BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Limbah tekstil yang dihasilkan industri pencelupan sangat berpotensi mencemari lingkungan. Hal ini disebabkan karena air limbah tekstil tersebut mengandung bahan-bahan pencemar yang sangat kompleks dan intensitas warnanya tinggi. Nilai biological oxygen demand (BOD) dan chemical oxygen demand (COD) untuk limbah tekstil berkisar antara 80-6.000 mg/L dan 150- 12.000 mg/L (Azbar et al., 2004). Nilai tersebut melebihi ambang batas baku mutu limbah cair industri tekstil jika ditinjau dari KepMen LH No. 51/MENLH/10/1995. Keberadaan limbah tekstil dalam perairan dapat mengganggu penetrasi sinar matahari, akibatnya kehidupan organisme dalam perairan akan terganggu dan sekaligus dapat mengancam kelastarian ekosistem akuatik. Teknologi pengolahan limbah tekstil biasanya dilakukan secara kimia dan fisika. Pengolahan limbah tekstil secara kimia dan fisika cukup efektif untuk menghilangkan warna, akan tetapi ada beberapa kekurangannya yaitu biaya mahal, pemakaian bahan kimia yang tidak sedikit dan menimbulkan lumpur yang banyak. Oleh karena itu perlu dicari teknologi pengolahan limbah yang lebih ramah lingkungan. Saat ini teknologi pengolahan limbah tekstil yang berkembang adalah pengolahan limbah secara biologi, yaitu dengan memanfaatkan mikroorganisme untuk mendegradasi molekul zat warna tekstil yang memiliki struktur kompleks menjadi molekul yang lebih sederhana (Manurung dkk, 2004). 1
64
Embed
DEGRADATION OF TEXTILE DYEING WASTE USING WHITE ROT ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Limbah tekstil yang dihasilkan industri pencelupan sangat berpotensi
mencemari lingkungan. Hal ini disebabkan karena air limbah tekstil tersebut
mengandung bahan-bahan pencemar yang sangat kompleks dan intensitas
warnanya tinggi. Nilai biological oxygen demand (BOD) dan chemical oxygen
demand (COD) untuk limbah tekstil berkisar antara 80-6.000 mg/L dan 150-
12.000 mg/L (Azbar et al., 2004). Nilai tersebut melebihi ambang batas baku
mutu limbah cair industri tekstil jika ditinjau dari KepMen LH No.
51/MENLH/10/1995. Keberadaan limbah tekstil dalam perairan dapat
mengganggu penetrasi sinar matahari, akibatnya kehidupan organisme dalam
perairan akan terganggu dan sekaligus dapat mengancam kelastarian ekosistem
akuatik.
Teknologi pengolahan limbah tekstil biasanya dilakukan secara kimia dan
fisika. Pengolahan limbah tekstil secara kimia dan fisika cukup efektif untuk
menghilangkan warna, akan tetapi ada beberapa kekurangannya yaitu biaya
mahal, pemakaian bahan kimia yang tidak sedikit dan menimbulkan lumpur yang
banyak. Oleh karena itu perlu dicari teknologi pengolahan limbah yang lebih
ramah lingkungan. Saat ini teknologi pengolahan limbah tekstil yang berkembang
adalah pengolahan limbah secara biologi, yaitu dengan memanfaatkan
mikroorganisme untuk mendegradasi molekul zat warna tekstil yang memiliki
struktur kompleks menjadi molekul yang lebih sederhana (Manurung dkk, 2004).
1
2
Keunggulan menggunakan mikroorganisme dibandingkan dengan cara kimia dan
fisika adalah murah dan juga ramah lingkungan. Mikroorganisme yang sering
digunakan untuk merombak zat warna tekstil adalah jamur, contohnya adalah
jamur pendegradasi kayu (Zhao, 2004).
Jamur pendegradasi kayu mempunyai kemampuan mendegradasi
komponen-komponen kayu, yaitu lignin dan selulosa. Kelompok jamur
pendegradasi kayu yang dilaporkan mampu mendegradasi lignin adalah jamur
lapuk putih (white-rot fungi) (Paul, 1992). Selain bermanfaat untuk mendegradasi
senyawa lignin, jamur lapuk putih juga bermanfaat untuk mendegradasi zat warna
tekstil (Zhao, 2004). Salah satu jenis jamur lapuk putih adalah jamur
Daedaleopsis eff. confragosa. Sampai saat ini belum ada informasi tentang
kemampuan jamur Daedaleopsis eff. confragosa untuk mendegradasi limbah zat
warna tekstil. Tetapi dari data kualitatif hasil uji pendahuluan, jamur ini terbukti
dapat digunakan dalam proses biodegradasi limbah zat warna tekstil. Berdasarkan
hasil kajian Dayaram dan Dasgupta (2007), diketahui bahwa jamur Polyporus
rubidus merupakan salah satu jenis jamur lapuk putih yang dilaporkan mampu
mengdegradasi limbah tekstil dengan efektif karena enzim laccase yang
dihasilkan oleh jamur tersebut.
Kemampuan jamur lapuk putih dalam mendegradasi limbah tekstil
berkaitan erat dengan enzim lignolitik ekstraseluler yang dihasilkan jamur
tersebut, yaitu enzim lignin peroksidase (LiP), mangan peroksidase (MnP) dan
laccase (Hakala, 2007). Enzim lignolitik dapat merombak senyawa aromatik,
polimer sintetik, dan zat warna melalui reaksi redoks, dimana enzim lignolitik
3
akan mengoksidasi secara sempurna senyawa-senyawa karbon menjadi CO2 dan
H2O (Siswanto et al., 2007).
Degradasi limbah tekstil menggunakan jamur lapuk putih dipengaruhi oleh
faktor-faktor seperti pH, konsentrasi jamur, lama inkubasi dan suhu. Pada kondisi
pH optimum, jamur akan tumbuh dengan baik dan menghasilkan enzim yang
optimal, sehingga proses degradasi limbah akan berlangsung dengan cepat (Ali
dan Muhammad, 2008). Begitu juga penambahan konsentrasi jamur yang sesuai
dapat mempengaruhi kerja jamur dalam proses degradasi limbah tekstil. Lama
inkubasi juga mempengaruhi proses degradasi limbah tekstil karena pengaruh
lama waktu kontak jamur dengan limbah tekstil, sehingga untuk memperoleh
efisiensi degradasi limbah tekstil yang besar oleh jamur Daedaleopsis eff.
confragosa maka perlu ditentukan terlebih dahulu kondisi optimumnya.
Dalam rangka pengendalian pencemaran lingkungan oleh limbah industri,
Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan KepMen LH No.
51/MENLH/10/1995 tentang baku mutu limbah industri. Perundang-undangan
tersebut mewajibkan setiap usaha atau kegiatan melakukan pengolahan limbah
sampai memenuhi persyaratan baku mutu air limbah sebelum dibuang ke
lingkungan. Untuk mengetahui apakah hasil degradasi limbah tekstil oleh jamur
Daedaleopsis eff. confragosa telah memenuhi persyaratan baku mutu tersebut,
maka dilakukan pengujian yang meliputi uji BOD5, COD, TSS, pH, dan warna.
Berdasarkan hal tersebut di atas, dalam penelitian ini akan dikaji kondisi
optimum degradasi limbah tekstil oleh jamur Daedaleopsis eff. confragosa serta
4
kualitas hasil degradasi limbah tekstil yang meliputi COD, BOD5, TSS, pH, dan
warna.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, dapat dirumuskan permasalahan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut.
(1) Bagaimanakah kondisi optimum (pH, konsentrasi jamur, dan lama inkubasi)
degradasi limbah pencelupan tekstil menggunakan jamur Daedaleopsis eff.
confragosa?
(2) Bagaimanakah kualitas hasil degradasi limbah pencelupan tekstil dengan
menggunakan jamur Daedaleopsis eff. confragosa jika dilihat dari parameter
COD, BOD5, TSS, pH, dan warna?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar
kemampuan jamur Daedaleopsis eff. confragosa untuk mendegradasi limbah
pencelupan industri tekstil.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
(1) Untuk menentukan kondisi optimum (pH, konsentrasi jamur, dan lama
inkubasi) dari degradasi limbah pencelupan tekstil menggunakan jamur
Daedaleopsis eff. confragosa.
5
(2) Untuk menentukan kualitas hasil degradasi limbah pencelupan tekstil dengan
menggunakan jamur Daedaleopsis eff. confragosa dilihat dari parameter
COD, BOD5, TSS, pH, dan warna.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat secara teori atau akademik dalam penelitian ini adalah
memberikan informasi mengenai kondisi optimum degradasi limbah tekstil
menggunakan jamur Daedaleopsis eff. confragosa dan sekaligus mengetahui
kualitas hasil degradasi dilihat dari parameter COD, BOD5, TSS, pH, dan warna
serta sebagai kajian dalam penelitian lebih lanjut.
Manfaat praktis dalam penelitian ini adalah:
(1) Memberikan informasi tentang penggunaan jamur Daedaleopsis eff.
confragosa untuk mendegradasi limbah pencelupan tekstil.
(2) Memberikan informasi ilmiah tentang faktor-faktor yang mempengaruhi
aktivitas jamur dalam mendegradsi limbah zat warna tekstil.
(3) Memberikan sumbangan ilmiah terhadap bidang bioteknologi pengendalian
limbah cair industri tekstil.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Zat Warna Tekstil
Limbah tekstil mengandung bahan-bahan yang berbahaya bila di buang ke
lingkungan, terutama daerah perairan. Sebagian besar bahan yang terdapat dalam
limbah tekstil adalah zat warna, terutama zat warna sintetik. Zat warna sintetik
merupakan molekul dengan sistem elektron terdelokalisasi dan mengandung dua
gugus yaitu kromofor dan auksokrom. Kromofor berfungsi sebagai penerima
elektron, sedangkan auksokrom sebagai pemberi elektron yang mengatur
kelarutan dan warna. Gugus kromofor yang penting yaitu gugus azo (-N=N-),
gugus karbonil (-C=O), gugus etilen (-C=C-), dan gugus nitro (-NO2). Sedangkan
beberapa gugus auksokrom yang penting adalah –NH2, -COOH, -SO3H dan -OH
(Ramachandran et al., 2009). Saat ini, terdapat bermacam-macam jenis zat warna
sintetik yang penggunaannya disesuaikan dengan jenis serat yang akan dicelup,
ketahanan warna yang dikehendaki, faktor-faktor teknis dan ekonomis lainnya.
Penggolongan zat warna tekstil berdasarkan cara pencelupannya disajikan pada
Tabel 2.1.
6
7
Tabel 2.1 Penggolongan Zat Warna Menurut Sifat dan Cara Pencelupannya
No Golongan Zat Warna Sifat
1. Zat warna direct Mempunyai daya ikat dengan serat selulosa, pencelupan dilakukan secara langsung dalam larutan dengan zat-zat tambahan yang sesuai.
2. Zat warna mordant Mempunyai daya ikat yang lemah dengan serat. Pada proses pencelupan biasanya dilakukan dengan penambahan krom pada zat warna sehingga membentuk kompleks logam.
3. Zat warna reactive Mempunyai gugus reaktif yang dapat membentuk ikatan kovalen kuat dengan serat selulosa, protein, poliamida dan polyester, dilakukan pada suhu rendah dan tinggi.
4. Zat warna penguat Mempunyai daya ikat yang kuat dengan serat selulosa, warna terbentuk dalam serat setelah ditambahkan garam penguatnya.
5. Zat warna asam Memiliki daya ikat yang kuat dengan serat protein dan poliamida. Pencelupan dilakukan pada kondisi asam dan secara langsung ditambahkan pada serat
6. Zat warna basa Memiliki daya ikat yang kuat dengan serat protein. Pencelupan dilakukan pada kondisi basa dan secara langsung ditambahkan pada serat.
7. Zat warna belerang Memiliki daya ikat yang kuat dengan serat selulosa. Pada gugus sampingnya mengandung belerang yang mampu berikatan kuat dengan serat.
(Sumber: Zille, 2005)
2.2 Proses Pencelupan Tekstil dan Karakteristik Limbah
Kandungan zat-zat pencemar dalam limbah tekstil tergantung pada proses
yang dilakukan yaitu proses pemintalan benang, penenunan dan pencelupan.
Pemintalan benang adalah proses pembuatan benang dari serat dari kapas, serat
poliester atau bahan lainnya. Penenunan adalah penyusunan benang menjadi kain.
8
Kain hasil penenunan selanjutnya mengalami proses pencelupan untuk
meningkatkan nilai komersial kain.
Gambar 2.1 Proses pencelupan kain dan karakteristik limbah tekstil
(Sumber: Ramachandran, 2009)
Proses pencelupan kain pada dasarnya meliputi penghilangan kanji
Keterangan : 1. Nila dengan huruf (a, b, c) yang berbeda pada kolom yang sama adalah berbeda nyata
(P<0,05) .2. Nila dengan huruf kapital (A, B, C, D) yang berbeda pada baris yang sama adalah berbeda
nyata (P<0,05).
Tabel 5.2 memperlihatkan rata-rata kadar COD pada variasi pH
mengalami peningkatan. Pada pH 4, 6, 8, dan 10 rata-rata kadar COD berturut-
turut adalah 42,23; 51,84; 58,45; 76,79 mg/L, dimana kadar COD pada masing-
masing pH menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). Hasil optimim
diperoleh pada pH 4 dengan rata-rata kadar COD sebesar 42,23 mg/L. Walaupun
demikian pada pH 6 – 8 menunjukan nilai COD sebesar 51,84 – 58,45. Ini
menunjukan bahwa pada pH tersebut nilai COD-nya masih jauh di bawah baku
mutu limbah cair berdasarkan Kepmen LH Nomor: 51/Men.LH/10/1995. Pada
variasi konsentrasi penambahan jamur yaitu konsentrasi 3, 6, dan 9% berturut-
turut kadar COD adalah 58,10; 52,69; 61,20 mg/L. Kadar COD pada variasi
konsentrasi penambahan jamur juga menunjukkan perbedaan yang nyata
(P<0,05). Kadar COD terkecil berada pada konsentrasi penambahan jamur 6%
dengan rata-rata kadar COD sebesar 52,69 mg/L, sehingga kondisi optimum
degradasi limbah tekstil terjadi pada pH 4 dan konsentrasi 6% dengan kadar COD
sebesar 37,87±0,56 mg/L.
Tabel 5.2. Kadar COD Limbah Tekstil pada Variasi pH dan Konsentrasi Jamur Setelah 7 Hari Inkubasi
37
Konsentrasi JamurpH
Rata-rata 4 6 8 10
3% 79,40% 74,96% 72,67% 63,00% 72,51%a1)
6% 81,66% 76,56% 75,18% 64,52% 74,48%b
9% 77,54% 73,12% 67,10% 60,85% 69,65%c
Rata-rata 79,54%A2) 74,88%B 71,65%C 62,79%D
Keterangan : 1. Nila dengan huruf (a, b, c) yang berbeda pada kolom yang sama adalah berbeda nyata
(P<0,05) .2. Nila dengan huruf kapital (A, B, C, D) yang berbeda pada baris yang sama adalah berbeda
nyata (P<0,05).
Tabel 5.3 memperlihatkan rata-rata efisiensi penurunan kadar COD pada
variasi pH mengalami penurunan. Pada pH 4, 6, 8, dan 10 rata-rata efisiensi
penurunan kadar COD berturut-turut adalah 79,54; 74,88; 71,65; dan 62,79%.
Efisiensi penurunan kadar COD pada masing-masing pH menunjukkan perbedaan
yang nyata (P<0,05), dimana efisiensi penurunan kadar COD terbesar dengan
rata-rata 79,54% terjadi pada pH 4. Pada variasi konsentrasi penambahan jamur
yaitu konsentrasi 3, 6, dan 9% berturut-turut efisiensi penurunan kadar COD
adalah 72,51; 74,48; 69,65%. Efisiensi penurunan kadar COD pada variasi
konsentrasi penambahan jamur juga menunjukkan perbedaan yang nyata
(P<0,05). Efisiensi penurunan kadar COD terbesar berada pada konsentrasi
penambahan jamur 6% dengan rata-rata sebesar 74,48%, sehingga kondisi
optimum degradasi limbah tekstil terjadi pada pH 4 dan konsentrasi 6% dengan
efisiensi penurunan kadar COD sebesar 81,66%.
Tabel 5.3. Efisiensi Penurunan Kadar COD Limbah Tekstil pada Variasi pHdan Konsentrasi Jamur Setelah 7 Hari Inkubasi
5.6 Penentuan Lama InkubasiJamur Daedaleopsis eff. confragosa
Degradasi limbah tekstil pada variasi
mengetahui waktu optimum degradasi limbah tekstil menggunakan jamur
Daedaleopsis eff. confragosa
variasi lama inkubasi menggunakan jamur
pada Gambar 5.4.
Gambar 5.4 menunjukkan bahwa kadar COD dalam limbah mengalami
penurunan seiring dengan semakin lamanya masa inkubasi
persamaan Y = 160,98 e
lama inkubasi (hari). Model tersebut menggambarkan bahwa penurunan kadar
COD tidak linier tetapi berbentuk exponensial. Nilai
konstanta laju penurunan kadar COD. Ini artinya bahwa secara rata
Gambar 5.4 Grafik penurunan kadar CODinkubasi yang dikondisikan pada pH 4 dan konsentrasi jamur 6%(persamaan regresi diperoleh menggunakan program
Lama Inkubasi Optimum Degradasi Limbah Tekstil oleh Daedaleopsis eff. confragosa
Degradasi limbah tekstil pada variasi lama inkubasi bertujuan untuk
mengetahui waktu optimum degradasi limbah tekstil menggunakan jamur
Daedaleopsis eff. confragosa. Grafik penurunan kadar COD limbah tekstil pada
menggunakan jamur Daedaleopsis eff. confragosa
menunjukkan bahwa kadar COD dalam limbah mengalami
seiring dengan semakin lamanya masa inkubasi mengikuti model
persamaan Y = 160,98 e-0,16X dimana Y adalah kadar COD (mg/L) dan X adalah
lama inkubasi (hari). Model tersebut menggambarkan bahwa penurunan kadar
COD tidak linier tetapi berbentuk exponensial. Nilai –0,16 menunjukkan
laju penurunan kadar COD. Ini artinya bahwa secara rata-rata
Grafik penurunan kadar COD limbah tekstil pada variasiinkubasi yang dikondisikan pada pH 4 dan konsentrasi jamur 6%(persamaan regresi diperoleh menggunakan program Costat
Y = 160,98 e- 0,16X
R2 = 0,87
38
Limbah Tekstil oleh
inkubasi bertujuan untuk
mengetahui waktu optimum degradasi limbah tekstil menggunakan jamur
limbah tekstil pada
Daedaleopsis eff. confragosa disajikan
menunjukkan bahwa kadar COD dalam limbah mengalami
mengikuti model
dimana Y adalah kadar COD (mg/L) dan X adalah
lama inkubasi (hari). Model tersebut menggambarkan bahwa penurunan kadar
0,16 menunjukkan
rata konstanta
limbah tekstil pada variasi lama inkubasi yang dikondisikan pada pH 4 dan konsentrasi jamur 6%
Costat)
laju penurunan COD akibat degradasi oleh jamur
adalah 0,16 mg/L setiap hari. Model persamaan ini dapat dipakai untuk menduga
kadar COD pada selang waktu inkubasi yang berbeda
COD dari hari ke-0 sampai hari ke
dari hari ke-9 ke hari ke
penurunan kadar COD pada variasi waktu inkubasi
terjadi peningkatan efisiensi seiring den
5.5). Hubungan antara efisiensi (Y) dengan lama inkubasi (X) mengikuti model
persamaan Y = 8,53 + 33,42 ln (X)
Gambar 5.5 menunjukkan bahwa dari hari ke
menunjukkan efisiensi penurunan kadar COD dalam limbah y
Gambar 5.5 Grafik efisiensi penurunan kadar CODlama inkubasi yang dikondisikan pada pH 4 dan konsentrasi jamur 6% (persamaan regresi diperoleh menggunakan program Costat)
laju penurunan COD akibat degradasi oleh jamur Daedaleopsis eff. confragosa
setiap hari. Model persamaan ini dapat dipakai untuk menduga
kadar COD pada selang waktu inkubasi yang berbeda-beda. Penurunan kadar
0 sampai hari ke- 9 sangat nyata (P<0,05) sedangkan penurunan
9 ke hari ke-12 tidak nyata (P>0,05). Kalau dihitung efisiensi
penurunan kadar COD pada variasi waktu inkubasi berbeda menunjukan bahwa
terjadi peningkatan efisiensi seiring dengan peningkatan lama inkubasi (
). Hubungan antara efisiensi (Y) dengan lama inkubasi (X) mengikuti model
persamaan Y = 8,53 + 33,42 ln (X)
menunjukkan bahwa dari hari ke-0 sampai hari ke
menunjukkan efisiensi penurunan kadar COD dalam limbah yang signifikan,
Grafik efisiensi penurunan kadar COD limbah tekstil padalama inkubasi yang dikondisikan pada pH 4 dan konsentrasi jamur 6% (persamaan regresi diperoleh menggunakan program
Y = 8,53+33,42.In(X)R2 = 0,92
39
Daedaleopsis eff. confragosa
setiap hari. Model persamaan ini dapat dipakai untuk menduga
beda. Penurunan kadar
9 sangat nyata (P<0,05) sedangkan penurunan
Kalau dihitung efisiensi
berbeda menunjukan bahwa
gan peningkatan lama inkubasi (Gambar
). Hubungan antara efisiensi (Y) dengan lama inkubasi (X) mengikuti model
0 sampai hari ke-9
ang signifikan,
limbah tekstil pada variasilama inkubasi yang dikondisikan pada pH 4 dan konsentrasi jamur 6% (persamaan regresi diperoleh menggunakan program
40
Tetapi apabila dilanjutkan sampai hari ke-12 maka efisiensi degradasi limbah
tidak berubah secara signifikan dibandingkan hari ke-9. Kondisi optimum
degradasi limbah tekstil terjadi pada hari ke-9 dengan efisiensi penurunan COD
sebesar 85,13%.
5.7 Uji Kualitas Limbah pada Kondisi Optimum dari Hari ke-0 sampai Hari ke-9
Degradasi limbah tekstil menggunakan jamur Daedaleopsis eff.
confragosa pada kondisi optimum diindikasikan dengan terjadinya perubahan
warna limbah tekstil yang awalnya berwarna hitam menjadi bening. Hasil
degradasi limbah tekstil menggunakan jamur Daedaleopsis eff. confragosa
disajikan pada Gambar 5.6.
Gambar 5.6 Penampakan visual degradasi limbah tekstil pada kondisi optimum menggunakan jamur Daedaleopsis eff. confragosa
41
Hasil penentuan karakteristik limbah pencelupan tekstil pada hari ke-0
menunjukkan bahwa semua parameter kualitas limbah yang diukur berada di atas
baku mutu yang dipersyaratkan dalam KepMen LH No.51/MENLH/10/1995.
Sedangkan karakteristik hasil perombakan limbah yaitu pada hari ke-9
menunjukkan bahwa nilai parameter COD, BOD5, dan TSS yang diukur berada di
bawah baku mutu, sedangkan untuk parameter pH masih berada di atas baku
mutu. Karakteristik limbah tekstil dari hari ke-0 sampai hari ke-9 disajikan pada
Tabel 5.4.
Tabel 5.4. Kandungan COD, BOD5, TSS, Warna dan pH Limbah Pencelupan Tekstil dari hari ke-0 sampai hari ke-9 pada Kondisi Optimum (pH 4, Konsentrasi Jamur 6% dan Lama Inkubasi 9 Hari)
Table 5.4 memperlihatkan karakteristik limbah pencelupan tekstil pada
hari ke-0, dimana semua parameter yang diukur berada di atas baku mutu yang
dipersyaratkan dalam KepMen LH No.51/MENLH/10/1995, sedangkan setelah
proses degradasi yaitu pada hari ke-9 menunjukkan nilai parameter COD, BOD5,
dan TSS yang diukur berada di bawah baku mutu, kecuali parameter pH yang
tidak sesuai dengan baku mutu menurut KepMen LH No.51/MENLH/10/1995.
Pada hari ke-0 kadar COD sebesar 206,46 mg/L dan setelah hari ke-9 kadar COD
turun menjadi 30,61 mg/L dengan efisiensi sebesar 85,17%. Begitu juga pada
parameter BOD5, TSS, dan warna pada hari ke-0 menunjukkan nilai masing-
42
masing adalah 98,67 mg/L, 86,45 mg/L, dan 167,89 Pt-Co dan setelah hari ke-9
masing-masing nilai parameter untuk BOD5, TSS, dan warna turun menjadi 25,56
mg/L, 25,75 mg/L, dan 31,82 Pt-Co dengan efisiensi berturut-turut adalah 74,09;
70,21; 81,05%. Parameter yang terakhir adalah pH, dimana pada hari ke-0
menunjukkan pH 4,00 dan setelah perlakuan yaitu pada hari ke-9, pH naik
menjadi 4,30 dengan efisiensi -7,5%.
Dilihat dari efektivitasnya, degradasi limbah tekstil menggunakan jamur
Daedaleopsis eff. confragosa berlangsung cukup baik yaitu dengan nilai COD,
BOD5, dan TSS sebesar 79,59; 57,39; dan 48,49%.
43
BAB VIPEMBAHASAN
6.1 Jamur Daedaleopsis eff. confragosa
Jamur pendegradasi kayu yang digunakan dalam penelitian ini adalah
jamur Daedaleopsis eff. confragosa. Jamur tersebut diambil dari area perkebunan
di daerah Negara, Kecamatan Jembrana, Kabupaten Jembrana dan telah
diidentifikasi di Laboratorium Taksonomi Tumbuhan Jurusan Biologi, FMIPA,
UNUD. Jamur Daedaleopsis eff. confragosa termasuk dalam famili Polyporaceae,
ordo Polyparales, kelas Basidiomycetes. Adapun ciri-ciri dari jamur Daedaleopsis
eff. confragosa yaitu memiliki tubuh buah berupa kipas, agak keras dan biasanya
hidup menempel pada batang kayu yang mati atau lapuk.
Peremajaan jamur Daedaleopsis eff. confragosa dilakukan dengan cara
menumbuhkan jamur pada media PDA selama 7 hari inkubasi yang bertujuan
untuk memperoleh miselium jamur. PDA terbuat dari kentang, dekstrosa, dan
agar. Kentang merupakan sumber karbohidrat yang mengandung vitamin dan
mineral yang cukup tinggi. Fungsi kentang dalam penyusunan PDA adalah
mensuplai karbohidrat yang diperlukan oleh jamur dalam pertumbuhannya.
Dekstrosa berfungsi sebagai sumber energi yang berperan dalam pertumbuhan
spora jamur, sedangkan agar berfungsi untuk mengentalkan media sehingga
mempermudah dalam menumbuhkan jamur (Kusnadi dkk, 2003). Miselium jamur
yang tumbuh pada PDA kemudian ditransfer secara aseptik ke dalam media
Czapex cair dan diinkubasi selama 7 hari. Hal ini dilakukan untuk memperoleh
suspensi jamur Daedaleopsis eff. confragosa. Media PDA maupun media Czapex
43
44
cair mengalami perubahan dari keruh menjadi berwarna kuning, seperti
ditunjukan pada Gambar 5.2. Warna kuning yang ditimbulkan selama proses
peremajaan jamur disebabkan karena ekskresi enzim lignolitik oleh jamur tersebut
(Lankinen, 2004).
6.2 Penentuan Kondisi Optimum (pH dan konsentrasi jamur) Degradasi Limbah Tekstil oleh Jamur Daedaleopsis eff. confragosa
Kemampuan jamur Daedaleopsis eff. confragosa untuk mendegradasi
limbah tekstil dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Pada kondisi lingkungan yang
optimum, jamur akan tumbuh dengan baik sehingga enzim yang dihasilkan
semakin banyak. Semakin banyak enzim yang dihasilkan akan memberikan
efisiensi degradasi yang baik (Ali dan Muhamad, 2008). Faktor lingkungan yang
mempengaruhi proses degradasi limbah tekstil dengan menggunakan jamur
Daedaleopsis eff. confragosa adalah derajat keasaman (pH) dan konsentrasi jamur
yang digunakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa degradasi optimum limbah
tekstil terjadi pada pH 4 dan penambahan jamur pada konsentrasi 6% dengan
kadar COD sebesar 37,87 mg/L atau dengan efisiensi penurunan COD sebesar
81,66%. Walaupun demikian pada pH 6 – 8 nilai COD sebesar 51,84 – 58,45
mg/L dengan efisiensi 74,88% – 71,65%. Ini menunjukkan bahwa pada pH
tersebut nilai COD-nya sudah jauh di bawah baku mutu limbah cair berdasarkan
Kepmen LH Nomor: 51/MENLH/10/1995 yaitu sebesar 150 mg/L.
Derajat keasaman (pH) mempengaruhi proses degradasi limbah tekstil
menggunakan jamur Daedaleopsis eff. confragosa. Tabel 5.2 menunjukkan bahwa
efisiensi degradasi limbah tekstil menggunakan jamur Daedaleopsis eff.
45
confragosa dipengaruhi oleh pH lingkungan. Efisiensi penurunan COD optimum
yang diinkubasi selama 7 hari terjadi pada pH 4 dengan rata-rata sebesar 79,54%,
sedangkan pada pH 6, 8, dan 10 efisiensi rata-rata penurunan COD adalah 74,88;
71,65; dan 62,79%. Hasil penelitian ini sesuai dengan simpulan Ermasari (2010)
yang menyatakan bahwa perombakan limbah tekstil menggunakan jamur sangat
dipengaruhi oleh pH lingkungan. Hasil kajian Ermasari (2010), tentang
perombakan limbah pencelupan tekstil oleh jamur Polyporus sp. menunjukkan
bahwa efisiensi penurunan COD tertinggi terjadi pada pH 4 dengan efisiensi
penurunan COD sebesar 88,96%.
Perbedaan efisiensi penurunan COD limbah tekstil pada variasi pH
disebabkan oleh perbedaan pertumbuhan jamur dan aktivitas enzim. Pada
umumnya, jamur dapat tumbuh dengan baik pada pH asam. Rentang pH
pertumbuhan jamur berkisar antara 4-6 (Kusnadi dkk., 2003). Pada pH di bawah 3
atau pH di atas 6 maka pertumbuhan jamur menjadi tidak optimal sehingga
pertumbuhan jamur menjadi terganggu. Terganggunya pertumbuhan jamur
menyebabkan enzim yang dihasilkan kurang optimal sehingga proses degradasi
limbah tekstil menjadi terhambat. Disamping pertumbuhan jamur, aktivitas enzim
lignolitik untuk mendegradasi limbah tekstil juga dipengaruhi oleh kondisi pH.
Enzim lignolitik merupakan suatu protein yang memiliki aktivitas
biokimiawi sebagai katalis suatu reaksi dan sangat rentan terhadap kondisi pH.
Adanya perubahan pH akan mengakibatkan aktivitas enzim mengalami
perubahan. Pada pH optimum aktivitas enzim akan optimal sehingga memberikan
nilai efisiensi degradasi yang besar (Dayaram and Dasgupta, 2008). Dalam
46
penelitian ini, degradasi optimum limbah tekstil terjadi pada pH 4. Hal ini
menandakan bahwa enzim lignolitik yang dihasilkan oleh jamur Daedaleopsis eff.
confragosa bekerja dengan optimum pada pH 4. Temuan ini sejalan dengan kajian
Hofrichter (2002) yang menyatakan bahwa enzim lignolitik bekerja secara
optimum pada pH 3-4. Hasil penelitian ini juga diperkuat simpulan Sharma et al.,
(2008) yang melaporkan bahwa efisiensi perombakan zat warna orange III oleh
enzim lignolitik meningkat pada pH 3-4.
Degradasi limbah tekstil oleh jamur dipengaruhi oleh konsentrasi jamur
yang ditambahkan pada limbah. Berdasarkan Tabel 5.2 diperolah pola efisiensi
penurunan COD meningkat dengan naiknya konsentrasi jamur dari 3% sampai 6%
kemudian menurun pada konsentrasi 9%. Rata-rata efisiensi penuruan COD pada
konsentrasi jamur 3, 6, dan 9% secara berturut-turut adalah 72,51; 74,48; dan
69,65%. Konsentrasi optimum degradasi limbah tekstil selama 7 hari inkubasi
terjadi pada konsentrasi 6% dengan rata-rata efisiensi sebesar 74,48%. Perbedaan
efisiensi pada variasi konsentrasi jamur berhubungan dengan jumlah jamur yang
ditambahkan pada limbah tekstil.
Pada penambahan jamur yang sesuai, maka jamur akan tumbuh dengan
baik, karena makanan atau nutrisi yang ada dalam lingkungannya sudah sesuai
dengan jumlah jamur yang tumbuh pada lingkungan tersebut. Pada konsentrasi
jamur 3% jumlah jamur lebih sedikit dari pada nutrisi yang ada dalam lingkungan.
Hal ini mengakibatkan efisiensi penurunan COD kurang optimal. Sedangkan pada
konsentrasi jamur 6%, efisiensi penurunan COD menunjukkan nilai yang paling
optimum, karena jamur memperoleh nutrisi atau makanan yang cukup, sehingga
47
jamur dapat tumbuh dengan baik. Sebaliknya pada penambahan jamur 9%,
menunjukkan nilai efisiensi penurunan COD yang paling rendah, karena jumlah
jamur yang ditambahkan tidak sesuai dengan nutrisi yang ada di lingkungan.
Jamur yang ada dalam lingkungan banyak, sedangkan ketersediaan nutrisi pada
lingkungan tidak mencukupi, hal ini mengakibatkan pertumbuhan jamur menjadi
terhambat dan akhirnya mati.
6.3 Penentuan Lama Inkubasi Optimum Degradasi Limbah Tekstil oleh Jamur Daedaleopsis eff. confragosa
Kemampuan jamur Daedaleopsis eff. confragosa untuk mendegradasi
limbah tekstil dipengaruhi oleh lama inkubasi. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa penurunan COD pada hari ke-3, ke-6, dan ke-9 mengalami perubahan yang
signifikan, sedangkan pada hari ke-12 penurunannya tidak signifikan. Pada hari
ke-3 terjadi penurunan konsentrasi COD dari 206,46 mg/L menjadi 121,14 mg/L
(41,31%), pada hari ke-6 konsentrasinya turun menjadi 51,79 mg/L (74,92%),
pada hari ke-9 konsentrasi COD turun menjadi 30,70 (85,17%), sedangkan pada
hari ke-12 konsentrasi COD turun menjadi 29,33 (85,79%). Penurunan pada hari
ke-12 menunjukkan hasil yang tidak signifikan dibandingkan dengan hari ke-9.
Degradasi limbah tekstil menggunakan jamur Daedaleopsis eff. confragosa
berlangsung optimum pada lama inkubasi 9 hari dengan kadar COD sebesar 30,70
mg/L atau dengan efisiensi penurunan COD sebesar 85,17%. Namun dari model
persamaan Y = 160,98 e-0,16X menunjukkan bahwa pada hari ke-1 niai penurunan
kadar COD berada di bawah baku mutu limbah industri tekstil menurut KepMen
LH No.51/MENLH/10/1995 yaitu sebesar 137,18 mg/L (33,55%). Ini
48
menunjukkan bahwa jamur Daedaleopsis eff. confragosa mampu merombak
limbah tekstil dengan baik, walupun belum mencapai proses degradasi
optimumnya.
Perbedaan penurunan COD limbah tekstil pada variasi lama inkubasi
menggunakan jamur Daedaleopsis eff. confragosa disebabkan karena adanya
beberapa fase dalam pertumbuhan jamur. Pada tahap awal jamur melakukan fase
adaptasi, dimana pada tahap ini jamur menyesuaikan diri dengan kondisi
lingkungan, sehingga pertumbuhannya kurang optimal. Hal ini ditandai dengan
penurunan COD yang rendah sampai hari ke-3. Selanjutnya jamur mengalami fase
pertumbuhan eksponensial. Pada fase ini jamur mengalami pertumbuhan yang
sangat cepat hingga mencapai pertumbuhan optimumnya yaitu pada hari ke-9.
Kemudian pada hari ke-12 terjadi penurunan COD yang tidak signifikan karena
jamur berada pada fase stasioner ataupun fase kematian. Pada fase kematian
jumlah jamur yang mati lebih banyak daripada jamur yang mengalami
pertumbuhan. Hal ini disebabkan karena kandungan nutrien yang sudah habis dan
mulai terjadi penumpukan racun akibat dari sisa metabolisme jamur (Hamdiyati,
2003). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Ali dan Muhammad (2008)
yang menyatakan bahwa perombakan zat warna acid violet 19 menggunakan
jamur Alternaria solani meningkat seiring dengan meningkatnya waktu kontak
yaitu dari hari ke-1 sampai hari ke-4 hari dengan efisiensi sebesar 88,60%.
49
6.4 Uji Kualitas Limbah pada Kondisi Optimum dari Hari ke-0 sampai Hari ke-9
Karakteristik limbah pencelupan tekstil sebelum didegradasi menggunakan
jamur Daedaleopsis eff. confragosa pada hari ke-0 menunjukkan bahwa semua
parameter kualitas limbah yang diukur berada di atas baku mutu persyaratan
KepMen LH No.51/MENLH/10/1995. Jika limbah tersebut dibuang langsung ke
lingkungan dapat menimbulkan pencemaran lingkungan. Air limbah pencelupan
tekstil yang digunakan mempunyai konsentrasi warna sebesar 167,89 Pt-Co.
Setelah dilakukan degradasi menggunakan jamur Daedaleopsis eff. confragosa
selama 9 hari, terjadi penurunan konsentrasi warna menjadi 31,82 Pt-Co atau
efisiensi penurunan warna sebesar 81,05%. Penurunan warna pada limbah tekstil
disebabkan oleh enzim lignolitik yang dihasilkan oleh jamur Daedaleopsis eff.
confragosa. Enzim ligninolitik bersifat nonspesifik yang artinya disamping
mendegradasi lignin, hemiselulosa dan lignin juga mampu mendegradasi
senyawa-senyawa kimia yang mempunyai struktur aromatik seperti fenol dan zat
warna tekstil (Christian et al., 2005). Pada awalnya, degradasi zat warna yang
terkandung dalam limbah tekstil oleh enzim ligninolitik diawali dengan oksidasi
enzim ligninolitik oleh oksigen dan selanjutnya enzim ligninolitik dalam keadaan
teroksidasi akan mengoksidasi zat warna tekstil menjadi produk lebih sederhana
yang tak berwarna. Warna tidak tercantum sebagai salah satu parameter syarat
baku mutu ditinjau dari KepMen LH No.51/MENLH/10/1995. Secara langsung,
warna tidak berbahaya bagi kesehatan, akan tetapi secara tidak langsung
berdampak negatif terhadap ekosistem air. Air yang berwarna menghambat
50
penetrasi sinar matahari ke dalam air sehingga dapat mengganggu aktivitas
fotosintesis.
Air limbah tekstil yang dihasilkan dari proses pencelupan tekstil memiliki
keasaman (pH) yang tinggi yaitu 10,60. Tingginya pH limbah disebabkan oleh
pemakaian NaOH, Na2CO3 atau detergen dalam proses pencelupan tekstil.
Sebelum diolah, air limbah tersebut dikondisikan pada pH 4 untuk
mengoptimalkan aktivitas jamur dalam melakukan degradasi. Setelah dilakukan
pengolahan dengan menggunakan jamur Daedaleopsis eff. confragosa selama 9
hari inkubasi, pH air limbah menjadi 4,30. Kondisi pH air limbah hasil
pengolahan jika ditinjau berdasarkan KepMen LH No. 51/MENLH/10/1995
belum memenuhi persyaratan baku mutu limbah industri tekstil untuk dibuang ke
lingkungan. Baku mutu pH menurut KepMen LH No. 51/MENLH/10/1995
berkisar antara 6,0-9,0. Namun dari hasil penelitian yaitu pada pH 6 – 8
menunjukan nilai COD sebesar 51,84 – 58,45 dengan efisiensi 74,88% – 71,65%.
Ini menunjukan bahwa pada pH tersebut nilai COD-nya sudah jauh di bawah baku
mutu limbah cair industri tekstil.
Total padatan tersuspensi atau total suspended solid (TSS) dari air limbah
pencelupan tekstil sebesar 86,45 mg/L. Dampak negatif bagi perairan yang
mempunyai nilai TSS yang tinggi adalah dapat menghambat sinar matahari yang
masuk ke badan air. Setelah perombakan selama 9 hari inkubasi, nilai TSS turun
menjadi 25,75 mg/L atau efisiensi sebesar 70,21%. Nilai TSS jika ditinjau dari
KepMen LH no. 51/MENLH/10/1995 telah memenuhi syarat karena ambang
batas TSS yang dipersyaratkan adalah sebesar 50 mg/L. Hasil penelitian ini
51
sejalan dengan penelitian Sastrawidana (2012) yang melaporkan bahwa efisiensi
penurunan TSS dengan menggunakan jamur Polyporus sp. teramobil pada serbuk
gergaji kayu menunjukkan nilai sebesar 85,78%.
Air limbah pencelupan tekstil yang digunakan mempunyai nilai BOD5 dan
COD masing-masing sebesar 98,67 mg/L dan 206,46 mg/L. Penyusun utama
bahan organik biasanya berupa polisakarida (karbohidrat), polipeptida, dan lemak.
Setelah dilakukan pengolahan dengan menggunakan jamur Daedaleopsis eff.
confragosa selama 9 hari, nilai BOD5 turun dari 98,67 mg/L menjadi 25,56 mg/L
atau efisiensi sebesar 74,09%. Nilai COD turun dari 206,46 mg/L menjadi 30,61
mg/L atau efisiensi sebesar 85,17%. Nilai BOD5 dan COD setelah perombakan
telah memenuhi syarat karena ambang batas BOD5 dan COD yang dipersyaratkan
berturut-turut adalah 60 dan 150 mg/L.
Degradasi limbah pencelupan tekstil menggunakan jamur Daedaleopsis
eff. confragosa pada pH 4 selama 9 hari inkubasi memberikan efisiensi degradasi
warna dan COD berturut-turut adalah 81,05% dan 85,17%. Cing et al. (2003)
melaporkan bahwa degradasi limbah tekstil menggunakan jamur Phanerochaete
chrysosporium teramobil memberikan efisiensi degradasi warna dan COD
berturut-turut adalah 95 dan 97% selang 1 hari inkubasi. Perbedaaan efisiensi
degradasi disebabkan karena perbedaan komposisi limbah tekstil serta metode
pengolahan limbah yang digunakan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Dayaram dan Dasgupta (2007), yang melaporkan bahwa degradasi
limbah tekstil yang diambil dari 4 pabrik yang berbeda dengan menggunakan
jamur yang sama memberikan efisiensi degradasi yang berbeda-beda.
52
Faktor lain yang mempengaruhi degradasi limbah tekstil adalah jenis
jamur yang digunakan. Casieri et al. (2007) melaporkan bahwa degradasi zat
warna reactive red, reactive blue dan remazol brilian blue menggunakan 2 jenis
jamur memberikan hasil yang berbeda. Jamur jenis Trametes pubescens mampu
mendegradasi ketiga zat warna tersebut dengan baik selama 2 hari inkubasi,
sedangkan jamur Pleurotus ostreatus memberikan hasil degradasi yang kurang
optimal dan memerlukan waktu inkubasi yang lebih dari 2 hari.
53
BAB VIISIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Kondisi optimum degradasi limbah tekstil dengan menggunakan jamur
Daedaleopsis eff. confragosa berlangsung pada pH 4, konsentrasi jamur 6%,
dan lama inkubasi 9 hari.
2. Degradasi limbah pencelupan tekstil menggunakan jamur Daedaleopsis eff.
confragosa selama 9 hari mampu menurunkan warna, TSS, COD dan BOD5
masing-masing menjadi 31,83 Pt-Co (81,05%); 25,75 mg/L (70,21%);
30,61 mg/L (85,17%); dan 25,56 mg/L (74,09%). Nilai COD, BOD5, dan TSS
telah memenuhi persyaratan baku mutu KepMen LH No.
51/MENLH/10/1995, sedangkan nilai pH 4,30 belum memenuhi persyaratan
baku mutu KepMen LH No. 51/MENLH/10/1995.
7.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disampaikan
saran-saran sebagai berikut.
1. Perlu dilakukan eksplorasi jamur dari sumber-sumber lain sehingga
memperkaya khasanah pemanfaatan sumber daya hayati untuk pengolahan
limbah tekstil.
2. Degradasi limbah pencelupan tekstil dengan menggunakan jamur
Daedaleopsis eff. confragosa pada kondisi optimum memberikan efisiensi
53
54
perombakan yang cukup tinggi, namun lama inkubasi yang diperlukan masih
terlalu lama sehingga perlu dikembangkan studi yang lebih mendalam
terhadap aplikasi pengolahan limbah tekstil menggunakan jamur Daedaleopsis
eff. confragosa dengan lama inkubasi yang lebih singkat.
3. Degradasi limbah tekstil dapat dilakukan pada pH 6 – 8 karena pada pH
tersebut kualitas kadar COD limbah tekstil hasil degradasi menggunakan
jamur Daedaleopsis eff. confragosa sudah di bawah baku mutu limbah
industri tekstil, sehingga aman untuk di buang ke lingkungan.
55
DAFTAR PUSTAKA
Ali, P., and Muhammad, S.K. “Biodecolorization of Acid Violet 19 by Alternaria solani”. African Journal of Biotechnology, Volume 7 (hlm. 831-833).
Azbar, N., Yonar, T., and Kestioglu, K. 2004. “Comparison of Various Advanced Oxidation Processes And Chemical Treatment Methods for COD andColour Removal From Polyester and Acetate Fiber Dying Effluent”. Chemosphere, Volume 55 (hlm. 81-86).
Casieri, L., G.C. Varese, A. Anastasi, V. Prigione, and K. Svobodava. 2007. “Decolorization dan Detoxication of Reactive Industrial Dyes by Immobilized Fungi Trametes pubescens and Pleurotus ostreatus”. Folia Microbiol, Volume 51, Edisi 1 (hlm 44-52).
Christian V., Rshrivastava, Sukla, D., Modi, M.A., & Vyas, B.R.M. 2005. “Degradation of Xenobiotic Compounds by Lignin-degradibg White-rot fungi: Enzymology and Mechanism Involved”. Indian Journal of Experimental Biology. Volume 43 (hlm. 301-312).
Cing, S., D. Asma, E. Epohan, O. Ilida. 2002. “Decolorization of Textile Dyeing Wastewater by Phanarochaete chrysosporium”. Folia Microbiol, Volume 47, Edisi 5 (hlm. 639-642).
Coleman, R.N., and Qureshi, A.A. 1985. “Microtox and Spirilium Pollutants Tes for Assessing Toxicity of Environmental Samples”. Bull Environ Contam Toxicol, Volume 35 (hlm 443-451).
Dayaram, Poonam and Debjani Dasgupta. 2008. “Decolorisation of synthetic dyes and textile wastewater using Polyporus rubidus”. J. Environ. Bio, Volume 29 (hlm. 831-836).
Ghazali, R. and Salmiah, A. 2004. “Biodegradability and Ecotoxicity Of Plam Stearin-Based Methyl Ester Sulphonates”. Journal Of Oil Plam Research, Volume 16, Edisi 1 (hlm 39-44).
Hakala, T.K. 2007. Caracterization 0f The Lignin-Modifying Enzymes of The Selective White-Rot Fungus Physisporinus Rivulosus. Disertasi. Department of Applied Chemistry and Microbiology. University of Helsinki.
Hamdayati, Y. 2003. “Pertumbuhan dan Perkembangan Mikroorganisme II”. Tersedia pada http://www.wikipedia.com (diakses tanggal 23 Mei 2010).
Hattaka A. 1994. “Lignin Modifying Enzyme From Selected White-Rot Fungi: Production And Role In Lignin Degdradation”. FEMS Microbial, Volume 13 (hlm 125-135).
56
HeFang., HuWenrong, and LiYuezhong. 2004. “Biodegradation Mechanisms and Kinetic of Azo Dye by Microbial Consortium”. Chemosphere, Volume 57 (hlm 293-301).
Hofrichter M. 2002. “Lignin Conversion by Manganese Peroxidase (MnP)”. Enzyme Microbiol. Technol, Volume 30 (hlm. 454-466).
John, T.N., Robert, C.H., Clifford, W.R. 2001. Biological Treatment of aSynthetic Dye Water and an Industrial Textile Wastewater Containing Azo Dye Compounds. Thesis_(tidak diterbitkan) Virginia Polytechnic Institute and State University, Blacksburg Virginia.
Kumar , A. and Prasad, R. 2006. “Biofilms [review]”. JK. SCi, Volume 8, Edisi 1 (hal 14-17)
Kusnadi dkk, 2003. Mikrobiologi. Bandung: Jurusan Pendidikan Biologi UPI Bandung.
Lankinen, P. 2004. Ligninolytic Enzymes of The Basidiomycetous Fungi AgaricusBisporus and Phlebia Radiate on Lignocelluloses-Containing Media. Disertasi. Department of Applied Chemistry and Microbiology, Viiki Biocenter. University of Helsinksi Firlandian.
Manurung, R., Rosdanelli, dan Irvan, 2004. H. “Perombakan Zat Warna Azo Reaktif secara Anaerob-Aerob”. Tersedia pada http://www.library.usu.ac.id/ download/ft/tkimia-renita 2.pdf (Diakses tgl 24 Nopember 2009).
Mattioli, D., Malpei, F., Bortone, G., and Rozzi, A. 2002. “Water Minization and Reuse In Textile Industry: Analysis, Technologies And Implementation”. IWA Publishing, Cornwall, UK.
Osma, J.F. 2007. Banana Skin a Novel Material For a Low-Cost Production of Laccase. Tesis. Universitas Rovira I Virgili.
Paul, E.A. 1992. Organic Matter Decompositionn. Encyclopedia of Microbiology, Vol.3. Academic Press. Inc.
Puspitasari, N., Mohammad, S. 2009. “Pengaruh Jenis Vitamin B Dan Sumber Nitrogen Dalam Peningkatan Kandungan Protein Ubi Kayu Melalui Proses Fermentasi”. Makalah disajikan dalam Seminar Tugas Akhir S1 Teknik Kimia. Universitas Diponegoro, Semarang 2009.
Praveen, S., Lakhvinder, S., Neeraj, D. 2009. “Biodegradation of Orange II Dye by Phanerochaete chrysosporium in Simulated Wastewater”. Journal of Scientific & Industrial Research, Volume 68 (hlm. 157-161).
Rahmacandran, Ganesan, P., Hariharan, S. 2010. “Decolorization of Textile Effluent-An Overview”. EI (I) Journal, Volume 90.
Sastrawidana, I D. K., Maryam, S., Sukarta, I. N. 2012. Perombakan Air Limbah Tekstil Menggunakan Jamur Pendegradasi Kayu Jenis Polyporus Sp
57
Teramobil Pada Serbuk Gergaji Kayu. Jurnal Bumi Lestari, Volume 12 No. 2, hlm. 382 - 389
Sastrawidana, I D. K. 2009. Isolasi bakteri dari Lumpur Limbah Tekstil dan Aplikasinya untuk Pengolahan Limbah Tekstil Menggunakan System Kombinasi Anaerob-Aerob. Disertasi Doktor Ilmu Lingkungan (Spesialisasi Pencemaran Lingkungan). IPB: Bogor.
Sharma, D.K., Saini, H.S., Singh, M., Chimini, S.S., and Chadha, B.S. 2004. “Isolation and Characterization of Microorganisms Capable of Decolorizing Various Triphenylmethane Dyes”. Basic Microbiol,Volume 44 (hlm. 59-65).
Siswanto, Suharyanto, dan Fitria, R. 2007. “Produksi dan Karakteristik Lakase Omphilina sp.”. Menara Perkebunan, Volume 75 (hal 107-110)
Srivivasan, C., D’sauza, T.M., Boominantan, K., and Reddy, C.A. 1995. “Demonstration of Laccase in the White Rot Basidiomycete Phanerochaete chrysosporium BKM-F1767”. Appl. Environ. Microbiol, Volume 61 (hlm 4274-4277).
Sunarto. 2008. Teknologi Pencelupan dan Pencapan Jilid I. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Swamy, J., and Ramsay, J. A. 1999. “The Evaluation of White Rot Fungi in the Decoloration of Textile Dyes”. New York, Volume 24 (hlm. 130–137).
Tavcar, M., Svobadora, K., Kupleks, J., Novonty, C. 2006. “Biodegradation of Organic Azo Dye RO16 in Various Type Of Reactor with Immobilized Irpex lacteus”. Acta Chim, (hlm 338-343)
Vaithanomsat, P., Apiwatanapiwat, W., Petchoy, O., and Chedchant, J. 2010. “Production of ligninolytic Enzymes by White-Rot Fungus Detronia sp. and Their Application for Reactive Dye Removal”. International Journal of Chemical Engineering. Volume 2010 (hlm. 50–56)
Van der Zee. 2002. Anaerobic Azo Dye Reduction. Thesis_(tidak diterbitkan). Wageningen University. Netherlands.
Zhao, 2004. Analysis Of Fungal Degradation Products Of Azo Dyes. Disertasi Doktor Philosophy. Georgia.
Zille, A. 2005. Laccase Reaction for Textile Apllication. Disertasi.Textile Department Universidade do Minho.
58
Lampiran 1. Baku Mutu Limbah Cair Industri Tekstil
59
Lampiran 2. Karakteristik Limbah Awal dan Baku Mutu Limbah Cair Industri Tekstil ditinjau dari KepMen LH No.51/MENLH/10/1995
Lampiran 4. Data Hasil Perombakan Limbah Tekstil oleh Jamur Daedaleopsis eff. confragosa pada Variasi Lama Inkubasi pada kondisi optimu (pH 4 dan konsentrasi jamur 6%)
No. Variasi Waktu(Hari)
Konsentrasi Setelah Perombakan (mg/L) Efisiensi (%)
Lampiran 5. Kandungan COD, BOD5, TSS, Warna dan pH Limbah Pencelupan Tekstil dari hari ke-0 sampai hari ke-9 pada Kondisi Optimum (pH 4, Konsentrasi Jamur 6% dan Lama Inkubasi 9 Hari)
Parameter Satuan Hari ke-0 Hari ke-9 Penurunan Efisiensi