Top Banner
Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman, Tjie Tjing Thomas • Pra-cetak: Aming • Alamat Redaksi: GII HOK IM TONG, Jl. Gardujati 51 Bandung 40181 Tel. 022-6016455 Fax. 6015275 e-mail: [email protected] • www.hokimtong.org • Rekening Bank: CIMB NIAGA 205.01.00018.00.1 a.n. GII Hok Im Tong • Bank Central Asia 514.003.0700 a.n. GII Gardujati Buletin Euangelion menerima karangan (baik terjemahan, saduran dan asli). Redaksi berhak mengubah isi karangan yang akan dimuat. Karangan yang tidak dimuat hanya dikembalikan kepada pengirim apabila disertai sampul yang sudah diberi alamat lengkap dan perangko secukupnya • Buletin Euangelion juga menerima persembahan saudara yang terbeban. Semua persembahan dapat diserahkan melalui kantor gereja atau ke rekening bank tercantum di atas. DARI MEJA REDAKSI BUDAYA. Membaca judul ini, kami yakin pikiran para pembaca akan melayang pada hal-hal yang bersangkutan dengan kesenian dari suatu bangsa, daerah, suku bangsa tertentu. Sesungguhnya kata ini luas cakupannya. Ini merupakan sesuatu yang ada kaitannya dengan pikiran dan akal budi manusia, suatu kegiatan manusia yang sudah mendarah daging karena terus-menerus dilakukan. Misalnya, jika kita berbicara mengenai budaya orang Sunda, maka itu dapat mengenai keseniannya, adat istiadatnya, bahasanya, ataupun kebiasaan orangnya. Sekarang ini orang banyak memakai kata “budaya” untuk menunjukkan suatu kebiasaan yang sudah begitu mendarah daging sehingga dapat dianggap sebagai bagian dari kehidupan manusia. Contohnya, korupsi sudah menjadi bu- daya dalam suatu organisasi, mulai dari yang kecil seperti perusahaan, sampai yang besar seperti badan pemerintahan. Budaya nyontek merupakan kegiatan yang umum dilakukan diantara para pelajar atau orang yang belajar sesuatu. Budaya bergosip merupakan kegiatan yang biasanya terjadi begitu dua orang dan lebih wanita bertemu. Budaya gadget sudah demikian merasuki sebagian besar orang di dunia ini, dari balita sampai orang dewasa, sehingga patut di- waspadai. Dan masih ada segudang budaya lainnya. Sebagai anak-anak Tuhan, alangkah indahnya jika kita jadikan membaca Al- kitab budaya kita dari balita sampai usinda, seperti layaknya smartphone bagi orang dunia. Dan alangkah baiknya jika budaya bergosip kita alihkan menjadi budaya menginjil, memperhatikan sesama yang membutuhkan kasih Kristus. Dan budaya korupsi kita ubah menjadi budaya donasi, memberikan bantuan pada mereka yang hidup berkekurangan. Di dalam edisi ini, kami telah mengumpulkan sejumlah ‘budaya’ yang patut disimak dan diketahui oleh anak-anak Tuhan agar kita dapat menjadi terang dan garam dunia seperti yang Tuhan kita perintahkan, bukannya terbawa-bawa oleh arus dunia, hidup seperti orang dunia. SELAMAT BERBUDAYA YANG BENAR! Redaksi 1 EUANGELION 173
108

DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

Aug 10, 2019

Download

Documents

vuanh
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman, Tjie Tjing Thomas • Pra-cetak: Aming • Alamat Redaksi: GII HOK IM TONG, Jl. Gardujati 51 Bandung 40181 Tel. 022-6016455 Fax. 6015275 e-mail: [email protected] • www.hokimtong.org • Rekening Bank: CIMB NIAGA 205.01.00018.00.1 a.n. GII Hok Im Tong • Bank Central Asia 514.003.0700 a.n. GII Gardujati

Buletin Euangelion menerima karangan (baik terjemahan, saduran dan asli). Redaksi berhak mengubah isi karangan yang akan di muat. Karangan yang tidak dimuat hanya dikembalikan kepada pengirim apabila disertai sampul yang sudah diberi ala mat le ng kap dan perangko secukupnya • Buletin Euangelion juga menerima persembahan saudara yang terbeban. Semua persembahan da pat diserahkan melalui kan tor gereja atau ke rekening bank tercantum di atas.

DARI MEJAREDAKSI

BUDAYA. Membaca judul ini, kami yakin pikiran para pembaca akan melayang pada hal-hal yang bersangkutan dengan kesenian da ri suatu bangsa, daerah, suku bangsa tertentu. Sesungguhnya ka ta ini luas cakupannya. Ini merupakan sesuatu yang ada kait annya dengan pikiran dan akal budi manusia, suatu kegiatan ma nu sia yang sudah mendarah daging karena terus-menerus dilakukan. Misalnya, ji ka kita berbicara mengenai budaya orang Sunda, maka itu dapat mengenai ke seniannya, adat istiadatnya, bahasanya, ataupun kebiasaan orangnya. Sekarang ini orang banyak memakai kata “budaya” untuk menunjukkan sua tu kebiasaan yang sudah begitu mendarah daging sehingga dapat dianggap se bagai bagian dari kehidupan manusia. Contohnya, korupsi sudah menjadi bu-daya dalam suatu organisasi, mulai dari yang kecil seperti perusahaan, sampai yang besar seperti badan pemerintahan. Budaya nyontek merupakan kegiatan yang umum dilakukan diantara para pelajar atau orang yang belajar sesuatu. Bu daya bergosip merupakan kegiatan yang biasanya terjadi begitu dua orang dan lebih wanita bertemu. Budaya gadget sudah demikian merasuki sebagian be sar orang di dunia ini, dari balita sampai orang dewasa, sehingga patut di-was padai. Dan masih ada segudang budaya lainnya. Sebagai anak-anak Tuhan, alangkah indahnya jika kita jadikan membaca Al-ki tab budaya kita dari balita sampai usinda, seperti layaknya smartphone bagi orang dunia. Dan alangkah baiknya jika budaya bergosip kita alihkan menjadi bu daya menginjil, memperhatikan sesama yang membutuhkan kasih Kristus. Dan budaya korupsi kita ubah menjadi budaya donasi, memberikan bantuan pada mereka yang hidup berkekurangan. Di dalam edisi ini, kami telah mengumpulkan sejumlah ‘budaya’ yang patut di simak dan diketahui oleh anak-anak Tuhan agar kita dapat menjadi terang dan ga ram dunia seperti yang Tuhan kita perintahkan, bukannya terbawa-bawa oleh arus dunia, hidup seperti orang dunia. SELAMAT BERBUDAYA YANG BENAR!

Redaksi

1 EUANGELION 173

Page 2: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

DAFTAR ISI

Kristus dan BudayaBudaya Yunani-Romawi dalam Perjanjian BaruBudaya ImanPengaruh Smartphone Terhadap Budaya dan Panggilan Orang Percaya Untuk Memuliakan TuhanMultikultural: Keniscayaan Untuk BermisiKristus & Budaya: Transformasi Melalui Sikap AkomodasiKebiasaan Solitude & Silence Menolong Mengatasi Keberhargaan Diri PalsuBudaya Menang Kalah Dalam Perspektif PsikologiKarakter Non Akademis Gaya Hidup Generasi Millennials: Smartphone-Mandiri-KolaborasiAnti Kebiasaan KorupBudaya PerusahaanKebudayaan Visual Kelas Menengah: Representasi Kebahagiaan dan Rasa Dicintai • 2 Korintus 3:2-3MeditasiMelestarikan Cagar BudayaObrolan RinganBudaya Hidup Sehat dan BersihSudut RefleksiSekolah Kecil di Belakang GerejaTokoh AlkitabKedatangan Kristus Yang Kedua KaliApresiasi MusikCrown Him With Many CrownsUlasan BukuYou Lost Me: Why Young Christians Are Leaving Church... and Rethinking Faith

Noertjahja NugrahaPdt. Chandra Gunawan

Teduh PrimandaruHerlise Y. Sagala, D.Th

Desiana M. NainggolanDr. Togardo Siburian

Grace Emilia

M. Yuni Megarini C.Ellen Theresia

Meilania

Donny A. WigunaW. Kirana

Wilton Djaya

Shirley Du

Pdt. Bong San Bun

Sandra Lilyana

Pdt. Agus Surjanto

Alonso Patiaraja

3132025

333946

495458

647074

7886

91

94

98

103

106

2 EUANGELION 173

Page 3: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

“Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah

oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang

berkenan kepada Allah dan yang sempurna.“

Roma 12:2

Manusia dan budaya adalah 2 hal yang seolah tak terpisahkan, se-bab pada dasarnya manusia terkait erat dengan komunitas di mana ia hi dup. Tiap-tiap individu memiliki ka rakteristik/perilaku tertentu. Ma ka mun cullah manusia-manusia yang erat menyatu dengan budaya di mana ia tinggal, bahkan sudah mendarah da ging, tercermin dalam pola pikir, pe rilaku, adat kebiasaan. Seorang da ri suku Batak misalnya, karena me rantau untuk kuliah di Bandung, lo gat Bataknya seolah lenyap dan di ganti dengan logat Sunda setelah ting gal di sana selama 2 tahun. Ia da pat beradaptasi dengan pengaruh bu daya dan bahasa setempat. Dalam konteks kekristenan, bu-da ya adalah konteks nyata tempat In jil berjumpa dengan manusia yang ting gal di dalamnya. Ia mewakili cara hi dup untuk suatu masa dan tempat ter tentu, dipenuhi dengan nilai, lam bang dan makna, menjangkau ha rapan-harapan yang ada. Tanpa ke-pekaan terhadap konteks budaya, ge-re ja dan teologia tidak akan berakar. Per kembangan gereja dan teologia di suatu tempat dipengaruhi oleh ke bu-da yaan yang ada di tempat tersebut.

Kristus dan Budaya Injil sebagai kabar baik ke se la-mat an di dalam Yesus Kristus tidak le pas dari kaitan budaya Yahudi di ma na Yesus lahir dan hidup. Oleh ka rena itu ada banyak tradisi Israel yang muncul dalam kesaksian Injil, se perti hari raya Pondok Daun, tahun Yo bel, aturan Sabat dan sebagainya. Be lum lagi budaya patriakhal yang di anut bangsa Yahudi menyebabkan pe ristiwa Yesus dicatat dari kacamata mas kulin, seperti peristiwa Yesus mem beri makan 5000 laki-laki. Dalam Alkitab terdapat banyak hal yang menceritakan tentang ajaran Tu han Yesus yang memakai adat is tiadat Yahudi untuk menjelaskan ke rajaan Allah. Dalam berbagai cara, to koh-tokoh teologia selalu berusaha me mbahas hubungan antara Kristus de ngan kebudayaan. Ketika Yesus ber inkarnasi sebagai manusia, Ia hi dup dalam lingkungan manusia tem pat Ia lahir dan dibesarkan oleh ibu dan bapa-Nya. Sebagai seorang ayah, ten tu Yusuf mengajar Yesus tentang hu kum-hukum dan adat yang terdapat da lam masyarakat Yahudi sebab Yusuf ada lah seorang Yahudi dan Maria ju ga seorang Yahudi, dimana sudah men ja di keharusan bagi seorang ayah un tuk mengajarkan hukum-hukum dan adat istiadat Ya-hudi kepada anak-anaknya. Dalam ki tab Ulangan di ka takan: “Kasihilah TU HAN, Allahmu, dengan segenap ha timu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu. Apa yang kuperintahkan kepadamu pada ha ri ini haruslah engkau perhatikan,

3 EUANGELION 173

Page 4: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

ha ruslah engkau mengajarkannya ber ulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila eng kau duduk di rumahmu, apabila eng kau sedang dalam perjalanan, apa bila engkau berbaring dan apabila eng kau bangun. Haruslah juga engkau me-ngikatkannya sebagai tanda pada ta-nganmu dan haruslah itu menjadi lam-bang di dahimu, dan haruslah engkau me nuliskannya pada tiang pintu ru-mahmu dan pada pintu gerbangmu.“ (Ul 6:6-9). Kebudayaan merupakan praktek hi dup yang dilakukan oleh suatu ke-lom pok masyarakat di suatu daerah ter tentu. Negara Indonesia, sebagai ne gara yang memiliki banyak suku, me miliki budaya yang banyak. Oleh ka rena itu, kekristenan yang masuk ke In donesia sejak lama, tidak lepas dari ke budayaan. Lama sebelum agama Kris ten datang ke Indonesia, telah ba nyak kebudayaan yang terbentuk da lam masyarakat Indonesia. Bukan ha nya di Indonesia, di seluruh du nia kebudayaan tidak bisa lepas da ri hidup manusia. Akan tetapi, ke bu-dayaan yang berbeda membuat ke lompok masyarakat tertentu me-ngalami problem terhadap ma suk nya kekristenan dan hal ini sudah ber-langsung sangat lama. Oleh ka re na itu, Kristus dan kebudayaan me ru-pakan hal yang tidak baru lagi untuk di perbincangkan. Dalam situasi ini, cu kup menolong bila kita mengingat bah wa masalah kekristenan dan per-adaban bukanlah hal yang baru dan bah wa kebingungan orang Kristen da lam bidang ini sudah berlangsung la ma, dan bahwa masalah ini adalah

ma salah yang ada sepanjang abad-abad kekristenan. Hal ini juga menjadi ma salah yang timbul pada masa kini. Se tiap orang yang lahir ke dunia ter-gabung dalam sebuah kebudayaan. Ti dak ada manusia yang lepas dari sua tu kebudayaan. Wilayah yang ber-beda menyebabkan budaya yang ber-beda. Seperti halnya budaya di Ba rat berbeda dengan budaya yang ada di Asia. Budaya daerah Jawa Barat atau Sunda berbeda dengan budaya Ja wa (Jateng dan Jatim), dan berbeda ju ga dengan budaya Sumatera Utara atau Batak. Begitupun dengan bu daya Sulawesi Utara atau Menado, Pa pua, Sumbawa, Kalimantan Barat atau Dayak. Oleh karenanya, cara pen de-kat an terhadap keduanya berbeda. De ngan demikian perlu dipahami me tode yang benar untuk mengatasi ma salah tersebut, yaitu dengan cara kon tekstualisasi. Masalah budaya terhadap iman Kris ten (kekristenan) merupakan ma salah yang tak putus-putusnya di bicarakan oleh banyak orang per-ca ya. Hal ini disebabkan manusia su dah memiliki kebudayaan sejak ter ciptanya suatu suku di daerah ter-tentu. Kebudayaan mempengaruhi ter bentuknya pribadi sesrorang. Se-belum seseorang mengenal Tuhan, ia pasti sudah memiliki pemahaman yang dibentuk berdasarkan budaya tem pat tinggalnya. Usaha manusia menemukan jalan ke luar terhadap masalah kebudayaan su dah menempuh waktu yang sung-guh lama. Sejak Injil berada di Asia, In jil tidak diterima dengan mudah. Hal ini disebabkan karena negara-

4 EUANGELION 173

Page 5: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

ne gara di Asia adalah negara-negara yang memiliki nilai budaya yang ting gi. Sebab itu, ketika Kristus di-bawa ke benua Asia, Injil akan ber-hadapan dengan budaya di mana In jil dibawa. Karenanya sangat perlu un tuk memahami dengan benar ba-gaimana hubungan antara Kristus dan Bu daya. Ketika seseorang yang membawa Kris tus ke suatu daerah tidak mengerti ba gaimana kebudayaan yang berlaku di daerah tersebut, akan timbul ma-salah yang tidak diinginkan. Jika hal ini terjadi pada saat pertama ka li Kristus diperkenalkan di daerah ter-sebut, maka untuk kali berikutnya akan mengalami kesulitan yang be sar untuk memperkenalkan Kristus ke daerah yang diinginkan untuk me-nge nal Kristus. Kebudayaan memegang peranan pen ting dalam hal hubungan antara ma nusia. Budaya merupakan suatu alat yang mempersatukan satu in-dividu dengan individu lain dalam sua tu kelompok masyarakat. Jika di-li hat dari sudut fungsi adat tersebut, adat adalah suatu alat komunikasi yang sangat mempersatukan ba-nyak orang. Kebudayaan sangat mem pengaruhi kehidupan umat ma nusia sebab konteks kebudayaan ti dak mencakup hanya satu hal sa ja. Budaya mencakup banyak hal da lam aspek hidup manusia, salah sa tu di antaranya adalah alat musik. Bu-daya memiliki cakupan yang sa ngat luas dan masing-masing ca kupan memberi arti tersendiri bagi ma sya-ra kat.

Ini memungkinkan studi terhadap apa yang disebut unsur-unsur budaya ting gi (seni, puisi, musik, keyakinan ke agamaan) dan unsur-unsur budaya rak yat (ada-istiadat, takhyul), serta un sur-unsur dari sistem budaya (or ga-nisasi sosial, organisasi, ekonomi dan politik) dalam cara yang m e mung-kin kan kita melihat mereka sebagai un sur-unsur yang mengikat dan saling ter kait. Dengan melakukan hal tersebut, pem bawa Injil Kristus akan lebih mu dah melakukan dan menilai bu-da ya tersebut dengan baik. Dari hal tesebut, dapat dilihat bahwa ke tika Yesus berinkarnasi sebagai ma nusia, Yesus juga ikut dalam men ja lankan kebudayaan yang ada dalam ling-kungan bangsa Yahudi. Gereja-ge reja Asia, khususnya di Indonesia ka ya, dengan keragaman budaya lo kal yang tak kalah menarik dan krea tif mewarnai kehidupan umat per caya. Ibadah-ibadah kita perlu mem beri tempat pada kekayaan bu daya lokal dalam hal musik, tarian, dan lain-lain yang tentunya lebih ber makna bagi individu-individu yang ter kait dengan budayanya masing-ma-sing. Berbagai gereja di Indonesia cen derung beribadah dengan tata iba dah pola Barat. Dengan demikian me ngabaikan potensi adat yang se-benarnya bisa dipakai untuk memuji Al lah. Hal inilah yang menyebabkan ma salah dalam lingkungan orang yang sudah percaya. Saat ini dalam kalangan orang per-ca ya, bukan lagi bagaimana Injil itu ma suk ke alam suatu daerah, tetapi

5 EUANGELION 173

Page 6: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

yang menjadi masalah sekarang ini adalah timbulnya masalah-masalah yang mempertentangkan Kristus dengan kebudayaan. Yang menjadi masalah dalam lingkungan gereja saat ini bukan hanya orang kafir yang menolak Kristus, namun orang percaya yang telah menerima Kristus juga menemui kesulitan dalam mengombinasikan tuntutan-Nya kepada mereka dengan tuntutan masyarakat. Pergumulan dan ketenteraman, ke menangan dan perdamaian, tidak ha nya terlihat secara terbuka di mana pi hak-pihak yang menyebut diri orang Kris ten dan orang-orang anti-Kristen ber temu. Lebih sering perdebatan ten tang Kristus dan kebudayaan ber langsung di antara orang Kristen, dan di dalam hati nurani individu yang tersembunyi, bukannya sebagai per-ta rungan dan penyesuaian diri antara per caya dengan yang tidak percaya, te tapi sebagai suatu pergumulan dan per damaian iman dengan iman. Pergumulan dan ketenteraman di da lam menjalani hidup bukan hanya ada pada kalangan orang yang belum per caya kepada Kristus saja, tetapi ju ga di kalangan orang yang sudah per caya. Masalah yang selalu datang hing ga saat ini adalah pemahaman ter hadap hubungan antara Kristus dan budaya. Hal ini disebabkan oleh hubungan Kristus dan budaya mem pengaruhi hubungan sesama ma nusia. Dalam masyarakat orang per caya saat ini terdapat paham yang me ngatakan bahwa Kristus dan bu-da ya adalah dua hal yang tidak bisa di gabungkan. Hal ini mendorong

se bagian orang percaya untuk tidak me megang kebudayaan dalam ling-kungan kekristenan. Akan tetapi di lain pihak ada orang percaya yang tetap memegang bu daya yang diwarisi dari nenek mo-yangnya, walaupun sudah menerima Kri s tus di dalam hidupnya. Kedua go longan ini memegang paham yang memiliki tujuan supaya iman ter hadap Kristus tidak terlupakan. Da lam kekristenan di Asia selalu mun cul masalah tentang bagaimana me nanggapi Kristus dan budaya. Da lam masyarakat Kristen se ka-rang ini, terdapat golongan yang memiliki Kristus dan ajaran ke kris-tenan dan pada waktu yang ber-sa maan menjalankan juga ajaran ke budayaan. Perpalingan kepada kekristenan bia sanya berarti membuang se-mua sistem keagamaan lainnya, te tapi nyatanya, dalam praktek hi-dup sebagian orang Kristen tetap mem pertahankan bagian-bagian pen ting atau keseluruhan dari sis tem tersebut. Hal inilah yang di ha da pi gereja sekarang ini. Dengan si tuasi yang seperti ini perlu adanya pem-ba haruan pemahaman terhadap Kris tus dan kebudayaan. Pandangan yang baik terhadap hubungan Kristus dan kebudayaan membuat sikap dan praktek hidup yang baik dalam me-ng ikut Tuhan.

I. Definisi Budaya Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki ber sa-ma oleh suatu kelompok orang dan di wariskan dari generasi ke generasi.

6 EUANGELION 173

Page 7: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

Bu daya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, per kakas, pakaian, bangunan, dan kar ya seni. Bahasa, sebagaimana ju ga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia se hingga banyak orang cenderung me ng anggapnya diwariskan se-ca ra genetis. Ketika seseorang be r usaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-per-bedaannya, ini membuktikan bahwa bu daya itu dipelajari. Budaya adalah suatu pola hi dup menyeluruh. Budaya bersifat kom-pleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek bu daya turut menentukan perilaku ko munikatif. Unsur-unsur sosio-bu-daya ini tersebar dan meliputi banyak ke giatan sosial manusia. Beberapa alasan mengapa orang mengalami kesulitan ketika ber ko-mu nikasi dengan orang dari budaya lain terlihat dalam definisi budaya: Bu daya adalah suatu perangkat ru-mit nilai-nilai yang dipolarisasikan oleh suatu citra yang mengandung pan dangan atas keistimewaannya sen diri. ”Citra yang memaksa” itu me ng ambil bentuk-bentuk berbeda da lam berbagai budaya seperti “in-di vidualisme kasar” di Amerika, “ke-selarasan individu dengan alam” di Je pang dan “kepatuhan kolektif” di Tiong kok. Citra budaya yang bersifat me maksa tersebut membekali ang-go ta-anggotanya dengan pedoman me ngenai perilaku yang layak dan me netapkan dunia makna dan ni lai logis yang dapat dipinjam ang go-

ta-anggotanya yang paling ber sa-haja untuk memperoleh rasa ber-martabat dan pertalian dengan hi-dup mereka. Dengan demikian, bu dayalah yang menyediakan sua tu kerangka yang koheren untuk meng-or ganisasikan aktivitas seseorang dan memungkinkannya meramalkan pe-ri laku orang lain.

II. Pengertian Kebudayaan Kebudayaan sangat erat hu bu-ng annya dengan masyarakat. Ke-bu dayaan adalah sesuatu yang akan mem pengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, se hingga dalam kehidupan sehari-ha-ri, kebudayaan itu bersifat abs trak. Sedangkan perwujudan ke bu da-ya an adalah benda-benda yang di ciptakan oleh manusia sebagai mah luk yang berbudaya, berupa pe ri laku dan benda-benda yang ber sifat nyata, misalnya pola-po la perilaku, bahasa, peralatan hi dup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia da lam melangsungkan kehidupan ber ma-sya rakat.

III. Ciri-ciri Kebudayaan Ciri-ciri khas kebudayaan adalah: * Bersifat historis. Manusia mem-buat sejarah yang bergerak dinamis dan selalu maju, yang diwariskan se cara turun temurun. * Bersifat geografis. Kebudayaan ma nusia tidak selalu berjalan se-ra gam, ada yang berkembang pe-sat dan ada yang lamban, dan ada

7 EUANGELION 173

Page 8: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

pula yang mandeg (stagnan), yang nyaris berhenti kemajuannya. Da-lam interaksi dengan lingkungan, ke budayaan berkembang pada ko-mu nitas tertentu, dan lalu meluas da lam kesukuan dan kebangsaan/ras. Kemudian kebudayaan itu meluas dan mencakup wilayah/regional, dan makin meluas dengan belahan-bu-mi. Puncaknya adalah kebudayaan kos mo (duniawi) dalam era informasi di mana terjadi saling melebur dan ber interaksinya kebudayaan-ke bu-dayaan; * Bersifat perwujudan nilai-ni lai tertentu. Dalam perjalanan ke bu da-ya an, manusia selalu berusaha me-lam paui (batas) keterbatasannya. Di si nilah manusia terbentur pada nilai. Ni lai yang mana, dan seberapa jauh ni l ai itu bisa dikembangkan? Sampai ba tas mana?

IV. Hubungan Antara Gereja dan Kebudayaan

Dalam sejarah gereja, hubungan an tara gereja dan budaya telah men-da pat perhatian sejak awal sampai se karang. Walaupun demikian, hu-bungan itu tidak berlangsung cu ma dalam satu model, melainkan ber-aneka ragam, tergantung pada sejauh ma na kita memahami apa itu gereja dan apa itu budaya. Menurut H.Richard Niebuhr, ji-ka kita mencermati sejarah gereja (khu susnya di Eropa dan Amerika sam pai pasca perang dunia kedua), ada sejumlah model/pola hubungan ge reja dan budaya yang bertolak dari ba gaimana memahami hubungan ge-reja/Kristus dan kebudayaan.

Richard Niebuhr adalah seorang Eti kus Teologia Kristen Amerika yang pa ling terkenal dengan bukunya Christ and Culture, yang membahas ten tang hubungan antara kekristenan dan kebudayaan maupun sistem-sis-tem kemasyarakatan, di mana hal-hal yang berkaitan dengan hubungan an tara kekristenan dan kebudayaan akan berkembang menjadi sesuatu yang bisa diperdebatkan ketika ma-nusia mengetahui bahwa Kris tus atau kekristenan itu sendiri ada lah suci, sempurna, dan tidak ber dosa, sementara budaya adalah buat-an manusia, di mana manusia itu sendiri penuh dosa. Lalu, tim bul-lah pertanyaan, bagaimana Kris-tus dapat bertahan di tengah-te-ngah dan bercampur dengan ke-ti daksempurnaan tersebut? Hal ini semakin dipermasalahkan lagi me ngingat banyaknya ayat-ayat Al kitab yang mengharuskan kita un tuk tidak menjadi seperti dunia, se mentara banyak juga ayat yang meng haruskan kita tetap berada di du nia, sebagaimana adanya manusia. Un tuk menunjukkan bagaimana ke-kris tenan menanggapi permasalahan ini, Richard Niebuhr memperkenalkan li ma pandangannya mengenai hu bu-ngan antara Kristus dan ke bu da yaan, antara lain: Christ against Cul ture, Christ of Culture, Christ above Cul-ture, Christ and Culture in paradox, Christ transforms culture. Sebagai pen dahuluan, Niebuhr memulai de ngan definisi tentang Yesus dan Kebudayaan masing-masing. Ten-tang Yesus, Niebuhr berpendapat bah wa definisi manusia tentang

8 EUANGELION 173

Page 9: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

Ye sus tidaklah cukup (mengingat bah wa manusia tidak akan pernah bi sa menjangkau dan memahami ha kikat Yesus secara total, dengan ke nyataan bahwa konsep tentang Ye sus itu sendiri telah sedemikian ru pa dipengaruhi oleh eksistensi ke budayaan yang menempel dalam per jalanan hidup manusia sejak la hir). Kebudayaan oleh Niebuhr di definisikan sebagai total proses da ri aktivitas manusia dan segala ma nifestasinya, yang mengacu ke-pada lingkungan atau hal-hal se-kunder (seperti adat istiadat, sis-tem-sistem kemasyarakatan, nor-ma-norma, dan lain-lain) yang ma-nu sia implementasikan ke dalam ke hidupannya.

1. Christ against Culture (Kristus ver sus kebudayaan)

Ini adalah pandangan yang cu-kup keras menegaskan tentang oto ritas tunggal Kristus terhadap ke budayaan dan menolak segala hal yang diyakini kebudayaan. Menurut pan dangan ini, kesetiaan kepada Kris tus merupakan suatu penolakan ter hadap lingkungan atau sistem ke budayaan, dan bahwa ada suatu ga ris tegas yang memisahkan dunia de ngan anak-anak Allah. Sisi positif: orang-orang yang mem percayai atau menganut Christ against culture bisa dikatakan ada lah faktor utama mengapa kita ma sih boleh bersimpati terhadap pan-dangan ini. Mereka yang menolak du nia pastinya akan dengan teguh mem pertahankan keyakinannya ke-pada Kristus. Banyak di antara me-

reka yang menderita secara men tal dan fisik demi menjalankan ke inginan mereka. Bahkan mereka rela me-nyerahkan rumah, properti, harta, dan juga hak perlindungan negara de mi pergerakan mereka menolak du nia. Sisi negatif: Menurut Niebuhr, pan dangan ini tidaklah sesuai karena pe misahan antara dunia dengan Kris-tus tidak pernah ada dan tidak akan pernah ada, sekalipun manusia ber-pi kir bahwa itu mungkin bisa terjadi. Se lain itu, menurutnya terdapat pe ngertian yang salah dimana orang ber pikir bahwa di dalam kebudayaan ter dapat dosa. Dan ketika kekristenan men jauhi kebudayaan, manusia di katakan telah menjauhi dosa. Pa-da hal, dosa bukan hanya mengenai ke budayaan. Dengan atau tanpa men jauh dari budaya, manusia itu sen diri telah berdosa dan akan tetap bi sa berbuat dosa. Yang terpenting me nurut Niebuhr, pandangan ini ti-daklah mengenal Yesus dan peran Roh da lam penciptaan dunia secara utuh.

2. Christ of Culture (Kristus bagian da ri Kebudayaan)

Dalam pandangan ini, manusia me mosisikan Yesus sebagai Mesias da lam lingkungan sosial mereka, so sok yang dapat memenuhi segala ha rapan dan aspirasi mereka, pe-nyempurna keyakinan mereka, sum-ber dari roh kudus mereka. Orang yang menganut paham ini cen de-rung lebih terbuka untuk menjalin per temanan atau hubungan bukan ha nya dengan mereka yang percaya, ta pi juga dengan mereka yang ti-

9 EUANGELION 173

Page 10: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

dak percaya. Mereka juga tidak bi sa menemukan perbedaan yang sig nifikan antara gereja dan dunia, an tara hukum-hukum sosial dan ke-percayaan pada Tuhan, antara etika ke selamatan dan etika sosial. Di satu si si, mereka menginterpretasikan k e budayaan melalui Kristus, di mana as pek yang paling mirip dengan Ye-sus mendapat penghormatan dan apresiasi lebih besar. Di sisi lain, mereka menginterpretasikan Kris tus melalui budaya, menyeleksi pe ng-ajaran-pengajaran Kristen yang pa-ling harmonis dengan sistem-sistem so sial dan budaya mereka. Itulah yang akan mereka aplikasikan dalam ke hidupan mereka. Sisi positif: orang cenderung me rasa bahwa hanya mereka yang menolak beradaptasi dengan ke-bu dayaan yang dapat melakukan pe nyerangan terhadap kebudayaan. Orang yang menganut pemahaman ini pasti bisa berdamai dengan budaya dan dunia. Bagaimanapun, sejarah te-lah menjadi saksi bahwa manusia da-p at memiliki ketertarikan pada Kris tus karena adanya keselarasan an tara ajaran Kristiani dengan ajaran-ajar an tokoh-tokoh besar moral dan fi losofi keagamaan. Dan orang-orang yang menganut paham ini cenderung me-li batkan diri mereka ke dalam suatu ling k ungan sosial dimana mereka me rasa diri mereka potensial untuk mem buat suatu perubahan atau pe-nga ruh terhadap individu lain dalam ling kungan tersebut. Sisi negatif: menurut Niebuhr, ma salah terbesar dalam konsep pan dangan ini terletak pada distorsi

Kris tus, dimana Kristus digambarkan se bagai sosok yang dibentuk atau sa ngat dipengaruhi oleh lingkungan so sial.

3. Christ above Culture (Kristus di atas Kebudayaan)

Pandangan ini sama sekali ti dak menghadirkan pertentangan an tara Kristus dengan budaya. Yang di-hadirkan justru pertentangan antara Kris tus yang suci dengan manusia yang berdosa. Penganut paham ini me nekankan bahwa Kristuslah yang ber ada di atas segala budaya, yang mem bentuk dan mengijinkannya un tuk terjadi. Maka budaya tidak bi sa dikatakan buruk, tapi juga tidak bi sa dikatakan baik. Ketika seorang ma nusia melakukan dosa, lalu me-ng ekspresikan pemberontakannya ke pada Tuhan lewat suatu bentuk bu-daya, itu juga tidak mengartikan bah-wa budaya merupakan sesuatu yang bu ruk. Mereka mengatakan bahwa bu daya ada karena Kristus yang men ciptakannya secara penuh, dan me reka melihat bahwa keselarasan an tara Kristus dan budaya adalah se buah jawaban yang tepat untuk men jawab semua pertanyaan. Menurut Niebuhr, penganut pa-ham ini tidak bisa membedakan an-tara pekerjaan manusia (yang ada lah budaya) dari kemuliaan Tuhan, ka-rena semua pekerjaan manusia itu bi sa terjadi juga karena kemuliaan Tu han. Tapi mereka juga tidak bisa me misahkan antara pengalaman akan kemuliaan Tuhan dari aktivitas bu daya mereka, karena bagaimana mung kin seseorang bisa mencintai

10 EUANGELION 173

Page 11: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

Al lah yang tidak kelihatan, tanpa me-layani saudara-saudara mereka yang ke lihatan? Sisi positif: adanya keseimbangan an tara melihat Kristus sebagai ba gian da ri budaya dengan melihat Kris tus se bagai sosok di luar budaya (Dia lah yang membuat budaya itu ada). Me-la lui paham ini, kita sam pai kepada pe ngertian tentang hu kum moral da lam lingkungan so sial dan juga ten-tang keterlibatan Tu han dalam ling-kungan sosial. Nie buhr men je laskan bahwa Tuhan men cip takan ma nusia sebagai mahluk so sial, dan me-rupakan suatu yang tak mungkin ji ka lingkungan so sial memfungsikan ek-sis tensinya tanpa arahan dari Tuhan. Ma ka dari itu, gerejapun akhirnya se lain memfungsikan diri sebagai pem bangun iman dan spiritual, ju ga memfungsikan dirinya menjadi pen-jaga/pengawas hukum-hukum dunia, se bagai suatu pelayanan terhadap du nia. Sisi negatif: masalahnya timbul ke-ti ka paham ini sampai di sebuah titik ba tas, di mana bisa membawa dunia me lihat gereja sepenuhnya sebagai se buah institusi saja (institusionalisasi ge reja). Jelas sekali terlihat bahwa pa ham ini suatu hari nanti akan mem bawa perhatian dan keyakinan umat semakin jauh dari fungsi gereja se benarnya.

4. Christ and Culture in paradox (Kris tus dan Budaya dalam para-doks)

Ini adalah paham yang kurang le bih mirip dengan Christ above cul ture. Perbedaannya ketika pe ng-

anut paham ini berkeinginan mem-pertahankan kesetiaan pada Kris tus tapi di sisi lain juga ingin mem-pertahankan tanggung jawab ter-hadap budaya secara bersama-sama. Me reka percaya bahwa integrasi ini bu kanlah suatu hal yang seimbang dan menyenangkan, seperti yang pe-nganut above-culture rasakan. Mereka me nekankan bahwa ada sebuah pa-ra doks di mana konflik yang terjadi an tara Kristus dan budaya disebabkan ka rena dosa yang terdapat dalam bu-daya. S i s i p o s i t i f : p a n d a n g a n i n i me nangkap dengan cukup je las penekanan Alkitab yang di des-krip sikan untuk umat Kristen di du nia. Karena manusia berada di ba wah hukum, namun juga tidak di bawah hukum selain karunia. Ma nusia adalah pendosa namun bi-jak sana. Penerima pembalasan dan ju ga belas kasihan Kristus. Ini adalah sua tu proses yang dinamis, dan juga bu kanlah suatu penolakan ataupun pe nerimaan terhadap budaya dari mo del-model yang lain, tapi lebih ke pada pengalaman pribadi manusia yang menjadi saksi bahwa perjalanan hi dup dengan budaya penuh dengan da mai juga kesengsaraan. Sisi negatif: kekristenan bisa ke hi-langan suara untuk mengatakan hal apapun yang bermakna dalam/ter-hadap budaya. Ini adalah paham yang membawa kita untuk menerima bu-daya karena kita melihat secara ber-sa maan pembalasan maupun belas ka sih Kristus, dan karena manusia me lihat keduanya, maka akan sa ngat bahaya jika manusia harus me mu tus-

11 EUANGELION 173

Page 12: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

kan apakah yang ia lakukan sudah be nar sesuai kehendak Kristus, atau akan dianggap melanggar kehendak-Nya. Ia akan terus menerus dalam kon flik dan menjadi stress.

5. Christ transforms Culture (Kristus mentransformasi kebudayaan)

Ini adalah sebuah paham yang pa ling disarankan oleh Niebuhr, di ma na secara teologis pandangan ini me miliki 3 garis besar, yaitu melihat Tu han sebagai Pencipta, menyadari ke jatuhan manusia dari sesuatu yang baik, dan memandang kita me rasakan interaksi antara Tuhan de ngan manusia dalam perjalanan hi dup manusia yang historis. Maka da ri itu, penganut paham ini percaya bah wa kebudayaan manusia adalah ke hidupan manusia yang telah di-transformasikan ke dalam dan di dalam kemuliaan Tuhan. Pada prak-tek nya, pandangan ini memiliki arti bah wa kita bekerja dalam sebuah ling kup budaya untuk mengupayakan se suatu yang lebih baik, karena Tuhan pa da dasarnya telah menberikan ma-nusia kreativitas, dan itu baik (dan je las bisa menjadi baik). Kita juga bi sa berkontribusi dalam pekerjaan trans-for masi ini, karena ketika di dalam bu daya ada dosa, masih ada harapan me lalui Kristus untuk penyelamatan bu daya itu sendiri. Lebih jauh lagi, ki ta akan mengalahkan dosa bukan de ngan cara menjauhinya ataupun

de ngan memeranginya secara lang-sung, namun dengan bantuan mata ma nusia yang tertuju pada Yesus, dan niat kita yang positif dan berorientasi pa da-Nya, akan membuat kita mam-pu mengalahkan dosa. Pada saat kita hidup sebagai orang Kristen maupun mencoba mem ba-wa Injil Kristus ke tengah-tengah ma syarakat Indonesia, tentunya kita per lu memperhatikan kebudayaan In donesia pada umumnya, dan ke-budayaan lokal pada khususnya su-paya Injil bisa lebih dimengerti dan di terima tanpa harus mengorbankan ni lai-nilai Kristen yang mutlak. Paham Kris tus mentransformasi budaya di-pakai bukan untuk berbenturan de-ngan budaya setempat, apalagi me-ng ingat kekristenan adalah minoritas di Indonesia, namun secara lambat laun akan mengubah kebudayaan yang tidak sejalan dengan Injil Kristus. Bu daya menyembah pohon atau per-caya pada tahayul harus digantikan de ngan percaya dan menyembah Tu han. Namun gamelan atau wayang bi sa saja dipakai dalam pekabaran In jil karena budaya tersebut tidak ber tentangan dengan ajaran atau ni-lai kekristenan. Kiranya nama Tuhan di muliakan dalam kita melihat dan ber interaksi dengan kebudayaan se cara bijak untuk membawa Injil Kris tus ke tengah-tengah masyarakat dan memenangkan jiwa mereka bagi Tu han.

Noertjahja Nugraha

12 EUANGELION 173

Page 13: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

A. Pendahuluan Dalam membaca kitab suci, se-orang Kristen perlu memahami kon-teks budaya dari para penulis dan pem baca pertama Alkitab. Membaca Al kitab dengan kacamata modern da pat membuat seseorang salah me-mahami pesan kitab suci karena mem-bacanya dalam konteks yang berbeda da ri konteks awalnya. Realitas ini mem buat beberapa ahli dalam studi Al kitab, seperti Gordon Fee (dalam bu kunya New Testament Exegesis) dan Grant Osborne (dalam bukunya Her-meneutic Spiral), menekankan pen-ting nya memahami latar belakang ke hidupan dan pemikiran dari zaman di mana Alkitab dituliskan. Orang-orang yang hidup dalam Per janjian Lama dipengaruhi oleh ke budayaan yang disebut Ancient Near East (Timur Dekat Kuno) dan ke budayaan Mesir. Orang-orang yang hidup dalam era PL sangat me ngenal budaya dari masyarakat Ba bel ataupun Mesir dan cara pan-dang mereka terhadap, misalnya rea litas alam, memiliki kemiripan de ngan orang-orang di zamannya. Mi salnya saja, lautan yang dipandang se bagai tempat di mana kekuatan ja-hat tinggal. Baik orang Israel, Ba bel maupun Mesir Kuno memiliki pan da-ng an yang mirip. Berbeda dengan konteks PL, orang-orang yang hidup dalam era Perjanjian Baru dipengaruhi ter-

utama oleh budaya Yunani. Pe nga ruh budaya Yunani terhadap ke hidupan masyarakat abad pertama Ma sehi muncul sebagai akibat dari pro-ses Hellenisasi yang terjadi saat Alexander Agung menaklukkan wi-la yah-wilayah yang sebelumnya di-kuasai oleh kerajaan Persia. Setelah Is rael dikalahkan oleh kerajaan Asyur dan Babel, bangsa Israel ditawan, di bawa ke pembuangan, dan hidup da lam kendali bangsa asing (bdk. Ki tab Daniel). Setelah bangsa Babel di kalahkan oleh kerajaan Persia, orang-orang Israel mendapatkan ke sempatan kembali ke tanah air me-re ka. Meskipun demikian, ada banyak orang Yahudi yang memilih tinggal di wi layah-wilayah jajahan seperti Mesir dan Mesopotamia. Perubahan politik internasional ter jadi saat kerajaan Yunani berhasil me naklukkan Persia dan seorang pe mimpin muda bernama Alexander ber hasil menaklukkan berbagai wi-layah baik yang ada di Eropa, Afri ka, dan Asia. Salah satu visi dari Alexan-der adalah menciptakan se buah masyarakat di bawah payung kul tur Yunani. Budaya Yunani yang ber-campur dengan kultur lokal ma sya-rakat jajahan, misalnya saja kultur Asia. Inilah yang disebut sebagai Hel lenis. Dalam konteks ini lah gereja mu la-mula lahir dan ber-tumbuh. Bahasa Yunani pun ke-mu dian digunakan sebagai bahasa

Budaya Yunani-Romawidalam Perjanjian Baru

13 EUANGELION 173

Page 14: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

in ternasional di era Perjanjian Baru. Wa laupun kemampuan seseorang da lam menggunakan bahasa Yu-nani beragam, semua orang pada umumnya mampu berbicara dalam ba hasa Yunani, termasuk orang-orang Yahudi di Palestina. Kota Ye-ru salem sebagai pusat dari agama Ya hudi dan Kristen tidak luput dari pe ngaruh budaya Yunani. Karena se bagian besar orang-orang Yahudi, khu susnya mereka yang tinggal di diaspora (tersebar di berbagai ne-gara), sudah tidak bisa lagi meng-gunakan bahasa Ibrani, maka orang-orang Yahudi membutuhkan kitab su ci dalam bahasa Yunani. Kitab su ci PL pun kemudian ditulis dalam ba hasa Yunani. Tulisan ini disebut Sep tuaginta (LXX). Para penulis Per-janjian Baru pada umumnya meng-gunakan Alkitab berbahasa Yunani. Dalam artikel ini, kita akan mem-ba has pengaruh budaya Yunani da lam tulisan Perjanjian Baru. Kita akan mendiskusikan beberapa teks Al-kitab yang memperlihatkan adanya isu tertentu yang akan dapat lebih mu dah dipahami jika kita, sebagai pem baca modern, memahaminya da-lam konteks kultur zamannya, yakni bu daya Yunani.

B. Studi Kasus: 1 Korintus 7, 11:2-16 dan Lukas 17:11-19

1 Korintus 7 merupakan teks Al-ki tab yang penting dalam mem bi ca-ra kan isu perceraian dan pernikahan kem bali. Meskipun 1 Korintus 7 me-mang berbicara tentang ajaran Tu-han mengenai larangan perceraian, na mun bagian ini bersifat ‘occasional’ (ter ikat dengan konteks tertentu).

Hal ini berarti nasehat yang diberikan Pau lus terkait dengan situasi dan kon disi tertentu yang terjadi dalam je maat Korintus. Untuk memahami isu perceraian da lam jemaat Korintus, kita perlu me mahami bagaimana isu tersebut di diskusikan oleh orang-orang era ter sebut. Will Deming, seorang ah li dalam studi Perjanjian Baru, me-nemukan bahwa dalam konteks Yu nani kuno, masyarakat pada umum nya mengikuti salah satu dari dua aliran pemikiran utama, yakni pe mikiran kaum Stoa dan kaum Cynic. Kedua mashab ini berbeda pan dangan mengenai perlu atau ti daknya seseorang menikah. Baik kaum Stoa dan Cynic memahami bah-wa pernikahan menuntut tang gung jawab. Meskipun demikian, ke dua kelompok tersebut berbeda pan da-ng an dalam menjawab pertanyaan: “Should the intelligent, informed, mo rally upright person take on such [mar riage] responsibility?” (Haruskah se seorang yang cerdas, banyak ta-hu, lurus secara moral, mengambil tang gung jawab [pernikahan] yang de mikian?) Kaum Stoa memandang tang gung jawab pernikahan adalah hal yang baik sebab manusia dicipta un tuk hidup sesuai dengan naturnya dan natur manusia adalah mereka ha-rus menikah supaya dapat memenuhi bu mi. Berbeda dengan kaum Stoa, Cy nic memandang pernikahan se ba-gai ikatan yang harus dihindari. Alas-annya, sebab segala ikatan tang gung jawab pernikahan dapat mem buat seseorang terhambat dalam me nge-jar apa yang utama, yakni mengejar hik mat/filsafat.

14 EUANGELION 173

Page 15: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

Menurut Frank Matera, dalam bu kunya New Testament Ethics, 1 Ko rintus 7 dilatarbelakangi oleh ha-dirnya kelompok orang Kristen yang mem praktekkan kehidupan yang aske tis dan memaksakan pola hidup ter sebut kepada jemaat Kristen yang lain. Isu mengenai perceraian pun, menurut Matera, kemungkinan ter-kait dengan praktek hidup asketis yang membuat beberapa jemaat men ceraikan pasangannya. Seorang ah li yang lain, bernama Victor P. Fur-nish, melihat bahwa dalam jemaat Ko rintus terdapat kelompok orang yang mempraktekkan hidup yang “ecs tatic” dan “ascetic”, yang mana me reka yakin bahwa pernikahan an tara orang yang beriman dengan orang yang tidak beriman haruslah di akhiri sebab pernikahan merupakan ke satuan total dari dua pribadi/ke-hidupan. Warisan pemikiran Yahudi da lam komunitas mereka membuat me reka berkeyakinan bahwa per ni-kah an campur haruslah diakhiri de-ngan perceraian. Dalam merespons isu tentang per ceraian, Paulus tidak mengadopsi pan dangan dari kaum Stoa ataupun Cy nic ataupun gerakan asketis yang ha dir dalam jemaat Korintus. Paulus meng gunakan terutama ajaran Tu-han Yesus untuk menjawab isu ter-sebut. Banyak ahli, misalnya saja An thony Thieselton, melihat kutipan yang Paulus gunakan dari ajaran Ye-sus paralel dengan kutipan ajaran Ye sus yang dituliskan oleh Markus. Da lam kitab Markus, Yesus tidak me nyebutkan mengenai adanya pe-ngecualian apapun mengenai per ce-

rai an. Dalam menjawab pertanyaan me ngenai perceraian, ada dua aspek pe ngajaran yang Paulus gunakan da ri pengajaran Yesus yakni (i) tidak adanya alasan untuk perceraian dan kon sekuensi untuk tidak menikah la gi bila perceraian terjadi; (2) ar-gumentasi bahwa pernikahan me ru-pa kan “satu daging.” Dalam konteks per nikahan dari orang-orang yang su dah berada dalam Tuhan (sudah per caya kepada Kristus), Paulus me negaskan, seperti halnya Tuhan Ye sus, bahwa perceraian tidak da pat diterima/tidak dapat diijinkan. Da-lam kehidupan rumah tangga orang-orang percaya memang da pat timbul masalah, bahkan masalah yang sangat berat, yang dapat mem buat salah satu pasangan tersakiti. Da lam kasus yang demikian, per ceraian bukanlah solusi, Paulus meng ha-rapkan supaya dalam situasi yang de mikian, yang harus dilakukan ada-lah memberikan pengampunan dan men jalani rekonsiliasi. Dalam 1 Korintus 11 Paulus juga me nyoroti isu mengenai peran pe-rempuan dalam ibadah dan dalam ke-luarga. Untuk memahami isu ini, kita per lu memahami bagaimana orang-orang yang hidup pada abad pertama Ma sehi memahami mengenai peran kaum perempuan. Ben Witherington III menelaah pe-ran dari kaum perempuan di era abad per tama Masehi dan menemukan bah wa kaum perempuan dalam ke-hidupan dan masyarakat Yunani--di luar perempuan yang menjadi pe-lacur dan budak- terbagi dalam ti ga golongan, yakni “athenians citizen,

15 EUANGELION 173

Page 16: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

con cubines, and companions or foreign wo man” (warganegara Athena, wa-nita simpanan, dan pendamping ba-yaran atau wanita asing). Walaupun ada banyak kaum perempuan Yunani yang dipandang rendah, namun tidak se mua kaum perempuan Yunani me-ng alami diskriminasi. Ada wanita-wa-nita tertentu yang menikmati po sisi yang tinggi dan dihormati da lam masyarakat. Dalam kehidupan se-hari-hari, ada pembatasan-pem-batasan yang diberikan kepada kaum perempuan Yunani, misalnya ter-kadang tidak boleh ke pasar, tidak bo leh bertemu sanak familinya dan cen derung terisolir dalam rumahnya (un tuk mempelajari hal ini, baca Craig S. Keener dalam bukunya Paul, Wo man and Wife). Bahkan, untuk se orang perempuan yang menjadi war ga Athena sekalipun, mereka di batasi haknya dengan tidak boleh men jadi saksi di pengadilan, kecuali un tuk kasus bunuh diri. Dalam hal ke agamaan, kita sulit untuk melihat si kap masyarakat Yunani terhadap kaum perempuan. Dalam ritual ma-sya rakat Yunani ditemukan adanya ke terlibatan kaum perempuan dalam iba dah mereka, namun peran mereka ada lah sebagai pelacur bakti. Berbeda dengan wanita Yunani, kaum perempuan Romawi menerima per lakukan yang lebih baik dari pada orang-orang Yunani. Masyarakat pa da umumnya memandang kaum pe rempuan setara dengan kaum laki-la ki. Dalam budaya Romawi, kaum pe rempuan memiliki hak-hak dalam eko nomi, politik, keagamaan dan da lam menuntut perceraian. Dalam

hal keagamaan kaum perempuan Ro mawi dipandang sederajat dengan kaum laki-laki. Hal ini nampak dalam sa lah satu ukiran batu di Museo yang memperl ihatkan adanya kaum perempuan dengan tudung di kepalanya sedang membawa per-sembahan (bdk. Ben Witherington III, Conflict and Community). Bagaimana dengan masyarakat Ya hudi? Dalam komunitas Yahudi, kaum perempuan, seperti halnya da-lam masyarakat Yunani dipandang le bih rendah dari kaum laki-laki. Yo-sefus, seorang ahli sejarah kuno, me-nga takan bahwa wanita dalam segala hal lebih inferior dibandingkan laki-la-ki. Warisan tradisi yang diterima oleh orang Yahudi bahwa seseorang harus ber bahagia karena ia tidak dilahirkan se bagai wanita memperlihatkan cara pan dang yang negatif terhadap kaum pe rempuan. Dalam hal ibadah, kaum pe rempuan juga menempati posisi ke dua. Hal ini nampak misalnya saja da lam hal pemberian Taurat yang ha nya diberikan kepada kaum laki-la ki, perempuan tidak diijinkan untuk men jadi saksi, dan tempat kaum pe rempuan dipisahkan dari kaum la-ki-laki. Bagaimanakah Paulus menjawab isu ini? Seperti halnya dalam 1 Ko rin-tus 7, Paulus tidak mengadopsi baik bu daya Yunani, Romawi ataupun Ya hudi. Paulus kembali kepada apa yang diajarkan dalam kitab suci bah -wa Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan sebagai gambar dan rupa Allah. Meskipun demikian, Pau lus tidak mengaburkan perbedaan pe-ran perempuan dan laki-laki. Kaum

16 EUANGELION 173

Page 17: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

pe rempuan memang diberikan peran bu kan sebagai kepala. Hal ini berarti ada perbedaan peran antara kaum pe rempuan dan laki-laki, tetapi ke-per bedaan ini bukanlah dalam hal na tur, sebab semua manusia baik la ki-laki maupun perempuan dicipta me nurut gambar dan rupa Allah (Kej 1:27) dan dalam Kristus tidak ada pembedaan antara laki-laki dan pe rempuan. Dalam gereja, laki-la-ki dan perempuan hendaknya di-berikan kesempatan yang sama un tuk melayani Tuhan. Dalam 1 Ko rintus 11:4 Paulus menyinggung me ngenai perempuan yang berdoa dan bernubuat. Kedua istilah tersebut me nunjuk pada dua kegiatan dalam ge reja yang umumnya dilakukan oleh kaum laki-laki tetapi Paulus me ngizinkan perempuan untuk me-lakukan hal tersebut sebab tidak ada pem bedaan laki-laki dan perempuan da lam gereja. Dalam Lukas 17:11-19 kita mem-baca mengenai Tuhan Yesus me-nyembuhkan sepuluh orang kusta. Ke cenderungan kita saat membaca teks tersebut adalah membacanya da lam kacamata budaya modern. Ki ta memandang bahwa kisah ini hen dak menyoroti sikap satu orang yang berbeda dari sembilan lainnya. Wa-laupun disembuhkan Yesus, sembilan orang tidak kembali dan hanya satu orang kembali untuk berterima kasih ke pada Tuhan. Kebudayaan kita yang sa ngat menekankan etika dan sopan san tun mungkin mempengaruhi per-sepsi kita sehingga saat membaca teks tersebut, perhatikan kita lang-

sung tertuju pada satu orang yang me nunjukkan rasa terima kasih pada Tu han Yesus. Bagaimanakah masyarakat abad per tama Masehi membaca ce rita da lam Lukas 17:1-19? Apakah sa at me reka membaca kisah ini me reka me miliki respons yang sama de ngan pem baca modern? Dalam du nia ku no, kita mengenal sebuah kon-sep yang disebut sebagai “grace” (anu gerah) dan “gratitude” (rasa te-rima kasih). Dalam konteks ini, ma-syarakat memiliki sebuah tata-ni lai yang diterima bersama bahwa sa a t seseorang menerima grace su dah sewajarnya dan seharusnya ia me-respons-nya dengan memberikan gratitude. Bentuk gratitude yang di harapkan beragam, selain bentuk ucap an terima kasih, meniru ke-baikan yang diterima seseorang me rupakan sebuah bentuk gratitude yang dipandang paling mulia (bdk. Mat 18:21-35; tuntutan bahwa se-se orang yang telah menerima pe-ng ampunan haruslah belajar me-ng ampuni merupakan salah satu ben tuk relasi grace dan gratitude). Si kap seseorang dalam memberikan gra titude yang sepatutnya disebut se bagai perilaku yang terhormat. Se baliknya, perilaku seseorang yang ga gal dalam memberikan respons se harusnya, disebut sebagai hal me-ma lukan (shameful). Perilaku seperti ini dipandang sebagai hal yang tidak da pat diterima. Dalam konteks cara pandang ini, sikap satu orang yang kembali un tuk berterima kasih kepada Yesus (li hat

17 EUANGELION 173

Page 18: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

ayat 15-16) bukanlah hal yang ha rus di-pan dang unik dan istimewa, se bab hal ter sebut memang lazimnya de mikian. Se seorang yang menerima ke baikan da ri seseorang (menerima grace) se harusnya ia memberikan respons da lam bentuk gratitude. Kalaupun ia tidak bisa meniru kebaikan yang di lakukan seseorang yang telah mem berikan grace kepadanya, seti-daknya ia dapat mengucapkan te-ri ma kasih. Hal yang justru aneh da lam peristiwa ini adalah sembilan orang yang telah menerima grace da ri Tuhan Yesus, mereka ternyata ga gal dalam memberikan respons yang seharusnya. Saat mereka di-sembuhkan oleh Tuhan dalam per-ja lanan mereka memperlihatkan di ri kepada imam-imam Yahudi, me reka seharusnya kembali kepada Ye sus untuk menunjukkan gratitude mereka. Si kap mereka yang mengabaikan gra-ti tude dipandang oleh orang-orang abad pertama Masehi sebagai hal yang memalukan dan tidak dapat di-te rima. Dalam kisah ini, Tuhan Yesus mem bandingkan dua hal yakni: (1) si kap sembilan orang yang tidak tahu me respon anugerah Allah dengan se orang Samaria (bdk. Luk 17:18), dan (2) respon seseorang terhadap anu gerah Allah dengan iman yang me nyelamatkan (Luk 17:19). Dalam du nia kuno, orang Kusta dipandang se bagai orang yang unclean. “najis,” mes kipun demikian, orang Samaria yang sakit kusta dipandang bukan sa-ja tubuhnya unclean tetapi juga status so sialnya juga unclean. Akan tetapi, ter nyata sembilan orang Yahudi yang

sa kit kusta lebih unclean daripada orang Samaria. Kegagalan mereka da lam menunjukkan respon yang se harusnya terhadap anugerah Allah mem perlihatkan bahwa kesembuhan fi sik yang mereka alami tidak mem-pe ngaruhi kondisi jiwa/hidup mereka yang unclean. Sebaliknya, satu orang Sa maria yang merespons anugerah Al lah dengan sikap yang benar, mem buktikan bahwa orang ini bu-kan sekedar fisiknya disembuhkan oleh Tuhan tetapi hatinya juga di-ubahkan Tuhan. Inilah alasannya Tu han Yesus berkata kepada orang Sa maria tersebut: imanmu telah me-nye lamatkan Engkau (Luk 17:19). C. Penutup Pengaruh dari budaya Yunani dan Ro mawi dalam PB adalah hal yang je las. Meskipun demikian, kita perlu ber hati-hati untuk memilah antara “pe ngaruh budaya” dan pengaruh da lam teologi/konsep berpikir. Para pe nulis Alkitab berbicara dalam kon teks budaya lokalnya. Dalam su rat-suratnya, Rasul Paulus mi-salnya, sering membahas isu-isu tertentu dalam jemaat yang mun cul karena persoalan budaya. Mes kipun demikian, Rasul Paulus dan penulis Alkitab lainnya tidak me ng adopsi budaya tertentu dalam men jawab persoalan dalam jemaat. Hal ini menunjukkan bahwa para pe nulis Alkitab membedakan antara oto-ritas dan konteks pergumulan je-ma at. Otoritas ada pada Firman Al lah; walaupun Firman Allah per lu disampaikan dalam konteks per gu-mul an jemaat namun Firman Allah

18 EUANGELION 173

Page 19: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

ti dak dipengaruhi oleh budaya atau kon teks pergumulan zaman tertentu. Ge reja memang harus menyampaikan fir man Tuhan dalam bahasa dan kon teks yang dapat dipahami oleh orang-orang zamannya. Untuk itu Firman Tuhan memang perlu di-sam paikan sesuai dengan konteks dan kultur zamannya. Meskipun de mikian, merestrukturisasi pesan Fir man Tuhan berdasarkan kultur za man tertentu tidak dapat kita te rima. Di beberapa negara maju, mi salnya saja Belanda, masyarakat me mandang bahwa konsep “laki-la-ki sebagai kepala” sebagai sebuah ben tuk diskriminasi dan kesewenang-we nangan. Itulah sebabnya gagasan ini dipandang hanya sebagai budaya ku no yang tidak bisa diterapkan la gi dalam masyarakat modern. Ji ka kita membandingkan apa yang Ra sul Paulus tegaskan mengenai ajar an “laki-laki sebagai kepala,” Ia me-mandang ajaran ini bukan sebagai wa risan kultur, tetapi sebagai ajaran

Fir man Tuhan. Itulah alasannya ia meng gunakan gagasan tersebut se bagai prinsip dalam menjawab isu peran perempuan dalam ibadah je ma at. Mencermati bagaimana ge re ja masa kini sering mencoba mem ba-ngun sebuah ajaran berdasarkan kon teks zaman yang ada haruslah di evaluasi dengan bijak. Sebagai con toh, banyak gereja mulai me-nyesuaikan tuntutan Firman Tuhan ber dasarkan karakter generasi muda ma sa kini. Gereja menganggap se-olah-olah jika Firman Tuhan tidak me ngikuti budaya dan kultur generasi mu da masa kini atau konteks zaman ter tentu maka pemberitaan Firman Tu han tidak akan efektif. Walaupun per gumulan dari generasi orang-orang Kristen dapat berbeda dan kon teks budaya orang-orang Kristen di daerah tertentu dapat berbeda te-ta pi Firman Allah tetap berkuasa dan mam pu berbicara lintas generasi dan lin tas daerah.

Pdt. Chandra Gunawan

...satu orang Sa maria yang merespons anugerah Al lah dengan

sikap yang benar, mem buktikan bahwa orang ini bu kan sekedar

fisiknya disembuhkan oleh Tuhan tetapi hatinya juga di ubahkan Tuhan.

19 EUANGELION 173

Page 20: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

PENDAHULUAN Kehidupan sebagai pengikut Kris-tus menuntut kita untuk bertindak se suai dengan harkat dan martabat Kris tus. Tentu ini tidaklah mudah, se bab kita hidup dalam kedagingan yang selalu ingin melawan harkat dan martabat tersebut. Walaupun de-mi kian, kita perlu menyadari bahwa iman kita tidak hadir atau eksis hanya da lam sepenggal waktu, melainkan se panjang hidup. Menghidupi iman de ngan seluruh prinsip-prinsip ke be-naran firman Tuhan di sepanjang per-ja lanan hidup kita, di manapun kita ber ada, inilah yang disebut budaya iman. KESELAMATAN YANG HIDUP Tatkala kita menerima Yesus se ba-gai Tuhan dan Juru Selamat pribadi, di situlah momen keselamatan itu menjadi anugerah buat hidup ki ta, dan itu bersifat kekal. Namun ke-selamatan dalam prinsip firman Tu -han tidaklah hanya berimplikasi ke lak sesudah kematian daging (future), melainkan juga pada saat ini (present). Memang, keselamatan itu sen diri hanya akan dinyatakan tatkala ke lak kita sudah di alam baka, sebab ka ta “selamat” merupakan sebuah an-titesis dari kata “hukuman”. Namun buah keselamatan itu bersifat aktif dan terus menerus. Apabila buah ke selamatan tidak menampakkan ak tivitas dan pertumbuhan yang baik, kita patut bertanya-tanya, “sung-

guh kah keselamatan itu terjadi?” Ki tab Filipi pasal 2 menolong kita me mahami hal ini dengan baik, di -mulai dari ayat berikut ini: “Hai sau-da ra-saudaraku yang kekasih, kamu se nantiasa taat; karena itu tetaplah kerj akan keselamatanmu dengan takut dan gentar...” (Flp 2:12a) Ayat di atas memerintahkan kita agar menghidupi keselamatan. Frase yang dipakai “tetaplah kerjakan” ber asal dari kata “κατεργάζεσθε” (katergazesthe) yang merupakan se-buah kata perintah bertensa present, yang bermakna terus-menerus, se lama hidup kita. Keselamatan yang terus menerus dihidupi akan membawa kita kepada akhir ke hi-dupan yang tiada bercela (ay 15). Na mun menghidupi keselamatan ti daklah dengan kekuatan sen di ri, melainkan Allahlah yang me nger ja-kan nya (ay 13). Jadi, tidak mungkin ke selamatan yang dimiliki orang per caya itu diam saja, apalagi mati, tan pa menghasilkan apa-apa. Buah-buah keselamatan akan tampak dan men jadi bukti bila keselamatan yang ki ta peroleh adalah eksis.

BUDAYA KRISTEN Guna melihat lebih jauh indikasi ke selamatan yang hidup di atas, saya akan membandingkan dua paradigma un tuk kita renungkan bersama secara se rius sehingga kita dapat mengukur dan sekaligus merenungkan, siapa ki ta di hadapan Kristus (kita masing-ma sing patut menjawab pertanyaan yang Yesus sampaikan dalam Lukas 9: 20). Dua paradigma tersebut adalah bu daya Kristen dan budaya iman.

BUDAYA IMAN

20 EUANGELION 173

Page 21: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

Akhir-akhir ini saya sering men-dapatkan banyak berita, pe san singkat, dan opini tentang per tum-buhan dan perkembangan sebuah aga ma yang disinyalir menjadi amat pe sat dewasa ini. Di kantong-kantong yang mayoritas Kristen (mungkin ju-ga Katolik) terjadi sebaliknya, yaitu ke munduran, baik dalam konteks iden titas maupun praktek kehidupan. Fe nomena apakah ini? Atau apa yang da pat kita jelaskan tentang hal ini? Sung guhkah kekristenan mengalami ke munduran? Firman Tuhan di dalam Yesus Kris tus harus kita yakini sebagai “ya” dan “amin” (2 Kor 1:20), maka apa yang dinyatakan di dalam firman Tu han, yaitu Alkitab kita saat ini ada-lah sebuah kebenaran. Keyakinan seperti ini amatlah penting bagi ki ta pengikut Kristus, dan dengan de-mi kian fenomena di atas dapat kita pa hami dengan baik. Kekristenan dalam konteks sebagai sebuah entitas bu daya, bagi saya, saat ini memang sedang mengalami kemerosotan dan bah kan menurut saya sudah hendak ber akhir dan karenanya kemunduran ada lah sebuah keniscayaan. Dunia ba-rat yang (awalnya) kental dengan ke-kris tenan dalam segala aspek, seperti pe merintahan, gereja, pendidikan, pe ri kehidupan sehari-hari, dan se ba-gainya (dibuktikan dengan nilai-nilai kris tiani yang amat kuat dan pekerjaan misi yang luar biasa), kini hanyalah me nyisakan elemen budaya semata, ta pi rendah dan bahkan kehilangan kua litas kerohaniannya. Tatkala bu-lan Desember dimana hari Natal ti ba, pernak-pernik dan ornamen-

or namen yang muncul hanyalah un tuk kemeriahan semata, bukan pe rilaku hidup yang semakin baik, apa lagi benar. Jika sudut pandang de -mikian kita alihkan ke daerah-dae rah mayoritas Kristen (umumnya di sebut kantong-kantong Kristen) yang men-jadi obyek kekuatiran yang saya se but di atas, apakah yang dapat kita ka-takan dan simpulkan? Bagi saya, setali ti ga uang alias sama saja dengan apa yang terjadi di dunia barat. Maka, ten tu saja karena rapuh dan lemah, se bab hanya tampak permukaan sa-ja, budaya Kristen jadi semakin surut dan lama kelamaan bisa saja hilang. Oleh karena itu harus ada sesuatu yang menggantikannya, dan itu sa ya sebut dengan istilah “budaya iman”. Paradigma kantong Kristen atau peradaban Kristen barangkali ke lak hanya tinggal sebuah warisan (legacy) semata. Jika demikian maka ki ta juga tidak akan berjumpa lagi de ngan konsep mayoritas Kristen, dan minoritas agama lainnya di suatu dae rah tertentu. Fenomena ini sebenarnya bu-kan melulu pertumbuhan dan per-kem bangan suatu agama tertentu. Mung kin dalam konteks Indonesia ter jadi demikian. Namun di belahan du nia lain, dalam beberapa survei di sebutkan justru mereka yang tidak me miliki afiliasi agama tertentu se perti ateisme dan agnostisme ber tumbuh secara pesat. Di Ero pa dan Amerika kelompok ini men-du duki jumlah kedua terbesar (https://news.nationalgeographic.com/2016/04/160422-atheism-agnostic-secular-nones-r is ing-

21 EUANGELION 173

Page 22: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

religion). Jika Eropa dan Amerika me ngalami situasi demikian, ma-sihkah kita sebagai pengikut Kris-tus bangga mereferensikan benua ter sebut sebagai berbudaya Kristen ha nya karena pernak-pernik fisik yang bernuansa kristiani, dan itupun ha nya di saat-saat Natal? Kekristenan ada lah tentang Kristus, bukan per-nak-pernik, ornamen, hiasan, dan se macamnya yang terlihat fisik. Be gi tulah penegasan Yesus (Mat 16:24): “Lalu Yesus berkata kepada mu rid-murid-Nya: ‘Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus me-nyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku.’“

BUDAYA IMAN Sebagai bandingan dari budaya Kris ten yang demikian, budaya iman per lu mulai kita galakkan. Budaya iman berangkat dari pemikiran dasar yang terdapat pada ayat di bawah ini:“Se bab di dalamnya nyata kebenaran Al lah, yang bertolak dari iman dan me mimpin kepada iman, seperti ada ter tulis: ’Orang benar akan hidup oleh iman.’” (Rm 1:17). Sebagaimana disebutkan dalam pa paran sebelumnya, iman kita ha ruslah bersifat aktif, karena kita ma sih hidup di dunia ini. Iman kita ha nya dapat bertumbuh dengan baik sehingga kita layak dibenarkan Al lah tatkala kita menghidupinya. Meng hidupi iman inilah yang menjadi ha kekat terbentuknya budaya iman.Bu daya iman bersumberkan pa-da Injil, firman Tuhan. Paulus me-negaskan dalam ayat 16 kitab Roma bah wa karena Injillah orang beroleh

ke selamatan. Di dalam Injil ada kuasa Al lah yang membawa orang kepada ke selamatan. Dengan demikian, tat-kala kita beroleh keselamatan yang ber sumber dari Injil, di dalam diri kita (se harusnya) muncul iman yang hidup, yang terus-menerus bertindak sesuai de ngan citra kebenaran Ilahi. Oleh ka rena terjadi terus menerus, tentu la ma-kelamaan menjadi kebiasaan, dan inilah yang disebut budaya iman. Da lam tataran praksis, budaya iman akan memberikan dampak yang amat besar dalam memperkenalkan ke be-naran Allah dan keselamatan yang di sediakan-Nya. Apakah kemerosotan budaya ke kristenan sebagaimana disebut di atas merupakan sesuatu yang serius dan fundamental di mata Tuhan? Ter nyata firman Tuhan mengatakan “ti dak”. Mari kita simak ayat berikut ini: “Begitu pula anggur yang baru ti dak diisikan ke dalam kantong kulit yang tua, karena jika demikian kantong itu akan koyak sehingga anggur itu ter buang dan kantong itupun hancur. Te tapi anggur yang baru disimpan orang dalam kantong yang baru pula, dan dengan demikian terpeliharalah ke dua-duanya” (Mat 9:17). Budaya kekristenan bagaikan kan-tong kulit yang tua, dan isinya pun su dah tua. Budaya kekristenan sudah pur na dan tidak perlu lagi diaktivasi ulang. Sementara itu budaya iman ada lah bagaikan kantong anggur yang baru. Isinya, yaitu anggurnya pun tidak bersifat ornamental, sim-bol, ritual, atau pernak-pernik se-mata. Anggur baru ini bersumber pa da kebenaran murni firman Tuhan

22 EUANGELION 173

Page 23: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

yang merupakan fondasi dasar iman di dalam Yesus Kristus, sebagaimana yang Paulus sampaikan dalam kitab Ro ma di atas. Sebagai pengikut Kristus, ada be gitu banyak keistimewaan yang ki ta bisa peroleh. Firman Tuhan me-nunjukkan kepada kita bahwa ki ta disebut anak Allah (Yoh 1:12), dan Allah dengan demikian adalah Ba-pa kita. Allah yang mahakuasa itu menjadi ‘Bapak’ buat kita?, “Ya, be-nar!” kita juga disebut sebagai murid (Ki tab Yohanes banyak menyebutkan ten tang murid ini). Bukankah da lam dunia pendidikan banyak pe lajar dan mahasiswa berlomba-lom ba mendapatkan sekolah yang ter-baik? Salah satu alasan sekolah atau kampus itu disebut terbaik ten tu karena gurunya berkualitas. Nah, kalau kemudian kita disebut se bagai murid Kristus, yang adalah in karnasi Allah, bukankah itu suatu ke hormatan yang amat tinggi? I Pe trus 2:9 memberikan banyak ke is-timewaan lainnya lagi. Namun se dih-nya, semua keistimewaan tersebut ti dak membuat banyak orang yang me ngaku Kristen memiliki cara hidup yang baik atau bahkan lebih baik (da-ri pada mereka yang di luar Kristus). Ke istimewaan itu seperti menjadi se buah kebanggaan semata, namun nir hakekat. Dengan kata lain, banyak yang suka disebut “anak Allah”, “mu -rid Kristus”, dan sebagainya na mun kehidupannya tidak seturut de ngan sebutan tersebut. Dapatkah yang demikian itu disebut pengikut Kris-tus?

Beriman kepada Tuhan Yesus ber arti menjadikan Yesus sebagai prio ritas utama dan pusat kehidupan, apa pun itu yang terjadi, suka atau du ka, sehat atau sakit. Namun li-hatlah betapa masih banyak orang (Kris ten) yang manakala tertimpa ke susahan menganggap Tuhan jahat, ti dak adil, tega, dan sebagainya, se hingga akhirnya meninggalkan imannya bahkan cenderung mulai meng hujat Tuhan. Pernahkah kita se rius bertanya dalam perenungan iman kita, mengapa jalan Allah un-tuk keselamatan adalah dengan in karnasi Yesus dan inkarnasi itu mes ti dijalankan dalam penderitaan? Bu kankah Allah itu mahakuasa? Ka lau untuk memurnikan hidup ma-nusia dan menjadikannya kudus agar berkenan kepada-Nya, tidakkah Al lah dengan kemahakuasaan-Nya sang-gup membuat kudus manusia tan pa harus berkorban demikian? Na mun tahukah Anda bahwa inilah per-tanyaan-pertanyaan orang yang jus-tru sebenarnya tidak memiliki budaya iman, yang berpusatkan pada Kristus. Me reka justru meragukan jalan yang de mikian, dan karenanya sangat wa-jarlah untuk tidak menghidupi iman yang demikian. Tapi bagi kita yang ingin hidup benar dan sungguh-sung-guh dalam Kristus, jalan keselamatan yang Allah sediakan semestinya menjadi refleksi iman yang senantiasa hi dup di segenap eksistensi kita. Pengorbanan Kristus me nun juk-kan bahwa dosa bukanlah perkara ke cil, sepele, apalagi mengada-ada. Dosa adalah noda paling men ji jik kan

23 EUANGELION 173

Page 24: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

di hadapan Allah. Oleh ka re na bo-bot nya yang besar itulah ma ka jalan ke selamatan Allah juga haruslah yang amat berharga, yaitu pengorbanan Kris tus. Ketika kita paham jalan itu, ma ka seharusnya itu tercermin dalam k e hidupan kita sehari-hari, yaitu bu-da ya iman yang benar. Budaya iman bisa bersifat individu, pun bisa bersifat komunal. Berdoa ka-panpun itu, tanpa harus menunggu ada suatu kegiatan tertentu, bukanlah se suatu yang tidak patut. Membaca dan merenungkan firman Tuhan ka-panpun dan dimanapun, entahkah ki ta sangat sibuk, dikejar jam masuk ker ja atau sekolah, dapat (seharusnya) de ngan mudah dilakukan. Kita tidak per lu melakukannya dengan banyak ayat. Satu atau dua ayat pun tetaplah baik, apalagi bila kita sanggup meng-ha falnya, tentu akan sangat baik dalam membangun budaya iman ki ta. Banyak hal-hal praktis lainnya yang sesungguhnya amatlah mudah dan bukan sesuatu yang bersifat gim mick (hanya untuk mengelabui su paya tampak rohani semata). Mem beritakan Injil, pendalaman Al kitab, dan sebagainya dapat kita ja lankan tanpa perlu merasa tertekan apa lagi terbeban. Bila kita memiliki ca ra hidup yang baik dalam seluruh as pek kehidupan, dan kemudian orang lain melihatnya sebagai se-buah keindahan, tidakkah itu akan

menjadi jalan yang mudah bagi kita un tuk menegaskan bahwa kebaikan itu karena kita memiliki Kristus. Ta-pi ingatlah dan pahamilah bahwa ke baikan yang memancar dalam ke hidupan kita tidaklah melulu se-suatu yang serba enak, nyaman, dan senang. Berhasil, beruntung, suk ses, berprestasi memang adalah hal-hal yang hebat dan membuat orang lain kagum, hormat, dan bah kan segan pada kita. Namun ke tika kita sakit, terpuruk, gagal, men derita dan sebagainya yang tam pak tidak menyenangkan dan kita bi sa tetap hidup dalam iman yang ber pusatkan Kristus, maka itu juga akan me mu lia-kan Allah (2 Kor 4:7, I Pet 2:20). Budaya iman adalah cara hidup se-ha ri-hari yang bergantung, bersandar, dan berpusatkan pada Kristus. Tiada hi dup tanpa Kristus. Itulah budaya iman sejati. Bila budaya iman yang de mikian betul-betul hadir, maka ti dak perlu ada lagi kegelisahan, ke kuatiran, apalagi kegeraman ter -hadap semua fenomena per kem-bangan dan pertumbuhan fal safah atau agama apapun (di luar Kris tus). Budaya iman yang demikian mem-bangun keyakinan yang kokoh, tak ter goyahkan sebagaimana Paulus te gaskan dalam kitab Roma di atas. Ja di, budaya manakah yang Anda hi-du pi saat ini?

Teduh PrimandaruJemaat GII Kebaktian Kota Baru

Parahyangan

24 EUANGELION 173

Page 25: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

“Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan

sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan

Allah.” 1 Kor 10:31

“Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia dan kepada Dia.

Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!”

Roma 11:36

Pengantar Salah satu produk perkembangan tek nologi adalah hadirnya perangkat ko mu nikasi “smartphone.” Hal ter-se but telah membawa dampak yang luar biasa dalam budaya manusia ter masuk di Indonesia. Pengguna smart phone di Indonesia cukup be-sar. Kementerian Komunikasi dan Informasi RI menyatakan bah wa Indonesia adalah “raksasa tek nologi Asia yang sedang tertidur. Peng gu-na smartphone Indonesia juga ber-tum buh dengan pesat. Lebih jauh Men kominfo menyatakan bahwa Lem baga riset digital marketing Emar keter memperkirakan pada ta hun 2018 jumlah pengguna aktif smarphone di Indonesia lebih dari 100 ju ta orang. Dengan jumlah sebesar itu, Indonesia akan menjadi negara de ngan pengguna aktif smartphone ter besar keempat di dunia setelah Ci na, India, dan Amerika.” Sadar atau ti dak sadar, peningkatan pengguna

smart phone tersebut menyebabkan per ubahan besar dalam budaya ma-sya rakat: dalam norma-norma, pola pi kir, nilai-nilai dan dalam sikap etis. Sebagai orang percaya, perubahan ter sebut akan berkaitan pula dengan pang gilan orang percaya untuk me-muliakan Tuhan dalam seluruh as-pek kehidupannya. Panggilan un-tuk memuliakan Tuhan terus ber-kumandang dalam berbagai per-ubahan budaya dunia sepanjang za man. Paparan ini adalah kajian eti ka Kris ten terhadap penggunaan smart phone dalam kaitan dengan ke hi dupan orang percaya yang ter-pang gil untuk memuliakan Tu han, ter-ma suk dalam menyikapi peng gu naan smart phone dalam ke hi dupannya.

Pengaruh smartphone dalam bu-da ya KBBI memberikan definisi budaya ada lah “pikiran, akal budi.” Charles H. Kraft memberikan pengertian bu daya sebagai “gaya hidup suatu ma syarakat dalam suatu kelompok, yang merupakan warisan dari satu ge nerasi kepada genarsi berikutnya.” Pe ngungkapan lain tentang budaya ia lah “rancangan masyarakat untuk ke hidupannya.” Setiap budaya me-ngandung norma-norma, pola pi kir, pengetahuan, nilai-nilai yang di-terima dalam kelompok tersebut. Ber dasarkan budaya tersebut, setiap orang melakukan tindakan dalam ke-lom poknya.

PENGARUH SMARTPHONE TERHADAP BUDAYA DAN PANGGILAN ORANG PERCAYA UNTUK MEMULIAKAN TUHAN

25 EUANGELION 173

Page 26: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

Smartphone sebagai alat bu da-ya yang sudah merupakan ke bu-tuhan pada masa kini, akan me-miliki pengaruh yang sangat be sar dalam mengubah budaya ka rena smartphone dapat digunakan se ba-gai hp biasa, atau akun facebook, Whats app, instragram, mengakses email, bertransaksi bisnis dan lain se bagainya. Satu smartphone seolah-olah satu perkantoran yang memiliki ba nyak fungsi. Kepemilikan smartphone bu-kan lagi sekedar pilihan tetapi te lah menjadi kebutuhan bahkan ke ha-rusan untuk hidup pada masa ki ni. Smartphone telah menjadi sa lah satu alat/instrumen budaya, da lam berbagai aspek kehidupan. Ke hadiran smartphone menyebabkan ter jadi transfer norma, nilai, konsep ber-pikir yang disampaikan dengan baik karena dapat dikirim beserta fo to-foto pendukungnya. Itulah se babnya kehadiran smartphone telah me ng-aki batkan perubahan budaya. Hal itu masih akan terjadi terus dengan per-kembangan yang ada pada masa de-pan. Perubahan budaya akan terjadi ke arah yang positif maupun negatif. Oleh karena itu, setiap orang per ca-ya pengguna smartphone tidak da pat membebaskan diri dari tang gung jawab, karena pada akhirnya peng-guna smartphone harus ber tanggung jawab, baik kepada manusia maupun kepada Tuhan.

Kondisi Smarphone yang tidak dapat bekerja sendiri Smartphone dirancang oleh ma-nusia untuk hal yang baik dan ber sifat netral, dan smartphone ba ru da pat

bekerja ketika manusia meng gu-nakannya. Oleh karena itu, se ba-gaimana sifat benda umumnya, smart phone dapat menjadi alat yang mem bawa kepada kehidupan yang me muliakan Tuhan atau menjadi alat ib lis untuk melaksanakan rancangan ke jahatannya, tergantung kepada peng gunanya. Sebagai contoh: pisau yang dirancang untuk menjadi alat me nolong manusia, yang sangat ber guna di tangan master chef, akan men jadi alat yang membahayakan di ta ngan orang yang berniat ja hat ka-re na dapat mengancam ke se la mat an dan keamanan orang lain. Adalah ber bahaya jika pengguna smartphone ti dak memikirkan bahwa iblis dapat meng gunakan smartphone untuk tu-ju annya. Oleh karena itu, perlu kesadaran se tiap orang percaya pengguna smart phone, bahwa tanggung jawab ke pemilikan smartphone bukan pa da bendanya tetapi pada manusia peng-gunanya: bukan hanya terhadap ma-nu sia tetapi juga terhadap Tuhan. Ada pang gilan untuk memuliakan Tuhan ba gi setiap orang percaya ketika me-ma kai smartphone. Vern S. Poythrees dalam Redeeming Science menyatakan bahwa Tuhan de ngan jelas menunjukkan adanya ke superioran manusia terhadap mah-luk lain: binatang dan tumbuhan. Ma nusia tidak memiliki batasan dan dapat menggunakan segala se-suatu yang ada di dunia ini dengan be bas. Pembatasan terhadap ma-nusia hanyalah tidak boleh me ng-ambil pohon pengetahuan yang baik dan jahat. Larangan itu me-ru pakan pengingat akan adanya

26 EUANGELION 173

Page 27: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

tang gung jawab manusia kepada Tu han atas kepercayaan yang di-be rikan kepada mereka. Manusia bu kan tuan atas segala sesuatu yang dipercayakan kepadanya, te ta pi hanya penatalayan yang akan mem-be rikan pertanggungjawaban pada wak tunya. Hal tersebut juga nyata dalam pe r-umpamaan Tuhan Yesus dalam Ma tius 25:14-30 tentang Tuan yang mem-berikan talenta kepada hamba-ham-banya dengan tujuan untuk di gan-da kan. Ada yang dipercayakan lima ta lenta, dua talenta dan satu talenta. Ma sing-masing menurut kemampuan me reka. Waktu pengelolaan adalah sam pai tuan tersebut kembali. De-mikian pula halnya dengan peng gu-naan smartphone akan diminta per-tang gungjawaban. Untuk itu orang per caya harus memahami tanggung ja wabnya sebagai orang percaya da-lam penggunaan smartphone yang di pu nyainya. Orang percaya ada lah pe natalayan hal-hal yang di per ca ya-kan Tuhan.

Pengaruh Smartphone yang Positif Smartphone sebagai hasil per kem-bangan teknologi telah mem ba wa pertumbuhan pesat pa da manusia da-lam berbagai aspek kehidupan yang men jadikan pekerjaan lebih mudah. Mi salnya dalam berkomunikasi, da-lam penyampaian informasi, dalam mo bilisasi, dalam pelaksanaan pe-kerjaan atau bisnis, dalam kegiatan pe layanan dan pelaksanaan ibadah. Oleh karena itu smartphone bukan la gi suatu benda penanda prestise,

te tapi telah menjadi kebutuhan setiap orang: tua muda, kecil besar, terdidik atau biasa saja, yang penggunaanya ter kait dengan semua lini kehidupan.Smartphone masih akan terus me ng-alami pengembangan. Kita dapat me-li hat bahwa setiap tahun ada produk ba ru dengan tambahan fitur-fitur yang lebih baik dan canggih dan akan te rus dikembangkan untuk dapat mem-bawa lebih banyak hal positif. Sebagai orang percaya, panggilannya adalah da pat menggunakan apapun yang di-mi likinya termasuk smartphone untuk me muliakan Tuhan, mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama. Dalam melakukan komunikasi, de ngan adanya smartphone ko-mu ni kasi dapat dilakukan secepat mung kin karena smartphone te-lah memungkinkan melakukan ko munikasi antar kota, antar pro-vinsi, antar negara dan antar be-nua dengan baik. Perkembangan ter akhir menunjukkan komunikasi de ngan bertatap muka telah dapat di lakukan melalui Whatsapp. Per-ca kapan tersebut biayanya tidak ma hal. Contoh lain ialah bahwa se-tiap stasiun TV sekarang ini telah me ngembangkan peranan informasi ma syarakat akan berbagai hal. Hal ter sebut dapat terjadi dengan adanya smart phone, sehingga berita dan buk ti pendukung berita dapat dikirim se cepat mungkin dengan baik. Oleh ka rena itu, segala sesuatu yang terjadi di berbagai daerah bahkan di dunia, akan dapat diketahui dengan cepat, ji kalau akses untuk smartphone sudah ada di sana.

27 EUANGELION 173

Page 28: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

Terjadi efisiensi dalam waktu dan da na serta efektif karena dengan ce pat dapat dilakukan. Hal tersebut da pat menolong dalam hal-hal yang membutuhkan pertolongan se perti tabrakan, adanya gempa, ban jir dan lain-lain. Juga undangan-un dangan rapat, pernikahan, ucapan-ucap an Selamat dapat disampaikan de-ngan whatsapp. Kalau dahulu se-tiap undangan harus dengan bukti fi sik, kini undangan dalam bentuk fo to telah diterima dengan baik, ke-cuali untuk orang-orang yang pa ling dihormati. Terjadi perubahan budaya yang cukup signifikan. Dalam melakukan mobilisasi, smart phone sangat menolong. Pem-bentukan kelompok group telah mem buka komunitas-komunitas da lam jumlah kelompok yang ber va-riasi. Ada jumlah kelompok kecil, me-nengah, dan ada kelompok besar. Hal se perti itu belum pernah terpikirkan 15 tahun lalu. Hal tersebut juga me-nyebabkan perubahan dalam pe-laksanaan kepemimpinan. Itu telah di praktekkan untuk memobilisasi orang dalam pelaksanaan Pilkada dan Pe milu. Dalam pelaksanaan pekerjaan dan bisnis, penggunaan smartphone ju ga sangat besar. Bisnis online dapat ber-kembang dengan baik dengan ada nya smartphone. Segala urusan bis nis dapat lebih efisien dan efektif ju ga. Con tohnya, sekelompok petani di Ja wa Tengah telah tertolong dengan peng gunaan smartphone untuk me-mahami banyak hal tentang harga ha sil bumi dan lain-lainnya.

Masa kini banyak gereja telah me-ngizinkan Alkitab digital dalam smart-phone-nya. Oleh karena itu pengguna smart phone telah menginstall Alkitab, yang dapat diinstall dalam berbagai ver si dan bahasa. Ini membuat iba-dah semakin praktis. Banyak hal yang dibutuhkan dalam pelayanan da pat dicari dalam google yang da-pat dibuka dalam smartphone. Bu-daya orang percaya diubahkan. Ini me mudahkan setiap orang untuk me miliki materi Alkitab. Meskipun pem bacaan Alkitab dari smartphone me miliki pengaruh negatif, pengaruh po sitipnya cukup signifikan. Beberapa hal di atas menunjukkan bah wa smartphone telah memberikan pe ngaruh positif dalam kehidupan ma nusia, termasuk orang percaya. Pa tut disyukuri penemuan-penemuan ba ru yang dapat menolong peradaban ma nusia berkembang lebih baik lagi.

Pengaruh Smartphone yang Negatif Pengaruh smartphone yang negatif aki bat perubahan budaya dapat di amati antara lain: godaan untuk ti-dak memuliakan Tuhan atau godaan ib lis yang membuka potensi untuk ber dosa, kemajuan penyampaian in formasi yang tidak dibarengi de-ngan kesiapan mental, munculnya ke terasingan di tengah keramaian, ke tagihan ataupun pemberhalaan smart phone dan kemalasan untuk ber komunikasi secara langsung. Godaan untuk tidak memuliakan Tu han mudah terjadi dalam peng-gu naan smartphone ketika ibadah. Ib lis juga menggunakan smartphone

28 EUANGELION 173

Page 29: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

da lam menggoda orang-orang yang belum percaya kepada Tuhan de-ngan terdapat konten-konten ki-riman, yang merupakan godaan sek sualitas, penipuan, perilaku ce pat marah dengan tulisan-tulisan da-lam argumentasi yang muncul, dan percakapan-percakapan yang ka-dang kala tanpa sopan santun lagi. Pe nipuan-penipuan dapat terjadi me lalui facebook dan whatsapp yang telah banyak memakan korban, ka-re na percakapan-percakapan yang ter jadi tanpa pertemuan seringkali me nutupi banyak jatidiri yang tidak be nar. Penyampaian informasi yang ti­dak di barengi dengan kesiapan men­tal. Pa da masa lalu, setiap budaya ma nusia diturunkan ke generasi be-ri kutnya melalui pengajaran baik di te ngah keluarga maupun sumber etis lain nya. Ada cukup waktu untuk men-cer nanya. Perkembangan smartphone mem bawa penyampaian informasi yang luar biasa cepat. Banyak pe-ne rima belum siap secara mental. Pa dahal, siap atau tidak siap, norma-nor ma. pola pikir lain terus memasuki se tiap pengguna dengan bebasnya. Se tiap pengguna smartphone se olah berjuang sendiri menghadapi ber-ba gai informasi yang masuk. Terjadi glo balisasi budaya. Sebagai contoh: ba nyak orang terperdaya oleh status orang yang dikenal melalui facebook. Hal tersebut akan membahayakan di ri nya. Dampak negatif lainnya ialah mun-cul nya rasa keterasingan di tengah se-gala keramaian. Orang tergoda lebih ber gaul melalui smartphone daripada

ber temu langsung. Pergaulan lang-sung menghadirkan senyum, dan eti ka, tetapi dengan smartphone orang menggunakan emotikon-emo-tikon yang hanya dapat dilihat te tapi tidak dapat dirasakan. Dapat ju ga menyebabkan kemalasan untuk ber-ko munikasi.

Panggilan untuk memuliakan Tuhan Panggilan untuk memuliakan nya ta dalam Alkitab. Dampak negatif ti dak harus ditakuti, melainkan harus di hadapi bersama Tuhan. Sebagai orang percaya yang telah merasakan ka sih dan pengampunan Tuhan di da lam Tuhan Yesus, yang diterima de-ngan iman bahwa penebusan terjadi oleh darah Tuhan Yesus yang tercurah di Kalvari, dan melalui firman Tuhan, pas ti akan didatangkan rasa syukur ke pada Tuhan dan ingin memuliakan Tu han di dalam hidup. Pernyataan li ma sola: Sola Gratia, Sola Fide, Solus Christus, Sola Scriptura diakhiri dengan Soli Deo Gloria. Panggilan untuk memuliakan hi dup sekaligus tantangan agar da pat menggunakan segala milik yang dipercayakan Allah umumnya dan smartphone khususnya untuk me muliakan Tuhan. Penggunaan smart phone dapat dilakukan dengan me naati pengajaran Tuhan Yesus. Pe rintah untuk mengasihi Tuhan de ngan segenap hati, segenap jiwa dan segenap akal budi serta perintah un tuk mengasihi sesama seperti diri sen diri dipraktekkan dengan menaati fir man Tuhan. Hal tersebut diamati da lam berbagai pernyataan dan pe rintah Tuhan Yesus, yaitu hidup

29 EUANGELION 173

Page 30: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

se bagai “garam dan terang dunia”, be rusaha memelihara kekudusan hi dup, menggunakan smartphone se bagai alat untuk mengasihi Tuhan dan sesama. Mengasihi Tuhan dengan segenap ha ti, segenap jiwa dan segenap akal budi dalam penggunaan smart-phone mengandung menaati prin-sip-prinsip Alkitab. Secara alki ta-biah perlu disadari bahwa iblis ju ga menggunakan smartphone un tuk mencapai tujuannya. Hal ini nya ta dalam berbagai penggunaan smart-phone. Komunikasi yang terjadi da lam smartphone dapat jatuh ke-pada umbaran kemarahan dan ke-tidaketisan dalam berkomunikasi. Se tiap orang percaya kiranya dapat me nyadarinya dan berdiri sebagai orang percaya menjadi kesaksian bagi du nia ini. Dalam penggunaan smartphone da lam ibadah, perlu diwaspadai ta-rikan untuk melakukan kegiatan lain, se perti membalas whatsapp ketika iba dah, atau melakukan bisnis ketika se dang ibadah. Hidup sebagai “garam dan terang du nia”. Orang percaya terpanggil un tuk hidup sebagai “garam dan te-rang dunia” Dalam Matius 5:13-14 Tu han Yesus mengatakan, “Kamu ada lah garam dunia. Jika garam itu men jadi tawar, dengan apakah ia di asinkan? Tidak ada lagi gunanya se lain dibuang dan diinjak orang. Ka­mu adalah terang dunia. Kota yang ter letak di atas gunung tidak mungkin ter sembunyi.” Hal ini menunjukkan orang percaya adalah orang yang te lah dibaharui Tuhan. Kehidupan

se bagai “garam dan terang” dunia me nunjukkan kehidupan yang telah me ngalami pembaharuan dan telah ter hubung dengan terang itu sendiri, ya itu Tuhan Yesus. Kedua gambaran ter sebut merupakan kehidupan yang men jadi internal tersembunyi tetapi mem ba wa dampak pembusukan da lam du nia ini, sedangkan orang per caya se bagai terang dunia karena su dah ter hubung dengan Yesus yang ada lah te rang dunia. Hal tersebut ber-arti orang percaya mengasihi orang yang ma sih tinggal dalam kegelapan dan mem bimbingnya mengenal Ye sus. Peng gunaan smartphone ka-re nanya un tuk arah kesaksian dan pe layanan. Orang percaya menjadi utus an Tuhan me nyaksikan Tuhan yang sudah mati dan bangkit untuk me nebus dosa ma nusia dengan meng gunakan smart phone-nya. Penggunaan smartphone dengan akun facebook, whatsapp, instagram, men jadi media kesaksian iman. Ke taatan tersebut bukan karena ta kut UU ITE (meskipun itu perlu di per hatikan), tetapi lebih kepada ta kut akan Allah yang mengetahui sam pai kepada motivasi tindakan dan ketaatan kepada Tuhan. Se-ba gai orang tebusan Allah, orang per caya yang mengasihi Allah akan ber kehendak menaati firman Tuhan (Yoh 14:15, 21,23). Orang percaya se-la yaknya mengasihi Tuhan, Allahnya, de ngan segenap hati, segenap jiwa, dan dengan segenap akal budi; dan me ngasihi sesama seperti diri sen -di ri (Mat 22:37-39). Itu bukan un-tu k meraih kasih Tuhan tetapi ka-re na sudah dikasihi oleh Tuhan.

30 EUANGELION 173

Page 31: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

Oleh karena itu, smartphone juga di gunakan untuk memuliakan Tuhan baik dalam penerimaan maupun pe ngiriman pesan, gambar dan lain se bagainya. Kekudusan Hidup. Panggilan un tuk memuliakan Allah dalam peng gunaan smartphone berkaitan de ngan pemeliharaan kekudusan hi dup. Perintah kekudusan hidup di berikan pada masa Perjanjian La ma dan diulang kembali dalam Per janjian Baru. Ini menunjukkan sua tu kesamaan prinsip hidup dalam Per janjian Lama sampai kepada Per-jan jian Baru. Dalam 1 Petrus 1:15-16 dinyatakan “te tapi hendaklah kamu menjadi ku dus di dalam seluruh hidupmu sa ma seperti Dia yang kudus, yang te lah memanggil kamu, sebab ada ter tulis: Kuduslah kamu, sebab Aku ku dus.” (Bnd. Im. 11:44-45). Orang du nia hidup menurut apa yang di-ke hendakinya tetapi orang percaya men jalani pengudusan hidup terus me nerus. Oleh karena itu diminta un tuk hidup kudus. Kekudusan bukan se suatu yang berdasarkan usaha sen diri, tetapi lahir dari ketaatan ke-pada Allah. Apapun juga yang di per-sembahkan seseorang kepada Tu han tanpa kekudusan hidup, itu ti dak akan memuliakan Tuhan. Tuhan akan bertindak terhadap anak-anak yang tidak belajar untuk hidup kudus, ka-rena Tuhan tidak memandang mu ka. Oleh karena itu, orang percaya hen-daknya memelihara smartphone-nya da ri kandungan hal-hal yang tidak ku dus.

Smartphone seringkali dipakai iblis un tuk menyebarkan ketidakkudusan, atau menawarkan perzinahan, pe-ni puan, mengumbar kemarahan dan kekesalan, perselisihan dan lain se bagainya. Orang percaya yang me nyadari jati dirinya sebagai umat te busan Tuhan hendaknya belajar me-melihara diri dari hal-hal yang tidak ku dus tersebut. Dalam penyebaran be rita, mewaspadai berita hoax. Ke-tidakkudusan dan kekudusan hen-daknya tidak disandingkan dalam smart phone. Setiap ketidakkudusan hen daknya dapat di-delete.

Penggunaan smartphone yang punya batasan waktu Dalam Matius 6:21 dinyatakan, “ka rena di mana hartamu berada, di si tu juga hatimu berada.” Pernyataan ter sebut menunjukkan bahwa se-ga la sesuatu yang mengikat hati be gitu rupa menunjukkan indikasi ke berhalaan seseorang. Orang per-ca ya seyogyanya lebih mengasihi Tu han daripada smartphone-nya. Tapi smart phone kadang menyebabkan ke tagihan yang membuat orang per caya seperti tidak nyaman jika ti dak memegang smartphone-nya. Ra sa amannya bertambah jika smart-phone-nya ada di tangannya. Hal tersebut hendaknya menjadi per ha-ti an orang percaya, sehingga dapat me ngevaluasi diri. David Beckam, pemain dan pelatih bo la dari Inggris, telah menjadi ayah yang dikagumi karena pernyataannya da lam salah satu wawancara de-ngan wartawan tentang rahasia

31 EUANGELION 173

Page 32: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

ke harmonisan keluarganya, secara khu sus relasinya dengan anak. David Beckam menyatakan bahwa bila dia berkumpul dengan keluarga, dia ti-dak menggunakan smartphone-nya. Itu menunjukkan keluarga bernilai ba ginya sehingga dia membebaskan di ri dari smartphone dalam periode ter tentu agar dapat memberi diri pa-da keluarganya. Orang percaya yang sulit me le-paskan smartphone-nya untuk pe rio-de tertentu, merupakan kondisi yang ha rus diperhatikan supaya tidak jatuh ke dalam penyembahan berhala. Hal tersebut terasa menjadi godaan yang lazim. Namun memuliakan Tu-han dengan menghentikan sejenak peng gunaan smartphone adalah sa ma dengan melatih diri untuk me naklukkan godaan. Sebagai in-stru men komunikasi dan instrumen in formasi, smartphone diperlukan, na mun menghentikan sejenak demi Tu han dan keluarga adalah pelatihan di ri untuk tidak ketagihan terhadap smart phone.

Simpulan Penggunaan smartphone memiliki tang gung jawab kepada Tuhan dan se sama. Oleh karena itu, dalam meng gunakannya perlu sikap yang je las, yaitu untuk memuliakan Tuhan dan mengasihi sesama. Orang per-ca ya merupakan pe na talayan Tuhan

da ri segala yang di milikinya yang me rupakan ke per ca yaan Tuhan kepadanya, jadi bukan se bagai pemilik. Oleh karena itu, be lajar menggunakan smartphone se cara bertanggung jawab dengan me-ngasihi Tuhan dan memuliakan Tu-han. Juga menyadari akan ada waktu un tuk mempertanggungjawabkannya ke pada Tuhan. Kesadaran ini akan mem bawa setiap orang percaya meng gunakan smartphone dengan be nar dan baik sehingga nyata bah-wa orang percaya adalah garam dan terang untuk dunia ini. Orang per caya pengguna smartphone ti dak da pat mem bebaskan diri dari tang gung ja wab, karena pada akhirnya peng-gu na smartphone harus bertanggung ja wab, baik kepada manusia maupun ke pada Tuhan. Dalam penggunaan smartphone ju ga disadari adanya godaan dari ib lis. Oleh karena itu orang percaya me nyadari adanya peperangan iman dan etis melalui smartphone. Un tuk itu orang percaya hendaknya te tap memelihara smartphone dari pe-ngaruh dunia dan iblis dengan me-melihara relasi dengan Tuhan. Tuhan Ye sus sumber segala berkat akan mem bimbing dan memelihara hati dan pikiran orang percaya berpusat pa da-Nya. Soli Deo Gloria.

Herlise Y. Sagala, D.Th

32 EUANGELION 173

Page 33: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

Multikultural: Keniscayaan Untuk BermisiKemudian dari pada itu aku melihat:

sesungguhnya, suatu kumpulan besar orang banyak yang tidak dapat

terhitung banyaknya, dari segala bangsa dan suku dan kaum dan

bahasa berdiri di hadapan takhta dan dihadapan Anak Domba...

Wahyu 7:9

Multikultural adalah gambaran ke beragaman budaya yang di te-mu kan dalam konteks sosial. Mul-ti kultural juga dikenal dengan se-butan kemajemukan, dimana ma-syarakat dari berbagai suku bang sa dan dari penganut agama yang berbeda hidup bersama di da lam kehidupan masyarakat. Kata “ke-beragaman” terkadang kita sebut ju ga “variasi”. Dennis E. Johnson da-lam bukunya “Berita dari Kisah Para Ra sul dalam Sejarah Penebusan” me-ngatakan bahwa variasi adalah bum-bu kehidupan. Dalam banyak hal pen-da pat ini benar, walau pada sisi lain di katakan bahwa perbedaan antar bu daya tidak selalu menghasilkan pe-ng alaman yang menyenangkan. Jika di terjunkan ke dalam suatu budaya dan bahasa yang asing bagi kita, kita mung kin kewalahan oleh “guncangan bu daya”, dan dalam jangka panjang oleh “kelelahan budaya”. Keberagaman budaya ditemukan di muka bumi ini sebagai gambaran ke mahakuasaan Tuhan Sang Pen-cip ta. Multikultural dalam konteks

In donesia diikat dalam satu kesatuan de ngan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, yakni berbeda-beda namun tetap sa tu. Gambaran ini yang seyogianya ter jadi di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara dari masyarakat yang mul tikultural. Namun pada sisi lain, konflik akan ha dir ketika ada yang mengklaim bah wa budayanya yang lebih do mi-nan dan menempatkannya se ba gai yang superior. Konflik ini mun cul karena adanya sikap yang me rasa superior dan mayoritas. Atau de-ngan perkataan lain, sikap yang me lihat sesama yang berbeda dan men jadikan budayanya sebagai yang lebih dibanding yang lain. Ke-adaan ini tentunya bukan hal yang harus dilestarikan, tapi disikapi de-ngan tetap menghargai semua suku bang sa dengan segala kelebihan dan ke kurangan budayanya. Hadirnya konflik di tengah mul-ti kultural bukan saja di ranah sosial, te tapi juga di ranah agama. Ini tentu da pat mengakibatkan keadaan yang ti dak kondusif di tengah kehidupan ber bangsa yang multikultural. Kaitan de ngan permasalahan di atas, tentu men jadi urgen untuk memperhatikan le bih jauh hal-hal yang seharusnya di hadirkan sehingga multikultural bu kan hal yang mempersulit di te-ngah kehidupan berbangsa, tetapi jus tru membawa kesejahteraan. Un tuk inilah pentingnya kita me li-

33 EUANGELION 173

Page 34: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

hat gambaran yang indah yang di-nyatakan dalam kebenaran firman Tu han. Alkitab jelas banyak berbicara ten-tang suku dan bangsa yang semuanya ha rus bertujuan memuliakan Tuhan. De ngan ini menjadi pembelajaran yang baik untuk kembali melihat ke-benaran yang akan memampukan se mua warga gereja menjadi berkat di tengah kehidupan bangsa yang mul tikultural. Lebih dari itu, orang per caya dapat melihat bahwa semua yang ada di tengah keperbedaan ada lah keniscayaan untuk melakukan mi si-Nya. Panggilan orang percaya di tengah multikulural adalah untuk men jadi berkat supaya terang kasih Tu han nyata di tengah kehidupan se-mua suku dan bangsa. Untuk inilah ki ta akan melihat bagian firman Tu han yang menjadi fondasi untuk meng hadirkan tujuan Tuhan di dalam ke hidupan semua umat yang dikasihi-Nya.

Multikultural: Tinjauan Alkitab dan Fon dasi Alkitab dengan jelas memaparkan ke beradaan yang berbeda dari suku dan bangsa. Setelah peristiwa Menara Ba bel (Kej 11) terjadi keberagaman su ku dan bangsa dan semua orang ter serak ke seluruh bumi. Namun kita ju ga menemukan bahwa di dalam ke beragaman suku dan bangsa, Tu-han menunjukkan kasih-Nya ke pada semuanya. Tuhan memilih bang sa Israel untuk menjadi berkat ba gi bangsa-bangsa lain supaya se mua bangsa datang memuji dan me-muliakan Tuhan; pemilihan satu bang-

sa dengan tujuan membawa yang lain datang memuji dan memuliakan Tu han. Dalam keberagaman budaya, kita me lihat Tuhan ada di atas budaya. Ia punya intervensi yang membawa se-mua suku dan bangsa yang memiliki ke beragaman itu melihat kepada ke-daulatan-Nya atas semua yang ada di mu ka bumi ini. Di bawah ini kita dapat me lihat beberapa gambaran yang te-lah dipaparkan di dalam Alkitab:• Yesaya 66:18 - Aku mengenal se ga la

perbuatan dan rancangan me reka, dan Aku datang untuk me ngum-pul kan segala bangsa dari semua ba hasa, dan mereka itu akan datang dan melihat kemuliaan-Ku.

• Mazmur 22:19 - Sebab TUHANlah yang empunya kerajaan, Dialah yang memerintah atas bangsa­bangsa.

• Mazmur 46:11 - Diamlah dan ke ta-huilah, bahwa Akulah Allah! Aku di-ting gikan di antara bangsa­bangsa, di tinggikan di bumi!

• Maleakhi 1:11 - Sebab dari terbitnya sam pai kepada terbenamnya ma ta-hari nama-Ku besar di antara bang-sa-bangsa, dan di setiap tempat di bakar dan dipersembahkan korban ba gi nama-Ku dan juga korban sajian yang tahir; sebab nama-Ku besar di antara bangsa­bangsa, firman TU­HAN semesta alam.

• Wahyu 7:9, 10 - Kemudian dari pada itu aku melihat: sesungguhnya, suatu kum pulan besar orang banyak yang ti dak dapat terhitung banyaknya, da ri segala bangsa dan suku dan kaum dan bahasa, berdiri di ha dap an takhta dan di hadapan Anak Dom ba, me makai jubah putih dan memegang

34 EUANGELION 173

Page 35: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

daun-daun palem di tangan mereka. Dan dengan suara nyaring mereka ber seru: “Keselamatan bagi Allah ka mi yang duduk di atas takhta dan ba gi Anak Domba!”

• Filipi 2:10, 11 - supaya dalam nama Ye sus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bu mi, dan segala lidah mengaku: “Ye sus Kristus adalah Tuhan, “bagi ke muliaan Allah, Bapa!

• Yesaya 49:6 - Terlalu sedikit bagimu ha nya untuk menjadi hamba-Ku, un tuk menegakkan suku-suku Yakub dan untuk mengembalikan orang-orang Israel yang masih terpelihara. Te tapi Aku akan membuat engkau men jadi terang bagi bangsa­bang­sa supaya keselamatan yang dari pa da­Ku sampai ke ujung bumi.

• Mazmur 67 - Kiranya Allah me nga-sihi kita dan memberkati kita ... su-pa ya jalan-Mu dikenal di bumi dan ke selamatan-Mu diantara segala bangsa ... kiranya bangsa­bangsa se muanya bersyukur kepada-Mu ... Ki ranya suku­suku bangsa ber su ka-ci ta dan bersorak-sorai ...

Dari beberapa kebenaran fir-man Tuhan di atas, dapatlah di-mengerti fondasi dalam memahami ke beragaman yang ada, yakni Tuhan ada di atas semua suku dan bangsa, Tu hanlah SUBYEK di tengah suku dan bang sa. Tuhan mengasihi suku dan bang sa. Dan semua pada akhirnya HA RUS meninggikan Tuhan Pencipta. Ti dak ada suku dan bangsa yang tidak ber sujud dihadapan-Nya. Umat Tuhan di tengah kehidupan yang multikultural menjadi ke nis ca ya-an untuk hadirkan terang ka sih Tu han

sehingga semua suku dan bangsa da-pat mengenal Tuhan dan membawa me reka untuk mengaku bahwa hanya Tu hanlah yang patut ditinggikan, dan Tu han yang dikenal di dalam Yesus Kris tus adalah Juruselamat yang mem berikan keselamatan untuk se-mua suku dan bangsa. Keniscayaan di dalam hidup orang percaya ini ber kaitan dengan gambaran hidup ba ru yang dimilikinya. D.A. Carson me ngatakan bahwa salah satu dari prin sip yang menjadi dasar hidup baru ia lah “Kita hidup untuk mengasihi se-sama, dimana kasih kepada sesama itu seperti mengasihi diri sendiri dan mem perlakukan mereka seperti diri sen diri ingin diperlakukan. Keadaan ini se makin mempertegas tindakan yang ha rus dilakukan oleh setiap orang per caya walau berhadapan dengan kon teks sosial yang multikultural.

Nyatakan Kasih Tuhan di Konteks Mul tikultural: Aplikatif Berdasarkan paparan terdahulu, kem bali dipertegas bahwa Tuhan Pen cipta mencurahkan kasih-Nya ke pada semua orang di muka bumi. Ke tika Ia mencurahkan kasih-Nya da lam kehidupan semua suku bangsa, ada yang menerima kasih itu, ada ju ga yang tidak berespon baik atau me nolak. Ini memberi indikasi bahwa ke beragaman bukanlah kondisi yang di hindari, melainkan keniscayaan un-tuk hadirkan kasih Tuhan. Dalam keberagaman kitapun me nemukan keindahan yang dapat mem perkaya. Dalam skop yang le -bih sempit, misalnya dalam kon teks gereja, dimana terdapat juga ke be-ra gaman budaya di antara anggota

35 EUANGELION 173

Page 36: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

je maat, hal ini memberikan kekayaan da lam hidup kegerejaan. Kita dapat ka takan seperti ini karena setiap su-ku memiliki keindahan di dalamnya dan tentu ini memberi gambaran ke indahan di dalam kehidupan ber-ge reja. Mengaitkan hal ini dengan gam-bar an warga gereja yang setia, Joel R. Beeke dalam bukunya “Keindahan & Ke muliaan Mempelai Wanita Kristus” me ngatakan bahwa ada lima tanda ke anggotaan gereja yang setia, yakni: me nerima Firman Kristus, bersatu de ngan pribadi-Nya, berelasi dengan umat-Nya, melayani tujuan-Nya, dan ber tumbuh dalam gambar-Nya. Poin ini semakin mempertegas esensi orang percaya di dalam dan di luar ge reja.

a. Panggilan Umat Tuhan, Hadir di Te ngah Konteks Multikultural

Dalam konteks kegerejaan, per-ka taan “umat Tuhan” mengarah ke pada kumpulan orang percaya yang telah dipanggil dari kegelapan dan masuk kepada terang. Ini mem-beri indikasi pada orang-orang yang sudah mengalami Injil (euanggelion) dan mereka adalah orang-orang yang menghadirkan In jil di dalam kehidupannya. Kaitan de ngan ini, D.A. Carson mengatakan: “Se-orang beriman melaksanakan in jil (euanggelion) pada saat ia mem-prak tekkannya, menaati Firman yang memimpin pada anugerah dan kemerdekaan Kristus, lalu me-nunjukkan dan menyaksikan ja lan yang harus diikuti itu kepada orang lain.” Dapat dikatakan bahwa ke ber-ada an ini mempertegas panggilan

orang percaya untuk hadir dalam kon teks multikultural, bukan hanya da lam satu komunitas tertentu. Fung si gereja yang sentripetal (ber-gerak menuju pusat/ke dalam) dan sen trifugal (bergerak menjauhi pu-sat/ke luar) harus seimbang. Ini me-negaskan bahwa gereja yang se hat dan dinamis menuju ke arah per-tum buhan yang sehat, bukan hanya ber gerak di dalam gereja, tetapi ju ga ke luar dari gereja, masuk ke da lam kehidupan masyarakat yang mul-tikultural. Menjadi jelas bahwa war ga gereja seharusnya melakukan pang-gil annya untuk menghadirkan kasih Tu han di tengah masyarakat yang mul tikultural. Keberadaan gereja akan semakin je las ketika hadir dalam konteks ma-sya rakat yang multikultural guna me nyampaikan kasih Tuhan yang Agung yang dibutuhkan oleh semua su ku dan bangsa. Ini juga sebenarnya mem perjelas orang percaya untuk ha dir sebagai garam dan terang. Joel R. Beeke mengatakan: “Karena itu pergilah - karena Aku, Tuhan, dan Juruselamatmu -- mempunyai oto-ritas di surga dan di bumi. Aku bu kan sekedar Raja atas bangsa Ya hudi, tetapi juga Raja atas segala ra ja. Aku mempunyai otoritas global. Ka rena itu pergilah, dan ajarlah semua bang-sa (Mat.28:19-20).”

b. Tujuan Tuhan, Tujuan Umat­Nya Berangkat dari panggilan kepada orang percaya yang nota bene juga ada lah warga gereja yang terdiri da ri keberagaman budaya, menjadi sig-nifikan untuk melihat tujuan Tuhan da lam semua karya Agung-Nya.

36 EUANGELION 173

Page 37: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

Ber dasarkan rancangan Allah, kita (orang percaya) adalah makhluk yang ber orientasi pada tujuan. Jadi, apapun yang kita perbuat pasti berdasarkan pa da alasan. Hal ini mendorong ki-ta untuk melakukan tujuan Tuhan. Tu han menginginkan semua orang me ngalami keselamatan yang telah di hadirkan-Nya. Tujuan ini menjadi tu juan yang harus diwujudnyatakan oleh orang percaya agar semua suku dan bangsa mengalami keselamatan da ri Tuhan. Pada akhirnya, semua su ku dan bangsa akan berdiri di ha-dapan-Nya untuk menyembah dan me muliakan Tuhan. Semua suku dan bangsa yang mul tikultural adalah bagian dari ren cana Agung Tuhan, maka orang per caya secara dinamis seyogianya me ngupayakan dengan masuk dalam kon teks multi dan memproklamirkan ka sih Tuhan yang dibutuhkan oleh se-mua suku dan bangsa.

c. Perspektif Benar, Tindakan Di­per tegas

Dalam bagian ini kembali di-per je las bahwa menjadi orang per-caya adalah anugerah dan di da lam anugerah seyogianya ada res pon-sibilitas guna menghadirkan Tu han yang hidup di semua konteks ke-hidupan. Untuk itu orang percaya ha-rus hadir dalam skopus yang luas di-mana terdapat keberagaman budaya. Si kap dan tindakan haruslah searah de ngan panggilan sebagai orang per caya. Ini adalah bagian yang se-ha rusnya ada dalam hidup orang per caya, mengingat Tuhan hadirkan ki ta di tengah dunia dengan tujuan

su paya orang percaya menjadi terang ba gi suku dan bangsa. Kaki dian bu-kan ditaruh di bawah gantang, tetapi ha rus menerangi skopus yang lebih luas, seperti dikatakan di dalam Ma-tius 5:16, “Demikianlah hendaknya te rangmu bercahaya di depan orang, su paya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga.” Berdasarkan perspektif yang be-nar, maka seyogianya dalam hidup orang percaya muncul tindakan nyata da lam konteks multikultural guna mem bawa kasih dan terang sejati Tu-han. Panggilan ini sebenarnya ba gian yang natural dalam hidup orang per-caya. Hidup orang percaya yang benar ada lah melakukan misi Tuhan supaya se mua suku dan bangsa mengalami ke selamatan yang dari Tuhan.

Berbaur Tapi Tidak Kabur Orang percaya di konteks mul-ti kultural menunjukkan gambaran pem bauran tapi tidak menjadi kabur ja ti dirinya. Dunia tidak mewarnai hi dup orang percaya, tetapi orang per caya yang mewarnai dunia. Ini harus menjadi tegas dan jelas. Hal ini tentu tidak memberi ruang un tuk hadir di tengah dunia dengan war na ‘abu-abu’ yang pada akhirnya ti dak dapat dibaca dengan jelas jati di-rinya sebagai orang percaya. Walau ten densi ini mungkin terjadi oleh ka rena pengaruh dunia yang cukup kuat dengan segala ‘isme’ yang ada, si kap tegas haruslah nyata. Demikian ju ga, guna mencapai skopus yang le-bih luas, sikap akomodatif haruslah di lakukan.

37 EUANGELION 173

Page 38: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

Kehadiran orang percaya di tengah kon teks multikultural merupakan kai ros untuk hadirkan misi yang ber sahabat di tengah keadaan yang be ragam. Ini mempertegas bahwa hi dup orang percaya bukan eksklusif di tempat tertentu, tetapi di semua tem pat dan di semua keadaan. Langkah Riil Hadir di Konteks Mul-ti kultural Pada bagian ini dipertegas lang-kah-langkah praktis yang membawa orang percaya melakukan tanpa me-rasa takut, yakni: • Hadir di tengah lingkungan tem-pat tinggal dengan melibatkan diri da lam kegiatan kemasyarakatan. Ini ke sempatan untuk dapat berinteraksi de ngan baik, membangun relasi de-ngan baik, dan pada akhirnya dapat meng hadirkan kasih Tuhan. • Di tempat pekerjaan, sebagai pim pinan atau karyawan, hadir se-bagai pribadi yang berbaur de ngan sikap menghargai semua per bedaan yang ada, termasuk per bedaan budaya. Tempat dimana Tu han mengutus kita bekerja, di si tulah ladang yang harus digarap. Pro fesi kita adalah panggilan untuk meng-ha dirkan kasih Tuhan. Panggilan orang percaya dengan segala hal yang dipercayakan kepadanya adalah mem bawa semua yang ada padanya un tuk memuliakan Tuhan. • Dalam konteks berbangsa, ke be-ragaman budaya dilihat sebagai ke-sempatan untuk menikmati kekayaan da ri pekerjaan Tuhan dan membangun ‘jem batan’ untuk menjangkau orang guna membawanya kepada ke se la-mat an. Atau dengan perkataan lain,

da lam hidup kemasyarakatan yang mul tikultural, kita hadir sebagai warga ma syarakat yang dalam kebersamaan ha dirkan peran untuk kemajuan bang-sa. Warga gereja tidak boleh terpisah da ri hidup kemasyarakatan di tengah ke hidupan bangsa yang multikultural ka rena warga gereja adalah juga war-ga masyarakat. • Dalam lingkungan gereja yang ju ga multikultural, hadirkan sikap pe nerimaan tanpa memperuncing per bedaan budaya yang ada. Sebagai pe nerima kasih karunia Tuhan, ber-sa ma menghadirkan shalom kepada sia papun dan dimanapun.

PENUTUP Multikultural adalah keadaan di-ma na kita semakin melihat kekayaan pe kerjaan Tuhan dan keniscayaan un-tuk orang percaya bermisi. Dalam ke-beragaman kita semakin menikmati re lasi yang indah dengan sesama dan pada akhirnya dapat membawa me reka mengerti keselamatan yang di butuhkan. Keberagaman bukan hal yang harus dihindari, melainkan ke nis ca-yaan bagi orang percaya untuk ber-baur dan menghadirkan kasih Tuhan yang dibutuhkan oleh semua suku dan bangsa. Ini mempertegas tujuan ki ta di tengah konteks multikultural. Dalam keberagaman, dengan me-li hat kasih Tuhan kita melihat bahwa: “Se gala bangsa yang Kaujadikan akan datang sujud menyembah di ha dapanMu, ya Tuhan, dan akan me-mu liakan nama-Mu” (Mzm 86:9).

Desiana M. Nainggolan

38 EUANGELION 173

Page 39: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

Prawacana Biasanya kita menerima pan da-ng an Christ transform Culture se bagai pendekatan injili. Kali ini saya me-nyoroti pola itu dengan sikap ako mo-dasi teologis agar gereja-gereja era ini ti dak hanya memandang satu arah da ri sikap konfrontasi dan paralelisasi dua lisme. Kaum injili hanya menerima Kris-to logi ‘dari atas’, yaitu posisi teologis yang menekankan keilahian Yesus dan secara sengit menolak kristologi ‘da ri bawah’ yang dianggap terlalu me nekankan kemanusiaan-Nya. Bah kan sering melupakan kristologi ‘da ri depan’ yang menekankan akibat Ye sus imani. Kali ini kedua topik itu -trans-for masi dan akomodasi- akan di-kom prehensikan dalam pemikiran in tegratif berdasarkan pola inkarnasi Kris tus (Yoh 1:14) dan sikap Kenosis (Flp 2:6) di dalam status Kristen se-ba gai “garam dan terang dunia” (Mat 13:33-36) dan “ragi” ilahi dalam ma-sya rakat (Mat 6:13).

Budaya sebagai Mandat Kristiani: Re fleksi Lanjutan Kebudayaan adalah hasil “budi” dan “daya” manusia sebagai cip-ta an khusus Allah (Kej 1:26-27). Ke khususan ilahi dalam mandat bu-da ya didasarkan pada Kejadian 2: 15, ketika “Tuhan … menempatkan [ma nusia] dalam Taman Eden untuk me ng usahakan dan memelihara tanah

itu.” Kedua kata kerja itu identik de-ngan “berbudaya” yang akhirnya me munculkan “mandat budaya” injili. Ke jatuhan manusia membuat budaya-bu daya manusia mengandung segi-se gi durjana dalam rasisme suku, chau vinisme bangsa, termasuk ju ga sekularisme gereja kekinian, se perti gereja ala kafé, persekutuan ala gamers, kebaktian ala bioskop dan entertainmen, pemuridan ala mo ti-vasi bisnis, Kristen ala dunia ko mer-sial. Kebudayaan di sini bukanlah se ke dar lapangan adat istiadat dan se ni etnis saja, tetapi semua lapisan hi dup manusia, termasuk lapangan-la pangan keagamaan, bahasa, pen-di dikan, teknologi, ideologi, ma sya-ra kat, ekonomi, politik, ling ku ngan, per tahanan, hukum, dan lain-lain. Injili harus mengatasi ke sa lah-pahaman mengenai budaya yang hanya sebatas hal-hal etnik de-ngan daya tarik primitivitasnya. Ke-banyakan kita memahami budaya se-ca ra umum yang menyangkut pernak-per nik kategori “budaya tradisional” dan diperhadapkan dengan “budaya kon temporer” yang menekankan ke-bia saan pop sekarang. Dalam kajian Etnografi kita me-lihat apa yang disebut “budaya” di da lam lingkungan sosial yang me-ngan dung suatu rutinitas kebiasaan yang terpola dan berulang, misalnya: bu daya gereja atau budaya tukang bak so atau budaya milenial, bahkan bu daya injili dan lain-lain.

KRISTUS DAN BUDAYA: TRANSFORMASI MELALUI SIKAP AKOMODASI

39 EUANGELION 173

Page 40: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

Kebudayaan adalah suatu sistem ke hidupan manusia dan kelompoknya yang dipengaruhi oleh wawasan du nia, yaitu mental ideologis yang me ngarahkan dan mengontrol ke-seluruhan pemikiran dan kegiatan. Ja di, kebudayaan tidak netral karena ada isme-isme tertentu di balik hasil-ha sil budaya. Ada kesalahan generalisasi se-pin tas dalam frasa “budaya Kristen” se cara keagamaan. Sebenarnya kita ha rus menempatkan kekristenan pa da pelaku personal, bukan pada ha sil ‘pembudidayaan’ tersebut. La bel “Kristen” pada budaya akan membatasi cakupan esensialnya dalam universalitas Kristus. Khusus terhadap pola transformasi ekstrim yang berekses negatif pada usaha kris tenisasi dimensi-dimensi budaya umum seperti: Negara Kristen, bank Kris ten, partai Kristen, matematika Kris ten. Artinya, ruang publik ‘di-baptis’ secara formalitas ekslusif aga ma.

Relasi “Kristus-Budaya” dan Sikap Orang Kristen Richard Niegbuhr, seorang teolog non Injili, dalam buku klasik Kristus dan Budaya (Gunung Mulia, 1986?) ma sih merupakan referensi favorit pa da isu relasi kekeristenan dan ke-bu dayaan. Ia membandingkan lima po la relasi di bawah ini:1. Kristus melawan kebudayaan.

Po sisi yang menolak dunia sebagai hal jahat dan mengibaratkan orang Kristen sebagai “musafir” de ngan banyak godaannya, serta

ha rus menarik diri dari urusan du-nia seperti: militer, seni, politik, so sial, hiburan, dan lain-lain.

2. Kristus dari kebudayaan. Posisi ini meng gambarkan Kristus sebagai Ke pala dari budaya seseorang yang terbungkus nilai-nilai budaya ter sebut sekaligus dipakai sebagai da sar kritik. Keselamatan Kristus ha nya dalam pengaruh moral.

3. Kristus sejajar Kebudayaan. Prin-sip dualisme dan polarisasi Kristus dan dunia yang telah terjatuh na mun tidak terlepas dari Kristus yang mengatur struktur sosial dan m emulihkan kembali. Manusia se bagai pendosa di dunia, yang di benarkan oleh anugerah dan meng hasilkan suatu pribadi ber-kua sa.

4. Kristus di atas Kebudayaan. Kris tus adalah sumber anugerah se kaligus budaya. Budaya-budaya di dasarkan hukum ‘alamiah’ yang ter batas cakupannya, sedangkan anu gerah berdasarkan hukum ‘su pra natural’ mencakup kese la-mat an. Secara sintesis, di mana alam digenapi oleh anugerah.

5. Kristus memperbaharui Ke bu da­ya an. Dunia telah jatuh dalam do sa dan rusak total, namun Kris tus dapat menyucikannya se cara pribadi dan sosial dan mem baharuinya dengan nilai-nilai ro hani kerajaan Allah.

Sejalan dengan pola di atas, mun-cul isu yang setara dalam tema-tema in jil dan adat istiadat atau gereja dan po litik, kekristenan dan dunia, iman dan ilmu pengetahuan, dan lain-lain.

40 EUANGELION 173

Page 41: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

Selanjutnya ada kajian lanjut Mal colm Brownlee dalam Tugas Ma nusia Dalam Dunia Milik Tuhan (Gunung Mulia, 1993), yang secara so sio-teologis menurunkan pola- pola ter sebut dalam sikap per sikap orang Kris ten sebagai anggota masyarakat plu ral sekarang: • Sikap kontroversi dalam eks tri-

mis me ekslusif karena tidak ada se dikitpun kesesuaian.

• Sikap isolasi dalam dualisme hidup dan berjalan sendiri-sendiri secara pa ralel.

• Sikap akomodasi dalam relasi to le-ran si dan menyesuaikan diri da lam ma syarakat.

• Sikap asimilasi cara sinkritisme da-lam pencampuran kompromis.

• Sikap transformasi dalam pem ba-ha ruan masyarakat berdasarkan ni lai-nilai Kristen.

Dalam krisis kemanusian global ini kita harus melampaui “mandat bu daya” selama ini mencakup “man-dat peradaban” yang lebih luas. Pen ting adanya prinsip relasi inklusif ber dasarkan motif inkarnasi Kristus di dunia yang menggunakan kelima po la [pendekatan-sikap] sekaligus.

Keunikan Akomodasi Teologis bagi Injili Secara teoritis, “akomodasi” ada-lah term sosiologis, khusus dalam meng hadapi suatu kontroversi bahkan di sintegrasi dalam masyarakat plural dan majemuk (S Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, Grafindo, 2003). Ku rangnya pengertian akomodasi mem buat kalangan injili menolaknya dan menganggapnya kompromi.

Dalam konteks pluralitas agama, Donald Kauffman menjelaskan bahwa “accomodation” dapat berbentuk dua hal [praktis]: “mengadaptasi” dan “mengaplikasi” (Baker’s Concise Dictionary of Religion [Baker, 1985]). Kita dapat menghubungkan pen-dekatan misiologis possessio Her-man Bavinck pada perspektif misi mo dern dimengerti dalam “memiliki ke budayaan bagi Kristus, sekaligus men transformasi di dalam Kristus” (In troduction to the Science of Missions trans. Presbyterian & Reformed Pub., 1969). Secara filosofis, pendekatan ako-mo dasi teologis dimulai dengan ti ga batasan makna semantik: (1) yang kuat/benar kepada yang (di-ang gap) lemah/salah, dan (2) dapat ber ubah dalam hal-hal sekunder (fe nomenal), tetapi tetap (mutlak) da lam hal-hal primer (esensial), atau (3) prinsip keras di dalam (internal) dan lunak di luarnya (eksternal). Ar-ti nya, akomodasi sejalan dengan ko operasi (aplikasi) kekristenan dan ko ordinasi dalam adaptasi, bukan ja lan Korelasi yang berbentuk adopsi da lam “sinkretisme”. Sekaligus me-no lak jalan Asimilasi sebagai ja-lan percampuran (fusi) yang tidak per lu ketika menghadapi realitas kon troversi yang berkonflik dalam ma syarakat budaya majemuk. Saya sen diri menambahkan satu term lagi yang luas dan umum pemakaiannya, ya itu “toleransi” sebagai pengikat ke-tiga makna di atas, yang tidak harus di salahpahami sebagai relativisme iman dan kompromi.

41 EUANGELION 173

Page 42: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

Prinsip keseimbangan injili dalam ako modasi jelas dalam posisi antar aga ma “eksklusif-inklusif” atau “eks-klusif yang selektif” atau “inklusif yang terbatas.” Jadi, prinsip Kristen yang proprosional adalah “unik tanpa ha rus menjadi eksklusif(isme).” Implikasi, Allah sendiri memakai prin sip ini dalam doktrin inspirasi Al-ki tab, inkarnasi Kristus, dan lain-lain (lih. Roger McKim, Encyclopaedia of Reformed Faith [John Knox, 1999]). Prinsipnya, natur sorgawi da pat mengambil bentuk-bentuk ma nusiawi yang dapat dimengerti umat-Nya, namun kemutlakan tidak bo leh diikat (terikat) di dalam bentuk-ben tuk itu sendiri. Hal Fenomena bo leh berubah tetapi esensial tidak da pat berubah (kekal). Jadi, dalam hal ini akomodasi teo logis yang injili keunikan Kristen te tap dipertahankan, namun dapat to leransi kepada budaya-budaya non Kristen yang kita anggap lemah dan kurang genap. Kristus bukan dari du-nia tetapi datang ke dunia menjadi ma nusia yang terbatas. Ia berbudaya Ya hudi, namun bukan anak Yahudi, te tapi Anak Allah. Kristus bangkit dan naik ke sorga.

Dasar Alkitabiah untuk sikap ako-modasi1. Matitus 5:13-14, “Kamu adalah

garam dan terang dunia.” - mempengaruhi - meyembuhkan - memelihara - memperbaiki 2. Matius 5:15-16, “Kamu adalah

terang dunia ... demikianlah ki ra-nya terangmu bercahaya di de pan

orang, supaya mereka me li hat per buatanmu yang baik dan me-mu liakan Bapamu.”

- menerangi (mengusir kejahatan) - memberi arah (menuntun tela- dan)3. Yohanes 1:1 dan 14, “Pada mu-

lanya adalah firman ... Firman itu te lah menjadi manusia dan diam di an tara kita ...”

- menyesuaikan diri - mentoleransi - menempati4. Filipi 2:6-7, “… yang walaupun da-

lam rupa Allah tidak menganggap… se bagai milik yang harus diper ta-hankan, melainkan telah mengo-song kan diriNya sendiri…”

- merendahkan diri - menyangkal diri5. Matius 13:33, “... hal Kerajaan sor-

ga itu seumpama ragi… diadukkan ke dalam tepung terigu tiga sukat sam pai khamir seluruhnya.”

- mempengaruhi - memperbaharui6. Matius 2:15 dari Hosea 11:1, “Hal

itu terjadi supaya genaplah apa yang difirmankan oleh Nabi: ‘…dari Me sir Kupanggil anakKu.’”

- penggenapan - pengaplikasian

Kristus Mentransform Budaya Melalui Sikap Akomodasi Gereja Secara keseluruhan, kajian kris-to logi dapat dilihat dari 4 arah, yaitu da ri: 1) belakang, fokus janji nubuatan PL akan Mesias; 2) atas, perspektif ke-ila hian pra inkarnasi Kristus; 3) ba wah, fo kus kehidupan dan karya Kris tus; 4) depan, pada akibat-akibat kar ya ke selamatan Kristus dalam hati orang

42 EUANGELION 173

Page 43: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

per caya (Lih dan bdk, Henricus Ber-khof, Christian Theology, trans, Wm. Erd manns 1976). Keempat pers pektif ini dapat ditunjau sekaligus se cara wa jar dan proporsional sambil me-ng ingat bahayanya “relativisasi iman” dan “sekularisasi Kristen” sebagai usul an orang barat modern. Biasanya kaum injili sangat sensitif pa da segi kristologi from below dan di kontraversialkan dengan segi kris-to logi from above yang dianutnya. Ini mengakibatkan juga melupakan se gi from affore, sebagai sesuatu yang penting, dimana konsekuensi si teriologis praktis kekinian setelah me nerima Kristus Ada 5 prinsip transformasi ako mo-da tif: 1) “Keselarasan” antara Kristus dan budaya, di mana hidup dan ajar-an-ajaran Yesus untuk dunia dalam pro ses perwujudan kedamaian dunia; 2) Tidak ada ketegangan [signifikan] an tara Kristus dan kebudayaan; 3) Dengan cara “penyesuaian diri” se-cara eksternal, tanpa kompromi in-ternal; 4) Akomodasi kristologis ada-lah mempertahankan keunikan Kris-tus sambil mencari relevansi peris tiwa Kristus pada manusia; 5) Me nuju transformasi budaya dalam pro ses peradaban tanpa memaksakan pen-di rian kita. Dari “prinsip akomodasi” sebagai da sar “teologi kontekstual” untuk men jembatani mode berteologi from above dan from below secara se imbang. Jadi, bukan hanya semata-ma ta studi sosiologi belaka, tetapi me nuju transformasi unsur-unsur ja-hat atau jelek budaya manusia. Kristus ti dak memusuhi orang berbudaya

apa pun, meskipun bidang-bidang bu daya itu berlawanan dengan prinsip dan konsep Kerajaan Allah. Meskipun ba nyak dari orang budaya bahkan ideo logi budayanya memusuhi ke-kristenan, misalnya sekularisme, ateis me dan lain-lain. Relasi pembaharuan budaya ju ga bisa berjalan berdampingan dan berhubungan baik dalam ke-manusiaan dengan yang berbeda, bah kan mengakomodasi sejauh ti-dak berkompromi. Prinsip Kris to logi misional pada gereja lokal men jadi sangat penting bagi tugas trans-formasi berkeadaban di tengah ma-sya rakat. Gereja sebagai pengikut Kristus le b ih berkeadaban dalam memelihara ke unikan iman tanpa menjadi eks klu-sivisme agama. Sikap Kristen ada-lah akomodasi pada yang berbeda bah kan berlawanan dengan prinsip ideo logis, namun bukan berarti gereja ber musuhan lalu memeranginya. Ka lau dimusuhi mereka, itu bukan sa lah gereja tetapi kondisi mengikut Kris tus.

Fondasi Doktrinal untuk Akomodasi Fondasi doktrinal yang me le-gitimasi sikap akomodasi kita ada-lah: 1) “wahyu umum”, bahwa se-ca ra alamiah dan universal Allah me nyatakan diri-Nya juga melalui bu daya-budaya manusia: agama, mo-ral, iptek, dan lain-lain; 2) “anu ge rah umum”, dimana Allah telah mem be-ri kan anugerah-Nya kepada semua orang termasuk orang non Kristen di te ngah budaya-budaya dunia.

43 EUANGELION 173

Page 44: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

Menuju kontekstualisasi teologis yang injili dalam theologizing in loco harus didasarkan ajaran Alkitab pada “unsur-unsur yang berlainan dari budaya” kemudian harus diisi penuh dengan prinsip-prinsip kekristenan sampai akhirnya dikenal sebagai Kristen saja, misalnya: Gereja, Injil, penebusan, pembenaran, dan lain-lain.

Tugas Injili untuk Mandat Budaya yang berkeadaban Kaum injili masa kini harus me lam-paui tugas mandat budayanya sam pai man dat peradaban. Kondisi kri sis mul-ti-dimensional global mem buat ke-hidupan bumi ini semakin hancur ka-rena clash of cultures bangsa-bangsa, yang oleh Huntington dipandang se bagai clash of civilization. Kristen dari budaya memakai pen dekatan akomodasi pada budaya. Da lam relasi agama-agama disebut pen dekatan toleransi, sebagai sua-tu bentuk menahan kekuatan di ri untuk menyesuaikan hal-hal ter-luar demi hidup bersama tanpa ber kompromi dalam asimilasi dan korelasi. Akomodasi yang be nar adalah berkoordinasi tanpa meng-adopsi ajaran lain tetapi menghargai dan kelak membaharui secara ber ke-adab an. Konsekuensi pada mandat bu-da ya yang berkeadaban penting di-utarakan juga sebagai pemikiran nis-ca ya sekarang. Gereja Kristus di dunia se harusnya relatif dapat hidup lebih bi jaksana di bumi yang telah jatuh ini, ka rena Kristus sendiri meletakkan kita men jadi pendamai kebudayaan.

Orang-orang yang mencintai Kris tus, menghargai kebudayaan pa da saat yang sama. Artinya, orang “Kristen dari budaya” melihat re le van-si Kristus dalam keluarga, sosial, pen-di dikan, adat, tradisi bahkan agama di masyarakat. Ini yang dikatakan ako modasi transformatif. Kebudayaan dilihat dalam terang Kris tus, di mana ajaran dan perbuatan Kris tus direlevansikan sesuai unsur-un sur kebudayaan manusia yang le-mah, tanpa mengabaikan unsur-unsur [esen sial] dari kehidupan Kristus. Trans formasi “religius” Kristen dalam kon frontasi budaya secara ekstrim. Di Asia, orientasi misioner bu-da ya barat harus ditinjau ulang. Ka lau Kristus, Anak Allah saja me-no leransikan diri-Nya bagi dunia ber dosa ini, mengapa kita ragu un tuk menirunya? Target populasi mi sioner selama ini harus dilampaui sam pai tugas misional gerejawi yang le bih berkeadaban dalam nilai-nilai Ke ra-ja an Allah yang rohani.

Penutup Mandat budaya yang berkeadaban ada lah sesuatu yang urgen bagi ke-kristenan injili di dalam krisis mul ti dimensi global sekarang ini. Prin-sip transformasi Kristus yang pro-posional menjadi fondasi sikap Kris-ten dalam relasi sosio kultural da lam masyarakat. Ini jalan menuju mul ti-kul turalisme Injili. Sikap akomodatif pada budaya ber prinsip dasar “keselarasan” dengan me milih “hal-hal yang berguna” dari bu daya yang tidak bertentangan de-ngan moral Kristen. Ide “toleransi”

44 EUANGELION 173

Page 45: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

yang tidak berkompromi pendirian ajar annya, tetapi akhirnya untuk ke-muliaan Allah sehingga studi teologi ki ta tetap teosentris. Dapat dikatakan pendekatan ra di-kal juga dalam balancing Christianity se cara positif dan konstruktif dalam

bu daya-budaya berkeadaban. Ja di, akomodasi teologis bukan se ma-ta-mata untuk menghormati atau ber sikap simpatik kepada ke le mahan bu daya-budaya non Kristen (an tro po-sen tris).

Dr. Togardo SiburianSTT Bandung

Ucapan Terima KasihUntuk edisi 172, Juni-Juli 2019, redaksi EUANGELION telah me ne ri ma per sem-bah an dari saudara-saudari seiman sebagai berikut:01. GII Gardujati Rp 486.000,-02. GII Dago Rp 1.370.000,-03. Jemaat Gatot Subroto Rp 110.000,-04. Jemaat Mekarwangi Rp 150.000,-05. Jemaat Rahayu Rp 110.000,-06. Jemaat Kebonjati Rp 50.000,-07. Jemaat Setrasari Rp 240.000,-08. Jemaat Rajawali Rp 90.000,-09. Jemaat Cicadas Rp 30.000,-10. Jemaat Batununggal Rp 10.000,-11. Jemaat Kota Baru Parahyangan Rp 150.000,-12. Jemaat Puri Rp 230.000,-13. Jemaat BSD Rp 610.000,-14. Jemmat Semanggi Rp 273.000,-15. Jemaat Bali Rp 80.000,-16. Jemaat Surabaya Tengah Rp 200.000,- Total: Rp 4.189.000,-

Pengeluaran untuk penerbitan edisi 174 adalah sebagai berikut:01. Biaya cetak 900 eksamplar Rp 7.875.500,-02. Setting, pengadaan bahan, dll. Rp 5.355.000,-03. Perangko DN/LN Rp 977.000,- Total: Rp 14.207.500,-

TERIMA KASIH ATAS PERHATIAN SERTA PARTISIPASI ANDATUHAN MEMBERKATI

45 EUANGELION 173

Page 46: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

Di akhir April 2019 lalu, ma sya-ra kat India terperangah ketika 19 sis wa SMU tingkat akhir di negara ba gian Telangana bunuh diri setelah me nerima informasi bahwa mereka ga gal diterima di universitas. Hal ini se sungguhnya bukan hal baru di In-dia ka rena menurut National Crime Re cord Bureau, ribuan anak muda In dia bunuh diri setiap tahunnya. Di 2015 saja, jumlahnya mencapai 9.000 kematian. Namun yang me-nge naskan dari kasus ini adalah ka rena menurut pemeriksaan oleh ko mite independen, telah terjadi ke-rusakan di software komputer yang melakukan penilaian hasil ujian pa ra siswa sehingga tidak memberi pe ni-lai an dengan benar. Menurut Henri Nouwen dalam bu ku nya “Out of Solitude: Three Me di-ta tions of the Christian Life”, di dunia ini kita semua memiliki keinginan kuat untuk mencapai sesuatu. Se ba-gai seorang Kristen pun, kita me rasa terpanggil untuk melakukan se suatu yang baik bagi seseorang: mem beri nasehat, memberi rasa nya man, mengusir setan, atau meng khot-bahkan kabar baik dari satu tem-pat ke tempat lainnya. Meskipun ke inginan untuk menjadi berguna da pat merupakan tanda kesehatan men tal dan rohani, di sisi lain hal itupun dapat menjadi sumber yang

meng hancurkan keberhargaan diri ki ta, sebab seringkali kita tidak ha-nya rindu melakukan hal-hal yang ber makna, tapi juga membuat hasil da ri pekerjaan kita sebagai kriteria da ri keberhargaan diri kita. Nouwen menjelaskan lebih lan-jut: “Kita menjadi pandai karena se-seorang memberikan kita nilai yang ting gi. Kita menjadi penolong karena se seorang mengatakan “terima kasih”. Kita menjadi orang yang di su-kai karena seseorang menyukai ki ta. Dan kita menjadi penting karena se-seorang berpikir ia tidak dapat hidup tan pa kita. Pendek kata, kita berharga ka rena berbagai kesuksesan kita. Pa dahal, semakin kita membiarkan ber bagai percapaian kita - yang me ru pakan dampak dari berbagai tin dakan kita menjadi tolak ukur ke-ber hargaan diri kita, maka semakin ki ta akan hidup di ujung tanduk. Kita ti dak pernah yakin apakah kita dapat hi dup sesuai ekspektasi yang kita cip takan sendiri dari kesuksesan kita yang sebelumnya. Dalam kehidupan ba nyak orang, ada rantai iblis yang me ngikat sehingga kekhawatiran me ningkat sesuai dengan level ke suk-ses an sebelumnya. Kuasa gelap dari hal ini telah mendorong banyak artis be sar mengalami kehancuran diri.” Nou wen menjelaskan lebih lanjut, “Ke tika kita berpegang pada hasil

Kebiasaan Solitude & Silence:Menolong Mengatasi

Keberhargaan Diri Palsu

46 EUANGELION 173

Page 47: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

da ri berbagai tindakan kita sebagai sa tu-satunya identifikasi diri kita, ki ta menjadi posesif dan defensif ser ta cenderung melihat orang lain se bagai musuh dengan siapa kita ha rus menjaga jarak, dan bukannya men jadi para sahabat dengan siapa ki ta berbagi karunia kehidupan.” Pemahaman akan keberhargaan di ri yang tidak tepat semacam ini menyebabkan banyak orang men-derita depresi karena hidup di penuhi oleh kegelisahan dan ke takutan bahwa orang lain akan me ngetahui kelemahan dirinya lalu meng han-cur kannya. Apalagi jika ia berada di situasi yang sangat kompetitif. Per sahabatan dan cinta pun menjadi se suatu yang tidak mungkin karena ada nya ketakutan yang kuat akan ke terbukaan dan kerapuhan diri. Tak he ran banyak orang yang tidak tahan se hingga kemudian bunuh diri.

*** Berdasarkan pemahaman di atas, teo log Dallas Willard menyatakan bah wa disiplin menyendiri (solitude) dan berada dalam keheningan (silence) merupakan disiplin rohani yang paling radikal karena secara lang sung menyerang sumber-sumber da ri perilaku manusia yang salah dan yang paling menyebabkan terjadinya ber bagai penderitaan. Ruth Haley Bar ton dalam bukunya “Invitation to So li tude and Silence” juga mengakui bah wa disiplin solitude & silence me-ru pakan disiplin rohani yang paling me nantang, paling dibutuhkan, tapi pa ling jarang dilakukan oleh kalangan Kris ten Injili masa kini. “Lebih mudah

ba gi kita untuk membicarakan dan mem baca tentang hal ini daripada men jadi sangat tenang,” ujar Barton. “Padahal,” Nouwen mengatakan, “Da lam solitude kita dapat secara per lahan-lahan membuka topeng ilu si dari sikap posesif yang telah men cengkeram hidup kita dan me-ne mukan bahwa kita bukanlah apa yang dapat kita taklukkan, tapi apa yang telah diberikan kepada kita. Di da lam solitude kita dapat mendengar sua ra dari Dia yang telah berbicara ke pada kita sebelum kita dapat me-ngucapkan sepatah kata pun, dan yang telah mengasihi kita jauh se-belum kita dapat mengasihi siapa pun. Di dalam solitude inilah kita me-ne mukan bahwa “menjadi” (being) le bih penting dari “memiliki” (having) dan bahwa kita lebih berharga dari ber bagai hasil usaha kita. Semasa Yesus Kristus hidup di bu mi sebagai manusia, Ia pun selalu me nerapkan solitude & silence dalam keseharian-Nya, seperti yang tercatat di Markus 1:35, “Pagi-pagi benar, wak-tu hari masih gelap, Ia bangun dan per gi ke luar. Ia pergi ke tempat yang su nyi dan berdoa di sana.” Karena itu lah di dalam Kekristenan, ketika ki ta memasuki solitude & silence, kita bu kan mengosongkan diri tapi justru ma suk ke dalam persekutuan yang da lam dengan Allah yang menanti di ba lik keributan dan kesibukan hidup ki ta. Barton menjelaskan bahwa ke-ti ka melakukan solitude, “berbagai pi kiran, kehendak dan kerinduan kita di orientasikan ulang kepada Allah

47 EUANGELION 173

Page 48: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

se hingga kita menjadi tidak terlalu ter tarik lagi pada berbagai tekanan eks ternal dan dapat secara lebih men dalam meresponi kerinduan dan doa Allah di dalam diri kita. Se-men tara itu, keheningan (silence) mem perdalam pengalaman solitude kita. Dalam silence kita tidak hanya me narik diri dari berbagai tuntutan ke tika bersama orang lain, tapi juga da ri berbagai suara pikiran dan do-rongan diri kita, sehingga kita dapat men dengar suara-Nya dengan lebih je las.” “Kebergantungan pada pikiran dan kata-kata kita, bahkan ketika ki ta berdoa, dapat merupakan salah sa tu pertanda dari keinginan untuk me ngendalikan segala sesuatu, ter-ma suk mengendalikan hubungan ki ta dengan Tuhan. Di dalam silence-lah kita belajar membiasakan diri un-tuk melepaskan agenda kita ser ta dorongan diri untuk selalu me ngen-dalikan, dan menjadi lebih ter buka

untuk memberikan diri kita pa da berbagai inisiatif Allah. Dalam ke-heningan ini kita juga belajar men-cip takan ruang bagi Allah, bukannya me menuhi setiap menit yang ada de ngan diri kita sendiri,” ujar Barton le bih lanjut. Jika kita melakukan solitude & silence untuk berfokus kepada Al lah sebagai sebuah kebiasaan, ma ka perlahan-lahan, kadang tanpa ki ta sadari, Allah mengerjakan trans for-masi di dalam diri sehingga hati kita ti dak lagi menjadi sombong dan kita akan semakin tidak bergantung pada ke mampuan dan sumber-sumber diri ki ta, tetapi hanya kepada Allah saja. Ki tapun menjadi semakin menghidupi iden titas dan keberhargaan kita se-bagai seorang yang dikasihi secara men dalam oleh-Nya. Kita berharga bu kan karena apa kata orang atau apa yang kita lakukan dan miliki, tapi ka rena Tuhan mengasihi kita sebagai bi ji mata-Nya.

Grace Emilia

novizivot.net

“Pagi-pagi benar, wak tu hari masih gelap,

Ia bangun dan per gi ke luar. Ia pergi ke tempat yang su nyi

dan berdoa di sana.”

Markus 1:35

48 EUANGELION 173

Page 49: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

Kemenangan dan Kekalahan Dalam setiap pertandingan, per lombaan, peperangan atau pe-milihan seorang pemimpin di ma-na pun bahkan dalam permainan, pen capaian untuk dapat menjadi se orang pemenang menjadi hal yang sangat penting. Banyak wak tu yang dikorbankan, beragam la tih-an dijalankan, tidak sedikit harta yang dihabiskan, juga energi yang di curahkan demi mencapai yang na-ma nya kemenangan. Setiap peserta yang terlibat di dalamnya, akan meng hadapi dua keadaan yang men jadi ‘resikonya’, yaitu mencapai ke menangan sesuai dengan ha-rap annya atau mendapatkan ke-kalahan yang menjadi mimpi bu-ruknya, bahkan kekalahan yang

di te rima akan dapat mempengaruhi ke hidupannya. Banyak peserta yang merasa lebih mudah bekerja ke-ras, giat berlatih, berjuang habis-ha bisan, dibandingkan menerima sua tu kekalahan. dengan kata lain, ke kalahan menghabiskan energi dan emo si yang sangat besar. Kemenangan dan kekalahan ada lah dua hal yang bisa terjadi ka pan saja. Ada kalanya dapat di-pre diksi, tetapi juga tidak tertutup be ragamnya variasi kemungkinan yang lain. Baik anak-anak maupun orang dewasa, saat mendapatkan ke kalahan dapat ‘terpukul’. Untuk itu per lu memiliki perspektif yang tepat da lam memaknai suatu kemenangan dan kekalahan.

BUDAYA MENANG KALAH DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI

49 EUANGELION 173

Page 50: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

Peran Orangtua Dalam Memaknai Kemenangan dan Kekalahan Sebuah kemenangan layak di-syu kuri dan dirayakan, tetapi suatu ke kalahan juga perlu disikapi secara be nar dan tidak berlebihan. Dengan de mikian perlu bagi orangtua un tuk memberikan kesempatan ke pada anak agar dapat merasakan ke-me nangan dan kekalahan, karena hal itu akan sangat bermanfaat ba gi kehidupannya kelak. Anak da-pat berkompetisi di bidang yang dipilihnya atau bidang yang me-rupakan potensinya, baik bidang aka demik, kesenian, olah raga, ba-hasa dan sebagainya. Orang tua me rupakan figur penting dalam pem bentukan karakter dan peletakan ni lai-nilai dalam diri anak, begitu juga da lam perannya mendampingi anak da lam memaknai kemenangan atau ke kalahan secara benar. Kenneth Barish, seorang profesor Psi kologi Klinis di Weill Cornell Me-dical College mengungkapkan pen tingnya peran orangtua dalam pembentukan tatanan emosional anak saat menghadapi kegagalan. Ba rish mencontohkannya dengan pe rilaku anak yang sangat menikmati ke menangan mereka dalam sebuah per mainan. Sebagian orang dewasa me nanamkan pikiran ‘harus menang’ ke pada anak. Alasan inilah yang mem-bang kitkan perasaan malu dan gagal sa at anak mengalami kekalahan. Dan tragisnya, ada orangtua yang te tap membanggakan kemenangan anak nya, meskipun kemenangan itu di peroleh dengan cara yang salah. De ngan pembiasaan harus menang,

anak akan memanipulasi atau me-nipu, misalnya dengan membuat atur an sendiri atau mengubah aturan de mi keuntungan mereka. Lebih jauh, kemenangan yang didapatkan ti dak cukup lagi untuk anak. Ia dapat me nyombongkan diri dan mengejek la wannya ketika mencapai puncak ke menangan. Barish menjelaskan, sebuah ke-menangan akan mampu meng ha dir-kan rasa dominasi bagi seseorang, baik secara fisik maupun intelektual. Ke menangan yang didapatkan anak dapat dimaknai sebagai cara un tuk menunjukkan kekuatannya, atau dianggap cara yang dapat me ning-kat kan harga dirnya. Kemenangan dan kekalahan ada lah bagian proses menjalani ke-hi dupan, sangat baik jika sejak kecil anak-anak pernah mengalaminya. Jus tru hal itu tidak perlu dikaburkan, se perti penghapusan sistem peringkat di sekolah, karena dengan adanya pe-ringkat, anak menjadi paham saat ini dia berada di posisi mana dalam ke lompok/kelasnya. Anak menjadi ta hu apa yang harus dipertahankan, di tingkatkan dan diperbaiki dalam di rinya. Fakta buruk atau baik harus di terima sebagai kenyataan, bukan di hindari. Atas dasar itu pulalah orang tua dapat dengan lebih mudah mem-berikan pengarahan kepada anak ataupun membuat kebijakan yang sesuai dengan bakat, minat dan ke-mampuannya.

A. Bentuk-bentuk pendampingan yang HARUS DIHINDARI orang tua:

50 EUANGELION 173

Page 51: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

1. Menanamkan prinsip pada anak bah wa ia harus selalu menjadi pe menang, sehingga ada te kan-an apabila anak mengalami ke-kalahan.

2. Terlalu membangga-banggakan anak secara berlebihan, sehingga ada beban apabila ucapan orang tua tidak dapat dibuktikannya.

3. Menyalahkan dan membanding-bandingkan anak di saat dia kalah.

4. Acuh tak acuh atas kemenangan ataupun kekalahan yang dialami anak.

5. Memberikan pembelaan kepada anak di saat kalah sebagai usa ha untuk membentuk opini ke me na-ng an dengan cara-cara yang tidak wajar.

6. Mengeluarkan pernyataan negatif ke pada pihak lain yang dianggap pe nyebab kekalahan anaknya se-hingga timbul asumsi di hati anak bah wa sebenarnya ia lebih berhak me nang.

7. Memberi iming-iming berupa ‘um-pan’ tambahan apabila ia meraih ke menangan yang diinginkan orang tuanya.

Hal-hal di atas adalah bentuk pen-dampingan yang dapat merusak men tal anak, sehingga anak dapat sa lah saat menyikapi sebuah ke-menangan dan kekalahan yang di-alaminya. Hal ini akan membentuk ji wa yang ‘kerdil’ dan sempit dalam me nanggapi hal-hal yang tidak sesuai de ngan keinginannya atau keinginan orangtuanya. Apabila berlanjut akan ter bentuk nilai-nilai kehidupan yang

sa lah dan sangat merugikan anak ser-ta penyimpangan tingkah laku yang cen derung negatif.

B. Bentuk-bentuk pendampingan yang HARUS DILAKUKAN orang tua adalah:

1. Menanamkan sikap obyektif ke -pada anak, agar dia secara ber -tahap dapat menilai mana yang baik dan buruk, mana yang be nar dan salah. Anak belajar ten tang kebenaran dan sanggup me ng-akui nya. Hal ini akan memupuk si kap sportif.

2. Mendorong anak untuk selalu me-lakukan tugas dan tanggung ja-wab sebaik-baiknya dan tidak me-nge depankan hasil akhirnya, serta da pat menerima hasil penilaian da ri pihak lain secara rasional.

3. Menanamkan sikap kepada anak bahwa kemenangan dan ke ka-lah an adalah bagian dari suatu kom petisi, bukan segala-galanya. Ma sa depannya tidak ditentukan da ri menang dan kalah yang per-nah dialaminya.

4. Mengajak anak untuk belajar men-ja d i pribadi yang seimbang dalam me nyikapi suatu kemenangan atau kekalahan yang dialaminya, se hingga ia tidak sombong, mau meng hargai kemenangan orang lain, bisa menerima kekalahan diri sen diri dengan sikap wajar.

5. Membiarkan anak bersaing secara se hat, apapun pencapaian yang di perolehnya tanpa ditunggangi oleh gengsi orang tua dengan

51 EUANGELION 173

Page 52: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

mem beri ‘umpan’ tambahan. Anak su dah mendapatkan hadiahnya de ngan dia berkesempatan ber-kompetisi, karena ia akan le bih banyak berlatih dan ke mam pu-an nya menjadi bertambah dan le bih baik. Itulah hadiah yang se benarnya yang diterima oleh anak.

Orangtua diharapkan sebagai pri badi yang paling memahami mi nat, bakat dan kemampuan anaknya, termasuk pula kelebihan dan kekurangannya. Oleh sebab itu, orangtua sebaiknya mengarahkan anak pada bidang-bidang yang se-suai dengan keadaan anak. Perlu di cermati, bahwa sangat jarang anak da pat berprestasi di segala bidang se cara sekaligus, pasti ada kelebihan di satu sisi dan kelemahan di sisi yang lain.

Dinamika Psikis yang Terjadi Saat Menang dan Saat Kalah Kesalahan terbesar dari orang yang kalah adalah menganggap di ri-nya adalah seorang pecundang. Da-lam hal ini, mereka akan me ng anggap kekalahan adalah hal yang me-malukan. Akibatnya, orang ter se but akan takut kalah dan ti dak mem per-siapkan diri untuk meng hargai pres-ta si ‘lawan’ yang me nang. Kita tak bi sa menghindari kekecewaan yang muncul ketika mengalami kekalahan. Ada rasa sakit yang dirasakan ketika ha rus mengakui bahwa sang lawan le bih hebat daripada kita.

1. Saat Mengalami Kemenangan Kemungkinan sikap-sikap positif yang muncul seperti: percaya diri, ma kin rajin belajar/berlatih, dapat me netapkan target yang lebih tinggi un tuk dicapai, makin terpacu untuk me ngikuti berbagai kompetisi lain. Kemungkinan sikap-sikap negatif yang muncul seperti: menjadi som-bong, meremehkan orang lain, merasa di ri lebih hebat sehingga kurang mau mengakui kemampuan pihak lain, bahkan sebagian membatasi per gaul-an nya.

2. Saat Mengalami Kekalahan Kemungkinan sikap-sikap positif yang muncul seperti: menjadi pri-ba di yang sportif dan mengakui ke unggulan pihak lain, dapat me ng-evaluasi diri atas kegagalannya, da-pat menerima kenyataan yang ti dak diharapkan, mengevaluasi diri ber da-sarkan pengalamannya dari sebuah ke gagalan, menjadi lebih paham akan ke mampuannya dan ingin mencoba la gi untuk ‘menebus’ kekalahannya. Kemungkinan sikap-sikap negatif yang muncul seperti: hatinya terluka dan merasa malu, menyalahkan di ri sendiri, menyalahkan orang-orang di sekitarnya dan tidak bisa le gawa de ngan keberhasilan pihak lain. La-rut dalam kesedihan dan me ra sa tidak mampu lagi, jadi enggan ber-kompetisi karena takut kalah, me-nun jukkan sikap-sikap negatif kepada pi hak lain yang menang, bahkan da pat berupa serangan fisik ataupun ucap an yang menyakitkan.

52 EUANGELION 173

Page 53: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

Penutup Dalam kaitan inilah kita perlu me-redefinisi makna menang-kalah yang tidak bersifat dikotomis. Tetapi me-letakkan keduanya dalam sebuah pro-ses korelatif serta membingkainya da-lam hubungan dialogis, bukan konflik. Ka rena menang dan kalah merupakan ba gian dari esensi kehidupan manusia yang bersifat dinamis dan berjalan si lih berganti. Tidak ada kemenangan atau kekalahan yang abadi. Kompetisi da lam memperebutkan kemenangan mes tinya dimaknai sebagai per sai ng-an untuk melakukan yang terbaik. Dengan demikian, kemenangan ti dak membutuhkan obyek untuk di-ka lahkan. Meskipun tentu ada pihak yang dianggap lebih unggul dan le bih baik dari yang lain,tapi tidak men jadikan yang kalah sebagai yang ‘je lek’, ‘rendah’, ‘tidak berbobot’, dan at ribut negatif lainnya, karena baik yang menang maupun yang kalah te-lah sama-sama mengupayakan yang ter baik, bukan yang terjelek. Kompetis i berbeda dengan kon kurensi yang mempunyai ar ti: perlawanan, persaingan, per seng-

ketaan, menundukkan, menjatuhkan, atau mengalahkan. Pencapaian dalam kon kurensi bukan kemenangan tetapi pe naklukan. Karena itu konkurensi ti dak memungkinkan upaya sinergi an tara si penakluk dengan yang di taklukkan. Dengan demikian, bu-da ya menerima kekalahan mesti di-sandingkan dengan budaya menerima ke menangan. Keduanya jangan sam-pai terpisah, berjalan sendiri-sendiri, apa lagi sampai dioposisi-binerkan. De ngan begitu keduanya dapat ber-jalan sinergis, bekerja sama untuk te rus mengupayakan yang terbaik. Berkompetisi secara sehat ada-lah mempersiapkan anak untuk men jadi yang terbaik bagi dirinya dan mampu menghadapi setiap tan tangan, bukan mengalahkan atau menjatuhkan yang lain. Kalah me nang adalah konsekuensi dalam ke hidupan dan bukan tujuan utama. Ingat… MENANG bukanlah tujuan ak hir, dan KALAH bukanlah akhir dari se galanya.

M. Yuni Megarini C.(Dari berbagai sumber)

Orangtua diharapkan sebagai pri badi yang paling memahami mi nat, bakat dan

kemampuan anaknya, termasuk pula kelebihan dan kekurangannya.

Oleh sebab itu, orangtua sebaiknya mengarahkan anak pada bidang-bidang

yang se suai dengan keadaan anak.

53 EUANGELION 173

Page 54: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

Dunia pendidikan Indonesia perlu ber siap-siap dalam menghadapi ber bagai perubahan yang akan di-hadapi. Jika bicara tentang pen di-dikan, rasanya langsung teringat pa da sekolah. Namun sebenarnya, ti dak hanya sekolah yang berperan, me lain-kan juga orangtua dan lingkungan ma-syarakat. Nampaknya sudah bukan ‘mu simnya’ hanya memprioritaskan pe ringkat yang dapat dicapai. Justru da lam mempersiapkan generasi yang akan datang, kita semua perlu lebih ‘me lek’ akan karakter anak-anak kita. Ber dasarkan pengalaman saya di du-nia pendidikan, terdapat beberapa pe-ri laku yang perlu mendapat perhatian da lam pembentukan karakter.

1. Bertanggungjawab Ingatan saya kembali pada ke ja-di an puluhan tahun lalu, saat ma sih menjadi mahasiswa. Suatu hari, sa ya berlari terengah-engah menuju ruang kuliah. Saat saya sampai, waktu su-dah menunjukkan pk 10.30, artinya sa ya terlambat 30 menit hadir di ruang kuliah. Saat saya sampai, te rasa se luruh mata tertuju pada saya, ter-uta ma pandangan mata dosen saya. “Kenapa kamu terlambat?” tanya be liau dengan nada suara yang datar. “Salah saya, Pak” jawab sa ya. “Pertanyaan saya, kenapa kamu ter lambat?” “Saya terlambat bangun.” “Nah, gitu dong.” Jawaban beliau membuat sa ya ter pe-

rangah. Belum selesai ke bi ngu ngan sa ya, beliau menyuruh sa ya duduk. Be gitu saja? Tanpa ada ke ma rahan? Sa ya terlambat 30 menit, itu wak tu yang sangat panjang. Bahkan sa ya su dah mempersiapkan diri diusir dan ti dak boleh masuk ruang kelas. Saat saya sudah duduk, beliau me-lanjutkan perkataannya di kelas. Kali ini bukan hanya ditujukan pada saya, ta pi pada teman-teman di kelas yang ju ga hadir. “Jika kalian terlambat, to-long tidak me ngatakan alasan A, B dan C. Entah ada kemacetan tiba-tiba, ada ban mo tor yang pecah atau alasan yang lain. Kalian yang bertanggung ja wab untuk keterlambatan kalian.” Sambil mendengarkan, saya jadi pa ham kenapa beliau tidak mengusir sa ya keluar kelas. Memang alasan sa ya ‘ga banget’. Cukup malu untuk me ngungkapkan alasan tersebut. Ba yangkan, terlambat bangun di siang bolong. Tapi itulah yang me-mang terjadi dan saya memang ti dak punya alasan apapun yang da pat menjelaskan kenapa saya ter-lam bat masuk kelas. Saat itu saya me renungkan, nekat juga jawaban sa ya. Di saat yang sama, saya pun pasrah ji ka saat itu saya tidak di-ijin kan masuk ke las dan mengikuti per kuliahan. Hal itu sebagai bentuk tang gung jawab atas perilaku yang sa ya lakukan. Tanggungjawab dalam ba hasa Inggris adalah responsibility. Asal katanya adalah response dan abi lity. Dari asal katanya, sudah

Karakter Non Akademis

54 EUANGELION 173

Page 55: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

cu kup jelas bertanggung jawab me-ngan dung makna kemampuan un tuk berespon terhadap perilaku yang telah dilakukan. Kita dapat me-lakukan perilaku apapun. Bahkan, se bagai manusia biasa, tidak jarang ki ta bertindak duluan, baru berpikir. Ada kalanya kita melakukan perilaku-pe rilaku yang kurang pertimbangan. Yang menjadi pertanyaan adalah, se jauh apa kita sanggup untuk me-nanggung konsekuensi dari perilaku yang dilakukan. Tidak cukup hanya me nanggung konsekuensi. Dalam tang gung jawab, terdapat perilaku yang dilakukan untuk ‘menebus’ pe-ri laku kita. Pertanyaannya, siapkah orang tua membiarkan anak-anaknya me-ne rima hukuman atas perilaku yang di lakukan. Hal paling sederhana ada lah dengan tidak menjawab per-tanyaan yang diajukan lingkungan pa da anak. Selama pertanyaan dan perilaku lingkungan tidak mem-ba hayakan, biarkan anak belajar men jawab dan menerima respon da ri lingkungan. Orang tua dapat ‘be kerja’ di belakang layar, memberi pen jelasan mengenai situasi yang di-hadapi, mengapa lingkungan dapat be respon tertentu pada anak dan mem bantu anak mengatasi perasaan yang ditimbulkan.

2. Kejujuran Pada kesempatan lain, saya ber-hadapan dengan mahasiswa saya. Sa ya memanggil yang bersangkutan un tuk menanyakan tugas yang di-kerjakannya. Saat memeriksa, saya se akan mengalami ‘dejavu’, tugas

yang dikumpulkan seakan pernah sa ya baca sebelumnya. Mahasiswa yang bersangkutan bersikukuh bahwa ia mengerjakannya sendiri. Demikian ju ga mahasiswa lain yang laporannya sa ya anggap ‘serupa tapi tak sama’. Ak hirnya saya dapat mengetahui bah wa ‘mbah google’ berkontribusi ter hadap persamaan tugas yang di-kerjakan. Apakah kedua mahasiswa ta di jujur? Ya, mereka mengatakan yang sesungguhnya terjadi, tapi da-lam prosesnya, mereka melakukan ‘pla giarism’, perilaku yang sangat ‘di haramkan’ terutama dalam dunia pen didikan. Namun ternyata tidak mudah un-tuk menyadarkan kedua mahasiswa ta di. Mereka beranggapan bahwa me reka sudah cukup bekerja keras me lakukan berbagai browsing se-hingga dapat menuliskan laporan yang dikumpulkan. Pada saat di tun-jukkan kesamaan hasil yang di tu lis-kan, barulah mereka dapat ‘ngeh’ me ngenai kesalahan yang dilakukan. Lain waktu, saya berhadapan de ngan anak yang dikabarkan me-nyontek oleh gurunya. Saat saya ta-nya alasannya, ia mengatakan takut di marahi orangtua jika nilainya jelek. Pa dahal, ia tidak paham dengan ma-te ri ulangan yang dihadapi. Caranya me nyontek pun cukup ‘kreatif’, yang ti dak perlu dijabarkan di si ni. Sampai di sini, saya ingin me-nun jukkan bahwa kejujuran dan ke tidakjujuran dapat hadir dalam ber-ba gai perilaku dan alasan. Ra sanya se makin hari saya pun menghadapi ca ra meyontek yang semakin ‘kreatif’, be lum lagi penjelasan siswa yang me-

55 EUANGELION 173

Page 56: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

lakukannya yang sulit memahami bah wa hal yang dilakukannya bu kan-lah termasuk perilaku jujur. Namun, tanpa disadari perilaku ju jur seringkali merupakan duplikat orang-orang di sekitar anak, terutama me lalui keluarga. Saat orang tua me-ngatakan sakit untuk menghindari orang yang tidak ingin ditemui, atau sa at orang tua mengerjakan pekerjaan ru mah anak, atau di dalam situasi lain yang tidak disadari sehingga mem buat anak terbiasa memaknai bah wa perilaku tidak jujur adalah hal yang biasa. Dalam salah satu tontonan lomba memasak, terdapat seorang peserta yang masakannya gagal total karena salah teknik. Tiba-tiba ia melihat tek nik peserta lain dan mengikuti tek nik tersebut. Tanpa disangka, pe serta yang meniru jejak rekannya da pat menyelesaikan masakan le-bih cepat dan menjadi pemenang. Sa at saya mengamati hal tersebut, agak sulit untuk menjelaskannya dan memberikan pengertian pada anak saya. Mungkin lomba tersebut me miliki indicator outcomes, bukan pro ses. Hal-hal tersebut yang secara ti dak langsung diamati oleh anak dan dapat menjadi rekam jejak di kemudian hari. Hal ini menjadi dam-pak dalam perilaku selanjutnya yang akan saya bahas.

3. Kreatif Being creative means original. Men jadi kreatif artinya dapat meng-hasilkan karya yang original. Ba-yangkan saat ini saudara diminta un tuk menggambar pemandangan.

Apa kah yang saudara gambar? Dua buah gunung dengan matahari me-nyembul di tengah dan sawah ada di de pan gunung yang digambar. Tidak lu pa terdapat tanda ceklis dalam ko tak-kotak sawah yang menandai ke beradaan padi. Kemudian saat di-minta memberi warna, gunung akan di warnai biru dan matahari kuning. Selama beberapa dekade, gam-bar an pemandangan seperti yang sa ya tuliskan di atas, mewarnai se-bagian besar gambar yang kita buat. Ji ka ada anak yang memberi warna me rah untuk gunung, apa yang akan ia hadapi? Mungkin akan diminta un tuk menggambar ulang. Sekilas itu lah gambaran dimana seringkali krea tivitas kita untuk berpikir dan me nyelesaikan persoalan mendapat ‘bor der’ dari lingkungan. Tanpa di-sa dari, hal ini seringkali mewarnai ke seharian kita. Selain border dari lingkungan, pe rilaku kita sendiri seringkali mem-buat kita tidak menjadi kreatif. Ber-kaitan dengan penjelasan di poin se belumnya mengenai kejujuran, sa at seseorang terbiasa untuk me-lakukan duplikasi dari karya orang lain, pikirannya membaca bahwa hal tersebut adalah hal yang dapat di lakukan untuk menyelesaikan per soalan. Tidak heran jika perilaku ‘co pas’ (copy-paste) yang sering di-la kukan saat masih duduk di bangku se kolah membuat pikiran kita pun ter kungkung oleh hal yang dilakukan orang lain dan tidak membebaskan pi kiran kita sendiri untuk berpikir.Ki ta cukup sering tidak berani ke luar dari yang ‘kebanyakan’. Saat ter dapat

56 EUANGELION 173

Page 57: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

produk yang ‘booming’ se ringkali banyak orang mengikuti booming-nya produk tersebut dengan men-duplikasi konsep produknya, bu kan mencari produk saingan atau mem-buat produk baru. Ada kalanya hal ini pun menunjukkan kenyamanan ki ta dalam batas zona nyaman dan aman. Selain itu, ketakutan menjadi kalah atau gagal pun menjadi kesulitan ter-sen diri untuk membebaskan pikiran krea tif kita. Mungkin jika dulu koki pe nemu brownies tidak berani menghidangkan kue bolu bantat yang ia hasilkan karena menganggapnya se bagai kegagalan, kita tidak bisa me nikmati lezatnya kue brownies.

Penutup Karakter tidak hanya sekedar si fat yang dimiliki individu. Dalam pro sesnya, sifat-sifat yang dibawa

se jak lahir dapat mengalami per kem-bangan, dapat bertambah, berganti ataupun berkurang. Manusia hidup da lam lingkungan yang menjadi se-makin besar sejalan dengan per tam-bahan usia. Karakter apa yang dapat ber tahan, tidak dapt ditentukan se cara pasti. Namun demikian, se-mua lapisan masyarakat, dapat men jadi penentu bagaimana karakter anak dapat berkembang. Untuk itu, menyadari setiap perilaku yang di lakukan, dalam istilah psikologi, mindfulness, dapat membantu kita mem bentuk karakter anak. Saat me-nya dari perilaku tidak baik, kita dapat be lajar memaafkan diri sendiri dan ber usaha memperbaikinya.

Ellen Theresia

Kebaktian DoaGII Hok Im Tong

Setiap Rabu soredi lokasi

masing-masing

57 EUANGELION 173

Page 58: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

Isi pidato Presiden Joko Widodo 14 Juli 2019 sekilas tidak tampak ada konten atau program yang baru, na-mun ada nuansa yang beda dalam arah an dan penekanannya. Pidato ter sebut membuat keder generasi tua yang selama ini mengandalkan ke kuatan sistem birokrasi feodal. Pi dato tersebut juga membuat ke-limpungan orang-orang yang enggan ber ubah, yang sudah merasa nyaman dan mapan dengan kondisi yang ada. Sebaliknya, pidato yang sama mem berikan energi yang positif bagi kaum muda, Generasi Millennials di In donesia. Selama ini banyak orangtua yang me nitipkan keluh kesah susahnya hi dup di Indonesia dengan segala bi rokrasi yang membelit. Ijin usaha su sah, mau bikin SIM dipersulit, ngu-rus apa-apa harus pakai ‘pelicin’. Ge-ne rasi yang lebih tua sudah terbiasa men jalani hidup yang rumit dan ber belit-belit tersebut. Namun kini, ada harapan bagi generasi muda di In donesia untuk menjalani hidup yang jauh lebih baik. Indonesia digadang-gadang akan men jadi negera dengan ekonomi ter kuat ke-4 di dunia bila berhasil me manfaatkan bonus demografi dan mam pu mempercepat pertumbuhan eko nomi dalam beberapa dasawarsa ke depan. Berita ini bila disampaikan ke pada generasi yang lebih tua di awal masa kemerdekaan 1945 akan

dianggap angin lalu. Namun, ge-nerasi ke-3 dan ke-4 yang saat ini ada di dalam barisan bonus de mo-grafi Indonesia sangat optimis dan mengamini bahwa negaranya akan menjadi negara yang kuat eko no mi-nya dan disegani di dunia! Generasi Millennials di Indonesia ber pikir dan bekerja dengan cara yang sama sekali berbeda dengan ca ra generasi pendahulunya (generasi ayah ibu dan kakek neneknya). Ke-ma juan teknologi menjadi salah sa tu penyebab utama yang paling men-da sar dalam mempengaruhi cara Ge nerasi Millennials menjalani hidup me reka.

Semua serba online Sebuah tim kecil sedang me la-kukan persiapan untuk mengadakan sua tu acara di kota Surabaya. Salah sa tu daftar belanja mereka hari itu adalah: bingkai foto. Seorang re kan panitia yang berusia 40++ ber kata, “Oh, di dekat sini ada toko yang jual bingkai foto. Yuk kita ke sa na!” Beberapa panitia segera be-rangkat menuju toko tersebut. Se-telah melihat-lihat sekitar 1 menit, me reka sampai pada kesimpulan yang sama bahwa barang yang me-reka inginkan tidak ada di toko itu. Masih belum menyerah, tim ini per gi ke toko lain yang berada di de kat toko yang pertama. Sekali lagi, me-reka keluar dengan kecewa karena

Gaya Hidup Generasi Millennials: Smartphone-Mandiri-Kolaborasi

58 EUANGELION 173

Page 59: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

ti dak memperoleh apa yang mereka inginkan. Tiba-tiba salah seorang pa nitia yang masih berusia awal 20-an berkata, “Ini, aku sudah dapat. Ba rangnya dikirim nanti siang. Aku pe san online.” Dalam suatu acara konferensi yang mempertemukan para aktivis pe layanan anak se-Asia Tenggara, ter jadi insiden menarik. Pembawa aca ra mengumumkan agar para pe serta mempersiapkan diri untuk mem presentasikan hasil diskusi ke-lompok malam sebelumnya. Kontan sa ja para peserta senior dengan kebingungan segera mencari wa-jah-wajah yang dikenali sebagai ang gota kelompok diskusi mereka se malam. Dengan panik masing-ma sing menanyakan, “Siapa yang pe gang kertas catatan hasil diskusi ke marin?” Situasi menjadi semakin ti dak menentu saat salah seorang ber ka ta, “Kan kemarin kertas hasil dis kusi su dah dikasih ke panitia? Aduh, yang ma na yah panitianya?” Se mentara itu, sekelompok anak mu da Generasi Millennials yang juga ber gabung dalam acara tersebut tam pak terlihat duduk dengan santai dan senyum-senyum saja. Mengapa? Ka rena hasil diskusi dicatat di salah sa tu smartphone anggota kelompok dan sudah di-share ke semua anggota ke lompok lainnya sejak semalam. Ja di sekarang mereka tinggal baca-ba ca untuk melihat lagi hasil diskusi me-re ka semalam. Seorang siswa SMA mengeluhkan gu ru biologinya. Berulang kali dia pro-tes kepada guru biologinya tentang ber bagai materi yang di ajarkan di

kelas - yang menurut siswa tersebut ti dak sama dengan apa yang dia pe lajari sendiri. Usut punya usut, ter nyata guru biologinya mengajar meng gunakan diktat kuliah keluaran ta hun 1999 sedangkan siswa SMA ter-sebut rajin download berbagai buku dan jurnal biologi terbitan terbaru!! Seorang remaja perempuan lu lusan SMA dari NTT mendapat bea siswa untuk kuliah di Jawa. Dia be lum pernah naik pesawat dan ti-dak berani terbang sendirian. Ada se orang rekannya yang kebetulan ju ga akan ke Jawa. Mereka berdua atur waktu supaya bisa berada di pe sawat yang sama. Namun sesaat men jelang keberangkatan, tiket yang tersedia hanya 1 (bukan 2). Ter paksa mereka terpisah, tidak bi sa terbang dengan pesawat yang sa ma. Remaja perempuan yang ba ru lulus SMA ini mulai panik. Tapi de ngan berbekal smartphone yang di milikinya dia segera browsing dan mem pelajari bagaimana proses check in hingga panggilan boarding serta hal-hal apa saja yang perlu dia ketahui se-belum dia menuju airport. Alhasil, dia berhasil tiba di tujuan dengan se la mat, meski harus transit di pulau lain lagi selama beberapa waktu. Generasi Millennials adalah ge ne-ra si baru yang memiliki alat canggih sak ti mandraguna (serbaguna) di ta-ngan nya, yaitu: smartphone!! Dengan smart phone dalam genggaman, me reka siap menjelajah dunia, siap menyelesaikan masalah, siap ber-kreasi dan berinovasi, siap me ngem-bangkan dan memajukan diri menjadi le bih baik.

59 EUANGELION 173

Page 60: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

Namun awas!! Smartphone yang sama juga bisa menjadi alat pem-bunuh masa depan Ge ne rasi Mil-lennials. Sementara se bagian ge-nerasi muda berhasil me ng op ti mal-kan fungsi smartphone mereka un tuk hal-hal yang positif dan mem bangun, sebagian generasi muda lain nya justru menjadi korban akibat ke ga-galan ‘menjinakkan’ smartphone sak ti mandraguna yang ada di tangan me re-ka. Smartphone mirip dengan senjata yang luar biasa dahsyat kekuatannya. Bi la digunakan dengan tepat, tentu akan membawa hasil yang luar bia sa. Namun sebaliknya, bila salah di gu-nakan, akan mempunyai daya hancur yang luar biasa buruknya.

Ketidakmampuan generasi muda men jinakkan smartphone Di sebuah lift di sebuah gereja, se orang anak pra-remaja sedang me megang smartphone-nya mau ke ruang ibadah remaja. Seorang pe-muda masuk lift dan menyapanya, “Halo! Siapa namamu?” Anak pra-re maja tersebut bingung tidak ta hu ha rus berbuat apa. Segera ia me nya-lakan smartphone-nya, mem bu ka apps apa saja yang bisa di bu kanya, scroll ke atas ke bawah, la lu ke atas la gi, ke bawah ... dan sambil nervous men jawab sambil matanya terus me-natap ke layar smartphonenya, “Eh .. ko .. nama saya Xxxx.“ Di sebuah mall, seorang remaja la ki-laki sedang menemani temannya (pe rempuan) menunggu dijemput pa-panya. Mereka tampak asyik ngobrol ber dua. Lalu terlihat dari kejauhan si pa pa muncul. Segera si remaja cowok

ke bingungan tidak tahu harus berbuat apa, jadi dia nyalakan smartphone-nya dan tenggelam di dalam apa saja yang bisa dilihat di layar smartphone-nya. Dia sama sekali tidak menyapa pa pa teman ceweknya tersebut hing-ga mereka berdua menghilang dari pan dangannya. Pernah dalam sebuah kesempatan sa ya bertanya kepada beberapa re-ma ja. Jawaban mereka sederhana sa ja. Mereka mengakui bahwa lebih baik tidak berbicara langsung dengan orang yang ‘baru’ atau tidak mereka ke nal. Mereka merasa lebih nyaman ber jumpa dan berbicara lewat layar smart phone (chatting, kirim pesan teks) daripada harus bertatap muka lang sung dan berbicara. Hal yang sa ma juga mereka lakukan terhadap orang-orang yang mereka sudah ke-nal, seperti kepada teman, bahkan orang tua. Menurut mereka bicara lang sung itu membuat mereka ke bi-ngu ngan. Lebih baik bicara lewat la-yar smartphone, jadi masih bisa mikir mau ngomong apa. Dalam sebuah acara CNN yang se-ca ra khusus meliput anak pra-remaja usia 13 tahun, ditemukan berbagai eks presi yang mengejutkan tentang ba gaimana mereka memaknai hidup me reka terkait dengan penggunaan smart phone. Berikut adalah beberapa state ment anak-anak usia pra-remaja yang diwawancara oleh CNN:• Lebih baik saya tidak makan selama

1 minggu daripada smartphone saya di ambil dari saya.

• Saya merasa tertekan untuk terlihat sem purna di IG (instagram).

• Saya memotret diri saya banyak

60 EUANGELION 173

Page 61: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

se kali, biasanya 100, atau 150, atau mung kin 200 kalau saya belum men dapatkan yang benar-benar co cok/memuaskan.

• Be rapa kali saya membuka smart-phone saya dalam sehari? Saya tidak bi sa menghitungnya. Itu adalah se-buah keharusan (kebutuhan).

Hasil penelitian terhadap anak-anak pra-remaja ini menunjukkan bahwa se makin sering mereka melihat so cial me dia, semakin stres mereka. Anak-anak pra-remaja ini bukan ha nya fol low teman, me lainkan juga me-ma ta-matai musuh atau orang-orang yang tidak mereka su kai. Jumlah likes dan dislikes, serta ber bagai komentar di media sosial se nantiasa mengganggu pikiran me reka, mempengaruhi harga diri me reka, dan sampai titik tertentu bi-sa melumpuhkan mereka. Generasi yang masih sangat muda ini, terjebak da lam dunia maya - dan menganggap bah wa arti hidup mereka ditentukan keberadaan mereka di dunia ma ya. Bagaimana dengan mereka yang kecanduan games online? Bahkan s a m p a i a d a y a n g m e m b u n u h temannya gara-gara berselisih soal games. Ada juga pasangan suami istri yang menelantarkan bayi mereka hingga meninggal karena terlalu si-buk main games online. Inilah realita pa hit yang harus dihadapi oleh se-luruh masyarakat yang kehilangan anak-anak mudanya yang kalah da-lam pertarungan menjinakkan smart-pho ne mereka sendiri. Awalnya smartphone diberikan se bagai sebuah tools (alat) yang ber-manfaat bagi kehidupan di zaman

ini, namun bila kita tidak tahu cara meng gunakannya dengan bijak, alat ini akan beralih fungsi untuk meng-han curkan dan membunuh masa de pan generasi muda. Kegagalan sebagian Generasi Mil lennials untuk menjinakkan smart-pho ne sebenarnya adalah kesalahan po la asuh generasi yang lebih tua ter hadap generasi muda mereka. Se bab, di dalam ketidaktahuan ge-nerasi yang lebih tua tentang tek-nologi, keputusan yang diambil justru mem bawa bencana bagi anak cucu me reka.

Kemandirian dan Kolaborasi Ge ne-rasi Millennials Dua hal yang sekilas terlihat kon-tradiktif namun sebenarnya sa ling melengkapi (komplemen), ya itu: kemandirian dan kolaborasi. Ge-ne rasi Millennials adalah generasi yang mandiri. Mereka ingin terlepas da ri segala atribut bawaan orangtua me reka. Hal itu bisa saja berarti me-ning galkan rumah orang tua mereka, ber alih ke profesi yang sama sekali ba ru dan asing bagi keluarga besar me reka, merintis usaha dari nol tan-pa bantuan apa pun dari orang tua mau pun keluarga besar mereka, men jalani hidup di tempat baru yang sa ma sekali asing, menekuni bidang atau keahlian yang belum pernah ada se belumnya, dan sebagainya. Semangat untuk mandiri ini mem-ba wa guncangan yang cukup hebat ba gi generasi pendahulu mereka yang menghargai kestabilan dan ke mapanan. Buat generasi yang le bih tua, memiliki rumah sendiri

61 EUANGELION 173

Page 62: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

ada lah suatu keharusan - bahkan men jadi cita-cita utama yang dikejar se jak masa muda. Sementara bagi Ge nerasi Millennials dengan gaya hi dup mobilitas tinggi, memiliki ru-mah sendiri (apalagi dengan tujuan un tuk ditempati secara permanen) ti dak menjadi prioritas. Generasi ini menjalani hidup dengan sikap ter buka terhadap perubahan dan pe luang, termasuk di dalamnya pe r ubahan untuk berpindah tem-pat tinggal, tempat bekerja, tem-pat beraktivitas, tempat studi, dan sebagainya. Generasi ini juga ter-bu ka untuk menghadapi berbagai pe luang, misalnya: untuk mencoba dan berganti pekerjaan di bidang yang sama sekali baru bagi mereka, un tuk mencoba usaha sendiri, untuk me rintis hal-hal yang baru-inovatif-krea tif, bahkan untuk mempelajari hal-hal baru yang belum pernah ada se belumnya. Perubahan, bagi Generasi Mil-len nials adalah sebuah keniscayaan. Me reka menyambut perubahan de ngan pikiran dan tangan yang le bih terbuka dibanding generasi se belumnya. Semangat untuk man-di ri bukan berarti mereka lebih su ka menyendiri (melakukan apa-apa sendiri), sebaliknya, Generasi Mil-lennials cenderung melakukan hal-hal baru bersama dengan teman-te-mannya. Mereka bukan saja me-nyam but perubahan dalam hal ide, kon sep, dan aktivitas, melainkan juga da lam berelasi. Buat generasi ini, ber kolaborasi dengan berbagai pihak ada lah sebuah hal yang alami. Justru sa lah satu syarat untuk mencapai ke-

ber hasilan adalah kolaborasi. Dengan ber gandeng tangan, generasi ini mam pu menciptakan relasi yang sa ling menguntungkan (win-win so-lu tion). Sebagai contoh, kemudahan ber-je jaring lewat media sosial banyak di manfaatkan generasi muda untuk me numbuhkan berbagai bisnis online. Ge nerasi ini juga tidak keberatan bila se mua pegawainya adalah part-timer dan tidak ada yang ‘ngantor’ di satu tem pat yang sama seperti generasi orangtua mereka yang wajib hadir di tem pat kerja dari jam 08.00 hingga jam 17.00. Mereka menjalankan usaha ju ga atas dasar relasi, pertemanan, je jaring di media sosial, serta ko nek-ti vitas yang diperoleh lewat informasi di dunia maya.

Apa yang kita wariskan kepada Ge-ne rasi Penerus kita? Di tengah arus perubahan tek no-lo gi yang demikian, biasanya generasi yang lebih tua merasa tidak mampu un tuk mengikuti semua perubahan yang tengah terjadi. Nasehat yang di berikan kepada generasi yang le bih muda pun mulai terdengar usang/ketinggalan zaman, sehingga tan pa disadari, generasi yang lebih tua merasa dirinya tertolak dan ter-abaikan. Berhubung komunikasi mulai ter ganggu bahkan “ga nyambung” ma ka generasi yang lebih muda ja di malas untuk berkomunikasi de ngan generasi yang lebih tua. Ma sing-masing bersikukuh dengan su dut pandangnya sendiri, yang sesungguhnya didasari oleh alasan yang sama-sama kuat dan benar

62 EUANGELION 173

Page 63: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

- karena masing-masing memang ada lah produk dari zaman di mana me reka dibesarkan! Oleh sebab itu, perlu ada yang men jembatani gap antar generasi, dan dibutuhkan kepemimpinan yang cakap, yang bisa merangkul se mua generasi untuk bersatu dan mem-ba ngun demi kebaikan bersama. In-do nesia bersyukur memiliki seorang pe mimpin yang cakap, yang mau me rangkul semua generasi agar ber satu dan membangun bangsa ini un tuk mewujudkan kesejahteraan ber sama. Generasi yang lebih tua mung kin punya pengalaman buruk di ma sa lalu dan cenderung menghindar da ri politik praktis maupun ke hi-dup an bermasyarakat secara luas. Na mun zaman sudah berubah. Ki ni, kesempatan terbuka luas bagi ge-nerasi muda untuk ikut ambil ba gian dalam proses membangun bang sa dan negara. Anak-anak Tuhan Ge ne-rasi Millennials dipanggil untuk ikut serta dalam pembangunan bang sa dan negara di mana Tuhan me nem-pat kan mereka. Semangat kemandirian dan ko-la borasi yang dibarengi dengan ke piawaian Generasi Millennials un tuk mengoptimalkan smartphone me reka bagi hal-hal yang positif, pro duktif, dan membangun adalah kun ci keberhasilan kemajuan negara ini untuk membawa kesejahteraan ba gi seluruh lapisan masyarakat. Keunggulan generasi yang le-bih tua ada pada Tacit Knowledge (aku mulasi pengetahuan dan peng-ala man di masa lalu) serta intuisi/ke-

bi jaksanaan dalam melihat masalah ke hidupan. Sedangkan keunggulan ge nerasi yang lebih muda ada pada ke mampuannya untuk beradaptasi ter hadap perubahan serta kece pat -annya dalam mempelajari serta me-ng implementasikan hal-hal baru. Paulus memberikan nasehat ke-pa da anak-anak rohaninya untuk me-neruskan/mewariskan ajaran-ajaran yang telah diberikannya kepada ge nerasi-generasi selanjutnya (2 Tim 2:2; Tit 2:2-4). Ini adalah tugas pa ra generasi yang lebih tua, yaitu me wariskan ajaran yang benar ke-pa da generasi yang lebih muda - se perti tongkat estafet yang akan te rus diserahkan kepada generasi be rikutnya turun-temurun. Kita tidak pernah tahu tantangan apa lagi yang akan muncul dan di-hadapi oleh generasi-generasi pe-ne rus kita. Namun satu hal yang kita ta hu dengan pasti: setiap generasi mem butuhkan Firman Tuhan untuk me nuntun hidup mereka. Teknologi bi sa dan akan senantiasa berubah. Tan tangan kehidupan juga akan se-lalu bergolak dan berganti. Namun Fir man Tuhan akan senantiasa men-ja di landasan serta kekuatan yang ko koh bagi anak-anak Tuhan dalam me ngarungi ombak kehidupan yang se nantiasa berubah. Di sinilah peran ki ta sebagai generasi yang lebih tua un tuk mewariskan Kebenaran Firman Tu han kepada generasi yang lebih mu da. Kiranya Tuhan menolong dan me mampukan kita.

Meilania [email protected]

63 EUANGELION 173

Page 64: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

“Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu

katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat.”

(Matius 5:37)

“Tetapi waktu kulihat, bahwa kelakuan mereka itu tidak sesuai

dengan kebenaran Injil, aku berkata kepada Kefas di hadapan mereka

semua: ‘Jika engkau, seorang Yahudi, hidup secara kafir dan bukan secara

Yahudi, bagaimanakah engkau dapat memaksa saudara-saudara yang

tidak bersunat untuk hidup secara Yahudi?’”

(Galatia 2:14)

Korup, yang dalam bahasa Inggris ada lah corrupt, menyatakan suatu kon disi atau keadaan di mana suatu ob jek atau orang atau lembaga ti dak lagi berjalan sebagaimana se harusnya. Jaman dahulu, waktu ki ta masih pakai disket komputer, ba rangkali kita masih ingat kesusahan ka rena adanya sektor yang corrupt, se hingga data tidak bisa dibaca. Atau sua tu mesin bagiannya ada yang corrupt sehingga tidak menghasilkan se perti yang dirancang.

Anti Kebiasaan Korup

Jadi, pertama-tama kita perlu pa hami bahwa arti korup lebih luas da ripada definisi korupsi seperti yang ditetapkan oleh Hukum di In-donesia: UU No. 31 Tahun 1999 ten-tang Pemberantasan Tindak Pidana Ko rupsi diperbaharui oleh UU No. 20 Tahun 2001 mengatur tentang tin-dak pidana korupsi. Di UU yang ja di ukuran adalah tentang kerugian ne-gara karena orang melakukan sesuatu yang tidak semestinya atau tidak me lakukan sesuatu yang seharusnya. Ukur an kerugian ini membuat ba tas-an dari perilaku korupsi, yaitu me nim-bul kan kerugian pada negara. Bagaimana dengan perilaku, mi-sal nya ketika ada sumbangan 50 kue gu lung untuk jemaat yang hanya di sampaikan 48 buah sedang yang 2 buah dibawa pulang oleh pengelola aca ra? Bawa 2 buah rollcake tidak mem buat kerugian negara, tapi itu ju ga suatu perilaku korup, bukan? Berapa sering orang yang ditunjuk un tuk menjadi pengelola dengan ma-nis mengambil bagian dari apapun yang seharusnya dibagikan semua ke-pada jemaat? Waktu mulai dalam pe-layanan, disebut bahwa semua adalah un tuk kemuliaan Tuhan, namun da-lam praktek diam-diam ambil ekstra buat diri sendiri. Apakah ada yang ke tahuan? Berapa sering orang berjanji un-tuk melakukan sesuatu, untuk me-mikirkan, mencari tahu, membuat pe nelitian dan analisa – tapi semua itu malas untuk dikerjakan, akhirnya yang diberikan hanya hasil seadanya da ri googling internet, kebetulan da-

64 EUANGELION 173

Page 65: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

pat satu tulisan yang rasanya bagus, lan tas dicopy-paste begitu saja tanpa di teliti lebih lanjut? Atau yang lebih umum: berapa se ring orang begitu saja menerima dan membagikan berita yang ke-lihatannya bagus, ditulis dengan ba-hasa yang baik dan rapi, tanpa usaha apa pun untuk mengecek? Sesuatu yang kalau dilakukan sedikit saja bi sa menentukan apakah tulisan itu hoax atau benar, apakah layak untuk di sebarluaskan. Tidak ada lagi saring se belum sharing. Dalam definisi luas dari makna ka ta “korup”, itu adalah kebiasaan ko rup yang banyak dilakukan orang. Ti dak merugikan negara, tidak men-ja d i suatu tindak pidana korupsi, na mun tetap suatu perilaku yang me nyimpang dari kebenaran, tidak se suai seharusnya. Bagi Tuhan, pernyataan-Nya tegas dan langsung: jika ya katakan ya, jika ti dak katakan tidak. Apa yang lebih da ri itu berasal dari si jahat. Walau ... kalau orang sejujur itu dalam ber kata-kata, bukankah hal itu bisa me rugikan diri sendiri, atau bahkan mung kin merugikan Gereja? Kenapa ha rus mengatakan ya atau tidak ji ka hal itu merugikan? Bukankah me-nyembunyikan kebenaran – tidak bi cara bohong, dengan tidak berkata apa-apa – kadang kala cukup baik dan ‘cer das’? Namun di sanalah ada peran si jahat yang memberi masukan-ma-su kan akal bulusnya. Korupsi di mulai da ri mengatakan tidak untuk sesuatu yang ya, atau mengatakan ya untuk se suatu yang tidak. Itu namanya bo-hong!

Semua korupsi membutuhkan sua tu pengalihan, manipulasi. Pa ling baik adalah kalau tidak ada per ta-nya an sama sekali, sehingga tidak per lu menjawab. Ada berbagai cara, an tara lain dengan memasang wajah ka ku, judes dan serius, sehingga orang lain sungkan untuk bertanya. Si kap marah pada pertanyaan yang di ajukan, suatu ekspresi perasaan ter singgung yang dihindari orang, ter utama di Asia, adalah alat ampuh meng hindari pertanyaan. Kalau pun ada pertanyaan, maka rangkaian pen jelasan bohong dibuat. Satu ke bohongan harus ditopang oleh ke bohongan lainnya. Tak lama ke-mu dian orang yang korupsi terjerat da lam rantai kebohongan yang harus di jaganya baik-baik, satu saja dusta ter ungkap maka keseluruhan perkara bi sa terbuka, berantakan. Siapapun bisa terperangkap da-lam tindakan bohong dan munafik, con tohnya adalah Kefas alias Petrus, yang Rasul murid Kristus, dan sudah me nyatakan mengasihi Kristus serta siap menggembalakan umat-Nya. Wak tu tidak ada orang Yahudi, ia mau ma kan bersama orang non-Yahudi, ta pi ketika orang-orang Yahudi da-tang, ia terus memisahkan diri. Ia men jaga citranya di hadapan orang Ya hudi, namun bukan berarti orang-orang non-Yahudi itu tidak mengerti apa yang terjadi. Eh, munafik tuh! Rasul Petrus munafik, dan Rasul Pau lus menentangnya dengan keras. Mung kin alasan Petrus terdengar bisa sa ngat dimengerti karena bukankah ki ta juga banyak dilanda perasaan sung kan yang membuat kita berdusta

65 EUANGELION 173

Page 66: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

se di kit di sini dan di sana? Tapi itu pun sua tu bentuk korupsi yang tidak akan mem bawa kebaikan apa-apa. Semua yang berasal dari si jahat tidak ada man faat kebaikannya! Orang yang melakukan sesuatu ka rena ingin menjaga citra, ingin men jaga status rohani di hadapan orang lain, bisa menjadi pelaku ko-rupsi yang membawa sesuatu yang bu kan Injil, tapi diakui sebagai Injil, ke tengah jemaat. Kalau membaca su rat kepada jemaat Galatia yang men jelaskan insiden ini, di awal su-rat Rasul Paulus memperingatkan je maat tentang penyimpangan yang di sebabkan injil manusia. Orang te-rus berusaha sendiri mencari status ro haninya, hanya untuk dilihat orang lain. Membuat berbagai-bagai per-atur an supaya ada kebanggaan ba gi siapa saja yang bisa memenuhi tun-tutan, padahal di dalam Kristus ada ke merdekaan, keselamatan diberikan se bagai kasih karunia. Menjaga citra itu sendiri akan mem butuhkan banyak tenaga upaya, ba nyak dana, dan butuh banyak wak tu serta melibatkan banyak orang. Suatu pernyataan dusta perlu di dukung oleh orang lain, tapi apa yang menjadi alasan orang lain mau men dukung kebohongan? Apa yang da pat diperoleh orang lain sebagai ba las jasa mempertahankan suatu ke bohongan? Biaya korup itu mahal, lho! Maka, korupsi menjadi sesuatu yang bersifat menular dan menyebar. Tidak semua orang pada awalnya berniat untuk korup, sebaliknya, banyak anak muda yang idealis dan

bertekad untuk bersikap benar. Na-mun ketika relasi berkembang dan per temanan menjadi lebih akrab, per mintaan tolong untuk ‘menjaga mu ka’ menjadi hal yang sukar di-tolak. Apalagi kini juga ada bagian ke untungan yang diberikan. Karena su dah mempertahankan suatu ke-bohongan, maka ada transfer yang me nambah isi rekening tabungan. Me nyenangkan, bukan? Mau lagi? Ta hu-tahu, tanpa orang sadari ia te rus masuk dalam tindak pidana ko rupsi yang diatur oleh UU tentang Pem-berantasan Tindak Pidana Korupsi. Ba tasan antara ‘merugikan negara’ de ngan ‘hanya untuk jaga muka saja’ me rupakan batasan yang tidak jelas le taknya. Tahu-tahu ada petugas KPK di depan pintu kerja. Tindak pidana korupsi menurut UU pa da dasarnya melihat ada tindakan me lawan hukum memperkaya diri sen diri atau orang lain. Kemudian, orang menyalahgunakan jabatan atau wewenangnya untuk membuat di ri-nya atau suatu pihak lain menjadi lebih ka ya, sedangkan negara mengalami ke rugian. Dalam prosesnya, orang mung kin menerima suap atau gra-ti fikasi, memalsukan dokumen atau ob jek lain, atau menggelapkan dan menghancurkan bukti-bukti do-kumen atau objek lain terkait dengan hal yang merugikan negara. Harta itu sendiri bisa menjadi sua-tu jerat yang tidak disadari. Korupsi men jerat orang melalui status dan pe nampilan yang dianggap harus se suai dengan status tersebut. Ke-ti ka seseorang menjadi pejabat ne gara, ia diharapkan mempunyai

66 EUANGELION 173

Page 67: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

ru mah lebih baik, kendaraan lebih baik, fasilitas lebih baik. Gaya hidup ber ubah. Sementara pendapatan ga ji besarannya tetap. Variabel pe ngeluaran bagi pejabat negara men jadi tidak terkendali antara ke-butuhan pribadi, kebutuhan men-ja lin komunikasi dan komunitas, ser ta kebutuhan menjaga citra di ma syarakat. Tidak lama setelah seseorang di-lantik menduduki suatu jabatan, per-ubah an gaya hidup tidak diimbangi de ngan pengendalian keuangan yang ra sional. Kini mendadak lebih banyak orang yang berada di sekeliling dan me nuntut untuk bisa memperoleh sua tu bagian keuntungan, orang-orang yang selama ini sudah mem-be rikan banyak ‘jasa’ dan rasanya sung kan kalau tidak terus ‘balas budi’ ke pada mereka. Di mana letaknya integritas? Ba gi banyak orang Asia, membalas bu di adalah suatu bagian dari sikap ber integritas dan bisa diandalkan. Ber sikap tidak mau membantu se-cara finansial kepada pihak yang se lama ini sudah membantunya, ada lah sikap yang bisa dianggap ti-dak berintegritas. Ini sikap budaya, sua tu kebiasaan menahun yang ti-dak selalu benar, karena membantu orang untuk menutupi kesalahan atau memperkaya diri jelas bukan sua tu sikap berintegritas. Lagipula ban tuan finansial dari kantung sendiri ada batasnya, tapi tindak korupsi bi sa memberikan aliran uang dalam jum-lah yang jauh lebih besar. Orang yang sudah dilanda ke se ra-kah an merasa selalu ada jalan untuk

me lakukan korupsi, untuk menutupi ke bohongan dan menjaga celah. Ba nyak koruptor yang memakai to-peng citra orang saleh yang tekun ber agama, karena dianggap orang yang tekun beragama selalu lebih ber-in tegritas dan jauh dari tindak pidana ko rupsi. Kenyataannya, korupsi di de partemen Agama adalah korupsi be sar dan serius yang melibatkan bah kan Ketua Umum Partai berbasis aga ma, hingga akhirnya terbongkar dan pelakunya dipenjara. Selama ini Negara dan KPK men-ja lankan gerakan pencegahan korupsi me lalui 4 pendekatan: (1) Pendekatan Hu kum, dengan ancaman hukum, (2) Pendekatan Bisnis, dengan pe ga-wai yang lebih kompeten dan se hat, (3) Pendekatan Pasar, dengan ke-terbukaan kompetitif, dan (4) Pen-de katan Budaya, dengan mendorong bu daya anti korupsi dan perilaku yang le bih terkontrol menurut persepsi nor-ma dan kearifan lokal yang diarahkan an ti korupsi. Pemerintah juga berupaya terus me nekan tindak pidana korupsi de-ngan mengharuskan keterbukaan dan kontrol yang lebih jauh atas pe rilaku, seperti melarang setiap pe gawai negeri menerima bingkisan par sel hari raya. Ada kebiasaan lama yang kini dilarang, sehingga lebih su kar bagi birokrat memperkaya diri di bandingkan dengan masa-masa pe merintahan lalu. Tentunya ada per lawanan dari aparat yang sudah ter biasa memperkaya diri, dengan men jalankan pelayanan kepada ma-sya rakat secara intoleran dan tidak ber kualitas.

67 EUANGELION 173

Page 68: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

Bagaimana sikap kita sebagai orang Kristen? Sebagai warga ma-sya rakat, dalam satu dan lain hal pas ti kita berhubungan dengan pe ja bat pemerintah. Mungkin kita sen diri adalah pejabat pemerintah. Ba-gaimanakah bersikap anti korupsi, ti-dak jatuh dalam kebiasaan korup? Ba-gai mana caranya agar kita mengikuti an trian dan prosedur dalam segala se suatu? Pertama-tama, kita perlu me nya-da ri siapa diri kita. Bukankah kita ada lah anak-anak Tuhan? Bukankah ki ta hidup dalam takut akan Tuhan? Ki ta didampingi oleh Roh Kudus, dan ke tika kita membohongi orang lain, ti dak ada satupun yang tersembunyi di hadapan Tuhan. Kedua, kita perlu menyadari apa ha kekat peran kita dan bagaimana kita me layani sesama serta bertanggung ja wab sebagai pemangku jabatan, en tah itu di pemerintahan maupun se bagai pelaku usaha atau pegawai pe rusahaan atau menjadi pelayan Ge-re ja. Kita perlu tahu apa yang menjadi hak untuk kita peroleh dan apa yang ti dak boleh kita ambil. Kita perlu tahu apa yang menjadi prinsip utama dan ti dak boleh diubah, dikurangi atau di tambah, atas dasar alasan apapun. Ti dak ada persahabatan yang baik yang memaksa sahabat melanggar prin sip utama dalam perannya. Ketiga, pada akhirnya kita perlu me milih. Tidak mungkin membuat se-nang semua orang, menguntungkan se mua orang. Banyak orang yang ber usaha menerima keuntungan yang ti dak patut. Korupsi mendatangkan ke untungan yang tidak patut, tidak

la yak diterima orang. Termasuk di da lamnya adalah memberi sedekah ke pada peminta-minta di lampu me-rah yang mengganggu lalu lintas. Ba-gaimana kita menghadiahi para peng-ganggu lalu lintas dengan sedekah? Pe rilaku tidak benar muncul dari ma na saja, termasuk dari orang yang jadi sahabat. Kesulitan secara pe rasaan memang muncul ketika orang yang semula bersahabat, ter-nyata melakukan korupsi dan meng-inginkan kita ambil bagian. Kalau ki ta menolak, persahabatan mungkin ter putus – itu adalah harga yang harus di bayar. Keempat, kita juga tidak bisa meng harapkan untuk menerima ke kayaan sebesar-besarnya di du-nia. Adalah suatu kekeliruan jika ber pikir berkat Tuhan berarti ke-ka yaan dan kesejahteraan serta po sisi penuh kuasa. Kita menerima ber kat Tuhan berupa kemampuan un tuk menghadapi persoalan hi-dup dan kemampuan untuk tetap mem beritakan Kabar Baik yang me nyelamatkan. Usaha kita adalah un tuk membuat lebih banyak ke-baikan, lebih banyak membangun ke sadaran akan kebenaran. Upah ki ta ada di Sorga, kita tidak perlu meng-harapkannya diberikan di dunia. Kelima, kita perlu ambil bagian da lam usaha kemasyarakatan, secara eko nomi dan juga secara politik, un tuk menegakkan kebenaran. Ke-benaran meninggikan derajat bangsa, se dangkan dosa adalah noda bangsa, ka ta amsal Salomo. Kita berdiri me-la wan korupsi, ambil bagian dalam po litik, dukung semua pihak yang

68 EUANGELION 173

Page 69: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

me negakkan kebenaran di atas ke-pentingan diri dan golongan. Orang Kris ten perlu bersikap lebih aktif, ka rena kita sudah diberi kemampuan ma ka kita pun bertanggung jawab un t uk melakukan apa yang kita bisa.An ti korupsi dan menolak kebiasaan ko rupsi bukanlah sekedar kesadaran pri badi, melainkan juga suatu upaya ko munitas yang terdiri dari orang-orang yang sungguh takut akan Al lah. Saya menemukan bahwa soal ta kut akan Allah bukan hanya dimiliki oleh orang Kristen saja. Banyak sau dara

kita yang beragama lain juga me-mahami ekspresi takut akan Allah dan berusaha untuk hidup benar di ha dapan Allah. Sikap anti korupsi me-ru pakan sikap yang dimiliki banyak ka langan, tidak tergantung agama ke percayaan tertentu. Dasarnya mau me lakukan hal benar dan menolak ber buat bohong dan curang, kita bi-sa sama-sama berdiri dan membela si kap ini. Semoga Tuhan menolong bangsa In donesia lepas dari penyakit korupsi.Ter pujilah TUHAN!

Donny A. Wiguna

69 EUANGELION 173

Page 70: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

Saat seseorang menyebut kata “bu daya”, yang pertama kali terlintas di pikiran kita adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan kesenian dan adat istiadat suatu daerah. Ka-

ta “budaya” dalam Kamus Besar Ba hasa Indonesia diartikan sebagai pi kiran, akal budi atau adat-istiadat. Ke budayaan sendiri diartikan sebagai se gala hal yang berkaitan dengan

BUDAYA PERUSAHAAN

70 EUANGELION 173

Page 71: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

akal atau pikiran manusia, sehingga da pat menunjuk pada pola pikir, pe-ri laku serta karya fisik sekelompok ma nusia. Oleh karena kata “budaya” su dah terasosiasi demikian kuatnya de ngan seni atau adat istiadat, ma ka saat mendengar kata “Budaya Pe ru-sa haan”, sebagian besar orang agak ter heran-heran dan bertanya-tanya apa maksudnya. Apa itu Budaya Perusahaan? Bu daya Perusahaan adalah suatu ka rakteristik yang ada pada sebuah pe rusahaan dan menjadi pedoman pe rusahaan tersebut sehingga mem-be dakannya dari perusahaan lainnya. De ngan kata lain, budaya perusahaan ada lah norma perilaku dan nilai-nilai yang dipahami dan diterima oleh se mua karyawan perusahaan dan di-gunakan sebagai dasar dalam aturan pe rilaku dalam perusahaan tersebut. Pe rusahaan yang dimaksud disini ada lah semua organisasi, termasuk di dalamnya gereja. Budaya dalam sebuah perusahaan me libatkan sekumpulan pengalaman, fi losofi, pengalaman, ekspektasi dan juga nilai yang terkandung di da-lamnya, yang nanti akan tercermin da lam perilaku karyawan, mulai da ri suasana kerja, interaksi dengan ling-kungan di luar perusahaan, sampai eks pektasi di masa depan. Budaya pe rusahaan akan membentuk tingkah la ku karyawan dalam perusahaan ter-sebut. Jika budaya perusahaan su dah stabil dan kuat, mau tidak mau, kar-yawan baru yang masuk ke sana akan me ngikuti kebiasaan dan budaya yang berlaku di sana. Sebaliknya, jika bu daya perusahaan masih tidak jelas,

ma ka dengan masuknya karyawan de ngan latar belakang budaya yang ber beda-beda, budaya perusahaan ter sebut akan semakin tidak jelaslah. Sa at saya ke Singapura dan melihat-li-hat di toko oleh-oleh, saya tertarik de-ngan kaos bertuliskan rentetan tarif de nda (“fine”) bila Anda melanggar atur an.

Smoking - You’ll be fine $1.000Spitting - You’ll be fine $1.000

………. - You’ll be fine $……………. - You’ll be fine $……“Singapore is FINE CITY”

Di sini ada plesetan kata “Fine”, yang dalam bahasa Inggris kata fine bisa berarti sangat baik atau in dah, tapi bisa juga berarti denda. Bia sanya kata-kata lucu yang di-ple-set-kan dalam kaos mengandung ke benaran. Memang benar Singapura ada lah kota yang indah dan bersih. Ke bersihan dan keteraturan kita jum pai di segenap penjuru negeri. Di Si ngapura biasanya kita dapat men-jum pai orang Indonesia yang biasa nye robot antrian, mendadak sontak ber ubah menjadi tertib.

Apa pengaruh dari suatu budaya? Kembali ke cerita perilaku turis In donesia saat berada di Singapura. Be gitu kuatnya budaya bersih dan ter atur di Singapura, sehingga turis yang datang akan menyesuaikan di ri, mengikuti budaya tersebut. Se-baliknya, kadang kita heran melihat tu ris asing yang sudah biasa tertib di negaranya, di Indonesia bisa mem-buang sampah sembarangan. Me-

71 EUANGELION 173

Page 72: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

ngapa sampai terjadi demikian? Jujur ki ta akui kebersihan dan ketertiban be lum menjadi budaya di negara ki ta tercinta ini. Oleh karena belum men jadi budaya, maka undang-un-dang, aturan dan budget negara, ti dak diarahkan untuk terciptanya ke-bersihan. Baru belakangan ada aturan den da pada orang yang membuang sam pah sembarangan. Akan tetapi, ka lau kita amati aturan tersebut se olah-olah tidak ada taringnya. Me ngapa demikian? Karena ke ber-sih an dan ketertiban belum menjadi bu daya, maka belum ada keseriusan da ri kalangan pelaksana untuk me-ne rapkan aturan tersebut, dan dari ka langan pemimpin belum ada ke-teladanan dalam menjalankan per-aturan tersebut. Lain di bibir lain di hati, aturan su dah dibuat tapi saat membuat bu jet, program kebersihan tidak men dapatkan jatah uang yang men-dukung terlaksananya program ter-sebut. Tidak adanya tong sampah dan tidak adanya petugas kebersihan yang rutin membersihkan, membuat be berapa tempat dijadikan gundukan bu a ngan sampah atau bahkan sam-pah berceceran sepanjang jalan. Dari budaya lahirlah Visi dan Misi. Dari Visi lahirlah suatu ren ca na dan dari suatu rencana lahirlah ac-tion plan. Jadi, budaya akan sa ngat mempengaruhi kemana larinya sum-ber daya yang kita miliki. Budaya akan me nentukan prioritas penggunaan uang, waktu dan tenaga yang Anda mi liki.

Apa fungsi atau peran dari suatu bu daya? Budaya akan menentukan batas-ba tas perilaku, dalam arti menentukan apa yang benar dan yang salah. Ia akan ber fungsi sebagai alat pengendali un tuk mengontrol perilaku para kar-yawan di dalam lingkungan kerja. Bu daya perusahaan juga berfungsi se bagai penentu arah, mana yang bo leh dilakukan dan mana yang ti-dak. Dari sana, budaya perusahaan akan menentukan identitas dan ci tra sebuah perusahaan di mata ma syarakat. Bila citra perusahaan baik, ia akan membuat bangga kar-ya wan, sehingga menambahkan ra sa kepemilikan dan menaikkan lo yalitas. Bila karyawan loyal, maka akan lebih mudah menumbuhkan ko mitmen bahwa kepentingan bersama ada-lah di atas kepentingan individual. De ngan adanya komitmen, semua la pis an akan terdorong untuk me-ning katkan kinerja, baik itu untuk jang ka pendek atau jangka panjang. Bisakah budaya dibentuk dan diubah? Jawaban singkatnya adalah “bisa ta pi tidak mudah”. Sekali lagi kembali ke cerita di atas, coba bayangkan bi la Anda adalah pribadi yang bersih dan teratur, suatu saat Anda berjalan di jalan yang bertebaran sampah dan tidak menjumpai tong sampah, pa-dahal sudah 30 menit Anda berjalan sam bil menenteng sampah. Sampai be rapa lama Anda mampu bertahan un tuk tidak ikutan membuang sam-

72 EUANGELION 173

Page 73: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

pah di jalan tersebut? Dan bayangkan bi la Anda terus menerus di tempatkan da lam situasi seperti itu, setahun, dua ta hun, tiga tahun..., maka hanya ada dua kemungkinan yang bakal terjadi, An da berubah jadi jorok atau Anda ter gerak menjadi seorang change agent, membawa perubahan di lo-kasi itu. Misalkan, demi perubahan, An da mau merogoh kocek pribadi mem belikan beberapa tong sampah dan menggaji 2-3 orang petugas ke-bersihan untuk rutin setiap jam ber-keliling membersihkan jalan. Setelah 3 bulan, 6 bulan, setahun, lokasi ter-se but pasti akan menjadi bersih. Tantangannya, saat budaya di lo-kasi tersebut mulai berubah setelah An da berkorban selama setahun, dan ada pendatang-pendatang baru de ngan budaya jorok yang melewati ja lan tersebut, ada kemungkinan me reka membuang sampah sem ba-ra ngan. Pertanyaannya, apakah Anda mam pu bertahan tetap menjalankan per baikan atau Anda menyerah dan lo kasi tersebut kembali lagi menjadi jo rok? Probabilitas keberhasilan Anda se bagai seorang change agent akan meningkat apabila saat Anda ber-juang ada orang-orang lain yang men dukung. Bisa berupa dukungan mo ril maupun materil. Mungkin boss Anda memberikan sumbangan da-na, mungkin pemilik gedung be sar di jalan tersebut menggaji pe tugas kebersihan dan teman Anda mem-buat kan poster. Sebaliknya, saat Anda sudah ber kor ban mengeluarkan biaya yang be sar, tapi rekan di sekitar Anda be ramai-ramai mem-bully Anda,

bi sa jadi Anda berpikir “gua gila, apa?” kemudian Anda memutuskan se cepatnya ‘cabut’ dari lingkungan ter sebut, pindah ke lingkungan yang se suai dengan budaya Anda. Maka ten tunya lingkungan itu akan sama, ti dak terjadi perubahan apa pun. Dalam kenyataan, apa yang ki-ta perjuangkan lebih dari sekedar ma salah kebersihan. Bisa Anda ba-yangkan, kalau untuk menciptakan bu daya bersih saja sedemikian su-litnya, maka sekeras apa usaha yang ha rus dikerahkan dan komitmen ma cam apa yang harus dimiliki untuk men ciptakan budaya bebas korupsi. Ta pi jangan putus asa dan buru-bu-ru berpikir, “sudahlah siapa saya, sa ya dilahirkan hanya untuk ikut arus saja”. Jangan pernah berpikir de mikian, Anda diciptakan untuk men jadi garam dan terang dunia. Ti dak perlu berpikir terlalu muluk-mu-luk, lakukan saja hal-hal kecil se cara benar. Belajarlah komunikasi agar Anda dapat mempersuasi dan mem-pengaruhi orang lain melalui ucapan An da dan membuat orang tergerak me lalui keteladanan Anda. Dari si-tu lah Anda dapat memulai suatu ge rakan untuk menciptakan suatu bu daya yang baik bagi lingkungan di mana Tuhan menempatkan An-da. Jika Tuhan tempatkan Anda se bagai seorang pemimpin, maka An da memiliki kesempatan sekaligus tang gung jawab yang besar atas bu-daya perusahaan yang Anda pimpin, atau budaya Gereja yang Anda gem-ba lakan.

W. Kirana Psikolog Industri Organisasi

73 EUANGELION 173

Page 74: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

“Kamu adalah surat pujian kami yang tertulis dalam hati kami dan yang

dikenal dan yang dapat dibaca oleh semua orang. Karena telah ternyata,

bahwa kamu adalah surat Kristus, yang ditulis oleh pelayanan kami, ditulis bukan dengan tinta, tetapi

dengan Roh dari Allah yang hidup, bukan pada loh-loh batu, melainkan pada loh-loh daging, yaitu di dalam

hati manusia.” II Korintus 3:2-3

Peningkatan taraf hidup dan per baikan ekonomi zaman ini telah me nyebabkan meningkatnya jumlah ke las menengah, terutama kelas me nengah yang hidup di wilayah ur-ban. Da ta tahun 2018 menunjukkan bah wa pe ningkatan tersebut ada di kisaran 30% dan diramalkan di ta hun 2023 jumlah tersebut akan me ningkat hingga 49,2%. Hasil ri set dari Euromonitor International (glo-bal market research company) yang di publikasikan pada seasia.co mem-per lihatkan bahwa Indonesia memiliki jum lah kelas menengah yang paling be sar di wilayah Asia Tenggara. Tidak ha nya memiliki jumlah yang besar, ke las menengah ini didominasi oleh ge nerasi millenial. Eksistensi kelas mengah ini ter-lihat dari karakteristik mereka yang memiliki uang, konsumtif, ser ta

menekankan gaya hidup serta pe -ng alaman hidup. Pengeluaran se-ha ri-ha ri cenderung diperuntukkan atau dihabiskan untuk mencapai pe ngalaman-pengalaman hidup yang belum pernah mereka ala mi sebelumnya. Pengalaman-peng-a laman ini pun seakan mendapat du kungan dari perkembangan masif tek nologi informasi melalui penetrasi te lepon pintar yang memungkinkan ke las menengah tersebut dapat me-ng aktualisasi diri mereka. Seperti kita ketahui, salah satu ke unggulan dari telepon pintar ada-lah dapat merekam gambar dalam ben tuk foto dan video. Selain itu, per saingan antar brand telepon pin-tar makin semarak di pasar global, yang meliputi persaingan harga dan ke unggulan kualitas kameranya. Fi-tur ini pun kemudian dimanfaatkan oleh kelas menengah sebagai salah sa tu pendukung dari kecenderungan ak tualisasi diri melalui produk-produk bu daya massa yang bisa mereka ak-ses. Produk-produk tersebut ti dak hanya dikonsumsi tapi juga di vi sua li-sa sikan. Perilaku konsumsi ini pada prak-tik nya kemudian mengubah makna pe rilaku konsumsi tradisional. Jika du lu kita mengonsumsi makanan ka rena adanya kebutuhan gizi atau nu trisi, sekarang lebih dari sekedar

Kebudayaan Visual Kelas Menengah:Representasi Kebahagiaan dan Rasa Dicintai

2 Korintus 3: 2-3

74 EUANGELION 173

Page 75: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

itu. Perilaku makan telah menjadi ga ya hidup. Sekarang bukan lagi per-soalan orang mau makan apa, tapi orang mau makan di mana (mereka yang sedang kasmaran mungkin akan menambahkan makan dengan sia pa). Minum kopi pun demikian. Ko pi tidak lagi diminum seperti ki ta biasa meminum kopi, tapi ada ba-nyak hal yang direpresentasikan da ri perilaku tersebut, seperti jenis ko pi yang diminum, penyajiannya, tem-pat minumnya, harganya, brand-nya. Un tuk urusan jalan-jalan, tempat yang dikunjungi ketika liburan pun merupakan sebuah nilai yang di-jadikan pembeda dengan orang lain. Bentuk-bentuk aktualisasi di ri yang disebutkan di atas pada ak-hirnya divisualisasikan melalui media so sial. Meskipun hampir semua plat-form media sosial menyediakan fi tur yang dapat menampilkan foto peng-gunanya, namun instagramlah yang pa ling banyak dipilih sebagai wadah un tuk memvisualisasikan gaya hidup. Pa da tahun 2018, data pengguna in stagram di Indonesia tercatat 45 ju ta lebih, dan jumlah ini adalah yang terbesar di wilayah Asia Pasifik. Di-sebutkan dalam laporan tersebut bah-wa pengguna telepon di Indonesia sa-ngat produktif memproduksi konten. Se cara ekonomi global tentu saja ini menguntungkan karena tren ini ju ga ikut mempengaruhi terciptanya krea-tivitas serta lapangan kerja baru. Namun penggunaan platform in stagram sebagai media sosial ten tunya dimaknai berbeda oleh se tiap pengguna. Tren saat ini, in-

sta gram dimanfaatkan sebagai tem-pat mengaktualisasi diri, sebagai pe nunjang representasi gambar di ri untuk tetap terlihat bahagia de-ngan segala hal materiil yang bi sa diakses. Dalam konteks dunia vir-tual, para pengguna media sosial me miliki kehendak bebas untuk me-re presentasikan identitas mereka. Orang dari kelas menengah seakan-akan berasal dari kelas atas, orang bia sa bisa menjadi figur publik. Secara se derhana, contoh nyata ini banyak di perlihatkan di media sosial, mulai da ri pakaian, makanan, tempat-tem pat liburan, barang-barang yang di miliki seperti buku baru, kamera ba ru, jam tangan baru, sepatu, dan se bagainya. Bagi para pengguna platform in stagram secara khusus, mereka ber usaha untuk menampilkan semua ke bahagiaan materiil agar terkesan bah wa hidup mereka bahagia, punya uang dan bisa selalu terlihat berkelas, dan yang paling utama, bisa diterima di lingkungan-lingkungan sosial tem-pat mereka berinteraksi.

All we need is love Ketika memproduksi sebuah kon-ten yang akan diunggah ke dalam akun instagram, konten tersebut akan di-framing. Proses framing ini ten tunya meliputi komposisi dan es-tetika foto seperti cahaya, warna dan ele men-elemen pendukung lainnya se hingga foto yang diproduksi itu da pat menyentuh sisi emosional pa ra pengguna lain yang melihat kon ten tersebut. Perasaan yang

75 EUANGELION 173

Page 76: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

tim bul pun bisa beragam, mulai dari ra sa senang, sedih, lucu hingga rasa iri. Campuran rasa tersebut akan meng giring pengguna lain untuk bi-sa memproduksi konten yang sama de ngan tujuan yang sama pula, yaitu me raih simpati pengguna lain. Simpati yang didapat dari peng-gu na lain akan diwujudkan melalui tan da like/love. Makanya jumlah like/love dan follower dinilai penting dan se cara tidak sadar menjadi tolok ukur atau bahkan sebagai sumber ke-ba hagiaan. Sama seperti yang di-kemukakan oleh Adam Alter, seorang pro fesor dari New York University dan penulis buku “Irresistible: The Rise of Addictive Technology and the Business of Keep Us Hooked”, bah wa perasaan senang yang kita da pat ketika kita menerima like/love pada media sosial disebabkan oleh produksi hormon dopamine, hor-mon yang diasosiasikan dengan rasa se nang. Melalui instagram kita akan me representasikan hal terbaik dari di ri kita, artinya ketika kita tiap kali me lihat beranda instagram orang lain, kita tentunya akan melihat as pek terbaik dari diri mereka yang me-reka aktualisasikan dan di saat yang bersamaan kita akan langsung mem-ban dingkan diri kita dengan mereka.

Representasi kelas Hiruk pikuk para pengguna in-ternet dengan segala usaha un tuk memproduksi konten serta ban jir-nya konten di instagram yang ber-hubungan dengan materi sempat men jadi bahan olok-olokan para

peng guna platform lain, seperti twit-ter. Bahkan hingga saat ini olok-olok-an tersebut tetap mengemuka hampir di setiap tweet. Misalnya sebutan “sobat miskin“ (yang biasanya ditulis so bat misqueen atau dibalik menjadi ka ta kismin), atau pernyataan “anaktwit ter can’t relate“. Entah dimulai sejak kapan, tapi hu mor satir ini memperlihatkan bah wa perilaku aktualisasi diri di in stagram mengakibatkan sebuah ge sekan dalam masyarakat. Apalagi se lebriti tanah air ikut serta dalam kon testasi pembelanjaan tas dengan brand tertentu. Dalam trilogi Crazy Rich Asians karya penulis Kevin Kwan, kumpulan orang kaya menjuluki kelas menengah dengan sebutan H.E.N.R.Y (High Earn Not Rich Yet), mereka yang berpenghasilan tinggi namun be lum bisa disebut kaya. Di buku ini, julukan HENRY pun sebenarnya ada-lah sebuah ejekan dari kelas atas pa da kelas menengah yang ingin ber gaya dengan usaha keras untuk bisa mem-be li barang-barang mewah tapi tetap sa ja tidak dapat meraih atau bahkan me nyamai posisi kelas atas. Ironisnya, anggapan ekstrim yang dikemukakan secara satir ini me nyebutkan bahwa tidak sedikit pa ra pekerja yang ada dalam kelas me nengah disebut sebagai kelas me nengah ngehek. Kategori kelas me nengah ngehek ini didefinisikan se bagai mereka yang bekerja malas-ma lasan namun selalu berharap akan ke naikan gaji, tidak produktif tapi ber harap adanya peningkatan secara eko nomi.

76 EUANGELION 173

Page 77: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

Surat Terbuka Tentunya dengan fenomena ini li terasi digital sangat diperlukan. Ke mampuan literasi digital ini tidak ha nya terletak pada keterampilan un tuk memproduksi konten positif, ta pi juga kecerdasaan secara emo-sio nal dalam menyaring konten apa yang bermanfaat dan yang bisa di-jadikan sebagai pendukung untuk meng hasilkan perilaku-perilaku yang mem bawa dampak positif dalam ma-sya rakat. Tidak mudah menampilkan hal po si tif di era ini. Pro dan kontra tetap ada. Bah kan untuk melakukan kebaikan me lalui media sosial pun kerap kali men dapat komentar negatif dari para peng guna lain. Bukan perkara yang mu dah pula untuk mengekspresikan pe rasaan dan pikiran melalui media so sial. Ada sejuta persepsi yang mun cul di ruang-ruang interaksi du nia virtual. Budayawan Sujiwo Te jo bahkan pernah berpendapat se perti ini: “Lama-lama orang males ro man tis karena entar disebut galau, ma les peduli karena takut disebut ke po, males mendetail karena takut di bi-lang rempong, males mengubah-ubah point of view dalam debat ka rena takut dibilang labil, juga lama-la ma generasi mendatang males ber pendapat karena takut dibilang cur hat.”

Sama seperti yang ditulis oleh Pau lus, kehidupan kita sebagai anak Tu han seperti sebuah surat yang ter-bu ka dan dapat dibaca oleh semua orang. Apapun yang kita lakukan akan terlihat, tidak hanya didunia offline ta-pi juga di dunia online. Aktualisasi diri ki ta tentunya akan berdampak pada ling kungan sosial, terutama interaksi de ngan orang-orang di sekitar kita. Da lam perspektif ini, kita sebagai peng guna media sosial bukan hanya se bagai produsen yang membuat kon ten bagi para pengguna lain, tapi se kaligus kita adalah konsumen dari kon ten-konten yang diciptakan oleh peng guna lain tersebut. Hal yang perlu kita cermati se ba-gai orang Kristen adalah konten me-dia sosial seperti apa yang akan ki ta produksi yang tentunya dapat mem-per lihatkan gambar diri kita sebagai pe ngikut Kristus serta bagaimana ca ra kita merespon konten yang di-produksi oleh pengguna lain. Dalam hal ini tentunya kedewasaan rohani per lu ditingkatkan sembari kita belajar ser ta meningkatkan pengetahuan me ngenai literasi digital. Kita pun per lu bertanya apakah aktualisasi diri ki ta adalah benar merepresentasikan ca ra hidup sebagai anak-anak Tuhan.

Wilton Djaya

77 EUANGELION 173

Page 78: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

MINGGU KE-1 AGUSTUS 2019TURUNLAH DARI SOTOHBACAAN ALKITAB: II Samuel 11:1-13

MEDITASI

Alkitab memberitahukan kita bahwa do sa dimulai dari dalam hati kita, dan dosa per-zinahan dimulai dari mata. Alkitab juga mem-berikan kita contoh orang-orang yang mem-biarkan dirinya jatuh ke dalam dosa perzinahan, Sa lah satunya adalah Raja Daud, raja orang Is rael, pahlawan perang yang agung, penulis maz mur yang hebat, orang yang berkenan di ha ti Allah (Kis 13:22). Tetapi, bahkan Daud se kalipun sangat rawan dalam hal ini. Suatu ketika, raja Daud, yang pada wak tu itu telah mencapai usia paruh baya, mem-biar kan dirinya bermalas-malasan sementara anak buahnya berjuang di medan perang. Ti daklah heran kalau dia suatu ketika tidak se ngaja kedapatan berdiri di atas sotoh is ta-na nya memperhatikan Batsyeba, istri Uria, man di. Ketika Daud melihat istri Uria yang can tik itu mandi, ia telah jatuh ke dalam dosa per zinahan. Jauh sebelum ia mengambil Bat-sye ba ke tempat tidurnya, dosa perzinahan te lah dilakukannya. Dimulai dari mata, turun ke ha ti, menguasai emosi serta hasratnya, lalu ber gerak ke bagian tubuhnya yang lain.

Dosa perzinahan dimulai dengan pan da ng-an pertama, yang seringkali membawa ke ka li kedua, ketiga keempat, dan seterusnya. Ki ta harus menjauihkan diri dari pencobaan. Ki ta harus menolak tinggal dalam situasi yang da-pat menyebabkan kita berdosa. Mekipun Al lah menjanjikan akan memberikan kita ke kuatan untuk bertahan di dalam pencobaan (I Kor 10:13), kita haruslah sedapat mungkin men-jauh kan diri dari dosa. Kita harus melakukan apa yang seharusnya Daud kerjakan – segera tu run dari sotoh begitu ia melihat pemandangan yang tak layak dilihat!!

AYAT MAS: “Sekali peristiwa pada waktu pe tang, ketika Daud bangun dari tempat pem­ba ringannya, lalu berjalan­jalan di atas sotoh is tana, tampak kepadanya dari atas sotoh itu se orang perempuan sedang mandi; perempuan itu sangat elok rupanya.”

II Samuel 11:1-13

BAGAIMANAKAH DENGAN ANDA? Jika kita perhatikan dengan seksama kisah di atas, kita dapat me-na rik kesimpulan bahwa dosa yang dilakukan Daud dimulai dengan ‘kemalasannya’. Ia tidak memakai wak tunya dengan melakukan hal-hal yang berguna, sebaliknya, ia berjalan-jalan tanpa tujuan. Budaya ma las memang menjadi budaya yang banyak menggandrungi manusia, membawa mereka ke dalam ba nyak petaka. Kemalasan dapat membawa orang ke dalam banyak tindak kriminal dan tindakan yang ti dak terpuji lainnya. Menjual narkoba dan mencuri bukanlah pekerjaan yang menguras keringat tetapi mem bawa keuntungan besar (kalau tak tertangkap!) dalam sekejap. Karena malas sekolah, siswa meng-ha biskan waktu di tempat bermain game, baik itu warnet, tempat main bilyar, atau sekedar iseng berjudi di pinggir jalan. Kemalasan membawa kebangkrutan kepada suatu usaha yang dapat merembet ke ke-han curan rumahtangga. Kemalasan menambah banyak orang pengangguran, pengemis, gelandangan, yang menjadi beban negara. Amsal mengajarkan kita untuk belajar rajin dari semut (Ams 30:25) dan IITesalonika 3:10 mengatakan bahwa jika kita tidak mau bekerja, janganlah kita makan.

KEMALASAN DAPAT MEMBAWA KITA KE DALAM PETAKA BESAR

Re nungan-renungan di bawah ini adalah bahan untuk PERSE KUTUAN KELUARGA SE MING GU SEKALI. Bahan diambil dari “The One Year Book of Devotions for Women”.

78 EUANGELION 173

Page 79: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

MINGGU KE-2 AGUSTUS 2019

PAGUTAN ULARBACAAN ALKITAB: Bilangan 21:4-9

Menghadapi keluhan dan gerutuan orang da pat sangat melelahkan kita. Musa dan Harus te rus-menerus harus menghadapi orang-orang yang merasa tidak puas. Umat Israel menjadi ti dak sabar dengan para pemimpin mereka dan ja lan kemanaTuhan membawa mereka pergi. Me reka baru saja mendapatkan kemenangan da lam peperangan besar (Bil 21:3), dan merasa di ri besar. Mereka melawan Allah, menolak Mu sa dan mengeluh mengenai manna, roti dari sur ga, katanya: “Dan akan makanan hambar ini ka mi telah muak” (Bil 21:5). Dengan menolak ma kanan yang Allah berikan, mereka menolak ke murahan Tuhan dalam menyediakan segala apa yang mereka perlukan (Yoh 6:32-35, 48-51, 58). Karena itu Allah mengirimkan ular-ular berbisa ke tengah mereka, dan banyak da ri antara mereka yang mati (Bil 21:6). Al lah menghukum sikap mereka yang suka me ngeluh, namun juga menyediakan jalan ke luarnya. Pengobatan yang Allah sediakan me rupakan ular perunggu yang digantungkan di atas tiang. Siapa yang memandang ular ter-se but akan hidup (Bil 21:8-9). Sangatlah mudah untuk mengeluh dan meng gerutu. Itu adalah sikap yang salah. Al-kitab melarang kita menggerutu. Paulus mem-pe ringatkan orang-orang di Korintus untuk tidak “men cobai Tuhan, seperti yang dilakukan oleh be berapa orang dari mereka, sehingga mereka

ma ti dipagut ular” (I Kor 10:9). Kita haruslah men jauhkan diri dari bersungut-sungut dan ber bantah-bantahan (Fil 2:4). Begitu kita telah menerima hidup kekal, ki ta mulai lagi bersungut-sungut. Bersungut-su ngut tidaklah mempunyai tempat di dalam hi dup orang-orang percaya. Bersungut-sungut me rupakan suatu kebiasaan yang dapat meng hancurkan diri sendiri. Kita harus behenti me ngeluh mengenai suami/istri, anak-anak, gereja, atau teman-teman kita. Hidup akan te rasa seperti padang pasir yang gersang, dan ki ta akan kepanasan dan kelelahan dan me nginginkan tempat baru untuk hidup dan be kerja. Berhati-hatilah akan sungut-sungut me ngenai apapun atau siapapun, karena itu se perti pagutan ular berbisa!

AYAT MAS: “Kemudian datanglah bangsa itu men dapatkan Musa dan berkata: ‘Kami telah ber dosa, sebab kami berkata­kata melawan TU­HAN dan engkau; berdoalah kepada TUHAN, su paya dijauhkanNya ular­ular ini dari pada ka mi.’ Lalu Musa berdoa untuk bangsa itu.”

Bilangan 21:7

BAGAIMANAKAH DENGAN ANDA? Bersungut-sungut merupakan budaya manusia lainnya yang lahir da ri rasa ketidakpuasan mereka. Kita tidak puas akan ‘nasib’ kita, pekerjaan, honor, perilaku orang lain ter hadap kita, rupa kita, dan lain sebagainya. Orang menjalankan operasi plastik karena mereka tidak puas akan rupa yang Tuhan berikan kepada mereka. Ada orang yang banting tulang siang malam bukan ka rena hidup kekurangan, tetapi karena tidak puas dengan pencapaian mereka, baik itu hasil karya, mau-pun uang yang mereka dapatkan. Orang ‘memaksa’ anak les segala mata pelajaran agar anak mereka men jadi ‘super’. Memang itu tidak salah, namun berlebihan.

APA YANG ALLAH SEDIAKAN BAGI KITA, CUKUP ADANYA

79 EUANGELION 173

Page 80: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

MINGGU KE-3 AGUSTUS 2019

APA YANG MEREKA KATAKAN?BACAAN ALKITAB: Yohanes 4:27

Jika kita merenungkan kisah tentang per cakapan wanita Samaria dan Yesus di tepi pe rigi, kita akan menyadari betapa banyaknya orang Kristen yang menjalani hidup kekristenan yang pincang karena apa ‘yang orang lain mung kin katakan’. ‘Orang lain’ itu dapat suami/is tri, anak, menantu, tante, oom, opa, oma, te man-teman, rekan kerja, tetangga, bahkan orang-orang di gereja atau di persekutuan, atau ju ga di perkumpulan yang mereka ikuti. Yesus ti dak peduli akan apa yang ‘orang’ katakan me ngenai percakapan-Nya dengan seorang wa nita yang ‘dipandang rendah’ orang karena Ia s a ngat peduli akan wanita tersebut. Untuk misi yang demikianlah Ia telah merendahkan Diri-Nya, dan kitapun harus menyontoh hidup-Nya. Ye sus berkata: “Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu” (Yoh 20:21). Suatu kali, Jill Briscoe, penulis buku re-nu ngan yang sedang kita bahas ini, bertemu de ngan seorang anak jalanan yang sangar. Se telah pemuda itu menjadi seorang Kristen, ia me minta Jill pergi bersamanya kepada teman-te mannya. “Dimana mereka?” tanya Jill.

“Di bar,” jawabnya. “Oh, saya tidak dapat pergi ke sana,” Jill men jawab dengan cepat. “Nanti orang-orang akan mengatai saya yang bukan-bukan.” Ia takut saat ia masuk ke tempat tersebut, ke betulan ada orang yang mengenalnya me lihatnya. Apa yang akan mereka katakan, ter lebih lagi ia adalah seorang aktivis gereja. “Yesus tidak membuat diri-Nya orang yang be reputasi,” Allah mengingatkannya. “Pergilah dan kerjakan apa yang Yesus lakukan.” Maka Jill pergi bersama ex-anak jalanan tersebut ka rena ia ingin berusaha lebih peduli akan pe rintah Allah daripada apa yang mungkin orang-orang katakan mengenai dirinya.

AYAT MAS: “Pada waktu itu datanglah murid­muridNya dan mereka heran, bahwa Ia sedang bercakap­cakap dengan seorang perempuan. Tetapi tidak seorangpun yang berkata:’Apa yang Engkau kehendaki? Atau: Apa yang Engkau percakapkan dengan dia?’”

Yohanes 4:27

BAGAIMANAKAH DENGAN ANDA? Budaya ‘bergosip’ adalah dosa kita lainnya, terutama kaum wanita. Pro gram televisi apakah yang paling digandrungi para emak-emak? Gosip selebriti, bukan? Begitu para wa nita berkumpul, mereka dapat bergosip selama berjam-jam, dari membicarakan orang lain sampai mem bicarakan orang di rumah. Rasanya tidak ada akhirnya. Seru, lagi! Mereka tidak sadar bahaya besar di balik gosip mereka. Bisa-bisa mereka diciduk yang berwajib karena gosip mereka. Demikian juga de ngan anak-anak Tuhan. Gosip dapat menjadi salah satu penghalang yang merintangi mereka untuk men capai jiwa-jiwa yang membutuhkan keselamatn Allah. Kita enggan berteman dengan orang yang be reputasi buruk karena takut digosipkan orang di belakang kita, padahal mereka sangat membutuhkan ka sih serta perhatian kita, dan terutama Injil yang dapat kita sampaikan.

GOSIP DAPAT MENJADI BATU BESAR YANG MENGHALANGI JALAN KESELAMATAN

80 EUANGELION 173

Page 81: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

MINGGU KE-4 AGUSTUS 2019

GAMBARAN ROHANI DIRIBACAAN ALKITAB: II Korintus 10:10

Rasul Paulus mendengar orang ‘mem-bi carakan’ tentang dirinya di gereja Korintus. Ti daklah enak jika kita dikritik dengan negatif. Itu dapat membuat kita merasa buruk tentang di ri kita sendiri. Paulus di dalam perikop ini me nunjukkan kita bagaimana membiarkan Al lah mengangkat diri kita saat orang lain men-jatuhkan kita. Rasul Paulus menyadari bahwa ia sedang di evaluasi oleh orang-orang yang sekedar mem bandingkan diri mereka sendiri dengan orang lain. Setiap kita mempunyai wilayah pe la yanan sendiri yang ditentukan oleh batas-ba tas yang ditetapkan Allah (II Kor 10:13).Ma sing-masing ditempatkan Allah dan diberi ta lenta di wilayahnya masing-masing. Paulus ti dak takut dibandingkan dengan orang lain. Dia ha nya ingin diyakinkan bahwa ia cocok dengan ren cana Allah. Paulus menilai dirinya sendiri ber dasarkan pujian Allah. Dia mungkin bukan se orang pembicara terlatih, tetapi ia tahu apa yang sedang dibicarakannya. Keinginan Paulus ha nyalah mengajarkan kebenaran dengan se gala cara yang mungkin. Rencananya tidak da pat dicegah oleh penilaiasn apakah yang

di kerjakannya itu lebih baik atau lebih buruk da ripada orang lain, dan kita pun haruslah de-mi kian. Kita perlu berpegang pada hal-hal yang da pat kita lakukan dengan sangat baik dan be lajar untuk hidup dengan hal-hal yang kita ku rang baik mengerjakannya karena kita ku-rang bertalenta di wilayah itu. Janganlah kita biar kan penilaian orang lain akan personalitas, ta lenta, atau pelayanan kita mempengaruhi ke hidupan kita secara berlebihan. Talenta, pang gilan dan batas-batas personalitasdi kita di tentukan hanya oleh Allah. Orang percaya ha rus merasa bahagia dengan batas-batas yang Allah berikan dan sukacita di dalam men-ja laninya. Gambaran rohani diri yang sehat mem berikan kita kebebasan untuk bekerja bagi Kris tus, apapun yang dikatakan orang tentang ki ta!

AYAT MAS: “Sebab, kata orang, surat­su­rat nya memang tegas dan keras, tetapi bi la berhadapan muka sikapnya lemah dan per ka­ta an­perkataannya tidak berarti.”

II Korintus 10:10

BAGAIMANAKAH DENGAN ANDA? Budaya buruk lainnya dalam hidup manusia adalah budaya mengeritik orang. Budaya ini biasanya lahir dari keirihatian manusia. Seseorang akan mengeritik karya lukis seorang pe lukis jika dirinya sendiri bisa melukis, namun tidak seindah sang pelukis. (Ini berbeda dengan seorang kri tikus yang memang kerjanya menilai, bukan mengeritik, hasil karya seseorang berdasarkan keahlian yang ia miliki). Adalah biasa bagi kaum hawa untuk mengeritik kecantikan seseorang ataupun apa yang di pakainya karena mereka iri tidak secantik orang itu dan tidak memiliki apa yang orang itu pakai.Kritikan da pat membangun tetapi dapat pula menjatuhkan seseorang. Jika kritikannya itu benar, dan didengar oleh orang yang dikeritik, maka si orang yang dikeritik itu dapat membangun dirinya menjadi lebih baik. Se baliknya, jika kritikannya itu tidak benar, itu dapat mengecilkan hati orang yang dikeritik, bahkan mungkin ju ga mematikan semangatnya. Karena itulah Paulus menasihatkan kita untuk mengharapkan pujian dari Al lah dan bukan pujian dari manusia dalam pelayanan kita.

KRITIKAN DAPAT MENJADI PEDANG BERMATA DUA ATAU BALSAM YANG MENGHANGATKAN

81 EUANGELION 173

Page 82: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

MINGGU KE-1 SEPTEMBER 2019

BUAH ANGGUR YANG ASAMBACAAN ALKITAB: Yesaya 5:1-7

Di dalam puisi ini Israel digambarkan se bagai kebun anggur, suatu metafora yang se ring digunakan oleh para nabi. Nyanyian ini me ngingatkan umat Allah akan kasih dan berkat yang dicurahkan Allah atas mereka. Umat Israel mendapatkan tempat yang me-nguntungkan “di lereng bukit yang subur” (Yes 5:1) dan “menara pengawas” untuk melindungi me reka. Meskipun Allah telah memeliharanya de ngan hati-hati, kebun anggur itu hanya meng hasilkan buah-buah anggur yang asam. “Apalagi yang harus Aku lakukan?” seru Allah Ye hova. Hidup kita pun seperti kebun anggur. Allah me magari kehidupan orang-orang percaya. Ki ta hidup di lereng bukit yang paling subur. Le bih dari itu, kita diberikan Roh Kudus untuk me lindungki kita seperti menara jaga di kebun ang gur. Allah memelihara kita dengan telaten. Ka rena itu, Dia berhak mengharapkan buah-buah yang manis dari hidup kita. Mengapa kita seringkali mengeluarkan buah-buah yang asam?

Apakah kita memiliki semangat yang kecut? Mungkin kita telah dikecutkan oleh teman yang ingkar janji. Mungkin seseorang yang me nurut kita tidak sebaik kita pekerjaannya, di pro mo si-kan pada jabatan di atas kita. Mungkin banyak hal terjadi di dalam hidup kita yang membuat ki ta merasa berhak untuk merasa kecut. Tetapi pen dapat kita mungkin saja salah. Mengapa Sang Tukang Kebun datang ke da lam hidup kita? Ia datang untuk ‘memangkas’ hi dup kita agar berbuah lebat secara rohani. Ke tika Tuhan bertanya “Mengapa yang ada ang gur-anggur asam?”, kita mungkin tidak da pat menjawabnya. Karena itu, biarkanlan Al lah memangkas apa yang harus ia pangkas da ri hidup kita agar karakter kita dapat menjadi “ma nis” demi Dia.

AYAT MAS: “Apakah lagi yang harus diperbuat un tuk kebun anggurKu itu, yang belum Ku per­buat kepadanya? Aku menanti supaya di ha sil­kan nya buah anggur yang baik, mengapa yang di hasilkannya hanya buah anggur yang asam?”

Yesaya 5:4

BAGAIMANAKAH DENGAN ANDA? Bila kita simak perikop ini, kita dapat melihat bahwa anak-anak Tu han hidupnya seringkali tidak dapat menjadi garam dan terang dunia karena mereka banyak mem biarkan kekecutan di dalam hidup mereka merasuki mereka meskipun mereka tahu janji Tu-han bah wa ia akan melindungi serta memelihara mereka setiap saat. Mereka tidak mempunyai se mangat juang, mudah patah semangat karena rintangan yang kecil sekalipun. Budaya menyerah ka lah atau lebih te patnya picik hati membuat mereka tidak dapat berkembang, malah menjadi batu san dungan bagi orang lain. Bagaimana mereka dapat menyaksikan Kristus dalam hidup mereka ji ka mereka selalu me rasa kalah sebelum berperang? Anak Tuhan yang sejati, meskipun didera oleh penyakit yang me matikan, atau oleh kemiskinan yang tak kunjung berakhir, tidak akan menjadi ke cut, malahan de ngan ‘ketidakberuntungan’nya mereka memberikan kekuatan kepada orang-orang yang ‘senasib’ de ngan mereka.

KECUT HATI MENGHALANGI KITA BERBUAH BAGI TUHAN

82 EUANGELION 173

Page 83: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

MINGGU KE-2 SEPTEMBER 2019

KEPEMILIKANBACAAN ALKITAB: Efesus 2:16

Jika tembok perseteruan telah dihancurkan oleh kematian Kristus (Ef 2:13-14), mengapa ma sih saja banyak anak-anak Allah di ge re ja menghadapi tembok batu di dalam per se ku tuan mereka? Mengapa tembok itu masih me mi-sahkan warna kulit, kaya dan miskin, status so sial? Itu dikarenakan orang-orang Kristen be lum diajarkan bahwa dasar dari persatuan me reka adalah “kepemilikan”. Kesatuan dimulai ketika teologi kita benar. Ji ka tembok perseteruan itu telah dihancurkan te tapi nyatanya masih saja ada, itu dikarenakan ada yang membangunnya kembali! Apakah ar-ti nya sebuah tembok? Itu adalah penghalang yang memisahkan kita dari orang lain. Kita da-pat merasakannya di antara anak-anak Tuhan di gereja meskipun tembok itu tak kasat mata. Ki ta dapat melihat kelompok-kelompok orang yang berbeda di dalam iman dan kepribadian. Na mun persatuan kita berada di dalam ke pe-milikan. Karena melalui Dia kita semua mem-per oleh jalan menuju Bapa melalui satu Roh. Ia me lihat kita semua berlutut berdoa di samping tem pat tidur kita di malam hari!

Kita tidak boleh menjadi pembangun tem-bok. Kita harus meletakkan sekop kita dan meng gunakan tangan kita untuk mencapai sau dara-saudara kita di dalam kasih. Kita harus ber tindak seolah-olah tembok penghalang itu ti-dak ada. Kita harus berjalan menembusnya dan berbaurlah dengan mereka serta bersikap ma-nis lah terhadap mereka. Kita harus berusaha se dapat mungkin meyakinkan mereka bahwa ki ta percaya kita semua adalah satu, milik Allah.

AYAT MAS: “Dan untuk memperdamaikan keduanya, di dalam satu tubuh, dengan Allah oleh salib, dengan melenyapkan perseteruan pada salib itu.”

Efesus 2:16

BAGAIMANAKAH DENGAN ANDA? Budaya ‘memisahkan diri’ dari yang ‘tidak sama’ dengan ki ta bukan hanya terjadi di kalangan orang dunia, tetapi juga di antara anak-anak Tuhan. Itulah se babnya tidak sedikit orang yang mundur atau berhenti pergi ke gereja karena mereka merasa di ri mereka tidak diterima di sana oleh sebab keberbedaan yang mereka miliki. Keberbedaan itu mung kin ras/suku bangsa, bahasa, tingkat ekonomi, status sosial, derajat intelektual, dan yang lain nya. Itulah sebabnya ada gereja yang dicap sebagai ‘gereja orang kaya’ karena pengunjungnya sa ling memamerkan kekayaan mereka. Ada juga yang dicap sebagai ‘gereja borjuis’ karena orang yang datang di dalam kesederhanaannya tidak akan dipandang mata. Ada juga gereja yang disebut ‘ge reja rasial’ karena mereka melarang ras tertentu untuk datang beribadah ke gereja itu. Itu terjadi ka rena mereka tidak memahami Firman Allah bahwa di dalam Kristus kita adalah satu, tidak ada hal yang dapat membedakan satu sama lain, baik itu warna kulit, kebudayaan, kekayaan, kepintaran, mau pun status sosial. Semua adalah orang berdosa yang memerlukan keselamatan dari Allah.

DI DALAM TUBUH KRISTUS TIDAK ADA TEMBOK YANG MENGKOTAK-KOTAKKAN ORANG PERCAYA

83 EUANGELION 173

Page 84: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

Di dalam kitab Ulangan 6:13, Allah dengan je las memerintahkan umat-Nya untuk “melayani Dia” (NIV) atau “berbuat bakti” (LAI terjemahan la ma). Untuk melayani, orang harus bersedia me langkah keluar dari lampu sorot panggung dan memainkan peran yang kurang penting. Ada pepatah yang mengatakan bahwa me mainkan peran yang kurang penting de-ngan baik itu lebih berarti dari apa yang dapat di ucapkan lidah. Memainkan peran yang ku rang penting adalah cara terbaik untuk me mulai melayani orang lain. Banyak sekali po sisi yang kurang penting untuk diisi. Asal sa ja kita mau menyingsingkan lengan baju dan mengerjakannya. Jika kita bersedia terlibat di ma na saja kita diperlukan, Tuhan akan dapat me ngerjakan hal-hal besar melalui diri kita. Sama seperti kita tidak dapat mengarahkan mo bil yang tidak bergerak, Tuhan juga tidak da pat mengarahkan orang-orang Kristen yang ti dak mau bergerak. Kita harus mulai pergi ke sua tu tempat dan melakukan sesuatu! Kita mung kin menggerutu: “Tetapi saya tidak bisa me ngajar Sekolah Minggu, mengumpulkan ba-rang-barang untuk didonasikan, membereskan ge reja, menjemput orang-orang tua, menghitung

uang, mencuci gelas-gelas perjamuan kudus, ber saksi.” Mungkin memang tidakbisa, tetapi apa kah kita pernah memikirkan bahwa itu mung kin kehendak-Nya bagi kita? Tuhan me-ng ajarkan penulis buku renungan ini, bahwa ji ka dia mau berhenti merasa cemas untuk me mainkan peran yang penting dan mulai de-ngan peran yang kurang penting, dan me nger-ja kannya dengan baik untuk kemulian Tuhan, ma ka ia akan siap untuk pekerjaan yang telah di siapkan baginya. Semua itu dimulai dengan takut akan Tu han yang meliputi kebencian akan sikap in-di vidualistis dan sombong, dan mulai dengan se mangat seorang hamba. Tuhan akan me-nger jakan hal ini di dalam hidup kita jika kita me mohon pada-Nya. Apakah kita bersedia me mainkan peran yang kurang penting di da-lam pekerjaan Tuhan?

AYAT MAS: “Hendaklah kamu takut akan Tu­han, Allahmu, dan berbuat bakti kepadanya, dan bersumpah demi namanya jua!”

Keluaran 6:13 (LAI terjemahan lama)

MINGGU KE-3 SEPTEMBER 2019

PERAN YANG KURANG PENTINGBACAAN ALKITAB: Ulangan 6:10-25

BAGAIMANAKAH DENGAN ANDA? Banyak orang yang tidak mau melayani di gereja bukan ka-re na ia tidak bisa, tetapi karena merasa enggan. Enggan karena merasa diri tidak akan mampu, se perti mengajar Sekolah Minggu, ikut paduan suara, atau enggan karena merasa pelayanan yang diberikan tidak ‘setaraf’ dengan dirinya. Membesuk, itu kan pekerjaan orang-orang tua yang pe ngangguran. Penyambutan? Saya bukan orang penting, tidak akan dianggap oleh jemaat yang da tang. Membersihkan gereja? Gereja kan banyak OB! Dan masih banyak alasan-alasan lainnya. In tinya, mereka ‘enggan’, atau kasarnya, malas. Budaya enggan ini sungguh akan membuat se-se orang yang baru saja dibaptis/sidi atau dikobarkan semangatnya di dalam suatu K K R, menjadi ‘di ngin’ lagi di dalam semangatnya untuk hidup bagi Tuhan, dan lama-lama ia akan ‘mati’ dan meng hilang dari gereja.

MELAYANI TUHAN DENGAN SUNGGUH AKAN MENGOBARKAN SEMANGAT KITA MELAYANI

84 EUANGELION 173

Page 85: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

Suatu saat, Jill, penulis buku renungan ini di un dang berpidato pada suatu upacara wi-su da d a ri sebuah sekolah modeling. Setelah ia mem berikan pidatonya, ia memperhatikan ba gaimana para murid berjalan di panggung un tuk menerima sertifikat kelulusan mereka. Me reka semua berjalan dengan tenang dan pas ti, dengan tubuh dan kepalategak dan ram but tertata rapih, muka yang dimake­up pa da tempatnya. Mereka itu sungguh model da ri para model. Terakhir, guru mereka yang ter kenal berdiri untuk menerima aplaus da ri pa ra muridnya. Pada saat itulah Jill me ngerti me ngapa para murid tersebut bisa mem ba-wakan diri mereka sedemikian rupa. Mereka sung guh-sungguh duplikat dari guru mereka yang berjalan dengan tenang dan pasti, dengan tu buh dan kepala tegak dan rambut tertata rapih ser ta make­up di muka pada tempatnya! Itulah gambaran dari seorang murid yang me nuruti gurunya. Rasul Paulus mengatakan pa da para orang Kristen baru di gereja Fili pi un tuk melihat bagaimana ia menjalani ke hi-dup an Kristennya dan meneladani apa yang ia lakukan. Paulus tahu betapa pentingnya ba gi para orang yang baru percaya itu untuk mem punyai model yang dapat mereka tiru.

Tetapi ini bukan berarti kita harus dengan bang ga dan sombong memisahkan diri kita da ri orang-orang yang baru percaya, atau ber laku seolah-olah kita itu istimewa. Ingatlah se lalu bahwa bahkan rasul Paulus pun tidak me nganggap dirinya sudah sempurna (Flp 3: 13). Kita hendaknya menjadi model dari suatu per tumbuhan/proses, bukan model dari suatu ke sempurnaan. Itulah kuncinya! Paulus berkata kepada sekelompok orang-orang saleh yang memperhatikannya un tuk me-ng ikuti teladannya dan memperhatikan me reka yang hidup sama seperti dirinya yang men jadi te ladan mereka (Flp3:17). Dapatkah Pau lus me nunjuk kita sebagai model bagi para orang Kris ten baru? Dapatkah kita meminta orang lain un tuk mengikuti teladan kita?

AYAT MAS: “Saudara­saudara, ikutilah te la­dan ku dan perhatikanlah mereka, yang hidup sa ma seperti kami yang menjadi teladanmu.”

Filipi 3:17

MINGGU KE-4 SEPTEMBER 2019

MODEL PARA MODELBACAAN ALKITAB: Filipi 3:12-21

BAGAIMANAKAH DENGAN ANDA? Beranikah anda meminta orang lain meneladani anda? Jika an da seorang guru, mungkin anda berani menyuruh murid-murid anda mengikuti apa yang anda ajar kan, bukan meneladani diri anda. Hanya orang yang terbilang ‘sempurna’ yang layak diteladani. Mak sudnya, sifatnya memenuhi buah-buah roh yang tertulis di dalam Galatia 5:22, 23. Dan nilai ini akan bertambah jika disertai intelektual yang tinggi. Orang yang berani meminta orang lain me-ne ladani dirinya dapat dipastikan akan dicap sebagai orang yang sombong, bangga akan dirinya sen diri, karena boleh dikatakan tidak ada orang yang sedemikian sempurnanya. Berbeda jika orang lain yang meminta kita meneladani seseorang.

JANGANLAH MEMEGAHKAN DIRI, TETAPI BIARLAH TUHAN YANG MEMEGAHKAN DIRI KITA

85 EUANGELION 173

Page 86: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

Seperti halnya bangsa lain di du-nia, bangsa Indonesia telah melewati ma sa sejarah yang sangat panjang. Per jalanan sejarah ini terbukti da-ri temuan penting berupa cagar bu daya (cultural heritage), situs ar-keologi, sejarah (archaeological and historical sites) dan lain-lain. Se-muanya tersebar mulai dari ujung pu lau Sumatra, Jawa, Kalimantan, Su lawesi, Bali, Sumbawa, Sumba, hing ga Papua. Dengan penyelidikan arkeologi yang telah dilakukan selama ber ta-hun-tahun, terbukti Indonesia ada lah salah satu negeri yang sangat ka ya akan cagar budaya yang ber aneka ragam, baik bentuk maupun fung si-nya. Berdasarkan analisis kuantitatif dan kualitatif, Cagar Budaya dapat di anggap sebagai sumberdaya ar-keo logi (archaeological resources) yang sangat potensial. Dengan ka ta lain, Cagar Budaya merupakan ba -gian yang tidak terpisahkan dari ke -budayaan bangsa Indonesia, se hing-ga dapat dihitung sebagai wa risan bu daya bangsa yang tidak ter ni lai. Tidak hanya penting bagi disiplin il mu arkeologi, benda cagar budaya ju ga bisa dianalisa untuk disiplin il-mu lain, seperti Antropologi, yang da pat melihat kaitan antara benda ca gar budaya dengan kebudayaan se -karang. Cagar budaya Indonesia ada-lah bukti atau dokumen sejarah yang me ngandung sejumlah pesan yang pa da suatu saat akan merefleksikan hu bungan bangsa kita dengan ling-kungan alam di sekitarnya, dan

relasinya dengan kelompok-ke lom-pok sosial lain. Karena Cagar Budaya bersifat ja mak, maka cagar budaya ini dapat di kaji secara multidisipliner untuk men dapat gambaran yang lebih luas. Se bagai bagian dari kebudayaan bang sa, cagar budaya adalah warisan bu daya bangsa yang mengandung ni lai-nilai sosial-budaya yang penting.

Apa saja yang bisa dikategorikan se bagai Cagar Budaya? Untuk menentukan Cagar Budaya me mang tidak mudah. Semua harus me lalui proses yang panjang dan la-ma. Jadi, sebuah tempat atau ben da yang dinyatakan sebagai cagar bu-daya oleh masyarakat sekitar belum ten tu bisa disebut cagar budaya. Se-muanya harus dikaji dan diteliti oleh pa ra ahli arkeolog dan tim ahli khusus da ri wilayah tersebut. Penelitian itu bukan hanya di la-ku kan tim ahli dari kabupaten sa ja, ta pi diuji dan dikaji juga oleh tim ahli ting kat provinsi dan ke mudian diteliti la gi oleh tim ahli ting kat nasional. Se-telah melakukan pe nelitian sejarah dan sesuai dengan kri teria khusus, ba rulah tempat itu bisa ditetapkan se bagai cagar bu da ya. Syarat dan kriteria suatu ba-ngun an atau kawasan menjadi cagar bu daya sudah ditetapkan dalam Un dang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2010 Mengenai Cagar Budaya. Benda, ba ngunan, atau struktur dapat di-usulkan sebagai Cagar Budaya, apa-bila memenuhi kriteria:

MELESTARIKAN CAGAR BUDAYA

86 EUANGELION 173

Page 87: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

1. berusia 50 tahun atau lebih;2. mewakili masa gaya paling singkat

ber usia 50 tahun;3. memiliki arti khusus bagi sejarah,

il mu pengetahuan, pendidikan, aga ma, dan/atau Kebudayaan;

4. memiliki nilai budaya bagi pe-nguat an kepribadian bangsa.

Sementara satuan ruang geografis da pat ditetapkan sebagai kawasan ca gar budaya apabila:1. mengandung 2 situs cagar bu da ya

atau lebih yang letaknya ber de-katan;

2. berupa lanskap budaya hasil ben-tukan manusia berusia 50 tahun;

3. memiliki pola yang mem per li-hatkan fungsi ruang pada masa la-lu berusia paling sedikit 50 tahun;

4. memperlihatkan pengaruh ma-nusia masa lalu pada proses pe-manfaatan ruang berskala luas;

5. memperlihatkan bukti pem ben-tukan lanskap budaya;

6. memiliki lapisan tanah terbenam yang mengandung bukti kegiatan ma nusia atau endapan Fosil.

Mengapa kita harus melestarikan Ca gar Budaya? Menurut informasi yang diambil da ri situs registrasi nasional Cagar Bu daya Indonesia, dari 90.345 ob yek yang terdaftar untuk bisa di tetapkan sebagai Cagar Budaya, baru ter ve-ri fikasi 45.099, di mana dari 1.524 ob yek yang direkomendasikan, baru 1.456 obyek yang sudah ditetapkan se bagai Cagar Budaya. Dengan jumlah sebanyak itu, ten tu saja belum semua obyek Cagar Bu daya mendapat perlindungan da ri pemerintah. Kesadaran dan

ke pedulian sebagian masyarakat ter hadap nilai penting Cagar Bu-daya juga masih rendah. Hal ini di-buktikan dengan masih maraknya tin dak pelanggaran terhadap upa ya perlindungan Cagar Budaya di be-berapa daerah. Misalnya pencurian, pe malsuan, pembawaan Cagar Bu-da ya ke luar negeri secara ilegal, co-rat-coret pada batu-batu Candi, dan lain-lain. Iklim Indonesia yang tropis dan lem bab juga membuat keberadaan ca gar budaya sangat rentan terhadap ter jadinya kerusakan dan pelapukan, ter lebih dengan bahan dasar yang ber asal dari bahan anorganik seperti ba tu, bata, keramik, kaca, benda-ben da logam, meski sebenarnya le bih tahan terhadap faktor cuaca. Se mentara bahan dasar Benda Cagar Bu daya yang berasal dari bahan-ba-han organik seperti kayu, kertas, kain, dan tulang sangat peka terhadap fak tor lingkungan sehingga lebih ce pat mengalami proses kerusakan dan pelapukan yang dapat berakibat pa da hancurnya benda cagar budaya ter sebut. Kurangnya jumlah tenaga juru pe li hara, terutama untuk Cagar Bu-daya dan situs-situs yang terletak di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Ma luku dan Papua, juga membuat se bagian besar Cagar Budaya dan Si-tus tersebut kurang terawat. Seperti yang terjadi di Balai Konservasi Pe ninggalan Borobudur beberapa ta hun lalu. Kita tahu kalau para te-naga trampil bidang pemetaan, peng gambaran, pemugaran, kon-servasi dan analisis laboratorium Ca gar Budaya hasil pendidikan dan

87 EUANGELION 173

Page 88: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

pe latihan, sudah banyak yang purna tu gas. Sementara proses regenerasi be lum berjalan secara maksimal. Kondisi ini tentu akan menyulitkan upa ya bangsa Indonesia dalam men -jaga dan melestarikan Cagar Bu-daya, yang merupakan aset na-sio nal tak ternilai harganya. Cagar Bu daya tersebut akan terancam ke rusakan, akibat adanya konflik ke pentingan. Misalnya adanya te-kan an pembangunan, perluasan la han, pemanfaatan lahan untuk per-mukiman dan lain-lain.

Pembagian Kategori dalam Cagar Budaya Menurut Undang-Undang Re-publik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010, Cagar Budaya adalah warisan bu daya bersifat kebendaan berupa Ben da Cagar Budaya, Bangunan Ca gar Budaya, Struktur Cagar Bu-daya, Situs Cagar Budaya, dan Ka-was an Cagar Budaya di darat dan/atau di air, yang perlu dilestarikan ke beradaannya karena memiliki ni lai penting bagi sejarah, ilmu pe-ngetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses pe-ne tapan.

1. Benda Cagar Budaya dengan kategori Ben da adalah benda alam dan/atau benda buatan manusia, baik ber gerak maupun tidak bergerak, be rupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa-si-sanya yang memiliki hubungan erat de ngan kebudayaan dan sejarah per kem ba ng an manusia. Contoh Ca gar Budaya kategori Ben da di

In donesia adalah: Arca Bhai rawa ko-leksi museum Nasional DKI Jakarta, Ar ca Prajnyaparamita di DKI Jakarta, Ben dera Pusaka Sang Sa ka Merah Pu tih milik Sekretariat Re publik In donesia, Prasasti Pasir Awi di Bo-gor, Jawa Barat, Naskah Proklamasi Ke merdekaan Bangsa Indonesia Tu-lis an Tangan Soekarno, Bokor Emas be relief cerita Ramayana koleksi Mu seum Nasional Direktorat Jenderal Ke budayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Mahkota Sultan Siak Sri Indrapura yang dibuat dari emas bertahtakan berlian dan rubi di DKI Jakarta, dan Biola Wage Rudolf Soe pratman sebagai hadiah dari Wil-lem van Eldik dan masih banyak lagi.

2. Struktur Cagar Budaya dengan kategori Struk tur, yaitu susunan binaan yang terbuat dari benda alam dan/atau benda buatan manusia untuk me-menuhi kebutuhan ruang kegiatan yang menyatu dengan alam, sarana, dan prasarana untuk menampung ke-butuhan manusia. Contoh Cagar Bu-daya kategori Struktur: Jembatan Ko-ta Intan di DKI Jakarta, Makam Sultan Adam Al Wasiq Billah di Kabupaten Ban jar, Kalimantan Selatan, dan Tugu Pah lawan di Surabaya, Jawa Timur.

3. Bangunan Cagar Budaya dengan kategori Ba-ngunan adalah susunan binaan yang ter buat dari benda alam atau benda buat an manusia untuk memenuhi ke butuhan ruang berdinding dan/atau ti dak berdinding, dan beratap. Contoh Ca gar Budaya dengan kategori Ba ngunan adalah: Rumah

88 EUANGELION 173

Page 89: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

Adat Tiang Pan jang di Sumatera Se latan, Ben teng Marlborough di Beng kulu, Ge dung Museum Sumpah Pe muda di Jakarta, Hotel Majapahit di Surabaya, Jawa Timur, Hotel Toe-goe di Yogyakarta, Lawang Se wu di Semarang, Ge dung Kebangkitan Na sional di DKI Ja karta, Museum Geo logi, Hotel Savoy Homann dan Ge dung Sate di Ban dung, Jawa Barat.

4. Situs Cagar Budaya dengan kategori Si-tus adalah lokasi yang berada di darat dan/atau di air yang mengandung Ben da Cagar Budaya. Contoh Cagar Bu daya dengan kategori situs adalah: Ta man Kepurbakalaan Sunyaragi di ko ta Cirebon, Jawa Barat, Gunung Pa dang di Cianjur, Jawa Barat, Ben-teng Vastenburg di Surakarta, Jawa Te ngah, Benteng Rotterdam di Ma-kassar, Sulawesi Selatan, Masjid Is-tiqlal dan gereja Katedral di Ja karta.

5. Kawasan Cagar Budaya dengan kategori Ka wasan adalah Kawasan satuan ruang geografis yang memiliki dua Situs Cagar Budaya atau lebih yang letaknya berdekatan dan/atau mem-perlihatkan ciri tata ruang yang khas. Contoh Cagar Budaya dengan ka-te gori Kawasan adalah: Trowulan di Mo jokerto, Jawa Timur, Kota Lama Tam bang Batubara Sawahlunto di Sumatera Barat, Prambanan di Kla-ten, Jawa Tengah, Muarajambi di Mua ro Jambi, Jambi, Borobudur di Ka bupaten Magelang Jawa Tengah, Sa ngiran di Sragen Jawa Tengah, dan Mo numen Nasional di DKI Jakarta. Di kota Bandung sendiri, Bangunan

Ca gar Budaya yang paling terkenal ada lah Hotel Savoy Homann dan Ge-dung Sate.

Hotel Savoy Homann 1939 (Sumber Kemendikbud)

Pemilik penginapan ini awalnya ada lah Mr. A. Homann, seorang war-ga negara Jerman yang pindah ke Bandung pada tahun 1870. Pada ta-hun 1880 hotel ini bernama Hotel Post Road dengan gaya arsitektur Baroq. Ke mudian, tahun 1883 berubah men-ja di Gothic Revial. Pada tahun 1910 di bangunlah gedung baru sebagai tam bahan. Tahun 1938, gedung la ma yang bergaya Gothic dibongkar dan diganti dengan bangunan ba ru ber-gaya International Style. Se lanjutnya ge dung ini di gunakan se bagai Wisma PMI (1941-1945), Wisma Je pang (1945-1948), ke mu dian tahun 1949 ber fungsi sebagai pe nginapan yang per nah diinapi Ir. Soe karno, Chuo En Lai, Jawaharlal Neh ru dan lain nya.

Gedung Sate Bandung 1920 (Sumber Cagar Budaya Kemendikbud)

89 EUANGELION 173

Page 90: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

Gedung Sate dibangun ta hun 1920 dengan menghabiskan bia ya enam juta Gulden. Peletakan ba tu pertama dilakukan oleh Nona Jo-hanna Catherina Coops (puteri su lung B. Coops, Walikota Bandung) dan Nona Petronella Roelofsen yang me-wakili Gubernur Jendral Batavia pada ma sa Pemerintah Kolonial Hindia Be landa. Pada tanggal 3 Desember 1945, tujuh orang pemuda pejuang mem pertahankan bangunan ini dan gu gur me lawan pasukan Ghurka. Kini, mo numen peringatan tersebut berdiri di depan gedung sate. Awalnya, ge dung ini berfungsi sebagai ge-dung Departemen Perhubungan dan Pengairan. Kini, Gedung Sate di pergunakan sebagai Kantor Pusat Pe merintahan Jawa Barat.

Bagi umat Kristiani, kita juga me-miliki banyak tempat-tempat yang ter catat di dalam Alkitab dan masih ek sis pada masa kini, seperti kota suci

Ye rusalem. Ini membuktikan bahwa Al kitab itu bukan buku dongeng. Apa yang tertulis di dalamnya adalah be-nar dan nyata. Adalah kerinduan dari banyak umat Kris tiani untuk melakukan perjalanan zia rah ke Yerusalem dan tempat-tem pat yang ada hubungannya de-ngan kehidupan Yesus Kristus, bu kan hanya untuk melihat seperti apa tempat-tempat itu, tetapi juga un-tuk merasakan apa yang Tuhan ja lani saat Ia merendahkan Diri-Nya men-jadi manusia sama seperti kita. Dan umumnya perjalanan ziarah ini sung-guh memberikan pengaruh besar pa da pertumbuhan iman mereka. Apa yang tertulis dalam Alkitab adalah nya ta, karena kita bisa melihat dan me rasakannya sendiri meskipun su dah berumur ribuan tahun. Kasih Tu han pada kita juga nyata. Kita bisa me rasakan dan membuktikan sendiri mu jizat dan penyertaan-Nya dalam hi dup kita dari hari ke hari.

Shirley Du

Yerusalem, kota Daud

90 EUANGELION 173

Page 91: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

Budaya Hidup Sehat dan Bersih

Budaya Hidup Sehat dan Bersih Saya menjumpai tulisan yang berisi ku tukan jenis baru yang ditempel pada sa tu perumahan, bunyinya demikian: Yang buang sampah sembarangan, se moga jadi gila. Saya tidak yakin ku tukan itu efektif menciutkan nyali orang yang membuang sampah sem ba-rangan, karena doa memohon Tu-han mencabut nyawa orang yang mem buang sampah sembarangan sa ja tidak berpengaruh apa-apa. Jauh sebelum ada doa-doa kutukan, sa ya membaca banner atau spanduk yang isinya bernada positif, seperti: Ke-bersihan adalah sebagian dari iman. Tidak efektif. Persoalannya ada pa da mental masyarakat yang tidak meng-anggap hidup sehat dan bersih itu pen ting. Atau mereka berpikir, sejauh sam pah itu di luar rumah saya, maka sa ya tetap sehat dan bersih, seolah ko tornya lingkungan tidak akan ber-pe ngaruh terhadap kesehatannya. Con toh lain yang menjijikkan adalah ke biasaan membuang bangkai tikus di tengah jalan. Saya tidak mengerti, da rimana dan sejak kapan budaya itu mun cul. Mengapa nasib tikus begitu ma lang. Sudah dibunuh, masih pula ha rus menerima lindasan ban motor/mo bil. Padahal bangkai itu bisa me-nye barkan penyakit. Bagaimana perspektif iman Kris-ten terhadap kebersihan dan ke se-hatan? Kitab yang membahas ten-

tang gaya hidup sehat (dikaitkan de-ngan aspek agama) adalah Imamat, khu susnya pasal 11-15. Saya beri sa tu contoh saja: “Inilah yang haram ba gimu di antara segala binatang yang merayap dan berkeriapan di atas bumi: tikus buta, tikus, dan ka tak menurut jenisnya dan landak, bia wak, dan bengkarung, siput dan bung lon. Itulah semuanya yang haram ba gimu di antara segala binatang yang me-ngeriap. Setiap orang yang kena ke-pada binatang-binatang itu sesudah bi natang-binatang itu mati, menjadi na jis sampai matahari terbenam. Dan segala sesuatu menjadi najis, ka lau seekor yang mati dari binatang-bi na-tang itu jatuh ke atasnya: perkakas k a yu apa saja atau pakaian atau ku lit atau karung, setiap barang yang di-pergunakan untuk sesuatu apapun, ha ruslah dimasukkan ke dalam air dan menjadi najis sampai matahari ter benam, kemudian menjadi tahir pu la. Kalau seekor dari binatang-bi-na tang itu jatuh ke dalam sesuatu be langa tanah, maka segala yang ada di dalamnya menjadi najis dan belanga itu harus kamu pecahkan.” (Im 11:29-33). Binatang-binatang yang di se but-kan adalah binatang kotor dan pem-ba wa penyakit. Oleh sebab itu, orang atau benda yang kontak dengan bi natang-binatang itu menjadi na-jis dan kotor. Seseorang menjadi na jis sampai matahari terbenam

OBROLANRINGAN

91 EUANGELION 173

Page 92: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

mak sudnya adalah orang itu di-iso lasi/karantina untuk mencegah ke mungkinan penularan penyakit. De mikian pula, dipecahkannya be la-nga (alat makan) adalah cara un tuk meng hindari penyebaran pe nyakit. Se dangkan dimasukkannya “per ka-kas kayu apa saja atau pakaian atau ku lit atau karung” ke dalam air ber-tu juan membersihkan alat-alat itu. Alkitab bukan buku tentang ga-ya hidup sehat dan bersih, tetapi di da lamnya ada pedoman dan prin-sip tentang hidup bersih dan se hat. Da lam Alkitab, tidak ada ayat yang eks plisit menyatakan bahwa ke se-hat an itu bagian dari iman, tetapi Al kitab ti dak menafikan pentingnya ke se hat an dalam hidup seseorang. Saya mau angkat contoh lain yang ter kenal da ri Perjanjian Baru, yaitu 1 Korintus 3:19-20 (bdk.1 Kor 3:16). “Atau tidak tahukah kamu, bahwa tu buhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang ka mu peroleh dari Allah, -- dan bahwa ka mu bukan milik kamu sendiri? Sebab ka mu telah dibeli dan harganya telah lu nas dibayar: Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!” Ayat ini sering dijadikan dasar un tuk menjawab orang-orang yang ber tanya apakah boleh merokok atau ti dak. Salah satu isu menonjol dalam 1 Korintus adalah kekudusan hidup. Je maat Korintus ditegur Rasul Paulus ka rena gaya hidup mereka yang ma-sih duniawi. Mereka menganggap tu buh fisik itu tidak akan masuk surga, ha nya jiwa yang masuk surga. Jadi, apa pun boleh diperbuat tubuh. Enjoy

aja! Gak ada pengaruh. Rasul Paulus mem bantah hal itu. Tubuhmu bukan mi likmu sendiri, tetapi milik Allah. Mu liakan Allah dengan tubuhmu, bu kan hanya dengan hatimu, apalagi mu lutmu. Bagaimana kita mengaitkan ayat itu dengan kesehatan? Sederhana sa ja. Jika Anda mengganggap Roh ku dus tinggal dalam diri Anda (yang men cakup fisik Anda pula), jika Anda meng anggap tubuh Anda adalah mi lik Allah, maka Anda tidak akan sem barangan memperlakukannya. An da tidak akan menjadikan tu buh Anda seperti tong sampah yang menampung segala macam ‘ma-kan an’ yang tidak sehat. Anda tidak akan mager (malas gerak) karena itu me rusak kesehatan. Anda tidak akan ke canduan minuman keras, rokok atau zat adiktif berbahaya lain. Saya gregetan ketika diprotes ka rena membuang minyak jelantah yang masih bening tetapi sudah lebih da ri lima hari. Saya dicap boros. Yang pro tes mengatakan bahwa sejak ke cil ia memakai minyak goreng ber-ulang-ulang sampai seumur lansia ma sih baik-baik saja. Malah dia ba-lik mengatakan bahwa saya yang sa ngat apik menjaga kesehatan, ter nyata terkena kanker juga. Saya ha nya menghela napas panjang. Sa ya tidak mau berdebat kusir. Prin-sip saya adalah membangun ga ya hidup sehat karena itu bentuk per-tanggungjawaban saya kepada Tu-han yang memberi saya kehidupan. Sa ya tidak akan melakukan sesuatu yang saya tahu merusak kesehatan.

92 EUANGELION 173

Page 93: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

Iman kepada Tuhan tidak hanya di-wu judkan dengan baca firman, doa, pua sa dan sebagainya. Iman juga di nyatakan dengan sikap hidup yang meng hargai hidup (termasuk tubuh fi sik) yang sudah ditebus Tuhan Ye-sus Kristus. Penghargaan itu saya nya takan dengan menjaga kesehatan tu buh dan lingkungan saya. Soal saya ma sih terkena penyakit meskipun su dah bergaya hidup sehat, itu soal lain. Jawabannya sama dengan per-ta nyaan, mengapa ada orang yang su dah hati-hati menyetir, masih juga me ngalami kecelakaan di jalan. Kembali ke soal sampah. An da mengerti ‘kan keterkaitan mem-buang sampah sembarangan de-

ngan iman? Jika lingkungan sehat, tu buh Anda juga akan sehat. Ngo-mong-ngomong, Anda juga perlu mem bangun keprihatinan soal ber-jibunnya sampah plastik yang me ru-sak kesehatan dan lingkungan. Sa ya sudah sejak beberapa waktu mem-ba wa kantong belanja sendiri kalau ber belanja di supermarket. Saya tidak mau lagi memakai sedotan plastik ka-lau membeli minuman. Hal-hal kecil, te tapi bukankah kebiasaan baik itu di mulai dari hal-hal kecil?

Pdt. Bong San Bun

P E N G U M U M A N•BuletinEUANGELIONedisi174,Oktober-November2019,akanterbitpadatanggal6Oktober2019dengantemautama“InterGenerasi”.Yangberminatmengisi,harapmemasukkanartikelnyaselambat-lambatnyatanggal10September2019.

•Buletin EUANGELION edisi 175, Desember2019-Januari2020,akanterbitpadatanggal1Desem-ber2019dengantemautama“BacktoBasic”.Yangberminatmengisi, harapmemasukkanartikelnyaselambat-lambatnyatanggal10November2019.

•BuletinEUANGELIONkinidapatdiunggahpadaweb-siteGIIHokImTong:www.hokimtong.org

93 EUANGELION 173

Page 94: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

Bulan September ini si kecil Leon akan mulai masuk sekolah. Ya, astaga, wak tu berlalu cepat sekali. Saya ingat ketika umurnya baru sekitar dua bulan, kami membawa Leon ke toko buku untuk pertama kali. Di lift stasiun kereta bawah tanah, se orang opa menyapa saya, “Umur be rapa bulan bayimu?” “Dua bulan,” ka ta saya. Leon masih saya bawa-ba wa dalam gendongan waktu itu, ma sih kecil sekali. “Wah, manisnya,” ka-ta opa, “Anak-anak tumbuh besar ce pat sekali. Nanti tiba-tiba saja su dah waktunya mereka sekolah dan kita akan menangis sendiri di ru mah.” Rasanya baru kemarin kami ber papasan dengan si opa di lift. Se-perti ada yang menekan tombol fast for ward, tiba-tiba sekarang Leon su dah siap-siap mau sekolah. Anak ke sayangan kami sudah bukan lagi ba yi kecil dalam gendongan. Ia sudah pin tar berjalan dan berlari, sudah bisa be lajar main scooter, sudah pintar bi-ca ra dan menyanyi. Setiap hari kosa ka tanya bertambah. Ia hafal isi buku ce rita yang sering kami bacakan dan bisa ikut menyanyi, termasuk lagu pem bukaan sekolah Minggu GII HIT, “Se lamat pagi Tuhan, tak lupa terima ka sih.” Ia juga semakin jahil dan lu cu. Kadang-kadang ia meniru saya atau ayahnya, Adam kalau sedang meng-omel lalu ia tertawa-tawa sendiri ka-re na merasa lucu.

Umurnya memang baru akan ge-nap dua tahun pada akhir bulan Agu-stus, tapi di sini pre-school menerima mu rid mulai dari usia 2 tahun ke atas. Ta dinya saya tidak mau Leon sekolah se cepat itu. Rasanya ia masih kecil se-kali meskipun badannya tinggi besar dan ia sering dikira sudah berumur 3 ta hun atau malah 4 tahun. Tadinya sa ya berpikir nanti saja ia mulai se-kolah kalau sudah berumur 3 tahun. Wak tu kecil, saya pertama masuk TK juga pada usia 3 tahun. Rupanya sa ya semangat sekali ingin sekolah wak tu kecil, konon katanya saya me minta-minta kepada orang tua sa ya untuk ikut sekolah. Jadilah saya bo leh masuk TK meskipun anak-anak lain umumnya baru mulai pada usia 4 tahun. Tapi ini si kecil Leon bahkan akan mulai lebih dini lagi. Tadinya saya ragu. Rasanya berat un tuk melepas si kecil ke sekolah. Ka rena saya bekerja dari rumah, saya te lah menjaga dan mengurus Leon ham pir setiap hari sejak ia lahir. Saya ta hu hampir segala sesuatu yang ia la kukan, ia katakan, ia makan, ia baca, ia tonton. Tiba-tiba ia akan diasuh oleh orang lain selama di sekolah. Se kolah mana yang harus saya pilih? Sia pa gurunya nanti? Seperti apa dia? Apa kah saya bisa mempercayainya? Ba gaimana ia akan mengasuh dan men didik Leon? Dulu saya bekerja se-ba gai asisten guru TK dan guru bahasa

Sekolah Kecil di Belakang Gereja

SUDUTREFLEKSI

94 EUANGELION 173

Page 95: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

Ing gris SD, rasanya biasa-biasa saja. Se karang saya baru sadar menjadi gu ru itu adalah tanggung jawab yang sa ngat besar. Leon adalah jantung ha ti kesayangan saya dan saya akan mem percayakan anak yang sangat ber harga ini kepada orang asing yang akan ia panggil guru. Bagaimana saya ti dak kuatir? Saya mengobrol dengan beberapa orang yang berlatar belakang pen-didikan anak usia dini, termasuk pen deta di gereja baru kami. Mereka se mua satu suara bahwa keputusan un tuk menyekolahkan Leon adalah ke putusan yang baik. Anak yang per gi sekolah pada usia dini terbukti me miliki kecakapan sosial lebih baik dibandingkan anak-anak yang per-gi sekolah belakangan. “Saya bi sa merekomendasikan beberapa se-kolah yang bagus untuk Leon,” kata Ibu pendeta. Sejak pindah rumah, ka mi berjemaat di gereja lokal yang de kat dengan rumah baru kami. Gem-balanya bernama Ibu pendeta Julia. Ke betulan di belakang gereja ini ada se kolah West Hendon Pre School, se-kolah kecil khusus untuk anak-anak TK. Ini salah satu sekolah yang di-rekomendasikan Ibu pendeta. Jadi, sa-ya menelepon kepala sekolahnya, Ibu Mi riam, untuk melakukan kunjungan. Ka mi dipersilakan datang pada jam se kolah untuk melihat kegiatan yang se dang berlangsung dan bertemu de ngan guru-gurunya. Leon senang sekali ketika kami ber kunjung ke sekolah. Ia menyangka sa ya akan membawanya ke gereja ka rena gerbang masuk sekolah sama de ngan gerbang masuk gereja. Tidak

ada kelas-kelas terpisah di sana, kami ma suk ke satu ruang besar yang di-bagi menjadi beberapa area. Ada area bermain dengan rak-rak dan ke ranjang penuh mainan, ada area per pustakaan kecil untuk membaca, ada area permainan dapur-dapuran de ngan oven, kompor dan lemari mi ni, ada meja prakarya, ada sudut is tirahat untuk anak yang perlu waktu te nang dan di ujung ruangan ada area ma kan dan dapur untuk anak-anak ma kan siang bersama. Mata Leon lang sung berbinar melihat semua main an di sana. Tapi ruang besar itu ko song karena semua anak sedang ber main di luar. “Ayo, kita keluar melihat teman-te man yang lain sedang apa,” ajak Ibu Miriam. Di halaman sekolah ada jem batan kayu untuk dipanjat, ada pon dok-pondok kecil berisi macam-ma cam mainan, ada dapur-dapuran un tuk membuat kue lumpur, bak pasir dan anak-anak yang berlarian kian ke mari. Kalau hari cerah dan hangat, anak-anak bebas bermain di luar. Nan ti mereka masuk ke dalam untuk aca ra menyanyi atau mendengarkan ce rita atau makan siang. Jadi, mes ki-pun namanya sekolah, tidak ada ku-rikulum atau pelajaran seperti mem-baca dan menulis. Anak-anak ha nya bermain-main saja seharian. “Me tode kami adalah belajar lewat ber main,” kata Ibu Miriam. Di Inggris, se kolah wajib dimulai pada usia 5 ta hun ketika anak-anak masuk kelas per tama di SD yang disebut kelas “Re ception”. Di sana barulah mereka mu lai resmi mendapat pelajaran seperti mem ba-ca, menulis dan berhitung.

95 EUANGELION 173

Page 96: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

Kunjungan pertama kami ber ke-san positif. Anak-anak di sekolah itu ke lihatan bahagia, rasio guru dan mu-rid juga baik, satu guru menjadi key worker (guru wali) sekitar 6 anak dan gu ru tersebut nanti akan memberikan la poran rutin perkembangan anak ke pada orang tua. Setiap minggu ada kelas khusus drama. Sepanjang ha ri anak-anak bebas mengambil buah-buahan dan susu untuk snack ji ka mereka lapar. Dan ada banyak se kali mainan di sana. Waktu kami se lesai melakukan kunjungan, Leon ti dak mau pulang karena masih asyik me lihat-lihat mainan di sekolah. “Ini per tanda bagus,” kata Ibu Miriam, “Ia lang sung betah di sini.”

Saya membawa Leon me ngun-ju ngi beberapa sekolah lain untuk per bandingan. Semua kelihatan baik. Sekolah mana yang harus kami pi lih? “Bagaimana kalau kita memilih se-kolah yang salah?” kata saya kepada Adam. “Tidak ada sekolah yang sa-lah,” kata Adam, “Leon hanya akan men dapat pengalaman yang berbeda di sekolah yang berbeda.” Kami me ng unggah laporan Departmen Pen didikan untuk membaca apa sa ja kelebihan dan kekurangan tiap sekolah. Kami mengobrol de-ngan orang tua lain yang sudah ber pengalaman menyekolahkan anak, dan kami merenung sambil ber doa. Akhirnya saya dan Adam me-

96 EUANGELION 173

Page 97: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

mutuskan untuk mendaftarkan Leon ke sekolah kecil di belakang gereja ka rena kami sudah biasa pergi ke sana se tiap Minggu, jadi bukan lokasi baru yang asing untuk Leon. Kami suka sua sana kekeluargaan di sekolah kecil itu dan lokasi sekolahnya hanya lima me nit berjalan kaki dari rumah kami, ja di mengurangi resiko terlambat. Ibu Miriam senang sekali waktu sa ya meneleponnya dan berkata ka mi akan mampir untuk mengambil for-mu lir pendaftaran. “Bagaimana kalau Leon mulai rutin datang ke sekolah se minggu sekali mulai sekarang?” ka ta Ibu Miriam, “Supaya nanti kalau ia mulai sekolah, ia sudah terbiasa de-ngan lingkungan sekolah, guru-guru dan teman-temannya.” Jadi, sudah dua bulan ini saya dan Leon datang ke sekolah setiap hari Selasa saat ada guru khusus datang mengajar ke las drama. Leon ikut belajar gerak dan lagu, mendengarkan cerita lalu mem peragakan cerita yang baru di dengarnya bersama anak-anak lain. Ia masih sedikit malu-malu di se kolah, tapi saat pulang ke rumah, ia bisa ikut menyanyikan lagu-lagu di kelas drama dengan lancar. Minggu la lu saya juga sudah membelikan se ragam sekolah untuk dipakainya nan ti. Sungguh tak percaya, bayi kecil sa ya siap pergi sekolah!! Karena Leon lahir di akhir bulan Agus tus dan semester awal sekolah di mulai bulan September, ia akan men jadi salah satu murid paling kecil di kelas. Saat hamil, kami sempat ber harap bisa menunda kelahirannya sam pai awal September supaya ia bi sa masuk sekolah di gelombang

ta hun berikutnya dan menjadi salah sa tu anak paling tua di kelas dengan asumsi ia akan lebih siap. Tapi puji Tu han, kelihatannya kami tidak per lu kuatir soal kesiapan Leon. Ia anak yang pintar, antusias dan riang gembira. “Apa yang kamu la ku-kan nanti kalau ia sekolah?” tanya orang-orang kepada saya, “Kamu jadi be bas jalan-jalan dan pesta-pesta, ya.” Haha, mereka pikir Leon akan se kolah seharian. Ia hanya sekolah ti ga hari seminggu dari jam 9.30 pa-gi sampai jam 12.00 lalu saya akan men jemputnya pulang untuk makan siang. Apa yang akan saya kerjakan se lama dua setengah jam waktu be bas saya? Mungkin awalnya saya akan menangis sendirian di rumah, se perti kata sang opa dulu, kangen Leon yang selama ini selalu ada di si si saya, kangen celotehannya yang ta k berhenti-berhenti, kangen suara ter tawanya dan kangen jahilnya. Leon sayang, ini doa Mama untuk ha ri pertama sekolahmu: “Tuhan Ye-sus, kiranya Engkau memberi Leon da mai sejahtera dan membuatnya me rasa aman dan dikasihi. Kiranya Eng kau menyertai dia saat bermain dan belajar dan memberinya hikmat. Ki ranya Leon bisa tersenyum dan men dapat teman-teman baru yang se hati. Berkati guru-guru yang akan me ngajarnya pada hari ini. Ajar saya un tuk percaya mereka semua ada di ba wah tuntunan-Mu. Kiranya Engkau me magari kami semua dengan anu-gerah-Mu pada hari pertama sekolah ini. Dalam nama Tuhan Yesus, Amin.”

Sandra Lilyana

97 EUANGELION 173

Page 98: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

Alkitab ditulis dengan bahasa ma-nusia (Ibrani, Aram dan Yunani) dan dalam situasi sosial budaya se tem pat (Mesir, padang gurun, Israel, Ero pa

dan sebagainya). Karena itu cu kup banyak bagian-bagian Alkitab yang bagi pembaca modern zaman se-karang sulit untuk dimengerti ka rena

KEDATANGAN KRISTUS YANG KEDUA KALI• Matius 24:29-51; 25:1-13; Yohanes 14:1-3 •

TOKOH ALKITAB

churchofjesuschrist.org

98 EUANGELION 173

Page 99: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

pembaca modern tidak lagi hi dup dalam konteks/situasi situasi so sial dan budaya pada zaman itu. De ngan demikian, teks Alkitab bisa di salah me ngerti oleh pembaca modern k e-tika mereka menafsirnya sesuai de-ngan konteksnya sendiri. Untuk dapat me ngerti dengan baik, salah satu hal yang harus dilakukan oleh pembaca Al kitab adalah mencoba memahami si tuasi sosial budaya pada saat tulisan itu dibuat. Tentu saja ada juga hal lain yang harus dipelajari, seperti bahasa as li Alkitab, konteks pembicaraan/ce rita, arti kata dan perkembangan is tilah, dan banyak hal lainnya. Tetapi si tuasi sosial dan budaya merupakan hal yang penting untuk dapat me ma-ha mi arti teks dengan benar. Kalau ti dak, akan muncul penafsiran yang ke mungkinan besar salah. Tokoh kita kali ini adalah Tuhan Ye sus yang dikatakan dalam Alkitab akan datang kembali menjemput je maat-Nya untuk masuk ke dalam Ke rajaan Sorga. Kedatangan Kristus yang kedua kali ini merupakan suatu mis teri. Alkitab mengatakan bahwa wak tu kedatangan-Nya seperti pen-cu ri pada malam hari, berarti tidak di ketahui kapan. Yang menarik adalah Tu han Yesus sendiri mengatakan bah-wa tidak ada seorangpun yang tahu. Ma laikat tidak tahu, Anak pun tidak ta hu. Hanya Bapa yang tahu (Mat 24:36). Perkataan ini sering dikutip oleh para bidat dan melahirkan dua pemahaman yang berbahaya. Per-ta ma, ini bukti bahwa Tuhan Yesus ti dak mahatahu, berarti Tuhan Yesus itu bukan Allah. Kalau Dia Allah, se-ha rusnya Dia tahu segala sesuatu,

ter masuk kedatangan-Nya yang ke dua kali. Kedua, pernyataan ini me rupakan bukti bahwa dalam Allah Tri tunggal ada hirarki. Yang paling ting gi Bapa, ranking kedua Anak, dan ran king ketiga Roh Kudus. Adanya hi-rarki itulah yang membuat Tuhan Ye-sus tidak tahu kapan Dia akan datang kem bali. Apakah memang Tuhan Yesus bu kan Allah atau kalaupun Dia Allah, Dia Allah ranking kedua? Untuk me-mahami perkataan Tuhan Yesus di atas dengan benar, maka paling se-di kit kita harus mengerti dua hal: 1. Perkataan-perkataan atau per-buat an-perbuatan yang dilakukan Tu-han Yesus dalam Alkitab, khususnya da lam kitab Injil, harus dimengerti se-bagai perkataan atau perbuatan yang di lakukan-Nya ketika Dia berinkarnasi se bagai Anak Manusia. Di luar kitab In jil, perkataan atau perbuatan Tuhan Ye sus baru dapat dimengerti sebagai per kataan dan perbuatan Allah Anak. Me ngapa? Karena ketika berinkarnasi men jadi manusia, Tuhan Yesus telah me ngosongkan diri sedemikian rupa se hingga tidak mempertahankan ke-ila hian-Nya, tetapi mengambil rupa se orang hamba dan menjadi manusia (Flp 2:5-11). Istilah “mengosongkan di ri” artinya meletakkan sifat-sifat ke-ila hian-Nya dan tidak memakai sifat-si fat ilahi itu dalam semua perbuatan-Nya. Kalau Dia membuat mujizat, itu bukan dari kuasa-Nya pribadi, te tapi diberikan oleh Bapa di sorga, atau Bapa mengijinkan Dia untuk me makai kuasa pribadi-Nya sebagai Al lah Anak. Dengan kata lain, ketika in kar-na si, Allah Anak bergantung penuh

99 EUANGELION 173

Page 100: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

ke pada Allah Bapa dalam segala hal. Da lam keadaan inilah dikatakan bah-wa “Bapa lebih besar daripadaKu” (Yoh 14:28). Maksud dari peristiwa ini adalah untuk memberi teladan ke pada jemaat bagaimana jemaat ha rus taat secara mutlak kepada Al-lah, sama seperti seorang anak taat ke pada bapanya. Sebab itulah istilah Anak dan Bapa dipakai dalam Alkitab. Is tilah ini bukan untuk menunjukkan bah wa Bapa lebih tinggi derajatnya da ri Anak, tetapi untuk memberikan ilus trasi keteladanan. 2. kita harus memahami dalam kon teks apa Tuhan Yesus mengatakan per kataan-perkataan itu. Sangat me-na rik bahwa perkataan itu dikatakan da lam konteks kedatangan-Nya yang ke dua kali. Dan kedatangan-Nya yang kedua kali sering digambarkan se bagai pengantin pria yang men-jemput pengantin wanita (Why 19, 21). Perjanjian Lama seringkali meng-gam barkan umat Israel sebagai pe-ngantin wanita dan Allah sebagai pe-ngantin pria (Yes 62:5; Yer 2:2, 32). Ki-ta harus memahami situasi sosial dan budaya pada zaman itu tentang apa yang disebut dengan perjamuan ka-win atau perkawinan dalam konteks so sial dan budaya orang Yahudi, ka-re na pernikahan menggambarkan hu bungan antara Kristus dengan je maat-Nya (Ef 5:32) dan konteks per kataan dalam Matius 24:36 adalah ten tang kedatangan-Nya yang kedua ka li. Dengan memahami konteks bu daya pada zaman itu, kita dapat me ngerti apa yang dimaksud Tuhan Ye sus.

Alkitab menggambarkan ke da-tangan Kristus yang kedua kali se-bagai perjamuan kawin dengan Kris-tus sebagai pengantin pria dan jemaat se bagai pengantin wanita. Di dalam pe ngertian inilah kita baru dapat me mahami perkataan Tuhan Yesus da lam Matius 24:36 dan Yohanes 14:1-3 dengan tepat. Untuk itu kita harus me mahami tata cara pernikahan orang Yahudi. Dalam budaya Yahudi per nikahan diatur dalam beberapa ta hap sebagai berikut: Pertama, ayah pengantin pria be r sama pengantin pria melamar pe-ngantin wanita dan membayar uang ma har. Biasanya dilakukan setahun se belum pernikahan dirayakan. De-ngan langkah ini, perjanjian telah di-adakan dan kedua belah pihak harus se tia dalam perjanjian ini. Perjanjian ini mengikat kedua belah pihak. Ini-lah yang terjadi dalam peristiwa Yu-suf dan Maria. Alkitab mengatakan bah wa mereka bertunangan tetapi be lum hidup sebagai suami istri (Mat 1:18). Dikatakan bahwa Yusuf ingin menceraikan Maria (Mat 1:19). Ber-ar ti pernikahan sudah merupakan ke pastian dan mereka sudah pasti men jadi suami-istri, tetapi belum di-tentukan hari pernikahannya. Setelah per janjian dibuat, pengantin pria pu-lang kembali ke rumahnya sendiri dan nanti pada saatnya akan datang kem-ba li menjemput pengantin wanita. Kedua, pengantin pria akan datang ke tempat pengantin wanita untuk men jemput pengantin wanita dan mem bawanya ke rumahnya. Langkah ke dua ini dilakukan sebagai berikut:

100 EUANGELION 173

Page 101: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

1. Sebelum menjemput pengantin wa nita, pengantin pria harus mem persiapkan tempat tinggal atau rumah untuk pengantin wa-nita. Rumah itu biasanya adalah tem pat atau kompleks di mana ayah nya tinggal. Tuhan Yesus me ngatakan bahwa di rumah Ba pa-Nya banyak tempat tinggal dan Dia pergi ke sana untuk me-nyediakan tempat bagi orang per caya (Yoh 14:1-3). Perkataan ini ha nya dapat dimengerti dengan te pat ketika kita memahami bah-wa bagi Tuhan Yesus Dialah pe-ngantin pria itu dan jemaat ada lah pe ngantin wanitanya.

2. Setelah rumah itu selesai, ayah pengantin pria akan menentukan ha ri pernikahannya dan waktu pen jemputan. Ayah pengantin pria yang mempunyai hak ini, bu kan pengantin prianya. Inilah bu daya Yahudi waktu itu. Karena itu, walaupun pengantin wanita ta hu bahwa dia akan dijemput, dia tidak tahu kapan persisnya dia akan dijemput. Dia hanya di-be ritahu bahwa pengantin pria se dang dalam perjalanan untuk men jemput dia. Dan karena jarak yang harus ditempuh, perjalanan mung kin bisa beberapa jam atau be berapa hari.

3. Dalam perjalanan ke rumah pe-ngantin wanita, pengantin pria diiringi para pengiring dan se-panjang jalan mereka menyanyi dan menari sambil meniup sang-kakala/terompet sebagai tan-da bahwa pengantin pria se-dang menjemput pengantin

wa nita. Setelah mendengar tan da-tanda itu, pengantin wa-nita mempersiapkan diri un tuk di jemput pengantin pria. Dia ha rus berhias diri dan men dan-da ni dirinya sebagaimana se-ha rusnya seorang pengantin wa nita (Ef 5:25-27; Why 19:7; 21:1-2). Karena itu, pengantin wa nita harus senantiasa siap ka panpun penganti pria datang men jemputnya.

4. Upacara pernikahan dilakukan de-ngan mengundang beberapa tamu un dangan khusus, dilanjutkan de-ngan pesta pernikahan yang bisa ber langsung selama 1 minggu dan di hadiri oleh banyak orang yang di undang.

Dengan memahami kedua hal di atas, kita dapat mengerti per-kataan Tuhan Yesus dengan tepat. Ke tika inkarnasi, Tuhan Yesus se lalu menempatkan diri dalam kon teks sosial dan budaya zaman itu se-hingga semua perkataan-Nya da pat dimengerti oleh orang-orang pa-da zaman itu dengan baik. Dalam Ma tius 24:36, perkataan Tuhan Ye-sus memberi kesan bahwa Tuhan Ye sus tidak tahu kapan Dia akan da tang kembali, seakan-akan Dia bu kan Allah, atau kalaupun Allah, Dia adalah Allah ‘kelas dua’. Bapa ada lah Allah kelas satu. Tetapi kalau ki ta memahami bahwa Tuhan Yesus wak tu itu sedang membicarakan ten tang kedatangan-Nya kembali se perti seorang pengantin pria yang sudah dijadwal oleh sang ayah un-tuk menjemput pengantin wanita,

101 EUANGELION 173

Page 102: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

ma ka kita dapat mengerti bahwa per kataan ini bukan bermaksud un-tuk mengajarkan bahwa Allah Anak ka lah kuasa dengan Allah Bapa, atau Tuhan Yesus tidak mahatahu, te-tapi bahwa penjemputan itu adalah ke putusan Bapa, dan Anak yang ber bakti seharusnya taat kepada ke-pu tusan Bapa. Sebagai Allah Anak yang se ta-ra dengan Allah Bapa, Tuhan Ye sus tahu, tetapi dengan rela me nye-rahkan keputusan itu di tangan Ba-pa. Sama seperti ketika Dia de ngan rela memutuskan untuk taat mi num cawan murka Allah di taman Get-semani dan juga dengan rela ha ti menyerahkan nyawa-Nya di atas kayu salib. Sekarang Dia juga re la menyerahkan keputusan untuk da-tang kembali kepada Bapa. Kalau du lu waktu inkarnasi Dia rela diutus oleh Bapa, sekarang Dia juga rela me nyerahkan keputusan untuk di-utus kembali kepada Bapa di sorga. Ke benaran ini hanya dapat kita pa-ha mi ketika kita mengerti budaya per nikahan orang Yahudi. Perhatikan bahwa tanda-tanda un tuk kedatangan-Nya yang kedua ka li adalah dengan tiupan sangkakala/te rompet (Mat 24:31). Ini adalah tan da yang sama yang digunakan oleh para pengiring pengantin pria ke tika sang pengantin pria dalam per jalanan menjemput pengantin wa nita. Sepanjang perjalanan menuju ru mah pengantin wanita mereka me-niup sangkakala/terompet dan ber-nyanyi dan menari dengan sukacita. Pe ngantin wanita ketika mendengar be rita dari keluarga dan orang-orang

bah wa pengantin pria sedang dalam per jalanan menjemput dia (karena ada pemberitahuan dan juga ada tiup an sangkakala/terompet serta iring-iringan penjemputan), maka dia harus mempersiapkan diri dengan se baik-baiknya untuk menyambut pe ngantin pria. Tiupan sangkakala/terompet ada lah tanda kedatangan pengantin pria yaitu Kristus yang kedua kali. Te tapi tentu saja bukan itu yang di maksudkan oleh Tuhan Yesus ke-tika nanti Dia datang pada akhir za-man. Sangkakala/terompet adalah lam b ang sehubungan dengan pen-jemputan pengantin wanita. Un tuk orang percaya, Tuhan Yesus mem-be rikan tanda-tanda akhir zaman (Mat 24). Tanda-tanda itulah yang di sebut sebagai sangkakala/terompet itu. Sama seperti pengantin wanita ha rus mempersiapkan diri untuk di jemput pengantin pria, demikian ju ga gereja (pengantin wanita) ha rus mem per siapkan diri ketika me lihat atau men de ngar tanda-tanda ak hir zaman. Perumpamaan sepuluh ga-dis yang menunggu kedatangan pe-ngan tin pria (Mat 25:1-13) merupakan tan da peringatan bagi kita supaya ke tika Kristus benar-benar datang ki ta juga benar-benar sudah siap me nyambut Dia, karena memang wak tunya tidak diketahui. Tuhan Ye sus telah memperingatkan kita bah wa Dia akan datang seperti pen-curi, dan Dia meminta orang per caya mempersiapkan diri dengan mem be-ri kan tanda-tanda akhir zaman.

Pdt. Agus Suryanto

102 EUANGELION 173

Page 103: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

APRESIASIMUSIK

Untuk edisi ini kami persembahkan hymn yang menyatakan kemuliaan Kristus, Ra ja dan Juruselamat kita yang penuh kasih. Hanya Dialah yang layak kita sem-bah dan tinggikan. Teks Indonesia diambil dari SPK 187.

Eb – 4/4 CROWN HIM WITH MANY CROWNS

1 1 1 3 3 / 6 . . 6 / 5 1 4 3 / 2 . .Crown Him with man-y crowns, The Lamb up-on His throne;Ra - ja- kan - lah Di - a, Dom- ba di takh-ta - Nya;

2 / 3 5 6 5 / 4 3 2 5 1 / 7 1 6 6 / 5 . .Hark! How the heav’n-ly an-them drowns all mu - sic but its own!De - ngar-lah sua – ra pu - ji - an ku-man-dang di sor- ga;

5 / 5 3 2 1 / 6 . . 6 / 6 4 3 2 / 7 . . A-wake, my soul, and sing of Him who died for thee,Ba-ngun-lah ji - wa- ku, ber- sa- ma pu- ji- lah,

7 / 1 . 7 6 5 / 4 2 3 5 / 4 3 2 2 / 1 . . . //And hail Him as thy match-less King Thru all e- ter-ni- ty.Ra - ja yang ma-ti ba - gi- mu se - la-ma-la-ma-nya.

Crown Him the Lord of love: Behold His hands and side –Rich wounds, yet visible above, in beauty glorified.No angel in the sky can fully bear that sight,But downward bends his wond’ring eye At mysteries so bright.

Crown Him the Lord of life: Who triumphed o’er the grave,Who rose victorious to the strife, for these He came to save.His glories now we sing, Who died and rose on high,Who died eternal life to bring, and lives that death may die.

Crown Him the Lord of heav’n: One with the Father known;One with the Spirit thru Him giv’n from yonder glorious throne.To Thee be endless praise, for Thou for us hast died;Be Thou, O Lord, thru endless days, adored and magnified.

103 EUANGELION 173

Page 104: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

CROWN HIM WITH MANY CROWNS(Rajakanlah Dia)

Syair : Matthew Bridges (1800-1894) Godfrey Thring (1823-1903)Musik : George J. Elvey (1816-1893)Jenis : Hymn

Dan mataNya bagaikan nyala api dan di atas kepalaNya terdapat banyak mahkota dan padaNya ada tertulis suatu nama yang tidak diketahui

seorangpun, kecuali Ia sendiri. Dan Ia memakai jubah yang telah dicelup dalam darah dan namaNya ialah: “Firman Allah”.

Wahyu 19:12, 13

Dia yang memakai mahkota duri saat berada di atas salib, kini dimahkotai ba nyak mahkota sebagai Raja sorga. Masing-masing mahkota di dalam syair hymn ini memuliakan Kristus untuk aspek tertentu dari pribadi-Nya atau pe la-yanan-Nya. Bait satu mengenai jabatan-Nya sebagai Raja yang kekal; bait dua mengenai kasih-Nya yang dinyatakan di dalam penderitaan-Nya demi me ne-bus manusia; bait tiga mengenai kebangkitan-Nya yang berkemenangan dan kenaikan-Nya ke sorga; bait empat mengenai diri-Nya sebagai salah satu pri-ba di dari Allah Tritunggal yang layak kita sembah dan puji. Syair yang penuh penyembahan ini merupakan kombinasi dari karya dua orang pendeta Anglican ternama. Mereka ingin menuliskan hymn pujian ba-gi Tuhan kita yang menderita namun kini berkemenangan. Ver si Matthew Brid ges pertama kali muncul pada tahun 1851 dengan 6 bait. Dua puluh ti-ga tahun kemudian Godfrey Thring menulis 6 bait tambahan yang muncul da lam koleksinya Hymns and Sacred Lyrics. Bentuk hymn yang se karang me rupakan gabungan dari karya mereka, di mana bait satu, dua dan empat

thecrossroadschurch.org

104 EUANGELION 173

Page 105: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

di ambil dari karya Bridges, sedangkan bait tiga diambil dari karya Thring. Na da, “Diademata” (bahasa Yunani untuk mahkota), digubah khusus un tuk sya ir hymn ini oleh George Elvey, seorang organist ternama dari St. George’s Chapel, Windsor, Inggris, yang sering dihadiri oleh keluarga kerajaan Ing gris.

Mahkotailah Dia dengan banyak mahkota, Anak Domba di atas takhta-Nya:Dengarlah bagaimana nyanyian sorgawi menenggelamkan semua musik!Bangunlah jiwaku dan nyanyilah bagi-Dia yang telah mati bagimu,Dan sambutlah Dia sebagai Rajamu yang tiada tara sampai selamanya.

Mahkotailah Dia, Tuhan penuh kasih: Tengoklah tangan-Nya dan pinggang-Nya – Penuh luka, namun terlihat dari atas, indah dan mulia.Tak ada malaikat di langit yang tahan melihatnya,Namun matanya memandang misteri yang begitu cemerlang di bawah sana.

Mahkotailah Dia, Tuhan kehidupan: yang menang atas kubur,Yang bangkit dalam kemenangan bagi mereka yang Dia telah datang untuk selamatkan.. Bagi kemuliaan-Nya kami kini bernyanyi, bagi Dia yang telah mati dan bangkit,Yang mati ‘tuk membawa kehidupan kekal dan hidup ‘gar kematian binasa.

Mahkotailah Dia Tuhan, Raja sorga: Yang dikenal sebagai Allah Bapa;Yang melalui-Nya Roh Kudus diberikan dari takhta mulia di atas sana.Bagi Engkau pujian tak berkeputusan, karena Engkau telah mati bagi kami;Biarlah Engkau, O Tuhan, disembah dan dimuliakan selama-lamanya.

Biarlah jiwa kita bersukacita di dalam kebenaran bahwa kita milik Dia yang te lah mati untuk membawa kehidupan kekal, dan hidup agar kematian binasa. Sem bahlah dan pujilah Dia dengan syair ini.

5 / 5 3 2 1 / 6 . . 6 / 6 4 3 2 / 7 . . Ba-ngun-lah ji- wa- ku, ber- sa- ma pu- ji- lah,

7 / 1 . 7 6 5 / 4 2 3 5 / 4 3 2 2 / 1 . . . //Ra- ja yang ma-ti ba- gi- mu se- la-ma-la-ma-nya.

BACAAN ALKITAB: Roma 14:9; Ibrani2:7-10; Wahyu 1:5, 6; 5:11-14; 19:1

Disadur dari:Kenneth W. Osbeck, “AMAZING GRACE”

366 Inspiring Hymn Stories for Daily Devotion

105 EUANGELION 173

Page 106: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

Pengarang : David KinnamanPenerbit : Baker BooksTahun Terbit : 2011

Penulis David Kinnaman adalah Pre siden dan pemilik mayoritas da ri perusahaan Grup Barna yang ber-lokasi di Ventura, California. Grup Bar na adalah sebuah perusahaan ri set yang berfokus pada agama dan bu daya. Selain buku You Lost Me, Da vid Kinnaman juga menulis satu bu ku lainnya yaitu unChristian. Buku You Lost Me dan unChristian berfokus

YOU LOST ME: Why Young Christians Are Leaving Church... and Rethinking Faith

ULASAN BUKU

pa da kehidupan spiritual remaja ber dasarkan wawancara lebih dari 350.000 orang dan pemimpin. Buku You Lost Me, berdasarkan ri-set yang dilakukan Grup Barna, mem-bu ka kenyataan bahwa komunitas Kris ten, termasuk Gereja, gagal da-lam mempersiapkan remaja Kristen un tuk tetap bertahan dalam iman Kris ten di tengah kemajuan teknologi, in formasi dan perubahan budaya yang sangat cepat, tanpa batas dan tan pa filter. Buku ini menampilkan data dan fakta bahwa banyak remaja Kris ten yang berjuang untuk mem per ta-hankan iman mereka di tengah per-kem bangan jaman. Para remaja ini me miliki keraguan tentang spiritual me reka dan tidak sedikit dari mereka yang menjauh, meninggalkan Gereja dan bahkan meninggalkan iman Kris-ten karena mereka kecewa terhadap ko munitas Kristen dan Gereja. Buku ini mencatat bahwa hampir 60% dari re maja Kristen di Amerika yang sejak ma sa kecilnya telah mengenal Kristus, ak hirnya meninggalkan Gereja dan Ke kristenan setelah masuk SMA. Kekecewaan ini disebabkan oleh ba nyak hal, antara lain, sebagian be-sar remaja ini merasa bahwa Gereja bu kanlah tempat yang aman untuk me ng ekspresikan keraguan mereka,

106 EUANGELION 173

Page 107: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

dan Gereja seringkali memberikan pen jelasan yang setengah matang ter hadap pertanyaan atau keraguan me reka. Lebih jauh, para remaja ini me nganggap Kekristenan itu mu-nafik, menghakimi, terlalu banyak po litik dan jauh dari kenyataan hidup. Buku ini juga memberikan pen-de katan bagaimana memperbaiki si tuasi para remaja yang putus hu-bu ngan dengan kehidupan spiritual Kris ten. Buku ini juga menegaskan bah wa pemuridan itu bersifat unik un tuk setiap pribadi dan tidak ada pe muridan yang bersifat produksi mas sal. Oleh karena itu, semua ce-ri ta atau alasan yang menjadi latar be lakang kenapa seorang remaja pu tus hubungan dengan Kekristenan ada lah sangat penting dan sangat ber harga untuk dianalisa dan dicari ja lan keluarnya. Pemuridan juga harus di awali dengan hati yang terbuka dan ti dak menghakimi, dilakukan dengan aku rat dan dengan penuh tanggung ja wab. Buku ini mencatat ada tiga per-ubah an budaya yang sangat terlihat pa da remaja masa kini, yaitu: akses (ac cess), pengasingan diri (alienation), dan ketidakpercayaan terhadap oto-ri tas (skepticism of authority). Semua per ubahan budaya datang dengan dam paknya masing-masing, baik dam pak positif maupun dampak ne-ga tif. Pe r u b a h a n b u d a y a a k s e s (access), artinya remaja masa kini da pat menikmati akses tanpa ba-tas, kapan saja, dan di mana saja. Ak ses yang serba cepat ini telah men ciptakan budaya yang disruptive (mengacaukan). Pengasingan diri

(alienation), artinya remaja masa ki-ni cenderung memisahkan diri dari struk tur tradisional seperti keluarga, ko munitas dan institusi. Budaya ini me nimbulkan kesenjangan antar ge-nerasi (generation gap) yang cukup le bar. Ketidakpercayaan terhadap oto ritas (skepticism of authority) ber-hubungan dengan pertanyaan, “Siapa yang harus dipercaya dan kenapa sa ya harus percaya kepadanya?” De-ngan frasa lain, “Apakah saya harus per caya kepada Alkitab dan Firman Tu han? Jika ya, kenapa harus begitu?”Ke tiga perubahan budaya ini saling ber kaitan dan menjadi salah satu fo kus pembahasan buku ini. Remaja ma sa kini hidup dengan budaya ini dan budaya ini tidak bisa dihindari oleh komunitas Kristen. Alih-alih menghindar dan mengutuki per-ubahan budaya ini, buku ini meng-anjurkan supaya komunitas Kristen mam pu menciptakan pola pikir yang ba ru dan mengambil keuntungan da ri perubahan budaya ini karena re maja saat ini adalah harapan umat Kris ten masa depan dan kita tidak bisa ke hi-la ngan mereka. Selain fenomena baru akibat per ubah an ketiga budaya di atas, bu ku ini juga memaparkan secara de til fenomena keragu-raguan yang di hadapi para remaja masa kini. Me-nurut buku ini, fenomena keragu-ra-guan ini sebenarnya bukan hal baru dan sudah ada di semua generasi Kris ten. Namun, diperkuat oleh per-ubah an ketiga budaya saat ini (access, alienation, dan skepticism of authority) dan ketidaksiapan komunitas Kristen, dam pak akibat keraguan ini menjadi ber lipat.

107 EUANGELION 173

Page 108: DARI MEJA REDAKSI - hokimtong.org · Pemimpin Umum: Wisesa • Pemimpin Pelaksana: Juliawati Kartajodjaja • Pemimpin Redaksi: Bong San Bun • Anggota Redaksi: Cynthia Radiman,

Empat jenis keraguan yang ter-iden tifikasi adalah intellectual doubt (ke raguan intelektual), institutional doubt (keraguan terhadap institusi), un expressed doubt (keraguan yang tak terekspresikan), dan transitional doubt (keraguan yang timbul dari pe-ng alaman pribadi, misalnya kematian orang yang dikasihi mengakibatkan ke raguan iman). Para generasi muda yang memiliki keraguan, apapun je-nisnya, sering tidak mendapatkan ja waban yang memuaskan dan ti dak sedikit yang akhirnya menjauh bah-kan meninggalkan iman Kristen. Tren remaja putus hubungan de ngan Kekristenan adalah situasi yang kompleks karena dipengaruhi oleh banyak sekali faktor. Tren ini harus ditanggapi secara serius ka-re na remaja adalah jangkar bagi Ke kristenan di masa mendatang. Ge nerasi penerus dengan semua po tensinya adalah harapan bagi re-ge nerasi dan kemajuan komunitas Kris ten di masa datang. Potensi tersebut tidak bisa tum-buh dan berkembang sesuai dengan ren cana Allah tanpa bantuan dan bim bingan dari para senior mereka di komunitas Kristen. Bagaimana mung kin mereka bisa menjadi jang -kar Kristen masa depan tanpa ada institusi atau individu yang mem be-ri kan pengetahuan dan iman Kristen yang benar dan berkualitas? Dampak dari ketiga perubahan bu-daya yang disebutkan di atas, generasi ini menjadi generasi yang haus akan in formasi, banyak pertanyaan kritis se hingga perlu pengertian dari ber-ba gai sudut pandang komunitas

Kris ten. Generasi ini tidak hanya mem butuhkan doktrin dari pendeta, ta pi juga hikmat dari para pendidik dan orangtua, serta gagasan dari para pe mimpin, tokoh dan profesional Kris ten untuk menjawab pertanyaan dan keraguan mereka. Di akhir bagian, buku ini men-ja barkan lima puluh ide yang di-da pat dari orang-orang dengan la tar belakang berbeda tentang ba gaimana komunitas Kristen dapat me nemukan cara berpikir yang baru un tuk merangkul kembali, mendidik dan membina remaja Kristen dalam ke benaran Allah. Kita tidak harus se lalu setuju dengan semua ide yang ada, tapi semoga ide-ide itu bisa me ngajak semua orang, tua atau mu da, aktif melayani atau tidak, un tuk memulai dari zona ‘thinking and talking’ lalu menjadi ‘doing and cha nging’, dan untuk terus mencari ide-ide baru untuk memahami dan me muridkan generasi baru. Walaupun penelitian buku ini ber fokus pada permasalahan remaja di negara Amerika Serikat, buku ini te tap relevan dengan kondisi yang di hadapi di Indonesia. Minimal buku ini bisa menjadi awal pemikiran bagi pa ra orang tua, pengajar Kristen, pe-mim pin Kristen dan Pendeta untuk me nyikapi tantangan yang ada da-lam proses pemuridan remaja di In donesia. Ide-ide baru harus tetap di cari karena mengulang kalimat di awal, pemuridan itu bersifat unik un tuk setiap pribadi dan tidak ada pe muridan yang bersifat produksi mas sal.

Alonso Patiaraja

108 EUANGELION 173