BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pusat Pemerintahan Ibukota kabupaten, yaitu kota tempat kedudukan pusat pemerintahan kabupaten, dalam perkembangannya dapat menjelma menjadi kota yang makin mempunyai ciri dan tingkat kemajuan yang memenuhi syarat untuk diklasifikasikan sebagai Kota. Bila tahap perkembangan yang demikian itu terjadi, dijumpai suatu dilema karena Kota dan Kabupaten mempunyai tingkat yang sama tatarannya dari segi hierarki administrasi pemerintahan (Soenkarno, 1999). Tatanan pemikiran sistem pemerintahan yang berlaku, menimbulkan kecenderungan yang mengarah kepada diambilnya keputusan untuk memindahkan lokasi Pusat Pemerintahan Kabupaten keluar dari kota kedudukannya semula. Seperti yang terjadi pada Kabupaten Simalungun, yaitu memindahkan ibukota dari sebelumnya berada pada wilayah Kota Pematangsiantar ke wilayah Kecamatan Raya, salah satu wilayah kecamatan dalam wilayah Kabupaten Simalungun. Kawasan pemerintahan merupakan tempat untuk melaksanakan segala sesuatu hal yang berkaitan dengan pemerintahan, baik itu kegiatan politik dan administatif, serta segala kegiatan yang berkaitan dengan hal-hal mengenai politik dan pemerintahan. Salah satu tujuan dari direncanakannya kawasan tersebut yaitu untuk meningkatkan kualitas pelayanan bagi masyarakat dimana hal itu tidak dapat dilepaskan dari peran pemerintah sendiri dalam melaksanakannya (Purba, 2005). Universitas Sumatera Utara
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pusat Pemerintahan
Ibukota kabupaten, yaitu kota tempat kedudukan pusat pemerintahan
kabupaten, dalam perkembangannya dapat menjelma menjadi kota yang makin
mempunyai ciri dan tingkat kemajuan yang memenuhi syarat untuk diklasifikasikan
sebagai Kota. Bila tahap perkembangan yang demikian itu terjadi, dijumpai suatu
dilema karena Kota dan Kabupaten mempunyai tingkat yang sama tatarannya dari
segi hierarki administrasi pemerintahan (Soenkarno, 1999).
Tatanan pemikiran sistem pemerintahan yang berlaku, menimbulkan
kecenderungan yang mengarah kepada diambilnya keputusan untuk memindahkan
lokasi Pusat Pemerintahan Kabupaten keluar dari kota kedudukannya semula. Seperti
yang terjadi pada Kabupaten Simalungun, yaitu memindahkan ibukota dari
sebelumnya berada pada wilayah Kota Pematangsiantar ke wilayah Kecamatan Raya,
salah satu wilayah kecamatan dalam wilayah Kabupaten Simalungun.
Kawasan pemerintahan merupakan tempat untuk melaksanakan segala sesuatu
hal yang berkaitan dengan pemerintahan, baik itu kegiatan politik dan administatif,
serta segala kegiatan yang berkaitan dengan hal-hal mengenai politik dan
pemerintahan. Salah satu tujuan dari direncanakannya kawasan tersebut yaitu untuk
meningkatkan kualitas pelayanan bagi masyarakat dimana hal itu tidak dapat
dilepaskan dari peran pemerintah sendiri dalam melaksanakannya (Purba, 2005).
Universitas Sumatera Utara
Banyak hal yang harus dipenuhi dalam mewujudkan pemerintahan yang baik
dalam suatu daerah, salah satu diantaranya adalah melalui aspek desain, yaitu melaui
perancangan kawasan pemerintahannya. Kawasan pemerintahan merupakan tempat
untuk melaksanakan segala sesuatu hal yang berkaitan dengan pemerintahan, baik itu
kegiatan politik dan administatif, serta segala kegiatan yang berkaitan dengan hal-hal
mengenai politik dan pemerintahan (Purba, 2005).
Salah satu tujuan dari direncanakannya kawasan tersebut yaitu untuk
meningkatkan kualitas pelayanan bagi masyarakat dimana hal itu tidak dapat
dilepaskan dari peran pemerintah sendiri dalam melaksanakannya. Banyak hal yang
harus dipenuhi dalam mewujudkan pemerintahan yang baik dalam suatu daerah, salah
satu diantaranya adalah melalui aspek desain, yaitu melaui perancangan kawasan
pemerintahannya (Purba, 2005).
Menurut Hamid (2008), ada beberapa faktor dan indikator untuk menentukan
lokasi atau wilayah calon ibukota kabupaten yaitu meliputi:
a. Faktor lingkungan makro adalah dorongan lingkungan baik dari dalam
maupun dari luar seperti dorongan ketersediaan ruang atau lahan untuk
menjadikan ibu kota kabupaten sebagai pusat pemerintahan, pusat
pengendalian dan pertumbuhan pembangunan. Pusat jasa perdagangan dan
jasa sosial lainnya tentu memerlukan ruang atau lahan yang luas karena tidak
saja lahan yang disediakan hanya untuk perkantoran tetapi juga untuk
kepentingan kegiatan ekonomi sosial.
Universitas Sumatera Utara
b. Faktor endowment daerah yaitu ketersediaan SDM yang memadai dan SDA
yang potensial serta tingkat pengetahuan masyarakat yang cukup sebagai
calon warga ibukota kabupaten, sedangkan yang dimaksudkan dengan SDA
yang potensial adalah ketersediaan sumber air, tanah dan lain sebagainya.
c. Faktor budaya yang meliputi sifat dan perilaku masyarakat, adat istiadat yang
memberikan dukungan terhadap penetapan ibukota kabupaten.
Disamping faktor-faktor tersebut ikut menentukan kelayakan lokasi ibukota
Kabupaten yaitu daya dukung alam seperti yang disebut diatas antaranya lahan dan
sumber air, akses kemudahan pelayanan serta ketersediaan infrastruktur dasar seperti
jalan raya yang ada sehingga dapat meringankan beban pembiayaan infrastruktur dan
sekaligus telah berfungsi dengan dimulainya pembangunan sarana pemerintahan
didalam wilayah ibukota kabupaten (Hamid, 2008).
2.2. Kota Sebagai Pusat Pelayanan
Pusat pelayanan yang terletak di dalam kawasan perkotaan menjadi tempat
central aktivitas masyarakat, terbentuk sebagai kawasan yang paling dinamis dan
menjadi denyut nadi perkembangan suatu wilayah. Berbagai fasilitas pelayanan yang
lebih bervariasi membuat pusat pelayanan sebagai tempat yang menarik bagi
masyarakat di luar kawasan pusat kota. Adanya pusat pelayanan yang mengalami
kegagalan dalam perkembangannya disebabkan oleh banyak posisi daerah hinterland-
nya yang justru terserap masuk ke dalam wilayah pusat yang lebih besar, berakibat
daerah ini mengalami perkembangan yang stagnan atau bahkan mengalami
Universitas Sumatera Utara
kemunduran dalam pembangunannya, sehingga menyebabkan kesenjangan antara
wilayah (Sukirno, 1976).
Pusat kota menjadi pusat kegiatan masyarakat yang terbentuk sebagai
kawasan yang paling dinamis, merupakan denyut nadi perkembangan suatu wilayah.
Ia memiliki kecenderungan untuk menjadi besar dan berkembang dengan dukungan
wilayah sekitarnya atau hinterland-nya (Yunus, 2005).
Berbagai fasilitas dan lapangan kerja yang lebih bervariasi membuat suatu
kota sebagai tempat yang menarik bagi masyarakat di luar kawasan perkotaan.
Tentunya hal tersebut menyebabkan pusat kota banyak diminati oleh masyarakat
setempat maupun pendatang untuk beraktivitas di dalam kota, walaupun dia
bertempat tinggal di luar kawasan perkotaan tersebut (Bappenas, 2001).
Christaller (1966) dalam Djojodipuro (1992), mendefisikan tempat pusat atau
lebih dikenal dengan central place merupakan kota-kota yang menyajikan barang dan
jasa bagi masyarakat di wilayah sekelilingnya dengan membentuk suatu hirarki
berdasarkan jarak dan ambang batas penduduk. Pembagian hirarki pelayanan
tersebut, mengakibatkan suatu kota (dengan hirarki pelayanan paling tinggi) secara
alami memiliki potensi daya tarik yang besar dan berpengaruh besar bagi daerah-
daerah yang kekuatannya lebih kecil, dimana kota tersebut mempunyai kemampuan
menarik potensi, sumber daya dari daerah lain dan kota di bawahnya.
Richardson (1977), menyatakan bahwa bagi kota kecil dan menengah terdapat
pemusatan perkembangan di kota besar yang menimbulkan semakin tingginya
Universitas Sumatera Utara
ketergantungan mereka pada kota di atasnya. Hal tersebut mengakibatkan inovasi dan
kemajuan teknik menumpuk pada wilayah-wilayah makmur tersebut.
Sehubungan dengan hal tersebut Sukirno (1985), menyatakan kondisi yang
terjadi adalah terdapatnya suatu kota yang mengalami kegagalan dalam
perkembangannya karena banyak posisi daerah hinterland-nya yang justru terserap
masuk ke dalam wilayah perkotaan yang lebih besar. Akibatnya daerah ini
mengalami perkembangan yang stagnan atau bahkan mengalami kemunduran dalam
pembangunannya. Kesenjangan yang terjadi bisa diakibatkan oleh struktur ekonomi,
tingkat pendapatan, prasarana dan sarana yang tersedia serta tingkat pengangguran.
Namun perbedaan kemampuan pelayanan dari kota-kota tersebut apabila
dibiarkan berkembang secara alami akan menimbulkan fenomena kesenjangan
wilayah secara spasial dan ekonomi yang dicirikan dengan perbedaan tingkat
pertumbuhan dan perkembangan antar wilayah serta adanya perbedaan dan tingkat
kemakmuran (Cheema, 1996).
Kesenjangan wilayah apabila dibiarkan berlarut-larut maka akan memberikan
pengaruh yang kurang baik terhadap kelangsungan pertumbuhan ekonomi dan
pemerataan wilayah. Adapun konsekuensi yang ditimbulkannya, yaitu:
1. Makin besarnya migrasi penduduk desa, terutama yang memiliki ketrampilan
(skill), masuk ke wilayah perkotaan karena peluang untuk mendapatkan
pendapatan yang lebih tinggi.
2. Investasi cenderung mengalir ke wilayah yang sudah berkembang karena peluang
untuk meraih keuntungan lebih besar karena faktor pasar yang lebih mendukung.
Universitas Sumatera Utara
3. Pemerintah cenderung melakukan investasi pembangunan di wilayah yang sudah
berkembang karena kebutuhannya yang lebih besar. Seiring berlangsungnya
pembangunan ini, guna mengatasi terjadinya kesenjangan wilayah antara kota
utama dengan kota menengah/kecil.
Fungsi dan hirarkhi kota merupakan tata jenjang menujukkan hubungan
keterkaitan antarkomponen pembentuk struktur pemanfaatan ruang. Penentuan fungsi
kota pada prinsipnya didasarkan pada komponen pembentuk yang dominan
mempengaruhi aktivitas sosial ekonomi perkotaan, sedangkan hirarkhi kota adalah
hubungan antarkegiatan yang berpengaruh terhadap pola pemanfaatan ruang, dalam
skala wilayah dikenal dengan sistem kota atau orde kota berdasarkan skala
pelayanannya (Manta, 2006).
2.2.1. Fungsi dan Pelayanan Kota
Secara umum karakteristik kota dapat ditinjau berdasarkan aspek fisik, sosial
serta ekonomi. Berdasarkan bidang ilmu, kota atau perkotaan telah menjadi pokok
bahasan di bidang geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, engineering, planologi,
dan lain-lain (Tarigan, 2006).
Berkaitan dengan konteks ruang menurut Tarigan (2006), kota merupakan
satu sistem yang tidak berdiri sendiri, karena secara internal kota merupakan satu
kesatuan sistem kegiatan fungsional di dalamnya, sementara secara eksternal, kota
dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Kota ditinjau dari aspek fisik merupakan
kawasan terbangun yang terletak saling berdekatan/ terkonsentrasi, yang meluas dari
Universitas Sumatera Utara
pusatnya hingga ke wilayah pinggiran, atau wilayah geografis yang didominasi oleh
struktur binaan. Kota ditinjau dari aspek sosial merupakan konsentrasi penduduk
yang membentuk suatu komunitas yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas
melalui konsentrasi dan spesialisasi tenaga kerja. Kota ditinjau dari aspek ekonomi
memiliki fungsi sebagai penghasil produksi barang dan jasa, untuk mendukung
kehidupan penduduknya dan untuk keberlangsungan kota itu sendiri.
Di Indonesia, kawasan perkotaan dibedakan berdasarkan status
administrasinya, yakni: (1) Kawasan perkotaan berstatus administratif Daerah Kota;
(2) Kawasan perkotaan yang merupakan bagian dari Daerah Kabupaten; (3) Kawasan
perkotaan baru yang merupakan hasil pembangunan yang mengubah kawasan
perdesaan menjadi kawasan perkotaan; dan (4) Kawasan perkotaan yang merupakan
bagian dari dua atau lebih daerah yang berbatasan (Tarigan, 2006).
Peranan dan fungsi kota dalam lingkup wilayah menurut Tarigan (2006),
sistem kota-kota terbentuk karena adanya keterkaitan antara satu kota dengan kota
yang lain, baik secara spasial maupun fungsional. Suatu kota mempunyai potensi
untuk membentuk suatu sistem dengan kota-kota lain karena tersedianya
infrastruktur, faktor lokasi, dan penduduk. Dalam sistem kota-kota, terdapat banyak
kota yang saling berkaitan secara fungsional, yang antara lain digambarkan oleh
orientasi pemasaran geografis. Keterkaitan antar kota dalam suatu sistem kota-kota
terjadi karena terdapat kota sebagai pusat koleksi/distribusi komoditas dan kota
sebagai node yang ukurannya berbeda-beda tergantung jumlah penduduk, fungsi dan
hierarkinya. Peran penting yang diemban oleh interaksi atau keterkaitan antar kota
Universitas Sumatera Utara
adalah : (1) mewujudkan integrasi spasial, karena manusia dan kegiatannya terpisah-
pisah dalam ruang, sehingga interaksi ini penting untuk mengkaitkannya; (2)
memungkinkan adanya diferensiasi dan spesialisasi dalam sistem perkotaan; (3)
sebagai wahana untuk pengorganisasian kegiatan dalam ruang; dan (4) memfasilitasi
serta menyalurkan perubahan-perubahan dari satu simpul ke simpul lainnya dalam
sistem.
Dalam lingkup wilayah yang lebih luas, setiap kota mempunyai fungsi baik
fungsi umum dan fungsi khusus. Fungsi umum kota adalah pusat permukiman dan
kegiatan penduduk, sedangkan fungsi khusus kota adalah dominasi kegiatan
fungsional di suatu kota yang dicirikan oleh kegiatan ekonomi kota tersebut yang
mempunyai peran dalam lingkup wilayah yang lebih luas. Di Indonesia, National
Urban Development Strategy (NUDS, 1985) telah mengidentifikasi empat fungsi
dasar kota/perkotaan: Hinterland Services, Interregional communication, Goods
processing (manufacturing), Residential subcenters. Berdasarkan fungsinya dalam
sistem kota-kota/sistem pusat permukiman nasional seperti diarahkan dalam Rencana
Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN, 1997), kota-kota di Indonesia terdiri dari:
Pusat Kegiatan Nasional (PKN); Pusat Kegiatan Wilayah (PKW); Pusat Kegiatan
Lokal (PKL) (Tarigan, 2006).
Perkotaan amat besar perannya dalam persebaran dan pergerakan penduduk.
Hal ini terjadi karena di bagian wilayah tersebut terdapat berbagai kegiatan ekonomi
sekunder dan tarsier serta fungsi pelayanan yang menimbulkan daya tarik bagi
penduduk (Yunus, 2005).
Universitas Sumatera Utara
Pada sisi lain pengelompokan kegiatan, fasilitas dan penduduk serta
berpusatnya berbagai keputusan yang menyangkut publik merupakan faktor-faktor
yang menarik bagi kegiatan ekonomi/bisnis. Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa
perkotaan memiliki nilai strategis. Perkotaan tidak sekedar sebagai pemusatan
penduduk serta berbagai fungsi sosial, ekonomi, politik dan administrasi, tetapi juga
potensial sebagai instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan pada tingkat
nasional maupun regional. Dalam kaitan ini, sistem perkotaan dapat memberi
petunjuk bagi bagian-bagian yang perlu memperoleh investasi agar tercapai solusi
terhadap dilema antara efisiensi nasional dan pemerataan antar wilayah (Richardson,
1979).
2.2.2. Model Perkembangan Kota
Perkembangan kota di Indonesia mengalami perubahan-perubahan seiring
dengan perkembangan politik maupun perekonomian. Dalam era desentralisasi
sekarang ini, dimana implementasi dari kebijakan tersebut serta perubahan
pendekatan dalam pembangunan akan menimbulkan implikasi pada pola urbanisasi.
Urbanisasi terkait dengan perkembangan perkotaan.
Teori klasik menyatakan bahwa kota-kota berkembang karena peningkatan
efisiensi kegiatan pertanian yang mengakibatkan dislokasi tenaga kerja pertanian
(Devas, et al, 1993). Teori ini mengisyaratkan terdapatnya kaitan industrialisasi dan
perkembangan perkotaan. Perkembangan industri perkotaan akan memicu migrasi
desa-kota yang akhirnya mendorong lebih jauh urbanisasi. Teori ini sejalan dengan
Universitas Sumatera Utara
perspektif modernisasi, namun dalam perspektif modernisasi juga menekankan
perbedaan fertilitas dan mortalitas antara desa dan kota sebagai pemicu
perkembangan perkotaan disamping migrasi desa-kota.
Pandangan-pandangan tersebut mengisyaratkan adanya hubungan antara
perkembangan ekonomi dan urbanisasi. Meskipun demikian perkotaan bukan sekedar
aleman statis urbanisasi. Kota-kota dapat memainkan peran sebagai katalisator
pertumbuhan ekonomi di negara-negara sedang berkembang, terutama melalui
berbagai fungsi yang dimilikinya (Friedmann, 1966).
Fungsi-fungsi tersebut mampu mendorong lebih jauh migrasi desa-kota.
Kecenderungan ini akan semakin menguat dengan konsentrasi investasi di kota-kota
besar seperti yang dilakukan di banyak negara berkembang karena pertimbangan
keterbatasan sumberdaya serta infrastruktur pendukung. Semua ini akan mendorong
urbainsasi (Nugroho, dkk, 2004).
Teori tempat sentral mengilhami sebuah model perkembangan sistem
perkotaan. Pada tahap awal, ketika kegiatan pertanian masih dominan, akan
ditemukan kota-kota dengan fungsi dan interaksi terbatas. Kepadatan penduduk
perkotaan belum menjadi isu pada tahap ini. Kemudian spesialisasi dan diferensiasi
kegiatan pada tahap transisi mendorong perkembangan perkotaan.
Interaksi dan kompetisi antar kota menjadi makin intensif yang dipacu oleh
kemajuan transportasi dan komunikasi. Ini akan menghasilkan diferensiasi
perkembangan perkotaan. Kota-kota yang unggul akan berkembang lebih cepat,
membentuk aglomerasi, menjadi sasaran pendatang dan mengalami persoalan tekanan
Universitas Sumatera Utara
penduduk. Pada tahap klimaks, berbagai fungsi perkotaan sudah terbentuk lengkap.
Selain itu kota-kota semakin terintegrasi yang ditunjang oleh kemajuan perhubungan.
Desentralisasi penduduk dari kota-kota besar mulai berlangsung (Soegijoko, 2005).
Perencanaan kota di Indonesia yang merupakan bagian dari proses penataan
ruang kota, tidak dapat dilepaskan dari pemanfaatan ruang sebagai implementasi dari
rencana tata ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang sebagai kegiatan untuk
menjaga kesesuaian antara rencana tata ruang dengan pemanfaatan ruang (Nurmandi,
2006).
Dalam praktik perencanaan tata ruang kota di Indonesia, sering kali terjadi
benturan antara perencanaan tata ruang kota dengan berbagai kecenderungan yang
menyertai perkembangan kota. Isu strategis dalam perencanaan tata ruang kota adalah
bagaimana mengefektifkan rencana tata ruang agar dapat mendorong pertumbuhan
ekonomi kota sesuai dengan fungsi dan peranannya secara regional. Jika ditelusuri
lebih jauh, permasalahan dalam praktik perencanaan kota di Indonesia, yang secara
umum menyangkut tiga hal, yaitu: (1) permasalahan teknis penyusunan rencana tata
ruang; (2) ketidak-efektifan rencana tata ruang; dan (3) perbedaan pola pikir/persepsi
tentang rencana tata ruang.
Permasalahan khusus dalam penataan ruang/pembangunan kota terkait dengan
konsep penataan ruang yang tanggap terhadap dinamika pembangunan kota. Dalam
hal ini perlu pemahaman terhadap aspek-aspek permasalahan spesifik yang
mempengaruhi perwujudan pemanfaatan ruang kota sesuai dengan rencana yang
ditetapkan, yang meliputi lima aspek, yaitu: manajemen lahan; lingkungan hidup
Universitas Sumatera Utara
perkotaan; prasarana perkotaan; pembiayaan dan investasi; serta kerja sama
pemerintah, swasta, dan masyarakat (Soegijoko dan Kusbiantoro, 1997).
Di kota-kota terdapat berbagai kemudahan. Kemudahan diartikan sebagai
kesempatan untuk memenuhi berbagai kebutuhan manusia. Semakin tinggi tingkat
kemudahan pada suatu tempat, berarti semakin kuat daya tariknya mengundang
manusia dan kegiatan ekonomi untuk datang ke tempat tersebut. Diantara
kemudahan-kemudahan tersebut jasa distribusi merupakan unsur yang sangat panting,
oleh karena itu di kota-kota pada umumnya merupakan pusat kegiatan usaha
distribusi, yang selanjutnya menurut Yunus (2005), menyebutnya "simpul jasa
distribusi" atau disingkat dengan simpul.
Ada dua faktor panting yang harus diperhatikan dalam pemahaman peranan
simpul-simpul, yaitu mengenai fungsi-fungsi simpul dan hirarki simpul dalam sistem
spasial. Fungsi primer suatu simpul adalah sebagai pusat pelayanan jasa distribusi
bagi wilayah pengembangannya atau wilayah nasional (bersifat keluar), sedangkan
fungsi sekundernya adalah kehidupan masyarakat di simpul yang bersangkutan
(bersifat ke dalam). Perbedaan fungsi simpul tersebut mencerminkan pula perbedaan
dalam jenis dan kapasitas fasilitas yang tersedia di masing-masing simpul. Hirarki
dari tiap simpul ditentukan oleh kedudukannya dalam hubungan fungsional enter
simpul yang dicerminkan berdasarkan mekanisme arus distribusi barang.
Biasanya pada simpul-simpul yang lebih tinggi ordenya tersedia fasilitas jasa
distribusi yang lebih lengkap bila dibandingkan dengan simpul-simpul yang lebih
rendah ordenya. Antara simpul-simpul tersebut, baik antar simpul yang mempunyai
Universitas Sumatera Utara
tingkatan orde distribusi yang sarna ataupun yang berbeda terdapat keterhubungan
dan ketergantungan. Keterhubungan dan ketergantungan antar simpul dapat diketahui
dari data arus barang dari tempat asal ke tempat tujuan.
Selanjutnya berdasar susunan hirarki serta keterhubungan den ketergantungan
dapat ditentukan arah pengembangan pemasarannya secara geografis. Yunus (2005),
membedakan wilayah administrasi dengan wilayah pengembangan. Secara
administratif, seluruh wilayah terbagi habis, tetapi tidak berarti bahwa seluruh
wilayah administrasi secara otomatis tercakup dalam wilayah pengembangan. Dalam
kenyataannya beberapa bagian wilayah administrasi tidak terjangkau oleh pelayanan
distribusi disebabkan hambatan-hambatan geografis atau karena belum tersedianya
prasarana distribusi ke dan dari bagian-bagian wilayah tersebut.
2.3. Teori Pusat Pelayanan
Teori tempat pusat pertama kali dikembangkan oleh W. Christaller dan A.
Lösch, dalam rangka untuk menjelaskan ukuran dan jumlah kota dan jarak mereka di
suatu wilayah. Hal itu bergantung pada definisi kota yang menganggap hal itu pada
dasarnya sebagai pusat distribusi barang dan jasa kepada penduduk yang tersebar, dan
pada prinsip-prinsip pengoptimalan (Hartshorn, 1980).
Teori ini berdiri di batas antara geografi dan ekonomi spasial, dan mungkin
diklaim oleh kedua disiplin. Teori ini didasarkan pada perbedaan antara pusat, yang
merupakan kursi dari persediaan barang, jasa dan perifer (daerah melengkapi pusat)
dimana permintaan dari penduduk yang menggunakannya. Gagasan sentral