Top Banner
Juli 2009 Mengidentifikasi hambatan-hambatan utama pertumbuhan ekonomi pasca konflik dan pasca bencana Diagnosis Pertumbuhan Aceh 49568 Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized
91

Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

Mar 13, 2019

Download

Documents

phamtruc
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

Juli 2009

Mengidentifikasi hambatan-hambatan utama pertumbuhan ekonomi pasca konflik dan pasca bencana

Diagnosis Pertumbuhan Aceh

49568P

ublic

Dis

clos

ure

Aut

horiz

edP

ublic

Dis

clos

ure

Aut

horiz

edP

ublic

Dis

clos

ure

Aut

horiz

edP

ublic

Dis

clos

ure

Aut

horiz

edP

ublic

Dis

clos

ure

Aut

horiz

edP

ublic

Dis

clos

ure

Aut

horiz

edP

ublic

Dis

clos

ure

Aut

horiz

edP

ublic

Dis

clos

ure

Aut

horiz

ed

Page 2: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

KANTOR BANK DUNIA JAKARTAGedung Indonesia Stock Exchange, Tower II/Lt. 12-13Jl. Jend. Sudirman Kav. 52-53Jakarta 12910Tel: (6221) 5299-3000Fax: (6221) 5299-3111

BANK DUNIABank Dunia1818 H Street N.W.Washington, D.C. 20433 USATel: (202) 458-1876Fax: (202) 522-1557/1560Email : [email protected] : www.worldbank.org

Dicetak bulan Juli 2009

DIAGNOSIS PERTUMBUHAN ACEH: Mengidentifi kasi hambatan-hambatan utama pertumbuhan ekonomi pasca konfl ik dan pasca bencana adalah produk staf Bank Dunia. Temuan-temuan, penafsiran, dan kesimpulan yang dinyatakan dalam dokumen ini tidak berarti mencerminkan pandangan Direksi Eksekutif Bank Dunia atau pemerintah yang diwakilinya.

Bank Dunia tidak menjamin ketepatan data yang tercantum dalam dokumen ini. Perbatasan, warna, denominasi, dan informasi lain yang ditunjukkan di setiap peta yang terdapat dalam dokumen ini tidak mengimplikasikan suatu penilaian terhadap bagian Bank Dunia sehubungan dengan status hukum setiap wilayah atau pengesahan atas persetujuan terhadap perbatasan tersebut.

Page 3: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

Mengidentifikasi hambatan-hambatan utama pertumbuhan ekonomi pasca konflik dan pasca bencana

Diagnosis Pertumbuhan Aceh

Page 4: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

iiDiagnosis Pertumbuhan Aceh

Daftar Isi

Pengantar iv

Ucapan Terima Kasih v

Daftar Istilah vi

Ringkasan Eksekutif 1

1. Pendahuluan 5

2. Metodologi 9

3. Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15

4. Tinjauan Ekonomi Pada Saat Konfl ik dan Pasca Konfl ik di Aceh 21

5. Akses Terhadap Kredit 25

a. Apakah pembiayaan menjadi masalah di Aceh? 25

b. Apakah biaya modal tinggi terjadi di Aceh? 27

c. Apakah permasalahannya adalah rendahnya tabungan dan tidak adanya akses terhadap

pembiayaan eksternal? 28

d. Apakah permasalahannya adalah fungsi intermediasi (perantara)

bank-bank lokal yang rendah? 30

e. Apabila tidak, apakah persoalannya adalah pembatasan kredit oleh bank? 32

6. Hasil Sosial yang Rendah 37

a. Infrastruktur: jalan-jalan 38

b. Infrastruktur: listrik 40

c. Pendidikan dan modal sumber daya manusia 42

7. Rendahnya Kemungkinan Pengembalian atas Investasi (Appropriability) 47

a. Risiko-risiko Makroekonomi 47

b. Lingkungan usaha 48

c. Korupsi 51

d. Biaya-biaya Transaksi: Pajak dan Iuran Keamanan 53

e. Kegagalan pasar - kegagalan koordinasi 59

f. Kegagalan pasar - kegagalan informasi 61

8. Kesimpulan 65

9. Daftar Referensi 71

10. Lampiran-Lampiran 77

Lampiran I – Perkiraan hasil-hasil pendidikan 77

Lampiran II – Tabel regresi: kinerja perusahaan dan permasalahan-permasalahan

yang dihadapi 78

Lampiran III – Uji T Kesetaraan rata-rata (T Test equality of means) 79

Lampiran IV – Insiden-Insiden keamanan dan pertumbuhan 80

GambarGambar 1 PDB per kapita di Aceh hampir sama dengan rata-rata nasional 6

Gambar 2 Kerangka kerja, yang diadaptasi dari Hausmann, Rodrik dan Velasco (2005) 10

Gambar 3 Aceh telah mengalami pertumbuhan dengan laju yang lebih lambat dibandingkan

Indonesia hampir di sepanjang dasawarsa ini 15

Gambar 4 Upah minimum provinsi di Aceh telah meningkat lebih dibandingkan

daerah-daerah lain di Indonesia 19

Gambar 5 Kekerasan di Aceh – Jan 2005 sampai dengan Des 2008 24

Gambar 6 Kredit terhadap PDRB sangat rendah di Aceh 26

Page 5: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

Diagnosis Pertumbuhan Acehiii

Juli 2009

Gambar 7 Tingkat peminjaman investasi riil di Aceh dan rata-rata nasional 27

Gambar 8 Tingkat peminjaman investasi nominal di Aceh dan rata-rata nasional 27

Gambar 9 Pertumbuhan PDB tidak bereaksi terhadap perbedaan suku bunga 28

Gambar 10 Tabungan per PDRB untuk provinsi-provinsi di Indonesia, 2006 29

Gambar 11 Dana-dana pemerintah menyumbangkan bagian yang besar dari simpanan di Aceh 29

Gambar 12 Sektor konstruksi dan perdagangan menerima bagian kredit yang relatif besar di Aceh 34

Gambar 13 Bagaimana perusahaan-perusahaan menilai kondisi dari jenis-jenis infrastruktur

yang berbeda 39

Gambar 14 Belanja pemerintah untuk infrastruktur di Aceh telah meningkat sejak tahun 2004 40

Gambar 15 Aceh kekurangan cadangan listrik siaga yang diperlukan untuk menghindari

gangguan pasokan 41

Gambar 17 Komposisi sektoral dari sampel survei The Asia Foundation / KKPOD 50

Gambar 16 Lingkungan Indonesia untuk menjalankan usaha masih relatif buruk di tahun 2009 49

Gambar 18 Kinerja perusahaan dan peristiwa-peristiwa kekerasan, per kabupaten 56

Gambar 19 Jumlah pelanggan telepon seluler di Aceh untuk penyedia layanan terkemuka

dan jumlah warnet 62

TabelTabel 1 Bagaimana konfl ik mepengaruhi perekonomian? 11

Tabel 2 Penciptaan lapangan kerja di Aceh 13

Tabel 3 Pertumbuhan ekonomi di Aceh 16

Tabel 4 Proyeksi tingkat kemiskinan Aceh dalam lima tahun (angka pada tahun 2008) 18

Table 5 Kredit investasi dan modal kerja sebagai bagian dari PDRB 26

Tabel 6 Suku bunga nomial rata-rata, Desember 2008 30

Tabel 7 Kredit investasi dan modal kerja sebagai bagian dari keseluruhan kredit 31

Tabel 8 Pendapatan dan kekayaan (hanya untuk laki-laki) 35

Tabel 9 Kondisi infrastruktur di Aceh dan Indonesia tahun 2005 38

Tabel 10 Kondisi Jalan di Aceh, 2006 39

Tabel 11 Tingkat elektrifi kasi di Aceh berada di tingkat yang sama dengan wilayah-wilayah

lain di Indonesia 41

Tabel 12 Capaian pendidikan 42

Tabel 13 Karakteristik dasar, perbandingan antara mantan Tentara Nasional Aceh (TNA),

korban sipil, dan non korban (khusus pria) 43

Tabel 14 Tenaga profesional dalam bidang kesehatan dan pendidikan 44

Tabel 15 Hasil pendidikan – perkiraan kenaikan upah 45

Tabel 16 Indeks persepsi korupsi 52

Tabel 17 Jenis penghidupan (khusus pria) 54

Tabel 18 Perbandingan kawan dan mitra usaha di kalangan mantan pejuang GAM (%) 55

Tabel 19 Ekspor non-migas Aceh, dalam AS$ 61

Tabel 20 Hambatan-Hambatan terhadap Pertumbuhan di Aceh 66

KotakKotak 1 Menguraikan dampak-dampak tsunami, rekonstruksi, dan berakhirnya konfl ik

terhadap pertumbuhan 8

Kotak 2 Data Investasi 18

Kotak 3 Merevitalisasi Pertanian Aceh 20

Kotak 4 Apakah konfl ik merupakan halangan untuk mengakses kredit? 32

Kotak 5 Industri-industri baru yang mulai berkembang di Aceh 62

Page 6: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

ivDiagnosis Pertumbuhan Aceh

Pengantar

Aceh saat ini berada di persimpangan jalan. Searah dengan menurunnya usaha-usaha rekonstruksi yang

sebelumnya telah menghasilkan tingkat pertumbuhan yang tinggi disektor-sektor ekonomi tertentu

(misalnya konstruksi, perdagangan dan transportasi), kondisi ekonomi Aceh tercatat terus menurun.

Kondisi penurunan ekonomi secara alamiah ini juga berhubungan dengan dampak negatif krisis keuangan

global. Fakta juga menunjukkan bahwa sebenarnya ekonomi Aceh belum sembuh dari dampak negatif

konfl ik yang terjadi selama 30 tahun.

Berakhirnya masa konfl ik pada tahun 2005 dan berlanjutnya masa-masa damai merupakan pencapaian

besar. Beberapa daerah konfl ik biasanya kembali ke suasana konfl ik dalam tahun-tahun awal kesepakatan

damai. Namun tidak untuk Aceh. Meskipun sempat memanas dalam Pemilu legislatif dalam bulan April

lalu, namun secara umum kondisi keamanan mengalami perkembangan yang menggembirakan. Hal

ini menunjukkan komitmen yang tinggi dari kedua belah pihak termasuk pemerintah pusat untuk terus

memelihara perdamaian sehingga mendorong pembangunan yang lebih baik.

Laporan ini menunjukkan bahwa beberapa investor masih memandang Aceh sebagai daerah yang berisiko

untuk berinvestasi, meskipun fakta menunjukkan bahwa Aceh relative aman selama kurun waktu hampir

4 tahun. Beberapa insiden keamanan, yang lazim terjadi di daerah pasca konfl ik, menghambat pelaku

usaha dan individu untuk berinvestasi di Aceh. Dampak lain dari konfl ik juga masih adanya pajak-pajak

illegal, yang pada akhirnya mengurangi minat investasi. Pemerintah Aceh menyadari bahwa sebelum

pelaku usaha dan masyarakat merubah persepsi mereka tentang keamanan di Aceh dan merasa percaya

diri bahwa mereka dapat memperoleh manfaat penuh dari investasi mereka, hanya sedikit investasi

akan datang. Akhirnya, pertumbuhan propinsi ini akan terbatas dan upaya-upaya untuk mengurangi

kemiskinan akan kurang efektif.

Terdapat masalah lain yang mempengaruhi perekonomian Aceh. Yaitu termasuk lingkungan usaha,

akses pada permodalan dan kualitas infrastruktur. Laporan ini mencoba menunjukkan bagaimana faktor-

faktor yang berbeda ini berpengaruh pada investasi dan pertumbuhan, dan memberikan rekomendasi

pada upaya pemerintah dalam memperioritaskan dan merubah kebijakan untuk meningkatkan iklim

investasi

Meningkatkan kemakmuran masyarakat merupakan hal yang penting untuk menjaga perdamaian. Karena

lingkungan konfl ik dan pasca konfl ik yang tidak positif dapat memperburuk investasi dan pertumbuhan

ekonomi. Konfl ik yang ada di Aceh tidak dapat disederhanakan menjadi hanya isu lapangan pekerjaan

dan ketimpangan sosial. Akarnya jauh lebih rumit dan memelihara perdamaian lebih penting dari sekedar

pertumbuhan ekonomi. Namun demikian, kami percaya bahwa manakala masyarakat dalam keadaan

stabil dan menikmati penghasilan yang layak, maka kekacauan akan menurun. Tentunya menghilangkan

hambatan pertumbuhan dan investasi adalah penting. Karena pada akhirnya dapat membuat propinsi

ini terus tumbuh dengan tingkat hidup yang lebih baik bagi masyarakat, serta membantu terjaganya

perdamaian.

Joachim von Amsberg

Direktur Bank Dunia

Indonesia

Page 7: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

Diagnosis Pertumbuhan Acehv

Juli 2009

Ucapan Terima Kasih

Laporan ini disusun oleh unit Manajemen Ekonomi dan Penanggulangan Kemiskinan Asia Timur

Bank Dunia, yang bekerjasama dengan Unit Pembangunan Sosial. Tim penyusun laporan ini diketuai

oleh Enrique Blanco Armas dan terdiri atas Patrick Barron, David Elmaleh, dan Harry Masyrafah. Kami

sangat berterima kasih atas masukan-masukan berharga yang diberikan oleh banyak orang selama

penyusunan laporan ini, termasuk Enrique Aldaz-Carroll, Achmad Budiman, Tim Bulman, Yoko Doi, Said

Fauzan Baabud, Wolfgang Fengler, Fitria Fitrani, Scott Guggenheim, Ahya Ihsan, Islahuddin, Kai Kaiser,

Neni Lestari, Lina Marliani, Lloyd McKay, Adrian Morel, Nazamuddin, David Newhouse, Blair Palmer, Peter

Rosner, Rodrigo Wagner, Susan Wong, Robert Wrobel, Sukmawah Yuningsih, dan Wasi Abbas. Kami juga

ingin mengucapkan terima kasih kepada para rekan peninjau (peer reviewer), Elena Ianchovichina dan

Nicola Pontara, yang telah memberikan masukan-masukan berharga. Rizki Atina yang telah memberikan

bantuan untuk tim, Peter Milne dan Arsianti yang telah membantu dengan melakukan penyuntingan

dan produksi laporan ini.

Dalam melaksanakan penelitian ini, tim mendapatkan bantuan dari sebuah survei kecil dan serangkaian

wawancara yang dilakukan dengan para pelaku usaha dan bank-bank di Aceh. Bimbingan dari Bank

Indonesia dalam melaksanakan survei ini sangat penting, dan kami secara khusus berterima kasih kepada

Yusran dan Eko Hermonsyah dari Bank Indonesia atas bantuannya. Penelitian ini juga mendapatkan banyak

bantuan dari survei di tingkat perusahaan yang dilakukan oleh KPPOD dan The Asia Foundation di Aceh

pada tahun 2008. Keduanya setuju untuk memberikan hasil-hasil surveinya kepada kami, meluangkan

waktu yang cukup banyak untuk membahas survei tersebut dan hasil-hasilnya dengan tim. Kami

ingin berterima kasih khususnya pada Romawaty Sinaga, Adam Day, dan Erman Rahman dari The Asia

Foundation. Kami juga menggunakan hasil dari survei Reintegrasi Aceh dan Penghidupan (ARLS), yang

dilakukan oleh Nielson Indonesia dengan bantuan dana dari Department for International Development

(Departemen Pembangunan Internasional (DFID)) Inggris. Diskusi yang kami lakukan dengan Laura Paler

(Columbia) dan Yuhki Tajima (Riverside) bermanfaat bagi kami dalam penafsiran data.

Tim juga telah mempresentasikan versi awal dari laporan ini dalam Konferensi Internasional tentang Kajian

Aceh dan Kawasan Samudra Hindia (ICAIOS) kedua yang bertajuk “Konfl ik Sipil dan Penanggulangannya”,

di Banda Aceh, dari tanggal 23 sampai 24 Februari 2009. Kami ingin mengucapkan terima kasih kepada

para penyelenggara, Universitas Syiah Kuala, IAIN Ar-Raniry dan the Asia Research Institute (ARI) Universitas

Nasional Singapura, serta para peserta konferensi tersebut, karena telah memberikan kepada kami

kesempatan untuk menyajikan hasil-hasil awal dan memberikan kepada tim tanggapan-tanggapan yang

matang tentang makalah yang disajikan. Hasil-hasil awal juga telah dipresentasikan kepada Pemerintah

Aceh pada bulan April 2009 untuk menjelaskan hasil temyan awal dan untuk memperoleh umpan balik

dari Pemerintah tentang kegiatan kami. Ucapan terima kasih kami haturkan kepada T. Said Mustafa dari

Kantor Gubernur Aceh yang telah memfasilitasi pertemuan tersebut, serta kepada semua peserta yang

telah meluangkan waktunya dan memberikan tanggapan-tanggapan yang bermanfaat kepada tim.

Akhirnya, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada Vikram Nehru, Joachim von Amsberg, dan William

Wallace, yang telah memberikan bimbingan menyeluruh kepada kami, atas dukungan, bimbingan, serta

masukan-masukan bermanfaat yang telah diberikan sepanjang proses penyusunan laporan ini.

Page 8: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

viDiagnosis Pertumbuhan Aceh

Daftar Istilah

APKO Asosiasi Penguasaha Kopi

ARLS Aceh Reintegration and Livelihood Survey

ARI Asia Research Institute

ATAP Aceh Triple-A Project

BI Bank Indonesia

BPS Biro Pusat Statistik

CSIRO Australia’s Commonwealth Scientifi c and Industrial Research Organization

DAU Dana Alokasi Umum

DFID Department for International Development

GAM Gerakan Aceh Merdeka

GDP Gross Domestic Product

GER Gross Enrollment Rate

GRDP Gross Regional Domestic Product

GwH Gigawatt Hour

IAIN Institut Agama Islam Negeri

ICAIOS International Conference on Aceh and Indian Ocean Studies

ICG International Consultative Group

IFC International Finance Corporation

IOM International Organization for Migration

IOO Investment Outreach Offi ce

KDP Kecamatan Development Program

KPM Business Empowerment Credit Program

KPPOD Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah

KTP Kartu Tanda Penduduk

KUR Kredit Usaha Rakyat

kVA Kilo Volt Ampere

LDR Loan to Deposit Ratio

LOGA The Law on Governing Aceh

MIGA Multilateral Investment Guarantee Agency

MoU Memorandum of Understanding

MSME Micro, Small and Medium Enterprises

MSR Multi Stakeholder Review

NAD Nanggroe Aceh Darussalam

NER Nett Enrollment Rate

NGO Non Government Organization

NPL Non Performing Loan

PDRB Produk Domestik Regional Brutto

PEG Poverty Elasticities of Growth

PER Pemberdayaan Ekonomi Rakyat

PLN Perusahaan Listrik Negara

PMA Penanaman Modal Asing

PMDN Penanaman Modal Dalam Negeri

Pusdatin Pusat Data dan Informasi

Page 9: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

Diagnosis Pertumbuhan Acehvii

Juli 2009

RPJMD Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah

RUPTL Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik

Sakernas Survey Tenaga Kerja Nasional

SMA Sekolah Menengah Atas

SME Small Medium Enterprise

Susenas Survey Sosial Ekonomi Nasional

TAF The Asia Foundation

TNA Tentara Negara Aceh

TNI Tentara Nasional Indonesia

UN United Nations

Page 10: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...
Page 11: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

Diagnosis Pertumbuhan Aceh1

Hambatan-hambatan terhadap investasi dan pertumbuhan di Aceh perlu segera ditangani.

Seiring dengan berakhirnya masa rekonstruksi, pertumbuhan ekonomi kembali menurun, seperti

pada saat sebelum terjadinya tsunami. Perekonomian Aceh mengalami penurunan sebesar lebih dari

8 persen di tahun 2008. Sedangkan perekonomian dari sektor non-migas menunjukkan pertumbuhan

yang cukup rendah, yaitu sebesar 1,9 persen, jauh di bawah pertumbuhan di tingkat nasional sebesar 6

persen. Pertumbuhan di Aceh pasca tsunami didominasi oleh sektor-sektor yang berkaitan erat dengan

upaya rekonstruksi, seperti konstruksi, perdagangan, dan transportasi. Seiring dengan akan berakhirnya

upaya rekonstruksi, pertumbuhan sektor-sektor tersebut telah melambat, sementara pelambatan

tersebut belum diisi oleh sektor-sektor lain dalam perekonomian (misalnya, pertanian dan industri). Pada

saat di mana cadangan minyak dan gas yang diketahui semakin menipis dengan cepat dan program

rekonstruksi pasca tsunami tidak lagi menjadi motor penggerak pertumbuhan, sektor swasta perlu

menjadi mesin penggerak pertumbuhan, meningkatkan produktifi tas, dan membentuk kembali sektor

produktif agar tidak lagi bergantung pada sektor minyak dan gas, dan membantu transisi Aceh menjadi

perekonomian yang modern.

Dengan menggunakan kerangka diagnosa pertumbuhan, laporan ini mengidentifi kasi

kurangnya pasokan listrik yang dapat diandalkan sebagai hambatan utama terhadap investasi

dan pertumbuhan di Aceh. Berbagai perusahaan di Aceh melaporkan bahwa pasokan listrik mengalami

gangguan rata-rata 4,3 kali per minggu, lebih dari dua kali lipat dari jumlah gangguan yang dialami oleh

daerah-daerah lain di Indonesia. Usaha manufakturing dan pengolahan hasil pertanian merupakan sektor

yang secara khusus sangat dirugikan apabila terjadi pemadaman listrik. Hal ini menyebabkan sejumlah

usaha kecil yang tidak memiliki generator sendiri tidak dapat menjalankan kegiatannya. Selain untuk

meningkatkan tingkat keandalan pasokan energi dari Sistem Interkoneksi Sumatera, Pemerintah Aceh

dapat mempertimbangkan untuk upaya-upaya pembaruan untuk menarik investasi dari sektor swasta

dalam bidang energi dengan (i) merevisi penetapan harga listrik yang dihasilkan oleh pihak swasta untuk

didistribusikan melalui PLN, (ii) mendorong keikutsertaan sektor swasta dalam pembangkitan listrik dari

sumber-sumber energi yang dapat diperbaharui (panas bumi, biomassa setempat, energi matahari),

dan (iii) menjajaki kemungkinan kemitraan pemerintah-swasta untuk menarik para produsen listrik yang

hemat biaya.

Hambatan utama lainnya terhadap investasi dan pertumbuhan di Aceh adalah masalah

pungutan liar dan masalah keamanan yang masih menjadi perhatian para calon investor. Hal

tersebut harus menjadi fokus instansi-instansi terkait dalam upaya untuk menarik investasi di

Aceh. Sisa-sisa konfl ik di Aceh masih terus menghambat pertumbuhan. Konfl ik dapat menimbulkan

dampak yang mendasar pada lembaga-lembaga ekonomi, sosial, dan politik yang menjadi landasan

pertumbuhan. Dampak-dampak tersebut mempengaruhi bagaimana perekonomian berfungsi dalam

Ringkasan Eksekutif

Page 12: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

2Diagnosis Pertumbuhan Aceh

Ringkasan Eksekutif

masa pasca konfl ik. Selain pengaruh-pengaruh destruktif langsung, dampak-dampak tersebut juga dapat

membahayakan keamanan para individu dan masyarakat dengan cara-cara yang secara tidak langsung

mengubah perilaku, preferensi, dan fungsi kelembagaan. Kekhawatiran akan keamanan dan persepsi

negatif di luar Aceh nampaknya merupakan faktor yang kuat yang menghalangi investasi di provinsi

tersebut. Pungutan liar dan masalah-masalah keamanan dianggap sebagai hambatan-hambatan

yang sangat besar oleh usaha-usaha: 9,3 persen dari usaha-usaha tersebut menyatakan keamanan

dan kemudahan penyelesaian konfl ik sebagai hambatan di Aceh, dibandingkan dengan angka di

provinsi-provinsi yang lain yang hanya mencapai 4 persen. Kabupaten-kabupaten tempat terjadinya

insiden-insiden yang paling hebat sejak penandatanganan Kesepakatan Damai cenderung merupakan

kabupaten-kabupaten di mana perusahaan-perusahaan mencatat kinerja yang lebih rendah. Secara

rata-rata. satu dari empat usaha swasta menyatakan mengeluarkan biaya untuk tambahan keamanan.

Persepsi peningkatan risiko juga dapat juga menimbulkan kurangnya kredit untuk sektor swasta. Semua

hal tersebut meningkatkan ketidakpastian dalam menjalankan usaha di Aceh. Berbagai perusahaan

mencoba mengatasi ketidakpastian tersebut dengan menjalin kerjasama dengan prusahaan-perusahaan

atau jaringan-jaringan setempat yang dapat menawarkan perlindungan dan rasa aman, walaupun hal

tersebut tidak selalu mungkin dilakukan.

Upaya untuk mengatasi kekhawatiran para calon investor tentang keamanan dan pemberantasan

pungutan liar serta suap membutuhkan strategi dua arah: memperkuat supremasi hukum dan

menangani hal-hal yang menjadi penyebab timbulnya ancaman kekerasan dan keamanan. Untuk

memperkuat supremasi hukum, instansi-instansi terkait harus meningkatkan kapasitas kepolisian untuk

melakukan penyelidikan dan menyelesaikan kasus-kasus kejahatan, serta kapasitas sistem peradilan

untuk menuntut dan menghukum para pelaku kejahatan. Hal tersebut mungkin membutuhkan modal

politik yang cukup besar, yang sama pentingnya dengan modal yang diperlukan untuk membangun

konstituen yang diperlukan yang akan mendukung reformasi tersebut, dengan melibatkan masyarakat

madani dan sektor swasta dalam diskusi-diskusi dan pemantauan situasi keamanan. Untuk menangani

faktor-faktor penyebab yang mendasar dari ancaman kekerasan dan keamanan, instansi-instansi terkait

harus mendukung pertumbuhan dan pembangunan ekonomi di daerah-daerah yang dilanda konfl ik,

dengan fokus pada kelompok-kelompok yang berisiko dan rentan. Apabila bantuan hanya diberikan

kepada para mantan pejuang GAM, maka hal tersebut mungkin kurang efektif dan akan menimbulkan

masalah baru serta kecemburuan lainnya.

Situasi keamanan yang lebih baik dan penghapusan pungutan dan pajak liar kemungkinam

besar akan mendorong meningkatnya investasi dan pertumbuhan. Seiring dengan pengurangan

biaya-biaya yang terkait dengan keamanan dan pungutan liar, perusahaan dan para individu akan dapat

lebih mudah menilai biaya-biaya dan hasil investasinya secara lebih pasti dan tentunya akan melakukan

investasi apabila investasi tersebut secara jelas dapat berkembang. Mengingat terbatasnya kapasitas dan

modal politik yang harus dimiliki oleh instansi-instansi pemerintah daerah untuk melaksanakan reformasi,

reformasi harus terlebih dahulu difokuskan pada sektor-sektor yang menghasilkan pertumbuhan yang

berkesinambungan dan menyeluruh dengan penciptaan lapangan pekerjaan dan pemerataan manfaat

pertumbuhan ekonomi secara luas.

Sifat inklusif dari pertumbuhan ekonomi menjadi sangat relevan dalam situasi pasca konfl ik.

Pertumbuhan harus bersifat inklusif, lintas sektoral dan bermanfaat bagi sebagian besar dari angkatan

kerja, terutama masyarakat miskin sebagai produsen. Pertumbuhan inklusif di Aceh akan timbul dari

pertumbuhan sektor-sektor yang menjadi sumber mata pencaharian mayoritas masyarakat miskin, yaitu

pertanian dan perikanan. Pertumbuhan inklusif juga akan didorong oleh penciptaan lapangan pekerjaan

di sektor-sektor padat karya, agribisnis, sektor manufaktur lain, dan sejumlah sektor jasa, terutama

perdagangan dan transportasi. Khususnya di lingkungan pasca konfl ik seperti Aceh, kekhawatiran akan

masalah keadilan dan kepastian bahwa ’para pihak yang berpotensi akan mengganggu perdamaian’

merupakan sebuah masalah yang penting.

Page 13: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

Diagnosis Pertumbuhan Aceh3

Juli 2009

Pertumbuhan yang inklusif dan merata yang bermanfaat bagi mayoritas penduduk, juga

memberikan perhatian khusus terhadap peluang terhadap ‘pihak yang berpotensi akan

mengganggu perdamaian’, harus menjadi bagian dari setiap strategi untuk memelihara

perdamaian di provinsi Aceh. Strategi umum untuk mengatasi persoalan keamanan dan konfl ik harus

mencakup upaya untuk mendorong pertumbuhan yang inklusif dan merata. Upaya untuk mengatasi

hambatan-hambatan yang telah teridentifi kasi akan bermanfaat bagi masyarakat secara keseluruhan,

sehingga meningkatkan kemampuan masyarakat miskin dan rentan di Aceh untuk merasakan manfaat

dari pertumbuhan. Terdapat pula intervensi khusus untuk memastikan agar pertumbuhan bersifat inklusif.

Intervensi tersebut antara lain berupa upaya umtuk terus fokus pada sektor pertanian (namun juga

dengan meningkatkan layanan publik lainnya, seperti pemberian kredit, irigasi, dll.). Intervensi tersebut

juga termasuk memulihkan ketidakadilan yang ada baik dalam modal manusia maupun modal fi sik

dengan menambah keterampilan masyarakat miskin di daerah-daerah pedesaan. Pemerataan manfaat

pertumbuhan akan memberikan masyarakat Aceh tanggung jawab yang besar atas perdamaian dan

stabilitas, sehingga pada akhirnya memperkecil kemungkinan terulangnya konfl ik.

Page 14: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...
Page 15: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

Diagnosis Pertumbuhan Aceh5

01

Laporan ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang menjadi penghambat pertumbuhan

di Aceh. Pada saat di mana cadangan minyak dan gas tercatat semakin menipis dan program rekonstruksi

pasca tsunami yang akan segera berakhir, sektor swasta harus menjadi mesin penggerak pertumbuhan.

Sektor swasta yang kuat dapat meningkatkan produktifi tas dan dapat membantu menciptakan investasi

baru dalam sektor industri tradisional dan non tradisional. Hal ini pada akhirnya menciptakan sektor industri

produktif lainnya di samping sektor migas dan membantu transisi Aceh untuk menjadi perekonomian

yang modern. Berbagai tantangan terhadap perekonomian Aceh telah banyak didokumentasikan secara

luas. Laporan ini bertujuan mengidentifi kasi dan memahami secara lebih rinci persoalan-persoalan

pertumbuhan ekonomi yang paling mendesak untuk di perbaiki dan bagaimana upaya reformasi yang

tepat terkait dengan perkembangan dan pertumbuhan sektor swasta.

Laporan ini menggunakan Kerangka Diagnosa Pertumbuhan yang dikembangkan oleh Hausmann,

Rodrik, dan Velasco (2005) yang bertujuan untuk mengidentifi kasi masalah-masalah utama yang

menghambat pertumbuhan perekonomian Aceh dan harus segera menjadi fokus utama dari kebijakan

ekonomi. Masalah-masalah tersebut disebut sebagai hambatan-hambatan utama1. Kerangka ini telah

di modifi kasi sedemikian rupa agar dapat diterapkan dengan latar belakang daerah yang merupakan

daerah pasca konfl ik. Penggunaan kerangka ini dalam latar tersebut memiliki beberapa keterbatasan.

Pada daerah pasca konfl ik, persoalan-persoalan seperti, struktur dasar sosial, dan memastikan bahwa

“pihak yang berpotensi akan mengganggu perdamaian” yang juga merasakan manfaat dari pertumbuhan,

menjadi semakin penting dan tidak dapat ditangani secara mudah dengan menggunakan kerangka

diagnosa pertumbuhan. Terdapat hambatan yang penting terkait dengan ketersediaan data di tingkat

daerah, khususnya minimnya data investasi sektor swasta yang dapat diandalkan. Meski demikian,

laporan ini dapat digunakan sebagai masukan yang berharga dalam proses pengambilan keputusan

politik, memberikan wawasan tentang apa yang menghambat investasi dan pertumbuhan sektor swasta

di Aceh, dan dampak yang terjadi di daerah pasca konfl ik. Laporan ini mengidentifi kasi hambatan-

hambatan terhadap investasi dan pertumbuhan. Di dalam berbagai bagian dalam laporan ini, analisis

yang dilakukan untuk menjawab beberapa pertanyaan seperti ; apakah hambatan-hambatan terhadap

investasi timbul dari tingginya biaya atau rendahnya akses terhadap kredit, ketidakmampuan untuk

menghasilkan laba atas investasi karena rendahnya hasil investasi sosial atau rendahnya tingkat laba atas

investasi yang mungkin diperoleh.

Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu faktor pendorong utama bagi upaya pengentasan

kemiskinan di banyak negara. Namun dampak pertumbuhan pada upaya pengentasan kemiskinan

dan kesinambungan pertumbuhan sangat bergantung pada laju dan pola pertumbuhan. Di

1 Pendekatan ini didasari oleh dalil bahwa faktor-faktor penentu pertumbuhan lebih merupakan pelengkap daripada pengganti.

Oleh karena itu, semua tindakan kebijakan tidak akan memiliki dampak yang sama pada pertumbuhan, karena sejumlah

faktor penentu relatif lebih rendah daripada faktor-faktor penentu yang lain. Hambatan-hambatan utama adalah faktor-faktor

penentu pertumbuhan tersebut yang apabila dikurangi, akan menghasilkan dampak positif langsung tertinggi pada kinerja

pertumbuhan.

Pendahuluan

Page 16: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

6Diagnosis Pertumbuhan Aceh

Pendahuluan

Indonesia, pertumbuhan dari pertengahan tahun 1960-an hingga terjadinya krisis keuangan pada tahun

1997-98 merupakan pertumbuhan yang memihak pada masyarakat miskin dikarenakan meningkatnya

produktifi tas dalam bidang pertanian dan perluasan sektor-sektor padat karya (World Bank, 2006a).

Struktur perekonomian Aceh, yang sangat bergantung pada sektor minyak dan gas dengan sedikit peluang

terhadap ketenagakerjaan dan kaitannya dengan sektor-sektor perekonomian yang lain, menunjukkan

bahwa rendahnya pertumbuhan tidak dapat diejawantahkan ke dalam tingkat kemiskinan yang lebih

rendah (World Bank, 2008a). Tingkat pertumbuhan Aceh tercatat cukup lambat dan berfl uktuatif yang

juga menjelaskan penyebab dari tingginya angka kemiskinan di Aceh. Dengan tidak menyertakan sektor

migas dari sumber-sumber pendapatan daerah, PDB Aceh per kapita yang berjumlah Rp 11 juta (sekitar

AS$1.000) hampir sama dengan jumlah rata-rata di tingkat nasional pada tahun 2006 (Gambar 1). Hal

tersebut bertolak belakang dengan angka kemiskinan. Aceh merupakan salah daerah dengan angka

kemiskinan tertinggi di Indonesia, sebesar 23,5 persen di tahun 2008. Pertumbuhan di sektor non-migas

menguat sebesar lebih dari 7 persen pada tahun 2006 dan 2007, namun angka ini hanya sedikit lebih

tinggi daripada pertumbuhan rata-rata di tingkat pusat, meskipun terdapat aliran dana rekonstruksi

yang sangat besar yang masuk ke provinsi Aceh. Hal ini menimbulkan kekhawatiran tentang prospek

pertumbuhan seiring dengan berkurangya aliran dana rekonstruksi: Tingkat pertumbuhan awal untuk

tahun 2008 menunjukkan bahwa pertumbuhan di sektor non-migas telah melambat sampai dengan

1,9 persen dibandingkan dengan pertumbuhan di tingkat pusat yang mencapai lebih dari 6 persen.

Pertumbuhan yang inklusif dan berkesinambungan, terutama di sektor non-migas, perlu dicapai untuk

menurunkan angka kemiskinan di provinsi tersebut secara signifi kan.

Gambar 1 PDB per kapita di Aceh hampir sama dengan rata-rata nasional

PDRB non-migas per kapita, tahun 2006 (nilai saat ini)

-

10,000,000

20,000,000

30,000,000

40,000,000

50,000,000

60,000,000

Prop. M

aluku U

tara

Prop. M

aluku

Prop. N

usa Tenggara Ti

mur

Prop. G

oronta

lo

Prop. S

ulawesi Barat

Prop. L

ampung

Prop. N

usa Tenggara Barat

Prop. B

engkulu

Prop. S

ulawesi Selatan

Prop. S

ulawesi Tenggara

Prop. Ja

wa Tengah

Prop. S

ulawesi Tengah

Prop. Ja

mbi

Prop. K

alimantan Barat

Prop. Y

ogyakarta

Prop. P

apua Barat

Prop. S

umatra

Selatan

Prop. S

ulawesi Uta

ra

Prop. B

anten

Prop. K

alimantan Selatan

Prop. B

ali

Prop. N

anggroe Aceh D

arussalam

Prop. K

alimantan Te

ngah

Prop. Ja

wa Barat

Prop. S

umatra

Barat

Prop. S

umatra

Uta

ra

Prop. Ja

wa Tim

ur

Prop. R

iau

Prop. B

angka Belitung

Prop. P

apua

Prop. K

alimantan Ti

mur

Prop. K

epulauan Riau

Prop. D

KI Jakarta

ACEH

Sumber: BPS dan perhitungan staf Bank Dunia

Salah satu faktor penentu utama pertumbuhan adalah insentif-insentif yang diberikan oleh

pemerintah guna mendorong sektor swasta dan para individu untuk melakukan investasi.2

Investasi menyebabkan terjadinya akumulasi modal (fi sik, manusia) dan dapat menimbulkan kemajuan

teknologi, dengan demikian meningkatkan produktifi tas. Investasi memungkinan penerapan teknologi-

teknologi baru, menjangkau pasar-pasar baru dan memperkenalkan peningkatan proses usaha dapat

2 Teori pertumbuhan telah banyak berevolusi dalam beberapa dekade terakhir dengan berusaha mengidentifi kasi faktor-faktor

penentu pertumbuhan. Model pertumbuhan klasik, yang berfokus pada akumulasi modal manusia dan modal, atau model

pertumbuhan neoklasik (Solow, 1956), yang mengamati tingkat tabungan dan memperkenalkan konsep kemajuan teknologi,

tidak dapat menjelaskan perbedaan angka-angka pertumbuhan di seluruh negara. Teori pertumbuhan endogen (Romer, 1990)

memperkenalkan konsep insentif untuk inovasi, dampak ikutan, dan Litbang dan bagaimana hal-hal tersebut penting untuk

menghasilkan pertumbuhan produktifi tas. Model-model pertumbuhan modern berfokus pada latar dan kebijakan-kebijakan

kelembagaan yang memberikan insentif yang benar untuk investasi (Aghion and Howitt, 1992). Pencarian faktor-faktor penentu

pertumbuhan yang dapat memandu pembuatan kebijakan masih jauh dari kata usai, namun terdapat kesepakatan bahwa

investasi merupakan faktor penentu utama pertumbuhan.

Page 17: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

Diagnosis Pertumbuhan Aceh7

Juli 2009

memiliki dampak ikutan positif yang bermanfaat bagi perekonomian secara keseluruhan. Pemerintah

provinsi Aceh menyadari hal ini dan telah berupaya untuk menarik investasi swasta yang secara nyata

tersaji dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) dan prakarsa-prakarsa lain

yang diusung oleh pemerintah provinsi, seperti “Aceh Hijau”.3 Namun demikian, tingkat investasi di Aceh

tertinggal dari daerah-daerah lain di Indonesia. Tidak ada data tentang investasi yang dapat diandalkan,

terutama tentang investasi swasta, namun bukti yang ada menunjukkan tingkat investasi tersebut sangat

rendah. Investasi sebagai bagian dari PDB berjumlah sekitar 13 persen pada tahun 2008 di Aceh, jauh

lebih rendah dari porsi di tingkat pusat yang berjumlah 24 persen. Kredit investasi, yang kurang dari 8

persen dari PDB, juga tercatat rendah di Aceh dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia,

sebagaimana ditunjukkan oleh data dari Bank Indonesia.

Investasi pemerintah penting bagi pertumbuhan dalam hal bahwa pemerintah menyediakan

barang dan layanan publik yang tidak akan dapat disediakan oleh pasar atau dapat disediakan

oleh pasar dalam jumlah yang kurang memadai. Barang-barang dan layanan-layanan tersebut,

seperti prasarana umum, dapat memberikan manfaat bagi semua pelaku perekonomian dengan biaya

marjinal yang terbatas bagi pengguna tambahan, menciptakan eksternalitas positif di mana laba atas

investasi sosial lebih tinggi daripada laba atas investasi swasta. Sebagai akibat dari eksternalitas tersebut,

apabila diserahkan kepada sektor swasta, penyediaan barang-barang dan layanan publik tersebut tidak

memadai dan hasilnya kurang optimal dari segi sosial. Infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan keamanan

adalah sejumlah bidang yang lebih menonjol di mana pemerintah memiliki peranan yang penting.

Kajian terbaru (Moreno-Dodson, 2008) yang dilakukan oleh Bank Dunia di sejumlah negara berkembang,

termasuk Indonesia, menunjukkan hubungan yang positif antara belanja publik dan pertumbuhan,

terutama apabila alokasi belanja berfokus pada penyediaan barang-barang publik dibandingkan dengan

pemberian subsidi atau penyediaan barang-barang dan masukan-masukan dari swasta. Kajian tersebut

juga menunjukkan bahwa investasi publik melengkapi (dan tidak menggantikan) investasi swasta sebagai

penggerak pertumbuhan.

Laporan ini berfokus pada analisis atas hambatan-hambatan terhadap investasi sektor

swasta, dengan tetap mengakui peran penting yang dimiliki oleh investasi pemerintah dalam

meningkatkan pertumbuhan, yang paling menonjol melalui penyediaan barang-barang publik.4

Laporan ini berasumsi bahwa terkait dengan investasi dalam usaha, sektor swasta lebih efektif dalam

menghasilkan jenis inovasi dan pertumbuhan produktifi tas yang diperlukan untuk memelihara tingkat

pertumbuhan dibandingkan dengan pemerintah. Pemerintah merupakan investor swasta yang kurang

optimal. Para investor swasta kemungkinan memiliki informasi yang lebih baik karena mereka memiliki

pemahaman tentang usaha tertentu. Dibandingkan dengan para pelaku usaha swasta yang umumnya

digerakkan oleh laba, pemerintah memiliki serangkaian tujuan yang lebih luas yang dapat mengakibatkan

inefi siensi dalam pengelolaan badan usaha milik negara. Karena badan usaha tersebut seringkali tidak

dihadapkan dengan hambatan anggaran yang besar, sebagai akibatnya, mereka mungkin dapat melakukan

investasi dengan cara-cara yang sama sekali tidak dapat menghasilkan laba. Investasi pemerintah dapat

mengalahkan investasi swasta karena mereka mungkin khawatir akan adanya persaingan yang tidak

sehat dari badan usaha milik pemerintah. Yang lebih penting lagi, mengingat langkanya sumber daya

dan adanya kebutuhan akan perbaikan penyediaan layanan publik, pemerintah harus berfokus untuk

memberikan layanan-layanan publik tersebut: infrastruktur yang modern, pendidikan yang lebih baik,

perbaikan layanan kesehatan dan lain-lain.

3 Aceh Hijau adalah sebuah prakarsa yang diluncurkan oleh Gubernur Aceh untuk melaksanakan visinya untuk “Strategi Investasi

dan Pembangunan Ekonomi Hijau untuk Aceh”, www.aceh-eye.org/data_fi les/english_format/economic/economic_analysis/

eco_analysis_2008_07_00.pdf

4 Mutu investasi pemerintah telah dianalisis dalam berbagai makalah analisa (World Bank, 2006b dan 2008b) dan sepanjang

makalah tersebut relevan, temuan-temuan tersebut telah dimasukkan ke dalam analisis ini. Terdapat keprihatian tentang

efi siensi belanja dan mutu investasi pemerintah di provinsi Aceh. Pemerintah setempat tidak kekurangan sumber daya,

namun tidak memiliki pengalaman untuk mengalokasikan sumber daya tersebut secara efi sien. Belanja untuk layanan umum

(kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur) cukup tinggi apabila dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain dan mutu layanan

secara umum setara dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia.

Page 18: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

8Diagnosis Pertumbuhan Aceh

Pendahuluan

Konfl ik turut memiliki andil dalam buruknya kinerja perekonomian Aceh dan, yang lebih penting

lagi, sisa-sisa konfl ik dapat terus menghambat pertumbuhan dalam waktu dekat ini.5 Laporan ini

mencoba mengungkap apa saja dampak yang ditimbulkan oleh konfl ik yang berkepanjangan antara

Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia pada pertumbuhan dan investasi. Masa-masa

kekerasan bersenjata telah menjadi bagian dari sejarah Aceh setidak-tidaknya sejak jaman penjajahan

(Reid, 2006), yang terbaru adalah konfl ik separatis antara GAM dan Pemerintah Indonesia. Kekerasan

telah mengalami pasang surut sejak tahun 1976, yang mengakibatkan sekitar 12.000 sampai dengan

20.000 meninggal (Aspinall, 2009b), lebih dari 100.000 orang harus mengungsi (IOM, 2008), trauma yang

tersebar luas (IOM/Harvard Medical School, 2007), dan kerusakan infrastruktur yang signifi kan (World

Bank/KDP, 2007; MSR, 2009). Segera setelah terjadinya tsunami, situasi politik di Aceh berubah secara

dramatis dengan berakhirnya konfl ik antara GAM dan Pemerintah Indonesia. Konfl ik tersebut berakhir

dengan penandatanganan Nota Kesepahaman Helsinki oleh GAM dan Pemerintah Indonesia pada

tanggal 15 Agustus 2005. Walaupun demikian, periode pasca konfl ik menimbulkan tantangan-tantangan

baru. Sekurang-kurangnya 10.000 mantan pejuang dan penduduk sipil GAM menghadapi tantangan-

tantangan reintegrasi (Barron and Burke, 2008). Nazamuddin (2008) berpendapat bahwa tantangan

utama dalam pelaksanaan reintegrasi bagi para mantan pejuang GAM adalah lapangan kerja, di mana

75 persen anggota GAM yang kembali ke kampung halaman masih menganggur pada tahun 2006

(World Bank, 2006c), sehingga mereka bergantung pada sanak keluarganya. Meskipun sebagian besar

dari mereka telah kembali bekerja, banyak yang melakukan pekerjaan terkait dengan rekonstruksi pasca

tsunami, sehingga menimbulkan potensi masalah setelah berakhirnya program tersebut (MSR, 2009).

Naiknya tingkat kekerasan yang baru-baru ini terjadi menunjukkan bahwa stabilitas dan perdamaian Aceh

tidak dapat dianggap mudah (World Bank, 2009; ICG, 2009). Laporan ini berupaya menguraikan berbagai

macam dampak yang ditimbulkan oleh komfl ik pada struktur perekonomian masyarakat Aceh dan

bagaimana sisa-sisa peperangan terus membentuk insentif untuk investasi dalam masa pasca-konfl ik.

Kotak1 Menguraikan dampak-dampak tsunami, rekonstruksi, dan berakhirnya konfl ik terhadap

pertumbuhan

Setiap analisis tentang perekonomian Aceh setelah tsunami dan berakhirnya konfl ik akan menghadapi suatu

tantangan: muara dari serangkaian kejadian-kejadian dramatis yang berdampak besar pada perekonomian, sehingga

pengidentifi kasian penyebab-penyebab dan dampak-dampak sangat sulit untuk dilakukan. Laporan ini, yang

berupaya menganalisis pertumbuhan dan hambatan-hambatan terhadap pertumbuhan, menghadapi masalah

yang serupa. Pada tahun 2004, perekonomian mengalami penurunan, karena konfl ik yang berkepanjangan dan

menipisanya cadangan gas. Pada bulan Desember 2004, gempa bumi yang dahsyat dan tsunami menghancurkan

Aceh. Kerusakan dan kerugian, diperkirakan sebesar AS$4,5 milyar, diperhitungkan mencapai 80 persen dari

PDB Aceh. Bantuan dan upaya rekonstruksi yang luar biasa dimulai tidak lama setelah itu, dengan lebih dari

AS$7 milyar dialokasikan untuk Aceh dalam jumlah tahun yang terbatas. Hal tersebut menyebabkan kaitan ke

belakang (backward linkage) dengan sektor-sektor lain dalam perekonomian, terutama di sejumlah sektor seperti

perdagangan, transportasi, dan konstruksi. Berakhirnya konfl ik pada bulan Agustus 2005 memungkinkan banyak

masyarakat Aceh untuk kembali melakukan kegiatan sehari-harinya dan kembali bekerja. Analisis atas dampak

dari setiap kejadian tersebut pada pertumbuhan merupakan analisis yang rumit, mengingat singkatnya jangka

waktu di mana semua hal tersebut terjadi. Laporan ini akan berupaya untuk melakukan hal tersebut dengan

menggunakan serangkaian indikator untuk menidentifi kasi daerah-daerah di Aceh yang terutama terdampak oleh

tsunami, upaya rekonstruksi, atau oleh dinamika konfl ik. Walaupun tidak sempurna, pendekatan tersebut telah

berhasil digunakan di masa lalu (misalnya, World Bank, 2008b). Walaupun demikian, hasil-hasilnya harus ditafsirkan

secara seksama mengingat mutu data dan kesulitan-kesulitan untuk menguraikan dampak-dampak dari kejadian-

kejadian yang berbeda tersebut.

5 Laporan ini menganalisis secara mendalam dampak konfl ik terhadap investasi dan pertumbuhan. Walaupun konfl ik merupakan

inti dari berbagai masalah yang dihadapi oleh Aceh pada saat ini, penting pula untuk mengakui bahwa Aceh bukanlah lingkungan

pasca konfl ik yang biasa. Aceh merupakan bagian dari suatu negara yang cukup besar, yang menawarkan tingkat stabilitas

politik dan ekonomi yang tinggi, serta pasar dalam negeri yang besar. Terkait dengan hal tersebut, kebanyakan persoalan

tersebut yang dapat mempengaruhi perekonomian pasca konfl ik yang lain (lemah atau gagalnya negara, ketergantungan

pada donor dan bantuan) sebagian besar tidak berlaku terhadap Aceh (lihat Barron, 2009).

Page 19: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

Diagnosis Pertumbuhan Aceh9

Laporan ini menggunakan kerangka diagnosa pertumbuhan yang dikembangkan oleh

Hausmann, Rodrik, dan Velasco (2005). Bagian ini menjelaskan metodologi yang akan digunakan untuk

mengidentifi kasi hambatan yang paling utama terhadap pertumbuhan, serta bagaimana metodologi

ini disesuaikan dengan kondisi khusus di Aceh. Kerangka diagnosa pertumbuhan memberikan suatu

kerangka kerja untuk mengidentifi kasi, di antara begitu banyak masalah yang mungkin melanda suatu

perekonomian yang menjadi penghambat utama pertumbuhan, dan harus menjadi fokus utama

dari suatu kebijakan ekonomi. Pendekatan ini mengakui bahwa konteks-konteks negara atau daerah

tertentu memerlukan tindakan kebijakan yang berbeda untuk diterapkan. Selain itu, pendekatan ini

mengakui kenyataan bahwa pemerintah seringkali memiliki modal politik yang terbatas dan tidak dapat

melakukan reformasi besar-besaran yang sering bersifat kontraproduktif. Tujuan diagnosa ini adalah

untuk mengidentifi kasi hambatan(-hambatan) yang utama terhadap pertumbuhan yang bersifat khusus

dalam kasus yang diteliti dan yang harus menjadi target reformasi. Tidak ada cara kuantitatif lain untuk

mengukur semua hambatan potensial berdasarkan seberapa besarnya hambatan-hambatan tersebut,

namun suatu kombinasi analisis ekonomi dan pemahaman tentang keadaan ekonomi di provinsi ini

dapat digunakan untuk mengidentifi kasi hambatan yang paling utama.6 Pemahaman tentang konteks

sosial-politik setempat juga dapat membantu dalam penentuan prioritas rekomendasi-rekomendasi

tentang hal-hal yang perlu direformasi.

Kerangka kerja diagnosa pertumbuhan dapat digunakan untuk memahami bagaimana situasi

konfl ik atau pasca konfl ik dapat mempengaruhi investasi dan pertumbuhan. Pilihan metodologi

ini juga didorong oleh keinginan tim untuk menguji persepsi yang tersebar luas dan berdasarkan intuisi

bahwa bagaimanapun juga konfl ik pasti terkait dengan hambatan-hambatan yang paling mengikat

di Aceh. Pendekatan diagnosa pertumbuhan ini mempertimbangkan setiap kategori hambatan untuk

menentukan apakah dan bagaimana suatu kategori telah dipengaruhi oleh konfl ik, dan bagaimana sisa-

sisa konfl ik terus mempengaruhinya. Apakah konfl ik merupakan suatu masalah bagi investasi karena

dalam suatu lingkungan pasca-konfl ik, masyarakat khawatir akan keamanan mereka dan keamanan aset

mereka, atau karena beberapa prasarana penting telah hancur selama terjadinya konfl ik, atau hanya

karena masyarakat percaya bahwa konfl ik akan berkobar kembali dan mereka akan kehilangan semua

investasi mereka. Pendekatan diagnosa pertumbuhan dapat membantu dalam memberikan suatu

penilaian atas kebutuhan yang lebih terkait dengan konteks setempat, di mana, pada akhirnya, dapat

membantu meningkatkan rekomendasi-rekomendasi kebijakan.

Kerangka kerja tersebut perlu disesuaikan untuk menganalisis hambatan-hambatan terhadap

pertumbuhan di daerah pasca-konfl ik pada tingkat daerah. Pertama, kerangka kerja tersebut

dikembangkan untuk menganalisis hambatan-hamatan terhadap pertumbuhan pada tingkat nasional.

6 Suatu gambaran kerangka yang lebih terperinci serta jenis analisis ekonomi yang digunakan untuk mengidentifi kasi hambatan-

hambatan yang mengikat dapat ditemukan di dalam Hausmann, 2008.

02

Metodologi

Page 20: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

10Diagnosis Pertumbuhan Aceh

Metodologi

Penerapan kerangka kerja tersebut pada tingkat daerah menimbulkan beberapa tantangan teoretis

dan metodologis. Mungkin kenyataannya adalah bahwa hambatan yang mengikat terletak di suatu

daerah yang bukan di bawah kendali provinsi, seperti kebijakan moneter atau aturan nilai tukar. Dalam

keadaan seperti demikian, walaupun kebijakan-kebijakan yang menyebabkan timbulnya hambatan

yang mengikat tersebut berada di luar kendali provinsi, namun provinsi masih dapat bertindak untuk

mengurangi akibat-akibat dengan kebijakan-kebijakan “terbaik kedua”. Data yang tersedia pada tingkat

daerah lebih sedikit dibandingkan yang tersedia di tingkat nasional, sehingga analisis menjadi lebih

sulit. Akan tetapi, kerangka kerja ini akan relatif lebih tepat untuk kasus-kasus di mana data dengan

kualitas yang baik sukar didapatkan. Untuk menganalisis dampak konfl ik terhadap investasi, maka

konfl ik tersebut akan diintegrasikan dengan dua cara yang berbeda. Laporan ini menganalisis dampak

langsung yang ditimbulkan oleh konfl ik terhadap insentif-insentif untuk berinvestasi, karena para investor

memperhitungkan kemungkinan terjadinya kembali konfl ik, sehingga mengurangi hasil-hasil sosial dari

investasi. Para calon investor mungkin mengkaitkan Aceh dengan risiko yang lebih tinggi, khususnya

risiko terjadinya kembali konfl ik, yang pada akhirnya dapat mengakibatkan timbulnya faktor diskon

yang lebih tinggi yang dibuat oleh para investor dalam investasi di Aceh atau penjatahan kredit oleh

bank-bank. Konfl ik dapat juga mempengaruhi insentif-insentif masyarakat untuk berinvestasi dengan

berbagai cara yang tidak langsung sebagai akibat dari jumlah modal manusia (human capital) yang

lebih sedikit dan prasarana yang tidak terawat, struktur pemerintahan dan kekuasaan yang paralel yang

menciptakan ketegangan-ketegangan dan masalah-masalah keamanan, serta suatu lingkungan usaha

yang tidak kondusif. Terdapat permasalahan tentang suatu perekonomian pasca-konfl ik yang tidak dapat

sepenuhnya ditangkap dengan menggunakan kerangka kerja ini, termasuk “besarnya jumlah aktor-aktor

politik yang bersaing atau keberadaan lembaga-lembaga negara dan daerah (tradisional) yang bersaing”

(Ulloa, 2008). Namun demikian, kerangka kerja tersebut memberikan suatu metode yang terstruktur untuk

mempertimbangkan serangkaian mekanisme yang mungkin digunakan untuk bagaimana konfl ik dan

dampak-dampaknya menentukan bentuk peluang-peluang untuk investasi dan pertumbuhan. Kerangka

yang telah disesuaikan tersebut dijelaskan dalam Gambar 2.

Gambar 2 Kerangka kerja, yang diadaptasi dari Hausmann, Rodrik dan Velasco (2005)

Biaya keuangan yang besarRendahnya pendapatan dari aktivitas ekonomi

Rendahnya pendapatan sosial Rendahnya appropriability

Kegagalanpemerintah

Kegagalanpasar

yang tidak baik

RendahnyaSDM

Infrastrukturtidak baik

-

Resiko mikro: hak bangunan,

korupsi, perpajakan

Resiko makro: keuangan, moneter,

informasi:Bagian luar

“ self-discovery”koordinasi

Bagian luar

Rendahnya Tabungan domestik +

Keuangan internasional yang kurang baik

Keuangan lokal yang kurang baik

Resiko besar Biaya besar

Rendahnyakompetisi

Rendahnya tingkat investasi swasta dan wirausaha

Kurangnyakeamanan - resiko

Analisis ini menerapkan suatu pendekatan sistematis untuk mengidentifi kasi apa saja yang

dapat menghambat pertumbuhan dan investasi. Analisis tersebut dilakukan mulai dari tingkat yang

paling atas dari diagram pohon di atas dan kemudian terus turun ke tingkat yang lebih rendah, sambil

Page 21: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

Diagnosis Pertumbuhan Aceh11

Juli 2009

berupaya pada setiap tahap untuk mengidentifi kasi apa saja yang menghambat investasi sektor swasta.

Setiap cabang menggambarkan potensi “gejala” atau “penyakit” perekonomian yang dapat memberikan

penjelasan tentang tingkat-tingkat investasi swasta dan kewirausahaan yang rendah. Pertanyaan yang

harus dijawab pada tahap ini adalah apakah hambatan yang mengikat tersebut adalah rendahnya

tingkat manfaat bagi kegiatan ekonomi atau biaya kredit yang tinggi. Apabila hambatan yang mengikat

tersebut adalah rendahnya tingkat manfaat, apakah masalahnya terletak pada manfaat sosial (karena

kurangnya faktor-faktor pelengkap seperti geografi , sumber daya manusia, atau prasarana yang baik)

atau kesulitan yang dihadapi pihak-pihak swasta untuk memberikan manfaat tersebut (karena kegagalan-

kegagalan pemerintah atau pasar)? Apabila permasalahannya adalah tingginya biaya kredit, maka apakah

permasalahannya adalah simpanan yang rendah atau sistem keuangan dalam negeri yang buruk di mana

fungsi intermediasi tidak berjalan secara efi sien? Untuk mengidentifi kasi hambatan-hambatan yang

paling mengikat, seseorang harus menjalani suatu proses yang berulang: yakni diagnostik pertumbuhan

itu sendiri. Bagian-bagian dalam laporan ini sesuai dengan berbagai cabang pohon yang menganalisis

apa yang dapat menjadi hambatan-hambatan utama terhadap pertumbuhan di Aceh. Laporan ini

mendalilkan bahwa konfl ik yang melanda Aceh selama lebih dari suatu generasi menimbulkan dampak

negatif terhadap pertumbuhan di provinsi Aceh dalam berbagai bentuk, yang digambarkan dalam tabel

di bawah ini.

Tabel 1 Bagaimana konfl ik mepengaruhi perekonomian?

Kategori Mekanisme

1. Sumber daya manusia

yang rendah

Banyaknya korban jiwa akibat bencana atau konfl ik• Kerusakan pada sistem pendidikan • Ketidakhadiran para guru selama terjadinya konfl ik • Keahlian-keahlian yang tertinggal dari pembaharuan• Perpindahan-perpindahan penduduk secara terpaksa sebagai akibat dari konfl ik • Perpindahan keluar para tenaga ahli•

2. Prasarana yang buruk Pemberian layanan publik setempat yang buruk • Kerusakan langsung terhadap prasarana • Kurangnya pemeliharaan terhadap sarana publik•

3. Risiko-risiko mikro “Pajak-pajak” ilegal yang dikenakan kepada usaha-usaha karena pemerasan yang • dilakukan para mantan pejuang GAM

Lembaga-lembaga pemerintah yang tidak berdaya • Korupsi•

4. Risiko-risiko kredit yang

tinggi

Risiko pengambilalihan atau kerusakan apabila konfl ik berlanjut• Kemungkinan kecenderungan kemerosotan ekonomi yang lebih besar karena •

situasi keamanan

5. Biaya kredit yang besar Pajak-pajak ilegal• Biaya pemantauan yang tinggi •

Penelitian ini menggunakan sumber-sumber data kualitatif dan kuantitatif untuk mengidentifi kasi

hambatan(-hambatan) pertumbuhan utama. Karena tsunami dan konfl ik horizontal, terdapat banyak

penelitian yang dilakukan atas Aceh dan ada banyak literatur tentang provinsi ini. Penelitian ini berdasar

pada sebagian dari penelitian yang sudah ada sebelumnya ini, yang digunakan untuk mengembangkan

hipotesis-hipotesis dan untuk memperluas pemahaman-pemahaman tentang temuan-temuan

kuantitatif. Terkait dengan data kuantitatif, penelitian ini mengandalkan sumber-sumber data standar

seperti BPS (Biro Pusat Statistik) dan BI (Bank Indonesia) untuk sebagian besar indikator-indikator

makroekonomi dan keuangan yang digunakan. Meskipun sebagian besar dari data-data tersebut tersedia

untuk Aceh, beberapa indikator tidak tersedia atau tidak dapat cukup dipercaya (lihat Kotak 2 untuk

perincian-perincian lebih lanjut). Penelitian ini juga menggunakan dua set data tertentu tentang Aceh,

yaitu: Survei pemerintahan ekonomi daerah Aceh yang dilakukan oleh The Asia Foundation / KPPOD

dan Aceh Reintegration and Livelihood Surveys (ARLS). Survei-survei tersebut mencakup informasi sosial

Page 22: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

12Diagnosis Pertumbuhan Aceh

Metodologi

dan ekonomi pada tingkat perusahaan atau perorangan yang membantu menguraikan mekanisme-

mekanisme mikroekonomi yang mendasari perekonomian masyarakat Aceh, serta fokus pada kelompok-

kelompok tertentu, contohnya untuk menyelidiki masalah-masalah yang terkait dengan pertumbuhan

yang inklusif.

Analisis ini difokuskan pada upaya untuk mengidentifi kasi hambatan-hambatan utama

terhadap pertumbuhan yang inklusif. Laporan ini terkait dengan pertumbuhan secara inklusif dan

berkesinambungan. Dengan demikian, fokusnya terletak pada pertumbuhan ekonomi yang memiliki

basis yang luas di semua sektor dan mencakup mayoritas angkatan kerja, khususnya masyarakat

miskin sebagai produsen. Sifat inklusif tersebut merujuk kepada kesetaraan peluang terkait dengan

akses terhadap pasar, sumber daya, dan suatu lingkungan pengaturan yang tidak memihak bagi usaha

dan individu. Analisis atas pertumbuhan yang inklusif difokuskan pada laju dan pola pertumbuhan,

karena penurunan kemiskinan yang berkesinambungan memerlukan suatu jenis pertumbuhan yang

memungkinkan masyarakat untuk memberikan kontribusi kepada dan mendapatkan keuntungan dari

pertumbuhan ekonomi. Hal ini juga mencakup upaya untuk menyelidiki peluang kerja (employability)

masyarakat miskin, serta peluang-peluang bagi mereka untuk dipekerjakan (World Bank, 2008f ). Untuk

menilai peluang kerja masyarakat miskin, diperlukan suatu analisis atas persediaan modal manusia

yang dimiliki oleh masyarakat (pendidikan dan kesehatan), kemampuan mereka untuk mendapatkan

keterampilan dan kemampuan mereka untuk memasuki pasar tenaga kerja di mana mereka dapat

memperoleh pendapatan dengan menggunakan keterampilan mereka. Pilar kedua dari pertumbuhan

yang inklusif, yaitu peluang kerja, yang bergantung kepada sektor swasta yang dapat menawarkan

peluang kerja. Dengan demikian, meneliti pertumbuhan yang inklusif secara tidak langsung menyiratkan

upaya untuk meneliti sisi persediaan tenaga kerja (masyarakat miskin dan keterampilan mereka), serta sisi

permintaan tenaga kerja (perusahaan dan investor). Sebuah kerangka kerja pertumbuhan yang inklusif

untuk menganalisis hambatan-hambatan terhadap pertumbuhan mungkin merupakan hal yang penting

khususnya untuk Aceh, karena ketimpangan yang sistematis pada peluang dapat menggelincirkan

proses pertumbuhan dengan adanya konfl ik (Komisi Pertumbuhan dan Pembangunan – Commission on

Growth and Development, 2008).

Perhatian yang terkait dengan pertumbuhan yang inklusif diejawantahkan dalam tiga bidang

utama. Bidang-bidang tersebut adalah: fokus pada sektor-sektor yang padat karya, seperti pertanian

atau perdagangan kecil; penilaian tentang lingkungan usaha dan peluang-peluang-peluang untuk

memanfaatkan sumber daya yang tersedia dalam lingkungan usaha tersebut; serta pemahaman tentang

dampak ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat karena konfl ik pada tingkat individu. Tabel di bawah ini

menunjukkan bahwa sampai dengan tahun 2008, jumlah orang yang bekerja telah mengalami penurnan

sampai dengan lebih dari 100.000 orang. Jumlah tenaga kerja pada sektor pertanian dan perdagangan

telah berkurang, sementara sektor-sektor lain tidak mampu menciptakan pekerjaan dengan laju yang

sama. Hal yang sangat mengkhawatirkan adalah bahwa sebagian besar dari lapangan kerja yang tercipta

(transportasi, konstruksi) yang terkait dengan upaya rekonstruksi juga mempekerjakan sebagian besar dari

para mantan pejuang GAM. Oleh karena itu, berakhirnya rekonstruksi dapat disertai dengan penurunan

lapangan kerja di Aceh. Upah bulanan rata-rata memberikan cerminan yang jelas tentang nilai tambah

per pekerja dalam sektor tersebut, di mana sektor pertanian dan perdagangan memiliki nilai tambah

per pekerja yang sangat rendah (terkecuali sektor jasa, yang kebanyakan termasuk layanan umum).

Peningkatan pada penghidupan masyarakat yang bekerja dalam sektor pertanian dan perdagangan

eceran sebagian besar akan hanya dapat tercapai dengan mengalihkan kedua sektor tersebut ke dalam

kegiatan-kegiatan yang memiliki nilai yang lebih tinggi. Bagian berikut ini akan meninjau fakta-fakta

terhadap hambatan-hambatan yang paling utama terhadap pertumbuhan yang inklusif.

Page 23: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

Diagnosis Pertumbuhan Aceh13

Juli 2009

Tabel 2 Penciptaan lapangan kerja di Aceh

Jumlah pekerjaan

2002 2004 2006 2008 Pertumbuhan rata-rata 2002-08 (%)

Upah bulanan rata-rata 2008 (jutaan Rp)

Pertanian 1.081.568 906.046 866.334 876.092 -3,5 0,64

Pertambangan 9.617 8.914 7.670 14.085 6,6 1,50

Industri 77.687 51.613 72.497 72.180 -1,2 0,92

Utilitas 757 8.486 5.322 3.387 28,4 1,03

Bangunan 34.182 62.879 74.402 103.749 20,3 1,02

Perdagangan 293.587 231.855 215.668 232.606 -3,8 0,90

Transportasi 47.371 59.849 69.078 60.528 4,2 1,10

Keuangan 9.720 5.687 3.343 8.907 -1,4 1,92

Jasa 178.772 187.175 224.180 246.088 5,5 1,30

Total 1.733.261 1.522.504 1.538.494 1.617.622 -1,1

Sumber: BPS dan perhitungan staf Bank Dunia

Page 24: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...
Page 25: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

Diagnosis Pertumbuhan Aceh15

Aceh memiliki tingkat pertumbuhan yang negatif hampir di sepanjang dasawarsa ini, sebagian

sebagai akibat dari menipisnya cadangan gas alam. Bagian ini bertujuan untuk memberikan suatu

pemahaman yang lebih baik tentang pola-pola pertumbuhan dan investasi di Aceh, yang diperlukan

untuk diagnosis atas hambatan-hambatan terhadap pertumbuhan dan investasi. Pertumbuhan ekonomi

tanpa sektor migas tumbuh dengan laju yang relatif rendah (dan lebih rendah dibandingkan rata-rata

nasional) hingga upaya-upaya rekonstruksi tsunami dimulai (Gambar 3). Rendahnya tingkat pertumbuhan

perekonomian non-migas sebagian disebabkan oleh konfl ik yang melanda Aceh sampai terjadinya

tsunami. Aceh merupakan provinsi yang relatif makmur di Indonesia pada tahun 1970-an dan sampai

awal tahun 1980-an, namun sejak saat itu perekonomian Aceh terlihat sulit untuk tumbuh. Sementara

daerah lain di Indonesia telah pulih dari krisis keuangan tahun 1997, Aceh terus menunjulkan tingkat

pertumbuhan yang rendah atau negatif selama jangka waktu tersebut, yang membuatnya menjadi salah

satu dari daerah dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia, yaitu 23,5 persen pada tahun 2008.

Gambar 3 Aceh telah mengalami pertumbuhan dengan laju yang lebih lambat dibandingkan

Indonesia hampir di sepanjang dasawarsa ini

Perbandingan pertumbuhan ekonomi non migas per kapita

-20.0%

-15.0%

-10.0%

-5.0%

0.0%

5.0%

10.0%

1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

Aceh Indonesia

Sumber: BPS dan perhitungan oleh staf Bank Dunia

Kinerja ekonomi Aceh pra-tsunami ditandai oleh konfl ik serta menipisnya cadangan-cadangan

minyak dan gas di pantai timur Aceh.7 Pada tahun 2003, minyak dan gas serta usaha manufaktur terkait

menyumbangkan lebih dari 50 persen dari PDB Aceh. Jumlah ini telah merosot sampai kurang dari 20

7 Cadangan minyak dan gas menipis dengan cepat, namun hanya ada sedikit investasi dalam eksplorasi yang baru. Hanya ada

sedikit investasi baru dalam sektor minyak, gas dan pertambangan selama lebih dari satu dasawarsa di seluruh Indonesia,

meskipun terdapat ledakan yang berkesinambungan untuk komoditas tersebut di seluruh dunia. Sebuah catatan terbaru yang

dibuat oleh World Bank dan IFC (2008) mengidentifi kasikan beberapa hambatan utama bagi lingkungan usaha dalam sektor ini.

Penemuan-penemuan baru di Aceh dapat memberikan tambahan pendapatan yang, apabila dibelanjakan dengan bijaksana,

akan meredam proyeksi penurunan dana dari pembagian pendapatan dan upaya rekonstruksi.

03

Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh

Page 26: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

16Diagnosis Pertumbuhan Aceh

Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh

persen sampai dengan tahun 2008. Penurunan produksi gas menimbulkan dampak negatif terhadap

industri yang bergantung pada ketersediaan gas dengan harga yang murah dan terletak berdekatan

dengan ladang-ladang gas, seperti pupuk, kertas atau bahan-bahan kimia. Akan tetapi, karena industri

gas dan industri-industri terkait di sekitar Lhokseumawe memiliki sedikit keterkaitan dengan bagian lain

dari perekonomian ,8 dampaknya mungkin dapat dirasakan terutama pada tingkat makro. Porsi pertanian,

yang menyumbangkan 17 persen dari PDRB pada tahun 2003, meningkat menjadi 25 persen pada

tahun 2008, secara signifi kan lebih tinggi daripada porsinya pada tingkat nasional sebesar 14 persen.

Sekitar setengah dari semua produksi pertanian adalah tanaman pangan, di mana 20 persen lainnya

adalah tanaman non-pangan (perkebunan), khususnya kopi, cokelat, minyak sawit, dan sedikit tanaman

perkebunan lainnya. Sebelum tsunami, tanaman non-pangan dan perikanan memberikan sumbangan

terbesar untuk pertumbuhan dalam sektor ini, sementara pasca-tsunami sebagian besar pertumbuhan

dalam sektor pertanian berasal dari sektor tanaman non-pangan.

Tabel 3 Pertumbuhan ekonomi di Aceh

Persen9

2004 2005 2006 2007 2008*

Pertanian, kehutanan, dan perikanan 6,0 -3,9 1,5 3,6 0,8

Pertambangan dan penggalian9 -24,0 -22,6 -2,6 -21,6 -44,7

Minyak dan gas -24,4 -23,0 -4,3 -22,5 -47,0

Penggalian 7,3 0,8 78,8 2,0 -0,2

Industri manufaktur -17,8 -22,3 -13,2 -10,1 -4,2

Industri minyak dan gas -11,6 -26,2 -17.3 -16,7 -7,8

Industri non-minyak and gas -37,3 -5,1 1,1 8,6 3,6

Listrik, gas, dan air (utilitas) 19,5 -2,0 12,0 23,7 12,7

Bangunan 0,9 -16,1 48,4 13,9 -0,9

Perdagangan, hotel, dan rumah makan -2,6 6,6 7,4 1,7 4,6

Transportasi dan komunikasi 3,6 14,4 10,9 10,9 1,4

Keuangan 19,4 -9,5 11,7 6,0 5,2

Jasa 20,1 9,7 4,4 14,3 1,2

PDB Aceh -9,6 -10,1 1,6 -2,5 -8,3

PDB Aceh non migas 1,8 1,2 7,7 7,0 1,9

PDB Indonesia 5,0 5,7 5,5 6,3 5,9

PDB Indonesia non-minyak dan gas 6,0 6,6 6,1 6,9 6,4

Sumber: BPS. *Angka-angka pendahuluan.

Perekonomian pasca-tsunami Aceh didominasi oleh aliran masuk dana rekonstruksi dalam

jumlah besar. Sebagian besar dari pertumbuhan pada tahun 2006 dan 2007 terjadi dalam sektor-

sektor yang terkait erat dengan upaya rekonstruksi, seperti konstruksi, perdagangan dan transportasi,

walaupun pertanian juga telah tumbuh dalam beberapa tahun terakhir. Pada saat upaya rekonstruksi

berakhir, pertumbuhan mulai melambat dan angka-angka awal untuk tahun 2008 menunjukkan suatu

8 McGibbon (2006) berpendapat bahwa upaya-upaya pemerintah untuk membangun Aceh gagal sehingga pertumbuhan dan

pembangunan ekonomi tersebut terpusatkan pada pengembangan sebuah daerah di sekitar Lhokseumawe yang memiliki

sedikit keterkaitan dengan daerah lainnya di provinsi tersebut.

9 Perekonomian Aceh telah mengalami perubahan yang signifi kan selama beberapa tahun terakhir. Tsunami, upaya rekonstruksi

yang besar serta menipisnya cadangan minyak dan gas secara signifi kan menyulitkan perluasan statistik daerah, khususnya

pada sisi produksi. Sebagian dari laju pertumbuhan yang dilaporkan, seperti penurunan minyak dan gas yang hampir 50 persen

pada tahun 2008, tampaknya tidak sesuai dengan data dari sumber-sumber lain (seperti data produksi dari Departemen Energi

dan Sumber Daya Mineral). Ketidakkonsistenan ini mungkin merupakan akibat dari data pengurang yang digunakan untuk

memperkirakan laju pertumbuhan. Sebuah perbandingan tentang pengurang-pengurang yang dimaksud secara tak langsung

di tingkat Aceh dan nasional menunjukkan perbedaan-perbedaan yang besar yang tidak dapat sepenuhnya dijelaskan oleh

perbedaan-perbedaan tingkat infl asi. Menggunakan pengurang yang sama di Aceh seperti yang digunakan di daerah lainnya

di Indonesia akan menunjukkan suatu penurunan dalam pertanian yang nyata dan suatu penurunan yang agak lebih lambat

di sektor pertambangan pada tahun 2008. Meskipun terjadi ketidakkonsistenan-ketidakkonsistenan dalam deretan PDB,

kecenderungan-kecenderungan besar yang dibahas dalam bab ini tetap valid.

Page 27: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

Diagnosis Pertumbuhan Aceh17

Juli 2009

perlambatan yang signifi kan dalam sektor-sektor yang sebelumnya digerakkan oleh upaya rekonstruksi,

dengan penurunan pada perekonomian sebesar lebih dari 8 persen (non migas). Usaha manufaktur

non-migas masih relatif tidak terlalu besar, hanya kurang dari 5 persen dari PDRB (apabila dibandingkan

dengan 22 persen pada tingkat nasional). Sebagian besar usaha manufaktur adalah usaha skala kecil dan

hanya melayani pasar setempat. Hanya ada empat perusahaan yang relatif besar dalam sektor industri

di Aceh, kebanyakan terkait dengan ketersediaan gas murah (pupuk, kertas), serta sebuah pabrik semen

dekat Banda Aceh. Semuanya adalah industri-industri padat modal yang memiliki sedikit keterkaitan

dengan bagian lain dari perekonomian.

Meskipun konfl ik mempengaruhi provinsi ini secara keseluruhan, intensitasnya terlokalisir dan

oleh karena itu tidak mempengaruhi semua wilayah secara merata. Ibu kota provinsi dan pantai

barat paling sedikit mengalami dampak konfl ik, meski demikian beberapa usaha-usaha swasta di kota-

kota juga mengalami pemerasan. Daerah-daerah terpencil yang fokus pada pertanian, khususnya di

pedalaman, lebih terdampak oleh konfl ik, sehingga menyebabkan beberapa petani tidak dapat merawat

lahannya. Eksploitasi gas mengalami dampak yang sangat besar pada tahun 2001 ketika situasi keamanan

memburuk. Konfl ik juga mungkin mempunyai dampak yang berbeda pada faktor-faktor produksi yang

digunakan secara intensif dalam berbagai sektor. Para pekerja yang cakap merasa lebih baik meninggalkan

Aceh dan mencari kesempatan-kesempatan di luar Aceh, yang mungkin memiliki dampak yang lebih

besar pada kegiatan-kegiatan yang bernilai lebih tinggi yang membutuhkan pekerja-pekerja terampil

dalam jumlah lebih besar. Sektor-sektor yang lebih spesifi k dalam hal lokasi, seperti perkebunan, mungkin

lebih mudah menjadi sasaran kelompok-kelompok bersenjata, sementara pemerasan atau perusakan

lebih sulit dilakukan pada usaha-usaha yang dapat dengan mudah berpindah tempat, seperti para

pedagang atau pada perusahaan-perusahaan jasa angkutan.

Tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi dapat secara drastis menurunkan kemiskinan, khususnya

apabila pertumbuhan ini mencakup mayoritas penduduk Aceh. Indonesia telah mengalami

pertumbuhan yang memihak kepada masyarakat miskin sejak tahun 1970 (World Bank, 2006a) namun

perkekonomian Aceh tetap tertinggal karena perekonomian yang tumbuh secara lambat selama tahun-

tahun terjadinya konfl ik dan karena sebagian besar dari pertumbuhan tersebut adalah dalam sektor

minyak dan gas bumi. Tidak semua jenis pertumbuhan memiliki manfaat yang sama bagi masyarakat

miskin: contohnya, pertumbuhan ekonomi yang bergantung pada industri-industri ekstraksi mineral

jarang mengalir ke bawah ke masyarakat miskin yang dapat meningkatkan penghidupan mereka.

Pertumbuhan yang memihak kepada masyarakat miskin mencakup berinvestasi dalam aset-aset

manusia dan fi sik termasuk pengurangan biaya-biaya transaksi. Tiga perubahan besar pada penghidupan

masyarakat Indonesia timbul karena perubahan-perubahan tersebut dan turut membantu masyarakat

Indonesia untuk keluar dari kemiskinan: mata pencaharian telah mengalami perubahan dari pertanian

bernilai rendah menjadi pertanian yang bernilai lebih tinggi, dari pertanian menjadi non-pertanian dan

dari kegiatan-kegiatan yang berbasis pedesaan menjadi berbasis perkotaan (World Bank, 2006a). Di Aceh,

perubahan-perubahan tersebut serta laju pertumbuhan yang lebih tinggi dapat menimbulkan dampak-

dampak positif yang sangat besar, seperti ditunjukkan dalam Tabel 4. Tabel tersebut menggambarkan

sembilan skenario dengan tingkat pertumbuhan per kapita dan elastisitas pertumbuhan kemiskinan10

(PEG) yang berbeda. PEG mengukur bagaimana pertumbuhan ekonomi mewujudkan penurunan

kemiskinan. Nilai-nilai dalam tabel tersebut berkisar dari nilai yang saat ini dimiliki masayarakat Aceh, -1,4,

sampai -2.6, yang merupakan nilai tertinggi yang dicapai oleh Indonesia selama periode 1984 - 1999,

dan merupakan suatu skenario kasus terbaik (World Bank, 2008a dan 2006a). Berawal dari suatu tingkat

kemiskinan sebesar 23,5 persen, pertumbuhan selama lima tahun dengan laju rata-rata sebesar 2 persen

per tahun dan sehingga PEG sebesar -1,4 akan menurunkan kemiskinan sampai 20,4 persen. Akan tetapi,

apabila pertumbuhan akan mencapai 4 persen dan PEG sebesar -2, kemiskinan akan berkurang sampai

15,5 persen dalam 5 tahun.

10 Rasio perubahan persentase tingkat kemiskinan terkait dengan perubahan persentase pendapatan per kapita. Sebuah PEG

sebesar -1,4 berarti bahwa satu titik persentase pertumbuhan mewujudkan suatu penurunan tingkat kemiskinan sebesar 1,4

persen.

Page 28: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

18Diagnosis Pertumbuhan Aceh

Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh

Tabel 4 Proyeksi tingkat kemiskinan Aceh dalam lima tahun, (angka pada tahun 2008)

Persen

Pertumbuhan yang lebih tinggi

Pertumbuhan

yang lebih

inklusif

Laju

pertumbuhan2% 4% 7%

PEG

-1.4 20.39 17.62 14.03

-2.0 19.16 15.49 11.06

-2.6 17.99 13.57 8.61

Catatan: Menggunakan tingkat dasar sebesar 23,5% (tingkat kemiskinan pada tahun 2008)

Sumber: Perkiraan-perkiraan Bank Dunia berdasarkan World Bank, 2006a dan World Bank, 2008a.

Upaya untuk menarik minat investasi swasta merupakan kunci untuk memodernisasikan

perekonomian Aceh, meningkatkan produktivitasnya dan penghematan biaya poduksi dari

skala usaha. Kelangkaan data tentang volume investasi swasta yang relatif rendah menunjukkan suatu

konsentrasi dalam sektor-sektor pengembangan perkebunan, perikanan, pertambangan, perdagangan,

dan pariwisata (ATAP, 2007; IFC, 2008). Hampir 50 pesen dari semua perusahaan bergerak dalam sektor

pertanian, suatu indikasi tentang keunggulan komparatif provinsi Aceh. Sebagian besar investasi baru

pada tahun 2006 juga ddilakukan dalam sektor pertanian dan sebagian kecil dalam sektor perdagangan.

Sebagian besar dari semua usaha yang informasinya tersedia telah menghentikan kegiatan operasional

untuk sementara waktu sampai dengan tahun 2006, yang disebabkan oleh konfl ik dan tsunami. Kecilnya

jumlah investasi swasta merupakan sebagai hambatan terhadap pertumbuhan. Aceh tertinggal dari

provinsi-provinsi lainnya dalam hal menarik investasi dan hal ini mendorong ke arah kinerja pertumbuhan

provinsi yang relatif buruk. Rasio kredit terhadap PDB di Aceh merupakan yang terendah kedua di

Indonesia (lihat bagian tentang akses terhadap kredit), yang menggambarkan tingkat investasi sektor

swasta yang relatif rendah.

Kotak 2 Data Investasi

Tidak ada data yang cukup akurat tentang investasi swasta di Aceh, yang merupakan suatu tantangan yang cukup

besar untuk setiap jenis analisis atas investasi. Data tentang investasi swasta yang dikumpulkan oleh Bank Indone-

sia, BPS dan Bainprom menunjukkan ketidakkonsistenan dan terdapat permasalahan-permasalahan metodologi

yang berarti. Meski demikian, semua bukti yang tersedia menunjukkan tingkat investasi yang relatif rendah. Peneli-

tian yang baru-baru ini dilakukan atas perekonomian Aceh dan iklim investasinya (IFC, 2008) berdasar pada analisis

rantai nilai yang dilakukan dalam beberapa komoditas dan menyoroti kurangnya investasi swasta yang diperlukan

untuk memperbaiki kualitas dan kuantitas produksi serta meningkatkan produktivitas. Data Pembetukan Modal

Dalam Negeri Bruto yang dikeluarkan oleh BPS hanya akan mencakup proyek-proyek investasi besar yang dilaku-

kan dengan dana-dana masyarakat sebagai bagian dari upaya rekonstruksi, yang menunjukkan investasi swasta

yang sangat kecil yang menambah persediaan modal di provinsi ini. Data Bank Indonesia tentang kredit menun-

jukkan bahwa Aceh mempunyai rasio PDB kredit/non-minyak dan gas terendah kedua di seluruh Indonesia, yang

mengidikasikan rendahnya tingkat investasi di provinsi ini. Dari kredit tersebut, sebagian besar digunakan untuk

konsumsi, yang mengindikasikan terbatasnya peran investasi swasta dalam membentuk perekonomian Aceh.

Menggunakan volume kredit bank sebagai representasi investasi memiliki beberapa kekurangan, dan salah satu

kekurangan yang penting adalah bahwa di negara-negara berpenghasilan rendah bank bukanlah satu-satunya

sumber pinjaman untuk usaha, namun para pemberi pinjaman uang, keuntungan sendiri atau bahkan keluarga

dan teman-teman seringkali merupakan sumber modal yang penting untuk investasi. Akan tetapi, bukti yang

ada menunjukkan bahwa keadaannya tidak seperti itu di Aceh. IFC (2007) menunjukkan bahwa pada tahun 2006

hampir 50 persen dari semua usaha mikro dan kecil yang mengambil pinjaman, mendapatkan pinjaman dari bank

bukan dari para pemberi pinjaman informal atau anggota keluarga. Survei lainnya yang dilakukan oleh Bank Dunia

menunjukkan bahwa pada tahun 2008 sebanyak 44 persen rumah tangga juga telah mendapatkan pinjaman-

pinjaman dari bank-bank bukan dari sumber-sumber informal yang lain (Survei Akses Keuangan).

Page 29: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

Diagnosis Pertumbuhan Aceh19

Juli 2009

Perhatian khusus terhadap pertumbuhan yang inklusif adalah penting. Hal ini terkait dengan

bahwa kebanyakan pertumbuhan dan lapangan kerja yang diciptakan di Aceh beberapa tahun

belakangan terkait dengan ketersediaan dana rekonstruksi. Pada saat upaya rekonstruksi berakhir,

banyak lapangan kerja yang akan hilang. Pertanian masih merupakan lapangan kerja yang utama di

provinsi Aceh, menyerap lebih dari 50 persen dari angkatan kerja. Seiring dengan modernisasi di Aceh,

pertanian mungkin akan terus mengurangi jumlah lapangan kerja dan terus mendekati tingkat nasional

(41 persen). Sektor-sektor jasa dan manufaktur harus menjadi pengerak penciptaan lapangan kerja

yang utama, namun di beberapa daerah lain di Indonesia, hal ini tidak terjadi (World Bank, mendatang).

Terdapat beberapa alasan tentang rendahnya lapangan kerja yang tercipta dalam sektor non-pertanian,

akan tetapi kenaikan upah nyata yang tinggi dalam sektor-sektor jasa mungkin memberikan sebagian

dari penjelasan tentang hal tersebut. Upah yang tinggi mungkin memberikan pengaruh yang lebih besar

pada Aceh, seiring dengan kenaikan harga dan upah menjadi lebih tinggi daripada daerah-daerah lain

di Indonesia sebagai akibat dari tsunami (Gambar 4). Walaupun reformasi-reformasi di pasar tenaga kerja

dapat mengatasi beberapa hambatan penciptaan lapangan kerja yang kebanyakan di luar yurisdiksi

pemerintah provinsi, upah minimum regional ditentukan pada tingkat provinsi. Hal ini memberikan

pengaruh yang diperlukan pemerintah provinsi untuk menghindari kenaikan upah yang merupakan

suatu hambatan terhadap penciptaan lapangan kerja.

Gambar 4 Upah minimum provinsi di Aceh telah meningkat lebih dibandingkan daerah-daerah

lain di Indonesia

Perbandingan UMP Daerah 2004-08

0

200,000

400,000

600,000

800,000

1,000,000

1,200,000

2004 2005 2006 2007 2008

Rp

Aceh Lhokseumawe Sumatera Utara Nasional

Sumber: BPS.

Suatu strategi pertumbuhan yang inklusif adalah fokus pada upaya untuk merevitalisasi sektor

pertanian dan industri-industri padat karya. Diversifi kasi tanaman dan kepemilikan usaha kecil selain

pertanian merupakan strategi-strategi kunci masyarakat Aceh untuk melepaskan diri dari kemiskinan

sebagai akibat dari tsunami (World Bank, 2008a). Hal ini sesuai dengan langkah utama untuk melepaskan

diri dari kemiskinan yang terdapat di Indonesia selama tahun 1980-an dan 1990-an (World Bank, 2006a).

Salah satu ciri dari pengurangan kemiskinan dalam periode ini adalah transisi masyarakat dari lingkungan

pedesaan ke perkotaan dan penciptaan lapangan kerja selain di sektor pertanian. Sampai sejauh ini,

hal ini terjadi melalui urbanisasi dari beberapa daerah pedesaan dan integrasi daerah-daerah pedesaan

yang ditingkatkan dengan pilar-pilar pertumbuhan perkotaan. Pemerintah Aceh dapat memfasilitasi

hubungan masayarakat miskin di pedesaan dengan pilar-pilar pertumbuhan dengan memperbaiki

prasarana pedesaan dan akses pasar serta menyediakan insentif untuk peningkatan mobilitas tenaga kerja

antara daerah-daerah pedesaan dan perkotaan. Peningkatan dalam produktivitas pertanian dipercayai

memberikan kontribusi kepada keberhasilan penurunan kemiskinan yang mengesankan di Indonesia

dari tahun 1970-an sampai krisis keuangan tahun 1997. Revitalisasi sektor pertanian masih penting untuk

memastikan bahwa masyarakat miskin di Aceh dapat memperoleh keuntungan dari pertumbuhan,

karena hampir 30 persen populasi pedesaan di Aceh hidup di bawah garis kemiskinan pada tahun 2006

(World Bank, 2008a).

Page 30: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

20Diagnosis Pertumbuhan Aceh

Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh

Kotak 3 Merevitalisasi Pertanian Aceh

Pertanian masih memiliki andil besar dalam PDB non minyak dan gas propinsi Aceh, dan menyediakan lapangan kerja

bagi sebagian besar masyarakat. Minat para investor baik investor dalam negeri maupun investor asing di propinsi ini

berfokus pada sektor pertanian, baik tanaman perkebunan maupun pengolahan hasil pertanian (agro-processing)

(IFC, 2008). Pemerintah Aceh telah mengembangkan sebuah strategi untuk peningkatan ekonomi propinsi ini yang

berfokus pada dukungan terhadap serangkaian kelompok komoditas. Oleh karena itu, ada sedikit perdebatan tentang

peran utama pertanian dalam pembangunan ekonomi propinsi Aceh dalam waktu dekat. Apa yang diperlukan untuk

merevitalisasi pertanian dan menjadikannya mesin pertumbuhan yang inklusif dan berkesinambungan di Aceh?

Di daerah lain di Indonesia, terdapat suatu kebutuhan yang mendesak untuk mengorientasikan kembali belanja

pemerintah, guna menghilangkan subsidi pasokan bahan kebutuhan swasta (pupuk, bibit, mesin dan pasokan

bahan kebutuhan pertanian lainnya) dan untuk meningkatkan penyediaan layanan publik seperti layanan-layanan

penyuluhan, irigasi atau mempermudah akses ke pasar-pasar (World Bank, akan segera diterbitkan). Hambatan-

hambatan yang ditemukan dalam meningkatkan produktivitas pertanian berkaitan dengan kurangnya layanan

publik - layanan-layanan penyuluhan, akses terhadap lahan, akses terhadap pasar dan kemunduran sistem irigasi,

bukan dengan ketidakmampuan untuk membeli bahan-bahan kebutuhan pertanian. Memang terdapat alasan dalam

membantu rumah tangga miskin untuk memulihkan modal fi sik dan manusia yang hilang karena tsunami atau konfl ik,

namun hal ini perlu dibatasi dan fokus yang lebih besar harus ditujukan pada upaya untuk menyediakan barang dan

layanan publik yang diperlukan. Para petani juga telah mengidentifi kasi ketrampilan, akses terhadap teknologi dan

kurangnya kredit sebagai hambatan-hambatan dalam meningkatkan produktivitas mereka (World Bank, 2008a).

Para calon investor telah mengidentifi kasi ketersediaan lahan subur sebagai aset utama di Aceh. Pada saat yang

bersamaan, mereka juga menyebutkan kesulitan-kesulitan dalam memperoleh akses terhadap lahan dan bagaimana

hal ini dapat menghalangi investasi. Walaupun hak atas tanah merupakan masalah di seluruh Indonesia, masalah

tersebut mungkin semakin memburuk di Aceh. Banyak hak atas tanah yang hilang karena tsunami dan ada banyak

insiden di mana mantan anggota GAM menuntut kembali tanah-tanah serta banyak lahan yang berada di bawah hak

kepemilikan adat yang tidak terdokumentasi, yang mungkin baru diketahui oleh para investor setelah menyewa tanah-

tanah tersebut. Tidak ada pusat pendaftaran tanah yang dapat digunakan oleh para investor untuk mengidentifi kasi

lahan-lahan yang tersedia untuk perkebunan komersial, dan sering kali negosiasi dilakukan langsung dengan bupati

di daerah yang direncanakan untuk investasi. Sebagai permulaan, para otoritas propinsi dapat mengkoordinasikan

informasi penggunaan tanah dan kepemilikan tanah dalam sebuah unit pusat yang akan mempermudah akses bagi

para investor terhadap informasi.

Kurangnya informasi pasar (khususnya informasi tentang harga) sering kali diidentifi kasi sebagai hambatan utama

dalam meningkatkan bagian sewa yang menguntungkan para produsen di Aceh dari kegiatan produksi mereka, yang

sering kali mendapatkan informasi pasar hanya dari satu penjual (cengkeh, udang). Peningkatan akses bagi para petani

terhadap informasi tersebut akan memungkinkan para produsen untuk lebih cepat menanggapi sinyal-sinyal pasar

serta mendorong penyediaan pasokan sebagai akibat dari peningkatan laba dari investasi yang dilakukan.

Mutu layanan-layanan penyuluhan yang diberikan juga diidentifi kasi sebagai bidang yang harus diperhatikan. Terdapat

anggapan luas bahwa desentralisasi memberikan dampak negatif terhadap penyediaan layanan-layanan penyuluhan,

karena sebagian besar fungsi ini dialihkan ke pemerintah-pemerintah daerah yang tidak selalu menyediakan tenaga

dan tingkat layanan-layanan penyuluhan yang memadai. Hal ini tampaknya juga terjadi di Aceh (IFC, 2008). Mengingat

fakta bahwa Aceh merupakan wilayah yang cukup terdesentralisasi, peningkatan penyediaan layanan-layanan

penyuluhan sepenuhnya berada di tangan pemerintah propinsi dan kabupaten/kota.

Terdapat peningkatan permintaan untuk produk-produk pertanian bernilai lebih tinggi seperti hortikultura atau

perternakan sebagai akibat dari meningkatnya permintaan dari pasar-pasar dalam negeri karena Indonesia menjadi

lebih kaya dan masyarakat menginginkan jenis makanan yang berbeda-beda, maupun munculnya rantai pasokan global

(toko-toko serba ada) yang mencari barang-barang pertanian bernilai lebih tinggi dari negara-negara berkembang.

Manfaat yang diperoleh dari tren-tren baru ini tidak timbul begitu saja, dan penelitian terbaru menunjukkan bahwa

sering kali para petani yang lebih besar dan berpendidikan lebih baik adalah pihak-pihak yang mampu berhubungan

dan menerima manfaat dari peningkatan permintaan ini (World Bank, 2008e). Pemerintah propinsi memiliki peran

yang harus dimainkan, yakni mengorientasikan kembali dukungan pemerintah untuk membantu para petani kecil dan

kelompok-kelompok petani untuk mendapatkan akses terhadap rantai nilai global dengan (i) meningkatkan infrastruktur,

(ii) mendukung pelatihan petani untuk memenuhi persyaratan mutu dan perlindungan, (iii) memperlengkapi para

petani dengan ketrampilan-ketrampilan yang diperlukan untuk mengadakan negosiasi dengan rantai-rantai pasokan

besar dan (iv) mendorong penggunaan instrumen-instrumen berbasis pasar untuk mengendalikan risiko-risiko yang

meningkat.

Page 31: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

Diagnosis Pertumbuhan Aceh21

Untuk menganalisis hambatan-hambatan terhadap pertumbuhan di Aceh, perlu dilakukan

penelusuran atas berbagai dampak yang ditimbulkan oleh konfl ik terhadap jalannya fungsi

ekonomi, dan bagaimana konfl ik pada gilirannya membentuk pola-pola pertumbuhan dan

institusi di era pasca konfl ik perlu ditelusuri. Secara khusus, pemahaman tentang hubungan antara

konfl ik dan pertumbuhan merupakan hal yang penting, mengingat bahwa beberapa pihak berargumen

bahwa cara-cara pengelolaan ekonomi Aceh di masa lalu memiliki kaitan dengan pemberontakan di

propinsi tersebut. Dampak konfl ik pada pertumbuhan dan perkembangan propinsi tersebut telah dan

akan terus meluas dan telah dianalisa secara terperinci di bagian-bagian penelitian lainnya (Dawood and

Sjafrizal, 1989; Nazamuddin, 2008). Studi ini berfokus pada dampak konfl ik pada hambatan-hambatan

terhadap investasi sektor swasta dan pertumbuhan ekonomi dari sudut pandang yang cukup sempit

– namun yang justru merupakan kuncinya. Studi ini tidak berupaya menganalisa secara mendalam

pengaruh yang ditimbulkan konfl ik pada pertumbuhan melalui jalur-jalur lainnya — yaitu antara lain

memburuknya mutu lembaga-lembaga pemerintah atau putusnya jaringan-jaringan sosial.11 Walaupun

ini berarti bahwa hasil analisis dan temuan tersebut tidak mempertimbangkan unsur-unsur penting dalam

hubungan antara konfl ik dan pertumbuhan, studi ini diperlukan untuk memberikan pemahaman yang

lebih mendalam tentang dampak yang ditimbulkan oleh konfl ik pada keputusan-keputusan investasi,

dan dengan demikian, dampaknya pada pertumbuhan .

Konfl ik dan kekerasan menimbulkan dampak yang mendasar pada lembaga-lembaga politik,

sosial dan ekonomi yang melandasi pertumbuhan. Dampak-dampak ini mempengaruhi bagaimana

ekonomi berfungsi di periode pasca konfl ik. Selain akibat-akibat konfl ik yang merugikan secara

langsung (infrastruktur rusak, banyak orang terbunuh, banyak orang yang pindah ke luar daerah), konfl ik

mengurangi keamanan individu dan masyarakat dengan cara-cara yang mengubah perilaku, pilihan

dan fungsi lembaga (Bodea and Elbadawi, 2008). Perilaku investasi juga berubah. Hal ini cenderung

mengakibatkan berkurangnya tabungan, akumulasi modal manusia yang lebih rendah dan perilaku

yang berisiko (Lorentzen, McMillan and Wacziarg, 2006). Akses terhadap kredit juga menjadi semakin sulit

apabila bank-bank atau penyedia kredit lainnya kemungkinan besar tidak meminjamkan dan/atau hanya

meminjamkan dengan tingkat bunga yang lebih tinggi (Nagarajan and McNulty, 2004). Chauvet, Collier

and Hegre (2008) memperkirakan bahwa rata-rata, perang saudara merugikan sebuah negara sebesar

AS$123 milyar per tahun. Negara-negara yang mengalami perang saudara mengalami penurunan PDB

tahunan rata-rata sebanyak 2,0-2,2 persen (Collier, 1999; Hoeffl er and Reynal-Querol, 2003; Restrepo et. al.,

2008), mengurangi pendapatan sekitar 15 persen (Moser, 2006). Di wilayah-wilayah yang tidak mengalami

perang saudata yang berkepanjangan, dampak konfl ik berdarah pada pertumbuhan dan kemiskinan

juga sangat luas. Diperkirakan bahwa produktivitas yang hilang karena konfl ik berdarah dan kejahatan

11 Sebagian dampak ini dianalisa di MSR (2009).

04

Tinjauan Ekonomi Pada Saat Konfl ik dan Pasca Konfl ik di Aceh

Page 32: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

22Diagnosis Pertumbuhan Aceh

Tinjauan Ekonomi Pada Saat Konfl ik dan Pasca Konfl ik di Aceh

di luar zona-zona perang secara global mencapai AS$95 milyar per tahun (Sekretariat Deklarasi Jenewa/

Geneva Declaration Secretariat, 2008).

Penyimpangan-penyimpangan terhadap ekonomi tersebut cenderung berlanjut dalam periode

pasca konfl ik. Dinamika-dinamika yang biasanya berkaitan dengan akhir suatu konfl ik dan kekerasan

yang tinggi — berlanjutnya persepsi dan perasaan tidak aman serta kekerasan yang kadang-kadang

terjadi, pertumbuhan pesat dalam sektor-sektor yang sebelumnya terhalang oleh konfl ik, kesulitan-

kesulitan yang dihadapi dalam mempersatukan para anggota kelompok pemberontak ke dalam sistem

politik dan ekonomi — pada gilirannya mengubah kesempatan-kesempatan dan hambatan-hambatan

menjadi pertumbuhan. Sebagai contoh, sebuah penelitian baru-baru ini mengemukakan bahwa apabila

Jamaika dan Haiti mengurangi tingkat pembunuhan mereka ke tingkat seperti yang dimiliki Kosta Rika,

maka mereka dapat melihat peningkatan angka pertumbuhan sebesar 5,4 persen per tahun (Kantor PBB

untuk masalah Obat-obatan Terlarang dan Kejahatan/World Bank, 2007).

Sebagian dari konfl ik Aceh didorong oleh persaingan atas sumber daya alam di propinsi ini

dan wewenang untuk mengelola sumber daya alam tersebut. Cadangan gas bumi yang banyak

ditemukan di lepas pantai Aceh pada tahun 1971, diperkirakan berpotensi menghasilkan AS$2-3 milyar

per tahun selama 20-30 tahun.12 Produksi dimulai pada tahun 1977 dan royalti besar dibayarkan kepada

pemerintah pusat Indonesia. Hanya beberapa orang setempat dipekerjakan dalam eksploitasi gas tersebut

sehingga menimbulkan kemarahan. Persepsi-persepsi tentang eksploitasi sumber daya Aceh digunakan

sebagai seruan perang untuk membangun adanya suatu gerakan kebebasan, yang mencakup klaim

bahwa Aceh telah dimiskinkan oleh kekuasaan orang-orang Jawa dan membebankan kesalahan atas

penderitaan mereka pada penyalahgunaan yang dilakukan pemerintah pusat atas gas alam yang baru

saja ditemukan (Ross, 2005. hal. 40). Keluhan-keluhan terhadap eksploitasi ladang gas yang dirasakan

yang mendorong perjuangan dan ketegangan GAM diperburuk oleh perbedaan-perbedaan budaya

antara kaum pendatang dan orang Aceh.13 Seperti yang dikemukakan Ross (2007, hal. 36), sumber

daya alam tidak menjadi alasan bagi GAM untuk memberontak melawan pemerintah pusat namun

mendorong timbulnya keluhan-keluhan setempat.14 Meskipun pendapatan gas Aceh menurun dengan

tajam, pencantuman dalam penetapan MoU bahwa Aceh akan menguasai 70 persen dari pendapatan

minyak dan gas sangat penting secara simbolis bagi para pemimpin GAM.

Keluhan-keluhan tentang eksploitasi ladang gas turut membangun cerita yang lebih luas bahwa

Aceh tertinggal secara ekonomi dari propinsi-propinsi lain di Indonesia. Pada awalnya, klaim-

klaim tersebut memiliki dasar lemah, karena propinsi tersebut memiliki standar hidup yang lebih tinggi

daripada propinsi lainnya di Indonesia selama tahun 1970an (Hill and Wiedermann, 1989). Namun karena

konfl ik tersebut menjadi berkepanjangan, klaim-klaim tersebut benar-benar terjadi dan persepsi-persepsi

tentang eksploitasi ekonomi berkembang. Pemerintah pusat menjadi semakin bergantung pada gas alam

Aceh — pada tahun 1998, 9 persen dari total pendapatannya berasal dari sumber ini (Ross, 2005, hal. 47)

— dan menerapkan langkah-langkah tegas untuk penumpasan pemberontakan dalam mengamankan

pengoperasian ladang-ladang gas tersebut (Sukma, 2004).

Konfl ik memiliki dampak negatif baik pada akumulasi modal fi sik maupun manusia. Konfl ik

berdarah cenderung mengurangi aktifi tas sosial terhadap kegiatan-kegiatan ekonomi karena dampak

merugikan dari konfl ik pada modal fi sik dan manusia. Infrastruktur swasta dan publik sering kali sengaja

dijadikan target dari pertikaian-pertikaian tersebut guna menghilangkan jalur-jalur pasokan dan

mengintimidasi masyarakat. Adanya konfl ik berdarah juga mempersulit pembangunan infrastruktur baru

dan perbaikan infrastruktur yang rusak. Konfl ik berdarah berdampak negatif pada modal manusia dengan

12 Bagian ini banyak disadur dari Ross (2005).

13 Di antara tahun 1974 dan 1986, sekitar 50.000 pendatang dari bagian-bagian lain di Indonesia datang ke Aceh (Hiorth, 1986).

14 Penjelasan sebab-akibat ini berbeda dengan penjelasan Collier and Hoeffl er (2004), yang mengemukakan bahwa adanya

sumber daya alam meningkatkan kemungkinan perang sipil dengan memampukan kelompok-kelompok pemberontak untuk

membiayai biaya permulaan dan biaya yang berkelanjutan untuk pemberontakan mereka.

Page 33: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

Diagnosis Pertumbuhan Aceh23

Juli 2009

mempercepat perpindahan ke luar daerah, mengurangi insentif-insetif investasi dalam pendidikan

(Steward and Fitzegerald, 2001), dan merusak sekolah-sekolah dan universitas-universitas. Di Aceh,

infrastruktur pendidikan sengaja dijadikan target selama konfl ik. Selain itu, konfl ik berdarah mengubah

ketrampilan-ketrampilan yang berharga dalam suatu perekonomian ; karena sering kali orang-orang

yang berpendidikan terbaik dan berpenghasilan cukup menjadi orang-orang pertama yang pindah dan

melarikan diri dari konfl ik.

Konfl ik mengakibatkan lembaga-lembaga pemerintah menjadi lebih lemah, korupsi meningkat

dan supremasi hukum menjadi lemah. Pertumbuhan yang berkesinambungan dan inklusif

memerlukan lembaga-lembaga publik yang memastikan bahwa para investor dapat memperoleh laba

atas investasi. Fungsi-fungsi utama pemerintah mencakup perlindungan hak milik dan langkah-langkah

peraturan lainnya yang memastikan persaingan yang efi sien dan fungsi pasar yang efektif. Konfl ik berdarah

sering kali berkaitan dengan kegagalan pemerintahan dalam bidang-bidang ini. Konfl ik berdarah dapat

memperlemah lembaga-lembaga dan menggangu pasar karena negara menjadi alat pemangsa dan/

atau di mana negara kehilangan monopolinya atas upaya pemaksaan (Bates, 2008). Walaupun sebagian

dari konfl ik di Aceh disebabkan oleh persepsi-persepsi tentang tidak efektifnya fungsi negara (Barron and

Clark, 2006), konfl ik tersebut selanjutnya mengikis lembaga-lembaga negara (McGibbon, 2006). Konfl ik

sering kali digunakan sebagai dalih untuk kurang efektifnya pemerintah, bahkan ketika GAM atau konfl ik

tersebut hanya memiliki andil sedikit (Jones, 2005). Konfl ik tersebut juga membuat sumber-sumber daya

negara lebih dialokasikan melalui jaringan-jaringan neopatrimonial yang membawa pada peningkatan

korupsi, karena pihak-pihak yang terpilih berusaha membayar kembali para pendukungnya (Clark and

Palmer, 2008). Konfl ik tersebut menawarkan peluang bagi kedua belah pihak untuk mendapatkan laba

dari kegiatan-kegiatan ilegal dan dari lemahnya supremasi hukum (McCulloch, 2006; Olken and Barron,

2007). Para politikus dan pegawai sipil setempat bertindak tanpa mendapatkan hukuman dan menyedot

sumber-sumber daya penting dari anggaran negara (Sukma, 2001; Sulaiman, 2006; McGibbon, 2006), yang

mengakibatkan adanya beberapa kasus korupsi tingkat tinggi yang melibatkan para pejabat pemerintah

lokal dan propinsi.15 Dalam periode pasca konfl ik, terdapat bukti empiris bahwa praktik-praktik korupsi

dan pajak ilegal telah berlanjut (Aspinall, 2009b).

Insiden-insiden keamanan yang berlanjut dan persepsi-persepsi negatif tentang risiko di luar

Aceh dapat menjadi penghalang besar terhadap investasi di propinsi tersebut. Kegagalan untuk

memberikan keamanan di wilayah-wilayah yang terdampak oleh konfl ik cenderung menurunkan tingkat

investasi karena para calon investor mempertimbangkan risiko-risiko keamanan, sehingga mengurangi

investasi dalam modal fi sik (Knight et al., 2005; Imai and Weinstein, 2000). Persepsi-persepsi tentang

keamanan yang buruk dapat berlanjut dalam periode pasca konfl ik. Sebagian disebabkan karena risiko

berlanjutnya konfl ik tetap tinggi pada awal periode pasca konfl ik. Collier et al. (2006), sebagai contohnya,

menyatakan bahwa masyarakat-masyarakat yang telah melewati konfl ik memiliki peluang sebesar 40

persen untuk jatuh kembali ke dalam konfl ik. Di Aceh, PT Arun sering kali menjadi target serangan GAM,

sehingga harus menghentikan operasinya pada tahun 2001, yang mungkin berkontribusi pada persepsi-

persepsi risiko yang lebih tinggi. Masalah-masalah keamanan pasca konfl ik yang berkaitan dengan

insiden-insiden keamanan dapat menghambat investasi. Bentuk-bentuk kekerasan baru termasuk

kekerasan politik, kekerasan ekonomi dan kejahatan, masalah keadilan masyarakat dan informal, serta

sengketa-sengketa terkait dengan hak milik pasca konfl ik (Muggah, 2009, diambil dari Chaudhary and

Suhrke, 2008 dan Sekretariat Deklarasi Jenewa/Geneva Declaration Secretariat, 2008). Setelah perjanjian

damai di Aceh, terdapat masa yang cukup tenang, namun setelah periode awal ini, kekerasan mulai

timbul lagi, khususnya selama persiapan pemilihan legislatif pada bulan April 2009 (Gambar 1). Hal

ini dapat mengurangi keinginan usaha-usaha di dalam dan di luar Aceh untuk berinvestasi, karena

kekhawatiran bahwa aset-aset produktif akan dihancurkan atau menjadi tidak dapat beroperasi apabila

kekerasan meningkat. IFC (2008) memperkuat pendapat ini dan melaporkan ketidakstabilan politik dan

15 Lihat Sulaiman and van Klinken (2007, hal. 231) dan Saraswati (2004).

Page 34: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

24Diagnosis Pertumbuhan Aceh

Tinjauan Ekonomi Pada Saat Konfl ik dan Pasca Konfl ik di Aceh

keamanan sebagai dua kekhawatiran yang dikemukakan oleh usaha-usaha yang mempertimbangkan

untuk berinvestasi di Aceh.

Gambar 5 Kekerasan di Aceh – Jan 2005 sampai dengan Des 2008

Insiden kekerasan (excl. GAM vs GoI)

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

50

J05

F M A M J J A S O N D J06

F M A M J J A S O N D J07

F M A M J J A S O N D J08

F M A M J J A S O N D

GAM vs GoI untuk insiden kekerasa

Sumber: Update Pemantauan Konfl ik Aceh, Bank Dunia.

Bagian ini telah mengkaji mekanisme di mana konfl ik di Aceh dapat membentuk pola-pola pertumbuhan

dalam periode pasca konfl ik. Bagian-bagian berikut ini akan memperdalam analisis tentang hubungan

antara konfl ik dan pertumbuhan, menganalisa hambatan-hambatan investasi dan pertumbuhan, dan

menggabungkan ciri-ciri konfl ik Aceh ke dalam analisis tersebut.

Page 35: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

Diagnosis Pertumbuhan Aceh25

Kerangka kerja diagnosa pertumbuhan menguji apakah biaya yang tinggi, atau tidak adanya kredit

merupakan hambatan yang mengikat bagi investasi sektor swasta. Dengan mempertimbangkan

bahwa usaha-usaha biasanya beralih kepada bank sebagai sumber pembiayaan kegiatan-kegiatannya,

kurangnya akses terhadap kredit atau biaya kredit yang tinggi dapat menghambat pertumbuhan. Suatu

sistem keuangan yang tidak menyediakan modal kerja dan modal investasi bagi usaha-usaha yang

mampu berkembang dapat menjadi gejala dari penyakit yang lebih luas. Setelah menjelaskan sistem

perbankan di Aceh, bagian ini akan menganalisis apakah kredit berbiaya tinggi atau sulit diakses oleh

usaha serta alasan-alasan di balik keadaan ini.

Perbankan di Aceh didominasi oleh bank umum milik pemerintah. Banyak bank swasta menutup

usahanya di provinsi ini setelah krisis keuanganan tahun 1997-98 dan intensifi kasi konfl ik, dan bank-bank

tersebut baru kembali ke provinsi ini setelah penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) pada tahun

2005. Sektor perbankan di Aceh terdiri dari 18 bank umum dan 20 bank perkreditan rakyat, di mana

sebagian besar dari kedua kategori bank tersebut adalah bank umum, yang menyumbangkan sekitar

80 persen dari semua simpanan. Bank-bank umum menyumbangkan lebih dari 97 persen dari aset,

simpanan dan pinjaman (IFC, 2007). Menurut Bank Indonesia, sejak bulan September 2008, jumlah total

simpanan adalah sebesar Rp.20,5 triliun dan jumlah pinjaman terutang adalah sebesar Rp.9,4 triliun. Hal

ini bersesuaian dengan rasio pinjaman terhadap simpanan sebesar 46 persen, yang tergolong rendah

untuk Indonesia. Rasio pinjaman macet adalah sebesar 1,9 persen, lebih rendah dari rata-rata nasional.

Perbankan syariah masih relatif kecil namun menjadi semakin penting pada tahun-tahun terakhir.

a. Apakah pembiayaan menjadi masalah di Aceh?Kredit investasi relatif rendah di Aceh. Pertanyaan pertama yang perlu dijawab adalah apakah

pembiayaan merupakan masalah di Aceh. Salah satu cara melihat permasalahan ini adalah dengan melihat

apakah kredit, khususnya kredit investasi, rendah. Gambaran berikut menunjukkan kredit investasi sebagai

bagian dari PDRB16 dan PDRB per kapita (sebagai ukuran yang menunjukkan tingkat pembangunan

atau pendapatan). Kredit investasi sebagai bagian dari PDRB non-migas di Aceh lebih rendah dari kredit

investasi di provinsi-provinsi lain. Dengan kata lain, besarnya pinjaman yang diberikan oleh bank di Aceh

lebih rendah dibandingkan dengan tingkat pembangunannya, sebagaimana ditunjukkan pada gambar

16 PDB non-migas digunakan untuk menghindari PDB yang besar yang ditentukan oleh minyak dan gas, yang menimbulkan rasio

kredit-terhadap-PDB yang rendah pada tingkat kredit ‘normal’. Dalam rangka memastikan konsistensi, sektor minyak dan gas

dikurangkan dari data PDB di provinsi-provinsi lain.

05

Akses Terhadap Kredit

Page 36: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

26Diagnosis Pertumbuhan Aceh

Akses terhadap Kredit

di bawah ini17. Pada tahun 2006, kredit investasi dan modal kerja mencapai 7,8 persen dari PDRB di Aceh,

sementara rata-rata nasional adalah 32,1 persen. Nilai kredit terhadap PDRB merupakan yang terendah

kedua untuk semua provinsi di Indonesia. Hal ini barangkali hanya mencerminkan permintaan kredit

yang rendah di provinsi tersebut, sebagai akibat dari kurangnya kesempatan investasi, tetapi mungkin

juga sebagai akibat dari sistem perbankan yang tidak dapat memenuhi permintaan kredit dari sektor

swasta.

Gambar 6 Kredit terhadap PDRB sangat rendah di Aceh

Kredit per PDRB untuk provinsi-provinsi di Indonesia, 2006

0.0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.8

0.9

1.0

0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 35.0 40.0

PDRB non-migas per kapita tahun 2006 (Jt Rupiah, harga tahun 2000)

6002 nuhat sagim-non BR

DP rep tiderK

Sumatera UtaraNasional

Aceh

Kalimantan Timur

DKI Jakarta

Sumber: Kalkulasi Bank Indonesia dan staf Bank Dunia

Table 5 Kredit investasi dan modal kerja sebagai bagian dari PDRB

Persentase

Kredit investasi dan modal kerja sebagai bagian dari PDRB

2005 2006

Aceh 6.3 7.6

North Sumatera 32.3 35.3

Riau 16.3 18.4

East Kalimantan 13.2 15.3

Papua 3.2 7.2

Central Sulawesi 15.0 15.7

Maluku 26.7 16.1

Sumatera 20.7 23.0

Java 35.7 38.9

Indonesia 29.0 32.1

Sumber: Kalkulasi Bank Indonesia dan staf Bank Dunia

17 Tingkat kredit bankyang rendah mungkin tidak harus diwujudkan dalam tingkat-tingkat investasi yang lebih rendah, apabila

usaha menerima pinjaman dari sumber-sumber non-bank lainnya (keluarga, teman atau rentenir). Bukti yang ada menunjukkan

bahwa kredit bank merupakan patokan yang relevan untuk mengukur tingkat investasi. Kredit bank mewakili sumber penting

bagi pembiayaan di Aceh: 43,9 persen rumah tangga yang memperoleh pinjaman dari bank. Jumlah ini lebih tinggi dari

rata-rata nasional: di Indonesia, hanya 28,3 persen rumah tangga memperoleh pinjaman dari bank. Mengingat rumah tangga

di Aceh relatif lebih mengandalkan bank, volume pemberian kredit yang rendah untuk investasi dan modal kerja tampaknya

menjadi lebih mencolok (angka-angka ini adalah perkiraan Bank Dunia, berdasarkan Access to Finance Survey, 2008).

Page 37: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

Diagnosis Pertumbuhan Aceh27

Juli 2009

b. Apakah biaya modal tinggi terjadi di Aceh?Biaya untuk pembiayaan di Aceh sama dengan di daerah-daerah lain di Indonesia. Pada bulan

September 2008, suku bunga peminjamaan riil untuk pinjaman investasi di Aceh adalah 2,82 persen

dan rata-rata nasional adalah 1,05 persen.18 Suku bunga riil telah berfl uktuasi secara signifi kan di provinsi

ini sejak tsunami. Pada tahun 2005, semua jenis suku bunga peminjaman riil didorong turun oleh infl asi

yang tinggi yang dialami provinsi ini sebagai akibat upaya rekonstruksi, sebagaimana diilustrasikan dalam

Gambar 7. Suku bunga naik kembali ketika infl asi menurun pada tahun-tahun berikutnya. Perbedaan-

perbedaan dalam biaya modal terutama disebabkan oleh tingkat-tingkat infl asi yang berbeda, sementara

suku bunga nominal yang dibebankan di Aceh secara umum sama dengan di daerah-daerah lain di

Indonesia, sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 8. Tingkat suku bunga nominal yang sama juga

ditegaskan dalam diskusi-diskusi tim dengan bank-bank di Aceh. Ketidakmampuan bank untuk secara

aktual menentukan biaya risiko yang lebih besar dalam menjalankan usaha di Aceh, dibandingkan dengan

daerah-daerah lain di Indonesia, dapat dengan sendirinya menjadi hambatan terhadap pemberian kredit

bagi usaha, sehingga bank hanya melakukan operasi-operasi yang relatif aman, sebagaimana dibahas

lebih lanjut di bawah ini.

Gambar 7 Tingkat peminjaman investasi riil di Aceh dan rata-rata nasional

-20.00%

-15.00%

-10.00%

-5.00%

0.00%

5.00%

10.00%

15.00%

Dec-04 Jun-05 Dec-05 Jun-06 Dec-06 Jun-07 Dec-07 Jun-08

Sumber: Kalkulasi Bank Indonesia dan staf Bank Dunia

Gambar 8 Tingkat peminjaman investasi nominal di Aceh dan rata-rata nasional

10

11

12

13

14

15

16

17

18

19

Dec-04 Jun-05 Dec-05 Jun-06 Dec-06 Jun-07 Dec-07 Jun-08

NASIONAL - Investasi ACEH - Investasi

Sumber: Bank Indonesia dan kalkulasi staf Bank Dunia

18 Data tentang suku bunga rata-rata mungkin tidak dapat diandalalkan untuk Aceh. Perbandingan antara suku bunga di Aceh

dan suku bunga nasional dengan demikian harus ditafsirkan dengan hati-hati. Data tentang infl asi yang dibunakan untuk

memperkirakan suku bunga sebenarnya hanya berlaku untuk Banda Aceh

Page 38: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

28Diagnosis Pertumbuhan Aceh

Akses terhadap Kredit

Biaya modal tidak menghambat pertumbuhan dan investasi di Aceh. Walaupun terdapat beberapa

perbedaan antara Aceh dan daerah-daerah lain di Indonesia, masih dapat terjadi bahwa biaya modal

menghambat investasi swasta dan, dengan demikian, menghambat pertumbuhan. Hal ini seharusnya

menciptakan tingkat pertumbuhan yang lebih rendah ketika suku bunga menjadi lebih tinggi. Namun

demikian, bukan ini yang terjadi di Aceh: pertumbuhan PDRB tidak bereaksi terhadap menurunnya suku

bunga riil. Pengamatan ini menunjukkan bahwa biaya kredit barangkali bukan merupakan hambatan

yang mengikat bagi pertumbuhan.19 Akan tetapi, penemuan ini sebaiknya ditafsirkan dengan hati-hati.

Pertama, rangkaian data yang digunakan agak pendek dan tingkat pertumbuhan mungkin bersifat

responsif terhadap perubahan-perubahan suku bunga selama jangka waktu yang lebih panjang. Kedua,

jangka waktu yang pendek ini mencakup peristiwa tsunami dan program pemulihan setelahnya yang

mungkin mendistorsi pengamatan, misalnya dengan menyebabkan infl asi yang sangat tinggi dan

dengan demikian menyebabkan suku bunga riil menjadi sangat rendah pada tahun 2005.

Data terakhir mendukung gagasan bahwa biaya kredit bukan merupakan hambatan yang

mengikat di Aceh. Program Kredit Pemberdayaan Pengusaha yang mulai digulirkan pada bulan Oktober

2008 memberikan pinjaman dengan suku bunga tetap bersubsidi sebesar 8 persen bagi usaha-usaha di

Aceh. Dengan program tersebut, persyaratan-persyaratan jaminan tidak terlalu ketat: tidak seperti biasa

di tingkat 110-120 persen dari jumlah pinjaman, 80 persen saja yang diminta dari para peminjam. Ukuran

pinjaman berkisar antara Rp.50 juta hingga Rp.500 juta. Sejak bulan April 2009, jumlah total dana yang

telah dipinjamkan di bawah program ini hanya sekitar Rp.5 milyar.20 Walaupun masih terlalu dini untuk

menilai efektivitas keseluruhan dari program tersebut, jumlah penerimaan yang relatif kecil atas dana

“yang lebih murah” ini lebih jauh menunjukkan bahwa suku bunga yang tinggi tidak menghambat usaha-

usaha dalam mengakses kredit di Aceh.

Gambar 9 Pertumbuhan PDB tidak bereaksi terhadap perbedaan suku bunga

Hubungan antara angka dan pertumbuhan

-1.00%

0.00%

1.00%

2.00%

3.00%

4.00%

5.00%

6.00%

7.00%

8.00%

9.00%

-20.00% -15.00% -10.00% -5.00% 0.00% 5.00% 10.00% 15.00%

Tingkat bunga riil (pinjaman investasi)

Tingk

at p

ertu

mbu

han

riil (s

ebel

umny

a m

igas

)

2008

20072006

2005 2004

2003

2002

2001 2000

Sumber: Bank Indonesia, BPS dan kalkulasi staf Bank Dunia

c. Apakah permasalahannya adalah rendahnya tabungan dan tidak adanya akses terhadap pembiayaan eksternal?Tingkat tabungan yang rendah bukan merupakan alasan bagi rendahnya volume kredit di provinsi

ini. Satu penjelasan klasik tentang mengapa kredit dapat menjadi mahal atau mengapa bisa terdapat

penjatahan kredit adalah rendahnya persediaan dana serta tidak adanya akses terhadap pembiayaan

eksternal. Aceh merupakan salah satu daerah yang memiliki rasio tabungan-terhadap-PDRB tertinggi

di Indonesia. Gambar 10 menunjukkan hal ini di mana Provinsi Aceh menduduki peringkat ke-empat

19 Data ini menangkap situasi ekonomi di provinsi ini sebelum dimulainya kiris keuangan global. Setelah terjadinya krisis kredit

dalam ekonomi riil, pernyataan di atas mungkin memerlukan kualifi kasi.

20 Sumber: Pak Dahlan Sulaiman, kepala program.

Page 39: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

Diagnosis Pertumbuhan Aceh29

Juli 2009

pada tahun 2006. Tidaklah mengherankan, Aceh memiliki rasio pinjaman-terhadap-simpanan (loan-to-

deposit ratio/LDR) yang rendah: pada bulan Desember 2008, LDR berada di tingkat 46 persen, yang secara

signifi kan lebih rendah dari rasio nasional sebesar 70 persen.

Gambar 10 Tabungan per PDRB untuk provinsi-provinsi di Indonesia, 2006

0.0000

0.5000

1.0000

1.5000

2.0000

2.5000

0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 35.00 40.00

PDRB non migas riil per kapita 2006 (Rp juta, harga 2000)

6002sagim non BR

DP rep nagnubaT

* disesuaikan terhadap deposit pemerintah menurut rata-rata nasional

NasionalSumatra Utara Kalimantan Timur

DKI Jakarta

Aceh*

Aceh

Sumber: Bank Indonesia dan staf Bank Dunia

Sebagian besar simpanan di Aceh adalah simpanan jangka pendek, namun demikian tingkat

tabungan tidak menjadi hambatan bagi pembiayaan di provinsi tersebut. Situasi di Aceh dapat

menyesatkan karena tingkat rekonstruksi yang tinggi dan dana-dana pemerintah yang telah dimasukkan

ke provinsi ini oleh berbagai badan pemerintah dan non-pemerintah. Sebagaimana ditunjukkan

dalam Gambar 11, pada tahun 2007 dana-dana pemerintah mewakili 36 persen dari seluruh simpanan,

dibandingkan dengan rata-rata sebesar kira-kira 14 persen secara nasional. Karena dana-dana tersebut

tidak dapat dipinjamkan, kecilnya jumlah sisa ‘dana-dana yang yang boleh dipinjamkan/loanable funds” ini

bisa menjelaskan mengapa hanya ada sedikit kredit di Aceh sementara total tabungan begitu besar. Untuk

menguji hipotesis ini, diasumsikan adanya tingkat yang sama pada ‘dana-dana yang dapat dipinjamkan’

dengan daerah-daerah lain di Indonesia dibandingkan dengan tingkat tabungan di Aceh (titik data

“Aceh*” pada Gambar 10 di atas).21 Bahkan setelah dibandingkan tingkat tingkat tabungan nasional, Aceh

masih memiliki rasio tabungan-terhadap-PDRB yang relatif tinggi, yang membawa kita pada kesimpulan

bahwa persediaan dana tidak menjadi alasan rendahnya rasio kredit-terhadap-PDRB.

Gambar 11 Dana-dana pemerintah menyumbangkan bagian yang besar dari simpanan di Aceh

Deposit Aceh, 2004-07

36% 30% 18% 17%

64% 70%

82%

83%

-

5

10

15

20

25

2004 2005 2006 2007

Trill

ion

Rp

Sumber: Bank Indonesia, Aceh

Dana pemerintah Dana swasta

Deposit Nasional, 2004-07

11% 14% 16% 14%

89% 86%

84% 86%

0200400600800

10001200140016001800

2004 2005 2006 2007

Trill

ion

Rp

Sumber: Bank Indonesia

Dana swastaDana pemerintah

21 Penyesuaian ini adalah untuk mengurangi tabungan masyarakat di Aceh sehinga bagian tabungan masyarakat dalam tabungan

total sama dengan rata-rata nasional..

Page 40: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

30Diagnosis Pertumbuhan Aceh

Akses terhadap Kredit

Apabila tabungan memang tinggi di Aceh, harus ada penjelasan lain tentang mengapa volume kredit

rendah: apakah karena sektor perbankan tidak melaksanakan fungsinya sebagai perantara (intermediary

function) dengan baik atau karena kredinya yang dibatasi? Hal – hal dibawah ini mencoba mengfokuskan

untuk menggali beberapa opsi yang berbeda dalam melihat masalah diatas.

d. Apakah permasalahannya adalah fungsi intermediasi (perantara) bank-bank lokal yang rendah? Rendahnya fungsi perantara oleh bank-bank lokal di Aceh dapat menghambat kemampuan

mereka untuk memberikan kredit kepada dunia usaha. Bank-bank di Aceh tampaknya belum yakin

dalam mengevaluasi permohonan-permohonan pinjaman; walaupun proses kajian seharusnya secara

resmi berlangsung selama tidak lebih dari satu bulan, UKM kadang-kadang harus menunggu sampai

dengan enam bulan apabila mereka mengajukan permohonan pinjaman untuk pertama kali (IFC, 2007).

Untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang peran intermediasi yang dimainkan bank-bank

di Aceh, serangkaian wawancara secara mendalam dengan delapan bank umum di Banda Aceh te;ah

dilakukan pada bulan Desember 2008 untuk mengkaji perspektif bank dalam menjalankan usaha di

Aceh serta tantangan-tantangan khusus yang mereka hadapi. Tujuannya adalah untuk melihat apakah

bank-bank tidak mampu dalam menentukan nilai risiko khusus berkaitan dengan kredit di Aceh, yang

menyebabkan bank tidak bersedia memberi pinjaman, atau apakah bank tidak memiliki keahlian yang

mungkin diperlukan untuk menjalankan usaha di Aceh dan memberikan pinjaman.

Bank-bank tidak mengenakan suku bunga yang lebih tinggi di Aceh untuk menentukan biaya

akibat dari persepsi risiko-risiko yang lebih besar dalam menjalankan usaha perbankan di provinsi

tersebut. Apabila bank khawatir tentang tingkat gagal bayar (default rate) di Aceh, orang akan mengira

bank-bank tersebut, antara lain, mengenakan suku bunga yang lebih tinggi di provinsi ini. Menariknya,

semua bank yang diwawancarai oleh tim menyatakan bahwa mereka mengenakan suku bunga yang

sama seperti di daerah-daerah lain di Indonesia. Data Bank Indonesia yang disajikan dalam Tabel 6

menunjukkan bahwa suku bunga nominal rata-rata di Aceh lebih rendah dari rata-rata nasional dan suku

bunga di provinsi-provinsi lain pada bulan Desember 2008. Perbedaan-perbedaan suku bunga yang

diamati mungkin dikarenakan bank-bank memiliki portofolio berbeda di provinsi yang berbeda, karena

semua bank yang diwawancarai menyatakan bahwa suku bunga yang mereka kenakan bergantung

pada banyak faktor (besarnya pinjaman, jatuh tempo, peminjam, dll.) namun tidak bergantung di provinsi

mana pinjaman tersebut diberikan. Suku bunga yang rendah di Aceh menunjukkan bahwa bank-bank

tidak memperhitungkan biaya risiko yang lebih tinggi yang dipersepsikan dalam menjalankan usaha di

Aceh.

Tabel 6 Suku bunga nomial rata-rata, Desember 2008

Nasional

(%)

Aceh

(%)

Sumatera Utara

(%)

Kalimantan

Timur (%)

Papua

(%)

Sulawesi

Tengah (%)

Modal Kerja 15,22 14,10 15,73 14,95 15,11 15,70

Investasi 14,4 13,65 15,16 14,29 14,71 14,14

Konsumsi 16,4 12,00 13,73 13,26 14,22 14,37

Sumber: Bank Indonesia, kalkulasi staf Bank Dunia

Satu cara bagi bank untuk mempertahankan portofolio pinjaman yang besar tanpa kemungkinan

menanggung persepsi risiko yang lebih besar dari pemberian pinjaman investasi adalah dengan

mengfokuskan pada pemberian pinjaman konsumsi. Sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 7, porsi

kredit investasi dan kredit modal kerja dari dari total kredit di Aceh lebih rendah dari daerah-daerah lain

Page 41: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

Diagnosis Pertumbuhan Aceh31

Juli 2009

di Indonesia, dan lebih rendah lagi dibandingkan dengan provinsi tetangga, Sumatera Utara. Pinjaman-

pinjaman konsumsi biasanya dianggap lebih aman dan tidak mengharuskan penyaringan yang ketat

terhadap pemohon, karena barang-barang yang dibeli, khususya motor atau mobil, digunakan sebagai

barang jaminan. Lebih lanjut, bank mengakui bahwa sebagian besar nasabah mereka adalah pegawai

negeri sipil dan sebagian besar permohonan pinjaman mereka disetujui.

Tabel 7 Kredit investasi dan modal kerja sebagai bagian dari keseluruhan kredit

Persentase

Bagian kredit investasi dan modal kerja dalam keseluruhan kredit

2005 2006 2007

Aceh 48.6 49.8 50.8

Sumatera Utara 78.6 79.0 78.7

Riau 68.9 68.3 68.5

Kalimantan Timur 76.8 78.9 80.3

Papua 42.6 47.5 54.1

Sulawesi Tengah 51.9 50.9 49.9

Maluku 57.8 38.8 40.6

Sumatera 71.7 71.8 71.7

Java 71.3 72.7 71.3

Indonesia 70.3 71.4 70.3

Sumber: Kalkulasi Bank Indonesia dan staf Bank Dunia.

Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa fungsi perantara bank menjadi penghambat investasi

di Aceh. Masalahnya mungkin adalah bahwa bank tidak memiliki sumber daya manusia (pejabat bagian

kredit) yang diperlukan untuk menilai permohonan pinjaman secara memadai, namun lebih memilih

untuk menolak permohonan-permohonan dan berfokus pada portofolio pinjaman yang lebih aman

dan melewatkan peluang-peluang usaha yang menguntungkan. Hal ini berpengaruh lebih besar bagi

Aceh dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain, mengingat bahwa bank tidak banyak melayani wilayah

selama konfl ik. Beberapa pelaku terbesar yang ada di daerah-daerah pedesaan mengirim personil kredit

ke lapangan untuk mengidentifkasi dan melakukan pendekatan kepada usaha-usaha yang dianggapnya

layak untuk memperoleh kredit dan memberikan kredit kepada usaha-usaha tersebut. Pendekatan proaktif

ini efektif untuk memperluas portofolio pinjaman dan mempertahankan agar tingkat pengembalian

tetap tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa tetap ada ruang untuk meningkatkan intermediasi keuangan

dan bank yang mengirim personil kredit yang terlatih ke lapangan bertemu dengan nasabah potensial

telah berhasil melayani lebih banyak pemohon dan badan usaha. Walaupun demikian, dengan

besarnya dana yang dikeluarkan dalam rekonstruksi dalam jangka waktu yang pendek, bank telah

dengan cepat memberi tanggapan dengan membuka cabang-cabang untuk memperoleh simpanan

dan mempekerjakan tenaga-tenaga ahli yang diperlukan untuk memberi pinjaman bagi sektor-sektor

yang dianggapnya aman. Mengingat juga sifat yang relatif kompetitif dari sektor perbankan, hanya ada

sedikit bukti pasti yang menunjukkan bahwa bank tidak akan memperbaiki kapasitasnya untuk melayani

permintaan kredit, apabila bank menganggap bahwa sektor usaha ini menguntungkan.

Page 42: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

32Diagnosis Pertumbuhan Aceh

Akses terhadap Kredit

Kotak 4 Apakah konfl ik merupakan halangan untuk mengakses kredit?

Dalam melakukan pendekatan terhadap permasalahan pembiayaan di Aceh, salah satu hipotesis dari tim adalah

bahwa bank mungkin enggan untuk memberi pinjaman bagi usaha-usaha lokal karena bank masih mengkha-

watirkan stabilitas provinsi ini. Mengingat sejarah Aceh yang ditandai kekerasan dan perdamaian yang masih

baru, tampaknya masuk akal bahwa bank berhati-hati akan munculnya kembali bentuk kekerasan, dan dengan

demikian bank dengan sukarela membatasi kegiatannya di provinsi ini. Temuan-temuan dari wawancara-wawan-

cara bervariasi: terdapat konsensus yang kuat bahwa masalah keamanan, sekarang menjadi “bisnis seperti biasa”

bagi bank di Aceh dan masalah-masalah yang lebih berat juga masih ada. Namun demikian, banyak bank me-

nyebutkan bahwa selama konfl ik, bank-bank tersebut mengurangi keberadaan (atau tidak ada sama sekali) dan

membuka cabang baru di provinsi ini. Jika konfl ik masih mungkin untuk terjadi, hal tersebut akan tetap menjadi

pertimbangan bank untuk menjalankan usaha di Aceh. Beberapa bank menyatakan maksudnya untuk mem-

perluas jaringan cabang mereka di Aceh, khususnya dengan menjangkau hingga ke kabupaten dan kota-kota

selain ibukota provinsi, ini dapat mencerminkan perbaikan daya tarik provinsi tersebut, yakni bahwa saat ini per-

damaian telah bertahan hingga lebih dari tiga tahun. Tidak ada bank yang mengutarakan bahwa pihak mereka

mengenakan biaya suku bunga yang berbeda di provinsi ini (sebagai akhibat dari risiko yang lebih besar yang

dipersepsikan), atau telah menetapkan persyaratan-persyaratan barang jaminan yang ketat. Setiap perbedaan

dalam suku bunga dapat dijelaskan dengan perbedaan dalam portofolio pinjam (misalnya pinjaman-pinjaman

yang lebih kecil yang akan menghasilkan suku bunga rata-rata yang lebih tinggi yang dibebankan sebagai biaya).

Lebih lanjut, walaupun bank tidak menunjukkan kekhawatiran bahwa konfl ik mungkin akan muncul kembali,

semuanya menampakkan keprihatinan tentang pemilu lokal dan pemilihan umum presiden tahun 2009 dan

fakta bahwa terdapat banyak keputusan strategis yang ditunda hingga bank-bank tersebut dapat mengamati

apakah pemilu kembali menimbulkan ketidakstabilan. Fokus pada pinjaman konsumsi, dan secara khusus pada

pinjaman yang melayani pegawai negeri sipil, juga menunjukkan suatu upaya dari bank-bank untuk mengurangi

risiko menjalankan usaha di Aceh.

Sumber: Survei terhadap bank di Aceh.

Walaupun tampaknya masih ada ruang bagi peningkatkan dalam cara bagaimana bank memenuhi fungsi

penengahan keuangannya — terutama untuk banyak bank yang meninggalkan provinsi tersebut selama

konfl ik dan lambat laun datang kembali — hal ini tidak mungkin menjadi faktor utama di balik rendahnya

tingkat kredit bagi sektor swasta. Mengingat ketersediaan dana, pertumbuhan yang kuat selama upaya

rekonstruksi dan keamanan relatif di sebagian besar daerah Aceh, tampaknya tidak mungkin bagi bank

untuk tidak menyediakan sumber daya dan kapasitas yang diperlukan, setidaknya pada tingkat yang sama

dengan yang dilakukannya di tempat-tempat lain di Indonesia. Perbedaan jumlah kredit yang diberikan

kepada dunia usaha pada daerah-daerah lain di negeri ini, tidak bisa dijelaskan sebagai kurangnya

kapasitas bank-bank lokal.

e. Apabila tidak, apakah persoalannya adalah pembatasan kredit oleh bank?Pembatasan kredit dapat menjadi suatu alasan rendahnya tingkat kredit. Biaya kredit tampaknya

bukan merupakan halangan utama bagi investasi, dan bukan pula buruknya fungsi perantara dari bank-

bank lokal. Alasan lain bagi rendahnya tingkat kredit yang diberikan bagi usaha-usaha barangkali adalah

bahwa bank-bank tidak mempunyai pilihan untuk melakukan hal tersebut. Misalnya, hal tersebut dapat

terjadi karena banyak usaha bersifat informal,22 atau karena bank enggan memberi pinjaman bagi jenis-

22 Hal ini mungkin bukan merupakan hambatan dalam mengakses pinjaman-pinjaman kecil, karena bank tidak meminta nomor

pendaftaran usaha atau pajak, melainkan mensyaratkan KTP atau kartu pendaftaran keluaraga dan referensi-referensi informal

lainnya (misalnya, dari kepala desa).

Page 43: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

Diagnosis Pertumbuhan Aceh33

Juli 2009

jenis pemohon kredit tertentu.23

Bank bersikap hati-hati dalam pendekatannya untuk beroperasi di Aceh, yakni menghindari

sektor-sektor yang lebih berisiko seperti pertanian atau menghindari para peminjam seperti

UKM. Dalam wawancara-wawancara yang dilakukan terhadap bank-bank umum di Banda Aceh,

tampak bahwa bank-bank tersebut bersikap sangat hati-hati di provinsi ini (sebagaimana ditunjukkan

oleh rendahnya pinjaman macet (non-performing loan/NPL) dari sebagian besar bank dan sektor

perbankan secara umum), yang membatasi akses masyarakat dan usaha terhadap kredit. Pertama, bank-

bank biasanya enggan menawarkan produk-produk pinjaman yang tidak mewajibkan adanya barang

jaminan dan sebagian besar menargetkan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).24 Hal ini dapat

menjadi halangan yang serius bagi akses karena banyak orang dan usaha kehilangan aset dan sertifi kat

selama tsunami, sehingga mereka tidak lagi dapat menggunakanya sebagai barang jaminan. Kedua,

beberapa orang telah dimasukkan dalam “daftar hitam” oleh bank. Hal ini terjadi setelah mereka gagal

mengembalikan pinjaman sebagai akibat dari kehilangan-kehilangan selama tsunami dan, untuk saat ini,

mereka tetap tidak dapat mengajukan permohonan pinjaman baru walaupun sebagian besar pinjaman-

pinjaman lama tersebut telah diputihkan. Ketiga, pertanian tampaknya merupakan sektor yang relatif

berisiko dan, walaupun banyak bank menyatakan ketertarikannya untuk memberi pinjaman lebih untuk

mendorong pengembangan pertanian, hal ini masih harus ditindaklanjuti dengan kegiatan selanjutnya.

Struktur kredit di Aceh lebih mengarah ke sektor-sektor yang dianggap kurang berisiko, seperti

konstruksi dan perdagangan. Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 12, alokasi kredit investasi

dan modal kerja secara sektoral lebih diarahkan ke sektor-sektor yang dianggap lebih aman. Sektor-

sektor tersebut sebagian besar adalah ekonomi perkotaan, seperti perdagangan dan, pada tingkat

yang lebih rendah, konstruksi. Sektor-sektor yang paling banyak menerima kredit adalah sektor-sektor

di mana investasi modal tetap rendah, seperti perdagangan. Hal ini mungkin dapat menjadai petunjuk

bahwa dunia usaha masih belum berniat melakukan investasi yang besar di provinsi ini karena mereka

mempersepsikan adanya risiko yang besar bahwa konfl ik dapat timbul kembali dan membuat mereka

terpaksa tidak bisa melanjutkan usaha. Membatasi investasi modal tetap dengan alasan bahwa mereka

mungkin dipaksa meninggalkan usaha dalam keadaan seperti itu merupakan cara yang mudah bagi

usaha untuk melindungi diri dari risiko tersebut. Bagian dari kredit yang masuk ke sektor manufaktur

sejalan dengan daerah-daerah lain di Sumatera dan Indonesia, dan bagian kredit yang masuk ke sektor

pertanian lebih rendah dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Sumatera. Pemberian pinjaman bagi

industri pengolahan makanan dihambat oleh ukuran yang kecil dari industri tersebut di Aceh. Alokasi

kredit yang besar bagi sektor konstruksi akan tampak bertentangan dengan pernyataan-pernyataan yang

disampaikan para bankir yang diwawancarai, yang mengidentifi kasi konstruksi sebagai sektor yang juga

relatif berisiko: para kontraktor sering menghadapai persoalan-persoalan berkaitan dengan pemberian

hak atas tanah, pungutan liar atau harga bahan bangunan yang berubah-ubah. Namun demikian, bagian

kredit yang masuk ke sektor ini masih lebih tinggi daripada di daerah lain di Sumatera dan rata-rata

nasional, yang menunjukkan bahwa, walaupun terdapat kesangsian seperti yang diutarakan, konstruksi

merupakan pendorong utama perekonomian provinsi ini selama beberapa tahun terakhir di mana bagian

yang besar dari semua sumber daya – pemerintah dan swasta – diberikan kepada sektor ini.

23 Kesulitan akses terhadap kredit bagi usaha-usaha dan para petani yang lebih kecil bukan hanya masalah khusus di Aceh, karena

masalah tersebut mempengaruhi seluruh negara (dan sebagian negara lain untuk hal tersebut). Upaya-upaya yang dilakukan

pemerintah untuk menangani permasalahan ini melalui skema kredit yang disubsidi atau dijamin menunjukkan tingkat

pengembalian yang rendah, yang agaknya membenarkan keengganan bank swasta untuk memberi pinjaman bagi sektor ini.

Di Aceh, program PER (Pemberdayaan Ekonomi Rakyat) diluncurkan pada 2001 dan terdiri dari pinjaman-pinjaman kecil (Rp.1 –

Rp.250 juta) bagi UKM informal. Program ini tidak mempersyaratkan barang jaminan. Antara tahun 2001 dan 2003, Rp.47 milyar

dicairkan di mana sejumlah Rp.40 milyar gagal bayar. Tingkat pengembalian yang rendah ini kemudian dijelaskan dengan tidak

adanya persyaratan barang jaminan, tsunami dan akibat-akibatnya serta tidak baiknya perencanaan program (pemerintah, dan

bukan bank, yang menyeleksi para pemohon). Tingkat pengembalian yang rendah dari skema bersubsidi yang disponsori oleh

pemerintah juga disoroti oleh beberapa bank yang menjadi sumber diskusi tim di Aceh selama persiapan kajian ini.

24 Wawancara dengan bank-bank, Banda Aceh, Desember 2008.

Page 44: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

34Diagnosis Pertumbuhan Aceh

Akses terhadap Kredit

Gambar 12 Sektor konstruksi dan perdagangan menerima bagian kredit yang relatif besar di

Aceh

Bagian dari investasi dan kredit modal kerja yang masuk ke sektor yang diseleksi, 2007

0.0%

10.0%

20.0%

30.0%

40.0%

50.0%

60.0%

70.0%

80.0%

Pertanian Pertambangan Manufaktur ListrikGas, & Air

Bangunan Perdagangan, restoran dan

hotel

Transportasi,gudang &

komunikasi

Jasa usaha Jasa sosial

Aceh Sumatera Utara Kalimantan Timur Sulawesi Tengah Papua SUMATERA INDONESIA

Sumber: Kalkulasi Bank Indonesia dan staf Bank Dunia

Secara umum, tampak bahwa bank-bank tidak bersedia memberikan pinjaman bagi sektor

agrobisnis dan perkebunan yang berskala kecil apabila pemerintah atau LSM tidak membantu

penjaminan pinjaman tersebut. Ada pemahaman bahwa pasar telah terdistorsi ketika para petani dan

nelayan telah menerima hibah dan pinjaman dari LSM selama rekonstruksi, dan saat ini tidak bersedia

mengambil kredit komersial yang wajib mereka kembalikan.25 Program-program pemberian pinjaman

mikro yang tidak mensyaratkan barang jaminan, atau yang hanya menerima peralatan atau perabotan

rumah tangga sebagai barang jaminan, sangat berhasil dan memperoleh permintaan yang tinggi.

Bahkan bank-bank yang memiliki tenaga ahli di bidang kredit mikro, dan berpengalaman memeberikan

pinjaman bagi ekonomi pedesaan di provinsi-provinsi lain tampaknya juga enggan untuk melaksanakan

program-program pemberian pinjaman pembiayaan mikro di Aceh.26 Lagi pula, sebagian dari keberhasilan

perbankan syariah akhir-akhir ini dapat dijelaskan dengan fakta bahwa perbankan ini tidak mensyaratkan

barang jaminan untuk memberikan pinjaman.27

Orang atau kelompok yang telah kehilangan aset-asetnya karena tsunami atau karena konfl ik mungkin

bisa terhalang untuk mengakses kredit. Terdapat bukti bahwa para korban konfl ik memiliki lebih sedikit

aset dibandingkan yang bukan korban konfl ik (Tabel 8). Kasus mantan kombatan GAM juga patut dilihat

bahwa: secara rata-rata, walaupun mereka memiliki pendapatan yang sama dengan warga sipil, basis aset

mereka lebih rendah. Mungkin juga ada beberapa kelompok yang kurang beruntung di Aceh mengalami

hambatan untuk mengakses kredit, yang pada gilirannya dapat menjadi penghalang bagi mereka untuk

dapat melakukan kegiatan ekonomi dan berinvestasi.

25 IFC, “Aceh Financial Sector Diagnostics”, November 2007.

26 Wawancara dengan bank-bank, Banda Aceh, 2009.

27 IFC, “Aceh Financial Sector Diagnostics”, November 2007, hal.2.

Page 45: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

Diagnosis Pertumbuhan Aceh35

Juli 2009

Tabel 8 Pendapatan dan kekayaan (hanya untuk laki-laki)

Semua Laki-LakiLaki-Laki Warga

Sipil

Perbandingan

Kelompok-Kelompok

TNAWarga

SipilKorban

Non-

korban

Ex-TNA

terhadap

warga

sipil

Korban

terhadap

non-korban(n=1024) (n =1792) (n = 974) (n = 1321)

Pendapatan Rata-Rata (Rp. ‘000) 16.248 16.596 16.146 16.918 -347 -771

Pengukuran Kemiskinan Rumah Tangga, 2008

Aset-aset rumah tangga (rata-rata) (Rp.

‘000)17.426 24.370 23.520 25.838 -694*** -2.586*

Meter persegi tanah yang digarap oleh

rumah tangga (rata-rata)7.628 10.044 8.912 10.800 -2.416 -1.887

Bagian rumah yang terbuat dari beton

(%)27 36 31 40 -9*** -9**

Akses terhadap air dari sumber yang

bersih/terlindungi (%)46 60 56 63 -15*** -7**

Persepsi tentang Kemiskinan

Rumah tangga di kalangan sepertiga

termiskin di desa††65 47 53 42 18*** 12***

*** Signifi kan pada 99%; ** Signifi kan pada 95%; * Signifi kan pada 90%. Tabel melaporkan rata-rata penduduk dan

n sampel. Sumber: MSR, 2009.

Setelah berakhirnya konfl ik, bank telah memulai kembali operasinya di Aceh dan secara bertahap

kembali ke modus operasi “ bismis seperti biasa” di daerah tersebut. Akan tetapi, bukti menunjukkan

bahwa proses ini barangkali lebih lambat daripada yang diperkirakan oleh bank. Pada saat ini, sebagian

besar bank hanya beroperasi di kota-kota utama provinsi dan sangat sedikit menjangkau daerah-daerah

pedesaan. Akibatnya, mereka kekurangan kapasitas untuk memberikan pinjaman bagi sektor-sektor

ekonomi yang utama dalam perekonomian, seperti pertanian dan perikanan. Bank-bank sebagian

besar melayani para peminjam yang paling tidak beresiko. Tidak ada bank yang memberikan pinjaman

usaha kepada perusahaan-perusahaan yang berusia kurang dari satu tahun. Bank-bank sebagian besar

memberi pinjaman kepada usaha-usaha yang sudah berkembang dan memiliki aliran kas yang besar

dan jaminan yang cukup. Di Aceh, usaha-usaha tersebut sebagian besar adalah usaha perdagangan dan,

pada tingkat yang lebih kecil, kontraktor. Akses terhadap pembiayaan, terutama untuk beberapa sektor

usaha, tampaknya menjadi persoalan di Aceh.

Walaupun agak rendah, akses terhadap kredit di Aceh tampaknya bukan merupakan hambatan

yang mengikat bagi pertumbuhan di provinsi ini. Usaha kecil dan menengah yang mengajukan

permohonan pinjaman pada umumnya berhasil: hanya 4,13 persen yang ditolak selama paruh pertama

tahun 2008 (World Bank, 2008d). Persoalan-personalan akses terhadap pembiayaan tampaknya menyebar

di Indonesia dan tidak dapat menjadi alasan tingkat kredit yang rendah di Aceh. Rendahnya tingkat kredit

yang diberikan kepada sektor swasta mungkin merupakan suatu upaya dari bank untuk menghadapai apa

yang oleh banyak pihak dianggap sebagai risiko-risiko yang lebih besar dalam beroperasi di Aceh. Fungsi

perantara bank juga terhalang oleh fakta bahwa banyak bank beranjak dari provinsi ini selama konfl ik, dan

kembali ke Aceh saat-saat terakhir ini, sehingga bank-bank tersebut memiliki sedikit cabang di provinsi

ini, dan harus mendirikan kembali usaha serta jaringan nasabah mereka. Bank-bank memberi pinjaman

kepada para peminjam yang tidak memiliki resiko tinggi yaitu: usaha-usaha dan perusahaan-perusahaan

yang mapan dan memiliki arus kas yang tinggi yang dapat mengembalikan pinjaman dengan cepat

atau memberikan pinjaman konsumsi bagi pegawai negeri sipil. Sektor-sektor pertanian, pengolahan

makanan, dan manufaktur skala kecil semuanya memiliki potensi untuk menciptakan pertumbuhan

Page 46: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

36Diagnosis Pertumbuhan Aceh

Akses terhadap Kredit

ekonomi yang berkelanjutan dan bersama, tetapi tidak dapat dengan mudah mengakses kredit karena

sektor-sektor tersebut masuk dalam kategori yang membuat bank enggan memberikan pembiayaan.

Akses terhadap kredit bukanlah halangan utama bagi pertumbuhan di Aceh, tetapi mengingat sektor

swasta maupun individu-individu tersebut telah mengidentifi kasi keadaan tersebut sebagai hambatan

produktifi tas, upaya meningkatkan akses terhadap kredit mungkin menjadi penting agar kaum miskin

juga dapat mengambil manfaat dari pertumbuhan. Lembaga-lembaga pemerintah dapat melakukan

dua intervensi utama untuk meningkatkan akses sektor swasta di Aceh untuk memperoleh kredit:

Memperluas/memperkenalkan program-program jaminan sebagian jenis Kredit Usaha • Rakyat (KUR), yang dibantu Pemerintah Aceh/Pemerintah Indonesia, untuk memberikan

insentif bagi bank dalam rangka memberikan pinjaman kepada nasabah-nasabah baru. Program

tersebut seharusnya mempertimbangkan strategi transisi (exit strategies) bagi perusahaan-

perusahaan yang telah membuktikan pengembalian kreditnya dengan baik dan dengan

demikian dapat mengakses kredit tanpa jaminan yang memberatkan. Mengingat pengalaman

Aceh dengan program-program tersebut, perhatian khusus harus diberikan bagi rencana

programnya agar menghindari rendahnya tingkat pengembalian, sebagaimana dalam program

Pemberdayaan Ekonomi Rakyat, atau rendahnya daya serap (intake), seperti dalam program

Kredit Pemberdayaan Pengusaha yang telah diluncurkan;

Mendukung layanan pengembangan usaha• (misalnya melalui Pusat-Pusat Layanan Usaha

Pembangunan atau Development Business Services Center – DBS) yang menyediakan informasi

bagi usaha-usaha kecil dan menengah tentang pengembangan usaha, sambil mengidentifi kasi

usaha-usaha yang memiliki potensi yang bisa dikembangkan dan menghubungkan usaha-

usaha tersebut dengan sumber-sumber kredit. DBS seharusnya berfokus pada sektor pertanian,

perikanan dan pengolahan hasil pertanian, karena sektor-sektor ini berpotensi menjadi mesin

pertumbuhan inklusif di Aceh maupun karena fakta bahwa sektor-sektor ini seringkali oleh bank

diidentifi kasi sebagai sektor-sektor yang sangat berisiko.

Bagian ini telah memberikan bukti bahwa dunia usaha di Aceh memiliki akses yang rendah terhadap

kredit, dan juga telah menganalisis sebab-sebabnya. Walaupun mungkin terdapat persoalan-persoalan

berkaitan dengan peran intermediasi yang dimainkan oleh bank, tidak terdapat alasan yang kuat untuk

meyakini bahwa fungsi intermediasi bank-bank di Aceh secara signifi kan lebih buruk dibandingkan

dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Sebagai akibatnya, hingga ke tingkat yang lebih besar, alasan-

alasan bagi rendahnya tingkat pemberian kredit kepada usaha-usaha lebih disebabkan oleh risiko-risiko

yang lebih tinggi yang dipersepsikan dalam menjalankan usaha di Aceh serta potensi keuntungan yang

rendah dari usulan-usulan investasi terkait. Bagian berikut dari laporan ini menganalisis alasan-alasan

yang mungkin di balik keadaan ini.

Page 47: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

Diagnosis Pertumbuhan Aceh37

Insentif untuk melakukan investasi boleh jadi turun karena rendahnya kualitas atau tidak

tersedianya sama sekali beberapa faktor produksi yang bersifat pendukung. Produktivitas para

pekerja mungkin boleh jadi rendah karena rendahnya keterampilan, rendahnya kualitas infrastruktur

atau kondisi geografi s yang merugikan perkembangan usaha. Modal sumber daya manusia sangat

penting untuk meningkatkan produktivitas, karena hal tersebut memungkinkan kemajuan teknologi dan

perkembangan industri-industri padat keterampilan. Indikator dasar pencapaian pendidikan Indonesia

masih rendah dibandingkan dengan negara lain di kawasan yang sama. Di tingkat nasional, indikator

infrastruktur dasar, khususnya dalam bidang energi, transportasi, dan air serta sanitasi masih rendah.

Kekurangan-kekurangan tersebut dapat menimbulkan kendala serius dalam upaya untuk mencapai

produktivitas usaha dan dengan demikian berdampak pada insentif bagi perusahaan-perusahaan dalam

melakukan investasi. Dalam menganalisis kualitas dan ketersediaan faktor-faktor produksi yang bersifat

komplementer, akan sangat bermanfaat untuk membandingkan Aceh dengan provinsi-provinsi lain di

Indonesia untuk menilai sejauh mana keberhasilan yang dicapainya atau kegagalan yang dialaminya

dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain.

Mengingat lokasi Aceh yang menguntungkan, faktor geografi s tampaknya tidak menimbulkan

hambatan yang signifi kan bagi pertumbuhan. Kerangka kerja diagnosa pertumbuhan menganggap

lokasi dan karakteristik geografi s sebagai serangkaian faktor yang bersifat komplementer yang

berdampak pada hasil sosial untuk investasi: kita dapat menganggap kondisi negara yang tidak memiliki

daerah pantai, dan ketiadaan sumber daya alam atau tanah yang dapat digarap sebagai faktor-faktor

geografi s yang dapat memberikan pengaruh buruk terhadap pertumbuhan. Aceh terletak di ujung

bagian utara Sumatera dan berada di pusat rute perdagangan dan dikaruniai dengan sumber daya alam.

Lokasinya dekat dengan pusat industri dan perdagangan utama di Sumatera, Medan dan pasar-pasar

regional, termasuk negara tetangga Malaysia dan Singapura. Iklim Aceh memungkinkan pembudidayaan

beberapa jenis tanaman ekspor, seperti kelapa sawit, karet, kakao, dan kopi dan bersama-sama dengan

provinsi tetangganya, Sumatera Utara, di sanalah terdapat salah satu dari beberapa hutan hujan yang

tersisa di Asia Tenggara. Penelitian yang dilakukan baru-baru ini tidak hanya menyoroti keuntungan yang

dilihat oleh para investor dari kedekatan Aceh dengan pusat industri dan perdagangan utama seperti

Medan serta Malaysia, melainkan juga menyebutkan beberapa hambatan yang menghalangi Aceh untuk

memperoleh manfaat dari kedekatan tersebut.

Hal ini mencakup lemahnya hubungan rantai pasokan dengan rantai domestik dan global yang

lebih luas, kegagalan informasi pasar dan lemahnya daya tawar perkebunan skala kecil, lemahnya

pemberian layanan dan kualitas produk (IFC, 2008). Para calon investor menganggap kedekatan

dan logistik angkutan ke Medan sebagai sebuah aset untuk Aceh, dan bukanlah sebagai sebuah

06

Hasil Sosial yang Rendah

Page 48: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

38Diagnosis Pertumbuhan Aceh

Hasil Sosial yang Rendah

hambatan. Apakah kebutuhan pertumbuhan perekonomian menjadi tidak berimbang karena terjadinya

konsentrasi kegiatan ekonomi masih menjadi perdebatan yang hangat (World Bank, 2009b). Perdebatan

ini juga berlangsung di Aceh, pada saat membahas tentang manfaat dari kedekatan Aceh dengan

Medan dan apakah pengelompokan kekuatan, yang menarik kegiatan investasi dan perekonomian ke

Medan, merupakan suatu insentif atau disinsentif (misalnya oleh semua kegiatan bernilai tambah yang

berlangsung di Medan alih-alih di Aceh) untuk melakukan investasi di Aceh. Tanpa bermaksud mengakhiri

perdebatan tersebut melainkan berdasarkan bukti yang ada dan wawancara dengan para calon investor,

laporan ini menunjukkan bahwa lokasi geografi s Aceh tidak merupakan kendala yang mengikat bagi

investasi dan pertumbuhan.

a. Infrastruktur: jalan-jalan Infrastruktur seringkali disoroti sebagai hambatan utama terhadap investasi di Aceh. Indikator-

indikator infrastruktur dasar tampaknya sebanding dengan rata-rata nasional di sejumlah bidang, seperti

irigasi dan akses terhadap tenaga listrik. Namun demikian, skor Aceh jauh lebih rendah dalam indikator-

indikator yang berhubungan dengan sambungan telepon, sanitasi pribadi, dan pengelolaan limbah.

Semua jenis infrastruktur tidak sama pentingnya untuk beberapa usaha dan bagian ini akan berfokus

pada pemahaman tentang masalah-masalah khusus terkait jaringan jalan dan listrik, yang keduanya

merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keberhasilan pembangunan sektor swasta.

Tabel 9 Kondisi infrastruktur di Aceh dan Indonesia tahun 200528

Kondisi Infrastruktur28 Aceh (%) Indonesia (%)

Rumah tangga yang memiliki akses terhadap listrik 73,0 68,7

Desa-desa yang tidak dilengkapi listrik 7,7 7,3

Sambungan telepon 6,2 12,2

Lahan yang mendapat irigasi sebagai persentase terhadap tanah tegalan 52,8 54,6

Sanitasi pribadi 34,2 52,2

Pengelolaan limbah 3,7 8,5

Sumber: Podes, 2005.

Sektor swasta memiliki anggapan yang beragam tentang kondisi infrastruktur, sebagaimana

ditunjukkan dalam gambar di bawah ini. Ketika perusahaan-perusahaan di Aceh dimintai pandangannya

tentang kondisi jalan-jalan kabupaten dan kota, penerangan jalan, dan listrik di dekat lokasi kegiatan

operasi mereka, lebih dari 35 persen menilai layanan tersebut “buruk” atau “sangat buruk”. Namun

demikian, indikator-indikator persepsi tampaknya sebanding untuk sebagian besar jenis infrastruktur,

yang tidak memiliki jenis tunggal atau kelompok yang dikhususkan oleh perusahaan yang telah ada

sebagai hal yang lebih bermasalah. Beberapa jenis infrastruktur masih menimbulkan hambatan bagi

investasi dan pertumbuhan dengan tidak mendukung para investor baru untuk menetap di provinsi

tersebut. Dalam diskusi dengan Kantor Penunjang Investasi (Investors Outreach Offi ce) di Aceh, ketiadaan

pasokan listrik yang dapat diandalkan dianggap sebagai kendala utama bagi gagasan-gagasan usaha

yang dalam kondisi yang berbeda akan mampu bertahan hidup. Untuk memahami jenis infrastruktur

mana yang jauh lebih buruk di Aceh, laporan ini mengandalkan ukuran-ukuran cakupan dan kualitas

infrastruktur yang lebih objektif di Aceh dan membandingkannya dengan provinsi-provinsi lain.

28 Indikator (ukuran): Rumah tangga yang memiliki akses terhadap listrik (porsi), desa-desa tanpa listrik (porsi), sambungan

telepon (porsi desa yang telah tersambung), lahan yang mendapat irigasi sebagai persentase terhadap tanah tegalan (porsi),

sanitasi pribadi (porsi rumah tangga yang memiliki septic tank), pengelolaan limbah (porsi desa yang dilengakapi dengan

sistem pengolahan limbah yang memadai, seperti tempat pembuangan sampah akhir)

Page 49: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

Diagnosis Pertumbuhan Aceh39

Juli 2009

Gambar 13 Bagaimana perusahaan-perusahaan menilai kondisi dari jenis-jenis infrastruktur

yang berbeda

00.1

0.20.30.40.5

0.60.7

Kab/Kotajalan

iluminasijalan

Listrik Telephone

Jelek sekaliJelekBagusBagus sekaliTidak tahu

Air minum yang disuplai pemerintah

daerah

Sumber: The Asia Foundation / KPPOD

Kendati persepsi yang berkembang berbeda, infrastruktur jalan di Aceh tampaknya tidak lebih

buruk dibandingkan dengan kondisi di daerah lain di Indonesia. Data yang diperoleh dari dinas

Pekerjaan Umum menunjukkan bahwa pada tahun 2006, jaringan jalan kabupaten dan provinsi Aceh

berada dalam kondisi yang lebih baik dibandingkan dengan rata-rata jaringan jalan di Sumatera atau

Indonesia secara keseluruhan. Hanya jaringan jalan nasional yang berada dalam kondisi yang lebih buruk,

di mana jalan-jalan nasional di sepanjang pantai timur dan barat rusak parah akibat tsunami. Pada tahun

2000, 78 persen jaringan jalan nasional di Aceh berada dalam kondisi yang baik, dibandingkan dengan

69 persen jaringan jalan di Sumatera secara keseluruhan dan 54 persen jaringan jalan di tingkat nasional.

Dalam hal kepadatan jalan, Aceh lebih baik dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia dan

sangat serupa dengan Sumatera secara keseluruhan.

Tabel 10 Kondisi Jalan di Aceh, 2006

Jalan yang berada dalam

kondisi baik, 2006

Jalan

Kabupaten

(%)

Jalan

Nasional

(%)

Jalan

Provinsi

(%)

Kepadatan jalan*

Km/ 10.000 orang

Kepadatan jalan*

Km / 100 km2

Aceh 28 6 9,5 3,5 2,7

Sumatera Utara 12,2 42 4,9 1,7 2,9

Pulau Sumatera 17,9 57 6,2 3,6 2,8

Nasional 20,2 52 10,8 1,4 1,7

Sumber: Bina Marga, Pekerjaan Umum. * Jalan Provinsi.

Infrastruktur mengalami kerusakan signifi kan selama konfl ik. Beberapa dari indikator ketertinggalan

dapat dijelaskan sebagai akibat dari konfl ik. Sebuah penilaian tentang kerusakan dan kerugian akibat

konfl ik yang dilakukan baru-baru ini menunjukkan bahwa lebih dari 50 persen dari sembilan jenis

infrastruktur yang rusak selama konfl ik adalah sebagai berikut: transportasi, jembatan, air dan sanitasi,

listrik, irigasi, fasilitas desa, fasilitas perekonomian, perumahan, dan tanah produktif (MSR, 2009). Pada

tahun 2006, hanya 12 persen dari kerusakan ini yang telah diperbaiki. Sembilan puluh enam ribu hektar

sawah (31 persen dari jumlah total di Aceh) terlantar; 278.000 hektar lahan perkebunan lainnya (49 persen)

tidak dapat digunakan karena konfl ik dan lebih dari 200.000 ekor ternak (sapi dan kerbau) hilang selama

konfl ik. Di sektor usaha, 1.483 penggilingan padi dan pabrik pengolahan kecil lainnya rusak (47 persen

dari jumlah total), sekitar 6.707 toko, pertokoan, dan warung makanan dan hampir 1.409 pasar desa (dari

total 2.368) rusak atau hancur. Hampir 1.179 km jalan kabupaten (43 persen dari total), 2.641 km jalan

akses ke desa (60 persen), dan 1.442 km jalan akses ke dusun (61 persen) rusak. Sebanyak 2.195 jembatan

beton dan 4.468 jembatan jenis lain (kayu, gantung, baja) juga rusak. Infrastruktur yang rusak selama

konfl ik yang cenderung dibangun kembali relatif rendah, khususnya apabila dibandingkan dengan

jangka waktu pembangungan kembali infrastruktur yang rusak akibat tsunami.

Page 50: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

40Diagnosis Pertumbuhan Aceh

Hasil Sosial yang Rendah

Rekonstruksi setelah tsunami telah memberi Aceh infrastruktur yang lebih baik. Proyek-proyek

infrastruktur senilai sekitar AS$1,5 miliar (dalam bidang transportasi, irigasi, dan energi) telah dialokasikan.

Sejak bulan Desember 2008, sekitar 3.000 km jalan (semua jenis jalan) telah dibangun, 273 jembatan

telah diperbaiki, demikian pula 12 landasan pacu dan 20 pelabuhan.29 Semua ini dilakukan terutama di

daerah-daerah yang terkena dampak tsunami, dengan sejumlah kecil investasi di wilayah tengah Aceh

dan daerah-daerah lain yang tidak terkena dampak tsunami: hanya sembilan persen dari nilai kerusakan

dan kerugian terkait konfl ik yang telah dialokasikan dalam bentuk dukungann pasca konfl ik (MSR, 2009).

Di daerah-daerah pasca konfl ik, masih diperlukan bantuan yang cukup besar dalam bidang perumahan,

pertanian, dan pengangkutan. Di daerah-daerah di mana infrastruktur telah diperbaiki setelah tsunami,

belum pasti apakah pemerintah daerah memiliki sumber daya dan kemampuan untuk memelihara aset

baru tersebut. Pemerintah tetap menjadi investor utama dalam bidang infrastruktur. Walaupun beberapa

industri terpaksa membangun infrastruktur mereka sendiri (minyak dan gas, industri pupuk, dan beberapa

perkebunan), sebagian besar dari sektor swasta masih mengandalkan penyediaan infrastruktur oleh

pemerintah. Belanja pemerintah untuk infrastruktur turun secara signifi kan seiring dengan diterapkannya

desentralisasi, tetapi kemudian meningkat kembali (baik secara mutlak maupun relatif ) sejak tahun 2004,

sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 14. Penelitian yang dilakukan baru-baru ini tentang belanja

pemerintah di Aceh menunjukkan kenaikan belanja pemerintah untuk infrastruktur secara keseluruhan

(World Bank, 2008b) serta kenaikan dalam alokasi untuk operasional dan pemeliharaan (World Bank, 2006b)

sebesar sampai dengan 9 persen, masih di bawah rata-rata nasional sebesar 12 persen. Mempertahankan

alokasi dana yang tinggi untuk infrastruktur dan belanja khusus untuk operasional dan pemeliharaan

perlu dilakukan untuk terus meningkatkan infrastruktur jalan di Aceh.

Gambar 14 Belanja pemerintah untuk infrastruktur di Aceh telah meningkat sejak tahun 2004

Investasi pemerintah untuk infrastruktur

0

500

1000

1500

2000

2500

3000

1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

Rp Bi

llion

0

10

20

30

40

50

60

Bagia

n dar

i ang

gara

n tot

al (%

)

Bagian (kanan) Belanja Pemerintah (kiri)

Catatan: Harga konstan 2006.

Sumber: Provinsi, Departemen Keuangan, perhitungan staf Bank Dunia.

b. Infrastruktur: listrik Permintaan akan listrik terus meningkat dan ketiadaan pasokan listrik yang dapat tersedia

seringkali diidentifi kasi sebagai hambatan utama bagi pembangunan perekonomian di Aceh.

Tidak berbeda dengan tren nasional, pertumbuhan permintaan listrik mencapai hampir 10 persen selama

lima tahun terakhir. Sektor rumah tangga mencatat 67 persen dari permintaan, sementara permintaan

dari sektor usaha dan pemerintah masing-masing sebesar 14,5 persen dan 18,5 persen. Hampir 80 persen

pasokan listrik di Aceh berasal dari sistem interkoneksi Sumatera (Sumatra Interconnection System)

melalui Sumatera Utara. Sistem ini telah dirancang untuk meningkatkan efi siensi dalam distribusi, tetapi

hal ini sekaligus menunjukkan secara tidak langsung bahwa Aceh rentan terhadap gangguan koneksi

jarak jauh, yang kadang-kadang dapat terjadi, misalnya dalam keadaan cuaca buruk. Aceh memiliki

pasokan listrik yang memadai untuk memenuhi kebutuhan dalam kondisi normal, tetapi kekurangan

29 Sektor energi merupakan salah satu dari sedikit sektor yang tidak mendapakan dana yang memadai untuk melakukan

pemulihan dari dampak tsunami. Dengan kebutuhan minimum diperkirakan mencapai hampir sebesar AS$120 juta, dana

yang dialokasikan mencakup kurang dari 40 persen kebutuhan minimum.

Page 51: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

Diagnosis Pertumbuhan Aceh41

Juli 2009

cadangan listrik siaga yang diperlukan sebagai cadangan apabila jaringan pasokan terganggu (Gambar

15). Hal ini sering terjadi di Aceh: perusahaan-perusahaan di Aceh melaporkan bahwa pasokan listrik

terganggu rata-rata selama 4,3 kali per minggu, sementara di wilayah lain di Indonesia, gangguan listrik

ini hanya terjadi dua kali seminggu. Diskusi-diskusi yang diadakan dengan para perwakilan sektor swasta

juga menggarisbawahi bahwa ketiadaan listrik yang dapat diandalkan merupakan kendala utama yang

dihadapi oleh jenis-jenis kegiatan tertentu (pengolahan ikan, peternakan unggas) yang dalam keadaan

sebaliknya akan mampu berkembang.

Gambar 15 Aceh kekurangan cadangan listrik siaga yang diperlukan untuk menghindari

gangguan pasokan

Listrik di Aceh (GwH)

0

500

1000

1500

2000

2500

2007 2008 2009 2010 2011 2012

Kapasitas Permintaan (termasuk cadangan)

Sumber: RUPTL NAD 2008-2017, PLN, perhitungan staf Bank Dunia.

Menurut PLN, tingkat elektrifi kasi di Aceh lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah-wilayah

lain di Sumatera dan Indonesia (Tabel 11). Elektrifi kasi di tingkat rumah tangga tidaklah selalu dapat

dilihat sebagai yang sesuatu yang dapat diandalkan dan lancar. Beberapa industri, seperti minyak dan

gas bumi atau semen, terpaksa harus menyediakan pasokan listrik mereka sendiri: secara bersama-sama

industri tersebut memproduksi sekitar 427.000 kVA untuk kebutuhan mereka sendiri pada tahun 2007.

Pada tahun tersebut, sekitar 575.000 kVA atau 3 persen dari total pasokan listrik di Aceh dihasilkan oleh

sektor swasta untuk konsumsi mereka sendiri. Untuk industri-industri berskala menengah dan kecil, yang

beroperasi dalam skala yang lebih kecil, menghasilkan listrik secara swadaya seringkali bukanlah suatu

pilihan dan pasokan listrik dapat menjadi hambatan yang signifi kan.

Tabel 11 Tingkat elektrifi kasi di Aceh berada di tingkat yang sama dengan wilayah-wilayah lain

di Indonesia

Tingkat Elektrifi kasi – Provinsi (%) 2003 2008 2013

Java - Bali – Madura 59,5 67,3 77,3

NAD 56,2 69,8 86,5

Sumatera Utara 67,1 78,2 93,2

Sumatera Barat 60,5 72,9 94,3

Riau 38,5 47,1 56,9

Kalimantan Timur 49,8 65,4 91,1

Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan Gorontalo 46,2 53,5 63

Papua 27,4 34 42,6

NTT 22,4 28,7 37,2

Batam 68,7 96 100

Sumatera 50,3 62,8 80,3

Indonesia 54,8 63,5 75,2

Sumber: PLN.

Page 52: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

42Diagnosis Pertumbuhan Aceh

Hasil Sosial yang Rendah

Pemadaman listrik yang sering dilakukan, bahkan di ibukota provinsi Banda Aceh, sebagai

akibat dari kekurangan kapasitas, peralatan yang relatif tua, dan pemeliharaan yang seringkali

diperlukan, kemungkinan menimbulkan hambatan yang signifi kan terhadap pertumbuhan.

Investasi yang cukup signifi kan dalam sektor kelistrikan diperlukan untuk menjamin pasokan listrik yang

lancar dan menghindari keharusan sektor swasta untuk menghasilkan listriknya sendiri. Untuk memenuhi

kebutuhan listrik yang terus meningkat, PLN memperkirakan bahwa diperlukan investasi sebesar sekitar

AS$130 juta selama lima tahun ke depan (PLN, 2007). Sebagian besar investasi berasal dari sektor publik.

Struktur pasar energi yang berlaku saat ini tampaknya tidak mendorong investasi yang signifi kan dalam

hal produksi energi oleh sektor swasta, mengingat kebijakan harga yang diberlakukan saat ini oleh PLN.

Masih belum dipastikan apakah pemerintah provinsi mempunyai kemampuan untuk melakukan investasi

yang diperlukan dalam jangka pendek. Selain meningkatkan kehandalan pasokan energi dari Sistem

Interkoneksi Sumatera, Pemerintah Aceh dapat mempertimbangkan penggunaan sumber energi yang

lebih terkini, yang sebelumnya telah diidentifi kasi memiliki potensi untuk Aceh (CSIRO, 2008). Terdapat

beberapa peluang untuk meningkatkan perkembangan energi panas bumi, bio-masa lokal, dan sinar

matahari, untuk menjamin pasokan energi lokal yang handal guna mendukung pembangunan provinsi

tersebut.

c. Pendidikan dan modal sumber daya manusia Tingkat capaian pendidikan di Aceh cukup tinggi dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain dan

rata-rata di Indonesia, tetapi para mantan anggota GAM kurang mendapat pendidikan dibandingkan

dengan masyarakat sipil. Tingkat partisipasi di tingkat Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama

pada tahun 2007 lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat partisipasi secara nasional dan dibandingkan

dengan provinsi tetangganya yang lebih kaya, Sumatera Utara (Tabel 12). Belum terjadi evolusi yang

signifi kan sejak berakhirnya konfl ik dan tsunami karena tingkat partisipasi pada tahun 2007 masih sama

dibandingkan dengan tingkat partisipasi pada tahun 2004.

Tabel 12 Capaian pendidikan

Pendidikan

2004 2007

Aceh Sumatera

Utara

Nasional

(rata-rata)Aceh

Sumatera

Utara

Nasional

(rata-rata)

Angka Partisipasi Bersih SD 95,9 93,6 93,0 95,7 93,9 93,8

Angka Partisipasi Bersih SMP 80,0 73,0 65,2 76,4 73,6 66,6

Angka Partisipasi Bersih SMA 62,0 56,6 42,9 61,8 54,8 44,6

Angka Partisipasi Kotor SD 108,8 106,6 107,1 114,3 111,0 110,4

Angka Partisipasi Kotor SMP 95,9 89,9 82,2 91,1 91,3 82,0

Angka Partisipasi Kotor SMA 75,2 70,9 54,4 76,8 69,0 56,7

Sumber: Susenas, 2004-07.

Data yang diperoleh dari Survei tentang Reintegrasi dan Penghidupan di Aceh (Aceh Reintegration

and Livelihood Survey/ARLS) menunjukkan bahwa rata-rata para mantan anggota GAM kurang

mendapat pendidikan dibandingkan dengan masyarakat sipil. Rangkaian data dari ARLS memberikan

informasi tentang individu, rumah tangga, dan desa-desa dan berfokus pada reintegrasi pasca konfl ik di

Aceh. ARLS dilaksanakan sejak bulan Juli-September 2008 di 754 desa di Aceh. Contoh yang diambil

diupayakan agar representatif untuk para pria di seluruh Aceh (dan perempuan dalam sebuah kelompok

di kabupaten-kabupaten) dan memungkinkan diadakannya perbandingan antara beberapa kelompok,

termasuk mantan anggota GAM versus masyarakat sipil dan para korban versus non-korban. Kajian

tersebut menggunakan data ini untuk mengetahui situasi sosial ekonomi yang dihadapi oleh sebagian

dari kelompok tersebut, termasuk para mantan anggota GAM dan tantangan-tantangan khusus yang

Page 53: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

Diagnosis Pertumbuhan Aceh43

Juli 2009

mereka hadapi. Pertimbangan tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya untuk

menggariskan kebijakan yang terkait untuk mencapai pertumbuhan inklusif. Dalam hal pendidikan,

apabila membandingkan antara para mantan anggota GAM dan masyarakat sipil, tampak bahwa para

mantan anggota GAM kemungkinan besar berhenti bersekolah di tingkat sekolah dasar atau sekolah

menengah pertama (Tabel 13). Hanya 17 persen dari mereka yang lulus sekolah menengah atas atau

memperoleh pendidikan di tingkat perguruan tinggi dibandingkan dengan 34 persen masyarakat sipil

(MSR, 2009). Namun demikian, lebih banyak dari mereka yang melek huruf yang menunjukkan bahwa

kemungkinan besar mereka telah memperoleh pendidikan dasar.

Tabel 13 Karakteristik dasar, perbandingan antara mantan Tentara Nasional Aceh (TNA), korban

sipil, dan non korban (khusus pria)

Semua Pria Kelompok Pembanding

Mantan-TNA Sipil Mantan-TNA terhadap

sipil (n=1024) (n=1794)

Usia (rata-rata) 35 40 -6 ***

Penduduk Aceh (%) 94 70 24 ***

Melek Huruf (%) 96 91 5 ***

Pendidikan (%)

Tidak memiliki pendidikan 15 17 -3

Lulus sekolah dasar 40 29 11 ***

Lulus sekolah menengah pertama 29 20 9 ***

Lulus sekolah menengah atas atau lebih tinggi 17 34 -17 ***

*** Signifi kan 99%; ** Signifi kan 95%; * Signifi kan 90%. Tabel reports population means and sample n’s.

Sumber: MSR 2009.

Selama konfl ik, infrastruktur pendidikan banyak menjadi target, di mana pihak yang bertikai

berupaya untuk menghancurkan tempat-tempat persembunyian potensial dan penghancuran yang

infrastruktur pemerintah. Penilaian terhadap kerusakan dan kehilangan (MSR, 2009) memperkirakan

bahwa 49 persen sekolah menengah atas, 47 persen sekolah menengah pertama, 54 persen sekolah

dasar, dan madrasah tradisional (sekolah Islam), dan 74 persen taman kanak-kanak rusak selama konfl ik.

Sekolah-sekolah seringkali ditutup sementara terutama pada saat kekerasan meningkat. Selama enam

bulan setelah kegagalan Perjanjian Penghentian Permusuhan pada bulan Mei 2003, 880 sekolah harus

ditutup (Barron, 2008). Beberapa universitas juga diserang. Sejumlah besar penduduk Aceh meninggalkan

provinsi ini selama periode ini. Czaika dan Kis-Katos (2007), misalnya, memperkirakan bahwa lebih dari

180.000 orang meninggalkan Aceh antara tahun 1999 dan 2002, yang membuktikan bahwa konfl ik

tersebut merupakan faktor penentu dalam migrasi penduduk keluar dari provinsi tersebut. Setelah

pemerintah mendeklarasikan darurat militer di Aceh pada bulan Mei 2003, lebih dari 100.000 penduduk

Aceh meninggalkan wilayah tersebut, di antara mereka terdapat banyak pelajar dan pelaku usaha

(Misbach, 2007). Industri-industri berbasis pertanian dan para pedagang meninggalkan provinsi tersebut

dan ratusan mahasiswa Universitas Syiah Kuala melanjutkan pendidikan mereka di luar Aceh. Namun

demikian, terdapat tanda-tanda bahwa situasi keamanan yang membaik dan peluang-peluang yang

diciptakan melalui upaya rekonstruksi berhasil membawa kembali beberapa pelaku usaha dan tenaga

kerja terampil ke Aceh.30 Upaya rekonstruksi pada gilirannya telah memberikan kontribusi terhadap

makin meningkatnya modal sumber daya manusia di provinsi tersebut. Proyek-proyek rekonstruksi telah

meningkatkan fasilitas pendidikan dan kemampuan para pejabat pemerintah. Sejak bulan Desember

30 Wawancara dengan Kepala Kamar Dagang dan Industri dan para pemimpin perusahaan.

Page 54: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

44Diagnosis Pertumbuhan Aceh

Hasil Sosial yang Rendah

2008, 40.000 guru telah mendapatkan pelatihan selama upaya rekonstruksi.31 Beberapa pelaku

rekonstruksi telah mempekerjakan staf lokal, yang kemungkinan telah menciptakan alih pengetahuan

secara signifi kan.

Ketersediaan tenaga kerja terampil tampaknya bukan hambatan dan tidak terjadi kekurangan

tenaga kerja terampil di provinsi Aceh. Pasar tenaga kerja tampaknya tidak mampu menyerap tenaga

kerja yang telah ada dan hanya terdapat beberapa peluang lapangan kerja untuk para pekerja terampil

di Aceh. Mayoritas angkatan kerja di Aceh (lebih dari 60 persen) bekerja di sektor informal. Pemberi kerja

utama adalah sektor pertanian diikuti oleh sektor perdagangan dan jasa, dengan peluang lapangan kerja

yang terbatas di sektor industri. Pemerintah daerah tampaknya harus menyerap bagian terbesar dari

angkatan kerja terampil,32 karena terbatasnya peluang lapangan kerja di sektor formal bagi para lulusan

sarjana dan lebih dari sepertiga dari semua lulusan universitas mencari peluang kerja di luar provinsi.33

Namun demikian, ketiadaan tenaga kerja terampil saat ini boleh jadi tidak menghambat pertumbuhan,

karena mungkin Aceh berada dalam ekuilibrium pertumbuhan yang cukup rendah, dengan sejumlah

tenaga kerja Aceh yang lebih terampil yang telah meninggalkan provinsi selama terjadinya konfl ik. Kita

mungkin berharap hal ini akan tercermin dalam jumlah tenaga profesional yang bekerja di provinsi,

misalnya dengan menunjukkan jumlah guru dan tenaga profesional di bidang kesehatan yang lebih

rendah. Sebagaimana yang ditunjukkan dalam tabel 12 di bawah ini, tidak terjadi kekurangan tenaga

profesional di Aceh untuk memberikan layanan kesehatan dan pendidikan. Jumlah tenaga profesional di

provinsi Aceh setara dengan rata-rata nasional atau di atas rata-rata dan lebih baik dibandingkan dengan

Sumatera Utara (Tabel 14). Hal ini memberikan dukungan lebih besar terhadap gagasan bahwa tenaga

kerja terampil tersedia dalam jumlah yang memadai. Seiring dengan pertumbuhan provinsi, keterampilan

angkatan kerjanya mungkin menimbulkan kendala lebih besar, tetapi saat ini hal itu tampaknya bukan

merupakan kendala bagi investasi dan pertumbuhan.

Tabel 14 Tenaga profesional dalam bidang kesehatan dan pendidikan

Guru/1000 * (2008)Profesional bidang kesehatan/1000 **

(2007)

NAD 14,84 2,6

Sumatera Utara 14,04 2,3

Sumatera n/a 2,1

Total Nasional 14,98 2,.0

* Termasuk para guru SD, SMP, SMA

** Termasuk para dokter umum, dokter spesialis, nutrisionis, perawat, operator peralatan medis, bidan.

Sumber: Departemen Kesehatan, Departemen Pendidikan, BPS

Selain itu, para pekerja terampil mendapat penghargaan atas keterampilan mereka setara

dengan yang diterima oleh para pekerja di Sumatera (tetapi di bawah rata-rata nasional), yang

menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan yang memerlukan tenaga kerja terampil di Aceh tidak

menghadapi kesulitan untuk mendapatkannya. Hasil pendidikan didefi nisikan sebagai premi upah yang

diterima oleh para karyawan dengan tingkat pendidikan tertentu dibandingkan para karyawan yang

kurang terdidik. Dalam kondisi tidak terpenuhinya kebutuhan akan keterampilan di Aceh, masyarakat

31 Kemajuan Pemulihan di Aceh dan Nias, data dari Pusdatin-RAN Database-BRR di http://www.e-aceh-nias.org/home/default.

aspx?language=EN, diakses pada tanggal 14 April 2009

32 Sebagian besar peluang lapangan kerja untuk para lulusan sarjana tersedia dalam sektor layanan Publik, industri perbankan, dan

jasa. Sebagai gambaran, lebih dari 60.000 lulusan sarjana berkompetisi hanya untuk 6.000 jabatan baik dalam pemerintahan

provinsi dan kabupaten di Aceh pada tahun 2008.

33 Wawancara dengan Ketua Alumni Universitas Syiah Kuala.

Page 55: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

Diagnosis Pertumbuhan Aceh45

Juli 2009

berharap agar hasil pendidikan di Aceh lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain di

Indonesia, yang ditunjukkan oleh premi yang dibayarkan terhadap upah di provinsi tersebut. Tabel 15

menunjukkan perbandingan antara premi-premi upah di Aceh, Sumatera Utara, dan Indonesia secara

keseluruhan: penduduk yang hanya lulus SMA versus penduduk yang kurang berpendidikan, penduduk

yang lulus SMA atau perguruan tinggi versus semua penduduk lain dan penduduk yang telah mengikuti

pendidikan tersier versus semua penduduk lain (lihat Lampiran I untuk rincian). Tujuannya adalah untuk

memperoleh harga perkiraaan (shadow price) dari keterampilan di Aceh, yang berarti seberapa tinggi

perusahaan menghargai keterampilan para pekerjanya. Hasilnya menunjukkan bahwa keterampilan di

Aceh mendapat penghargaan yang sama sebagaimana di Sumatera, tetapi lebih rendah dari penghargaan

di tingkat nasional. Dengan mengendalikan variabel-variabel lain yang juga mempengaruhi upah, seperti

usia, gender atau lokasi, seorang pekerja lulusan SMA atau lulusan pendidikan yang lebih tinggi boleh jadi

berharap untuk memperoleh 39 persen lebih tinggi dibandingkan dengan para pekerja lain di Aceh. Di

Sumatera, premi ini setara dengan 38 persen dan di Indonesia setara dengan 67 persen. Untuk pendidikan

tersier, premi upah adalah 53 persen di Aceh, sementara di Sumatera Utara dan Indonesia mencapai

sebesar masing-masing 61 persen dan 105 persen. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan akan pekerja

dengan pendidikan tersier di Aceh lebih rendah dibandingkan dengan kebutuhan di Sumatera Utara.

Tabel 15 Hasil pendidikan – perkiraan kenaikan upah

Persen

SMA vs. Pendidikan

lebih rendah

SMA dan di atas SMA vs.

Pendidikan Lebih rendah (SMP

dan pendidikan di Bawah SMP )

Pendidikan tinggi vs.

Pendidikan yang lebih

rendah

Aceh 33 39 53

Noth Sumatera 29 39 61

Sumatera 30 38 52

Indonesia 47 67 105

Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan Sakernas, 2008 kecuali untuk Indonesia (Bank Dunia, yang akan datang (b))

Penyediaan tenaga kerja terampil mungkin bukan hambatan utama terhadap pertumbuhan

di provinsi Aceh, tetapi hal itu tidak berarti bahwa ketersediaan keterampilan bukanlah

hambatan bagi penduduk Aceh untuk memperoleh manfaat dari pertumbuhan. Kebutuhan untuk

mendatangka tenaga kerja dalam jumlah besar dari provinsi-provinsi tetangga untuk mengisi pekerjaan

yang memerlukan keterampilan sedang yang tercipta melalui upaya rekonstruksi menandakan bahwa

penduduk Aceh tidak memiliki serangkaian keterampilan yang diperlukan untuk ikut serta dalam pasar

tenaga kerja. Penduduk Aceh yang tinggal di wilayah perdesaan (World Bank, 2008a) menyoroti terjadinya

kekurangan keterampilan dan modal sumber daya manusia sebagai hambatan utama untuk meningkatkan

produktivitas mereka dan melepaskan diri dari kemiskinan. Berbagai keterampilan diidentifi kasi sebagai

kebutuhan untuk meningkatkan produktivitas di wilayah perdesaan, di antaranya penerapan teknologi

perikanan dan pertanian yang makin baik, pengalaman dalam menjalankan pengolahan barang

primer yang sederhana, pemeliharaan peralatan pelayaran atau industri rumah tangga (jahit menjahit,

menganyam tikar, dan membuat roti). Meningkatkan kesesuaian antara penawaran dan permintaan

keterampilan telah diidentifi kasi sebagai bidang pokok untuk memudahkan penciptaan pekerjaan di

Indonesia (World Bank, yang akan datang), yang berfokus pada peningkatan kualitas pelatihan kejuruan

dan penyediaan pembinaan keterampilan bagi para pekerja.

Page 56: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

46Diagnosis Pertumbuhan Aceh

Hasil Sosial yang Rendah

Yang muncul dari analisis ini adalah bahwa walaupun terdapat peluang untuk meningkatkan

penyediaan layanan pendidikan di Aceh, alih-alih kelangkaan pasokan tenaga kerja terampil,

tidak ada cukup permintaan akan tenaga kerja terampil.34 Sebagai akibatnya sejumlah besar

angkatan kerja terampil harus mencari peluang di luar provinsi atau dalam pemerintahan daerah. Di masa

yang akan datang, hal ini dapat berubah seiring dengan perkembangan dan modernisasi yang terjadi

di provinsi. Sektor swasta mulai mengalami kelangkaan keterampilan profesional, dengan keharusan

untuk meningkatkan kesesuaian antara keterampilan yang diperlukan oleh pasar tenaga kerja dengan

yang disediakan oleh lembaga-lembaga setempat. Namun demikian, hal ini tampaknya tidak merupakan

hambatan utama dewasa ini. Para mantan anggota GAM kurang memperoleh kesempatan pendidikan

dibandingkan dengan masyarakat sipil. Untuk menjamin bahwa mereka juga memperoleh manfaat

dari pertumbuhan, mereka harus dilengkapi dengan keterampilan yang diperlukan. Memberikan

penghidupan kepada para mantan anggota GAM juga akan mendukung proses perdamaian dan

memperkuat stabilitas di provinsi.

34 Infl asi upah yang signifi kan bagi para pekerja terampil dan semi terampil selama periode rekonstruksi di Aceh serta masuknya

para pekerja migran dari provinsi lain selama periode yang sama tampaknya bertentangan dengan pernyataan bahwa

ketersediaan tenaga kerja terampil bukanlah sebuah masalah di Aceh. Namun demikian, upaya rekonstruksi, dengan tingkat

pencairan tahunan lebih dari 20 persen dari PDB dan kematian sekitar 167.000 orang, merupakan guncangan berat bagi pasar

tenaga kerja serta perekonomian. Dalam situasi normal (sebelum tsunami dan seiring dengan makin berkurangnya upaya

rekonstruksi), hingga taraf tertentu, pasar tenaga kerja lokal tampaknya mampu memasok serangkaian tenaga kerja terampil

yang diperlukan oleh pasar.

Page 57: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

Diagnosis Pertumbuhan Aceh47

07

Kemungkinan terdapat disinsentif investasi, bukan karena para investor tidak dapat memperoleh

laba, tetapi karena mereka tidak dapat memperoleh penghasilan atas investasi mereka seperti

yang diharapkan. Ini adalah pertanyaan penting karena apabila para pelaku ekonomi tidak dapat

memperoleh penghasilan atas investasi, mereka tidak akan melakukan investasi apa pun. Pertanyaan ini

terlepas dari pertimbangan apakah faktor-faktor pelengkap yang diperlukan — prasarana, tenaga kerja

terampil, dan sebagainya — tersedia bagi perusahaan-perusahaan untuk memungkinkan perusahaan-

perusahaan tersebut memperoleh penghasilan, yang telah dibahas pada bagian sebelumnya. Terdapat

banyak permasalahan yang dapat menghalangi para investor untuk mengambil manfaat dari investasi-

investasi mereka. Masalah-masalah tersebut terjadi apabila perusahaan-perusahaan, walaupun mereka

memperoleh penghasilan, tidak dapat mengambil manfaat dari investasi-investasinya karena terhalangi

oleh mekanisme. Mekanisme-mekanisme tersebut dapat berupa banyak hal, misalnya: tingginya tingkat

korupsi, tingginya pajak (legal maupun ilegal), ketidakpastian pengaturan, kurangnya penegakan hukum,

lemahnya hak-hak kepemilikan harta, atau gagalnya pasar. Semua faktor ini dapat menghalangi para

investor untuk memperoleh bagian penghasilannya dan dengan demikian dapat menurunkan tingkat

investasi. Bab ini akan dimulai dengan menilai kemantapan lingkungan makroekonomi di Aceh. Kemudian

akan ditinjau kualitas keseluruhan dari lingkungan usaha sebelum membahas isu-isu mikroekonomi

khusus yang melandasi lingkungan usaha. Kemudian akan dikaji kemungkinan terjadinya kegagalan pasar

dan bagaimana hal tersebut dapat menghambat pertumbuhan. Akhirnya, bab ini akan ditutup dengan

menjawab pertanyaan tentang apakah hambatan yang mengikat terhadap pertumbuhan terletak pada

masalah rendahnya kemungkinan penghasilan atas investasi.

a. Risiko-risiko MakroekonomiTinjauan makroekonomi di Aceh secara luas berkaitan dengan tinjauan makroekonomi di

Indonesia. Menilik kestabilan makroekonomi Indonesia, hal ini bukanlah hambatan bagi investasi

dan pertumbuhan. Defi sit pemerintah pusat berhasil dipertahankan di tingkat yang sangat rendah

pada tahun 2008, hampir mendekati 0 persen dari PDB, sementara perbandingan utang pemerintah

terhadap PDB menurun drastis beberapa tahun terakhir. Infl asi, setelah meningkat tajam di Indonesia

akibat melonjaknya harga sembako, mulai menurun di semester kedua tahun 2008. Walaupun terdapat

kekhawatiran tentang seberapa kuat perekonomian Indonesia dapat bertahan menghadapi krisis

keuangan saat ini, terdapat kesepakatan di antara sebagian besar pengamat bahwa Indonesia relatif

mampu bertahan dan hanya terdapat sedikit risiko makroekonomi yang dihadapi oleh perekonomian

Indonesia. Situasi makro di Aceh juga tampak seimbang. Setelah beberapa tahun Aceh mengalami

tingkat infl asi yang tinggi akibat program restrukturisasi dan aliran pemasukan dana, tingkat infl asi

Rendahnya Kemungkinan Pengembalian atas Investasi (Appropriability)

Page 58: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

48Diagnosis Pertumbuhan Aceh

Rendahnya Kemungkinan Pengembalian atas Investasi (Appropriability)

provinsi tersebut saat ini telah berada di bawah tingkat infl asi nasional. Angka pengangguran di Aceh

kini hanya sedikit di atas angka pengangguran di tingkat nasional.

Tinjauan fi skal di Aceh diuntungkan oleh adanya sumber-sumber pendapatan khusus provinsi.

Seperti semua pemerintah daerah di Indonesia, pemerintah provinsi dan kabupaten di Aceh banyak

bergantung pada penyaluran dana dari pusat sebagai pendapatan, dan di tingkat kabupaten/kota,

pendapatan dari sumber sendiri hanya mencapai 7,2 persen dari jumlah pendapatan pada tahun 2008.

UU Pemerintahan Aceh (UUPA), yaitu UU No. 11/2006, menentukan penyaluran dana tambahan dalam

bentuk Dana Otonomi Khusus (Dana Otsus) sebesar 2 persen dari Dana Alokasi Umum (DAU) nasional.

Selain itu, provinsi tersebut menerima 70 persen dari pendapatan minyak dan gas yang dihasilkannya.

Walaupun pendapatan bersama dari pengusahaan sumber daya alam menurun karena berkurangnya

persediaan, pendapatan ini, sehubungan dengan Dana Otsus menjamin adanya sumber pendapatan

yang sesuai dan peningkatan belanja bagi pemerintah di tingkat daerah.

Rendahnya kapasitas pemerintah di tingkat daerah menyebabkan timbulnya permasalahan

dalam hal pembelanjaan sumber-sumber daya yang tersedia, dan dapat menghambat pengadaan

prasarana yang sangat dibutuhkan. Dana Otonomi Khusus harus mendanai agenda pembangunan

provinsi karena dana tersebut akan digunakan untuk pengeluaran sosial dan prasarana dan tidak dapat

membiayai administrasi umum pemerintah. Akan tetapi, keterlambatan yang terjadi baru-baru ini dalam

menyetujui anggaran secara tepat waktu telah menimbulkan keraguan tentang kemampuan pemerintah

daerah dalam melaksanakan program-program pembangunan secara keseluruhan. Tanggung jawab antara

pemerintah provinsi dan kabupaten/kota tidak disebutkan dengan jelas, yang seringkali menyebabkan

kebingungan dalam hal pemerintah yang mana yang harus membangun jenis-jenis prasarana tertentu

dan pemerintah mana yang harus membayar biaya pemeliharaannya. Karena pemerintah tingkat daerah

bertanggung jawab atas pengadaan sebagian besar prasarana, hal ini kemungkinan besar menyebabkan

kualitas jalan-jalan tertentu menurun serta menghambat provinsi dalam memperlengkapi dirinya dengan

prasarana listrik yang lebih baik.

b. Lingkungan usahaLingkungan usaha di Indonesia secara keseluruhan cukup rendah: Indonesia berada di peringkat

129 dari 181 negara dalam hal kemudahan usaha di tahun 2009 (Gambar 16).35 Kinerja Indonesia

cukup rendah terutama dalam enam bidang, yaitu: memulai suatu usaha, mempekerjakan pegawai,

mendaftarkan harta milik, membayar pajak, melaksanakan kontrak, dan menutup suatu usaha.

Permasalahan ini kemungkinan besar juga merupakan permasalahan di Aceh, dan beberapa isu seperti

pendaftaran harta milik mungkin lebih parah di provinsi tersebut. Akan tetapi, karena permasalahan

pengaturan ini menyangkut seluruh negeri, sementara tingkat pertumbuhan dan investasi Aceh termasuk

rendah dibandingkan dengan daerah-daerah lain, keadaan ini mengharuskan dilakukannya kajian yang

lebih mendalam lagi tentang lingkungan usaha di Aceh untuk dapat memahami hal yang spesifi k untuk

lingkungan tersebut.

35 Data berikut ini diperoleh dari Doing Business Survey 2009 (Bank Dunia, 2008c), yang meninjau ulang peraturan perundang-

undangan tentang 10 tahap kehidupan usaha. Data ini mengamati peraturan perundang-undangan resmi tetapi tidak menilai

apakan praktik-praktik ilegal seperti korupsi mempengaruhi jalannya usaha.

Page 59: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

Diagnosis Pertumbuhan Aceh49

Juli 2009

Gambar 16 Lingkungan Indonesia untuk menjalankan usaha masih relatif buruk di tahun 2009

Melakukan bisnis 2009

180

160

140

120

100

80

60

40

20

0Singapura Thailand Malaysia Indonesia Filipina Lao PDR Timor-Leste

Sumber: Doing Business 2009

Kerangka pengaturan yang buruk terkait dengan praktik-praktik ilegal yang membebani

usaha-usaha menjadi ciri iklim investasi di Aceh. Penelitian yang dilakukan baru-baru ini (IFC, 2008)

menunjukkan beberapa kekurangan yang bersifat spesifi k dalam lingkungan usaha di Aceh: risiko-risiko

dan ketidakpastian terkait akses lahan, prosedur-prosedur investasi yang rumit, dan kecerdasan pasar yang

kurang memadai. Penelitian tersebut menekankan bahwa pemerintah belum membuat suatu kerangka

pengaturan yang secara khusus kondusif bagi investasi, yang seringkali menyebabkan kebingungan di

kalangan investor dalam interaksi mereka dengan administrasi. Penilaian ini juga memperjelas bahwa

risiko politis terkait dengan kesulitan-kesulitan memulai kembali, pembebanan-pembebanan yang tidak

sah, dan perlindungan aset yang kurang memadai, adalah faktor-faktor penting yang menghambat

investasi.

Pemerintah Aceh sedang merancang sebuah undang-undang investasi yang baru (“Qanun”)

yang seharusnya dapat memberikan kepastian yang sangat diperlukan bagi para investor yang

ada saat ini maupun para calon investor, yang juga mungkin mencakup pengaturan-pengaturan

yang memberatkan. Status otonomi khusus dalam beberapa hal terkadang dikhawatirkan dapat

menimbulkan ketidak jelasan peraturan investasi, dimana bisa saja terjadi perbedaan defi nisi dan

pertentangan diantara tingkat pusat dan daerah. Qanun tersebut masih dibahas di tingkat DPRD Provinsi

pada pertengahan tahun 2009.36 UU tersebut akan menjamin akses ke pasar-pasar dalam negeri maupun

luar negeri bagi usaha-usaha di Aceh, serta hak usaha-usaha tersebut untuk menarik investasi langsung

baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Selanjutnya, UU tersebut akan menjamin kepastian dan

keamanan untuk operasi usaha dan menyederhanakan proses perizinan usaha. Selain itu, UU tersebut akan

menjamin perlakuan yang sama bagi para investor dalam negeri dan luar negeri, sambil “memperhatikan

kepentingan daerah dan nasional”. Rancangan undang-undang tersebut juga memperjelas beberapa

peraturan tentang sewa guna usaha, bangunan dan hak-hak pengguna.37 Akan tetapi, terdapat beberapa

pengaturan yang dapat merugikan dalam rancangan undang-undang tersebut. Misalnya, Pemerintah

Aceh akan mempertahankan hak untuk membuat dan memungut pajak daerah untuk membiayai

kegiatan-kegiatan dinas di luar lingkup peraturan-peraturan keuangan standar yang ditetapkan oleh

pemerintah pusat. Selain itu, beberapa ketentuan dalam UU tersebut yang bertujuan untuk melindungi

perekonomian lokal dapat menghalangi investasi dan pada akhirnya merugikan bagi provinsi tersebut:

para investor tidak diperbolehkan mempekerjakan staf di luar provinsi apabila staf dengan profi l serupa

tersedia di provinsi tersebut, bahan-bahan mentah dan input harus dibeli di Aceh, dan para investor

harus menggunakan sarana pendukung dari provinsi tersebut, apabila memungkinkan.

36 Rancangan UU investasi yang terbaru per tanggal 6/5/09, sumber: DPRD Aceh

37 Sebagai contoh, RUU tersebut menetapkan bahwa: 1) Hak sewa awalnya dapat diberikan untuk 60 tahun, dapat diperpanjang

satu kali untuk 35 tahun untuk perusahaan-perusahaan PMA dan PMDN, dengan ketentuan bahwa usahanya berjalan 2) Hak-

hak Bangunan diberikan untuk 50 tahun, dapat diperpanjang satu kali untuk 30 tahun 3) Hak-hak guna diberikan untuk 45

tahun, dapat diperpanjang satu kali untuk 25 tahun.

Page 60: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

50Diagnosis Pertumbuhan Aceh

Rendahnya Kemungkinan Pengembalian atas Investasi (Appropriability)

Dalam rangka menetapkan faktor-faktor apa yang mempengaruhi kinerja usaha di tingkat mikro,

laporan ini menggunakan survei di tingkat perusahaan dari The Asia Foundation dan KPPOD yang

melibatkan 1.104 perusahaan di semua kabupaten di Aceh. Dengan mengetahui beberapa ciri dasar

dari perusahaan-perusahaan dalam survei tersebut, dapat membantu pemahaman tentang pentingnya

temuan-temuan survei tersebut. Rata-rata besarnya perusahaan-perusahaan yang berpartisipasi dalam

survei tersebut adalah 13 karyawan, dan rata-rata usia perusahaan-perusahaan tersebut adalah 12 tahun,

yang tampaknya cukup mewakili usaha-usaha di Aceh. Gambar di bawah ini menunjukkan bahwa

sektor-sektor yang paling terwakili adalah industri pengolahan dan perdagangan. Karena di Aceh lebih

dari separuh penduduknya bekerja di sektor pertanian, survei tersebut hanya mewakili perusahaan-

perusahaan yang mempekerjakan sebagian tenaga kerja dan, oleh sebab itu, temuan-temuan dari survei

tersebut perlu untuk dikualifi kasi. Akan tetapi, sebagian besar temuan kemungkinan masih relevan

sepanjang sebagian besar hambatan yang mempengaruhi perusahaan-perusahaan di sampel survei

tersebut kemungkinan besar juga mempengaruhi semua perusahaan di Aceh.

Gambar 17 Komposisi sektoral dari sampel survei The Asia Foundation / KKPOD

0.54 0.63 1.09 1.09 1.63 1.993.99 3.99 4.17 4.71 6.07 6.97

17.39

45.74

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

50%

Jasa

kes

ehat

anda

n so

sial

Pert

amba

ngan

dan

peng

galia

n

Pert

ania

n,

perb

urua

n

Perik

anan

Bisn

is y

ang

tidak

di

jela

skna

Tran

spor

tasi

dan

guda

ng

Ako

mod

asi

dan

rest

oran

Bang

unan

Publ

ik, s

osia

l, dl

l

peru

mah

an,

peny

ewaa

n

brok

er k

euan

gan

Jasa

pen

didi

kan

Perd

agan

gan

dan

penj

uala

n ec

eran

Pem

rose

san

indu

stri

Sumber: The Asia Foundation/ KPPOD dan perhitungan staf Bank Dunia.

Kedua permasalahan yang tampaknya paling mempengaruhi kinerja perusahaan adalah perilaku

pemerintah kabupaten dan biaya-biaya transaksi yang dihadapi. Serangkaian regresi di tingkat

perusahan digunakan untuk memahami permasalahan apa, di antara banyak permasalahan yang dibahas

dalam survei tersebut, yang paling mempengaruhi perusahaan-perusahaan. Variabel-variabel tak bebas

yang dicoba adalah dua ukuran kinerja perusahaan yang berbeda: angka penjualan per karyawan dan

investasi per karyawan. Variabel-variabel bebas adalah variabel-variabel berpasangan yang menunjukkan

apakah suatu perusahaan yang melaporkan masing-masing permasalahan tergolong signifi kan atau

sangat signifi kan. Permasalahan tersebut meliputi: akses ke lahan dan kepastian hukum, izin usaha,

interaksi pemerintah kabupaten dengan para pengusaha, kapasitas dan integritas bupati/walikota, biaya-

biaya transaksi, prasarana, keamanan dan penyelesaian konfl ik (lihat Lampiran II). Tujuan dari regresi-regresi

ini adalah untuk mengetahui permasalahan mana yang memiliki dampak paling besar terhadap kinerja,

dengan asumsi bahwa para responden dapat menilai secara akurat sejauh mana permasalahan tersebut

mempengaruhi mereka. Dua variabel yang terus-menerus memiliki dampak negatif yang signifi kan

terhadap kinerja aktual perusahaan adalah “interaksi pemerintah kabupaten dengan para pengusaha” dan

“biaya-biaya transaksi”. Variabel yang pertama mencakup semua permasalahan yang berkaitan dengan

perilaku pemerintah daerah terhadap sektor swasta (kemampuan dalam hal-hal yang berkaitan dengan

sektor swasta, kemauan untuk membantu, persaingan tidak sehat, perilaku pemangsa, nepotisme) dan

variabel yang kedua, semua jenis biaya transaksi yang sah maupun tidak sah yang dihadapi oleh usaha-

Page 61: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

Diagnosis Pertumbuhan Aceh51

Juli 2009

usaha (pajak-pajak legal dan ilegal, bea, uang “keamanan”). Ini membuktikan bahwa usaha-usaha mungkin

dirugikan akibat perilaku pemangsa yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan kelompok-kelompok

pelaku kejahatan. Menariknya, beberapa hambatan yang seringkali disebut (seperti ketersediaan lahan,

prasarana) tidak signifi kan selama pelaksanaan.

Aspek lingkungan usaha yang paling mempengaruhi investasi perusahaan adalah “biaya-biaya

transaksi”, yang dipahami sebagai pajak-pajak sah dan tidak sah yang dibayarkan kepada entitas

resmi maupun tidak resmi. Analisis survei tersebut kemudian meninjau apakah usaha-usaha yang

melaporkan bahwa setiap permasalahan ini signifi kan sebenarnya tidak banyak melakukan investasi,

dalam hal investasi sebagai persentase penjualan, dibandingkan dengan usaha-usaha yang lain (lihat

Lampiran III). Ternyata hanya dalam hal “biaya-biaya transaksi” terletak perbedaan yang paling signifi kan

antara perusahaan-perusahaan yang terkena dampak dengan yang tidak: badan-badan usaha yang

melaporkan bahwa biaya-biaya tersebut merupakan beban melakukan investasi rata-rata sebesar 6

persen dari nilai penjualan mereka pada tahun 2007, jauh berbeda dibandingkan usaha-usaha lainnya,

yang melakukan investasi sebesar 21 persen dari nilai penjualan mereka. Perbedaan ini signifi kan pada

tingkat 5 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pajak legal dan ilegal merupakan hambatan yang signifi kan

bagi usaha-usaha, dan di Aceh, pajak ilegal mungkin merupakan inti permasalahan. Akan tetapi, survei

tersebut tidak menyebutkan jenis biaya transaksi, pajak legal atau ilegal mana yang menimbulkan masalah

terbesar. Bagian berikutnya menyelidiki lebih lanjut tentang permasalahan pajak dan biaya-biaya ilegal,

pertama dengan membahas tentang korupsi, isu yang seringkali mengemuka terkait dengan lingkungan

usaha di Aceh.

c. KorupsiTerdapat pemahaman yang luas bahwa korupsi terjadi meluas sehingga mempengaruhi cara

sebagian besar perusahaan dan perorangan dalam menjalankan usaha mereka di Aceh, tetapi

data survei menunjukkan bahwa korupsi bukan masalah besar di Aceh dibandingkan dengan di

wilayah lain Indonesia. Survei yang dilakukan oleh Transparency International menempatkan Banda

Aceh pada peringkat ketiga sebagai kota yang paling rendah tingkat korupsinya di antara 50 kota di

Indonesia, menurut indeks persepsi korupsi38 yang ditetapkan dengan melakukan survei terhadap para

pengusaha (Tabel 16). Persepsi tentang upaya-upaya pemerintah daerah dalam memberantas korupsi

cukup tinggi. Yang cukup membesarkan semangat adalah fakta bahwa Aceh mengalami peningkatan

skor yang signifi kan sejak survei terakhir yang dilakukan pada tahun 2006. Bidang di mana Aceh

mendapat skor paling buruk adalah pemberian kontrak pemerintah, yang membenarkan tanggapan-

tanggapan para pelaku dari sektor swasta yang diwawancarai untuk laporan ini. Hal ini menciptakan citra

Aceh yang berbeda dengan citra korupsi yang biasanya ditampilkan. Hal ini menunjukkan bahwa usaha-

usaha mungkin tidak perlu membayar para pejabat pemerintah untuk sebagian besar layanan yang

mereka perlukan, dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Nilai yang cukup tinggi untuk

Banda Aceh dalam hal korupsi ini bukan berarti bahwa korupsi bukanlah masalah. Indonesia menduduki

peringkat 126 dari 180 negara dalam hal korupsi (peringkat 1 adalah negara yang paling rendah tingkat

korupsinya) dalam suatu survei yang diadakan oleh Transparency International pada tahun 2008, yang

mengindikasikan bahwa korupsi adalah fenomena yang merata di Indonesia. Berdasarkan hal tersebut,

walaupun laporan ini tidak berpendapat bahwa tidak ada masalah korupsi di Aceh, disini diuraikan bahwa

laporan tersebut tidak dapat menjelaskan tentang tingkat investasi yang rendah di provinsi tersebut.

38 Transparency International, “Indeks persepsi korupsi dan indeks suap di Indonesia tahun 2008”. Indeks ini mencakup ukuran

persepsi Suap dalam hal-hal berikut ini: Mengajukan Izin Usaha / Prosedur Utilitas Umum / Pembayaran Pajak Tahunan /

Pemberian Kontrak Pemerintah / Memperoleh Putusan Pengadilan yang Menguntungkan / Kebijakan, Hukum, Peraturan yang

Mempengaruhi / Mempercepat Proses Birokrasi

Page 62: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

52Diagnosis Pertumbuhan Aceh

Rendahnya Kemungkinan Pengembalian atas Investasi (Appropriability)

Tabel 16 Indeks persepsi korupsi

Peringkat Kota (n=jumlah responden dari kalangan pengusaha) CPI

1 Yogyakarta (n=44) 6,43

2 Palangkaraya (n=31) 6,1

3 Banda Aceh (n=30) 5,87

30 Ambon (n=31) 4,32

50 Kupang (n=44) 2,97

Sumber: Transparency International, indeks persepsi korupsi Indonesia tahun 2008.

Catatan: 1 berarti tingkat korupsi paling rendah, 50 berarti tingkat korupsi paling tinggi.

Mungkin terdapat bentuk-bentuk korupsi lainnya yang berkaitan dengan proses tender umum

di provinsi tersebut, di mana bukti-bukti berdasarkan pengalaman menunjukkan bahwa secara

sistematis usaha-usaha harus membayar suap apabila mereka melakukan penawaran untuk

kontrak-kontrak pemerintah. Seringkali perusahaan-perusahaan yang menjadi pemenang tender

untuk suatu proyek pemerintah di Aceh harus membayar “bea”, yaitu “jatah pimpro”, kepada para pejabat

pemerintah. Jumlah bea ini biasanya mewakili 5-10 persen dari nilai proyek. Kemungkinan masalah lainnya

dalam proses tender adalah “intat linto”, di mana para penawar berpura-pura bersaing tetapi sebenarnya

mereka berkolusi dalam menyusun proposal. Para pimpinan usaha membenarkan bahwa praktik-praktik

ini banyak dilakukan di Aceh dan masyarakat usaha setempat mengetahuinya.39 Hubungan patronage

antara pemerintah dan GAM sejak dimulainya konfl ik atas alasan keamanan diri terus berjalan. Terdapat

indikasi bahwa sebagain besar proyek pemerintah menggunakan hubungan patronage ini bahkan

intimidasi terhadap panitia tender.

Korupsi di Aceh mempengaruhi efektivitas belanja pemerintah. Korupsi dalam proses tender dapat

mempengaruhi efektivitas belanja pemerintah. Hal ini dapat mempengaruhi investasi melalui prasarana

yang kurang memadani. Hal ini juga dapat menyebabkan kelemahan-kelemahan dalam lingkungan

pengaturan, seperti pengawasan proses tender kontrak, menaikkan biaya dan menghalangi perusahaan-

perusahaan dalam memasuki pasar. Bukti berdasarkan pengalaman menunjukkan bahwa para mantan

pejuang GAM memainkan peran yang semakin penting di sektor-sektor dengan kemungkinan yang

besar untuk memungut iuran, seperti konstruksi, penebangan hutan atau penambangan ilegal (Aspinall,

2009a).

Mekanisme sektor konstruksi merupakan contoh dari kekurangan sistem perlindungan

(patronage) dan inefi siensi yang dapat ditimbulkannya. Banyak kontraktor lokal, dengan keahlian

dan modal yang terbatas, mulai beroperasi pasca tsunami dan berharap dapat memperoleh manfaat

dari upaya rekonstruksi, tetapi terbatas hanya dalam proyek-proyek kecil dikarenakan kapasitas mereka

yang terbatas. Sebagian besar proyek kecil terindikasi diberikan pada kontraktor-kontraktor lokal yang

terhubung dengan GAM. Sedangkan kontrak-kontrak besar sebagian besarnya dimenangkan oleh

perusahaan-perusahan lebih besar yang bukan berasal dari Aceh. Akibat dari segmentasi ini adalah

kurangnya persaingan. Perusahaan-perusahan lokal tidak terdorong untuk meningkatkan produktivitas

mereka karena diberi jaminan sekumpulan kontrak-kontrak kecil. Sistem perlindungan pada gilirannya

akan memperbesar penghalang masuknya usaha-usaha yang tidak dijalankan oleh orang-orang dengan

koneksi politik yang tepat. Akibatnya, potensi investasi dan semua pengalihan teknologi yang terkait

seringkali gagal terwujud di daerah tersebut.

Proses tender untuk pengadaan barang dan jasa umum seharusnya tidak digunakan sebagai

“imbalan” terhadap para pihak yang dapat mengganggu perdamaian. Membiarkan pihak illegal

(tidak resmi) memungut iuran dari kegiatan-kegiatan ekonomi melalui korupsi dapat menjadi cara

memberikan imbalan terhadap para pihak yang dapat menggangu perdamaian dengan memastikan

39 Wawancara dengan para pengusaha dan para pimpinan asosiasi usaha, Banda Aceh, Januari 2009.

Page 63: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

Diagnosis Pertumbuhan Aceh53

Juli 2009

bahwa mereka memiliki kepentingan dalam stabilitas provinsi tersebut. Akan tetapi walaupun hal ini

mungkin benar dalam jangka pendek, dalam jangka panjang kemungkinan besar hal ini tidak dapat

bertahan. Pemungutan iuran oleh sekelompok kecil orang dapat menghalangi investasi dan kegiatan

ekonomi yang dilakukan oleh para pelaku ekonomi lainnya, dan menyebabkan penurunan ekuilibrium

angka pertumbuhan. Pertumbuhan dengan basis yang lebih luas dan lebih inklusif kemungkinan

menguntungkan masyarakat secara keseluruhan, termasuk para pihak yang mungkin menjadi

pengganggu, yang menjamin dukungan jangka panjang mereka terhadap proses perdamaian dengan

cara yang lebih efektif. Bagian berikut ini memberi bukti lebih lanjut tentang batas-batas suatu strategi

yang menggunakan kontrak-kontrak pemerintah dalam mempertahankan perdamaian dan stabilitas.

d. Biaya-biaya Transaksi: Pajak dan Iuran KeamananPajak-pajak dan retribusi lokal, walaupun menjadi hambatan pertumbuhan di sejumlah sektor

tertentu, tergolong relatif rendah dan kecil kemungkinannya hal tersebut menghambat

pertumbuhan dan investasi di provinsi secara keseluruhan. Sehubungan dengan pajak legal

dan retribusi lokal, setelah adanya desentralisasi di awal dekade, telah terdapat tren yang jelas dalam

peningkatan pajak dan bea lokal, dengan adanya sektiar 6.000 pajak dan bea lokal baru yang dikenakan

oleh pemerintah daerah dalam lima tahun pertama desentralisasi (Lewis dan Suharnoko, 2008). Walaupun

terdapat proliferasi pajak dan bea lokal ini, tampaknya pajak dan bea lokal tersebut merupakan bagian

biaya yang relatif rendah (kurang dari 2 persen) dan lebih dari 80 persen perusahaan menganggap pajak-

pajak dan retribusi tidak terlalu memberatkan. Pajak-pajak dan retribusi lokal tampaknya ditargetkan

pada sektor-sektor yang berkembang (mis. kopi, teh, hasil-hasil hutan), yang dapat menurunkan insentif

untuk berinvestasi di sektor-sektor tersebut. Transportasi dipengaruhi terutama oleh retribusi lokal untuk

penggunaan jalan, pelintasan batas atau stasiun-stasiun penimbangan (KPPOD dan The Asia Foundation,

2008). Fakta bahwa, secara keseluruhan, pajak-pajak dan retribusi lokal tidak terlalu memberatkan di Aceh

juga tercermin dari pandangan-pandangan para calon investor (IFC, 2008), yang mana para investor

cukup terdorong oleh reformasi di tingkat nasional. Akan tetapi, mereka juga menyuarakan kekhawatiran

bahwa Status Otonomi Khusus Aceh dapat digunakan untuk mengenakan pajak-pajak dan retribusi

tambahan (mis. tambahan-tambahan biaya untuk minyak kelapa sawit yang diproduksi di provinsi

tersebut). Secara keseluruhan, tampaknya pajak-pajak dan retribusi lokal tersebut bukan merupakan

hambatan pertumbuhan, walaupun dalam beberapa keadaan tertentu (mis. transportasi) telah menjadi

semakin bermasalah. Dengan demikian, laporan ini berpendapat bahwa pajak-pajak ilegal atau biaya-

biaya keamanan tambahan yang harus ditanggung oleh perusahaan-perusahaan di Aceh, dengan

adanya ketidakpastian tentang biaya-biaya tersebut, menjadi lebih bermasalah dan kemungkinan besar

merupakan hambatan yang mengikat terhadap pertumbuhan.

Tampaknya kecil kemungkinan bahwa di Aceh akan kembali terjadi konfl ik bersenjata, tetapi

peristiwa-peristiwa kekerasan masih lazim terjadi dan dunia usaha masih menganggap bahwa

provinsi ini tidak aman, yang dapat menjadi penghalang masuknya investasi swasta. Terjadi

asimilasi secara luas dalam proses perdamaian di antara para mantan pimpinan GAM karena banyak di

antara mereka diangkat menduduki jabatan pemerintah atau menjalankan usaha yang menguntungkan.

Akan tetapi, banyak di antara para pengikutnya yang tidak dapat melakukan dan mungkin merasa

bahwa mereka tidak menerima keuntungan dari suksesnya perdamaian (Apsinall, 2009b; MSR, 2009).

Akibatnya, kadangkala mereka menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencari nafkah. Dalam jangka

waktu dua tahun mulai bulan Oktober 2006 hingga September 2008, tercatat 588 peristiwa kekerasan

yang telah terjadi.40 Peristiwa-peristiwa tersebut mengacam keamanan perorangan dan usaha, tetapi

berkemungkinan kecil untuk meningkat menjadi terulangnya konfl ik.

40 Bank Dunia, data Tim Konfl ik dan Pembangunan.

Page 64: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

54Diagnosis Pertumbuhan Aceh

Rendahnya Kemungkinan Pengembalian atas Investasi (Appropriability)

Sebahagian besar para mantan pejuang GAM hidup dalam sektor-sektor ekonomi yang tertinggal,

seperti pertanian. Survei Reintegrasi dan Penghidupan Aceh (Aceh Reintegration and Livelihoods Survey

atau ARLS) menunjukkan bahwa para mantan pejuang Tentara Negara Aceh (TNA) memiliki kemungkinan

lebih besar dibandingkan para penduduk sipil untuk memperoleh pendapatan dari menanam padi atau

menjadi buruh tani upahan, dan memiliki kemungkinan lebih kecil untuk memperoleh pendapatan

dari pekerjaan-pekerjaan seperti pegawai negeri, guru atau pedagang (Tabel 17). Pekerjaan-pekerjaan

pertanian ini, yang sangat diandalkan oleh para mantan pejuang GAM adalah pekerjaan-pekerjaan

dengan upah yang rendah. Mungkin tampaknya mengejutkan bahwa keadaan ekonomi para mantan

pejuang tidak lebih baik, mengingat luasnya keyakinan tentang jaringan hubungan yang erat di antara

para mantan pejuang GAM dan nepotisme yang terjadi di provinsi tersebut. Akan tetapi, Tabel 18

menunjukkan bahwa di antara para mantan pejuang GAM, para pejabat mempertahankan hubungan

yang lebih erat dengan para mantan pejuang GAM dibandingkan dengan mereka yang bukan pejabat.

Hal ini kemungkinan besar mengindikasikan bahwa para pejabat GAM memiliki kemungkinan lebih

besar untuk mendapat manfaat dari koneksi mereka dengan GAM dan menjadi sukses, misalnya dengan

memperoleh kontrak-kontrak konstruksi melalui jaringan ini, sementara sebagian besar mantan pejuang

GAM yang bukan pejabat harus membanting tulang untuk mencari nafkah. Akibatnya, upaya-upaya yang

menguntungkan pembangunan pertanian tidak hanya akan membantu masyarakat Aceh yang paling

miskin, tetapi juga menjangkau banyak mantan pejuang GAM, dengan demikian memberikan kontribusi

untuk stabilitas provinsi tersebut.

Tabel 17 Jenis penghidupan (khusus pria)

Semua Pria Penduduk SipilKelompok-kelompok

Pembanding

TNAPenduduk

SipilKorban Non-korban

Mantan

TNA

terhadap

penduduk

sipil

Korban

terhadap

non-korbanJenis Penghidupan (%): (n=1024) (n=1794) (n=764) (n=1030)

Petani padi di sawah 22 17 18 16 6 *** 2

Buruh non-tani harian 19 18 20 17 1 3

Pedagang 9 13 11 14 -4 ** -3

Buruh tani harian 10 6 7 5 4 *** 2

Pegawai negeri 1 4 3 5 -4 *** -1

Tenaga kerja terampil lainnya 3 4 4 4 -1 * 0

Petani kopi 2 4 4 5 -2 -1

Karyawan sektor swasta 3 4 3 4 -1 -1

Guru 0 2 2 3 -2 *** -1

Tenaga kerja tidak terampil lainnya 4 3 2 5 1 -3 ***

Petani sayuran/rempah-rempah 5 3 4 3 1 1

*** Signifi kan pada 99%; ** Signifi kan pada 95%; * Signifi kan pada 90%. Tabel tersebut melaporkan rata-rata populasi dan sampel n

populasi. Termasuk jenis penghidupan yang dilaporkan sebagai kegiatan utama oleh sedikitnya tiga persen dari populasi.

Source: MSR 2009.

Page 65: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

Diagnosis Pertumbuhan Aceh55

Juli 2009

Tabel 18 Perbandingan kawan dan mitra usaha di kalangan mantan pejuang GAM (%)

Korban Konfl ik Anggota KPA Mantan TNA IDP Returnee Pria (n=1,024) 61 57 61 1 10

Wanita (n=51) 57 35 47 2 18

Pejabat (n=30) 62 76 83 7 10

Non-Pejabat (n=1,045) 61 56 60 1 10

Tahanan (n=97) 64 40 54 1 12

Korban Konfl ik (n=800) 69 57 61 1 13

Non-Korban Konfl ik (n=280) 38 56 61 2 3

Perbedaan

Pria vs. Wanita Mantan TNA 4 22* 14 -1 -7

Pejabat vs. Non-Pejabat 1 20* 22** 6 0

Korban Mantan TNA vs. Non 30*** 1 -1 -1 10***

*** Signifi kan pada 99% ** Signifi kan pada 95% * Signifi kan pada 90%. Tabel melaporkan rata-rata populasi dan perbedaan dalam

rata-rata tersebut.

Sumber: MSR 2009

Praktik pemungutan pajak-pajak ‘ilegal’ berkembang selama konfl ik dan terus berlanjut hingga

hari ini. Selama tahun-tahun konfl ik, GAM membentuk suatu pemerintahan berstruktur paralel yang

dikembangkan sangat baik dan sangat teratur. Pajak-pajak ilegal dikenakan oleh GAM dan angkatan

bersenjata selama konfl ik (Olken dan Barron, 2007; Schultz, 2004; ICG, 2001). Usaha-usaha legal dan

ilegal juga berkembang selama konfl ik, sehingga memungkinkan penarikan iuran yang cukup besar

(McCulloch, 2006). Sistem-sistem tersebut berlanjut sampai periode pasca konfl ik, dan beberapa mantan

pejuang masih melakukan kegiatan semacam ini, melakukan ancaman dan kadangkala tindak kekerasan

untuk menarik pajak dari orang dan usaha serta menggunakan tekanan untuk memperoleh kontrak-

kontrak pemerintah, kendali atas akses ke lahan dan penyelesaian konfl ik setempat (MSR, 2009).

Peristiwa-peristiwa kekerasan yang paling parah sejak MoU cenderung terjadi di kabupaten-

kabupaten di mana perusahaan-perusahaan memiliki kinerja yang rendah Gambar 18

menunjukkan jumlah peristiwa-peristiwa kekerasan yang terjadi di kabupaten (sumbu X) terhadap porsi

usaha di kabupaten tersebut yang telah mengalami kenaikan penjualan per karyawan pada tahun 2006-

07 (sumbu Y), dengan menggunakan survei TAF/KPPOD. Gambar tersebut menunjukkan hubungan yang

melandai turun, berarti bahwa kabupaten-kabupaten yang mengalami kekerasan lebih banyak cenderung

memiliki lebih sedikit jumlah perusahaan yang kinerjanya baik dan hubungan ini signifi kan pada tingkat

10 persen (lihat Lampiran IV untuk hasil-hasil regresi). Hal itu tidak menciptakan hubungan sebab-akibat

di antara keduanya dan mungkin terdapat faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi kedua parameter

tersebut. Meskipun demikian, cukup intuitif bahwa gejolak-gejolak kekerasan dapat membawa dampak

negatif terhadap kinerja usaha dan keputusan-keputusan investasi.

Page 66: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

56Diagnosis Pertumbuhan Aceh

Rendahnya Kemungkinan Pengembalian atas Investasi (Appropriability)

Gambar 18 Kinerja perusahaan dan peristiwa-peristiwa kekerasan, per kabupaten

0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.8

0.9

0 10 20 30 40 50Jumlah insiden kekerasan, 2005-06

Bagi

an d

ari p

erus

ahaa

n ya

ng te

lah

men

ingk

atka

n pe

njua

lan

mer

eka

per

peke

rja ta

hun

2006

-07

Sumber : Survei TAF/KPPOD, Bank Dunia

Pemerasan dan masalah keamanan menyebabkan tambahan-tambahan biaya dan ketidakpastian

usaha di Aceh yang menghambat investasi dan pertumbuhan. Kedua permasalahan tersebut

berkaitan karena kelompok ilegal (preman) yang biasanya menggunakan ancaman kekerasan untuk

memaksa perusahaan membayar biaya “keamanan”. Pemerasan ilegal dan masalah keamanan dianggap

sebagai faktor penghambat yang signifi kan oleh usaha-usaha: 9,3 persen dari usaha-usaha melaporkan

bahwa masalah keamanan dan penyelesaian konfl ik merupakan faktor penghambat di Aceh, dibandingkan

dengan 4 persen di provinsi-provinsi lainnya.41 Sementara itu, 23,4 persen usaha-usaha melaporkan

bahwa mereka membayar uang lebih untuk iuran keamanan tambahan. Para mantan pejuang GAM

dan kelompok-kelompok kejahatan lainnya kadangkala menggunakan kekerasan untuk mencari nafkah,

yang menciptakan rasa tidak aman dan ketidakpastian di provinsi tersebut (ICG, 2009). Mereka sering

menggunakan paksaan untuk memungut secara paksa iuran dari usaha-usaha. Usaha-usaha di Aceh

melaporkan bahwa mereka harus membayar para mantan pejuang GAM ketika mereka menjalankan

usaha di provinsi tersebut, bahkan di ibukota provinsi, yaitu Banda Aceh.42 Di daerah-daerah pedesaan,

para mantan pejuang GAM memungut bea melalui pengendalian “akses ke lapangan”, yang mereka

peroleh setelah kesepakatan perdamaian. Usaha-usaha yang ingin menetap harus membayar iuran rutin

kepada GAM atau kelompok ilegal (preman) lainnya agar diizinkan beroperasi. Seringkali tidak begitu

jelas kepada organisasi atau pihak mana iuran ilegal tersebut harus dibayarkan. Akibatnya, kadangkala

walaupun iuran tersebut telah dibayarkan, perusahaan-perusahaan masih diancam karena mereka tidak

membayar iuran kepada orang-orang yang tepat. Situasi semacam itu mempersulit usaha-usaha untuk

dapat beroperasi di Aceh karena menambah ketidakpastian pada informalitas dan rasa tidak aman.

Diagnosa ini mengidentifi kasi adanya kekerasan yang terus-menerus terjadi dan tingginya

tingkat ‘pajak’ tidak resmi yang ilegal sebagai faktor-faktor penghambat utama bagi investasi

dan pertumbuhan. Kedua faktor tersebut berkaitan erat. Kekerasan, atau ancaman kekerasan, seringkali

merupakan cara untuk memungut iuran ilegal. Dengan demikian, untuk mengatasi kedua permasalahan

tersebut kembali diperlukan kekuatan dan ketegasan negara dalam menetapkan pajak dan penggunaan

kekuasaan. Hasil dari keadaan yang kurang sempurna ini mengakibatkan meningkatnya kekerasan dan

berlanjutnya penegasan kekuasaan dari kelompok-kelompok di luar proses politik formal. Pada akhirnya

hal ini akan menyebabkan meningkatnya persepsi di antara para calon investor bahwa terdapat potensi

berkembangnya konfl ik. Mendorong investasi mengharuskan diputuskannya lingkaran setan (yang

terkadang diwarnai dengan kekerasan) intimidasi, pajak ilegal, dan (kemungkinan) berkembangnya

konfl ik.

41 KPPOD dan The Asia Foundation (2008). The Asia Foundation dan KPPOD telah melaksanakan survei serupa di semua provinsi

di Indonesia, yang memungkinkan perbandingan lintas provinsi.

42 Wawancara dengan para pengusaha dan para pimpinan asosiasi usaha, Banda Aceh, Januari 2009.

Page 67: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

Diagnosis Pertumbuhan Aceh57

Juli 2009

Peningkatan kapasitas kepolisian dalam penyelidikan dan penyelesaian kasus-kasus tindak

kejahatan sangat diperlukan untuk memperkuat supremasi hukum (rule of law). Meski tidak

mudah untuk melakukan hal ini, para pembuat undang-undang dan pemangku kebijakan memiliki

beberapa alat yang potensial dengan pendekatan langsung dan tidak langsung. Pertama, penting untuk

memperkuat rule of law. Hal ini dilakukan dengan meningkatkan kinerja kepolisian. Apabila para pelaku

tindak kejahatan, termasuk kekerasan dan pemerasan ditangkap dan dijatuhi hukuman, perhitungan-

perhitungan biaya-manfaat dari mereka yang turut serta dalam tindakan-tindakan tersebut dapat berubah.

Saat ini di Aceh, pihak kepolisian memiliki kapasitas yang terbatas untuk mengadakan penyelidikan yang

efektif terhadap tindak kejahatan. Sampai saat ini, banyak dukungan yang diterima oleh kepolisian di

Aceh yang lebih berkaitan dengan permasalahan yang lebih “lunak”, seperti peningkatan pengetahuan

tentang hak-hak asasi manusia dan metode-metode penentuan kebijakan di tingkat masyarakat. Hal

ini dianggap dapat membangun legitimasi kepolisian di mata warga biasa di Aceh, dengan demikian

meningkatkan hubungan dan kepercayaan antara negara dan masyarakat. Hal ini penting, akan tetapi

legitimasi kepolisian lebih mungkin ditingkatkan apabila mereka dapat menangkap para pelaku

kejahatan dan tindak-tindak kekerasan. Meningkatkan kemampuan penyelidikan memerlukan pelatihan

dan metode-metode peningkatan kemampuan lainnya. Akan tetapi, tujuan tersebut juga memerlukan

peningkatan sumber-sumber daya yang dimiliki oleh kepolisian: dengan mempekerjakan para petugas

kepolisian yang lebih banyak dan lebih baik, dan memberikan kepada mereka peralatan fi sik agar dapat

melaksanakan pekerjaannya dengan baik. Tujuan tersebut juga memerlukan tekad yang kuat—dari para

petugas polisi senior di Aceh dan Jakarta, dan para politisi senior di Aceh—untuk dapat mencapai hasil-

hasil yang baik.

Sistem peradilan yang kuat dan profesional adalah elemen kunci lainnya untuk memperkuat rule of law di provinsi tersebut. Menangkap mereka yang terlibat dalam pemerasan dan kekerasan tidaklah

cukup. Sistem peradilan di Aceh juga perlu diperkuat, sehingga mereka yang ditahan, apabila terbukti

bersalah, dijatuhi hukuman. Terdapat kelemahan-kelemahan yang signifi kan dalam sistem peradilan

formal di Aceh, termasuk kurangnya kemampuan dan, kadangkala, praktik ‘keadilan orang kaya’ di mana

uang dapat menentukan putusan pengadilan. Membangun suatu sistem peradilan yang kuat dan

profesional memerlukan peningkatan kapasitas, sumber-sumber daya tambahan dan kemauan politik

(political will). Tujuan tersebut juga mungkin memerlukan digalangnya ‘tuntutan’ para warga untuk sistem

yang lebih efektif dan tidak memihak. Hal ini, sampai pada tahap tertentu merupakan masalah nasional

yang tidak dapat diselesaikan di Aceh saja tetapi para otoritas lokal dapat mendukung sistem peradilan

di provinsi, dan memperkecil hambatan-hambatan yang ditimbulkannya dalam memerangi pemerasan

dan tindakan-tindakan ilegal.

Selain berurusan langsung dengan tindak-tindak kejahatan, mengatasi akar permasalahan dari

kejahatan-kejahatan tersebut juga akan meningkatkan situasi keamanan di Aceh. Intervensi

tidak langsung yang menangani ‘penyebab-penyebab’ mendasar dari kejahatan dan kekerasan juga

diperlukan. Telah lama diakui bahwa para mantan pejuang GAM seringkali menghadapi tantangan-

tantangan tertentu dalam beradaptasi dengan kehidupan sebagai masyarakat sipil, termasuk dalam

mencari pekerjaan (Tajima 2009). Pengangguran, atau jenis pekerjaan tidak memuaskan ambisi-ambisi

sebelumnya dari para mantan pejuang GAM tersebut dapat memicu para mantan pejuang GAM

untuk menggunakan cara-cara kekerasan dan kejahatan (Collier 1994). Dengan demikian, perlu untuk

mengembangkan program-program dan strategi-strategi untuk membantu para mantan pejuang GAM

dalam memperoleh pekerjaan.

Strategi-strategi yang komprehensif untuk mendukung pertumbuhan dan pembangunan

perekonomian di daerah-daerah terdampak konfl ik dapat lebih bermanfaat daripada program-

program yang hanya menargetkan para mantan pejuang GAM. Dalam banyak konteks pasca konfl ik,

bantuan reintegrasi yang ditargetkan disediakan untuk tujuan ini. Para mantan pejuang diberi uang tunai

dan bentuk-bentuk dukungan lainnya seperti pembinaan dan pelatihan. Di Aceh, cara itu juga pernah

Page 68: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

58Diagnosis Pertumbuhan Aceh

Rendahnya Kemungkinan Pengembalian atas Investasi (Appropriability)

dicoba (Barron dan Burke, 2008). Akan tetapi, dampak-dampaknya terbatas. Para mantan pejuang yang

telah menerima bantuan reintegrasi tidak lagi atau berkemungkinan kecil untuk memiliki pekerjaan saat

ini dibandingkan dengan mereka yang tidak menerima bantuan tersebut, walaupun faktanya mereka

yang menerima bantuan mungkin memiliki tingkat aset yang lebih tinggi di pada saat perang berakhir

(MSR, 2009). Pemberian bantuan dengan sasaran perorangan kepada para mantan pejuang GAM juga

menimbulkan kecemburuan dan ketegangan, dan telah menciptakan suatu “mentalitas merasa berhak”

yang dalam beberapa kasus telah menghalangi upaya reintegrasi sosial dan ekonomi yang lebih

mendalam (Barron, 2009). Pendekatan-pendekatan yang ditargetkan secara geografi s, yang bertujuan

membangun perekonomian di daerah-daerah yang terkena dampak konfl ik mungkin memiliki lebih

banyak kegunaan. Hal ini meliputi penggunaan proyek-proyek pembangunan yang digerakkan oleh

masyarakat untuk menyediakan barang-barang swasta dan publik, kegiatan-kegiatan perluasan pertanian

untuk meningkatkan produktivitas, beberapa proyek pekerjaan umum yang membuka lapangan kerja,

dan pemberian layanan-layanan dukungan usaha (MSR, 2009). Para mantan pejuang GAM dan kelompok-

kelompok ‘berisiko’ lainnya dapat disertakan dalam skema-skema tersebut dan, apabila proyek-proyek

ditargetkan pada daerah-daerah yang mengalami dampak konfl ik terbesar, mereka kemungkinan besar

akan mendapatkan manfaat.

Dukungan terhadap reformasi untuk meningkatkan rule of law dan mengurangi pemerasan

dan pajak-pajak ilegal harus bersifat luas, dengan menyoroti kebutuhan untuk menghindari

pengucilan kelompok-kelompok tertentu. Selain itu, perlu juga untuk mencari cara-cara guna

memenuhi ‘kebutuhan-kebutuhan’ mereka yang berada di tingkat yang lebih tinggi yang saat ini

memperoleh keuntungan dari tindakan pemerasan dan pemberian perlindungan yang tidak sah.

Akses ke kontrak-kontrak berskala besar menjadi cara yang penting dalam menjamin pelibatan

para pengganggu kedamaian di Aceh ke dalam perdamaian. Akan tetapi hal itu sulit dipertahankan

kelangsungannya. Terdapat kebencian yang semakin meningkat dari banyak pihak di Aceh yang telah

melihat berkurangnya manfaat-manfaat perdamaian akibat praktik-praktik masa perang yang masih terus

dilakukan. Terdapat risiko nyata bahwa untuk jangka menengah, hal ini dapat menimbulkan pergolakan

baru apabila faktor-faktor yang memicu terjadinya konfl ik — seperti penyelenggaraan jasa yang buruk,

pertumbuhan yang tidak merata dan kurang — terus terjadi pada masa pasca konfl ik (Barron dan Clark,

2006). Menilik hambatan-hambatan kapasitas yang disoroti dalam paragraf di atas, terdapat kebutuhan

akan adanya tindakan penyeimbang yang hati-hati dan berfokus pada pembatasan peluang pemungutan

iuran besar-besaran sementara membuka jalur-jalur legal lainnya bagi para mantan pimpinan dan elit

pejuang GAM agar dapat hidup sejahtera. Adalah hal yang masuk akal untuk memfokuskan upaya-upaya

dalam memerangi pemerasan dan penarikan pajak-pajak ilegal pada bidang di mana terdapat potensi

terbesar untuk meningkatkan pertumbuhan yang inklusif dan terciptanya konstituen pro-reformasi

yang diperlukan, yaitu: sektor pertanian dan usaha pertanian, masyarakat dagang dan transportasi serta

manufaktur, terutama manufaktur padat karya.

Membangun konstituen yang mendukung reformasi-reformasi tersebut harus menjadi bagian

dari suatu strategi untuk memerangi pemerasan dan pajak-pajak ilegal. Menilik pertentangan yang

mungkin timbul dari perorangan dan kelompok yang saat ini diuntungkan dari kegiatan-kegiatan ilegal,

reformasi-reformasi mungkin merugikan secara politis dan perlu dibangun konstituen-konstituen untuk

menuntut adanya perubahan. Pekerjaan analitis dan pemantauan yang menunjukkan seberapa besar

pengaruh negatif pemerasan dan kekerasan terhadap perekonomian Aceh, dan manfaat-manfaat yang

dapat diberikan melalui pengurangan hal-hal tersebut sangat penting bagi tercapainya tujuan ini.

Persepsi tentang risiko-risiko yang lebih tinggi dalam berinvestasi di Aceh dapat diatasi

melalui suatu skema untuk memberikan jaminan bagi investasi. Skema ini dapat memberikan

asuransi terhadap tindakan-tindakan ilegal dan retribusi yang tidak sah, dan pemerintah provinsi dapat

memfasilitasi ketersediaan asuransi investasi tersebut di provinsi Aceh. Hal ini akan berarti bahwa usaha-

usaha dan pemerintah-pemerintah daerah sama-sama menanggung risiko terkait dengan permasalahan

Page 69: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

Diagnosis Pertumbuhan Aceh59

Juli 2009

keamanan dan pajak-pajak ilegal. Skema tersebut bukan merupakan solusi jangka panjang, tetapi lebih

berupa bantuan untuk memulai investasi dan pertumbuhan, dan menunjukkan Aceh kepada para

calon investor lainnya. Terdapat lembaga-lembaga yang memiliki spesialisasi di bidang penyediaan

produk-produk asuransi terhadap risiko politis (mis. Badan Jaminan Investasi Multilateral atau Multilateral

Investment Guarantee Agency, MIGA, suatu organisasi Bank Dunia). Asuransi dapat ditawarkan sebagai

perlindungan terhadap risiko-risiko terkait dengan pembatasan-pembatasan pengalihan mata uang,

perampasan, perang dan gangguan sipil serta pelanggaran terhadap kontrak.43 Jenis-jenis jaminan

investasi lainnya mungkin dapat diberikan, tetapi kemungkinan manfaat-manfaat dari skema tersebut

perlu dinilai secara teliti terhadap biaya-biaya untuk menghindari kewajiban-kewajiban fi skal yang tidak

perlu yang harus ditanggung oleh pemerintah provinsi. Rancangan yang teliti juga dapat mencegah

diberikannya pertanggungan atas kegagalan komersil karena adanya risiko bahwa skema asuransi

tersebut dapat disalahgunakan oleh perusahaan-perusahaan yang belum terkena dampak lingkungan

pasca konfl ik.

Suatu skema asuransi dapat membuka jalan menuju investasi-investasi baru di provinsi tersebut

dan menunjukkan peluang untuk memperoleh laba atas investasi. Perlunya menyediakan asuransi

bagi para investor disebabkan adanya risiko perampasan atau pengrusakan yang ditimbulkan oleh

kelompok-kelompok sipil dan ancaman keamanan di lingkungan pasca konfl ik serta pandangan-

pandangan negatif terhadap Aceh di luar provinsi tersebut. Walaupun kemungkinan terjadinya kembali

ketidakstabilan besar di provinsi tersebut cukup rendah, perspesi adanya risiko ini masih menghalangi

usaha-usaha dan para investor untuk datang ke Aceh. Akibatnya, penyediaan jaminan risiko politis dapat

menjadi tambahan yang berharga untuk asuransi risiko keamanan. Penyediaan asuransi tersebut dapat

mengurangi risiko-risiko yang dihadapi oleh para investor di Aceh karena mereka dapat menanggung

risiko yang bersumber dari ketidakstabilan umum bersama dengan pihak penjamin. Jaminan tersebut

berpotensi untuk membuka jalan bagi investasi-investasi berskala relatif besar di sektor-sektor seperti

energi, perikanan, penyimpanan beku atau pengolahan hasil pertanian. Selain memberikan perlindungan

bagi para investor dari tindak kejahatan kecil dan pemerasan, skema tersebut juga dapat mengirimkan

isyarat yang sangat kuat bahwa provinsi tersebut berminat untuk menarik investasi.

Skema asuransi yang dirancang khusus perlu untuk disusun bersama dengan otoritas lokal

untuk memenuhi kebutuhan provinsi tersebut. Para investor akan membayar premi, kemungkinan

besar dalam jumlah yang disubsidi. Skema ini dapat ditawarkan kepada para investor besar maupun

kecil. Akan tetapi, beberapa dimensi dari skema ini perlu mendapat perhatian khusus. Pertama, para

penyedia asuransi risiko politis biasanya bekerjasama dengan pemerintah pusat, sementara di Aceh, rekan

imbangan utama mereka adalah pemerintah daerah dan beberapa disposisi produk-produk standar

mungkin perlu disesuaikan. Kedua, dalam pengaturan inovatif ini, peranan pemerintah pusat harus

ditentukan secara tepat. Ketiga, akan muncul pembahasan tentang apakah para investor dari provinsi-

provinsi lain di Indonesia dapat ditanggung, karena para investor tersebut merupakan para calon investor

yang jelas dapat berinvestasi di Aceh, sementara jaminan tersebut biasanya memberikan pertanggungan

hanya bagi para investor asing. Keempat, mekanisme penyelesaian sengketa yang biasanya melibatkan

pemerintah dan para investor perlu diadaptasi ke dalam suatu konteks di mana sebagian besar risiko

berasal dari kelompok-kelompok non-pemerintah.

e. Kegagalan pasar - kegagalan koordinasiKegagalan pasar yang paling sering mempengaruhi perusahaan-perusahaan terdiri atas dua

jenis: kegagalan koordinasi dan kegagalan informasi. Kedua jenis kegagalan pasar ini biasanya

menghambat pengembangan yang sukses dari produk-produk baru dalam skala besar. Kegagalan

koordinasi terjadi ketika perusahaan-perusahaan tidak dapat meningkatkan produk-produk baru yang

43 http://www.miga.org

Page 70: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

60Diagnosis Pertumbuhan Aceh

Rendahnya Kemungkinan Pengembalian atas Investasi (Appropriability)

sukses akibat kurangnya layanan-layanan pelengkap atau masukan. Kegagalan informasi terjadi ketika

perusahaan-perusahaan gagal untuk melakukan eksplorasi produk-produk baru untuk menemukan

bidang yang dapat mereka kuasai. Produk-produk baru tidak perlu menjadi yang terdepan dalam

teknologi global, tetapi justru produk-produk baru yang proses produksinya memerlukan penyesuaian

terhadap teknologi yang telah ada. Kajian terhadap kegagalan pasar potensial ini memberikan data

perdagangan yang dapat diandalkan untuk menyelidiki apakah yang diekspor oleh perekonomian yang

sedang dipelajari tersebut dan bagaimana keranjang ekspor perekonomian tersebut berkembang seiring

berjalannya waktu. Tujuannya adalah untuk mengevaluasi kecanggihan produk-produk tersebut dan laju

perkembangan kecanggihan tersebut selagi produk-produk baru “ditemukan”. Sayangnya, data ekspor

untuk Aceh kurang tepat karena sebagian besar perdagangannya masuk ke Medan dan tidak dicatat

dalam angka-angka resmi. Akibatnya, bagian analisis ini mengandalkan data perdagangan yang relatif

lemah, serta bukti berdasarkan pengalaman dalam bentuk studi-studi kasus untuk menyelidiki kegagalan

pasar yang mungkin terjadi.

Beberapa sektor perekonomian, terutama usaha pertanian, menunjukkan kegagalan koordinasi.

Akan tetapi, upaya-upaya yang kurang berhasil dalam menangani kegagalan tersebut

menunjukkan bahwa kegagalan koordinasi bukanlah hambatan pertumbuhan dan investasi

yang mengikat. Sektor-sektor seperti hortikultura, peternakan, perikanan, dan budidaya air belum

tercatat belum meningkat dan belum dapat menciptakan tingkat produktivitas yang lebih tinggi (IFC,

2008). Skala kecil menyebabkan pemenuhan kualitas dan standar-standar keamanan tertentu menjadi

lebih mahal, yang pada gilirannya membatasi peningkatan kegiatan-kegiatan tersebut.44 Usaha-usaha

menunjukkan kurangnya hubungan pasar dengan usaha-usaha di luar provinsi, sehingga membatasi

jangkauan produk-produk dari Aceh. Jaringan perdagangan yang ada saat ini didominasi oleh sejumlah

pedagang, sehingga membatasi daya tawar produsen-produsen Aceh. Usaha-usaha lokal menyatakan

kekhawatirannya terhadap sitausi ini dan keyakinan bahwa meningkatkan informasi pasar (mis. melalui

suatu pangkalan data dengan informasi tentang para eksportir dari komoditas-komoditas yang paling

umum) dapat memiliki dampak positif yang penting. Walaupun permasalahan ini relatif penting,

keberhasilan prakarsa-prakarsa yang dilaksanakan baru-baru ini untuk menyediakan informasi pasar dan

mendukung pembentukan jaringan dengan usaha-usaha di luar provinsi (Kantor Penunjang Investasi,

Pusat Pengembangan Ekspor) relatif terbatas, yang menunjukkan bahwa faktor-faktor penghambat

investasi dan pertumbuhan lainnya mungkin lebih menekan.

Terdapat kebutuhan akan prasarana spesifi k industri akan tetapi jenis-jenis prasarana yang paling

diperlukan saat ini akan memberi manfaat bagi semua industri di Aceh. Kegagalan koordinasi dapat

terjadi ketika terdapat keuntungan dari skala besar (economies of scale) yang terkait dengan pengadaan

jenis-jenis prasarana yang bersifat eksternal bagi perusahaan-perusahaan tetapi bersifat internal bagi

suatu industri. Hal ini menyebabkan kurangnya pengadaan jenis-jenis prasarana tersebut. Sektor-sektor

yang disebutkan sebelumnya, hortikultura, peternakan, perikanan dan budidaya air, memerlukan

prasarana spesifi k industri dan layanan-layanan pelengkap, seperti fasilitas penyimpanan beku. Akan

tetapi, sebagian besar pengusaha yang diwawancarai oleh tim mengungkapkan bahwa prasarana yang

paling tertinggal di Aceh adalah prasarana yang bersifat “dasar’ dan umum, seperti kondisi jalan yang

baik, pasokan air, dan pasokan listrik yang memadai. Setelah kualitas dari jenis-jenis prasarana tersebut

ditingkatkan, pemerintah Aceh dapat mulai melakukan eksplorasi terhadap kebutuhan-kebutuhan

prasarana spesifi k industri dan peranan sektor publik dalam pengadaan prasarana tersebut, melalui

konsultasi dengan para pemangku kepentingan di sektor industri.

44 Wawancara dengan para pengusaha dan para pemimpin asosiasi usaha, Banda Aceh, Januari 2009.

Page 71: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

Diagnosis Pertumbuhan Aceh61

Juli 2009

f. Kegagalan pasar - kegagalan informasiSangat sedikit usaha-usaha di Aceh yang merupakan eksportir atau melakukan penjualan di luar

provinsi. Data perdagangan yang tersedia tampaknya menunjukkan bahwa Aceh mengekspor sedikit

sekali barang-barang manufaktur. Ekspor non-migas di Aceh meningkat sebesar 80 persen pada tahun

2008, tetapi hal ini sebagian besar disebabkan oleh peningkatan ekspor pupuk.45 Sebagai masukan

utamanya, industri pupuk di Aceh menggunakan gas bersubsidi dan ekspor mewakili lebih dari 80 persen

dari jumlah ekspor non-migas (Tabel 19). Sebaliknya, dan termasuk pupuk, barang-barang manufaktur

hanya mewakili sebagian kecil dari keseluruhan ekspor non-migas: pada tahun 2008 hanya mewakili

3,3 persen dari jumlah keseluruhan. Pangsa produk-produk pertanian mewakili 14 persen dan sebagian

besar terdiri atas kopi yang belum diolah, kakao, rempah-rempah, dan produk-produk perikanan. Sejalan

dengan pengamatan ini, sangat sedikit perusahaan di Aceh yang melaporkan pengeksporan produk-

produk mereka. Survei usaha The Asia Foundation / KPPOD menemukan bahwa hanya 1,5 persen dari

usaha-usaha di Aceh melakukan ekspor ke luar negeri dan hanya 4,3 persen dari perusahaan-perusahaan

tersebut memiliki para pelanggan utama yang berdomisili di luar provinsi tersebut.

Tabel 19 Ekspor non-migas Aceh, dalam AS$

US$

2008

Bahan-bahan kimia 134,049,080

Makanan dan hewan hidup 22,936,870

Barang-barang manufaktur 5,040,379

Minyak & lemak hewani & nabati 632,100

Mesin dan peralatan transportasi 250,082

Bahan-bahan mentah yang tidak dapat dimakan 227,127

Berbagai barang manufaktur 15,234

Source: BPS.

Akan tetapi, Aceh telah membuktikan keterbukaannya terhadap perdagangan dan cepat

beradaptasi dengan teknologi-teknologi baru di tahun-tahun pasca tsunami. Sebagaimana daerah-

daerah lainnya di Indonesia, terdapat sedikit halangan dalam melakukan perdagangan dengan provinsi-

provinsi lainnya dan negara-negara lain di dunia. Pasca tsunami dan selama program rekonstruksi yang

mengikutinya, Aceh telah membuka jalur-jalur perdagangan yang besar untuk membeli bahan-bahan

konstruksi serta komoditas-komoditas dasar seperti makanan. Pemanfaatan teknologi baru di provinsi

tersebut cukup cepat dalam tahun-tahun terakhir ini. Jumlah pelanggan telepon seluler meningkat sangat

cepat (Gambar 19) dan pada tahun 2008, penyedia layanan telepon seluler yang terkemuka memiliki 1,7

juta pelanggan. Selain itu, jumlah warung internet (warnet) meningkat sangat cepat di provinsi tersebut,

yang menunjukkan bahwa penduduk Aceh memiliki minat terhadap teknologi baru dan teknologi baru

dapat dengan mudah masuk ke provinsi tersebut.

45 Bank Dunia, 2009c.

Page 72: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

62Diagnosis Pertumbuhan Aceh

Rendahnya Kemungkinan Pengembalian atas Investasi (Appropriability)

Gambar 19 Jumlah pelanggan telepon seluler di Aceh untuk penyedia layanan terkemuka dan

jumlah warnet

-

200

400

600

8001,000

1,200

1,400

1,600

1,800

2,000

2004 2005 2006 2007 2008-

50

100

150

200

250

300

Jum

lah

war

net d

i pro

vins

i (hi

tam

)

Jum

lah

pela

ngga

n te

lpon

rib

uan

(mer

ah)

Sumber: Penyedia layanan telepon seluler dan Dinas Informasi dan Komunikasi di Aceh

Selanjutnya, bukti berdasarkan pengalaman menunjukkan bahwa produk-produk baru sedang

dicoba di Aceh, tetapi hanya sedikit yang berhasil ditingkatkan. Dalam beberapa tahun terakhir

ini terdapat beberapa percobaan, terutama di sektor pertanian. Para petani telah mencoba beberapa

produk baru seperti: ternak, minyak nilam dan jamur. Upaya-upaya peragaman produk ini menunjukkan

bahwa usaha-usaha di Aceh tidak kehabisan ide untuk berinovasi (Lihat Kotak 5 di bawah ini). Akan tetapi,

hanya sedikit dari gagasan-gagasan usaha ini yang berhasil menjadi perusahaan-perusahaan baru dan

bahkan lebih sedikit lagi dari antaranya yang menjadi sektor-sektor perekonomian baru. Inilah alasan

mengapa pengkajian terhadap kisah-kisah sukses dapat membawa pengaruh besar: kotak di bawah ini

menunjukkan tiga sektor usaha baru di Aceh.

Kotak 5 Industri-industri baru yang mulai berkembang di Aceh

Industri Daur Ulang (Sumber: Yayasan Daur Ulang Plastik Palapa)

Daur ulang plastik merupakan salah satu industri yang sedang berkembang di Aceh. Sebelumnya, usaha ini

dijalankan dengan mengikuti contoh yang sama seperti usaha-usaha lainnya: limbah plastik dikumpulkan di Aceh

kemudian dikirim ke Sumatra Utara di mana kemudian limbah tersebut diolah. Pada bulan Juni 2005, Yayasan Daur

Ulang Plastik Palapa berhasil membangun suatu fasilitas pengolahan di Lhokseumawe atas biaya sendiri. Beberapa

donor memberikan bantuan kepada usaha ini dalam berbagai bentuk, mulai dari peningkatan kapasitas bagi

para pemulung sampai teknologi yang lebih baik untuk daur ulang plastik. Usaha baru ini mampu memberikan

penghidupan bagi banyak penduduk Aceh. Yayasan tersebut kini mempekerjakan sekitar 25 pegawai tetap dan

mendaur ulang 50 ton limbah plastik setiap bulannya, dengan demikian memberikan penghasilan bagi lebih dari

1.500 pemulung. Seluruh produksi potongan-potongan plastik dikirim ke Medan untuk kemudian diekspor ke

China dan Singapura, di mana kemudian potongan-potongan plastik tersebut diubah menjadi produk-produk

akhir seperti kursi plastik, tali, dsb.

Kakao Organik (Sumber: APKO Pidie Jaya)

Dengan dukungan sejumlah donor, koperasi petani kakao bernama APKO Pidie Jaya didirikan pada tahun 2007 dan

saat ini memiliki 7.100 petani. Lebih dari 7.000 petani memperoleh sertifi kasi kakao organik yang memungkinkan

produk mereka diperdagangkan secara internasional. Perjanjian juga telah ditandatangani antara kooperasi

tersebut dan para pembeli internasional seperti The Body Shop, Bendrain Swiss, Olam dan cokelat Delfi . Ekspor

pertama dari koperasi tersebut yaitu sekitar 10.000 ton kakao organik dijadwalkan akan dilakukan pada bulan

Agustus 2009.

Kelapa dan industri sampingannya (Sumber: Austcare)

Perusahaan ini didirikan pada awal tahun 2008 di Meulaboh, Aceh Barat, dengan modal awal sekitar Rp. 1 milyar

yang diperoleh dari para donor dan para anggota koperasi. Modal tersebut terutama digunakan untuk membeli

mesin pengolah kelapa. Mesin tersebut dapat menghasilkan beberapa produk dari kelapa mentah: serat kelapa,

tempurung kelapa, dan arang. Sebagian besar produksi tersebut diekspor ke luar negeri, dengan tujuan-tujuan

utama meliputi Malaysia dan Singapura. Dengan dukungan beberapa donor, dalam bentuk bantuan teknis dan

peningkatan mutu mesin, perusahaan tersebut mampu terus berkembang dan kini mempekerjakan 20 pegawai

tetap dan menghasilkan laba bulanan sekitar Rp. 150 juta.

Page 73: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

Diagnosis Pertumbuhan Aceh63

Juli 2009

Kegagalan pasar bukan penyebab upaya-upaya yang kurang berhasil dalam meningkatkan

usaha-usaha di Aceh. Walaupun terdapat banyak gagasan-gagasan baru di Aceh, hanya sedikit di

antaranya yang berhasil berkembang menjadi usaha-usaha yang maju karena alasan-alasan yang tidak

banyak terkait dengan kegagalan pasar dibandingkan dengan permasalahan seperti faktor lemahnya

kelembagaan, biaya-biaya transaksi dan faktor pemerintahan. Aceh terbuka terhadap teknologi-teknologi

baru, terbuka terhadap perdagangan dengan negara-negara lain di dunia, dan memiliki sarjana-sarjana

dalam jumlah yang memadai, tetapi masih memiliki sedikit industri-industri baru. Agar dapat memahami

alasannya, menarik untuk disimak bahwa banyak usaha yang berhasil berkembang dan maju adalah usaha-

usaha yang memang cukup besar sejak awalnya untuk menggalang dukungan politis. Pengamatan ini

sejalan dengan isu rendahnya kemungkinan penghasilan atas investasi (appropriability) yang disebutkan

sebelumnya sebagai hambatan yang mengikat terhadap pertumbuhan di Aceh. Walaupun sulit untuk

menguji hipotesis ini, salah satu mekanisme yang menjelaskan keberhasilan perusahaan-perusahaan

yang memiliki hubungan politik mungkin ada kaitannya dengan fakta bahwa perusahaan-perusahaan

tersebut terlindungi dengan baik dari pemerasan.

Bab ini telah meninjau ulang faktor-faktor yang mungkin dapat menghalangi usaha-usaha untuk

memperoleh manfaat dari investasi mereka dan khususnya, peranan konfl ik dalam keadaan tersebut.

Sebagaimana yang seringkali menjadi anggapan, konfl ik dan warisannya memiliki dampak negatif

yang signifi kan terhadap insentif-insentif yang harus diinvestasikan oleh perusahaan-perusahaan dan

terhadap kemampuan perusahaan-perusahaan tersebut untuk memperoleh penghasilan atas investasi

mereka. Kemungkinan besar lingkungan mikroekonomi adalah faktor hambatan yang mengikat di Aceh,

dan terdapat beberapa fenomena yang terjadi yang mengancam kualitasnya. Sistem perlindungan yang

diperkokoh selama konfi lk telah menghasilkan sektor swasta yang menjadi maju justru karena koneksi

mereka dengan sektor publik dan bukan karena efi siensi mereka. Hal ini juga menghalangi perusahaan-

perusahaan baru untuk masuk ke Aceh karena mereka tidak menjadi bagian dari jaringan lokal. Ancaman-

ancaman keamanan dan biaya-biaya yang terkait dengan hal tersebut juga menghambat investasi

dan pertumbuhan. Usaha-usaha kurang memiliki kepastian ketika mereka beroperasi di Aceh: mereka

tidak mengetahui kepada siapa dan berapa banyak yang harus mereka bayar untuk dapat menjalankan

usaha.

Page 74: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...
Page 75: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

Diagnosis Pertumbuhan Aceh65

Kerangka kerja diagnosa pertumbuhan Aceh membantu mengidentifi kasi hambatan-hambatan

utama terhadap investasi dan pertumbuhan di provinsi tersebut. Perekonomian Aceh tumbuh

dengan laju yang lebih lambat dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia, terutama

investasi swasta, pada tingkatan yang relatif rendah. Ekonomi Aceh terbilang lemah karena jaringan-

jaringan patronasi yang kuat dan lingkungan yang tidak aman sebagai akibat konfl ik selama 30 tahun.

Situasi ini menghambat kinerja pertumbuhan dan membatasi investasi swasta. Para calon investor telah

mengungkapkan kekhawatiran mereka tentang kemungkinan konfl ik akan berlanjut dan tedapat bukti

bahwa kekhawatiran atas keamanan dan pemerasan serta pajak-pajak ilegal yang timbul menghalangi

perusahaan-perusahaan dan perorangan untuk memetik keuntungan penuh dari investasi mereka. Pada

akhirnya hal ini membatasi investasi dan pertumbuhan di provinsi tersebut. Meyakinkan para investor

atas keamanan investasi mereka merupakan prasyarat untuk meningkatkan kembali investasi sektor

swasta di provinsi ini.

Dua hambatan utama terhadap pertumbuhan adalah; ketersediaan tenaga listrik yang dapat

diandalkan dan risiko-risiko keamanan yang diperburuk oleh pemerasan dan pembayaran-

pembayaran ilegal dianggap lebih tinggi di Aceh. Hambatan-hambatan yang teridentifi kasi

berdampak pada para investor lokal, domestik dan luar negeri secara merata. Permasalahan-permasalahan

seperti prasarana (jalan, listrik) mungkin lebih menjadi masalah bagi para investor lokal daripada bagi

para investor asing. Kekhawatiran tentang masalah keamanan mempengaruhi semua jenis investor,

walaupun para investor besar mungkin dapat mengurangi kekhawatiran mereka akan hal ini dengan

cara memperoleh perlindungan dari pemerintah daerah yang ingin sekali mendapatkan investasi.

Tabel di bawah ini merangkum temuan-temuan pada laporan ini, apakah hambatan-hambatan yang

terindentifi kasi bersifat utama, bobot kesimpulan-kesimpulan dan implikasi kebijakan.

08

Kesimpulan

Page 76: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

66Diagnosis Pertumbuhan Aceh

Kesimpulan

Tabel 20 Hambatan-Hambatan terhadap Pertumbuhan di Aceh

Jenis hambatan Tingkat hambatan ? Bobot Kesimpulan Implikasi Kebijakan

Akses terhadap Kredit Tidak menghambat Sedang -

Modal Manusia yang

rendah

Tidak menghambat Tinggi -

Kualitas Prasarana Menghambat Tinggi Revisi strategi penetapan harga oleh • PLN

Dukung partisipasi sektor swasta • dalam pembangkitan listrik

menggunakan sumber enegi

terbarukan

Tingkatkan keandalan pasokan • energi dari Sumatra Utara

Pemerasan dan Pajak-

Pajak Ilegal

Menghambat Tinggi Tingkatkan kemampuan kepolisian • dan pengadilan untuk menegakkan

supremasi hukum

Fokus pada program-program • pembangunan ekonomi di daerah

yang terkena dampak konfl ik

Bantu membangun konstituensi • untuk reformasi – contohnya

melibatkan komunitas dan

masyarakat madani dalam upaya-

upaya pemantauan

Fasilitasi skema asuransi risiko politik • untuk menarik para investor

Risiko-risiko makro Tidak menghambat Tinggi -

Kegagalan Informasi Tidak menghambat Sedang -

Kagagalan Koordinasi Tidak menghambat Sedang -

Ketersediaan listrik yang andal adalah hambatan paling utama terhadap investasi dan

pertumbuhan, terutama untuk perusahaan-perusahan skala lebih kecil. Pasokan energi tidak

mencukupi dan tidak dapat diandalkan kemungkinan besar menjadi hambatan yang paling utama bagi

investasi dan ekonomi secara keseluruhan. Beberapa badan usaha dapat menghasilkan listrik mereka

sendiri, tetapi hal ini hanya merupakan solusi yang mungkin bagi usaha-usaha yang relatif besar, yang

memungkinkan usaha-usaha tersebut untuk membiayai investasi ini. Usaha-usaha yang lebih kecil

(misalnya pengolahan ikan, sektor ternak atau agrobisnis) tidak mampu membiayai investasi yang

diperlukan dan listrik menjadi hambatan bagi usaha-usaha prospektif ini. Oleh karena itu, ketersediaan

listrik merupakan hal yang penting untuk memajukan usaha-usaha kecil di sektor pengolahan.

Pemerintah Aceh telah mengidentifi kasi bahwa ketersediaan listrik merupakan bidang perhatian utama

untuk pembangunan provinsi ini, dan Pemerintah Aceh juga sedang meningkatkan upaya mereka untuk

menghasilkan energi dan menjamin ketersediaan listrik dari PLN. Upaya-upaya yang diperbarui untuk

menarik investasi sektor swasta dapat didukung dengan cara:

Merevisi penetapan harga listrik yang dihasilkan oleh pihak swasta untuk didistribusikan • melalui PLN, dalam rangka meningkatkan insentif bagi pihak swasta untuk berinvestasi dalam

bidang pembangkitan energi di provinsi ini;

Meningkatkan partisipasi sektor swasta dalam bidang pembangkitan listrik dengan • menggunakan sumber-sumber energi terbarukan, seperti panas bumi (geothermal),

biomassa lokal (local biomass) atau energi matahari;

Page 77: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

Diagnosis Pertumbuhan Aceh67

Juli 2009

Menelaah kemungkinan kemitraan pemerintah-swasta untuk menarik produsen tenaga • linstrik independen dengan biaya murah, dengan memasukkan akses yang aman dan

berharga menarik terhadap sumber-sumber energi dan lahan yang terkait ke dalam MoU dan

kontrak;

Meningkatkan keandalan pasokan-pasokan energi dari Sistem Interkoneksi Sumatra • (Sumatra Interconnection System) untuk menghindari sering terputusnya pasokan listrik.

Ketidakmampuan perusahaaan dan individu untuk memperoleh keuntungan dari investasi

mereka, akibat masalah keamanan dan pajak-pajak ilegal, merupakan faktor penghambat

investasi dan pertumbuhan. Laporan ini menyajikan serangkaian bukti bahwa biaya atau ketersediaan

modal bukanlah hambatan terhadap pertumbuhan dan investasi di provinsi ini. Demikian pula, dengan

pengecualian pada prasarana energi, faktor-faktor pelengkap produksi tidak tampaknya tidak menjadi

hambatan terhadap pertumbuhan dan investasi. Permasalahan-permasalahan keamanan, pemerasan,

dan pajak-pajak serta pembayaran-pembayaran ilegal membatasi kemampuan perusahaan untuk

memperoleh laba dari investasi mereka, sehingga tidak mendorong pertumbuhan investasi di provinsi ini.

Persepsi tentang risiko yang lebih tinggi juga berakibat pada kurangnya kredit bagi sektor swasta. Semua

hal ini menambah ketidakpastian menjalankan usaha di Aceh, dan berdampak pada biaya-biaya setiap

investor potensial. Kalangan usaha pada saat ini mencoba untuk mengatasi ketidakpastian ini dengan

bergabung bersama kalangan usaha atau jaringan kerja yang dapat memberikan perlindungan serta rasa

aman, walaupun hal ini tidak selalu dapat dilakukan. Kalangan-kalangan usaha yang tidak dapat atau tidak

bersedia mengadakan perjanjian-perjanjian tersebut mungkin saja memutuskan untuk tidak berinvestasi

di provinsi ini sama sekali. Untuk menghilangkan hambatan ini, penting untuk mengikutsertakan kembali

monopoli negara dalam penggenaan pajak serta penggunaan ketegasan terhadap hukum . Penggalakan

investasi tentunya memerlukan pemutusan lingkaran setan permasalahan intimidasi terkadang disertai

kekerasan dan pajak ilegal. Strategi untuk melakukan hal ini harus berupa strategi ganda, dengan

memperkenalkan reformasi yang memperkuat kemampuan pemerintah untuk menegakkan supremasi

hukum dan intervensi yang bertujuan menangani penyebab-penyebab yang mendasari munculnya

tindak kerjahatan dan kekerasan, dengan cara:

Meningkatkan kemampuan polisi untuk menyelidiki dan menyelesaikan masalah • kejahatan untuk memperkuat supremasi hukum, melalui pelatihan dan pengembangan

kapasitas, meningkatkan sumber daya yang dapat digunakan polisi serta memperkuat angkatan

kepolisian;

Meningkatkan kemampuan sistem peradilan untuk menuntut dan menjatuhkan • hukuman atas para penjahat, melalui pengembangan kapasitas, sumber daya tambahan

dan kemauan politik, dan juga mendukung konstituensi, pada sektor swasta dan masyarakat

madani, yang akan menuntut reformasi ini;

Mendukung pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di daerah-daerah yang terkena • dampak konfl ik. Hal ini berbeda dengan pemberian bantuan reintegrasi bagi para mantan

pejuang GAM, yang memiliki dampak yang lebih terbatas dan dapat memicu ketegangan.

Pendekatan-pendekatan yang ditargetkan secara geografi s, yang berfokus pada kelompok-

kelompok yang menhadapi risiko dan rawan di daerah-daerah yang terkena dampak konfl ik,

telah terbukti lebih efektif.

Memfokuskan reformasi pada peningkatan supremasi hukum dan memerangi pemerasan • serta pajak-pajak ilegal pada sektor-sektor yang menghasilkan pertumbuhan inklusif.

Upaya ini termasuk sektor pertanian, perikanan, pengolahan hasil pertanian (agro-processing),

dan sektor-sektor jasa tertentu (perdagangan, transportasi), yang mendukung pembentukan

konstituensi pro-reformasi;

Page 78: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

68Diagnosis Pertumbuhan Aceh

Kesimpulan

Melibatkan masyarakat madani dalam pemantauan tindakan-tindakan ilegal sebagai • upaya mengatasi permasalahan ini. Dengan mempertimbangkan kemauan politik dan modal

yang besar yang akan dibutuhkan untuk reformasi yang diusulkan tersebut, secara berkala.

Memfasilitasi pemberian asuransi politik oleh sektor swasta. • Jaminan-jaminan yang

diberikan oleh para pihak ketiga untuk proyek-proyek tunggal dapat ditemukan di banyak

kawasan di dunia dan sering digunakan di lingkungan pasca-konfl ik. Jenis-jenis jaminan ini juga

dapat berfungsi sebagai sinyal penarik yang kuat bagi para investor potensial. Rancangan yang

menyeluruh terhadap skema asuransi tersebut sangat penting untuk menghindari kewajiban

fi skal yang tidak perlu bagi pemerintah provinsi dan untuk menghindari penyalahgunaan

skema-skema asuransi tersebut oleh para pengusaha. Jaminan-jaminan investasi ini biasanya

dibuat pada tingkat nasional. Dengan demikian, fakta bahwa Aceh adalah sebuah provinsi di

negara yang lebih besar dan relatif stabil akan menimbulkan tantangan-tantangan tambahan

dalam rancangan skema tersebut yang harus dipecahkan bersama-sama oleh pemerintah

nasional dan provinsi.

Situasi keamanan yang membaik serta pemberantasan iuran dan pajak-pajak ilegal kemungkinan

besar akan meningkatkan investasi dan pertumbuhan. Pada saat ini, perusahaan-perusahaan dan

individu tidak dapat mengambil keputusan untuk berinvestasi, karena mereka tidak yakin dengan biaya

yang akan mereka hadapi yang timbul dari ancaman-ancaman keamanan dan pemerasan; mereka tidak

dapat memperoleh keuntungan dari investasi mereka dan, dengan demikian, hampir tidak mungkin

untuk melakukan investasi. Karena biaya yang berhubungan dengan kemanan dan pembayaran ilegal

menurun, perusahaan-perusahaan dan individu-individu akan dapat mengakses biaya dan keuntungan

investasi mereka dengan kepastian yang lebih besar dan melakukan investasi ketika investasi-investasi

tersebut jelas-jelas dapat berkembang secara komersial.

Hambatan-hambatan yang utama terhadap pertumbuhan kemungkinan besar dapat berubah

seiring berjalannya waktu, karena hambatan-hambatan lain menjadi lebih utama apabila

hambatan-hambatan ini dipecahkan. Apabila masalah-masalah yang berkaitan dengan ketersediaan

listrik dan situasi keamanan membaik, dan usaha-usaha tidak lagi terkena pemerasan dan pajak-pajak

ilegal, hambatan-hambatan lain akan menjadi lebih utama dan seperangkat reformasi yang berbeda

menjadi sangat diperlukan. Pemerintah daerah dapat memperkenalkan sebuah sistem, bersama dengan

sektor swasta, untuk membahas analisis dan rekomendasi-rekomendasi dalam laporan ini, dan berlanjut

dengan sebuah proses untuk, di kemudian hari, meninjau kembali rekomendasi-rekomendasi tersebut

dan mengidentifi kasi hambatan-hambatan yang mengikat lainnya terhadap investasi dan pertumbuhan.

Selanjutnya, hambatan-hambatan tersebut kemungkinan besar sama dengan hambatan-hambatan

yang ada di daerah lain di Indonesia, di mana ketidakpastian peraturan, terutama terhadap pajak-

pajak dan peraturan perizinan, pajak-pajak dan peraturan-peraturan daerah yang diberlakukan oleh

para pemerintah daerah, dan juga penegakan hukum yang kurang, akan menghambat investasi dan

pertumbuhan. Kualitas prasarana transpotasi yang buruk juga telah teridentifi kasi sebagai hambatan

utama bagi investasi dan pertumbuhan di Indonesia. Walapun prasarana transportasi yang ada sekarang

terlihat cukup untuk ekuilibrium pertumbuhan Aceh yang rendah, ketika provinsi ini berupaya menjadi

lebih modern dan berkembang, maka hal ini kemungkinan besar akan menjadi hambatan.

Perhatian yang lebih khusus harus diberikan dalam penyusunan strategi besar untuk mendorong

pertumbuhan yang inklusif dan merata bermanfaat bagi sebagian besar penduduk, termasuk

kalangan yang berpotensi mengganggu perdamaian. Laporan ini berfokus pada hambatan-

hambatan utama terhadap pertumbuhan dan menawarkan rekomendasi tentang intervensi-intervensi

potensial untuk menyelesaikan masalah-masalah ini. Upaya mengatasi hambatan-hambatan yang utama

kemungkinan akan memberi manfaat bagi penduduk secara keseluruhan, meningkatkan kemampuan

kelompok miskin dan rawan di Aceh untuk memperoleh manfaat dari pertumbuhan. Diperlukan intervensi-

intervensi khusus untuk memastikan bahwa pertumbuhan tersebut bersifat inklusif. Intervensi-intervensi

Page 79: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

Diagnosis Pertumbuhan Aceh69

Juli 2009

tersebut termasuk melanjutkan fokus pada sektor pertanian, dan juga meningkatkan penyediaan layanan

publik di daerah ini. Intervensi-intervensi tersebut juga termasuk menata ulang ketidaksetaraan yang

ada baik dalam hal modal manusia maupun fi sik dengan meningkatkan tingkat keahlian orang-orang

miskin di daerah-daerah pedesaan, juga intervensi-intervensi yang memfasilitasi akses terhadap kredit

bagi orang-perorangan dan usaha-usaha kecil yang bergerak dalam sektor pertanian dan perikanan.

Mendistribusikan manfaat-manfaat pertumbuhan akan memberikan hal yang penting dalam perdamaian

dan stabilitas di Aceh bagi bagian masyarakat yang lebih besar, menurunkan kekhawatiran tentang

masalah keamanan dan pada akhirnya menjaga agar konfl ik tidak terjadi lagi.

Page 80: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...
Page 81: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

Diagnosis Pertumbuhan Aceh71

Aghion, P. and Peter Howitt, 1992, “A Model of Growth through Creative Destruction”, Econometrica, Vol.

60, No. 2. (Mar., 1992), hal. 323-351

Aghion, Philippe and Steven Durlauf, 2007, “From Growth Theory to Policy Design”, mimeo, Commission

on Growth and Development.

Aguswandi and Judith Large, 2008, “Reconfi guring Politics: The Indonesia-Aceh Peace Process”, London:

Conciliation Resources.

Aspinall, Edward, 2009a, “Combatants to Contractors: The Political Economy of Peace in Aceh”. Indonesia

May-June.

Aspinall, Edward, 2009b, “Islam and Nation: Separatist Rebellion in Aceh, Indonesia”, Stanford, CA.:

Stanford University Press.

Barron, Patrick, 2008, “Managing the Resource for Peace: Reconstruction and Peace building in Aceh”

in Aguswandi and Judith Large (eds.) Reconfi guring Politics: The Indonesia-Aceh Peace Process. London:

Conciliation Resources.

Barron, Patrick, 2009, “The Limits of DDR: Reintegration Lessons from Aceh” in Small Arms Survey Yearbook

2009, Cambridge: Cambridge University Press.

Barron, Patrick and Adam Burke, 2008, “Supporting Peace in Aceh: Development Agencies and

International Involvement”, Washington, DC: East-West Center.

Barron, Patrick, and Samuel Clark, 2006, “Decentralizing Inequality? Center-Periphery Relations, Local

Governance and Confl ict in Aceh”, Confl ict Prevention and Reconstruction Paper No. 39. Washington, D.C.:

World Bank.

Bates, Robert H., 2008, “State Failure”, Annual Review of Political Science. 11: 1-12.

Bodea, Christina and Ibrahim A. Elbadawi, 2008, “Political Violence and Economic Growth”, Policy Research

Working Paper No. 4692. Washington, D.C: World Bank.

Chaudhary, Torunn and Astri Suhrke, 2008, “Postwar Violence”, mimeo, Small Arms Survey, Geneva.

Chauvet, Lisa, Paul Collier, and Haavard Hegre, 2008, “The Security Challenge in Confl ict-prone Countries”,

Confl icts Challenge Paper, Copenhagen: Copenhagen Consensus Centre. Edisi situs internet. Diakses

bulan Juni 2008. <http://www.humansecurity gateway.info/documents/CP_Collier_securitychallengein

confl ictpronecountries.pdf>

Clark, Samuel, and Blair Palmer, 2008, “Peaceful Pilkada, Dubious Democracy”, Indonesian Social

Development Paper No. 11. Jakarta: World Bank.

09

Daftar Referensi

Page 82: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

72Diagnosis Pertumbuhan Aceh

Daftar Referensi

Collier, Paul, 1994, “Demobilization and Insecurity: A Study in the Economics of the Transition from War

to Peace”, Journal of International Development. 6(3): 343-51.

Collier, Paul, 1999, “On the Economic Consequences of Civil War”, Oxford Economic Papers 51 (1): 168–83.

Collier, Paul, V.L. Elliott, Havard Hegre, Anke Hoeffl er, Marta Reynal-Querol, and Nicholas Sambanis, 2003,

“Breaking the Confl ict Trap: Civil War and Development Policy”. Washington, DC: World Bank and Oxford

University Press.

Collier, Paul and Anke Hoeffl er, 2004, “Greed and Grievance in Civil War”, Oxford Economic Papers 54: 563-

595.

Collier, Paul, Anke Hoeffl er, and Mans Soderboom, 2006, “Post-Confl ict Risks”, Working Paper No. 256.

Oxford: Centre for the Study of African Economics, University of Oxford.

Commission on Growth and Development, 2008, “Growth Report: Strategies for Sustained Growth and

Inclusive Development”, Washington, D.C.: The World Bank..

CSIRO, 2008, “Environmental Management for a Sustainable Economic Development Strategy for

Nanggroe Aceh Darussalam”, Nota Kebijakan untuk Bank Dunia oleh Commonwealth Scientifi c and

Industrial Research Organisation (CSIRO).

Czaika, Mathias and Krisztina Kis-Katos, 2007, “Civil Confl ict and Displacement. Village-Level

Determinants of Forced Migration in Aceh”, HiCN Working Paper No. 32, Households in Confl ict Network,

Institute of Development Studies, University of Sussex, Brighton, UK.

Dawood, Dayan, and Sjafrizal, 1989, “Aceh: The LNG Boom and Enclave Development”, in Hal Hill (ed.)

Unity and Diversity: Regional Economic Development in Indonesia since 1970. Singapore: Oxford University

Press.

Geneva Declaration Secretariat, 2008, “The Global Burden of Armed Violence”. Geneva: Geneva Declaration

Secretariat.

Government of Aceh, 2007, “Atlas – Economic Development NAD Province – Aceh Triple A Project (ATAP)”,

Initial Edition, Mei 2007

Hausmann, Ricardo and Dani Rodrik, 2003, “Economic Development as Self-Discovery”, Journal of

Development Economics, Vol. 72, No. 2, hal. 603-633.

Hausmann, Ricardo; Rodrik, Dani and Andrés Velasco, 2005, “Growth Diagnostics”, mimeo, Inter-American

Development Bank.

Hausmann, Klinger and Wagner, 2008, “Doing growth diagnostics in practice: A ‘Mindbook’”, CID Working

Paper No. 177, Harvard University.

Hill, Hal, and Anna Weidermann, 1989, “Regional Development in Indonesia: Patterns and Issues”, in Hal

Hill (ed.) Unity and Diversity: Regional Economic Development in Indonesia since 1970. Singapore: Oxford

University Press.

Hiorth, Finnegar, 1986, “Free Aceh: An Impossible Dream?”, Kabar Seberang 17: 182-194.

Hoeffl er, Anke., and Marta Reynal-Querol, 2003, “Measuring the Costs of Confl ict”, Washington, DC: World

Bank.

Ianchovichina, Elena and Susanna Lundstrom, 2008, “Inclusive growth analytics, framework and

application”, Policy Research Working Paper No. 4851, Washington, D.C: World Bank

Page 83: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

Diagnosis Pertumbuhan Aceh73

Juli 2009

Imai, Kosuke, and Jeremy Weinstein, 2000, “Measuring the Economic Impact of Civil War.” CID Working

Paper No. 51, Harvard University.

International Crisis Group, 2001, “Aceh: Why Military Force Won’t Bring Lasting Peace”, Asia Report No. 17.

Jakarta/Brussels.

International Crisis Group, 2009, “Indonesia: Deep Distrust in Aceh as Elections Approach”, Asia Briefi ng

No. 90. Jakarta/Brussels.

International Finance Corporation, 2008, “Aceh Investment Climate Policy Note”, Januari 2008

International Finance Corporation, 2007, “Aceh Financial Sector Diagnostics”, November 2007

International Organization for Migration, Harvard Medical School, 2007, “A Psychological Assessment of

Communities in 14 Confl ict-Aff ected Districts in Aceh”, Jakarta: IOM.

International Organization for Migration, 2008, “Meta Analysis: Vulnerability, Stability, Displacement and

Reintegration: Issues Facing the Peace Process in Aceh, Indonesia”, Jakarta: IOM.

Jones, Sidney, 2005, “The importance of good governance in easing separatist confl icts”, in Dewi Fortuna

Anwar et. al. (eds.) Violent Internal Confl icts in Asia Pacifi c: Histories, Political Economies and Policies. Jakarta:

LIPI/Yayasan Obor.

Kell, Timothy, 1995, “The Roots of Acehnese Rebellion, 1989-1992”, Ithica, NY: Cornell University Press.

Knight, Malcolm, Norman Loayza, and Delano Villanueva, 1996, “The Peace Dividend: Military Spending

Cuts and Economic Growth.” IMF Staff Paper Vol. 43, hal. 1-37.

Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) and The Asia Foundation, 2008, “Local

Economic Governance in Indonesia. A Survey of Businesses in 243 Regencies/ Cities in Indonesia, 2007”,

Jakarta.

Lewis, Blane D. and Bambang Suharnoko, 2008, “Local Tax Eff ects on the Business Climate”,

Decentralization Support Facility, Juli 2008

Lorentzen, P., J. McMillan, and R. Wacziarg, 2006, “Death and development.” Mimeo. Stanford University.

McCulloch, Lesley, 2006, “Greed: The Silent Force of Confl ict in Aceh”, in Damian Kingsbury (ed.) Violence

In Between: Security Issues in Archipelagic South-East Asia. Melbourne/Singapore: Monash Asia Institute/

Institute for Southeast Asian Studies.

McGibbon, Rodd, 2006, “Local Leadership and the Aceh Confl ict”, in Anthony Reid (ed.) Verandah of

Violence: the Background to the Aceh Problem. Singapore: Singapore University Press.

Meitzner, Marcus, 2006, “The Politics of Military Reform in Post-Suharto Indonesia: Elite Confl ict, Nationalism

and International Resistance”, Policy Studies No. 23. Washington, D.C.: East-West Center.

Missbach, Antje, 2007, “Aceh Homebound?”, in Inside Indonesia No. 90: Special Aceh Reports

Moreno-Dodson, Blanca, 2008, “Assessing the Impact of Public Spending on Growth - An Empirical

Analysis for Seven Fast Growing Countries”, Policy Research Working Paper No. 4663. Washington, D.C.:

The World Bank.

Moser, Caroline O. N., 2006, “Reducing Urban Violence in Developing Countries.” Policy Brief 2006-1.

Washington, DC: Brookings Institute.

MSR, 2009, Multi-Stakeholder Review of Post-Confl ict Programming in Aceh: Identifying the Foundations for

Sustainable Peace and Development in Aceh. Banda Aceh/Jakarta: MSR.

Muggah, Robert, 2009, “Post-confl ict armed violence and security promotion.” Small Arms Survey Yearbook

2009. Cambridge and Geneva: Cambridge University Press.

Page 84: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

74Diagnosis Pertumbuhan Aceh

Daftar Referensi

Nagarajan, Geetha, and Michael McNulty, 2004, “Microfi nance Amid Confl ict: Taking Stock of Available

Literature.” Washington, D.C.: United States Agency for International Development.

Nazamuddin Basyah Said, 2008, “Economic Injustice: Cause and Eff ect of the Aceh Confl ict”, in Aguswandi

and Judith Large (eds), Special Aceh issue in Accord: An International Review of Peace Initiatives, Reconfi guring

politics: the Indonesia - Aceh peace process, London

Olken, Benjamin and Patrick Barron, 2007, “The Simple Economics of Extortion: Evidence from Trucking in

Aceh”. NBER Working Paper No. 13145. Cambridge, MA: NBER.

Reid, Anthony (ed.), 2006, “Verandah of Violence: the Background to the Aceh Problem”, Singapore:

Singapore University Press.

Restrepo, Jorge, Brodie Ferguson, Jukliana M. Zúñiga, and Adriana Villamarin, 2008, “Estimating Lost

Product Due to Violent Deaths in 2004”. Makalah yang tidak diterbitkan untuk Small Arms Survey. Geneva/

Bogota: Small Arms Survey/CERAC.

Robinson, Geoff rey, 1998, “Rawan is as Rawan Does: The Origins of Disorder in New Order Indonesia.”

Indonesia 66 (October): 127-156.

Romer, Paul M., 1990, “Endogenous Technological Change”, The Journal of Political Economy, Vol. 98, No.

5, Part 2: The Problem of Development: A Conference of the Institute for the Study of Free Enterprise

Systems. (Okt., 1990), hal. S71-S102

Ross, Michael L., 2005, “Resources and Rebellion in Indonesia,” in Paul Collier and Nicholas Sambanis

(eds.), Understanding Civil War: Europe, Central Asia, and Other Regions. Washington D.C.: World Bank and

Oxford University Press.

Saraswati, Muninggar Sri, 2004, “Puteh to sit in the dock”, The Jakarta Post, 18 Desember.

Schulze, Kirsten, 2004, “The Free Aceh Movement (GAM): Anatomy of a Separatist Organization”, Policy

Studies No. 2. Washington, DC: East-West Center.

Solow, Robert M., 1956, “A Contribution to the Theory of Economic Growth”, The Quarterly Journal of

Economics, Vol. 70, No. 1. (Feb., 1956)

Stewart, Frances and Vaply Fitzgerald (eds.), 2001, “War and Underdevelopment: The Economic and

Social Consequences of Confl ict, Volume 1”, Oxford: Oxford University Press.

Sukma, Rizal, 2001, “The Acehnese Rebellion: Secessionist Movement in Post-Suharto Indonesia”, in

Andrew Tan and Kennethn Boutin, Non-Traditional Security Issues in Southeast Asia. Singapore: Institute of

Defense and Strategic Studies.

Sukma, Rizal, 2004, “Security Operations in Aceh: Goals, Consequences and Lessons”, Policy Studies No. 3.

Washington, D.C.: East-West Center.

Sulaiman, M. Isa, 2006, “From Autonomy to Periphery: A Critical Evaluation of the Acehnese Nationalist

Movement”, in Anthony Reid (ed.) Verandah of Violence: the Background to the Aceh Problem. Singapore:

Singapore University Press.

Sulaiman, M. Isa, and Gerry van Klinken, 2007, “The Rise and Fall of Governor Puteh”, in Henke Schulte

Nordholt and Gerry van Klinken (eds.) Renegotiating Boundaries: Local Politics in Post-Suharto Indonesia.

Leiden: KITLV Press.

Tajima, Yuhki, 2009, “Background Paper on Economic Reintegration.” Prepared for International Congress

on Disarmament, Demobilization and Reintegration, Cartagena, Colombia, April 2009.

Transparency International, 2008, “Measuring corruption in Indonesia: Indonesia Corruption Perception

Index 2008 and Bribery Index”

Page 85: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

Diagnosis Pertumbuhan Aceh75

Juli 2009

Ulloa, Alfi e, 2008, “Growth Diagnostic Scoping Study Final Report – Technical”, DFID Understanding

Afghanistan, September 2008.

UN Offi ce on Drugs and Crime/ World Bank, 2007, “Crime, Violence and Development: Trends, Costs and

Policy Options in the Caribbean”, Washington, D.C.: World Bank.

Van Klinken, 2008, “Social foundations: illegality in the construction sector in provincial Indonesia.”

Makalah yang dipresentasikan dalam lokakarya tentang “The State and Illegality in Indonesia”, Australian

National University, Canberra, 22-24 September.

Walter, Barbara F., 2004, “Does Confl ict Beget Confl ict? Explaining Recurring Civil War.” Journal of Peace

Research 41(3): 371-388.

World Bank, 2006a, “Making the New Indonesia Work for the Poor”, Jakarta: The World Bank.

World Bank, 2006b, “Aceh Public Expenditure Analysis – Spending for Reconstruction and Poverty

Reduction”, Banda Aceh/ Jakarta: The World Bank.

World Bank, 2006c, GAM Reintegration Needs Assessment: Enhancing Peace Through Community-Level

Development Programming, Banda Aceh: The World Bank.

World Bank/KDP, 2007, “2006 Village Survey in Aceh: An Assessment of Village Infrastructure and Social

Conditions”, Banda Aceh/Jakarta: World Bank/Government of Indonesia.

World Bank, 2007, “Connecting to compete: trade logistics in the global economy”, Washington DC: The

World Bank

World Bank, 2008a, “Aceh Poverty Assessment 2008 – The Impact of the Confl ict, the Tsunami and the

Reconstruction on Poverty in Aceh”, Jakarta: The World Bank.

World Bank, 2008b, “Aceh Public Expenditure Analysis Update”, Jakarta: The World Bank

World Bank, 2008c, “Doing Business 2009 – Country Profi le for Indonesia”, Washington DC: The World

Bank

World Bank, 2008d, “Aceh Economic Update, Oktober 2008”, Jakarta: The World Bank

World Bank, 2008e, “World Development Report 2008 – Agriculture for Development”, Washington DC:

The World Bank.

World Bank, 2008f, “What Are the Constraints to Inclusive Growth in Zambia?”, report No. 44286-ZM,

Washington DC: World Bank

World Bank, 2009a, “Aceh Confl ict Monitoring Update: 1 Desember 2008 – 31 Januari 2009”, Banda Aceh:

World Bank.

World Bank, 2009b, “World Development Report 2009 – Reshaping Economic Geography”, The World

Bank: Washington DC

World Bank, 2009c, “Aceh Economic Update, June 2009”, Jakarta: The World Bank

World Bank, yang akan datang (a), “Indonesia Jobs Report”. Jakarta: The World Bank

World Bank, yang akan datang (b), “Indonesia. Agriculture Public Spending and Growth”. Policy Note for

the Indonesia Agriculture Public Expenditure Review

World Bank/BRR, 2006, “Trucking and Illegal Payments in Aceh”, Banda Aceh/Jakarta: World Bank/BRR.

World Bank/ IFC, 2008, “Public-Private Dialogue Promotes Change in Oil, Gas and Mining Investment

Climate”, The World Bank: Jakarta

Page 86: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...
Page 87: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

Diagnosis Pertumbuhan Aceh77

Lampiran I – Perkiraan hasil-hasil pendidikanSpesifi kasi

SMA vs. kurang

berpendidikan

SMA dan di atas SMA vs.

kurang berpendidikan

Berpendidikan tinggi vs.

kurang berpendidikan

Aceh0,33***

(0,05)

0,39***

(0,04)

0,53***

(0,07)

Sumatera Utara0,29***

(0,03)

0,39***

(0,03)

0,61***

(0,05)

Sumatera0,30***

(0,02)

0,38***

(0,02)

0,52***

(0,03)

Indonesia 0,47 0,67 1,05

Sumber: Perhitungan staf bank berdasarkan Sakernas (Feb 2008)

Catatan:

*** signifi kan pada tingkat 1 persen; ** signifi kan pada tingkat 5 persen; * signifi kan pada tingkat 10 persen.1.

Kesalahan-kesalahan standard 2. (Standard errors) ada dalam tanda kurung.

Nilai-nilai nasional diambil dari “laporan Kerja” (Bank Dunia, yang akan datang (b)).3.

SMA = Sekolah Menengah Atas4.

Variabel-variabel kendali mencakup: umur dan umur kuadrat; variabel boneka perkotaan; variabel boneka gender; dan 5.

pada tingkat nasional, variabel boneka wilayah (Sumatra, Jawa/Bali, Kalimantan, Sulawesi, NTB/NTT/Maluku, Papua).

10

Lampiran-Lampiran

Page 88: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

78Diagnosis Pertumbuhan Aceh

Lampiran-Lampiran

Lampiran II – Tabel regresi: kinerja perusahaan dan permasalahan-permasalahan yang dihadapiVariabel

dependenPenjualan per karyawan (2007) Investasi per karyawan (2007)

Spesifi kasi Dasar

Dengan

insiden per

1000

Dengan

intensitas

konfl ik

Dasar

Dengan

insiden per

1000

Dengan

intensitas

konfl ik

Akses lahan

dan kepastian

hukum

-6,33

(25,69)

0,63

(28,02)

-0,97

(30,13)

-0,02

(1,40)

0,14

(1,44)

0,08

(1,71)

Pemberian

surat izin usaha

-36,57*

(20,74)

-43,73*

(26,14)

-31,63

(22,42)

1,89

(2,18)

1,89

(2,39)

3,18

(2,86)

Interaksi

pemerintah

daerah dengan

kalangan

pengusaha

-41,08***

(14,40)

-42,03**

(16,50)

-40,25**

(18,55)

-2,42**

(1,21)

-2,66**

(1,31)

-2,40

(1,51)

Kemampuan

dan integritas

Utama

-16,17

(16,17)

0,12

(15,65)

-17,70

(17,97)

1,39

(2,64)

2,00

(2,87)

1,31

(3,05)

Biaya-biaya

transaksi

-36,37**

(16,31)

-36,61**

(17,54)

-38,19**

(18,47)

-1,69**

(0,86)

-1,73*

(0,94)

-1,59

(1,02)

Prasarana -45,06

(31,65)

-49,44

(35,86)

-34,68

(36,73)

-1,51

(1,42)

-1,63

(1,60)

-1,73

(1,70)

Penyelesaian

masalah

keamanan dan

konfl ik

0,71

(29,39)

6,18

(36,03)

21,36

(41,13)

-0,87

(1,14)

-0,85

(1,29)

-0,75

(1,68)

Insiden per

1000

-- 262,25

(273,61)

-- -- 6,62

(11,05)

--

Intensitas

konfl ik

-- -- -17,36

(14,13)

-- -- -2,06**

(0,97)

Sumber: The Asia Foundation / survei KPPOD (2008), Tim Konfl ik dan pembangunan Bank Dunia

Catatan:

*** signifi kan pada tingkat 1 persen; ** signifi kan pada tingkat 5 persen; * signifi kan pada tingkat 10 persen.1.

Kesalahan-kesalahan standar 2. (Standard errors) ada dalam tanda kurung.

Investasi dan penjualan per karyawan adalah nilai-nilai tahunan yang dinyatakan dalam juta rupiah.3.

Variabel dependen (kecuali 2 yang terakhir) adalah variabel boneka yang mengindikasikan apakah responden 4.

memperkirakan bahwa tiap-tiap hambatan menghambat kinerja perusahaannya secara signifi kan atau sangat

signifi kan.

Insiden per 1000 adalah jumlah insiden keamanan di kabupaten/kota di mana perusahaan tersebut beroperasi dari 5.

Januari 05 – Juli 08 per 1000 penduduk.

Konfl ik adalah indikator intensitas konfl ik yang dikembangkan oleh staf Bank Dunia. Indikator tersebut mengukur 6.

dampak jangka panjang konfl ik dalam bentuk korban, orang-orang yang kembali dari pengungsian, tahanan politik,

persepsi intensitas, dll…..Studi ini menggunakan indikator tersebut pada tingkatan kabupaten (lihat World Bank,

2006c).

Page 89: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

Diagnosis Pertumbuhan Aceh79

Juli 2009

Lampiran III – Uji T Kesetaraan rata-rata (T Test equality of means)Rata-rata Investasi per penjualan (2007)

Untuk grup yang

melaporkan … sebagai

sebuah hambatan

Untuk grup yang TIDAK

melaporkan … sebagai

sebuah hambatan

Selisih

Akses atas tanah dan

kepastian hukum 0,11 0,2

-0,09

(0,07)

Pemberian surat izin usaha0,7 0,15

0,55

(0,57)

Interaksi pemerintah daerah

dengan kalangan pengusaha0,19 0,19

0

(0,11)

Kemampuan dan integritas

Utama 0,11 0,19

-0,08

(0,07)

Biaya-biaya transaksi0,06 0,21

-0,15**

(0,07)

Prasarana0,16 0,22

-0,06

(0,10)

Penyelesaian masalah

keamanan dan konfl ik0,25 0,18

0,07

(0,11)

Sumber: The Asia Foundation / survei KPPOD (2008)

Catatan:

*** signifi kan pada tingkat 1 persen; ** signifi kan pada tingkat 5 persen; * signifi kan pada tingkat 10 persen.1.

Kesalahan-kesalahan standar 2. (Standard errors) ada di dalam tanda kurung.

Kategori-kategori di sini mengindikasikan apakah responden memperkirakan bahwa tiap-tiap hambatan menghambat 3.

kinerja perusahaannya secara signifi kan atau sangat signifi kan.

Page 90: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

80Diagnosis Pertumbuhan Aceh

Lampiran-Lampiran

Lampiran IV – Insiden-Insiden keamanan dan pertumbuhan Statistik Regresi

Regresi Berganda 0,380964

Regresi Kuadrat 0,145134

Regresi Kuadrat yang

Disesuaikan0,097641

Kesalahan Standar 0,166216

Observasi 20

Koefi sienKesalahan

Standar

Statistik

t Nilai P

Lebih

rendah

95%

Lebih

Tinggi

95%

Lebih

Rendah

95,0%

Lebih

Tinggi

95,0%

Konstanta 0,600889 0,0527 11,402 1,14E-09 0,490169 0,711608 0,490169 0,711608

Variabel X -0,00484 0,002768 -1,748 0,097479 -0,01065 0,000976 -0,01065 0,000976

Sumber: The Asia Foundation / survei KPPOD (2008), tim konfl ik dan pembangunan World Bank

Catatan:

Variabel dependen di sini adalah saham perusahaan-perusahaan di sebuah kabupaten yang telah meningkatkan 1.

penjualan per pegawai mereka pada 2006-07.

Variabel independen adalah jumlah insiden keamanan yang terjadi di sebuah kabupaten pada tahun 2005-06.2.

Koefi sien variabel independen, jumlah insiden keamanan, signifi kan pada tingkat 10 persen. 3.

Page 91: Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...

Juli 2009

Mengidentifikasi hambatan-hambatan utama pertumbuhan ekonomi pasca konflik dan pasca bencana

Diagnosis Pertumbuhan Aceh