Nomor: RISALAH DPD/KOMITE I/V/2018 DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA ----------- RISALAH RAPAT DENGAR PENDAPAT UMUM KOMITE I DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA MASA SIDANG V TAHUN SIDANG 2017-2018 I. KETERANGAN 1. Hari : Senin 2. Tanggal : 28 Mei 2018 3. Waktu : 10.35 WIB - 12.20 WIB 4. Tempat : R.Sidang 2A 5. Pimpinan Rapat : 1. Drs. Ahmad Muqowam (Ketua Komite I) 2. Drs. H. A. Hudarni Rani, S.H. (Wakil Ketua) 3. Benny Rhamdani (Wakil Ketua) 4. H. Fachrul Razi, M.I.P 6. Sekretaris Rapat : 7. Acara : RDPU dalam Rangka Penyusunan pandangan dan pendapat DPD RI Terhadap RUU tentang Masyarakat Adat. 8. Hadir : Orang 9. Tidak hadir : Orang
20
Embed
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK … RISALAH DPD/KOMITE I/V/2018 DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA RISALAH RAPAT DENGAR PENDAPAT UMUM KOMITE I DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Nomor: RISALAH DPD/KOMITE I/V/2018
DEWAN PERWAKILAN DAERAH
REPUBLIK INDONESIA
-----------
RISALAH
RAPAT DENGAR PENDAPAT UMUM KOMITE I
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA
MASA SIDANG V TAHUN SIDANG 2017-2018
I. KETERANGAN
1. Hari : Senin
2. Tanggal : 28 Mei 2018
3. Waktu : 10.35 WIB - 12.20 WIB
4. Tempat : R.Sidang 2A
5. Pimpinan Rapat : 1. Drs. Ahmad Muqowam (Ketua Komite I)
2. Drs. H. A. Hudarni Rani, S.H. (Wakil Ketua)
3. Benny Rhamdani (Wakil Ketua)
4. H. Fachrul Razi, M.I.P
6. Sekretaris Rapat :
7. Acara : RDPU dalam Rangka Penyusunan pandangan dan pendapat
DPD RI Terhadap RUU tentang Masyarakat Adat.
8. Hadir : Orang
9. Tidak hadir : Orang
RDPU KOMITE I DPD RI MS I TS 2017-2018
SENIN, 28 MEI 2018
1
II. JALANNYA RAPAT:
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. A. HUDARNI RANI, S.H. (WAKIL KETUA KOMITE I
DPD RI)
Jam 10, jadi Pak Waka, Pak Benny, para tim ahli RUU, tim ahli Komite I, para staf
yang terhormat. Jadi pertama-tama mari kita bersyukur, karena Allah Subhanahu Wa Ta'ala,
… (tidak jelas, red.) dan waktu dari undangan sudah menunjukkan lewat setengah jam lebih,
kita masih menunggu-nunggu, tapi kondisi terakhir yang terkini ini memang, tak bisa
dihindari ini pak. Jadi pada saat bersama para anggota DPD ini, semuanya dipanggil KPU,
untuk menyelesaikan masalah pendaftaran, ini, ini kita masih nunggu ada 2 orang. Tapi
dengan memanjatkan puja dan puji syukur itu, kita tahu tadi rencana kita ini adalah untuk,
berbicara dengan narasumber ini sebagai tim ahli RUU tentang masyarakat adat ini, jadi kita
ucapkan terima kasih atas kehadirannya. Tapi situasi ini saya tak bisa ngomong apa lagi ya,
cuma kita bagaimana memanfaatkan ini, dengan baik.
Nah, kita minta semua saran tentunya, sebelum dIbuka karena acara ini sebenarnya
pada gilirannya kita ingin mendengarkan pandangan dari tim ahli RUU, nanti akan disikapi
oleh tim ahli Komite I, nanti akan dirubuskan, karena ini dalam rangka pandangan kita …
(tidak jelas, red.) undang-undang itu untuk pembahasan di tingkat DPR. Jadi konsisi sekarang
ini sudah berada di tangan DPR sekarang kan, kita berkewajiban untuk mensukseskannya
termasuk menyelesaikan undang-undang kita MD3 itu kita wajib memberikan pandangan.
Nah saya minta pendapat ini, karena satupun anggota kita belum ada yang hadir, termasuk
ketua kita juga masih di kampung katanya, jadi satupun anggota belum bisa hadir, tapi tidak
hadir ini memang situasi pak, saya tahu benar ini, karena saya pun terpaksa diundang …
(tidak jelas, red.) karena enggak enak, jadi hari ini diundang.
Nah ini kami minta Pak Yanto gimana kira-kira pandangannya? Apa kita lanjutkan,
nanti kita bicarakan surat resmi, kemudian ditangkap oleh KPK. Ini, ini gimana kita siapkan
untuk pembahasan ditingkat DPR-nya ini. Walaupun nanti kita, jangan sampai waktu kita
dari Yogya ilang gitu ya, gitu. Sementara kita skors dulu setengah jam lagi atau gimana ini?
Setengah jam lagi ya? Oke kita skors ya setengah jam lagi.
KETOK 2X
RAPAT DISKORS 30 MENIT
RAPAT DIBUKA PUKUL 10.35 WIB
SKORS DICABUT
RDPU KOMITE I DPD RI MS I TS 2017-2018
SENIN, 28 MEI 2018
2
Terima kasih.
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Selamat pagi, salam sejahtera untuk kita semua. om swastiastu. Yang saya hormati
Pak Waka I, para Tim Ahli RUU, Tim Ahli dari Komite I, yang saya hormati Pak
Muhammad Idris dari Kaltimra, Kaltimra, … (tidak jelas, red.) itu diwakili itu. Jadi pertama-
tama mari kita panjatkan puja dan puji syukur kita kehadirat Allah Subhanahu Wata'ala
Tuhan Yang Maha Esa, atas karunia-Nya yang dapat pada hadir pada suasana di tempat ini,
dalam rangka kita sebenarnya Rapat Dengar Pendapat Umum Komite I DPD RI pada hari ini.
Yang kita tahu situasinya memang, mohon maaf ini para tim ahli mungkin agak, … (tidak
jelas, red.) agak sedikit menyempitkan karena berkaitan dengan acara KPU, tapi
bagaimanapun … (tidak jelas, red.) ini sudah datang pak yang dari Yogya, dari ini sudah
datang, maka, dan acara ini tidak mengambil keputusan, jadi hanya bahan-bahan, yang akan
kita perbaiki terus untuk mencapai tingkat undang-undang yang benar-benar bermanfaat
berkualitas. Jadi atas izin Bapak, Ibu sekalian dengan mengucapkan
Bismillahirrahmanirrahim Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan agenda
Pandangan Terhadap RUU tentang Masyarakat Hukum Adat kita buka, dan terbuka untuk
umum.
Bapak, Ibu sekalian, jadi kita sudah paham betul dan mengetahui bahwa DPD RI telah
menerima surat dari Ketua DPR RI Nomor LG/03105/DPR/RI/II/2018 tanggal 12 februari
yang lalu perihal penyampaian RUU tentang Masyarakat Hukum Adat (tidak jelas 07:05)
yang ditujukan kepada Presiden Republik Indonesia dan ditembuskan kepada Ketua DPD RI,
kemudian Presiden juga menugaskan Menteri Dalam Negeri, Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan, Menteri Agraria dan Tata Ruang Kepala Badan Pertanahan Nasional, Menteri
Desa PDTT, Menteri Kelautan dan Perikanan, serta Menteri Hukum dan HAM untuk
bersama-sama maupun (tidak jelas 07:27) mewakili Presiden, dalam membahas RUU tentang
Masyarakat Hukum Adat tersebut. Dan berdasarkan informasi Bapak, Ibu sekalian,
perkembangannya bahwa pembahasan RUU tentang Masyarakat Hukum Adat ini, DPR RI
telah membentuk Pansus juga, tentang Masyarakat Hukum Adat pada tanggal 26 april yang
baru lalu, seminggu yang lalu, dengan jumlah anggota sebanyak 30 orang yang diikuti
seluruh fraksi DPR RI. Sehubungan dengan hal tersebut, untuk memenuhi amanat konstitusi
pada Pasal 170 Ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (MD3). DPD harus memberikan pandangan terhadap RUU yang
berasal dari DPR dan daftar inventaris masalah materi sebagai bahan dalam pembahasan
lebih lanjut. Jadi ini, hal-hal seperti inilah yang perlu kita lakukan dan kita sungguh-sungguh
berharap secara ininya, lebih banyak kita harapkan dari para ahli ini menyampaikan, nanti
dirumuskan oleh tim ahli.
Iya selamat datang Ibu Dewi, mohon izin saya lanjutkan ya.
Jadi Bapak Ibu sekalian Komite I sebagai alat kelengkapan yang ditugaskan Pimpinan
DPD RI mengambil inisiatif untuk menyusun pandangan terhadap RUU tentang Masyarakat
Hukum Adat, jadi yang akan kita susun ini adalah bukan pandangan Komite I, tapi
pandangan DPD RI ya, karena kita diberi mandat itu, jadi pandangan itu memang kita
harapkan kita susun lebih teliti lagi, Pak Denis, sekadar kembali Komite I telah
menyelesaikan RUU tentang Perlindungan Hak Masyarakat Adat, inisiatif ini disahkan pada
Sidang Paripurna ke-12 Masa Sidang IV tahun 2017-2018 tanggal 23 april dan berdasarkan
Surat Keputusan DPD RI tentang RUU tentang Hak Masyarakat Adat. RUU ini telah
disampaikan ke Pimpinan DPR RI, yang tadi sudah disampaikan diproses. Untuk
mempersingkat waktu, kita sepakat saja ya, jadi baru hadir 4 orang pak, dari 33 orang. Tapi
ini memang luar biasa, karena memang sekali lagi saya minta pengertian/pemahaman,
RDPU KOMITE I DPD RI MS I TS 2017-2018
SENIN, 28 MEI 2018
3
memang situasi suasananya. (tidak jelas 09.41) rapat ini RUU Jawa Barat tentang KPU, kalau
… (tidak jelas, red.) KPU juga susah juga kita, kalau cara-cara, cara-cara membuktikan
dukungan itu juga, karena bikin ini ya, bikin sesuatu yang mengganjal, tapi kita surutlah yang
penting lolos itu. Jadi ini pak, mudah-mudahan, ini kita dapat memanfaatkan waktunya
dengan baik ya, jadi ini permohonan maaf karena suasana seperti ini, tapi kita harapkan nanti
akan keluarlah … (tidak jelas, red.) itu. Untuk itu kami persilakan Tim Ahli RUU, tim ahli ini
ada dua, Tim Ahli Komite, ada Tim Ahli RUU ya, yang ini berkaitan dengan RUU-nya ya. …
(tidak jelas, red.) juga, ya, ya Pak Khalis dari Gorontalo juga, kalau bisa unsur-unsur. Kami
persilakan Pak Johanes.
PEMBICARA: REVOLIYANDO (TIM AHLI)
Saya mulai. Terima kasih Pak Ketua.
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Salam sejahtera bagi kita semua.
Pertama kami ucapkan terima kasih atas undangan dari, Komite I pada kami untuk
menyampaikan pandangan kami terkait dengan Rancangan Undang-Undang Masyarakat
Hukum adat versi DPR RI 2018. Saya akan memulai beberapa catatan awal, yang kemudian
mungkin akan dilanjutkan oleh beberapa teman yang lain, yang mencakup tanggapan yang
lebih detail. Jadi, kita tahu bahwa pengakuan hak masyarakat adat, masyarakat hukum adat
ataupun masyarakat tradisional, itu sudah tercantum di dalam konstitusi kita, baik di dalam
versi Pasal 18 sebelum amandemen, maupun kemudian dituangkat ke dalam Pasal 18b Ayat
(2), dan juga Pasal 28i Ayat (3), yang secara nyata-nyata telah mengakui keberadaan, apa
yang disebut sebagai masyarakat hukum adat dan juga masyarakat tradisional. Meskipun
demikian, sebagaimana kita tahu kalau kita lihat perkembangan, yang terjadi di dalam
beberapa tahun belakangan ini. Tolong slide-nya berikut.
Ada beberapa hal yang mengganjal mengapa amanat konstitusi itu, belum juga
diterapkan secara optimal, walaupun memang Pasal-Pasal itu mengamanatkan adanya
undang-undang yang mengatur tentang pelaksanaan amanat konstitusi tentang pengakuan hak
masyarakat adat itu. Ada 3 hal yang kami catat, bahwa yang:
1. Amanat konstitusi sebagaimana saya sebutkan tadi, mengalami apa yang kami sebut
sebagai 3 kali interupsi, yang berakibat pada pengakuan yang bersyarakat. Jadi kalau
kita baca undang-undangnya itu, ada pengakuan tetapi kemudian melalui Undang-
Undang Pokok Agraria dan juga kemudian Undang-Undang Kehutanan, pengakuan
itu menjadi bersyarat, yang pada perkembangan selanjutnya bermuara pada
munculnya berbagai macam definisi dan syarat-syarat yang tidak sejalan satu sama
lainnya. Setidaknya ada 19 undang-undang sekarang yang mengatur tentang
masyarakat hukum adat atau masyarakat adat itu dan kita bisa menemukan definisi
yang berbeda satu sama lain dan juga syarat-syarat keberadaannya juga berbeda satu
sama lain. Intrupsi kedua kemudian juga memunculkan satu logika hukum baru, atau
logika hukum yang di dalam penerapan amanat konstitusi itu yaitu, logika hukum
pengakuan subjek mendahului pengakuan hak, jadi kalau hak masyarakat adat yang
bermacam-macam itu, baru akan diakui kalau subjeknya diakui. Nah ini menimbulkan
problem-problem tersendiri. Intrupsi yang dilakukan oleh 2 undang-undang itu
kemudian juga dikukuhkan masalahnya oleh Putusan MK 35 yang terakhir tahun 2012
yang mengukuhkan kedua hal itu.
2. Nah masalah yang kedua, walaupun demikian kita juga melihat bahwa sudah begitu
banyak peraturan perundangan, tadi saya sebut ada kurang lebih 19 undang-undang
yang mengatur tentang pengakuan hak masyarakat adat itu, tetapi pelaksanaannya
RDPU KOMITE I DPD RI MS I TS 2017-2018
SENIN, 28 MEI 2018
4
seperti nanti akan kita lihat di dalam misalnya pengakuan terhadap hutan adat itu,
relatif sangat terbatas. Hal ini terjadi karena peraturan perundangan itu selalu melihat
masyarakat hukum adat itu sebagai satu entitas politis, yang kemudian bermuara
kepada mekanisme pengakuan yang rumit, padahal banyak diantara hak-hak yang
melekat pada masyarakat itu, sebenarnya adalah hak-hak yang bersifat perdata saja,
sehingga ada fenomena misalnya, pengakuan tanah adat atau hutan adat itu jauh lebih
susah, lebih sulit ketimbang mendapat HGU, jadi kalau kita punya perusahaan untuk
mendapat izin perkebunan begitu, kita tidak perlu perusahaannya itu dibikinkan
Perda, datang saja ke notaris, setor modal terdaftar, kemudian surat izin keluar dan
HGU. Itu berbeda kalau memohonkan tanah adat atau hutan adat, sesuai peraturan
perundangan yang lalu, itu baru diakui kalau masyarakat adatnya bikin Perda, nah kita
tahu Perda harganya lumayan. Padahal, tanah adat tadi atau hutan adat tadi boleh jadi
hanya dimiliki oleh satuan-satuan sosial yang sifatnya terbatas, kekerabatan tadi,
apakah itu kaum, suku di Nagari, atau bius di Sumatera Utara, atau mata rumah di
Maluku dan seterusnya. Jadi situasi seperti itu kemudian membuat pengakuan hak
masyarakat adat seperti digambarkan oleh slide ini sangat rendah.
3. Nah yang ke 3, masalah ke-3 kami mencatat bahwa, meskipun demikian ada 19 tadi
saya sebutkan, masih tetap saja ada beberapa hak masyarakat adat yang belum diauki
pelaksanaannya, penyelenggaraahnya, bahkan ada hak masyarakat adat misalnya
seperti, kepercayaan ajaran leluhur atau itu, yang walaupun sudah diakui juga masih
belum mendapatkan mekanisme pengaturan yang, yang pas. Nah, oleh sebab itu
sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 18b Ayat 2, maka memang undang-undang
yang mengatur tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat itu, memang
suatu kebutuhan, amanat dari undang-undang, tinggal lagi undang-undang seperti apa
yang harus dihasilkan. Lanjut saja, ini sudah saya simpul tadi, nah jadi sederhananya
kalau diringkas bahwa walaupun sudah banyak peraturan perundang yang ada selama
ini, tapi belum bisa membuat pengakuan hak masyarakat adat itu secara lebih
oprasional, baik terhadap berbagai hak-hak yang mereka miliki, apakah itu hak
politik, hak tanah, hak atas ajaran leluhur dan seterusnya.
Nah, kalau kita lihat kepada RUU Masyarakat Adat versi DPR sendiri, setidaknya
kami mencatat ada 5 masalah yang dihadapi.
1. Yang pertama adalah draft RUU Masyarakat Hukum Adat versi DPR ini belum
mengakomodasi hasil amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang, kecuali
melahirkan Pasal 18b Ayat (2), juga melahirkan Pasal 28i Ayat (3). Nah, ini
tergambarkan kepada judul dari RUU yang, disebut sebagai masyarakat hukum adat,
ini jelas merujuk kepada Pasal 18b Ayat (2). Nah padahal konstitusi juga mengatur
tentang pengakuan hak-hak masyarakat tradisional, sebagaimana yang diatur pada
Pasal 28i Ayat (3). Jadi undang-undang ini masih hanya mengacu kepada Pasal 18b
Ayat (2), belum melihat Pasal 28i Ayat (1), yang sejatinya secara substansi juga
berkaitan dengan masyarakat adat.
2. Yang kedua adalah sebagaimana kecenderungan logika hukum yang ada sementara
ini, RUU Masyarakat Hukum Adat versi DPR juga terperangkap pada logika hukum
pengakuan subjek harus mendahului pengakuan objek hak, jadi di sini ada sebuah
asumsi bahwa kalau subjeknya sudah diakui, maka seluruh haknya akan terakui. Nah,
padahal kita tahu di Indonesia sekarang, tidak banyak lagi sebenarnya susunan
masyarakat hukum adat, atau masyarakat adat yang bersifat otonom. Artinya dengan
satu pengakuan subjek tertentu, maka pengaturan hak-hak yang lain itu akan berjalan
dengan sendirinya. Umumnya unit-unit sosial yang mempunyai kewenangan publik,
RDPU KOMITE I DPD RI MS I TS 2017-2018
SENIN, 28 MEI 2018
5
itu sudah memudar sehingga sebenarnya sekarang ini, persoalan hak masyarakat adat
ini lebih atau dalam situasi yang fragmented gitu, jadi yang dibutuhkan sekarang
adalah bagaimana pengakuan terhadap, misalnya penguasaan tanah berdasarkan adat,
soal religi, soal bahasa dan soal yang lain. Nah, dalam situasi yang seperti itu, maka
logika pengakuan subjek harus mendahului pengakuan objek hak itu, tidak memadai,
atau menjadi terlalu berat ya, menjadi seperti saya katakan tadi, bahwa banyak hak
masyarakat adat itu bersifat perdata, padahalkan subjeknya itu tadi bersifat yang diatur
selama ini mengasumsikan susunan masyarakat adat itu sebagai entitas politik.
3. Yang ketiga adalah RUU Masyarakat Hukum Adat ini, kami nilai juga terjebak pada
pemahaman bahwa masyarakat adat yang statis, jadi kalau kita lihat nanti di Pasal
atau Bab 3 misalnya, itu ada klausul yang menyatakan mengurus evaluasi. Jadi karena
pengertiannya masyarakat adat itu statis, masyarakat adat itu ada, kalau ada kriteria 1,
2, 3, 4, 5 dan di dalam perkembangannya kalau 1, 2, 3, 4, 5 itu berubah, bahkan
masyarakat adat itu hilang, dibubarkan dan lebih unik lagi tanah masyarakat adat itu
menjadi tanah negara. Nah, padahal perubahan kebudayaan, perubahan suatu susunan
masyarakat adat itu adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa ditolak. Jadi seperti
saya katakan tadi, boleh jadi susunan masyarakat adat yang bersifat politiknya bubar,
tetapi unsur-unsur haknya tetap hidup, gitu. Jadi mungkin seperti orang kampung saya
sekarang di Sumatra Barat, sudah Islam semua misalnya, kemudian tapi adatnya tetap
ada. Nah, jadi ada logika yang statis ini yang tentu saja itu akan membahayakan,
situasi masyarakat adat pada umumnya, padahal sebenarnya perubahan tadi itu
merupakan keniscayaan, oleh sebab itu kalaupun suatu masyarakat adat sudah
berubah, di mana tanah-tanah komunal tidak lagi menjadi tanah komunal, sudah
menjadi tanah-tanah individual seharusnya itu di, di terima sebagai realitas sosial ya.
Tidak berarti kemudian karena masyarakat komunalnya sudah bubar, maka tanah itu
menjadi tanah negara. Undang-Undang Pokok Agraria sendiri sudah memberikan
jalan, bahwa tanah-tanah yang tidak komunal lagi bisa menjadi tanah-tanah bersifat
individual. Nah, jadi RUU versi masyarakat adat ini, kami lihat sangat romantis begitu
ya, seolah-olah masyarakat adat itu tidak bisa berubah, padahal realitasnya berubah.
4. Yang keempat, oleh sebab, oleh karena logika berpikir dasarnya adalah seperti itu,
maka RUU ini berkutat pada masalah penetapan persyaratan dan mekanisme
pengetahuan. Pengakuan yang bermuara pada sistem kelembagaan yang super
subsentralistik, dan akhirnya membutuhkan biaya penyelenggaraan yang mahal, kalau
kita baca maka keberadaan masyarakat hukum adat itu diproses mulai dari tingkat
desa, kecamatan, kabupaten, provinsi kemudian sampai pusat dan ditetapkan dengan
SK menteri, jadi kita bisa bayangkan betapa rumitnya menjadi masyarakat adat di
Indonesia ini dengan mekanisme seperti ini, padahal konstitusi kita sudah secara
nyata-nyata sebenarnya mengakui keberadaan masyarakat adat itu. Nah, ini yang
menurut kami, masalah yang paling mendasar yang dihadapi oleh RUU masyarakat
hukum adat versi DPR ini yang perlu kita cermati gitu.
Lima masalah tadi sebenarnya, bisa diatasi dengan cara berpikir yang berbeda. Lanjut.
Nah, untuk mengatasi masalah ini sebagaimana juga yang sudah kami sampaikan di dalam
menyusun RUU Perlindungan Hak Masyarakat Adat versi DPD, maka mengatasi 5 persoalan
tadi itu ada 4 arah pengaturan ke depan. Yang pertama adalah undang-undang yang
dimaksudkan untuk mengakui dan melindunga hak-hak masyarakat adat ke depan, perlu
mengadopsi terma baru, tadi saya katakan bahwa di Pasal 18b Ayat (2) kita bertemu dengan
terminologi kesatuan masyarakat hukum adat, atau disebut masyarakat hukum adat tetapi di
Pasal 28i Ayat (3) itu disebut sebagai masyarakat tradisional maka, berdasarkan beberapa
RDPU KOMITE I DPD RI MS I TS 2017-2018
SENIN, 28 MEI 2018
6
pertimbangan bahwa, baik kesatuan masyarakat hukum adat, maupun masyarakat adat,
maupun masyarakat tradisional di dalam konstitusi kita itu berdasarkan teknis penulisan
konstitusinya itu sebenarnya bersifat, atau dimaksudkan sebagai nama teknis. Nah, oleh sebab
itu di dalam pengaturan ke depan, untuk mencakup kedua terma yang bermakna teknis tadi,
itu bisa dinaungi dengan sebuah nomenklatur baru yang kami tawarkan yaitu, masyarakat
adat, jadi satu, terma masyarakat adat ini bisa menaungi 2 nama fungsi yang ada di konstitusi
dan disamping itu juga terma masyarakat hukum adat ini, juga mendapat aspirasi dari gerakan
masyarakat adat di negeri ini saat ini.
Jadi yang pertama kemudian adalah, ke depan kita perlu menyusun rencana undang-
undang yang terkait dengan pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat, jadi tidak
perlu lagi menggunakan terminologi masyarakat hukum adat. Yang kedua berangkat dari
kerumitan hubungan antara subjek dan objek hak, maka kami menyarankan perubahan
pandangan, yang semula berfokus kepada pengakuan subjek yaitu, menetapkan masyarakat
adat itu sendiri, menjadi berfokus kepada pengakuan objek, pengakuan objek hak-hak dari
masyarakat adat yang bersangkutan. Dengan sistem ini tentunya pengakuan subjek menyertai
karakter objek yang akan diakui, jadi artinya sebenarnya kalau kita mengakui objek
sebenarnya kita juga sekaligus telah terkandung di dalamnya sebuah pengakuan tentang
subjek itu sendiri. Yang ketiga mekanisme pengakuan dan perlindungan ke depan, hak
masyarakat adat yang bersifat publik dan ada yang bersifat privat. Nah, oleh sebab itu di
dalam pengaturan pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat yang akan diakui itu,
bisa saja membutuhkan pengakuan-pengakuan subjek secara khusus dan objek yang berbeda-
beda. Nah, dengan pendekatan yang seperti ini maka, pada dasarnya kami tidak melihat
adanya sebuah kebutuhan kelembagaan yang khusus untuk mengatur pengakuan hak
masyarakat adat, tidak seperti yang ada di dalam RUU Masyarakat Hukum Adat versi DPR,
dimana mulai dari tingkat kabupaten, ada yang disebut panitia ya, panitia masyarakat adat di
kabupaten, ada panitia masyarakat adat di provinsi. Nah, ini yang akan menimbulkan proses-
proses kelembagaan yang rumit dan tentu saja juga akan membutuhkan biaya yang besar, dan
sebagaimana kita tahu dari media massa, justru hal ini menimbulkan keberatan dari pihak
Kementerian Dalam Negeri karena akan membebani anggaran negara. Nah, menurut kami
kalau RUU yang akan disusun itu ke depan lebih berfokus kepada pengakuan objek, maka
tidak diperlukan kelembagaan khusus itu, maka keberatan yang didasarkan kepada akan
munculnya beban anggaran negara yang membesar itu tidak atau menjadi tidak relevan.
Nah, itulah arah yang kami usulkan ke depan kelembagaan-kelembagaan seperti apa
yang dibutuhkan. Lanjut, ini lanjut saya, jadi ada beberapa masyarakat adat, nah dengan
catatan-catatan yang sudah saya sampaikan di atas maka, implikasi terhadap RUU
masyarakat adat versi DPR tahun 2018 adalah sebagai berikut.
1. Judul RUU harus dirubah menjadi Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan
Hak Masyarakat Adat. Jadi undang-undang yang kita butuhkan menurut pandangan
kami adalah Undang-Undang tentang Perlindungan Hak Masyarakat Adat, jadi bukan
soal penetapan, pengakuan karena pengakuan terhadap masyarakat adat itu sudah
terjadi secara dekralatif melalui konstitusi.
2. Bab I Ketentuan Umum, dengan demikian tentu perlu disesuaikan beberapa istilah
yang ada di bab itu. Bab II tentang Pengakuan menurut kami harus dihapus karena
tidak relevan karena kita tidak lagi berorientasi kepada pengakuan subjek dan Bab II
ini kami usulkan diganti atau ditambahkan Bab tentang Ruang Lingkup. Bab III
Evaluasi dihapus karena seperti saya katakan tadi, perubahan dari masyarakat adat
adalah keniscayaan, jadi tidak perlu dilakukan evaluasi terhadap penetapan yang
dilakukan itu.
RDPU KOMITE I DPD RI MS I TS 2017-2018
SENIN, 28 MEI 2018
7
Bab IV Lembaga Adat, kami usul dihapus karena akan terakomodasi dengan
sendirinya dalam urusan perlindungan hak masyarakat adat, jadi kelembagaan adat
tentunya adalah salah satu hal yang akan dilindungi di dalam RUU tentang
Perlindungan Hak Masyarakat Adat itu. Bab V Hak dan Kewajiban, perlu disesuaikan
dengan pengaturan yang jelas. Bab yang mengatur tentang jenis-jenis hak yang diakui
dan bab yang mengatur proses pemajuan hak masyarakat adat. Jadi kalau kita cermati
RUU versi DPR ini, maka pengakuan hak masyarakat adatnya itu masih dekralatif,
tidak jelas mau diapakan pengakuannya itu. Jadi hanya dikatakan negara mengakui
ini, mengakui itu, tetapi bagaimana pengakuan itu diadministrasikan itu tidak jelas.
Nah, oleh sebab itu kami mengusulkan Bab V Hak dan Kewajiban itu perlu secara
tegas mengatur, pertama tentang jenis-jenis hak yang akan diakui, apa saja itu
disebutkan; dan kemudian bab yang mengatur proses pemajuan hak masyarakat adat.
Bab VI Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat, dengan sendirinya disesuaikan
dengan pendekatan pemajuan hak yang meliputi pelestarian hak masyarakat adat,
pemberdayaan masyarakat adat, pengembangan hak masyarakat adat, dan
pemanfaatan hak masyarakat adat. Jadi tidak hanya pemberdayaan masyarakat adat,
tapi kita mengusulkan bab tentang pemajuan hak masyarakat adat. Bab VII Sistem
Informasi, tetap dengan penyesuaian yang dibutuhkan tentunya. Bab VIII Tugas dan
Wewenang, tetap dengan penyesuaian yang dibutuhkan. Bab X Penyelesaian
Sengketa, tetap dengan penyesuaian. Bab XI Pendanaan, tetap dengan penyesuaian.
Bab XII Partisipasi Masyarakat, tetap dengan penyesuaian. Bab XIII Larangan, hapus
atau tetap dengan penyesuaian, ini masih di dalam perlu didiskusikan lebih lanjut.
Kalau di dalam versi DPD kita tidak menganut larangan, tapi lebih kepada
penganjuran peran dari pemerintah. Bab XIV Ketentuan Pidana, hapus atau tetap
dengan penyesuaian. Bab XV Ketentuan Peralihan, tetap dengan penyesuaian, dan
Bab XVI Ketentuan Penutup, tetap dengan penyesuaian.
Demikianlah Pak Ketua, beberapa pandangan dasar kami tentang keberadaan
Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat versi DPR RI 2018 dan beberapa saran
yang diusulkan di dalam revisi. Kalau itu bisa dilakukan revisi terhadap draf itu, yang kami
usulkan berdasarkan kajian-kajian yang sudah kami lakukan dan juga rancangan RUU
Perlindungan Hak Masyarakat Adat yang telah kami susun untuk DPD RI. Demikian dari
saya, mungkin nanti ada tambahan yang lebih detail dari beberapa teman tentang isu-isu
terkait. Demikian, Pak.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. A. HUDARNI RANI, S.H. (WAKIL KETUA KOMITE I
DPD RI)
Terima kasih Pak … (tidak jelas, red), ini sudah cukup lengkap gitu ya. Nanti para tim
ahli nanti dibikin itu ya. Ada yang mau menambahkan? Silakan, Bu, Pak, silakan aturlah
mana dulu aja.
PEMBICARA: IDHAM ARSYAD (TIM AHLI)
Terima kasih, Pak Pimpinan.
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Sejatinya kalau kita memperhatikan RUU Perlindungan Hak Masyarakat Adat yang
disusun oleh DPD, itu sebenarnya kerangka berpikirnya adalah karena menemukan masalah-
RDPU KOMITE I DPD RI MS I TS 2017-2018
SENIN, 28 MEI 2018
8
masalah yang ada di dalam RUU versi DPR yang tadi telah dikemukakan secara jelas oleh
Pak Yando. Nah, saya dalam kesempatan ini memberikan beberapa catatan yang mungkin
nanti bisa diselaraskan dengan teman-teman tenaga ahli pada saat menyusun DIM.
1. Dari segi judul kita bisa maknai bahwa RUU versi DPR ini sesungguhnya
berkeinginan untuk mengatur segala hal terkait dengan masyarakat adat, dari judulnya
karena terlalu umum. Jadi dengan begitu, tentu ada banyak pertanyaan-pertanyaan
yang dikemukakan, misalnya bagaimana posisi ... (tidak jelas, red.) DPR ini terkait
dengan undang-undang sektoral yang sebelumnya sudah mengatur mengenai
masyarakat adat, apakah akan menggantikan atau seperti apa atau sebenarnya kita
membutuhkan suatu rancangan undang-undang atau pengaturan yang lebih
implementatif sebagai pengejawantahan dari mandat konstitusi yang saya kira itu, itu
yang ingin hendak diajukan oleh RUU yang disusun DPD.
2. Saya melihat bahwa kalau kita merujuk ke RUU Perlindungan yang disusun oleh
DPD, saya kira dasar menimbanya memang harus memasukan Pasal 33 Ayat (3) dan
Ayat (5). Mengapa itu penting? Karena, itu berkaitan tentang satu hak mendasar yang
harus diselaraskan dengan RUU DPR ini, yaitu mengenai pengaturan mengenai tanah
dan kekayaan alam, karena itu bagian hal penting di dalam masyarakat adat.
3. Seperti yang telah dikemukakan oleh Pak Yando tadi bahwa konstruksi hukum yang
dibangun mengenai pengakuan masyarakat adat yang diatur di dalam mulai dari Pasal
4 sampai 18, saya kira itu lebih ke arah pembentukan kelembagaan. Jadi ide dasarnya
itu soal diperlukannya Panitia Masyarakat Adat. Terkait dengan hal itu, maka saya
kira ada banyak catatan kritis yang mungkin masih kita bisa ajukan. Seperti yang telah
dikemukakan Pak Yando tadi, tentu dalam implementasinya ini akan menghambat dan
memperlambat proses pengakuan karena harus berbagai macam tingkatan pos
kelembagaan yang harus dibentuk, harus ada panitia kabupaten, mencari orangnya,
dan berbagai hal. Yang kedua tentu sudah tadi dijelaskan karena model kelembagaan
seperti itu maka pasti sangat birokratis dan panjang dan memerlukan biaya. Nah ini
sering mendapat kritikan dari pihak luar terkait dengan RUU yang dibangun oleh
DPR. Dan saya kira paling urgent juga, bahwa nanti pasti di lapangan pada saat
implementasi bisa jadi panitia ini akan ... (tidak jelas, red.) dengan masyarakat adat
karena mungkin dalam benturan kepentingan dan sebagainya. Jadi saya ada banyak
soal-soal yang kita akan hadapi ketika mengenai pengaturan masyarakat adat
dikonstruksikan seperti yang ada di dalam RUU DPR ini.
4. Yang keempat, seperti telah dijelaskan oleh Pak Yando, saya kira memang paling
bermasalah adalah karena adanya Bab III mengatur tentang evaluasi, yang secara
prinsip saya kira bertentangan dengan semangat konstitusi kita untuk pengakuan dan
perlindungan masyarakat adat karena perlu dievaluasi setiap tahun.
5. Terus yang kelima, Bab IV tentang Perlindungan dan Bab V tentang Hak dan
Kewajiban, seperti yang telah dijelaskan oleh pemateri sebelumnya memang
nampaknya hanya bersifat dekralatif padahal kita sesungguhnya memerlukan suatu
pengaturan yang sudah implementatif, bagaimana pengaturan itu diatur, siapa
lembaga yang berwenang untuk mengakui dan bagaimana proses administrasinya.
Nah, saya kira catatan kelima ini telah dikonstruksikan oleh teman-teman di dalam
hak masyarakat adat di dalam RUU yang kita susun.
6. Nah yang terakhir, saya kira bab mengenai soal pemberdayaan saya kira perlu
diselaraskan dengan bab yang mengenai pemajuan hak masyarakat adat yang disusun
oleh DPD karena intinya kan sebenarnya bagaimana memberi suatu perhatian
terhadap masyarakat adat supaya bisa lebih berdaya, bisa lebih maju sehingga selaras
RDPU KOMITE I DPD RI MS I TS 2017-2018
SENIN, 28 MEI 2018
9
dengan atau sejajar dengan entitas-entitas masyarakat lain dalam konteks
menggunakan hak-hak.
Saya kira begitu, Pak Ketua, tambahan saya, dari RUU yang ada di tangan kita.
Terima kasih.
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. A. HUDARNI RANI, S.H. (WAKIL KETUA KOMITE I