Faradiba Febriani
Faradiba Febriani1102011096
Skenario 2 : TRAUMA PADA KEPALASasaran Belajar:1. Mengetahui dan
Memahami Trauma Kepala (Craniocerebral)1.1. Definisi1.2.
Etiologi1.3. Klasifikasi1.4. Patofisiologi1.5. Manifestasi
Klinik1.6. Diagnosis dan Diagnosis Banding1.7. Tatalaksana1.8.
Komplikasi1.9. Pencegahan1.10. Prognosis2. Mengetahui dan Memahami
Perdarahan Intrakranial2.1. Perdarahan Subdural2.2. Perdarahan
Epidural2.3. Perdarahan Intraserebral3. Mengetahui dan Memahami
Fraktur Basis Cranii4. Mengetahui dan Memahami Respon Cushing
1. Mengetahui dan Memahami Trauma Kepala (Craniocerebral)1.1.
DefinisiMenurut Brunner dan Suddarth (2001), cedera kepala adalah
cedera yang terjadi pada kulit kepala, tengkorak dan otak,
sedangkan Doenges, (1999) cedera kepala adalah cedera kepala
terbuka dan tertutup yang terjadi karena, fraktur tengkorak,
kombusio gegar serebri, kontusio memar, leserasi dan perdarahan
serebral subarakhnoid, subdural, epidural, intraserebral, batang
otak. Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung
atau deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan
tengkorak dan otak (Pierce & Neil. 2006). Adapun menurut Brain
Injury Assosiation of America (2009), cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun
degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik
dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.Beberapa
pengertian diatas dapat disimpulkan, bahwa cedera kepala adalah
trauma pada kulit kepala, tengkorak, dan otak yang terjadi baik
secara langsung ataupun tidak langsung pada kepala yang dapat
mengakibatkan terjadinya penurunan kesadaran bahkan dapat
menyebabkan kematiaan.1.2. EtiologiRosjidi (2007), penyebab cedera
kepala antara lain:1. Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan
bermotor atau sepeda, dan mobil.2. Kecelakaan pada saat olah raga,
anak dengan ketergantungan.3. Cedera akibat kekerasan.4. Benda
tumpul, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat
merobek otak.5. Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan,
biasanya lebih berat sifatnya.6. Benda tajam, kerusakan terjadi
hanya terbatas pada daerah dimana dapat merobek otak, misalnya
tertembak peluru atau benda tajam.1.3. KlasifikasiMenurut, Brunner
dan Suddarth, (2001) cedera kepala ada 2 macam yaitu:a. Cedera
kepala terbukaLuka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan
pecahnya tengkorak atau luka penetrasi, besarnya cedera kepala pada
tipe ini ditentukan oleh massa dan bentuk dari benturan, kerusakan
otak juga dapat terjadi jika tulang tengkorak menusuk dan masuk
kedalam jaringan otak dan melukai durameter saraf otak, jaringan
sel otak akibat benda tajam/ tembakan, cedera kepala terbuka
memungkinkan kuman pathogen memiliki abses langsung ke otak.b.
Cedera kepala tertutupBenturan kranial pada jaringan otak didalam
tengkorak ialah goncangan yang mendadak. Dampaknya mirip dengan
sesuatu yang bergerak cepat, kemudian serentak berhenti dan bila
ada cairan akan tumpah. Cedera kepala tertutup meliputi: kombusio
gagar otak, kontusio memar, dan laserasi.Rosjidi (2007), trauma
kepala diklasifikasikan menjadi derajat berdasarkan nilai dari
Glasgow Coma Scale ( GCS ) nya, yaitu;a. Ringan1.) GCS = 13 152.)
Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari
30 menit.3.) Tidakada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur
cerebral, hematoma Cedera kepala dapat diklasifikasikan dalam
berbagai aspek yang secara deskripsi dapat dikelompokkan berdasar
mekanisme, morfologi, dan beratnya cedera kepala. (IKABI, 2004).a.
Berdasarkanmekanismenyacedera kepala dikelompokkan menjadi dua
yaitu1). cedera kepala tumpul.Cedera kepala tumpul biasanya
berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh/pukulan benda
tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan decelerasi yang
menyebabkan otak bergerak didalam rongga kranial dan melakukan
kontak pada protuberas tulang tengkorak.2). Cedera tembus.Cedera
tembus disebabkan oleh luka tembak atau tusukan. (IKABI, 2004)b.
Berdasarkan morfologi cedera kepala.Cedera kepala menurut (Tandian,
2011). Dapat terjadi diarea tulang tengkorak yang meliputi1).
Laserasi kulit kepalaLaserasi kulit kepala sering didapatkan pada
pasien cedera kepala. Kulit kepala/scalp terdiri dari lima lapisan
(dengan akronim SCALP) yaitu skin, connective tissue dan
perikranii. Diantara galea aponeurosis dan periosteum terdapat
jaringan ikat longgar yang memungkinkan kulit bergerak terhadap
tulang. Pada fraktur tulang kepala, sering terjadi robekan pada
lapisan ini. Lapisan ini banyak mengandung pembuluh darah dan
jaringan ikat longgar, maka perlukaan yang terjadi dapat
mengakibatkan perdarahan yang cukup banyak.2). Fraktur tulang
kepalaFraktur tulang tengkorak berdasarkan pada garis fraktur
dibagi menjadia). Fraktur linierFraktur linier merupakan fraktur
dengan bentuk garis tunggal atau stellata pada tulang tengkorak
yang mengenai seluruh ketebalan tulang kepala. Fraktur lenier dapat
terjadi jika gaya langsung yang bekerja pada tulang kepala cukup
besar tetapi tidak menyebabkan tulang kepala bending dan tidak
terdapat fragmen fraktur yang masuk kedalam rongga intrakranial.b).
Fraktur diastasisFraktur diastasis adalah jenis fraktur yang
terjadi pada sutura tulamg tengkorak yang mengababkan pelebaran
sutura-sutura tulang kepala. Jenis fraktur ini sering terjadi pada
bayi dan balita karena sutura-sutura belum menyatu dengan erat.
Fraktur diastasis pada usia dewasa sering terjadi pada sutura
lambdoid dan dapat mengakibatkan terjadinya hematum epidural.c).
Fraktur kominutifFraktur kominutif adalah jenis fraktur tulang
kepala yang meiliki lebih dari satu fragmen dalam satu area
fraktur.
d). Fraktur impresiFraktur impresi tulang kepala terjadi akibat
benturan dengan tenaga besar yang langsung mengenai tulang kepala
dan pada area yang kecal. Fraktur impresi pada tulang kepala dapat
menyebabkan penekanan atau laserasi pada duremater dan jaringan
otak, fraktur impresi dianggap bermakna terjadi, jika tabula
eksterna segmen yang impresi masuk dibawah tabula interna segmen
tulang yang sehat.e). Fraktur basis kraniiFraktur basis kranii
adalah suatu fraktur linier yang terjadi pada dasar tulang
tengkorak, fraktur ini seringkali diertai dengan robekan pada
durameter yang merekat erat pada dasar tengkorak. Fraktur basis
kranii berdasarkan letak anatomi di bagi menjadi fraktur fossa
anterior, fraktur fossa media dan fraktur fossa posterior. Secara
anatomi ada perbedaan struktur di daerah basis kranii dan tulang
kalfaria. Durameter daerah basis krani lebih tipis dibandingkan
daerah kalfaria dan durameter daerah basis melekat lebih erat pada
tulang dibandingkan daerah kalfaria. Sehingga bila terjadi fraktur
daerah basis dapat menyebabkan robekan durameter. Hal ini dapat
menyebabkan kebocoran cairan cerebrospinal yang menimbulkan resiko
terjadinya infeksi selaput otak (meningitis). Pada pemeriksaan
klinis dapat ditemukan rhinorrhea dan raccon eyes sign (fraktur
basis kranii fossa anterior), atau ottorhea dan batles sign
(fraktur basis kranii fossa media). Kondisi ini juga dapat
menyebabkan lesi saraf kranial yang paling sering terjadi adalah
gangguan saraf penciuman (N,olfactorius). Saraf wajah (N.facialis)
dan saraf pendengaran (N.vestibulokokhlearis). Penanganan dari
fraktur basis kranii meliputi pencegahan peningkatan tekanan
intrakranial yang mendadak misalnya dengan mencegah batuk,
mengejan, dan makanan yang tidak menyebabkan sembelit. Jaga
kebersihan sekitar lubang hidung dan telinga, jika perlu dilakukan
tampon steril (konsultasi ahli THT) pada tanda bloody/
otorrhea/otoliquorrhea. Pada penderita dengan tanda-tanda
bloody/otorrhea/otoliquorrhea penderita tidur dengan posisi
terlentang dan kepala miring ke posisi yang sehat.3). Cedera kepala
di area intrakranial.Menurut (Tobing, 2011) yang diklasifikasikan
menjadi cedera otak fokal dan cedera otak difus.1). Cedera otak
fokal yang meliputia). Perdarahan epidural atau epidural hematoma
(EDH)Epidural hematom (EDH) adalah adanya darah di ruang epidural
yitu ruang potensial antara tabula interna tulang tengkorak dan
durameter. Epidural hematom dapat menimbulkan penurunan kesadaran
adanya interval lusid selama beberapa jam dan kemudian terjadi
defisit neorologis berupa hemiparesis kontralateral dan gelatasi
pupil itsilateral. Gejala lain yang ditimbulkan antara lain sakit
kepala, muntah, kejang dan hemiparesis.b). Perdarahan subdural akut
atau subdural hematom (SDH) akut.Perdarahan subdural akut adalah
terkumpulnya darah di ruang subdural yang terjadi akut (6-3 hari).
Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil dipermukaan
korteks cerebri. Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh
hemisfir otak. Biasanya kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan
prognosisnya jauh lebih buruk dibanding pada perdarahan
epidural.c). Perdarahan subdural kronik atau SDH kronikSubdural
hematom kronik adalah terkumpulnya darah diruang subdural lebih
dari 3 minggu setelah trauma. Subdural hematom kronik diawali dari
SDH akut dengan jumlah darah yang sedikit. Darah di ruang subdural
akan memicu terjadinya inflamasi sehingga akan terbentuk bekuan
darah atau clot yang bersifat tamponade. Dalam beberapa hari akan
terjadi infasi fibroblast ke dalam clot dan membentuk noumembran
pada lapisan dalam (korteks) dan lapisan luar (durameter).
Pembentukan neomembran tersebut akan di ikuti dengan pembentukan
kapiler baru dan terjadi fibrinolitik sehingga terjadi proses
degradasi atau likoefaksi bekuan darah sehingga terakumulasinya
cairan hipertonis yang dilapisi membran semi permeabel. Jika
keadaan ini terjadi maka akan menarik likuor diluar membran masuk
kedalam membran sehingga cairan subdural bertambah banyak. Gejala
klinis yang dapat ditimbulkan oleh SDH kronis antara lain sakit
kepala, bingung, kesulitan berbahasa dan gejala yang menyerupai TIA
(transient ischemic attack).disamping itu dapat terjadi defisit
neorologi yang berfariasi seperti kelemahan otorik dan kejangd).
Perdarahan intra cerebral atau intracerebral hematom (ICH) Intra
cerebral hematom adalah area perdarahan yanghomogen dan konfluen
yang terdapat didalam parenkim otak. Intra cerebral hematom bukan
disebabkan oleh benturan antara parenkim otak dengan tulang
tengkorak, tetapi disebabkan oleh gaya akselerasi dan deselerasi
akibat trauma yang menyebabkan pecahnya pembuluh darah yang
terletak lebih dalam, yaitu di parenkim otak atau pembuluh darah
kortikal dan subkortikal. Gejala klinis yang ditimbulkan oleh ICH
antara lain adanya penurunan kesadaran. Derajat penurunan
kesadarannya dipengaruhi oleh mekanisme dan energi dari trauma yang
dialami.e). Perdarahan subarahnoit traumatika (SAH)Perdarahan
subarahnoit diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah kortikal baik
arteri maupun vena dalam jumlah tertentu akibat trauma dapat
memasuki ruang subarahnoit dan disebut sebagai perdarahan
subarahnoit (PSA). Luasnya PSA menggambarkan luasnya kerusakan
pembuluh darah, juga menggambarkan burukna prognosa. PSA yang luas
akan memicu terjadinya vasospasme pembuluh darah dan menyebabkan
iskemia akut luas dengan manifestasi edema cerebri.
2). Cedera otak difus menurut (Sadewa, 2011)Cedera kepala difus
adalah terminologi yang menunjukkan kondisi parenkim otak setelah
terjadinya trauma. Terjadinya cedera kepala difus disebabkan karena
gaya akselerasi dan deselarasi gaya rotasi dan translasi yang
menyebabkan bergesernya parenkim otak dari permukaan terhadap
parenkim yang sebelah dalam. Fasospasme luas pembuluh darah
dikarenakan adanya perdarahan subarahnoit traumatika yang
menyebabkan terhentinya sirkulasi diparenkim otak dengan
manifestasi iskemia yang luas edema otak luas disebabkan karena
hipoksia akibat renjatan sistemik, bermanifestasi sebagai cedera
kepala difus. Dari gambaran morfologi pencitraan atau radiologi
menurut (Sadewa, 2011) maka cedera kepala difus dikelompokkan
menjadi .a). Cedera akson difus (difuse aksonal injury) DAIDifus
axonal injury adalah keadaan dimana serabut subkortikal yang
menghubungkan inti permukaan otak dengan inti profunda otak
(serabut proyeksi), maupun serabut yang menghubungkan inti-inti
dalam satu hemisfer (asosiasi) dan serabut yang menghbungkan
inti-inti permukaan kedua hemisfer (komisura) mengalami kerusakan.
Kerusakan sejenis ini lebih disebabkan karena gaya rotasi antara
initi profunda dengan inti permukaan .b). Kontsuio cerebriKontusio
cerebri adalah kerusakan parenkimal otak yang disebabkan karena
efek gaya akselerasi dan deselerasi. Mekanisme lain yang menjadi
penyebab kontosio cerebri adalah adanya gaya coup dan countercoup,
dimana hal tersebut menunjukkan besarnya gaya yang sanggup merusak
struktur parenkim otak yang terlindung begitu kuat oleh tulang dan
cairan otak yang begitu kompak. Lokasi kontusio yang begitu khas
adalah kerusakan jaringan parenkim otak yang berlawanan dengan arah
datangnya gaya yang mengenai kepala.c). Edema cerebriEdema cerebri
terjadi karena gangguan vaskuler akibat trauma kepala. Pada edema
cerebri tidak tampak adanya kerusakan parenkim otak namun terlihat
pendorongan hebat pada daerah yang mengalami edema. Edema otak
bilateral lebih disebabkan karena episode hipoksia yang umumnya
dikarenakan adanya renjatan hipovolemik.d). Iskemia cerebriIskemia
cerebri terjadi karena suplai aliran darah ke bagian otak berkurang
atau terhenti. Kejadian iskemia cerebri berlangsung lama (kronik
progresif) dan disebabkan karena penyakit degeneratif pembuluh
darah otak.
Cedera kepala yang sudah di uraikan di atas menurut (Judikh
Middleton,2007) akan menimbulkan gangguan neurologis / tanda-tanda
sesuai dengan area atau tempat lesinya yang meliputia. Lobus
frontal atau bagian depan kepala dengan tanda-tanda1). Adanya
gangguan pergerakan bagian tubuh (kelumpuhan)a). Ketidakmampuan
untuk melakukan gerakan rumit yang di perlukan untuk menyelesaikan
tugas yang memiliki langkah-langkah, seperti membuat kopib).
Kehilangan spontanitas dalam berinteraksi dengan orang lain c).
Kehilangan fleksibilitas dalam berpikird). Ketidakmampuan fokus
pada tugase). Perubahan kondisi kejiwaan (mudah emosional)f).
Perubahan dalam perilaku sosial g). Perubahan dalam personalitash).
Ketidakmampuan dalam berpikir (kehilangan memory)b. Lobus parietal,
dekat bagian belakang dan atas dari kepala1). Ketidakmampuan untuk
menghadirkan lebih dari satu obyek pada waktu yang bersamaan2).
Ketidakmapuan untuk memberi nama sebuah obyek (anomia)3).
Ketidakmampuanuntukmelokalisasikata-katadalamtulisan (agraphia)4).
Gangguan dalam membaca (alexia)5). Kesulitan menggambar obyek6).
Kesulitan membedakan kiri dan kanan7). Kesulitan mengerjakan
matematika (dyscalculia)8). Penurunan kesadaran pada bagian tubuh
tertentu dan/area disekitar (apraksia) yang memicu kesulitan dalam
perawatan diri9). Ketidakmampuan fokus pada perhatian
fisual/penglihatan10). Kesulitan koordinasi mata dan tanganc. Lobus
oksipital, area paling belakang, di belakang kepala1). Gangguan
pada penglihatan (gangguan lapang pandang)2). Kesulitan
melokalisasi obyek di lingkungan3). Kesulitan mengenali warna
(aknosia warna)4). Teriptanya halusinasi5). Ilusi
visual-ketidakakuratan dalam melihat obyek6). Buta
kata-ketidakmampuan mengenali kata7). Kesulitan mengenali obyek
yang bergambar8). Ketidakmampuan mengenali gerakan dari obyek9).
Kesulitan membaca dan menulisd. Lobus temporal : sisi kepala di
atas telinga1). Kesulitan mengenali wajah (prosoprognosia)2).
Kesulitan memahami ucapan (afasiawernicke)3). Gangguan perhatian
selektif pada apa yang dilihat dan didengar4). Kesulitan
identifikasi dan verbalisai obyek5). Hilang ingatan jangka
pendek6). Gangguan memori jangka panjang7). Penurunan dan
peningkatan ketertarikan pada oerilaku seksual8). Ketidakmampuan
mengkategorikan onyek (kategorisasi)9). Kerusakan lobus kanan dapat
menyebabkan pembicaraan yang persisten10). Peningkatan perilaku
agresif e. Batang otak : dalam di otak1). Penurunan kapasitas vital
dalam bernapas, penting dalam berpidato2). Menelan makanan dan air
(dysfagia)3). Kesulitan dalam organisasi/persepsi terhadap
lingkungan4). Masalah dalam keseimbangan dan gerakan5). Sakit
kepala dan mual (vertigo)6). Kesulitan tidur (insomnia, apnea saat
tidur)f. Cerebellum : dasar otak1) Kehilangan kemampuan untuk
mengkoordinasi gerakan halus2) Kehilangan kemampuan berjalan3)
Ketidakmampuan meraih obyek4) Bergetar (tremors)5) Sakit kepala
(vertigo)6) Ketidakmampuan membuat gerakan cepatc. Klasifikasi
cedera kepala berdasarkan beratnya.Cedera kepala berdasarkan
beratnya cedera, menurut (Mansjoer,2000) dapat diklasifikasikan
penilaiannya berdasarkan skor GCS dan dikelompokkan menjadi1).
Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14 15.1. Pasien sadar,
menuruti perintah tapi disorientasi.2. Tidak ada kehilangan
kesadaran3. Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang4.
Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing5. Pasien dapat
menderita laserasi, hematoma kulit kepala6. Tidak adanya criteria
cedera kepala sedang-berat2). Cedera kepala sedang dengan nilai GCS
9 13.Pasien bisa atau tidak bisa menuruti perintah, namun tidak
memberi respon yang sesuai dengan pernyataan yang di berikan.a).
Amnesia paska trauma b). Muntahc). Tanda kemungkinan fraktur
cranium (tanda Battle, mata rabun, hemotimpanum, otorea atau
rinorea cairan serebro spinal)d). Kejang3). Cedera kepala berat
dengan nilai GCS sama atau kurang dari 8.a). Penurunan kesadaran
secara progresifb). Tanda neorologis fokalc). Cedera kepala
penetrasi atau teraba fraktur depresi cranium (mansjoer, 2000)1.4.
PatofisiologiCedera memang peranan yang sangat besar dalam
menentukan berat ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu
kepala. Cedera percepatan aselerasi terjadi jika benda yang sedang
bergerak membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan
benda tumpul, atau karena kena lemparan benda tumpul. Cedera
perlambatan deselerasi adalah bila kepala membentur objek yang
secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah.
Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat
gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang
terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan
ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala,
yang menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba
dan batang otak.Berdasarkan patofisiologinya, kita mengenal dua
macam cedera otak, yaitu cedera otak primer dan cedera otak
sekunder. Cedera otak primer adalah cedera yang terjadi saat atau
bersamaan dengan kejadian trauma, dan merupakan suatu fenomena
mekanik. Umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa
kita lakukan kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang
sedang sakit bisa mengalami proses penyembuhan yang optimal. Cedera
primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada
permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau
hemoragi karena terjatuh, dipukul, kecelakaan dan trauma saat lahir
yang bisa mengakibatkan terjadinya gangguan pada seluruh sistem
dalam tubuh. Sedangkan cedera otak sekunder merupakan hasil dari
proses yang berkelanjutan sesudah atau berkaitan dengan cedera
primer dan lebih merupakan fenomena metabolik sebagai akibat,
cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi
serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Cidera kepala
terjadi karena beberapa hal diantanya, bila trauma ekstra kranial
akan dapat menyebabkan adanya leserasi pada kulit kepala
selanjutnya bisa perdarahan karena mengenai pembuluh darah. Karena
perdarahan yang terjadi terus- menerus dapat menyebabkan hipoksia,
hiperemi peningkatan volume darah pada area peningkatan
permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua
menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan
tekanan intrakranial (TIK), adapun, hipotensi (Soetomo, 2002).Namun
bila trauma mengenai tulang kepala akan menyebabkan robekan dan
terjadi perdarahan juga. Cidera kepala intra kranial dapat
mengakibatkan laserasi, perdarahan dan kerusakan jaringan otak
bahkan bisa terjadi kerusakan susunan syaraf kranial tertama
motorik yang mengakibatkan terjadinya gangguan dalam mobilitas
(Brain, 2009).
1.5. Manifestasi KlinikGejala-gejala yang ditimbulkan tergantung
pada besarnya dan distribusi cedera otak.1. Cedera kepala ringan
menurut Sylvia A (2005)a. Kebingungan saat kejadian dan
kebinggungan terus menetap setelah cedera.b. Pusing menetap dan
sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas.c. Kesulitan
berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah tingkah
lakuGejala-gejala ini dapat menetap selama beberapa hari, beberapa
minggu atau lebih lama setelah konkusio cedera otak akibat trauma
ringan.2. Cedera kepala sedang, Diane C (2002)a. Kelemahan pada
salah satu tubuh yang disertai dengan kebinggungan atau hahkan
koma.b. Gangguan kesedaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba
defisit neurologik, perubahan TTV, gangguan penglihatan dan
pendengaran, disfungsi sensorik, kejang otot, sakit kepala, vertigo
dan gangguan pergerakan.3. Cedera kepala berat, Diane C (2002)a.
Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah
terjadinya penurunan kesehatan.b. Pupil tidak aktual, pemeriksaan
motorik tidak aktual, adanya cedera terbuka, fraktur tengkorak dan
penurunan neurologik.c. Nyeri, menetap atau setempat, biasanya
menunjukan fraktur.d. Fraktur pada kubah kranial menyebabkan
pembengkakan pada area tersebut.1.6. Diagnosis dan Diagnosis
BandingPEMERIKSAAN LABORATORIUMLevel hematokrit, kimia, dan profil
koagulasi (termasuk hitung trombosit) penting dalam penilaian
pasien dengan perdarahan epidural, baik spontan maupun trauma.
Cedera kepala berat dapat menyebabkan pelepasan tromboplastin
jaringan, yang mengakibatkan DIC. Pengetahuan utama akan
koagulopati dibutuhkan jika pembedahan akan dilakukan. Jika
dibutuhkan, faktor-faktor yang tepat diberikan pre-operatif dan
intra-operatif. Pada orang dewasa, perdarahan epidural jarang
menyebabkan penurunan yang signifikan pada level hematokrit dalam
rongga kranium kaku. Pada bayi, yang volume darahnya terbatas,
perdarahan epidural dalam kranium meluas dengan sutura terbuka yang
menyebabkan kehilangan darah yang berarti. Perdarahan yang demikian
mengakibatkan ketidakstabilan hemodinamik; karenanya dibutuhkan
pengawasan berhati-hati dan sering terhadap level hematokrit.
PENCITRAAN Radiografi Radiografi kranium selalu mengungkap fraktur
menyilang bayangan vaskular cabang arteri meningea media. Fraktur
oksipital, frontal atau vertex juga mungkin diamati. Kemunculan
sebuah fraktur tidak selalu menjamin adanya perdarahan epidural.
Namun, > 90% kasus perdarahan epidural berhubungan dengan
fraktur kranium. Pada anak-anak, jumlah ini berkurang karena
kecacatan kranium yang lebih besar. CT-scan CT-scan merupakan
metode yang paling akurat dan sensitif dalam mendiagnosa perdarahan
epidural akut. Temuan ini khas. Ruang yang ditempati perdarahan
epidural dibatasi oleh perlekatan dura ke skema bagian dalam
kranium, khususnya pada garis sutura, memberi tampilan lentikular
atau bikonveks. Hidrosefalus mungkin muncul pada pasien dengan
perdarahan epidural fossa posterior yang besar mendesak efek massa
dan menghambat ventrikel keempat. CSF tidak biasanya menyatu dengan
perdarahan epidural; karena itu hematom kurang densitasnya dan
homogen. Kuantitas hemoglobin dalam hematom menentukan jumlah
radiasi yang diserap. Tanda densitas hematom dibandingkan dengan
perubahan parenkim otak dari waktu ke waktu setelah cedera. Fase
akut memperlihatkan hiperdensitas (yaitu tanda terang pada
CT-scan). Hematom kemudian menjadi isodensitas dalam 2-4 minggu,
lalu menjadi hipodensitas (yaitu tanda gelap) setelahnya. Darah
hiperakut mungkin diamati sebagai isodensitas atau area
densitas-rendah, yang mungkin mengindikasikan perdarahan yang
sedang berlangsung atau level hemoglobin serum yang rendah. Area
lain yang kurang sering terlibat adalah vertex, sebuah area dimana
konfirmasi diagnosis CT-scan mungkin sulit. Perdarahan epidural
vertex dapat disalahtafsirkan sebagai artefak dalam potongan
CT-scan aksial tradisional. Bahkan ketika terdeteksi dengan benar,
volume dan efek massa dapat dengan mudah disalahartikan. Pada
beberapa kasus, rekonstruksi coronal dan sagital dapat digunakan
untuk mengevaluasi hematom pada lempengan coronal. Kira-kira 10-15%
kasus perdarahan epidural berhubungan dengan lesi intrakranial
lainnya. Lesi-lesi ini termasuk perdarahan subdural, kontusio
serebral, dan hematom intraserebral MRI : perdarahan akut pada MRI
terlihat isointense, menjadikan cara ini kurang tepat untuk
mendeteksi perdarahan pada trauma akut. Efek massa, bagaimanapun,
dapat diamati ketika meluas.1.7. Tatalaksana1. Dexamethason/
kalmetason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai
dengan berat ringannya trauma.2. Therapi hiperventilasi (trauma
kepala berat) untuk mengurangi vasodilatasi.3. Pemberian
analgetik.4. Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu;
manitol 20%, glukosa 40% atau gliserol.5. Antibiotik yang
mengandung barier darah otak (pinicilin) atau untuk infeksi anaerob
diberikan metronidazole.6. Makanan atau caioran infus dextrose 5%,
aminousin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan) 2-3
hari kemudian diberikan makanan lunak.7. Pembedahan.CEDERA KEPALA
RINGANDefinisi: Pasien bangun, dan mungkin bisa berorientasi (SKG
14-15). (Tidak termasuk pasien sadar kelompok cedera kepala
berat).Pengelolaan setelah pasien distabilkan :1. Riwayat: Jenis
dan saat kecelakaan, kehilangan kesadaran, amnesia, nyeri kepala,
perdarahan hidung / mulut / telinga, kejang2. Pemeriksaan umum
untuk menegakkan cedera sistemik3. Pemeriksaan neurologis4.
Radiografi tengkorak5. Radiografi servikal dan lain-lain atas
indikasi6. Kadar alkohol darah serta urin untuk skrining toksik
(bila ada).7. CT scan idealnya dilakukan bila didapatkan tujuh
pertama dari kriteria rawat.Algoritma Pasien Cedera otak
traumatikPenilaian dan Tindakan pada Cedera Otak Traumatika (COT)
Pra Rumah Sakit Rujukan.Nilai, Tindak, Stabilkan ABC.
Apa Pasien Membuka MataTerhadap Kenapa Anda? Nilai Pasien Apa
Pasien Membuka Mata Terhadap Cubitan Ketiak/Penekanan Pangkal kuku.
Amankan jalan nafas (Intubasi bila tersedia), Hiperventilasi. Nilai
Oksigenasi. Pastikan SaO2 > 90% (Bila tersedia). Nilai Tekanan
Darah. Pastikan TDS > 90 mm HgKriteria Rawat:1. Amnesia post
traumatika jelas (lebih dari 1 jam)2. Riwayat kehilangan kesadaran
(lebih dari 15 menit)3. Penurunan tingkat kesadaran4. Nyeri kepala
sedang hingga berat5. Intoksikasi alkohol atau obat6. Fraktura
tengkorak 7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea (cedera kepala
berat)8. Cedera penyerta yang jelas9. Tidak punya orang serumah
yang dapat dipertanggung-jawabkan10. CT scan abnormalDipulangkan
dari UGD:1. Pasien tidak memiliki kriteria rawat2. Beritahukan
untuk kembali bila timbul masalah dan jelaskan tentang 'lembar
peringatan'3. Rencanakan untuk kontrol dalam 1 mingguMajoritas
pasien yang datang ke UGD dengan cedera kepala berada pada kategori
ini. Pasien dalam keadaan bangun saat diperiksa dokter namun
mungkin amnestik atas kejadian sekitar saat cedera. Mungkin
terdapat riwayat kehilangan kesadaran sebentar yang mungkin
dikacaukan oleh alkohol atau intoksikans lain. 3% pasien secara
tidak disangka memburuk dan gawat neurologis bila kelainan status
mentalnya tidak segera diketahui. Sinar-x tengkorak dilakukan untuk
mencari keadaan : fraktura tengkorak linear atau depressed, posisi
kelenjar pineal bila mengalami kalsifikasi, level air-udara dalam
sinus, pneumosefalus, fraktura fasial, dan benda asing, mengikuti
panel yang dirancang berdasarkan pada tingkat risiko:1. Untuk
kelompok dengan risiko rendah, dengan tanda-tanda dan gejala-gejala
minimal seperti nyeri kepala, pusing, atau laserasi kulit kepala :
pulangkan kelingkungan yang dapat dipertanggung-jawabkan untuk
pengamatan, dengan tidak memerlukan radiografi tengkorak.2. Untuk
kelompok dengan risiko sedang, dengan muntah, intoksikasi alkohol
atau obat, amnesia post traumatika, atau tanda-tanda fraktura
basiler atau depressed : pengamatan ketat, pertimbangan untuk CT
scan atau radiografi foto polos serta konsultasi bedah saraf.3.
Untuk kelompok dengan risiko tinggi, dengan gejala-gejala serius
seperti tingkat kesadaran yang tertekan atau menurun, tanda-tanda
neurologis fokal atau cedera tembus : konsultasi bedah saraf dan CT
scan emergensi.Tiga perempat pasien cedera kepala tidak memerlukan
sinar-x tengkorak, tidak berarti menyingkirkan pertimbangan klinis.
Tanda klinis basis yang fraktur, hematoma orbital, rhinorrhea atau
otorrrhea CSS, hemotimpanum, atau tanda Battle, harus dianggap
bukti fraktura basal dan mengharuskan pasien untuk
dirawat.Idealnya, CT scan dilakukan pada semua pasien, walau
prakteknya serta biayanya, tidak mungkin. Bila pasien alert serta
dibawah pengawasan selama 12-24 jam, dapat ditunda atau bila perlu
dibatalkan. Tidak ada obat-obatan yang dianjurkan kecuali analgesik
non narkotik seperti parasetamol. Toksoid tetanus diberikan bila
terdapat luka terbuka. Tes darah rutin tidak perlu bila tidak ada
cedera sistemik. Cedera kepala ringan dengan CT scan normal
dipulangkan bila ada yang bertanggung jawab dirumah dan dengan
menyertakan 'lembar peringatan' untuk menempatkan pasien dalam
pengamatan ketat sekitar 12 jam dan kembali bila sesuatu terjadi.
Bila tidak memiliki relasi yang bertanggung-jawab, pasien tetap di
UGD 12 jam dengan pemeriksaan neurologis setiap setengah jam dan
kemudian dipulangkan bila stabil.Bila ditemukan lesi pada CT scan,
pasien harus dirawat dan dikelola sesuai perjalanan neurologisnya.
CT scan berikutnya bila terjadi perburukan neurologis.CEDERA KEPALA
SEDANGDefinisi: Pasien mungkin konfusi atau somnolen namun tetap
mampu untuk mengikuti perintah sederhana (SKG 9-13).Pengelolaan:Di
Unit Gawat Darurat:1. Riwayat: jenis dan saat kecelakaan,
kehilangan kesadaran, perdarahan hidung /mulut /telinga, kejang2.
Pemeriksaan umum guna menyingkirkan cedera sistemik3. Pemeriksaan
neurologis4. Radiograf tengkorak bila diduga trauma tembus5.
Radiograf tulang belakang leher dan lain-lain bila ada indikasi6.
Kadar alkohol darah dan skrining toksik dari urin 7. Contoh darah
untuk penentuan golongan darah8. Tes darah dasar dan EKG9. CT scan
kepala10. Rawat untuk pengamatan bahkan bila CT scan normalSetelah
dirawat:1. Pemeriksaan neurologis setiap setengah jam2. CT scan
bila ada perburukan neurologisWalau pasien ini tetap mampu
mengikuti perintah sederhana, mereka dapat memburuk secara cepat.
Karenanya harus ditindak hampir seperti halnya terhadap pasien
cedera kepala berat, walau mungkin dengan kewaspadaan yang tidak
begitu akut terhadap urgensi.CEDERA KEPALA BERATDefinisi: Pasien
tidak mampu mengikuti bahkan perintah sederhana karena gangguan
kesadaran (SKG 8). (Tidak termasuk disini kelompok cedera kepala
berat dengan GCS > 8).PENGELOLAAN INISIAL CEDERA KEPALA
BERATPrioritas pertama pada pasien cedera kepala adalah resusitasi
fisiologis yang lengkap dan cepat. Tidak ada tindakan spesifik
untuk hipertensi intrakranial yang tidak disertai tanda-tanda
herniasi tentorial atau perburukan neurologis progresif yang tidak
diakibatkan oleh kelainan ekstrakranial. Bila tanda-tanda herniasi
transtentorial atau perburukan neurologis yang bukan disebabkan
kelainan ekstrakranial tampil, pikirkan bahwa hipertensi
intrakranial terjadi dan segera tindak dengan agresif.
Hiperventilasi segera lakukan. Mannitol disukai namun dibawah
keadaan resusitasi cairan yang adekuat.Sedasi dan blok
neuromuskuler dapat berguna untuk mengoptimalkan transport, namun
masing-masing mempengaruhi pemeriksaan neurologis. Jenis sedatif
terserah masing-masing dokter. Blok neuromuskuler digunakan bila
sedasi saja tidak adekuat. Gunakan aksi pendek.Hipertensi
intrakranial berpotensi memperburuk outcome, sayang semua jenis
tindakan terhadap hipertensi intrakranial bukan saja bisa
berkomplikasi serius, namun beberapa berpengaruh langsung terhadap
resusitasi, seperti misalnya diuretika.1). PENGELOLAAN PADA PASIEN
TANPA TANDA-TANDA HERNIASISedasi dan relaksan farmakologis bila
perlu untuk transport seperti dijelaskan terdahulu. Mannitol
profilaktik tidak diberikan karena efek deplesi volume oleh kerja
diuretiknya. Parameter ventilatori adalah oksigenisasi optimal dan
ventilasi normal.2). PENGELOLAAN PADA PASIEN DENGAN TANDA-TANDA
HERNIASITindakan seperti dijelaskan terdahulu. Hiperventilasi mudah
dicapai dengan menambah tingkat ventilatori dan tidak tergantung
atau terpengaruh oleh keberhasilan resusitasi volume. Karena
hipotensi bisa berakibat perburukan neurologis dan hipertensi
intrakranial, mannitol kurang disukai kecuali resusitasi cairan
sudah tercapai. Mannitol diberikan bolus seperti telah dijelaskan.
Pasien segera ditranport.Tujuan resusitasi adalah perbaikan volume
sirkulasi, tekanan darah, oksigenasi dan ventilasi. Tekanan
intrakranial harus dijaga tetap rendah tanpa mempengaruhi tindakan
resusitasi. Mannitol dan hiperventilasi bisa membangkitkan lagi
iskemia intrakranial atau mempengaruhi resusitasi hingga
dicadangkan hanya untuk herniasi atau perburukan seperti telah
dijelaskan.1. RESUSITASI TEKANAN DARAH DAN OKSIGENASIHipotensi (TDS
< 90 mm Hg) atau hipoksia (apnea, sianosis, atau saturasi
oksigen < 90 % atau PaO2 < 60 mmHg) harus dimonitor dan
dicegah, atau dikoreksi segera. MAP harus dipertahankan diatas 90
mm Hg dengan infus cairan untuk menjaga tekanan perfusi serebral
(CPP) diatas 70 mm Hg. Pasien dengan GCS < 9, atau jalan nafas
tidak dapat dipertahankan atau bagi yang tetap hipoksemik walau
suplemen oksigen diberikan, memerlukan intubasi endotrakheal.Cairan
resusitasi seperti RL, salin normal, salin hipertonis serta
mannitol seperti pada tindakan pra rumah sakit rujukan. Sekali
monitor TIK terpasang (bila ada), manipulasi tekanan darah
disesuaikan dengan pengelolaan tekanan perfusi serebral.Pengelolaan
Inisial Cedera Kepala Berat, GCS 8
Diagnostik / Terapi Emergensi. Evaluasi Trauma Umum. Intubasi
Endotrakheal. Resusitasi Cairan. Ventilasi (PaCO2 35 mm Hg).
Oksigenasi. Sedasi. Paralisis Farmakologis (aksi pendek).Herniasi
?* Hiperventilasi *Perburukan ?* Mannitol 1 g/kg ** Hanya bila ada
tanda-tanda herniasi atau perburukan neurologis progresif tidak
karena kelainan ekstrakranial.2. INDIKASI MONITORING TEKANAN
INTRAKRANIAL (TIK)Bila ada, dilakukan terhadap cedera kepala berat
dengan CT abnormal. Cedera kepala berat adalah bila GCS 3-8 setelah
resusitasi kardiopulmoner. CT abnormal adalah bila dijumpai
hematoma, kontusi (memar), edema atau sisterna basal yang
terkompres. Bila CT normal, monitor dilakukan bila dijumpai dua
atau lebih hal berikut : usia diatas 40 tahun, posturing motor uni
atau bilateral, tekanan darah sistolik < 90 mm Hg. Monitoring
tidak rutin bagi cedera kepala ringan atau moderat, kecuali untuk
adanya lesi massa traumatika tertentu.Sebagian kerusakan otak
terjadi akibat impak trauma, namun kerusakan sekunder bisa beberapa
jam hingga beberapa hari kemudian. Kematian dan kesakitan dapat
dikurangi dengan pengelolaan intensif seperti intubasi,
transportasi, resusitasi, CT dan evakuasi lesi massa intrakranial
segera, serta perawatan ICU.TIK (ICP) normal adalah 0-10 mm Hg
(0-136 mm air). Umumnya diatas 20 mm Hg dianggap batas untuk mulai
tindakan. Namun tekanan perfusi serebral (CPP) lebih penting dari
TIK semata. (CPP=MAP-ICP). Monitoring TIK adalah untuk mengawasi
perfusi otak. Pada pasien hipotensif, peninggian TIK ringan saja
dapat berbahaya. Monitoring TIK saat ini tidak umum dilakukan
kecuali pada pusat cedera kepala yang besar, karena berisiko, makan
waktu, perlu tenaga terlatih dan mahal.3. HIPERVENTILASIBila tidak
ada tanda-tanda peninggian tekanan intrakranial, hiperventilasi
jangka panjang (PaCO2 25 mm Hg) setelah cedera otak traumatika
harus dicegah.Hiperventilasi profilaktik (PaCO2 35 mm Hg) 24 jam
pertama setelah cedera otak traumatika harus dicegah karena
memperburuk perfusi saat aliran darah serebral
berkurang.Hiperventilasi mungkin perlu untuk masa yang singkat bila
terjadi perburukan neurologis akut, atau untuk jangka yang lebih
lama pada hipertensi intrakranial yang kebal terhadap sedatif,
paralisis, drainase cairan serebrospinal dan diuretik osmotik.4.
MANNITOLEfektif mengontrol peninggian tekanan intrakranial pada
cedera kepala berat dengan dosis 0,25-1 g/kg BB. Indikasi adalah
herniasi transtentorial dan perburukan neurologis yang bukan
disebabkan kelainan ekstrakranial. Cegah hipovolemik dengan
penggantian cairan. Osmolalitas serum harus dibawah 320 mOsm/l agar
tidak terjadi gagal ginjal. Euvolemia dipertahankan dengan
penggantian cairan adekuat. Kateter foley sangat penting. Bolus
intermitten lebih efektif dibanding infus kontinu.Mannitol penting
pada pasien cedera kepala, terutama fase akut bila diduga atau
nyata ada peninggian tekanan intrakranial.5. BARBITURATDosis tinggi
dipertimbangkan bagi pasien cedera kepala berat dengan hipertensi
intrakranial dan hemodinamik stabil, yang refrakter terhadap
tindakan medis atau bedah untuk menurunkan tekanan intrakranial.
Namun risiko dan komplikasi membatasi penggunaannya bagi keadaan
yang ekstrim dan dilakukan dengan memonitor hemodinamik secara
ketat untuk mencegah atau menindak ketidakstabilan hemodinamik.
Pentobarbital diberikan dengan dosis awal (loading) 10 mg/kg dalam
30 menit atau 5 mg/kg setiap jam untuk 3 pemberian, diikuti dosis
pemeliharaan 1 mg/kg/jam. Tidak diberikan untuk profilaksi. Bila
dilakukan koma barbiturat, awasi saturasi oksigen arteriovenosa
karena beberapa pasien bisa mengalami hipoksia otak.6.
STEROIDSteroid termasuk methilprednisolon tidak terbukuti
bermanfaat memperbaiki outcome atau menurunkan tekanan
intrakranial, karenanya tidak dianjurkan.7. ANTI KEJANG
PROFILAKTIFDianjurkan pada kasus dengan risiko kejang tinggi :GCS
< 10.Kontusi (memar) kortikal, lihat dari CT.Fraktur tengkorak
terdepres.Hematoma subdural.Hematoma epidural.Hematoma
intraserebral.Cedera tembus tengkorak.Kejang dalam 24 jam sejak
cedera.Alasan pemberian anti kejang adalah bahwa bahwa insidens
kejang pasca trauma relatif tinggi hingga pemberian anti kejang
akan memberikan manfaat karena kejang akan meninggikan tekanan
intrakranial, perubahan tekanan darah, perubahan pengangkutan
oksigen, dan meningkatkan pelepasan neurotransmiter. Kejang juga
berakibat cedera aksidental, efek psikologis serta hilangnya
kemampuan kontrol. Dipercaya bahwa pencegahan kejang dini mencegah
epilepsi kronik karena terbukti kejang pertama membentuk fokus
kejang permanen. Namun anti kejang juga mempunyai berbagai efek
samping hingga hanya diberikan pada keadaan tsb. dan diberikan
tidak lebih dari satu minggu. Berikan Fenitoin atau carbamazepin
seperta pra rumah sakit.8. INDIKASI OPERASILesi massa harus
dioperasi bila pergeseran garis tengah 5 mm atau lebih. Setiap
pergeseran dapat dilihat pada CT scan, angiografi, atau
ventrikulografi. Semua hematoma epidural, subdural, atau
intraserebral yang mempunyai pergeseran garis tengah 5 mm atau
lebih harus dievakuasi secara operatif. Hematoma kecil dengan
pergeseran ringan tanpa kelainan neurologi, lakukan pendekatan
konservatif, namun bisa terjadi perburukan, dan pengamatan yang
ketat sangat diperlukan. Bila terjadi perburukan, CT ulang harus
dilakukan segera.Semua lesi massa dengan pergeseran 5 mm atau lebih
harus dioperasi, kecuali pasien dalam mati otak. Dasar pemikiran
ini adalah terbukti bahwa beberapa pasien dengan pupil yang non
reaktif bilateral, gangguan respons okulosefalik, dan postur
deserebrasi sekalipun dapat mengalami perbaikan. Pasien kontusi
dengan sisterna basal terkompres memerlukan operasi segera.
Hematoma lobus temporal besar ( lebih dari 30 cc) mengharuskan
operasi dini.Bila CT scan tidak dapat dilakukan segera, keputusan
operasi berdasarkan ventrikulografi dan pengamatan TIK. Dari
angiogram, temuan berikut ini indikasi operasi :1. Massa intra atau
ekstra aksial menyebabkan pergeseran pembuluh serebral anterior
menyeberang garis tengah sejauh 5 mm atau lebih.2. Massa ekstra
aksial lebih dari 5 mm terhadap tabula interna, bila ia berhubungan
dengan pergeseran arteri serebral anterior atau media berapapun
jauhnya.3. Massa ekstra aksial bilateral lebih dari 5 mm terhadap
tabula interna. Kecuali untuk pasien dengan atrofi otak yang jelas,
setiap massa intrakranial akan menyebabkan peninggian TIK.4. Massa
lobus temporal menyebabkan pengangkatan arteria serebral media atau
pergeseran garis tengah. Pasien ini berada dalam posisi paling
berbahaya, karena pembengkakan ringan dapat menyebabkan herniasi
tentorial dengan sangat cepat.Indikasi operasi emergensi lain
adalah bila terjadi interval lucid serta bila terjadi herniasi
unkal (pupil / motorik tidak ekual) bila CT tidak tersedia,
fraktura terdepres terbuka, dan fraktura terdepres tertutup yang
lebih dari 1 tabula atau lebih dari satu sentimeter kedalamannya.
Operasi juga dipertimbangkan bila pergeseran garis tengah serta
massa ekstra aksial yang kurang dari 5 mm namun mengalami
perburukan atau sisterna basal terkompres. Operasi tidak dilakukan
bila telah terjadi mati batang otak.Jalur kritis Mengatasi
Hipertensi Intrakranial
Pasang Monitor TIK (bila ada). Pertahankan CPP > 70 mm
Hg.Hipertensi Intrakranial? Ambang tindakan 20-25 mm Hg atau secara
klinis (lihat teks).Kandidat operasi segera dibawa keruang operasi.
Bila tidak, pasien dibawa ke ICU. Bila pasien memiliki lesi massa,
mannitol (1 hingga 2 g/kg) harus diberikan dalam perjalanan keruang
operasi. Sebagai tambahan, pasien dapat dihiperventilasi hingga
didapat PCO2 arterial 25 hingga 30 mmHg. Untuk semua tindakan,
waktu adalah essensi. Makin cepat lesi massa dievakuasi, makin
besar kemungkinan untuk pemulihan yang lebih baik. JALUR KRITIS
DALAM MENGATASI HIPERTENSI INTRAKRANIALAlgoritma dibuat dengan
mempertimbangkan manfaat dan risiko. Beberapa tindakan dilakukan
bersamaan segera. Termasuk mengontrol suhu tubuh, pencegahan
kejang, peninggian kepala tempat tidur, pencegahan obstruksi vena
juguler, sedasi dengan atau tanpa paralisis, mempertahankan
oksigenasi arterial yang adekuat, serta resusitasi volume lengkap
hingga tekanan perfusi serebral 70 mm Hg atau lebih. Bila kateter
ventrikuler digunakan, drainase cairan serebrospinal harus
merupakan tindakan pertama menurunkan tekanan intrakranial.
Ventilasi dilakukan dengan PaCO2 pada batas bawah eukapnia (35 mm
Hg). Bila gagal, pikirkan tindakan lain. Bila drain cairan
serebrospinal tidak tersedia, tingkat ventilasi ditingkatkan hingga
PaCO2 30-35 mm Hg, 0-5 mm Hg dibawah ambang bawah eukapnia. Bila
ada, lakukan monitor aliran darah serebral dan saturasi vena
juguler bila hiperventilasi ditingkatkan. Bila hipokapnia ringan
tidak efektif, berikan mannitol dengan batas osmolalitas serum 320
mOsm/l. Volume diamati ketat dan dipertahankan euvolemia atau
hipervolemia ringan dengan penggantian cairan. Selama tindakan
tetap waspada akan kemungkinan terjadinya massa yang perlu tindakan
bedah.Bila tindakan tsb. gagal, pikirkan pilihan sekunder yang
terbukti efektif namun dengan komplikasi nyata seperti barbiturat,
atau yang efektif namun belum terbukti memperbaiki outcome seperti
hiperventilasi hingga PaCO2 dibawah 30 mm Hg serta terapi
hipertensif.1.8. KomplikasiRosjidi (2007), kemunduran pada kondisi
klien diakibatkan dari perluasan hematoma intrakranial edema
serebral progresif dan herniasi otak, komplikasi dari cedera kepala
addalah;1. Edema pulmonalKomplikasi yang serius adalah terjadinya
edema paru, etiologi mungkin berasal dari gangguan neurologis atau
akibat sindrom distress pernafasan dewasa. Edema paru terjadi
akibat refleks cushing/perlindungan yang berusaha mempertahankan
tekanan perfusi dalam keadaan konstan. Saat tekanan intrakranial
meningkat tekanan darah sistematik meningkat untuk memcoba
mempertahankan aliran darah keotak, bila keadaan semakin kritis,
denyut nadi menurun bradikardi dan bahkan frekuensi respirasi
berkurang, tekanan darah semakin meningkat. Hipotensi akan memburuk
keadan, harus dipertahankan tekanan perfusi paling sedikit 70 mmHg,
yang membutuhkan tekanan sistol 100-110 mmHg, pada penderita
kepala. Peningkatan vasokonstriksi tubuh secara umum menyebabkan
lebih banyak darah dialirkan ke paru, perubahan permiabilitas
pembulu darah paru berperan pada proses berpindahnya cairan ke
alveolus. Kerusakan difusi oksigen akan karbondioksida dari darah
akan menimbulkan peningkatan TIK lebih lanjut.2. Peningkatan
TIKTekana intrakranial dinilai berbahaya jika peningkatan hingga 15
mmHg, dan herniasi dapat terjadi pada tekanan diatas 25 mmHg.
Tekanan darah yang mengalir dalam otak disebut sebagai tekan
perfusi rerebral. yang merupakan komplikasi serius dengan akibat
herniasi dengan gagal pernafasan dan gagal jantung serta
kematian.3. KejangKejang terjadi kira-kira 10% dari klien cedera
otak akut selama fase akut. Perawat harus membuat persiapan
terhadap kemungkinan kejang dengan menyediakan spatel lidah yang
diberi bantalan atau jalan nafas oral disamping tempat tidur klien,
juga peralatan penghisap. Selama kejang, perawat harus memfokuskan
pada upaya mempertahankan, jalan nafas paten dan mencegah cedera
lanjut. Salah satunya tindakan medis untuk mengatasi kejang adalah
pemberian obat, diazepam merupakan obat yang paling banyak
digunakan dan diberikan secara perlahan secara intavena. Hati-hati
terhadap efek pada system pernafasan, pantau selama pemberian
diazepam, frekuensi dan irama pernafasan.4. Kebocoran cairan
serebrospinalisAdanya fraktur di daerah fossa anterior dekat sinus
frontal atau dari fraktur tengkorak basilar bagian petrosus dari
tulangan temporal akan merobek meninges, sehingga CSS akan keluar.
Area drainase tidak boleh dibersihkan, diirigasi atau dihisap,
cukup diberi bantalan steril di bawah hidung atau telinga.
Instruksikan klien untuk tidak memanipulasi hidung atau
telinga.Komplikasi yang sering dijumpai dan berbahaya menurut
(Markam, 1999) pada cedera kepala meliputi: a. KomaPenderita tidak
sadar dan tidak memberikan respon disebut koma. Pada situasi ini
secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu, setelah
masa ini penderita akan terbangun, sedangkan beberapa kasus lainnya
memasuki vegetatife state. Walaupun demikian penderita masih tidak
sadar dan tidak menyadari lingkungan sekitarnya. Penderita pada
vegetatife state lebih dari satu tahun jarang sembuh.b.
Kejang/SeizurePenderita yang mengalami cedera kepala akan mengalami
sekurang- kurangnya sekali kejang pada masa minggu pertama setelah
cedera. Meskipun demikian, keadaan ini berkembang menjadi
epilepsyc. InfeksiFraktur tulang tengkorak atau luka terbuka dapat
merobekkan membran (meningen) sehingga kuman dapat masuk infeksi
meningen ini biasanya berbahaya karena keadaan ini memiliki
potensial untuk menyebar ke system saraf yang lain.d. Hilangnya
kemampuan kognitif.Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah,
proses informasi dan memori merupakan kemampuan kognitif. Banyak
penderita dengan cedera kepala mengalami masalah kesadaran.e.
Penyakit Alzheimer dan Parkinson.Pada khasus cedera kepala resiko
perkembangan terjadinya penyakit Alzheimer tinggi dan sedikit
terjadi Parkinson. Resiko akan semakin tinggi tergantung frekuensi
dan keparahan cedera.1.9. PencegahanUpaya pencegahan cedera kepala
pada dasarnya adalah suatu tindakan pencegahan terhadap peningkatan
kasus kecelakaan yang berakibat trauma.Upaya yang dilakukan yaitu
:a. Pencegahan PrimerPencegahan primer yaitu upaya pencegahan
sebelum peristiwa terjadinya kecelakaan lalu lintas seperti untuk
mencegah faktor-faktor yang menunjang terjadinya cedera seperti
pengatur lalu lintas, memakai sabuk pengaman, dan memakai helm.b.
Pencegahan SekunderPencegahan sekunder yaitu upaya pencegahan saat
peristiwa terjadi yangdirancang untuk mengurangi atau meminimalkan
beratnya cedera yang terjadi. Dilakukan dengan pemberian
pertolongan pertama, yaitu :1. Memberikan jalan nafas yang lapang
(Airway).Gangguan oksigenasi otak dan jaringan vital lain merupakan
pembunuh tercepat pada kasus cedera. Guna menghindari gangguan
tersebut penanganan masalah airway menjadi prioritas utama dari
masalah yang lainnya. Beberapa kematian karena masalah airway
disebabkan olehkarena kegagalan mengenali masalah airway yang
tersumbat baik oleh karena aspirasi isi gaster maupun kesalahan
mengatur posisi sehingga jalan nafas tertutup lidah penderita
sendiri. Pada pasien dengan penurunan kesadaran mempunyai risiko
tinggi untuk terjadinya gangguan jalan nafas, selain memeriksa
adanya benda asing, sumbatan jalan nafas dapat terjadi oleh karena
pangkal lidahnya terjatuh ke belakang sehingga menutupi aliran
udara ke dalam paru. Selain itu aspirasi isi lambung juga menjadi
bahaya yang mengancam airway.2. Memberi nafas/ nafas buatan
(Breathing)Tindakan kedua setelah meyakini bahwa jalan nafas tidak
ada hambatan adalah membantu pernafasan. Keterlambatan dalam
mengenali gangguan pernafasan dan membantu pernafasan akan dapat
menimbulkan kematian.3. Menghentikan perdarahan
(Circulations).Perdarahan dapat dihentikan dengan memberi tekanan
pada tempat yang berdarah sehingga pembuluh darah tertutup. Kepala
dapat dibalut dengan ikatan yang kuat. Bila ada syok, dapat diatasi
dengan pemberian cairan infuse dan bila perlu dilanjutkan dengan
pemberian transfusidarah. Syok biasanya disebabkan karena penderita
kehilangan banyak darah.c. Pencegahan TertierPencegahan tertier
bertujuan untuk mengurangi terjadinya komplikasi yang lebih berat,
penanganan yang tepat bagi penderita cedera kepala akibat
kecelakaan lalu lintas untuk mengurangi kecacatan dan memperpanjang
harapan hidup. Pencegahan tertier ini penting untuk meningkatkan
kualitas hidup penderita, meneruskan pengobatan serta memberikan
dukungan psikologis bagi penderita.Upaya rehabilitasi terhadap
penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas perlu
ditangani melalui rehabilitasi secara fisik, rehabilitasi
psikologis dan sosial.1. Rehabilitasi Fisika. Fisioterapi dan
latihan peregangan untuk otot yang masih aktif pada lengan atas dan
bawah tubuh.b. Perlengkapan splint dan kaliperc. Transplantasi
tendon2. Rehabilitasi PsikologisPertama-tamadimulai agar pasien
segera menerima ketidakmampuannya dan memotivasi kembali keinginan
dan rencana masa depannya. Ancaman kerusakan atas kepercayaan diri
dan harga diri datang dari ketidakpastian financial, sosial serta
seksual yang semuanyamemerlukan semangat hidup.3. Rehabilitasi
Sosiala. Merancang rumah untuk memudahkan pasien dengan kursi roda,
perubahan paling sederhana adalah pada kamar mandi dan dapur
sehingga penderita tidak ketergantungan terhadap bantuan orang
lain.b. Membawa penderita ke tempat keramaian (bersosialisasi
dengan masyarakat).1.10. Prognosis
2. Mengetahui dan Memahami Perdarahan Intrakranial2.1.
Perdarahan SubduralDefinisiHematoma subdural adalah penimbunan
darah di dalam rongga subdural (di antara duramater dan arakhnoid).
Perdarahan ini sering terjadi akibat robeknya vena- vena jembatan
yang terletak antara kortek cerebri dan sinus venous tempat vena
tadi bermuara, namun dapat terjadi juga akibat laserasi pembuluh
arteri pada permukaan otak. Perdarahan subdural paling sering
terjadi pada permukaan lateral hemisferium dan sebagian di daerah
temporal, sesuai dengan distribusi bridging veins. Perdarahan
subdural juga menutupi seluruh permukaan hemisfer otak dan
kerusakan otak dibawahnya berat.
Gambar 1. Subdural hematoma(boards.medscape.com dan
stonybrookphysician.adam.com)Perdarahan subdural yang disebabkan
karena perdarahan vena, biasanya darah yang terkumpul hanya 100-200
cc dan berhenti karena tamponade hematom sendiri. Setelah 5-7 hari
hematom mulai mengadakan reorganisasi yang akan terselesaikan dalam
10-20 hari. Darah yang diserap meninggalkan jaringan yang kaya
dengan pembuluh darah sehingga dapat memicu lagi timbulnya
perdarahan-perdarahan kecil dan membentuk suatu kantong subdural
yang penuh dengan cairan dan sisa darah. Subdural hematome dibagi
menjadi 3 fase, yaitu akut, subakut dan kronik. Dikatakan akut
apabila kurang dari 72 jam, subakut 3-7 hari setelah trauma, dan
kronik bila 21 hari atau 3 minggu lebih setelah
trauma.EpidemiologiSubdural hematoma akut dilaporkan terjadi pada
5-25% pasien dengan trauma kepala berat, berdasarkan suatu
penelitian. Sedangkan kronik subdural hematoma terjadi 1-3 kasus
per 100.000 populasi. Laki-laki lebih sering terkena daripada
perempuan dengan perbandingan 3:1. Di Indonesia belum ada catatan
nasional mengenai morbiditas dan mortalitas perdarahan subdural.
Mayoritas perdarahan subdural berhubungan dengan faktor umur yang
merupakan faktor resiko pada cedera kepala (blunt head injury).
Perdarahan subdural biasanya lebih sering ditemukan pada
penderita-penderita dengan umur antara 50-70 tahun. Pada
orang-orang tua bridging veins mulai agak rapuh sehingga lebih
mudah pecah/rusak bila terjadi trauma. Pada bayi-bayi ruang
subdural lebih luas, tidak ada adhesi, sehingga perdarahan subdural
bilateral lebih sering di dapat pada
bayi-bayi.Klasifikasia.Perdarahan akutGejala yang timbul segera
kurang dari 72 jam setelah trauma. Biasanya terjadi pada cedera
kepala yang cukup berat yang dapat mengakibatkan perburukan lebih
lanjut pada pasien yang biasanya sudah terganggu kesadaran dan
tanda vitalnya. Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi
melebar luas. Pada gambaran Ct-scan, didapatkan lesi
hiperdens.b.Perdarahan sub akutBiasanya berkembang dalam beberapa
hari sekitar 4-21 hari sesudah trauma. Awalnya pasien mengalami
periode tidak sadar lalu mengalami perbaikan status neurologi yang
bertahap. Namun, setelah jangka waktu tertentu penderita
memperlihatkan tanda-tanda status neurologis yang memburuk. Sejalan
dengan meningkatnya tekanan intrakranial, pasien menjadi sulit
dibangunkan dan tidak berespon terhadap rangsang nyeri atau verbal.
Pada tahap selanjutnya dapat terjadi sindrom herniasi dan menekan
batang otak. Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi
isodens atau hipodens. Lesi isodens didapatkan karena terjadinya
lisis dari sel darah merah dan resorbsi dari
hemoglobin.c.Perdarahan kronikBiasanya terjadi setelah 21 hari
setelah trauma bahkan bisa lebih. Perdarahan kronik subdural,
gejalanya bisa muncul dalam waktu berminggu- minggu ataupun bulan
setelah trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas, bahkan
hanya terbentur ringan saja bisa mengakibatkan perdarahan subdural
apabila pasien juga mengalami gangguan vaskular atau gangguan
pembekuan darah. Pada perdarahan subdural kronik, kita harus
berhati hati karena hematoma ini lama kelamaan bisa menjadi
membesar secara perlahan- lahan sehingga mengakibatkan penekanan
dan herniasi.Pada subdural kronik, didapati kapsula jaringan ikat
terbentuk mengelilingi hematoma, pada yang lebih baru, kapsula
masih belum terbentuk atau tipis di daerah permukaan arachnoidea.
Kapsula melekat pada araknoidea bila terjadi robekan pada selaput
otak ini. Kapsula ini mengandung pembuluh darah yang tipis
dindingnya terutama pada sisi duramater. Karena dinding yang tipis
ini protein dari plasma darah dapat menembusnya dan meningkatkan
volume dari hematoma. Pembuluh darah ini dapat pecah dan
menimbulkan perdarahan baru yang menyebabkan menggembungnya
hematoma.Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan kental yang
dapat menghisap cairan dari ruangan subaraknoidea. Hematoma akan
membesar dan menimbulkan gejala seprti pada tumor serebri.
Sebagaian besar hematoma subdural kronik dijumpai pada pasien yang
berusia di atas 50 tahun. Pada gambaran skening tomografinya
didapatkan lesi hipodens.Jamieson dan Yelland mengklasifikasikan
SDH berdasarkan keterlibatan jaringan otak karena trauma. Dikatakan
SDH sederhana (simple SDH) bila hematoma ekstra aksial tersebut
tidak disertai dengan cedera parenkim otak, sedangkan SDH kompleks
(complicated SDH) adalah bila hematoma ekstra axial disertai dengan
laserasi parenkim otak, perdarahan intraserebral (PIS) dan apa yang
disebut sebagaiexploded temporal lobe. Lebih dari 70% perdarahan
intraserebral, laserasi dan kontusio parenkim otak yang berhubungan
dengan SDH akut disebabkan oleh kontra kup (contrecoup) trauma,
kebanyakan dari lesi parenkim ini terletak di lobus temporal dan
lobus frontal. Lebih dari dua pertiga fraktur pada penderita SDH
akut terletak di posterior dan ini konsisten dengan lesi kontra
cop.Etiologi Keadaan ini timbul setelah cedera/trauma kepala hebat,
seperti perdarahan kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang
terjadi dalam ruangan subdural. Perdarahan subdural dapat terjadi
pada: TraumaoTrauma kapitisoTrauma di tempat lain pada badan yang
berakibat terjadinya geseran atau putaran otak terhadap duramater,
misalnya pada orang yang jatuh terduduk.oTrauma pada leher karena
guncangan pada badan. Hal ini lebih mudah terjadi bila ruangan
subdura lebar akibat dari atrofi otak, misalnya pada orangtua dan
juga pada anak anak. Non traumaoPecahnya aneurysma atau malformasi
pembuluh darah di dalam ruangan subdural.oGangguan pembekuan darah
biasanya berhubungan dengan perdarahan subdural yang spontan, dan
keganasan ataupun perdarahan dari tumor intrakranial.oPada orang
tua, alkoholik, gangguan hati, penggunaan
antikoagulan.Patofisiologi Perdarahan terjadi antara duramater dan
arakhnoidea. Perdarahan dapat terjadi akibat robeknya vena jembatan
(bridging veins) yang menghubungkan vena di permukaan otak dan
sinus venosus di dalam duramater atau karena robeknya araknoidea.
Karena otak yang bermandikan cairan cerebrospinal dapat bergerak,
sedangkan sinus venosus dalam keadaan terfiksir, berpindahnya
posisi otak yang terjadi pada trauma, dapat merobek beberapa vena
halus pada tempat di mana mereka menembus duramater Perdarahan yang
besar akan menimbulkan gejala-gejala akut menyerupai hematoma
epidural. Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan di
sekitarnya akan tumbuh jaringan ikat yang membentuk kapsula.
Gumpalan darah lambat laun mencair dan menarik cairan dari
sekitarnya dan mengembung memberikan gejala seperti tumor serebri
karena tekanan intracranial yang berangsur meningkat.Gambar 1.
Lapisan pelindung otakPerdarahan sub dural kronik umumnya
berasosiasi dengan atrofi cerebral. Vena jembatan dianggap dalam
tekanan yang lebih besar, bila volume otak mengecil sehingga
walaupun hanya trauma yang kecil saja dapat menyebabkan robekan
pada vena tersebut. Perdarahan terjadi secara perlahan karena
tekanan sistem vena yang rendah, sering menyebabkan terbentuknya
hematoma yang besar sebelum gejala klinis muncul. Pada perdarahan
subdural yang kecil sering terjadi perdarahan yang spontan. Pada
hematoma yang besar biasanya menyebabkan terjadinya membran
vaskular yang membungkus hematoma subdural tersebut. Perdarahan
berulang dari pembuluh darah di dalam membran ini memegang peranan
penting, karena pembuluh darah pada membran ini jauh lebih rapuh
sehingga dapat berperan dalam penambahan volume dari perdarahan
subdural kronik.Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan
tekanan intrakranial dan perubahan dari bentuk otak. Naiknya
tekanan intra kranial dikompensasi oleh efluks dari cairan likuor
ke axis spinal dan dikompresi oleh sistem vena. Pada fase ini
peningkatan tekanan intra kranial terjadi relatif perlahan karena
komplains tekanan intra kranial yang cukup tinggi. Meskipun
demikian pembesaran hematoma sampai pada suatu titik tertentu akan
melampaui mekanisme kompensasi tersebut.Komplains intrakranial
mulai berkurang yang menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan
intra kranial yang cukup besar. Akibatnya perfusi serebral
berkurang dan terjadi iskemi serebral. Lebih lanjut dapat terjadi
herniasi transtentorial atau subfalksin. Herniasi tonsilar melalui
foramen magnum dapat terjadi jika seluruh batang otak terdorong ke
bawah melalui incisura tentorial oleh meningkatnya tekanan
supratentorial. Pada hematoma subdural kronik, juga didapatkan
bahwa aliran darah ke thalamus dan ganglia basalis lebih terganggu
dibandingkan dengan daerah otak yang lainnya. Manifestasi Klinis
1.Hematoma Subdural AkutHematoma subdural akut menimbulkan gejala
neurologik dalam 24 sampai 48 jam setelah cedera. Dan berkaitan
erat dengan trauma otak berat. Gangguan neurologik progresif
disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak
dalam foramen magnum, yang selanjutnya menimbulkan tekanan pada
batang otak. Keadan ini dengan cepat menimbulkan berhentinya
pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan
darah.2.Hematoma Subdural SubakutHematoma ini menyebabkan defisit
neurologik dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang dari 2
minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma subdural akut,
hematoma ini juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam ruangan
subdural. Anamnesis klinis dari penmderita hematoma ini adalah
adanya trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya
diikuti perbaikan status neurologik yang perlahan-lahan. Namun
jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status
neurologik yang memburuk. Tingkat kesadaran mulai menurun
perlahan-lahan dalam beberapa jam.Dengan meningkatnya tekanan
intrakranial seiring pembesaran hematoma, penderita mengalami
kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan respon terhadap
rangsangan bicara maupun nyeri. Pergeseran isi intracranial dan
peningkatan intracranial yang disebabkan oleh akumulasi darah akan
menimbulkan herniasi unkus atau sentral dan melengkapi tanda-tanda
neurologik dari kompresi batang otak.3.Hematoma Subdural
KronikTimbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan
dan bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama.Trauma pertama
merobek salah satu vena yang melewati ruangan subdural. Terjadi
perdarahan secara lambat dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10
hari setelah perdarahan terjdi, darah dikelilingi oleh membrane
fibrosa.Dengan adanya selisih tekanan osmotic yang mampu menarik
cairan ke dalam hematoma, terjadi kerusakan sel-sel darah dalam
hematoma. Penambahan ukuran hematoma ini yang menyebabkan
perdarahan lebih lanjut dengan merobek membran atau pembuluh darah
di sekelilingnya, menambah ukuran dan tekanan hematoma.Hematoma
subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi
pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada
kedua keadaan ini, cedera tampaknya ringan; selama beberapa minggu
gejalanya tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI bisa
menunjukkan adanya genangan darah. Hematoma subdural pada bayi bisa
menyebabkan kepala bertambah besar karena tulang tengkoraknya masih
lembut dan lunak. Hematoma subdural yang kecil pada dewasa
seringkali diserap secara spontan. Hematoma subdural yang besar,
yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan
melalui pembedahan. Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini
adalah: sakit kepala yang menetap rasa mengantuk yang hilang-timbul
linglung perubahan ingatan kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang
berlawanan. DiagnosisAnamnesisDari anamnesis di tanyakan adanya
riwayat trauma kepala baik dengan jejas dikepala atau tidak, jika
terdapat jejas perlu diteliti ada tidaknya kehilangan kesadaran
atau pingsan. Jika ada pernah atau tidak penderita kembali pada
keadaan sadar seperti semula. Jika pernah apakah tetap sadar
seperti semula atau turun lagi kesadarannya, dan di perhatikan
lamanya periode sadar atau lucid interval. Untuk tambahan informasi
perlu ditanyakan apakah disertai muntah dan kejang setelah
terjadinya trauma kepala. Kepentingan mengetahui muntah dan kejang
adalah untuk mencari penyebab utama penderita tidak sadar apakah
karena inspirasi atau sumbatan nafas atas, atau karena proses intra
kranial yang masih berlanjut. Pada penderita sadar perlu ditanyakan
ada tidaknya sakit kepala dan mual, adanya kelemahan anggota gerak
sesisi dan muntah-muntah yang tidak bisa ditahan. Ditanyakan juga
penyakit lain yang sedang diderita, obat-obatan yang sedang
dikonsumsi saat ini, dan apakah dalam pengaruh alkohol.Pemeriksaan
FisikPemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan primer (primary
survey) yang mencakup jalan nafas (airway), pernafasan (breathing)
dan tekanan darah atau nadi (circulation) yang dilanjutkan dengan
resusitasi. Jalan nafas harus dibersihkan apabila terjadi sumbatan
atau obstruksi, bila perlu dipasang orofaring tube atau endotrakeal
tube lalu diikuti dengan pemberian oksigen. Hal ini bertujuan untuk
mempertahankan perfusi dan oksigenasi jaringan tubuh. Pemakaian
pulse oksimetri sangat bermanfaat untuk memonitor saturasi O2.
Secara bersamaan juga diperiksa nadi dan tekanan memantau apakah
terjadi hipotensi, syok atau terjadinya peningkatan tekanan
intrakranial. Jika terjadi hipotensi atau syok harus segera
dilakukan pemberian cairan untuk mengganti cairan tubuh yang
hilang. Terjadinya peningkatan tekanan intrakranial ditandai dengan
refleks Cushing yaitu peningkatan tekanan darah, bradikardia dan
bradipnea.Pemeriksaan neurologik yang meliputkan kesadaran
penderita dengan menggunakan Skala Koma Glasgow, pemeriksaan
diameter kedua pupil , dan tanda- tanda defisit neurologis fokal.
Pemeriksaan kesadaran dengan Skala Koma Glasgow menilai kemampuan
membuka mata, respon verbal dan respon motorik pasien terdapat
stimulasi verbal atau nyeri. Pemeriksaan diamter kedua pupil dan
adanya defisit neurologi fokal menilai apakah telah terjadi
herniasi di dalam otak dan terganggunya sistem kortikospinal di
sepanjang kortex menuju medula spinalis.Pada pemeriksaan sekunder,
dilakukan pemeriksaan neurologi serial meliputi GCS, lateralisasi
dan refleks pupil. Hal ini dilakukan sebagai deteksi dini adanya
gangguan neurologis. Tanda awal dari herniasi lobus temporal
(unkus) adalah dilatasi pupil dan hilangnya refleks pupil terhadap
cahaya. Adanya trauma langsung pada mata membuat pemeriksaan
menjadi lebih sulit. Pemeriksaan Penunjanga.
LaboratoriumPemeriksaan laboratorium minimal meliputi, pemeriksaan
darah rutin, elektrolit, profil hemostasis/koagulasi.b. Foto
tengkorakPemeriksaan foto tengkorak tidak dapat dipakai untuk
memperkirakan adanya SDH. Fraktur tengkorak sering dipakai untuk
meramalkan kemungkinan adanya perdarahan intrakranial tetapi tidak
ada hubungan yang konsisten antara fraktur tengkorak dan SDH.
Bahkan fraktur sering didapatkan kontralateral terhadap SDH.c.
CT-ScanPemeriksaan CT scan adalah modalitas pilihan utama bila
disangka terdapat suatu lesi pasca-trauma, karena prosesnya cepat,
mampu melihat seluruh jaringan otak dan secara akurat membedakan
sifat dan keberadaan lesi intra-aksial dan
ekstra-aksial1)Perdarahan Subdural AkutPerdarahan subdural akut
pada CT-scan kepala (non kontras) tampak sebagai suatu massa
hiperdens (putih) ekstra-aksial berbentuk bulan sabit sepanjang
bagian dalam (inner table) tengkorak dan paling banyak terdapat
pada konveksitas otak di daerah parietal. Terdapat dalam jumlah
yang lebih sedikit di daerah bagian atas tentorium serebelli.
Subdural hematom berbentuk cekung dan terbatasi oleh garis sutura.
Jarang sekali, subdural hematom berbentuk lensa seperti epidural
hematom dan biasanya unilateral.Perdarahan subdural yang sedikit
(small SDH) dapat berbaur dengan gambaran tulang tengkorak dan
hanya akan tampak dengan menyesuaikan CT window width. Pergeseran
garis tengah (midline shift) akan tampak pada perdarahan subdural
yang sedang atau besar volumenya. Bila tidak ada midline shift
harus dicurigai adanya massa kontralateral dan bila midline shift
hebat harus dicurigai adanya edema serebral yang
mendasarinya.Perdarahan subdural jarang berada di fossa posterior
karena serebelum relatif tidak bergerak sehingga merupakan proteksi
terhadap bridging veins yang terdapat disana. Perdarahan subdural
yang terletak diantara kedua hemisfer menyebabkan gambaran falks
serebri menebal dan tidak beraturan dan sering berhubungan dengan
child abused.2)Perdarahan Subdural SubakutDi dalam fase subakut
perdarahan subdural menjadi isodens terhadap jaringan otak sehingga
lebih sulit dilihat pada gambaran CT. Oleh karena itu pemeriksaan
CT dengan kontras atau MRI sering dipergunakan pada kasus
perdarahan subdural dalam waktu 48 72 jam setelah trauma kapitis.
Pada gambaran T1-weighted MRI lesi subakut akan tampak hiperdens.
Pada pemeriksaan CT dengan kontras, vena-vena kortikal akan tampak
jelas dipermukaan otak dan membatasi subdural hematoma dan jaringan
otak. Perdarahan subdural subakut sering juga berbentuk lensa
(bikonveks) sehingga membingungkan dalam membedakannya dengan
epidural hematoma. Pada alat CT generasi terakhir tidaklah terlalu
sulit melihat lesi subdural subakut tanpa kontras3)Perdarahan
Subdural KronikPada fase kronik lesi subdural menjadi hipodens dan
sangat mudah dilihat pada gambaran CT tanpa kontras. Sekitar 20%
subdural hematom kronik bersifat bilateral dan dapat mencegah
terjadi pergeseran garis tengah. Seringkali, hematoma subdural
kronis muncul sebagai lesi heterogen padat yang mengindikasikan
terjadinya perdarahan berulang dengan tingkat cairan antara
komponen akut (hyperdense) dan kronis (hipodense).d. MRI (Magnetic
resonance imaging)Magnetic resonance imaging (MRI) sangat berguna
untuk mengidentifikasi perdarahan ekstraserebral. Akan tetapi
CT-scan mempunyai proses yang lebih cepat dan akurat untuk
mendiagnosa SDH sehingga lebih praktis menggunakan CT-scan
ketimbang MRI pada fase akut penyakit. MRI baru dipakai pada masa
setelah trauma terutama untuk menetukan kerusakan parenkim otak
yang berhubungan dengan trauma yang tidak dapat dilihat dengan
pemeriksaan CT-scan. MRI lebih sensitif untuk mendeteksi lesi otak
nonperdarahan, kontusio, dan cedera axonal difus. MRI dapat
membantu mendiagnosis bilateral subdural hematom kronik karena
pergeseran garis tengah yang kurang jelas pada CT-scan. Diagnosis
Banding a. Strokeb. Encephalitis c. Abses otakd. Adverse drugs
reactions e. Tumor otakf. Perdarahan subarachnoidg.
HydrocephalusPenatalaksanaanDalam menentukan terapi apa yang akan
digunakan untuk pasien SDH, tentu kita harus memperhatikan antara
kondisi klinis dengan radiologinya. Didalam masa mempersiapkan
tindakan operasi, perhatian hendaknya ditujukan kepada pengobatan
dengan medikamentosa untuk menurunkan peningkatan tekanan
intrakrania (PTIK). Seperti pemberian manitol 0,25gr/kgBB, atau
furosemid 10 mg intravena, dihiperventilasikan. Tindakan Tanpa
OperasiPada kasus perdarahan yang kecil (volume 30 cc ataupun
kurang) dilakukan tindakan konservatif. Tetapi pada keadaan ini
masih ada kemungkinan terjadi penyerapan darah yang rusak diikuti
oleh terjadinya fibrosis yang kemudian dapat mengalami
pengapuran.Servadei dkk merawat non operatif 15 penderita dengan
SDH akut dimana tebal hematoma < 1 cm dan midline shift kurang
dari 0.5 cm. Dua dari penderita ini kemudian mendapat ICH yang
memerlukan tindakan operasi. Ternyata dua pertiga dari penderita
ini mendapat perbaikan fungsional.Croce dkk merawat nonoperatif
sejumlah penderita SDH akut dengan tekanan intrakranial (TIK) yang
normal dan GCS 11 15. Hanya 6% dari penderita yang membutuhkan
operasi untuk SDH.Penderita SDH akut yang berada dalam keadaan koma
tetapi tidak menunjukkan peningkatan tekanan intrakranial (PTIK)
yang bermakna kemungkinan menderita suatu diffuse axonal injury.
Pada penderita ini, operasi tidak akan memperbaiki defisit
neurologik dan karenanya tidak di indikasikan untuk tindakan
operasi.Beberapa penderita mungkin mendapat kerusakan berat
parenkim otak dengan efek massa (mass effect) tetapi SDH hanya
sedikit. Pada penderita ini, tindakan operasi/evakuasi walaupun
terhadap lesi yang kecil akan merendahkan TIK dan memperbaiki
keadaan intraserebral.Pada penderita SDH akut dengan refleks batang
otak yang negatif dan depresi pusat pernafasan hampir selalu
mempunyai prognosa akhir yang buruk dan bukan calon untuk operasi.
Tindakan OperasiBaik pada kasus akut maupun kronik, apabila
diketemukan adanya gejala- gejala yang progresif, maka jelas
diperlukan tindakan operasi untuk melakukan pengeluaran hematoma.
Tetapi sebelum diambil keputusan untuk dilakukan tindakan operasi,
yang tetap harus kita perhatikan adalah airway, breathing dan
circulation (ABCs). Tindakan operasi ditujukan kepada:a. Evakuasi
seluruh SDHb. Merawat sumber perdarahanc. Reseksi parenkim otak
yang nonviabled. Mengeluarkan ICH yang ada.Kriteria penderita SDH
dilakukan operasi adalah: a. Pasien SDH tanpa melihat GCS, dengan
ketebalan > 10 mm atau pergeseran midline shift > 5 mm pada
CT-scanb. Semua pasien SDH dengan GCS < 9 harus dilakukan
monitoring TIKc. Pasien SDH dengan GCS < 9, dengan ketebalan
perdarahan < 10 mm dan pergeeran struktur midline shift. Jika
mengalami penurunan GCS > 2 poin antara saat kejadian sampai
saat masuk rumah sakitd. Pasien SDH dengan GCS < 9, dan/atau
didapatkan pupil dilatasi asimetris/fixede. Pasien SDH dengan GCS
< 9, dan/atau TIK > 20 mmHg
Tindakan operatif yang dapat dilakukan adalah burr hole
craniotomy, twist drill craniotomy, subdural drain. Dan yang paling
banyak diterima untuk perdarahan sub dural kronik adalah burr hole
craniotomy. Karena dengan tehnik ini menunjukan komplikasi yang
minimal. Reakumulasi dari perdarahan subdural kronik pasca
kraniotomi dianggap sebagai komplikasi yang sudah diketahui. Jika
pada pasien yang sudah berusia lanjut dan sudah menunjukkan
perbaikan klinis, reakumulasi yang terjadi kembali, tidaklah perlu
untuk dilakukan operasi ulang kembali.Trepanasi atau burr holes
dimaksudkan untuk mengevakuasi SDH secara cepat dengan lokal
anestesi. Pada saat ini tindakan ini sulit untuk dibenarkan karena
dengan trepanasi sukar untuk mengeluarkan keseluruhan hematoma yang
biasanya solid dan kenyal apalagi kalau volume hematoma cukup
besar. Lebih dari seperlima penderita SDH akut mempunyai volume
hematoma lebih dari 200 ml.Kraniotomi dan membranektomi merupakan
tindakan prosedur bedah yang invasif dengan tingkat komplikasi yang
lebih tinggi. Hampir semua ahli bedah saraf memilih kraniotomi
luas. Luasnya insisi ditentukan o leh luasnya hematoma dan lokasi
kerusakan parenkim otak. Lubang bor yang pertama dibuat dilokasi
dimana di dapatkan hematoma dalam jumlah banyak, dura mater dibuka
dan diaspirasi sebanyak mungkin hematoma, tindakan ini akan segara
menurunkan TIK. Lubang bor berikutnya dibuat dan kepingan kranium
yang lebar dilepaskan, duramater dibuka lebar dan hematoma
dievakuasi dari permukaan otak. Setelah itu, dimasukkan surgical
patties yang cukup lebar dan basah keruang subdural, dilakukan
irigasi, kemudian surgical patties disedot (suction). Surgical
patties perlahan lahan ditarik keluar, sisa hematoma akan melekat
pada surgical patties, setelah itu dilakukan irigasi ruang subdural
dengan memasukkan kateter kesegala arah. Kontusio jaringan otak dan
hematoma intraserebral direseksi. Dipasang drain 24 jam diruang
subdural, duramater dijahit rapat.Usaha diatas adalah untuk
memperbaiki prognosa akhir SDH, dilakukan kraniotomi dekompresif
yang luas dengan maksud untuk mengeluarkan seluruh hematoma,
merawat perdarahan dan mempersiapkan dekompesi eksternal dari edema
serebral pasca operasi. Pemeriksaan pasca operasi menujukkan sisa
hematoma dan perdarahan ulang sangat minimal dan struktur garis
tengah kembali lebih cepat ke posisi semula dibandingkan dengan
penderita yang tidak dioperasi dengan cara ini Penggunaan teknik
ini sebagai penatalaksanaan awal dari perdarahan subdural kronik
sudah mulai berkurang.Trepanasi atau kraniotomi adalah suatu
tindakan membuka tulang kepala yang bertujuan mencapai otak untuk
tindakan pembedahan definitif.Pada pasien trauma, adanya trias
klinis yaitu penurunan kesadaran, pupil anisokor dengan refleks
cahaya menurun dan kontralateral hemiparesis merupakan tanda adanya
penekanan brainstem oleh herniasi uncal dimana sebagian besar
disebabkan oleh adanya massa extra aksial. Indikasi Operasi,
yaitu:Penurunan kesadaran tiba-tiba di depan mataAdanya tanda
herniasi/ lateralisasiAdanya cedera sistemik yang memerlukan
operasi emergensi, dimana CT scan kepala tidak bisa
dilakukanPerawatan PascabedahMonitor kondisi umum dan neurologis
pasien dilakukan seperti biasanya. Jahitan dibuka pada hari ke 5-7.
Tindakan pemasangan fragmen tulang atau kranioplasti dianjurkan
dilakukan setelah 6-8 minggu kemudian.Setelah operasipun kita harus
tetap berhati hati, karena pada sebagian pasien dapat terjadi
perdarahan lagi yang berasal dari pembuluh darah yang baru
terbentuk, subdural empiema, irigasi yang kurang baik, pergeseran
otak yang tiba-tiba, kejang, tension pneumoencephalus, kegagalan
dari otak untuk mengembang kembali dan terjadinya reakumulasi dari
cairan subdural. Maka dalam hal ini hematoma harus dikeluarkan lagi
dan sumber perdarahan harus ditiadakan. Serial skening tomografi
pasca kraniotomi sebaiknya juga dilakukan.Follow-upCT scan kontrol
diperlukan apabila post operasi kesadaran tidak membaik dan untuk
menilai apakah masih terjadi hematom lainnya yang timbul kemudian
Komplikasi Dan OutcomeSubdural hematom dapat memberikan komplikasi
berupa :1. Hemiparese/hemiplegia.2. Disfasia/afasia3. Epilepsi.4.
Hidrosepalus.5. Subdural empiemaSedangakan outcome untuk subdural
hematom adalah :1. Mortalitas pada subdural hematom akut sekitar
75%-85%2. Pada sub dural hematom kronis :- Sembuh tanpa gangguan
neurologi sekitar 50%-80%.- Sembuh dengan gangguan neurologi
sekitar 20%-50%.2.2. Perdarahan EpiduralDEFINISI Epidural hematoma
adalah perdarahan akut pada lokasi epidural. Fraktur tulang kepala
dapat merobek pembuluh darah, terutama arteri meningea media yang
masuk di dalam tengkorak melalui foramen spinosum dan jalan antara
duramater dan tulang di permukaan dalam os temporale. Perdarahan
yang terjadi menimbulkan epidural hematoma. Desakan oleh hematom
akan melepaskan duramater lebih lanjut dari tulang kepala sehingga
hematom bertambah besar.Hematoma epidural (EDH) merupakan kumpulan
darah di antara duramater dan tabula interna karena trauma
(Gambar-1). Pada penderita traumatic hematoma epidural, 85-96%
disertai fraktur pada lokasi yang sama. Perdarahan berasal dari
pembuluh darah -pembuluh darah di dekat lokasi fraktur. 15Sebagian
besar hematoma epidural (EDH) (70-80%) berlokasi di daerah
temporoparietal, di mana bila biasanya terjadi fraktur calvaria
yang berakibat robeknya arteri meningea media atau
cabang-cabangnya, sedangkan 10% EDH berlokasi di frontal maupun
oksipital. Volume EDH biasanya stabil, mencapai volume maksimum
hanya beberapa menit setelah trauma, tetapi pada 9% penderita
ditemukan progresifitas perdarahan sampai 24 jam pertama
8,15,16
INSIDEN DAN EPIDEMIOLOGIDi Amerika Serikat, 2% dari kasus trauma
kepala mengakibatkan hematoma epidural dan sekitar 10%
mengakibatkan koma. Secara Internasional frekuensi kejadian
hematoma epidural hampir sama dengan angka kejadian di Amerika
Serikat.Orang yang beresiko mengalami EDH adalah orang tua yang
memiliki masalah berjalan dan sering jatuh.60 % penderita hematoma
epidural adalah berusia dibawah 20 tahun, dan jarang terjadi pada
umur kurang dari 2 tahun dan di atas 60 tahun. Angka kematian
meningkat pada pasien yang berusia kurang dari 5 tahun dan lebih
dari 55 tahun. Lebih banyak terjadi pada laki-laki dibanding
perempuan dengan perbandingan 4:1. Tipe- tipe : 1. Epidural
hematoma akut (58%) perdarahan dari arteri2. Subacute hematoma ( 31
% )3. Cronic hematoma ( 11%) perdarahan dari vena PATOFISIOLOGIPada
hematom epidural, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak dan
dura meter. Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal
bila salah satu cabang arteria meningea media robek. Robekan ini
sering terjadi bila fraktur tulang tengkorak di daerah
bersangkutan. Hematom dapat pula terjadi di daerah frontal atau
oksipital.Arteri meningea media yang masuk di dalam tengkorak
melalui foramen spinosum dan jalan antara durameter dan tulang di
permukaan dan os temporale. Perdarahan yang terjadi menimbulkan
hematom epidural, desakan oleh hematoma akan melepaskan durameter
lebih lanjut dari tulang kepala sehingga hematom bertambah besar.
Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan pada
lobus temporalis otak kearah bawah dan dalam. Tekanan ini
menyebabkan bagian medial lobus mengalami herniasi di bawah
pinggiran tentorium. Keadaan ini menyebabkan timbulnya tanda-tanda
neurologik yang dapat dikenal oleh tim medis.Tekanan dari herniasi
unkus pda sirkulasi arteria yang mengurus formation retikularis di
medulla oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran. Di tempat ini
terdapat nuclei saraf cranial ketiga (okulomotorius). Tekanan pada
saraf ini mengakibatkan dilatasi pupil dan ptosis kelopak mata.
Tekanan pada lintasan kortikospinalis yang berjalan naik pada
daerah ini, menyebabkan kelemahan respons motorik kontralateral,
refleks hiperaktif atau sangat cepat, dan tanda babinski
positif.Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak
akan terdorong kearah yang berlawanan, menyebabkan tekanan
intracranial yang besar. Timbul tanda-tanda lanjut peningkatan
tekanan intracranial antara lain kekakuan deserebrasi dan gangguan
tanda-tanda vital dan fungsi pernafasan.Karena perdarahan ini
berasal dari arteri, maka darah akan terpompa terus keluar hingga
makin lama makin besar. Ketika kepala terbanting atau terbentur
mungkin penderita pingsan sebentar dan segera sadar kembali. Dalam
waktu beberapa jam , penderita akan merasakan nyeri kepala yang
progersif memberat, kemudian kesadaran berangsur menurun. Masa
antara dua penurunan kesadaran ini selama penderita sadar setelah
terjadi kecelakaan di sebut interval lucid. Fenomena lucid interval
terjadi karena cedera primer yang ringan pada Epidural hematom.
Kalau pada subdural hematoma cedera primernya hamper selalu berat
atau epidural hematoma dengan trauma primer berat tidak terjadi
lucid interval karena pasien langsung tidak sadarkan diri dan tidak
pernah mengalami fase sadar. Sumber perdarahan : Artery meningea (
lucid interval : 2 3 jam ) Sinus duramatis Diploe (lubang yang
mengisis kalvaria kranii) yang berisi a. diploica dan vena
diploicaEpidural hematoma merupakan kasus yang paling emergensi di
bedah saraf karena progresifitasnya yang cepat karena durameter
melekat erat pada sutura sehingga langsung mendesak ke parenkim
otak menyebabkan mudah herniasi trans dan infra tentorial.Karena
itu setiap penderita dengan trauma kepala yang mengeluh nyeri
kepala yang berlangsung lama, apalagi progresif memberat, harus
segera di rawat dan diperiksa dengan teliti.(8,10)
Arteri meningea media
ETIOLOGIHematoma Epidural dapat terjadi pada siapa saja dan umur
berapa saja, beberapa keadaan yang bisa menyebabkan epidural
hematom adalah misalnya benturan pada kepala pada kecelakaan motor.
Hematoma epidural terjadi akibat trauma kepala, yang biasanya
berhubungan dengan fraktur tulang tengkorak dan laserasi pembuluh
darah.Pada keadaan yang normal, sebenarnya tidak ada ruang epidural
pada kranium. Dura melekat pada kranium. Perdarahan biasanya
terjadi dengan fraktur tengkorak bagian temporal parietal yang mana
terjadi laserasi pada arteri atau vena meningea media. Pada kasus
yang jarang, pembuluh darah ini dapat robek tanpa adanya fraktur.
Keadaan ini mengakibatkan terpisahnya perlekatan antara dura dengan
kranium dan menimbulkan ruang epidural. Perdarahan yang berlanjut
akan memaksa dura untuk terpisah lebih lanjut, dan menyebabkan
hematoma menjadi massa yang mengisi ruang.Oleh karena arteri
meningea media terlibat, terjadi perdarahan yang tidak terkontrol,
maka akan mengakibatkan terjadinya akumulasi yang cepat dari darah
pada ruang epidural, dengan peningkatan tekanan intra kranial (TIK)
yang cepat, herniasi dari unkus dan kompresi batang otak.GEJALA
KLINIS Pada anamnesa didapatkan riwayat cedera kepala dengan
penurunan kesadaran. Pada kurang lebih 50 persen kasus kesadaran
pasien membaik dan adanya lucid interval diikuti adanya penurunan
kesadaran secara perlahan sebagaimana peningkatan TIK. Pada kasus
lainnya, lucid interval tidak dijumpai, dan penurunan kesadaran
berlangsung diikuti oleh detoriasi progresif. Epidural hematoma
terkadang terdapat pada fossa posterior yang pada beberapa kasus
dapat terjadi sudden death sebagai akibat kompresi dari pusat
kardiorespiratori pada medulla. Pasien yang tidak mengalami lucid
interval dan mereka yang terlibat pada kecelakaan mobil pada
kecepatan tinggi biasanya akan mempunyai prognosis yang lebih
buruk. Gejala neurologik yang terpenting adalah pupil mata
anisokor, yaitu pupil ipsilateral melebar. Pada perjalanannya,
pelebaran pupil akan mencapai maksimal dan reaksi cahaya yang pada
permulaan masih positif akan menjadi negatif. Terjadi pula kenaikan
tekanan darah dan bradikardia. Pada tahap akhir kesadaran akan
menurun sampai koma yang dalam, pupil kontralaterak juga akan
mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil tidak menunjukkan
reaksi cahaya lagi, yang merupakan tanda kematian.Tanda Diagnostik
Klinik Epidural Hematoma :1. Lucid interval (+)2. Kesadaran makin
menurun3. Late hemiparese kontralateral lesi4. Pupil anisokor5.
Babinsky (+) kontralateral lesi6. Fraktur daerah temporalGejala dan
Tanda Klinis Epidural Hematoma di Fossa Posterior :1. Lucid
interval tidak jelas2. Fraktir kranii oksipital3. Kehilangan
kesadaran cepat4. Gangguan serebellum, batang otak, dan
pernafasan5. Pupil isokorDIAGNOSIS Diagnosis epidural hematoma
didasarkan gejala klinis serta pemeriksaan penunjang seperti foto
Rontgen kepala dan CT scan kepala. Adanya garis fraktur yang
menyokong diagnosis epidural hematoma bila sisi fraktur terletak
ipsilateral dengan pupil yang melebar garis fraktur juga dapat
menunjukkan lokasi hematoma.Computed Tomography
(CT-Scan)Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume,
efek, dan potensi cedera intracranial lainnya. Pada epidural
biasanya pada satu bagian saja (single) tetapi dapat pula terjadi
pada kedua sisi (bilateral), berbentuk bikonveks, paling sering di
daerah temporoparietal. Densitas darah yang homogen (hiperdens),
berbatas tegas, midline terdorong ke sisi kontralateral. Terdapat
pula garis fraktur pada area epidural hematoma, Densitas yang
tinggi pada stage yang akut ( 60 90 HU), ditandai dengan adanya
peregangan dari pembuluh darah.Magnetic Resonance Imaging (MRI)MRI
akan menggambarkan massa hiperintensi bikonveks yang menggeser
posisi duramater, berada diantara tulang tengkorak dan duramater.
MRI juga dapat menggambarkan batas fraktur yang terjadi. MRI
merupakan salah satu jenis pemeriksaan yang dipilih untuk
menegakkan diagnosis.DIAGNOSIS BANDING1. Subdural
HematomaPerdarahan yang terjadi diantara duramater dan arachnoid,
akibat robeknya vena jembatan. Gejala klinisnya adalah :- sakit
kepala- kesadaran menurun + / -Pada pemeriksaan CT scan otak
didapati gambaran hiperdens (perdarahan) diantara duramater dan
arakhnoid, umumnya robekan dari bridging vein dan tampak seperti
bulan sabit.72. Subarakhnoid hematoma Gejala klinisnya yaitu :-
kaku kuduk- nyeri kepala- bisa didapati gangguan kesadaranPada
pemeriksaan CT scan otak didapati perdarahan (hiperdens) di ruang
subarakhnoid.PENATALAKSANAANPenanganan darurat : Dekompresi dengan
trepanasi sederhana Kraniotomi untuk mengevakuasi hematomTerapi
medikamentosa1. Memperbaiki/mempertahankan fungsi vitalUsahakan
agar jalan nafas selalu babas, bersihkan lendir dan darah yang
dapat menghalangi aliran udara pemafasan. Bila perlu dipasang pipa
naso/orofaringeal dan pemberian oksigen. Infus dipasang terutama
untuk membuka jalur intravena : guna-kan cairan NaC10,9%
atauDextrose in saline.2. Mengurangi edema otakBeberapa cara dapat
dicoba untuk mengurangi edema otak:a.Hiperventilasi.b.Cairan
hiperosmoler.c.Kortikosteroid.d.Barbiturat.a.HiperventilasiBertujuan
untuk menurunkan paO2 darah sehingga mencegah vasodilatasi pembuluh
darah. Selain itu suplai oksigen yang terjaga dapat membantu
menekan metabolisme anaerob, sehingga dapat mengurangi kemungkinan
asidosis. Bila dapat diperiksa, paO2 dipertahankan > 100 mmHg
dan paCO2 diantara 2530 mmHg.b.Cairan hiperosmolerUmumnya digunakan
cairan Manitol 1015% per infus untuk menarik air dari ruang
intersel ke dalam ruang intra-vaskular untuk kemudian dikeluarkan
melalui diuresis. Untuk memperoleh efek yang dikehendaki, manitol
hams diberikan dalam dosis yang cukup dalam waktu singkat, umumnya
diberikan : 0,51 gram/kg BB dalam 1030 menit.Cara ini berguna pada
kasus-kasus yang menunggu tindak-an bedah. Pada kasus biasa, harus
dipikirkan kemungkinan efekrebound;mungkin dapat dicoba diberikan
kembali (diulang) setelah beberapa jam atau keesokan
harinya.c.KortikosteroidPenggunaan kortikosteroid telah
diperdebatkan manfaatnya sejak beberapa waktu yang lalu. Pendapat
akhir-akhir ini cenderung menyatakan bahwa kortikosteroid
tidak/kurang ber-manfaat pada kasus cedera kepala. Penggunaannya
berdasarkan pada asumsi bahwa obat ini menstabilkan sawar darah
otak.Dosis parenteral yang pernah dicoba juga bervariasi
:Dexametason pernah dicoba dengan dosis sampai 100 mg bolus yang
diikuti dengan 4 dd 4 mg. Selain itu juga Metilprednisolon pernah
digunakan dengan dosis 6 dd 15 mg dan Triamsinolon dengan dosis 6
dd 10 mg.d.BarbituratDigunakan untuk membius pasien sehingga
metabolisme otak dapat ditekan serendah mungkin, akibatnya
kebutuhan oksigen juga akan menurun; karena kebutuhan yang rendah,
otak relatif lebih terlindung dari kemungkinan kemsakan akibat
hipoksi, walaupun suplai oksigen berkurang. Cara ini hanya dapat
digunakan dengan pengawasan yang ketat.e.Ca