Top Banner
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 1 Daftar Isi Dari Redaksi Daya Saing Produk Ekspor Indonesia di Pasar Jepang Periode Pra dan Pasca IJ-EPA Berita Pendek Perdagangan Serba - Serbi Statistik Perdagangan Halaman 26 Halaman 33 Halaman 34 Hal. 2 Hal. 11 Hal. 5 Meningkatkan Kinerja Perdagangan Tekstil dan Produk Tekstil Indonesia di Amerika Serikat Melalui TPP Berdasarkan data Euromonitor International (2016), penjualan pakaian jadi di Indonesia selama periode 2010-2015 tumbuh 11,4% per tahun. Nilai penjualan pakaian jadi tahun 2015 mencapai Rp 102,1 triliun. Peningkatan kebutuhan pakaian jadi di pasar domestik ini harus dimanfaatkan produsen dalam negeri dengan sebaik- baiknya. Meningkatnya volume impor pakaian jadi menjadi indikasi bahwa pasar Indonesia memang sangat potensial. Jangan sampai pasar domestik untuk kebutuhan primer didominasi oleh produk-produk impor. Hal. 14 Indonesia, di antara Amerika Serikat dan RRT Amerika Serikat (AS) telah dikenal sebagai negara adidaya yang memiliki perekonomian terbesar dunia selama kurang lebih sepuluh dekade terakhir. Namun demikian, saat ini dunia mulai diguncang dengan kemunculan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) sebagai salah satu negara dengan perekonomian terkuat dunia yang telah mengambil alih posisi Amerika Serikat sebagai negara dengan GDP terbesar dunia atas dasar Puchasing Power Parity (PPP). Bagi Indonesia, kedua negara memiliki peran penting bagi kinerja perdagangan luar negeri baik ekspor maupun impor. Lalu, ke arah mana ekonomi Indonesia lebih condong di masa depan? Indonesia dan Jepang telah menyepakati Perjanjian Kerjasama berupa Indonesia-Japan Economic Partnership (IJEPA) pada tahun 2007 dan berlaku efektif satu tahun setelahnya. Sejak tahun 2013 perjanjian tersebut memasuki tahap reviu dan belum ada langkah pasti Pemerintah Indonesia untuk kelanjutan kerjasama ini. Salah satu poin penting dalam masa reviu tentu saja dengan melihat kembali bagaimana daya saing produk ekspor Indonesia di pasar Jepang. Pasar daging sapi di Indonesia menggiurkan bagi siapa saja untuk masuk, terutama bagi pemain baru untuk ikut memperoleh kesempatan memasarkan daging sapi. Bagaimana dengan kondisi persaingan bisnis daging sapi di Indonesia, apakah terbuka untuk para pemain baru untuk masuk? Jawabannya tentu saja tidak. Salah satu alasannya adalah adanya sistem kuota yang ditetapkan oleh pemerintah menyebabkan hanya beberapa pemain lama saja yang bisa memperoleh izin impor (dengan kuota yang ada). Hal. 8 Industri Pulp and Papers (Pulp dan Kertas) adalah salah satu penyumbang devisa dalam sektor industri kehutanan. Sayangnya, industri ini sedang mengalami penurunan kinerja. Salah satu masalah yang dihadapi industri tersebut adalah harga gas yang dirasakan masih relatif tinggi. Untuk mendorong peningkatan daya saing maka industri ini memerlukan adanya insentif energi berupa penurunan harga gas. Insentif Energi untuk Industri Pulp dan Kertas adalah bergabungnya pasar tujuan ekspor TPT Indonesia seperti Amerika Serikat dan Jepang ke dalam Trans-Pacific Partnership (TPP). TPP dianggap memberika keistimewaan bagi sektor industri teksti, bahkan tekstil dan produk tekstil ini diatur secara khusus pada chapter tersendiri dalam perjanjian. Lalu, bagaimana melihat kemungkinan gabungnya Indonesia di TPP dalam kerangka peningkatan kinerja TPT Indonesia di pasar Amerika Serikat? Daging Sapi dan Distorsi Pasar di Indonesia Hal. 18 Reviu Pertumbuhan Ekonomi dan Kontribusi Sektor Perdagangan Indonesia (Triwulan 2-2016) Badan Pusat Statistik (BPS) merilis laju pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan 2 tahun 2016 tumbuh 5,18% year-on- year (YoY) dibandingkan dengan triwulan yang sama pada tahun 2015. Laju pertumbuhan ekonomi ini lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan 2 tahun 2014 dan 2015. Ada dua hal yang menjadi catatan dari laju pertumbuhan ekonomi ini, yaitu pertumbuhan sektor bukan- ril dan kontribusi pengeluaran konsumsi rumah tangga. Hal. 22 Bagi Indonesia, Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) memiliki peranan penting pada perekonomian nasional. Namun, pada akhir tahun 2015 industri TPT mengalami banyak tekanan yang mengakibatkan turunnya kinerja perdagangan dan turunnya daya saing produk TPT. Salah satu isu penting dalam industri TPT Pemanfaatan Potensi Pasar Domestik Pakaian Jadi
36

Daftar Isi - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Isi_Warta_12_Nov_FINAL.pdf · impor (dengan kuota yang ada). Hal. 8 Industri Pulp and Papers (Pulp dan Kertas)

Mar 06, 2019

Download

Documents

vodieu
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Daftar Isi - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Isi_Warta_12_Nov_FINAL.pdf · impor (dengan kuota yang ada). Hal. 8 Industri Pulp and Papers (Pulp dan Kertas)

WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 1PB WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016

Daftar IsiDari Redaksi

Daya Saing Produk Ekspor Indonesia di Pasar Jepang

Periode Pra dan Pasca IJ-EPA

Berita Pendek Perdagangan

Serba - Serbi

Statistik Perdagangan

Halaman 26

Halaman 33

Halaman 34

Hal. 2

Hal. 11

Hal. 5

Meningkatkan Kinerja Perdagangan Tekstil dan Produk Tekstil

Indonesia di Amerika Serikat Melalui TPP

Berdasarkan data Euromonitor International (2016), penjualan pakaian jadi di Indonesia selama periode 2010-2015 tumbuh 11,4% per tahun. Nilai penjualan pakaian jadi tahun 2015 mencapai Rp 102,1 triliun. Peningkatan kebutuhan pakaian jadi di pasar domestik ini harus dimanfaatkan produsen dalam negeri dengan sebaik-baiknya. Meningkatnya volume impor pakaian jadi menjadi indikasi bahwa pasar Indonesia memang sangat potensial. Jangan sampai pasar domestik untuk kebutuhan primer didominasi oleh produk-produk impor.

Hal. 14Indonesia, di antara

Amerika Serikat dan RRT

Amerika Serikat (AS) telah dikenal sebagai negara adidaya yang memiliki perekonomian terbesar dunia selama kurang lebih sepuluh dekade terakhir. Namun demikian, saat ini dunia mulai diguncang dengan kemunculan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) sebagai salah satu negara dengan perekonomian terkuat dunia yang telah mengambil alih posisi Amerika Serikat sebagai negara dengan GDP terbesar dunia atas dasar Puchasing Power Parity (PPP). Bagi Indonesia, kedua negara memiliki peran penting bagi kinerja perdagangan luar negeri baik ekspor maupun impor. Lalu, ke arah mana ekonomi Indonesia lebih condong di masa depan?

Indonesia dan Jepang telah menyepakati Perjanjian Kerjasama berupa Indonesia-Japan Economic Partnership (IJEPA) pada tahun 2007 dan berlaku efektif satu tahun setelahnya. Sejak tahun 2013 perjanjian tersebut memasuki tahap reviu dan belum ada langkah pasti Pemerintah Indonesia untuk kelanjutan kerjasama ini. Salah satu poin penting dalam masa reviu tentu saja dengan melihat kembali bagaimana daya saing produk ekspor Indonesia di pasar Jepang.

Pasar daging sapi di Indonesia menggiurkan bagi siapa saja untuk masuk, terutama bagi pemain baru untuk ikut memperoleh kesempatan memasarkan daging sapi. Bagaimana dengan kondisi persaingan bisnis daging sapi di Indonesia, apakah terbuka untuk para pemain baru untuk masuk? Jawabannya tentu saja tidak. Salah satu alasannya adalah adanya sistem kuota yang ditetapkan oleh pemerintah menyebabkan hanya beberapa pemain lama saja yang bisa memperoleh izin impor (dengan kuota yang ada).

Hal. 8

Industri Pulp and Papers (Pulp dan Kertas) adalah salah satu penyumbang devisa dalam sektor industri kehutanan. Sayangnya, industri ini sedang mengalami penurunan kinerja. Salah satu masalah yang dihadapi industri tersebut adalah harga gas yang dirasakan masih relatif tinggi. Untuk mendorong peningkatan daya saing maka industri ini memerlukan adanya insentif energi berupa penurunan harga gas.

Insentif Energi untuk Industri Pulp dan Kertas

adalah bergabungnya pasar tujuan ekspor TPT Indonesia seperti Amerika Serikat dan Jepang ke dalam Trans-Pacific Partnership (TPP). TPP dianggap memberika keistimewaan bagi sektor industri teksti, bahkan tekstil dan produk tekstil ini diatur secara khusus pada chapter tersendiri dalam perjanjian. Lalu, bagaimana melihat kemungkinan gabungnya Indonesia di TPP dalam kerangka peningkatan kinerja TPT Indonesia di pasar Amerika Serikat?

Daging Sapi dan Distorsi Pasar di

Indonesia

Hal. 18 Reviu Pertumbuhan Ekonomi dan Kontribusi

Sektor Perdagangan Indonesia

(Triwulan 2-2016)Badan Pusat Statistik (BPS) merilis laju

pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan 2 tahun 2016 tumbuh 5,18% year-on-year (YoY) dibandingkan dengan triwulan yang sama pada tahun 2015. Laju pertumbuhan ekonomi ini lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan 2 tahun 2014 dan 2015. Ada dua hal yang menjadi catatan dari laju pertumbuhan ekonomi ini, yaitu pertumbuhan sektor bukan-ril dan kontribusi pengeluaran konsumsi rumah tangga.

Hal. 22

Bagi Indonesia, Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) memiliki peranan penting pada perekonomian nasional. Namun, pada akhir tahun 2015 industri TPT mengalami banyak tekanan yang mengakibatkan turunnya kinerja perdagangan dan turunnya daya saing produk TPT. Salah satu isu penting dalam industri TPT

Pemanfaatan Potensi Pasar Domestik

Pakaian Jadi

Page 2: Daftar Isi - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Isi_Warta_12_Nov_FINAL.pdf · impor (dengan kuota yang ada). Hal. 8 Industri Pulp and Papers (Pulp dan Kertas)

WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 32 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016

Septika Tri Ardiyanti

Amerika Serikat (AS) telah dikenal sebagai negara adidaya

yang memiliki perekonomian terbesar di dunia selama kurang lebih

sepuluh dekade terakhir (Visual Capitalist, 2015). Namun, saat

ini dunia mulai diguncang dengan kemunculan Republik Rakyat

Tiongkok (RRT) sebagai salah satu negara dengan perekonomian

terkuat dunia yang telah mengambil alih posisi Amerika Serikat

sebagai negara dengan Gross Domestic Product (GDP) terbesar

dunia atas dasar Purchasing Power Parity (PPP). Berdasarkan

data yang dikeluarkan oleh International Monetary Fund (IMF),

RRT mulai berhasil menggeser posisi Amerika Serikat pada tahun

2014, dimana RRT berhasil menyumbangkan 16,5% terhadap total

GDP dunia, sementara pangsa Amerika Serikat sebesar 15,9%.

Bahkan, gap kontribusi kedua negara tersebut terhadap GDP

dunia diprediksi terus melebar. Pada tahun 2019, pangsa RRT

terhadap GDP dunia diperkirakan meningkat hingga mencapai

18,9%, sementara pangsa Amerika Serikat terhadap GDP dunia

diprediksi relatif stagnan bahkan cenderung menurun mencapai

15,1% (Gambar 1) (World Economic Outlook, April 2016).

ISU PERDAGANGAN

Indonesia, di antara

Gambar 1. Kontribusi Amerika Serikat dan RRT terhadap Total GDP Dunia.Keterangan: *) Angka prediksi

Sumber: World Economic Outlook (2016)

GDP per kapita Amerika Serikat pada tahun 2015 mencapai

USD 55.805,20 masih jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan

RRT yang hanya mencapai USD 7.989,72. Meskipun GDP per

kapita AS lebih unggul dibandingkan RRT, namun pertumbuhan

perekonomian RRT selama beberapa tahun terakhir menunjukkan

pertumbuhan yang sangat gemilang. Terbukti, di tahun 2015, pada

saat perekonomian global menunjukkan pelemahan, RRT tetap

mampu tumbuh 7,0% (YoY), sementara AS hanya tumbuh 2,9%.

Bahkan, hingga kuartal I 2016, pada saat RRT merubah kebijakan

perekonomiannya dengan menggeser mesin pertumbuhannya dari

manufaktur ke sektor jasa, RRT tetap tumbuh 6,7%, sementara

AS justru hanya berada dikisaran 2,0% (Trading Economics, 2016

dan Kompas, 2016).

Tabel 1. Perbandingan GDP RRT dan Amerika Serikat

Indikator RRT US

GDP Per kapita (USD) 2015 7.989,72 55.805,20

GDP Atas Dasar Harga Berlaku

(USD Miliar) 2015 10.982,83 17.947,00

Pangsa GDP Terhadap Total Dunia 2015,

berdasarkan PPP (%) 17,08 15,81

Pertumbuhan Ekonomi 2015, YoY (%) 7,00 2,90

Sumber: World Economic Outlook (2016) dan Trading Economics (2016)

Dengan kondisi yang terjadi saat ini, tidak heran apabila kedua

negara tersebut dijuluki sebagai “Two Giant Economies in the

world”. Meroketnya pertumbuhan dan ekspansi ekonomi RRT

secara besar-besaran, tentu membuat Amerika Serikat mulai

merasa terusik. Aroma persaingan kedua negara untuk terus

memperkuat pengaruhnya melalui hubungan kerjasama dibidang

ekonomi dan bisnis di negara lain khususnya negara-negara di

Amerika Serikat dan RRT

Page 3: Daftar Isi - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Isi_Warta_12_Nov_FINAL.pdf · impor (dengan kuota yang ada). Hal. 8 Industri Pulp and Papers (Pulp dan Kertas)

WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 32 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016

kawasan ASEAN semakin terasa. Hal ini karena negara ASEAN

memiliki posisi yang strategis, khususnya dengan jumlah penduduk

sebesar 625 juta jiwa di tahun 2013 dan kawasan ASEAN yang

terintegrasi melalui implementasi Masyarakat Ekonomi ASEAN

(MEA) pada akhir 2015 lalu, posisi dan daya tawar negara-negara

ASEAN juga semakin meningkat (ASEAN Sekretariat, 2016).

Sebagai salah satu negara anggota ASEAN yang menyumbang

hampir 40% dari total penduduk ASEAN dan kekayaan alam

yang melimpah, Indonesia tak pelak juga menjadi incaran bagi

dua raksasa ekonomi dunia tersebut untuk dapat meningkatkan

hubungan kerjasamanya termasuk di bidang perekonomian.

Indonesia dan RRT memang saat ini telah memiliki kerjasama di

bidang perdagangan dengan adanya perjanjian perdagangan

bebas bersama negara ASEAN lainnya melalui ASEAN-China

Free Trade Agreement (ACFTA) yang mulai diimplementasikan

pada tahun 2010. Sejak implementasi ACFTA tersebut, praktis

hubungan perdagangan Indonesia dan RRT semakin intensif

dengan pengenaan tarif bea masuk sebesar 0% untuk barang

RRT yang akan memasuki wilayah Indonesia dan sebaliknya.

Selain ACFTA, hubungan ekonomi antara Indonesia dan RRT akan

semakin terintegrasi dengan adanya Regional Comprehensive

Economic Partnership (RCEP). RCEP adalah perjanjian yang

digagas pada keketuaan Indonesia di ASEAN di tahun 2012 yang

bertujuan untuk mengintegrasikan perdagangan ASEAN dengan 6

negara mitra dagangnya antara lain: RRT, Jepang, Korea Selatan,

India, Selandia Baru dan Australia (Kemenlu, 2016).

Apabila RRT telah terlebih dahulu melakukan pendekatan

hubungan ekonomi dengan negara ASEAN termasuk Indonesia

dengan ACFTA dan juga melalui skema perjanjian regional

RCEP, maka Amerika Serikat kemudian muncul dengan Trans

Pacific Partnership (TPP). TPP dinilai sebagai mega regional

trade agreement karena melibatkan banyak negara di kawasan

Samudera Pasifik. Perjanjian TPP sendiri telah ditandatangani oleh

12 negara anggota pada tanggal 4 Februari 2016 di Auckland,

New Zealand. Negara anggota TPP tersebut antara lain: Amerika

Serikat, New Zealand, Australia, Chile, Peru, Singapura, Brunei

Darussalam, Vietnam, Malaysia, Meksiko, Kanada dan Jepang.

Dari 12 negara anggota, terdapat empat negara anggota ASEAN

yaitu Singapura, Brunei Darussalam, Vietnam, dan Malaysia yang

telah menjadi anggota TPP.

TPP sering disebut sebagai tandingan pengaruh ekonomi

RRT dan juga tandingan Regional Comprehensive Economic

Partnership (RCEP). Beberapa literatur seperti Cai (2011)

menyatakan bahwa Amerika Serikat sepertinya menggunakan

TPP sebagai alat yang menjadi bagian dari strategi Asia-Pasifiknya

untuk menandingi RRT. Berbeda dengan TPP, RCEP sendiri saat

ini justru masih menghadapi proses perundingan yang cukup alot

meskipun telah memasuki putaran ke-10. Hal tersebut terlihat

dari adanya perpanjangan masa penyelesaian perundingan yang

semula dijadwalkan pada tahun 2015 diperpanjang menjadi akhir

tahun 2016 (Bisnis Indonesia, 2016). TPP sendiri mulai cukup

kuat diperbincangkan ketika Presiden Joko Widodo melakukan

kunjungan kenegaraan ke Amerika Serikat pada bulan Oktober

tahun 2015 lalu. Di dalam negeri, masih banyak terdapat pro

dan kontra terkait apakah Indonesia perlu untuk ikut serta dalam

TPP di tengah kondisi perekonomian dunia sedang mengalami

ketidakpastian dan ketidakstabilan ataukah lebih memilih untuk

tidak bergabung dan mendekatkan diri dengan RRT.

Posisi Amerika Serikat dan RRT Bagi Perdagangan Luar Negeri Indonesia

Bagi Indonesia, kedua negara memiliki peran penting terhadap

kinerja perdagangan luar negerinya baik ekspor maupun impor.

Secara total, kedua negara tersebut menyumbang sebesar 23,3%

dari total perdagangan luar negeri Indonesia di sepanjang tahun

2015. Pangsa total perdagangan luar negeri Indonesia dengan

AS dan RRT telah mengalami perubahan dalam kurun waktu satu

dekade terakhir. Pada periode sebelum tahun 2007, Indonesia

lebih banyak berdagang dengan AS dibandingkan dengan RRT.

Hal tersebut terlihat dari besarnya pangsa perdagangan Indonesia-

AS terhadap total perdagangan luar negeri Indonesia, meskipun

beda antara AS dan RRT tidak terlalu besar. Pada tahun 2007,

RRT berhasil mengungguli AS sebagai negara mitra dagang utama

Indonesia, dengan demikian Indonesia lebih banyak melakukan

perdagangan dengan RRT dibandingkan dengan AS.

Perbedaan pangsa perdagangan luar negeri Indonesia-RRT dan

Indonesia-AS terlihat semakin melebar sejak diimplementasikannya

perjanjian perdagangan bebas ACFTA di tahun 2010. Hingga kuartal

I 2016, perdagangan Indonesia-RRT menyumbang sebesar 16,0%,

sementara Indonesia-AS hanya memberikan kontribusi sebanyak

8,2%. Dengan demikian secara total perdagangan, ekspor dan

impor Indonesia lebih banyak terkait dengan perdagangan RRT

dibandingkan dengan AS (Gambar 2).

Namun demikian, besarnya perdagangan antara Indonesia-RRT

ternyata justru memberikan tekanan pada neraca perdagangan

Indonesia khususnya pada sektor non migas. Di kuartal I 2016,

RRT menjadi negara penyumbang terbesar defisit Indonesia di

sektor non migas, dengan nilai defisit mencapai USD 4,3 miliar.

Berbanding terbalik dengan RRT, Amerika Serikat justru menjadi

negara penyumbang surplus perdagangan non migas terbesar

Indonesia dengan nilai mencapai USD 2,0 miliar. Dengan kata lain,

besarnya perdagangan Indonesia-RRT lebih disebabkan karena

kinerja impor Indonesia dari RRT yang besar dibandingkan dengan

ekspor Indonesia ke RRT. Sementara itu, kinerja perdagangan

Indonesia dengan Amerika Serikat meskipun secara nilai masih

berada di bawah RRT, namun justru memberikan dampak positif

bagi neraca perdagangan Indonesia (Gambar 3).

Page 4: Daftar Isi - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Isi_Warta_12_Nov_FINAL.pdf · impor (dengan kuota yang ada). Hal. 8 Industri Pulp and Papers (Pulp dan Kertas)

WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 54 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016

Gambar 2. Pangsa Perdagangan Indonesia- AS dan Indonesia-RRT terhadap Total Perdagangan Luar Negeri Indonesia.Sumber: BPS (2016), diolah

Gambar 3. Neraca Perdagangan Non Migas Indonesia Kuartal I 2016.Sumber: Puska Daglu, BPPP Kementerian Perdagangan (2016)

Amerika Serikat dan RRT juga menjadi negara tujuan ekspor

utama non migas Indonesia. Selama 2011-2016 (Q I), AS dan RRT

tidak pernah keluar dari tiga besar negara tujuan utama dan menjadi

pasar penting produk non migas Indonesia. RRT menduduki

peringkat ke-1 negara tujuan ekspor non migas Indonesia pertama

kali pada tahun 2011, menggeser Jepang. Di tahun 2015, Amerika

Serikat berhasil menggantikan RRT untuk menduduki peringkat

pertama negara tujuan ekspor non migas Indonesia. Hal tersebut

sejalan dengan langkah-langkah reformasi yang dilakukan RRT

dengan mengubah kebijakan perdagangan dari manufaktur ke jasa

(Tabel 2).

Tabel 2. Posisi AS dan RRT sebagai Negara Tujuan Ekspor Non Migas Indonesia

Tahun Amerika Serikat RRT Nilai (USD Juta) Peringkat Nilai (USD Juta) Peringkat

2011 15.684,2 3 21.595,6 12012 14.590,9 3 20.864,1 12013 15.081,9 3 21.281,6 12014 15.857,0 2 16.459,1 12015 15.306,6 1 13.259,6 2Q I 2016 3.628,4 1 2.840,1 3

Sumber: BPS (2016), diolah

Tabel 3. Posisi AS dan RRT sebagai Negara Asal Impor Non Migas Indonesia

Tahun Amerika Serikat RRT Nilai (USD Juta) Peringkat Nilai (USD Juta) Peringkat

2011 10.697,0 3 25.456,4 12012 11.468,9 3 28.962,0 12013 8.873,9 5 29.570,5 12014 8.102,4 5 30.461,6 12015 7.550,8 5 29.224,8 1Q I 2016 1.618,6 5 7.129,6 1

Sumber: BPS (2016), diolah

Di sisi impor non migas, selama 2011-2015, RRT selalu

menduduki peringkat pertama negara asal impor non migas

Indonesia. RRT mulai pertama kali menduduki peringkat ke-1

negara asal impor non migas Indonesia pada tahun 2006 setelah

berhasil menggeser Jepang. Posisi RRT sebagai negara asal impor

diprediksi akan semakin kuat mengingat saat ini pemerintah banyak

melakukan kerjasama di bidang infrastruktur dengan pemerintah

RRT. Di sisi lain, AS justru mengalami penurunan peringkat dari

posisi 3 pada 2012, kemudian bergeser di posisi ke 5 di 2013

hingga Kuartal I (Q 1) 2016.

surplus bagi Indonesia, sementara RRT juga merupakan pasar

ekspor utama sekaligus negara asal impor utama terhadap barang-

barang yang dibutuhkan di dalam negeri termasuk bahan baku

industri. Oleh karena itu, perlu kehati-hatian untuk menentukan

apakah Indonesia “akan lebih condong” ke Amerika Serikat yang

ditunjukkan dengan hasrat kuat untuk bergabung dalam TPP atau

justru memilih “lebih dekat” dengan RRT dengan memperbanyak

kerjasama secara intensif yang sudah terjalin di bidang investasi

khususnya pada pembangunan proyek-proyek infrastruktur

pemerintah. Lebih lanjut, kerjasama regional RCEP yang juga

melibatkan RRT dan ASEAN, diprediksi akan memberikan pengaruh

yang lebih besar bagi perekonomian dunia dibandingkan dengan

TPP. Melendez-Ortiz (2014) menyatakan bahwa RCEP akan

berpengaruh pada lebih dari 30% perekonomian dunia, sementara

TPP diestimasi akan berdampak pada 26% perekonomian dunia.

Namun demikian, perekonomian dua negara baik AS dan RRT

ke depan masih mengalami ketidakpastian dan ketidakstabilan,

terlebih setelah Inggris memutuskan untuk keluar dari Uni Eropa

pasca dilakukannya referendum pada 23 Juni 2016 lalu (Koran

Sindo, 2016).

Secara umum, apabila hanya dilihat dari sisi perdagangan

luar negeri maka kedua negara memiliki posisi yang kuat bagi

Indonesia. Amerika Serikat menjadi pasar utama dan penyumbang

Page 5: Daftar Isi - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Isi_Warta_12_Nov_FINAL.pdf · impor (dengan kuota yang ada). Hal. 8 Industri Pulp and Papers (Pulp dan Kertas)

WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 54 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016

Insentif Energi untuk Industri

Pulp dan KertasNurozy

Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan berupa Peraturan

Presiden (Perpres) No. 40 tahun 2016 tentang Penetapan Harga

Gas Bumi. Dalam Perpres tersebut (Pasal 3 ayat 1) disebutkan

bahwa dalam hal Harga Gas Bumi tidak dapat memenuhi nilai

keekonomian industri pengguna Gas Bumi dan Harga Gas Bumi

lebih tinggi dari USD 6/mmbtu, Menteri Energi dan Sumber Daya

Mineral (ESDM) dapat menetapkan Harga Gas Bumi Tertentu.

Penetapan Harga Gas Bumi Tertentu diperuntukkan bagi pengguna

Gas Bumi yang bergerak di bidang industri pupuk, industri petro

kimia, industri olechemical, industri baja, industri keramik, industri

kaca, serta industri sarung tangan karet.

Kebijakan yang diluncurkan oleh pemerintah tersebut

merupakan realisasi dari janji pemerintah yang tertuang dalam

Paket Kebijakan Ekonomi Jilid III bulan Oktober 2015. Tujuan

kebijakan tersebut adalah untuk mendorong percepatan

pertumbuhan ekonomi dan peningkatan daya saing industri

nasional melalui pemanfaatan Gas Bumi serta untuk menjamin

efisiensi dan efektifitas pengaliran Gas Bumi.

Dalam beberapa tahun terakhir terdapat beberapa industri

yang mengalami penurunan daya saing sehingga mengalami

penurunan ekspor (Kompas.com, 2016). Beberapa industri

tersebut diantaranya adalah industri Pulp and Papers (Pulp dan

Kertas) yang merupakan penyumbang devisa dalam sektor

industri kehutanan. Salah satu masalah yang dihadapi industri

tersebut adalah harga gas yang dirasakan masih relatif tinggi.

Untuk mendorong peningkatan daya saing, industri ini memerlukan

adanya insentif energi berupa penurunan harga gas.

Kondisi Industri Pulp dan KertasPulp dan Kertas merupakan produk industri yang memiliki

potensi untuk dikembangkan di Indonesia karena prospeknya

cukup baik. Potensi tersebut bisa dilihat dari beberapa aspek.

Pertama, tingkat konsumsi di dalam negeri yang cenderung

meningkat meskipun saat ini masih relatif rendah dibandingkan

dengan konsumsi di negara-negara Asia Tenggara lainnya.

Menurut Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI), konsumsi

kertas di dalam negeri baru sekitar 30 kg per kapita per tahun,

sedangkan konsumsi di negara-negara Asia Tenggara rata-rata

mencapai 55-60 kg per kapita per tahun. Permintaan pulp dan

kertas juga cenderung meningkat di pasar luar negeri. Kebutuhan

dunia terhadap kertas mengalami peningkatan 2,1% per tahun,

dimana untuk negara-negara berkembang pertumbuhannya

mencapai 4,1% dan negara maju pertumbuhannya sebesar 0,5%

per tahun. Pada tahun 2020 kebutuhan kertas dunia diperkirakan

mencapai 490 juta ton (APKI, 2014).

Faktor eksternal yang dapat mendorong pertumbuhan industri

pulp dan kertas adalah tingginya konsumsi di dunia. Beberapa

negara yang konsumsi kertasnya relatif tinggi adalah Amerika

Serikat (324 kg), Belgia (295 kg), Denmark (270 kg), Kanada (250

kg), dan Jepang (242 kg) (Kementerian Perindustrian, 2013). Faktor

internal yang juga dapat menjadi pendorong pertumbuhan industri

pulp dan kertas adalah belum optimalnya tingkat utilisasi industri,

yaitu rata-rata 51,90% pada tahun 2013. Berdasarkan data

Kementerian Perindustrian (2016), kinerja utilisasi industri pulp dan

kertas selama 2010-2013 menunjukkan penurunan sebesar 5,45%

(Tabel 1). Beberapa faktor diduga menjadi penyebab penurunan

tersebut, diantaranya menurunnya daya beli pasar domestik dan

melemahnya perekonomian global.

Tabel 1. Kinerja Utilisasi Industri Pulp dan Kertas Tahun 2013 (%)

Kinerja Utilisasi Industri Pulp dan Kertas tahun 2013

Sumber: Kemenperin (2016)

Sementara itu, menurut data BPS (2016) selama periode 2013

dan 2014 terjadi peningkatan produksi pada industri Kertas dan

Barang dari Kertas, Percetakan dan Reproduksi Media Rekaman

masing-masing sebesar 6,19% dan 6,12%, sedangkan pada

Page 6: Daftar Isi - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Isi_Warta_12_Nov_FINAL.pdf · impor (dengan kuota yang ada). Hal. 8 Industri Pulp and Papers (Pulp dan Kertas)

WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 76 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016

tahun 2015 terjadi penurunan kinerja produksi sebesar 1,84%.

Menurut data Kementerian Perindustrian tahun 2016, produksi

pulp sebesar 6,9 juta ton, sedangkan produksi kertas mencapai

11,8 juta ton, dan diperkirakan produksi pulp akan menjadi 10 juta

ton pada tahun 2017 dan produksi kertas meningkat menjadi 17

juta ton.

Indonesia juga memiliki sumber daya alam, khususnya kayu,

yang melimpah untuk mendorong pertumbuhan industri pulp dan

kertas. Untuk mendorong pertumbuhan industri pulp dan kertas

pada tahun 2017 dibutuhkan bahan baku kayu sebesar 45 juta

meter kubik, yang berarti terjadi peningkatan sebesar 27,5%

dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 35,3 juta meter kubik.

Industri pulp dan kertas juga merupakan industri yang mampu me-

nyerap banyak tenaga kerja. Berdasarkan data Kementerian Per-

industrian (2016) pada tahun 2013 terdapat 475 unit usaha pulp

dan kertas yang menyerap sebanyak 133.106 orang dengan nilai

tambah mencapai Rp 58,9 miliar. Industri pulp and kertas tidak

tergantung dari pasokan bahan baku dari impor karena sebagian

besar kebutuhan bahan bakunya banyak dipasok dari dalam negeri

yaitu sebesar 85,39%, sedangkan pasokan bahan baku dari impor

hanya 14,61%.

Kinerja Ekspor dan Daya Saing Industri Pulp dan KertasSelama periode 2011-2015, volume ekspor pulp dan kertas

mengalami peningkatan sebesar 1,75% per tahun, sedangkan

nilainya mengalami penurunan sebesar 1,98% per tahun. Dari

sisi volume, ekspor meningkat dari 5,9 juta ton pada tahun 2011

menjadi 6,3 juta ton pada tahun 2015, sedangkan nilai ekspornya

menurun dari USD 4,4 miliar menjadi USD 3,9 miliar pada periode

yang sama. Penurunan nilai ekspor ini disebabkan oleh penurunan

harga pulp di pasar internasional. Pada tahun 2015 terjadi penu-

runan harga pulp di pasar internasional dari USD 876,91/MT pada

tahun 2014 menjadi USD 875/MT (Bank Dunia). Kinerja ekspor pulp

dan kertas selama periode 2011-2015 bisa dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kinerja Ekspor Pulp dan Kertas, 2011-2015

Uraian 2011 2012 2013 2014 2015 Tren (%)

Nilai (Miliar USD) 4,4 4,2 4,2 4,2 3,9 -1,98

Volume (Juta Ton) 5,9 6,2 6,7 6,5 6,3 1,75

Sumber: BPS (2016)

Negara tujuan ekspor utama pulp dan kertas Indonesia adalah

Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dengan nilai pada tahun 2015

mencapai USD 1,2 miliar, diikuti oleh Jepang USD 0,4 miliar, Korea

Selatan USD 0,3 miliar, India USD 0,2 miliar, Malaysia USD 0,2

miliar, Vietnam USD 0,1 miliar, Bangladesh USD 0,1 miliar dan

Amerika Serikat USD 0,1 miliar. Dari beberapa negara tujuan ekspor

utama tersebut hanya tiga negara yang mengalami pertumbuhan

positif selama periode 2011-2015, yaitu RRT, Bangladesh dan

Amerika Serikat dengan pertumbuhan masing-masing sebesar

7,17%, 9,67% dan 7,61% per tahun.

Apabila melihat kinerja daya saing, pulp dan kertas Indonesia

di pasar global berdasarkan data Comtrade, peringkat daya saing

pulp Indonesia di pasar global cenderung meningkat selama

periode beberapa tahun terakhir, sedangkan peringkat daya saing

kertas mengalami fluktuasi. Pada tahun 2010 peringkat daya saing

pulp menduduki peringkat ke 17, meningkat menjadi peringkat ke-

13 pada tahun 2014. Sementara itu peringkat daya saing kertas

pada tahun 2010 berada pada posisi ke-5, menurun menjadi

peringkat ke-9 pada tahun 2014.

Tabel 3. Peringkat Daya Saing Pulp dan Kertas Indonesia Di Pasar Global

Uraian 2010 2011 2012 2013 2014

Pulp 17 16 15 14 13Kertas 5 10 8 11 9

Sumber: UN COMTRADE (2016)

Saat ini Indonesia menduduki posisi ke-9 dalam produksi pulp

dan posisi ke-8 dalam produksi kertas dunia. Secara keseluruhan

produk pulp dan kertas telah menyumbang 90% dari total

penerimaan ekspor produk kehutanan pada tahun 2015, yaitu

sebesar Rp 9,86 miliar (Kontan.co.id, 2016). Sebenarnya industri

dalam negeri telah mampu memasok kebutuhan nasional, akan

tetapi ternyata masih terdapat impor dengan pertumbuhan nilai

impor sebesar 0,67% per tahun dan pertumbuhan volume impor

sebesar 4,55% pada periode 2011-2015.

Insentif Energi bagi Industri Pulp dan KertasAgar produk pulp dan kertas nasional bisa bersaing dengan

produk impor, maka perlu dilakukan efisiensi produksi terutama

yang terkait dengan penggunaan energi. Energi yang digunakan

dalam industri pulp dan kertas adalah solar, batubara, listrik PLN,

listrik non PLN, gas, minyak tanah, dan bahan bakar lain.

Berdasarkan hasil kajian Kementerian Perindustrian tahun

2012 mengenai Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri

Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi, penggunaan gas

sebagai salah satu sumber energi dalam industri pulp dan kertas

dengan skenario akselerasi dan penghematan akan mengalami

peningkatan dari 16,68 juta mmbtu pada tahun 2015 menjadi

25,80 juta mmbtu pada tahun 2020. Kendala yang dihadapi dalam

penggunaan gas sebagai salah satu sumber energi industri pulp

dan kertas menurut APKI (2007) adalah masih mahalnya harga

gas di dalam negeri, padahal harga gas di pasar internasional

mengalami penurunan.

Page 7: Daftar Isi - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Isi_Warta_12_Nov_FINAL.pdf · impor (dengan kuota yang ada). Hal. 8 Industri Pulp and Papers (Pulp dan Kertas)

WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 76 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016

Menurut data Bank Dunia (2016), harga gas di Amerika Serikat,

Eropa dan Jepang dalam beberapa tahun terakhir cenderung

menurun sebagaimana terlihat pada Gambar 1. Penurunan yang

signifikan terjadi pada tahun 2015, dimana harga gas di Amerika

Serikat, Eropa dan Jepang mencapai angka terendah selama

5 tahun terkahir, yakni masing-masing 10,40 USD/mmbtu, 7,26

USD/mmbtu, dan 2,61 USD/mmbtu.

Gambar 1. Perkembangan Harga Gas di Pasar Internasional.Keterangan: mmbtu = One Million British Thermal Units

Sumber: Bank Dunia (2016)

Sementara itu, GlobalPetrolPrice.com merilis data harga gas di

beberapa negara, dimana harga gas per 25 April 2016 lebih rendah

dibandingkan dengan Indonesia. Harga gas terendah adalah harga

di Kuwait yaitu 0,22 USD/liter atau kurang dari setengah harga gas

di Indonesia sebesar 0,59 USD/liter. Adapun harga gas di beberapa

negara lainnya adalah sebagai berikut: Saudi Arabia 0,25 USD/liter;

Turkmenistan 0,29 USD/liter; Algeria 0,30 USD/liter; Qatar 0,37

USD/liter; Iran 0,41 USD/liter; UAE 0,41 USD/liter; Oman 0,42

USD/liter; Kazakhstan 0,42 USD/liter; Bahrain 0,44 USD/liter; dan

Malaysia 0,44 USD/liter.

Hasil kajian Kementerian Perindustrian tahun 2012 juga

menunjukkan bahwa apabila menggunakan skenario akselerasi

dengan efisiensi setelah menggunakan teknologi pengering yang

lebih efisien, maka akan diperoleh penghematan energi sebesar

20-30% yang nilainya pada tahun 2020 diperkirakan mencapai Rp

68,94 triliun. Nilai penghematan tersebut tentunya akan meningkat

lagi apabila harga gas di dalam negeri dapat diturunkan.

Berdasarkan pada fakta-fakta tersebut, maka upaya

peningkatan daya saing industri pulp dan kertas perlu dilakukan.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah memberikan insentif

untuk penurunan harga gas mengingat terjadi penurunan harga

gas di pasar internasional. Dalam Paket Kebijakan Ekonomi Jilid

III, pemerintah telah menjanjikan akan menurunkan harga gas.

Dengan demikian, perlu dipertimbangkan untuk memasukkan

industri pulp dan kertas dalam kategori industri pengguna gas

bumi tertentu sehingga bisa ikut merasakan manfaat dari paket

kebijakan tersebut.

Page 8: Daftar Isi - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Isi_Warta_12_Nov_FINAL.pdf · impor (dengan kuota yang ada). Hal. 8 Industri Pulp and Papers (Pulp dan Kertas)

WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 98 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016

Meningkatkan Kinerja Perdagangan Tekstil dan Produk Tekstil Indonesia di Amerika Serikat

Melalui TPPWibowo Kurniawan dan Arie Mardiansyah

Isu Trans-Pacific Partnership (TPP) semakin hangat dibicarakan

akhir-akhir ini. Berdasarkan data CIA Factbook (2016) dan Trade

Map (2016), TPP menjadi sangat menarik karena mencakup 38%

Gross Domestic Product (GDP) global dan 26% nilai perdagangan

dunia. Isu ini banyak menimbulkan pro dan kontra terkait apakah

Indonesia harus bergabung atau tidak di dalam kerangka

kerjasama perdagangan tersebut. Pada satu sisi, pelaku usaha

di dalam negeri dianggap tidak siap karena konsekuensi yang

memberatkan jika ketentuan TPP tersebut diimplementasikan

di Indonesia. Di lain pihak, 12 negara telah bergabung ke dalam

TPP dan diperkirakan akan diikuti oleh negara-negara lainnya. Ada

kekhawatiran Indonesia akan tertinggal oleh negara-negara yang

telah lebih dulu bergabung ke dalam TPP. Dengan memilih berada

di luar TPP, Indonesia akan kehilangan daya saingnya dan tidak

mampu bergabung ke dalam Global Value Chain (GVC) atau rantai

nilai global untuk mendapatkan akses pasar yang lebih baik ke

negara-negara anggota TPP tersebut.

Dalam kerjasama TPP, Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) diatur

secara khusus pada Chapter 4 mengenai Textiles and Apparel.

Terdapat lebih dari 150 pos tarif yang diatur dalam chapter ini

dengan merujuk kepada penggolongan barang menurut sistem

harmonisasi tahun 2007. Namun, aturan Rules of Origin (ROO)

merupakan hal yang perlu menjadi catatan khusus bagi para

pemangku kebijakan dan pelaku usaha di Indonesia. TPP mengatur

bahwa jika dan hanya jika memenuhi ketentuan ROO ini produk dari

suatu negara dapat menikmati tarif dan fasilitas perdagangan yang

diatur di dalamnya. Hal terpenting terkait dengan ROO dalam TPP

adalah TPT akan dianggap sebagai asal dari negara anggota jika

berat total dari semua bahan-bahan pembuatnya yang berasal dari

negara non-anggota tidak lebih dari sepuluh persen dari berat total

produk akhir. Hal ini berarti TPP akan mendorong negara-negara

anggota agar meningkatkan perdagangan intra-regionalnya untuk

memenuhi regional value content dan mendorong terciptanya value

chain sesama negara anggota TPP.

Saat ini, GVC menjadi semakin berpengaruh dalam menentukan

perdagangan di masa depan. GVC dianggap mampu untuk

mengintegrasikan ekonomi dunia dengan biaya yang lebih rendah

melalui pemilihan negara yang sumber dayanya paling efisien

sebagai basis produksi. Dengan kata lain, besarnya ekspor suatu

negara sangat dipengaruhi oleh seberapa besar keikutsertaan

produsen di negara tersebut di dalam GVC. Hal ini dikarenakan

pembeli besar dengan skala global sangat menentukan di mana

suatu produk akan diproduksi. Pembeli biasanya menggunakan

model “outsourcing” karena tidak memiliki pabrik sendiri dan

secara signifikan mempengaruhi bagaimana GVC tersebut

dilaksanakan dan difungsikan. Namun demikian, manfaat GVC

dapat bervariasi tergantung pada apakah suatu negara beroperasi

di tingkatan yang tinggi atau pada tingkatan rendah pada rantai

nilai tersebut, terutama bagi negara-negara berkembang yang

menjadi basis produksi seperti Indonesia. Oleh karena itu, fasilitas

perdagangan dan investasi menjadi faktor penentu bagi suatu

negara untuk dapat meningkatkan partisipasinya ke dalam GVC,

termasuk keikutsertaan ke dalam kerangka kerjasama seperti TPP

untuk meningkatkan partisipasi ke dalam intra-regional value chain.

Di Indonesia, Industri TPT memiliki peranan penting pada

perekonomian nasional. Industri ini memberikan kontribusi yang

cukup signifikan sebagai penyumbang pendapatan devisa negara,

penyerapan tenaga kerja, dan pemenuhan kebutuhan sandang

masyarakat Indonesia. Berdasarkan data Badan Koordinasi

Penanaman Modal (BKPM), industri tekstil dan sepatu mampu

menyerap 81.000 tenaga kerja, serta dari total investasi telah

mempekerjakan 638.000 orang pada semester pertama tahun

2015. Selain itu pada tahun 2014, realisasi investasi pada industri

tekstil Indonesia telah mencapai Rp 9,53 triliun atau tumbuh 9,4%

dibandingkan tahun 2013. Bahkan Menteri Perindustrian Saleh

Husein menyatakan dari sisi ekspor, industri TPT telah mencapai USD

12,68 miliar dengan surplus neraca perdagangan mencapai USD 4,21

miliar atau kontribusi ekspor sebesar 11,22% terhadap total ekspor

industri nasional secara keseluruhan (Investor Daily, 2014).

Pada akhir tahun 2015 industri TPT mengalami banyak tekanan

yang mengakibatkan turunnya kinerja perdagangan dan turunnya

daya saing produk TPT. Mahalnya tarif listrik, melemahnya daya

beli masyarakat, rendahnya produktivitas tenaga kerja menjadi

faktor penghambat perkembangan industri TPT di Indonesia

(Bunga Rampai Info Komoditi Pakaian Jadi, 2015). Masalah lain

yang dihadapi oleh industri TPT yang juga mempengaruhi daya

saing adalah masih tingginya tarif bea masuk negara-negara

tujuan ekspor. Hal ini harus diatasi, salah satunya adalah dengan

Page 9: Daftar Isi - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Isi_Warta_12_Nov_FINAL.pdf · impor (dengan kuota yang ada). Hal. 8 Industri Pulp and Papers (Pulp dan Kertas)

WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 98 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016

mengurangi biaya ekspor, terutama dari tarif bea masuk negara-

negara tujuan ekspor utama produk TPT Indonesia. Bea masuk

ke suatu negara dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan dengan

membuat suatu perjanjian kerjasama perdagangan antar negara

yang bersangkutan, seperti TPP. Salah satu keuntungan menjadi

anggota TPP adalah mendapatkan preferensi tarif 0% bagi seluruh

anggotanya untuk semua produk yang diperdagangkan.

Pentingnya Pasar Amerika Serikat bagi IndonesiaDi antara negara anggota TPP, Amerika Serikat masih

menjadi pasar tujuan ekspor utama yang sangat penting bagi

Indonesia, dengan total nilai ekspor pada akhir tahun 2015

mencapai USD 20 miliar. Pada tahun 2015, lebih dari 26% dari

total ekspor Indonesia ke Amerika Serikat berupa produk tekstil

dan pakaian jadi dengan nilai mencapai USD 5,41 miliar. Dalam arti

kata lain, sekitar 40% dari total ekspor TPT asal Indonesia ke dunia

ditujukan untuk pasar Amerika Serikat (UN COMTRADE, 2016).

Perkembangan impor TPT di Amerika Serikat juga terus

mengalami kenaikan dalam lima tahun terakhir. Pada tahun 2010,

total impor Amerika Serikat dari dunia tercatat sebesar USD

99,8 miliar dan terus meningkat menjadi USD 119,6 miliar pada

tahun 2015 atau naik sebesar 20%. Sayang sekali, kinerja ekspor

Indonesia sebagai pemasok pakaian jadi ke Amerika Serikat hanya

stagnan sejak 2011, yaitu berkisar pada angka USD 4,4 miliar

hingga tahun 2015 dan masih jauh tertinggal dibandingkan dengan

negara Asia lainnya seperti Republik Rakyat Tiongkok (RRT),

Bangladesh, Vietnam, dan India (UN COMTRADE, 2016).

Saat ini tarif yang dikenakan pada TPT asal Indonesia oleh

Amerika Serikat masih cukup tinggi. Hal ini berdampak pada

bertambah tingginya harga TPT Indonesia di Amerika Serikat

sehingga menurunkan daya saing produk secara keseluruhan.

Pada Tabel 1, bisa dilihat bahwa komposisi dari ekspor TPT

Indonesia ke Amerika Serikat didominasi oleh HS 61 dan HS 62

(produk pakaian jadi dan aksesoris ) dengan pengenaan tarif yang

cukup tinggi, yaitu di atas 10%. Selain tarif yang tinggi, angka

pertumbuhan ekspor Indonesia ke Amerika Serikat dari produk-

produk pakaian jadi dan aksesoris tersebut juga rendah yaitu -2%

untuk HS 61 dan 1,2% untuk HS 62, padahal angka pertumbuhan

impor Amerika Serikat dari dunia akan produk tersebut positif.

Karena produk pakaian jadi, aksesoris rajut dan non rajut (HS 61

dan 62) memiliki pangsa sebesar 93% dari total ekspor Indonesia

ke Amerika Serikat, maka bisa disimpulkan bahwa saat ini tarif

yang dikenakan pada seluruh produk pakaian jadi asal Indonesia

oleh Amerika Serikat masih cukup tinggi.

Pada sisi lain, perkembangan ekspor Vietnam ke Amerika Serikat

terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Ekspor Vietnam

ke Amerika Serikat pada tahun 2010 adalah sebesar USD 6,3

miliar dan terus meningkat menjadi USD 11,3 miliar pada tahun

2015. Dengan kata lain, ekspor Vietnam meningkat sebesar 79%

antara tahun 2010 hingga tahun 2015 (UN COMTRADE, 2016).

Kinerja ekspor Vietnam pada tahun 2015 telah berhasil menguasai

pangsa sebesar 9,4% dari total impor Amerika Serikat untuk TPT.

Oleh karena itu, penetrasi Vietnam yang sangat agresif ini perlu

dicermati serius oleh para pemangku kepentingan dalam rangka

mengamankan pasar utama Indonesia di Amerika Serikat.

Persaingan dalam Pasar Amerika SerikatKhusus untuk perdagangan ekspor TPT, Amerika Serikat

merupakan pasar ekspor potensial yang sangat besar dibandingkan

dengan negara-negara TPP lainnya. Total nilai impor produk TPT

dari Amerika Serikat sebesar USD 119,6 miliar pada tahun 2015

dengan angka pertumbuhan per tahun sebesar 2,7% sejak 2011.

Tabel 1. Komposisi Tarif Produk Tekstil dan Pakaian Jadi Indonesia (HS 50-63) di Amerika Serikat Tahun 2015

HS Label Pangsa Pertumbuhan Pertumbuhan Tarif Ekspor Ekspor Impor USA50 Sutra 0,00 -42,6 -10,1 0,251 Wol, bulu hewan, benang bulu kuda dan kain daripadanya 0,00 -38,5 2,3 652 Katun 0,01 -4,9 -3,8 7,653 Serat tekstil organik, benang kertas, kain tenun 0,00 -4,0 3,4 0,654 Filamen Buatan 0,00 1,1 0,6 9,855 Serat stapel buatan 0,02 -10,3 1,0 8,556 Gumpalan kapas, felt, bukan tenunan, benang, benang pintal, dll 0,00 31,6 6,2 1,657 Karpet dan penutup lantai tekstil lainnya 0,00 -9,3 7,5 1,458 Tenunan khusus atau kain berumbai, renda, permadani dll 0,00 -1,9 2,0 7,759 Kain tekstil diresapi, dilapisi atau dilaminasi 0,00 -4,8 3,8 3,160 Rajutan atau kain kaitan 0,00 -13,3 5,8 11,161 Artikel dari pakaian, aksesoris, rajutan atau berenda 0,51 -2,0 3,2 14,462 Artikel dari pakaian, aksesoris, bukan rajutan atau renda 0,44 1,1 1,5 10,863 Artikel lain terbuat dari tekstil, set, pakaian dll 0,01 -0,1 4,6 7,7

Sumber: Trade Map (2016), diolah.

Page 10: Daftar Isi - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Isi_Warta_12_Nov_FINAL.pdf · impor (dengan kuota yang ada). Hal. 8 Industri Pulp and Papers (Pulp dan Kertas)

WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 1110 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016

Perbandingan Daya Saing Relatif Produk TPT Indonesia dan

Vietnam (2011)

Perbandingan Daya Saing Relatif Produk TPT Indonesia dan

Vietnam (2014)

Gambar 1. Perbandingan Daya Saing Relatif TPT Indonesia dan Vietnam di Dunia.Sumber: Trade Map (2016), diolah.

Sumber: Trade Map (2016), diolah.

Gambar 2. Impor Tekstil dan Pakaian Jadi Amerika dari Indonesia, Vietnam dan Dunia, 2011-2015 (USD Miliar).

agar bisa mendapatkan preferensi yang sama dengan Vietnam,

khususnya untuk memenuhi persyaratan regional value content

sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan perdagangan

sesama negara TPP.

Saat ini Indonesia hanya mampu memenuhi kebutuhan impor

Amerika Serikat akan pakaian jadi sebesar 4,5%, sedangkan

Vietnam jauh lebih unggul dengan pangsa pasar sebesar 9,4% dari

total impor TPT Amerika Serikat. Oleh sebab itu, Indonesia perlu

segera mencari solusi untuk mampu bertahan dan memenangkan

pangsa pasar TPT di Amerika Serikat.

Dalam persaingan sesama negara produsen TPT, Vietnam

dianggap sebagai pesaing utama Indonesia di ASEAN. Vietnam

merupakan salah satu negara anggota TPP yang kinerja ekspornya

terus meningkat beberapa tahun terakhir, bahkan sebelum negara

tersebut tergabung dalam TPP. Vietnam memperoleh keuntungan

dari perdagangan ekspor pakaian jadi karena negara tersebut

mampu memproduksi dengan biaya yang rendah, dimana

karakteristik biaya produksi sangat ditentukan oleh keterampilan

dan keahlian tenaga kerja manusia. Wang (2013) menyebutkan

bahwa rasio produktivitas terhadap upah tenaga kerja di

Vietnam lebih baik dibandingkan dengan negara Asia lainnya.

Hal inilah yang menyebabkan daya saing Vietnam dianggap

lebih baik dibandingkan dengan negara Asia lainnya termasuk

Indonesia. Lebih murahnya biaya produksi pakaian jadi membuat

Vietnam memperoleh keuntungan atau manfaat lebih besar dari

perdagangan ekspor pakaian jadi dan keikutsertaannya dalam

GVC dibandingkan dengan Indonesia.

TPP dipastikan akan mengubah pola perdagangan TPT

di kawasan tersebut guna memenuhi persyaratan regional

value content di mana di dalamnya terdapat Vietnam yang juga

merupakan negara produsen terbesar TPT di Asia. Masuknya

Vietnam menjadi negara anggota TPP, merupakan ancaman bagi

industri TPT Indonesia karena produk sejenis asal Vietnam akan

semakin unggul terutama dalam hal tidak adanya tarif dan fasilitas

perdagangan ke pasar Amerika Serikat.

Seperti yang ditampilkan pada Gambar 1, pada 2011 daya

saing TPT Indonesia sebagian besar berada di bawah Vietnam,

kecuali untuk produk serat Staple buatan (HS 55). Pada tahun

2014 tidak banyak perubahan, sebagian besar TPT Indonesia

masih berada di bawah Vietnam termasuk produk pakaian jadi

dan aksesoris (HS 61 dan 62) yang merupakan produk ekspor

utama Indonesia ke Amerika Serikat. Hanya daya saing dari produk

filamen buatan (HS 54) yang mampu tumbuh dan berada di atas

daya saing produk yang sama dari Vietnam. Oleh karena itu, tidak

mengherankan jika Vietnam selalu meraih pangsa pasar yang lebih

tinggi dalam ekspor TPT ke Amerika Serikat.

Pada Gambar 2, impor Amerika Serikat dari Indonesia dalam

lima tahun terakhir menurun dan selalu berada di bawah Vietnam,

sebaliknya Impor Amerika Serikat dari Vietnam dan dunia selalu

meningkat dari tahun ke tahun. Oleh karena itu pembenahan

sektor TPT di dalam negeri perlu segera dilakukan dalam rangka

meningkatkan daya saing. Selain itu, keikutsertaan Indonesia

di dalam TPP perlu menjadi pertimbangan penting pemerintah

Meningkatkan Daya SaingPembentukan TPP akan menciptakan suatu sistem

perdagangan baru yang sangat liberal antara negara-negara

anggotanya. Daya saing yang dimiliki oleh setiap produsen dan

produknya akan bertemu dan saling berhadapan, dan pemenang

pasar akan ditentukan oleh pemilik daya saing terbaik di pasar

sasaran. Pertumbuhan ekspor TPT Indonesia ke Amerika Serikat

Page 11: Daftar Isi - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Isi_Warta_12_Nov_FINAL.pdf · impor (dengan kuota yang ada). Hal. 8 Industri Pulp and Papers (Pulp dan Kertas)

WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 1110 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016

yang negatif pada lima tahun terakhir, dan bergabungnya Vietnam

dalam keanggotaan TPP merupakan suatu fakta yang tidak bisa

diabaikan. Vietnam yang selalu unggul dalam daya saing dan

memiliki pangsa pasar di Amerika Serikat lebih besar dari Indonesia

akan semakin diuntungkan dengan segala fasilitas dan kemudahan

yang didapat melalui keanggotaanya di TPP. Indonesia sebaliknya

akan dirugikan dan semakin kehilangan pangsa pasarnya akibat

semakin menurunnya daya saing karena tidak mendapatkan

kemudahan dan fasilitas negara anggota TPP.

Meningkatkan daya saing memang tidak mudah, diperlukan

upaya dari pemerintah dan para pelaku usaha itu sendiri untuk

melakukannya. Mulai dari pengambilan strategi yang tepat untuk

mendukung efektifitas dan efisiensi proses produksi di dalam

negeri, sampai memilih bentuk kerjasama luar negeri yang tepat

dan bermanfaat bagi negara secara keseluruhan. Untuk TPT

Indonesia yang saat ini sangat memerlukan akses ke pasar Amerika

Serikat, sebaiknya pemerintah Indonesia mempertimbangkan

pilihan untuk masuk dan bergabung dalam keanggotaan TPP.

Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ade Sudrajat

Usman mengatakan, tekstil merupakan industri yang paling siap

ketika perjanjian CEPA dan TPP mulai dijajaki. Ade menilai tekstil

adalah salah satu komoditas strategis dengan nilai ekspor dan

potensi penyerapan tenaga kerja yang tinggi. Selanjutnya Ade

menjelaskan, apabila pasar Amerika dan Uni Eropa terbuka,

ekspor akan meningkat, begitu juga dengan produksi dan

penyerapan tenaga kerja. Industri tekstil juga memiliki industri hulu

hingga ke hilir sehingga merasa siap untuk mengikuti ketentuan

dalam TPP (Kontan, 2016). Kajian dari Kementerian Perindustrian

menunjukkan, hanya 31% industri manufaktur yang punya

kemampuan daya saing di pasar bebas sektor industri, antara

lain industri karet, tekstil, makanan dan minuman serta otomotif

(Duniaindustri.com, 2015).

Memang diperlukan banyak persiapan sebelum memutuskan

untuk bergabung dalam TPP, namun Indonesia tidak memiliki

banyak waktu lagi karena persaingan di dunia tidak akan menunggu.

Oleh karena itu untuk mampu bertahan dalam persaingan global,

Indonesia harus bisa cepat bertindak dan mengejar semua

ketertinggalannya dari negara-negara lain di dunia.

Daya Saing Produk EksporIndonesia di Pasar Jepang

Periode Pra dan Pasca IJ-EPASefiani Rayadiani dan Silvi Mustikawati

Bagi Indonesia, Jepang tidak hanya sebagai mitra dagang

utama, melainkan juga merupakan negara pertama

yang menjadi mitra kerjasama perdagangan internasional dalam

kerangka bilateral. Indonesia dan Jepang telah menandatangani

perjanjian kemitraan ekonomi Indonesia-Jepang (Indonesia-Japan

Economic Partnership Agreement atau IJ-EPA) pada tanggal 20

Agustus 2007 dan mulai efektif sejak 1 Juli 2008. Dengan adanya

IJ-EPA, kedudukan Indonesia telah sejajar dengan negara-negara

pesaing di pasar Jepang, terutama yang telah memiliki kerjasama

perdagangan bilateral dengan Jepang, diantaranya adalah

Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand.

IJ-EPA sendiri adalah salah satu bentuk perjanjian kerjasama

perdagangan bebas WTO plus yang meliputi sebelas isu

komprehensif, yaitu: 1) Perdagangan Barang; 2) Perdagangan

Jasa; 3) Prosedur Kepabeanan dan Cukai; 4) Investasi; 5)

Pergerakan Tenaga Kerja; 6) Energi dan Sumber Daya Mineral; 7)

Hak Kekayaan Intelektual; 8) Pengadaan Pemerintah; 9) Kebijakan

Persaingan; 10) Peningkatan Iklim Usaha; dan 11) Kerjasama.

Tujuan IJ-EPA adalah untuk mempererat kemitraan ekonomi di

antara kedua negara, khususnya bagi Indonesia adalah dapat

membuka akses pasar produk Indonesia di pasar Jepang. Di

dalam perjanjian IJ-EPA, pihak Jepang menyatakan komitmennya

akan membantu pihak Indonesia untuk meningkatkan kapasitas

industrinya (capacity building) agar produk/jasanya bisa memenuhi

persyaratan mutu yang dituntut oleh pasar Jepang melalui elemen

perjanjian kerjasama.

Page 12: Daftar Isi - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Isi_Warta_12_Nov_FINAL.pdf · impor (dengan kuota yang ada). Hal. 8 Industri Pulp and Papers (Pulp dan Kertas)

WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 1312 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016

Kinerja Perdagangan Indonesia-Jepang Pra dan Pasca IJ-EPAMeninjau kembali ke periode sebelum diimplementasikannya

IJ-EPA (2004-2007), neraca perdagangan bilateral Indonesia-

Jepang mencatatkan surplus perdagangan yang terus meningkat

bagi Indonesia. Kenaikan surplus perdagangan tersebut dipicu oleh

rata-rata pertumbuhan ekspor migas yang selalu surplus sebesar

11,63% per tahunnya. Pada tahun 2004, surplus perdagangan

bilateral Indonesia-Jepang tercatat sebesar USD 9,9 miliar, dimana

surplus perdagangan migas mencapai USD 7,6 miliar dan surplus

perdagangan non migas mencapai USD 2,3 miliar. Sementara itu,

surplus perdagangan Indonesia dengan Jepang pada tahun 2007

sebesar USD 17,1 miliar, yang terdiri dari surplus migas sebesar USD

10,5 miliar dan defisit non migas sebesar USD 6,6 miliar (Tabel 1).

Sama halnya dengan periode sebelum diterapkannya

IJ-EPA, neraca perdagangan bilateral antara Indonesia dengan

Jepang pada periode pasca IJ-EPA juga masih mencatatkan

surplus perdagangan. Namun demikian, surplus perdagangan

bilateral Indonesia-Jepang selama periode pasca IJ-EPA (2008-

2015) menunjukkan penurunan tiap tahunnya sebesar 10,84%.

Penurunan surplus perdagangan terjadi sepanjang tahun

2008-2015, terkecuali pada tahun 2011. Badan Pusat Statistik

(2016) mencatat setidaknya surplus perdagangan Indonesia-

Jepang pada tahun 2015 sebesar USD 4,8 miliar, dimana

surplus perdagangan migas sebesar USD 4,9 miliar dan defisit

perdagangan non migas sebesar USD 0,1 miliar. Sementara itu,

surplus perdagangan Indonesia-Jepang mencapai USD 1,3 miliar

terdiri dari surplus migas sebesar USD 1,2 miliar dan surplus

non migas sebesar USD 0,1 miliar. Selama periode Januari-Juni

2016 perdagangan bilateral antara Indonesia dengan Jepang

juga membukukan surplus perdagangan sebesar USD 1,58 miliar,

meskipun turun 26,77% dari tahun sebelumnya.

Ekspor Indonesia ke Jepang cenderung mengalami kenaikan

selama periode sebelum adanya IJ-EPA (2004-2007). Ekspor

Indonesia ke Jepang pada tahun 2004 mencapai USD 16,0 miliar

yang terdiri dari ekspor non migas sebesar USD 8,4 miliar dan

ekspor migas USD 7,6 miliar. Sementara itu, ekspor Indonesia

ke Jepang pada tahun 2007 mencapai USD 23,6 miliar dimana

ekspor non migas Indonesia ke Jepang sebesar USD 13,1 miliar,

sedangkan ekspor migas sebesar USD 10,5 miliar (Tabel 1).

Sebaliknya, ekspor Indonesia ke Jepang pasca

diimplementasikannya IJ-EPA (2008-2015) justru menunjukkan

tren negatif sebesar 2,23% per tahun. Pelemahan ekspor Indonesia

ke Jepang pada tahun 2008-2015 dipicu oleh tren pertumbuhan

negatif pada ekspor migas sebesar 6,51% per tahun. Setelah

setahun pelaksanaan IJ-EPA (tahun 2009) ekspor migas Indonesia

ke pasar Jepang justru anjlok sekitar 52,71% dari sebesar USD

13,9 miliar menjadi USD 6,6 miliar. Penurunan ekspor migas pada

tahun tersebut dipicu oleh penurunan harga minyak dunia pada

tahun 2009 dan krisis finansial global. Namun demikian, ekspor

Indonesia ke pasar Jepang mengalami kebangkitan dan mengalami

kenaikan hingga tahun 2011. Akan tetapi, ekspor Indonesia ke Jepang

kembali melemah sejak tahun 2012 karena turunnya pertumbuhan

ekonomi dan permintaan Jepang. Kini, selama enam bulan pertama

di tahun 2016, ekspor Indonesia ke Jepang mencapai USD 14,20

miliar, yang terdiri dari ekspor migas sebesar USD 1,50 miliar dan

ekspor nonmigas sebesar USD 12,70 miliar.

Daya Saing Produk Ekspor Indonesia di Pasar Jepang Periode Pra dan Pasca IJ-EPA

Berdasarkan hasil analisis Export Product Dynamics (EPD)

ditemukan bahwa sebelum pelaksanaan IJ-EPA terdapat sejumlah

komoditas primer Indonesia yang banyak diminati oleh pasar

Jepang dan mampu dipenuhi Indonesia, diantaranya Gas

Petroleum dan Gas Hidrokarbon lainnya (Petroleum Gas), Minyak

Mentah (Crude Petroleum Oils), Batu Bara (Coal, Briquette), Biji

Tembaga dan Konsentratnya (Copper Ores and Concentrates),

dan Mate Nikel (Nickel Mattes). Adapun beberapa produk

manufaktur yang memiliki permintaan yang tinggi di pasar Jepang

dan telah dipasok oleh Indonesia

selama tahun 2001-2007, antara lain

produk Kayu Lapis, Panel Veneer

dan Kayu dilaminasi (Plywood),

Furnitur lainnya dan bagiannya

(Other furniture and parts),

Benang Filamen Sintetik (Syntethic

filam yarn), Instrumen Keyboard

(Keyboard Instrument), Ikan segar

atau dingin (Fish, fresh, whole),

Krustasea (Crustaceans), Benang

Kapas (Cotton Yarn), Benang (selain

benang jahit) dari serat stapel sintetik

(Yarn of synthetic staple fiber) adalah

beberapa produk yang mengalami

Page 13: Daftar Isi - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Isi_Warta_12_Nov_FINAL.pdf · impor (dengan kuota yang ada). Hal. 8 Industri Pulp and Papers (Pulp dan Kertas)

WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 1312 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 20

Gambar 1. Daya Saing Produk Ekspor Indonesia di Pasar Jepang Periode Pra IJ-EPA.

Sumber: UN Comtrade (2016), diolah.

Pasca implementasi IJ-EPA terjadi beberapa pergeseran produk ekspor Indonesia di

pasar Jepang. Sebagai salah satu contoh, produk batu bara (coal, briquette) yang semula

masuk ke dalam kuadran Rising Star pada tahun 2001-2007 (pra IJ-EPA) kini menjadi produk

dalam kuadran Falling Star (Gambar 2). Hal ini dikarenakan terjadi penurunan ekspor batu

bara yang kemungkinan dampak dari diberlakukannya Permendag No. 39/M-

DAG/PER/07/2014 tentang Ketentuan Ekspor Batu Bara dan Produk Batu bara yang

mengharuskan persyaratan Eksportir Terdaftar dan Verifikasi Surveyor dalam pelaksanaan

ekspor batu bara. Untuk beberapa produk lainnya seperti karet, kertas, kabel untuk

kendaraan/pesawat dan roda kendaraan masih menjadi produk Rising Star. Beberapa produk

ekspor Indonesia yang kehilangan pangsa pasar produk di pasar Jepang pasca IJ-EPA adalah

Diodes/Transistors, Kursi Dokter Gigi dan Tukang Cukur (Seat o/t dentists and barbers chairs),

Minyak Bumi bukan mentah (Petroleum Oils, not crude), Generator listrik (Electric motors dan

generators).

Refined copper

Yarn of synth staple fiber

Ammonia

Plywood

Nickel oresNatural rubber

Petroleum Gases

Keyboard instrument

Copper ores & concentrates

Cotton yarnCrustaceans

New pneumatic tyres

Nickel Mattes

Wood continously shapeSynth filam yarn

Other paper

Fish, fresh, whole

Polycateal

Coffee

Coal, briquette

Other furniture & parts

Insulated wire/cables

Petroleum oils

Unwrought alumunium

Crude Petroleum Oils

Seat

TV receivers

Video recording

Electric motors

Petroleum coke

Printing machinery

Automatic data processing

Part suitable for use solely/princ with television

Part & acc. computer

Electronic integrated circuits

-20.00

-10.00

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

70.00

-1.00 -0.80 -0.60 -0.40 -0.20 0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00

Tren

Eks

por I

ndon

esia

ke

Jepa

ng 2

001-

2007

(%)

Revealed Symmetric Comparative Advantage (RSCA) 2001-2007

Lost Opportunity

Retreat

Rising Star

Falling Star

Gambar 1. Daya Saing Produk Ekspor Indonesia di Pasar Jepang Periode Pra IJ-EPA.Sumber: UN Comtrade (2016), diolah.

21

Gambar 2. Daya Saing Produk Ekspor Indonesia di Pasar Jepang Pasca IJ-EPA.

Sumber: UN Comtrade (2016), diolah.

Di kuadran falling star pasca IJ-EPA, meskipun permintaan di pasar Jepang

mengalami peningkatan pasca IJ-EPA, di sisi lain ekspor Bijih tembaga dan konsentratnya dan

Bijih Batu bara dan konsentratnya tidak dapat ditingkatkan lagi ekspornya dikarenakan

pengaturan hilirisasi dalam Permendag No. 119/M-DAG/PER/12/2015 tentang Ketentuan

Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan Pemurnian. Salah satu upaya yang dapat

dilakukan oleh Indonesia untuk meningkatkan ekspor ke pasar Jepang adalah dengan

mempertahankan dan meningkatkan ekspor produk migas maupun non migas yang berada di

kuadran Rising Star dan merebut pangsa pasar ekspor di pasar Jepang. Saat ini pangsa ekspor

produk-produk Indonesia yang berada di kuadran Rising Star masih jauh di bawah 2% di pasar

Jepang sehingga masih berpeluang besar untuk ditingkatkan.

Diodes/transistors

Builders joinery & carpentry wood

Petroleum gasesParts & acces of motor

vehicles Ammonia

Seat o/t dentists & barbers'chairs

Synthetic filam yarnInsulated wire/cablesOther plates & sheets

PolycatelNew pneumatic tyres

CoffeePetroleum gasesElectric motors & generators

Automatic data processingPlywood

TV cameraPetroleum oils, not crude Petroleum cokesCrude petroleum oilsCopper ores & concTV receiversElectronic

integrated circuits Part suitable for use

solely/princ with televisions, recpt app

Refined copperCoal, briquettesCrude petroleum oils Natural rubber, balatta, gutta

-20.00

-15.00

-10.00

-5.00

0.00

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00

30.00

-1.00 -0.80 -0.60 -0.40 -0.20 0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00

Tren

Eks

por I

ndon

esia

ke

Jepa

ng 2

008-

2015

(%)

Revealed Symmetric Comparative Advantage (RSCA) 2008-2015Retreat Falling Star

Losing opportunity Rising Star

Gambar 2. Daya Saing Produk Ekspor Indonesia di Pasar Jepang Pasca IJ-EPA.Sumber: UN COMTRADE (2016), diolah.

peningkatan pangsa ekspor di pasar Jepang, tapi terjadi

penurunan pangsa produk di Jepang selama periode sebelum

pengimplementasian IJ-EPA (Gambar 1).

Pasca implementasi IJ-EPA terjadi beberapa pergeseran

produk ekspor Indonesia di pasar Jepang. Sebagai salah satu

contoh, produk batu bara (coal, briquette) yang semula masuk

ke dalam kuadran Rising Star pada tahun 2001-2007 (pra IJ-

EPA) kini menjadi produk dalam kuadran Falling Star (Gambar

2). Hal ini dikarenakan terjadi penurunan ekspor batu bara yang

kemungkinan dampak dari diberlakukannya Permendag No.

39/M-DAG/PER/07/2014 tentang Ketentuan Ekspor Batu Bara

dan Produk Batu bara yang mengharuskan persyaratan Eksportir

Terdaftar dan Verifikasi Surveyor dalam pelaksanaan ekspor batu

bara. Untuk beberapa produk lainnya seperti karet, kertas, kabel

untuk kendaraan/pesawat dan roda kendaraan masih menjadi

produk Rising Star. Beberapa produk ekspor Indonesia yang

kehilangan pangsa pasar produk di pasar Jepang pasca IJ-EPA

adalah Diodes/Transistors, Kursi Dokter Gigi dan Tukang Cukur

(Seat o/t dentists and barbers chairs), Minyak Bumi bukan mentah

(Petroleum Oils, not crude), Generator Listrik (Electric motors dan

generators).

Di kuadran Falling Star pasca IJ-EPA, meskipun permintaan

di pasar Jepang mengalami peningkatan pasca IJ-EPA, di sisi lain

ekspor Bijih tembaga dan konsentratnya dan Bijih Batu bara dan

konsentratnya tidak dapat ditingkatkan lagi ekspornya dikarenakan

pengaturan hilirisasi dalam Permendag No. 119/M-DAG/

PER/12/2015 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan

Hasil Pengolahan dan Pemurnian. Salah satu upaya yang dapat

dilakukan oleh Indonesia untuk meningkatkan ekspor ke pasar

Jepang adalah dengan mempertahankan dan meningkatkan

ekspor produk migas maupun non migas yang berada di kuadran

Rising Star dan merebut pangsa pasar ekspor di pasar Jepang.

Saat ini pangsa ekspor produk-produk Indonesia yang berada

di kuadran Rising Star masih jauh di bawah 2% di pasar Jepang

sehingga masih berpeluang besar untuk ditingkatkan.

Page 14: Daftar Isi - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Isi_Warta_12_Nov_FINAL.pdf · impor (dengan kuota yang ada). Hal. 8 Industri Pulp and Papers (Pulp dan Kertas)

WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 1514 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016

Pemanfaatan Potensi Pasar Domestik

Pakaian JadiAditya P. Alhayat

Ekspor non migas Indonesia periode Januari-Juni 2016

mengalami penurunan 7,9% dibandingkan Januari-Juni 2015.

Penurunan kinerja ini tentu tidak terlepas dari belum pulihnya

kondisi perekonomian global. Bahkan, International Monetary Fund

(IMF) pada Juli 2016 mengkoreksi pertumbuhan ekonomi dunia

2016 lebih rendah, dari 3,2% menjadi 3,1%. Beberapa komoditas

andalan ekspor Indonesia seperti pakaian jadi (garmen) juga ikut

mengalami penurunan. Realisasi ekspor pakaian jadi Indonesia

ke dunia pada Januari-Mei 2016 mengalami penurunan 1,73%

Year on Year (YoY), sedangkan volume ekspornya turun 3,9% YoY

(BPS, 2016). Produsen garmen tentu harus mensiasati penurunan

permintaan dunia agar penjualannya tetap meningkat. Salah

satunya dengan fokus menggarap pasar garmen domestik yang

terus tumbuh.

Apabila dilihat dari sisi impor, terjadi peningkatan impor pakaian

jadi pada periode Januari-Mei 2016 dibandingkan periode yang

sama tahun lalu. Volume impor pakaian jadi pada Januari-Mei 2016

meningkat 45,0% YoY, sedangkan nilai impornya meningkat 0,2%

YoY (BPS, 2016). Impor pakaian jadi didominasi oleh Republik

Rakyat Tiongkok (RRT) dengan pangsa rata-rata mencapai 72,2%

selama periode 2012-2015. Serbuan produk impor pakaian

jadi asal RRT yang terkenal murah menjadi tantangan produsen

domestik untuk bersaing merebutkan pasar dalam negeri yang

terus meningkat.

Berdasarkan data Euromonitor International (2016), penjualan

pakaian jadi di Indonesia selama periode 2010-2015 tumbuh

11,4% per tahun. Nilai penjualan pakaian jadi tahun 2015 mencapai

Rp 102,1 triliun yang didominasi oleh kategori pakaian dewasa

(pria dan wanita) dengan pangsa 85,7%, diikuti dengan pakaian

anak-anak (10,6%), aksesoris pakaian (2,3%), dan hosiery (1,3%).

Perkembangan pasar pakaian pria dan wanita di Indonesia menarik

untuk dilihat lebih dalam dalam rangka memberikan gambaran

peluang bagi produsen garmen domestik sehingga mampu

menjadi tuan rumah di negara sendiri.

Tren Pakaian WanitaSelama periode 2010-2015, pasar pakaian wanita di Indonesia

mengalami pertumbuhan yang diindikasikan dengan peningkatan

volume penjualan sebesar 4,4% per tahun dan juga nilai penjualan

yang meningkat 13,2% per tahun (Euromonitor International, 2016).

Pada tahun 2015, volume penjualan pakaian wanita mencapai

319,2 juta unit dengan nilai mencapai Rp 50,8 triliun. Meningkatnya

penjualan pakaian wanita, selain karena kebutuhan juga didorong

oleh adanya tren gaya pakaian wanita yang selalu berkembang.

Secara alamiah, wanita memang senang untuk berpenampilan

yang menarik terutama ketika beraktivitas di luar rumah, baik untuk

bekerja maupun bersoasialiasi dengan teman-teman. Bahkan,

banyak wanita Indonesia berupaya untuk menjaga penampilan

mereka saat hamil, terutama perempuan berpenghasilan menengah

atas di kota-kota besar. Selain mempersiapkan kebutuhan bayi

mereka, ibu-ibu hamil juga cenderung menghabiskan lebih

banyak pengeluaran pada pakaian hamil. Oleh karena itu, tidak

mengherankan bila wanita lebih sering untuk membeli beragam

produk pakaian (Euromonitor International, 2016).

Di antara jenis-jenis pakaian wanita sebagaimana disajikan

pada Tabel 1, pakaian luar selain jeans merupakan produk yang

paling banyak terjual baik dari segi nilai maupun volume. Pada

tahun 2015, jumlah pakaian luar selain jeans tercatat terjual 209,9

juta unit dengan nilai mencapai Rp 31,4 triliun. Dibandingkan

tahun 2010, nilai penjualan pakaian wanita kategori ini mengalami

peningkatan hampir dua kali lipat. Apabila dilihat lebih dalam,

kategori kemeja dan blus merupakan kontributor terbesar

penjualan dengan pangsa 17,8% dari nilai penjualan pakaian luar

selain jeans. Berkembangnya tren model pakaian wanita muslimah

dan besarnya jumlah penduduk muslim di Indonesia juga turut

mendorong penjualan pakaian luar wanita selain jeans. Selain itu,

semakin banyaknya penggemar budaya korea yang terpengaruh

melalui musik maupun film juga turut mendongkrak penjualan

pakaian wanita, terutama pakaian bergaya Korea (Euromonitor

International, 2016).

Dari sisi pertumbuhan, penjualan gaun menunjukkan

peningkatan penjualan yang pesat. Selama periode 2010-2015,

Page 15: Daftar Isi - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Isi_Warta_12_Nov_FINAL.pdf · impor (dengan kuota yang ada). Hal. 8 Industri Pulp and Papers (Pulp dan Kertas)

WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 1514 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016

Tabel 1. Penjualan Pakaian Wanita di Indonesia, 2010-2015

Jenis Pakaian Wanita Nilai Penjualan Volume Penjualan Rp Miliar CAGR (%) Juta Unit CAGR (%) 2010 2013 2015 2010-15 2010 2013 2015 2010-15

1. Pakaian Malam Wanita 132,4 166,6 93,3 7,9 2,7 2,8 2,9 1,92. Pakaian Luar Wanita 24.740,3 36.119,3 46.614,0 13,5 202,7 237,0 259,3 5,1 A. Jeans 7.862,7 11.644,7 15.189,5 14,1 38,8 45,3 49,4 5,0 Jeans Ekonomi 690,2 934,6 1,152,6 10,8 7,8 8,9 9,4 3,8 Jeans Standar 6.727,5 9.984,0 13.030,8 14,1 30,3 35,5 38,9 5,1 Jeans Premium 275,0 446,9 620,2 17,7 0,5 0,6 0,7 8,3 Jeans Super Premium 170,0 279,3 385,9 17,8 0,2 0,3 0,4 15,8 B. Pakaian Luar (selain Jeans) 16.877,6 24.474,5 1.424,5 13,2 163,8 191,6 209,9 5,1 Gaun 1.727,4 2.620,1 3.483,7 15,1 8,7 10,9 12,6 7,7 Jaket dan Mantel 345,5 461,9 564,2 10,3 1,9 2,1 2,2 3,5 Jamper 518,2 653,4 788,1 8,7 4,0 4,3 4,5 2,0 Celana Ketat (legging) 518,2 711,3 885,6 11,3 8,6 10,1 11,0 5,1 Kemeja dan Blus 3.154,4 4.415,5 5.587,3 12,1 35,1 39,8 42,9 4,1 Celana 2.591,1 3.795,1 4.893,4 13,6 19,6 23,5 26,0 5,8 Rok 1.727,4 2.405,2 3.023,4 11,8 12,1 14,4 15,8 5,5 Jas 345,5 428,3 506,7 8,0 0,5 0,5 0,5 1,0 Atasan 2.495,1 3.332,9 4.130,1 10,6 41,4 45,6 48,3 3,1 Lainnya 3.454,8 5.650,9 7.561,9 17,0 32,0 40,4 46,0 7,53. Pakaian Renang Wanita 264,8 331,4 399,8 8,6 1,6 1,7 1,7 1,74. Pakaian Dalam Wanita 2.261,8 2.975,1 3623,6 9,9 50,2 53,4 55,3 1,9 Pakaian Wanita (Total) 27.399,3 39.592,4 50.830,6 13,2 257,2 294,8 319,2 4,4

Keterangan: CAGR = Compound Annual Growth RateSumber: Euromonitor International (Feb, 2016)

nilai penjualan gaun meningkat 15,1% per tahun sedangkan

volume penjualannya meningkat 7,7% per tahun. Peningkatan

tersebut menunjukkan bahwa mayoritas wanita Indonesia ingin

tampil feminim dengan memakai gaun. Terlebih lagi, sekarang

telah tersedia gaun dengan merek-merek internasional yang hadir

di kota-kota besar di Indonesia, seperti Zara, Forever 21, dan Pull

& Bear. Selain itu, gaun bermotif batik dengan gaya trendi yang

ditawarkan oleh rumah mode domestik seperti Batik Keris dan

Batik Danar Hadi juga populer digunakan para wanita karier di hari

Jumat serta untuk menghadiri acara-acara pernikahan atau acara

khusus lainnya.

Penguasaan pasar produk pakaian wanita di Indonesia

cenderung terfragmentasi. Berdasarkan data Euromonitor

International (2016), beberapa merek internasional maupun merek

lokal terkemuka memiliki penguasaan pasar tidak lebih dari 2%

(Tabel 2). Wacoal merupakan merek pakaian dalam wanita yang

paling banyak penjualannya dan memiliki pangsa pasar 1,7%.

Tingginya penguasaan pasar Wacoal dibandingkan merek-merek

lainnya karena Wacoal menguasai kurang lebih seperlima pasar

pakaian dalam wanita. Selanjutnya, Zara merupakan merek pakaian

wanita yang relatif banyak penjualannya di Indonesia dengan

pangsa 1,4% di tahun 2015. Dalam hal ini, Zara merupakan merek

terkemuka yang banyak memenangi persaingan kategori pakaian

luar wanita. Sementara itu, gerai pakaian kasual asal Jepang

Uniqlo, yang baru hadir di Indonesia tahun 2013 mencatatkan

perkembangan yang pesat dan mampu meraih pangsa pasar

0,5% di tahun 2015. Produk-produk Uniqlo menawarkan gaya

yang unik namun tetap mengutamakan kenyamanan, kualitas,

dan harga yang terjangkau. Tidak bisa dipungkiri bahwa merek-

merek internasional yang kebanyakan berasal dari impor, populer

dikenakan oleh wanita Indonesia terutama di kota-kota besar yang

memang memiliki penghasilan kelas menengah ke atas1. Merek

pakaian terkenal disukai oleh kebanyakan wanita Indonesia karena

dianggap memiliki kualitas yang baik (Euromonitor International,

2016).

Pasar Pakaian Pria di Indonesia Terus TumbuhPasar domestik pakaian pria cukup prospektif dengan nilai

penjualan yang tiap tahun semakin meningkat. Pada tahun 2015,

nilai penjualan pakaian pria mencapai Rp 36,7 miliar. Selam periode

2010-2015, nilai penjualan pakaian pria di Indonesia tumbuh 9,7%

per tahun. Data tersebut setidaknya mengindikasikan bahwa saat

1 KelasmenengahdiIndonesiaadalahkategoridenganrentangpenghasilanantaraRp2,6jutasampaiRp6jutaperbulan(www.fiscal.co.id),sedangkankelasatasmemilikipenghasilan

lebih tinggi dari kelas menengah.

Page 16: Daftar Isi - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Isi_Warta_12_Nov_FINAL.pdf · impor (dengan kuota yang ada). Hal. 8 Industri Pulp and Papers (Pulp dan Kertas)

WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 1716 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016

ini pria Indonesia telah lebih sadar dan peduli dengan penampilan

mereka, sehingga mereka tidak segan untuk membelanjakan

pendapatannya pada produk perawatan pribadi dan pakaian

berkualitas tinggi. Konsumen pria yang berpenghasilan tinggi,

khususnya kaum urban, biasanya bersedia membayar harga

yang lebih tinggi untuk pakaian yang bermerek internasional agar

terlihat baik di tempat kerja serta untuk meningkatkan kepercayaan

diri mereka. Selain itu, banyak pria lebih memilih untuk memakai

pakaian mahal sehingga memproyeksikan status sosial yang lebih

tinggi (Euromonitor International, 2016).

Meskipun penjualan pakaian pria terus tumbuh, namun

pertumbuhannya masih rendah jika dibandingkan dengan

pertumbuhan penjualan pakaian wanita. Hal ini salah satunya

disebabkan karena banyaknya variasi produk pakaian, merek dan

desain yang tersedia bagi wanita daripada pria. Selain itu, wanita

cenderung menikmati belanja pakaian dan melakukannya lebih

sering daripada laki-laki. Wanita lebih bahagia menghabiskan

uang untuk pakaian dan alas kaki, sedangkan laki-laki cenderung

lebih tertarik untuk membeli gadget dan produk teknologi terbaru

(Euromonitor International, 2016).

Penjualan pakaian pria didominasi oleh kategori pakaian luar

yang mencapai Rp 33,8 miliar atau 92,2% dari total penjualan

pakaian pria di tahun 2015. Hal ini wajar mengingat pria modern

semakin sadar tren mode serta peduli akan penampilan (Tabloid

Nova, Mei 2015). Untuk pakaian luar, kategori celana jeans standar

menempati nilai penjualan tertinggi yang mengindikasikan bahwa

pria lebih suka bergaya kasual. Jeans dapat dipadukan dengan

atasan berupa kaos, kemeja, jas, ataupun jaket. Pria Indonesia

dari segala usia suka memakai celana jeans setiap hari, karena

Tabel 2. Pangsa Penjualan Pakaian Wanita Berdasarkan Merek, 2012-2015 (%)

No. Merek Perusahaan (Pemilik Merek Nasional) 2012 2013 2014 2015

1 Wacoal PT.IndonesiaWacoal 1,7 1,8 1,8 1,7

2 Zara Inditex, Industria de Diseño Textil SA 1 1,3 1,3 1,4

3 Forever Forever21Inc 0,3 0,7 0,7 0,7

4 Sorella PT. Megariamas Sentosa 0,7 0,7 0,7 0,7

5 Harmonie PT. Carrefour Indonesia 0,7 0,6 0,6 0,6

6 Triset PT.BinacitraKharismaLestari 0,5 0,5 0,5 0,5

7 Uniqlo PT. Uniqlo Fast Retailing Indoensia - 0,1 0,4 0,5

8 Contempo PT. Citra Busana Jaya Pertiwi 0,4 0,4 0,4 0,4

9 Triumph Triumph International AG 0,4 0,4 0,4 0,4

10 Giordano PT. Giordano Indonesia 0,3 0,3 0,4 0,4

11 Batik Keris PT. Batik Keris 0,3 0,3 0,3 0,3

12 Pull & Bear Inditex, Industria de Diseño Textil SA 0,3 0,3 0,3 0,3

13 Stradivarius Inditex, Industria de Diseño Textil SA 0,3 0,3 0,3 0,3

14 Lee Cooper PT. Lee Cooper Indonesia 0,3 0,3 0,3 0,3

Lainnya 92.8 92,0 91,6 91,5

Total 100 100 100 100

Sumber: Euromonitor International (Feb, 2016)

memberikan kenyamanan. Pekerja kantor juga cenderung

memakai celana jeans pada “Jumat Kasual”.

Perkembangan nilai penjualan pakaian atasan pria

menunjukkan pertumbuhan tertinggi di tahun 2015. Jenis pakaian

ini dianggap sebagai busana pria dasar dan biasa dipakai sehari-

hari terutama karena iklim tropis Indonesia. Selain itu, harga yang

terjangkau memastikan bahwa kategori ini juga paling banyak

dibeli dibandingkan dengan jenis lainnya. Perkembangan penjualan

celana pria juga meningkat karena mode yang dinamis, terutama

maraknya celana ketat namun nyaman digunakan (slim fit).

Sebagaimana kondisi pasar pakaian wanita, pasar pakaian pria

juga terfragmentasi. Tidak ada merek-merek ternama yang mampu

Page 17: Daftar Isi - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Isi_Warta_12_Nov_FINAL.pdf · impor (dengan kuota yang ada). Hal. 8 Industri Pulp and Papers (Pulp dan Kertas)

WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 1716 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016

di kawasan urban, ingin terlihat menarik dengan memakai mode

pakaian terkini yang disesuaikan dengan aktivitasnya. Membeli

pakain baru tidak harus menunggu momen Lebaran yang

datangnya setahun sekali, namun dapat dilakukan lebih sering

untuk menambah variasi busana. Oleh karena itu, kebutuhan akan

pakaian selalu mengalami peningkatan.

Peningkatan kebutuhan pakaian jadi di pasar domestik harus

dimanfaatkan produsen dalam negeri dengan sebaik-baiknya.

Meningkatnya volume impor pakaian jadi menjadi indikasi bahwa

pasar Indonesia memang sangat potensial. Jangan sampai pasar

Tabel 4. Pangsa Penjualan Pakaian Pria Berdasarkan Merek, 2012-2015 (%)

No. Merek Perusahaan (Pemilik Merek Nasional) 2012 2013 2014 2015

1 GTMan PT.RickyPutraGlobalindoTbk 1,3 1,6 1,8 1,8

2 Giordano PT. Giordano Indonesia 0,4 1,0 1,0 1,0

3 TheExecutive PT.DelamiGarmentIndustries 1,0 1,0 1,0 1,0

4 Watchout PT.BinacitraKharismaLestari 0,8 0,9 0,9 0,9

5 Harmonie PT. Carrefour Indonesia PT 0,8 0,8 0,8 0,8

6 Crocodile PT.SintaPertiwi 0,6 0,7 0,7 0,7

7 Zara Industria de Diseño Textil SA 0,6 0,7 0,7 0,7

8 Rider PT.MuliaKnittingFactory 0,7 0,6 0,6 0,6

9 Levi’s PT. Levi Strauss Indonesia 0,5 0,5 0,6 0,6

10 Contempo PT. Citra Busana Jaya Pertiwi 0,6 0,6 0,6 0,6

11 Lee Cooper PT. Lee Cooper Indonesia 0,3 0,4 0,4 0,4

12 Uniqlo PT. Uniqlo Fast Retailing Indonesia - 0,1 0,3 0,4

13 Wrangler PT. Delami Garment Industries 0,3 0,3 0,4 0,4

14 Adidas PT. Trigaris Sportindo 0,3 0,3 0,3 0,3

Lainnya 91.8 90,5 89,9 89,8

Total 100 100 100 100

Sumber: Euromonitor International (Feb, 2016)

domestik untuk kebutuhan primer didominasi oleh produk-produk

impor. Berdasarkan pembahasan sebelumnya terlihat bahwa

pakaian dengan merek-merek internasional telah banyak masuk ke

pasar Indonesia, namun pangsa penjualannya masih relatif rendah.

Hal ini mengindikasikan bahwa pasar pakaian jadi domestik masih

terbuka lebar, terutama untuk segmen konsumen kelas menengah

ke bawah. Untuk mengisi segmen tersebut, produsen pakaian

jadi domestik dapat mengadopsi model pakaian yang dibuat

oleh merek-merek terkemuka, namun dijual dengan harga yang

terjangkau.

secara mayoritas menguasai pasar produk pakaian pria. GT Man

yang sudah terkenal sebagai merek pakaian dalam pria hanya

mampu mengusai pasar sebesar 1,8% dari total penjualan pakaian

pria tahun 2015 (Tabel 4). Beberapa merek terkemuka yang relatif

banyak menguasai pasar pakaian pria antara lain Giordano, The

Executive, dan Watchout. Pangsa penjualan The Executive mampu

dipertahankan di pasar pakaian pria karena mereka menawarkan

produk-produk pakaian kantor yang berkelas sehingga banyak

menarik pembeli dari kalangan pekerja kantoran di kota-kota besar

di Indonesia. Sementara itu, Giordano lebih fokus pada produk

pakaian pria kasual yang menyasar pada konsumen muda.

Jumlah penduduk Indonesia yang besar merupakan daya

tarik para pelaku bisnis untuk memasarkan produknya di pasar

Indonesia, termasuk produk pakaian jadi. Saat ini, pakaian bukan

sekedar kebutuhan untuk menutup dan melindungi anggota tubuh,

tetapi telah jauh berkembang pada gaya hidup dan pencitraan

diri (Nugraha, 2012). Wanita maupun pria, terutama yang tinggal

Page 18: Daftar Isi - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Isi_Warta_12_Nov_FINAL.pdf · impor (dengan kuota yang ada). Hal. 8 Industri Pulp and Papers (Pulp dan Kertas)

WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 1918 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016

Zamroni Salim

Pasar daging sapi di Indonesia sangat menggiurkan bagi siapa

saja untuk masuk, terutama bagi pemain baru (new entrants)

untuk ikut memperoleh kesempatan memasarkan daging sapi.

Bagaimana dengan kondisi persaingan bisnis daging sapi di

Indonesia, apakah terbuka untuk para pemain baru untuk masuk?

Jawabannya tentu saja tidak. Salah satu alasannya adalah adanya

sistem kuota yang ditetapkan oleh pemerintah menyebabkan

hanya beberapa pemain lama saja yang bisa memperoleh izin

impor (dengan kuota yang ada). Selama ini Indonesia menerapkan

sistem kuota yang terdistribusi ke sejumlah perusahaan saja.

Sebenarnya dengan sistem kuota impor (Tabel 1), Indonesia

bisa menekan ketergantungan pada impor daging sapi dari

sebelumnya sekitar 52% terhadap total konsumsi tahun 2008

menjadi 22% tahun 2013 (ANZ Agribusiness Research, 2013).

Ini menunjukkan bahwa pasokan daging sapi yang berasal dari

produksi dalam negeri Indonesia relatif besar, sekitar 78% tahun

2013 yang berasal dari peternak lokal. Sementara untuk tahun

2016, pasokan daging sapi lokal sekitar 65% dari kebutuhan

nasional. Dibandingkan dengan negara tetangga Malaysia,

tingkat produksi domestik Indonesia sebenarnya lebih besar (bila

dilihat dari persentase terhadap total konsumsinya). Untuk tahun

2013, suplai daging sapi Malaysia dari produksi domestik (self-

sufficiency) hanya sekitar 25,67% (ANZ Agribusiness Research,

2013). Hal ini menunjukkan bahwa dari sisi kemampuan memenuhi

pasar dalam negeri, sebenarnya pasokan domestik daging sapi di

Indonesia jauh lebih besar (78% di Indonesia, sementara Malaysia

25,67%), namun fenomena daging sapi di Indonesia jauh lebih

menghebohkan daripada di Malaysia.

TINJAUAN PERDAGANGAN

Daging Sapi dan Distorsi Pasar di Indonesia

Tabel 1. Produksi, Impor dan Konsumsi Daging Sapi di IndonesiaTahun Produksi Impor Konsumsi Domestik (%) (ribu ton) Impor daging Impor sapi

sapi (%) potong (= daging sapi) (%)

2008 48 19 33 470

2009 42 19 39 475

2010 43 25 32 480

2011 61 17 22 509

2012 66 17 17 490

2013 78 7 15 494

2014 69 31 590

2015 64 36 654

2016 65 35 675*

Sumber: ANZ Agribusiness Research(2013),Okezone(2016),Sapibagus.com(2015). *angka perkiraan

Negara Asal Impor Daging SapiBila dilihat dari asal usul impor, daging sapi yang beredar di

Indonesia sebagian besar berasal dari Australia. Negara lain asal

impor yaitu New Zealand, Amerika Serikat, Kanada dan Jepang

(Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian

Pertaian, 2016). Masuknya sapi impor dari Australia diawali dengan

masuknya sapi Australia untuk digemukkan di tahun 1990 (mantan

CEO Northern Territory Livestock Exporters Association, Dr Ross

Ainsworth, dikutip dari Republika, 19 Juli 2016). Adanya sumber

impor dari satu negara ini didasarkan pada kebijakan pemerintah

yang hanya memperbolehkan impor daging sapi berasal dari

negara yang memenuhi persyaratan bebas penyakit kuku dan

mulut, dan salah satunya adalah Australia.

Page 19: Daftar Isi - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Isi_Warta_12_Nov_FINAL.pdf · impor (dengan kuota yang ada). Hal. 8 Industri Pulp and Papers (Pulp dan Kertas)

WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 1918 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016

Ada beberapa pertimbangan yang diambil pemerintah

diantaranya adalah masalah kesehatan. Kesehatan manusia

menjadi prioritas, sehingga daging sapi yang diimpor harus bebas

dari segala penyakit, khususnya penyakit kuku dan mulut (yang

banyak dijumpai di sejumlah negara produsen sapi) di dunia.

Kebijakan pemerintah tersebut didasarkan pada Undang-Undang

Nomor 41 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang

Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Australia adalah salah satu negara yang bebas dari penyakit

tersebut. Kebijakan ini merupakan salah satu bentuk hambatan

perdagangan non-tarif, Sanitary – Phyto Sanitary (SPS) untuk

melindungi kesehatan masyarakat Indonesia.

Distorsi Pasar dan Beban PemerintahSudah beberapa kali Presiden Joko Widodo memberikan

pernyataan kepada publik bahwa beliau berjanji untuk menjamin

harga daging sapi maksimal pada level tertentu. Pernyataan

Presiden Jokowi adalah bahwa daging sapi tidak akan melebihi Rp

80.000,-/Kg. Apa implikasi dibalik pesan jaminan tersebut?

Dalam melakukan kebijakan impor, pemerintah perlu juga

memperhatikan perilaku konsumen di Indonesia, yang masih

cenderung/lebih suka untuk mengkonsumsi daging segar (bukan

daging beku impor). Kebijakan penambahan kuota impor daging

sapi beku juga tidak akan efektif mempengaruhi (menurunkan)

harga daging sapi di Indonesia. Minat masyakarat pada daging

sapi segar, juga tidak sepenuhnya bisa diatasi misalnya dengan

menambah jumlah feedloter, yang seringkali jadwal potongnya

tidak sesuai dengan kondisi (permintaan) di pasar, sehingga

cenderung terjadi kelangkaan pasokan.

Lalu bagaimana kondisi pasar daging sapi di Indonesia? Presiden

menjamin harga daging sapi tidak akan lebih dari Rp 80.000. Sekilas

rakyat bisa ditenangkan dengan harga tersebut, akan tetapi Presiden

lupa, bahwa pasar punya aturan dan cara kerja sendiri, meski

pemerintah bisa mempengaruhinya namun harga pasar tetap

ditentukan oleh supply dan demand. Mekanisme pasar berlaku

pada banyak barang di Indonesia, termasuk harga daging sapi.

Kalau harga daging sapi berperilaku seperti itu, dan bila pemerintah

menjamin harga, maka yang harus dilakukan pemerintah adalah

memaksa harga untuk tidak melebihi Rp 80.000 (yang menurut

logika ekonomi tidak masuk akal, bila supply dan demand memang

tidak menghendakinya).

Bagaimana pemerintah bisa memaksa harga tersebut?

Salah satu cara adalah pemerintah memberikan subsidi selisih

harga pasar dengan harga yang dikehendaki oleh pemerintah.

Pemerintah harus memberikan subsidi harga, dan subsidi tersebut

diberikan melalui supplier daging sapi (atau importir daging sapi).

Tentu saja langkah ini dari sisi pelaksanaan agak ribet, dan rentan

penyalahgunaan penyaluran subsidi dari pemerintah ke supplier.

Langkah lain adalah pemerintah membuka kran impor (dengan

melonggarkan/menambah kuota yang ada). Kran impor tentu

tidak semudah membuka kran kamar mandi, karena pemerintah

menerapkan rezim kuota impor untuk daging sapi. Selama ini

pemerintah menetapkan jumlah kuota impor daging sapi, kemudian

jumlah kuota tersebut diberikan kepada sejumlah perusahaan

yang mengantongi izin impor daging sapi, yang nama-namanya

tidak dipublikasikan (Detik Finance, 2016). Dalam berbagai

kesempatan, terkadang izin kuota impor tersebut diperjualbelikan

(Geotimes, 2016).

Untuk mengamankan harga daging sapi yang diinginkan

pemerintah saat puasa, maka kuota impor selama satu tahun

bisa dialokasikan secara penuh. Keputusan pemerintah untuk

mematok harga tentulah harus diimbangi dengan peningkatan

jumlah pasokan daging impor di pasar domestik, seperti halnya

yang dilakukan oleh pemerintah (melalui Menteri Perdagangan)

Page 20: Daftar Isi - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Isi_Warta_12_Nov_FINAL.pdf · impor (dengan kuota yang ada). Hal. 8 Industri Pulp and Papers (Pulp dan Kertas)

WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 2120 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016

9.0

8.0

7.0

6.0

5.0

4.0

3.0

2.0

1.0

-

1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012

Indonesia Malaysia Pakistan Pilipina Vietnam

Gambar 1. Konsumsi Daging Sapi Per Kapita di Sejumlah Negara (kg).Sumber: ANZ Agribusiness Research (2013)

Kebijakan penentuan harga yang diinginkan oleh pemerintah

melalui kebijakan subsidi atau dengan memaksa haga di angka

tertentu hanya akan efektif dalam kurun waktu yang relatif pendek

dan pada kurun waktu tertentu serta dampaknya juga akan

terbatas, misalnya menjelang hari raya atau tahun baru. Kebijakan

memaksa harga saat Ramadhan misalnya, hanya akan berdampak

untuk menambah jumlah impor di luar yang sudah direncanakan

tiap tahunnya. Sebagai catatan, total tambahan impor daging

sapi untuk mengamankan harga daging sapi saat puasa/lebaran

adalah sekitar 27.400 ton (DetikFinance, 2 Juni 2016). Lalu siapa

yang memperoleh jatah bisnis tersebut? Jawabannya, berdasarkan

Permendag No. 05/2016 impor untuk menjaga ketahanan pangan

dan stabilitas harga hanya boleh dilakukan oleh BUMN atau BUMD

setelah mendapatkan penugasan dari pemerintah.

PT. Perusahaan Perdagangan Indonesia (Persero)-PPI adalah

perusahaan yang diberikan izin untuk melakukan impor daging

sapi (tambahan) untuk pengamanan harga daging pada level

kurang dari Rp 80.000 (DetikFinance, 17 Juni 2016). Kemudian,

PPI menjual daging tersebut ke pedagang daging dan juga pasar

tradisional sekaligus menggelar pasar murah dengan menggunakan

jaringan PPI yang ada di Indonesia. Impor yang dilakukan PPI

adalah karkas, sebagai produk daging segar yang mudah diterima

oleh masyarakat dan pedagang. Daging yang dijual PPI berada

di bawah Rp 80.000, lebih murah dengan daging yang dijual di

pasaran yang mencapai rata-rata Rp 120 ribu hingga Rp 130 ribu

per kilogram. Tidak ada persyaratan khusus untuk bisa membeli

daging murah tersebut, semua masyarakat bisa membelinya.

Sebagaimana dikatakan oleh Menteri Perdagangan, bahwa

impor daging sapi (tambahan) tersebut hanya dijual di pasar-pasar

di wilayah Jabodetabek dan Jawa Barat (Kompas, 2 Juni 2016).

Langkah pemerintah menjual daging sapi tambahan di daerah

tertentu, karena daerah di luar Jabodebaek dan Jawa Barat

dianggap sudah swasembada daging sapi. Selain itu penjualan

ke daerah tertentu diharapkan tidak mengganggu atau merugikan

peternal lokal. Kebijakan penggelontoran kuota yang seharusnya

secara merata untuk satu tahun, dipaksa dipakai sampai lebaran

sebagai upaya untuk memaksa harga tidak lebih dari Rp. 80.000,-/

Kg, Dengan langkah ini, setelah lebaran, kuota akan kekurangan

atau bahkan habis, sehingga masyarakat akan dihadapkan pada

melambungnya harga karena terbatasnya pasokan disisa bulan

sampai akhir tahun.

Efektifitas Kebijakan Harga (yang ditentukan) PemerintahKeinginan Presiden untuk menjaga harga pada tingkat Rp

80.000 per kg harus dibayar mahal oleh masyarakat dengan

naiknya harga setelah lebaran (yang mungkin tidak diinginkan

oleh masyarakat). Sebagai contoh, pasca lebaran harga daging

sapi di pasaran kembali ke angka Rp 120.000,-/kg (infopangan.

jakarta.go.id, 2016). Atau, bila pemerintah mau, berarti pemerintah

bisa juga memperbesar lagi jumlah kuota yang sudah disepakati

di tahun ini (sudah diperlonggar saat puasa lebaran lalu). Dari

sisi kebijakan, hal itu mudah dilakukan, akan tetapi bagaimana

dengan nasib peternak lokal (pemasok daging sapi lokal); mereka

juga bagian dari pelaku bisnis yang harus diperhatikan nasib dan

kesejahteraannya oleh pemerintah.

Kondisi riil peternakan di Indonesia, yang sebagian besar

adalah peternak kecil dengan jumlah per usaha ternak hanya

sedikit (satu, dua, tiga dan lainnya) tentu tidak akan pernah mampu

mencapai titik skala ekonominya. Artinya harga sapi yang dijualnya

ke pasar baik sebagai sapi hidup maupun daging sapi tidak akan

bisa berkompetisi dengan harga daging sapi impor. Sementara

itu, peternak asing (yang merupakan asal-usul daging sapi impor,

contoh peternak sapi Australia) adalah peternak besar yang akan

dengan mudah mencapai skala ekonomi sehingga akan selalu

mudah dalam memenangkan persangan di pasar internasional.

Dalam kondisi seperti ini, kebijakan harga (melalui subsidi) justru

tidak efektif untuk mendukung kegiatan peternakan peternak sapi

lokal. Sementara itu, bagi konsumen meskipun (suatu saat tertentu)

mereka menikmati lebih rendahnya harga pasar, tetapi dalam

jangka yang lebih panjang, subsidi akan cederung mendorong

mereka melakukan konsumsi yang lebih. Konsumsi yang lebih di

sini tentu bukan merupakan sesuatu yang negatif (karena rata-rata

konsumsi daging orang Indonesia masih rendah), tetapi hal ini akan

mendorong konsumen untuk tidak melirik bahan makanan lainnya

(substitusi) termasuk ikan dan sumber makanan lainnya.

Relatif rendahnya konsumsi daging sapi per kapita orang

Indonesia bisa dilihat dalam Gambar 1. Dari gambar tersebut

terlihat bahwa konsumsi per kapita masyarakat Indonesia untuk

daging sapi adalah yang terendah bila dibandingkan dengan

masyarakat di negara ASEAN lainnya (Malaysia, Filipina dan

Vietnam). Konsumsi per kapita daging sapi di Malaysia adalah

sekitar 6,74 kg pada tahun 2013 (Ariff, Sharifah, dan Hafidz, 2015),

sementara di Indonesia sekitar 2,2 Kg (DBS, 2016).

Page 21: Daftar Isi - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Isi_Warta_12_Nov_FINAL.pdf · impor (dengan kuota yang ada). Hal. 8 Industri Pulp and Papers (Pulp dan Kertas)

WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 2120 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016

pada masa Ramadhan saja. Itupun harus dilakukan dengan upaya

keras melalui tambahan impor, seperti yang dilakukan sekarang ini

dengan menambah kuota impor ekstra menjelang Hari Raya Idul

Fitri 2016.

Terbatasnya efektifitas kebijakan tersebut dikarenakan

beberapa alasan berikut ini: pertama, pemerintah mempunyai

sumber daya finansial yang terbatas untuk memaksa harga tunduk

pada kemauan pemerintah. Kedua, kembali ke konsep subsidi,

kalau tujuan pemerintah ingin membantu masyarakat kurang

mampu menikmati daging sapi, maka subsidi ini tentu tidak tepat

sasaran, karena yang bisa membeli daging sebagian besar adalah

mereka yang mampu. Ketiga, dari sisi pengelolaan inflasi/sumber

inflasi, daging sapi bukanlah komponen utama penentu tingkat

inflasi di Indonesia. Harga daging sapi lebih cenderung dipolitisasi

untuk ikut mendongkrak tingkat inflasi di Indonesia dan untuk

mencapai tujuan lainnya. Demikian juga untuk sejumlah komoditi

lain yang bukan penentu tingkat inflasi di Indonesia yang cenderung

dipolitisasi, meski dari sisi jumlah/volume konsumsi nasional kecil

tetapi pengaruhnya ‘secara politis’ besar.

Pasar Murah oleh Pihak LainUpaya untuk menciptakan harga daging sapi pada level Rp.

80.000,- tidak hanya dilakukan oleh pemerintah saja. Tampaknya

ada pihak lain yang ikut berpartisipasi. Salah satunya adalah

Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) yang berusaha menjual

daging sapi dengan harga seperti yang diinginkan oleh pemerintah.

Sebagai contoh HKTI di Provinsi Banten (Kota Serang), Jakarta,

dan Bekasi yang menjual daging sapi dalam operasi pasar sebesar

Rp 75.000 per kilogram (Beritasatu, 17 Juni 2016, Republika, 11

Juni 2016).

Dari sisi ekonomi, partisipasi HKTI tentu sangat membantu

pemerintah. Dari sisi lain, perlu dilihat motifnya, apakah bermotif

ekonomi, politik atau lainnya. Dari kaca mata ekonomi, kelompok

tani, khususnya peternak sapi yang akan menjual dagingnya tentu

berharap bahwa daging sapi yang dijualnya akan tinggi, apalagi

dalam kondisi permintaan yang tinggi menjelang lebaran. Lalu

bagaimana petani (peternak) mampu menjual harga pada level Rp

80.000,- di saat harga daging sapi cenderung untuk naik? Dari segi

logika ekonomi, peran peternak untuk merujuk harga Rp 80.000,-

dipertanyakan. Sekali lagi, alasan ekonomisnya adalah bahwa

peternak harus memperoleh kompensasi selisih harga jualnya

dengan harga pasar yang sebenarnya terjadi. Selisih harga ini

tentu ditanggung oleh pihak yang menginginkan/ikut berpartisipasi

dalam pasar murah daging sapi di Indonesia.

Upaya Lain Untuk Menurunkan Harga Daging SapiUpaya pemerintah untuk menurunkan harga daging sapi terus

berlanjut. Salah satunya adalah upaya untuk melakukan diversifikasi

asal negara impor. Selama ini impor daging sapi identik dengan

Australia. Beberapa alternatif negara asal impor adalah Brazil, India

dan Meksiko dengan tetap mengacu pada Undang-Undang yang

ada, khususnya Undang-Undang Nomor 41 tentang Peternakan

dan Kesehatan Hewan. Untuk melakukan hal ini, pemerintah telah

menetapkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4

Tahun 2016 tentang Pemasukan Ternak dan/atau Produk Hewan

dalam Hal Tertentu yang Berasal dari Negara atau Zona dalam

Suatu Negara Asal Pemasukan yang ditandatangani oleh Presiden

Republik Indonesia Joko Widodo pada tanggal 10 Maret 2016.

Upaya lain yang bisa dilakukan, salah satunya adalah dengan

mengimpor daging yang dianggap bisa menjadi komoditas

substitusi daging sapi. Pada bulan Juli 2016 daging kerbau beku

asal India mulai diimpor (Republika, 19 Juli 2016). Indonesia

direncanakan akan mengimpor daging kerbau dari india sekitar 10

ribu ton daging kerbau untuk tahun 2016. Untuk urusan non-harga

dan terkait dengan masalah kesehatan, India dinyatakan bebas

penyakit kuku dan mulut (FMD), sehingga pemerintah akhirnya

memutuskan mengimpor dari India (Republika, 19 Juli 2016).

Masuknya daging kerbau ke Indonesia bisa menjadi cerita

tersendiri bagi kebijakan daging impor di Indonesia. Dengan

masuknya daging kerbau ini tentu akan memberikan pengaruh

pada permintaan daging sapi dari Australia (meski belum bisa

dipastikan kapan pengaruh itu akan terjadi, dan seberapa kuat

pengaruh tersebut). Akan tetapi usaha ini bisa dilihat bahwa ada

alternatif komoditas lain yang juga harus dipertimbangkan oleh

pemerintah dalam merumuskan kebijakan terkait dengan impor

dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dengan

harga yang terjangkau.

Indonesia adalah negara dengan sumber daya laut yang besar

sehingga seharusnya mahalnya daging sapi tidak perlu dirisaukan,

karena adanya komoditas bahan makanan lainnya (misalnya ikan).

Bila dilihat dari jumlah konsumsi daging sapi dan peran daging sapi

dalam mempengaruhi inflasi, hendaknya pemerintah tidak perlu

campur tangan dalam menentukan harga daging sapi. Yang harus

dilakukan oleh pemerintah adalah menjamin bahwa rezim kuota

yang menjadi pilihan pemerintah, dilakukan secara transparan.

Dalam arti bahwa siapa saja yang menerima jatah kuota tersebut,

berapa realisasi impor berdasarkan kuota, dipublikasikan kepada

masyarakat; sehingga jual beli kuota dengan hanya modal kertas

dan lobby bisa dihentikan, dan masyarakat memperoleh harga

sesuai proses tarik-menarik penawaran dan permintaan di pasar.

Page 22: Daftar Isi - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Isi_Warta_12_Nov_FINAL.pdf · impor (dengan kuota yang ada). Hal. 8 Industri Pulp and Papers (Pulp dan Kertas)

WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 2322 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016

Reviu Pertumbuhan Ekonomi dan Kontribusi Sektor Perdagangan Indonesia (Triwulan 2-2016)

Slamet Sutomo 2

Badan Pusat Statistik (BPS) merilis laju pertumbuhan

ekonomi Indonesia, yang dihitung berdasarkan Produk

Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku, pada triwulan

2 tahun 2016 tumbuh 5,18% year-on-year (YoY) dibandingkan

dengan triwulan yang sama pada tahun 2015 sehingga PDB

Indonesia mencapai Rp 3.086,6 triliun. Laju pertumbuhan ekonomi

ini lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan 2 tahun 2014 dan

2015, dimana capaian laju pertumbuhan ekonomi pada triwulan

2 tahun 2014 adalah 4,96% dan pada triwulan 2 tahun 2015

adalah 4,66%. Laju pertumbuhan ekonomi ini juga lebih tinggi

dibandingkan dengan perkiraan para pakar ekonomi yang

memperkirakan ekonomi Indonesia tumbuh 5,1% pada triwulan 2

tahun 2016.

Terdapat tiga hal utama yang menjadi catatan penulis terhadap

laju pertumbuhan ekonomi Indonesia dan sektor perdagangan

pada triwulan 2 tahun 2016. Pertama adalah signifikansinya

kontribusi pengeluaran konsumsi rumah tangga, kedua adalah

signifikansinya pertumbuhan sektor bukan-ril, dan ketiga adalah

masih kurang signifikannya laju pertumbuhan sektor perdagangan,

baik perdagangan dalam negeri maupun perdagangan luar negeri.

Hal-hal lain yang berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi dan

kinerja sektor perdagangan Indonesia pada triwulan 2 tahun 2016

tidak dibahas dalam tulisan ini karena fokus utama penulis adalah

mengenai ketiga hal tersebut.

Signifikansi Kontribusi Pengeluaran Rumah TanggaPDB dibangun oleh berbagai kegiatan ekonomi atau sektor

ekonomi di dalam negeri seperti oleh sektor pertanian, sektor

industri manufaktur, sektor perdagangan dan sebagainya. Setelah

PDB dihasilkan oleh berbagai sektor ekonomi, PDB merupakan

sumber pendapatan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi

dan investasi berbagai kegiatan ekonomi dalam negeri seperti

pengeluaran konsumsi rumah tangga, pengeluaran konsumsi

pemerintah, pembentukan modal tetap bruto (investasi riil), ekspor

dan impor. Bagian ini akan menjelaskan signifikansi pengeluaran

konsumsi rumah tangga pada PDB Indonesia triwulan 2 tahun

2016.

PDB Indonesia pada triwulan 2 tahun 2016 ternyata sebagian

besar disumbang oleh pengeluaran konsumsi rumah tangga.

Menurut BPS (2016) pada waktu merilis laju pertumbuhan

ekonomi triwulan 2 tahun 2016, besarnya sumbangan pengeluaran

konsumsi domestik masyarakat Indonesia terhadap PDB adalah

sekitar 55,23%. Artinya, total PDB Indonesia pada triwulan 2

tahun 2016 disumbang sekitar 55,23% oleh pengeluaran konsumsi

rumah tangga. Sebagai catatan, signifikansinya pengeluaran

konsumsi rumah tangga terhadap total PDB Indonesia sebenarnya

tidak hanya terjadi pada triwulan 2 tahun 2016 saja. Sudah sejak

lama data PDB yang dirilis BPS menunjukkan bahwa pengeluaran

konsumsi rumah tangga sangat berpengaruh terhadap total

PDB Indonesia. Sementara itu, besarnya kontribusi ekspor neto

terhadap PDB Indonesia pada triwulan 2 tahun 2016 adalah

0,26%, suatu kontribusi yang relatif rendah. Secara lengkap

kontribusi komponen-komponen permintaan akhir (final demand)

yang lain terhadap PDB Indonesia pada triwulan 2 tahun 2016

dapat dilihat pada Tabel 1.

2 Direktur,LembagaPenelitiandanPengembanganEkonomiRegional(LTKER),Jakarta;mantanDeputiKepalaBadanPusatStatistik(BPS)BidangNeracadanAnalisisStatistik.

Page 23: Daftar Isi - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Isi_Warta_12_Nov_FINAL.pdf · impor (dengan kuota yang ada). Hal. 8 Industri Pulp and Papers (Pulp dan Kertas)

WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 2322 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016

Komponen Permintaan Akhir Kontribusi (%)

Pengeluaran Konsumsi Rumah TanggaPengeluaran Konsumsi Lembaga Nir-LabaPengeluaran Konsumsi PemerintahPembentukan Modal Tetap BrutoPerubahan InventoriEksporImporDeskrepansi Statistik

Produk Domestik Bruto

Reviu Pertumbuhan Ekonomi dan Kontribusi Sektor Perdagangan Indonesia (Triwulan 2-2016)

Tabel 1. Kontribusi Komponen-Komponen Permintaan Akhir terhadap PDB Indonesia pada Triwulan 2 Tahun 2016

55,231,149,44

32,452,81

18,8818,64-1,31

100,00Sumber: BPS (2016)

Menurut penulis, yang menyebabkan tingginya sumbangan

pengeluaran konsumsi masyarakat terhadap total PDB Indonesia

adalah karena jumlah penduduk Indonesia yang banyak, yaitu

sekitar 250 juta jiwa. Jumlah penduduk Indonesia yang banyak

tersebut merupakan permintaan potensial (potential demand)

yang besar yang mendorong berlangsungnya berbagai kegiatan

ekonomi Indonesia di dalam negeri sehingga PDB Indonesia yang

terbentuk dari waktu ke waktu menjadi besar.

Dari informasi ini dapat ditunjukkan bahwa salah satu

kunci pertumbuhan ekonomi Indonesia menurut penulis

adalah pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumah tangga

(masyarakat) karena faktor jumlah penduduk Indonesia yang

banyak. Peningkatan PDB Indonesia atau dengan perkataan lain

peningkatan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia akan dapat

dipenuhi jika pendapatan masyarakat ditingkatkan yang pada

gilirannya akan meningkatkan pengeluaran konsumsi masyarakat.

Oleh karena itu, penetapan balas jasa tenaga kerja berupa upah

dan gaji yang diterima oleh para pekerja Indonesia seperti Upah

Minimum Regional (UMR) perlu ditinjau secara cermat. Penulis

merasakan bahwa tingkat upah dan gaji yang diterima oleh pekerja-

pekerja Indonesia masih sangat rendah untuk dapat memenuhi

semua kebutuhan-kebutuhan hidup.

Berdasarkan data tabel Input-Output atau tabel I-O tahun

2010 yang dikompilasi oleh BPS (2016), penulis menemukan

bahwa perbandingan besarnya upah dan gaji yang diterima

oleh seluruh tenaga kerja berjumlah Rp 2.170.076 miliar selama

tahun 2010, sedangkan besarnya returns to capital berjumlah

Rp 4.456.099 miliar selama tahun 2010, atau dengan perkataan

lain menghasilkan rasio 32,8% dibanding dengan 67,2%. Tetapi

upah dan gaji Rp 2.170.076 miliar tersebut diterima oleh seluruh

tenaga kerja yang berjumlah 107.807 ribu orang pada tahun 2010

sehingga secara rata-rata tenaga kerja Indonesia hanya menerima

upah dan gaji Rp 20,129 juta per tahun. Ratio returns to capital

yang diperoleh dari penggunaan kapital pada kegiatan-kegiatan

ekonomi di Indonesia terlalu timpang dibandingkan dengan balas

jasa yang diterima oleh tenaga kerja berupa upah dan gaji. Kapital

memperoleh imbalan yang sangat besar, sementara tenaga kerja

dibayar sangat murah. Sungguh merupakan suatu perbandingan

yang sangat tidak adil.

Tentu saja akan sangat baik jika returns to capital yang sangat

besar tersebut mengalir ke dalam negeri Indonesia; bukan malah

mengalir ke luar negeri sebagai akibat penggunaan kapital asing

dalam proses produksi. Oleh karena itu, sektor-sektor ekonomi

perlu dikembangkan dengan memanfaatkan lebih banyak sumber

daya kapital dari dalam negeri, dan jangan terlalu menggantungkan

kepada modal asing. Penyertaan terlalu banyak modal asing

menyebabkan nilai tambah (atau PDB) yang dihasilkan oleh

Page 24: Daftar Isi - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Isi_Warta_12_Nov_FINAL.pdf · impor (dengan kuota yang ada). Hal. 8 Industri Pulp and Papers (Pulp dan Kertas)

WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 2524 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016

3,23-0,724,746,243,316,214,076,814,928,47

13,514,467,574,745,586,597,88

Tabel 2. Laju Pertumbuhan Sektor-Sektor Ekonomi Indonesia pada Triwulan 2 Tahun 2016

Laju Sektor-Sektor Ekonomi Pertumbuhan (%)

1. Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 2. Pertambangan dan Penggalian 3. Industri Pengolahan 4. Pengadaan Listrik dan Gas 5. Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Daur Ulang 6. Konstruksi 7. Perdagangan Besar dan Eceren; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor 8. Transportasi dan Pergudangan 9. Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum 10. Informasi dan Komunikasi 11. Jasa Keuangan dan Asuransi 12. Real Estat 13. Jasa Perusahaan 14. Administrasi Pemerintahan, Pertahanan, dan Jaminan Sosial Wajib 15. Jasa Pendidikan 16. Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 17. Jasa Lainnya Produk Domestik Bruto 5,18

Sumber: BPS (2016)

Dari informasi ini dapat ditunjukkan bahwa sektor jasa

keuangan dan asuransi berkembang pesat dalam perekonomian

Indonesia, sementara sektor ril seperti sektor industri pengolahan,

sektor pertanian, termasuk sektor perdagangan tumbuh lebih

rendah. Dengan perkataan lain, nilai tambah yang dihasilkan

oleh perekonomian Indonesia lebih banyak dihasilkan oleh

pergerakan jasa-jasa keuangan yang antara lain dihasilkan oleh

bunga (interests), dividen, capital gains dan sejenisnya, bukan oleh

pergerakan industri atau pertanian yang menghasilkan produk-

produk fisik seperti makanan, minuman, tekstil dan sejenisnya yang

dibutuhkan oleh masyarakat, atau pergerakan sektor perdagangan.

Dengan demikian, Indonesia digerakkan oleh sektor bukan-riil

(sektor tersier) seperti sektor jasa keuangan yang berkembang;

sedangkan sektor-sektor primer atau sekunder yang menghasilkan

produk-produk kebutuhan konsumsi masyarakat tumbuh kurang

signifikan. Sebenarnya, ekonomi Indonesia masih membutuhkan

banyak produk-produk fisik seperti makanan, minuman, pakaian

dan sejenisnya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat,

dan semestinya sektor-sektor riil ini yang perlu dikembangkan atau

tumbuh lebih tinggi dibandingkan sektor bukan-riil.

Dari penjelasan sebelumnya, menurut penulis, ekonomi

Indonesia sudah tereksploitasi. Tenaga kerja Indonesia

dieksploitasi dengan memberikan upah dan gaji yang sangat

rendah, sementara kapital memperoleh imbalan berupa returns

to capital yang relatif sangat besar dalam proses perekonomian

Indonesia. Apalagi jika returns to capital yang dihasilkan yang

semestinya diterima oleh Indonesia malah kebanyakan mengalir ke

luar Indonesia atau diterima oleh asing, maka ekonomi Indonesia

lebih tereksploitasi. Pada sisi lain, ekonomi Indonesia mestinya

bukan hanya dikembangkan oleh jasa keuangan, tetapi juga oleh

sektor riil dimana produk sektor-sektor ini adalah untuk memenuhi

berbagai kebutuhan konsumsi masyarakat agar Indonesia terhindar

dari kebutuhan impor yang terlalu besar.

berbagai kegiatan ekonomi domestik mengalir ke luar Indonesia,

dan bukan masuk ke dalam perekonomian Indonesia sehingga

Indonesia kurang memperoleh manfaat dari kegiatan ekonomi

yang dilakukan. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah untuk

mengatur secara lebih adil mengenai keseimbangan returns to

capital terhadap upah dan gaji yang diterima oleh pekerja-pekerja

Indonesia agar rakyat Indonesia dapat hidup sejahtera sangat

diperlukan.

Signifikansinya Pertumbuhan Sektor Bukan-RiilPertumbuhan ekonomi pada triwulan 2 tahun 2016 juga dapat

dirinci menurut sektor-sektor ekonomi. Pertumbuhan ekonomi

Indonesia disumbang oleh hampir semua sektor ekonomi, kecuali

sektor pertambangan dan penggalian yang tumbuh kontraksi

0,72%. Namun, pertumbuhan tertinggi dicapai oleh sektor-sektor

bukan-riil, seperti sektor jasa keuangan dan asuransi (13,51%),

sektor informasi dan komunikasi (8,47%), dan sektor jasa

perusahaan (7,57%). Sementara sektor riil seperti sektor pertanian

dan sejenisnya tumbuh 3,23%; sektor industri pengolahan tumbuh

4,74%; sektor konstruksi tumbuh 6,21%, sektor transportasi dan

pergudangan 6,61%, dan sektor perdagangan besar dan eceran

dan sejenisnya 4,07%. Tabel 2 menunjukkan laju pertumbuhan

ekonomi berbagai sektor ekonomi pada triwulan 2 tahun 2016.

Page 25: Daftar Isi - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Isi_Warta_12_Nov_FINAL.pdf · impor (dengan kuota yang ada). Hal. 8 Industri Pulp and Papers (Pulp dan Kertas)

WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 2524 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016

Masih Kurang Signifikansinya Laju Pertumbuhan Sektor Perdagangan

Tabel 2 sebelumnya menunjukkan bahwa sektor perdagangan

besar dan eceran tidak tumbuh terlalu signifikan, hanya tumbuh

4,07% YoY. Mestinya sektor perdagangan besar dan eceran

juga dapat menjadi tumpuan kesempatan kerja bagi masyarakat

untuk memperoleh pendapatan yang lebih baik. Peningkatan

kinerja sektor perdagangan dapat dilakukan antara lain dengan

meningkatkan perdagangan domestik (antar pulau) secara lebih

baik (lihat tulisan penulis pada Warta Perdagangan Volume 2

Nomor 5 Tahun 2014) karena sektor ini lebih dapat menampung

kesempatan kerja yang lebih masif dibandingkan dengan sektor

bukan-riil seperti sektor jasa keuangan yang kurang masif dalam

penyerapan tenaga kerja.

Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa kontribusi ekspor

neto (ekspor dikurangi impor) Indonesia pada triwulan 2 tahun 2016

hanya menghasilkan surplus 0,26%. Sudah menjadi pemahaman

umum bahwa perdagangan luar negeri memiliki banyak kendala.

Seandainya kualitas komoditas ekspor Indonesia bagus, namun

komoditas ekspor Indonesia terkendala dengan banyaknya kuota

yang ditetapkan yang diizinkan untuk masuk ke negara pengimpor,

maka tidak mungkin komoditas ekspor Indonesia bisa masuk ke

pasar negara pengimpor. Pada sisi lain, komoditas ekspor Indonesia

juga harus bersaing dengan komoditas yang sejenis yang berasal

dari negara-negara lain. Jika produk ekspor Indonesia kalah bersaing

dibandingkan dengan produk-produk ekspor dari negara-negara

lain, maka akan menambah kendala Indonesia untuk mengekspor

produk-produknya ke luar negeri. Produk-produk ekspor Indonesia,

seperti barang-barang tambang, juga ternyata lebih banyak berupa

bahan-bahan mentah (raw materials) yang sebenarnya kalau diolah

langsung di dalam negeri menjadi produk jadi akan memberikan nilai

tambah (value added) yang lebih besar kepada Indonesia.

Menurut penulis, daripada memikirkan tendensi ekspor neto

produk-produk Indonesia yang cenderung rendah, lebih baik

memikirkan pengembangan perdagangan dalam negeri (domestik)

berbasis potensi domestik yang tersedia di dalam negeri sehingga

dengan demikian memberikan kontribusi yang lebih baik kepada

perekonomian Indonesia pada masa-masa yang akan datang. Potensi

ekonomi domestik yang tersedia dan besar di Indonesia adalah jumlah

penduduk Indonesia yang banyak. Jumlah tersebut merupakan

suatu permintaan potensial (potential demand) yang hebat untuk

mendorong berbagai kegiatan ekonomi Indonesia di dalam negeri.

Setiap produk yang dikonsumsi oleh masyarakat menghasilkan nilai

tambah (value added) bagi kegiatan-kegiatan ekonomi dalam negeri,

termasuk kepada sektor perdagangan domestik.

Berdasarkan konsepnya, sektor perdagangan adalah suatu

sektor ekonomi yang terikut dengan kegiatan pokoknya. Nilai

tambah yang tercipta pada sektor perdagangan adalah marjin

yang timbul sebagai akibat pendistribusian suatu produk dari

BIODATA PENULIS

Nama : Slamet Sutomo

Organisasi : Staf Pengajar Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS),

Jakarta; mantan Deputi Kepala Badan PusatStatistik

(BPS) Bidang Neraca dan Analisis Statistik

Email : [email protected]

produsen ke konsumen. Misalnya, seorang konsumen membeli

suatu produk, seperti beras sebagai produk pokok, maka harga

beras yang dibayar oleh konsumen sudah termasuk marjin

perdagangan yang terikut pada harga beras. Marjin perdagangan

dapat merupakan marjin perdagangan besar dan juga marjin

perdagangan eceran lainnya yang diterima oleh para pedagang

atau distributor. Jika kontribusi sektor perdagangan domestik

terhadap PDB pada triwulan 2 tahun 2016 adalah sekitar 13,26%,

artinya sekitar 13,26% dari output perekonomian Indonesia yang

terjadi pada tahun 2016 disumbang oleh sektor perdagangan

dalam negeri (domestik); suatu kontribusi terhadap PDB Indonesia

yang ternyata jauh lebih besar dibandingkan dengan kontribusi

ekspor neto yang pada triwulan 2 tahun 2016 hanya mencapai

0,26% terhadap total PDB Indonesia. Dengan demikian, setiap

kali seorang konsumen Indonesia melakukan konsumsi, maka dia

telah menyumbangkan sekitar 13,26% terhadap output ekonomi

Indonesia melalui pembentukan nilai tambah sektor perdagangan,

yaitu berupa marjin perdagangan yang terdapat dalam harga yang

dibayar seorang konsumen.

Dengan memberdayakan potensi konsumsi domestik

masyarakat Indonesia yang besar tersebut, apalagi jika daya

beli (pendapatan) masyarakat mampu ditingkatkan lebih baik

pada masa-masa yang akan datang, maka dapat dibayangkan

besarnya dampak pemanfaatan konsumsi domestik terhadap

perekonomian Indonesia. Peningkatan tersebut dapat terjadi pada

peningkatan kegiatan produksi domestik, yang kemudian bergulir

menjadi kegiatan distribusi dimana termasuk di dalamnya kegiatan

transportasi dan logistik, sampai kepada kegiatan konsumsi yang

menciptakan marjin perdagangan, sehingga dengan demikian

kegiatan-kegiatan tersebut mampu menggerakkan ekonomi

dalam negeri Indonesia dan meningkatkan PDB Indonesia,

termasuk juga membuka kesempatan kerja di Indonesia. Sudah

tentu, dibutuhkan koordinasi antar instansi pemerintah yang terkait

agar strategi ini berhasil (lihat kembali tulisan penulis pada Warta

Perdagangan Volume 2 Nomor 5 Tahun 2014).

Page 26: Daftar Isi - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Isi_Warta_12_Nov_FINAL.pdf · impor (dengan kuota yang ada). Hal. 8 Industri Pulp and Papers (Pulp dan Kertas)

WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 2726 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016

BERITA PENDEK PERDAGANGAN

Ancaman Besi Baja Tiongkok untuk Industri Dalam NegeriKemajuan suatu bangsa tidak terlepas dari kemajuan

pembangunan industrinya. Salah satu industri dasar

yang memiliki peran besar bagi kemajuan suatu bangsa adalah

industri besi dan baja. Besi dan baja dapat dijadikan bahan

baku dalam berbagai segmen kehidupan manusia, diantaranya

untuk konstruksi, otomotif, elektronik, dan perlengkapan rumah

tangga. Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh World Steel

Association yang berjudul World Steel In Figures tahun 2016

diketahui bahwa Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Jepang, India,

Amerika Serikat dan Rusia masuk dalam 10 besar negara penghasil

Crude Steel atau besi baja mentah dunia. Sebagai negara dengan

peringkat pertama penghasil besi baja mentah, RRT mampu

menghasilkan besi baja mentah sebesar 803,8 juta ton di tahun

2015, meskipun mengalami penurunan jika dibandingkan tahun

2014 yang mencapai hingga 822,8 juta ton. Namun, hal tersebut

masih menunjukkan pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan

negara lainnya seperti Jepang yang menempati peringkat kedua

dan hanya mampu memproduksi Crude Steel sebesar 105,2 juta

ton pada tahun 2015. Keadaan ini menyebabkan RRT memiliki

peluang untuk mengusai pasar besi baja di tengah pelambatan

ekonomi dunia.

Ekspor besi baja RRT menduduki peringkat pertama di dunia.

Ekspor besi baja RRT bukan hanya membanjiri pasar internasional

dari sisi volume, tetapi besi baja asal negara tirai bambu tersebut

juga memiliki harga yang lebih rendah dibandingkan harga dunia.

Hal ini dapat dilihat berdasarkan data dari Global Trade Atlas

(GTA) tahun 2016 yang menunjukkan unit value RRT pada tahun

2015 untuk produk ini sebesar 540,14 USD per ton lebih kecil jika

dibandingkan dengan unit value dunia sebesar 608,75 USD per

ton, Jepang dengan unit value sebesar 621,98 USD per ton dan

Amerika Serikat dengan unit value sebesar 715,61 USD per ton.

Rendahnya harga besi baja asal RRT menimbulkan praktik

unfair trade, sesuai dengan hasil penyelidikan dan rekomendasi

dari Komite Anti Dumping Indonesia (KADI). Praktik unfair trade

menurut Agreement on Tariffs and Trade (GATT) salah satunya

adalah dumping, yang artinya suatu negara menjual produk di

bawah harga normal atau harga lebih murah dari harga di pasar

domestik negara asal produk sehingga praktik yang demikian

menimbulkan kerugian bagi industri dalam negeri tempat

dipasarkannya produk tersebut. WTO dengan tegas melarang hal

ini dengan mengeluarkan peraturan antidumping. Banyak negara

yang telah menerapkan peraturan ini, terutama untuk produk besi

baja. Adapun negara yang sering dijadikan sebagai tertuduh dalam

permasalahan unfair trade besi baja adalah RRT sebagai penghasil

besi baja dengan peringkat pertama dunia.

Penerapan kebijakan antidumping untuk RRT sebagai tertuduh

telah dilakukan oleh berbagai negara, baik negara maju maupun

berkembang, sebagai tindakan tegas agar terjadi perdagangan

yang fair antar negara. Negara-negara yang telah menerapkan

tindakan tersebut adalah Amerika Serikat untuk produk Cold Rolled

Coil/Sheet (CRC/S) asal RRT dengan besaran 265,79%, Meksiko

untuk produk Cold Rolled Stainless Sheet (CRS) dengan besaran

65,99%-103,41%, Malaysia untuk produk Hot Rolled Coil (HRC)

dan CRC/S, dan yang terbaru adalah Uni Eropa untuk produk

CRC/S asal RRT dengan besaran 19,7%-22,1%. Besaran marjin

yang ditetapkan negara-negara tersebut akan menambah harga

impor produk dari negara tertuduh yang masuk ke pasar negara

tersebut sehingga harga yang ada di pasar domestik negara

tersebut menjadi fair kembali setelah kebijakan antidumping ini

diterapkan.

Untuk Indonesia, pihak otoritas dalam hal ini adalah KADI,

telah selesai melakukan penyelidikan kembali atas kasus yang

penetapan kebijakan antidumpingnya akan berakhir (sunset

review) dan penyelidikan untuk melakukan perubahan besaran

atau jangka waktu kebijakan antidumping yang sedang dikenakan

(interim review) di awal tahun 2016 atas produk besi baja yaitu

CRC/S serta penyelidikan baru untuk CRS asal RRT. Namun, perlu

diketahui kembali Indonesia juga telah menerapkan pengenaan

BMAD untuk RRT pada produk besi baja lainnya seperti I dan

H Section serta Hot Rolled Plate (HRP). Berdasarkan0 hasil

penyelidikan terbaru yang telah dilakukan terbukti adanya

dumping dan unfair trade yang terjadi di pasar domestik asal

negara RRT. Untuk produk CRC/S asal RRT mendapat

besaran marjin dumping 13,6%-43,5%, sedangkan untuk

produk CRS mendapat besaran marjin sebesar 26,5%.

Berdasarkan hasil penyelidikan tersebut, maka industri

memerlukan dukungan pemerintah berupa kebijakan

tindakan pengamanan untuk bersama-sama

memerangi praktik unfair trade besi baja yang terjadi

di tanah air sebagai bentuk perlindungan untuk

industri domestik. (Ayu Wulandani)

Page 27: Daftar Isi - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Isi_Warta_12_Nov_FINAL.pdf · impor (dengan kuota yang ada). Hal. 8 Industri Pulp and Papers (Pulp dan Kertas)

WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 2726 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016

Perlunya BMAD Tepung Terigu untuk Menangkis Serangan Dumping India, Sri Lanka dan Turki

Tepung gandum atau tepung terigu

merupakan salah satu komoditas yang

bersifat strategis di Indonesia. Jumlah industri

tepung terigu yang ada di Indonesia semakin

meningkat dari tahun ke tahun. Menurut data Asosiasi

Produsen Tepung Terigu Indonesia (APTINDO) tahun

2015, Indonesia memiliki 29 industri penggilingan

tepung (Flour Mills) dengan rincian sebanyak 25 industri

berada di Pulau Jawa dan sisanya 4 industri berada diluar

Pulau Jawa. Total kapasitas untuk seluruh industri tersebut

diperkirakan mencapai 10,3 juta MT per tahun.

Meskipun memiliki industri tepung terigu dalam jumlah

cukup banyak, bahan baku untuk industri ini masih harus

diimpor. Saat ini masih ada beberapa hambatan yang menjadi

kendala dalam impor tepung terigu sehingga daya saing industri

tepung terigu Indonesia masih rendah. Salah satu hambatan dalam

industri ini adalah praktik dumping atas importasi tepung terigu

yang berasal dari India, Sri Lanka, dan Turki. Berdasarkan hasil

penyelidikan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI), tiga negara

yaitu India, Sri Lanka, dan Turki terbukti melakukan dumping untuk

tepung terigu dengan besaran marjin dumping untuk India sebesar

12,1%, Sri Lanka sebesar 7,5%, dan Turki berkisar antara 5,6%-

28,9% sehingga industri dalam negeri mengalami kerugian. Hal

ini terlihat dari nilai penjualan yang berada dibawah harga pokok

penjualan dan arus kas operasional yang menurun selama periode

2010-2013. Selain itu, terjadi price undercutting, price suppression,

dan price depression karena harga impor yang rendah (terutama

dari Turki) sehingga industri dalam negeri tidak dapat menaikkan

harga jual meskipun biaya produksi meningkat.

Praktik dumping ini merupakan praktik perdagangan tidak sehat

yang perlu ditindaklanjuti oleh pemerintah dengan menerapkan Bea

Masuk Anti Dumping (BMAD). Berdasarkan Perjanjian Organisasi

Perdagangan Dunia, World Trade Organization (WTO) tentang anti

dumping, anggota WTO diijinkan untuk mengambil tindakan anti

dumping dan imbalan untuk memulihkan kerugian yang dialami

oleh industri dalam negeri sebagai akibat masuknya barang impor

dari produk yang sama atau sejenis dengan harga yang tidak wajar.

Dampak pengenaan BMAD atas impor tepung terigu terhadap

industri hilir akan relatif kecil, karena 70% industri pengguna tepung

terigu merupakan Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM). Menurut

survei LPEM-UI tahun 2014, UMKM sangat jarang menggunakan

tepung terigu impor karena beberapa alasan, seperti jenis tepung

terigu impor yang beragam sehingga memerlukan biaya tambahan

untuk percobaan, kualitas dan persediaan yang tidak stabil, serta

kendala akses layanan customer care dari importir. Apabila BMAD

tidak diberlakukan terhadap importasi barang dumping (tepung

terigu impor), maka diperkirakan akan banyak produsen tepung

terigu di dalam negeri yang akan menderita kerugian. Pengenaan

BMAD tepung terigu diharapkan akan dapat meningkatkan utilisasi

pabrik tepung terigu di Indonesia, yang secara rata-rata saat ini

hanya sekitar 64%-68%.

Kinerja impor tepung terigu Indonesia mulai mengalami

peningkatan di tahun 2004 dan mencapai puncaknya di tahun

2010, yakni mencapai 776 ribu ton. Setelah tahun 2010, impor

tepung terigu menurun signifikan hingga hanya mencapai 197 ribu

ton di tahun 2014. Jika dilihat dari pangsa pasar produk impor

tersebut, pada tahun 2010 pangsanya mencapai 17,6% terhadap

konsumsi tepung nasional dan berkurang hingga hanya mencapai

3,3% di tahun 2014. Hal ini tidak terlepas dari kebijakan yang

diambil pemerintah untuk melindungi industri tepung terigu di

dalam negeri, antara lain pengenaan BMAD untuk impor tepung

dari Tiongkok dan India selama 2005-2010, pengenaan BMAD

dari Uni Emirat Arab (UEA) selama 2006-2011, pengenaan Bea

Masuk Tindakan Pengamanan Sementara (BMTPS) selama 2012-

2013 dan pengenaan kuota selama tahun 2014.

Page 28: Daftar Isi - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Isi_Warta_12_Nov_FINAL.pdf · impor (dengan kuota yang ada). Hal. 8 Industri Pulp and Papers (Pulp dan Kertas)

WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 2928 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016

Pembangunan Infrastruktur

sebagai Upaya Menggali Potensi

Perdagangan di Daerah

Perbatasan

Pada tanggal 5 Agustus 2016, Menteri Pekerjaan Umum

dan Perumahan Rakyat (PUPR), Basuki Hadimuljono,

meninjau pembangunan infrastruktur di daerah perbatasan

Motaain, Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

Peninjauan ini dilakukan dalam rangka program revitalisasi Pos Lintas

Batas Negara (PLBN) di Indonesia untuk menunjang aktivitas ekonomi

di daerah perbatasan. Seiring dengan maraknya liberalisasi perdagangan

dan keikutsertaan Indonesia dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN

(MEA), prospek perdagangan lintas batas semakin tinggi. Perdagangan

lintas batas dapat menjadi potensi namun juga menjadi bumerang bagi

Indonesia. Kendala utama dalam mendorong perdagangan lintas batas

yang berkontribusi positif terhadap perdagangan dan perekonomian adalah

ketidaksiapan infrastruktur di daerah perbatasan. Kondisi infrastruktur

Indonesia yang kurang baik dibandingkan negara tetangga akan mendorong

ketergantungan masyarakat Indonesia di daerah perbatasan terhadap barang-

barang dari negara tetangga.

Komitmen pemerintah Indonesia dalam mendukung pembangunan infrastruktur

di daerah perbatasan tertuang dalam Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2015. Dalam

Inpres tersebut, pemerintah fokus mempercepat pembangunan di tujuh PLBN antara

lain PLBN Terpadu Aruk (Kabupaten Sambas), PLBN Terpadu Entikong (Kabupaten

Sanggau), PLBN Terpadu Nanga Badau (Kabupaten Kapuas Hulu), PLBN Terpadu

Motaain (Kabupaten Belu) PLBN Terpadu Motamasin (Kabupaten Malaka), PLBN Terpadu

Wini (Kabupaten Timor Tengah Utara), dan PLBN Terpadu Skouw (Kota Jayapura). Per

Maret 2016, perkembangan pembangunan infrastruktur fisik, seperti pintu pos perbatasan

Page 29: Daftar Isi - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Isi_Warta_12_Nov_FINAL.pdf · impor (dengan kuota yang ada). Hal. 8 Industri Pulp and Papers (Pulp dan Kertas)

WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 2928 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016

dan akses jalan untuk ketujuh PLBN Terpadu telah mencapai

perkembangan yang bervariasi, misalnya 49,12% untuk PLBN

Terpadu Motaain; 44,52% untuk PLBN Terpadu Entikong; 10,88%

untuk PLBN Terpadu Wini; 6% untuk PLBN Terpadu Skouw; 3,17%

untuk PLBN Terpadu Motaasin; 0,39% untuk PLBN Terpadu Nanga

Badau; dan 0,09% untuk PLBN Terpadu Aruk. Pembangunan

PLBN Entikong dan Motain dimulai lebih awal pada tahun 2015.

Adapun pembangunan kelima PLBN lainnya baru dimulai pada

awal tahun 2016. Pembangunan ketujuh PLBN Terpadu tersebut

ditargetkan akan rampung pada akhir tahun 2016. Selain ketujuh

PLBN, pemerintah juga berencana membangun 2 PLBN lainnya

yakni Oepoli di Provinsi NTT dan Waris di Provinsi Papua yang saat

ini pembangunannya masih dalam tahap pra design (Kementerian

PUPERA, 2016).

Realisasi pembangunan PLBN di beberapa kawasan masih

mengalami kendala. Salah satunya terjadi di kawasan Nanga

Badau, Provinsi Kalimantan Barat. Kendala pembangunan

PLBN di kawasan tersebut terutama berasal dari sulitnya proses

pembebasan lahan dan persoalan adat masyarakat setempat.

Sebelum proses konstruksi dimulai, Kementerian PUPR dan

kontraktor harus meminta izin kepada leluhur masyarakat setempah

dengan melakukan upacara adat terlebih dahulu. Hampir sama

dengan pembangunan di PLBN Nanga Badau, kendala yang

dihadapi dalam pembangunan PLBN Motaain juga berasal dari

sulitnya pembebasan tanah adat.

Untuk mengoptimalkan perdagangan lintas batas yang

menguntungkan bagi Indonesia, dalam Inpres disebutkan bahwa

salah satu infrastruktur yang perlu dibangun adalah pasar

perbatasan di kawasan PLBN dan memperlancar kegiatan

perdagangan atau tata niaga lintas batas negara. Pembangunan

pasar di daerah perbatasan sangat potensial untuk menarik

pembeli dari negara tetangga.

Salah satu pasar perbatasan yang potensial bagi Indonesia

adalah pasar perbatasan di daerah Skouw, Kota Jayapura. Sekitar

99% dari pembeli di pasar Skouw merupakan warga negara

Papua New Guinea (PNG). Setiap harinya diperkirakan terdapat

500 pembeli yang datang dari Desa Wutung, Provinsi Sandaun,

PNG. Kondisi infrastruktur di Skouw yang lebih baik dibandingkan

kondisi di PNG dan didukung oleh tersedianya pasar perbatasan

mendorong ketergantungan masyarakat perbatasan PNG

terhadap pasokan barang dari Indonesia. Kondisi yang sebaliknya

justru terjadi di Entikong. Keterbatasan infrastruktur menyebabkan

pasokan kebutuhan barang dan jasa untuk masyarakat Indonesia

di kawasan ini menjadi tidak terpenuhi, sehingga masyarakat

cenderung lebih bergantung pada negara tetangga, yaitu Malaysia.

Daya konsumsi masyarakat Indonesia di daerah perbatasan

Entikong seharusnya dapat dimanfaatkan oleh Indonesia dengan

membangun pasar yang nyaman di kawasan perbatasan, sehingga

meminimalisir ketergantungan pada Malaysia.

Kebijakan percepatan pembangunan atau revitalisasi serta

penataan pasar perlu dilakukan untuk menarik pembeli dan

mendorong transaksi ekonomi di pasar perbatasan. Selain

menangkap potensi perdagangan dalam negeri, penyediaan

infrastruktur termasuk pasar, jalan, pasokan listrik dan fasilitas

lainnya yang lebih memadai dibandingkan negara tetangga

berpotensi memberikan kontribusi pada kinerja perdagangan

luar negeri melalui ekspor. Oleh karena itu, dibutuhkan dukungan

instansi lainnya seperti kantor Bea dan Cukai untuk memastikan

transaksi perdagangan terekam dengan baik sehingga pasar

perbatasan dapat menjadi etalase perdagangan dan mendukung

ekspor Indonesia. (Fitria Faradila)

Page 30: Daftar Isi - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Isi_Warta_12_Nov_FINAL.pdf · impor (dengan kuota yang ada). Hal. 8 Industri Pulp and Papers (Pulp dan Kertas)

WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 3130 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016

Percepatan Pengembangan Industri Farmasi

Pada pertengahan 2016 pemerintah menerbitkan Instruksi

Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2016 tentang Percepatan

Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan (Alkes), sebagai

tindak lanjut Paket Kebijakan Ekonomi Jilid XI. Tujuan dari kebijakan ini

adalah untuk mewujudkan kemandirian serta meningkatkan daya saing

industri farmasi dan alat kesehatan dalam negeri melalui percepatan

pengembangan industri farmasi dan alat kesehatan. Langkah-langkah

kebijakan tersebut dilaksanakan dalam berbagai bentuk aktifitas, yaitu:

(i) Menjamin ketersediaan farmasi dan alat kesehatan sebagai upaya

peningkatan pelayanan kesehatan dalam rangka Jaminan Kesehatan

Nasional; (ii) Meningkatkan daya saing industri farmasi dan alat

kesehatan di dalam negeri dan ekspor; (iii) Mendorong penguasaan

teknologi dan inovasi dalam bidang farmasi dan alat kesehatan; dan

(iv) Mempercepat kemandirian dan pengembangan produksi bahan

baku obat, obat, dan alat kesehatan untuk pemenuhan kebutuhan

dalam negeri dan ekspor serta memulihkan dan meningkatkan

kegiatan industri/utilisasi kapasitas industri (Setkab.go.id, 2016).

Industri farmasi dan alkes, dalam Rencana Induk Pengembangan

Industri Nasional (RIPIN) 2015 – 2035, termasuk dalam kelompok

Industri Andalan. Dalam dokumen tersebut dikatakan bahwa “Industri

Andalan adalah industri prioritas yang berperan besar sebagai

penggerak utama (prime mover) perekonomian di masa yang akan

datang. Selain memperhatikan potensi sumber daya alam sebagai

sumber keunggulan komparatif, industri andalan tersebut memiliki

keunggulan kompetitif yang mengandalkan sumber daya manusia

yang berpengetahuan dan terampil, serta ilmu pengetahuan dan

teknologi”. Menurut Profil Kesehatan tahun 2014, di Indonesia

terdapat 239 industri farmasi yang 75% diantaranya berada di pulau

Jawa. Pangsa pasar domestik industri farmasi sebanyak 32% nya

dikuasai oleh lima industri besar yaitu Kalbe Farma, Sanbe, Soho,

Pharos Indonesia, dan Dexa Medica.

Berdasarkan kepemilikan modal hingga tahun 2015, perusahaan

farmasi masih didominasi oleh perusahaan domestik yakni 72% dari

total perusahaan farmasi, sementara sisanya merupakan perusahaan

multinasional. Banyaknya perusahaan farmasi domestik didukung

pula oleh tren realisasi investasi di sektor ini, dimana laju pertumbuhan

realisasi investasi domestik mengalami pertumbuhan sebesar 44,7%

per tahun, sementara pertumbuhan realisasi investasi asing hanya

19,8% per tahun selama periode 2010–2015. Jika dilihat dari jenis

obat yang dipasarkan, obat di pasar dalam negeri didominasi oleh obat

resep dengan pangsa 61% dan sisanya adalah obat bebas. Namun

demikian, dari dua jenis obat tersebut, industri farmasi domestik hanya

menguasai masing masing 38% dan 34% (Mandiri Industry Update,

2016).

Dari sisi perdagangan luar negeri, total perdagangan untuk produk

farmasi, khususnya obat dan bahan baku obat, mencapai USD 2,8

miliar atau tumbuh 4,3% per tahun selama periode 2012–2015 (BPS,

2016). Nilai total perdagangan tersebut terdiri atas nilai perdagangan

obat yang mencapai USD 1 miliar dan bahan baku obat sebesar USD

1,8 miliar. Apabila ditelisik lebih lanjut dari neraca perdagangannya,

terlihat bahwa perdagangan luar negeri Indonesia untuk produk

farmasi mengalami defisit dalam arti masih bergantung kepada impor.

Neraca perdagangan obat dan bahan baku obat di tahun 2015 defisit

mendekati angka USD 1,0 miliar yang terdiri atas defisit perdagangan

obat USD 125,4 Juta dan defisit bahan baku obat USD 842,2 Juta.

Dokumen RIPIN 2015-2035 dan Inpres Nomor 6 Tahun 2016

tentang kebijakan pengembangan industri farmasi dilatarbelakangi

oleh masih tingginya ketergantungan impor baik terhadap obat

maupun bahan baku obat. Oleh karena itu, diharapkan kebijakan

yang dimunculkan tersebut mampu menjadi solusi atas kondisi yang

ada dan mampu meningkatkan ekspor komoditas farmasi. Untuk itu

kebijakan tersebut dapat disesuaikan dengan sasaran dengan tidak

melupakan kondisi kefarmasian di dunia.

Menurut Kajian OECD tahun 2013, sektor farmasi merupakan

sektor yang sangat terglobalisasi dimana inovasi merupakan

faktor penggerak utama dengan kooperasi dan kompetisi diantara

perusahaan besar maupun kecil, sehingga sudah barang tentu tidak

akan lepas dari konsep Rantai Nilai Global (Global Value Chain, GVC).

Zhang et. al. di Journal of International Commerce and Economics

tahun 2011, menyatakan bahwa industri farmasi termasuk dalam

rantai komoditas yang berada pada posisi Producer-Driven. Ciri

komoditas Producer Driven adalah yang mendorong rantai komoditas

global lebih bersifat industri capital, kompetensi utamanya adalah pada

riset dan pengembangan produksinya, kepemilikan atas perusahaan

manufaktur adalah perusahaan multinasional, dan berdasarkan atas

hubungan jaringan investasi.

Kenyataan menunjukkan bahwa industri dan perdagangan farmasi

terikat langsung dengan GVC sehingga kemampuan untuk dapat

tergabung dalam GVC menjadi keharusan. Brennan dan Rakhmatullin

dalam Global Value Chains and Smart Specialisation Strategy, Joint

Research Centre (JRC) Science Policy Report (Desember 2015)

menyebutkan bahwa daya sain g sebuah negara dalam GVC tidaklah

diukur dari kapasitas suatu negara untuk mengembangkan industri yang

terintegrasi, namun lebih pada kapasitasnya untuk mengidentifikasi

posisi terbaiknya di dalam GVC. Hal ini mengindikasikan bahwa ada

tiga level yang perlu diukur terkait dengan GVC untuk industri farmasi,

yaitu: (i) Kapasitas untuk bergabung dalam GVC; (ii) Bagaimana

memahami dan cara menempatkan diri pada posisi yang saat ini

belum dapat diraih; serta (iii) Kemampuan menentukan sasaran pada

level rantai nilai tertinggi yang mana dari GVC yang akan diraih. (Umar Fakhrudin)

Page 31: Daftar Isi - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Isi_Warta_12_Nov_FINAL.pdf · impor (dengan kuota yang ada). Hal. 8 Industri Pulp and Papers (Pulp dan Kertas)

WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 3130 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016

Propinsi Jawa Timur dikenal masyarakat dengan

berbagai kekhasannya, seperti makanan terutama petis

dan kerupuk udang. Bahkan, kerupuk udang Sidoarjo telah

berhasil menembus pasar ekspor di Asia, Timur Tengah dan

Eropa. Tentu saja tidak hanya makanan yang mempunyai potensi

untuk menjadikan Jawa Timur terkenal, namun masih banyak lagi

sumber daya potensial lainnya.

Jawa Timur mempunyai luas wilayah sebesar 47.154 km2

yang terdiri dari 38 Kabupaten/Kota, 664 Kecamatan dan

8.501 Desa/Kelurahan dengan kepadatan penduduk 807 jiwa/

km2. Propinsi ini menjadi pusat kegiatan ekonomi khususnya

pusat logistik dan konektivitas perdagangan, juga sebagai

pintu gerbang dan motor penggerak pembangunan di Indonesia

bagian timur dan Kalimantan. Potensi sumber daya alam di Jawa

Timur bervariasi dan cukup menjanjikan, antara lain:

a. Sektor Pertanian: Produksi padi sebesar 13,05 juta ton/

tahun, Jagung 6.038 juta ton/tahun, Tebu 1.250 juta ton/

tahun, Kopi 63 ribu ton/tahun dan Coklat 34 ribu ton/tahun;

b. Sektor Perikanan: Produksi ikan Cakalang 7.003 ton/

tahun (lokasi di Trenggalek, Jember, Malang dan Blitar),

Udang Windu 34.251 ton/tahun (lokasi di Sampan), Ikan

Kakap Merah 2.012 ton/tahun (lokasi Gresik, Sumenep,

Probolinggo) dan Ikan Tuna 3.967 ton/tahun (lokasi di

Banyuwangi, Malang danTrenggalek);

c. Sektor Pertambangan: Produksi gamping (dolomite)

(lokasi di Pacitan, Trengglaek, Tulungagung, Ponorogo,

Ngawi, Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Nganjuk, Jember,

Bondowoso dan Banyuwangi), Batu Pualam dan Marmer

(marble dan onyx) (lokasi Tulungagung), Pasir Besi (iron

sand) (lokasi di Lumajang, Trenggalek), Emas, Silver dan

Perak (lokasi di Lumajang, Banyuwangi) (Dinas Pertanian

Prop. Jatim, 2015).

Kontribusi sektor pertanian di Propinsi Jawa Timur terhadap

kebutuhan nasional pada tahun 2015 untuk komoditas padi

mengalami surplus sebesar 4,97 juta ton sehingga dapat

mencukupi kebutuhan konsumsi penduduk Indonesia sebesar

43,3 juta jiwa dengan perhitungan konsumsi beras nasional 114

kg/kapita/tahun. Komoditas jagung juga mengalami surplus

sebesar 3,4 juta ton, sedangkan untuk komoditas kedelai

mengalami defisit sebesar 46,9 ribu ton ( Dinas Pertanian Prop.

Jatim, 2015). Sementara itu, produksi hasil peternakan di Jawa

Timur terutama untuk daging sapi, telur dan susu, masing-masing

berkontribusi sebesar 22%, 35% dan 53% terhadap kebutuan

nasional (Dinas Peternakan Prop. Jatim , 2015).

Secara umum kinerja ekonomi makro Jawa Timur dapat dilihat

dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), dimana struktur

Mengenal Potensi dan Upaya Jawa Timur dalam Memperkuat Sektor Industri dan Perdagangan

PDRB terdiri dari industri pengolahan 29,76%, pertanian 14,07%,

dan perdagangan besar dan eceran sub sektor industri makanan

dan minuman yang meningkat dari 27,29% pada tahun 2015

meningkat menjadi 29,26 % pada Triwulan I tahun 2016. Demikian

pula untuk sub sektor pengolahan tembakau dan industri kimia,

farmasi dan obat tradisional, masing-masing kontribusinya dari

26,08 % dan 9,07% pada tahun 2015 meningkat menjadi 26,85

% dan 9,19 % pada triwulan I tahun 2016.

Pertumbuhan produksi manufaktur mikro dan kecil sebesar

5,43% lebih tinggi dibanding periode yang sama tahun 2015

sebesar 4,33%. Produksi industri manufaktur besar dan sedang

pada triwulan I tahun 2016 tumbuh sebesar 0,81% dibanding

periode yang sama tahun 2015. Untuk pertumbuhan produksi

beberapa sub kategori industri mikro dan kecil (percetakan,

makanan, pakaian jadi, tekstil, kendaraan bermotor, mesin, kulit

dan alas kaki dan pengolahan tembakau) serta pertumbuhan

produksi beberapa sub kategori industri besar dan sedang

(industri tekstil, minuman, kulit dan alas kaki, furnitur, makanan

dan mesin) pada triwulan I 2016 keduanya tumbuh lebih besar

dari 5% (BPS. Prov. Jatim, 2016).

Untuk menghadapi tantangan ekonomi global dan menuju

ekonomi inklusif, pemerintah Propinsi Jawa Timur menciptakan

inovasi pelayan publik dengan nama JATIMNOMICs yang

merupakan pengembangan dari Indonesia Incorporated

(Kunjungan Kerja DPR-RI Komisi VI, 2016). Konsep ini dipandang

perlu karena dapat menjadi solusi dalam menghadapi tantangan

ekonomi global terutama Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).

Konsep ini merupakan pemikiran ekonomi kekeluargaan yang

menekankan potensi atau kekayaan dimiliki sebesar besarnya

untuk masyarakat dimana konsep ini memiliki tiga aspek,

yaitu aspek produksi yang meliputi segmen Usaha Mikro Kecil

dan Menengah (UMKM) serta segmen usaha besar, aspek

pembiayaan yang kompetitif, dan aspek pemasaran. Ketiga

aspek tersebut harus dilibatkan dalam mengambil keputusan

bersama dan saling keterkaitan sehingga dapat menimbulkan

kekuatan tersendiri baik dalam bidang ekonomi maupun dalam

menghadapi tantangan di bidang lainnya.

Untuk usaha UMKM dan bisnis usaha besar, Pemerintah

Propinsi Jawa Timur melakukan pengembangan Sumber Daya

Manusia (SDM) melalui inkubator bisnis dan standardisasi

keterampilan SDM. Contohnya, membangun Sekolah Menengah

Kejuruan Mini (SMK Mini) yaitu sekolah kejuruan yang mempunyai

prinsip program studi (prodi) sesuai permintaan bursa kerja

antara lain prodi pengelasan, tataboga, perhotelan, dan mesin.

Selain itu, Balai Pelatihan Kerja juga memberikan keterampilan

berstandar internasional dan mencetak wirausaha. Dalam aspek

Page 32: Daftar Isi - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Isi_Warta_12_Nov_FINAL.pdf · impor (dengan kuota yang ada). Hal. 8 Industri Pulp and Papers (Pulp dan Kertas)

WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 3332 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016

pembiayaan yang kompetitif, Pemerintah Jawa Timur mendirikan

Lembaga Keuangan Mikro Jawa Timur yang di dalamnya termasuk

Koperasi Wanita, pengembangan Koperasi Pondok Pesantren

(Kopontren), pengembangan Lembaga Masyarakat Desa Hutan

(LMDH) dan pengembangan koperasi. Sementara untuk aspek

pemasaran, Pemerintah Jawa Timur mengoptimalkan pasar

domestik, penguatan pasar global dan penguatan pasar ASEAN.

Konsep JATIMNOMICs merupakan terobosan dan inovasi

dari Pemerintah Jawa Timur untuk mengoptimalisasikan

potensi ekonomi dengan melibatkan seluruh masyarakat baik

eksekutif, legislatif, dunia usaha/lembaga keuangan serta tidak

meninggalkan peran masyarakat. Selain itu, Pemerintah Jawa

Timur juga terus berusaha untuk mengeluarkan kebijakan dan

regulasi yang dapat memberikan dampak positif terhadap

kehidupan ekonomi, politik, sosial dan budaya di Jawa Timur.

(Puspita Dewi)

Pada tanggal 28 April 2004, Dewan Keamanan Perserikatan

Bangsa-Bangsa (PBB) dengan suara bulat telah

mengesahkan Resolusi 1540 (UNSCR 1540) yang menegaskan

bahwa proliferasi nuklir, senjata kimia, dan sarana pengangkutannya

merupakan ancaman bagi perdamaian dan keamanan internasional.

Resolusi mewajibkan kepada negara-negara anggota PBB untuk

tidak memberikan dukungan kepada perusahaan yang membantu

perdagangan dan proliferasi senjata pemusnah masal, mengadopsi

dan menegakkan hukum serta mencegah proliferasi senjata

pemusnah masal.

Resolusi tersebut menjadi dasar bagi negara-negara anggota,

seperti European Union (EU) dan Amerika Serikat (AS) untuk

memperketat pengaturan ekspor barang strategis. Rezim pengendalian

ekspor diatur dalam EC No. 428/2009 yang berisi ketentuan umum

pengendalian ekspor, daftar barang dwi-fungsi (dual-use goods),

serta koordinasi dan kerja sama untuk membantu implementasi dan

penegakan hukumnya. Sementara itu, Pemerintah AS mengeluarkan

dua aturan utama yaitu Export Administration Regulations (EAR) yang

mengatur ekspor barang-barang komersial yang berpotensi untuk

aplikasi militer (barang dwi-fungsi) dan International Traffic in Arms

Regulations (ITAR) yang mengatur ekspor barang dan jasa yang

secara khusus dirancang untuk keperluan militer.

Secara umum, barang dwi-fungsi didefinisikan sebagai barang,

perangkat lunak dan teknologi yang dapat digunakan untuk keperluan

sipil maupun untuk militer dan/atau dapat berkontribusi dalam

pengembangan senjata pemusnah massal. Di AS, produk dwi-fungsi

di kategorikan ke dalam sembilan kelompok, meliputi: bahan baku

dan peralatan nuklir; zat kimia, mikro-organisme, dan zat berbahaya;

bahan pengolahan; elektronik; komputer; telekomunikasi dan

keamanan informasi; sensor dan laser; peralatan navigasi; armada laut;

dan peralatan ruang angkasa. Contoh barang dwi-fungsi adalah tri-

ethanolamine, yang merupakan zat kimia yang biasa digunakan sebagai

bahan baku kosmetik maupun sampo, namun dapat diaplikasikan

untuk keperluan militer khususnya pembuatan gas beracun. Ekspor

barang tersebut pada prinsipnya tidak dilarang, namun harus tunduk

pada kontrol ketat yang umumnya dalam bentuk lisensi.

Negara di kawasan ASEAN yang telah memiliki kerangka hukum

pengaturan ekspor barang strategis adalah Singapura, Malaysia,

dan Filipina. Singapura telah mengimplementasikan Strategic Goods

Control Act (SGCA) sejak 2003, Malaysia telah memiliki Strategic

Trade Act (STA) 2010, dan terbaru Filipina telah memiliki Undang-

Undang No. 10697 atau Strategic Trade Management Act (STMA)

yang ditandatangi oleh Presiden Benigno S. Aquino III pada 13

November 2015. Secara umum, bagi yang melanggar ketentuan

tersebut diberikan sanksi berupa denda finansial maupun hukuman

penjara. Hukuman paling keras diimplementasikan oleh Malaysia

dengan memberikan pinalti terberat berupa hukuman mati atau

penjara seumur hidup.

Di Indonesia, ekspor barang strategis yang memiliki dwi-fungsi

belum diatur dalam suatu kerangka hukum yang jelas. Meskipun

demikian, ada beberapa peraturan seperti Peraturan Menteri

Perdagangan No. 13/M-DAG/PER/3/2012 tentang Ketentuan Umum

di Bidang Ekspor yang memberikan dasar pengaturan terhadap tiga

jenis produk ekspor, yaitu: barang bebas ekspor, barang dibatasi

ekspor, dan barang dilarang ekspor. Barang-barang yang masuk

kategori dibatasi maupun dilarang ekspornya pada umumnya

merupakan komoditas biasa, seperti: rotan, biji timah, batu mulia, dan

ikan napoleon. Dalam hal ini, pembatasan dan pelarangan ekspor

lebih ditujukan pada upaya melindungi mahluk hidup atau lingkungan,

pemenuhan pasokan di pasar dalam negeri, serta peningkatan nilai

tambah produk. Sementara untuk importasi barang-barang berbahaya

diatur dalam melalui Permendag No.23/M-DAG/PER/9/2011 Tentang

Perubahan atas Permendag No. 44/M-DAG/PER/9/2009 Tentang

Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan Bahan Strategis dan

Berbahaya. Barang-barang berbahaya yang dilarang ataupun diatur

impornya diantaranya bahan senjata kimia, narkotika, limbah B3, nitro

cellulose, prekusor, dan bahan perusak lapisan ozon dan peralatan

militer. Khusus untuk ekspor/impor peralatan militer mengacu pada

Undang-Undang No. 16/2012 tentang Industri Pertahanan yang

mensyaratkan bagi eksportir dan importir untuk mengajukan izin

kepada Kementerian Pertahanan dan untuk bahan peledak juga

diatur secara khusus melalui Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 36

Tahun 2012 tentang Pedoman dan Tata Cara Perizinan, Pembinaan,

Pengembangan, Pengawasan, dan Pengendalian Industri Bahan

Peledak. (Reni K. Arianti)

Sekilas Tentang Kebijakan Pengendalian Ekspor Barang Dwi-Fungsi

Page 33: Daftar Isi - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Isi_Warta_12_Nov_FINAL.pdf · impor (dengan kuota yang ada). Hal. 8 Industri Pulp and Papers (Pulp dan Kertas)

WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 3332 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016

SERBA SERBI

Policy Dialogue Series untuk Pemberdayaan Konsumen

Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BPPP)

bekerjasama dengan Australia Indonesia Partnership for Economic

Governance (AIPEG) menyelenggarakan Policy Diaogue Series (PDS)

dengan tema “Pengembangan Consumer Group Sebagai Upaya

Peningkatan Keberdayaan Konsumen” pada hari Senin, 15 Agustus

2016 di Auditorium Kementerian Perdagangan. PDS dibuka secara

resmi oleh Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib

Niaga (PKTN) Syahrul Mamma dan dihadiri Kepala BPPP Tjahya

Widayanti bersama para pejabat Eselon II di lingkungan Kementerian

Perdagangan, akademisi, serta perwakilan dari

Dinas Perindustrian dan Perdagangan se-

Jabodetabek. Sebagai pembicara pada

kegiatan ini adalah Consumer Protection

Advisor AIPEG, Allan Asher; Guru

Besar IPB, Ujang Sumarwan; Ketua

Lembaga Konsumen Yogyakarta,

Saktya Rini Hastuti; dan Direktur

Pemberdayaan Konsumen, Ganef

Judawati dengan moderator Penggiat

Perlindungan Konsumen, Atih Surjati.

BPPP Raih Juara Umum Wilayah Tertib Administrasi Tahun 2016

Dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintah yang baik (good

governance) dan bebas dari korupsi (clean government) di lingkungan

Kementerian Perdagangan, Inspektorat Jenderal Kementerian

Perdagangan secara rutin menyelenggarakan kegiatan Wilayah Tertib

Administrasi (WTA) sebagai upaya mempercepat pemberantasan

korupsi. Pada tahun 2016, BPPP berhasil mendapatkan penilaian

tertinggi dan menjadi juara umum dalam kegiatan WTA ini. Penyerahan

piala juara umum dilaksanakan bertepatan dengan upacara Hari

kemerdekaan RI ke-71 dan diberikan oleh Menteri Perdagangan

kepada Kepala BPPP. Beberapa parameter penilaian dalam WTA

adalah pelaksanaan kinerja, pengelolaan

keuangan dan barang milik negara,

pengelolaan Sumber Daya Manusia,

hasil pengawasan, dan pelaksanaan

percepatan pemberantasan

korupsi. Pelaksanaan kegiatan

WTA ini merupakan implementasi

dari Instruksi Presiden No. 5 Tahun

2004 dan No. 4 Tahun 2011 serta

Peraturan Menteri PAN dan RB No. 60

Tahun 2012.

Diskusi Penulisan Bunga Rampai Info Komoditi Tahun 2017Dalam rangka penerbitan Bunga Rampai Info Komoditi (BRIK) tahun 2017, Badan Pengkajian

dan Pengembangan Perdagangan (BPPP) menyelenggarakan Diskusi Penulisan BRIK Tahun 2017

pada hari Rabu, 24 Agustus 2016. BPPP berencana untuk menerbitkan dua Bunga Rampai Info

Komoditi (BRIK) dengan topik Tanaman Obat dan Furnitur pada tahun 2017. Kegiatan ini dihadiri

oleh tim penulis dan editor BRIK tahun 2017, perwakilan dari Direktorat Ekspor Produk Pertanian dan

Kehutanan Kementerian Perdagangan, Direktorat Sayuran dan Tanaman Obat Kementerian Pertanian,

GP Jamu, serta Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI).

Rapat Dewan Redaksi dan Mitra Bestari BILP

Dalam rangka penerbitan Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan

(BILP) Edisi Desember 2016, Redaksi Pelaksana melakukan rapat

bersama Dewan Redaksi dan Mitra Bestari pada tanggal 26

Agustus 2016 di Hotel Sari Pan Pacific Jakarta. Tujuan pelaksanaan

rapat untuk melakukan pembahasan terhadap tujuh naskah yang

diterima oleh Redaksi Pelaksana. Selain itu, rapat juga membahas

rencana penyelenggaraan kegiatan Seminar Nasional dan Call For

Paper Tahun 2017 sebagai salah satu upaya penjaringan naskah-

naskah berkualitas untuk diterbitkan dalam BILP.

Policy Dialogue Series untuk Perbaikan Kemudahan BerusahaBadan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BPPP)

bekerjasama dengan Australia Indonesia Partnership for Economic

Governance (AIPEG) menyelenggarakan Policy Diaogue Series

(PDS) dengan tema “Upaya Meningkatkan Posisi Indonesia dalam

Ranking Ease of Doing Business” di Hotel Grand I Batam pada hari

Kamis, 6 Oktober 2016. Acara yang dibuka oleh

Kepala BPPP ini menghadirkan narasumber

utama Vera Kobalia, Mantan Menteri

Ekonomi Georgia yang saat ini menjadi

International Doing Business Advisor dari

AIPEG. Selain itu dalam acara ini juga

disampaikan penjelasan tentang Manfaat

Paket Kebijakan Ekonomi bagi dunia

usaha di Batam oleh Kasan Muhri, Staf

Ahli Mendag bidang Hubungan Internasional

selaku PIC dari Kelompok Kerja I Satuan Tugas

Percepatan dan Efektivitas Pelaksanaan Kebijakan Ekonomi.

Page 34: Daftar Isi - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Isi_Warta_12_Nov_FINAL.pdf · impor (dengan kuota yang ada). Hal. 8 Industri Pulp and Papers (Pulp dan Kertas)

WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 3534 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016

Sumber: Dinas Perindag, diolah Ditjen PDN

NO KOMODITI SATUAN 2016 Agustus Rata2 Prbhn

Minggu Okt Okt-Sep

2016 (%)

1 Beras Medium Kg 10.804 10.895 10.889 10.704 10.599 10.578 10.543 10.570 10.601 10.643 10.652 0,48

2 Gula Pasir Kg 13.106 13.129 13.054 13.188 14.835 15.866 16.266 15.715 14.830 14.481 14.510 (2,15)

3 Minyak Goreng Kemasan Ltr 15.065 14.949 14.857 14.891 14.964 15.023 14.902 14.857 14.935 14.975 14.974 0,26

4 Minyak Goreng Curah Ltr 10.365 10.458 10.631 11.092 11.425 11.528 11.304 11.361 11.713 11.618 11.730 0,15

5 Daging Sapi Kg 111.040 112.698 112.868 112.482 112.909 115.070 115.344 114.282 114.131 113.476 113.515 (0,54)

6 Daging Ayam Broiler Kg 34.087 31.729 29.813 29.140 30.513 32.300 33.326 32.377 31.041 30.092 30.211 (2,68)

7 Daging Ayam Kampung Kg 61.933 61.197 60.919 60.206 60.306 62.507 64.652 64.002 63.765 63.188 63.237 (0,83)

8 Telur Ayam Ras Kg 25.538 24.585 22.787 22.153 22.664 24.021 23.698 23.646 22.937 22.471 22.514 (1,85)

9 Telur Ayam Kampung Kg 42.514 42.370 41.925 41.795 41.667 42.075 41.613 42.028 43.626 43.949 43.945 0,73

10 Susu Kental Manis 397g 10.269 10.208 10.236 10.248 10.288 10.323 10.321 10.342 10.375 10.442 10.439 0,62

11 Tepung Terigu Kg 9.079 9.080 9.096 9.036 8.989 9.021 9.027 9.000 8.961 8.977 8.957 (0,05)

12 Kedelai Impor Kg 11.038 10.998 10.998 10.908 10.903 10.778 10.774 10.659 10.606 10.616 10.609 0,03

13 Kedelai lokal Kg 11.032 11.036 11.079 11.030 11.073 11.176 11.151 11.150 11.149 11.064 11.087 (0,56)

14 Mie Instant Bngks 2.207 2.255 2.293 2.302 2.311 2.318 2.322 2.330 2.337 2.340 2.339 0,07

15 Cabe Merah Keriting Kg 32.430 32.653 44.333 32.210 31.045 30.819 32.438 33.405 37.745 42.140 38.491 1,98

16 Cabe Merah Besar Kg 32.567 36.758 45.801 32.498 31.302 31.438 31.833 31.952 36.987 40.661 37.197 0,57

17 Cabe Rawit Merah Kg 40.629 33.778 49.276 35.698 34.657 34.833 40.253 44.529 37.790 32.469 32.371 (14,34)

18 Bawang Merah Kg 35.483 30.958 38.741 43.529 42.646 38.057 43.176 41.248 40.359 36.306 37.120 (8,03)

19 Bawang Putih Kg 29.542 30.827 34.564 37.337 37.400 37.293 37.754 36.281 36.684 36.287 36.485 (0,54)

20 Ikan Teri Asin Kg 68.536 69.430 70.679 71.210 71.337 72.096 72.894 73.034 73.012 71.293 72.218 (1,09)

21 Kacang Hijau Kg 21.067 20.878 20.913 20.947 21.057 21.213 21.265 21.443 21.145 20.590 20.744 (1,90)

22 Kacang Tanah Kg 25.368 24.862 24.894 25.114 25.179 26.268 26.744 26.648 26.242 25.525 25.637 (2,31)

23 Ketela Pohon Kg 5.422 5.501 5.506 5.524 5.601 5.774 5.831 5.821 5.845 5.635 5.646 (3,41)

24 Jagung Pipilan Kg 6.759 7.241 7.232 7.218 7.153 7.129 7.207 7.172 7.133 7.139 7.129 (0,05)

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Mg II

DATA STATISTIK PERDAGANGAN

PERKEMBANGAN HARGA RATA-RATA BARANG KEBUTUHAN POKOK

DAN BARANG JENIS LAINNYA SECARA NASIONAL

SELAMA BULAN JANUARI SAMPAI DENGAN 10 OKTOBER 2016

Page 35: Daftar Isi - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Isi_Warta_12_Nov_FINAL.pdf · impor (dengan kuota yang ada). Hal. 8 Industri Pulp and Papers (Pulp dan Kertas)

WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 3534 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016

NERACA PERDAGANGAN INDONESIA

PERIODE : JANUARI 2016 - AGUSTUS 2016*

No. Uraian Nilai (USD Juta) Jan-Ags Perubahan %

Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Ags* 2015 2016* 16/15

Sumber : BPS (diolah PDSI, Setjen Kementerian Perdagangan) Catatan : *) Angka Sementara

NERACA PERDAGANGAN INDONESIA

PERIODE 2011-2016

No. URAIAN Nilai : Juta USD JAN - JUL Perub Tren

2011 2012 2013 2014 2015 2015 2016 16/15 (%) 11-15(%)

I. Ekspor 203.496,6 190.020,3 182.551,8 175.980,0 150.366,3 64.911,0 56.592,8 -12,81 -6,59

- Migas 41.477,0 36.977,3 32.633,0 30.018,8 18.574,4 8.552,2 5.310,3 -37,91 -16,60

- Non Migas 162.019,6 153.043,0 149.918,8 145.961,2 131.791,9 56.358,8 51.282,5 -9,01 -4,50

II. Impor 177.435,6 191.689,5 186.628,7 178.178,8 142.694,8 60.971,3 53.898,7 -11,60 -4,96

- Migas 40.701,5 42.564,2 45.266,4 43.459,9 24.613,2 10.519,4 6.927,4 -34,15 -9,38

- Non Migas 136.734,0 149.125,3 141.362,3 134.718,9 118.081,6 50.451,9 46.971,3 -6,90 -3,87

III. Total Perdagangan 380.932,2 381.709,7 369.180,5 354.158,8 293.061,1 125.882,3 110.491,5 -12,23 -5,82

- Migas 82.178,6 79.541,4 77.899,4 73.478,7 43.187,5 19.071,5 12.237,7 -35,83 -12,77

- Non Migas 298.753,6 302.168,3 291.281,1 280.680,1 249.873,5 106.810,8 98.253,8 -8,01 -4,22

IV. Neraca 26.061,1 -1.669,2 -4.076,9 -2.198,8 7.671,5 3.939,7 2.694,2 -31,61 -

- Migas 775,5 -5.586,9 -12.633,3 -13.441,1 -6.038,8 -1.967,2 -1.617,1 17,80 -

- Non Migas 25.285,5 3.917,7 8.556,4 11.242,3 13.710,3 5.906,9 4.311,2 -27,01 -1,69

Sumber : BPS (diolah PDSI, Setjen Kementerian Perdagangan)

I Ekspor 10.480,6 11.312,0 11.810,0 11.475,9 11.514,3 12.974,4 9.530,8 12.632,3 102.616,9 91.730,3 -10,61

- Migas 1.108,0 1.113,3 1.239,3 891,8 957,9 1.187,3 998,7 1.128,0 12.944,8 8.624,3 -33,38

- Non Migas 9.372,6 10.198,7 10.570,7 10.584,1 10.556,4 11.787,1 8.532,1 11.504,3 89.672,1 83.106,0 -7,32

II Impor 10.467,0 10.175,6 11.301,7 10.813,6 11.140,7 12.095,2 9.017,2 12.338,7 96.430,6 87.349,7 -9,42

- Migas 1.221,5 1.122,9 1.552,4 1.362,1 1.668,5 1.772,2 1.506,4 1.755,7 17.499,3 11.961,7 -31,64

- Non Migas 9.245,5 9.052,7 9.749,3 9.451,5 9.472,2 10.323,0 7.510,8 10.583,0 78.931,3 75.388,0 -4,49

III Total Perdagangan 20.947,6 21.487,7 23.111,7 22.289,5 22.655,0 25.069,6 18.548,0 24.971,0 199.047,5 179.080,0 -10,03

- Migas 2.329,6 2.236,2 2.791,7 2.253,9 2.626,4 2.959,5 2.505,1 2.883,7 30.444,1 20.586,0 -32,38

- Non Migas 18.618,0 19.251,5 20.320,0 20.035,6 20.028,6 22.110,1 16.042,9 22.087,3 168.603,4 158.494,0 -6,00

IV Neraca 13,6 1.136,4 508,3 662,3 373,6 879,2 513,6 293,6 6.186,3 4.380,6 -29,19

- Migas -113,5 -9,6 -313,1 -470,3 -710,6 -584,9 -507,7 -627,7 -4.554,5 -3.337,4 -26,72

- Non Migas 127,1 1.146,0 821,4 1.132,6 1.084,2 1.464,1 1.021,3 921,3 10.740,8 7.718,0 -28,14

Page 36: Daftar Isi - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Isi_Warta_12_Nov_FINAL.pdf · impor (dengan kuota yang ada). Hal. 8 Industri Pulp and Papers (Pulp dan Kertas)

WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016 PB36 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016

EKSPOR - IMPOR INDONESIA,

2O11 - 2O16 (JANUARI-JULI)(Nilai : Juta USD)

225.000.00

200.000.00

175.000.00

150.000.00

125.000.00

100.000.00

75.000.00

50.000.00

25.000.00

0.0 2011 2012 2013 2014 2015 2015 (Jan-Jul) 2016 (Jan-Jul)

Ekspor 203.496,6 190.020,3 182.551,8 175.978,5 150.366,3 89.890,9 79.098,0

Impor 177.435,6 191.689,5 18.628,7 178.178,8 142.692,8 84.031,3 7.011,0

(Nilai : Juta USD)

30.000,0

25.000,0

20.000,0

15.000,0

10.000,0

5.000,0

0.0

-5.000,0

-10.000,0

-15.000,0

NERACA PERDAGANGAN INDONESIA,

2O11 - 2O16 (JANUARI-JULI)

Sumber : BPS (2015), diolah PDSI, Setjen Kementerian Perdagangan

Sumber : BPS (2015), diolah PDSI, Setjen Kementerian Perdagangan

2011 2012 2013 2014 2014 2015 (Jan-Jul) 2016 (Jan-Jul)

Migas 775,5 -5.586,9 -12.633,3 -13.441,1 -6.038,8 -3.977,3 -2.709,6

Non Migas 25.285,5 3.917,7 8.556,4 11.240,8 13.712,3 9.836,9 6.796,6

36 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume III. No. 12, Tahun 2016