Laporan Analisis Kebijakan DAMPAK PENGETATAN INVESTASI ASING TERHADAP INDUSTRI PERBENIHAN HORTIKULTURA 0leh Erwidodo, Muchjidin Rachmat dan Erma Suryani PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2016
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Laporan Analisis Kebijakan
DAMPAK PENGETATAN INVESTASI ASING
TERHADAP INDUSTRI PERBENIHAN HORTIKULTURA
0leh
Erwidodo, Muchjidin Rachmat dan Erma Suryani
PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
KEMENTERIAN PERTANIAN
2016
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pada tanggal 11 Februari 2016, Pemerintah telah mengubah aturan daftar
negative investasi untuk mendorong pertumbuhan penanaman modal di dalam
negeri dalam Paket Kebijakan ke-X. Perubahan aturan itu dilakukan dengan
memperjelas sejumlah ketentuan tentang investasi di berbagai bidang usaha. Di
beberapa sektor usaha, pemerintah mengeluarkan 35 bidang usaha dari daftar
negatif investasi. Bidang usaha yang dikeluarkan dari DNI tersebut 100 persen
sahamnya dapat (boleh) dimiliki oleh pemodal asing, diantaranya industry karet
kering (crumb rubber), gudang berpendingin (cold storage), restoran, bar, kafe
dan usaha rekreasi.
Pemerintah menjamin bahwa ketentuan dalam Paket kebijakan X ini tidak
akan berdampak negatif terhadap pelaku usaha kecil menengah (UKM) yang
memiliki kekayaan bersih kurang dari Rp 10 miliar. Perubahan ketentuan DNI
tersebut justeru diyakini akan memotong mata rantai oligopoly dan kartel yang
selama ini hanya diikmati oleh kelompok tertentu. Kebijakan ini untuk mendorong
peningkatan investasi baik melalui UKM, penanaman modal dalam negeri (PMDN)
maupun penanaman modal asing (PMA).
Selain itu, 39 bidang usaha yang dicadangkan untuk UMKM dan koperasi
diperluas nilai pekerjaannya, dari semula sampai dengan Rp 1 miliar menjadi Rp
50 miliar. Penguasaan modal asing untuk budidaya hortikultura dan pembenihan
hortikultura yang semula maksimum 30 persen (sesuai Perpres 39/2014, UU
Hortiukultura no 13/2010) ditingkatkan menjadi 67 persen. Demikian juga bidang
usaha “cold storage” yang batas penguasaan modal asing semula 33 persen
meningkat menjadi 100 persen.
Yang menarik adalah UU Hortikultura No 13/2010 sampai sekarang masih
berlaku. Belum jelas apakah mungkin Paket kebijakan ke-X untuk bidang usaha
budidaya dan perbenihan hortikultura menyalahi UU Hortikultura No 13/2010 yang
masih berlaku? Apakah UU Hortikultura ini akan segera diamendemen atau
pemerintah telah mempersiapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang (Perpu)?
2
Pemberlakuan paket kebijakan ke-X perlu diantisipasi dan ditindaklanjuti
pelaksanaannya agar sesuai dengan yang diharapkan. Demikian juga
kemungkinan akan direvisinya (lewat amendemen UU Hortikultura No 13/2010
ataupun lewat Perpu, terkait batas maksimum kepemilikan asing di usaha
perbenihan hortikultura) perlu diantisipasi dan dikaji dampaknya terhadap
kegiatan investasi perbenihan hortikultura dan sektor hortikultura secara
keseluruhan. Kajian pendahuluan ini bertujuan untuk memahami dampak
ketentuan batas maksimum kepemilikan asing sebagaimana tertuang dalam Pasal
100 ayat 3 UU Hortikultura No 13/2010 terhadap kinerja sektor hortikultura dan
usaha perbenihan hortikultura selama ini dan potensi dampaknya bilamana
Pemerintah pada akhirnya merevisi ketentuan tersebut, baik lewat Perpu maupun
lewat amandemen UU No 13/2010 tersebut.
1.2. Dasar Pertimbangan
Undang-Undang No. 13/2010 tentang Hortikultura telah mengatur
penyelenggaraan usaha hortikultura termasuk usaha perbenihan hortikultura.
Dalam pasal 100 ayat 3 UU No. 13/2010 dinyatakan bahwa maksimal modal asing
untuk usaha hortikultura adalah 30 persen, dan dalam waktu 4 tahun setelah
penetapan UU No. 13/2010 atau paling lambat tahun 2014 investor asing yang
sudah melakukan penanaman modal dan mendapatkan izin usaha hortikultura
wajib mengalihkan atau menjual sahamnya kepada investor domestik sehingga
kepemilikannya tinggal maksimal 30 persen (Pasal 131).
Dengan demikian pelaksanaan UU No. 13/2010, khususnya tentang
pembatasan modal asing dalam subsektor hortikultura, berpotensi menimbulkan
pertentangan diantara para pihak terutama dalam industri perbenihan. Sebagian
kalangan menyetujui UU No.13/2010 karena dianggap akan memberdayakan
produsen benih lokal. Sebagian pihak tidak setuju dengan aturan tersebut karena
bisa merugikan perkembangan benih nasional. Pelaku usaha terutama PMA yang
bergerak dalam investasi terutama perbenihan keberatan dengan peraturan
tersebut. Pembatasan ini dinilai menciptakan ketidakpastian hukum berinvestasi
karena UU yang lain memungkinkan kepemilikan modal asing hingga 100 persen.
3
Disamping itu adanya ketentuan tentang alih modal dan alih teknologi sebagai
latar belakang pembatasan modal asing diNILAI tidak tepat.
Namun pembatasan modal asing boleh jadi disambut baik oleh produsen
benih PMDN. Dengan ketentuan tersebut diharapkan peran produsen benih
PMDN bisa semakin meningkat. Walaupun dampak selanjutnya perlu
dipertanyakan berkaitan dengan terobosan teknologi terutama penemuan varietas
unggul dari produsen PMDN. Dengan demikian sejak awal beberapa kalangan
berpendapat sebaiknya pembatasan saham asing dalam bisnis hortikultura ditinjau
kembali. Dengan demikian Paket Kebijakan ke-X tanggal 11 Februari 2016 yang
telah mengubah aturan daftar negative investasi diharapkan akan mampu
memberikan iklim investasi yang lebih baik bagi PMA tanpa mengorbankan pelaku
UMKM dalam negeri.
Pada bagian lain, peraturan yang terkait dengan usaha hortikultura juga
cukup banyak antara lain yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) dan
Permentan. Seperti Permentan No. 05/2012 tentang Pemasukan dan
Pengeluaran Benih Hortikultura, Permentan No. 38/2011 tentang pendaftaran
varietas hortikultura. Permentan No. 48/2012 mengatur tentang produksi,
sertifikasi, dan pengawasan peredaran benih. Permentan No. 42/2012 tentang
Persyaratan Teknis dan Tindakan Karantina Tumbuhan untuk Pemasukan Buah-
buahan Segar dan Sayuran Buah Segar, Permentan No. 43/2012 tentang
Persyaratan Teknis dan Tindakan Karantina Tumbuhan untuk Pemasukan Umbi
Lapis Segar ke dalam Wilayah Negara Indonesia. Untuk mendukung
pengembangan hortikultura dalam negeri, Pemerintah juga telah mengeluarkan
Permentan No. 60/2012 yang merupakan revisi dari Permentan No. 03/2012
tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura. Secara paralel Menteri
Perdagangan mengeluarkan Permendag No. 60/2012 yang merupakan revisi dari
Permendag No. 30/2012 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura.
1.3. Tujuan
Terlepas dari pertanyaan yang menyangkut landasan konstitusi/legal diatas,
analisis kebijakan ini juga ditujukan untuk melihat dampak potensial dari paket
kebijakan ke X, khususnya DNI di bidang usaha dan perbenihan hortikultura,
4
terhadap kinerja subsektor hortikultura kedepan, termasuk produksi dan impor
benih dan produk hortikultura. Secara lebih sepesik, tujuan analisis kebijakan ini
adalah sebagai berikut:
(1) Menganalisis dampak UU Hortikultura No 13/2010 dan pembatasan DNI
dalam Perpres 39/2014 terhadap kinerja bidang usaha budidaya dan
perbenihan hortikultura: kinerja realisasi PMA dan PMDN bidang usaha dan
perbenihan hortikultura, jumlah perusahaan budidaya dan perbenihan,
produksi dan impor benih hortikultura, produksi dan impor produk
hortikultura (ex-post analysis).
(2) Menganalisis potensi dampak ekonomis Paket Kebijakan ke-X terkait DNI
bidang usaha budidaya dan perbenihan hortikultura terhadap kinerja
subsektor hortikultura secara keseluruhan: potensi jumlah perusahaan
PMDN/PMA budidaya dan perbenihan hortikultura, produksi dan impor benih
hortikultura, produksi dan impor produk hortikultura (ex-ante analysis).
(Catatan: saat analisis kebijakan ini dilakukan, diperoleh informasi bahwa
rencana untuk keluarnya PERPU pengganti UU Hortikultura No 13/2010
belum akan dilakukan dan masih sebatas wacana sampai saat ini).
1.4. Metodologi
a. Jenis dan Sumber data
Analisis kebijakan ini menggunakan data sekunder dan primer. Data
sekunder akan dikumpulkan dari berbagai sumber instansi terkait, baik di tingkat
pusat dan daerah (Jawa barat dan Jawa Timur). Data primer akan dikumpulkan
dari lokasi penelitian melalui kegiatan wawancara dengan beberapa narasumber
dan didukung dengan diskusi kelompok di lokasi penelitian.
b. Lokasi Penelitian
Kunjungan/pengecekan singkat ke lapang diperlukan untuk memperoleh
data dan informasi terkait permasalahan dan faktor-faktor penjelas dalam analisis
ini. Lokasi penelitian dipilih Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Jawa Timur. Dasar
pertimbangan pemilihan lokasi Jawa Barat (Lembang), selain melakukan
kunjungan ke Balai Penelitian Sayuran (Balitsa), juga kunjungan ke beberapa
pelaku perbenihan dan budidaya sayuran mengingat Jawa Barat umumnya dan
5
Lembang khususnya merupakan daerah produksi sayuran. Sementara pemilihan
lokasi Jawa Timur (Malang), karena selain mengunjungi lokasi budidaya sayuran
tim berkepentingan untuk melakukan diskusi dan pengumpulan data dan informasi
di Balai Penelitian Jeruk dan Buah Subtropis (BalitJestro). Tim juga berkunjung
dan mengumpulkan informasi di Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih tanaman
Pangan dan Hortikultura (BPSBTH) di Malang.
c. Metode Analisis
Analisis data dilakukan secara dekriptif dengan mengkombinasikan data
sekunder dan data primer. Analisis deskriptif dan tabulatif dilakukan mencakup: (i)
perubahan aturan perundangan dan iklim investasi, (ii) dampak pengetatan
investasi terhadap industri hortiklutura, (iii) perkembangan produksi hortikultura,
(iv) perkembangan ekspor dan impor produk hortikultura, dan (v) Kinerja
penelitian perbenihan hortikultura.
II. PERUBAHAN ATURAN PERUNDANGAN DAN IKLIM INVESTASI
2.1. UU No 13/2010 tentang Hortikultura
Undang-Undang No. 13 Tahun 2010 tentang hortikultura mengatur
penyelenggaraan subsektor hortikultura termasuk usaha perbenihan hortikultura.
Hortikultura didefinisikan sebagai segala sesuatu yang berkaitan dengan buah,
sayuran, bahan obat nabati, dan florikultura, termasuk di dalamnya jamur, lumut,
dan tanaman air yang berfungsi sebagai sayuran, bahan obat nabati, dan/atau
bahan estetika. Usaha hortikultura tersebut mencakup usaha perbenihan,
budidaya, indudtri pengolahan, penelitian, wisata agro dan jasa hortikultura.
Undang-Undang No. 13/2010 dalam kaitan dengan bidang investasi, pasal
100 ayat 3 UU No. 13/2010 dinyatakan bahwa maksimal modal asing untuk usaha
hortikultura adalah 30 persen. Dalam waktu 4 tahun setelah penetapan UU No.
13/2010 atau paling lambat tahun 2014 investor asing yang sudah melakukan
penanaman modal dan mendapatkan izin usaha hortikultura wajib mengalihkan
atau menjual sahamnya kepada investor domestik sehingga kepemilikannya
tinggal maksimal 30 persen (Pasal 131).
6
Aturan lain dari investasi asing dalam UU tersebut antara lain:(a) investor
asing harus bermitra dengan pelaku usaha Indonesia, dengan membentuk badan
hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia; (b) besarnya investasi asing
maksimal 30 persen dari total investasi; (c) investor asing di bidang hortikultura
harus memberi kesempatan pemagangan dan melakukan alih teknologi bagi
pelaku usaha hortikultura Indonesia.
Secara teknis terdapat beberapa peraturan pemerintah yang juga berkaitan
dengan investasi hortikultura, antara lain :
a. Peraturan tentang pendaftaran varietas hortikultura diatur melalui Permentan
No. 38/2011. Peraturan ini digunakan sebagai dasar pelaksanaan kegiatan
pendaftaran varietas. Tujuannya adalah melindungi konsumen dari perolehan
benih yang performa/keragaman varietasnya tidak sesuai dengan deskripsi.
b. Permentan No. 48/2012 mengatur tentang produksi, sertifikasi, dan
pengawasan peredaran benih. Peraturan ini digunakan sebagai dasar hukum
dalam pelayanan pelaksanaan produksi, sertifikasi dan pengawasan
peredaran.
c. Permentan No. 42/2012 tentang Persyaratan Teknis dan Tindakan Karantina
Tumbuhan untuk Pemasukan Buah-buahan Segar dan Sayuran Buah Segar
dan Permentan No. 43/2012 tentang Persyaratan Teknis dan Tindakan
Karantina Tumbuhan unutk Pemasukan Umbi Lapis Segar ke dalam Wilayah
Negara Indonesiasebagai perubahan atas Permentan No. 15/2012. Impor
buah segar dan sayuran buah segar serta umbi lapis segar hanya diijinkan
melalui Pelabuhan Laut Belawan (Sumatera Utara), Bandara Soekarno-Hatta
Cengkareng (Banten), Pelabuhan Laut Tanjung Perak (Jawa Timur), dan
Pelabuhan Laut Soekarno-Hatta Makassar (Sulawesi Selatan).
d. Permentan No. 05/2012 tentang Pemasukan dan Pengeluaran Benih
Hortikultura untuk menjamin ketersediaan benih bermutu secara cukup dan
berkesinambungan, menumbuhkembangkan industri benih dalam negeri,
meningkatkan keragaman genetik dan menjaga keamananan hayati,
meningkatkan devisa negara.
7
e. Untuk mendukung pengembangan hortikultura dalam negeri, Pemerintah
telah mengeluarkan Permentan No. 60/2012 yang merupakan revisi dari
Permentan No. 03/2012 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura.
Secara paralel Menteri Perdagangan mengeluarkan Permendag No. 60/2012
yang merupakan revisi dari Permendag No. 30/2012tentang Ketentuan
Impor Produk Hortikultura.
2.2. Daftar Negatif Investasi: Perpres 36/2010 menjadi Perpres
39/2014
Sektor pertanian (tanaman pangan dan perkebunan termasuk peternakan
serta hortikultura) merupakan salah satu sektor yang diminati oleh para investor
asing, dilihat dari realisasi nilai investasi PMA, yaitu urutan ke-4 (empat) terbesar
pada tahun 2014 setelah sektor perindustrian, sektor pertambangan/penggalian,
dan sektor transportasi, pergudangan dan komunikasi.
Kinerja PMA agregat (semua sektor) setelah berlakunya Perpres 36/2010
(2010-2013) memperlihatkan pertumbuhan pesat, baik dari jumlah maupun nilai
proyeknya. Nilai total investasi meningkat hampir dua kali lipat dari USD 16.2b
pada tahun 2010 menjadi USD 28.5b pada tahun 2013, atau tumbuh dengan laju
rata-rata 19.0% per tahun selama periode tersebut. Namun, pertumbuhan ini
tidak berlanjut pada periode 2013-2014, dimana laju pertumbuhan investasi justru
menurun 0.31% dari USD 28.6b pada tahun 2013 menjadi USD 28.5b. Realisasi
nilai investasi tahun 2015 diperkirakan akan terus menurun, karena realisasi
sampai dengan triwulan ketiga 2015 baru mencapai USD 21.3b lebih rendah dari
nilai investasi pada reriode yang sama pada tahun 2014.
Kinerja PMA di sektor pertanian (subsektor tanaman pangan dan
perkebunan serta peternakan) pada periode 2010-1014 saat diberlakukannya
Perpres 36/2010 ( atau sebelum Perpres 39/2014) memperlihatkan pertumbuhan
pesat, baik dari jumlah maupun nilai proyeknya. Nilai total investasi meningkat
hampir dua kali lipat dari USD 775,98 juta pada tahun 2010 menjadi USD 2237,5
juta pada tahun 2014, atau kenaikan sebesar 288,6 persen dalam empat tahun
atau tumbuh dengan laju rata-rata 72,16% per tahun selama periode tersebut.
8
Pada era pemberlakuan Perpres 39/2014, sampai triwulan ketiga tahun 2015 nilai
investasi baru mencapai USD 1435,9 juta, lebih rendah dari nilai investasi pada
periode yang sama tahun 2014 sebesar USD 1646,3 (Tabel 1).
Tabel 1. Perkembangan investasi PMA sektor pertanian, 2010-2015
Sektor 2010 2011 2012 2013 2014 2015 (Q3)
A. Jumlah Proyek 170 278 275 539 350 446
1. Tanaman Pangan &
Perkebunan 159 264 261 520 324 401
2. Peternakan / Livestock 11 14 14 19 26 45
B. Nilai Investasi (US Juta) 775,981 1243,629 1621,692 1616,647 2237,538 1435,944
Jumlah Biji (kg) 7,214 22,88 804,17 159,312 883,911 62,463
Sumber: Ditjen Hortikultura
VI. Kondisi dan Kinerja Riset Perbenihan Hortikultura
Dalam usaha perbenihan hortikultura di Indonesia, peran swasta dalam
usaha benih buah relatif terbatas kepada buah musiman seperti semangka, melon
dan sejenisnya, namun belum ada yang bergerak dibidang usaha benih tanaman
tahunan seperti jeruk, apel, mangga dan lainnya. Dengan demikian,
pengembangan teknologi dan penyediaan benih bermutu buah tahunan umumnya
mengandalkan peran dari Balai Penelitian lingkup Badan Litbang. Namun demikian
27
penanganan perbenihan oleh balai penelitian tersebut juga relatif terbatas, seperti
halnya di Balai Penelitian Jeruk dan Tanaman Sub Tropis (Balijestro), perhatian
lebih terfokus kepada tanaman Jeruk, sementara tanaman lain yang juga menjadi
mandatnya seperti Apel, Strawberi, dan lainnya belum ditangangi secara serius.
Upaya Balijestro untuk menyediakan benih jeruk bermutu juga tetap saja tidak
mampu untuk memenuhi kebutuhan.
Berbeda dengan buah, investasi usaha perbenihan sayur oleh swasta (PMA
dan PMDN) tumbuh pesat. Namun demikian secara umum industri perbenihan
hortikultura nasional adalah, sebagai berikut: (a) industri benih hortikultura
dikuasai oleh investasi asing (PMA), (b) beberapa tahun terakhir impor benih
meningkat pesat, (b) plasma nuftah benih sayur yang umumnya merupakan
sayuran sub tropis sebagian besar masuk ke Indonesia secara illegal, (3) benih
tersebut umumnya dikuasai oleh perusahaan besar, dan (4) belum berperannya
Balitsa dan perguruan Tinggai dalam menghasilkan benih bermutu (sangat
terbatas).
Balitsa sebagai institusi penelitian sayuran pemerintah menghadapi kendala
semakin dibatasinya tugas yang diberikan yaitu hanya kepada penelitian dasar
untuk komoditi cabe, bawang merah dan kentang. Dana yang diberikan juga
terbatas dan terfokus kepada ketiga komoditi tersebut. Namun demikian peneliti
juga berupaya menjaga kegiatan penelitian dasar untuk komoditi lain yang selama
ini digelutinya, sehingga dana yang ada juga harus berbagi untuk kegiatan lain
tersebut. Dana penelitian juga dirasakan semakin kecil.
Pada era otonomi daerah dimana posisi BBI dan BBU berada di pemerintah
daerah (tidak lagi dibiayai dana pusat) dirasakan terjadinya penurunan fungsi BB
tersebut sehingga menghambat alur diseminasi teknologi perbenihan yang
dihasilkan oleh Balitsa.
Upaya kerjasama Balitsa dengan swasta telah dilakukan, namun yang baru
berjalan terbatas kepada produsen swasta kecil dan pemula, sementara
perusahaan benih swasta besar justru memandang hasil produk yang dihasilkan
Balitsa kurang bersaing/kurang bernilai komersial. Balitsa menghadapi kendala
berkaitan dengan lamanya waktu untuk menghasilkan varietas. Untuk itu peneliti
28
balitsa mengharapkan output penelitian dan bidang kerjasama dengan swasta bisa
dimulai dari galur. Balitsa juga selama ini lebih terfokus kepada kegiatan penelitian
perbenihan yang open pollination, dan baru melangkah ke hibrida.
Lebih jauh lagi, keberadaan sumberdaya peneliti di Balitsa khususnya dan
Puslitbanghort umumnya berkurang, baik dari segi kualitas dan kuantitas karena
sebagian telah dan akan segera pensiun sementara rekruitmen baru dan
pendidikan lanjutan dibatasi. Akibatnya, jumlah dan komposisi tenaga peneliti di
bidang hortikultura tidak memenuhi ‘critical mass’ dan mengalami ketimpangan.
Jumlah tenaga peneliti utama bidang ‘pemuliaan’ di Balitsa, misalnya, sangat
terbatas untuk memenuhi kebutuhan. Sebagian dari tenaga di bidang pemulian di
Balitsa merupakan tenaga teknisi. Kalau situasi ini dibiarkan berlangsung lama,
tidak mustahil bila subsektor hortikultura akan semakin tertinggal, pasar Indonesia
akan semakin kebanjiran baik benih maupun produk hortikultura.
Terbatasnya sumberdaya penelitian dan peneliti, khususnya jumlah tenaga
peneliti pemulia, di Balitsa juga merupakan kendala tersendiri untuk menghasilkan
dan mengembangkan varietas unggul baru sayuran. Situasi ini juga membuat
Balitsa menghadapi keterbatasan untuk melakukan kerjasama dengan Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) untuk mengawal diseminasi teknologi dan
uji-multilokasi varietas serta untuk menghasilkan benih induk unggul yang sangat
dibutuhkan oleh penakar benih. Disamping itu Balitsa juga tidak dapat memenuhi
harapan untuk melakukan pengawalan pengadaan benih sebar yang dilakukan
para penakar benih di seluruh wilayah tanah air.
Dalam kondisi seperti ini, keberadaan perusahaan perbenihan BUMN dan
swasta, baik PMDN maupun PMA, menjadi keharusan. Sementara PMDN belum
tertarik untuk masuk di industri perbenihan (terbukti dari pertumbuhannya yang
relatif lambat), maka keputusan pemerintah untuk membatasi secara ketat
keberadaan PMA, bukan keputusan yang tepat karena akan berakibat terpuruknya
subsektor hortikultura untuk memenuhi permintaan masyarakat terhadap produk
hortikultura yang terus meningkat. Jika aturan pembatasan kepemilikan modal
asing masimal 30%, sebagaimana tertuang dalam UU No UU 13 tahun 2010,
29
hampir dipastikan beberapa tahun mendatang Indonesia akan kebanjiran impor
benih dan produk hortikultura.
Melonggarkan ketentuan investasi bidang perbenihan hortikultura kedalam
Paket Kebijakan ke-X tentang DNI tidak memungkinkan karena terkendala oleh UU
No 13 tahun 2010 yang masih berlaku sampai saat ini. Melihat potensi dampak
akibat dibatasinya kepemilikan asing maksimal 30%, sebagaimana tertuang dalam
pasal 100 ayat 3 UU No UU 13 tahun 2010, maka sebaiknya pemerintah untuk
mengeluarkan Perpu untuk menggatikan UU No 13 tahun 2010 tersebut. Dengan
keluarnya Perpu, maka pemerintah dapat segera melakukan revisi Paket Kebijakan
no X dengan memasukan revisi (melonggarkan) batas maksimum kepemilikan
modal asing bidang perbenihan hortikultura.
VII. Kesimpulan dan Rekomendasi
1. Sebagai negara dengan potensi sumberdaya yang dimilikinya, seharusnya
indonesia dapat menjadi eksportir utama produk pertanian, termasuk produk
hortikultura tropis. Hal ini dapat dicapai melalui peningkatan produksi
pertanian yang berdaya saing, dengan mendayagunakan semaksimal mungkin
potensi sumberdaya yang dimiliki dan membuka peluang pengembangan
usaha pertanian melalui kegiatan investasi di sektor pertanian umumnya dan
hortikultura khususnya. Jika kenyataan selama ini kinerja PMDN di subsektor
hortikultura masih sangat terbatas, maka PMA seharusnya dapat menjadi
alternatif untuk meningkatkan produksi, produktivitas dan daya saing produk
hortikultura, sehingga Indonesia mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri
dan juga menjadi eksportir utama produk hortikultura tropis.
2. Kegiatan investasi dan perdagangan tidak dapat dipisahkan. Kemampuan
untuk meningkatkan ekspor produk pertanian sangat ditentukan oleh investasi
untuk meningkatkan produksi dan nilai tambah produk pertanian. Idealnya
untuk memaksimalkan nilai tambah, kegiatan investasi usaha pertanian dapat
dilakukan sebesar-besarnya oleh pelaku usaha domestik (PMDN), namun
kenyataannya hal ini belum dapat sepenuhnya dilakukan, sehingga dibutuhkan
30
investasi asing (PMA). Disamping membantu peningkatan produksi dan
ketersediaan produk dalam negeri, PMA juga berguna dalam rangka
mendorong alih teknologi untuk dapat menghasilkan produk secara efisien,
berkualitas dan berdaya saing.
3. Upaya untuk lebih melonggarkan persyaratan kepemilikan asing (PMA) di
bidang usaha perbenihan hortikultura tidak dapat dilakukan karena akan
bertentangan dengan perintah UU No. 13/2010 tentang Hortikultura. Oleh
karena itu, Paket Kebijakan ke-X tahun 2016 belum termasuk bidang usaha
perbenihan hortikultura. UU 13 tahun 2010 mengharuskan pananaman modal
asing maksimal 30% (pasal 100 UU 13/2010) dan untuk itu PMA yang memiliki
modal diatas ketentuan tersebut harus melakukan divestasi.
4. Sampai saat ini, aturan tentang keharusan divestasi modal PMA tersebut belum
berjalan sebagaimana mestinya, meskipun beberapa PMA mulai melalukan
analisa alternatif divestasi apabila aturan harus dilaksanakan. Di PT Namddhari
Seed, misalnya, beberapa alternatif divestasi mulai dikaji antara lain: (a)
merger dengan peruashaan PMDN sejenis, (b) go publik, (c) penambahan aset,
dan (d) pengalihan pemilikan aset ke staf dan karyawan.
5. Namun perlu disadari dan diantisipasi bahwa pembatasan kepemilikan modal
asing (PMA) ini menjadi dilematis karena dikuatirkan akan menjadi
penghambat pertumbuhan sub-sektor hortikultura yang berakibat terjadinya
stagnasi produksi, produktivitas dan nilai tambah produk hortikultura. Akibat
lebih lanjut, Indonesia tidak akan mampu memenuhi permintaan domestik
produk hortikultura yang terus meningkat sehingga akan semakin tergantung
impor.
6. Keberadaan perusahaan benih PMA dinilai tidak berpengaruh besar terhadap
industry benih dalam negeri (PMDN). Hal ini karena disamping pasar benih
dalam negari cukup besar dan belum tergarap sepenuhnya, juga karena
masing masing produk yang dihasilkan mempunyai pangsa pasar sendiri.
Keberadaan PMA benih dinilai dibutuhkan terutama untuk penyediaan benih
yang memang tidak bisa dihasilkan di dalam negeri seperti kubis ubisan
(brasica). Keberadaan PMA benih juga dinilai positip dalam alih teknologi
31
perbenihan ke petani domestic (karena hampir seluruh produksi benih
bekerjasama dangan petani local) dan sumber plasma nuftah dan teknologi
benih.
7. Terbatasnya sumberdaya penelitian dan peneliti, khususnya jumlah tenaga
peneliti pemulia, di Balitsa juga merupakan kendala tersendiri untuk
menghasilkan dan mengembangkan varietas unggul baru sayuran, termasuk
menghasilkan benih induk unggul yang dibutuhkan oleh penakar benih. Situasi
ini juga membuat Balitsa menghadapi keterbatasan untuk melakukan
kerjasama dengan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) untuk
mengawal diseminasi teknologi dan uji-multilokasi varietas unggul yang
dihasilkan. Para peneliti Balitsa juga tidak dapat turut melakukan pengawalan
untuk pengadaan benih sebar yang dilakukan para penakar benih di seluruh
wilayah tanah air.
8. Dalam kondisi seperti ini, keberadaan perusahaan perbenihan BUMN dan
swasta, baik PMDN maupun PMA, menjadi keharusan. Sementara PMDN belum
tertarik untuk masuk di industri perbenihan (terbukti dari pertumbuhannya
yang relatif lambat), maka keputusan pemerintah untuk membatasi secara
ketat keberadaan PMA, bukan keputusan yang tepat karena akan berakibat
terpuruknya subsektor hortikultura untuk memenuhi permintaan masyarakat
terhadap produk hortikultura yang terus meningkat. Jika aturan pembatasan
kepemilikan modal asing masimal 30%, sebagaimana tertuang dalam UU No
UU 13 tahun 2010, hampir dipastikan beberapa tahun mendatang Indonesia
akan kebanjiran impor benih dan produk hortikultura.
9. Melonggarkan ketentuan investasi bidang perbenihan hortikultura kedalam
Paket Kebijakan X tentang DNI tidak memungkinkan karena terkendala oleh
UU No 13 tahun 2010 yang masih berlaku sampai saat ini. Melihat potensi
dampak akibat dibatasinya kepemilikan asing maksimal 30%, sebagaimana
tertuang dalam pasal 100 ayat 3 UU No UU 13 tahun 2010, maka sebaiknya
pemerintah untuk mengeluarkan Perpu untuk menggatikan UU No 13 tahun
2010 tersebut. Dengan keluarnya Perpu, maka pemerintah dapat segera
melakukan revisi Paket Kebijakan no X dengan memasukan revisi
32
(melonggarkan) batas maksimum kepemilikan modal asing bidang perbenihan
hortikultura.
DAFTAR PUSTAKA
[BPS] Badan Pusat Statistik. Statistik Indonesia : Perkembangan Investasi PMA
sektor pertanian 2009-2015. Jakarta.
[Kementan] Keputusan Menteri Pertanian Nomor 45/Kpts/PD.200/1/2015 tentang
penetapan kawasan cabai, bawang merah, dan jeruk nasional. Jakarta.
[Permentan] Peraturan Menteri Pertanian Nomor 03/Permentan/OT.140/1/2012
tentang rekomendasi impor produk hortikultura. Berita Negara Republik Indonesia No. 148 Tahun 2012. Jakarta.
[Permentan] Peraturan Menteri Pertanian Nomor 05/Permentan/OT.140/2/2012
tentang pemasukan dan pengeluaran benih hortikultura. Jakarta.
[Permentan] Peraturan Menteri Pertanian Nomor 38/Permentan/OT.140/7/2011
tentang pendaftaran varietas hortikultura. Jakarta.
[Permentan] Peraturan Menteri Pertanian Nomor 42/Permentan/OT.140/6/2012 tentang persyaratan teknis dan tindakan karantina tumbuhan untuk
pemasukan buah-buahan segar dan sayuran buah segar. Jakarta.
[Permentan] Peraturan Menteri Pertanian Nomor 43/Permentan/OT.140/6/2012
tentang persyaratan teknis dan tindakan karantina tumbuhan untuk pemasukan umbi lapis segar ke dalam wilayah negara Indonesia.
[Permentan] Peraturan Menteri Pertanian Nomor 48/Permentan/SR.120/8/2012 tentang produksi, sertifikasi, dan pengawasan peredaran benih. Berita Negara Republik Indonesia No. 818 Tahun 2012. Jakarta.
[Permentan] Peraturan Menteri Pertanian Nomor 50/Permentan/OT.140/8/2012 tentang pedoman pengembangan kawasan pertanian. Jakarta.
[Permentan] Peraturan Menteri Pertanian Nomor 60/Permentan/OT.140/9/2012 tentang rekomendasi impor produk hortikultura. Jakarta.
[Permentan] Peraturan Menteri Pertanian Nomor 76/Permentan/OT.140/12/2012 tentang syarat dan tatacara penetapan produk unggulan hortikultura. Jakarta.
[Permendag] Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 30/M-DAG/PER/5/2012 tentang ketentuan impor produk hortikultura. Jakarta.
[Permendag] Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 60/M-DAG/PER/9/2012 tentang perubahan kedua atas Permendag Nomor 30/M-DAG/PER/5/2012 tentang ketentuan impor produk hortikultura. Jakarta.
33
[Perpres] Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2007 tentang
daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal. Jakarta.
[Perpres] Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2010 tentang daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan
persyaratan di bidang penanaman modal. Jakarta.
[Perpres] Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2014 tentang daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan
persyaratan di bidang penanaman modal. Jakarta.
[Pusdatin Kementan] Pusat Data dan Informasi Pertanian Kementerian Pertanian.
2012. Statistik Pertanian 2012.
[Pusdatin Kementan] Pusat Data dan Informasi Pertanian Kementerian Pertanian.
2014. Statistik Pertanian 2014.
[Pusdatin Kementan] Pusat Data dan Informasi Pertanian Kementerian Pertanian. 2015. Buletin Triwulanan Ekspor Impor Komoditas Pertanian, Volume 7
No.1.
[UU] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2010 tentang
hortikultura. Jakarta.
34
LAMPIRAN
Lampiran 1. Perkembangan volume penjualan benih bayam PT. A, 2013-2015
Provinsi Penjualan (kg)
2013 2014 2015
Sumut - Aceh 3,197.42 4,125.02 2,630.12
Sumbar - Riau 2,658.91 2,591.86 4,383.53
Jambi 1,884.80 2,094.79 1,753.41
Sumsel 5,721.71 5,374.15 7,452.01
Babel - Kepri 918.84 603.58 1,315.06
Bengkulu 3,830.18 2,966.27 4,383.53
Lampung 3,574.38 3,431.06 4,383.53
Jabar - Banten 1,130.88 974.77 1,315.06
Jateng - DIY 2,958.46 1,946.31 3,945.18
Jatim 1,255.41 2,139.98 3,945.18
Papua - Maluku 2,207.91 2,562.81 3,945.18
Bali - Nustra 306.28 103.29 438.35
Sulawesi 3,348.88 1,742.97 1,753.41
Kalimantan 652.95 1,620.31 2,191.77
Total 33,657.10 32,277.18 43,835.34
Sumber : PT.A, 2016
Lampiran 2. Perkembangan volume penjualan benih buncis PT.A, 2013-2015
Provinsi Penjualan (kg)
2013 2014 2015
Sumut - Aceh 1,977.77 3,224.25 546.43
Sumbar - Riau 1,644.67 2,025.88 910.72
Jambi 1,165.84 1,637.35 364.29
Sumsel 3,539.16 4,200.60 1,548.22
Babel - Kepri 568.35 471.78 273.22
Bengkulu 2,369.16 2,318.53 910.72
Lampung 2,210.94 2,681.83 910.72
Jabar - Banten 699.5 761.91 273.22
Jateng - DIY 1,829.95 1,521.30 819.65
Jatim 776.53 1,672.67 819.65
Papua - Maluku 1,365.70 2,003.17 819.65
Bali - Nusra 189.45 80.73 91.07
Sulawesi 2,071.45 1,362.36 364.29
Kalimantan 403.88 1,266.49 455.36
Total 20,818.60 25,228.85 9,107.20 Sumber : PT.A, 2016
35
Lampiran 3. Perkembangan volume penjualan benih cabe keriting PT.A, 2013-
2015
Provinsi Penjualan (kg)
2013 2014 2015
Sumut - Aceh 51.00 95.37 34.61
Sumbar - Riau 42.41 59.92 57.69
Jambi 30.06 48.43 23.08
Sumsel 91.26 124.25 98.07
Babel - Kepri 14.65 13.95 17.31
Bengkulu 61.09 68.58 57.69
Lampung 57.01 79.33 57.69
Jabar - Banten 18.04 22.54 17.31
Jateng - DIY 47.19 45.00 51.92
Jatim 20.02 49.48 51.92
Papua - Maluku 35.21 59.25 51.92
Bali - Nusra 4.88 2.39 5.77
Sulawesi 53.41 40.30 23.08
Kalimantan 10.41 37.46 28.84
Total 536.81 746.24 576.89
Sumber : PT.A, 2016
Lampiran 4. Perkembangan jumlah barang inventaris PT.A, 2013-2015
No. Jenis Barang Jumlah (unit)
Keterangan 2013 2014 2015
1. Gudang penyimpanan terkendali 2. Mesin brushing 1 1 1
3. Mesin blowup 1 1 1 4. Mesin air seperator 1 1 1
5. Mesin pewarna 1 1 1
6. Mesin labeling switch 1 1 1 7. Mesin horizontal packing 1 1 1 8. Mesin vertikal packing 1 1 1 9. Kolam limbah prosessing - - 1 10. Phytopatologi
Laminar 1 1 1
Autoclaf 1 1 1
Microskop 1 1 1
Micropipet (set) 1 1 1
Screen house 1 1 1 Uk. 10 x 10 M2
11. Lab. quality control
Magnifer lampu 1 1 1
Timbangan digital and 1 1 1
Moisture meter keet 1 1 1
Mousiture meter gmk 1 1 1
Oven memert 1 1 1
Grinder 1 1 1
Desikator 1 1 1
Devaider 1 1 1
36
Truck pengiriman 1 1 2
Mobil 5 5 9
Motor 3 4 5
12. R & D
Screen house 2 3 5 luasan 24 x 8 M2
Lahan R & D 3 ha 3 ha 3 ha
Traktor 1 1 1
Lahan R & D Jember 0.25 ha 0.25 ha 0.25 ha
13. Produksi
Mesin prosesing cabe 1 1 2
Mesin prosesing bayam 2 2 4
Semangka - - 1
Mesin cuci 4 4 4
Screen house - - 3
Mesin grading 2 2 2
Mesin blower 3 3 3
Mesin treser 2 4 6
Luasan lahan petani mitra 200 ha 230.5 ha
235.5
ha 14. Sumber Daya Manusia (SDM)
Staff 90 org 94 org 99 org
Karyawan harian 40 org 45 org 58 org
Sumber : PT. A, 2016
Lampiran 5. Perkembangan produksi, luas areal, dan produktivitas komoditas unggulan hortikultura, 2008-2012
Jenis Komoditas 2008 2009 2010 2011 2012
Produksi (ton)
Bawang Merah 853,615 965,164 1,048,934 893,124 964,195
Cabe Besar 695,707 787,433 807,160 888,810 954,310