan Jalan Nafas. BFO

merupakan alat yang sangat penting pada anesthesia, didapatkan pada 99% survey

anggota aktif ASA. Tehnik intubasi yang dibantu fiberoptik pertama kali dilakukan

menggunakan koledoskop pada pasien dengan penyakit Still’s (arthritis onset dewasa,

idiopatik). Pada akhir 1980an dikenal penggunaan fleksibel BFO mewakili suatu

kemajuan pada penanganan pasien dengan kesulitan jalan nafas dimana ahli me

netapkan bahwa anesthesiologist dapat diusahakan lancer dengan tehnik ini. Sekarang

umumnya diterima bahwa untuk situasi klinis yang bervariasi, BFO merupakan alat

kritis pada …..anestesiologist menghadapi pasien sadar atau tidak sadar yang sulit

untuk diintubasi. BFO telah terbukti merupakan alat yang paling erguna pada

keadaan ini.

Tidak ada indikasi yang benar atau tetap untuk intubasi yang dibantu BFO,

seperti dengan laringoskopi langsung (mis, induksi urutan cepat) untuk pasien

lambung penuh). Bagaimanapun terdapat banyak situasi klinis dimana BFO dapat

menjadi alat Bantu yang tidak parallel dalam mengamankan jalan nafas, khususnya

jika klinisi telah membuat suatu usaha untuk memahirkan ketrampilan penting

dengan mengunakannya pada intubasi rutin. Ini memasukkan intubasi sulit yang telah

diantisipasi karena riwayat atau penemuan pemeriksaan fisik, intubasi sulit yang tidak

diantisipasi (dimana tehnik lain telah gagal), obstruksi jalan nafas bawah dan atas,

penyakit tulang servikal yang tidak stabil atau terfiksasi, efek massa pada jalan nafas

14

Page 15: DIFFICULT AIRWAY

bawah atau atas, resiko gigi atau rusak, dan intubasi awake. Tidak seperti alat lain

yang digunakan unuk intubasi trakea, BFO dapat juga digunakan untuk melihat

struktur di bawah level lipatan pita suara. Sebagai contoh, dapat mengidentifikasi

penempatan paipa trakea atau membantu dalam penempatan pipa trakea lumen ganda.

Mungkin membantu dalam mendiagnosis di dalam trakea dan pohon bronchial, atau

dalam pembersihan paru.

Kontraindikasi terhadap intubasi yang dibantu BFO adalah relative dan

revolve mengenai batasan dari alat (Tabel 22-18).

TABEL 22-18

KONTRAINDIKASI TERHADAP BRONKOSKOPI FIBEROPTIK

HipoksiaSekresi jalan nafas yang banyak, tidak membaik dengan pengisapan atau antisialagogusPerdarahan dari jalan nafas atas atau bawah, tidak teratasi dengan pengisapanAlergi anestetik local (untuk percobaan awake)Ketidakmampuan bekerjasama (untuk percobaan awake)

Karena elemen optikal yang kecil (lensa objektif 2 mm atau lebih kecil),

jumlah menit sekresi jalan nafas, darah, atau debris traumatic dapat menghalangi

visualisasi. Harus hati-hati dalam memindahkan penghalang ini dar jalan nafas:

pemberian antisialagogues (mis, glikopyrolat, 0,2-0,4 mg; atropine, 0,5-1 mg) akan

mengakibatkan efek pengeringan dalam 15 menit, tetapi erhatian harus diberikan

pada pasien yang mungkin tidak dapat mentoleransi peningkatan frekuensi jantung.

Vasokontriksi hidung menggunakan oxymetazolin topical, fenilefrin, atau kokain

mengurangi kemungkinan perdarahan jika jalur ini dipilih. Jika intubasi awake

direncanakan menggunakan BFO, pasien harus dapat bekerjasama (jalan nafas yang

tenang, dengan sedikit gerakan kepala, leher, lidah, laring, merupakan penting untuk

keberhasilan. Terakhir, karena intubasi trakea yang dibantu BFO membutuhkan

waktu yang bermakna, khususnya jika klinisi tidak fasih dengan alat, hipoksia,

15

Page 16: DIFFICULT AIRWAY

impending hipoksia merupakan kontraindikasi, dan metode yang lebih cepat dalam

pengamanan jalan nafas (mis, LMA atau jalan nafas pembedahan) sebaiknya

dipertimbangkan.

Elemen dari Bronkoskop Fiberoptik. BFO merupakan alat yang sangat

rapuh dengan elemen optikal dan nonoptikal. Elemen dasar tediri dari bundelan serat

kaca. Masing-masing serat diameternya 8-12 mikron dan dibungkus dengan lapisan

kaca sekunder, merubah cladding. Bantuan klading dalam mempertahankan gambar

dalam masing-masing serat saat cahaya direfleksikan dari sisi 10.000 kali/meter saat

pindah dari lensa objektif ke lensa okuler pada operator handel.Intubasi BFO khusus

memilliki 10.000 hingga 30.000 serat terbungkus pada 6- cm, kabel insersi tahan air,

dengan tanda yang bertahap setiap 10 cm. Walaupun serat dibiarkan untuk berputar

saling memutar melalui panjangnya kabel, mereka bersatu pada kedua ujung dalam

pola yang koheren; yang mana pengaturan pada lensa okuler identik dengan

pengaturan pada lensa objektif, dimana cincin diopter dibiarkan focus. Serat yang

rusak, yang mungkin terjadi karena kabel insersi yang bengkok, menjerat kabel pada

peralatan yang lain, dan menjatuhkan BFO.

Kabel insersi juga terdiri dari saluran kerja: lumen, hingga diameter 2 mm,

yang berjalan dari ujung distal ke handel. Dapat digunakan untuk suction, atau

oksigen, dan pengaliran cairan lavase atau obat-obatan. (mis, anestetik local).

Terdapat satu laporan rupture gaster dikarenakan insuflasi oksigen melalui saluran

kerja saat BFO didalam esophagus. Secara umum, diameter eksternal BFO <2 mm

(mis, pediatric) tidak memiliki saluran kerja. Dua kabel berjalan dari lever pada

handel kebawah panjang dari insersi kabel mengontrol gerakan ujung distal pada

bidang sagital. Seluruh kabel insersi dilindungi oleh bungkus metal hingga level dari

uujung distal, yang susah untuk gerakan. Gerakan bidang koronal dicapai dengan

kombinasi penggunaan control lever dan rotasi seluruh BFO dari handel ke ujun

distal. Karena serat dapat bergerak atas yang lain, kecuali ditempat bersatu pada

16

Page 17: DIFFICULT AIRWAY

ujung ekstrim kabel optic, control rotasional dimaksimalkan dengan mengurangi

lengkingan pada bungkus BFO.

Elemen terakhir dari dari BFO yaitu sumber cahaya. Iluminasi objektif di

berikan oleh satu atau dua bundle nonkoheren fiber glass yang mengirimkan sinar

dari handel menuju ujung distal. Cahaya diberikan baik oleh kabel universal yang

timbul dari handel dan diinsersi ke sumber cahaya endoskopi, atau mungkin diberikan

oleh sumber cahaya yang yang dioperasikan dengan batre pada handel.

Persiapan Bronkoskop Fiberoptik. Saat pendekatan intubasi intubasi

dibantu BFO, satu hal harus diyakinkan yaitu alatnya dapat digunakan. Serial

pemeriksaan harus dilakukan, seperti dalam daftar table 22-19

Penggunaan Bronkoskopi Fiberoptik. BFO dipegang oleh tangan

nondominan, ibu jari pada control lever dan jari telinjuk pada pada katup saluran

kerja. Tangan dominant akan digunakan untuk mendiamkan dan menahan kkabel

insersi saat dimanipulasikan pada pasien. Banyak operator tergoda untuk mengganti

tangan, tetapi ibu jari tangan nondominan harus mampu mengendalikan keseluruhan

gerakan lever pengendali. Setiap endoskopis yang berpengalaman akan mengenal

bahwa control yang halus membutuhkan pegangan pada selubung endoskopi yang

tetap, meneruskan ujung objektif ke dalam jalan nafas, dan melakukan penyesuaian

arah yang merupakan dasar seni endoskopi.

Selubung insersi dilicinkan dengan pelumas yang larut air, dan dimasukkan ke

dalam lumen ETT, ujung objektif muncul dari lubang utama ETT. ETT yang cocok

secara klinis harus dipilih, tetapi lebih besar rasio antara diameter internal ETT dan

diameter eksternal selubung insersi, lebih besar resiko menggantung pada struktur

jalan nafas, seperti terjadi pada 20-30% percobaan.

Menggantung (hangup) terjadi saat terdapat celah antara dua alat karena

perbedaan ukuran. Hangup dapat melibatkan penjebakan epiglottis, kartilago

kornikulata/aritenoid, lipatan ariepiglotis, atau lipatan pita suara, dan dapat terjadi

dengan sejumlah tehnik yang diarahkan dengan mandren (mis, fiberoptik, kawat

17

Page 18: DIFFICULT AIRWAY

retrograde, mandren bercahaya) walaupun hal tersebut paling mudah digambarkan

dengan intubasi yang dibantu fiberoptik. Orientasi dari bevel pipa trakea sangat

penting dalam hal ini. Pada intubasi orotrakea, celah bevel sepertinya terjebak pada

kartilago aritenoid kanan saat ETT pada posisi konkavitas khususnya di anterior.

Rotasi ETT 90 derajat berlawanan arah jarum jam menempatkan bevel menghadap

secara positif dan memperbaiki pasase. Selama intubasi nasotrakeal, epiglottis

mungkin terjebak, dan posisi bevel keatas (rotasi ETT 90 derajat searah jarum jam)

mungkin memfasilitasi pasase.

Tipe pipa endotrakeal dapat juga mempengaruhi pasase. Telah disarankan

bahwa ujung Parker Flex (Parker Medical, Cincinati, OH) dapat melewati struktur

jalan nafas lebih mudah dari pada bevel ETT standar. Penggunaan ETT berujung

lunak, meminta pasien untuk menarik nafas dalam selama memasukkan ETT, dan

digambarkan bahwa double setup ETT, yang menggunakan ETT kecil (mis, 5,0) di

dalam ETT yang sesuai (mis, 7,5) untuk mengatasi celah yang disebabkan oleh

perbedaan ukuran.

Klinisi memilih rute intubasi, apakah oral atau nasal, berdasarkan kebutuhan

klinis, kebutuhan pembedahan, pengalaman operator, dan tehnik intubasi lain yang

tersedia bila intubasi yang dibantu BFO akan gagal. Faktor yang terakhir ini penting

karena bila percobaan intubasi nasal gagal, terdapat perdarahan bermakna yang

menghalangi tehnik visualisasi indirek yang lain. Rute nasal dipertimbangkan lebih

mudah oleh banyak klinisi. Perbedaan antara oral dan nasal intubasi yang dibantu

BFO dibicarakan pada table 22-20.

Variasi jalan nafas intubasi (IOA) tersedia secara komersial. Fungsi utamanya

yaitu untuk memberikan jalur visual yang jelas dari aperture oral hingga faring,

mempertahankan bronkoskop pada garis tengah, mecegah pasien menggigit kabel

insersi, dan memberikan jalan nafas yang bebas untuk pasien nafas spontan atau

diventilasi dengan masker. Karakteristik umum seluruh IOA yaitu sebuah saluran

sepanjang jalan nafas cukup besar membiarkan pasase pipa trakea. Jalan nafas

18

Page 19: DIFFICULT AIRWAY

Ovassapian (22-33) menyediakan dua set semisirkular, tidak fleksibel penuh yang

menstabilkan ETT (hingga ukuran 9,0) pada midline tapi membiarkan pengangkatan

dari jalan nafas setelah intubasi selesai sehingga IOA dapat dipindahkan dari mulut.

Permukaan lidah yang datar pada jalan nafas memberikan stabilitas rotasional dan

lateral yang baik. “The Patil-Syracuse Endoscopic airway” & “Luomanen oral

airway” juga didesain untuk intubasi yang dilengkapi fiberoptik. Masing-masing

memiliki central groove, membuka pada lingual (Patil-Syracuse) atau palatal

(Luomanen), yang mempermudah pencabutan ETT. Permukaan lidah yang datar

menyebabkan stabilitas yang baik. Meskipun jenis IOA ini memberikan akses yang

mudah ke faring, jenis ini lebih besar dari yang lainnya dan sering menyebabkan

ketidaknyamanan paa pasien. The William airway & Berman airway keduanya

didesain untuk intubasi oral blind. Seringkali mengalami kesulitan saat memanipulasi

ujung fiberskop dalam jalan nafas yang sempit. Keduanya dari bahan plastic yang

dibentuk dengan lumen internal yang sirkuler seluruhnya yang akan menuntun ETT

menuju laring. Jalan nafas ini berukuran kecil dan sering ditoleransi dengan lebih

baik oleh pasien yang sadar, tapi cenderung kurang stabil di atas lidah. Oleh karena

lumen internal seutuhnya sirkuler, Jalan nafas William harus ditarik dari ETT jika

ingin dilepas setelah intubasi, akan sulit jika ETT yang digunakan memiliki sekring

sirkuit adapter. Jalan nafas Berman memecahkan masalah dengan cara memisahkan

pada sepanjang satu sisinya. Plastik sisi sebelahnya ujungnya tipis dan linak. Jika gap

incisisor cukup, jalan nafas dapat dibuka scara lateral ketika akan melepaskan ETT.

Setelah navigasi berhasil melalui jalan nafas supraglotik, endoskopis

menampakkan lipatan pita suara. Jika glottis menutup, tersumbat atau batuk terjadi

ketika ujung distal BFO menstimulasi struktur laring, operator dapat memberikan

anestesi local melalui saluran kerja, menambah sedasi atau menarik skop dan

mengadakan prosedur persiapan. Klinisi dapat juga memutuskan untuk melanjutkan

BFo ke dalam laring tanpa persipan lebih lanjut. Tindakan yang dilakukan harus

berdasarkan kondisi klinis individu; pada scenario elektif sebagai contoh, mungkin

19

Page 20: DIFFICULT AIRWAY

masih ada waktu untuk memberikan analgesia jalan nafas, sebaliknya dalam

menghadapi impending henti nafas ketidaknyamanan pasien perlu ditoleransi. Saat

memasuki laring, operator boleh memilih suatu struktur, mis karina trakea, sebagai

landmark ketika pemasangan ETT. Sederhana karena karena BFO telah memasuki

trakea, tidak ada jaminan bahwa intubasi akan berhasil. Tercatat sebelumnya, 20-30%

pendorongan ETT akan disertai penggantungan. Oleh karena itu, pasien dengan jalan

nafas yang kritis sebaiknya tidak dilakukan anestesi umum dengan asumsi ETT bakal

mudah masuk.

Setelah ETT masuk ke trakea, klinisi dapat memilih melihat ETT dan anatomi

landmark secara simultan untuk memastikan penempatan ETT yang benar sebelum

BFO dicabut.

Telah ada berbagai variasi dan barang tambahan untuk intubasi yang

dilengkapi BFO. Pembaca dirujuk ke literature primer yang terdaftar pada table 22-

21, yang tidak bertujuan untuk ekshautif.

Meskipun intubasi yang dibantu BFO merupakan tehnik yang vital dan sangat

diandalkan, ada beberapa kesukaran seperti terlampir pada table 22-22.

Intubasi yang dibantu oleh Fiberoptikfleksibel merupakan tehnik yang penuh

dengan tehnologi. Terlepas dari peralatan fiberoptik yang rumit, diantaranya: kamera,

recorder, sumber cahaya, dan barang tambahan ayang disposibel diperlukan. Kereta

dorong, membawa peralatn yang dibutuhkan sesuai pengaturan tersedia (table 22-24).

Klinisi mengatur pasien di luar kamar operasi dapat menguntungkan dari pengaturan

portabel. (table 22-35)

Peralatan Intubasi Fiberoptik rigid. Peralatan fiberoptik rigid memungkinkan

penampakan laring yang indirik dan berlaku sebagai penuntun ETT saat intubasi.

Lebih dari 1/3 anestesiologis memiliki akses ke alat ini. Peralatan yang paling umum

tersedia adalah laringoskop Bullard (ACMI, Santa Barbara, CA,USA) dan WuScope

(Pentax Pricision Instruments, Orangeburg, NY). Meskipun laringoskop tersebut

digunakan pada situasi klinis yang rutin, keduanya terutama berguna ketika

20

Page 21: DIFFICULT AIRWAY

pergerakan kepala dan leher pasien dikontraindikasikan atau memanag tidak bisa

digeakkan (mis, penyakit sendi atlanto-oksipital dan pasien dengan trauma tulang

belakang). Laringoskop ini juga dapat diaplikasikan pada celah mulut yang terbatas

(0,64 cm untuk Bullard). Alat ini terdiri dari bilah seperti laringoskop stainlesssteel

yang kaku yang memiliki kabel fiberoptik dengan okuler primer dan lensa objektif

distal. Bilahnya memiliki lengkung anatomis untuk menyesuaikan posisi netral dari

hubungan hipofaring-faring-rongga mulut manusia. Penjajaran aksis mulut, faring,

dan trakea tidak diperlukan. Pencahayaan berasal dari kabel fiberoptik kedua yang

mentransmisikan cahaya dari batere atau sumber cahaya dari luar.

Skop Bullard, yang tersedia dalam ukuran pediatric dan dewasa, adalah hasil

investigasi yang terbaik. Skop ini memiliki kabel fiberoptik yang terfiksir di bagian

posterior bilahnya. Lensa okuler memiliki diopter yang dapat diatur. Saluran kerja

juga mengatur panjang bilah. Saat laring tampak, ETT ditempatkan menggunakan

mandren yang dapat dilepas mskipun tehnik lain telah dijelaskan. Keuntungan skop

jenis Bullard dibanding bilah laringoskop tradisional adalah dalam menangani pasien

trauma spinal dan pasien obes.

Pemaparan yang adekuat dengan laringoskop Bullaard dapat dicapai setelah

gagal laringoskopi langsung. Skop Upsher tersedia dalam ukuran dewasa sesuai

tulisan ini. Selain mandren, ETT dipegang dan diteruskan melalui bentuk C pada

bilah. Tidak ada saluran kerja pada skop ini. Bagian matanya dapat difokuskan.

Skop Wu berbeda dari jenis lainnya dalam hal endoskop fiberoptik yang

fleksibel yang ditempatkan dalam jalur di tiga bagian handel dan bilah. Lumen yang

lebih besar untuk ETT. Saluran kerja diposisikan di sepanjang lumen endoskop. Dua

ukuran dewasa dibuat. Saat laring tampak dan ETT ditempatkan ke dalam trakea, dua

bagian stainless dari bilah laringoskop dipisahkkan dan dikeluarka dari mulut. Tidak

seperti kedua jenis lainnya, Skope Wu juga dapat digunakan untuk intubasi nasal

dengan menyatukan hanya bagian anterior bilah dengan handel. Sebuah ETT, yang

21

Page 22: DIFFICULT AIRWAY

sebelumnya ditempatkan dalam faring melalui nares, dapat disesuaikan ke bagian

anterior bilah.

Generasi baru dari fiberoptik difokuskan pada kesederhanaan dan portabilitas,

dengan menyatukan elemen optikal dan sumber cahaya ke dalam bungkus stainless

steel seperti mandren tunggal. Kelemahan bilah menyingkirkan lidah dan saluran

oksigen/penghisap merupakan kerugian potensial. The Bonfils Intubation Fiberscope

(Karl Storz-Endoscopy, Tuttingen, Jerman) adalh alat tubuler kaku dan panjang

dengan elemen fiberoptik trnsmisi cahaya dan optic yang konvensional. Ujung

proksimal okuler (dengan diopter yang bisa diatur) dapat digunakan dengan mata

telanjang atau disesuaikan dengan kamera endoskopi standar. Sbua kabel (atau

battery powered attachment) memberi iluminasi pencahayaan dari sumber cahaya

eksternal. Ujung distal memiliki sudut 40 derajat. Pengisap dapat digunakan melalui

saluran kerja. Tehnik penggunaan meniru pendekatan paraglossal laringoskopi telah

dibicarakan sebelumnya di bab ini. The shikani Seeing Optical Stylet (Clarus

Medical, LLC, Minnepolis, MN) (SOS) mempunyai konfigurasi yang mirip dengan

Bonfils dengan pengecualian separuh distal mandren lunak. Sumber cahaya dapat

tergabung di dalamnya.

TABEL 22-21

BANTUAN TERHADAP INTUBASI DIBANTU FIBEROPTIKTEHNIK KEUNTUNGANEndoscopy mask Mengontrol ventilasi selama berusaha memasang

intubasi dibantu BFOLaryngeal mask Penampakan yang jelas dari laring dan mampu

memventilasi selama berusaha memasang intubasi BFO

Intubasi retrograde dibantu BFO Menuntun BFO melalui kawat ketika memasuki trakea

Intubasi fiberoptik retrograde Merubah trakeostomi menjadi oral atau pipa nasotrakeal ketika intubasi antegrad sulit ataupun tak mungkin dilakukan

Intubasi dibantu dengan Sangat membantu pada massa bantuan laringoskopi rigid menyumbat/epiglottis yang besar

22

Page 23: DIFFICULT AIRWAY

TABEL 22-22

ALASAN UMUM KEGAGALAN INTUBASI DIBANTU BFO

Kurangnya pengalaman: tidak berlatih pada intubasi rutinKegagalan mengeringkan jalan nafas secara adekuat: dosis kurang atau tehik terburu-buruKegagalan menganastesi jalan nafas secara adekuat pada pasien sadar: masih ada sekresi, tehnik yang terburu-buruPerdarahan rongga hidung: vasokonstriksi tidak adekuat, tehnik terburu-buru, memasukkan ETT secara paksaDasar lidah/epiglottis yang menyumbat: pilihan intubasi buruk jalan nafas; memerlukan chin lift/jaw thrustSedasi tidak adekuat pada pasien awakeMenggantung: ETT terlalu besarBFO berkabut: pengisap atau oksigen tidak melekat ke saluran kerja; bronkoskop yang dingin

Tidak seperti Bofils, pendekatan garis tengah direkomendasikan. Beberapa penelitian

telah menginvestigasi kegunaan SOS sebagai pengganti laringoskop pada kasus

anestesi rutin. Keuntungan secara hipotesis dari praktek ini adalah mengurangi

kesulitan intubasi yang tidak terduga sebelumnya dan mempertahankan ketrampilan

tehnik alternatif dengan menggabungkannya dengan alat yang sama ke dalam praktek

sehari-hari.

Glidescope

Inovasi baru dari bantuan video telah memunculkan generasi berikutnya dari

peralatan laringoskop yang dilengkapi laringoskop. Glidescope menampilakan

gambar yang diproyeksikan secara elektronik pada layer video yang berasal dari

seperangkat video chip di ujung distal bilah laringoskop seperti bilah pada

laringoskop biasa, tapi dengan sudut lebih tajam (60 derajat). Penerangan juga berasal

23

Page 24: DIFFICULT AIRWAY

dari bagian distal. Konfigurasi memiliki beberapa keuntungan: (1) laringoskop ini

dapat dipegang dengan keahlian yang sama saat menggunakan laringoskop langsung

konvensional. (2) sudut pandanag operator (mis: perangkat video) diosisikan dekat

dengan bagian bilah distal (dengan demikian komponen fiberoptik yang rapuh dapat

dijauhkan). Oleh karena itu operator melihat diposisi belakang lidah, dan kesalahan

meletakkan seperti pad laringoskop konvensional tidak terjadi di sebagian besar

kasus. Sama juga dengan hyperplasia tonsil lingual tidak mempemgaruhi aksis seperti

pada laringoskopi langsung konvensional. (3) Gambar video jalan nafas ditampilkan

pad alayar portable ringan. Penampilan video ini memberikan visualisasi pada lebih

dari 1 individu (mis: mentor, murid). (4) sedikit trauma pada jalan nafas dengan

mengurangi kekuatan kompresif yang diarahkan pada lidah. (6) sumber cahaya

eksternal tidak diperlukan. Pada saat penulisan ini, tidak ada informasi penelitian

terkontrol yang mnyangkut alat ini.

Laringoskop Video Macintosh

Video Macintosh (VM) terdiri dari bilah dan handel laringoskop seperti yang

konvensional. Tangkai stainless steel dipasang dalam bilah yang mendapat kabel

fiberoptik pendek teriri dari sumber cahaya dan kabel optic. Kabel fiber optic

memasuki handel dimana terdapat elemen kamera. Dua kabel yang lebih basar (dan

kurang rapuh) keluar dari handel proksimal dan tersambung kea lat yang memproses

video dan cahaya standar yang brasal dari manufaktur yang sama. Gambar video

ditampilkan di monitor NTSC standar. Meskipun gambar diproyeksikan dari VM tapi

sangat mirip dengan yang terlihat dengan mata telanjang (1) Penempatan ETT

difasilitasi karena operator tidak perlu mempertahankan garis pandang yang

terobstruksi (matanya melihat ke monitor video), (2) manipulasi laring dari luar dapat

dilakukan oprator keua dan (3) penggunaan VM identik dengan standar laringoskopi

langsung, menyebabkan fasilitas video unik dan bernilai selama intruksi yang

disupervisi. Meskipun penelitian-penelitian terkontrol belum dipublikasikan pada

24

Page 25: DIFFICULT AIRWAY

waktu penulisan ini, VM akan memiliki keuntungan bermakna dalam mengajar

beberapa kesulitan laringoskop.

Kasus 2: Intubasi Kawat Retrograd

Seorang wanita 65 tahun dengan riwayat merokok 60 bungkus/tahun dan rematoid

arthritis yang lanjut datang ke unit gawat darurat dengan ditress pernafasan. Saturasi

oksigen denagn sungkup nonrebreath 85%. Memiliki celah mulut terbatas (~2,5 cm)

dan jarak thyromental 6 cm. Meskipun membrane cricotyroid dapat dipalpasi,

terdapat akse terbatas ke cricotyroid dan cinncin trakea menunjukkan kifosis servikal

yang siknifikan. Sputum dengan bercak darah dan terdapat sekresi bronchial yang

tebal. Intubasi awake blind nasal telah dicoba 2x oleh petugas emergensi, tidak

berhasil, dan menyebabkan epistaksis. Intubasi retrograde pada jalan nafas dilakukan

dengan posisi pasien duduk. Setelah anestesi infiltasi local inisial pada kulit disekitar

membrane, angiokateter 18 G dipasang di atas membrane mid-cricotiroid pada sudut

45 derajat pada dada. Setelah aspirasi bebas dari udara dilakukan, sarung Teflon

kateter di dorong ke dalam trakea. Sebuah guidewire Radiologik 0,035 inci dan

panjang 110 inci dimasukkan via kateter sampai ujung proksimal muncul dari mulut.

ETT 7,0 diletakkan melalui kawat dan dibimbing ke dalam trakea. Kawat dikeluarkan

dengan menekannya ke dalam sisi tusukan perkutaneus dan menariknya dai ujung

pipa trakea. Suara nafas diauskultasi di seluruh lapangan paru saat diventlasi dengan

tekanan positif. Saat saturasi oksigen yang baik didapatkan, berikan sedasi pada

pasien dengan midazolam iv (dalam dosis terbagi, titrasi ke efek sedative).

Penggunaan intubasi kawat retrograde (RWI) dalam manajemen jalan

nafas. RWI melibatkan penarikaan seara antegrad atau penuntunan ETT ke dalam

trakea mengunakan kawat/kateter, yang telah dilewatkan ke dalam trakea via tusukan

perkutaneus melalui membrane cricotyroid atau membrane cricotrakeal dan secara

buta dilewatkan ke dalam laring, hipofaring, faring dan keluar dari mulut/hidung.

Intubasi retrograde pertama kali ditemukan tahun 1960 oleh Butler dan Cirillo,

25

Page 26: DIFFICULT AIRWAY

dengan penempatan kateter uretral karet merah melalui lubang trakeostomi

sebelumnya melewati laring dan keluar mulut. Tehik perkutaneus yang sekarang

digunkan pertama kali ditemukan oleh Waters tahun 1963, menggunakan kateter

epidural. TAhun 1993 tehnik ini dimasukkan ke dalam Algoritma Kesulitan Jalan

nafas ASA. Peralatan dasar yang digunkan pada tehnik intubasi retrograde terlampir

pada table 22-23. RWI telah digunakan pada sejumlah kondisi klinis sebagai tehnik

intubasi primer (elektif ataupun mendesak) dan setelah kegagalan laringoskop

langsung, intubasi dengan bantuan fiberoptik dan intubasi LMA. Indikasi yang paling

sering adalah kesulitan visualisasi lipatan pita suara akibat darah, sekresi, ataupun

variasi anatomis; tulang servikal yang tidak stabil, keganasan jalan nafas atas; dan

fraktur mandibula. Kontraindikasi termasuk kesulitan akses ke membrane crycotyroid

atau ligament cricotrakeal (akibat deformitas leher yang parah, obesitas, massa),

penyakit laringotrakeal (stenosis, keganasan, infeksi), koagulopati dan infeksi kulit.

Hubungan anatomis yang dipertimbangkn pada RWI telah dijabarkan di bagian lain

pada bab ini. Umumnya prosedur ini membutuhkan waktu 5 menit. OLeh karena

kebanyakan klinisi tidak fasih dengan tehnik ini, mereka lebih membutuhkan banyak

waktu; jadi pasien dengan hipoksia merupakan kontraindikasi relative untuk RWI.

RWI telah digunakan pada situasi elektif dan emergensi, pada dewasa dan bayi di

kamar operasi, IRD dan diluar lingkungan RS. Komplikasinya dapat dilihat pada

table 22-24.

Sekarang ini, RWI dipilih pada suatu keadaan dimana pasien tidak apnu atau

dapat menyokong ventilasi dan oksigenasinya sendiri, sekalipun sulit. Dua kasus

berbeda pada kegagalan impending respiratori (kasus 2) versus intubasi dibantu BFO

yang dilakukan pada kondisi stabil (kasus 1). Pada banyak situasi dimana awake

intubasi merupakan pendekatan inisial yang nyata untuk mengamankan jalan nafas,

ada sedikit waktu untuk persiapan pasin (mis:pemberian antisialagogues, anestesi

ropikal, dan/atau sedasi). Dalam hal ini, RWI tidak memerlukan lapangan pandang

yanag jelas atau kerjasama pasien dan dapat dilakukan dengan sedikit analgesic pada

26

Page 27: DIFFICULT AIRWAY

jalan nafas. Tehnik RWI sangat berbeda dari metode intubasi trakeal lain yang sering

dilakukan anestsiologis. Sebaiknya RWI perlu dipelajari pada simulator/manekin

sebelum dilakukan pada pasien, Sebagai tambahan, kecuali melatih RWI secara

sering, RWI dapat menghabiskan waktu. Untuk alasan ini, RWI merupakan pilihan

yang buruk untuk menyelamatkan kesulitan jalan nafas yang akut.

Penerapan RWI. RWI umumnya dilakukan pada pasien dengan posisi

supine, meskipun posisi duduk sering digunakan pada pasien dengan distress

pernafasan. Ekstensi kepala atau leher memindahkan kartilago trakeal dan cricoid

secara anterior dan memindahkan otot sternokleidomastoideus ke lateral, meskipun

pada kasus 2, hal ini tidak selalu memungkinkan. Kulit harus dipersiapkan. Jika

pasien sadar, anestesi local pada kulit diberikan disekitar sisi tusukan. Anestesi local

pad jalan nafas perlu diberikan untuk mencegah ketidak nyamanan dan refleks-refleks

jalan nafas, jika waktu mengijinkan. Umumnya anestesi toppikal pada trakea, laring,

faring dan rongga hidung diperlukan Sekali. Anestesi translaringeal merupakan

tehnik yang tepat karena pada RWI diperlukan memasuki trakea secara perkutaneus.

Struktur di atas dan di bawah lipatan pita suara dianestesi pada pasien sedang batuk

jika syringe yang terisi anestesi local dipakai memfasilitasi pengenalan penempatan

yang tepat

TABEL 22-23

PERLENGKAPAN UNTUK RWI

Angiokateter 18 G atau lebih besarSyringe Luer-lock, 3 ml atau lebih besarKawat penuntun:

Lebih disukai yang ujungnya bentuk J Panjang: sedikitnya 2,5 kali panjang ETT standar (biasanya 110-120 cm) Diameter: yang dapat melewati angiokateter yang dipilih

Lainnya: bilah scalpel, hook saraf, Forceps Magill, benang silk 30”, kateter epidural

(dengan gelembung udara trakea) dan kemudian diinjeksikan untuk memberikan

anestesi jalan napas.

27

Page 28: DIFFICULT AIRWAY

Seperti yang telah diketahui sebelumnya, CTM dan CTL merupakan lokasi

yang potensial untuk penusukan translaringeal. Meskipun CTM mamiliki keuntungan

berupa letaknya yanglebih anterior pada permukaan posterior dari kartilago krikoid,

sehingga melindungi esofagus dari jarum sewaktu dilakukan penusukan, jarum yang

ditusukkan akan berada lebih proksimal (0,9 sampai 1,5 cm) dari pita suara sehingga

dapat menurunkan batas kesalahan pada waktu melakukan intubasi.

Meskipun secara klasik dapat dilakukan dnegan jarum Tuohy dan kateter

epidural, penggunaan jarum dengan diameter yang lebih kecil, disertai kawat yang

lebih keras dengan ujung J yang atraumatik telah membuat modifikasi guidewire ini

menjadi populer. Guidewire ini biasanya memiliki diameter 0,032 sampai 0,038

inchi, sehingga dapat melewati kateter intravena yang berukuran 18G. Panjang

biasanya berada di antara 110 dan 120 cm. Syarat satu-satunya mengenai panjang

kawat tersebut adalah dua klai lipat dari panjang tabungtrakea, sehingga tidak akan

ada masalah dimanapun letak tabung trakea tersebut, kedua ujung lawat ini harus

dapat diakses oleh operator. Alat yang biasanya menyatukan semua perlengkapan

telah tersedia.

Pendekatan dengan jarum/catheter ke arah trakea pada 90o ke arah bidang

koronal dan sagital jika mungkin. Dengan orientasi ini, jarum akan mengenai

aspektus poaterior dari kartilago krikoid jika ditusukkan terlalu dalam, dan juga tidak

dapat menembus esofagus. Sebagai tambahan sudut ini akan membantu menghindari

trauma di daerah pita suara.

Setelah pungsi perkutaneus dibuat dan trakea diidentifikasi dengan adanya

aspirasi udara bebas, kateter kemudian diarahkan ke arah kepala dan kawatnya

dimasukkan (j-tip) ke dalam trakea sampai keluar dari mulut atau hidung. Kawat ini

mungkin perlu dikeluarkan secara manual dengan sapuan jari, forsep Magill atau

nerve hook. Obstruksi yang ada akibat penekanan kawat seharusnya dinilai dengan

reevaluasi sudut kateter dan posisi kepala dan leher (misalnya katetrnya diletakkan di

arah posterior dan/atau kaudal, leher fleksi). Proses batuk bisanya terjadi akibat

28

Page 29: DIFFICULT AIRWAY

perjalanan kawat. Jika kawat ini mengalami tarikan dan menjadi bengkok, sangat

penting untuk untuk memasang yang baru. Apabila ditemui keluhan nyeri pada

bagina diatas laring, biasanya adalah akibat dari jalannya kawat ke arah rongga

hidung yang tidak adekuat. Pilihan yang meliputi retraksi kawat secara halus dan

meminta pasien untuk membuka mulutnya dan secara maksimal menjulurkan

lidahnya selama pemasangan, mencapai orofaring untuk mengeluarkan kawatnya,

atau pasien mempersiapkan jalur nasal. Pada saat kawat berhasil diambil,

pemasangan pipa trakea dapat dilakukan dengan menggunakan kawat dengan

berbagai cara, tergantung dari pemilihan operator dan pengalaman sebelumya. Tabel

22-25 berisikan teknik umum, bersama dnegan keuntungan dan kerugiannya. Teknik

secara rinci dijelaskan di bagian lain.

Dalam kasus yang dilaporkan, teknik lain dapat juga dipertimbnagkan,

meskipun peralatan visual indirek (bronkoskopi fiberoptik fleksibel, laringoskop

fiberoptik rigid) juga dapat digunakan dalam kasus ini, tiga elemen yang

menyebabkan kontraindikasi (1) trauma jaringan akibat percobaan yang berulang

pada intubasi nasal buta sehingga menyebbakan jalan napas yang berdarah, sehingga

mempersulit penggunaan alat ini; (2) pasien tidak mampu bekerja sama akibat adanya

gangguan napas; (3) karena kegagalan napas yang tertunda, sehingga diperlukan

sedikit waktu untuk memberikan analgesia jalan napas. Batuk, tersedak, pada pasien

yang sadar penggunaan teknik fiberoptik menjadi tidak mungkin. Penggunaan

intubasi fiberoptik dalam keadaan sadra kan menyebabkan robekan Mallory-Weiss

pada esofagus, sehingga menyebabkan perdarahan yang signifikan.

Intubasi nasal tanpamelihat adalah teknik pertama yangdilakukan pada pasien.

Sampai akhir-akhir ini intubasi nasal tanpa melihat menyebabkan gangguan jalan

napas, terutama dalam departemen gawat darurat, dimana serig kali dilakukan

intubasi darurat. Teknik ini membutuhkan analgesik yang kuat pada jalur nasal pasien

pada pasien yang sadar. keberhasilan dapat dilihat dari napas pasien yang menjadi

spontan. Dengan kepala dalam posisi Magill, ETT dimasukkan ke dalam lubang

29

Page 30: DIFFICULT AIRWAY

hidung, jalur nasal (pertahankan ETT disepanjang septum nasal), dan ke dalam

faring. Suara napas diauskultasi dari ETT, dan posisinya disesuaikan untuk

menjaganya tetap maksimal. Kepala pasien dan laringnya dapat dimanipulasi secara

eksternal apabila diperlukan.

Kasus 3: combitube esofageal dan trakeal.

Seorang laki-laki yang berusia 55 tahun dengan riwayat sirosis dan varises

esofagus membutuhkan pengendalian jalan napas sebagai akibat dari perdarahan

gastrointestinal atas yang rekuren yang terjadi secara akut. Selain adanya darah segar

di saluran napas, pemeriksaan fisik di jalan napas luarnya menggunakan laringoskopi

rutin. Lebih jauh lagi, dia sudah pernah diintubasi akibat hal yanhg sama. Setelah

diinduksi dengan cepat, laring pasien tidak dapat terlihat dengan tiga laringoskop

karena adanya pancaran darah segar yang berasal dari esofagus. Dari ketiga

percobaan tersebut, ETT kemudian dimasukkan secar buta-butaan, dan pada

emeriksaan selanjutnya tidak terdengar bunyi napas di dada bersamaan dengan

adanya darah di ETT sehingga didiagnosis dengan intubasi esofageal. Kemudian

diminta penggunaan Combitube trakea esofageal berukuran dewasa, dan dimasukkan

secara buta-butaan lagi ke jalan napas, kemudian balon distal dan faringeal

dikembungkan. Ventilasi melelui perforasi lumen faringeal (biru) menghasilkan suara

napas bilateral pada saat diauskultasi, dan saturasi oksigen meningkat menjadi > 90

persen. Darah yang menempel di tabung kemudian dihisap dari lumen esofagus.

Pasien kemudian dipindahkan ke ruangan angiografi dimana varises esofagusnya

akan diembolisasi. Combitube esofageal trakea kemudian dilepaskan dan pasien

diintubasi dengan laringoskopi direk.

30

Page 31: DIFFICULT AIRWAY

Sejarah combitube esofageal trakea.

Combitube esofageal trakea pertama kali dikembangkan dari konsep jalan

napas obturator esofageal (ESO), yang diperkenalkan mulai tahun 1968. ESO terdiri

dari tabung seperti trakea, dengan panjang 34 cm, disertai dengan balon yang dapat

dikembangkempiskan, pada ujungnya. Tabung ini dimasukkan secara buta-butaan ke

dalam esofagus supaya balonnya berada pada tngkat ynag lebih tinggi dan berada di

karina trakea. Enam belas lubang terhubung dengan lumen sentral dan diletakkan

sedemikian rupa di dalam hipofaring pada saat dimasukkan dengan kedalaman yang

sesuai. Sebuah sungkup muka berada pada ujung proksimalnya yang digunakan untuk

menutupi jalan napas. Ventilasi tercapai dengan cara memberikan tekanan positif

pada ujung proksimal yang terbuka, dimana akan masuk melalui sungkup muka.

Akan tetapi, masalah/ komplikasi yang signifikan pada saat ESO digunakan untuk

praktek rutin.

ESO yang baru kemudian dikembangkan oleh Dr. Michael Frass, seorang

dokter ahli critical care di Vienna, Austria, pada tahun 1986. sungkup muka pada

ESO kemudian diganti dengan balon orofaring, sehingga menutupi jalan napas atas

dan menempelkan alat ini pada palatum durum. Sama seperti ESO, lubang pada

hipofaring dapat dilalui oleh udara sampai ke arah yang dekat dengan laring. Lubang

kedua, berada ditengah-tengah mulai dari proksimal sampai distal, tanpa adanya

perforasi diganti dengan tabung esofageal yang buta untuk ESO. Dimana pada ESO,

balon pada ujung tabung menutupi esofagus. Desain ini dinamakan Tracheal

Esophageal Combitube, yang fungsinya pada saat dimasukkan ke esofagus (ventilasi

tercapai melalui lubnag trakea, melalui lubang distal). Dalam kasus manapun, balon

di bagian proksimal akan menutup jalan masuk udara peroral maupun per nasal, dan

balon pada tabung trakea distal mengisolasi sistem respirasi dari sistem

gastrointestinal. Alat ini memiliki dua ukuran: ukuran 41Fr digunakan untuk orang

dewasa besar ( > 5,5 kaki) dan ukuran 37Fr untuk orang dewasa yang tingginya 4

31

Page 32: DIFFICULT AIRWAY

sampai 6 kaki. Meskipun alat ini hanya dapat digunakan satu kali, penggunaan

combitube yang diproses dan digunakan ulang telah banyak dilaporkan.

Penggunaan combitube esofageal trakeal

Combitube esofageal trakea ini dimasukkan secara buta. Operator akan

mengangkat rahang bawah dan lidah ke arah anterior dengan satu tangan, dan

combitube esofageal trakeal dimasukkan ke arah bawah, kemudian digerakkan

caudad-curved sampai mencapai kedalaman proksimal yang sesuai dengan

indikatornya (dua lingkaran hitam yang dicetak pada tabung berlumen ganda) berada

di gigi. Balon orofaringeal kemudian dikembangkan dengan 100 mL udara melalui

balon biru sebagai indikatornya (85 mL untuk ukuran dewasa) sedangkan balon

distalnya dikembungkan dengan 5 sampai 15 mL udara (melalui balon berwarna

putih sebagai indikator). Ambu bag atau sirkuit anestesia dipasangkan pada ujung

proksimal lumen esofagus (yang terbuat dari polivinil klorida yang berwarna biru),

dan ventilasinya dipastikan melalui auskultasi atau cara lainnya. Karena 90%

peletakkan combitube esofageal trakea pada posisi esofagus, ventilasi yang terjadi

melalui lubang pada hipofaringeal. Jika tidak ada suara napas melalui auskultasi

dan/atau didapatkan inflasi gaster, combitube esofageal trakea mungkin terletak di

trakea. Tanpa melakukan reposisi, ventilasinya diubahh kearah ujung distal lumen

trakea (polivinil klorida yang berwarna putih). Jika manuver apapun tidak

meningkatkan ventilasi, alat ini kemungkinan besar berada di esofagus, namun terlalu

masuk ke dalam, dengan balon orofaringeal menyumbat jalan napas. Apabila terjadi

hal seperti ini, balon harus dikempeskan, dan alatnya ditarik keluar kira-kira 2 cm,

dan ventilasinya diulang.

Keuntungan dari combitube esofageal trakea meliputi pengendalian jalan

napas yang cepat, perlindungan jalan napas dari regurgitasi, kemudahan penggunaan

bahkan oleh operator yang belum berpengalaman, tidak membutuhkan syarat laring

yang terlihat, dan mampu menjaga leher dalam posisi yang netral, melalui gerakan

32

Page 33: DIFFICULT AIRWAY

tulang belakang yang mungkin lebih luas daripada LMA, LMA-fastrach, dan

fiberskop fleksibel. Hal ini telah ditunjukkan berguna dalam perdarahan

gastrointestinal yang banyak atau muntah, dan dapat berfungsi sebagai alat induksi

cepat apabila cara lain gagal atau pada kesulitan intubasi yang tidak diantisipasi

sebelumya. Alat ini juga berguna pada orang yang obese morbid, dalam

bronkospasme akut, selama resusitasi kardiopulmoner, dan untuk ventilasi yang

memanjang setelah penyelamatan jalan napas. Beberapa seri telah menunjukkan

keefektifan combitube esofageal trakea dalam penanganan jalan napas pra rumah

sakit. Urtubia et al telah menggunakan combitube esofageal trakea untuk

pembedahan elektif dengan angka keberhasilan yang tinggi dan angka komplikasi

yang rendah.

Teknik pertukaran combitube esofageal trakea (setelah stabilisasi pasien)

untuk endotrakeal tube pun telah dijelaskan.

Kontraindikasi penggunaan combitube esofageal trakea meliputi obstruksi

esofagus atau abnormalitas lainnya, tertelan agen kaustik, adanya benda asing atau

massa di jalan napas bawah, tinggi badan yang kurang dari 4 kaki, dan adnaya refleks

cegukan yang intak. Karena combitube esofageal trakea berbahan dasar lateks, alat

ini tidak boleh digunakan pada pasien yang alergi dengan bahan lateks.

Komplikasi yang berkaitan dnegan combitube esofageal trakea meliputi

laserasi sinus piriformis dan dinding esofagus menyebabkan emfisema subkutan,

pneumomediastinum, pneumoperitoneum, dan ruptur esofagus.

Alat yang mirip dengan esophageal tracheal combitube telah tersedia pada

banyak tempat di dunia sejak 2003. Easy Tube (EzT) dibagikan dalam dua ukuran,

41ch untuk pasien dengan tinggi diatas 130 cm dan 28ch untuk pasien 90-130 cm.

Tidak seperti combitube, lumen distal Ezt dirancang menyerupai ETT (termasuk

Murphy eye). Apertura faring dirancang memudahkan pasase fiberskop (atau kateter

pengisap). EzT dirancang untuk anestetik rutin demikian juga emergensi dan situasi

tidak dapat diintubasi/tidak apat diventilasi. Kontraindikasi terhadap penggunaan EzT

33

Page 34: DIFFICULT AIRWAY

yaitu identik terhadap combitube. Walaupun dapat dimasukkan secara blind,

dirancang untukdigunakan dengan laringoskopi (lebih seperti ETT standar). Bebas

lateks, tidak seperti Combitube.

Kasus 4: Gagal Induksi Urutan Cepat dan LMA

Seorang laki-laki umur 39 tahun datang untuk uvulofaringopalatoplasty elektif. Tidak

terdapat riwayat operasi. Jarak incisisor 5 cm, tyromental distance 7 cm, dan

penampakan orofaringeal klas 2 Samson-Young. Tidak ada limitasi fleksi dan

ekstensi kepala dan leher. Terdapat 15 kali sleep apne tiap jam. Terdapat riwayat

refluks gastroesofageal yang signifikan, dan induksi urutan cepat direncanakan.

Setelah pemberian pentotal, succinilkolin, dan tekanan pada cricoid (sellick

Manuver), laringoskopi langsung dengan bilah laringoskop macintosh nomor 3

memperlihatkan epiglotis besar yang menutupi pandangan lipatan pita suara.

Hiperplasia signifikan pangkal lidah, yang mencegah penggeseran penuh. Manuver

BURP tidak memperbaiki pandangan. Bilah Macintosh 4 dan Miller 3 digunakan dan

tidak memperbaiki pandangan. Saturasi oksigen, 100% sebelum induksi, jadi 92%,

dan ventilasi facemask dilakukan dengan Sellick Manuver. Didapatkan sumbatan

penuh, walaupun chin and/or jaw lift, ventilasi dua orang, dan dan pengurangan

derajat tekanan cricoid. Saturasi oksigen turun hingga 85% dan LMA no 5 (yang

sudah disiapkan sebelum induksi anestesi) dimasukkan dengan tehnik seperti yang

dijelaskan oleh penemu. Selanjutnya, didaptkan jalan nafas yang bebas, dan tekanan

Sellick tetap dilakukan. Dosis kedua pentotal diberikan, dan pasien diintubasi dengan

pasase blind ETT no 7 via LMA. LMA kemudian dicabut menggunakan kateter

penukar jalan nafas Cook sebagai mandren dan dilakukan pembedahan.

LMA pada gagal jalan nafas. Satu keuntungan yang jelas dari LMA yaitu

pada gagal jalan nafas. Terdapat banyak laporan (dan tidak dilaporkan) kasus gagal

intubasi dan kegagalan diventilasi dengan facemask dimana jalan nafas diamankan

dengan LMA. Parmet dkk memperkirakan 1:800.000 pasien gagaal jalan nafas tidak

34

Page 35: DIFFICULT AIRWAY

dapat ditangani denganLMA, memberikan peningkatan 80 kali pada margin

keamanan melebihi 1:10.000 pasien yang tidak dapat diventilasi dengan mask atau

diintubasi dengan cara tradisional. Literatur menjelaskan penggunaan LMA pada

manajemen jalan nafas sulit elektif pada awake dan tidak sadar, pada situasi yang

diantisipasi dan tidak, pada trauma tulang servikal, dan pada sindroma dismorfik

pediatrik. Karakteristik LMA yang mendasari keunggulannya sebagai alat pada jalan

nafas sulit yaitu baik ditoleransi, mensimulasikan distensi alamiah jaringan

hipofaringeal oleh makanan, dan insersinya mengikuti jalur intrinsik, tanpa distorsi

jaringan (seperti pada laringoskop), dimamana tidak mungkin pada pasien. Akhirnya

merupakan tehnik blind yang tidak dihalangi oleh darah, sekresi, debris dan edema

dari percobaan laringoskop sebelumnya. Karena kemudahan insersi LMA tidak

tergantung pada anatomi yang dapat dinilai pada pameriksaan fisik rutin, penilaian

jalan nafas khusus tidak sesuai enerapannya. Kerugian terbesar dari LMA yaiyu

ketiadan perlindungan mekanik dari regurgitasi dan aspirasi. Tekanan crycoid efektif

pada LMA. Jika tersedia, LMA Fastrack menjadi alat ideal pada skenario kasus.

Kasus 5: Deviasi Algoritma Jalan Nafas Sulit

Tiga belas jam setelah dimasukkan ke ICU, seorang wanita umur 76 thun yang

bertahan terhadap trauma wajah, kepala, dan leher pada kecelakaan kendaraan

bermotor diamati menurun secara progresif tingkat kesadaaran dan usaha nafasnya.

Pada pemeriksaan, terdapat jarak incisisor dan tyromental distal yang cukkup.

Pemampakan orofaringeal dan jarak gerakan leher dan kepala tidak dapat dinilai.

Ketidakmampuan menilai secara penuh jalan nafas dengan kemungkinan mudah

diintubasi, prosedur awake dipilih. Peralatan fiberoptik tidak dipertimbangkan

berguna karena terdapat darah sgar dan klotting di dalam mulut karena kelanjutan

epistaksis. Tehnik jalan nafas lain yang memerlukan persiapan signifikan pasien tidak

dipertimbangkan karena perkembangan cepat dari kegagalan respirasi pasien. Sebagai

tambahan, terdapatnya darah segar di dalam rongga mulut dan faring akan

35

Page 36: DIFFICULT AIRWAY

menghalangi pengeringan dan analgesia yang adkuat. Intubasi nasal blind

dikontraindikasikan berdasarkan trauma fasial yang jelas dan resiko kerusakan

palatum cribiformis. Peralatan intubasi retrograd atau trakeal esofageal combitube

tidak tersedia segera. Tersedia penuntun intubasi mandren, tetapi tidak ada klinisi

yang berpengalaman dengan tehnik ini. Walaupun perubahan status mental

merefleksikan suatu proses intrakranial (mis, hipertensi intrakranial), resiko

kehlangan jalan nafas dipikrkan hazard klinis primer. Laringoskopi langsung awake

dicoba dengan manual satu garis stabilisasi leher. Setelah pembersihan darah segar

dari faring dengan Yankuer kateter pengisap, penampakan laring derajat 3

didapatkan, tetapi karena hambatan pasien (gigitan pada laringoskop dan bergerak),

intubasi trakea tidak tercapai. Keputusan untuk melalkukan induksi urutan cepat dan

intubasi, dengan persiapan untuk melakukan trakeostomi. Setelah persiapan

pembedahan leher dan preoksigenasi, succynilkolin iv dan etomidate diberikan,

laringoskopi langsung dilakukan, alring mudah terlihat dan trakea diintubasi.

Relaksan Otot dan Laringoskopi Langsung. Pada kasus yang digambarkan

sebelumnya, penggunaan plumpuh otot secara bermakna memperbaiki penampakan

laring. Pada studi terbaru, penggunaan pelumpuh otot selama laringoskopi langsung

meningkatkan angka keberhasilan intubasi dan dihubungkan dengan insiden trauma

jalan nafas, aspirasi, bahkan kematian yang lebih sedikit. Kondisi intubasi dengan

atau tanpa pelimpuh otot telah diteliti pada beberap trial well-control karena kaondisi

intubasi yang superior dicapai dengan pelumpuh otot telah melemahkan inclusi

kelompok kontrol. Efek kerja relaksasi otot yang memperbaiki penglihata

laringoskopi termasuk membuat relaksasi sempurna dan pembukaan TMJ, gerakan

anterior epiglotis, dan pelebaran vestila laring dan sinus laringeal. Tambahan,

penemuan bahwa stimulasi laringoskop terhadap otot faring menyebabkan lumen

jalan nafas atas menjadi kecil diatasi dengan penggunaan pelemas otot.

36

Page 37: DIFFICULT AIRWAY

Meninggalkan Algoritma. Situasi yang digambarkan pada kasus 5 tidak

biasa pada induksi urutan cepat dicoba karena situasi klinis telah menyimpang dari

ASA DAA karena perkembangan alamiah jalan nafas. Pada kasus ini, sifat pelumpuh

otot, yang mungkin dikontraindikasikan pada pasien susah diintubasi, menyebabkan

penampakan penuh laring. Mengetahui bahwa kegagalan intubasi pada kasus ini akan

berakibat kemungkinan kehilanagan jalan nafas, klinisi dipersiapkan untuk

crycotirotomi. Walaupun ASA DAA merupakan alat yang bernilai pada proses

pendekatan jalan nafas sulit, klinisi harus selalu dipersiapkan untuk kasus yang tidak

sesusi dengan rencana. Seperti yang dinyatakan diawal, kemampuan adaptasi pada

perubahan cepat situasi klinis penting untuk keberhasilan manejemen jalan nafas.

Juga ketertarikan pada kasus ini yaitu ketersediaan mandren yang bercahaya untuk

digunakan skenario jalan nafas sulit yang sama. Walaupun alat ini telah berjasa pada

kasus yang baru-baru ini, tidak ada klinisi yang terbiasa dengan pengoperasiannya.

Suatu situasi kritis tidak membiarkan untuk mencoba tehnologi yang tidak biasa.

Alat-alat lainnya

Suatu peningkata jumlah alat-alat manajemen jalan nafas tersedia secara komersial.

Walaupun cakupan encyclopedia alat-alat ini diluar skop dari bab ini, review

peralatan yang sudah biaasa akan dibicarakan.

Lighted Stylets (Mandren Bercahaya)

Alat ini mendasarkan pada pencahayaan pada jalan nafas. Sumber cahaya diarahkan

trakea akan menghasilkan terang jaringan diatas laring dan trakea. Cahaya yang

samaditempatkan dalam esophagus akan menyebabkan cahay difus atau tidak ada.

Sejumlah alat telah tersedia, termasuk disposable, disposable sebagian dan dapat

digunakan ulang secara penuh. Walaupun terdapat banyak laporan keberhasilan

intubasi menggunakan alat-alat ini, beberapa masalah umum telah dicatat: Secara

37

Page 38: DIFFICULT AIRWAY

umum, cahaya ok harus diburamkan untuk menampilkan sinar sekeliling yang

terbaik; ujung mandren berhasil ditempatkan di dalam trakea, tetapi tidak

mengarahkan ke anterior, menyebabkan penilaian false-negatif; sering susah menarik

mandren semirigid dari ETT setelah intubasi.

Bougie Jalan Nafas

Menghadapi suatu serial solid dan sempit, mandren semimalleabel dapat secara blind

dimanipulasi ke dalam trakea. Sebuah ETT kemudian dimasuki bougie dan ke dalam

trakea. Bougie ini biasanya murah dan sangat portable. Eschmann mandren

dikenalkan tahun 1949. Panjang 60 cm, bsar 15, dan 40 derajat 3,5 cm dari ujung

disatal. Terbuat dari dasar polyester yang maleabel. Bisa sangat membantu saat laring

tidak dapat dilihat dengan laringoskopi. Mandren (dikenal juga sebagai gum elastic

bougie) dapat dimanipulasi di bawah epiglottis, segmen sudutnya diarahkan ke

anterior menuju laring. Sekali memasuki laring dan trakea, suatu rasa clicking timbul

saat ujungnya melewati struktur kartilago. Alat yang sama, Frova Intubating

Introducer merupakan alat disposable, dengan pilihan mandren kaku dan lubang

sempit. Lumen internal dapat untuk insuflasi oksigen, deteksi karbon dioksida, dan

penggunaan balon yang terisi sendiri untuk mendeteksi penempatan ke esophagus.

Prosedur Invasif Minimal Transtrakeal

Saat akses ke jalan nafas dari mulut atau hidung gagal atau tidak ada (mis, trauma

maksillofasial, faringeal, atau laryngeal, patologi atau deformitas), akses emergensi

via trakea ekstrathorakal merupakan jalan yang mungkin untuk jalan nafas. Klinisi

harus familiar dengan tehnik oksigenasi dan ventilasi alternative ini. Keputusan untuk

melakukan prosedur invasive dapat sulit, dan kebanyakan klinisi akan terganggu pada

potensi resiko terhadap pasien. Satu yang harus dipertimbangkan untuk menjadi fasih

dengan paling tidak satu dari tehnik ini pada situasi elektif (seperti aspirasi trantrakeal

38

Page 39: DIFFICULT AIRWAY

untuk analgesia jalan nafas atau intubasi retrograde elektif atau pertimbangkan

contohnya bantuan suatu bedah trakeostomi kolega). Walaupun trakeostomi dan

crycotiroidotomi diluar cakupan dari bab ini, tehnik perkutaneus akan

dipertimbangkan.

Cricotiroidotomi, cricotyrotomi, coniotomi dan minitrakeostomi sama untuk

mengamankan jalan udara melalui cricotyroid membrane. Struktur nantomi dan yang

meliputinya sudah dibicarakan sebelumnya di bab ini. Walaupun cricotyrotomi

merupakan prosedur pilihan pada situsi emergensi, dapat juga digunakan pada situasi

elektif saat terdapat akses yang terbatas terhadap trakea (mis, kiposkoliosi servikal

berat). Cricotyrotomi dikontraindikasikan pada neonatus dan anak dibawah umur 6

tahun, dan pada pasien dengan fraktur laring.

Jet Ventilasi Transtrakeal Perkutaneus

Jet ventilasi transtrakeal perkutaneus (JVTP), sebagai bentuk dari cricotyroidotomi,

paling familiar bagi anesthesiologist. ASA DAA mendaftarkan JVTP sebagai pilihan

pada situasi tidak dapat diventilasi mask/tidak apat diintubasi. JVTP merupakan cara

mudah dan aman untuk mempertahankan hidup pasien pada situasi kritis. Sebuah

kateter iv no 12, 14, atau 16 dihubungkan ke syringe kosong atau sebagian terisi

cairan (garam atau anestetik local) yang 5 ml atau lebih besar dapat digunakan untuk

memasuki jalan nafas. Pasien diposisikan supine, dengan kepala pada garis tengah,

atau diekstensi terhadap leher dan thoraks (jika tidak dikontraindikasikan oleh situasi

klinis). Setelah persiapan aseptic, anestetik local disuntikkan di atas membrane

cricoid (jika pasien bangun dan waktu mengijinkan). Klinisi tangan kanan berdiri

pada sisi kanan pasien menghadap kepala. Klinisi dapat menggunakan tangannya

yang tidak dominant untuk menstabilkan laring. Jarum kateter diteruskan pada sudut

kanan pada bidang datar pada kaudal ketiiga membrane. Dari saat penusukan harus

dilakukan aspirasi yang konstan pada syringe. Bebas aspirasi udara menunjukkan

masuknya ke dalam trakea. Kecuali terdapat cairan paru yang signifikan (mis, darah,

39

Page 40: DIFFICULT AIRWAY

isi aspirasi lambung, atau air dari tenggelam), aspirasi udara trakea harus dapat

dikendalikan. Rangkaian kateter-jarum harus diteruskan sedikit-sedikit, dan

selanjutnya kateter dilanjutkan sepenuhnya ke jalan nafas secara sendiri.

Walaupuntehnik ini telah digambarkan dengan angiokateter biasa, tersedia alat yang

dibuat anti kinking dan dengan port asesoris.

Sekali kateter telah berhasil ditempatkan pada jalan nafas, dihubungkan

sumber oksigen. Klinisi memiliki pilihan dalam hal ini. Jika tersedia system tekanan

tinggi, sumber oksigen yang terdapat meterannya dan dapat disesuaikan dengan katup

yang dikontrol tangan dan konektor Luer-lock 25-30 psi oksigen (suplai oksigen

sentral atau regulator silinder) dapat dialirkan secara langsung melalui kateter,

dengan insuflasi 1-1,5 detik dengan jumlah 12 kali/menit. Jika kateter no 16 telah

ditempatkan, system akan mengalirkan volume tidal 400-700 ml. Siatem tekanan

rendah tidak dapat mengalirkan cukup aliran untuk mengembangkan dada secara

adekuat untuk oksigenasi dan ventilasi (mis, ambu bag: 6 psi, gas outlet yang umum:

20 psi).

Tekanan rendah aliran oksigen dapat diunakan untuk TTJV. Sistem ini

mampu mengalirkan secara singkat (0,5 detik) 30 psi tekanan aliran, yang secara

cepat menurun secara cepat menjadi 5 psi atau kurang. Jika sumber oksigen ini

digunakan rasio I:E =1:1 dengan frekuensi 30-60 nafas/menit harus digunakan untuk

menjamin tekanan aliran yang adekuat.

Jet Ventilator Muallem mengotomatisasikan siklus pernafasan selama jet

ventlasi. Alat ini dikembangkan terutama untuk penggunaan selama bronkoskopi

tetapi dapat dilakukan untuk TTJV.

Sistem cricotyroidotomi perkutaneus khusus telah dikembangkan yang

mempermudah tehnik ini. Alat ini umumnya menyediakan akses lubang yang besar

yang adekuat untuk oksigenasi dan ventilasi dengan system tekanan rendah. Set

kateter cricotyroidotomi emegensi Melker menggunakan Seldinger-kateter atas

kawat-tehnik yang familiar pada kebanyakan praktisi anesthesia. Setnya terdiri dari

40

Page 41: DIFFICULT AIRWAY

variasi ukuran kanula (3,5 , 4, dan 6 mm diameter internal berbalon dan tidak

berbalon). Persiapan dan penempatan pasien sama seperti dengan jarum

cricotyroidotomi. Incisi vertical 1-1,5 cm kulit dibuat diatas 1/3 bawah membrane

cricotyroid. Ke kaudal 45 derajat, tusukan perkutaneus jaringan subkutaneus dan

membrane cricotyroid dibuat dengan set jarum-kateter no 18 dan syringe. Setelah

udara diaspirasi, kateter dimasukkan ke dalam trakea. Kawat penuntun dimasukan

melalui kateter dan ke dalam trakea. Kateter ditarik dan kanula trakea, yang

dilengkapi dengan dilator dimasukkan melalui kawat. Dilator dimasukkan melalui

membrane menggunakan tekanan yang tetap. Hambatan yang signifikan terhadap

pendorongan mengindikasikan incise kulit perlu diperluas. Sekali dilator kanula telah

dimasukkan secara penuh, dilator dan kawat ditarik. Ujung adapter sirkuit 15 mm

kanula kemudian dihubungkan ke ambubag atau sirkuit anesthesia.

Sistem perkutaneus lain termasuk Nu-Trake dan QuickTrach kateter

transtrakeal. Tehnk tusukan tanpa jarum di luar pembahasan sekarang.

KESIMPULAN

Bagian dari monitoring, manajemen rutin jalan nafas pasien merupakan tugas

anesthesiologist paling umum-bahkan selama pemberian anesthesia regional, jalan

nafas harus dimonitor dan dibantu. Sayangnya, tugas rutin sering jadi tugas yang

diterlantarkan dalam hal perhatian yang merupakan hal yang diusahakan setiap saat.

Tetapi konsekuensi kehilangan jalan nafas yaitu bencana dimana klinisi tidak akan

pernah mengusahakan pendekatan yang buruk.

Walaupun ASA’ Task Force pada jalan nafas sulit telah memberkan

komunitas kedokteran alat yang sangat bernilai dalam pendekatan terhadap pasien

dengan jalan nafas sulit, algoritma Task Force harus dilihat hanya sebagai titik awal.

Penilaian, pengalaman, situasi klinis, dan sumber yang ada seluruhnya mempengaruhi

ketepatan jalur yang dipilih, atau keluar dari algoritma. Klinisi tidak butuh jadi ahli

41

Page 42: DIFFICULT AIRWAY

untuk seluruh peralatan dan tehnik yang tersedia sekaran ini. Namun rangkaian luas

pendekatan harus dikuasai, sehingga kegagalan dari satu tehnik tidak menjadikan

penghalang kebehasilan.

Hampir sama, komunitas pembuat alat-alat kedokteran, dan klinisi yang

pandangan ke depan yang menyediakannya dengan konsep produk manajemen jalan

nafas, telah menyalurkan alat-alat yang bermacam-macam. Banyak konsep, dan

masing-masing memiliki pendukung dan penela. Tidak aa stupun alat yang superior

diatas yang lainnya bila dipertimbangkan tersendiri. Sehingga klinisi dan sunbernya

(peralatan dan personel) dan penilaian yang menentukan efektivitas dari masing-

masing tehnik. Pada manajemen jalan nafas sulit, fleksibilitas dan tidak kekakuan

yang berlaku.

42