i DAFTAR ISI DAFTAR ISI .............................................................................................................................. i DAFTAR GAMBAR ................................................................................................................. iii DAFTAR TABEL ...................................................................................................................... iv 1. Pendahuluan .................................................................................................................. 1 1.1. Latar Belakang......................................................................................................... 1 1.2. Tujuan ..................................................................................................................... 4 2. Penentuan Kerentanan Banjir Bandang ............................................................................ 5 2.1. Parameter Biofisik ...................................................................................................... 5 a. Faktor Hujan .............................................................................................................. 6 b. Karakteristik DAS ....................................................................................................... 8 c. Faktor Lereng ............................................................................................................. 9 d. Faktor Geologi dan Sesar ........................................................................................... 9 e. Kedalaman Tanah .................................................................................................... 10 f. Sistem Lahan............................................................................................................. 10 g. Penggunaan Lahan ................................................................................................... 10 h. Debit dan Puncak Banjir .......................................................................................... 10 i. Volume Banjir ........................................................................................................... 18 j. Analisis Faktor Biofisik .............................................................................................. 22 2.2. Parameter Sosial dan Kelembagaan ......................................................................... 25 a. Kriteria dan Indikator Sosial dan Kelembagaan ....................................................... 26 b. Analisis Potensi Kerentanan Banjir Bandang .......................................................... 29 c. Parapihak dalam Upaya Mitigasi Banjir Bandang ................................................... 29 d. Analisis Peran........................................................................................................... 31 - Penyusunan sistem deteksi dan peringatan dini tanggap bencana ................................ 31 - Pembentukan dan pelatihan Kelompok Tanggap Bencana ............................................. 31 e. Peningkatan Kapasitas Masyarakat terhadap Bencana .......................................... 32 3. Rencana Tindak Lanjut ..................................................................................................... 38
58
Embed
DAFTAR ISI - dassolo.litbang.menlhk.go.iddassolo.litbang.menlhk.go.id/assets/images/bandang.pdf · Tabel 13. Nilai CN untuk Lahan Pertanian pada Antecendent Moisture Condition (AMC)
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI .............................................................................................................................. i
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................................. iii
DAFTAR TABEL ...................................................................................................................... iv
A Pengetahuan kondisi tempat tinggal tanda-tanda bencana penyebab utama BB;
Kepemimpinan - pembinaan/ penyuluhan
- pembuatan peta - pemasangan tanda-
tanda - peran saat ada
bencana - peran saat bencana
BB
Parameter dan Indikator ini ditanyakan ke responden melalui wawancara terukur (kuesioner), dengan jawaban ya atau tidak.
B Kearifan Lokal kemampuan deteksi dini ketersediaan lembaga khusus;
Kearifan Lokal Ketersediaan Tim Tangguh Bencana.
C Rencana Aksi aktivitas ketika mulai terjadi BB jalur evakuasi.
Fasilitasi penyediaan jalur evakuasi system peringatan dini; dan
e.2. Pengambilan Data/ Parameter
Pengambilan data/parameter dilakukan melalui wawancara dengan responden dan
parpihak terkait di wilayah yang berpotensi menimbulkan bencana dan wilayah yang akan
terdampak bencana. Responden disesuaikan dengan jumlah kepala keluarga (minimal 10
35
% dari jumlah KK). Sebelum melakukan wawancara, terlebih dahulu disiapkan kuesioner,
minimal berisikan pertanyaan yang terkait dengan aspek-aspek yang akan dilihat, baik
untuk kapasitas individu maupun untuk kapasitas lembaga (desa). Pertanyaan harus
dibuat cukup mudah, yaitu dengan membuat jawaban ya/pernah/tahu dan tidak/belum
tahu.
e.3. Cara Mengukur Kapasitas Masyarakat
Terkait dengan pengukuran kapasitas maka kepada setiap responden diajukan
pertanyaan dengan jawaban ada atau tidak ada, atau tahu dan tidak tahu. Setiap jawaban
ada/ tahu diberikan skor 1, dan apabila jawaban tidak ada/tidak tahu diberikan skor 0.
Dari total responden dihitung berapa yang menjawab ya/ada dan berapa yang menjawab
tidak untuk setiap pertanyaan. Apabila semua (100%) responden menjawab ya/ada maka
nilainya 100 x 1 = 100 dan sebaliknya, sehingga nilai tertinggi 100 dan terendah 0.
e.4. Analisis dan Rekomendasi
Analisis data menggunakan table frekwensi, dimana semakin tinggi yang menjawab ya
maka tingkat kapasitas masyarakat juga semakin tinggi dan sebaliknya. Analisa data dapat
menggunakan contoh Tabel 22 untuk kapasitas individu dan Tabel 23 untuk kapasitas
lembaga.
Tabel 22. Tingkat Kapasitas (kemampuan) Individu dalam Menghadapi Resiko Bencana BB
No Kapasitas Tahu/ Ada Tidak Tahu/ tidak Ada
% Responden Skor Nilai % Responden Skor Nilai
a. Pengetahuan
1. Apakah sdr tahu bahwa tempat tinggal sdr rawan BB
? 1 ? ? 0 ?
2. Apakah sdr mengetahui tanda-tanda akan terjadi BB
? 1 ? ? 0 ?
3. Apakah sdr tahu penyebab utama BB adalah pembendungan
? 1 ? ? 0 ?
b. Kearifan Lokal
4. Apakah sdr melakukan deteksi dini akan penyebab BB
? 1 ? ? 0 ?
36
5. Apakah tersedia lembaga khusus terkait BB
? 1 ? ? 0 ?
c. Rencana Aksi
6. Apakah sdr tahu apa yang akan dilakukan ketika terjadi tanda-tanda bencana BB
? 1 ? ? 10 ?
7. Apakah sdr tahu jalur evakuasi apabila terjadi bencana BB
? 1 ? ? 0 ?
Rata-rata Nilai ? ?
Sumber: Analisis Data Primer. Keterangan: nilai <20 = sangat buruk; nilai 20-39 = buruk; nilai 40-59 = cukup; nilai 60-80= baik; nilai >80 = sangat baik
Tabel 23. Tingkat Kapasitas (kemampuan) Lembaga (Desa) dalam Menghadapi Resiko Bencana BB
No Kemampuan Tahu/ Ada Tidak Tahu/ tidak Ada
% Responden Skor Nilai % Responden Skor Nilai
a. Kepemimpinan
1. Apakah dilakukan penyuluhan /sosialisasi yang terkait dengan bencana BB
? 1 ? ? 0 ?
2. Apakah dibuatkan peta sebaran wilayah berpotensi longsor/BB
? 1 ? ? 0 ?
3. Apakah dibuatkan tanda-tanda bahaya dan larangan-larangan
? 1 ? ? 0 ?
4. Apakah ada peran lembaga saat ada tanda-tanda akan ada BB
? 1 ? ? 0 ?
b Fasilitasi
6. Apakah dibuatkan jalur evakuasi apabila terjadi bencana BB
? 1 ? ? 0 ?
7. Apakah ada system peringatan dini terkait BB
? 1 ? ? 0 ?
c. Kearifan Lokal
8. Apakah ada lembaga khusus dari desa terkait bencana BB seperti Tim Tangguh Bencana
? 1 ? ? 0 ?
Rata-rata Nilai ? ?
Sumber: Analisis Data Primer. Keterangan: nilai <20 = sangat buruk; nilai 20-39 = buruk; nilai 40 - 59 = cukup; nilai 60 - 80= baik; nilai >80 = sangat baik
37
Sebagai contoh kapasitas lembaga terhadap bencana longsor di Kabupaten Kuningan
mencapai nilai rata-rata 42,95%. Nilai tersebut mengindikasikan bahwa kemampuan
lembaga dalam menghadapi resiko bencana tanah longsor masuk dalam kategori cukup.
Dari tiga parameter kapasitas, indikator kepemimpinan mencapai 78%. Hal ini berarti
bahwa secara kelembaggan kapasitasnya baru mencapai 42,95%, walaupun demikian dari
indicator kepemimipinan telah mencapai 78%. Tentu dari indikator yang lain masih
rendah. Oleh karena itu yang menjadi perhatian adalah indikator yang masih rendah
tersebut sebgai point rekomendasi.
38
3. Rencana Tindak Lanjut
Informasi mengenai lokasi yang rentan terhadap banjir bandang juga memberikan
informasi mengenai lokasi yang rentan longsor dan lokasi yang mempunyai potensi banjir.
Dengan demikian untuk mengurangi resiko banjir bandang maka perlu dilakukan kegiatan
yang dapat mengurangi kerentanan-kerentanan tersebut.
Secara umum dengan diketahuinya lokasi yang rentan terhadap banjir bandang dapat
melakukan identifikasi kearifan lokal dalam melihat tanda-tanda banjir bandang serta
mensosialisasikannya. Peringatan dini juga dapat dilakukan berdasarkan kearifan lokal
tersebut. Debit sungai yang menyusut atau keadaan air yang tetap bening walaupun di
daerah hulu sedang hujan lebat merupakan salah satu kearifan lokal yang dapat
dikembangkan menjadi peringatan dini.
3.1. Biofisik
Daerah yang mempunyai potensi untuk menghasilkan runoff atau aliran permukaan dapat
dikurangi dengan prinsip memasukkan air sebanyak-banyaknya dan menahan air selama
mungkin sebelum akhirnya ke laut. Beberapa kegiatan yang memungkinkan antara lain:
a. Rehabilitasi Lahan Kritis
Rehabilitasi lahan kritis terutama dititikberatkan pada penutupan lahan tegal, lahan
terbuka, pertanian lahan kering dan pertanian lahan kering bercampur semak.
Rehabilitasi lahan kritis dapat berupa penanaman dengan tanaman tahunan yang sesuai
dengan kondisi pedoagroklimat.
b. Konservasi Tanah
Kegiatan konservasi tanah dapat dilaksanakan pada lahan-lahan bersama dengan kegiatan
rehabilitasi lahan kritis. Kegiatan konservasi tanah yang disarankan dapat berupa
perbaikan teras untuk mengurangi erosi.
39
c. Pencegahan Longsor Tebing Sungai
Pencegahan longsor pada tebing sungai dapat dilakukan bersama dengan pembuatan
lubang-lubang drainase pada lereng-lereng yang berpotensi longsor. Pencegahan longsor
ini juga diperlukan untuk mencegah terjadinya pembendungan pada badan sungai.
d. Konservasi Air di Daerah Hulu
Kegiatan ini merupakan salah satu upaya untuk memasukkan air sebanyak-banyaknya ke
dalam tanah.
e. Pembuatan Embung
Embung perlu dibangun untuk mengurangi aliran permukaan. Pada lokasi yang rentan
longsor, pembuatan embung kurang disarankan karena kegiatan tersebut akan memicu
longsor.
f. Pembuatan Rorak
Rorak atau jebakan air biasanya ditempatkan pada lahan hutan atau perkebunan, namun
diterapkan pada lereng yang < 25%.
g. Pembuatan Ground Sills
Pembuatan ground sills lebih diutamakan untuk mengurangi kemiringan lereng atau
gradien sungai. Dengan berkurangnya gradien sungai maka kecepatan aliran sungai akan
berkurang.
3.2. Kelembagaan
Hasil analisis tingkat kerentanan digunakan dalam tahapan monitoring maupun evaluasi
dari BPDAS. Untuk monitoring, penyusunan rencana tindak lanjut diharapkan bisa
menjadi antisipasi untuk memperkecil dampak kerugian banjir bandang. Untuk tahapan
evaluasi, indikator tersebut digunakan untuk menganalisis penyebab kerugian akibat
40
banjir bandang. Penyusunan rencana tindak lanjut didasarkan pada hasil penilaian
masing-masing indikator serta hasil analisis peran parapihak, sebagai berikut :
1. Mengidentifikasi indikator yang memperoleh penilaian buruk. Indikator yang
memperoleh nilai buruk (dari hasil pengalian skor dengan bobot) menunjukkan
perlunya perhatian dan tindakan untuk memperbaiki kondisi dari parapihak
sebagai pelaksana tindak lanjutnya.
2. Mengklasifikasikan indikator yang memerlukan tindakan jangka panjang,
menengah, dan pendek. Ada indikator yang memerlukan tindakan jangka panjang
atau menengah, tetapi ada juga yang dapat diperbaiki kondisinya dalam jangka
pendek. Misalnya : perbaikan tingkat pendidikan formal akan memerlukan waktu
panjang, namun pendidikan non formal dalam bentuk penyuluhan mitigasi banjir
bandang dapat dilakukan dalam jangka relatif pendek.
3. Menyusun rencana peningkatan kapasitas lembaga/masyarakat untuk
memperbaikan kondisi/indikator berdasarkan hasil analisis peran parapihak.
Rencana tindak lanjut harus jelas dilaksanakan oleh instansi mana, dan pada
jangka panjang, menengah, atau pendek.
41
4. Contoh Kasus
Dalam tulisan ini DAS yang dijadikan contoh adalah DAS Anai yang berada pada 2
kabupaten dominan; yaitu Padang Pariaman (70%), Tanah Datar (27%), serta sekitar 3%
pada Kabupaten Agam, Solok dan Kodya Padang Panjang. Pembatasan DAS Anai
menggunakan DEM sehingga kemungkinan luas DAS Anai akan berbeda dengan luas resmi
DAS Anai.
4.1. Biofisik
Dari data hujan yang ada kemudian dihitung hujan maksimum dan antecedent soil
moisture (ASM). Dengan menggunakan program spline diperoleh bahwa hujan maksimum
di DAS Anai termasuk dalam kelas agak tinggi (76 – 150 mm) dengan skor 4 dan tinggi (>
150 mm) skor 5. ASM di DAS Anai hanya satu kelas, yaitu tinggi (> 300 mm) dengan skor 5.
Morfometri DAS Anai dihitung dari DEM dengan hasil sebagai berikut:
- bentuk DAS: memanjang, atau sesuai parameter adalah sedang dengan skor 3
- gradien sungai: dihitung berdasarkan metoda Benson (1962) dengan nilai 0,001
atau skor 1
- kerapatan drainase: dihitung untuk sungai ordo… dengan nilai 0,21 dengan skor 1
Lereng DAS Anai dihitung menjadi 3 kelas sesuai Tabel 1 dengan sebaran seperti pada
Tabel 24 berikut.
Tabel 24. Sebaran Kelas Kelerengan di DAS Anai (%)
Penutupan lahan sesuai peta yang dikeluarkan oleh Ditjen Planologi Kehutanan dan Tata
Lingkungan (2016) untuk DAS Anai sebagai berikut:
42
Tabel 25. Sebaran Penutupan Lahan di DAS Anai
Penutupan lahan Luas (%)
Hutan lahan kering primer 31,7
Pertanian lahan kering 18,7
Hutan lahan kering sekunder 16,7
Pertanian lahan kering bercampur semak 16,4
Sawah 11,3
Perkebunan 2,0
Pemukiman 1,4
Semak belukar 1,1
Tubuh air 0,4
Bandara 0,2
Lahan terbuka 0,1
Bentuk lahan di DAS Anai diperoleh dari peta RePPPRoT, terdiri dari 38 jenis bentuk lahan
yang tersebar dalam 4 (empat) kelas kerentanan sebagai berikut:
Tabel 26. Sebaran Bentuk Lahan di DAS Anai
Skor land system
Kode land system Luas (%)
1 BBG, BBR, BGA, BMS, BPD, GGD, TGM, TWI, UBD
50,9
2 GJO, KNJ 16,5
3 BTG, BTK, MNU,PKS 19,8
5 KHY, PTG, SBG 12,7
Jenis batuan yang terdapat di DAS Anai diperoleh dari peta Geologi. Selain jenis batuan,
peta geologi juga menunjukkan garis-garis sesar yang ada. Sebaran jenis batuan di DAS
Anai disajikan pada Tabel 27 berikut
Tabel 27. Sebaran batuan di DAS Anai
Skor batuan
Kode jenis batuan Luas (%)
1 Qal 1,2
2 Pl, Pq, Ps1 13,8
3 PCkl, Qama, Qast, Atau, QTtb, Qv, Tmgr
54,8
4 Qh, Qhpt 23,7
5 Qpt2 6,5
43
Sesar untuk penentuan longsor menggunakan buffer dengan ukuran 100 meter.
Diasumsikan jarak 100 meter dari garis sesar masih berpengaruh. Dengan menggunakan
buffer tersebut, kurang dari 1% areal di DAS Anai yang dipengaruhi oleh garis sesar.
Petah tanah skala 1:250.000 memperlihatkan terdapat 2 (dua) jenis tanah; yaitu andisol
dan inceptisol yang masing-masing seluas 43 dan 57%.
Dengan mengikuti ketentuan pada Tabel 2 – 4 akan diperoleh peta potensi banjir, peta
longsor dan banjir bandang. Ketiga peta tersebut disajikan pada Gambar 10
a b c
Gambar 10. Peta Potensi pasokan banjir (a), peta kerentanan longsor (b) dan peta Kerentanan banjir bandang (c) di DAS Anai
Dari analisa di atas, Kabupaten Padang Pariaman dan Tanah Datar adalah kabupaten yang
paling luas potensi banjir bandangnya, yaitu masing-masing 88,8 dan 62,7%
Setelah dilakukan analisis potensi banjir, selanjutnya perlu diketahui titik-titik potensi
penyumbatan. Potensi titik penyumbat terdapat di kanan kiri sungai dengan
mempertimbangkan kemiringan lereng, aliran sungai, dan keberadaan sesar. Berdasarkan
analisis dengan SIG, DAS Anai terdapat beberapa titik berpotensi longsor kategori rendah,
sedang dan tinggi. Sebaran titik yang telah ditumpang susunkan dengan peta administrasi
ditampilkan dalam Tabel 28 dan Gambar 11 dibawah ini.
44
Tabel 28. Sebaran Titik yang Mempunyai Potensi Penyumbatan
Administrasi Kategori Total
Rendah Sedang Tinggi
Kdy. Padang Panjang
1
1
Padang Panjang Barat
1
1
Balai-Balai
1
1
Padang Pariaman 2 9
11
II . X . XI .VI. Lingk 2 9
11
Balah Aia / Anduriang
5
5
Kiambang 1
1
Palabihan
1
1
Parik Malintang Tangah
2
2
Sungai Asam 1
1
Tanjung Aua
1
1
Tanah Datar 10 28 10 48
Batipuh 9 18 7 34
Duo Koto 5 15 4 24
Tanjuang Sawah 4 3 3 10
X Koto 1 10 3 14
Aia Mancua 1 10 3 14
Grand Total 12 38 10 60
Gambar 11. Sebaran titik-titik yang mempunyai peluang menyumbat
45
4.2. Sosial, Ekonomi dan Peningkatan Kapasitas
Bencana banjir bandang (dalam bahasa Minang disebut galodo) merupakan salah satu
bencana yang sering dialami di propinsi Sumatera Barat. Studi kasus banjir bandang
untuk aspek sosial kelembagaan ini berlokasi di Jorong (Dusun) Padang Lapei, Nagari
(Desa) Guguak, Kecamatan 2x11 Kayu Tanam, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera
Barat, di wilayah sub DAS Patikayu, DAS Anai.
Tabel 29. Proses kejadian banjir bandang, penyebab, kerugian yang dialami, serta
penanggulangan bencana pada setiap tahap mitigasi di Nagari Guguak
No Aspek Deskripsi
1. Lokasi kejadian galodo besar
Nagari (Desa) Guguk dan Anduring, Kecamatan 2x11 Kayu Tanam, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat, di wilayah sub DAS Patikayu, DAS Anai.
2 Waktu terjadinya galodo Akhir 2009 (setelah terjadinya gempa besar Padang 30 September 2009)
3 Proses terjadinya galodo - Gempa besar di Padang yang menyebabkan longsor di hulu sungai, menyumbat aliran air sungai Patikayu di lereng Gunung Sago, dan ketika terjadi hujan deras di hulu menyebabkan sumbatan tersebut jebol dan aliran galodo melanda nagari Guguk dan Anduring.
- Pembalakan liar (illegal logging) juga terjadi di hulu sungai namun dalam skala kecil dan sporadis, diperkirakan juga mengakibatkan makin besarnya aliran banjir bandang, karena aliran banjir ternyata membawa muatan batang-batang kayu dan ranting.
4 Kerugian yang dialami Korban material berupa sawah yang terendam material pasir dan batu. Luas sawah yang rusak berkisar puluhan hektar di masing-masing desa. Tidak ada rumah hanyut dan korban jiwa.
5 Kegiatan prabencana (catatan : kegiatan instansi pada tahun 2013-2015, setelah terjadi galodo)
Pemasangan rambu banjir bandang (BPBD)
Pembentukan kelompok sadar bencana mulai tahun 2015 (BPBD), belum ada pelatihan
Pengayaan dan rehabilitasi hutan (Dishuttam)
Pencegahan bencana (monitoring kondisi sungai oleh petugas teknis dari Dinas PU yang ditempatkan di setiap kecamatan, pembuatan waduk)
5 Kegiatan tanggap darurat Evakuasi korban dan penanganan di lokasi pengungsian (BPBD, Basarnas, Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, PMI, TNI, Polri, serta aparat kelurahan, dan kecamatan)
6 Kegiatan pascabencana (adaptasi reaktif instansi pemerintah)
pembuatan chekdam dan saluran irigasi, bantuan alat berat untuk pengerukan sawah (Dinas PU).
9 Adaptasi reaktif masyarakat pasca bencana
Karena sawah belum bisa dipakai lagi, mencari lahan garapan baru
46
Salah satu penyebab tidak adanya korban jiwa pada kejadian galodo adalah sedikitnya
warga masyarakat yang tinggal di sepanjang aliran sungai. Umumnya kawasan sepanjang
aliran sungai merupakan daerah persawahan/perladangan. Selain itu masyarakat juga
sudah memahami tanda-tanda akan terjadinya galodo, sehingga ketika tanda-tanda
tersebut muncul, masyarakat langsung mengungsi ke daerah yang lebih tinggi. Peringatan
kepada masyarakat di sepanjang aliran sungai disampaikan melalui telepon genggam
sehingga bisa menyelamatkan diri.
Tanda-tanda galodo menurut persepsi masyarakat antara lain :
a. Hujan lebat yang terus menerus di hulu sungai, ditandai dengan awan hitam gelap
yang tampak di atas hulu sungai lebih dari tiga jam.
b. Suara gemuruh dari arah hulu ketika sumbatan di sungai jebol.
c. Aliran air sungai menjadi lebih gelap warnanya dan berbau tanah.
Sebenarnya monitoring sungai bisa melibatkan masyarakat di daerah hulu. Luas dan
topografi kawasan akan menyulitkan petugas monitoring sungai yang ditempatkan di
kecamatan untuk melakukan monitoring kondisi sungai secara rutin. Apalagi pada banjir
bandang yang terjadi karena jebolnya bendungan alam, terbentuknya bendungan alam
sering tidak dapat dilihat karena sulitnya medan di mana terjadi longsoran yang
membentuk timbunan bendungan alam. Namun masyarakat yang biasa beraktifitas di
sekitar aliran sungai akan dapat mengamati perubahan kondisi sungai dengan frekuensi
yang lebih sering.
Selanjutnya, dilakukan pengambilan data sosial dan kelembagaan bersumber dari
monografi desa dan data kecamatan di BPS, serta hasil wawancara dengan masyarakat
dan aparat nagari.
47
Tabel 30. Hasil penaksiran kerentanan terhadap banjir bandang pada kriteria kelembagaan dan sosial
Kriteria kelembagaan Kriteria Sosial
Indikator Bobot relatif
Skor Nilai Indikator Bobot relatif
Skor Nilai
Penyuluhan banjir bandang
0,182 1 0,182 Tingkat pendidikan 0,181 1 0,182
Instansi yang bertugas melakukan peringatan siaga banjir bandang
0,164 2 0,328 Adanya kearifan masyarakat untuk deteksi dini banjir bandang
0,164 3
0,4908
Instansi yang bertugas pada masa tanggap darurat
0,146 1 0,146 Ketergantungan pendapatan pada pertanian
0,146 1 0,146
Petugas monitoring sungai
0,127 2 0,254 Sistem peringatan tradisional banjir bandang
0,127 1 0,127
Adanya lembaga adat konservasi air
0,109 3 0,327 Kepadatan penduduk (geografis)
0,109 3 0,327
Adanya program pemerintah untuk pencegahan banjir
0,091 1 0,091 Adanya aturan adat untuk melindungi sungai/sumber air
0,091 2 0,182
Adanya Prosedur/SOP penanganan banjir bandang
0,073 1 0,073 Teknologi tradisional yang bisa mencegah atau mengurangi dampak banjir bandang
0,073 1
0,073
Adanya penyuluhan mengenai kawasan lindung (hulu/sempadan sungai)
0,054 1 0,054 Tingkat pendapatan 0,054 2
0,108
Adanya kelompok tanggap bencana di tingkat desa
0,036 1 0,036 Struktur/komposisi penduduk (tua-muda-anak, laki-laki/ perempuan)
0,036 3
0,108
Upaya penegakan hukum untuk mengurangi resiko banjir bandang
0,018 1 0,018 Kondisi rumah tinggal (permanen/semi permanen/non permanen)
0,018 2
0,036
Total nilai 1,000 14 1,509 Total 1,000 19 1,780
Hasil penaksiran tingkat kerentanan di Nagari Guguk untuk kriteria kelembagaan
menunjukkan nilai 1,509 yang tergolong tingkat kerentanan tinggi. Sedangkan hasil
48
penaksiran nilai kerentanan terhadap banjir bandang pada kriteria sosial menunjukkan
nilai 1,780, yang juga tergolong tingkat kerentanan tinggi.
Tingginya tingkat kerentanan pada aspek kelembagaan disebabkan rendahnya skor pada
keaktifan institusi dan aparatnya, belum diimplementasikannya prosedur penanganan
bencana, kurangnya penyuluhan/sosialisasi pencegahan dan penanganan bencana banjir
bandang, serta kurangnya tindakan penegakan hukum dalam perlindungan hulu dan
sempadan sungai. Sementara tingkat kerentanan pada aspek sosial yang tinggi
disebabkan oleh besarnya ketergantungan penghasilan pada pertanian, belum adanya
sistem peringatan dan teknologi tradisional antisipasi banjir bandang, belum
diimplementasikannya aturan adat perlindungan sungai/pencegahan banjir serta
kepadatan penduduk.
Sedangkan hasil penilaian kapasitas individu untuk mengatasi banjir bandang disajikan
pada tabel berikut.
Tabel 31 . Tingkat Kapasitas (kemampuan) Individu dalam menghadapi resiko bencana BB
No Kapasitas Tahu/ Ada Tidak Tahu/ tidak Ada
% Responden Skor % Responden Skor
a. Pengetahuan
1. Apakah sdr tahu bahwa tempat tinggal sdr rawan BB
30 1 70 0
2. Apakah sdr mengetahui tanda-tanda akan terjadi BB
50 1 50 0
3. Apakah sdr tahu penyebab utama BB adalah penyumbatan
20 1 80 0
b. Kearifan Lokal
4. Apakah sdr melakukan deteksi dini akan penyebab BB
0 1 100 0
5. Apakah tersedia lembaga khusus terkait BB
0 1 100 0
c. Rencana Aksi
6. Apakah sdr tahu apa yang akan dilakukan ketika terjadi tanda-tanda bencana BB
10 1 90 10
7. Apakah sdr tahu jalur evakuasi apabila terjadi bencana BB
10 1 90 0
Rata-rata Nilai
17,14 82,86
49
Sedangkan hasil penilaian kapasitas lembaga/instansi untuk mengurangi dampak banjir
bandang disajikan pada tabel berikut.
Tabel 32. Tingkat Kapasitas (kemampuan) Lembaga (Desa) dalam menghadapi resiko bencana BB
No Kemampuan Tahu/ Ada Tidak Tahu/ tidak Ada
% Responden Skor % Responden Skor
a. Kepemimpinan 1. Apakah dilakukan penyuluhan
/sosialisasi yang terkait dengan bencana BB
0 1 100 0
2. Apakah dibuatkan peta sebaran wilayah berpotensi longsor/BB
0 1 100 0
3. Apakah dibuatkan tanda-tanda bahaya dan larangan-larangan
0 1 100 0
4. Apakah ada peran lembaga saat ada tanda-tanda akan ada BB
40 1 60 0
b. Fasilitasi 6. Apakah dibuatkan jalur evakuasi
apabila terjadi bencana BB 0 1 100 0
7. Apakah ada system peringatan dini terkait BB
0 1 100 0
c. Kearifan Lokal 8. Apakah ada lembaga khusus dari
desa terkait bencana BB seperti Tim Tangguh Bencana
0 1 100 0
Rata-rata Nilai
5,70 94,30
Filosofi pencegahan bencana adalah take away disaster from people, take away people
from disaster, and living in harmony with disaster (Maarif, 2012). Hasil analisis di atas
menunjukkan bahwa mitigasi untuk mengurangi dampak kerugian akibat bencana banjir
bandang terutama perlu dilakukan pada aspek kebijakan (aturan) dan kelembagaan
mitigasi banjir bandang di kedua kabupaten/kota. Mitigasi banjir bandang terutama perlu
dilakukan dalam pengaktifan instansi terkait, penyuluhan pencegahan banjir bandang dan
perlindungan sumber air, pelatihan dan simulasi penanganan banjir bandang, serta
penegakan hukum dalam perlindungan hulu dan sempadan sungai. Sementara mitigasi
50
untuk aspek sosial antara lain adalah perlunya tingkat pendidikan yang lebih tinggi,
alternatif pendapatan di luar bidang pertanian, perlunya menggali lebih lanjut sistem
peringatan dan deteksi dini banjir bandang secara tradisional, serta penetapan aturan
adat untuk melindungi sumber air.
Dari upaya mitigasi di atas, yang dapat dilakukan dalam jangka pendek adalah sebagai
berikut :
Untuk BPBD Kabupaten Padang Pariaman bekerja sama dengan aparat desa/nagari :
- perlunya memberi penyuluhan mengenai bahaya dan cara mendeteksi banjir
bandang kepada masyarakat. Dalam hal ini selain perlu disampaikan
kerentanan fisik terjadinya banjir bandang di wilayah ini, juga perlu digali dan
diidentifikasi pula kearifan masyarakat dalam mendeteksi tanda-tanda
terjadinya galodo, untuk kemudian dirumuskan dan disampaikan agar
masyarakat waspada.
- Perlunya memberi pelatihan dan simulasi mitigasi banjir bandang kepada
Kelompok Tangguh Bencana yang sudah terbentuk, juga menyusun
prosedur/sistem untuk monitoring kondisi sungai secara partisipatif, serta
sistem deteksi dan peringatan dini apabila terjadi banjir bandang.
- Menyusun peta dan jalur evakuasi apabila terjadi banjir bandang.
- Kepada Dinas Pekerjaan Umum/ PSDA, untuk mengaktifkan petugas
monitoring kondisi sungai terutama di daerah-daerah sesar/patahan/yang
rawan terbentuk sumbatan aliran.
Sedangkan untuk jangka panjang, salah satu rencana tindak lanjut yang dapat diusahakan
antara lain lembaga adat mengakomodir aturan perlindungan di daerah sepanjang aliran
sungai (misalnya larangan menebang di hutan daerah hulu, atau membuka lahan di areal
radius tertentu sepanjang sungai).
51
Pustaka
Adi, S. (2013). Karakterisasi Bencana Banjir Bandang di Indonesia. Jurnal Sains Dan Teknologi Indonesia, 15(1), 42–51.
Arsyad S. 2010. Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB Press.
Asdak C. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan DAS. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Benson, C., Twigg, J., & Rossetto,T. 2007. Disaster Risk Reduction : Tools for Mainstreaming, Guidance Notes for Development Organisations. The International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies / the ProVention Consortium. Switzerland.
BNPB, 2008., Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana No 4 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2008
BNPB, 2013. Indeks Resiko Bencana Indonesia (IRBI) Tahun 2013. Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2013
BNPB, 2016. Penurunan Indeks Resiko Bencana di Indonesia. Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 14 Desember 2016.
BNPB. (2017). Data dan informasi bencana Indonesia. Profil kebencanaan. Retrieved February 1, 2017, from http://www.dibi.bnpb.go.id
CIFOR. 1999. Panduan untuk Menerapkan Analisis Multikriteria dalam Menilai Kriteria dan Indikator. Center of Forestry Research. Bogor.
Dodon. 2013. Indikator dan Perilaku Kesiapsiagaan Masyarakat Di Permukiman Padat Penduduk dalam Antisipasi Berbagai Fase Bencana Banjir. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol. 24 No. 2, Agustus 2013, hlm.125 – 140.
Donie, S., F.Falah, dan E.Savitri. 2015. Banjir Bandang di Kabupaten Lima Puluh Kota : Suatu Pembelajaran Pentingnya Koordinasi Kelembagaan. Prosiding Seminar Nasional Kemandirian Daerah dalam Mitigasi Bencana Menuju Pembangunan Berkelanjutan. Program Studi S2 PKLH Universitas Sebelas Maret, Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia, dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. Solo, Indonesia.
Donie, Syahrul, 2017. Kapsitas Masyarakat dalam memnghadapi resiko tanah longsor di Kabupaten Tasik Malaya, Jawa Barat. Prodising seminar Fakultas Geografi UMS Tahun 2017. ISBN 978-603-361-372-3.
Donie, Syahrul, 2017. Analisis Potensi Resiko dan Kapasitas Masyarakat Dalam Menghadapi Bencana Tanah Longsor di Kabupaten Kuningan Propinsi Jawa Barat. Makalah summit Jurnal Forum Geografi, UMS (belum terbit).
Falah, F., & Savitri, E. 2016. Pemberdayaan Masyarakat dalam Mitigasi Banjir Bandang di
52
Sumatera Barat. Prosiding Seminar Nasional Geografi UMS 2016. Fakultas Geografi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Solo.
Falah, F. & Savitri, E. 2016. Tingkat Kerentanan Sosial dan Kelembagaan Masyarakat di Sumatera Barat terhadap Dampak Banjir Barat : Studi kasus di Kota Padang dan Kabupaten Lima Puluh Kota. Prosiding Seminar Nasional Peran Pengelolaan DAS untuk Mendukung Ketahanan Air. Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan DAS, Sekolah Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, dan Fakultas Geografi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Solo.
Hardiyawan, M. 2012. Kerentanan Wilayah terhadap Banjir Rob di Kota Pekalongan. Skripsi Departemen Geografi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia. Depok. Tidak dipublikasikan.
Lucía, A., Comiti, F., Borga, M., Cavalli, M., & Marchi, L. (2015). Dynamics of large wood during a flash flood in two mountain catchments, 1643–1680. https://doi.org/10.5194/nhessd-3-1643-2015
Montz, B.E. and Gruntfest, E. 2002. Flash flood mitigation: recommendations for research and application. Environmental Hazards 4: 15-22
Mulyanto, H. R., Parikesit, N. A., & Utomo, H. (2012). Petunjuk Tindakan dan Sistem Mitigasi Banjir Bandang. Semarang: Direktorat Sungai dan Pantai, Ditjen Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum bekerja sama dengan JICA Project on Integrated Disaster Mitigation Management for Banjir Bandang.
Norbiato, D, Borga, M, Espoti, S.D., Gaume, E., & Anguetin, S. 2008. Flash flood warning based on rainfall thresholds and soil moisture conditions: An assesment for gauged and ungauge basin. J.Hydrology 362: 274-290
Nugraha dkk. (2001) dan Nugraha, Joko, Fitri Nugrahani, Irwan Nuryana Kurniawan, 2001. Model Kapasitas Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Menggunakan Analisis Regresi Logistik. Jurnal Ilmu-ilmu MIPA, Universitas Indonesia. pISSN 1411-1047 atau eISSN 2503-2364.
Paimin, Sukresno, & Pramono, I. B. (2009). Teknik Mitigasi Banjir dan Tanah Longsor. (A. N. Gintings, Ed.). Balikpapan: Tropenboss International Indonesia Programme.
Pramono, I. B., Gunawan, T., Wiryanto, & Budiastuti, M. T. S. (2016). The ability of pine forests in reducing peak flow at Kedungbulus sub watershed, Central Java, Indonesia. International Journal of Applied Environmental Science, 11(6), 1549–1568.
Pramono IB, Wahyuningrum N, Wuryanta A. 2009. Penerapan Metode Rational Untuk Estimasi Debit Puncak Pada Beberapa Luas Sub DAS. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Volume (VII No. 2: 161-176, 2010).
Rahim SE. 2006. Pengendalian Erosi Tanah: Dalam Rangka Pelestarian Lingkungan Hidup. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Rangkuti, F. 1997. Teknik Membedah Kasus Bisnis : Analisis SWOT, Cara Perhitungan Bobot, Rating, dan OCAI. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
53
Savitri, E., Falah, F., Pramono, I. B., Tjakrawarsa, G., Yuliantoro, D., & Putro, R. B. (2015). Teknik Mitigasi Banjir Bandang di Propinsi Riau dan Sumatera Barat. Solo.
Setyari, Febriana Eka, 2012. Pemahaman Masyarakat terhadap Tingkat Kerentanan Bencana Tanah Longsor di Desa Tieng, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo. Universitas Negeri Yogyakarta. Skripsi, 2012.
Subarkah, I. 1980. Hidrologi untuk Perencanaan Bangunan Air. Idea Dharma. Bandung.
Sulistyowati, A.N.A. 2014. Kesiapsiagaan Masyarakat Rawan Bencana Banjir di Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta. Naskah Publikasi. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta.Eprints.ums.ac.id./29085/9/02-NASKAH_PUBLIKASI.pdf.
Sunarti, E., H. Sumarno, Mardiyanto, dan A. Hadianto. 2009. Indikator Kerentanan Keluarga Petani dan Nelayan untuk Pengurangan Resiko Bencana di Sektor Pertanian. Pusat Studi Bencana Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Suprayitno (2016) Suprayitno, 2016. BPBD Tingkatkan Kapasitas Penanggulangan Bencana Masyarakat Desa Krido. Yogya AntaraNews.com, 3 Agustus 2016.
Youssef, A. M., Pradhan, B., & Hassan, A. M. (2011). Flash flood risk estimation along the St. Katherine road, southern Sinai, Egypt using GIS based morphometry and satellite imagery. Environ Earth Sci, 62, 611–623. https://doi.org/10.1007/s12665-010-0551-1