Top Banner
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK Penyunting: Murti Andriastuti Irene Yuniar Wahyuni Indawati Nina Dwi Putri PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN LXVIII Current Evidences in Pediatric Emergencies Management
158

Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

Jun 18, 2018

Download

Documents

dinhthu
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK

Penyunting:Murti Andriastuti

Irene YuniarWahyuni Indawati

Nina Dwi Putri

PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN LXVIII

Current Evidences in Pediatric Emergencies Management

Page 2: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

ii

Hak Cipta dilindungi Undang-undangDilarang memperbanyak, mencetak dan menerbitkan sebagian atau seluruh buku dengan cara dan dalam bentuk apapun juga tanpa seizin penulis dan penerbit

Diterbitkan oleh:Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM

Cetakan Pertama 2014

ISBN 978-979-8271-50-2

Page 3: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

iii

Kata Sambutan Ketua Departemen IKA FKUI - RSCM

Assalamualaikum wr.wb

Salam sejahtera untuk kita semua.

Emergensi merupakan salah satu pilar penting dari ilmu kedokteran termasuk ilmu kesehatan anak. Keterlambatan atau kesalahan diagnosis dan tatalaksana pada emergensi anak dapat menyebabkan mortalitas maupun sekuele di kemudian hari. Hal inilah yang mendasari pentingnya penanganan awal yang tepat pada emergensi anak.

Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perkembangan ilmu emergensi anak juga berkembang dengan pesat. Berbagai studi terus dilakukan baik di Indonesia maupun di dunia mengenai emergensi pada anak. Studi-studi tersebut dapat memberikan data-data terbaru yang bermanfaat untuk pengembangan dan acuan terapi pada ilmu emergensi pada anak.

Berbeda dengan penanganan di bidang lain, penanganan emergensi memiliki tantangan tersendiri. Tatalaksana pasien gawat dan berlomba dengan waktu menuntut dokter harus berpikir dan bertindak cepat dalam menentukan diagnosis dan tatalaksana. Namun demikian, harus dipastikan bahwa keputusan penanganan yang diambil berdasarkan bukti ilmiah terkini sebagai landasan evidence-based medicine.

Oleh karena itu, seminar “current evidence in pediatric emergencies management” ini diharapkan dapat menjaga dan meningkatkan kompetensi sejawat di bidang emergensi anak sebagai upaya peningkatan kualitas pelayanan pada kasus-kasus yang berkaitan dengan emergensi di bidang pediatrik.

Ucapan terima kasih saya ucapkan kepada para pembicara yang berkenan berbagi ilmu dan pengalaman. Ucapan terima kasih dan apresiasi saya sampaikan kepada segenap panitia pelaksana di bawah koordinasi Prof.Dr.Jose RL Batubara, Ph.D , SpA(K) yang telah bekerja keras sehingga acara ini dapat terlaksana. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada para mitra Departemen IKA FKUI-RSCM yang telah berkontribusi pada acara ini.

Page 4: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

iv

Semoga acara ini dapat menambah wawasan dan keilmuan dibidang emergensi pediatri untuk seluruh peserta yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas pelayanan di masing-masing unit emergensi pediatri.

Akhir kata

Wassalamualaikum wr.wb.

Dr. dr. Aryono Hendarto Sp.A (K)Kepala Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM

Page 5: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

v

Kata Sambutan Ketua Panitia PKB Departemen IKA FKUI-RSCM LXVIII

Sejawat yang terhormat,

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, salam sejahtera untuk kita semua

Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia selalu berupaya untuk ikut serta menjaga agar kompetensi sejawat dokter anak tetap terjaga. Oleh sebab itu, Departemen Ilmu Kesehatan Anak secara periodic mengadakan Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (PKB) dan Pengembangan Profesionalisme Berkelanjutan (PPB) atau Continuing Medical Education and Continuing Professional Development

(CME-CPD) yang telah dilakukan sejak tahun 1980. Hingga saat ini, Departemen IKA FKUI-RSCM telah menyelenggarakan 67 kali PKB, 28 kali pelatihan, dan 14 kali simposium untuk awam. Tujuan dari diselenggarakannya PKB adalah agar pengetahuan dan ketrampilan sejawat dokter anak tetap terbarukan sesuai dengan bukti yang terakhir.

Dalam kegiatan yang berupa serial simposia ini, tema utama adalah aplikasi bukti ilmiah dalam praktik klinis dokter anak. Oleh karena itu berbagai judul yang diberikan kepada pembicara diharapkan memenuhi target ini, dan muaranya berupa tambahan atau penyegaran tata laksana yang langsung dapat diaplikasikan pada pasiennya.

Kegawatdaruratan pada pelayanan kesehatan anak dapat terjadi pada berbagai kesempatan termasuk dalam praktik dokter anak sehari-hari. Pada kesempatan kali ini, topik yang diketengahkan adalah Current evidences in pediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan dari berbagai sub-spesialisasi kesehatan anak.Departemen Ilmu Kesehatan Anak sebagai bagian dari FKUI mempunyai misi antara lain menyelenggarakan pendidikan kedokteran bertaraf internasional yang berbasis kompetensi. Juga sebagai bagian dari RS Dr. Cipto Mangunkusumo Departemen IKA mengemban tugas melebarkan sayap pendidikannya sehingga di masa yang akan datang akan ada model pendidikan berkelanjutan lainnya.

Page 6: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

vi

Kami berharap bahwa buku ini dapat membantu meningkatkan standar praktik klinik dokter anak.

Hormat kami,

Prof. Dr. Jose R. Batubara, PhD, Sp.A(K)Ketua Panitia Pelaksana

Page 7: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

vii

Kata Pengantar Tim Penyunting

Assalamualaikum Wr. Wb.Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT kami dapat menyelesaikan penyuntingan makalah Pendidikan Berkelanjutan ke-LXVIII Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. Ucapan terima kasih untuk semua anggota tim penyunting yang sudah bekerja keras dalam waktu yang relatif singkat. Kepada Tim PKB kami juga mengucapkan terima kasih atas kepercayaan yang diberikan untuk menyelesaikan tugas ini. Dalam penyuntingan buku ini, tim penyunting hanya menyesuaikan format makalah yang ada dengan format yang berlaku pada semua PKB IKA FKUI-RSCM. Mengenai isi makalah sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis. Kami berharap buku ini bermanfaat bukan hanya untuk peserta yang hadir, tapi juga dapat dibaca oleh dokter yang tidak berkesempatan hadir pada acara PKB ini.

Dalam PKB IKA FKUI-RSCM ke-LXVIII dengan topik: Current evidence in pediatric practices,menampilkan 16 makalah yang disampaikan oleh para pakar di bidang ilmu kesehatan anak. Para penulis adalah staf Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. Topik yang disampaikan adalah mengenai tata laksana pada kondisi emergensi sehingga diharapkan dapat membantu sejawat jika mendapatkan kasus emergensi dalam praktek sehari-hari. Tentunya topik ini sangat diperlukan oleh dokter spesialis anak, dokter umum dan mahasiswa dalam menangani pasien untuk meningkatkan kompetensinya sesuai amanah dari undang-undang praktik kedokteran. Kepada semua penulis, kami tim penyunting mengucapkan terima kasih atas waktu yang sudah disediakan untuk mengumpulkan literatur dan menuliskannya ke dalam bentuk makalah.

Kami menyadari bahwa buku ini masih jauh dari sempurna. Mohon maaf jika terdapat kesalahan dalam penyuntingan buku ini. Semoga buku ini dapat menjadi penyegar dan pedoman sejawat dalam menangani pasien

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Jakarta, April 2015Tim PenyuntingMurti AndriastutiIrene YuniarWahyuni IndawatiNina Dwi Putri

Page 8: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

viii

Page 9: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

ix

Ketua : Prof. DR. Dr. Sri Rezeki S. Hadinegoro, Sp.A(K)

Wakil Ketua : Dr. Endang Windiastuti, Sp.A(K), MMed(Paed)

Sekretaris : Dr. Sudung O. Pardede, Sp.A(K)

Bendahara : Dr. Bernie Endyarni, Sp.A(K)

Anggota : 1. DR. Dr. Zakiudin Munasir, Sp.A(K) 2. Dr. H. F. Wulandari, Sp.A(K), MMed(Imaging) 3. DR. Dr. Rini Sekartini, Sp.A(K) 4. Dr. Muzal Kadim, Sp.A(K) 5. Dr. Titis Prawitasari, Sp.A(K) 6. Dr. R. Setyo Handryastuti, Sp.A(K)

Tim PKB FKUI-RSCM

Page 10: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

x

Susunan Panitia

Ketua Prof. Dr. Jose RL Batubara, PhD, Sp.A(K)

Wakil Ketua DR. Dr. Mulyadi M. Djer, Sp.A(K)

Sekretaris Dr. Bernie Endyarni, Sp.A(K), MPH

Bendahara Dr. Yoga Devaera, Sp.A(K)

Seksi Dana DR. Dr. Aryono Hendarto, Sp.A(K)Prof. DR. Dr. Sri Rezeki Hadinegoro, Sp.A(K)Prof. Dr. Jose RL Batubara, PhD, Sp.A(K)DR. Dr. Zakiudin Munasir, Sp.A(K)DR. Dr. Hardiono D. Pusponegoro, Sp.A(K)Dr. Badriul Hegar, PhD, Sp.A(K)

Seksi Ilmiah DR. Dr. Murti Andriastuti, Sp.A(K)Dr. Wahyuni Indawati, Sp.A(K)Dr. Irene Yuniar, Sp.A(K) Dr. Nina Dwi Putri, Sp.A

Seksi Perlengkapan, Dokumentasi & Pameran

Dr. Ari Prayitno, Sp.A (K)Dr. Ratno Juniarto M . Sidauruk, Sp.A

Seksi Sidang DR. Dr. Pustika Amalia, Sp.A(K)DR. Dr. R. Setyo Handryastuti, Sp.A(K)Dr. Cahyani Gita Ambarsari, Sp.ADr. Putri Maharani, Sp.A

Seksi Konsumsi Dr. HF Wulandari, Sp.A(K), MMed(Imaging)DR. Dr. Teny Tjitra Sari, Sp.A(K)

Page 11: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

xi

Daftar Penulis

DR. Dr. Aman B. Pulungan, Sp.A(K)Divisi Endokrinologi

RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Jakarta

DR. Dr. Aryono Hendarto, Sp.A(K)Divisi Nutrisi dan Penyakit Metabolik

RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Jakarta

Dr. Darmawan B. Setyanto, Sp.A(K)Divisi Respirologi

RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Jakarta

DR. Dr. Hardiono D. Pusponegoro, Sp.A(K)Divisi Neurologi

RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Jakarta

Dr. HF. Wulandari, Sp.A(K), MMed(Imaging)Divisi Pencitraan

RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Jakarta

DR. Dr. Hindra I. Satari, Sp.A(K), MTropPaedDivisi Infeksi Tropik

RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Jakarta

DR. Dr. Irawan Mangunatmadja, Sp.A(K)Divisi Neurologi

RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Jakarta

DR. Dr. Paramita Gayatri, Sp.A(K)Divisi Gastro-Hepatologi

RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Jakarta

Page 12: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

xii

DR. Dr. Pustika Amalia, Sp.A(K)Divisi Hemato-Onkologi

RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Jakarta

DR. Dr. Rinawati Rohsiswatmo, Sp.A(K)Divisi Neonatologi

RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Jakarta

DR. Dr. Rismala Dewi, Sp.A(K)Divisi Pediatri Gawat Darurat

RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Jakarta

DR. Dr. Soedjatmiko, Sp.A(K), MSiDivisi Pediatri Sosial

RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Jakarta

Dr. Sudung O. Pardede, Sp.A(K)Divisi Nefrologi

RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Jakarta

DR. Dr. Sukman T. Putra, Sp.A(K), FACC, FESCDivisi Kardiologi

RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Jakarta

DR. Dr. Zakiudin Munasir, Sp.A(K)Divisi Alergi Imunologi

RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Jakarta

Page 13: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

xiii

Daftar isi

Kata Sambutan Ketua Departemen IKA FKUI - RSCM ....................... iii

Kata Sambutan Ketua Panitia PKB Departemen IKA FKUI-RSCM LXVIII .................................................................................................. v

Kata Pengantar Tim Penyunting .......................................................... vii

Tim PKB FKUI-RSCM ........................................................................ ix

Susunan Panitia .................................................................................... x

Daftar Penulis ...................................................................................... xi

Pemberian Transfusi Darah pada Anemia Berat ................................... 1Pustika Amalia Wahidiyat, Ludi Dhyani Rahmartani, Pustika Efar

Pemilihan Obat pada Tata Laksana Penyakit Alergi ............................. 12Zakiudin Munasir

Cyanotic Spells pada Penyakit Jantung Bawaan : Pengenalan dini dan Tatalaksana ......................................................................................... 21Sukman Tulus Putra

Tata Laksana Luka Bakar pada Anak .................................................. 27Rismala Dewi

Difteri suatu Penyakit Re-emerging ................................................... 37Hindra Irawan Satari

Noisy Breathing in Children, When Should be Referred ......................... 47Darmawan B Setyanto

Peran Endoskopi pada Kasus Emergensi Anak .................................... 60Pramita G Dwipoerwantoro

Page 14: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

xiv

Doppler Ultrasound in Paediatric Emergency Cases ............................... 71H F Wulandari

Hypertensive Emergency in Children ..................................................... 77Sudung O. Pardede

Kejang Demam .................................................................................... 92Hardiono Pusponegoro

Risiko Penurunan Berat Badan Terlalu Cepat pada Anak Obesitas ... 101Aryono Hendarto

Kedaruratan pada Tindakan Imunisasi .............................................. 115Soedjatmiko

Hipoglikemia pada Neonatus dan Bayi .............................................. 124Aman B Pulungan

Newborn Emergency Tranport Service (NETS) : Moving intensive care for kids .................................................................................................... 136Rinawati Rohsiswatmo

Page 15: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

1

Pemberian Transfusi Darah pada Anemia Berat Pustika Amalia Wahidiyat,

Ludi Dhyani Rahmartani, Pustika Efar

Tujuan: 1. Mengetahui batasan definisi anemia berat pada anak2. Mengetahui strategi tata laksana anemia berat, baik akut maupun

kronik3. Mampu melakukan manajemen transfusi masif yang aman pada anak4. Mengetahui sediaan darah yang terbaik untuk pasien sesuai indikasinya

Latar belakangTransfusi darah adalah proses memasukkan darah atau komponen darah dari donor ke dalam sistem peredaran darah resipien. Pada kondisi anemia, transfusi darah diberikan untuk mengembalikan volume darah normal, serta memperbaiki oksigenasi dan homeostasis ketika tubuh gagal melakukan kompensasi terhadap penurunan daya dukung oksigen.1 Anemia berat didefinisikan sebagai turunnya kadar hemoglobin (Hb) di bawah 5 g/dL dan dapat disebabkan oleh proses akut seperti perdarahan ataupun kronik misalnya thalassemia. Kasus anemia berat di negara berkembang memiliki angka mortalitas cukup tinggi sekitar 8-17%.2

Anemia berat, baik akut maupun kronik, merupakan suatu kondisi yang dapat mengancam jiwa dan merupakan indikasi transfusi. Praktik transfusi darah yang aman tentu perlu memperhatikan indikasi transfusi yang tepat dan pemberian produk darah yang sesuai karena pasien dapat mengalami komplikasi serius, baik karena anemianya atau pemberian transfusi darah yang tidak tepat.

Definisi anemia dan anemia beratDefinisi anemia pada anak menurut World Health Organization (WHO) adalah penurunan konsentrasi Hb atau volume sel darah merah di bawah nilai normal anak sehat sesuai usia. Nilai Hb dan hematokrit (Ht) anak berbeda sesuai dengan tingkat usianya (Tabel 1).3,4 Pada dewasa, anemia berat didefinisikan

Page 16: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

2

Pemberian Transfusi Darah pada Anemia Berat

sebagai kadar Hb < 8 g/dL namun pada anak batasan yang dipakai adalah kadar Hb < 5 g/dL.2

Tabel 1. Kadar hemoglobin yang didefinisikan sebagai anemia4

Usia Hemoglobin (g/dL) Hematokrit (%)6 bulan – 4 tahun < 11 < 335 – 12 tahun < 11,5 < 3512 – 15 tahun < 12 < 36Dewasa lelaki < 13 < 39Dewasa perempuan (tidak hamil) < 12 < 36Dewasa perempuan (hamil) < 11 < 33

Penyebab anemia beratAnemia berat dapat disebabkan oleh kondisi akut maupun kronik. Secara umum, anemia berdasarkan penyebabnya dibagi menjadi 2, yaitu gangguan pembentukan sel darah merah dan kehilangan darah.5

I. Gangguan pembentukan sel darah merah

a. Defisiensi nutrien yang diperlukan untuk produksi sel darah merah. Gangguan pembentukan sel darah merah dapat disebabkan oleh defisiensi besi, folat, vitamin B12, vitamin C, protein, dan vitamin B6. Beberapa penyebab defisiensi tersebut adalah:i. Asupan yang kurang (misalnya defisiensi besi pada konsumsi susu

sapi yang berlebihan, defisiensi vitamin B12 pada vegetarian)ii. Peningkatan kebutuhan nutrien (misalnya defisiensi besi pada

fase pertumbuhan cepat, defisiensi folat pada hemolisis)iii. Penurunan absorpsi nutrien (misalnya defisiensi vitamin B12 pada

kondisi kekurangan faktor intrinsik atau defisiensi besi dan folat pada sindrom malabsorpsi)

iv. Peningkatan nutrient loss (misalnya defisiensi besi akibat perdarahan)

b. Kegagalan sumsum tulang, dapat terjadi akibat:i. Kegagalan 1 galur sel, misalnya prekursor sel darah merah

(misalnya aplasia sel darah merah kongenital atau anemia Diamond-Blackfan)

ii. Kegagalan seluruh galur sel, ditandai oleh pansitopenia dan sumsum tulang aselular/hiposelular (misalnya anemia Fanconi, atau sekunder akibat paparan obat, radiasi, toksin, infeksi HIV)

Page 17: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

3

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

iii. Infiltrasi sumsum tulang, dapat disebabkan oleh proses jinak (osteopetrosis, storage disease) atau proses keganasan (leukemia, mielofibrosis, neuroblastoma, limfoma)

iv. Anemia dishematopoietik, ditandai oleh penurunan eritropoiesis dan penurunan utilization, misalnya anemia pada penyakit kronik, gagal ginjal, gagal hati, malnutrisi, anemia sideroblastik.

II. Kehilangan darah (blood loss) Kehilangan darah dapat disebabkan oleh perdarahan atau proses hemolitik.

Penyebab anemia hemolitik dibedakan menjadi 2, yaitu intrakorpuskular dan ekstrakorpuskular:

a. Intrakorpuskular, artinya hemolisis disebabkan oleh kelainan sel darah merah, dapat berupa defek membran (sferositosis, eliptositosis), defek enzim (piruvat kinase, glukosa-6-fosfat dehidrogenase/G6PD), atau defek hemoglobin (anemia sel sabit, thalassemia)

b. Ekstrakorpuskular, artinya hemolisis disebabkan oleh proses imunologis (misalnya sistemik lupus eritematosus) atau non-imunologis.

Strategi transfusi pada anemia berat – akutAnemia berat yang bersifat akut umumnya disebabkan oleh perdarahan, misal pecahnya varises esofagus, trauma, dan menoragia, atau hemolisis akut pada kasus autoimmune haemolytic anemia (AIHA) dan defisiensi G6PD. Pada anak dengan kasus perdarahan, kehilangan darah sedikit saja dapat menimbulkan dampak yang signifikan karena total volume darah yang kecil (80-90 mL/kg), sehingga bayi usia < 6 bulan memerlukan transfusi yang lebih agresif, pada kehilangan volume darah 20-25%, dibandingkan anak besar (kehilangan volume darah 30-35%).6

Kehilangan darah yang masif merupakan salah satu kegawatan anak yang masih menjadi tantangan untuk praktisi kesehatan khususnya di bidang hematologi dan emergensi pediatri. Kehilangan darah masif (massive blood loss) didefinisikan sebagai kehilangan volume darah sebanyak 80 mL/kg dalam 24 jam. Definisi lain yang dapat digunakan dalam situasi akut adalah kehilangan 50% volume darah dalam 3 jam atau 150 mL/menit.7 Pediatric Trauma Society mengambil batasan untuk mengaktifkan protokol transfusi masif (massive transfusion protocol/MTP) yaitu memerlukan transfusi ³ 20 mL/kg darah merah dalam 1 jam pertama, atau pasien diantisipasi akan terus mengalami perdarahan hingga 80 mL/kg dalam 24 jam.8

Page 18: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

4

Pemberian Transfusi Darah pada Anemia Berat

Prinsip penanganan pada kehilangan darah masif adalah mengembalikan volume darah pasien, pemeriksaan golongan darah dan crossmatch segera, menjaga suhu tubuh pasien normotermia (suhu inti tubuh > 36oC), mengantisipasi gangguan elektrolit, pemantauan ketat, dan mengatasi penyebab koagulopati intravaskular diseminata (KID) jika ada. Pemeriksaan

Tabel 2. Rekomendasi transfusi masif pada anak7,8

Target Prosedur KeteranganMengembalikan volume sirkulasi

Pasang akses vena perifer berdiam-eter besar atau vena sentralBerikan resusitasi cairan dengan kristaloid atau koloid yang telah dihangatkanAtasi hipotensi dan oliguria <0,5 mL/kg/jam

Akses sentral atau akses perifer dengan jarum ukuran besar.Jaga pasien tetap hangatHati-hati perdarahan internal yang tak terlihat

Menghentikan perdarahan

Lakukan tindakan bedah jika diper-lukan

Pemeriksaan labo-ratorium

DPL, PT, aPTT, thrombin time, fibrinogen, sampel darah untuk bank darah, profil biokimia (GDS, elektro-lit), analisis gas darahUlangi pemeriksaan laboratorium pasca-transfusi

Hasil dapat menjadi tidak akurat pasca pemberian koloidPada kondisi emergensi, produk da-rah dapat diberikan tanpa menung-gu hasil laboratorium

Pertahankan Hb > 8g/dL

Berikan PRC 15 mL/kg, jika:Hb < 8g/dL, atau Pasien sudah memerlukan3 kali bo-lus cairan 20 mL/kg untuk memper-tahankan tekanan darahBerikan darah yang telah dihangat-kan (dengan alat khusus)

Nilai derajat urgensi transfusi:Berikan darah merah golongan O Rhesus negatif (pada kondisi emergensi ekstrem), golongan A/B/O/AB sesuai pasien (jika golongan darah diketahui), atau darah yang sepenuhnya kompatibel (jika waktu memungkinkan untuk crossmatch)

Pertahankan trom-bosit >75.000/uL

Berat badan > 30 kg: 1 Unit TC aferesis donor tunggalBerat badan < 30 kg: ½ Unit TC aferesis donor tunggalAntisipasi trombosit turun hingga <50.000/uL setelah transfusi sebanyak 40-80 mL/kg PRC

Batas aman minimal adalah trombosit >50.000/uL

Pertahankan trombosit >100.000/uL pada perdarahan susunan saraf pusat, trauma multipel, atau jika fungsi trombosit abnormal

Pertahankan PT dan aPTT <1,5 kali kontrol

FFP 20 mL/kg, jika:PT > 15 detik (>1,5x nilai normal), aPTT > 40 detik, atauPerdarahan masih terjadi pasca 40 mL/kg PRC

Antisipasi FFP diperlukan setelah transfusi sebanyak 1-1,5x volume darah

PT/aPTT >1,5x nilai normal menin-gkatkan risiko perdarahan mikro-vaskularPertahankan Ca ion >1,13 mmol/L

FFP memerlukan 20-30 menit untuk thawing

Pertahankan fibrinogen >1 g/L (>100 mg/dL)

Kriopresipitat 1 Unit/ 10 kg jika:Fibrinogen <100 mg/dL, atauPerdarahan tidak dapat terkoreksi dengan FFP, klinis KID

Kriopresipitat jarang diperlukan kecuali pada KIDKriopresipitat memerlukan 20-30 menit untuk thawing

Hindari koagulasi intravaskular dis-eminata (KID)

Atasi penyebab yang mendasari KID (syok, hipotermia, asidosis)

Mortalitas tinggi pada KID

Page 19: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

5

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

laboratorium yang diperlukan pada awal penanganan adalah darah perifer lengkap, golongan darah dan crossmatch, prothrombin time (PT), activated partial thromboplastin time (aPTT), fibrinogen, glukosa darah, dan analisis gas darah.8 Berikut adalah ringkasan rekomendasi tata laksana perdarahan masif pada anak. (Tabel 2)

Kadar Hb, trombosit, kalsium ion, kalium, glukosa, analisis gas darah, PT, aPTT, dan fibrinogen perlu dipantau secara berkala, tiap 2-3 jam di unit perawatan intensif (intensive care unit/ICU) atau minimal tiap 6 jam jika memungkinkan.8 Penanganan yang komprehensif memerlukan kerjasama yang baik antara dokter yang berupaya menghentikan perdarahan, bank darah, dan laboratorium.

Strategi transfusi pada anemia berat - kronikAnemia pada penyakit kronik adalah anemia kedua terbanyak setelah anemia defisiensi besi. Penyakit kronik yang terbanyak menyebabkan anemia adalah infeksi (akut maupun kronik), thalassemia, keganasan, autoimun, dan penyakit ginjal kronik. Mengatasi penyakit dasarnya adalah pendekatan terapeutik utama untuk anemia pada penyakit kronik, namun jika penyakit dasar tersebut belum teratasi maka strategi alternatif seperti transfusi dapat diperlukan.9

ThalassemiaAnak dengan thalassemia mayor memerlukan transfusi rutin untuk menjaga kadar Hb yang cukup untuk oksigenasi jaringan tubuhnya. Target transfusi PRC pada thalassemia adalah mencapai kadar hemoglobin yang cukup, menjaga transpor oksigen baik dalam tubuh diharapkan anak dapat mencapai tumbuh kembang yang optimal, dan meminimalkan reaksi transfusi yang mungkin terjadi, termasuk transmisi infeksi.10

Beberapa pertimbangan untuk memulai transfusi pada anak dengan thalassemia adalah Hb < 7 g/dL pada 2 kali pemeriksaan dengan interval > 2 minggu tanpa faktor pemicu anemia seperti infeksi, atau Hb >7 g/dL namun disertai dengan perubahan wajah (facies Cooley), retardasi pertumbuhan, fraktur, atau hematopoiesis ekstramedular. Transfusi selanjutnya dilakukan secara rutin dengan interval 2-5 minggu untuk mempertahankan Hb pra-transfusi selanjutnya di atas 9-10 g/dL. Target Hb pra-transfusi lebih tinggi yaitu 11-12 g/dL dapat dipertimbangkan jika terdapat gangguan fungsi jantung, dan target Hb pasca-transfusi sebaiknya tidak lebih dari 14-15 g/dL.10

Jika kadar Hb pra transfusi > 6 g/dL, volume PRC yang diberikan 10-15 mL/kg/kali dalam 2-3 jam (±5 mL/kg/jam), sedangkan bila kadar Hb < 6 g/dL,

Page 20: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

6

Pemberian Transfusi Darah pada Anemia Berat

dan/atau kadar Hb berapapun tetapi dijumpai klinis gagal jantung maka volume darah yang ditransfusikan dikurangi menjadi 2-5 mL/kg/kali dan kecepatan transfusi dikurangi hingga 2 mL/kg/jam untuk menghindari kelebihan cairan/overload. Diuretik furosemid dipertimbangkan dengan dosis 1 hingga 2 mg/kgBB pada pasien dengan gangguan fungsi jantung atau bila terdapat klinis gagal jantung. Interval antar serial transfusi adalah 12 jam, namun pada kondisi anemia berat interval transfusi berikutnya dapat diperpendek menjadi 8-12 jam.11

Penyakit ginjal kronikAnemia merupakan salah satu konsekuensi dari penurunan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik (PGK). Pada laju filtrasi glomerulus kurang dari 43 mL/menit/1,73 m2 terdapat penurunan Hb 0,3 g/dL untuk setiap penurunan laju filtrasi glomerulus 5 mL/ menit/ 1,73 m2. Anak dengan PGK dikatakan anemia bila kadar Hb < 11 g/dL (usia 0,5 - 5 tahun), <11,5 g/dL (usia 5-12 tahun), <12 g/dL (usia 12-15 tahun), <12 g/dL (usia >15 tahun, perempuan), dan <13 g/dL (usia >15 tahun, lelaki).

Transfusi PRC tidak direkomendasikan secara rutin untuk anemia pada PGK, bahkan dalam rekomendasi Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) tahun 2012 dikatakan bahwa pada kasus anemia kronik seperti pada PGK, transfusi PRC sebaiknya dihindari untuk meminimalkan dampak negatifnya yaitu risiko sensitisasi alogenik yang dapat memengaruhi keberhasilan transplantasi ginjal.12

Pada anak dengan PGK dan anemia berat, transfusi PRC hanya diberikan pada kasus anemia kronik yang tidak efektif dengan pemberian eritropoietin, misalnya pada kasus hemoglobinopati, kegagalan sumsum tulang, dan resistensi eritropoietin, atau pada kondisi Hb perlu ditingkatkan untuk persiapan operasi. Keputusan untuk melakukan transfusi sebaiknya tidak semata-mata berdasarkan nilai ambang batas hemoglobin, tetapi juga berdasarkan gejala klinis yang terjadi akibat anemia.12

Pemilihan produk darah merahIstilah produk darah mencakup setiap substansi yang dihasilkan dari darah manusia. Perkembangan teknologi memungkinkan produksi komponen darah dan derivat plasma dari darah donor. Hal ini memberikan pilihan terapi pada pasien sesuai kebutuhannya.

Page 21: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

7

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

1. Darah lengkap (whole blood/WB) Darah lengkap terdiri dari dua macam sediaan yakni darah segar (fresh

blood) dan darah simpan (preserved blood). Darah segar berusia 6-24 jam dan masih mengandung faktor koagulasi, sedangkan darah simpan berusia >24 jam hingga 3-4 minggu dan mengandung faktor koagulasi yang lebih sedikit. Satu unit (kantong) WB berisi 230-350 mL. Keuntungan dari sediaan ini antara lain karena proses persiapannya cukup sederhana, tidak memakan waktu lama dan tidak memerlukan peralatan khusus. Sediaan ini masih memiliki faktor pembekuan yang lengkap, terutama pada darah segar.3 Walaupun saat ini penggunaan WB kurang dianjurkan karena risiko kelebihan darah (overload) cukup tinggi, namun WB dapat digunakan pada kondisi kehilangan darah akut yang berat dan pada fasilitas yang terbatas.

2. Sel darah merah (SDM)/eritrosit Sel darah merah (SDM) merupakan komponen darah yang paling sering

ditransfusikan dibandingkan komponen darah yang lain. Sediaan SDM didapat dengan memisahkan plasma dari WB. Sediaan yang tersedia adalah: SDM pekat atau packed red cell (PRC), suspensi SDM (red cell suspension), dan SDM cuci atau washed erythrocyte (WE). Dari 250 mL WB, dapat diperoleh 100-125 mL PRC. Packed red cell diperoleh dari pemisahan plasma secara tertutup dengan kadar hematokrit sebesar 70-80%. Red cell suspension didapatkan dengan cara mencampur eritrosit pekat dengan cairan pelarut NaCl fisiologis dalam jumlah yang sama, dan WE peroleh dengan mencuci eritrosit pekat 2-3 kali dengan NaCl fisiologis dalam jumlah yang sama. Sediaan WE ini lebih aman dan terindikasi bagi resipien yang alergi terhadap plasma manusia, anemia hemolitik yang didapat, transfusi tukar, dan transfusi pada transplantasi ginjal.3

Transfusi SDM memiliki keunggulan dibandingkan dengan WB, antara lain tidak terlalu membebani sirkulasi karena volume lebih kecil, tidak memperberat fungsi ginjal, dan sedikit mengurangi reaksi alergi karena tidak disertai pemberian plasma yang tinggi protein. Namun demikian SDM masih memiliki beberapa risiko seperti reaksi hemolitik, transmisi infeksi, atau kontaminasi bakteri jika tidak diproduksi dengan baik, dan transfusi PRC memerlukan waktu yang lebih lama karena viskositasnya tinggi (rasio eritrosit/plasma).3

Komponen SDM saat ini dapat diproses dengan filter khusus sehingga menghasilkan produk akhir yang sangat sedikit mengandung leukosit/ leukodepleted (leukocyte-depleted; leukosit < 5 x 106 per kantong

Page 22: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

8

Pemberian Transfusi Darah pada Anemia Berat

darah) sehingga aman untuk ditransfusikan kepada pasien, dan reaksi transfusi serta risiko transmisi sitomegalovirus dapat diminimalkan. Indikasi pemberian PRC leucodepleted ini antara lain pada penyakit yang membutuhkan transfusi berulang seperti thalassemia, anemia aplastik, kanker, dan ITP kronik, juga dapat diberikan pada keadaan imunodefisiensi, tindakan operasi jantung, pasien transplantasi organ, riwayat alergi produk darah non-leukodepleted dan neonatus.13

Idealnya, upaya leukodeplesi dilakukan sebelum penyimpanan darah (pre-storage filter) di bank darah.14 Saat ini komponen darah di Palang Merah Indonesia (PMI) baru tersedia dalam bentuk leukoreduksi (leukosit 108), walaupun demikian tersedianya PRC leukoreduksi ini sudah dapat menurunkan angka kejadian reaksi transfusi menjadi 35% dibandingkan 65% saat menggunakan PRC biasa (leukosit 109).15 Sementara itu, PRC cuci (WE) mengandung leukosit 107 tetapi produk ini lebih mudah lisis dibandingkan produk PRC lainnya akibat proses pembuatannya, dan hanya dipakai pada resipien yang telah mengalami reaksi transfusi. Jika komponen darah dengan pre-storage filter tidak tersedia, dapat digunakan pemakaian filter leukosit bedside. Terdapat beberapa macam filter , dan saat ini tersedia filter generasi terbaru dari bahan polyurethane, yang dapat menyaring leukosit seperti yang dianjurkan oleh badan internasional tanpa menimbulkan reaksi yang tidak diharapkan.14

3. Darah dengan skrining nucleic acid testing (NAT) Skrining NAT adalah salah satu teknologi uji saring darah terbaru untuk

mendeteksi virus tertentu dalam darah. Saat ini PMI telah mewujudkan komitmen dalam meningkatkan keamanan transfusi darah di Indonesia dengan teknologi penapisan berbasis NAT untuk mendeteksi virus HIV-1, hepatitis B (HBV), dan hepatitis C (HCV). Penapisan dengan NAT memiliki sensitivitas yang tinggi dan mampu mendeteksi virus lebih cepat.16

Metode NAT RNA HIV-1 memperpendek window period deteksi menjadi 6-11 hari, sehingga dapat mencegah >50% transmisi HIV melalui transfusi darah. Metode NAT RNA HCV dapat mendeteksi virus dalam darah sekitar 59 hari lebih cepat dibandingkan metode serologi, sedangkan NAT HBV DNA dapat mendeteksi virus beberapa minggu lebih cepat dibandingkan pemeriksaan HbsAg, yang baru dapat mendeteksi virus 50-60 hari pasca-infeksi.17

Efek samping dan premedikasi transfusiEfek samping akibat transfusi darah merupakan hal yang yang harus

Page 23: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

9

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

diperhatikan pada saat pemberian transfusi. Data di 100.000 komponen darah yang diberikan, dengan kematian sebanyak 100 kasus. Komplikasi akut transfusi yang mengancam nyawa diantaranya adalah reaksi hemolitik akut, reaksi terhadap unit darah yang terkontaminasi bakteri, transfusion-related acute-lung injury (TRALI), kelebihan cairan atau transfusion-associated circulatory overload (TACO), dan reaksi alergi berat atau anafilaksis. Reaksi lain yang lebih ringan seperti urtikaria atau demam terjadi pada 1-2% resipien. Reaksi transfusi tipe lambat dapat terjadi pada lebih dari 24 jam pasca-transfusi, dan gejala akibat transmisi infeksi melalui transfusi darah terjadi dalam jangka waktu yang lebih lama pasca transfusi.18

Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk meminimalkan reaksi transfusi adalah memberikan darah donor dari golongan darah yang sama (ABO, Rh) untuk meminimalkan alloimunisasi, jika memungkinkan menggunakan darah leukodepleted atau menggunakan filter bedside, dan telah menjalani uji skrining NAT untuk menghindari/meminimalkan transmisi penyakit infeksi.

Harus menjadi perhatian, bahwa komponen darah sudah harus ditransfusikan dalam waktu 30 menit terhitung sejak keluar dari bank darah, dan maksimal dalam waktu 4 jam sudah selesai ditransfusikan terhitung sejak komponen darah keluar dari bank darah. Selain itu, selang infus harus selalu diganti setiap selesai pemberian produk darah yang berbeda, kecuali pada saat transfusi masif produk plasma dan trombosit dapat diberikan melalui selang infus yang sama. Produk trombosit tidak boleh diberikan melalui selang infus yang telah dipakai untuk transfusi SDM, karena trombosit dapat terperangkap oleh debris SDM yang telah terfilter sebelumnya. Sebaliknya jika transfusi SDM diberikan setelah pemberian komponen trombosit selang infus tidak perlu diganti. Sangat dianjurkan selang infus diganti jika transfusi sebelumnya telah selesai atau melewati waktu 12 jam, untuk menghindari tumbuhnya bakteri.19

Premedikasi seperti parasetamol dan difenhidramin tidak terbukti mengurangi insidens demam/febrile nonhemolytic transfusion reaction (FNHTR) ataupun reaksi alergi akibat transfusi,20 sehingga tidak perlu secara rutin diberikan pada pasien sebelum transfusi. Bila terjadi reaksi transfusi, tata laksana disesuaikan berdasarkan berat ringannya reaksi transfusi.

Pemakaian alat penghangat darah (blood warmers devices) tidak rutin digunakan. Alat ini harus digunakan secara cermat dan perlu dilakukan servis rutin berkala untuk mencegah kesalahan pada saat digunakan. Produk darah yang terpapar suhu di atas 40 0C dapat menyebabkan lisisnya darah dan justru berisiko menimbulkan reaksi transfusi yang berat, sehingga darah tidak boleh dihangatkan dengan microwave atau radiator yang tidak dapat dikontrol suhunya. Pasien yang memerlukan pemberian produk darah yang

Page 24: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

10

Pemberian Transfusi Darah pada Anemia Berat

dihangatkan (diharapkan temperatur darah 37oC saat darah masuk ke tubuh resipien) adalah pasien yang menerima transfusi masif, bayi yang menjalani transfusi tukar, dan pasien anemia hemolitik dengan antibodi yang teraktivasi pada suhu di bawah 37oC.18

SimpulanAnemia berat, baik akut maupun kronik, merupakan kondisi yang dapat mengancam jiwa dan merupakan indikasi transfusi. Tata laksana anemia berat akut pasca-perdarahan perlu memperhatikan target terapi sesuai protokol transfusi masif, sedangkan tata laksana anemia berat yang sifatnya kronik perlu memperhatikan patofisiologi penyakit yang mendasarinya.

Transfusi yang aman bertujuan meminimalkan reaksi transfusi dan transmisi penyakit infeksi sehingga disarankan transfusi menggunakan darah leukodeplesi atau filter bedside dengan uji saring NAT. Sangat dianjurkan untuk mengganti transfusi set setiap 12 jam pemberian komponen yang sama dan bila komponen darah yang akan diberikan berikutnya berbeda jenis.

Premedikasi tidak terbukti mengurangi insidens reaksi transfusi sehingga tidak perlu rutin diberikan sebelum transfusi darah.

Daftar pustaka 1. Liumbruno G, Bennardello F, Lattanzio A, Piccoli P, Rosseti G. Recommendation

for the transfusion of the red blood cell. Blood Transfus. 2009:7;49-64.2. Calis JCJ, Phiri KS, Faragher B, Brabin BJ, Bates I, Cuevas LE, dkk. Severe anemia

in Malawian children. N Engl J Med. 2008;348:888-99.3. World Health Organization (WHO). The clinical use of blood in medicine,

obstetrics, pediatrics, surgery & anaesthesia, trauma & burns. Diunduh dari: http://www.who.int/bloodsafety/clinical_use/en/Manual_EN.pdf pada 13 Maret 2015.

4. DeMaeyer EM. Dallman P, Gurney JM, Hallberg L, Sood SK, Srikantia SG. Preventing and controlling iron deficiency anemia through primary health care. WHO: Geneva, 1989.

5. Lanzkowsky P. Manual of pediatric hematology and oncology. Edisi ke-5. London: Elsevier, 2011.

6. Expert working group. Guidelines for red blood cell and plasma transfusion for adults and children. Can Med Assoc J. 1997;156:S1-23.

7. Stainsby D, MacLennan S, Thomas D, Isaac J, Hamilton P. Guidelines on the management of massive blood loss. Br J Haematol. 2006;135:634-41.

8. Pediatric Trauma Society. Massive transfusion guidelines. Diunduh dari http://pediatrictraumasociety.org/multimedia/files/clinical-resources/MTP-5.pdf pada 25 Maret 2015.

Page 25: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

11

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

9. Weiss G. Goodnough LT. Anemia of chronic disease. N Engl J Med. 2005;352:1011-23.

10. Thalassaemia International Federation. Guidelines for the clinical management of thalassaemia. Edisi ke-2. Cyprus: Thalassaemia International Federation, 2008. hal. 14-9.

11. Rachmilewitz EA, Giardina PJ. How I treat thalassemia. Blood. 2011;118:3479-88.12. Kasiske BL. KDOQI Clinical practice guidelines and clinical practice

recommendations for anemia in chronic kidney disease. Am J Kidney Dis. 2006;48:879-1040.

13. Lindholm PF, Annen K, Ramsey G. Approaches to minimize infection risk in blood banking and transfusion practice. Infect Disord Drug Targets. 2011;11:45-56.

14. Sen A, Khetarpal A, Jetley S. Comparative study of predeposit and bedside leucodepletion filters. MJAFI. 2010;66:142-6.

15. Pusat Thalassemia Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Data Pusat Thalassemia Januari-Desember 2014. Jakarta: RSCM, 2014.

16. Hans R, Marwaha N. Nucleic acid testing-benefits and constraints. Asian J Transfus Sci. 2014;8:2–3.

17. Novartis diagnostics. Procleix Ultrio Plus Assay. 2012. Gen-Probe Incorporated. Diunduh dari: http://www.fda.gov/downloads/BiologicsBloodVaccines/BloodBloodProducts /ApprovedProducts /LicensedProductsBLAs/BloodDonorScreening/InfectiousDisease/UCM092120.pdf pada 13 Maret 2015.

18. McClelland DBL. Handbook of transfusion medicine. Edisi ke-4. London: United Kingdom Blood Services, 2007.

19. Australian and New Zealand Society of Blood Transfusion Ltd, Royal College of Nursing Australia. Guidelines for the administration of blood products, Edisi ke-2. ANZSBT [internet]. Desember 2011; [disitasi 20 Maret 2015]. Diunduh dari: http://www.anzsbt.org.au/publications/documents/anzsbt_guidelines_administration_blood_products_2nded_dec_2011_hyperlinks.pdf.

20. Tobian AAR, King KE, Ness PM. Transfusion premedications: a growing practice not based on evidence. Transfusion. 2007;47:1089-96.

Page 26: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

12

Pemilihan Obat pada Tata Laksana Penyakit Alergi

Zakiudin Munasir

Tujuan:1. Memahami berbagai jenis obat yang sering digunakan pada tata

laksana penyakit alergi berdasarkan kedokteran berbasis bukti.2. Mendorong untuk menggunakan obat yang lebih rasional dan praktis.3. Mendorong pemakaian obat yang paling ekonomis tapi dengan hasil

klinis yang memuaskan.

Penyakit alergi merupakan salah satu penyebab penyakit kronis di banyak negara maju dan di negara yang sedang berkembang yang prevalensinya mulai meningkat.Dari segi diagnosis dan tata laksana, penyakit alergi menghabiskan banyak dana di beberapa negara termasuk di Indonesia1. Oleh karena itu, tata laksana penyakit alergi merupakan prioritas utama dalam bidang kesehatan2.

Dalam melakukan tata laksana penyakit alergi, langkah pertama adalah melakukan penghindaran terhadap alergen pencetus yang sudah terbukti. Langkah berikutnya adalah pemakaian obat yang efektif untuk mengontrol gejala alergi walaupun tidak menghilangkan kelainan yang mendasari penyakit alergi dan sebagai langkah terakhir adalah memberikan imunoterapi.

Pada makalah ini akan dibahas bagaimana pemilihan obat atau farmakoterapi yang digunakan untuk mengatasi penyakit alergi. Beberapa jenis obat yang digunakan bervariasi antar negara baik yang harus menggunakan resep dokter ataupun tanpa resep dokter.

Jenis obat yang digunakan dalam terapi penyakit alergi dapat dikelompokkan sebagai berikut :1. Obat yang menghambat aktivitas zat kimia atau mediator yang dilepaskan

tubuh selama reaksi alergi, yaitu antihistamin, antagonis leukotrien, dan anti- IgE.

2. Obat yang membuat relaksasi otot polos bronkus yang mengalami kontraksi atau pembengkakan jaringan akibat efek mediator yang dilepaskan misalnya, bronkodilator, dekongestan dan epinefrin.

Page 27: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

13

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

3. Obat yang dapat mencegah aktivasi sel yang terlibat pada reaksi alergi yaitu obat anti alergi.

4. Obat yang mempunyai efek menyeluruh dalam mengatasi reaksi inflamasi yaitu kortikosteroid Selain obat tersebut di atas, ada cara lain untuk mengobati penyakit alergi yaitu dengan memodifikasi respons imun yang disebut imunoterapi.

AntihistaminHistamin merupakan salah satu mediator utama yang dilepaskan oleh sel mast dan basophil, dan berperan dalam patofisiologi penyakit alergi termasuk rinitis, urtikaria, asma, dan reaksi anafilaksis3.Efek histamin ini melalui reseptor histamin protein G yang terdiri dari reseptor histamin H1, H2, H3, dan H4. Rangsangan histamin melalui reseptor H1 menghasilkan gejala manifestasi alergi segera terutama pruritus, nyeri, vasodilatasi, peningkatan permeabilitas kapiler, hipotensi, flushing, sakit kepala, takikardia, bronkokonstriksi, stimulasi nervus vagus aferen saluran napas dan refleks batuk yang dapat menurunkan konduksi nodus atrioventrikular. Beberapa efek seperti hipotensi, takikardia, flushing, sakit kepala, pruritus, dan hidung tersumbat adalah akibat perangsangan reseptor H1 dan H23,4.

Berdasarkan peran histamin pada reaksi alergi terutama melalui reseptor H1, maka yang paling banyak digunakan pada penyakit alergi adalah antihistamin anti-H15.Antihistamin H1 (AH1) bukanlah reseptor antagonis H1 melainkan suatu inverse agonist6.Pada keadaan normal, terdapat keseimbangan antara histamin maupun antihistamin bentuk aktif atau inaktif reseptor H1. Histamin mempertahankan bentuk aktif yang dapat merangsang sel, sedangkan antihistamin mempertahankan bentuk inaktif yang menimbulkan efek berlawanan dengan histamin yaitu mengurangi ekspresi molekul adesi sel pro-inflamasi serta mengurangi akumulasi sel radang seperti eosinofil dan neutrofil.3

Antihistamin H1 diklasifikasikan menjadi antihistamin generasi lama atau generasi pertama dan antihistamin generasi baru atau generasi kedua. Perbedaan utama antara kedua obat tersebut adalah kecenderungan terjadinya efek samping pada sistem saraf pusat.3

Antihistamin H1 generasi pertama seperti difenhidramin, klorfeniramin, klemastine, triprolidin, siproheptadin, bromfeniramin dan hidroksizin sangat lipofilik sehingga dapat menembus sawar otak dan menyebabkan sedasi. Selain itu, antihistamin generasi pertama sangat non-selektif terhadap reseptor di otak, sering menunjukkan afinitas tinggi untuk dopaminergik, serotonergik, alfa-adrenergik, dan reseptor kolinergik di otak7,8.

Page 28: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

14

Pemilihan Obat pada Tata laksana Penyakit Alergi

Meskipun antihistamin generasi pertama tidak dapat menghentikan reaksi alergi yang sudah dimulai, bukti penelitian yang lebih baru, AH1 generasi kedua dapat menghambat pelepasan mediator inflamasi dari sel mast serta menghambat kemotaksis eosinofil. AH1 generasi kedua juga menghasilkan efek samping yang lebih ringan , termasuk pengurangan efek sedasi. Berbeda dengan rekomendasi sebelumnya, temuan terbaru menunjukkan bahwa antihistamin AH1 generasi kedua bukan lagi merupakan kontraindikasi pada pasien yang memiliki asma dan rinitis alergi9.

Antihistamin H1 generasi kedua pertama kali dikembangkan pada awal tahun 1980-an untuk mengurangi efek sedasi dan efek samping antikolinergik. Namun, dua di antaranya, yaitu astemizol dan terfenadine, memiliki efek samping serius pada jantung, yaitu interval QT yang memanjang dan aritmia sehingga ditarik dari peredaran. Saat ini tersedia antihistamin generasi kedua (dan ketiga) termasuk setirizin, loratadin, desloratadin, feksofenadin, akrivastin, azelastin, dan levosetirizin. Peran potensial antihistamin baru dalam memperbaiki reaksi alergi lokal maupun sistemik merupakan hal yang menguntungkan10. Pada studi ETAC (Early Treatment of the Atopic Child) terbukti bahwa pemberian antihistamin generasi kedua, yaitu setirizin pada pasien dermatitis atopik berusia 1 tahun selama 18 bulan dapat mengurangi kejadian asma di kemudian hari sampai 50%.11

Untuk rinitis atau konjugtivitis alergi intermiten ringan , antihistamin oral non -sedasi direkomendasikan sebagai pengobatan lini pertama12

BronkodilatorGolongan obat bronkodilator adalah obat yang membuat relaksasi otot polos bronkus yang mengalami kontraksi atau pembengkakan jaringan akibat efek mediator yang dilepaskan.

Seperti turunan xantin alkohol lainnya, teofilin adalah kompetitif inhibitor fosfodiesterase non-selektif13 yang meningkatkan cAMP (cyclic AMP) intraselular, mengaktifkan PKA (protein kinase A), menghambat TNF-alfa14dan sintesis leukotrien, serta mengurangi peradangan dan aktivasi imunitas bawaan.15

Golongan β2-adrenoreseptor manusia adalah anggota dari keluarga 7 reseptor transmembran yang dikode oleh gen pada kromosom 5 dan didistribusikan secara luas pada saluran napas. Setelah aktivasi β2-adrenoreseptor, sinyal intraselular terutama diproduksi dengan menginduksi siklik AMP .Keadaan ini menghasilkan relaksasi jalan napas melalui fosforilasi protein regulasi otot dan modifikasi konsentrasi Ca2+ selular.

Page 29: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

15

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

Cara kerja obat β2-agonis dapat langsung mengaktifkan reseptor (salbutamol / terbutalin), diangkat ke depot membran (formoterol) dan berinteraksi dengan tempat pengikatan tambahan reseptor tertentu (salmeterol). Perbedaan dalam mekanisme kerja tersebut tercermin dalam kinetika napas relaksasi otot polos dan bronkodilatasi pasien asma16. Inhalasi β2-agonis long acting termasuk formoterol dan salmeterol tidak boleh digunakan sebagai monoterapi pada asma karena tidak dapat mengatasi peradangan saluran napas karena reseptornya makin jenuh. Terapi paling efektif adalah bila dikombinasikan dengan glukokortikoid inhalasi17, dan terapi kombinasi ini dapat digunakan sebagai pilihan ketika dosis medium dengan inhalasi glukokortikoidsaja gagal mengatasi serangan asma.

DekongestanSebagian besar dekongestan bekerja melalui peningkatan kadar norepinefrin (noradrenalin) dan epinefrin (adrenalin) atau aktivitas adrenergik dengan merangsang reseptor α-adrenergik. Keadaan ini menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah di hidung, tenggorokan, dan sinus paranasal, yang mengakibatkan berkurangnya peradangan dan pembentukan lendir di daerah peradangan.

Obat semprot hidung dekongestan dan tetes mata mengandung oksimetazolin sebagai dekongestan topikal. Pseudoefedrin bekerja secara tidak langsung pada sistem reseptor adrenergik, sedangkan fenilefrin dan oksimetazolin adalah agonis langsung. Efek vasokonstriksi yang terjadi tidak terbatas pada hidung dan dapat menyebabkan hipertensi. Pada umumnya dekongestan bukan merupakan stimulan karena kurangnya respons dari adrenoreseptor lainnya. Selain hipertensi, efek samping yang dapat terjadi adalah sulit tidur, gelisah, pusing, eksitasi, dan gugup. Pemakaian topikal pada hidung dan matalebih cepat menimbulkan takifilaksis oleh karena itu tidak dianjurkan penggunaan jangka panjang karena efektivitas obat akan hilang setelah beberapa hari pemakaian dan dapat menimbulkan efek rebound.2

EpinefrinEpinefrin (juga dikenal sebagai adrenalin, atau β,3,4-trihidroksi-N-methylphenethylamine) adalah hormon dan neurotransmiter.18 Epinefrin dan norepinefrin adalah dua hormon terpisah dan disekresi oleh medula kelenjar adrenal. Kedua hormon tersebut diproduksi pada ujung serabut saraf simpatis yang meneruskan mediator kimia untuk menyampaikan impuls saraf ke organ efektor. Penyebutan kata adrenalin dalam bahasa umum menunjukkan aktivasi

Page 30: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

16

Pemilihan Obat pada Tata laksana Penyakit Alergi

peningkatan sistem simpatik terkait dengan energi dan eksitasi.19 Pengaruh adrenalin terutama terbatas pada efek metabolik dan efek bronkodilatasi organ tanpa persarafan simpatis langsung.20 Epinefrin digunakan untuk mengatasi reaksi anafilaksis atau urtikaria yang disertai angioedema berat.

Stabilisator sel mastStabilisator sel mast adalah obat yang digunakan untuk mencegah atau mengendalikan gangguan alergi tertentu melalui pencegahan terjadinya degranulasi sel mast, seperti kromolin atau natrium kromoglikat. Obat ini memblokir saluran kalsium untuk degranulasi sel mast dan menstabilkan sel dan dengan demikian mencegah pelepasan histamin21 dan mediator terkait. Tanpa kalsium intraselular, granul yang mengandung histamin tidak bisa menyatu dengan membran sel dan tidak dapat berdegranulasi. Kromolin sebagai inhaler digunakan untuk mengobati asma sedangkan pada semprot hidung untuk mengobati rinitis alergi dan pada tetes mata untuk mengobati konjungtivitis alergi. Dalam bentuk oral, obat ini digunakan untuk mengobati penyakit langka yaitu mastositosis. Obat stabilisator sel mast yang lain adalah ketotifen.

Ketotifen adalah generasi kedua kompetitif dengan AH1 dan merupakan stabilizer sel mast. Ketotifen dipasarkan dalam bentuk garam dengan asam fumarat menjadi ketotifen fumarat, dan tersedia dalam. Bentuk tetes mata untuk mengobati konjungtivitis atau mata merah gatal karena alergi, sedangkan dalam bentuk oral 22 digunakan untuk mencegah serangan asma.

Sejak terapi steroid topical ditemukan, obat-obatan ini sudah jarang digunakan.

KortikosteroidSaat ini kortikosteroid merupakan terapi yang paling efektif untuk penyakit alergi, seperti asma, rinitis alergi dan dermatitis atopik 23.

Kortikosteroid secara klinis sangat efektif karena dapat memblokir banyak jalur inflamasi abnormal yang diaktifkan oleh penyakit alergi, dan obat ini memiliki spektrum anti-inflamasi yang sangat luas.Kortikosteroid sangat efektif dalam mengendalikan peradangan pada asma, rinitis, dan dermatitis atopik, dan kemungkinan juga memiliki beberapa efek selular. Studi biopsi pada pasien asma membuktikan bahwa inhalasi kortikosteroid dapat mengurangi jumlah dan aktivasi sel inflamasi di mukosa saluran napas dan lavase bronkoalveolar.24 Efek ini terjadi karena hambatan sintesis sitokin pada sel inflamasi dan strukturnya serta penghambatan molekul adesi. Perbaikan

Page 31: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

17

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

kerusakan epitel dan rasio sel bersilia untuk sel goblet menjadi normal kembali setelah 3 bulan mendapat terapi inhalasi kortikosteroid .Terdapat bukti lain yaitu berkurangnya ketebalan membran basal meskipun pada pasien asma yang menggunakan inhalasi kortikosteroid selama lebih dari 10 tahun masih terdapat penebalan karakteristik membran basal. Dengan mengurangi peradangan saluran napas, kortikosteroid inhalasi secara konsisten mengurangi reaktivitas bronkus pada pasien asma dewasa maupun anak.25 Pengobatan jangka lama dengan kortikosteroid inhalasi dapat mengurangi respons terhadap histamin, agonis kolinergik, alergen (respons awal dan akhir), olahraga, kabut, udara dingin, bradikinin, adenosin, dan iritasi (seperti sulfur-dioksida dan meta-bisulfit). Pengurangan reaktivitas bronkus dapat berlangsung selama beberapa minggu sampai beberapa bulan terapi. Seberapa banyak pengurangan yang terjadi bervariasi antar pasien, dan sering tidak sampai kembali ke keadaan normal. Hal ini mencerminkan tidak hanya penekanan peradangan tetapi juga perubahan struktur yang tidak dapat diobati dengan kortikosteroid. Kortikosteroid inhalasi tidak hanya membuat saluran udara kurang sensitif terhadap zat spasmogen tetapi juga menghambat penyempitan saluran udara maksimal oleh zat spasmogen.

Mekanisme molekular resistensi kortikosteroidAda beberapa mekanisme resistensi terhadap efek kortikosteroid. Sitokin tertentu (khususnya IL-2, IL-4, dan IL-13) dapat menyebabkan penurunan afinitas reseptor glukokortikoid dalam sel inflamasi seperti sel T, sehingga terdapat resistensi lokal terhadap efek anti-inflamasi kortikosteroid.26

Mekanisme lain adalah peningkatan aktivasi faktor transkripsi activating peptide-1 (AP-1)oleh sitokin inflamasi, sehingga AP-1 menempati reseptor glukokortikoid yang aktif, dengan demikian mengurangi ketersediaan reseptor ini untuk menekan peradangan.27

Pemilihan golongan kortikosteroid disesuaikan dengan keadaan klinis penyakit alergi yang terjadi baik topical ataupun sistemik. Penggunaan golongan kortikosteroid yang mempunyai efektivitas klinis yang baik dengan efek samping minimal sangat dianjurkan.

Anti Ig-EAnti-IgE (omalizumab) merupakan pilihan pengobatan terbatas pada pasien dengan kadar serum IgE yang tinggi. Indikasi obat ini adalah untuk pasien dengan asma alergi28 yang tidak terkontrol dengan kortikosteroid inhalasi dosis tinggi. Asma yang terkontrol terlihat dari berkurangnya gejala, penggunaan

Page 32: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

18

Pemilihan Obat pada Tata laksana Penyakit Alergi

obat pereda serta jarang mengalami eksaserbasi29. Untuk pasien asma yang sudah mendapat pengobatan dengan kortikosteroid (oral ataupun inhalasi) serta long-acting β2-agonist , pemberian anti-IgE aman sebagai add-on terapi30 .

SimpulanTata laksana penyakit alergi mempunyai tiga tahapan yaitu penghindaran, penggunaan farmakoterapi dan imunoterapi. Pemilihan farmakoterapi harus mempertimbangkan kemananan dan efikasi termasuk biaya. Golongan obat yang dapat digunakan antaralain antihistamin, antagonis reseptor leukotrien, adrenergik, dekongestan, kortikosteroid dan anti Ig-E.

Daftar pustaka1. Tang MB, Leong KF, Ou LS ,Munasir Z, Parekh PR, Azmi S,dkk. Cost-

effectiveness study of pediatric atopic dermatitis in Asia: atopiclair vs. regular emollient (AD-ATOP).J Drugs Dermatol.2015;14:169-75

2. Warner JO, Kaliner MA, Crisci CD, Del Giacco S, Frew AJ. Allergy practice worldwide. A report by the world allergy organization specialty and training council. Allergy Clin Immunol Int – J World Allergy Org.2006;18:4–10.

3. Motala C. H1 antihistamines in allergic diseases. Curr Allergy Clin Immunol. 2009; 22: 71-4.

4. Lorenz W, Duda D, Dick W, Sitter H, Doenicke A, Black A,dkk. Incidence and clinical importance of periperative histamine release: randomised study of volume loading and antihistamines after induction of anaesthesia. Lancet . 1994; 343 :933-40.

5. Nettis E, Colanardi MC, Ferrannini A, Tursi A. Antihistamines as important tools for regulating inflammation. Curr Med Chem - Anti- Inflammatory & Anti-Allergy Agents. 2005; 4: 81- 9.

6. Bakker RA, Wieland K, Timmerman H, Leurs R. Constitutive activity of the histamine H(1) receptor reveals inverse agonism of histamine H(1) receptor antagonists. Eur J Pharmacol. 2000; 387: R5-7.

7. DuBuske LM. Non- sedating antihistamines for allergic rhinitis. Business Briefing: North American Pharmacotherapy. 2005; 1-12.

8. DuBuske L M. Clinical comparison of H1-receptor antagonist drugs. J Allergy Clin Immunol.1996; 98:307-18.

9. Busse WW. Role of antihistamines in allergic disease.Ann Allergy. 1994 ;72: 371-5.

10. Marshal GD. Therapeutic options in allergic disease: antihistamines as systemicantiallergic agents. J Allergy Clin Immunol. 2000;106: 303-5

Page 33: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

19

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

11. ETAC study group. Allergic factors associated with the development of asthma and the influence of cetirizine on this progression in a double-blind, randomised, placebo- controlled trial: first results of ETAC. Pediatr Allerg Immunol.1998;9:116-24.

12. Brożek, JL, Bousquet J, Carlos E, Baena-Cagnani, Bonini S, Canonica GW. Allergic rhinitis and its impact on asthma (ARIA) guidelines: 2010 revision. J Allergy Clin Immunol. 2008;126: 466-76

13. Essayan DM. Cyclic nucleotide phosphodiesterases. J Allergy Clin Immunol. 2001;108: 671–80.

14. Marques LJ, Zheng L, Poulakis N, Guzman J, Costabel U. Pentoxifylline inhibits TNF-alpha production from human alveolar macrophages. Am. J. Respir. Crit. Care Med.1999;159: 508–11.

15. Peters-Golden M, Canetti C, Mancuso P, Coffey MJ. Leukotrienes: underappreciated mediators of innate immune responses. J Immunol. 2005;174: 589–94.

16. Johnson M. Beta2-adrenoceptors: mechanisms of action of beta2 agonists. Ped Resp Rev. 2001;2:52-7.

17. Pauwels RA1, Löfdahl CG, Postma DS, Tattersfield AE, O’Byrne P, Barnes PJ, dkk.Effect of inhaled formoterol and budesonide on exacerbations of asthma.Formoterol and corticosteroids establishing therapy (FACET) international study group. N Engl J Med.1997;337:1405-11.

18. Berecek KH, Brody MJ. Evidence for a neurotransmitter role for epinephrine derived from the adrenal medulla. Am J Physio.1982; 242(4): 593–601

19. Stress, hypertension, and the heart: the adrenaline trilogy”. Lancet.1982; 2: 1440–1.

20. Celander O. The range of control exercised by the sympathico-adrenal system.Acta Physiol Scand.1954;32

21. Fanta CH. Asthma. N Engl J Med. 2009; 360: 1002–1422. Klooker TK, Braak B, Koopman KE, Welting O, WoutersMM, Van Der HeideS,

dkk.The mast cell stabiliser ketotifen decreases visceral hypersensitivity and improves intestinal symptoms in patients with irritable bowel syndrome. Gut.2010;59:1213–21.

23. Barnes JP. Molecular mechanisms of corticosteroids in allergic diseases.Allergy. 2001;56: 928–36.

24. Barnes PJ. Molecular mechanisms of steroid action in asthma.J Allergy ClinImmunol.1996;97:159 –68.

25. Barnes PJ. Effect of corticosteroids on airway hyperresponsiveness.Am Rev Respir Dis.1990;141:S70 – 6.

26. Szefler SJ, Leung DY. Glucocorticoid-resistant asthma: pathogenesis and clinical implications for management. Eur Respir J.1997;10:1640 – 7.

27. Adcock IM, Brown CR, Shirasaki H, Barnes PJ. Effects of dexamethasone on cytokine and phorbol ester stimulated c-Fos and c-Jun DNA binding and geneexpression in human lung. Eur Respir J.1994;7:2117 – 23.

Page 34: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

20

Pemilihan Obat pada Tata laksana Penyakit Alergi

28. Humbert M, Beasley R, Ayres J., Benefits of omalizumab as add-on therapy in patients with severe persistent asthma who are inadequately controlled despite best available therapy (GINA 2002 step 4 treatment): INNOVATE. Allergy. 2005;60:309-16.

29. Busse W, Corren J, Lanier BQ. Omalizumab, anti-IgE recombinant humanized monoclonal antibody, for the treatment of severe allergic asthma.J Allergy Clin Immunol. 2001;108:184–90.

30. Bousquet J, Wenzel S, Holgate S, Lumry W, Freeman P, Fox H. Predicting response to omalizumab, an anti-IgE antibody, in patients with allergic asthma. Chest. 2004;125:1378–86.

Page 35: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

21

Cyanotic Spells pada Penyakit Jantung Bawaan : Pengenalan dini dan Tatalaksana

Sukman Tulus Putra

Tujuan:1. Mengenal manifestasi klinis serangan sianotik (cyanotic spells) pada

bayi dan anak.2. Mengerti mekanisme dan patofisiologi serangaran sianotik pada bayi

dan anak sehingga dapat melakukan tatalaksana yang tepat dan cepat 3. Dapat melakukan talakasana serangan sianotik baik berupa intervensi

awal maupun dalam pemberian pengobatan yang tepat termasuk mengatasi komplikasi.

Cyanotic spells atau serangan sianotik merupakan suatu keadaan darurat (emergency) yang memerlukan pengenalan klinis yang cepat dan tatalakasana yang memadai karena dapat menyebabkan berbagai komplikasi seperti asidosis metabolik, kejang bahkan kematian. Cyanotic spells disebut juga dengan: hypoxic spells, hypercyanotic spells, tet spells atau paroxysmal dyspnea. Keadaan ini seringkali ditemukan pada penyakit jantung bawaaan (PJB) sianotik terutama pada Tetralogi Fallot, namun dapat juga terjadi pada PJB sianotik lain seperti atresia pulmonal dengan VSD, transposisi arteri besar (TGA), atresia trikuspid dan sindrom Eisenmenger pada berbagai tingkatan usia.

Serangan sianotik ditandai dengan karakteristik klinis seperti paroksismal hyperpnoe (pernafasan cepat dan dalam), iritabilitas setelah menangis lama, sianosis yang bertambah berat, bising jantung melemah, kadang-kadang kejang (convulsion).

Keadaan tersebut di atas memerlukan pengenalan sedini mungkin sehingga pasien dapat ditatalaksana secara efektif agar terhindar dari komplikasi akibat hipoksia lama. Serangan sianotik paling sering ditemukan pada usia muda khususnya kurang dari 4 tahun, terjadi tiba-tiba ketika bangun tidur atau setelah menagis. Serangan sianotik pernah dilaporkan terjadi pada pasien laki-laki berumur 29 tahun dengan Tetralogi Fallot.1

Page 36: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

22

Cyanotic Spells pada Penyakit Jantung Bawaan: Pengenalan dini dan Tatalaksana

PatofisiologiSerangan sianotik terjadi akibat penurunan tahanan vaskular sistemik (systemic vascular resistance) sehinga terjadi peningkatan pirau dari kanan ke kiri yang menyebabkan sianosis bertambah berat. Terjadi penurunan tekanan parsial O2 (pO2) dan peningkatan tekanan parsial CO2 (pCO2) dan penurunan pH yang akan merangsang pusat pernafasan sehingga pernafasan menjadi cepat dan dalam (hyperpnea), darah balik vena sistemik (systemic venous return) yang menyebabkan peningkatan pirau dari kanan ke kiri. Pada keadan obstruksi yang menetap pada Right Ventricular Outflow Tract (RVOT) maka peningkatan darah balik vena sistemik akan menyebabkan sianosis bertambah berat (lihat gambar 1)2. Setiap keadaan yang menimbulkan peningkatan aktivitas, menangis, defekasi dan hipovolemia dapat menimbulkan cyanotic spells pada PJB sianotik.

Pada Tetralogi Fallot terdapat 5 mekanisme patogenesis serangan sianotik yakni: y peningkatan frekuensi laju jantung (heart rate) y peningkatan curah jantung (cardiac output) dan venous return y peningkatan pirau dari kanan ke kiri y terangsangnya pusat pernafasan y kontraksi infundibulum

Gambar 1 (sumber: modifikasi dari ref.2)

Page 37: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

23

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

Mekanisme cyanotic spells: penurunan pO2 arteri akan merangsang pusat pernafasan sehingga terjadi Hiperpnea. Hiperpnea akan meningkatkan alir balik vena sistemik yang akan menyebabkan peningkatan tekanan di ventrikel kanan akan meningkatkan pirau dari kanan ke kiri dan sianosis menjadi bertambah berat. Demikian siklus ini akan terus berjalan

Terdapat beberapa teori tentang mekanisme terjadinya serangan sianotik. Terdapat teori yang menyatakan bahwa serangan sianotik terjadi akibat spasme infundibulum sehingga terjadi penyempitan RVOT. Woods,3 melaporkan bahwa serangan sianotik terjadi akibat spasme infundibulum pada ventrikel kanan yang menimbulkan peningkatan pirau dari kanan ke kiri dan asidosis metabolik. Terjadi penglepasan katekolamin yang mengakibatkan peningkatan kontraktilitas miokardium dan spasme infundibulum. Selain itu ada laporan lain oleh Guntehroth dkk.4 yang menyatakan bahwa episode paroxysmal hyperpnea adalah faktor penyebab bukanlah efek dari cyanotic spells. Keadaan hyperpnea akan meningkatkan darah balik vena sistemik yang mengakibatkan terjadi peningkatan pirau dari kanan ke kiri (right to left shunt) dan juga konsumsi oksigen melalui peningkatan upaya bernafas. Namun pendapat ini dibantah oleh Kothari dkk5 yang menyatakan bahwa terdapat peran stimulasi mechanoreceptors pada ventrikel kanan sehingga terjadi spells. Peningkatan kontraktilitas ventrikel kanan karena katekolamin dan berkuranganya ukuran ventrikel kanan sebagai akibat berbagai faktorakan merangsang refleks sehingga terjadi hiperventilasi, vasodilatasi perifer tanpa bradikardia yang pada akhirnya menyebabkan spells.

Manifestasi klinisBiasanya serangan sianotik tipikal terjadi pada pagi hari setelah anak bangun tidur, yang mungkin terjadi akibat perubahan vaskular bed di sirkulasi pulmonal secara tiba-tiba. Keadaan lain yang dapat menstimulasi dapat berupa ansietas, demam, anemia, hipovolemia namun dapat juga terjadi tanpa sebab yang jelas. Serangan sianotik jarang terjadi pada bayi kurang dari 6 bulan. Serangan sianotik paling sering terjadi pada usia 4 tahun dan jarang terjadi setelah umur 4 tahun. 6

Presentasi klinis serangan sianotik pada bayi dan anak berupa anak terlihat lemah dan bertambah biru (sianotik) dengan pola pernafasan cepat dan dalam (hyperpnea) untuk kemudian terjadi asidosis metabolik berat. Bising jantung melemah karena peningkatan pirau dari kanan ke kiri. Dapat juga terjadi penurunan kesadaran dan kejang yang dapat mengancam jiwa (life threatening). Pada anak yang lebih besar seperti anak pada anak usia sekolah, akan mengalami squatting yang merupakan mekanisme recovery berupa

Page 38: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

24

Cyanotic Spells pada Penyakit Jantung Bawaan: Pengenalan dini dan Tatalaksana

peningkatan resistensi vaskluar sistemik dengan akibat berkurangnya pirau dari kanan ke kiri di tingkat ventrikel sehingga sirkulasi paru akan bertambah. Beberapa PJB sianotik yang dapat mengalami spells adalah atresia trikuspid dengan stenosis pulmonal, TGA dengan stenosis pulmonal dan ventrikel tunggal dengan stenosis pulmonal.

Tata laksanaIntervensi awal untuk mengatasi spells padabayi yaitu dengan posisi knee-chest yang dapat dilakukan dengan berbaring atau bayi diletakkan pada bahu ibu. Keadaan ini diharapkan dapat meningkatkan resistensi vaskular sistemik yang berakibat berkurangnya pirau dari kanan ke kiri sehingga terjadi peningkatan sirkulasi pulmonal. Bayi akan lebih tenang dan darah balik vena sistemik akan berkurang. Pada anak besar dengan squatting (berjongkok) yang juga merupakan upaya untuk meningkatkan resitensi vaskular sistemik sehingga berkurangnya pirau dari kanan ke kiri di tingkat ventrikel. Pemberian oksigen pada keadaan ini tidak banyak manfaatnya karena masalah utama bukan kekurangan oksigen namun yang terjadi adalah berkurangnya aliran darah ke paru.

Apabila intervensi di atas tidak berhasil maka harus diberikan terapi sebagai berikut: 7

1) Propranolol 0,1 mg/kg berat badan (BB) Intravena (i.v) diberikan pelan-pelan dan dapat diulang setelah 15 menit. Dengan berkurangnya kontraktilitas miokard diharapkan spasme infundibulum berkurang dan sirkulasi pulmonal akan meningkat. Untuk pencegahan spells dapat diberikan propranolol oral dengan dosis 2-4mg/kgBB/hari.

Obat pilihan lain adalah Esmolol (0,5mg/kgBB) diberikan i.v dalam 1 menit, kemudian 50 mikrogram/kgBB selama 4 menit. Dapat pula diberikan metoprolol 0,1 mg/kgBB diberikan i.v selama 5 menit, dapat diulang tiap 5 menit maksimal 3 kali.

Vasokonstriktor Phenylephrine drip dapat diberikan 0,1-0,5 mikrogram/kgBB/menit

Untuk meningkatkan resistensi vaskular sistemik sehingga terjadi penurunan pirau dari kanan ke kiri.

2) Koreksi asidosis metabolik dengan pemberian bicarbonate natricus 1-2 mEq/KgBB i.v. Dengan koreksi asidosis metabolik akan terjadi penurunan rangsangan pusat pernafasan dan mengurangi peningkatan resistensi vaskular paru yang disebabkan hipoksia dan asidosis

3) Bila belum ada perbaikan dapat diberikan Morphine 0,1-0,2 /kgBB i.m,dengan efek yang diharapkan dapat menekan pusat pernafasan dan sedasi yang pada akhirnya mengurangi hyperpnea.

Page 39: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

25

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

4) Pemberian cairan inisial dengan bolus 10-20 cc/kgBB akan meningkatkan aliran darah paru. Dapat diberikan cairan koloid atau kristaloid yang dapat meningkatkan preload dan diberikan lebih dulu sebelum obat-obatan.

Akhir-akhir ini dilaporkan keberhasilan pengobatan “cyanotic spells” pada anak dengan tetralogi Fallot menggunakan single dose fentanyl intranasal, terjadi peningkatan saturasi oksigen menjadi 78% dalam waktu 10 menit.8 Frekuensi terjadinya serangan sianotik yang sering atau tidak pada bayi atau anak dengan PJB sianotik menentukan apakah penderita perlu tindakan operasi paliatif segera atau dapat langsung dilakukan operasi definitif atau total koreksi.

SimpulanSerangan sianotik atau “cyanotic spells” merupakan keadaan kegawatan yang tidak jarang ditemukan pada bayi dan anak penderita PJB sianotik terutama pada tetralogi Falllot. Keadaan ini perlu dideteksi lebih dini oleh dokter termasuk dokter spesialis anak agar pasien terhindar dari berbagai komplikasi berbahaya akibat hipoksia lama. Biasanya serangan sianotik timbul saat bangun tidur di pagi hari, setelah menangis atau exercise. Karakteristik serangan sianotik adalah: paroksismal hyperpnea, iritabilitas setelah menangis, sianosis yang bertambah berat,bising jantung melemah dan dapat terjadi kejang. Terdapat beberapa teori tentang makanisme terjadinya serangan sianosis : (1) spasme infundibulum akibat peningkatan katekolamin sehingga penyempitan RVOT akan bertambah dan pirau dari kanan ke kiri meningkat, (2) hyperpnea (nafas cepat dan dalam) yang menyebabkan peningkatan darah balik vena sistemik dengan akibat bertambahnya pirau dari kanan ke kiri. (3) stimulasi mechanoreceptors pada ventrikel kanan oleh katekolamin dan berkurangnya ukuran ventrikel kanan akan merangsang refleks sehingga terjadi hiperventilasi. Untuk tatalaksana cyanotis spells diawali dengan knee chest position. Beberapa obat dapat diberikan antara lain propranolol, morphine, metoprolol. Selain itu asidosis metabolik harus segera diatasi.

Pemberian cairan inisial dapat meningkatakan aliran darah ke paru. Pemberian koloid atau kristaloid dapat menurunkan preload dan diberikan sebelum diberikan obat-obatan

Page 40: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

26

Cyanotic Spells pada Penyakit Jantung Bawaan: Pengenalan dini dan Tatalaksana

Daftar pustaka1. Weng YM, Cahang YC, Chiu TF, Weng CS. Tet spells in an adult. Am J Emerg

Med. 2009;27:130.e 3-52. Park MK. Pathophysiology of cyanotic congenital heart disease. Dalam: Park MK,

penyunting. Park’s Pediatric Cardiology for Practitioners. Edisi ke-6. Philadelphia: Elsevier Saunders;2014. h.137-52

3. Wood P. Attack of deeper cyanosis and loss of consciousness (syncope) in Fallot’s Tetralogy. Br Heart J. 1958;20: 282

4. Guntheroth WG, Morgan BC, Mullins GL. Physiologic studies of paroxysmal hyperpneu in cyanotic congenital heart disease. Circulation.1965;31: 70

5. Kothari S.S. Mecahnism of cyanotic spells in tetratolgy of Fallot-the missing link?. Int J.Cardiol.1992;37:1-5

6. Raid-Abdullah. Tetralogy of fallot, in: Koenig P, Hijazi Z, Zimmerman F, essensial pediatric cardiology The McGraw-Hill Companies.2004.h. 193-98

7. Taksande A, Gautami V, Padhi S, Bakshi K. Hypercyanotic spells. J MGIMS.2009;14:7-9

8. Daniel ST, Yaffa M Vitberg, Joel Berezov, Thomas JS, Peter SD. Treatment of tetralogy of fallot hypoxic spells with intranasal fentanyl. Pediatrics.2014;134:e266-8

Page 41: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

27

Tata Laksana Luka Bakar pada AnakRismala Dewi

Tujuan:1. Mampu menjelaskan patofisiologi luka bakar pada anak2. Mampu menjelaskan luas, derajat dan kedalaman luka bakar pada anak3. Mampu menatalaksana luka bakar pada anak

Luka bakar menempati urutan kelima penyebab kematian terkait kecelakaan yang tidak disengaja pada anak, terutama apabila daerah yang terkena cukup luas. Dalam penanganan luka bakar harus dipertimbangkan jenis, lokasi, luas dan dalamnya luka bakar serta adanya kondisi khusus seperti pada anak.1 Perawatan luka bakar kompleks umumnya memerlukan pendekatan multidisiplin., dan merupakan tantangan besar bila hal tersebut terjadi pada anak. Penanganan luka bakar pada anak dan dewasa pada dasarnya sama hanya akibat yang ditimbulkan dapat lebih serius pada anak. Hal itu disebabkan secara anatomi kulit anak lebih tipis, lebih mudah terjadi kehilangan cairan dan elektrolit serta kemungkinan terjadi hipotermi cukup besar.2-3

Epidemiologi Di Amerika Serikat sekitar 120.000 anak per tahun mengalami luka bakar dan merupakan penyebab ketiga terbesar kecelakaan non-fatal. Angka kejadian pada laki-laki dibandingkan perempuan 3:2, dan sekitar 58 % kasus mengenai anak usia < 6 tahun. Luka bakar akibat air panas atau uap panas merupakan penyebab tersering yaitu 52,2 % diikuti oleh api 32,5 % dengan angka kematian 0,9/100.000 anak per tahun.1,4,5 Berbeda dengan hasil yang dilaporkan di Pakistan pada 1725 anak usia di bawah 15 tahun yaitu usia terbanyak (67,5 %) adalah 3-6 tahun dengan rerata 5,04 (SB 2,78) tahun, dan sekitar 70,3 % disebabkan tersiram air panas. Daerah tangan dan lengan bawah merupakan bagian tubuh yang sering terkena (36%), diikuti daerah muka dan leher (21,1 %).6 Di Indonesia belum didapatkan data yang tepat mengenai angka kejadian luka bakar pada anak. Unit Luka Bakar (Burn Unit) Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo selama bulan Januari 2011 sampai Desember 2012, menerima 275 pasien luka bakar dengan jumlah pasien anak 72 pasien (26 %).7

Page 42: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

28

Tata Laksana Luka Bakar pada Anak

Etiologi1,8,9

TermalLuka bakar karena panas paling sering terjadi akibat tersiram air panas yang akan membentuk luka lepuh, hingga terjadi denaturasi protein, pembentukan oksigen radikal bebas, dan akhirnya kematian sel dengan pembentukan bekas luka bakar

Luka bakar listrikLuka bakar listrik terjadi akibat aliran listrik yang diubah menjadi panas dan menjalar ke jaringan tubuh yang merupakan konduktor yang buruk. Jumlah panas yang dihasilkan, dan tingkat kerusakan jaringan, sama dengan 0,24 dikalikan dengan tegangan dan resistan. Listrik untuk keperluan domestik biasanya bertegangan rendah dan cenderung menyebabkan luka bakar kecil. Aliran listrik yang lebih besar dari 1000 Volt dapat menyebabkan kerusakan otot, rabdomiolosis, dan gagal ginjal.

Luka bakar kimiawiLuka bakar kimiawi disebabkan paparan zat asam atau basa. Luka bakar akibat paparan zat basa umumnya lebih dalam dibandingkan zat asam. Hal ini karena basa menyatu dengan jaringan lemak di kulit sehingga menyebabkan kerusakan jaringan yang lebih progresif, sedangkan luka bakar akibat asam akan menyebabkan koagulasi protein.

Luka bakar apiLuka bakar api sering berhubungan dengan cedera inhalasi dan penyerta lainnya, serta cenderung mengenai kulit yang lebih dalam. Luka bakar api dan luka bakar tersiram air panas adalah penyebab paling umum luka bakar pada anak-anak dan dewasa di seluruh dunia.

PatofisiologiKulit dapat bertahan terhadap panas sampai suhu tertentu karena adanya kandungan air yang cukup. Pada daerah dengan vaskularisasi yang banyak, memungkinkan terjadinya penghantaran panas dari tempat luka bakar ke tempat lain sehingga mengurangi kedalaman luka bakar. Luasnya luka bakar ditentukan oleh derajat panas, lamanya jaringan terpapar dan ketebalan kulit yang terkena oleh sumber panas. Kerusakan jaringan pada luka bakar jarang sekali homogen dan biasanya terbagi atas 3 zona yaitu zona koagulasi, stasis

Page 43: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

29

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

dan hiperemia (Gambar 1). Zona ini dikenal sebagai teori Jackson (Jackson’s thermal wound theory), yang biasanya terlihat sebagai bull’s-eye pattern. Zona koagulasi merupakan jaringan mati yang membentuk parut, terletak di pusat luka terdekat dengan sumber panas. Jaringan pada zona ini tidak dapat diselamatkan karena telah terjadi koagulasi nekrosis. Jaringan yang masih layak berdekatan dengan daerah nekrotik disebut zona stasis. Penurunan perfusi didaerah tersebut dapat menyebabkan nekrosis. Edema yang berlangsung lama, infeksi, intervensi bedah yang tidak perlu, dan hipotensi dapat mengkonversi zona ini ke zona koagulasi. Pada zona hiperemia terjadi peningkatan perfusi dan merupakan daerah dengan kerusakan minimal.1,8,9,

Gambar 1. Zona luka bakar menurut Jackson.8

Kulit merupakan organ yang yang terbesar pada tubuh manusia, dengan ketebalan bervariasi sesuai usia dan lokasi (1-2 mm). Ketebalan kulit mempengaruhi kerentanan terhadap luka bakar, misalnya kulit di telapak tangan dan kaki lebih tebal dan lebih tahan dibandingkan lengan atau kelopak mata.8

Gambar 2. Klasifikasi kedalaman luka bakar sesuai lapisan anatomi kulit8

Page 44: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

30

Tata Laksana Luka Bakar pada Anak

Klasifikasi luka bakar berdasarkan kedalamannya dibagi dalam 4 derajat, dengan pembagian sebagai berikut: (Tabel 1).

Tabel 1. Derajat luka bakar.8

Kedalaman luka bakar

Gambaran Melepuh Sensasi Waktu penyem-buhan

Epidermis merah tidak ada sangat nyeri 1 mingguSuperficial partial thickness

merah jambu, basah, waktu pengisian kapiler cepat

melepuh sangat nyeri 2-3 minggu

Deep partial thick-ness

pucat, merah menetap, waktu pengisian kapiler kurang

mungkin me-lepuh

nyeri berkurang

3 minggu, skin graft, eksisi

Full thickness kulit putih atau coklat tidak tidak eksisi dan skin graft

Selain derajat luka bakar, yang perlu diperhatikan adalah luasnya luka bakar karena penentuan luasnya luka bakar sangat menentukan prognosis dan komplikasi yang terjadi. Gambar 2 menunjukkan luasnya luka bakar menurut Lund Browder Chart.10

Gambar 3. Persentase luas luka bakar.10

Proses mendasar yang terjadi pada luka bakar dapat berupa reaksi inflamasi lokal dan sistemik, dengan hasil akhir terjadinya perpindahan cairan ke ruang intersitisial. Efek sistemik luka bakar akan jelas terlihat bila luas luka bakar mencapai > 20%. Beberapa keadaan yang perlu diperhatikan pada luka

Page 45: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

31

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

bakar adalah inflamasi, edema, kehilangan cairan dan elektrolit, infeksi. Pada luka bakar terjadi pelepasan mediator inflamasi seperti histamin, serotonin, prostaglandin, tromboksan, komplemen dan sitokin lainnya sebagai respons tubuh terhadap adanya trauma mekanis. Hal itu menyebabkan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi ekstravasasi cairan dan protein ke ruang interstisial sehingga terjadi edema. Pada luka bakar yang luas terjadi pelepasan vasoaktif ke sirkulasi sehingga terjadi peningkatan permeabilitas kapiler sistemik. Selain itu terjadi penurunan aktivitas potensial transmembran sel sehingga terjadi perpindahan sodium dan air dari ekstrasel ke intrasel yang menyebabkan pembengkakan sel.1,8,9

Salah satu fungsi kulit adalah menapis masuknya kuman ke dalam sirkulasi. Dengan hilangnya kulit (epidermis dan dermis) maka proses inhibisi kuman ke sirkulasi terganggu. Kuman dapat langsung kontak ke sirkulasi sehingga proses infeksi mudah terjadi. Infeksi secara luas akan menimbulkan sepsis yang dapat menyebabkan kematian. Selain itu infeksi dapat terjadi akibat translokasi bakteri dan peningkatan permeabilitas dari gastrointestinal.1,11,12

Evaluasi klinisEvaluasi klinis dimulai dengan airway, breathing, circulation (ABC) diikuti anamnesis dan pemeriksaan fisis. Survei primer bertujuan untuk melihat patensi jalan napas dan beratnya luka bakar. Anak dengan luka bakar akibat kebakaran berisiko mengalami edema jalan napas, sehingga perlu ketelitian dalam melakukan pemeriksaan di daerah muka, mukosa mulut dan hidung. Tindakan intubasi endotrakea mungkin diperlukan untuk mengantisipasi adanya bronkospasme dan hipoksia. Pada survei sekunder dilakukan pemeriksaan fisis lengkap termasuk pemeriksaan mata untuk melihat adanya laserasi kornea. Perlu diperhatikan juga adanya gangguan sirkulasi dan pernapasan, terutama bila luka bakar mengenai bagian tubuh depan dan belakang.13-15

Pemeriksaan penunjangPemeriksaan penunjang yang diperlukan diantaranya adalah darah perifer lengkap, metabolik dasar, analisis gas darah, kadar mioglobin, urinalisis dan profil faktor pembekuan. Sel darah putih biasanya meningkat pada pasien luka bakar akibat respons terhadap kondisi akut yang terjadi atau disebabkan oleh infeksi. Kadar hemoglobin dan hematokrit dapat meningkat akibat kehilangan cairan atau perdarahan. Penilaian fungsi ginjal sangat penting dilakukan untuk mengetahui adanya asidosis metabolik dan nekrosis tubular akut. Hiperkalemia

Page 46: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

32

Tata Laksana Luka Bakar pada Anak

dapat ditemukan pada pasien luka bakar akibat pemecahan sel dan pergeseran kalium intrasel ke ekstrasel.15,16

Tata laksanaTata laksana luka bakar sangat tergantung pada derajat, luas, dan lokasi luka bakarnya. Pada anak yang mengalami luka bakar yang berat, evaluasi dan tata laksana awal harus diberikan secara simultan, meliputi menjaga patensi jalan napas, pernapasan, sirkulasi, menghentikan dan penilaian proses luka bakar dan pemberian cairan resusitasi.13,17

Penilaian patensi jalan napas, pernapasan dan sirkulasi Edema laring dapat terjadi dalam 24-48 jam pertama setelah terhisap asap atau uap panas sehingga memerlukan penanganan segera agar tidak terjadi obstruksi jalan napas dan henti napas. Selain itu perlu diperhatikan tanda-tanda obstruksi jalan napas yang lain seperti stridor, mengi, suara serak sehingga tindakan intubasi dapat segera dilakukan karena keterlambatan melakukan penilaian dapat menyebabkan terjadinya intubasi yang sulit. Bila ditemukan rambut hangus terbakar, wajah terbakar, serak, disfoni, batuk, jelaga di mulut dan hidung, tanpa disertai dengan distres napas, harus dicurigai kemungkinan adanya edema yang mengancam di jalan napas atas dan bawah. Penilaian terhadap ventilasi dan oksigenasi perlu dilakukan dengan melihat usaha napas anak, ekspansi dada, suara napas dan adanya sianosis. Pulse oksimetri dapat digunakan untuk menilai saturasi pada anak dengan luka bakar, tetapi perlu hati-hati pada pasien anak dengan kadar karboksihemoglobin yang tinggi dapat terlihat “normal” saturasinya. Pada anak dengan luka bakar berat sebaiknya diberikan oksigen 100%.14,18

Gangguan sirkulasi pada anak dengan luka bakar sangat kompleks, dan biasanya anak lebih rentan untuk terjadinya renjatan dibandingkan dewasa. Penilaian sirkulasi meliputi kesadaran, nadi, warna kulit, waktu pengisian kapiler dan suhu ekstremitas. Pemberian cairan intravena bertujuan untuk memperbaiki hipovolemia akibat dari kebocoran kapiler kulit yang terluka. Kebocoran kapiler lokal dan sistemik dapat terjadi secara proporsional sesuai dengan luas dan kedalaman luka bakar.18

Penilaian luka bakarPenilaian luas dan derajat luka bakar dilakukan setelah stabilisasi fungsi vital. Perhitungan luasnya permukaan luka bakar dengan menggunakan the rule of nine kurang akurat pada anak karena perbedaan proporsi tubuh antara anak

Page 47: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

33

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

dan dewasa. Pada anak area kepala lebih besar sedangkan area ekstremitas lebih kecil sehingga pengukuran luas permukaan tubuh yang lebih akurat pada anak < 15 tahun dengan mempergunakan Lund-Browder chart. Penilaian luas permukaan luka bakar ini hanya perkiraan saja sehingga penilaiannya harus dilakukan berulang-ulang.10

Pemberian cairan resusitasiPenilaian status hidrasi anak dengan luka bakar merupakan proses yang dinamis sehingga memerlukan evaluasi dan terapi yang berkesinambungan. Pada luka bakar yang ringan yang meliputi 10-15 % luas permukaan tubuh cukup diberikan cairan rehidrasi oral atau cairan rumatan intravena. Tetapi pada luka bakar yang luasnya > 15 % memerlukan cairan resusitasi dengan 2 jalur intravena. Bila ditemukan tanda-tanda renjatan bisa diberikan loading cairan Ringer laktat 20 ml/kgBB secara cepat sampai renjatan teratasi, setelah itu dapat diberikan cairan kristaloid sesuai formula Parkland yaitu: 4 mL/kgBB/% BSA untuk luka bakar derajat dua dan tiga. Setengahnya diberikan dalam 8 jam, sisanya dilanjutkan 16 jam kemudian, tambahkan rumatan dengan dekstrosa 5 % pada anak < 5 tahun. Rumus lain yang bisa digunakan adalah Galveston Shriners yaitu: 5.000 mL/m2/% BSA untuk luka bakar derajat dua dan tiga, setengahnya diberikan dalam 8 jam, sisanya dilanjutkan 16 jam kemudian serta tambahkan rumatan dekstrosa 5 % sebanyak 2.000 mL/m2/hari. Modifikasi Brooke system bisa digunakan dengan rumus 2 mL/kgBB/% BSA dalam 24 jam. Pemberian cairan koloid pada resusitasi awal tidak dianjurkan karena akan memperberat edema di jaringan, sedangkan pemberian albumin 5 % dapat dipertimbangkan setelah 24 jam pertama. Pemantauan pemberian cairan merupakan hal yang mutlak sehingga evaluasi harus dilakukan selama 24 jam untuk menghindari kelebihan cairan, dengan memantau pengeluaran urin 1 mL/kgBB/jam untuk anak < 10 tahun dan 0,5 mL/kgBB/jam untuk anak > 10 tahun.19-21

Kontrol infeksiDiagnosis infeksi pada pasien dengan luka bakar merupakan tantangan tersendiri. Dengan berkembangnya tehnik antiseptik dan antibiotik topikal dapat mengurangi jumlah bakteri dan risiko infeksi. Pemberian antibiotik profilaksis spektrum luas pada luka bakar ringan tidak dianjurkan karena menambah risiko resistensi antibiotik. Pada pasien ini cukup diberikan krim silver sulfadiazin untuk mencegah infeksi, tetapi tidak boleh diberikan pada wajah, riwayat alergi sulfa, perempuan hamil, dan bayi kurang dari 2 bulan. Alternatif lain adalah dengan menggunakan krim basitrasin. Pada luka bakar yang luas dan dalam kemungkinan infeksi dan terjadinya sepsis cukup besar,

Page 48: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

34

Tata Laksana Luka Bakar pada Anak

antibiotik spektrum luas dapat diberikan sampai menunggu kultur sehingga antibiotik yang lebih tepat dapat diberikan.22

Perawatan luka bakarTujuan utama dari perawatan luka ini adalah untuk mengurangi kehilangan cairan, mencegah pengeringan kulit yang masih layak, mempercepat penyembuhan dan mencegah terjadinya infeksi. Tata laksana awal luka bakar adalah melakukan pembersihan dan membuang jaringan yang tidak vital dengan sabun dan air. Eksisi dan skingraft pada luka bakar yang dalam menjadi pilihan yang utama walaupun belum ada penelitian terkontrol yang membuktikannya.13,22

Tata laksana nyeriMengurangi nyeri merupakan hal yang harus dipertimbangkan dalam penatalaksanaan anak dengan luka bakar. Kadang diperlukan juga sedasi untuk mengurangi kecemasan yang dialami anak dengan memberikan golongan narkotik analgesi seperti morfin atau fentanil. Morfin dengan dosis 0,1-0,15 mg/kgBB merupakan obat pilihan utama pada anak dengan luka bakar yang berat.23,24

NutrisiPemberian nutrisi merupakan hal yang penting dilakukan untuk mengantisipasi proses katabolik yang terjadi pada anak dengan luka bakar. Pada luka bakar yang signifikan kebutuhan metabolisme basal dapat meningkat sampai 40 %. Pemberian nutrisi enteral lebih diutamakan bila anak dalam kondisi stabil yang dapat diberikan segera dalam 24 jam pertama. Pemantauan klinis, kebutuhan nutrisi, tipe dan cara pemberian nutrisi sangat penting pada pasien luka bakar untuk memenuhi kebutuhan medis dan surgikal.23,25

PrognosisPrognosis luka bakar pada anak sangat tergantung pada luasnya, derajat, dan lokasi luka bakarnya. Pada luka bakar derajat 1 angka kesembuhan sekitar 90-100 % tanpa adanya kontraktur. Sedangkan derajat 2, 3, dan 4 angka kejadian kontraktur berturut-turut sekitar 30-34 %, 50-70 %, dan 90-100%. Angka perawatan sekitar 17,2 % dengan rerata luas luka bakar sekitar 27,1 (SB 10,84 %) dengan lama rawat sekitar 15,6 (SB 5,01) hari. Angka kematian secara keseluruhan 9,1 % sedangkan pada derajat 3 dan 4 sekitar 50-100 % .2,9,12

Page 49: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

35

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

SimpulanLuka bakar pada anak memerlukan perhatian khusus karena anak bukan orang dewasa kecil. Perbedaan dalam fisiologi cairan dan elektrolit, kebutuhan energi dan proporsi tubuh pada anak menyebabkan penatalaksaan luka bakar pada anak harus dilihat dengan perspektif yang berbeda dibandingkan orang dewasa. Tata laksana meliputi tunjangan hidup dasar dan lanjut, perawatan luka, pemberian cairan resusitasi, mengontrol nyeri dan infeksi, nutrisi yang adekuat dan mengatasi respons metabolik yang terjadi, serta pemantauan sekuele jangka panjang.

Daftar pustaka1. Hendry PL. Pediatric burns. Dalam: Schafermeyer RW, Tenenbein M, Macias

CG, Sharieff GQ, Yamamoto L, penyunting. Pediatric Emergency Medicine. Edisi ke-4. New York: Mc Graw Hill;2015. h. 721-32.

2. Sharma RK, Parashar A. Special considerations in paediatric burn patients. Indian J Plast Surg. 2010;43:43-50.

3. Bakker A, Maertens KJP, Van Son MJM, Van Loey NEE. Psychological consequences of pediatric burns from a child and family perspective: A review of the empirical literature. Clin Psychol Rev. 2013;33:361-71.

4. Alaghehbandan R, Sikdar KC, Gladney N, Macdonald D, Collins KD. Epidemiology of severe burn among children in Newfoundland and Labrador, Canada. Burns. 2011;18:1-8.

5. Arslan H, Kul B, Derebaşinlioğlu H, Çetinkale O. Epidemiology of pediatric burn injuries in Istanbul, Turkey. Turkish J Trauma Emerg Surg. 2013;19:123-6.

6. Iqbal T, Saaiq M. The burnt child: an epidemiological profile and outcome. J Coll Physicians Surg Pak. 2011;21:691-4.

7. Martina NR, Wardhana A. Mortality analysis on adult burn patients. J Plast Rekons. 2013;2:96-100.

8. Hettiaratchy S, Dziewulski P. ABC of burns: pathophysiology and types of burns. BMJ. 2004;328:1427-9.

9. Karimi H, Motevalian SA, Momeni M, Ghadarjani M. Etiology, outcome and mortality risk factors in children burn. Surg Sci. 2015;6:42-9.

10. Minimas DA. A critical evaluation of the Lund and Browder chart. Wound. 2007;3:58-68.

11. Hansbrough J, Hansbrough W. Pediatric Burns. Pediatrics. 2010;20:117-22.12. Krishnamoorthy V, Ramaiah R, Bhananker SM. Pediatric burn injuries. Int J Crit

Illn Inj Sci. 2012;2:128–34.13. Jamshidi R, Sato TT. Initial assessment and management of thermal burn injuries

in children. Pediatr Rev. 2013;34:395-44.14. Bezuhly M, Fish JS. Acute burn care. Plast Reconstr Surg. 2012;130:349e-58e.15. Alharbi Z, Piatkowski A, Dembinski R, Reckort S, Grieb G, Kauczok J, dkk.

Treatment of burns in the first 24 hours: simple and practical guide by answering 10 questions in a step-by-step form. World J Emerg Surg. 2012;7:13-23.

Page 50: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

36

Tata Laksana Luka Bakar pada Anak

16. Kamolz L, Handle A, Sharmm W. Lactate: early predictor of morbidity and mortality in patients with severe burn. Burns. 2011;31:986-90.

17. Bilwani PK. Unfavourable results in acute burns management. Indian J Plast Surg. 2013;6:428-34.

18. Cuttle L, Pearn J, McMillan J, Kimlbe R. A review of first aid treatment of burn injuries. Burns. 2009;35:768-75

19. Gille J, Klezcewski B, Malcherek M, Raff T, Mogk M, Sabiotzki A. Safety of rescucitation with Ringer’s acetate solution in severe burn: An observational trial. Burns. 2014;40:871-80.

20. Kraft R, Herndon D, Branski L, finnerty C. Optimized fluid management improves outcomes of pediatric burn patients. J Surg Research. 2014;181:121-8.

21. Boldt J. Use of albumin: an update. Br J Anaesth. 2010;104:276–84.22. Tran S, Chin AC. Burn sepsis in children. Tran and Chin. 2014;15:149-58.23. Jeschke MG, Herndon DN. Burns in children: standard and new treatments.

Lancet 2013;383:1168–78.24. Gandhi M, Thomson C, Lord D, Enoch S. Management of pain in children with

burns. Int J Pediatr. 2010;4:1-9.25. Rousseau AF, Losser MR, Ichai C, Berger MM. ESPEN endorsed recommendations:

nutritional therapy in major burns. Clin Nutr. 2013;32:497-502.

Page 51: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

37

Difteri suatu Penyakit Re-emerging Hindra Irawan Satari

Tujuan:1. Mengetahui perjalanan alamiah infeksi difteri pada anak2. Mengetahui pengertian penyakit re-emerging3. Mengetahui faktor yang berperan untuk timbulnya penyakit re-

emerging4. Mengetahui situasi global difteri dan re-emergence5. Mengetahui kejadian luar biasa difteri dan implikasinya6. Mengetahui metode efektif untuk menghadapi KLB

Kasus difteri tidak pernah mereda sejak 2006, kejadian luar biasa (KLB) terjadi di Tasikmalaya menyerang anak usia 1-15 tahun dengan case fatality rate (CFR) 3,91%, di Garut pada anak usia 2-14 tahun dengan CFR 11,76%. Jumlah kasus difteri di Indonesia pada tahun 2006, 2008, 2009, 2010 dan 2011 berturut-turut adalah 432, 210, 187, 432, dan 650 kasus.1 Sebanyak 11 anak meninggal dunia dari 333 kasus difteri yang muncul di Jawa Timur (Jatim) selama tahun 2011. Oleh karena itu, pemerintah Provinsi Jatim menetapkan KLB difteri pada tanggal 7 Oktober 2011. Pada tahun 2014, kasus difteri telah ditemukan pada dua kecamatan di Sumatera Barat yaitu Koto Tangah dan Kuranji. Data kasus difteri menunjukkan bahwa 68–74% di antaranya adalah anak di bawah usia 15 tahun. Pada Januari 2015 di Sumatera Barat, sebanyak lima orang dinyatakan suspek difteri. Keadaan ini menggambarkan tidak meratanya cakupan imunisasi di Indonesia. Seharusnya, apabila cakupan imunisasi merata dan tinggi di seluruh pelosok tanah air, maka KLB difteri tidak akan terjadi. Tolok ukur universal child immunization (UCI) menurut World Health Organization (WHO), adalah setiap desa di suatu negara cakupan imunisasinya harus mencapai lebih dari 80%. Data WHO menunjukkan peningkatan cakupan Imunisasi DPT3 di Indonesia dari 72 % di tahun 1986 menjadi 85 % pada tahun 20132. Akan tetapi, beberapa provinsi seperti Kalimantan Tengah, Sulawesi Tenggara dan Papua, hanya mencapai 52,4 – 74%.

Data dari WHO menunjukan sampai saat ini masyarakat masih berisiko untuk terinfeksi penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Penyakit tersebut antara lain, hepatitis B, polio, difteri, tetanus, campak dan pertusis. Berdasarkan data dari WHO, kematian karena difteri di dunia pada tahun

Page 52: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

38

Diphtheria: Re-emerging Disease

2011 adalah 2500 orang. Pada tahun 2013 masih ditemukan 4680 kasus difteri baru. Padahal cakupan imunisasi negara di dunia sudah mencapai 85%, dan 30% diantaranya telah mencapai cakupan imunisasi DPT3 >80%.3

Perjalanan penyakit difteriDifteri adalah suatu penyakit infeksi yang ditularkan dari orang ke orang melalui batuk, bersin dan percikan ludah dari tenggorokan. Penyakit ini biasanya muncul 2 sampai 5 hari setelah terinfeksi kuman difteri. Pada umumnya, difteri menyerang tonsil, faring, laring dan kadang kulit. Gejala berkisar dari yang ringan sampai berat dan mengancam nyawa, seperti difteri laring atau saluran napas atas dan bawah. Difteri seringkali diikuti dengan komplikasi miokarditis dan neuritis. Lima sampai sepuluh persen pasien difteri meninggal, meski telah mendapat pengobatan. Pasien yang tidak diobati sangat infeksius selama 2-3 minggu. Oleh karena itu, difteri sangat berpotensi untuk menimbulkan wabah.

Berdasarkan panduan WHO, definisi kasus klinis pada KLB difteri adalah laringitis, faringitis atau tonsilitis disertai pseudomembran di tonsil, faring dan atau hidung. Isolasi C. diphtheria dari apus tenggorok merupakan kriteria diagnostik laboratorium.4 Berdasarkan buku pedoman penanggulangan KLB difteri Provinsi Jatim, kasus suspek difteri adalah orang dengan gejala laringitis, nasofaringitis atau tonsilitis ditambah pseudomembran putih keabuan yang tak mudah lepas dan mudah berdarah di faring, laring, tonsil. Kasus probable difteri adalah suspek difteri ditambah salah satu dari: a)Pernah kontak dengan kasus (<2 minggu), b)Ada di daerah endemis difteri, c)Stridor, bullneck, perdarahan submukosa atau petekie pada kulit, d)Gagal jantung, gagal ginjal akut, miokarditis dan atau kelumpuhan motorik 1 s/d 6 minggu setelah awitan, e)Meninggal. Kasus konfirmasi difteri adalah kasus probable dengan hasil isolasi positif C. diphteria yang toksigenik (dari usap hidung, tenggorok, ulkus kulit, jaringan, konjungtiva, telinga, vagina) atau serum antitoksin meningkat 4 kali lipat atau lebih (hanya bila kedua sampel serum diperoleh sebelum pemberian toksoid difteri atau antitoksin)5.

Penyakit infeksi emerging dan re-emerging Meski kemajuan penelitian di bidang medik sangat pesat, namun penyakit infeksi masih merupakan penyebab kematian utama di dunia dengan tiga alasan: (1) emergence of new infectious diseases, (2) re-emergence old infectious diseases, dan (3) persistence of intractable infectious diseases. Termasuk di dalam emerging diseases adalah KLB penyakit yang tidak pernah dikenal sebelumnya

Page 53: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

39

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

atau penyakit yang sudah dikenal, namun insidens pada manusia meningkat pesat pada dua dekade terakhir. Penyakit re-emerging adalah penyakit yang telah dikenal dan meningkat kembali setelah insidensnya menurun secara bermakna. Adanya inovasi riset dan peningkatan metode deteksi dan diagnostik menunjukkan beberapa patogen manusia yang sebelumnya tidak dikenal.6

Faktor yang berperan untuk timbulnya penyakit infeksi emerging dan re-emergingPerubahan demografi dan perilaku, penggunaan lahan, banyaknya hewan peliharaan, konsumsi hewan ternak, meningkatnya perjalanan internasional, menurunnya ketaatan imunisasi, terbatasnya fasilitas layanan kesehatan terutama di negara berkembang, membuat seseorang lebih rentan dan sering kontak dengan patogen. Situasi ini menyebabkan paparan terhadap penyakit yang berasal dari hewan (zoonosis infection) atau penyakit yang berasal dari artropoda sehingga mengakibatkan re-emergence penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I), seperti difteri.6

Situasi global difteri dan re-emergence difteriLaporan dari Amerika Serikat tahun 1920 menunjukkan angka 125.000 kasus difteri dengan 10.000 kematian. Dalam periode yang sama dilaporkan pula 1,7 juta kasus pertusis dengan 73.000 kematian. Vaksinasi terhadap kedua penyakit ini telah menurunkan morbiditas dan mortalitas secara bermakna baik di negara maju maupun negara berkembang.

Difteri merupakan masalah kesehatan di negara dengan cakupan imunisasi rendah. Munculnya difteri mencerminkan cakupan imunisasi yang tidak adekuat, untuk itu masalah harus diidentifikasi dan tindakan nyata harus dilakukan untuk meningkatkan cakupan imunisasi. Apabila cakupan imunisasi tinggi dan booster alamiah rendah, seperti terjadi di negara industri, maka sebagian besar kelompok usia dewasa akan rentan terhadap difteri dengan menurunnya kekebalan.

Meski insidens difteri menurun sejak tahun 1990, namun masih terdapat di beberapa negara di Eropa Timur, dan kasus sporadik juga masih dilaporkan di beberapa tempat. Data surveilans dari diphtheria surveillance network countries dan WHO regional Eropa dari tahun 2000-2009 menunjukkan Latvia mempunyai insidens tertinggi dan Federasi Rusia dan Ukraina menyumbang 83% dari seluruh kasus. Selama 10 tahun terakhir, insidens difteri menurun 95%

Page 54: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

40

Diphtheria: Re-emerging Disease

di seluruh wilayah. Meski sebagian besar kematian muncul di negara endemik, namun CFR tertinggi adalah di negara non-endemik, karena penurunan kewaspadaan sehingga terjadi keterlambatan diagnosis dan pengobatan. Re-emergence difteri di negara bekas pecahan Uni Soviet merupakan tanda epidemik pertama berskala besar di negara industri dalam 3 dekade. Di negara-negara bekas pecahan Uni Soviet pada tahun 1990-1997 terdapat 140.000 kasus difteri dan lebih dari 4.000 kematian. Gambaran penting dari KLB ini adalah tingginya proporsi kasus dewasa. Pada fase dini dan akhir epidemik sekitar 70% kasus adalah anak kelompok umur di atas 15 tahun.

Faktor yang berperan terjadinya epidemik di antaranya adalah tingginya populasi dewasa yang rentan dan menurunnya cakupan imunisasi pada anak. Penurunan cakupan imunisasi pada anak menjadi 70% pada tahun 1980an terjadi akibat masalah politik dan ekonomi yang berkaitan dengan pecahnya Uni Soviet. Transmisi difteri pada populasi yang rentan disebabkan antara lain oleh perubahan praktek imunisasi pada anak, digunakannya vaksin dengan kandungan antigen yang rendah, anak tidak menerima dosis booster pada saat masuk sekolah. Selain itu, KLB di Uni Soviet disebabkan juga oleh instabilitas sosio-ekonomi, penurunan standar hidup, pergerakan populasi (pengungsian), buruknya infrastruktur kesehatan, lambatnya implementasi pengendalian serta rendahnya ketersediaan vaksin pada awal KLB.7

Sebagai contoh, difteri telah jarang dilaporkan di Australia. Tidak ada kasus atau kematian yang dilaporkan sejak 1992, berbeda dengan masa pertengahan abad ke-20. Pada puncak epidemik tahun 1921, tercatat 23.199 kasus (laporan kasus per tahun adalah 426 per 100.000 populasi) dan di antara tahun 1926 dan 1935, terdapat 4043 kematian akibat difteri.8 Meski difteri sudah tidak ditemukan lagi di Australia namun kasus baru masih ditemukan di negera tetangga Selandia Baru. Kejadian luar biasa di negara baru pecahan Uni Soviet mengisyaratkan potensi untuk terjadinya re-emergence difteri baik di Australia maupun berbagai tempat di dunia.9

Analisis retrospektif data pasien yang dirawat di rumah sakit pendidikan di negara India dari tahun 1997-2002 didapatkan difteri faring (90%). Pasien yang tidak diimunisasi sebanyak 70% dan angka kematian sebesar 16%. Sero-survei yang dilakukan pada anak berumur 7-17 tahun di beberapa sekolah. Hasil penelitian menunjukkan cakupan vaksinasi dasar dan booster <80 %. Sebanyak 56% anak memiliki kekebalan terhadap difteri. Sebagai kesimpulan, cakupan booster perlu ditingkatkan terutama pada saat masuk sekolah dasar dan selanjutnya secara berkala sehingga kekebalan anak meningkat.10,11

Kejadian luar biasa difteri di Nigeria dilaporkan dari Februari sampai November 2011. Dari 98 kasus, 64,3% berusia <10 tahun, dan 98% diantaranya tidak mendapatkan imunisasi. Case fatality rate sebesar 21,4% dengan kematian terbanyak (42,9%) pada anak berusia <4 tahun. Rendahnya

Page 55: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

41

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

cakupan imunisasi, terlambatnya diagnosis dan tata laksana yang belum memadai berperan untuk terjadinya KLB ini.12

Difteri saat ini juga merupakan penyakit re-emerging di Thailand. Toksoid difteri diberikan pada semua anak <15 tahun baik melalui program pekan imunisasi nasional (PIN) pemerintah maupun swasta sejak tahun 1977 dengan cakupan cukup tinggi. Sampai saat ini hanya sedikit kasus difteri dilaporkan di Thailand, dan kasus dewasa sangat jarang. Akan tetapi, kelompok usia >30 tahun dan anak yang tidak lengkap atau tidak diimunisasi tetap rentan terhadap manifestasi klinis berat difteri. Data dari Kementrian Kesehatan Thailand menunjukkan peningkatan kasus difteri beberapa tahun terakhir. Sebagian besar (56%) kasus dilaporkan antara Januari dan November 2013 dari satu provinsi, Loei yaitu 48 kasus difteri dengan 5 kematian yang disebabkan miokarditis difteri. Laporan kasus terakhir yang dilaporkan sebelumnya adalah pada tahun 1995. Sumber penularan (index case) adalah pasien dewasa, meninggal oleh karena miokarditis, tidak pernah diimunisasi, dan mengalami keterlambatan pemberian anti-toksin difteri. Dalam kurun waktu Juni-Oktober 2013, sejumlah 26 kasus didiagnosis dan dikonfirmasi hasil pemeriksaan laboratorium. Sebagian besar kasus menyerang anak usia <15 tahun (77%) dengan kisaran usia yang lebar (4-72 tahun). Semua kasus ditandai dengan pseudo-membran dan sebagian besar (81%) tidak lengkap atau tidak diimunisasi. Dalam investigasi, ditemukan sejumlah 1846 kontak, termasuk didalamnya anggota keluarga serumah, teman sekelas, rekan, dan petugas kesehatan yang di wawancarai dan di pantau selama 2 minggu. Didapatkan 62 isolat C. diphtheria jenis toksigenik dari kontak asimtomatik atau mempunyai gejala infeksi saluran nafas ringan tanpa pseudo-membran.13

Implikasi epidemik difteri bagi program imunisasi Epidemi masif difteri di negara bekas Uni Soviet memberikan pelajaran penting bagi semua program Imunisasi, yaitu pentingnya pencapaian cakupan imunisasi pada anak, mempertahankan kekebalan pada kelompok umur anak yang lebih besar. Cakupan imunisasi pada anak setidaknya mencapai 90%. Diperlukan penelitian untuk mengelaborasi strategi yang paling efektif untuk mempertahankan kekebalan terhadap imunisasi pada dewasa (dosis booster berkala), imunisasi kelompok umur tertentu, tersedianya fasilitas kesehatan, penggunaan vaksin Td daripada toksoid tetanus. Berbagai upaya harus dilakukan untuk memantau berbagai tingkat kekebalan terhadap difteri pada berbagai kelompok umur dengan mengadakan studi serologi kelompok umur tertentu.14

Kasus difteri pertama dalam 19 tahun terakhir di New Zealand menunjukkan bahwa reservoir C. diphtheria toksigenik masih ada, sehingga

Page 56: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

42

Diphtheria: Re-emerging Disease

difteri masih mungkin re-emerge di Australia apabila kekebalan tidak dapat dipertahankan. Pasien tersebut, anak tanpa riwayat imunisasi berumur 32 bulan, kemungkinan terinfeksi dari ayahnya yang kembali dari Bali dengan aberasi pada kulit yang terinfeksi. Kasus terbaru di Inggris, Amerika dan negara yang berbatasan dengan pecahan Uni Soviet juga berhubungan dengan infeksi impor. Untuk mengurangi risiko kasus impor difteri di Australia, wisatawan harus memperbaharui status imunisasi mereka dan diperlukan tingkat kekebalan yang tinggi di seluruh kelompok umur.

Untuk meningkatkan kekebalan pada dewasa, dilakukan perbaikan rekomendasi imunisasi difteri pada dewasa. Dewasa yang telah memperoleh imunisasi lengkap di masa lalu harus menerima dosis booster vaksin tetanus-difteri dewasa (Td) pada umur 50 tahun, kecuali penguat sudah diberikan dalam sepuluh tahun terakhir, atau semasa remaja atau dewasa telah menerima 5 dosis. Pada dewasa tanpa riwayat vaksinasi, dapat diberikan vaksinasi dasar dengan Td selang 2 bulan sebanyak 3 dosis, diikuti dengan dua booster dengan selang sepuluh tahun. Selain itu, untuk meningkatkan cakupan dengan 5 dosis vaksin yang mengandung difteri, Td dapat diberikan sebagai pencegahan pada luka yang berpotensi untuk terjadi tetanus.

Faktor penyebab terjadinya KLB difteri di IndonesiaAdanya miskonsepsi kelompok masyarakat terhadap vaksinasi merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya KLB di Indonesia dan kelompok ini harus didekati secara khusus. Selain itu, petugas kadang menunda imunisasi pada anak yang sakit ringan walaupun pada literatur, kontraindikasi imunisasi hanya pada keadaan defisiensi imun dan riwayat syok anafilaksis pada pemberian vaksin terdahulu. Vaksin difteri mengandung toksoid yang memerlukan pemberian imunisasi booster untuk tetap mempertahankan titer antibodi pada ambang pencegahan. Untuk itu diperlukan suntikan sebanyak 5 kali sebelum mencapai usia sekolah dasar. Selain itu, kualitas vaksin dapat memengaruhi efektivitasnya. Hal ini sangat ditentukan oleh rantai dingin distribusi sehingga perlu dilakukan pemantauan transportasi dan penyimpanannya.

Pengendalian KLB Metode yang paling efektif adalah imunisasi masal seluruh populasi. Individu yang kontak erat dengan pasien harus diidentifiksi dan segera diobati dengan antibiotik. Penyakit harus didiagnosis secara dini dan prosedur tata laksana kasus dengan baik untuk mencegah komplikasi dan kematian. Kuncinya adalah surveilans termasuk deteksi sumber penularan, verifikasi KLB, penyusunan

Page 57: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

43

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

program strategis pencegahan dan pengendalian serta pembangunan prasarana kesehatan masyarakat dan penelitian.

Tata LaksanaAnak harus dirawat di ruang isolasi dan diperiksa apusan tenggorok. Pengobatan terdiri dari pemberian antitoksin difteri dan antibiotik. Pengobatan dengan antibiotik umumnya menjadikan pasien menjadi tidak infeksius dalam 24 jam. Apabila tidak di imunisasi, anak dan dewasa dapat terinfeksi berulang dengan penyakit ini, untuk itu lakukan segera setelah pasien sembuh. Apabila belum lengkap, sesuaikan dengan status imunisasinya.

Manajemen kontak

Untuk memutuskan rantai penularan, seluruh anggota keluarga serumah harus segera berobat ke dokter dan diperiksa apus tenggorok untuk menentukan status mereka apakah penderita atau karier (pembawa kuman) difteri. Karier difteri akan diberikan pengobatan eritromisin 50mg/kg berat badan selama 5 hari. Awasi ketat selama 7 hari sejak tanggal terakhir kontak. Lakukan desinfeksi serentak dan menyeluruh terhadap barang yang terpapar dengan pasien. Beri eritromisin pada semua orang serumah tanpa melihat status imunisasi dan berikan vaksin pada fase konvalesens sesuai rekomendasi.5

Vasksinasi DPT Bila sehat, maka selama masa bayi, DPT diberikan 3 kali, paling dini umur 6 minggu, selang 4 minggu. Kombinasi toksoid difteri dengan vaksin tetanus dan pertusis merupakan bagian program pengembangan imunisasi (PPI) Kementerian Kesehatan RI sejak tahun 1974. Setelah imunisasi dasar, masa proteksi berkisar 10 tahun. Daya kebal di perkuat melalui paparan C. diphtheria strain toksigenik. Apabila tidak ada booster alamiah, untuk mempertahankan kekebalan diperlukan dosis booster toksoid difteri setelah bayi dan usia masuk sekolah.

Untuk memutus transmisi KLB diberikan profilaksis antibiotik terhadap kontak dan imunisasi pada yang berisiko (Outbreak response immunization/ORI), yaitu: DT pada usia 3-5 tahun dan 5-7 tahun sedangkan Td pada usia >7-15 tahun. Anak usia 1-3 tahun yang belum lengkap dilakukan imunisasi DPT-Hepatitis B. Imunisasi dilakukan selain di tempat tinggal, juga dilakukan di sekolah.

Menurut CDC, pemberian rutin vaksin DPT harus diberikan pada usia 2, 4, 6 selanjutnya antara 15 sampai 18 bulan, dan usia 4 sampai 6 tahun. Dosis ke empat dapat diberikan paling dini pada usia 12 bulan, paling tidak 6 bulan

Page 58: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

44

Diphtheria: Re-emerging Disease

setelah diberikan dosis ke tiga. Vaksin DPT dan DTaP (apabila tersedia) dapat diberikan paling dini pada usia 6 minggu. Apabila datang terlambat, maka selang minimum antara dosis 1, 2 dan 3 adalah 4 minggu, sedangkan dari dosis 3 ke 4, dan dari dosis 4 ke dosis ke 5 dianjurkan selang minimal masing masing 6 bulan (Tabel 1 dan 2).

Tabel 1. Jadwal imunisasi terlambat usia 4-6 bulan16

Usia 4-6 bulanVaksin Usia minimum Selang minimum antara dosis

Dosis 1 Dosis 2 ke dosis 3

Dosis 3 ke dosis 4 Dosis 4 ke dosis 5

DPT/DTaP 6 minggu 4 minggu 4 minggu 6 bulan 6 bulan

Bagi anak 7 sampai 18 tahun, selang minimum antar dosis 1 ke dosis 2, dosis 2 ke dosis 3 adalah 4 minggu, sedangkan apabila dosis pertama DTaP/DT diberikan sebelum mencapai umur 1 tahun, maka selang antara dosis 3 ke dosis 4 adalah 4 minggu, sedangkan apabila dosis pertama DTaP/DT telah diberikan pada atau sesudah umur 1 tahun maka dosis selanjutnya diberikan selang 6 bukan sebagai dosis final. Apabila dosis ke-4 telah diberikan setelah umur 4 tahun, maka dosis ke-5 DTaP tidak lagi diperlukan.

Tabel 2. Jadwal imunisasi terlambat usia 7-18 bulan

Usia 7-18 bulanVaksin Usia minimum

Dosis 1Selang minimum antara dosisDosis 1 ke dosis 2

Dosis 2 ke dosis 3 Dosis 3 ke dosis 4 Dosis 4 ke dosis 5

DTP/DTaP 7 tahun 4 minggu 4 minggu apa-bila dosis pertama DTaP/DT diberikan sebelum umur 1 tahun 6 bulan (sebagai dosis final) apa-bila dosis pertama DTaP/DT pada atau sesudah umur 1 tahun.

6 bulan apabila do-sis pertama DTaP/DT telah diberikan sebelum mencapai umur 1 tahun

Dosis ke 5 DTaP tidak diperlukan apabila dosis pertama vaksin DTaP vaksin apabila dosis ke 4 telah di-berikan telah diberi-kan pada umur atau lebih dari 4 tahun

Apabila tersedia vaksin Tdap (usia minimum diberikan 10 tahun), maka dapat diberikan vaksin Tdap 1 dosis pada remaja usia 11 sampai 12 tahun. Pemberian rutin dapat diberikan tanpa melihat jarak waktu terakhir pemberian vaksin difteri. Vaksin ini selama masa kehamilan antara 27-36 minggu, tidak bergantung dengan jarak waktu pemberian vaksinasi Td atau Tdap.

Page 59: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

45

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

Anak usia 7 tahun atau lebih yang status imunisasinya tidak lengkap harus di vaksinasi dengan vaksin Tdap sebagai dosis pertama, dan apabila diperlukan dosis tambahan, maka dapat digunakan vaksin Td. Pada anak berusia 7 sampai 10 tahun yang diberikan satu dosis Tdap sebagai dosis pertama, tidak perlu diberikan vaksin Tdap pada usia 11 sampai 12 tahun sebagai imunisasi pada remaja, sebagai gantinya berikan Td setelah 10 tahun pemberian Tdap. Anak usia 11 sampai 18 tahun yang belum diberikan vaksin Tdap harus menerima satu dosis diikuti dengan dosis booster Td setiap 10 tahun sesudahnya. Apabila vaksin DTaP diberikan pada anak usia 7 sampai 10 tahun, maka ini dianggap merupakan bagian dari seri catch-up. Dosis ini diangap sebagai dosis Tdap remaja, atau anak ini selanjutnya dapat diberikan dosis booster Tdap pada usia 11 sampai 12 tahun. Apabila pemberian DTaP diberikan pada remaja 11 sampai 18 tahun, maka dosis tersebut harus dihitung sebagai dosis booster pada masa remaja (Tabel 2).16

Simpulan y Difteri saat ini merupakan salah satu kelompok penyakit infeksi re-emerging

baik di Indonesia maupun global. y Kejadian luar biasa dapat dicegah dengan meningkatkan dan pemerataan

cakupan Imunisasi y Advokasi mengenai Imunisasi harus selalu dilakukan oleh tenaga

kesehatan pada setiap kesempatan.

Daftar pustaka1. Pracoyo NE, Roselinda. Survei antibodi anak sekolah usia 6-17 tahun di daerah

KLB difteri dan non KLB di Indonesia. Buletin Penelitan Kesehatan. 2013;41:237-47.

2. UNICEF, WHO. A statistical reference containing data through 2013. Geneva:2014.

3. WHO. Immunization, vaccines and biological diphtheria. Diunduh dari: http://www.who.int/biologicals/vaccines/diphtheria/en/. Diunduh tanggal 22 Februari 2015.

4. WHO. Immunization, vaccines and biological diphtheria-the disease. Diunduh dari: http://www.who.int/immunization/topics/diphtheria/en/index1.html. Diunduh tanggal 22 Februari 2015.

5. Dinas Kesehatan Daerah Provinsi Jawa Timur. Pedoman penanggulangan KLB difteri Provinsi Jawa Timur. Surabaya: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur: 2011.

6. NIH. Understanding emerging and re-emerging infectious diseases. Diunduh dari: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK20370/. Diunduh tanggal 22 Februari 2015.

Page 60: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

46

Diphtheria: Re-emerging Disease

7. Vitek CR, Wharton M. Diphtheria in the former Soviet Union: re-emergence of a pandemic disease. Emerg Infect Dis. 1998;4:539-550.

8. Gidding HF, Burgess MA, Gilbert GL. Diphtheria in Australia, recent trends and future prevention strategies. Communicable Diseases Intelligence. 2002;24:1-111

9. Baker M, Taylor P, Wilson E. A case of diphtheria in Auckland-implications for disease control. N Z Public Health Rep. 1998;5:73-76.

10. Nandi R, De M, Browning S, dkk. Diphtheria: the patch remains. J Laryngol Otol. 2003;117:807-10.

11. Immunization coverage and immunity to diphtheria and tetanus among children in Hyderabad, India. J Infect. 2009;58:191-6.

12. Besa NC, Coldiron ME, Bakri A, Raji A, Nsuami MJ, Rousseau C, Hurtado N, Porten K. Diphtheria outbreak with high mortality in northeastern Nigeria. Epidemiol Infect. 2014;142:797-802.

13. Wanlapakorn N, Yoocharoen P, Tharnmaphornpilas P. Diphtheria outbreak in Thailand 2012; seroprevalence of diphtheria antibodies among Thai adults and its implications for immunization programs. Southeast Asian J Trop Med Pub Health. 2014;45:1132-41.

14. Dittmann Sieghart D, Wharton M, Vitek C. Successful control of epidemic diphtheria in the states of the former union of Soviet Socialist Republic: lessons learned. Diunduh dari: http://jid.oxfordjournals.org/content/181/Supplement1/S10.long. Diunduh tanggal 22 Februari 2015.

15. Reacer M, Ramsay M, White J. Nontoxigenic Corynebacterium diphtheria: An emerging pathogen in England and Wales. Emerg Infect Dis. 2000;6:640-5.

16. CDC.2015 Catch-up Immunization Schedule. Diunduh dari: http://www.cdc.gov/vaccines/schedules/downloads/child/catchup-schedule-pr.pd. Diunduh tanggal 21 Maret 2015.

Page 61: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

47

Noisy Breathing in Children, When Should be Referred

Darmawan B Setyanto

Tujuan:1. Memahami pengertian bunyi, suara napas, dan simtomatologi noisy breathing.2. Memahami apa saja yang tercakup dalam noisy breathing.3. Mengetahui lebih jauh gejala stridor baik akut maupun kronik dan berbagai

diagnosis banding penyebabnya.4. Mengetahui laringitis akut dan laringomalasia sebagai penyebab terbanyak

stridor pada anak.5. Mengetahui pada keadaan apa kasus stridor perlu dirujuk.6. Memahami bagaimana melakukan edukasi kepada keluarga pasien

Bunyi (sound) adalah getaran yang dialirkan melalui benda padat, cair, atau gas yang elastis. Getaran yang dapat ditangkap oleh telinga manusia adalah yang berada dalam rentang frekuensi antara 20-20 ribu Hertz. Aktivitas bernapas menimbulkan bunyi karena terjadinya getaran akibat benturan atau gesekan antaradinding saluran respiratori dengan udarayang mengalir di dalamnya. Getaran ini kemudian diteruskan ke dinding toraks melalui parenkim paru, yang dapat kita tangkap getarannya misalnya dengan stetoskop. Dalam keadaan normal, suara napas timbul akibat aliran udara yang laminer dalam saluran napas yang normal. Suara napas (respiratory sound) yang normal (dasar) mulai dari yang keras yaitu suara trakea, bronkial, bronkovesikuler, hingga yang paling lemah yaitu suara vesikuler.

Bila ada perubahan bentuk dalam lumen saluran napas baik karena adanya penekanan dari luar, kelemahan, menyempitnya dinding saluran napas, atau adanya benda asing padat ataupun cair, maka aliran udara napas akan mengalami turbulensi dan menghasilkan suara napas abnormal atau suara napas tambahan (adventitious respiratory sound). Suara napas dasar maupun tambahan biasanya tidak terdengar tanpa bantuan alat (stetoskop). Suara napas dasar dapat terdengar tanpa alat (audible) bila laju ventilasi meningkat sehingga kita bernapas dengan cepat dan keras, misalnya pada saat kita mendesah atau terengah saat berolahraga.1 Suara napas tambahan yang dapat didengar tanpa

Page 62: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

48

Noisy Breathing in Children, When Should be Referred

alat disebut noisy breathing. Jadi noisy breathing adalah suara napas abnormal yang dapat terdengar langsung.

Noisy breathing mencakup semua suara napas tambahan yang bersumber mulai dari hidung hingga bronkus. Termasuk di dalamnya suara hidung yang tersumbat, merintih (grunting), mendengkur (snoring), stridor, dan mengi (wheezing).

PatofisiologiPenyebab turbulensi aliran udara napas yang menghasilkan getaran atau bunyi, dapat berasal dari dinding saluran respiratori atau dari dalam lumen saluran respiratori. Kelainan dinding dapat berasal dari luar saluran napas yaitu adanya tekanan oleh berbagai benda padat misalnya kelenjar limfe yang membesar, pembesaran atau anomali vaskular besar, atau adanya tumor. Dinding yang membengkak akibat inflamasi misalnya pada sindrom croup juga dapat menyebabkan bunyi. Bila lokasi lesi di saluran napas atas yang terletak ekstra-torakal, maka bunyi akan timbul pada fase inspirasi, misalnya stridor pada pasien dengan laringitis atau laringomalasia. Sedangkan bila lesi di saluran napas yang terletak intra-torakal maka bunyi akan terjadi saat ekspirasi misalnya stridor ekpirasi pada trakeomalasia atau mengi pada asma dan bronkiolitis.

Penyebab turbulensi aliran udara napas dapat berasal dari dalam lumen saluran respiratori, yang dapat berupa benda padat atau cair. Benda padat intralumen sebagai sumber bunyi biasanya adalah corpus alienum yang teraspirasi. Benda padat ekstralumen dapat berupa tumor, benda asing di esofagus, atau malformasi vaskular yang menekan trakea dari luar. Benda cair penyebab bunyi adalah cairan sekresi yang berlebihan di saluran respiratori. Jumlah yang berlebihan ini dapat karena produksinya yang berlebihan (hypersecretion) atau kemampuan membersihkan saluran napas (airway clearance) yang terganggu misalnya pada pasien dengan gangguan neuromuskular.

Noisy breathing dapat disebabkan lesi yang terkait dengan kelainan sistem saraf pusat, sistem kardiovaskular, sistem gastro-intestinal, atau sistem respiratori sendiri.2Noisy breathing mencakup semua suara napas tambahan yang bersumber mulai dari hidung hingga bronkus. Termasuk di dalamnya suara hidung yang tersumbat, merintih (grunting), mendengkur (snoring), stridor, dan mengi (wheezing). Di antara berbagai noisy breathing, maka stridor merupakan salah satu gejala yang cukup sering dijumpai dan dapat mengarah kepada penyakit yang sebagian di antaranya perlu untuk dirujuk.

Page 63: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

49

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

Stridor Stridor adalah suara kasar dan bergetar bernada tinggi yang timbul pada saluran napas atas yang mengalami obstruksi parsial, sehingga terjadi turbulensi aliran udara di saluran respiratori.2-5Lesi sumber suara berasal dari saluran napas atas di sekitar glotis.Makalah ini akan membahas stridor yang merupakan salah satu yang utama dari berbagai jenis noisy breathing. Utama dalam arti cukup sering dijumpai, cukup mudah dikenali gejalanya bahkan oleh awam sekalipun, namun diagnosis penyakit dasarnya tidak selalu mudah. Stridor juga dapat dijumpai dalam keadaan akut maupun kronik yang masing-masing banyak sekali kemungkinan penyebab atau diagnosis bandingnya.

Tabel 1 . Diagnosis banding stridor berdasarkan lokasi lesi.2,6

Nasofaring Laring TrakeaAtresia koana Lingual thyroid or thyro-glossal cyst Makroglosia Mikrognatia Hipertrofi tonsil/adenoid Abses retrofaring/peritonsil

Laringomalasia Laryngeal web, cyst or laryngocele Laringotrakeobronkitis(viral croup) Acute spasmodic laryngitis spasmodic croup Bakterial trakeitisEpiglotitis Vocal cord paralysis Laryngotracheal stenosis Intubasi Korpus alineum Higroma kistik Hemangioma subglotis Papiloma laring Angioneurotic edema Spasme laring (hypocalcemic tetany)

Trakeeomalasia Bakterial trakeitis Kompresi luar

Selain berdasarkan lokasi lesi, dari aspek waktu stridor dapat dibagi menjadi akut dan kronik. Pembagian ini juga dapat membantu untuk penegakan diagnosis penyakit dasarnya.

Penyebab stridor akut:2,3,6

y Benda asing teraspirasi y Croup – laringotrakeobronkitis y Bakterial trakeitis y Epiglotitis y Spasmodic croup (laringitis spasmodik akut) y Papilomatosis laring y Edema angioneurotik y Tetani hipokalsemik y Trauma, intubasi y Abses peritonsil atau retrofaring

Page 64: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

50

Noisy Breathing in Children, When Should be Referred

Laringotrakeobrokitis (croup) merupakan penyebab tersering stridor yang terjadi secara akut pada bayi dan anak kecil. Croup merupakan penyakit infeksi respiratori akut yang disebabkan oleh virus, yang paling sering adalah virus parainfluenza, namun juga dapat disebabkan oleh virus influenza tipe A atau B, respiratory syncytial virus dan rhinoviruses. Croup biasanya terjadi pada anak umur 6 – 36 bulan, ada yang melaporkanhingga 6 tahun, dengan puncak kejadian pada tahun kedua kehidupan. Rasio lelaki banding perempuan sekitar 3:2. Penyakit ini biasanya diawali dengan rinofaringitis (common cold, selesma) selama beberapa hari dengan demam yang tidak tinggi. Kemudian batuk menjadi lebih keras dengan suara menyalak (barking cough), suara menjadi serak, dan timbul stridor. Gejala memberat pada malam hari dan terpacu bila pasien teragitasi atau menangis.6-8

Penyebab stridor kronik:2,3,6

y Maformasi hidung dan faring y Malformasi kraniofasial y Hipotonia y Laringomalasia y Laryngeal web y Laryngeal cleft y Kista laring y Diskinesia laring yang dapat dijumpai pada pasien dengan gangguan

neuromuskular y Papiloma laring y Paralisis pita suara y Kista subglotik y Stenosis subglotik y Hemangioma subglotik y Higroma kistik y Fistula trakeo-esofagus y Refluks gastro-esofagus y Malformasi vaskular: vascular ring or sling

Laringomalasia merupakan penyebab tersering stridor kronik pada bayi dan anak di bawah 2 tahun. Rasio lelaki banding perempuan sekitar 2:1. Keadaan ini disebabkan defek intrinsik atau terlambatnya maturasi jaringan penyokong laring. Jalan napas tersumbat sebagian pada saat inspirasi akibat prolaps epiglotis yang flasid, aritenoid atau lipatan ariepiglotik. Stridor inspiratori akanmemberat bila anak dalam posisi telentang, menangis atau teragitasi, atau bila mengalami infeksi respiratori atas akut.6

Page 65: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

51

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

Kapan perlu dirujukSebagian pasien dengan stridor perlu dirujuk dari fasilitas medis primer ke fasilitas yang lebih tinggi. Ada beberapa hal yang mendasari perlunya merujuk kasus, di antaranya: y Kesulitan dalam diagnosis y Kegawatdaruratan y Kesulitan dalam tatalaksana

Kesulitan dalam diagnosisMelihat begitu banyaknya diagnosis banding stridor akut maupun kronik, dapat dimengerti bila menegakkan diagnosis penyebab gejala stridor tidak mudah. Pembagian pertama untuk mempermudah diagnosis adalah awitan kejadiannya, akut atau kronik yang membantu dalam menentukan diagnosis sesuai dengan pengelompokannya. Sebagaimana biasa langkah diagnosis medis mulai dengan anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang. Berikut contoh panduan anamnesis untuk mengarahkan diagnosis penyebab stridor yang dapat dilakukan di layanan primer sekalipun.

Tabel 2. Anamnesis untuk evaluasi stridor.6

Anamnesis Etiologi yang mungkinUmur awitanSaat lahir Paralisis pita suara, lesi kongenital (atresia koana, laryngeal web, vascular ring)Usia 4-6 minggu Laringomalasia Usia 1-4 tahun Croup, epiglotitis, benda asingWaktu kejadianAkut Benda asing, croup, bakterial trakeitis, epiglotitisKronik Lesi anatomik: laringomalasia, laryngeal web, laryngo-tracheal stenosisFaktor yang meperburukAktivitas, menangis Laringomalasia, hemangioma subglotikPosisi telentang Laringomalasia, trakeomalasia, makroglosi, mikrognatiWaktu malam Viral croup, spasmodic croupPemberian makan Fistula trakeo-esofagus, trakeomalasia, gangguan neuromuskular, malformasi

vaskularDidahului selesma Croup, bakterial trakeitisTersedak Benda asing, fistula trakeo-esofagusGejala penyertaBatuk menyalak Croup,Napas berdesah Lesi trakeaLiur menetes Epiglotitis, benda asing di esofagus, abses pertonsil atau retrofaringTangisan lemah Anomali laring, gangguan neuromuskularTangisan teredam Lesi supraglotikSuara serak Croup, paralisis pita suaraGangguan menalan Lesi supraglotik, gangguan neuromuskularRiwayat medisIntubasi Laringomalasia, stenosis laring, paralisis pita suaraTrauma lahir, asfiksia Paralisis pita suara, Alergi Spasmodic croup, edema angioneurotik

Page 66: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

52

Noisy Breathing in Children, When Should be Referred

Demikian pula panduan pemeriksaan fisis berikut dapat dilakukan di fasilitas medis primer.

Tabel 3. Pemeriksaan fisis untuk evaluasi stridor.6

Temuan klinis Etiologi yang mungkinUmum Sianosis Croup berat, laringomalasia beratDemam Croup, abses retrofaringTampak toksik Epiglotitis Jenis stridorInspiratori Croup, Laringomalasia Ekspiratori Trakeomalasia Bifasik Laringotrakeomalasia Posisi anakDuduk miring, tripod Epiglotitis Berkurang bila tengkurap Laringomalasia Pemeriksaan fisisFase inspirasi memanjang Obstruksi laring: croup, laringomalasiaFase ekspirasi memanjang Obstruski trakea: bakterial trakeitis, trakeomalasiaHemangioma kulit Hemangioma subglotik

Untuk pemeriksaan penunjang, sebagian dapat dilakukan di fasilitas medis primer namun sebagian yang lain memerlukan pemeriksaan yang lebih canggih sehingga perlu dirujuk. Selain ketersediaan alat diagnosis yang lebih lengkap dan maju, tentu juga ketersediaan tenaga ahli untuk memeriksa dan menafsirkan hasil pemeriksaan.

Fasilitas yang diperlukan untuk diagnosis lebih tepat: y Endoskopi: rinofaringolaringoskopi, esofagoskopi, bronkoskopi y Pencitraan: radiologi, USG, ekokardiografi, CT-scan, Magnetic resonance

imaging

Banyak laporan kasus yang menunjukkan bahwa diagnosis penyebab stridor tidak mudah dilakukan. Berikut beberapa contoh stridor dengan penyebab yang sulit didiagnosis.

Bayi lelaki usia 7 bulan dengan keluhan stridor sejak usia 6 minggu yang makin mengeras hingga usia 10 bulan, dan kemudian menetap hingga datang ke RS. Anak tampak baik saja , tidak gagal tumbuh, tidak ada riwayat tersedak atau tertelan benda asing. Pasien sudah dibawa ke beberapa dokter dan didiagnosis sebagai laringomalasia. Selain stridor, pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan. Pada foto toraks tidak tampak penyempitan saluran respiratori. Pemeriksaan barium meal tidak menunjukkan kelainan yang nyata. Pada pemeriksaan bronkoskopi fleksibel terlihat penyempitan

Page 67: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

53

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

antero-posterior di pertengahan trakea. Pemeriksaan CT-scan tampak massa dalam esofagus di belakang trakea yang tertekan, dan terlihat garis radiolusen dalam massa tersebut. Diagnosis banding yang dipikirkan antara lain kista esofagus, kista bronkogenik, dan abses perforasi. Kemungkinan benda asing tidak dipertimbangkan karena usia bayi dan awitan stridor sejak usia 6 minggu. Diputuskan untuk melakukan operasi dan ternyata ditemukan koin plastik berdiameter 15mm dan tebal 1mm tersangkut di esofagus.9

Anak lelaki 2 tahun dengan riwayat stridor berulang sejak usia 6 bulan. Pemberian antibiotik tidak memberi perbaikan, dan secara pelahan mengalami peningkatan progresif gejala stridor, suara yang melemah, dan penurunan nafsu makan. Suara serak yang nyata dan sesak napas selama 10 hari mendorong dilakukannya evaluasi kemungkinan aspirasi benda asing. Foto toraks dan saluran cerna atas dengan kontras tidak menunjukkan adanya kelainan. Foto lateral leher menunjukkan massa supraglotik dan subglotik. Pemeriksaan laringoskopi menunjukkan adanya papiloma masif.10

Bayi usia 6 minggu dibawa ke IGD karena stridor disertai sianosis berulang. Foto lateral leher menunjukkan pelebaran jaringan lunak retrofaring, diduga abses retrofaring dan diberi antibiotik intravena namun tidak menunjukkan perbaikan. MRI yang dilakukan pada hari ke-tujuh rawat menunjukkan massa retrofaring yang memanjang hingga ke ruang karotid. Massa ini dengan mudah direseksi melalui jalur oral. Pemeriksaan histopatologi menunjukkan jaringan timus.11

Kegawatdaruratan Mengingat bahwa stridor timbul akibat adanya obstruksi parsial saluran respiratori, maka hal ini berpotensi menimbulkan kegawatdaruratan di bidang respiratori, bahkan pasien dapat mengalami gagal napas. Croup merupakan penyebab terbanyak stridor akut pada anak dengan demam.8,12 Croup atau laringotrakeitis adalah inflamasi pada laring yang meliputi glotis dan subglotis. Manifestasi klinis sangat lebar variasinya. Anak dengan croup biasanya tidak tampak toksik. Sebagian besar anak mengalami batuk ‘menyalak’ (barking cough) dan suara serak. Sebagian mengalami stridor saat beraktivitas atau teragitasi. Sebagian lain bergejala stridor dan sesak saat istirahat. Kebalikannya anak yang mengalami croup yang berat justru tampak stridornya lebih tenang akibat hebatnya obstruksi sehingga aliran udara hanya sedikit. Keadaan terakhir inilah yang justru merupakan keadaan bahaya karena anak dapat mengalami gagal napas.12

Page 68: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

54

Noisy Breathing in Children, When Should be Referred

Alberta Medical Association membuat pedoman tatakelola croup pada anak. Untuk membantu penilaian derajat beratnya croup, dibagi menjadi 4 derajat:13

y Ringan – batuk menyalak sesekali, tidak terdengar stridor saat istirahat, dan tidak ada retraksi atau retraksi ringan suprasternal &/ interkostal.

y Sedang – batuk menyalak sering, stridor terdengar saat istirahat, retraksi suprasternal &/ interkostal saat istirahat, anak masih relatif tenang

y Berat – batuk menyalak sering, stridor inspiratori nyata, retraksi nyata dinding toraks, dan sesak yang berat dan anak teragitasi.

y Ancaman gagal napas – batuk menyalak tidak menonjol, stridor menjadi berkurang, retraksi suprasternal tidak nyata, air entry tidak baik, hipoksemia, hiperkarbia, letargi dan kesadaran menurun, dan anak sianosis.8,12,13

Sebagian besar croup termasuk dalam derajat ringan dan sedang, serta umumnya membaik dengan sendirinya (self limited), sehingga cukup dengan rawat jalan . Namun sebagian kecil dengan derajat berat dapat mengalami obstruksi respiratori atas berat hingga mengalami gagal napas. Kurang dari 15% anak yang memerlukan rawat inap dan hanya 1-5% yang memerlukan intubasi.7,8 Anak dengan derajat croup berat atau ancaman gagal napas ini yang memerlukan rujukan ke fasilitas medis yang lebih tinggi. Pada kelompok ini, henti napas dapat terjadi mendadak saat episode batuk yang hebat.12

Agitasi dan kecemasan dapat memperparah obstruksi yang terjadi sehingga pasien perlu dibuat senyaman mungkin dan ditatalaksana dengan hati-hati. Perlu pertimbangan mendalam dalam melakukan tindakan yang berpotensi menimbulkan agitasi pada pasien. Usahakan pasien tetap dalam gendongan / pangkuan orang tua atau pengasuhnya saat diperiksa. Jangan memaksa memeriksa pasien dalam keadaan terbaring di tempat tidur. Pemeriksaan faring dilakukan pada pasien yang kooperatif. Bila memerlukan pemeriksaan pencitraan pasien perlu didampingi oleh pengasuhnya. Tindakan invasif seperti pemasangan infusapalagi pengambilan darah untuk analisis gas darah sedapat mungkin dihindari. Bila memerlukan pemberian oksigen, lakukan dengan meletakkan ujung pipa oksigen beberapa cm di depan mulut-hidung pasien (blow by oxygen).8,14

Croup disebabkan oleh virus sehingga tidak memerlukan antibiotik. Namun terdapat diagnosis banding stridor pada pasien demam yang disebabkan oleh bakteri yaitu bakterial trakeitis dan epiglotitis. Kedua keadaan ini jarang ditemukan namun memerlukan tindakan agresif pada fasilitas medis yang lengkap, terutama untuk epiglotitis. Dengan demikian bila mengelola pasien croup perlu kewaspadaan terhadap kemungkinan dua keadaan ini yang memerlukan rujukan ke fasilitas medis yang lengkap.

Page 69: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

55

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

Bakterial trakeitisBakterial trakeitis (BT) jarang terjadi dengan insidens 4-8 per 1 juta anak. Penyakit ini berbahaya karena berlangsung dengan cepat dan mengancam nyawa dengan mortalitas hingga 20%. Sekitar 80% pasien memerlukan intubasi dan 94% memerlukan perawatan intensif. Risiko terjadinya penyakit ini lebih tinggi pada pasien dengan artificial airway seperti trakeostomi.8,15 Penyakit BT merupakan croup yang mengalami infeksi sekunder dari infeksi lain respiratori atas (faringitis, rinosinusitis) atau dari koloni kuman di daerah naso-faring-laring. Kuman penyebab biasanya ada beberapa dan Staphylococcus aureus yang paling sering. Kuman respiratori lain yang menjadi penyebab adalah Streptococcus pneumoniae, Streptococcus pyogenes, Haemophilus influenzae, dan Moraxella catharralis.8

Akibat infeksi sekunder ini terjadi peningkatan sekresi purulen yang kental yang dapat menyumbat saluran napas. Pada BT berat terbentuk pseudomembran di sepanjang trakea, yang dapat terlepas dan memperparah obstruksi yang terjadi. Pasien demam tinggi, perburukan klinis terjadi cepat, pasien makin sesak yang berlangsung dengan progresif.Bakterial trakeitis perlu dipikirkan bila dengan tatalaksana baku croupyaitu pemberian deksametason dan epinefrin keadaan pasientidak membaik, dan dijumpai keadaan klinis di atas.8,13

EpiglotitisEpiglotitis adalah inflamasi pada epiglotis dan struktur supraglotik. Inflamasi menyebabkan edema yang mempersempit daerah supraglotik dan mengubah bentuk dan arah epiglotis menekuk ke posterior inferior. Pasien tidak bisa mengeluarkan lendirnya. Penyakit ini mengenai anak umur 2-6 tahun.Manifestasi tipikalnya pasien datang dengan sesak napas yang awitannya cepat, demam tinggi, dan suara teredam (muffled voice). Stridor dapat terdengar, namun berbeda dengan croup, pada epiglotitis batuk dan suara serak justru tidak dijumpai.8

Epiglotitis merupakan kegawatan respiratori. Kasusnya jarang dijumpai, tapi menurut kepustakaan tampilan klinis pasien khas sekali sehingga tidak akan terlewatkan diagnosisnya. Pasien tampak toksik, gelisah, iritabel dan ketakutan. Anak duduk dalam posisi tripod untuk memaksilmalkan udara napas yang masuk.16

Mulut pasien terbuka lebar dengan lidah terjulur, liur menetes keluar mulut (drooling) karena kesulitan menelan bahkan terasa nyeri. (lihat gambar) Ada yang menyebut pasien epiglotitis mempunyai trias D, drooling – dysphagia – distress. Epiglotis tampak bengkak, eritematous, cherry red yang dapat terlihat pada pemeriksaan hati-hati daerah orofaring. Namun pemeriksaan ini tidak

Page 70: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

56

Noisy Breathing in Children, When Should be Referred

boleh dilakukan bila akan mengganggu pernapasan pasien.16 Pemeriksaan pada pasien dengan kecurigaan epiglotitis harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Bila pasien teragitasi atau meningkat kecemasannya dapat memprovokasi prolaps epiglotis, spasme laring dan henti jantung paru.8

Tabel 4. Perbedaan croup dengan bakterial trakeitis dan epiglotitis.14

Manifestasi klinis Croup Bakterial trakeitis Epiglotitis Kecepatan awitan Jam-hari, 12-48 jam Memburuk Jam Didahului IRA atas Ya Ya Tidak Demam Subfebris Febris Demam tinggiPenampilan Sakit ringan, rewel Sakit sedang-berat Toksik Posisi badan Tidak khas Tidak khas Posisi tripodBatuk Menyalak Menyalak - berdahak Minimal – tidak adaStridor Inspiratori, keras Bifasik Lemah Suara Serak; kasar Serak Teredam (muffled)Tangisan Serak Lemah Lemah Drooling Tidak Tidak Ya Minum Biasa Berkurang SulitRespons tatalaksana Membaik Tidak membaik Tidak

Benda asingBenda asing padat dapat terhirup dan tersangkut di daerah laring, atau

esofagus bagian atas yang kemudian dapat menekan laring-trakea sehingga menyempitkan saluran respiratori atas dan timbul stridor. Kecurigaan timbul pada pasien yang sebelumnya tidak ada keluhan demam atau respiratori, kemudian tiba-tiba mengalami stridor dan atau sesak. Terlebih bila tersaksikan

Gambar. Pasien dengan epiglotitis, duduk miring atau posisi tripod dan tampak mulut terbuka dan ‘drooling’.

Page 71: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

57

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

pasien tersedak atau diketahui sebelumnya bermain dengan benda berukuran kecil.13,14

Benda asing (BA) padat yang teraspirasi mempunyai 3 kemungkinan. Pertama, BA terdorong keluar oleh batuk. Kedua, BA tetap di saluran respiratori tanpa menimbulkan obstruksi bermakna. Ketiga, BA menyebabkan obstruksi saluran respiratori parsial atau sepenuhnya. Pasien bayi yang mengalami obstruksi total memerlukan tindakan tepuk punggung (back slaps) atau penekanan mendadak dada (chest thrust) dengan posisi kepala ke bawah, atau penekanan perut (abdominal thrust) untuk anak yang lebih besar. Usaha mencongkel benda asing lewat mulut secara ‘buta’ tidak boleh dilakukan.17

Pasien yang mengalami obstruksi parsial harus ditempatkan dalam posisi yang nyaman, dan secepat mungkin dirujuk ke fasilitas medis yang mampu menatalaksana. Pengiriman pasien yang mengalami obstruksi parsial tidak boleh tertunda karena pemeriksaan pencitraan. Tindakan definitif tidak boleh ditunda bila hasil radiografi polos menunjukkan hasil negatif. Penundaan seperti itu akan meningkatkan risiko terjadinya komplikasi.17

Kesulitan dalam tatalaksanaLaringomalasia berat dapat dianggap kegawatan juga namun dalam jangka panjang. Pasien dengan laringomalasia akan mengalami dua masalah utama. Pertama adalah gangguan aliran napas yang bersifat kronik sehingga dapat menyebabkan hipoksia kronik. Proses menelan memerlukan koordinasi kompleks dari otot-otot laring yang secara harmoni melakukan gerakan sekuensial bergantian antara menelan dan menarik napas. Dalam keadaan sesak napas, koordinasi ini sulit dilakukan sehingga pasien dengan laringomalasia berat berisiko mengalami aspirasi berulang. Selain itu karena kesulitan koordinasi tersebut juga menyebabkan gangguan asupan makanan. Kombinasi antara kurangnya asupan, kebutuhan metabolisme ekstra karena usaha napas yang berat dan hipoksia kronik akan mengakibatkan gangguan gizi berupa gagal tumbuh, bahkan gizi buruk.

Kasus laringomalasia berat tentu tidak dapat ditatalaksana secara konservatif di fasilitas medis primer. Sebelum melakukan tatalaksana menyeluruh, pasien perlu menjalani prosedur diagnosis lebih lanjut seperti endoskopi seperti laringoskopi, bronskoskopi dan mungkin esofagoskopi. Pasien dengan laringomalasia terutama yag berat, biasanya disertai kelainan serupa di saluran respiratori bawah berupa trakeomalasia atau bronkomalasia. Dengan demikian evaluasi bronkoskopi menyeluruh perlu dilakukan.8

Sebagian besar laringomalasia berat memerlukan tindakan bedah seperti supra-glotoplasti. Indikasi bedah pada pasien laringomalasia etrmasuk:8

Page 72: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

58

Noisy Breathing in Children, When Should be Referred

y Distres respiratori berat y Hipoksemia, saturasi O2 saat istirahat <90% y Sianosis y Life threatening events y Kesulitan asupan oral y Gagal tumbuh

Pasien laringomalasia berat akan mendapatkan manfaat nyata dari tindakan bedah, berupa perbaikandalam fungsi respiratori dan asupan makanan.8 Pada pasien laringomalasia berat biasanya disertai dengan penyakit refluks gastro-esofagus. Untuk mengatasinya perlu pemasangan naso-jejuno-feeding tube (NJFT) yang dipandu dengan esofagoskopi. Dengan demikian kasus laringomalasia berat memerlukan rujukan baik untuk diagnosis maupun tatalaksananya.

Pasien lain dengan stridor yang memerlukan tindakan invasif atau bedah adalah dengan diagnosis: y Aspirasi benda asing y Laryngeal web y Stenosis laring y Tumor atau lesi laring seperti hemangioma, papilomatosis

Edukasi Setelah mengidentifikasi apa yang menjadi dasar timbulnya stridor dan dapat menegakkan diagnosis, maka kepada orangtua pasien perlu diberikan edukasi. Bila terkait dengan keadaan gawat darurat, maka orangtua perlu diberitahu keadaan tersebut dan perlunya melakukan tindakan segera. Bila tidak dalam keadaan gawat darurat, maka kita perlu menyediakan waktu menjelaskan tentang penyakitnya, meliputi penyebabnya, sistem organ yang terkena, dan mengapa timbul gejala tersebut. Bila memerlukan rujukan, jelaskan pula kenapa perlu dirujuk, apa yang dilakukan dan apa tujuannya. Tatalaksana menyeluruh tentang penyakitnya juga perlu dijelaskan. Kemungkinan bahaya dan komplikasi yang mungkin timbul, sehingga pasien perlu dirujuk. Prognosis penyakit juga perlu diterangkan agar orangtua tidak mempunyai pandangan dan harapan yang keliru tentang penyakit anaknya.

SimpulanStridor merupakan simtomatologi respiratori atas yang cukup sering ditemukan dalam praktek sehari-hari. Bila menemukan stridor akut, diagnosis banding

Page 73: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

59

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

yang paling mungkin adalah laringitis akut. Sedangkan bila menemukan stridor kronik yang awitannya pada awal masa bayi, maka laringomalasia perlu dipikirkan pertama kali. Simtomatologi ini cukup banyak dijumpai dan menjadi kekhawatiran orangtua pasien. Pada sebagian besar kasus stridor dapat ditatalaksana di fasilitas medis primer, namun sebagian perlu dirujuk bila ada kesulitan dalam hal diagnosis, kegawatdaruratan, atau kesulitan tatalaksana karena terbatasnya fasilitas.

Daftar pustaka 1. Forgacs P. Noisy breathing. Chest 1973; 63:38S-41S.2. Benson BE, Baredes S, Schwartz RA. Stridor. emedicine.medscape.com/

article/995267-overview - Updated: Jan 30, 20153. Escobar ML, Needleman J. Stridor. Pediatr Rev 2015; 36:135-7.4. Cohen LF, Rockville. Stridor and upper airway obstruction in children. Pediatr

Rev 2000; 21:4-5.5. Maloney E, Maekin GH. Acute stridor in children. Cont Edu Anaes Crit Care

Pain 2007; 7:183-6.6. Leung AKC, Cho H. Diagnosis of stridor in children. Am Fam Physian 1999;

60:2289-96.7. Zorob R, Sidani M, Muray J. Croup: An Overview. AmFam Physician.

2011;83:1067-73.8. Virbalas J, Smith L. Upper airway obstruction. Pediatr Rev 2015; 36:62-73.9. Sherrington CA, Crameri JA, Coleman LT, Sawyer SM. Stridor in infant. Eur

Respir J 1999; 14:717-9.10. Zacharisen MC, Conley SF. Recurrent respiratory papillomatosis in children:

masquerader of common respiratory diseases. Pediatrics 2006; 118:1925-31.11. Shah SS, Lai SY, Ruchelli E, Kazahaya K, Mahboubi S. Retropharyngeal abberant

thymus. Pediatrics 2001; 108:e94.12. Defendi GL, Muniz A, Molodow RE. Croup. emedicine.medscape.com/

article/962972-overview Updated: Apr 15, 2014.13. Alberta Medical Association. Guidelines for the Diagnosis and Management of

Croup. 2008 update.14. South Australia Health Clinical Network. Management of Acute Croup in

Children – Policy Clinical Guideline 2013.15. Kuo CY, Parikh SR. Bacterial tracheitis. Pediatr Rev 2014; 35:497-9.16. Tolan RW, Muniz A. Pediatric epiglottitis. emedicine.medscape.com/article/963773

- Updated: Apr 11, 2013.17. Louie MC, Bradin S. Foreign body ingestion and aspiration. Pediatr Rev 2009;

30:295-300.

Page 74: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

60

Peran Endoskopi pada Kasus Emergensi Anak

Pramita G Dwipoerwantoro

Tujuan:1. Mengetahui jenis prosedur endoskopi saluran cerna pada anak2. Mengetahui kasus-kasus emergensi yang dapat dilakukan tindakan

endoskopi diagnostik maupun terapetik3. Mengetahui algoritma merujuk pasien yang akan dilakukan endoskopi

segera

Prosedur endoskopi saluran cerna pada anak telah mengalami perkembangan yang sangat pesat baik bagi prosedur diagnostik maupun terapeutik sejak pertama kali penggunaannya pada anak di era 1970an. Sejak dua dekade terakhir, telah banyak publikasi mengenai pengalaman maupun inovasi dalam bidang intervensi endoskopi terapeutik terutama saluran cerna atas.1 Pada akhir 1970an nilai diagnostik endoskopi anak secara perlahan mulai menggeser kebutuhan prosedur radiologi yang menggunakan kontras.2 Penggunaan alat endoskopi anak dipilih berdasarkan usia dan berat badan anak (Tabel 1).3

Tabel 1. Panduan penggunaan alat endoskopi saluran cerna atas berdasarkan berat badan anak3

Berat Badan (kg) Esofagogastroduodenoskopi ERCP< 2,52,5 – 10

10 – 35

>35

< 6 mm gastroskopi< 6 mm gastroskopi (lebih disukai)Gastroskopi standar dapat dipertimbangkan bila diperlukan tindakan terapeutikGastroskopi Anak atau tipe “langsing”

Standar

7,5 mm duodenoskopi7,5 mm duodenoskopi

Memakai tipe “langsing” atau gas-troskopi anakKebanyakan dapat memakai standar duodenoskopi

*ERCP = endoscopic retrograde cholangiopancreatography

Secara umum prosedur diagnostik maupun terapeutik dapat dikelompokan sebagai endoskopi saluran cerna atas dan bawah. Indikasi tersering penggunaan endoskopi saluran cerna atas, baik untuk diagnostik maupun terapeutik, dapat dilihat pada Tabel 2.3 Pada prinsipnya keputusan penggunaan endoskopi pada bayi maupun anak berdasarkan pertimbangan apakah prosedur endoskopi tersebut akan merubah atau menentukan diagnosis, pengobatan ataupun prognosis. Hal tersebut tentunya sangat tergantung dengan keahlian operator

Page 75: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

61

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

maupun jenis endoskopi dan alat pendukung (asesoris) yang dimiliki oleh pusat endoskopi saluran cerna tersebut.3

Endoskopi intervensiProsedur emergensiDua indikasi tersering endoskopi saluran cerna atas emergensi yang dilakukan oleh Konsultan Gastrohepatologi Anak adalah tertelan benda asing dan perdarahan saluran cerna atas.

Tabel 2. Indikasi endoskopi saluran cerna atas3

DiagnostikNyeri perut berulang (sangat penting untuk membedakan dari nyeri perut fungsional)Berat badan turun / gagal tumbuh tidak hanya akibat kurang asupan nutrisi DisfagiaDiare / malabsorpsi (sangat penting untuk membedakan dari nyeri perut fungsional)Muntah persisten / hematemesisInvestigasi anemia defisiensi besiKecurigaan terhadap enteropati – penyakit celiac (guideline baru) / autoimunInvestigasi terhadap IBD (inflammatory bowel disease)TerapeutikEkstraksi benda asingInsersi selang makanan (NJFT = nasojejunal feeding tube)Dilatasi strikturLigasi / injeksi varisesTerapi botoxEksisi polip

Ektraksi benda asingAnak dalam fase tumbuh kembang akan melakukan eksplorasi dan berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya dan seringkali tidak dapat dihindari tertelan benda asing tanpa diketahui oleh penjaganya. Hal ini biasanya terjadi pada lebih dari 80% anak berusia 6 bulan sampai 3 tahun.4,5 Seringkali benda asing yang tertelan dapat ke luar melalui anus secara spontan, hanya 10-20% memerlukan tindakan endoskopi untuk mengekstraksi dari saluran cerna atas, dan sekitar 1% saja yang memerlukan tindakan bedah.4,6 Sangat jarang tertelan benda asing menyebabkan kematian, walaupun laporan mengenai hal tersebut ada.7,8 Beberapa jenis benda asing yang tertelan dan berhasil diekstraksi di Pusat Endoskopi Saluran Cerna (PESC) RSCM, berdasarkan kekerapannya secara berturut-turut adalah koin, jarum pentul, mainan, dan bros (Gambar 1). Koin merupakan merupakan temuan paling sering benda asing yang tertelan oleh anak.9

Page 76: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

62

Peran Endoskopi pada Kasus Emergensi Anak

Pada saat bayi ataupun anak dicurigai tertelan benda asing maka perlu dilakukan anamnesis yang cukup cermat mengenai detil peristiwa dan dilakukan pemeriksaan foto polos antero-posterior dan lateral. Intervensi yang akan dilakukan tergantung dari beberapa hal; yaitu: (1) jenis benda yang tertelan; (2) lokasi benda tersebut; dan (3) usia pasien. Lokasi biasanya di daerah penyempitan yang fisiologis; yaitu: bagian atas sfingter esofagus, sebatas arkus aorta, bagian bawah sfingter esofagus atau bagian lambung biasanya daerah fundus.6,10 Lokasi sakit yang ditimbulkan ataupun gejala yang timbul tidak selaluberhubungan dengan lokasi impaksi (inervasi visera).11

Akhir-akhir ini tertelan batere kancing/cakram (button/disc) kerap dijumpai12 seperti halnya salah satu kasus yang dirujuk ke Departemen IKA FKUI-RSCM dari Makassar (Gambar 2). Batere standar dapat menyebabkan masalah karena ukurannya dan akibat bocornya materi yang dapat merusak (caustic material), sedangkan batere kancing/ cakram memiliki tambahan risiko terjadinya konduksi listrik (karena kedua kutubnya berkontak langsung dengan mukosa saluran cerna) yang dapat mengakibatkan nekrosis jaringan dan berpotensi perforasi.13 Oleh sebab itu tertelan batere kancing/cakaram di lokasi manapun di saluran cerna atas harus segera dilakukan ekstraksi.3,13

Gambar 1. Jenis benda asing yang diekstraksi menggunakan endoskopi di PESC–RSCM

A. Koin logam Rp 1000,- di lambung (gunakan Roth-net); B. Jarum pentul tertancap di katup pilorik lambung (gunakan snare); C. Mainan di dalam lambung (gunakan snare); D. Bros di fundus lambung

(gunakan Roth-net).

Page 77: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

63

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

Sekitar 30% obyek yang tertelan adalah benda tajam seperti jarum dan peniti7, dan hal ini menempati urutan kedua terbanyak setelah tertelan koin di Departemen IKA FKUI-RSCM. Kebanyakan benda yang tertelan tersebut tidak “radio-opaque” sehingga bila dicurigai tertelan benda tersebut sebaiknya dilakukan evaluasi gunakan endoskopi sekaligus ekstraksi benda asing tersebut.3

Impaksi Bolus MakananKondisi ini merupakan salah satu kondisi emergensi bila impaksi terjadi di esofagus akibat tidak dapat menelan saliva dengan risiko aspirasi. Hal ini lebih jarang terjadi pada anak dibandingkan dewasa, biasanya akibat kelainan patologis esofagus seperti esofagitis eosinofilik, akalasia dan striktur.14 Penggunaan obat-obatan seperti glucagon, buscopan dan enzim proteolitik tidak memiliki cukup bukti bermanfaat pada kondisi ini.15 Teknik pengambilan yang cukup aman menggunakan alat Roth-net yang dapat juga digunakan untuk mengambil koin, potongan polip, maupun benda asing (Gambar 1A, 1D).

A.

B. C.

Gambar 2. A. Tertelan batere kancing (button) pada bayi usia 4 bulan (foto polos AP dan lateral) dan akibat lanjut terjadinya B. Fistel trakeo-esofagus setinggi torakal 1-2 (Ba-meal) dan C. Striktur esofagus (pada endoskopi sejauh 10 cm dari insisivus) pasca ekstraksi batere kancing menggunakan endoskopi

rigid pada bayi tersebut; pada evaluasi 3 bulan kemudian di IKA FKUI–RSCM.

Page 78: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

64

Peran Endoskopi pada Kasus Emergensi Anak

Tata laksana tertelan benda asing pada anak tergantung pada gejala yang ditimbulkan yaitu tanpa gejala sampai gejala berat berupa gangguan pernapasan atau nyeri abdomen akut. Gejala ringan dapat berupa menolak makan, batuk, mual/muntah, sensasi benda asing dan sakit kerongkongan. Gejala sedang sampai berat berupa disfagia, odinofagia, meneteskan air liur, stridor dan nyeri retrosternal. Apabila benda asing terletak di distal esofagus maka seringkali disertai hematoskezia, melena, nyeri perut dan distensi abdomen. Gejala sistemik yang timbul berupa dermatitis kontak akibat nikel.6,16-18

Berdasarkan tampak atau tidak tampaknya benda asing yang tertelan maka secara garis besar ada dua algoritma cara penanganan yaitu bila dengan pemeriksaan foto polos leher/dada/abdomen tervisualisasi (radio-opaque) dan bila tidak tervisualisasi (radio-lucent). Algoritma dari beberapa rumah sakit pendidikan pada dasarnya mirip, sebagai ilustrasi dapat dilihat pada Gambar 3A dan 3B.16

Gambar 3A. Contoh algoritma tertelan benda asing (foto polos Radio-opaque) pada kondisi pasien yang stabil16

Page 79: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

65

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

Bila benda asing terletak di esofagus maka ekstraksi dalam sedasi umum gunakan intubasi endotrakeal sangat dianjurkan. Bila tertelan koin tidak perlu segera, akan tetapi beberapa kondisi memerlukan ekstraksi urgen atau segera seperti tertelan batere kancing/cakram dan tertelan benda asing yang tajam (jarum, peniti, jepit rambut dll). Tertelan batere kancing/cakram dapat menyebabkan kerusakan jaringan korosif, sedangkan benda tajam di esofagus dapat berakibat perforasi sampai pneumo-mediastinum.6,16-18 Dalam penanganan benda asing yang tertelan di esofagus perlu dipastikan melalui pemeriksaan foto polos apakah yang tertelan hanya koin atau batere kancing/cakram (memberikan gambaran kontur ganda pada foto polos antero posterior dan terdapat gambaran seperti bahu pada arah lateral). Jika batere kancing/ cakram dapat melewati esofagus maka absorpsi sistemik yang ditakutkan jarang terjadi. Tidak diperlukan pengobatan khusus bila jenis batere tersebut mencapai lambung. Pemberian laksatif kuat untuk meningkatkan waktu singgah dapat dicoba. Bila dengan cara ini masih belum berhasil, maka ekstraksi benda asing harus dilakukan dengan endoskopi.16

Gambar 3B. Contoh algoritma tertelan benda asing (foto polos radio-lucent) pada kondisi pasien yang stabil16

Page 80: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

66

Peran Endoskopi pada Kasus Emergensi Anak

Tertelan magnet tidak akan berakibat intoksikasi sistemik, akan tetapi tertelan beberapa magnet sekaligus atau bila magnet tertelan bersamaan dengan kepingan metal maka akan meningkatkan risiko komplikasi akibat impaksi usus di antara kedua benda magnetik tersebut. Pada kondisi tersebut dapat terjadi komplikasi perforasi, volvulus, ulserasi, dan peritonitis.

Kedua contoh algoritma tersebut berlaku hanya pada kondisi pasien yang stabil. Bila terjadi kegawatan akibat sekunder penekanan dari saluran cerna atas akibat tertelan benda asing, atau secara klinis pasien tidak stabil (kesadaran menurun, gagal napas, dan/atau syok) maka perlu dirujuk segera ke rumah sakit yang memiliki fasilitas endoskopi saluran cerna setelah kondisi pasien distabilkan.

Perdarahan Saluran Cerna AtasKondisi ini dapat mengancam jiwa walaupun jarang terjadi pada anak. Penyebab perdarahan saluran cerna atas pada anak beragam dan tergantung pada usia dan letak geografis.19 Penyebab tersering pada anak adalah akibat ulkus peptik, varises, robekan Mallory-Weiss, lesi dieulafoy dan angioektasia.15,18 Kasus perdarahan saluran cerna atas pada anak yang tersering dilakukan endoskopi emergensi di PESC RSCM adalah akibat pecahnya varises esofagus akibat hipertensi portal ekstrahepatik dan yang berasal dari mukosa saluran cerna atas yang erosif atau ulkus peptik (Gambar 4). Hal ini sesuai dengan yang ditemukan di Asia maupun negara maju.20,21

A.

B.

Gambar 4. A. Kasus varises esofagus pada remaja lelaki, 14 tahun sebelum dan sesudah ligasi.B. Kasus hematemesis dan melena pada anak 12 tahun akibat ulkus pada GERD berat dan pada anak 12

tahun akibat gastritis erosif pada acute kidney injury.

Page 81: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

67

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

Pada umumnya pasien datang dengan gejala dan tanda hematemesis (73%), melena (21%), dan muntahan seperti bubuk kopi (6%); di samping keluhan nyeri epigastrik, nyeri seluruh lapang perut, atau pusing.22,23 Kematian akibat perdarahan saluran cerna atas berkisar antara 5-21%.20 Angka kematian ini dapat ditekan bila dilakukan deteksi dini dan tata laksana adekuat terhadap perdarahan saluran cerna atas yang terjadi didukung dengan adanya fasilitas PICU dan kerja sama multidisiplin dalam upaya stabilisasi kondisi hemodinamik termasuk tata laksana pasien dengan kondisi sakit berat.22

Tujuan utama tata laksana perdarahan saluran cerna atas pada anak adalah stabilisasi hemodinamik, penghentian sumber perdarahan, dan pencegahan perdarahan berulang.24 Diagnosis maupun tata laksana perdarahan saluran cerna atas menggunakan endoskopi sebaiknya dilakukan dalam 24 jam pertama setelah kondisi hemodinamik stabil dan pasien telah mendapat terapi proton pump inhibitor (contohnya omeprazole).25,26 Transfusi PRC sebaiknya diberikan bila Hb <8g/dL dan volume yang diberikan harus disesuaikan dengan usia dan berat badan pasien.25 Pasien dengan perdarahan aktif dan koagulopati perlu dipertimbangkan pemberian transfusi fresh frozen plasma (FFP); dan pasien dengan trombositopenia < 30.000/uL perlu diberikan trombosit.25 Obat vasoaktif (contohnya octreotide atau vasopressin, antibiotik spectrum luas dan non-selektif β-blocker) dapat diberikan pada pasien dengan kecurigaan terhadap perdarahan akibat varises.25 Octreotide merupakan obat pilihan dibandingkan vasopressin karena efikasinya lebih tinggi dan efek sampingnya lebih sedikit.27 Obat sitoprotektif seperti sucralfate dan misoprostol tidak mempunyai peran pada pengobatan perdarahan saluran cerna pada anak.22

Tata laksana endoskopi yang akan dilakukan tergantung dari etiologi (Gambar 5).22,26 Bila etiologi perdarahan adalah varises esofagus maka perlu dilakukan ligasi segera dan diulang setiap 2-4 minggu sampai varises sepenuhnya dieradikasi. Ligasi dimulai tepat di atas gastroesophageal junction lalu ligasi dilanjutkan ke arah proksimal dengan metode spiral. Biasanya diperlukan 2-4 sesi ligasi. Skleroterapi biasanya dilakukan pada varises esofagus pada bayi kecil ataupun neonatus; sedangkan varises fundus (lambung) menggunakan teknik skleroterapi dengan sklerosan (N-butil-2-sianoakrilat).28,29 Bila injeksi dilakukan pada bayi kecil biasanya diperlukan volume sklerosan yang lebih sedikit (0,3 mL). Tindakan tersebut biasanya diulang setelah 4 hari.28

Bila sumber perdarahan saluran cerna atas berasal dari non-varises (ulkus, erosi, dan malformasi vaskular) maka ada 3 kategori endoskopi terapeutik yang dilakukan yaitu metode injeksi, hemostasis mekanikal (hemoclip), atau termokoagulasi.3,22,25,30 Endoskopi terapeutik menggunakan hemoclip bermanfaat sebagai hemostasis primer (misal pada ulkus peptik dan lesi Dieulafoy) dengan angka keberhasilannya 95-100% dan perdarahan ulang cukup rendah (6,5%).30 Tindakan injeksi biasanya pada ulkus peptik menggunakan adrenalin 1:10.000

Page 82: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

68

Peran Endoskopi pada Kasus Emergensi Anak

ataupun pada varises fundus menggunakan sklerosan ataupun tissue adhesive.3 Tindakan koagulasi termal prinsipnya menyebarkan energi panas yang dapat menyebabkan koagulasi dan pengeringan jaringan sehingga terjadi hemostasis.3

SimpulanEndoskopi terapeutik pada anak telah mengalami perkembangan pesat sejak beberapa tahun terakhir terutama di bidang intervensi saluran cerna atas. Ekstraksi benda asing maupun perdarahan saluran cerna atas yang tidak dapat diatasi dengan endoskopi terapeutik, perlu dilanjutkan dengan penanganan secara bedah.

Gambar 5. Algoritma penanganan perdarahan saluran cerna atas (varises vs. non-varises) pasca stabilisasi kondisi hemodinamik22

Page 83: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

69

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

Daftar pustaka1. Cadranel S, Rodesch P, Peeters JP, Cremer M. Fiberendoscopy of the gastrointestinal

tract in children. A series of 100 examinations. Am J Dis Child. 1977;131:41-5.2. Lux G, Rösch W, Philip J, Frühmorgen P. Gastrointestinal fiberoptic endoscopy

in pediatric patients and juveniles. Endoscopy. 1978;10:158-63.3. Rahman I, Patel P, Boger P, Rasheed S, Thomson M, Afzal NA. Therapeutic

upper gastrointestinal tract endoscopy in Paediatric Gastroenterology. World J Gastrointest Endosc. 2015;16:169-82.

4. Wyllie R. Forreign bodies in the gastrointestinal tract. Curr Opin Pediatr. 2006;18:563-4.

5. Little DC, Shah SR, St Peter SD, Calkins CM, Morrow SE, Murphy JP, et al. Esophageal foreign bodies in the pediatric population: our first 500 cases, J Pediatr Surg. 2006;41:914-8.

6. Uyemura MC. Foreign body ingestion in children. Am Fam Physician. 2005;72:287-91.

7. Cheng W, Tam PK. Foreign body ingestion in children: experienced with 1265 cases. J Pediatr Sur. 1999;34:1472-6.

8. Simic MA, Budakov BM. Fatal upper esophageal hemorrhage caused by a previously ingested chicken bone: case report. Am J Forensic med Pathol. 1998;19:166-8.

9. Kay M, Wyllie R. Pediatric foreign bodies and their management. Curr Gastroenterol Rep. 2005;7:212-8.

10. Nandi P, Ong GB. Foreign body in the esophagus: review of 2394 cases. Br J Surg. 1978;65:5-9.

11. Louie JP, Alpern ER, Windrreich RM. Witnessed and unwitnessed esophageal foreign bodies in children. Pediatr Emerg Care. 2005;21:582-5.

12. Litovitz T, Whitaker N, Clark L. Preventing battery ingestions: an analysis of 8648 cases. Pediatrics. 2010;125:1178-83.

13. Maves MD, Carithers JS, Birck HG. Esophageal burns secondary to disc battery ingestion. Ann Otol Rhinol Laryngol. 1984;93:364-9.

14. Hurtado CW, Furuta GT, Kramer RE. Etiology of esophageal food impactions in children. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2011;52:43-6.

15. Deghani Sm, Haghighat M, Imanieh MH, Tabebordbar MR. Upper gastrointestinal bleeding in children in Southern Iran. Indian J Pediatr. 2009;76:635-8.

16. Deghani N, Ludemann JP. Ingested foreign bodies in children: BC children’s Hospital emergency room protocol. BC Med J. 2008;50:257-62.

17. Louie MC, Bradin S. Foreign body ingestion and aspiration. Ped Rev. 2009;30:295-301.

18. Abbas TO, Al Shahwani N, Ali M. Endoscopic management of ingested foreign bodies in children: A retrospective review of cases, and review of the literature.

19. Rafeey M, Shoaran M, Majidy H. Diagnostic endoscopy and clinical characteristics of gastrointestinal bleeding in children: a 10-year retrospective study. Iran Red Crescent Med J. 2013;15:794-7.

Page 84: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

70

Peran Endoskopi pada Kasus Emergensi Anak

20. Cochran EB, Phelps SJ, Tolley EA, Stidham GL. Prevalence of, and risk factors for, ullypper gastrointestinal tract bleeding in critically ill pediatric patients. Crit Care Med. 1992;20: 1519-23.

21. Yachha SK, Khanduri A, Sharma BC, Kumar M. Gastrointestinal bleeding in children. J Gastroenterol Hepatol. 1996;11:903-7.

22. Owensby S, Taylor K, Wilkins T. Diagnosis and management of upper gastrointestinal bleeding in children. J Am Board Fam Med. 2015;28:134-45.

23. Cleveland K, Ahmad N, Bishop P, Nowicki M. Upper gastrointestinal bleeding in children: an 11-year retrospective endoscopic investigation. World J Pediatr. 2012;8:123-8.

24. Bhatia V, Lodha R. Upper gastrointestinal bleeding. Indian J Pediatr. 2011;78:227-33.

25. Colle I, Wilmer A, Abenheim L, Michaud L, Debruyne R, Delwaide J, Dhondi E, et al. Upper gastrointestinal tract bleeding management: Belgian guidelines for adults and children. Acta Gastroenterol Belg. 2011;74:45-66.

26. Araujo TE, Vieira SM, Carvalho PR. Stress ulcer prophylaxis in pediatric intensive care units. J Pediatr (Rio J). 2010;86:525-30.

27. Fox VL. Gastrointestinal bleeding in infancy and childhood. GastroenterolClin North Am. 2000;29:37-66.

28. Kim SJ, Kim KM. Recent trends in the endoscopic management of variceal bleeding in children. Pediatr Gastroenterol Hepatol Nutr. 2013;16:1-9.

29. Oh SH, Kim SJ, Rhee KW, Kim KM. Endoscopic cyanoacrylate injection for the treatment of gastric varices in children. World J Gastroenterol. 2015;21:2719-24.

30. Ünal F, Çakir M, baran M, Duygulu S, Aydoğdu S. Application of endoscopic hemoclips for nonvariceal upper gastrointestinal bleeding in children. Turk J Gastroenterol. 2014;25:147-51.

Page 85: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

71

Doppler Ultrasound in Paediatric Emergency Cases

H F Wulandari

Tujuan:1. Mengetahui penggunaan ultrasonografi Doppler pada beberapa kasus

emergensi anak

Ultrasonografi (US) sering digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis suatu penyakit. Gray scale US memperlihatkan struktur potongan anatomi organ akan tetapi tidak bisa menggambarkan vaskularisasi yang ada. Pada Color Doppler Ultrasound (CDS) pembuluh darah akan terlihat berwarna merah dan biru. Warna merah menunjukkan arah pembuluh darah menuju pemeriksa dan warna biru menjauh. Sedangkan pada power Doppler pembuluh darah tergambar dengan hanya 1 warna. Di lain pihak spectral US dapat memberikan informasi tentang kecepatan sistolik dan diastolik suatu pembuluh darah. Vaskularisasi suatu organ atau lesi bisa bertambah atau berkurang sesuai penyakitnya. Beberapa penyakit yang membutuhkan US Doppler untuk diagnosis dan penyakit lainnya yang menjadi lebih tajam diagnosisnya dengan US Doppler akan dibahas di bawah ini.

Akut skrotumNyeri akut dan pembengkakan skrotum perlu dipikirkan pada keadaan torsi testis dan epididimo-orkitis. Torsi testis merupakan hal yang paling penting karena untuk menyelamatkan testis tersebut membutuhkan operasi segera, sedangkan keadaan yang terakhir dapat ditatalaksana secara konservatif.

Pemeriksaan gray scale US tidak cukup untuk dapat mendiagnosis torsi testis karena tidak dapat memberikan informasi tentang aliran darah. Kombinasi gray scale US dan US Doppler dapat memberikan informasi tentang morfologi dan perfusi testis.

Page 86: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

72

Doppler Ultrasound in Paediatric Emergency Cases

Torsi testisTorsi duktus spermatikus diartikan sebagai berputarnya 1 atau 2 kali testis atau duktus spermatikus di dalam skrotum. Pada saat awal vena akan mengalami obstruksi dan menyebabkan stasis vena dan infark hemoragik, selanjutnya arteri akan mengalami obstruksi dan kemudian menyebabkan iskemia testis. Dikenal 2 jenis torsi: Intra dan ekstra vaginal. Intravaginal torsi lebih sering ditemukan dan umumnya dialami oleh anak setelah pubertas.

Torsi ekstravaginal (pada neonatus)Torsi ekstravaginal dapat terjadi pada level duktus spermatikus. Hal ini terjadi karena fiksasi yang buruk di kanalis inguinalis. Torsi umumnya terjadi in utero sehingga testis umumnya sudah mengalami nekrosis saat lahir.

Pada pemeriksaan gray scale US testis tampak membesar, heterogen dengan area yang hiperekoik dan hipoekoik. Hidrokel atau penebalan dinding skrotum dapat ditemukan.

Torsi intravaginal (pada anak)Torsi intravaginal terjadi jika insersi tunika vaginalis terletak tinggi pada duktus spermatikus. Fiksasi testis terhadap skrotum buruk sehingga testis mudah berputar mengelilingi duktus spermatikus. Pada keadaan torsi akut dan testis mengalami iskemia maka detorsi testis dalam 6 jam akan menyelamatkan testis tersebut. Pada keadaaan akut umumnya pasien akan merasakan nyeri pada skrotum dan abdomen bagian bawah. Gejala lain seperti mual, muntah, tidak nafsu makan dan demam tidak tinggi sering dikeluhkan. Skrotum akan tampak merah, bengkak dan keras. Pada pemeriksaan fisis posisi testis didapatkan tranversal dan terletak tinggi dalam skrotum jika dibandingkan dengan testis yang sehat.

Pada pemeriksaan gray scale US testis tampak membesar, terletak transversal dalam skrotum. Epididimis tidak terlihat pada pool atas testis. Dinding testis menebal. Hidrokel bisa ditemukan. Ekotekstur dan ukuran testis masih tampak normal pada jam pertama setelah terjadi torsi. Setelah 4-6 jam testis akan menjadi hipoekoik dan membesar serta bisa ditemukan juga sedikit hidrokel. Testis akan terlihat mottled dan heterogen setelah 24 jam terjadi torsi. Gambaran testis yang heterogen merupakan faktor prognostik buruk. Torsi duktus spermatikus akan tampak sebagai massa bulat/oval di lokasi ekstra testis.

Pemeriksaan CDS pada torsi komplit tidak menunjukkan adanya pembuluh darah intra testis. Jika pembuluh darah intra testis masih dapat terlihat maka perlu dilakukan spectral Doppler untuk membuktikan adanya

Page 87: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

73

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

torsi parsial. Pada torsi parsial akan terjadi aliran resistensi tinggi. Amplitudo diastolik akan rendah atau bahkan menghilang, sedangkan aliran sistolik masih ada sehingga menyebabkan resistensi indeks yang meningkat.

Pada intermittent testicular torsion (ITT) pemeriksaan gray scale US dan CDS dapat inkonklusif. Dalam keadaan ini pemeriksaan terhadap duktus spermatikus perlu dilakukan karena torsi bisa terjadi pada duktus spermatikus.

Epididimitis dan orkitisEpididimitis dan epididimo-orkitis dapat menyebabkan nyeri skrotum akut pada anak berusia di bawah 2 tahun dan di atas 6 tahun.

Epididimitis ditandai dengan gambaran epididimis yang membesar, hipoekoik atau hiperekoik. Walaupun demikian dapat juga ditemukan ekogenisitas yang normal. Kadang - kadang ditemukan hidrokel atau piokel dan penebalan dinding skrotum. Adanya abses perlu diperhatikan. Pada orkitis, testis akan tampak membesar, inhomogen dan penurunan ekogenisitas.

Color and power Doppler menunjukkan hiperemia pada epididimis atau testis atau keduanya. Color dan power Doppler mendemonstrasikan peningkatan jumlah dan konsentrasi pembuluh darah pada daerah yang terkena di epididimis dan/atau testis dibandingkan dengan yang sehat.

Trauma testisTrauma skrotum dapat terjadi akibat child abuse, kecelakaan lalu lintas, olah raga, straddle injury (trauma pada daerah inguinal) atau pukulan langsung. Trauma bisa menyebabkan kontusio, hematom, hematokel, fraktur dan ruptur testis.

Hematom testis pada pemeriksaan gray scale US akan memberikan gambaran testis yang membesar dengan fokal area dengan ekogenisitas yang meningkat atau menurun tergantung dari usia perdarahan. Hematokel merupakan kumpulan darah di dalam tunika vaginalis.

Fraktur testis akan tampak sebagai garis linier hipoekoik pada parenkim testis. Kontur testis terlihat normal karena tunika albugenia yang utuh (intact). Sedangkan pada ruptur testis, tepi testis menjadi ireguler dan berbatas tidak jelas karena adanya diskontinuitas tunika albugenia. Adanya perdarahan dan disrupsi parenkim testis membuat parenkim menjadi heterogen.

Jika terjadi kontusio pada testis maka pada pemeriksaan CDS atau power Doppler akan terlihat peningkatan atau penurunan vaskularisasi testis. Apabila tampak perfusi testis, maka dapat diberikan terapi konservatif. Namun jika

Page 88: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

74

Doppler Ultrasound in Paediatric Emergency Cases

tidak terdapat gambaran sinyal Doppler pada testis maka berarti terjadi iskemia testis dan operasi perlu segera dilakukan.

Infark limpaInfark limpa dapat terjadi pada pasien dengan anemia sickle cell, penyakit mieloproliferatif, storage disorder dan endokarditis dengan emboli kardiak. Nyeri perut kiri atas, muntah, mual, dan nyeri bahu kiri dapat merupakan salah satu gejala infark limpa.

Pada pemeriksaan gray scale US daerah yang mengalami infark akan terlihat sebagai lesi subkapsular yang hipoekoik. Pemeriksaan CDS atau power Doppler tidak menunjukkan adanya sinyal.

IntususepsiIntususepsi merupakan keadaan kedaruratan abdomen yang paling sering ditemukan pada bayi. Kelainan ini terjadi apabila suatu bagian usus masuk ke dalam bagian usus lainnya. Sembilan puluh persen intususepsi merupakan intususepsi ileokolik. Pada keadaan ini ileum masuk ke dalam kolon.

Gambaran gray scale US intususepsi bervariasi tergantung dari derajat scaning yang dilakukan. Scaning aksial pada dasar intususepsi akan memberikan gambaran crescent-doughnat sign. Sedangkan skaning aksial pada daerah apek memperlihatkan gambaran cincin konsentrik. Scaning longitudinal memperlihatkan gambaran pseudokidney atau sandwich.

Obstruksi yang terjadi pada intususepsi menyebabkan kompresi pembuluh darah mesenterik. Pada saat awal vena mesenterika akan mengalami kompresi terlebih dulu, sedangkan perfusi arterial masih ada. Hal ini menyebabkan edema usus, iskemia dan selanjutnya nekrosis. Pemeriksaan CDS dapat memperlihatkan vaskularisasi di dalam intususepsi. Beberapa peneliti menyatakan CDS pada intususepsi dapat memprediksi viabilitas usus. Sedangkan peneliti lain melaporkan adanya gambaran CDS pada intususepsi merupakan indikator yang baik untuk keberhasilan suatu tindakan reduksi radiologis.

Apendisitis akutAppendisitis akut menyebabkan nyeri perut akut pada anak dan memerlukan tindakan operasi. Diagnosis ditegakkan secara klinis. US digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis.

Page 89: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

75

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

Gambaran gray scale US pada appenditis akut berupa: lesi tubuler buntu yang berdiameter lebih dari 6 mm, tidak ada peristaltik, non-compressible dengan daerah sekitar yang ekogenik. Kesulitan teknis ditemukan jika terdapat nyeri hebat sehingga pemeriksaan dengan teknik penekanan sulit dilakukan. Kesulitan pemeriksaan juga timbul jika ditemukan banyak udara/cairan dan pada pasien yang gemuk. Pemeriksaan dengan hasil negatif palsu dapat disebabkan oleh apendisitis fokal, apendik retro sekal dan apendik yang mengalami perforasi.

Pemeriksaan dengan CDS tidak meningkatkan sensitivitas pemeriksaan gray scale US, tetapi akan memudahkan pemeriksa untuk melakukan interpretasi.

Apendisitis akut tanpa perforasiPada keadaan ini terjadi hipervaskularitas yang dengan CDS akan memperlihatkan banyak sinyal Doppler yang mengelilingi dinding apendik.

Apendisitis akut dengan perforasiDengan adanya nekrosis dan perforasi maka CDS tidak menunjukkan sinyal Doppler atau jika ada hanya tampak minimal. Oleh karena nekrosis dan perforasi menyebabkan inflamasi jaringan daerah sekitar apendik maka akan tampak banyak sinyal Doppler pada daerah ini. Akan tetapi pada apendisitis perforasi hanya 40-60% apendik dapat tervisualisasi. Apendik akan mengalami disintegrasi sehingga sulit untuk diidentifikasi.

Malrotasi/volvulus Midgut

Malrotasi usus halus terjadi jika proses perkembangan usus saat janin terganggu. Hal ini dapat mengakibatkan obstruksi secara sekunder karena adanya sisa lipatan peritoneal (Ladd’s band) yang melewati duodenum atau midgut dan menyebabkan volvulus karena terpuntirnya mesenterium yang pendek.

Adanya malrotasi dapat dicurigai jika kedudukan vena mesenterika superior (SMV)/splenoportal confluence ada di sebelah kiri arteri mesenterika superior (SMA). Dengan CDS akan tampak gambaran “whirlpool”. Walaupun demikian sebagian kecil dari pasien dengan malrotasi/volvulus midgut mempunyai kedudukan SMV terhadap SMA yang normal.

Adanya malrotasi/volvulus midgut dapat dicurigai dengan US jika ditemukan gambaran dilatasi duodenum dengan ujung distal yang menyempit, whirlpool sign dan dilatasi SMV.

Page 90: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

76

Doppler Ultrasound in Paediatric Emergency Cases

KendalaKendala yang sering dihadapi untuk melakukan US Doppler adalah: y Tidak tersedianya alat US yang mempunyai resolusi baik. y Tidak semua alat US mempunyai soft ware untuk pemeriksaan Doppler. y Tidak tersedianya transducer/probe yang sesuai kebutuhan pemeriksaan. y Anak tidak kooperatif/menangis.

SimpulanUS Doppler dapat digunakan untuk menegakkan dan mempertajam diagnosis pada beberapa kasus kedaruratan anak. Kendala yang ada di lapangan sering menyebabkan pemeriksaan US Doppler tidak dapat dilakukan.

Daftar pustaka1. Deeg KH. Doppler sonografi of the scrotum. Dalam: Deeg KL, Rupprecht

T, Hofbeck M, penyunting. Doppler sonography in infancy and childhood. Heidelberg: Springer, 2015.h.597-621.

2. Cooley BD, Siegel MJ. Male genital tract. Dalam: Siegel MJ, penyunting. Pediatric ultrasound, edisi ke-4. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2011.h.571-587.

3. Donnelly LF. Testicular abnormality. Dalam: Donnelly LF, Jones BV, O’Hara SM, Anton CG, Benton C, Westra SJ dkk, penyunting. Diagnostic imaging: pediatrics. Friesens: Amirsys, 2005.h.98-105.

4. Deeg KH. Doppler sonografi of the mesenteric artery. Dalam: Deeg KL, Rupprecht T, Hofbeck M, penyunting. Doppler sonography in infancy and childhood. Heidelberg: Springer, 2015.h.433-461.

5. Siegel MJ. Gastrointestinal tract. Dalam: Siegel MJ, penyunting. Pediatric ultrasound, edisi ke-4. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2011.h.353-373

6. Donnelly LF. Gastrointestinal section. Dalam: Donnelly LF, Jones BV, O’Hara SM, Anton CG, Benton C, Westra SJ et al, penyunting. Diagnostic imaging: pediatrics. Friesens: Amirsys, 2005.h.8-75.

Page 91: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

77

Hypertensive Emergency in ChildrenSudung O. Pardede

Tujuan:1. Mampu memahami pengertian hipertensi emergensi2. Mampu menata laksana hipertensi emergensi3. Mampu mencari penyebab hipertensi emergensi

Hipertensiemergensimerupakan keadaan gawat darurat yang memerlukan tata laksana segera. Penyakit ini relatif jarang pada anak, namun dapat mengancam jiwa sehingga perlu menegakkan diagnosis dan menanggulangi hipertensi emergensi dengan segera untuk mencegah atau mengurangi komplikasi yang lebih berat. Penyebab hipertensi krisis bervariasi dan tergantung usia. Umumnya hipertensi pada anak merupakan hipertensi sekunder, namun pada anak > 15 tahun, 90% hipertensi merupakan hipertensi primer.1-4

Pada tahun, 2004, National High Blood Pressure Education Program Working Group on High Blood Pressure in Children and Adolescents (2004) merevisi definisi hipertensi yang dibuat tahun 1987, dengan mendefinisikan hipertensi sebagai tekanan darah sistolik dan atau diastolik > persentil 95th berdasarkan umur, jenis kelamin, dan tinggi badan pada > 3 kali pemeriksaan saat yang berbeda. Hipertensi dibagi menjadi dua stadium, yaitu hipertensi stadium 1 adalah hipertensi dengan tekanan darah berkisar antara persentil > 95th sampai persentil 99th plus 5 mmHg berdasarkan umur, jenis kelamin, dan tinggi badan, serta hipertensi stadium 2 adalahhipertensi dengan tekanan darah > persentil 99th plus 5 mmHg berdasarkan umur, jenis kelamin, dan tinggi badan.5

Berdasarkan keparahan, hipertensi dibedakan menjadi hipertensi krisis dan hipertensi non krisis. Umumnya, hipertensi krisis didefinisikan jika tekanan darah diastolik > 120 mmHg dan atau tekanan darah sistolik > 180 mmHg, atau setiap tingkat hipertensi yang disertai komplikasi ensefalopati hipertensi, dekompensasio kordis, atau kelainan retina berupa perdarahan atau edema papil. Pada anak < 5 tahun, hipertensi krisis didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah 50% dari nilai tekanan darah normal atau 1 1/2 kali batas atas tekanan darah normal berdasarkan umur dan jenis kelamin.6

Joint National Committee on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (1984) membagi hipertensi krisis menjadi 2 kelompok

Page 92: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

78

Hypertensive Emergency in Children

yaitu hipertensi emergensi (hypertensive emergencies) dan hipertensi urgensi (hypertensive urgencies).Hipertensi emergensi diartikan dengan hipertensi yang berkaitan dengan gejala yang mengancam jiwa dan atau kerusakan organ target (otak, jantung, ginjal, mata). Hipertensi urgensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah sistolik dan atau diastolik di atas persentil 99 plus 5 mmHg disertai komplikasi tanpa ada kerusakan organ target. Pada hipertensi emergensi, tekanan darah perlu diturunkan segera dalam beberapa menit hingga jam untuk menghindari komplikasi yang mengancam jiwa, sedangkan pada hipertensi urgensi tekanan darah diturunkan perlahan-lahan dalam beberapa hari untuk menghindari sekuele serius. Termasuk hipertensi emergensi adalah hipertensi ensefalopati, gangguan intrakranial akut (perdarahan intrakranial, trombosis pembuluh darah otak, perdarahan subaraknoid, trauma kepala), sindrom iskemik miokard (gagal jantung dengan edema paru, diseksi aorta akut), gagal ginjal akut, peningkatan katekolamin (feokromositoma krisis).4,7-10Istilah “malignant” atau “accelerated” hypertension yang pernah digunakan, tidak digunakanlagi.8

Tata laksanaTata laksana hipertensi emergensi bertujuan untuk memperbaiki fungsi organ vital, mempertahankan perfusi, dan mencegah komplikasi dengan pemberian antihipertensi onset cepat, mengatasi kelainan organ target, mencari dan menanggulangi penyebab hipertensi, serta terapi suportif.1-3,11,12

Hipertensi emergensi memerlukan tata laksana cepat, namun sebelumnya perlu dibedakan apakah hipertensi emergensi tersebut merupakan hipertensi akut atau kronik.Dalam keadaan normal, terdapat autoregulasi serebral yang melindungi otak dari hiperperfusi akibat hipertensi melalui regulasi vasodilatasi dan vasokonstriksi. Pada hipertensi kronik, terjadi perubahan autoregulasi aliran darah dan organ vital, dan penurunan tekanan darah yang cepat akan mengubah autoregulasidan menimbulkan hipoperfusi organ vital terutama otak sehingga terjadi stroke iskemikyang berakibat kematian.10,11

Pemilihan antihipertensi tergantung pada penyebab. Antihipertensi yang digunakan adalah obat awitan cepat, waktu paruh singkat, aman, efektif, dan. lebih disukai obat yang diberikan intravena tetes (per drip) karena dosis dapat dititrasi.Pada anak kecil, kemungkinan sulit untuk mendapatkan akses intravena dengan segera sehingga dapat digunakan antihipertensi oral.1-3,12Antihipertensi intravena telah digunakan sebagaiterapi hipertensi emergensi pada anak adalah natrium nitroprusid, labetalol, nikardipin, hidralazin, diazksida, esmolol, dan enalaprilat.8,11,12Nikardipin dan labetalol merupakan lini pertama dalam tata laksana hipertensi emergensi. Esmolol lebih jarang digunakan karena laporan penelitian yang masih terbatas. Nitroprusid sebelumnya sering digunakan,

Page 93: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

79

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

namun belakangan ini mulai jarang karena toskisitas sianida dan takipilaksis pada pemakaian jangka lama. Hidralazin intravena dapat digunakan sebagai alternatif terhadap labetalol bolus. Enalaprilat jarang digunakan dan obat ini dapat menyebabkan acute kidney injury sehingga penggunaannya harus hati-hati pada neonatus dan penyakit ginjal kronik. Obat yang relatif baru adalah fenoldopam dan clevidipinemasih jarang digunakan pada anak karena laporan penelitian yang masih terbatas. Phentolaminesangat membantu pada hipertensi krisis yang disebabkan katekolamin dan kokain.Obat lain yang direkomendasikan adalah klonidin dan nifedipin.9

Tekanan darah pada hipertensi emergensi harus dengan segera tetapi bertahap.Meskipun belum ada panduan secara universal, namun ada beberapa panduan yang dapat digunakan.Salah satu rekomendasi adalah menurunkan rerata tekanan arteri (mean arterial pressure, MAP) tidak lebih dari 25% dalam 8-12 jam pertama kemudian diturunkan bertahap hingga normal dalam waktu 48 hingga 72 jam.9Great Ormond Street Hospital for Children di Inggris menganjurkan penurunan tekanan darah sepertiga dari nilai awal dalam 6 jam pertama, kemudian sepertiga lagi diturunkan dalam waktu 24–36 jam berikut, dan diturunkan hingga normal dalam waktu 48–72 jam.8 Penulis lain menganjurkan penurunan tekanan darah tahap awal tidak lebih dari 25–30% dari nilai tekanan darah awal dalam waktu 6-8 jam, dan kemudian diturunkan bertahap dalam 24-48 jam.12Untuk mencegah hipotensi, dianjurkan memberikan cairan infus.8Tidak ada rekomendasi universal tentang laju penurunan tekanan darah yang optimal dan tidak ada rekomendasi absolut tentang jenis obat yang dianjurkan. Setiap klinikus harus menggunakan obat yang familiar dan comfortable bagi mereka.8,11,12Setelah tekanan darah stabil, antihipertensi dilanjutkan dengan obat oral seperti nifedipin, angiotensin converting enzyme (ACE) inhibitors dan b-blockers sambil mencari penyebab hipertensi.8,9,11,12

Selain antihipertensi, diperlukan tata laksana lain bergantung pada keadaan pasien. Pada hipertensi emergensi karena kelebihan cairan (fluid overload) seperti pada penyakit ginjal stadiumakhir diperlukan tindakan ultrafiltrasi atau dialisis. Pada anak dengan gagal jantung kongestif, diperlukan obat inotropik untuk memperbaiki keadaan pasien agar dalam keadaan stabil. Continuous venovenous hemofiltration(CVVH) merupakan tindakan yang sesuai untuk mengeluarkan cairan pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil. Jika masih terdapat diuresis, pemberian furosemid dosis tinggi dapat meningkatkan diuresis yang akan menurunkan hipertensi. Pada hipertensi emergensi karena glomerulonefritis akut, pemberian diuretik sangat efektif. Untuk mencegah takikardia, dapat ditambahkan beta blockers.

Natrium nitroprusid merupakan vasodilator direk sel otot polos arteriol dan vena dengan awitan cepat dan dimetabolisme menjadi nitric oxide yang

Page 94: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

80

Hypertensive Emergency in Children

menyebabkan dilatasi arteriol dan vena sehinga menurunkan resistensi perifer dan mengurangi venous return, sertamenurunkan preloaddanafterload. Dosis 0.5-10 mcg/kgBB/menit.Nitroprusid akan dimetabolisme menjadi sianida dan tiosianat.Risiko toksisitas meningkat setelah 24–48 jam atau pada gagal ginjal sehingga perlu pemantauan kadar sianida darah atau sianat plasma. Pemberian natrium nitroprusid bersama thiosulfatedapat mengurangi toksisitas. Toksisitas sianida dapat berupa asidosis metabolik, methemoglobinemia, takikardia, perubahan status mental, nausea, vomitus, psikosis, kejang, anoreksia, dan koma. Karena toksisitasnya, obat ini jarang digunakan dan diberikan jika tidak ada lagi obat pilihan lain.8,9,11-14

Nikardipin intravena adalah generasi keduadihydropyridinecalcium channel blockeryang menghambat perpindahan kalsium melalui sel otot polos vaskular sehingga mencegah kontraksi dan menurunkan resistensi perifer vaskular. Nikardipin dimetabolisme di hati dan tidak punya efek inotropik negatif. Efek samping nikardipin antara lain peningkatan tekanan intrakranial, takikardia, sakit kepala, mual, dan hipotensi. Dosis dimulai dengan 0,5-1 mcg/kgBB/menit dan dinaikkan setiap 15 hingga 30 menit sampai tercapai efek yang diinginkan dengan dosis maksimum 4 mcg/kgBB/menit.Rekomendasi lain adalah dosis awal 5 mcg/kgBB/menit yang diikuti dengan 1 hingga 3 mcg/kgBB/menit jika rerata tekanan arteri yang diinginkan sudah tercapai. Efek samping berupa hipotensi, takikardia, flushing, dan berdebar-debar. 9,11,12,15

Labetalol adalah komibinasi α1 dan β-adrenergic blockingagent yang dapat diberikan baik per oral maupun intravena. Karena kemampuan menghambat α1 receptor, labetalol menyebabkan vasodilatasi sehingga menurunkan resistensi perifer, dan sedikit efek terhadap jantung.Efek samping dapat berupa bradikardiadan bronkospasme. Labetalol dapat diberikan intravena secara infus atau bolus. Obat ini tidak boleh diberikan pada anak dengan bronkospasme dan gagal jantung kongestif karena mempunyai efek inotropik negatif dan pada pasien diabetes melitus karena menyebabkan gejala seperti hipoglikemia. Labetalol diberikan secara bolus dengan dosis 0.2 – 1 mg/kgBB hingga maksimum 40 mg atau secara infus dengan dosis 0.25-3 mg/kgBB/jam.9,11,12

Esmolol adalah antihipertensi cardioselective β blocker yang bekerja cepat (kurang dari 1 menit) yang digunakan pada hipertensiemergensiterutama jika terdapat takikardia. Sebagai β blockers, obat ini menurunkan kontraktilitas jantung sehingga tidak digunakan pada dekompensasio jantung akut. Obat ini diberikan secara infus dengan dosis awal 100 sampai 500 mcg/kgBB diikuti dengan infus 50 sampai 150 mcg/kgBB/menit, dan dititrasi setiap 10-15 menit hingga 1000 mcg/kgBB/menit. Efek samping antara lain hipotensi, mengi, bradikardia,bronkokonstriksi, hipoglikemia, dan gagal jantung kongestif.9,11,12,15

Page 95: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

81

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

Fenoldopam adalah dopamine D1-like receptor agonist yang juga berikatan dengan α2-adrenoceptors, tetapi tidak terikat dengan reseptor vaskular lain seperti D2-like receptors, α1 and β adrenoceptors, 5HT1 dan 5HT2 receptors, dan muscarinic receptors. Fenoldopam menyebabkan vasodilasi pada arteri koroner, renalis, mesenterik, dan perifer.11Efek samping berupa takikardia, sakit kepala, flushing,dan retensi natrium.12Dosis yang direkomendasikan :0,2 hingga 0,8 mcg/kgBB/menit dan tidak perlu penyesuaian dosis pada insufisiensi ginjal,9meskipun ada juga menganjurkan dosis lain 0,8–1,2 mcg/kgBB/menit.12

Enalaprilat adalah satu-satunya ACE inhibitorintravena yang efektif dalam penanggulangan hipertensi emergensi yang dimediasi renin (renin-mediated hypertension). Diberikan dengan dosis 5 hingga 10 mcg/kgBB/dosis dan dapat dinaikkan hingga 1,25 mg/dosis. Ada laporan penggunaan obat ini pada neonatus dengan rentang dosis 7,4–22,9 mcg/kgBB per 24 jam. Efek samping antara lain hipotensi, oliguria, gagal ginjal akut, hiperkalemia.9,11,12

Phentolamine, phenoxybenzamine, prazosin, dandoxazocin merupakan α-adrenergic blockersyang digunakan dalam tata laksana hipertensi yang diinduksi kateholamin (catecholamine-induced hypertension) seperti pada feokromositoma, overdosis kokain dan pseudoefedrin.Sebagai penghambat kanal kalsium (calcium channelblockers)telah terbukti efektif dalam tata laksana hipertensi yang dinduksi kateholamin.Dosis yang dianjurkan adalah 0.1 mg/kgBB dengan dosis maksimum 5 mg.9,12

Nitrogliserin intravena atau transdermal biasanya tidak digunakan sebagai terapi lini pertama pada anak. Obat ini merupakan venodilator yang akan menurunkan pre-loaddan curah jantung, dan dapat menyebabkan methemoglobinemia, hipoksemia, takikardia, dan takifilaksis.Pemakaian intravena jangka lama dapat menyebabkan retensi natrium dan air.12

Hidralazin adalah vasodilator yang bekerja pada otot polos arteriolar, menurunkan resistensi perifer melalui mekanisme perubahan metabolisme kalsium intraselular yang menyebabkan perpindahan kalsium dalam otot polos vaskularyang berperan dalam kontraksi otot. Dosis berupa bolus diberikan 0,2 hingga 0,6 mg/kgBB dengan dosis maksimum 20 mg. Pemberian intravena dapat dilanjutkan peroral dengan dosis 0,25 mg/kgBB.Efek stimulasi sistem saraf simpatetik pada otot polos arteriolar, dapat menyebabkan takikardia, aktivasi sistem renin-angiotensin, dan retensi natrium.9,11,16

Diazksida atau Halic adalah vasodilator direk yang meningkatkan permeabilitas membran sel otot polos vaskular terhadap ion kalsium sehingga menghambat voltage-gated calcium ion channelsdan menghambat aksi potensial. Diazoxida telah lama digunakan sebagai terapi hipertensi emergensi pada dewasa dan anak. Dosis yang direkomendasikan adalah 1–3 mg/kgBBdan diulang dalam waktu 5–15 menit.9,11

Page 96: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

82

Hypertensive Emergency in Children

Klonidin adalah α2-adrenergic agonistyang bekerja sentral, menurunkan tekanan darah dengan mengurangi luaran simpatetik serebral, dengan awitan kira-kira 15–30 menit dengan pemberian per oral. Efek samping yang sering terjadi adalah somnolen dan mulut kering.11Dosis yang dianjurkan adalah 0,05-0,1 mg/dosis dan dapat diulang setiap jam hingga dosis 0,8 mg.9Di Departemen IKA FKUI-RSCM, hipertensi krisis diterapi dengan klonidin drip dan furosemid. Klonidin diberikan per infus dengan dosis 0,002 mg/kg/8 jam dimasukkan dalam 100 ml dextrose 5% (12 tetes per menit), dan kemudian dosis dinaikkan setiap 30 menit hingga tekanan darah diastolik di bawah 100 mmHg. Klonidin dapat dinaikkan hingga dosis maximum 0,006 mg/kg 8 jam (36 tetes per menit). Furosemid diberikan 1 mg/kg/dosis, 2 kali sehari. Jika tekanan darah diastolik belum mencapai < 100 mmHg, tambahkan kaptopril 0,3 mg/kg/dosis.6

Isradipin, generasi kedua dihydropyridine calciumchannel blocker, dengan awitan cepat, menurunkan tekanan darah dalam waktu 1 jam. Dosis yang direkomendasikan adalah 0,05 sampai 0,1 mg/kgBB per dosis hingga 5 mg. Efek samping antara lain nausea, muntah, sakit kepala, hipotensi, flushing, dan palpitasi. Rekomendasi dosis lain adalah dosis inisial 0,5 mg/kgBB untuk anak < 2 tahun.9,11

Nifedipin merupakan calcium-channel blockers, yang bekerja sebagai vasodilator langsung dengan menghambat kontraksi otot polos vaskular oleh intervensi calcium influx selular, menyebabkan dilatasi arteriol perifer.Nifedipin telah direkomendasikan untuk tata laksana hipertensi emergensi pada anak, walapun obat ini kontra indikasi bila diberikan pada pasien dewasa dengan hipertensi akut karena dapat menyebabkan penurunan tekanan darah tiba-tiba yang mengakibatkan iskemik.8,9,14 Nifedipin diberikan secara sublingual 0,25 hingga 0,5 mg/kgBB dan efektif dalam 10 menit dengan puncak efek terlihat 30 hingga 40 menit setelah pemberian.Nifedipin dapat juga diberikan per oral.Absorbsi sublingual hampir sama atau lebih cepat 10 – 15 menit dibandingkan dengan secara oral.17,18,19,20Di Departemen IKA FKUI-RSCM, hipertensi emergensi diterapi dengan nifedipin sublingual dan furosemid. Nifedipin diberikan dengan dosis 0,1 mg/kgBB/dosis, dan kemudian dosis dinaikkan setiap 30 menit hingga tekanan darah diastolik di bawah 100 mmHg. Nifedipin dapat dinaikkan hingga dosis maximum 10 mg/dosis. Furosemid diberikan 1 mg/kgBB/dosis, 2 kali sehari. Jika tekanan darah diastolik belum mencapai < 100 mmHg, tambahkan kaptopril 0,3 mg/kg/dosis.6Efek samping nifedipin antara lain sakit kepala, flushing, pusing, dan takikardia sebagai akibat vasodilatasi akut.17-19

Minoxidil adalah vasodilator direk yang membuka potassium channel pada sel otot polos danmenyebabkan efflux kalium, menyebabkan hiperpolarisasi dan relaksasi.Obat ini bekerja pada arteriol dan tidak menyebabkan dilatasi

Page 97: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

83

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

vena. Minoxidil bekerja dalam 1 jam, waktu paruh 4 jam, dan efeknya hilang dalam 8– 12 jam. Dosis yang direkomendasikan adalah 0,1 hingga 0,2 mg/kgBB per dosis hingga 10 mg per dosis.Obat ini diekskresi melalui ginjal sehingga perlu penyesuaian dosis pada penurunan fungsi ginjal. Efek samping berupa hirsutisme dan retensi cairan.9,11

Clevidipineadalahdihydropyridine calcium channel blocker intravena generasi ketiga dengan awitan cepat dan masa kerja sangat singkat. Clevidipine merupakan vasodilator arterial poten yang menurunkan resistensi vaskular sistemik tanpa mempunyai efek kronotropik atau inotropik negatif pada jantung.12 Awitan 2 menit dengan waktu paruh kurang dari 1 menit dan efeknya hilang dalam 5-15 menit.9Clevidipinelebih baik dibandingkan natrium nitroprusid dan nikardipin karena awitannya lebih cepat.11

Urapidil adalah antagonis alpha-adrenoceptorpostsinap perifer yang bekerja secara agonis sentral pada reseptor serotonin 5-HT, menurunkan tekanan darah dengan menurunkan resistensi vakular perifer. Belum ada laporan tentang pemberian obat ini pada anak.11

Berbagai penyebab hipertensi emergensiHipertensiemergensikarena obatPenghentian mendadak obat golongan opiat, benzodiazepin, dan klonidin dapat menyebabkan reaksi withdrawalberupa hipertensi emergensi. Hipertensiemergensi karena kokain disebabkan potensiasi efek kateholamin yang menghambat uptakenorefinefrin pasca sinaptik. Pada keadaan ini, alpha-blockerintravena seperti phentolaminemerupakan obat pilihan dan dapat ditambahkan dengan beta-blockers. Hipertensiemergensidapat juga terjadi jika obat monoamineoxidase inhibitorsberinteraksi dengan makanan yang mengandung tiramin atau dengan dextrometorfan, methylene blue, dan linezolid. Hipertensi karena interaksi dengan monoamine oxidase inhibitors diterapi dengan alpha blockeratau natrium nitroprusid. 21

Hipertensiemergensi karena feokromositomaFeokromositoma jarang ditemukan pada anak. Sekitar 80% feokromositoma berasal dari medula adrenaldan hipertensi didapatkan pada 60–90% pasien. Terapi pilihan feokromositoma adalah tindakan bedah dan direkomendasikan tata laksana hipertensi pra bedah minimal 10–14 hari sebelumnya. Obat antihipertensi pilihan adalah α2-blockadedengan noncompetitive α2-blocker sepertiphenoxybenzamine.Pilihan terapi untuk tumor adalah embolisasi, terapi sistemik dengan 131MIBG, atau kemoterapi.21Selective α1 antagonistdiikuti β

Page 98: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

84

Hypertensive Emergency in Children

blockersdapat diberikan sebagai langkah awal tata laksana hipertensi. Perlu diperhatikan pemberian cairan dan garam untuk mencegah hipotensi karena pemakaian α blocker.Calcium channel blockers memberikan hasil yang baik mengontrol tekanan darah preoperatif dan intraoperatif.12,21

Hipertensiemergensi karena penyakit renovaskular Hipertensi renovaskularjarang ditemukan pada anak yaitu 3-6% di antara penyebab hipertensi, tetapi merupakan penyebab hipertensi yang sulit diatasi.Hipertensi berat yang tidak responsif dengan beberapa antihipertensi, terdapat bruit arteri renalis, nadi tidak teraba, hipokalemia, aktivitas renin yang meningkat, perlu dipikirkan penyebab renovaskular. Tata laksana bergantung pada etiologi, keparahan, dan penyakit yang menyertai. Pada hipertensi sistem-renin-angiotensinkarena penyakit Takayasu, diperlukan steroid, imunosupresan, dan antituberkulosis. Sebaiknya diuretik dihindari karena menyebabkan hipovolume yang dapat meningkatkan aktivitas renin plasma. Tindakan bedah dilakukan pada kasus tertentu dengan teknik percutaneoustransluminal renal angioplasty, stenting, segmental ethanolablation, revascularization, dannefrektomi parsial atau total.Antihipertensi yang dianjurkan adalah angiotensin converting enzyme inhibitoratauangiotensinreceptor blocker. 12,21

Hipertensi pada penyakit ginjal kronikHipertensi merupakankeadaan yangsering terdapat pada penyakit ginjal kronik.Penyakit renoparenkim dan tubulointerstitial akan menyebabkan jaringan parut dan mengurangi jumlah nefron sehingga mengaktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron. Aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron menyebabkan retensi natrium dan air serta hiperaktivasi simpatetik dan menyebabkan hipertensi. Selain faktor volume overload, terdapat faktor lain yang berperan terhadap hipertensi seperti uremictoxin, peningkatan circulating endogenous nitric oxide synthetase inhibitors like asymmetric dimethylarginine, hiperparatiroidisme sekunder akibat hiperkalsemia, dan meningkatnya ekspresireseptor endotelin A. Selain antihipertensi, diperlukan upaya mempertahankan berat badan kering, pengaturan asupan cairan, dietrendah garam, dan dialisis teratur untuk menanggulangi hipertensi. Antagonis sistem renin-angiotensin-aldosteron seperti angiotensin converting enzyme inhibitorsdan angiotensin receptor blocker merupakan pilihan pertama sebagai antihipertensi. Antagonis sistem renin-angiotensin-aldosteron tidak hanya menurunkan tekanan transglomerular dan proteinuria, tetapi juga menekan pengeluaran sitokin dan kemokin, yang membuat obat ini sebagai nephroprotectionkarena mengurangi hipertrofi dan sklerosis glomerulus serta inflamasi dan fibrosis

Page 99: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

85

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

tubulointerstitial. Selain antagonis sistem renin-angiotensin-aldosteron, dapat juga diberikan calciumchannel blockerdan beta-blockers.21

Hipertensipada resipien ginjal transplanHipertensisering terjadi pada resipien transplantasi ginjal dengan frekuensi hingga 90% resipien. Hipertensi pada resipien transplant meningkatkan risiko disfungsi graft serta morbiditas dan mortalitas kardiovaskular. Faktor yang berperan terhadap hipertensi setelah cangkok ginjal antara lain hipertensi yang ada sebelum transplantasi, penyakit ginjal natif, obat seperti steroid, inhibitor kalsineurin, disfungsi graft, stenosis arteri renalis, mikroangiopati trombotik, fistula arteriovenous pasca biopsi. Hipertensi terjadi melalui mekanisme retensi natrium dan air, kativasi sistem renin-angiotensin-aldosteron, overaktivitas simpatetik, inhibisi atrial natriuretic peptide, ketidak seimbangan sintesis dan degradasi nitric oxide, disfungsi endotelial, dan stres oksidatif.Tata laksana hipertensi termasuk pemantauan kadar imunosupresan dan interaksi obat. Pada hipertensi yang diinduksi calcineurin inhibitors, calcium-channel blockers menurunkanvasokonstriksi. Dapat juga diberikan thiazida dan loop diuretics, ACE inhibitors, dan ARBsebagai obat tunggal maupun kombinasi. Selain sebagai antihipertensi, ACE inhibitor dan ARB mempunyai efek antiproteinuria dan antieritrositosis, namun dapat menurunkan laju filtrasi glomerulus dan menyebabkan anemia maupun hiperkalemia, sehingga obat ini perlu dihindari pada pasien dengan penurunan laju filtrasi glomerulus karena disfungsi graft atau stenosis arteri renalis pasca transplantasi.12,21

PenyebabSetelah hipertensi emergensi teratasi, perlu dicari penyebab hipertensi. Penyebab hipertensi emergensi pada anak sangat bervariasi dan tergantung pada usia. Umumnya, hipertensi pada anak (termasuk hipertensi emergensi) merupakan hipertensi sekunder. Pada anak di atas 15 tahun, sekitar 90% penyebab hipertensi adalah hipertensi primer.4Penyebab hipertensi pada anak antara lain trombosis arteri dan vena renalis, stenosis arteri dan vena renalis, kelainan ginjal kongenital, koartasio aorta, displasia bronkopulmonar, duktus arteriosus paten, perdarahan intraventrikular, penyakit renovaskular, penyakit renoparenkim, penyakit endokrin, dan iatrogenik seperti obat-obatan dan hipertensi postoperatif.22

Page 100: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

86

Hypertensive Emergency in Children

Penyebab hipertensi pada anak adalah:1,2,3,12

Tabel. Penyebab hipertensi emergensi dan urgensi

Neonatus:-trombosis arteri dan vena renalis-penyakit ginjal polikistik resesif autosomal-koartasio aorta-sindrom nefrotik kongenital (sklerosis mesangial difus)-penyakit parenkim ginjal lain-stenosis arteri renalis-tumor-iatrogenik-midriatik-overdosis teofilin-overdosis kafein

Bayi hingga 12 tahun-penyakit parenkim ginjal-penyakit ginjal polikistik-penyakit renovaskular-tumor-penyebab endokrin-koartasio aorta

Remaja-hipertensi esensiel-sindrom metabolik-penyakit parenkim ginjal-iatrogenik-steroid anabolik-drug abuse-dekongestan-penyakit renovaskular-koartasio aorta-penyebab endokrin

Sumber: Chandar J, Zilleruelo G. Pediatr Nephrol. 2012;27:741-51

KomplikasiGejala sisa hipertensi bergantung pada keparahan, lama, dan penyebab hipertensi. Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah hipertensi ensefalopati, infark dan perdarahan serebral, pali fasial, gangguan penglihatan, dekompensasi jantung, dan gagal ginjal.22Sistem organ yang menjadi target hipertensi yakni pembuluh darah, otak, mata, ginjal, dan jantung. Ada beberapa petanda kerusakan organ target karena hipertensi yaitu kelainan pembuluh darah (penurunan vascular compliance, peningkatan tebal intimamedia dinding pembuluh darah), otak (kelainan pada CTHalic scan dan MRI), mata (retinopati), ginjal (mikroalbuminuria), penurunan laju filtrasi glomerulus) dan jantung (peningkatan left ventricular mass, disfungsi diastolik).22

Komplikasi utama pada anak adalah pada susunan saraf pusat, mata, jantung, dan ginjal. Deal dkk. melaporkan komplikasi hipertensi emergensi berupa hipertensiretinopati 27%, hipertensi ensefalopati 25%, kejang 25%,

Page 101: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

87

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

hipertrofi ventrikel kiri 13%, palsi fasial 12%, gangguan visus 9%, dan hemiplegia 8%. Gangguan visus dapat disebabkan retinopati, kerusakan kortikal, perdarahan vitreous, atau neuropati iskemik optik anterior.23

Dapat juga ditemukan gangguan saluran cerna seperti perdarahan karena kerusakan mikrovaskular akibat tekanan darah yang tinggi. Manifestasi klinis pada neonatus dapat berupa takipnea, kardiomegali, gagal jantung kongestif, letargi, kejang, retinopati, dan failure to thrive.8

Penurunan tekanan darah yang dini, perlahan, dan aman berkaitan erat dengan besarnya kemungkinan pulih dari komplikasi. Deal dkk. melaporkan bahwa 24% pasien rawat dengan hipertensi memerlukan tata laksana emergensi.23

Patogenesis dan patofisiologiTekanan darah terjadi karena resultante curah jantung (cardiac output)dan resistensi perifer. Curah jantung ditentukan oleh isi sekuncup dan laju nadi. Isi sekuncupditentukan oleh preload, kontraktilitas jantung, dan after-load atau resistensi perifer. Hipertensi terjadi karena meningkatnya curah jantung dan atau resistensi perifer. Meningkatnya curah jantung dapat disebabkan meningkatnya isi sekuncup dan laju jantung.11Terjadinya hipertensiemergensi dipengaruhi oleh kecepatan, derajat, dan lama peningkatan tekanan darah. Faktor lain yang berperan adalah retensi natrium dan disfungsi endotel.Homeostasis tekanan darah dipengaruhi interaksi berbagai faktor yang melibatkan sistem kardiovaskular dan ginjal yang dimediasi oleh mekanisme neural dan humoral.Perfusi jaringan di ginjal, otak, dan jantung dipertahankan dengan fluktuasi tekanan darah dalam rentang yang lebar melalui mekanisme humoral dan miogenik, oleh proses auto-regulasi aliran darah dalam berbagai organ. Kerusakan end-organakibat hipertensi berat timbul jika tekanan darah meningkat melampaui rentang auto-regulasi. Hipertensiemergensisebagian besar tergantung angiotensin dengan reaktivitas vaskular yang tinggi, dan terdapat peningkatan norepinefrin dan vasopresin, serta penurunan kadar hormon vasodilatorseperti kininogen,kinin, dan prostasiklin. Hipertensi berat terbukti berkaitan dengan peningkatan aktivitas simpatetik yang meningkatkan efek vasokonstriktif angiotensin II. Angiotensin IImemfasilitasi pengeluaran dan menghambat reuptakenor-epinefrin, serta mempotensiasi respon vaskular terhadap nor-epinefrin. Angiotensin II akan meningkatkan reactive oxygen species seperti anion superoksida, mengaktivasisel T, danmenimbulkan inflamasi vaskular dan disfungsi endotel. Hipertensi berat pada anak dengan kelainan renovaskular unilateral dapat menimbulkan hiponatremia,hipokalemia, dan kurang air karena natriuresis dan hiperaldosteronisme. Susunan saraf pusat memegang peran penting dalam pengaturan tekanan darah melalui aktivasi

Page 102: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

88

Hypertensive Emergency in Children

simpatetik dan modulasi faktor neuron–humoral seperti angiotensin II dan vasopresin.

Hipertensi berat menginduksi kelainan arteriol ginjal yang mengakibatkan kerusakan endotel, pengendapan trombosit dan fibrin, serta pelepasan tromboksan. Keadaan ini menyebabkan vasokonstriksi, iskemia, proliferasi miointima, dan dekompensasi mekanisme autoregulasiyang menyebabkan hipoperfusi ke jantung, ginjal, dan otak.1,2,3,12

Patogenesis hipertensiemergensibersifat multifaktor, yaitu peningkatan tekanan darah, fluid overload, overaktivitas simpatetik, aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron, stres oksidatif, disfungsi endotel, dan inflamasi. Interaksi faktor ini sangat kompleks.21

Sistem renin–angiotensinRenin disekresi oleh aparatus jukstaglomerulusginjal dan mengubah angiotensinogen menjadi deka-peptidaangiotensin I. Angiotensin-converting enzyme (ACE) mengubah angiotensin I menjadi bentuk aktif yaitu angiotensin II (AII) yang menyebabkan hipertensi. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor poten yang berikatan dengan reseptor1angiotensinII (AT 1). Ikatan ini menimbulkan berbagai proses yang menyebabkan hipertensi seperti retensi natrium, hipertrofi sel vaskular, dan induksi jalur proinflamatori dan profibrotik.Angiotensin II juga berikatan dengan reseptor AT 2 yang menimbulkan efek balik terhadap AT 1, seperti vasodilasi dan natriuresis dan menyebabkan tekanan darah turun. Angiotensin II menginduksi sintesis aldosteron dizona glomerulosa adrenal, vascular tree (sel endotel dan sel otot polos vaskular), dan otak. Aldosteron menyebakan retensi natrium dan ekskresi kalium sehingga meningkatkan volume sirkulasi. Sistem saraf simpatetik dapat diaktivasi aldosteron.Kadar renin dan aldosteron yang tinggi merupakan penyebab hipertensi pada sebagian besar penyakit ginjal.11

Fluid overloadFluid overload merupakan mekanisme hipertensi paling sering pada anak dengan penyakit ginjal dan gangguan ginjal akut dengan oliguria atau anuria. Renin akan meningkatkan produksi angiotensin II dan aldosteron dan menyebabkan retensi natrium dan fluid overload.11

Stimulasi simpatetikAktivasi sistem saraf simpatetik menimbulkan vasokonstriksi sistemik dan menyebabkan hipertensi berat, seperti pada feokromositoma dan neuroblastoma yang memproduksi vasoaktif.Hemodialisis dapat meningkatkan

Page 103: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

89

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

katekolamin dan renin yang menyebabkan hipertensi.Penurunan kadar nitric oxide menyebabkan hipertensi berat terutama pada penurunan fungsi ginjal.11

Disfungsi endotelEndotel memegang peran penting dalam mekanisme hipertensi berat simtomatik. AngiotensinII mempunyai efek terhadap dinding pembuluh darah. Mekanisme yang menurukan vasodilatasi antara lain pembentukan nitric oxidedan oxidativeexcess yang menurun.Vasodilatasi sebagai kompensasi terhadap peningkatan tekanan darah mempunyai keterbatasan dan menyebabkan dekompensasi endotel sehingga meningkatkan tekanan darah. Pada proses ini, terdapat peran faktor transkripsi (transcription factors) terutama NF-κB. Faktor transkripsi ini merangsang produksi sitokin proinflamatorisepertitumor necrosis factor-α, kemokin, dan molekul adhesi vaskular (vascular adhesion molecules) yang menimbulkan inflamasi pada dinding pembuluh darah.11

Obat-obatanMeski jarang, ada beberapa obat yang dapat meningkatkan tekanan darah secara mendadak pada anakantara lain kokain, amfetamin, atau fensiklidin yang menyebabkan hipertensi melalui mekanisme overstimulasi simpatetik. Mekanisme lain adalah melalui fluidoverload, aktvasi sistem renin–angiotensin, dan vasokonstriksi arteriol aferen glomerulus. Obat lain adalah kortikosteroid dan penghambat kalsineurin.11

SimpulanHipertensi emergensi merupakan masalah kegawatan yang penting pada anak karena berkaitan denganmorbiditas dan mortalitas. Diagnosis dini dantata laksana tergantung pada penyebab. Tekanan darah harus segera diturunkan namun dilakukan dengan hati-hati dan bertahap.

Daftar pustaka1. Bagga A, Sinha A, Gulati A. Hypertension. Dalam: Bagga A, Sinha A, Gulati

A, penyunting. Protocols in Pediatric Nephrology. Edisi pertama, New Delhi-Chennay, CBS Publisjers and Distribution Pvt, 2012,h.2011-23.

2. Gulati A, Srivastava RN. Hypertension. Dalam: Srivastava RN, Bagga A, penyunting. Pediatric Nehrology, edisi ke-empat, New Delhi-London, Jaypee Brothers Medical Publisher, 2011,h.337-59.

Page 104: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

90

Hypertensive Emergency in Children

3. Patel NH, Romero SK, Kaelber DC. Evaluation and management of pediatric hypertensive crises: hypertensive urgency and hypertensive emergencies. Apen Acces Emergency Med. 2012;4:85-92.

4. Yang WC, Zhaoo LL, Chen CY, Wu YK, Chang YJ, Wu HP. First-attack pediatric hypertensive crisis presenting to the pediatric emergency department. BioMed Central Pediatr. 2012, 12:200. Diunduh dari: http://www.biomedcentral.com/1471-2431/12/200tanggal 7 April 2015.

5. National High Blood Pressure Education Program Working Group on High Blood Pressure in Children and Adolescents. The fourth report on the diagnosis, evaluation, and treatment of high blood pressure in children and adolescents. Pediatrics 2004;114:555-76.

6. Alatas H. Ensefalopati hipertensi. Naskah simposium dan workshop sehari: Kegawatan pada penyakit ginjal anak. Makasar, 27-28 Mei, 2006,17-28.

7. The Joint National Committee on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure: The 1984 report of the Joint National Committee. Archs Intern Med 1984;144:1045-57.

8. Adelman RD, Coppo R, Dillon MJ. The emergency management of severe hypertension. Pediatr Nephrol. 2000;14:422-7.

9. Webb TN Therapy of acute hypertension in hospitalized children and adolescents. Curr Hypertens Rep. 2014;16: 425. doi:10.1007/s11906-014-0425-0.

10. Vaughan DJ, Delanty N. Hypertensive emergencies. Lancet 2000;356: 411–7.11. Flynn JT, Tullus K. Severe hypertension in children and adolescents:

pathophysiology and treatment. Pediatr Nephrol. 2009;24:1101-12.12. Chandar J, Zilleruelo G. Hypertensive crisis in children. Pedatr Nephrol.

2012;27:741-51.13. Michael J, Groshong T, Tobias JD. Nicardipine for hypertensive emergenciesin

children with renal disease. Pediatr Nephrol.1998;12: 40-2.14. Flynn JT, Pasko DA. Calcium channel blockers: pharmacology and place in

therapy of pediatric hypertension. Pediatr Nephrol.2000;15:302–16.15. Majdalani MN. Pediatric hypertension. Management of hypertensive emergencies

in children. J Med Liban. 2010;58:167-70.16. Ostrye J, Hailpern SM, Jones J, Egan B, Chessman K, Shatat IF. The efficacy

and safety of intravenous hydralazine for the treatment of hypertension in the hospitalized child. Pediatr Nephrol. 2014;29:1403–9.

17. Li SPS, Wong SN. Treatment of hypertension. Dalam: Chiu MC, Yap HK, editors, Practical Paediatric Nephrology, edisi ke-1, Hong Kong, Medcom Limited, 2005;h.89-95.

18. Egger DW, Deming DD, Hamada N, Perkin RM, SahneyS. Evaluation of the safety of short-acting nifedipine in children with hypertension. Pediatr Nephrol 2002, 17: 35-40.

19. Yiu V, Orrbine E, Rosychuk RJ, MacLaine P, Goodyer P, Girardin C, dkk. The safety and use of short-acting nifedipine in hospitalized hypertensive children. Pediatr Nephrol.2004;19:644–50..

20. Calvetta A,Martino S, von Vigier RO, Schmidtko J, Fossali E, Bianchetti MG. “What goes up must immediately come down!”Which indication for short-acting nifedipine in children with arterial hypertension?Pediatr Nephrol.2003;18:1–2.

Page 105: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

91

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

21. Singh D, Akingbola O, Yosypiv I, El-Dahr S. Emergency management of hypertension in children. Int J Nephrol. 2012, Article ID 420247, 15 pages. doi:10.1155/2012/420247.

22. Varda NM, Gregoric A. A diagnostic approach for the child with hypertension. Pediatr Nephrol. 2005;20:499–506.

23. Deal JE, Barratt TM, Dillon MJ. Management of hypertensiveemergencies. Arch Dis Child. 1992; 67:1089–92.

Page 106: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

92

Kejang DemamHardiono Pusponegoro

Tujuan1. Menentukan apakah diperlukan pungsi lumbal pada kejang demam.2. Mengetahui pencegahan kejang demam secara intermiten atau rumat.3. Mengetahui Generalized Epilepsy with Febrile Seizure Plus (GEFS+),

sindrom Dravet, febrile status epilepticus dan hubungan kejang demam dengan epilepsi lobus temporalis.

4. Mengetahui peran elektroensefalografi (EEG) pada kejang demam.5. Mengetahui faktor risiko berulangnya kejang demam, faktor risiko

epilepsi di kemudian hari, dan prognosis.

Kejang demam adalah kejang yang disebabkan demam 38oC, tanpa disertai infeksi susunan saraf pusat, yang terjadi pada anak berumur 6-60 bulan.1 Angka kejadian kejang demam adalah 2-5% di antara anak berumur antara 6-60 bulan.1-3 Kejang demam dibagi menjadi kejang demam sederhana yang ditandai kejang umum selama kurang dari 15 menit dan tidak berulang dalam 24 jam; dan kejang demam kompleks dengan ciri kejang fokal, lama kejang lebih dari 15 menit, dan/ atau berulang dalam 24 jam.1 Hal yang paling penting dalam penatalaksanaan kejang demam adalah mencari penyebab demam, terutama menyingkirkan diagnosis meningitis,1 dan menentukan penatalaksanaan selanjutnya. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai indikasi pungsi lumbal, penatalaksanaan kejang demam, beberapa jenis kejang demam yang memerlukan perhatian khusus, dan prognosis kejang demam.

Prediksi meningitis pada kejang demamPenelitian retrospektif terhadap 497 anak berumur 6-18 bulan di India melaporkan prevalensi meningitis bakterialis sebanyak 2,4% di antara anak yang mengalami kejang demam pertama, 0,86% di antara anak dengan kejang demam sederhana, dan 4,81% di antara anak dengan kejang demam kompleks. Faktor risiko meningitis adalah kejang lebih dari 30 menit, adanya penurunan kesadaran pasca kejang, dan adanya defisit neurologis.4 Penelitian di Amerika menunjukkan hal yang berbeda. Kejadian meningitis bakterialis pada anak dengan kejang demam sederhana boleh dikatakan sangat kecil bahkan nihil.

Page 107: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

93

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

Penelitian retrospektif terhadap 704 anak berumur 0-18 bulan dengan kejang demam sederhana, tidak menemukan satupun kasus meningitis bakterialis.5 Meta-analisis terhadap 2 penelitian kejang demam sederhana meliputi 150 anak juga melaporkan tidak ditemukannya meningitis bakterialis.6

Penelitian kejadian meningitis bakterialis pada anak dengan kejang demam kompleks menunjukkan hasil sedikit berbeda. Suatu penelitian retrospektif di Amerika dilakukan terhadap 526 anak berumur 6-60 bulan dengan kejang demam kompleks. Ditemukan 3 anak dengan meningitis bakterialis (0,9%, IK 95% 0,2-2,8). Satu anak menunjukkan penurunan kesadaran, satu anak menunjukkan ubun-ubun besar membonjol dan apnea. Anak ketiga terlihat baik, biakan darah menunjukkan Streptococcus pneumoniae, sedangkan pungsi lumbal tidak dilakukan. Peneliti berkesimpulan bahwa hanya sedikit anak dengan kejang demam kompleks yang mengalami meningitis bakterialis bila tidak disertai gejala klinis.7

Penelitian retrospektif lain dilakukan terhadap 193 anak berumur 6-60 bulan, yang mengalami kejang demam kompleks pertama kali. Anak-anak tersebut mengalami kejang fokal atau status epileptikus, atau memerlukan intubasi. Hanya 1 pasien mengalami meningitis bakterialis (0,5%, IK 95% 0,0-1,5). Satu pasien tersebut mengalami empat kali bangkitan kejang dan status epileptikus, serta memerlukan intubasi. Tidak ada gejala neurologis lain.8 Empat puluh tiga pasien mengalami kejang berulang, tidak ada di antaranya yang mengalami meningitis bakterialis.8

Tabel 1. Risiko meningitis bakterialis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis

Likelihood ratio IK 95%

AnamnesisUbun-ubun besar membonjol 8,00 2,4-26Kuduk kaku 7,70 3,2-19Kejang di luar umur kejang demam 4,40 3,0-6,4Tidak mau makan 2,00 1,2-3,4Pemeriksaan fisisIkterus 5,90 1,8-19Tampak sakit berat 5,80 3,0-11Kuduk kaku 4,00 2,6-6,3Kernig 3,50 2,1-5,7Brudzinsky 2,50 1,8-3,6Spastik 3,2 2,2-4,5Demam > 40oC 2,90 1,6-5,5Ubun-ubun besar membonjol 3,50 2,0-6,0Lain-lainTidak ada gejala meningeal dan tangis abnormal menurunkan risiko meningitis. Tidak ada demam tidak menyingkirkan meningitis.

Page 108: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

94

Kejang Demam

Jelaslah, bahwa meningitis bakterialis pada anak dengan kejang demam sangat sedikit dan hanya terjadi pada anak yang menunjukkan kelainan neurologis, kejang fokal atau febrile status epilepticus. Artinya, bila menghadapi seorang anak dengan kejang demam diperlukan anamnesis dan pemeriksaan neurologis yang lengkap untuk mencari kemungkinan gejala meningitis. Suatu meta analisis terhadap 10 penelitian, meliputi anak berumur sampai 15 tahun ditujukan untuk menentukan gejala klinis meningitis bakterialis.9

Indikasi pungsi lumbal pada kejang demam sederhanaKriteria dari American Academy of Pediatrics1 telah mengalami perubahan dibanding kriteria sebelumnya.

1. Pungsi lumbal harus dilakukan terhadap anak dengan kejang dan demam, dan menunjukkan gejala dan tanda rangsang meningeal (misalnya kuduk kaku, tanda Kernig atau Brudzinsky) atau anak dengan riwayat atau pemeriksaan menunjukkan kemungkinan adanya meningitis atau infeksi intrakranial, peringkat bukti ilmiah B

2. Pungsi lumbal dilakukan bila anak tidak mendapat vaksin Haemophilus influenzae type b atau Streptococcus pneumoniae, atau apabila imunisasi tidak diketahui (opsi).

3. Pungsi lumbal dipertimbangkan bila anak telah mendapat pengobatan antibiotika karena pemberian antibiotika dapat menyamarkan gejala dan tanda meningitis (opsi)

4. Pemeriksaan elektroensefalografi tidak dilakukan, peringkat bukti ilmiah B, rekomendasi kuat

5. Pemeriksaan elektrolit serum, kalsium, fosfor, magnesium, glukosa darah, darah tepi lengkap tidak dilakukan pada kejang demam sederhana. peringkat bukti ilmiah B, rekomendasi kuat

6. Pencitraan susunan saraf pusat tidak dilakukan pada anak dengan kejang demam sederhana. peringkat bukti ilmiah B, rekomendasi kuat

Kriteria nomor 2 dan 3 sulit diterapkan di Indonesia. Indikasi pungsi lumbal pada kejang demam sederhana adalah menurut kriteria pertama. Pada kejang demam kompleks, indikasi pungsi lumbal sama dengan kejang demam sederhana, dengan perhatian khusus pada anak dengan gejala meningitis, penurunan kesadaran, ubun-ubun besar membonjol, febrile status epilepticus, atau kejang berulang.

Page 109: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

95

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

Kejang demam yang memerlukan perhatian khususGeneralized Epilepsy with Febrile Seizure + (GEFS+)Pada beberapa anak, kejang demam dapat merupakan awal dari GEFS+. Fenotip tersering dari GEFS+ adalah adanya kejang demam dan kejang demam plus. Kejang demam plus dapat berupa kejang demam yang melanjut sampai remaja, atau disertai adanya kejang tanpa demam. Kejang tanpa demam dapat terjadi pada umur yang sesuai dengan kejang demam, atau setelah kejang demam tidak terjadi lagi.10,11 Apabila kejang tanpa demam tersebut terjadi lebih dari 2 kali, anak dapat disebut mengalami GEFS+. GEFS+ dapat menghilang pada masa remaja atau berlanjut sampai dewasa. GEFS+ disebabkan oleh mutasi berbagai gen, yang tersering adalah mutasi gen SCN1B. Di Indonesia telah dilaporkan 34 anak dengan GEFS+. Tiga kasus di antaranya disebabkan mutasi gen SCN1A.12

Sindrom Dravet (Severe Myoclonic Epilepsy of Infancy)Sindrom Dravet lebih sering mengenai laki-laki. Insidens adalah 3-5% di antara penderita epilepsi dalam tahun pertama, dan 7% pada penderita epilepsi umur 3 tahun. Riwayat keluarga dengan epilepsi atau kejang demam ditemukan pada 25% kasus. Sindrom Dravet disebabkan mutasi gen SCN1A, yang ditemukan pada 40-100% pasien, yang dapat merupakan mutasi spontan atau mutasi berulang.13

Gejala dimulai pada umur 6 bulan pertama berupa kejang demam disertai kejang tonik klonik pada anak normal. Antara umur 1-4 tahun, terjadi kejang demam dan kejang tanpa demam berganti-ganti. Kejang tanpa demam sering unilateral, tonik-klonik atau parsial menjadi umum, kemudian berubah menjadi berbagai tipe kejang yaitu mioklonik, absens atipik, atonik, berganti-ganti kejang parsial dan status epileptikus. Anak sering mengalami status epileptikus pada saat demam.13,14 Sindrom Dravet sangat resisten terhadap pengobatan. Obat terpilih adalah valproat, topiramat atau klobazam. Pemberian fenobarbital, karmamasepin, fenitoin, dan lamotrigin dapat memperberat epilepsi.15 Perkembangan yang awalnya normal terhenti, dan anak mengalami disabilitas intelektual. Epilepsi dapat berhenti sendiri dengan bertambahnya umur. Dua kasus telah dilaporkan dari Indonesai dengan mutasi pada SCN1A.16

Febrile status epilepticusSebanyak 10% di antara anak yang mengalami febrile status epilepticus menunjukkan adanya gangguan hipokampus pada pencitraan.17 Apakah hal ini berhubungan dengan risiko berulangnya kejang demam atau meningkatkan risiko menjadi epilepsi di kemudian hari belum jelas. Pemeriksaan

Page 110: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

96

Kejang Demam

elektroensefalografi dapat menunjukkan perlambatan fokal pada 30% anak, yang berhubungan dengan risiko epilepsi di kemudian hari.17

Pencegahan kejang saat demam Diazepam oralPemberian diazepam oral 0,33 mg/kg setiap 8 jam akan mengurangi risiko rekurensi kejang demam sebanyak 44% (RR = 0.56; IK 95% 0,38- 0,81; P = 0.002).18 Namun, hal tersebut memerlukan 13 anak untuk mencegah kejang pada satu anak.19,20 dengan efek samping pada 30-40% anak berupa mengantuk dan ataksia. Penelitian dengan dosis 0,5 mg/kg disusul 0,2 mg/kg setiap 12 jam tidak menunjukkan manfaat.21 Penelitian lain menggunakan diazepam rektal disusul diazepam oral 0,2 mg/kg tiga kali sehari juga tidak bermanfaat.22

Penelitian lain membandingkan klobazam per oral (n=20) dengan plasebo (n=19) sebagai pengobatan intermiten. Klobazam sangat efektif. Kejang demam berulang pada 6 kasus (12.5%) di antara 48 episode demam pada kelompok plasebo, dibandingkan dengan 1 kasus (1,7%) di antara 60 episode demam pada kelompok klobazam (P=0,01).23

Penelitian acak buta ganda yang membandingkan diazepam 0,33 mg/kg setiap 8 jam (n=37) dengan klobazam (n=35) selama 12 bulan dengan 243 episode demam menunjukkan bahwa 2 pasien grup klobazam (1,7%) dan 4 pasien grup diazepam (3,1%) mengalami berulangnya kejang demam (p=0,474). Rasio odd klobazam dibandingkan dengan diazepam dengan IK 95% 0,54 (0,01-3) dan number to treat adalah 71,43. Dua puluh kasus (54%) pada grup diazepam dan 5 kasus (14,2%) grup klobazam mengalami sedasi dan mengantuk (p=0.0001).24

Dosis klobazam adalah 0,3-1 mg/kg/hari, diberikan dua kali per hari. Dalam penelitian di atas, dosis klobazam yang digunakan adalah:23,24

y Berat badan sampai 5 kg, dosis 2x2,5 mg per hari y Berat badan 6-10 kg, dosis 2 x 5 mg per hari y Berat badan 11-15 kg, dosis 2x7,5 mg per hari y Berat badan lebih dari 15 kg, dosis 2x10 mg per hari

Pengobatan saat kejang demamSebagian besar kejang akan berhenti sendiri sebelum 5 menit. Kejang dapat diatasi dengan diazepam rektal, atau diazepam intravena. Lorazepam intravena dan midazolam bukal atau intranasal sama efektifnya dengan diazepam, namun kedua obat ini tidak tersedia di Indonesia.17 Bila kejang tidak dapat dihentikan

Page 111: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

97

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

dengan diazepam, pengobatan dilanjutkan dnegan protokol status epileptikus menggunakan fenobarbital atau fenitoin.17

Pengobatan rumat kejang demamObat anti epilepsiSuatu meta-analisis menunjukkan bahwa pengobatan rumat dengan valproat atau fenobarbital menurunkan risiko berulangnya kejang demam dalam 6 bulan sampai 2 tahun, namun menyebabkan efek samping pada 30-40% anak.25 Efek samping pada penggunaan valproat lebih sedikit dibandingkan fenobarbital.2

Pada kejang demam sederhana, tidak diperlukan pengobatan rumat.26 Untuk kejang demam kompleks, tidak ada panduan yang dibuat dan penilaian harus dilakukan secara individual.17 Anamnesis, pemeriksaan neurologis, dan EEG pada kejang demam kompleks atau febrile status epilepticus dapat menunjukkan kemungkinan adanya sindrom epilepsi atau risiko epilepsi di kemudian hari, misalnya perlambatan fokal, atau ditemukannya sklerosis mesial temporal yang merupakan risiko epilepsi lobus temporalis. Kejang demam lebih dari 6 kali per tahun juga merupakan indikasi terapi rumat.2 Lama terapi tidak ada kesepakatan, ada yang berpendapat selama 2 tahun setelah kejang terakhir, ada yang berpendapat sampai anak berumur 6 tahun.17

AntipiretikPenggunaan antipiretik menyebabkan anak menjadi lebih nyaman, namun tidak mengurangi risiko berulangnya kejang demam.17 Suatu meta-analisis meliputi 540 anak yang mendapat asetaminofen, ibuprofen atau diklofenak tidak dapat membuktikan bahwa antipiretik dapat mengurangi berulangnya kejang demam (OR 0.9, 95% CI: 0.57-1.43).27 Suatu penelitian acak buta ganda terhadap 231 anak yang membandingkan ibuprofen, asetaminofen dan plasebo tidak menemukan perbedaan bermakna antara grup yang mendapat antipiretik dan plasebo dalam mencegah berulangnya kejang demam.28

PrognosisKecacatan dan mortalitas Penelitian pemantauan 1-5 tahun terhadap 482 anak tidak menemukan kematian, disabilitas intelektual atau kecacatan.29 Penelitian di dalam populasi juga menunjukkan bahwa kejang demam sederhana tidak menyebabkan peningkatan mortalitas, disabilitas intelektual atau kecacatan.30,31

Page 112: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

98

Kejang Demam

Kejang selama 50 menit dilaporkan dapat menyebabkan terhentinya perkembangan substansia alba, yang pada sebagian besar anak menjadi normal kembali.32 Laporan lain menunjukkan adanya gangguan memori pada anak yang mengalami kejang demam lama.33

Risiko berulangnya kejang demam kembaliSebanyak 30-35% anak akan mengalami kejang demam kembali.17 Risiko meningkat bila kejang demam pertama terjadi sebelum anak berumur 1 tahun, riwayat kejang demam pada saudara kandung, demam yang tidak tinggi, interval antara demam dan kejang yang pendek, dan perkembangan abnormal sebelum kejang.17

Risiko menjadi epilepsiRisiko epilepsi di kemudian hari pada kejang demam sederhana hanya 1-2%.17 Pada kejang demam kompleks, risiko menjadi epilepsi adalah 5-10%.17 Faktor risiko untuk menjadi epilepsi misalnya gangguan perkembangan sebelum kejang demam, kejang demam kompleks termasuk kejang demam fokal, lama, atau berulang, dan riwayat keluarga epilepsi.17

SimpulanKejang demam sederhana tidak memerlukan pemeriksaan apa-apa, tidak pernah menyebabkan meningitis bakterialis, tidak memerlukan pengobatan rumat. Pengobatan intermiten efektif namun menimbulkan banyak efek samping.

Kejang demam kompleks harus dinilai secara individual mengenai kemungkinan meningitis bakterialis. Kejang demam kompleks memerlukan pemeriksaan EEG. Pengobatan rumat harus dinilai secara individual.

Kemungkinan GEFS+, sindrom Dravet harus difikirkan pada kejang demam tertentu.

Prognosis pada kejang demam sederhana sangat baik, sedangkan prognosis kejang demam kompleks umumnya baik kecuali kasus tertentu.

Daftar pustaka1. American Academy of Pediatrics. Neurodiagnostic evaluation of the child with

a simple febrile seizure. Pediatrics 2011;127:389-94.2. Paul SP, Chinthapalli R. Rational approach to management of febrile seizures.

Indian J Pediatr 2013;80:149-50.

Page 113: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

99

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

3. Fishman MA. Febrile seizures. In: Nordi DR, editors. UpToDate. Waltham, MA: UpToDate; 2014.

4. Batra P, Gupta S, Gomber S, Saha A. Predictors of meningitis in children presenting with first febrile seizures. Pediatr Neurol 2011;44:35-9.

5. Kimia AA, Capraro AJ, Hummel D, Johnston P, Harper MB. Utility of lumbar puncture for first simple febrile seizure among children 6 to 18 months of age. Pediatrics 2009;123:6-12.

6. Hom J, Medwid K. The low rate of bacterial meningitis in children, ages 6 to 18 months, with simple febrile seizures. Acad Emerg Med 2011;18:1114-20.

7. Kimia A, Ben-Joseph EP, Rudloe T, Capraro A, Sarco D, Hummel D, et al. Yield of lumbar puncture among children who present with their first complex febrile seizure. Pediatrics 2010;126:62-9.

8. Fletcher EM, Sharieff G. Necessity of lumbar puncture in patients presenting with new onset complex febrile seizures. West J Emerg Med 2013;14:206-11.

9. Curtis S, Stobart K, Vandermeer B, Simel DL, Klassen T. Clinical features suggestive of meningitis in children: A systematic review of prospective data. Pediatrics 2010;126:952-60.

10. Scheffer IE, Harkin LA, Dibbens LM, Mulley JC, Berkovic SF. Neonatal epilepsy syndromes and generalized epilepsy with febrile seizures plus (GEFS+). Epilepsia 2005;46 Suppl 10:41-7.

11. Millichap JJ, Millichap GJ. Clinical features and evaluation of febrile seizure. In: Nordli DR, Elcher AF, editors. UpToDate. Waltham, MA: UpToDate; 2015.

12. Herini ES, Gunadi, Harahap IS, Yusoff S, Morikawa S, Patria SY, et al. Generalized epilepsy with febrile seizures plus (GEFS+) spectrum: Clinical manifestations and scn1a mutations in indonesian patients. Epilepsy Res 2010;90:132-9.

13. Brunklaus A, Zuberi SM. Dravet syndrome--from epileptic encephalopathy to channelopathy. Epilepsia 2014;55:979-84.

14. Le Gal F, Lebon S, Ramelli GP, Datta AN, Mercati D, Maier O, et al. When is a child with status epilepticus likely to have dravet syndrome? Epilepsy Res 2014;108:740-7.

15. Incorpora G. Dravet syndrome. Ital J Pediatr 2009;35:27.16. Herini ES, Gunadi, van Kempen MJ, Yusoff S, Sutaryo, Sunartini, et al. Novel

scn1a mutations in indonesian patients with severe myoclonic epilepsy in infancy. Pediatr Int 2010;52:234-9.

17. Millichap JJ, Millichap GJ. Treatment and prognosis of febrile seizures. In: Nordli DR, Elcher AF, editors. UpToDate. Waltham, MA: UpToDate; 2015.

18. Rosman NP, Colton T, Labazzo J, Gilbert PL, Gardella NB, Kaye EM, et al. A controlled trial of diazepam administered during febrile illnesses to prevent recurrence of febrile seizures. N Engl J Med 1993;329:79-84.

19. Camfield PR, Camfield CS, Gordon K, Dooley JM. Prevention of recurrent febrile seizures. J Pediatr 1995;126:929-30.

20. Camfield P, Camfield C. Are febrile seizures an indication for intermittent benzodiazepine treatment, and if so, in which cases? Epileptic Disord 2014;16 suppl.1:S84-8.

Page 114: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

100

Kejang Demam

21. Autret E, Billard C, Bertrand P, Motte J, Pouplard F, Jonville AP. Double-blind, randomized trial of diazepam versus placebo for prevention of recurrence of febrile seizures. J Pediatr 1990;117:490-4.

22. Uhari M, Rantala H, Vainionpää L, Kurttila R. Effect of acetaminophen and of low intermittent doses of diazepam on prevention of recurrences of febrile seizures. J Pediatr 1995;126:991-5.

23. Rose W, Kirubakaran C, Scott JX. Intermittent clobazam therapy in febrile seizures. Indian J Pediatr 2005;72:31-3.

24. Khosroshahi N, Faramarzi F, Salamati P, Haghighi SM, Kamrani K. Diazepam versus clobazam for intermittent prophylaxis of febrile seizures. Indian J Pediatr 2011;78:38-40.

25. Offringa M, Newton R. Prophylactic drug management for febrile seizures in children (review). Evid Based Child Health 2013;8:1376-485.

26. Steering Committee on Quality Improvement and Management, Subcommittee on Febrile Seizures American Academy of Pediatrics. Febrile seizures: Clinical practice guideline for the long-term management of the child with simple febrile seizures. Pediatrics 2008;121:1281-6.

27. Rosenbloom E, Finkelstein Y, Adams-Webber T, Kozer E. Do antipyretics prevent the recurrence of febrile seizures in children? A systematic review of randomized controlled trials and meta-analysis. Eur J Paed Neurol 2013;17:EPub 2013 May 21.

28. Strengell T, Uhari M, Tarkka R, Uusimaa J, Alen R, Lautala P, Rantala H. Antipyretic agents for preventing recurrences of febrile seizures: Randomized controlled trial. Arch Pediatr Adolesc Med 2009;163:799-804.

29. Sfaihi L, Maaloul I, Kmiha S, Aloulou H, Chabchoub I, Kamoun T, Hachicha M. Febrile seizures: An epidemiological and outcome study of 482 cases. Childs Nerv Syst 2012;28:1779-84.

30. Nelson KB, Ellenberg JH. Prognosis in children with febrile seizures. Pediatrics 1978;61:720-7.

31. Verity CM, Greenwood R, Golding J. Long-Term intellectual and behavioral outcomes of children with febrile convulsions. N Engl J Med 1998;338:1723-8.

32. Yoong M, Seunarine K, Martinos M, Chin RF, Clark CA, Scott RC. Prolonged febrile seizures cause reversible reductions in white matter integrity. Neuroimage Clin 2013;3:515-21.

33. Martinos MM, Yoong M, Patil S, Chin RF, Neville BG, Scott RC, de Haan M. Recognition memory is impaired in children after prolonged febrile seizures. Brain 2012;135:3153-64.

Page 115: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

101

Risiko Penurunan Berat Badan Terlalu Cepat pada Anak Obesitas

Aryono Hendarto

Tujuan:1. Memberikan informasi mengenai masalah obesitas pada anak2. Memberikan informasi mengenai patofisiologi dan etiologi obesitas

pada anak3. Memberikan informasi mengenai dan dampak jangka pendek dan

panjang obesitas pada anak 4. Memberikan informasi mengenai berbagai tata laksana obesitas pada

anak5. Memberikan informasi mengenai risiko penurunan berat badan terlalu

cepat pada anak

Latar belakangObesitas merupakan keadaan akumumulasi lemak tubuh secara berlebihan.1,2 Obesitas merupakan salah satu masalah kesehatan besar pada berbagai negera. Prevalensi obesitas bukan hanya tinggi pada dewasa, tetapi prevalensi obesitas juga terus meningkat pada anak-anak.3,4 Diperkirakan 17% anak berusia 2-19 tahun mengalami obesitas di dunia.4

Obesitas pada anak dapat menimbulkan berbagai dampak kesehatan jangka pendek dan jangka panjang.4,5 Risiko jangka pendek obesitas dapat terjadi pada berbagai sistem organ tubuh.1,2,4,6 Selanjutnya, anak dengan obesitas memiliki risiko 2- 2.6 kali lebih tinggi mengalami gizi lebih atau obesitas setelah dewasa dibandingkan dengan anak dengan berat badan normal.7,8 Oleh karena itu, obesitas pada anak memiliki risiko jangka panjang peningkatan morbiditas dan mortalitas, masalah psikologis, dan masalah diskriminasi yang kerap terjadi pada usia dewasa.4

Berbagai pendekatan terapi telah dilakukan untuk menangani masalah obesitas pada anak. Kombinasidari modifikasi pola diet, perubahan kebiasaan, olahraga, obat-obatan, dan operasi dapat dilakukan untuk menurunkan berat badan anak yang mengalami obesitas.1,2,4 Peran keluarga, sekolah, dan lingkungan sangat membantu keberhasilan terapi obesitas pada anak.9,10

Ada beberapa pendekatan pola diet yang dilakukan untuk menurunkan

Page 116: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

102

Risiko Penurunan Berat Badan Terlalu Cepat pada Anak Obesitas

berat badan pada anak dan remaja. Diet makronutrien seimbang sejauh ini masih merupakan diet yang paling aman dan dianjurkan untuk menurunkan berat badan anak usia pra-remaja yang mengalami obesitas.4,11 Ada dua jenis diet perubahan komposisi karbohidrat yaitu diet rendah glikemik dan rendah karbohidrat. Diet makanan rendah glikemik bertujuan untuk mengurangi pelepasan insulin dan peningkatan gula darah secara tajam.12 Sementara itu, diet rendah karbohidrat merupakan pola diet dengan konsumsi karbohidrat dibawah angka kecukupan gizi yang dianjurkan.11 Diet perubahan komposisi protein sering juga disebut dengan diet “protein sparing modified fast”, bermanfaat pada keadaan dibutuhkan penurunan berat badan dalam waktu singkat.1,4

Penurunan aktivitas sedentari penting untuk mencapai kontrol berat badan. Menghindari mengonsumsi makanan cepat saji berkalori tinggi, peningkatan aktivitas fisik, serta membatasi waktu anak di depan layar televisi bermanfaat dalam menurunkan berat badan anak dan remaja dengan obesitas.1,2,13 Terapi obat-obatan untuk menurunkan berat badan anak masih terbatas dan hingga saat ini hanya orlistat dengan penambahan multivitamin yang aman digunakan pada remaja dengan obesitas.14 Obat lain yaitu metformin bermanfaat diberikan pada remaja obesitas dengan hiperinsulenemia.15 Dua jenis operasi bariatrik yang pada saat ini sering dilakukan untuk menurunkan berat badan pada anak adalah operasi rounx-en-Y gastric bypass (RYGB) dan vertical banded gastroplasty (VBG).4,16

Penurunan berat badan pada anak harus dilakukan dengan hati-hati dan disesuaikan dengan usia agar tidak mengganggu proses tumbuh kembang anak.1,2 Penurunan berat badan yang terlalu cepat dapat menimbulkan berbagai risiko pada anak. Hal inilah yang akan menjadi topik bahasan dalam makalah ini.

Definisi obesitas Obesitas merupakan keadaan akumulasi lemak tubuh secara berlebihan.1,2 Diagnosis obesitas pada anak dapat ditentukan dengan pengukuran indeks massa tubuh (IMT) terhadap umur. Menurut center of disease control (CDC) dan American Academy of Paediatrics (AAP), anak dikatakan gizi lebih jika memiliki IMT antara persentil 85-95 dan dikatakan obesitas jika memiliki IMT lebih dari atau sama dengan persentil 95.1,2,4,17

Table 1. Klasifikasi IMT pada anak dan remaja1

Status Persentil IMT Terhadap Berat Badan Sesuai Umur < Persentil 5 Gizi kurangPersentil 5-85 NormalPersentil 85-94 Gizi lebih≥ Persentil 95 Obesitas

Page 117: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

103

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

Prevalensi obesitasObesitas merupakan salah satu masalah kesehatan besar pada berbagai negera. Tidak hanya pada orang dewasa, prevalensi obesitas juga terus meningkat pada anak. Di negara berkembang, obesitas tidak hanya meningkat pada masyarakat kalangan atas, namun juga pada masyarakat dengan sosio-ekonomi rendah.3,4,10 Di Amerika Serikat, prevalensi anak dengan gizi lebih atau obesitas pada usia 2-19 tahun hampir mencapai 32%.5 Di Indonesia, berdasarkan RISKESDAS tahun 2013, prevalensi gizi lebih dan obesitas pada anak usia 5-12 tahun sebanyak 18,8% (10,8% gizi lebih dan 8% obesitas), untuk usia 13-15 tahun sebanyak 10,8% (8,3% gizi lebih dan 2,5% obesitas), dan 7,3% pada anak usia 16-18 tahun (5,7% gizi lebih dan 1,6% obesitas). DKI Jakarta merupakan provinsi dengan prevalensi gizi lebih dan obesitas tertinggi di Indonesia untuk anak usia 5-12 tahun yaitu mencapai 30,1%.18

Patofisiologi dan etiologi obesitas Pengaturan napsu makan terjadi melalui umpan balik dari jaringan lemak dan saluran pencernaan ke sistem saraf pusat. Hormon saluran cerna, termasuk kolesistokinin, glucagon-like peptide-1, peptide YY (PYY), dan umpan balik neuronal vagal memberikan rasa kenyang, sementara ghrelin memicu napsu

Gambar 1. Pengaturan napsu makan dalam tubuh1

Page 118: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

104

Risiko Penurunan Berat Badan Terlalu Cepat pada Anak Obesitas

makan. Jaringan lemak memberikan umpan balik terkait tingkat penyimpanan energi ke otak melalui pelepasan hormon leptin dan adiponektin. Berbagai neuropeptida pada otak termasuk neuropeptida Y, orexin, dan agouti gene-related peptide berperan dalam stimulasi napsu makan, sementara melanokortin dan hormon α-melanokortin berperan dalam rasa kenyang. Kontrol neuroendokrin pada napsu makan dan berat badan adalah pada sistem umpan balik negatif dan keseimbangan antara kontrol napsu makan jangka pendek (ghrelin, PYY) dan kontrol jangka panjang jaringan lemak (leptin).1,2

Secara umum, gizi lebih dan obesitas dihasilkan dari disregulasi asupan kalori dengan pengeluaan energi. Faktor endogen, lingkungan, dan gaya hidup merupakan faktor utama penyebab obesitas pada anak.1,2,4

Peran gen dalam menentukan set poin berat badan dan defek genetik pada sistem kontrol nafsu makan berdampak pada obesitas. Mutasi pada gen leptin dapat menyebabkan obesitas berat.Berbagai kelainan genetik mendelian juga menyebabkan obesitas seperti sindrom Prader-Willi dan Bardet-Biedl. Lebih dari 600 gen, marker, dan regio kromosom terkait dengan obesitas pada manusia.1,2,4

Peningkatan aktivitas sedentari dan kurangnya olahraga berkontribusi pada peningkatan prevalensi obesitas. Aktivitas saat anak masih berkurang pada berbagai negara dan kebiasaan menonton TV, bermain komputer, atau videogame meningkat. Hubungan antara prevalensi obesitas dan jumlah waktu di depan layar telah dibuktikan dalam berbagai penelitian. Pajanan terhadap berbagai makanan komersial dengan tinggi kalori, lemak, karbohidrat sederhana, sodium, dan rendah serat serta makanan ringan yang mengandung lemak atau gula dengan kadar yang tinggi juga terjadi dalam beberapa dekade terakhir dan berkontribusi terhadap peningkatan prevalensi obesitas pada anak. 1,2,4,19

Dampak obesitas Obesitas pada anak dapat menimbulkan berbagai dampak kesehatan pada masa anak hingga dewasa.4,5 Risiko jangka pendek obesitas pada anak adalah masalah psikologis, penurunan performa disekolah, komplikasi muskuloskeletal, asma, sleep apnea, sindrom ovarium polikistik, perlemakan hati, batu empedu, pubertas dini, serta berbagai masalah metabolik seperti peningkatan tekanan darah, dislipidemia, gangguan toleransi glukosa, diabetes melitus, dan hiperinsulinemia.1,2,4,6,20-23 Sindrom metabolik ini memberikan dampak peningkatan risiko penyakit kardiovaskular.24

Page 119: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

105

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

Tiga puluh persen obesitas dewasa mengalamai obesitas pada masa anak dan 50% mengalami obesitas pada saat remaja. Oleh karena itu obesitas pada anak memiliki risiko jangka panjang peningkatan morbiditas dan mortalitas, masalah psikologis, dan masalah diskriminasi yang kerap terjadi pada usia dewasa.4

Tata laksana obesitas Berbagai pendekatan terapi dilakukan untuk menangani masalah obesitas pada anak. Kombinasi dari modifikasi pola diet, perubahan kebiasaan, olahraga, obat-batan, dan operasi dapat dilakukan untuk menurunkan berat badan pada anak dengan obesitas. 1,2,4,25,26 Peran keluarga, sekolah, dan lingkungan sangat membantu keberhasilan terapi obesitas pada anak. 9,10

Terapi nutrisiAda beberapa pendekatan pola diet yang dilakukan untuk menurunkan berat badan anak dan remaja. Diet makronutrien seimbang, diet perubahan komposisi kadar karbohidrat, dan diet perubahan komposisi kadar protein merupakan beberapa pola diet yang paling popular untuk anak dan remaja dengan obesitas.4 Namun demikian, belum banyak bukti data mengenai pola diet untuk anak dengan obesitas.27

Diet makronutrien seimbang

Diet makronutrien seimbang sejauh ini masih merupakan diet yang paling aman dan dianjurkan untuk menurunkan berat badan pada anak usia pra-remaja. Prinsip utamanya adalah pengurangan jumlah kalori dengan komposisi makronutrien seimbang. Diet makronutrien seimbang disebut juga metode traffic light diet atau stoplight diet. Pada diet ini, jenis makanan diberikan kode warna hijau, kuning, dan merah. Makanan yang bebas dikonsumsi diberikan kode hijau (makanan dengan kepadatan kalori yang rendah), sementara kode kuning untuk konsumsi sedang (makanan dengan kepadatan kalori sedang), dan kode merah diberikan untuk makanan dengan konsumsi yang sangat terbatas (makanan dengan kepadatan kalori tinggi dan/atau mengandung gula atau lemak).4,11,28 Dengan metode ini, penurunan jumlah kalori 900 - 1200 kkal/hari efektif menurunkan berat badan jangka panjang dan jangka pendek pada anak usia 6-12 tahun.29,30

Page 120: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

106

Risiko Penurunan Berat Badan Terlalu Cepat pada Anak Obesitas

Tabel 2. Rancangan traffic light diet1

Warna Hijau Kuning MerahKualitas Rendah kalori, tinggi

serat, rendah lemak, padat nutrisi

Padat nutrisi, namun tinggi kalori dan lemak

Tinggi kalori, gula, dan lemak

Jenis Makanan Sayuran dan buah Daging bebas lemak, produk susu, tepung, biji-bijian

Daging berlemak, gula, makanan digoreng

Kuantitas Tidak terbatas Terbatas Jarang atau dihindari

Diet perubahan komposisi karbohidrat

Ada dua jenis diet perubahan komposisi karbohidrat yaitu diet rendah glikemik dan rendah karbohidrat. Diet makanan rendah glikemik bertujuan untuk mengurangi pelepasan insulin dan peningkatan gula darah secara tajam. Studi telah melaporkan diet rendah glikemik dapat menurunkan kadar jaringan lemak pada anak obesitas secara signifikan.12,31 Sementara itu, diet rendah karbohidrat merupakan pola diet dengan konsumsi karbohidrat di bawah angka kecukupan harian yang dianjurkan. Jenis diet ini dapat menurunkan berat badan dalam jangka waktu singkat, namun belum ada data yang cukup untuk membuktikan efektivas dan keamanan jangka panjangnya. Oleh karena itu, diet rendah karbohidrat masih belum direkomendasikan pada anak secara umum.11,13,32

Diet perubahan komposisi protein

Diet perubahan komposisi protein sering juga disebut dengan diet “protein sparing modified fast”. Diet ini mengandung protein bebas lemak berkualitas tinggi dengan jumlah kalori yang sangat terbatas. Diet ini bermanfaat pada saat perlu penurunan berat badan dalam waktu singkat sangat dibutuhkan.4,11 Namun demikian, belum ada data yang jelas mengenai efektivitas dan keamanan penurunan berat badan jangka panjang. Jenis diet ini masih belum terbukti jelas lebih baik daripada diet makronutrien seimbang dalam menurunkan berat badan pada anak usia pra-remaja.33,34

Perubahan kebiasaan dan olahragaPenurunan aktivitas sedentari penting untuk mencapai kontrol berat badan.19,26 Menghindari mengonsumsi makanan cepat saji yang mengandung tinggi kalori, lemak, karbohidrat sederhana, sodium, dan kurang serat serta makanan ringan yang tinggi gula dan lemak bermanfaat dalam menurunkan berat badan anak dan remaja. American Academic of Pediatric (AAP) merekomendasikan untuk membatasi waktu anak di depan TV, komputer, atau video game kurang dari 2 jam sehari. Aktivitas fisik diluar rumah yang digemari bermanfaat dalam

Page 121: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

107

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

mengontrol berat badan anak. Kombinasi dari perubahan pola makan, kebiasaan, dan peningkatan aktivitas terbukti dapat menurunkan berat badan anak dengan obesitas.1,2,13

Terapi obat-obatanTerapi obat-obatan untuk menurunkan berat badan pada anak masih terbatas. Sibutramin bekerja untuk menekan nafsu makan secara sentral, namun demikian penelitian belum dapat menetapkan efektivitas dan keamanan sibutramin pada anak dan remaja.35-38 Orlistat bekerja menghambat pencernaan dan penyerapan lemak hingga 30%. Obat ini dapat diberikan pada remaja, namun harus ditambahkan dengan pemberian multivitamin karena obat ini menghambat penyerapan vitamin yang larut dalam lemak.14,39 Metformin dapat digunakan untuk meningkatkan sensitivitas insulin dan menurunkan berat badan.40,41dan terapi ini bermanfaat diberikan pada remaja dengan hiperinsulinemia.15,42,43

Terapi operatifTerapi operatif dilakukan pada remaja obesitas dengan komorbid atau memiliki IMT yang sangat tinggi (≥ 50 kg/m2). Dua jenis operasi bariatrik yang pada saat ini sering dilakukan untuk menurunkan berat badan pada anak adalah operasi rounx-en-Y gastric bypass (RYGB) dan vertical banded gastroplasty (VBG) yang bertujuan untuk menurunkan kapasitas lambung sehingga dapat membatasi asupan kalori serta menurunkan kadar ghrelin sehingga dapat menurunkan nafsu makan.4,16,44 Jenis operasi ini tidak menimbulkan malabsorbsi yang signifikan dengan profil keamanan yang lebih baik daripada jenis operasi lainnya jika dilakukan pada pasien yang tepat dan oleh ahli bedah yang baik. Namun demikian, terdapat risiko komplikasi pasca operasi sebesar 10%.16,45,46

Target penurunan berat badan pada anak obesitas.

Anak memiliki aspek tumbuh kembang, sehingga tata laksana penurunan berat badan pada anak harus hati-hati agar tidak mengganggu proses tumbuh kembang dan disesuaikan dengan usia anak. Rumatan (Maintenance) berat badan lebih diutamakan dibandingkan penurunan berat badan karena seiring dengan pertambahan tinggi anak nilai IMT akan menurun.1,2

Penurunan berat badan hanya dilakukan pada anak obesitas di atas 6 tahun atau pada anak obesitas usia 2- 5 tahun yang memiliki komplikasi obesitas yang serius.2 Penurunan berat badan pada anak obes terbukti bermanfaat dalam menurunkan kadar insulin, trigliserida, kolesterol LDL, peningkatan HDL, serta menurunkan tekanan darah.40,47,48 Akan tetapi, penurunan berat badan

Page 122: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

108

Risiko Penurunan Berat Badan Terlalu Cepat pada Anak Obesitas

dilakukan secara perlahan (≤ 0.5-1 kg per minggu sesuai usia).1 Target awal penurunan berat badan adalah 10% dari berat badan awal. Setelah target awal tercapai, berat badan harus dipertahankan selama 3-6 bulan sebelum dimulai program penurunan berat badan kembali.1,49,50

Risiko penurunan berat badan terlalu cepat pada anak obesitas

Penurunan berat badan terlalu cepat biasanya terjadi melalui metode diet sangat rendah kalori atau dengan operasi bariatrik. Penurunan berat badan yang terlalu cepat dapat menimbulkan berbagai risiko pada anak. Namun demikian, belum banyak data efek samping penurnan berat badan terlalu cepat pada anak obes. Berikut adalah beberapa gangguaan yang dapat disebabkan oleh penurunan berat badan yang terlalu cepat pada anak obes.

Gangguan tumbuh kembang

Obesitas pada anak sering dikaitkan dengan postur tinggi walaupun tinggi akhir dewasanya sama dengan anak yang tidak memiliki obesitas.51 Penelitian menunjukkan penurunan berat badan terlalu cepat pada anak dapat menyebabkan terjadinya pertambahan tinggi badan di bawah perkiraan. Sementara itu, anak obes yang mengalami penurunan berat badan secara perlahan atau tidak mengalami penurunan berat badan memiliki pertambahan tinggi badan di atas perkiraan.52 Penelitian lain menunjukkan pada anak dengan obesitas berat, penurunan berat badan terlalu cepat tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan, pubertas, dan gangguan makan pada anak.53

1. Peningkatan kadar asam urat dan penurunan kadar protein total darah Di Vienna telah dilakukan penelitian mengenai efek metabolik pada diet

sangat rendah kalori pada anak dan remaja obes dengan referensi khusus keseimbangan nitrogen. Hasilnya menunjukkan terjadinya peningkatan kosentrasi asam urat. Tiga dari 8 pasien memiliki kadar asam urat lebih dari 8 mg/dl sehingga diterapi dengan alopurinol. Selain itu, kadar protein serum total juga mengalami penurunan.54

2. Penurunan kepadatan mineral tulang Sebuah penelitian di AS mengobservasi terjadinya penurunan kepadatan

mineral tulang secara signifikan dan peningkatan ekskresi kalsium melalui urin pada remaja obes dengan komorbid yang menjalankan diet ketogenik dengan penurunan berat badan yang cepat walaupun telah diberikan suplementasi kalsium dan vitamin D.55

Page 123: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

109

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

Selanjutnya, dibandingkan dengan studi pada anak, data mengenai efek samping penurunan berat badan secara drastis lebih banyak didapatkan pada obesitas dewasa. Berikut beberapa dampak yang ditimbulkan oleh penurunan berat badan terlalu cepat pada dewasa obes.

3. Gangguan hemodinamik Penurunan berat badan yang terlalu cepat dapat menyebabkan dampak

terhadap hemodinamik. Sebuah studi menunjukkan penurunan berat badan terlalu cepat menyebabkan hipovolemia pada pasien obesitas dewasa yang akan menjalani operasi. Penilaian pada venuos return dan tekanan pengisian ventrikel kiri diperiksa sebelum operasi. Hasil menunjukkan 71,4% pasien obesitas yang menjalani penurunan berat badan terlalu cepat mengalami hipovolemia.56 Selain itu, juga didapatkan berat badan yang terlalu cepat dapat menurunkan tekanan darah. Penurunan awal tekanan darah pada minggu pertama kemungkinan disebabkan oleh keseimbangan negatif garam dan cairan, selanjutnya penurunan tekanan darah disebabkan oleh mekanisme anti-hipertensif akibat penurunan berat badan.57

4. Penyakit batu empedu

Penurunan berat badan yang telalu cepat dapat mengubah saturasi kolesterol dan lithogenitas dari empedu sehingga dapat memicu pembentukan batu empedu.58 Lebih kurang 10% hingga 25% individu mengalami penurunan berat badan terlalu cepat melalui diet kalori sangat rendah mengalami batu empedu.59,60 Beberapa penelitian melaporkan pada pasien obes yang dilakukan operasi bypass lambung terjadi peningkatan insiden batu empedu sebanyak 38-52% dalam 1 tahun setelah operasi akibat penurunan berat badan secara drastis.60,61

5. Penurunan kadar besi

Penelitian di AS melaporkan terjadi perubahan signifikan status besi pada pasien yang menjalani diet sangat rendah kalori. Terjadi penurunan kosentrasi besi di plasma, peningkatan kadar feritin, dan penurnan saturasi transferin pada pasien yang menjalani diet sangat rendah kalori walaupun kadar hemoglobin dan hematrokrit tidak mengalami penurunan signifikan.62

Page 124: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

110

Risiko Penurunan Berat Badan Terlalu Cepat pada Anak Obesitas

6. Pankreatitis akut Penelitian di AS melaporkan dalam sebuah studi kohort bahwa pasien

yang mengalami penurunan berat badan terlalu cepat pada pasien obes yang mendapatkan terapi operasi bariatrik memiliki risiko yang lebih besar mendapatkan pankreatitis akut. Insiden pankreatitis akut terjadi pada 1.04% pada pasien yang mengalami penurunan berat badan drastis. Angka ini lebih tinggi dibandingkan insiden pankreatitis akut pada populasi normal yaitu 0.017%. 63

RingkasanObesitas pada anak merupakan masalah kesehatan yang terjadi diberbagai negara di belahan dunia, termasuk di Indonesia. Berbagai dampak kesehatan jangka panjang dan jangka pendek dapat ditimbulkan oleh obesitas pada anak dan remaja. Oleh karena itu, penangaan yang tepat harus dilakukan. Strategi penurunan berat badan pada anak meliputi terapi nutrisi, perubahan kebiasaan, olahraga, obat-obatan, dan bedah. Tata laksana obesitas pada anak harus disesuaikan dengan usia dan faktor komorbid. Penurunan berat badan harus dilakukan secara bertahap sesuai target. Penurunan berat badan berlebihan harus dihindari karena berpotensi menganggu proses tumbuh kembang, peningkatan kadar asam urat, penurunan kadar protein total darah, penurunan kepadatan massa tulang, gangguan hemodinamik, penyakit batu empedu, penurunan kadar besi dalam darah, dan pankreatitis akut. Oleh karena itu, anak dengan obesitas berat harus dirujuk ke pusat penanganan obesitas anak yang memiliki akses tim multidisiplin yang ahli dalam menangani obesitas pada anak.

Daftar pustaka1. 1. Skelton JA, Rudolph CD. Gizi lebih and obesity. Dalam: Kliegman RM,

Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: Saunders; 2007. h.232-241

2. 2. Styne DM, Warden NS. Obesity. Dalam: Rudolph CD, Rudolph AM, penyunting. Rudolph’s pediatrics. Edisi ke-21. McGraw-Hill; 2003. h.2137-42.

3. 3. Livingstone MBE. Childhood obesity in Europe: a growing concern. Public Health Nutr. 2001;4:109-16.

4. 4. Bresson JL. Obesity and energy balance. Dalam: Duggan C, Watkins JB, Walker WA, penyunting. Nutrition in pediatric. Edisi ke-4. Ontario: BC Decker Inc; 2008. h.418-69.

5. 5. Whitea RO, Thompsonc JR, Rothmand RL, McDougald AM, William SJ. Evan HC, dkk. A health literate approach to the prevention of childhood gizi lebih and obesity. Patient Educ Couns. 2013;93:612–8.

Page 125: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

111

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

6. 6. Dietz WH. Prevention of childhood obesity. Pediatr Clin North Am. 1986;33:823-33.

7. 7. Serdula MK, Ivery D, Coates RJ. Do obese children become obese adult? a review of the literature. Prev Med. 1993;22:167-77.

8. 8. Whitaker RC, Wright JA, Pepe MS. Predicting obesity in young adulthood from childhood and parental obesity. N Eng J Med. 1997;337:869-73.

9. 9. Williams AJ, Henley WE, Williams CA, Hurst AJ, Logan S, Wyatt KM. Systematic review and meta-analysis of the association between childhood gizi lebih and obesity and primary school diet and physical activity policies. International Journal of Behavioral Nutrition and Physical Activity. 2013;10:1-22.

10. 10. Hillier-Brown FC, Bambra CL, Cairns J-M, Kasim A, Moore HJ, Summerbell CD. A systematic review of the effectiveness of individual, community and societal level interventions at reducing socioeconomic inequalities in obesity among children. BMC Public Health. 2014;14:1-18.

11. 11. Association AD. Evidence-based nutrition practice guideline on pediatric weight management. diunduh dari www.adaveidencelibrary.com. Tanggal 25 Maret 2015.

12. 12. Ebbelinng CB, Leidig MM, Sinclair KB. Effect of ad libitum low-glisemic load diet on cardiovascular disease risk factor in obese young adults. Am J Clin Nutr. 2005;81:976-82.

13. 13. Klirk S, Scott B, Daneiels S. Pediatric obesity epidemic: treatment option. J Am Diet Assoc. 2005;105:44-51.

14. 14. Heck AM, Yanovski JA, Calis KA. Orlistat, a new lipase inhibitor for the management of obesity. Pharmacotherapy. 2000;20:270-9.

15. 15. Freemark M, Bursey D. The effect of metformin on body mass index and glucose tolerance in obese adolescent with fasting hiperinsulinemia and family history of type 2 diabetes. Pediatrics. 2001;107:E55.

16. 16. Kellum JM, Demaria EJ, Sugerman HJ. The surgical treatment of morbid obesity. Curr Probl Surg. 1998;35:791-858.

17. 17. Kurchmazki RJ, Ogden CL, Guo SS. 2000 CDC growth chart for the united states: Methods and development. Vital Health Stat. 2002;11:1-190.

18. 18. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar 2013: Kementrian Kesehatan RI; 2013. h.212-23

19. 19. Liao Y, Liao J, Durand CP, F G, Dunton. Which type of sedentary behavior intervention is more effective at reducing body mass index in children? a meta-analytic review. Obes Rev. 2014;15:159–68.

20. 20. Verbeeten KC, Elks CE, Daneman D, Ong KK. Association between childhood obesity and subsequent type 1 diabetes: a systematic review and meta-analysis. Diabet Med. 2011;28:10-8.

21. 21. Deniet JE, Naiman DI. Psychosocial aspects of childhood obesity. Minerva Pediatr. 2011;63:491-505.

Page 126: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

112

Risiko Penurunan Berat Badan Terlalu Cepat pada Anak Obesitas

22. 22. Smith SM, Sumar B, Dixon KA. Musculoskeletal pain in gizi lebih and obese children. Int J Obes (Lond). 2014;38:11-5.

23. 23. Lavine JE, Schwimmer JB. Nonalcoholic fatty liver disease in the pediatric population. Clin Liver Dis. 2004;8:549-58.

24. 24. Halvon N, Verhoef PA, Kuo AA. Childhood antecedents to adult cardiovascular disease. Pediatr Rev. 2012;33:51-60.

25. 25. Oude LH, Baur L, Jansen H. Interventions for treating obesity in children. Cochrane Database sistematic review. 2009;21.

26. 26. Whitlock EP, O’Conner EA, Williams SB, Beil TL, Lutz KW. Effectiveness of primary care interventions for weight management in children and adolescents. Rockville: Agency for Healthcare Research and Quality. 2010. h.1-24.

27. 27. Gibson LJ, Peto J, Warren JM, Silva IdS. Lack of evidence on diets for obesity for children: a systematic review. International Journal of Epidemiology. 2006;35:1544–52.

28. 28. Eipsten LH, Suquires S. The stoplight diet for children. Toronto: Little, Brown and Company. 1988; h.4-16.

29. 29. Chen W, Chen SC, Hsu HS. Counseling clinic for pediatric weight reduction: Program formulation and follow up. J Formos Med Assoc. 1997;96:59-62.

30. 30. Eliakim A, Kaven G, Berger I. The effect of a combined intervension on body mass index and fitness in obese children and adolescents- a clinical experience. Eur J Pediatr. 2002;161:449-54.

31. 31. Ebbeling CB, Leidig MM, Sincalir KB. A reduce glisemic load diet in the treatment of adolescent obesity. Arch Pediatr Adolesc Med. 2003;157:773-9.

32. 32. Sondike SB, Copperman N, Jacobson MS. Effect of a low-carbohydrate diet on weight loss and cardiovascular risk factor in gizi lebih adolescents. J pediatr. 2003;142:253-8.

33. 33. Sothern M, Lotfin M, Udall J. Safety, feasibility and efficacy of a resistance training program in preadolescent obese children Am J Med Sci. 2002;319:370-5.

34. 34. Southern M, Schumacher H, Von AT. Committed to kids: an integrated, four level team approach to weight management in adolescents. J Am Diet Assoc. 2002;102:S81-5.

35. 35. Yanovski SZ, Yanovski JA. Obesity. N Eng J Med. 2002;346:591-602.36. 36. Berkowitz RI, Fujioka K, Daniel SR. Effect of sibutramine treatment in obese

adolescents: A randomized trial Ann Intern Med. 2006;145:81-90.37. 37. Ryan DH. Use of sibutramine and other noradrenergic and serotonergic drugs

in the management of obesity. Endocrine. 2000;13:193-9.38. 38. Fanghanel G, Cortinas L, Sanchez-Reyes L, Berber A. A clinical trial of the

use of sibutramin for the treatment of patients suffering essential obesity. int J obes Relat Metab Disord. 2000;24:144-50.

39. 39. Davidson MH, Hauptman J, DiGirolamo M. Weight control and risk factor reduction in obese subjects treated for 2 years with orlistat: a randomized control trial. JAMA. 1999;281:25-42.

40. 40. Ho M, Garnett SP, Baur LA. Impact of dietary and exercise interventions on weight change and metabolic outcomes in obese children and adolescents: a systematic review and meta-analysis of randomized trials. JAMA Pediatr. 2013;167:759-68.

Page 127: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

113

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

41. 41. McDonagh MS, Ozpinar A, Foley C. Systematic review of the benefits and risks of metformin in treating obesity in children aged 18 years and younger. JAMA Pediatr. 2014;168:178-84.

42. 42. Srinivasan S, Ambler GR, Baul LA. Randomized, control trial of metformin for obesity and insulin resistence in children and adolescent: Improvement in body composition and fasting insulin. . J Clin Endocrinol Metab. 2006;91:2074-80.

43. 43. Lee A, Morley JE. Metformin decreases food consumption non-insulin-dependent diabetes. Obes Res. 1998;6:47-53.

44. 44. Cummings DE, Weigle DS, Frayo RS. Plasma ghrelin levels after diet-induce weight loss gastric bypass surgery. N Eng J Med. 2002;346:1623-30.

45. 45. Strauss RS, Bradley LJ, Brolin RE. Gastric bypass surgery in adolescents with morbid obesity. J Pediatr. 2001;138:499-504.

46. 46. Keidar A, Hecht L, Weiss R. Bariatric surgery in obese adolescents. Curr Opin Clin Nutr Metab Care. 2011;14:286-90.

47. 47. Walker SE, Smolkin ME, O’Leary MLL. Predictors of retention and BMI loss or stabilization in obese youth enrolled in a weight loss intervention. Obes Res Clin Pract. 2012;6:330–9.

48. 48. Cai L, Wu Y, Wilson RF, Segal JB, Kim MT, Wang Y. Effect of childhood obesity prevention programs on blood pressure: a systematic review and meta-analysis. Circulation. 2014;129:1832-9.

49. 49. Nackers LM, Ross KM, Perri MG. The Association between rate of initial weight loss and long-term success in obesity treatment: does slow and steady win the race? Int J Behav Med. 2010;17:161–7.

50. 50. Fitch A, Fox C, Bauerly K. Prevention and management of obesity for children and adolescents: institute for clinical systems improvement; 2013. h. 1-18.

51. 51. Fennoy I. Effect of obesity on linear growth. Curr Opin Endocrinol Diabetes Obes. 2013;20:44–9.

52. 52. Wollf OH. Obesity in childhood and its effect. Postgrand Med J. 1962;38:629-32.

53. 53. Valerio G, Licenziati, Tanas R. Management of children and adolescents with severe obesity. Minerva Pediatr. 2012;64:413-31.

54. 54.Widhalm KM, Zwiauer KF. Metabolic effects of a very low calorie diet in obese children and adolescents with special reference to nitrogen balance. J Am Coll Nutr. 1987;6:467-74.

55. 55. Willi SM, Oexmann MJ, Wright NM, Collop NA, Key LL. The effects of a high-protein, low-fat, ketogenic diet on adolescents with morbid obesity: body composition, blood chemistries, and sleep abnormalities. Pediatics. 1998;101:61-7.

56. 56. Poso T, Kesek D, Arich R, Wonso O. Rapid weight loss is associated with preoperative hypovolemia in morbidly obese patients. Obes Surg. 2013;23:306-13.

57. 57. Maxwell MH, Kushiro T, Dornfeld LP, Tuck ML, Waks AU. BP changes in obese hypertensive subjects during rapid weight loss. Comparison of restricted v unchanged salt intake. Arch Intern Med. 1984;144:1581-4.

Page 128: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

114

Risiko Penurunan Berat Badan Terlalu Cepat pada Anak Obesitas

58. 58. Hellerstein MK. Obesity and gizi lebih. Dalam: Gardner DG, Shoback D, penyunting. Greenspan’s basic and clinical endocrinology. Edisi ke-8. Mc Graw Hill; 2007. h. 1023-65.

59. 59. Vezina WC, Grace DM, Hutton LC. Similarity in gallstone formation from 900 kcal/day diets containing 16 g vs 30 g of daily fat: evidence that fat restriction is not the main culprit of cholelithiasis during rapid weight reduction. Dig Dis Sci. 1998;43:554-61.

60. 60. Miller K, Hell E, Lang B, Lengauer E. Gallstone formation prophylaxis after gastric restrictive procedures for weight loss. Annals of Surgery. 2003;238:697-702.

61. 61. Brethaurer SA, Chand B, Schauer PR. Risks and benefits of bariatric surgery: Current evidence. Cleveland Clinic Journal of Medicine. 2006;73:1-13.

62. 62. Berard J, Borel M, Peterson FJ. Changes in iron status during weight loss with very-low-energy diets. Am J Clin Nutr. 1997;66:104-10.

63. 63. Kumarevel A, Zelisko A, Schauer P, Lopez R, Kroh M, Stevens T. Acute pancreatitis in patients after bariatric surgery: incidence, outcomes, and risk factors. Obes Surg. 2014;24:2023-30.

Page 129: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

115

Kedaruratan pada Tindakan ImunisasiSoedjatmiko

Tujuan1. Mengetahui gejala klinis awal yang berpotensi menjadi kedaruratan 2. Mengetahui kedaruratan yang dapat terjadi pada tindakan imunisasi3. Mengetahui tata laksana kedaruratan pada tindakan imunisasi4. Mengetahui upaya pencegahan kejadian darurat pada tindakan

imunisasi

Kejadian ikutan pasca imunisasi dan kedaruratanKejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) dapat terjadi segera setelah imunisasi sampai beberapa hari, minggu bahkan beberapa bulan kemudian, dengan gejala klinis ringan sampai berat, dengan angka kejadian sangat jarang sampai sering, dan bervariasi antara berbagai jenis vaksin1. Kedaruratan dalam makalah ini dimaksudkan sebagai KIPI yang terjadi segera, mendadak dan memerlukan penanggulangan segera.

Kedaruratan pada tindakan vaksinasi sangat jarang terjadi dan belum tentu akibat vaksin. Menurut WHO 2013 klasifikasi kausalitas KIPI terjadi 1. Berhubugan dengan produk vaksin, 2. Dipicu karena defek kualitas vaksin, 3. Dipicu pemberian vaksin tidak sesuai prosedur. 4. Berhubungan dengan kecemasan. 5. Diluar sebab kesalahan program atau kecemasan1.

Untuk menyimpulkan klasifikasi KIPI suatu kasus tidaklah mudah karena dibutuhkan informasi lengkap tentang kasus, pengetahuan tentang angka kejadian dan gejala KIPI suatu vaksin dan kajian mendalam oleh tim ahli dalam Komite Nasional (Komnas) atau Komite Daerah (Komda) Pengkajian dan Penanggulangan KIPI1.

Gejala klinis Kedaruratan pada KIPI mulai terjadi dalam beberapa menit setelah penyuntikan. sebanyak 98% terjadi dalam 30 menit setelah penyuntikan vaksin, dengan gejala ringan sampai berat2. Oleh karena itu dokter, perawat atau bidan yang melakukan imunisasi harus mampu mengenali tanda kedaruratan, selalu

Page 130: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

116

Kedaruratan pada Tindakan Imunisasi

siap dengan alat dan obat pertolongan kedaruratan, dan mampu menangani kedaruratan pada layanan imunisasi. Orangtua, pengantar pasien, guru dan anak besar harus diberitahu kemungkinan terjadi hal tersebut, dan sebaiknya dianjurkan tetap berada di sekitar tempat imunisasi selama 15 – 30 menit2, 3.

Kedaruratan yang dapat terjadi pada layanan imunisasi adalah reaksi anafilaksis (dengan atau tanpa didahului gejala ringan gatal, urtikatia, atau mual muntah), reaksi vasovagal (pingsan, sinkop), reaksi hipotonik hiporesponsife, reaksi panik dan serangan menahan nafas (breath holding spell)2-7

Reaksi anafilaksis Reaksi anafilaksis dapat terjadi dalam 5 menit pertama pasca imunisasi, dengan gejala 3:

y kulit dan mukosa (kemerahan, gatal, urtikaria, bengkak) pada 80% sampai 90% kasus,

y pernapasan (batuk, sesak, edema jalan nafas, bronkospasme) pada 70% kasus,

y gastrointestinal (mual, muntah, sakit perut, diare) pada 45% kasus, y sistem kardiovaskular (nyeri dada, palpitasi, hipotensi, denyut nadi karotis

lemah) pada 45% kasus y sistem saraf pusat (gelisah, bingung, pusing, penurunan kesadaran) pada

15% kasusPasca imunisasi bila dijumpai reaksi gatal, kulit kemerahan, urtikaria

harus diamati selama minimal 30 menit. Jika ada gejala lain muncul, walau ringan (misalnya, bersin, hidung tersumbat, batuk, kemerahan pada wajah), atau keluhan meluas ke bagian lain dari tubuh, adrenalin harus segera diberikan, karena bisa merupakan gejala awal reaksi anafilaksis. Jika keluhan tersebut kemudian menghilang dalam waktu 30 menit, pengamatan lebih lanjut tidak diperlukan. 8,9

Tata laksana reaksi anafilaksis 9-14

Pada prinsipnya sama dengan penanganan anafilaksis secara umum. y Bila pasien muntah atau tidak sadar, baringkan pada sisi kiri dan posisikan

agar jalan napas tetap bebas. Bila pasien sadar, baringkan pasien dalam posisi terlentang, kaki ditinggikan.

y Periksa apakah ada pembengkakan bibir, lidah dan tenggorokan yang dapat menghalangi jalan nafas.

y Bila terdapat gejala saluran napas atau kardiovaskular, suntikkan adrenalin dengan konsentrasi 1:1000 dosis 0,01 mL/kg berat badan sampai

Page 131: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

117

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

dosis maksimal 0,5 mL, intramuskular (IM) pada paha anterolateral. Otot deltoid lengan tidak seefektif paha dalam menyerap adrenalin. Celana panjang harus dilepas, digunting atau dirobek untuk memudahkan penyuntikan di paha. Jika tidak bisa, maka boleh diberikan suntikan menembus celana dengan risiko infeksi yang dapat diatasi setelah stabil 8,9

y Adrenalin mencapai kadar puncak plasma dan konsentrasi jaringan dengan cepat, sehingga cepat mengurangi pembengkakan saluran napas bagian atas, hipotensi, syok, meningkatkan denyut jantung, kekuatan kontraksi jantung, bronkodilatasi, penurunan pelepasan histamin dan mediator peradangan lainnya 8,9

y Reaksi lokal seperti urtikaria, angioedema yang tidak menyebabkan obstruksi jalan napas tidak diperlu diberikankan adrenalin. Bila ragu apakah KIPI ini adalah reaksi anafilaksis atau bukan adrenalin dapat diberikan.8,9

y Antihistamin dan kortikosteroid tidak disarankan pada tata laksana kegawatdaruratan anafilaksis, walaupun beberapa penulis menggunakan antihistamin untuk mengurangi rasa gatal.

y Berikan oksigen dengan masker y Pastikan anak tetap berbaring, jangan duduk atau berdiri mendadak

setelah penyuntikan adrenalin. y Dapat terjadi efek sementara yaitu pucat, tremor, kecemasan, palpitasi,

sakit kepala dan pusing yang terjadi dalam beberapa menit setelah suntikan adrenalin.

y Siapkan rujukan segera ke rumah sakit, jangan tinggalkan pasien sendirian y Bila kondisi belum membaik setelah 5 menit, suntikan adrenalin dapat

diulang tiap 5 menit sampai perbaikan y Reaksi anafilaksis dapat terulang kembali setelah reaksi awal (anafilaksis

bifasik) pada 23% kasus dewasa dan pada 11% kasus anak.3,14 Oleh karena itu semua kasus anafilaksis, harus segera dirujuk ke rumah sakit yang dapat menangani lebih lanjut karena dan dianjurkan rawat inap dianjurkan untuk pemantauan.

y Catat dengan lengkap kejadian anafilaksis termasuk waktu dan dosis adrenalin yang diberikan

Vaksin campak dilaporkan dapat menimbulkan anafilaksis 1–50 kasus per 1 juta dosis, DPT 20 kasus per 1 juta dosis, MMR 10 per 1 juta dosis, Tetanus dan TD 1-6 per 1 juta dosis, HPV di Australia per Juni 2010 terjdi 2,6 episode anafilaksis per juta dosis vaksin, hepatitis B terjadi 1 dari 1,1 juta dosis. Polio dan BCG tidak ada laporan reaksi anafilaksis. 1

Page 132: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

118

Kedaruratan pada Tindakan Imunisasi

Pencegahan

Sebelum melakukan imunisasi harus ditanyakan riwayat adanya KIPI imunisasi sebelumnya. Bila ada riwayat reaksi anafilaksis sebaiknya tidak diberikan vaksin tersebut, atau bila vaksin tersebut dianggap penting, maka diberikan di rumah sakit yang dilengkapi sistem dan alat penanganan kedaruratan yang lengkap. Reaksi anafilaksis dapat terjadi pada anak tanpa riwayat KIPI sebelumnya

Pingsan, sinkop (reaksi vasovagal)Gejala ini dapat terjadi sebelum, selama dan sesudah imunisasi, umumnya terjadi dalam 5 menit sekitar imunisasi, dengan gejala pucat tiba-tiba, mengeluh pusing, kepala terasa melayang, berkurangnya respon terhadap rangsang, dapat disertai bradikardia, atau tiba-tiba terjatuh, kadang-kadang disertai gerakan menyerupai kejang, tetapi denyut nadi karotis teraba kuat 2-4

Tabel 1. Dosis adrenalin untuk tata laksana anafilaksis berdasarkan usia 2,6

Perkiraan usia dan berat badan Dosis adrenalin<1 tahun (±5-10 kg) 0,05-0,1 mL1-2 tahun (±10 kg) 0,1 mL2-3 tahun (±15 kg) 0,15 mL4-6 tahun (±20 kg) 0,2 mL7-10 tahun (±30 kg) 0,3 mL10-12 tahun (±40 kg) 0,4 mL>12 tahun dan dewasa (> 50 kg) 0,5 mL

Tabel 2. Gejala klinis untuk membedakan reaksi vasovagal dan anafilaksis2

Episode vasovagal Reaksi anafilaksisAwitan Segera, dalam beberapa menit,

atau saat pemberian vaksinDalam 15 menit, tetapi dapat muncul hingga beberapa jam setelah pembe-rian vaksin

Gejala/tanda Respirasi Respirasi normal, bisa dangkal, tetapi tidak ada peningkatan usaha napas

Batuk, mengi, serak, stridor, atau sesak napas (takipnea, sianosis)Edema saluran napas atas (lidah, tenggorokan, uvula, laring)

Kardiovaskular Bradikardia, denyut nadi perifer lemah, nadi karotis kuatHipotensi transien, dan menghilang dengan posisi supineKesadaran, membaik dengan posisi supine atau kepala di bawah

Takikardia, nadi perifer dan karotis lemahPenurunan kesadaran, tidak perbaikan dengan perubahan posisi supine

Kulit Pucat, dingin, lembab Gatal, eritema luas, urtikaria, atau angioedema

Gastrointestinal Mual, muntah Nyeri perut, diarea, mual, muntahNeurologis Melayang Cemas

Page 133: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

119

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

Anak yang tiba-tiba kehilangan kesadaran setelah imunisasi dan denyut karotis tak teraba sebaiknya dianggap sebagai reaksi anafilaksis. Jika denyut nadi karotis teraba kuat umumnya karena pingsan. Jika dicurigai reaksi anafilaksis maka penatalaksanaan anafilaksis harus segera dilakukan. Penatalaksaan anafilaksis yang tidak memadai lebih berbahaya, dan berpotensi mengancam nyawa, daripada penanganan berlebihan pada reaksi alergi atau sinkop 2,8,9

Untuk membedakan antara reaksi anafilaksis dan reaksi vasovagal dapat dilihat pada tabel 2.

Tatalaksana reaksi vaso-vagal

Reaksi vasovagal disebabkan oleh berkurangnya aliran darah ke otak secara mendadak umumnya terjadi pada anak usia sekolah dan remaja. Hal ini dapat disebabkan oleh ketakutan, ketegangan, kecemasan sebelum-imunisasi atau dicetuskan oleh rasa nyeri akibat suntikan. Oleh karena itu bila anak mengeluh pusing sebelum atau sesudah imunisasi segera dianjurkan berbaring. Gejala tersebut mengalami perbaikan bila pada posisi terlentang tungkai diangkat lebih tinggi dari kepala. Perbaikan klinis terjadi dalam 1-5 menit, mungkin masih agak pucat, berkeringnat dan agak hipotensi selama beberapa menit maka perlu dipantau selama 15 – 30 menit.

Pingsan dilaporkan setelah vaksin HPV dan H1N1, dan bukan merupakan kontraindikasi untuk imunisasi berikutnya.15,16

Pencegahan

Kejadian pingsan dapat dicegah dengan mengurangi waktu tunggu, suhu ruangan yang nyaman, anak tidak melihat proses penyiapan vaksin dan tidak melihat proses penyuntikan anak lain. Untuk mengurangi cedera akibat terjatuh karena pingsan, sebaiknya imunisasi dilakukan dengan posisi anak duduk. Bagi mereka yang ada riwayat pingsan, sebaiknya imunisaai dalam posisi berbaring telentang. Selesai imunisasi sebaiknya anak tetap berada disekitar layanan imunisasi selama 15–30 menit, tidak boleh memanjat tangga, mengendarai kendaraan bermotor dan aktifitas fisik lain.

Reaksi hipotonik hiporesponsifReaksi hipotonik-hiporesponsif (RHH) dapat terjadi dalam 1–48 jam (median 3-4 jam) sesudah imunisasi berupa pucat tiba-tiba atau sianosis, hipotonia otot, berkurangnya respon terhadap rangsang yang berlangsung selama 6 -30 menit dengan tekanan darah tetap normal. Tidak ada terapi khusus, cukup anak dibaringkan, dengan sirkulasi udara yang cukup, suhu udara nyaman,

Page 134: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

120

Kedaruratan pada Tindakan Imunisasi

longgarkan pakaian atau aksesoris yang dapat mengganggu pernafasan dan aliran darah, tanyakan apa yang dirasakan, serta diajak berbicara yang menenangkan 19-21

Vaccine Adverse Event Reporting System (VAERS) Amerika Serikat melaporkan reaksi ini lebih sering terjadi pasca-vaksinasi pertama dan pada anak perempuan.21 Patogenesis RHH masih belum diketahui, beberapa peneliti melaporkan menyerupai reaksi vasovagal yang muncul terlambat. Tidak ada pemeriksaan penunjang tambahan yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis.. Tidak ada perubahan signifikan pada kadar insulin atau gula darah.14

Penelitian yang memantau lebih lanjut pasien EHH tidak melaporkan adanya sekuele jangka panjang..19-21

Kejadian EHH dilaporkan pasca-imunisasi DTPa, HiB, dan hepatitis B, tetapi sebagian besar terjadi pasca vaksin yang mengandung pertusis. Angka kejadian bervariasi antara 36-250 episode per 100.000 dosis DTPw dan 4-140 episode per 100.000 dosis DTPa21. Di Australia selama tahun 2009, 3,2 kasus dilaporkan per 100.000 dosis vaksin DTPa pada anak umur <1 tahun.4

.Serangan panikBiasanya terjadi pada anak besar dan remaja yang ketakutan dengan gejala seperti pucat, berkeringat, mengeluh pusing, melayang, kesemutan pada wajah dan ekstremitas, bernafas cepat, tetap sadar, tekanan darah normal, tidak ada gejala sumbatan jalan nafas. Baringkan anak dengan posisi telentang, suhu dan aliran udara lingkungan nyaman, tenangkan dan di hibur 2-4

Serangan menahan nafas (breath holding spell)Biasanya terjadi pada bayi dan anak kecil ketika menangis keras karena ketakutan, kesakitan atau marah. Bayi atau anak menangis keras kemudian tidak bersuara dan tidak bernafas tetapi masih dengan ekspresi menangis, dapat disertai kemerahan wajah atau sianosis perioral. Tenangkan orangtua, gendong bayi atau anak dalam posisi mendatar, atau baringkan bayi dan anak dalam posisi telentang tanpa bantal Beberapa detik kemudian akan kembali menangis dan bernapas seperti biasa. Tidak ada pengobatan khusus yang diperlukan.2-4

Obat dan alat kedaruratan yang harus disediakan pada layanan imunisasiSelain rutin menyediakan stetoskop, pengukur tekanan darah dan senter, sediakan juga 2 ampul adrenalin 1: 1000, minimal 4 spuit sekali pakai 1 ml dengan panjang jarum berbeda (untuk bayi, balita, anak usia sekolah dan

Page 135: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

121

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

remaja) dan alkohol swab. Periksa tanggal kadaluarsa secara periodik. Lebih baik dilengkapi penahan lidah, pipa oro-faring, oksigen dalam tabung, selang dan masker ukuran bayi, anak dan remaja untuk pemberian oksigen, disertai set infus dan cairan infus 10-14

Simpulan y Semua vaksin kecuali BCG dan OPV dilaporkan dapat menyebabkan

terjadinya kedaruratan, berupa reaksi anafilaksis yang berbahaya tetapi sangat jarang terjadi. Kedarutan lain berupa reaksi vasovagal (pingsan, sinkop), hipotonus –hiporesponsif, reaksi panik dan serangan menahan nafas (breath holding spell)

y Sebelum melakukan imunisasi perlu anamnesis riwayat KIPI sebelumnya. Keluarga pasien harus diberitahu pentingnya dan manfaat imunisasi serta kemungkinan terjadinya KIPI walaupun sangat jarang terjadi.

y Vaksin yang pernah menimbulkan reaksi anafilaksis sebaiknya tidak diberikan lagi pada pasien tersebut. Bila harus diberikan, imunisasi dilakukan di rumah sakit dengan sarana penanggulangan gawat darurat yang memadai.

y Di tempat layanan imunisasi harus ada obat dan alat untuk menangani kedaruratan. Dokter, perawat atau bidan yang melakukan imunisasi harus mengenali tanda awal kedaruratan dan mampu memberikan pertolongan segera mengatasi kedaruratan tersebut.

y Penanganan kedaruratan anafilaksis pada imunisasi sama dengan anafilaksis pada umumnya yaitu baringkan dengan posisi miring ke kiri bila tidak sadar atau terdapat muntah, perhatikan jalan napas kemudian suntikan adrenalin 1 : 1000 dosis 0,01 mL/kg berat badan i.m. di paha anterolateral, pemberian oksigen, evaluasi, berikan suntikan adrenalin ulang bila diperlukan, rujuk dan rawat ke rumah sakit.

y Penanganan reaksi vasovagal (pingsan, sinkop), hipotonik-hiporesponsif, serangan panik atau menahan nafas (breath holding spell) umumnya dengan suportif yaitu tenangkan keluarga, baringkan bayi atau anak posisi telentang, longgarkan pakaian dan asesoris yang dapat mengganggu pernafasan, aliran darah atau kenyamanan, suasana lingkungan yang nyaman. Pada reaksi vasovagal mengangkat kaki lebih tinggi akan mempercepat pemulihan.

y Catat dan laporkan kejadian kedaruratan ke Komda atau Komnas Pengkajian dan Penanggulangan KIPI.

Page 136: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

122

Kedaruratan pada Tindakan Imunisasi

Daftar pustaka1. Akib AP, Purwanti A. Kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI). Dalam : Ranuh

IGN dkk, editor. Pedoman Imunisasi di Indonesia. Edisi 5. Satgas Imunisasi IDAI : Badan Penerbit IDAI ; 2014. hal. 211-38.

2. National Health and Medical Research Council. Australian immunisation handbook. Edisi 9. Canberra: NHMRC. 2008. Diunduh dari http://www.health.gov.au/internet/immunise/ publishing.nsf/Content/Handbook-home. Diunduh pada 10 Maret 2015.

3. Office of the Chief Medical Officer of Health Communicable Disease Control Unit New Brunswick Canada. Adverse events following immunization: interpretation and clinical definitions guide. 2011. Diunduh dari http://www2.gnb.ca/content/dam/gnb/Departments/h-s/pdf/en/CDC/HealthProfessionals/AEFIs interpretation and clinical definitions guide.pdf. Diunduh pada tanggal 18 Maret 2015.

4. Mahajan D, Cook J, McIntyre PB, Macartney K, Menzies RI. Annual report: surveillance of adverse events following immunisation in Australia, 2010. Communicable Diseases Intelligence. 2011;35:263-80.

5. Erlewyn-Lajeunesse M, Hunt L, Heath PT, Finn A. Anaphylaxis as an adverse event following immunisation in the UK and Ireland. Arch Dis Child. 2012;97:487-90.

6. Campbell RL, Hagan JB, Manivannan V et al. Evaluation of the National Institute of Allergy and Infectious Diseases/Food Allergy and Anaphylaxis Network criteria for the diagnosis of anaphylaxis in emergency department patients. J Allergy Clin Immunol. 2012;129:748-52.

7. National Health Service (NHS). Symptoms of anaphylaxis. 2011. Diunduh dari: www.nhs.uk/Conditions/Anaphylaxis/Pages/Symptoms. aspx . Diunduh tanggal 15 Maret 2015.

8. Simons KJ, Simons FE. Epinephrine and its use in anaphylaxis: current issues. Curr Opin Allergy Clin Immunol. 2010;10:354-361.

9. Sheikh A, Shehata YA, Brown SG, Simons FE. Adrenaline (epinephrine) for the treatment of anaphylaxis with and without shock. Cochrane Database Systematic Rev. 2008;4:CD006312.

10. Simons FE, Arudusso LR, Bilo MB et al. World Allergy Organization Guidelines for the assessment and management of anaphylaxis. Curr Opin Allergy Clin Immunol. 2012;12:389-99.

11. Kim H, Fischer D. Anaphylaxis. Allergy Asthma Clin Immunol 2011;7:S6.12. Simons FE. Anaphylaxis pathogenesis and treatment. Allergy. 2011;66:31-34.13. Simons FE, Arudusso LR, Bilo MB et al. World Allergy Organization guidelines

for the assessment and management of anaphylaxis. J Allergy Clin Immunol. 2011;127:593e1-22.

14. Waserman S, Chad Z, Francoeur, MJ et al. Management of anaphylaxis in primary care: Canadian expert consensus recommendations. Allergy 2010;65:1082-92.

15. Crawford NW, Clothier HJ, Elia S, Lazzaro T, Royle J, Buttery JP. Syncope and seixures following human papillomavirus vaccination: a retrospective case series. Med J Aust. 2011: 194:16-8.

Page 137: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

123

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

16. Nakada H, Narimatsu H, Tsubokura M, Murashige N, Matsumura T, Kodama Y, dkk. Risk of fatal adverse events after H1N1 influenza vaccination. Clin Infect Dis. 2010;50:1548-9.

17. Pharmaceutical and Food Safety Bureau, Ministry of Health, Labour and Welfare Japan. Safety review results of pneumococcal conjugate vaccine and haemophilus influenzae type b (Hib) vaccine for paediatrics. 2011. Diunduh dari www.pmda.go.jp/english/service/pdf/mhlw/ 20110615-2_reference.pdf. Diunduh pada tanggal 18 Maret 2015.

18. Bonhoeffer J, Gold MS, Heijbel H, Vermeer P, Blumberg D, Braun M, dkk. Hypotonic-hyporesponsive Episode (HHE) as an adverse event following immunization: case definition and guidelines for data collection, analysis, and presentation. Vaccine. 2004;22: 563–8.

19. Gold R, Scheiffele D, Halperin S, Dery P, Law B, Lebel M. Hypotonic-Hyporesponsive eoisodes in children hospitalized at 10 Canadian pediatric tertiary-care centers, 1991–1994. Can Commun Dis Rep. 1997;23:73–6.

20. Goodwin H, Nash M, Gold M, Heath TC, Burgess MA. Vaccination of children following a previous hypotonic-hyporesponsive episode. J Paediatr Child Health. 1999;35:549–52.

21. Baraff LJ, Shields WD, Beckwith L, et al. Infants and children with convulsions and hypotonic-hyporesponsive episodes following diphtheria-tetanus-pertussis immunization: follow-up evaluation. Pediatrics. 1988;81:789-94.

Page 138: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

124

Hipoglikemia pada Neonatus dan BayiAman B Pulungan

Tujuan:1. Mengetahui definisi hipoglikemia pada neonates dan bayi2. Mengetahui homeostasis glukosa pada neonates dan bayi3. Mengetahui gejala, tanda dan penyebab hipoglikemia pada bayi dan

anak4. Mengetahui tata laksana hipoglikemia pada neonates dan bayi

Hipoglikemia merupakan abnormalitas metabolik paling sering dijumpai pada bayi dan berhubungan dengan berbagai kelainan neurologik dan kematian. Anak sangat rentan mengalami hipoglikemia jika mengalami berbagai jenis penyakit dan seringkali sulit terdeteksi secara klinis.1

Pada neonatus, tidak mendapatkan air susu ibu (ASI) atau berat badan < 2.500 g dapat mengakibatkan hipoglikemia. Mortalitas neonatus dengan hipoglikemia mencapai 45.2% dibandingkan dengan neonatus normoglikemia 19,6% (p < 0.001).1 Sebuah penelitian potong lintang terhadap 578 neonatus cukup bulan usia 0 sampai 48 jam di Kathmandu menunjukan bahwa 41% neonatus mengalami hipoglikemia ringan (glukosa kurang dari 2,6 mmol/l) dan 11% mengalami hipoglikemia sedang (glukosa kurang dari 2,0 mmol/l).2

Waktu merupakan faktor terpenting yang mempengaruhi terjadinya hipoglikemia simtomatik dan kejang mempunyai prognosis buruk untuk terjadi kerusakan permanen pada sistem saraf pusat (SSP), sementara hipoglikemia asimtomatik tanpa kejang cenderung tidak menimbulkan patologi SSP.3 Pola kerusakan yang berkaitan dengan hipoglikemia neonatal simtomatik lebih bervariasi dari yang sebelumnya diketahui, yaitu white matter injury tidak hanya terbatas pada regio posterior, perdarahan, infark arteri serebri media, serta kelainan pada ganglia basal, talamus, dan kortikal.4

Neonatus atau bayi dengan hipoglikemia memerlukan diagnosis dan tindakan segera. Gambaran klinis harus segera dinilai dan rencana tindakan disusun berdasarkan usia bayi, riwayat maternal dan partus, berat dan lamanya keadaan hipoglikemik, serta berbagai tanda klinis yang relevan.5,6

Page 139: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

125

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

Definisi hipoglikemiaDefinisi hipoglikemia yang bermakna klinis masih menjadi salah satu topik yang diperdebatkan dalam bidang neonatologi saat ini. Hipoglikemia dikatakan simtomatik bila memenuhi triad Whipple, yaitu gejala, tanda, atau keduanya sejalan dengan hipoglikemia, konsentrasi glukosa plasma rendah, serta perbaikan gejala/tanda setelah konsentrasi glukosa plasma ditingkatkan. Hipoglikemia didefinisikan sebagai glukosa darah < 2.2 mmol/l (< 40 mg/dl) tanpa memandang usia.1,7-9

Homeostasis glukosaMetabolisme glukosa bertanggung-jawab terhadap hampir separuh kebutuhan energi harian basal tubuh dan merupakan sumber energi metabolik utama otak manusia. Glukosa dapat disimpan dalam bentuk glikogen dan lemak, sementara karbonnya dapat dimanfaatkan dalam sintesis protein dan berbagai komponen struktural (misalnya membran sel). Oksidasi aerobik glukosa menghasilkan energi tinggi dengan menghasilkan 36 mol adenosin trifosfat (ATP) untuk setiap mol glukosa. Seluruh glukosa yang diekstraksi oleh otak akan dioksidasi sehingga utilisasi glukosa serebral sejalan dengan asupan oksigen serebral.5,10

Pertahanan tubuh untuk mencegah hipoglikemia diintegrasikan oleh sistem saraf otonom dan beberapa hormon yang bekerja secara terpadu untuk meningkatkan produksi glukosa melalui modulasi enzimatik glikogenolisis dan glukoneogenesis yang secara simultan juga membatasi utilisasi glukosa periferal. Hipoglikemia mencerminkan adanya defek pada satu atau beberapa interaksi kompleks yang seharusnya mengintegrasikan homeostasis glukosa saat makan dan lapar. Proses ini terutama penting pada neonatus sebab mengalami transisi mendadak dari lingkungan intrauterin, ketika masih bergantung pada asupan glukosa transplasental, ke lingkungan ekstrauterin yang mengharuskan adanya kemampuan untuk mempertahankan euglikemia. Prematuritas atau insufisiensi plasenta dapat membatasi deposit nutrien jaringan serta kemungkinan adanya berbagai abnormalitas enzim atau hormon pada neonatus maka hipoglikemia sering terjadi pada periode neonatal.

Diperkirakan bahwa 80% dari energi fetal berasal dari glukosa dan 20% berasal dari metabolisme laktat dan asam amino. Berbagai penelitian tentang kehamilan pada manusia maupun spesies lain menunjukkan bahwa glukosa diperoleh seluruhnya dari ibu melalui transfer plasental.5,10,11

Dalam kondisi tanpa kelainan, glukosa fetal seluruhnya tersedia dari ibu melalui transfer plasental. Oleh karena itu, konsentrasi glukosa fetal biasanya sebanding atau sedikit lebih rendah dari kadar glukosa maternal. Pelepasan katekolamin, yang terjadi pada fetus dengan kelainan seperti hipoksia,

Page 140: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

126

Hipoglikemia pada Neonatus dan Bayi

akan memobilisasi glukosa dan free fatty acids (FFAs) melalui mekanisme β-adrenergik, yang merefleksikan aktivitas β-adrenergik pada hati dan jaringan adiposa fetal. Katekolamin juga dapat menghambat insulin fetal dan menstimulasi pelepasan glukagon.

Terhentinya transfer glukosa maternal secara akut ke fetus saat kelahiran menyebabkan perlunya mobilisasi glukosa endogen segera. Ada tiga mekanisme yang saling berkaitan dalam memfasilitasi transisi ini, yaitu berbagai perubahan hormonal, reseptor hormon, serta aktivitas enzim esensial. Setelah lahir, terjadi peningkatan mendadak 3 – 5 kali lipat konsentrasi glukagon dalam beberapa menit atau jam. Kadar insulin biasanya turun pada awalnya dan tetap dalam rentang basal selama beberapa hari tanpa terjadinya respon cepat seperti biasa terhadap stimuli fisiologik seperti glukosa. Sekresi katekolamin spontan juga khas terjadi pada masa ini. Epinefrin juga dapat meningkatkan sekresi hormon pertumbuhan yang kadarnya meningkat saat kelahiran melalui mekanisme α-adrenergik. Melalui mekanisme yang sejalan, berbagai perubahan hormonal saat kelahiran ini akan memobilisasi glukosa melalui glikogenolisis dan glukoneogenesis, mengaktivasi lipolisis serta meningkatkan ketogenesis. Sebagai hasil dari proses ini, konsentrasi glukosa plasma akan stabil setelah penurunan sementara pada awal kelahiran, simpanan glikogen hati mengalami deplesi cepat dalam beberapa jam setelah kelahiran, serta glukoneogenesis dari alanin, yang merupakan asam amino glukoneogenik utama, menghasilkan hampir 10% dari turnover glukosa pada neonatus dalam beberapa jam kelahiran.

Konsentrasi asam lemak bebas juga meningkat tajam sejalan dengan peningkatan glukagon dan epinefrin yang diikuti dengan peningkatan benda keton. Pada masa pasca-natal awal, respon endokrin pankreas mempermudah sekresi glukagon sehingga konsentrasi glukosa darah dapat dipertahankan. Perubahan-perubahan adaptif dalam sekresi hormon ini sejalan dengan terjadinya berbagai perubahan adaptif reseptor hormonal. Enzim esensial yang terlibat dalam produksi glukosa juga berubah drastis selama masa perinatal.5,6,11,12

Sangat dianjurkan agar neonatus yang memerlukan glukosa intravena untuk yang mempertahakan kadar > 3,3 mmol/L (60 mg/dL) pada usia berapapun, atau kadar glukosa < 2,8 mmol/L (50 mg/dL) setelah usia 48 jam. Penyebab kelainan metabolisme glukosa harus teridentifikasi sebelum diizinkan pulang.5

Tiga sistem metabolik yang mengatur respon fisiologik terhadap puasa, yaitu glikogenolisis hepatik, glukoneogenesis hepatik dan ketogenesis hepatik.5

Efek hipoglikemik insulin berlawanan dengan kerja berbagai hormon yang konsentrasinya dalam plasma meningkat saat glukosa darah menurun. Hormon counter-regulatory ini, yaitu glukagon, growth hormone (GH), kortisol dan epinefrin, bekerja sama meningkatkan konsentrasi glukosa darah melalui

Page 141: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

127

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

aktivasi enzim glikogenolitik (glukagon, epinefrin); menginduksi enzim glukoneogenik (glukagon, kortisol); menghambat asupan glukosa oleh otot (epinefrin, GH, kortisol); memobilisasi asam amino dari otot untuk glukoneogenesis (kortisol); mengaktivasi lipolisis sehingga tersedia gliserol untuk glukoneogenesis dan asam lemak untuk ketogenesis (epinefrin, kortisol, GH, glukagon); menghambat pelepasan insulin dan meningkatkan sekresi GH dan sekresi glukagon (epinefrin).5,6,11,12

Gejala dan tanda klinis hipoglikemia Gambaran klinis hipoglikemia pada bayi berkaitan dengan berbagai komponen neurogenik dan neuroglikopenik. Gejala biasanya tidak jelas dan tidak spesifik sehingga kecurigaan klinis harus diterapkan dengan cermat.5,6,11

Tabel 1. Gejala-gejala Hipoglikemia pada Bayi5

Neurogenik NeuroglikopenikAkibat aktivasi sistem saraf outonom (adrenergik atau kolinergik)

Akibat turunnya kadar glukosa serebral dan penggunaan oksigen

Gemetar Takikardi LaparPucat Hipotermi

LetargiGelisahAsupan makan sulit (poor feeding) KejangSianosisTakipnea Episode apnuLemah, high-pitched cry FloppinessEyerollingLip smacking

Tabel 2. Nilai ambang hipoglikemia5

Nilai Ambang Berbagai Gejala HipoglikemiaGlukosa darah, mmol/L (mg/dL) Akibat3,9 – 5,6 (70 – 100)4,4 – 4,7 (80 – 85)3,6 – 3,9 (65 – 70)

< 3,3 (59)

< 2,5 – 3,5 (45 – 63)1,1 – 1,7 (20 – 30)

Sekresi insulin meningkatSekresi insulin menurunSekresi glukagon, epinefrin, kortisol, dan GH meningkat Reaction time auditorik dan visual memanjangFungsi kognitif mulai menurunGejala-gejala neuroglikopenia

Page 142: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

128

Hipoglikemia pada Neonatus dan Bayi

Klasifikasi penyebab hipoglikemia pada neonatus dan bayi

Tabel 3. Klasifikasi Penyebab Hipoglikemia pada Neonatus dan Bayi5

1. Hipoglikemia transien neonatalPrematuritas Kecil untuk masa kehamilanIbu diabetikDiscordant twin AsfiksiaIbu mengalami toksemia

2. Hipoglikemia persisten neonatus atau infantil Gangguan hormonal

Hiperinsulinemia (HI)Recessive adenosine triphosphate (ATP)-dependent potassium (KATP) channel HI Focal KATP channel HI Dominant KATP channel HI Dominant glucokinase (GCK) HI Dominant glutamate dehydrogenase (GDH) HI/HA (hyperinsulinism/hyperammonemia syndrome) Acquired islet adenoma Sindrom Beckwith-WiedemannMunchausen syndrome by proxy Pemberian sulfonilurea Kelainan glikosilasi kongenital

Counter-regulatory hormone deficiency Panhypopituitarism Isolated growth hormone deficiency Defisiensi hormon adrenokortikotropik (ACTH) Addison disease Defisiensi adrenalin

Gangguan glikogenolisis dan glukoneogenesis Glucose-6-phosphatase deficiency (GSD tipe 1) Glucose-6-phosphate translocase deficiency (GSD 1b) Amylo-1,6-glucosidase (debranching enzyme) deficiency (GSD 3) Liver phosphorylase deficiency (GSD 6) Phosphorylase kinase deficiency (GSD 9) Glycogen synthetase deficiency (GSD 0) Fructose-1,6-diphosphatase deficiency Pyruvate carboxylase deficiency Galaktosemia Hereditary fructose intolerance

Gangguan lipolisis Gangguan oksidasi asam lemak

Carnitine transporter deficiency (primary carnitine deficiency) Carnitine palmitoyltransferase-1 deficiency Carnitine translocase deficiency Carnitine palmitoyltransferase-2 deficiency GSD, glycogen storage disease; HI, hyperinsulinemia; KATP, regulated potassium channel. Secondary carnitine deficiencies Very long, long-, medium-, short-chain acyl CoA dehydrogenase deficiency

3. Penyebab lainnya Ketotic hypoglycemia Keracunan SalisilatAlkohol Obat hipoglikemi oralInsulin Propranolol Pentamidin Quinine Disopyramide Trimethoprim-sulfamethoxazole

Page 143: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

129

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

Hipoglikemia transisional Konsentrasi glukosa plasma rendah pada neonatus normal selama periode hipoglikemia transisional biasa terjadi, maka sering sulit untuk mengidentifikasi bayi baru lahir yang mengalami suatu kelainan hipoglikemia patologik. Pada neonatus yang memilki risiko mengalami masalah hipoglikemia patologik (yaitu risiko genetik untuk neonates besar masa kehamilan, intrauterine growth restriction (IUGR), bayi dari ibu diabetik atau stres perinatal), harus mendapat pengawasan kadar glukosa dengan ketat dan tidak hanya mendapat penanganan saat hipoglikemia terjadi. Penanganan hipoglikemia pada 24 jam pertama penting dengan memperhatikan 2 sudut pandang, yaitu rencana penanganan harus menghindarkan bayi yang tidak memerlukan penanganan dan penanganan harus mencakup untuk mereka yang berisiko mengalami kelainan hipoglikemik permanen. 5,6

Bayi dari ibu diabetikDiabetes gestasional terjadi pada sekitar 2% wanita hamil, sementara 1/1.000 wanita hamil mengalami insulin-dependent diabetes. Saat kelahiran, bayi dari ibu diabetik biasa besar dan phletoric, dengan cadangan glikogen, protein dan lemak berlebih.

Hipoglikemia pada bayi dari ibu diabetik paling sering berhubungan dengan hiperinsulinemia dan sebagian dengan sekresi glukagon rendah. Terjadi hipertrofi dan hiperplasia islets yang, menghasilkan respons insulin terhadap glukosa yang cepat, bifasik dan matur. Respon seperti ini tidak ditemukan pada bayi normal. Bayi yang lahir dari ibu diabetik juga mengalami gelombang subnornal glukagon plasma segera setelah lahir. Sekresi glukagon subnormal merupakan respon terhadap stimuli yang dimulai dengan aktivitas simpatik berlebihan yang dapat menimbulkan kelainan adrenomedular yang terlihat dari penurunan sekresi epinefrin dalam urin.5,6

Hipoglikemia hiperinsulinemik persisten (HHP) pada bayiSupresi terhadap sekresi insulin merupakan faktor penting untuk mempertahankan keadaan euglikemia selama puasa melalui aktivasi glikogenolisis hepatik, glukoneogenesis dan oksidasi asam lemak. Kegagalan untuk menekan sekresi insulin merupakan penyebab paling sering dari hipoglikemia persisten pada bayi dan anak. Penanda biokimiawi dan klinis pada neonatus adalah: (1) peningkatan berat lahir karena efek peningkatan

Page 144: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

130

Hipoglikemia pada Neonatus dan Bayi

pertumbuhan (growth-promoting effects) insulin in utero, (2) peningkatan utilisasi glukosa, (3) supresi lipolisis dan ketogenesis ( free fatty acids dan keton rendah saat hipoglikemia), dan (4) respon glikemik terhadap glukagon saat hipoglikemia tidak sesuai (peningkatan > 30 mg/dL).

Bentuk familial HHP sering ditemukan pada populasi tertentu, yaitu Arab dan Yahudi, dengan insidens 1/2.500, dibanding insidens populasi umum sekitar 1/50.000. Bentuk resesif autosomal HHP biasanya diketahui segera pada bayi besar dengan berat lahir > 4 kg dan hipoglikemia berat rekuren atau persisten yang bermanifestasi beberapa jam atau hari setelah lahir.

Infus glukosa 15–20 mg/kg/min dan pemberian makan sering gagal mempertahankan euglikemia. Diazoxide, yang bekerja membuka KATP channels, gagal mengontrol hipoglikemia secara memadai. Somatostatin, yang juga membuka KATP dan menghambat calcium flux, efektif pada sekitar 50% pasien. Calcium channel blocking agents tidak memberikan efek konsisten. Bila pasien tidak memberikan respons terhadap penanganan tersebut maka dianjurkan pankreatektomi untuk menghindari dampak neurologik akibat dari hipoglikemia. Bila aman dilakukan pembedahan, CT atau MRI pra-operatif kadang menunjukkan adanya isolated adenoma yang dapat direseksi lokal.5,6

Pendekatan diagnostik pasien dengan hipoglikemiaDiagnosis harus didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisis, hasil laboratorium, serta yang paling penting, respon hormonal saat hipoglikemia puasa.5,11,16

Analisis sampel darah selama hipoglikemia dan 30 menit setelah pemberian glukagon: y Substrat : glukosa, free fatty acids (FFA), keton, laktat, asam urat, ammonia y Hormon: insulin, kortisol, GH, tiroksin, thyroid-stimulating hormone, insulin-

like growth factor binding protein–1 (IGFBP-1).

RiwayatAnamnesis dengan cermat dilakukan untuk mengetahui gejala sampai waktu dan tipe makanan, dengan mempertimbangkan usia pasien. Dinilai kemungkinan injeksi insulin, salt craving, kecepatan pertumbuhan dan patologi intrakranial. Hipoglikemia yang terjadi 12-18 jam akibat asupan oral yang kurang mungkin berkaitan dengan gangguan fatty acid oxidation (FAO). Riwayat lahir besar untuk masa kehamilan dan mengalami hipoglikemia saat periode neonatal kemungkinan suatu hiperinsulinemia (HI).

Page 145: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

131

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

Pemeriksaan fisisPemeriksaan fisis untuk mencari adanya hepatomegali (kelainan penyimpanan glikogen, defek dalam glukoneogenesis); pigmentasi (kegagalan adrenal); perawakan dan status neurologik (pituitary disease). Bayi harus diamati dengan seksama untuk melihat adanya gambaran dismorfik yang menunjukkan kemungkinan suatu sindrom yang menyebabkan hipoglikemia. Status pertumbuhan dan gizi harus ditetapkan dengan garis persentil berdasarkan pengukuran tinggi badan, lingkar kepala, serta berat badan. y Jika didapatkan makrosomia dan hepatomegali dapat dipikirkan suatu HI.

Gambaran makroglosia, hemihipertrofi, berbagai abnormalitas umbilikal dan lipatan telinga dapat sesuai dengan sindrom Beckwith-Wiedemann sebagai salah satu penyebab HI.

y Berbagai abnormalitas linea medialis skeleton kraniofasial, ikterus neonatus, gangguan penglihatan atau atrofi optik dan genitalia yang tidak sempurna, seperti mikropenis dapat merupakan bagian dari hipopituitarisme.

y Peningkatan pigmentasi kulit, hipotensi atau ambigus genitalia dapat berkaitan dengan insufikuensi adrenal primer.

y Hepatomegali dapat merupakan bagian dari inborn errors of metabolism termasuk GSD.

Pemeriksaan laboratoriumLangkah pertama adalah menilai apakah terdapat asidosis yang berhubungan dengan hipoglikemia, kemudian harus ditentukan apakah merupakan ketoasidosis atau asidosis laktat.5,6,11,16

y Ambil sampel darah sebelum dan pada 30 menit setelah pemberian glukagon

y Ambil urin sesegera mungkin. Lakukan uji keton; bila keton tidak ditemukan dan terdapat hipoglikemia maka dicurigai hiperinsulinemia atau fatty acid oxidation defect; sedangkan bila terdapat keton maka dicurigai ketotik, defisiensi hormon, kelainan lahir metabolisme glikogen atau glukoneogenesis defektif.

y Uji glukosa pada sampel darah pertama. Bila ada hipoglikemia maka dilanjutkan dengan pengukuran substrat hormon.

y Bila glikemik meningkat melampaui 40 mg/dL di atas nilai basal setelah pemberian glukagon maka dicurigai hiperinsulinemia.

y Bila kadar insulin saat hipoglikemia dipastikan mencapai >5 μU/mL, dicurigai hiperinsulinemia endogen, dan bila >100 μU/mL, dicurigai factitious hyperinsulinemia (injeksi insulin eksogen). Segera kirim ke rumah sakit untuk mendapat penanganan puasa terawasi (supervised fast).

Page 146: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

132

Hipoglikemia pada Neonatus dan Bayi

y Bila kortisol <10 μg/dL atau growth hormone <5 ng/mL, atau keduanya, dicurigai insufisiensi adrenal atau pituitary disease, atau keduanya. Kirim ke rumah sakit untuk uji hormonal dan neuroimaging.

Pemeriksaan lainPemeriksaan oftalmologi, computed tomography (CT scan) atau Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan Positron Emission Tomography (PET scan).

Gambar 1. Algoritma Pendekatan Hipoglikemig

Respons bahan bakar tubuh

Asidosis laktat Ketoasidosis FFALow ketones

Low FFALow ketones

Kemungkinan kelainan

G-6-Pase deficiencyFDPase deficiencyPyruvate carboxylase deficiencyNeonatus normal

Normal ketoticHipoglikemiaGSD 3,6,9,10

GH deficiencyCortisol deficiency

FAO disordersNeonatus normal

HiperinsulinemiaPanhipopituitarismeSGA, asfiksia lahir

Uji selanjutnya Prekursor glukoneogenikUji stimulasi glukagon

Uji fungsi pituitary dan adrenalUji stimulasi glukagon

Acyl-carnitine profile

Uji stimulasi glukagonUji fungsi pitutary, adrenal, tiroidInsulin assayUji lain untuk hiperinsulinemia

FDPase, fructose-1,6-diphosphatase; FFA, free fatty acids; G-6-Pase, glucose 6-phosphatase; GH, growth hormone; GSD, glycogen storage disorder; SGA, small for gestational age.

Tata laksanaTujuan terapi adalah mempertahankan glukosa plasma 70 mg/dL. Untuk bayi setelah periode transisional, penanganan dimulai segera bila nilai glukosa plasma < 2,8 mmol/L (50 mg/dL). Bila bayi mengalami gejala hipoglikemia atau keadaan umum tidak baik dan glukosa < 2,8 mmol/L (50 mg/dL), maka glukosa IV harus diberikan untuk menjaga kadar glukosa > 3,3 mmol/L (60 mg/dL). Dosis lazim glukosa adalah 200 mg/kg (2 ml/kg dekstrosa 10%) dibolus setelah diberi glucose infusion rate (GIR) 4 sampai 6 mg/kg/min (60 to 90 ml,

Page 147: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

133

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

dekstrosa 10%/kg/hari). Rate ini mendekati tingkat produksi hepatik glukosa normal pada neonantus dan anak kecil kemudian ditingkatkan dengan GIR 1,6 mg/kg/min (1 ml/kg dekstrosa 10%/jam) sampai kadar glukosa mencapai > 3,3 mmol/L (60 mg/dL). Kadar glukosa harus diperiksa setiap 15 menit dan GIR ditingkatkan sampai kadar plasma yang diinginkan tercapai. Bila setelah dua dosis peningkatan 1,6 mg/kg/min (1 ml/kg dekstrosa 10%/jam) kadar glukosa plasma tetap < 3,3 mmol/L (60 mg/dL), maka dianjurkan ditingkatkan menjadi 3,2 mg/kg/min (2 ml/kg dekstrosa 10%/jam) setiap 15 menit.

Untuk bayi asimtomatik usia < 2 jam, glukosa IV diberikan bila kadar glukosa < 1,7 mmol/L (30 mg/dL) dengan tujuan menaikkan kadar glukosa ke > 3,3 mmol/L (60 mg/dL). Untuk bayi asimtomatik usia 2 sampai 24 jam, glukosa IV diberikan bila kadar glukosa < 2,2 mmol/L (40 mg/dL) dan tujuannya adalah meningkatkan glukosa ke kadar > 3,3 mmol/L (60 mg/dL). Bila bayi tetap mengalami konsentrasi glukosa asimtomatik < 50 mg/dL setelah 24-48 jam maka dipertimbangkan pemberian IV dekstrosa dengan tujuan mencapai glukosa > 3,9 mmol/L (70 mg/dL).5,6

Bila diperlukan dari lebih dari 10 mg/kg/menit perlu dipertimbangkan untuk intervensi farmakologik pada kasus dengan hipoglikemia berat, persisten atau rekuren.5,6,15

Tabel 4. Tata Laksana Farmakologik pada Hipoglikemia Neonatal

Bahan & Efek Dosis Pemberian Efek sampingDiazoxide(Menghambat sekresi insulin)

10-15 mg/kg/hari Oral (sekali tiap 8 jam) Hirsutisme, gagal jantung, retensi cairan, nausea, vomiting

Glukagon (Stimulasi glikogenolisis)

Bolus: 200 mcg/kg, 1 mg/hari

Infus intermitten Infus kontinyu

Hiponatremia, thrombositopenia

Glukokortikoid(Menurunkan utilisasi glukosa periferal)

Growth suppression, Hipertensi`

-Deksametason 0.25 mg/kg1-2.5 mg/kg

IV (sekali tiap 12 jam) IV (sekali tiap 6 jam)

-Hidrokortison 50 mg/m2/hariNifedipin Initial: 0.25-0.3 mg/kg/hr

Final: 0.5-0.8 mg/kg/hrOral (sekali tiap 8 jam) Tidak dilaporkan

Octreotide(Menghambat pelepasan insulin dan GH)

7-12 mcg/kg/hari (maks: 40 mcg/kg/hari)

Subkutan (setiap 4-6 jam)Dapat diberikan sebagai IV kontinyu

Kolelitiasis

Pankreatektomi(Menurunkan sekresi insulin)

Partial atau near-total pancreatectomy

hr, hours; IV, intravenous; max, maximum

Page 148: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

134

Hipoglikemia pada Neonatus dan Bayi

SimpulanHipoglikemia merupakan kelainan yang sering ditemukan, dapat terjadi pada berbagai kondisi neonatal, termasuk prematuritas, retardasi pertumbuhan, serta diabetes maternal. Skrining hipoglikemia dianjurkan pada keadaan tertentu yang berisiko tinggi.

Diagnosis dan tata laksana hipoglikemia yang tepat dapat mempertahankan fungsi intelektual tetap normal. Hipoglikemia yang berlangsung lama, rekuren dan berat berkaitan dengan terjadinya berbagai kelainan neurologic. Untuk mempertahankan fungsi intelektual tetap harus normal sebab hipoglikemia simptomatik lama, rekuren, berat, berkaitan dengan terjadinya berbagai kelainan neurologik.

Daftar pustaka1. Osier FHA, Berkley JA, Ross A, Sanderson F, Mohammed S, Newton CRJC.

Abnormal blood glucose concentrations on admission to a rural Kenyan district hospital: prevalence and outcome. Arch Dis Child. 2003;88:621–5.

2. Pal DK, Manandhar DS, Rajbhandari S, Land JM, Patel N, de L Costello AM. Neonatal hypoglycaemia in Nepal 1. Prevalence and risk factors. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed. 2000;82:F46–F51.

3. Koivisto M, Blaco-Sequeiros M, Krause U. Neonatal symptomatic hypoglycaemia: a follow-up study of 151 children. Dev Med. Child Neurol. 1972;14:603-14.

4. Burns CM, Rutherford MA, Boardman JP, Cowan FM. Patterns of cerebral injury and neurodevelopmental outcomes after symptomatic neonatal hypoglycemia. Pediatrics. 2008;122-65.

5. De Leon DD, Thornton PS, Stanley CA, Sperling MA. Hypoglycemia in the Newborn and Infant. Dalam: Sperling MA. Pediatric Endocrinology, Edisi ke-4. Philadelphia: Elsevier Saunders 2014; 157-81.

6. Sperling MA. Hypoglycemia. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of Pediatrics, Edisi ke 18. Philadelphia: Elsevier Saunders 2007.

7. Achoki R, Opiyo N, English M. Mini-review: Management of Hypoglycaemia in Children Aged 0–59 Months. J Trop Pediatr. 2010;56:227–34.

8. Canadian Paediatric Society. Screening guidelines for newborns at risk for low blood glucose. Paediatr Child Health. 2004; 723-9.

9. Cornblath M, Hawdon JM, Williams AF, Aynsley-Green A, Ward-Platt MP, et al. Controversies Regarding Definition of Neonatal Hypoglycemia: Suggested Operational Thresholds. Pediatrics 2000;105:1141-5.

10. Fernandez BA, Perez IC. Neonatal Hypoglycemia - Current Concepts. Diunduh dari: http://www.intechopen.com/books/hypoglycemia-causes-and occurrences/neonatalhypoglycemia-current-concepts. Diunduh tanggal 10 Oktober 2011.

11. Thornton PS. Hypoglycemia. Dalam: Moshang T. Pediatric Endocrinology, Edisi ke 1. Philadelphia: Elsevier Mosby; 2005 37-58.

Page 149: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

135

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

12. Sweet CB, Grayson S, Polak M. Management Strategies for Neonatal Hypoglycemia. J Pediatr Pharmacol Ther 2013;18:199–208.

13. Newborn Care Committee. Newborn Hypoglycemia Guidelines. Michigan: WHBC Clinical Practice Council 2008; 1-4.

14. Jain A, Aggarwal R, Jeevasanker M, Agarwal R, Deorari AK, Paul VK. Hypoglycemia in the Newborn. Indian J Pediatr 2008; 75: 63-7.

15. Maternity and Neonatal Clinical Guideline. Newborn Hypoglycemia. Queensland Clinical Guidelines 2013: 2-22.

16. Gregory J. Hypoglycemia. Dalam: Zacharin M. Practical Pediatric Endocrinology. Melbourne: National Library of Australia 2011: 232-9.

Page 150: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

136

Newborn Emergency Tranport Service (NETS) : Moving intensive care for kids

Rinawati Rohsiswatmo

Tujuan: 1. Memahami indikasi neonatus risiko tinggi yang memerlukan

transportasi2. Memahami kriteria kendaraan, personil dan peralatan yang diperlukan

dalam transportasi neonatus secara aman3. Memahami risiko yang mungkin terjadi pada neonatus selama proses

transportasi

Dalam menghadapi kelahiran bayi, perlu diperhatikan risiko dari bayi yang akan dilahirkan. Hal ini berkaitan dengan fasilitas yang diperlukan untuk perawatan bayinya. Perawatan untuk bayi risiko rendah atau sehat, cukup di rawat gabung bersama ibunya. Bayi risiko menengah atau tinggi perlu mendapat perawatan di unit perawatan khusus atau intensif. Bidan atau dokter kandungan, sebaiknya sudah menentukan dimana tempat melahirkan yang paling sesuai bagi si ibu. Apabila fasilitas tidak sesuai dengan kebutuhan ibu maupun bayinya, sebaiknya ibu dan janinnya dirujuk ke fasilitas yang lebih lengkap. Transpor neonatus risiko tinggi saat masih di kandungan merupakan gold standard dalam menurunkan morbiditas dan mortalitas.1

Ada kalanya transpor in utero tidak memungkinkan sehingga dibutuhkan transpor neonatus ke rumah sakit lain. Selama proses tranportasi, neonatus dapat terpapar dengan rangsangan bahaya seperti, kebisingan, getaran, perubahan suhu, gravitasi, gerakan serta gaya percepatan atau perlambatan kendaraan. Hal tersebut diatas dapat mengakibatkan cedera, neonatus harus berjuang untuk mempertahankan homeostatis.1

Transpor neonatus risiko tinggi ke rumah sakit rujukan sebaiknya dikerjakan oleh tim transpor khusus, bukan oleh keluarga ataupun tim yang tidak berpengalaman. Tindakan merujuk oleh tim transpor yang terlatih dapat memperbaiki kesintasan neonatus jika dibandingkan dengan tindakan merujuk oleh yang kurang berpengalaman (96,2% vs. 89%;P=0,03). Kumar et al melaporkan tiga masalah besar yang dijumpai dalam melakukan transpor neonatus, yaitu dampak yang ditimbulkan oleh tim transpor yang kurang berpengalaman, gangguan instabilitas suhu, dan gangguan biokimiawi.2

Page 151: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

137

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

Persyaratan trasnportasi neonatus yang baikTransportasi neonatus dapat dilakukan intrahospital maupun interhospital. Yang dimaksud intrahospital adalah bayi di transpor dari tempat dilahirkan ke ruang perawatan lanjutan yaitu ruang perawatan khusus atau intensif rumah sakit yang sama. Transpor interhospital yaitu transpor antar rumah sakit. Konsep transpor neonatus tidak boleh dilakukan sebelum bayi STABLE. Program STABLE ini disusun berdasarkan prinsip prioritas resusitasi ketika menghadapi kondisi kritis, yakni ABC (Airway, Breathing, dan Circulation). STABLE merupakan singkatan dari SUGAR and SAFE care (kadar gula darah dan keselamatan bayi), TEMPERATURE (suhu), AIRWAY (jalan napas), BLOOD PRESSURE (tekanan darah), LAB WORK (pemeriksaan laboratorium), EMOTIONAL SUPPORT (dukungan emosional).1 Program STABLE juga mengupayakan kondisi bayi menjadi “warm, pink, and sweet” secepatnya dalam kurun waktu 1 jam.1,3

Stabilisasi pra–tranportasi dapat meminimalkan risiko yang dapat berkontribusi pada kesakitan maupun kematian.1 Sebelum dilakukan pemindahan pasien, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan tenaga medis, yaitu: pastikan jalan napas terbuka dan ventilasi yang adekuat, usaha napas, kulit dan bibir berwarna merah muda, laju denyut jantung 120-160 kali per menit, suhu rectum 37 ºC atau suhu aksila 36.5-37ºC, saturasi, gangguan metabolik teratasi, gangguan khusus tertangani.4 Transportasi bayi bukan berarti memindahkan kematian ke tempat lain. Agar menghasilkan luaran bayi baru lahir baik dikenal kaidah The First Golden Hour.

The First Golden Hour merupakan waktu satu jam pertama yang sangat kritis pada kehidupan neonatus yang baru lahir. Tata laksana yang tepat oleh tenaga yang kompeten akan memberi dampak yang sangat berarti dari kehidupan neonatus itu di masa mendatang. 5

Di negara maju transportasi neonatus risiko tinggi umumnya dikelola secara profesional oleh rumah sakit rujukan tertinggi dan dibiayai oleh negara. Akronim dari transportasi neonatal adalah NETS (Newborn Emergency Transport Service). Sejak tahun 1995 di negara bagian New South Wales, Australia ,tanggung jawab NETS diperluas menjadi Newborn Pediatric Emergency Transport Service. Filosofi NETS adalah moving intensive care for kids. NETS berupaya menghindari pasien anak kritis dibawa tergopoh-gopoh ke rumah sakit rujukan oleh keluarga atau tim yang tidak berpengalaman. Para profesional yang bekerja di NETS siap melakukan diskusi / nasehat terkait penanganan kegawatan bayi maupun anak sebelum penjemputan. Mereka yang bekerja di NETS harus mampu menangani, menstabilisasi dan mentranspor pasien kritis dengan aman. Tugas lain yang harus dilakukan oleh NETS adalah melakukan diskusi dan atau memberikan informasi kepada rumah sakit rujukan yang akan dituju. 6 Beberapa informasi yang perlu disampaikan ke unit atau

Page 152: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

138

Pemberian Transfusi Darah pada Anemia Berat

rumah sakit rujukan seperti riwayat kelahiran bayi, riwayat antenatal, tindakan yang telah diberikan, serta perkembangan kondisi bayi selama proses transpor. Tim transpor neonatus diharapkan mampu menjelaskan dengan baik keadaan bayi, perawatan yang diperlukan, prognosis, rencana tata laksana serta sistem transportasi yang digunakan dan unit rujukan kepada orang tua.7,8

Tim transpor neonatus merupakan tim pelayanan multidisplin yang terdiri dari dokter umum, perawat pelaksana, staf keperawatan neonatus, respiratory therapists, tenaga paramedis, supir ambulan dan penyedia pelayanan kesehatan.9 Penting mempertimbangkan kualitas kemampuan dan pengalaman anggota tim transpor termasuk supir ambulan dalam bekerja di lapangan. Supir ambulan diharapkan mengenal lokasi yang akan dituju dan mampu mengantarkan neonatus ke tempat rujukan interhospital dengan aman.10 Tim transpor sebaiknya memiliki ketrampilan minimal dalam menangani bayi risiko tinggi baik keadaan akut maupun kritis selama proses transpor. Kemampuan minimal yang harus dimiliki tim transpor diantaranya kemampuan dalam pemasangan pipa endotracheal / intubasi, chest tube insertion, pemasangan jarum intraosseous, pemasangan kateter umbilikal, pemberian surfaktan, pengunaan ventilasi mekanik termasuk High-Frequency Ventilation.11 Selain itu tim transpor juga harus mempunyai keterampilan komunikasi interpersonal, keterampilan berpikir kritis, keterampilan kepemimpinan.12

Setiap tim transpor sebaiknya memiliki koordinator transpor yang ditunjuk. Koordinator tim transpor dapat dijabat seorang perawat yang minimal memiliki pengalaman dua tahun di bidang keperawatan neonatus dan transpor neonatus risiko tinggi. Koordinator tim transpor bertugas untuk mengawasi pelatihan, penjadwalan, pendidikan dan kinerja klinis dari setiap anggota tim. Tanggung jawab tambahan mencakup mengumpulkan data yang berkaitan dengan transpor, merekomendasikan pembelian peralatan untuk transportasi dan berkomunikasi masalah yang dialami pada transportasi kepada direktur medis dari tim transportasi.12 Tim transpor bertugas mengecek seluruh kelengkapan kendaraan transportasi dan obat obatan yang telah digunakan.13

Komposisi anggota tim transpor umumnya terdiri dari satu orang neonatologis, staf perawat neonatus serta supir ambulan yang siap membantu tenaga medis. Ada kalanya tim transpor tidak didampingi oleh dokter karena kasusnya sangat ringan. Jika salah satu tenaga medisnya seorang wanita, maka dibutuhkan tambahan seseorang biasanya mahasiswa kedokteran yang dapat membantu membawa stretcher apabila lift tidak tersedia. Komposisi tim transpor harus tersedia dalam 24 jam sehari atau 7 hari seminggu agar siap saat diperlukan.13

Berdasarkan derajat kegawatannya terdapat 3 pembagian transpor neonatus, yaitu: keadaan emergency, urgent dan elective. Pada keadaan emergency maka waktu kritis yang diperlukan untuk sampai ke unit rujukan

Page 153: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

139

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

kurang dari 30 menit, penggunaan sirene ambulan disarankan dan kecepatan mengemudi ambulan tergantung indikasi. Pada keadaan urgency, waktu yang diperlukan untuk sampai ke unit rujukan dapat ditolerir sampai dengan 4 jam. Penggunaan sirene atas indikasi dan kecepatan mengemudi normal. Pada keadaan elective waktu kritis yang diperlukan untuk sampai ke unit rujukan 1-2 hari, penggunaan sirene tidak diperlukan, dan kecepatan mengemudi normal.14

Tabel 1. Kategori tim transpor yang dibutuhkan sesuai dengan kegawatan bayi7. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel I.

Transportasi oleh dokter dan perawat

• Bayi yang memerlukan perawatan intensif• Bayi dengan berat < 1000 gram• Bayi dengan usia gestasi < 28 minggu dan usia postnatal <48 jam• Bayi dengan CPAP nasal pasca ekstubasi ≤ 48 jam• Bayi dengan ketergantungan tinggi dan tidak stabil• Bayi dengan masalah jantung kompleks ataau membutuhkan obat untuk

memertahankan lesi duct dependent• Bayi dengan masalah bedah kompleks• Bayi dengan masalah neurologis yang membutuhkan• pemantauan dan terapi untuk memertahankan stabilitas• Bayi yang dirujuk untuk intervensi, misal• terapi retinopati terkait prematuritas atau pemeriksaan jalan napas

Transportasi oleh perawat saja

• Bayi perawatan khusus yang stabil• Bayi dengan ketergantungan tinggi yang telah stabil selama 48 jam tanpa pen-

ingkatan kebutuhan oksigen dan tanpa bradikardia atau desaturasi signifikan• Bayi dengan CPAP nasal yang telah stabil selama 48 jam tanpa peningkatan

oksigen dan tidak mengalami bradikardia atau desaturasi signifikan dalam waktu singkat

• Bayi yang dirujuk untuk pembedahan, dalam kondisi stabil sebelum transpor dan tidak membutuhkan intervensi untukmemertahankan stabilitas

• Bayi dengan kelainan neurologi yang telah stabil selama 48 jam• Bayi yang telah diekstubasi selama 24 jam. Alasan intubasi hanya untuk pembe-

dahan (elektif) dan bayi stabil sebelum intervensi pembedahan• Bayi stabil yang melakukan konsultasi rawat jalan (bukan intervensi) dan waktu

tunggu tidak melebihi 1 jam

Sumber: UKK Neonatologi Ikatan Dokter Anak Indonesia . Resusitasi Neonatus

Kendaraan yang dibutuhkan selama transportasi neonatusKendaraan transpor yang digunakan sebaiknya dapat menjamin keamanan bayi, keluarga serta tenaga medis yang mendampingi. Kendaraan transpor harus mampu memuat peralatan transportasi bayi seperti inkubator transpor dengan atau tanpa ventilator transpor (pada fasilitas lengkap), monitor kardiovaskular, tabung oksigen, alat suction, serta dapat memberi ruang bagi tenaga medis untuk melakukan tindakan yang diperlukan (misal memasang pipa endotrakeal). Peralatan yang terdapat dalam kendaraan transpor sebaiknya

Page 154: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

140

Pemberian Transfusi Darah pada Anemia Berat

bersifat tahan benturan dan dipastikan aman bagi bayi, keluarga dan tim transpor selama perjalanan.7

Transpor neonatus dapat dilakukan dengan 3 cara, yaitu transpor melalui udara, transpor melalui darat atau transpor melalui air. Pada praktiknya, transpor neonatus melalui darat lebih sering digunakan dibandingkan yang lainnya. Transpor melalui darat merupakan pelayanan transpor door to door jarak dekat yang lebih memungkinkan digunakan dalam kota. Salah satu pertimbangan transpor melalui udara apabila kondisi jalan yang akan dilalui sangat buruk sehingga menghambat transportasi darat. Transpor melalui udara lebih disukai jika perkiraan jarak antar unit rujukan 50 – 150 kilometer dan lebih efisien jika jaraknya melebihi 150 kilometer.7

Derajat keparahan seperti cedera dan kematian dapat ditimbulkan akibat kemacetan lalu lintas. Bentuk dinamis seperti paparan getaran dan bising lebih sering ditemui pada transpor melalui darat dibandingkan transpor melalui udara. Penelitian menyebutkan transpor melalui darat, dapat terjadi pengereman mendadak yang dapat menghasilkan gravitasi tekanan negatif yang berbahaya bagi perkembangan otak neonatus. Selama dalam ambulan tercatat terdapat 5 kali guncangan impulsif, yaitu posisi telentang neonatus (kepala terletak dibagian belakang kendaraan), matras kaku yang digunakan neonatus dalam inkubator, inkubator tidak dilengkapi dengan peredam, roda kendaraan serta jalan tidak rata.15 Transpor melalui udara perlu memerhatikan faktor getaran, gaya gravitasi selama akselerasi dan deselerasi, bising berlebihan, perubahan temperatur dan penurunan kelembaban yang berhubungan ketinggian di atas permukaan laut. Ketinggian dari permukaan laut dapat memengaruhi sistem respiratori neonatus menyebabkan tekanan barometer meningkat, bertambahnya volume gas dalam paru sehingga memicu pneumothoraks pada neonatus.7

Standarisasi kelengkapan serta keamanan lingkungan harus dipenuhi baik transpor neonatus melalui darat maupun udara. Beberapa yang perlu diperhatikan dalam transpor neonatus melalui udara diantaranya penggunaan sabuk pengaman dan helm, perubahan iklim, jam terbang pilot, kelengkapan peralatan penerbangan, peraturan penerbangan dan kacamata penglihatan malam. Transpor melalui darat perlu memerhatikan batas kecepatan kendaraan. 7

Sampai saat ini alat transportasi neonatus yang sering digunakan adalah ambulan dan persawat udara (kecil) yang dapat terbang rendah. Tidak banyak negara yang melakukan transportasi melalui air. Khusus untuk beberapa wilayah kepulauan di Indonesia yang sulit dijangkau dengan ambulan dan persawat, transportasi air merupakan pilihan yang paling tepat.

Page 155: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

141

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

Peralatan yang dibutuhkan saat transportasi neonatusDukungan peralatan sangat dibutuhkan dalam keberhasilan tranportasi neonatus.7 Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel II.

Tabel II. Peralatan yang dibutuhkan tranportasi neonatus:

Dukungan termal • Inkubator transpor (pada fasilitas lengkap)/transpor secara skin to skin (pada fasilitas terbatas)

• Termometer dan/ atau monitor suhu disertai probes • Plastik, selimut insulator, pelindung panas

Dukungan respi-ratori:

• Tabung oksigen 1 m3 dan udara dengan indikator tekanan dan kandungan gas yang sesuai

• Flowmeter 1 Lpm (termasuk regulator tabung)• Sungkup dan kanul nasal neonatus • Oxygen analyzer • Balon tekanan positif • Peralatan continuous positive airway pressure (CPAP): nasal prong dan pipa

endotrakeal • Infant blending resuscitator Mixsafe Forte®• Resuscitation Bag• Ventilator mekanik • Pipa endotrakeal ukuran 2,5;3,0;3,5;4,0 mm • Laringoskop neonatus dengan blade ukuran 00, 0, dan 1 dilengkapi dengan fiber

optic• Baterai dan lampu cadangan untuk laringoskop• Stilet dan plester untuk fiksasi pipa endotrakea

Perangkat suction: • Kateter suction (ukuran 5, 6, 8, 10, 12 Fr) • Alat suction dengan batas tekanan < 100 mmHg • Suction pump• Syringe pump• Feeding Tube (8 Fr) dan spuit 20 mL untuk dekompresi oro-gastrik • Sarung tangan steril, air steril untuk irigasi

Perangkat peman-tuan:

• Stetoskop, monitor jantung, pulse oxymeter • Alat pantau gula darah• Blood gas analyzer portable

Peralatan infus parenteral:

• Kateter intravena (24, 26 G) • Spuit (2, 5, 10, 20, 50 mL) • Spalk, dressing transparan atau micropore three way stopcock, set infus (diusa-

hakan kompatibel dengan syringe pump/ infusion pumpObat-obatan • Kalsium glukonas 10%

• Epinefrin (1:10000) diisi dalam spuit, sodium bikarbonat • Dopamin, Dobutamin, Morfin, Midazolam, Normal salin, Fenobarbital, Surfaktan,

Prostaglandin E1 (PGE1) / alprostadil®

Sumber: UKK Neonatologi Ikatan Dokter Anak Indonesia . Resusitasi Neonatus

Transportasi neonatus di IndonesiaSampai saat ini transportasi neonatus di Indonesia belum terorganisir dengan baik, masih dilakukan terkotak-kotak oleh mereka yang peduli atau yang membutuhkan. Masih banyak keluarga atau tenaga medis yang kurang

Page 156: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

142

Pemberian Transfusi Darah pada Anemia Berat

kompeten membawa sendiri pasiennya dengan kendaraan dan peralatan yang kurang terstandarisasi. Rumah sakit rujukan seringkali menolak karena memang pada kenyataanya tidak ada tempat tersisa untuk merawat pasien tersebut. Banyak pasien yang meninggal atau hampir meninggal saat datang di rumah sakit rujukan

Dalam hal mengantisipasi instabilitas suhu neonatus sakit saat dirujuk, metode skin to skin contact atau metode kanguru merupakan pilihan yang sangat tepat. Inkubator transpor selain mahal, kurang dapat meredam goncangan saat diperjalanan. Metode kanguru sangat tepat digunakan untuk transpor bayi > 1200 gram yang relatif stabil dan hanya memerlukan Continuous Positive Airway Pressure (CPAP). Skin to skin contact diharapkan mampu mempertahankan suhu tubuh neonatus relatif stabil selama di perjalanan.1 Gambar 1 memerlihatkan bagaimana melakuakan transpor neonatus dengan CPAP dan metode kanguru.

Gambar (a) Gambar (b)

Gambar 1. Metode transportasi bayi baru lahir

(a) metode kontak kulit dengan kulit (metode kanguru) (b) metode kanguru untuk menjamin suhu bayi tetap hangat di perjalanan

Simpulan

Transpor neonatus atau anak ke rumah sakit rujukan seringkali berisiko fatal bila tidak dipersiapkan dengan matang. Kondisi neonatus atau anak sangat berbeda dengan pasien dewasa. Untuk itulah transpor hanya dilakukan apabila pasien akan mendapat manfaat yang lebih besar untuk kesembuhan maupun keselamatannya di tempat rujukan. Tim transpor harus mampu menjembatani komunikasi antara klinisi ditempat semula dengan klinisi di rumah sakit

Page 157: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

143

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

rujukan. Komunikasi per telepon terjalin baik sebelum dirujuk maupun selama transpor sampai tiba dengan selamat di tempat rujukan.

Tim transpor tidak pernah ditugaskan untuk memindahkan kematian dari tempat semula ke rumah sakit rujukan. Tim transpor harus mampu berkoordinasi secara sigap dan tanggap dengan semua pihak terkait dalam hal penanganan pasien anak kritis, sakit berat, bahkan mengalami cedera. Atas dasar itulah NETS, Newborn and Pediatrics Transpor Service dapat diartikan sebagai networked emergency triage service, moving intensive care for kids.

Daftar pustaka1. Mears M dan Chalmers S. Neonatal pre-transport stabilisation –caring for infants

the STABLE way. 2005;1:1.2. Kumar PP, Kumar CD, Venkatlakshmi A. Long distance neonatal trasport—the

need of the hour. Indian Pediatr 2008;45:920-2. 3. Karlsen K. The S.T.A.B.L.E program, post-resuscitation / pre-transport

stabilization care of sick infants. Utah: March of Dimes; 2006.4. Veronica RM, Gallo LL, Medina DR, Gutierrez MD, Mancilla JS, Amezcua MM,

Safe neonatal transport in the state of Jalisco: impact of the S.T.A.B.L.E.program on morbidity and mortality. Bol Med Hosp Infant Mex 2011;68:31-35.

5. Barkemeyer BM. Critical Concepts NICU. [diakses pada: 24 Maret 2014]. Diunduh dari : URL: www.medschool.lsuhsc.edu.

6. NETS. About NETS. [online] [diakses pada: 24 Maret 2014]. Diunduh dari : URL http://www.nets.org.au/About-NETS.aspx.

7. UKK Neonatologi. Stabilisasi dan Transportasi Pasca Resusitasi. Dalam: Rohsiswatmo R dan Rundjan L, penyunting. Resusitasi neonatus. Jakarta: UKK neonatologi IDAI; 2014.

8. Martin RJ dan Crowley MA. Recognition, Stabilization, and Transport of The High-Risk Newborn. Dalam: Fanaroff AA dan Fanaroff JM, penyunting. Klaus and Fanaroff’s care of the high risk neonate. Edisi ke-6. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2012.

9. Mancones GA. Stabilization and transport of the high-risk infant. Dalam: Taeusch HW, Ballard RA, dan Gleason CA, penyunting. Avery’s diseases of the newborn. Edisi ke-8. Missouri: Elsevier Saunders; 2004.

10. Noone D, Bowden A, Twomey A. National neonatal transport programme. Ir Med J. 2011; 104 (8) : 232 – 4.

11. Karlsen KA, Trautman M, Douglas WP, Smith S. National Survey of Neonatal Transport Teams in theUnited States. Pediatrics. 2011;128:685.

12. Barrentine MJ, Browne P, Simpson R, Spencer M, Grant JH, Guima EL. Core Requirements and Recommended Guidelines for Designated Regional Perinatal Centers. Maternal and Neonatal Transport. 2013;29.

13. G.A. Woodward, Zs. Somogyvári: The Hungarian (Budapest) neonatal interfacility transport system:Insight into program development and results. Pediatric Emergency Care 1997 13:290-293.

Page 158: Current Evidences in Pediatric Emergencies …fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/Buku-PKB-68.pdfpediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah kegawatdaruratan

144

Pemberian Transfusi Darah pada Anemia Berat

14. Advanced Life Support Group. Practical aspects of paediatric and neonatal transfer medicine. Dalam: John Wiley dan Sons (penyunting). Paediatric and Neonatal Safe Transfer and Retrieval: The Practical Approach. Edisi ke-3. 2009.

15. Bouchu Jct, Lancker EV, Chritin V, Gueugniaud PY. Physical Stressors during Neonatal Transport: Helicopter Compared with Ground Ambulance. Air Medical Journal Associates. 2010; 30:3.