Page 1
Clinical Science Session
KEMOTERAPI RETINOBLASTOMA
Oleh :
1. Hanna Ramadhani 1110311002
2. Ranti Verdiana 1110312084
3. Rezi Amalia Putri 1110312003
4. Vidya Hamzah 1110313019
Preseptor :
dr. Ardizal Rahman, Sp.M (K)
BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2015
Page 2
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Clinical Science
Session (CSS) dengan judul ”Kemoterapi Retinoblastoma” dengan baik. CSS ini
merupakan salah satu syarat menyelesaikan tahap kepaniteraan klinik di Bagian Ilmu
Kesehatan Mata di Fakultas Kedokteran Universitas Andalas/RSUP. Dr. M. Djamil
Padang.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada pembimbing dr. Ardizal Rahman,
Sp.M (K), serta semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karna itu penulis mengharpakan kritik dan saran untuk menyempurnakan makalah
ini. Penulis juga berharap makalah ini dapat memberikan dan meningkatkan pengetahuan
serta pemahaman tentang Kemoterapi Retinoblastoma, terutama bagi penulis sendir dan
bagi rekan sejawat lainnya.
Padang, 5 Oktober 2015
Penulis
ii
Page 3
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR...................................................................................................................ii
DAFTAR ISI................................................................................................................................ iii
BAB I.............................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.........................................................................................................................1
1.1. Latar Belakang..................................................................................................................1
1.3. Tujuan Penulisan...............................................................................................................2
1.4. Metode Penulisan..............................................................................................................2
BAB II...........................................................................................................................................3
TINJAUAN PUSTAKA................................................................................................................3
2.1. Anatomi dan Fungsi Retina..............................................................................................3
2.2. Embriologi dan Anatomi Retina.......................................................................................4
2.3. Perubahan Energi Cahaya Menjadi Energi Listrik Biologik di Retina.............................8
2.4. Definisi Retinoblastoma...................................................................................................9
2.5. Klasifikasi Retinoblastoma...............................................................................................9
2.6. Epidemiologi...................................................................................................................12
2.7. Etiologi dan Patogenesis.................................................................................................13
2.8. Gambaran Klinis.............................................................................................................13
2.9. Diagnosis........................................................................................................................14
2.10. Tatalaksana.....................................................................................................................15
2.11. Prognosis.........................................................................................................................23
BAB III........................................................................................................................................25
KESIMPULAN...........................................................................................................................25
3.1. Kesimpulan.....................................................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................26
iii
Page 4
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Retinoblastoma merupakan tumor ganas primer intraokuler yang berasal dari
lapisan sensoris retina dan paling sering terjadi pada anak-anak. Retinoblastoma
berkembang dari sel retina yang imatur. Insidennya berkisar 1:20.000 kelahiran.1-2
Retinoblastoma dapat mengenai salah satu atau kedua mata. Apabila tumor
mengenai satu mata disebut dengan unilateral retinoblastoma dan bila terjadi pada kedua
mata disebut bilateral retinoblastoma. Bilateral retinoblastoma terdapat sebanyak 30%
kasus sedangkan unilateral retinoblastoma terdapat sebanyak 70% kasus. Sebanyak 95%
kasus disebabkan karena mutasi somatik sedangkan 5% kasus lainnya mempunyai riwayat
keturunan di keluarganya, yaitu terjadinya mutasi pada kromosom 13q.1-2
Di Rumah Sakit Dr M.Jamil Padang, pada tahun 2003-2012 didapatkan 99 kasus
retinoblastoma dimana terdapat 76 kasus unilateral retinoblastoma dan 23 kasus bilateral
retinoblastoma. Berdasarkan data tersebut, retinoblastoma paling banyak didapatkan pada
kelompok usia 3-4 tahun, yaitu sebanyak 40 pasien.3
Pertumbuhan tumor ini dapat secara endopitik dan eksopitik. Endopitik, yaitu
pertumbuhan kedalam korpus vitreus, sehingga dapat terlihat permukaan retina berwarna
putih, massa berkelompok dan terdapat pembuluh darah di permukaannya. Eksopitik,
yaitu pertumbuhan kearah sub retinal, dan akan terlihat massa epitel dengan multi
lobulus1.
Pada pasien retinoblastoma awalnya terlihat refleks pupil yang berwarna putih
disebut leukokoria atau kadang-kadang disebut sebagai refleks mata kucing. Selain
leukokoria dapat juga ditemukan kelainan lainnya, seperti strabismus, proptosis,
eksotropia, esotropia, glaukoma sekunder, dll.4-6
Diagnosa yang terlambat sering terjadi pada pasien dan berhubungan dengan
faktor sosial ekonomi atau misdiagnostik. Secara umum, semakin dini penemuan dan
Page 5
terapi tumor, semakin besar kemungkinan kita mencegah perluasan tumor melalui saraf
optikus dan jaringan orbita. Retinoblastoma ini sangat membahayakan kehidupan bila
tidak diobati secara tepat, dapat berakibat fatal karena dalam satu sampai dua tahun
setelah didiagnosis akan bermetastase ke otak atau bermetastase jauh secara hematogen
dimana prognosa sudah sangat kurang baik dan tindakan yang dapat dilakukan hanya
enukleasi, kemoterapi dan eksenterasi.7
Kemoterapi merupakan salah satu teknik pengobatan yang dapat dilakukan pada
pasien retinoblastoma. Kemoterapi dapat diindikasikan pada tumor yang sudah dilakukan
enukleasi bulbi yang pada pemeriksaan patologi anatomi terdapat tumor pada khoroid
dan atau mengenai nervus optikus, pasien yang sudah dilakukan eksenterasi dan dengan
metastase regional atau metastase jauh, dan tumor ukuran kecil dan sedang untuk
menghindarkan radioterapi.8
Berdasarkan hal di atas, kemoterapi digunakan di seluruh dunia dan berlaku
efektif untuk kontrol intraokular retinoblastoma serta pencegahan dari metastasis,
pinealoblastoma, dan kanker kedua.8 Oleh karena itu, penulis tertarik untuk membahas
peran kemoterapi dalam terapi retinoblastoma.
1.2. Batasan Masalah
Clinical Science Session ini membahas mengenai definisi, epidemiologi, etiologi,
klasifikasi, patofisiologi, diagnosis, penatalaksanaan terutama peran kemoterapi,
komplikasi dan prognosis dari retinoblastoma.
1.3. Tujuan Penulisan
Penulisan Case Science Session ini bertujuan menambah pengetahuan para dokter
muda mengenai peran kemoterapi pada tatalaksana retinoblastoma.
1.4. Metode Penulisan
Penulisan Case Science Session ini menggunakan metode tinjauan pustaka
dengan mengacu pada berbagai literatur.
2
Page 6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi dan Fungsi Retina
ANATOMI DAN FISIOLOGI RETINA
Retina adalah selembar tipis jaringan saraf yang semitransparan, dan multilapis
yang melapisi bagian dalam dua per tiga posterior dinding bola mata, membentang dari
papil saraf optic ke depan sampai Oraserata.
Retina mempunyai ketebalan 0,23 mm pada polus posterior dan 0,1 mm pada
Oraserata yang merupakan lapisan paling tipis.9
3
Page 7
2.2. Embriologi dan Anatomi Retina
Retina berasal dari bagian dalam cawan optic yang timbul dari bagian cefal
tabung neural embrio. Bagian luar cawan ini akan menjadi satu lapisan epitel pigmen. Sel
bakal retina tersebut terus berkembang dari satu jenis sel embrional akhirnya menjadi 5
jenis sel yang tersusun teratur.
1. Sel-sel reseptor, Berupa sel batang dan kerucut.
Sel kerucut (cones) paling banyak terdapat di bagian sentral yang dinamakan
sebagai daerah macula lutea. Pada sentral macula lutea, yaitu daerah fovea sentralis yang
tidak tercampuri sel-sel batang. Besar macula lutea 1-2 mm, daerah ini daya
penglihatannya paling tajam terutama di fovea sentralis.10 Struktur macula lutea :
a. Tidak ada sel saraf
b. Sel sel ganglion sangat banyak di pinggir
c. Lebih banyak sel kerucut daripada sel batang. Pada fovea sentralis hanya
terdapat sel kerucut.
Pada nasal dari macula lutea terdapat papilla nervi opticum yaitu tempat dimana
nervus II menembus sclera. Papil ini hanya terdiri dari serabut saraf, tidak mengandung
sel batang atau sel kerucut sama sekali. Oleh karena itu, tidak dapat melihat sama sekali
dan disebut titik buta (skotoma fisiologis, blind spot). Bentuk papil lonjong, berbatas
tegas, pinggirnya lebih tinggi dari retina sekitarnya. Bagian tengahnya ada lekukan yang
tampak agak pucat besarnya 1/3 diameter papil yang disebut ekskavasasi fisiologis.9 Dari
tempat ini keluarlah arteri dan vena retina sentral yang kemudian bercabang-cabang ke
temporal dan ke nasal, keatas dan ke bawah.
Fungsi sel kerucut adalah untuk photoptic vision (melihat warna, cahaya
intensitas tinggi dan penglihatan sentral/ketajaman penglihatan). Persepsi detail dan
warna pada cahaya yang cukup terang. Pada cahaya yang remang-remang sel kerucut ini
kurang berfungsi. Didalam sel kerucut terdapat 3 macam pigmen yang masing-masing
peka terhadap sinar merah, hijau, biru. Pigmen yang peka terhadap sinar merah, spectrum
absorbsinya luas, 575 mA. Pigmen yang peka terhadap sinar hijau mempunyai frekuensi
maksimal 540 mA, sedang pigmen yang peka terhadap sinar biru frekuensi absorbs
maksimalnya 430 mA. Sel-sel batang lebih banyak di bagian perifer terutama di sekitar
macula. Fungsinya adalah untuk penglihatan di tempat gelap untuk scotoptic vision, yaitu
4
Page 8
untuk melihat cahaya dengan intensitas rendah tidak dapat melihat warna, untuk
penglihatan perifer dan orientasi ruangan.
2. Sel-Sel Bipolar
Yaitu penghubung dari sel sel reseptor dengan sel ganglion. Bentuknya ada yang
khusus menyambungkan satu sel reseptor kerucut dengan sel ganglion dan ada pula
bercabang banyak yang menghubungkan beberapa sel batang ke satu sel ganglion.
3. Sel Ganglion
Sel ganglion menyampaikan impuls ke arah otak. Aksonnya panjang meliputi
lapisan permukaan retina, yang terus berkumpul di saraf optic dan selanjutnya sampai di
badan genikulatum lateral untuk bersinaps di sini dengan sel sel saraf yang melanjutkan
impuls visual kekorteks ke daerah fissure calcarina lobus oksipitalais.
4. Neuron Lainnya : Sel Horizontal dan Sel Amakrin
Diduga berfungsi mengatur atau menggabungkan dan menyaring aliran impuls
dari masing-masing sel saraf sebelumnya.
5. Sel Muller
Bukan sel saraf tapi fungsinya penting sebagai membentuk sistem kerangka
penunjang jaringan retina. Membran limitasi interna dan eksterna adalah bagian yang
dibentuknya. Sel muller berfungsi sebagai depot glikogen yang penting untuk energi sel
lainnya.
5
Page 9
Gambar 1 dan 2: Gambar histologi neuroretina terdiri atas 9 lapisan, 10 dengan lapisan
epitel pigmen yaitu (dari dalam keluar)10
1. Lapisan membran limitan interna, merupakan membran hialin antara retina
dan badan kaca.
2. Lapisan serat saraf dari sel ganglion, yang mengandung akson-akson sel
ganglion yang berjalan menuju ke nervus optikus.
3. Lapisan inti sel ganglion
6
Page 10
4. Lapisan molikuler (flexiform) dalam, yang mengandung sambungan-
sambungan (sinaps) sel ganglion dengan sel amakrin dan sel bipolar.
5. Lapisan nukleus dalam, merupakan lapisan aselular yang merupakan tempat
sinaps sel bipolar, sel amakrin dengan sel ganglion.
6. Lapisan flexiform luar, merupakan lapisan aselular mengandung sambungan-
sambungan sel bipolar dan sel horizontal dengan fotoreseptor.
7. Lapisan nuklearis luar, merupakan susunan lapis nucleus sel kerucut dan sel
batang
8. Lapisan membrane limitan eksterna, merupakan membrane ilusi
9. Lapisan segmen luar dari sel reseptor
10. Epitel pigmen
Gambar 3: Pendarahan pada retina10:
Pembuluh darah di dalam retina merupakan cabang arteri oftalmika, arteri retina
sentral masuk retina melalui papil syaraf optik yang akan memberikan nutrisi pada retina
dalam. Dari ekskavasasi fisiologis papilla nervi optisi keluarlah arteri dan vena retina
sentral yang kemudian bercabang-cabang ke temporal dan ke nasal, juga ke atas dan ke
bawah. Arteri ini merupakan arteri terminal dan tidak ada anastomose (end artery).
Kadang-kadang didapat anastomose antara pembuluh darah arteri siliaris dan arteri retina
sentral yang disebut arteri silioretina yang biasanya terletak di daerah makula.
Pada pemeriksaan funduskopi, dinding pembuluh darah tidak dapat dilihat. Yang
tampak pada pemeriksaan adalah kolom darah :
Arteri : diameter lebih kecil dengan perbandingan a:v = 2:3. Warnanya lebih merah,
bentuknya lebih lurus di tengah-tengahnya terdapat reflex cahaya.
7
Page 11
Vena : lebih besar, warna lebih tua dan bentuk lebih berkelok-kelok.
Retina menerima darah dari 2 sumber :
1. Koriokapilaris yang mendarahi 1/3 luar retina termasuk lapisan flexiform luar dan
lapisan inti luar, fotoreseptor dan lapisan epitel pigmen retina.
2. Arteri retina sentral yang mendarahi 2/3 sebelah dalam retina.
Fovea sepenuhnya diperdarahi oleh koriokapilaris. Pembuluh darah retina
mempunyai lapisan endotel yang tidak berlubang yang membentuk sawar darah retina.
Sawar darah retina sebelah luar terletak setinggi lapisan epitel pigmen retina.
3. Fisiologi Retina
Retina berfungsi sebagai bidang di mana gambar ruang luar terproyeksikan atau
terfokuskan.11 Energi cahaya yang membentuk gambar itu menimbulkan perubahan kimia
dari rhodopsin yang banyak terkumpul di segmen luar sel-sel reseptor. Dengan cara
tertentu perubahan kimia tersebut menyebabkan pengaturan keluar masuknya ion Na, K,
Ca lewat “ion gate” sehingga menimbulkan perubahan potensial pada membrane sel.
Penjalaran perubahan potensial dinding membran sel yang kemudian terjadi terus di
sampaikan ke sel-sel bipolar dan ke sel-sel Ganglion menerjemahkan potensial menjadi
rentetan impuls saraf yang diteruskan kearah otak secara berantai lewat beberapa neuron
lainnya.
Di dalam retina diduga terdapat sel-sel khusus yang memantau kekuatan/jumlah
cahaya yang diterimanya. Bila cahaya berlebihan, maka sel itu memberikan perintah
lewat suatu busur reflex untuk penyempitan lobang pupil.
2.3. Perubahan Energi Cahaya Menjadi Energi Listrik Biologik di Retina
Rhodopsin, derivat vitamin A, merupakan bahan dasar untuk proses perubahan
cahaya ke impuls listrik pada retina. Lapisan epitel pigmen di bawah retina sebagai
gudang zat ini, disamping memberikan nutrisi pada retina. Bila rhodopsin sudah
mengabsorbsi energi cahaya, rhodopsin segera terurai dalam waktu sepertriliun detik.
Penyebabnya adalah foto aktivasi electron pada bagian retinal dari rhodopsin yang
menyebabkan perubahan segera pada bentuk cis dari retianal menjadi bentuk all-trans.
8
Page 12
Produk yang segera terbentuk adalah batorhodopsin, kemudian menjadi lumirhodopsin,
metarhodopsin I, metarhodopsin II dan akan jadi produk pecahan terakhir menjadi
scotopsin dan all-trans retina. Metarhodopsin II (rhodopsin teraktivasi merangsang
perubahan elektrik dalam sel batang yang kemudian menjalarkan bayangan visual ke
system syaraf pusat. Perangan sel batang menyebabkan peningkatan negatifitas dari
potensial membrane yang merupakan keadaan hiperpolarisasi hal ini disebabkan sewaktu
rhodopsin yang ada di segmen luar batang terpapar cahaya dan mulai terurai, terjadi
penurunan konduktansi natrium ke dalam sel batang walaupun ion ion natrium terus di
pompa keluar dari segmen dalam. Berkurangnya ion ion ini dalam sel sel batang
menciptakan negatifitas di dalam membrane, dan semakin banyak jumlah energi cahaya
yang mengenai sel batang, maka semakin besar muatan elektro negatifnya, semakin besar
pula derajat hiperpolarisasinya.
Fotokimiawi kerucut hampir sama persis dengan komposisi kimiawi rhodopsin
dalam sel batang. Perbedaaannya hanya terletak pada bagian protein, opsin, yang disebut
fotopsin dalam sel keucut berbeda dengan sel batang. Pigmen peka terhadap warna dari
sel kerucut merupakan kombinasi antara retinal dan fotopsin. Pigmen warna ini
dinamakan sesuai dengan sifatnya, pigmen peka warna biru, pigmen peka warna hijau,
dan pigmen peka warna merah. Sifat absorbs dari pigmen yang terdapat di dalam ketiga
macam kerucut itu menunjukkan bahwa puncak absorbsi adalah pada panjang gelombang
cahaya, berturut turut sebesar 445, 535, dan 570 nanometer.11 Panjang gelombang ini
merupakan puncak sensitifitas cahaya untuk setiap tipe kerucut, yang dapat mulai dipakai
untuk menjelaskan bagaimana retina dapat membedakan warna.
2.4. Definisi Retinoblastoma
Retinoblastoma adalah neoplasma murni dari sel retina. Diantara insiden kasus
tumor pada anak, retinoblastoma adalah tumor dengan insiden yang rendah yakni 3% dari
keganasan pada anak dibawah 15 tahun, tetapi merupakan keganasan primer intraokuler
yang paling sering pada anak.
2.5. Klasifikasi Retinoblastoma
Terdapat beberapa cara pembagian penyakit, terpraktis untuk kepentingan terapi,
retinoblastoma dibagi menjadi: intraocular dan ekstraokular.
9
Page 13
Intraokular: retinoblastoma terlokalisir di dalam mata, dapat terbatas pada
retina saja atau melibatkan bola mata; namun demikian tidak berekstensi
keluar dari mata kearah jaringan lunak sekitar mata atau bagian lain dari
tubuh. Angka bebas penyakit (DFS) selama 5 tahun : > 90%.
Ekstraokular: retinoblastoma telah melakukan ekstensi keluar dari mata.
Dapat terbatas pada jaringan lunak di sekitar mata, atau telah menyebar,
umumnya ke sistem saraf pusat, sumsum tulang, atau kelenjar getah bening.
Angka bebas penyakit selama 5 tahun: <10%.
Klasifikasi menurut Reese-Ellsworth untuk Tumor Intraokuar:
1. Grup I : penglihatan sangat memungkinkan untuk dipertahankan
2. Tumor soliter, ukuran lebih kecil dari 4 diameter disk (DD), pada atau di
belakang ekuator bola mata.
3. Tumor multiple, tidak ada yang lebih besar dari 4 DD, seluruhnya pada
atau di belakang ekuator.
2. Grup II : penglihatan memungkinkan untuk dipertahankan
1. Tumor soliter, 4 – 10 DD pada atau di belakang ekuator.
2. Tumor multiple, 4 – 10 DD di belakang ekuator.
3. Grup III : penglihatan mungkin dapat dipertahankan
1. Setiap lesi yang terletak di depan ekuator.
2. Tumor soliter, >10 DD di belakang ekuator.
4. Grup IV : penglihatan sulit untuk dipertahankan
1. Tumor multiple, beberapa >10 DD.
2. Setiap lesi yang meluas ke anterior kepada ora serrata.
5. Grup V : penglihatan tidak mungkin dipertahankan
1. Tumor massif meliputi lebih dari setengah retina.
2. Terdapat penyebaran kearah vitreus.
Klasifikasi retinoblastoma lainnya yang lebih baru adalah The International Classification
of Intraocular Retinoblastoma:
1. Grup A: tumor intraretina kecil, terletak jauh dari fovea dan diskus.
Seluruh tumor berukuran < 3mm, terbatas pada retina
Seluruh tumor berlokasi ≥ 3 mm dari fovea
10
Page 14
≥ 1,5 mm dari diskus optikus
2. Grup B: seluruh tumor lainnya yang berukuran keci dan terbatas pada retina
Seluruh tumor yang terbatas di retina dan tidak memenuhi kategori grup
A.
Tumor berkaitan dengan cairan subretina berukuran ≤ 3 mm dari tumor
tanpa penyebaran sub retina.
3. Grup C: tumor local dengan penyebaran minimal pada sub retina atau vitreus.
4. Grup D: penyakit difus dengan penyebaran signifikan pada sub retina atau vitreus.
Tumor dapat bersifat massif atau difus.
Terdapat cairan sub retina, saat ini atau masa lampau, tanpa penyebaran,
yang maksimal dapat meliputi hingga seluruh retina.
Tumor pada vitreus bersifat difus atau massif yang dapat mencakup
manifestasi “greasy” atau massa tumor avascular
Tumor diskrit
Terdapat cairna sub retina, saat ini atau lampau, tanpa penyebaran, yang
meliputi maksimal hingga seperempat retina.
Terdapat penyebaran local pada vitreus yang terletak dekat pada tumor
diskrit.
Penyebaran local sub retina < 3 mm (2DD) dari tumor.
Penyebaran difus subretina dapat mencakup bentuk plak sub retina atau
nodul tumor.
5. Grup E : terdapat satu atau lebih dari prognosis buruk di bawah ini:
Tumor mencapai lensa
Tumor mencapai permukaan anterior vitreus mencakup badan siliar atau
segmen anterior mata.
Diffuse infiltrating retinoblastoma
Glikoma neovaskular
Media opak dikarenakan perdarahan
Tumor nekrosis dengan selulitis orbital aseptik.
Phthisis bulbi.
11
Page 15
Klasifikasi berdasarkan International Staging System for Retinoblastoma (ISSRB):
1. Stadium 0 : pasien diterapi secara konservatif (klasifikasi preoperative);
2. Stadium I : Enukleasi mata, reseksi komplit secara histopatologik;
3. Stadium II : enukleasi mata, terdapat residu tumor mikroskopik;
4. Stadium III : ekstensi regional
(a) Melebih orbita
(b) Terdapat pembesaran KGB preaurikular atau KGB servikal;
5. Stadium IV : terdapat metastasis
(a) Metastasis hematogen : (1) Lesi tunggal, (2) Lesi multipel
(b) Perlunakan ke SSP: (1) Lesi prechiasma, (2) Massa intracranial/SSP, (3)
Tumor mencapai leptomeningeal
2.6. Epidemiologi
Retinoblastoma terjadi 1 dalam 14000-20.000 kelahiran kelahiran anak.12 Untuk
umur 1-4 tahun, insiden 10,6 per satu juta penduduk; untuk 5-9 tahun, 1,53 per satu juta
penduduk; dan untuk 10-14 tahun, 0,27 per satu juta penduduk. Tidak ada perbedaan
insiden berdasarkan jenis kelamin atau antara mata kanan dengan mata kiri. 95 % kasus
didiagnosis sebelum umur 5 tahun.
Di Rumah Sakit Dr M.Jamil Padang, pada tahun 2003-2012 didapatkan 99 kasus
retinoblastoma dimana terdapat 76 kasus unilateral retinoblastoma dan 23 kasus bilateral
retinoblastoma. Berdasarkan data tersebut, retinoblastoma paling banyak didapatkan pada
kelompok usia 3-4 tahun, yaitu sebanyak 40 pasien.3
Ada dua bentuk pola retinoblastoma. Pola herediter (germinal) dan nonheredditer
(non germinal). Yang herediter dapat timbul unilateral sekitar atau bilateral pada mata,
dan kebanyakan unilateral pada yang nonherediter, dimana anak-anak dengan
retinoblastoma bilateral lebih cendrung untuk bentuk herediter. Pada herediter
retinoblastoma, tumor terjadi pada usia yang lebih muda dibandingkan dengan yang
nonherediter.
12
Page 16
Untuk bisa melihat hubungan lebih jelas dapat dilihat pada tabel dibawah ini ;
2.7. Etiologi dan Patogenesis
Retinoblastoma disebabkan karena hilangnya atau mutasi kedua alel dari gen RB1
pada kromosom 13q14. Terdapat dua bentuk retinoblastoma, yaitu germinal dan non
germinal. Gen retinoblastoma (RB1) terletak pada kromosom 13q14 dan untuk mengkode
protein pRB. yang berfungsi sebagai supresor pembentukan tumor. pRB adalah
nukleoprotein yang mengikat DNA dan mengontrol siklus sel pada transisi dari fase G ke
S, sehingga menghambat proliferasi sel. Individu dengan bentuk penyakit yang herediter
memiliki satu alel terganggu di setiap sel tubuhnya, apabila alel pasangannya di sel retina
yang sedang tumbuh mengalami mutasi spontan, terbentuklah tumor. Pada bentuk
nonherediter, kedua alel gen retinoblastoma normal di sel retina yang sedang tumbuh
dinonaktifkan oleh mutasi spontan.13
2.8. Gambaran Klinis
Retinoblastoma dapat muncul dalam bentuk bermacam-macam. Pada awalnya
pasien retinoblastoma muncul dengan refleks pupil yang berwarna putih disebut
leukokoria atau kadang-kadang disebut sebagai refleks mata kucing. Penyakit mata lain
juga dapat muncul dengan refleks pupil yang berwarna putih ini, leukokoria tidak selalu
menunjukkan retinoblastoma. Ini adalah tanda awal pada lebih dari 75% kasus.
Strabismus adalah yang kedua paling umum (18-22% kasus) di mana retinoblastoma
muncul jika tumor mencapai makula dan penglihatan sentral hilang. Mata anak mungkin
13
Page 17
mengarah ke lateral, disebut eksotropia, atau mengarah ke medial yang disebut
esotropia.14
Manifestasi lainnya yaitu gangguan penglihatan (5%), asimptomatik (4%),
inflamasi orbita dan proptosis yaitu bola mata yang menonjol ke arah luar akibat
pembesaran tumor intra dan ekstra okuler (2%), glaukoma sekunder dengan mata merah
(2%). Apabila sudah terjadi glaukoma maka dapat diprediksi sudah terjadi invasi tumor
ke nervus optikus. Selain glaukoma, penyebab mata merah ini dapat pula terjadi akibat
gejala inflamasi okuler atau periokuler yang tampak sebagai selulitis preseptal atau
endoftalmitis. Inflamasi ini disebabkan oleh adanya tumor yang mengalami nekrosis.
Buftalmus merupakan gejala klinis yang berhubungan dengan tekanan intraokuler akibat
tumor yang bertambah besar. Pupil midriasis terjadi karena tumor yang telah
mengganggu sistem saraf parasimpatik.15
2.9. Diagnosis
Berdasarkan manifestasi klinis yaitu leukokoria, strabismus, glaukoma sekunder,
protusio dst. Pemeriksaan awal dapat dilakukan pemeriksaan dengan anestesi umum
Bertujuan untuk melakukan pemeriksaan bola mata secara baik, yaitu menentukan
diameter kornea, Tekanan Intra Okuler, pemeriksaan funduskopi serta melihat pembuluh
darah atau neovaskularisasi yang terjadi. Evaluasi pretreatment dari pasien dengan
dugaan retinoblastoma membutuhkan pencitraan kepala dan orbit yang dapat memastikan
diagnosis dan dapat membantu dalam mengevaluasi kemungkinan ekstensi ekstraokular
dan penyakit intrakranial. CT dapat menunjukkan kalsifikasi intraokular, ukuran serta
perluasan tumor ke saraf optik, ekstensi orbital dan sistem saraf pusat. Namun ini
memerlukan dosis radiasi yang signifikan yang dapat membahayakan pasien. MRI baik
untuk melihat adanya kalsifikasi, ukuran dan perluasan tumor. MRI telah terbukti
menjadi teknik yang paling sensitif untuk mengevaluasi retinoblastoma, terutama
mengenai infiltrasi tumor dari saraf optik, perluasan ekstraokular dan penyakit
intrakranial. Ultrasonografi digunakan untuk melihat ukuran tumor dan mendeteksi
kalsifikasi. MRI dan ultrasonografi dapat digunakan untuk menghindari penggunaan
radiasi, karena risiko tumor sekunder yang tinggi. 13,16
Lainnya, tes lebih invasif hanya untuk kasus-kasus atipikal. Aspirasi cairan mata
untuk pengujian diagnostik harus dilakukan hanya dalam keadaan yang paling tidak biasa
14
Page 18
karena prosedur seperti dapat menyebarkan sel-sel ganas dan biasanya tidak diperlukan.
Pada Lumbar Puncture, pemeriksaan patologi anatomi akan terlihat adanya sel-sel tumor
dan dilakukan hanya pada pasien dengan keterlibatan saraf optik atau terbukti ekstensi
extraokuler. 13,16
2.10. Tatalaksana
Tujuan utama tatalaksana retinoblastoma intraokuler adalah untuk
mempertahankan kehidupan. Mempertahankan organ dan fungsi penglihatan merupakan
tujuan sekunder dan tertier. Terdapat beberapa metode tatalaksana retinoblastoma
intraokuler, meliputi terapi fokal (krioterapi, laser fotokoagulopati, dan plaque
brachytherapy), terapi local (external beam radiotherapy/ EBR, enukleasi), dan terapi
sistemik (kemoterapi). Terapi fokal terutama untuk tumor dengan ukuran kecil,
sedangkan terapi local dan sistemik digunakan untuk terapi retinoblastoma lebih lanjut.20
1. Krioterapi
Krioterapi dilakukan pada tumor ukuran kecil, yaitu diameter maksimal 4 mm,
dan ketebalan maksimal 2 mm. Biasanya dilakukan tiga kali dalam interval 4-6 minggu
sampai terjadi regresi tumor. Krioterapi dilakukan dengan alat yang dapat mengeluarkan
suhu – 60 sampai – 80 ᵒC, sehingga terjadi krionekrosis tumor.17,18,22
2. Terapi laser
Terapi laser dilakukan pada tumor primer dengan ukuran kecil, atau tumor dengan
ukuran besar yang telah mengecil setelah kemoterapi. Terapi laser tidak efektif pada
massa yang telah memenuhi korpus vitreus. Laser dimasukkan ke dalam mata melalui
oftalmoskop atau mikroskop indirek. Dua gelombang yang umum digunakan adalah
cahaya hijau dengan panjang gelombang 532 nM dan cahaya inframerah dengan panjang
gelombang 810 nM. Tujuan terapi ini adalah untuk menghambat aliran darah ke tumor,
sehingga terjadi nekrosis jaringan tumor.15,18,19
3. Plaque Brachyterapi
15
Page 19
Terapi ini diindikasikan pada tumor dengan ukuran diameter kurang dari 16 mm,
dan ketebalannya kurang dari 8 mm. metodenya adalah dengan memancarkan gelombang
radioaktif ke tumor melalui sclera. Materi radioaktif yang biasa digunakan adalah
Ruthenium 106 dan Iodine 125. Keuntungan terapi ini adalah kerusakan minimal pada
struktur normal di sekitarnya.18,19
4. Enukleasi
Enukleasi adalah tindakan yang paling umum dilakukan pada pasien
retinoblastoma yang sudah berkembang. Enukleasi biasanya dilanjutkan dengan terapi
lainnya, untuk mencegah metastasis. Tindakan ini biasanya dilakukan pada RB
intraokuler yang sudah diikuti adanya neovaskularisasi iris, glaucoma sekunder, invasi
tumor ke kamera okuli anterior, tumor mengisi > 75% korpus vitreus, tumor nekrosis
dengan inflamasi orbital sekunder, dan tumor yang berhubungan dengan adanya hifema
atau hemoragik vitreus.18,19,20
Enukleasi tepat waktu mengurangi risiko penyebaran metastasis, morbiditas, efek
samping dari kemoterapi dan pengobatan laser fokal, dan pemeriksaan ulang setelah
enakluasi anesthesia. Biasanya dilakukan untuk retinoblastoma yang besar pada
retinoblastoma Grup E, beberapa retinoblastoma Grup D stadium lanjut, dan mata yang
diduga memiliki ekstensi ekstraokular (misalnya, selulitis orbita, perdarahan intraokular,
glaukoma neovascular, tumor COA, yang mencurigakan keterlibatan saraf optik, atau
dicurigai penyakit ekstraokuler pada pencitraan). Enukleasi untuk retinoblastoma
dibutuhkan perhatian khusus untuk penyebaran tumor yang menentukan bahaya
terjadinya penyakit metastasis. Implan Orbital Secara umum, enakluasi dilakukan pada
retinoblastoma stadium lanjut (Grup E) dengan keterlibatan segmen anterior.21
5. Kemoterapi Untuk Retinoblastoma
Kemoterapi adalah cara pengobatan tumor dengan memberikan obat pembasmi
sel kanker (disebut sitostatika) yang diminum ataupun yang diinfuskan ke pembuluh
darah. Kombinasi obat kemoterapi dan menggabungkan pengobatan lainnya
(thermotherapy, cryotherapy, atau plak radioterapi, enakluasi dan eksentrasi) selama
kemoterapi dan / atau setelah kemoterapi ini penting untuk manajemen yang tepat dari
penyakit.
16
Page 20
5.1. Kemoterapi Intravena
Kemoterapi sistemik dengan protokol yang berbeda merupakan kemajuan besar
dalam manajemen retinoblastoma dalam beberapa tahun terakhir. Tujuan dari
chemoreduction adalah untuk menghindari enukleasi dan external beam radioteraphy
(EBR) dan mempertahankan bola mata dan visus dengan pengobatan adjuvant lokal.
Chemoreduction diperkenalkan sebagai manajemen untuk retinoblastoma pada
pertengahan 1990-an. Observasi awal bahwa kemoterapi dilakukan sebelum external
beam radioteraphy (EBR) meningkatkan pengontrolan tumor dengan menyelamatkan
okular dari 30% menjadi 70%. Pada tahun 1996, beberapa penelitian terkemuka
menyatakan bahwa kemoterapi sistemik efisien dalam pengendalian jangka pendek dari
tumor di berbagai tahap retinoblastoma.20
Kemoterapi sistemik umumnya melibatkan regimen multidrug berbeda melalui
intravena setiap bulan selama 6-9 bulan berturut-turut. Yang paling sering digunakan
adalah regimen kemoterapi 6 bulan dengan dosis standar VEC berdasarkan berat badan
pasien untuk pasien < 3 tahun. 21
Menurut klasifikasi internasional retinoblastoma, pada pemeriksaan 249 mata,
bola mata yang terselamatkan mencapai 100% pada Grup A, 93% pada Grup B, 90%
pada Grup C, 47% pada Grup D, dan 25% pada mata Grup E . Wilson et al menggunakan
vincristine dan carboplatin secara terpisah untuk 36 mata dengan retinoblastoma selama
delapan siklus selama 6 bulan. Mereka menemukan hanya menemukan 8% dengan
pengontrolan lengkap , sedangkan 92% mengalami kegagalan. Hal ini pentingnya
menggunakan terapi adjuvant local tumor dan juga pentingnya tiga regimen kemoterapi
untuk meningkatkan pengontrolan tumor. Mata dengan retinoblastoma yang luas,
diklasifikasikan sebagai Grup E merupakan kelompok yang paling sulit untuk diobati
dengan kemoterapi sistemik. Retinoblastoma ini umumnya dikelola dengan enukleasi.
Namun, apabila mengenai kedua mata, upaya untuk menyelamatkan setidaknya satu mata
dengan chemoreduction buatan.
Toksisitas sistemik seperti mielosupresi dan demam umum di chemoreduction
sistemik. Pendengaran dan ginjal toksisitas, serta leukemia jarang terjadi. Selain kontrol
17
Page 21
keganasan, kemoterapi sistemik memberikan hasil yang nyata yang luar biasa dengan
ketajaman visus pada 20/20-20/40 di 37% -50% pasien. Secara umum, kemoterapi
sistemik diberikan terutama untuk pasien dengan tumor bilateral retinoblastoma,
retinoblastoma hrediter, setiap kecurigaan yang mengenai choroidal luas dan keterlibatan
saraf optik, dan kasus-kasus mengenai anak usia < 4 bulan. 21
5.2. Kemoterapi Intra-Arteri
Kemoterapi n lokal sebagai injeksi langsung dari agen kemoterapi ke dalam arteri
ophthalmic. Teknik ini sangat efektif dalam mengobati tumor dengan stadium lebih tinggi
dan menyelamatkan sebagian besar mata yang ditujukan untuk di enukleasi dan, mirip
dengan terapi lainnya, bisa mendapatkan keuntungan dari pengobatan fokal tambahan
seperti cryotherapy, laser, dan brachytherapy. Yamane et al dan Suzuki dan Kaneko
pertama kali dilaporkan keberhasilan penggunaan intra-arteri melphalan menggunakan
sebuah microballoon, kateter, dan flushing hub. 21
Abramson dkk melaporkan teknik dalam memberikan melphalan langsung
melalui microcatheter ke dalam ostium arteri ophthalmic tanpa perlu sebuah
microballoon. Oleh karena itu, beberapa kelompok mengembangkan strategi yang
berbeda untuk meningkatkan hasil di mata yang berisiko tinggi ini. IAC umumnya
melibatkan satu sampai tiga regimen obat. Obat ini diberikan perlahan selama 30 menit
dengan cara pulsasi, dengan hati-hati diambil untuk tidak menutup jalan arteri dan
meminimalkan refluks ke dalam arteri karotid internal. IAC dianggap pengobatan primer
atau sekunder dalam pengelolaan kasus retinoblastoma. 21
Kombinasi melphalan dan topotecan untuk IAC retinoblastoma efektif dan
ditoleransi dengan baik tanpa peningkatan toksisitas hematologi dibandingkan dengan
melphalan diberikan sebagai obat tunggal.21
Penilaian secara keseluruhan komplikasi dengan pengalaman 5 tahun termasuk
perdarahan vitreous (2%), obstruksi arteri retina cabang (1%), kejang arteri ophthalmic
dengan reperfusi (2%), obstruksi arteri oftalmik (2%), iskemia choroidal parsial (2%),
dan optik neuropati (1%). Penelitian lain menunjukkan edema kelopak mata,
blepharoptosis, kehilangan silia, dan kemacetan orbital dengan dismotilitas sementara,
ablasio retina, katarak, dan retina kerusakan epitel pigmen (47%).21
18
Page 22
5.3. Kemoterapi Periokular
Kemoterapi periokular biasanya diindikasikan untuk retinoblastoma Grup lanjutan
D bilateral atau E di mana dosis lokal lebih tinggi dari kemoterapi yang diperlukan dan
pada beberapa pasien dengan tumor terlokalisir yang reccurent. Kemoterapi periokular
akan lebih cepat dan enam sampai sepuluh kali lebih efektif daripada rute intravena
dalam vitreous humor dalam 30 menit dan dapat bertahan selama berjam-jam.
Metode injeksi dapat bervariasi dari injeksi cairan biasa; injeksi dalam depot
seperti gel, balon Lincoff, long-acting sealant fibrin, atau nanopartikel; polimer padat;
atau injeksi dirangsang oleh iontophoresis. Kebanyakan dokter menggunakan salah
carboplatin atau topotecan. Injeksi periokular dari carboplatin telah digunakan untuk
kontrol retinoblastoma. Umumnya sebagai tambahan untuk kemoterapi sistemik tapi
kadang-kadang untuk mengobati kekambuhan tumor. Topotecan periokular disuntikkan
dalam sealant fibrin atau sebagai implan episclera.21
Efek samping lokal termasuk peradangan, ptosis, jaringan parut, dan kehilangan
penglihatan. Yousef dkk menemukan bahwa topotecan periokular efektif dan
menyebabkan komplikasi lebih sedikit fibrosis dibandingkan carboplatin dengan tindak
lanjut periode rata-rata 37 bulan. Kemoterapi periokular dapat digunakan pada tumor
lanjutan (D atau E) atau kekambuhan dengan kebutuhan dosis lokal yang lebih besar dari
agen kemoterapi.21
5.4. Kemoterapi Intravitreal
Komplikasi dilaporkan dengan Ivic sebagian besar merupakan minor pigmen
retina epitel bintik di tempat suntikan dan extra-aksial katarak. Namun, efek samping
yang lebih signifikan seperti perdarahan preretinal, perdarahan vitreous, perdarahan
subretinal, ablasi retina, iris atrofi, hipotonia, dan penyakit paru-paru dapat dilihat pada
beberapa pasien. Tidak ada kasus dilaporkan ekstensi tumor ekstraokuler sejauh ini.21
Hal yang utama adalah waktu mengingat Ivic. Ini termasuk pasien vitreous seed
tidak responsif terhadap pengobatan standar dan seed berulang setelah pengobatan
selesai. Hal ini jelas bahwa obat ini dan dosis yang digunakan tidak efektif untuk
pengobatan tumor residual. Selain itu, beberapa suntikan agen Ivic baik sebagai agen
19
Page 23
tunggal atau ganda agen tidak menghalangi perkembangan tumor baru. Secara teoritis,
penyebaran tumor dapat terjadi setelah Ivic.
5.5. External Beam Radiotheraphy (EBR)
Pada tahun 1990-an, EBR digunakan secara luas sebagai tatalaksana
retinoblastoma, namun akhir-akhir ini dihindari karena berisiko memunculkan
keganasam sekunder, meningkatkan risiko katarak, mata kering dan atrofi jaringan. EBR
baru dilakukan ketika terapi local dan kemoterapi gagal, atau ketika kemoterapi
dikontraindikasikan.19
5.6. Terapi suportif
a. Pemasangan prosthesis atau mata buatan setelah enukleasi, tindakan ini
merupakan bagian yang cukup penting untuk rehabilitasi. Biasanya dilakukan
beberapa minggu setelah operasi
b. Dukungan psikologis untuk pasien dan keluarganya
c. Penggunaan pelindung mata pada mata yang sehat saat beraktivitas
d. Konseling pada keluarga tentang risiko retinoblastoma pada anggota keluarga
lainnya.18
2.11. Prognosis
1. Prognosis terhadap kehidupan
Tumor yang tidak diterapi dapat mengakibatkan invasi local dan metastastis, dan
biasanya pasien akan meninggal dalam jangka waktu kurang dari 2 tahun. Kasus yang
jarang, dapat terjadi perhentian pertumbuhan tumor secara spontan dan membentuk
retinoma, atau nekrosis dan menyebabkkan phtisis bulbi.18,22
Tumor dengan ukuran kecil atau sedang, jika diterapi dengan tepat dapat
mempunyai survival rate mencapai 95% (pada negara maju),sedangkan pada negara
berkembang adalah sekitar 50%. Prognosis yang buruk berhubungan dengan ukuran
tumor, keterlibatan nervus optikus, penyebaran ekstraokuler, dan usia yang lebih tua saat
onset.18
2. Prognosis penglihatan
20
Page 24
Di negara maju, prognosis penglihatan retinoblastoma cukup bagus, yaitu dapat
mencapai 50% pada mata yang tidak di-enukleasi. Prognosis penglihatan pada mata yang
tidak terkena tumor mencapai lebih dari 80%.18
BAB III
KESIMPULAN
3.1. Kesimpulan
21
Page 25
Retinoblastoma merupakan tumor ganas primer intraokuler yang berasal dari
lapisan sensoris retina dan paling sering terjadi pada anak-anak. Retinoblastoma
berkembang dari sel retina yang imatur. Retinoblastoma ini sangat membahayakan
kehidupan bila tidak diobati secara tepat, dapat berakibat fatal karena dalam satu sampai
dua tahun setelah didiagnosis akan bermetastase ke otak atau bermetastase jauh secara
hematogen dimana prognosa sudah sangat kurang baik.
Kemoterapi merupakan salah satu teknik pengobatan yang dapat dilakukan pada
pasien retinoblastoma. Kemoterapi dapat diindikasikan pada tumor yang sudah dilakukan
enukleasi bulbi yang pada pemeriksaan patologi anatomi terdapat tumor pada khoroid
dan atau mengenai nervus optikus, pasien yang sudah dilakukan eksenterasi dan dengan
metastase regional atau metastase jauh, dan tumor ukuran kecil dan sedang untuk
menghindarkan radioterapi.
Retinoblastoma dengan kemoterapi saja bukanlah tindakan kuratif yang efektif,
karena kemoterapi ini harus diikuti dengan terapi lokal lainnya. Gabungan kemoterapi
dan terapi fokal dapat meminimalisis kebutuhan untuk enukleasi, eksenterasi, atau
radioterapi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ellsworth RM, Boxrud CA, Retinoblastoma. 1997. Tasman W, Jaeger E A eds,
Duane”s clinical Ophthalmology , Vol III, Chap 35. New York. Livincott-Raven
Publisher. 1 – 19.
2. Lang G. 2006. Ophthalmology 2nd edition, A Pocket Textbook Atlas. New York.
Thieme. 368-369.
22
Page 26
3. Rahman A, 2014. Dilemma in management of retinoblastoma. J Community Med
Health Educ 2014 4:323.
4. Saxena S, 2011. Clinical Ophtalmology medical and surgical approach 2nd ed.
New York: JayPee-Highlights Medical Publisher 647-654.
5. Balmer A, Munier F, 2007. Differential diagnosis of leukocoria and strabismus,
first presenting signs of retinoblastoma. Clin Ophthalmol 1(4): 431–439.
6. Shields CL, Shields JA, 2004 Diagnosis and management of retinoblastoma.
Cancer Control 11(5):317-327.
7. Paduppai S, 2010. Characteristic of retinoblastoma patiens at Wahidin
Sudirohusodo Hospital 2005-2010. The Indonesian J Medical Science. 2(1): 1-7.
8. Shields CL, Fulco EM, Arias JD, Alarcon C, Pellegrini M, Rishi P, et al, 2013.
Retinoblastoma frontiers with intravenous, intraarterial, periocular, and
intravitreal chemotherapy. Eye 27, 253–264.
9. Guyton& Hall, buku ajar fisiologi kedokteran. EGC. Jakarta, 2005.
10. Jon Langmans & Langmans. Medical embryology. EGC, 2006.
11. Richard. S Snell. Anatomi kuliah untuk mahasiswa kedokteran. EGC, Jakarta,
2005.
12. American Academy of ophthalmology. Ophthalmologic Pathology and intraocular
tumors section 4. American academy of ophthalmology. San Francisco, 2008.
13. Skuta GL, Cantor LB, Weiss JS, 2011. Section 6: Pediatric Ophtalmology and
Strabismus 2011-2012. American Academy of Ophtalmology. 354
14. Hay WW, 2012. Current diagnosis and treatment pediatrics 21st ed. US: The
McGraw-Hill Companies 973
15. Saxena S, 2011. Clinical Ophtalmology medical and surgical approach 2nd ed.
New York: JayPee-Highlights Medical Publisher 647-654.
16. Graaf PD, Goricke S, Rodjan F, Galluzi P, Maeder P, Castelijns JA, et al, 2012.
Guidelines for imaging retinoblastoma: imaging principles and MRI
standardization. Pediatr Radiol 42:2–14
17. Aerts, I., L. L. Rouic, M. Gauthier-Villars, H. Brisse, F. Doz, and L.Desjardins.
2006. Review : Retinoblastoma. Orphanet Journal of Rare Disease, 1:31.
18. Parulekar, M. V. 2010. Retinoblastoma – Current treatment and future direction.
Early Human Development, 86: 619-25.
23
Page 27
19. Chintagumpala, M., P. Chevez-Barrios, E. A. Paysse, S. E. Plon, and R. Hurwitz.
2007. Retinoblastoma : Review of Current Management. The Oncologist, 12:
1237-469.
20. Reddy, V. A. P., and S. G. Honavar. 2008. Retinoblastoma – Advanced in
Management. Apollo Medicine, 5(3): 183-9.
21. Ghassemi F, Khodabande A, 2015. Risk definition and management strategies in
retinoblastoma :current perspectives. Clinical Ophtalmology, 9: 987-990.
22. Othman, I. S. 2012. Retinoblastoma major review with updates on Middle east
management protocols. Saudi Journal of Ophthalmology, 26: 163-75.
24