Juli 2009 Mengidentifikasi hambatan-hambatan utama pertumbuhan ekonomi pasca konflik dan pasca bencana Diagnosis Pertumbuhan Aceh 49568 Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized
91
Embed
Diagnosis Pertumbuhan Aceh - documents.worldbank.orgdocuments.worldbank.org/curated/en/194571468260138382/pdf/495680...Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15 4. ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Juli 2009
Mengidentifikasi hambatan-hambatan utama pertumbuhan ekonomi pasca konflik dan pasca bencana
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
49568P
ublic
Dis
clos
ure
Aut
horiz
edP
ublic
Dis
clos
ure
Aut
horiz
edP
ublic
Dis
clos
ure
Aut
horiz
edP
ublic
Dis
clos
ure
Aut
horiz
edP
ublic
Dis
clos
ure
Aut
horiz
edP
ublic
Dis
clos
ure
Aut
horiz
edP
ublic
Dis
clos
ure
Aut
horiz
edP
ublic
Dis
clos
ure
Aut
horiz
ed
KANTOR BANK DUNIA JAKARTAGedung Indonesia Stock Exchange, Tower II/Lt. 12-13Jl. Jend. Sudirman Kav. 52-53Jakarta 12910Tel: (6221) 5299-3000Fax: (6221) 5299-3111
BANK DUNIABank Dunia1818 H Street N.W.Washington, D.C. 20433 USATel: (202) 458-1876Fax: (202) 522-1557/1560Email : [email protected] : www.worldbank.org
Dicetak bulan Juli 2009
DIAGNOSIS PERTUMBUHAN ACEH: Mengidentifi kasi hambatan-hambatan utama pertumbuhan ekonomi pasca konfl ik dan pasca bencana adalah produk staf Bank Dunia. Temuan-temuan, penafsiran, dan kesimpulan yang dinyatakan dalam dokumen ini tidak berarti mencerminkan pandangan Direksi Eksekutif Bank Dunia atau pemerintah yang diwakilinya.
Bank Dunia tidak menjamin ketepatan data yang tercantum dalam dokumen ini. Perbatasan, warna, denominasi, dan informasi lain yang ditunjukkan di setiap peta yang terdapat dalam dokumen ini tidak mengimplikasikan suatu penilaian terhadap bagian Bank Dunia sehubungan dengan status hukum setiap wilayah atau pengesahan atas persetujuan terhadap perbatasan tersebut.
Mengidentifikasi hambatan-hambatan utama pertumbuhan ekonomi pasca konflik dan pasca bencana
Diagnosis Pertumbuhan Aceh
iiDiagnosis Pertumbuhan Aceh
Daftar Isi
Pengantar iv
Ucapan Terima Kasih v
Daftar Istilah vi
Ringkasan Eksekutif 1
1. Pendahuluan 5
2. Metodologi 9
3. Memahami Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Aceh 15
4. Tinjauan Ekonomi Pada Saat Konfl ik dan Pasca Konfl ik di Aceh 21
5. Akses Terhadap Kredit 25
a. Apakah pembiayaan menjadi masalah di Aceh? 25
b. Apakah biaya modal tinggi terjadi di Aceh? 27
c. Apakah permasalahannya adalah rendahnya tabungan dan tidak adanya akses terhadap
pembiayaan eksternal? 28
d. Apakah permasalahannya adalah fungsi intermediasi (perantara)
bank-bank lokal yang rendah? 30
e. Apabila tidak, apakah persoalannya adalah pembatasan kredit oleh bank? 32
6. Hasil Sosial yang Rendah 37
a. Infrastruktur: jalan-jalan 38
b. Infrastruktur: listrik 40
c. Pendidikan dan modal sumber daya manusia 42
7. Rendahnya Kemungkinan Pengembalian atas Investasi (Appropriability) 47
a. Risiko-risiko Makroekonomi 47
b. Lingkungan usaha 48
c. Korupsi 51
d. Biaya-biaya Transaksi: Pajak dan Iuran Keamanan 53
e. Kegagalan pasar - kegagalan koordinasi 59
f. Kegagalan pasar - kegagalan informasi 61
8. Kesimpulan 65
9. Daftar Referensi 71
10. Lampiran-Lampiran 77
Lampiran I – Perkiraan hasil-hasil pendidikan 77
Lampiran II – Tabel regresi: kinerja perusahaan dan permasalahan-permasalahan
yang dihadapi 78
Lampiran III – Uji T Kesetaraan rata-rata (T Test equality of means) 79
Lampiran IV – Insiden-Insiden keamanan dan pertumbuhan 80
GambarGambar 1 PDB per kapita di Aceh hampir sama dengan rata-rata nasional 6
Gambar 2 Kerangka kerja, yang diadaptasi dari Hausmann, Rodrik dan Velasco (2005) 10
Gambar 3 Aceh telah mengalami pertumbuhan dengan laju yang lebih lambat dibandingkan
Indonesia hampir di sepanjang dasawarsa ini 15
Gambar 4 Upah minimum provinsi di Aceh telah meningkat lebih dibandingkan
daerah-daerah lain di Indonesia 19
Gambar 5 Kekerasan di Aceh – Jan 2005 sampai dengan Des 2008 24
Gambar 6 Kredit terhadap PDRB sangat rendah di Aceh 26
Diagnosis Pertumbuhan Acehiii
Juli 2009
Gambar 7 Tingkat peminjaman investasi riil di Aceh dan rata-rata nasional 27
Gambar 8 Tingkat peminjaman investasi nominal di Aceh dan rata-rata nasional 27
Gambar 9 Pertumbuhan PDB tidak bereaksi terhadap perbedaan suku bunga 28
Gambar 10 Tabungan per PDRB untuk provinsi-provinsi di Indonesia, 2006 29
Gambar 11 Dana-dana pemerintah menyumbangkan bagian yang besar dari simpanan di Aceh 29
Gambar 12 Sektor konstruksi dan perdagangan menerima bagian kredit yang relatif besar di Aceh 34
Gambar 13 Bagaimana perusahaan-perusahaan menilai kondisi dari jenis-jenis infrastruktur
yang berbeda 39
Gambar 14 Belanja pemerintah untuk infrastruktur di Aceh telah meningkat sejak tahun 2004 40
Gambar 15 Aceh kekurangan cadangan listrik siaga yang diperlukan untuk menghindari
gangguan pasokan 41
Gambar 17 Komposisi sektoral dari sampel survei The Asia Foundation / KKPOD 50
Gambar 16 Lingkungan Indonesia untuk menjalankan usaha masih relatif buruk di tahun 2009 49
Gambar 18 Kinerja perusahaan dan peristiwa-peristiwa kekerasan, per kabupaten 56
Gambar 19 Jumlah pelanggan telepon seluler di Aceh untuk penyedia layanan terkemuka
dan jumlah warnet 62
TabelTabel 1 Bagaimana konfl ik mepengaruhi perekonomian? 11
Tabel 2 Penciptaan lapangan kerja di Aceh 13
Tabel 3 Pertumbuhan ekonomi di Aceh 16
Tabel 4 Proyeksi tingkat kemiskinan Aceh dalam lima tahun (angka pada tahun 2008) 18
Table 5 Kredit investasi dan modal kerja sebagai bagian dari PDRB 26
Tabel 6 Suku bunga nomial rata-rata, Desember 2008 30
Tabel 7 Kredit investasi dan modal kerja sebagai bagian dari keseluruhan kredit 31
Tabel 8 Pendapatan dan kekayaan (hanya untuk laki-laki) 35
Tabel 9 Kondisi infrastruktur di Aceh dan Indonesia tahun 2005 38
Tabel 10 Kondisi Jalan di Aceh, 2006 39
Tabel 11 Tingkat elektrifi kasi di Aceh berada di tingkat yang sama dengan wilayah-wilayah
lain di Indonesia 41
Tabel 12 Capaian pendidikan 42
Tabel 13 Karakteristik dasar, perbandingan antara mantan Tentara Nasional Aceh (TNA),
korban sipil, dan non korban (khusus pria) 43
Tabel 14 Tenaga profesional dalam bidang kesehatan dan pendidikan 44
Tabel 15 Hasil pendidikan – perkiraan kenaikan upah 45
Tabel 16 Indeks persepsi korupsi 52
Tabel 17 Jenis penghidupan (khusus pria) 54
Tabel 18 Perbandingan kawan dan mitra usaha di kalangan mantan pejuang GAM (%) 55
Tabel 19 Ekspor non-migas Aceh, dalam AS$ 61
Tabel 20 Hambatan-Hambatan terhadap Pertumbuhan di Aceh 66
KotakKotak 1 Menguraikan dampak-dampak tsunami, rekonstruksi, dan berakhirnya konfl ik
terhadap pertumbuhan 8
Kotak 2 Data Investasi 18
Kotak 3 Merevitalisasi Pertanian Aceh 20
Kotak 4 Apakah konfl ik merupakan halangan untuk mengakses kredit? 32
Kotak 5 Industri-industri baru yang mulai berkembang di Aceh 62
ivDiagnosis Pertumbuhan Aceh
Pengantar
Aceh saat ini berada di persimpangan jalan. Searah dengan menurunnya usaha-usaha rekonstruksi yang
sebelumnya telah menghasilkan tingkat pertumbuhan yang tinggi disektor-sektor ekonomi tertentu
(misalnya konstruksi, perdagangan dan transportasi), kondisi ekonomi Aceh tercatat terus menurun.
Kondisi penurunan ekonomi secara alamiah ini juga berhubungan dengan dampak negatif krisis keuangan
global. Fakta juga menunjukkan bahwa sebenarnya ekonomi Aceh belum sembuh dari dampak negatif
konfl ik yang terjadi selama 30 tahun.
Berakhirnya masa konfl ik pada tahun 2005 dan berlanjutnya masa-masa damai merupakan pencapaian
besar. Beberapa daerah konfl ik biasanya kembali ke suasana konfl ik dalam tahun-tahun awal kesepakatan
damai. Namun tidak untuk Aceh. Meskipun sempat memanas dalam Pemilu legislatif dalam bulan April
lalu, namun secara umum kondisi keamanan mengalami perkembangan yang menggembirakan. Hal
ini menunjukkan komitmen yang tinggi dari kedua belah pihak termasuk pemerintah pusat untuk terus
memelihara perdamaian sehingga mendorong pembangunan yang lebih baik.
Laporan ini menunjukkan bahwa beberapa investor masih memandang Aceh sebagai daerah yang berisiko
untuk berinvestasi, meskipun fakta menunjukkan bahwa Aceh relative aman selama kurun waktu hampir
4 tahun. Beberapa insiden keamanan, yang lazim terjadi di daerah pasca konfl ik, menghambat pelaku
usaha dan individu untuk berinvestasi di Aceh. Dampak lain dari konfl ik juga masih adanya pajak-pajak
illegal, yang pada akhirnya mengurangi minat investasi. Pemerintah Aceh menyadari bahwa sebelum
pelaku usaha dan masyarakat merubah persepsi mereka tentang keamanan di Aceh dan merasa percaya
diri bahwa mereka dapat memperoleh manfaat penuh dari investasi mereka, hanya sedikit investasi
akan datang. Akhirnya, pertumbuhan propinsi ini akan terbatas dan upaya-upaya untuk mengurangi
kemiskinan akan kurang efektif.
Terdapat masalah lain yang mempengaruhi perekonomian Aceh. Yaitu termasuk lingkungan usaha,
akses pada permodalan dan kualitas infrastruktur. Laporan ini mencoba menunjukkan bagaimana faktor-
faktor yang berbeda ini berpengaruh pada investasi dan pertumbuhan, dan memberikan rekomendasi
pada upaya pemerintah dalam memperioritaskan dan merubah kebijakan untuk meningkatkan iklim
investasi
Meningkatkan kemakmuran masyarakat merupakan hal yang penting untuk menjaga perdamaian. Karena
lingkungan konfl ik dan pasca konfl ik yang tidak positif dapat memperburuk investasi dan pertumbuhan
ekonomi. Konfl ik yang ada di Aceh tidak dapat disederhanakan menjadi hanya isu lapangan pekerjaan
dan ketimpangan sosial. Akarnya jauh lebih rumit dan memelihara perdamaian lebih penting dari sekedar
pertumbuhan ekonomi. Namun demikian, kami percaya bahwa manakala masyarakat dalam keadaan
stabil dan menikmati penghasilan yang layak, maka kekacauan akan menurun. Tentunya menghilangkan
hambatan pertumbuhan dan investasi adalah penting. Karena pada akhirnya dapat membuat propinsi
ini terus tumbuh dengan tingkat hidup yang lebih baik bagi masyarakat, serta membantu terjaganya
perdamaian.
Joachim von Amsberg
Direktur Bank Dunia
Indonesia
Diagnosis Pertumbuhan Acehv
Juli 2009
Ucapan Terima Kasih
Laporan ini disusun oleh unit Manajemen Ekonomi dan Penanggulangan Kemiskinan Asia Timur
Bank Dunia, yang bekerjasama dengan Unit Pembangunan Sosial. Tim penyusun laporan ini diketuai
oleh Enrique Blanco Armas dan terdiri atas Patrick Barron, David Elmaleh, dan Harry Masyrafah. Kami
sangat berterima kasih atas masukan-masukan berharga yang diberikan oleh banyak orang selama
penyusunan laporan ini, termasuk Enrique Aldaz-Carroll, Achmad Budiman, Tim Bulman, Yoko Doi, Said
Fauzan Baabud, Wolfgang Fengler, Fitria Fitrani, Scott Guggenheim, Ahya Ihsan, Islahuddin, Kai Kaiser,
Neni Lestari, Lina Marliani, Lloyd McKay, Adrian Morel, Nazamuddin, David Newhouse, Blair Palmer, Peter
Rosner, Rodrigo Wagner, Susan Wong, Robert Wrobel, Sukmawah Yuningsih, dan Wasi Abbas. Kami juga
ingin mengucapkan terima kasih kepada para rekan peninjau (peer reviewer), Elena Ianchovichina dan
Nicola Pontara, yang telah memberikan masukan-masukan berharga. Rizki Atina yang telah memberikan
bantuan untuk tim, Peter Milne dan Arsianti yang telah membantu dengan melakukan penyuntingan
dan produksi laporan ini.
Dalam melaksanakan penelitian ini, tim mendapatkan bantuan dari sebuah survei kecil dan serangkaian
wawancara yang dilakukan dengan para pelaku usaha dan bank-bank di Aceh. Bimbingan dari Bank
Indonesia dalam melaksanakan survei ini sangat penting, dan kami secara khusus berterima kasih kepada
Yusran dan Eko Hermonsyah dari Bank Indonesia atas bantuannya. Penelitian ini juga mendapatkan banyak
bantuan dari survei di tingkat perusahaan yang dilakukan oleh KPPOD dan The Asia Foundation di Aceh
pada tahun 2008. Keduanya setuju untuk memberikan hasil-hasil surveinya kepada kami, meluangkan
waktu yang cukup banyak untuk membahas survei tersebut dan hasil-hasilnya dengan tim. Kami
ingin berterima kasih khususnya pada Romawaty Sinaga, Adam Day, dan Erman Rahman dari The Asia
Foundation. Kami juga menggunakan hasil dari survei Reintegrasi Aceh dan Penghidupan (ARLS), yang
dilakukan oleh Nielson Indonesia dengan bantuan dana dari Department for International Development
(Departemen Pembangunan Internasional (DFID)) Inggris. Diskusi yang kami lakukan dengan Laura Paler
(Columbia) dan Yuhki Tajima (Riverside) bermanfaat bagi kami dalam penafsiran data.
Tim juga telah mempresentasikan versi awal dari laporan ini dalam Konferensi Internasional tentang Kajian
Aceh dan Kawasan Samudra Hindia (ICAIOS) kedua yang bertajuk “Konfl ik Sipil dan Penanggulangannya”,
di Banda Aceh, dari tanggal 23 sampai 24 Februari 2009. Kami ingin mengucapkan terima kasih kepada
para penyelenggara, Universitas Syiah Kuala, IAIN Ar-Raniry dan the Asia Research Institute (ARI) Universitas
Nasional Singapura, serta para peserta konferensi tersebut, karena telah memberikan kepada kami
kesempatan untuk menyajikan hasil-hasil awal dan memberikan kepada tim tanggapan-tanggapan yang
matang tentang makalah yang disajikan. Hasil-hasil awal juga telah dipresentasikan kepada Pemerintah
Aceh pada bulan April 2009 untuk menjelaskan hasil temyan awal dan untuk memperoleh umpan balik
dari Pemerintah tentang kegiatan kami. Ucapan terima kasih kami haturkan kepada T. Said Mustafa dari
Kantor Gubernur Aceh yang telah memfasilitasi pertemuan tersebut, serta kepada semua peserta yang
telah meluangkan waktunya dan memberikan tanggapan-tanggapan yang bermanfaat kepada tim.
Akhirnya, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada Vikram Nehru, Joachim von Amsberg, dan William
Wallace, yang telah memberikan bimbingan menyeluruh kepada kami, atas dukungan, bimbingan, serta
masukan-masukan bermanfaat yang telah diberikan sepanjang proses penyusunan laporan ini.
viDiagnosis Pertumbuhan Aceh
Daftar Istilah
APKO Asosiasi Penguasaha Kopi
ARLS Aceh Reintegration and Livelihood Survey
ARI Asia Research Institute
ATAP Aceh Triple-A Project
BI Bank Indonesia
BPS Biro Pusat Statistik
CSIRO Australia’s Commonwealth Scientifi c and Industrial Research Organization
DAU Dana Alokasi Umum
DFID Department for International Development
GAM Gerakan Aceh Merdeka
GDP Gross Domestic Product
GER Gross Enrollment Rate
GRDP Gross Regional Domestic Product
GwH Gigawatt Hour
IAIN Institut Agama Islam Negeri
ICAIOS International Conference on Aceh and Indian Ocean Studies
ICG International Consultative Group
IFC International Finance Corporation
IOM International Organization for Migration
IOO Investment Outreach Offi ce
KDP Kecamatan Development Program
KPM Business Empowerment Credit Program
KPPOD Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah
KTP Kartu Tanda Penduduk
KUR Kredit Usaha Rakyat
kVA Kilo Volt Ampere
LDR Loan to Deposit Ratio
LOGA The Law on Governing Aceh
MIGA Multilateral Investment Guarantee Agency
MoU Memorandum of Understanding
MSME Micro, Small and Medium Enterprises
MSR Multi Stakeholder Review
NAD Nanggroe Aceh Darussalam
NER Nett Enrollment Rate
NGO Non Government Organization
NPL Non Performing Loan
PDRB Produk Domestik Regional Brutto
PEG Poverty Elasticities of Growth
PER Pemberdayaan Ekonomi Rakyat
PLN Perusahaan Listrik Negara
PMA Penanaman Modal Asing
PMDN Penanaman Modal Dalam Negeri
Pusdatin Pusat Data dan Informasi
Diagnosis Pertumbuhan Acehvii
Juli 2009
RPJMD Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
RUPTL Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik
Sakernas Survey Tenaga Kerja Nasional
SMA Sekolah Menengah Atas
SME Small Medium Enterprise
Susenas Survey Sosial Ekonomi Nasional
TAF The Asia Foundation
TNA Tentara Negara Aceh
TNI Tentara Nasional Indonesia
UN United Nations
Diagnosis Pertumbuhan Aceh1
Hambatan-hambatan terhadap investasi dan pertumbuhan di Aceh perlu segera ditangani.
Seiring dengan berakhirnya masa rekonstruksi, pertumbuhan ekonomi kembali menurun, seperti
pada saat sebelum terjadinya tsunami. Perekonomian Aceh mengalami penurunan sebesar lebih dari
8 persen di tahun 2008. Sedangkan perekonomian dari sektor non-migas menunjukkan pertumbuhan
yang cukup rendah, yaitu sebesar 1,9 persen, jauh di bawah pertumbuhan di tingkat nasional sebesar 6
persen. Pertumbuhan di Aceh pasca tsunami didominasi oleh sektor-sektor yang berkaitan erat dengan
upaya rekonstruksi, seperti konstruksi, perdagangan, dan transportasi. Seiring dengan akan berakhirnya
upaya rekonstruksi, pertumbuhan sektor-sektor tersebut telah melambat, sementara pelambatan
tersebut belum diisi oleh sektor-sektor lain dalam perekonomian (misalnya, pertanian dan industri). Pada
saat di mana cadangan minyak dan gas yang diketahui semakin menipis dengan cepat dan program
rekonstruksi pasca tsunami tidak lagi menjadi motor penggerak pertumbuhan, sektor swasta perlu
menjadi mesin penggerak pertumbuhan, meningkatkan produktifi tas, dan membentuk kembali sektor
produktif agar tidak lagi bergantung pada sektor minyak dan gas, dan membantu transisi Aceh menjadi
perekonomian yang modern.
Dengan menggunakan kerangka diagnosa pertumbuhan, laporan ini mengidentifi kasi
kurangnya pasokan listrik yang dapat diandalkan sebagai hambatan utama terhadap investasi
dan pertumbuhan di Aceh. Berbagai perusahaan di Aceh melaporkan bahwa pasokan listrik mengalami
gangguan rata-rata 4,3 kali per minggu, lebih dari dua kali lipat dari jumlah gangguan yang dialami oleh
daerah-daerah lain di Indonesia. Usaha manufakturing dan pengolahan hasil pertanian merupakan sektor
yang secara khusus sangat dirugikan apabila terjadi pemadaman listrik. Hal ini menyebabkan sejumlah
usaha kecil yang tidak memiliki generator sendiri tidak dapat menjalankan kegiatannya. Selain untuk
meningkatkan tingkat keandalan pasokan energi dari Sistem Interkoneksi Sumatera, Pemerintah Aceh
dapat mempertimbangkan untuk upaya-upaya pembaruan untuk menarik investasi dari sektor swasta
dalam bidang energi dengan (i) merevisi penetapan harga listrik yang dihasilkan oleh pihak swasta untuk
didistribusikan melalui PLN, (ii) mendorong keikutsertaan sektor swasta dalam pembangkitan listrik dari
sumber-sumber energi yang dapat diperbaharui (panas bumi, biomassa setempat, energi matahari),
dan (iii) menjajaki kemungkinan kemitraan pemerintah-swasta untuk menarik para produsen listrik yang
hemat biaya.
Hambatan utama lainnya terhadap investasi dan pertumbuhan di Aceh adalah masalah
pungutan liar dan masalah keamanan yang masih menjadi perhatian para calon investor. Hal
tersebut harus menjadi fokus instansi-instansi terkait dalam upaya untuk menarik investasi di
Aceh. Sisa-sisa konfl ik di Aceh masih terus menghambat pertumbuhan. Konfl ik dapat menimbulkan
dampak yang mendasar pada lembaga-lembaga ekonomi, sosial, dan politik yang menjadi landasan
pertumbuhan. Dampak-dampak tersebut mempengaruhi bagaimana perekonomian berfungsi dalam
Ringkasan Eksekutif
2Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Ringkasan Eksekutif
masa pasca konfl ik. Selain pengaruh-pengaruh destruktif langsung, dampak-dampak tersebut juga dapat
membahayakan keamanan para individu dan masyarakat dengan cara-cara yang secara tidak langsung
mengubah perilaku, preferensi, dan fungsi kelembagaan. Kekhawatiran akan keamanan dan persepsi
negatif di luar Aceh nampaknya merupakan faktor yang kuat yang menghalangi investasi di provinsi
tersebut. Pungutan liar dan masalah-masalah keamanan dianggap sebagai hambatan-hambatan
yang sangat besar oleh usaha-usaha: 9,3 persen dari usaha-usaha tersebut menyatakan keamanan
dan kemudahan penyelesaian konfl ik sebagai hambatan di Aceh, dibandingkan dengan angka di
provinsi-provinsi yang lain yang hanya mencapai 4 persen. Kabupaten-kabupaten tempat terjadinya
insiden-insiden yang paling hebat sejak penandatanganan Kesepakatan Damai cenderung merupakan
kabupaten-kabupaten di mana perusahaan-perusahaan mencatat kinerja yang lebih rendah. Secara
rata-rata. satu dari empat usaha swasta menyatakan mengeluarkan biaya untuk tambahan keamanan.
Persepsi peningkatan risiko juga dapat juga menimbulkan kurangnya kredit untuk sektor swasta. Semua
hal tersebut meningkatkan ketidakpastian dalam menjalankan usaha di Aceh. Berbagai perusahaan
mencoba mengatasi ketidakpastian tersebut dengan menjalin kerjasama dengan prusahaan-perusahaan
atau jaringan-jaringan setempat yang dapat menawarkan perlindungan dan rasa aman, walaupun hal
tersebut tidak selalu mungkin dilakukan.
Upaya untuk mengatasi kekhawatiran para calon investor tentang keamanan dan pemberantasan
pungutan liar serta suap membutuhkan strategi dua arah: memperkuat supremasi hukum dan
menangani hal-hal yang menjadi penyebab timbulnya ancaman kekerasan dan keamanan. Untuk
memperkuat supremasi hukum, instansi-instansi terkait harus meningkatkan kapasitas kepolisian untuk
melakukan penyelidikan dan menyelesaikan kasus-kasus kejahatan, serta kapasitas sistem peradilan
untuk menuntut dan menghukum para pelaku kejahatan. Hal tersebut mungkin membutuhkan modal
politik yang cukup besar, yang sama pentingnya dengan modal yang diperlukan untuk membangun
konstituen yang diperlukan yang akan mendukung reformasi tersebut, dengan melibatkan masyarakat
madani dan sektor swasta dalam diskusi-diskusi dan pemantauan situasi keamanan. Untuk menangani
faktor-faktor penyebab yang mendasar dari ancaman kekerasan dan keamanan, instansi-instansi terkait
harus mendukung pertumbuhan dan pembangunan ekonomi di daerah-daerah yang dilanda konfl ik,
dengan fokus pada kelompok-kelompok yang berisiko dan rentan. Apabila bantuan hanya diberikan
kepada para mantan pejuang GAM, maka hal tersebut mungkin kurang efektif dan akan menimbulkan
masalah baru serta kecemburuan lainnya.
Situasi keamanan yang lebih baik dan penghapusan pungutan dan pajak liar kemungkinam
besar akan mendorong meningkatnya investasi dan pertumbuhan. Seiring dengan pengurangan
biaya-biaya yang terkait dengan keamanan dan pungutan liar, perusahaan dan para individu akan dapat
lebih mudah menilai biaya-biaya dan hasil investasinya secara lebih pasti dan tentunya akan melakukan
investasi apabila investasi tersebut secara jelas dapat berkembang. Mengingat terbatasnya kapasitas dan
modal politik yang harus dimiliki oleh instansi-instansi pemerintah daerah untuk melaksanakan reformasi,
reformasi harus terlebih dahulu difokuskan pada sektor-sektor yang menghasilkan pertumbuhan yang
berkesinambungan dan menyeluruh dengan penciptaan lapangan pekerjaan dan pemerataan manfaat
pertumbuhan ekonomi secara luas.
Sifat inklusif dari pertumbuhan ekonomi menjadi sangat relevan dalam situasi pasca konfl ik.
Pertumbuhan harus bersifat inklusif, lintas sektoral dan bermanfaat bagi sebagian besar dari angkatan
kerja, terutama masyarakat miskin sebagai produsen. Pertumbuhan inklusif di Aceh akan timbul dari
pertumbuhan sektor-sektor yang menjadi sumber mata pencaharian mayoritas masyarakat miskin, yaitu
pertanian dan perikanan. Pertumbuhan inklusif juga akan didorong oleh penciptaan lapangan pekerjaan
di sektor-sektor padat karya, agribisnis, sektor manufaktur lain, dan sejumlah sektor jasa, terutama
perdagangan dan transportasi. Khususnya di lingkungan pasca konfl ik seperti Aceh, kekhawatiran akan
masalah keadilan dan kepastian bahwa ’para pihak yang berpotensi akan mengganggu perdamaian’
merupakan sebuah masalah yang penting.
Diagnosis Pertumbuhan Aceh3
Juli 2009
Pertumbuhan yang inklusif dan merata yang bermanfaat bagi mayoritas penduduk, juga
memberikan perhatian khusus terhadap peluang terhadap ‘pihak yang berpotensi akan
mengganggu perdamaian’, harus menjadi bagian dari setiap strategi untuk memelihara
perdamaian di provinsi Aceh. Strategi umum untuk mengatasi persoalan keamanan dan konfl ik harus
mencakup upaya untuk mendorong pertumbuhan yang inklusif dan merata. Upaya untuk mengatasi
hambatan-hambatan yang telah teridentifi kasi akan bermanfaat bagi masyarakat secara keseluruhan,
sehingga meningkatkan kemampuan masyarakat miskin dan rentan di Aceh untuk merasakan manfaat
dari pertumbuhan. Terdapat pula intervensi khusus untuk memastikan agar pertumbuhan bersifat inklusif.
Intervensi tersebut antara lain berupa upaya umtuk terus fokus pada sektor pertanian (namun juga
dengan meningkatkan layanan publik lainnya, seperti pemberian kredit, irigasi, dll.). Intervensi tersebut
juga termasuk memulihkan ketidakadilan yang ada baik dalam modal manusia maupun modal fi sik
dengan menambah keterampilan masyarakat miskin di daerah-daerah pedesaan. Pemerataan manfaat
pertumbuhan akan memberikan masyarakat Aceh tanggung jawab yang besar atas perdamaian dan
stabilitas, sehingga pada akhirnya memperkecil kemungkinan terulangnya konfl ik.
Diagnosis Pertumbuhan Aceh5
01
Laporan ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang menjadi penghambat pertumbuhan
di Aceh. Pada saat di mana cadangan minyak dan gas tercatat semakin menipis dan program rekonstruksi
pasca tsunami yang akan segera berakhir, sektor swasta harus menjadi mesin penggerak pertumbuhan.
Sektor swasta yang kuat dapat meningkatkan produktifi tas dan dapat membantu menciptakan investasi
baru dalam sektor industri tradisional dan non tradisional. Hal ini pada akhirnya menciptakan sektor industri
produktif lainnya di samping sektor migas dan membantu transisi Aceh untuk menjadi perekonomian
yang modern. Berbagai tantangan terhadap perekonomian Aceh telah banyak didokumentasikan secara
luas. Laporan ini bertujuan mengidentifi kasi dan memahami secara lebih rinci persoalan-persoalan
pertumbuhan ekonomi yang paling mendesak untuk di perbaiki dan bagaimana upaya reformasi yang
tepat terkait dengan perkembangan dan pertumbuhan sektor swasta.
Laporan ini menggunakan Kerangka Diagnosa Pertumbuhan yang dikembangkan oleh Hausmann,
Rodrik, dan Velasco (2005) yang bertujuan untuk mengidentifi kasi masalah-masalah utama yang
menghambat pertumbuhan perekonomian Aceh dan harus segera menjadi fokus utama dari kebijakan
ekonomi. Masalah-masalah tersebut disebut sebagai hambatan-hambatan utama1. Kerangka ini telah
di modifi kasi sedemikian rupa agar dapat diterapkan dengan latar belakang daerah yang merupakan
daerah pasca konfl ik. Penggunaan kerangka ini dalam latar tersebut memiliki beberapa keterbatasan.
Pada daerah pasca konfl ik, persoalan-persoalan seperti, struktur dasar sosial, dan memastikan bahwa
“pihak yang berpotensi akan mengganggu perdamaian” yang juga merasakan manfaat dari pertumbuhan,
menjadi semakin penting dan tidak dapat ditangani secara mudah dengan menggunakan kerangka
diagnosa pertumbuhan. Terdapat hambatan yang penting terkait dengan ketersediaan data di tingkat
daerah, khususnya minimnya data investasi sektor swasta yang dapat diandalkan. Meski demikian,
laporan ini dapat digunakan sebagai masukan yang berharga dalam proses pengambilan keputusan
politik, memberikan wawasan tentang apa yang menghambat investasi dan pertumbuhan sektor swasta
di Aceh, dan dampak yang terjadi di daerah pasca konfl ik. Laporan ini mengidentifi kasi hambatan-
hambatan terhadap investasi dan pertumbuhan. Di dalam berbagai bagian dalam laporan ini, analisis
yang dilakukan untuk menjawab beberapa pertanyaan seperti ; apakah hambatan-hambatan terhadap
investasi timbul dari tingginya biaya atau rendahnya akses terhadap kredit, ketidakmampuan untuk
menghasilkan laba atas investasi karena rendahnya hasil investasi sosial atau rendahnya tingkat laba atas
investasi yang mungkin diperoleh.
Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu faktor pendorong utama bagi upaya pengentasan
kemiskinan di banyak negara. Namun dampak pertumbuhan pada upaya pengentasan kemiskinan
dan kesinambungan pertumbuhan sangat bergantung pada laju dan pola pertumbuhan. Di
1 Pendekatan ini didasari oleh dalil bahwa faktor-faktor penentu pertumbuhan lebih merupakan pelengkap daripada pengganti.
Oleh karena itu, semua tindakan kebijakan tidak akan memiliki dampak yang sama pada pertumbuhan, karena sejumlah
faktor penentu relatif lebih rendah daripada faktor-faktor penentu yang lain. Hambatan-hambatan utama adalah faktor-faktor
penentu pertumbuhan tersebut yang apabila dikurangi, akan menghasilkan dampak positif langsung tertinggi pada kinerja
pertumbuhan.
Pendahuluan
6Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Pendahuluan
Indonesia, pertumbuhan dari pertengahan tahun 1960-an hingga terjadinya krisis keuangan pada tahun
1997-98 merupakan pertumbuhan yang memihak pada masyarakat miskin dikarenakan meningkatnya
produktifi tas dalam bidang pertanian dan perluasan sektor-sektor padat karya (World Bank, 2006a).
Struktur perekonomian Aceh, yang sangat bergantung pada sektor minyak dan gas dengan sedikit peluang
terhadap ketenagakerjaan dan kaitannya dengan sektor-sektor perekonomian yang lain, menunjukkan
bahwa rendahnya pertumbuhan tidak dapat diejawantahkan ke dalam tingkat kemiskinan yang lebih
rendah (World Bank, 2008a). Tingkat pertumbuhan Aceh tercatat cukup lambat dan berfl uktuatif yang
juga menjelaskan penyebab dari tingginya angka kemiskinan di Aceh. Dengan tidak menyertakan sektor
migas dari sumber-sumber pendapatan daerah, PDB Aceh per kapita yang berjumlah Rp 11 juta (sekitar
AS$1.000) hampir sama dengan jumlah rata-rata di tingkat nasional pada tahun 2006 (Gambar 1). Hal
tersebut bertolak belakang dengan angka kemiskinan. Aceh merupakan salah daerah dengan angka
kemiskinan tertinggi di Indonesia, sebesar 23,5 persen di tahun 2008. Pertumbuhan di sektor non-migas
menguat sebesar lebih dari 7 persen pada tahun 2006 dan 2007, namun angka ini hanya sedikit lebih
tinggi daripada pertumbuhan rata-rata di tingkat pusat, meskipun terdapat aliran dana rekonstruksi
yang sangat besar yang masuk ke provinsi Aceh. Hal ini menimbulkan kekhawatiran tentang prospek
pertumbuhan seiring dengan berkurangya aliran dana rekonstruksi: Tingkat pertumbuhan awal untuk
tahun 2008 menunjukkan bahwa pertumbuhan di sektor non-migas telah melambat sampai dengan
1,9 persen dibandingkan dengan pertumbuhan di tingkat pusat yang mencapai lebih dari 6 persen.
Pertumbuhan yang inklusif dan berkesinambungan, terutama di sektor non-migas, perlu dicapai untuk
menurunkan angka kemiskinan di provinsi tersebut secara signifi kan.
Gambar 1 PDB per kapita di Aceh hampir sama dengan rata-rata nasional
PDRB non-migas per kapita, tahun 2006 (nilai saat ini)
-
10,000,000
20,000,000
30,000,000
40,000,000
50,000,000
60,000,000
Prop. M
aluku U
tara
Prop. M
aluku
Prop. N
usa Tenggara Ti
mur
Prop. G
oronta
lo
Prop. S
ulawesi Barat
Prop. L
ampung
Prop. N
usa Tenggara Barat
Prop. B
engkulu
Prop. S
ulawesi Selatan
Prop. S
ulawesi Tenggara
Prop. Ja
wa Tengah
Prop. S
ulawesi Tengah
Prop. Ja
mbi
Prop. K
alimantan Barat
Prop. Y
ogyakarta
Prop. P
apua Barat
Prop. S
umatra
Selatan
Prop. S
ulawesi Uta
ra
Prop. B
anten
Prop. K
alimantan Selatan
Prop. B
ali
Prop. N
anggroe Aceh D
arussalam
Prop. K
alimantan Te
ngah
Prop. Ja
wa Barat
Prop. S
umatra
Barat
Prop. S
umatra
Uta
ra
Prop. Ja
wa Tim
ur
Prop. R
iau
Prop. B
angka Belitung
Prop. P
apua
Prop. K
alimantan Ti
mur
Prop. K
epulauan Riau
Prop. D
KI Jakarta
ACEH
Sumber: BPS dan perhitungan staf Bank Dunia
Salah satu faktor penentu utama pertumbuhan adalah insentif-insentif yang diberikan oleh
pemerintah guna mendorong sektor swasta dan para individu untuk melakukan investasi.2
Investasi menyebabkan terjadinya akumulasi modal (fi sik, manusia) dan dapat menimbulkan kemajuan
teknologi, dengan demikian meningkatkan produktifi tas. Investasi memungkinan penerapan teknologi-
teknologi baru, menjangkau pasar-pasar baru dan memperkenalkan peningkatan proses usaha dapat
2 Teori pertumbuhan telah banyak berevolusi dalam beberapa dekade terakhir dengan berusaha mengidentifi kasi faktor-faktor
penentu pertumbuhan. Model pertumbuhan klasik, yang berfokus pada akumulasi modal manusia dan modal, atau model
pertumbuhan neoklasik (Solow, 1956), yang mengamati tingkat tabungan dan memperkenalkan konsep kemajuan teknologi,
tidak dapat menjelaskan perbedaan angka-angka pertumbuhan di seluruh negara. Teori pertumbuhan endogen (Romer, 1990)
memperkenalkan konsep insentif untuk inovasi, dampak ikutan, dan Litbang dan bagaimana hal-hal tersebut penting untuk
menghasilkan pertumbuhan produktifi tas. Model-model pertumbuhan modern berfokus pada latar dan kebijakan-kebijakan
kelembagaan yang memberikan insentif yang benar untuk investasi (Aghion and Howitt, 1992). Pencarian faktor-faktor penentu
pertumbuhan yang dapat memandu pembuatan kebijakan masih jauh dari kata usai, namun terdapat kesepakatan bahwa
investasi merupakan faktor penentu utama pertumbuhan.
Diagnosis Pertumbuhan Aceh7
Juli 2009
memiliki dampak ikutan positif yang bermanfaat bagi perekonomian secara keseluruhan. Pemerintah
provinsi Aceh menyadari hal ini dan telah berupaya untuk menarik investasi swasta yang secara nyata
tersaji dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) dan prakarsa-prakarsa lain
yang diusung oleh pemerintah provinsi, seperti “Aceh Hijau”.3 Namun demikian, tingkat investasi di Aceh
tertinggal dari daerah-daerah lain di Indonesia. Tidak ada data tentang investasi yang dapat diandalkan,
terutama tentang investasi swasta, namun bukti yang ada menunjukkan tingkat investasi tersebut sangat
rendah. Investasi sebagai bagian dari PDB berjumlah sekitar 13 persen pada tahun 2008 di Aceh, jauh
lebih rendah dari porsi di tingkat pusat yang berjumlah 24 persen. Kredit investasi, yang kurang dari 8
persen dari PDB, juga tercatat rendah di Aceh dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia,
sebagaimana ditunjukkan oleh data dari Bank Indonesia.
Investasi pemerintah penting bagi pertumbuhan dalam hal bahwa pemerintah menyediakan
barang dan layanan publik yang tidak akan dapat disediakan oleh pasar atau dapat disediakan
oleh pasar dalam jumlah yang kurang memadai. Barang-barang dan layanan-layanan tersebut,
seperti prasarana umum, dapat memberikan manfaat bagi semua pelaku perekonomian dengan biaya
marjinal yang terbatas bagi pengguna tambahan, menciptakan eksternalitas positif di mana laba atas
investasi sosial lebih tinggi daripada laba atas investasi swasta. Sebagai akibat dari eksternalitas tersebut,
apabila diserahkan kepada sektor swasta, penyediaan barang-barang dan layanan publik tersebut tidak
memadai dan hasilnya kurang optimal dari segi sosial. Infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan keamanan
adalah sejumlah bidang yang lebih menonjol di mana pemerintah memiliki peranan yang penting.
Kajian terbaru (Moreno-Dodson, 2008) yang dilakukan oleh Bank Dunia di sejumlah negara berkembang,
termasuk Indonesia, menunjukkan hubungan yang positif antara belanja publik dan pertumbuhan,
terutama apabila alokasi belanja berfokus pada penyediaan barang-barang publik dibandingkan dengan
pemberian subsidi atau penyediaan barang-barang dan masukan-masukan dari swasta. Kajian tersebut
juga menunjukkan bahwa investasi publik melengkapi (dan tidak menggantikan) investasi swasta sebagai
penggerak pertumbuhan.
Laporan ini berfokus pada analisis atas hambatan-hambatan terhadap investasi sektor
swasta, dengan tetap mengakui peran penting yang dimiliki oleh investasi pemerintah dalam
meningkatkan pertumbuhan, yang paling menonjol melalui penyediaan barang-barang publik.4
Laporan ini berasumsi bahwa terkait dengan investasi dalam usaha, sektor swasta lebih efektif dalam
menghasilkan jenis inovasi dan pertumbuhan produktifi tas yang diperlukan untuk memelihara tingkat
pertumbuhan dibandingkan dengan pemerintah. Pemerintah merupakan investor swasta yang kurang
optimal. Para investor swasta kemungkinan memiliki informasi yang lebih baik karena mereka memiliki
pemahaman tentang usaha tertentu. Dibandingkan dengan para pelaku usaha swasta yang umumnya
digerakkan oleh laba, pemerintah memiliki serangkaian tujuan yang lebih luas yang dapat mengakibatkan
inefi siensi dalam pengelolaan badan usaha milik negara. Karena badan usaha tersebut seringkali tidak
dihadapkan dengan hambatan anggaran yang besar, sebagai akibatnya, mereka mungkin dapat melakukan
investasi dengan cara-cara yang sama sekali tidak dapat menghasilkan laba. Investasi pemerintah dapat
mengalahkan investasi swasta karena mereka mungkin khawatir akan adanya persaingan yang tidak
sehat dari badan usaha milik pemerintah. Yang lebih penting lagi, mengingat langkanya sumber daya
dan adanya kebutuhan akan perbaikan penyediaan layanan publik, pemerintah harus berfokus untuk
memberikan layanan-layanan publik tersebut: infrastruktur yang modern, pendidikan yang lebih baik,
perbaikan layanan kesehatan dan lain-lain.
3 Aceh Hijau adalah sebuah prakarsa yang diluncurkan oleh Gubernur Aceh untuk melaksanakan visinya untuk “Strategi Investasi
dan Pembangunan Ekonomi Hijau untuk Aceh”, www.aceh-eye.org/data_fi les/english_format/economic/economic_analysis/
eco_analysis_2008_07_00.pdf
4 Mutu investasi pemerintah telah dianalisis dalam berbagai makalah analisa (World Bank, 2006b dan 2008b) dan sepanjang
makalah tersebut relevan, temuan-temuan tersebut telah dimasukkan ke dalam analisis ini. Terdapat keprihatian tentang
efi siensi belanja dan mutu investasi pemerintah di provinsi Aceh. Pemerintah setempat tidak kekurangan sumber daya,
namun tidak memiliki pengalaman untuk mengalokasikan sumber daya tersebut secara efi sien. Belanja untuk layanan umum
(kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur) cukup tinggi apabila dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain dan mutu layanan
secara umum setara dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia.
8Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Pendahuluan
Konfl ik turut memiliki andil dalam buruknya kinerja perekonomian Aceh dan, yang lebih penting
lagi, sisa-sisa konfl ik dapat terus menghambat pertumbuhan dalam waktu dekat ini.5 Laporan ini
mencoba mengungkap apa saja dampak yang ditimbulkan oleh konfl ik yang berkepanjangan antara
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia pada pertumbuhan dan investasi. Masa-masa
kekerasan bersenjata telah menjadi bagian dari sejarah Aceh setidak-tidaknya sejak jaman penjajahan
(Reid, 2006), yang terbaru adalah konfl ik separatis antara GAM dan Pemerintah Indonesia. Kekerasan
telah mengalami pasang surut sejak tahun 1976, yang mengakibatkan sekitar 12.000 sampai dengan
20.000 meninggal (Aspinall, 2009b), lebih dari 100.000 orang harus mengungsi (IOM, 2008), trauma yang
tersebar luas (IOM/Harvard Medical School, 2007), dan kerusakan infrastruktur yang signifi kan (World
Bank/KDP, 2007; MSR, 2009). Segera setelah terjadinya tsunami, situasi politik di Aceh berubah secara
dramatis dengan berakhirnya konfl ik antara GAM dan Pemerintah Indonesia. Konfl ik tersebut berakhir
dengan penandatanganan Nota Kesepahaman Helsinki oleh GAM dan Pemerintah Indonesia pada
tanggal 15 Agustus 2005. Walaupun demikian, periode pasca konfl ik menimbulkan tantangan-tantangan
baru. Sekurang-kurangnya 10.000 mantan pejuang dan penduduk sipil GAM menghadapi tantangan-
tantangan reintegrasi (Barron and Burke, 2008). Nazamuddin (2008) berpendapat bahwa tantangan
utama dalam pelaksanaan reintegrasi bagi para mantan pejuang GAM adalah lapangan kerja, di mana
75 persen anggota GAM yang kembali ke kampung halaman masih menganggur pada tahun 2006
(World Bank, 2006c), sehingga mereka bergantung pada sanak keluarganya. Meskipun sebagian besar
dari mereka telah kembali bekerja, banyak yang melakukan pekerjaan terkait dengan rekonstruksi pasca
tsunami, sehingga menimbulkan potensi masalah setelah berakhirnya program tersebut (MSR, 2009).
Naiknya tingkat kekerasan yang baru-baru ini terjadi menunjukkan bahwa stabilitas dan perdamaian Aceh
tidak dapat dianggap mudah (World Bank, 2009; ICG, 2009). Laporan ini berupaya menguraikan berbagai
macam dampak yang ditimbulkan oleh komfl ik pada struktur perekonomian masyarakat Aceh dan
bagaimana sisa-sisa peperangan terus membentuk insentif untuk investasi dalam masa pasca-konfl ik.
Kotak1 Menguraikan dampak-dampak tsunami, rekonstruksi, dan berakhirnya konfl ik terhadap
pertumbuhan
Setiap analisis tentang perekonomian Aceh setelah tsunami dan berakhirnya konfl ik akan menghadapi suatu
tantangan: muara dari serangkaian kejadian-kejadian dramatis yang berdampak besar pada perekonomian, sehingga
pengidentifi kasian penyebab-penyebab dan dampak-dampak sangat sulit untuk dilakukan. Laporan ini, yang
berupaya menganalisis pertumbuhan dan hambatan-hambatan terhadap pertumbuhan, menghadapi masalah
yang serupa. Pada tahun 2004, perekonomian mengalami penurunan, karena konfl ik yang berkepanjangan dan
menipisanya cadangan gas. Pada bulan Desember 2004, gempa bumi yang dahsyat dan tsunami menghancurkan
Aceh. Kerusakan dan kerugian, diperkirakan sebesar AS$4,5 milyar, diperhitungkan mencapai 80 persen dari
PDB Aceh. Bantuan dan upaya rekonstruksi yang luar biasa dimulai tidak lama setelah itu, dengan lebih dari
AS$7 milyar dialokasikan untuk Aceh dalam jumlah tahun yang terbatas. Hal tersebut menyebabkan kaitan ke
belakang (backward linkage) dengan sektor-sektor lain dalam perekonomian, terutama di sejumlah sektor seperti
perdagangan, transportasi, dan konstruksi. Berakhirnya konfl ik pada bulan Agustus 2005 memungkinkan banyak
masyarakat Aceh untuk kembali melakukan kegiatan sehari-harinya dan kembali bekerja. Analisis atas dampak
dari setiap kejadian tersebut pada pertumbuhan merupakan analisis yang rumit, mengingat singkatnya jangka
waktu di mana semua hal tersebut terjadi. Laporan ini akan berupaya untuk melakukan hal tersebut dengan
menggunakan serangkaian indikator untuk menidentifi kasi daerah-daerah di Aceh yang terutama terdampak oleh
tsunami, upaya rekonstruksi, atau oleh dinamika konfl ik. Walaupun tidak sempurna, pendekatan tersebut telah
berhasil digunakan di masa lalu (misalnya, World Bank, 2008b). Walaupun demikian, hasil-hasilnya harus ditafsirkan
secara seksama mengingat mutu data dan kesulitan-kesulitan untuk menguraikan dampak-dampak dari kejadian-
kejadian yang berbeda tersebut.
5 Laporan ini menganalisis secara mendalam dampak konfl ik terhadap investasi dan pertumbuhan. Walaupun konfl ik merupakan
inti dari berbagai masalah yang dihadapi oleh Aceh pada saat ini, penting pula untuk mengakui bahwa Aceh bukanlah lingkungan
pasca konfl ik yang biasa. Aceh merupakan bagian dari suatu negara yang cukup besar, yang menawarkan tingkat stabilitas
politik dan ekonomi yang tinggi, serta pasar dalam negeri yang besar. Terkait dengan hal tersebut, kebanyakan persoalan
tersebut yang dapat mempengaruhi perekonomian pasca konfl ik yang lain (lemah atau gagalnya negara, ketergantungan
pada donor dan bantuan) sebagian besar tidak berlaku terhadap Aceh (lihat Barron, 2009).
Diagnosis Pertumbuhan Aceh9
Laporan ini menggunakan kerangka diagnosa pertumbuhan yang dikembangkan oleh
Hausmann, Rodrik, dan Velasco (2005). Bagian ini menjelaskan metodologi yang akan digunakan untuk
mengidentifi kasi hambatan yang paling utama terhadap pertumbuhan, serta bagaimana metodologi
ini disesuaikan dengan kondisi khusus di Aceh. Kerangka diagnosa pertumbuhan memberikan suatu
kerangka kerja untuk mengidentifi kasi, di antara begitu banyak masalah yang mungkin melanda suatu
perekonomian yang menjadi penghambat utama pertumbuhan, dan harus menjadi fokus utama
dari suatu kebijakan ekonomi. Pendekatan ini mengakui bahwa konteks-konteks negara atau daerah
tertentu memerlukan tindakan kebijakan yang berbeda untuk diterapkan. Selain itu, pendekatan ini
mengakui kenyataan bahwa pemerintah seringkali memiliki modal politik yang terbatas dan tidak dapat
melakukan reformasi besar-besaran yang sering bersifat kontraproduktif. Tujuan diagnosa ini adalah
untuk mengidentifi kasi hambatan(-hambatan) yang utama terhadap pertumbuhan yang bersifat khusus
dalam kasus yang diteliti dan yang harus menjadi target reformasi. Tidak ada cara kuantitatif lain untuk
mengukur semua hambatan potensial berdasarkan seberapa besarnya hambatan-hambatan tersebut,
namun suatu kombinasi analisis ekonomi dan pemahaman tentang keadaan ekonomi di provinsi ini
dapat digunakan untuk mengidentifi kasi hambatan yang paling utama.6 Pemahaman tentang konteks
sosial-politik setempat juga dapat membantu dalam penentuan prioritas rekomendasi-rekomendasi
tentang hal-hal yang perlu direformasi.
Kerangka kerja diagnosa pertumbuhan dapat digunakan untuk memahami bagaimana situasi
konfl ik atau pasca konfl ik dapat mempengaruhi investasi dan pertumbuhan. Pilihan metodologi
ini juga didorong oleh keinginan tim untuk menguji persepsi yang tersebar luas dan berdasarkan intuisi
bahwa bagaimanapun juga konfl ik pasti terkait dengan hambatan-hambatan yang paling mengikat
di Aceh. Pendekatan diagnosa pertumbuhan ini mempertimbangkan setiap kategori hambatan untuk
menentukan apakah dan bagaimana suatu kategori telah dipengaruhi oleh konfl ik, dan bagaimana sisa-
sisa konfl ik terus mempengaruhinya. Apakah konfl ik merupakan suatu masalah bagi investasi karena
dalam suatu lingkungan pasca-konfl ik, masyarakat khawatir akan keamanan mereka dan keamanan aset
mereka, atau karena beberapa prasarana penting telah hancur selama terjadinya konfl ik, atau hanya
karena masyarakat percaya bahwa konfl ik akan berkobar kembali dan mereka akan kehilangan semua
investasi mereka. Pendekatan diagnosa pertumbuhan dapat membantu dalam memberikan suatu
penilaian atas kebutuhan yang lebih terkait dengan konteks setempat, di mana, pada akhirnya, dapat
membantu meningkatkan rekomendasi-rekomendasi kebijakan.
Kerangka kerja tersebut perlu disesuaikan untuk menganalisis hambatan-hambatan terhadap
pertumbuhan di daerah pasca-konfl ik pada tingkat daerah. Pertama, kerangka kerja tersebut
dikembangkan untuk menganalisis hambatan-hamatan terhadap pertumbuhan pada tingkat nasional.
6 Suatu gambaran kerangka yang lebih terperinci serta jenis analisis ekonomi yang digunakan untuk mengidentifi kasi hambatan-
hambatan yang mengikat dapat ditemukan di dalam Hausmann, 2008.
02
Metodologi
10Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Metodologi
Penerapan kerangka kerja tersebut pada tingkat daerah menimbulkan beberapa tantangan teoretis
dan metodologis. Mungkin kenyataannya adalah bahwa hambatan yang mengikat terletak di suatu
daerah yang bukan di bawah kendali provinsi, seperti kebijakan moneter atau aturan nilai tukar. Dalam
keadaan seperti demikian, walaupun kebijakan-kebijakan yang menyebabkan timbulnya hambatan
yang mengikat tersebut berada di luar kendali provinsi, namun provinsi masih dapat bertindak untuk
mengurangi akibat-akibat dengan kebijakan-kebijakan “terbaik kedua”. Data yang tersedia pada tingkat
daerah lebih sedikit dibandingkan yang tersedia di tingkat nasional, sehingga analisis menjadi lebih
sulit. Akan tetapi, kerangka kerja ini akan relatif lebih tepat untuk kasus-kasus di mana data dengan
kualitas yang baik sukar didapatkan. Untuk menganalisis dampak konfl ik terhadap investasi, maka
konfl ik tersebut akan diintegrasikan dengan dua cara yang berbeda. Laporan ini menganalisis dampak
langsung yang ditimbulkan oleh konfl ik terhadap insentif-insentif untuk berinvestasi, karena para investor
memperhitungkan kemungkinan terjadinya kembali konfl ik, sehingga mengurangi hasil-hasil sosial dari
investasi. Para calon investor mungkin mengkaitkan Aceh dengan risiko yang lebih tinggi, khususnya
risiko terjadinya kembali konfl ik, yang pada akhirnya dapat mengakibatkan timbulnya faktor diskon
yang lebih tinggi yang dibuat oleh para investor dalam investasi di Aceh atau penjatahan kredit oleh
bank-bank. Konfl ik dapat juga mempengaruhi insentif-insentif masyarakat untuk berinvestasi dengan
berbagai cara yang tidak langsung sebagai akibat dari jumlah modal manusia (human capital) yang
lebih sedikit dan prasarana yang tidak terawat, struktur pemerintahan dan kekuasaan yang paralel yang
menciptakan ketegangan-ketegangan dan masalah-masalah keamanan, serta suatu lingkungan usaha
yang tidak kondusif. Terdapat permasalahan tentang suatu perekonomian pasca-konfl ik yang tidak dapat
sepenuhnya ditangkap dengan menggunakan kerangka kerja ini, termasuk “besarnya jumlah aktor-aktor
politik yang bersaing atau keberadaan lembaga-lembaga negara dan daerah (tradisional) yang bersaing”
(Ulloa, 2008). Namun demikian, kerangka kerja tersebut memberikan suatu metode yang terstruktur untuk
mempertimbangkan serangkaian mekanisme yang mungkin digunakan untuk bagaimana konfl ik dan
dampak-dampaknya menentukan bentuk peluang-peluang untuk investasi dan pertumbuhan. Kerangka
yang telah disesuaikan tersebut dijelaskan dalam Gambar 2.
Gambar 2 Kerangka kerja, yang diadaptasi dari Hausmann, Rodrik dan Velasco (2005)
Biaya keuangan yang besarRendahnya pendapatan dari aktivitas ekonomi
Rendahnya pendapatan sosial Rendahnya appropriability
Kegagalanpemerintah
Kegagalanpasar
yang tidak baik
RendahnyaSDM
Infrastrukturtidak baik
-
Resiko mikro: hak bangunan,
korupsi, perpajakan
Resiko makro: keuangan, moneter,
informasi:Bagian luar
“ self-discovery”koordinasi
Bagian luar
Rendahnya Tabungan domestik +
Keuangan internasional yang kurang baik
Keuangan lokal yang kurang baik
Resiko besar Biaya besar
Rendahnyakompetisi
Rendahnya tingkat investasi swasta dan wirausaha
Kurangnyakeamanan - resiko
Analisis ini menerapkan suatu pendekatan sistematis untuk mengidentifi kasi apa saja yang
dapat menghambat pertumbuhan dan investasi. Analisis tersebut dilakukan mulai dari tingkat yang
paling atas dari diagram pohon di atas dan kemudian terus turun ke tingkat yang lebih rendah, sambil
Diagnosis Pertumbuhan Aceh11
Juli 2009
berupaya pada setiap tahap untuk mengidentifi kasi apa saja yang menghambat investasi sektor swasta.
Setiap cabang menggambarkan potensi “gejala” atau “penyakit” perekonomian yang dapat memberikan
penjelasan tentang tingkat-tingkat investasi swasta dan kewirausahaan yang rendah. Pertanyaan yang
harus dijawab pada tahap ini adalah apakah hambatan yang mengikat tersebut adalah rendahnya
tingkat manfaat bagi kegiatan ekonomi atau biaya kredit yang tinggi. Apabila hambatan yang mengikat
tersebut adalah rendahnya tingkat manfaat, apakah masalahnya terletak pada manfaat sosial (karena
kurangnya faktor-faktor pelengkap seperti geografi , sumber daya manusia, atau prasarana yang baik)
atau kesulitan yang dihadapi pihak-pihak swasta untuk memberikan manfaat tersebut (karena kegagalan-
kegagalan pemerintah atau pasar)? Apabila permasalahannya adalah tingginya biaya kredit, maka apakah
permasalahannya adalah simpanan yang rendah atau sistem keuangan dalam negeri yang buruk di mana
fungsi intermediasi tidak berjalan secara efi sien? Untuk mengidentifi kasi hambatan-hambatan yang
paling mengikat, seseorang harus menjalani suatu proses yang berulang: yakni diagnostik pertumbuhan
itu sendiri. Bagian-bagian dalam laporan ini sesuai dengan berbagai cabang pohon yang menganalisis
apa yang dapat menjadi hambatan-hambatan utama terhadap pertumbuhan di Aceh. Laporan ini
mendalilkan bahwa konfl ik yang melanda Aceh selama lebih dari suatu generasi menimbulkan dampak
negatif terhadap pertumbuhan di provinsi Aceh dalam berbagai bentuk, yang digambarkan dalam tabel
di bawah ini.
Tabel 1 Bagaimana konfl ik mepengaruhi perekonomian?
Kategori Mekanisme
1. Sumber daya manusia
yang rendah
Banyaknya korban jiwa akibat bencana atau konfl ik• Kerusakan pada sistem pendidikan • Ketidakhadiran para guru selama terjadinya konfl ik • Keahlian-keahlian yang tertinggal dari pembaharuan• Perpindahan-perpindahan penduduk secara terpaksa sebagai akibat dari konfl ik • Perpindahan keluar para tenaga ahli•
2. Prasarana yang buruk Pemberian layanan publik setempat yang buruk • Kerusakan langsung terhadap prasarana • Kurangnya pemeliharaan terhadap sarana publik•
3. Risiko-risiko mikro “Pajak-pajak” ilegal yang dikenakan kepada usaha-usaha karena pemerasan yang • dilakukan para mantan pejuang GAM
Lembaga-lembaga pemerintah yang tidak berdaya • Korupsi•
4. Risiko-risiko kredit yang
tinggi
Risiko pengambilalihan atau kerusakan apabila konfl ik berlanjut• Kemungkinan kecenderungan kemerosotan ekonomi yang lebih besar karena •
situasi keamanan
5. Biaya kredit yang besar Pajak-pajak ilegal• Biaya pemantauan yang tinggi •
Penelitian ini menggunakan sumber-sumber data kualitatif dan kuantitatif untuk mengidentifi kasi
hambatan(-hambatan) pertumbuhan utama. Karena tsunami dan konfl ik horizontal, terdapat banyak
penelitian yang dilakukan atas Aceh dan ada banyak literatur tentang provinsi ini. Penelitian ini berdasar
pada sebagian dari penelitian yang sudah ada sebelumnya ini, yang digunakan untuk mengembangkan
hipotesis-hipotesis dan untuk memperluas pemahaman-pemahaman tentang temuan-temuan
kuantitatif. Terkait dengan data kuantitatif, penelitian ini mengandalkan sumber-sumber data standar
seperti BPS (Biro Pusat Statistik) dan BI (Bank Indonesia) untuk sebagian besar indikator-indikator
makroekonomi dan keuangan yang digunakan. Meskipun sebagian besar dari data-data tersebut tersedia
untuk Aceh, beberapa indikator tidak tersedia atau tidak dapat cukup dipercaya (lihat Kotak 2 untuk
perincian-perincian lebih lanjut). Penelitian ini juga menggunakan dua set data tertentu tentang Aceh,
yaitu: Survei pemerintahan ekonomi daerah Aceh yang dilakukan oleh The Asia Foundation / KPPOD
dan Aceh Reintegration and Livelihood Surveys (ARLS). Survei-survei tersebut mencakup informasi sosial
12Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Metodologi
dan ekonomi pada tingkat perusahaan atau perorangan yang membantu menguraikan mekanisme-
mekanisme mikroekonomi yang mendasari perekonomian masyarakat Aceh, serta fokus pada kelompok-
kelompok tertentu, contohnya untuk menyelidiki masalah-masalah yang terkait dengan pertumbuhan
yang inklusif.
Analisis ini difokuskan pada upaya untuk mengidentifi kasi hambatan-hambatan utama
terhadap pertumbuhan yang inklusif. Laporan ini terkait dengan pertumbuhan secara inklusif dan
berkesinambungan. Dengan demikian, fokusnya terletak pada pertumbuhan ekonomi yang memiliki
basis yang luas di semua sektor dan mencakup mayoritas angkatan kerja, khususnya masyarakat
miskin sebagai produsen. Sifat inklusif tersebut merujuk kepada kesetaraan peluang terkait dengan
akses terhadap pasar, sumber daya, dan suatu lingkungan pengaturan yang tidak memihak bagi usaha
dan individu. Analisis atas pertumbuhan yang inklusif difokuskan pada laju dan pola pertumbuhan,
karena penurunan kemiskinan yang berkesinambungan memerlukan suatu jenis pertumbuhan yang
memungkinkan masyarakat untuk memberikan kontribusi kepada dan mendapatkan keuntungan dari
pertumbuhan ekonomi. Hal ini juga mencakup upaya untuk menyelidiki peluang kerja (employability)
masyarakat miskin, serta peluang-peluang bagi mereka untuk dipekerjakan (World Bank, 2008f ). Untuk
menilai peluang kerja masyarakat miskin, diperlukan suatu analisis atas persediaan modal manusia
yang dimiliki oleh masyarakat (pendidikan dan kesehatan), kemampuan mereka untuk mendapatkan
keterampilan dan kemampuan mereka untuk memasuki pasar tenaga kerja di mana mereka dapat
memperoleh pendapatan dengan menggunakan keterampilan mereka. Pilar kedua dari pertumbuhan
yang inklusif, yaitu peluang kerja, yang bergantung kepada sektor swasta yang dapat menawarkan
peluang kerja. Dengan demikian, meneliti pertumbuhan yang inklusif secara tidak langsung menyiratkan
upaya untuk meneliti sisi persediaan tenaga kerja (masyarakat miskin dan keterampilan mereka), serta sisi
permintaan tenaga kerja (perusahaan dan investor). Sebuah kerangka kerja pertumbuhan yang inklusif
untuk menganalisis hambatan-hambatan terhadap pertumbuhan mungkin merupakan hal yang penting
khususnya untuk Aceh, karena ketimpangan yang sistematis pada peluang dapat menggelincirkan
proses pertumbuhan dengan adanya konfl ik (Komisi Pertumbuhan dan Pembangunan – Commission on
Growth and Development, 2008).
Perhatian yang terkait dengan pertumbuhan yang inklusif diejawantahkan dalam tiga bidang
utama. Bidang-bidang tersebut adalah: fokus pada sektor-sektor yang padat karya, seperti pertanian
atau perdagangan kecil; penilaian tentang lingkungan usaha dan peluang-peluang-peluang untuk
memanfaatkan sumber daya yang tersedia dalam lingkungan usaha tersebut; serta pemahaman tentang
dampak ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat karena konfl ik pada tingkat individu. Tabel di bawah ini
menunjukkan bahwa sampai dengan tahun 2008, jumlah orang yang bekerja telah mengalami penurnan
sampai dengan lebih dari 100.000 orang. Jumlah tenaga kerja pada sektor pertanian dan perdagangan
telah berkurang, sementara sektor-sektor lain tidak mampu menciptakan pekerjaan dengan laju yang
sama. Hal yang sangat mengkhawatirkan adalah bahwa sebagian besar dari lapangan kerja yang tercipta
(transportasi, konstruksi) yang terkait dengan upaya rekonstruksi juga mempekerjakan sebagian besar dari
para mantan pejuang GAM. Oleh karena itu, berakhirnya rekonstruksi dapat disertai dengan penurunan
lapangan kerja di Aceh. Upah bulanan rata-rata memberikan cerminan yang jelas tentang nilai tambah
per pekerja dalam sektor tersebut, di mana sektor pertanian dan perdagangan memiliki nilai tambah
per pekerja yang sangat rendah (terkecuali sektor jasa, yang kebanyakan termasuk layanan umum).
Peningkatan pada penghidupan masyarakat yang bekerja dalam sektor pertanian dan perdagangan
eceran sebagian besar akan hanya dapat tercapai dengan mengalihkan kedua sektor tersebut ke dalam
kegiatan-kegiatan yang memiliki nilai yang lebih tinggi. Bagian berikut ini akan meninjau fakta-fakta
terhadap hambatan-hambatan yang paling utama terhadap pertumbuhan yang inklusif.
Sumber: Bank Indonesia, BPS dan kalkulasi staf Bank Dunia
c. Apakah permasalahannya adalah rendahnya tabungan dan tidak adanya akses terhadap pembiayaan eksternal?Tingkat tabungan yang rendah bukan merupakan alasan bagi rendahnya volume kredit di provinsi
ini. Satu penjelasan klasik tentang mengapa kredit dapat menjadi mahal atau mengapa bisa terdapat
penjatahan kredit adalah rendahnya persediaan dana serta tidak adanya akses terhadap pembiayaan
eksternal. Aceh merupakan salah satu daerah yang memiliki rasio tabungan-terhadap-PDRB tertinggi
di Indonesia. Gambar 10 menunjukkan hal ini di mana Provinsi Aceh menduduki peringkat ke-empat
19 Data ini menangkap situasi ekonomi di provinsi ini sebelum dimulainya kiris keuangan global. Setelah terjadinya krisis kredit
dalam ekonomi riil, pernyataan di atas mungkin memerlukan kualifi kasi.
20 Sumber: Pak Dahlan Sulaiman, kepala program.
Diagnosis Pertumbuhan Aceh29
Juli 2009
pada tahun 2006. Tidaklah mengherankan, Aceh memiliki rasio pinjaman-terhadap-simpanan (loan-to-
deposit ratio/LDR) yang rendah: pada bulan Desember 2008, LDR berada di tingkat 46 persen, yang secara
signifi kan lebih rendah dari rasio nasional sebesar 70 persen.
Gambar 10 Tabungan per PDRB untuk provinsi-provinsi di Indonesia, 2006
PDRB non migas riil per kapita 2006 (Rp juta, harga 2000)
6002sagim non BR
DP rep nagnubaT
* disesuaikan terhadap deposit pemerintah menurut rata-rata nasional
NasionalSumatra Utara Kalimantan Timur
DKI Jakarta
Aceh*
Aceh
Sumber: Bank Indonesia dan staf Bank Dunia
Sebagian besar simpanan di Aceh adalah simpanan jangka pendek, namun demikian tingkat
tabungan tidak menjadi hambatan bagi pembiayaan di provinsi tersebut. Situasi di Aceh dapat
menyesatkan karena tingkat rekonstruksi yang tinggi dan dana-dana pemerintah yang telah dimasukkan
ke provinsi ini oleh berbagai badan pemerintah dan non-pemerintah. Sebagaimana ditunjukkan
dalam Gambar 11, pada tahun 2007 dana-dana pemerintah mewakili 36 persen dari seluruh simpanan,
dibandingkan dengan rata-rata sebesar kira-kira 14 persen secara nasional. Karena dana-dana tersebut
tidak dapat dipinjamkan, kecilnya jumlah sisa ‘dana-dana yang yang boleh dipinjamkan/loanable funds” ini
bisa menjelaskan mengapa hanya ada sedikit kredit di Aceh sementara total tabungan begitu besar. Untuk
menguji hipotesis ini, diasumsikan adanya tingkat yang sama pada ‘dana-dana yang dapat dipinjamkan’
dengan daerah-daerah lain di Indonesia dibandingkan dengan tingkat tabungan di Aceh (titik data
“Aceh*” pada Gambar 10 di atas).21 Bahkan setelah dibandingkan tingkat tingkat tabungan nasional, Aceh
masih memiliki rasio tabungan-terhadap-PDRB yang relatif tinggi, yang membawa kita pada kesimpulan
bahwa persediaan dana tidak menjadi alasan rendahnya rasio kredit-terhadap-PDRB.
Gambar 11 Dana-dana pemerintah menyumbangkan bagian yang besar dari simpanan di Aceh
Deposit Aceh, 2004-07
36% 30% 18% 17%
64% 70%
82%
83%
-
5
10
15
20
25
2004 2005 2006 2007
Trill
ion
Rp
Sumber: Bank Indonesia, Aceh
Dana pemerintah Dana swasta
Deposit Nasional, 2004-07
11% 14% 16% 14%
89% 86%
84% 86%
0200400600800
10001200140016001800
2004 2005 2006 2007
Trill
ion
Rp
Sumber: Bank Indonesia
Dana swastaDana pemerintah
21 Penyesuaian ini adalah untuk mengurangi tabungan masyarakat di Aceh sehinga bagian tabungan masyarakat dalam tabungan
total sama dengan rata-rata nasional..
30Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Akses terhadap Kredit
Apabila tabungan memang tinggi di Aceh, harus ada penjelasan lain tentang mengapa volume kredit
rendah: apakah karena sektor perbankan tidak melaksanakan fungsinya sebagai perantara (intermediary
function) dengan baik atau karena kredinya yang dibatasi? Hal – hal dibawah ini mencoba mengfokuskan
untuk menggali beberapa opsi yang berbeda dalam melihat masalah diatas.
d. Apakah permasalahannya adalah fungsi intermediasi (perantara) bank-bank lokal yang rendah? Rendahnya fungsi perantara oleh bank-bank lokal di Aceh dapat menghambat kemampuan
mereka untuk memberikan kredit kepada dunia usaha. Bank-bank di Aceh tampaknya belum yakin
dalam mengevaluasi permohonan-permohonan pinjaman; walaupun proses kajian seharusnya secara
resmi berlangsung selama tidak lebih dari satu bulan, UKM kadang-kadang harus menunggu sampai
dengan enam bulan apabila mereka mengajukan permohonan pinjaman untuk pertama kali (IFC, 2007).
Untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang peran intermediasi yang dimainkan bank-bank
di Aceh, serangkaian wawancara secara mendalam dengan delapan bank umum di Banda Aceh te;ah
dilakukan pada bulan Desember 2008 untuk mengkaji perspektif bank dalam menjalankan usaha di
Aceh serta tantangan-tantangan khusus yang mereka hadapi. Tujuannya adalah untuk melihat apakah
bank-bank tidak mampu dalam menentukan nilai risiko khusus berkaitan dengan kredit di Aceh, yang
menyebabkan bank tidak bersedia memberi pinjaman, atau apakah bank tidak memiliki keahlian yang
mungkin diperlukan untuk menjalankan usaha di Aceh dan memberikan pinjaman.
Bank-bank tidak mengenakan suku bunga yang lebih tinggi di Aceh untuk menentukan biaya
akibat dari persepsi risiko-risiko yang lebih besar dalam menjalankan usaha perbankan di provinsi
tersebut. Apabila bank khawatir tentang tingkat gagal bayar (default rate) di Aceh, orang akan mengira
bank-bank tersebut, antara lain, mengenakan suku bunga yang lebih tinggi di provinsi ini. Menariknya,
semua bank yang diwawancarai oleh tim menyatakan bahwa mereka mengenakan suku bunga yang
sama seperti di daerah-daerah lain di Indonesia. Data Bank Indonesia yang disajikan dalam Tabel 6
menunjukkan bahwa suku bunga nominal rata-rata di Aceh lebih rendah dari rata-rata nasional dan suku
bunga di provinsi-provinsi lain pada bulan Desember 2008. Perbedaan-perbedaan suku bunga yang
diamati mungkin dikarenakan bank-bank memiliki portofolio berbeda di provinsi yang berbeda, karena
semua bank yang diwawancarai menyatakan bahwa suku bunga yang mereka kenakan bergantung
pada banyak faktor (besarnya pinjaman, jatuh tempo, peminjam, dll.) namun tidak bergantung di provinsi
mana pinjaman tersebut diberikan. Suku bunga yang rendah di Aceh menunjukkan bahwa bank-bank
tidak memperhitungkan biaya risiko yang lebih tinggi yang dipersepsikan dalam menjalankan usaha di
Aceh.
Tabel 6 Suku bunga nomial rata-rata, Desember 2008
Nasional
(%)
Aceh
(%)
Sumatera Utara
(%)
Kalimantan
Timur (%)
Papua
(%)
Sulawesi
Tengah (%)
Modal Kerja 15,22 14,10 15,73 14,95 15,11 15,70
Investasi 14,4 13,65 15,16 14,29 14,71 14,14
Konsumsi 16,4 12,00 13,73 13,26 14,22 14,37
Sumber: Bank Indonesia, kalkulasi staf Bank Dunia
Satu cara bagi bank untuk mempertahankan portofolio pinjaman yang besar tanpa kemungkinan
menanggung persepsi risiko yang lebih besar dari pemberian pinjaman investasi adalah dengan
mengfokuskan pada pemberian pinjaman konsumsi. Sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 7, porsi
kredit investasi dan kredit modal kerja dari dari total kredit di Aceh lebih rendah dari daerah-daerah lain
Diagnosis Pertumbuhan Aceh31
Juli 2009
di Indonesia, dan lebih rendah lagi dibandingkan dengan provinsi tetangga, Sumatera Utara. Pinjaman-
pinjaman konsumsi biasanya dianggap lebih aman dan tidak mengharuskan penyaringan yang ketat
terhadap pemohon, karena barang-barang yang dibeli, khususya motor atau mobil, digunakan sebagai
barang jaminan. Lebih lanjut, bank mengakui bahwa sebagian besar nasabah mereka adalah pegawai
negeri sipil dan sebagian besar permohonan pinjaman mereka disetujui.
Tabel 7 Kredit investasi dan modal kerja sebagai bagian dari keseluruhan kredit
Persentase
Bagian kredit investasi dan modal kerja dalam keseluruhan kredit
2005 2006 2007
Aceh 48.6 49.8 50.8
Sumatera Utara 78.6 79.0 78.7
Riau 68.9 68.3 68.5
Kalimantan Timur 76.8 78.9 80.3
Papua 42.6 47.5 54.1
Sulawesi Tengah 51.9 50.9 49.9
Maluku 57.8 38.8 40.6
Sumatera 71.7 71.8 71.7
Java 71.3 72.7 71.3
Indonesia 70.3 71.4 70.3
Sumber: Kalkulasi Bank Indonesia dan staf Bank Dunia.
Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa fungsi perantara bank menjadi penghambat investasi
di Aceh. Masalahnya mungkin adalah bahwa bank tidak memiliki sumber daya manusia (pejabat bagian
kredit) yang diperlukan untuk menilai permohonan pinjaman secara memadai, namun lebih memilih
untuk menolak permohonan-permohonan dan berfokus pada portofolio pinjaman yang lebih aman
dan melewatkan peluang-peluang usaha yang menguntungkan. Hal ini berpengaruh lebih besar bagi
Aceh dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain, mengingat bahwa bank tidak banyak melayani wilayah
selama konfl ik. Beberapa pelaku terbesar yang ada di daerah-daerah pedesaan mengirim personil kredit
ke lapangan untuk mengidentifkasi dan melakukan pendekatan kepada usaha-usaha yang dianggapnya
layak untuk memperoleh kredit dan memberikan kredit kepada usaha-usaha tersebut. Pendekatan proaktif
ini efektif untuk memperluas portofolio pinjaman dan mempertahankan agar tingkat pengembalian
tetap tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa tetap ada ruang untuk meningkatkan intermediasi keuangan
dan bank yang mengirim personil kredit yang terlatih ke lapangan bertemu dengan nasabah potensial
telah berhasil melayani lebih banyak pemohon dan badan usaha. Walaupun demikian, dengan
besarnya dana yang dikeluarkan dalam rekonstruksi dalam jangka waktu yang pendek, bank telah
dengan cepat memberi tanggapan dengan membuka cabang-cabang untuk memperoleh simpanan
dan mempekerjakan tenaga-tenaga ahli yang diperlukan untuk memberi pinjaman bagi sektor-sektor
yang dianggapnya aman. Mengingat juga sifat yang relatif kompetitif dari sektor perbankan, hanya ada
sedikit bukti pasti yang menunjukkan bahwa bank tidak akan memperbaiki kapasitasnya untuk melayani
permintaan kredit, apabila bank menganggap bahwa sektor usaha ini menguntungkan.
32Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Akses terhadap Kredit
Kotak 4 Apakah konfl ik merupakan halangan untuk mengakses kredit?
Dalam melakukan pendekatan terhadap permasalahan pembiayaan di Aceh, salah satu hipotesis dari tim adalah
bahwa bank mungkin enggan untuk memberi pinjaman bagi usaha-usaha lokal karena bank masih mengkha-
watirkan stabilitas provinsi ini. Mengingat sejarah Aceh yang ditandai kekerasan dan perdamaian yang masih
baru, tampaknya masuk akal bahwa bank berhati-hati akan munculnya kembali bentuk kekerasan, dan dengan
demikian bank dengan sukarela membatasi kegiatannya di provinsi ini. Temuan-temuan dari wawancara-wawan-
cara bervariasi: terdapat konsensus yang kuat bahwa masalah keamanan, sekarang menjadi “bisnis seperti biasa”
bagi bank di Aceh dan masalah-masalah yang lebih berat juga masih ada. Namun demikian, banyak bank me-
nyebutkan bahwa selama konfl ik, bank-bank tersebut mengurangi keberadaan (atau tidak ada sama sekali) dan
membuka cabang baru di provinsi ini. Jika konfl ik masih mungkin untuk terjadi, hal tersebut akan tetap menjadi
pertimbangan bank untuk menjalankan usaha di Aceh. Beberapa bank menyatakan maksudnya untuk mem-
perluas jaringan cabang mereka di Aceh, khususnya dengan menjangkau hingga ke kabupaten dan kota-kota
selain ibukota provinsi, ini dapat mencerminkan perbaikan daya tarik provinsi tersebut, yakni bahwa saat ini per-
damaian telah bertahan hingga lebih dari tiga tahun. Tidak ada bank yang mengutarakan bahwa pihak mereka
mengenakan biaya suku bunga yang berbeda di provinsi ini (sebagai akhibat dari risiko yang lebih besar yang
dipersepsikan), atau telah menetapkan persyaratan-persyaratan barang jaminan yang ketat. Setiap perbedaan
dalam suku bunga dapat dijelaskan dengan perbedaan dalam portofolio pinjam (misalnya pinjaman-pinjaman
yang lebih kecil yang akan menghasilkan suku bunga rata-rata yang lebih tinggi yang dibebankan sebagai biaya).
Lebih lanjut, walaupun bank tidak menunjukkan kekhawatiran bahwa konfl ik mungkin akan muncul kembali,
semuanya menampakkan keprihatinan tentang pemilu lokal dan pemilihan umum presiden tahun 2009 dan
fakta bahwa terdapat banyak keputusan strategis yang ditunda hingga bank-bank tersebut dapat mengamati
apakah pemilu kembali menimbulkan ketidakstabilan. Fokus pada pinjaman konsumsi, dan secara khusus pada
pinjaman yang melayani pegawai negeri sipil, juga menunjukkan suatu upaya dari bank-bank untuk mengurangi
risiko menjalankan usaha di Aceh.
Sumber: Survei terhadap bank di Aceh.
Walaupun tampaknya masih ada ruang bagi peningkatkan dalam cara bagaimana bank memenuhi fungsi
penengahan keuangannya — terutama untuk banyak bank yang meninggalkan provinsi tersebut selama
konfl ik dan lambat laun datang kembali — hal ini tidak mungkin menjadi faktor utama di balik rendahnya
tingkat kredit bagi sektor swasta. Mengingat ketersediaan dana, pertumbuhan yang kuat selama upaya
rekonstruksi dan keamanan relatif di sebagian besar daerah Aceh, tampaknya tidak mungkin bagi bank
untuk tidak menyediakan sumber daya dan kapasitas yang diperlukan, setidaknya pada tingkat yang sama
dengan yang dilakukannya di tempat-tempat lain di Indonesia. Perbedaan jumlah kredit yang diberikan
kepada dunia usaha pada daerah-daerah lain di negeri ini, tidak bisa dijelaskan sebagai kurangnya
kapasitas bank-bank lokal.
e. Apabila tidak, apakah persoalannya adalah pembatasan kredit oleh bank?Pembatasan kredit dapat menjadi suatu alasan rendahnya tingkat kredit. Biaya kredit tampaknya
bukan merupakan halangan utama bagi investasi, dan bukan pula buruknya fungsi perantara dari bank-
bank lokal. Alasan lain bagi rendahnya tingkat kredit yang diberikan bagi usaha-usaha barangkali adalah
bahwa bank-bank tidak mempunyai pilihan untuk melakukan hal tersebut. Misalnya, hal tersebut dapat
terjadi karena banyak usaha bersifat informal,22 atau karena bank enggan memberi pinjaman bagi jenis-
22 Hal ini mungkin bukan merupakan hambatan dalam mengakses pinjaman-pinjaman kecil, karena bank tidak meminta nomor
pendaftaran usaha atau pajak, melainkan mensyaratkan KTP atau kartu pendaftaran keluaraga dan referensi-referensi informal
lainnya (misalnya, dari kepala desa).
Diagnosis Pertumbuhan Aceh33
Juli 2009
jenis pemohon kredit tertentu.23
Bank bersikap hati-hati dalam pendekatannya untuk beroperasi di Aceh, yakni menghindari
sektor-sektor yang lebih berisiko seperti pertanian atau menghindari para peminjam seperti
UKM. Dalam wawancara-wawancara yang dilakukan terhadap bank-bank umum di Banda Aceh,
tampak bahwa bank-bank tersebut bersikap sangat hati-hati di provinsi ini (sebagaimana ditunjukkan
oleh rendahnya pinjaman macet (non-performing loan/NPL) dari sebagian besar bank dan sektor
perbankan secara umum), yang membatasi akses masyarakat dan usaha terhadap kredit. Pertama, bank-
bank biasanya enggan menawarkan produk-produk pinjaman yang tidak mewajibkan adanya barang
jaminan dan sebagian besar menargetkan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).24 Hal ini dapat
menjadi halangan yang serius bagi akses karena banyak orang dan usaha kehilangan aset dan sertifi kat
selama tsunami, sehingga mereka tidak lagi dapat menggunakanya sebagai barang jaminan. Kedua,
beberapa orang telah dimasukkan dalam “daftar hitam” oleh bank. Hal ini terjadi setelah mereka gagal
mengembalikan pinjaman sebagai akibat dari kehilangan-kehilangan selama tsunami dan, untuk saat ini,
mereka tetap tidak dapat mengajukan permohonan pinjaman baru walaupun sebagian besar pinjaman-
pinjaman lama tersebut telah diputihkan. Ketiga, pertanian tampaknya merupakan sektor yang relatif
berisiko dan, walaupun banyak bank menyatakan ketertarikannya untuk memberi pinjaman lebih untuk
mendorong pengembangan pertanian, hal ini masih harus ditindaklanjuti dengan kegiatan selanjutnya.
Struktur kredit di Aceh lebih mengarah ke sektor-sektor yang dianggap kurang berisiko, seperti
konstruksi dan perdagangan. Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 12, alokasi kredit investasi
dan modal kerja secara sektoral lebih diarahkan ke sektor-sektor yang dianggap lebih aman. Sektor-
sektor tersebut sebagian besar adalah ekonomi perkotaan, seperti perdagangan dan, pada tingkat
yang lebih rendah, konstruksi. Sektor-sektor yang paling banyak menerima kredit adalah sektor-sektor
di mana investasi modal tetap rendah, seperti perdagangan. Hal ini mungkin dapat menjadai petunjuk
bahwa dunia usaha masih belum berniat melakukan investasi yang besar di provinsi ini karena mereka
mempersepsikan adanya risiko yang besar bahwa konfl ik dapat timbul kembali dan membuat mereka
terpaksa tidak bisa melanjutkan usaha. Membatasi investasi modal tetap dengan alasan bahwa mereka
mungkin dipaksa meninggalkan usaha dalam keadaan seperti itu merupakan cara yang mudah bagi
usaha untuk melindungi diri dari risiko tersebut. Bagian dari kredit yang masuk ke sektor manufaktur
sejalan dengan daerah-daerah lain di Sumatera dan Indonesia, dan bagian kredit yang masuk ke sektor
pertanian lebih rendah dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Sumatera. Pemberian pinjaman bagi
industri pengolahan makanan dihambat oleh ukuran yang kecil dari industri tersebut di Aceh. Alokasi
kredit yang besar bagi sektor konstruksi akan tampak bertentangan dengan pernyataan-pernyataan yang
disampaikan para bankir yang diwawancarai, yang mengidentifi kasi konstruksi sebagai sektor yang juga
relatif berisiko: para kontraktor sering menghadapai persoalan-persoalan berkaitan dengan pemberian
hak atas tanah, pungutan liar atau harga bahan bangunan yang berubah-ubah. Namun demikian, bagian
kredit yang masuk ke sektor ini masih lebih tinggi daripada di daerah lain di Sumatera dan rata-rata
nasional, yang menunjukkan bahwa, walaupun terdapat kesangsian seperti yang diutarakan, konstruksi
merupakan pendorong utama perekonomian provinsi ini selama beberapa tahun terakhir di mana bagian
yang besar dari semua sumber daya – pemerintah dan swasta – diberikan kepada sektor ini.
23 Kesulitan akses terhadap kredit bagi usaha-usaha dan para petani yang lebih kecil bukan hanya masalah khusus di Aceh, karena
masalah tersebut mempengaruhi seluruh negara (dan sebagian negara lain untuk hal tersebut). Upaya-upaya yang dilakukan
pemerintah untuk menangani permasalahan ini melalui skema kredit yang disubsidi atau dijamin menunjukkan tingkat
pengembalian yang rendah, yang agaknya membenarkan keengganan bank swasta untuk memberi pinjaman bagi sektor ini.
Di Aceh, program PER (Pemberdayaan Ekonomi Rakyat) diluncurkan pada 2001 dan terdiri dari pinjaman-pinjaman kecil (Rp.1 –
Rp.250 juta) bagi UKM informal. Program ini tidak mempersyaratkan barang jaminan. Antara tahun 2001 dan 2003, Rp.47 milyar
dicairkan di mana sejumlah Rp.40 milyar gagal bayar. Tingkat pengembalian yang rendah ini kemudian dijelaskan dengan tidak
adanya persyaratan barang jaminan, tsunami dan akibat-akibatnya serta tidak baiknya perencanaan program (pemerintah, dan
bukan bank, yang menyeleksi para pemohon). Tingkat pengembalian yang rendah dari skema bersubsidi yang disponsori oleh
pemerintah juga disoroti oleh beberapa bank yang menjadi sumber diskusi tim di Aceh selama persiapan kajian ini.
24 Wawancara dengan bank-bank, Banda Aceh, Desember 2008.
34Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Akses terhadap Kredit
Gambar 12 Sektor konstruksi dan perdagangan menerima bagian kredit yang relatif besar di
Aceh
Bagian dari investasi dan kredit modal kerja yang masuk ke sektor yang diseleksi, 2007
0.0%
10.0%
20.0%
30.0%
40.0%
50.0%
60.0%
70.0%
80.0%
Pertanian Pertambangan Manufaktur ListrikGas, & Air
Bangunan Perdagangan, restoran dan
hotel
Transportasi,gudang &
komunikasi
Jasa usaha Jasa sosial
Aceh Sumatera Utara Kalimantan Timur Sulawesi Tengah Papua SUMATERA INDONESIA
Sumber: Kalkulasi Bank Indonesia dan staf Bank Dunia
Secara umum, tampak bahwa bank-bank tidak bersedia memberikan pinjaman bagi sektor
agrobisnis dan perkebunan yang berskala kecil apabila pemerintah atau LSM tidak membantu
penjaminan pinjaman tersebut. Ada pemahaman bahwa pasar telah terdistorsi ketika para petani dan
nelayan telah menerima hibah dan pinjaman dari LSM selama rekonstruksi, dan saat ini tidak bersedia
mengambil kredit komersial yang wajib mereka kembalikan.25 Program-program pemberian pinjaman
mikro yang tidak mensyaratkan barang jaminan, atau yang hanya menerima peralatan atau perabotan
rumah tangga sebagai barang jaminan, sangat berhasil dan memperoleh permintaan yang tinggi.
Bahkan bank-bank yang memiliki tenaga ahli di bidang kredit mikro, dan berpengalaman memeberikan
pinjaman bagi ekonomi pedesaan di provinsi-provinsi lain tampaknya juga enggan untuk melaksanakan
program-program pemberian pinjaman pembiayaan mikro di Aceh.26 Lagi pula, sebagian dari keberhasilan
perbankan syariah akhir-akhir ini dapat dijelaskan dengan fakta bahwa perbankan ini tidak mensyaratkan
barang jaminan untuk memberikan pinjaman.27
Orang atau kelompok yang telah kehilangan aset-asetnya karena tsunami atau karena konfl ik mungkin
bisa terhalang untuk mengakses kredit. Terdapat bukti bahwa para korban konfl ik memiliki lebih sedikit
aset dibandingkan yang bukan korban konfl ik (Tabel 8). Kasus mantan kombatan GAM juga patut dilihat
bahwa: secara rata-rata, walaupun mereka memiliki pendapatan yang sama dengan warga sipil, basis aset
mereka lebih rendah. Mungkin juga ada beberapa kelompok yang kurang beruntung di Aceh mengalami
hambatan untuk mengakses kredit, yang pada gilirannya dapat menjadi penghalang bagi mereka untuk
dapat melakukan kegiatan ekonomi dan berinvestasi.
25 IFC, “Aceh Financial Sector Diagnostics”, November 2007.
26 Wawancara dengan bank-bank, Banda Aceh, 2009.
27 IFC, “Aceh Financial Sector Diagnostics”, November 2007, hal.2.
Diagnosis Pertumbuhan Aceh35
Juli 2009
Tabel 8 Pendapatan dan kekayaan (hanya untuk laki-laki)
rumah tangga (rata-rata)7.628 10.044 8.912 10.800 -2.416 -1.887
Bagian rumah yang terbuat dari beton
(%)27 36 31 40 -9*** -9**
Akses terhadap air dari sumber yang
bersih/terlindungi (%)46 60 56 63 -15*** -7**
Persepsi tentang Kemiskinan
Rumah tangga di kalangan sepertiga
termiskin di desa††65 47 53 42 18*** 12***
*** Signifi kan pada 99%; ** Signifi kan pada 95%; * Signifi kan pada 90%. Tabel melaporkan rata-rata penduduk dan
n sampel. Sumber: MSR, 2009.
Setelah berakhirnya konfl ik, bank telah memulai kembali operasinya di Aceh dan secara bertahap
kembali ke modus operasi “ bismis seperti biasa” di daerah tersebut. Akan tetapi, bukti menunjukkan
bahwa proses ini barangkali lebih lambat daripada yang diperkirakan oleh bank. Pada saat ini, sebagian
besar bank hanya beroperasi di kota-kota utama provinsi dan sangat sedikit menjangkau daerah-daerah
pedesaan. Akibatnya, mereka kekurangan kapasitas untuk memberikan pinjaman bagi sektor-sektor
ekonomi yang utama dalam perekonomian, seperti pertanian dan perikanan. Bank-bank sebagian
besar melayani para peminjam yang paling tidak beresiko. Tidak ada bank yang memberikan pinjaman
usaha kepada perusahaan-perusahaan yang berusia kurang dari satu tahun. Bank-bank sebagian besar
memberi pinjaman kepada usaha-usaha yang sudah berkembang dan memiliki aliran kas yang besar
dan jaminan yang cukup. Di Aceh, usaha-usaha tersebut sebagian besar adalah usaha perdagangan dan,
pada tingkat yang lebih kecil, kontraktor. Akses terhadap pembiayaan, terutama untuk beberapa sektor
usaha, tampaknya menjadi persoalan di Aceh.
Walaupun agak rendah, akses terhadap kredit di Aceh tampaknya bukan merupakan hambatan
yang mengikat bagi pertumbuhan di provinsi ini. Usaha kecil dan menengah yang mengajukan
permohonan pinjaman pada umumnya berhasil: hanya 4,13 persen yang ditolak selama paruh pertama
tahun 2008 (World Bank, 2008d). Persoalan-personalan akses terhadap pembiayaan tampaknya menyebar
di Indonesia dan tidak dapat menjadi alasan tingkat kredit yang rendah di Aceh. Rendahnya tingkat kredit
yang diberikan kepada sektor swasta mungkin merupakan suatu upaya dari bank untuk menghadapai apa
yang oleh banyak pihak dianggap sebagai risiko-risiko yang lebih besar dalam beroperasi di Aceh. Fungsi
perantara bank juga terhalang oleh fakta bahwa banyak bank beranjak dari provinsi ini selama konfl ik, dan
kembali ke Aceh saat-saat terakhir ini, sehingga bank-bank tersebut memiliki sedikit cabang di provinsi
ini, dan harus mendirikan kembali usaha serta jaringan nasabah mereka. Bank-bank memberi pinjaman
kepada para peminjam yang tidak memiliki resiko tinggi yaitu: usaha-usaha dan perusahaan-perusahaan
yang mapan dan memiliki arus kas yang tinggi yang dapat mengembalikan pinjaman dengan cepat
atau memberikan pinjaman konsumsi bagi pegawai negeri sipil. Sektor-sektor pertanian, pengolahan
makanan, dan manufaktur skala kecil semuanya memiliki potensi untuk menciptakan pertumbuhan
36Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Akses terhadap Kredit
ekonomi yang berkelanjutan dan bersama, tetapi tidak dapat dengan mudah mengakses kredit karena
sektor-sektor tersebut masuk dalam kategori yang membuat bank enggan memberikan pembiayaan.
Akses terhadap kredit bukanlah halangan utama bagi pertumbuhan di Aceh, tetapi mengingat sektor
swasta maupun individu-individu tersebut telah mengidentifi kasi keadaan tersebut sebagai hambatan
produktifi tas, upaya meningkatkan akses terhadap kredit mungkin menjadi penting agar kaum miskin
juga dapat mengambil manfaat dari pertumbuhan. Lembaga-lembaga pemerintah dapat melakukan
dua intervensi utama untuk meningkatkan akses sektor swasta di Aceh untuk memperoleh kredit:
Memperluas/memperkenalkan program-program jaminan sebagian jenis Kredit Usaha • Rakyat (KUR), yang dibantu Pemerintah Aceh/Pemerintah Indonesia, untuk memberikan
insentif bagi bank dalam rangka memberikan pinjaman kepada nasabah-nasabah baru. Program
tersebut seharusnya mempertimbangkan strategi transisi (exit strategies) bagi perusahaan-
perusahaan yang telah membuktikan pengembalian kreditnya dengan baik dan dengan
demikian dapat mengakses kredit tanpa jaminan yang memberatkan. Mengingat pengalaman
Aceh dengan program-program tersebut, perhatian khusus harus diberikan bagi rencana
programnya agar menghindari rendahnya tingkat pengembalian, sebagaimana dalam program
Pemberdayaan Ekonomi Rakyat, atau rendahnya daya serap (intake), seperti dalam program
Kredit Pemberdayaan Pengusaha yang telah diluncurkan;
Mendukung layanan pengembangan usaha• (misalnya melalui Pusat-Pusat Layanan Usaha
Pembangunan atau Development Business Services Center – DBS) yang menyediakan informasi
bagi usaha-usaha kecil dan menengah tentang pengembangan usaha, sambil mengidentifi kasi
usaha-usaha yang memiliki potensi yang bisa dikembangkan dan menghubungkan usaha-
usaha tersebut dengan sumber-sumber kredit. DBS seharusnya berfokus pada sektor pertanian,
perikanan dan pengolahan hasil pertanian, karena sektor-sektor ini berpotensi menjadi mesin
pertumbuhan inklusif di Aceh maupun karena fakta bahwa sektor-sektor ini seringkali oleh bank
diidentifi kasi sebagai sektor-sektor yang sangat berisiko.
Bagian ini telah memberikan bukti bahwa dunia usaha di Aceh memiliki akses yang rendah terhadap
kredit, dan juga telah menganalisis sebab-sebabnya. Walaupun mungkin terdapat persoalan-persoalan
berkaitan dengan peran intermediasi yang dimainkan oleh bank, tidak terdapat alasan yang kuat untuk
meyakini bahwa fungsi intermediasi bank-bank di Aceh secara signifi kan lebih buruk dibandingkan
dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Sebagai akibatnya, hingga ke tingkat yang lebih besar, alasan-
alasan bagi rendahnya tingkat pemberian kredit kepada usaha-usaha lebih disebabkan oleh risiko-risiko
yang lebih tinggi yang dipersepsikan dalam menjalankan usaha di Aceh serta potensi keuntungan yang
rendah dari usulan-usulan investasi terkait. Bagian berikut dari laporan ini menganalisis alasan-alasan
yang mungkin di balik keadaan ini.
Diagnosis Pertumbuhan Aceh37
Insentif untuk melakukan investasi boleh jadi turun karena rendahnya kualitas atau tidak
tersedianya sama sekali beberapa faktor produksi yang bersifat pendukung. Produktivitas para
pekerja mungkin boleh jadi rendah karena rendahnya keterampilan, rendahnya kualitas infrastruktur
atau kondisi geografi s yang merugikan perkembangan usaha. Modal sumber daya manusia sangat
penting untuk meningkatkan produktivitas, karena hal tersebut memungkinkan kemajuan teknologi dan
perkembangan industri-industri padat keterampilan. Indikator dasar pencapaian pendidikan Indonesia
masih rendah dibandingkan dengan negara lain di kawasan yang sama. Di tingkat nasional, indikator
infrastruktur dasar, khususnya dalam bidang energi, transportasi, dan air serta sanitasi masih rendah.
Kekurangan-kekurangan tersebut dapat menimbulkan kendala serius dalam upaya untuk mencapai
produktivitas usaha dan dengan demikian berdampak pada insentif bagi perusahaan-perusahaan dalam
melakukan investasi. Dalam menganalisis kualitas dan ketersediaan faktor-faktor produksi yang bersifat
komplementer, akan sangat bermanfaat untuk membandingkan Aceh dengan provinsi-provinsi lain di
Indonesia untuk menilai sejauh mana keberhasilan yang dicapainya atau kegagalan yang dialaminya
dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain.
Mengingat lokasi Aceh yang menguntungkan, faktor geografi s tampaknya tidak menimbulkan
hambatan yang signifi kan bagi pertumbuhan. Kerangka kerja diagnosa pertumbuhan menganggap
lokasi dan karakteristik geografi s sebagai serangkaian faktor yang bersifat komplementer yang
berdampak pada hasil sosial untuk investasi: kita dapat menganggap kondisi negara yang tidak memiliki
daerah pantai, dan ketiadaan sumber daya alam atau tanah yang dapat digarap sebagai faktor-faktor
geografi s yang dapat memberikan pengaruh buruk terhadap pertumbuhan. Aceh terletak di ujung
bagian utara Sumatera dan berada di pusat rute perdagangan dan dikaruniai dengan sumber daya alam.
Lokasinya dekat dengan pusat industri dan perdagangan utama di Sumatera, Medan dan pasar-pasar
regional, termasuk negara tetangga Malaysia dan Singapura. Iklim Aceh memungkinkan pembudidayaan
beberapa jenis tanaman ekspor, seperti kelapa sawit, karet, kakao, dan kopi dan bersama-sama dengan
provinsi tetangganya, Sumatera Utara, di sanalah terdapat salah satu dari beberapa hutan hujan yang
tersisa di Asia Tenggara. Penelitian yang dilakukan baru-baru ini tidak hanya menyoroti keuntungan yang
dilihat oleh para investor dari kedekatan Aceh dengan pusat industri dan perdagangan utama seperti
Medan serta Malaysia, melainkan juga menyebutkan beberapa hambatan yang menghalangi Aceh untuk
memperoleh manfaat dari kedekatan tersebut.
Hal ini mencakup lemahnya hubungan rantai pasokan dengan rantai domestik dan global yang
lebih luas, kegagalan informasi pasar dan lemahnya daya tawar perkebunan skala kecil, lemahnya
pemberian layanan dan kualitas produk (IFC, 2008). Para calon investor menganggap kedekatan
dan logistik angkutan ke Medan sebagai sebuah aset untuk Aceh, dan bukanlah sebagai sebuah
06
Hasil Sosial yang Rendah
38Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Hasil Sosial yang Rendah
hambatan. Apakah kebutuhan pertumbuhan perekonomian menjadi tidak berimbang karena terjadinya
konsentrasi kegiatan ekonomi masih menjadi perdebatan yang hangat (World Bank, 2009b). Perdebatan
ini juga berlangsung di Aceh, pada saat membahas tentang manfaat dari kedekatan Aceh dengan
Medan dan apakah pengelompokan kekuatan, yang menarik kegiatan investasi dan perekonomian ke
Medan, merupakan suatu insentif atau disinsentif (misalnya oleh semua kegiatan bernilai tambah yang
berlangsung di Medan alih-alih di Aceh) untuk melakukan investasi di Aceh. Tanpa bermaksud mengakhiri
perdebatan tersebut melainkan berdasarkan bukti yang ada dan wawancara dengan para calon investor,
laporan ini menunjukkan bahwa lokasi geografi s Aceh tidak merupakan kendala yang mengikat bagi
investasi dan pertumbuhan.
a. Infrastruktur: jalan-jalan Infrastruktur seringkali disoroti sebagai hambatan utama terhadap investasi di Aceh. Indikator-
indikator infrastruktur dasar tampaknya sebanding dengan rata-rata nasional di sejumlah bidang, seperti
irigasi dan akses terhadap tenaga listrik. Namun demikian, skor Aceh jauh lebih rendah dalam indikator-
indikator yang berhubungan dengan sambungan telepon, sanitasi pribadi, dan pengelolaan limbah.
Semua jenis infrastruktur tidak sama pentingnya untuk beberapa usaha dan bagian ini akan berfokus
pada pemahaman tentang masalah-masalah khusus terkait jaringan jalan dan listrik, yang keduanya
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keberhasilan pembangunan sektor swasta.
Tabel 9 Kondisi infrastruktur di Aceh dan Indonesia tahun 200528
Kondisi Infrastruktur28 Aceh (%) Indonesia (%)
Rumah tangga yang memiliki akses terhadap listrik 73,0 68,7
Desa-desa yang tidak dilengkapi listrik 7,7 7,3
Sambungan telepon 6,2 12,2
Lahan yang mendapat irigasi sebagai persentase terhadap tanah tegalan 52,8 54,6
Sanitasi pribadi 34,2 52,2
Pengelolaan limbah 3,7 8,5
Sumber: Podes, 2005.
Sektor swasta memiliki anggapan yang beragam tentang kondisi infrastruktur, sebagaimana
ditunjukkan dalam gambar di bawah ini. Ketika perusahaan-perusahaan di Aceh dimintai pandangannya
tentang kondisi jalan-jalan kabupaten dan kota, penerangan jalan, dan listrik di dekat lokasi kegiatan
operasi mereka, lebih dari 35 persen menilai layanan tersebut “buruk” atau “sangat buruk”. Namun
demikian, indikator-indikator persepsi tampaknya sebanding untuk sebagian besar jenis infrastruktur,
yang tidak memiliki jenis tunggal atau kelompok yang dikhususkan oleh perusahaan yang telah ada
sebagai hal yang lebih bermasalah. Beberapa jenis infrastruktur masih menimbulkan hambatan bagi
investasi dan pertumbuhan dengan tidak mendukung para investor baru untuk menetap di provinsi
tersebut. Dalam diskusi dengan Kantor Penunjang Investasi (Investors Outreach Offi ce) di Aceh, ketiadaan
pasokan listrik yang dapat diandalkan dianggap sebagai kendala utama bagi gagasan-gagasan usaha
yang dalam kondisi yang berbeda akan mampu bertahan hidup. Untuk memahami jenis infrastruktur
mana yang jauh lebih buruk di Aceh, laporan ini mengandalkan ukuran-ukuran cakupan dan kualitas
infrastruktur yang lebih objektif di Aceh dan membandingkannya dengan provinsi-provinsi lain.
28 Indikator (ukuran): Rumah tangga yang memiliki akses terhadap listrik (porsi), desa-desa tanpa listrik (porsi), sambungan
telepon (porsi desa yang telah tersambung), lahan yang mendapat irigasi sebagai persentase terhadap tanah tegalan (porsi),
sanitasi pribadi (porsi rumah tangga yang memiliki septic tank), pengelolaan limbah (porsi desa yang dilengakapi dengan
sistem pengolahan limbah yang memadai, seperti tempat pembuangan sampah akhir)
Diagnosis Pertumbuhan Aceh39
Juli 2009
Gambar 13 Bagaimana perusahaan-perusahaan menilai kondisi dari jenis-jenis infrastruktur
yang berbeda
00.1
0.20.30.40.5
0.60.7
Kab/Kotajalan
iluminasijalan
Listrik Telephone
Jelek sekaliJelekBagusBagus sekaliTidak tahu
Air minum yang disuplai pemerintah
daerah
Sumber: The Asia Foundation / KPPOD
Kendati persepsi yang berkembang berbeda, infrastruktur jalan di Aceh tampaknya tidak lebih
buruk dibandingkan dengan kondisi di daerah lain di Indonesia. Data yang diperoleh dari dinas
Pekerjaan Umum menunjukkan bahwa pada tahun 2006, jaringan jalan kabupaten dan provinsi Aceh
berada dalam kondisi yang lebih baik dibandingkan dengan rata-rata jaringan jalan di Sumatera atau
Indonesia secara keseluruhan. Hanya jaringan jalan nasional yang berada dalam kondisi yang lebih buruk,
di mana jalan-jalan nasional di sepanjang pantai timur dan barat rusak parah akibat tsunami. Pada tahun
2000, 78 persen jaringan jalan nasional di Aceh berada dalam kondisi yang baik, dibandingkan dengan
69 persen jaringan jalan di Sumatera secara keseluruhan dan 54 persen jaringan jalan di tingkat nasional.
Dalam hal kepadatan jalan, Aceh lebih baik dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia dan
sangat serupa dengan Sumatera secara keseluruhan.
Tabel 10 Kondisi Jalan di Aceh, 2006
Jalan yang berada dalam
kondisi baik, 2006
Jalan
Kabupaten
(%)
Jalan
Nasional
(%)
Jalan
Provinsi
(%)
Kepadatan jalan*
Km/ 10.000 orang
Kepadatan jalan*
Km / 100 km2
Aceh 28 6 9,5 3,5 2,7
Sumatera Utara 12,2 42 4,9 1,7 2,9
Pulau Sumatera 17,9 57 6,2 3,6 2,8
Nasional 20,2 52 10,8 1,4 1,7
Sumber: Bina Marga, Pekerjaan Umum. * Jalan Provinsi.
Infrastruktur mengalami kerusakan signifi kan selama konfl ik. Beberapa dari indikator ketertinggalan
dapat dijelaskan sebagai akibat dari konfl ik. Sebuah penilaian tentang kerusakan dan kerugian akibat
konfl ik yang dilakukan baru-baru ini menunjukkan bahwa lebih dari 50 persen dari sembilan jenis
infrastruktur yang rusak selama konfl ik adalah sebagai berikut: transportasi, jembatan, air dan sanitasi,
listrik, irigasi, fasilitas desa, fasilitas perekonomian, perumahan, dan tanah produktif (MSR, 2009). Pada
tahun 2006, hanya 12 persen dari kerusakan ini yang telah diperbaiki. Sembilan puluh enam ribu hektar
sawah (31 persen dari jumlah total di Aceh) terlantar; 278.000 hektar lahan perkebunan lainnya (49 persen)
tidak dapat digunakan karena konfl ik dan lebih dari 200.000 ekor ternak (sapi dan kerbau) hilang selama
konfl ik. Di sektor usaha, 1.483 penggilingan padi dan pabrik pengolahan kecil lainnya rusak (47 persen
dari jumlah total), sekitar 6.707 toko, pertokoan, dan warung makanan dan hampir 1.409 pasar desa (dari
total 2.368) rusak atau hancur. Hampir 1.179 km jalan kabupaten (43 persen dari total), 2.641 km jalan
akses ke desa (60 persen), dan 1.442 km jalan akses ke dusun (61 persen) rusak. Sebanyak 2.195 jembatan
beton dan 4.468 jembatan jenis lain (kayu, gantung, baja) juga rusak. Infrastruktur yang rusak selama
konfl ik yang cenderung dibangun kembali relatif rendah, khususnya apabila dibandingkan dengan
jangka waktu pembangungan kembali infrastruktur yang rusak akibat tsunami.
40Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Hasil Sosial yang Rendah
Rekonstruksi setelah tsunami telah memberi Aceh infrastruktur yang lebih baik. Proyek-proyek
infrastruktur senilai sekitar AS$1,5 miliar (dalam bidang transportasi, irigasi, dan energi) telah dialokasikan.
Sejak bulan Desember 2008, sekitar 3.000 km jalan (semua jenis jalan) telah dibangun, 273 jembatan
telah diperbaiki, demikian pula 12 landasan pacu dan 20 pelabuhan.29 Semua ini dilakukan terutama di
daerah-daerah yang terkena dampak tsunami, dengan sejumlah kecil investasi di wilayah tengah Aceh
dan daerah-daerah lain yang tidak terkena dampak tsunami: hanya sembilan persen dari nilai kerusakan
dan kerugian terkait konfl ik yang telah dialokasikan dalam bentuk dukungann pasca konfl ik (MSR, 2009).
Di daerah-daerah pasca konfl ik, masih diperlukan bantuan yang cukup besar dalam bidang perumahan,
pertanian, dan pengangkutan. Di daerah-daerah di mana infrastruktur telah diperbaiki setelah tsunami,
belum pasti apakah pemerintah daerah memiliki sumber daya dan kemampuan untuk memelihara aset
baru tersebut. Pemerintah tetap menjadi investor utama dalam bidang infrastruktur. Walaupun beberapa
industri terpaksa membangun infrastruktur mereka sendiri (minyak dan gas, industri pupuk, dan beberapa
perkebunan), sebagian besar dari sektor swasta masih mengandalkan penyediaan infrastruktur oleh
pemerintah. Belanja pemerintah untuk infrastruktur turun secara signifi kan seiring dengan diterapkannya
desentralisasi, tetapi kemudian meningkat kembali (baik secara mutlak maupun relatif ) sejak tahun 2004,
sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 14. Penelitian yang dilakukan baru-baru ini tentang belanja
pemerintah di Aceh menunjukkan kenaikan belanja pemerintah untuk infrastruktur secara keseluruhan
(World Bank, 2008b) serta kenaikan dalam alokasi untuk operasional dan pemeliharaan (World Bank, 2006b)
sebesar sampai dengan 9 persen, masih di bawah rata-rata nasional sebesar 12 persen. Mempertahankan
alokasi dana yang tinggi untuk infrastruktur dan belanja khusus untuk operasional dan pemeliharaan
perlu dilakukan untuk terus meningkatkan infrastruktur jalan di Aceh.
Gambar 14 Belanja pemerintah untuk infrastruktur di Aceh telah meningkat sejak tahun 2004
Investasi pemerintah untuk infrastruktur
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Rp Bi
llion
0
10
20
30
40
50
60
Bagia
n dar
i ang
gara
n tot
al (%
)
Bagian (kanan) Belanja Pemerintah (kiri)
Catatan: Harga konstan 2006.
Sumber: Provinsi, Departemen Keuangan, perhitungan staf Bank Dunia.
b. Infrastruktur: listrik Permintaan akan listrik terus meningkat dan ketiadaan pasokan listrik yang dapat tersedia
seringkali diidentifi kasi sebagai hambatan utama bagi pembangunan perekonomian di Aceh.
Tidak berbeda dengan tren nasional, pertumbuhan permintaan listrik mencapai hampir 10 persen selama
lima tahun terakhir. Sektor rumah tangga mencatat 67 persen dari permintaan, sementara permintaan
dari sektor usaha dan pemerintah masing-masing sebesar 14,5 persen dan 18,5 persen. Hampir 80 persen
pasokan listrik di Aceh berasal dari sistem interkoneksi Sumatera (Sumatra Interconnection System)
melalui Sumatera Utara. Sistem ini telah dirancang untuk meningkatkan efi siensi dalam distribusi, tetapi
hal ini sekaligus menunjukkan secara tidak langsung bahwa Aceh rentan terhadap gangguan koneksi
jarak jauh, yang kadang-kadang dapat terjadi, misalnya dalam keadaan cuaca buruk. Aceh memiliki
pasokan listrik yang memadai untuk memenuhi kebutuhan dalam kondisi normal, tetapi kekurangan
29 Sektor energi merupakan salah satu dari sedikit sektor yang tidak mendapakan dana yang memadai untuk melakukan
pemulihan dari dampak tsunami. Dengan kebutuhan minimum diperkirakan mencapai hampir sebesar AS$120 juta, dana
yang dialokasikan mencakup kurang dari 40 persen kebutuhan minimum.
Diagnosis Pertumbuhan Aceh41
Juli 2009
cadangan listrik siaga yang diperlukan sebagai cadangan apabila jaringan pasokan terganggu (Gambar
15). Hal ini sering terjadi di Aceh: perusahaan-perusahaan di Aceh melaporkan bahwa pasokan listrik
terganggu rata-rata selama 4,3 kali per minggu, sementara di wilayah lain di Indonesia, gangguan listrik
ini hanya terjadi dua kali seminggu. Diskusi-diskusi yang diadakan dengan para perwakilan sektor swasta
juga menggarisbawahi bahwa ketiadaan listrik yang dapat diandalkan merupakan kendala utama yang
dihadapi oleh jenis-jenis kegiatan tertentu (pengolahan ikan, peternakan unggas) yang dalam keadaan
sebaliknya akan mampu berkembang.
Gambar 15 Aceh kekurangan cadangan listrik siaga yang diperlukan untuk menghindari
gangguan pasokan
Listrik di Aceh (GwH)
0
500
1000
1500
2000
2500
2007 2008 2009 2010 2011 2012
Kapasitas Permintaan (termasuk cadangan)
Sumber: RUPTL NAD 2008-2017, PLN, perhitungan staf Bank Dunia.
Menurut PLN, tingkat elektrifi kasi di Aceh lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah-wilayah
lain di Sumatera dan Indonesia (Tabel 11). Elektrifi kasi di tingkat rumah tangga tidaklah selalu dapat
dilihat sebagai yang sesuatu yang dapat diandalkan dan lancar. Beberapa industri, seperti minyak dan
gas bumi atau semen, terpaksa harus menyediakan pasokan listrik mereka sendiri: secara bersama-sama
industri tersebut memproduksi sekitar 427.000 kVA untuk kebutuhan mereka sendiri pada tahun 2007.
Pada tahun tersebut, sekitar 575.000 kVA atau 3 persen dari total pasokan listrik di Aceh dihasilkan oleh
sektor swasta untuk konsumsi mereka sendiri. Untuk industri-industri berskala menengah dan kecil, yang
beroperasi dalam skala yang lebih kecil, menghasilkan listrik secara swadaya seringkali bukanlah suatu
pilihan dan pasokan listrik dapat menjadi hambatan yang signifi kan.
Tabel 11 Tingkat elektrifi kasi di Aceh berada di tingkat yang sama dengan wilayah-wilayah lain
di Indonesia
Tingkat Elektrifi kasi – Provinsi (%) 2003 2008 2013
Java - Bali – Madura 59,5 67,3 77,3
NAD 56,2 69,8 86,5
Sumatera Utara 67,1 78,2 93,2
Sumatera Barat 60,5 72,9 94,3
Riau 38,5 47,1 56,9
Kalimantan Timur 49,8 65,4 91,1
Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan Gorontalo 46,2 53,5 63
Papua 27,4 34 42,6
NTT 22,4 28,7 37,2
Batam 68,7 96 100
Sumatera 50,3 62,8 80,3
Indonesia 54,8 63,5 75,2
Sumber: PLN.
42Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Hasil Sosial yang Rendah
Pemadaman listrik yang sering dilakukan, bahkan di ibukota provinsi Banda Aceh, sebagai
akibat dari kekurangan kapasitas, peralatan yang relatif tua, dan pemeliharaan yang seringkali
diperlukan, kemungkinan menimbulkan hambatan yang signifi kan terhadap pertumbuhan.
Investasi yang cukup signifi kan dalam sektor kelistrikan diperlukan untuk menjamin pasokan listrik yang
lancar dan menghindari keharusan sektor swasta untuk menghasilkan listriknya sendiri. Untuk memenuhi
kebutuhan listrik yang terus meningkat, PLN memperkirakan bahwa diperlukan investasi sebesar sekitar
AS$130 juta selama lima tahun ke depan (PLN, 2007). Sebagian besar investasi berasal dari sektor publik.
Struktur pasar energi yang berlaku saat ini tampaknya tidak mendorong investasi yang signifi kan dalam
hal produksi energi oleh sektor swasta, mengingat kebijakan harga yang diberlakukan saat ini oleh PLN.
Masih belum dipastikan apakah pemerintah provinsi mempunyai kemampuan untuk melakukan investasi
yang diperlukan dalam jangka pendek. Selain meningkatkan kehandalan pasokan energi dari Sistem
Interkoneksi Sumatera, Pemerintah Aceh dapat mempertimbangkan penggunaan sumber energi yang
lebih terkini, yang sebelumnya telah diidentifi kasi memiliki potensi untuk Aceh (CSIRO, 2008). Terdapat
beberapa peluang untuk meningkatkan perkembangan energi panas bumi, bio-masa lokal, dan sinar
matahari, untuk menjamin pasokan energi lokal yang handal guna mendukung pembangunan provinsi
tersebut.
c. Pendidikan dan modal sumber daya manusia Tingkat capaian pendidikan di Aceh cukup tinggi dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain dan
rata-rata di Indonesia, tetapi para mantan anggota GAM kurang mendapat pendidikan dibandingkan
dengan masyarakat sipil. Tingkat partisipasi di tingkat Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama
pada tahun 2007 lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat partisipasi secara nasional dan dibandingkan
dengan provinsi tetangganya yang lebih kaya, Sumatera Utara (Tabel 12). Belum terjadi evolusi yang
signifi kan sejak berakhirnya konfl ik dan tsunami karena tingkat partisipasi pada tahun 2007 masih sama
dibandingkan dengan tingkat partisipasi pada tahun 2004.
Tenaga kerja tidak terampil lainnya 4 3 2 5 1 -3 ***
Petani sayuran/rempah-rempah 5 3 4 3 1 1
*** Signifi kan pada 99%; ** Signifi kan pada 95%; * Signifi kan pada 90%. Tabel tersebut melaporkan rata-rata populasi dan sampel n
populasi. Termasuk jenis penghidupan yang dilaporkan sebagai kegiatan utama oleh sedikitnya tiga persen dari populasi.
Source: MSR 2009.
Diagnosis Pertumbuhan Aceh55
Juli 2009
Tabel 18 Perbandingan kawan dan mitra usaha di kalangan mantan pejuang GAM (%)
Korban Konfl ik Anggota KPA Mantan TNA IDP Returnee Pria (n=1,024) 61 57 61 1 10
Wanita (n=51) 57 35 47 2 18
Pejabat (n=30) 62 76 83 7 10
Non-Pejabat (n=1,045) 61 56 60 1 10
Tahanan (n=97) 64 40 54 1 12
Korban Konfl ik (n=800) 69 57 61 1 13
Non-Korban Konfl ik (n=280) 38 56 61 2 3
Perbedaan
Pria vs. Wanita Mantan TNA 4 22* 14 -1 -7
Pejabat vs. Non-Pejabat 1 20* 22** 6 0
Korban Mantan TNA vs. Non 30*** 1 -1 -1 10***
*** Signifi kan pada 99% ** Signifi kan pada 95% * Signifi kan pada 90%. Tabel melaporkan rata-rata populasi dan perbedaan dalam
rata-rata tersebut.
Sumber: MSR 2009
Praktik pemungutan pajak-pajak ‘ilegal’ berkembang selama konfl ik dan terus berlanjut hingga
hari ini. Selama tahun-tahun konfl ik, GAM membentuk suatu pemerintahan berstruktur paralel yang
dikembangkan sangat baik dan sangat teratur. Pajak-pajak ilegal dikenakan oleh GAM dan angkatan
bersenjata selama konfl ik (Olken dan Barron, 2007; Schultz, 2004; ICG, 2001). Usaha-usaha legal dan
ilegal juga berkembang selama konfl ik, sehingga memungkinkan penarikan iuran yang cukup besar
(McCulloch, 2006). Sistem-sistem tersebut berlanjut sampai periode pasca konfl ik, dan beberapa mantan
pejuang masih melakukan kegiatan semacam ini, melakukan ancaman dan kadangkala tindak kekerasan
untuk menarik pajak dari orang dan usaha serta menggunakan tekanan untuk memperoleh kontrak-
kontrak pemerintah, kendali atas akses ke lahan dan penyelesaian konfl ik setempat (MSR, 2009).
Peristiwa-peristiwa kekerasan yang paling parah sejak MoU cenderung terjadi di kabupaten-
kabupaten di mana perusahaan-perusahaan memiliki kinerja yang rendah Gambar 18
menunjukkan jumlah peristiwa-peristiwa kekerasan yang terjadi di kabupaten (sumbu X) terhadap porsi
usaha di kabupaten tersebut yang telah mengalami kenaikan penjualan per karyawan pada tahun 2006-
07 (sumbu Y), dengan menggunakan survei TAF/KPPOD. Gambar tersebut menunjukkan hubungan yang
melandai turun, berarti bahwa kabupaten-kabupaten yang mengalami kekerasan lebih banyak cenderung
memiliki lebih sedikit jumlah perusahaan yang kinerjanya baik dan hubungan ini signifi kan pada tingkat
10 persen (lihat Lampiran IV untuk hasil-hasil regresi). Hal itu tidak menciptakan hubungan sebab-akibat
di antara keduanya dan mungkin terdapat faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi kedua parameter
tersebut. Meskipun demikian, cukup intuitif bahwa gejolak-gejolak kekerasan dapat membawa dampak
negatif terhadap kinerja usaha dan keputusan-keputusan investasi.
56Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Rendahnya Kemungkinan Pengembalian atas Investasi (Appropriability)
Gambar 18 Kinerja perusahaan dan peristiwa-peristiwa kekerasan, per kabupaten
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
0 10 20 30 40 50Jumlah insiden kekerasan, 2005-06
Bagi
an d
ari p
erus
ahaa
n ya
ng te
lah
men
ingk
atka
n pe
njua
lan
mer
eka
per
peke
rja ta
hun
2006
-07
Sumber : Survei TAF/KPPOD, Bank Dunia
Pemerasan dan masalah keamanan menyebabkan tambahan-tambahan biaya dan ketidakpastian
usaha di Aceh yang menghambat investasi dan pertumbuhan. Kedua permasalahan tersebut
berkaitan karena kelompok ilegal (preman) yang biasanya menggunakan ancaman kekerasan untuk
memaksa perusahaan membayar biaya “keamanan”. Pemerasan ilegal dan masalah keamanan dianggap
sebagai faktor penghambat yang signifi kan oleh usaha-usaha: 9,3 persen dari usaha-usaha melaporkan
bahwa masalah keamanan dan penyelesaian konfl ik merupakan faktor penghambat di Aceh, dibandingkan
dengan 4 persen di provinsi-provinsi lainnya.41 Sementara itu, 23,4 persen usaha-usaha melaporkan
bahwa mereka membayar uang lebih untuk iuran keamanan tambahan. Para mantan pejuang GAM
dan kelompok-kelompok kejahatan lainnya kadangkala menggunakan kekerasan untuk mencari nafkah,
yang menciptakan rasa tidak aman dan ketidakpastian di provinsi tersebut (ICG, 2009). Mereka sering
menggunakan paksaan untuk memungut secara paksa iuran dari usaha-usaha. Usaha-usaha di Aceh
melaporkan bahwa mereka harus membayar para mantan pejuang GAM ketika mereka menjalankan
usaha di provinsi tersebut, bahkan di ibukota provinsi, yaitu Banda Aceh.42 Di daerah-daerah pedesaan,
para mantan pejuang GAM memungut bea melalui pengendalian “akses ke lapangan”, yang mereka
peroleh setelah kesepakatan perdamaian. Usaha-usaha yang ingin menetap harus membayar iuran rutin
kepada GAM atau kelompok ilegal (preman) lainnya agar diizinkan beroperasi. Seringkali tidak begitu
jelas kepada organisasi atau pihak mana iuran ilegal tersebut harus dibayarkan. Akibatnya, kadangkala
walaupun iuran tersebut telah dibayarkan, perusahaan-perusahaan masih diancam karena mereka tidak
membayar iuran kepada orang-orang yang tepat. Situasi semacam itu mempersulit usaha-usaha untuk
dapat beroperasi di Aceh karena menambah ketidakpastian pada informalitas dan rasa tidak aman.
Diagnosa ini mengidentifi kasi adanya kekerasan yang terus-menerus terjadi dan tingginya
tingkat ‘pajak’ tidak resmi yang ilegal sebagai faktor-faktor penghambat utama bagi investasi
dan pertumbuhan. Kedua faktor tersebut berkaitan erat. Kekerasan, atau ancaman kekerasan, seringkali
merupakan cara untuk memungut iuran ilegal. Dengan demikian, untuk mengatasi kedua permasalahan
tersebut kembali diperlukan kekuatan dan ketegasan negara dalam menetapkan pajak dan penggunaan
kekuasaan. Hasil dari keadaan yang kurang sempurna ini mengakibatkan meningkatnya kekerasan dan
berlanjutnya penegasan kekuasaan dari kelompok-kelompok di luar proses politik formal. Pada akhirnya
hal ini akan menyebabkan meningkatnya persepsi di antara para calon investor bahwa terdapat potensi
berkembangnya konfl ik. Mendorong investasi mengharuskan diputuskannya lingkaran setan (yang
terkadang diwarnai dengan kekerasan) intimidasi, pajak ilegal, dan (kemungkinan) berkembangnya
konfl ik.
41 KPPOD dan The Asia Foundation (2008). The Asia Foundation dan KPPOD telah melaksanakan survei serupa di semua provinsi
di Indonesia, yang memungkinkan perbandingan lintas provinsi.
42 Wawancara dengan para pengusaha dan para pimpinan asosiasi usaha, Banda Aceh, Januari 2009.
Diagnosis Pertumbuhan Aceh57
Juli 2009
Peningkatan kapasitas kepolisian dalam penyelidikan dan penyelesaian kasus-kasus tindak
kejahatan sangat diperlukan untuk memperkuat supremasi hukum (rule of law). Meski tidak
mudah untuk melakukan hal ini, para pembuat undang-undang dan pemangku kebijakan memiliki
beberapa alat yang potensial dengan pendekatan langsung dan tidak langsung. Pertama, penting untuk
memperkuat rule of law. Hal ini dilakukan dengan meningkatkan kinerja kepolisian. Apabila para pelaku
tindak kejahatan, termasuk kekerasan dan pemerasan ditangkap dan dijatuhi hukuman, perhitungan-
perhitungan biaya-manfaat dari mereka yang turut serta dalam tindakan-tindakan tersebut dapat berubah.
Saat ini di Aceh, pihak kepolisian memiliki kapasitas yang terbatas untuk mengadakan penyelidikan yang
efektif terhadap tindak kejahatan. Sampai saat ini, banyak dukungan yang diterima oleh kepolisian di
Aceh yang lebih berkaitan dengan permasalahan yang lebih “lunak”, seperti peningkatan pengetahuan
tentang hak-hak asasi manusia dan metode-metode penentuan kebijakan di tingkat masyarakat. Hal
ini dianggap dapat membangun legitimasi kepolisian di mata warga biasa di Aceh, dengan demikian
meningkatkan hubungan dan kepercayaan antara negara dan masyarakat. Hal ini penting, akan tetapi
legitimasi kepolisian lebih mungkin ditingkatkan apabila mereka dapat menangkap para pelaku
kejahatan dan tindak-tindak kekerasan. Meningkatkan kemampuan penyelidikan memerlukan pelatihan
dan metode-metode peningkatan kemampuan lainnya. Akan tetapi, tujuan tersebut juga memerlukan
peningkatan sumber-sumber daya yang dimiliki oleh kepolisian: dengan mempekerjakan para petugas
kepolisian yang lebih banyak dan lebih baik, dan memberikan kepada mereka peralatan fi sik agar dapat
melaksanakan pekerjaannya dengan baik. Tujuan tersebut juga memerlukan tekad yang kuat—dari para
petugas polisi senior di Aceh dan Jakarta, dan para politisi senior di Aceh—untuk dapat mencapai hasil-
hasil yang baik.
Sistem peradilan yang kuat dan profesional adalah elemen kunci lainnya untuk memperkuat rule of law di provinsi tersebut. Menangkap mereka yang terlibat dalam pemerasan dan kekerasan tidaklah
cukup. Sistem peradilan di Aceh juga perlu diperkuat, sehingga mereka yang ditahan, apabila terbukti
bersalah, dijatuhi hukuman. Terdapat kelemahan-kelemahan yang signifi kan dalam sistem peradilan
formal di Aceh, termasuk kurangnya kemampuan dan, kadangkala, praktik ‘keadilan orang kaya’ di mana
uang dapat menentukan putusan pengadilan. Membangun suatu sistem peradilan yang kuat dan
profesional memerlukan peningkatan kapasitas, sumber-sumber daya tambahan dan kemauan politik
(political will). Tujuan tersebut juga mungkin memerlukan digalangnya ‘tuntutan’ para warga untuk sistem
yang lebih efektif dan tidak memihak. Hal ini, sampai pada tahap tertentu merupakan masalah nasional
yang tidak dapat diselesaikan di Aceh saja tetapi para otoritas lokal dapat mendukung sistem peradilan
di provinsi, dan memperkecil hambatan-hambatan yang ditimbulkannya dalam memerangi pemerasan
dan tindakan-tindakan ilegal.
Selain berurusan langsung dengan tindak-tindak kejahatan, mengatasi akar permasalahan dari
kejahatan-kejahatan tersebut juga akan meningkatkan situasi keamanan di Aceh. Intervensi
tidak langsung yang menangani ‘penyebab-penyebab’ mendasar dari kejahatan dan kekerasan juga
diperlukan. Telah lama diakui bahwa para mantan pejuang GAM seringkali menghadapi tantangan-
tantangan tertentu dalam beradaptasi dengan kehidupan sebagai masyarakat sipil, termasuk dalam
mencari pekerjaan (Tajima 2009). Pengangguran, atau jenis pekerjaan tidak memuaskan ambisi-ambisi
sebelumnya dari para mantan pejuang GAM tersebut dapat memicu para mantan pejuang GAM
untuk menggunakan cara-cara kekerasan dan kejahatan (Collier 1994). Dengan demikian, perlu untuk
mengembangkan program-program dan strategi-strategi untuk membantu para mantan pejuang GAM
dalam memperoleh pekerjaan.
Strategi-strategi yang komprehensif untuk mendukung pertumbuhan dan pembangunan
perekonomian di daerah-daerah terdampak konfl ik dapat lebih bermanfaat daripada program-
program yang hanya menargetkan para mantan pejuang GAM. Dalam banyak konteks pasca konfl ik,
bantuan reintegrasi yang ditargetkan disediakan untuk tujuan ini. Para mantan pejuang diberi uang tunai
dan bentuk-bentuk dukungan lainnya seperti pembinaan dan pelatihan. Di Aceh, cara itu juga pernah
58Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Rendahnya Kemungkinan Pengembalian atas Investasi (Appropriability)
dicoba (Barron dan Burke, 2008). Akan tetapi, dampak-dampaknya terbatas. Para mantan pejuang yang
telah menerima bantuan reintegrasi tidak lagi atau berkemungkinan kecil untuk memiliki pekerjaan saat
ini dibandingkan dengan mereka yang tidak menerima bantuan tersebut, walaupun faktanya mereka
yang menerima bantuan mungkin memiliki tingkat aset yang lebih tinggi di pada saat perang berakhir
(MSR, 2009). Pemberian bantuan dengan sasaran perorangan kepada para mantan pejuang GAM juga
menimbulkan kecemburuan dan ketegangan, dan telah menciptakan suatu “mentalitas merasa berhak”
yang dalam beberapa kasus telah menghalangi upaya reintegrasi sosial dan ekonomi yang lebih
mendalam (Barron, 2009). Pendekatan-pendekatan yang ditargetkan secara geografi s, yang bertujuan
membangun perekonomian di daerah-daerah yang terkena dampak konfl ik mungkin memiliki lebih
banyak kegunaan. Hal ini meliputi penggunaan proyek-proyek pembangunan yang digerakkan oleh
masyarakat untuk menyediakan barang-barang swasta dan publik, kegiatan-kegiatan perluasan pertanian
untuk meningkatkan produktivitas, beberapa proyek pekerjaan umum yang membuka lapangan kerja,
dan pemberian layanan-layanan dukungan usaha (MSR, 2009). Para mantan pejuang GAM dan kelompok-
kelompok ‘berisiko’ lainnya dapat disertakan dalam skema-skema tersebut dan, apabila proyek-proyek
ditargetkan pada daerah-daerah yang mengalami dampak konfl ik terbesar, mereka kemungkinan besar
akan mendapatkan manfaat.
Dukungan terhadap reformasi untuk meningkatkan rule of law dan mengurangi pemerasan
dan pajak-pajak ilegal harus bersifat luas, dengan menyoroti kebutuhan untuk menghindari
pengucilan kelompok-kelompok tertentu. Selain itu, perlu juga untuk mencari cara-cara guna
memenuhi ‘kebutuhan-kebutuhan’ mereka yang berada di tingkat yang lebih tinggi yang saat ini
memperoleh keuntungan dari tindakan pemerasan dan pemberian perlindungan yang tidak sah.
Akses ke kontrak-kontrak berskala besar menjadi cara yang penting dalam menjamin pelibatan
para pengganggu kedamaian di Aceh ke dalam perdamaian. Akan tetapi hal itu sulit dipertahankan
kelangsungannya. Terdapat kebencian yang semakin meningkat dari banyak pihak di Aceh yang telah
melihat berkurangnya manfaat-manfaat perdamaian akibat praktik-praktik masa perang yang masih terus
dilakukan. Terdapat risiko nyata bahwa untuk jangka menengah, hal ini dapat menimbulkan pergolakan
baru apabila faktor-faktor yang memicu terjadinya konfl ik — seperti penyelenggaraan jasa yang buruk,
pertumbuhan yang tidak merata dan kurang — terus terjadi pada masa pasca konfl ik (Barron dan Clark,
2006). Menilik hambatan-hambatan kapasitas yang disoroti dalam paragraf di atas, terdapat kebutuhan
akan adanya tindakan penyeimbang yang hati-hati dan berfokus pada pembatasan peluang pemungutan
iuran besar-besaran sementara membuka jalur-jalur legal lainnya bagi para mantan pimpinan dan elit
pejuang GAM agar dapat hidup sejahtera. Adalah hal yang masuk akal untuk memfokuskan upaya-upaya
dalam memerangi pemerasan dan penarikan pajak-pajak ilegal pada bidang di mana terdapat potensi
terbesar untuk meningkatkan pertumbuhan yang inklusif dan terciptanya konstituen pro-reformasi
yang diperlukan, yaitu: sektor pertanian dan usaha pertanian, masyarakat dagang dan transportasi serta
manufaktur, terutama manufaktur padat karya.
Membangun konstituen yang mendukung reformasi-reformasi tersebut harus menjadi bagian
dari suatu strategi untuk memerangi pemerasan dan pajak-pajak ilegal. Menilik pertentangan yang
mungkin timbul dari perorangan dan kelompok yang saat ini diuntungkan dari kegiatan-kegiatan ilegal,
reformasi-reformasi mungkin merugikan secara politis dan perlu dibangun konstituen-konstituen untuk
menuntut adanya perubahan. Pekerjaan analitis dan pemantauan yang menunjukkan seberapa besar
pengaruh negatif pemerasan dan kekerasan terhadap perekonomian Aceh, dan manfaat-manfaat yang
dapat diberikan melalui pengurangan hal-hal tersebut sangat penting bagi tercapainya tujuan ini.
Persepsi tentang risiko-risiko yang lebih tinggi dalam berinvestasi di Aceh dapat diatasi
melalui suatu skema untuk memberikan jaminan bagi investasi. Skema ini dapat memberikan
asuransi terhadap tindakan-tindakan ilegal dan retribusi yang tidak sah, dan pemerintah provinsi dapat
memfasilitasi ketersediaan asuransi investasi tersebut di provinsi Aceh. Hal ini akan berarti bahwa usaha-
usaha dan pemerintah-pemerintah daerah sama-sama menanggung risiko terkait dengan permasalahan
Diagnosis Pertumbuhan Aceh59
Juli 2009
keamanan dan pajak-pajak ilegal. Skema tersebut bukan merupakan solusi jangka panjang, tetapi lebih
berupa bantuan untuk memulai investasi dan pertumbuhan, dan menunjukkan Aceh kepada para
calon investor lainnya. Terdapat lembaga-lembaga yang memiliki spesialisasi di bidang penyediaan
produk-produk asuransi terhadap risiko politis (mis. Badan Jaminan Investasi Multilateral atau Multilateral
Investment Guarantee Agency, MIGA, suatu organisasi Bank Dunia). Asuransi dapat ditawarkan sebagai
perlindungan terhadap risiko-risiko terkait dengan pembatasan-pembatasan pengalihan mata uang,
perampasan, perang dan gangguan sipil serta pelanggaran terhadap kontrak.43 Jenis-jenis jaminan
investasi lainnya mungkin dapat diberikan, tetapi kemungkinan manfaat-manfaat dari skema tersebut
perlu dinilai secara teliti terhadap biaya-biaya untuk menghindari kewajiban-kewajiban fi skal yang tidak
perlu yang harus ditanggung oleh pemerintah provinsi. Rancangan yang teliti juga dapat mencegah
diberikannya pertanggungan atas kegagalan komersil karena adanya risiko bahwa skema asuransi
tersebut dapat disalahgunakan oleh perusahaan-perusahaan yang belum terkena dampak lingkungan
pasca konfl ik.
Suatu skema asuransi dapat membuka jalan menuju investasi-investasi baru di provinsi tersebut
dan menunjukkan peluang untuk memperoleh laba atas investasi. Perlunya menyediakan asuransi
bagi para investor disebabkan adanya risiko perampasan atau pengrusakan yang ditimbulkan oleh
kelompok-kelompok sipil dan ancaman keamanan di lingkungan pasca konfl ik serta pandangan-
pandangan negatif terhadap Aceh di luar provinsi tersebut. Walaupun kemungkinan terjadinya kembali
ketidakstabilan besar di provinsi tersebut cukup rendah, perspesi adanya risiko ini masih menghalangi
usaha-usaha dan para investor untuk datang ke Aceh. Akibatnya, penyediaan jaminan risiko politis dapat
menjadi tambahan yang berharga untuk asuransi risiko keamanan. Penyediaan asuransi tersebut dapat
mengurangi risiko-risiko yang dihadapi oleh para investor di Aceh karena mereka dapat menanggung
risiko yang bersumber dari ketidakstabilan umum bersama dengan pihak penjamin. Jaminan tersebut
berpotensi untuk membuka jalan bagi investasi-investasi berskala relatif besar di sektor-sektor seperti
energi, perikanan, penyimpanan beku atau pengolahan hasil pertanian. Selain memberikan perlindungan
bagi para investor dari tindak kejahatan kecil dan pemerasan, skema tersebut juga dapat mengirimkan
isyarat yang sangat kuat bahwa provinsi tersebut berminat untuk menarik investasi.
Skema asuransi yang dirancang khusus perlu untuk disusun bersama dengan otoritas lokal
untuk memenuhi kebutuhan provinsi tersebut. Para investor akan membayar premi, kemungkinan
besar dalam jumlah yang disubsidi. Skema ini dapat ditawarkan kepada para investor besar maupun
kecil. Akan tetapi, beberapa dimensi dari skema ini perlu mendapat perhatian khusus. Pertama, para
penyedia asuransi risiko politis biasanya bekerjasama dengan pemerintah pusat, sementara di Aceh, rekan
imbangan utama mereka adalah pemerintah daerah dan beberapa disposisi produk-produk standar
mungkin perlu disesuaikan. Kedua, dalam pengaturan inovatif ini, peranan pemerintah pusat harus
ditentukan secara tepat. Ketiga, akan muncul pembahasan tentang apakah para investor dari provinsi-
provinsi lain di Indonesia dapat ditanggung, karena para investor tersebut merupakan para calon investor
yang jelas dapat berinvestasi di Aceh, sementara jaminan tersebut biasanya memberikan pertanggungan
hanya bagi para investor asing. Keempat, mekanisme penyelesaian sengketa yang biasanya melibatkan
pemerintah dan para investor perlu diadaptasi ke dalam suatu konteks di mana sebagian besar risiko
berasal dari kelompok-kelompok non-pemerintah.
e. Kegagalan pasar - kegagalan koordinasiKegagalan pasar yang paling sering mempengaruhi perusahaan-perusahaan terdiri atas dua
jenis: kegagalan koordinasi dan kegagalan informasi. Kedua jenis kegagalan pasar ini biasanya
menghambat pengembangan yang sukses dari produk-produk baru dalam skala besar. Kegagalan
koordinasi terjadi ketika perusahaan-perusahaan tidak dapat meningkatkan produk-produk baru yang
43 http://www.miga.org
60Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Rendahnya Kemungkinan Pengembalian atas Investasi (Appropriability)
sukses akibat kurangnya layanan-layanan pelengkap atau masukan. Kegagalan informasi terjadi ketika
perusahaan-perusahaan gagal untuk melakukan eksplorasi produk-produk baru untuk menemukan
bidang yang dapat mereka kuasai. Produk-produk baru tidak perlu menjadi yang terdepan dalam
teknologi global, tetapi justru produk-produk baru yang proses produksinya memerlukan penyesuaian
terhadap teknologi yang telah ada. Kajian terhadap kegagalan pasar potensial ini memberikan data
perdagangan yang dapat diandalkan untuk menyelidiki apakah yang diekspor oleh perekonomian yang
sedang dipelajari tersebut dan bagaimana keranjang ekspor perekonomian tersebut berkembang seiring
berjalannya waktu. Tujuannya adalah untuk mengevaluasi kecanggihan produk-produk tersebut dan laju
perkembangan kecanggihan tersebut selagi produk-produk baru “ditemukan”. Sayangnya, data ekspor
untuk Aceh kurang tepat karena sebagian besar perdagangannya masuk ke Medan dan tidak dicatat
dalam angka-angka resmi. Akibatnya, bagian analisis ini mengandalkan data perdagangan yang relatif
lemah, serta bukti berdasarkan pengalaman dalam bentuk studi-studi kasus untuk menyelidiki kegagalan
pasar yang mungkin terjadi.
Beberapa sektor perekonomian, terutama usaha pertanian, menunjukkan kegagalan koordinasi.
Akan tetapi, upaya-upaya yang kurang berhasil dalam menangani kegagalan tersebut
menunjukkan bahwa kegagalan koordinasi bukanlah hambatan pertumbuhan dan investasi
yang mengikat. Sektor-sektor seperti hortikultura, peternakan, perikanan, dan budidaya air belum
tercatat belum meningkat dan belum dapat menciptakan tingkat produktivitas yang lebih tinggi (IFC,
2008). Skala kecil menyebabkan pemenuhan kualitas dan standar-standar keamanan tertentu menjadi
lebih mahal, yang pada gilirannya membatasi peningkatan kegiatan-kegiatan tersebut.44 Usaha-usaha
menunjukkan kurangnya hubungan pasar dengan usaha-usaha di luar provinsi, sehingga membatasi
jangkauan produk-produk dari Aceh. Jaringan perdagangan yang ada saat ini didominasi oleh sejumlah
pedagang, sehingga membatasi daya tawar produsen-produsen Aceh. Usaha-usaha lokal menyatakan
kekhawatirannya terhadap sitausi ini dan keyakinan bahwa meningkatkan informasi pasar (mis. melalui
suatu pangkalan data dengan informasi tentang para eksportir dari komoditas-komoditas yang paling
umum) dapat memiliki dampak positif yang penting. Walaupun permasalahan ini relatif penting,
keberhasilan prakarsa-prakarsa yang dilaksanakan baru-baru ini untuk menyediakan informasi pasar dan
mendukung pembentukan jaringan dengan usaha-usaha di luar provinsi (Kantor Penunjang Investasi,
Pusat Pengembangan Ekspor) relatif terbatas, yang menunjukkan bahwa faktor-faktor penghambat
investasi dan pertumbuhan lainnya mungkin lebih menekan.
Terdapat kebutuhan akan prasarana spesifi k industri akan tetapi jenis-jenis prasarana yang paling
diperlukan saat ini akan memberi manfaat bagi semua industri di Aceh. Kegagalan koordinasi dapat
terjadi ketika terdapat keuntungan dari skala besar (economies of scale) yang terkait dengan pengadaan
jenis-jenis prasarana yang bersifat eksternal bagi perusahaan-perusahaan tetapi bersifat internal bagi
suatu industri. Hal ini menyebabkan kurangnya pengadaan jenis-jenis prasarana tersebut. Sektor-sektor
yang disebutkan sebelumnya, hortikultura, peternakan, perikanan dan budidaya air, memerlukan
prasarana spesifi k industri dan layanan-layanan pelengkap, seperti fasilitas penyimpanan beku. Akan
tetapi, sebagian besar pengusaha yang diwawancarai oleh tim mengungkapkan bahwa prasarana yang
paling tertinggal di Aceh adalah prasarana yang bersifat “dasar’ dan umum, seperti kondisi jalan yang
baik, pasokan air, dan pasokan listrik yang memadai. Setelah kualitas dari jenis-jenis prasarana tersebut
ditingkatkan, pemerintah Aceh dapat mulai melakukan eksplorasi terhadap kebutuhan-kebutuhan
prasarana spesifi k industri dan peranan sektor publik dalam pengadaan prasarana tersebut, melalui
konsultasi dengan para pemangku kepentingan di sektor industri.
44 Wawancara dengan para pengusaha dan para pemimpin asosiasi usaha, Banda Aceh, Januari 2009.
Diagnosis Pertumbuhan Aceh61
Juli 2009
f. Kegagalan pasar - kegagalan informasiSangat sedikit usaha-usaha di Aceh yang merupakan eksportir atau melakukan penjualan di luar
provinsi. Data perdagangan yang tersedia tampaknya menunjukkan bahwa Aceh mengekspor sedikit
sekali barang-barang manufaktur. Ekspor non-migas di Aceh meningkat sebesar 80 persen pada tahun
2008, tetapi hal ini sebagian besar disebabkan oleh peningkatan ekspor pupuk.45 Sebagai masukan
utamanya, industri pupuk di Aceh menggunakan gas bersubsidi dan ekspor mewakili lebih dari 80 persen
dari jumlah ekspor non-migas (Tabel 19). Sebaliknya, dan termasuk pupuk, barang-barang manufaktur
hanya mewakili sebagian kecil dari keseluruhan ekspor non-migas: pada tahun 2008 hanya mewakili
3,3 persen dari jumlah keseluruhan. Pangsa produk-produk pertanian mewakili 14 persen dan sebagian
besar terdiri atas kopi yang belum diolah, kakao, rempah-rempah, dan produk-produk perikanan. Sejalan
dengan pengamatan ini, sangat sedikit perusahaan di Aceh yang melaporkan pengeksporan produk-
produk mereka. Survei usaha The Asia Foundation / KPPOD menemukan bahwa hanya 1,5 persen dari
usaha-usaha di Aceh melakukan ekspor ke luar negeri dan hanya 4,3 persen dari perusahaan-perusahaan
tersebut memiliki para pelanggan utama yang berdomisili di luar provinsi tersebut.
Tabel 19 Ekspor non-migas Aceh, dalam AS$
US$
2008
Bahan-bahan kimia 134,049,080
Makanan dan hewan hidup 22,936,870
Barang-barang manufaktur 5,040,379
Minyak & lemak hewani & nabati 632,100
Mesin dan peralatan transportasi 250,082
Bahan-bahan mentah yang tidak dapat dimakan 227,127
Berbagai barang manufaktur 15,234
Source: BPS.
Akan tetapi, Aceh telah membuktikan keterbukaannya terhadap perdagangan dan cepat
beradaptasi dengan teknologi-teknologi baru di tahun-tahun pasca tsunami. Sebagaimana daerah-
daerah lainnya di Indonesia, terdapat sedikit halangan dalam melakukan perdagangan dengan provinsi-
provinsi lainnya dan negara-negara lain di dunia. Pasca tsunami dan selama program rekonstruksi yang
mengikutinya, Aceh telah membuka jalur-jalur perdagangan yang besar untuk membeli bahan-bahan
konstruksi serta komoditas-komoditas dasar seperti makanan. Pemanfaatan teknologi baru di provinsi
tersebut cukup cepat dalam tahun-tahun terakhir ini. Jumlah pelanggan telepon seluler meningkat sangat
cepat (Gambar 19) dan pada tahun 2008, penyedia layanan telepon seluler yang terkemuka memiliki 1,7
juta pelanggan. Selain itu, jumlah warung internet (warnet) meningkat sangat cepat di provinsi tersebut,
yang menunjukkan bahwa penduduk Aceh memiliki minat terhadap teknologi baru dan teknologi baru
dapat dengan mudah masuk ke provinsi tersebut.
45 Bank Dunia, 2009c.
62Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Rendahnya Kemungkinan Pengembalian atas Investasi (Appropriability)
Gambar 19 Jumlah pelanggan telepon seluler di Aceh untuk penyedia layanan terkemuka dan
jumlah warnet
-
200
400
600
8001,000
1,200
1,400
1,600
1,800
2,000
2004 2005 2006 2007 2008-
50
100
150
200
250
300
Jum
lah
war
net d
i pro
vins
i (hi
tam
)
Jum
lah
pela
ngga
n te
lpon
rib
uan
(mer
ah)
Sumber: Penyedia layanan telepon seluler dan Dinas Informasi dan Komunikasi di Aceh
Selanjutnya, bukti berdasarkan pengalaman menunjukkan bahwa produk-produk baru sedang
dicoba di Aceh, tetapi hanya sedikit yang berhasil ditingkatkan. Dalam beberapa tahun terakhir
ini terdapat beberapa percobaan, terutama di sektor pertanian. Para petani telah mencoba beberapa
produk baru seperti: ternak, minyak nilam dan jamur. Upaya-upaya peragaman produk ini menunjukkan
bahwa usaha-usaha di Aceh tidak kehabisan ide untuk berinovasi (Lihat Kotak 5 di bawah ini). Akan tetapi,
hanya sedikit dari gagasan-gagasan usaha ini yang berhasil menjadi perusahaan-perusahaan baru dan
bahkan lebih sedikit lagi dari antaranya yang menjadi sektor-sektor perekonomian baru. Inilah alasan
mengapa pengkajian terhadap kisah-kisah sukses dapat membawa pengaruh besar: kotak di bawah ini
menunjukkan tiga sektor usaha baru di Aceh.
Kotak 5 Industri-industri baru yang mulai berkembang di Aceh
Industri Daur Ulang (Sumber: Yayasan Daur Ulang Plastik Palapa)
Daur ulang plastik merupakan salah satu industri yang sedang berkembang di Aceh. Sebelumnya, usaha ini
dijalankan dengan mengikuti contoh yang sama seperti usaha-usaha lainnya: limbah plastik dikumpulkan di Aceh
kemudian dikirim ke Sumatra Utara di mana kemudian limbah tersebut diolah. Pada bulan Juni 2005, Yayasan Daur
Ulang Plastik Palapa berhasil membangun suatu fasilitas pengolahan di Lhokseumawe atas biaya sendiri. Beberapa
donor memberikan bantuan kepada usaha ini dalam berbagai bentuk, mulai dari peningkatan kapasitas bagi
para pemulung sampai teknologi yang lebih baik untuk daur ulang plastik. Usaha baru ini mampu memberikan
penghidupan bagi banyak penduduk Aceh. Yayasan tersebut kini mempekerjakan sekitar 25 pegawai tetap dan
mendaur ulang 50 ton limbah plastik setiap bulannya, dengan demikian memberikan penghasilan bagi lebih dari
1.500 pemulung. Seluruh produksi potongan-potongan plastik dikirim ke Medan untuk kemudian diekspor ke
China dan Singapura, di mana kemudian potongan-potongan plastik tersebut diubah menjadi produk-produk
akhir seperti kursi plastik, tali, dsb.
Kakao Organik (Sumber: APKO Pidie Jaya)
Dengan dukungan sejumlah donor, koperasi petani kakao bernama APKO Pidie Jaya didirikan pada tahun 2007 dan
saat ini memiliki 7.100 petani. Lebih dari 7.000 petani memperoleh sertifi kasi kakao organik yang memungkinkan
produk mereka diperdagangkan secara internasional. Perjanjian juga telah ditandatangani antara kooperasi
tersebut dan para pembeli internasional seperti The Body Shop, Bendrain Swiss, Olam dan cokelat Delfi . Ekspor
pertama dari koperasi tersebut yaitu sekitar 10.000 ton kakao organik dijadwalkan akan dilakukan pada bulan
Agustus 2009.
Kelapa dan industri sampingannya (Sumber: Austcare)
Perusahaan ini didirikan pada awal tahun 2008 di Meulaboh, Aceh Barat, dengan modal awal sekitar Rp. 1 milyar
yang diperoleh dari para donor dan para anggota koperasi. Modal tersebut terutama digunakan untuk membeli
mesin pengolah kelapa. Mesin tersebut dapat menghasilkan beberapa produk dari kelapa mentah: serat kelapa,
tempurung kelapa, dan arang. Sebagian besar produksi tersebut diekspor ke luar negeri, dengan tujuan-tujuan
utama meliputi Malaysia dan Singapura. Dengan dukungan beberapa donor, dalam bentuk bantuan teknis dan
peningkatan mutu mesin, perusahaan tersebut mampu terus berkembang dan kini mempekerjakan 20 pegawai
tetap dan menghasilkan laba bulanan sekitar Rp. 150 juta.
Diagnosis Pertumbuhan Aceh63
Juli 2009
Kegagalan pasar bukan penyebab upaya-upaya yang kurang berhasil dalam meningkatkan
usaha-usaha di Aceh. Walaupun terdapat banyak gagasan-gagasan baru di Aceh, hanya sedikit di
antaranya yang berhasil berkembang menjadi usaha-usaha yang maju karena alasan-alasan yang tidak
banyak terkait dengan kegagalan pasar dibandingkan dengan permasalahan seperti faktor lemahnya
kelembagaan, biaya-biaya transaksi dan faktor pemerintahan. Aceh terbuka terhadap teknologi-teknologi
baru, terbuka terhadap perdagangan dengan negara-negara lain di dunia, dan memiliki sarjana-sarjana
dalam jumlah yang memadai, tetapi masih memiliki sedikit industri-industri baru. Agar dapat memahami
alasannya, menarik untuk disimak bahwa banyak usaha yang berhasil berkembang dan maju adalah usaha-
usaha yang memang cukup besar sejak awalnya untuk menggalang dukungan politis. Pengamatan ini
sejalan dengan isu rendahnya kemungkinan penghasilan atas investasi (appropriability) yang disebutkan
sebelumnya sebagai hambatan yang mengikat terhadap pertumbuhan di Aceh. Walaupun sulit untuk
menguji hipotesis ini, salah satu mekanisme yang menjelaskan keberhasilan perusahaan-perusahaan
yang memiliki hubungan politik mungkin ada kaitannya dengan fakta bahwa perusahaan-perusahaan
tersebut terlindungi dengan baik dari pemerasan.
Bab ini telah meninjau ulang faktor-faktor yang mungkin dapat menghalangi usaha-usaha untuk
memperoleh manfaat dari investasi mereka dan khususnya, peranan konfl ik dalam keadaan tersebut.
Sebagaimana yang seringkali menjadi anggapan, konfl ik dan warisannya memiliki dampak negatif
yang signifi kan terhadap insentif-insentif yang harus diinvestasikan oleh perusahaan-perusahaan dan
terhadap kemampuan perusahaan-perusahaan tersebut untuk memperoleh penghasilan atas investasi
mereka. Kemungkinan besar lingkungan mikroekonomi adalah faktor hambatan yang mengikat di Aceh,
dan terdapat beberapa fenomena yang terjadi yang mengancam kualitasnya. Sistem perlindungan yang
diperkokoh selama konfi lk telah menghasilkan sektor swasta yang menjadi maju justru karena koneksi
mereka dengan sektor publik dan bukan karena efi siensi mereka. Hal ini juga menghalangi perusahaan-
perusahaan baru untuk masuk ke Aceh karena mereka tidak menjadi bagian dari jaringan lokal. Ancaman-
ancaman keamanan dan biaya-biaya yang terkait dengan hal tersebut juga menghambat investasi
dan pertumbuhan. Usaha-usaha kurang memiliki kepastian ketika mereka beroperasi di Aceh: mereka
tidak mengetahui kepada siapa dan berapa banyak yang harus mereka bayar untuk dapat menjalankan
usaha.
Diagnosis Pertumbuhan Aceh65
Kerangka kerja diagnosa pertumbuhan Aceh membantu mengidentifi kasi hambatan-hambatan
utama terhadap investasi dan pertumbuhan di provinsi tersebut. Perekonomian Aceh tumbuh
dengan laju yang lebih lambat dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia, terutama
investasi swasta, pada tingkatan yang relatif rendah. Ekonomi Aceh terbilang lemah karena jaringan-
jaringan patronasi yang kuat dan lingkungan yang tidak aman sebagai akibat konfl ik selama 30 tahun.
Situasi ini menghambat kinerja pertumbuhan dan membatasi investasi swasta. Para calon investor telah
mengungkapkan kekhawatiran mereka tentang kemungkinan konfl ik akan berlanjut dan tedapat bukti
bahwa kekhawatiran atas keamanan dan pemerasan serta pajak-pajak ilegal yang timbul menghalangi
perusahaan-perusahaan dan perorangan untuk memetik keuntungan penuh dari investasi mereka. Pada
akhirnya hal ini membatasi investasi dan pertumbuhan di provinsi tersebut. Meyakinkan para investor
atas keamanan investasi mereka merupakan prasyarat untuk meningkatkan kembali investasi sektor
swasta di provinsi ini.
Dua hambatan utama terhadap pertumbuhan adalah; ketersediaan tenaga listrik yang dapat
diandalkan dan risiko-risiko keamanan yang diperburuk oleh pemerasan dan pembayaran-
pembayaran ilegal dianggap lebih tinggi di Aceh. Hambatan-hambatan yang teridentifi kasi
berdampak pada para investor lokal, domestik dan luar negeri secara merata. Permasalahan-permasalahan
seperti prasarana (jalan, listrik) mungkin lebih menjadi masalah bagi para investor lokal daripada bagi
para investor asing. Kekhawatiran tentang masalah keamanan mempengaruhi semua jenis investor,
walaupun para investor besar mungkin dapat mengurangi kekhawatiran mereka akan hal ini dengan
cara memperoleh perlindungan dari pemerintah daerah yang ingin sekali mendapatkan investasi.
Tabel di bawah ini merangkum temuan-temuan pada laporan ini, apakah hambatan-hambatan yang
terindentifi kasi bersifat utama, bobot kesimpulan-kesimpulan dan implikasi kebijakan.
08
Kesimpulan
66Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Kesimpulan
Tabel 20 Hambatan-Hambatan terhadap Pertumbuhan di Aceh
Jenis hambatan Tingkat hambatan ? Bobot Kesimpulan Implikasi Kebijakan
Akses terhadap Kredit Tidak menghambat Sedang -
Modal Manusia yang
rendah
Tidak menghambat Tinggi -
Kualitas Prasarana Menghambat Tinggi Revisi strategi penetapan harga oleh • PLN
Dukung partisipasi sektor swasta • dalam pembangkitan listrik
menggunakan sumber enegi
terbarukan
Tingkatkan keandalan pasokan • energi dari Sumatra Utara
Pemerasan dan Pajak-
Pajak Ilegal
Menghambat Tinggi Tingkatkan kemampuan kepolisian • dan pengadilan untuk menegakkan
supremasi hukum
Fokus pada program-program • pembangunan ekonomi di daerah
yang terkena dampak konfl ik
Bantu membangun konstituensi • untuk reformasi – contohnya
melibatkan komunitas dan
masyarakat madani dalam upaya-
upaya pemantauan
Fasilitasi skema asuransi risiko politik • untuk menarik para investor
Risiko-risiko makro Tidak menghambat Tinggi -
Kegagalan Informasi Tidak menghambat Sedang -
Kagagalan Koordinasi Tidak menghambat Sedang -
Ketersediaan listrik yang andal adalah hambatan paling utama terhadap investasi dan
pertumbuhan, terutama untuk perusahaan-perusahan skala lebih kecil. Pasokan energi tidak
mencukupi dan tidak dapat diandalkan kemungkinan besar menjadi hambatan yang paling utama bagi
investasi dan ekonomi secara keseluruhan. Beberapa badan usaha dapat menghasilkan listrik mereka
sendiri, tetapi hal ini hanya merupakan solusi yang mungkin bagi usaha-usaha yang relatif besar, yang
memungkinkan usaha-usaha tersebut untuk membiayai investasi ini. Usaha-usaha yang lebih kecil
(misalnya pengolahan ikan, sektor ternak atau agrobisnis) tidak mampu membiayai investasi yang
diperlukan dan listrik menjadi hambatan bagi usaha-usaha prospektif ini. Oleh karena itu, ketersediaan
listrik merupakan hal yang penting untuk memajukan usaha-usaha kecil di sektor pengolahan.
Pemerintah Aceh telah mengidentifi kasi bahwa ketersediaan listrik merupakan bidang perhatian utama
untuk pembangunan provinsi ini, dan Pemerintah Aceh juga sedang meningkatkan upaya mereka untuk
menghasilkan energi dan menjamin ketersediaan listrik dari PLN. Upaya-upaya yang diperbarui untuk
menarik investasi sektor swasta dapat didukung dengan cara:
Merevisi penetapan harga listrik yang dihasilkan oleh pihak swasta untuk didistribusikan • melalui PLN, dalam rangka meningkatkan insentif bagi pihak swasta untuk berinvestasi dalam
bidang pembangkitan energi di provinsi ini;
Meningkatkan partisipasi sektor swasta dalam bidang pembangkitan listrik dengan • menggunakan sumber-sumber energi terbarukan, seperti panas bumi (geothermal),
biomassa lokal (local biomass) atau energi matahari;
Diagnosis Pertumbuhan Aceh67
Juli 2009
Menelaah kemungkinan kemitraan pemerintah-swasta untuk menarik produsen tenaga • linstrik independen dengan biaya murah, dengan memasukkan akses yang aman dan
berharga menarik terhadap sumber-sumber energi dan lahan yang terkait ke dalam MoU dan
kontrak;
Meningkatkan keandalan pasokan-pasokan energi dari Sistem Interkoneksi Sumatra • (Sumatra Interconnection System) untuk menghindari sering terputusnya pasokan listrik.
Ketidakmampuan perusahaaan dan individu untuk memperoleh keuntungan dari investasi
mereka, akibat masalah keamanan dan pajak-pajak ilegal, merupakan faktor penghambat
investasi dan pertumbuhan. Laporan ini menyajikan serangkaian bukti bahwa biaya atau ketersediaan
modal bukanlah hambatan terhadap pertumbuhan dan investasi di provinsi ini. Demikian pula, dengan
pengecualian pada prasarana energi, faktor-faktor pelengkap produksi tidak tampaknya tidak menjadi
hambatan terhadap pertumbuhan dan investasi. Permasalahan-permasalahan keamanan, pemerasan,
dan pajak-pajak serta pembayaran-pembayaran ilegal membatasi kemampuan perusahaan untuk
memperoleh laba dari investasi mereka, sehingga tidak mendorong pertumbuhan investasi di provinsi ini.
Persepsi tentang risiko yang lebih tinggi juga berakibat pada kurangnya kredit bagi sektor swasta. Semua
hal ini menambah ketidakpastian menjalankan usaha di Aceh, dan berdampak pada biaya-biaya setiap
investor potensial. Kalangan usaha pada saat ini mencoba untuk mengatasi ketidakpastian ini dengan
bergabung bersama kalangan usaha atau jaringan kerja yang dapat memberikan perlindungan serta rasa
aman, walaupun hal ini tidak selalu dapat dilakukan. Kalangan-kalangan usaha yang tidak dapat atau tidak
bersedia mengadakan perjanjian-perjanjian tersebut mungkin saja memutuskan untuk tidak berinvestasi
di provinsi ini sama sekali. Untuk menghilangkan hambatan ini, penting untuk mengikutsertakan kembali
monopoli negara dalam penggenaan pajak serta penggunaan ketegasan terhadap hukum . Penggalakan
investasi tentunya memerlukan pemutusan lingkaran setan permasalahan intimidasi terkadang disertai
kekerasan dan pajak ilegal. Strategi untuk melakukan hal ini harus berupa strategi ganda, dengan
memperkenalkan reformasi yang memperkuat kemampuan pemerintah untuk menegakkan supremasi
hukum dan intervensi yang bertujuan menangani penyebab-penyebab yang mendasari munculnya
tindak kerjahatan dan kekerasan, dengan cara:
Meningkatkan kemampuan polisi untuk menyelidiki dan menyelesaikan masalah • kejahatan untuk memperkuat supremasi hukum, melalui pelatihan dan pengembangan
kapasitas, meningkatkan sumber daya yang dapat digunakan polisi serta memperkuat angkatan
kepolisian;
Meningkatkan kemampuan sistem peradilan untuk menuntut dan menjatuhkan • hukuman atas para penjahat, melalui pengembangan kapasitas, sumber daya tambahan
dan kemauan politik, dan juga mendukung konstituensi, pada sektor swasta dan masyarakat
madani, yang akan menuntut reformasi ini;
Mendukung pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di daerah-daerah yang terkena • dampak konfl ik. Hal ini berbeda dengan pemberian bantuan reintegrasi bagi para mantan
pejuang GAM, yang memiliki dampak yang lebih terbatas dan dapat memicu ketegangan.
Pendekatan-pendekatan yang ditargetkan secara geografi s, yang berfokus pada kelompok-
kelompok yang menhadapi risiko dan rawan di daerah-daerah yang terkena dampak konfl ik,
telah terbukti lebih efektif.
Memfokuskan reformasi pada peningkatan supremasi hukum dan memerangi pemerasan • serta pajak-pajak ilegal pada sektor-sektor yang menghasilkan pertumbuhan inklusif.
Upaya ini termasuk sektor pertanian, perikanan, pengolahan hasil pertanian (agro-processing),
dan sektor-sektor jasa tertentu (perdagangan, transportasi), yang mendukung pembentukan
konstituensi pro-reformasi;
68Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Kesimpulan
Melibatkan masyarakat madani dalam pemantauan tindakan-tindakan ilegal sebagai • upaya mengatasi permasalahan ini. Dengan mempertimbangkan kemauan politik dan modal
yang besar yang akan dibutuhkan untuk reformasi yang diusulkan tersebut, secara berkala.
Memfasilitasi pemberian asuransi politik oleh sektor swasta. • Jaminan-jaminan yang
diberikan oleh para pihak ketiga untuk proyek-proyek tunggal dapat ditemukan di banyak
kawasan di dunia dan sering digunakan di lingkungan pasca-konfl ik. Jenis-jenis jaminan ini juga
dapat berfungsi sebagai sinyal penarik yang kuat bagi para investor potensial. Rancangan yang
menyeluruh terhadap skema asuransi tersebut sangat penting untuk menghindari kewajiban
fi skal yang tidak perlu bagi pemerintah provinsi dan untuk menghindari penyalahgunaan
skema-skema asuransi tersebut oleh para pengusaha. Jaminan-jaminan investasi ini biasanya
dibuat pada tingkat nasional. Dengan demikian, fakta bahwa Aceh adalah sebuah provinsi di
negara yang lebih besar dan relatif stabil akan menimbulkan tantangan-tantangan tambahan
dalam rancangan skema tersebut yang harus dipecahkan bersama-sama oleh pemerintah
nasional dan provinsi.
Situasi keamanan yang membaik serta pemberantasan iuran dan pajak-pajak ilegal kemungkinan
besar akan meningkatkan investasi dan pertumbuhan. Pada saat ini, perusahaan-perusahaan dan
individu tidak dapat mengambil keputusan untuk berinvestasi, karena mereka tidak yakin dengan biaya
yang akan mereka hadapi yang timbul dari ancaman-ancaman keamanan dan pemerasan; mereka tidak
dapat memperoleh keuntungan dari investasi mereka dan, dengan demikian, hampir tidak mungkin
untuk melakukan investasi. Karena biaya yang berhubungan dengan kemanan dan pembayaran ilegal
menurun, perusahaan-perusahaan dan individu-individu akan dapat mengakses biaya dan keuntungan
investasi mereka dengan kepastian yang lebih besar dan melakukan investasi ketika investasi-investasi
tersebut jelas-jelas dapat berkembang secara komersial.
Hambatan-hambatan yang utama terhadap pertumbuhan kemungkinan besar dapat berubah
seiring berjalannya waktu, karena hambatan-hambatan lain menjadi lebih utama apabila
hambatan-hambatan ini dipecahkan. Apabila masalah-masalah yang berkaitan dengan ketersediaan
listrik dan situasi keamanan membaik, dan usaha-usaha tidak lagi terkena pemerasan dan pajak-pajak
ilegal, hambatan-hambatan lain akan menjadi lebih utama dan seperangkat reformasi yang berbeda
menjadi sangat diperlukan. Pemerintah daerah dapat memperkenalkan sebuah sistem, bersama dengan
sektor swasta, untuk membahas analisis dan rekomendasi-rekomendasi dalam laporan ini, dan berlanjut
dengan sebuah proses untuk, di kemudian hari, meninjau kembali rekomendasi-rekomendasi tersebut
dan mengidentifi kasi hambatan-hambatan yang mengikat lainnya terhadap investasi dan pertumbuhan.
Selanjutnya, hambatan-hambatan tersebut kemungkinan besar sama dengan hambatan-hambatan
yang ada di daerah lain di Indonesia, di mana ketidakpastian peraturan, terutama terhadap pajak-
pajak dan peraturan perizinan, pajak-pajak dan peraturan-peraturan daerah yang diberlakukan oleh
para pemerintah daerah, dan juga penegakan hukum yang kurang, akan menghambat investasi dan
pertumbuhan. Kualitas prasarana transpotasi yang buruk juga telah teridentifi kasi sebagai hambatan
utama bagi investasi dan pertumbuhan di Indonesia. Walapun prasarana transportasi yang ada sekarang
terlihat cukup untuk ekuilibrium pertumbuhan Aceh yang rendah, ketika provinsi ini berupaya menjadi
lebih modern dan berkembang, maka hal ini kemungkinan besar akan menjadi hambatan.
Perhatian yang lebih khusus harus diberikan dalam penyusunan strategi besar untuk mendorong
pertumbuhan yang inklusif dan merata bermanfaat bagi sebagian besar penduduk, termasuk
kalangan yang berpotensi mengganggu perdamaian. Laporan ini berfokus pada hambatan-
hambatan utama terhadap pertumbuhan dan menawarkan rekomendasi tentang intervensi-intervensi
potensial untuk menyelesaikan masalah-masalah ini. Upaya mengatasi hambatan-hambatan yang utama
kemungkinan akan memberi manfaat bagi penduduk secara keseluruhan, meningkatkan kemampuan
kelompok miskin dan rawan di Aceh untuk memperoleh manfaat dari pertumbuhan. Diperlukan intervensi-
intervensi khusus untuk memastikan bahwa pertumbuhan tersebut bersifat inklusif. Intervensi-intervensi
Diagnosis Pertumbuhan Aceh69
Juli 2009
tersebut termasuk melanjutkan fokus pada sektor pertanian, dan juga meningkatkan penyediaan layanan
publik di daerah ini. Intervensi-intervensi tersebut juga termasuk menata ulang ketidaksetaraan yang
ada baik dalam hal modal manusia maupun fi sik dengan meningkatkan tingkat keahlian orang-orang
miskin di daerah-daerah pedesaan, juga intervensi-intervensi yang memfasilitasi akses terhadap kredit
bagi orang-perorangan dan usaha-usaha kecil yang bergerak dalam sektor pertanian dan perikanan.
Mendistribusikan manfaat-manfaat pertumbuhan akan memberikan hal yang penting dalam perdamaian
dan stabilitas di Aceh bagi bagian masyarakat yang lebih besar, menurunkan kekhawatiran tentang
masalah keamanan dan pada akhirnya menjaga agar konfl ik tidak terjadi lagi.
Diagnosis Pertumbuhan Aceh71
Aghion, P. and Peter Howitt, 1992, “A Model of Growth through Creative Destruction”, Econometrica, Vol.
60, No. 2. (Mar., 1992), hal. 323-351
Aghion, Philippe and Steven Durlauf, 2007, “From Growth Theory to Policy Design”, mimeo, Commission
on Growth and Development.
Aguswandi and Judith Large, 2008, “Reconfi guring Politics: The Indonesia-Aceh Peace Process”, London:
Conciliation Resources.
Aspinall, Edward, 2009a, “Combatants to Contractors: The Political Economy of Peace in Aceh”. Indonesia
May-June.
Aspinall, Edward, 2009b, “Islam and Nation: Separatist Rebellion in Aceh, Indonesia”, Stanford, CA.:
Stanford University Press.
Barron, Patrick, 2008, “Managing the Resource for Peace: Reconstruction and Peace building in Aceh”
in Aguswandi and Judith Large (eds.) Reconfi guring Politics: The Indonesia-Aceh Peace Process. London:
Conciliation Resources.
Barron, Patrick, 2009, “The Limits of DDR: Reintegration Lessons from Aceh” in Small Arms Survey Yearbook
2009, Cambridge: Cambridge University Press.
Barron, Patrick and Adam Burke, 2008, “Supporting Peace in Aceh: Development Agencies and
International Involvement”, Washington, DC: East-West Center.
Barron, Patrick, and Samuel Clark, 2006, “Decentralizing Inequality? Center-Periphery Relations, Local
Governance and Confl ict in Aceh”, Confl ict Prevention and Reconstruction Paper No. 39. Washington, D.C.:
World Bank.
Bates, Robert H., 2008, “State Failure”, Annual Review of Political Science. 11: 1-12.
Bodea, Christina and Ibrahim A. Elbadawi, 2008, “Political Violence and Economic Growth”, Policy Research
Working Paper No. 4692. Washington, D.C: World Bank.
Chaudhary, Torunn and Astri Suhrke, 2008, “Postwar Violence”, mimeo, Small Arms Survey, Geneva.
Chauvet, Lisa, Paul Collier, and Haavard Hegre, 2008, “The Security Challenge in Confl ict-prone Countries”,
Confl icts Challenge Paper, Copenhagen: Copenhagen Consensus Centre. Edisi situs internet. Diakses
bulan Juni 2008. <http://www.humansecurity gateway.info/documents/CP_Collier_securitychallengein
confl ictpronecountries.pdf>
Clark, Samuel, and Blair Palmer, 2008, “Peaceful Pilkada, Dubious Democracy”, Indonesian Social
Development Paper No. 11. Jakarta: World Bank.
09
Daftar Referensi
72Diagnosis Pertumbuhan Aceh
Daftar Referensi
Collier, Paul, 1994, “Demobilization and Insecurity: A Study in the Economics of the Transition from War
to Peace”, Journal of International Development. 6(3): 343-51.
Collier, Paul, 1999, “On the Economic Consequences of Civil War”, Oxford Economic Papers 51 (1): 168–83.
Collier, Paul, V.L. Elliott, Havard Hegre, Anke Hoeffl er, Marta Reynal-Querol, and Nicholas Sambanis, 2003,
“Breaking the Confl ict Trap: Civil War and Development Policy”. Washington, DC: World Bank and Oxford
University Press.
Collier, Paul and Anke Hoeffl er, 2004, “Greed and Grievance in Civil War”, Oxford Economic Papers 54: 563-
595.
Collier, Paul, Anke Hoeffl er, and Mans Soderboom, 2006, “Post-Confl ict Risks”, Working Paper No. 256.
Oxford: Centre for the Study of African Economics, University of Oxford.
Commission on Growth and Development, 2008, “Growth Report: Strategies for Sustained Growth and
Inclusive Development”, Washington, D.C.: The World Bank..
CSIRO, 2008, “Environmental Management for a Sustainable Economic Development Strategy for
Nanggroe Aceh Darussalam”, Nota Kebijakan untuk Bank Dunia oleh Commonwealth Scientifi c and
Industrial Research Organisation (CSIRO).
Czaika, Mathias and Krisztina Kis-Katos, 2007, “Civil Confl ict and Displacement. Village-Level
Determinants of Forced Migration in Aceh”, HiCN Working Paper No. 32, Households in Confl ict Network,
Institute of Development Studies, University of Sussex, Brighton, UK.
Dawood, Dayan, and Sjafrizal, 1989, “Aceh: The LNG Boom and Enclave Development”, in Hal Hill (ed.)
Unity and Diversity: Regional Economic Development in Indonesia since 1970. Singapore: Oxford University
Press.
Geneva Declaration Secretariat, 2008, “The Global Burden of Armed Violence”. Geneva: Geneva Declaration
Secretariat.
Government of Aceh, 2007, “Atlas – Economic Development NAD Province – Aceh Triple A Project (ATAP)”,
Initial Edition, Mei 2007
Hausmann, Ricardo and Dani Rodrik, 2003, “Economic Development as Self-Discovery”, Journal of
Development Economics, Vol. 72, No. 2, hal. 603-633.