Top Banner
TUGAS ANALISIS TOKSIKOLOGI FORENSIK DAN KLINIK DEATH INVOLVING BUPRENORPHINE: A COMPENDIUM OF FRENCH CASES OLEH: KELOMPOK VI M. Ifan Iswandi (1008505042) Ni Kadek Santika Dewi (1008505049) Ni Made Lis Dwi Marni (1008505085) JURUSAN FARMASI 1
52

Death Involving Buprenorphine French Cases

Dec 31, 2015

Download

Documents

ivankopler

pembahasan jurnal
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Death Involving Buprenorphine French Cases

TUGAS

ANALISIS TOKSIKOLOGI FORENSIK DAN KLINIK

DEATH INVOLVING BUPRENORPHINE: A COMPENDIUM OF

FRENCH CASES

OLEH:

KELOMPOK VI

M. Ifan Iswandi (1008505042)

Ni Kadek Santika Dewi (1008505049)

Ni Made Lis Dwi Marni (1008505085)

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS UDAYANA

2013

1

Page 2: Death Involving Buprenorphine French Cases

DEATH INVOLVING BUPRENORPHINE: A COMPENDIUM OF

FRENCH CASES

I. Kasus

Buprenorfin dalam dosis tinggi telah digunakan sebagai pengganti terapi

ketergantungan heroin pada tahun 1996 di Perancis. Senyawa ini merupakan

hasil semisintesis derivat opiat yang berhubungan dekat dengan morfin, dan

memiliki potensi efek 25-40 kali lebih baik pada reseptor sentral. Aktifitas

analgesic pada dosis rendah diberikan secara intravena atau intramuscular

dengan dosis 0,3-0,6 mg, setelah administrasi menunjukkan disosiasi yang

sangat lambat dari reseptor opiate dan mengakibatkan durasi efek sekurang-

kurangnya 24 jam. Beberapa produk yang memberikan obat ini diantaranya

Tamgesic dengan dosis rendah 0.2 mg dan Subutex pada dosis tinggi 0,4-8 mg,

keduanya digunakan untuk mengurangi rasa sakit pada menanganan

premedikasi dan atau anastesi.

Saat ini buprenorfin digunakan secara luas di Perancis sebagai obat terapi

ketercanduan Heroin dan telah sukses menurunkan jumlah overdosis heroin

sebanyak 20% pada tahun 1999. Namun obat ini juga dapat ditemukan dengan

mudah di pasar gelap (Black market), tercatat kejadian kematian pertama pada

tahun 1996, dan meningkat menjadi 20 jumlah kematian pada tahun 1998,

semua angka kejadian ditemukan adanya konsumsi obat-obat psikotropika

seperti golongan benzodiazepin dan obat neuroleptik. Informasi epidemiologi

yang terkumpul sangat berguna sebagai data pendukung untuk mengetahui

perkembangan kasus kematian yang diakibatkan obat-obatan terlarang seiring

berjalannya waktu bagi seorang toksikologis.

II. Tujuan Analisis

Tujuan analisis adalah melakukan penelitian baru pada kasus kematian

akibat buprenorfin serta melengkapi data kadar buprenorfin yang mampu

2

Page 3: Death Involving Buprenorphine French Cases

memberikan efek letal di daerah Strasbourg dan beberapa daerah berbeda di

Perancis.

III. Tujuan Aspek Forensik

Aspek forensik bertujuan untuk membuktikan dan mengetahui kadar senyawa

buprenorfin yang mampu memberikan efek letal serta mengetahui pengaruh

obat-obatan lain pada kasus kematian akibat penyalahgunaan obat-obat

terlarang.

IV. Aspek Forensik

Perkembangan yang terjadi pada bidang forensik saat ini menjadikan

peran seorang toksikolog forensik menjadi lebih kompleks. Ahli toksikolog

forensik saat ini tidak hanya sekedar melakukan pemeriksaan terhadap adanya

penggunaan substansi terlarang atau mengkonfirmasi adanya konstituen

tersebut pada berbagai barang sitaan. Tuntutan terhadap pekerjaan seorang ahli

toksikolog forensik mengharuskan seorang ahli dapat memecahkan “teka-teki”

dalam kasus forensik khususnya pada berbagai kasus kematian yang

melibatnya substansi kimia.

Dalam bidang forensik, terutama pada penanganan kasus yang melibatkan

penyalahgunaan narkotika dan psikotropika, penting bagi seorang ahli forensik

untuk dapat menentukan senyawa apa saja yang dikonsumsi, jumlah

penggunaannya, kapan penggunaannya hingga lamanya obat-obatan tersebut

telah dikonsumsi, mengingat bahwa ahli forensik akan dimintai keterangan atas

interpretasi data analisis yang telah dilakukan guna membuktikan kebenaran

penggunaan senyawa-senyawa tersebut.

Dengan melakukan analisis konsentrasi substansi kimia dari berbagai

sampel biologis, ahli farmasi forensik dapat memperkirakan efek yang dapat

ditimbulkan dari penggunaan substansi tersebut yang berkaitan dengan

kejadian di tempat perkara. Dengan ditemukannya barang bukti berupa obat-

obatan atau alat yang digunakan seperti sendok, pipet, syringe, dan alat lainnya

dapat menjadi sebuah petunjuk bagi ahli farmasi forensik untuk mengetahui

3

Page 4: Death Involving Buprenorphine French Cases

penyebab kematian korban, apakah korban meninggal akibat overdosis atau

penyalahgunaan narkotika, serta memberikan penjelasan apakah substansi

tersebut secara sepenuhnya yang bertanggung jawab terhadap kematian korban.

Seperti halnya pada banyak kasus kematian yang terjadi di Perancis pada tahun

1996-2000, tercatat bahwa 117 kasus kematian terjadi akibat keracunan

buprenorfin dengan ditemukkannya senyawa buprenorfin atau metabolitnya

seperti norbuprenorfin di dalam sampel biologis yang dikumpulkan.

Buprenorfin merupakan salah satu senyawa narkotika golongan III yang

telah digunakan secara luas sebagai alternatif terapi bagi seseorang pecandu

narkoba seperti heroin atau morfin. Buprenorfin tergolong ke dalam senyawa

opioid semisintetik yang memiliki potensi efek 25-40 kali lebih baik pada

reseptor sentral. Buprenorfin menghasilkan aktivitas agonis terhadap reseptor

mu dan antagonis untuk reseptor kappa. Senyawa ini akan terdisosiasi sangat

lambat setelah pemberian intravena dengan reseptor opiat dan mengakibatkan

durasi efek yang dihasilkan paling tidak sekitar 24 jam. Bukti bahwa seseorang

telah mengkonsumsi senyawa ini salah satunya dengan ditemukan metabolit

utamanya yakni desalkil-buprenorfin dan norbuprenorfin dalam bentuk

konjugasi dengan glukuronat.

Di Perancis, buprenorfin digunakan secara luas sebagai obat terapi

kecanduan heroin. Akan tetapi senyawa ini mudah diperoleh di pasar gelap dan

bebas dibeli oleh siapa saja, sehingga buprenorfin sering disalahgunakan oleh

para pecandu narkotika. Bukti ditemukannya buprenorfin dari hasil

pemeriksaan toksikologi tidak bisa begitu saja dianggap sebagai penyebab

kematian dari kasus tersebut. Hal ini terkait dengan konsentrasi buprenorfin di

dalam sampel yang masih berada dalam rentang efek terapeutik sehingga

senyawa ini tidak memiliki potensi untuk menimbulkan toksisitas hingga

menyebabkan kematian. Disisi lain penyebab kematian lebih sulit dipastikan

karena tidak ditemukannya tanda-tanda kekerasan pada tubuh korban. Bukti

lain yang umumnya ditemukan di tempat kejadian perkara berupa peralatan

yang sering digunakan dalam penyalahgunaan narkoba, seperti sendok, pipet,

syringe, botol, serta sisa-sisa serbuk atau tablet. Berdasarkan hasil penelusuran

4

Page 5: Death Involving Buprenorphine French Cases

lebih lanjut terhadap sampel dan alat bukti di TKP, ditemukan keterlibatan

substansi lain, seperti obat-obatan psikotropika (golongan benzodiazepin dan

neuroleptik), golongan narkotika (kokain dan cannabis) serta konsumsi

alkohol.

Berdasarkan data analisis dan kumpulan bukti yang diperoleh, seorang ahli

farmasi forensik dituntut untuk mampu menjelaskan kaitan antara buprenorfin

ataupun interaksinya dengan senyawa lain dalam kasus kematian dalam upaya

menyimpulkan penyebab kematian secara pasti.

V. Uraian Masalah

5.1 Masalah Forensik

Masalah forensik pada penelitian ini adalah:

a. Membuktikan adanya penyalahgunaan buprenorfin dalam kasus

kematian.

b. Mengetahui kadar senyawa buprenorfin dan substansi lainnya yang

terkandung dalam sampel.

c. Mengetahui adanya interaksi buprenorfin dengan senyawa lain yang

berpotensi menyebabkan toksisitas dan kematian.

5.2 Masalah Analisis

Masalah analisis dalam kasus ini diantaranya:

a. Sampel yang digunakan harus mengandung senyawa buprenorfin untuk

membuktikan adanya penyalahgunaan obat-obatan terlarang dari kasus

kematian

b. Metode ekstraksi dan metode analisis harus cukup sensitive dan selektif

memisahkan dan mengidentifikasi senyawa Buprenorfin dalam sampel.

c. Mengetahui adanya interaksi obat-obatan psikotropika dalam kasus

penyalahgunaan Buprenorfin dalam kasus kematian.

5

Page 6: Death Involving Buprenorphine French Cases

VI. Penelusuran Pustaka

6.1 Senyawa Opiat

Opiat merupakan golongan senyawa yang memiliki kemampuan

untuk berikatan dengan reseptor opiat di dalam tubuh. Senyawa ini mampu

dpt menekan fungsi sistem saraf pusat secara selektif, sehingga dapat

menghasilkan efek analgesia yang cukup kuat untuk mengurangi rasa sakit

dan nyeri yg cukup berat seperti nyeri akibat kanker, serangan jantung dan

juga pramedikasi anestesi. Berdasarkan sumbernya, senyawa golongan ini

dapat dikelompokkan menjadi tiga yakni opiate yang berasal dari bahan

alam berupa alkaloid seperti morfin, semisintetik seperti morfin dan

buprenorfin serta senyawa sintetik seperti metadon dan petidin (Sweetman,

2009; McEvoy et al., 2002).

A. Buprenorfin

Buprenorfin merupakan salah satu senyawa narkotika golongan

III yang telah digunakan secara luas sebagai alternatif terapi bagi

seseorang pecandu narkoba seperti heroin atau morfin. Buprenorfin

tergolong ke dalam senyawa opioid semisintetik yang memiliki potensi

efek 25-40 kali lebih baik pada reseptor sentral. Buprenorfin

menghasilkan aktivitas agonis terhadap reseptor mu dan antagonis

untuk reseptor kappa (Sweetman, 2009; Kintz, 2001). Buprenorfin

berupa serbuk kritalin berwarna putih dengan bobot molekul 467,6

gr/mol. Senyawa ini larut dalam alkohol, bersifat mudah larut dalam

metanol dan aseton, praktis larut dalam sikloheksan, sangat sukar larut

dalam air (Sweetman, 2009; Moffat et al., 2005).

6

Page 7: Death Involving Buprenorphine French Cases

Gambar 6.1 Struktur molekul Buprenorfin (Moffat et al., 2005)

Berdasarkan uji klinis yang dilakukan, diketahui konsentrasi

terapeutik terbaik untuk buprenorfin adalah 2-20 ng/mL. Buprenorfin

dapat diberikan melalui intravena dengan dosis rendah 0,3-0,6 mg

ataupun sublingual dengan dosis lebih tinggi yakni 0,4, 2 dan 8 mg.

Buprenorfin memiliki aktivitas analgesic dengan dosis 0,2-0,8 mg,

euphoria 0,2-2 mg subkutan dan depresi pernafasan dengan dosis 0,3 –

0,6 mg intravena (Huestis, 2000). Senyawa yang 96% berikatan

dengan protein plasma ini memiliki waktu paruh 1,2 hingga 7,2 jam.

Belum terdapat data yang pasti mengenai konsentrasi buprenorfin yang

dapat menyebabkan toksisitas ataupun kematian (Kintz, 2001; Moffat

et al., 2005).

Buprenorfin yang diberikan melalui intramuskular inkeksi akan

dengan cepat mencapai kosentrasi maksimal di plasma. Absorbsi

umumnya melalui mukosa bukal melalui rute sublingual. Senyawa ini

dimetabolisme melalui N-dealkilasi pada sitrokorom p450 CYP3A4

menjadi N-dealkilbuprenorfin (norbuprenorfin) dan bentuk

konjugasinya (Moffat et al., 2005; Huestis, 2000)

Jalur eliminasi melalui feses dengan sebagian kecil diekskresi

bersama urin sebagai metabolitnya. Buprenorfin mengalami first pass

metablolism bila diberikan melalui oral dengan bioavailabilitas kurang

dari 15%. Eliminasi buprenorfin ditemukan lebih dari 11 hari setelah

konsumsi dalam urin (30%) dan feses (69%), hampir semua ditemukan

dalam bentuk asli dan dalam betnuk metabolitnya. Dalam urin

senyawa aktif dan metabolitnya berada dalam bentuk terkonjugasi,

7

Page 8: Death Involving Buprenorphine French Cases

sedangkan dalam feses berbentuk senyawa bebas (Moffat et al., 2005;

Huestis, 2000)

Gambar 6.2 Spektrum Buprenorfin (Moffat et al., 2005)

Analisis buprenorfin dalam kasus forensik seperti penyidikan

dalam kasus penyalahgunaan narkoba ataupun kasus kematian akibat

overdosis telah banyak dilakukan pada berbagai laboratorium.

Berbagai metode analisis telah dilaporkan dalam analisis dan

penetapan kadar senyawa ini dalam berbagai jenis sampel biologis

antara lain Fluorescence Polarization I mmunoassay (FPI),

spetrofotometri UV, GC/FID, GC/NPD, GC/MS, LC/DAD hingga

LC/MS (Hoja et al., 1997; Huestis, 2000; Kintz, 2000).

Gambar 6.3 Spektra Masaa Buprenorfin (Moffat et al., 2005)

8

Page 9: Death Involving Buprenorphine French Cases

6.2 Sampel Biologis

A. Rambut

Untuk mengetahui suatu kasus penyalahgunaan narkoba,

ketergantungan narkoba, overdosis dalam pengobatan atau

penyalahgunaan serta paparan suatu xenobiotika secara kronik tentunya

dibutuhkan suatu analisis yang spesifik dan akurat untuk menghidarkan

hasil positif atau negatif palsu. Berbagai komponen matrik dari tubuh

seseorang telah banyak diteliti untuk dapat digunakan dalam analisis

toksikologi-forensik untuk mengungkap kasus-kasus tersebut meliputi

saliva, darah, urin, keringat, serta cairan jaringan. Berdasarkan berbagai

penelitian, tidak diragukan lagi bahwa sampel darah dan urine

merupakan sampel yang paling banyak digunakan dalam analisis rutin.

Akan tetapi saat ini selain kedua sampel tersebut, sampel rambut telah

dikembangkan dan banyak digunakan sebagai alternatif dalam analisis

toksikologi forensik khususnya penyalahgunaan narkoba (Gjerde et al.,

2011; Balikova, 2005; Vassiliki et al., 2006)

Rambut dipilih sebagai sampel tidak terlepas dari keuntungan yang

dapat diberikan oleh jenis sampel ini untuk analisis rutin antara lain

rentang deteksi yang lebih luas (dapat digunakan untuk analisis paparan

yang telah terjadi dari hitungan hari hingga puluhan tahun) dibandingkan

dengan sampel darah atau urin (hanya dalam hitungan hari hingga

minggu), proses pengkoleksian sampel yang mudah, tidak menyakitkan

dan tidak rumit (penampungan urin dan pengambilan darah), serta

mampu membedakan antara chronic use atau single exposure. Dalam

analisis dengan menggunakan sampel rambut juga kita dapat menemui

zat aktif utama serta metabolitnya yang telah terdeposisi pada jaringan

dibawah kulit pada akar rambut. Sampel biologis berupa rambut lebih

stabil pada penyimpanan dalam temperatur kamar pada waktu yang

cukup lama, tidak harus dianalisis langsung dan memiliki komponen

matrik yang tidak komplek. Setiap pertumbuhan 1 cm rambut

9

Page 10: Death Involving Buprenorphine French Cases

mempresentasikan paparan obat selama satu bulan (Gjerde et al., 2011;

Balikova, 2005; Musshoff et al., 2004; Vassiliki et al., 2006).

Rambut memiliki struktur yang cukup seragam dan terbagi menjadi

dua bagian utama yaitu bagian eksternal dengan bentuk silindris yang

kompak. Bagian ini akan tumbuh mulai dari bagian folikel atau bagian

internal yang merupakan sebuah organ seperti kantung dibawah kulit.

Folikel rambut tertanam pada lapisan epitelium epidermis kulit dan

berasosiasi dengan kelenjar sebaseus. Pada daerah axillari dan pubis dari

rambut akan berasosiasi dengan kelenjar apokrin. Proses deposisi zat

kimia ke dalam folikel rambut dapat terjadi melalui dua proses yakni

adsopsi dari lingkungan luar dan incorporasidari asupan darah ke folikel

rambut atau sekresi dari kalenjar keringat dan sebasea (Gjerde et al., 2011;

Chiarotti dan Rossi, 1996; Vassiliki et al., 2006).

Gambar 6.4 Struktur dan Komponen Rambut (Gjerde et al., 2011)

Dalam analisis penyalahgunaan narkoba dengan menggunakan

sampel rambut terdapat beberapa hal dan tahapan yang perlu diperhatikan

untuk dapat mencapai tujuan analisis yang diharapkan, antara lain :

a. Sampling

Metode sampling sampel rambut terbukti lebih mudah dan tidak

intrunsif dibandingkan sampling sampel biologis lainnya. Pada

sampling rambut sebaiknya digunakan sebanyak 50 mg-200 mg sampel

pada bagian kepala belakang. Sampel yang ditampung harus dilapisi

10

Page 11: Death Involving Buprenorphine French Cases

dengan aluminium foil untuk mencegah terjadinya kontaminasi dan

disimpan dalam temperatur kamar. Selama proses pengambilan sampel

terdapat potensi yang sangat besar untuk terjadinya kontaminasi

sehingga nantinya sampel perlu dipreparasi dengan proses pencucian

pengotor dan kontaminan yang menempel.

b. Metode Analisis

Segmen rambut yakni rambut dengan panjang yang tepat dipotong

dari sampel rambut yang diambil. Semakin pendek sampel rambut yang

digunakan menggambarkan semakin singkat interval waktu sejak

paparan zat yang dianalisis. Sampel harus dicuci menggunakan pelarut

yang dapat menghilangkan kontaminan eksternal yang menempel.

Pemilihan solven yang tepat pada proses ini juga dapat mempengaruhi

efisiensi dalam ektraksi dan interpretasi hasil kuantitatif nantinya. Tahap

pretreatment wajib dilakukan untuk dapat mengekstraksi zat yang

diinginkan dari rambut yang memiliki struktur yang kuat dan adanya

ikatan dengan komponen lain seperti protein, lipid dan melanin. Sampel

selanjutnya harus dipotong menjadi potongan-potongan kecil atau

dilakukan pulverisasi menggunakan grinder. Sampel ini selanjutnya di

ekstraksi dengan pelarut seperti misalnya metanol dalam waktu yang

cukup untuk melarutkan zat (5-18 jam). Pada proses ini, tipe dan sifat zat

yang diinginkan sangat berpengaruh. Untuk beberapa tipe ektraksi dapat

dilakukan dengan menggunakan buffer, penambahan enzim, asam, basa

atau dengan inkubasi. Adapun beberapa teknik preparasi yang dapat

dilakukan antara lain inkubasi dalam larutan buffer dan analisis dengan

metode RIA; inkubasi dalam larutan asam atau basa disertai dengan

ekstraksi cair- cair atau ekstraksi fase padat (SPE) dan analisis dengan

kromatografi, paling banyak digunakan GC-MS; inkubasi dalam pelarut

organic (umumnya methanol dengan atau tanpa HCl), ekstraksi cair- cair

atau ekstraksi fase padat (SPE) dan analisis dengan kromatografi, paling

banyak digunakan GC-MS; digesti dalam larutan enzimatik, ekstraksi

11

Page 12: Death Involving Buprenorphine French Cases

cair- cair atau ekstraksi fase padat (SPE) dan analisis dengan

kromatografi, paling banyak digunakan GC-MS.

c. Interpretasi Hasil

Interpretasi dari hasil analisis yang diperoleh merupakan tahap

yang paling serius untuk analisis dengan sampel rambut. Hal ini

dikarenakan terdapat berbagai variasi kandungan obat yang berbeda

untuk setiap individu yang diuji. Pada beberapa kasus, penggunaan

terapi kosmetik tertentu dapat mempengaruhi hasil analisis secara

signifikan. Apabila pada analisis sampel rambut diperoleh hasil postif

mengenai kandungan suatu zat atau narkotika dengan metode yang

berbasis spetroskopi massa maka dapat dipastikan bahwa orang

tersebut pernah terpajan zat yang dimaksud. Akan tetapi bila hasil yang

diperoleh menyatakan negatif atau tidak ditemukan zat tersebut, tidak

dapat dipastikan bahwa seseorang tidak pernah terpajan zat yang

dimaksud. Apabila segmen dari rambut juga diikutkan dalam analisis,

variasi pertumbuhan rambut dari setiap individu akan menyebabkan

bias dan ketidakakuratan interpretasi dalam menduga waktu

pengkonsumsian/waktu terpapar zat tersebut.

d. Aplikasi

Analisis dengan sampel rambut sesuai untuk deteksi suatu zat

atau obat yang telah digunakan dalam kurun waktu 1 bulan terakhir.

Penggunaan sampel dapat diaplikasikan pada analisis seperti uji suatu

obat pada populasi umum, pasien, dan pecandu narkotika. Analisis

yang mengkonsusmsi banyak waktu “time consuming” dan mahal dapat

menggunakan sampel ini untuk meningkatkan efisiensi analisis

terutama pada screening sejumlah besar jenis obat sekaligus

(Gjerde et al., 2011; Balikova, 2005; Vassiliki et al., 2006).

B. Sampel Darah

Darah merupakan sampel yang paling baik untuk identifikasi

senyawa obat atau zat aktif lainnya baik untuk tujuan kualitatif ataupun

12

Page 13: Death Involving Buprenorphine French Cases

kuantitatif. Sampel darah harus diambil oleh petugas yang terampil

untuk memastikan kebenaran sampel tersebut. Plasma darah adalah

cairan berwarna kuning yang dalam reaksi bersifat sedikit alkali.

Komposisi dari plasma darah adalah air, protein (albumin, globulin,

fibrinogen dan protrombin), ion – ion (Na, K, Ca, Mg, Cl, HCO3),

nutrien (glukosa, asam amino dan asam lemah), hormon dan nitrogen

(Pearce, 2006). Plasma lebih sering digunakan daripada serum pada

analisis obat, karena dapat disentrifugasi dengan segera, sedangkan

pembentukan serum membutuhkan lebih banyak waktu (Smyth, 1992).

Plasma biasanya digunakan untuk analisis klinis ataupun deteksi

kandungan analit tertentu karena kandungan komponen darahnya lebih

sedikit dibandingkan darah utuh yang memiliki matriks biologi yang

sangat komplek, sehingga lebih menguntungkan untuk analisis dan

meminimalisir kegagalan ataupun kesalahan dalam analisis (Pearce,

2006). Serum darah adalah cairan bening yang memisah setelah darah

membeku. Plasma darah berbeda dengan serum darah terutama pada

serum tidak terdapat faktor pembentukan fibrinogen. Jika darah tetap

dibiarkan selama 15 menit pada suhu-kamar dalam suatu tabung tanpa

antikoagulan maka serum dan komponen darah lainnya akan memisah

(Flanagan et al., 2007).

Pada kasus postmortem, darah jantung diambil dengan jarum dan

syringe yang sesuai. Untuk mendapatkan spesimen jantung, pertama-

tama pericardial harus dibuka, pericardium dipisahkan, jantung

dikeringkan dan spesimen darah disingkirkan dengan syringe dari

bagian jantung kanan atau kiri. Kurang lebih 50 ml spesimen harus

dikumpulkan jika memungkinkan. Sedangkan spesimen darah perifer

harus diambil menggunakan syringe hipodermik dengan ukuran 10-20

ml yang bersih atau baru. Volume darah yang diambil setidaknya 10

mL dan sebaiknya tidak dilakukan pemerasan pada kaki untuk

meningkatkan volume darah (Karch, 1998).

13

Page 14: Death Involving Buprenorphine French Cases

Sebagai wadah untuk menampung spesimen, biasanya digunakan

tabung gelas atau plastik Beberapa analit basa dan senyawa ammonium

kuartener seperti tricyclic antidepressants, paraquat, dan aluminium

dapat berikatan dengan gelas sehingga lebih baik digunakan tabung

plastik. Sedangkan spesimen yang mengandung senyawa volatil, maka

gelas menjadi pilihan pertama (Flanagan et al., 2007).

Spesimen darah sebaiknya diawetkan dengan 2% b/v sodium

fluoride pada wadah specimen. Sodium fluoride ditambahkan untuk

menghambat aktivitas mikroorganisme yang mengkonversi glukosa

menjadi ethanol dan mengoksidasi etanol, serta mencegah hilangnya

ester, seperti asam 6-acetylmorphine. Ester berperan penting dalam

reaksi hidrolisis (menghasilkan basa), sehingga keasaman dari darah

tidak ditunjukkan karena pH darah menurun pada kasus postmortem

(Karch, 1998). Beberapa laboratorium dapat menggunakan

antikoagulan seperti potassium oxalate, EDTA atau sodium citrate dan

digabungkan dengan 5 mg/mL fluoride. Tapi bila jumlah darah yang

dikumpulkan sedikit, kelebihan fluoride dapat mempengaruhi pengujian

headspace zat yang volatile dengan merubah tekanan uap dari analit

(Flanagan et al., 2007). Beberapa contoh antikoagulan yang dapat

digunakan sebagai pengawet spesimen adalah sebagai berikut :

(Flanagan et al.,, 2007).

14

Page 15: Death Involving Buprenorphine French Cases

Pada umumnya sampel biologi sebaiknya disimpan pada suhu 2-

4oC sebelum di bawa ke laboratorium. Suhu yang rendah dapat

menghambat pertumbuhan bakteri dan memperlambat reaksi kinetik

seperti konversi etanol menjadi asetaldehid. Setiap botol spesimen

ditutup dengan rapat untuk menghindari kebocoran dan ditempat

terpisah dengan specimen lainnya pada tas plastik. Berbagai residu

spesimen harus disimpan pada suhu −20 ◦C sampai investigasi dari

kejadian telah disimpulkan. Ruang di atas tabung penyimpan darah

harus diminimalisir untuk mencegah masuknya kontaminan seperti CO,

pelarut atau zat volatile lainnya. Jika sampel telah disimpan dengan

benar, maka tidak akan ada perbedaan konsentrasi analit yang

signifikan di dalam plasma dan serum (Flanagan et al., 2007).

Untuk memaksimalkan pengukuran yang sebenarnya dengan darah

postmortem, sebaiknya pemeriksaan dilakukan dalam interval waktu

yang sempit antara kematian dan pemeriksaan. Jika sampel darah yang

didapatkan cukup banyak, maka sampel dipisahkan menjadi 2, satu

untuk diawetkan dan satunya lagi tidak. Tetapi sebaliknya, jika sampel

darah yang diperoleh sedikit, maka semua harus diawetkan walaupun

ada kemungkinan sampel akan rusak oleh pengawet (fluoride).

Spesimen yang diperoleh memiliki nilai yang berarti karena dapat

diketahui keadaan korban secara klinis, gambaran kejadian sebelum

terjadinya kematian, dan lain-lain (Karch, 1998).

Pengambilan sampel dari kasus postmortem dalam investigasi

toksikologi akan tergantung dari masing-masing kasus. Darah yang

diambil harus bersifat representatif dari keseluruhan sampel darah. Jika

dalam darah mengandung senyawa-senyawa tertentu yang memiliki

kestabilan dalam beberapa jam atau beberapa hari setelah kematian,

penyimpanan spesimen sangat direkomendasikan (Skoop, et al., 2004).

Jumlah dan kecepatan migrasi obat di dalam darah dan jaringan

pada postmortem bervariasi tergantung pada obat dan jarak waktu

antara kematian dan pengumpulan spesimen postmortem. Organ torso

15

Page 16: Death Involving Buprenorphine French Cases

merupakan organ mayor yang umumnya mengandung obat dalam

jumlah banyak sedangkan saluran gastrointestinal kemungkinan

mengandung obat yang belum diabsorpsi. Darah sentral merupakan

darah yang diperoleh dari organ-organ tersebut. Darah perifer, seperti

darah femoral diperoleh dari jaringan lokal, seperti jaringan otot dan

lemak. Secara umum, darah yang didistribusikan ke pembuluh sentral

lebih banyak daripada yang didistribusikan ke pembuluh perifer.

Perbedaan antara dua situs tersebut dikenal sebagai rasio sentral perifer

(C/P). Berdasarkan hal tersebut, spesimen darah yang sebaiknya dipilih

untuk analisis toksikologi adalah sampel darah vena femoralis (Cook et

al., 2000). Adapun jenis spesimen tubuh dan perkiraan jumlah yang

diambil dari spesimen tersebut dapat dilihat sebagai berikut:

16

Page 17: Death Involving Buprenorphine French Cases

(Skoop, et al., 2004)

6.3 Kromatografi Cair – Spektrometri Massa (Liquid Chromatography –

Mass Spectrometry)

A. Pengertian LC/MS

Kombinasi kromatografi cair (LC) dengan spektrofotometri massa

(MS) merupakan kombinasi metode analisis yang ideal untuk keperluan

laboratorium. HPLC sudah menjadi metode pilihan dalam pemisahan,

17

Page 18: Death Involving Buprenorphine French Cases

analisis, dan pemurnian campuran. Kolom HPLC mampu memisahkan

hampir semua campuran yang dapat dilarutkan. Spektrofotometri massa

dapat mengionisasi puncak yang terpisah dari larutan dan menghasilkan

bobot molekul untuk komponen setiap puncaknya (McMaster, 2005).

Untuk sebagian besar senyawa, spektrometer massa lebih sensitif dan

jauh lebih spesifik daripada semua detektor LC lainnya. Detektor ini

dapat menganalisis senyawa yang tidak memiliki kromofor yang cocok.

Selain itu, juga dapat mengidentifikasi komponen dalam puncak

kromatografi yang belum terselesaikan, dan tidak memerlukan

pemisahan yang sempurna (Agilent, 2001). Spektrofotometer massa

bekerja melalui ionisasi molekul dan kemudian menyeleksi dan

mengidentifikasi ion tersebut berdasarkan rasio massa per muatan

(m/z). Kunci utama proses ini adalah sumber ion (ion source) yang

menghasilkan ion dan mass analyzer yang menyeleksi ion.

Gambar 6.5 LC/MS Sistem

B. Kolom

Umumnya, analisis HPLC dewasa ini menggunakan sistem fase

terbalik (Reversed Phase-High Performance Liquid Chromatography).

Hal ini berdasarkan waktu yang lebih singkat, baik yang diperlukan

untuk equilibrasi kolom maupun waktu analisis dan luasnya jenis

sampel yang dapat dianalisis dengan menggunakan RP-HPLC (Ahuja

and Dong, 2005). RP-HPLC lebih banyak digunakan karena kekuatan

elusi fase gerak yang lebih mudah diatur; equilibrasi antara kolom dan

fase diam lebih cepat daripada NP-HPLC (Normal Phase High

18

Page 19: Death Involving Buprenorphine French Cases

Performance Liquid Chromatography), jarang menggunakan elusi

gradient, kolom RP-HPLC jika dikombinasikan dengan elusi gradien

dapat memisahkan analit dengan rentang yang luas.

(Gunzler and Williams, 2001).

Kolom silika yang paling banyak digunakan adalah kolom C18 atau

ODS (octyldecyl-silica). Sekitar 80% pemisahan dengan HPLC

dilakukan dengan kolom C18. Fase diam yang terikat secara kimiawi

umumnya dibuat melalui derivatisasi gugus silanol dari silika. Gugus

silanol yang belum bereaksi kemudian dihilangkan dengan end –

capping zat pelapis. End – capping dari fase diam yang digunakan

menyebabkan fase diam menjadi lebih stabil, menghasilkan puncak –

puncak dengan keterpisahan yang baik dan memperpanjang masa. Fase

diam C18 merupakan salah satu fase diam yang termasuk ke dalam fase

diam derivat silika yang bersifat nonpolar. Senyawa akan tertambat

lebih lama di dalam kolom C18, sehingga pemisahan menjadi lebih

optimal (Gunzler and Williams, 2001).

Tabel 6.2 Silica Bonded-Phase Coloumn

C. Fase Gerak

Fase gerak yang umum digunakan dalam LC fase balik,

diantaranya adalah air, acetonitril, dan methanol yang ideal untuk

LC/MS. Semua solven harus di degass sebelum analisis dengan

LC/MS untuk menjaga stabilitas sinyal ion. Degass dapat dilakukan

dengan sonifikasi, helium sparging, atau membrane vakum. Jika

19

Page 20: Death Involving Buprenorphine French Cases

menggunakan solven yang banyak mengandung fase air, maka perlu

temperature perlu dinaikkan untuk membantu desolvasi dalam

sumber ion. Solven pada kromatografi cair dengan fase normal

seperti diklorometan, toluena, heksan, dan pelarut organik

hodrokarbon lainnya tidak dianjurkan penggunaannya pada sistem

ESI-MS. Hal ini karena pada sistem ESI-MS membutuhkan solven

yang bersifat polar untuk proses ionisasi.

D. Ion Source

Sumber ionisasi yang ideal untuk MS harus memberikan efisiensi

ioniasi dan stabilits ion yang tinggi untuk selanjutnya dianalisis dengan

mass analyzer. Tersedia berbagai metode ionisasi, yaitu EI, CI, APCI,

DI, ESI, DESI, dan MALDI (McMaster, 2005).

Tabel 6.1 Metode-Metode ionisasi

Pada metode Atmospheric Pressure Ionization (API), molekul

analit mula-mula diionisasi terlebih dahulu pada tekanan atmosfer,

selanjutnya ion-ion analit dipisahkan dari molekul netral secara

mekanik dan elektrostatik. Teknik Atmospheric Pressure Ionization

(API) ini umumnya digunakan untuk mengionisasikan molekul sampel

yang thermolabil seperti peptida, protein, dan polimer (Bramer, 1997).

20

Page 21: Death Involving Buprenorphine French Cases

Teknik Atmospheric Pressure Ionization (API) yang umum

digunakan antara lain Electrospray Ionization (ESI), atmospheric

pressure chemical ionization (APCI), dan atmospheric pressure

photoionization (APPI).

Ionisasi electrospray bergantung pada pelarut yang digunakan

untuk memungkinkan analit mampu mengion dengan baik sebelum

mencapai spektrofotometer massa. Eluen LC disemprotkan bersamaan

dengan gas nebulizer ke dalam bidang elektrostatik pada tekanan

atmosfer yang akan menyebabkan disosiasi lebih lanjut molekul analit.

Pada saat yang bersamaan gas yang dipanaskan menyebabkan

menguapnya pelarut sehingga tetesan analit menyusut, konsentrasi

muatan dalam tetesan meningkat. Keadaan akan memaksa ion untuk

bermuatan melebihi kekuatan kohesif atau ion dikeluarkan ke dalam

fase gas. Ion-ion yang tertarik akan melewati pipa kapiler, pengambilan

sampel yang akan diteruskan ke dalam mass analyzer (Ginting, 2012).

Proses ionisasi dengan electrospray meliputi tiga tahap utama yaitu

Nebulization dan pemberian muatan; Desolvation dan Ion evaporation

(McMaster, 2005).

Gambar 6.6 API Electrospray Ionization (Ginting, 2012).

21

Page 22: Death Involving Buprenorphine French Cases

Gambar 6.7 Prinsip umum ESI (Baynham, 2006)

E. Voltase Ionisasi

Salah satu parameter instrument yang penting adalah high voltage

yang digunakan baik dalam ESI maupun APCI, termasuk capillary

voltage dan corona discharge voltage. Dalam LC/ESI-MS, medan

listrik kuat dihasilkan dengan mensuplai voltase kapiler (capillary

voltage), umumnya 4 – 5 kV. Dalam LC/APCI-MS, voltage yang lebih

rendah digunakan pada corona pin, umumnya 2,5 – 3 kV. Voltase yang

tinggi ini dapat disesuaikan untuk memaksimalkan sensitivitas.Selain

itu, posisi kapiler ESI atau penyelidikan APCI mungkin memiliki

dampak pada sinyal ion dan harus dioptimalkan (McMaster, 2005).

F. Pompa vakum

Vakum dalam spektrometer massa berfungsi untuk

mempertahankan ion hingga mencapai detektor tanpa mengalami

perubahan menjadi molekul gas lainnya. Perubahan ini dapat

menurunkan resolusi dan sensitivitas dari instrumen karena

meningkatnya energi kinetik yang menginduksi fragmentasi ion atau

mencegah ion untuk mencapai detektor (Siuzdak, 1996).

Terdapat tiga jenis pompa vakum dalam spektrometer massa, yaitu

pompa vakum dengan baling-baling berputar yang dilapisi minyak

(pompa mekanik), pompa vakum difusi minyak dan pompa molekul

turbo. Prinsip pompa mekanik dapat mencapai tekanan 10-3 torr. Pompa

22

Page 23: Death Involving Buprenorphine French Cases

mekanik biasanya menunjukkan kapasitas pemompaan 50 sampai 150

L/min. Pompa difusi minyak harus memiliki tekanan di bawah 10-2 torr.

Pompa vakum difusi mencapai tekanan 10-9 torr ketika didinginkan

dengan nitrogen cair (McMaster, 2005).

G. Mode Ionisasi

Pengaturan ionisasi diawali dengan pemilihan mode ionisasi, yaitu

mode ion positif atau negative. Pemilihan mode ini tergantung pada

struktur analit. Untuk senyawa dasar (misalnya amine), dapat digunakan

mode ion positif untuk membentuk molekul terprotonasi (protonized

atau cationized). Untuk senyawa asam, molekul terdeprotonasi dibentuk

dengan mode ion negative.

H. Interface

Sistem interface berfungsi menghubungkan sistem HPLC dengan

MS. Kebutuhan dasar interface adalah mampu menjaga performance

kromaografi (pelebaran pita minum), efisiensi transfer yang tinggi dari

LC ke MS, dan tidak menyebabkan degradasi dalam MS. Berbagai jenis

interface adalah : Direct Liquid Introduction, Moving Belt System,

Thermospay, Continuous-Flow FAB, Atmospherric Pressure

Photoionization, Particle Beam, dan API. Interface yang paling banyak

digunakan adalah API, yaitu ESI dan APCI. Proses ESI pada dasarnya

adalah elektroforetik. ESI melibatkan pembentukan mikro-droplet

bermuatan dengan pemberian medan listrik kuat, kemudian evaporasi

droplet dengan menggunakan gas pengering (N2) atau desolvasi termal.

Proses APCI mirip dengan ESI, namun proses pembentukan ion

terpisah dari proses evaporasi solven.

I. Mass Analyzer

Instrumen memiliki variasi dalam kemampuannya yang tergantung

pada desain dan tujuan yang diinginkan. Hal ini juga berlaku untuk

23

Page 24: Death Involving Buprenorphine French Cases

spektrometer massa, (mass analyzers) penganalisis massa berkontribusi

terhadap akurasi, range, dan sensitivitas instrumen. Terdapat enam jenis

umum dari mass analyzers yaitu : quadrupole, quadrupole ion traps,

magnetic sector, time-of-flight, dan time-of-flifht reflectron (Siuzdak,

1996).

Inti dari spektrometer massa adalah penganalisis massa (mass

analyzers), yang mampu memisahkan ion berdasarkan massa dengan

muatan (m/z). Ion yang dipisahkan dapat berupa ion bermuatan positif

yang merupakan hasil kombinasi dari molekul ion dan komponen

pelarut pada fase gerak. Fragmentasi ion dari adanya tumbukan pada

ruang chamber, atau ion bermuatan negative yang dihasilkan akibat

perubahan polaritas pada ruang ionisasi dan dalam pengaturan fokus

lensa. Tujuan analyzer adalah untuk menahan ion, pemilihan ion massa

tertentu sebagai frekuensi radio dipindai, dan memindahkan ion yang

terpilih ke detektor untuk dilakukan perhitungan (McMaster, 2005).

Tabel 6.3 Karakteristik Mass Analyzer

J. Mode Kuantitasi

Dua pendekatan yang sering digunakan untuk meningkatkan limit

deteksi adalah SIM dan MRM. Dalam studi LC/MS, umumnya

sensitivias deteksi ditingkatkan dengan membatasi scan mass analyzer

24

Page 25: Death Involving Buprenorphine French Cases

hanya untuk 1 ion, yaitu SIM. Pada studi MS/MS yang sering

menggunakan triple quadrupole MS, umumnya digunakan teknik

MRM. Q1 diatur untuk melewatkan ion induk. Q2 digunakan sebagai

collision cell untuk memfragmentasikan ion induk. Q3 berperaan dalam

mentrasmisikan hanya produk ion terpilih dari ion induk.

VII. Metode

7.1 Alat dan Bahan

A. Alat

- Liquid chromatograph (LC sistem Alliance)

- Kolom : NovaPak (C18, ukuran 150 mm x 2.0 mm i.d)

- Detektor : Perkin Elmer Sciex API 100 Mass Spectrometer.

- Sentrifuge

- Peralatan penunjang laboratorium lainnya

B. Bahan

- Sampel plasma

- Sampel rambut

- kloroform

- 2-propanol

- N-heptane

- Standar Buprenorfin-d4

- Standar Norbuprenorfin-d3

- Metilen klorida

- Metanol

- Asetonitril

- Amonium asetat

7.2 Prosedur Kerja

A. Preparasi Sampel Darah

Sebanyak 3 mL sampel darah ditambahkan sebanyak 15 ng

Buprenorfin-d4 dan Norbuprenorfin-d3 diekstraksi dengan 5 mL

kloroform:2-propanol:N-heptana (25:10:65 v/v) pada pH 8,4.

25

Page 26: Death Involving Buprenorphine French Cases

Selanjutnya di campur dan disentrifugasi pada kecepatan 3000 rpm

selama 5 menit. Fase organik dihilangkan dan ektrak yang diperoleh

setelah penguapan direkonstitusi dengan 25 µL metanol.

B. Preparasi Sampel Rambut

Sebanyak 100 mg sampel rambut dicuci sebanyak dua kali masing-

masing dengan menggunakan metilen klorida sebanyak 5 mL pada

suhu ruangan. Helai rambut dikecilkan ukuran partikelnya (hingga

menyerupai serbuk) dan sebanyak 50 mg rambut yang telah diserbukan

ditambahkan 15ng Buprenorfin-d4 dan Norbuprenorfin-d3. Selanjutnya

diinkubasi dalam 1 mL HCL 0,1N selama semalam pada suhu 56°C.

Campuran dinetralkan dengan NaOH, kemudian fase yang terlarut

diektraki dengan 5 mL kloroform:2-propanol:N-heptana (25:10:65 v/v)

pada pH 8,4. Selanjutnya di campur dan disentrifugasi pada kecepatan

3000 rpm selama 5 menit. Fase organik dihilangkan dan ektrak yang

diperoleh setelah penguapan direkonstitusi dengan 25 µL metanol.

C. Analisis Dengan LC-MS

Kolom dikondisikan dengan fase gerak campuran

asetonitril:ammonium asetat (50:85 %v/v) selama 2 menit dengan laju

alir 0,1 ml/menit. Sampel dari rambut atau darah yang telah dipreparasi

masing-masing diinjeksikan sebanyak 5 µL ke dalam kolom dan analit

dielusi dengan menggunakan eluen asetonitril:ammonium asetat (50:85

%v/v) selama 10 menit di dalam kolom C18. Deteksi analit dilakukan

dengan API 100 Mass Spetrometer. Data spektra massa dari detector

dikumpulkan dengan mode scanning single ion monitoring yakni m/z

414 dan 417 untuk Norbuprenorfin dan Norbuprenorfin-d3 serta pada

m/z 468 dan 472 untuk identifikasi spektra massa Buprenorfin dan

Buprenorfin-d4.

26

Page 27: Death Involving Buprenorphine French Cases

VIII. Hasil dan Pembahasan

Umumnya interpretasi konsentrasi suatu senyawa dari kasus

postmortem atau setelah kematian mampu memberikan informasi yang

sangat membantu toksikologis untuk dapat menunjukkan dan menjelaskan

dosis farmakologi, dosis toksis, dan dosis letal senyawa tersebut. Meskipun

dalam kasus Buprenorfin ini tidak didapatkan literature atau pendukung

informasi yang cukup untuk digunakan sebagai sumber referensi.

Huestis (2000) menyebutkan bahwa buprenorfin dalam studi klinis

memiliki efek terapetik dengan dosis 2-20 ng/mL, dan tidak terdapat data

dosis toksik maupun dosis letal, sehingga akan mengakibatkan masalah

dalam pengobatan. Publikasi Tracqui et al (tahun) mengaitkan 20 kejadian

kematian akibat paparan buprenorfin, meskipun kadarnya berada dalam

konsentrasi terapetik, dan tidak adanya petunjuk penyebab kematian yang

jelas. Oleh sebab itu muncul dugaan bahwa buprenorfin mampu

memberikan efek letal tanpa terjadi overdosis ketika terdapat interaksi

dengan obat-obatan lain seperti obat psikotropika.

Hasil penelitian terbaru yang dihimpun dari Strasbourg dan beberapa

kota tempat lainnya didapatkan penemuan pendahuluan berupa data

toksikologis seperti pada tabel dibawah ini:

27

Page 28: Death Involving Buprenorphine French Cases

Berdasarkan data toksikologi di atas, konsentari buprenorfin pada

darah berada dalam rentang 0,5 – 51 ng/mL dengan rata-rata konsentrasi

12.2 ng/mL; metabolit norbuprenorfin berada pada rentang 0,2 ng/mL

sampai 47,1 ng/mL dengan rata-rata 8,2 ng/mL untuk daerah Strasbourg.

Sedangkan pada daerah lain, buprenorfin berada dalam rentang 0,1 ng/mL

sampai 76 ng/mL dengan rata-rata konsentrasi 12,6 ng/mL; metabolit

norbuprenorfin berada dalam rentang <0,1 sampai 65 ng/mL dengan rata-

rata 10,6 ng/mL.

96 subyek yang diidentifikasi adalah pria (82%) dari 117 keseluruhan

subjek, hampir semuanya memiliki status social yang rendah. Keadaan

dimana didapati 2/3 kejadian kematian dari subjek diakibatkan oleh obat-

obatan. Hal ini didukung ditemukannya kemasan kososng Subutex®

dan/atau tersisanya burpenorphine (pada sendok, sedotan, dll.), dan obat-

obatan psikotropika berikut alat suntik dan bekas suntikan pada tubuh. Hasil

autopsy tidak menunjukkan adanya tindak kekerasan pada tubuh, namun

dari semua mayat yang diidentifikasi, ditemukan adanya asfiksiasi dengan

tanda-tanda sianosis dalam, udema paru-paru dan kongesti multiviseral.

Tanda-tanda ini merupakan petunjuk yang lazim terdapat pada kasus

kematian akibat obat-obat depresan saraf pusat, khususnya golongan opiate.

Buprenorfin dapat ditemukan dari 24 dari 26 sampel rambut yang

dilakukan di Strasbourg. Hal ini merupakan indikasi penggunaan kronis dari

obat-obatan terlarang untuk individu terkait. Buprenorfin ditemukan pada

rentang kadar 10 sampai 1080 ng/mg dan metabolit norbuprenorfin

ditemukan pada rentang kadar tak terdeteksi sampai 1020 pg/mg. Berikut

adalah 5 contoh kasus kejadian kematian buprenorfin yang ditemukan di

Strasbourg:

28

Page 29: Death Involving Buprenorphine French Cases

Disamping itu, dari 117 kasus, terdapat 2 kasus bunuh diri dan kadar

buprenorfin dalam darah adalah 144 dan 3276 ng/mL. Kematian yang

diakibatkan oleh buprenorfin sendiri terllihat tidak biasa dikarenakan dari

semua kasus terdapat bukti konsumsi obat-obat psikotropika lainnya, seperti

golongan benzodiazepam. Penggunaan bersama-sama dengan benzodiazepin

telah dilaporkan dari beberapa pengobatan sebelumnya, dimana tidak terjadi

adanya depresi pernafasan yang fatal ketika buprenorfin diberikan bersama

pasien yang dianastesi. Hal ini menunjukkan bahwan efek penekan saraf

pusat buprenorfin diakibatkan oleh potensial efek sinergis dari beberapa obat

benzodiazepin. Interaksi yang sama juga terdapat pada buprenorfin dan obat

psikotropika lainnya seperti obat neuroleptik dan antidepresan.

37 kasus melibatkan obat neuroleptik, terdapat 26 kasus ditemukan

cyamemazine. Sedangkan 18 kasus terdapat obat antidepresan, terdapat 8

kasus ditemukan golongan trisiklik dan 10 kasus terdapat serotonin reuptake

inhibitors. Pada kasus yang melibatkan konsumsi obat narkotika seperti

morfin (12 kasus, 8 kasus diantaranya didapati konsentrasi toksik pada

darah), kodein (2 kasus), metadon (4 kasus), petidin (1 kasus) dan

propoxphene (4 kasus). Kejadian fatal lainya melibatkan konsumsi alcohol

(etanol) dan buprenorfin (4 kasus).

Interaksi buprenorfin dan benzodiazepin mampu menghasilkan efek

yang terlihat pada fase farmakokinetik maupun farmakodinamik. Dalan uji

coba in vitro diketahui terdapat interaksi buprenorfin dan benzodiazepin

dengan enzim CYP3A yang terdapat pada tikus dan manusia. (Ibrahim et al,

29

Page 30: Death Involving Buprenorphine French Cases

2000). Dalam penelitian ini juga diketahui bahwa terdapat inhibisi enzim

yang pada konsentrasi benzociazepin tertentu dalam plasma yang

mengakibatkan efek penekan system saraf pusat (CNS) yang berlebihan.

Penambahan efek sinergis berhubungan dengan interaksi farmakokinetika

yang juga mengakibatkan penurunan fungsi system pernafasan.

Interaksi buprenorfin dan obat-obat antidepresan juga telah diketahui;

obat-obat antidepresan dapat diberikan bersamaan dengan obat analgesic

khususnya ketika terdapat sakit kronis bersamaan dengan adanya depresi

(Saarialho et al., 1987). Buprenorfin sendiri mampu memberikan efek

depresi sistem pernafasan, namun peningkatan secara signifikan dalam end-

tidal karbon dioksida akan muncul dalam waktu 2-4 jam setelah administrasi

obat antidepresan dan buprenorfin. Sedangkan administrasi bersama

serotonin reuptake inhibitor akan meningkatkan bioavailabilitas buprenorfin

(Iribarne et al., 1998).

Konsentrasi tinggi dari metabolit norbuprenorfin juga memberikan

kontribusi toksisitas buprenorfin. Konsentrasi norbuprenorfin berada

dibawah konsentrasi buprenorfin setelah administrasi dosis tunggal, namun

akan ekivalen setelah administrasi dosis perhari. Norbuprenorfin memiliki

potensial yang kurang untuk menimbulkan efek analgesic, namun memiliki

potensi yang lebih besar untuk menimbulkan efek depresi system pernafasan

(10 kali lebih poten) (55). Norbuprenorfin mampu terikat pada reseptor µ

pada paru-paru akan memberikan efek depresan tambahan pada system

pernafasan atau melipatgandakan subtype µ reseptor yang terkait dengan

efek analgesic atau depresan pernafasan akan terikat dengan afinitas yang

berbeda pada buprenorfin dan norbuprenorfin (Ohtani et al., 1997)

Meninjeksikan buprenorfin sublingual tablet yang dihancurkan

melalui intravena akan mengakibatkan meningkatkan potensial overdosis.

Administrasi buprenorfin dalam klinis secara intravena mampu memberikan

efek yang cepat karena jumlah dan kecepatan distribusi obat

(bioavailabilitas) untuk sampai pada reseptor sangat baik dengan cara

intravena (sumber intravena). Sehingga administrasi Subutex® dalam dosis

30

Page 31: Death Involving Buprenorphine French Cases

tinggi bersama-sama dengan obat linnya akan memberikan faktor yang

penting dalam berbagai kasus toksisitas buprenorfin, meskipun buprenorfin

mampu memberikan “ceiling effect” atau efek agonis/antagonis yang

mampu mengurangi resiko overdosis buprenorfin tunggal (Walsh et al.,

1994).

IX. Kajian Forensik

Masalah Forensik:

a. Membuktikan adanya penyalahgunaan buprenorfin dalam kasus

kematian.

b. Mengetahui kadar senyawa buprenorfin dan substansi lainnya yang

terkandung dalam sampel.

c. Mengetahui adanya interaksi buprenorfin dengan senyawa lain yang

berpotensi menyebabkan toksisitas dan kematian.

Kasus kematian akibat buprenorfin yang terjadi di daerah Strasbourg dan

beberapa kasus membuktikan adanya drug abuse, hal ini didukung data

toksikologi yang menunjukkan adanya administrasi buprenorfin secara

bersama-sama dengan obat-obat lainnya sehingga mampu memberikan efek

toksik yang membahayakan penggunanya. Meskipun buprenorfin dapat

diberikan atas kepada pasien, namun data konsentrasi toksik dan letal belum

ditemukan. Sehingga penggunaan obat yang melebihi dosis terapetiknya dapat

membahayakan kesehatan bahkan dapat menimbulkan kematian.

Jawaban kasus:

1. Penyalahgunaan buprenorfin pada kasus kematian dibuktikan karena

didapatkannya buprenorfin dan atau metabolitnya bersama dengan

obat-obatan terlarang lainnya pada uji darah dan rambut.

Penyalahgunaan buprenorfin kronis dibuktikan oleh adanya sejumlah

metabolit senyawa induk yang ditemukan pada rambut mayat. Serta

bukti-bukti di TKP yang menunjukkan adanya obat/sisa/bungkus obat

dan peralatan penyalahgunaan obat seperti alat suntik.

31

Page 32: Death Involving Buprenorphine French Cases

2. Kadar buprenorfin yang ditemukan pada kasus kematian akibat

buprenorfin didapati berada pada kadar terapetiknya.

3. Adanya interaksi buprenorfin dengan obat-obatan lainnya dapat

meningkatkan potensi toksisitas buprenorfin terhadap penggunanya.

Ditemukannya tanda-tanda ini merupakan petunjuk yang lazim

terdapat pada kasus kematian akibat obat-obat depresan saraf pusat,

khususnya golongan opiat seperti ditemukan adanya asfiksiasi dengan

tanda-tanda sianosis dalam, udema paru-paru dan kongesti

multiviseral, dan tidak ditemukannya tanda-tanda kekerasan

menunjukkan bahwa kasus kematian diakibatkan karena keracunan

senyawa tertentu.

X. Kesimpulan

Tujuan analisis adalah melakukan penelitian baru pada kasus kematian

akibat buprenorphine serta melengkapi data kadar buprenorphine yang mampu

memberikan efek letal di daerah Strasbourg dan beberapa daerah berbeda di

Perancis.

Metode analisis yang digunakan untuk identifikasi buprenorfin baik

secara kualitatif maupun kuantitatif adalah LC-MS, dimana metode ini mampu

mengkuantitasi konsentrasi buprenorfin dan metabolt norbuprenorfin yang

ditemukan dalam sampel darah dan rambut meskipun dalam kadar yang tidak

terlalu tinggi atau berada dalam kadar terapetik (ng/mL). Namun dengan

adanya administrasi bersama-sama dengan obat-obatan lainnya, ditemukan

bahwa hal tersebut berpotensi meningkatan potensi toksisitas pada

pengguna/pecandu sehingga dapat mengakibatkan kematian (efek letal).

32

Page 33: Death Involving Buprenorphine French Cases

DAFTAR PUSTAKA

Agilent. 2001. Basic of LC/MS. USA: Agilent Technology.

Balikova, M. 2005. Hair Analysis For Drugs of Abuse. Plausibility of

Interpretation. Biomed Pap Med Fac Univ Palacky Olomouc Czech Repub,

Vol. 149, No. 2. Page 199–207.

Chiarotti M. dan S. Rossi. 1996. Preparation of hair samples for drug analysis.

Forensic Sci Rev, Vol. 8. Hal. 111–128

Cook, D. S., R. A. Braithwaite, K. A. Hale. 2000. Estimating Antemortem Drug

Concentrations From Postmortem Blood Samples: The Influence Of

Postmortem Redistribution. J. Clin. Pathol, Vol. 53. p. 282-285

Flanagan, R. J., A. Taylor, I. D. Watson, R. Whelpton. 2007. Fundamentals of

Analytical Toxicology. John Wiley and Sons Ltd: West Sussex

Ginting, M. K. 2012. Validasi Metode LC-MS/MS Untuk Penentuan Senyawa Asam

Trans, Trans-Mukonat, Asam Hippurat, Asam 2-Metil Hippurat, Asam 3-

Metil Hippurat, Asam 4-Metil Hippurat dalam Urin Sebagai Biomarker

Paparan Benzena, Toluena, dan Xilena (Skripsi). Depok: Universitas

Indonesia.

Gjerde, H., E. L. Øiestad dan A. S. Christophersen. 2011. Using biological samples

in epidemiological research on drugs of abuse. Norsk Epidemiologi, Vol. 21,

No. 1. Page. 5-14

Gunzler, H. and A. Williams. 2001. Handbook of Analytical Techniques. Weinheim

: Wiley-VCH

Huestis, M., 2000. Controlled Buprenorphine Administration Studies, Workshop on

Pharmacology and Toxicology Buprenorphine in: Proceedings 52nd annual

Meeting American Academy Forensic Science. NV.Ibrahim, R.B., et al.

2000. Effect ib Buprenorphine on CYP3A Activity in Rat and Human Liver

Microsomes. Life Sci. Vol. 66: 1293-1298

Iribarne C, et al., 1998. In vitro Interactions Between Fluoxetine or Fluoxamine and

Methadone or Buprenorphine. Fundam Clin Pharmacol. Vol. 12: 194-199

Karch, Steven B. 1998. Drugs Abuse Handbook. CRC Press LLC. USA

33

Page 34: Death Involving Buprenorphine French Cases

McEvoy, G. K., J. L. Miller, J. Shick and E. D. Millikan. 2002. AHFS : Drug

Information. USA : American Society of Health-System Pharmacists, Inc. P.

2043-2084

McMaster, M. C. 2005. LC/MS a Practical User’s Guide. New Jersey: John Wiley

& Sons, Inc.

Moffat, A. C., M. D. Osselton and B. Widdop. 2005. Clarke’s Analysis of Drug and

Poisons. 3rd Editions. London : Pharmaceutical Press.

Musshoff, F. Dan B. Madea. 2006. Review of Biologic Matrices (Urine, Blood,

Hair) as Indicators of Recent or Ongoing Cannabis Use. Ther Drug Monit,

Vol. 28

Ohtani, M., 1997. Kinetics of Respiratory Depression in rats induced by

buprenorphine and its metabolite, norbuprenorphine. J Pharmacol Exp Ther.

Vol 281: 428-433

Pearce, E. C. 2006. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta : PT Gramedia.

Saarialho, et al., 1987. Respiratory and Neuroendocrinological Effects of

Buprenorphine and Amitriptyline in Healthy Volunteers. Eur J. Clin.

Pharmacol. Vol. 33: 139-146

Siuzdak, G. 1996. Mass Sepctrometry for Biotechnology. London: Academic Press.

Skoop, G., et al., 2004. Preanalytic Aspects in Postmortem Toxicology. Forensic

Sci Int. Vol. 142: 75-100

Smyth, Malcolm R. 1992. Chemical Analysis in Complex Matrices. England : Ellis

Horword PTR Prentice Hall.

Vassiliki, A. B., k. S. Ziavrou dan Theodore Vougiouklakis. 2006. Hair as a

Biological Indicator of Drug Use, Drug Abuse or Chronic Exposure to

Environmental Toxicants. International Journal of Toxicology, Vol. 25. Hal.

143–163

Walsh, S.L., et al., 1994. Clinical pharmacology of buprenorphine: Ceiling effect at

high doses. CLin Pharmacol ther. Vol 55: 569-580

34