Top Banner
17 DEKONSTRUKSI SYARIAH: MENGGAGAS HUKUM WARIS PERSPEKTIF JENDER Hasani Ahmad Said Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jl. Kerta Mukti, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten E-mail: [email protected] Pendahuluan Problematika perempuan adalah problematika kemanusian yang pada masa Rasulullahpun sudah ditemukan sebuah kenyataan bahwa perempuan pada masa pra-Islam sudah mengalami berbagai praktik penindasan dan diskriminasi. Seperti dalam hal pembagian warisan. Perempuan dianggap tidak pantas untuk menerima harta warisan atau harta pusaka dan tidak termasuk sebagai ahli waris bahkan dianggap sebagai harta waris yang berhak dimiliki oleh ahli waris laki-laki. Abstract: Inheritance Verses: Formulating Gender Based Interpretation of Inheritance Verses. Issues of gender are largely discussed by Muslim feminist groups, especially when they are related to the differentiation between inherited man and woman. One of the polemical discourses is related to inequality in the distribution of a will between man and woman. Religious text, in this respect the Qur’an containing the division of the distribution 2:1 (2 for man and 1 for woman) is considered to be irrelevant in this contemporary era. erefore, many tafsirs attempt to reveal the ‘mistery’ of Islamic inheritance law. Some ulamasassume that the distribution has been final, while others think it still needs reformulation of interpretation. Keywords: gender equality, farâid, hudûd Abstrak: Dekonstruksi Syariah: Menggagas Hukum Waris Perspektif Jender. Isu-isu jender merupakan tema yang sering diperbincangkan oleh kelompok feminisme Muslim, apalagi bila hal itu menyangkut perbedaan posisi antara laki-laki dan perempuan. Salah satu discourse yang sering dijadikan polemic adalah tatkala bertalian dengan penyetaraan bagian waris antara laki-laki dan perempuan. Teks agama dalam hal ini Alquran yang mengusung pembagian 2:1, dianggap tidak relevan dengan kondisi zaman. Sehingga, banyak tafsir yang berupaya mengungkap “misteri” dalam hokum waris. Sebagian ulama menganggap pembagian waris sudah final, tetapi sebagian yang lain masih perlu adanya reformulasi penafsiran. Kata Kunci: kesetaraan jender, farâid, hudûd Pada perkembangan selanjutnya, Islam sebagai agama yang universal hadir dengan membawa angin segar terhadap hak-hak kaum perempuan serta mengangkat martabatnya yang setara dengan kaum laki-laki. Alquran sebagai sumber pokok ajaran Islam telah menegaskan adanya kesetaraan dan ke- sejajaran antara laki-laki dan perempuan yang menempatkan perempuan pada posisi yang adil untuk mendapatkan hak-haknya dalam bidang sosial, ekonomi dan politik. Secara normatif, Alquran telah menegas- kan adanya kesetaraan antara laki-laki dan
16

DEKONSTRUKSI SYARIAH: MENGGAGAS HUKUM WARIS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43239/2/DEKONSTRUKSI...pusaka dan tidak termasuk sebagai ahli waris bahkan dianggap

Oct 05, 2019

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: DEKONSTRUKSI SYARIAH: MENGGAGAS HUKUM WARIS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43239/2/DEKONSTRUKSI...pusaka dan tidak termasuk sebagai ahli waris bahkan dianggap

17

DEKONSTRUKSI SYARIAH: MENGGAGAS HUKUM WARIS PERSPEKTIF JENDER

Hasani Ahmad SaidSekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah JakartaJl. Kerta Mukti, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten

E-mail: [email protected]

PendahuluanProblematika perempuan adalah problematika kemanusian yang pada masa Rasulullahpun sudah ditemukan sebuah kenyataan bahwa perempuan pada masa pra-Islam sudah mengalami berbagai praktik penindasan dan diskriminasi. Seperti dalam hal pembagian warisan. Perempuan dianggap tidak pantas untuk menerima harta warisan atau harta pusaka dan tidak termasuk sebagai ahli waris bahkan dianggap sebagai harta waris yang berhak dimiliki oleh ahli waris laki-laki.

Abstract: Inheritance Verses: Formulating Gender Based Interpretation of Inheritance Verses. Issues of gender are largely discussed by Muslim feminist groups, especially when they are related to the differentiation between inherited man and woman. One of the polemical discourses is related to inequality in the distribution of a will between man and woman. Religious text, in this respect the Qur’an containing the division of the distribution 2:1 (2 for man and 1 for woman) is considered to be irrelevant in this contemporary era. Therefore, many tafsirs attempt to reveal the ‘mistery’ of Islamic inheritance law. Some ulamasassume that the distribution has been final, while others think it still needs reformulation of interpretation.

Keywords: gender equality, farâid, hudûd

Abstrak: Dekonstruksi Syariah: Menggagas Hukum Waris Perspektif Jender. Isu-isu jender merupakan tema yang sering diperbincangkan oleh kelompok feminisme Muslim, apalagi bila hal itu menyangkut perbedaan posisi antara laki-laki dan perempuan. Salah satu discourse yang sering dijadikan polemic adalah tatkala bertalian dengan penyetaraan bagian waris antara laki-laki dan perempuan. Teks agama dalam hal ini Alquran yang mengusung pembagian 2:1, dianggap tidak relevan dengan kondisi zaman. Sehingga, banyak tafsir yang berupaya mengungkap “misteri” dalam hokum waris. Sebagian ulama menganggap pembagian waris sudah final, tetapi sebagian yang lain masih perlu adanya reformulasi penafsiran.

Kata Kunci: kesetaraan jender, farâid, hudûd

Pada perkembangan selanjutnya, Islam sebagai agama yang universal hadir dengan membawa angin segar terhadap hak-hak kaum perempuan serta mengangkat martabatnya yang setara dengan kaum laki-laki. Alquran sebagai sumber pokok ajaran Islam telah menegaskan adanya kesetaraan dan ke-sejajaran antara laki-laki dan perempuan yang menempatkan perempuan pada posisi yang adil untuk mendapatkan hak-haknya dalam bidang sosial, ekonomi dan politik.

Secara normatif, Alquran telah menegas-kan adanya kesetaraan antara laki-laki dan

Page 2: DEKONSTRUKSI SYARIAH: MENGGAGAS HUKUM WARIS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43239/2/DEKONSTRUKSI...pusaka dan tidak termasuk sebagai ahli waris bahkan dianggap

18| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 1 Januari 2013

perempuan, namun secara tekstual Alquran juga menyatakan adanya kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh kaum laki-laki atas kaum perempuan seperti dalam pembagian harta warisan. Laki-laki mendapatkan bagian yang lebih banyak dibandingkan dengan bagian yang diterima oleh kaum perempuan. Alquran juga menyatakan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan.

Di sini nampak jelas terlihat adanya kesetaraan jender1 menjadi sebuah pertanya-an besar terutama dalam sistem pembagian warisan menurut hukum Islam yaitu komposisi pembagian 1: 2. Aspek-aspek yang melatar belakangi pembagian tersebut, sehingga laki-laki mendapat bagian dua kali lipat dari pembagian anak perempuan.

Karena itu pantaslah dan adillah jika pembagian yang diperoleh lebih sedikit, sehingga hukum pembagian warisan dalam Islam tidak perlu diadakan perubahan karena sudah sesuai dan sejalan dengan konsep keadilan jender, dan pembagian kewarisan yang tercantum dalam Alquran Surat al-Nisâ’ [4]: 11 dan 12 itu digunakan jika terjadi perselisihan antar ahli waris berkenaan dengan pembagian harta warisan yang di tinggalkan oleh pewaris.

Warisan dalam Wacana AwalSebagai agama yang sempurna, Islam meng-atur segala sisi kehidupan manusia, bahkan dalam hal yang berkaitan dengan peralihan harta yang ditinggalkan seorang manusia,

1 Jender berasal dari bahas Inggris “gender” yang berarti jenis kelamin. Secara umum jender digunakan untuk meng-identifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial budaya. Sementara sex secara umum mengidentifikasi perbedaan laki dan perempuan dari sisi anatomi biologis. Lihat Nasarudin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, (Jakarta: Paramadina, 2001), h. 33 dan 35. Jender juga diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan permpuan dilihat dari sisi nilai dan tingkah laku. Lihat Victoria Neu velt, (ed.), Webster’s New World Dictionary, (New York: Webster’s New World Cleveland, 1984), h. 561. Ada juga yang mengartikan harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan. Lihat Hilary M. Lips, Sex and Gender an Introduction, (London: My Field Publishing Company, 1993), h. 4, lihat pula Hasani Ahmad, Jender dan Waris, Makalah seminar kelas mata kuliah Jender, Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 14 November 2009.

setelah manusia tersebut meninggal dunia. Hukum yang membahas tentang peralihan harta tersebut dalam ilmu hukum disebut hukum kewarisan, atau dikenal juga dengan hukum farâid.

Idris Djakfar dan Taufik Yahya men-difinisikan bahwa hukum kewarisan ialah seperangkat ketentuan yang mengatur cara-cara peralihan hak dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup yang ketentuan-ketentuan tersebut berdasarkan pada wahyu Ilahi yang terdapat dalam Alquran dan penjelasannya yang diberikan oleh Nabi Muhammad Saw., dalam istilah Arab disebut farâid.2

Pasal 171 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam mendefinisikan, “Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pe-mindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris”.

Dari kedua definisi tersebut dapat di-ketahui bahwa hukum kewarisan Islam merupakan hukum yang mengatur tentang peralihan kepemilikan harta dari orang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup (yang berhak menerimanya), yang mencakup apa saja yang menjadi harta warisan, siapa-siapa saja yang berhak menerima, berapa besar porsi atau bagian masing-masing ahli waris, kapan dan bagai-mana tata cara pengalihannya.

Warisan menurut sebagian besar ahli hukum Islam ialah semua harta benda yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia baik berupa benda bergerak maupun benda tetap, termasuk barang/uang pinjaman dan juga barang yang ada sangkut pautnya dengan hak orang lain, misalnya barang yang digadaikan sebagai jaminan atas hutangnya ketika pewaris masih hidup.3

Allah Swt. memerintakan agar setiap orang yang beriman mengikuti ketentuan-

2 Idris Jakfar dan Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 1995), h. 3-4.

3 Masjfuk Zuhdi, Studi Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1993), h. 57.

Page 3: DEKONSTRUKSI SYARIAH: MENGGAGAS HUKUM WARIS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43239/2/DEKONSTRUKSI...pusaka dan tidak termasuk sebagai ahli waris bahkan dianggap

Hasani Ahmad Said: Dekonstruksi Syariah: Menggagas Hukum Waris Perspektif Jender |19

ketentuan Allah menyangkut hukum kewarisan sebagaimana yang termaktub dalam kitab suci Alquran dan menjanjikan siksa neraka bagi orang yang melanggar peraturan ini.4

Dalam Q.s. al-Nisa’ [4]: 13-14, Allah berfirman:

Hukum-hukum tersebut adalah ketentuan-ketentuan dari Allah, barang siapa yang ta’at pada (hukum-hukum) Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka (akan) kekal di dalamnya. Dan yang demikian tersebut merupakan kemenangan yang besar. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, serta melanggar ketentuan (hukum-hukum) Allah dan rasul-Nya, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam api neraka, sedangkan mereka akan kekal didalamnya, dan baginya siksa yang amat menghinakan. Ayat tersebut merupakan ayat yang mengiringi hukum-hukum Allah menyangkut penentuan para ahli waris, tahapan pembagian warisan serta porsi masing-masing ahli waris, yang menekankan kewajiban melaksanakan pem-bagian warisan sebagaimana yang ditentu-kan Allah, yang disertai ancaman bagi yang melanggar ketentuan tersebut. Sebaliknya bagi hamba yang mengikuti ketentuan-Nya, Allah menjanjikan surga.

Rasulullah Saw. dalam sabdanya me-negaskan bahwa ”Siapa yang tidak menerapkan hukum waris yang telah diatur Allah, maka ia tidak akan mendapat warisan surga, (Muttafaq ‘alaih). Dalam tradisi Arab pra-Islam, hukum

4 Mahmud Yunus, Hukum Warisan dalam Islam, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 198), h. 5.

yang diberlakukan menyangkut ahli waris mereka menetapkan bahwa wanita dan anak-anak tidak memperoleh bagian warisan, dengan alasan mereka tidak atau belum dapat berperang guna mempertahankan diri, suku atau kelompoknya,5 oleh karena itu yang berhak mewarisi adalah laki-laki yang berfisik kuat dan dapat memanggul senjata untuk mengalahkan musuh dalam setiap peperangan.6 Konsekwensinya perempuan, anak-anak dan orang tua renta tidak berhak mewarisi harta peninggalan kerabatnya.

Islam datang membawa panji keadil-an persamaan kedudukan laki-laki dan perempuan, anak-anak, orang dewasa, orang yang tua renta, suami, isteri saudara laki-laki dan saudara perempuan sesuai tingkatan masing-masing. Dari berbagai ketentuan dalam hukum kewarisan Islam, setidaknya ada lima azas (doktrin) yang disepakati sebagai sesuatu yang dianggap mensifati hukum kewarisan Islam, yaitu bersifat Ijbâri, bilateral, individual, keadilan yang berimbang dan akibat kematian.7

Dasar Hukum Waris Dasar utama hukum waris Islam adalah Alquran dan Hadis, khususnya menyangkut porsi atau bagian masing-masing ahli waris. Dalam Q.s. al-Nisa’ [4]: 11, 12, dan 176. Allah berfirman:

5 Muhammad ‘Ali al-Shâbuni, Ilmu Hukum Waris Menurut Ajaran Islam, (Surabaya: Mutiara Ilmu, t.t.), h. 15.

6 Ahmad Rofik, Fiqh Mawaris, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), h. 6.

7 Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau, (Jakarta: PT. Gunung Agung, 1984), h. 24.

Page 4: DEKONSTRUKSI SYARIAH: MENGGAGAS HUKUM WARIS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43239/2/DEKONSTRUKSI...pusaka dan tidak termasuk sebagai ahli waris bahkan dianggap

20| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 1 Januari 2013

Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagi-an pusaka untuk) anak-anakmu yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta, dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.

(Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu) jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.

Ayat-ayat tentang kewarisan tersebut di atas merupakan ketentuan Allah secara umum (‘Am) menyangkut siapa-siapa saja yang menjadi ahli waris berdasarkan hubungan kekerabatan seperti ayah, ibu, anak, dan saudara, ataupun karena hubungan perkawinan (suami/isteri). Selain dari pada itu juga menentukan tentang berapa besar bagian masing masing ahli waris dan langkah apa saja yang dilakukau sebelum me nentukan harta peninggalan pewaris baru

Page 5: DEKONSTRUKSI SYARIAH: MENGGAGAS HUKUM WARIS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43239/2/DEKONSTRUKSI...pusaka dan tidak termasuk sebagai ahli waris bahkan dianggap

Hasani Ahmad Said: Dekonstruksi Syariah: Menggagas Hukum Waris Perspektif Jender |21

dikatakan sebagai harta warisan (terlebih dahulu menyelesaikan wasiat pewaris dan membayarkan utang pewaris).

Selain dari pada itu, dalam ayat di atas juga digariskan bahwa porsi seorang laki-laki sama dengan porsi dua orang perempuan dalam satu tingkatan, baik dalam tingkatan anak, saudara ataupun antara suami dengan isteri.

Pemaknaan Teks, Bias JenderBanyak terjadi bias jender dalam pemaknaan terhadap teks-teks suci keagamaan baik teks Alquran maupun Hadis.8 Misalnya pemaknaan yang berujung menempatkan perempuan sebagai subordinasi laki-laki. Semua itu terjadi dalam konteks pemaknaan. Padahal jika dilihat dari prinsip kesetaraan dan keadilan jender, Islam jelas telah membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan dan perbudakan terhadap sesama manusia.

Dalam firman Allah Swt. Q.s. al-Hujurât [49]: 13:

“Hai manusia, Kami telah menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling takwa.”

Ayat ini, secara jelas berbicara tentang penghambaan manusia kepada Allah Swt.

8 Tema ini sangat menarik untuk diperbincangkan secara luas dan lugas. Akan tetapi paling tidak bisa merujuk empat buku yang cukup representasi dari perdebatan yang berupaya mengurai teks suci yang bias. Lebih lanjut baca Nasarudin Umar, Argumentasi Kesetaraan Jender, (Jakarta: Paramadina, 2001, baca pula Nasarudin Umar, Teologi Jender; Antara Mitos dan Kitab Suci, (Jakarta: Pustaka Cicero, 2003), dan Zaitunah Subhan, Menggagas Fikih Pemberdayaan Perempuan, Jakarta: el-Kahfi, 2008, Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian; Studi Bias Jender dalam Studi al-Quran, (Yogyakarta: LKiS, 1999).

Dengan mengakui penghambaan hanya kepada-Nya, maka semua manusia, baik laki-laki maupun perempuan, setara (egaliter) dihadapan-Nya. Yang membedakan mereka hanyalah tingkat ketakwaannya.

Contoh hak-hak bagi perempuan yang banyak dijelaskan oleh ayat-ayat Alquran, seperti hak kesamaan derajat dengan laki-laki. Pada mulanya, zaman pra Islam, perilaku-perilaku budaya yang mendiskriminasi perempuan sering terjadi. Mereka misalnya harus dikubur hidup-hidup. Kemudian Islam hadir untuk mengangkat martabat mereka, dengan menegaskan bahwa perempuan tidak boleh diperlakukan demikian.

Pada masa turunnya Alquran, kehadiran anak perempuan dapat mengancam ke-hormatan sebuah keluarga Arab sehingga penguburan bayi perempuan hidup-hidup juga ditempuh untuk menutupi malu.9 Penguburan ini ditempuh karena masyarakat belum mengenal aborsi. Nilai perempuan tak lebih dari barang yang dapat dijual dan diwariskan.10 Di samping itu, laki-laki dapat mengawini perempuan dalam jumlah tak terbatas pada saat yang sama, menceraikan mereka, merujuk lagi kapan saja dan berapa kalipun laki-laki menghendaki.11 Tak jarang perempuan dipandang seperti syaitan yang harus dijauhi.12

Contoh lainnya, adalah hukum kewarisan sebagaimana bahasan dalam tuliasan ini. Pada masa pra-Islam, perempuan sama sekali tidak berhak mendapat bagian waris. Ketika Islam datang, perempuan mendapat bagian kendati

9 Realitas ini terekam dalam ayat Alquran sebagai berikut: Tatkala diberitakan kepada seseorang di antara mereka perih kelahiran anak perempuan, wajahnya cemberut menahan sedih. Ia bersembunyi dari orang banyak disebabkan buruknya berita yang diterimanya, boleh jadi ia akan memeliharanya dengan penuh hina atau menguburkannya (hidup-hidup) ke dalam tanah. Alangkah buruknya keputusan mereka (al-Nahl [16]:58-59).

10 Imâm Ibn Ja‘far al-Thabari, Jamî‘ al-Bayân ‘an Ta’wîl ayi Alqurân, jilid VII , (al-Qâirah: Tnp., 1057-1969), h. 599.

11 al-Thabâri, Jâmi’ al-Bayân, h. 534-535.12 Perempuan adalah setan yang diciptakan untuk laki-

laki, kami berlindung kepada Allah dari seburuk-buruk setan yang menggoda. Lihat Muhammad bin Iyas, Badâiz Zuhur fi Waqaâid Duhûr, (Bayrut: Maktabah Saqafiyyah, t.t.), h. 52.

Page 6: DEKONSTRUKSI SYARIAH: MENGGAGAS HUKUM WARIS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43239/2/DEKONSTRUKSI...pusaka dan tidak termasuk sebagai ahli waris bahkan dianggap

22| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 1 Januari 2013

satu banding dua. Jadi, Alquran memang diturunkan sebagai respon atau jawaban untuk mengangkat martabat perempuan.

Meskipun kebenaran dan kebaikan yang disampaikan oleh Alquran bersifat universal dan abadi akan tetapi proses verbalisasinya berkaitan erat dengan kondisi masyarakat Arab pada masa turunnya. Dalam nada yang lebih berani Ibn Khaldun mengatakan bahwa Alquran diturunkan dalam bahasa Arab dan disesuaikan dengan gaya retorika mereka agar dapat dipahami.13 Rekaman dialog antara ayat-ayat Alquran dengan masyarakat Arab terutama yang berkaitan erat dengan persoalan personal mereka adalah indikasi kuat bagi adanya relevansi proses pembahasaan kebenaran mutlak Alquran dengan kondisi lokal bangsa Arab pada masa turunnya.

Selain itu juga, laki-laki dan perempuan diciptakan oleh Allah Swt. dengan embanan tugas yang sama, yaitu untuk mengabdi kepada Allah Swt., sebagaimana firman-Nya dalam Q.s. al-Dzâriyât [51]: 56: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”.

Laki-laki dan perempuan memiliki potensi dan peluang yang sama untuk menjadi hamba yang terbaik. Dan dalam kapasitas sebagai hamba Allah Swt., laki-laki dan perempuan akan mendapat penghargaan sesuai kadar pengabdiannya. Itu sesuai firman Allah Swt dalam Q.s. al-Nahl [16]: 97 sebagai berikut:

Barangsiapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami

13 Ibn Khadun, Muqaddimah, (Bayrut: Dâr al-Fikir, t.t.), h. 438.

berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.

Mengapa dalam tataran kenyataan, hingga kini, ketidakadilan tetap saja selalu melekat pada perempuan? Menjawab per-tanyaan ini, saat ini dibutuhkan telaah kritis terhadap teks-teks Alquran maupun Hadis untuk dipahami dengan perspektif yang tidak membeda-bedakan laki-laki dan perempuan. Acapkali ayat atau Hadis yang bias jender, itu sesungguhnya lebih karena konstruksi patriarki.

Konstruksi laki-laki itu, lantas mem-pengaruhi produk-produk pemikiran ke -agamaan, baik tafsir maupun fikih. “Karena-nya, teks yang terkesan bias jender itu harus dimaknai sesuai konteks zamannya. Alquran itu terdiri dari teks universal (kulliyât) dan teks partikular (juz’iyyât) yang membutuhkan penjelasan kontekstual.

Untuk tujuan inilah, kita mencoba me-reinterpretasi teks-teks itu tanpa me ngurangi nilai subtansinya. Teks yang bias jender, kita bawa pada nilai yang substantif dan universal. Ini bisa menjadi justifikasi bahwa Allah Swt. tidak mungkin meng hendaki pembedaan terhadap perempuan dalam hal apapun.

Supremasi teks atas spirit atau ruhnya ini mengandung potensi besar bagi munculnya tafsir agama yang bias. Ayat tentang waris misalnya, pada saat turunnya mengandung spirit pemberdayaan perempuan secara ekonomi. Mereka yang tadinya diwariskan, lalu berubah menjadi mampu mewarisi atau memperoleh warisan dan akhirnya mampu pula mewariskan atau memberikan warisan. Dari transformasi ini dapat ditangkap bahwa bagian anak perempuan separuh dari laki-laki mengandung tekanan pesan bahwa separo adalah jumlah minimal yang bisa diterima perempuan. Pada ayat yang sama bahkan disebutkan bahwa bagian perempuan (ibu) adalah sama dengan laki-laki (ayah) sebagaimana termaktub:

Page 7: DEKONSTRUKSI SYARIAH: MENGGAGAS HUKUM WARIS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43239/2/DEKONSTRUKSI...pusaka dan tidak termasuk sebagai ahli waris bahkan dianggap

Hasani Ahmad Said: Dekonstruksi Syariah: Menggagas Hukum Waris Perspektif Jender |23

… Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak…(al-Nisa [4]:11).

Pendekatan tekstual terhadap ayat-ayat Alquran mesti diwaspadai karena mem-punyai kecenderungan mengabaikan spirit pemberdayaan pada seluruh ayat-ayat yang berkaitan dengan jender. Muhammad Abduh mensinyalir sebagian besar kata-kata Alquran telah berubah kandungan maknanya bahkan pada masa dekat setelah turunnya.14 Perubahan makna ini dapat terjadi dalam bentuk pemahaman terhadap Alquran yang bertentangan dengan spirit awalnya.

Berbeda dengan teks Alquran, hadis dapat bermasalah dari segi periwayatan maupun redaksinya (sanad dan matan). Oleh karena itu validitas hadis bertingkat; shahih, hasan, dha‘îf dan maudhû‘ (palsu). Tingkatan hadis yang paling tinggi adalah hadis yang secara sanad maupun matannya tidak mengandung cacat.

Hadis yang mengandung bias jender sangat mudah ditemukan. Beberapa contoh dapat disebutkan di sini, “Di antara haknya adalah andaikata di antara dua hidung suami mengalir darah dan nanah lalu istri-nya menjilati dengan lidahnya, ia belum memenuhi hak suaminya. Seandainya manusia itu boleh bersujud kepada manusia, niscaya aku perintahkan perempuan untuk bersujud pada suaminya. (HR. al-Hakim).15

Hadis ini dikutip Imam Nawâwi dalam kitab ‘Uqûd al-Lujjayn. Hingga kini, kitab tersebut masih dianggap sebagai rujukan utama di beberapa pesantren di Indonesia. Hasil penelitian Forum Kajian Kitab Kuning (FK3) menunjukkan bahwa kualitas sanad

14 Muhammad ‘Abduh, al-Manar, jilid. I, (al-Qâirah: Dâr al-Manâr, 1367), h. 21.

15 Forum Kajian Kitab Kuning (FK3), Wajah Baru Relasi Suami-Istri (Yogyakarta: LKiS, 2001), h. 94.

hadis tersebut dha’îf (lemah) karena terdapat perawi yang bermasalah, yaitu Sulaymân bin Dâwud dan al-Qâsim. Imam al-Nawâwî juga mengutip tiga hadis sebagai berikut, “Jika seorang istri menghabiskan malam dengan meninggalkan tempat tidur suaminya, maka para malaikat mengutuknya sampai pagi. (H.r. Bukhari Muslim). “Andaikata seorang wanita menghabiskan waktu malamnya untuk salat, siang harinya untuk puasa, lalu suaminya memanggilnya ke tempat tidur sedangkan istri menundanya sesaat, maka kelak pada hari kiamat ia akan diseret dengan rantai dan belenggu, berkumpul dengan setan-setan hingga sampai di tempat yang serendah-rendahnya”. “Bahwasanya wanita itu tidak dapat memenuhi hak Allah sebelum memenuhi hak-hak suaminya. Seumpama suami minta pada istrinya sementara istri sedang berada di atas punggung onta, maka ia tidak boleh menolak dirinya. (H.r. al-Thabrânî).16

Hadis-hadis di atas dan semacamnya pada umumnya bermasalah dalam sanad dan seluruhnya bermasalah dari segi matan. Khâlid M. Abû al-Fadhl menyebutkan tiga hal sebagai sebab tidak validnya hadis-hadis tersebut menurut matan, yaitu ber-tentangan dengan kedaulatan Tuhan dan Kehendak-Tuhan yang bersifat mutlak, tidak selaras dengan diskursus Alquran tentang kehidupan pernikahan, dan tidak sejalan dengan ke seluruhan riwayat yang menggambarkan perilaku Nabi terhadap istri-istrinya.17

Beberapa faktor pendukung lain dalam lahirnya wacana agama yang bias adalah

16 Berdasarkan penelitian Husein Muhammad, kitab yang menjadikan ketaatan istri pada suami sebagai tema sentral ini mengandung kurang lebih 100 buah hadis. 20 hadis diantaranya mempunyai status lâ ashla lahû (tidak jelas sumbernya). Di samping itu, Khâlid bin Muhammad al-Zuwaidi juga menemukan adanya 31 hadis maudlû’ (palsu) dalam kitab yang sama. Lihat Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, (Yogyakarta: LKiS, 2001), h. 180-183. Hadis kedua di atas adalah maudlû berdasarkan penelitian Forum Kajian Kitab Kuning (FK3), Wajah Baru Relasi Suami-Istri, (Yogyakarta: LKiS, 2001), h. 65.

17 Khed M. Abou al-Fadl, Atas Nama Tuhan: dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, Penerjemah R. Cecep Lukman Hakim, (Jakarta: Serambi, 2004), h. 311.

Page 8: DEKONSTRUKSI SYARIAH: MENGGAGAS HUKUM WARIS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43239/2/DEKONSTRUKSI...pusaka dan tidak termasuk sebagai ahli waris bahkan dianggap

24| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 1 Januari 2013

fakta bahwa perumusan ajaran agama sejak awal didominasi oleh bangsa Arab, sebuah bangsa yang memiliki pra-asumsi bias dalam memandang perempuan. Hingga kini wacana Agama masih berkiblat ke negeri Arab, sehingga tidak hanya relasi yang tidak imbang antara laki-laki dan perempuan yang mereka tanamkan dalam kesadaran masyarakat Muslim di seluruh dunia, tetapi juga relasi tidak seimbang antara Muslim dan non-Muslim berdasarkan pengalaman pahit yang merteka alami hingga kini di tanah Arab.

Urgensi Hukum Waris dalam IslamIlmu farâ’idh atau fikih mawaris merupakan ilmu yang sangat penting. Oleh karena itu, Allah sendiri dan secara langsung mengatur bagian-bagian farâ’idh ini. Dia tidak me-nyerahkan hal tersebut kepada malaikat atau Rasul yang paling dekat sekalipun. Allah telah menjelaskan masing-masing bagian ahli waris yang seperdua, seperempat, se perdelapan, dua pertiga, sepertiga dan seperenam. Ini berbeda dengan hukum-hukum lainnya, seperti salat, zakat, puasa, haji dan lain-lain yang nas-nasnya bersifat global.

Allah menjamin surga bagi kaum Muslimin yang melaksanakan hukum waris Islam ini. Allah Swt. berfirman:

“(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ke-tentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar”. (al-Nisâ [4]: 13).

Bahkan Allah Swt. mengancam dengan neraka dan azab yang pedih bagi orang-orang yang menyelisihi batasan-batasan fara’idh Islam tersebut. Sebagaimana firman-Nya sebagai berikut:

“Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka, sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan”. (al-Nisa [4]: 14).

Rasulullah Saw., memerintahkan agar umat Islam mempelajarai ilmu fara’idh dan mengajarkannya. Rasulullah Saw. bersabda: “Pelajarilah farâidh dan ajarkanlah, sebab ia adalah separuh ilmu dan ia akan dilupakan. Dan ia adalah sesuatu yang pertama kali tercabut dari umatku” [H.r. Ibn Mâjah dan Dâruquthni. Suyûthi memberi tanda shahîh]. Selain itu, Amirul Mukminin ‘Umar ibn Khaththab R.a. berkata, “Pelajarilah farâ’idh, sebab ia adalah bagian dari agamamu”. Beliau juga berkata, “Pelajarilah fara’idh, nahwu dan Sunnah se bagaimana kamu mempelajari Alquran”.

Ibn Abbas juga, ketika menafsirkan surat al-Anfal [8]: 73, dia menyatakan, “Jika kamu tidak mengambil ilmu waris yang diperintahkan oleh Allah, maka pasti akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar”.

Abû Mûsâ Al-‘Asy’arî berkata, “Per-umpama an orang yang membaca Alquran tetapi tidak pandai fara’idh, adalah seperti baju burnus yang tidak memiliki kepala. Para ulama Islam sangat peduli dan mem-beri perhatian yang besar terhadap ilmu ini, dengan berdiskusi, mengajarkan, me-rumuskan kaidah-kaidahnya, dan me-nuliskannya dalam literarur (kitab) fikih. Ini semua karena, fara’idh merupakan bagian dari agama Islam, diwahyukan langsung oleh Allah, dan dijelaskan serta dipraktikkan oleh Rasulullah Saw.18

18 Lihat Syaykh Shâlih Fauzan, al-Tahqîqât al-Mardhiyyah fî al-Mabâhits al-Farâdhiyyah, (Ttp.: Jamî‘ah al-Imâm, 1408), h. 13-16.

Page 9: DEKONSTRUKSI SYARIAH: MENGGAGAS HUKUM WARIS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43239/2/DEKONSTRUKSI...pusaka dan tidak termasuk sebagai ahli waris bahkan dianggap

Hasani Ahmad Said: Dekonstruksi Syariah: Menggagas Hukum Waris Perspektif Jender |25

Hukum Waris: antara Upaya Mewujud­kan Keadilan atau Bias Jender a. Hukum Waris Menuju KeadilanKeadilan19 merupakan salah satu asas (doktrin) dalam hukum waris Islam, yang di simpulkan dari kajian mendalam tentang prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam hukum tentang kewarisan. Hal yang paling menonjol dalam pembahasan tentang keadilan menyangkut hukum kewarisan Islam adalah tentang hak sama-sama dan saling mewarisi antara laki-laki dan perempuan serta perbandingan 2:1 (baca 2 banding 1) antara porsi laki-laki dan perempuan.

Pada pokoknya, syariah bertujuan untuk menegakkan perdamaian di muka bumi dengan mengatur masyarakat dan mem-berikan keadilan kepada semua orang. Jadi, perintah dan keadaan merupakan tujuan mendasar bagi syariah.20 Dalam bahasa Indo nesia, keadilan merupakan kata sifat yang menunjukkan perbuatan, perlakuan adil, tidak berat sebelah, tidak berpihak, berpegang kepada kebenaran, proporsional dan lain-lain.21

Asas keadilan dalam hukum kewarisan Islam mengandung pengertian bahwa harus ada keseimbangan antara hak yang diperoleh dan harta warisan dengan kewajiban atau beban kehidupan yang harus ditanggungnya/ditunaikannya di antara para ahli waris,22 karena itu arti keadilan dalam hukum waris Islam bukan diukur dari kesamaan tingkatan antara ahli waris, tetapi ditentu-kan ber dasarkan besar kecilnya beban atau tanggungjawab diembankan kepada mereka,

19 Kata keadilan berasal dari kata “‘adala”, yang dalam Alquran terkadang disebutkan dalam bentuk perintah ataupun dalam bentuk kalimat berita. Lihat Ali Parman, Kewarisan dalam Alquran: Suatu Kajian Hukum dengan Pendekatan Tafsir Tematik, (Jakarta: PT. Raja Rafindo Persada, 1995), h. 73. Lihat pula Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam, h. 23.

20 Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis: Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1991), h. 77.

21 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 6-7.

22 Ahmad Zahari, Tiga Versi Hukum Kewarisan Islam: Syafi’i, Hazairin dan KHI, (Pontianak: Romeo Grafika, 2003), h. 25.

ditinjau dari keumuman keadaan/kehidupan manusia.

Jika dikaitkan dengan definisi keadilan yang dikemukakan Amir Syarifuddin sebagai “keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan”,23 atau perimbangan antara beban dan tanggung jawab di antara ahli waris yang sederajat, maka kita akan melihat bahwa keadilan akan nampak pada pelaksanaan pembagian harta warisan menurut Islam.

Rasio perbandingan 2:1, tidak hanya berlaku antara anak laki-laki dan perempuan saja, melainkan juga berlaku antara suami isteri, antara bapak-ibu serta antara saudara lelaki dan saudara perempuan,24 yang ke-semuanya itu mempunyai hikmah apabila dikaji dan diteliti secara mendalam.25

Dalam kehidupan masyarakat Muslim, laki-laki menjadi penanggung jawab nafkah untuk keluarganya, berbeda dengan peremp-uan. Apabila perempuan tersebut berstatus gadis/masih belum menikah, maka ia menjadi tanggung jawab orang tua atau walinya, ataupun saudara laki-lakinya. Sedangkan setelah seorang perempuan menikah, maka ia berpindah akan menjadi tanggung jawab suaminya (laki-laki).

Syariat Islam tidak mewajibkan pe-rempu an untuk menafkahkan hartanya bagi kepentingan dirinya ataupun kebutuhan anak-anaknya, meskipun ia tergolong mampu/kaya, jika ia telah bersuami,26 sebab mem beri nafkah (tempat tinggal, makanan dan pakaian) keluarga merupakan kewajiban yang dibebankan syara’ kepada suami (laki-laki setelah ia menikah).

23 Juga merupakan salah satu intisari kuliah perdana Capita Selekta Hukum Islam Magister Ilmu Hukum Semester IV, Universitas Muhammadiyah Jakarta yang disampaikan Abdullah Syah tanggal 2 April 2005 di Kampus UMSU-Medan.

24 Cholil Umam, Agama Menjawab Tantangan Berbagai Masalah Abad Modern, (Surabaya: Ampel Suci, 1994), h. 101.

25 Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhyah, (Jakarta: PT. Gunung Agung, 1997), h. 207.

26 Al-Shâbuni, Ilmu Hukum Waris Menurut Ajaran Islam, h. 13.

Page 10: DEKONSTRUKSI SYARIAH: MENGGAGAS HUKUM WARIS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43239/2/DEKONSTRUKSI...pusaka dan tidak termasuk sebagai ahli waris bahkan dianggap

26| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 1 Januari 2013

Dalam Q.s. al-Thalaq [65]: 6, Allah berfirman:

“Tempatkanlah (isterimu) dimana kamu bertempat tinggal berdasarkan kemampuanmu, dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka...”

Dalam Q.s. al- Baqarah [2]: 233, Allah berfirman:

“...Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma ‘ruf...”.

Pasal 34 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan, “Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya“.27

Sedangkan kewajiban isteri pada dasarnya adalah mengatur urusan intern rumah tangga dengan sebaik-baiknya.28 Hal demikian juga berlaku dalam kedudukan sebagai ayah dan ibu pewaris.29

Dalam tingkatan anak, anak laki-laki yang belum menikah, ia diwajibkan memberi mahar30 dan segala persyaratan pernikahan yang dibebankan pihak keluarga calon isteri kepadanya. Setelah menikah, maka beban menafkahi isteri (dan anak-anaknya) kelak akan diletakkan dipundaknya.

Sebaliknya anak perempuan, dengan porsi yang diperolehnya tersebut akan men-

27 Bunyi dan maksud yang sama juga terdapat dalam Pasal 80 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam. Sedangkan pada Pasal 80 ayat (4) KHI diuraikan tentang kewajiban suami memberi nafkah, kiswah, maskawin, biaya kebutuhan rumah tangga, pendidikan anak dan biaya kesehatan, sesuai dengan kemampuan suami.

28 Lihat Pasa134 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 83 ayat (2) KHI.

29 Sayuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafindo, 1995), h. 119.

30 Pasal 30 KHI menyebutkan, “Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita, yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak”.

dapat penambahan dari mahar yang akan didapatkannya apabila kelak ia menikah, selanjutnya setelah menikah ia (pada dasarnya) tidak dibebankan kewajiban menafkahi keluarganya, bahkan sebaliknya dia akan menerima nafkah dari suaminya, kondisi umum ini tidak menafikan keadaan sebaliknya, tapi jumlahnya tidak banyak.

Dari penjelasan tersebut, jika dicontohkan secara konkrit adalah seorang anak laki-laki memperoleh harta warisan bernilai uang Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta), sedangkan saudara perempuannya memperoleh Rp. 100.000.000; (seratus juta) berdasarkan ketentuan 2:1, maka ketika laki-laki tersebut akan menikah, ia akan mengeluarkan biaya keperluan mahar sekitar Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), jadi sisa harta dari bagian warisan yang ada pada laki-laki tersebut berjumlah Rp.150.000.000; (seratus lima puluh juta rupiah). Sebaliknya saudara perempuannya yang memperoleh bagian warisan Rp.100.000.000; (sertus juta rupiah) tersebut akan memperoleh tambahan Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) disebabkan mahar yang diperolehnya dari laki-laki yang menikah dengannya. Dengan demikian maka kedua-duanya (laki-laki dan perempuan) yang memperoleh bagian warisan tersebut sama-sama memperoleh Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah).

Dengan demikian, maka perempuan selain pemilik penuh dari kekayaan yang diwarisi dari orang tuanya dan tidak ada pemaksaan/kewajiban untuk dibelanjakan, juga akan mendapatkan tambahan dari mahar yang diberikan laki-laki yang akan menjadi suaminya serta mendapatkan hak nafkah dari suaminya tersebut.

Hal demikian menunjukkan bahwa keadilan dalam hukum waris Islam bukan saja keadilan yang bersifat distributif semata (yang menentukan besarnya porsi berdasarkan kewajiban yang dibebankan dalam keluarga), akan tetapi juga bersifat commulatif, yakni bagian warisan juga diberikan kepada wanita

Page 11: DEKONSTRUKSI SYARIAH: MENGGAGAS HUKUM WARIS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43239/2/DEKONSTRUKSI...pusaka dan tidak termasuk sebagai ahli waris bahkan dianggap

Hasani Ahmad Said: Dekonstruksi Syariah: Menggagas Hukum Waris Perspektif Jender |27

dan anak-anak. Hal tersebut berbeda dengan hukum warisan Yahudi, Romawi dan juga hukum adat pra-Islam, bahkan sebagiannya hingga sekarang masih berlaku.31

Jika dalam satu kasus seorang anak (juga saudara) perempuan mendapat separuh dari harta peninggalan, pada hakikatnya jauh lebih besar dari perolehan laki-laki, sebab kekayaan laki-laki (termasuk dari bagian warisan) pada akhirnya akan pindah ke tangan wanita dalam bentuk pangan, sandang dan papan, sehingga bahagian laki-laki tersebut akan lebih dahulu habis. Sebaliknya kekayaan perempuan (dari pembagian warisan ter-sebut) akan tetap utuh tidak berkurang, jika diinginkannya,32 karena pada hakikatnya perempuan mengambil bagian (warisan, harta laki-laki) dan tidak memberi apa-apa, ia mendapat bagian warisan dan memperoleh nafkah, tidak sebaliknya.

Perbedaan yang berdasarkan besar kecil-nya beban dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan sebagaimana diuraikan di atas, berdasar hukum kausalitas imbalan dan tanggung jawab, bukan mengandung unsur diskriminasi. Porsi perempuan yang ditentukan tersebut seimbang dengan ke-wajibannya. Sebab dalam Islam, kaum wanita pada dasarnya dibebaskan dari memikul tanggungjawab ekonomi keluarga. Oleh karena itu, jika seseorang menerima bagian waris tinggi, berarti hal itu merupakan manifestasi dari tingkat kewajibannya, yang merupakan konsep perbedaan secara sosiologis dalam masyarakat Islam.33

Di Indonesia pernah dikemukakan wacana yang menyatakan perbandingan 2:1 bukan ke tentuan yang bersifat pasti dan tetap, sehingga dapat dikompromikan, diantaranya Zainuddin Sardar yang menyatakan bahwa

31 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h. 124-125.

32 Nashruddin Baidan, Tafsir bi al-Ra yi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h. 65.

33 Zainuddin Sardar, Masa Depan Islam, (Bandung: Pustaka, 1987), h. 203 dan 342.

setiap rumusan hukum yang terdapat pada nash Alquran dan Hadis terdiri dan unsur-unsur:a. Unsur Normatif yang bersifat abadi dan

universal, berlaku untuk semua tempat dan waktu serta tidak berubah dan tidak dapat diubah.

b. Unsur Hudûd yang bersifat elastis sesuai dengan keadaan waktu, tempat dan kondisi sebagaimana kaidah, Perubahan hukum (dapat terjadi) berdasarkan pe-rubahan masa, tempat dan keadaan.34

Oleh karena itu yang abadi dan universal ialah dalam hukum waris Islam diantaranya norma tentang hak dan kedudukan anak laki-laki dan perempuan untuk mewarisi harta warisan orang tua. Sedangkan mengenai besarnya bagian dalam perbandingan laki-laki dan perempuan dalam segala tingkatan yang sederajat merupakan aturan hudud yang dapat dilenturkan.

Oleh karena itu yang abadi dan universal ialah dalam hukum waris Islam diantaranya norma tentang hak dan kedudukan anak laki-laki dan perempuan untuk mewarisi harta warisan orang tua. Sedangkan mengenai besarnya bagian dalam perbandingan laki-laki dan perempuan dalam segala tingkatan yang sederajat merupakan aturan hudûd yang dapat dilenturkan.

Meski demikian, pada kenyataannya rumus an Pasal 176 KHI yang dijadikan hukum materil di lingkungan Peradilan Agama, ketentuan 2:1 tidak bergeser.35 Ketentuan 176 KHI yang tetap mempertahankan forsi 2:1 antara anak laki-laki dan anak perempuan dilatarbelakangi para penyusun ataupun ahli hukum Islam yang terlibat dalam penyusunan pasal 176 KHI meyakini ketentuan ayat tersebut bersifat sharîh/tafsîl dan qath’i, berdasarkan pada teori standar konvensional yang menyebutkan “perbedaan

34 Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân al-Suyûthî, al-Asybâh wa al-Nadzâ’ir, (Indonesia: Syirkah Nur Asia, t.t.), h. 72.

35 Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân al-Suyûthî, al-Asybâh wa al-Nadzâ’ir, h. 121.

Page 12: DEKONSTRUKSI SYARIAH: MENGGAGAS HUKUM WARIS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43239/2/DEKONSTRUKSI...pusaka dan tidak termasuk sebagai ahli waris bahkan dianggap

28| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 1 Januari 2013

jumlah bagian anak perempuan dengan anak laki-laki berdasarkan hukum imbalan dan tanggung jawab”, seperti yang telah diuraikan di atas.

Dalam hukum waris Islam juga di-tentukan bagian Ibu dan bapak yang berhak mewarisi bersama anak dengan ke-turunannya, dalam arti Ibu dan bapak sama-sama mewarisi dengan porsi yang berimbang, yakni sama-sama memperoleh 1/6 dari harta warisan, apabila pewaris meninggalkan anak laki-laki. Jika tidak ada, maka ibu mendapat 1/3 dan untuk bapak sisanya 2/3, karena bapak mempunyai kewajiban dan tanggung jawab memberi nafkah untuk ibu.36

Walaupun dalam hukum waris Islam ditentukan forsi 1:1 (satu banding satu) antara bagian ayah dan bagian ibu, yakni sama-sama memperoleh 1/6 bagian, akan tetapi dalam pelaksanaannya/penerapannya masih memperhatikan keadilan atas dasar hak dan kewajiban, yakni beban dan tanggung jawab laki-laki lebih besar dibanding perempuan.

Oleh karena itu akan, dinilai adil jika bagian ayah lebih besar dibandingkan bagian ibu, seperti dalam kasus apabila pewaris meninggalkan ahli waris: suami, ibu dan bapak. Dalam kasus demikian, asal masalah adalah enam, di mana suami memperoleh ½ (3 bagian), ibu memperoleh 1/3 dari sisa (1 bagian) dan ayah mendapat sisa (2 bagian).

b. Hukum Waris Bias Isu Jender; Respon Terhadap Masyarakat Modern

Masyarakat modern yang dimaksud di sini ialah paham sekulerisme, liberalisme dan pluralisme. Tokoh-tokoh mereka baik dari kalangan orientalis maupun oksidentalis sangat kukuh dan gigih dalam “mengkritisi” syariat Islam, guna mengadaptasikan syariat Islam dengan kehidupan demokrasi yang sekuler. Oleh karena itu, dengan jiwa militan dan semangat radikal, mereka me-

36 Mahmud Yunus, Hukum Warisan dalam Islam., h. 92.

lakukan reformulasi terhadap ajaran Islam dan umat Islam. Mereka mencoba fikih alternatif sebagai respon atas berkembangnya budaya masyarakat yang lebih modern, dan memaksanya untuk mengkaji ulang dengan pendekatan utama: jender, pluralisme, hak asasi manusia dan demokrasi.

Semua itu hanya didasarkan pada per-spektif yang sangat sederhana dan kuno, yaitu demi merespon masyarakat pluralistik (multi etnik dan multi kultural) agar ter-wujud masyarakat yang adil, egaliter, dan demokratis. Dalam rumusan mereka tentang syariat Islam, bahwa semua warga negara, apapun agamanya dan sesembahannya me-miliki kedudukan yang sama dan memperoleh perlakuan yang adil (sama), kaum minoritas dan perempuan dilindungi dan dijamin hak-haknya secara setara.37

Menurut hasil penelitian mereka, syariat Islam yang “purba” itu, secara jelas sangat menyalahi prinsip dasar universal, yaitu: prinsip persamaan (al-musâwah), per saudara-an (al-ikhwah) dan keadilan (al-‘adl), serta gagasan dasar bagi pembentukan masya-rakat modern, seperti pluralisme, kesetara an jender, HAM, demokrasi dan egalitarianisme. Bahkan menurut keyakinan mereka, hukum Islam bertentangan dengan hukum nasional dan konversi internasional. Oleh karena itu, mereka berpendapat syariat Islam adalah diskriminatif, anti demokrasi, usang, formalistik, radikalistik, fundamentalistik, teosentris, berwajah keras, kaku dan rigid, intoleran, tidak relevan dan bernuansa konfliktual.38

Di antara syariat Allah yang dianggap diskriminatif adalah hukum perkawinan dan hukum kewarisan. Mereka mengatakan, agama

37 Lihat Tim Pengarusutamaan Jender Departemen Agama RI, Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam, Jakarta, 2004, Bab I.

38 Lihat Tim Pengarusutamaan Jender Departemen Agama RI, Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam, Jakarta, 2004, Bab 2, Nur Cholis Madjid, dkk., Fiqih Lintas Agama, Paramadina, Cet. I, 2003, Mukaddimah dan penutup ; Agus Hasan Bashari, Koreksi Total Fiqih Lintas Agama (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2004), Cet. II., h 9-55

Page 13: DEKONSTRUKSI SYARIAH: MENGGAGAS HUKUM WARIS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43239/2/DEKONSTRUKSI...pusaka dan tidak termasuk sebagai ahli waris bahkan dianggap

Hasani Ahmad Said: Dekonstruksi Syariah: Menggagas Hukum Waris Perspektif Jender |29

Islam yang menafikan adanya hak saling mewarisi antara muslim dan non muslim bertentangan dengan prinsip demokrasi, yaitu sebuah gagasan yang percaya pada prinsip kebebasan (al-hurriyyah, liberti), ke setara an (al-musâwah, egalitarianisme), dan persaudaraan (al-ukhuwah), keadilan (al-‘adalah), pluralisme (al-ta‘addudiyyah) dan kedaulatan manusia untuk mengambil keputusan menyangkut urusan publik.39

Mereka mengatakan, fikih Islam sangat tidak toleran terhadap agama lain. Padahal ayat.“..dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman” (al-Nisâ’: 141) Yang mereka gunakan tidak menujukkan langsung pada pengharaman waris beda agama, dan yang ada hanyalah hadits yang bersifat umum. Maka menurut mereka, hukum waris harus dikembalikan pada semangat awalnya, yaitu dalam konteks keluarga (ulû al-arham), keturunan (nasab) dan menantu (shihr) apapun agamanya.40

Mereka juga mengatakan, hukum Islam yang memberikan hak waris kepada anak yang lahir dari zina (anak di luar pernikahan) hanya dari ibunya sebagaimana yang dibakukan dalam kompilasi hukum Islam Indonesia. Pasal 186, bertentangan dengan prinsip per lindungan anak dan hak asasi manusia. Oleh karena itu, mereka mengusulkan agar anak tetap memiliki hak waris dari ayah biologisnya.41

Mereka juga mengatakan, pembagian waris bagi anak laki-laki dan perempuan 2:1 adalah diskriminatif, bertentangan dengan prinsip kesetaraan jender (al-musâwah al-jinsiyah) dan keadilan sosial. Hukum yang seperti ini hanya akan memarginalkan dan mendehumanisasi perempuan, men-diskriminasi dan mensubordinasi perempuan.

39 Lihat pendapat mereka dalam Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam, Bab II, pembahasan VII

40 Lihat, Fikih Lintas Agama, h. 165-16741 Lihat Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam, Bab

II, Pembahasan V, Pasal 16 dalam Draft KHI Liberal.

Hukum yang dilahirkan oleh masyarakat dan budaya patriarkhis, di mana laki-laki selalu menjadi pusat kuasa dan misoginis (kebencian terhadap perempuan) sering dianggap wajar dalam penafsiran.

Oleh karena itu mereka mengusulkan, agar proporsi pembagian laki-laki perempuan sama 1:1 atau 2:2, seperti yang mereka tuangkan dalam pasal 8 Kompilasi Hukum Islam mereka. Untuk tujuan ini, menurut mereka, tidak cukup sekedar melakukan tafsir ulang, tetapi harus melalui proses dekonstruksi (pembongkaran) terhadap bebatuan idiologi yang melilitnya berabad-abad.42 Inilah kondisi syariat Islam yang menurut mereka bisa masculine-centris yang didominasi oleh fikih dan tafsir maskulin. Artinya sudah terjadi semacam operasi kelamin atas ayat-ayat suci.43 Kini, tibalah saatnya, menurut mereka, untuk mengkontekstualisasikan ayat-ayat hukum yang praktis-temporal, partikular atau teknis operasional (juz’iyyah) agar sesuai dengan nilai-nilai universal dan terbebas dari muatan lokal Arabisme.

Dokenstruksi Syariah: Analisa Hukum Waris 2:1 Format Islam yang unik dalam teks Ilahi yang konstan ini, syariat yang baku yang ditetapkan oleh Allah, melestarikan sifat ke-islaman (Islâmiyah) dan ketuhanan (Ilâhiyah) demi referensi dan sumber selama nya. Sedang kan perkara-perkara yang bersifat berubah (mutaghayyirât), diserahkan kepada fikih (pemahaman ulama) yang ber kembang dan terus mengalami perubahan sesuai zaman nya. Formasi Islam seperti inilah yang menempatkan nas (Alquran dan Hadis) dengan dinamika interpretasi manusia ter-hadap nas Ilahi yang konstan.

Syariat Islam menggabungkan antara tsabat

42 Lihat Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam, Bab II, Pembahasan VII, poin kesetaraan jender ; Neo Ushul Fiqh ; Menuju Ijtihad Kontekstual. h. 271.

43 Lihat Gugatan Amina Wadud atas tafsir dan fiqih maskulin, Islamlib.com, diambil pada 08-11-2009.

Page 14: DEKONSTRUKSI SYARIAH: MENGGAGAS HUKUM WARIS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43239/2/DEKONSTRUKSI...pusaka dan tidak termasuk sebagai ahli waris bahkan dianggap

30| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 1 Januari 2013

al-wadh al-Ilahi (ketetapan, ke tentu an ilahi) dan tathawwur al-ijtihâd al-fiqhi (perkembangan ijtihad fikih). Arti nya, menggabungkan antara ketetapan marjâ’iyyah (referensi) dan nas (teks). Dengan per kembang an ijtihad fikih yang sejalan dengan perubahan-perubahan yang terjadi sepanjang zaman.

Ketika memperhatikan contoh-contoh di atas, dalam hal ini warisan wanita, maka kita semakin yakin tentang kurang tepatnya klaim penerapan teori modern atas Alquran yang suci, atas hukum-hukum syariat yang terdapat didalamnya. Tidak benar bila difahami bahwa hukum waris dalam Islam telah merendahkan wanita, sehingga dikatakan bahwa hukumanya relevan dengan masa lalu dan tidak relevan dengan masa kini dan yang akan datang.

Yang perlu ditekankan dan digarisbawahi pada analisa akhir 2:1 di sini adalah bahwa wanita di dalam Islam tidak selamanya mewarisi separuh dari laki-laki. Alquran tidak mengatakan. “Allah mensyaratkan bagi-mu tentang (pembagian pusaka untuk) para ahli waris, yaitu; bagian seorang laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan”. Akan tetapi hal itu di khususkan pada kondisi anak-anak, bukan pada seluruh ahli waris. Allah berfirman:

“Allah mensyaratkan bagimu tentang (pem-bagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu:

bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. Pembagian-pembagian tersebut di atas, sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dbayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (al-Nisâ’ [4]: 11).

Adapun bila ketentuannya dimaksudkan untuk seluruh ahli waris, maka Alquran menggunakan kata-kata yang umum, yaitu lafazh al-nashib (bagian), yakni masing-masing laki-laki dan perempuan memiliki bagian sama. Allah berfirman:

“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan” (al-Nisa [4]: 7)

Ukuran perbedaan bagian waris tidak ada hubungannya dengan jenis kelamin laki-laki atau perempuan secara mutlak. Tidak seperti yang disangka oleh kebanyakan orang, akan tetapi ukuran perbedaan ini ada tiga: 1. Tingkat kekerabatan. Semakin dekat

tingkat kekerabatan (hubungan nasab-

Page 15: DEKONSTRUKSI SYARIAH: MENGGAGAS HUKUM WARIS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43239/2/DEKONSTRUKSI...pusaka dan tidak termasuk sebagai ahli waris bahkan dianggap

Hasani Ahmad Said: Dekonstruksi Syariah: Menggagas Hukum Waris Perspektif Jender |31

nya) dengan si mayit, maka semakin tinggi hak nya dalam waris.

2. Posisi generasi pewaris dalam mata rantai generasi. Ini adalah hikmah Ilahiyyah yang sangat tinggi dalam meletakkan dasar waris menurut Islam. Semakin kecil seorang pewaris, dari generasi yang menyongsong kehidupan dan me -mikul beban-bebannya, yang menghadapi tanggung jawab yang terus berkembang, maka bagian warisnya semakin besar. Maka putra si mayit mewarisi lebih banyak dari ayah si mayit, padahal ke-duanya adalah laki-laki. Puteri si mayit mewarisi lebih banyak dari ibunya, padahal keduanya sama-sama wanita. Bahkan putri si mayit mewarisi lebih banyak daripada ayah si mayit.

3. Faktor ketiga dalam membedakan bagian-bagian waris adalah beban finansial yang dipikulnya sesuai dengan syariat Islam. Apabila tingkat kekerabatannya sama dan posisi generasi pewarisnya sama seperti posisi anak, dengan pembedaan antara anak laki-laki yang dibebani untuk menafkahi istri, keluarga dan anak-anak, dengan anak perempuan yang akan dijamin nafkahnya dan nafkah anak-anaknya oleh suaminya. Maka pada kondisi seperti ini bagian laki-laki, sama dengan bagian dua perempuan. Di dalam pembagian ini sama sekali tidak ada unsur diskriminasi, tetapi yang ada justru mengistimewakan perempuan sebagai bentuk kehati-hatian karena lemahnya.Inilah fakta-fakta kebenaran dalam

waris Islam yang tidak diketahui atau se-ngaja dilupakan oleh para kaum liberalis yang mengajak untuk mendekontruksi hukum waris dan mereinterpretasi ayat-ayat waris dengan teori historisitas teks. Inilah fakta-fakta kebenaran waris Islam dengan menjadikan wanita dalam daftar ahli waris, yang mewarisi bersama-sama kaum laki-laki sesuai dengan kondisinya. Perempuan mewarisi sama dengan laki-laki,

atau lebih banyak dari laki-laki. Perempuan mewarisi sedangkan laki-laki tidak lebih dari tiga puluh keadaan dari keadaan-keadaan waris Islam, sementara perempuan mewarisi separuh dari waris laki-laki hanya dalam empat keadaan.

PenutupAzas “Keadilan berimbang”, dalam hukum waris Islam menentukan laki-laki dan perempuan sama-sama berhak tampil sebagai ahli waris, dengan porsi yang berbeda. Berdasarkan nash yang qath’i, maka adil dan berimbang yang dimaksudkan dalam hukum waris Islam adalah bagian laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan (porsi 2:1 antara laki-laki dan perempuan).

Perbedaan porsi tersebut tidak disebabkan persoalan jender, melainkan atas perbedaan tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepada laki-laki lebih besar dibandingkan dengan yang dibebankan kepada perempuan dalam konteks masyarakat Islam, sesuai teori standar konvensional yang menyebutkan: “Semakin besar dan berat beban yang dipikul seorang laki-laki, maka semakin besar pula hak yang akan diperolehnya”, disebabkan biaya yang harus dikeluarkannya untuk mengemban tanggung jawab dimaksud lebih besar.

Pustaka Acuan‘Abduh, Muhammad, al-Manar, al-Qâhirah:

Dâr al-Manâr, 1367.Baidan, Nashruddin, Tafsir bi al-Ra’yi,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.Bashari, Agus Hasan, Koreksi Total Fiqih

Lintas Agama, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2004.

Fadl, el-, Khaled M. Abou, Atas Nama Tuhan: dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, Pent. R. Cecep Lukman Hakim, Jakarta: Serambi, 2004.

Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan,

Page 16: DEKONSTRUKSI SYARIAH: MENGGAGAS HUKUM WARIS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/43239/2/DEKONSTRUKSI...pusaka dan tidak termasuk sebagai ahli waris bahkan dianggap

32| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 1 Januari 2013

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990.

Fauzan, Syaikh Shâlih, al-Tahqîqât al-Mardhiyyah fi al-Mabâhits al-Faradhiyyah, Jamî’ah al-Imâm, 1408 H.

Forum Kajian Kitab Kuning (FK3), Wajah Baru Relasi Suami-Istri, Yogyakarta: LKiS, 2001.

Iyas, Muhammad bin, Badâiz Zuhûr fi Waqâid Duhûr, Bayrut: Maktabah Saqafiyyah, t.t.

Islamlib.com, Gugatan Amina atas Tafsir dan Fikih Maskulin, diakses pada 08-11-2009

Ibn Khaldun, Muqaddimah, Bayrut: Dâr al-Fikr, t.t.

Lips, Hilary M., Sex and Jender an Introduction, London: My Field Publishing Company, 1993.

Muhammad, Husein, Fiqh Perempuan, Yogyakarta: LKiS, 2001.

Muslehuddin, Muhammad, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis; Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1991.

Madjid, Nurcholis, dkk., Fiqih Lintas Agama, Jakarta: Paramadina, 2003.

Neuvelt, Victoria, (ed.), Webster’s New World Dictionary, Webster’s New World Cleveland, New York, 1984.

Parman, Ali, Kewarisan dalam Alquran; Suatu Kajian Hukum dengan Pendekatan Tafsir Tematik, Jakarta: PT. Raja Rafindo Persada, 1995.

Rofik, Ahmad, Fiqh Mawaris, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998.

Shabûnî, al-, Muhammad ‘Ali, Ilmu Hukum Waris Menurut Ajaran Islam, Surabaya: Mutiara Ilmu, t.t.

Syarifuddin, Amir, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau, Jakarta: PT. Gunung Agung, 1998.

Subhan, Zaitunah, Menggagas Fiqih Pemberdayaan Perempuan, Jakarta: el-Kahfi, 2008.

____, Tafsir Kebencian: Studi Bias Jender dalam Studi al-Quran, Yogyakarta: LKiS, 1999.

Suma, Muhammad Amin, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.

Sardar, Zainuddin, Masa Depan Islam, Bandung: Pustaka, 1987.

Suyûthî, al-, Jalâl al-Din ‘Abd al-Rahman, aI-Asybâh wa al-Nadzâ’ir, Indonesia: Syirkah Nur Asia, t.t.

Thalib, Sayuti, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafindo, 1995

Tim Pengarusutamaan Jender Departemen Agama RI, Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam, Jakarta, 2004.

Thabarî, al-, Imâm Ibn Ja‘far, Jamî‘ al-Bayân ‘an Ta’wîl ayi al-Qur’ân, al-Qahira: Tnp., 1057 H./1969 H.

Umam, Cholil, Agama Menjawab Tantangan Berbagai Masalah Abad Modern, Surabaya: Ampel Suci, 1994.

Umar, Nasarudin, Argumen Kesetaraan Jender, Jakarta: Paramadina, 2001.

____, Teologi Jender: Antara Mitos dan Kitab Suci, Jakarta: Pustaka Cicero, 2003.

Yahya, Idris Jakfar dan Taufik, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 1995.

Yunus, Mahmud, Hukum Warisan dalam Islam, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1998.

Zahari, Ahmad, Tiga Versi Hukum Kewarisan Islam: Syafi’i, Hazairin dan KHI, Pontianak: Romeo Grafika, 2003

Zuhdi, Masjfuk, Masâil al-Fiqhyah, Jakarta: PT. Gunung Agung, 1997.

____, Studi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1993.