-
Kolokium Jalan dan Jembatan
Achmad Helmi 1, Bambang Sudjatmiko
2, Bangkit A. Wiryawan
3 1
DAMPAK SOSIAL EKONOMI LINGKUNGAN AKIBAT RUNTUHNYA JEMBATAN KUTAI
KARTANEGARA
Achmad Helmi 1, Bambang Sudjatmiko 2, Bangkit A. Wiryawan 3
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, dan
Lingkungan
Jl. Sapta Taruna Raya no. 26 Komplek PU Pasar Jumat, Jakarta
Selatan Email :
1 [email protected],
2 [email protected],
3 [email protected]
ABSTRAK Jembatan Kutai Kartanegara merupakan prasarana
transportasi yang vital menghubungkan Kabupaten Kutai Kartanegara
dengan wilayah-wilayah lain di seberangnya, terutama Kota
Samarinda. Runtuhnya jembatan tersebut Pada akhir 2011 lalu
memberikan dampak secara luas terhadap mobilitas masyarkat di
wilayah kabupaten Kutai Kartanegara. Tulisan ini mencoba meneliti
dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan yang muncul akibat perubahan
mobilitas ini. Secara umum, aktivitas responden penelitian tidak
terganggu dengan runtuhnya jembatan ini karena cepatnya adaptasi
masyarakat dan tersedianya sarana dan prasarana mobilitas
alternatif untuk menggantikan jembatan, seperti pemanfaatan
jembatan Mahalu yang terletak di Selatan. Namun demikian, terjadi
perubahan intensitas aktivitas di beberapa sektor seperti
perdagangan dan pertambangan, munculnya aktivitas baru di sektor
jasa penyeberangan, serta berkurangnya secara drastis aktivitas
pariwisata di sekitar jembatan. Munculnya dampak-dampak sosial
ekonomi dan lingkungan ini harus mampu dikendalikan oleh Pemerintah
Kabupaten Kutai Kartanegara agar tidak menimbulkan kerugian yang
lebih besar. Kata Kunci : Jembatan, Kutai Kartanegara, Dampak,
Mobilitas
ABSTRACT Kutai Kartanegara Bridge is a vital transportation
infrastructure that connects Kutai Kartanegara Regent with outside
region, especially Samarinda City. The collapse of the bridge in
the late 2011 had brought wide impact on the mobility of Kutai
Kartanegara people. This paper tries to study the social, economic,
and environtmental impact that arose because of the change of
mobility. Generally, respondent activities wasnt disrupted by the
event, much to do with rapid adaptation capacity of the people and
the availability of alternative facilities replacing the bridge.
Nonetheles, there are several change in the intensity of their
activity in several sector such as trade and mining, the emergence
of new activity in the form of transportation service, and the
drastically diminishing activities of tourism near the bridge. The
emergence such social, economic and environmental impact must be
managed properly to averse bigger losses. Keywords: Bridge, Kutai
Kartanegara, Impact, Mobility
1. PENDAHULUAN Runtuhnya Jembatan Kutai Kartanegara (JKK) pada
tanggal 26 November 2011 silam mengundang keprihatinan. Selain
merenggut korban jiwa dan mengakibatkan kerugian materi, peristiwa
tersebut juga menimbulkan perubahan pola mobilitas orang dan barang
terkait dengan berbagai kegiatan sosial ekonomi di Kabupaten Kutai
Kartanegara dan sekitarnya. Dampak tersebut diperkirakan
berlangsung dalam beberapa tahun ke depan, sampai berdirinya
kembali jembatan baru yang menggantikan yang runtuh tersebut.
-
Kolokium Jalan dan Jembatan
Achmad Helmi 1, Bambang Sudjatmiko
2, Bangkit A. Wiryawan
3 2
Selama 10 tahun beroperasi, jembatan dengan bentang 710 meter di
atas Sungai Mahakam tersebut menjadi infrastruktur vital bagi
masyarakat di sekitarnya. Manfaat yang sangat dirasakan adalah
menjadi pendukung mobilitas keseharian masyarakat karena mampu
mereduksi jarak dan waktu tempuh perjalanan dari wilayah Tenggarong
ke Samarinda maupun sebaliknya.
Dalam konteks studi ini, JKK ditempatkan sebagai sarana yang
memfasilitasi mobilitas orang dan barang dari titik origin ke titik
destination tertentu terkait dengan kegiatan-kegiatan masyarakat
tersebut. Sedangkan dampak sosial ekonomi dikonsepsikan sebagai
selisih antara kondisi sosial ekonomi masyarakat ketika jembatan
masih normal (before) dan setelah jembatan tersebut runtuh (after).
Ketika jembatan masih normal (sebelum runtuh), mobilitas orang atau
barang dari origin ke destination berada pada suatu titik (posisi)
tertentu. Titik (posisi) tersebut diasumsikan mengalami pergeseran
setelah JKK runtuh. Dengan kata lain, setelah jembatan runtuh
terjadi perubahan pola mobilitas orang dan barang terkait dengan
kegiatan pendidikan, kesehatan, layanan pemerintahan, perdagangan,
perkebunan dan pariwisata.
Pengumpulan data dan observasi lapangan untuk kajian ini
dilakukan selama
empat hari, 7-10 Desember 2011 di Kabupaten Kutai Kartanegara
Provinsi Kalimantan Timur. Ketersediaan waktu yang relatif singkat
tersebut sekaligus merupakan keterbatasan dalam penelitian ini.
Pasca penelitian ini dilakukan, sangat terbuka kemungkinan
terjadinya perubahan-perubahan kondisi masyarakat maupun kebijakan
pemerintah daerah setempat.
2. PROFIL RESPONDEN Responden yang menjadi sasaran dalam tulisan
ini adalah anggota masyarakat yang bertempat tinggal di Tenggarong
dan Tenggarong Seberang (dan kecamatan-kecamatan di sekitarnya).
Mereka dipilih secara purposif, dan diupayakan orang-orang yang
selama ini sering menggunakan jembatan Kutai Kartanegara (user),
serta orang-orang yang paling merasakan dampak negatif runtuhnya
jembatan tersebut, yang juga meliputi pejabat-pejabat pemerintah
dari berbagai Dinas/Instansi Kabupaten Kutai Kartanegara dan
petugas yang terlibat dalam operasi tanggap darurat Selama
penelitian ini berlangsung, tim peneliti berhasil mewawancarai
sebanyak 82 responden, terdiri dari 57 orang di Tenggarong dan 25
orang di Tenggarong Seberang yang dicatat dalam lembaran kuesioner
sebagai panduan. Selain itu tim juga mengumpulkan informasi secara
kualitatif dari sejumlah nara sumber dengan beragam latar belakang.
Berikut ini sebagian profil dari responden. Dari 57 responden di
Tenggarong, sebanyak 67% di antaranya berjenis kelamin laki-laki
dan sisanya perempuan. Sedangkan dari 25 responden di Tenggarong
Seberang, sebanyak 84% laki-laki dan 16% perempuan. Dilihat dari
latar belakang pendidikan untuk responden di Tenggarong, 5%
berpendidikan sekolah dasar (SD), 18% SLTP, 37% SLTA dan 40
Gambar 1. Jembatan Kutai Kartanegara sebelum runtuh (kiri) dan
sesudah runtuh
-
Kolokium Jalan dan Jembatan
Achmad Helmi 1, Bambang Sudjatmiko
2, Bangkit A. Wiryawan
3 3
lulus perguruan tinggi. Sedangkan responden di Tenggarong
Seberang, 24% berpendidikan SD, 20% SLTP, 24% SLTA dan 32%
perguruan tinggi. Berdasarkan usia reponden, sebanyak 47% persen di
Tenggarong berusia antara 41-55 tahun, 42% berusia 26-40 tahun, 7%
berusia kurang dari 26 tahun dan 4% berusia di atas 55 tahun.
Sedangkan responden di Tenggarong Seberang, sebanyak 45% berusia
antara 41-55 tahun, 43% berusia 26-40 tahun, 7% berusia kurang dari
26 tahun dan sisanya 5% berusia di atas 55 tahun. Dilihat dari
jenis pekerjaan, sebanyak 63% responden di Tenggarong bekerja
sebagai PNS, 24% sebagai pedagang, 7% sebagai pegawai swasta, 2%
sebagai nelayan, 2% sebagai buruh dan 2% sebagai petani. Sedangkan
di Tenggarong Seberang, sebanyak 36% bekerja sebagai PNS, 24%
pedagang, 16% pegawai swasta, 8% petani, 8% buruh, 4% pelajar dan
4% nelayan. 3.DAMPAK TERHADAP MOBILITAS DALAM KEGIATAN SOSIAL 3.1.
Kegiatan Pendidikan
Sebelum runtuh 26 November 2011 silam, Jembatan Kutai
Kartanegara (JKK) berperan penting memfasilitasi masyarakat dalam
kegiatan pendidikan. Dalam penelitian ini diketahui dari 44 orang
responden yang tinggal di wilayah Tenggarong, sebanyak 62% di
antaranya mengaku melewati JKK setiap hari, 9% menyatakan sering,
11% menyatakan jarang dan 18% mengatakan sangat jarang.
Sedangkan masyarakat di wilayah Tenggarong Seberang, dari survei
ini sebanyak 20 orang responden, 55% di antaranya mengaku setiap
hari melewati jembatan tersebut, 5% menyatakan sering, 20% jarang
dan 20% sangat jarang (lihat gambar 2.).
Frekuensi mobilitas masyarakat dalam kegiatan pendidikan
mengalami perubahan setelah JKK runtuh, terutama mereka yang
tinggal di wilayah Tenggarong. Dari 43 responden, hanya 26% warga
Tenggarong yang tetap menyeberang Sungai Mahakam setiap hari, 2%
sering, 28% jarang dan 44% sangat jarang. Sedangkan kecenderungan
yang berbeda ditunjukkan oleh masyarakat di wilayah Tenggarong
Seberang. Mereka tampak memiliki ketergantungan yang tinggi
terhadap keberadaan JKK dan kota Tenggarong dalam memfasilitasi
kegiatan pendidikan. Hal itu ditunjukkan oleh hasil survei pasca
runtuhnya JKK. Dari 20 responden, 63% di antaranya menyatakan tetap
melakukan mobilitas setelah runtuhnya JKK.
Hal ini berarti tingkat mobilitas masyarakat Tenggarong Seberang
dalam kegiatan pendidikan tidak mengalami perubahan yang berarti
pasca runtuhnya JKK. Sedangkan 6% responden lainnya menyatakan
sering, 12% mengatakan jarang dan 19% sisanya menyatakan sangat
jarang, seperti yang ditunjukkan oleh grafik di bawah ini.
20%
20%
5%
55%
Tenggarong Seberang
Sangat jarang Jarang
Sering Setiap Hari
44%
28%
2%
26%
Tenggarong
Sangat jarang Jarang
Sering Setiap Hari
Gambar 2. Frekuensi mobilitas warga Kutai Kartanegara melintasi
jembatan
-
Kolokium Jalan dan Jembatan
Achmad Helmi 1, Bambang Sudjatmiko
2, Bangkit A. Wiryawan
3 4
Meskipun JKK merupakan sarana vital dalam memfasilitasi kegiatan
pendidikan, namun masyarakat di Tenggarong maupun Tenggarong
Seberang tidak terlalu terganggu akibat runtuhnya JKK. Hal itu
terlihat dari hasil survei yang menunjukkan perbedaan tipis antara
warga yang terganggu dengan warga yang tidak terganggu. Dari 41
responden di wilayah Tenggarong, 56% di antaranya mengaku
terganggu, sedangkan dari 19 responden di wilayah Tenggarong
Seberang 58% di antaranya juga menyatakan terganggu.
Akibat gangguan mobilitas tersebut masyarakat di Kutai
Kartanegara mampu beradaptasi dengan melakukan beberapa pilihan
tindakan untuk tetap dapat melangsungkan kegiatan di bidang
pendidikan. Dari 34 responden di wilayah Tenggarong, 71% di
antaranya menggunakan ferry, 20% memilih rute lain, 3% pindah
sekolah dan 6% sisanya menyatakan tidak tahu.
Sedangkan warga di sisi Tenggarong Seberang, dari 15 responden
yang diwawancarai, 60% di antaranya menyatakan menggunakan ferry,
6% memilih rute lain, 7% pindah sekolah, 20% pindah tempat tinggal
(sewa rumah, kos, menumpang di rumah milik saudara) dan sisanya 7%
menyatakan tidak tahu, seperti terlihat pada grafik di bawah
ini.
Sejumlah warga yang ditanya tentang masalah yang dihadapi akibat
gangguan
mobilitas dalam kegiatan pendidikan, memberikan jawaban yang
bervariasi. Dari 65 responden di Tenggarong, 40% di antaranya
mengaku biaya yang dikeluarkan menjadi lebih tinggi, 37% menyatakan
waktu tempuh lebih lama, 5% mengatakan kualitas layanan menurun,
12% menyatakan tidak mengalami kendala yang berarti dan sisanya 6%
tidak menjawab.
Jawaban yang tak jauh beda didapati dari warga di wilayah
Tenggarong Seberang. Dari 25 responden, 44% menyatakan waktu tempuh
lebih lama, 28% mengaku biaya yang dikeluarkan menjadi lebih
tinggi, 4% tidak menjawab dan 24% menyatakan tidak mengalami
kendala yang berarti, seperti ditunjukkan grafik berikut ini.
3.2. Layanan Kesehatan
Dilihat dari mobilitas terhadap akses kesehatan masyarakat
Tenggarong Seberang mengaku terganggu akibat runtuhnya JKK (52%
dari 25 responden) karena mereka biasa mengakses layanan kesehatan
di Tenggarong. Selebihnya (48%) masih bisa memanfaatkan fasilitas
kesehatan seperti Puskesmas dan Polindes atau Rumah Sakit di
Samarinda. Di sisi Tenggarong, 55% dari 57 responden justru tidak
terganggu.
60%6%
7%
20%7%
Tenggarong Seberang
Menggunakan Feri
Melalui Rute Lain
Pindah Sekolah
Pindah Tempat Tinggal
Tidak Tahu
71%
20%3%0%6%
Tenggarong
Menggunakan Feri
Melalui Rute Lain
Pindah Sekolah
Pindah Tempat Tinggal
Tidak Tahu
Gambar 3. Pilihan transportasi alternatif pasca runtuhnya
jembatan
-
Kolokium Jalan dan Jembatan
Achmad Helmi 1, Bambang Sudjatmiko
2, Bangkit A. Wiryawan
3 5
Untuk tetap mendapatkan layanan kesehatan, sebagian warga
Tenggarong
Seberang (42% dari 25 responden) memanfaatkan ferry
penyeberangan. Pindah fasilitas seperti berobat ke Puskesmas dan
Polindes setempat yang tak perlu menyeberang juga menjadi
alternatif sebanyak 37% responden. Melalui rute lain untuk ke rumah
sakit di Samarinda juga dilakukan oleh 11% responden. Selebihnya
(5%) menjawab tidak tahu dan (5%) menjawab lainnya. Sedangkan
masyarakat Tenggarong yang memerlukan pelayanan kesehatan seperti
ke RS di Samarinda sebagian besar dari 57 responden (44%) memilih
menggunakan rute darat yang lebih jauh, menggunakan ferry
penyeberangan (36%), pindah fasilitas seperti memanfaatkan layanan
kesehatan yang tersedia di Tenggarong (11%), tidak tahu (6%) dan
lainnya (3%) sebagaimana dapat dilihat pada gambar 4.
Kendala yang dihadapi responden di Tenggarong Seberang untuk
mendapatkan
fasilitas kesehatan adalah waktu tempuh menjadi lebih lama (38%)
dari 25 responden, biaya yang dikeluarkan lebih besar untuk
transportasi (25%), tidak tahu (25%), tidak menghadapi kendala
berarti (8%) dan mengeluhkan kualitas layanan menjadi menurun
(4%).
Kendala yang sama juga dihadapi masyarakat Tenggarong seperti
biaya perjalanan mejadi lebih besar (31%) dari 25 responden, waktu
tempuh menghabiskan waktu lebih lama (26%), tidak tahu (21%),
kualitas layanan menjadi menurun (18%) dan menjawab tidak ada
kendala (4%). 4. DAMPAK TERHADAP MOBILITAS DALAM KEGIATAN EKONOMI
4.1. Kegiatan Perdagangan
JKK selama ini juga memfasilitasi masyarakat di Kutai
Kartanegara dalam menjalankan kegiatan di sektor perdagangan. Dari
penelitian ini diketahui frekuensi mobilitas masyarakat di
Tenggarong maupun Tenggarong Seberang melewati JKK cukup tinggi
sebelum JKK runtuh. Dari 56 responden di Tenggarong, sebanyak 57%
di antaranya mengaku setiap hari melewati JKK, 18% sering melewati,
9% jarang dan 16% sangat jarang. Sedangkan dari 16 responden di
Tenggarong Seberang, sebanyak 63% menyatakan setiap hari melewati
JKK, 6% mengaku sering, 12% mengatakan jarang dan 19% sangat
jarang, seperti yang terlihat pada grafik di bawah ini.
Namun frekuensi mobilitas masyarakat di sektor perdagangan
berubah setelah JKK runtuh. Perubahan paling menyolok terjadi pada
masyarakat di Tenggarong. Dari 56 responden di Tenggarong, hanya
tinggal 24% yang menyatakan setiap hari melewati JKK, 7% sering,
20% jarang dan 49% sangat jarang. Sedangkan bagi
42%
11%37%
0%5%5%
Tenggarong Seberang
Menggunakan Feri
Melalui Rute Lain
Gunakan Fasilitas Lain
Pengobatan Alternatif
Tidak Tahu
36%
44%
11%0%6%3%
Tenggarong
Menggunakan Feri
Melalui Rute Lain
Gunakan Fasilitas Lain
Pengobatan Alternatif
Tidak Tahu
Gambar 4. Pilihan transportasi alternatif untuk layanan
kesehatan pasca runtuhnya jembatan
-
Kolokium Jalan dan Jembatan
Achmad Helmi 1, Bambang Sudjatmiko
2, Bangkit A. Wiryawan
3 6
masyarakat di Tenggarong Seberang, dari 16 responden yang
diwawancarai, sebanyak 44% menyatakan setiap hari, 6% sering, 25%
jarang dan 44% sangat jarang.
Penelitian ini juga menelusuri mobilitas masyarakat di sektor
perdagangan setelah JKK runtuh. Dari 56 responden di Tenggarong,
39% di antaranya menyatakan memilih rute memutar yang lebih jauh,
29% tetap menyeberang sungai Mahakam menggunakan feri, 15%
menyatakan tetap berdagang tapi tanpa harus menyeberang dan sisanya
17% tidak menjawab.
Sedangkan bagi masyarakat Tenggarong Seberang, mobilitas pasca
runtuhnya JKK tetap tinggi. Dari 16 responden, sebanyak 38% di
antaranya menggunakan feri, 6% memilih rute memutar dan 56% sisanya
tidak menjawab.
Baik masyarakat di Tenggarong maupun Tenggarong Seberang,
mayoritas menyatakan mobilitas di bidang perdagangan terganggu
dengan runtuhnya JKK. Yaitu 60% dari 53 responden di Tenggarong
mengaku terganggu, demikian pula 62% dari 13 responden di
Tenggarong Seberang menyatakan terganggu..
Akibat gangguan mobilitas setelah runtuhnya JKK tersebut,
sebagian masyarakat mampu beradaptasi dengan melakukan beberapa
pilihan tindakan agar mampu bertahan di sektor perdagangan. Dari 42
responden di Tenggarong, 12% di antaranya menyatakan mengubah pola
pemasaran, 17% mencari pasar alternatif dan 59% sisanya tidak
memberikan jawaban. Sedangkan 13 responden di Tenggarong Seberang,
sebanyak 8% di antaranya memilih menimbun komoditas, 46% menjawab
tidak tahu dan sisanya 46% memberikan jawaban lain seperti berhenti
dari aktivitasnya, seperti terlihat pada grafik di bawah ini.
Sejumlah warga masyarakat yang ditanyai tentang masalah apa yang
dihadapi dalam melakukan kegiatan perdagangan setelah JKK runtuh,
memberikan jawaban yang beragam. Dari 94 responden di Tenggarong,
sebanyak 38% di antaranya menjawab biaya yang dikeluarkan dalam
aktivitas perdagangannya menjadi lebih besar, 33% menyaakan waktu
tempuh lebih lama, 14% menyatakan harga komoditas naik, 10% mengaku
tidak menghadapi kendala yang berarti dan sisanya 5% tidak
menjawab.
Sedangkan masyarakat di Tenggarong Seberang memberikan jawaban
yang tidak jauh berbeda. Dari 23 responden, sebanyak 30% di
antaranya menyatakan waktu tempuh lebih lama, 22% menyatakan biaya
yang dikeluarkan lebih besar, 22% mengaku tidak menemui kendala
yang berarti, 17% menyatakan harga komoditas naik dan sisanya 9%
tidak memberikan jawaban, seperti yang ditunjukkan grafik di bawah
ini.
30%
22%17%
22%9%
Tenggarong Seberang
Waktu Tempuh Lebih Lama
Biaya Lebih Besar
Harga Komoditas Naik
Tidak ada kendala Berarti
Lainnya
33%
38%
14%10%5%
Tenggarong
Waktu Tempuh Lebih Lama
Biaya Lebih Besar
Harga Komoditas Naik
Tidak ada kendala Berarti
Lainnya
Gambar 5. Permasalahan mobilitas di sektor perdagangan pasca
runtuhnya jembatan
-
Kolokium Jalan dan Jembatan
Achmad Helmi 1, Bambang Sudjatmiko
2, Bangkit A. Wiryawan
3 7
4.2. Kegiatan Pertambangan Sebelum jembatan Kutai Kartanegara
runtuh, setiap hari kapal-kapal ponton
(tongkang) pengangkut batubara berlalu-lalang di bawah jembatan
tersebut dari lokasi penambangan (bagian hulu) menuju ke hilir,
tempat bersandarnya kapal besar yang akan mengangkut batubara ke
luar Kalimantan. Frekuensi ponton (tongkang) yang melintas di bawah
jembatan Kutai Kertanegara cukup padat, yang menurut informasi
mencapai 20-30 buah per hari. Kapal ponton ini tergolong besar
karena mampu memuat batubara sekitar 40 ribu metrik ton (ukuran 300
feet). Karena itu ombak yang ditimbulkan oleh kapal-kapal tersebut
acapkali cukup besar dan bisa berdampak terhadap perjalanan ferry
kecil dan ketinting. Setelah sampai di dermaga tepi pantai, muatan
batubara tersebut sudah ditunggu oleh kapal-kapal besar. Setiap
kapal besar bisa menampung batubara sebanyak volume ponton.
Setelah jembatan Kutai Kartanegara runtuh, aktivitas tersebut
menjadi sangat terganggu. Kapal-kapal ponton yang memuat batubara
tidak bisa melewati bekas jembatan, karena masih banyak reruntuhan
dan kendaraan (motor dan mobil) yang belum dapat dievakuasi. Pada
saat penelitian dilakukan sejumlah ponton tertahan karena tidak
bisa melewati bawah jembatan, baik ponton berisi batabura untuk
dibawa ke kapal-kapal besar, maupun ponton kosong yang akan
mengambil batubara di lokasi-lokasi penambangan. Pada saat
penelitian ini dilakukan belum dapat diperoleh informasi seputar
kebijakan pemerintah daerah atau pemerintah provinsi untuk
mengatasi terhentinya kapal-kapal ponton tersebut. Apabila masalah
ini tidak segera terpecahkan, maka kerugian yang terkait dengan
kegiatan pertambangan diperkirakan semakin tinggi.
4.3. Kegiatan Pariwisata
Keberadaan jembatan Kutai Kartanegara bukan hanya berfungsi
memfasilitasi mobilitas pelbagai kegiatan, tetapi jembatan tersebut
juga sebagai obyek wisata. Bahkan jembatan yang disebut sebagai
golden gate Kalimantan Timur tersebut dalam sepuluh tahun terakhir
ini dinyatakan sebagai icon kabupaten Kutai Kartanegara. Pada saat
weekend atau hari-hari libur banyak wisatawan dari luar kota
Tenggarong berkunjung menikmati keindahan jembatan tersebut. Di
sekitar jembatan telah dalam beberapa tahun terakhir ini dibangun
ruang terbuka yang lazim dipergunakan untuk pentas seni. Kemudian
tidak jauh dari jembatan ini terdapat obyek wisata pulau Kemala
yang juga dikunjungi oleh wisatawan dari luar Tenggarong. Kunjungan
wisatawan ke Tenggarong telah menghidupkan pedagang-pedagang
makanan, minuman, buah-buahan, souvenir yang menjual dagangannya di
tepi sungai Mahakam.
Setelah jembatan runtuh, tidak ada lagi kegiatan pariwisata di
sekitar jembatan tersebut. Kegiatan pedagang-pedangan makanan,
minuman, buah-buahan dan souvenir memang masih ada tetapi jauh
berkurang. Ruang terbuka di bawah jembatan yang runtuh kini
merupakan lokasi (spot) yang tertutup, tidak boleh dikunjungi oleh
siapapun kecuali petugas-petugas dan pejabat-pejabat yang
berkepentingan dengan proses evakuasi reruntuhan dan kendaraan
(sepeda motor dan mobil) yang berada di masih berada di bawah
jembatan. Sampai dengan penelitian ini dilakukan di lokasi tersebut
masih berdiri tenda-tenda pos komando dari berbagai instansi yang
bertanggungjawab terhadap kegiatan evakuasi.
5. ANALISA DAMPAK SOSIAL EKONOMI DAN LINGKUNGAN Selama sepuluh
tahun memfasilitasi berbagai aktivitas masyarakat, Jembatan Kutai
Kartanegara telah berpengaruh signifikan terhadap pola mobilitas
masyarakat di sekitarnya. Setelah jembatan tersebut runtuh, pola
mobilitas masyarakat berubah dan mengganggu sebagian dari kegiatan
sosial ekonomi.
-
Kolokium Jalan dan Jembatan
Achmad Helmi 1, Bambang Sudjatmiko
2, Bangkit A. Wiryawan
3 8
Analisis tentang dampak runtuhnya Jembatan Kutai Kartanegara
terhadap mobilitas sosial yang terkait dengan kegiatan masyarakat
di bidang pendidikan, kesehatan, layanan pemerintahan, perdagangan,
pertambangan dan pariwisata. 5.1. Kegiatan Pendidikan
Sejak dioperasikan kurang lebih sepuluh tahun terakhir, Jembatan
Kutai Kartanegara (JKK) dipergunakan oleh siswa atau peserta didik,
guru dan tenaga kependidikan, baik yang berdomisili di Tenggarong
maupun Tenggarong Seberang (dan kecamatan lain di sekitarnya).
Siswa yang bersekolah di Tenggarong pada umumnya beralasan kualitas
pendidikan di Tenggarong dianggap lebih baik daripada di Tenggarong
Seberang.
Selain itu terdapat pula sejumlah mahasiswa dari Tenggarong
Seberang yang kuliah di Universitas Kutai Kartanegara Tenggarong,
maupun sebaliknya warga Tenggarong yang kuliah di Samarinda
melewati jembatan tersebut. Kendati kegiatan mereka cukup padat,
namun waktu tempuh menuju kampus menjadi relatif lebih singkat
dengan melalui JKK hanya sekitar 20-30 menit.
Setelah jembatan runtuh pola mobilitas dalam kegiatan pendidikan
berubah. Siswa-siswa warga Tenggarong Seberang (dan
kecamatan-kecamatan di sekitarnya) yang bersekolah Tenggarong,
serta guru dan tenaga kependidikan yang bekerja di Tenggarong harus
menggunakan ferry dan ketinting. Karena itu pada pagi hari ferry
dan ketinting dari Tenggarong Seberang ke Tenggarong dipenuhi oleh
murid sekolah, guru dan tenaga kependidikan. Demikian pula ketika
siang atau sore pada jam pulang sekolah, ferry dan ketinting dari
Tenggarong ke Tenggarong Seberang dipenuhi oleh siswa, sejumlah
guru dan tenaga kependidikan.
Pada jam-jam padat tersebut mereka harus antre, karena jumlah
ferry dan ketinting tidak sebanding dengan kebutuhan mereka.
Antrean tersebut terlihat semakin panjang ketika ferry dan ketiting
juga dipenuhi oleh sepeda motor. Sebuah ketinting dibatasi hanya
boleh membawa maksimal sebanyak 12 buah sepeda motor (dengan
pengendaranya). Oleh karena itu banyak guru dan orang tua mulai
prihatin karena cukup banyak siswa dari Tenggarong Seberang (dan
kecamatan-kecamatan di sekitarnya) yang sering terlambat masuk
kelas.
Setiap siswa yang menggunakan jasa ferry atau ketinting tersebut
dipungut Rp 1.000 untuk sekali menyeberang. Pergi-pulang sekolah
mereka harus mengeluarkan Rp 2.000 dan dalam satu bulan orang tua
mereka harus menambah pengeluaran sekitar Rp 50 ribu. Bagi kalangan
menengah bawah kenaikan pengeluaran tersebut cukup signifikan.
Setiap sepeda motor dipungut Rp 2.000 untuk sekali menyeberang,
sehingga dalam satu bulan dibutuhkan biaya tambahan bagi pengendara
sepeda motor sebesar Rp 100 ribu.
Dari uraian di atas dapat dilihat dampak dari perubahan
mobilitas dalam kegiatan pendidikan tersebut cukup luas secara
geografis. Sebab masyarakat yang merasakan dampaknya bukan hanya
bertempat tinggal dalam radius dekat, melainkan juga yang bertempat
tinggal jauh dari JKK. Namun sejauh penelitian ini dilakukan,
masyarakat masih bisa menerima atau menoleransi gangguan yang
mereka alami. Dengan demikian dampak yang ditimbulkan dapat
dikatakan dalam intensitas atau tingkat yang rendah. Pada saat
penelitian ini berlangsung juga belum diketahui adanya siswa yang
putus sekolah akibat runtuhnya JKK.
Hal itu didukung dengan tingkat adaptasi masyarakat yang cukup
baik. Misalnya mereka berangkat dari rumah lebih awal agar tidak
terlambat masuk sekolah atau kantor. Sejumlah orang tua juga mulai
memindahkan sekolah anaknya ke tempat lain yang lebih dekat dan
tidak perlu menyeberang. Ada pula orang tua yang memindahkan tempat
tinggal anaknya (kos atau menumpang di rumah saudara) agar lebih
dekat dengan lokasi sekolah sehingga tidak perlu menggunakan jasa
ferry atau ketinting.
Adaptasi masyarakat tersebut bisa jadi hanya bersifat sementara
atau darurat karena hanya dimotivasi untuk menghindari kondisi
transportasi yang tidak lancar.
-
Kolokium Jalan dan Jembatan
Achmad Helmi 1, Bambang Sudjatmiko
2, Bangkit A. Wiryawan
3 9
Dengan demikian adaptasi secara spontan tersebut diperkirakan
tidak memiliki sustainabilitas yang tinggi. Perkembangan berupa
terbitnya kebijakan pemerintah daerah dan ketersediaan sarana
transportasi yang jumlahnya semakin banyak serta ketersediaan
fasilitas pendidikan baru yang dibangun, akan membuka kemungkinan
terjadinya perubahan bentuk adaptasi. Untuk mengetahui daya tahan
masyarakat beradaptasi dalam jangka panjang masih diperlukan
penelitian lanjutan.
Respons berbagai pihak terhadap gangguan mobilitas pasca
runtuhnya JKK dapat dikatakan cukup baik. Dari pihak pemerintah,
ditunjukkan dengan pemberian dukungan dibukanya dermaga-dermaga
baru yang dikelola sendiri oleh masyarakat. Selain itu juga
dikerahkannya sejumlah petugas untuk memperlancar antrean dan arus
lalu-lintas di sekitar dermaga. Pemerintah daerah bekerjasama
dengan TNI juga membangun dermaga baru yang dapat di gunakan untuk
berlabuh ferry ukuran besar. Respons yang baik juga ditunjukkan
oleh kalangan pengusaha atau operator ketinting dan ferry dengan
menambah jumlah armada. Sehingga antrean penumpang berangsur-angsur
menurun dari hari ke hari.
Meskipun penyeberangan makin lancar, namun sayang penyediaan
sarana transportasi tersebut tidak diimbangi dengan jaminan
keselamatan bagi para penggunanya. Kekhawatiran terhadap ancaman
keselamatan itu terbukti dengan tenggelamnya sebuah ketinting pada
hari Sabtu 24 Desember 2011 yang mengakibatkan satu orang hilang
dan delapan buah sepeda motor tenggelam ke dasar Sungai
Mahakam.
5.2. Layanan Kesehatan
Jembatan Kutai Kertanegara (JKK) sebelum runtuh juga
dimanfaatkan masyarakat untuk mengakses berbagai macam layanan
kesehatan. Rumah Sakit Umum (RSU) di tingkat kabupaten yaitu AM
Parikesit terletak di kota Tenggarong. RSU ini memang lebih kecil
dibandingkan dengan RSU Samarinda, tetapi memiliki peralatan
kedokteran, dokter umum dan spesialis, serta tenaga medis yang
cukup memadai. Warga Tenggarong Seberang yang bertempat tinggal tak
jauh dari Sungai Mahakam lebih memilih RSU AM Parikesit untuk
memperoleh layanan kesehatan. Salah satu penyebabnya, Puskesmas
atau Puskesmas Pembantu yang ada di Tenggarong Seberang sering
tidak tersedia tenaga medis dan tutup. Sedangkan masyarakat yang
tempat tinggalnya semakin jauh dari tepi Mahakam memilih ke RSU
Samarinda karena lebih dekat.
Selain memfasilitasi warga yang sakit, JKK juga menjadi sarana
bagi para dokter dan tenaga medis lainnya untuk menuju maupun
pulang dari RSU AM Parikesit dan Puskesmas di Tenggarong Seberang.
Sebelum JKK runtuh, pada pagi hari sebelum berangkat ke Tenggarong
Seberang biasanya sebagian dokter masih bisa praktek atau memberi
layanan kesehatan di klinik Tenggarong. Pada sore hari setiba dari
Tenggarong Seberang mereka juga masih praktek. Tetapi kini setelah
jembatan runtuh, hal semacam itu sangat sulit dilakukan karena
mereka harus berangkat ke Puskesmas dan klinik di Tenggarong
Seberang lebih pagi, dan pulang ke Tenggarong lebih sore daripada
biasanya. Sebagian dokter bahkan memperpanjang tugas jaga di
Puskesmas atau Klinik di Tenggarong Seberang (dan
kecamatan-kecamatan di sekitarnya) satu-dua hari supaya waktu gilir
tugas jaganya bisa lebih lama.
Ibu-ibu warga Tenggarong Seberang yang akan melahirkan biasanya
juga memanfaatkan layanan RSU AM Parikesit Tenggarong. Dahulu
sebelum jembatan runtuh, mereka yang akan berobat atau ibu-ibu yang
akan melahirkan di Rumah Sakit Tenggarong biasanya menggunakan
mobil ambulans melewati jembatan Kutai Negara. Sekarang setelah
jembatan runtuh, mobil ambulan harus diseberangkan dengan ferry,
dan sudah barang tentu waktu tempuh perjalanannya menjadi lebih
panjang. Sampai dengan penelitian ini dilakukan tidak ada ferry
yang khusus dipergunakan untuk mengangkut mobil ambulans. Artinya
mobil ambulan diangkut dengan ferry yang dalam waktu yang sama juga
mengangkut mobil-mobil lain. Karena itu ketika terjadi antrean
panjang mobil yang mau masuk ferry, perjalanan mobil ambulans
tersebut juga ikut
-
Kolokium Jalan dan Jembatan
Achmad Helmi 1, Bambang Sudjatmiko
2, Bangkit A. Wiryawan
3 10
terhambat. Mereka masih berharap masalah keterlambatan mobil
ambulans tersebut bisa diatasi setelah dermaga darurat yang kini
dibangun dapat berfungsi seperti yang direncanakan.
Berdasarkan uraian di atas, perubahan mobilitas di bidang
layanan kesehatan akibat runtuhnya JKK tidak berdampak terlalu luas
secara geografis. Sebab masyarakat yang memiliki ketergantungan
tinggi terhadap fasilitas kesehatan hanya mereka yang bertempat
tinggal di Tenggarong Seberang. Itupun hanya warga yang tinggal di
tepian Sungai Mahakam. Karena warga yang tempat tinggalnya dalam
radius yang semakin jauh dari tepi Mahakam lebih banyak mengakses
layanan kesehatan ke Samarinda.
Meskipun berdasarkan cakupan geografis dampaknya tidak terlalu
luas, namun dari sisi urgensi hal tersebut tak bisa dianggap
ringan. Sebab layanan kesehatan mencakup kecepatan dan ketepatan
penanganan karena menyangkut keselamatan jiwa seseorang. Dengan
demikian dampak pada layanan kesehatan akibat runtuhnya JKK dapat
dikategorikan dalam intensitas atau tingkat sedang.
Adaptasi masyarakat terhadap gangguan mobilitas di bidang
kesehatan dapat dilihat dari data yang diuraikan pada sub bab 4.2
halaman 12 pada laporan ini. Mayoritas responden (44%) di
Tenggarong Seberang yang biasa berobat ke kota Tenggarong beralih
ke Samarinda meskipun jaraknya lebih jauh. Sedangkan 36% responden
tetap ke kota Tenggarong dengan menyeberang menggunakan ferry atau
ketinting. Sejauh penelitian ini dilakukan, belum dapat
diidentifikasi apakah pilihan tempat berobat warga tersebut
berdasarkan tingkat urgensi atau kritisnya penyakit yang
membutuhkan penanganan cepat.
Data lain dari Pusat Data Elektronik RSU AM Parikesit Tenggarong
yang diakses pada 8 Desember 2011 atau 12 hari pasca runtuhnya JKK
menyebutkan terjadinya penurunan jumlah pasien dari Tenggarong
Seberang yang berobat ke RSU AM Parikesit Tenggarong. Selama 12
hari sejak JKK runtuh (periode 26 November 8 Desember 2011), angka
kunjungan pasien dari Tenggarong Seberang sebanyak 30 kali
kunjungan. Sedangkan pada periode sebelumnya selama satu bulan
(1-31 Oktober 2011) sebanyak 128 kali kunjungan. Sehingga secara
statistik menunjukkan penurunan hampir 50% jika dihitung dengan
rentang waktu yang sama. Namun data tersebut tidak cukup untuk
membuat justifikasi penurunan tersebut karena waktu pengamatan yang
terlalu singkat.
Adaptasi masyarakat yang dilakukan secara spontan tersebut bisa
jadi hanya bersifat sementara, dengan sustainabilitas yang rendah.
Sehingga kesulitan dalam mengakses layanan kesehatan tersebut
dikhawatirkan berdampak buruk, berupa kualitas kesehatan yang
cenderung menurun. Oleh sebab itu diperlukan respons dari
pemerintah untuk memberikan layanan yang lebih baik.
Selama penelitian ini berlangsung, pemerintah daerah setempat
belum menunjukkan respons yang signifikan terhadap kesulitan
masyarakat tersebut. Respons pemerintah daerah yang sudah tampak,
baru sebatas pembangunan dermaga dan penyediaan ferry ukuran besar
yang diharapkan dapat memfasilitasi penyeberangan ambulan dengan
cepat. Masih diperlukan regulasi yang mendukung pengoperasiannya.
5.3. Layanan Pemerintahan
Tapak jembatan Kutai Kartanegara (JKK) yang di Tenggarong
berdekatan dengan pusat pemerintahan. Kantor Kabupaten dan berbagai
Dinas terletak tidak jauh dari tapak tersebut. Karena itu
keberadaan JKK dapat mempercepat waktu tempuh pejabat-pejabat
pemerintah kecamatan Tenggarong Seberang (dan kecamatan-kecamatan
di sekitarnya) yang sedang menyelesaikan berbagai urusan
pemerintahan baik dengan kantor Bupati maupun dengan berbagai Dinas
yang ada di sana. Keberadaan jembatan tersebut juga mempercepat
waktu tempuh pejabat-pejabat Kantor Bupati dan berbagai Dinas
tersebut dengan Kantor Gubernur dan berbagai Instansi/Badan tingkat
provinsi di Samarinda. Keberadaan jembatan tersebut juga
-
Kolokium Jalan dan Jembatan
Achmad Helmi 1, Bambang Sudjatmiko
2, Bangkit A. Wiryawan
3 11
mempercepat warga Tenggarong (dan kecamatan-kecamatan di
sekitarnya) pada saat mempunyai urusan dengan kantor Bupati dan
berbagai Dinas tersebut.
Setelah JKK runtuh, banyak urusan mereka yang tidak lagi dapat
diselesaikan secepat dulu. Urusan pejabat kantor kecamatan
Tenggarong (dan kecamatan-kecamatan di sekitarnya) dengan kantor
Bupati dan berbagai Dinas kini harus dilakukan melalui ferry dan
ketinting yang memakan waktu lebih lama. Sebelum jembatan tersebut
runtuh mereka dapat menyelesaikan urusannya kapan saja ketika
dibutuhkan. Tetapi sekarang harus mengatur waktu yang tepat,
terutama karena harus menyesuaikan diri dengan perjalanan ferry dan
ketinting. Pada waktu pagi hari dan tengah hari perjalanan mereka
baik untuk urusan pemerintah di Tenggarong maupun Tenggarong
Seberang (dan kecamatan-kecamatan sekitarnya) tidak dapat
diselesaikan dengan cepat karena bersamaan dengan perjalanan
murid-murid sekolah dan orang-orang yang bekerja.
Setelah jembatan Kutai Kartanegara runtuh, pejabat-pejabat
pemerintah kabupaten Kutai Kartanegara yang menyelesaikan urusan
dengan pejabat-pejabat pemerintah provinsi Kalimantan Timur di
Samarinda harus melalui jalan darat yang dihubungkan oleh jembatan
Mahakam atau jembatan Mahulu. Mereka harus melalui jalan dengan
kepadatan tinggi karena jalan tersebut juga dipergunakan kendaraan
angkutan umum maupun kendaraan pribadi. Itulah sebabnya setelah
jembatan tersebut runtuh banyak urusan yang tidak dapat
diselesaikan dengan cepat.
Seperti telah disampaikan dalam uraian terdahulu bahwa
pemerintah kini sedang membangun dermaga penyeberangan darurat yang
kelak dipergunan oleh ferry berukuran cukup besar. Dengan adanya
penyeberangan ini layanan pemerintahan antara kantor Bupati dan
berbagai Dinas dengan pemerintah Tenggarong Seberang (dan
kecamatan-kecamatan lain di sekitarnya) diharapkan semakin lancar.
Tetapi layanan pemerintahan antara pemerintah Kabupaten Kutai
Kartanegara dan pemerintah Provinsi Kalimantan Timur di Samarinda
masih menghadapi kendala transportasi darat yang melewati jembatan
Mahakam.
Masyarakat tidak punya banyak pilihan, terkait akses layanan
pemerintahan. Sejumlah warga dan aparat desa maupun aparat
kecamatan di Tenggarong Seberang (dan kecamatan-kecamatan lain di
sekitarnya) hanya bisa menerima keadaan. Bentuk adaptasi tersebut
ditunjukkan dengan tetap menyeberang menggunakan fasilitas yang ada
untuk mengurus keperluan administrasi bagi warganya ke ibukota
Kabupaten Kutai Kartanegara. Meskipun mereka mengaku terganggu,
namun sejauh penelitian ini dilakukan kinerja pemerintahan dan
layanan pemerintahan bagi masyarakat di tingkat kecamatan dan desa
berjalan lancar. Sehingga dampak yang timbul akibat runtuhnya JKK
di bidang layanan pemerintahan dapat dikategorikan dalam tingkat
rendah.
Menghadapi kondisi tersebut, respons yang ditunjukkan pemerintah
daerah setempat belum cukup signfikan. Pemda masih mengandalkan
sarana penyeberangan untuk memfasilitasi mobilitas terkait layanan
pemerintahan. Sebenarnya kantor-kantor pemerintah tersebut
mempunyai teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang baik dan
dapat dipergunakan untuk mempercepat berbagai urusan. Tetapi dalam
era Otonomi Daerah ini ternyata masih banyak urusan yang masih
harus diselesaikan dengan cara berhubungan langsung face-to-face,
atau tidak bisa hanya mengandalkan teknologi informasi dan
komunikasi.
5.4. Kegiatan Perdagangan
Jembatan Kutai Kartanegara memiliki peran yang amat penting
dalam kegiatan perdagangan, terutama sebagai sarana menyalurkan
berbagai macam komoditas dari Tenggarong ke Tenggarong Seberang
(dan kecamatan-kecamatan di sekitarnya). Kebutuhan pelbagai jenis
kebutuhan hidup sehari-hari banyak yang dipasok dari agen-agen yang
berdomisili di Tenggarong, dan disalurkan ke Tenggarong Seberang
(dan kecamatan-kecamatan sekitarnya) melalui jembatan Kutai
Kartanegara. Setelah jembatan tersebut runtuh, kini disalurkan
melalui ferry atau ketinting. Biaya transportasi kemudian
meningkat, dan selisih biaya tersebut dibebankan kepada konsumen.
Oleh
-
Kolokium Jalan dan Jembatan
Achmad Helmi 1, Bambang Sudjatmiko
2, Bangkit A. Wiryawan
3 12
karena itu menjadi mudah dipahami manakala harga sejumlah barang
di Tenggarong Seberang terjadi kenaikan setelah jembatan tersebut
runtuh.
Informasi yang diperoleh menyebutkan bahwa setelah jembatan
Kutai Kartanegara runtuh harga barang di kota Tenggarong tidak
mengalami kenaikan. Barang-barang tersebut dipasok dari Samarinda,
Kutai Barat dan Kutai Timur melalui jalan darat yang tidak perlu
menyebarangi sungai Mahakam. Barang-barang tersebut juga dipasok
dengan ferry menyusuri sungai Mahakam.
Berbeda dengan kondisi di Tenggarong, runtuhnya JKK telah
memukul sektor perdagangan di wilayah Tenggarong Seberang terutama
dalam radius yang dekat dari jembatan, seperti Desa Loa Lepu, Teluk
Dalam dan Jongkang kesemuanya di Kecamatan Tenggarong Seberang yang
dilalui jalan raya Tenggarong-Samarinda yang melewati Jembatan
Kukar. Sebagian besar pelaku usaha kecil di jalur tersebut seperti
warung kelontong, warung makan dan penjual buah-buahan mengaku
usahanya redup setelah putusnya JKK.
Sebelum JKK runtuh banyak kendaraan dan orang berlalu-lalang.
Namun sejak JKK runtuh, jalur tersebut berubah sepi yang
mengakibatkan jumlah pembeli menurun sangat drastis. Bahkan
sejumlah pemilik warung makan memutuskan untuk menutup warungnya
dengan alasan selain sepinya pembeli juga kesulitan belanja bahan
sayur-mayur karena harus menyeberang sungai ke Tenggarong.
Mereka berharap jalur Tenggarong-Samarinda yang melewati
jembatan Kukar dihidupkan kembali dengan cara menempatkan dermaga
penyeberangan di lokasi yang bisa membuat kendaraan dan lalu-lintas
orang melewati tempat usaha mereka seperti sebelum JKK runtuh.
Sebab jika usaha mereka mati, dikhawatirkan angka pengangguran dan
kemiskinan akan meningkat.
Sementara itu wilayah-wilayah di sisi Tenggarong Seberang yang
berada jauh dari JKK tidak terlalu merasakan dampak runtuhnya JKK,
misalnya kota Kecamatan Tenggarong Seberang yang berjarak sekitar
20 kilometer dari bekas JKK. Daerah ini tidak memiliki
ketergantungan yang tinggi terhadap kota Tenggarong sehingga tidak
terlalu merasakan dampak runtuhnya JKK. Demikia pula Kecamatan
Sebulu yang berjarak sekitar 75 kilometer dari bekas JKK tidak
terlalu merasakan dampak putusnya JKK.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa cakupan dampak
yang ditimbulkan oleh perubahan mobilitas terhadap kegiatan
perdagangan atau perekonomian secara geografis hanya signifikan di
wilayah Tenggarong Seberang. Terutama wilayah yang berada di
sekitar tapak JKK atau tidak jauh dari tepi Sungai Mahakam.
Meskipun hanya menyangkut sedikit pelaku usaha, namun dikhawatirkan
dapat menimbulkan efek berantai berupa bertambahnya angka
kemiskinan dan
Gambar 6. Sejumlah usaha makanan di Tenggarong Seberang tutup
karena sepi pembeli sejak runtuhnya JKK
-
Kolokium Jalan dan Jembatan
Achmad Helmi 1, Bambang Sudjatmiko
2, Bangkit A. Wiryawan
3 13
pengangguran akibat kehilangan mata pencaharian. Sehingga
intensitas dampak yang ditimbulkan dapat dikategorikan dalam
tingkat tinggi.
Sebagian masyarakat yang hidup dari berdagang di Tenggarong
Seberang tidak menunjukan kemampuan beradaptasi pasca runtuhnya
JKK. Sebagai contoh, pengusaha warung makan di Tenggarong Seberang
menutup usahanya. Sebab biasanya mereka berbelanja bahan makanan
dan sayuran segar pada pagi buta ke pasar Tenggarong. Setelah JKK
tidak berfungsi, mereka tidak berani menyeberang pada pagi buta
dengan ketinting. Selain itu biaya produksi makanan menjadi semakin
tinggi akibat ongkos tambahan yang dikeluarkan, sementara itu jika
harga jual makanan dinaikkan berisiko tidak bisa diterima oleh
pelanggannya.
Sejumlah pemilik toko kelontong, buah-buahan dan bensin eceran
di Tenggarong Seberang juga hanya bisa pasrah. Mereka selama ini
menggantungkan hidupnya dari keramaian pengguna jalan yang
berlalu-lalang melewati JKK. Kini warung-warung mereka kehilangan
pelanggan, setelah lalu-lintas kendaraan di jalur
Tenggarong-Samarinda sepi. Kegagalan mereka beradaptasi, dalam
jangka panjang akan merasakan dampak runtuhnya JKK. Aset dan
kapabilitas yang telah mereka bangun dan miliki selama ini akan
mengalami perubahan negatif.
Respons pemerintah telah ditunjukkan cukup baik dengan membangun
dermaga ferry ukuran besar di dekat tapak JKK. Pada saat dermaga
dan penyeberangan tersebut nantinya beroperasi (direncanakan mulai
Januari 2012) diperkirakan akan dapat menghidupkan kembali jalur di
Tenggarong Seberang yang sebelumnya mati pasca runtuhnya JKK.
5.5. Kegiatan Pertambangan
Sungai Mahakam merupakan jalur transportasi utama untuk
pengangkutan batubara. Runtuhnya JKK untuk sementara waktu sangat
mengganggu lalu-lintas tongkang atau kapal ponton yang mengangkut
batubara. Selama penelitian ini berlangsung sampai hari ke-12 sejak
runtuhnya JKK, tongkang-tongkang pengangkut batubara tersebut belum
diperbolehkan melewati bekas JKK yang runtuh. Karena di dasar
sungai yang berada di bawah bekas JKK masih teronggok reruntuhan
jembatan dan sejumlah kendaraan yang masih dalam proses evakuasi.
Kondisi tersebut menyulitkan pengusaha batubara dan berpotensi
menimbulkan kerugian cukup besar.
Sebagian besar perusahaan tambang hanya bisa pasrah dengan
kebijakan penutupan jalur transportasi Mahakam tersebut. Mereka tak
punya pilihan lain kecuali hanya menunggu dibukanya kembali jalur
tersebut. Berdasarkan informasi dari beberapa nara sumber, sejumlah
perusahaan tambang telah berupaya mengantisipasi kerugian akibat
berhentinya pendistribusian batubara dengan berbagai cara. Misalnya
bagi perusahaan yang memiliki lapangan eksploitasi di bagian hilir,
mereka mengoptimalkan produksi di areal tersebut. Selain itu juga
meminjam batubara milik perusahaan lain yang tidak terkendala
transportasi di bagian hilir untuk memenuhi pesanan agar tidak
terhenti. Kendati demikian perlu disadari bahwa upaya tersebut
hanya bersifat sementara dan tidak akan bertahan dalam jangka
panjang.
Dari paparan tersebut, dampak yang ditimbulkan oleh runtuhnya
JKK bagi kegiatan pertambangan dapat dikategorikan dalam tingkat
tinggi. Sehingga perlu kebijakan pemerintahan untuk
menyelesaikannya karena kegiatan pertambangan memberikan kontribusi
cukup besar bagi pendapatan daerah. Namun pada saat laporan
penelitian ini disusun diperoleh informasi bahwa Pemda Kutai
Kartanegara telah membuka kembali jalur transportasi Sungai Mahakam
bagi kapal pengangkut batubara. Namun belum diketahui secara pasti
besarnya kerugian yang ditimbulkan selama penutupan sementara jalur
tersebut.
5.6. Kegiatan Pariwisata
Selain berfungsi memfasilitasi mobilitas masyarakat, Jembatan
Kutai Kartanegara juga menjadi objek wisata. Bangunan dengan
bentang sekitar 710 meter tersebut merupakan pemandangan yang indah
sehingga menarik untuk dikunjungi.
-
Kolokium Jalan dan Jembatan
Achmad Helmi 1, Bambang Sudjatmiko
2, Bangkit A. Wiryawan
3 14
Pemerintah juga melengkapi area di sekitar jembatan tersebut
dengan sejumlah fasilitas misalnya taman, panggung terbuka dan
gedung pertemuan.
Namun setelah JKK runtuh, objek wisata tersebut turut hilang.
Bangunan jembatan yang menjadi kebanggaan masyarakat di Kalimantann
Timur tersebut lenyap dari pandangan. Selain itu arena publik
seperti taman dan panggung terbuka yang sebelumnya disediakan dan
menjadi objek kunjungan masyarakat dialihfungsikan untuk
tenda-tenda darurat.
Salah satu pilihan bagi masyarakat maupun pelaku wisata saat ini
adalah mengunjungi objek wisata lain terdekat, antara lain Museum
Kerajaan Kutai Kartanegara. Sedangkan pelaku usaha yang biasa
memanfaatkan area sekitar jembatan untuk berjualan praktis tak bisa
lagi membuka usahanya di area tersebut. Dengan demikian dampak
runtuhnya JKK bagi sektor pariwisata cukup besar.
Respons pemerintah terkait kegiatan pariwisata hingga laporan
ini disusun belum ditunjukkan secara signifikan. Sebab area terbuka
untuk publik di sekitar JKK masih difungsikan untuk tenda-tenda
darurat. Untuk mengukur secara pasti dampak ekonomi yang
ditimbulkan diperlukan penelitian lebih lanjut. 6.7. Dampak
Lingkungan
Dermaga-dermaga penyeberangan baru yang muncul di beberapa
lokasi, merupakan titik keramaian yang baru di tepian Sungai
Mahakam. Keramaian itu ditandai dengan lalu-lintas kendaraan di
sekitar dermaga maupun di sepanjang jalan menuju dermaga yang
meningkat drastis dibanding kondisi sebelum JKK runtuh.
Meningkatnya keramaian di lokasi tersebut diperkirakan akan
mendorong masyarakat untuk menciptakan aktivitas ekonomi maupun
membangun permukiman yang baru dalam beberapa waktu ke depan.
Gambar 12. Area terbuka untuk publik di sekitar JKK tak lagi
dapat difungsikan sebagai objek wisata setelah jembatan tersebut
runtuh.
Gambar 8. Munculnya dermaga-dermaga baru menyebabkan lalu-lintas
di sepanjang jalan menuju dermaga yang sebelumnya sepi, berubah
sangat ramai setelah JKK runtuh.
Gambar 7. Hilangnya fungsi jembatan sebagai objek wisata
-
Kolokium Jalan dan Jembatan
Achmad Helmi 1, Bambang Sudjatmiko
2, Bangkit A. Wiryawan
3 15
Jika bangunan-bangunan baru di lokasi tersebut bermunculan,
dikhawatirkan akan berpotensi melahirkan dampak ikutan yang saat
ini belum terlihat namun diperkirakan bisa terjadi pada waktu
mendatang. Dampak ikutan tersebut berupa masalah lingkungan seperti
sanitasi dan permukiman yang tidak layak huni. Tidak tertutup
kemungkinan pula di kemudian hari muncul tempat-tempat hiburan
malam yang dapat menimbulkan masalah sosial.
Persoalan lain yang juga berpotensi muncul adalah pemanfaatan
lahan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah maupun
alih fungsi lahan. Ketidaksesuaian fungsi lahan di tepian sungai
dapat menyebabkan ketidakseimbangan ekosistem, selain juga masalah
estetika. Aliran Sungai Mahakam yang memiliki riwayat pernah meluap
juga akan menjadi masalah berikutnya jika di sepanjang tepi sungai
terdapat banyak hunian.
7. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Berdasarkan hasil penelitian dan
analisis sebagaimana uraian yang telah dipaparkan pada bab-bab
sebelumnya, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Setelah
jembatan Kutai Kartanegara runtuh, frekuensi dan intensitas
penggunaan
ferry dan ketinting semakin tinggi. Kondisi tersebut akan
berlangsung hingga 3-5 tahun kedepan atau sebelum jembatan baru
selesai dibangun. Pemerintah Kabupaten perlu membuat regulasi yang
mengatur standar keselamatan bagi penyedia dan pengguna jasa
layanan ferry dan ketinting. Misalnya perlengkapan berupa
pelampung, pembatasan jumlah penumpang dan kelaikan armada.
2. Intensitas dan frekuensi penggunaan transport dari Tenggarong
Loa Janan Samarinda (maupun sebaliknya) semakin tinggi. Pemerintah
Provinsi Kalimantan Timur perlu melebarkan jalan di jalur tersebut,
disertai regulasi dan dikawal dengan petugas lalu lintas supaya
tidak terjadi kemacetan.
3. Intensitas dan frekuensi penggunaan jembatan Mahakam dan
Mahulu semakin tinggi. Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur membuat
regulasi untuk mengurangi kepadatan kendaran yang melintasi
jembatan tersebut. Di kedua ujung jembatan tersebut juga perlu ada
fasilitas untuk mengawasi penggunaan jembatan agar tidak terjadi
kemacetan di tengah jembatan, disertai penguatan koordinasi antar
instansi dengan memanfaatkan teknologi informasi dan
komunikasi.
4. Pemerintah Kabupaten perlu membuat regulasi tarif
penyeberangan ferry dan ketinting, dan memberikan subsidi biaya
penyebarangan ferry dan ketinting bagi murid sekolah, guru, tenaga
kependidikan lainnya, dokter dan tenaga medis lainnya.
5. Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara perlu mengintensifkan
pelayanan kesehatan bagi masyarakat di Tenggarong Seberang dengan
menghidupkan kembali Puskesmas dan Puskesmas Pembantu (fix
facilities) yang selama ini mengalami kekosongan tenaga medis
(tidak beroperasi). Jika diperlukan, Pemkab juga dapat memberikan
layanan melalui Puskesmas Keliling (mobile facilities).
6. Keberlanjutan usaha ekonomi masyarakat di Tenggarong Seberang
sangat tergantung dari lalu-lintas yang melewati jembatan Kutai
Kartanegara menuju Samarinda dan sebaliknya, sebelum jembatan
tersebut runtuh. Oleh sebab itu pembangunan dermaga ferry sebaiknya
dirancang agar nantinya bisa mengalirkan lalu lintas kendaraan
melewati jalur sebelumnya. Dengan demikian jalur darat
Tenggarong-Samarinda yang melewati bekas JKK bisa hidup kembali,
sehingga dampak munculnya pengangguran bisa dihindari.
7. Untuk mengantisipasi dampak ikutan berupa munculnya hunian
baru baik untuk kegiatan ekonomi maupun tempat tinggal di sekitar
dermaga dan di sepanjang jalan menuju dermaga, Pemkab Kutai
Kartanegara perlu melakukan pengawasan terhadap perkembangan
pemanfaatan lahan di sekitar dermaga tersebut. Agar
-
Kolokium Jalan dan Jembatan
Achmad Helmi 1, Bambang Sudjatmiko
2, Bangkit A. Wiryawan
3 16
pengawasan tersebut lebih efektif, Pemkab dapat membuat regulasi
tentang tata ruang dan pemanfaatan lahan agar tidak menimbulkan
masalah lingkungan di kemudian hari.
UCAPAN TERIMAKASIH Terima kasih yang setingi-tingginya
disampaikan pada Ibu Ir.Lolly Martina Martief,MT Kepala Pusat
Penelitian dan Pengembangan Sosekling atas kepercayaan dalam
penugasan dan arahan penelitian. Ucapan terima kasih juga
disampaikan kepada Prof. Dr.Sunyoto Usman dan rekan-rekan mahasiswa
Pascasarjana Prodi Pengelolaan Infrastruktur dan Pembangunan
Masyarakat (PIPM) Universitas Gadjah Mada atas kerjasamanya dalam
penelitian di lapangan dan penulisan.
DAFTAR PUSTAKA Dinas Perhubungan. 2007. Tataran Transportasi
Lokal. Jakarta: PT Adhiyasa Decision. Glaser, Barney G dan Anselm
L. Strauss. 1967. The Discovery of Grounded Theory;
Strategis for Qualitative Research. New York: Aldine. MICD UGM
dan Puslitbang Sosekling. 2011. Laporan Kajian dampak Runtuhnya
Jembatan Kutai Kartanegara Kalimantan Timur. Laporan Penelitian.
Murzaki. 2007. Mari Mengenal Kaltim. Samarinda: Biro Humas
Setdaprov Kaltim.
Undang-Undang No 38 tahun 2004 tentang Jalan
Undang-Undang No 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana