Top Banner

of 576

depkes 2005vv

Jul 12, 2015

Download

Documents

Ihsan Habib
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

351.770 212 Ind p PROFIL KESEHATAN INDONESIA 2005 DEPARTEMEN KESEHATAN R.I. JAKARTA 2007 TIM PENYUSUN Pengarah Dr. H. Sjafii Ahmad, MPH Sekretaris Jenderal Depkes Ketua DR Bambang Hartono, SKM, MSc Kepala Pusat Data dan Informasi Depkes Sekretaris Bob Susilo Kusumobroto, SKM, MPH Dra. Rahmaniar Brahim, Apt, MKes Anggota, Sugito, SKM, MKes Sunaryadi, SKM, MKes Nuning Kurniasih, SSi, Apt Boga Hardhana, SSi, MM Evida Manullang, SSi M. Syahrul Anam, Dr. Wardah, SKM

Marlina Indah Susanti, SKM Supriyono, SKM Dewi Roro Kumbini, SS Istiqomah, SS Rida Sagitarina, Dra. Sariyono Sondang Tambunan Kontributor Ditjen Bina Kesehatan Masyarakat Ditjen Pelayanan Medik Ditjen PPM-PL Ditjen Yanfar & Alkes Badan Litbangkes Badan PPSDMKes Biro Perencanaan dan Anggaran Biro Kepegawaian Biro Umum dan Humas Pusat Promosi Kesehatan Pusat Penanggulangan Masalah Kesehatan Kesehatan RI 351.770 212 Ind p Indonesia. Departemen Kesehatan. Pusat Data dan Informasi Profil Kesehatan Indonesia 2005. - - Jakarta : Departemen Kesehatan RI 2007 Katalog Dalam Terbitan. Departemen

I. Judul

1. HEALTH STATISTICS

Buku ini diterbitkan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia Jalan HR. Rasuna Said Blok X-5 Kav 4-9, Jakarta 12950 Telepon no: 62-21-5229590, 5221432 Fax no: 62-21-5203874 E-mail: [email protected] Web site: http://www.depkes.go.id KATA PENGANTAR Profil Kesehatan Indonesia 2005 merupakan kelanjutan dari profil tahun-tahun sebelumnya. Profil Kesehatan juga merupakan salah satu wujud akuntabilitas dari Pusat Data dan Informasi. Supaya profil kesehatan ini tidak membingungkan dan dianggap tertinggal, maka data dan informasi yang disajikan adalah sesuai dengan tahun yang tercantum. Profil Kesehatan Indonesia 2005 selain memuat informasi seperti profil kesehatan sebelumnya dan juga memuat kejadian-kejadian penting pada tahun 2005, antara lain munculnya kembali penyakit polio, flu burung dan gempa bumi di Nias. Namun demikian Profil Kesehatan Indonesia 2005 masih terdapat keterbatasan karena ada beberapa data yang masih belum bisa terkumpul, untuk itu akan kami masukan ke Profil Kesehatan berikutnya. Profil Kesehatan Indonesia 2005 ini dapat juga diakses melalui http://www.depkes.go.id. Profil Kesehatan Indonesia dengan segala keterbatasan dalam hal pengumpulan datanya tetap diupayakan agar dapat terbit lebih cepat daripada tahun-tahun sebelumnya.

Mudah-mudahan Profil Kesehatan Indonesia 2005 ini bermanfaat dalam mengisi kebutuhan data dan informasi kesehatan yang terkini sesuai dengan harapan kita semua. Jakarta, 2007

Kepala Pusat Data dan Informasi DR. Bambang Hartono, SKM, MSc NIP. 140 058 225 i iiSAMBUTAN SEKRETARIS JENDERAL DEPKES Saya menyambut gembira terbitnya Profil Kesehatan Indonesia 2005 yang lebih cepat bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Meskipun berat dan banyak tantangan di dalam proses pengumpulan data untuk mengisi profil kesehatan ini, akhirnya Pusat Data dan Informasi berhasil menghimpun data tahun 2005 dan menyusunnya menjadi Profil Kesehatan Indonesia 2005. Tantangan dalam penyediaan data dan informasi yang tepat waktu ternyata banyak kendala sehingga data dan informasi dari setiap provinsi maupun program masih belum terisi secara lengkap. Dengan telah terbitnya Profil Kesehatan Indonesia 2005 yang juga memuat kejadian-kejadian penting di tahun 2005, saya harapkan profil ini dimanfaatkan dalam pengambilan keputusan yang didasari kepada data dan informasi (evidence based) serta digunakan sebagai salah satu rujukan data dan informasi. Pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggitingginya kepada semua pihak yang telah membantu dan memberikan kontribusi sehingga

memungkinkan tersusunnya Profil Kesehatan Indonesia 2005. Jakarta, 2007

Sekretaris Jenderal Departemen Kesehatan Dr. H. Sjafii Ahmad, MPH NIP. 140 086 897

iii ivDAFTAR ISI KATA PENGANTAR i SAMBUTAN SEKRETARIS JENDERAL iii DAFTAR ISI v DAFTAR LAMPIRAN vii BAB I: PENDAHULUAN 1 BAB II: GAMBARAN UMUM DAN PERILAKU PENDUDUK 3 A. Keadaan Penduduk 3 B. Keadaan Ekonomi 5 C. Keadaan Pendidikan 7 D. Keadaan Lingkungan 10 E. Keadaan Perilaku Masyarakat 12 BAB III: SITUASI DERAJAT KESEHATAN 15 A. Mortalitas 15 B. Morbiditas 23 C. Status Gizi 54 BAB IV: SITUASI UPAYA KESEHATAN 59 A. Pelayanan Kesehatan Dasar 59 B. Pelayanan Kesehatan Rujukan dan Penunjang 69

C. Pengendalian Penyakit Menular 73 D. Pembinaan Kesehatan Lingkungan dan Sanitasi Dasar 83 E. Perbaikan Gizi Masyarakat 85 F. Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan 88 G. Pelayanan Kesehatan dalam Situasi Bencana 91 BAB V: SITUASI SUMBER DAYA KESEHATAN 93 A. Sarana Kesehatan 93 B. Tenaga Kesehatan 102 C. Pembiayaan Kesehatan 108 vBAB VI: PERBANDINGAN INDONESIA DENGAN BEBERAPA NEGARA A. Kependudukan 111 B. Derajat Kesehatan 116 111

BAB VII: PENUTUP 122 DAFTAR PUSTAKA 123 LAMPIRAN *** viDAFTAR LAMPIRAN Lampiran 2.1 Pembagian Wilayah Administrasi Pemerintahan per Provinsi Tahun 2005 Lampiran 2.2 Luas Wilayah, Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Menurut Provinsi Tahun 2005 Lampiran 2.3 Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur Tertentu dan Provinsi Tahun 2005 Lampiran 2.3.a Penduduk Menurut Kelompok Umur, Jenis Kelamin dan Wilayah Tahun 2005

Lampiran 2.4 Persentase Penduduk Menurut Kelompok Umur Tertentu dan Provinsi Tahun 2005 (Perkotaan+Perdesaan) Lampiran 2.4.a Persentase Penduduk Menurut Kelompok Umur Tertentu dan Provinsi Tahun 2005 (Perkotaan) Lampiran 2.4.b Persentase Penduduk Menurut Kelompok Umur Tertentu dan Provinsi Tahun 2005 (Pedesaan) Lampiran 2.5 Penduduk Menurut Provinsi, Daerah Perkotaan/Pedesaan dan Jenis Kelamin Tahun 2005 Lampiran 2.6 Jumlah dan Persentase Daerah Tertinggal Menurut Provinsi Tahun 2005 Lampiran 2.7 Jumlah Rumah Tangga Penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) Menurut Klasifikasi dan Provinsi Tahun 2005 Lampiran 2.8 Persentase Penduduk Berumur 10 Tahun ke Atas Menurut Provinsi, Jenis Kelamin, dan Kepandaian Membaca dan Menulis Tahun 2005 (Perkotaan+Perdesaan) Lampiran 2.8.a Persentase Penduduk Berumur 10 Tahun ke Atas Menurut Provinsi, Jenis Kelamin, dan Kepandaian Membaca dan Menulis Tahun 2005 (Perkotaan) Lampiran 2.8.b Persentase Penduduk Berumur 10 Tahun ke Atas Menurut Provinsi, Jenis Kelamin, dan Kepandaian Membaca dan Menulis Tahun 2005 (Perdesaan) Lampiran 2.9 Persentase Penduduk Berumur 10 Tahun ke Atas Menurut Status Pendidikan dan Provinsi Tahun 2005 (Perkotaan+Perdesaan) Lampiran 2.9.a Persentase Penduduk Berumur 10 Tahun ke Atas Menurut Status Pendidikan dan Provinsi Tahun 2005 (Perkotaan)

Lampiran 2.9.b Persentase Penduduk Berumur 10 Tahun ke Atas Menurut Status Pendidikan dan Provinsi Tahun 2005 (Perdesaan) viiLampiran 2.10 Persentase Penduduk Indonesia Berumur 10 Tahun ke Atas Menurut Ijazah/STTB Tertinggi yang Dimiliki dan Provinsi Tahun 2005 (Perkotaan+Perdesaan) Lampiran 2.10.a Persentase Penduduk Indonesia Berumur 10 Tahun ke Atas Menurut Ijazah/STTB Tertinggi yang Dimiliki dan Provinsi Tahun 2005 (Perkotaan) Lampiran 2.10.b Persentase Penduduk Indonesia Berumur 10 Tahun ke Atas Menurut Ijazah/STTB Tertinggi yang Dimiliki dan Provinsi Tahun 2005 (Perdesaan) Lampiran 2.11 Persentase Rumah Tangga Menurut Luas Lantai Tempat Tinggal (m 2 ,( Tipe Daerah dan Provinsi Tahun 2005 Lampiran 2.12 Persentase Rumah Tangga Menurut Sumber Air Minum dan Provinsi Tahun 2005 (Perkotaan+Perdesaan) Lampiran 2.12.a Persentase Rumah Tangga Menurut Sumber Air Minum dan Provinsi Tahun 2005 (Perkotaan) Lampiran 2.12.b Persentase Rumah Tangga Menurut Sumber Air Minum dan Provinsi Tahun 2005 (Perdesaan) Lampiran 2.13 Persentase Rumah Tangga Dengan Sumber Air Minum dari Pompa/Sumur/Mata Air Menurut Tipe Daerah, Jarak ke Tempat

Penampungan Akhir Kotoran/Tinja Terdekat Tahun 2005 Lampiran 2.14 Persentase Rumah Tangga Menurut Fasilitas Tempat Buang Air Besar, Tipe Daerah dan Provinsi Tahun 2005 Lampiran 2.15 Persentase Penduduk yang Mempunyai Keluhan Kesehatan Selama Sebulan yang Lalu Menurut Jenis Keluhan Kesehatan yang Dialami dan Provinsi Tahun 2005 Lampiran 2.16 Persentase Penduduk yang Berobat Jalan dan Mengobati Sendiri Selama Bulan Referensi Menurut Tipe Daerah dan Provinsi Tahun 2005 Lampiran 2.17 Persentase Penduduk yang Berobat Jalan Selama Bulan Referensi Menurut Tempat/Cara Berobat dan Provinsi Tahun 2005 Lampiran 2.18 Persentase Penduduk yang Berobat Jalan Selama Bulan Referensi Menurut Jenis Obat Yang Digunakan, Tipe Daerah dan Provinsi Tahun 2005 Lampiran 2.19 Persentase Anak Usia 2-4 Tahun yang Pernah Disusui Menurut Lamanya Disusui dan Provinsi Tahun 2005 (Perkotaan+Perdesaan) Lampiran 2.19.a Persentase Anak Usia 2-4 Tahun yang Pernah Disusui Menurut Lamanya Disusui dan Provinsi Tahun 2005 (Perkotaan) Lampiran 2.19.b Persentase Anak Usia 2-4 Tahun yang Pernah Disusui Menurut Lamanya Disusui dan Provinsi Tahun 2005 (Perdesaan) viiiLampiran 3.1 Angka Kematian Bayi, Angka Kematian Balita, Angka Harapan Hidup, dan Angka Fertilitas Total Menurut Provinsi Tahun 2002-2003 Lampiran 3.2 Persentase 10 Penyakit Utama pada Pasien Rawat Jalan di Rumah Sakit

di Indonesia Tahun 2005 Lampiran 3.2.a Distribusi Pasien Rawat Jalan Menurut BAB ICD-X di Rumah Sakit di Indonesia Tahun 2005 Lampiran 3.3 Persentase 10 Penyakit Utama pada Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit di Indonesia Tahun 2005 Lampiran 3.3.a Distribusi Pasien Rawat Inap Menurut BAB ICD-X di Rumah Sakit di Indonesia Tahun 2005 Lampiran 3.4 Jumlah Kasus dan Angka Kesakitan Penyakit Malaria Menurut Provinsi Tahun 2005 Lampiran 3.5 Annual Parasite Incidence (API) Malaria di Jawa-Bali Tahun 1997-2005 Lampiran 3.6 Hasil Cakupan Penemuan Kasus dan Evaluasi Hasil Pengobatan Penyakit TB Paru Tahun 2005 Lampiran 3.7 Jumlah Kasus Baru BTA Positif Menurut Jenis Kelamin dan Provinsi Tahun 2005 Lampiran 3.8 Jumlah Kasus Baru BTA Positif Menurut Kelompok Umur (Tahun) dan Provinsi Tahun 2005 Lampiran 3.9 Jumlah Kumulatif Kasus AIDS, Meninggal, dan Angka Kumulatif Kasus Per 100.000 Penduduk Menurut Provinsi sampai dengan 31 Desember 2005 Lampiran 3.10 Jumlah dan Persentase Kasus AIDS Yang Menggunakan NAPZA Suntikan (IDU) Menurut Provinsi sampai dengan 31 Desember 2005 Lampiran 3.11 Jumlah Kasus Baru AIDS Ditemukan dan Persentase Kasus Baru Per Tri Wulan Menurut Provinsi Tahun 2005 Lampiran 3.12 Jumlah Kasus Pneumonia Balita Menurut Provinsi Tahun 2005 Lampiran 3.13 Situasi Penyakit Kusta Menurut Provinsi Tahun 2005

Lampiran 3.14 Jumlah Kasus Baru Kusta dan Kecacatan Menurut Provinsi Tahun 2005 Lampiran 3.15 Jumlah Kasus Penyakit Menular yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi (PD3I) Menurut Provinsi Tahun 2005 Lampiran 3.16 Jumlah Kasus Tetanus Neonatorum Menurut Provinsi Tahun 2005 Lampiran 3.17 Jumlah Kasus Penyakit Campak Menurut Provinsi Tahun 2005 Lampiran 3.18 Jumlah Kasus Penyakit Difteri di Rawat Jalan, Rawat Inap Rumah Sakit dan Puskesmas Menurut Provinsi Tahun 2005 Lampiran 3.19 Jumlah Kasus Penyakit Pertusis (Batuk Rejan) di Rawat Jalan, Rawat Inap Rumah Sakit dan Puskesmas Menurut Provinsi Tahun 2005 Lampiran 3.20 Jumlah Kasus Penyakit Hepatitis Klinis di Rawat Jalan, Rawat Inap Rumah Sakit dan Puskesmas Menurut Provinsi Tahun 2005 ixLampiran 3.21 Jumlah Kasus Penyakit Hepatitis B di Rawat Jalan, Rawat Inap Rumah Sakit dan Puskesmas Menurut Provinsi Tahun 2005 Lampiran 3.22 Jumlah Kasus AFP Polio Menurut Provinsi Tahun 2005 Lampiran 3.23 Jumlah Kasus AFP Polio Menurut Kriteria Klinis dan Provinsi Tahun 2005 Lampiran 3.24 Perkembangan Kejadian Luar Biasa (KLB) Polio Tahun 2005 Lampiran 3.25 Jumlah Kasus Penyakit Tetanus di Rawat Jalan, Rawat Inap Rumah Sakit dan Puskesmas Menurut Provinsi Tahun 2005 Lampiran 3.26 Frekuensi KLB Menurut Penyakit di Indonesia Tahun 2005 Lampiran 3.27 Kejadian Luar Biasa (KLB) Diare Tahun 2001 - 2005 Lampiran 3.28 Jumlah Penderita, Case Fatality Rate (%), dan Incidence Rate Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD/DHF) Menurut Provinsi Tahun 2000-

2005 Lampiran 3.29 Jumlah Kabupaten/Kota yang Terjangkit Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD/DHF) Menurut Provinsi di Indonesia Tahun 2001 2005 Lampiran 3.30 Jumlah dan Persentase Kabupaten Terjangkit dan Jumlah Kasus Gigitan Hewan Tertular Rabies serta Hasil Pemeriksaan Spesimen Hewan Menurut Provinsi Tahun 2005 Lampiran 3.31 Jumlah Penderita Filariasis Menurut Provinsi Tahun 2000 2005 Lampiran 3.32 Prevalensi Frambusia Menurut Provinsi Tahun 2005 Lampiran 3.33 Jumlah Kejadian Kecelakaan Lalu Lintas dan Rasio Korban Luka dan Meninggal Terhadap Jumlah Penduduk Menurut Provinsi Tahun 2004 Lampiran 3.34 Persentase Batita (0-35 Bulan) Menurut Status Gizi dan Provinsi Tahun 2005 Lampiran 3.35 Persentase Balita (0-59 Bulan) Menurut Status Gizi dan Provinsi Tahun 2005 Lampiran 3.36 Distribusi Kasus Gizi Buruk Menurut Provinsi Tahun 2005 Lampiran 3.37 Jumlah Kabupaten/Kota Berdasarkan Prevalensi Gizi Kurang Pada Balita Menurut Provinsi Tahun 2005 Lampiran 3.38 Persentase Balita 24 59 Bulan Menurut Provinsi, Tinggi Badan dan Umur Tahun 2005 Lampiran 3.38.a Persentase Balita 24 59 Bulan Menurut Provinsi, Tinggi Badan dan Umur Tahun 2005 (Perkotaan) Lampiran 3.38.b Persentase Balita 24 59 Bulan Menurut Provinsi, Tinggi Badan dan Umur Tahun 2005 (Perdesaan)

Lampiran 3.39 Persentase Balita 24 59 Bulan Menurut Provinsi, Tinggi Badan dan Berat Badan Tahun 2005 Lampiran 3.39.a Persentase Balita 24 59 Bulan Menurut Provinsi, Tinggi Badan dan Berat Badan Tahun 2005 (Perkotaan) xLampiran 3.39.b Persentase Balita 24 59 Bulan Menurut Provinsi, Tinggi Badan dan Berat Badan Tahun 2005 (Perdesaan) Lampiran 3.40 Daerah dan Persentase Wanita Usia 15-49 Tahun Menurut Provinsi, Tipe

Ukuran LILA Tahun 2005 Lampiran 3.41 Tipe Persentase Wanita Usia 15-49 Tahun Menurut Kelompok Umur,

Daerah dan Ukuran LILA Tahun 2005 Lampiran 3.42 Persentase Rumah Tangga Yang Mengkonsumsi Garam Beryodium Menurut Provinsi Tahun 2002-2005 Lampiran 4.1 Cakupan Kunjungan Ibu Hamil K1 dan K4, Persalinan Ditolong Tenaga Kesehatan, dan Kunjungan Neonatus Menurut Provinsi Tahun 2005 Lampiran 4.2 Cakupan Deteksi Risiko, Rujukan Kasus Risti dan Penangan Komplikasi Ibu Hamil dan Neonatus Menurut Provinsi Tahun 2005 Lampiran 4.3 Proporsi Wanita Berumur 15-49 Tahun dan Berstatus Kawin yang Sedang Menggunakan/Memakai Alat KB menurut Daerah Tempat Tinggal dan Provinsi, Tahun 2005 Lampiran 4.4 Proporsi Wanita Berumur 15-49 Tahun dan Berstatus Kawin yang Pernah Menggunakan/Memakai Alat KB Menurut Daerah Tempat Tinggal dan Provinsi Tahun 2005 Lampiran 4.5 Persentase Wanita Berumur 15-49 Tahun dan Berstatus Kawin Menurut

Alat/Cara KB yang Sedang Digunakan/Dipakai dan Provinsi, Tahun 2005 (Perkotaan+Perdesaan) Lampiran 4.5.a Persentase Wanita Berumur 15-49 Tahun dan Berstatus Kawin Menurut Alat/Cara KB yang Sedang Digunakan/Dipakai dan Provinsi, Tahun 2005 (Perkotaan) Lampiran 4.5.b Persentase Wanita Berumur 15-49 Tahun dan Berstatus Kawin Menurut Alat/Cara KB yang Sedang Digunakan/Dipakai dan Provinsi, Tahun 2005 (Perdesaan) Lampiran 4.6 Hasil Pelayanan Peserta KB Baru Kumulatif Menurut Metoda Kontrasepsi dan Provinsi Tahun 2005 Lampiran 4.7 Jumlah dan Proporsi Peserta KB Baru Kumulatif Menurut Tempat Pelayanan dan Provinsi Tahun 2005 Lampiran 4.8 Pencapaian Desa Universal Child Immunization (UCI) Menurut Provinsi Tahun 2005 Lampiran 4.9 Cakupan Imunisasi Dasar pada Bayi Menurut Provinsi Tahun 2005 Lampiran 4.10 Cakupan Imunisasi Hepatitis B pada Bayi Menurut Provinsi Tahun 2005 Lampiran 4.11 Angka Drop Out Cakupan Imunisasi (DPT1-Campak) pada Bayi Menurut Provinsi Tahun 1998-2005 Lampiran 4.12 Cakupan Imunisasi TT pada Ibu Hamil Menurut Provinsi Tahun 2005 Lampiran 4.13 Cakupan Bulan Imunisasi Anak Sekolah Menurut Provinsi Tahun 2005 xiLampiran 4.14 Indikator Pelayanan Rumah Sakit Umum Depkes dan Pemda Menurut Provinsi Tahun 2005 Lampiran 4.15 Pemeriksaan Radiodiagnostik Pada Rumah Sakit Umum Depkes dan

Pemda Menurut Provinsi Tahun 2005 Lampiran 4.16 Hasil Pekan Imunisasi Nasional Menurut Provinsi Tahun 2005 2006 Lampiran 4.17 Jumlah dan Persentase Balita yang Naik Berat Badannya dan Balita Bawah Garis Merah Menurut Provinsi Tahun 2005 Lampiran 4.18 Cakupan Distribusi Kapsul Vitamin A Menurut Provinsi Tahun 2005 Lampiran 4.19 Cakupan Distribusi Tablet Besi pada Ibu Hamil Menurut Provinsi Tahun 2005 Lampiran 4.20 Cakupan Wanita Usia Subur (WUS) dan Mendapat Kapsul Yodium Menurut Provinsi Tahun 2004 Lampiran 4.21 Jumlah Kegiatan Farmasi pada Rumah Sakit Umum Depkes dan Pemda Menurut Provinsi Tahun 2005 Lampiran 4.22 Jumlah dan Persentase Penulisan Resep Obat Generik Menurut Provinsi Tahun 2004 Lampiran 4.23 Penanganan Penyalahgunaan NAPZA pada RS di Indonesia Menurut Kepemilikan Tahun 2005 Lampiran 4.24 Rekapitulasi Kejadian Bencana Tahun 2005 Lampiran 5.1 Jumlah Puskesmas serta Sarana Lainnya Keadaan Tahun 2005 Lampiran 5.2 Jumlah Puskesmas, Puskesmas Pembantu, dan Rasionya terhadap Penduduk, serta Rasio Pustu per Puskesmas Menurut Provinsi Tahun 2000-2005 Lampiran 5.3 Jumlah Puskesmas dan Puskesmas Perawatan Menurut Provinsi di Indonesia Tahun 2000-2005 Lampiran 5.4 Jumlah Puskesmas Keliling dan Rasio Puskesmas Keliling per Puskesmas Menurut Provinsi, Tahun 2000-2005

Lampiran 5.5 Jumlah Rumah Sakit di Indonesia Menurut Pengelola dan Provinsi Tahun 2005 Lampiran 5.6 Jumlah Rumah Sakit Umum Menurut Pengelola Tahun 1995-2005 Lampiran 5.7 Jumlah Tempat Tidur Rumah Sakit Umum Menurut Pengelola Tahun 1995-2005 Lampiran 5.8 Jumlah Rumah Sakit Khusus dan Tempat Tidurnya Menurut Jenis Rumah Sakit Tahun 1997 2005 Lampiran 5.9 Jumlah Sarana Produksi Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan Menurut Jenis dan Provinsi Tahun 2001 2005 Lampiran 5.10 Jumlah Sarana Distribusi dan Pelayanan Kefarmasian Menurut Provinsi Tahun 2001 2005 xiiLampiran 5.11 Jumlah Unit Pengelola Obat (eks Gudang Farmasi) Kabupaten/Kota Menurut Provinsi Tahun 2002-2005 Lampiran 5.12 Jumlah Sarana Usaha Kesehatan Bersumber Daya Masyarakat (UKBM) Menurut Provinsi Tahun 2005 Lampiran 5.13 Jumlah Posyandu Menurut Tingkat Perkembangannya dan Provinsi Tahun 2005 Lampiran 5.14 Jumlah Polindes Menurut Tingkat Perkembangannya dan Provinsi Tahun 2005 Lampiran 5.15 Jumlah Pos Obat Desa (POD) Menurut Tingkat Perkembangannya dan Provinsi Tahun 2005 Lampiran 5.16 Rekapitulasi Institusi Politeknik Kesehatan Menurut Jurusan dan Provinsi per Maret 2005

Lampiran 5.17 Rekapitulasi Strata Akreditasi Jurusan/Program Studi Politeknik Kesehatan Tahun 2005 Lampiran 5.18 Jumlah Institusi Diknakes Non Politeknik Kesehatan Menurut Jurusan/Program Studi dan Provinsi Tahun 2005 Lampiran 5.19 Jumlah Institusi Diknakes Non Politeknik Kesehatan Menurut Status Kepemilikan Tahun 2005 Lampiran 5.20 Data Sumber Daya Manusia (SDM) Kesehatan yang Bekerja di Rumah Sakit Menurut Provinsi dan Jenis Ketenagaan Tahun 2005 Lampiran 5.21 Jumlah dan Jenis Ketenagaan Puskesmas Menurut Provinsi Keadaan Tahun 2005 Lampiran 5.22 Jumlah Peserta Didik Tahun Ajaran 2005/2006 di Politeknik Kesehatan Menurut Profesi Lampiran 5.23 Jumlah Peserta Didik Tahun Ajaran 2005/2006 di Non Politeknik Kesehatan Menurut Profesi Lampiran 5.24 Jumlah Lulusan Diknakes Poltekkes dan Non Poltekkes Menurut Jenis Tenaga Kesehatan Tahun 2005 Lampiran 5.25 Jumlah Lulusan Politeknik Kesehatan Menurut Jurusan/Program Studi dan Kota Tahun 2005 Lampiran 5.26 Jumlah Pelatihan yang Dilaksanakan Pusdiklatkes dan Bapelkes Nasional Tahun 2005 Lampiran 5.27 Realisasi DIPA Menurut Pusat dan Daerah Per Provinsi dan Per Jenis Belanja Lampiran 5.28 Alokasi dan Realisasi Anggaran Depkes Tahun Anggaran 2005 Menurut Eselon I

Lampiran 5.29 Jumlah dan Persentase Kepesertaan Penduduk dalam Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) Menurut Jenis dan Provinsi Tahun 2005 xiiiLampiran 5.30 Distribusi Peserta Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) Menurut Jenis dan Provinsi Tahun 2005 Lampiran 6.1 Perbandingan Beberapa Data Kependudukan di Negara ASEAN Lampiran 6.2 Perbandingan Beberapa Data Indikator Derajat Kesehatan di Negara ASEAN Tahun 2004 Lampiran 6.3 Perbandingan Data Cakupan Imunisasi di Negara ASEAN Tahun 2004 Lampiran 6.4 Perbandingan Data Tuberkulosis di Negara ASEAN Tahun 2004 Lampiran 6.5 Angka Estimasi HIV dan AIDS di Negara ASEAN Tahun 2005 Lampiran 6.6 Status Gizi Buruk dan BBLR di Negara ASEAN Tahun 2001 - 2003 Lampiran 6.7 Perbandingan Penduduk yang Menggunakan Sumber Air Bersih dan yang Menggunakan Sarana Sanitasi Sehat di Negara ASEAN Tahun 2004 *** xivBAB I PENDAHULUAN Dalam rangka mewujudkan visi Masyarakat yang Mandiri untuk Hidup Sehat, dan mengemban misi Membuat Rakyat Sehat, Departemen Kesehatan mempunyai empat strategi utama yaitu : 1. Menggerakkan dan memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat. 2. Meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas. 3. Meningkatkan sistem surveilans, monitoring dan informasi kesehatan. 4. Meningkatkan pembiayaan kesehatan.

Penyusunan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2005 ini berupaya untuk mengacu kepada sasaran utama Departemen Kesehatan tersebut di atas. Menggerakkan dan memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat akan digambarkan pada Bab II dan Bab III, meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas digambarkan pada Bab IV dan Bab V, meningkatkan sistem surveilans, monitoring dan informasi kesehatan digambarkan pada Bab III dan IV serta meningkatkan pembiayaan kesehatan digambarkan pada Bab V. Profil Kesehatan Indonesia 2005 ini terdiri dari 7 (tujuh) bab, yaitu: Bab I - Pendahuluan. Bab ini menyajikan tentang acuan diterbitkannya Profil Kesehatan Indonesia 2005 ini serta sistimatika penyajiannya. Bab II - Situasi Umum dan Lingkungan. Bab ini menyajikan tentang gambaran umum Indonesia. Selain uraian tentang letak geografis, demografis, pendidikan, ekonomi dan informasi umum lainnya, bab ini juga mengulas faktor-faktor lingkungan dan perilaku. Bab III - Situasi Derajat Kesehatan. Bab ini berisi uraian tentang hasil-hasil pembangunan kesehatan sampai dengan tahun 2005 yang mencakup tentang angka kematian, umur harapan hidup, angka kesakitan dan keadaan status gizi. Bab IV - Situasi Upaya Kesehatan. Bab ini berisi uraian tentang upaya-upaya kesehatan yang telah dilaksanakan oleh bidang kesehatan sampai tahun 2005, untuk tercapainya dan berhasilnya program-program pembangunan di bidang kesehatan. Gambaran tentang upaya

kesehatan yang telah dilakukan itu meliputi persentase pencapaian cakupan pelayanan kesehatan dasar, persentase pencapaian cakupan pelayanan kesehatan rujukan dan berbagai upaya lain yang berupa gambaran pelayanan program kesehatan lainnya. Bab V - Situasi Sumber Daya Kesehatan. Bab ini menguraikan tentang sumber daya pembangunan bidang kesehatan sampai tahun 2005 ini. Gambaran tentang keadaan sumber daya sampai dengan tahun 2005 ini mencakup tentang keadaan tenaga, sarana dan fasilitas 1kesehatan yang ada sampai tahun 2005. Pada bab ini juga akan dijelaskan tentang jumlah dan penyebaran sarana pelayanan kesehatan yang terdiri dari rumah sakit dan puskesmas termasuk puskesmas pembantu dan puskesmas keliling. Bab VI - Perbandingan Indonesia dengan Negara-negara ASEAN. Bab ini menyajikan perbandingan beberapa indikator tertentu seperti Angka Kematian Bayi, Angka Kematian Balita, Angka Kematian Kasar, Umur Harapan Hidup, Cakupan Imunisasi juga tentang beberapa prevalensi penyakit tertentu, seperti Campak, HIV/AIDS, dan Tuberkulosis di antara Indonesia dengan negara-negara anggota ASEAN. Bab VII - Penutup. *** 2BAB II GAMBARAN UMUM DAN PERILAKU PENDUDUK Indonesia terdiri atas banyak pulau dan kepulauan dengan karakteristik budaya penduduk yang beragam, mempunyai kebiasaan/adat-istiadat yang berbeda, termasuk

perilaku yang berkaitan dengan kesehatan. Sejak tahun 2001 Indonesia melaksanakan kebijakan desentralisasi yang antara lain berimplikasi pada terus bertambahnya jumlah provinsi dan kabupaten/kota. Pada tahun 2005 secara administratif wilayah Indonesia terbagi atas 33 provinsi, 349 kabupaten, dan 91 kota. Wilayah tersebut meliputi 5.263 kecamatan, 62.806 desa, dan 7.123 kelurahan. Dalam uraian bab ini, data yang berasal dari Statistik Kesra 2005 tidak mengikutsertakan 3 provinsi, yaitu Provinsi Sulawesi Barat, Irian Jaya Barat dan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Provinsi NAD tidak diikutsertakan karena penghitungan data penduduk dilakukan tidak bersamaan dengan 30 provinsi lainnya. Rincian pembagian wilayah administrasi pemerintahan per provinsi tahun 2005 dapat dilihat pada Lampiran 2.1. Adapun gambaran umum Indonesia dan perilaku penduduk pada tahun 2005 yang diuraikan meliputi: keadaan penduduk, keadaan ekonomi, keadaan pendidikan, keadaan lingkungan, dan perilaku penduduk yang berkaitan dengan kesehatan. A. KEADAAN PENDUDUK Sesuai dengan hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) Tahun 2005, jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2005 tercatat sebesar 218.868.791 jiwa. Tingkat kepadatan penduduk 2005 sebesar 117,6 jiwa per km 2 Provinsi-provinsi di Pulau Jawa memiliki . kepadatan penduduk yang tinggi dibandingkan di luar Jawa. Provinsi yang memiliki

kepadatan penduduk tertinggi adalah DKI Jakarta, yaitu sebesar 11.968,8 jiwa per km 2 . Provinsi DI Yogyakarta merupakan wilayah yang memiliki kepadatan penduduk tertinggi ke2 dengan kepadatan 1.067,2 jiwa per km 2 Provinsi dengan tingkat kepadatan tertinggi ke-3 . masih berada di Pulau Jawa, yaitu Jawa Barat sebesar 1.055,3 jiwa per km 2 Provinsi-provinsi . di Papua, Pulau Kalimantan, dan Kepulauan Maluku memiliki kepadatan penduduk yang relatif rendah. Kepadatan penduduk terendah di Provinsi Papua, yaitu hanya 5,9 jiwa per km 2 . Kalimantan Tengah merupakan provinsi dengan tingkat kepadatan penduduk terendah ke-2 yaitu sebesar 12,5 jiwa per km 2 , yang kemudian disusul oleh Kalimantan Timur dengan kepadatan 14,6 jiwa per km 2 . Persebaran penduduk sampai dengan tahun 2005, baik antar pulau maupun antar provinsi masih sangat timpang. Hal ini dapat dilihat dari persentase penduduk antar pulau

yang menunjukkan lebih dari separuh penduduk Indonesia (58,7%) berada di Pulau Jawa (yang luas wilayahnya hanya 7% wilayah Indonesia); 21% berada di Pulau Sumatera; 7,2% di Sulawesi; 5,5% di Kalimantan; 5,4% di Kepulauan Nusa Tenggara dan Bali; dan hanya 2,1% yang berada di Kepulauan Maluku, dan Papua. Jumlah penduduk dan angka kepadatan penduduk per provinsi dapat dilihat pada Lampiran 2.2. Menurut hasil SUPAS 2005, persentase penduduk menurut tipe wilayah menunjukkan bahwa jumlah penduduk yang tinggal di wilayah perdesaan masih lebih besar daripada yang tinggal di wilayah perkotaan, yaitu sebesar 56,88% di wilayah perdesaan dan yang bertempat 3tinggal di wilayah perkotaan sebesar 43,12%. Provinsi dengan persentase penduduk tinggal di kota tertinggi adalah DKI Jakarta (100%) disusul oleh Kepulauan Riau (79,39%) dan DI Yogyakarta (59,14%). Sedangkan provinsi dengan persentase penduduk yang tinggal di perkotaan terendah adalah Nusa Tenggara Timur (15,60%) disusul oleh Sulawesi Tengah (19,97%), dan Lampung (20,97%). Jumlah penduduk laki-laki relatif seimbang dibandingkan penduduk perempuan, yaitu masing-masing sebesar 107.274.528 jiwa penduduk laki-laki dan 106.100.759 jiwa penduduk perempuan. Dengan demikian rasio penduduk menurut jenis kelamin sebesar 101,11. Rasio penduduk menurut jenis kelamin yang tertinggi di Provinsi Papua, yaitu sebesar 112,34,

Kalimantan Timur (109,71) dan Kepulauan Bangka Belitung (109,00). Sedangkan yang terendah di Provinsi Nusa Tenggara Barat yaitu sebesar 93,49, Sulawesi Selatan sebesar 94,78 dan Sumatera Barat sebesar 97,49. Jumlah penduduk menurut provinsi, daerah perkotaan/perdesaan dan jenis kelamin terdapat pada Lampiran 2.2, 2.3 dan 2.3.a. Komposisi penduduk Indonesia menurut kelompok umur, menunjukkan bahwa penduduk yang berusia muda (0-14 tahun) sebesar 29,04%, yang berusia produktif (15-64 tahun) sebesar 66,31%, dan yang berusia tua (U> 65 tahun) sebesar 4,65%. Dengan demikian maka Angka Beban Tanggungan (Dependency Ratio) penduduk Indonesia pada tahun 2005 sebesar 50,81%. Angka ini mengalami sedikit penurunan dibandingkan tahun 2004 sebesar 52,26%. Provinsi dengan persentase beban tanggungan tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur sebesar 71,67%, disusul oleh Sulawesi Tenggara sebesar 61,98%, dan Maluku Utara sebesar 61,44%. Sedangkan provinsi dengan Angka Beban Tanggungan terendah yaitu DKI Jakarta sebesar 37,22%, disusul oleh Kepulauan Riau sebesar 40,92% dan DI Yogyakarta sebesar 43,77%. Berdasarkan wilayah, angka beban tanggungan di perdesaan lebih besar dibandingkan perkotaan, yaitu 54,89% berbanding 45,73%. Rincian jumlah penduduk menurut kelompok umur, provinsi, wilayah dan angka beban tanggungan tahun 2005 dapat dilihat pada Lampiran 2.4, 2.4.a, dan 2.4.b. Komposisi penduduk Indonesia dirinci menurut kelompok umur dan jenis kelamin,

menunjukkan penduduk laki-laki maupun perempuan proporsi terbesar berada pada kelompok umur 15 49 tahun dan umur 50 64 tahun. Gambaran komposisi penduduk secara lebih rinci dapat dilihat dari gambar berikut. GAMBAR 2.1 PIRAMIDA PENDUDUK INDONESIA TAHUN 2005

642 024 0-4 5-9 10 - 14 15 -19 20 - 24 25 - 29 30 - 34 35 - 39 40 - 44 45 - 49 50 - 54 55 -59 60 - 64 65 - 69 70 - 74 75 + Usia Persentase Laki-Laki Perempuan

6 Sumber : BPS, SUPAS 2005 4B. KEADAAN EKONOMI Kondisi perekonomian Indonesia pada tiga tahun terakhir relatif stabil dan menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan. Kinerja ekonomi pada tahun 2003 tumbuh sebesar 4,88% dan tahun 2004 meningkat menjadi 5,13%. Pada tahun 2005 kondisi perekonomian semakin stabil yang diperlihatkan oleh pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat yang mencapai 5,60%. Meningkatnya pertumbuhan ekonomi selama tiga tahun terakhir, ternyata tidak diimbangi dengan penurunan laju inflasi. Data BPS menyebutkan bahwa tahun 2003 laju inflasi sebesar 5,06 %. Angka ini merangkak naik menjadi 6,40% pada tahun 2004, hingga pada tahun 2005 laju inflasi mencapai 17,17 % (Januari November 2005). Statistik Kesra Tahun 2005 menampilkan persentase rumah tangga yang memiliki bukti kemiskinan dan memanfaatkannya. Bukti kemiskinan tersebut berupa JPKMM, Kartu Sehat, JPK-Gakin, Kartu Miskin dan Surat Miskin. Secara nasional persentase rumah tangga yang memiliki bukti kemiskinan sebesar 12,12%. Angka tersebut tidak termasuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, karena waktu penghitungan yang tidak bersamaan. Provinsi dengan persentase tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur sebesar (37,44%) yang disusul oleh Nusa Tenggara Barat (26,56%) dan Gorontalo (24,06%). Menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional, penduduk miskin adalah penduduk yang

memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan (GK) yang terdiri dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). Penentuan GKM berdasarkan pengeluaran penduduk untuk memenuhi kebutuhan dasar, baik makanan maupun non makanan. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Februari 2005 sebesar 35,10 juta (15,97%) yang kemudian meningkat menjadi 39,05 juta pada bulan Maret 2006 (17,75%). Dengan demikian terjadi peningkatan penduduk miskin sebesar 3,95 juta. GAMBAR 2.2 JUMLAH DAN PERSENTASE PENDUDUK MISKIN TAHUN 2000 - 2005

30 35 40 Tahun Jumlah (Juta) 10 15 20 Persentase (%) Jumlah (Juta) 38,7 37,9 38,4 37,3 36,2 35,1

Persentase (%) 19,1 18,4 18,2 17,4 16,7 16 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Sumber : Analisis dan Penghitungan Tingkat 5 Kemiskinan Tahun 2005, BPS Indeks Kedalaman Kemiskinan di Indonesia menurut BPS pada tahun 2005 adalah 2,78. Angka ini lebih rendah dibandingkan tahun 2004 sebesar 2,89. Penurunan serupa juga terjadi pada Indeks Keparahan Kemiskinan yang pada tahun 2004 sebesar 0,78, kemudian turun menjadi 0,76 pada tahun 2005. Selama periode 1999-2005, baik indeks kedalaman kemiskinan maupun indeks keparahan kemiskinan menunjukkan kecenderungan yang menurun. GAMBAR 2.3 INDEKS KEDALAMAN DAN KEPARAHAN KEMISKINAN TAHUN 1999 - 2005 0 1 2 3 4 5 6 Indeks

P2 1.23 1.02 0.97 0.79 0.85 0.78 0.76 P1 4.33 3.51 3.42 3.01 3.13 2.89 2.78 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Sumber : Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan Tahun 2005, BPS Menurut data Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal, hingga tahun 2005 jumlah kabupaten/kota tertinggal mencapai 197 dari 440 Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia. Jumlah ini mengalami sedikit penurunan dibandingkan tahun 2004 yang sebesar 199. Provinsi dengan persentase kabupaten/kota tertinggal tertinggi adalah Sulawesi Barat, yaitu sebesar 100%, disusul oleh Papua yang sebesar 95%, dan Nusa Tenggara Timur sebesar 93,75%. Jumlah dan persentase kabupaten/kota tertinggal menurut provinsi dapat dilihat pada Lampiran 2.6. Pada tahun 2005, dalam rangka membantu meningkatkan kesejahteraan rakyat miskin pemerintah memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) dari dana kompensasi BBM. Berdasarkan Instruksi Presiden No. 12 tahun 2005 dilakukan Pendataan Sosial Ekonomi 2005 oleh BPS dengan tujuan untuk memperoleh daftar nama dan alamat rumah tangga yang layak menerima BLT. Klasifikasi rumah tangga miskin penerima BLT dibagi menurut 3 klasifikasi yaitu sangat miskin, miskin dan hampir miskin. Jumlah rumah tangga miskin tercatat sebesar 12.131.303, terdiri dari 3.894.314 rumah tangga kategori sangat miskin, 8.236.989 rumah

tangga kategori miskin dan 6.969.602 kategori hampir miskin. Kemudian dengan mencoba matching 83%, kesetaraan terhadap garis kemiskinan, jumlah rumah tangga miskin penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) 10.068.981 rumah tangga (Lampiran 7). Provinsi dengan persentase tertinggi rumah tangga miskin penerima BLT (terhadap total rumah tangga penerima BLT)) adalah Jawa Timur, yaitu sebesar 16,95%, Jawa Tengah (16,60%), dan Jawa Barat (15,21%). Sedangkan yang terendah di Kepulauan Bangka Belitung (0,18%), 6Kepulauan Riau (0,39%), dan Maluku Utara (0,34%). Rincian jumlah dan persentase rumah tangga miskin penerima BLT menurut klasifikasi dan provinsi dapat dilihat pada Lampiran 2.7. GAMBAR 2.4 PERSENTASE RUMAH TANGGA MISKIN PENERIMA BLT MENURUT KLASIFIKASI TAHUN 2005 Hampir miskin 36,49% Sangat miskin 20,39% Miskin 43,12% Sumber: BPS, 2006 C. KEADAAN PENDIDIKAN

Kemampuan membaca dan menulis (baca-tulis) penduduk tercermin dari Angka Melek Huruf, yaitu persentase penduduk umur 10 tahun ke atas yang dapat membaca dan menulis huruf latin atau huruf lainnya. Secara nasional, persentase penduduk yang dapat membaca huruf latin pada tahun 2005 sebesar 69,35%. Sedangkan mereka yang dapat membaca huruf lainnya sebesar 1,03%, huruf latin dan lainnya sebesar 21,53% dan yang buta huruf sebesar 8,09%. Dengan demikian persentase penduduk melek huruf yang terdiri dari penduduk yang mampu membaca huruf latin, lainnya serta latin dan lainnya adalah 91,91%. Provinsi dengan persentase melek huruf tertinggi adalah Sulawesi Utara sebesar 98,84%, menyusul DKI Jakarta sebesar 98,48% dan Riau 98,04%. Sedangkan persentase melek huruf terendah adalah Provinsi Papua sebesar 73,56%, disusul oleh Nusa Tenggara Barat sebesar 81,73%, dan Sulawesi Tengah sebesar 86,28%. Penduduk berumur 10 tahun ke atas menurut kepandaian membaca dan menulis per provinsi tahun 2005 dapat dilihat pada Lampiran 2.8. Pada tahun 2005, persentase penduduk berusia 10 tahun ke atas yang tidak/belum pernah bersekolah sebesar 7,82%. Sedangkan yang masih bersekolah sebesar 19,24%, terdiri atas 8,05% bersekolah di SD/MI, sebesar 6,02% di SLTP/MTs, sebesar 3,75% di SMU/SMK, dan 1,42% di Akademi/Universitas. Selebihnya, sebesar 72,94% sudah tidak bersekolah lagi. Secara nasional persentase penduduk berumur 10 tahun ke atas yang tidak/belum pernah

sekolah di perdesaan (10,63%) lebih tinggi daripada yang tinggal di perkotaan (4,31%). Persentase penduduk berumur 10 tahun ke atas menurut status pendidikan dan wilayah yang lebih rinci terdapat pada Lampiran 2.9, 2.9.a, dan 2.9.b. Angka Partisipasi Sekolah (APS) menurut Statistik Kesra Tahun 2005 dikategorikan menjadi 3 kelompok umur, yaitu 7-12 tahun mewakili umur setingkat SD, 13-15 tahun mewakili umur setingkat SLTP, dan 16-18 tahun mewakili umur setingkat SMU. Secara umum, APS kelompok umur 7-12 tahun sebesar 97,14%, kelompok umur 13-15 tahun sebesar 84,02% dan kelompok umur 16-18 tahun sebesar 53,86%. Semakin tinggi kelompok 7umur, semakin rendah APS, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Berdasarkan wilayah, APS penduduk perkotaan lebih besar dibandingkan APS penduduk perdesaan. Layaknya APS, Angka Partisipasi Murni yang menunjukkan banyaknya penduduk usia sekolah yang masih bersekolah pada jenjang pendidikan yang sesuai dengan usianya bervariasi berdasarkan golongan umur maupun tipe daerah. APM SD di daerah perkotaan sebesar 92,76%, lebih kecil dibandingkan angka di perdesaan yang sebesar 93,58%. APM SLTP di perkotaan sebesar 72,74%, lebih besar dibandingkan angka di perdesaan sebesar 60,17%. Sedangkan APM SMU di perkotaan sebesar 56,81% dan di perdesaan hanya 32,75%. Secara nasional APM SD sebesar 93,25%, APM SLTP sebesar 65,37%, dan APM SMU 43,50%. TABEL 2.1

ANGKA PARTISIPASI SEKOLAH PENDUDUK UMUR 7-18 TAHUN MENURUT TIPE DAERAH, JENIS KELAMIN DAN KELOMPOK UMUR TAHUN 2005 Kelompok Umur (Tahun) Daerah/Jenis Kelamin 7-12 13-15 16-18 Perkotaan Laki-laki 97,82 90,07 66,48 Perempuan 98,14 89,08 64,33 Laki-Laki + Perempuan 97,98 89,59 65,41 Perdesaan Laki-laki 96,38 79,27 44,24 Perempuan 96,75 80,98 44,84 Laki-Laki + Perempuan 96,56 80,09 44,52 Perkotaan + Perdesaan Laki-laki 96,96 83,70 53,96 Perempuan 97,32 84,37 53,75 Laki-Laki + Perempuan 97,14 84,02 53,86 Sumber : Statistik Kesra, 2005 TABEL 2.2 ANGKA PARTISIPASI MURNI MENURUT TIPE DAERAH , JENIS KELAMIN DAN JENJANG PENDIDIKAN TAHUN 2005 Kelompok Umur (Tahun) Daerah/Jenis Kelamin SD SLTP SMU

Perkotaan Laki-laki 92,95 72,13 57,86 Perempuan 92,59 73,39 55,77 Laki-Laki + Perempuan 92,76 72,74 56,81 Perdesaan Laki-laki 93,57 58,94 32,48 Perempuan 93,59 61,50 33,04 Laki-Laki + Perempuan 93,58 60,17 32,75 Perkotaan + Perdesaan Laki-laki 93,31 64,34 43,57 Perempuan 93,18 66,47 43,43 Laki-Laki + Perempuan 93,25 65,37 43,50 8Di Indonesia pada tahun 2005, persentase penduduk berumur 10 tahun ke atas yang tidak memiliki ijazah/STTB sebanyak 29,28%. Sedangkan yang sudah memiliki ijazah/STTB yang dimiliki yakni SD/MI sebanyak 32,34%, tamat SLTP/MTs sebanyak 17,06%, tamat SMU/MA/SMK sebanyak 17,07%, dan tamat Diploma I sampai dengan Universitas sebesar 4,25%. Dengan demikian maka persentase penduduk berumur 10 tahun ke atas yang memiliki ijazah SMU/SMK atau pendidikan yang lebih tinggi sebesar 21,32%. Sumber : Statistik Kesra, 2005 Provinsi dengan persentase tertinggi penduduknya berpendidikan SMU/SMK atau lebih tinggi adalah DKI Jakarta (44,15%), Kepulauan Riau (41,20%) dan DI Yogyakarta (33,60%). Sedangkan yang terendah di Provinsi Nusa Tenggara Timur (12,83%), Kalimantan

Barat (14,96%), dan Gorontalo (15,67%). Persentase penduduk berumur 10 tahun ke atas menurut ijazah/STTB tertinggi yang dimiliki per provinsi dapat dilihat pada Lampiran 2.10. TABEL 2.3 PERSENTASE PENDUDUK 10 TAHUN KE ATAS MENURUT TIPE DAERAH , JENIS KELAMIN DAN STATUS PENDIDIKAN TAHUN 2005 Ijazah/STTB Tertinggi yang Dimiliki Daerah/Jenis Kelamin Dipl IV/ Tidak SD/ SLTP/ SMU/ SMU Dipl I/ Akademi/ S1/S2/ Jumlah Memiliki MI MTs MA Kejuruan Dipl II Dipl III S3 Perkotaan Laki-laki 17,09 25,37 19,43 21,53 8,18 0,95 1,94 5,51 100 Perempuan 22,62 27,26 19,23 18,76 5,36 1,34 1,76 3,64 100 L + P 19,88 26,32 19,33 20,13 6,76 1,15 1,85 4,59 100 Perdesaan Laki-laki 32,82 37,86 16,63 8,08 2,84 0,53 0,31 0,93 100 Perempuan 40,82 36,45 13,86 5,83 1,64 0,60 0,26 0,55 100 L + P 36,82 37,16 15,24 6,96 2,24 0,57 0,29 0,74 100 Perkotaan + Perdesaan Laki-laki 25,86 32,33 17,87 14,03 5,20 0,72 1,03 2,96 100 Perempuan 32,68 32,34 16,26 11,61 3,30 0,93 0,93 1,95 100

L + P 29,28 32,34 17,06 12,82 4,25 0,82 0,98 2,45 100 Sumber : Statistik Kesra, 2005 Pada Tabel 2.3 di atas kita diketahui bahwa persentase penduduk 10 tahun ke atas yang tidak memiliki ijazah/STTB di perdesaan (36,82%) lebih besar dibandingkan perkotaan (19,88%). Perbedaan signifikan juga terjadi pada persentase penduduk usia 10 tahun ke atas yang memiliki ijazah/STTB SMU/MA/SMK hingga Universitas. Pada perkotaan sebesar 34,48%, sedangkan perdesaan hanya sebesar 10,08%. Sedangkan berdasarkan jenis kelamin persentase penduduk 10 tahun ke atas yang memiliki ijazah/STTB SMU/MA/SMK hingga Universitas pada laki-laki (23,94%) lebih besar dibandingkan pada kelompok perempuan (18,72%). 9D. KEADAAN LINGKUNGAN Untuk menggambarkan keadaan lingkungan, akan disajikan indikator-indikator persentase rumah sehat dan persentase Tempat-tempat Umum dan Pengelolaan Makanan (TUPM) sehat. Selain itu disajikan pula beberapa indikator tambahan yang dianggap masih relevan, yaitu persentase rumah tangga menurut sumber air minum, persentase rumah tangga menurut Sarana Pembuangan Air Besar, dan persentase rumah tangga menurut Tempat Penampungan Akhir Kotoran/Tinja. 1. Rumah Sehat Rumah sehat adalah bangunan rumah tinggal yang memenuhi syarat kesehatan, yaitu

rumah yang memiliki jamban yang sehat, sarana air bersih, tempat pembuangan sampah, sarana pembuangan air limbah, ventilasi rumah yang baik, kepadatan hunian rumah yang sesuai dan lantai rumah tidak terbuat dari tanah. Rumah dan lingkungan yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan berisiko menjadi sumber penularan berbagai jenis penyakit. Cakupan rumah sehat pada tahun 2005 mencapai 69%, sedikit mengalami peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya walaupun masih di bawah target yang ditetapkan (75%), dapat dilihat pada Gambar 2.5 berikut ini. GAMBAR 2.5 TARGET DAN REALISASI CAKUPAN RUMAH SEHAT TAHUN 2000 2005 0 10 20 30 40 50 60 70 80 2000 2001 2002 2004 2005 Target Realisasi

Sumber : Profil Ditjen PP-PL, 2005 2. Akses Terhadap Air Minum Berdasarkan Statistik Kesejahteraan Rakyat Tahun 2005, sumber air minum yang digunakan rumah tangga dikategorikan menjadi 2 kelompok besar, yaitu sumber air minum terlindung dan tidak terlindung. Sumber air minum terlindung terdiri dari air kemasan, ledeng, pompa, mata air terlindung, sumur terlindung, dan air hujan. Sedangkan sumber air minum tak terlindung terdiri dari sumur tak terlindung, mata air tak terlindung, air sungai, dan lainnya. Statistik Kesra BPS Tahun 2005 menunjukkan bahwa persentase rumah tangga yang memiliki sumber air minum terlindung sebesar 82,67%, sedangkan persentase rumah tangga yang memiliki sumber air minum tak terlindung sebesar 17,37%. DKI Jakarta merupakan provinsi dengan persentase terbesar untuk rumah tangga yang memiliki sumber air minum 10terlindung, yaitu 98,45%, disusul oleh Bali (92,33%) dan DI Yogyakarta (90,62%). Persentase rumah tangga yang memiliki sumber air minum terlindung yang paling rendah berada di Provinsi Kalimantan Tengah, yaitu sebesar 53,86%, disusul oleh Bengkulu (56,92%) dan Papua (57,94%). Pada kelompok sumber air minum terlindung, rumah tangga di Indonesia sebagian besar memiliki sumur terlindung dengan persentase 35,63%. Persentase rumah tangga yang menggunakan sumber air minum ledeng menempati urutan ke-2 yaitu 17,99%, kemudian

pompa (13,73%), mata air terlindung (8,52%), air kemasan (4,06%) dan air hujan (2,70%). Sedangkan pada kelompok air minum tak terlindung, rumah tangga di Indonesia, sebagian besar memanfaatkan sumur tak terlindung dengan persentase 9,75%, disusul oleh mata air tak terlindung sebesar 3,96%, air sungai sebesar 3,21% dan lainnya sebesar 0,45%. Persentase rumah tangga menurut sumber air minum, provinsi dan wilayah secara lebih rinci disajikan pada Lampiran 2.12, 2.12.a, dan Lampiran 2.12.b. GAMBAR 2.6 PERSENTASE RUMAH TANGGA MENURUT SUMBER AIR MINUM TAHUN 2005 Terlindung 82.67% Tak Terlindung 17.37% Sumber : Statistik Kesra, 2005 Kualitas air minum merupakan salah satu hal penting yang harus diperhatikan, sehingga aman untuk dikonsumsi oleh masyarakat. Salah satu indikator kualitas air minum yang sering digunakan adalah kualitas bakteriologi yang terdiri dari unsur E.Coli dan Total Coliform. Pada tahun 2003 kualitas bakteriologi air minum sebesar 79,91%, angka ini sedikit menurun pada tahun 2004 menjadi 79%, kemudian mengalami peningkatan menjadi 79,8% pada tahun 2005. GAMBAR 2.7

CAKUPAN AIR MINUM YANG MEMENUHI SYARAT KUALITAS BAKTERIOLOGI TAHUN 2001 - 2005 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 Cakupan (%) 11 Tahun Cakupan 74,11 64,87 79,91 79 79,8 2001 2002 2003 2004 2005 (%) Persentase rumah tangga yang menggunakan sumber air minum terlindung di

wilayah perkotaan lebih tinggi daripada di wilayah perdesaan, yaitu 93,8% di wilayah perkotaan, dan 74,03% di wilayah perdesaan. Persentase rumah tangga menurut sumber air minum per provinsi dapat dilihat pada Lampiran 2.12. Sumber: Profil Ditjen PP&PL, Depkes, 2005 3. Fasilitas Tempat Buang Air Besar Kepemilikan dan penggunaan fasilitas tempat buang air besar juga diperhatikan dalam

menentukan kualitas hidup penduduk. Statistik Kesra Tahun 2005 membagi rumah tangga berdasarkan kepemilikan fasilitas tempat buang air besar yang terdiri dari; sendiri, bersama, umum, dan tidak ada. Secara nasional, persentase rumah tangga yang memiliki sendiri fasilitas tempat buang air besar sebesar 60,28%, rumah tangga yang memiliki bersama 13,60%, umum sebesar 6,18% dan tidak ada sebesar 19,93%. Terdapat perbedaan signifikan antara persentase rumah tangga yang memiliki fasilitas tempat buang air besar di perkotaan dan perdesaan. Persentase di perkotaan sebesar 71,41%, sedangkan di perdesaan sebesar 51,78%. Provinsi dengan persentase rumah tangga yang memiliki fasilitas tempat buang air besar tertinggi adalah Riau sebesar 79,50% menyusul Kepulauan Riau sebesar 78,71% dan Lampung sebesar 75,48%. Sedangkan persentase rumah tangga yang memiliki fasilitas tempat buang air besar terendah terdapat di Provinsi Gorontalo sebesar 29,18% menyusul Nusa Tenggara Barat sebesar 34,54% dan Papua sebesar 44,26%. Persentase rumah tangga menurut fasilitas tempat buang air besar, tipe daerah dan provinsi dapat dilihat pada Lampiran 2.14. GAMBAR 2.7 PERSENTASE RUMAH TANGGA MENURUT FASILITAS TEMPAT BUANG AIR BESAR TAHUN 2005 Tidak Ada

19.93% Umum 6.18% Bersama 13.6% Sendiri 60.28% Sumber : Statistik Kesra, 2005 E. KEADAAN PERILAKU MASYARAKAT Untuk menggambarkan keadaan perilaku masyarakat yang berpengaruh terhadap derajat kesehatan, akan disajikan beberapa indikator yaitu: persentase penduduk yang berobat jalan dan mengobati sendiri selama sebulan yang lalu, menurut tempat tinggal (perkotaan dan perdesaan), persentase penduduk yang berobat jalan selama sebulan yang lalu menurut 12tempat/cara berobat, jenis obat yang digunakan dan persentase anak 2-4 tahun yang pernah disusui. Indikator yang disajikan mengacu pada Statistik Kesra Tahun 2005. 1. Upaya Penduduk dalam Pencarian Pengobatan Statistik Kesra Tahun 2005 menunjukkan bahwa persentase penduduk yang memilih untuk mengobati sendiri keluhan kesehatan yang dialami selama sebulan yang lalu ternyata lebih besar dibandingkan persentase penduduk yang berobat jalan. Sebanyak 69,88% penduduk yang memiliki keluhan kesehatan selama sebulan yang lalu memilih untuk mengobati sendiri. Jumlah ini lebih rendah dibandingkan tahun 2004 sebesar 72,44%.

Sedangkan yang memilih untuk berobat jalan hanya sebesar 34,43% dari seluruh penduduk yang memiliki keluhan kesehatan selama sebulan yang lalu. Angka ini lebih rendah dibandingkan tahun 2004 yang sebesar 38,21%. Dari seluruh penduduk yang memiliki keluhan kesehatan selama sebulan yang lalu dan memutuskan untuk berobat jalan sebagian besar berada di Provinsi Bali, yaitu 46,51% yang disusul oleh Nusa Tenggara Timur, 44,38% dan Jawa Barat sebesar 38,07%. Sedangkan provinsi dengan persentase terendah adalah Riau (22,53%), Kalimantan Tengah (24,23%), dan Maluku (24,37%). Dalam hal keputusan untuk mengobati sendiri keluhan kesehatan yang dialami selama sebulan yang lalu, Provinsi Gorontalo menempati urutan teratas dengan persentase sebesar 77,88%, disusul oleh Maluku sebesar 77,62% dan Kalimantan Selatan sebesar 77,35%. Sedangkan provinsi dengan persentase penduduk yang mengobati sendiri keluhan kesehatan yang dialami selama sebulan yang lalu adalah Papua (47,14%), Nusa Tenggara Timur (55,71%) dan Bali (62,94%). Rincian per provinsi dapat dilihat pada Lampiran 2.16. 2. Tempat Penduduk Berobat Jalan Persentase penduduk yang memiliki keluhan kesehatan selama sebulan yang lalu dan memutuskan untuk berobat jalan, dikelompokkan berdasarkan tempat berobat, yaitu Rumah Sakit Pemerintah, Rumah Sakit Swasta, Praktek Dokter, Puskesmas/Pustu, Praktek Nakes,

Praktek Batra dan Dukun Bersalin. Menurut Statistik Kesra Tahun 2005, tempat yang paling banyak dikunjungi adalah Puskesmas/Pustu yaitu sebesar 35,16%, disusul oleh praktek Dokter sebesar 26,59%, dan Praktek Nakes sebesar 20,34%. Persentase penduduk yang berobat jalan ke Puskesmas pada tahun 2005 mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya (tahun 2004 tercatat sebesar 37,26%). Jumlah tersebut merupakan peningkatan dari tahun 2003 yang sebesar 33,11%. Pada tahun 2005, tercatat provinsi dengan persentase penduduk yang berobat jalan ke Puskesmas/Pustu terbesar adalah Nusa Tenggara Timur sebesar 66,60%, disusul oleh Maluku sebesar 56,83% dan Kalimantan Tengah 52,70%. Sedangkan provinsi dengan persentase penduduk yang berobat jalan ke Puskesmas/Pustu terendah adalah Sumatera Utara sebesar 22,27%, disusul oleh Bali sebesar 27,51% dan Jawa Timur yang sebesar 27,97%. Rincian per provinsi dapat dilihat pada Lampiran 2.17. 3. Anak 2-4 Tahun yang Pernah Disusui Statistik Kesra Tahun 2005 juga menampilkan informasi mengenai persentase anak yang pernah disusui berdasarkan lamanya disusui. Indikator ini dikelompokkan menjadi 5 kategori, yaitu 0 bulan, < 5 bulan, 6-11 bulan, 12-17 bulan, 18-23 bulan, dan > 24 bulan. Sebagian besar anak umur 2-4 tahun disusui selama > 24 bulan, hal ini terlihat dari persentase 13sebesar 42,80% yang kemudian disusul oleh bayi 12-17 bulan (21,86%), dan bayi 18-23

bulan (21,21%). Wilayah dengan persentase anak yang pernah disusui selama > 24 bulan tertinggi adalah Provinsi DI Yogyakarta sebesar 57,87%, disusul oleh Jawa Tengah (52,37%) dan Kalimantan Selatan (50,01%). Sedangkan persentase terendah adalah Provinsi Maluku (14,12%), disusul oleh Sumatera Utara (21,59%) dan Kepulauan Riau (23,39%). Secara nasional, persentase bayi yang disusui selama > 24 bulan mengalami fluktuasi selama 3 tahun terakhir. Pada tahun 2003, persentase mencapai 43,08%, angka ini turun menjadi 41,36% pada tahun 2004 yang kemudian kembali naik pada tahun 2005 mencapai 42,80%. Rincian per provinsi dan wilayah dapat dilihat pada Lampiran 2.19, 2.19.a, dan 2.19.b. Uraian di atas merupakan penjelasan secara umum tentang Indonesia tahun 2005 secara ringkas. Penjelasan yang diberikan melingkupi berbagai aspek, seperti kependudukan, perekonomian, pendidikan, kesehatan lingkungan, dan beberapa perilaku penduduk yang memiliki keterkaitan erat dengan sektor kesehatan. ***

14BAB III SITUASI DERAJAT KESEHATAN Untuk menggambarkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia berikut ini disajikan situasi mortalitas, morbiditas, dan status gizi masyarakat. A. MORTALITAS Gambaran perkembangan derajat kesehatan masyarakat dapat dilihat dari kejadian

kematian dalam masyarakat dari waktu ke waktu. Di samping itu kejadian kematian juga dapat digunakan sebagai indikator dalam penilaian keberhasilan pelayanan kesehatan dan program pembangunan kesehatan lainnya. Angka kematian pada umumnya dapat dihitung dengan melakukan berbagai survei dan penelitian. Perkembangan tingkat kematian dan penyakit-penyakit penyebab utama kematian yang terjadi pada periode terakhir akan diuraikan di bawah ini. 1. Angka Kematian Bayi (AKB) Data kematian yang terdapat pada suatu komunitas dapat diperoleh melalui survei, karena sebagian besar kematian terjadi di rumah, sedangkan data kematian di fasilitas kesehatan hanya memperlihatkan kasus rujukan. AKB di Indonesia berasal dari berbagai sumber, yaitu Sensus Penduduk, Surkesnas/Susenas, dan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI). Gambaran perkembangan terakhir mengenai estimasi AKB dari beberapa sumber dapat dilihat pada Gambar 3.1 berikut ini. GAMBAR 3.1 ESTIMASI ANGKA KEMATIAN BAYI PER 1.000 KELAHIRAN HIDUP TAHUN 1995 S.D TAHUN 2003 55 54 52 50 44

47 50 35 0 10 20 30 40 50 60 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002-2003 Estimasi AKB Sumber: Indikator Kesejahteraan Anak 2001 (estimasi SUPAS 1995), Estimasi Susenas 2002-2003, dan SDKI 2002-2003 Dalam beberapa tahun terakhir AKB telah banyak mengalami penurunan yang cukup besar meskipun pada tahun 2000 dan 2001 meningkat kembali sebagai dampak dari berbagai krisis yang melanda Indonesia. Pada tahun 1995 AKB diperkirakan sebesar 55 per 1.000 15kelahiran hidup, kemudian turun menjadi 52 pada tahun 1997, dan turun lagi menjadi 44 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 1999, kemudian naik menjadi menjadi 47 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2000. AKB menurut hasil Surkesnas/Susenas berturutturut pada tahun 2001 sebesar 50 per 1.000 kelahiran hidup. Sedangkan AKB menurut hasil SDKI 2002-

2003 terjadi penurunan yang cukup besar dari tahun 1997 sebesar 52 per 1.000 kelahiran hidup menjadi 35 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2002-2003. Provinsi dengan AKB terendah adalah Bali (14 per 1.000 kelahiran hidup), DI Yogyakarta (20 per 1.000 kelahiran hidup), dan Sulawesi Utara (25 per 1.000 kelahiran hidup). Sedangkan AKB tertinggi di Provinsi Gorontalo (77 per 1.000 kelahiran hidup), Nusa Tenggara Barat (74 per 1.000 kelahiran hidup), dan Sulawesi Tenggara (67 per 1.000 kelahiran hidup). Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2002-2003 dinyatakan pula AKB menurut berbagai karakteristik latar belakang, yaitu menurut tempat tinggal di perkotaan dan di perdesaan, tingkat pendidikan, dan menurut indeks kekayaan. AKB menurut ketiga karakteristik latar belakang tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini. GAMBAR 3.2 GAMBAR 3.3 ANGKA KEMATIAN BAYI (AKB) MENURUT ANGKA KEMATIAN BAYI (AKB) MENURUT LATAR BELAKANG TEMPAT TINGGAL, 2002-2003 LATAR BELAKANG PENDIDIKAN, 2002-2003 67 65 43 36 23 0 20 40 60 8 Tidak sekolah Tidak tamat SD

Tamat SD Tidak tamat SMP SMP+ 32 52 0 10 20 30 40 50 60 Per k otaan Per desaan 0 GAMBAR 3.4 ANGKA KEMATIAN BAYI (AKB) MENURUT LATAR BELAKANG INDEKS KEKAYAAN, 2002-2003 61 50 44 36 17 0 10 20 30 40 50 60 70 Terendah Tengah bawah Tengah Tengah atas Atas Pada tahun 2000, AKB di rumah sakit adalah 15,8 per 1.000 kelahiran hidup, kemudian meningkat tajam pada tahun 2001 dan 2002 menjadi 42,9 dan 40,6 per 1.000

kelahiran hidup. Tahun 2003, AKB di rumah sakit mengalami penurunan berarti yaitu sebesar 22,9 per 1.000 kelahiran hidup, kemudian pada tahun 2004 mengalami sedikit kenaikan menjadi 29,4 per 1.000 kelahiran hidup. Tahun 2005 mengalami penurunan kembali menjadi 23,7 per 1.000 kelahiran hidup. Akan tetapi selama kurun waktu 5 tahun (20012005) angka kematian bayi tidak bisa menurun seperti pada tahun 2000 (15,8). Tabel 3.1 di bawah ini merupakan data kematian bayi di rumah sakit selama tahun 20002005. 16TABEL 3.1 ANGKA KEMATIAN BAYI DI RUMAH SAKIT DI INDONESIA TAHUN 2000 - 2005 Tahun Jumlah RS Jumlah Lahir Mati Jumlah Kelahiran Hidup di Rumah Sakit AKB per 1.000 KH 2000 1.145 2001 1.178 2002 1.215 2003 1.234 2004 1.246 2005 1.268 2,546 158.972 15,8 7,226 161.073 42,9 5,381 127.053 40,6 3,160 135.094 22,9 3,321 109.297 29,4 3,220 132.745 23,7

Sumber : Ditjen Yanmedik, Depkes RI, 2006

Ada banyak faktor yang mempengaruhi tingkat AKB tetapi tidak mudah untuk menentukan faktor yang paling dominan dan faktor yang kurang dominan. Tersedianya berbagai fasilitas atau faktor aksesibilitas dan pelayanan kesehatan dari tenaga medis yang terampil, serta kesediaan masyarakat untuk merubah kehidupan tradisional ke norma kehidupan modern dalam bidang kesehatan merupakan faktor-faktor yang sangat berpengaruh terhadap tingkat AKB. Menurunnya AKB dalam beberapa waktu terakhir memberi gambaran adanya peningkatan dalam kualitas hidup dan pelayanan kesehatan masyarakat. Beberapa penyebab kematian bayi dapat bermula dari masa kehamilan 28 minggu sampai hari ke-7 setelah persalinan (masa perinatal). Penyebab kematian bayi yang terbanyak adalah karena pertumbuhan janin yang lambat, kekurangan gizi pada janin, kelahiran prematur dan berat badan bayi lahir yang rendah, yaitu sebesar 38,85%. Sedangkan penyebab lainnya yang cukup banyak terjadi adalah kejadian kurangnya oksigen dalam rahim (hipoksia intrauterus) dan kegagalan nafas secara spontan dan teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah lahir (asfiksia lahir), yaitu 27,97%. Hal ini menunjukkan bahwa 66,82% kematian perinatal dipengaruhi pada kondisi ibu saat melahirkan. TABEL 3.2 DISTRIBUSI PASIEN KELUAR MATI DI RUMAH SAKIT YANG BERMULA PADA MASA PERINATAL DI INDONESIA TAHUN 2005 1 0.12 A33 Tetanus neonatorum 54 0.81

2 245 P00 - P04 Janin dan bayi baru lahir yang dipengaruhi oleh faktor dan penyulit kehamilan persalinan dan kelahiran 461 6.87 3 246 P05 - P 07 Pertumbuhan janin lamban, malnutrisi janin dan gangguan yang berhubungan dengan kehamilan pendek dan berat badan lahir rendah 2.606 38.85 4 247 P10 - P 15 Cedera lahir 51 0.76 5 248 P20 - P 21 Hipoksia intrauterus dan asfiksia lahir 1.876 27.97 6 249 P22 - P 28 Gangguan saluran napas lainnya yang berhubungan dengan masa perinatal 724 10.79 7 250 P35 - P 37 Penyakit infeksi dan parasit kongenital 516 7.69 8 251 P38 - P39 Infeksi khusus lainnya pada masa perinatal 138 2.06 9 252 P55 Penyakit hemolitik pada janin dan bayi baru lahir 26 0.39 10 253.9 P08,P29,P50-P54, Kondisi lain yang bermula pada masa perinatal 255 3.8 P56-P94, P96 Jumlah 6.707 100 No DTD ICD -10 Golongan Sebab Sakit Mati % Sumber : Ditjen Yanmedik, Depkes RI, 2006 172. Angka Kematian Balita (AKABA) AKABA berdasarkan estimasi SUPAS 1995 menunjukkan penurunan dari 64,28 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 1998 menjadi 44,71 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2000. Selain itu, tingkat kematian anak balita laki-laki selalu lebih tinggi dibandingkan kematian anak balita perempuan pada kurun waktu 1998-2000. Berdasarkan estimasi Susenas, AKABA di Indonesia yang pada tahun 1995 sebesar

73 per 1.000 kelahiran hidup, turun menjadi 64 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 1998. Ternyata pada tahun 2001 AKABA tersebut tidak mengalami perubahan yaitu tetap 64 per 1.000 kelahiran hidup. Hal ini diperkirakan karena menurunnya akses terhadap pelayanan kesehatan, salah satunya sebagai akibat dari krisis ekonomi. Hasil SDKI menyatakan bahwa AKABA pada tahun 2002-2003 telah turun menjadi 46 per 1.000 kelahiran hidup. Pada tahun 2002-2003 provinsi dengan AKABA terendah adalah Bali (19 per 1.000 kelahiran hidup), DI Yogyakarta (23 per 1.000 kelahiran hidup), dan Sulawesi Utara (33 per 1.000 kelahiran hidup). Sedangkan AKABA tertinggi di Nusa Tenggara Barat (103 per 1.000 kelahiran hidup), Gorontalo (97 per 1.000 kelahiran hidup), dan Sulawesi Tenggara (92 per 1.000 kelahiran hidup). Gambaran perkembangan AKABA pada tahun 1995 2003 disajikan pada Tabel 3.3 berikut ini. TABEL 3.3 ANGKA KEMATIAN BALITA (AKABA) PER 1.000 KELAHIRAN HIDUP DI INDONESIA TAHUN 1995 2003 Laki-laki Perempuan Laki-laki + Perempuan 1995 73 1998 71,36 57,61 64,28 64 1999 66,44 53,05 59,55 2000 50,77 39,00 44,71

2001 64 2002-2003 46 Tahun Estimasi SUPAS 1995 Estimasi SUSENAS SDKI 20022003 Sumber: Indikator Kesejahteraan Anak 2001 (Estimasi SUPAS 1995), Estimasi SUSENAS 1995, 1998, dan 2001, SDKI 2002-2003 3. Angka Kematian Ibu Maternal (AKI) AKI diperoleh melalui berbagai survei yang dilakukan secara khusus, seperti survei di rumah sakit dan beberapa survei di masyarakat dengan cakupan wilayah yang terbatas. Dengan dilaksanakannya Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) dan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI), maka cakupan wilayah penelitian AKI menjadi lebih luas dibanding survei-survei sebelumnya. Untuk melihat kecenderungan AKI di Indonesia secara konsisten, digunakan data hasil SKRT. Menurut SKRT, AKI menurun dari 450 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1986 menjadi 425 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1992, kemudian menurun lagi menjadi 373 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1995. Pada SKRT 2001 tidak dilakukan survei mengenai AKI. Pada tahun 2002-2003 AKI sebesar 307 per 100.000 kelahiran hidup diperoleh dari hasil SDKI. Hal

ini menunjukkan AKI cenderung terus menurun. Tetapi bila dibandingkan dengan target yang ingin dicapai secara nasional pada tahun 2010, yaitu sebesar 125 per 100.000 kelahiran hidup, maka apabila penurunannya masih seperti tahun-tahun sebelumnya, diperkirakan target tersebut di masa mendatang sulit tercapai. Angka yang didapat dari berbagai survei tersebut disajikan pada Gambar 3.5 berikut ini. 18GAMBAR 3.5 ANGKA KEMATIAN IBU MATERNAL (PER 100.000 KELAHIRAN HIDUP) HASIL SDKI DAN SKRT, TAHUN 1982 2003 450 450 425 390 373 334 307 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500

1982 1986 1992 1994 1995 1997 2002-2003 Perkiraan AKI

Sumber: SDKI 1982, 1994, 1997, 2002-2003 SKRT 1986, 1992, 1995 AKI yang dihasilkan oleh SKRT dan SDKI hanya menggambarkan angka nasional, tidak dirancang untuk mengukur angka kematian ibu menurut provinsi. Kematian ibu maternal di rumah sakit periode 2001-2005 cenderung menurun dari 7,5 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2001 menjadi 0,9 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2005. Namun tahun 2004, kematian ibu maternal mengalami kenaikan tajam dari sebelumnya 1,1 per 1.000 kelahiran hidup menjadi 8,6 per 1.000 kelahiran hidup. Data angka kematian ibu maternal tahun 2001 - 2005 di rumah sakit dapat dilihat pada Tabel 3.4 berikut. TABEL 3.4 ANGKA KEMATIAN IBU MATERNAL DI RUMAH SAKIT DI INDONESIA TAHUN 2001 2005 Tahun Jumlah Kematian Ibu Jumlah Lahir Hidup Kematian Per 1.000 KH 2001 1.203 161.073 7,5 2002 649 127.053 5,1 2003 153 135.094 1,1 2004 956 109.297 8,6 2005 116 132.745 0,9

Sumber : Ditjen Yanmedik, Depkes RI, 2006 Data angka kematian ibu maternal di rumah sakit yang bersumber dari Ditjen

Yanmedik, menggambarkan jumlah kematian maternal di rumah sakit yang terjadi per 1.000 kelahiran hidup dan penyebab kematian maternal tersebut dijelaskan pada Tabel 3.5 di bawah ini. 19TABEL 3.5 DISTRIBUSI PASIEN KEHAMILAN, PERSALINAN DAN MASA NIFAS KELUAR MATI MENURUT GOLONGAN SEBAB SAKIT DI RUMAH SAKIT DI INDONESIA TAHUN 2005 No DTD ICD-10 Golongan sebab sakit Kasus % Mati CFR 1 234 - 236.9 O00 - O09 Kehamilan yang berakhir abortus 44.872 26 95 0,21 2 237.0 - .1 O14 - O15 Eklamsia dan preeklamsia 8.379 4,91 197 2,35 3 238 O44 Plasenta previa 4.726 2,77 40 0,85 4 238.9 O46 Perdarahan antepartum 2.346 1,37 16 0,68 5 241 O72 Perdarahan pasca persalinan 8.212 4,81 71 0,86 6 242.1 O60 Persalinan prematur 3.142 1,84 31 0,99 7 242.2 O68 Persalinan dengan penyulit gawat janin 3.280 1,92 8 0,24 8 237.9,238.1, 239.0-240, 242.0, 242.3, 242.9,244 O10-O3,O16,O20O25, O29-O30,O40O43, O45,O47,064O67, O69,074Penyulit kehamilan, persalinan dan masa nifas lainnya 95.768 56,09 214 0,22

Jumlah 170.725 672 0.39 Sumber : Ditjen Yanmedik, Depkes RI, 2006 Jika dilihat dari golongan sebab sakit, kasus obstetri terbanyak pada tahun 2005 adalah disebabkan penyulit kehamilan, persalinan dan masa nifas lainnya yaitu 56,09%, diikuti dengan kehamilan yanmg berakhir abortus (26%). Sedangkan jika dilihat dari nilai CFR (Case Fatality Rate), penyebab kematian terbesar adalah eklamsia dan preeklamsia dengan CFR 2,35%, walaupun persentase kasusnya tidak tinggi yaitu 4,91% dari keseluruhan kasus obstetri. 4. Angka Kematian Kasar (AKK) Estimasi AKK berdasarkan hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 1995 menunjukkan AKK sebesar 7,7 per 1.000 penduduk pada tahun 1995, turun menjadi 7,6 per 1.000 penduduk pada tahun 1996 dan tidak berubah sampai dengan tahun 1998. Kemudian pada tahun 1999 AKK turun menjadi 7,5 per 1.000 penduduk dan turun lagi menjadi 7,4 per 1.000 penduduk pada tahun 2000. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan angka kematian kasar dalam kurun waktu tahun 1995 2000 relatif stabil dengan penurunan yang sangat kecil. Sedangkan angka kematian kasar menurut provinsi sangat bervariasi dengan rentangan angka terendah sebesar 4,26 per 1.000 penduduk di Provinsi Riau dan tertinggi sebesar 9,43 di Provinsi DI Yogyakarta. TABEL 3.6 ANGKA KEMATIAN KASAR DI RUMAH SAKIT INDONESIA

TAHUN 2005 Tahun Jumlah Kasus Jumlah Mati % 2001 2.597.512 2002 2.346.136 2003 2.270.657 2004 2.140.954 2005 2.561.106 82.440 3,2 88.441 3,8 81.943 3,6 99.615 4,6 85.567 3,3 Sumber: Ditjen Yanmedik, Depkes RI, 2006 20Sedangkan penyebab kematian terbanyak dari penderita rawat inap di rumah sakit pada tahun 2005 dapat dilihat pada Tabel 3.7 berikut ini. TABEL 3.7 10 PENYAKIT UTAMA PENYEBAB KEMATIAN MENURUT DTD DI RUMAH SAKIT DI INDONESIA TAHUN 2005 No DTD Sebab sakit Jumlah Mati % [a] 1 155 Stroke tidak menyebut perdarahan atau infark 4.692 4,87 2 153 Perdarahan intrakranial 3.572 3,71 3 17 Septisemia 3.065 3,18 4 214,9 Gagal ginjal lainnya 3.047 3,16 5 278 Cedera intrakranial 3.021 3,13 6 169 Pneumonia 2.765 2,87 7 246 Pertumbuhan janin lamban malnutrisi janin dan gangguan yang berhubungan dengan kehamilan pendek dan berat badan lahir rendah 2.606 2,70 8 152,9 Penyakit jantung lainnya 2.577 2,67

9 104,9 Diabetes melitus YTT 2.086 2,16 10 007,1 Tuberkulosis paru lainnya 2.024 2,10 Sumber: Ditjen Yanmedik, Depkes RI, 2006 Keterangan: [a] persen terhadap total kematian di rumah sakit 5. Umur Harapan Hidup Waktu Lahir (UHH) Penurunan AKB sangat berpengaruh pada kenaikan UHH waktu lahir. Angka kematian bayi sangat peka terhadap perubahan derajat kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, sehingga perbaikan derajat kesehatan tercermin pada penurunan AKB dan kenaikan UHH pada waktu lahir. Meningkatnya umur harapan hidup ini secara tidak langsung juga memberi gambaran tentang adanya peningkatan kualitas hidup dan derajat kesehatan masyarakat. Umur Harapan Hidup waktu lahir penduduk Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan yang bermakna terutama pada periode tahun 1980-1995. Estimasi UHH yang sebesar 52,41 tahun 1980 (SP 1980) meningkat menjadi 63,48 tahun 1995 (SUPAS 1995), dan diperkirakan menjadi 66,2 tahun pada 2002 (SDKI 2002-2003). Pada tahun 2002 provinsi dengan UHH waktu lahir tertinggi adalah DI Yogyakarta (72,4 tahun), DKI Jakarta (72,3 tahun), dan Sulawesi Utara (70,9 tahun). Sedangkan UHH waktu lahir terendah di Nusa Tenggara Barat (59,3 tahun), Kalimantan Selatan (61,3 tahun), dan Banten

(62,4 tahun). Gambaran perkembangan umur harapan hidup waktu lahir dalam 10 tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 3.8 berikut. 21TABEL 3.8 UMUR HARAPAN HIDUP WAKTU LAHIR (Eo) MENURUT JENIS KELAMIN TAHUN 1990 2002 Tahun Laki-laki Perempuan Laki-laki + Perempuan 1992 60,42 64,15 62,34 1993 60,79 64,54 62,72 1994 61,16 64,92 63,1 1995 61,54 65,31 63,48 1996 61,91 65,71 63,86 1997 62,29 65,71 63,86 1998 62,63 66,45 64,59 1999 63,55 67,41 65,54 2000 63,45 67,3 65,43 2002 [a] - - 66,20 Sumber: Indikator Kesejahteraan Anak 2001 (hasil SP 1990, 2000 dan estimasi SUPAS 1995)

[a] Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002-2003 Tabel di atas menunjukkan bahwa umur harapan hidup waktu lahir untuk kelompok penduduk perempuan dari waktu ke waktu relatif lebih tinggi daripada umur harapan hidup

waktu lahir untuk kelompok penduduk laki-laki. Rincian angka kematian bayi, angka kematian balita, dan umur harapan hidup waktu lahir menurut provinsi tahun 2002 2003 dapat dilihat pada Lampiran 3.1. 6. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indeks Pembangunan Manusia merupakan indikator gabungan yang memperlihatkan kualitas manusia secara komprehensif dari segi ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Indikator-indikator tersebut adalah keseimbangan daya beli (purchasing power parity) dan pendapatan (ekonomi), angka melek huruf dan partisipasi sekolah di pendidikan dasar dan lanjutan (pendidikan) serta umur harapan hidup sejak lahir (kesehatan). GAMBAR 3.6 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA TAHUN 1996-2005 67.7 64.3 65.8 69.6 0 20 40 60 80 1996 1999 2002 2005 IPM

Sumber: BPS, Bappenas, UNDP Gambar 3.6 memperlihatkan bahwa Indeks Pembangunan Manusia di Indonesia sejak tahun 1996 hingga 2005 cenderung meningkat. Pada tahun 1996 IPM 67,7 menjadi 69,6 pada tahun 2005. Tahun 2005 Indeks Pembangunan Manusia tertinggi dicapai DKI Jakarta (76,1) 22diikuti Sulawesi Utara (74,2) dan Riau (73,6). Sedangkan Papua, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur merupakan 3 provinsi dengan IPM terendah. Data IPM per provinsi tahun 1999-2005 dapat dilihat pada Lampiran 3.1.a. B. MORBIDITAS Data angka kesakitan penduduk yang berasal dari masyarakat (community based data) yang diperoleh melalui studi morbiditas, dan hasil pengumpulan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota serta dari sarana pelayanan kesehatan (facility based data) yang diperoleh melalui sistem pencatatan dan pelaporan. Gambaran/pola 10 penyakit terbanyak pada pasien rawat jalan di rumah sakit adalah data tahun 2005 disajikan pada Tabel 3.9 berikut ini. TABEL 3.9 POLA 10 PENYAKIT TERBANYAK PADA PASIEN RAWAT JALAN DI RUMAH SAKIT TAHUN 2005 No Golongan Sebab Sakit Jumlah Pasien %

1 Infeksi saluran napas bagian atas akut lainnya 2 Penyakit kulit dan jaringan subkutan lainnya 3 Hipertensi esensial (primer) 464,697 2.93

1,117,179 7.05 501,280 3.16

4 Demam yang sebabnya tidak diketahui

446,897 2.82 389,568 2.46 370,479

5 Cedera YDT lainnya YTT dan daerah badan multipel

6 Diare & gastroenteritis oleh penyebab infeksi tertentu (kolitis Inf.) 2.34 7 Tuberkulosis paru lainnya 8 Diabetes melitus YTT 369,071 2.33

338,056 2.13 319,080 2.01

9 Penyakit pulpa dan periapikal 10 Gastritis dan duodenitis

255,689 1.61

Sumber: Ditjen Yanmedik, Depkes RI, 2006 Sedangkan pola 10 penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit tahun 2005 dapat dilihat pada Tabel 3.10 di bawah ini. TABEL 3.10 POLA 10 PENYAKIT TERBANYAK PASIEN RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT TAHUN 2005 No Golongan Sebab Sakit Jumlah Pasien % 1 Diare & gastroenteritis oleh penyebab infeksi tertentu ( kolitis infeksi ) 193.856 7,52 2 Demam tifoid dan paratifoid 81.116 3,15 3 Demam berdarah dengue 77.539 3,01 4 Penyulit kehamilan dan persalinan lainnya 69.92 2,71 5 Cedera intrakranial 59.468 2,31

6 Kecelakaan angkutan darat 54.463 2,11 7 Demam yang sebabnya tidak diketahui 50.376 1,95 8 Cedera YTD lainnya YTT dan daerah badan Multipel 49.477 1,92 9 Malaria (termasuk semua jenis malaria) 42.633 1,65 10 Pneumonia 42.512 1,65 Sumber: Ditjen Yanmedik, Depkes RI, 2006 23Kedua tabel tersebut di atas menunjukkan bahwa penyakit infeksi masih merupakan penyakit terbanyak yang ditemukan pada pasien rawat jalan dan rawat inap di rumah sakit, walaupun beberapa penyakit tidak menular seperti Diabetes Melitus, Hipertensi, dan cedera juga berada di peringkat atas. Pada tahun 2005 dari data 10 penyakit utama pasien rawat jalan di rumah sakit, yang terbanyak adalah infeksi saluran napas bagian atas akut lainnya 7,05%, diikuti penyakit kulit dan jaringan subkutan lainnya 3,16% dan hipertensi esensial (primer) 2,93%. Dari data 10 penyakit utama pasien rawat inap di rumah sakit, terbanyak adalah Diare & gastroenteritis oleh penyebab infeksi tertentu (infeksi kolitis) 7,52%, diikuti penyakit Demam tifoid dan paratifoid 3,15% dan penyakit Demam Berdarah Dengue 3,01%. Distribusi pasien menurut Bab ICD-X pada pasien rawat jalan dan rawat inap di rumah sakit Indonesia tahun 2005 dapat dilihat pada Lampiran 3.2.a dan 3.3.a. Selanjutnya berikut ini akan diuraikan situasi beberapa penyakit menular yang perlu mendapatkan perhatian, termasuk situasi penyakit menular yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I), penyakit potensial KLB/wabah, situasi penyakit tidak menular.

1. Penyakit Menular Penyakit menular yang disajikan dalam bagian ini antara lain penyakit Malaria, TB Paru, HIV/AIDS, Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), Kusta, penyakit menular yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I), penyakit potensial wabah, Rabies, Filariasis, Frambusia, dan Antraks. a. Penyakit Malaria Penyakit Malaria masih menjadi permasalahan kesehatan masyarakat di Indonesia. Perkembangan penyakit Malaria dipantau melalui Annual Parasite Incidence (API) untuk Jawa-Bali dan Annual Malaria Incidence (AMI) untuk luar Jawa-Bali, yang dapat dilihat pada Gambar 3.7 berikut ini. GAMBAR 3.7 ANNUAL PARASITE INCIDENCE MALARIA () DAN ANNUAL MALARIA INCIDENCE (), TAHUN 1989 2005 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 0

5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 A P I 0.21 0.17 0.14 0.12 0.19 0.17 0.07 0.08 0.12 0.3 0.52 0.81 0.62 0.47 0.22 0.15 0.15 A M I 28.06 24.1 27 22.79 20.51 22.22 19.38 21.72 16.06 21.97 24.9 31.09 26.2 22.3 21.8 21.2 18.94 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005

Sumber: Ditjen PP-PL, Depkes RI Gambar di atas menunjukkan bahwa peningkatan insidens Malaria terjadi dalam periode 1997 2000. Pada bulan April tahun 2000 mulai dilaksanakan Gerakan Berantas Kembali Malaria (Gebrak Malaria). Pada tahun 2001 2005 angka kesakitan Malaria kembali menurun. Pada tahun 242001 angka kesakitan Malaria untuk Pulau Jawa dan Bali sebesar 0,62 per 1.000 penduduk, pada tahun 2002 menjadi 0,47, tahun 2003 menjadi 0,22 per 1.000 penduduk dan tahun 2004 menjadi 0,15 per 1.000 penduduk. Sedangkan untuk luar Jawa-Bali, angka kesakitan Malaria (termasuk

penderita klinis) pada tahun 2001 sebesar 26,20 per 1.000 penduduk menjadi 22,30 pada tahun 2002, 21,80 per 1.000 penduduk pada tahun 2003, 21,20 per 1.000 penduduk pada tahun 2004, 18,94 per 1.000 penduduk pada tahun 2005. Selama tahun 2005 terjadi KLB di Provinsi Kalimantan Barat (Kab. Melawi), Maluku (Kab. Seram Bagian Timur), Maluku Utara (Kab. Halmahera Tengah), Kalimantan Selatan (Kab. Hulu Sungai Selatan), Sumatera Utara (Kab. Samosir), Banten (Bayah), Kepulauan Bangka Belitung (Kab. Bangka), Jambi, Sulawesi Utara, Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Barat dengan jumlah penderita sebesar 10.560 penderita dan 97 orang meninggal. (sumber: Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2005). Target yang ingin dicapai secara nasional pada tahun 2010, yaitu sebesar 5 per 1.000 penduduk. Untuk wilayah Jawa dan Bali dapat dikatakan target sudah tercapai. Sedangkan untuk wilayah di luar Jawa dan Bali, diperkirakan masih belum mencapai target. Wilayah Indonesia Timur dengan AMI tertinggi antara lain Papua (208,82), Nusa Tenggara Timur (100,49), dan Maluku Utara (67,24). Untuk Kawasan Barat Indonesia, wilayah dengan API tertinggi antara lain Jambi (13,55), Kepulauan Bangka Belitung (11,18), dan Sumatera Utara (7,24). Jumlah kasus dan API/AMI penyakit Malaria menurut provinsi tahun 2005 dapat dilihat pada Lampiran 3.4 dan Lampiran 3.5. b. Penyakit TB Paru Pelaksanaan penanggulangan penyakit TB Paru telah dapat menurunkan prevalensi

dari 122/100.000 penduduk pada tahun 2002 menjadi 115/100.000 penduduk pada tahun 2003 dan 107/100.000 penduduk pada tahun 2005. Tabel 3.11 Proporsi Kasus TBC Menurut Tipe (Jenis) Tahun 2001-2005 Tolok Ukur/Kegiatan Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 BTA Positif 0,51 0,49 0,52 0,60 0,60 BTA Negatif 0,30 0,47 0,43 0,36 0,32 Relaps/Kambuh 0,03 0,02 0,02 0,02 0,02 Ekstra Paru 0,16 0,02 0,03 0,02 0,06 Sumber: Ditjen PP-PL, Depkes RI

Pada tahun 2005, jumlah perkiraan kasus menular TB Paru sebanyak 296.381 kasus. Cakupan penemuan semua kasus TB Paru sebanyak 259.969 kasus, dengan 158.640 kasus TB Paru BTA Positif dan Angka Penemuan Penderita/Case Detection Rate (CDR) sebesar 53,53 %. Hasil cakupan penemuan kasus dan evaluasi hasil pengobatan penyakit TB paru tahun 2005 dapat dilihat pada Lampiran 3.6. 25GAMBAR 3.8 PROPORSI KASUS TB PARU MENURUT TIPE (JENIS) TAHUN 2005 BTA+, 60% BTA -, 32%

Esktra Paru, 6% Kambuh, 2% Sumber: Ditjen PP-PL, Depkes RI Pada tahun 2005, jumlah kasus baru BTA positif menurut jenis kelamin terbanyak pada laki-laki sebesar 58,70 %. Provinsi Jawa Barat adalah provinsi paling banyak jumlah kasus BTA positif yaitu sebanyak 28.541 kasus. Laki-laki dengan umur 25-34 tahun paling banyak ditemukan kasus baru BTA Positif yaitu 20.906 kasus, di Provinsi Jawa Barat terbanyak dengan 4.114 kasus. Jumlah kasus baru BTA positif menurut jenis kelamin, kelompok umur, dan provinsi tahun 2005 dapat dilihat pada Lampiran 3.7 dan Lampiran 3.8. c. Penyakit HIV/AIDS Perkembangan penyakit HIV/AIDS terus menunjukkan peningkatan, meskipun berbagai upaya pencegahan dan penanggulangan terus dilakukan. Semakin tingginya mobilitas penduduk antar wilayah, menyebarnya sentra-sentra pembangunan ekonomi di Indonesia, meningkatnya perilaku seksual yang tidak aman, dan meningkatnya penyalahgunaan NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya) melalui suntikan, secara simultan telah memperbesar tingkat risiko penyebaran HIV/AIDS. Saat ini Indonesia telah digolongkan sebagai negara dengan tingkat epidemi yang terkonsentrasi (concentrated level epidemic), yaitu adanya prevalensi lebih dari 5% pada sub populasi tertentu misalnya pada kelompok penjaja seks dan pada para penyalahguna NAPZA. Jumlah penderita HIV/AIDS dapat digambarkan sebagai fenomena gunung es (iceberg phenomena), yaitu

jumlah penderita yang dilaporkan jauh lebih kecil daripada jumlah penderita yang sebenarnya. Hal ini berarti bahwa jumlah penderita HIV/AIDS di Indonesia yang sebenarnya belum diketahui dengan pasti. Jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS yang dilaporkan sampai dengan 31 Desember 2005 sebanyak 9.565 kasus terdiri dari 4.244 kasus infeksi HIV dan 5.321 kasus AIDS, 1.332 kasus di antaranya telah meninggal dunia. Rate kumulatif kasus AIDS per 100.000 penduduk secara nasional sebesar 2,65. Rate tertinggi terjadi di Papua sebesar 49,06 (18,51 kali angka nasional), DKI Jakarta sebesar 23,15 (8,74 kali angka nasional), Bali sebesar 7,19 (2,71 kali angka nasional), dan Maluku sebesar 5,75 (2,17 kali angka nasional). Kasus yang dilaporkan telah meninggal dunia sebesar 25,03%. Cara penularan AIDS pada tahun 2003 adalah melalui hubungan heteroseksual, namun hingga akhir tahun 2005 cara penularan terbanyak yang dilaporkan adalah penularan pada penyalahguna NAPZA suntik (Intravenous Drug User = IDU). Penularan yang terkait dengan IDU tahun 2005 terjadi pada 48,9% kasus AIDS disusul penularan melalui hubungan 26heteroseksual 39,4%, 5,5% tidak diketahui cara penularannya, melalui hubungan homoseksual 4,8%, melalui perinatal 1,2%, dan melalui transfusi 0,1%. Sepanjang tahun 2005, jumlah kasus baru AIDS yang ditemukan terbanyak adalah pada triwulan IV sebanyak 1.135 kasus (43,01%). Persentase kasus AIDS yang menggunakan NAPZA suntik (IDU) tertinggi adalah Provinsi Kalimantan Tengah (100%), Banten (90,48%) dan Lampung (85,07%).

Jumlah kumulatif kasus AIDS, meninggal, dan angka kumulatif kasus per 100.000 penduduk menurut provinsi sampai dengan 31 Desember 2005, persentase kasus AIDS yang menggunakan NAPZA suntikan (IDU), dan persentase kasus per triwulan dapat dilihat pada Lampiran 3.9, 3.10, dan 3.11. GAMBAR 3.9 PROPORSI PENDERITA AIDS SECARA KUMULATIF MENURUT CARA PENULARAN S.D. TAHUN 2005 48.9 39.4 1.2 0.1 5.5 4.8 IDU Heteroseks Homoseks Tidak diketahui Perinatal Transfusi Sumber: Ditjen PP-PL, Depkes RI Berikut ini gambaran mengenai perkembangan penderita HIV/AIDS sampai dengan Desember 2005. GAMBAR 3.10 GAMBAR 3.11 JUMLAH KASUS BARU DAN KUMULATIF PENGIDAP HIV YANG TERDETEKSI DARI

BERBAGAI SARANA KESEHATAN JUMLAH KASUS BARU DAN KUMULATIF PENDERITA AIDS YANG TERDETEKSI DARI BERBAGAI SARANA KESEHATAN TAHUN 2001 2005 TAHUN 2001 2005 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 Tahun Jumlah kasus Kasus baru 7 3 2 6 4 8 16 8 6 4 9 8 7 5 Kasus k u m u l at i f 117 2 1 9 0 4 2 5 5 2 2 7 2 0 3 3 6 8 2001 2 002 2003 2004 2 005 0 500 1000 1500 2000

2500 3000 3500 4000 4500 5000 5500 Tah u n Jumlah kasus Kasus baru 2 19 3 4 5 3 16 119 5 2 6 3 8 Kasus k u m u l at i f 8 2 6 117 1 14 8 7 2 6 8 2 5 3 2 1 2001 2002 2003 2004 2005 Sumber: Ditjen PP-PL, Depkes RI Sumber: Ditjen PP-PL, Depkes RI Karakteristik penderita AIDS secara kumulatif hingga 31 Desember 2005 dapat digambarkan bahwa sebagian besar penderita AIDS adalah laki-laki yaitu 4.363 penderita (82%), perempuan sebanyak 851 penderita (16%), dan 107 penderita (2%) selebihnya tidak diketahui jenis kelaminnya. Bila dilihat menurut kelompok umur, penderita berumur 20-29 27tahun sebanyak 2.873 penderita (54,07%), kelompok umur 30-39 tahun sebanyak 1.383 penderita (25,86%), kelompok umur 40-49 tahun sebanyak 451 penderita (8,48%), kelompok umur 15-19 tahun sebanyak 193 penderita (3,63%), kelompok umur 50-59 tahun sebanyak

115 penderita (2,18%), kelompok umur > 60 tahun sebanyak 32 penderita (0,62%), umur 45 tahun 1.193 Jumlah 5.643 Sumber: Ditjen PP-PL, Depkes RI Jumlah kasus dan angka insiden penyakit Pertusis/Batuk Rejan menurut provinsi pada tahun 2005 disajikan pada Lampiran 3.19. 5) Hepatitis (Hepatitis Klinis dan Hepatitis B) Kasus Hepatitis secara nasional mengalami fluktuasi dalam 5 tahun terakhir yang tercermin dalam Angka Insidens (AI) per 10.000 penduduk. Tahun 2001 tercatat AI sebesar 1,3 yang kemudian turun menjadi 0,60 pada tahun 2002. Kasus Hepatitis mengalami peningkatan tahun 2003 dengan AI sebesar 1,40 yang kemudian kembali turun pada tahun 2004 menjadi 0,56. Setelah sempat turun AI kembali merangkak naik menjadi 0,9 pada tahun 2005. GAMBAR 3.19 JUMLAH KASUS DAN ANGKA INSIDEN HEPATITIS PER 10.000 PENDUDUK TAHUN 2001 2005 0 10,000 20,000 30,000 40,000 Jumlah kasus 0.00

0.50 1.00 1.50 2.00 Angka insiden Jumlah kasus 26,75 12,99 29,59 12162 20,33 Angka insiden 1.30 0.60 1.40 0.56 0.9 2001 2002 2003 2004 2005 Sumber: Profil Ditjen PP-PL (Subdit Surveilans), Depkes RI 35Menurut Laporan pada tahun 2005, jumlah kasus Hepatitis klinis yang dirawat jalan di rumah sakit sebanyak 2.933 kasus, yang dirawat inap di rumah sakit sebanyak 1.639 kasus dengan kematian pada 8 kasus, dan yang dirawat di puskesmas 13.938 kasus. Jumlah kasus penyakit Hepatitis klinis menurut provinsi pada tahun 2005 disajikan pada Lampiran 3.20. Pada tahun 2005, jumlah kasus Hepatitis B di Indonesia sebesar 884 kasus terdiri dari 456 kasus rawat jalan di rumah sakit dan 428 kasus rawat inap di rumah sakit. Sedangkan terjadi kematian 5 kasus di rawat inap rumah sakit. Jumlah kasus penyakit Hepatitis B menurut provinsi pada tahun 2005 disajikan pada Lampiran 3.21. 6) Polio (AFP-Acute Flaccid Paralysis/Lumpuh Layu Akut) Pada tanggal 21 April 2005, Laboratorium Bio Farma melaporkan hasil pemeriksaan

positif virus polio liar tipe P1 terhadap seorang penderita AFP anak laki-laki umur 20 bulan di Kec. Cidahu, Kab. Sukabumi, Jawa Barat. Temuan ini merupakan temuan yang sangat mengejutkan setelah 10 tahun Indonesia dinyatakan bebas dari virus polio liar. Pada tanggal 3 Mei 2005, Laboratorium GSL Mumbai mengidentifikasi bahwa virus polio liar Sukabumi merupakan virus polio impor, karena strain virus tidak mempunyai kemiripan dengan virus yang pernah diidentifikasi di Indonesia, tetapi mempunyai kemiripan dengan virus Sudan yang bersirkulasi di Arab Saudi pada akhir tahun 2004 (akhir bulan Desember) yang bertepatan dengan musim haji. GAMBAR 3.20 KASUS POLIO LIAR DAN SEBARAN POLIO DI INDONESIA, 2005 Sumber: Ditjen PP-PL, Depkes RI Gambar 3.21 di bawah ini adalah bagan yang menggambarkan jumlah penemuan kasus Polio per minggu. Pada awal periode ditemukan 1 kasus. Kemudian pada minggu berikutnya tidak lagi ditemukan kasus. Namun, pada periode 27 Maret - 2 April, kembali ditemukan 1 kasus Polio. Angka tersebut terus bertambah hingga pada puncaknya (34 kasus) yaitu periode 29 Mei - 4 Juni bersamaan dengan dilaksanakannya mopping up putaran 1 (31 Mei 2005). Dua (2) minggu pasca pelaksanaan mopping up putaran 1, terjadi penurunan signifikan terhadap temuan kasus Polio, yaitu 1 kasus. Hingga mopping up putaran kedua tidak ditemukan lagi kasus Polio.

36GAMBAR 3.21 KASUS POLIO DI INDONESIA, 2005 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 32 34 36 WPV c ases 0 1 0 1 1 3 6 9 10 16 20 18 34 31 2 1 0 0 0 0 0 0 6- 12 Mar 13 - 19 Mar

20- 26 Mar 27 Mar 3- 9 Apr 10 - 16 Apr 17 - 2 3 Apr 24- 30 Apr 1- 7 M ay 8- 14 M ay 15 - 2 1 M ay 22- 28 M ay 29 M ay 5- 11 J un 12 - 18 J un

19 - 2 5 J un 26 Jun- 2 3- 9 J ul 10 - 16 Jul 17- 23 J ul 24- 30 J ul 31 Jul 6 Aug Mopping-Up 31 May 2005 Mopping-Up 28 June 2005 Sumber: Ditjen PP-PL, Depkes RI Berdasarkan jenis kelamin, 53% penderita Polio adalah laki-laki dan 47% adalah perempuan. Berdasarkan kelompok umur, 63% Polio menyerang anak berumur 1235 bulan, 19% menyerang anak berumur 36-59 bulan, 14% menyerang anak di atas 60 bulan dan yang paling rendah menyerang anak berumur 0-11 bulan (4%). Pada tahun 2005, jumlah kasus AFP sebanyak 1.939 kasus, dengan AFP Rate per

100.000 penduduk sebesar 3,12 dan Non Polio AFP Rate per 100.000 penduduk sebesar 2,44. Kasus AFP terbanyak terdapat di Provinsi Jawa Barat (349 kasus) diikuti Jawa Timur (319 kasus) dan Banten (253 kasus). Berdasarkan klasifikasi klinis diketahui kasus virus polio liar sebanyak 303 kasus. Dari 10 provinsi yang ditemukan virus polio liar, terbanyak di Provinsi Banten (161), Jawa Barat (59) dan Lampung (26). Terdapat 8 kasus kematian akibat AFP sepanjang tahun 2005 yang seluruhnya di Provinsi Banten. Jumlah kasus AFP Polio menurut provinsi, jumlah kasus AFP Polio menurut kriteria klasifikasi klinis dan provinsi, dan perkembangan Kejadian Luar Biasa (KLB) Polio tahun 2005 dapat dilihat pada Lampiran 3.22, 3.23 dan 3.24. 7) Tetanus Tetanus adalah penyakit akut yang disebabkan oleh eksotoksin yang dikeluarkan oleh basil tetanus (Clostridium tetani) yang hidup secara anaerobic pada luka. Ciri khas dari tetanus adalah adanya kontraksi otot disertai rasa sakit, terutama otot leher kemudian diikuti dengan otot-otot seluruh badan. Gejala pertama yang muncul yang mengarahkan kita untuk memikirkan tetanus pada anak usia lebih tua dan orang dewasa adalah jika ditemukan adanya kaku otot pada abdomen. Kejang seluruh tubuh dapat terjadi akibat rangsangan. Posisi yang khas pada penderita tetanus yang mengalami kejang adalah terjadinya opisthotonus dan ekspresi wajah yang disebut dengan risus sardonicus.

37Spora tetanus masuk ke dalam tubuh biasanya melalui luka tusuk yang tercemar dengan tanah, debu jalanan atau tinja hewan dan manusia, spora dapat juga masuk melalui luka bakar atau luka lain yang sepele atau tidak dihiraukan, atau juga dapat melalui injeksi dari jarum suntik yang tercemar yang dilakukan oleh penyuntik liar. Tetanus kadang kala sebagai kejadian ikutan pasca pembedahan termasuk setelah sirkumsisi. Semua orang rentan terhadap tetanus. Pemberian imunisasi aktif dengan tetanus toxoid (TT) dapat menimbulkan kekebalan yang dapat bertahan paling sedikit selama 10 tahun setelah pemberian imunisasi lengkap. Kekebalan pasif sementara didapat setelah pemberian Tetanus Immunoglobin (TIG) atau setelah pemberian tetanus anti serum. Pada tahun 2005, jumlah kasus Tetanus yang dirawat jalan di rumah sakit sebanyak 473 kasus, yang dirawat inap di rumah sakit sebanyak 922 kasus dan 43 di antaranya meninggal dunia dan yang dirawat di puskesmas 380 kasus. Jumlah kasus penyakit Tetanus menurut provinsi pada tahun 2005 disajikan pada Lampiran 3.25. Khusus untuk kasus tetanus pada kelompok umur < 1 tahun, terdapat kecenderugan penurunan dalam 5 tahun terakhir yang tercermin dalam AI per 10.000 penduduk umur < 1 tahun. Tahun 2001 AI sebesar 0,15 turun menjadi 0,13 pada tahun 2002, lalu kembali turun hingga 0,11 pada tahun 2003. Tahun 2004 tercatat AI sebesar 0,09 hingga pada tahun 2005 AI sebesar 0,04 per 10.000 penduduk umur < 1 tahun. g. Penyakit Potensial KLB/Wabah

Beberapa penyakit menular berpotensi menimbulkan KLB maupun wabah. Frekuensi KLB tertinggi adalah Diare, Demam Berdarah Dengue, Rabies, Campak dan keracunan makanan. Sedangkan CFR tertinggi adalah Difteri (13,85%, yaitu 9 kematian dari 65 kasus). Penyakit yang menimbulkan KLB di Indonesia pada tahun 2005 dapat dilihat pada Lampiran 3.26.

1). Penyakit Diare Tingkat kematian Diare pada tahun 2005 mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya. Pada tahun 2005, CFR akibat diare sebesar 2,51% dengan 127 orang meninggal dari 5.051 kasus. Angka ini lebih tinggi jika kita bandingkan dengan tahun 2004, yaitu 1,6% dengan 23 orang meninggal dari 1.436 kasus. Namun demikian, CFR tahun 2005 tetap lebih rendah dibandingkan tahun 2003 yang sebesar 2,77% dengan 128 orang meninggal dari 4.622 kasus. Perkembangan KLB Diare enam tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 3.18 di bawah ini. TABEL 3.18 KLB DIARE MENURUT JUMLAH PROVINSI DENGAN KLB, JUMLAH KASUS, MENINGGAL, DAN CFR TAHUN 2000 2005 Jumlah Provinsi dengan KLB Tahun Jumlah Kasus Meninggal CFR (%) 2000 16 5.680 109 1,92

2001 12 4.428 100 2,26 2002 15 5.789 94 1,62 2003 22 4.622 128 2,77 2004 16 1.436 23 1,60 2005 12 5.051 127 2,51 Sumber: Ditjen PP-PL, Depkes RI, Profil PP-PL 2005 38 Dari 12 provinsi yang melaporkan adanya KLB, wilayah dengan tingkat kematian tertinggi akibat Diare adalah Sulawesi Tengah, yaitu 18,84% (13 meninggal dari 69 kasus), disusul oleh Papua dengan CFR sebesar 7,61% (37 kasus meninggal dari 486 kasus) dan Maluku Utara dengan CFR sebesar 5,26% (7 meninggal dari 133 kasus). Jumlah kasus, meninggal dan CFR Diare tiap provinsi dari tahun 2001-2005 dapat dilihat pada Lampiran 3.27.

2) Demam Berdarah Dengue Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) telah menyebar luas ke seluruh wilayah provinsi dengan jumlah kabupaten/kota terjangkit sampai dengan tahun 2005 sebanyak 330 kabupaten/kota (75% dari seluruh kab/kota). Penyakit ini sering muncul sebagai KLB dengan angka kesakitan dan kematian yang relatif tinggi. Angka insiden DBD secara nasional berfluktuasi dari tahun ke tahun. Pada awalnya pola epidemik terjadi setiap lima tahunan, namun dalam kurun waktu lima belas tahun terakhir mengalami perubahan dengan periode

antara 2 5 tahunan. Sedangkan angka kematian cenderung menurun. Pada