Page 1
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 1PB WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016
Daftar IsiDari Redaksi
Daya Saing Produk Ekspor Indonesia di Pasar Jepang
Periode Pra dan Pasca IJ-EPA
Berita Pendek Perdagangan
Serba - Serbi
Statistik Perdagangan
Halaman 26
Halaman 33
Halaman 34
Hal. 2
Hal. 11
Hal. 5
Meningkatkan Kinerja Perdagangan Tekstil dan Produk Tekstil
Indonesia di Amerika Serikat Melalui TPP
Berdasarkan data Euromonitor International (2016), penjualan pakaian jadi di Indonesia selama periode 2010-2015 tumbuh 11,4% per tahun. Nilai penjualan pakaian jadi tahun 2015 mencapai Rp 102,1 triliun. Peningkatan kebutuhan pakaian jadi di pasar domestik ini harus dimanfaatkan produsen dalam negeri dengan sebaik-baiknya. Meningkatnya volume impor pakaian jadi menjadi indikasi bahwa pasar Indonesia memang sangat potensial. Jangan sampai pasar domestik untuk kebutuhan primer didominasi oleh produk-produk impor.
Hal. 14Indonesia, di antara
Amerika Serikat dan RRT
Amerika Serikat (AS) telah dikenal sebagai negara adidaya yang memiliki perekonomian terbesar dunia selama kurang lebih sepuluh dekade terakhir. Namun demikian, saat ini dunia mulai diguncang dengan kemunculan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) sebagai salah satu negara dengan perekonomian terkuat dunia yang telah mengambil alih posisi Amerika Serikat sebagai negara dengan GDP terbesar dunia atas dasar Puchasing Power Parity (PPP). Bagi Indonesia, kedua negara memiliki peran penting bagi kinerja perdagangan luar negeri baik ekspor maupun impor. Lalu, ke arah mana ekonomi Indonesia lebih condong di masa depan?
Indonesia dan Jepang telah menyepakati Perjanjian Kerjasama berupa Indonesia-Japan Economic Partnership (IJEPA) pada tahun 2007 dan berlaku efektif satu tahun setelahnya. Sejak tahun 2013 perjanjian tersebut memasuki tahap reviu dan belum ada langkah pasti Pemerintah Indonesia untuk kelanjutan kerjasama ini. Salah satu poin penting dalam masa reviu tentu saja dengan melihat kembali bagaimana daya saing produk ekspor Indonesia di pasar Jepang.
Pasar daging sapi di Indonesia menggiurkan bagi siapa saja untuk masuk, terutama bagi pemain baru untuk ikut memperoleh kesempatan memasarkan daging sapi. Bagaimana dengan kondisi persaingan bisnis daging sapi di Indonesia, apakah terbuka untuk para pemain baru untuk masuk? Jawabannya tentu saja tidak. Salah satu alasannya adalah adanya sistem kuota yang ditetapkan oleh pemerintah menyebabkan hanya beberapa pemain lama saja yang bisa memperoleh izin impor (dengan kuota yang ada).
Hal. 8
Industri Pulp and Papers (Pulp dan Kertas) adalah salah satu penyumbang devisa dalam sektor industri kehutanan. Sayangnya, industri ini sedang mengalami penurunan kinerja. Salah satu masalah yang dihadapi industri tersebut adalah harga gas yang dirasakan masih relatif tinggi. Untuk mendorong peningkatan daya saing maka industri ini memerlukan adanya insentif energi berupa penurunan harga gas.
Insentif Energi untuk Industri Pulp dan Kertas
adalah bergabungnya pasar tujuan ekspor TPT Indonesia seperti Amerika Serikat dan Jepang ke dalam Trans-Pacific Partnership (TPP). TPP dianggap memberika keistimewaan bagi sektor industri teksti, bahkan tekstil dan produk tekstil ini diatur secara khusus pada chapter tersendiri dalam perjanjian. Lalu, bagaimana melihat kemungkinan gabungnya Indonesia di TPP dalam kerangka peningkatan kinerja TPT Indonesia di pasar Amerika Serikat?
Daging Sapi dan Distorsi Pasar di
Indonesia
Hal. 18 Reviu Pertumbuhan Ekonomi dan Kontribusi
Sektor Perdagangan Indonesia
(Triwulan 2-2016)Badan Pusat Statistik (BPS) merilis laju
pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan 2 tahun 2016 tumbuh 5,18% year-on-year (YoY) dibandingkan dengan triwulan yang sama pada tahun 2015. Laju pertumbuhan ekonomi ini lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan 2 tahun 2014 dan 2015. Ada dua hal yang menjadi catatan dari laju pertumbuhan ekonomi ini, yaitu pertumbuhan sektor bukan-ril dan kontribusi pengeluaran konsumsi rumah tangga.
Hal. 22
Bagi Indonesia, Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) memiliki peranan penting pada perekonomian nasional. Namun, pada akhir tahun 2015 industri TPT mengalami banyak tekanan yang mengakibatkan turunnya kinerja perdagangan dan turunnya daya saing produk TPT. Salah satu isu penting dalam industri TPT
Pemanfaatan Potensi Pasar Domestik
Pakaian Jadi
Page 2
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 32 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016
Septika Tri Ardiyanti
Amerika Serikat (AS) telah dikenal sebagai negara adidaya
yang memiliki perekonomian terbesar di dunia selama kurang lebih
sepuluh dekade terakhir (Visual Capitalist, 2015). Namun, saat
ini dunia mulai diguncang dengan kemunculan Republik Rakyat
Tiongkok (RRT) sebagai salah satu negara dengan perekonomian
terkuat dunia yang telah mengambil alih posisi Amerika Serikat
sebagai negara dengan Gross Domestic Product (GDP) terbesar
dunia atas dasar Purchasing Power Parity (PPP). Berdasarkan
data yang dikeluarkan oleh International Monetary Fund (IMF),
RRT mulai berhasil menggeser posisi Amerika Serikat pada tahun
2014, dimana RRT berhasil menyumbangkan 16,5% terhadap total
GDP dunia, sementara pangsa Amerika Serikat sebesar 15,9%.
Bahkan, gap kontribusi kedua negara tersebut terhadap GDP
dunia diprediksi terus melebar. Pada tahun 2019, pangsa RRT
terhadap GDP dunia diperkirakan meningkat hingga mencapai
18,9%, sementara pangsa Amerika Serikat terhadap GDP dunia
diprediksi relatif stagnan bahkan cenderung menurun mencapai
15,1% (Gambar 1) (World Economic Outlook, April 2016).
ISU PERDAGANGAN
Indonesia, di antara
Gambar 1. Kontribusi Amerika Serikat dan RRT terhadap Total GDP Dunia.Keterangan: *) Angka prediksi
Sumber: World Economic Outlook (2016)
GDP per kapita Amerika Serikat pada tahun 2015 mencapai
USD 55.805,20 masih jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan
RRT yang hanya mencapai USD 7.989,72. Meskipun GDP per
kapita AS lebih unggul dibandingkan RRT, namun pertumbuhan
perekonomian RRT selama beberapa tahun terakhir menunjukkan
pertumbuhan yang sangat gemilang. Terbukti, di tahun 2015, pada
saat perekonomian global menunjukkan pelemahan, RRT tetap
mampu tumbuh 7,0% (YoY), sementara AS hanya tumbuh 2,9%.
Bahkan, hingga kuartal I 2016, pada saat RRT merubah kebijakan
perekonomiannya dengan menggeser mesin pertumbuhannya dari
manufaktur ke sektor jasa, RRT tetap tumbuh 6,7%, sementara
AS justru hanya berada dikisaran 2,0% (Trading Economics, 2016
dan Kompas, 2016).
Tabel 1. Perbandingan GDP RRT dan Amerika Serikat
Indikator RRT US
GDP Per kapita (USD) 2015 7.989,72 55.805,20
GDP Atas Dasar Harga Berlaku
(USD Miliar) 2015 10.982,83 17.947,00
Pangsa GDP Terhadap Total Dunia 2015,
berdasarkan PPP (%) 17,08 15,81
Pertumbuhan Ekonomi 2015, YoY (%) 7,00 2,90
Sumber: World Economic Outlook (2016) dan Trading Economics (2016)
Dengan kondisi yang terjadi saat ini, tidak heran apabila kedua
negara tersebut dijuluki sebagai “Two Giant Economies in the
world”. Meroketnya pertumbuhan dan ekspansi ekonomi RRT
secara besar-besaran, tentu membuat Amerika Serikat mulai
merasa terusik. Aroma persaingan kedua negara untuk terus
memperkuat pengaruhnya melalui hubungan kerjasama dibidang
ekonomi dan bisnis di negara lain khususnya negara-negara di
Amerika Serikat dan RRT
Page 3
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 32 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016
kawasan ASEAN semakin terasa. Hal ini karena negara ASEAN
memiliki posisi yang strategis, khususnya dengan jumlah penduduk
sebesar 625 juta jiwa di tahun 2013 dan kawasan ASEAN yang
terintegrasi melalui implementasi Masyarakat Ekonomi ASEAN
(MEA) pada akhir 2015 lalu, posisi dan daya tawar negara-negara
ASEAN juga semakin meningkat (ASEAN Sekretariat, 2016).
Sebagai salah satu negara anggota ASEAN yang menyumbang
hampir 40% dari total penduduk ASEAN dan kekayaan alam
yang melimpah, Indonesia tak pelak juga menjadi incaran bagi
dua raksasa ekonomi dunia tersebut untuk dapat meningkatkan
hubungan kerjasamanya termasuk di bidang perekonomian.
Indonesia dan RRT memang saat ini telah memiliki kerjasama di
bidang perdagangan dengan adanya perjanjian perdagangan
bebas bersama negara ASEAN lainnya melalui ASEAN-China
Free Trade Agreement (ACFTA) yang mulai diimplementasikan
pada tahun 2010. Sejak implementasi ACFTA tersebut, praktis
hubungan perdagangan Indonesia dan RRT semakin intensif
dengan pengenaan tarif bea masuk sebesar 0% untuk barang
RRT yang akan memasuki wilayah Indonesia dan sebaliknya.
Selain ACFTA, hubungan ekonomi antara Indonesia dan RRT akan
semakin terintegrasi dengan adanya Regional Comprehensive
Economic Partnership (RCEP). RCEP adalah perjanjian yang
digagas pada keketuaan Indonesia di ASEAN di tahun 2012 yang
bertujuan untuk mengintegrasikan perdagangan ASEAN dengan 6
negara mitra dagangnya antara lain: RRT, Jepang, Korea Selatan,
India, Selandia Baru dan Australia (Kemenlu, 2016).
Apabila RRT telah terlebih dahulu melakukan pendekatan
hubungan ekonomi dengan negara ASEAN termasuk Indonesia
dengan ACFTA dan juga melalui skema perjanjian regional
RCEP, maka Amerika Serikat kemudian muncul dengan Trans
Pacific Partnership (TPP). TPP dinilai sebagai mega regional
trade agreement karena melibatkan banyak negara di kawasan
Samudera Pasifik. Perjanjian TPP sendiri telah ditandatangani oleh
12 negara anggota pada tanggal 4 Februari 2016 di Auckland,
New Zealand. Negara anggota TPP tersebut antara lain: Amerika
Serikat, New Zealand, Australia, Chile, Peru, Singapura, Brunei
Darussalam, Vietnam, Malaysia, Meksiko, Kanada dan Jepang.
Dari 12 negara anggota, terdapat empat negara anggota ASEAN
yaitu Singapura, Brunei Darussalam, Vietnam, dan Malaysia yang
telah menjadi anggota TPP.
TPP sering disebut sebagai tandingan pengaruh ekonomi
RRT dan juga tandingan Regional Comprehensive Economic
Partnership (RCEP). Beberapa literatur seperti Cai (2011)
menyatakan bahwa Amerika Serikat sepertinya menggunakan
TPP sebagai alat yang menjadi bagian dari strategi Asia-Pasifiknya
untuk menandingi RRT. Berbeda dengan TPP, RCEP sendiri saat
ini justru masih menghadapi proses perundingan yang cukup alot
meskipun telah memasuki putaran ke-10. Hal tersebut terlihat
dari adanya perpanjangan masa penyelesaian perundingan yang
semula dijadwalkan pada tahun 2015 diperpanjang menjadi akhir
tahun 2016 (Bisnis Indonesia, 2016). TPP sendiri mulai cukup
kuat diperbincangkan ketika Presiden Joko Widodo melakukan
kunjungan kenegaraan ke Amerika Serikat pada bulan Oktober
tahun 2015 lalu. Di dalam negeri, masih banyak terdapat pro
dan kontra terkait apakah Indonesia perlu untuk ikut serta dalam
TPP di tengah kondisi perekonomian dunia sedang mengalami
ketidakpastian dan ketidakstabilan ataukah lebih memilih untuk
tidak bergabung dan mendekatkan diri dengan RRT.
Posisi Amerika Serikat dan RRT Bagi Perdagangan Luar Negeri Indonesia
Bagi Indonesia, kedua negara memiliki peran penting terhadap
kinerja perdagangan luar negerinya baik ekspor maupun impor.
Secara total, kedua negara tersebut menyumbang sebesar 23,3%
dari total perdagangan luar negeri Indonesia di sepanjang tahun
2015. Pangsa total perdagangan luar negeri Indonesia dengan
AS dan RRT telah mengalami perubahan dalam kurun waktu satu
dekade terakhir. Pada periode sebelum tahun 2007, Indonesia
lebih banyak berdagang dengan AS dibandingkan dengan RRT.
Hal tersebut terlihat dari besarnya pangsa perdagangan Indonesia-
AS terhadap total perdagangan luar negeri Indonesia, meskipun
beda antara AS dan RRT tidak terlalu besar. Pada tahun 2007,
RRT berhasil mengungguli AS sebagai negara mitra dagang utama
Indonesia, dengan demikian Indonesia lebih banyak melakukan
perdagangan dengan RRT dibandingkan dengan AS.
Perbedaan pangsa perdagangan luar negeri Indonesia-RRT dan
Indonesia-AS terlihat semakin melebar sejak diimplementasikannya
perjanjian perdagangan bebas ACFTA di tahun 2010. Hingga kuartal
I 2016, perdagangan Indonesia-RRT menyumbang sebesar 16,0%,
sementara Indonesia-AS hanya memberikan kontribusi sebanyak
8,2%. Dengan demikian secara total perdagangan, ekspor dan
impor Indonesia lebih banyak terkait dengan perdagangan RRT
dibandingkan dengan AS (Gambar 2).
Namun demikian, besarnya perdagangan antara Indonesia-RRT
ternyata justru memberikan tekanan pada neraca perdagangan
Indonesia khususnya pada sektor non migas. Di kuartal I 2016,
RRT menjadi negara penyumbang terbesar defisit Indonesia di
sektor non migas, dengan nilai defisit mencapai USD 4,3 miliar.
Berbanding terbalik dengan RRT, Amerika Serikat justru menjadi
negara penyumbang surplus perdagangan non migas terbesar
Indonesia dengan nilai mencapai USD 2,0 miliar. Dengan kata lain,
besarnya perdagangan Indonesia-RRT lebih disebabkan karena
kinerja impor Indonesia dari RRT yang besar dibandingkan dengan
ekspor Indonesia ke RRT. Sementara itu, kinerja perdagangan
Indonesia dengan Amerika Serikat meskipun secara nilai masih
berada di bawah RRT, namun justru memberikan dampak positif
bagi neraca perdagangan Indonesia (Gambar 3).
Page 4
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 54 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016
Gambar 2. Pangsa Perdagangan Indonesia- AS dan Indonesia-RRT terhadap Total Perdagangan Luar Negeri Indonesia.Sumber: BPS (2016), diolah
Gambar 3. Neraca Perdagangan Non Migas Indonesia Kuartal I 2016.Sumber: Puska Daglu, BPPP Kementerian Perdagangan (2016)
Amerika Serikat dan RRT juga menjadi negara tujuan ekspor
utama non migas Indonesia. Selama 2011-2016 (Q I), AS dan RRT
tidak pernah keluar dari tiga besar negara tujuan utama dan menjadi
pasar penting produk non migas Indonesia. RRT menduduki
peringkat ke-1 negara tujuan ekspor non migas Indonesia pertama
kali pada tahun 2011, menggeser Jepang. Di tahun 2015, Amerika
Serikat berhasil menggantikan RRT untuk menduduki peringkat
pertama negara tujuan ekspor non migas Indonesia. Hal tersebut
sejalan dengan langkah-langkah reformasi yang dilakukan RRT
dengan mengubah kebijakan perdagangan dari manufaktur ke jasa
(Tabel 2).
Tabel 2. Posisi AS dan RRT sebagai Negara Tujuan Ekspor Non Migas Indonesia
Tahun Amerika Serikat RRT Nilai (USD Juta) Peringkat Nilai (USD Juta) Peringkat
2011 15.684,2 3 21.595,6 12012 14.590,9 3 20.864,1 12013 15.081,9 3 21.281,6 12014 15.857,0 2 16.459,1 12015 15.306,6 1 13.259,6 2Q I 2016 3.628,4 1 2.840,1 3
Sumber: BPS (2016), diolah
Tabel 3. Posisi AS dan RRT sebagai Negara Asal Impor Non Migas Indonesia
Tahun Amerika Serikat RRT Nilai (USD Juta) Peringkat Nilai (USD Juta) Peringkat
2011 10.697,0 3 25.456,4 12012 11.468,9 3 28.962,0 12013 8.873,9 5 29.570,5 12014 8.102,4 5 30.461,6 12015 7.550,8 5 29.224,8 1Q I 2016 1.618,6 5 7.129,6 1
Sumber: BPS (2016), diolah
Di sisi impor non migas, selama 2011-2015, RRT selalu
menduduki peringkat pertama negara asal impor non migas
Indonesia. RRT mulai pertama kali menduduki peringkat ke-1
negara asal impor non migas Indonesia pada tahun 2006 setelah
berhasil menggeser Jepang. Posisi RRT sebagai negara asal impor
diprediksi akan semakin kuat mengingat saat ini pemerintah banyak
melakukan kerjasama di bidang infrastruktur dengan pemerintah
RRT. Di sisi lain, AS justru mengalami penurunan peringkat dari
posisi 3 pada 2012, kemudian bergeser di posisi ke 5 di 2013
hingga Kuartal I (Q 1) 2016.
surplus bagi Indonesia, sementara RRT juga merupakan pasar
ekspor utama sekaligus negara asal impor utama terhadap barang-
barang yang dibutuhkan di dalam negeri termasuk bahan baku
industri. Oleh karena itu, perlu kehati-hatian untuk menentukan
apakah Indonesia “akan lebih condong” ke Amerika Serikat yang
ditunjukkan dengan hasrat kuat untuk bergabung dalam TPP atau
justru memilih “lebih dekat” dengan RRT dengan memperbanyak
kerjasama secara intensif yang sudah terjalin di bidang investasi
khususnya pada pembangunan proyek-proyek infrastruktur
pemerintah. Lebih lanjut, kerjasama regional RCEP yang juga
melibatkan RRT dan ASEAN, diprediksi akan memberikan pengaruh
yang lebih besar bagi perekonomian dunia dibandingkan dengan
TPP. Melendez-Ortiz (2014) menyatakan bahwa RCEP akan
berpengaruh pada lebih dari 30% perekonomian dunia, sementara
TPP diestimasi akan berdampak pada 26% perekonomian dunia.
Namun demikian, perekonomian dua negara baik AS dan RRT
ke depan masih mengalami ketidakpastian dan ketidakstabilan,
terlebih setelah Inggris memutuskan untuk keluar dari Uni Eropa
pasca dilakukannya referendum pada 23 Juni 2016 lalu (Koran
Sindo, 2016).
Secara umum, apabila hanya dilihat dari sisi perdagangan
luar negeri maka kedua negara memiliki posisi yang kuat bagi
Indonesia. Amerika Serikat menjadi pasar utama dan penyumbang
Page 5
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 54 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016
Insentif Energi untuk Industri
Pulp dan KertasNurozy
Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan berupa Peraturan
Presiden (Perpres) No. 40 tahun 2016 tentang Penetapan Harga
Gas Bumi. Dalam Perpres tersebut (Pasal 3 ayat 1) disebutkan
bahwa dalam hal Harga Gas Bumi tidak dapat memenuhi nilai
keekonomian industri pengguna Gas Bumi dan Harga Gas Bumi
lebih tinggi dari USD 6/mmbtu, Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral (ESDM) dapat menetapkan Harga Gas Bumi Tertentu.
Penetapan Harga Gas Bumi Tertentu diperuntukkan bagi pengguna
Gas Bumi yang bergerak di bidang industri pupuk, industri petro
kimia, industri olechemical, industri baja, industri keramik, industri
kaca, serta industri sarung tangan karet.
Kebijakan yang diluncurkan oleh pemerintah tersebut
merupakan realisasi dari janji pemerintah yang tertuang dalam
Paket Kebijakan Ekonomi Jilid III bulan Oktober 2015. Tujuan
kebijakan tersebut adalah untuk mendorong percepatan
pertumbuhan ekonomi dan peningkatan daya saing industri
nasional melalui pemanfaatan Gas Bumi serta untuk menjamin
efisiensi dan efektifitas pengaliran Gas Bumi.
Dalam beberapa tahun terakhir terdapat beberapa industri
yang mengalami penurunan daya saing sehingga mengalami
penurunan ekspor (Kompas.com, 2016). Beberapa industri
tersebut diantaranya adalah industri Pulp and Papers (Pulp dan
Kertas) yang merupakan penyumbang devisa dalam sektor
industri kehutanan. Salah satu masalah yang dihadapi industri
tersebut adalah harga gas yang dirasakan masih relatif tinggi.
Untuk mendorong peningkatan daya saing, industri ini memerlukan
adanya insentif energi berupa penurunan harga gas.
Kondisi Industri Pulp dan KertasPulp dan Kertas merupakan produk industri yang memiliki
potensi untuk dikembangkan di Indonesia karena prospeknya
cukup baik. Potensi tersebut bisa dilihat dari beberapa aspek.
Pertama, tingkat konsumsi di dalam negeri yang cenderung
meningkat meskipun saat ini masih relatif rendah dibandingkan
dengan konsumsi di negara-negara Asia Tenggara lainnya.
Menurut Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI), konsumsi
kertas di dalam negeri baru sekitar 30 kg per kapita per tahun,
sedangkan konsumsi di negara-negara Asia Tenggara rata-rata
mencapai 55-60 kg per kapita per tahun. Permintaan pulp dan
kertas juga cenderung meningkat di pasar luar negeri. Kebutuhan
dunia terhadap kertas mengalami peningkatan 2,1% per tahun,
dimana untuk negara-negara berkembang pertumbuhannya
mencapai 4,1% dan negara maju pertumbuhannya sebesar 0,5%
per tahun. Pada tahun 2020 kebutuhan kertas dunia diperkirakan
mencapai 490 juta ton (APKI, 2014).
Faktor eksternal yang dapat mendorong pertumbuhan industri
pulp dan kertas adalah tingginya konsumsi di dunia. Beberapa
negara yang konsumsi kertasnya relatif tinggi adalah Amerika
Serikat (324 kg), Belgia (295 kg), Denmark (270 kg), Kanada (250
kg), dan Jepang (242 kg) (Kementerian Perindustrian, 2013). Faktor
internal yang juga dapat menjadi pendorong pertumbuhan industri
pulp dan kertas adalah belum optimalnya tingkat utilisasi industri,
yaitu rata-rata 51,90% pada tahun 2013. Berdasarkan data
Kementerian Perindustrian (2016), kinerja utilisasi industri pulp dan
kertas selama 2010-2013 menunjukkan penurunan sebesar 5,45%
(Tabel 1). Beberapa faktor diduga menjadi penyebab penurunan
tersebut, diantaranya menurunnya daya beli pasar domestik dan
melemahnya perekonomian global.
Tabel 1. Kinerja Utilisasi Industri Pulp dan Kertas Tahun 2013 (%)
Kinerja Utilisasi Industri Pulp dan Kertas tahun 2013
Sumber: Kemenperin (2016)
Sementara itu, menurut data BPS (2016) selama periode 2013
dan 2014 terjadi peningkatan produksi pada industri Kertas dan
Barang dari Kertas, Percetakan dan Reproduksi Media Rekaman
masing-masing sebesar 6,19% dan 6,12%, sedangkan pada
Page 6
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 76 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016
tahun 2015 terjadi penurunan kinerja produksi sebesar 1,84%.
Menurut data Kementerian Perindustrian tahun 2016, produksi
pulp sebesar 6,9 juta ton, sedangkan produksi kertas mencapai
11,8 juta ton, dan diperkirakan produksi pulp akan menjadi 10 juta
ton pada tahun 2017 dan produksi kertas meningkat menjadi 17
juta ton.
Indonesia juga memiliki sumber daya alam, khususnya kayu,
yang melimpah untuk mendorong pertumbuhan industri pulp dan
kertas. Untuk mendorong pertumbuhan industri pulp dan kertas
pada tahun 2017 dibutuhkan bahan baku kayu sebesar 45 juta
meter kubik, yang berarti terjadi peningkatan sebesar 27,5%
dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 35,3 juta meter kubik.
Industri pulp dan kertas juga merupakan industri yang mampu me-
nyerap banyak tenaga kerja. Berdasarkan data Kementerian Per-
industrian (2016) pada tahun 2013 terdapat 475 unit usaha pulp
dan kertas yang menyerap sebanyak 133.106 orang dengan nilai
tambah mencapai Rp 58,9 miliar. Industri pulp and kertas tidak
tergantung dari pasokan bahan baku dari impor karena sebagian
besar kebutuhan bahan bakunya banyak dipasok dari dalam negeri
yaitu sebesar 85,39%, sedangkan pasokan bahan baku dari impor
hanya 14,61%.
Kinerja Ekspor dan Daya Saing Industri Pulp dan KertasSelama periode 2011-2015, volume ekspor pulp dan kertas
mengalami peningkatan sebesar 1,75% per tahun, sedangkan
nilainya mengalami penurunan sebesar 1,98% per tahun. Dari
sisi volume, ekspor meningkat dari 5,9 juta ton pada tahun 2011
menjadi 6,3 juta ton pada tahun 2015, sedangkan nilai ekspornya
menurun dari USD 4,4 miliar menjadi USD 3,9 miliar pada periode
yang sama. Penurunan nilai ekspor ini disebabkan oleh penurunan
harga pulp di pasar internasional. Pada tahun 2015 terjadi penu-
runan harga pulp di pasar internasional dari USD 876,91/MT pada
tahun 2014 menjadi USD 875/MT (Bank Dunia). Kinerja ekspor pulp
dan kertas selama periode 2011-2015 bisa dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Kinerja Ekspor Pulp dan Kertas, 2011-2015
Uraian 2011 2012 2013 2014 2015 Tren (%)
Nilai (Miliar USD) 4,4 4,2 4,2 4,2 3,9 -1,98
Volume (Juta Ton) 5,9 6,2 6,7 6,5 6,3 1,75
Sumber: BPS (2016)
Negara tujuan ekspor utama pulp dan kertas Indonesia adalah
Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dengan nilai pada tahun 2015
mencapai USD 1,2 miliar, diikuti oleh Jepang USD 0,4 miliar, Korea
Selatan USD 0,3 miliar, India USD 0,2 miliar, Malaysia USD 0,2
miliar, Vietnam USD 0,1 miliar, Bangladesh USD 0,1 miliar dan
Amerika Serikat USD 0,1 miliar. Dari beberapa negara tujuan ekspor
utama tersebut hanya tiga negara yang mengalami pertumbuhan
positif selama periode 2011-2015, yaitu RRT, Bangladesh dan
Amerika Serikat dengan pertumbuhan masing-masing sebesar
7,17%, 9,67% dan 7,61% per tahun.
Apabila melihat kinerja daya saing, pulp dan kertas Indonesia
di pasar global berdasarkan data Comtrade, peringkat daya saing
pulp Indonesia di pasar global cenderung meningkat selama
periode beberapa tahun terakhir, sedangkan peringkat daya saing
kertas mengalami fluktuasi. Pada tahun 2010 peringkat daya saing
pulp menduduki peringkat ke 17, meningkat menjadi peringkat ke-
13 pada tahun 2014. Sementara itu peringkat daya saing kertas
pada tahun 2010 berada pada posisi ke-5, menurun menjadi
peringkat ke-9 pada tahun 2014.
Tabel 3. Peringkat Daya Saing Pulp dan Kertas Indonesia Di Pasar Global
Uraian 2010 2011 2012 2013 2014
Pulp 17 16 15 14 13Kertas 5 10 8 11 9
Sumber: UN COMTRADE (2016)
Saat ini Indonesia menduduki posisi ke-9 dalam produksi pulp
dan posisi ke-8 dalam produksi kertas dunia. Secara keseluruhan
produk pulp dan kertas telah menyumbang 90% dari total
penerimaan ekspor produk kehutanan pada tahun 2015, yaitu
sebesar Rp 9,86 miliar (Kontan.co.id, 2016). Sebenarnya industri
dalam negeri telah mampu memasok kebutuhan nasional, akan
tetapi ternyata masih terdapat impor dengan pertumbuhan nilai
impor sebesar 0,67% per tahun dan pertumbuhan volume impor
sebesar 4,55% pada periode 2011-2015.
Insentif Energi bagi Industri Pulp dan KertasAgar produk pulp dan kertas nasional bisa bersaing dengan
produk impor, maka perlu dilakukan efisiensi produksi terutama
yang terkait dengan penggunaan energi. Energi yang digunakan
dalam industri pulp dan kertas adalah solar, batubara, listrik PLN,
listrik non PLN, gas, minyak tanah, dan bahan bakar lain.
Berdasarkan hasil kajian Kementerian Perindustrian tahun
2012 mengenai Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri
Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi, penggunaan gas
sebagai salah satu sumber energi dalam industri pulp dan kertas
dengan skenario akselerasi dan penghematan akan mengalami
peningkatan dari 16,68 juta mmbtu pada tahun 2015 menjadi
25,80 juta mmbtu pada tahun 2020. Kendala yang dihadapi dalam
penggunaan gas sebagai salah satu sumber energi industri pulp
dan kertas menurut APKI (2007) adalah masih mahalnya harga
gas di dalam negeri, padahal harga gas di pasar internasional
mengalami penurunan.
Page 7
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 76 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016
Menurut data Bank Dunia (2016), harga gas di Amerika Serikat,
Eropa dan Jepang dalam beberapa tahun terakhir cenderung
menurun sebagaimana terlihat pada Gambar 1. Penurunan yang
signifikan terjadi pada tahun 2015, dimana harga gas di Amerika
Serikat, Eropa dan Jepang mencapai angka terendah selama
5 tahun terkahir, yakni masing-masing 10,40 USD/mmbtu, 7,26
USD/mmbtu, dan 2,61 USD/mmbtu.
Gambar 1. Perkembangan Harga Gas di Pasar Internasional.Keterangan: mmbtu = One Million British Thermal Units
Sumber: Bank Dunia (2016)
Sementara itu, GlobalPetrolPrice.com merilis data harga gas di
beberapa negara, dimana harga gas per 25 April 2016 lebih rendah
dibandingkan dengan Indonesia. Harga gas terendah adalah harga
di Kuwait yaitu 0,22 USD/liter atau kurang dari setengah harga gas
di Indonesia sebesar 0,59 USD/liter. Adapun harga gas di beberapa
negara lainnya adalah sebagai berikut: Saudi Arabia 0,25 USD/liter;
Turkmenistan 0,29 USD/liter; Algeria 0,30 USD/liter; Qatar 0,37
USD/liter; Iran 0,41 USD/liter; UAE 0,41 USD/liter; Oman 0,42
USD/liter; Kazakhstan 0,42 USD/liter; Bahrain 0,44 USD/liter; dan
Malaysia 0,44 USD/liter.
Hasil kajian Kementerian Perindustrian tahun 2012 juga
menunjukkan bahwa apabila menggunakan skenario akselerasi
dengan efisiensi setelah menggunakan teknologi pengering yang
lebih efisien, maka akan diperoleh penghematan energi sebesar
20-30% yang nilainya pada tahun 2020 diperkirakan mencapai Rp
68,94 triliun. Nilai penghematan tersebut tentunya akan meningkat
lagi apabila harga gas di dalam negeri dapat diturunkan.
Berdasarkan pada fakta-fakta tersebut, maka upaya
peningkatan daya saing industri pulp dan kertas perlu dilakukan.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah memberikan insentif
untuk penurunan harga gas mengingat terjadi penurunan harga
gas di pasar internasional. Dalam Paket Kebijakan Ekonomi Jilid
III, pemerintah telah menjanjikan akan menurunkan harga gas.
Dengan demikian, perlu dipertimbangkan untuk memasukkan
industri pulp dan kertas dalam kategori industri pengguna gas
bumi tertentu sehingga bisa ikut merasakan manfaat dari paket
kebijakan tersebut.
Page 8
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 98 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016
Meningkatkan Kinerja Perdagangan Tekstil dan Produk Tekstil Indonesia di Amerika Serikat
Melalui TPPWibowo Kurniawan dan Arie Mardiansyah
Isu Trans-Pacific Partnership (TPP) semakin hangat dibicarakan
akhir-akhir ini. Berdasarkan data CIA Factbook (2016) dan Trade
Map (2016), TPP menjadi sangat menarik karena mencakup 38%
Gross Domestic Product (GDP) global dan 26% nilai perdagangan
dunia. Isu ini banyak menimbulkan pro dan kontra terkait apakah
Indonesia harus bergabung atau tidak di dalam kerangka
kerjasama perdagangan tersebut. Pada satu sisi, pelaku usaha
di dalam negeri dianggap tidak siap karena konsekuensi yang
memberatkan jika ketentuan TPP tersebut diimplementasikan
di Indonesia. Di lain pihak, 12 negara telah bergabung ke dalam
TPP dan diperkirakan akan diikuti oleh negara-negara lainnya. Ada
kekhawatiran Indonesia akan tertinggal oleh negara-negara yang
telah lebih dulu bergabung ke dalam TPP. Dengan memilih berada
di luar TPP, Indonesia akan kehilangan daya saingnya dan tidak
mampu bergabung ke dalam Global Value Chain (GVC) atau rantai
nilai global untuk mendapatkan akses pasar yang lebih baik ke
negara-negara anggota TPP tersebut.
Dalam kerjasama TPP, Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) diatur
secara khusus pada Chapter 4 mengenai Textiles and Apparel.
Terdapat lebih dari 150 pos tarif yang diatur dalam chapter ini
dengan merujuk kepada penggolongan barang menurut sistem
harmonisasi tahun 2007. Namun, aturan Rules of Origin (ROO)
merupakan hal yang perlu menjadi catatan khusus bagi para
pemangku kebijakan dan pelaku usaha di Indonesia. TPP mengatur
bahwa jika dan hanya jika memenuhi ketentuan ROO ini produk dari
suatu negara dapat menikmati tarif dan fasilitas perdagangan yang
diatur di dalamnya. Hal terpenting terkait dengan ROO dalam TPP
adalah TPT akan dianggap sebagai asal dari negara anggota jika
berat total dari semua bahan-bahan pembuatnya yang berasal dari
negara non-anggota tidak lebih dari sepuluh persen dari berat total
produk akhir. Hal ini berarti TPP akan mendorong negara-negara
anggota agar meningkatkan perdagangan intra-regionalnya untuk
memenuhi regional value content dan mendorong terciptanya value
chain sesama negara anggota TPP.
Saat ini, GVC menjadi semakin berpengaruh dalam menentukan
perdagangan di masa depan. GVC dianggap mampu untuk
mengintegrasikan ekonomi dunia dengan biaya yang lebih rendah
melalui pemilihan negara yang sumber dayanya paling efisien
sebagai basis produksi. Dengan kata lain, besarnya ekspor suatu
negara sangat dipengaruhi oleh seberapa besar keikutsertaan
produsen di negara tersebut di dalam GVC. Hal ini dikarenakan
pembeli besar dengan skala global sangat menentukan di mana
suatu produk akan diproduksi. Pembeli biasanya menggunakan
model “outsourcing” karena tidak memiliki pabrik sendiri dan
secara signifikan mempengaruhi bagaimana GVC tersebut
dilaksanakan dan difungsikan. Namun demikian, manfaat GVC
dapat bervariasi tergantung pada apakah suatu negara beroperasi
di tingkatan yang tinggi atau pada tingkatan rendah pada rantai
nilai tersebut, terutama bagi negara-negara berkembang yang
menjadi basis produksi seperti Indonesia. Oleh karena itu, fasilitas
perdagangan dan investasi menjadi faktor penentu bagi suatu
negara untuk dapat meningkatkan partisipasinya ke dalam GVC,
termasuk keikutsertaan ke dalam kerangka kerjasama seperti TPP
untuk meningkatkan partisipasi ke dalam intra-regional value chain.
Di Indonesia, Industri TPT memiliki peranan penting pada
perekonomian nasional. Industri ini memberikan kontribusi yang
cukup signifikan sebagai penyumbang pendapatan devisa negara,
penyerapan tenaga kerja, dan pemenuhan kebutuhan sandang
masyarakat Indonesia. Berdasarkan data Badan Koordinasi
Penanaman Modal (BKPM), industri tekstil dan sepatu mampu
menyerap 81.000 tenaga kerja, serta dari total investasi telah
mempekerjakan 638.000 orang pada semester pertama tahun
2015. Selain itu pada tahun 2014, realisasi investasi pada industri
tekstil Indonesia telah mencapai Rp 9,53 triliun atau tumbuh 9,4%
dibandingkan tahun 2013. Bahkan Menteri Perindustrian Saleh
Husein menyatakan dari sisi ekspor, industri TPT telah mencapai USD
12,68 miliar dengan surplus neraca perdagangan mencapai USD 4,21
miliar atau kontribusi ekspor sebesar 11,22% terhadap total ekspor
industri nasional secara keseluruhan (Investor Daily, 2014).
Pada akhir tahun 2015 industri TPT mengalami banyak tekanan
yang mengakibatkan turunnya kinerja perdagangan dan turunnya
daya saing produk TPT. Mahalnya tarif listrik, melemahnya daya
beli masyarakat, rendahnya produktivitas tenaga kerja menjadi
faktor penghambat perkembangan industri TPT di Indonesia
(Bunga Rampai Info Komoditi Pakaian Jadi, 2015). Masalah lain
yang dihadapi oleh industri TPT yang juga mempengaruhi daya
saing adalah masih tingginya tarif bea masuk negara-negara
tujuan ekspor. Hal ini harus diatasi, salah satunya adalah dengan
Page 9
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 98 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016
mengurangi biaya ekspor, terutama dari tarif bea masuk negara-
negara tujuan ekspor utama produk TPT Indonesia. Bea masuk
ke suatu negara dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan dengan
membuat suatu perjanjian kerjasama perdagangan antar negara
yang bersangkutan, seperti TPP. Salah satu keuntungan menjadi
anggota TPP adalah mendapatkan preferensi tarif 0% bagi seluruh
anggotanya untuk semua produk yang diperdagangkan.
Pentingnya Pasar Amerika Serikat bagi IndonesiaDi antara negara anggota TPP, Amerika Serikat masih
menjadi pasar tujuan ekspor utama yang sangat penting bagi
Indonesia, dengan total nilai ekspor pada akhir tahun 2015
mencapai USD 20 miliar. Pada tahun 2015, lebih dari 26% dari
total ekspor Indonesia ke Amerika Serikat berupa produk tekstil
dan pakaian jadi dengan nilai mencapai USD 5,41 miliar. Dalam arti
kata lain, sekitar 40% dari total ekspor TPT asal Indonesia ke dunia
ditujukan untuk pasar Amerika Serikat (UN COMTRADE, 2016).
Perkembangan impor TPT di Amerika Serikat juga terus
mengalami kenaikan dalam lima tahun terakhir. Pada tahun 2010,
total impor Amerika Serikat dari dunia tercatat sebesar USD
99,8 miliar dan terus meningkat menjadi USD 119,6 miliar pada
tahun 2015 atau naik sebesar 20%. Sayang sekali, kinerja ekspor
Indonesia sebagai pemasok pakaian jadi ke Amerika Serikat hanya
stagnan sejak 2011, yaitu berkisar pada angka USD 4,4 miliar
hingga tahun 2015 dan masih jauh tertinggal dibandingkan dengan
negara Asia lainnya seperti Republik Rakyat Tiongkok (RRT),
Bangladesh, Vietnam, dan India (UN COMTRADE, 2016).
Saat ini tarif yang dikenakan pada TPT asal Indonesia oleh
Amerika Serikat masih cukup tinggi. Hal ini berdampak pada
bertambah tingginya harga TPT Indonesia di Amerika Serikat
sehingga menurunkan daya saing produk secara keseluruhan.
Pada Tabel 1, bisa dilihat bahwa komposisi dari ekspor TPT
Indonesia ke Amerika Serikat didominasi oleh HS 61 dan HS 62
(produk pakaian jadi dan aksesoris ) dengan pengenaan tarif yang
cukup tinggi, yaitu di atas 10%. Selain tarif yang tinggi, angka
pertumbuhan ekspor Indonesia ke Amerika Serikat dari produk-
produk pakaian jadi dan aksesoris tersebut juga rendah yaitu -2%
untuk HS 61 dan 1,2% untuk HS 62, padahal angka pertumbuhan
impor Amerika Serikat dari dunia akan produk tersebut positif.
Karena produk pakaian jadi, aksesoris rajut dan non rajut (HS 61
dan 62) memiliki pangsa sebesar 93% dari total ekspor Indonesia
ke Amerika Serikat, maka bisa disimpulkan bahwa saat ini tarif
yang dikenakan pada seluruh produk pakaian jadi asal Indonesia
oleh Amerika Serikat masih cukup tinggi.
Pada sisi lain, perkembangan ekspor Vietnam ke Amerika Serikat
terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Ekspor Vietnam
ke Amerika Serikat pada tahun 2010 adalah sebesar USD 6,3
miliar dan terus meningkat menjadi USD 11,3 miliar pada tahun
2015. Dengan kata lain, ekspor Vietnam meningkat sebesar 79%
antara tahun 2010 hingga tahun 2015 (UN COMTRADE, 2016).
Kinerja ekspor Vietnam pada tahun 2015 telah berhasil menguasai
pangsa sebesar 9,4% dari total impor Amerika Serikat untuk TPT.
Oleh karena itu, penetrasi Vietnam yang sangat agresif ini perlu
dicermati serius oleh para pemangku kepentingan dalam rangka
mengamankan pasar utama Indonesia di Amerika Serikat.
Persaingan dalam Pasar Amerika SerikatKhusus untuk perdagangan ekspor TPT, Amerika Serikat
merupakan pasar ekspor potensial yang sangat besar dibandingkan
dengan negara-negara TPP lainnya. Total nilai impor produk TPT
dari Amerika Serikat sebesar USD 119,6 miliar pada tahun 2015
dengan angka pertumbuhan per tahun sebesar 2,7% sejak 2011.
Tabel 1. Komposisi Tarif Produk Tekstil dan Pakaian Jadi Indonesia (HS 50-63) di Amerika Serikat Tahun 2015
HS Label Pangsa Pertumbuhan Pertumbuhan Tarif Ekspor Ekspor Impor USA50 Sutra 0,00 -42,6 -10,1 0,251 Wol, bulu hewan, benang bulu kuda dan kain daripadanya 0,00 -38,5 2,3 652 Katun 0,01 -4,9 -3,8 7,653 Serat tekstil organik, benang kertas, kain tenun 0,00 -4,0 3,4 0,654 Filamen Buatan 0,00 1,1 0,6 9,855 Serat stapel buatan 0,02 -10,3 1,0 8,556 Gumpalan kapas, felt, bukan tenunan, benang, benang pintal, dll 0,00 31,6 6,2 1,657 Karpet dan penutup lantai tekstil lainnya 0,00 -9,3 7,5 1,458 Tenunan khusus atau kain berumbai, renda, permadani dll 0,00 -1,9 2,0 7,759 Kain tekstil diresapi, dilapisi atau dilaminasi 0,00 -4,8 3,8 3,160 Rajutan atau kain kaitan 0,00 -13,3 5,8 11,161 Artikel dari pakaian, aksesoris, rajutan atau berenda 0,51 -2,0 3,2 14,462 Artikel dari pakaian, aksesoris, bukan rajutan atau renda 0,44 1,1 1,5 10,863 Artikel lain terbuat dari tekstil, set, pakaian dll 0,01 -0,1 4,6 7,7
Sumber: Trade Map (2016), diolah.
Page 10
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 1110 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016
Perbandingan Daya Saing Relatif Produk TPT Indonesia dan
Vietnam (2011)
Perbandingan Daya Saing Relatif Produk TPT Indonesia dan
Vietnam (2014)
Gambar 1. Perbandingan Daya Saing Relatif TPT Indonesia dan Vietnam di Dunia.Sumber: Trade Map (2016), diolah.
Sumber: Trade Map (2016), diolah.
Gambar 2. Impor Tekstil dan Pakaian Jadi Amerika dari Indonesia, Vietnam dan Dunia, 2011-2015 (USD Miliar).
agar bisa mendapatkan preferensi yang sama dengan Vietnam,
khususnya untuk memenuhi persyaratan regional value content
sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan perdagangan
sesama negara TPP.
Saat ini Indonesia hanya mampu memenuhi kebutuhan impor
Amerika Serikat akan pakaian jadi sebesar 4,5%, sedangkan
Vietnam jauh lebih unggul dengan pangsa pasar sebesar 9,4% dari
total impor TPT Amerika Serikat. Oleh sebab itu, Indonesia perlu
segera mencari solusi untuk mampu bertahan dan memenangkan
pangsa pasar TPT di Amerika Serikat.
Dalam persaingan sesama negara produsen TPT, Vietnam
dianggap sebagai pesaing utama Indonesia di ASEAN. Vietnam
merupakan salah satu negara anggota TPP yang kinerja ekspornya
terus meningkat beberapa tahun terakhir, bahkan sebelum negara
tersebut tergabung dalam TPP. Vietnam memperoleh keuntungan
dari perdagangan ekspor pakaian jadi karena negara tersebut
mampu memproduksi dengan biaya yang rendah, dimana
karakteristik biaya produksi sangat ditentukan oleh keterampilan
dan keahlian tenaga kerja manusia. Wang (2013) menyebutkan
bahwa rasio produktivitas terhadap upah tenaga kerja di
Vietnam lebih baik dibandingkan dengan negara Asia lainnya.
Hal inilah yang menyebabkan daya saing Vietnam dianggap
lebih baik dibandingkan dengan negara Asia lainnya termasuk
Indonesia. Lebih murahnya biaya produksi pakaian jadi membuat
Vietnam memperoleh keuntungan atau manfaat lebih besar dari
perdagangan ekspor pakaian jadi dan keikutsertaannya dalam
GVC dibandingkan dengan Indonesia.
TPP dipastikan akan mengubah pola perdagangan TPT
di kawasan tersebut guna memenuhi persyaratan regional
value content di mana di dalamnya terdapat Vietnam yang juga
merupakan negara produsen terbesar TPT di Asia. Masuknya
Vietnam menjadi negara anggota TPP, merupakan ancaman bagi
industri TPT Indonesia karena produk sejenis asal Vietnam akan
semakin unggul terutama dalam hal tidak adanya tarif dan fasilitas
perdagangan ke pasar Amerika Serikat.
Seperti yang ditampilkan pada Gambar 1, pada 2011 daya
saing TPT Indonesia sebagian besar berada di bawah Vietnam,
kecuali untuk produk serat Staple buatan (HS 55). Pada tahun
2014 tidak banyak perubahan, sebagian besar TPT Indonesia
masih berada di bawah Vietnam termasuk produk pakaian jadi
dan aksesoris (HS 61 dan 62) yang merupakan produk ekspor
utama Indonesia ke Amerika Serikat. Hanya daya saing dari produk
filamen buatan (HS 54) yang mampu tumbuh dan berada di atas
daya saing produk yang sama dari Vietnam. Oleh karena itu, tidak
mengherankan jika Vietnam selalu meraih pangsa pasar yang lebih
tinggi dalam ekspor TPT ke Amerika Serikat.
Pada Gambar 2, impor Amerika Serikat dari Indonesia dalam
lima tahun terakhir menurun dan selalu berada di bawah Vietnam,
sebaliknya Impor Amerika Serikat dari Vietnam dan dunia selalu
meningkat dari tahun ke tahun. Oleh karena itu pembenahan
sektor TPT di dalam negeri perlu segera dilakukan dalam rangka
meningkatkan daya saing. Selain itu, keikutsertaan Indonesia
di dalam TPP perlu menjadi pertimbangan penting pemerintah
Meningkatkan Daya SaingPembentukan TPP akan menciptakan suatu sistem
perdagangan baru yang sangat liberal antara negara-negara
anggotanya. Daya saing yang dimiliki oleh setiap produsen dan
produknya akan bertemu dan saling berhadapan, dan pemenang
pasar akan ditentukan oleh pemilik daya saing terbaik di pasar
sasaran. Pertumbuhan ekspor TPT Indonesia ke Amerika Serikat
Page 11
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 1110 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016
yang negatif pada lima tahun terakhir, dan bergabungnya Vietnam
dalam keanggotaan TPP merupakan suatu fakta yang tidak bisa
diabaikan. Vietnam yang selalu unggul dalam daya saing dan
memiliki pangsa pasar di Amerika Serikat lebih besar dari Indonesia
akan semakin diuntungkan dengan segala fasilitas dan kemudahan
yang didapat melalui keanggotaanya di TPP. Indonesia sebaliknya
akan dirugikan dan semakin kehilangan pangsa pasarnya akibat
semakin menurunnya daya saing karena tidak mendapatkan
kemudahan dan fasilitas negara anggota TPP.
Meningkatkan daya saing memang tidak mudah, diperlukan
upaya dari pemerintah dan para pelaku usaha itu sendiri untuk
melakukannya. Mulai dari pengambilan strategi yang tepat untuk
mendukung efektifitas dan efisiensi proses produksi di dalam
negeri, sampai memilih bentuk kerjasama luar negeri yang tepat
dan bermanfaat bagi negara secara keseluruhan. Untuk TPT
Indonesia yang saat ini sangat memerlukan akses ke pasar Amerika
Serikat, sebaiknya pemerintah Indonesia mempertimbangkan
pilihan untuk masuk dan bergabung dalam keanggotaan TPP.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ade Sudrajat
Usman mengatakan, tekstil merupakan industri yang paling siap
ketika perjanjian CEPA dan TPP mulai dijajaki. Ade menilai tekstil
adalah salah satu komoditas strategis dengan nilai ekspor dan
potensi penyerapan tenaga kerja yang tinggi. Selanjutnya Ade
menjelaskan, apabila pasar Amerika dan Uni Eropa terbuka,
ekspor akan meningkat, begitu juga dengan produksi dan
penyerapan tenaga kerja. Industri tekstil juga memiliki industri hulu
hingga ke hilir sehingga merasa siap untuk mengikuti ketentuan
dalam TPP (Kontan, 2016). Kajian dari Kementerian Perindustrian
menunjukkan, hanya 31% industri manufaktur yang punya
kemampuan daya saing di pasar bebas sektor industri, antara
lain industri karet, tekstil, makanan dan minuman serta otomotif
(Duniaindustri.com, 2015).
Memang diperlukan banyak persiapan sebelum memutuskan
untuk bergabung dalam TPP, namun Indonesia tidak memiliki
banyak waktu lagi karena persaingan di dunia tidak akan menunggu.
Oleh karena itu untuk mampu bertahan dalam persaingan global,
Indonesia harus bisa cepat bertindak dan mengejar semua
ketertinggalannya dari negara-negara lain di dunia.
Daya Saing Produk EksporIndonesia di Pasar Jepang
Periode Pra dan Pasca IJ-EPASefiani Rayadiani dan Silvi Mustikawati
Bagi Indonesia, Jepang tidak hanya sebagai mitra dagang
utama, melainkan juga merupakan negara pertama
yang menjadi mitra kerjasama perdagangan internasional dalam
kerangka bilateral. Indonesia dan Jepang telah menandatangani
perjanjian kemitraan ekonomi Indonesia-Jepang (Indonesia-Japan
Economic Partnership Agreement atau IJ-EPA) pada tanggal 20
Agustus 2007 dan mulai efektif sejak 1 Juli 2008. Dengan adanya
IJ-EPA, kedudukan Indonesia telah sejajar dengan negara-negara
pesaing di pasar Jepang, terutama yang telah memiliki kerjasama
perdagangan bilateral dengan Jepang, diantaranya adalah
Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand.
IJ-EPA sendiri adalah salah satu bentuk perjanjian kerjasama
perdagangan bebas WTO plus yang meliputi sebelas isu
komprehensif, yaitu: 1) Perdagangan Barang; 2) Perdagangan
Jasa; 3) Prosedur Kepabeanan dan Cukai; 4) Investasi; 5)
Pergerakan Tenaga Kerja; 6) Energi dan Sumber Daya Mineral; 7)
Hak Kekayaan Intelektual; 8) Pengadaan Pemerintah; 9) Kebijakan
Persaingan; 10) Peningkatan Iklim Usaha; dan 11) Kerjasama.
Tujuan IJ-EPA adalah untuk mempererat kemitraan ekonomi di
antara kedua negara, khususnya bagi Indonesia adalah dapat
membuka akses pasar produk Indonesia di pasar Jepang. Di
dalam perjanjian IJ-EPA, pihak Jepang menyatakan komitmennya
akan membantu pihak Indonesia untuk meningkatkan kapasitas
industrinya (capacity building) agar produk/jasanya bisa memenuhi
persyaratan mutu yang dituntut oleh pasar Jepang melalui elemen
perjanjian kerjasama.
Page 12
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 1312 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016
Kinerja Perdagangan Indonesia-Jepang Pra dan Pasca IJ-EPAMeninjau kembali ke periode sebelum diimplementasikannya
IJ-EPA (2004-2007), neraca perdagangan bilateral Indonesia-
Jepang mencatatkan surplus perdagangan yang terus meningkat
bagi Indonesia. Kenaikan surplus perdagangan tersebut dipicu oleh
rata-rata pertumbuhan ekspor migas yang selalu surplus sebesar
11,63% per tahunnya. Pada tahun 2004, surplus perdagangan
bilateral Indonesia-Jepang tercatat sebesar USD 9,9 miliar, dimana
surplus perdagangan migas mencapai USD 7,6 miliar dan surplus
perdagangan non migas mencapai USD 2,3 miliar. Sementara itu,
surplus perdagangan Indonesia dengan Jepang pada tahun 2007
sebesar USD 17,1 miliar, yang terdiri dari surplus migas sebesar USD
10,5 miliar dan defisit non migas sebesar USD 6,6 miliar (Tabel 1).
Sama halnya dengan periode sebelum diterapkannya
IJ-EPA, neraca perdagangan bilateral antara Indonesia dengan
Jepang pada periode pasca IJ-EPA juga masih mencatatkan
surplus perdagangan. Namun demikian, surplus perdagangan
bilateral Indonesia-Jepang selama periode pasca IJ-EPA (2008-
2015) menunjukkan penurunan tiap tahunnya sebesar 10,84%.
Penurunan surplus perdagangan terjadi sepanjang tahun
2008-2015, terkecuali pada tahun 2011. Badan Pusat Statistik
(2016) mencatat setidaknya surplus perdagangan Indonesia-
Jepang pada tahun 2015 sebesar USD 4,8 miliar, dimana
surplus perdagangan migas sebesar USD 4,9 miliar dan defisit
perdagangan non migas sebesar USD 0,1 miliar. Sementara itu,
surplus perdagangan Indonesia-Jepang mencapai USD 1,3 miliar
terdiri dari surplus migas sebesar USD 1,2 miliar dan surplus
non migas sebesar USD 0,1 miliar. Selama periode Januari-Juni
2016 perdagangan bilateral antara Indonesia dengan Jepang
juga membukukan surplus perdagangan sebesar USD 1,58 miliar,
meskipun turun 26,77% dari tahun sebelumnya.
Ekspor Indonesia ke Jepang cenderung mengalami kenaikan
selama periode sebelum adanya IJ-EPA (2004-2007). Ekspor
Indonesia ke Jepang pada tahun 2004 mencapai USD 16,0 miliar
yang terdiri dari ekspor non migas sebesar USD 8,4 miliar dan
ekspor migas USD 7,6 miliar. Sementara itu, ekspor Indonesia
ke Jepang pada tahun 2007 mencapai USD 23,6 miliar dimana
ekspor non migas Indonesia ke Jepang sebesar USD 13,1 miliar,
sedangkan ekspor migas sebesar USD 10,5 miliar (Tabel 1).
Sebaliknya, ekspor Indonesia ke Jepang pasca
diimplementasikannya IJ-EPA (2008-2015) justru menunjukkan
tren negatif sebesar 2,23% per tahun. Pelemahan ekspor Indonesia
ke Jepang pada tahun 2008-2015 dipicu oleh tren pertumbuhan
negatif pada ekspor migas sebesar 6,51% per tahun. Setelah
setahun pelaksanaan IJ-EPA (tahun 2009) ekspor migas Indonesia
ke pasar Jepang justru anjlok sekitar 52,71% dari sebesar USD
13,9 miliar menjadi USD 6,6 miliar. Penurunan ekspor migas pada
tahun tersebut dipicu oleh penurunan harga minyak dunia pada
tahun 2009 dan krisis finansial global. Namun demikian, ekspor
Indonesia ke pasar Jepang mengalami kebangkitan dan mengalami
kenaikan hingga tahun 2011. Akan tetapi, ekspor Indonesia ke Jepang
kembali melemah sejak tahun 2012 karena turunnya pertumbuhan
ekonomi dan permintaan Jepang. Kini, selama enam bulan pertama
di tahun 2016, ekspor Indonesia ke Jepang mencapai USD 14,20
miliar, yang terdiri dari ekspor migas sebesar USD 1,50 miliar dan
ekspor nonmigas sebesar USD 12,70 miliar.
Daya Saing Produk Ekspor Indonesia di Pasar Jepang Periode Pra dan Pasca IJ-EPA
Berdasarkan hasil analisis Export Product Dynamics (EPD)
ditemukan bahwa sebelum pelaksanaan IJ-EPA terdapat sejumlah
komoditas primer Indonesia yang banyak diminati oleh pasar
Jepang dan mampu dipenuhi Indonesia, diantaranya Gas
Petroleum dan Gas Hidrokarbon lainnya (Petroleum Gas), Minyak
Mentah (Crude Petroleum Oils), Batu Bara (Coal, Briquette), Biji
Tembaga dan Konsentratnya (Copper Ores and Concentrates),
dan Mate Nikel (Nickel Mattes). Adapun beberapa produk
manufaktur yang memiliki permintaan yang tinggi di pasar Jepang
dan telah dipasok oleh Indonesia
selama tahun 2001-2007, antara lain
produk Kayu Lapis, Panel Veneer
dan Kayu dilaminasi (Plywood),
Furnitur lainnya dan bagiannya
(Other furniture and parts),
Benang Filamen Sintetik (Syntethic
filam yarn), Instrumen Keyboard
(Keyboard Instrument), Ikan segar
atau dingin (Fish, fresh, whole),
Krustasea (Crustaceans), Benang
Kapas (Cotton Yarn), Benang (selain
benang jahit) dari serat stapel sintetik
(Yarn of synthetic staple fiber) adalah
beberapa produk yang mengalami
Page 13
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 1312 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 20
Gambar 1. Daya Saing Produk Ekspor Indonesia di Pasar Jepang Periode Pra IJ-EPA.
Sumber: UN Comtrade (2016), diolah.
Pasca implementasi IJ-EPA terjadi beberapa pergeseran produk ekspor Indonesia di
pasar Jepang. Sebagai salah satu contoh, produk batu bara (coal, briquette) yang semula
masuk ke dalam kuadran Rising Star pada tahun 2001-2007 (pra IJ-EPA) kini menjadi produk
dalam kuadran Falling Star (Gambar 2). Hal ini dikarenakan terjadi penurunan ekspor batu
bara yang kemungkinan dampak dari diberlakukannya Permendag No. 39/M-
DAG/PER/07/2014 tentang Ketentuan Ekspor Batu Bara dan Produk Batu bara yang
mengharuskan persyaratan Eksportir Terdaftar dan Verifikasi Surveyor dalam pelaksanaan
ekspor batu bara. Untuk beberapa produk lainnya seperti karet, kertas, kabel untuk
kendaraan/pesawat dan roda kendaraan masih menjadi produk Rising Star. Beberapa produk
ekspor Indonesia yang kehilangan pangsa pasar produk di pasar Jepang pasca IJ-EPA adalah
Diodes/Transistors, Kursi Dokter Gigi dan Tukang Cukur (Seat o/t dentists and barbers chairs),
Minyak Bumi bukan mentah (Petroleum Oils, not crude), Generator listrik (Electric motors dan
generators).
Refined copper
Yarn of synth staple fiber
Ammonia
Plywood
Nickel oresNatural rubber
Petroleum Gases
Keyboard instrument
Copper ores & concentrates
Cotton yarnCrustaceans
New pneumatic tyres
Nickel Mattes
Wood continously shapeSynth filam yarn
Other paper
Fish, fresh, whole
Polycateal
Coffee
Coal, briquette
Other furniture & parts
Insulated wire/cables
Petroleum oils
Unwrought alumunium
Crude Petroleum Oils
Seat
TV receivers
Video recording
Electric motors
Petroleum coke
Printing machinery
Automatic data processing
Part suitable for use solely/princ with television
Part & acc. computer
Electronic integrated circuits
-20.00
-10.00
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
70.00
-1.00 -0.80 -0.60 -0.40 -0.20 0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00
Tren
Eks
por I
ndon
esia
ke
Jepa
ng 2
001-
2007
(%)
Revealed Symmetric Comparative Advantage (RSCA) 2001-2007
Lost Opportunity
Retreat
Rising Star
Falling Star
Gambar 1. Daya Saing Produk Ekspor Indonesia di Pasar Jepang Periode Pra IJ-EPA.Sumber: UN Comtrade (2016), diolah.
21
Gambar 2. Daya Saing Produk Ekspor Indonesia di Pasar Jepang Pasca IJ-EPA.
Sumber: UN Comtrade (2016), diolah.
Di kuadran falling star pasca IJ-EPA, meskipun permintaan di pasar Jepang
mengalami peningkatan pasca IJ-EPA, di sisi lain ekspor Bijih tembaga dan konsentratnya dan
Bijih Batu bara dan konsentratnya tidak dapat ditingkatkan lagi ekspornya dikarenakan
pengaturan hilirisasi dalam Permendag No. 119/M-DAG/PER/12/2015 tentang Ketentuan
Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan Pemurnian. Salah satu upaya yang dapat
dilakukan oleh Indonesia untuk meningkatkan ekspor ke pasar Jepang adalah dengan
mempertahankan dan meningkatkan ekspor produk migas maupun non migas yang berada di
kuadran Rising Star dan merebut pangsa pasar ekspor di pasar Jepang. Saat ini pangsa ekspor
produk-produk Indonesia yang berada di kuadran Rising Star masih jauh di bawah 2% di pasar
Jepang sehingga masih berpeluang besar untuk ditingkatkan.
Diodes/transistors
Builders joinery & carpentry wood
Petroleum gasesParts & acces of motor
vehicles Ammonia
Seat o/t dentists & barbers'chairs
Synthetic filam yarnInsulated wire/cablesOther plates & sheets
PolycatelNew pneumatic tyres
CoffeePetroleum gasesElectric motors & generators
Automatic data processingPlywood
TV cameraPetroleum oils, not crude Petroleum cokesCrude petroleum oilsCopper ores & concTV receiversElectronic
integrated circuits Part suitable for use
solely/princ with televisions, recpt app
Refined copperCoal, briquettesCrude petroleum oils Natural rubber, balatta, gutta
-20.00
-15.00
-10.00
-5.00
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
-1.00 -0.80 -0.60 -0.40 -0.20 0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00
Tren
Eks
por I
ndon
esia
ke
Jepa
ng 2
008-
2015
(%)
Revealed Symmetric Comparative Advantage (RSCA) 2008-2015Retreat Falling Star
Losing opportunity Rising Star
Gambar 2. Daya Saing Produk Ekspor Indonesia di Pasar Jepang Pasca IJ-EPA.Sumber: UN COMTRADE (2016), diolah.
peningkatan pangsa ekspor di pasar Jepang, tapi terjadi
penurunan pangsa produk di Jepang selama periode sebelum
pengimplementasian IJ-EPA (Gambar 1).
Pasca implementasi IJ-EPA terjadi beberapa pergeseran
produk ekspor Indonesia di pasar Jepang. Sebagai salah satu
contoh, produk batu bara (coal, briquette) yang semula masuk
ke dalam kuadran Rising Star pada tahun 2001-2007 (pra IJ-
EPA) kini menjadi produk dalam kuadran Falling Star (Gambar
2). Hal ini dikarenakan terjadi penurunan ekspor batu bara yang
kemungkinan dampak dari diberlakukannya Permendag No.
39/M-DAG/PER/07/2014 tentang Ketentuan Ekspor Batu Bara
dan Produk Batu bara yang mengharuskan persyaratan Eksportir
Terdaftar dan Verifikasi Surveyor dalam pelaksanaan ekspor batu
bara. Untuk beberapa produk lainnya seperti karet, kertas, kabel
untuk kendaraan/pesawat dan roda kendaraan masih menjadi
produk Rising Star. Beberapa produk ekspor Indonesia yang
kehilangan pangsa pasar produk di pasar Jepang pasca IJ-EPA
adalah Diodes/Transistors, Kursi Dokter Gigi dan Tukang Cukur
(Seat o/t dentists and barbers chairs), Minyak Bumi bukan mentah
(Petroleum Oils, not crude), Generator Listrik (Electric motors dan
generators).
Di kuadran Falling Star pasca IJ-EPA, meskipun permintaan
di pasar Jepang mengalami peningkatan pasca IJ-EPA, di sisi lain
ekspor Bijih tembaga dan konsentratnya dan Bijih Batu bara dan
konsentratnya tidak dapat ditingkatkan lagi ekspornya dikarenakan
pengaturan hilirisasi dalam Permendag No. 119/M-DAG/
PER/12/2015 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan
Hasil Pengolahan dan Pemurnian. Salah satu upaya yang dapat
dilakukan oleh Indonesia untuk meningkatkan ekspor ke pasar
Jepang adalah dengan mempertahankan dan meningkatkan
ekspor produk migas maupun non migas yang berada di kuadran
Rising Star dan merebut pangsa pasar ekspor di pasar Jepang.
Saat ini pangsa ekspor produk-produk Indonesia yang berada
di kuadran Rising Star masih jauh di bawah 2% di pasar Jepang
sehingga masih berpeluang besar untuk ditingkatkan.
Page 14
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 1514 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016
Pemanfaatan Potensi Pasar Domestik
Pakaian JadiAditya P. Alhayat
Ekspor non migas Indonesia periode Januari-Juni 2016
mengalami penurunan 7,9% dibandingkan Januari-Juni 2015.
Penurunan kinerja ini tentu tidak terlepas dari belum pulihnya
kondisi perekonomian global. Bahkan, International Monetary Fund
(IMF) pada Juli 2016 mengkoreksi pertumbuhan ekonomi dunia
2016 lebih rendah, dari 3,2% menjadi 3,1%. Beberapa komoditas
andalan ekspor Indonesia seperti pakaian jadi (garmen) juga ikut
mengalami penurunan. Realisasi ekspor pakaian jadi Indonesia
ke dunia pada Januari-Mei 2016 mengalami penurunan 1,73%
Year on Year (YoY), sedangkan volume ekspornya turun 3,9% YoY
(BPS, 2016). Produsen garmen tentu harus mensiasati penurunan
permintaan dunia agar penjualannya tetap meningkat. Salah
satunya dengan fokus menggarap pasar garmen domestik yang
terus tumbuh.
Apabila dilihat dari sisi impor, terjadi peningkatan impor pakaian
jadi pada periode Januari-Mei 2016 dibandingkan periode yang
sama tahun lalu. Volume impor pakaian jadi pada Januari-Mei 2016
meningkat 45,0% YoY, sedangkan nilai impornya meningkat 0,2%
YoY (BPS, 2016). Impor pakaian jadi didominasi oleh Republik
Rakyat Tiongkok (RRT) dengan pangsa rata-rata mencapai 72,2%
selama periode 2012-2015. Serbuan produk impor pakaian
jadi asal RRT yang terkenal murah menjadi tantangan produsen
domestik untuk bersaing merebutkan pasar dalam negeri yang
terus meningkat.
Berdasarkan data Euromonitor International (2016), penjualan
pakaian jadi di Indonesia selama periode 2010-2015 tumbuh
11,4% per tahun. Nilai penjualan pakaian jadi tahun 2015 mencapai
Rp 102,1 triliun yang didominasi oleh kategori pakaian dewasa
(pria dan wanita) dengan pangsa 85,7%, diikuti dengan pakaian
anak-anak (10,6%), aksesoris pakaian (2,3%), dan hosiery (1,3%).
Perkembangan pasar pakaian pria dan wanita di Indonesia menarik
untuk dilihat lebih dalam dalam rangka memberikan gambaran
peluang bagi produsen garmen domestik sehingga mampu
menjadi tuan rumah di negara sendiri.
Tren Pakaian WanitaSelama periode 2010-2015, pasar pakaian wanita di Indonesia
mengalami pertumbuhan yang diindikasikan dengan peningkatan
volume penjualan sebesar 4,4% per tahun dan juga nilai penjualan
yang meningkat 13,2% per tahun (Euromonitor International, 2016).
Pada tahun 2015, volume penjualan pakaian wanita mencapai
319,2 juta unit dengan nilai mencapai Rp 50,8 triliun. Meningkatnya
penjualan pakaian wanita, selain karena kebutuhan juga didorong
oleh adanya tren gaya pakaian wanita yang selalu berkembang.
Secara alamiah, wanita memang senang untuk berpenampilan
yang menarik terutama ketika beraktivitas di luar rumah, baik untuk
bekerja maupun bersoasialiasi dengan teman-teman. Bahkan,
banyak wanita Indonesia berupaya untuk menjaga penampilan
mereka saat hamil, terutama perempuan berpenghasilan menengah
atas di kota-kota besar. Selain mempersiapkan kebutuhan bayi
mereka, ibu-ibu hamil juga cenderung menghabiskan lebih
banyak pengeluaran pada pakaian hamil. Oleh karena itu, tidak
mengherankan bila wanita lebih sering untuk membeli beragam
produk pakaian (Euromonitor International, 2016).
Di antara jenis-jenis pakaian wanita sebagaimana disajikan
pada Tabel 1, pakaian luar selain jeans merupakan produk yang
paling banyak terjual baik dari segi nilai maupun volume. Pada
tahun 2015, jumlah pakaian luar selain jeans tercatat terjual 209,9
juta unit dengan nilai mencapai Rp 31,4 triliun. Dibandingkan
tahun 2010, nilai penjualan pakaian wanita kategori ini mengalami
peningkatan hampir dua kali lipat. Apabila dilihat lebih dalam,
kategori kemeja dan blus merupakan kontributor terbesar
penjualan dengan pangsa 17,8% dari nilai penjualan pakaian luar
selain jeans. Berkembangnya tren model pakaian wanita muslimah
dan besarnya jumlah penduduk muslim di Indonesia juga turut
mendorong penjualan pakaian luar wanita selain jeans. Selain itu,
semakin banyaknya penggemar budaya korea yang terpengaruh
melalui musik maupun film juga turut mendongkrak penjualan
pakaian wanita, terutama pakaian bergaya Korea (Euromonitor
International, 2016).
Dari sisi pertumbuhan, penjualan gaun menunjukkan
peningkatan penjualan yang pesat. Selama periode 2010-2015,
Page 15
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 1514 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016
Tabel 1. Penjualan Pakaian Wanita di Indonesia, 2010-2015
Jenis Pakaian Wanita Nilai Penjualan Volume Penjualan Rp Miliar CAGR (%) Juta Unit CAGR (%) 2010 2013 2015 2010-15 2010 2013 2015 2010-15
1. Pakaian Malam Wanita 132,4 166,6 93,3 7,9 2,7 2,8 2,9 1,92. Pakaian Luar Wanita 24.740,3 36.119,3 46.614,0 13,5 202,7 237,0 259,3 5,1 A. Jeans 7.862,7 11.644,7 15.189,5 14,1 38,8 45,3 49,4 5,0 Jeans Ekonomi 690,2 934,6 1,152,6 10,8 7,8 8,9 9,4 3,8 Jeans Standar 6.727,5 9.984,0 13.030,8 14,1 30,3 35,5 38,9 5,1 Jeans Premium 275,0 446,9 620,2 17,7 0,5 0,6 0,7 8,3 Jeans Super Premium 170,0 279,3 385,9 17,8 0,2 0,3 0,4 15,8 B. Pakaian Luar (selain Jeans) 16.877,6 24.474,5 1.424,5 13,2 163,8 191,6 209,9 5,1 Gaun 1.727,4 2.620,1 3.483,7 15,1 8,7 10,9 12,6 7,7 Jaket dan Mantel 345,5 461,9 564,2 10,3 1,9 2,1 2,2 3,5 Jamper 518,2 653,4 788,1 8,7 4,0 4,3 4,5 2,0 Celana Ketat (legging) 518,2 711,3 885,6 11,3 8,6 10,1 11,0 5,1 Kemeja dan Blus 3.154,4 4.415,5 5.587,3 12,1 35,1 39,8 42,9 4,1 Celana 2.591,1 3.795,1 4.893,4 13,6 19,6 23,5 26,0 5,8 Rok 1.727,4 2.405,2 3.023,4 11,8 12,1 14,4 15,8 5,5 Jas 345,5 428,3 506,7 8,0 0,5 0,5 0,5 1,0 Atasan 2.495,1 3.332,9 4.130,1 10,6 41,4 45,6 48,3 3,1 Lainnya 3.454,8 5.650,9 7.561,9 17,0 32,0 40,4 46,0 7,53. Pakaian Renang Wanita 264,8 331,4 399,8 8,6 1,6 1,7 1,7 1,74. Pakaian Dalam Wanita 2.261,8 2.975,1 3623,6 9,9 50,2 53,4 55,3 1,9 Pakaian Wanita (Total) 27.399,3 39.592,4 50.830,6 13,2 257,2 294,8 319,2 4,4
Keterangan: CAGR = Compound Annual Growth RateSumber: Euromonitor International (Feb, 2016)
nilai penjualan gaun meningkat 15,1% per tahun sedangkan
volume penjualannya meningkat 7,7% per tahun. Peningkatan
tersebut menunjukkan bahwa mayoritas wanita Indonesia ingin
tampil feminim dengan memakai gaun. Terlebih lagi, sekarang
telah tersedia gaun dengan merek-merek internasional yang hadir
di kota-kota besar di Indonesia, seperti Zara, Forever 21, dan Pull
& Bear. Selain itu, gaun bermotif batik dengan gaya trendi yang
ditawarkan oleh rumah mode domestik seperti Batik Keris dan
Batik Danar Hadi juga populer digunakan para wanita karier di hari
Jumat serta untuk menghadiri acara-acara pernikahan atau acara
khusus lainnya.
Penguasaan pasar produk pakaian wanita di Indonesia
cenderung terfragmentasi. Berdasarkan data Euromonitor
International (2016), beberapa merek internasional maupun merek
lokal terkemuka memiliki penguasaan pasar tidak lebih dari 2%
(Tabel 2). Wacoal merupakan merek pakaian dalam wanita yang
paling banyak penjualannya dan memiliki pangsa pasar 1,7%.
Tingginya penguasaan pasar Wacoal dibandingkan merek-merek
lainnya karena Wacoal menguasai kurang lebih seperlima pasar
pakaian dalam wanita. Selanjutnya, Zara merupakan merek pakaian
wanita yang relatif banyak penjualannya di Indonesia dengan
pangsa 1,4% di tahun 2015. Dalam hal ini, Zara merupakan merek
terkemuka yang banyak memenangi persaingan kategori pakaian
luar wanita. Sementara itu, gerai pakaian kasual asal Jepang
Uniqlo, yang baru hadir di Indonesia tahun 2013 mencatatkan
perkembangan yang pesat dan mampu meraih pangsa pasar
0,5% di tahun 2015. Produk-produk Uniqlo menawarkan gaya
yang unik namun tetap mengutamakan kenyamanan, kualitas,
dan harga yang terjangkau. Tidak bisa dipungkiri bahwa merek-
merek internasional yang kebanyakan berasal dari impor, populer
dikenakan oleh wanita Indonesia terutama di kota-kota besar yang
memang memiliki penghasilan kelas menengah ke atas1. Merek
pakaian terkenal disukai oleh kebanyakan wanita Indonesia karena
dianggap memiliki kualitas yang baik (Euromonitor International,
2016).
Pasar Pakaian Pria di Indonesia Terus TumbuhPasar domestik pakaian pria cukup prospektif dengan nilai
penjualan yang tiap tahun semakin meningkat. Pada tahun 2015,
nilai penjualan pakaian pria mencapai Rp 36,7 miliar. Selam periode
2010-2015, nilai penjualan pakaian pria di Indonesia tumbuh 9,7%
per tahun. Data tersebut setidaknya mengindikasikan bahwa saat
1 KelasmenengahdiIndonesiaadalahkategoridenganrentangpenghasilanantaraRp2,6jutasampaiRp6jutaperbulan(www.fiscal.co.id),sedangkankelasatasmemilikipenghasilan
lebih tinggi dari kelas menengah.
Page 16
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 1716 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016
ini pria Indonesia telah lebih sadar dan peduli dengan penampilan
mereka, sehingga mereka tidak segan untuk membelanjakan
pendapatannya pada produk perawatan pribadi dan pakaian
berkualitas tinggi. Konsumen pria yang berpenghasilan tinggi,
khususnya kaum urban, biasanya bersedia membayar harga
yang lebih tinggi untuk pakaian yang bermerek internasional agar
terlihat baik di tempat kerja serta untuk meningkatkan kepercayaan
diri mereka. Selain itu, banyak pria lebih memilih untuk memakai
pakaian mahal sehingga memproyeksikan status sosial yang lebih
tinggi (Euromonitor International, 2016).
Meskipun penjualan pakaian pria terus tumbuh, namun
pertumbuhannya masih rendah jika dibandingkan dengan
pertumbuhan penjualan pakaian wanita. Hal ini salah satunya
disebabkan karena banyaknya variasi produk pakaian, merek dan
desain yang tersedia bagi wanita daripada pria. Selain itu, wanita
cenderung menikmati belanja pakaian dan melakukannya lebih
sering daripada laki-laki. Wanita lebih bahagia menghabiskan
uang untuk pakaian dan alas kaki, sedangkan laki-laki cenderung
lebih tertarik untuk membeli gadget dan produk teknologi terbaru
(Euromonitor International, 2016).
Penjualan pakaian pria didominasi oleh kategori pakaian luar
yang mencapai Rp 33,8 miliar atau 92,2% dari total penjualan
pakaian pria di tahun 2015. Hal ini wajar mengingat pria modern
semakin sadar tren mode serta peduli akan penampilan (Tabloid
Nova, Mei 2015). Untuk pakaian luar, kategori celana jeans standar
menempati nilai penjualan tertinggi yang mengindikasikan bahwa
pria lebih suka bergaya kasual. Jeans dapat dipadukan dengan
atasan berupa kaos, kemeja, jas, ataupun jaket. Pria Indonesia
dari segala usia suka memakai celana jeans setiap hari, karena
Tabel 2. Pangsa Penjualan Pakaian Wanita Berdasarkan Merek, 2012-2015 (%)
No. Merek Perusahaan (Pemilik Merek Nasional) 2012 2013 2014 2015
1 Wacoal PT.IndonesiaWacoal 1,7 1,8 1,8 1,7
2 Zara Inditex, Industria de Diseño Textil SA 1 1,3 1,3 1,4
3 Forever Forever21Inc 0,3 0,7 0,7 0,7
4 Sorella PT. Megariamas Sentosa 0,7 0,7 0,7 0,7
5 Harmonie PT. Carrefour Indonesia 0,7 0,6 0,6 0,6
6 Triset PT.BinacitraKharismaLestari 0,5 0,5 0,5 0,5
7 Uniqlo PT. Uniqlo Fast Retailing Indoensia - 0,1 0,4 0,5
8 Contempo PT. Citra Busana Jaya Pertiwi 0,4 0,4 0,4 0,4
9 Triumph Triumph International AG 0,4 0,4 0,4 0,4
10 Giordano PT. Giordano Indonesia 0,3 0,3 0,4 0,4
11 Batik Keris PT. Batik Keris 0,3 0,3 0,3 0,3
12 Pull & Bear Inditex, Industria de Diseño Textil SA 0,3 0,3 0,3 0,3
13 Stradivarius Inditex, Industria de Diseño Textil SA 0,3 0,3 0,3 0,3
14 Lee Cooper PT. Lee Cooper Indonesia 0,3 0,3 0,3 0,3
Lainnya 92.8 92,0 91,6 91,5
Total 100 100 100 100
Sumber: Euromonitor International (Feb, 2016)
memberikan kenyamanan. Pekerja kantor juga cenderung
memakai celana jeans pada “Jumat Kasual”.
Perkembangan nilai penjualan pakaian atasan pria
menunjukkan pertumbuhan tertinggi di tahun 2015. Jenis pakaian
ini dianggap sebagai busana pria dasar dan biasa dipakai sehari-
hari terutama karena iklim tropis Indonesia. Selain itu, harga yang
terjangkau memastikan bahwa kategori ini juga paling banyak
dibeli dibandingkan dengan jenis lainnya. Perkembangan penjualan
celana pria juga meningkat karena mode yang dinamis, terutama
maraknya celana ketat namun nyaman digunakan (slim fit).
Sebagaimana kondisi pasar pakaian wanita, pasar pakaian pria
juga terfragmentasi. Tidak ada merek-merek ternama yang mampu
Page 17
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 1716 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016
di kawasan urban, ingin terlihat menarik dengan memakai mode
pakaian terkini yang disesuaikan dengan aktivitasnya. Membeli
pakain baru tidak harus menunggu momen Lebaran yang
datangnya setahun sekali, namun dapat dilakukan lebih sering
untuk menambah variasi busana. Oleh karena itu, kebutuhan akan
pakaian selalu mengalami peningkatan.
Peningkatan kebutuhan pakaian jadi di pasar domestik harus
dimanfaatkan produsen dalam negeri dengan sebaik-baiknya.
Meningkatnya volume impor pakaian jadi menjadi indikasi bahwa
pasar Indonesia memang sangat potensial. Jangan sampai pasar
Tabel 4. Pangsa Penjualan Pakaian Pria Berdasarkan Merek, 2012-2015 (%)
No. Merek Perusahaan (Pemilik Merek Nasional) 2012 2013 2014 2015
1 GTMan PT.RickyPutraGlobalindoTbk 1,3 1,6 1,8 1,8
2 Giordano PT. Giordano Indonesia 0,4 1,0 1,0 1,0
3 TheExecutive PT.DelamiGarmentIndustries 1,0 1,0 1,0 1,0
4 Watchout PT.BinacitraKharismaLestari 0,8 0,9 0,9 0,9
5 Harmonie PT. Carrefour Indonesia PT 0,8 0,8 0,8 0,8
6 Crocodile PT.SintaPertiwi 0,6 0,7 0,7 0,7
7 Zara Industria de Diseño Textil SA 0,6 0,7 0,7 0,7
8 Rider PT.MuliaKnittingFactory 0,7 0,6 0,6 0,6
9 Levi’s PT. Levi Strauss Indonesia 0,5 0,5 0,6 0,6
10 Contempo PT. Citra Busana Jaya Pertiwi 0,6 0,6 0,6 0,6
11 Lee Cooper PT. Lee Cooper Indonesia 0,3 0,4 0,4 0,4
12 Uniqlo PT. Uniqlo Fast Retailing Indonesia - 0,1 0,3 0,4
13 Wrangler PT. Delami Garment Industries 0,3 0,3 0,4 0,4
14 Adidas PT. Trigaris Sportindo 0,3 0,3 0,3 0,3
Lainnya 91.8 90,5 89,9 89,8
Total 100 100 100 100
Sumber: Euromonitor International (Feb, 2016)
domestik untuk kebutuhan primer didominasi oleh produk-produk
impor. Berdasarkan pembahasan sebelumnya terlihat bahwa
pakaian dengan merek-merek internasional telah banyak masuk ke
pasar Indonesia, namun pangsa penjualannya masih relatif rendah.
Hal ini mengindikasikan bahwa pasar pakaian jadi domestik masih
terbuka lebar, terutama untuk segmen konsumen kelas menengah
ke bawah. Untuk mengisi segmen tersebut, produsen pakaian
jadi domestik dapat mengadopsi model pakaian yang dibuat
oleh merek-merek terkemuka, namun dijual dengan harga yang
terjangkau.
secara mayoritas menguasai pasar produk pakaian pria. GT Man
yang sudah terkenal sebagai merek pakaian dalam pria hanya
mampu mengusai pasar sebesar 1,8% dari total penjualan pakaian
pria tahun 2015 (Tabel 4). Beberapa merek terkemuka yang relatif
banyak menguasai pasar pakaian pria antara lain Giordano, The
Executive, dan Watchout. Pangsa penjualan The Executive mampu
dipertahankan di pasar pakaian pria karena mereka menawarkan
produk-produk pakaian kantor yang berkelas sehingga banyak
menarik pembeli dari kalangan pekerja kantoran di kota-kota besar
di Indonesia. Sementara itu, Giordano lebih fokus pada produk
pakaian pria kasual yang menyasar pada konsumen muda.
Jumlah penduduk Indonesia yang besar merupakan daya
tarik para pelaku bisnis untuk memasarkan produknya di pasar
Indonesia, termasuk produk pakaian jadi. Saat ini, pakaian bukan
sekedar kebutuhan untuk menutup dan melindungi anggota tubuh,
tetapi telah jauh berkembang pada gaya hidup dan pencitraan
diri (Nugraha, 2012). Wanita maupun pria, terutama yang tinggal
Page 18
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 1918 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016
Zamroni Salim
Pasar daging sapi di Indonesia sangat menggiurkan bagi siapa
saja untuk masuk, terutama bagi pemain baru (new entrants)
untuk ikut memperoleh kesempatan memasarkan daging sapi.
Bagaimana dengan kondisi persaingan bisnis daging sapi di
Indonesia, apakah terbuka untuk para pemain baru untuk masuk?
Jawabannya tentu saja tidak. Salah satu alasannya adalah adanya
sistem kuota yang ditetapkan oleh pemerintah menyebabkan
hanya beberapa pemain lama saja yang bisa memperoleh izin
impor (dengan kuota yang ada). Selama ini Indonesia menerapkan
sistem kuota yang terdistribusi ke sejumlah perusahaan saja.
Sebenarnya dengan sistem kuota impor (Tabel 1), Indonesia
bisa menekan ketergantungan pada impor daging sapi dari
sebelumnya sekitar 52% terhadap total konsumsi tahun 2008
menjadi 22% tahun 2013 (ANZ Agribusiness Research, 2013).
Ini menunjukkan bahwa pasokan daging sapi yang berasal dari
produksi dalam negeri Indonesia relatif besar, sekitar 78% tahun
2013 yang berasal dari peternak lokal. Sementara untuk tahun
2016, pasokan daging sapi lokal sekitar 65% dari kebutuhan
nasional. Dibandingkan dengan negara tetangga Malaysia,
tingkat produksi domestik Indonesia sebenarnya lebih besar (bila
dilihat dari persentase terhadap total konsumsinya). Untuk tahun
2013, suplai daging sapi Malaysia dari produksi domestik (self-
sufficiency) hanya sekitar 25,67% (ANZ Agribusiness Research,
2013). Hal ini menunjukkan bahwa dari sisi kemampuan memenuhi
pasar dalam negeri, sebenarnya pasokan domestik daging sapi di
Indonesia jauh lebih besar (78% di Indonesia, sementara Malaysia
25,67%), namun fenomena daging sapi di Indonesia jauh lebih
menghebohkan daripada di Malaysia.
TINJAUAN PERDAGANGAN
Daging Sapi dan Distorsi Pasar di Indonesia
Tabel 1. Produksi, Impor dan Konsumsi Daging Sapi di IndonesiaTahun Produksi Impor Konsumsi Domestik (%) (ribu ton) Impor daging Impor sapi
sapi (%) potong (= daging sapi) (%)
2008 48 19 33 470
2009 42 19 39 475
2010 43 25 32 480
2011 61 17 22 509
2012 66 17 17 490
2013 78 7 15 494
2014 69 31 590
2015 64 36 654
2016 65 35 675*
Sumber: ANZ Agribusiness Research(2013),Okezone(2016),Sapibagus.com(2015). *angka perkiraan
Negara Asal Impor Daging SapiBila dilihat dari asal usul impor, daging sapi yang beredar di
Indonesia sebagian besar berasal dari Australia. Negara lain asal
impor yaitu New Zealand, Amerika Serikat, Kanada dan Jepang
(Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian
Pertaian, 2016). Masuknya sapi impor dari Australia diawali dengan
masuknya sapi Australia untuk digemukkan di tahun 1990 (mantan
CEO Northern Territory Livestock Exporters Association, Dr Ross
Ainsworth, dikutip dari Republika, 19 Juli 2016). Adanya sumber
impor dari satu negara ini didasarkan pada kebijakan pemerintah
yang hanya memperbolehkan impor daging sapi berasal dari
negara yang memenuhi persyaratan bebas penyakit kuku dan
mulut, dan salah satunya adalah Australia.
Page 19
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 1918 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016
Ada beberapa pertimbangan yang diambil pemerintah
diantaranya adalah masalah kesehatan. Kesehatan manusia
menjadi prioritas, sehingga daging sapi yang diimpor harus bebas
dari segala penyakit, khususnya penyakit kuku dan mulut (yang
banyak dijumpai di sejumlah negara produsen sapi) di dunia.
Kebijakan pemerintah tersebut didasarkan pada Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Australia adalah salah satu negara yang bebas dari penyakit
tersebut. Kebijakan ini merupakan salah satu bentuk hambatan
perdagangan non-tarif, Sanitary – Phyto Sanitary (SPS) untuk
melindungi kesehatan masyarakat Indonesia.
Distorsi Pasar dan Beban PemerintahSudah beberapa kali Presiden Joko Widodo memberikan
pernyataan kepada publik bahwa beliau berjanji untuk menjamin
harga daging sapi maksimal pada level tertentu. Pernyataan
Presiden Jokowi adalah bahwa daging sapi tidak akan melebihi Rp
80.000,-/Kg. Apa implikasi dibalik pesan jaminan tersebut?
Dalam melakukan kebijakan impor, pemerintah perlu juga
memperhatikan perilaku konsumen di Indonesia, yang masih
cenderung/lebih suka untuk mengkonsumsi daging segar (bukan
daging beku impor). Kebijakan penambahan kuota impor daging
sapi beku juga tidak akan efektif mempengaruhi (menurunkan)
harga daging sapi di Indonesia. Minat masyakarat pada daging
sapi segar, juga tidak sepenuhnya bisa diatasi misalnya dengan
menambah jumlah feedloter, yang seringkali jadwal potongnya
tidak sesuai dengan kondisi (permintaan) di pasar, sehingga
cenderung terjadi kelangkaan pasokan.
Lalu bagaimana kondisi pasar daging sapi di Indonesia? Presiden
menjamin harga daging sapi tidak akan lebih dari Rp 80.000. Sekilas
rakyat bisa ditenangkan dengan harga tersebut, akan tetapi Presiden
lupa, bahwa pasar punya aturan dan cara kerja sendiri, meski
pemerintah bisa mempengaruhinya namun harga pasar tetap
ditentukan oleh supply dan demand. Mekanisme pasar berlaku
pada banyak barang di Indonesia, termasuk harga daging sapi.
Kalau harga daging sapi berperilaku seperti itu, dan bila pemerintah
menjamin harga, maka yang harus dilakukan pemerintah adalah
memaksa harga untuk tidak melebihi Rp 80.000 (yang menurut
logika ekonomi tidak masuk akal, bila supply dan demand memang
tidak menghendakinya).
Bagaimana pemerintah bisa memaksa harga tersebut?
Salah satu cara adalah pemerintah memberikan subsidi selisih
harga pasar dengan harga yang dikehendaki oleh pemerintah.
Pemerintah harus memberikan subsidi harga, dan subsidi tersebut
diberikan melalui supplier daging sapi (atau importir daging sapi).
Tentu saja langkah ini dari sisi pelaksanaan agak ribet, dan rentan
penyalahgunaan penyaluran subsidi dari pemerintah ke supplier.
Langkah lain adalah pemerintah membuka kran impor (dengan
melonggarkan/menambah kuota yang ada). Kran impor tentu
tidak semudah membuka kran kamar mandi, karena pemerintah
menerapkan rezim kuota impor untuk daging sapi. Selama ini
pemerintah menetapkan jumlah kuota impor daging sapi, kemudian
jumlah kuota tersebut diberikan kepada sejumlah perusahaan
yang mengantongi izin impor daging sapi, yang nama-namanya
tidak dipublikasikan (Detik Finance, 2016). Dalam berbagai
kesempatan, terkadang izin kuota impor tersebut diperjualbelikan
(Geotimes, 2016).
Untuk mengamankan harga daging sapi yang diinginkan
pemerintah saat puasa, maka kuota impor selama satu tahun
bisa dialokasikan secara penuh. Keputusan pemerintah untuk
mematok harga tentulah harus diimbangi dengan peningkatan
jumlah pasokan daging impor di pasar domestik, seperti halnya
yang dilakukan oleh pemerintah (melalui Menteri Perdagangan)
Page 20
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 2120 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016
9.0
8.0
7.0
6.0
5.0
4.0
3.0
2.0
1.0
-
1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012
Indonesia Malaysia Pakistan Pilipina Vietnam
Gambar 1. Konsumsi Daging Sapi Per Kapita di Sejumlah Negara (kg).Sumber: ANZ Agribusiness Research (2013)
Kebijakan penentuan harga yang diinginkan oleh pemerintah
melalui kebijakan subsidi atau dengan memaksa haga di angka
tertentu hanya akan efektif dalam kurun waktu yang relatif pendek
dan pada kurun waktu tertentu serta dampaknya juga akan
terbatas, misalnya menjelang hari raya atau tahun baru. Kebijakan
memaksa harga saat Ramadhan misalnya, hanya akan berdampak
untuk menambah jumlah impor di luar yang sudah direncanakan
tiap tahunnya. Sebagai catatan, total tambahan impor daging
sapi untuk mengamankan harga daging sapi saat puasa/lebaran
adalah sekitar 27.400 ton (DetikFinance, 2 Juni 2016). Lalu siapa
yang memperoleh jatah bisnis tersebut? Jawabannya, berdasarkan
Permendag No. 05/2016 impor untuk menjaga ketahanan pangan
dan stabilitas harga hanya boleh dilakukan oleh BUMN atau BUMD
setelah mendapatkan penugasan dari pemerintah.
PT. Perusahaan Perdagangan Indonesia (Persero)-PPI adalah
perusahaan yang diberikan izin untuk melakukan impor daging
sapi (tambahan) untuk pengamanan harga daging pada level
kurang dari Rp 80.000 (DetikFinance, 17 Juni 2016). Kemudian,
PPI menjual daging tersebut ke pedagang daging dan juga pasar
tradisional sekaligus menggelar pasar murah dengan menggunakan
jaringan PPI yang ada di Indonesia. Impor yang dilakukan PPI
adalah karkas, sebagai produk daging segar yang mudah diterima
oleh masyarakat dan pedagang. Daging yang dijual PPI berada
di bawah Rp 80.000, lebih murah dengan daging yang dijual di
pasaran yang mencapai rata-rata Rp 120 ribu hingga Rp 130 ribu
per kilogram. Tidak ada persyaratan khusus untuk bisa membeli
daging murah tersebut, semua masyarakat bisa membelinya.
Sebagaimana dikatakan oleh Menteri Perdagangan, bahwa
impor daging sapi (tambahan) tersebut hanya dijual di pasar-pasar
di wilayah Jabodetabek dan Jawa Barat (Kompas, 2 Juni 2016).
Langkah pemerintah menjual daging sapi tambahan di daerah
tertentu, karena daerah di luar Jabodebaek dan Jawa Barat
dianggap sudah swasembada daging sapi. Selain itu penjualan
ke daerah tertentu diharapkan tidak mengganggu atau merugikan
peternal lokal. Kebijakan penggelontoran kuota yang seharusnya
secara merata untuk satu tahun, dipaksa dipakai sampai lebaran
sebagai upaya untuk memaksa harga tidak lebih dari Rp. 80.000,-/
Kg, Dengan langkah ini, setelah lebaran, kuota akan kekurangan
atau bahkan habis, sehingga masyarakat akan dihadapkan pada
melambungnya harga karena terbatasnya pasokan disisa bulan
sampai akhir tahun.
Efektifitas Kebijakan Harga (yang ditentukan) PemerintahKeinginan Presiden untuk menjaga harga pada tingkat Rp
80.000 per kg harus dibayar mahal oleh masyarakat dengan
naiknya harga setelah lebaran (yang mungkin tidak diinginkan
oleh masyarakat). Sebagai contoh, pasca lebaran harga daging
sapi di pasaran kembali ke angka Rp 120.000,-/kg (infopangan.
jakarta.go.id, 2016). Atau, bila pemerintah mau, berarti pemerintah
bisa juga memperbesar lagi jumlah kuota yang sudah disepakati
di tahun ini (sudah diperlonggar saat puasa lebaran lalu). Dari
sisi kebijakan, hal itu mudah dilakukan, akan tetapi bagaimana
dengan nasib peternak lokal (pemasok daging sapi lokal); mereka
juga bagian dari pelaku bisnis yang harus diperhatikan nasib dan
kesejahteraannya oleh pemerintah.
Kondisi riil peternakan di Indonesia, yang sebagian besar
adalah peternak kecil dengan jumlah per usaha ternak hanya
sedikit (satu, dua, tiga dan lainnya) tentu tidak akan pernah mampu
mencapai titik skala ekonominya. Artinya harga sapi yang dijualnya
ke pasar baik sebagai sapi hidup maupun daging sapi tidak akan
bisa berkompetisi dengan harga daging sapi impor. Sementara
itu, peternak asing (yang merupakan asal-usul daging sapi impor,
contoh peternak sapi Australia) adalah peternak besar yang akan
dengan mudah mencapai skala ekonomi sehingga akan selalu
mudah dalam memenangkan persangan di pasar internasional.
Dalam kondisi seperti ini, kebijakan harga (melalui subsidi) justru
tidak efektif untuk mendukung kegiatan peternakan peternak sapi
lokal. Sementara itu, bagi konsumen meskipun (suatu saat tertentu)
mereka menikmati lebih rendahnya harga pasar, tetapi dalam
jangka yang lebih panjang, subsidi akan cederung mendorong
mereka melakukan konsumsi yang lebih. Konsumsi yang lebih di
sini tentu bukan merupakan sesuatu yang negatif (karena rata-rata
konsumsi daging orang Indonesia masih rendah), tetapi hal ini akan
mendorong konsumen untuk tidak melirik bahan makanan lainnya
(substitusi) termasuk ikan dan sumber makanan lainnya.
Relatif rendahnya konsumsi daging sapi per kapita orang
Indonesia bisa dilihat dalam Gambar 1. Dari gambar tersebut
terlihat bahwa konsumsi per kapita masyarakat Indonesia untuk
daging sapi adalah yang terendah bila dibandingkan dengan
masyarakat di negara ASEAN lainnya (Malaysia, Filipina dan
Vietnam). Konsumsi per kapita daging sapi di Malaysia adalah
sekitar 6,74 kg pada tahun 2013 (Ariff, Sharifah, dan Hafidz, 2015),
sementara di Indonesia sekitar 2,2 Kg (DBS, 2016).
Page 21
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 2120 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016
pada masa Ramadhan saja. Itupun harus dilakukan dengan upaya
keras melalui tambahan impor, seperti yang dilakukan sekarang ini
dengan menambah kuota impor ekstra menjelang Hari Raya Idul
Fitri 2016.
Terbatasnya efektifitas kebijakan tersebut dikarenakan
beberapa alasan berikut ini: pertama, pemerintah mempunyai
sumber daya finansial yang terbatas untuk memaksa harga tunduk
pada kemauan pemerintah. Kedua, kembali ke konsep subsidi,
kalau tujuan pemerintah ingin membantu masyarakat kurang
mampu menikmati daging sapi, maka subsidi ini tentu tidak tepat
sasaran, karena yang bisa membeli daging sebagian besar adalah
mereka yang mampu. Ketiga, dari sisi pengelolaan inflasi/sumber
inflasi, daging sapi bukanlah komponen utama penentu tingkat
inflasi di Indonesia. Harga daging sapi lebih cenderung dipolitisasi
untuk ikut mendongkrak tingkat inflasi di Indonesia dan untuk
mencapai tujuan lainnya. Demikian juga untuk sejumlah komoditi
lain yang bukan penentu tingkat inflasi di Indonesia yang cenderung
dipolitisasi, meski dari sisi jumlah/volume konsumsi nasional kecil
tetapi pengaruhnya ‘secara politis’ besar.
Pasar Murah oleh Pihak LainUpaya untuk menciptakan harga daging sapi pada level Rp.
80.000,- tidak hanya dilakukan oleh pemerintah saja. Tampaknya
ada pihak lain yang ikut berpartisipasi. Salah satunya adalah
Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) yang berusaha menjual
daging sapi dengan harga seperti yang diinginkan oleh pemerintah.
Sebagai contoh HKTI di Provinsi Banten (Kota Serang), Jakarta,
dan Bekasi yang menjual daging sapi dalam operasi pasar sebesar
Rp 75.000 per kilogram (Beritasatu, 17 Juni 2016, Republika, 11
Juni 2016).
Dari sisi ekonomi, partisipasi HKTI tentu sangat membantu
pemerintah. Dari sisi lain, perlu dilihat motifnya, apakah bermotif
ekonomi, politik atau lainnya. Dari kaca mata ekonomi, kelompok
tani, khususnya peternak sapi yang akan menjual dagingnya tentu
berharap bahwa daging sapi yang dijualnya akan tinggi, apalagi
dalam kondisi permintaan yang tinggi menjelang lebaran. Lalu
bagaimana petani (peternak) mampu menjual harga pada level Rp
80.000,- di saat harga daging sapi cenderung untuk naik? Dari segi
logika ekonomi, peran peternak untuk merujuk harga Rp 80.000,-
dipertanyakan. Sekali lagi, alasan ekonomisnya adalah bahwa
peternak harus memperoleh kompensasi selisih harga jualnya
dengan harga pasar yang sebenarnya terjadi. Selisih harga ini
tentu ditanggung oleh pihak yang menginginkan/ikut berpartisipasi
dalam pasar murah daging sapi di Indonesia.
Upaya Lain Untuk Menurunkan Harga Daging SapiUpaya pemerintah untuk menurunkan harga daging sapi terus
berlanjut. Salah satunya adalah upaya untuk melakukan diversifikasi
asal negara impor. Selama ini impor daging sapi identik dengan
Australia. Beberapa alternatif negara asal impor adalah Brazil, India
dan Meksiko dengan tetap mengacu pada Undang-Undang yang
ada, khususnya Undang-Undang Nomor 41 tentang Peternakan
dan Kesehatan Hewan. Untuk melakukan hal ini, pemerintah telah
menetapkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4
Tahun 2016 tentang Pemasukan Ternak dan/atau Produk Hewan
dalam Hal Tertentu yang Berasal dari Negara atau Zona dalam
Suatu Negara Asal Pemasukan yang ditandatangani oleh Presiden
Republik Indonesia Joko Widodo pada tanggal 10 Maret 2016.
Upaya lain yang bisa dilakukan, salah satunya adalah dengan
mengimpor daging yang dianggap bisa menjadi komoditas
substitusi daging sapi. Pada bulan Juli 2016 daging kerbau beku
asal India mulai diimpor (Republika, 19 Juli 2016). Indonesia
direncanakan akan mengimpor daging kerbau dari india sekitar 10
ribu ton daging kerbau untuk tahun 2016. Untuk urusan non-harga
dan terkait dengan masalah kesehatan, India dinyatakan bebas
penyakit kuku dan mulut (FMD), sehingga pemerintah akhirnya
memutuskan mengimpor dari India (Republika, 19 Juli 2016).
Masuknya daging kerbau ke Indonesia bisa menjadi cerita
tersendiri bagi kebijakan daging impor di Indonesia. Dengan
masuknya daging kerbau ini tentu akan memberikan pengaruh
pada permintaan daging sapi dari Australia (meski belum bisa
dipastikan kapan pengaruh itu akan terjadi, dan seberapa kuat
pengaruh tersebut). Akan tetapi usaha ini bisa dilihat bahwa ada
alternatif komoditas lain yang juga harus dipertimbangkan oleh
pemerintah dalam merumuskan kebijakan terkait dengan impor
dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dengan
harga yang terjangkau.
Indonesia adalah negara dengan sumber daya laut yang besar
sehingga seharusnya mahalnya daging sapi tidak perlu dirisaukan,
karena adanya komoditas bahan makanan lainnya (misalnya ikan).
Bila dilihat dari jumlah konsumsi daging sapi dan peran daging sapi
dalam mempengaruhi inflasi, hendaknya pemerintah tidak perlu
campur tangan dalam menentukan harga daging sapi. Yang harus
dilakukan oleh pemerintah adalah menjamin bahwa rezim kuota
yang menjadi pilihan pemerintah, dilakukan secara transparan.
Dalam arti bahwa siapa saja yang menerima jatah kuota tersebut,
berapa realisasi impor berdasarkan kuota, dipublikasikan kepada
masyarakat; sehingga jual beli kuota dengan hanya modal kertas
dan lobby bisa dihentikan, dan masyarakat memperoleh harga
sesuai proses tarik-menarik penawaran dan permintaan di pasar.
Page 22
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 2322 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016
Reviu Pertumbuhan Ekonomi dan Kontribusi Sektor Perdagangan Indonesia (Triwulan 2-2016)
Slamet Sutomo 2
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis laju pertumbuhan
ekonomi Indonesia, yang dihitung berdasarkan Produk
Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku, pada triwulan
2 tahun 2016 tumbuh 5,18% year-on-year (YoY) dibandingkan
dengan triwulan yang sama pada tahun 2015 sehingga PDB
Indonesia mencapai Rp 3.086,6 triliun. Laju pertumbuhan ekonomi
ini lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan 2 tahun 2014 dan
2015, dimana capaian laju pertumbuhan ekonomi pada triwulan
2 tahun 2014 adalah 4,96% dan pada triwulan 2 tahun 2015
adalah 4,66%. Laju pertumbuhan ekonomi ini juga lebih tinggi
dibandingkan dengan perkiraan para pakar ekonomi yang
memperkirakan ekonomi Indonesia tumbuh 5,1% pada triwulan 2
tahun 2016.
Terdapat tiga hal utama yang menjadi catatan penulis terhadap
laju pertumbuhan ekonomi Indonesia dan sektor perdagangan
pada triwulan 2 tahun 2016. Pertama adalah signifikansinya
kontribusi pengeluaran konsumsi rumah tangga, kedua adalah
signifikansinya pertumbuhan sektor bukan-ril, dan ketiga adalah
masih kurang signifikannya laju pertumbuhan sektor perdagangan,
baik perdagangan dalam negeri maupun perdagangan luar negeri.
Hal-hal lain yang berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi dan
kinerja sektor perdagangan Indonesia pada triwulan 2 tahun 2016
tidak dibahas dalam tulisan ini karena fokus utama penulis adalah
mengenai ketiga hal tersebut.
Signifikansi Kontribusi Pengeluaran Rumah TanggaPDB dibangun oleh berbagai kegiatan ekonomi atau sektor
ekonomi di dalam negeri seperti oleh sektor pertanian, sektor
industri manufaktur, sektor perdagangan dan sebagainya. Setelah
PDB dihasilkan oleh berbagai sektor ekonomi, PDB merupakan
sumber pendapatan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi
dan investasi berbagai kegiatan ekonomi dalam negeri seperti
pengeluaran konsumsi rumah tangga, pengeluaran konsumsi
pemerintah, pembentukan modal tetap bruto (investasi riil), ekspor
dan impor. Bagian ini akan menjelaskan signifikansi pengeluaran
konsumsi rumah tangga pada PDB Indonesia triwulan 2 tahun
2016.
PDB Indonesia pada triwulan 2 tahun 2016 ternyata sebagian
besar disumbang oleh pengeluaran konsumsi rumah tangga.
Menurut BPS (2016) pada waktu merilis laju pertumbuhan
ekonomi triwulan 2 tahun 2016, besarnya sumbangan pengeluaran
konsumsi domestik masyarakat Indonesia terhadap PDB adalah
sekitar 55,23%. Artinya, total PDB Indonesia pada triwulan 2
tahun 2016 disumbang sekitar 55,23% oleh pengeluaran konsumsi
rumah tangga. Sebagai catatan, signifikansinya pengeluaran
konsumsi rumah tangga terhadap total PDB Indonesia sebenarnya
tidak hanya terjadi pada triwulan 2 tahun 2016 saja. Sudah sejak
lama data PDB yang dirilis BPS menunjukkan bahwa pengeluaran
konsumsi rumah tangga sangat berpengaruh terhadap total
PDB Indonesia. Sementara itu, besarnya kontribusi ekspor neto
terhadap PDB Indonesia pada triwulan 2 tahun 2016 adalah
0,26%, suatu kontribusi yang relatif rendah. Secara lengkap
kontribusi komponen-komponen permintaan akhir (final demand)
yang lain terhadap PDB Indonesia pada triwulan 2 tahun 2016
dapat dilihat pada Tabel 1.
2 Direktur,LembagaPenelitiandanPengembanganEkonomiRegional(LTKER),Jakarta;mantanDeputiKepalaBadanPusatStatistik(BPS)BidangNeracadanAnalisisStatistik.
Page 23
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 2322 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016
Komponen Permintaan Akhir Kontribusi (%)
Pengeluaran Konsumsi Rumah TanggaPengeluaran Konsumsi Lembaga Nir-LabaPengeluaran Konsumsi PemerintahPembentukan Modal Tetap BrutoPerubahan InventoriEksporImporDeskrepansi Statistik
Produk Domestik Bruto
Reviu Pertumbuhan Ekonomi dan Kontribusi Sektor Perdagangan Indonesia (Triwulan 2-2016)
Tabel 1. Kontribusi Komponen-Komponen Permintaan Akhir terhadap PDB Indonesia pada Triwulan 2 Tahun 2016
55,231,149,44
32,452,81
18,8818,64-1,31
100,00Sumber: BPS (2016)
Menurut penulis, yang menyebabkan tingginya sumbangan
pengeluaran konsumsi masyarakat terhadap total PDB Indonesia
adalah karena jumlah penduduk Indonesia yang banyak, yaitu
sekitar 250 juta jiwa. Jumlah penduduk Indonesia yang banyak
tersebut merupakan permintaan potensial (potential demand)
yang besar yang mendorong berlangsungnya berbagai kegiatan
ekonomi Indonesia di dalam negeri sehingga PDB Indonesia yang
terbentuk dari waktu ke waktu menjadi besar.
Dari informasi ini dapat ditunjukkan bahwa salah satu
kunci pertumbuhan ekonomi Indonesia menurut penulis
adalah pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumah tangga
(masyarakat) karena faktor jumlah penduduk Indonesia yang
banyak. Peningkatan PDB Indonesia atau dengan perkataan lain
peningkatan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia akan dapat
dipenuhi jika pendapatan masyarakat ditingkatkan yang pada
gilirannya akan meningkatkan pengeluaran konsumsi masyarakat.
Oleh karena itu, penetapan balas jasa tenaga kerja berupa upah
dan gaji yang diterima oleh para pekerja Indonesia seperti Upah
Minimum Regional (UMR) perlu ditinjau secara cermat. Penulis
merasakan bahwa tingkat upah dan gaji yang diterima oleh pekerja-
pekerja Indonesia masih sangat rendah untuk dapat memenuhi
semua kebutuhan-kebutuhan hidup.
Berdasarkan data tabel Input-Output atau tabel I-O tahun
2010 yang dikompilasi oleh BPS (2016), penulis menemukan
bahwa perbandingan besarnya upah dan gaji yang diterima
oleh seluruh tenaga kerja berjumlah Rp 2.170.076 miliar selama
tahun 2010, sedangkan besarnya returns to capital berjumlah
Rp 4.456.099 miliar selama tahun 2010, atau dengan perkataan
lain menghasilkan rasio 32,8% dibanding dengan 67,2%. Tetapi
upah dan gaji Rp 2.170.076 miliar tersebut diterima oleh seluruh
tenaga kerja yang berjumlah 107.807 ribu orang pada tahun 2010
sehingga secara rata-rata tenaga kerja Indonesia hanya menerima
upah dan gaji Rp 20,129 juta per tahun. Ratio returns to capital
yang diperoleh dari penggunaan kapital pada kegiatan-kegiatan
ekonomi di Indonesia terlalu timpang dibandingkan dengan balas
jasa yang diterima oleh tenaga kerja berupa upah dan gaji. Kapital
memperoleh imbalan yang sangat besar, sementara tenaga kerja
dibayar sangat murah. Sungguh merupakan suatu perbandingan
yang sangat tidak adil.
Tentu saja akan sangat baik jika returns to capital yang sangat
besar tersebut mengalir ke dalam negeri Indonesia; bukan malah
mengalir ke luar negeri sebagai akibat penggunaan kapital asing
dalam proses produksi. Oleh karena itu, sektor-sektor ekonomi
perlu dikembangkan dengan memanfaatkan lebih banyak sumber
daya kapital dari dalam negeri, dan jangan terlalu menggantungkan
kepada modal asing. Penyertaan terlalu banyak modal asing
menyebabkan nilai tambah (atau PDB) yang dihasilkan oleh
Page 24
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 2524 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016
3,23-0,724,746,243,316,214,076,814,928,47
13,514,467,574,745,586,597,88
Tabel 2. Laju Pertumbuhan Sektor-Sektor Ekonomi Indonesia pada Triwulan 2 Tahun 2016
Laju Sektor-Sektor Ekonomi Pertumbuhan (%)
1. Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 2. Pertambangan dan Penggalian 3. Industri Pengolahan 4. Pengadaan Listrik dan Gas 5. Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Daur Ulang 6. Konstruksi 7. Perdagangan Besar dan Eceren; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor 8. Transportasi dan Pergudangan 9. Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum 10. Informasi dan Komunikasi 11. Jasa Keuangan dan Asuransi 12. Real Estat 13. Jasa Perusahaan 14. Administrasi Pemerintahan, Pertahanan, dan Jaminan Sosial Wajib 15. Jasa Pendidikan 16. Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 17. Jasa Lainnya Produk Domestik Bruto 5,18
Sumber: BPS (2016)
Dari informasi ini dapat ditunjukkan bahwa sektor jasa
keuangan dan asuransi berkembang pesat dalam perekonomian
Indonesia, sementara sektor ril seperti sektor industri pengolahan,
sektor pertanian, termasuk sektor perdagangan tumbuh lebih
rendah. Dengan perkataan lain, nilai tambah yang dihasilkan
oleh perekonomian Indonesia lebih banyak dihasilkan oleh
pergerakan jasa-jasa keuangan yang antara lain dihasilkan oleh
bunga (interests), dividen, capital gains dan sejenisnya, bukan oleh
pergerakan industri atau pertanian yang menghasilkan produk-
produk fisik seperti makanan, minuman, tekstil dan sejenisnya yang
dibutuhkan oleh masyarakat, atau pergerakan sektor perdagangan.
Dengan demikian, Indonesia digerakkan oleh sektor bukan-riil
(sektor tersier) seperti sektor jasa keuangan yang berkembang;
sedangkan sektor-sektor primer atau sekunder yang menghasilkan
produk-produk kebutuhan konsumsi masyarakat tumbuh kurang
signifikan. Sebenarnya, ekonomi Indonesia masih membutuhkan
banyak produk-produk fisik seperti makanan, minuman, pakaian
dan sejenisnya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat,
dan semestinya sektor-sektor riil ini yang perlu dikembangkan atau
tumbuh lebih tinggi dibandingkan sektor bukan-riil.
Dari penjelasan sebelumnya, menurut penulis, ekonomi
Indonesia sudah tereksploitasi. Tenaga kerja Indonesia
dieksploitasi dengan memberikan upah dan gaji yang sangat
rendah, sementara kapital memperoleh imbalan berupa returns
to capital yang relatif sangat besar dalam proses perekonomian
Indonesia. Apalagi jika returns to capital yang dihasilkan yang
semestinya diterima oleh Indonesia malah kebanyakan mengalir ke
luar Indonesia atau diterima oleh asing, maka ekonomi Indonesia
lebih tereksploitasi. Pada sisi lain, ekonomi Indonesia mestinya
bukan hanya dikembangkan oleh jasa keuangan, tetapi juga oleh
sektor riil dimana produk sektor-sektor ini adalah untuk memenuhi
berbagai kebutuhan konsumsi masyarakat agar Indonesia terhindar
dari kebutuhan impor yang terlalu besar.
berbagai kegiatan ekonomi domestik mengalir ke luar Indonesia,
dan bukan masuk ke dalam perekonomian Indonesia sehingga
Indonesia kurang memperoleh manfaat dari kegiatan ekonomi
yang dilakukan. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah untuk
mengatur secara lebih adil mengenai keseimbangan returns to
capital terhadap upah dan gaji yang diterima oleh pekerja-pekerja
Indonesia agar rakyat Indonesia dapat hidup sejahtera sangat
diperlukan.
Signifikansinya Pertumbuhan Sektor Bukan-RiilPertumbuhan ekonomi pada triwulan 2 tahun 2016 juga dapat
dirinci menurut sektor-sektor ekonomi. Pertumbuhan ekonomi
Indonesia disumbang oleh hampir semua sektor ekonomi, kecuali
sektor pertambangan dan penggalian yang tumbuh kontraksi
0,72%. Namun, pertumbuhan tertinggi dicapai oleh sektor-sektor
bukan-riil, seperti sektor jasa keuangan dan asuransi (13,51%),
sektor informasi dan komunikasi (8,47%), dan sektor jasa
perusahaan (7,57%). Sementara sektor riil seperti sektor pertanian
dan sejenisnya tumbuh 3,23%; sektor industri pengolahan tumbuh
4,74%; sektor konstruksi tumbuh 6,21%, sektor transportasi dan
pergudangan 6,61%, dan sektor perdagangan besar dan eceran
dan sejenisnya 4,07%. Tabel 2 menunjukkan laju pertumbuhan
ekonomi berbagai sektor ekonomi pada triwulan 2 tahun 2016.
Page 25
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 2524 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016
Masih Kurang Signifikansinya Laju Pertumbuhan Sektor Perdagangan
Tabel 2 sebelumnya menunjukkan bahwa sektor perdagangan
besar dan eceran tidak tumbuh terlalu signifikan, hanya tumbuh
4,07% YoY. Mestinya sektor perdagangan besar dan eceran
juga dapat menjadi tumpuan kesempatan kerja bagi masyarakat
untuk memperoleh pendapatan yang lebih baik. Peningkatan
kinerja sektor perdagangan dapat dilakukan antara lain dengan
meningkatkan perdagangan domestik (antar pulau) secara lebih
baik (lihat tulisan penulis pada Warta Perdagangan Volume 2
Nomor 5 Tahun 2014) karena sektor ini lebih dapat menampung
kesempatan kerja yang lebih masif dibandingkan dengan sektor
bukan-riil seperti sektor jasa keuangan yang kurang masif dalam
penyerapan tenaga kerja.
Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa kontribusi ekspor
neto (ekspor dikurangi impor) Indonesia pada triwulan 2 tahun 2016
hanya menghasilkan surplus 0,26%. Sudah menjadi pemahaman
umum bahwa perdagangan luar negeri memiliki banyak kendala.
Seandainya kualitas komoditas ekspor Indonesia bagus, namun
komoditas ekspor Indonesia terkendala dengan banyaknya kuota
yang ditetapkan yang diizinkan untuk masuk ke negara pengimpor,
maka tidak mungkin komoditas ekspor Indonesia bisa masuk ke
pasar negara pengimpor. Pada sisi lain, komoditas ekspor Indonesia
juga harus bersaing dengan komoditas yang sejenis yang berasal
dari negara-negara lain. Jika produk ekspor Indonesia kalah bersaing
dibandingkan dengan produk-produk ekspor dari negara-negara
lain, maka akan menambah kendala Indonesia untuk mengekspor
produk-produknya ke luar negeri. Produk-produk ekspor Indonesia,
seperti barang-barang tambang, juga ternyata lebih banyak berupa
bahan-bahan mentah (raw materials) yang sebenarnya kalau diolah
langsung di dalam negeri menjadi produk jadi akan memberikan nilai
tambah (value added) yang lebih besar kepada Indonesia.
Menurut penulis, daripada memikirkan tendensi ekspor neto
produk-produk Indonesia yang cenderung rendah, lebih baik
memikirkan pengembangan perdagangan dalam negeri (domestik)
berbasis potensi domestik yang tersedia di dalam negeri sehingga
dengan demikian memberikan kontribusi yang lebih baik kepada
perekonomian Indonesia pada masa-masa yang akan datang. Potensi
ekonomi domestik yang tersedia dan besar di Indonesia adalah jumlah
penduduk Indonesia yang banyak. Jumlah tersebut merupakan
suatu permintaan potensial (potential demand) yang hebat untuk
mendorong berbagai kegiatan ekonomi Indonesia di dalam negeri.
Setiap produk yang dikonsumsi oleh masyarakat menghasilkan nilai
tambah (value added) bagi kegiatan-kegiatan ekonomi dalam negeri,
termasuk kepada sektor perdagangan domestik.
Berdasarkan konsepnya, sektor perdagangan adalah suatu
sektor ekonomi yang terikut dengan kegiatan pokoknya. Nilai
tambah yang tercipta pada sektor perdagangan adalah marjin
yang timbul sebagai akibat pendistribusian suatu produk dari
BIODATA PENULIS
Nama : Slamet Sutomo
Organisasi : Staf Pengajar Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS),
Jakarta; mantan Deputi Kepala Badan PusatStatistik
(BPS) Bidang Neraca dan Analisis Statistik
Email : [email protected]
produsen ke konsumen. Misalnya, seorang konsumen membeli
suatu produk, seperti beras sebagai produk pokok, maka harga
beras yang dibayar oleh konsumen sudah termasuk marjin
perdagangan yang terikut pada harga beras. Marjin perdagangan
dapat merupakan marjin perdagangan besar dan juga marjin
perdagangan eceran lainnya yang diterima oleh para pedagang
atau distributor. Jika kontribusi sektor perdagangan domestik
terhadap PDB pada triwulan 2 tahun 2016 adalah sekitar 13,26%,
artinya sekitar 13,26% dari output perekonomian Indonesia yang
terjadi pada tahun 2016 disumbang oleh sektor perdagangan
dalam negeri (domestik); suatu kontribusi terhadap PDB Indonesia
yang ternyata jauh lebih besar dibandingkan dengan kontribusi
ekspor neto yang pada triwulan 2 tahun 2016 hanya mencapai
0,26% terhadap total PDB Indonesia. Dengan demikian, setiap
kali seorang konsumen Indonesia melakukan konsumsi, maka dia
telah menyumbangkan sekitar 13,26% terhadap output ekonomi
Indonesia melalui pembentukan nilai tambah sektor perdagangan,
yaitu berupa marjin perdagangan yang terdapat dalam harga yang
dibayar seorang konsumen.
Dengan memberdayakan potensi konsumsi domestik
masyarakat Indonesia yang besar tersebut, apalagi jika daya
beli (pendapatan) masyarakat mampu ditingkatkan lebih baik
pada masa-masa yang akan datang, maka dapat dibayangkan
besarnya dampak pemanfaatan konsumsi domestik terhadap
perekonomian Indonesia. Peningkatan tersebut dapat terjadi pada
peningkatan kegiatan produksi domestik, yang kemudian bergulir
menjadi kegiatan distribusi dimana termasuk di dalamnya kegiatan
transportasi dan logistik, sampai kepada kegiatan konsumsi yang
menciptakan marjin perdagangan, sehingga dengan demikian
kegiatan-kegiatan tersebut mampu menggerakkan ekonomi
dalam negeri Indonesia dan meningkatkan PDB Indonesia,
termasuk juga membuka kesempatan kerja di Indonesia. Sudah
tentu, dibutuhkan koordinasi antar instansi pemerintah yang terkait
agar strategi ini berhasil (lihat kembali tulisan penulis pada Warta
Perdagangan Volume 2 Nomor 5 Tahun 2014).
Page 26
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 2726 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016
BERITA PENDEK PERDAGANGAN
Ancaman Besi Baja Tiongkok untuk Industri Dalam NegeriKemajuan suatu bangsa tidak terlepas dari kemajuan
pembangunan industrinya. Salah satu industri dasar
yang memiliki peran besar bagi kemajuan suatu bangsa adalah
industri besi dan baja. Besi dan baja dapat dijadikan bahan
baku dalam berbagai segmen kehidupan manusia, diantaranya
untuk konstruksi, otomotif, elektronik, dan perlengkapan rumah
tangga. Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh World Steel
Association yang berjudul World Steel In Figures tahun 2016
diketahui bahwa Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Jepang, India,
Amerika Serikat dan Rusia masuk dalam 10 besar negara penghasil
Crude Steel atau besi baja mentah dunia. Sebagai negara dengan
peringkat pertama penghasil besi baja mentah, RRT mampu
menghasilkan besi baja mentah sebesar 803,8 juta ton di tahun
2015, meskipun mengalami penurunan jika dibandingkan tahun
2014 yang mencapai hingga 822,8 juta ton. Namun, hal tersebut
masih menunjukkan pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan
negara lainnya seperti Jepang yang menempati peringkat kedua
dan hanya mampu memproduksi Crude Steel sebesar 105,2 juta
ton pada tahun 2015. Keadaan ini menyebabkan RRT memiliki
peluang untuk mengusai pasar besi baja di tengah pelambatan
ekonomi dunia.
Ekspor besi baja RRT menduduki peringkat pertama di dunia.
Ekspor besi baja RRT bukan hanya membanjiri pasar internasional
dari sisi volume, tetapi besi baja asal negara tirai bambu tersebut
juga memiliki harga yang lebih rendah dibandingkan harga dunia.
Hal ini dapat dilihat berdasarkan data dari Global Trade Atlas
(GTA) tahun 2016 yang menunjukkan unit value RRT pada tahun
2015 untuk produk ini sebesar 540,14 USD per ton lebih kecil jika
dibandingkan dengan unit value dunia sebesar 608,75 USD per
ton, Jepang dengan unit value sebesar 621,98 USD per ton dan
Amerika Serikat dengan unit value sebesar 715,61 USD per ton.
Rendahnya harga besi baja asal RRT menimbulkan praktik
unfair trade, sesuai dengan hasil penyelidikan dan rekomendasi
dari Komite Anti Dumping Indonesia (KADI). Praktik unfair trade
menurut Agreement on Tariffs and Trade (GATT) salah satunya
adalah dumping, yang artinya suatu negara menjual produk di
bawah harga normal atau harga lebih murah dari harga di pasar
domestik negara asal produk sehingga praktik yang demikian
menimbulkan kerugian bagi industri dalam negeri tempat
dipasarkannya produk tersebut. WTO dengan tegas melarang hal
ini dengan mengeluarkan peraturan antidumping. Banyak negara
yang telah menerapkan peraturan ini, terutama untuk produk besi
baja. Adapun negara yang sering dijadikan sebagai tertuduh dalam
permasalahan unfair trade besi baja adalah RRT sebagai penghasil
besi baja dengan peringkat pertama dunia.
Penerapan kebijakan antidumping untuk RRT sebagai tertuduh
telah dilakukan oleh berbagai negara, baik negara maju maupun
berkembang, sebagai tindakan tegas agar terjadi perdagangan
yang fair antar negara. Negara-negara yang telah menerapkan
tindakan tersebut adalah Amerika Serikat untuk produk Cold Rolled
Coil/Sheet (CRC/S) asal RRT dengan besaran 265,79%, Meksiko
untuk produk Cold Rolled Stainless Sheet (CRS) dengan besaran
65,99%-103,41%, Malaysia untuk produk Hot Rolled Coil (HRC)
dan CRC/S, dan yang terbaru adalah Uni Eropa untuk produk
CRC/S asal RRT dengan besaran 19,7%-22,1%. Besaran marjin
yang ditetapkan negara-negara tersebut akan menambah harga
impor produk dari negara tertuduh yang masuk ke pasar negara
tersebut sehingga harga yang ada di pasar domestik negara
tersebut menjadi fair kembali setelah kebijakan antidumping ini
diterapkan.
Untuk Indonesia, pihak otoritas dalam hal ini adalah KADI,
telah selesai melakukan penyelidikan kembali atas kasus yang
penetapan kebijakan antidumpingnya akan berakhir (sunset
review) dan penyelidikan untuk melakukan perubahan besaran
atau jangka waktu kebijakan antidumping yang sedang dikenakan
(interim review) di awal tahun 2016 atas produk besi baja yaitu
CRC/S serta penyelidikan baru untuk CRS asal RRT. Namun, perlu
diketahui kembali Indonesia juga telah menerapkan pengenaan
BMAD untuk RRT pada produk besi baja lainnya seperti I dan
H Section serta Hot Rolled Plate (HRP). Berdasarkan0 hasil
penyelidikan terbaru yang telah dilakukan terbukti adanya
dumping dan unfair trade yang terjadi di pasar domestik asal
negara RRT. Untuk produk CRC/S asal RRT mendapat
besaran marjin dumping 13,6%-43,5%, sedangkan untuk
produk CRS mendapat besaran marjin sebesar 26,5%.
Berdasarkan hasil penyelidikan tersebut, maka industri
memerlukan dukungan pemerintah berupa kebijakan
tindakan pengamanan untuk bersama-sama
memerangi praktik unfair trade besi baja yang terjadi
di tanah air sebagai bentuk perlindungan untuk
industri domestik. (Ayu Wulandani)
Page 27
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 2726 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016
Perlunya BMAD Tepung Terigu untuk Menangkis Serangan Dumping India, Sri Lanka dan Turki
Tepung gandum atau tepung terigu
merupakan salah satu komoditas yang
bersifat strategis di Indonesia. Jumlah industri
tepung terigu yang ada di Indonesia semakin
meningkat dari tahun ke tahun. Menurut data Asosiasi
Produsen Tepung Terigu Indonesia (APTINDO) tahun
2015, Indonesia memiliki 29 industri penggilingan
tepung (Flour Mills) dengan rincian sebanyak 25 industri
berada di Pulau Jawa dan sisanya 4 industri berada diluar
Pulau Jawa. Total kapasitas untuk seluruh industri tersebut
diperkirakan mencapai 10,3 juta MT per tahun.
Meskipun memiliki industri tepung terigu dalam jumlah
cukup banyak, bahan baku untuk industri ini masih harus
diimpor. Saat ini masih ada beberapa hambatan yang menjadi
kendala dalam impor tepung terigu sehingga daya saing industri
tepung terigu Indonesia masih rendah. Salah satu hambatan dalam
industri ini adalah praktik dumping atas importasi tepung terigu
yang berasal dari India, Sri Lanka, dan Turki. Berdasarkan hasil
penyelidikan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI), tiga negara
yaitu India, Sri Lanka, dan Turki terbukti melakukan dumping untuk
tepung terigu dengan besaran marjin dumping untuk India sebesar
12,1%, Sri Lanka sebesar 7,5%, dan Turki berkisar antara 5,6%-
28,9% sehingga industri dalam negeri mengalami kerugian. Hal
ini terlihat dari nilai penjualan yang berada dibawah harga pokok
penjualan dan arus kas operasional yang menurun selama periode
2010-2013. Selain itu, terjadi price undercutting, price suppression,
dan price depression karena harga impor yang rendah (terutama
dari Turki) sehingga industri dalam negeri tidak dapat menaikkan
harga jual meskipun biaya produksi meningkat.
Praktik dumping ini merupakan praktik perdagangan tidak sehat
yang perlu ditindaklanjuti oleh pemerintah dengan menerapkan Bea
Masuk Anti Dumping (BMAD). Berdasarkan Perjanjian Organisasi
Perdagangan Dunia, World Trade Organization (WTO) tentang anti
dumping, anggota WTO diijinkan untuk mengambil tindakan anti
dumping dan imbalan untuk memulihkan kerugian yang dialami
oleh industri dalam negeri sebagai akibat masuknya barang impor
dari produk yang sama atau sejenis dengan harga yang tidak wajar.
Dampak pengenaan BMAD atas impor tepung terigu terhadap
industri hilir akan relatif kecil, karena 70% industri pengguna tepung
terigu merupakan Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM). Menurut
survei LPEM-UI tahun 2014, UMKM sangat jarang menggunakan
tepung terigu impor karena beberapa alasan, seperti jenis tepung
terigu impor yang beragam sehingga memerlukan biaya tambahan
untuk percobaan, kualitas dan persediaan yang tidak stabil, serta
kendala akses layanan customer care dari importir. Apabila BMAD
tidak diberlakukan terhadap importasi barang dumping (tepung
terigu impor), maka diperkirakan akan banyak produsen tepung
terigu di dalam negeri yang akan menderita kerugian. Pengenaan
BMAD tepung terigu diharapkan akan dapat meningkatkan utilisasi
pabrik tepung terigu di Indonesia, yang secara rata-rata saat ini
hanya sekitar 64%-68%.
Kinerja impor tepung terigu Indonesia mulai mengalami
peningkatan di tahun 2004 dan mencapai puncaknya di tahun
2010, yakni mencapai 776 ribu ton. Setelah tahun 2010, impor
tepung terigu menurun signifikan hingga hanya mencapai 197 ribu
ton di tahun 2014. Jika dilihat dari pangsa pasar produk impor
tersebut, pada tahun 2010 pangsanya mencapai 17,6% terhadap
konsumsi tepung nasional dan berkurang hingga hanya mencapai
3,3% di tahun 2014. Hal ini tidak terlepas dari kebijakan yang
diambil pemerintah untuk melindungi industri tepung terigu di
dalam negeri, antara lain pengenaan BMAD untuk impor tepung
dari Tiongkok dan India selama 2005-2010, pengenaan BMAD
dari Uni Emirat Arab (UEA) selama 2006-2011, pengenaan Bea
Masuk Tindakan Pengamanan Sementara (BMTPS) selama 2012-
2013 dan pengenaan kuota selama tahun 2014.
Page 28
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 2928 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016
Pembangunan Infrastruktur
sebagai Upaya Menggali Potensi
Perdagangan di Daerah
Perbatasan
Pada tanggal 5 Agustus 2016, Menteri Pekerjaan Umum
dan Perumahan Rakyat (PUPR), Basuki Hadimuljono,
meninjau pembangunan infrastruktur di daerah perbatasan
Motaain, Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Peninjauan ini dilakukan dalam rangka program revitalisasi Pos Lintas
Batas Negara (PLBN) di Indonesia untuk menunjang aktivitas ekonomi
di daerah perbatasan. Seiring dengan maraknya liberalisasi perdagangan
dan keikutsertaan Indonesia dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN
(MEA), prospek perdagangan lintas batas semakin tinggi. Perdagangan
lintas batas dapat menjadi potensi namun juga menjadi bumerang bagi
Indonesia. Kendala utama dalam mendorong perdagangan lintas batas
yang berkontribusi positif terhadap perdagangan dan perekonomian adalah
ketidaksiapan infrastruktur di daerah perbatasan. Kondisi infrastruktur
Indonesia yang kurang baik dibandingkan negara tetangga akan mendorong
ketergantungan masyarakat Indonesia di daerah perbatasan terhadap barang-
barang dari negara tetangga.
Komitmen pemerintah Indonesia dalam mendukung pembangunan infrastruktur
di daerah perbatasan tertuang dalam Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2015. Dalam
Inpres tersebut, pemerintah fokus mempercepat pembangunan di tujuh PLBN antara
lain PLBN Terpadu Aruk (Kabupaten Sambas), PLBN Terpadu Entikong (Kabupaten
Sanggau), PLBN Terpadu Nanga Badau (Kabupaten Kapuas Hulu), PLBN Terpadu
Motaain (Kabupaten Belu) PLBN Terpadu Motamasin (Kabupaten Malaka), PLBN Terpadu
Wini (Kabupaten Timor Tengah Utara), dan PLBN Terpadu Skouw (Kota Jayapura). Per
Maret 2016, perkembangan pembangunan infrastruktur fisik, seperti pintu pos perbatasan
Page 29
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 2928 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016
dan akses jalan untuk ketujuh PLBN Terpadu telah mencapai
perkembangan yang bervariasi, misalnya 49,12% untuk PLBN
Terpadu Motaain; 44,52% untuk PLBN Terpadu Entikong; 10,88%
untuk PLBN Terpadu Wini; 6% untuk PLBN Terpadu Skouw; 3,17%
untuk PLBN Terpadu Motaasin; 0,39% untuk PLBN Terpadu Nanga
Badau; dan 0,09% untuk PLBN Terpadu Aruk. Pembangunan
PLBN Entikong dan Motain dimulai lebih awal pada tahun 2015.
Adapun pembangunan kelima PLBN lainnya baru dimulai pada
awal tahun 2016. Pembangunan ketujuh PLBN Terpadu tersebut
ditargetkan akan rampung pada akhir tahun 2016. Selain ketujuh
PLBN, pemerintah juga berencana membangun 2 PLBN lainnya
yakni Oepoli di Provinsi NTT dan Waris di Provinsi Papua yang saat
ini pembangunannya masih dalam tahap pra design (Kementerian
PUPERA, 2016).
Realisasi pembangunan PLBN di beberapa kawasan masih
mengalami kendala. Salah satunya terjadi di kawasan Nanga
Badau, Provinsi Kalimantan Barat. Kendala pembangunan
PLBN di kawasan tersebut terutama berasal dari sulitnya proses
pembebasan lahan dan persoalan adat masyarakat setempat.
Sebelum proses konstruksi dimulai, Kementerian PUPR dan
kontraktor harus meminta izin kepada leluhur masyarakat setempah
dengan melakukan upacara adat terlebih dahulu. Hampir sama
dengan pembangunan di PLBN Nanga Badau, kendala yang
dihadapi dalam pembangunan PLBN Motaain juga berasal dari
sulitnya pembebasan tanah adat.
Untuk mengoptimalkan perdagangan lintas batas yang
menguntungkan bagi Indonesia, dalam Inpres disebutkan bahwa
salah satu infrastruktur yang perlu dibangun adalah pasar
perbatasan di kawasan PLBN dan memperlancar kegiatan
perdagangan atau tata niaga lintas batas negara. Pembangunan
pasar di daerah perbatasan sangat potensial untuk menarik
pembeli dari negara tetangga.
Salah satu pasar perbatasan yang potensial bagi Indonesia
adalah pasar perbatasan di daerah Skouw, Kota Jayapura. Sekitar
99% dari pembeli di pasar Skouw merupakan warga negara
Papua New Guinea (PNG). Setiap harinya diperkirakan terdapat
500 pembeli yang datang dari Desa Wutung, Provinsi Sandaun,
PNG. Kondisi infrastruktur di Skouw yang lebih baik dibandingkan
kondisi di PNG dan didukung oleh tersedianya pasar perbatasan
mendorong ketergantungan masyarakat perbatasan PNG
terhadap pasokan barang dari Indonesia. Kondisi yang sebaliknya
justru terjadi di Entikong. Keterbatasan infrastruktur menyebabkan
pasokan kebutuhan barang dan jasa untuk masyarakat Indonesia
di kawasan ini menjadi tidak terpenuhi, sehingga masyarakat
cenderung lebih bergantung pada negara tetangga, yaitu Malaysia.
Daya konsumsi masyarakat Indonesia di daerah perbatasan
Entikong seharusnya dapat dimanfaatkan oleh Indonesia dengan
membangun pasar yang nyaman di kawasan perbatasan, sehingga
meminimalisir ketergantungan pada Malaysia.
Kebijakan percepatan pembangunan atau revitalisasi serta
penataan pasar perlu dilakukan untuk menarik pembeli dan
mendorong transaksi ekonomi di pasar perbatasan. Selain
menangkap potensi perdagangan dalam negeri, penyediaan
infrastruktur termasuk pasar, jalan, pasokan listrik dan fasilitas
lainnya yang lebih memadai dibandingkan negara tetangga
berpotensi memberikan kontribusi pada kinerja perdagangan
luar negeri melalui ekspor. Oleh karena itu, dibutuhkan dukungan
instansi lainnya seperti kantor Bea dan Cukai untuk memastikan
transaksi perdagangan terekam dengan baik sehingga pasar
perbatasan dapat menjadi etalase perdagangan dan mendukung
ekspor Indonesia. (Fitria Faradila)
Page 30
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 3130 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016
Percepatan Pengembangan Industri Farmasi
Pada pertengahan 2016 pemerintah menerbitkan Instruksi
Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2016 tentang Percepatan
Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan (Alkes), sebagai
tindak lanjut Paket Kebijakan Ekonomi Jilid XI. Tujuan dari kebijakan ini
adalah untuk mewujudkan kemandirian serta meningkatkan daya saing
industri farmasi dan alat kesehatan dalam negeri melalui percepatan
pengembangan industri farmasi dan alat kesehatan. Langkah-langkah
kebijakan tersebut dilaksanakan dalam berbagai bentuk aktifitas, yaitu:
(i) Menjamin ketersediaan farmasi dan alat kesehatan sebagai upaya
peningkatan pelayanan kesehatan dalam rangka Jaminan Kesehatan
Nasional; (ii) Meningkatkan daya saing industri farmasi dan alat
kesehatan di dalam negeri dan ekspor; (iii) Mendorong penguasaan
teknologi dan inovasi dalam bidang farmasi dan alat kesehatan; dan
(iv) Mempercepat kemandirian dan pengembangan produksi bahan
baku obat, obat, dan alat kesehatan untuk pemenuhan kebutuhan
dalam negeri dan ekspor serta memulihkan dan meningkatkan
kegiatan industri/utilisasi kapasitas industri (Setkab.go.id, 2016).
Industri farmasi dan alkes, dalam Rencana Induk Pengembangan
Industri Nasional (RIPIN) 2015 – 2035, termasuk dalam kelompok
Industri Andalan. Dalam dokumen tersebut dikatakan bahwa “Industri
Andalan adalah industri prioritas yang berperan besar sebagai
penggerak utama (prime mover) perekonomian di masa yang akan
datang. Selain memperhatikan potensi sumber daya alam sebagai
sumber keunggulan komparatif, industri andalan tersebut memiliki
keunggulan kompetitif yang mengandalkan sumber daya manusia
yang berpengetahuan dan terampil, serta ilmu pengetahuan dan
teknologi”. Menurut Profil Kesehatan tahun 2014, di Indonesia
terdapat 239 industri farmasi yang 75% diantaranya berada di pulau
Jawa. Pangsa pasar domestik industri farmasi sebanyak 32% nya
dikuasai oleh lima industri besar yaitu Kalbe Farma, Sanbe, Soho,
Pharos Indonesia, dan Dexa Medica.
Berdasarkan kepemilikan modal hingga tahun 2015, perusahaan
farmasi masih didominasi oleh perusahaan domestik yakni 72% dari
total perusahaan farmasi, sementara sisanya merupakan perusahaan
multinasional. Banyaknya perusahaan farmasi domestik didukung
pula oleh tren realisasi investasi di sektor ini, dimana laju pertumbuhan
realisasi investasi domestik mengalami pertumbuhan sebesar 44,7%
per tahun, sementara pertumbuhan realisasi investasi asing hanya
19,8% per tahun selama periode 2010–2015. Jika dilihat dari jenis
obat yang dipasarkan, obat di pasar dalam negeri didominasi oleh obat
resep dengan pangsa 61% dan sisanya adalah obat bebas. Namun
demikian, dari dua jenis obat tersebut, industri farmasi domestik hanya
menguasai masing masing 38% dan 34% (Mandiri Industry Update,
2016).
Dari sisi perdagangan luar negeri, total perdagangan untuk produk
farmasi, khususnya obat dan bahan baku obat, mencapai USD 2,8
miliar atau tumbuh 4,3% per tahun selama periode 2012–2015 (BPS,
2016). Nilai total perdagangan tersebut terdiri atas nilai perdagangan
obat yang mencapai USD 1 miliar dan bahan baku obat sebesar USD
1,8 miliar. Apabila ditelisik lebih lanjut dari neraca perdagangannya,
terlihat bahwa perdagangan luar negeri Indonesia untuk produk
farmasi mengalami defisit dalam arti masih bergantung kepada impor.
Neraca perdagangan obat dan bahan baku obat di tahun 2015 defisit
mendekati angka USD 1,0 miliar yang terdiri atas defisit perdagangan
obat USD 125,4 Juta dan defisit bahan baku obat USD 842,2 Juta.
Dokumen RIPIN 2015-2035 dan Inpres Nomor 6 Tahun 2016
tentang kebijakan pengembangan industri farmasi dilatarbelakangi
oleh masih tingginya ketergantungan impor baik terhadap obat
maupun bahan baku obat. Oleh karena itu, diharapkan kebijakan
yang dimunculkan tersebut mampu menjadi solusi atas kondisi yang
ada dan mampu meningkatkan ekspor komoditas farmasi. Untuk itu
kebijakan tersebut dapat disesuaikan dengan sasaran dengan tidak
melupakan kondisi kefarmasian di dunia.
Menurut Kajian OECD tahun 2013, sektor farmasi merupakan
sektor yang sangat terglobalisasi dimana inovasi merupakan
faktor penggerak utama dengan kooperasi dan kompetisi diantara
perusahaan besar maupun kecil, sehingga sudah barang tentu tidak
akan lepas dari konsep Rantai Nilai Global (Global Value Chain, GVC).
Zhang et. al. di Journal of International Commerce and Economics
tahun 2011, menyatakan bahwa industri farmasi termasuk dalam
rantai komoditas yang berada pada posisi Producer-Driven. Ciri
komoditas Producer Driven adalah yang mendorong rantai komoditas
global lebih bersifat industri capital, kompetensi utamanya adalah pada
riset dan pengembangan produksinya, kepemilikan atas perusahaan
manufaktur adalah perusahaan multinasional, dan berdasarkan atas
hubungan jaringan investasi.
Kenyataan menunjukkan bahwa industri dan perdagangan farmasi
terikat langsung dengan GVC sehingga kemampuan untuk dapat
tergabung dalam GVC menjadi keharusan. Brennan dan Rakhmatullin
dalam Global Value Chains and Smart Specialisation Strategy, Joint
Research Centre (JRC) Science Policy Report (Desember 2015)
menyebutkan bahwa daya sain g sebuah negara dalam GVC tidaklah
diukur dari kapasitas suatu negara untuk mengembangkan industri yang
terintegrasi, namun lebih pada kapasitasnya untuk mengidentifikasi
posisi terbaiknya di dalam GVC. Hal ini mengindikasikan bahwa ada
tiga level yang perlu diukur terkait dengan GVC untuk industri farmasi,
yaitu: (i) Kapasitas untuk bergabung dalam GVC; (ii) Bagaimana
memahami dan cara menempatkan diri pada posisi yang saat ini
belum dapat diraih; serta (iii) Kemampuan menentukan sasaran pada
level rantai nilai tertinggi yang mana dari GVC yang akan diraih. (Umar Fakhrudin)
Page 31
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 3130 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016
Propinsi Jawa Timur dikenal masyarakat dengan
berbagai kekhasannya, seperti makanan terutama petis
dan kerupuk udang. Bahkan, kerupuk udang Sidoarjo telah
berhasil menembus pasar ekspor di Asia, Timur Tengah dan
Eropa. Tentu saja tidak hanya makanan yang mempunyai potensi
untuk menjadikan Jawa Timur terkenal, namun masih banyak lagi
sumber daya potensial lainnya.
Jawa Timur mempunyai luas wilayah sebesar 47.154 km2
yang terdiri dari 38 Kabupaten/Kota, 664 Kecamatan dan
8.501 Desa/Kelurahan dengan kepadatan penduduk 807 jiwa/
km2. Propinsi ini menjadi pusat kegiatan ekonomi khususnya
pusat logistik dan konektivitas perdagangan, juga sebagai
pintu gerbang dan motor penggerak pembangunan di Indonesia
bagian timur dan Kalimantan. Potensi sumber daya alam di Jawa
Timur bervariasi dan cukup menjanjikan, antara lain:
a. Sektor Pertanian: Produksi padi sebesar 13,05 juta ton/
tahun, Jagung 6.038 juta ton/tahun, Tebu 1.250 juta ton/
tahun, Kopi 63 ribu ton/tahun dan Coklat 34 ribu ton/tahun;
b. Sektor Perikanan: Produksi ikan Cakalang 7.003 ton/
tahun (lokasi di Trenggalek, Jember, Malang dan Blitar),
Udang Windu 34.251 ton/tahun (lokasi di Sampan), Ikan
Kakap Merah 2.012 ton/tahun (lokasi Gresik, Sumenep,
Probolinggo) dan Ikan Tuna 3.967 ton/tahun (lokasi di
Banyuwangi, Malang danTrenggalek);
c. Sektor Pertambangan: Produksi gamping (dolomite)
(lokasi di Pacitan, Trengglaek, Tulungagung, Ponorogo,
Ngawi, Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Nganjuk, Jember,
Bondowoso dan Banyuwangi), Batu Pualam dan Marmer
(marble dan onyx) (lokasi Tulungagung), Pasir Besi (iron
sand) (lokasi di Lumajang, Trenggalek), Emas, Silver dan
Perak (lokasi di Lumajang, Banyuwangi) (Dinas Pertanian
Prop. Jatim, 2015).
Kontribusi sektor pertanian di Propinsi Jawa Timur terhadap
kebutuhan nasional pada tahun 2015 untuk komoditas padi
mengalami surplus sebesar 4,97 juta ton sehingga dapat
mencukupi kebutuhan konsumsi penduduk Indonesia sebesar
43,3 juta jiwa dengan perhitungan konsumsi beras nasional 114
kg/kapita/tahun. Komoditas jagung juga mengalami surplus
sebesar 3,4 juta ton, sedangkan untuk komoditas kedelai
mengalami defisit sebesar 46,9 ribu ton ( Dinas Pertanian Prop.
Jatim, 2015). Sementara itu, produksi hasil peternakan di Jawa
Timur terutama untuk daging sapi, telur dan susu, masing-masing
berkontribusi sebesar 22%, 35% dan 53% terhadap kebutuan
nasional (Dinas Peternakan Prop. Jatim , 2015).
Secara umum kinerja ekonomi makro Jawa Timur dapat dilihat
dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), dimana struktur
Mengenal Potensi dan Upaya Jawa Timur dalam Memperkuat Sektor Industri dan Perdagangan
PDRB terdiri dari industri pengolahan 29,76%, pertanian 14,07%,
dan perdagangan besar dan eceran sub sektor industri makanan
dan minuman yang meningkat dari 27,29% pada tahun 2015
meningkat menjadi 29,26 % pada Triwulan I tahun 2016. Demikian
pula untuk sub sektor pengolahan tembakau dan industri kimia,
farmasi dan obat tradisional, masing-masing kontribusinya dari
26,08 % dan 9,07% pada tahun 2015 meningkat menjadi 26,85
% dan 9,19 % pada triwulan I tahun 2016.
Pertumbuhan produksi manufaktur mikro dan kecil sebesar
5,43% lebih tinggi dibanding periode yang sama tahun 2015
sebesar 4,33%. Produksi industri manufaktur besar dan sedang
pada triwulan I tahun 2016 tumbuh sebesar 0,81% dibanding
periode yang sama tahun 2015. Untuk pertumbuhan produksi
beberapa sub kategori industri mikro dan kecil (percetakan,
makanan, pakaian jadi, tekstil, kendaraan bermotor, mesin, kulit
dan alas kaki dan pengolahan tembakau) serta pertumbuhan
produksi beberapa sub kategori industri besar dan sedang
(industri tekstil, minuman, kulit dan alas kaki, furnitur, makanan
dan mesin) pada triwulan I 2016 keduanya tumbuh lebih besar
dari 5% (BPS. Prov. Jatim, 2016).
Untuk menghadapi tantangan ekonomi global dan menuju
ekonomi inklusif, pemerintah Propinsi Jawa Timur menciptakan
inovasi pelayan publik dengan nama JATIMNOMICs yang
merupakan pengembangan dari Indonesia Incorporated
(Kunjungan Kerja DPR-RI Komisi VI, 2016). Konsep ini dipandang
perlu karena dapat menjadi solusi dalam menghadapi tantangan
ekonomi global terutama Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
Konsep ini merupakan pemikiran ekonomi kekeluargaan yang
menekankan potensi atau kekayaan dimiliki sebesar besarnya
untuk masyarakat dimana konsep ini memiliki tiga aspek,
yaitu aspek produksi yang meliputi segmen Usaha Mikro Kecil
dan Menengah (UMKM) serta segmen usaha besar, aspek
pembiayaan yang kompetitif, dan aspek pemasaran. Ketiga
aspek tersebut harus dilibatkan dalam mengambil keputusan
bersama dan saling keterkaitan sehingga dapat menimbulkan
kekuatan tersendiri baik dalam bidang ekonomi maupun dalam
menghadapi tantangan di bidang lainnya.
Untuk usaha UMKM dan bisnis usaha besar, Pemerintah
Propinsi Jawa Timur melakukan pengembangan Sumber Daya
Manusia (SDM) melalui inkubator bisnis dan standardisasi
keterampilan SDM. Contohnya, membangun Sekolah Menengah
Kejuruan Mini (SMK Mini) yaitu sekolah kejuruan yang mempunyai
prinsip program studi (prodi) sesuai permintaan bursa kerja
antara lain prodi pengelasan, tataboga, perhotelan, dan mesin.
Selain itu, Balai Pelatihan Kerja juga memberikan keterampilan
berstandar internasional dan mencetak wirausaha. Dalam aspek
Page 32
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 3332 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016
pembiayaan yang kompetitif, Pemerintah Jawa Timur mendirikan
Lembaga Keuangan Mikro Jawa Timur yang di dalamnya termasuk
Koperasi Wanita, pengembangan Koperasi Pondok Pesantren
(Kopontren), pengembangan Lembaga Masyarakat Desa Hutan
(LMDH) dan pengembangan koperasi. Sementara untuk aspek
pemasaran, Pemerintah Jawa Timur mengoptimalkan pasar
domestik, penguatan pasar global dan penguatan pasar ASEAN.
Konsep JATIMNOMICs merupakan terobosan dan inovasi
dari Pemerintah Jawa Timur untuk mengoptimalisasikan
potensi ekonomi dengan melibatkan seluruh masyarakat baik
eksekutif, legislatif, dunia usaha/lembaga keuangan serta tidak
meninggalkan peran masyarakat. Selain itu, Pemerintah Jawa
Timur juga terus berusaha untuk mengeluarkan kebijakan dan
regulasi yang dapat memberikan dampak positif terhadap
kehidupan ekonomi, politik, sosial dan budaya di Jawa Timur.
(Puspita Dewi)
Pada tanggal 28 April 2004, Dewan Keamanan Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) dengan suara bulat telah
mengesahkan Resolusi 1540 (UNSCR 1540) yang menegaskan
bahwa proliferasi nuklir, senjata kimia, dan sarana pengangkutannya
merupakan ancaman bagi perdamaian dan keamanan internasional.
Resolusi mewajibkan kepada negara-negara anggota PBB untuk
tidak memberikan dukungan kepada perusahaan yang membantu
perdagangan dan proliferasi senjata pemusnah masal, mengadopsi
dan menegakkan hukum serta mencegah proliferasi senjata
pemusnah masal.
Resolusi tersebut menjadi dasar bagi negara-negara anggota,
seperti European Union (EU) dan Amerika Serikat (AS) untuk
memperketat pengaturan ekspor barang strategis. Rezim pengendalian
ekspor diatur dalam EC No. 428/2009 yang berisi ketentuan umum
pengendalian ekspor, daftar barang dwi-fungsi (dual-use goods),
serta koordinasi dan kerja sama untuk membantu implementasi dan
penegakan hukumnya. Sementara itu, Pemerintah AS mengeluarkan
dua aturan utama yaitu Export Administration Regulations (EAR) yang
mengatur ekspor barang-barang komersial yang berpotensi untuk
aplikasi militer (barang dwi-fungsi) dan International Traffic in Arms
Regulations (ITAR) yang mengatur ekspor barang dan jasa yang
secara khusus dirancang untuk keperluan militer.
Secara umum, barang dwi-fungsi didefinisikan sebagai barang,
perangkat lunak dan teknologi yang dapat digunakan untuk keperluan
sipil maupun untuk militer dan/atau dapat berkontribusi dalam
pengembangan senjata pemusnah massal. Di AS, produk dwi-fungsi
di kategorikan ke dalam sembilan kelompok, meliputi: bahan baku
dan peralatan nuklir; zat kimia, mikro-organisme, dan zat berbahaya;
bahan pengolahan; elektronik; komputer; telekomunikasi dan
keamanan informasi; sensor dan laser; peralatan navigasi; armada laut;
dan peralatan ruang angkasa. Contoh barang dwi-fungsi adalah tri-
ethanolamine, yang merupakan zat kimia yang biasa digunakan sebagai
bahan baku kosmetik maupun sampo, namun dapat diaplikasikan
untuk keperluan militer khususnya pembuatan gas beracun. Ekspor
barang tersebut pada prinsipnya tidak dilarang, namun harus tunduk
pada kontrol ketat yang umumnya dalam bentuk lisensi.
Negara di kawasan ASEAN yang telah memiliki kerangka hukum
pengaturan ekspor barang strategis adalah Singapura, Malaysia,
dan Filipina. Singapura telah mengimplementasikan Strategic Goods
Control Act (SGCA) sejak 2003, Malaysia telah memiliki Strategic
Trade Act (STA) 2010, dan terbaru Filipina telah memiliki Undang-
Undang No. 10697 atau Strategic Trade Management Act (STMA)
yang ditandatangi oleh Presiden Benigno S. Aquino III pada 13
November 2015. Secara umum, bagi yang melanggar ketentuan
tersebut diberikan sanksi berupa denda finansial maupun hukuman
penjara. Hukuman paling keras diimplementasikan oleh Malaysia
dengan memberikan pinalti terberat berupa hukuman mati atau
penjara seumur hidup.
Di Indonesia, ekspor barang strategis yang memiliki dwi-fungsi
belum diatur dalam suatu kerangka hukum yang jelas. Meskipun
demikian, ada beberapa peraturan seperti Peraturan Menteri
Perdagangan No. 13/M-DAG/PER/3/2012 tentang Ketentuan Umum
di Bidang Ekspor yang memberikan dasar pengaturan terhadap tiga
jenis produk ekspor, yaitu: barang bebas ekspor, barang dibatasi
ekspor, dan barang dilarang ekspor. Barang-barang yang masuk
kategori dibatasi maupun dilarang ekspornya pada umumnya
merupakan komoditas biasa, seperti: rotan, biji timah, batu mulia, dan
ikan napoleon. Dalam hal ini, pembatasan dan pelarangan ekspor
lebih ditujukan pada upaya melindungi mahluk hidup atau lingkungan,
pemenuhan pasokan di pasar dalam negeri, serta peningkatan nilai
tambah produk. Sementara untuk importasi barang-barang berbahaya
diatur dalam melalui Permendag No.23/M-DAG/PER/9/2011 Tentang
Perubahan atas Permendag No. 44/M-DAG/PER/9/2009 Tentang
Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan Bahan Strategis dan
Berbahaya. Barang-barang berbahaya yang dilarang ataupun diatur
impornya diantaranya bahan senjata kimia, narkotika, limbah B3, nitro
cellulose, prekusor, dan bahan perusak lapisan ozon dan peralatan
militer. Khusus untuk ekspor/impor peralatan militer mengacu pada
Undang-Undang No. 16/2012 tentang Industri Pertahanan yang
mensyaratkan bagi eksportir dan importir untuk mengajukan izin
kepada Kementerian Pertahanan dan untuk bahan peledak juga
diatur secara khusus melalui Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 36
Tahun 2012 tentang Pedoman dan Tata Cara Perizinan, Pembinaan,
Pengembangan, Pengawasan, dan Pengendalian Industri Bahan
Peledak. (Reni K. Arianti)
Sekilas Tentang Kebijakan Pengendalian Ekspor Barang Dwi-Fungsi
Page 33
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 3332 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016
SERBA SERBI
Policy Dialogue Series untuk Pemberdayaan Konsumen
Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BPPP)
bekerjasama dengan Australia Indonesia Partnership for Economic
Governance (AIPEG) menyelenggarakan Policy Diaogue Series (PDS)
dengan tema “Pengembangan Consumer Group Sebagai Upaya
Peningkatan Keberdayaan Konsumen” pada hari Senin, 15 Agustus
2016 di Auditorium Kementerian Perdagangan. PDS dibuka secara
resmi oleh Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib
Niaga (PKTN) Syahrul Mamma dan dihadiri Kepala BPPP Tjahya
Widayanti bersama para pejabat Eselon II di lingkungan Kementerian
Perdagangan, akademisi, serta perwakilan dari
Dinas Perindustrian dan Perdagangan se-
Jabodetabek. Sebagai pembicara pada
kegiatan ini adalah Consumer Protection
Advisor AIPEG, Allan Asher; Guru
Besar IPB, Ujang Sumarwan; Ketua
Lembaga Konsumen Yogyakarta,
Saktya Rini Hastuti; dan Direktur
Pemberdayaan Konsumen, Ganef
Judawati dengan moderator Penggiat
Perlindungan Konsumen, Atih Surjati.
BPPP Raih Juara Umum Wilayah Tertib Administrasi Tahun 2016
Dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintah yang baik (good
governance) dan bebas dari korupsi (clean government) di lingkungan
Kementerian Perdagangan, Inspektorat Jenderal Kementerian
Perdagangan secara rutin menyelenggarakan kegiatan Wilayah Tertib
Administrasi (WTA) sebagai upaya mempercepat pemberantasan
korupsi. Pada tahun 2016, BPPP berhasil mendapatkan penilaian
tertinggi dan menjadi juara umum dalam kegiatan WTA ini. Penyerahan
piala juara umum dilaksanakan bertepatan dengan upacara Hari
kemerdekaan RI ke-71 dan diberikan oleh Menteri Perdagangan
kepada Kepala BPPP. Beberapa parameter penilaian dalam WTA
adalah pelaksanaan kinerja, pengelolaan
keuangan dan barang milik negara,
pengelolaan Sumber Daya Manusia,
hasil pengawasan, dan pelaksanaan
percepatan pemberantasan
korupsi. Pelaksanaan kegiatan
WTA ini merupakan implementasi
dari Instruksi Presiden No. 5 Tahun
2004 dan No. 4 Tahun 2011 serta
Peraturan Menteri PAN dan RB No. 60
Tahun 2012.
Diskusi Penulisan Bunga Rampai Info Komoditi Tahun 2017Dalam rangka penerbitan Bunga Rampai Info Komoditi (BRIK) tahun 2017, Badan Pengkajian
dan Pengembangan Perdagangan (BPPP) menyelenggarakan Diskusi Penulisan BRIK Tahun 2017
pada hari Rabu, 24 Agustus 2016. BPPP berencana untuk menerbitkan dua Bunga Rampai Info
Komoditi (BRIK) dengan topik Tanaman Obat dan Furnitur pada tahun 2017. Kegiatan ini dihadiri
oleh tim penulis dan editor BRIK tahun 2017, perwakilan dari Direktorat Ekspor Produk Pertanian dan
Kehutanan Kementerian Perdagangan, Direktorat Sayuran dan Tanaman Obat Kementerian Pertanian,
GP Jamu, serta Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI).
Rapat Dewan Redaksi dan Mitra Bestari BILP
Dalam rangka penerbitan Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan
(BILP) Edisi Desember 2016, Redaksi Pelaksana melakukan rapat
bersama Dewan Redaksi dan Mitra Bestari pada tanggal 26
Agustus 2016 di Hotel Sari Pan Pacific Jakarta. Tujuan pelaksanaan
rapat untuk melakukan pembahasan terhadap tujuh naskah yang
diterima oleh Redaksi Pelaksana. Selain itu, rapat juga membahas
rencana penyelenggaraan kegiatan Seminar Nasional dan Call For
Paper Tahun 2017 sebagai salah satu upaya penjaringan naskah-
naskah berkualitas untuk diterbitkan dalam BILP.
Policy Dialogue Series untuk Perbaikan Kemudahan BerusahaBadan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BPPP)
bekerjasama dengan Australia Indonesia Partnership for Economic
Governance (AIPEG) menyelenggarakan Policy Diaogue Series
(PDS) dengan tema “Upaya Meningkatkan Posisi Indonesia dalam
Ranking Ease of Doing Business” di Hotel Grand I Batam pada hari
Kamis, 6 Oktober 2016. Acara yang dibuka oleh
Kepala BPPP ini menghadirkan narasumber
utama Vera Kobalia, Mantan Menteri
Ekonomi Georgia yang saat ini menjadi
International Doing Business Advisor dari
AIPEG. Selain itu dalam acara ini juga
disampaikan penjelasan tentang Manfaat
Paket Kebijakan Ekonomi bagi dunia
usaha di Batam oleh Kasan Muhri, Staf
Ahli Mendag bidang Hubungan Internasional
selaku PIC dari Kelompok Kerja I Satuan Tugas
Percepatan dan Efektivitas Pelaksanaan Kebijakan Ekonomi.
Page 34
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 3534 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016
Sumber: Dinas Perindag, diolah Ditjen PDN
NO KOMODITI SATUAN 2016 Agustus Rata2 Prbhn
Minggu Okt Okt-Sep
2016 (%)
1 Beras Medium Kg 10.804 10.895 10.889 10.704 10.599 10.578 10.543 10.570 10.601 10.643 10.652 0,48
2 Gula Pasir Kg 13.106 13.129 13.054 13.188 14.835 15.866 16.266 15.715 14.830 14.481 14.510 (2,15)
3 Minyak Goreng Kemasan Ltr 15.065 14.949 14.857 14.891 14.964 15.023 14.902 14.857 14.935 14.975 14.974 0,26
4 Minyak Goreng Curah Ltr 10.365 10.458 10.631 11.092 11.425 11.528 11.304 11.361 11.713 11.618 11.730 0,15
5 Daging Sapi Kg 111.040 112.698 112.868 112.482 112.909 115.070 115.344 114.282 114.131 113.476 113.515 (0,54)
6 Daging Ayam Broiler Kg 34.087 31.729 29.813 29.140 30.513 32.300 33.326 32.377 31.041 30.092 30.211 (2,68)
7 Daging Ayam Kampung Kg 61.933 61.197 60.919 60.206 60.306 62.507 64.652 64.002 63.765 63.188 63.237 (0,83)
8 Telur Ayam Ras Kg 25.538 24.585 22.787 22.153 22.664 24.021 23.698 23.646 22.937 22.471 22.514 (1,85)
9 Telur Ayam Kampung Kg 42.514 42.370 41.925 41.795 41.667 42.075 41.613 42.028 43.626 43.949 43.945 0,73
10 Susu Kental Manis 397g 10.269 10.208 10.236 10.248 10.288 10.323 10.321 10.342 10.375 10.442 10.439 0,62
11 Tepung Terigu Kg 9.079 9.080 9.096 9.036 8.989 9.021 9.027 9.000 8.961 8.977 8.957 (0,05)
12 Kedelai Impor Kg 11.038 10.998 10.998 10.908 10.903 10.778 10.774 10.659 10.606 10.616 10.609 0,03
13 Kedelai lokal Kg 11.032 11.036 11.079 11.030 11.073 11.176 11.151 11.150 11.149 11.064 11.087 (0,56)
14 Mie Instant Bngks 2.207 2.255 2.293 2.302 2.311 2.318 2.322 2.330 2.337 2.340 2.339 0,07
15 Cabe Merah Keriting Kg 32.430 32.653 44.333 32.210 31.045 30.819 32.438 33.405 37.745 42.140 38.491 1,98
16 Cabe Merah Besar Kg 32.567 36.758 45.801 32.498 31.302 31.438 31.833 31.952 36.987 40.661 37.197 0,57
17 Cabe Rawit Merah Kg 40.629 33.778 49.276 35.698 34.657 34.833 40.253 44.529 37.790 32.469 32.371 (14,34)
18 Bawang Merah Kg 35.483 30.958 38.741 43.529 42.646 38.057 43.176 41.248 40.359 36.306 37.120 (8,03)
19 Bawang Putih Kg 29.542 30.827 34.564 37.337 37.400 37.293 37.754 36.281 36.684 36.287 36.485 (0,54)
20 Ikan Teri Asin Kg 68.536 69.430 70.679 71.210 71.337 72.096 72.894 73.034 73.012 71.293 72.218 (1,09)
21 Kacang Hijau Kg 21.067 20.878 20.913 20.947 21.057 21.213 21.265 21.443 21.145 20.590 20.744 (1,90)
22 Kacang Tanah Kg 25.368 24.862 24.894 25.114 25.179 26.268 26.744 26.648 26.242 25.525 25.637 (2,31)
23 Ketela Pohon Kg 5.422 5.501 5.506 5.524 5.601 5.774 5.831 5.821 5.845 5.635 5.646 (3,41)
24 Jagung Pipilan Kg 6.759 7.241 7.232 7.218 7.153 7.129 7.207 7.172 7.133 7.139 7.129 (0,05)
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Mg II
DATA STATISTIK PERDAGANGAN
PERKEMBANGAN HARGA RATA-RATA BARANG KEBUTUHAN POKOK
DAN BARANG JENIS LAINNYA SECARA NASIONAL
SELAMA BULAN JANUARI SAMPAI DENGAN 10 OKTOBER 2016
Page 35
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 3534 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016
NERACA PERDAGANGAN INDONESIA
PERIODE : JANUARI 2016 - AGUSTUS 2016*
No. Uraian Nilai (USD Juta) Jan-Ags Perubahan %
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Ags* 2015 2016* 16/15
Sumber : BPS (diolah PDSI, Setjen Kementerian Perdagangan) Catatan : *) Angka Sementara
NERACA PERDAGANGAN INDONESIA
PERIODE 2011-2016
No. URAIAN Nilai : Juta USD JAN - JUL Perub Tren
2011 2012 2013 2014 2015 2015 2016 16/15 (%) 11-15(%)
I. Ekspor 203.496,6 190.020,3 182.551,8 175.980,0 150.366,3 64.911,0 56.592,8 -12,81 -6,59
- Migas 41.477,0 36.977,3 32.633,0 30.018,8 18.574,4 8.552,2 5.310,3 -37,91 -16,60
- Non Migas 162.019,6 153.043,0 149.918,8 145.961,2 131.791,9 56.358,8 51.282,5 -9,01 -4,50
II. Impor 177.435,6 191.689,5 186.628,7 178.178,8 142.694,8 60.971,3 53.898,7 -11,60 -4,96
- Migas 40.701,5 42.564,2 45.266,4 43.459,9 24.613,2 10.519,4 6.927,4 -34,15 -9,38
- Non Migas 136.734,0 149.125,3 141.362,3 134.718,9 118.081,6 50.451,9 46.971,3 -6,90 -3,87
III. Total Perdagangan 380.932,2 381.709,7 369.180,5 354.158,8 293.061,1 125.882,3 110.491,5 -12,23 -5,82
- Migas 82.178,6 79.541,4 77.899,4 73.478,7 43.187,5 19.071,5 12.237,7 -35,83 -12,77
- Non Migas 298.753,6 302.168,3 291.281,1 280.680,1 249.873,5 106.810,8 98.253,8 -8,01 -4,22
IV. Neraca 26.061,1 -1.669,2 -4.076,9 -2.198,8 7.671,5 3.939,7 2.694,2 -31,61 -
- Migas 775,5 -5.586,9 -12.633,3 -13.441,1 -6.038,8 -1.967,2 -1.617,1 17,80 -
- Non Migas 25.285,5 3.917,7 8.556,4 11.242,3 13.710,3 5.906,9 4.311,2 -27,01 -1,69
Sumber : BPS (diolah PDSI, Setjen Kementerian Perdagangan)
I Ekspor 10.480,6 11.312,0 11.810,0 11.475,9 11.514,3 12.974,4 9.530,8 12.632,3 102.616,9 91.730,3 -10,61
- Migas 1.108,0 1.113,3 1.239,3 891,8 957,9 1.187,3 998,7 1.128,0 12.944,8 8.624,3 -33,38
- Non Migas 9.372,6 10.198,7 10.570,7 10.584,1 10.556,4 11.787,1 8.532,1 11.504,3 89.672,1 83.106,0 -7,32
II Impor 10.467,0 10.175,6 11.301,7 10.813,6 11.140,7 12.095,2 9.017,2 12.338,7 96.430,6 87.349,7 -9,42
- Migas 1.221,5 1.122,9 1.552,4 1.362,1 1.668,5 1.772,2 1.506,4 1.755,7 17.499,3 11.961,7 -31,64
- Non Migas 9.245,5 9.052,7 9.749,3 9.451,5 9.472,2 10.323,0 7.510,8 10.583,0 78.931,3 75.388,0 -4,49
III Total Perdagangan 20.947,6 21.487,7 23.111,7 22.289,5 22.655,0 25.069,6 18.548,0 24.971,0 199.047,5 179.080,0 -10,03
- Migas 2.329,6 2.236,2 2.791,7 2.253,9 2.626,4 2.959,5 2.505,1 2.883,7 30.444,1 20.586,0 -32,38
- Non Migas 18.618,0 19.251,5 20.320,0 20.035,6 20.028,6 22.110,1 16.042,9 22.087,3 168.603,4 158.494,0 -6,00
IV Neraca 13,6 1.136,4 508,3 662,3 373,6 879,2 513,6 293,6 6.186,3 4.380,6 -29,19
- Migas -113,5 -9,6 -313,1 -470,3 -710,6 -584,9 -507,7 -627,7 -4.554,5 -3.337,4 -26,72
- Non Migas 127,1 1.146,0 821,4 1.132,6 1.084,2 1.464,1 1.021,3 921,3 10.740,8 7.718,0 -28,14
Page 36
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 PB36 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016
EKSPOR - IMPOR INDONESIA,
2O11 - 2O16 (JANUARI-JULI)(Nilai : Juta USD)
225.000.00
200.000.00
175.000.00
150.000.00
125.000.00
100.000.00
75.000.00
50.000.00
25.000.00
0.0 2011 2012 2013 2014 2015 2015 (Jan-Jul) 2016 (Jan-Jul)
Ekspor 203.496,6 190.020,3 182.551,8 175.978,5 150.366,3 89.890,9 79.098,0
Impor 177.435,6 191.689,5 18.628,7 178.178,8 142.692,8 84.031,3 7.011,0
(Nilai : Juta USD)
30.000,0
25.000,0
20.000,0
15.000,0
10.000,0
5.000,0
0.0
-5.000,0
-10.000,0
-15.000,0
NERACA PERDAGANGAN INDONESIA,
2O11 - 2O16 (JANUARI-JULI)
Sumber : BPS (2015), diolah PDSI, Setjen Kementerian Perdagangan
Sumber : BPS (2015), diolah PDSI, Setjen Kementerian Perdagangan
2011 2012 2013 2014 2014 2015 (Jan-Jul) 2016 (Jan-Jul)
Migas 775,5 -5.586,9 -12.633,3 -13.441,1 -6.038,8 -3.977,3 -2.709,6
Non Migas 25.285,5 3.917,7 8.556,4 11.240,8 13.712,3 9.836,9 6.796,6
36 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016